Sari, Astri Anindya/e-Jurnal Eco-Teknologi UWIKA (eJETU). ISSN: 2301-850X. Vol. I, Issue 1, Juli 2013 pp. 13-21
Transformasi Spasial - Teritorial Kawasan Alun-Alun Malang: Sebuah Produk Budaya Akibat Perkembangan Jaman 1 Astri Anindya Sari1
1)Fakultas Teknik, Program studi Arsitektur, Universitas Widya Kartika
Jl. Sutorejo Prima Utara II/1, Surabaya 60113 Email:
[email protected]
ABSTRAK Alun-alun merupakan salah satu ruang publik bersejarah yang terus mengalami perubahan seiring waktu dan kebudayaan manusia yang terus berkembang. Sebagai bentuk dari ruang publik, perubahan yang terjadi pada alun-alun tak dapat dilepaskan dari peran institusi pemerintahan dan kebijakan yang diambilnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kontrol terhadap kota dan ruangruang publiknya. Alun-alun kota Malang, semenjak dibangunnya pada tahun 1882 telah melalui beberapa dekade pemerintahan dari masa kolonialisme, masa kemerdekaan, masa orde baru, hingga saat ini. Nilai-nilai yang dibawa oleh institusi pada masa pemerintahan yang berbeda tersebut tentunya membawa dampak terhadap perubahan kondisi fisik dan spasial serta aktivitas yang terjadi pada alun-alun kota Malang dan kawasan sekitarnya. Akibatnya sejak tahun 1882 sampai saat ini, kondisi fisik dan citra kawasan alun-alun kota Malang terus mengalami pergeseran hingga pada keadaan yang sama sekali berbeda dari pada masa awal dibangunnya. Melalui studi kualitatif dengan analisis sinkronik-diakronik untuk membandingkan kondisi alun-alun saat ini dan masa lampau, studi ini bertujuan untuk memetakan transformasi spasial dan teritorial yang terjadi pada kawasan alun-alun Malang sejak masa dibangunnya hingga saat ini. Pembahasan mengenai teritorial dibagi atas transformasi unsur fisik dan non fisik meliputi fungsi aktivitas yang merupakan satu kesatuan penanda teritori yang membentuk citra kawasan. Ditemukan bahwa unsur fisik merupakan bagian yang paling mudah diintervensi oleh institusi pemerintahan sebagai agen transformasi utama, sedangkan perubahan tata nilai dan budaya masyarakat sebagai pengguna akan mempengaruhi transformasi unsur non fisik. Pada alun-alun Malang, transformasi fisik dan spasial yang terjadi dari masa ke masa tidak pernah mengubah fungsi dan aktivitas inti pada ruang terbuka ini yakni sebagai ruang publik tak tersegmentasi untuk aktivitas masyarakat. Kata kunci: Alun-alun Malang, transformasi, teritorial, spasial, aktivitas
ABSTRACT Alun-alun is one of the historical public spaces which continuously undergoes changes due to evolving time and human culture. As a form of public space, the changes on the alun-alun cannot be separated from the roles of the government institutions and their policies as the responsible party in controlling the city and its public spaces. Alun-alun Malang (Malang public square), since its establishment in 1882, has been through many decades of administrations from the colonialism to the independence, and from the new order until nowadays. The values brought by the institution on each era has of course influenced the physical and spatial condition as well as activities in the square and is surrounding area. Using qualitative study with synchronic-diachronic analysis to compare the condition of the alun-alun in the past and in the present days, the study aims to map the spatial and territorial transformation in alun-alun Malang since its establishment until nowadays. The discussion on territorial aspect comprises of physical and non-physical transformation. The non-physical elements includes the activity function which is an integral part of territorial mark that shapes the region’s image. It was found that the physical elements are the prone to intervention by government institutions as the primary agent of transformation, while the changes in values and culture of the society as the users will influence the non-physical elements. In alun-alun Malang, the physical and spatial transformation from time to time has never changed the function and primary activities in the public space, as the non-segmented public space for public activities. Keywords: Alun-alun Malang, transformation, territorial, spatial, activity
1
Tulisan telah dipresentasikan dalam International Seminar on Urban Heritage, Yogyakarta 30 Maret 2011 dengan judul ‘Spatial and Territorial Transformation of Alun-alun Malang: The Impact of Social and Cultural Changes’
[13]
Hak Cipta oleh eJETU © 2013. Open Access at http://www.jurnal.widyakartika.ac.id/index.php/ejetu
Pendahuluan Ruang publik merupakan salah satu unsur lingkungan binaan yang turut membentuk citra sebuah kota. Ruang ini dipergunakan oleh kelompok orang yang tinggal dalam suatu wilayah teritori secara bersama-sama. Sebagai ruang bersama, kontrol ruang ini bukan pada perorangan namun pada kelompok atau agen yang mewakili kelompok tersebut [3]. Dengan demikian bentukan dan wujud fisik serta segala perilaku yang terjadi pada ruang publik tersebut akan mencerminkan budaya dan tata nilai yang dianut oleh masyarakat pada kota yang bersangkutan. Ruang publik adalah bagian dari lingkungan binaan yang memiliki keterkaitan erat dengan unsur budaya masyarakat sebagai perencana dan penggunanya. Budaya merupakan suatu sistem yang didalamnya mencakup sistem nilai dan kepercayaan serta ekspresi budaya lain seperti gaya hidup dan preferensi yang mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap segala sesuatu [9]. Ekspresi-ekspresi budaya tersebut akan mempengaruhi kebutuhan-kebutuhan mereka akan ruang, dan selanjutnya termanifestasikan dalam cara mereka membangun, menata ruang, serta perilaku dalam penggunaannya. Beberapa unsur dari budaya misalnya cara pandang dan sistem nilai dapat berubah seiring perkembangan faktor-faktor eksternal dari lingkungan luar. Faktor-faktor eksternal ini misalnya perkembangan ilmu pengetahuan, maupun masuknya unsur budaya lain yang bercampur dengan nilai budaya awal maupun membentuk suatu sistem budaya yang baru. Dalam konteks ruang publik dimana kontrolnya dipegang oleh institusi, maka perubahan atau pergantian institusi pemegang kontrol akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan kondisi pada ruang publik. Alun-alun merupakan salah satu konsep ruang terbuka publik yang dikenal oleh masyarakat Jawa Tradisional. Konsep spasial alun-alun sebagai bagian dari komplek keraton atau pusat pemerintahan telah dikenal sejak abad 13-18 M, tepatnya pada masa kerajaan Majapahit hingga Mataram [4]. Pada masa itu, budaya masyarakat berupa kepercayaan kosmologis yang sangat kuat memberikan pengaruh besar dalam perencanaan fisik dan spasial tata ruang termasuk juga alun-alun sebagai ruang publik utama. Dalam tata kota masyarakat Jawa tradisional, keraton dan alun-alunnya merupakan pusat orientasi perkembangan kota yang direncanakan dengan memperhatikan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos sebagai pengejawantahan dari konsep kosmologis. Tatanan spasial kota-kota tradisional Jawa menunjukkan alun-alun berada pada tengah kota sebagai lambang dari pusat jagat raya dan di sisinya berdiri komponen-komponen inti dari kehidupan masyarakat yang meliputi pusat pemerintahan yang berdiri di sebelah selatan alun-alun, serta masjid agung di sebelah baratnya [7]. Alun-alun merupakan titik pertemuan dari jalan-jalan utama yang menghubungkan keraton dengan bagian barat, utara, dan timur dari kota, sementara kawasan sebelah selatan keraton merupakan daerah tempat tinggal keluarga Raja dan para pengikutnya. Keraton sebagai pusat pemerintahan seolah-olah “memangku” alunalun dengan dengan keberadaan pohon beringin yang berada di tengah-tengahnya satu sumbu dengan laut pantai selatan dan gunung di sebelah utaranya [7]. Menilik tata spasial dan perencanaannya yang sarat makna kosmologis, makna dan fungsi alun-alun bagi masyarakat Jawa tradisional lebih merupakan simbol kekuasaan, dan budaya yang bernuansa sakral. Sebagai salah satu bentuk ruang publik yang dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat, keberadaan dan kondisi alun-alun dari masa ke masa tak dapat dilepaskan dari peran institusi pemerintah sebagai agen yang bertanggung jawab atas kontrol terhadapnya. Nilai-nilai yang danut oleh institusi pemerintah beserta tujuan yang hendak dicapainya secara langsung mempengaruhi mereka dalam membuat berbagai kebijakan baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Selanjutnya penerapan dari kebijakan yang dikeluarkan dapat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi arah perencanaan dan perkembangan kota termasuk kawasan alun-alun sebagai ruang publik. Kebijakan institusi tersebut dapat berupa undang-undang, maupun segala peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Alun-alun Malang, sejak dibangunnya pada tahun 1882 telah mengalami beberapa pergantian institusi pemerintahan diantaranya masa kolonial, kemerdekaan, dan era reformasi. Perbedaan budaya dan tata nilai yang dianut oleh setiap institusi pemerintahan dengan kekhasanya masing-masing akan mempengaruhi transformasi yang terjadi pada kawasan alun-alun Malang sejak masa dibangunnya hingga saat ini. Alexander (1987) seperti dikutip oleh Manik [6] menyatakan bahwa proses transformasi pada lingkungan dapat berjalan melalui perencanaan ataupun tidak dengan tak menutup terjadinya penyimpangan. Proses transformasi tersebut terjadi secara sedikit demi sedikit dan berkesinambungan, sedangkan waktu dimulai dan berakhirnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang proses terjadinya. Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa proses transformasi fisik pada kawasan alunalun kota Malang terjadi berdasarkan perencanaan yang dilakukan oleh institusi yang memegang kontrol atas alun-alun. Sedangkan satu masa pemerintahan dapat diidentikkan dengan berlangsungnya sebuah periode proses transformasi fisik pada alun-alun kota Malang. Ketika satu masa pemerintahan berakhir, maka berakhirlah sebuah periode proses transformasi, namun merupakan awal dari periode transformasi berikutnya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawa oleh institusi atau yang berkuasa pada masa itu.
[14]
Sari, Astri Anindya/e-Jurnal Eco-Teknologi UWIKA (eJETU). ISSN: 2301-850X. Vol. I, Issue 1, Juli 2013 pp. 13-21
Dengan demikian, transformasi fisik dan spasial pada kawasan alun-alun Malang sejak saat dibangunnya hingga sekarang merupakan rangkaian dari proses yang terjadi secara berkesinambungan Transformasi tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh. Karakter transformasi suatu lingkungan sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial budaya. Transformasi itu sendiri memiliki bagianbagian dari sistem budaya yang mudah terpengaruh dan ada yang merupakan inti yang cenderung bertahan. Dalam hal ini unsur yang bersifat fisik cenderung lebih mudah mengalami transformasi, sedangkan yang bersifat keyakinan dan kebiasaan akan cenderung bertahan [10]. Studi ini bertujuan untuk memetakan transformasi spasial dan teritorial yang terjadi pada kawasan alun-alun kota Malang dari semenjak dibangunnya hingga saat ini. Untuk menstrukturkan pembahasan, maka kajian dibedakan menjadi transformasi alun-alun dan transformasi pada bangunan-bangunan disekeliling alun-alun sebagai satu kesatuan yang membentuk citra kawasan. Pembahasan transformasi pada kawasan alun-alun Malang dibedakan pula atas unsur fisik serta non fisik yang meliputi fungsi dan aktivitas sebagai penanda akan adanya sebuah sistem teritori [3]. Mengingat institusi pemerintahan merupakan pemegang kontrol dan agen utama transformasi pada ruang publik, maka periodisasi tranformasi dibahas berdasarkan urutan perubahan masa pemerintahan yang dialami alun-alun ini semenjak masa dibangunnya pada tahun 1882. Lebih lanjut analisis dilakukan untuk memetakan unsurunsur mana dari kawasan alun-alun yang dengan mudah mengalami perubahan dan yang tidak, sehingga dapat disimpulkan unsur mana yang merupakan inti. Alur skematik kajian dapat dilihat pada diagram 1 sebagai berikut.
Gambar 1. Skematik Pembahasan Transformasi Spasial dan Teritorial Pada Kawasan Alun-Alun Malang Sumber: Peneliti (2011)
Pembahasan Alun-alun Malang masa kolonial, imitasi pencitraan kekuasaan yang gagal Konsep spasial perletakan alun-alun pada kota-kota tradisional Jawa didasarkan pada prinsipprisip keseimbangan kosmologis yang dianut masyarakat Jawa pada masa itu. Alun-alun terletak di pusat kota, dihadapan pendopo pusat pemerintahan (kraton atau kantor kabupaten) dan masjid. Alun-alun seringkali difungsikan sebagai ruang terbuka tempat rakyat dan para tamu menunggu sebelum dipersilahkan masuk ke pendopo keraton atau kantor kabupaten untuk mengadukan permasalahannya kepada sang penguasa [4]. Dari fungsi tersebut diketahui bahwa makna alun-alun bagi masyarakat Jawa seperti merupakan ‘halaman’ rumah mereka namun dalam ukuran yang lebih besar [4,5]. Tipologinya, berada satu sumbu dengan keraton membentuk garis lurus dengan laut selatan dan gunung yang dianggap sakral. Posisi keraton ada di sebelah selatan alun-alun sedangkan masjid agung ada di sebelah baratnya, Prinsip tatanan spasial ini telah ada sejak masa kerajaan Hindu dimana alun-alun diletakkan didepan hunian raja [5]. Sebagai inti dari pusat kota, alun-alun memiliki fungsi yang majemuk, meliputi fungsi administratif, ekonomis, sosial, kultural, dan pertahanan [5]. Selain sebagai tempat tamu keraton menunggu, alun-alun juga kerapkali digunakan sebagai sarana upacara keagamaan serta permainan rakyat seperti sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul) pada waktu-waktu tertentu [4]). Namun diatas segala fungsi tersebut, fungsi pemerintahan dan keagamaan merupakan fungsi yang dominan. Oleh karena itu melihat tata spasial dan perencanaannya yang sarat makna kosmologis, maka bagi masyarakat Jawa tradisional makna alun-alun lebih merupakan simbol kekuasaan, dan budaya yang bernuansa sakral. Institusi Kolonial Belanda yang masuk pada periode pemerintahan berikutnya di Jawa ingin memanfaatkan citra kekuasaan yang muncul di kawasan alun-alun dengan membangun pusat pemerintahannya di tempat serupa. Belanda membangun pusat pemerintahannya berupa kantor asisten residen di sebelah utara alun-alun, membentuk sumbu utara-selatan dengan keraton atau kantor dagang, [15]
Hak Cipta oleh eJETU © 2013. Open Access at http://www.jurnal.widyakartika.ac.id/index.php/ejetu
kantor pos, maupun penjara di sekeliling alun-alun. Intervensi dari institusi pemerintahan kolonial sebagai agen transformasi utama ini praktis merubah tatanan fisik dan spasial kawasan alun-alun dan merubah citra awal alun-alun pada masa tradisional Jawa. Tipologi alun-alun pada kota kabupaten di Jawa dapat dilihat pada gambar 2 berikut.
Gambar 2. Tipologi Alun-Alun di Kota Kabupaten Setelah Masuknya Belanda Sumber: olahan penulis dari [4]
Alun-alun kota Malang sedikit berbeda dengan alun-alun kota tradisional Jawa pada umumnya. Dibangun pada tahun 1882 setelah kekuasaan Belanda masuk ke kota ini pada tahun 1767, alun-alun kota Malang memiliki karakter spasial bangunan di sekitar alun-alun yang berbeda dengan kota-kota Jawa pada umumnya. Jika pada tipologi alun-alun Jawa kantor kabupaten berada pada sebelah selatan alunalun, yang terjadi pada alun-alun Malang justru kantor kabupaten yang berada di sebelah timur alun-alun dan kantor asisten residen pada sebelah selatannya. Selain itu, pendopo kantor kabupaten Malang tidak berorientasi ke alun-alun melainkan ke Jalan K.H Agus Salim disebelah selatannya sehingga tidak ada kesan bahwa alun-alun merupakan ‘halaman’ bagi kantor kabupaten. Perbedaan karakter spasial ini membuat alun-alun Malang dipercaya dirancang khusus untuk kepentingan pemerintah Belanda [1].
D
Gambar 3. Tata Spasial Alun-alun Malang Berbeda dengan Tipologi Alun-alun di Jawa pada umumnya Sumber: olahan peneliti dari peta dasar google (2011)
Pembangunan alun-alun kota Malang oleh pemerintah kolonial pada awalnya ditujukan untuk membentuk citra kekuasaan kolonial melalui kawasan terbuka tersebut sebagaimana citra kekuasaan Jawa yang terpancar dari tempat serupa [1]. Pencitraan tersebut dilakukan dengan membangun berbagai bangunan dengan gaya arsitektur kolonial untuk kepentingan pemerintahan Belanda disekitar alun-alun. Bangunan-bangunan tersebut meliputi gereja kristen protestan (1912), penjara, dan kantor asisten residen (1924) dimana didalamnya terjadi aktivitas-aktivitas dengan kultur kolonial sangat kuat yang jauh berbeda dengan kebudayaan Jawa pada masa itu. Walaupun demikian pada akhirnya usaha pencitraan tersebut dirasakan kurang berhasil karena pendirian bangunan-bangunan kolonial tersebut tidak dapat merubah pandangan masyarakat Malang pribumi terhadap fungsi alun-alun. Sejak awal, bagi masyarakat Malang pribumi alun-alun merupakan sarana sosialisasi dan penunjang kegiatan ekonomi. Bagi Belanda, kegiatan masyarakat pribumi yang mengadakan pasar tiban setiap sore di alun-alun dinilai menodai citra kekuasaan kolonial yang telah dibangun melalui keberadaan bangunan-bangunan di sekeliling ruang terbuka ini. Kegagalan pencitraan kekuasaan pada alun-alun inilah yang membuat Belanda ingin memindahkan pusat administrasi mereka untuk membentuk citra kekuasaannya tanpa dinodai oleh aktivitas pribumi. Keinginan untuk membentuk citra pusat pemerintahan baru yang bebas dari citra aktivitas pribumi diwujudkan setelah keluarnya undang-undang desentralisasi (1913) dan Malang diubah statusnya menjadi gementee pada tahun 1914. Selanjutnya oleh pemerintah Belanda, pusat pemerintahan [16]
Sari, Astri Anindya/e-Jurnal Eco-Teknologi UWIKA (eJETU). ISSN: 2301-850X. Vol. I, Issue 1, Juli 2013 pp. 13-21
dipindahkan dari alun-alun kota ke kawasan yang saat ini dikenal kawasan tugu [1]. Pemindahan pusat administrasi ditandai dengan dibangunnya balaikota serta ruang terbuka berbentuk bulat dihadapannya yang saat ini lekat dengan nama alun-alun bunder.
Gambar 4. Pemindahan lokasi pusat pemerintahan dari alun-alun kota ke lokasi varu, serta alun-alun bunder sebagai citra kekuasaan baru yang dibentuk Belanda, Sumber: olahan peneliti dari peta dasar Google (2011) dan kitlv.nl
Setelah pemindahan pusat administratif, dengan tata nilai yang dianutnya Belanda mengembangkan kawasan alun-alun yang merupakan pusat kota hanya sebagai kawasan ekonomi dan kontrol produksi [1]. Pengembangan untuk tujuan ini diwujudkan dengan pembangunan beberapa bangunan dengan fungsi ekonomi dan jasa seperti De Javasche Bank pada tahun 1915, menyusul Escompto Bank pada 1926, serta kantor pos dan telegram pada tahun 1930. Selain itu pada kisaran tahun 1930 di kawasan ini dibangun pula Bioscoop Rex, Palace Hotel dan Societiet Concordia sebagai fasilitas hiburan bagi kaum kolonial [1,8]. Citra eksklusif pada kawasan pusat kota alun-alun yang ingin dibangun pemerintah Belanda semakin dikukuhkan dengan dikeluarkannya peraturan yang melarang masyarakat pribumi untuk memasuki kawasan bangunan kolonial disekitar alun-alun [1]. Berlawanan dengan citra dan kultur kolonial yang ingin dibangun Belanda pada kawasan sekitar alun-alun, bagi masyarakat pribumi alun-alun kota masih merupakan sarana sosialisasi, hiburan juga penunjang kegiatan ekonomi yang tak tersegmentasi bagi masyarakat pribumi. Citra dan eksklusifisme kolonial yang ingin dibangun Belanda di kawasan ini tidak mempengaruhi nilai masyarakat dalam memaknai fungsi alun-alun sehingga mereka tetap menggunakan ruang terbuka ini alun seperti biasa. Munculnya aktivitas sosial rakyat pribumi yang jauh bertentangan dengan citra yang ingin dibangun pemerintah kolonial pada kawasan alun-alun mengakibatkan ruang terbuka ini tidak lagi dianggap penting oleh pemerintah kolonial Belanda. Tidak bernilainya alun-alun bagi pemerintah kolonial tersebut diwujudkan dengan pembangunan jalur trem yang menghubungkan jalur Malang-Dampit yang melewati alun-alun dengan membelah ruang terbuka ini dalam posisi diagonal dari sudut barat laut menuju sudut tenggara. Bahkan persis ditengah-tengah alun-alun tepatnya dibawah pohon beringin dibangun halte trem tempat naik turunnya penumpang dan barang [1]. Dari ulasan diatas diketahui bahwa pada masa kolonial telah terjadi transformasi spasial dan teritorial pada kawasan alun-alun Malang akibat tata nilai yang diterapkan pemerintah Belanda sebagai agen transformasi utama. Pendirian berbagai bangunan dengan kultur dan gaya kolonial disekitar alunalun telah merubah tatanan fisik yang menandai teritori alun-alun sejak masa pra kolonial. Melalui fungsi dan aktivitas yang terjadi, dapat diketahui adanya oposisi pemaknaan dan teritorialitas alun-alun dan kawasan sekitarnya bagi pemerintah kolonial dan bagi rakyat Malang pribumi pada masa ini. Kawasan alun-alun menjadi teritori eksklusif bagi bangsa kolonial, dimana secara fisik tidak dapat dimasuki oleh masyarakat Malang pribumi. Sedangkan ruang terbuka alun-alun dan masjid agung menjadi teritori dari masyarakat Malang pribumi yang secara kultural tidak dapat dimasuki atau diintervensi oleh Belanda. Selain itu dari fenomena yang terjadi diketahui pada sejak masa kolonial, fungsi utama alun-alun sebagai bagian dari pusat administrasi pemerintahan telah bergeser menjadi pusat kegiatan ekonomi, perdagangan, dan jasa. Alun-alun setelah masa kemerdekaan-orde baru, terbebani perkembangan pesat kawasan sekitar Setelah masa kemerdekaan, terjadi penyerahan kekuasaan wilayah dari pemerintah kolonial ke pemerintahan Republik Indonesia. Hal tersebut juga berarti terjadi perubahan institusi sebagai agen transformasi yang bertanggung jawab atas kontrol terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk kawasan alun-alun Malang sebagai bagian dari wilayahnya. Perbedaan tata nilai yang dianut oleh pemerintahan Republik Indonesia dan kolonial Belanda dan praktis akan mempengaruhi perkembangan kawasan alun-alun Malang pada periode ini. Sejak kemerdekaan, pemerintahan republik Indonesia menerima kondisi kawasan alun-alun Malang sebagaimana diwariskan oleh Belanda yakni sebagai pusat perekonomian. Hal utama yang dilakukan setelah kemerderkaan adalah menasionalisasi semua bangunan kolonial yang didirikan Belanda disekitar [17]
Hak Cipta oleh eJETU © 2013. Open Access at http://www.jurnal.widyakartika.ac.id/index.php/ejetu
alun-alun [1]. Kegiatan nasionalisasi tersebut tidak merubah fisik bangunan tetapi hanya merubah aktifitas didalamnya. Namun demikian, ketika terjadi penyerangan kembali Belanda ke Malang, sebagian besar bangunan tersebut terpaksa dibumi hanguskan untuk menghindari perebutannya kembali oleh Belanda [1]. Tindakan pembumihangusan bangunan-bangunan bergaya kolonial di kawasan sekeliling alun-alun tersebut secara langsung merubah kondisi dan citra kolonial yang telah lama terbentuk melalui gaya bangunan yang ada.
Tidak dapat diintervensi secara fisik oleh pribumi
Gambar 5. Sistem Spasial dan Teritorial di Kawasan Alun-alun Malang Pada Masa Kolonial sumber: olahan peneliti dari peta dasar google dan kitlv.nl (2011)
Pada masa pemerintahan orde baru, kawasan alun-alun yang sejatinya merupakan inti dari pusat kota semakin berkembang pesat kearah perekonomian dan jasa. Tata nilai kapitalisme yang dianut oleh institusi orde baru membuat pertimbangan penguasaan atau hak kontrol atas suatu wilayah lebih didasarkan pada kepemilikan modal [1]. Tata nilai tersebut dimanifestasikan dalam segala kebijakan termasuk kebijakan tata ruang wilayah yang mengakibatkan transformasi lingkungan binaan termasuk kawasan alun-alun Malang. Akibat tata nilai tersebut, pada masa orde baru pendirian pusat-pusat perbelanjaan yang memberikan keuntungan tinggi bagi golongan tertentu semakin marak mendominasi kawasan disekitar alun-alun kota Malang. Sebagai penunjangnya diadakan perbaikan dan pembangunan sarana dan prasarana transportasi seperti jalan raya, angkutan umum, halte, serta jembatan penyeberangan. Namun demikian, perkembangan kawasan sekitar alun-alun tidak diikuti dengan perkembangan dan perbaikan kawasan alun-alun yang sejak awal berfungsi sebagai ruang terbuka yang melayani kawasan sekitarnya. Bahkan tata nilai kapitalisme yang diusung pada masa ini telah menyebabkan dibangunnya pom bensin pada area alun-alun Malang. Keputusan pembangunan pom bensin pada kawasan pusat kota tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan keuntungan. Keberadaan pom bensin pada kawasan alun-alun yang pada masa pra kolonial dianggap sakral merupakan bukti pergeseran nilai makna alun-alun pada masa orde baru. Pada masa ini, pusat-pusat perbelanjaan di kawasan pusat kota alun-alun merupakan tempat rekreasi favorit bagi sebagian masyarakat Malang terutama golongan ekonomi menengah keatas. Disamping itu, pembangunan sarana prasarana transportasi yang mempermudah pencapaian semakin menambah nilai kawasan ini dan menjadikannya pusat aktifitas ekonomi masyarakat Malang. Fenomena ini antara lain dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi global sejak awal abad ke 21. Kemajuan teknologi tersebut memungkinkan segala informasi dan budaya global masuk dengan mudah sehingga membawa dampak terhadap perubahan gaya hidup masyarakat yang menjadi semakin konsumtif dan menyukai kegiatan rekreatif di pusat perbelanjaan. Pada masa orde baru, sementara pusat perbelanjaan di kawasan sekitar alun-alun berfungsi sebagai sarana rekreatif bagi masyarakat ekonomi kelas atas, masyararakat ekonomi bawah tidak memiliki kemampuan finansial untuk berbelanja dan memanfaatkan pusat perbelanjaan yang dibangun. Pemusatan aktivitas rekreasi masyarakat pada kawasan sekitar alun-alun dimanfaatkan sebagian masyarakat utamanya kelas ekonomi bawah untuk membuka usaha sebagai pedagang kaki lima pada area sirkulasi dan ruang terbuka alun-alun. Menjamurnya pedagang kaki lima pada area ini ditambah lagi kondisinya yang tidak terawat menimbulkan kesan kumuh yang membuat ruang terbuka ini semakin tidak nyaman untuk dikunjungi sebagai sarana rekreasi. Kondisi ini mengakibatkan citra alun-alun menurun dan seolah [18]
Sari, Astri Anindya/e-Jurnal Eco-Teknologi UWIKA (eJETU). ISSN: 2301-850X. Vol. I, Issue 1, Juli 2013 pp. 13-21
hanya menjadi segmen bagi kaum gelandangan, pedagang kaki lima, bahkan penjaja seks komersial [1]. Ulasan diatas memperlihatkan transformasi yang terjadi pada kawasan alun-alun kota Malang pada periode orde baru, setelah kemerdekaan. Tata nilai kapitalisme yang dianut oleh institusi orde baru sebagai agen transformasi utama telah memicu adanya pergeseran nilai atas kawasan alun-alun. Pada masa ini, dibandingkan unsur kesejarahan, keputusan dan kebijakan yang diambil lebih didasarkan pada pertimbangan keuntungan finansial dan penguasaan modal. Di lain pihak, gaya hidup, preferensi dan kebutuhan masyarakat akan aktivitas sosialisasi dan rekreasi juga telah mengalami perubahan akibat informasi dan budaya global yang masuk dengan pesat pada masa ini. Intervensi fisik yang dilakukan oleh institusi sebagai agen transformasi utama, dan masyarakat sebagai pengguna ruang publik pada kawasan alun-alun Malang telah berkontribusi pada citra baru yang muncul di kawasan ini di masa orde baru
Gambar 6. Sistem spasial dan teritorial kawasan Alun-alun Malang pada masa orde baru Sumber: olahan peneliti dari peta dasar google (2011)
Perkembangan pesat kawasan sekitar alun-alun kearah ekonomi telah membuat ruang terbuka ini terbebani oleh perkembangan kawasan sekitarnya yang begitu pesat. Dari perkembangan fisik, fungsi dan aktivitas yang terjadi pada kawasan ini disimpulkan bahwa pada masa orde baru telah terbentuk suatu pemisahan horisontal yang memisahkan teritori alun-alun dan kawasan sekitarnya. Kawasan pusat perbelanjaan sekitar alun-alun merupakan sarana rekreasi dan teritori bagi masyarakat ekonomi kelas atas sementara area alun-alun seolah menjadi teritori bagi masyarakat kelas menengah bawah. Alun-alun pada masa reformasi, kembali sebagai ruang publik yang tak tersegmentasi Berakhirnya masa pemerintahan orde baru pada tahun 1998 digantikan oleh orde reformasi praktis berpengaruh pula pada kondisidan citra kawasan alun-alun Malang. Melihat kondisi fisik dan citra alunalun yang mengalami degradasi pada masa orde baru, institusi reformasi bertujuan untuk menertibkan aktivitas pedagang kaki lima dan mengembalikan fungsi alun-alun sebagai sarana sosialisasi dan rekreasi yang nyaman bagi masyarakat. Tujuan ini salah satunya dicapai melalui penataan kembali serta perbaikan fisik dan sarana pada alun-alun Malang. Konsep yang dipilih untuk penataan kembali adalah konsep taman kota. Konsep taman kota pertama kali diperkenalkan oleh Belanda pada masa penjajahannya di Indonesia. Konsep ruang terbuka yang dilengkapi berbagai tanaman hias serta penambahan unsur air sebagai elemen estetis merupakan konsep ruang rekreasi yang berkembang di Eropa pada masa Garden city [5]. Dengan dipilihnya konsep taman kota berarti telah terjadi perubahan preferensi masyarakat Indonesia tentang ruang terbuka publik yang telah dikenalnya sejak masa prakolonial. Perubahan preferensi akan desain alun-alun ini dipengaruhi oleh perkembangan informasi dan masuknya budaya global ke Indonesia. Apabila dahulu alun-alun hanyalah tanah lapang tanpa pembatas dan sirkulasi, kini wajah alunalun dilengkapi dengan elemen air mancur, dan jenis vegetasi penghias serta rumput penutup tanah yang dirancang sedemikian rupa sehingga menimbulkan unsur estetis. Bangku-bangku taman diletakkan sedemikian rupa disekeliling pohon peneduh sebagai tempat duduk bagi masyarakat yang ingin menikmati suasana di ruang terbuka itu. Satu-satunya unsur dari alun-alun yang dipertahankan hanyalah keberadaan pohon beringin yang sejak masa lampau lekat dengan citra alun-alun. Perubahan konsep yang melatari desain alun-alun pada masa reformasi telah menyebabkan terjadinya transformasi teritorial pada ruang terbuka alun-alun Malang. Sejak masa dibangunnya alunalun merupakan ruang terbuka publik yang berupa tanah lapang tanpa adanya sirkulasi dan pembatas sehingga kesan yang muncul adalah bahwa ruang ini merupakan satu teritori ruang publik yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas bersama. Penambahan elemen-elemen penunjang taman kota seperti [19]
Hak Cipta oleh eJETU © 2013. Open Access at http://www.jurnal.widyakartika.ac.id/index.php/ejetu
sirkulasi, dan vegetasi telah membentuk ruang-ruang teritori pada alun-alun sesuai fungsi peruntukannya seperti area parkir, area berjualan, area duduk, dan piknik. Disekeliling alun-alun kini bahkan telah diberikan elemen pagar pembatas. Keberadaan pagar ini kerapkali diperdebatkan karena dinilai mengurangi citra ruang publik tak tersegmentasi yang disandang oleh alun-alun sejak awal dibangunnya. Namun, sebenarnya penambahan elemen pagar dilakukan untuk membatatasi aktivitas pedagang kaki lima yang dikhawatirkan akan kembali menimbulkan kesan kumuh yang mengurangi kenyamanan aktivitas di alun-alun.
Gambar 7. Penerapan konsep taman kota pada alun-alun Malang mampu mengembalikan fungsinya sebagai sarana rekreasi yang tak tersegmentasi Sumber : olahan peneliti dari peta dasar google (2011)
Penggunaan konsep taman kota pada alun-alun Malang mau tak mau telah merubah ruang terbuka ini secara fisik maupun non fisik. Alun-alun tradisional yang hanya polos tanpa elemen estetis dan sirkulasi pada masa lalu dianggap lebih fleksibel untuk berbagai kegiatan seperti upacara keagamaan, pemerintahan, dan lainnya. Tetapi seiring waktu dan perkembangan teknologi yang memungkinkan transfer budaya dan pengetahuan mempengaruhi pula tata nilai, kebutuhan, dan preferensi masyarakat akan sebuah ruang terbuka di tengah kota. Apabila pada masa pra kolonial alun-alun lebih didominasi untuk fungsi administrasi dan keagamaan, maka kini ruang terbuka ini dibutuhkan sebagai ruang yang mampu melayani kawasan sekitarnya yang berkembang semakin pesat kearah perdagangan dan jasa. Penggunaan konsep taman kota pada alun-alun dinilai mampu mengimbagi perkembangan kawasan sekitarnya di era modern ini sekaligus mampu memenuhi kebutuhan akan ruang rekreasi masyarakat yang tak tersegmentasi serta sebagai salah satu ruang hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota.
Kesimpulan Alun-alun Malang semenjak dibangunnya pada tahun 1882 hingga saat ini telah melewati beberapa periode pemerintahan diantaranya masa kolonialisme Belanda, era orde baru, dan era reformasi. Institusi pemerintahan merupakan pemegang kontrol dan agen utama bagi transformasi sebuah ruang publik termasuk kawasan alun-alun Malang, karenanya tata nilai berbeda yang dianut oleh setiap institusi akan mempengaruhi bentuk transformasi yang terjadi. Dari beberapa periode transformasi yang terjadi pada alun-alun Malang diketahui bahwa unsur fisik dan spasial merupakan bentuk yang paling mudah berubah karena dapat diintervensi secara langsung oleh institusi sebagai pemegang kontrol atas ruang publik. Namun, unsur non fisik yakni budaya dan aktivitas masyarakat sebagai pengguna ruang terbuka ini merupakan hal yang tak dapat diintervensi secara langsung sehingga tidak dapat dengan mudah mengalami perubahan. Ini sesuai dengan teori Rapoport [10] yang menyatakan bahwa unsur fisik cenderung lebih mudah bertransformasi, dan yang bersifat keyakinan dan kebiasaan akan cenderung bertahan. Citra ruang publik terbentuk dari kombinasi unsur fisik dan non fisiknya. Tata nilai institusi sebagai agen kontrol dalam ruang publik dapat dengan mudah mengintervensi perubahan pada bentuk fisik ruang publik, namun budaya dari masyarakat sebagai pengguna ruang publik akan turut menentukan citra yang akan terbentuk. Pada kasus alun-alun Malang di masa kolonial, kegagalan pencitraan kekuasaan yang ingin dibentuk Belanda pada ruang terbuka ini tidak selaras dengan budaya dan kebiasaan masyarakat pribumi sebgai pengguna alun-alun sehingga upaya pencitraan tersebut mengalami kegagalan. [20]
Sari, Astri Anindya/e-Jurnal Eco-Teknologi UWIKA (eJETU). ISSN: 2301-850X. Vol. I, Issue 1, Juli 2013 pp. 13-21
Transformasi alun-alun Malang saat ini kerap kali dinilai negatif karena kehilangan unsur kesejarahannya. Namun dari sisi fungsional, transformasi yang terjadi justru merupakan usaha untuk mengikuti perkembangan kebutuhan dan preferensi masyarakat saat ini, sehingga alun-alun Malang tetap dapat memenuhi persyaratan ruang publik yang baik yakni meaningful, responsive, dan democratic [2].
Daftar Pustaka [1]. Basundoro, P. (2009) Dua Kota Tiga Zaman, Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak [2]. Carr, F & Rivlin, S. (1992), Public Space, Australia:Cambridge University press [3]. Habraken, N. J. (1998) The Structure of The Ordinary, Form and Control in The Built Environment, Cambridge:MIT Press [4]. Handinoto (1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra [5]. Kunto, H. (1986), Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia [6]. Manik, I. W. Y (2007) Pengaruh Demografi, Gaya Hidup, dan Aktivitas Terhadap Transformasi TipoMorfologi Hunian di Desa Bayung Gede Bali, Tesis Arsitektur, ITB: tidak diterbitkan [7]. Moerdjoko. (2005) Alun-Alun Ruang Publik Bersejarah dan Konservasi, Jakarta:Univ Trisakti [8]. Rahajeng, D., Antariksa., Usman, F. (2009). Pelestarian Alun-Alun Kota Malang. Arsitektur e-journal, Vol.3 No.2 November 2009, Malang: Univ Brawijaya [9]. Rapoport, A. (2001), Theory, Culture, and Housing, Journal of Housing Theory and Society, 17:4, pp. 145-165 [10]. Rapoport, A. (1983), Development, Culture Change, and Supportive Design, Habitat International, 7 (5/6), pp. 249-268
[21]