Kajian Pola Ruang Terbuka di Kota Bandung : Sebuah Produk Budaya akibat Perkembangan Jaman Doni Fireza
Jurusan Teknik Arsitektur - Fakultas Teknik Universitas Komputer Indonesia
Abstrak Bandung, merupakan salah satu contoh kota yang dapat dijadikan sebuah laboratorium lapangan dari perancangan arsitektur lansekap yang menarik untuk dibahas. Sebagai bagian dari pembahasan tersebut, maka akan dikemukakan mengenai perancangan pola ruang terbuka hijau (taman) di kota ini mulai dari konsep dan tujuan perancangan, pemahaman dan pemakaian oleh masyarakat Bandung dulu dan sekarang hingga dikotomi yang terjadi akibat perubahan jam an serta perlakuan yang dialami taman taman tersebut akibat persepsi budaya.
semmp mungkin dengan kondisi kawasan permukiman yang ada di Eropa pada masa itu, Dan konsep dan paradigma dalam merancang kota ini diterapkan khususnya pada Bandung bagian utara dan lebih khususnya pada kawasan permukiman di sebelah selatan Gedung Sate yang juga dikenal dengan istilah Parisj van Java. Oleh karena itu, konsep tuinstad yang saat itu sedang melanda Eropa sebagai titik awal perancangan kota menjadi dasar perancangan sebagai respon kondisi kota-kota pasca era industrialisasi. Sebagai penerapan dalam desain, maka saat itu dikenal konsep-konsep taman dalam kota yang merupakan bagian integral kota. Konsep tersebut dikenal juga dengan urban park system yang merupakan perkembangan desain dari taman-taman publik yang berkembang di Eropa khususnya bagian barat (Inggris, Belanda, Jerman dan sekitamya). Pada dasamya, urban par]: system atau taman-taman publik yang berada di Eropa adalah perkembangan daripada The English Landscape Gardening yang saat itu sangat berkembang pesat. Karena dari sudut desainnya sangat cocok dengan kebutuhan manusia dalam menuju peningkatan kualitas Iingkungan permukiman khususnya setelah
Pendahuluan Sebagai lapangan pengetahuan, Bandung merupakan laboratorium bagi para arsitek, arsitek lansekap dan perencana yang dapat memberikan masalah serta persoalan yang menarik. Dimulai dari kehadiran taman taman dalam kota (park), jalan-jalan yang dinaungi oleh deretan-deretan pohon peneduh dan pola-pola jalan di berbagai lingkungan bekas permukiman bangsa Belanda serta di lingkungan yang sedianya akan dijadikan kawasan pusat pemerintahan koloniaI. Sebagai kota yang perkembangan perancangannya berlangsung pada awal abad ke-20, maka Bandung juga mengalami era perancangan kota yang terpengaruh oleh gaya-gaya perancangan kota dunia pada masa itu. Sebagai respon dari usaha pembentukan lingkungan yang berkualitas bagi warga koloni (bangsa Belanda) di Hindia Belanda, maka kota Bandung juga direncanakan sebagai kota yang menggunakan konsep kota taman yang bila dikaitkan dengan teori-teori perancangan kota pada masa itu sangat terkait dengan era Garden City Movement oleh Ebenezer Howard. Selain daripada itu, perancangan kota Bandung khususnya kawasan permukiman bangsa Belanda juga dirancang 1.
MaJalah Dmiah WIXOM
110
vei.i No.2 Sept. Th. 2001: (110-117)
Kajian Pola Ruang Terbuka di KOla Bandung: Sebuah Produk Budaya akibat Pcrkcmbangan Jaman (Doni Fircza)
diabaikan untuk tidak membicarakan fungsinya semula sebagai ruang terbuka sebagai wadah kegiatan publik yang aktif. Oleh sebab itu, konsep awaJ dari perencanaan taman-taman di kota Bandung adalah titik awal dari penganalisaan konsep dan konsistensinya pada masa saat ini. Taman-taman di kota Bandung pada awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai suatu adopsi dari pengaruh English Landscape Gardening yang juga ikut masuk ke Indonesia lewat perencana-perencana kota Bclanda, Pada masa inilah dikcnal terminologi-terminologi ruang terbuka hijau atau taman antara lain: Plein, Park. Plantsoen, Stadtsuin dan juga Boulevard. Dari sekian terminologi diatas, dapat dikatakan bahwa ruang terbuka hijau dengan Park-Iah yang benar-benar istilah direncanakan sebagai suatu wadah kegiatan publik dan mempunyai konsep-konsep tersendiri. Apabila melihat dari idiom-idiom yang terdapat pada taman gaya Inggris seperti yang dikemukakan pada riset desain Doni Fireza (2000), maka secara desain, taman yang dapat dikatakan berhasil mengadopsi gaya taman Inggris adalah Molukkenpark (Taman Maluku), karena paling mempunyai idiom-idiom tersebut lebih banyak (unsur meadow, air/kolam, dan gerombolan pohon) dan ditunjang kondisi topografisnya yang berbukit-bukit kecil,
masa dimana udara kota dirusak oleh era industri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan konsep-konsep kota taman yang berlangsung saat itu di Eropa bagian barat tersebut merupakan perkembangan dari konsep taman gaya Inggris yang tengah memasuki kota sebagai bagian penerapan desainnya. Demikian juga yang terjadi pada kota Bandung pada masa perancangannya. Konsep kota taman yang diterapkan di Bandung menimbulkan banyaknya ruang tcrbuka hijau yang mcnghiasi kota khususnya bagian utara yang memang dirancang sebagai kawasan permukiman bangsa Belanda dan pusat pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai kota yang dirancang oleh perancang Belanda, maka penerapan taman-taman sebagai pembentuk ruang terbuka hijau kota juga menggunakan gaya-gaya yang saat itu terdapat pada kota-kota di Belanda, dalam hal ini adalah taman gaya Inggris yang berada dalam kota. 2. Konsep Perancangan Taman di Kota Bandung Taman-taman di kota Bandung yang dibangun pada awal-awal abad ke-20 sebagai taman dengan gaya Hindia Belanda, sejalan dengan perkembangan taman-taman Inggris yang sedang berkembang pesat di Eropa. Pengaruh tersebut juga disebabkan karena terjadi trend perubahan taman-taman pribadi atau taman-taman kerajaan menjadi taman taman publik. Trend perencanaan taman tersebut juga diterapkan di Bandung. Sehingga taman publik di Eropa khususnya Inggris dengan gaya English Landscape Gardening (taman alamiah gaya Inggris) menjadi salah satu hal khusus yang melandasi perencanaan taman di kota Bandung, yang kemudian dikenal bersifat taman terbuka umum (openbare park/ Berbicara mengenai landasan dan konsep awal perencanaan taman-taman di kota Bandung yang diduga mempunyai gaya yang dipengaruhi oleh gaya English Landscape Gardening, maka tidak dapat
Gambar 1. Molukkenpark (Taman Maluku) padajaman dahulu. (Sumber : Kunto, 1986) Dari sekian banyak gaya-gaya taman yang pemah berkembang di Eropa, pada taman-taman di kota Bandung
I Kunto, Haryoto, (1986), Semerbak Bunga di Bandung Raya, PT. Granesia, Bandung,. Pp. 230
dan 293. Majalah nmiah UNIKOM
111
vei.i No.2 Sept. Th. 2001: (110-117)
Kajian Pola Ruang Terbuka di KOla Bandung : Sebuah Produk Budaya akibal Perkembangan Jaman (Doni Fireza)
tersendiri dari taman tropis Hindia Belanda, dengan kekhasan serta sifat ekIektiknya.
penggunaan gaya Inggris lebih cocok disebabkan antara lain: • Sifatnya yang merupakan taman terbuka (publik) maka gaya taman Inggris lebih mengakomodasi kegiatan publik, khususnya di kota. • Dari sisi perawatan, taman gaya Inggris tidak membutuhkan perawatan khusus dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alami sehingga biaya maintenance lebih murah. Hal ini juga sesuai dengan konsep English Landscape Gardening yang bers ifat natural is. Masuk kepada pembangunan taman di Bandung, konsep yang dapat dikemukakan disini adalah bahwa taman-taman yang Park dibangun menggunakan istilah berdasarkan suatu kebutuhan dari peringatan atau sebagai monumen dari suatu tokoh yang telah berjasa bagi pemerintah Hindia Belanda.' Bentuk-bentuk taman dengan fungsi ini antara lain : Ijzermanpark, Pieterspark, dan Molukkenpark. Selain itu, taman-taman (Park) juga dapat merupakan suatu bagian integral dari suatu fungsi bangunan disekitarnya serta ikut menunjang eksistensi dan bentuk bangunan, khususnya bangunan penting bagi pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kategori urban park yang English mencoba mengadopsi gaya Landscape Gardening, maka unsur culture juga diintegrasikan pada nature. Culture dalam hal ini adalah bangunan tidak dibangun didalam taman tersebut sebagai layaknya taman gaya Inggris, melainkan taman-taman dibangun dengan vista-vista seolah bangunan tersebut berada dalam taman tersebut. Contoh taman seperti ini adalah : Pieterspark, dan Insulindepark. Perkembangan selanjutnya dari ruang terbuka hijau di kota Bandung adalah pada tahun 1930~an, dengan munculnya suatu usaha pembentukan karakter dan desain
/,- ~' ~~':·-"~~~:'··:"~~H~·~tIl-.uL
ii ....
CM"/""
I ..~" '~'t "'Uk""aI·.1 ""tJ:;~>l"., ts, 1T.,".H .VI.!.
Gambar 2. Contoh sketsa Indische Tropische Park. (Sumber: Kunto, 1986) Secara garis besar, konsep Indische Tropische Park ini mengandung komponen sebagai berikut : 1. Merupakan tipe taman terbuka. Sehingga warga kota dapat memasuki dan berjalan-jalan di dalam taman. Taman bunga merupakan oase dalam kota. 2. Taman terbuka mempunyai keuntungan dibanding taman tertutup. Menurut Bandung Vooruit, taman harus menjadi wah ana efektif guna mengakrabkan kehidupan warga kota dengan alam. 3. Flora tropis adalah ciri dari Indische Park. Sejauh itu, bangunan dan perlengkapan taman yang terbuat dari besi, batu bata, semen dan kayu harus dibatasi pemakaiannya. Pembatasan ini
Fireza, Doni, (2000), Pengaruh English Landscape Gardening pada Taman-taman di Kota Bandung, Riset Desain, Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung.
2
Majalah nmiah UNIKOM
.
~-
.x':':;i"-~:--~ __ ..:!:-~
112
Vol. 1 No.2 Sept. Th. 2001: (110-117)
Kajian Pola Ruang Terbuka di KOla Bandung: Scbuah Produk Budaya akibal Pcrkcmbangan Jaman (Doni Fircza)
taman yang dulunya merupakan wadah kegiatan masyarakat rnenjadi hanya sebatas ruang hijau yang tidak mempunyai arti yang lebih. Jika dipandang sebagai suatu sistem, maka jelas pada masa awal perencanaan kota Bandung, dapat dikatakan bahwa terdapat suatu sistem yang jelas yaitu fungsi taman sebagai suatu ruang terbuka dari segmen segmen perencanaan kota Bandung masa kolonial, seperti segmen pemerintahan, segmen militer, segmen perguruan tinggi (TI-[S), scgmcn balai kota dan scgmcn Instituut Pasteur. Sehingga sistem keterkaitan dari taman-taman tersebut sebagai ruang terbuka publik dari segmen-segmen tersebut sangat jelas. Tetapi perkembangan pad a masa saat ini, kecenderungan terjadi bahwa segmen-segmen perencanaan kota tersebut sudah mulai hilang, sehingga terkesan taman taman tersebut hanyalah sebatas ruang terbuka hijau yang berdiri sendiri, dan bukan bagian dari suatu sistem. Oleh karena itu, telah terjadi suatu inkosistensi dari pemanfaatan taman-taman tersebut khususnya dari pengelola taman pada masa ini, yang cenderung tidak mengetahui secara dalam dari perencanaan taman-taman tersebut. Berdasarkan pandangan umum diatas, dapat dikatakan bahwa untuk mengembalikan fungsi taman sesuai dengan konsep perencanaannya, maka perlu ditelaah kembali dari berbagai sudut pandang. Dan kesemuanya itu sangat bergantung dari mekanisme pengelolaan taman tersebut oleh pihak yang terkait.
dimaksudkan untuk menjaga agar taman tetap mengungkapkan wajah alamiah. Sehingga taman di Bandung dapat memberikan kesan sebagai hutan alam tropis yang teratur, terawat rapi dan bersih. Dan ini lebih mengisyaratkan pada gaya taman kebun Inggris, hanya saja dari segi tanaman merupakan tanaman tropis. Kembali pada perkembangan taman-taman di Bandung selanjutnya, maka tipologi dari lndische Tropische Park ini scm pat mulai dicoba dibangun sebagai jatidiri taman tropis Hindia Belanda. Tapi hasil yang signifikan dari perencanaan taman dengan gaya ini hampir dinyatakan tidak ada yang tersisa, dikarenakan Indonesia mulai memasuki masa penjajahan Jepang.
3. Kontradiksi antara Konsep Awal dan Kondisi Aktual Dari perjalanan keberadaan taman taman di Kota Bandung khususnya yang Park, ternyata mengalami bersifat perkembangan kondisi yang sedikit banyak merubah tujuan dari konsep perencanaannya. Secara makro dapat dilihat bahwa taman taman tersebut masih menyisakan idiom idiom yang dimaksudkan sebagai taman tropis Hindia Belanda. Tapi secara mikro, khususnya dari eksistensinya yang integral dari suatu lingkungan khususnya bangunan di sekitarnya, rnaka dapat dikatakan bahwa terjadi penambahan-penambahan elemen elemen taman yang akhirnya merubah sifat dan tujuan perencanaan dari taman-taman tersebut. Contohnya adalah pembuatan pot pot bunga baik kecil maupun besar pada padang rumputnya, sehingga menghilangkan meadow pada taman (Taman unsur Merdeka). Dari sudut fungsi, juga telah terjadi perubahan. Taman yang pada masa awal terbangunnya merupakan ruang terbuka publik dan menjadi sentral kegiatan masyarakat, saat ini cenderung telah menjadi kawasan "hitarn" karena kondisinya yang kurang terawat dan tidak mendapatkan perhatian. Taman mulai dipagari dan dibangun lahan-lahan parkir yang semena mena (Taman Merdeka). Sehingga fungsi Majalah Dmlah UNIKOM
4. Kontradiksi Bandung Sekarang
Perilaku Masyarakat Jaman Dahulu dan
Sebagai kota yang direncanakan sebagai ibukota Hindia Belanda, Bandung khususnya bagian utara pada masa tersebut kurang lebih awal abad ke-20 - mengalami imigrasi besar-besaran warga Belanda yang pindah dari Eropa, khususnya kaum pedagang. Kondisi alam dan lingkungan
113
VoI.l No.2 Sept. Th. 2001: (110-117)
'I
Ii I
Kajian Pola Ruang Terbuka di Kota Bandung : Sebuah Produk Budaya akibat Perkembangan Jaman (Doni Fireza)
pemisahan-pemisahan ruang kota menjadi area pribumi dan area pendatang atau warga Belanda. Kontradiksi yang terjadi juga adalah perbedaan perilaku masyarakat kota Bandung yang diakibatkan karena pemisahan kota bagi inlander dan warga Belanda. Warga Belanda membawa dan menerapkan gaya hidupnya di Eropa di kota Bandung dengan salah satu wadahnya adalah taman-taman kota terse but. Sedangkan warga pribumi tetap dengan kebudayaan aslinya khususnya Jawa dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dengan wadah ruang luarnya berbentuk alun-alun. Saat itu, situasi pemerintahan kolonial mengharuskan penguasa bergaya hidup, berbudaya serta membangun gedung dan rumah tinggalnya dengan menggunakan ciri-ciri yang berbeda dengan rumah prlbumi." Ciri-ciri khas ini dipergunakan untuk menunjukkan jati diri mereka sebagai anggota kelompok golongan yang berkuasa dan untuk membedakan kedudukannya dengan rakyat pribumi. Mereka tinggal berkelompok di bagian wilayah kota yang dianggapnya terbaik. Hal ini berlangsung bertahun-tahun, hingga dikotomi yang terjadi semakin jelas dan terimbas sampai saat ini,
yang sarna sekali berbeda dengan di Eropa membuat para perencana kota Bandung mencoba untuk membuat kota ini menjadi selayaknya kampung halaman penduduk pindahan tersebut. Salah satu usaha yang diwujudkan adalah pembuatan taman-taman kota yang didesain untuk mewadahi aktivitas ruang luar mereka, dan secara desain mengambil gaya English Landscape Gardening.'
Gambar 3. Contoh Taman gaya lnggris. (Sumber : Jellicoe, 1975) 1 aruan uigunaxan seoagai ruang terbuka hijau tempat rekreasi aktif dengan segala komponen-komponen desain yang mendukung seperti lapangan rumput, perbukitan dan bahkan kolam-kolam. Dari kcberadaan taman-taman tersebut maka ikatan-ikatan antar segmen yang terdapat di kota Bandung lebih akan terlihat fungsinya sebagai ruang terbuka publik. Taman digunakan sebagai wadah aktivitas rekreasi yang bisa berbentuk aktif maupun pasif, karena memang didesain untuk hal-hal tersebut. Didukung pula dengan gaya hidup masyarakat Belanda yang langsung membawa gaya hidup masyarakat Eropa pada umumnya saat itu dengan lebih banyak menggunakan taman sebagai wadah aktivitas ruang luar mereka, maka keberadaan taman taman sebagai suatu urban park system yang aktif lebih dapat diwujudkan. Hal ini ternyata mengandung kontradiksi-kontradiksi seperti terjadi 3
5. Dikotomi yang Terjadi Berdasarkan Persepsi Masyarakat, Perilaku dan Kebudayaan Sebagai bangsa yang berakar dari kebudayaan timur, maka kebudayaan urban dan aktivitas luar ruang bangsa Indonesia beserta perwujudan wadahnya sangat terkait dengan kebudayaan timur lain yang cukup tua seperti Jepang dan Cina. Hal inilah yang menimbulkan dikotomi pada keberadaan taman-taman di kota Bandung hingga saat ini. Warga Belanda membuat taman-taman di bagian utara kota Bandung berdasarkan perilaku masyarakatnya yang di negara asalnya memang mempergunakan taman tersebut sebagai wadah aktivitas rekreasi aktif, dan menggunakan unsur-unsur vegetasi yang Soekiman, Djoko, (2000), Kebudayaan /ndis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa,
4
Ibid
Majalah nmiah UNIKOM
Bentang Budaya,Jogjakarta.
114
vei.i No.2 Sept. Th. 2001: (110-117)
Kajian Pola Ruang Terbuka di Kota Bandung : Sebuah Produk Budaya akibat Perkembangan Jaman (Doni Fireza)
mengenal konsep multi use pada suatu wadah tcrtentu. Ruang akan lebih laku jika dapat digunakan untuk fungsi yang bermacam macam. Hal ini memang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari seperti menjemur hasil panen di halaman rumah, atau bahkan di pinggir jalan sekalipun. Kembali pada eksistensi taman taman di kota Bandung, dikotomi yang dapat terlihat di sini adalah terjadi kontradiksi antara kebudayaan timur dan barat. Kebudayaan timur dalam membuat ruang terbuka (taman) tidak mengenal rumput sebagai penutup tanah tempat beraktivitas. Rumput lebih digunakan sebagai elemen visual. Seperti contoh taman di Jepang yang terkenal dengan sand gardennya atau yang lebih dekat pada taman-taman Pura di Bali yang pada tempat aktivitas luamya diberi penutup tanah berupa pasir laut. Berbeda sekali dengan kebudayaan barat yang diwakili English Landscape Gardening yang menggunakan rumput sebagai unsur utamanya khususnya pada meadow yang merupakan komponen penting pada taman taman Inggris. Konsep multi fungsi juga berlaku pada situasi ini. Vegetasi yang digunakan di taman-taman di kota Bandung mutlak hanyalah sebagai elemen estetis. Tanaman digunakan sebagai elemen visual, peneduh dan juga sebagai wewangian. Sedangkan perilaku ini tidak berlaku di masyarakat pribumi. Tanaman yang tidak menghasilkan (buah atau kegunaan lain) dianggap tanaman yang tidak berguna. Jika tidak bisa menghasilkan buah, paling sedikit mempunyai fungsi khusus dari sisi religius sesuai dengan kebudayaan timur - seperti pohon Kamboja di Bali sebagai bagian dari pemujaan atau pohon Ginkgo di Jepang sebagai lambang kesuburan. Sehingga, persepsi masyarakat terhadap taman-taman di kota Bandung adalah tidak lebih "dari kumpulan pohon-pohon yang tidak berguna.
memang ditujukan untuk kenikmatan visual saja. Sementara perilaku warga pribumi berdasarkan kebudayaannya bertolak belakang dengan pola perilaku masyarakat Belanda. Masyarakat pribumi tidak terbiasa dengan beraktivitas pada taman-taman yang memang disediakan untuk itu. Mereka merasa asing berada di dalamnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Haryoto Kunto (1986) bahwa memang masyarakat Bandung yang berakar pada kebudayaan Jawa lebih menggunakan tempat beraktivitas luar ruang di depan rumahnya. Sehingga rasa kepemilikan barang pibadi secara bersama membuat mereka lebih nyaman untuk melakukan aktivitasnya. Dikotomi juga terjadi pada sistem pembagian lahan. Warga pribumi tidak mengenal batas kepemilikan, sehingga ruang ruang antar bangunan dianggap merupakan ruang komunal, sehingga mereka lebih memanfaatkan ruang ini dibanding memanfaatkan taman-taman yang disediakan untuk aktivitas outdoor mereka. Sedangkan warga Belanda sangat mengenal sistem land sub-division atau sistem kapling dan mereka menerapkannya di perencanaan kota Bandung. Konsep ini menimbulkan rasa kepemilikan barang pribadi serta privasi yang tinggi. Sehingga memang wajar jika mereka membutuhkan ruang-ruang komunal yang diwadahi oleh taman-taman tersebut. Kondisi seperti tersebut diatas yang mengakibatkan konsep-konsep alun-alun menjadi muncul pada masyarakat tradisional Jawa. Selain mereka membutuhkan ruang yang lebih besar, masyarakat tradisional ini lebih menganggap alun-alun sebagai halaman rumah mereka (Prof. Van Romondt, 1962 dalam Kunto 1986). Sehingga alun-alunpun lebih "laku" dibanding ruang-ruang terbuka lainnya, karena masyarakat pribumi lebih merasa nyaman beraktivitas disini dibanding dengan taman-taman di Bandung Utara yang lebih cocok bagi masyarakat Eropa. Perbedaan yang lain adalah bahwa masyarakat pribumi tidak mengenal konsep single use seperti yang lebih dianut bangsa bangsa di Eropa. Warga pribumi lebih Majalah nmiah UNIKOM
115
Vol. 1 No.2 Sept. Th. 2001: (110-117)
\
Kajian Pola Ruang Terbuka di KOla Bandung : Sebuah Produk Budaya akibat Perkembangan Jaman (Doni Fireza)
seperti ditinggalkan. Untuk menggunakannya, warga pribumi tidak bisa langsung begitu saja "pindah" ke taman taman tersebut. Sekali lagi, mereka merasa asing berada di taman-taman tersebut, karena mereka merasa bahwa taman- terse but bukan milik mereka, dan bukan halaman rumah mereka. Perkembangan selanjutnya pada masa kemerdekaan sekarang, kondisi taman tetap saja tidak dapat diusahakan sebagai wadah aktivitas luar ruang dari masyarakat Bandung yang sudah sangat heterogen ini. Kondisi ini diperparah dengan perlakuan terhadap taman yang seolah menjauh dari kehidupan warga kota. Taman-taman mulai dipagari, sehingga warga banyak yang tidak mengerti kalau taman terse but sebenarnya bisa dimasuki (Taman Merdeka). Bilapun merupakan taman terbuka, keberadaan taman tersebut juga tidak berarti banyak bagi aktivitas luar ruang warga Bandung, karena makna taman tersebut sudah mengalami degradasi, sehingga masyarakat menjadi risih dan aneh bila beraktivitas di sini, seperti contoh Taman Maluku yang sempat mempunyai reputasi sebagai tempat berkumpulnya para waria. Selanjutnya, agar kondisi dan eksistensi taman-taman ini tidak terus terpuruk, maka perlu dilakukan revitalisasi dari taman-taman tersebut sehingga taman taman tersebut lebih dapat mengakomodasi kehidupan urban masyarakat kota Bandung. Seperti yang pemah dilakukan pada Insulindepark menjadi Taman Lalu Lintas, walau beresiko menghilangkan gaya perancangannya.
Gambar 4. Taman di Pura Bali, tanpa penggunaan rumput. (Sumber : Helmi dan Walker, 1995) Kembali kepada pola desain yang mengacu pada perilaku masyarakat untuk membuat persepsi yang diinginkan, terdapat perbedaan seperti ketidak biasaan pengaturan aktivitas rekreasi dengan jalur-jalur khusus yang dibuat seperti pada taman-taman Inggris (Eropa). Masyarakat tradisional timur lebih terbiasa dengan aktivitas terbuka, tanpa diatur dengan jalur-jalur khusus. Apabila memang terdapat desain khusus dengan alur alur kegiatan, diwujudkan pada perencanaan tapak dan lay out karen a memang berdasarkan sifat kehidupannya yang religius. Sehingga jelas fungsinya bahwa pengaturan alur aktivitas manusia tersebut berdasarkan konsep-konsep geomansi, kosmologis, pembagian ruangan religius
Penutup Ruang terbuka hijau atau taman di kota Bandung memang memiliki sejarah yang panjang dan khusus. Dari mulai konsep yang terencana hingga kondisinya seperti saat ini telah mengalami perubahan perubahan akibat perlakuan warga Bandung dengan adat dan budayanya sesuai dengan jamannya. Namun patut disayangkan, karena dalam perkembangan jaman tersebut, esensi 6.
dsb.' Dari sedemikian banyak dikotomi, kontradiksi dan perbedaan-perbedaan perilaku antara masyarakat pribumi dan Belanda di Bandung yang disebutkan di atas mengakibatkan kondisi-kondisi taman menjadi semakin terpuruk. Setelah Indonesia merdeka, praktis taman-taman tersebut Jellicoe, Geoffrey dan Susan, (1975), Landscape ofMan, Thames and Hudson, London.
5
Majalah nmiah UNIKOM
116
vei, 1 No.2 Sept. Th. 2001: (110-117)
Kajian Pola Ruang Tcrbuka di Kola Bandung: Scbuah Produk Budaya akibal Pcrkcmbangan Jaman (Doni Fireza]
Tuinstad: Kota taman
konsep yang pertama kali diusung sudah mulai luntur ketika para pihak yang berwenang dalam mengurusi taman-taman ini kurang memahami arti penting dan sejarahnya yang panjang dari taman-taman tersebut. Taman-taman tersebut hanya dianggap pulau-pulau hijau yang tidak lebih sebagai unsur penghijauan kota. Padahal, jika pemahaman terhadap keberadaan ruang terbuka hijau ini lebih menyeluruh pada sistem kota, maka sebenarnya banyak yang dapat dilakukan untuk merevitalisasi keberadaan ruang-ruang terbuka hijau tersebut.
Daftar Pustaka 1. Fireza, Doni, (2000), Pengaruh English
Landscape Gardening pada Taman taman di Kota Bandung, Riset Desain,
2.
3.
DAFfAR ISTILAH English Landscape Gardening: Perancangan
4.
taman gaya Inggris
Indische Tropische Park: Taman tropis gaya
5.
Hindia
lndis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Bentang
Inlander: Sebutan bagi warga pribumi pada masa penjajahan Belanda Meadow: Padang rumput yang 1uas Sand Garden: Taman pasir gaya Jepang
Majalah nmiah UNIKOM
Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung. Helmi, Rio dan Barbara Walker, () 995), Bali Style, Times Editions, Singapore. JelJicoe, Geoffrey dan Susan, (1975), Landscape of Man, Thames and Hudson, London. Kunto, Haryoto, (1986), Semerbak Bunga di Bandung Raya, PT. Granesia, Bandung,. Soekiman, Djoko, (2000), Kebudayaan
Budaya, Jogjakarta.
117
Vol.1 No.2 Sept. Th. 2001: (110-117)
III I