114
VI. KONSENTRASI SPASIAL DAN PENGHEMATAN AKIBAT AGLOMERASI 6.1. Konsentrasi Spasial
Menurut Fujita et al. (1999) konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas ekonomi yang secara spasial berlokasi pada suatu wilayah tertentu. Aiginger and Hansberg (2003) menyatakan bahwa konsentrasi spasial dapat didefinisikan sebagai pangsa output regional yang menunjukkaan distribusi lokasional dari suatu industri. Komposisi dan besaran produk domestik regional bruto (PDRB) sektor agroindustri berdasarkan sebaran sektor dan kabupaten/ kota tahun 2000 dan 2005 dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21. Berdasarkan lampiran tersebut, urutan besarnya PDRB Provinsi Lampung adalah industri gula sebesar Rp 992 872 juta atau 20.86%, industri pengolahan ikan dan udang sebesar Rp 646 442 juta atau 14.39%, industri tapioka dan tepung lain sebesar Rp 627 400 juta atau 13.18%, industri makanan lainnya Rp 465 961 juta atau 9.79%, industri pengolahan karet Rp 378 668 juta atau 7.96%, industri pakan ternak Rp 312 024 juta atau 6.55%, industri kopi Rp 285 965 juta atau 6.00%, industri padi Rp 262 152 juta atau 5.50%, industri buah dan sayur Rp 256 626 juta atau 5.39%, industri minyak/lemak Rp 124 188 juta atau 2.60%, industri kopra/kelapa Rp 97 094 juta atau 2.04%, dan industri minuman Rp 43 266 juta atau 0.90%. Besaran PDRB per sektor agroindustri dari urutan pertama hingga urutan dua belas di Provinsi Lampung menunjukkan ketidakseimbangan kontribusi antara beberapa agroindustri tersebut. Apabila ditinjau dari kontribusi kabupaten/kota terhadap PDRB sektor agroindustri di Provinsi Lampung, kabupaten yang memberikan kontribusi output terbesar pada tahun 2005 adalah Kabupaten Tulang Bawang sebesar Rp 1 207 738 juta atau 26.88%, diikuti Kabupaten Lampung Tengah Rp 870 839 juta
atau
115 19.38%, dan Kota Bandar Lampung Rp 836 951 juta atau 18.63%. Ketiga kabupaten/kota tersebut merupakan sentra produksi utama agroindustri di Provinsi Lampung (lihat Lampiran 20, 21, 22 dan 23). Kontribusi kabupaten/kota lainnya dalam PDRB sektor agroindustri Provonsi Lampung adalah Kabupaten Lampung Selatan sebesar Rp 571 285 juta atau 12.72%, Kabupaten Lampung Utara Rp 414 662 juta atau 9.23%, Kabupaten Lampung Timur Rp 264 840 juta atau 5.89%, Kabupaten Tanggamus Rp 202 177 juta atau 4.50%, Kabupaten Way Kanan Rp 77 971 juta atau 1.74%, Kabupaten Lampung Barat Rp 29 621 juta atau 0.66%, dan Kota Metro Rp 16 572 juta atau 0.37%. Besaran PDRB Sektor Agroindustri per kabupaten/ kota
di Provinsi Lampung
menunjukkan ketidakmerataan kontribusi antara beberapa kabupaten/kota. Indeks Gini Lokasional (gEG) merupakan tingkat spesialisasi suatu sektor dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah. Nilai Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung atau indeks ketidakmerataan lokasi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Indeks Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung No.
Sektor Agroindustri
2000 gEG
Klasifikasi
2005 gEG
1
Industri Buah dan Sayur
0.2712
Terkonsentrasi
0.2739
2
Industri Ikan, Daging & Udang
0.1469
Terkonsentrasi
0.2511
3
Industri Tapioka & Tepung Lain
0.2702
Terkonsentrasi
0.2738
4
Industri Kopra/ Kelapa
0.0249
Menyebar
0.0252
5
Industri Minyak/ Lemak
0.0158
Menyebar
0.0156
6
Industri Padi
0.1351
Terkonsentrasi
0.1364
7
Industri Gula
0.4517
Terkonsentrasi
0.4181
8
Industri Kopi
0.0695
Menyebar
0.0695
9
Industri Pakan Ternak
0.1039
Terkonsentrasi
0.1004
10
Industri Makanan Lainnya
0.6143
Terkonsentrasi
0.6295
11
Industri Minuman
0.0215
Menyebar
0.0218
12
Industri Pengolahan Karet
0.0629
Menyebar
0.0974
Klasifikasi Terkonsentrasi Terkonsentrasi Terkonsentrasi Menyebar Menyebar Terkonsentrasi Terkonsentrasi Menyebar Terkonsentrasi Terkonsentrasi Menyebar Menyebar
116 Pada Tabel 18, terlihat bahwa sebagian besar sektor agroindustri
di Provinsi
Lampung pada tahun 2005 terkonsentrasi secara spasial. Nilai Gini Lokasional sektor agroindustri terbesar adalah industri makanan lainnya sebesar 0.6295, diikuti industri gula sebesar 0.4181, industri buah sayur sebesar 0.2739, industri tapioka dan tepung lain sebesar 0.2738, serta industri ikan, daging dan udang sebesar 0.2511. Hasil nilai Gini Lokasional menunjukkan ketidakmerataan lokasi agroindustri di Provinsi Lampung. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) menunjukkan perbedaan struktur industri pada suatu wilayah dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun seluruh wilayah, yang akan mempengaruhi daya saing wilayah yang menjadi standar. Hasil penilaian menunjukkan tingkat spealisasi wilayah yang dianalisis. Indeks Spesialisasi Krugman pada tahun 2000 dan 2005 disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung No.
Sektor Agroindustri
2000 Kspec
Klasifikasi
2005 Kspec
Klasifikasi
1
Industri Buah dan Sayur
1.041829
Terspesialisasi
1.004104
Terspesialisasi
2
Industri Ikan, Daging & Udang
1.164160
Terspesialisasi
1.507187
Terspesialisas
3
Industri Tapioka & Tepung Lain
1.375592
Terspesialisasi
1.390984
Terspesialisas
4
Industri Kopra/ Kelapa
0.355566
0.353130
5
Industri Minyak/ Lemak
0.327284
6
Industri Padi
0.681447
7
Industri Gula
2.111491
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Terspesialisasi
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Terspesialisasi
8
Industri Kopi
0.774254
9
Industri Pakan Ternak
0.835137
10
Industri Makanan Lainnya
1.752682
11
Industri Minuman
0.301427
12
Industri Pengolahan Karet
0.718105
0.312591 0.689609 2.034469
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Terspesialisasi
0.766481
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi
0.299717
0.786864 1.688222
0.828129
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Terspesialisasi Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi
117 Hasil analisis menunjukkan bahwa industri gula mempunyai nilai Indeks Spesialisasi Krugman terbesar, yang berarti bahwa Provinsi Lampung mempunyai tingkat spesialisasi yang tinggi pada industri gula. Urutan selanjutnya terhadap nilai Indeks Spesialisasi Krugman adalah industri makanan lainnya, industri pengolahan ikan dan udang, industri tapioka dan tepung lain, serta industri buah dan sayur. Menurut Marshal (1920) dalam McCann (1991), ketersediaan tenaga kerja spesialis akan menguntungkan perusahaan yang terspesialisasi di wilayah tersebut. Sedangkan Porter (1990) menyatakan bahwa tenaga kerja yang terspesialisasi merupakan bagian dan faktor determinan dalam keunggulan ekonomi suatu wilayah. Adanya tenaga kerja yang terspesialisasi akan mendorong perusahaan yang terspesialisasi untuk terkonsentrasi pada wilayah tersebut (Lafourcade and Mion, 2003). Graham (2007) melihat perlunya penggunaan kedekatan lokasi (co-location) untuk mengidentifikasi industri yang teraglomerasi dan berklaster. Oleh karena itu, klaster agroindustri yang berbasis bahan baku layak dikembangkan di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang karena Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang merupakan wilayah yang lokasinya berdekatan. Industri berorientasi ekspor-impor cocok untuk dikembangkan di Kota Bandar Lampung karena kedekatannya dengan pelabuhan ekspor-impor. Pada sisi lain, konsentrasi spasial pada agroindustri di Kota Bandar Lampung terjadi akibat adanya aglomerasi yang disebabkan oleh upaya mengurangi biaya transportasi. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Krugman (1991) yang menyatakan bahwa
aglomerasi yang disebabkan oleh upaya mengurangi biaya
transportasi berlokasi di sekitar local demand yang besar serta upaya memperoleh akses pasar yang luas. Industri-industri yang mengalami konsentrasi spasial tersebut adalah industri pengolahan kopi, industri minyak/ lemak, dan industri minuman. Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung yang cukup banyak merupakan pasar yang
118 potensial bagi output industri tersebut. Selain itu, pelabuhan Panjang di Kota Bandar Lampung mempermudah akses menuju pasar ekspor-impor bagi industri pakan ternak, pengolahan karet, dan industri-industri lain. 6.2. Kekuatan Aglomerasi
Ellison and Glaeser (1997) mengemukakan peranan knowledge spillover dan eksternalitas yang disebabkan oleh natural advantages dalam mendorong terjadinya konsentrasi spasial sebagai kekuatan aglomerasi. Kontribusi natural advantages berdasarkan factor endowment secara simultan mempengaruhi dan mendorong skala ekonomi internal perusahaan. Ellison and Glaeser (1997) membuat suatu indeks ( γ EG ) dengan standard pengukuran sebagai berikut : di bawah 0.02 menunjukkan dispersi, sedangkan di atas 0.05 menunjukkan terjadinya aglomerasi, di mana keduaduanya disebabkan oleh pengaruh natural advantage dan knowledge spillover. Tabel 20. Indeks Ellison-Glaeser Sektor Agroindustri Provinsi Lampung No.
Sektor Agroindustri
γ EG
2000 Klasifikasi
γ EG
2005 Klasifikasi
1
Industri Buah dan Sayur
0.244708
Aglomerasi
Peringkat 3
2
Industri Ikan, Daging & Udang
0.132928
Aglomerasi
5
0.22424705
Aglomerasi
5
3
Industri Tapioka & Tepung Lain
0.230377
Aglomerasi
4
0.23278537
Aglomerasi
4
4
Industri Kopra/ Kelapa
0.021578
Dispersi
0.02190139
Dispersi
5
Industri Minyak/ Lemak
0.013836
Dispersi
0.01356651
Dispersi
6
Industri Padi
0.116101
Aglomerasi
6
0.11748674
Aglomerasi
6
7
Industri Gula
0.424831
Aglomerasi
2
0.39360045
Aglomerasi
2
8
Industri Kopi
0.059059
Aglomerasi
8
0.05894218
Aglomeras
9
9
Industri Pakan Ternak
0.093962
Aglomerasi
7
0.09033555
Aglomerasi
7
10
Industri Makanan Lainnya
0.547666
Aglomerasi
1
0.56691352
Aglomerasi
1
11
Industri Minuman
0.018969
Dispersi
0.01927654
Dispersi
12
Industri Pengolahan Karet
0.050537
Aglomerasi
0.082884
Aglomerasi
9
0.24741368
Aglomerasi
Peringkat 3
8
119 Berdasarkan Tabel 20, nilai Indeks Ellison-Glaeser ( γ EG ) atau terbesar pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung tahun 2005 adalah industri makanan lainnya, diikuti industri gula, industri buah sayur, industri tapioka dan tepung lain, industri ikan, daging, dan udang, industri padi, industri pakan ternak, industri karet, dan industri kopi. Sektor agroindustri yang mempunyai nilai indeks Ellison-Glaeser ( γ EG ) di atas 0.05 dinyatakan beraglomerasi. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan indeks Ellison-Glaeser pada tahun 2000, namun pada tahun 2005 industri kopi yang menempati peringkat 8 pada tahun 2000 turun menjadi peringkat 9 (terendah) pada tahun 2005. Industri makanan lainnya mempunyai nilai indeks Ellison-Glaeser sebesar 0.5669. Nilai indeks Ellison-Glaeser pada industri makanan lainnya tersebut merupakan indeks terbesar di antara sektor agroindustri di Provinsi Lampung pada tahun 2005. Industri makanan lainya terkonsentrasi pada kota Metro. Besarnya nilai indeks tersebut menjelaskan terjadinya MAR (Marshall-Arrow-Romer) eksternalitas (knowledge spillover) dan eksternalitas yang disebabkan oleh natural advantage. Faktor natural advantage berkaitan dengan potensi kawasan budidaya yang dimanfaatkan untuk budidaya pertanian sebagai bahan baku agroindustri. Berdasarkan RTRW Provinsi Lampung Tahun 2006, 70% dari luas wilayah Provinsi Lampung yaitu sebesar 3 301 545 ha dimanfaatkan untuk kawasan budidaya. Mayoritas penggunaan budidaya digunakan untuk budidaya pertanian lahan kering dan lahan basah sesuai dengan kesesuaian lahannya. Nilai indeks Ellison-Glaeser ( γ EG ) untuk industri kopra dan kelapa sebesar 0.02190139, industri minyak lemak sebesar 0.0135665, dan industri minuman sebesar 0.01927654. Ketiga sektor tersebut memiliki nilai indeks Ellison-Glaeser dibawah 0.02 yang menunjukkan adanya dispersi (penyebaran) atau tidak adanya aglomerasi. Pada ketiga sektor agroindustri tersebut juga tidak ditemukan peranan
120 eksternalitas knowledge spillover dan peranan eksternalitas yang disebabkan oleh natural advantage. Dinamika nilai indeks Ellison-Glaeser ( γ EG ) tahun 2000 dan tahun 2005 dipengaruhi pula oleh dinamika pada nilai Indeks Gini Lokasional
(gEG) dan
indeks kekuatan aglomerasi (GEG). Terjadi penurunan gEG pada industri minyak/lemak pada tahun 2000 sebesar 0.0158 menjadi sebesar 0.0156 pada tahun 2005. Penurunan gEG menunjukkan bahwa keanekaragaman karakteristik antar wilayah pada industri minyak/lemak semakin berkurang. Penurunan gEG pada industri minyak/lemak menunjukkan penurunan eksternalitas yang disertai dengan penurunan kekuatan aglomerasi (terlihat dari penurunan gEG dari 0.015913 pada tahun 2000 menjadi 0.015645 pada tahun 2005). Penurunan nilai gEG terjadi pula pada industri kopra/ kelapa dan industri minuman. Pada industri buah dan sayur di Provinsi Lampung terjadi peningkatan gEG dari 0,2712 pada tahun 2000 menjadi 0,2739 pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan peningkatan perbedaan kerakteristik dan spesialisasi antar wilayah sektor tersebut. Hal ini diikuti oleh peningkatan kekuatan aglomerasi
tersebut (peningkatan kekuatan
aglomerasi terlihat dari kenaikan GEG dari 0.27231 tahun 2000 menjadi 0.27485 pada tahun 2005). Kenaikan dorongan aglomerasi disebabkan oleh peningkatan eksternalitas yang disebabkan knowledge spillover natural advantage (diperlihatkan oleh kenaikan γ EG dari sebesar 0.244708 pada tahun 2000 menjadi 0.247413 pada tahun 2005). Industri buah dan sayur di Provinsi Lampung mengalami peningkatan gEG dari 0,2712 pada tahun 2000 menjadi 0,2739 pada tahun 2005 menujukkan peningkatan perbedaan kerakteristik dan spesialisasi antar wilayah subsektor tersebut. Hal ini diikuti oleh peningkatan kekuatan aglomerasi
tersebut (peningkatan kekuatan
aglomerasi terlihat dari kenaikan GEG dari 0.27231 tahun 2000 menjadi 0.27485 pada
121 tahun 2005. Kenaikan dorongan aglomerasi disebabkan oleh peningkatan eksternalitas yang disebabkan knowledge spillover natural advantage (diperlihatkan oleh kenaikan
γ EG dari sebesar 0.244708 pada tahun 2000 menjadi 0.2474137 pada tahun 2005). Industri ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lainnya, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri pengolahan karet, dalam kurun waktu tahun 2000 ke 2005 mengalami peningkatan gEG. Peningkatan gEG ini menunjukkan peningkatan perbedaan kerakteristik dan spesialisasi antar wilayah sektor tersebut. Menurut Ellison and Glaeser (1999), jumlah penduduk sebagai pasar yang potensial dan
pelabuhan laut yang mendukung industri merupakan natural
advantages wilayah yang berperan penting dalam proses aglomerasi. Fujita and Mori (1996) menyatakan bahwa adanya pelabuhan laut memperbesar skala kota dan meningkatkan ektemalitas positif dari konsentrasi spasial. Pendapat ini didukung oleh Porter (1990) yang menyatakan bahwa demand condition dan factor condition (termasuk di dalamnya akses transportasi dan infrastruktur) merupakan determinan keunggulan industri suatu wilayah. Provinsi Lampung memiliki enam pelabuhan laut, meliputi satu pelabuhan umum yang diusahakan dan lima pelabuhan yang tidak diusahakan, serta satu pelabuhan khusus yang dikelola oleh agroindustri udang PT Dipasena Citra Darmaja di Pantai Timur Provinsi Lampung. Pelabuhan laut yang diusahakan di Provinsi Lampung adalah Pelabuhan Panjang yang dikelola oleh PT (Persero) PELINDO II Cabang Panjang. Kelima pelabuhan yang tidak diusahakan adalah Kota Agung, Teluk Betung, Labuhan Maringgai, Menggala, dan Mesuji. Penghematan urbanisasi terjadi ketika efisiensi perusahaan meningkat akibat meningkatnya produksi dan efisiensi seluruh perusahaan dalam wilayah yang sama. Penghematan karena berlokasi di wilayah yang sama ini terjadi akibat skala
122 perekonomian kota dan wilayah yang besar serta beranekaragam, dan bukan akibat skala suatu jenis industri. Penghematan urbanisasi memunculkan fenomena yang disebut dengan aglomerasi perkotaan yang menyebabkan terjadinya perluasan wilayah metropolitan (extended metropolitan regions) dan mendorong industrialisasi pada suatu wilayah (Kuncoro, 2000). Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah tenaga kerja pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung, yaitu sebesar 37 042 pekerja pada tahun 2000 menjadi 61 522 pekerja pada tahun 2005. Peningkatan jumlah tenaga kerja pada sektor agroindustri tersebut didorong oleh perkembangan industri di Provinsi Lampung akibat penghematan urbanisasi. Berdasarkan Rencana Tata Ruang nasional (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008), kawasan perkotaan Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan nasional (PKN). PKN merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional dan beberapa provinsi atau pelayanan primer (Departemen Pekerjaan Umum, 2008). Sedangkan kota-kota lain di Provinsi Lampung yaitu Metro, Kalianda, Liwa, Menggala, Kotabumi dan Kotaagung merupakan pusat kegiatan wilayah atau pelayanan sekunder yang melayani kegiatan provinsi atau kabupaten/kota (Bappeda Provinsi Lampung, 2006). Konfigurasi sistem perkotaan yang berpengaruh pada aglomerasi secara spasial dapat dilihat pada Lampiran 24. Klaster adalah konsentrasi spasial dari industri-industri yang sama atau sejenis. Penetapan klaster tersebut didasarkan pada Indeks Spesialisasi Krugman, Indeks Ellison-Gleaser, dan pemetaan agroindustri. Pemetaan agroindustri dilakukan untuk mengelompokkan sektor agroindustri berdasarkan kedekatan lokasi dalam kabupaten atau kabupaten yang berdekatan (lihat Gambar 7). Berdasarkan kriteriakriteria tersebut, pengelompokkan sektor agroindustri yang berklaster dan yang tidak berklaster dapat dilihat pada Tabel 21.
123
, KHom ......
L egend..
- - - - e .. u•• K"bup .. te nIKo'a
- - - - -'al"" - - - - S,mga; •
Makanan dan Minum.n
I:8l
Nan ......n Taplo"""
•
Sen" .. 'ndY.,,' K.. ,ajinan
•
Sen" .. Industrl Pangan
* •
... Gut.
* K",.., . . Tapioka
•
Ke'ap"
•
Ke 'ap" S ...... ,
Tam.,.,,, U"ang Sen". lockutr, Kim; .. dan 8anoo"""
KJu s 'er Agrolndu," Iri
-
-
-
1I,
-
'fldus ' .; Peng.o'BhB" Kopi
-
,,,
-
,,,
- - - In
Gambar 7. Pemetaan Klaster Agroindustri Provinsi Lampung
124 Tabel 21. Penetapan Klaster Agroindustri di Provinsi Lampung Agroindustri
Indeks Spesialisasi Krugman 2005
Indeks Ellison Gleaser 2005
Industri Buah dan Sayur
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada klaster di Kab. LampungTengah & Tulang Bawang
Klaster
Industri Ikan, Daging & Udang
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada klaster di Kab. Tulang Bawang
Klaster
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada klaster di Kab Lampung Tengah dan Tulang Bawang
Klaster
Industri Kopra/ Kelapa
Kurang terspesialisasi
Dispersi
Tidak ada klaster
Tidak Berklaster
Industri Minyak/ Lemak
Kurang terspesialisasi
Dispersi
Tidak ada klaster
Tidak Berklaster
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Kab Lampung Tengah & Tanggamus
Klaster
Industri Padi
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada klaster di Kab. Lampung Tengah & Tulang Bawang
Klaster
Industri Kopi
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Kota Bandar Lampung
Klaster
Industri Pakan Ternak
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Kota Bandar Lampung
Klaster
Industri Makanan Lainnya
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Kota Metro
Klaster
Kurang terspesialisasi
Dispersi
Tidak Ada klaster
Tidak Berklaster
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Bandar Lampung dan Lampung Selatan
Klaster
Industri Tapioka & Tepung Lain
Industri Gula
Industri Minuman Industri Pengolahan Karet
Pemetaan Agroindustri
Penetapan Klaster
Sektor agroindustri yang berklaster adalah adalah industri makanan lainnya, industri gula, industri buah sayur, industri tapioka dan tepung lain, industri ikan, daging, dan udang, industri padi, industri pakan ternak, industri karet, dan industri kopi. Sektor agroindustri yang tidak berklaster adalah industri kopra dan kelapa, industri minyak/lemak, dan industri minuman.
125 6.3. Sumber-sumber Aglomerasi
Menurut MacCann (1991) terdapat tiga sumber-sumber aglomerasi, yaitu spillovers informasi, input lokal tidak diperdagangkan, dan sumber tenaga kerja lokal terlatih. Spillovers informasi pemilik perusahaan relatif mudah dalam mengakses tenaga kerja dari perusahaan lokal lainnya. Tenaga kerja yang berkumpul pada lokasi yang sama memudahkan rembesan (spillovers) informasi melalui kontak langsung atau tidak langsung. Input lokal tidak diperdagangkan seperti infrastruktur tersebut, menyebabkan perusahaan lebih efisien dibandingkan apabila perusahaan terdispersi / menyebar. Ketersediaan tenaga kerja terlatih pada lokasi tersebut relatif lebih banyak dari pada tenaga kerja yang terdispersi. Dalam analisis sumber-sumber aglomerasi pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung, spillovers informasi didekati dengan afiliasi perusahaan pada kelompok yang dapat mempercepat kwoledge spillovers, input lokal yang tidak diperdagangkan dilihat dari infrastruktur yang mendukung pengembangan agroindustri, dan tenaga terlatih yang didekati dari tingkat pendidikan pekerja. Salah satu infrastruktur penting yang mendukung pengembangan agroindustri adalah jalan. Jaringan prasarana jalan di Provinsi Lampung terdiri dari ruas-ruas jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Sumber-sumber aglomerasi sektor agroindustri di Provinsi Lampung disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan Tabel 22, terlihat bahwa pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung terdapat kelompok mayoritas pada setiap cabang agroindustri, adanya infrastruktur yang mendukung pengembangan agroindustri, serta mayoritas pekerja yang berpendidikan SMA. Adanya kelompok perusahaan akan memudahkan pekerja
untuk
mendapatkan
informasi
ketenagakerjaan
pada
perusahaan
kelompoknya. Infrastruktur yang mendukung merupakan salah satu input yang
126 tidak diperdagangkan. Rincian nama perusahaan agroindustri, produksi utama, jumlah tenaga kerja, dan alamatnya dapat dilihat pada Lampiran 25. Tabel 22. Sumber-sumber Aglomerasi Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung No
Agroindustri
Jumlah Perusahaan 3
1.
Industri buah dan sayur
2.
Industri ikan, daging dan udang
3
PT Central Proteinaprima Tbk
3.
Industri minyak dan lemak
3
4.
Industri padi
11
Tidak ada mayoritas, 1 perusahaan berada di lokasi bahan baku dan 2 lainnya tidak Asosiasi
5.
Industri kelapa/ kopra
3
Tidak ada
6.
Industri tapioka dan tepung lain
39
CV Bumi Waras dan Budi Acid Jaya
7.
Industri pengolahan kopi
6
Berafiliasi pada AEKI, salah satu grup adalah PT Aman Jaya Perdana
8.
Industri pengolahan makanan lainnya
35
9.
Industri gula
5
Berafiliasi pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sugar Group Company
Kelompok Mayoritas
Infrastruktur Pendukung
Sumberdaya Manusia
PT Great Giant Pineapple
Jalan lintas tengah Sumatera yang relatif terawat dan dipelihara oleh Negara Pantai timur Provinsi Lampung yang sudah dilengkapi pelabuhan ekspor
Tingkat pendidikan pekerja mayoritas adalah SMA (67.98 %), Tingkat pendidikan pekerja mayoritas adalah SMA (67.98 %), Mayoritas pekerja berpendidikan SD (60.69 %)
Infrastruktur yang mendukung kedua kelompok tersebut berbeda Terpeliharanya jaringan irigasi dan jalan pada sentra produksi padi Infrastruktur berbeda antar beberapa kabupaten/kota
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (42.67 %) Mayoritas pekerja berpendidikan SD (38.26 %)
Infrastruktur sentra produksi tapioka yang dibangun mulai dari zaman transmigrasi hingga sekarang Mayoritas pada kawasan industri di sekitar Pelabuhan Panjang dan infrastruktur perkotaan Infrastruktur perkotaan pada sentra industri
Mayoritas pekerja berpendidikan SD dan SMP
Jalan Lintas Tengah dan Timur Sumatera, dan infrastruktur perkebunan antar perusahaan yang baik
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (48 %) Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (34 %) Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (60 %)
127 Tabel 22. Lanjutan No
Agroindustri
Jumlah Perusahaan 6
10.
Industri pakan ternak
11.
Industri minuman
8
12.
Industri pengolahan karet
9
Kelompok Mayoritas PT Vista Grain
Salah satu industri PT Keong Nusantara Abadi, yang lainnya menyebar PTP Nusantara VII
Infrastruktur Pendukung
Sumberdaya Manusia
Perusahaan berada pada kawasan industri di sekitar Pelabuhan Panjang dan infrastruktur perkotaan Infrastruktur berbeda antar beberapa kabupaten/kota
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (31 %)
Infrastruktur jalan kebun, jalan antar kabupaten dan prasarana perkotaan
Mayoritas pekerja berpendidikan SD dan SMP masing-masing 45 % dan 25%
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (58 %)
Dalam kurun waktu tahun 1997 – 2005, tingkat pendidikan pekerja pada sektor agroindustri menunjukkan peningkatan. Tingkat pendidikan pekerja industri buah sayur pada tahun 2005 adalah SMA (67.98%), apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan derajat pendidikan untuk lulusan D3 dan sarjana (masing-masing menjadi sebesar 5%). Tingkat pendidikan pekerja industri buah sayur pada tahun 2005 adalah SMA (67.98 %), apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan derajat pendidikan untuk lulusan D3 dan sarjana (masingmasing menjadi sebesar 12% dan 9%). Sedangkan mayoritas pekerja pada industri tapioka adalah berpendidikan SD dan SMP masing-masing sebesar 25%, apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 6% dan 4% (lihat Lampiran 24). Pekerja pada industri kopi mayoritas berpendidikan SMA (48%), apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 5% dan 4% pada
128 tahun 2005. Pada industri pengolahan makanan, terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 3% dan 2%. Sedangkan pekerja pada industri gula terjadi peningkatan jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 11% dan 9%. Mayoritas pekerja pada industri pakan ternak adalah berpendidikan SMA (31%), apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 4.5% dan 3% pada tahun 2005. Pada industri minuman terjadi peningkatan jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 3.2% dan 2.5%. Pada industri pengolahan karet terjadi peningkatan pendidikan pada jumlah pekerja, tetapi yang meningkat adalah tingkat D3 dan sarjana, masingmasing menjadi 3% dan 2.4%. Selama tahun 1997 – 2005, tingkat pendidikan pekerja sektor agroindustri di Provinsi Lampung yang mengalami peningkatan adalah pada tingkat D3 dan sarjana dari mayoritas pekerja yang berpendidikan SMA. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya kualitas pekerja dalam kurun waktu tersebut. Tenaga berkualitas merupakan sumber tenaga kerja lokal terlatih yang merupakan salah satu sumber aglomerasi. Berdasarkan Tabel 22, disimpulkan bahwa sebagian besar agroindustri besar dan sedang yang beraglomerasi di Provinsi Lampung terdiri dari : 1. Agroindustri besar dan sedang, terutama industri buah dan sayur, industri ikan, daging, dan udang, industri tapioka dan tepung lain, dan mempunyai kelompok mayoritas atau merupakan bagian atau anak perusahaan dari group besar. 2. Agroindustri berada pada sentra produksi pada jalur jalan negara atau provinsi yang mempunyai akses ke kota pusat pelayanan atau ke pelabuhan ekspor. 3. Mayoritas pekerja berpendidikan setingkat SMA.
129 6.4. Produktivitas dan Penghematan Akibat Aglomerasi 6.4.1. Hasil Pengujian Statistik Model
Spesifikasi model yang dilakukan merupakan pengembangan dari model Somik (2004), Cohen (2005) dan Kanemoto (1996). Model tersebut mengikuti bentuk model yang menguji kontribusi faktor eksternal dalam suatu fungsi produksi sesuai model Moomaw (1983), Nakamura (1985) dan Henderson (1995). Model yang dipergunakan dalam analisis produktivitas dan penghematan akibat aglomerasi adalah : ^
Yi = g ( Ai ) X ( K i ) g ( Ai ) = f ( Loc, Urb)
(4.1)
^
X ( K i ) = f ( Kapital , Upah, Bahanbaku, Enegi) Di mana Yi adalah output pada subsektor agroindustri/ industri tertentu i, g(Ai) menunjukkan pengaruh eksternal dari sumber-sumber aglomerasi; dimana Loc merupakan ukuran penghematan akibat lokalisasi dan Urb merupakan ukuran ^
penghematan akibat urbanisasi. X ( K i ) merupakan input industri i, yang terdiri dari kapital, upah (labor), bahan baku (material) dan energi. Spesifikasi model dalam penelitian ini merupakan fungsi produksi cobbdouglas dalam bentuk linier logaritma yaitu :
LnYit = αˆ it + αˆ1 lnlocalit + αˆ 2 ln urbanit + βˆ1 ln capitalit + βˆ2 ln laborit +
(4.2)
βˆ3 ln materialit + βˆ4 ln energiit + ε it Dimana Yit merupakan output agroindustri/ industri tertentu i pada tahun ke t yang tergantung pada jenis penghematan akibat aglomerasi yang terdiri dari penghematan akibat lokalisasi (lokalt) dan penghematan akibat urbanisasi (urbant). Jenis input produksi terdiri dari kapital, upah, bahan baku, dan energi.
130 Hipotesis yang digunakan dengan menduga bahwa α 1 , α 2 , β 1 , β 2 , β 3 , β 4 adalah positif. Seluruh variabel memiliki efek positif terhadap output industri. Nilai koefisien tersebut merupakan elastisitas output kapital, elastisitas output labour, elastisitas output material, elastisitas output energi. Hasil regresi berdasarkan pengujian pendekatan model estimasi output sektor agroindustri di Provinsi Lampung secara umum menunjukkan pengaruh yang nyata (lihat Lampiran 27). Hasil tersebut dibuktikan antara lain: (1) nilai R-squared yang menunjukkan seluruh variabel bebas menerangkan variabel ln output berkisar antara 0.7 sampai dengan 0.97, (2) nilai F statistik menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya, dan (3) tidak ditemukan gangguan autokorelasi, multikolinearitas, dan heterokedastisitas pada semua data 12 sektor agroindustri yang dianalisis. Pengujian variabel secara parsial menggunakan uji t-statistik. Uji tersebut digunakan untuk menguji signifikansi parameter atau koefisien industri buah dan sayur, industri ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri kopra/kelapa, industri minyak/lemak, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, industri minuman, dan industri pengolahan karet.
Variabel bebas terdiri dari ln kapital, ln bahan baku, ln upah
tenaga kerja dan ln energi berpengaruh nyat terhadap ln output industri. Nilai uji thitung lebih besar dibandingkan t-tabel (untuk α sebesar 1.5 dan 10%) sehingga seluruh variabel tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ln output. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa output prooduksi sektor agroindustri di Provinsi Lampung secara signifikan dipengaruhi oleh fungsi produksi atau variabel faktor produksi dan fungsi eksternal atau variabel unsur eksternal. Hasil ini sejalan dengan penelitian Somik (2004) dan Cohen (2005) yang membuktikan adanya kontribusi faktor eksternal dalam suatu fungsi produksi.
131 6.4.2. Produktivitas Agroindustri di Provinsi Lampung
Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara input dengan output. Suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu. Dua aspek fungsi produksi yang bisa diukur adalah konsep return to scale dan marginal physical product (MPP). MPP adalah perubahan output sebagai akibat perubahan satu satuan input yang diperoleh melalui turunan pertama dan fungsi produksi Cobb-Douglass (CD). Pemahaman tentang MPP penting untuk mengetahui produktivitas masing-masing faktor input. Apabila nilai MPP untuk tiap-tiap input di atas dikaitkan dengan elastisitas inputnya, maka akan diperoleh keistimewaan dalam fungsi produksi CD. Elastisitas input adalah persentase perubahan output sebagai akibat persentase perubahan input. Tujuannya adalah untuk: (1) menjelaskan input mana yang lebih elastis dibandingkan dengan input lainnya, dan (2) mengetahui intensitas faktor produksinya, apakah bersifat padat kerja atau padat modal. Fungsi produksi menggambarkan hubungan input, ouput, dan waktu, dikenal dengan efisiensi menurut Hicks (Hicksian neutral technical progress) yang dinyatakan dalam bentuk logaritma natural (ln A). Nilai ini dapat disebabkan oleh kapital, labor, energi, bahan baku, penghematan akibat aglomerasi dan sebagainya. Dengan kata lain, efisiensi menurut Hicks, dapat menggambarkan tingginya penggunaan teknologi untuk mcnghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi. Koefisien produktivitas agroindustri di Provinsi Lampung berdasarkan pengujian model disajikan pada Tabel 23. Skala pengembalian (return to scale) agroindustri di Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005 berkisar antara 0.2827 (industri padi) dan 1.227 (industri pakan ternak). Rendahnya elastisitas pada industri padi menunjukkan bahwa terjadi fenomena berlakunya hukum diminishing marginal
132 productivity of energy, di mana penambahan terhadap energi justru akan menurunkan total produksi industri. Tabel 23. Koefisien Produksi pada Agroindustri di Provinsi Lampung Agroindustri
Elastisitas Output Kapital
Elastisitas Output Bahan Baku
Industri Buah dan Sayur
0.0264
Industri Ikan, Daging & Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa
Elastisitas Output Energi
Return to Scale (RTS)
0.5744
Elastisitas Output Upah Tenaga Kerja 0.2858
0.1293
1.0159
0.2866
0.7815
-0.024
-0.1489
0.895
0.0415
0.5903
0.2923
0.1275
1.0516
-0.0472
0.2911
0.3863
0.1044
0.7346
0.016
0.4112
0.0323
0.0922
0.5517
Industri Padi
-0.2296
0.614
0.0629
-0.165
0.2827
Industri Gula
0.2332
-1.4695
1.2841
1.0748
1.1226
Industri Kopi
-0.0178
0.3262
0.6219
0.0275
0.9578
Industri Pakan Ternak
0.0802
0.5267
0.57
0.0501
1.227
Industri Makanan Lainnya
0.0996
0.9245
-0.121
-0.0136
0.8894
Industri Minuman
0.0105
0.2874
0.3966
0.0541
0.7486
0.092
-0.00285
0.2382
0.73
1.05735
Industri Minyak/ Lemak
Industri Pengolahan Karet
Terdapat empat agroindustri yang memiliki nilai increasing return to scale (IRTS) yaitu industri buah dan sayur sebesar 1.0159, industri tapioka dan tepung lain sebesar 1.0516, industri gula sebesar 1.226, dan industri pakan ternak sebesar 1.227.
RTS tertinggi terjadi pada industri pakan ternak sebesar 1.227, yang
menunjukkan karakter increasing return to scale, artinya bahwa penambahan faktor produksi sebanyak 1 unit menyebabkan peningkatan output sebesar 1.227 unit. Elastisitas output kapital/marjinal produksi kapital berkisar antara -0.2296 (industri gula) dan 0.2866 (industri ikan, daging dan udang). Kecilnya elastisitas output kapital/marjinal produksi di antara marjinal produksi input lainnya terkait dengan perkembangan agoindustri di Provinsi Lampung periode tahun 2000 – 2005, di mana penambahan investasi kurang nyata untuk peningkatan stok kapital.
133 Elastisitas output bahan baku/marjinal produksi bahan baku berkisar antara -0.00285 (industri pengolahan karet) dan 0.9245 (industri makanan lainnya). Hampir seluruh agroindustri di Provinsi Lampung menunjukkan elastisitas output bahan baku/marjinal produksi bahan baku yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap output produksi. Elastisitas output upah tenaga kerja/marjinal produksi upah tenaga kerja berkisar antara -0.0242 (industri ikan, daging dan udang) dan 1.3841 (industri gula). Tingkat efisiensi perusahaan berkaitan erat dengan biaya-biaya faktor input terutama tenaga kerja yang digunakan untuk setiap unit output yang dihasilkan dalam proses produksi. Elastisitas output energi/marjinal produksi energi berkisar antara -0.0136 (industri makanan lainnya) dan 1.0748 (industri gula). Hampir seluruh agroindustri di Provinsi Lampung menunjukkan elastisitas output energi/marjinal produksi energi yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap output produksi. Dengan kata lain, produktivitas energi terhadap output produksi efisien karena kebutuhan dan permintaan terhadap input energi pada tiap sektor agroindustri tersebut mengalami peningkatan sehingga mampu meningkatkan jumlah output produksi. 6.4.3. Penghematan Akibat Aglomerasi Agoindustri
Hasil regresi terhadap masing-masing output sektor agroindustri di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa jenis aglomerasi yang terjadi memberikan pengaruh signifikan (positif atau negatif) terhadap agregat output yang diwakili oleh variabel output industri. Interpretasi berkaitan dengan aglomerasi lebih menekankan pada tanda signifikansi.
Koefisien penghematan akibat aglomerasi pada agroindustri
disajikan pada Tabel 24. Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif dari penghematan akibat lokalisasi yaitu: industri buah dan sayur, industri pengolahan ikan, daging dan
134 udang, industri tapioka dan tepung lain, industri padi, industri gula, industri kopi, industri makanan lainnya, dan industri minuman. Tabel 24. Koefisien Penghematan Akibat Aglomerasi pada Agroindustri No.
Agroindustri
Lokal
Urban
1
Industri Buah dan Sayur
0.024
4.522
2
Industri Ikan, Daging & Udang
0.05
7.1304
3
Industri Tapioka & Tepung Lain
0.096
4.201
4
Industri Kopra/ Kelapa
-0.0837
-7.67
5
Industri Minyak/ Lemak
0.0573
3.1878
6
Industri Padi
1.742
4.6547
7
Industri Gula
2.163
60.418
8
Industri Kopi
0.0275
1.916
9
Industri Pakan Ternak
-0.271
0.2217
10
Industri Makanan Lainnya
0.199
3.7155
11
Industri Minuman
0.0658
-8.534
12
Industri Pengolahan Karet
-0.048
4.212
Pertimbangan pemilihan lokasi industri buah dan sayur disebabkan perusahaan pengolahan buah dan sayur memilih dekat dengan sumber bahan bakunya. Industri buah dan sayur memerlukan lokasi dan kondisi agroklimat yang sesuai. Sebagian besar industri buah dan sayur berada di Kabupaten Lampung Tengah karena agroklimat yang sesuai, serta memiliki akses yang baik ke pelabuhan Panjang dan Kota Bandar Lampung sebagai transit tujuan ekspor industri buah dan sayur. Industri pengolahan ikan, daging, dan udang memilih berlokasi di daerah sentra produksinya karena berorientasi pada input
(resources based oriented).
Kontributor terbesar industri pengolahan ikan, daging, dan udang di Provinsi Lampung berasal dari industri pengolahan udang PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Central Pertiwi Bratasena di Kabupaten Tulang Bawang. Dilihat dari fungsi produksi industri pengolahan ikan, daging, dan udang Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan lebih efektif dalam
135 meningkatkan output, namun penggunaan tenaga kerja yang tinggi akan menurunkan output. Industri tapioka dan tepung lain berlokasi di daerah sentra produksi di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tengah dan Lampung Timur
karena
berorientasi pada input (resources based oriented). Agroindustri ini cenderung didirikan pada lokasi bahan baku. Secara historis, Kabupaten Lampung Tengah merupakan daerah transmigran yang lebih banyak ditanami singkong sebagai bahan baku tapioka sebelum menghasilkan tanaman lain. Dilihat dari fungsi produksi industri tapioka dan tepung lain di Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) lebih efektif dalam meningkatkan output. Dua macam pertimbangan untuk pemilihan lokasi industri minyak/lemak di daerah sentra agroindustri di Kabupaten Lampung Tengah karena berorientasi pada input (resources based oriented) dan berlokasi dekat dengan Kota Bandar Lampung sehingga lebih berorientasi pada konsumen dan kelancaran transportasi pemasaran. Berdasarkan fungsi produksi industri minyak/lemak Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Pertimbangan pemilihan lokasi industri pengolahan padi (beras) di daerah sentra produksi padi di Kabupaten Lampung Tengah dan Tanggamus karena industri padi berorientasi pada input (resources based oriented). Agroindustri ini cenderung berlokasi dekat dengan bahan bakunya. Berdasarkan fungsi produksi industri padi Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Industri gula berlokasi di daerah sentra produksi tebu di Kabupaten Tulang Bawang dan Lampung Tengah. Industri ini berorientasi pada input (resources based
136 oriented) karena agroindustri gula cenderung berlokasi dekat dengan bahan bakunya. Berdasarkan fungsi produksi industri gula Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Sebagian besar industri pengolahan kopi di Provinsi Lampung berlokasi di Kota Bandar Lampung karena berorientasi pada ekspor. Agroindustri pengolahan kopi cenderung berlokasi di dekat Pelabuhan Panjang sebagai sarana pelabuhan ekspor utama di Provinsi Lampung. Berdasarkan fungsi produksi industri kopi Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Pertimbangan pemilihan lokasi industri minuman di daerah sentra produksi yaitu di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan berorientasi pada input produksi (resources based oriented). Agroindustri ini cenderung berlokasi dekat dengan bahan bakunya.
Berdasarkan fungsi produksi industri minuman
Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Agroindustri yang mempunyai pengaruh negatif dari penghematan akibat lokalisasi yaitu: industri kopra/kelapa, industri pakan ternak, dan industri pengolahan karet. Industri kopra/kelapa masih beroperasi dalam skala kecil dan menengah, sehingga pengaruh penghematan lokalisasi dicerminkan dari spillovers yang masih negatif terhadap output. Industri kopra/kelapa beroperasi dalam jumlah perusahaan yang terbatas, sehingga pengaruh penghematan lokalisasi yang dicerminkan dari spillovers masih negatif terhadap output. Industri pakan ternak masih beroperasi dalam kapasitas terbatas dan belum ada penambahan investasi, sehingga pengaruh penghematan lokalisasi yang dicerminkan dari spillovers masih negatif terhadap output.
137 Penghematan akibat urbanisasi akan mempengaruhi aktivitas ekonomi daerah, antara lain pertumbuhan tenaga kerja yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi daerah. Masuknya unsur penghematan akibat aglomerasi ke dalam fungsi produksi menyebabkan terjadinya kenaikan penggunaan input sehingga output akan terdorong naik dengan derajat yang lebih tinggi dibanding kenaikan input itu sendiri. Dengan demikian, penghematan akibat aglomerasi akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan daerah. Timbulnya penghematan akibat urbanisasi memerlukan peningkatan produktivitas industri yang berpengaruh pada lokasi perusahaan. Penghematan akibat urbanisasi ekonomi dapat dilihat dari pengaruh positif dan negatif terhadap outputnya. Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif terhadap output dari penghematan akibat urbanisasi yaitu: industri buah dan sayur, industri pengolahan ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri minyak/lemak, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri pengolahan karet. Industri buah dan sayur berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri buah dan sayur. Pemilihan lokasi industri pengolahan ikan, daging dan udang dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri ikan, daging dan udang. Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of energy, di mana penambahan terhadap energi justru akan menurunkan total produksi industri.
138 Industri tapioka dan tepung lain berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri tapioka dan tepung lain . Industri minyak/lemak berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri minyak/lemak. Industri pengolahan padi berlokasi dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri padi (beras). Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri. Iindustri gula berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri gula. Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri. Industri pengolahan kopi berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri kopi (kopi bubuk). Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri.
139 Pemilihan lokasi industri pakan ternak pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan konsumsi ternak, sehingga permintaan dan penjualan ternak meningkat. Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri. Agroindustri yang mempunyai pengaruh negatif dari penghematan akibat urbanisasi yaitu industri kopra/kelapa dan industri minuman. Industri kopra/kelapa masih beroperasi dalam skala kecil dan menengah serta jumlah perusahaan terbatas, sehingga penghematan urbanisasi yang dicerminkan dari pengaruh kepadatan penduduk masih negatif terhadap output. Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri. Industri minuman juga masih beroperasi dalam jumlah perusahaan terbatas, sehingga penghematan urbanisasi yang dicerminkan dari pengaruh kepadatan penduduk terhadap output secara makro masih negatif. Adanya kenaikan jumlah kepadatan penduduk dapat mengurangi output produksi karena biaya yang dikeluarkan perusahaan masih lebih besar dari pada manfaat yang diperoleh oleh industri minuman. Perbandingan antara industri yang beraglomerasi (berklaster) dan tidak beraglomerasi (berklaster) menggunakan persamaan gabungan sektor agroindustri sebagai berikut : OPit
= f (KPT, BBK, UTK, ENG, PLK, PUB, DAG)
(4.4)
LnOPit = bo+b1LnKPTit+b2LnBBKit+b3LnUTKit+b4LnENGit+b5LnPLKit+ b6LnPUBit+ dAGit
140 dimana KPT merupakan kapital, BBK merupakan bahan baku, UTK merupakan upah tenaga kerja, ENG merupakan energi, PLK merupakan penghematan lokasi, PUB merupakan penghematan urbanisasi dan DAG merupakan dummy aglomerasi, dengan ketentuan apabila sektor agroindustri beraglomerasi/ berklaster maka dinilai 1, sedangkan yang tidak beraglomerasi/ tidak berklaster dinilai 0. Variabel dummy digunakan untuk mengindikasikan sektor agroindustri yang beraglomerasi atau berklaster dan yang tidak beraglomerasi (tidak berklaster)pada satu atau beberapa kabupaten yang berdekatan. Jika sektor agroindustri beraglomerasi/berklaster maka dinilai 1 dan yang tidak beraglomerasi (tidak berklaster) dinilai 0. Hasil estimasi model pada persamaan 4.4 adalah: OP = 1.235410 + 0.046605 KPT + 0.751021 BBK+ 0.132418 UTK + 0.052742 ENG + 0.021854 PLK + 0.063572 PUB + 0.146681 DAG Hasil estimasi persamaan 4.4 tersebut menghasilkan nilai return to scale (RTS) sebesar 1.00464,
artinya
penambahan faktor produksi 1% unit
menyebabkan output bertambah 1.00464%. Hasil RTS ini menunjukkan output berada di antara constant return to scale dan increasing return to scale. Koefisien pada persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan elastisitas, terdiri dari elastisitas output kapital, elastisitas output bahan baku, elastisitas output upah tenaga kerja, elastisitas output energi, elastisitas output penghematan lokalisasi dan elastisitas output penghematan urbanisasi. Interpretasi hasil pengujian setiap koefisien adalah : 1. Kapital Koefisien kapital positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi kapital menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output kapital sebesar 0.046605, artinya penambahan kapital 1% menyebabkan output bertambah 0.046605 %.
141 2. Bahan Baku Koefisien bahan baku positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi bahan baku menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output bahan baku sebesar 0.751021, artinya penambahan bahan baku 1 % menyebakan output bertambah 0.751021%. 3. Upah Tenaga Kerja. Koefisien upah tenaga kerja positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi upah tenaga kerja menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output upah tenaga kerja sebesar 0.132418, artinya penambahan upah tenaga kerja 1% unit menyebabkan output bertambah 0.132418%. 4. Energi Koefisien energi yang positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi energi menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output energi sebesar 0.052742, artinya penambahan energi 1% unit menyebabkan output bertambah 0.132418%. 5. Penghematan Lokalisasi Koefisien penghematan lokalisasi positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi penggunaan tenaga kerja menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas penghematan lokasi sebesar 0.021854, artinya penambahan tenaga kerja 1% unit menyebabkan output bertambah 0.021854%. 6. Penghematan Urbanisasi Koefisien penghematan urbanisasi positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas penghematan urbanisasi sebesar 0.063572, artinya penambahan kepadatan penduduk 1% menyebabkan output bertambah 0.063572%. Jika dilihat dari hasil estimasi yang menggunakan fungsi Cobb-Douglas, semua variabel berpengaruh nyata terhadap output sektor agroindustri. Output
142 produksi sektor agroindustri di Provinsi Lampung berdasarkan data pada tahun 1988–2005 dipengaruhi oleh kapital, bahan baku, upah tenaga kerja dan energi, penghematan akibat lokalisasi, penghematan akibat urbanisasi, dan penetapan sektor agroindustri yang beraglomerasi atau tidak beraglomerasi. Sektor-sektor agroindustri yang beraglomerasi (industri buah dan sayur, industri ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri pengolahan karet) berbeda secara signifikan dengan sektor-sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi (industri kopra/kelapa, industri minyak/lemak, dan industri minuman). Hasil tersebut dibuktikan antara lain: (1) nilai R-squared yang menunjukkan seluruh variabel bebas menerangkan variabel ln output sebesar 0.97, (2) nilai F statistik menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya, dan (3) tidak ditemukan gangguan autokorelasi, multikolinearitas, dan heterokedastisitas. Jika dilihat dari manfaat industri yang mengkonsentrasikan lokasinya melalui tiga manfaat yaitu ekonomi internal untuk perusahaan (economies of scale), ekonomi eksternal untuk perusahaan tetapi internal untuk industri (localization economies), dan ekonomi eksternal untuk perusahaan dan eksternal untuk industri (urbanization economies), maka aglomerasi pada sembilan sektor agroindustri memberikan manfaat nyata. Pengembangan agroindustri hendaknya memperhatikan konsentrasi spasial dan spesialisasi industri, daya dorong yang menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan promosi pengembangan ekonomi daerah melalui promosi pentingnya manfaat dari aglomerasi industri. Oleh karena itu, pemerintah daerah seyogyanya memberi ruang
143 bagi dunia usaha yang berinvestasi di sektor agroindustri berlokasi dengan mempertimbangkan keterkaitan dan kedekatannya dengan industri lainnya.