BAB 2 KAJIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA DI KOTA BANDUNG
2.1
Kawasan Cagar Budaya di Kota Bandung Kota Bandung merupakan kota yang mempunyai Kawasan Cagar Budaya. Yang
dimaksud dengan Kawasan Cagar Budaya adalah kawasan di sekitar atau di sekeliling bangunan cagar budaya yang diperlukan untuk pelestarian kawasan cagar budaya dan/atau bangunan tertentu yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UU No.5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya). Adapun Bangunan Cagar Budaya adalah bangunan buatan manusia, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kota Bandung mempunyai 6 (enam) Kawasan Cagar Budaya (RTRW Kota Bandung tahun 2003-2013) yaitu: 1. Kawasan Pusat Kota Bersejarah, terdiri dari subkawasan eks pemerintahan Kabupaten Bandung, Alun-alun, Asia-Afrika, Cikapundung dan Braga; kawasan ini telah mendapat pelestarian dari pihak pemilik maupun pemerintah daerah dan dalam kualitas yang baik. 2. Kawasan Pecinan, terdiri dari subkawasan Jl. Kelenteng, Jl. Pasar Baru, Otto Iskandardinata, ABC dan Pecinan, yang merupakan kawasan perdagangan di pusat kota. Pemilik maupun lingkungan dapat menjaga kualitas lingkungan dan cagar budayanya. 3. Kawasan Pertahanan dan Keamanan, terdiri dari subkawasan perkantoran Pertahanan dan Keamanan Jl. Sumatera, Jl. Jawa, Jl. Aceh, Jl. Bali, dan gudang militer; kawasan ini dikelola oleh TNI dan dalam kondisi fisik yang baik dan terlindungi. 4. Kawasan Etnik Sunda, terdiri dari subkawasan Lengkong, Jl. Sasakgantung, Jl. Karapitan, Jl. Dewi Sartika dan Jl. Melong. Kawasan ini merupakan kawasan campuran hunian dan perdagangan yang relatif dalam kondisi baik dan terpelihara.
8
5. Kawasan Perumahan Villa, terdiri dari subkawasan Jl. Dipati Ukur, Jl. Ir. H. Djuanda, Jl. Ganesha, Jl. Pager Gunung, Jl. Tamansari, Jl. Diponegoro, Jl. RE.Martadinata, Jl. Cipaganti, Jl. Pasteur, Jl. Setiabudi, Jl. Gatot Subroto dan Jl. Malabar. Kawasan ini merupakan fungsi campuran (jasa, perdagangan dan hunian) yang dimiliki dan dihuni oleh masyarakat menengah ke atas dan kondisi lingkungan relatif baik serta keberadaan Cagar Budaya dilindungi dan disadari oleh pemilik maupun pemerintah daerah. 6. Kawasan Industri, terdiri dari subkawasan Arjuna, Jatayu dan Kebon Jati; kawasan
ini merupakan kawasan industri yang sangat menurun kualitas
lingkungannya dengan fungsi industri yang telah mengalami perubahan, fungsi hunian yang bercampur antara yang tertata dengan yang kumuh dan padat, fungsi perdagangan yang bercampur antara yang formal maupun yang tidak formal.
Gambar 2.1 RTRW Kota Bandung 2003-2013, Sumber: DTK Bandung, 2006
Pemerintah Kota Bandung telah menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung (Perda Kota Bandung Nomor 02 tahun 2004 dan Nomor 03 tahun 2006) sebagai penyempurnaan materi sekaligus perubahan istilah dari RUTR menjadi RTRW kota Bandung. Penyempurnaan materi tersebut juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang di dalamnya
9
terdapat kebijakan mengenai pengembangan kawasan lindung secara khusus, antara lain: 1. melestarikan dan melindungi Kawasan Cagar Budaya yang ditetapkan dari alih fungsi; 2. melestarikan bangunan bernilai sejarah dan/atau bernilai arsitektur tinggi, serta potensi sosial budaya masyarakat yang memiliki nilai sejarah; 3. melestarikan karakter perumahan lama yang mendukung Kawasan Cagar Budaya; 4. peremajaan kota dan pembangunan kembali kota pada beberapa lingkungan yang menurun kualitasnya. Untuk lebih mengetahui latar belakang keberadaan Cagar Budaya di kota Bandung akan dipaparkan mengenai perkembangan sejarah kota Bandung pada abad ke 18 yang mengantarkan sejarah mengenai kota Bandung sebagai kota kolonial. Selain itu dipaparkan pula perkembangan rencana kota Bandung yang menggambarkan perubahan-perubahan pada Kawasan Cagar Budaya Arjuna .
Hal tersebut akan
dipaparkan pada Sub Bab selanjutnya.
2.2
Perkembangan Historis Kota Bandung Abad ke 18-19 Pada abad ke 18 Bandung masih berbentuk Kabupaten, saat Kabupaten Bandung
dipimpin oleh Bupati ke-6, yakni R.A Wiranatakusumah II (1794-1829) yang dijuluki "Dalem Kaum I", kekuasaan di Nusantara beralih dari Kompeni ke Pemerintahan Hindia Belanda, dengan gubernur jenderal pertama Herman Willem Daendels (18081811). Untuk kelancaran menjalankan tugasnya di Pulau Jawa, Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di ujung Barat Jawa Barat ke Panarukan di ujung Timur Jawa Timur (kira-kira 1000 km). Pembangunan jalan raya itu dilakukan oleh rakyat pribumi di bawah pimpinan bupati daerah masing-masing. Di daerah Bandung khususnya dan daerah Priangan umumnya, Jalan Raya Pos mulai dibangun pertengahan tahun 1808, dengan memperbaiki dan memperlebar jalan yang telah ada. Di daerah Bandung sekarang, jalan raya itu adalah Jalan Jenderal Sudirman - Jalan Asia Afrika - Jalan A.Yani, berlanjut ke Sumedang dan seterusnya. Untuk kelancaran pembangunan jalan raya, Daendels meminta Bupati Bandung dan
10
Bupati Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten, masing-masing ke daerah Cikapundung dan Andawadak (Tanjungsari), mendekati Jalan Raya Pos. Sekitar akhir tahun 1808 / awal tahun 1809, bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekati lahan bakal ibukota baru. Mula-mula Bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampur Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung Pakuan sekarang). Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung. Bahkan pembangunan kota itu langsung dipimpin oleh Sang Bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September 1810. Bupati Wiranatakusumah II, dengan persetujuan sesepuh serta tokoh-tokoh di bawah pemerintahannya, memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari Karapyak ke Kota Bandung sekarang. Daerah yang dipilih sebagai ibu kota baru tersebut, terletak diantara dua buah sungai, yaitu sungai Cikapundung dan Cibadak. Daerah tersebut adalah daerah sekitar alun-alun Bandung sekarang. Sungai-sungai yang mengapitnya juga dapat berfungsi sebagai sarana utilitas kota. Setahap demi setahap, dimulailah pembangunan ibu kota kabupaten baru. Perpindahan rakyatnya pun dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan pengadaan perumahan serta fasilitas lain yang tersedia. Pada tahun 1846, menurut buku sejarah Kabupaten Bandung, jumlah penduduk Kota Bandung baru sekitar 11.054 jiwa, terdiri atas 11.000 orang bangsa pribumi, 9 orang bangsa Eropa, 15 orang bangsa Cina, dan 30 orang bangsa Arab, serta bangsa Timur lainnya. Saat itu kota Bandung masih merupakan pemukiman kota kabupaten yang sunyi sepi, dengan pemandangan alam berupa bukit-bukit dan gunung-gunung disekelilingnya. Pada tahun 1852, daerah Priangan terbuka untuk siapa saja yang ingin menetap disana. Dengan adanya pengumuman yang dibuat oleh Residen Priangan, Steinmetz, maka mulailah berdatangan para pemukin baru. Dengan keadaan alam yang sangat menarik, Bandung sebagai suatu tempat bermukim banyak mengundang para pendatang untuk tinggal dan menetap di tanah Parahiangan tersebut.
11
Untuk mengatur pembangunan kota akibat bertambahnya jumlah penduduk, maka disusun suatu pedoman dasar bagi pembangunan kota Bandung dengan “Rencana Kota Bandung” (Plan der Negorij Bandoeng). Dengan adanya rencana ini, maka pembangunan lebih terarah dan terkendali. Bandung sempat dipersiapkan sebagai ibu kota Hindia Belanda, dengan rencana memindahkan ibu kota pemerintahan dari Batavia ke Bandung. Bandung dipersiapkan sedemikian rupa untuk perpindahan tersebut, salah satunya dengan membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan pemukiman dengan rencana tata ruang yang baik (Sumalyo, 1993). Untuk keperluan tersebut dibangunlah permukiman kolonial yang lokasinya berada di sebelah Utara dan Barat kota Bandung.
2.3
Bandung 1906-1940, Sebuah Kota Kolonial Modern. Kota Bandung merupakan salah satu kota kolonial modern 2 , yaitu kota yang
dibangun untuk akomodasi kaum kolonialis, bukan untuk kalangan bumi putera. Kota Bandung merupakan kota yang mempunyai peninggalan warisan bangunan dan lingkungan kota, khususnya dalam kaitannya dengan rancangan kota Bandung tempo dulu, tampak bahwa kota Bandung telah dirancang dengan sangat baik dan spesifik, dan diperuntukkan hanya untuk jumlah ratusan ribu penduduk. Pola kota kolonial dibangun dengan model pola kota dari negeri asalnya, demikian pula dengan gaya-gaya bangunannya, sedangkan yang membedakan adalah teknik dan materialnya dan ruang-ruang kota (plaats, platz, square, plaza, place) seperti di negeri asalnya. Pengaruh garden cities di Inggris membawa beberapa perbaikan seperti lahirnya taman-taman kota gaya Inggris, pohon-pohon peneduh jalan, boulevard, dan rotunda. Setelah kementrian Pekerjaan Umum dibentuk tahun 1910, dan peraturan bangunan set-back dan pengembangan konsep Garden Cities, Tropical Indische pada perencanaan dan perancangan, perumahan untuk para pejabat Belanda pun mulai dibuat. Perumahan ini berlokasi di sebelah Utara jalur kereta api, yaitu Uitbreidingsplan Bandoeng Noord (1920-1930) (Siregar, 1990). Permukiman ini merupakan ”Pusat Kegiatan Masyarakat Eropa” (Eropeesche Zakenwijk) dirancang oleh Kolonel Zeni V. L Slors dibantu arsitek Ir. J Gerber.
2
Lihat Voskuil et al. 1996, hal. 49-75
12
Pada awal tahun 1920 mulai dirancang dan dibangun kawasan-kawasan perumahan kolonial. Perencanaan Uitbreidingsplan Bandoeng mencakup dua wilayah perencanaan perumahan yaitu 2 kawasan yang terpisah sungai Cikapundung di Timur Laut yang berorientasi pada bangunan Pemerintahan Monumental Gedung Sate dan Barat Laut yang berorientasi pada bandara. Perencanaannya memiliki batas yang jelas di daerah segitiga Jl. Dago, Jl. Dipati Ukur dan Jl. Surapati. Bagian Barat Laut meliputi distrik permukiman kolonial di daerah sekitar Jl. Pajajaran dan Jl. Pasirkaliki. Pada tahun 1926 sekitar 800 bangunan berhasil dibangun, termasuk rumah kecil dan sederhana di kawasan Arjuna. Kota-kota kolonial yang dibangun pada awal abad ke-20 pada dasarnya adalah distrik pemukiman untuk orang-orang kulit putih (Eropa). Kota Bandung tempo dulu terbagi dalam distrik-distrik berdasarkan etnik (Bumi Putera, Timur Asing, dan Eropa), dan sisa-sisa istilahnya yang sekarang masih dipakai seperti Bandung Utara, Bandung Selatan, dan Kampung Kota. Distrik pemukiman Bandung Utara terdiri dari Jl. Dipati Ukur, Jl. Ir. H. Djuanda, Jl. Ganesha, Jl. Pager Gunung, Jl. Tamansari, Jl. Diponegoro, Jl. RE.Martadinata, Jl. Cipaganti, Jl. Pasteur, Jl. Setiabudi, Jl. Gatot Subroto dan Jl. Malabar. Distrik ini terdiri dari bangunan-bangunan villa yang berukuran besar diperuntukan bagi orang Eropa. Selain distrik pemukiman tersebut di atas terdapat dua distrik pemukiman orang Eropa yang merupakan hunian pegawai kolonial Belanda, yaitu di Jl. Gempol dan Jl. Arjuna. Bangunan rumah tinggal kolonial di kawasan ini berukuran sedang dan kecil, tidak sebesar bangunan villa pada distrik Bandung Utara. Kampung Kota yang dihuni pribumi terdiri dari rumah kampung yang sederhana dan merupakan lingkungan permukiman yang kurang terpelihara. Kota Bandung didatangi arsitek dari Eropa seusai Perang Dunia I bersamaan waktunya dengan rencana pemerintah kolonial membangun Ibukota Priangan menjadi Ibukota Negeri Hindia Belanda (Nusantara). Tercatat selama dua dasawarsa (1920-1940) di Bandung telah bermukim lebih kurang 70 orang arsitek yang terkenal, diantaranya Ir. G. Hendriks dan Ir. E.H. de Roo sebagai arsitek bangunan Rumah Potong Hewan di Kawasan Arjuna (Kunto, 1993). Para arsitek dan pengembang pada masa itu banyak berperan dalam pembangunan fisik secara besar-besaran, termasuk merancang dan membangun distrik-distrik permukiman yang menggambarkan segregasi penempatan permukiman bagi masyarakat kota Bandung.
13
Segregasi permukiman kota Bandung dapat dilihat dari struktur kota yang terbentuk pada waktu pemerintahan Belanda. Struktur kota Bandung dibagi dalam tiga kelompok besar, yaitu: 1. Sebelah Utara Kota Merupakan daerah permukiman orang-orang Eropa. Daerahnya diatur dengan baik secara planologis, mempunyai fasilitas yang lengkap dan jalan-jalan yang besar. (Gambar 2.3) 2. Sebelah Barat Kota Merupakan daerah perdagangan, ditempati oleh Bangsa Asing Timur, dimaksudkan untuk memudahkan transportasi ke Jakarta dan tidak mengganggu lalu lintas ke arah pusat kota dan daerah kediaman orang Eropa. 3. Sebelah Selatan Kota Merupakan daerah kediaman penduduk asli. Daerahnya tidak teratur dengan baik dan tidak mempunyai fasilitas kota yang baik.
Gambar 2.2. Peta ’Gemeente Bandoeng’ memperlihatkan penempatan permukiman permanen (warna merah) berada di bagian Utara kota Bandung (pemukiman orang Eropa), sedangkan permukiman yang tidak permanen (warna kuning) berada di bagian Selatan kota Bandung (kampung pribumi). Pada peta dapat dilihat kawasan Arjuna merupakan salah satu distrik pemukiman di kota Bandung pada awal abad ke 20. Sumber: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Royal Institute of Linguistics and Anthropology, Netherlands, 1933
14
Gambar 2.3. Uitbreidingsplan Bandoeng – Noord memperlihatkan bagian Utara kota Bandung sebagai daerah permukiman masyarakat Eropa Sumber: Siregar, 1990.
Kawasan perumahan kolonial di kota Bandung yang telah disebutkan di atas masih ada sampai dengan sekarang. Begitu pula kawasan Arjuna merupakan salah satu perumahan kolonial yang dibangun pada tahun 1920 termasuk dalam perencanaan Uitbreidingsplan Bandoeng. Dari uraian di atas dapat diketahui ciri kota Bandung sebagai kota kolonial yaitu terdapat segregasi penempatan permukiman berdasarkan etnik masyarakat penghuni. Perbedaan antar permukiman tersebut ditunjukkan pula dengan perbedaan bentuk ruang kotanya.
2.4
Perkembangan Rencana Kota Bandung merupakan kota yang direncanakan. Kota ini mempunyai sejumlah
rencana kota yang dipaparkan pada awal Subbab ini. Pada perkembangannya rencana kota tersebut belum dapat mengakomodasi upaya pelestarian. Dapat dilihat pada akhir Subbab ini paparan yang menjelaskan perkembangan yang terjadi pada Kawasan Cagar Budaya Arjuna Bandung, yaitu tekanan kebutuhan masa kini mendesak keberadaan Cagar Budaya. Kota Bandung telah memiliki rencana kota yang ‘modern’ sejak awal abad ke dua puluh. Untuk pertama kali penataan kota Bandung dirumuskan dalam konsep
15
rancangan Master Plan Gemeente Bandoeng 1918-1923. Rencana kota Bandung selanjutnya disusun oleh Ir.Thomas Karsten yang merupakan seorang pakar perintis perencanaan kota di Indonesia yang mengeluarkan gagasan untuk memperluas areal kota Bandung di tahun 1930-1935. Plan Karsten yang dikenal pula sebagai Uitbreidingsplan Stadsgmeente Bandoeng (Rencana Perluasan Kotapraja Bandung) mencakup rencana perluasan wilayah administratif kota ini. Luas wilayah Kota Bandung yang semula (1930) hanya 2.853 Ha, direncanakan dalam masa 25 tahun akan bertambah menjadi 12.758 Ha dan diperuntukkan bagi 750.000 orang penduduk. (Kunto, 1985). Ketika perkembangan kota kian pesat dan menuntut penanganan yang lebih khusus, dan seiring dengan perubahan sistem politik ke arah desentralisasi, pada tanggal 1 April 1906 Bandung berubah status menjadi Gementee / Kotamadya Bandung sejak itu Bandung berkembang pesat sebagai pusat pemerintahan, dan luas wilayah 1.922 Ha. Terletak pada bagian Selatan kota sekarang, di daerah Dayeuhkolot pada tepi Sungai Citarum. Aktivitas kota pada saat itu yang terlihat adalah perdagangan, di sekitar alunalun dan Jalan Jenderal Sudirman. Kegiatan pemerintahan terdapat di dua tempat yaitu di dekat alun-alun untuk pemerintah Kabupaten dan di sekitar Jalan Merdeka untuk pemerintah Kotamadya. Pada tahun 1917, wilayah Kota Bandung diperluas menjadi 2.871 Ha. Sejak itu, aktivitas baru bertumbuhan di bagian Utara kota, diantaranya sarana Stasiun Kereta Api, Industri Kina, dan kompleks Militer (Jalan Sumatera dan Jalan Gandapura). Daerah terbangun menjadi 300 Ha. Pada tahap ini, sebelah Utara kota lebih pesat perkembangannya. Kota Bandung merupakan kota yang mengalami perkembangan cukup pesat dapat dilihat pada gambar 2.2 yang semula hanya merupakan kota kecil (tahun 1825-1882) menjadi kota yang relatif besar (tahun 1935). Pada sekitar tahun 1921, mulai timbul kegiatan baru di sebelah Utara kota, yaitu kegiatan pendidikan, dan pembangunan Rumah Sakit Umum, luas daerah terbangun menjadi ± 850 Ha.
16
Kawasan Arjuna
Gambar 2.4 Peta Kota Bandung dari tahun 1825 – 1935, Sumber: Bandung Heritage, 2006
Pada awal tahun 1942 luas daerah terbangun menjadi ± 1.600 Ha, sehingga dianggap perlu mengadakan perluasan kota. Berturut-turut selama tiga tahun diadakan perluasan, masing-masing pada tahun 1942 diperluas menjadi 3.876 Ha, pada tahun 1943 diperluas lagi menjadi 4.117 Ha, dan pada tahun 1945 diperluas lagi menjadi 5.413 Ha. Zaman negara Pasundan, tahun 1949, diadakan perluasan yang merupakan perluasan terakhir. Kota Bandung diperluas menjadi 8.098 Ha (tahun 1951 luas daerah terbangun 1.900 Ha), dan kegiatan perdagangan meluas ke arah Selatan kota, kegiatan industri di Kiaracondong, dan sekitar jalan regional.3
Kawasan Arjuna
Gambar 2.5 Peta Kota Bandung dari tahun 1935 - 1952, Sumber: Bandung Heritage, 2006 3
Buku A, Kotamadya Bandung, Direktorat Tata Guna Tanah, 1982.
17
Daerah pusat kota didominasi kegiatan perdagangan dan jasa. Kegiatan pendidikan, kesehatan, perkantoran dan militer di bagian Utara kota. Perumahan mendominasi sepanjang arah Barat-Timur dan Utara-Selatan menyebabkan perubahan fungsi dari pertanian lahan basah dan lahan kering menjadi fungsi hunian. Bandung mulai mengalami pertambahan penduduk yang sangat pesat, terutama setelah masa kemerdekaan RI. Gangguan keamanan di sekitar kota Bandung menyebabkan masyarakat bermigrasi ke dalam kota, sehingga kota Bandung tidak lagi cukup luas untuk menampung warganya secara nyaman dan sehat. Perubahan kekuasaan pemerintahan ke tangan bangsa Indonesia dan perkembangan kota Bandung yang pesat menyebabkan rencana kota tersebut tidak sesuai lagi untuk menjadi pedoman pembangunan kota selain itu perluasan kawasan perumahan ke arah Utara, Selatan dan Timur kota Bandung mulai tidak terkendali dan tidak mengikuti rencana kota yang ada sehingga kemudian disusunlah Rencana Induk Kota Bandung pada tahun 1971 yang ditetapkan dengan Surat Keputusan DPRD No.8939/1971. Inilah rencana kota Bandung yang pertama kali disusun oleh bangsa Indonesia sendiri sebagai pedoman penataan ruang kota Bandung. Gambar 2.6 Peta Kota Bandung dari tahun 1952-1981, Sumber: Bandung Heritage, 2006
K
Pada tahun 1986, 56 tahun kemudian semenjak Plan Karsten lahir, wilayah administratif kota Bandung menjadi 16.729,65 Ha (lebih luas 3.972 Ha dari rencana
18
Karsten). Namun jumlah penduduknya telah bertambah menjadi dua kali lipat dari perhitungan Karsten, yaitu lebih dari 1,5 juta jiwa. Sejalan dengan perkembangan dan persoalan kota, RIK tersebut diubah dengan ditetapkannya RIK Bandung yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kotamadya DT.II Bandung No.3 Tahun 1986. Kemudian dengan adanya perluasan wilayah kota Bandung, maka rencana kota berubah menjadi Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) tahun 1990/1991 yang dapat diperbaharui tiap sepuluh tahun dan dievaluasi pada tahun 1999/2000. Dilihat dari perkembangan kota, maka kota Bandung sebagai kota Kolonial hanya untuk penduduk dengan jumlah tertentu, berkembang menjadi kota yang diminati dan dipenuhi penduduk. Pertambahan luas kota tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk kota Bandung. Akibatnya lahan hijau atau lahan dengan peruntukan bukan sebagai perumahan dipenuhi hunian yang sebagian besar tidak dirancang dengan baik dan cenderung kumuh. Pertambahan penduduk makin tajam sehingga pembangunan baru tidak mungkin dielakkan lagi. Lahan kosong semakin berkurang dan semakin habis. Hal ini menunjukkan gejala kepadatan penduduk kota yang segala kegiatan dan kebutuhannya harus dapat ditampung. Perkembangan rencana kota tidak seiring dengan kebutuhan pembangunan di kota Bandung. Bila pembangunan baru tidak diatur secepatnya akan menyebabkan kekacauan dalam pembangunan. Oleh karena itu diperlukan perencanaan dan penataan kota yang dapat mengakomodasi perkembangan pembangunan di kota Bandung. Mengacu kepada perkembangan kota Bandung yang dibahas pada subbab sebelumnya dapat disimak bahwa pada zaman kolonial kawasan Arjuna merupakan kawasan permukiman orang Eropa, sesuai dengan rencana kota Master Plan Gemeente Bandoeng 1918-1923 dan Uitbreidingsplan Bandoeng. Kawasan ini dirancang hanya untuk permukiman yang terbatas. Sejalan dengan perkembangan kota Bandung setelah kemerdekaan RI, penduduk kota makin bertambah dan tentu saja memerlukan pemukiman. Karena cuaca dan lokasi yang strategis maka kawasan Arjuna merupakan salah satu daerah yang diminati sebagai tempat bermukim. Selain itu dengan adanya fungsi industri pada kawasan menyebabkan bertambahnya lapangan pekerjaan dari sektor industri, sehingga menarik buruh/pekerja dari luar kota Bandung untuk bermukim di kawasan ini.
19
Gambar 2.7 Kawasan Perencanaan Arjuna yang digambarkan pada peta Plan Karsten, Sumber: http://geocities.com/bandungcity
Kawasan Arjuna pada masa kolonial merupakan salah satu kawasan hunian yang dirancang dengan baik oleh pihak kolonial, setelah masa kemerdekaan berkembang menjadi kawasan dengan peruntukan beragam yaitu hunian (hunian teratur dan tidak teratur), industri, komersial dan pergudangan. Kawasan permukiman yang tertata berdampingan dengan permukiman kumuh atau disebut kampung kota yang padat di sekitarnya. Kepadatan penduduk kawasan ini mendekati batas ideal kepadatan penduduk perkotaan, yakni 300 jiwa/Ha (lihat tabel 2.1). Adapun lahan milik Pemda lainnya telah diperuntukkan sebagai fungsi industri, yang pada perkembangannya beralih fungsi menjadi fungsi jasa, fungsi pergudangan dan fungsi komersial. Perubahan fungsi tersebut terjadi karena desakan kebutuhan akan lahan hunian bagi pendatang yang masuk ke kota Bandung. Tabel 2.1 Kepadatan Penduduk Kelurahan Arjuna dan Husein Sastranegara
No
Tahun
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) Kelurahan Arjuna & Kelurahan Husein Sastranegara
1
1982
146
2
1968
165
3
1983
208
Keterangan
Idealnya dibawah 300 jiwa/Ha (standar perencanaan kepadatan penduduk)
4 2006 293 5 2013 151-200 Rencana Kota Sumber: RIK tahun 1986, RUTRK tahun 1990, RTRW tahun 2004 Kota Bandung
20
Fungsi kawasan Arjuna adalah hunian/ perumahan, kemudian pada tahun 1960an berkembang menjadi fungsi campuran yaitu perumahan, industri, dan perdagangan. Sekitar tahun 1990-an fungsi industri beralih menjadi fungsi jasa. Berikut perkembangan perubahan fungsi pada kawasan Arjuna sesuai perkembangan Rencana Kota Bandung: Tabel 2.2 Perubahan Fungsi pada kawasan Arjuna sesuai dengan Rencana Kota. No Peruntukan Kawasan Arjuna 1 Perumahan 2 3
Perumahan Perumahan
4 5
Perdagangan dan industri Campuran (perumahan industri atau perumahan perdagangan) Perumahan dan industri
6
7
8
dan dan
Campuran (perumahan, dan industri dan perdagangan di sebelah Utara Rel KA) yaitu(dibatasi industri yang menyebabkan gangguan dan polusi, perumahan untuk penduduk yang bekerja di kawasan ini dan di pusat kota Bandung) Campuran (perumahan, perdagangan, industri dan jasa) Campuran (perumahan, perdagangan dan jasa)
Periode 1850
Rencana Kota “Rencana Kota Bandung” (Plan der Negorij Bandoeng) 1918-1923 Master Plan Gemeente Bandoeng 1930-1935 Uitbreidingsplan Stadsgmeente Bandoeng (Rencana Perluasan Kotapraja Bandung) 1969-1973 Rencana Garis Besar Kota Bandung 1971 Rencana Induk Kota Bandung
1985-2005 RIK Bandung Peraturan Daerah Kotamadya DT.II Bandung No.3 Tahun 1986 1985-2005 Rencana Detail Tata Ruang Kota Wilayah Pembangunan Bojonagara Kotamadya Bandung (RDTRK)
1990/1991 - Rencana Umum Tata Ruang Kota 1999/2000 (RUTRK) 9 2004-2013 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung (Perda Kota Bandung Nomor 02 tahun 2004 dan Nomor 03 tahun 2006) Sumber: Rencana Garis Besar Kota Bandung 1969-1973, RIK Bandung Tahun 1985-2005, RDTRK Wilayah Bojonagara 1985-2005
Pada kawasan Arjuna terdapat Sungai Citepus yang merupakan sungai dengan bantaran yang relatif luas sebagai daerah hijau pada lingkungan perumahan orang-orang Eropa. Seiring dengan perkembangan kota masyarakat memanfaatkan lahan-lahan kosong di kawasan tersebut termasuk bantaran sungai untuk dijadikan hunian yang rapat tanpa perencanaan. Sekarang kawasan bantaran sungai ini menjadi permukiman kumuh.
21
Gambar 2.8 Foto Udara Cluster Hunian Arjuna, Hunian Kumuh pada Bantaran Sungai, dan bagian kawasan dengan persil yang besar dan tidak beraturan (Sumber: www.Google-earth.com)
Di atas lahan sekitar hunian yang persilnya relatif besar dibangun fungsi-fungsi industri dan komersial berupa pabrik dan pasar. Pada perkembangannya fungsi industri tidak relevan terhadap kondisi lingkungan perkotaan, sehingga banyak yang berubah fungsi menjadi pergudangan dan jasa. Sementara itu, fungsi komersial berkembang, selain pasar yang menempati lahan formal, pedagang kaki lima membangun kios pada badan jalan dan jalur pedestrian sebagai tempat melakukan jasa informal di sepanjang jalan pada kawasan. (lihat Gambar 2.8 )
Pada bab ini telah diuraikan perkembangan historis kota Bandung sebagai kota kolonial. Kawasan Arjuna merupakan salah satu Kawasan Cagar Budaya di kota Bandung. Kawasan Arjuna yang dibangun tahun 1920 merupakan contoh hunian bangsa Eropa yang unik karena pola ruangnya berbentuk geometris segitiga, dan kini kondisi Bangunan Cagar Budaya tersebut mulai terdesak oleh pembangunan. Kemudian
22
diterangkan bahwa Bandung merupakan kota yang direncanakan memiliki sejumlah rencana kota. Perkembangan rencana kota tersebut tidak dapat mengakomodasi perkembangan kota Bandung. Begitu pula dengan kawasan Arjuna perkembangannya tidak sesuai dengan rencana kota. Bangunan dan ruang kota tidak terintegrasi, fungsi yang formal sesuai RTRW kota Bandung bercampur dengan fungsi yang informal. Bangunan Cagar Budaya terancam oleh desakan pembangunan baru yang tidak terkendali. Kondisi tersebut menunjukkan perlunya pengaturan terhadap pembangunan kawasan Arjuna ini. Kawasan ini memerlukan program pelestarian sekaligus pembaharuan untuk mengantisipasi desakan kebutuhan masa kini akan fasilitas komersial dan jasa, sebagai akibat perkembangan kota.
23