PERSPEKTIF, VOL. X NO.2 SEPTEMBER 2012
ANALISIS DAN STRATEGI PENGEMBANGAN MENGATASI KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTARWILAYAH Kartika Yuliantari
Akademi Sekretari dan Manajemen Bina Sarana Informatika Menara Salemba, Jln. Salemba Raya No.5 Jakarta Pusat. Indonesa Email :
[email protected]
ABSTRACT National development has been done so Jar have generally been able to improve the quality of life and welfare of the community, however, turned out to lead the development gap between regions development. Inequality of development between Java-especially outside Java, the West Region of Indonesia (KBI)-Eastern Indonesia (KTI), as well as between cities and between cities and villages. Case at issue here is not between the rich and the poor, but it is the difference between the forward and backward regions, so that the issues to be addressed in this study were the areas that are still lagging behind in development, yet the development of strategic and fast-growing , border and remote areas are still backward condition, lack of a fUnctioning national system of cities in regional development, growth imbalance between cities and towns, metropolitan cities and small medium enterprises, the development gap between rural and urban areas. In some areas, the imbalance of development has directly resulted in the emergence of the spirit of regionalism is at its most extreme in the form of separatist movements. Meanwhile, the acceleration of development efforts in areas of relatively still behind, although it has started since more than ten years ago, the result is still not folly enjoyed by people living in the region. Conditions of the areas that are still relatively undeveloped and left in desperate need of intervention from the government's development policies, so that with proper implementation of the strategy is expected to accelerate development in these areas that could ultimately improve the quality of life and well-being of society as a whole. Key words: analysis, strategy development, development imbalances I.
PENDAHULUAN
Pembangunan Nasional yang telah dilakukan selama ini secara umum telah mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, namun demikian pembangunan tersebut temyata menimbulkan kesenjangan perkembangan antar wilayah. Ketimpangan pembangunan terutama terjadi antara Jawa dengan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antar kota dengan kota dan antara kota dengan desa. Hal yang dipersoalkan disini bukan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, tetapi adalah perbedaan antara daerah maju dan daerah terbelakang, sehingga masalah yang akan dibahas di penelitian ini adalah: 1. Adanya wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan. 2. Belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh. 3. Wilayah perbatasan dan terpencil kondisinya masih terbelakang. 4. Kurang berfungsinya sistem kota-kota nasional dalam pengembangan wilayah
162
5. Ketidakseimbangan pertumbuhan antarkota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil. 6. Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota. Pada beberapa wilayah, ketimpangan pembangunan telah berakibat langsung pada munculnya semangat kedaerahan yang pada titik yang paling ekstrim diwujudkan dalam bentuk gerakan separatisme.Sementara itu, upaya-upaya percepatan pembangunan pada wilayah yang relatif masih tertinggal tersebut, meskipun telah dimulai sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu, hasilnya masih belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.Kondisi wilayahwilayah yang masih relatif belum maju dan tertinggal sangat membutuhkan inteJ.Vensi kebijakan pembangunan dari pemerintah, sehingga dengan penerapan strategi yang tepat diharapkan dapat mempercepat pembangunan di wilayah-wilayah ini yang pada akhimya dapat meningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
PERSPEKTIF, VOL. X NO. 2 SEPTEMBER 2012
II. TINJAUAN PUSTAKA
Ketimpangan merupakan suatu fenomena yang terjadi hampir di lapisan negara di dunia, baik itu negara miskin, negara sedang berkembang, maupun negara maju, hanya yang membedakan dari semuanya itu yaitu besaran tingkat ketimpangan tersebut, karenanya ketimpangan itu tidak mungkin dihilangkan namun hanya dapat ditekan hingga batas yang dapat ditoleransi. Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antarwilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C North dalam analisanya tentang teori pertumbuhan Neokalasik.Dalam analisa tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu Negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesa Neo-klasik (Sjafrizal,2008). Menurut hipotesa Neo-klasik, pada permulaan proses pembangunan suatu Negara, ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu bila proses pembangunan terns berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pemabanguan antar wilayah akan tersebut akan menurun (Sjafrizal,2008). Myrdal dalam Jinghan (2004), ketimpangan wilayah berkaitan erat dengan sistem kapitalis yang dikendalikan oleh motif laba. Motif laba inilah yang mendorong berkembangnya pembangunan terpusat di wilayah-wilayah yang memiliki harapan laba tinggi, sementara wilayah-wilayah yang lainnya tetap terlantar. Arsyad (1997) juga berpendapat perbedaan tingkat pembangunan ekononomi antar wilayah menyebabkan perbedaan tingkat kesejahteraan antarwilayah. Ekspansi ekonomi suatu daerah akan mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain, karena tenaga kerja yang ada, modal, perdagangan akan pindah ke daerah yang melakukan ekspansi tersebut. Myrdal dalam Jinghan (2004) menerangkan ketimpangan antar daerah, dengan membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya disekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan intemasional Untuk menjelaskan hal itu, Myrdal menggunakan ide spread effect dan backwash effect sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Spread effect didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan (favorable if.fect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi dari pusat pertumbuhan ke wilayah sekitar. Backwash effect didefini-sikan sebagai
pengaruh yang merugikan (infavorable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar termasuk aliran modal ke wilayah inti, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenamya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti. Lebih lanjut, Myrdal mengemukakan ketimpangan regional terjadi akibat besamya pengaruh backwash effect dibandingkan dengan spread effect di negara-negara terbelakang. Perbedaan kemajuan wilayah berarti tidak samanya kemampuan untuk bertumbuh sehingga yang timbul adalah terjadinya ketidakmerataan antardaerah. Sehubungan dengan hal 1m, muncul pendapat dan studi-studi empms yang menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada satu posisi yang dikotonomis. Kuznets dalam Tambunan (2003) mengemukakan suatu hipotesa yang terkenal dengan sebutan "Hipotesis U terbalik". Hipotesis ini dihasilkan melalui suatu kajian empiris terhadap pola pertumbuhan sejumlah negara didunia, pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terdapat trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor modem perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerj a. Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor modem dan tradisional meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan di sektor modem lebih cepat dibandingkan dengan sektor tradisional. Akan tetapi dalam jangka panjang, pada saat kondisi ekonomi mencapat tingkat kedewasaan ( maturity) dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas serta mobilitas semua faktor-faktor produksi antar negara tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar negara akan cenderung mengecil bersamaan dengan tingkat pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan rata-ratanya yang semakin tinggi di setiap negara, yang akhimya menghilangkan kesenjangan. Salah satu kajian yang menguatkan hipotesa Kuznet tersebut dilakukan oleh Williamson dalam Tambunan (2003). Williamson untuk pertama kalinya menyelidiki masalah ketimpangan antar daerah dengan membobot perhitungan coeffisient of variation (CV) dengan jumlah penduduk menurut wilayah. Dalam studinya ia menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayahwilayah tertentu yang pada awalnya sudah 163
PERSPEKTIF, VOL. X NO.2 SEPTEMBER 2012
relatif maju, rnisalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur, dan SDM. Kemudian dalam tahap perturnbuhan ekonorni yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalarni penurunan. III. METODE PENELITIAN Penelitian 1m menggunakan metode penelitian survey yaitu dengan penelitian yang mempelajari data sampel yang diambil dari populasi wilayah di Indonesia, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, dan hubungan-hubungan kecenderungan ketimpangan pembangunan ekononorni di wilayah Indonesia. Penelitian Ex post facto adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk meneliti peristiwa yang telah terjadi dan kemudian merunut kebelakang untuk mengetahui faktorfaktor yang dapat menyebabkan timbulnya kejadian tersebut. Penelitian 1m untuk mengungkapkan sebab-sebab terjadinya ketimpangan yang terjadi di wilayah Indonesia. Menurut jenis data dan analisis, penelitian 1m termasuk penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan data kualitatif (data yang berbentuk data, kalimat, skema, dan gambar) yang berasal dari berbagai sumber. Guna mendukung penelitian ini digunakan studi kepustakaan yaitusegala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Melihat ketimpangan pembangunan antarwilayah dalam suatu negara atau suatu daerah bukanlah hal yang mudah karena hal ini dapat menimbulkan debat yang berkepanjangan. Adakalanya masyarakat berpendapat bahwa ketimpangan suatu daerah cukup tinggi setelah melihat banyak kelompok rniskin pada daerah bersangkutan.akan tetapi ada pula masyarakat merasakan adanya ketimpangan yang cukup tinggi setelah melihat adanya segelintir kelompok kaya ditengah-tengah masyarakat yang umumnya masih miskin. Perlu diingat disini bahwa berbeda dengan distribusi pendapatan yang melihat keimpangan antarkelompok masyarakat, ketimpangan pembangunan antarwilayah melihat perbedaan antar wilayah.Hal yang dipersoalkan disini bukan antara kelompok kaya dan kelompok rniskin, tetapi adalah perbedaan antara daerah maju dan daerah terbelakang. Adapun masalah
164
yang akan dibahas di penelitian ini terdapat dalam penjelasan dibawah ini 4.1. Adanya Wilayah-Wilayah Yang Masih Tertinggal Dalam Pembangunan. Konsep Daerah Tertinggal telah dirumuskan dalam Kepmen PDT nomor 1 tahun 2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, dimana "daerah tertinggal" didefinisikan sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Indikator daerah tertinggal meliputi pengembangan ekonorni lokal, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan, pengurangan keterisolasian, dan penanganan karakteristik khusus daerah. Data terakhir menunjukkan bahwa dari 207 kabupaten tertinggal terdapat 141 kabupaten dengan status tertinggal (sekitar 68 persen), sebanyak 33 kabupaten dengan status agak tertinggal (sekitar 16 persen); dan 33 kabupaten dengan status sangat tertinggal (sekitar 16 persen). (Keban, 2012) Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonorni, dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah di sekitarnya.Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain: 1. Terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maj u 2. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar 3. Kebanyakan wilayah-wilayah ini rniskin sumber daya, khususnya sumber daya alam danmanusia 4. Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung 5. Belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini Strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi di wilayah-wilayah yang masih tertinggal di Indonesia, antara lain : 1. Strategi Menekan Biaya
PERSPEKTIF, VOL. X NO. 2 SEPTEMBER 2012
2.
Indonesia memang diakui sebagai negara yang kaya sumberdaya alam.Banyak daerah yang kaya belum tersentuh, dan kalau sudah tersentuh belum semuanya dieksploitasi.Wilayah Timur Indonesia dan sebagian di wilayah Barat Indonesia belum dieksploitasi sumberdayanya.Di samping keterbatasan anggaran, Indonesia menghadapi hambatan fisik yang luar biasa besar karena terdiri dari ribuan pulau, dan banyak yang sulit dijangkau.Akibatnya banyak daerah menjadi tertinggal dan miskin. Harga bahan pokok melonjak tinggi karena biaya transport yang mahal. Akses ke sekolah, ke pusat pelayanan kesehatan dan kegiatan ekonomi (industri, perdagangan dan jasa) relatif sulit, seperti dialarni daerah pegunungan dan pedalaman di Kalimantan Tengah, Papua, dan sebagian di Sulawesi dan Sumatera, dan daerah kepulauan di wilayah Maluku, Sulawesi Tenggara, NTT, dan Kepulauan Riau. Jangkauan ke pasar menjadi sulit, sementara input berupa bahan produksi (raw materials) sulit diperoleh, dan kalau ada sangat mahal. Dalam posisi seperti ini, strategi yang tepat adalah meningkatkan aksesibilitas dan mengendalikan harga melalui regulasi, investasi jangka panjang, dan subsidi harga.Pembangunan sarana dan prasarana perhubungan jelas membantu mengurangi biaya produksi sekaligus biaya hidup.Tentu rugi dilihat dari kacamata bisnis, tetapi kalau dilihat dari segi prospek jangka panjang dan kohesi sosial politik, investasi untuk menekan biaya ini sangat tinggi nilainya. Yang jelas, menekan biaya produksi dan biaya hidup melalui program subsidi pasti membantu banyak kabupaten untuk keluar dari posisi ketertinggalannya. Strategi Meningkatkan Kualitas Produk dan Jasa Harus diakui bahwa Indonesia memiliki banyak kekhasan produk daerah hasil seperti kelapa sawit, cengkeh, pala, jagung, kopi, Juga hasil laut seperti ikan, udang,l obster, rumput laut, dsb., dan kerajinan daerah seperti kaint tenun, batik, dsb., termasuk di sektor pariwisata dan jasa pelayanan publik (pelayanan perijinan dan Jarninan keamanan). Banyak hasil perkebunan, pertanian, perikanan, dan jasa pemerintahfpublik, kalah kualitasnya bila dibandingkan dengan yang berasal dari negara lain, atau daerah lain. Karenanya permintaan menurun, dan usaha menjadi bangkrut.Hasil laut, misalnya, tidak laku dijual karena rendah kualitasnya lantaran
3.
4.
tidak disimpan dalam peti es, atau karena mengandung logam berat sehingga tidak laku.Dalam konteks jasa seperti pelayanan perijinan seringkali makan waktu lama, berbelit-belit, tidak ada kepastian dan mahal, membuat investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah. Strategi menerapkan teknologi yang lebih inovatif dan unggul tentu akan sangat membantu meningkatkan kualitas produk yang selanjutnya dapat merebut pasaran. Demikian pula strategi melakukan reformasi pelayanan publik akan mendorong investasi di kabupaten tertinggal. Dengan memperbaiki kualitas produk dan jasa pelayanan publik termasuk jarninan keamanan, maka daya saing kabupaten tertinggal akan meningkat, menyamai kedudukan kabupaten yang tidak tertinggal. Strategi Mempertahankan Segmen Pasar Yang Sudah Ada Kelanggengan dari hubungan produsenkonsumen sering tidak langgeng.Strategi fokus pada segmen pasar tertentu sebagaimana diungkapkan Porter, kurang diperhatikan. Kabupaten yang menjual komoditas tertentu ke daerah tertentu seringkali tidak berupaya memeliharanya sebagai pelanggan atau pembeli tetap.Karena itu, banyak produksi komoditas yang tidak langgeng.Tentu saja, dalam mempertahankan segmen pasar tersebut, suatu kabupaten dapat menerapkan kedua strategi sebelumnya.Misalnya, untuk mempertahankan pasar dengan daerah atau negara tertentu, Kabupaten tertinggal dapat menerapkan strategi differensiasi, atau juga menekan biaya.Hubungan pasar yang telah lama berlangsung, harus didasari atas hubungan kemitraan dan fair trade agar kedua belah pihak sama-sama mengambil manfaat dari hubungan ekonomi tersebut, dan bertekad memperpanjang hubungan yang saling menguntungkan tersebut. Strategi Kerjasama Antar Daerah Dalam kenyataan, ada kabupaten tertinggal yang secara fisik masih homogen dengan kabupaten lain baik yang tertinggal maupun tidak tertinggal, dalam arti memiliki iklim yang sama dan sumberdaya yang sama sehingga memproduksi komoditas yang sama. Dalam konteks ekonomi regional, daerah-daerah ini sebaiknya bekerjasama untuk melayani pasaran yang sama dan memberikan pelayanan publik tertentu agar sama-sama mendapatkan manfaat dari pada bersaing dan mengakibatkan kerugian di 165
PERSPEKTIF, VOL. X NO.2 SEPTEMBER 2012
salah satu pihak. Misalnya di beberapa kabupaten tertinggal diadakan kerjasarna memproduksi j agung, ikan, dan sebagainya, atau sarna-sarna menangani pelayanan yang sarna di bawah satu atap. Kerjasarna antar Pemerintah Daerah (Agranoff, 1996) adalah suatu bentuk pengaturan kerjasarna yang dilakukan antar pemerintahan daerah dalarn bidang-bidang yang disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Kerjasarna (cooperation) antara pemerintah daerah telah lama dikenal dan dirasakan manfaatnya sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan (Patterson, 2008). Kerjasarna ini telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk mengarnbil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales). Pembelanjaan atau pembelian bersarna, misalnya, telah membuktikan keuntungan tersebut, dimana pembelian dalarn skala besar atau melebihi "threshold points", akan lebih menguntungkan dari pada dalarn skala kecil. Dengan kerjasarna tersebut biaya overhead (overhead cost) akan teratasi meskipun dalarn skala yang kecil. Sharing dalarn investasi, misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan seperti dalarn penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan administrator. Kerjasarna Juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalarn pemberian atau pengadaan fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak dapat membelinya sendiri.Dengan kerjasarna, fasilitas pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi, dsb. Bentuk dan metode kerjasarna antar Pemerintah Daerah meliputi :(Henry, 1995) a.
Intergovernmental service contract
Yaitu Jenis kerjasarna yang dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sarnpah, kontrol hewan atau temak, penaksiran pajak b.
Joint service agreement
Yaitu Jenis kerjasarna yang biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalarn pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadarn
166
kebakaran, kontrol pembuangan sarnpah. c.
kebakaran,
Intergovernmental service transfer
Yaitu merupakan suatu jenis transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik. 4.2. Belum Berkembangnya WilayahWilayah Strategis dan Cepat Tumbuh. Banyak wilayah-wilayah yang memiliki produk unggulan dan atau lokasistrategis belum dikembangkan secara optimal.Kerjasama-kerjasarna intemasional seperti Sijori (Singapura-J ohor-Riau) misalnya, idealnya merupakan salah satu pintugerbang untuk memajukan wilayah-wilayah luar Indonesia.Narnun, yang terjadi adalahbahwa yang memperoleh keuntungan terbesar hanya Singapura dan Malaysia, yangmana bebas untuk memperdagangkan produk-produk perdagangan mereka sertamenyerap tenaga kerja murah yang disediakan oleh Indonesia.Sedangkan untukkeuntungan ekonomis Indonesia, hampir tidak dapat dirasakan oleh masyarakat.Beberapa permasalahan yang mengakibatkan wilayah strategis dan cepattumbuh tidak dapat berkembang secara optimal adalah: (Saputra:2012,54) 1. Rendahnya sumber daya manusia, baik pemerintah daerah maupun masyarakatpelaku pengembangan kawasan; 2. Terbatasnya infrastruktur pendukung yang membuka akses antara pusatpertumbuhan wilayah atau pasar dengan wilayah pendukung sekitamya; 3. Belum berkembangnya sistem informasi yang dapat memberikan akses padainformasi produk unggulan, pasar, dan teknologi; 4. Belum tertatanya sistem kelembagaan dan manajemen yang belum terkelola baikuntuk pengelolaan pengembangan kawasan yang terpadu, dan berkelanjutan, dalarnmemberikan dukungan kepada peningkatan daya samg produk dan kawasan yangdikembangkannya; serta 5. Koordinasi dan kerjasama lintas sektor dan lintas pelaku yang belum optimal untukmeningkatkan kualitas produk-produk unggulan, sehingga dapat menciptakansinergitas antar kawasan, menciptakan nilai tarnbah yang besar, dan pada akhimyameletakkan fondasi yang kuat bagi pengembangan ekonomi daerah, dalarn satusistem keterkaitan antara
PERSPEKTIF, VOL. X NO. 2 SEPTEMBER 2012
wilayah strategis cepat tumbuh dengan wilayahperbatasan dan wilayah tertinggal.Wilayah strategis dan cepat tumbub mernpakan salah satu wilayah yang harnsdiprioritaskan pembangunannya. Beberapa kebijakan yang dapat dilakukan (sebagai prioritas) diantaranya: a. Penyusunan kajian, kebij akan, standar, dan rencana tindak termasuk konsepkonsep strategis pengembangan wilayah; b. Pembangunan dan fasilitasi penyediaan infrastruktur sosial dan ekonomi pendukung kawasan unggulan c. Peningkatan peran pemerintah daerah sebagai perencana dan pengelola pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh melalui peningkatan kualitas SDM pemerintah daerah dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan kawasan unggulan; peningkatan kerjasama antar wilayah, antarsektor, dan antarpelaku untuk pengembangan kawasan; pengembangan sistem insentif untuk mendorong pengembangan kawasan; serta pengembangan sistem data dan informasi untuk pengembangan daya saing kawasan 4.3. Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang. Kawasan perbatasan termasuk pulau-pulau kecil terluar mempunyai potensi sumberdaya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang strategis bagipertahanan dan keamanan negara.Namun demikian, pembangunan di beberapakawasan perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunandi wilayah negara tetangga.Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerahini umumnya j auh lebih rendah dibandingkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dinegara tetangga.Hal ini telah mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan ilegal didaerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan bebagai kerawanan sosial. Permasalahan utamanya yaitu rendahnya kesejahteraan masyarakat karena kurang optimalnya pelayanan sosial dasar yang menjangkaumasyarakat di perbatasan dan terhambatnya kegiatan ekonomi lokal karenaterbatasnya sarana dan prasarana. Faktor lain yang menyebabkan ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama rru cenderung
berorientasi "inward looking" sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan mernpakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah.Sementara itu pulau-pulau kecil di Indonesia sulit berkembang terntama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau.Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah. Ketertinggalan pembangunan di beberapa wilayah terisolir, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain: 1. Terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maj u 2. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar; 3. kebanyakan wilayahwilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia; 4. belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; dan 5. belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini. Arah kebijakan pembangunan untuk pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah perbatasan dan terisolir adalah: (Saputra, 2012 ). 1. Pengelolaan dan pembangunan wilayah perbatasan serta pulau-pulau kecil terluar,dengan fokus pada: a. Penegasan dan penataan batas negara di darat dan di laut termasuk di sekitar pulau-pulau kecil terluar b. Peningkatan kerjasama bilateral di bidang politik, hukum, dan keamanan dengan negara tetangga c. Penataan rnang dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar d. Pemihakan kebijakan pembangunan untuk percepatan pembangunan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar 2.
Percepatan pembangunan wilayah terisolir, dengan fokus pada: a. Pengembangan sarana dan prasarana ekonomi di daerah terisolir
167
PERSPEKTIF, VOL. X NO.2 SEPTEMBER 2012
b.
Peningkatan sarana dan prasarana pe1ayanan sosial dasar di daerah terisolir.
4.4. Kurang Berfungsinya Sistem Kota-kota Nasional dalam Pengembangan Wilayah. Pembangunan kota-kota yang hirarkis be1um sepenuhnya terwujud sehingga be1um dapat memberikan pe1ayanan yang efektif dan optimal bagi wi1ayah pengaruhnya.Keterkaitan antar kota-kota dan antar kota-desa yang berlangsung saat ini tidak semuanya saling mendukung dan sinergis.Masih banyak diantaranya yang berdiri sendiri atau bahkan saling merugikan.Akibat nyata dari kesemua hal tersebut adalah timbulnya ketimpangan pembangunan antar wi1ayah.Pertumbuhan kotakota besar dan metropolitan saat ini masih terpusat di pulau Jawa-Bali, sedangkan pertumbuhan kota-kota menengah dan keci1, terutama di 1uar Jawa, berjalan 1ambat dan tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari (Kartawijaya, 2009) 1. Belum optimalnya peran kota kecil dan menengah dalam menstimulan pertumbuhan wilayah 2. Belum terbangunnya keterkaitan spasial dan mata rantai produksi antara pertanian danmasukan inputnya antara kawasan perkotaan dan perdesaan 3. Belum efektifnya peran kota-kota kecil dan menengah sebagai kota perantara dari proses produksi di perdesaan, di kota-kota besar dan metropolitan. Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan perkotaan adalah: (Kartawijaya, 2009) 1. Menyusun dan menyiapkan struktur perkotaan dalam usaha memantapkan peran serta fungsi kota untuk mendukung pengembangan kota-kota secara hirarkis dan memiliki keterkaitan kegiatan ekonomi antar kota yang sinerg1s dan saling mendukung; 2. Mengembangkan dan mengoptimalkan peran kota kecil dan menengah sebagai pendukung ekonomi perdesaan; 3. Meningkatkan pelayanan kebutuhan dasar perkotaan; 4. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelayanan publik dan pengelolaan lingkungan perkotaan; 5. Peningkatan kemampuan dalam pengembangan kemitraan dengan swasta; serta
168
6. Meningkatkan daya samg kawasan perkotaan melalui peningkatan kualitas kelembagaan, optimalisasi penataan ruang dan pengembangan infrastruktur dasar. 4.5. Ketidakseimbangan Pertumbuhan Antar Kota-kota Besar, Metropolitan dengan Kota-kota Menengah dan Kecil. Pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan saat ini masih terlalu terpusatdi Pulau Jawa dan Bali, sedangkan pertumbuhan kota-kota menengah dan kecil,terutama di Jawa, berjalan lambat dan tertinggal. Pertumbuhan perkotaan yang tidakseimbang ini ditambah dengan kesenjangan pembangunan antar wilayah menimbulkanurbanisasi yang tidak terarah dan terkendali. Secara fisik, urbanisasi di Indonesiaditandai oleh: meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya fringe area terutama di kota-kota besar dan metropolitan; meluasnyaperkembangan fisik perkotaan di kawasan sub urban yang telah mengintegrasi kotakotayang lebih kecil di sekitar kota intinya dan membentuk konurbasi yang tidakterkendali; meningkatnya jurulah desakota (desa yang tergolong daerah perkotaan); terjadinya reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama diJawa); kecenderungan di propinsi-propinsi trans border (Kalimantan Timur, Riau, danSumatera Utara) memiliki persentase penduduk urban yang tinggi; sertakecenderungan tingkat pertumbuhan penduduk kota inti di kawasan metropolitanmenurun, sedangkan di daerah sekitamya meningkat (Saputra, 2012). Kecenderungan perkembangan seperti ini dapat berdampak negatif pada perkembangan kota-kota besar dan metropolitan itu sendiri, maupun kota-kota menengah dan kecil di wilayah tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan pada kota besar dan metropolitan dapat berupa: terjadinya ekspoitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam di sekitar kota-kota besar dan metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi; terjadinya secara terus menerus konversi lahan pertanian produktif menj adi kawasan pe1mukiman, perdagangan, dan industri; menurunnya kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan akibat terjadinya perusakan lingkungan dan timbulnya polusi; menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan karena permasalahan sosial ekonomi, serta penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan dan perdesaan; tidak mandiri dan terarahnya pembangunan kota-kota barn sehingga justru menjadi tambahan beban bagi kota inti.
PERSPEKTIF, VOL. X NO. 2 SEPTEMBER 2012
Pada tahun 2005, dalam rangka pengembangan keterkaitan pembangunan antarkota, beberapa pemerintah daerah telah mulai melaksanakan fasilitasi pengembangan pola kerja sama antarkota dan pengembangan prasarana dan sarana perhubungan antarkota. Selain itu, dalam rangka pengembangan kota-kota menengah dan kecil telah dilaksanakan revitalisasi kawasan perkotaan/permukiman; penanganan air limbah melalui pengembangan sistem terpusat di kota menengah; dan pemberian bantuan rintisan penanganan persampahan dan drainase di kota-kota menengah. Selanjutnya, telah dilakukan pula upaya untuk mengendalikan pembangunan kota-kota besar dan metropolitan melalui revitalisasi kawasan perkotaan, penanganan air limbah, pemberian bantuan rintisan penanganan persampahan dan drainase di beberapa kotabesar. 4.6. Kesenjangan Pembangunan antara Desa dan Kota. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di perdesaan umumnya masihjauh tertinggal dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan ekonorni dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonorni oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonorni di perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah perdesaan. Aibatnya, peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perdesaan (trickling down effect}, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan perkotaan (backwash effect).
Ketimpangan desa-kota juga disebabkan oleh urbanisasi dan proses aglomerasi yang berlangsung sangat cepat. Saat ini, terdapat 14kota metropolitan di Indonesia yang sebagian besar (11 kota) terletak di J awa. Masalah lainnya adalah menurunnya luas rata-rata penguasaan tanah per rumah tangga pertanian, yang berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian dan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan. Rata-rata penguasaan tanah di Jawa diperkirakan hanya mencapai 0,2 hektar per rumah tangga pertanian. (Saputra, 2012) Bila pengalokasian dana untuk pengembangan daerah asal rnigran (desa) dan kerj a sama dengan daerah tujuan rnigran (kota) itu tidak dapat dilakukan maka tindakan represif (rnisalnya dengan cara penertiban umum)
ataupun relief (rnisalnya dengan cara memberikan paket bantuan) yang dilakukan tidaklah dapat mengatasi permasalahan yang ada saat ini. Apakah hal ini dapat dilakukan di daerah perkotaan, bilatidak dilakukan kerja sama dengan pemda asal rnigran (desa) tersebut? Maukah mereka kembali ke daerah mereka jika daerah mereka masih dalam kondisi seperti saat ini? Hal-hal seperti inilah yang harusnya menjadi pertanyaan guna memicu dan mengembangkan hubungan kota dan kota lebih proporsional. Dalam era desentralisasi inilah, berbagai kota besar yang ada dituntut untuk mau bekerja sama dan mengembangkan jaringan (networking) dengan pemda daerah asal rnigran. Sehingga setiap kota besar dapat menjadi contoh yang baik dalam melakukan pembangunan dalam era desentralisasi ini, yaitu membangun dengan tidak mementingkan diri sendiri. Tetapi membangun dengan memperhatikan keseimbangan dengan daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Pemberian contoh merninimalkan 'egoisme' daerah ini perlu dikembangkan dalam era desentralisasi ini, guna mengembangkan model kerja sama yang produktif dan konstruktif yang tidak memusatkan kepentingan pada daerahnya sendiri tanpa memperhatikan daerah disekitamya. (Adi, 2005) 4.7. Rendahnya Pemanfaatan Rencana Tata Ruang Sebagai Acuan Koordinasi Pembangunan Lintas Sektor dan Wilayah. Pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah saat ini masih sering dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya.Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berkelebihan sehingga menurunkan kualitas (degradasi) dan kuantitas (deplesi) sumber daya alam dan lingkungan hidup.Selain itu, seringkali pula terjadi konflik pemanfaatan ruang antar sektor, contohnya adalah terjadinya konflik antar kehutanan dan pertambangan.Salah satu penyebab terjadinya permasalahan tersebut adalah karena pembangunan yang dilakukan dalam wilayah tersebut belurn menggunakan 'Rencana Tala Ruang' sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Penyebab dari rendahnya pemanfaatan rencana tata ruang sebagai acuan koordinasi pembangunan lintas sektor dan wilayah (Akil, 2003) 169
PERSPEKTIF, VOL. X NO.2 SEPTEMBER 2012
1.
2.
3. 4.
Kebijakan penyusunan rencana tata ruang (juga pemanfaatan dan pengendalianya) yang belum sepenulmya melibatkan atau berpihak pada masyarakat (rendahnya pemahaman PP 69/1996 tentang Hak dan Kewajiban Ranmasy dalam Tarn) Kurang terbukanya stakeholder dan rendahnya upaya diseminasi informasi dalam proses penataan ruang Belum optimalnya kemitraan antar stakeholder Panjangnya birokrasi pengambilan keputusan (kelembagaan penataan ruang yang belum optimal)
Dampak dari masalah yang muncul: (Akil, 2003) 1. Rendahnya rasa memiliki wilayah sehingga pembangunantidak sustainabel 2. Transaction cost yang mahal karena penolakan masyarakat 3. Pembangunan wilayah yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakat (wilayah) 4. Lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah Strategi yang dilakukan dengan menggunakan konsep peran serta masyarakat dalam kelembagaan perencanaan pemanfaatan tatarnang (Akil, 2003) 1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku (ujung tombak)dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi (termasuk dalam penataan ruang) 2. Menfasilitasi masyarakat agar menjadi pelaku dlm proses tarn(Pemerintah sebagai fasilitator, dan hormati hak masyarakat,serta kearifan lokal/keberagaman budayanya) 3. Mendorong agar stakeholder mampu bertindak secara transparans, akuntabel dan profesional dalam proses penataan ruang(terutama dalam perencanaan tata ruang) 4. Mendorong perkuatan kelembagaan yang mewadahi berbagaiaspirasi dari berbagai stakeholder. 5. Mendorong proses penyusunan kebijakan agar berpihak pada masyarakat 6. Melakukan berbagai konsultasi publik atas produk tarn dalamberbagai level dan kesempatan kepada stakeholder seperti DPR/D, L SM/Ormasy, Pemda, Pers 7. Mendorong public awarness melalui pendidikanlkampanye publik seperti dialog publik di TV dan Radio, !klan 170
8.
9.
layanan masyarakat di TV dan radio, tulisan di berbagai media massa Menerima dan memperhatikan saran, pertimbangan, pendapat,dan lainya dari masyarakat; Mendorong eksistensi dan efektifitas operasionalisasi kelembagaan penataan ruang seperti Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)
Adapun Hak masyarakat dalam penataan tata ruang (PP 69/96 Pasal2) 1. Berperan serta dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 2. Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan, dan rencana rinci ruang kawasan. 3. Menikmati manfaat ruang dan pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. 4. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialarninya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang. Sedangkan Kewajiban masyarakat dalam penataan tata ruang (PP 69/96 Pasal 6) 1. Berperan serta dalam memelihara kualitas ruang. 2. Berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Kewenangan Pemerintah Pusat dalam Penataan Ruang Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 merupakan revisi dari UU No. 22 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah maka yang menjadi concern pemerintah pusat dalam hal penataan ruang adalah sebagai berikut: 1. Tercapainya keseimbangan pemanfaatan ruang makro antara kawasan berfungsi lindung dan budidaya, antara kawasan perkotaan dan perdesaan, antar wilayah dan antar sektor 2. Tercapainya pemulihan daya dukung lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar dan menJarmn keberlanjutan pembangunan 3. Terwujudnya keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas provinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan sinergi struktur pemanfaatan ruang 4. Terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat (basic needs) akan pelayanan publik yang memadai
PERSPEKTIF, VOL. X NO. 2 SEPTEMBER 2012
Adapun wewenang pemerintah pusat di bidang penataan ruang adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, serta (penetapan) pola dan struktur pemanfaatan ruang nasional. 2. Fasilitasi kerjasama atau penyelesaian masalah antar provinsi/daerah, misal melalui penyusunan RT/ RW Pulau atau RT/RW Kawasan Jabodetabek. 3. Pengaturan tata ruang perairan di 1uar 12 mil dan kriteria penataan perwilayah ekosistem daerah tangkapan air 4. Penyiapan standar, kriteria dan fasilitasi kerjasama penataan ruang Kemudian instrumen pengikat yang dikembangkan oleh pemerintah pusat yang berfungsi sebagai alat keterpaduan dan kerj asama pembangunan antar daerah adalah melalui: 1. Instrumen perundang-undangan yang mengikat 2. Kebijakan-kebijakan yang jelas dan responsif sesuai dengan kebutuhan daerah 3. Bantuan dan kompensasi dalam bentuk fiskal 4. Penyediaan langsung prasarana berfungsi lintas wilayah dan backbone pengembangan wilayah 5. Mendorong kemitraan secara vertikal dan horisontal yang bersifat kerjasama pengelolaan (co-management) dan kerjasama produksi (co-production) 4.8. Sistem Pengelolaan Pertanahan Yang Masih belum Optimal. Pengelolaan pertanahan secara transparan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Penataan ruang. Pada saat ini masih terdapat berbagai masalah dalam pengelolaan pertanahan, antara lain :(bappenas) 1. sistem pengelolaan pengelolaan tanah yang belum efektif dan efisien; 2. belum terwujudnya kelembagaan pertanahan yang efisien dalam memberikan pelayanan pertanahan kepada masyarakat; 3. masih rendahnya kompetensi pengelola pertanahan; 4. masih lemahnya penegakan hukum terhadap hak atas tanah yang menerapkan prinsip-pnnsip yang adil, transparan, dan
demokratis. Permasalahan dalam bidang adalah (Kartawijaya, 2009)
pertanahan
1. terdapat ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah, atau terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat 2. tingginya jumlah konflik dan sengketa tanah; 3. belum memadainya jaminan kepastian hukum atas tanah yang tercermin dari tingkat sertifi.kasi yang bam mencapai 41,5% dari totaljumlah bidang tanah; dan 4. belum optimalnya kondisi sistem pengelolaan dan administrasi pertanahan di Indonesia. Kegiatan pokok yang merupakan strategi yang dapat dilaksanakan adalah: (bappenas) 1. Pembangunan sistem pendaftaran tanah yang efisien dan transparan, termasuk pembuatan peta dasar dalam rangka percepatan pendaftaran tanah; 2. Penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menjunjung supremasi hukum, dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan kepentingan rakyat; 3. Peningkatan kualitas dan kapasitas kelembagaan dan SDM pertanahan di pusat dan daerah dalam rangka pelaksanaan penataan dan pelayanan pertanahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembaman agraria dan tata ruang wilayah; 4. Penegakan hukum pertanahan yang adil dan transparan untuk meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui sinkronisasi peraturanperaturan perundangan pertanahan; Pengembangan sistem informasi pertanahan nasional yang handal dan mendukung terlaksananya prinsip-prinsip good governance dalam rangka peningkatan koordinasi, pelayanan dan pengelolaan pertanahan. V. KESIMPULAN Strategi yang dikembangkan di atas, pada dasamya merupakan general strategy yang hams dikembangkan secara konsisten dan berkesinambungan pada ketiga dimensi yang ada. Karena perbaikan pada satu dimensi saj a, tidaklah akan dapat memberikan efek yang bermakna bagi pengurangan tingkat ketimpangan antar wilayah di Indonesial. Perlu dilakukan strategi yang tepat dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah sehingga akan terwujud: 1. Percepatan pembangunan di wilayahwilayah cepat tumbuh dan strategis, 17 1
PERSPEKTIF, VOL. X NO.2 SEPTEMBER 2012
wilayah tertinggal, termasuk wilayah perbatasan dalam suatu 'sistem wilayah pengembangan ekonomi' yang terintegrasi dan sinergis; 2. Keseimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil secara hirarkis dalan1 suatu 'sistem pembangtman perkotaan nasional;' 3, Percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai 'motor penggerak' pembangunan di wilayahwilayah pengaruhnya dalam 'suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi,' termasuk dalam melayani kebutuhan masyarakat warga kotanya; 4. Terkendalinya pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu 'sistem wilayah pembangunan metropolitan' yang compact, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan; 5. Keterkaitan kegiatan ekonomi antar wilayah perkotaan dan perdesaan dalam suatu 'sistem wilayah pengembangan ekonomi' yang saling menguntungkan; 6. Keserasian pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam suatu 'sistem wilayall pembangunan yang berkelanjutan. ' 7, Sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta terlaksananya penegakan hukunl terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerapkan pnns1p-prins1p keadilan, transparansi, dan demokrasi. DAFTAR PUST AKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2005. Kemiskinan Multidimensi. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 1, Juni 2005: 27-33. Dalam http://joumal.ui.ac.id/upload/artikel/03_Ke miskinan%20Multidimensi_Isbandi_rev.pd f
Agranoff.R. 1996. Managing lntergovemmental Porcesses.Dalam Handbook of Public Administration. Peny, J.L. Ed. San Fransisco: Jossey-Bass. Hal. 210231.
1.72
Akil, Sjarifuddin. Seminar Nasional Pengembangan Wilayahdi Semarang12 Februari 2003 Arsyad, Lincolyn. 1997. Ekonomi Pembangunan. Edisi 3. Yogyaka1ta: STIE YKPN. BPFE. Bappenas. 2012. www.bappenas. go.id/get-flleserver/node/171
Dalam
Henry, N. 1995PublicAdministration and Publie Affairs.Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice -Hall. Jinghan,M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan dalam D Guritno (Penterjemah). Jakarta: PT Grafindo Persada Kartawijaya,TB MH Idris. 2009. Ketimpangan Pembangunan Lampung. Dalam http://tbidris.wordpress.com/ Keban ,Yeremias T..2012.. Strategi Membangun "Daya Saing" Daerah Teringgal. Dalam htt;p:// bull etin.penataanruang .net Patterson, D.A. 2008. Intergovernmental Cooperation. Albany, NY: New York State Department of State Division of Local Govemment Services. Saputra, Erlis. 2012. lsu Strategis da11 Permasalahan Pembangunan Wilayal1 di Indonesia, Dalam http://labptrtw.geo. ugm.ac.id/ uploadldoku men/Isu Strategis PW Erlis Saputra.pdf Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Padang Sumatra Ba1·at: Badouse Media Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia UU No. 32 tahun 2004 merupakan revisi dari UU No. 22 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah