A S Apsari dan M S Adiguna
Resistensi antijamur
Tinjauan Pustaka
RESISTENSI ANTIJAMUR DAN STRATEGI UNTUK MENGATASI Ayu Saraswati Apsari, Made Swastika Adiguna
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana, RS Sanglah Denpasar ABSTRAK Resistensi antijamur dapat menjadi masalah serius di masa yang akan datang, dengan meluasnya infeksi jamur dan sedikitnya pilihan terapi yang tersedia. Jamur dapat mengalami resistensi secara intrinsik terhadap obat antijamur (resistensi primer) atau resistensi dapat terjadi sebagai respons terhadap paparan obat antijamur selama pengobatan (resistensi sekunder). The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) telah mengeluarkan metode yang distandarisasi pemeriksaan suseptibilitas antijamur untuk ragi (M27-A) dan jamur filamentosa (M38-A). Respons terhadap pemberian antijamur yang spesifik tergantung pada MIC terhadap organisme yang menginfeksi, dan banyak faktor lain termasuk penetrasi, distribusi obat serta status imunitas pejamu. Mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatasi resistensi antijamur berupa strategi non farmakologis dan farmakologis. Strategi non farmakologis dilakukan melalui program antifungal-control yang bertujuan menghindari penggunaan antijamur yang luas dan tidak sesuai di rumah sakit dan masyarakat. Strategi farmakologis dimulai dari pengembangan obat-obatan antijamur baru dengan aktivitas antijamur dan profil farmakokinetik yang lebih baik hingga terapi kombinasi antijamur dan imunoterapi. (MDVI 2013; 40/2:89-95) Kata kunci : resistensi antijamur, strategi untuk mengatasi.
ABSTRACT Antifungal resistance could be a serious problem in the future with increasing fungal infection and few available therapeutic options. In general, fungi can be intrinsically resistant to antifungal drugs (primary resistance) or can develop resistance in response to exposure to the drug during treatment (secondary resistance). The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) has been standarized susceptibility testing for yeast (document M27-A) and for filamentous fungi (document M38-A). Success or failure treatment depends not only on the MIC of the antifungal drug, but also on many other factors, including penetration and distribution of the drug and the state of the host’s immune system. Potential mechanism to overcome fungal resistance include the use of several pharmacological and non-pharmacological measures. Nonpharmacological strategy include antifungal-control programmes to avoid extensive and inappropiate use of antifungals in hospital and community settings. Pharmacological strategy ranges from the synthetis of new drugs with better antifungal activity and pharmacokinetic profile to antifungal combination therapy and adjunctive immune therapy. (MDVI 2013; 40/2:89-95) Key words: antifungal resistance, strategies to overcome
Korespondensi: Jl. Diponegoro, Denpasar-Bali. Telp. 0361-23993 Email : apsarirano@ yahoo.com
89
MDVI
Vol. 40 No.2 Tahun 2013:89-95
PENDAHULUAN
JENIS OBAT ANTIJAMUR
Epidemi AIDS (acqiured immunodeficiency syndrome) dan kemajuan teknologi terapi (termasuk teknologi transplantasi organ), peningkatan penggunaan regimen kemoterapi yang agresif dan alat-alat intravaskular, berperan pada peningkatan drastis infeksi jamur invasif selama dekade terakhir dan diperkirakan akan sangat meningkat jumlahnya dalam beberapa tahun kemudian.1-3 Data epidemiologi terbaru menunjukkan peningkatan infeksi yang disebabkan oleh spesies jamur resisten, terutama spesies Candida yang resisten terhadap flukonazol.1,4 Selain itu jamur yang sebelumnya dianggap kontaminan, ternyata resisten terhadap semua obat antijamur yang tersedia bahkan dapat menyebabkan infeksi invasif dan mengancam nyawa sehingga disebut emerging fungi. Dengan meluasnya infeksi jamur dan masih sedikit pilihan terapi yang tersedia, resistensi antijamur dapat menjadi masalah serius di masa yang akan datang.1 Penentuan suseptibilitas in vitro terhadap antijamur masih tertinggal dibandingkan dengan obat-obat antibakterial, terutama karena variasi antar laboratorium dan kurangnya pemeriksaan suseptibilitas yang terstandarisasi.1 Memahami resistensi obat antijamur sangat penting sebagai dasar untuk mengembangkan strategi profilaksis dan pengobatan yang efektif agar dapat menghindari masalah akibat jamur resisten.1
Obat-obat antijamur berdasarkan target kerja dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu antijamur yang bekerja pada membran sel jamur, asam nukleat jamur dan dinding sel jamur serta ada satu antijamur yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok besar di atas yaitu griseofulvin yang bekerja pada mikrotubulus jamur.
INFEKSI JAMUR Infeksi jamur disebabkan oleh dua tipe mikroorganisme : patogen primer dan patogen oportunistik. Patogen primer secara alami dapat menyebabkan infeksi pada populasi sehat. Sebaliknya, patogen oportunistik meliputi organisme komensal pada populasi sehat yang dapat membentuk kolonisasi infeksius pada tubuh manusia dalam kondisi tertentu misalnya imunosupresi.5 Karakteristik infeksi jamur secara singkat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Infeksi jamur5 Lokasi pada Tubuh Superfisial
Tipe Patogen
Organ
Genus yang Paling Sering
Primer
Malassezia
Kutaneus
Primer
Kulit dan rambut Kulit dan kuku
Mukosa
Oportunistik
Sistemik
Oportunistik
90
Vagina, Saluran Pencernaan, saluran kencing dan mata Organ apa saja (paru-paru, otak, sirkulasi darah, dll)
Trichophyton Epidermophyton Microsporum Candida
Aspergillus, Fusarium, Candida Aspergillus, Cryptococcus, Histoplasma, Pneumocystis, Coccidioidomyces, dll.
Antijamur yang bekerja pada membran sel jamur Kelompok obat-obat antijamur ini sering digunakan secara luas dalam praktek sehari-hari. Target kerja antijamur ini adalah membran sterol jamur. Kelompok antijamur ini antara lain polyenes, derivat azol, dan alilamin.6,7 Polyenes. Obat antijamur golongan polyene antara lain amfoterisin B dan nistatin. Obat ini berinteraksi dengan sterol pada membran sel (ergosterol) untuk membentuk saluran sepanjang membran, sehingga menyebabkan kebocoran sel dan berujung pada kematian sel jamur.6 Azol. Generasi pertama antijamur ini adalah imidazol (ketokonazol, mikonazol, klotrimazol). Generasi berikutnya berupa triazol (flukonazol, itrakonazol), serta derivat triazol yang paling baru (varikonazol, ravukonazol, posakonazol, dan albakonazol). Mekanisme kerja derivat azol berdasarkan pada inhibisi jalur biosintesis ergosterol, yang merupakan komponen utama membran sel jamur.5 Obat ini bekerja dengan menghambat 14-α-demethylase, sebuah enzim sitokrom P450 mikrosomal pada membaran sel jamur. Enzim 14-α-demethylase diperlukan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Akibatnya, terjadi gangguan permeabilitas membran dan aktivitas enzim yang terikat pada membran dan berujung pada terhentinya pertumbuhan sel jamur.7,8 Alilamin. Salah satu obat golongan alilamin yang paling sering digunakan adalah terbinafin. Terbinafin bekerja dengan cara menghambat enzim skualen epoksidase pada membran sel jamur sehingga menghambat biosintesis ergosterol. Skualen epoksidase merupakan enzim yang mengkatalisis langkah enzimatik pertama dalam sintesis ergosterol sehingga skualen berubah menjadi skualen epoksida. Akibatnya terbinafin menyebabkan akumulasi skualen intraselular yang abnormal dan defisiensi ergosterol. Secara in vitro, akumulasi skualen berperan pada aktivitas fungisidal obat, sedangkan defisiensi ergosterol dikaitkan dengan aktivitas fungistatik.8 Antijamur yang bekerja pada asam nukleat jamur Flusitosin (5-fluorocytosine) merupakan pirimidin yang telah mengalami fluorinisasi. Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan enzim cytosine permease, yang selanjutnya mengalami perubahan intrasitoplasmik menjadi
A S Apsari dan M S Adiguna
5-fluourasil. Tahap selanjutnya 5-fluourasil diubah menjadi 2 bentuk aktif yaitu 5-fluorouridine triphosphate yang menghambat sintesis RNA, dan 5-fluorodeoxyuridine monophosphate yang menghambat thymidylate synthetase dan akhirnya menghambat pembentukan deoxythymidine triphosphate yang diperlukan untuk sintesis DNA.6 Antijamur yang bekerja pada dinding sel jamur Dinding sel jamur mengandung mannoprotein, chitin serta alfa, dan beta-glucans yang berperan penting sebagai proteksi, menjaga morfologi sel dan rigiditas sel, metabolisme, pertukaran ion dan filtrasi, ekspresi antigenik, interaksi primer dengan pejamu dan pertahanan terhadap fungsi sistem imunitas selular pejamu. Komposisi ini tidak selalu ditemukan pada organisme yang lain, namun memberikan beberapa keuntungan selektif dan toksik dibandingkan mekanisme kerja obatobat antijamur lain. Contoh obat golongan ini adalah echinocandins yang bekerja dengan menghambat sintesis β-glucan dinding sel jamur.6 Produk echinocandins yang telah disetujui penggunaannya antara lain : caspofungin, micafungin dan anidulafungin.5 Griseofulvin Griseofulvin secara in vitro bersifat fungistatik, dengan spektrum aktivitas antimikotik yang sempit, dan hanya efektif untuk infeksi dermatofita namun tidak efektif untuk kandidiasis, infeksi jamur profunda maupun pitiriasis versikolor. Griseofulvin bekerja dengan cara merusak pembentukan spindel mitosis mikrotubulus jamur sehingga mitosis berhenti pada stadium metafase.8
RESISTENSI DAN RESPONS KLINIS Resistensi antijamur didefinisikan sebagai adaptasi atau penyesuaian sel jamur yang stabil, didapat akibat obat-obat antijamur, sehingga mengakibatkan sensitivitas terhadap antijamur tersebut berkurang dibandingkan dengan keadaan normal.9,10 Secara umum, jamur dapat mengalami resistensi secara intrinsik terhadap obat-obat antijamur (resistensi primer) atau resistensi dapat terjadi sebagai respons terhadap pajanan obat antijamur selama pengobatan (resistensi sekunder).11-13 Kegagalan respons klinis merupakan kegagalan terapi yang sesuai untuk indikasi tertentu dalam menghasilkan respons klinis. Penyebab kegagalan klinis dapat berupa resistensi antijamur, namun penyebab lain misalnya gangguan fungsi imunitas, bioavailabilitas yang buruk dari obat yang diberikan atau peningkatan metabolisme obat dapat menjadi penyebab dari kegagalan terapi.9 Komponen resistensi obat antijamur secara klinis dihubungkan dengan faktor-faktor dari pejamu, obat dan jamur (Tabel 2). Faktor pejamu yang paling penting untuk
Resistensi antijamur
melawan infeksi adalah status imunitas pejamu, lokasi infeksi, keparahan penyakit, terdapat alat yang terpasang dalam tubuh pejamu (kateter, gigi palsu atau katup jantung buatan) serta ketidakpatuhan pasien. Obat fungistatik akan lebih mempercepat resistensi dibandingkan dengan obat fungisidal. Dosis obat antijamur, termasuk kuantitas, frekuensi, jadwal pemberian, dan dosis kumulatif juga dapat berperan dalam keberhasilan pengobatan infeksi jamur. Pemberian obat antijamur bersamaan dengan obat lain juga dapat mengubah efektivitas obat anti jamur. Beberapa faktor dari jamur dapat berpengaruh terhadap kejadian resistensi, misalnya jenis spesies atau galur serta tipe sel yang dapat mengubah efektivitas terapi.14 Beberapa jamur termasuk Candida albicans dan Candida glabrata, menunjukkan mekanisme switch phenotypes sehingga mempunyai beberapa morfologi yang dapat berubah-ubah tergantung lokasi infeksi yang dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap lingkingan pejamu.15 Beberapa jamur juga mempunyai biofilm yang dapat meyebabkan jamur tersebut kurang suseptibel terhadap obat-obat antijamur.14,16 Populasi bottlenecks (pengurangan secara drastis jumlah populasi yang dapat disebabkan oleh karena berbagai kejadian misalnya bencana alam yang berakibat pada penurunan gene pool dari populasi kerena banyak alel atau varian gen yang dulunya didapatkan pada populasi awal menjadi hilang) juga dapat mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi .14,17 Tabel 2. Faktor yang berperan terhadap resistensi sntijamur17 Faktor pejamu · Status imun · Lokasi infeksi · Derajat keparahan infeksi · Adanya material benda asing · Buruknya ikatan dengan regimen pengobatan
Faktor Obat · Sifat fungistatik obat · Dosis : - Frekuensi - Kuantitas - Dosis kumulatif · Farmakokinetik - Absorbsi - Distribusi - Metabolisme · Interaksi antar obat
Faktor jamur · Tipe sel - Morfologi - Kondisi sel - Serotipe - Biofilm · Stabilitas genomik strain · Besarnya populasi · Populasi bottleneck · MIC strain
PEMERIKSAAN SUSEPTIBILITAS ANTIJAMUR Pemeriksaan suseptibilitas antijamur ditujukan untuk memastikan jumlah minimal obat yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan galur jamur pada kultur (minimum inhibitory concentration atau MIC). Pemeriksaan ini secara umum digunakan untuk menentukan efektivitas relatif berbagai obat antijamur dan mendeteksi terbentuknya organisme yang resisten terhadap obat.3 Korelasi in vitro dan in vivo mengenai suseptibilitas sangat banyak dibuktikan dalam mikologi. Hal ini mencerminkan nilai prediksi pemeriksaan yang telah
91
MDVI
Vol. 40 No.2 Tahun 2013:89-95
distandarisasi. The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) telah mengeluarkan metode yang distandarisasi untuk pemeriksaan suseptibilitas antijamur untuk ragi (M27-A) dan metode yang distandarisasi untuk pemeriksaan jamur filamentosa (M38-A). Terdapat banyak penyebab keberhasilan dan kegagalan terapi in vivo yang tidak berkaitan dengan bioavailabilitas obat, sehingga breakpoints MIC pemeriksaan tidak pernah dimaksudkan sebagai penentu absolut (“resistensi” dimaksudkan untuk menyatakan tingginya kemungkinan kegagalan, namun tidak absolut).9 Tidak seperti obat-obat antibakteri, yang metode pemeriksaan suseptibilitas telah terstandarisasi dengan interpretive breakpoints yang telah diketahui untuk obat-obat antijamur metode pemeriksaan yang disetujui dan tentative breakpoints baru belakangan terakhir ini ditetapkan. Walaupun breakpoints ini masih terbatas pada ragi, terutama Candida, dan flukonazol dan itrakonazol (Tabel 3). 18 Metode broth dilution antijamur susceptibility testing of conidium-forming filamentous fungi (M38-A) yang telah distandarisasi oleh CLSI, tidak secara eksplisit ditujukan untuk pemeriksaan suseptibilitas antijamur terhadap dermatofita. Dilaporkan juga bahwa MIC antijamur yang diambil dengan inokula fragmen hifa jamur filamentosa yang lain ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang diambil dari inokula konidia.3
Terdapat mekanisme yang berbeda-beda untuk resistensi terhadap antijamur golongan azol.9,20 Beberapa mekanisme ini serupa dengan resistensi antibakteri.9 Kadang-kadang kejadian resistensi terhadap sebuah obat golongan azol menyebabkan resistensi silang terhadap obat-obat golongan azol lainnya, namun kadang-kadang resistensi ini bersifat spesifik untuk satu obat saja. Keadaan ini tergantung dari spesifisitas mekanisme resistensinya (misalnya afinitas enzim target atau efflux pump untuk struktur molekular tertentu).12,21 Beberapa mekanisme resistensi terhadap antijamur golongan azol antara lain : 1) overproduksi enzim target, sehingga obat tidak menghambat reaksi biokimia secara lengkap, 2) perubahan pada target obat sehingga obat tidak dapat berikatan dengan target, 3) obat dipompa keluar oleh efflux pump. 4) jalan masuk obat terhalang pada tingkat membran sel atau dinding sel, 5) sel mempunyai jalur bypass yang dapat mengkompensasi hilangnya fungsi penghambatan akibat aktivitas obat, 6) beberapa “enzim” jamur yang mengubah obat inaktif menjadi bentuk aktif terhambat, 7) sel mensekresi beberapa enzim ke medium ekstraseluler, yang mendegradasi obat.18 Mekanisme resistensi ini secara lebih jelas diterangkan pada Tabel 4.
Tabel 3. Pedoman interpretasi pemeriksaan suseptibilitas in vitro untuk Candida spesies berdasarkan rekomendasi metode M2718
Mekanisme Perubahan target obat (14αdemethylase)
Penyebab Mutasi yang mengubah ikatan obat namun tidak berikatan dengan substrat endogen
Perubahan biosintesis sterol
Lesi pada delta5(6)desaturase
Berkurangnya konsentrasi enzim target di intraselular
Perubahan pada lipid dan sterol membran; overekspresi efflux pump obat spesifik (CDR1, PDR5, dan BENr) Peningkatan jumlah enzim target
Antijamur Flukonazol Itrakonazol
Galur sensitif ≤ 8 ≤ 0,125
MIC (µg/ml) untuk: Galur sensitif Galur resisten (bergantungdosis) 16 - 32 > 64 0,25 - 0,5 ≥1
MEKANISME RESISTENSI ANTIJAMUR
Mekanisme resistensi terhadap golongan azol
Tabel 4. Dasar biokimia dari resistensi azol18
Mekanisme resistensi terhadap golongan polyenes Mekanisme resistensi terhadap antijamur golongan polyenes (nistatin, amfoterisin B) berupa perubahan signifikan komposisi lipid membran plasma (misalnya berkurangnya kandungan ergosterol). Keadaan ini menyebabkan rendahnya afinitas amfoterisin B terhadap membran plasma, yang mungkin terjadi akibat berkurangnya lokasi untuk berikatan.9,19 Penyebab lain resistensi amfoterisin B kemungkinan adalah perubahan kandungan β-1,3 glucans pada dinding sel jamur. Komponen ini, dapat meningkatkan stabilitas dinding sel, sehingga mempengaruhi akses molekul besar misalnya amfoterisin B ke membran plasma. Penelitian yang dilakukan oleh Soe dkk menunjukkan bahwa perubahan glucans menyebabkan Aspergillus flavus resistens terhadap amfoterisin B.9
92
Overekspresi target obat antijamur
Keterangan Targetnya aktif (misalnya dapat mengkatalisa demethylation) namun afinitasnya berkurang terhadap azol Akibat akumulasi 14αmethyl fecosterol, tidak ergosterol Buruknya penetrasi melewati membran jamur; efflux obat aktif
Akibat peningkatan sintesis ergosterol; berakibat pada resistensi silang antara flukonazol dan itrakonazol
Mekanisme resistensi terhadap golongan alilamin Walaupun kegagalan klinis telah dijumpai pada pasien yang diterapi dengan terbinafin, resistensi alilamin yang dikaitkan dengan penggunaan klinis terbinafin dan naftifin belum ditemukan pada jamur patogen yang menyerang manusia. Walaupun demikian, dengan semakin banyak penggunaan obat ini, resistensi dapat terjadi. Pada laporan oleh van den Bossche dkk. Ditemukan galur
A S Apsari dan M S Adiguna
Candida glabrata yang menjadi resisten terhadap flukonazol dan memperlihatkan resistensi silang terhadap terbinafin.18 Mekanisme resistensi terhadap flusitosin Terdapat dua mekanisme resistensi terhadap flusitosin yang telah diketahui. Pertama, penurunan aktivitas cytosine permease (deaminase) yang mengalami mutasi menyebabkan penurunan uptake atau konversi obat.9,22 Mekanisme ini bertanggung jawab terhadap resistensi primer dan intrinsik. Kedua, hilangnya aktivitas uracil phosphoribosyltransferase, sebuah enzim yang bertanggung jawab terhadap perubahan 5-fluorouracil menjadi 5-fluorouridylic acid.9,19 Mekanisme resistensi terhadap echinocandins Data mengenai resistensi terhadap echinocandins masih terbatas dan berdasarkan mutan Saccharomyces cerevisiae di laboratorium. Pada jamur ini, kompleks βglucan synthase encode oleh 2 gen dan diregulasi oleh gen ke tiga. Kurtz dan Douglas menduga bahwa pada Saccharomyces cerevisiae, mutasi pada satu gen, FKS1, menyebabkan resistensi terhadap echinocandins dengan perubahan dari β-glucan synthase.9,23 Mekanisme resistensi terhadap griseofulvin Resistensi terhadap griseofulvin terjadi akibat dinding sel jamur yang terdiri delapan lapisan, dengan lapisan bagian dalam bersifat longgar dan berlanjut ke sitoplasma. Semua struktur di dalam sitoplasma mengandung satu sampai tiga lapisan pembungkus yang utuh dan terdapat kromatin di dalam inti. Keadaan ini merupakan faktor yang berperan pada resistensi griseofulvin. Dinding sel yang tebal berlapis-lapis dapat bertindak sebagai barier yang bertanggung jawab terhadap impermeabilitas dinding sel jamur untuk griseofulvin. 24
STRATEGI UNTUK MENGATASI RESISTENSI ANTIJAMUR Mekanisme untuk mengatasi resistensi antijamur mulai dari sintesis obat-obat baru dengan aktivitas antijamur dan profil farmakokinetik yang lebih baik, sampai pada mengembangkan strategi pengobatan terbaru dengan obat-obat antijamur yang telah ada, serta program antifungal-control untuk menghindari penggunaan antijamur yang luas dan tidak sesuai di rumah sakit dan masyarakat. Seperti halnya pada kasus resistensi obat antibakteri, penggunaan antijamur yang sesuai dan terseleksi untuk setiap pasien sangat penting untuk menunda dan mencegah kedaruratan resistensi antijamur.1 Faktor lain yang dapat mempengaruhi kedaruratan resistensi adalah dosis obat yang digunakan dalam terapi
Resistensi antijamur
antijamur. Secara teoritis, penggunaan antijamur dosis tinggi merupakan cara potensial untuk menghindari atau melawan resistensi antijamur pada jamur yang kurang rentan dibandingkan penggunaan antijamur dosis rendah.1 Strategi farmakologis yang dapat digunakan untuk mengatasi resistensi antijamur dapat dilihat pada Tabel 5.
OBAT-OBAT ANTIJAMUR BARU Inhibitor sintesis dinding sel jamur Dinding sel jamur mengandung elemen khas jamur misalnya alfa dan beta glucans, mannoproteins dan chitin. Bahan antijamur secara langsung dapat melawan komponen dinding sel sehingga menunjukkan keuntungan dalam 2 aspek mendasar: toksisitas selektif pada jamur dan tidak ada resistensi silang dengan obat-obat antijamur lain. Penelitian telah dilakukan pada inhibitor sintesis mannoprotein, chitin dan glucan, namun sampai saat ini hanya obat-obat yang termasuk dalam kelas penghambat sintesis glucan yang telah mencapai penelitian stadium lanjut.1 Di antara penghambat sintesis glucan yaitu aculeacins, papulacandins, dan echinocandins, hanya echinocandins yang telah dinilai pada uji klinis.1 Azol baru Walaupun perkembangan azol pada tahun 1980-an dan awal 1990-an menunjukkan kemajuan yang berarti dalam manajemen infeksi jamur karena profil keamanan dan bioavailibilitasnya yang tinggi, namun temuan terbaru menunjukkan keterbatasan obat ini, yaitu lebih bersifat fungistatik daripada fungisidal, aktivitas heterogen dalam melawan jamur tertentu, interaksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh sitokrom P450 dan profil farmakokinetik suboptimum pada beberapa obat azol misalnya itrakonazol. Lebih dari 15 azol baru sedang diteliti. Azol baru yang sering digunakan antara lain: varikonazol, posakonazol, dan ravukonazol.1
FORMULASI LIPID DAN FORMULASI BARU OBAT-OBAT ANTIJAMUR Formulasi lipid dari amfoterisin B bersifat kurang toksik dan menunjukkan profil farmakokinetik yang lebih baik dibandingkan formulasi konvensional, sehingga dapat diberikan pada dosis yang lebih tinggi. Terdapat 3 formulasi lipid amfoterisin B yang telah disetujui pengggunaannya pada manusia : liposomal amphotericin B, amphotericin B lipid complex, dan amphotericin B colloidal dispersion. Obat-obat ini terbukti sama atau bahkan lebih efektif dibandingkan amfoterisin B konvensional. Formulasi lipid juga mengakibatkan efek samping yang lebih kecil dibandingkan amfoterisin B deoksikolat.1
93
MDVI
Vol. 40 No.2 Tahun 2013:89-95
TERAPI KOMBINASI
IMUNOTERAPI
Saat ini spektrum antimikroba semakin luas dan untuk mendapatkan efek sinergistik atau aditif, masih rasional menggunakan dua atau lebih obat antimikroba secara bersama-sama dengan tujuan menghindari atau memperlambat terjadinya resistensi selama terapi.1,30 Walaupun demikian, untuk beberapa alasan, mengkombinasikan dua obat antijamur jarang dilakukan dalam praktek, sehingga dalam prakteknya tidak ada uji klinis yang meneliti hal ini, terutama pada manusia.1,25 Contoh terapi kombinasi yang dapat digunakan dapat dilihat pada Tabel 5.
Pertahanan tubuh pejamu yang terganggu pada pasien yang menderita infeksi jamur dan sulit mengeradikasi jamur dengan antijamur yang tersedia, menunjukkan pentingnya sistem imun dalam menentukan prognosis infeksi jamur. Tujuan imunoterapi adalah untuk meningkatkan jumlah sel fagositik dan memodulasi kinetik dan aktivitasnya pada lokasi infeksi, sehingga dapat menghilangkan sel-sel jamur dengan lebih efisien.1 Contoh imunoterapi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Strategi farmakologi untuk mengatasi mikosis resisten1 Obat-obatan Antijamur Baru · Inhibitor sintesis dinding sel jamur Inhibitor mannoproteins Inhibitor Chitin synthase (pradimicins, benanomicins) Inhibitor (1,3)-β-D-glucan synthase - Aculeacins - Papulacandins - Echinocandins (Caspofungin,Micafungin,Anidulafungin) · Golongan triazol baru Vorikonazol Posakonazol Ravukonazol
Formulasi Lipid dan formulasi Baru Obat-Obatan Antijamur · Amfoterisin B liposomal amphotericin B Amphotericin B lipid complex Amphotericin B colloidal dispersion Amphotericin B into a lipid nanosphere Oral amphotericin B oral in cochleate formulation · Itrakonazol Beta-cyclodextrin itraconazole
Terapi Kombinasi · Amfiterisin B + Flusitosin · Flukonazol + Flusitosin · Amfoterisin B + Flukonazol · Caspofungin + Liposomal Amphotericin B · Lain-lain
Imunoterapi · Replacement therapy Transfusi leukosit · Augmentative therapy Granuloicyte colony stimulating factor Granulocyte-macrophage colony stimulating factor Interferon ᵧ Macrophag colony stimulating factor Tumour Necrosis Factor Interleukin
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Meluasnya infeksi jamur dan sedikitnya pilihan terapi yang tersedia menyebabkan resistensi antijamur menjadi masalah serius di masa yang akan datang. Penentuan suseptibilitas in vitro terhadap antijamur masih tertinggal dibandingkan dengan obat-obatan antibakterial, namun saat ini CLSI telah mengeluarkan metode yang distandarisasi (M27-A) untuk pemeriksaan suseptibilitas antijamur untuk ragi dan metode yang distandarisasi untuk pemeriksaan jamur filamentosa (M38-A). Faktor pejamu, obat antijamur dan jamur itu sendiri dalam hal ini MIC, berperan pada keberhasilan atau kegagalan terapi. Untuk mengatasi resistensi antijamur dapat digunakan baik strategi nonfarmakologis dengan program antifungal-control maupun strategi farmakologis dengan pengembangan obat-obatan antijamur baru sampai dengan terapi kombinasi obat-obat antijamur dan imunoterapi.
1.
94
2.
3. 4. 5. 6.
7. 8.
Canuto MM, Rodero FG. Antifungal drug resistance to azoles and polyenes. The Lancet Infectious Diseases. 2002; 2: 550-60. Odds FC. Antifungal agents: resistance and Rational Use. Dalam: Gould, Meer VD, penyunting. Antibiotics policies: theory and practice. New York: Kluwer Academics/Plenum Publisher; 2005. h.311-32. Martinez-Rossi NM, Peres NTA. Antifungal resistance mechanism in dermatophytes. Mycopathologia. 2008;166: 369-83. Odds F. The evolution of antifungal resistance in Candida species. Microbiology Today. 2004; 31: 166-7. Vandeputte P, Ferrari S, Coste AC. Antifungal resistance and new strategies to control fungal infections. Int J Microbiol. 2012;713687:1- 26. Carrillo-Munoz AJ, Giusiano G, Ezkurra PA, Quindos G. Antifungal agents: mode of action in yeast cells. Rev Esp Quimioterap. 2006; 19(2): 130-9. White TC. Antifungal drug resistance in Candida albicans. ASM News. 1996; 63:427-33. Lee-Bellantoni MS, Konnikov N. Oral Antifungal Agents. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: MacGraw-Hill; 2008. h. 2137-42.
A S Apsari dan M S Adiguna
9. 10. 11. 12. 13.
14. 15.
16.
17.
Loeffler J, Stevens DA. Antifungal drug resistance. CID. 2003; 36(1): S31-S41. Bossche HV. Mechanism of antifungal resistance. Rev Iberoam Micol. 1997; 14: 44-9. Parea S, Patterson TF. Antifungal resistance in pathogenic fungi. CID. 2002: 35; 1073-80. Perlin DS. Antifungal drug resistance: do molecular methods provide a way forwards? Curr Opin Infect Dis. 2009; 22(6): 568-73. European Commission Health & Consumer Protection DirectorateGeneral. Azole antimycotic resistance. The Scientific Steering Committee. 2002. Miftah A, Kurniati, Rinasari U, Ervianti E. Resistensi dan Uji Kepekaan Antijamur Terhadap Candida spp. Berkala. 2009; 21(2): 140-8. Tscherner M, Schwarzmuller T, Kuchler K. Pathogenesis and antifungal resistance of the human fungal pathogen Candida glabrata. Pharmaceuticals. 2011; 4: 169-86. Perumal P, Mekala S, Chaffin WLJ. Role for cell density in antifungal drug resistance in Candida albicans biofilm. Antimicrob Agents Chemother. 2007;51(7):2454-2463. White TC, Marr KA, Bowden RA. Clinical, cellular, and molecular factors that contribute to antifungal drug resistance. Clin Microbiol Rev. 1998; 11(2): 382-98.
Resistensi antijamur
18. Ghannoum MA, Rice LB. Antifungal agents: mode of action, mechanism of resistance, and correlation of these mechanism with bacterial resistance. Clin Microbiol Rev. 1999;12(4): 501-17. 19. Sanglard D. Clinical relevance of mechanism of antifungal drug resistence in yeast. Enferm Infect Microbial Clin. 2002; 20(9): 462-70. 20. Bowyer P, Moore CB, Rautemaa R, Denning DW, Richardson MD. Azole antifungal resistance today: focus on aspergillus. Curr Infect Dis Rep. 2011; 13(6):485-91 21. Panackal AA, Gribskov JL, Staab JF, Kirby KA, Rinaldi M, Marr KA. Clinical significance of azole antifungal drug cross-resistance in Candida glabrata. J Clin Microbiol. 2006; 44(5): 1740-3. 22. Kanafani ZA, Perfect JR. Resistance to antifungal agents: mechanism and clinical impact. CID. 2008; 46(1): 120-8. 23. Espinel-Ingroff A. Mechanism of resistance to antifungal agents: yeast and filamentous fungi. Rev Iberoam Micol. 2008; 25: 101-6. 24. Al-Refai TA. General resistance of dermatophytes to griseofulvin. JRMS.2007; 14(1): 76-8. 25. Onyewu C, Heitman J. Unique applications of novel antifungal drug combination. Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry. 2007;6(1):3-15.
95