Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER TINGKAT UNIVERSITAS: HARUSKAH MAHASISWA WAJIB MENGIKUTINYA? Arundati Shinta1, Eni Rohyati2, Wahyu Widiantoro3 Fakultas Psikologi, Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta 1 Email :
[email protected]
123
ABSTRAK Tujuan tulisan ini adalah untuk menjelaskan tentang proses menghidupkan kembali program pendidikan karakter tingkat universitas. Latar belakangnya, pengelola universitas sering terjebak dengan pendapat yang utopis bahwa semua alumni universitas harus mempunyai karakter terpuji. Konsekuensinya pendidikan karakter menjadi bersifat wajib. Bila mahasiswa tidak lulus mata pelajaran pendidikan karakter maka ia mendapat stigma karakternya buruk. Pendidikan karakter yang bersifat wajib cenderung mendorong mahasiswa untuk berusaha keras agar lulus dengan segala cara, termasuk berbuat curang. Situasi semacam ini bersifat kontradiksi, pada satu sisi program karakter mendorong mahasiswa untuk berkarakter bagus namun pada sisi lain justru mahasiswa termotivasi untuk berbuat curang demi sebuah nilai. Tulisan ini menjelaskan tentang proses pendidikan karakter yang semula bersifat wajib menjadi bersifat suka rela pada tingkat universitas. Dampak perubahan sifat program pendidikan karakter itu adalah terbentuknya motivasi internal mahasiswa untuk berperilaku jujur, tabah, mandiri, dan mentalnya tahan uji. Kata kunci: pendidikan karakter, suka rela, motivasi internal, model.
PENDAHULUAN Pendidikan karakter adalah suatu strategi yang dilakukan oleh lingkungan sosial agar anak-anak mempunyai kebiasaan, karakter, dan perilaku terpuji sesuai dengan ukuran baku lingkungan sosial tersebut. Pendidikan karakter itu akan lebih mudah dilakukan ketika target pendidikan itu masih berusia kanak-kanak, terutama oleh orangtua. Hal ini karena orangtua adalah lingkungan sosial pertama dan paling akrab dengan anak. Selain itu orangtua adalah figur yang mampu memberikan hadiah (reward) dan hukuman (punishment), yang mana kedua hal itu merupakan cara-cara lazim untuk membentuk suatu kebiasaan (Bussey & Bandura, 1999). Bagaimana menjalankan pendidikan karakter untuk orang dewasa atau mahasiswa? Berbeda dengan anak-anak, pendidikan karatker untuk mahasiswa lebih sulit. Hal ini karena mahasiswa dianggap sudah tahu tentang pendidikan karakter serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan pelajaran agama dan kewarganegaraan yang selama ini sering dikaitkan dengan pendidikan karakater (Samsuri, 2011), ternyata justru membahas isu-isu nasional seperti masalah teroris, korupsi, bahkan pemilihan pemimpin nasional (presiden). Selain itu, pendidikan karakter tingkat universitas tersebut cenderung membosankan, karena isinya berupa dogma-dogma yang tidak boleh dibantah dan mahasiswa harus menerima apa adanya.
25
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Hambatan lainnya dari pendidikan karakter pada tingkat universitas adalah dosen tidak dituntut untuk melakukan pendidikan karakter pada mahasiswa. Hal ini karena dosen lebih dituntut untuk melakukan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan mendidik karakter mahasiswa (Asyanti, 2012). Selain itu melakukan pendidikan karakter tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, sedangkan dosen sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk mendidik karakter mahasiswa. Pendidikan karakter mahasiswa cukup dilakukan dengan cara mahasiswa melakukan kegiatan melalui UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), sehingga kemampuan yang terasah adalah membuat proposal, mencari dana kegiatan, dan berorganisasi. Pendidikan karakter untuk pembentukan perilaku sederhana seperti kejujuran, ketabahan, kedisiplinan, dan kemampuan mengatur waktu, ternyata kurang diperhatikan. Oleh karena itu tidak mengherankan bila banyak mahasiswa yang terlibat dengan hal-hal kurang terpuji seperti tawuran, mencontek pada saat ujian, menipu, pergaulan bebas, dan sebagainya. Pada masa dewasa, bila mahasiswa tidak mempunyai karakter yang baik, maka ia akan tersisih. Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan tentang proses revitalisasi (menghidupkan kembali) program pendidikan karakter IAYP (International Award for Young People) pada tingkat universitas. Hal ini karena pengelola universitas sempat antusias dengan pendidikan karakter tersebut. Antusiame agaknya tidak berlangsung lama (mungkin karena bosan), sehingga program hanya berusia beberapa minggu saja kemudian berhenti (mati suri). Manfaat tulisan adalah untuk memberikan informasi tentang kesuksesan penerapan pendidikan karakter tingkat universitas. Manfaat selanjutnya yaitu meningkatkan motivasi para dosen untuk menjadi pembina yang baik bagi para mahasiswanya dalam menjalankan semua kegiatan IAYP. Manfaat ketiga yaitu sebagai bahan untuk penyusunan petunjuk (Standard Operation Procedure) pelaksanaan pendidikan karakter tingkat universitas melalui program IAYP. Petunjuk ini berguna bagi institusi lain untuk melakukan hal serupa atau replika kegiatan. Penekanan tulisan ini adalah pada penjelasan tentang pengalaman terbaik (best practice) dalam menghidupkan kembali dan menerapkan pendidikan karakter tingkat universitas yang dilakukan melalui program IAYP. Pelaksanaan suatu program dikategorikan sebagai pengalaman terbaik, bila mempunyai lima indikator (Dharma, 2013). Indikator pertama adalah adanya inovasi khususnya dalam pengembangan pendidikan karakter untuk tingkat universitas. Indikator kedua yaitu pelaksanaan program tersebut terbukti membawa perubahan drastis yang positif pada para mahasiswa. Indikator ketiga yaitu adanya manfaat yang berkelanjutan dari progam pendidikan karakter ini. Indikator keempat yaitu mampu menginsipirasi pejabat dalam membuat kebijakan, sehingga pendidikan karakter ini menjadi sebuah gerakan. Indikator kelima yaitu metode yang digunakan bersifat ekonomis dan efisien. Indikator-indikator tersebut tercantum dalam pembahasan.
PEMBAHASAN Apakah IAYP itu? Apakah ada pendidikan karakter yang tidak membosankan untuk tingkat universitas? Pendidikan karakter yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah pendidikan karakter melalui program IAYP (International Award for Young People) (McMenamin, 2011, Shinta, 2013a, 2013c). IAYP adalah program pendidikan karakter untuk anak-anak muda usia 14-25 tahun. Program ini diciptakan oleh Kurt Hahn (1886-1974), seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Jerman pada tahun 1956. Sekarang, program IAYP dipimpin oleh HRH The Duke of Edinburg atau Pangeran Phillip. Program ini sudah dikenal dan diterapkan di 144 negara di seluruh dunia, meskipun dengan nama yang berbeda-beda.
26
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Penerima manfaat program IAYP ini adalah anak-anak muda karena Kurt Hahn mempunyai sebuah filosofi unik. Filosofinya yaitu anak-anak muda itu sebenarnya sudah mempunyai standar moral yang memadai, namun ketika beranjak dewasa karakter mereka menjadi tercemar karena anggota masyarakat mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Pendidikan ekstra kurikuler dapat mengarahkan karakter anak-anak muda menjadi lebih baik bila mereka diberi pelatihan untuk memimpin diri sendiri dan mereka juga diberi kesempatan untuk melihat hasil dari tindakannya (Veevers, 2006). Program IAYP itu sebenarnya merupakan modifikasi dari pendidikan ekstra kurikuler dari Sekolah Salem di Jerman Barat dan Sekolah Gordonstoun di Skotlandia. IAYP ini adalah program yang sifatnya suka rela yang berarti anak-anak muda tersebut berpartisipasi dalam program IAYP tanpa ada paksaan dari siapa pun. Tujuan dari sifat suka rela pada program IAYP adalah untuk membentuk pengaturan diri (regulasi diri) internal anak-anak muda agar mereka menjadi tangguh menghadapi kenyataan buruk dalam masyarakat. Seandainya progam ini bersifat wajib, maka anak akan merasa terpaksa sehingga regulasi diri eksternal menjadi kuat. Individu yang mempunyai regulasi diri internal kuat berarti ia mampu mengatur, mengendalikan, dan mengelola perilakunya berdasarkan alasannya sendiri. Ia juga berani bertanggung jawab terhadap semua akibat dari perilakunya. Regulasi diri eksternal, sebaliknya, akan mendorong individu untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat orang lain. Ia akan mengekor apa saja yang telah diputuskan oleh lingkungan sosialnya. Individu cenderung menyalahkan lingkungan sosialnya bila ia mengalami dampak negatif dari perbuatannya (Chandler & Connell, 1987; Crain, 2000; Ryan & Deci, 2000). Apa saja kegiatan IAYP? Kegiatan IAYP ini sudah dirancang untuk menunjang minat anak, dilakukan di luar ruangan (outdoor activity), dan merupakan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan di luar ruangan itu pada umumnya tidak terlalu banyak peraturan sehingga partisipasi anak semakin tinggi dalam kegiatan tersebut (Waite, 2011). Kegiatan IAYP terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu olah raga, ketrampilan, dan pelayanan sosial. Semua kegiatan tersebut harus dilakukan minimal 60 menit / minggu selama 3 bulan (12 kali kegiatan) untuk level perunggu. Kegiatan tambahan yaitu spesialisasi (pilih olah raga / ketrampilan / sosial, selama 12 kali kegiatan) dan petualangan (2 hari 1 malam) (McMenamin, 2011; Shinta, 2013c). Apa saja manfaat kegiatan IAYP? Kegiatan IAYP ini mendorong anak untuk mendapatkan kebiasaan baik seperti ulet, jujur, berusaha mengalahkan diri sendiri, bertanggung jawab, menyelesaikan tugas dengan tuntas, mampu menakar potensi dengan realistis, menggali potensi dengan cara membantu kesuksesan orang lain, dan peduli pada masalah-masalah sosial (McMenamin, 2011; Shinta, 2013a; Veevers, 2006). Penghargaan (award) yang diperoleh anak berupa perunggu, perak, dan emas. Penghargaan tersebut sangat berguna bagi anak untuk bekal melanjutkan studi tingkat lanjut di 144 negara dan sebagai bekal untuk melamar pekerjaan terutama pada organisasi internasional. Apa saja keunggulan program pendidikan karater IAYP ini? Letak keunggulan program pendidikan karakter IAYP adalah pada sifatnya yang suka rela. Hal itu berarti bahwa mahasiswa tidak diwajibkan mengikuti program pendidikan karakter ini. Apabila program teresbut bersifat wajib, maka mahasiswa justru akan menunjukkan kreativitasnya demi mendapatkan kelulusan, misalnya dengan mencontek. Ketika mahasiswa bersedia mengikuti program secara suka rela, maka komitmen awalnya akan ditantang. Sampai seberapa kuat mahasiswa mampu mengerjakan semua kegiatan program IAYP ini yang nampaknya sederhana namun membutuhkan komitmen kuat untuk menyelesaikannya. Keunggulan kedua dari program pendidikan karakter IAYP yang tidak ada pada pendidikan karakter lainnya adalah kegiatan pelayanan masyarakat. Pendidikan karakter lainnya lazimnya berkaitan dengan kegiatan kurikuler atau wajib sehingga perlu disusun kurikulumnya (New school venture fund,
27
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
2007, Samsuri, 2011). Dalam kegiatan pelayanan masyarakat program IAYP ini, tidak diperlukan suatu kurikulum. Peserta justru didorong untuk melakukan kegiatan peduli pada orang lain, suatu lembaga atau suatu lingkungan. Kepedulian itu dilakukan tanpa ada imbalan uang sama sekali. Keberlanjutan kegiatan pelayanan ini sangat bergantung pada keberadaan model yang melakukan hal yang serupa.
Pendidikan Karakter Pada Tingkat Universitas Universitas kami sudah mengadopsi program IAYP sebagai sarana untuk pendidikan karakter para mahasiswanya pada Maret 2011. Universitas kami bukanlah universitas pertama di Indonesia yang mengadopsi program IAYP untuk pendidikan karakter mahasiswanya. Pada saat peresmian program IAYP pada tingkat universitas, juga dilakukan pelatihan bagi para dosen untuk menjadi pembina (leader) bagi mahasiswa yang menjadi peserta program. Tercatat ada 10 dosen yang sudah mendapat sertifikat sehingga resmi menjadi pembina. Tugas pembina adalah memantau, memberi semangat, dan memberi konseling bila mahasiswa mengalami hambatan dalam melakukan semua kegiatan IAYP. Setelah program dicanangkan, para pembina segera melakukan sosialisasi pada para mahasiswa. Apa saja hasilnya? Pada Maret 2011, beberapa minggu setelah peresmian program IAYP dalam universitas kami, dibentuklah sekelompok dosen yang bersedia menjadi pembina para mahasiswa dalam menjalani prorgam. Mereka sudah menjalani pelatihan dan mendapatkan sertifikat sebagai pembina. Oleh karena para dosen tersebut juga sibuk menyelesaikan tugas-tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka keberadaan program pendidikan karakter itu seolah terlupakan dan tidak berapa lama kemudian mati suri. Kondisi mati suri berlangsung sampai satu tahun. Tidak ada satu pun mahasiswa yang tertarik mengikuti program pendidikan karakter IAYP. Berdasarkan pengamatan dan wawancara pada para pembina, kegagalan pelaksanaan program pendidikan karakter pada tingkat universitas ada pada dua sisi yaitu dosen / pembina dan mahasiswa itu sendiri. Hambatan pada pembina antara lain: 1. Pembina tidak memahami seluruh kegiatan IAYP. Kurang pahamnya para pembina ini karena bahasa yang digunakan selama pelatihan adalah bahasa Inggris, sehingga para peserta pelatihan kurang memahami penjelasan-penjelasannya. Memang ada penterjemahnya, namun proses pemahaman para pembina menjadi kurang maksimal. 2. Partisipasi dosen dalam pelatihan pembinaan mahasiswa itu nampaknya bersifat keterpaksaan. Pimpinan universitas kurang mampu menstimulasi minat para dosen untuk melakukan kegiatankegiatan yang sifatnya nir-laba atau sosial. Jadi dorongan pihak universitas merupakan salah satu contoh kebijakan yang mengharuskan para dosen untuk mengikuti pelatihan, sehingga sifat kebijakan adalah dari atas ke bawah (top-down). 3. Pembina awam dengan kegiatan luar ruang (out door activity) dan ekstrakurikuler. Padahal dua kegiatan tersebut hampir sama dengan kegiatan IAYP. Pada sisi lain, jumlah kegiatan kemahasiswaan (Unit Kegiatan Kemahasiswaan) sangat minim, karena universitas kami kekurangan dana untuk menyelenggarakan kegiatan. Oleh karena itu, baik dosen maupun mahasiswa menjadi kurang akrab dengan kegiatan ekstra kurikuler. 4. Para dosen masih asing dengan kegiatan yang sifatnya rutin sebagai sarana pembentukan regulasi diri. Dampaknya adalah perilaku sehari-hari para dosen pun belum menjadi sumber inspirasi mahasiswa. Dengan perkataan lain, perilaku pembina belum menjadi suri tauladan / model bagi para mahasiswanya. Hal ini terbukti dengan hasil wawancara dengan para pembina, bahwa mereka tidak atau jarang melakukan olah raga secara rutin, tidak berusaha meningkatkan ketrampilannya (mengikuti kursus), dan asing dengan kegiatan nir-laba.
28
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Hambatan yang ada pada mahasiswa dalam mengikuti program pendidikan karakter antara lain yaitu: 1. Mahasiswa masih asing dengan kegiatan yang rutin dan teratur. Hal ini terjadi karena pada masamasa sebelum menjadi mahasiswa, anak-anak itu tidak dilatih orangtua untuk menjalani suatu hobi secara teratur dan rutin. Kalau pun anak-anak itu menjalani suatu hobi tertentu, maka kegiatan itu biasanya dilaksanakan di sekolah sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Dalam melaksanakan kegiatan, anak diawasi oleh guru bukan orangtua. Setelah lulus sekolah, anak tidak lagi mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang rutin. Hilanglah kebiasaan yang baik pada anak. 2. Mahasiswa lebih didorong mengikuti kegiatan kognitif (perkuliahan), bukan kegiatan ekstrakurikuler. Dampaknya mahasiswa memandang bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah bukan kegiatan penting untuk penyiapan karir. Pada tahun 2012, situasi pelaksanaan program IAYP mulai menampakkan tanda-tanda kehidupan. Beberapa dosen kembali mengikuti pelatihan untuk mendapatkan legalitas menjadi pembina peserta. Beberapa mahasiswa kemudian tertarik mengikuti program karena pembina menerapkan tiga macam inovasi. Inovasi pertama yaitu menyelenggarakan kelas bahasa Inggris. Agar tidak membosankan, maka kelas bahasa Inggris dirancang tidak seperti kursus bahasa Inggris pada umumnya. Penyelenggaraan kelas bahasa Inggris dilakukan dengan pendekatan psikologis yaitu membangkitkan efikasi diri mahasiswa untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu masalah tata bahasa tidak menjadi perhatian utama, namun justru keberanian mahasiswa dalam bercakap-cakap yang menjadi tujuan utama. Metode penyampaian materi dilakukan dengan menggunakan simulasi (game) psikologi yang dilakukan baik di dalam maupun di luar kelas. Inovasi kedua yaitu mengajak mahasiswa di luar universitas kami untuk mengikuti program IAYP. Peserta dari luar tersebut kebetulan menjadi atlet taekwondo yang sudah sering berlaga pada pertandingan tingkat nasional dan internasional. Oleh karena itu regulasi dirinya sudah terbentuk dengan bagus (Shinta, 2013b). Jadi pada hakekatnya peserta tersebut sudah mempunyai karakter yang bagus meskipun tidak mengikuti program IAYP. Fungsi keberadaan peserta luar itu adalah untuk meyakinkan baik pembina maupun mahasiswa bahwa program IAYP bisa dilakukan di univeristas kami. Inovasi ketiga yaitu pengadaan kelas menulis. Tujuan dari kelas menulis yaitu sebagai alternatif pemenuhan kegiatan ketrampilan pada program IAYP. Dalam kelas menulis, mahasiswa didorong untuk membuat tulisan dan dipublikasikan di blogsite mahasiswa yaitu Kup45iana. Peminatnya ternyata sangat banyak, karena materinya sangat relevan dengan tugas-tugas perkuliahan. Selain penerapan tiga inovasi, program IAYP juga disosialisasikan melalui kegiatan orientasi kampus pada mahasiswa baru. Hasilnya memang banyak mahasiswa baru yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kegiatan IAYP, dan mereka mulai mengikutinya. Mereka mengikuti program dengan suka rela, tidak pernah ada paksaan. Ini sesuai dengan pronsip dari progam IAYP yang sudah digariskan dari kantor pusat IAYP di Inggris, bahwa kepesertaan anak-anak muda harus suka rela bukan kewajiban. Apa saja perubahan positif yang terjadi di sekeliling kampus semenjak program pendidikan karakter ini menjadi semacam kegiatan yang populer? Perubahan positif yang terjadi adalah para mahasiswa peserta program tidak malu atau segan melakukan kegiatan kepedulian pada masyarakat, meskipun teman-teman yang lain mengejeknya. Contoh kegiatan yang dilakukan antara lain membersihkan jamban kampus (Shinta, 2014) dan mengelola sampah (Shinta, Listiari & Bimono (2014). Dua kegiatan tersebut pada umumnya dianggap hina oleh masyarakat, namun justru menjadi ajang kegiatan pelayanan masyarakat bagi peserta program. Mahasiswa lain yang tidak memahami makna pelayanan masyarakat, cenderung memberikan stigma negatif. Stigma itu antara lain bahwa peserta
29
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
program dianggap tolol karena bersedia dieksploitasi tenaganya oleh manajemen univesitas. Mahasiswa peserta program dianggap sebagai pengganti karyawan universitas yang memang bertugas membersihkan jamban dan membereskan sampah. Perbedaannya adalah mahasiswa peserta program tidak dibayar, sedangkan karyawan universitas mendapat bayaran. Cara-cara mengatasi stigma negatif tersebut ialah dosen pembina program pendidikan karakter harus bersedia melakukan hal serupa. Jadi dosen bersama mahasiswa membersihkan jamban dan mengelola sampah universitas. Mengapa mahasiswa membutuhkan model untuk melakukan kegiatan pelayanan masyarakat? Alasan yang mungkin antara lain: tidak mempunyai waktu, tidak mengetahui cara-cara melakukan kegiatan tersebut, merasa tidak mempunyai sesuatu yang berharga yang bisa disumbangkan kepada masyarakat, tidak mempunyai transport untuk menuju lokasi, tidak mempunyai informasi yang memadai, dan tidak percaya diri (Campbell, 2009). Keberadaan dosen pembina yang bersedia menjadi model merupakan petunjuk bahwa mahasiswa kurang percaya diri melakukan kegiatan pelayanan masyarakat di kampus. Keberadaan dosen pembina yang bersedia menjadi model bagi mahasiswa merupakan strategi jitu untuk mengatasi rasa curiga bahwa mereka akan dieksploitasi tenaganya. Mereka membutuhkan model yang juga melakukan hal serupa. Melalui pengamatan terhadap model ini maka mereka belajar cara-cara membersihkan jamban, mengelola sampah, dan yang paling penting adalah belajar mengelola emosi ketika mendapat ejekan karena mengerjakan hal-hal yang dianggap hina. Selain belajar mengelola sampah, mahasiswa juga belajar mengelola emosi. Setelah mendapatkan mental yang kuat, manfaat apa lagi yang diperoleh mahasiswa peserta program? Manfaat yang berkelanjutan yaitu mereka menjadi terbiasa berani berbeda dengan mahasiswa lain yang tidak mengikuti program pendidikan karakter ini. Motivasi internal mereka untuk berbuat sesuai dengan komitmen awal mulai terbentuk. Sebagai contoh, peserta sudah berkomitmen untuk berenang sebagai jenis kegiatan olah raganya. Ketika teman-teman yang lain bersenang-senang, namun ia memilih berenang sesuai dengan komitmen awal daripada bergabung dengan teman-temannya. Ia mampu membuat keputusan seperti itu karena ia waspada akan kemungkinan harus mengulang kegiatan mulai dari minggu pertama bila ia malas melakukannya. Adanya rasa bangga terhadap penghargaan yang akan diperoleh bila selesai menjalani program pendidikan karakter ini telah memupuk motivasi internal peserta. Populernya program pendidikan karakter yang sifatnya suka rela namun berskala internasional ini telah memberi inspirasi pada para pejabat universitas kami. Program pendidikan karakter IAYP ini kemudian menjadi semacam ‘magnet’ untuk menarik mahasiswa baru. Meskipun program pendidikan karakter ini sudah menjadi semacam gerakan di kampus kami, namun gerakan itu sifatnya masih belum mantap. Indikatornya adalah masih ada mahasiswa peserta yang harus dikejar-kejar untuk menyelesaikan kegiatan dan menuliskan laporan kegiatan. Hal ini terjadi karena jumlah dosen yang bersedia menjadi pembina (leader), sangat terbatas. Bagaimana cara menjalankan program pendidikan karakter ini dengan efisien? Pertanyaan ini sangat penting mengingat mayoritas mahasiswa berada dalam situasi kekurangan uang. Menyuruh para mahasiswa untuk mengikuti kursus bahasa asing sebagai kegaitan ketrampilan, tentu mematikan motivasi mereka mengikuti program ini. Untuk kegiatan olah raga, menyuruh mereka melakukan olah raga di pusat kebugaran juga bukan suatu pilihan yang bijak. Hal ini karena lembaga kursus dan pusat kebugaran itu menarik bayaran yang tinggi. Untuk kegiatan ketrampilan, cara untuk mengatasi tingginya biaya kursus yaitu mengikuti kursus bahasa Inggris secara gratis dengan metode scrabble melalui dunia maya. Untuk kegiatan olah raga, mahasiswa diarahkan untuk mengikuti olah raga yang murah meriah. Contoh olah
30
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
raga tersebut antara lain lari atau jogging, senam aerobik, bersepeda, lompat tali atau skipping, dan air climbing atau naik turun tangga. Senam aerobik ini biasa dilakukan oleh berbagai lembaga atau toko pada hari Minggu secara gratis. Kegiatan pelayanan masyarakat dilakukan dengan cara membersihkan kampus secara rutin. Kegiatan petualangan dilakukan dengan cara mengikuti acara malam keakraban yang biasa dilakukan oleh pihak BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dengan dana dari universitas. Jadi sebenarnya mengikuti program pendidikan karakter IAYP ini sangat mudah dan murah. Persoalannya adalah pada ketabahan menjalaninya, karena penyelesaian program ini sangat bergantung pada ketabahan dan ketekunan peserta. Semakin seseorang tekun dan tabah maka semakin kegiatan dalam pendidikan karakter tersebut selesai dengan baik sesuai dengan standar. Bila peserta sering mangkir dengan berbagai alasan yang tidak dapat diterima oleh pembina, maka semakin lama ia menyelesaikan program karena ia harus berulang kali memulai kegiatan mulai dari minggu pertama.
KESIMPULAN Membangun kembali program pendidikan karakter yang telah mati suri, merupakan tugas yang sangat berat, namun menantang. Hal ini karena program pendidikan karakter ini sejatinya tidak hanya untuk anak muda / mahasiswa usia 14-25 tahun saja, tetapi juga ditujukan kepada orang dewasa / dosen pembina. Kegiatan-kegiatan dalam program pendidikan karakter IAYP sebenarnya sederhana, namun jarang ada mahasiswa yang pada masa lampaunya melakukan kegiatan tersebut secara teratur. Dampaknya adalah mereka merasa asing / malas melakukan kegiatan tersebut. Agar mahasiswa bersedia melakukan kegiatan-kegiatan IAYP, maka mereka membutuhkan model untuk melakukan hal serupa. Situasi ini disebut dengan belajar melalui pengamatan (Bandura, 1986). Bagaimana proses psikhis terjadinya belajar melalui pengamatan ini? Proses psikhis itu terjadi ketika individu mengamat-amati semua perilaku model kemudian mengevaluasinya. Proses evaluasi ini menyangkut faktor emosi (suka / tidak suka). Pada pendidikan karakter, mahasiswa mengevaluasi perilaku model / dosen tentang cara-cara mereka mengajar dan memperlakukan mahasiswa. Berdasarkan evaluasi ini mahasiswa akan mengetahui komitmen model / dosen dalam hal-hal seperti kejujuran, kepedulian, bisa dipercaya, dan rasa hormat (Lumpkin, 2008). Dengan perkataan lain, mahasiswa mengevaluasi apakah perkataan dosen sesuai dengan perilakunya. Ketika perkataan dan perilaku dosen itu tidak sesuai maka mahasiswa akan mengevaluasi bahwa dosen hanya bisa memerintah saja. Hal itu berarti bahwa kegiatan-kegiatan dalam program pendidikan karakter memang tidak bisa dilakukan, sehingga tidak akan mahasiswa bersedia berpartisipasi dalam program IAYP. Jadi, kunci utama dalam menghidupkan kembali program pendidikan karakter di universitas kami adalah adanya kesediaan dosen yang berkomitmen menjadi pembina dan model bagi para mahasiswanya. Keberadaan model yang melakukan kegaitan yang serupa dengan mahasiswa akan menyebabkan mahasiswa menjadi yakin bahwa kegiatan tersebut dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Asyanti, S. (2012). Pendidikan karakter di perguruan tinggi: Sudah terlambatkah?. Seminar Nasional Psikologi Islami, Surakarta, 21 April 2012.
31
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Bussey, K. & Bandura, A. (1999). Social cognitive theory of gender development and differentiation. Psychological Review. 106, 676-713. Campbell, J.; Bell, V.; Armstrong, S.C.; Horton, J.; Mansukhani, N.; Matthews, H. & Pilkington, A. (2009). The impact of the Duke of Edinburgh’s award on young people. Final Report presented to the Project Steering Group. Centre fo Children and Youth School of Social Sciences, The University of Northampton Park Campus, Northampton NN2 7AL. Retrieved on February 15, 2014 from: nectar.northampton.ac.uk/2447/1/Final_report_master_document.pdf Chandler, C. L. & Conell, J. P. (1987). Children’s intrinsic, extrinsic and internalized motivation: A developmental study of children’s reasons for liked and disliked behaviors. British Journal of Developmental Psychology, 5, 357-365. Crain, W. (2000). Theories of development: Concepts and applications. 4th ed. New Jersey: Prentice Hall. Dharma, S. (2013). Pedoman lomba penulisan best practice guru dalam tugas pembelajaran di sekolah. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lumpkin, A. (2008). Teachers as role models teaching character and moral virtues. JOPERD. February, 79(2), 45-49. McMenamin, A. (2011). Buku pedoman The International Award for Young People. The Duke of Edinburg’s Award International Association. New school venture fund (2007). Perspectives character schools: The design and implementation of an effective character education program. San Fransisco: New School Venture Fund. Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55, 68-78. Samsuri (2011). Mengapa (perlu) pendidikan karakter?: Kaji ulang pengalaman di FISE Universitas Negeri Yogyakarta. Bahan sosialisasi mata kuliah pendidikan karakter di FISE UNY di Wonosobo. Retrieved on April 6, 2015 from: staff.uny.ac.id/.../samsuri.../mengapa-perlu-pendidika... Shinta, A. (2013a). Pembentukan karakter generasi muda melalui program IAYP (International Award for Young People). IAYP-UP45. Retrieved on May 15, 2013 from http://iayp-up45yogyakarta.blogspot.com/ Shinta, A. (2013b). Studi kasus pembangunan karakter pada anak melalui pendidikan ekstrakurikuler. Tulisan ini dipersiapkan untuk Seminar Nasional Parenting: Optimalisasi peran orangtua dalam pendidikan karakter bangsa. Penyelenggara Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1 Juni 2013.
32
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Shinta, A. (2013c). Character building on young people: Investment to be a tough leader. This research was presented at the 1 st International Conference of Leadership and Social Change Laboratory of Psychology Sebelas Maret Unviersity, Surakarta, 20th of August 2013.
Shinta, A. (2014). Kegiatan pembersihan jamban universitas sebagai media pendidikan karakter. Seminar Nasional “Pengembangan Instrumen Penilaian Karakter yang Valid”. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Mei 2014. Shinta, A., Listiari, E. & Bimono (2014). Pengelolaan sampah sebagai strategi pembentukan karakter unggul pada mahasiswa. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan “Konvergensi Teknologi dan Budaya Ciptakan Pendidik Profesional dan Berakhlak Mulia”. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Teknologi. No. ISBN. 978-979-1334-33-4. Veevers, N. J. (2006). Your disability is your opportunity: A historical study of Kurt Hahn focusing on the early development of outdoor activities. Dissertation presented in part fulfilment of the requirements of the degree of Master of Science in outdoor education. University of Edinburg Moray House School of Education.
33