REVISI UU NARKOTIKA, MOMENTUM OPTIMALISASI PENDEKATAN KESEHATAN DALAM MENJAWAB PERMASALAHAN NARKOTIKA Oleh
Persaudaraan Korban Napza Indonesia
Permasalahan
Perdagangan gelap narkotika menjadi tantangan hampir diseluruh negara dan bangsa di Dunia. Melalui
teori
supply
dan
demand,
pemerintah
kemudian
menghubungankan
antara
perdagangan gelap narkotika dengan pengguna narkotika. Sejak dikeluarkannya UU No 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, pemerintah memberikan sanksi pidana kepada pengguna narkotika. Hukuman pidana yang diberikan kepada pengguna narkotika terus meningkat sampai dikeluarkannya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pemberian sanksi pidana kepada pengguna narkotika tidak membawa dampak menurunnya angka perdagangan gelap narkotika, namun menimbulkan permasalahan baru.
Pada praktiknya pengguna narkotika, tidak hanya dikriminalisasi karena penyalahgunaan namun mereka mengalami kriminalisasi yang berlebihan (Over Kriminalisasi) karena pemilikan, penyimpanan, penguasaan, pembelian atau penanaman narkotika, walaupun narkotika tersebut dipergunakan untuk kepentingan sendiri.
1.
Kriminalisasi
Pengguna
narkotika memberikan sumbangsih
besar terjadinya
overkapasitas di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan1 sejak tahun 2012 sampai dengan 2016, jumlah tahanan dan warga binaan tidak sebanding dengan kapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (over kapasitas). Salah satu penyebanya adalah tingginya penahanan dan pemenjaraan kepada penyalahguna narkotika. Kasus Kejahatan narkotika memberikan sumbangsih 50 % atas overkapasitas yang terjadi didalam tempat penahanan dan pemenjaraan. Apabila kejahatan narkotika dikeluarkan dari tempat penahanan dan pemenjaraan maka overkapasitas dapat di tekan
2. Kejahatan narkotika memberikan dampak bengkaknya biaya penanganan perkara Upaya penanganan suatu perkara memiliki dampak pada pengeluaran Negara yang dialokasikan oleh institusi peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, rumah tahan dan lembaga pemasyarakatan). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), disebutkan pada tahun 2014 Kejaksaan menargetkan jumlah perkara yang dituntut sebanyak 108.437 perkara, namun pada realisasinya kejaksaan harus menuntut 141.962 perkara, atau terjadi over anggaran sebanyak 131 %2. Kasus Narkotika
1
http://smslap.ditjenpas.go.id/ Laporan penelitian anggaran perkara Pidum Kejaksaan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/04/Laporan-Penelitian-anggaran-perkara-pidumkejaksaan.pdf 2
menempati kasus terbanyak yang diungkap oleh Kejaksaan yakni 20.204 perkara3. Permasalahan yang dihadapi oleh kejaksaan berpotensi juga dirasakan oleh Kepolisian, Mahkamah Agung, Rumah tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Negara tidak dapat menghabiskan anggaran Negara hanya untuk biaya penanganan perkara, oleh karena itu penting untuk melakukan pemilahan kasus apa yang layak dan perlu untuk diproses secara hukum. 3. Pendekatan Pemidanaan Bagi Pengguna Berpotensi menimbulkan Banyaknya pelanggaran hak asasi manusia.
(Sumber gambar : http://informaticcyber.blogspot.co.id/2012/12/kasus-penyebaran-foto-novi-amalia.html)
PKNI, LBH Masyarakat, Pokja HAM serta banyak organisasi masyarakat lainya yang mencatat maraknya terjadi pelanggaran HAM, ketika para pengguna narkotika mengalami kriminalisasi. Kekerasan fisik seringkali digunakan oleh oknum aparat penegak hukum untuk mendapatkan informasi dan pengakuan dari pengguna narkotika (Penyiksaan). Penelitian yang dilakukan oleh LBH Masyarakat di Rutan Cipinang Pada tahun 2010 – 2011 yang melibatkan 388 narapidana narkotika ditemukan fakta 264 responden mengalami kekerasan fisik, 269 responden
3
http://mappifhui.org/2016/03/14/perbaikan-anggaran-perkara-kejaksaan-untuk-perbaikan-penegakanhukum/
mengalami kekerasan mental, dan 60 responden mengalami kekerasan seksual. Dari angka tersebut, bisa dilihat terdapat irisan dari responden yang mengalami kekerasan ganda (fisik dan seksual, fisik dan mental, serta mental dan seksual). Sedangkan 56 responden mengalami ketiga jenis kekerasan tersebut. Mayoritas responden, yaitu 228 (67,4%), mengalami bentuk kekerasan fisik dan mental ketika ditangkap oleh penyidik. Lima puluh tujuh responden mengalami kekerasan seksual dan kekerasan fisik, dan 58 responden mengalami kekerasan mental dan seksual. Hanya 82 responden (21 %) yang sama sekali tidak mengalami kekerasan ketika ditangkap4. 4. Pendekataan pemidanaan meningkatkan stigma dan diskriminatif yang berdampak buruk terhadap kondisi sosial, ekonomi, pendidikan Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh PKNI di 5 kota (Medan, Bandung, Jakarta, Makasar dan Mataram)5 menemukan dampak buruk kriminalisasi bagi para pengguna narkotika. Mereka yang sebelumnya dapat beraktifitas, mencari penghidupan dengan cara yang jujur, mengenyam pendidikan, memiliki keluarga yang bahagia pada akhirnya harus hancur karena harus ditahan dan dipenjara. Perubahan trend penggunaan zat dari jenis ophiat ke amfetamin menimbulkan perubahan prilaku pengguna narkotika. Banyak pengguna narkotika yang ditemui dan diwawancara sebenarnya mereka masuk kedalam golongan coba pakai atau rekrasional sehingga penggunaannarkotia tidak memiliki dampak negative bagi kehidupan social, ekonomi dan keluarga. Kriminalisasi mengakibatkan mereka kehilangan kehidupan social, ekonomi dan keluarga. 5. Kriminalisasi memberikan celah baru bagi para oknum untuk melakukan pemerasan dan melanggengkan praktek korupsi di peradilan. Berdasarkan pendampingan hukum yang dilakukan oleh paralegal PKNI sejak tahun 2012 di 10 kota, PKNI membantu dan memantau proses kasus yang dihadapi oleh para pengguna narkotika. Banyak pengguna narkotika yang enggan didampingi oleh paralegal PKNI atau memilih memutus untuk didampingi karena ingin “berdamai atau 86” dengan oknum penegak hukum. Walaupun sudah tidak didampingi paralegal PKNi tetap melakukan pemantauaan atas 4
Studi Kasus Terhadap Kasus Narkotika di Jakarta hal 68 http://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2016/04/Dokumentasi-Pelanggaran-Hak-Tersangka-KasusNarkotika-LBH-Masyarakat-2012.pdf 5 http://korbannapza.org/en/library/detail/13/impact-of-rehabilitation-right-for-people-who-use-drugs-in-thejustice-system
kasus tersebut. Pola umum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah mengenakan para pengguna dengan Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1) karena penguasaan, pemilikan dan penyimpanan narkotika atau pengenaan Pasal 114 ayat (1) karena membeli narkotika. Oknum penegak hukum kemudian mendekati pengguna atau keluarga pengguna dan menakut nakuti bahwa pengguna akan dihukum dengan pidana minimal 4 tahun dan harus membayar denda sampai 800 juta rupiah. Melihat posisi yang tidak menguntungkan, pihak pengguna atau keluarga akan meminta keringanan, hal ini kemudian dimanfaatkan dengan timbal balik ekonomi, sehingga oknum penyidik akan mengeluarkan Pasal 127 (1) yang dikatakan sebagai dasar untuk mendapatkan putusan rehabilitasi. Pengeluaran biaya oleh keluarga tidak berhenti di penyidikan, pada tingkat penuntutan oknum penuntut umum menggunakan cara yang sama dengan membuat dakwaan berlapis yakni Pasal 114, Pasal 111/112 dan Pasal 127. Pada umumnya Oknum Penuntut umum akan membuka “kode” sebelum dilakukannya penuntutan, sebagaimana menjadi rahasia umum pada umumnya hakim akan mengikuti tuntutuan penutut umum dan memberikan hukuman paling rendah 2/3 dari tuntutan penuntut umum. Banyak kasus dimana 2 orang pengguna atau lebih ditangkap dengan tuduhan penguasaan narkotika Pasal 111 ayat (1) / Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 (1), namun tidak semua mendapat putusan dengan Pasal 127, tersangka yang lain mendapat hukuman diatas 4 tahun karena menggunakan Pasal 111 ayat (1) / Pasal 112 ayat (1).
(Sumber gambar : publica-news.com : https://www.publica-news.com/berita/daerah/2016/11/02/4170/propamtangkap-dua-polisi-pemeras-tersangka-narkoba.html)
6. Jaminan Rehabilitasi bagi Penyalahguna, Masih Hisapan Jempol Semata
Sejak Indonesia memberlakukan peraturan terkait narkotika dalam UU No 9 Tahun 1976 yang kemudian dianggap gagal dan dilakukan perubahan dalam UU No 22 tahun 1997 serta masih gagal sehingga dirubah menjadi UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pemerintah sudah menyebutkan terkait pendekatan kesehatan dalam bentuk rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Pada UU No 35 Tahun 2009, secara jelas disebutkan tujuan UU narkotika adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu dan penyalahguna narkotika. Fakta dilapangan menunjukan sejak tahun 1976 sampai dengan saat ini upaya melihat pengguna narkotika sebagai korban yang harus dibantu melalui pendekatan kesehatan dan social masih tidak maksimal. Kami melihat para pelaksana kebijakan (Kementerian Kesehatan, kementerian Sosial, Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung dan Kementerian Hukum dan HAM) tidak dapat berkordinasi dengan baik untuk membantu para pengguna narkotika. Kebijakan jaminan tidak dipidana karena sedang menjalani rehabilitasi, atau sudah lapor diri terbantahkan karena hal tersebut tidak diakui oleh aparat penegak hukum. Penempatan rehabilitasi selama proses hukum dan putusan rehabilitasi, yang merupakan hak dan kesempatan bagi pengguna narkotika tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Terkait dengan putusan rehabilitasi, LBH Masyarakat telah melakukan kajian putusan yang diunggah di website Mahkamah Agung dan diputus pada tahun 2014 di wilayah hukum Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. LBH Masyarakat mengidentifikasi terdapat 552 perkara dengan barang bukti 1 hari pemakaiaan sebagaimana diatur dalam SEMA No 4 Tahun 2010, namun hanya 43 perkara yang diputus rehabilitasi6
B. Permasalahan Norma dalam UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika) 1. Siapa yang mau diberantas, Pengedar atau Pengguna? Pada berbagai pertemuaan dan media, seringkali pemerintah mengkampanyekan berkomitmen menyelamatkan pengguna dan memberantas pengedar narkotika. Tujuan UU Narkotika sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 adalah memberantas peredaran gelap narkotika. Sedangkan yang dimaksud dalam kelompok peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekusor narkotika”. Tindak pidana narkotika 6
Di Ujung Palu Hakim : Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di Jabodetabek 2014 http://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2016/04/Di-Ujung-Palu-Hakim-Dokumentasi-PutusanRehabilitasi-di-Jabodetabek-2014_LBH-Masyarakat.pdf
dan prekusor narkotika adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 147 UU Narkotika. Tindak pidana narkotika termasuk didalamnya adalah setiap orang yang menyalahgunakan narkotika (pasal 127 (1) UU Narkotika). Secara tidak langsung pengguna narkotika masuk didalam kegiatan peredaran gelap narkotika, yang harus diberantas. Ketidakjelasan pemisahan antara pengguna dengan pengedar dalam kebijakan narkotika menimbulkan pemerintah tidak fokus dalam mengatasi permasalahan narkotika. 2. Over Kriminalisasi terkait unsur menguasai, memiliki, menyimpan, membeli dan / atau membawa narkotika.
Permasalahan penerapan pasal tindak pidana dalam UU Narkotika merupakan permasalahan terbesar dalam UU Narkotika. Kriminalisasi kepada pengguna narkotika dalam Pasal 127 UU Narkotika merupakan bentuk penekatan yang buruk dan tidak sejalan dengan tujuan UU Narkotika itu sendiri. Pada prakteknya kriminalisasi kepada pengguna narkotika diperparah karena pengenaan unsur unsur menguasai, memiliki, menyimpan, membeli dan / atau membawa narkotika merupakan ketentuan bagi para pelaku perdagangan gelap narkotika karena adanya sanksi pidana minimum ditambah denda yang tinggi.
Seorang pengguna narkotika, untuk menggunakan narkotika haruslah membeli, membawa, menguasai, memiliki atau menyimpan narkotika. Penegak hukum tidak lagi melihat tujuan dari membeli, membawa, memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika, sehingga dengan mudahnya mengenakan pasal tersebut dalam sangkaan, dakwaan dan kemudian diputus oleh hakim. Kajian yang dilakukan oleh ICJR dari putusan pada tahun 2012 yang dipublish di website mahkamah agung dan dilakukan pemilahan terkait syarat diambil 23 putusan yang menunjukan perbuatan menguasai, memiliki atau menyimpan narkotika tanpa hak atau melawan hukum digunakan lebih dari 50 % tuntutan penuntut umum.
Permasalahan penggunaan Pasal 111/ Pasal 112 UU Narkotika mendapat sorotan oleh hakim agung. Mahkamah Agung RI dalam Putusan Perkara No 1071/K/Pid.Sus/2012 memberikan pertimbangan “Bahwa ketentuan Pasal 112 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan ketentuan keranjang sampah atau pasal karet. Perbuatan para pengguna atau pecandu yang menguasai atau memiliki narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan terlepas dari jeratan Pasal 112 tersebut. Padahal, pemikiran semacam ini keliru dalam menerapkan hukum, sebab tidak mempertimbangkan keadaan atau hal-hal yang
mendasar terdakwa menguasai atau memiliki barang tersebut sesuai niat atau maksud terdakwa; 3. Tidak Jelas Konsep Rehabilitasi dalam UU Narkotika
Sumber gambar : https://www.merdeka.com/peristiwa/rehabilitasi-ala-ponpes-ichsan-purbalinggapecandu-narkoba-direbus.html
UU Narkotika memiliki 2 jenis rehabilitasi yakni rehabilitasi medis dan rehabilitasi social. Rehabilitasi medis diartikan sebagai “suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika”. Konsep rehabilitasi medis dalam UU narkotika mendorong agar terjadinya kondisi abstinence, konsep ini dipertanyakan efektifitasnya karena tidak ada jaminan seorang yang sudah menjalani rehabilitasi medis kemudian tidak menggunakan narkotika. Konsep rehabilitasi medis dalam UU Narkotika berbeda dengan konsep yang diusung oleh WHO yang mengartikan rehabilitasi dalam konteks penggunaan obat-obatan adalah sebuah proses dimana individu yang mengalami permasalahan penggunaan obat-obatan dapat mencapai kondisi kesehatan, fungsi psikologis dan kesejahteraan social yang optimal7. Konsep yang diusung oleh WHO lebih kepada pencapaiaan kondisi kesehatan, psikologis dan social yang optimal, terlepas dari apakah pengguna narkotika harus lepas dari ketergantungan atau tidak. WHO juga mengartikan ketergantungan sebagai sebuah sindrom memiliki arti sebagai 7
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/39461/1/9241544686_eng.pdf
serangkaian perilaku kognitif dan fisiologis yang terbangun akibat penggunaan zat secara terus menerus. Salah satu fenomena dari ketergantungan adalah perilaku untuk terus menggunakan narkotika terlepas dari kesadaran akan bahaya narkotika itu sendiri. WHO mengartikan ketergantungan narkotika sebagai gangguan yang kronis dan mudah kambuh dengan dasar biologis dan genetic, dan kekambuhan tersebut tidak semata-mata karena ketiadaan keinginan untuk berhenti menggunakan narkotika8. 4. Permasalahan Wajib Rehabilitasi Bagi Pecandu Pasal 55 UU Narkotika menyebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna narkotika wajib
menjalani
rehabilitasi
medis
dan
rehabilitasi social”. Banyak pihak dari kalangan pemerintah yang berempati terhadap pengguna narkotika, mengkampanyekan bahwa ketentuan ini
merupakan
bentuk
pelaksananan
hak
kesehatan. Pertanyaan dasar dari ketentuan ini adalah kewajiban itu untuk siapa? Apabila pemerintah menganggap rehabilitasi sebagai suatu pengobatan, maka tidak selayaknya upaya pengobatan tersebut dipaksakan. Pemaksanaan rehabilitasi tersebut.
Wajib rehabilitasi yang merupakan rangkaian dari wajib lapor, serta adanya ancaman pidana bila tidak melaporkan diri berpotensi melanggar hak atas kesehatan. Hak kesehatan adalah jaminan yang diberikan Negara terkait informasi mengenai jenis pelayanan yang akan diberikan kepada pengguna narkotika dan pemberian pelayanan atau tindakan medis itu harus sepersetujuan dari orang yang dirawat9
5. Konsepsi Mengenai Korban Penyalahguna Narkotika Pada Pasal 4 UU narkotika disebutkan, UU Narkotika bertujuan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi penyalahguna dan pencandu narkotika. Jaminan tersebut kemudian dituangkan dalam pasal 54 Pecandu Narkotika dan Korban penyalahgunaan 8
http://www.who.int/substance_abuse/publications/en/Neuroscience_E.pdf
Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social. Penyalahguna sebagai pihak
yang
dijamin
mendapatkan
rehabilitasi
kemudian
digantikan
oleh
Korban
Penyalahgunaan Narkotika.
Pada umumnya konsepsi dan istilah dalam suatu Undang-Undang dituangkan dalam Ketentuan Umum sebagaimana tertuang dalam Pasal pertama. Istilah dan Konsepsi Korban penyalahguna narkotika tidak termuat dalam Pasal 1 UU narkotika, namun disebutkan dalam penjelasan Pasal 54 yang mengartikan Korban penyalahgunaan Narkotika adalah seorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika”. Untuk memenuhi unsur sebagai korban penyalahgunaan korban narkotika, harus melihat kembali jauh kebelakang. Ketika orang tersebut pertama kali menggunakan narkotika. Para pelaku perdagangan gelap narkotika dalam menawarkan narkotika illegal tidak hanya membujuk namun menggunakan serangkain tipu daya agar mau menggunakan narkotika illegal. Secara hukum proses tersebut sulit dibuktikan, karena harus menghadirkan saksi atau pelaku yang membujuk, menimpu agar mau menggunakan narkotika. Sampai saat ini belum ditemukan putusan pengadilan yang menyatakan Tersangka adalah korban penyalahgunaan narkotika sebagaimana diatur dalam pasal 54. Putusan-putusan pengedar narkotika yang diancam hukuman mati sekalipun tidak menyebutkan perbuatan mereka menimbulkan korban penyalahgunaan narkotika.
6. Ketidak Sesuaiaan antara pengertian Narkotika dengan zat yang disebutkan dalam golongan UU Narkotika Pengertian Narkotika dalam UU Narkotika diartikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. UU Narkotika memasukan beberapa zat psikotropika kedalam narkotika. secara konsep antara efek zat dan pengertian dalam UU Narkotika tidak sesuai. Terkait penentuan suatu zat masuk dalam golongan I yang hanya dapat dipergunakan untuk ilmu pengetahuaan menjadi tantangan besar. Perkembangan hasil penelitian atas narkotika menyebutkan beberapa narkotika khususnya yang berasal dari tanaman dibeberapa Negara sudah dapat digunakan untuk kesehatan, ataupun diartikan zat tersebut tidak terlalu berbahaya sehingga masuk kedalam jenis narkotika yang lebih rendah
7. Tidak diaturnya Harm Reduction dalam UU Narkotika Pemerintah selalu menekankan pada aspek yakni supply reduction dan demand reduction. Pemerintah mengabaikan peran harm reduction yang berpotensi mengurangi dampak buruk penggunaan narkotika. Kampanye yang disampaikan oleh pemerintah yang menyatakan setiap hari terdapat 30 – 50 orang meningal karena narkotika menunjukan pemerintah gagal dalam mengurangi dampak buruk penggunaan narkotika. Banyak Negara yang berhasil mengatasi permasalahan narkotika dengan meningkatkan pendekatan kesehatan dan harm reduction bagi para pengguna narkotika. Secara tidak langsung pelaksanaan program harm reduction membahwa dampak pengurangan penggunaan narkotika illegal, seperti pada kasus penurunya jumlah pengguna narkotika jenis heroin. Rekomendasi Upaya-upaya
pembaharuan
dalam
setiap
perubahan UU Narkotika pada umumnya tidak melakukan perubahan yang signifikan. Secara substantive tidak banyak yang berubah, hanya penambahan pada satu sisi atau pengurangan pada sisilain. Melalui upaya revisi 35 tahun 2009, merupakan momentum untuk dilakukan perubahan yang signifikan sehingga Indonesia terbebas dari darurat narkotika. Terkait permasalahan yang kami sampaian diatas, terdapat beberapa rekomendasi sementara yang dapat dikembangkan dalam proses perubahan UU narkotika, sebagai berikut :
1. Harus dilakukan pemisahan yang jelas antara pengguna dan pengedar narkotika. tanpa adanya pemisahan yang jelas mengakibatkan pemerintah tidak focus dalam mengatasi permasalahan utama narkotika yakni perdagangan gelap narkotika. Pemisahan yang jelas merupakan langkah penting untuk memberikan perlindungan kepada para pengguna narkotika dan bentuk keseriusan pemerintah dalam mengatasi narkotika illegal dipasar gelap. Untuk tingkat pelaku perdagangan gelap narkotika, UU Narkotika kedepan juga harus berupaya membongkar sindikatperdagangan narkotika dan bukan hanya puas memberikan hukuman yang keras kepada kurir
2. Meninjau kembali pendekatan pemidanaan khususnya bagi para pengguna narkotka. PKNI melihat penggunaan pidana penjara kepada para pengguna tidak memberikan dampak yang signifikan. Penjara lebih mematikan dibandingkan narkotika itu sendiri. Anggaran yang seharusnya dapat dipergunakan secara maksimal dalam mengungkap sindikat narkotika dan upaya pecegahan harus habis karena upaya hukum untuk memasukan pengguna narkotika kedalam tempat penahanan dan pemenjaraan. Pemberian denda yang wajar atau kerja sosial dapat dipergunakan sebagai sarana korektif bagi pengguna narkotika, bila dirasakan pemerintah belum siap menghapuskan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
3. Lebih memaksimalkan pendekatan non punitive dan harm reduction untuk memproteksi serta mengatasi permasalahan peredaran narkotika illegal dipasaran. Dengan peningkatan pendekatan non punitife diharapkan kesadaran masyarakat khususnya pengguna lebih paham terkait dampak baik dan buruk dari suatu zat yang disebut sebagai narkotika.
4. mengkonsep ulang upaya penanganan pengguna narkotika terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi. Rehabilitasi harus diartikan sebagai upaya pemulihan dan peningkatan kualitas hidup dan bukan sebagai pengobatan. Penting kedepan agar dikembangkan system rehabilitasi komprehensif memadukan antara rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
5. Penting untuk dilakukan kajian ulang terhadap zat-zat yang dianggap sebagai narkotika. Banyak Negara yang secara aktif melakukan penelitian terhadap zat-zat narkotika baik untuk kepetingan kesehatan, perindustrian dan pariwisata. Narkotika tidak menjadi permasalahan utama.