JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
1
Penentuan Deliniasi Kawasan Cagar Budaya di Kabupaten Ngawi Krismadhita Cytonia Rohananda dan Rimadewi Suprihardjo Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected] Abstrak—Kabupaten Ngawi memiliki cukup banyak sumberdaya budaya yang beragam dan berpotensi untuk dikembangkan. Namun, saat ini bangunan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi belum memiliki peraturan terkait dengan pelestarian dan pengembangannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya deliniasi kawasan cagar budaya guna meningkatkan nilai manfaat dan arahan pelestarian serta pengembangan kawasan. Untuk mencapai tujuan penelitian, dilakukan empat tahapan analisa yaitu identifikasi potensi yang terdapat pada objek/situs cagar budaya yang sesuai dengan karakteristik kawasan, penentuan tipologi kawasan cagar budaya, penentuan kriteria deliniasi kawasan cagar budaya, dan menetapkan batas deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat tiga macam tipologi kawasan cagar budaya yaitu tipologi kolonial, tipologi purbakala, dan tipologi tokoh nasional. Kemudian penetapan batas deliniasi pada masing-masing tipologi terbagi menjadi dua macam, yakni secara spasial dan non-spasial. Batas deliniasi seara spasial dibuat dengan memperhatikan persebaran benda cagar budaya, batas alam, batas fisik, luas lahan, serta jenis penggunaan lahan yang berpengaruh pada kawasan. Sedangkan batas deliniasi secara non-spasial dibuat dengan memperhatikan kultur masyarakat serta peraturan terkait dengan kawasan cagar budaya. Kata Kunci—Cagar budaya, deliniasi, kawasan, tipologi
I. PENDAHULUAN NDONESIA merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya budaya yang kaya dan beragam. Sumberdaya tersebut dapat terwujud dalam bentuk seperti kesenian, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur, dan kawasan bersejarah. Kawasan cagar budaya sendiri adalah kawasan yang pernah menjadi pusat-pusat dari sebuah kompleksitas fungsi kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya yang mengakumulasikan makna kesejarahan [1]. Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Ditengah perkembangan gaya arsitektur modern saat ini, ternyata masih banyak terdapat bangunan peninggalan sejarah yang masih berdiri kokoh dan memiliki pesona dengan kualitas seni yang tinggi. Kabupaten Ngawi memiliki banyak sekali
I
jejak sejarah terutama dari zaman purbakala. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ngawi Tahun 2010 – 2030, beberapa bangunan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi antara lain adalah kota lama Ngawi (Ngawi Purba), Benteng Van Den Bosch, Museum Trinil, Pesanggrahan Srigati Desa Babadan, Kebun Teh Jamus, Monumen Soerjo, Makam Adipati Kertonegoro, Makam Patih Pringgokusumo, Kediaman Krt. Radjiman Wedyadiningrat, dan Arca Banteng. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ngawi Tahun 2010-2030 mengenai peraturan zonasi pada kawasan sosio-kultural bahwa kawasan peninggalan sejarah yakni arca, museum, dan benteng harus dilindungi dan salah satu fungsi yang ditingkatkan adalah untuk penelitian dan wisata budaya. Selain itu, di Kabupaten Ngawi sendiri, penentuan batas deliniasi kawasan cagar budaya belum pernah dilakukan. Hal tersebut dikarenakan pemerintah Kabupaten Ngawi belum memiliki peraturan yang jelas terkait pelestarian dan atau pengembangan benda cagar budaya. Hal tersebut juga yang menyebabkan konservasi pada bangunan-bangunan cagar budaya yang berada di Kabupaten Ngawi menjadi tidak terlaksana dengan baik [2]. Oleh karena itu, untuk mewujudkan rencana yang terdapat pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ngawi perlu dilakukan pendeliniasian kawasan cagar budaya tersebut. Deliniasi kawasan cagar budaya merupakan tahapan yang cukup penting untuk menetapkan kawasan atau areal sebagai orientasi bagi pedoman pembangunan pada kawasan di sekitarnya, sehingga nilai dan fungsinya sebagai peninggalan sejarah tetap terpelihara [3]. Dengan adanya pendeliniasian pada kawasan cagar budaya, maka dapat diarahkan untuk mencapai nilai manfaat (use value), nilai pilihan (optional value), dan nilai keberadaan (existence value). Dalam hal ini, nilai manfaat lebih ditujukan untuk pemanfaatan cagar budaya pada saat ini, baik untuk ilmu pengetahuan, sejarah, agama, jatidiri, kebudayaan, maupun ekonomi melalui pariwisata yang keuntungannya dapat dirasakan oleh generasi saat ini [4]. Terkait dengan kondisi tersebut, maka penetapan deliniasi atau batas di lapangan tidak boleh dipandang sebelah mata karena dua hal ini akan menentukan keberhasilan suatu tindakan permanen karena akan menentukan status kawasan tersebut. Sehingga perlu diadakan penelitian terkait penetapan deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi guna meningkatkan nilai manfaat dan arahan pengembangan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) selanjutnya. Melalui penelitian ini dapat diketahui batas deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi guna menjada nilai dan fungsi pada bangunan atau kawasan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi. II. METODE PENELITIAN II.1 Metode Pengumpulan Data Dalam melakukan pengumpulan data, dilakukan melalui survey primer dan survey sekunder. Untuk mendapatkan datadata karakteristik kawasan transit dilakukan melalui survey primer menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi lapangan, pengamatan citra satelit, dan kuisioner. Sedangkan survey sekunder dilakukan untuk menunjang datadata hasil survey primer dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui survey instansional ke beberapa badan terkait. II.2 Metode Analisis Dalam menganalisis penentuan batas deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi, dilakukan melalui empat tahapan analisis. Berikut tahapan analisis yang dilakukan: A. Mengidentifikasi objek/situs cagar budaya di Kabupaten Ngawi yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan cagar budaya Dalam mengindentifikasi objek/situs cagar budaya di Kabupaten Ngawi digunakan alat analisis theoritical descriptive. Analisis ini digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan fenomena yang diteliti secara sistematis, faktual, dan akurat dalam bentuk uraian, pengertian, maupun penjelasan. Variabel penelitian yang digunakan pada tahap ini adalah lokasi peristiwa sejarah yang penting untuk dilestarikan, makna bagi masyarakat, bentuk bangunan, ornamen bangunan, warna bangunan, bangunan tidak ditemui di kawasan lain, mewakili suatu ragam bangunan, kesamaan desain bangunan, nilai ekonomi/komersil, dan nilai ilmu pengetahuan. Variabel tersebut didapatkan setelah melakukan sintesa tinjauan pustaka terkait dengan teori kawasan cagar budaya. B. Menentukan tipologi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi Untuk menentukan tipologi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi digunakan alat analisa deskriptif kualitatif, setelah mengetahui hasil karakteristik dan potensi kawasan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Dalam penelitian ini, karateristik kawasan cagar budaya yang telah didapatkan pada hasil analisa sebelumnya akan digabungkan dengan pedoman teori literatur yang berhubungan dengan tipologi kawasan cagar budaya serta undang-undang atau kebijakan mengenai cagar budaya. Kemudian disesuaikan dengan fakta dan analisa yang terdapat pada masing-masing obyek/situs cagar budaya. C. Menentukan tipologi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi Untuk menganalisis kriteria deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi digunakan alat analisa deskriptif dan alat
2
analisa Delphi. Analisa deskriptif dilakukan dengan menggunakan variabel deliniasi kawasan cagar budaya yang telah didapatkan dari kajian pustaka untuk menjadikan variabel tersebut sebagai faktor deliniasi kawasan cagar budaya. Dalam melakukan analisa deskriptif tersebut, variabel akan dibandingkan dengan kondisi eksisting di wilayah studi. Setelah didapatkan faktor deliniasi kawasan cagar budaya, akan dilanjutkan pada tahapan kedua yaitu fiksasi faktor yang didapatkan dari analisa deskriptif dengan para responden yang telah ditetapkan melalui metode purposive sampling dengan teknik analisa Delphi. D. Menetapkan batas deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi Untuk menentukan rumusan batas deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi akan dilakukan dengan menggunakan analisa deskriptif kualitatif untuk menetapkan batas deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi dengan cara membandingkan sumber informasi yang berasal dari kebijakan, pustaka lain yang menyerupai dengan penelitian, serta hasil penelitian berupa kriteria penentuan batas deliniasi kawasan yang didapatkan pada tahap analisa sebelumnya. Kemudian analisis GIS digunakan untuk menampilkan hasil deliniasi dari kawasan cagar budaya dalam bentuk visualisasi peta sehingga akan lebih terlihat bagaimana bentuk spasial hasil deliniasi kawasan cagar budaya. III. HASIL DAN DISKUSI A. Identifikasi objek/situs cagar budaya di Kabupaten Ngawi yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan cagar budaya Jabaran dari analisa identifikasi objek/situs cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi dengan menggunakan analisa theoritical descriptive adalah sebagai berikut: a. Lokasi terjadinya peristiwa sejarah yang penting untuk dilestarikan Beberapa situs/objek cagar budaya yang mejadi lokasi terjadinya peristiwa sejarah antara lain adalah Desa Ngawi Purba sebagai pusat pemerintahan lama Kabupaten Ngawi setelah masa kerajaan Mataram, Benteng Van Den Bosch sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan bagi bangsa Belanda, serta Monumen Soerjo sebagai tanda peristiwa terjadinya pemberontakan G 30 S PKI yang melakukan pembunuhan kepada Gubernur R.M. Soerjo. Pada objek/situs cagar budaya lainnya tidak terdapat peristiwa kesejarahan. Dimana objek/situs tersebut lebih dikenal sebagai simbol peninggalan sejarah. b. Makna bagi masyarakat Desa Ngawi Purba, Makam Patih Ronggolono dan Makam Patih Pringgokusumo merupakan sejarah nenek moyang bagi masyarakat Kabupaten Ngawi. Pada situs Benteng van Den Bosch merupakan bukti perlawanan kepada Bangsa Belanda. Sedangkan, Masjid Jami Baiturrahman dan Pesanggrahan Srigati lebih memiliki makna spiritual yang cukup tinggi, yakni sebagai tempat beribadah dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Rumah Peninggalan Dr. Radjiman dan Monumen Soerjo lebih dikenal oleh masyarakat sebagai penghormatan dan mengenang jasa para tokoh tersebut. Selanjutnya, situs
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) Arca Banteng merupakan bukti terjadinya pemerintahan Kerajaan Majapahit di Kabupaten Ngawi pada masa lampau. Pada Museum Trinil sebagai bukti lokasi penemuan manusia purba pertama dengan spesimen Manusia Jawa. Sedangkan, pada Pabrik Gula Soedhono dan Pabrik Teh Jamus memiliki manfaat dari segi ekonomis bagi masyarakat Kabupaten Ngawi. c. Bentuk bangunan Terdapat beberapa situs/objek cagar budaya yang memiliki kesamaan bentuk bangunan dengan ciri khas tersendiri, yakni permukiman di Desa Ngawi Purba, Benteng Van Den Bosch, Pabrik Gula Soedhono, dan Pabrik Teh Jamus yang mencerminkan bangunan peninggalan zaman kolonial buatan Banga Belanda. Sedangkan, pada situs Makam Patih Ronggolono, Makam Patih Pringgokusumo, Masjid Jami Baiturrahman, Museum Trinil, dan Rumah Peninggalan Dr. Radjiman memiliki bentuk bangunan yang tidak jauh berbeda dengan bangunan pada saat ini. Sedangkan pada Monumen Soerjo dibuat semirip mungkin dengan perawakan R.M. Soerjo dan situs Arca Banteng memiliki bentuk menyerupai hewan banteng. Oleh karena itu arca tersebut dinamakan Arca Banteng. d. Ornamen bangunan Ornaman yang digunakan dalam pembangunan objek/situs cagar budaya tidak jauh berbeda dengan bangunan pada masa kini. Beberapa bangunan cagar budaya seperti permukiman pada Desa Ngawi Purba, Benteng Van Den Bosch, Monumen Soerjo, Museum Trinil, Pabrik Teh Jamus, Pabrik Gula Soedhono, Rumah peninggalan Dr. Radjiman, dan Pesanggrahan Srigati dibuat dengan menggunakan ornamen dasar seperti batu bata, kayu, beton, dan lain sebagainya. Sedangkan pada situs Makam Patih Ronggolono, Makam Patih Pringgokusumo, dan situs Arca Banteng terbuat dari batuan dengan jenis batuan granit dan batu kijing. e. Warna bangunan Bangunan cagar budaya pada umumnya memiliki warna dengan sifat monokromatik. Beberapa bangunan cagar budaya yang berada di Kabupaten Ngawi cenderung memiliki warna putih seperti permukiman pada Desa Ngawi Purba, Benteng Van Den Bosch, Masjid Jami Baiturrahman, Museum Trinil, Rumah peninggalan Dr. Radjiman, dan Pesanggrahan Srigati. Sedangkan, pada Pabrik Teh Jamus dan Pabrik Gula Soedhono cenderung berwarna abu-abu logam dan pada situs Arca Banteng, Makam Patih Ronggolo, dan Makam Patih Pringgokusumo memiliki warna abu-abu dari batuan granit. Lain halnya dengan Monumen Soerjo, monumen tersebut cenderung berwarna kehitaman. f. Kelangkaan bangunan Tidak semua bangunan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi tersebut adalah langka. Bangunan cagar budaya yang langka di Kabupaten Ngawi adalah Benteng Van Den Bosch, dikarenakan benteng tersebut saat ini masih dengan bentuk utuh dan jarang ditemui di kawasan lainnya dan situs Arca Banteng yang merupakan satu-satunya peninggalan dari zaman Kerajaan Majapahit. Unsur kelangkaan lainnya terdapat pada beberapa benda seperti prasasati peninggalan dari Kanjeng Brotodiningrat yang terdapat pada Masjid Jami Baiturrahman, fosil-fosil makhluk purba yang terdapat pada
3
Museum Trinil, dan benda-benda pusaka peninggalan para leluhur. g. Mewakili suatu ragam bangunan Salah satu bangunan cagar budaya yang dapat dijadikan sebagai landmark bangunan bersejarah di Kabupaten Ngawi adalah Benteng Van Den Bosch. Pada permukiman yang terdapat pada Desa Ngawi Purba dapat mewakili sebagai bentuk permukiman Bangsa Belanda. Sedangkan, pada Masjid Jami Baiturrahman dan Pabrik Gula Soedhono dapat mewakili sebagai masjid dan bangunan industri yang tertua di Kabupaten Ngawi. Pada situs Arca Banteng dapat mewakili sebagai situs peninggalan dari zaman Kerajaan Majapahit dan Monumen Soerjo dapat mewakili sebagao monumen ketokohan yang terdapat di Kabupaten Ngawi. h. Kesamaan desain bangunan Kesamaan desain bangunan diperlukan guna menciptakan keselarasan pada suatu kawasan. Beberapa objek/situs cagar budaya yang memiliki kesamaan desain bangunan dengan bangunan yang berada di sekitarnya antara lain adalah permukiman pada Desa Ngawi Purba, Makam Patih Pringgokusumo dan Makam Patih Ronggolono, Masjid Jami Baiturrahman, Museum Trinil, Pabrik Teh Jamus, Pabtik Gula Soedhono, Rumah peninggalan Dr. Radjiman, dan Pesanggrahan Srigati. Sedangkan, objek/situs yang tidak memiliki kesamaan bangunan, baik dengan bangunan di sekitarnya maupun pada kawasan lainnya adalah Benteng Van Den Bosch, situs Arca Banteng, dan situs Monumen Soerjo. i. Pengaruh nilai ekonomis Tidak semua objek/situs cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi mampu memberikan pengaruh dari segi ekonomis. Seperti pada Pabrik Gula Soedhono dan Pabrik Teh Jamus yang saat ini telah mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Ngawi dan memberikan lahan pekerjaan bagi penduduk di sekitarnya serta sebagai lokasi agrowisata. Sedangkan, beberapa objek/situs yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan mampu memberikan nilai ekonomis antara lain adalah Benteng Van Den Bosch, Monumen Soerjo, dan Museum Trinil. j. Pengaruh nilai ilmu pengetahuan (edukatif) Masing-masing objek/situs cagar budaya peninggalan sejarah tentu saja memiliki nilai ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Pengetahuan tersebut dapat berupa peristiwa kesejarahan seperti yang terdapat pada Desa Ngawi Purba, Benteng Van Den Bosch dan Monumen Soerjo. Selain itu, juga dapat berupa kisah hidup seorang tokoh seperti Patih Pringgokusumo, Patih Ronggolono, dan Dr. Radjiman Widyodiningrat. Ilmu pengetahuan juga dapat digali pada Pabrik Gula Seodhono dan Pabrik Teh Jamus seperti proses pengolahan teh dan pengolahan tebu hingga menjadi produk yang siap untuk dipasarkan. Pada Museum Trinil ialah pengetahuan yang didapatkan dari penemuan fosil manusia purba Jawa yang menjelaskan mengenai evolusi manusia purba dan juga fosil-fosil lainnya. Berdasarkan hasil analisa tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa karakteristik pada masing-masing objek/situs cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi cukup beragam dan memiliki potensi cukup tinggi untuk dikembangkan agar memiliki nilai manfaat lebih. Potensi
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) pengembangan tersebut dapat berupa fungsi rekreasi ataupun wisata, fungsi konservasi, dan fungsi keagamaan. Sehingga objek/situs cagar budaya tersebut di atas yang berada di Kabupaten Ngawi tidak hanya berpotensi sebagai peningkatan fungsi bangunan atau kawasan tetapi juga tetap terlindungi dan terpelihara dengan adanya pengembangan kawasan cagar budaya. B. Menentukan tipologi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi Dalam menentukan jenis tipologi kawasan cagar budaya yang terdapat pada Kabupaten Ngawi ini dibuat dengan berdasarkan pada teori mengenai jenis tipologi kawasan cagar budaya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 mengenai Cagar Budaya yang terkait dengan bab penentuan kawasan cagar budaya, serta kondisi eksisting pada masing-masing objek/situs cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi. Permukiman Ngawi Purba, Benteng Van Den Bosch, Pabrik Gula Soedhono dan Pabrik Teh Jamus merupakan objek/situs cagar budaya yang memiliki kesamaan asal-usul yakni dibangun saat zaman kolonial. Dimana pada permukiman Ngawi Purba dan Benteng Van Den Bosch pada masa lampau juga terdapat keterkaitan peristiwa sejarah dan memperlihatkan fungsi pola ruang. Selain itu, kedua situs juga memiliki jarak yang berdekatan dan memenuhi suatu luasan kawasan sehingga dapat dikelompokkan ke dalam suatu jenis tipologi. Namun, situs Pabrik Teh Jamus dan Pabrik Gula Soedhono tidak termasuk dalam tipologi dikarenakan persebaran lokasinya yang terlalu jauh. Oleh karena didominasi oleh bangunan yang bercirikan kolonial, tipologi yang pertama diberi nama tipologi kolonial. Pada tipologi ini juga termasuk situs dari Makam Patih Pringgokusumo dan Makam Patih Ronggolono yang terdapat di Desa Ngawi Purba, sehingga kedua situs tersebut juga digolongkan ke dalam jenis tipologi kolonial tersebut. Selanjutnya, pada situs Arca Banteng dan Museum Trinil yang terletak pada Kecamatan Kedunggalar, Ngawi memiliki kesamaan pada aspek kelangkaan yang terdapat pada benda peninggalan yang berupa fosil dan arca. Selain itu, di sekitar situs juga memiliki lapisan tanah yang mengandung adanya bukti kegiatan manusia atau endapan fosil. Kedua situs juga memiliki usia lebih dari 50 tahun, bahkan sebelum adanya Tahun Masehi. Oleh karena itu, situs Arca Banteng dan Museum Trinil dikelompokkan ke dalam suatu tipologi yakni tipologi kolonial. Monumen Soerjo dan rumah peninggalan Dr. Radjiman Widyodiningrat merupakan situs yang cukup memiliki makna bagi masyarakat Kabupaten Ngawi. Kedua tokoh tersebut cukup melekat pada hati masyarakat Ngawi berkat perjuangan dan jasa-jasanya pada zaman kemerdekaan Republik Indonesia. Kedua situs tersebut memperlihatkan adanya pengaruh manusia pada masa lalu, khususnya para tokoh nasional RI. Oleh karena itu, Monumen Soerjo dan situs rumah peninggalan Dr. Radjiman dikelompokkan menjadi suatu tipologi yakni tipologi tokoh nasional. Sedangkan, situs lainnya yang juga tidak termasuk dalam tipologi adalah Masjid Jami Baiturrahman dikarenakan tidak terdapat situs lain yang berada di sekitarnya dan pada Pesanggrahan Srigati tidak menunjukkan adanya peristiwa
4
sejarah maupun pengaruh manusia pada masa lampau serta tidak terlihat adanya pola fungsi ruang yang terjadi minimal 50 tahun yang lalu. C. Menentukan kriteria deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi Untuk mengetahui kriteria deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi, sebelumnya dilakukan analisa terhadap variabel deliniasi kawasan cagar budaya hingga mendapatkan faktor-faktor yang sesuai dengan kondisi eksisting. Kemudian, setelah mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi, dihasilkan penjabaran terperinci dari hasil analisa faktor dengan analisa deskriptif sehingga didapatkan kriteria penentuan batas deliniasi kawasan cagar budaya sebagai berikut: Tabel 1 Kriteria Deliniasi Kawasan Cagar Budaya
Faktor Persebaran situs cagar budaya yang mempunyai kesamaan peristiwa sejarah & kekhasan bentuk fisik Batas alam yang berbatasan langsung dengan situs/objek cagar budaya
Analisa Suatu kawasan cagar budaya harus memiliki kekhasan yang dapat dijadikan sebagai ciri khas. Selain itu, jarak antar situs/objek cagar budaya tersebut juga dalam radius suatu kawasan yang disesuaikan dengan ketetetapan atau peraturan Bentang alam yang berbatasan langsung dengan situs dan memiliki keterkaitan peristiwa dengan situs/objek cagar budaya sehingga dapat digolongkan dalam suatu kawasan cagar budaya
Batas buatan yang berbatasan langsung dengan situs/objek cagar budaya
Diperlukan batas buatan sebagai penanda/pengenal agar kawasan lebih dikenal dengan tujuan kawasan mendapat perhatian guna menjaga dan melestarikan kawasan cagar budaya Batas administratif merupakan suatu batasan yang legal dan tertera dengan jelas pada peta sehingga akan membantu & menmudahkan penentuan batas deliniasi kawasan cagar budaya
Batas administratif pemerintahan
Luas lahan dari objek/situs cagar budaya
Luas suatu kawasan cagar budaya mampu mendukung keberadaan situs/objek cagar budaya dan bangunanbangunan di sekitarnya agar dapat ditentukan fungsi pemanfaatan & fungsi ruang secara berkelanjutan
Jenis penggunaan lahan di sekitar objek/situs cagar budaya
Jenis penggunaan lahan yang dapat termasuk dalam suatu kawasan cagar budaya mampu mendukung kawasan dan memberikan manfaat agar terbentuk suatu kawasan yang dinamis dan seimbang
Kriteria Lokasi persebaran objek/situs cagar budaya yang memiliki kesamaan karakteristik Jarak antar situs cagar budaya yang memiliki kesamaan karakteristik Bentang alam yang berbatasan langsung dengan situs/kawasan cagar budaya Bentang alam yang memiliki keterkaitan dengan kejadian peristiwa sejarah di masa lampau Batas buatan yang sengaja dibuat agar suatu kawasan dapat lebih dikenali oleh masyarakat yang memiliki bentuk dan ukuran yang disesuaikan dengan kebutuhan Batas kawasan/ wilayah yang telah pasti dan legal Batas kawasan/ wilayah yang tertera pada peta dan sesuai dengan eksisting lapangan Luas lahan sebagai lokasi dari keberadaan situs/objek cagar budaya yang telah memenuhi ketentuan untuk dibentuk sebagai suatu kawasan & mampu mendukung pengembangan kawasan dalam hal pelestarian maupun pengelolaan kawasan cagar budaya Jenis penggunaan lahan yang memiliki keterkaitan dengan keberadaan situs/objek cagar budaya & mampu mendukung serta memberikan manfaat bai kawasan cagar budaya secara berkelanjutan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) Regulasi pendukung yang terkait dengan penentuan batas deliniasi
Belum adanya kebijakan yang mengatur tentang deliniasi kawasan cagar budaya beserta pemanfaatan kawasan cagar budaya
Kultur masyarakat lokal yang menjadikan suatu ciri khas dari kawasan
Kultur masyarakat merupakan bagian dari suatu kawasan & tidak dapat dipisahkan. Selain itu, kultur masyarakat tersebut juga merupakan salah satu warisan budaya yang perlu dilestarikan agar tidak dilupakan oleh generasi penerus di masa yang akan mendatang
Kebijakan yang bersifat mengatur tentang batas deliniasi kawasan serta pemanfaatannya pada suatu kawasan cagar budaya Kultur atau kebiasaan masyarakat yang merupakan bagian dari kawasan cagar budaya sehingga tidak dapat dipisahkan Kultur atau kebiasaan masyarakat yang bersifat warisan/turuntemurun/ yang telah dilakukan secara rutin oleh masyarakat di sekitar kawasan
Sumber: Hasil Analisa, 2014
D. Menetapkan batas deliniasi kawasan cagar budaya di Kabupaten Ngawi Pada tahap penetapan batas deliniasi kawasan cagar budaya, dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif dengan berdasarkan pada referensi. Sehingga dihasilkan batas deliniasi kawasan cagar budaya pada masing-masing jenis tipologi sebagai berikut: a) Tipologi Kolonial Menyesuaikan dengan lokasi persebaran situs Bentuk aliran Sungai Bengawan Solo yang memisahkan kedua situs termasuk sempadan sungai yang kemudian disesuaikan dengan kondisi geografis kawasan Gerbang yang dibuat guna memperkuat citra kawasan kolonial pada Benteng Van Den Bosch sebagai focal point (sesuatu yang dapat menarik perhatian) Batas administratif kawasan sebagai berikut: Utara : Desa Ngawi Purba dan Desa Selopuro Timur : Desa Ngawi Purba Selatan : Kota Ngawi Barat : Desa Selopuro Luas kawasan ± 30 - 60 Ha Bentuk penggunaan lahan yang mendukung dalam kawasan berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik serta fungsi komersial yang diperuntukkan sebagai blok perdagangan dan jasa Permukiman yang termasuk dalam kawasan adalah permukiman yang berfungsi sebagai hunian, penginapan, dan usaha kecil seperti cinderamata Perumusan peraturan terkait dengan penetapan kawasan atau bangunan cagar budaya yang berarsitektural kolonial Kebiasaan masyarakat pada Desa Ngawi Purba yang dapat menjadi sebagai ciri khas adalah Upacara Jamasan Pusaka Ngawi serta melakukan ziarah pada makam leluhur yang dilakukan secara rutin setiap tahun ketika Hari Jadi Kota Ngawi
5
Gambar 1. Peta Deliniasi Tipologi Kolonial
b) Tipologi Purbakala Menyesuaikan dengan lokasi persebaran situs Daerah sempadan sungai yang termasuk dalam kawasan adalah sempadan Sungai Bengawan Solo sebagai lokasi perkiraan ditemukannya fosil Area lahan pertanian dan perkebunan tidak dimasukkan dalam kawasan, hanya sebagai pembatas di luar kawasan Pengenal kawasan dapat berupa gapura atau patung yang identik dengan zaman purbakala Batas administratif kawasan sebagai berikut : Utara : Desa Ngancar Timur : Desa Kalang Selatan : Desa Pelang Kidul Barat : Desa Kedunggalar dan Desa Wonokerto Luas kawasan ± 30 – 60 Ha Bentuk penggunaan lahan yang mendukung dalam kawasan berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik serta fungsi komersial yang diperuntukkan sebagai blok perdagangan dan jasa Permukiman yang termasuk dalam kawasan adalah permukiman yang berfungsi sebagai hunian dan usaha kecil seperti cinderamata atau produk kerajinan lokal Bangunan lain yang termasuk dalam kawasan adalah bangunan dengan funsgi sebagai fasilitas umum dan kantor pemerintahan Perumusan kebijakan terkait dengan penentuan situs atau benda cagar budaya yang digolongkan menjadi benda purbakala
Gambar 2. Peta Deliniasi Tipologi Purbakala
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) c) Tipologi Tokoh Nasional Menyesuaikan dengan lokasi persebaran situs Area hutan jati yang berada di sekitar situs sebagian termasuk dalam kawasan, apabila diperkirakan memiliki keterkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada masa lampau Area lahan pertanian dan perkebunan tidak dimasukkan dalam kawasan, hanya sebagai pembatas di luar kawasan Pengenal kawasan dapat berupa gapura atau papan penanda yang disesuikan dengan kondisi bangunan situs agar tidak lebih menonjol Batas administratif kawasan sebagai berikut : Utara : Desa Bangunrejo Lor dan Desa Karanganyar Timur : Desa Bangunrejo Kidul Selatan : Desa Kayutrejo dan Desa Jatigembol Barat : Desa Gendingan Luas kawasan ± 30 – 60 Ha Bentuk penggunaan lahan yang mendukung dalam kawasan berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik serta fungsi komersial yang diperuntukkan sebagai blok perdagangan dan jasa berupa usaha kecil pengrajin cinderamata maupun produk kerajinan lokal Permukiman yang termasuk dalam kawasan adalah permukiman yang berfungsi sebagai hunian Bangunan lain yang termasuk dalam kawasan adalah bangunan dengan fungsi fasilitas umum Kegiatan atau aktivitas yang diperbolehkan dalam kawasan adalah kegiatan upacara guna memperingati suatu peristiwa atau kegiatan yang dilakukan untuk menghormati jasa yang dilakukan oleh para tokoh di masa lampau.
6
karakteristik dan memenuhi ketentuan untuk membentuk suatu tipologi kawasan cagar budaya. Adapun tipologi kawasan cagar budaya yang dihasilkan antara lain adalah tipologi kolonial yang terdiri dari permukiman Desa Ngawi Purba, Benteng Van Den Bosch, serta makam dari Patih Ronggolono dan Patih Pringgokusumo; tipologi purbakala yang terdiri dari situs Arca Banteng dan Museum Trinil; dan tipologi tokoh nasional yang terdiri dari situs Monumen Soerjo dan rumah peninggalan Dr. Radjiman Widyodiningrat. Setelah terbentuk tipologi kawasan, ditentukan batas deliniasi pada masing-masing jenis tipologi kawasan cagar budaya baik secara spasial maupun non-spasial. Batas deliniasi secara spasial dibuat dengan memperhatikan batas persebaran benda cagar budaya, batas alam, batas buatan, luas lahan, serta jenis penggunaan lahan yang mendukung kawasan. Sedangkan, batas deliniasi secara non-spasial dibuat dengan memperhatikan kultur masyarakat lokal dan peraturan yang terkait dengan kawasan cagar budaya.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah, karunia dan tuntunan-Nya sehingga laporan Tugas Akhir dengan judul “Penentuan Deliniasi Kawasan Cagar Budaya di Kabupaten Ngawi” ini dapat terselesaikan. Dengan terselesaikannya laporan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi, BAPPEDA Kabupaten Ngawi, Dinas PU Bina Marga & Cipta Karya Kabupaten Ngawi, dan DISPARIYAPURA Kabupaten Ngawi yang telah memberikan bantuan dalam proses penyelesaian Tugas Akhir. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4]
Gambar 3. Peta Deliniasi Tipologi Tokoh Nasional
III. KESIMPULAN Berdasarkan hasil identifikasi karakteristik pada masingmasing objek/situs cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Ngawi menunjukkan bahwa keberadaan cagar budaya tersebut memiliki potensi yang dapat dikembangkan guna meningkatkan fungsi bangunan atau kawasan cagar budaya agar memiliki nilai manfaat lebih. Dengan mengetahui karakteristik dan potensi tersebut, diketahui bahwa terdapat beberapa objek/situs cagar budaya yang memiliki kesamaan
Shirvani, Hamid. 1985. Urban Design Process. New York Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP) Kabupaten Ngawi. 2013. Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi Adriani, Uli. 2010. Deliniasi Kawasan Lindung. http://uliadriani.blogspot.com/2010/04/deliniasi-kawasan-lindung.html diakses pada tanggal 4 Oktober 2013 Mulyadi, Yadi. 2012. Penetapan Cagar Budaya Bawah Air dan Masa Kolonial. http://www.academia.edu/1786485 diakses pada tanggal 4 Oktober 2013