Wanastra Vol IX No. 2 September 2016
Ruang Publik Di Jembatan Penyeberangan Kota Jakarta: Sebuah Kajian Budaya SulhizahWulan Sari ABA BSI Jakarta Jl. Salemba Tengah No. 45, Jakarta Pusat
[email protected]
ABSTRACT Thispaper analyses the viaduct in Urban Jakarta as part of the public space through a cultural studies view. This study is important because the viaduct is not merely functioned as a service but also contested space that conceives with various interests and meanings. This study reveals the value system of the civils who live in Urban Jakarta and transformatory impact for human’s life. Public Space created contested space and meanings as memories, experiences, identities, consumerism, capilalism, and legitimated power. Those are constructed by history, economy, politic, social, and culture which changed the image of the viaduct to be meaningfull. The method uses in this study is descriptive qualitative. The result is this service created new space for lower middle class and be site of a power struggle. Keywords: Public Space, The Viaduct, Jakarta
I.
PENDAHULUAN
Pembangunan gedung-gedung bertingkat, baik gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, perbaikan infrastruktur jalan, maupun pembangunan pemukiman elit merupakan salah satu bagian dari rancangan kota Jakarta yang mulai berkembang di masa Orde Lama. Di masa Orde Lama hingga kini Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan bisnis bagi warganya juga menjadi tanah impian bagi warga di luar Pulau Jawa. Perkembangan pembangunan yang begitu pesat dan urbanisasi secara besar-besaran di masa Orde Baru dan PascaOrba membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat urban Jakarta, baik segi sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Dengan demikian wajah ibu kota Jakarta tampak multikultural dan dipenuhi oleh berbagai kepentingan. Marx(2000:296) menyatakan, “urbanization as one of the key features of capitalist industrilization, viewing it with a certain ambivalence.”(Urbanisasi sebagai salah satu bagian penting dari industri kapitalisme membawa ketidak seimbangan yang sangat jelas). Ketidakseimbangan dari adanya urbanisasi ini menimbulkan masalahmasalah kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Khususnya, dampak tersebut menciptakan masalah bagi aparat
78
negara untuk membuat Jakarta menjadi kota yang aman, nyaman, dan indah. Masalah yang timbul dari segi sosial seringkali membuat pemerintah menggagaskan ide, peraturan baru, bahkan memberikan sebuah layanan dan fasilitas untuk warga kota Jakarta, seperti menyediakan layanan berupa jembatan penyeberangan. Jembatan penyeberangan merupakan sarana yang terbuat dari lempengan besi, baja, semen, dan batu yang digunakan untuk memfasilitasi warga ibu kota. Dengan melihat fungsinya, jembatan penyeberangan awalnya dibuat oleh Pemerintah kota Jakarta untuk menjaga keselamatan pengguna jalan ketika hendak menyebrangi jalan atau berpindah ke tempat yang berlawanan. Dengan adanya jembatan penyeberangan, warga tidak perlu khawatir dengan keselamatan mereka. Keberadaannya memberi citra positif bagi wajah ibu kota. Di sisi lain, jembatan penyeberangan menjadi tempat yang sarat akan kepentingan. Salah satunya, ada tujuan tertentu dari pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk mendidik warga Jakarta agar disiplin dalam menjaga keteraturan kota. Dengan demikian, jembatan penyeberangan tidak hanya menjadi sebuah bentuk legitimasi kekuasaan, tetapi juga menjadi situs pertarungan makna. Pemaknaan dan
ISSN 2086-6151
Wanastra Vol IX No. 2 September 2016
kontestasi tercipta manakala bertemu dengan ruang lingkup lain yang mengelilingi jembatan penyeberangan, seperti pusat perbelanjaan, tempat hiburan, perkantoran, tempat makan, atau sarana pendidikan, iklan-iklan komersial dan layanan masyarakat yang terpasang di jembatan penyeberangan. Hal tersebut menciptakan berbagai pemaknaan terhadap jembatan penyeberangan. Disamping itu, terdapat pula isu-isu dan masalah yang terjadi di jembatan penyeberangan, seperti kriminalitas, pertukaran budaya, kesenjangan ekonomi dan sosial, serta politik pun ikut berperan. Ruang pertarungan makna ini menjadi menarik untuk dikaji sebagai bagian dari sebuah kajian budaya. Berdasarkan pernyataan Bennett (1998) dalam Barker (2000:7), “Cultural studies is concerned with all those practices, institutions, and systems of classification through which there are inculcated in a population particular values, beliefs, competencies, routines of life and habitual forms of conduct.” (Cultural studies adalah disiplin ilmu yang berkaitan dengan pengklasifikasian segala macam praktik, institusi, dan sistem. Semua itu ditanamkan kepada sebuah populasi melalui nilai, kepercayaan, kompetensi, bentuk rutinitas kehidupan dan tingkah laku). Salah satu isu penting dari cultural studies adalah space atau yang disebut ruang, karena dengan konteks ruang ini akan menciptakan kelas, etnisitas, ras, identitas, dan lain-lain. Pada umumnya, space terbagi menjadi dua aspek, seperti ruang privat, dan ruang publik. ‘Ruang Publik’ menurut Habermas (2007:15) adalah ruang komunikasi dimana terdapat diskusi kritis antara masyarakat dan negara yang berkenaan dengan relasi kekuasaan, ruang tersebut adalah ruang baca, kedai kopi, teater, museum, salon-salon, tempat konser, tepat makan, tempat belanja/mall, dan lainlain. Beberapa situs pertarungan makna yang terdapat di ruang publik di jembatan penyeberangan adalah ruang memori dan sejarah, ruang ekonomi dan sosial, ruang politik dan kekuasaan, serta ruang identitas dan budaya yang akan dibahas dalam bab pembahasan.
II.
Kusno (2009:2), “ruang umum yang lebih bebas penggunaannya untuk partisipasi publik (meskipun tidak bebas dari peraturan”. Ruang Publik sering diantonimkan dengan istilah ‘Ruang Privat’. Ruang privat memiliki arti lebih sempit dari ruang publik, yakni ruang privat digunakan untuk partisipasi yang bersifat pribadi, seperti toilet, kamar tidur, kamar ganti pakaian di mal, dan lain-lain. Menurut habermas (2007:15) ‘Ruang Publik’ adalah ruang komunikasi dimana terdapat diskusi kritis antara masyarakat dan negara yang berkenaan dengan relasi kekuasaan, ruang tersebut adalah ruang baca, kedai kopi, teater, museum, salon-salon, tempat konser, tepat makan, tempat belanja/mal, dan lain-lain. Ruang publik adalah kajian yang dapat menciptakan berbagai macam pemaknaan. Hal tersebut berkenaan dengan aspek pertarungan makna, baik pemaknaan yang berasal dari aspek memori individu dan kolektif menenai wacana pengingatan, pengabaian, dan pelupaan terhadap sebuah tanda, ataupun bersifat politis atau kekuasaan. Hal ini dikemukakan oleh Habermas (2004:44), “ruang pulik telah membentuk fungsi-fungsi politis antara negara dan masyarakat.”Selain itu, Barker (2000:294) menambahkan bahwa ruang adalah situs pertarungan dan interaksi. Kajian ruang publik semakin meluas berdasarkan wacana yang ada di publik. Dalam hal ini, ruang publik mengambil seluruh aspek kehidupan manusia baik politik, sosial, ekonomi maupun budaya. Kajian ini tidak hanya digunakan untuk membongkar sistem nilai yang ada di masyarakat dan pengaruhnya terhadap perubahan kehidupan manusia tetapi juga untuk mengetahui kontestasi makna yang dihasilkan oleh ruang tersebut. Giddens (1984) dalam Barker (2000:290) menyatakan, “understanding the manner in which human activity is distributed in space is fundamental to analysis of social life.” (Secara fundamental, untuk menganalisis kehidupan sosial adalah dengan memahami cara manusia beraktivitas di dalam ruang). Oleh karena itu, ruang publik menjadi kajian yang penting dalam cultural studies yang digunakan untuk mengkaji budaya memaui cara manusia melakukan aktivitas di dalam ruang.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep public space atau yang disebut ruang publik menurut Smith dalam
ISSN 2086-6151
III.
METODOLOGI PENELITIAN
79
Wanastra Vol IX No. 2 September 2016
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yakni dengan menjelaskan, memaparkan, dan menganalisis data yang terkumpul baik primer maupun sekunder berdasarkan konsep Ruang Publik dan sudut pandang kajian budaya (Cultural Studies). Data tersebut berupa foto-foto dokumentasi pribadi dan foto-foto dari internet berkaitan dengan gambar jembatan penyeberangan di wilayah Jakarta salah satunya di kawasan Grogol, Bundaan HI, Harmoni, dan lain-lain.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.I. Ruang Memoridan Sejarah Jembatan yang sudah berdiri kokoh di masa sekarang dengan berbagai bentuk dan ukuran merupakan bagian situs sejarah Indonesia di masa lampau. Dengan melihat kembali jembatan yang berada di Kota Tua Jakarta, warga diingatkan dengan kisahkisah masa lampau. Jembatan di Kota Tua merupakan cikal bakal jembatan saat ini. Jembatan tersebut dikenal dengan Jembatan Kota Intan atau dikenal pula dengan nama, sepertiJembatan Inggris (Engelse Brug pada 1628), Jembatan Ayam (De Hoenderpasar Brig pada 1630), Jembatan Pusat (Het Middelpunt pada 1655) Jembatan Gantung/ Jungkit (Groote Boom pada 1938), Jembatan Ratu Juliana (Ophaalsbrug Juliana/ Juliana Bernhard/Phalsbrug Juliana pada 1938), dan Jembatan Wihelmina atau disebut juga WihelminaBrug(www.jakarta.go.id).Jembata n Kota Intan didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1628 sebagai pusat masuknya komoditi kapal-kapal Belanda ke Indonesia, khususnya di Sunda Kelapa. Jembatan Kota Intan juga berfungsi sebagai penghubung antara benteng Belanda dan Inggris. Warisan sejarah ini terbentuk dari kayu dan besi yang dapat terlipat naik ketika kapal masuk untuk bertanggah. Sebagai Gubernur DKI Jakarta yang memerintah pada 1972, yakni Ali Sadikin yang menggagaskan warisan jembatan Kota Intan sebagai cagar budaya.
80
Sumberfoto: pegipegi.com
Gambar 4.1.1. Jembatan Kota Intan
Perubahan nama Jembatan Kota Intan telah menuturkan kisah-kisah sejarah Indonesia. Kisah sejarah yang dapat diingat dan dilupakan. Fakta sejarah tersebut membawa kepada sebuah pengertian mengenai ruang memori. Menurut Kusno (2009:2), “memori adalahpengalaman masa lalu yang melekat dan aktif dibenak kita, sehingga ia membentuk kita.”Memori ini berkaitan dengan tempat dimana pengingatan akan kejadian di masa lampau tersimpan di alam bawah sadar terbangun dan terekam melalui tanda di sekitar tempat itu. Ruang memori terbagi lagi menjadi dua, yakni memori kolektifdan memori individu. Salah satu contoh memori individu dan memori kolektif di jembatan penyeberangan yaitu berkaitan dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Dari foto di bawah ini, nampak jembatan penyeberangan atau yang dinamai dengan Jembatan 12 Mei Reformasi menghubungkan kawasan terminal Grogol, Kampus Universitas Trisakti, Atmajaya, dan sekitarnya adalah salah satu contoh dari pemaknaan melalui wacana pengingatan, pengabaian, dan pelupaan. Peristiwa tersebut telah mengingatkan kembali memori dan pengalaman individu maupun kelompok mengenai tragedi yang mencekam di bulan Mei pada 1998. Ketika masyarakat atau warga melewati atau melintasi jembatan penyeberangan dan melihat ke bawah jalan, ada nuansa untuk mengenang, merasakan kembali, bahkan ada keinginan untuk melupakan pengalaman yang mencekam. Wacana pelupaan berkaitan dengan melupakan tragedi kemanusiaan dengan banyaknya korban jiwa, peristiwa yang mencekam, kekerasan simbolik dari aparat negara sehingga menciptakan ketidakadilan bagi warga sekitar yang tidak bersalah, seperti warga Tionghoa yang mengalami
ISSN 2086-6151
Wanastra Vol IX No. 2 September 2016
diskriminasi politik kekuasaan berlandaskan ras dan etnisitas. Sebaliknya, wacana pengingatan berkaitan dengan sebuah perjuangan demi melahirkan reformasi baru bagi terciptanya pemerintahan yang lebih baik, diinginkan oleh masyarakat Indonesia, dan sebuah bentuk perlawanan demi kebebasan yang lebih baik.
Sumber dokumentasi foto pribadi
Gambar 4.1.2. Jembatan Grogol 1 (12 Mei Reformasi)
Kusno(2009:3) mengatakan, “pemaknaan terhadap ruang publik adalah suatu kegiatan yang melibatkan wacana pengingatan, pengabaian, dan pelupaan.” Mengingat dan melupakan merupakan dua sisi yang berbeda, namun keduanya merupakan bagian dari memori individu dan kolektif yang berkenaan dengan pengalaman individu dan kelompok terhadap suatu ruang yang dapat mengingatkan kembali peristiwa atau sejarah di masa lampau sehingga menimbulkan perasaan baik atau buruk dan meresponnya dengan berbagai cara, baik mengingat, melupakan, atau mengabaikan. Meskipun sebagian besar warga Jakarta mengatasi pengalaman mereka mengenai tragedi tersebut dengan cara melupakan, warga secara tidak sadar diingatkan oleh tanda pengingat yang diabadikan oleh masyarakat dan negara melalui Jembatan 12 Mei Reformasi. Jembatan 12 Mei Reformasi menjadi saksi bisu sejarah bangsa. Jembatan tersebut hadir untuk melawan lupa akan sejarah dan kenangan dari peristiwa yang telah terjadi sekaligus menjadi tanda pengingat sejarah. a.
Ruang Pertarungan Ekonomi dan Sosial
Jembatan penyeberangan di Kota Jakarta menjadi bagian dari aktivitas ekonomi dan menciptakan masalah sosial, salah satunya adalah pengonsumsian
ISSN 2086-6151
komoditas. Peran jembatan penyeberangan tidak hanya berfungsi sebagai sarana penghubung antar mal melainkan menjadi persaingan ekonomi bagi kelas sosial menengah bawah. Mal yang dibangun di Kota Jakarta memberikan berbagai penawaran menarik dan kompetitif. Penawaran tersebutk hususnya, ditawarkan bagi kalangan kelas menengah. Mal di Jakarta merupakan pusat perbelanjaan bagi semua kelas baik kelas menengah atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Hal yang menarik adalah merek produk dan citra dari sebuah produk yang ditawarkan menjadi penentu kelas sosial masyarakat. Rosida (2014:51) menyatakan,“dalam ranah konsumsi masyarakat kota Jakarta melakukan aktivitas ekonomi berdasarkan kelas ekonominya”. Selanjutnya, menurut fakta yang dikutip oleh Rosida (2014:52) dalam Santoso (2011) berdasarkan data yang diperoleh, mal di Jakarta berjumlah kurang lebih 50 mal. Mal yang menyediakan produk bermerek dan diimpor dari Eropa dikategorikan sebagai ranah konsumsi bagi kalangan kelas menengah atas, seperti Plaza Indonesia dan Plaza Senayan. Adapun mal yang menyediakan produk-produk buatan Asia dan lokal dikategorikan sebagai ranah untuk kelas menengah, seperti Mal Taman Anggrek, Kelapa Gading, dan Pondok Indah. Selain itu, mal yang banyak menyediakan produk lokal dikategorikan untuk kelas menengah bawah.
Sumber foto:beritadaerah.co.id
Gambar 4.2.1. JPO di kawasan HI
Jadi, keberadaan jembatan penyeberangan sebagai penghubung antar mal elit, mewah, dan megah mencirikan kelas dan status sosial yang mengonsumsinya. Demikian halnya dengan mal yang memiliki standar bentuk bangunan dan berisikan produk lokal mencirikan kelas dan status sosialnya. Oleh karena itu, keberadaan mal di antara jembatan
81
Wanastra Vol IX No. 2 September 2016
penyeberangan menjadi media penentu status sosial bagi konsumen. Masyarakat ditawarkan di jembatan penyeberangan dengan pilihan-pilihan tujuan belanja mereka. Jika hendak berbelanja dengan harga terjangkau maka dapat memilih berbelanja ketempat lain di sebrangnya. Aktivitas ekonomi di jembatan penyeberangan menjadi bagian penentu roda ekonomi kelas menengah bawah. Hal tersebut ditunjukkan dengan gambaran persaingan ekonomi yang cukup jelas. Persaingan ekonomi dalam bentuk komoditas yang ditawarkan seperti pangan berupa olahan makanan dan papan berupa kerajinan dan produk industri berkualitas menengah menciptakan kemampuan membeli warga Kota Jakarta meningkat untuk semua kalangan, khususnya kalangan menengah bawah. Mereka menjadikan jembatan penyeberangan menjadi new market place dan peluang baru untuk mendapatkan keberuntungan dari orangorang yang melintasinya. Bagi sebagian kalangan menengah bawah, menghasilkan sedikit atau banyak rezeki di atas jembatan penyeberangan adalah sebuah kesyukuran karena sulitnya hidup di kota, jika warga tidak memiliki modal. Hal ini didukung pula dengan kurangnya pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan serta adanya Sumber Daya Manusia yang rendah. Bourdieu dalam Jenkins (2004:128) menyatakan bahwa modal berkaitan dengan usaha manusia yang berlandaskan kepentingan ekonomis. Selanjutnya, Bourdieu (2010:xx) menambahkan bahwa bentuk modal yang disebut sebagai kekuasaan simbolis terbagi menjadi dua, yaitu modal simbolik seperti gelar pendidikan dan modal kultural seperti karya seni atau kerajian yang dihasilkan berupa produktivitas, dan lain-lain.
Sumberfoto: megapolitan.harianterbit
Gambar 4.2.2. JPO Ratu Plaza JalanSudirman Jakarta
82
Sumber foto: m.tribunnews.com
Gambar 4.2.3. Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Jakarta digunakan warga untuk berdagang
Komoditi yang ditawarkan di jembatan penyeberangan merupakan produk-produk lokal dan karya tangan warga dari produsen komoditas skala kecil. Kalangan kelas bawah biasanya menjual souvenir, aksesori, makanan, minuman, jajanan, buku-buku dengan harga sangat terjangkau, bahkan kaset digital dan kaset video digital dari film-film terlaris laris terjual. Misalnya, Kota Glodok dikenal sebagai produsen kaset digital dan kaset video digital non orisinil sehingga banyak sekali ditemukan penjual kaset digital dan video digital di jembatan penyeberangan Glodok. Tentunya, hal ini merupakan bentuk dari kapitalisme dan konsumerisme yang mengglobal. Marx dalam Barker (2000:297) menyatakan, “ the city as a sign of progress and the great leap of productivity which capitalism bought about.” (Kota sebagai tanda kemajuan dan keberhasilan produktivitas dimana kapitalisme dihasilkan). Soedjatmiko (2008:3) menambahkan bahwa konsumerisme merubah nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value). Konsumerisme hadir ketika masyarakat mengonsumsi kebutuhannya bukan lagi dilihat dari segi kepentingan atau kegunaan akan suatu produk, melainkan nilai tukar terhadap pemuasan hasrat membeli, pengakuan akan status sosial, dan kepentingan diri (ego). Jembatan penyeberangan menjadi bagian dari sites of consumption dimana tempat ini tidak hanya menjadi tempat bertransaksi jual-beli antar kalangan kelas menegah, tetapi juga tempat berinteraksi. Pada realita yang ada, kebanyakan dari pembeli adalah kalangan menengah atas yang tergerak hatinya dan merasa simpati dengan kondisi perekonomian kelas menengah bawah. Oleh karena itu, para
ISSN 2086-6151
Wanastra Vol IX No. 2 September 2016
penjual yang berlatar belakang ekonomi bawah mengambil untung dari kelas atas. Maka, peran kelas menengah atas ini menciptakan sebuah bentuk konsumerisme yang dipandang negatif menjadi sesuatu yang bernilai positif, yakni bernilai sosial dan bermoral. Berdasarkan kemampuan mengonsumsi tersebut, dapat dijadikan sebagai tolak ukur keberlangsungan ekonomi kelas menengah bawah. Disamping itu, menurut sumber berita online yang dipublikasikan oleh Sanusi dan Kurniawan(dalam Tribun.com: diunduh pada 27 Januari 2016), memaparkan bahwa keberadaan pedagang kaki lima tersebut memang sudah dilegalkan oleh aparat negara, seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Para pedagang kaki lima memberikan uang sebagai bayaran sewa izin berjualan (Pungli) di jembatan penyeberangan. Dengan demikian, kealpaan negara ini bukan disengaja, melainkan aparat melegalkan dominasi kekuasaan mereka dengan bentuk campur tangan kekuasaan berupa uang sebagai alat tukar. Ditambah lagi, masalah sosial yang ditimbulkan dari ketimpangan kelas ekonomi ini adalah terciptanya kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial adalah sebuah bentuk dari moralitas kemanusiaan. Moralitas kemanusiaan ditunjukkan dengan munculnya gelandang atau pengemis di atas jembatan penyeberangan. Realita ini menunjukkan bahwa kealpaan negara dalam mengatur masalah sosial dan ekonomi sehingga jembatan penyeberangan yang seharusnya berpedoman pada fungsinya menjadi tidak jelas.
Sumber foto:m.kaskus.co.id
Jakarta saling mempengaruhi hingga menciptakan bentuk-bentuk kelas yang dikotakkan, dipisahkan, dan dibedakan. Terbentuknya beragam kelas menengah ini menciptakan masalah ekonomi dan sosial. Pengkategorian ini berdasarkan apa yang dikonsumsi, apa yang dijual oleh masyarakat, dan tentunya di dukung oleh kekuatan pemerintah. b. Ruang Politik dan Kekuasaan Menurut Budiman dalam kata pengantar buku yang berjudul Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto(dalam buku Kusno. 2009:xx), “bangunan digunakan untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan rezim yang berkuasa pada saat itu”. Berdasarkan pernyataan tersebut, nampak bahwa Jembatan penyeberangan sebagai bagian dari bangunan yang dibuat oleh pemerintah dapat menjadi ruang untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan.
Sumberfoto: kompas.com
Gambar 4.3.1. Spanduk Pajak di Jembatan Penyeberangan
Sumber Dokumentasi Foto Pribadi
Gambar 4.2.4. Fenomena Gelandangan di Jembatan Penyeberangan
Gambar 4.3.2. Jembatan penyeberangan di kawasan Grogol
Oleh karena itu, ruang ekonomi dan sosial di jembatan penyeberangan kota
Contoh kasus tersebut adalah Jembatan 12 Mei Reformasi yang telah disebutkan (lihat halaman 5). Contoh lainnya
ISSN 2086-6151
83
Wanastra Vol IX No. 2 September 2016
adalah spanduk yang terpasang di jembatan penyeberanganyang berbunyi “bayarlah pajak tepat pada waktunya, bayarlah pajak sebelum jatuh tempo, sanksi pajak adalah hak milik bersama, dan lain-lain.”Kalimatkalimat tersebut merupakan sebuah bentuk dari kekuasaan yang terlegitimasikan lewat kata-kata dan ditulis pada sebuah kertas yang memiliki badan hukum berupa ikon pemerintah sebagai simbol pemerintahan dan dikemas dengan kemasan bahasa yang menarik. Secara sadar, hal tersebut digunakan untuk mengingatkan warga Jakarta, khususnya kelas menengah atas untuk membayar kewajiban dari sebagian hasil harta mereka. Kesibukan warga Jakarta akan kehidupan dan masalah-masalah yang dihadapi hingga lupa untuk menunaikan kewajibannya membuat pemerintah menciptakan sebuah disiplin dan peringatan melalui spanduk yang secara tidak langsung menegur pengguna kendaraan yang melaju di bawah jembatan penyeberangan dan sekitarnya. Pelupaan yang tidak disengaja ini diingatkan kembali melaui spanduk di atas perlintasan jalan atau di jembatan penyeberangan itu sendiri. Wacana lainnya adalah Gubernur DKI Jakarta, Tjahaya Basuki Purnama, turut serta dalam memberikan pemaknaan terhadap jembatan penyeberangan atau yang disebut dengan istilah JPO (Jembatan Penyeberangan Orang). Kekuasaan negara sebagai otoritas publik tersebut terlihat dari fungsi jembatan penyeberangan yang menghubungkan jalur transportasi bus TransJakarta dengan koridor-koridor di seluruh wilayah Jakarta menjadi sebuah situs penanda kekuasaan. Citra yang hendak dibentuk di JPO ini adalah untuk menunjukkan jembatan yang indah, megah, mewah, serta berkelas. Hal tersebut berdasarkan pernyataan di redaksi pada situs internet
[email protected], Rabu (18/3/2015). Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau yang dikenal dengan namaAhok memaparkan bahwa JPO di kawasan HI merupakan model bagi JPO lainnya di seluruh wilayah Jakarta. Ahok menambahkan bahwa model JPO di HI ini nantinya akan berkembang dengan adanya fasilitas lain, seperti menyediakan toko atau tempat untuk berbelanja, sehingga JPO di Jakartaserupa dengan JPO yang ada di sky bridge Hong Kong (diunduh pada 27 Januari 2016, pukul 18.30). Ditambah lagi, bentuk JPO di HI menjadi ruang privat yang unik karena JPO
84
tidak luput dari basis tongkrongan bagi remaja yang sedang kasmaran dan berfoto selfie. Fenomena selfie di jembatan penyeberangan dan diunggah ke situs internet dan media sosial seringkali ditemukan sehingga bentuk ruang yang mulanya bersifat privat menjadi umum karena dipertontonkan di khalayak umum tanpa malu-malu dan tergganggu dengan adanya keberadaan orang lain.
Sumberfoto: tribunnews.com
Gambar 4.3.3. Spanduk Kampanye di JembatanPenyeberangan
Contoh lain adalah kekuatan politik dalam memprovokatori dan mengajak warga kota Jakarta dalam kampanye Pemilu yang diadakan tiap agenda Pemilu terpasang di jembatan penyeberangan dalam bentuk spanduk, pamflet, papan pengumuman, brosur, kertas, bendera partai dan sloganslogan yang menarik sehingga menciptakan suasana politis. Hal tersebut memberikan arti tersendiri di jembatan penyeberangan. Dimana pun tempatnya, para politikus berusaha untuk menarik warga Jakarta untuk berperan dan mendukung politik. Jembatan penyeberangan menjadi situs pertarungan keputusan untuk mempengaruhi pilihan warga. Sebagaimana Habermas (2004:44) menyatakan,“ruang pulik telah membentuk fungsi-fungsi politis antara negara dan masyarakat.”
Sumberdokumentasi foto pribadi
Gambar 4.3.4.
ISSN 2086-6151
Wanastra Vol IX No. 2 September 2016
Jembatan Halte Busway Harmoni Lain halnya dengan spanduk, pamflet, brosur, dan lembaran kertas yang menawarkan berbagai produk dan layanan bagi warga Ibu Kota tidak lain menciptakan masyarakat yang konsumtif dan peduli. Tidak lain, kalimat dan iklan yang terpasang di jembatan penyeberangan terbentuk melalui tangan-tangan terampil anggota politik, dan dunia bisnis periklanan.
c.
Ruang Identitas dan Budaya
Sadar atau tidak sadar, jembatan penyeberangan dapat mengonstruksi identitras sebuah budaya. Identitas dapat terbentuk dari masyarakat dengan latar belakang yang berbeda, etnis, agama, dan budaya. Selain itu, percampuran budaya dan pertukaran budaya telah terjalin dan tidak disadari secara langsung. Beragam suku bertemu dan bercampur meski hanya bertatap muka, melakukan pertukaran komoditas, atau hanya sekedar melewati. Kegiatan tersebut mereka lakukan ketika melewati jembatan penyeberangan. Oleh sebab itu, jembatan penyeberangan menjadi ruang dimana pertemuan sosial terjadi. Representasi masyarakat yang multikultural tercermin melalui ruang yang lain, yakni ruang pertemuan budaya. Sebagaimana Barker (2000:294) menyatakan bahwa ruang adalah situs pertarungan dan interaksi. Giddens (1984) dalam Barker (2000:290) menyatakan, “understanding the manner in which human activity is distributed in space is fundamental to analysis of social life.” (Secara fundamental, untuk menganalisis kehidupan sosial adalah dengan memahami cara manusia beraktivitas di dalam ruang). Ditambah lagi, hal ini juga berdasarkan ruang ekonomi dan sosial yang telah disebutkan di poin sebelumnya. Identitas dikonstruksi dari apa yang dikonsumsi, dikenakan, dan makanan yang dimakan oleh masyarakat. Hal tersebut memunculkan kelompok baru di masyarakat berdasarkan kategori pengonsumsian dari kelas sosial. Melihat realita yang nampak, jembatan penyeberangan menjadi sarana pertukaran budaya dan juga menjadi persaingan yang menimbulkan ketimpangan sosial, yakni terciptanya ruang kelas baru bagi kalangan menengah bawah.
SARAN Jembatan penyeberangan tidak hanya bangunan yang berfungsi sebagai sarana tetapi juga menjadi ruang baru bagi kelas menengah bawah dan tempat pertarungan kekuatan dan kekuasaan. Jembatan menjadi ruang kekuatan dan kekuasaan. Kekuatan tanpa batas karena dibentuk oleh sejarah, politik, ekonomi, dan sosial, serta menimbulkan berbagai pemaknaan, seperti memori, pengalaman, identitas, konsumerisme, kapitalisme, dan legitimasi kekuasaan. Semua hal tersebut terbentuk karena didukung dengan adanya manifestasi kekuatan simbolik, seperti aparatus, konsumerisme, dan kapitalisme menambah citra jembatan penyeberangan memiliki berbagai makna. Hal tersebut tidak luput dari sebuah pemaknaan akan sebuah bangunan. Oleh karena itu, penelitian jembatan penyeberangan sebagai ruang yang dapat menciptakan pengaruh bagi kehidupan sosial masyarakat Jakarta perlu kajian mendalam dengan menggunakan studi etnografi atau metode lainnya yang mendukung penelitian ini sehingga mendapatkan data dan fakta yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris. (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication. Santoso, Yudi (Penterjemah). (2010). Arena Produksi Kulutral: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana. Danesi, Marcel and Perron, Paul. (1999). Analyzing Cultures: an Introduction and Handbook.Bloomington, Indiana: Indiana University Press. Habermas, Jurgen. (2007). Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Bantul: Kreasi Wacana. Jenkins, Richard. (2004). Membaca Pikiran Bourdieu. Bantul: Kreasi wacana.
V.
KESIMPULAN DAN
ISSN 2086-6151
85
Wanastra Vol IX No. 2 September 2016
Kusno, Abidin. (2009). Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto. Yogyakarta: Ombak. Rosida, Ida. (2014). Hasrat Komoditas di Ruang Urban Jakarta: Sebuah Kajian Budaya.Jakarta: Jurnal AlTuras: Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama. Volxx No. 1. Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarifhidayatullah. Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Berbelanja, Maka Saya Yogyakarta: Jalasutra
Saya Ada.
Artikel Ensiklopedia mengenai Engelse Brurg. www.jakarta.go.id. (Diakses pada 27 Januari 2016, pukul 18.30 WIB). http://m.tribunnews.com/metropolitan/2012/ 03/31/ayo-belanja-di-jembatanpenyeberangan-orang. (Diakses pada 27 Januari 2016, pukul 18.30 WIB). http://beritadaerah.co.id/2014/12/03/hiasanbunga-di-jpo-hotel-indonesia/. (Diakses pada 27 Januari 2016, pukul 18.30 WIB). http://news.detik.com/berita/2861877/ahokakan-jadikan-jpo-bundaran-hisebagai-model-standarbeginipenampakannya. (Diakses pada 27 Januari 2016, pukul 18.30 WIB). http://megapolitan.harianterbit. (Diakses pada 27 Januari 2016, pukul 18.30 WIB). http://kompas.com. (Diakses pada 27 Januari 2016, pukul 18.30 WIB). http://m.kaskus.co.id. (Diakses pada 27 Januari 2016, pukul 18.30 WIB). http://pegipegi.com. (Diakses pada 27 Januari 2016, pukul 18.30 WIB).
86
ISSN 2086-6151