Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER BERWAWASAN MULTIKULTURAL M.Arif Santoso, Imam Prakoso STIT Muhammadiyah Bojonegoro
[email protected] ABSTRAK
Isu dekandensi moral dalam tataran kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara telah menyita perhatian semua komponen bangsa Indonesia. Keprihatinan terhadap melemahnya nilai-nilai luhur bangsa menjadi sorotan, padahal karakter suatu bangsa merupakan identitas yang melekat dalam jati diri bangsa ini. Peranan pendidikan diharapkan mampu memecahkan fenomena ini, dan menumbuhkan rasa kebangsaan. Revitalisasi pendidikan karakter sudah menjadi keharusan untuk menjawab permasalah dunia pendidikan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri permasalahan degradasi moral bangsa yang dihadapi sekarang ini memiliki benang merah dengan sistem dan lembaga pendidikan. Revitalisasi karakter adalah upaya untuk memberikan daya hidup, daya tumbuh dan daya kembang baru kepada dunia pendidikan yang sekarang mengalami kemunduran bahkan kegagalan dalam mempersiapkan generasi muda sebagai para calon pemimpin bangsa yang memiliki integritas dan berakhalk mulia di masa yang akan datang. Perwujudkan karakter di dalam bentuk pola berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan yang sesuai dengan norma kehidupan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuatnya. Revitalisasi pendidikan karakter ini berwawasan multikultural mencakup prespektif teologis, historis dan sosiologis. A. Pendahuluan Krisis multidimensi yang melanda Indonesia di era reformasi, menghendaki lahirnya perubahan paradigma dalam berbangsa dan bernegara. Penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, penegakan demokrasi, supremasi hukum, dan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
pemberdayaan masyarakat sipil, merupakan agenda penting reformasi yang mesti “dibudidayakan” melalui pendidikan karakter. Pembicaraan dan wacana tentang membangun kembali karakter (watak) secara multikultural telah memenuhi ruang publik selama ini. Perubahan-perubahan dramatis, cepat, berjangka panjang, dan berdampak luas dalam kehidupan yang diakibatkan baik oleh industrialisasi, modernisasi dan terlebih-lebih arus globalisasi yang menghantam bangsa Indonesia, pada gilirannya menimbulkan disorientasi sosial dan kultural. Gaya hidup masa kini pada dasarnya mencerminkan dominasi dari paradigma kehidupan modern yang semakin berpusat pada manusia (anthroposentrisme). Paradigma ini telah menggiring bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, pada gairah eksploitasi sumberdaya secara berlebihan dengan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat. Hubungan antara manusia dengan alam diwarnai oleh egoisme manusia untuk mengeksploitasi, menguasai, dan mengendalikan. Egoisme tersebut tumbuh subur baik dalam masyarakat yang individualistik maupun komunalistik dan telah mampu mendorong kemajuan teknologi, hingga mencapai satu taraf yang di satu sisi semakin mendorong kemajuan ipteks dan di sisi yang lain telah menciptakan kesenjangan-kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Kesenjangan-kesenjangan tersebut menyimpan potensi konflik baik horizontal maupun vertikal yang mampu menggerus nilai-nilai luhur dari karakter bangsa khususnya bangsa Indonesia. Penataan kembali pendidikan karakter bangsa diperlukan tidak hanya karena infrastruktur kebangsasaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan yang rawan krisis, melainkan juga karena dinamika perubahan tatanan dunia dengan semakin menguatnya arus globalisasi (arus orang, modal, barang, jasa, informasi, gaya hidup, nilai-nilai, budaya, lintas batas negara). Globalisasi, otonomi daerah, ketersediaan sumberdaya alam secara terbatas, degradasi lingkungan, degradasi moral dan intelektual serta potensi konflik antar kelompok (ras, suku, agama) telah menciptakan berbagai krisis multi dimensi dalam konteks yang komplek. Berbagai krisis multi dimensi yang dihadapi bangsa Indonesia perlu dipandang sebagai tantangan untuk melakukan tatanan kembali terhadap pendidikan karakter bangsa menuju ke arah yang lebih baik, yaitu peradaban yang mampu membawa
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
kehidupan bangsa ke arah yang semakin berkualitas dan bermakna. Kualitas dan kebermaknaan hidup sangat diperlukan untuk menjaga fungsionalitas kehidupan dan kemanusiaan. Karena itulah perlu kiranya kembali berbicara tentang pendidikan karakter yang membawa konsekuensi perlunya penguatan agama, budaya, identitas, dan peradaban yang memperkokoh karakter bangsa dan visi kebangsaan. Dari paparan inilah penulis tertarik lebih jauh untuk mengupas secara konkrit tentang Revitalisasi Pendidikan Karakter Berwawasan Multikultural. B. Pembahasan Karakter atau akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan ajaran agama yang meliputi sistem keyakinan dan sistem aturan (Islam: akidah dan syariah). Terwujudnya akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat manusia merupakan misi utama pembelajaran pendidikan agama di sekolah. Sejalan dengan ini maka semua mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan kepada peserta didik haruslah mengandung muatan pendidikan karakter dan setiap guru atau dosen haruslah memerhatikan sikap dan tingkah laku peserta didiknya. Islam, misalnya, memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu, akan tetapi yang dimaksud adalah ilmu yang „amaliyah . Artinya, seorang yang memperoleh suatu ilmu akan dianggap berarti apabila ia mau mengamalkan ilmunya. Terkait dengan hal ini, al-Ghazali (dalam al-Abrasyi, 1987: 46) mengatakan, “Manusia seluruhnya akan hancur, kecuali orang-oran g yang berilmu. Semua orang yang berilmu akan hancur, kecuali orang-orang yang beramal. Semua orang yang beramal pun akan hancur, kecuali orang-orang yang ikhlas dan jujur”. Al-Ghazali memandang pendidikan sebagai teknik atau skill, bahkan sebagai sebuah ilmu yang bertujuan untuk memberi manusia pengetahuan dan watak (disposition) yang dibutuhkan untuk mengikuti petunjuk Tuhan sehingga dapat beribadah kepada Tuhan dan mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup (Alavi, 2007: 312). Sementara itu, Isma‟il Raji al-Faruqi (1988: 16) menegaskan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri, dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai Yang Esa, Pencipta Yang Mutlak dan Transenden, dan Penguasa segala yang ada. Bagi kaum Muslim, tidak dapat diragukan lagi, bahwa Islam,
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
kebudayaan Islam, dan peradaban Islam memiliki esensi pengetahuan, yaitu tauhid (QS. al-Dzariyat [51]: 56; al-Nahl [16]: 36; al-Isra‟ [17]: 23; al-Nisa‟ [4]: 36; dan al-An‟am [6]: 151). Dengan demikian, ada tiga komponen penting yang harus diperhatikan di dalam pengelolaan pendidikan, yaitu ilmu itu sendiri, kemudian pengamalan ilmu tersebut, dan tauhid yang menjadi dasar utamanya. Kalau ketiga komponen ini tidak dipahami dan tidak diberikan secara integral, maka akan sulit tercapai tujuan pendidikan sebagaimana yang disebutkan di atas, yakni karakter atau akhlak mulia. Adapun karakter lebih ditekankan pada aplikasi nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, karakter lebih mengarah kepada sikap dan perilaku manusia. Kata karakter, secara harfiah, bisa diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak, kepribadian, budi pekerti, atau akhlak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Doni Koesoema, 2007: 80). Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “ A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya ia menambahkan, “ Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behaviour” (Lickona, 1991: 51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Pendidikan karakter, menurut Ryan dan Bohlin (1999:5), mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan Karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
tentang yang baik sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Jadi, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan Pendidikan Akhlak atau Pendidikan Moral. Yang menjadi persoalan penting di sini adalah bagaimana karakter atau akhlak mulia ini bisa menjadi kultur atau budaya, khususnya bagi peserta didik. Artinya, kajian tentang akhlak mulia ini penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana nilai-nilai akhlak mulia bisa teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi habit peserta didik. Kata „kultur‟ terambil dari kata ber bahasa Inggris, culture, yang berarti kesopanan, kebudayaan, atau pemeliharaan (Echols dan Shadily, 1995: 159; Pusat Bahasa, 2008: 835). Kultur sekolah bisa dipahami sebagai tradisi sekolah yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan spirit dan nilai-nilai yang dianut sekolah. Kultur merupakan kebiasaan atau tradisi yang sarat dengan nilai-nilai tertentu yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan. Kultur dapat dibentuk dan dikembangkan oleh siapa pun dan di mana pun. Pembentukan kultur akhlak mulia berarti upaya untuk menumbuh-kembangkan tradisi atau kebiasaan di suatu tempat yang diisi oleh nilai-nilai akhlak mulia. Pendidikan karakter mutlak harus direvitalisasi kembali. Hal tersebut dikemukakan mengingat dekandensi moral di era globalisasi dewasa ini, dinilai telah sangat mengkhawatirkan. Ini juga merupakan bentuk-bentuk liberalisasi budaya. Karenanya, agar masyarakat dapat terjaga dari serangan budaya yang tidak sesuai dengan norma-norma budaya Pancasila sebagai moral bangsa, pendidikan karakter perlu di revitalisasi. Suka atau tidak suka, saat ini bangsa Indonesia sedang berada di tengah pusaran hegemoni dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya menghadirkan kemudahan dan kenyamanan
hidup
bagi
manusia,
tetapi
juga
mengundangsejumlahpermasalahanbaru. Kondisi karakter atau watak manusia saat ini, khususnya bangsa Indonesia kelihatan mengalami disorientasi identitas. Karena itu, harapan dan seruan dari berbagai kalangan untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan menjadi
semakin
meningkat
dan
nyaring.
Pada
tingkat
internasional,
kesejahteraan, hidup layak, dan perdamaian masih jauh dari apa yang diharapkan,
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
bahkan saat ini masih banyak konflik, kekerasan dan perang di berbagai bagian bumi. Pada level bangsa (nation) Indonesia, harus segera diakui bahwa tidaklah sepenuhnya dalam keadaan inorder, bahkan sebaliknya dalam banyak segi masih dalam kondisi disorder. Sementara itu, kondisi ekonomi belum sepenuhnya membaik, meski mobil-mobil mewah built up semakin banyak melintasi jalan raya dan orang yang mengakhiri hidupnya dengan sengaja karena tidak tahan dengan kelaparan pun meningkat. Kehidupan sangat kontras yang mengerikan, bahkan lebih mengerikan lagi, Indonesia masih saja terancam disintegrasi sosial dan politik baik secara vertikal maupun horizontal. Benih-benih disintegrasi, konflik-konflik dan kekerasan sosial masih terus potensial tumbuh karena berbagai faktor seperti politik, sosial, budaya dan agama yang masih rawan. Hasilnya, tidak heran kalau sebagai orang Indonesia, misalnya, hampir dalam setiap kali memperingati Hari Kebangkitan Nasional menyatakan tidak lagi memiliki kebanggaan sebagai orang Indonesia (having no pride as Indonesians ). Rasa kebanggaan nasional ini semakin terpuruk saja, ketika bangsa Indonesia masih tidak mampu saja membereskan negaranya. Pejabat-pejabat tinggi Malaysia bahkan pernah mengajari Amien Rais sewaktu masih menjabat Ketua MPR RI untuk tidak mencampuri urusan mereka ketika mengkritik hukuman cambuk bagi TKI illegal yang tertangkap dengan ungkapan “don‟t mess up with our business, mind your own messy house”. Ada kepedihan mendalam di sini, meski bisa terkesan sedikit simplistis dan menyederhanakan masalah, hilangnya kebanggaan sebagai bangsa karena berbagai krisis sosial itu dalam skala besar bersumber dari terjadinya krisis dalam watak dan karakter bangsa. Banyak orang mengalami disorientasi identitas bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh, gaya hidup hedonistik, materialistik dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga. Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
memiliki watak dan karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti penodongan, pencopetan, pencurian, dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality). Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini dan sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan ”relevansinya dengan pembentukan karakter”. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan. Sisi lainnya yang dapat dilihat adalah bahwa pendidikan masih menjadi alat kekuasaan negara, dimana sekolah dijadikan sebagai institusi instrumental dari negara dan mengabdi kepada kepentingan politik sesaat siapapun pemegang pemerintahan. Hal itu tercermin karena kurang cermatnya membuat sebuah grand design pendidikan nasional, sehingga selalu muncul masalah kurikulum, sampai sampai ada ungkapan ganti menteri ganti kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum. Kenyataan lain menunjukkan bahwa kekuatan pasar telah menerobos dunia pendidikan di tanah air, sehingga muncul privatisasi sekolah dan komersialisasi pendidikan yang menjadikan sekolah mahal. Bukan hanya itu, inilah salah satu muatan yang diteriaki orang sebagai bentuk-bentuk liberalisme baru atau neoliberalisme. Maraknya privatisasi dan industrialisasi sekolah serta ketidakmampuan negara dalam memastikan pendidikan bermutu yang terjangkau bagi semua warga negara menyebabkan timbulnya semacam pengelompokan atau faksionalisasi siswa di sekolah-sekolah, menurut latar belakang sosio-ekonomi, agama dan etnisitas. Sedangkan multikulturalisme secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sistem nilai atau kebijakan yang menghargai keragaman dalam suatu masyarakat
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
yang didasarkan kepada kesediaan untuk menerima dan menghargai keberadaan kelompok lain yang berbeda suku, etnik, gender, maupun agama. (M. Syafii Anwar : 2006, 2) Secara normatif-teologis, Islam sejak awal telah mengajarkan nilai-nilai penghormatan dan penghargaan atas keberbedaan yang ada, apapun perbedaan yang muncul di bumi ini. Untuk melihat kaitan antara Islam dengan Pendidikan karakter Multikultur, paling tidak ada 3 perspektif: 1. Persepktif Teologis Beberapa ayat al-Qur‟an yang secara jelas sangat apresiatif terhadap tumbuhnya nilai-nilai perbedaan, baik gender, bangsa maupun suku, seperti pada Surat al-Hujurat:> 13, yaitu: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal ...”. Pada Surat al-Ru>m: 22 juga ditunjukkan tentang keharusan untuk saling menghormati dan menghargai di antara perbedaan bahasa dan warna kulit. Dikatakan bahwa “di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. Demikian juga dalam Surat al-Maidah: 48 dikatakan, “... Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”. Dua ayat al-Qur‟„an yang pertama, al-Hujurat: 12 dan al-Rum: 22 di atas, telah memberikan beberapa aksentuasi penting tentang pengakuan keberadaan “lian” menjadi bagian tak terpisahkan dari yang “lain”. Perbedaan gender, bangsa, suku, bahasa, warna kulit, adalah semata-mata perbedaan artifisial yang sudah dikonstruk oleh Allah dalam rangka pemenuhan kebutuhan kelengkapan hidup dan kehidupan di dunia. Inilah yang kemudian disebut dengan Sunnatullah yang bisa menimpa siapa saja yang hidup di dunia. Jika demikian adanya, maka setiap
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
perbedaan yang muncul termasuk perbedaan tradisi/budaya dan lain-lain yang melekat pada setiap umat bukanlah perbedaan yang muncul secara tiba-tiba, tapi sudah dikonstruk sedemikian rupa oleh Allah Swt. Mengingat perbedaan tersebut merupakan Sunnatullah, maka siapa pun yang ada di kosmos ini harus dan wajib mengakui keberadaan “lian” sebagai bagian dari yang “lain” untuk bisa menghirup dan hidup di udara yang sama ini. Dengan demikian, siapa pun yang mengingkarinya, sudah barang tentu menyalahi, bahkan keluar dari Sunnatullah atau mungkin menantang kodrat-Nya. Landasan teologis-normatif di atas sebenarnya telah memberikan kejelasan justifikasi mengenai hubungan antar sesama yang telah melampaui batas-batas etnis, ras, kelompok, golongan, bahkan agama sekalipun. Untuk itu, bangunan
wawasan
kebangsaan
yang
menjunjung
tinggi
nilai-nilai
egalitarianisme, pluralisme, multikulturalisme, humanisme, dan inklusifisme, tidaklah jauh pandangan Islam. Islam diturunkan di muka bumi justru untuk menciptakan nilai-nilai universal dengan misi besarnya sebagai agama “pendamai” dan “perahmat” (rahmatan li al-alamin). 2. Perspektif Historis Sejarah Nabi Muhammad Saw. telah menunjukkan betapa pentingnya menjunjung prinsip-prinsip dasar nilai plural dan multikultural. Nabi sendiri telah hidup di tengah-tengah komunitas yang sangat plural dan multikultural. Ia membangun kebersamaan di tengah keragaman atas dasar teologi la ilaha illallah di Mekah selama 13 tahun, kemudian hijrah ke Yathrib, Madinah. Masyarakatnya tidak hanya terdiri dari satu etnis, suku, bangsa, maupun agama, namun sangat beragam. Ada sejumlah suku dominan yang mendiami kota itu, Suku Aus, Khazraj, Qainuqa, Quraidlah, dan Bani Nadzir. Demikian pula penduduknya menganut beragam agama: Islam, Yahudi, dan sebagian kecil Kristen Najran. Dalam masyarakat Islam sendiri terdapat dua latar belakang, yaitu kaum migran atau pendatang yang disebut dengan sahabat Muhajirin (dari beberapa suku asal Mekah dan sekitarnya), dan penduduk lokal yang biasa disebut sahabat Anshar, yang didominasi oleh suku Aus dan Khajraj. Sedangkan kaum Yahudi berasal dari suku Nadzir, Qainuqa, dan Quraidlah. (Said Agil Siradj: 2006, 27) Dari keberagaman inilah, kemudian Nabi membuat suatu kesepakatan yang mengikat
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
antar ragam yang ada, demi membangun kebersamaan, saling hormat dan menghargai akan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga terjalin komunitas yang tidak hanya stabil dan harmonis tapi juga bisa hidup saling berdampingan. Kondisi masyarakat yang cukup plural dan multikultural tersebut, telah menginspirasi Nabi Muhammad Saw. untuk mendirikan apa yang kemudian dikenal dengan “Negara Madinah”. Konsep Negara Madinah tertuang dalam Piagam Madinah mengandung nilai-nilai universal, yaitu keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan sama di mata hukum. Inilah yang kemudian dijadikan landasan oleh pesantren-pesantren Indonesia pada umumnya. Dalam kaitan ini, ada beberapa tradisi yang telah lama ditunjukkan oleh dunia pesantren, di mana pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua dalam perkembangan dinamika sejarah Indonesia. Hasil studi yang dilakukan oleh para pengamat menunjukkan bahwa sejak awal perkembangannya (awal abad 16), pesantren atau sejenisnya semacam surau, dayah, dan lain-lain nama sesuai daerahnya mendakwahkan Islam dengan ramah dan mudah berakomodasi dengan watak budaya nusantara. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pesantren mempunyai peran yang besar dalam proses Islamisasi (termasuk Islamisasi budaya) di Indonesia, dan bahkan di Asia Tenggara. Kemampuan pesantren berakomodasi dengan watak budaya nusantara yang beraneka ragam secara mudah, dan tidak tertindas dengan kemajuan zaman, cukup menjadi bukti sejarah bahwa sejak awal pesantren telah melangkah dan berproses secara terbuka terhadap perbedaan dan keanekaragaman. Penelitian disertasi lapangan yang cukup menarik oleh Lukens-Bull (1997) di Arizona State University (ASU) AS. mendukung hal ini bahwa kaum pesantren telah berhasil mengukir identitas baru. Mereka menolak dua bentuk taklid ala Kamal al-Taturk, dan bentuk penolakan Khumaini, terhadap segala sesuatu yang serba Barat dan modern. Komunitas pesantren sadar dan peka terhadap globalisasi dan McDonalisasi, tetapi tetap aktif merespon globalisasi dengan jihad damai pendidikan pesantren. Menurut catatan sejarah, keistimewaan yang behasil dicapai oleh pesantren karena didukung oleh adanya kurikulum pendidikan pesantren yang banyak memuat paham-paham multikulturalisme. Sebut saja kitab kuning
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
(klasik), yang hingga kini masih tetap menjadi elemen dasar kurikulum lembaga pendidikan pesantren. Di antara contoh konkrit adalah kitab al-Milal wa al-Nihal, yang ditulis oleh al-Syahrastani (479-485 H). Kitab tersebut mengulas tentang firqah-firqah (golongan-golongan) baik di dalam Islam maupun di luar Islam yang dipaparkan secara obyektif tanpa adanya keperluan menghina atau pun memuji. Selain itu juga kitab al-Fiqh al-Madhahib al-Arba‟ah (kitab empat madzhab) ditulis oleh al-Jazairi yang mengulas mengenai perbandingan pendapat ulama fiqih di lingkungan empat madzhab. Dari kedua kitab ini cukup jelas sikap toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan semangat multikulturalisme yang ditanamkan. (Syafiq Hasyim : 2006, 66) Dalam perkembangan sejarah kemerdekaan hingga berdirinya Republik Indonesia ini, pesantren telah menelorkan pioneers dan Founding Fathers, misalnya K.H. Hasyim Asy‟ari dan putranya K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Mas Mansur, Prof. Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, H. Agus Salim, Sutan Syahrir, HAMKA, dan lain-lain. Mereka semua adalah alumi pesantren, yang tidak hanya mumpuni dalam bidang agama, juga karena komitmennya dalam mempertahankan nilai-nilai universal kemanusiaan yang tinggi, tetapi juga karena kepemimpinan dan semangat nasionalisme dan kebangsaannya yang tinggi. 3. Perspektif Sosiologis Dalam kenyataan sejarah, pesantren telah menunjukkan perannya sebagai agen perubahan (agent of change) yang mampu merespon perkembangan modernisasi secara kritis serta mengarahkannya ke arah kehidupan yang lebih berwatak, kreatif, dan emansipatoris. Hiroko Horikoshi, seorang antropolog Jepang dalam disertasinya yang berjudul A Traditional Leadher in a Time if Change: The Kyai and Ulama‟ in West Java, (1976) menegaskan bahwa kyai dan pesantren sangat berperan dalam proses perubahan sosial menuju ke arah kualitas kehidupan dan kerja yang lebih baik di lingkungan masyarakat sekitarnya. Selain itu Manfred Ziemek, berasal dari Jerman yang telah menulis disertasi berjudul Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel (telah diterjemahkan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Pesantren dan Perubahan Sosial, P3M, 1986), juga mengatakan bahwa kepemimpinan pesantren yang moralis, terbuka, humanis, dan emansipatoris telah berhasil mengantarkan pesantren sebagai agen perubahan yang kritis dan partisipatoris terhadap arus modernisasi yang tak terelakkan lagi dalam sejarah. Tesis Horikoshi dan Ziemek ini telah meng-counter tesis antropolog terkemuka Clifford Geertz yang cenderung kurang memberikan apresiasi terhadap peranan kyai sebagai agen perubahan sosial. Dengan demikian, Islam multikultural adalah semacam perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan “sang lian” (the other). Suatu assessment teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi Qur‟ani yang membolehkan “sang lian” menjadi “yang lain” sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular. Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina, ini merupakan sensibilitas ekumene dari teologi multikulturalis yang menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antar agama, etnik dan budaya. (Zakiyudin Baidhawy : 2005, 3) Dalam konteks tersebut memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, di Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di Nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan sebagainya. Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
lepas dari konteks multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh Walisongo. Berdasar pada ketiga diskursus di atas, pendidikan multikultural dalam Islam sebenarnya bukanlah hal baru. Hal ini paling tidak telah ditunjukkan oleh dunia pesantren dengan sistem dan pola pengajarannya yang sarat akan nilai-nilai multikulturalisme. Kondisi demikian tidak hanya dapat disaksikan melalui proses pengajaran dan pembelajarannya, tetapi juga materi atau kurikulum yang diajarkannya. Di pesantren sepanjang pengamatan dan pengalaman penulis senantiasa diajarkan nilai-nilai moralitas untuk saling menghormati dan menghargai antar ragam, corak dan kemajemukan yang ada di sesama umat manusia, baik perbedaan agama, adat-istiadat, budaya, dan sebagainya. Inilah yang kemudian disebut dengan “tradisi pesantren”, yang merupakan dialog dan pergulatan panjang antara doktrin Islam dan tradisi setempat. Di dalam pesantren, melalui ajaran moralitas dan tasawuf (akhlaq) yang disampaikan, telah berkembang ajaran-ajaran perlunya menjunjung tinggi sikap-sikap toleransi (tasamuh), bersikap moderat (tawasuth) dan senantiasa konsisten dan optimis (ta‟adul dan istiqamah). Inilah nilai-nilai dasar pembentukan karakter yang mesti ditanamkan dalam diri siswa selanjutnya. Dengan demikian, pendidikan karakter multikultur harus mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, daerah asal, dan strata sosial. Pendidikan karakter multikultur, sebagaimana ditegaskan oleh James Banks dalam El-Ma‟hady paling tidak pendidikan yang mempunyai lima dimensi yang saling berkaitan. 1) Content integratian. Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. 2) The knowledge construction process. Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). 3) An equity paedagogy. Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. 4) Prejudice reduction. Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
menentukan metode pengajaran mereka. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik. Dalam implementasinya, paradigma pendidikan karakter multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
Pendidikan karakter multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
Pendidikan karakter multikultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan karakter multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
Pendidikan karakter multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri. Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis. Pendidikan karakter multikultural merupakan pendidikan yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: Pertama, Berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan.
Kedua,
Berorientasi
pada
kemanusiaan,
kebersamaan
dan
kedamaian.Ketiga, Mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman budaya. Hal yang paling signifikan yang membedakan antara pendidikan karakter multikultural adalah pijakan epistemologi nilai-nilai multicultural yang dianut.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Pendidikan
karakter
multikultural
mengembangkan
nilai-nilai
tersebut
berdasarkan wahyu, sedangkan pendidikan multicultural yang bercorak barat mengembangkan nilai-nilai yang berpijak pada hak asasi manusia.
C. Penutup Arti penting dari pendidikan karakter adalah mengoptimalkan muatanmuatan karakter yang baik dan positif (baik sifat, sikap, dan perilaku budi luhur, akhlak mulia) yang menjadi pegangan kuat dan modal dasar pengembangan individu dan bangsa nantinya. Multikulturalisme sebenarnya bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Multikulturalisme jika ditilik dalam sejarahnya yang panjang pada hakikatnya adalah ciri khas asli masyarakat Indonesia. Multikulturalisme menjadi menarik untuk diperbincangkan, karena saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada pupusnya rasa kebersamaan, persaudaraan, kesetiakawanan sosial, keadilan, konflik antar anak bangsa, rasa nasionalisme, dan lain-lain. Jika demikian adanya, maka tidak ada salahnya memilih multikulturalisme sebagai mainstream dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan karakter berwawasan multikultur harus mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, daerah asal, dan strata sosial. Pendidikan karakter multikultur mempunyai lima dimensi yang saling berkaitan, yakni : Content integratian, The knowledge construction process, An equity paedagogy, dan Prejudice reduction.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, M. Syafii. “Menggali Kearifan Pesantren untuk Multikulturalisme”. Jurnal Al-Wasathiyyah. Vol. 01, No. 01 Februari 2006. Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2005. Baidhawy, Zakiyuddin. “Ber-Islam di Era Multikultural”. dalam http:// islamlib.com. Banks, J. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Practice”, dalam Review of Research in Education, 19, 1994. El-Ma‟hady, Muhaemin. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”. dalam http://artikel.us/muhaemin, 2004. Fuad, Choirul. “Mengkaji Ulang Islam Multikultural”. dalam http:// islamlib.com. Hamim, Thoha. “Islam dan Hubungan Antar Umat Beragama”. FORMA, Surabaya: Majalah Mahasiswa Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, Edisi XXVI, 2001. Hanurawan, F. & P. Waterworth. “Multicultural Perspectives in Indonesia Sosial Studies and Student Prejudice Reduction”. Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 4, 1997. Hasyim, Syafiq. “Belajar Multikulturalisme dari Pesantren”. Jurnal AlWasathiyyah, Vol. 1, No. 1, Februari 2006. Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2004. Widja, I.G. dan K. Putra. “Pendidikan Multikultur” makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia V, Surabaya: 5-9 Oktober 2004. Wignyosubroto, Sutandyo. “Pluralitas dalam Realitas Kehidupan Nasional (dengan Berbagai Permasalahan SARA-nya), Pluralisme dan Persatuan Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Konsep SARA dalam Tinjauan”, Surabaya: Kosmopolit, 1998. Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.