Konsentrasi Spasial Industri Indonesia Heppi Syofya PENDAHULUAN Pembangunan sektor industri manufaktur hampir selalu mendapat prioritas utama dalam rencana pembangunan negara-negara sedang berkembang (NSB), hal ini karena sektor industri manufaktur dianggap sebagai sektor pemimpin (the leading sector) yang mendorong perkembangan sektor lainnya, seperti sektor jasa dan pertanian. Pengalaman pertumbuhan ekonomi jangka panjang di negara industri dan negara sedang berkembang menunjukkan bahwa sektor industri secara umum tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian (Arsyad, 1991). Berdasarkan kenyataan ini tidak mengherankan jika peranan sektor industri manufaktur semakin penting dalam berkembangnya perekonomian suatu negara termasuk juga Indonesia. Di Indonesia industri merupakan salah satu bidang usaha yang dalam jangka panjang diarahkan agar dapat berperan sebagai dinamisator bagi sektor–sektor lain dan akan membawa seluruh ekonomi menuju tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Dengan kata lain diharapkan industri akan mampu menjadi tulang punggung ekonomi negara dan mendorong pembangunan yang sedang berjalan. Kesinambungan struktur perekonomian dapat ditelaah antara lain dengan menggunakan tolak ukur menyangkut besarnya sumbangan sektor industri terhadap produk nasional. Jumlah angkatan kerja yang mendapat nafkah disektor industri (peranan sektor industri sebagai lapangan kerja), komposisi ekspor barang dan jasa dalam lalu lintas pembayaran internasional (Djojohadikusumo, 1987). Sektor industri manufaktur dipercaya mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi (engine of growth). Sektor industri manufaktur yang kokoh akan mampu mendorong peningkatan ekspor, penguatan devisa dalam negeri, penciptaan lapangan kerja baru, dan perbaikan distribusi pendapatan masyarakat. Sektor industri manufaktur juga secara perlahan mengubah struktur ekonomi Indonesia dari agraris ke industri. (Hartanto, 2004: 11) Sektor Industri kini merupakan sektor utama dalam perekonomian Indonesia. Sektor ini sebagai penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Sebagai gambaran, pada tahun 2005 peran sektor industri pengolahan diperkirakan mencapai lebih dari seperempat atau sebesar 28,06 persen dari komponen pembentukan PDB, sementara sektor pertanian hanya memberi andil sebesar 13,39 persen. (Statistik Indonesia, 2005 : Badan Pusat Statistik) Dalam persaingan global yang semakin tajam, industri manufaktur suatu negara dituntut untuk mampu menghasilkan output secara efisien jika ingin tetap dapat bertahan. Efisiensi dalam produksi dapat tercapai jika sumber daya yang tersedia dapat dialokasikan secara efektif dan efisien. Hal ini dapat dikembangkan dengan adanya peran pemerintah ikut campur dalam meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kapabilitas nasional (Porter,1990). Dalam perkembangannya, pertumbuhan sektor industri manufaktur di Indonesia mengalami ketimpangan secara wilayah atau ketimpangan spasial. Kuncoro (2002: 1) menyatakan bahwa konsentrasi dan ketimpangan merupakan ciri yang paling mencolok dari aktivitas ekonomi secara geografis. Konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses yang selektif, dan hanya terjadi pada kasus tertentu bila dipandang dari segi geografis. Hal ini dapat dipahami, karena aktivitas ekonomi di satu wilayah akan sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dari wilayah tersebut. Menurut Kuncoro (2005:
freelance : input-outputregional
@heppisyofya
13), industri pengolahan terkonsentrasi secara spasial di Jawa sejak tahun 1970-an, meskipun pada akhir 1980-an mengalami pergeseran ke Sumatera dan Bali. Industri yang terkonsentrasi secara spasial terutama industri besar dan menengah. Hal ini disebabkan serangkaian deregulasi dan liberalisai pada pertengahan 1980. Selain itu, pemutusan secara spasial ini juga disebabkan karena lengkapnya infrastruktur dan tenaga kerja yang terakumulasi di beberapa wilayah, terutama Pulau Jawa (Wahyuddin, 2004 : xiii). Menurut Fujita (2005: 1-22) jumlah populasi penduduk dan ketersediaan aksesibilitas akan berpengaruh terhadap konsentrasi spasial. Pernyataan Fujita mengenai pengaruh jumlah penduduk didukung oleh Todaro. Pentingnya keberadaan aksesibilitas terhadap konsentrasi spasial, sebagaimana dinyatakan oleh fujita ditegaskan oleh Kuchiki. Menurut Kuchiki (2005: 2) keberadaan infrastruktur mempunyai peran penting dalam mendorong terjadinya konsentrasi spasial. Selain jumlah penduduk dan aksesibilitas, menurut Djojodipuro (1992: 37) upah tenagakerja yang murah merupakan salah satu faktor dalam mendorong terjadinya konsentrasi spasial. Peranan upah tenaga kerja dalam menentukan pemusatan industri juga ditegaskan oleh Bartik dalam O’Sullivan (2000:76). Menurut Bartik penurunan tingkat upah sebesar 10 persen pada satu wilayah akan mendorong peningkatan pertumbuhan aktivitas industri di wilayah tersebut sebesar 10-20 persen. Tidak hanya jumlah penduduk, aksesibilitas, dan upah yang dianggap berpengaruh terhadap konsentrasi spasial. McCann (2004: 53) menyatakan bahwa dalam Teori Geografi Ekonomi Baru (New Geographic Economi Theory) maupun Teori Perdangangan Baru (New Trade Theory), diyakini bahwa struktur pasar pada industri dapat menjelaskan konsentrasi geografis aktivitas manufaktur. Tidak saja jumlah penduduk, aksesibilitas, upah, dan indeks persaingan yang berpengaruh terhadap konsentrasi spasial sektor industri manufaktur, produktivitas menurut Wengel et al (2006: 346) juga akan mendorong terjadinya konsentrasi spasial. Hal ini didukung oleh Graham (2005: 26) yang menyatakan bahwa produktivitas, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya konsentrasi spasial pada sektor industri manufaktur dan jasa di inggris. Struktur industri merupakan cerminan dari struktur pasar suatu industri (Kuncoro, 2007). Dalam studi empiris mengenai struktur industri, digunakan pengukuran konsentrasi untuk mengukur intensitas dari persaingan dalam industri. Konsentrasi industri ini menginformasikan ukuran relatif dari perusahaan-perusahaan yang ada pada pasar (Jacobson, 1996). Pergeseran kawasan industri ini telah tampak mulai dari tahun 1995 dimana daerah utama industri berada dipulau jawa menyumbang sekitar 56 persen tenaga kerja dan nilai tambah nasional sebesar 31 persen, sedangkan 64 persen lainnya disumbangkan oleh wilayah diluar pulau jawa dan 38 persen (Mudrajad : 69), dan seiring berjalannya waktu wilayah pulau Sumatera telah memberi pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah diatas tulisan ini menganalisis : Konsentrasi Spasial Industri di Indonesia. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam tulisan ini bertujuan untuk Mengkaji tingkat konsentrasi spasial industry pada nilai output, menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi konsentrasi spasial serta menyusun kebijakan dan program pembangunan.
freelance : input-outputregional
@heppisyofya
METODOLOGI PENELITIAN Data dan Sumber Data Data ata yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat time series yaitu data runtun waktu, data-data data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian pada kurun waktu 8 tahun (2002 – 2009). Data diperoleh dengan denga melakukan studi pustaka (Library Library Observation). Data – data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data total output industri, total tenaga kerja, jumlah perusahaan industri, statistik industri, PDB, PDRB, jumlah penduduk, luas area dan data pendukung lainnya baik per--wilayah ataupun skala Indonesia. Definisi Operasional Variabel Variabel-variabel variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rasio Konsentrasi adalah rasio yang digunakan dalam menggunakan analisis rasio konsentrasi (CRm) dan Indeks Persaingan Persa merupakan proksi dari struktur pasar dimana indeks persaingan diukur dengan menggunakan analisis indeks persaingan (Ciirt). Metode Analisis Data Rasio Konsentrasi Rasio Konsentrasi (concentration ratio, CR) secara luas dipergunakan untuk mengukur pangsa pa dari output, turnover, value added, jumlah pegawai atau nilai asset dari total industry (William G.Shepherd: Market Structure In Theory, 188) Dimana : CR adalah Konsentrasi rasio (persen), m adalah Jumlah Provinsi, TK adalah Tenaga Kerja, Pi adalah Proporsi
Factor Penentu Konsentrasi Analisis faktor – faktor yang mempengaruhi konsentrasi spasial Industri Indonesia menggunakan model analisis regresi dengan kombinasi data runtun waktu dan silang tempat ((pooled pooled time series /pooling). /p Model ini digunakan untuk mengetahui pengaruh kepadatan penduduk, persaingan dan produktivitas industri di Indonesia. Model analis regresi dalam bentuk CRm = f (KP, CIirt, P). Persamaan ini akan dapat dihitung dengan metode regresi setelah dilakukan dilakukan transformasi dengan menggunakan logaritma, sehingga dapat diformulasikan Log CRm = α + β1 log KP + β2 CIirt + β3 P . Dimana : CRm adalah Rasio Konsentrasi, KP adalah Kepadatan Penduduk , CIirt adalah Indeks Persaingan, P adalah Produktivitas, α adalah Konstanta, β1, β2, β3 adalah Koefisien Regresi, dan adalah Disturbance eror eror. Penggunaan persamaan ersamaan logaritma diatas untuk mengetahui konsentrasi spasial industri Indonesia. Sedangkan untuk menghitung konsentrasi rasio menggunakan formula : Kepadatan Penduduk dengan menggunakan rumus : Dimana : KP adalah Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km) (Jiwa/Km), JP adalah Jumlah Penduduk (orang) (orang), LA adalah Luas Area (Km), dan n adalah Wilayah. Indeks Persaingan pada penelitian in inii merupakan proksi dari struktur pasar. Indeks persaingan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Glaeser et al., 1992: 1138; Mody dan Wang, 1997: 301-2) :
freelance : input-outputregional
@heppisyofya
Dimana : CIir adalah Indeks Persaingan, Firm rm menunjukkan jumlah perusahaan, output adalah Tenaga Kerja Industri, Industri ir adalah Provinsi di Indonesia, INDO adalah Indonesia (secara keseluruhan), keseluruhan) dan t menunjukkan indeks pada suatu tahun tertentu. tertentu Produktivitas Dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Sudarsono, 1998:4) : Dimana : Produktivitasi merupakan Produktivitas pada sektor industri pengolahan tahun ke i yang diukur dalam lam Rp/pekerja, Rp/pekerja Total nilai outputi merupakan total nilai output pada sektor industri pengolahan tahun I,, dan Jumlah tenaga kerjai merupakan jumlah tenaga kerja ke sektor industri pengolahan tahun i.
ANALISIS nilai konsentrasi rasio industri Indonesia tahun 2009 berdasarkan nilai output industri wilayah menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki tingkat konsentrasi yang baik sebesar 0,28321, selanjutnya diikuti Jawa Timur sebesar 0,16013, DKI Jakarta sebesar 0,11518, 0,11518, Banten sebesar 0,10811 dan Jawa Tengah sebesar 0,07098, dalam urutan ke-enam ke enam dan seterusnya telah tampak bahwa terjadinya pergeseran kawasan industri ke pulau Sumatera dengan tingkat konsentrasi sebesar 0,04985 berada di wilayah Sumatera Utara, sedangkan lima kawasan industri yang memiliki tingkat konsentrasi terendah berdasarkan nilai output berada pada wilayah Maluku bagian Utara dengan tingkat konsentrasi sebesar 0,00025 pada tahun perhitungan 2009, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan tingkat konsentrasi sebesar 0,00041, wilayah Papua tingkat konsentrasi sebesar 0,00043, Sulawesi Tengah tingkat konsentrasi sebesar 0,00061 diikuti wilayah Gorontalo dengan tingkat konsentrasi 0,00069 berdasarkan nilai output tahun analisis 2009. Tabel Rangking Konsentrasi Rasio berdasarkan Nilai Output Industri Indonesia Tahun 2009 Nilai Rangking Provinsi Konsentrasi Rasio 1 Jawa Barat 0,28321 2 Jawa Timur 0,16013 3 DKI Jakarta 0,11518 4 Banten 0,10811 5 Jawa Tengah 0,07098 6 Sumatera Utara 0,04985 7 Riau 0,04728 8 Sumatera Selatan 0,03338 9 Kepulauan Riau 0,02418 10 Bangka Belitung 0,01249 11 Kalimantan Timur 0,01177 12 Kalimantan Selatan 0,01137 13 Sulawesi Selatan 0,01068 14 Jambi 0,01021
freelance : input-outputregional
@heppisyofya
15 Kalimantan Barat 16 Kalimantan Tengah 17 Sumatera Barat 18 Lampung 19 Nangro Aceh Darusalam 20 Sulawesi Utara 21 DI Jogyakarta 22 Bali 23 Bengkulu 24 Maluku 25 Papua Barat 26 Sulawesi Tenggara 27 Nusa Tenggara Timur (NTT) 28 Sulawesi Barat 29 Gorontalo 30 Sulawesi Tengah 31 Papua 32 Nusa Tenggara Barat (NTB) 33 Maluku Utara Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (data diolah)
0,01011 0,00871 0,00704 0,00654 0,00451 0,00296 0,00282 0,00193 0,00144 0,00126 0,00124 0,00109 0,00091 0,00085 0,00069 0,00061 0,00043 0,00041 0,00025
Gambar Konsentrasi Rasio berdasarkan Nilai Output Industri Indonesia Tahun 2002-2009
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (data diolah) Hasil perhitungan konsentrasi rasio terhadap industri spasial di Indonesia berdasarkan 5 wilayah yang memiliki tingkat konsentrasi yang dilihat dari trend perkembangan perkembangan industrinya dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2009, walaupun pada tahun tertentu nilai konsentrasi rasio mengalami penurunan namun Jawa Barat sampai saat ini masih mendominasi kawasan industri di Indonesia. Trend perkembangan industri berdasarkan an perhitungan konsentrasi rasio terhadap nilai output menunjukkan wilayah DKI Jakarta dan Banten sama - sama memiliki tingkat rasio konsentrasi yang baik di Indonesia walaupun sedikit mengalami penurunan pada tahun ttertentu.
freelance : input-outputregional
@heppisyofya
Faktor Penentu Konsentrasi Spasial Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan software SPSS 13.0, hasil estimasinya diperoleh sebagai berikut. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Model Koefisien Standar t hitung Signifikan t Regresi Error Konstanta -5,014 0,590 -8,497 0,000 Kepadatan Penduduk (KP) 0,760 0,044 17,415 0,000 Indeks Persaingan (CIirt) -1,01 0,075 -13,415 0,000 Produktivitas (P) 0,256 0,104 2,472 0,014 Variabel Independen : Konsentrasi Rasio (CRm) Adj.R Square : 0,729 R Square : 0,732 R : 0,856 F Hitung : 208,012 Sig.F : 0,0000 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (data diolah) Berdasarkan pada hasil perhitungan pata tabel diatas diperoleh nilai koefisien regresi variabel kepadatan penduduk (KP) sebesar 0,760. Artinya adalah jika terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 10 persen akan terjadi peningkatan konsentrasi rasio sebesar 7,6 persen. Dengan kata lain pertumbuhan jumlah penduduk mampu mendorong terjadinya konsentrasi spasial di Indonesia. Variabel indeks persaingan (Ciirt) yang merupakan variabel yang berpengaruh terhadap konsentrasi spasial di Indonesia, variabel ini berpengaruh negatif dan signifikan terhadap konsentrasi spasial. Variabel indeks persaingan yang berpengaruh negatif terhadap konsentrasi spasial menunjukkan bahwa kompetisi yang semakin tinggi memiliki dampak yang menghambat penyebaran konsentrasi spasial. Sedangkan variabel yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap konsentrasi spasial industri Indonesia dilihat berdasarkan nilai output industri Indonesia adalah Produktivitas. Variabel ini memiliki koefisien regresi (P) sebesar 0,256 artinya kenaikan produktivitas tenaga kerja sebesar 10 peren akan mendorong peningkatan nilai rasio konsentrasi spasial industri di Indonesia sebesar 25,6 persen. KESIMPULAN Berdasarkan nilai output perusahaan industri di Indonesia terhadap rasio konsentrasi spasial menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi industri Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2002 sampai dengan tahun analisis 2009, berdasarkan rangking analisis data dilihat bahwa pusat konsentasi spasial masih terfokus pada pulau Jawa dan wilayah industri tertinggal berada di wilayah Indonesia bagian timur. Kepadatan penduduk, indeks persaingan dan produktivitas tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap konsentrasi spasial berdasarkan perhitungan pada nilai konsentrasi rasio terhadap nilai output perusahaan industri di Indonesia. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN Kondisi Umum Pemahaman yang lebih baik tentang pola dan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi konsentrasi spasial akan dan telah memiliki implikasi kebijakan yang penting. Studi sebelumnya tentang konsentrasi geografis telah menunjukkan bahwa konsentrasi geografis telah berlangsung lebih dari dua dekade terakhir. Pada tingkat nasional, Jawa dan Sumatera merupakan dua pulau besar yang menyerap lebih
freelance : input-outputregional
@heppisyofya
dari 90% usaha indstri besar menengah (IBM) di Indonesia. Hal ini menimbulkan persoalan kesenjangan yang besar antar pulau dalam hal distribusi industri-industri manufaktur. Dipulau jawa, kesenjangan yang terjadi lebih mencuat karena IBM terkonsentrasi secara spasial dan membentuk ola dua kutub serta bias berlokasi di daerah-daerah metropolitan. Laporan Bank Dunia (1993), yang berjudul Industrial Policy-Shifting into High Gear menemukan beberapa permasalahan struktural pada industri Indonesia. Permasalah struktural pada industri Indonesia adalah (1) tingginya tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang terselubung maupun terang-terangan pada pasar diproteksi; (2) dominasi kelompok bisnis pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untu bersaing dipasar global; (3) lemahnya hubungan intra industri, sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien; (4) struktur industri indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah; (5) masih kakunya BUMN sebagai pemaso input maupun sebagai pendorong kemajuan tegnologi; (6) investor asing masih cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented) dan sasaran usahanya sebagian besar masih pada pasar yang diproteksi. Dilihat dari kebijakan, pemerintah Indonesia agaknya labih condong membantu IBM untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan Industri, yang diformasikan kedalam Rancangan Lima Tahun (Repelita), selama pemerintahan soeharto menitik beratkan pada : (1) industri-industri yang menghasilkan devisa dengan cara memproduksikan barang-barang subsitusi impor; (2) industri-industri yang memproses bahan-bahan mentah (industri dasar) dalam negeri dalam jumlah besar; (3) industriindustri padat karya; (4) perusahaan-perusahaan negara untuk tujuan strategis dan politis (Prawiro, 1998: 155; Soehoed, 1988). Negara tela terlibat dalam industri-industri manufaktur sebagai investor, pemilik, pengatur, dan pihak yang membiayai (Aswicahyono, et al., 1996; Hill, 1997). Diantara negaranegara Asia, gaya development state semacam ini bukanlah cerita baru, kendati demikian interpretasi neoliberal tentang indonesia menunjukkan bahwa kebijakan industri dinilai tidak koheren karena dibiayai para pemburu rente (rent seeking), dan tidak relevan dengan pembangunan dan eberhasilan ekspor Indonesia (Rock, 1999). Hill (1997 :18) menjelaskan bahwa Indonesia mengalami kebijakan intervensi industri yang salah arah : sektor perusahaan besar milik negara, secara tidak efisiens menggunakan sumber daya yang seharusnya dapat dipergunakan dengan lebih produktif di tempat lain; komitmen yang besar terhadap industri bertegnologi tinggi (walaupun tidak transaparan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan), sementara perluasan industri-industri besar dan jasa-jasa pendukung mengalami kekurangan sumber daya; sistem peraturan dan perijinan yang berbelit-belit yang seolah-olah dirancang untuk mecapai tujuan nasional, dan program pembangunan perusahaan-perusahaan kecil dan program subkontrak yang diwajibkan selama lebih dari 20 tahun telah mengakibatkan dampak kecil dalam efisiensi atau pemerataan. Studi ini menunjukkan bahwa pilihan-pilihan tersebut telah menyebabkan pertumbuhan yang sangat cepat pada usaha IBM dengan konsentrasi secara spasial di Jawa. Dorongan pada deregulasi dan liberalisasi sejak pertengahan 1980-an telah terbuti memperkuat konsentrasi spasial, dan seiring berjalannya waktu wilayah dibagian pulau Sumatera-pun menjadi bagian konsentrasi spasial di Indonesia. Kita dapat saja berpendapat bahwa bias konsentrasi spasial daerah-daerah perkotaan mungkin sebagian merupakan akibat dari strategi National Urban Development Starategy (NUDS) Indonesia, yang dilaksanakan pada tahun 1985. Tidak seperti kebijakan industri yang memperhatian aspek-aspek spasial, NUDS menanggap kota sebagai lokasi Investasi dan perangsang pertumbuhan. Setalah lebih dari sepuluh tahun menerapkan NUDS, beberapa persoalan tetap muncul, termasuk persoalan-persoalan antar departemen (Soegijako, 1992), yang lebih penting lagi, strategi NUDS telah dinilai gagal dalam mengurangi ketimpangan spasial, keenjangan investasi dan pertumbuhn antara Jawa dan pulau-pulau lainnya di
freelance : input-outputregional
@heppisyofya
Indonesia terus berlanjut meskipun diterapkan strategi tersebut. Sebagai gambaran, Jawa dan Bali, telah menarik lebih dari 50% investasi asing (Djidin, 1997). Perbedaan yang terus berlangsung dalam kebijakan industri dalah mengenai efektifitas intervensi pemerintah yang selektif dalam membantu pertumbuhan industri (Grant, 1995; Pack, 2000). Secara umum kebijakan industri dapat diklasifikasikan kedalam upaya sektoral dan horisontal (Cowling, 1999). Upaya sektoral terdiri dari berbagai macam tingkatan yang dirancang untuk mentargetkan industriindustri atau sektor-sektor tertentu dalam perekonomian. Upaya horisontal dimaksudkan untuk mengarahkan kinerja perekonomian secara keseluruhan dan kerangka ersaingan dimana perusahaanperusahaan melaksanakan usahanya. Kebijakan industri tradisional sering kali dihubungkan dengan penentu target sektor-sektor dan industri tanpa menghiraukan di mana sektor-sektor tersebut berlokasi dalam sebuah negara. Harus diakui, kebijakan industri kita selama ini bersiat aspasial (spceless), mengabaikan dimana lokasi industri berada. Sebaliknya, perspektif baru kebijkan industri lebih mendukung tindakan-tindakan horisontal dan menolak target sektoral. Dalam konteks ini, perspektif spasial pembangunan industri, dengan berbasis kluster (industrial cluster/ districts), merupakan salah satu faktor kunci yang dapat membantu pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan industri. Permasalahan Utama Permasalahan yang dihadapi sektor industri dapat dikelompokkan atas permasalahan yang berada di luar sektor industri (masalah eksternal) dan permasalahan yang ada dalam sektor itu sendiri (masalah internal). Masalah eksternal industri mencakup : (1) ketersediaan dan kualitas infrastruktur (jaringan jalan, pelabuhan, kereta api, listrik, pasokan gas), (2) pengawasan barang-barang impor yang belum mampu menghentikan peredaran barang impor ilegal dipasar domestik, (3) hubungan industrial dalam perburuhan belum terbangun dengan baik, (4) masalah kepastian hukum, dan (5) suku bunga perbangkan yang masih tinggi. Permaslahan internal industri secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga hal, yang pertama adalah populasi usaha industri, baik dalam hal postur maupun jumlah yang masih lemah, kedua adalah struktur industri nasional yang belum kokoh baik dilihat dari : (1) pengusaha usaha, (2) keterkaitan industri skala besar dan industri kecil menengah (IKM), dan (3) keterkaitan hulu-hilir. Masalah yang ketiga adalah produktivitas, yaitu besarnyaa nilai tambah yang diciptakan oleh setiap tenaga kerja industri yang bersangkutan yang masih rendah. Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Berdasarkan hasil perhitungan dan permasalahan utama industri Indonesia saat ini, maka perlu dilakukan strategi pembangunan yang berguna untuk kedepannya. Arah kebijakan dan strategi pembangunannya adalah : (1) Kegiatan industri di Indonesia harus diperbanyak lagi. (2) Alokasi industri dan tenaga kerja harus banyak dilakukan diluar wilayah pulau Jawa dan Sumatera agar terjadinya pemerataan penyebaran industri di Indonesia, (3) Melakukan deregulasi dan liberalisasi industri, dan (4) Melakukan pengelompokan (kluster) industri. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Lincolin. 2002. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah Edisi Kedua. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta. --------------------. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE YKPN. Badan Pusat Statistik (BPS). 2001. Produk Domesti Bruto Tahun 2001-2011. ----------------------------------. 2001. Penduduk dan Ketenaga Kerjaan 2002-2009. ----------------------------------. 2001. Statistik Industri Indonesia Tahun 2002-2009.
freelance : input-outputregional
@heppisyofya
Bernadette, dkk. Juni 2007 Kajian Ekonomi Vol.6 No.1 Hal 18-38. Analisis Konsentrasi Spasial Pada Sektor Industri Manufaktur di Sumatera Selatan. Universitas Sriwijalaya. Braunerhjelm. Pontus et al. 2003. The Determinants of Spatial Concentration : The Manufacturing and Services Sectors in an International Perspective, Industry and Innovation. Vol.10 Number 1, 4163. March 2003. Djojohadikusumo, Sumitro. 1987. Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan. Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Fujita, Masahisa, Krugman, P., & Vanables, A.J. 1999. The Spatial Economy : Cities, Regions, and International Trade. Cambridge and London: The MIT Press. Fujita. 2005. Transport Development and The Evolution of Economic Geography. Discussion Paper No.21, Institute of Developing Economics. http://ide.go.jp/english/publish/dp/pdf/021fujita.pdf. Gujarati, Damodar.N. 1995. Ekonometrika Dasar. Jakarta : Erlangga. Hartanto, Airlangga. 2004. Strategi Clustertering Dalam Industrialisasi Indonesia. Yogyakarta : Andi Offset. Henderson.J.V dan Kuncoro.A. 1996. Industrial Centralization in Indonesia. The Worl Bank. Economic Review, 10(3) 513-40. Isard. 1956. Location and Space Economy. New York. The Technology Press of Massachusetts Institute. Isard, Walter et al. 1999. Methods Of Interregional And Regional Analysis, Vermont : Ashgate Publishing Company. Kuchiki, Akifumi. 2005. Theory Of Flowchart Approach To Industrial Cluster Policy. Discussion Paper No.36, Institute Of Developing Economics. http://www.ide.go.jp/english/publish/dp/pdf/036kuchiki.pdf Kuncoro, Mudrajad. September 2001. Vol.3.No.3 PP 269-295.Regional Clustering of Indonesia’s Manufacturing Industry. Gadjah Mada International Journal of Business. Kuncoro, Mudrajad. 2002. Analisis Spasial dan Regional Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta : UPP AMP YKPN. ------------------------. 2004. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Wilayah, Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta : Erlangga. -----------------------. 19 Februari 2005. Industri Indonesia Dipersimpangan Jalan. Artikel Kompas. ------------------------. 2007. Ekonomika Industri Indonesia-Menuju Negara Industri baru 2030?. Yogyakarta: ANDI. McCann, Philip. 2004. Urban And Regional Economics. Oxford University Press. Mody,A dan Wang, F.Y. 1997. Explaning Industrial Growth In coastal China: Economic Reform..and what Else? The word bank economic review. 11(2), pp293-325. http://www.amody.com/pdf/mody_weber_1997.pdf Novalin, Imelda. 2006. Investasi dan Perluasan Kesempatan Kerja Pada Sektor Industri manufaktur di Sumatera Barat. Padang : Tesis Perencanaan Pembangunan Universitas Andalas. O’Sullivan, Arthur. 2000. Urban Economics Fourth Edition. Irwin McGraw-Hill. Parter,M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York. The Free Press. Richadson, Harry. W.2001. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Edisi Revisi : Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM). 2010-2014. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Sariagusti, Hasanah. 2007. Analisis Peran Sektor Industri Manufaktur dalam Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia. Padang : Tesis Perencanaan Pembangunan Universitas Andalas.
freelance : input-outputregional
@heppisyofya
Scott, A.J dan Storper, M. 1992. Regional Development. In H.Ernste & Meier (Ens), Regional Development and Contemporary Industrial Response: Extending Flexible Specializations (pp.324). London : Belhaven Press. Shepherd.G.William. The Economics of Industrial Organization (Market Structure in Theory). Suharto. Vol.7. No.1 2002. Hal 33-44 Jurnal Ekonomi Pembangunan (Kajian Ekonomi Negara Berkembang). Disparitas dan Pola Spesialisasi Tenaga Kerja Industri Regional 1993-1996 dan Prospek Pelaksanaan Otonomi). Searching google. Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia bagian Barat. Prisma, LP3ES, 3,27-38. Taringan, Robbinson. 2004. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta : Bumi Aksara Jakarta. Theil, H. 1967. Economics and Information Theory. New York/Amsterdam: American Elsevier-North Holland Publishing Company. Todaro, Michael P and Stephen C.Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga. Toyne, P. 1974. OrganizationLocation and Behaviour : Decision-making in Economic Geography. London and Basingtoke : The Macmillan Press Ltd. Villadecans-Marshall, Elisabeth. 2004. Agglomeration Economies and Industrial Location : City Level Evidence. Journal of Economic Geography, pp 562-582. Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1984 tentang pengertian Industri. Wahyuddin. 2004. Industri dan Orientasi Ekspor Dinamika dan Analisis Spasial. Universitas Muhamadiyah Surakarta. Wengel, Jan Ter, et al. 2006. Producitivity and firm Dynamics : Creative Desctruction in Indonesia Manufacturing, 1994-2000. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol. 42, No.3, 2006: 341355. Winardi. 1995. Kamus Ekonomi. Jakarta: Mandar Maju.
freelance : input-outputregional
@heppisyofya