STULOS 12/1 (April 2013) 145-166
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER: SIKAP DAN PERAN SERTA GEREJA PADA SEKOLAH NEGERI
Harapan Simatupang
Abstrak: Pendidikan adalah dasar dari perubahan. Karena secara etimologis, Pendidikan berasal dari educare, yaitu: melatih. Tidak salah jika dikatakan bahwa orang yang berpendidikan adalah “agent of change”. Perubahan dimaksud menyangkut aspek religius, kognitif, afeksi, dan kebiasaan. Bangsa yang berkarakter harus dilihat seberapa pentingkah pemerintah dalam menjalankan pendidikan dan juga peran serta gereja dalam dinamika kependidikan. Urgensi pendidikan adalah awal dari perubahan. Rendahnya sikap dan peran serta gereja pada sekolah negeri akan berdampak pada pendidikan anak didik yang tidak berkualitas manusiawi menunggu kehancuran bangsa ini. Kata kunci: Pendidikan, Pendidikan Karakter; sikap dan peran serta Gereja, sekolah negeri.
PENDAHULUAN Ada kecemasan serta ketakutan yang dirasakan oleh semua pihak atas keterpurukan moralitas yang melanda semua generasi masa kini. Rendahnya moral, akhlak, atau karakter adalah salah satu bukti kemandulan Lembaga Pendidikan, Lembaga Agama-Sosial, dan Lembaga Keluarga yang dianggap selama ini berperan sebagai pusat terdepan dalam pembinaan moral-akhlak dan spiritualitas. Setiap kasus kejahatan yang ditayangkan di layar Televisi maupun Media Cetak, termasuk kasus-kasus disekitar kita, ditambah lagi pergumulan klasik yang berkepanjangan, seperti: Korupsi, Tawuran, Nafsa dan Free seks-Sodomi, Premanisme, Traficking, dll., itu memperlihatkan bahwa nilai-nilai moral belum disadari, dikedepankan atau dijunjung tinggi. Dimana hasil
146
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan Karakter yang diajarkan di Sekolah, di Gereja, maupun di Rumah? Dan menurut data yang bisa didapatkan melalui Website Mabes POLRI, itu sangat mencemaskan kita, bahwa kasus kriminal lebih banyak terjadi dikalangan Remaja dan Pemuda, dan ada pada tingkat yang sangat kritis. Para pelakunya memiliki jaringan yang sangat rapih, kuat dan dikoordinir oleh oknum tertentu, sehingga menyulitkan penegak hukum, tokoh-tokoh masyarakat serta orangtua untuk mencegahnya. Jika kita tidak peduli terhadap itu, dengan menjunjung nilai-nilai moral maka kehancuran generasi muda ini berakibat pada kehancuran bangsa. Disadari atau tidak, semua proses pendidikan yang seharus dapat meminimalkan kasus tak bermoral itu, jika prakteknya dilakukan dengan penuh disiplin, konsisten, dan didukung semua pihak. Tetapi dari pengalaman masa lalu, justru praktek pendidikan di Indonesia selalu mengalami perubahan seiring pergantian pemimpin, dan ditambah dengan kasus-kasus tak terpuji dari pendidik, akibatnya peserta didik menjadi korban. Maka tak salah mengatakan bahwa, hancurnya pendidikan adalah hancurnya suatu bangsa. Selain faktor pendidikan, faktor pluralism agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat seharusnya dapat mencegah. Tetapi penerapan nilai pendidikan religious yang dapat membina karakter belum mampu menjawab problem tersebut. Disana-sini kita menemukan kasus tak bermoral yang dilakukan oleh para pemuka agama. Maka kemerosotan spiritual ini mengakibatkan kemerosotan akhlak atau karakter. Syukurlah bahwa pemerintah mulai memiliki kesadaran. Kesadaran itu dikristalisasikan dengan memuat Pendidikan Karakter menjadi Kurikulum Nasional. Upaya itu adalah sebuah usaha secara sadar untuk menempatkan Pendidikan Karakter sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya. Sehingga, cita-cita bersama sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud kembali. Namun, di dalam pelaksanaannya Pendidikan Karakter ini belum
JURNAL TEOLOGI STULOS
147
tersosialisasikan dan semua elemen masyarakat belum ada sinergi mencurahkan perhatian serius untuk menerapkan nilai-nilai pendidikan karakter ini. Karena itu, bagaimana sikap dan peran serta Gereja dalam mendukung upaya pemerintah untuk memerangi krisis karakter yang ada di depan kita sekarang ini?
HAKEKAT PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NASIONALITAS Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan adalah dasar dari perubahan. Karena secara etimologis, Pendidikan berasal dari “educare” (Latin), yaitu: melatih. Istilah “enducare” dalam dunia Pertanian, diartikan sebagai “menyuburkan” (mengolah tanah agar menjadi subur dan menumbuhkan tanaman yang baik). Jika istilah tersebut dipakai ke dalam dunia Pendidikan, maka enducare adalah sebuah usaha sadar yang dilakukan Pendidik (Guru), dan pihak-pihak terkait untuk membantu menumbuhkan, menata, mengembangkan, mendewasakan, serta mengarahkan peserta didik kepada suatu perubahan. Dalam UUSPN1 Nomor 20 Tahun 2003, pasal 1, ayat 1, menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Maka tak salah dikatakan bahwa orang yang berpendidikan adalah ‘agent of change’. Perubahan itu menyangkut aspek religious, kognitif, afeksi, skill, dan habit. Disinilah kita mengerti bahwa keseriusan dalam megurgensikan pendidikan adalah sebagai awal dari perubahan. Karena, segala bentuk pendidikan yang dilaksanakan prosesnya 1
Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.2 Th.1989) Dan Peraturan Pelaksanaannya. (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), 1.
148
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan karakter, baik peserta didik maupun tenaga pendidik. Istilah “karakter” memiliki kesamaan arti dengan tabiat; watak; dan, kepribadian. Karena berkaitan dengan sifat-sifat di dalam diri manusia yang membentuknya. Dalam English Language Dictionary, kata character berarti: 1) consists of all the qualities have that combine to form personality; 2) knowing how they usually react to things.2 Gabungan kualitas di dalam diri manusia itulah disebut sebagai karakter. Dan ini tampak ketika seseorang bereaksi terhadap sesuatu di luar dirinya. Tentu, adanya karakter sebagai kualitas hidup, maka seseorang dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Itulah yang menjadi identitas seseorang, untuk menunjukkan orang macam bagaimana dia. Karakter adalah sesuatu yang dipahatkan pada loh hati manusia sejak anak-anak yang dapat terus bertumbuh, sehingga menjadi tanda yang khas. Ini bukan merupakan gejala sesaat, melainkan tindakan yang konsisten, muncul baik secara batiniah dan rohaniah. Karakter seorang individu dapat terbentuk sejak dia masih kecil karena pengaruh genetik (keturunan) dan lingkungan sekitar. Perilaku seorang anak seringkali tidak jauh dari perilaku orangtuanya. Karakter juga dipengaruhi oleh lingkungan. Anak yang berada dilingkungan yang baik, cenderung akan berkarakter baik, demikian juga sebaliknya. Karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skills).3 Proses pembentukan karakter, baik disadari maupun tidak, akan mempengaruhi cara individu tersebut memandang diri dan lingkungannya dan akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari. 4 Kita mengakui bahwa kualitas karakter seseorang tidak 2 John Sinclair ed., Collins Cobuild English Language Dictionary (London: Collins Publisher, 1989), 227. 3 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), 10. 4 Wanda Chrisiana, Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa (Studi Kasus di Jurusan Teknik Industri Uk Petra). Jurnal Teknik Industri Vol.7, No.1, (Juni 2005): 83-90.
JURNAL TEOLOGI STULOS
149
dapat dinilai, jika tidak memiliki relasi dengan kehidupan sehari-hari. Diantaranya, Keluarga, budaya-sosial, pendidikan, agama, dan pengalaman adalah relasi yang dapat membentuk kepribadian seseorang untuk berpikir dan berbuat sesuatu. Karakter selalu mengacu pada kebaikan yang terdiri dari tiga bagian yaitu mengetahui yang baik, menginginkan yang baik dan melakukan yang baik. Ketiga kebiasaan ini didasarkan pada kebiasaan pikiran, hati dan kehendak. Karakter sebagai sesuatu yang melekat pada personal, yaitu totalitas ide, aspirasi, sikap yang terdapat pada individu dan telah mengkristal di dalam pikiran dan tindakan. Manusia hanya dapat mengamati karakter secara eksternal dan parsial, dari kebiasan, pola pikir, pola sikap, pola tindak atau pola merespon secara emosional dan pola dalam bertingkah laku. Namun, kita harus mengakui keterbatasan bahwa manusia bisa salah dalam memberikan penilain terhadap karakter seseorang karena ada faktor lain yang mempengaruhinya. Hanya Tuhan dan individu itu sendiri yang mengetahui siapa jati dirinya. Pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar), untuk membantu manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika inti. 5 Lebih tegas Muchlas Samani mengatakan bahwa Pendidikan Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran dan kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi Insan Kamil.6 Pentingnya Pendidikan Karakter Setiap hari kita berhadapan dengan hal-hal yang dapat berpengaruh langsung pada pikiran dan perilaku kita. Dampak dari pengaruh itu bisa 5
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter., 15. Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011), 44. 6
150
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
mengarah kepada perilaku destruktif atau konstruktif. Jika mengarah kepada dorong untuk semakin berperilaku konstruktif, berarti kita belajar mencapai manusia yang sempurna. Tetapi jika sebaliknya, maka kita perlu mencegahnya. Disinilah karakter yang kuat perlu sebagai filter untuk menyaring dan menolak. Sehingga hanya air yang jernih kita masukkan ke dalam hidup, sebaliknya segala yang kotor kita singkirkan. Upaya pelaksanaan Pendidikan Karakter saat ini, dilatar belakangi oleh beberapa keadaan berikut: 1. Suatu Kesadaran. Adanya kesadaran pemerintah untuk mengembalikan hakikat pendidikan kepada tujuan Pendidikan Nasional sesuai dengan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 4, yaitu: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.” Juga dituangkan ke dalam PP7 Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, terutama pada bab II pasal 4 yang berbunyi: “Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.” Selanjutnya, Permendiknas 8 Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, terutama termaktub dalam pendahuluan: “Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan mengembangkan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha 7
PP (Peraturan Pemerintah) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Permendiknas (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). 8
JURNAL TEOLOGI STULOS
151
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Dalam rumusan SKL tersebut secara implisit maupun eksplisit pada semua jenjang pendidikan memuat substansi nilai atau karakter. Demikian Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional 2010-2014, bahwa pendidikan karakter sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya pencapaian Visi pembangunan Nasional.9 2. Faktor globalisasi yang terus mengalami perubahan. Perubahan yang kita rasakan dalam masa ini seringkali membingungkan baik bagi orangtua maupun anak-anak. Salah satu perubahan yang melanda dunia adalah Dehumanisasi. Di dalamnya kita dapat temukan usaha pemudaran Kebenaran. Usaha ini nampak dalam kesimpulan pemikiran para pemikir postmodern bahwa kebenaran hanyalah apa yang kita buat, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas dan tidak lebih dari itu. Akibat dari pemudaran kebenaran ini, tampak melemahnya penegakan disiplin dan peraturan, sehingga apa yang benar dan apa yang salah tidak jelas. Batas-batas moral menjadi kabur, menyebabkan memilih sesuatu yang benar dan tepat menjadi jauh lebih sukar dan akibatnya jatuh pada perilaku buruk jauh lebih serius. Individualisme, Hedonisme, Liberalisme, dan lain-lain adalah tantangan berat bagi penerapan pendidikan Karakter. Dalam konteks Indonesia, banyak di antara manusia Indonesia yang perilakunya menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, yang berakibat pada penghancuran keutuhan bangsa. 3. Meningkatnya Kasus-kasus Kriminal. Meningkatnya kasus kriminal di Negara kita, memiliki relasi dengan negara-negara lain. Para pelakunya memiliki jaringan yang sangat rapih, kuat dan dikoordinir oleh oknum tertentu, sehingga menyulitkan penegak hukum, tokoh-tokoh masyarakat serta orangtua untuk mencegahnya. Tentu kita setuju, bahwa 9
Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Kejuruan. (Jakarta: 2010)
152
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
kejahatan ini dapat menghambat proses pendidikan serta mengancam hidup generasi muda yang berdampak langsung pada kehancuran bangsa. 4. Masalah Mal-Praktik Pendidikan. Mal-praktek tidak hanya terjadi di dunia Kedokteran (Medis), tetapi di semua sektor. Kasus mal-praktek dalam dunia Pendidikan, antara lain: 1) persoalan orientasi taksonomik. Berpuluh-puluh tahun praktik pendidikan kita telah berkiblat pada taksonomi Bloom yang memilah-milah ranah pendidikan menjadi kognitif, afektif, dan psikomotor; 2) masalah kurang adanya keseimbangan antara aspek “pikir” dengan “hati” dalam praktik pendidikan; 3) kurang adanya keseimbangan pengembangan antara Programmed Curriculum dengan Hidden Curriculum; 4) masalah penghadiran dan internalisasi nilai-nilai melalui berbagai mata pelajaran; 5) masalah kurang optimalnya praktik pendidikan dan pembelajaran untuk pengembangan kepribadian, dan lain-lain. 5. Perubahan Perilaku Pada Peserta Didik. Apa yang kita lihat di media Televisi, sering terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap murid, murid terhadap guru, dan murid dengan murid. Kasus-kasus tersebut menunjukkan, bahwa banyak siswa kurang menunjukkan kesungguhan dalam belajar. Jika seorang guru bertindak tegas untuk mendisiplin anak yang tidak berperilaku baik, tidak mendapat dukungan positif baik dari orangtua, maupun masyarakat, malah sebaliknya banyak orangtua dan masyarakat menilai itu sebagai pelanggaran HAM. Tidak jelasnya batasan-batasan bagi seorang guru mengambil tindakan pendisiplinan, siswa dengan mudahnya melaporkan guru ke pihak berwajib. Rasa ketakutan itulah yang dirasakan guru saat ini. Tidak pernah murid dilapor melanggar HAM, tetapi tiap saat banyak guru dipanggil pihak berwajib karena melanggar HAM. Jelas ini salah satu faktor, membuat perubahan mental peserta didik. Jika guru takut mendisiplin siswa, maka pendidikan karakter gagal. Selain itu, banyaknya Mall, Warnet atau tempat hiburan lainnya disekitar lingkungan sekolah, menjadi daya tarik bagi siswa untuk bolos jam pelajaran. Begitu juga,
JURNAL TEOLOGI STULOS
153
sifat kasar, egois, meremehkan, bersikap kurang ajar, menentang dan balas dendam, serta tidak tangguh dalam menghadapi tekanan hidup pada siswa tertentu yang ada dilingkungan sekolah, itu dapat mempengaruhi siswa lainnya. Karena itu, tidak salah bahwa semua kasus-kasus di lingkungan sekolah membuktikan adanya pergeresan nilai-nilai moral di kalangan pelajar.
Proses Pendidikan Karakter
Bagan Proses Pendidikan Karakter
Dari bagan diatas, Pendidikan Karakter dilihat dari dua sisi, yaitu: output dan input. Kedua sisi ini menjelaskan apa yang diterima dari luar dirinya sebagai input, demikian dia akan berperilaku sebagai output. Proses pembentukan karakter dapat terjadi di dalam: keluarga, sekolah, lingkungan, dan saling mempengaruhi. Hasilnya, seseorang dapat menjadi trustworthiness, jika dia melihat sosok atau figur orang yang berintegritas, jujur dan loyal. Dia bisa tidak memanfaatkan orang lain (fairness), jika dirinya tidak dijadikan objek (korban). Dia bisa bersikap peduli dan perhatian (caring) terhadap orang lain maupun kondisi lingkungannya, jika dirinya mendapat perhatian yang baik dari orang lain maupun lingkungannya. Dia bisa sadar hukum (citizenship), jika hukum memberi perlindungan/kenyamanan padanya. Selanjutnya, dia bisa bertanggung jawab, disiplin, melakukan sesuatu dengan baik (responsibility), jika dirinya mendapat perlakuan dan hak-hak hidupnya
154
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
terpenuhi. Dengan demikian, seseorang dapat berkarakter kuat/baik apabila ada keseimbangan antara input dan output; atau, output dan input.
Tri Pusat Pendidikan Karakter Di dalam proses tumbuh kembangnya karakter seorang anak, ada tiga pusat pendidikan yang memiliki peranan besar. Ketiga pusat pendidikan tersebut, yaitu: 1) Keluarga; 2) Sekolah; dan, 3) Lingkungan Masyarakat. 1. Keluarga. Keluarga merupakan pusat pendidikan karakter yang pertama dan terpenting. Keluarga adalah sebuah basis awal kehidupan bagi setiap manusia. Keluarga menyiapkan sarana pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak sejak dini. Dengan kata lain, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan perlakuan kedua orangtua. Disini orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kepribadian anak. Keteladanan orangtua adalah modal penting bagi pembangunan kepribadian anak. Keyakinan-keyakinan, pemikiran dan perilaku orang tua dengan sendirinya memiliki pengaruh yang sangat dalam terhadap pemikiran dan perilaku anak. Maka tidak salah jika krisis karakter yang terjadi di Indonesia merupakan cerminan gagalnya pendidikan di keluarga. 2. Sekolah. Sekolah mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk manusia yang berkarakter. Pendidikan adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan setiap manusia. Karena tugasnya yang sangat penting membangun kehidupan, maka gagalnya pendidikan merupakan kegagalan kehidupan dan masa depan. Plato berkata, tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Demikian juga Aristoteles melihat serupa, bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan Negara – juga yang harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan hukum, dimana tujuan utama dari semua itu, yaitu terciptanya kehidupan yang baik dan bahagia (eudaimonia). Dengan demikian, Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of
JURNAL TEOLOGI STULOS
155
knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel,10 sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya. 3. Lingkungan Masyarakat. Secara umum kita mengakui bahwa sosial dan budaya dimana kita berada turut membentuk kepribadian atau identitas kita. Ada hubungan timbal-balik antara sosial-budaya dengan tabiat seseorang. Dari sudut pandang Antropologi, tidak hanya tingkah laku manusia itu saja yang dapat dipelajari, tetapi juga menyangkut apa yang ada dalam pikiran manusia itu. Dan tingkah laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang dilakukan oleh seseorang, itu merupakan hasil dari proses belajar (melibatkan rasio) yang dilakukan sepanjang hidupnya. Seseorang mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Perkembangan moral dan perilaku itu ditentukan oleh lingkungan seumur hidupnya yang menurut Koentjaraningrat serba berpranata, serba bersistem atau mengandung norma-norma sosial yang terorganisir dan mengatur setiap perilaku warga masyarakat. Norma-norma dan nilai-nilai masyarakat, disadari atau tidak telah meresap ke dalam kita. Alkitab sendiri pun mengakui pengaruh sosial-budaya bagi pembentukan kepribadian seseorang. Dalam Kitab Imamat 18:3, berkata: “Janganlah kamu berbuat seperti yang diperbuat orang di tanah Mesir, di mana kamu diam dahulu; juga janganlah kamu berbuat seperti yang diperbuat orang di tanah Kanaan, ke mana Aku membawa kamu; janganlah kamu hidup menurut 10
Fraenkel, Jack R. How to Teach about Values: An Analytical Approach. (Englewood, NJ: Prentice Hall, 1977), 1-2.
156
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
kebiasaan mereka. Selanjutnya, 1 Korintus 15:33 berkata: “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik.”
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER NASIONAL 1.
Dasar dan Tujuan Pendidikan Karakter
(Sumber: Kemendiknas 2010)
Dari gambar diatas, bahwa sumber-sumber dasar nilai karakter berasal dari agama, Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai kearifan lokal. Sumber-sumber nilai karakter tersebut diinternalisasikan pada para siswa melalui berbagai kegiatan di sekolah, yaitu selama berlangsungnya Proses Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Hasil yang diharapkan adalah agar para generasi muda ini dapat berkarakter innovatif, kreatif, disiplin, simpati, empati, jujur, percaya diri, kompetitif, kooperatif, leadership, imaginatif, bersih, sehat, peduli, adaptif, toleransi, dan suka menolong, dan lain-lain. Sedikitnya ada tiga tujuan utama ditetapkan Pendidikan Karakter sebagai Kurikulum Nasional adalah: 1. Pendidikan karakter adalah upaya fasilitasi yang dilakukan oleh (pendidik, tenaga kependidikan, dan komunitas) di sekolah dasar untuk menjadikan peserta didik berkarakter baik.
JURNAL TEOLOGI STULOS
157
2. Pendidikan karakter yang dibangun dalam pendidikan dapat mengacu pada Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. 3. Pendidikan karakter sebagai filter terhadap globalisasi yang dapat menghilangkan peradaban budaya suatu bangsa dalam kontek Indonesia sesuai UUD Tahun 1945 dan falsafah Pancasila, dan radikalisme yang mengancam keutuhan bangsa NKRI.
Upaya Pemerintah di Bidang Pendidikan 1. GDN (Gerakan Disiplin Nasional). Kita pernah mengetahui GDN untuk menertibkan para pelajar yang mangkal dipinggir jalan. Gerakan ini pernah mendapat sambutan positif dari masyarakat. Tetapi entah kenapa, GDN ini sudah tidak terdengar lagi. 2. Sertifikasi Guru. Program Sertifikasi ini diberlakukan untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik. Banyak Guru yang perlu di upgrade karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Disisi lain, sertifikasi ini sebagai pendisiplinan terhadap kinerja guru. Karena kinerja guru mempengaruhi karakter siswanya. 3. BOS (Bantuan Operasional Siswa). Salah satu tujuan BOS ini adalah untuk menekan jumlah anak-anak Indonesia yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Kita bisa bayangkan perilaku anak yang duduk di bangku sekolah yang setiap hari mendengar nasihat, atau pendidikan pun ada yang berperilaku tak bermoral. Bagaimana dengan anak-anak yang putus sekolah yang tidak mendapat pendidikan di Sekolah?
158
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
PERAN SERTA GEREJA PADA SEKOLAH NEGERI Telaah Kritis pada sikap gereja selama ini Dalam perspektif Kristen, Pendidikan 11 adalah suatu implikasi dalam interpretasi Allah. Memikirkan apa yang dipikirkan Allah, mendedikasikan alam semesta kepada Penciptanya, dan menjadi wakil dari Raja segala sesuatu; inilah tugas manusia. Secara prinsip, Pendidikan Karakter dalam konteks Kristen berbeda dengan Pendidikan Karakter Nasional. Perbedaan yang sangat fundamental sekali yaitu bahwa Alkitab adalah sumber mutlak pendidikan karakter. UUD Tahun 1945 dan Falsafah Pancasila tidak dapat mengubah karakter seseorang, tetapi hanya Tuhan dan melalui firman-Nya. Karena fungsi Alkitab dalam 2 Timotius 3:16 berbunyi: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” Dari sini kita tahu bahwa berbicara karakter bukan sesuai dengan maunya manusia, maunya raja atau pemerintah, maunya guru, dan maunya orangtua, tetapi maunya Tuhan. Sebab, hanya Tuhan yang tahu standar karakter sesungguhnya yang harus dipenuhi oleh manusia ciptaan-Nya. Itulah sebabnya, Tuhan memberikan firman-Nya agar siapa saja yang bertemu dengan-Nya diajar, ditegur, diperbaiki, dan dididik dalam kebenaran. Dilihat dari presuposisi Van Til, bahwa pendidikan harus bermula dari apa yang dipikirkan Allah. Bagaimana dengan pendidikan karakter di luar kekristenan? Dalam penjelasannya tentang Antitesis dalam Filsafat Pendidikan, Van Til tidak menolak atau melupakan doktrin anugerah umum. Anugerah umum tidak mengabaikan perbedaan-perbedaan ultimat, tetapi jika dipahami dengan tertentu anugerah umum berbicara tentang perbedaan-perbedaan ultimat tersebut. Dia berfungsi untuk menunjukkan 11
Cornelius Van Til, Dasar Pendidikan Kristen, terj., (Surabaya: Momentum, 2004), 65.
JURNAL TEOLOGI STULOS
159
bahwa hal-hal yang sama tidak selalu berarti sama. Karena itu, dalam konteks Pendidikan Karakter Nasional yang berlandas dari berbagai sumber, yaitu pluralism agama, UUD Tahun 1945 dan Ideologi Pancasila, walaupun ada kesamaan tetapi tidak sama. Karena bisa saja manusia tanpa Tuhan memiliki nilai karakter sebagaimana yang diupayakan dalam pendidikan nasional. Jika secara presuposisi ada perbedaan-perbedaan ultimat dalam pendidikan karakter, apakah gereja bersikap membiarkan atau tidak peduli? Dalam sejarah Gereja, dua tokoh teolog yang hidup di zaman Reformasi, yaitu Martin Luther dan John Calvin, memberi warna khas kepada Gereja masa kini. Ada gereja anti Negara yang diwakili oleh Martin Luther, dipihak lain ada gereja yang menganggap bahwa Negara berguna bagi agama dan agama bagi Negara yang diwakili oleh John Calvin. Bagi Luther, gereja hanya mengurusi urusan-urusan rohani. Tetapi apa yang kita lihat dalam konteks masa kini, justru Negara yang lebih berperan mengurusi karakter manusia. Berbeda dengan Calvin, yang mengakui bahwa pemerintahan sipil merupakan sesuatu yang dibutuhkan karena dosa masih merajalela. Pemerintah menerima wewenang dari Allah, maka dia beralaskan pada kesusilaan. Karena alasan dosa12…tanpa hukum dan pemerintahan, dan tanpa otoritas yang berkuasa, akan sungguh-sungguh menjadi neraka di bumi, atau setidaknya merupakan suatu pengulangan dari apa yang pernah ada di bumi ketika Allah menenggelamkannya dalam air bah, ras pertama manusia yang bobrok. Karena itu, Pemerintah bersama Agama bertanggung jawab untuk menjaga kesusilaan di dalam porsi masing-masing. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Alkitabiah Dibawah ini penulis mengklasifikasikan hasil pendidikan karakter sebagaimana dituangkan di dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003, sebagai berikut: 12
90-91.
Abraham Kuyper, Lecturer on Calvinism, terj. (Surabaya: Momentum, 2005),
160
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
Empat Pilar Karakter Perlu Diperkuat Di Kalangan Pelajar Masa Kini Dalam Menghadapi Arus Negatif Globalisasi BERIMAN
KNOWLEDGE OF GOD
2.
BERILMU
KNOWLEGDE SOCIETY
3.
BERBUDAYA
4.
BERADAB
CULTURED SOCIETY CIVILIZED SOCIETY
TANTANGAN GLOBALISASI
1.
PERANSERTA GEREJA PADA SEKOLAH NEGERI UUSPN Nomor 23 Tahun 2005, Pasal 47 ayat 1, berbunyi: “Masyarakat sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.” Selanjutnya, pada pasal 48 ayat 1, berbunyi: “Keikutsertaan masyarakat dalam penentuan kebijaksanaan Menteri berkenan dengan sistem pendidikan nasional diselenggarakan melalui suatu Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dan yang menyampaikan saran, nasihat, dan pemikiran lain sebagai bahan pertimbangan.” Gereja adalah bagian dari masyarakat. Maka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, gereja harus ikut berperan aktif untuk mendukung pembangunan bangsa melalui pengupayaan pendidikan karakter. Gereja sebagai sumber rasa dan cahaya bagi masyarakat, berarti gereja tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Karena, apabila di sekeliling gereja sejahtera, gereja pun akan ikut merasakannya. Sedikitnya, ada empat peran serta Gereja dalam bidang Pendidikan, yaitu: 1. Sebagai Garam dan Terang ditengah Masyarakat Persekolahan Garam memberi rasa terhadap yang tawar. Terang memberi cahaya kepada kegelapan. Sumber rasa dan cahaya bagi dunia adalah gereja,
JURNAL TEOLOGI STULOS
161
selanjutnya Allah sendiri sebagai sumber hidup bagi gereja. Garam dan Terang adalah berbicara, pengaruh. Pengaruh dalam konteks pendidikan, yaitu: 1) gereja terus memerangi perilaku tak bermoral yang masih merebak di lingkungan gereja, keluarga, instansi, dan masyarakat dengan menunjukkan jalan menuju kemuliaan kekal; 2) gereja terus menunjukkan pelayanan kasih, yang di dalam nama Tuhan.13 Dalam konteks ini, gereja dapat menyediakan dana bagi siswa-siswa yang tak mampu dan bukan sebagai pengikat untuk berjemaat. Karena, pemberian untuk mengikat seperti itu berarti tidak ikhlas, dan bertentangan dengan hakikat kasih sejati. Bukan saatnya lagi gereja hanya memikirkan dirinya sendiri. Selain itu, gereja sesuai kemampuannya, juga dapat membantu menyediakan sarana fisik dan sarana pendidikan lainnya bagi sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta yang memprihatinkan. Dalam pengamatan penulis, banyak sekolah-sekolah negeri jumlah siswa Kristennya banyak, tetapi pihak sekolah tidak mau menerima kehadiran Guru Agama Kristen, dan ada yang diterima, tetapi kalau mau belajar Agama, sulit mendapat ruang kelas. Mengapa terjadi seperti itu? Karena gereja tidak peduli pada dunia Pendidikan. Mengapa gereja tidak mau peduli? Tidak adanya kepedulian gereja terhadap pendidikan, membuat kehadiran gereja di masyarakat sulit diterima, ditambah lagi banyak gedung gereja berdiri megah, sementara disekitarnya ada sekolah yang mau roboh.
2. Menyokong Guru-guru Agama Kristen Dalam konteks dunia Pendidikan, gereja berperan dalam melengkapi guru-guru Kristen. Secara fakta, banyak guru-guru Kristen kurang berkualitas, baik secara moral dan pengetahuan, akibatnya guru tersebut selalu bermasalah. Seharusnya, Guru14 lebih unggul dari anak-anak yang dipercayakan kepadanya, baik dalam hal pembimbingan karakter moral, dalam hal pengetahuan dari mata pelajaran yang diajarkan, dalam hal 13
Abraham Kuyper, Ibid., 45. Louis Berkhof, Ibid., 167.
14
162
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
ketrampilan praktis yang ditunjukkan melalui penggunaan sarana yang baik untuk mencapai tujuan, dan dalam hal kebijaksanaan yang diperlukan untuk menuntun kehidupan orang muda. Itulah anggapan umum bahwa guru setidaknya telah dilengkapi dengan otoritas moral, dan harus menggunakannya untuk mengarahkan hidup dan aktivitas murid-muridnya. Adalah sikap yang kurang bijaksana jika ada pihak sekolah memecat guru tanpa diberi pelatihan yang cukup. Seharusnya mereka terus dilatih agar cakap mengajar. Kasus pemecatan guru-guru adalah salah satu indikasi adanya perubahan orientasi atau tujuan didirikannya sekolah tersebut. Salah satu dugaan kuat, bahwa keuntungan materi menjadi orientasi utamanya. Sehingga banyak guru menjadi “sapi perah” dari pemilik sekolah, mereka dipaksa harus professional tanpa dibarengi dengan pemenuhan hak hidupnya. Ini yang membuat banyak Guru Kristen jadi asal-asalan mengajar dan tidak bertanggung jawab. Bagaimana sikap gereja terhadap kasus ini, padahal guru-guru itu adalah anggota jemaatnya? Disini Gereja dapat menampung atau membentuk kelompok khusus berprofesi guru, agar di dalam kelompok tersebut mereka ditopang, diperlengkapi, diperhatikan, dimotivasi sehingga secara profesi mereka bertanggung jawab kepada Tuhan dan anak-anak didik, serta dapat mengatasi konflik yang dihadapinya. 3. Sebagai Gembala (1 Petrus 5:1-5) Gereja harus menggembalakan warga jemaatnya dengan baik. Kata ‘gembala’ berarti menjaga, mengawasi, menuntun, melatih warga jemaat. Gereja harus mendorong suami-isteri untuk aktif mendidik anak-anaknya di rumah. Banyak anak-anak yang nakal karena hidup di dalam keluarga yang hancur. Keluarga sebagai wadah awal benih. Keluarga kristiani perlu memiliki spiritual yaitu pengalaman berjumpa dan hidup dalam pergaulan dengan Allah. Pengalaman perjumpaannya dengan Allah menyebabkan terjadinya perubahan hidup secara total dan radikal.
JURNAL TEOLOGI STULOS
163
Keluarga merupakan agen dan lingkungan sosialisasi bagi setiap individu. Di dalam keluargalah, kita belajar bagaimana cara menjadi anggota masyarakat dan mengenal siapa diri kita sendiri. Keluarga mewariskan kepada anak-anaknya beberapa hal penting15: 1) Pola-pola komunikasi; 2) Konsep diri (pengenalan dan penerimaan diri); 3) Disiplin diri (pribadi, sosial dan rohani); 4) Tata nilai (benda, moral, sosial dan kerohanian); 5) Cara mengatasi krisis kehidupan. Karena itu, Gereja berfungsi sebagai gembala harus dapat mengaplikasikan pengajarannya sampai kepada keluarga warga jemaat. Tanggung-jawab gereja dalam menjadikan umat (anak-anak, pemuda, dll) harus fokus juga terhadap pendidikan di keluarga. Pendidikan keluarga itu dilakukan oleh orang tua. Meminjam pemikiran Martin Luther, orangtua adalah pengajar ke dua setelah Allah. Orangtua sebagai pengajar yang handal dalam membina, mendidik, serta mengarahkan anak itu takut akan TUHAN. Seperti teks Ulangan di atas, orangtua jangan jemu-jemu dalam mengarahkan anak itu kepada kehendak Allah. Dari dalam keluarga anak itu mendapatkan didikan sesungguhnya. Membuat anak lebih rohani. Begitu indahnya penanaman pengalaman hidup Kristen di dalam keluarga yang begitu saleh, menjadi dasar kehidupan seseorang sepanjang hidupnya kemudian.16 Berbagai pedoman tentang pendidikan anak menekankan agar orang tua dapat menjadi pendengar dan komunikator yang baik, mampu menjadi teladan, menciptakan lingkungan belajar dirumah, tidak mengembangkan pemikiran yang sempit dan dangkal pada anak, serta dapat menanamkan kejujuran. Oleh karena itu disini yang utama adalah kualitas interaksi antara anggota keluarga, bukan kuantitasnya.17 Karena begitu vitalnya peran keluarga dalam pendidikan karakter, maka gereja harus memantau 15
Membangun Keluarga Kristen. (Departemen Agama Kanwil Provinsi Jawa Barat, 2007), 5. 16 Nicholas Wolterstoff, Educating For Life. (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 2002), 10-11. 17 Go Setiawan, M. Menerobos Dunia Anak. (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000), 17.
164
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
apakah pendidikan seperti dikatakan dalam kitab Ulangan 6:7 sudah dilakukan atau belum. Gereja harus fokus pada persekutuan keluarga, sebagai wujud dan peran gereja atas kepeduliannya kepada pendidikan.
PENUTUP Perilaku tak bermoral adalah musuh kita bersama. Setidaknya semua masyarakat dapat membedakan antara perilaku baik maupun buruk, karena secara umum kriteria itu ada dan sudah dipelajari baik di sekolah, keluarga, dan sosial-agama. Semua lapisan masyarakat harus berperan aktif untuk memberantasnya, tentu dengan cara-cara yang bijaksana. Pendidikan Karakter Nasional sekarang ini adalah salah satu cara terbaik untuk mendidik baik siswa, mahasiswa, kaum dewasa, dan orangtua, untuk berkarakter kuat sehingga dapat mengatasi gerakan Dehumanisasi saat ini. Belajar karakter bukan berarti seseorang tak berkarakter baik. Tetapi pendidikan karakter memiliki multiguna. Langkah yang sangat bijak, jika pemerintah dengan semua lapisan masyarakat sama-sama sadar serta bertindak karena melihat coretan hitam di lembaga pendidikan, pemerintahan, maupun sosial akibat perilaku tak bermoral yang sudah sekian lama menjadi sahabatnya. Berangkat dari kesadaran itulah, pemerintah berupaya memuat Pendidikan Karakter sebagai kurikulum nasional dengan tujuan tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-undang dan peraturan terkait. Gerakan pemerintah ini seharusnya mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat. Masihkah kita berdiam atau sibuk dengan diri sendiri melihat kejahatan yang merajalela saat ini? Gereja adalah bagian dari masyarakat. Maka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, gereja harus ikut berperan aktif untuk mendukung pembangunan bangsa melalui pengupayaan pendidikan karakter. Karena, Gereja sebagai sumber rasa dan cahaya bagi masyarakat, itu berarti gereja tidak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri. Suara Tuhan kepada
JURNAL TEOLOGI STULOS
165
Yeremia masih relevan bagi Gereja-gereja Indonesia, yaitu: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7). Ini berarti, doa dan tindakan aktif sebagai bentuk kepedulian gereja terhadap Pendidikan. Gereja harus tetap mewartakan kebenaran sebagai standar moral, ia juga harus melengkapi orang-orang kudus (Guru-guru atau Tenaga Relawan; Keluarga) dengan pendidikan yang mereka butuhkan, sehingga mereka menjadi orang-orang yang bertanggung-jawab kepada Tuhan dan anak didiknya. Masih banyak bentuk-bentuk nyata yang dapat dilakukan Gereja terhadap Pendidikan. Sebab itu, setiap gereja diharapkan dapat menyumbangkan dukungannya, agar kehadirannya bukan sebagai pendatang atau tamu asing di Republik ini, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia lainnya. Sebagai motivasi, biarlah firman Tuhan yang disuarakan Rasul Paulus menjadi pedoman bagi Gereja-gereja Indonesia dalam melaksanakan panggilannya; “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah” (Galatia 6:9).
166
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
DAFTAR PUATAKA
Berkhof, Louis., dan Van Til, Cornelius. Dasar Pendidikan Kristen. Terj. Surabaya: Momentum, 2004. Jack R, Fraenkel. How to Teach about Values: An Analytical Approach. Englewood, NJ: Prentice Hall, 1977. Kuyper, Abraham. Lecturer on Calvinism. Terjemahan. Surabaya: Momentum, 2005. Kuyper, Abraham. Iman Kristen Dan Problema Sosial. Terjemahan. Surabaya: Momentum, 2004. Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th. 1989) Dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1992. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Kemendiknas, 2010. Samani, Muchlas., dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011. Wolterstoff, Nicholas. Educating For Life. Grand Rapids: Grand Rapids: Baker Book House, 2002. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2011.