ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI SELATAN
FILZAH WAJDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Agustus 2011
Filzah Wajdi NIM: H152070121
ABSTRACT FILZAH WAJDI. Analysis Disparity Development in South Sulawesi Province. Under direction of ERNAN RUSTIADI and BAMBANG JUANDA. This research is aimed to: (a) Identify regional disparity and sectoral disparity among regencies in South Sulawesi Province, (b) Study the availability of infrastructure for all regencies in South Sulawesi Province, and (c) Study the interaction among regions in South Sulawesi Province. This research showed that South Sulawesi Province has disparity. It is mainly caused by intra regions’ disparity, i.e. the disparity among sectors in each regions explained by GDP’s growth, infrastructure expenditure ratio, education expenditure ratio, and social expenditure ratio. Those ratios may determine the disparity strength. It might be caused by the availability of infrastructures and the interaction pattern among regions caused mainly by the economic activity. The spread of economic activity tends to concentrate in agricultural sector. The unbalanced growth among regions indicated the regional disparity in South Sulawesi. Key Words : development,regional disparity, infrastructure, sectoral disparity
RINGKASAN FILZAH WAJDI. Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan BAMBANG JUANDA. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang berada di Timur Indonesia yang memilki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Perkembangan PDRB Sulawesi Selatan ini berada di peringkat 2 Nasional. Namun, dibalik tingginya pertumbuhan ekonomi, pada kenyataannya terdapat ketimpangan yang terjadi di Sulawesi Selatan yang cenderung makin meningkat. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan tingkat pendapatan per kapita, Indeks Pembangunan Manusia yang lebih tinggi untuk beberapa kabupaten/kota daerah tertentu, tetapi secara keseluruhan IPM Sulawesi Selatan berada di peringkat 21 nasional. Ini disinyalir juga karena buruknya infrasturktur pendidikan dan kesehatan yang ada. Bahkan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) telah menetapkan Jeneponto, Luwu, Selayar, Enrekang, Pangkajene Kep, Luwu Timur, Sinjai, Takalar, Tana Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Barru, dan Pinrang. Dengan demikian Sulawesi Selatan memilki 13 kabupaten dari 23 kabupaten/kota sebagai daerah tertinggal dan merupakan jumlah yang terbesar di Pulau Sulawesi. Perbedaan yang besar terhadap proporsi kontribusi yang dimiliki setiap sektor terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan belum meratanya penyebaran aktivitas ekonomi di Sulawesi Selatan terlihat dari Pertanian yang menyumbang 39 persen terhadap PDRB Sulawesi Selatan. Selain itu dalam proses pembangunan, diperlukan ketersedian infrastruktur, dimana kekurangan infrastruktur ini akan menjadi penghambat dalam pengembangan ekonomi nasional. Akses terhadap fasilitas serta jasa pelayanan infrastruktur ini merupakan salah satu faktor utama menciptakan kesejahteraan. Buruknya peringkat IPM Provinsi Sulawesi Selatan ini yang berada di posisi 21 nasional ini disinyalir merupakan buruknya infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang ada di Sulawesi Selatan. Dalam pembangunan dibutuhkan interaksi yang baik antara kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, pola interaksi yang baik ini dapat menciptakan hubungan aksesibilitas daerah satu dengan daerah lain yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Hadirnya daerah-daerah miskin yang sebagian besar hadir di perdesaan dibandingkan perkotaan memperlihatkan tidak terjalinnya hubungan interaksi yang baik antara desa dan kota yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Mempertimbangkan hal di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi kondisi ketimpangan pembangunan wilayah di seluruh kabupaten/kota yang ada; (2) Mengidentifikasi ketersediaan infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan; dan (3) Mengidentifikasi pola interaksi di setiap Kab/Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi tingkat ketimpangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan serta penyebabnya adalah analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil. Untuk mengidentifikasi perkembangan aktivitas ekonomi menggunakan Indeks Diversitas Entropi. Kemudian untuk mengidentifikasi ketersediaan infrastruktur yang ada di Prov. Sulawesi Selatan adalah dengan menggunakan Analisis Skalogram, serta untuk mengidentifikasi
pola intreraksi yang ada di Kabupaten/kota adalah dengan menggunakan Doubly Constrained Entropy Model. Hasil analisis indeks Williamson menginformasikan bahwa terdapat ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan dengan kecenderungan yang meningkat Ketimpangan ini terlihat dari hasil yang ditunjukkan di enam tahun terakhir. Nilai yang ditunjukkan juga cukup tinggi berada diatas nilai ketimpangan yang dimiliki KBI, meski berada di bawah ketimpangan nasional di tahun 2006. Hal ini menunjukkan betapa tingginya ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Menelaah lebih lanjut yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan dengan menggunakan Indeks Theil menunjukkan bahwa komposisi terbesar penyebab ketimpangan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan lebih disebabkan karena ketimpangan yang terjadi di dalam kab/kota yang ada. Ditunjukkan oleh nilai Theil Within yang lebih besar dari Theil Between. Wilayah yang paling besar memberikan kontribusi terjadinya ketimpangan antara kab/kota adalah Kota Makassar, Kab. Luwu Timur, Kota Palopo, Kab. Pinrang, dan Kab. Pangkep. Sedangkan sektor yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan dalam wilayah kab/kota yang ada adalah Industri Pengolahan, dan Sektor lainnya, Perkembangan beberapa sektor ini kemudian diperkuat dari hasil analisis perkembangan aktivitas ekonomi yang menunjukkan belum optimalnya perkembangan aktivitas ekonomi yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Ditunjukkan oleh nilai entropi yang belum mencapai maksimal serta perkembangan sektor yang belum merata, diaman kecenderungan sektor pertanian merupakan sektor yang paling merata dibandingkan sektor lainnya, dan sektor liustrik, gas dan air minum yang peling tidak merata penyebaran aktivitasnya di seluruh kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan. Sedangkan dari realisasi belanja APBD Prov. Sulawesi Selatan diperoleh hasil bahwa selain pertumbuhan PDRB yang dapat menurunkan ketimpangan yang terjadi penurunan angka ketimpangan juga disebabkan Rasio Belanja Infrastruktur, Rasio Belanja Pendidikan, dan Rasio Belanja Sosial. Kemudian dari kondisi ketersedian infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini yang cukup beragam, ditunjukkan bahwa kab/kota yang berada di selatan Sulawesi Selatan memilki ketersedian infrastruktur yang lebih minim jika dibandingkan kabupaten/kota yang memilki IPM tinggi yang terletak di Utara Sulawesi Selatan yang memiliki jumlah infrastruktur yang lebih baik. Terlebih yang terkait dengan ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Memilki kondisi infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan secara umum masih di dominasi oleh Infrastruktur Pendidikan di tahun 2008 yang diitunjukkan oleh nilai IPK Kesehatan yang mendominasi di sebagian besar Kab/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, berbeda halnya dengan Infrastruktur Kesehatan yang ditunjukkan oleh IPK Kesehatan yang masih sangat kecil dan cenderung memilki nilai yang paling kecil hampir di seluruh kab/kota yang ada. Sedangkan pola interaksi secara umum di Provinsi Sulawesi Selatan masih sangat dipengaruhi motif ekonomi, dimana jika ingin meningkatkan interaksi di Sulawesi Selatan secara umum dengan memperkecil jarak yang ada dan meningkatkan peningkatan infrastruktur pendidikan, kesehatan dan sosial, dan tidak hanya pada infrastruktur ekonomi.
Kata Kunci: Pembangunan, ketimpangan, infrastruktur, sektor
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang: 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b. 2.
Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI SELATAN
FILZAH WAJDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Setia Hadi, M.S.
Judul Tesis
: ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI SELATAN
Nama
: Filzah Wajdi
NRP
: H 152070121
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 12 Agustus 2011
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahiim.. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.S atas kesediaannya menjadi penguji luar komisis pada sidang tesis. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr , dan Ketua Program Studi PWD, Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S penulis ucapkan terima kasih atas kesediannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister di program studi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para Dosen Program Studi PWD atas bekal ilmu yang telah diberikan pada penulis yang akan sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang. Terima kasih juga penulis haturkan kepada suami tercinta, Muh. Bazim Muhammad, SE yang selalu memberikan dukungannya yang terbaik dan mengajarkan banyak hal sehingga penulis dapat tetap semangat dalam menjalani aktivitas belajar. Semoga Allah senantiasa Memberikan perlindunganNya yang terbaik. Menuntunmu dalam setiap langkah dan perbuatan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Aba Dr. Sabir Alwy, S.H, M.H, dan Ibunda tercinta Ir. Syifa Achmad, atas doa dan dukungan yang selalu diberikan di manapun penulis berada. Semoga penulis dapat mencetak prestasi yang dapat membuat keduanya bangga. Kepada adik-adik tersayang, Afdhal dan
Muh. Zaky , terima kasih atas keceriaan yang dihadirkan serta bantuan yang diberikan sehingga menambah semangat penulis untuk menyelesaikan penelitian. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Aba dan Ibu Mertua, Hasyim Muhammad, S.H dan Sy. Qamar Alhabsyi, serta keluarga besar di Makassar dan Palopo atas dukungannya selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Makassar, Kepala Bidang Penataan dan Pengaturan Pertanahan atas izin dan dukungannya yang diberikan sehingga penulis bisa merampungkan tesis ini. Kepala Seksi dan rekan-rekan di bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan. Sahabat-sahabat dr. Nilam Smaradhania, sepupuku Nikma dan Sosekshe 02, terima kasih untuk semua bahagia dan semangat yang disunguhkan. Rekan-rekan seperjuangan PWD ’07 (Filzah, Lela, Nisa, Mb’ Dessy, Mb’ Lita, Mas Herwin, Mas Aziz, Mas Yandri, Mas David, Pa Jusmun, Mb’ Ririn, Pa Amir, Pa Saad, Pa Bambang, dan Pa Junaidi), serta rekan-rekan PWD seluruhnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, Pipit, Riesni, Ayah, dan temen-temen PCH lainnya yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis saat menempuh pendidikan S2. Terima kasih kepada Mbak Elva yang sering jadi tempat curhat dan banyak membantu urusan administrasi kelulusan. Tak lupa pula terima kasih diucapkan untuk Mas Didit dan Mb. Emma dan Mb. Dian yang telah banyak membantu baik ilmu dan urusan administrasi lainnya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang mendukung bagi kemajuan penulis di masa yang akan datang. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahiim.. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.S atas kesediaannya menjadi penguji luar komisis pada sidang tesis. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr , dan Ketua Program Studi PWD, Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S penulis ucapkan terima kasih atas kesediannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister di program studi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para Dosen Program Studi PWD atas bekal ilmu yang telah diberikan pada penulis yang akan sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang. Terima kasih juga penulis haturkan kepada orang tua, saudara, aba dan Ibu mertua, atas dukungannya selama ini.Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Makassar, serta sahabat semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang mendukung bagi kemajuan penulis di masa yang akan datang. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat. Bogor, Agustus 2011 Penulis
Kepala Seksi dan rekan-rekan di bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan. Sahabat-sahabat dr. Nilam Smaradhania, sepupuku Nikma dan Sosekshe 02, terima kasih untuk semua bahagia dan semangat yang disunguhkan. Rekan-rekan seperjuangan PWD ’07 (Filzah, Lela, Nisa, Mb’ Dessy, Mb’ Lita, Mas Herwin, Mas Aziz, Mas Yandri, Mas David, Pa Jusmun, Mb’ Ririn, Pa Amir, Pa Saad, Pa Bambang, dan Pa Junaidi), serta rekan-rekan PWD seluruhnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, Pipit, Riesni, Ayah, dan temen-temen PCH lainnya yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis saat menempuh pendidikan S2. Terima kasih kepada Mbak Elva yang sering jadi tempat curhat dan banyak membantu urusan administrasi kelulusan. Tak lupa pula terima kasih diucapkan untuk Mas Didit dan Mb. Emma dan Mb. Dian yang telah banyak membantu baik ilmu dan urusan administrasi lainnya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang mendukung bagi kemajuan penulis di masa yang akan datang. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 14 Desember 1983 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Dr. SabirAlwy, S.H, M.S, dan Ir. Syifa Achmad. Pada tanggal 27 November 2010 penulis menikah dengan Muh. Bazim, SE. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 17 Makassar, dan pada tahun yang sama lulus seleksi SPMB pada Universitas Hasanuddin Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, dan menyelesaikan pendidikan strata satu pada tahun 2006. Pada tahun 2007, penulis memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan strata dua pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Tahun 2009, Penulis diberikan kesempatan untuk bekerja di Badan Pertanahan Nasional dan saat ini ditempatkan di Kanwil Provinsi Sulawesi Selatan.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. xii DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xvi PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................... 6 1.3 Kegunaan Penelitian .................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 9 2.1 Pengertian dan Deskripsi .............................................................. 9 2.1.1 Pembangunan ..................................................................... 9 2.1.2 Konsep Wilayah dan Pembangunan Wilayah ...................... 11 2.1.3 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah ....................... 16 2.1.4 Infrastruktur ....................................................................... 22 2.2 Penelitian Terdahulu .................................................................... 23 2.3 Kerangka Penelitian .................................................................... 24 METODE PENELITIAN ............................................................................ 29 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 29 3.2 Metode Pengumpulan Data .......................................................... 29 3.3 Metode Analisis ........................................................................... 30 3.4 Definisi Operasional .................................................................... 39 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Profil Umum Provinsi Sulawesi Selatan 4.1.1 Keadaan Fisik ..................................................................... 41 4.1.2 Perkembangan Kependudukan dan Sosial Ekonomi ............ 41 4.1.3 Ekonomi Wilayah ............................................................... 53 4.1.4 Perkembangan Infrastruktur/Fasilitas Sosial dan Ekonomi .. 66
xiii
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah ........ 71 5.2 Analisis Keuangan Provinsi Sulawesi Selatan ............................. 84 5.3 Analaisis Ketersediaan Infrastruktur............................................ 88 5.4 Analisis Pola Interaksi antar Kabupaten/Kota .............................. 97 5.5 Analisis Ketimpangan Pembangunan di Prov. Sulawesi Selatan .. 102 KESIMPULAN DAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................ 111 6.2 Saran........................................................................................... 112 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 113 LAMPIRAN ............................................................................................... 114
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Tujuan Penelitian, Metode Analisis, Jenis dan Sumber Data serta Output Penelitian .................................................................... 30 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk ............. 42 3. Jumlah Penduduk dan Laju Pertambahan Penduduk Tahun 2004 hingga 2008 masing-masing Kab/Kota Tahun 2004-2008 ....... 44 4. Angkatan Kerja Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas Selama Seminggu yang Lalu di Sulawesi Selatan ............................ 46 5. IPM Sulawesi Selatan 2005-2008 .................................................... 48 6. Tingkat IPM Tahun 2008 Provinsi Sulawesi Selatan ........................ 49 7. Jumlah Tempat Peribadatan Seluruh Kab/Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ................................................................ 53 8. PDRB Kab/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2008 ........................... 55 9. Kontribusi Sektoral Kab/Kota di Sulawesi Selatan 2008 .................. 56 10. Kemampuan Keuangan Kab/Kota Prov. Sulawesi Selatan ............... 59 11. Persentase
Kontribusi
Sumber-Sumber
Pendapatan
Asli
Daerah............................................................................................. 61 12. Persentase Kontribusi Sumber-Sumber Dana Perimbangan .............. 63 13. Persentase Proporsi Sumber-Sumber Lain-Lain Pendapatan yang Sah ......................................................................................... 65 14. Kondisi Infrastruktur Ekonomi Prov Sulawesi Selatan 2008 ............ 67 15. Panjang jalan Kab/Kota di Prov. Sulawesi Selatan 2008 .................. 69 16. Indeks Ketimpangan (Williamson) Prov. SulSel 2004-2009............. 72 17. Indeks Theil Within & Between 2004-2009 ..................................... 74 18. Indeks Theil Between Kab/Kota 2004-2009..................................... 76 19. Indeks Theil Within Kab/Kota di Sulawesi Selatan 2004-2009 ........ 78 20. Indeks Entropi Berdasarkan PDRB Sektoral .................................... 80 21. Penyebaran Setiap Hasil Entropi 2004-2009 .................................... 82 22. Indeks Entropi 2004-2009 ............................................................... 83 23. Analisis Ekonometrika Regresi Berganda Sumber Disparitas .......... 86
xv
24. Nilai IPK dan Jumlah Jenis Fasilitas Skalogram 2003 ...................... 90 25. Hasil Dugaan Analisis Entropi Interaksi Spasial .............................. 98
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta jumlah kabupaten/kota daerah tertinggal
di setiap
propinsi Kepmen Daerah Tertinggal Nomor : 001/KEP/MPDT/I/2005 ..................................................................................... 2 2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan (%) Tahun 2004-2009 ....................................................................................... 4 3. Rata-Rata PDRB per kapita kabupaten/kota di Sulawesi Selatan 2008 .................................................................................... 5 4. Sistematika Konsep-Konsep Wilayah .............................................. 12 5. Alur Kerangka Pikir Penelitian ........................................................ 27 6. Peta Adminmistrasi Sulawesi Selatan ............................................. 29 7. Pola Penyebaran Kepadatan Penduduk Tahun 2008 ......................... 43 8. Rata - Rata Laju Pertambahan Penduduk Tahun 2004 hingga 2008 ................................................................................................ 45 9. Grafik IPM Kab/Kota Prov. Sulawesi Selatan 2008 ......................... 50 10. Peta Penyebaran IPM Penduduk Tahnu 2008 ................................... 51 11. Peta Konstribusi PDRB Sektoral...................................................... 57 12. Kontribusi Sumber-Sumber Pendapatan Daerah.............................. 60 13. Persentase Proporsi Sumber-Sumber Dana Perimbangan Kab/Kota ......................................................................................... 64 14. Proporsi Sumber-Sumber Lain Pendapatan yang Sah Prov. Sulawesi Selatan.............................................................................. 66 15. Nilai Indeks Williamson 2004-2009 ................................................ 73 16. Perbandingan Indeks Williamson tanpa 3 Kota di Provinsi Sulsel .............................................................................................. 74 17. Komposisi Indeks Theil Provinsi Sulawesi Selatan 2004-2009 ........ 75 18. Peta Ketimpangan Daerah 2004-2009 .............................................. 77 19. Perkembangan Entropi Kab/Kota Tahun 2008 hingga 2009 ............. 81 20. Nilai Entropi Tahun 2004 hingga 2009 ........................................... 83
xvii
21. Perkembangan Persentase Alokasi Belanja per Urusan/Bidang Prov. Sulawesi Selatan .................................................................... 84 22. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2003 ................... 91 23. Peta Skalogram Berdasarkan IPK yang Dominan Tahun 2003 ......... 92 24. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2006 .................. 93 25. Peta Sklaogram Berdasarkan IPK yang Dominan Tahun 2006 ......... 94 26. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2008 ................... 95 27. Peta Skalogram Berdasarkan IPK yang Dominan Tahun 2008 ......... 96 28. Peta Interaksi Kab/Kota (Dugaan Asal) ........................................... 99 29. Peta Interaksi Kab/Kota (Dugaan Tujuan)........................................ 101
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Nilai Indeks Williamson Tahun 2004 ............................................... 115 2. Nilai Indeks Williamson Tahun 2005 .............................................. 116 3. Nilai Indeks Williamson Tahun 2006 ............................................... 117 4. Nilai Indeks Williamson Tahun 2007 ............................................... 118 5. Nilai Indeks Williamson Tahun 2008............................................... 119 6. Nilai Indeks Williamson Tahun 2009 ............................................... 120 7. Nilai Indeks Theil Tahun 2004 ........................................................ 121 8. Nilai Indeks Theil Tahun 2005 ........................................................ 122 9. Nilai Indeks Theil Tahun 2006 ........................................................ 123 10. Nilai Indeks Theil Tahun 2007 ........................................................ 124 11. Nilai Indeks Theil Tahun 2008 ........................................................ 125 12. Nilai Indeks Theil Tahun 2009 ........................................................ 126 13. Nilai Entropi Tahun 2004 ................................................................ 127 14. Nilai Entropi Tahun 2005 ................................................................ 128 15. Nilai Entropi Tahun 2006 ................................................................ 129 16. Nilai Entropi Tahun 2006 ................................................................ 129 17. Nilai Entropi Tahun 2007 ................................................................ 130 18. Nilai Entropi Tahun 2008 ................................................................ 131 19. Nilai Entropi Tahun 2009 ................................................................ 132 20. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ........................................... 133 21. Variabel Skalogram Tahun 2003...................................................... 134 22. Variabel Skalogram Tahun 2006...................................................... 135 23. Variabel Skalogram Tahun 2008...................................................... 136
1
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pembangunan secara umum dipandang sebagai proses multidimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Berdasarkan pengertian ini maka pada hakekatnya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), kemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Indonesia adalah negara dengan tingkat kebhinekaan yang tinggi, dimana perbedaan antar daerah merupakan suatu konsekuensi logis dari perbedaan karakteristik alam, ekonomi, sosial dan budaya. Wilayah-wilayah dengan potensi Sumber Daya Alam dan lokasi yang menguntungkan, yang seharusnya berkembang dan
menciptakan
percepatan pembangunan bagi wilayah-wilayah yang tertinggal tidak hadir secara optimal. Pembangunan regional yang berimbang yang dapat mendorong pertumbuhan eokonomi yang optimal yang tercipta dari sinergitas interaksi antar wilayah juga tidak tercapai secara optimal (Anwar, 2005). Pada skala nasional, tingkat kesejahteraan antar wilayah menjadi tidak berimbang dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi makro, dan sistem pemerintahan yang sentralistik yang cenderung mengabaikan terjadinya kesetaraan dan keadilan pembangunan antar-wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan wilayah Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Menurut Anwar (2005), kecenderungan pengembangan program-program kawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah sejauh ini yang masih didominasi oleh strategi pengembangan dari sisi pasokan (supply) tanpa pengembangan strategi sisi permintaan yang cukup memadai. Strategi pembangunan wilayah karenanya harus didasarkan atas prinsip strategi keterkaitan (linkages) antar wilayah. Strategi ini dapat
2
diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun berbagai infrastruktur fisik yang dapat menunjang pembangunan sektor perekonomian dan juga dapat menciptakan keterkaitan yang sinergis (saling memperkuat) antar wilayah. Ketersediaan infrastruktur adalah hal mutlak, dan kekurangannya akan langsung menghambat ekonomi nasional untuk berkembang. Akses terhadap fasilitas serta jasa pelayanan infrastruktur merupakan salah satu faktor utama menciptakan kesejahteraan bangsa. Indonesia saat ini tertinggal dari negara tetangganya dalam hal pembangunan infrastruktur. Hanya 34 pesen penduduk perkotaan atau 14 persen jumlah penduduk yang menikmati langsung infrastruktur air bersih, Masih banyaknya daerah luar Jawa yang mengalami pemadaman bergilir karena kekurangan daya listrik.
Sumber : Kepmen Daerah Tertinggal, nomor 001/KEP/M-PDT/I/2005 Gambar 1. Peta Jumlah Kabupaten/Kota Daerah Tertinggal di Setiap Provinsi Salah satu dampak persoalan ketimpangan wilayah adalah persoalan
daerah
tertinggal dan masalah ketimpangan pembangunan ini merupakan permasalahan disparitas wilayah yang membahayakan kesatuan nasional terutama pada pemerintah daerah di wilayah perbatasan. Dari data Kepmen dapat dilihat penyebaran daerah tertinggal dalam skala nasional. Menurut Kepmen Daerah Tertinggal, nomor 001/KEP/M-PDT/I/2005, daerah tertinggal ini didasarkan pada enam kriteria:(1)
3
perekonomian masyarakat, (2) kualitas Sumber Daya Manusia, (3) prasarana (infrastruktur), (4) kemampuan keuangan lokal, (5) aksesibilitas dan karakteristik daerah, (6) lokasi Kabupaten yang berada di daerah. Berdasarkan enam kriteria itu maka dapat terlihat sebagian besar Provinsi yang mempunyai Kabupaten daerah tertingal terjadi di luar Jawa. Provinsi di ujung perbatasan barat yaitu Nanggro Aceh (16) dan ujung timur Papua (19) merupakan Provinsi terbesar dengan kandungan daerah tertinggal, menyusul Kalimantan Barat di perbatasan utara (9). Tebaran tebaran daerah tertinggal memang banyak terlihat pada Provinsi-Provinsi yang belum tentu jauh dari pusat pusat kota nasional. Jawa, Bali merangkai kemajuan hingga Lombok dan ke timur makin sulit, dan NKRI
di
Provinsi
NTT
Timur merupakan
wilayah
perbatasan
selatan mengandung banyak daerah tertinggal (15). Provinsi Sulawesi
Selatan (13) yang mempunyai kota Makassar sebagai pusat pertumbuhan atau kolektor dan distributor Indonesia Timur, belum
mampu
menciptakan
difusi
kemajuan di wilayahnya, Sulawesi Selatan masih menyisakan banyak Kabupaten daerah tertinggal dengan jumlah yang besar yaitu 13 Kabupaten dari total 23 Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan dengan Kota Makassar sebagai ibukota Provinsi merupakan daerah yang memiliki potensi yang besar untuk berkembang dan diharapkan dapat mendorong perkembangan daerah-daerah di sekitarnya khususnya Kawasan Timur Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan menunjukkan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan pada 2008 mencapai 7,78 persen, peringkat 2 nasional. Produk Domestik Bruto (PDRB) Sulawesi Selatan pada 2008 mencapai Rp 85,143 Triliun, dibandingkan dengan PDRB 2007 yang Rp 69,271 triliun (harga berlaku). Pertumbuhan ekonomi ini bahkan terjadi ketika nilai ekspor Sulawesi Selatan justru turun. Penopang pertumbuhan ekonomi itu adalah sektor pertanian tanaman pangan yang menyumbang 39 persen dari total nilai PDRB. Pertumbuhan ekonomi 2008 berdampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat karena sektor pertanian sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi itu adalah sektor yang menampung lebih dari 51 persen tenaga kerja di Sulawesi Selatan. Memperlihatkan perkembangan aktivitas ekonomi yang belum merata.
4
Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan (persen) Tahun 2004-2009 (atas dasar harga konstan). Pendapatan Regional per kapita yang merupakan salah satu indikator tingkat kemajuan atau tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah, dalam periode 20032007, PDRB per kapita Sulawesi Selatan meningkat sebesar 14,93 persen, dengan tingkat PDRB perkapita yang berbeda di setiap Kabupaten/kota. Meski demikian PDRB per kapita Sulawesi Selatan masih berada di bawah PDRB
per kapita Nasional
demikian pula dengan tingkat pertumbuhannya. Keberhasilan pembangunan seharusnya tidak cukup apabila hanya diukur dengan keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi akan tetapi juga pada bidang pembangunan manusia. Dengan angka pertumbuhan ekonomi yang menduduki peringkat 2 nasional tahun 2008 tidak serta merta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan juga ada di posisi yang sama meskipun untuk tahun 2008 relatif membaik dibanding tahun 2007. IPM Sulawesi Selatan berada pada peringkat 21 nasional. Kondisi buruknya tingkat IPM ini disinyalir dampak dari buruknya infrastruktur yang terkait buruknya kondisi pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, kemiskinan di perkotaan tidak seburuk kemiskinan perdesaan, BPS Sulawesi Selatan menyatakan, dari 1,03 juta jiwa penduduk miskin di Sulawesi Selatan, 880.900 jiwa lebih berada di perdesaan (2008), dengan kecenderungan yang terus menurun, dibandingkan 2007. Angka kemiskinan 2008 mencapai 13,34 persen,
5
sementara pada 2007 mencapai 14,11 persen, dengan kemiskinan di perdesaan yang lebih besar. Persentase penduduk miskin di perdesaan sekitar 85,38 persen pada bulan Maret 2008. Angka Kemiskinan 2007 yang mencapai 14,11 persen atau secara absolut berjumlah 1,1 juta jiwa, sedangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,34 persen dalam periode yang sama. Masih tingginya tingkat kemiskinan Provinsi Sulawesi Selatan sedangkan pertumbuhan ekonomi tetap cukup tinggi, memperlihatkan bahwa nilai tambah yang tercipta hanya dinikmati oleh kalangan-kalangan tertentu yang mempunyai market share yang besar. Selain itu, apabila diamati dari struktur PDRB per kapita Kabupaten/kota Sulawesi Selatan pada gambar 3, akan terlihat trend perbedaan yang mengalami peningkatan secara umum dan perbedaaan yang cukup signifikan. Lima wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi adalah Kabupaten Luwu Timur, Kota Makassar, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kabupaten Pinrang,
dan Kabupaten Wajo.
Seperti terlihat pada diagram batang di bawah ini.
Gambar 3.
Rata-Rata PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 2004 hingga 2009 (juta rupiah)
Perbedaan tingkat pendapatan per kapita yang sangat mencolok ini bisa menjadi salah satu indikasi adanya ketimpangan pembangunan wilayah di Sulawesi Selatan yang diakibatkan oleh tingginya konsentrasi aktivitas ekonomi pada pusat-pusat pertumbuhan di wilayah tersebut. Meski demikian, konsentrasi aktivitas ekonomi pada wilayahwilayah tertentu tidak dapat dihindari dan bahkan cenderung dibutuhkan dalam
6
pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut merupakan salah satu bagian dari proses pembangunan Sedangkan ketimpangan wilayah merupakan konsekuensi yang wajar asalkan masih dalam batas yang layak. Pada umumnya daerah-daerah yang memiliki basis perekonomian di sektor pertanian identik dengan ketertinggalan dalam pembangunan. Akan tetapi dapat menjadi keunikan dan kekuatan tersendiri dalam mencanangkan strategi pembangunan wilayah. Keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian (hulu) dan sektor industri (hilir) dalam struktur perekonomian wilayah merupakan pondasi yang kuat dalam perkembangan perekonomian. Dengan mengidentifikasi hal-hal yang menyebabkan terciptanya ketimpangan dalam pembangunan yang terjadi, maka diharapkan dapat segera mengantisipasi dan mensiasati ketimpangan yang terjadi agar sinkronisasi perkembangan wilayah dapat segera tercipta. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Bagaimana tingkat ketimpangan wilayah di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang dilihat dari segi sektoral, regional, maupun dari struktur ekonomi wilayah maupun perkembangan aktivitas ekonominya?
b.
Bagaimana ketersediaan infrastruktur di setiap Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan ?
c.
Bagaimana melihat interaksi spasial di setiap Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan?
1.2
Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui ketimpangan/ketimpangan dan
perkembangan antara Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan a.
Mengidentifikasi ketimpangan wilayah di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang dilihat dari segi sektoral, regional, maupun dari struktur ekonomi wilayah maupun perkembangan aktivitas ekonominya
b.
Mengidentifikasi ketersediaan infrastruktur di setiap Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan
7
c.
Mengidentifikasi melihat interaksi antara Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan
1.3
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk melihat pola
pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan dan sebagai bahan masukan bagi pemerintah setempat
dalam
perumusan
kebijaksanaan
pembangunan
baik
pemerintah
Kabupaten/kota maupun Provinsi dengan memperhatikan potensi wilayah, interaksi antarwilayah dan mewujudkan pembangunan yang berimbang.
8
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian dan Deskripsi
2.1.1 Pembangunan Todaro dalam Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Pembangunan juga harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembagunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem) serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Secara umum dapat dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia yang bertujuan dan memberi harapan kepada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dan lebih merata yang dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pada dasarnya, dalam pembangunan tersebut memperhatikan bagaimana pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya. Secara filosofi suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi
pencapaian aspirasi setiap warga yang paling
humanistik”. UNDP dalam Rustiadi et al. (2007) mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi
10
penduduk. Dalam konsep ini, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (human capital formation) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Pembangunan dapat dikonseptualisasikan suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Meskipun para ahli memberikan pendapat yang berbeda mengenai pembangunan, namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Sehingga secara sederhana pembangunan pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Pembangunan sebagai suatu perubahan mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan. Sejalan
dengan
berkembangnya
dinamika
masyarakat,
maka
konsep
pembangunan telah mengalami pergeseran paradigma pembangunan, menurut Rustiadi et al. (2007) adalah sebagai berikut: 1.
Pergeseran dari situasi harus memilih antara pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan sebagai pilihan-pilihan yang tidak saling menenggang (trade-off) ke keharusan untuk mencapai tujuan pembangunan secara berimbang
2.
Kecenderungan pendekatan dari cenderung melihat pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang diukur secara makro menjadi pendekatan-pendekatan regional dan lokal.
3.
Pergeseran asumsi tentang peranan pemerintah yang dominan menjadi pendekatan pembangunan yang mendorong partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian) Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan ekonomi,
maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi juga mengalami pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau
kenaikan
pendapatan per kapita penduduknya namun lebih jauh lagi ke arah perkembangan
11
masyarakat. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut. 2.1.2 Konsep Wilayah dan Pembangunan Wilayah Konsep
perencanaan
dan
pelaksanaan
pembangunan
dilakukan
dengan
pendekatan wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2007) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sedangkan wilayah menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 adalah wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Pengembangan konsep wilayah dan penerapannya dalam dunia nyata akan menghasilkan suatu perwilayahan. Dengan demikian, klasifikasi spasial (pewilayahan) merupakan alat (tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karakteristik fenomena yang ada. Pewilayahan digunakan sebagai alat untuk mengolah dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan pewilayahan digunakan untuk penerapan pengelolaan (manajemen) pengelolaan sumberdaya yang memerlukan pendekatan pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakteristik secara spasial. Klasifikasi konsep wilayah menurut Rustiadi et al. (2006) adalah: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan atau pengelolaan (planning region atau programming region). Berikut adalah deskripsi sistematik konsep-konsep wilayah.
12
Konsep Alamiah
Homogen
Nodal (pusat – hinterland)
Sistem Sederhana
Desa - kota
Budidaya - lindung
Wilayah
Sistem / Fungsional
Sistem ekonomi : agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Sistem Komplek
Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir
Sistem sosial – politik : Cagar budaya, wilayah etnik
Konsep Non Alamiah Perencanaan / Pengelolaan
Umumnya disusun / dikembangkan berdasarakan : Konsep homogen / fungsional : KSP, KATING dan sebagainya Administrasi – politik : propinsi, Kabupaten, Kota
Gambar 4. Sistematika Konsep-Konsep Wilayah (Rustiadi et al., 2006) Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, dengan kata lain wilayah homogen adalah wilayah-wilayah yang diidentifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau faktor perinci yang menonjol di wilayah tersebut. Konsep wilayah sistem/fungsional menekankan pada perbedaan dua komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Wilayah dapat dipilah atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non dikotomis). Sistem sederhana adalah sistem yang bertumpu atas konsep ketergantungan atau keterkaitan antara dua bagian atau komponen wilayah. Berbeda dengan konsep wilayah sederhana, konsep wilayah suatu sistem kompleks mendeskripsikan wilayah sebagai suatu sistem yang bagianbagiannya (komponen-komponen) di dalamnya bersifat kompleks. Sifat kompleks ditujukan dengan banyaknya jumlah dan jenis komponen yang ada serta keragaman bentuk hubungan antara komponen-komponen tersebut. Konsep-konsep wilayah sistem
13
kompleks dapat dibagi atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem), (2) sistem sosial, (3) sistem ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem. Wilayah perencanaan/pengelola tidak selalu berwujud wilayah administratif tapi wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan/pengelolaan. Perwilayahan
komoditas
adalah
contoh
penetapan
wilayah
perencanaan/pengelolaan yang berbasis pada unit-unit wilayah homogen. Suatu perwilayahan komoditas pertanian harus didasarkan pada kehomogenan faktor alamiah dan non alamiah. Adanya sistem perwilayahan diharapkan dapat meningkatkan efiensi sitem produksi dan distribusi komoditas, karena perwilayahan komoditas pada dasarnya adalah suatu upaya memaksimalkan “comparative advantage” setiap wilayah (Rustiadi et al., 2007). Pembangunan wilayah adalah proses/tahapan kegiatan pembanguanan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui kegiatan investasi pembangunan. Sedangkan tujuan pembangunan wilayah adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dengan memanfaatkan sifat keadaan daerah dan lingkungan yang bersangkutan terutama aspek yang menyangkut sumberdaya fisik dan sosio kultural yang hidup di masing-masing wilayah (Anwar, 2005). Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan konstribusi pada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan perlu mengetahui tipe/jenis wilayahnya. Dengan mengetahui ciri suatu wilayah, maka dapat dirumuskan kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah. Menurut Tukiyat (2002) secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam suatu negara:
14
1.
Wilayah yang telah maju
2.
Wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi
3.
Wilayah sedang, yang dicirikan adanya pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik
4.
Wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju, yang dicirikan adanya tingkat pertumbuhan yang jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pengembangan
5.
Wilayah tidak berkembang Sedangkan menurut Anwar (2005) wilayah memiliki beberapa karakteristik yaitu:
a.
Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan dengan pusat pertumbuhan. Di wilayah ini biasanya ada pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia yang juga tinggi. Potensi lokasi yang strategis, sarana pendidikan yang lengkap, dan aksesibilitas yang baik terhadap pasar domestik dan pasar internasional.
b.
Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju. Potensi SDA yang cukup tinggi, tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, namun belum terjadi kesesakan dan tekanan biaya sosial. Masih terjadi keseimbangan antara sektor pertanian atau primer lainnya dengan sektor industri. Sektor jasa sudah mulai berkembang, meski perannya mash relatif kecil.
c.
Wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi SDA yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini didiami oleh kepadatan penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang masih rendah juga. Wilayah ini belum memiliki aksesibilitas yang baik terhadap wilayah lainnya. Sektor ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh sektor primer dan biasanya belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri.
15
d.
Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu : (1) Wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumber daya alam atau lokasi sehingga secara alamiah sulit sekali berkembangdan mengalami pertumbuhan; dan (2) Willayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumber daya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan bertumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Tingkat kepadatan penduduk yang jarang, kualitas sumber daya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah, namun tidak berkembang dicirikan oleh tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, dimana manfaat tertinggi dari pemanfaatan sumber daya alam tersebut dinikmati oleh willayah lainnya. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan wilayah
adalah menyusun perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2006) perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Tata ruang wilayah merupakan landasan dan juga sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan adalah pendekatan sektoral. Pendekatan sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan ke dalam sektor-sektor. Selanjutnya masingmasing sektor dianalisis satu per satu untuk menentukan apa yang dapat dikembangkan atau ditingkatkan dari sektor-sektor tersebut guna lebih mengembangkan wilayah. Pada era otonomi daerah saat ini, salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh karena itu menurut Tukiyat (2002), konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah. Secara teoritis strategi pengembangan wilayah baru dapat digolongkan dalam dua kategori strategi, yaitu demand side strategy dan supply side strategy (Rustiadi et al., 2007). Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal, yang bertujuan meningkatkan taraf hidup penduduk.
16
Sedangkan strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan suplai dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya alam lokal. Strategi pembanguan wilayah lainnya adalah strategi keterkaitan, yaitu terjadi pada suatu wilayah yang dari sisi supply (penawaran/pasokan) relatif tinggi tetapi terbatas mempunyai keterbatasan dalam sisi demand atau sebaliknya, maka keterbatasan dan kelebihan dari suatu wilayah dapat dipertemukan sehingga perekonomian wilayah secara keseluruhan dapat meningkat. Strategi berbasis keterkaitan antar wilayah pada awalnya dapat diwujudkan dengan pengembangan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun berbagai infrastruktur fisik, seperti jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi dan lainnya yang dapat menciptakan keterkaitan sinergis (saling memperkuat) antar wilayah. Keterkaitan fisik saja tidak cukup, harus disertai dengan pengembangan keterkaitan yang lebih luas, yakni disertai dengan kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah. Pengembangan keterkaitan yang tidak tepat sasaran dapat mendorong backwash yang lebih
masif
yang
pada
akhirnya
justru
memperparah
ketimpangan
dan
ketidakberimbangan pembangunan antar wilayah. Oleh karena itu keterkaitan antar wilayah yang diharapkan adalah bentuk-bentuk keterkaitan yang saling memperkuat bukan memperlemah.
2.1.3 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Isu utama pembangunan regional dewasa ini selain keberlanjutan (sustainability) adalah disparitas atau ketimpangan yang meliputi: (1) disparitas antar wilayah; (2) disparitas antar sektor ekonomi; (3) disparitas antar golongan masyarakat/individu. Permasalahan ini disebabkan antara lain oleh perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik, top down, dan seragam (uniformity). Konsep pembangunan ekonomi lebih menekankan pertumbuhan dibandingkan redistribusi pendapatan yang adil, sesuai dengan keadaan budaya penguasa (rezim) yang selama ini ternyata menyisakan ketimpangan (Iskandar, 2001).
17
Menurut Suhyanto (2005), disparitas antar wilayah berarti perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Perbedaan antar wilayah ini dapat terletak pada perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, perkembangan infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan, fasilitas perumahan dan sebagainya. Ada beberapa penyebab utama disparitas dalam Rustiadi et al (2007), yaitu : (1)
Faktor Geografis Apabila suatu wilayah sangat luas, distribusi dari sumberdaya nasional, sumber energi, sumberdaya pertanian, topografi, iklim dan curah hujan tidak akan merata. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah berkembang lebih baik.
(2)
Faktor Historis Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang talah dilakukan di masa lalu. Bentuk organisasi dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship.
(3)
Faktor Politis Tidak stabilnya suhu politik sangat
mempengaruhi perkembangan dan
pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk infestasi ke wilayah yang lebih stabil. (4)
Faktor Kebijakan Pemerintah Terjadinya ketimpangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekankan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan ketimpangan yang luar biasa antar daerah.
(5)
Faktor Administratif (birokrasi) Ketimpangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.
18
(6)
Faktor Sosial Masyarakat
dengan kepercayaan-kepercayaan
yang
primitif,
kepercayaan
tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbadaan ini merupakan salah satu penyebab ketimpangan wilayah. (7)
Faktor Ekonomi Faktor ekonomi yang menyebabkan ketimpangan antar wilayah yaitu : a. Faktor ekonomi yang terkait dengan perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; b. Faktor ekonomi yang terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya di wilayah yang maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju; c. Faktor ekonomi yang terkait dengan pasar bebas dan pengaruhnya terhadap spread effect dan backwash effect. Kekuatan pasar telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah maju; d. Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya. Williamson
(2002)
menyatakan
bahwa
ketidakmerataan
antar
wilayah
berhubungan dengan proses pembangunan nasional. Berdasarkan hasil penelitiannya secara empiris terhadap sifat-sifat ketidakmerataan secara spasial di dalam suatu batas wilayah secara nasional. Tidak heran jika ada perbedaan yang absolut antara daerah kaya dan daerah yang miskin tetap muncul bahkan bertambah. Walaupun kedua wilayah tumbuh pada tingkat persentase yang sama. Tampaknya keterkaitan ekonomi diantara
19
unit-unit regional dengan negara makin kuat dibanding antara daerah-daerah itu sendiri. Mempertahankan asumsi klasik faktor mobilitas internal cenderung menghilangkan perbedaan pendapatan per kapita antar regional, dualisme geografis, dan polarisasi spasial. Dalam kondisi faktor mobilias yang bebas, dan ekstraksi dari
biaya
transportasi, ketidakmerataan secara spasial dapat terjadi melalui ketiadaan penyesuaian secara dinamis. Ketidakmerataan secara spasial, daerah yang tertekan, dan daerah tertinggal nampaknya tetap ada berkaitan dengan tidak adanya aliran faktor internal dengan kecepatan yang cukup untuk menyeimbangkan kondisi dinamis yang asli yang menyebabkan pertambahan sumberdaya lebih cepat dan perubahan teknologi dalam daerah yang kaya (cenderung meningkatkan ketidakmerataan). Menurut Murty (2000) bahwa proses penyebab disparitas yang pertama tersebut adalah faktor ekonomis yakni perbedaan faktor produksi secara kualitatif dan kuantitatif seperti tanah, tenaga kerja, modal, organisasi, dan perusahaan. Penyebab kedua adalah proses kumulatif dari berbagai faktor yang menyebabkan ekonomi yang sudah maju terus berkembang dan ekonomi yang tidak berkembang terus memburuk kecuali jika pemerintah turut campur dalam menciptakan skema pemerataan antar regional. Proses kumulatif yang pertama dimulai oleh siklus kemiskinan yang ganas. Ada dua jenis siklus dalam perekonomian yang tertinggal. Siklus yang pertama dibentuk oleh sumberdaya yang belum dikembangkan dan keterbelakangan penduduk yang berpengaruh satu dengan yang lain. Siklus kedua yang ganas meliputi ketertinggalan penduduk, standar hidup yang rendah, efisiensi rendah, produktifitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tebungan rendah, investasi rendah, tingkat pekerjaan rendah, dan ketertinggalan penduduk. Faktor-faktor ini terjadi dan saling bereaksi satu terhadap yang lain sedemikian rupa sehingga menetap dalam suatu daerah dan menjadi proses penurunan secara kumulatif. Di lain pihak, terjadi siklus kemakmuran di wilayah yang berkembang. Penduduk yang maju, standar hidup yang tinggi, efisiensi yang lebih baik, produktifitas yang tinggi, produksi yang lebih banyak, pendapatan lebih, konsumsi lebih baik, investasi lebih tinggi, penggunaan tenaga kerja lebih banyak, dan lebih lagi penduduk yang progresif memulai proses kemajuan yang kumulatif, dan akhirnya ketimpangan antara dua daerah makin meningkat. Kekuatan pasar bebas (free play of market forces) dan efek penyebarannya dan kemunduran (spread and backward effect) adalah faktor ekonomi lain yang
20
menyebabkan ketimpangan regional (Murty, 2000). Sehubungan dengan kekuatan pasar yang berlaku secara bebas, lebih mengelompok dan menjamin kepastian ekonomi baik internal maupun eksternal. Faktor ekonomi lain yang menyebabkan ketimpangan adalah pasar yang tidak sempurna (market imperfection) seperti faktor imobilitas, harha yang kaku, pengabaian kondisi pasar, kurangnya spesialisasi, kurangnya pembagian kerja dan sebagainya. Faktor ini menjadi friksi dalam pembangunan wilayah yang tertinggal. Pembangunan yang seimbang lebih lanjut menurut Murty (2000), berimplikasi pada suatu pertumbuhan yang adil dari wilayah yang berbeda menurut luasnya, keperluan, dan kemampuan pembangunannya masing-masing. Hal ini tidak berarti setiap wilayah harus mengalami tingkat pembangunan yang sama, juga tidak berarti tingkat industrialisasi atau pola perekonomian yang seragam antar wilayah. Secara ringkas artinya kapasitas pembangunan yang penuh berdasarkan potensi daerah sehingga keuntungan dari pertumbuhan ekonominya dapat dinikmati oleh penduduk seluruh wilayah. Menurut Roden yang dikutip Murty (2000), agar
pembangunan berlangsung
lancar, sebuah negara memerlukan dorongan yang kuat karena harus mengembangkan semua sektor dan semua wilayah secara bersamaan. Untuk membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi terjadinya disparitas antar wilayah, maka secara umum ada beberapa upaya yang dapat dilakukan secara simultan, yaitu: (1)
Pemerataan
investasi, karena investasi harus dilakukan di semua sektor dan
semua wilayah secara bersamaan untuk pengembangan infrastruktur (2)
Mendorong pemerataan permintaan, setiap industri dan wilayah seharusnya berkembang secara simultan, sehingga mereka dapat menciptakan permintaan untuk setiap produk yang lain
(3)
Mendorong pemerataan tabungan, tabungan sangat diperlukan untuk bisa memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah meningkat, maka potensi investasi juga akan meningkat. Murty (2000) dalam Rustiadi et al. (2007) menganalisa perkembangan wilayah
seperti pertumbuhan yang cepat atau lambat dari setiap organ tubuh yang menghasilkan bentuk yang tidak normal, sama halnya ketidakseimbangan pertumbuhan regional menyebabkan banyak masalah ekonomi, sosial dan politik di sebuah negara. Dengan
21
demikian timbul kebutuhan untuk mempelajari disparitas regional dan perencanaan bagi pembangunan yang seimbang. Setiap pemerintah ingin menghilangkan atau mengurangi ketidakseimbangan regional karena banyak alasan. Alasan-alasan tersebut adalah: (a)
Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap Jika semua wilayah berkembang secara merata, mereka dapat saling menolong satu sama lain. Sebaliknya tingkat pendapatan yang rendah di wilayah yang tertinggal akan menyebabkan kurangnya permintaan dari wilayah yang maju dan akan menghambat kemajuannya. Selain itu, pembangunan regional yang seimbang akan menghindari kendala suplai dan transpor (transport and supply bottlenecks), dan meminimalkan tekanan inflasi dalam perekonomian.
(b)
Untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat Jika kecepatan dari semua anggota kelompok gerak jalan sama, kelompok itu akan jauh lebih cepat. Hal yang sama, kemajuan perekonomian secara keseluruhan tergantung pada pembangunan semua wilayah secara bersama, dengan tetap memperhatikan faktor-faktor endowmentnya.
(c)
Untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan konservasi sumberdaya Pembangunan yang seimbang dari setiap wilayah membantu mengeksploitasi dan memnafaatkan sumberdaya manusia dan alam sampai pada tingkat yang optimal. Selain itu, jika suatu wilayah mengembangkan sumberdayanya maka berikutnya sumberdaya ini akan mengembangkan daerah tersebut, dengan demikian limbahnya (wastage) yang tidak berguna akibat digunakan secara eksploitatif dan destruktif oleh pihak lain dapat dihentikan.
(d)
Untuk Meningkatkan lapangan kerja Dengan pembangunan infrastruktur, dan penyebaran industri ke wilayah tertinggal, maka ada tingkat kesempatan kerja yang lebih luas di semua wilayah, karena itu meningkatkan pendapatan perkapita dan produk domestik.
(e)
Untuk mengurangi beban sektor pertanian Jika persentase penduduk yang bergantung di sektor pertanian sangat besar dan menyebabkan tambahan beban (extra burden) akan menghasilkan produktivitas rendah dan pengangguran terselubung. Opini Louis bahwa penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas dari sektor yang produktivitasnya kurang ke sektor yang produktivitasnya lebih pada tingkat upah subsisten disatu pihak akan
22
meningkatkan produktivitas per kapita pada sektor yang pertama dan di lain pihak akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja, produksi, dan pembentukan modal di sektor yang lain membawa wilayah secara perlahan ke tahap pembangunan ekonomi yang lebih baik. (f)
Untuk mendorong desentralisasi Sentralisasi ekonomi bukan masalah yang sebenarnya, namun membangkitkan masalah-masalah lain, seperti lokalisasi, urbanisasi, konflik internal dan sebagainya. Desentralisasi mengatasi masalah sosial akibat lokalisasi, urbanisasi dan polusi.
(g)
Untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif Wilayaj yang maju menutupi wilayah yang tertinggal menjadi unsur pokok dari pembangunan ekonomi negara. Hal ini mengakibatkan berkembangnya perasaan inferior dari penduduk di wilayah tertinggal. Mereka menjadi agak liar juga bermusuhan dan membangkang. Hal ini membawa sikap menantang dan marah. Ketimpangan regional dalam pendapatan dan kesejahteraan adalah bahaya yang sangat besar bagi solidaritas bangsa
(h)
Untuk meningkatkan Ketahanan Nasional Pembangunan regional yang seimbang adalah faktor penting bagi keamanan negara dari serangan musuh serta tidak akan memecah belah serta melumpuhkan perekonomian dan kesatuan bangsa. Meskipun disparitas merupakan antar wilayah merupakan hal yang wajar yang
bisa ditemui,
baik
di
negara
maju
maupun
negara
berkembang.
Namun,
ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Disparitas pembangunan antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi, dan politik. Untuk itu dibutuhkan pemecahan berupa kebijakan terhadap permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang. 2.1.4 Infrastruktur Menurut world bank dalam Yanuar (2006), infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga penggolongan:
23
1.
Infrastrukur ekonomi merupakan pembangunan fisik yang menunjang aktivitas ekonomi: public utilities (tenaga, telkom, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi, dan drainase) dan sektor transportasi (jalan rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).
2.
Infrastruktur sosial merupakan infrastruktur yang mengarah kepada pembangunan manusia dan lingkungannya, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi
3.
Infrastruktur administrasi merupakan infrastruktur dalam bentuk penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Sedangkan Jan Jacobs et al dalam Sibarani (2002) menggolongkan infrastruktur
menjadi dua bagian yaitu : 1.
Infrastruktur Dasar (basic infrastructure) mencakup sektor-sektor publik dan keperluan mendasar untuk sektor perekonomian, yang tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan secara teknis maupun spasial, contohnya: jalan raya, kereta api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan dsbnya.
2.
Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) seperti gas, listrik dan telepon dan pengadaan air minum. Secara
umum
dapat
didefinisikan
sebagai
fasilitas
fisik
dalam
mengembangkanatau membangun kegunaan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Infrastruktur fasilitas dan jasa biasanya disediakan secara gratis atau dengan harga yang terjangkau dan terkontrol. 2.2
PenelitianTerdahulu Penelitian mengenai ketimpangan wilayah mulai marak dilakukan sejak tahun
1970-an. Kemudian diikuti oleh penelitian-penelitian dalam negeri mengenai ketimpangan wilayah. Adifa tahun 2005 hingga 2006 di Kabupaten Alor dengan judul “Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor” dengan menggunakan indeks williamson sebagai salah satu analisis untuk mendeteksi ketimpangan yang terjadi di Kabupaten Alor. Dari indeks Williamson tersebut memberikan indikasi bahwa ketimpangan pendapatan pada kurun waktu 1999-
24
2004 menunjukkan bahwa rata-rata ketimpangan pendapatan tingkat Kabupaten jauh lebih tinggi dari pada rata-rata ketimpangan pendapatan antar ketiga Satuan Wilayah Pengembangan. Sedangkan ukuran ketimpangan perkembangan wilayah lain juga dilihat dengan penggunaan Indeks Skalogram yang dicirikan oleh ketersediaan penyediaan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia di desa-desa antar satuan wilayah pengembangan sehingga dari hasil analisis ini diperoleh kesimpulan bahwa kota-kota hirarki yang ditetapkan berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kabupaten Alor Tahun 1991 antar SWP hingga tahun 2003 menunjukkan perkembangan yang tidak signifikan, bahkan pada beberapa hirarki yang berperan sebagai pusat aktivitas Kecamatan menunjukkan indeks perkembangan yang kurang bahkan sangat kurang. Sedangkan untuk melihat ketimpangan proporsi Alokasi APBD Pembangunan antar SWP digunakanlah model indeks entropy yaitu dengan melihat perkembangan wilayah dari sisi investasi, sedangkan untuk melihat mobilitas dan sinergitas interaksi spasial antar wilayah maka menggunakan analisis Interaksi Spasial Antar Hirarki/Pusat Aktivitas Wilayah Pembangunan. Serta penelitian ini juga menggunakan analisis sektor basis/komoditi Unggulan seperti Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) untuk melihat potensi wilayah dan komoditi unggulan di setiap wilayah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hastoto tahun 1999 dengan judul “Analisis Disparitas Pembangunan Regional di Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Ketimpangan diukur dengan menghitung Indeks entropi relatif untuk provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo, membandingkan antara kedua provinsi ini maka diperoleh hasil bahwa ketimpangan di Provinsi Sulawesi Utara lebih tinggi atau lebih buruk dibandingkan di Provinsi Gorontalo, hasil ini diperoleh dengan menggunakan PDRB dan PDRB per kapita. Selain penggunaan indikator –indikator tersebut juga digunakan indikator lain seperti IPM, , IKM, IDG. Interaksi Spasial dipakai dengan mengukur hubungan/ interaksi kedua daerah tersebut.Serta menggunakan LQ dan SSA untuk melihat potensi wilayah dan komoditi unggulan, agar pola kebijakan yang diambil tidak terlepas dari tujuan pembangunan yaitu menciptakan pemerataan dengan mengetahui ketimpangan yang terjadi serta pembangunan sesuai kapasitas dan kemampuan daerah tersebut, dan juga terlihat dari pola interaksi yang saling menguntungkan yang saling memperkuat.
25
2.3
Kerangka Penelitian Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang berada di Timur
Indonesia yang memilki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Perkembangan PDRB Sulawesi Selatan ini berada di peringkat 2 Nasional. Namun, dibalik tingginya pertumbuhan ekonomi, pada kenyataannya terdapat ketimpangan yang terjadi di Sulawesi Selatan yang cenderung makin meningkat. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan tingkat pendapatan per kapita, Indeks Pembangunan Manusia yang lebih tinggi untuk beberapa Kabupaten/kota daerah tertentu, tetapi secara keseluruhan IPM Sulawesi Selatan berada di peringkat 21 nasional. Ini disinyalir juga karena buruknya infrasturktur pendidikan dan kesehatan yang ada. Bahkan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) telah menetapkan Jeneponto, Luwu, Selayar, Enrekang, Pangkajene Kep, Luwu Timur, Sinjai, Takalar, Tana Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Barru, dan Pinrang. Dengan demikian Sulawesi Selatan memilki 13 Kabupaten dari 23 Kabupaten/kota sebagai daerah tertinggal dan merupakan jumlah yang terbesar di Pulau Sulawesi. Perbedaan yang besar terhadap proporsi kontribusi yang dimiliki setiap sektor terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan belum meratanya penyebaran aktivitas ekonomi di Sulawesi Selatan terlihat dari Pertanian yang menyumbang 39 persen terhadap PDRB Sulawesi Selatan. Selain melihat dari sisi PDRB setiap Kabupaten/kota, perbedaan yang hadir di setiap daerah bisa juga disebabkan karena kebijakan setiap daerah yang berbeda-beda yang memberikan stimulus bagi setiap sektor untuk berkembang, dan akan mendorong kegiatan pembangunan yang ada. Oleh sebab itu maka selain melihat sumber ketimpangan dari anggaran belanja yang dikeluarkan di Provinsi Sulawesi Selatan untuk meningkatkan kemampuan daerahnya yang terkait belanja infrastruktur umum, urusan/bidang pendidikan, urusan/bidang kesehatan, urusan/bidang sosial, dan urusan/bidang ekonomi. Selain itu dalam proses pembangunan, diperlukan ketersedian infrastruktur, dimana kekurangan infrastruktur ini akan menjadi penghambat dalam pengembangan ekonomi nasional. Akses terhadap fasilitas serta jasa pelayanan infrastruktur ini merupakan salah satu faktor utama menciptakan kesejahteraan. Buruknya peringkat IPM Provinsi Sulawesi Selatan ini yang berada di posisi 21 nasional ini disinyalir
26
merupakan buruknya infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang ada di Sulawesi Selatan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, penduduk dalam wilayah sering kali harus memenuhinya dari wilayah lain, oleh karena itu penduduk harus melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk hubungan antar wilayah. Hubungan atau kontak ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan (demand) dan penawaran (supply). Hubungan antar wilayah ini disebut sebagai keterkaitan (linkages) antar wilayah. Kontak atau hubungan antar wilayah tersebut dapat juga diartikan intreraksi. Secara harfiah interaksi dapat diartikan sebagai hal yang saling mempengaruhi.Keterkaitan antar wilayah dalam hal ini Kabupaten/kota tidak dapat bila tidak didukung prasarana dan sarana antar kedua Kabupaten/kota tersebut yang saling berinteraksi. Dukungan dapat berupa sarana dan prasarana transporatasi dapat pula dalam bentuk lain. Serta dapat pula berupa ketersediaan sarana dan prasarana infrastruktur. Keterkaitan antara Kabupaten/kota yang selama ini terjalin lebih banyak terjadi secara vertikal, dimana wilayah perkotaan melakukan penyapuan sumberdaya (backwash effect) di wilayah hinterlandnya atau wilayah Kabupatenupatren di sekitarnya, terwujud dimana perkotaan menjadi semakin meluas, perbandingan jumlah penduduk wilayah perkotaan semakin besar dibanding Kabupaten yang lainnya. Apabila keterkaitan antar wilayah saling mendukung atau saling memperkuat maka kedua wilayah tersebut memperoleh keuantungan, tetapi bila ketrkaitan antar wilayah lebih berbentuk eksploitatif maka akan terjadi satu wilayah yang semakin kaya dan ada yang semakin miskin. Aliran alur pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
27
PROV. SULAWESI SELATAN Infrastruktur Kabupaten/Kota
KESENJANGAN Pendidikan Kesehatan Sektoral
Perkembangan Aktivitas Ekonomi
Regional (antar Kabupaten/kota)
Realisasi Belanja Terkait SektorSektor
Sosial Ekonomi
Interaksi Kabupaten/Kota
IDENTIFIKASI KESENJANGAN KABUPATENUPATEN/KOTA
Gambar 5. Alur Kerangka Pikir Penelitian
28
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan yang disebabkan karena beberapa faktor baik antar Kabupaten/kota yang ada maupun antar sektor yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan 2. Terdapat perbedaan ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana terkait fasilitas
pendidikan
dan
kesehatan
serta
aksesibilitas
setiap
Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan 3. Terdapat pola hubungan yang eksploitatif dalam interaksi yang terjadi di dalam Provinsi Sulawesi Selatan sehingga berdampak pada ketimpangan yang terjadi
29
III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Cakupan wilayah penelitian adalah seluruh Kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan. Meliputi 20 wilayah Kabupaten dan 3 kotamadya. Penelitian berlangsung dari bulan Maret 2010 hingga bulan Mei 2010.
Gambar 6. Peta Administratif Sulawesi Selatan 3.2 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder, yakni melakukan studi kepustakaan dari publikasi data-data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) baik Provinsi maupun Pusat, data-data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDDA) Provinsi,data-data Departemen Nasional dan dokumen perencanaan dan sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan topik
30
penelitian. Hubungan antara tujuan penelitian, metode, jenis dan sumber data serta output yang harapkan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. 3.3 Metode Analisis Untuk memecahkan permasalahan dan menjawab tujuan penelitian sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini memerlukan berbagai metode analisis. Tabel 1 berikut menyajikan informasi mengenai tujuan penelitian, metode, data dan variabel yang digunakan dalam penelitian. Tabel 1. Tujuan Penelitian, Metode Analisis, Jenis dan Sumber Data serta Output Penelitian No
Tujuan
1.
Mengidentifikasi ketimpangan/ ketimpangan antar Kabupaten/kota dan faktor penyebabnya
Metode Analisis
Indeks Williamson
Indeks Theil
Analisis Regresi Linier Berganda
Mengidentifikasi perkembangan wilayah dan keseimbangan penyebaran aktivitas ekonomi
2
3
Mengidentifikasi ketersediaan infrastruktur Kabupaten/kota Mengidentifikasi pola interaksi Kabupaten/kota
Jenis dan Sumber Data
PDRB Kabupaten/kota Tahun 2004-2009, Jumlah Penduduk tahun 2004-2009 PDRB Per Sektor dan jumlah Tenaga Kerja per Sektor Kabupaten/Kota tahun 2004-2009 Indeks Williamson, Pertumbuhan PDRB, Anggaram Sektor Pendidikan, Anggaran Sektor Kesehatan, Anggaran Sektor Sosial, Anggaran Sektor Ekonomi, Anggaran Infrastruktur Umum
Indeks Entropi
PDRB per Sektor Kabupaten/Kota tahun 2004-2009
Skalogram
Data potensi desa Kabupaten/kota 2003,2006,2008
Analisis interaksi spasial (Model Entropi Kendala Ganda
Data survey Asal Tujuan Transportasi Nasional Provinsi Sulawesi Selatan 2006
Output yang diharapkan
Mengetahui ketimpangan di Prov. Sulawesi Selatan
Mengetahui proporsi sumbangan ketimpangan antar sektor dan antar Kabupaten/kota Mengetahui faktorfaktor penyebab penyebab ketimpangan
Mengetahui perkembangan wilayah dan keseimbangan penyebaran aktivitas ekonomi
Mengetahui ketersediaan infrastruktur setiap Kabupaten/kota Mengetahui pola interaksi Kabupaten/kota
31
a. Indeks Williamson Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Williamson (1975) mengembangkan indeks ketimpangan wilayah yang diformulasikan sebagai berikut :
Keterangan : Vw = Indeks ketimpangan Williamson Provinsi Sulawesi Selatan Yi = PDRB per kapita Tahun 2004-2009 Kabupaten/kota ke-i Ỹ = Rata-rata PDRB perkapita Tahun 2004-2009 Provinsi Sulawesi Selatan Pi = fi/n, dimana fi jumlah penduduk Kabupaten/kota ke-i dan n adalah total penduduk nasional, provinsi, pulau atau kawasan. Indeks ketimpangan williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika semua Yi= Y maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak adanya ketimpangan ekonomi antar daerah. Indeks lebih besar dari 0 (nol) menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat ketimpangan antar provinsi di suatu negara. Adapun data yang digunakan dalam analisis ini adalah data PDRB atas dasar harga konstan serta data jumlah penduduk masing-masing Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi 20 Kabupaten dan 3 kota tahun 2004-2009, melalui data tersebut didapatkan PDRB per kapita Kabupaten/kota tahun 2004-2009 2. Indeks Theil Analisis dengan menggunakan Indeks Theil dapat membantu untuk mengetahui ketimpangan Kabupaten/kota dan yang dominan penyebab terjadinya ketimpangan. Karakteristik utama dari indeks Theil entropy ini adalah kemampuannya untuk membedakan ketimpangan antar wilayah
32
(between-region inequality) dan ketimpangan dalam suatu wilayah (withinregion inequality) (Kuncoro, 2002). Ketimpangan dalam wilayah ini lebih ditunjukan oleh proporsi masing-masing sektor yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Masing-masing sektor ini terdiri dari Sektor Pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Perdaganagan besar, eceran, rumah makan, dan hotel, retail trade dan restoran, Sektor Jasa Kemasyarakatan, sosial dan personal serta Sektor Lainnya yang diproporsi dengan tenaga kerja yang berada pada sektor masing-masing. Indeks Theil dinyatakan dalam formula sebagai berikut :
Dimana
Keterangan : T Tw Tb Yi Y ij Y ni n ij
= Indeks Theil = Theil Within, ketimpangan sektoral intern Kabupaten/kota = Theil Between, ketimpangan antar Kabupaten/kota = PDRB Kabupaten/kota i = PDRB sektor ke-j Kabupaten/kota i = Total PDRB Sulawesi Selatan = Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten/kota i = Jumlah Tenaga Kerja sektor ke-j di Kabupaten/kota i Data yang digunakan adalah data PDRB sektor Kabupaten/kota dan data jumlah tenaga kerja sektoral per Kabupaten/kota tahun 2004-2009. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diketahui penyebab ketimpangan yang terjadi di Sulawesi Selatan, apakah terjadinya ketimpangan antarwilayah atau ketimpangan internal wilayah.
33
3.
Indeks Entropi Indeks Entropi juga digunakan untuk melihat hirarki wilayah yaitu, mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat sektor-sektor yang dominan (yang berkembang) pada wilayah tersebut. Data yang dianalisa adalah data PDRB Kabupaten/kota per sektor enam tahun terakhir tahun 2004 hingga tahun 2009. Analisis Entropi Model merupakan salah satu konsep analisis yang dapat menghitung tingkat keragaman (diversifikasi) komponen aktivitas. Keunggulan dari konsep ini karena dapat digunakan untuk: (1) memahami perkembangan suatu wilayah, (2) memahami perkembangan atau kepunahan keragaman hayati, (3) memahami perkembangan aktivitas perusahaan, (4) memahami perkembangan aktivitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain (Pravitasari, 2008). Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang (s ↑ = Tingkat perkembangan ↑). Persamaan umum entropi ini adalah sebagai berikut :
Dimana : S Pi i n
: : : :
nilai entropy diversitas struktur ekonomi wilayah rasio PDRB sektor ekonomi I terhadap PDRB wilayah sektor ekonomi ke-i jumlah sektor
Analisis ini digunakan untuk mengetahui perkembangan sektor-sektor perekonomian antar Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga dapat dilihat perkembangan perekonomian antar Kabupaten/kota tersebut. Jika S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin meningkat, dimana nilai S akan selalu ≥ 0.
34
4. Regresi Linier Berganda Model regresi adalah persamaan matematik yang menggambarkan hubungan antara peubah bebas (X1, X2, X3, X4,…..) dengan satu peubah tidak bebas (terikat) (Y dependent variabel), dimana hubungan keduanya dapat digambarkan oleh satu garis lurus. Seringkali peubah bebas disebut sebagai peubah penjelas dan peubah tak bebas disebut juga peubah respon. Jika model regresi tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan sebab akibat (causal relationship), maka peubah bebas disebut sebagai peubah penyebab dan peubah tak bebas disebut sebagai peubah akibat (Juanda, 2009). Adapun metode penggunaan yang digunakan dalam penelitian adalah metode OLS (Ordinary Least
Square). Metode ini digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pembangunan wilayah khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Model regresi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut :
Dimana : =
Indeks Williamson Prov. Sulawesi Selatan tahun ke-t
=
Intersep
= = = =
Koefisien Kemiringan Pertumbuhan PDRB tahun ke-t Rasio Belanja Infrastruktur tahun ke-t Rasio Belanja Pendidikan tahun ke-t Rasio Belanja Kesehatan tahun ke-t Rasio Belanja Sosial tahun ke-t Rasio Belanja Ekonomi tahun ke-t Unsur gangguan (galat)
= =
= = Dalam
menggunakan metode OLS, terdapat asumsi atau
persyaratan yang melandasi estimasi regresi, yakni : 1.
E(e) = 0 atau E(eI Xi)= 0 atau E(Y) = β 0 + β i X i
35
Artinya, e menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi Yi akan tetapi tidak terwakili dalam model. Sehingga pada saat Xi terobservasi, pengaruh e terhadap Y diabaikan atau e tidak mempengaruhi E (Yi) secara sistmatik 2. Tidak Adakorelasi antara ei dengan ej {cov(ei,ej) = 0} ; i≠j, 3. Homoskedastisitas; yaitu besarnya varian ei sama, atau var (ei) = σ2 untuk setiap i 4. Kovarian antara e 1 dan X i nol {cov(e i, X i ) = 0} Artinya, tidak ada korelasi antara e i dan X i , sehingga jika ada hubungan dimana X i meningkat dan mengakibatkan e i juga meningat atau ketika X i menurun, maka e i juga mengalami penurunan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa hal tersebut
menunjukkan adanya korelasi antara e i dan X i 5. Tidak ada multikolinieritas Artinya, tidak ada hubungan yang nyata antar variabel independen X dalam model regresi Jika asumsi di atas dapat dipenuh, maka metode OLS dapat memberikan penduga koefisien regresi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Dekripsi komponen error di sini, paling sedikit terdiri dari empat komponen (Juanda, 2009): 1.
Kesalahan pengukuran dan proxy dari peubah respon Y maupun peubah penjelas X i , X 2, X 3, ……, X p
2.
Asumsi bentuk fungsi f yang salah. Mungkin ada benuk fungsi lainnya yang lebih cocok, linier maupun non linier.
3.
Omitted variabels. Peubah (variabel) yang seharusnya dimasukkan ke dalam model, dikeluarkan dengan alasan-alasan tetentu, misalnya penyederhanaan atau data sulit diperoleh
4.
Pengaruh faktor lainnya yang belum terpikirkan atau tidak dapat diramalkan (unpredictible effects).
5. Skalogram Metode skalogram digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan jumlah fasilitas yang diperlukan sebagai SOC yang mendukung perkembangan
36
perekonomian di tingkat kota/Kabupaten Seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah di data dan disusun dalam satu tabel. Fasilitas ini mencakup empat kelompok, yaitu: (1). Prasarana Pendidikan, meliputi fasilitas sekolah, tempat pelatihan dan lembaga-lembaga pelatihan, kursus dan lainnya, (2) Prasarana Kesehatan, meliputi fasilitas rumah sakit, puskesmas, balai-balai pengobatan, jumlah dokter, bidan dan tenaga kesehatan lainnya (3) Prasarana Sosial, meliputi fasilitas ibadah, kelembagaan masyarakat, tempat hiburan dan lainnya. (4) Prasarana Ekonomi, meliput i fasilitas pasar, fasilitas lembaga perkreditan, fasilitas koperasi, dan lainnya. Menurut Saefulhakim dalam Adifa (2007) tahapan penyusunan skalogram adalah sebagai berikut: (1) Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah prasarana di dalam unit-unit desa. Fasilitas yang tersebar merata di seluruh desa diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya sampai prasarana yang terdapat paling jarang penyebarannya di dalam seluruh unit desa yang ada diletakkan di kolom tabel paling kanan, (2) Menyusun desa-desa sedemikian rupa dimana unit desa yang mempunyai ketersediaan fasilitas paling lengkap terletak di susunan paling atas, sedangkan unit desa dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap terletak di susunan paling bawah, (3) Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal baik jumlah jenis fasilitas maupun jumlah unit fasilitas di setiap unit desa, (4) Menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal sehingga diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh unit desa, (5) Dari hasil penjumlahan ini dihareapkan diperoleh urutan, posisi teratas, merupakan desa yang mempunyai fasilitas terlengkap. Sedangkan posisi terbawah merupakan desa dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap, (6) Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua desa dengan jumlah jenis dan jumlah unit fasilitas yang persis, maka pertimbangan ketiga adalah jumlah penduduk. Desa dengan jumlah penduduk lebih tinggi diletakkan pada posisi diatas. Dengan menggunakan data potensi desa 2003 jumlah variabel yang dipilih ada sebanyak 131 variabel, data potensi desa 2006 sebanyak 118
37
variabel, dan data potensi desa 2008
sebanyak 40 variabel. Yang
terformulasi dalam rumus sebagai berikut :
Dimana,
Keterangan : IPKj
= Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota ke-j = Indeks Standarisasi sarana ke- i Kabupaten/kota ke-j = Indeks Minimum sarana ke-i = Standar Deviasi sarana ke-i
6.
Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Ganda (Doubly Constrained Entropy Model) Sifat-sifat daya dorong dan daya tarik yang bersifat individual dapat diukur dengan mengembangkan model gravitasi dengan kendala ganda (double-constrained gravity model) sebagaimana diperkenalkan oleh Wilson (1970) dan Kitamura (1990) dalam Rustiadi, et al (2007) :
Untuk mencari solusi secara statistic, selanjutnya model umum tersebut, dimana : T ij
=
Intensitas interaksi antara tempat asal i dengan tempat tujuan j
=
Kendala yang berkaitan dengan tempat asal i (keberimbangan IPK Pendidikan, Keberimbangan IPK Kesehatan, Keberimbangan IPK Sosial dan Keberimbangan IPK Ekonomi)
=
Kendala yang berkaitan dengan tempat tujuan j (Keberimbangan IPK Pendidikan, Keberimbangan IPK Kesehatan, Keberimbangan IPK Sosial dan Keberimbangan IPK Ekonomi)
38
= Total Interaksi yang berasal dari daerah asal i (banyaknya arus aliran orang daerah asal i) = Total Interaksi yang berasal dari daerah tujuan j (banyaknya arus aliran orang daerah tujuan j) = Fungsi jarak antara tempat asal i ke tempat tujuan j (dalam km) Dimana untuk masing-masing i dan j, i = 23 j = 23 Struktur data sebanyak 23 x 22 = 506 Dapat terlihat pada struktur data berikut :
Ai.Bj Wilayah Asal
No
1 : : : : 23x22
Selayar
Kode Kab. Asal
Wilayah Tujuan
Kode Kab. Tujua n
Keberimban gan IPK Pendidikan
Keberimba ngan IPK Kesehatan
Keberimba ngan IPK Sosial
Keberimba ngan IPK Ekonomi
Oi.Dj Aliran orang Moda Jalan (satuan org/thn)
r(i,j)
Jarak (km)
: : : :
1 : : : :
Bulukumba : : : :
2 : : : :
………………. ………………. ………………. ………………. ……………….
………………. ………………. ………………. ………………. ……………….
………………. ………………. ………………. ………………. ……………….
………………. ………………. ………………. ………………. ……………….
Oi.Dj Oi.Dj Oi.Dj Oi.Dj Oi.Dj
r(i,j) r(i,j) r(i,j) r(i,j) r(i,j)
23
22
23
22
……………….
……………….
……………….
……………….
Oi.Dj
r(i,j)
39
3.4
Definisi Operasional Merujuk pada latar belakang, permasalahan, tujuan dan hipotesisis yang ada
dan didukung dengan tinjauan pustakan dari berbagai hal, maka ada beberapa variable yang relevan digunakan dalam penelitian. Definisi Operasional dari masing-masing variable yang digunakan adalah : 1. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN sebesar 26persen dari pendapatan domestic neto yang dialokasikan ke daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk membiayai
kebutuhan
pengeluaran
dalam
rangka
pelaksanaan
desentralisasi. 2. Total Penerimaan Daerah adalah seluruh penerimaan suatu daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, baik itu yang berasal PAD, dana perimbangan dan pendapatan lain yang sah. 3. Total Pengeluaran Daerah (TKD) adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah, baik untuk belanja rutin maupun untuk belanja pembangunan. 4. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan 2000 (PDRB) per kapita adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di masyarakat yang diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. 5. Belanja Infrastruktur adalah besaran dana pengeluaran pemerintah daerah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah di bidang penataan ruang, bidang permukiman, bidang pekerjaan umum, bidang perhubungan dan bidang lingkungan hidup. 6. Belanja Pendidikan adalah pengeluaran Kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah bidang/fungsi pendidikan.
40
7. Belanja Kesehatan adalah pengeluaran Kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah bidang/fungsi kesehatan. 8. Belanja Sosial adalah pengeluaran Kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah bidang/fungsi sosial. 9. Belanja Ekonomi adalah pengeluaran Kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah bidang/fungsi ekonomi.
41
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1.Profil Umum Provinsi Sulawesi Selatan 4.1.1 Keadaan Fisik Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0012’ – 80 Lintang Selatan dan 116048’ - 122036’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan provinsi Sulawesi Barat di sebelah Utara dan Teluk Bone serta Sulawesi Tenggara di sebelah Timur. Batas sebelah Barat dan selatan masing-masing adalah Selat Makassar dan Laut Flores. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan 46.717,48 km2 secara administrasi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terbagi menjadi 20 Kabupaten dan 3 kota hingga tahun 2008, sedangkan untuk 2009 terdiri dari 21 Kabupaten dan 3 kota dengan Kabupaten Toraja Utara yang terjadi pemekaran di tahun 2010 yang terdiri dari 303 kecamatan dan 2677 desa/kelurahan. Dengan Kabupaten Luwu Utara merupakan Kabupaten terluas dengan luas 7.502,68 km2. Luas Kabupaten tersebut merupakan 16,46 persen dari seluruh wilayah Sulawesi Selatan (BPS, 2009). Pada umumnya daerah di Indonesia dan khususnya di Sulawesi Selatan mempunyai dua musim yang terjadi pada bulan Juni sampai September dan musim penghujan yang terjadi pada bulan Desember sampai Maret. Berdasarkan ◦ pengamatan di stasiun klimatologi tahun 2009 rata-rata suhu udara 27,3 C di Kota
Makassar dan daerah di sekitarnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. ◦ ◦ Suhu udara maksimum berkisar 33,1 C dan suhu minimum 23,2 C. Dengan ◦ ◦ kelembaban udara rata-rata 80 C sampai dengan 87 C. Dengan curah hujan 2.772
mm3 hingga 3.255 mm3. 4.1.2 Perkembangan Kependudukan dan Sosial-Ekonomi 4.1.2.1 Kependudukan Penduduk merupakan salah satu modal dasar dalam pelaksanaan pembangunan. Berdasarkan data BPS, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk
42
Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 berjumlah 7.771.646 jiwa yang tersebar di 23 Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terbesar berada di Makassar dengan jumlah 1.282.418 jiwa. Kepadatan penduduk daerah perkotaan merupakan konsekuensi logis dari tingginya aktivitas perekonomian di sana. Oleh karena itu, meskipun luas wilayah perkotaan relatif jauh lebih sempit dibandingkan wilayah Kabupaten, namun jumlah penduduknya relatif lebih banyak, sehingga kepadatan penduduk pun semakin tinggi (Tabel 2). Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2008 No
Kabupaten/Kota 1
Selayar
Luas Wilayah 2008
Jumlah Penduduk 2008
Kepadatan
903.35
118463
131.14
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo
1,154.67 395.83 749.79 566.51 1,883.32 819.96 1,619.12 898.29 1,174.72 4,559.00 1,359.44 2,056.19
385974 171586 327500 252309 602335 223937 300119 291523 160479 697918 227171 375112
334.27 433.48 436.79 445.37 319.83 273.11 185.36 324.53 136.61 153.09 167.11 182.43
14 15
Sidrap Pinrang
1,883.25 1,961.77
248662 343741
132.04 175.22
16 17
Enrekang Luwu
1,786.01 3,098.97
185482 319289
103.85 103.03
18 Tana Toraja 1,990.00 455758 19 Luwu Utara 7,502.58 309256 20 Luwu Timur 6,944.98 228720 21 Kota Makassar 128.18 1282418 22 Kota Pare-Pare 99.33 119833 23 Kota Palopo 155.19 144061 Sumber : Sulawesi Dalam Angka 2008, BPS.
229.02 41.22 32.93 10004.82 1206.41 928.29
Wilayah Kabupaten yang memiliki kepadatan penduduk yang tertinggi adalah Kota Makassar sebagai ibukota Provinsi Sulawesi selatan, diikuti dengan Kota Pare-Pare dan Kota Palopo. Ketiga daerah ini merupakan kota yang
43
berkembang disetiap wilayahnya masing-masing dan merupakan daerah pelayanan bagi daerah yang ada di sekitarnya. Seperti daerah Gowa dan daerah Takalar termasuk daerah yang juga relative padat dikarenakan terkena efek perluasan dari Kota Makassar, tingginya aktivitas perekonomian kota makassar mampu menjadi faktor penarik bagi para pekerja. Namun karena pertumbuhan penduduk di kota Makassar sudah semakin jenuh serta tingginya kebutuhan hidup, maka banyak para pendatang pada umumnya memilih untuk berdomisili di wilayah sekitar kota Makassar, karena juga diuntungkan karena memiliki akses yang sangat dekat dengan kota Makassar seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 7 . Pola Penyebaran Kepadatan Penduduk Tahun 2008 Adapun kepadatan penduduk yang paling rendah terdapat di Luwu Timur, daerah pemekaran baru, meskipun Kabupaten Luwu Timur memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak tetapi Kabupaten Luwu Timur memiliki luas
44
wilayah kedua terbesar setelah Luwu Utara. Daerah yang kepedatan penduduknya rendah juga terdapat di Kabupaten Luwu Utara. Setelah dicermati maka daerah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rendah ini berlokasi jauh dari wilayah perkotaan, sehingga dari faktor aksesibilitas terhadap pusat pemerintahan provinsi merupakan salah satu kendala. Tabel 3 . Jumlah Penduduk dan Laju Pertambahan Penduduk pada Masing-masing Kabupaten/Kota di seluruh Provinsi Sulawesi Selatan 2004 hingga 2008
2005
2006
2007
2008
* 1,164,380 114,933 125,734
111,220 379,371 169,102 331,848 248,162 575,295 220,141 296,336 279,801 158,500 694,320 229,292 364,290 246,993 335,554 182,174 315,294 427,286 287,295 206,180 1,193,451 115,221 127,575
116,415 383,730 170,548 329,028 250,480 586,398 221,915 297,639 289,302 158,958 696,698 227,190 373,989 246,880 340,188 183,861 317,814 446,782 298,863 219,492 1,223,530 115,076 134,362
116,540 385,165 170,847 330,301 251,338 593,716 222,174 298,162 289,403 159,082 698,551 227,821 374,702 246,915 342,800 183,904 319,066 451,070 303,433 224,445 1,235,118 114,804 136,536
118,463 385,974 171,586 327,500 252,309 602,335 223,937 300,119 291,523 160,479 697,918 227,171 375,112 248,662 343,741 185,482 319,289 455,758 309,256 228,720 1,282,418 119,833 144,061
Rata-rata laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2004 2008 1.55 0.78 0.64 0.01 0.78 1.60 0.75 0.85 1.27 0.44 0.40 0.23 0.79 0.10 0.72 0.94 0.78 2.03 2.49 3.54 2.45 1.07 3.48
7,379,370
7,494,701
7,629,138
7,675,893
7,771,646
1.30
Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota 2004 Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Pare-pare Palopo Provinsi Sulawesi Selatan
111,458 374,247 167,284 327,489 244,582 565,252 217,374 290,173 277,223 157,680 686,986 225,183 363,508 247,723 334,090 178,658 309,588 420,733 475,092
Sumber : BPS Sulawesi Selatan, data diolah
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa daerah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Makassar sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, meski demikian rata-rata laju pertumbuhan penduduk dari 2004-2008 yang terbesar adalah Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dan Kota Makassar. Luwu Timur yang merupakan daerah pemekaran baru memiliki tingkat pertumbuhan yang paling tinggi sebesar 3.54 persen, dikarenakan pada tahun 2004 belum memiliki data
45
tersendiri karena masih bergabung dengan Luwu Utara diikuti masing-masing 3.48 persen, Kabupaten Luwu Utara dengan pertumbuhan 2.49 persen dan Kota Makassar dengan pertumbuhan 2.45 persen. Tingginya pertumbuhan penduduk di daerah Luwu yang dimekarkan menjadi 3 Kabupaten dan 1 kota mendorong peningkatan jumlah penduduk yang hidup didaerah tersebut. Selain itu daerah Gowa yang merupakan daerah yang berbatasan dengan Makassar sebagai ibukota provinsi mengalami laju pertumbuhan penduduk yang cukup besar yaitu 1.6 persen. Selain itu daerah yang terkategori kota juga memiliki laju pertumbuhan penduduk yang cukup besar dibanding daerah lainnya. Secara rinci juga terlihat dari Gambar 8.
Gambar 8. Rata-Rata Laju Pertambahan Penduduk Tahun 2004 hingga 2008 Ketenagakerjaan Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisinya akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan proses demografi yang terjadi. Penduduk usia kerja di daerah Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2008 berjumlah 5.559.748 jiwa. Dari seluruh penduduk usia kerja ini yang masuk menjadi angkatan kerja berjumlah 3.447.879 jiwa. Ini dapat dikatakan bahwa lebih dari 50 persen dari seluruh penduduk usia kerja tercatat sebanyak 311.768 orang dalam status mencari pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka di Sulawesi
46
Selatan 2008 sebesar 9,04 persen yang merupakan rasio antara pencari kerja dan jumlah angkatan kerja. Dilihat dari sektor lapangan usaha, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian yang berjumlah 1.613.949 orang atau 51,46 persen dari penduduk yang bekerja. Sektor lain yang juga besar adalah sektor perdagangan dan jasa-jasa. Tabel 4. Jumlah Angkatan Kerja Penduduk Berumur 15 tahun keatas Selama seminggu yang lalu di Sulawesi Selatan Angkatan Kerja Economically Active Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota
Bekerja Working
-1
-2
Jumlah (Total)
Unemployment Pernah Bekerja
Tidak Pernah Bekerja
Ever Worked
Never Worked
-3
-4
-5
Selayar Bulukumba Bantaeng
46.103 187.729 77.519
520 4.146 2.373
5.460 10.923 5.590
52.083 202.798 85.482
Jeneponto
146.372
3.199
6.662
156.233
Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Pare-pare Palopo
97.395 219.351 92.013 116.663 106.862 55.801 296.830 96.273 177.193 93.310 133.152 82.620 119.957 183.847 121.697 86.464 498.653 44.755 55.552
2.495 4.750 1.056 1.707 1.280 808 2.364 1.303 4.249 1.401 4.825 1.483 1.431 437 589 1.977 20.902 2.549 2.379
8.035 18.920 3.974 10.353 12.729 5.409 24.389 6.795 7.311 10.101 11.434 4.172 7.286 10.030 6.085 10.262 45.544 5.174 6.907
107.925 243.021 97.043 128.723 120.871 62.018 323.583 104.371 188.753 104.812 149.411 88.275 128.674 197.314 128.371 98.703 565.099 52.478 64.838
Jumlah/Total 2008
3.136.111
68.223
243.545
3.447.879
2007
2.939.463
73.249
299.465
3.312.177
Sumber : BPS Sulawesi Selatan 2009, data diolah
47
4.1.2.2 Sosial Budaya a. Pendidikan dan IPM Salah satu komponen penting dalam pembangunan manusia adalah pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan dalam meningkatkan kualitas hidup. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, maka semakin baik pula kualitas sumber daya manusianya. Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar manusia untuk mengembangkan kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan salah satu modal untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satu indikator yang dilihat untuk melihat keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah tersedianya cukup sumberdaya manusia yang berkualitas. Rata-rata angka buta huruf selama periode 2005 hingga 2009 adalah sebesar 13.98 persen. Pada Tahun 2009 Kabupaten/kota yang memiliki angka buta huruf tinggi adalah Kabupaten Jeneponto, Bantaeng dan Gowa. Sedangkan Kabupaten/kota yang memiliki angka relative rendah jika dibandingkan dengan Kabupaten/kota lain di Provinsi Sulawesi Selatan antara lain Kota Makassar, Pare-Pare dan Palopo. Penduduk berumur 7-12 memiliki angka buta huruf yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok usia sekolah lainnya. Hal tersebut diperkuat oleh data tahun 2009, yakni sebesar 8,66 persen penduduk Provinsi Sulawesi Selatan tidak bisa membaca dan menulis huruf latin maupun huruf lainnya. Sedangkan kelompok 13-15, penduduk yang menderita buta huruf sebesar 1,07 persen. Pada kelompok umur 1618 tingkat butu huruf masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebesar 1,46 persen. Pembangunan manusia dalam konteks ini diartikan sebagai sumberdaya untuk mencapai tujuan pembangunan yang orientasi akhirnya adalah pada peningkatan kesejahteraan
manusia.
Angka Indeks
48
Perkembangan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan 2005 – 2008 menunjukkan kenaikan. Secara umum, kenaikan angka IPM ini diharapkan mampu mewakili peningkatan pembangunan manusia (SDM) yang produktif, yaitu tenaga manusia yang sehat, berpendidikan dan terampil. Tabel 5 . Indeks Perkembangan Manusia Tertinggi dan Terendah di Sulawesi Selatan 2005-2008 No 1 2 3 4
Tahu n
IPM Sulawesi Selatan
2005 2006 2007 2008
68.41 68.81 69.62 70.22
Angka Tertinggi Kabupaten/Kot IPM a
Angka Terendah Kabupaten/Kot IPM a
76.6 76.87 77.33 77.92
60.9 63.17 63.42 64.04
Kota Makassar Kota Makassar Kota Makassar Kota Makassar
Jeneponto Jeneponto Jeneponto Jeneponto
Sumber data : BPS Pusat, data diolah
Apabila diamati tabel di atas, kota/Kabupaten dengan IPM tertinggi dan kota/Kabupaten tidak ada perbedaan dari tahun 2005 hingga tahun 2008. IPM tertinggi berada di Kota Makassar dan yang terendah berada di Kabupaten Jeneponto. Hal ini mencerminkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan belum memprioritaskan dengan baik program pembangunan pendidikan terlihat dari kondisi IPM yang hanya terkait dua daerah dan tidak ada perubahan sama sekali dari tahun ke tahun. Tabel 6 menyajikan urutan Kabupaten/kota dengan tingkat Indeks Pendidikan setiap Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
49
Tabel 6. Tingkat Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008 Provinsi Sulawesi Selatan Kabupaten/Kota
IPM 2008
Kota Makassar Kota Parepare Kota Palopo Kabupaten Enrekang Kabupaten Luwu Utara Kabupaten Luwu Kabupaten Pinrang Kabupaten Sidrap Kabupaten Luwu Timur Kabupaten Tana Toraja Kabupaten Soppeng Kabupaten Bulukumba Kabupaten Maros Kabupaten Barru Kabupaten Gowa Kabupaten Bone Kabupaten Bantaeng Kabupaten Sinjai Kabupaten Wajo Kabupaten Pangkep KabupatenSelayar Kabupaten Takalar Kabupaten Jeneponto
77.92 76.97 75.80 73.76 73.15 72.96 71.91 71.74 71.73 70.81 70.76 69.87 69.85 69.54 69.37 68.96 68.87 68.74 68.72 68.30 68.23 67.49 64.04
Kategori Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Sulawesi Selatan 70.22 Sumber : BPS Sulawesi Selatan, data diolah
Apabila dibandingkan dengan rata-rata IPM Sulawesi Selatan, maka terdapat 11 Kabupaten/Kota yang berada pada golongan IPM yang tinggi karena berada diatas nilai rata-rata IPM Sulawesi Selatan, yaitu Kota Makassar,Kota Pare-Pare, Kota Palopo dengan IPM diatas 70,22. Ke-11 terdiri dari 3 kota dan 8 Kabupaten Ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini menempati 3 urutan IPM tertinggi, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9.
50
Gambar 9. IPM Kabupaten/Kota Prov. Sulawesi Selatan 2008 Jika dilihat di peta maka wilayah yang termasuk di dalamnya adalah sebagian besar Kabupaten yang berada di daerah utara Provinsi Sulawesi Selatan, yang umumnya berada pada daerah dengan ras bugis dan toraja, sedangkan daerah yang masuk dalam tingkat IPM rendah adalah sebagian besar daerah yang berada selatan provinsi Sulawesi Selatan. Hal yang menarik terjadi di Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros yang merupakan daerah yang berbatasan dengan Kota Makassar sebagai Ibukota Provinsi adalah daerah-daerah yang tergolong tingkat IPM
yang
rendah,
kedua
daerah
ini memperoleh
imbas dari
perkembangan Kota Makassar dan tidak dapat ikut berkembang seperti layaknya kota-kota yang hadir di sekitar kota besar seperti Makassar, seperti terlihat pada Gambar 10.
51
Gambar 10 . Peta Penyebaran IPM Penduduk Tahun 2008
Sedangkan kota dengan IPM rendah yang memiliki nilai IPM dibawah 70,22 yang umumnya berada pada daerah dengan ras suku Makassar, ini terdiri dari 12 Kabupaten yang berada di sebelah selatan provinsi Sulawesi Selatan seperti yang terlihat pada peta diatas (Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sumber daya manusia di Provinsi Sulawesi Selatan masih terkonsentrasi di bagian utara, dimana pembangunan manusia di bagian selatan belum optimal. Pembangunan
sumberdaya
manusia
diharapkan
dapat
meningkatkan produktivitas angkatan kerja, yang secara langsung berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan penduduk, melalui membaiknya
tingkat
pendapatan.
Dengan
demikian,
perbaikan
produktivitas angkatan kerja dan tingkat pendapatan akan dapat mengurangi tingkat kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah.
52
b. Sosial Budaya Tahun 2008 di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat 74 Rumah Sakit, yang terdiri dari 1 Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP), 28 Rumah Sakit Pemerintah, 15 Rumah Sakit Swasta, dan 7 Rumah Sakit ABRI, serta 23 Rumah Sakit Khusus. Jumlah puskesmas pada tahun 2008 adalah 2076 unit yang dapat dikategorikan menjadi 393 puskesmas, 1284 puskesmas pembantu, dan 393 puskesmas keliling. c. Agama Pada umumnya terdapat lima (5) agama yang dianut penduduk Provinsi Sulawesi Selatan, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Budha. Perkembangan pembangunan di bidang spiritual dapat dilihat dengan besarnya sarana peribadatan masing-masing agama masjid, langgar dan mushollah tahun 2008 yang berasal dari data potensi desa 2008 adalah sebesar 11043 untuk masjid, surau sebanyak 2265 yang merupakan tempat peribadatan umat islam. Tempat peribadatan untuk umat kristiani, hindu dan budha masing-masing memiliki 439 gereja katolik, 2302 gereja protestan, 87 pura dan 33 vihara. Banyaknya rumah ibadah per Kabupaten/kota untuk tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa daerah dengan jumlah fasilitas peribadatan tertinggi terdapat di daerah Tana Toraja dengan total fasilitas 1773, Bone 1409 fasilitas, Gowa 1269 fasilitas, luwu sebanyak 1051 fasilitas, Kabupaten Luwu Utara sebanyak1038 fasilitas, dan Makassar sebanyak 996 fasilitas. Dimana untuk daerah Tana Toraja yang dominan adalah gereja karena sebagian besar penduduk merupakan penganut agama Kristen. Sedangkan untuk daerah lain didominasi oleh masjid karena sebagian besar penganut agama pada daerah tersebut adalah muslim. Makassar meskipun hadir dengan ibukota provinsi memiliki jumlah fasilitas terbanyak ke lima setelah daerah lainnya.
53
Tabel 7. Jumlah Tempat Peribadatan Seluruh Kabupaten/Kota yang Ada di Provinsi Sulawesi Selatan, 2008
No
Kabupaten/Kota
Jumlah tempat ibadah: Masjid (Unit)
Jumlah tempat ibadah: Surau/Lan ggar (Unit)
Jumlah tempat ibadah: Gereja Kristen (Unit)
Jumlah tempat ibadah: Gereja Katholik (Unit)
Jumlah tempat ibadah: Pura (Unit)
Jumlah tempat ibadah: Vihara/Kl enteng (Unit)
Jumlah Tempat Peribad atan (Unit)
1 2
SELAYAR BULUKUMBA
327 722
27 175
4 1
0 0
0 0
0 0
358 898
3 4
BANTAENG JENEPONTO
325 531
146 236
1 0
1 0
0 0
1 0
474 767
5 6
TAKALAR GOWA
400 1046
67 204
0 15
0 4
0 0
1 0
468 1269
7 8
SINJAI MAROS PANGKAJENE & KEP BARRU BONE
513 541
63 33
0 12
0 4
0 0
0 0
576 590
411 250 1117
66 62 280
5 2 8
0 1 2
0 0 0
0 0 2
482 315 1409
366 570
27 66
4 6
2 0
0 0
0 0
399 642
14 15 16 17 18 19 20 21 22
SOPPENG WAJO SIDENRENG RAPPANG PINRANG ENREKANG LUWU TANA TORAJA LUWU UTARA LUWU TIMUR MAKASSAR PARE-PARE
348 410 473 687 136 508 303 825 92
58 79 124 85 16 192 145 46 33
1 20 10 242 1337 260 217 91 12
0 19 2 36 283 31 35 11 3
1 0 0 0 1 47 35 2 0
1 0 0 1 0 0 0 21 4
409 528 609 1051 1773 1038 735 996 144
23
PALOPO
142
35
54
5
1
2
239
9 10 11 12 13
Jumlah Fasilitas Ibadah
11043
2265
2302
439
87
33
16169
Sumber : Data diolah, 2010 4.1.3 Ekonomi Wilayah Perkembangan ekonomi wilayah dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator pembangunan sebagai berikut: a.
PDRB Produk Domestik Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu pencerminan kemajuan ekonomi suatu daerah, yang didefinisikan
54
sebagai keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun di wilayah tersebut. PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga berlaku pada tahun 2008 sekitar 85.143, 19 Milayar rupiah. Sektor pertaninan mempunyai nilai tambah paling besar di bandingkan sektor lainnya yaitu mencapai 25.071,81 milyar rupiah. Selanjutnya disusul oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel terbesar kedua dengan nilai tambah mencapai 13.913,80 milyar rupiah. Sektor industri pengolahan Sulawesi Selatan yang diharapkan mampu menunjang sektor pertanian dengan berorientasi pada agroindustri ternyata nilai tambahnya terbesar ketiga, yaitu mencapai 11.060,44 milyar rupiah. PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 2008 sebesar 44.549,82 milyar rupiah atau meningkat sekitar 7,78 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2007. Bila melihat nilai PDRB Kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, terlihat bahwa kota Makassar mempunyai nilai PDRB yang paling besar mencapai 26.068,22 milyar rupiah. Terbesar kedua selanjutnya adalah Luwu Timur dengan nilai PDRB mencapai 6.559,79 milyar rupiah. Sedangkan Kabupaten Bone terbesar ketiga yang nilainnya mencapai 5.348,74 milyar rupiah. b.
Struktur Ekonomi Sulawesi Selatan yang merupakan barometer perekonomian kawasan timur Indonesia. Sulawesi Selatan yang terdiri dari 23 Kabupaten/kota. Dari ke-23 Kabupaten/kota yang ada memiliki karakteristik alam, sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda-beda.
55
Tabel 8. PDRB Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2008 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kabupaten/Kota
PDRB 2008
Kota Makasar Kabupaten Luwu Timur Kabupaten Bone Kabupaten Wajo Kabupaten Pangkep Kabupaten Pinrang Kabupaten Gowa Kabupaten Bulukumba Kabupaten Luwu Kabupaten Sidrap Kabupaten Luwu Utara Kabupaten Sinjai Kabupaten Soppeng Kabupaten Maros Kabupaten Jeneponto Kabupaten Takalar Kota Palopo Kabupaten Enrekang Kota Parepare Kabupaten Bantaeng Kabupaten Barru Kabupaten Toraja Utara Kabupaten Tana Toraja Kabupaten Selayar
26,068,221.49 6,959,793.51 5,348,744.99 3,925,639.14 3,826,203.74 3,737,021.08 3,473,358.11 2,711,096.80 2,696,359.14 2,405,539.59 2,328,502.48 1,978,005.94 1,947,832.77 1,786,709.35 1,559,951.69 1,550,676.30 1,394,930.34 1,347,211.53 1,298,778.61 1,245,480.65 1,225,699.23 1,119,092.86 1,116,036.45 771,304.98
Prop Sulsel
81,822,190.77
Terhadap SulSel 31.86 8.51 6.54 4.80 4.68 4.57 4.25 3.31 3.30 2.94 2.85 2.42 2.38 2.18 1.91 1.90 1.70 1.65 1.59 1.52 1.50 1.37 1.36 0.94 100.00
Sumber: BPS Sulawesi Selatan, data diolah. Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa Kota Makassar memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan nilai tambah bruto (PDRB) di Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008 peran Kota Makassar dalam menyumbangkan PDRB adalah sebesar 31,86 persen. Daerah lain yang mempunyai peran yang cukup besar di dalam menciptakan PDRB Sulawesi Selatan selain Kota Makassar adalah Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Bone, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Gowa.
56
Bangunan/ Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Perusahaan dan Jasa Perusahaan
Jasa-Jasa
Kabupaten Bantaeng 3.45 57.26 0.64 Kabupaten Barru 3.78 45.90 1.14 Kabupaten Bone 8.87 52.65 0.54 Kabupaten 6.69 54.87 0.39 Bulukumba Kabupaten Enrekang 4.43 51.45 0.54 Kabupaten Gowa 3.92 47.92 0.57 Kabupaten Jeneponto 53.02 1.47 2.34 Kabupaten Luwu 57.00 1.04 10.64 Kabupaten Luwu 2.74 66.88 0.55 Utara Kabupaten Maros 40.04 1.52 22.33 Kabupaten Pangkep 17.58 5.34 56.30 Kabupaten Pinrang 4.60 62.45 0.86 Kabupaten Selayar 5.75 39.34 0.60 Kabupaten Sidrap 7.12 50.59 0.48 Kabupaten Sinjai 1.93 57.62 0.57 Kabupaten Soppeng 7.23 47.76 0.56 Kabupaten Takalar 8.35 47.36 0.67 Kabupaten Tana 4.30 44.88 0.48 Toraja Kabupaten Wajo 8.34 42.19 4.62 Kota Parepare 7.93 0.32 2.98 Kota Makasar 0.73 0.01 21.76 Kota Palopo 4.46 31.27 0.18 Kabupaten Luwu 12.78 80.51 1.85 Timur Kabupaten Toraja 5.76 46.93 0.41 Utara PDRB 29.70 8.86 13.28 Sumber :BPS Sulawesi Selatan, data diolah
Listrik, Gas dan Air Minum
Industri Pengolahan
Pertambangan dan Penggalian
Kabupaten/Kota
Pertanian
Tabel 9 . Kontribusi Sektoral Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan 2008
0.57 0.64 0.73
5.69 8.22 6.32
10.82 11.76 8.48
3.03 4.10 5.55
6.12 5.92 5.10
12.43 18.54 11.76
0.39
2.96
13.00
2.15
4.54
15.01
0.59 0.98 0.57 0.22
5.24 3.08 5.13 6.55
10.10 13.69 7.43 9.15
2.68 6.15 3.54 1.77
4.41 7.15 6.97 2.26
20.57 16.52 19.54 11.37
0.51
4.88
8.42
2.31
5.27
8.44
0.88 0.37 0.69 0.40 1.01 0.28 0.82 1.15
1.56 3.01 4.08 8.69 6.11 4.43 7.17 5.21
8.11 4.50 10.99 14.62 12.18 10.51 9.60 11.03
5.58 3.11 3.95 12.04 2.86 3.41 5.38 4.68
5.96 2.60 4.14 3.29 5.03 5.39 5.63 6.06
14.02 7.18 8.25 15.26 14.63 15.86 15.85 15.50
0.51
4.58
14.92
4.13
6.03
20.17
0.57 1.48 1.99 1.43
3.12 8.61 8.34 9.04
21.17 28.40 29.29 19.53
5.22 23.94 16.14 9.74
4.28 13.12 10.55 11.20
10.50 13.22 11.19 13.16
0.15
0.35
1.35
0.65
1.05
1.31
0.58
5.15
16.02
4.21
5.63
15.30
1.02
5.52
16.08
7.83
6.44
11.27
Dari tabel di atas bahwa sebagian besar daerah di Provinsi Sulawesi Selatan masih bertopang pada sektor pertanian, disusul kemudian oleh Kabupaten/kota yang berbasis pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan industri pengolahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi basis perekonomian di Provinsi Sulawesi Selatan dimana belum diikuti oleh bidang-bidang lainnya.
57
Gambar 11. Peta Kontribusi PDRB Sektoral 2008 Kondisi ini semakin menjelaskan bahwa sektor pertanian memegang peranan yang penting dalam perekonomian Sulawesi Selatan. Terdapat banyak Kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan yang pendapatan domestik terbesarnya berasal dari sektor pertanian. Ada beberapa daerah pula yang pendapatan sektor pertanian dan sektor lainnya hampir mendekati sektor pertanian seperti Kota Palopo dan Kabupaten Selayar. Sementara untuk daerah dengan pendapatan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang dominan hampir seimbang dengan sektor lainnya seperti di Kota Pare-pare dan Kota Makassar.
c.
Keuangan Provinsi Sulawesi Selatan Kemampuan
keuangan daerah dapat dilihat melalui data penerimaan
daerah yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
58
yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana Perimbangan dan LainLain Penerimaan yang sah. Data Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah ini merupakan angka-angka cerminan atas kemampuan keuangan pemerintah daerah yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan dalam memanfaatkan potensi daerahnya. Pendapatan daerah masing-masing Kabupaten/Kota sangatlah beragam, daerah-daerah yang memiliki laju pertumbuhan pendapatan daerah yang tinggi ditunjukkan oleh Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo. Meski laju pertumbuhan kedua daerah ini tinggi sumbangan terbesar pada total pendapatan kedua daerah ini berasal dari Dana Perimbangan, untuk Luwu Timur sebesar 77,34persen di tahun 2004, 70,36persen di tahun 2005, menjadi 94,19persen di tahun 2006, dan 80,96 di tahun 2008. Begitupula halnya dengan Kota Palopo kontribusi Dana Perimbangan menjadi dominan, 85,76persen di tahun 2004, 86,36persen di tahun 2005, 93,06persen di tahun 2006, 89,02persen di tahun 2007, dan 80,48persen di tahun 2008. Secara umum kontribusi PAD di seluruh Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan sebagian besar berkisar di bawah 10 persen dari total pendapatan daerah tersebut. Kecuali untuk daerah-daerah tertentu seperti Kota Makassar, rata-rata kontribusi PAD dalam 5 tahun waktu sebesar 18,59 persen dan Kabupaten Pangkep sebesar 13,72 persen dan Kota Pare-Pare sebesar 11,45 persen. Masih rendahnya Pendapatan Asli Daerah mengindikasikan tingginya ketergantungan pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan terhadap Pemerintah Pusat.
59
Lampiran Tabel cetak d analisis keuangan daerah
60
Pada Tahun 2006 terjadi peningkatan Pendapatan Daerah di seluruh Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dengan kenaikan rata-rata sebesar 48,84 persen. Nilai PAD terdiri dari komponen hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, nilai ini merupakan cerminan dari kemampuan pemerintah daerah masing-masing Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
Laju
pertumbuhan rata-rata seluruh Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebesar 17,57 persen adalah Kabupaten Luwu Timur dengan ratarata Laju pertumbuhan PAD terbesar yakni 58,34 persen, disusul dengan Kabupaten Selayar yakni sebesar 43,35 persen, Kabupaten Sidrap sebesar 31,82 persen. Kabupaten Bulukumba sebesar 25,85 persen, Sedangkan kota Makassar sendiri laju pertumbuhan PAD kota Makassar sebagai ibukota Provinsi adalah sebesar 13,09, jauh dibawah daerah-daerah lainnya. Rincian besaran kontribusi masing-masing sumber PAD dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Kontribusi Sumber-Sumber Pendapatan Daerah Kontribusi terbesar dalam PAD untuk seluruh Kabupaten/kota yang ada di Prov. Sulawesi Selatan adalah berasal dari retribusi daerah mencakup Kabupaten Bone, Kabupaten Bulukumba,
Kabupaten Gowa, Kabupaten Jeneponto,
Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Pinrang, Kabupaten
61
Sidenreng Rappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Takalar, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Wajo, Kota Pare-Pare, dan Kota Palopo. Ada sebanyak 14 kabupaten/kota yang sumber PAD-nya didominasi oleh retribusi daerah. Selanjutnya diikuti 6 kabupaten/kota yang di dominasi sumber pendapatan daerahnya dari sumber lain-lain pendapatan asli daerah seperti Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Barru, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Selayar, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Luwu Timur. Dan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar di dominasi oleh rata-rata kontribusi pos pajak daerah. Rincian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 . Persentase Konstribusi Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota
Rata-Rata Kontribusi Pos Pajak Daerah
RataRata Retribusi Daerah
Rata-Rata Kontribusi Hasil Perusahaan dan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
Rata-Rata Kontribusi Sumber Lain-lain Pendapatan Asli Daerah
5,20 13,62 13,00 3,80 1,56 14,38 2,18 14,97 7,61 0,91 5,97
3,03
Prop. Sulawesi Selatan Kabupaten Bantaeng Kabupaten Barru Kabupaten Bone Kabupaten Bulukumba Kabupaten Enrekang Kabupaten Gowa Kabupaten Jeneponto Kabupaten Luwu Kabupaten Luwu Utara Kabupaten Maros
84,83 11,71 18,51 18,23 23,43 12,12 26,19 17,04 17,24 15,45 40,81
6,95 28,46 20,40
Kabupaten Pangkajene dan Kep Kabupaten Pinrang
54,64 20,09
10,86 13,47
17,30 21,66
Kabupaten Selayar Kabupaten Sidenreng Rappang
11,64 16,09
13,04 8,06
51,49 25,73
Kabupaten Sinjai Kabupaten Soppeng
10,23 19,73
17,19 44,77 23,83 50,12 32,83 52,76
5,15 3,73
51,79 23,78
Kabupaten Takalar Kabupaten Tana Toraja
13,15 18,24
39,09 54,01
20,77 1,68
26,98 26,07
Kabupaten Wajo Kota Pare-Pare
16,09 14,14
16,30 3,11
29,39 19,46
Kota Makassar Kota Palopo
64,33 19,02
2,14 1,54
4,35 6,59
Kabupaten Luwu Timur
13,62
38,23 63,29 29,19 72,85 30,84
2,51
53,03
Sumber : Data diolah, 2010
49,61 48,06 27,03 52,51 38,59 40,09 53,84 37,48
46,21 48,08 28,36 26,95 42,44 19,12 29,40 29,32 29,79 15,74
62
Dana Perimbangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. dana perimbangan meliputi Dana Bagi Hasil Pajak, dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana bagi hasil, bersumber dari pajak dan sumber daya alam sementara, meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, serta perikanan. Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dan pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan, pelaksanaan desentralisasi untuk mendanai kegiatan khusus yang ditentukan pemerintah atas prioritas nasional serta mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Berdasarkan konsep ini, daerah yang memiliki kemampuan keuangan relative besar akan lebih kecil diberikan DAU dan juga berlaku sebaliknya. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Rincian
mengenai
diperlihatkan pada Tabel 12.
sumber-sumber
Dana
Perimbangan
secara
rinci
63
Tabel 12 . Persentase Kontribusi Sumber-Sumber Dana Perimbangan Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Kontribusi Dana Kontribusi Kontribusi Kabupaten/Kota bagi hasil Pos Dana Pos Dana pajak/bagi hasil Alokasi Alokasi bukan pajak Umum Prop. Sulawesi Selatan 41,97 0,77 57,25 Kabupaten Bantaeng 25,48 9,33 65,18 Kabupaten Barru 24,80 8,78 66,42 Kabupaten Bone 29,36 5,49 65,15 Kabupaten Bulukumba 27,89 6,28 65,82 Kabupaten Enrekang 35,66 7,51 56,83 Kabupaten Gowa 23,36 7,17 69,47 Kabupaten Jeneponto 29,88 6,47 63,43 Kabupaten Luwu 32,92 8,69 58,39 Kabupaten Luwu Utara 31,73 7,14 61,13 Kabupaten Maros 29,19 6,96 63,84 Kabupaten Pangkep 23,18 8,12 68,71 Kabupaten Pinrang 28,53 7,21 64,26 Kabupaten Selayar 29,77 8,20 62,04 Kabupaten Sidrap 27,91 8,37 63,72 Kabupaten Sinjai 24,77 9,29 65,94 Kabupaten Soppeng 24,84 7,35 67,81 Kabupaten Takalar 29,11 8,08 62,80 Kabupaten Tana Toraja 27,74 5,91 66,35 Kabupaten Wajo 35,66 6,21 58,13 Kota Pare-Pare 23,79 7,62 68,60 Kota Makassar 35,65 3,92 60,42 Kota Palopo 25,23 8,54 66,23 Kabupaten Luwu Timur 48,23 9,19 42,58 Sumber : Data Diolah,
Lainnya
0 0 0 0 0 0 0 0,22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Seluruh Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan sebagian besar dana perimbangannya didominasi oleh Pos Dana Alokasi Umum. Berkisar 48,23 persen hingga 69,47 persen. Kabupaten Luwu Timur yang merupakan daerah dengan potensi pertambangan yang ada di daerah tersebut, memiliki persentase rata-rata kontribusi dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak (42,58 persen) yang tidak jauh berbeda dengan Pos Dana Alokasi Umum (48,23 persen). Kecenderungan yang agak berbeda dengan daerah lain dikarenakan potensi daerah Luwu Timur yang memiliki Pertambangan di daerahnya menyebabkan pos Dana Bagi Hasil menjadi mendekati angka DAU yang masih lebih besar. Selain Kabupaten Luwu Timur, Kota Makassar memiliki proporsi Dana Bagi Hasil
64
mencapai 35,65 persen. Gambar berikut juga menjelaskan Persentase proporsi kontribusi setiap sumber-sumber Dana Perimbangan keuangan.
Gambar 13.
Persentase Proporsi Sumber-Sumber Dana Perimbangan Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan
Lain-lain Pendapatan Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pendapatan dari hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat, sedangkan hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri harus dilakukan melalui pemerintah. Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah dan pemberi hibah. Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan
sumber PAD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana
nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh karena dengan menggunakan sumber PAD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh presiden.
65
Tabel 13 Persentase Proporsi Sumber-Sumber Lain-Lain Pendapatan yang sah
Kabupaten/Kota
Hibah
Dana Darurat
Prop. Sulawesi Selatan Kabupaten Bantaeng Kabupaten Barru Kabupaten Bone Kabupaten Bulukumba Kabupaten Enrekang Kabupaten Gowa Kabupaten Jeneponto Kabupaten Luwu Kabupaten Luwu Utara Kabupaten Maros Kabupaten Pangkep Kabupaten Pinrang Kabupaten Selayar Kabupaten Sidrap Kabupaten Sinjai Kabupaten Soppeng Kabupaten Takalar Kabupaten Tana Toraja Kabupaten Wajo Kota Pare-Pare Kota Makassar Kota Palopo Kabupaten Luwu Timur
100,00 30,92 43,27 51,12 1,84 14,68 33,56 12,69 5,92 12,70 22,56 50,05 17,17 8,38 -
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12,15 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,48 0,00 4,75 0
Dana bagi hasil pajak dari Provinsi dan Pemda lainnya
Dana penyesuaian dan otonomi khusus
0 48,28 65,12 35,23 23,24 7,00 31,20 80,96 74,61 85,32 33,13 21,52 100,00 10,17 26,88 12,03 54,99 49,58 38,46 77,22 69,76 92,37 39,85 99,15
0 3,13 25,24 0,00 76,76 90,79 8,34 0,00 0,00 0,00 11,48 61,00 0,00 89,55 56,79 80,98 26,33 27,86 0,00 0,00 9,31 0,00 43,41 0,00
Bantuan keuangan dari Provinsi atau Pemda lainnya 0 17,67 9,64 21,51 0,00 2,21 9,34 17,20 9,29 0,00 21,83 5,33 0,00 0,28 3,64 1,08 5,98 0,00 11,49 20,35 2,28 7,63 3,61 0,85
Lainn ya
0 0 0 0 0 0 0 0 16,09 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,43 0,00 0,00 0,00 0,00
Sumber : Keuangan (data diolah, 2010) Lain-Lain Pendapatan yang sah diterima oleh Kabupaten/kota yang ada di provinsi Sulawesi Selatan cenderung beragam meskipun nilai persentasenya kecil dibandingkan sumber-sumber pendapatan lainnya (lihat tabel proporsi sumbersumber APBD masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan), dimana sebagian besar bersumber dari Dana Bagi Hasil Pajak dari provinsi dan Pemda Lainnya. Seperti terlihat pada Gambar 14. Pendapatan Hibah secara umum cukup beragam, proporsi hibah terbesar terdapat pada daerah Kabupaten Gowa (51,12 persen dari total pendapatan lain-lain pendapatan yang sah), diikuti Kabupatenupten Tana Toraja (50,05 persen dari total pendapatan lain-lain pendapatan yang sah). Sedangkan ada beberapa daerah yang sama sekali tidak mempunyai pendapatan hibah. Sedangkan untuk dana darurat hanya diperoleh Kabupaten Pangkajene dan Kep, Kota Pare-Pare dan Kota Palopo.
66
Gambar 14. Proporsi Sumber-Sumber Lain Pendapatan yang Sah Prov. Sulawesi Selatan Pendapatan dana bagi hasil pajak ini yang cukup dominan pada sumber lainlain pendapatan yang sah paling besar dimiliki Kabupatenuaten Pinrang, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Makassar. Sedangkan untuk dana penyesuaian terbesar dimiliki Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Selayar, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sidrap. Pendapatan Bantuan Keuangan paling besar diterima Kabupaten Maros, Kabupaten Bone, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Tana Toraja. Sedangkan untuk pendapatan lainnya hanya dimiliki Kabupatenvupaten Luwu. Seperti terlihat pada gambar di atas.
4.1.4 Perkembangan Infrastruktur/fasilitas sosial dan ekonomi 4.1.4.1 Fasilitas Sosial Pembangunan fasilitas sosial, penting untuk dibangun dalam rangka memaksimalkan interaksi sosial, pelayanan publik dan memudahkan sistem aliran informasi dan sumber daya antar pusat atau antar Kabupaten/kota yang diharapkan berimbang
(simetrik). Beberapa indikator pembangunan fasilitas sosial yang
dimaksudkan antara lain, fasilitas pendidikan, kesehatan, air bersih, olahraga dan
67
seni budaya, keagamaan, penerangan dan telekomunikasi serta fasilitas pelayanan publik dan swasta. 4.1.4.2 Infrastruktur Ekonomi Pembangunan infrastruktur ekonomi suatu wilayah amat penting, untuk mendorong aliran sumber daya (informasi, barang dan jasa) yang efisien, meningkatkan produktivitas dan interaksi spasial yang saling memperkuat. Pembangunan infrastruktur ekonomi yang dimaksudkan adalah fasilitas pasar, tokoh, perusahaan, jaringan perhubungan dan obyek wisata yang mendorong interaksi dan keterkaitan. Berikut adalah jumlah infrastruktur ekonomi setiap Kabupaten/kota yang dilihat.
863 221 43 496 3304
40 50 0 12 164
0 1165 1 129 58
1508 1914 67 2232 1174
6
GOWA
15
205
1
386
72
918
1096
108
1452
7 8
23 9
48 74
0 2
320 114
53 5
41 121
2 9
1 61
1734 547
6
90
5
214
40
587
124
32
833
358
10
SINJAI MAROS PANGKAJENE DAN KEP BARRU
399 717 453 690 676 248 8 454 234
4
23
10
210
30
14
54
22
1218
11
BONE
11
215
11
1281
119
3148
265
1080
4767
12 13
8 8
65 38
0 2
442 425
126 30
31 399
30 378
17 10589
1063 750
5
77
0
265
594
82
63
840
344
514
15
2
49
359
2982
15 16 17 18 19
SOPPENG WAJO SIDENRENG RAPPANG PINRANG ENREKANG LUWU TANA TORAJA LUWU UTARA
245 102 6 508 763
10 15 20 7 6
116 174 132 46 141
0 0 4 257 9
415 511 374 1023 295
99 47 0 329 50
107 115 938 2572 601
33 23 104 0 47
242 242 17 322 38
1734 2108 1163 163 922
334 16 457 48 137
26 11 32 15 22
4 3 25 6 5
559 433 448 520 532
5604 2143 4061 2181 3963
20
LUWU TIMUR
5
76
0
271
10
88
16
6
243
55
6
5
32 24 22 47 32 11 6 30 4 34 31 11 06
No 9
14
Toko/warung kelontong
Industri makanan dan minuman
19 17 9 32 34
Warung/kedai makanan minuman
Industri dari kain/tenun
425 738 157 293 389
Restoran/rumah makan
Industri gerabah/keramik
0 0 10 0 0
Mini market
Industri anyaman
21 52 26 77 78
Pasar tanpa bangunan
Industri dari logam/logam mulia
15 8 5 8 6
Lainnya
Industri dari kayu
SELAYAR BULUKUMBA BANTAENG JENEPONTO TAKALAR
Kios sarana produksi pertanian (Milik KUD)
1 2 3 4 5
Kabupaten/Kota
Milik Non-KUD ( 19 pekerja) dan Kerajinan Rumah Tangga (1 - 4 pekerja) :a. Industri
Tabel 14. Kondisi Infrastruktur Ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan, 2008.
7 20 0 12 5
0 16 0 2 3
18 27 8 7 10
126 153 190 280 320
1694 3296 1318 5106 2960
46
18
59
791
8044
9 14
3 20
7 64
378 563
4187 4446
8
8
70
461
3478
7
5
39
689
2987
45
34
59
836
9623
2 29
0 13
19 28
593 378
3616 7392
21
MAKASSAR
1
2
4
337
296
15
12
27
734
65
56
70
22 23
PARE-PARE PALOPO Prop. Sulawesi Selatan
0 0
6 16
0 0
217 94
80 16
0 121
6 13
9 0
102 158
195
1798
315
9196
2107
14825
2541
15006
26930
71 58 107 66
1 2 39 0
2 7 25 1
Sumber : Data Podes 2008, data diolah
293 1577 406 371 1125 6
2587 1022 0 4940 1016 9784 4
68
a.
Panjang Jalan dan Angkutan Bermotor Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang penting untuk memperlancar
kegiatan perekonomian. Usaha pembangunan yang makin meningkat menurut adanya transportasi untuk menunjang mobilitas penduduk dan kelancaran distribusi barang dari dan ke suatu daerah. Panjang jalan di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 sepanjang 24.307, 13 km. Dilihat dari status kewenangannya, 1.556,13 km jalan di Sulawesi Selatan di bawah wewenang negara dan 1.209,40 km merupakan wewenang Pemda Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah kendaraan bermotor di Sulawesi Selatan tahun 2008 sebanyak 1.609.115 unit atau naik sebesar 22,35 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 1.315.195 unit. Kendaraan-kendaraan bermotor tersebut terdiri dari 123.105 unit mobil penumpang, 74.378 unit mobil beban, 32.630 unit bus dan yang merupakan jumlah terbesar adalah sepeda motor dengan jumlah 1.376.931 unit. Arus barang dan penumpang yang keluar masuk Sulawesi Selatan melalui pelabuhan udara meningkat. Pada tahun 2008 penumpang yang berangkat melalui pelabuhan udara Hasanuddin sebanyak 1.579.822 orang, atau menungkat sebesar 4,28 persen dibandingkan tahun 2007. Sedangkan penumpang yang masuk Sulawesi Selatan melalui pelabuhan udara Hasanuddin pada tahun 2007 sebanyak 1.646.318 jiwa dan meningkat menjadi 1.751.558 jiwa pada tahun 2008 atau naik sebesar 6,39 persen. Sedangkan arus barang yang dibongkar melalui pelabuhan Udara Hasanuddin tercatat 39.549 ton terdiri atas 20.685 ton bagasi, 17.934 ton barang/kargo dan 840 ton paket pos. Sedangkan barang yang dimuat melalui pelabuhan udara Hasanuddin tahun 2008 tercatat 32.432 ton yang terdiri dari 17.558 ton bagasi, 14.435 ton barang/cargo dan sisanya sebanyak 439 ton paket pos.
69
Tabel 15. Panjang Jalan menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan (Km), 2008 Kabupaten/ Kota
Negara
Provinsi
Kabupaten
Jumlah
Regency/City
State
Province
Regency
Total
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Pare Pare Palopo Jumlah/Total
37,1 36,34 52,99 29,66 16,65 44,54 86,01 84 65,48 207,72 138,4 65,22 70,22 82,65 117,78 90,07 111,12 146,17 49,18
91,11 108,88 19 42 187,49 62,88 34,06 130,83 119,28 77,05 40,92 66,47 28 54,93 146,5 -
689,49 728,66 514,83 713,1 754,61 2.195,94 829,46 892,8 641,02 617,28 1.641,86 752,73 1.261,73 992,04 734,78 812,7 1.478,35 1,943,60 1,663,32 511,2 731,29
780,6 874,64 570,17 808,09 784,27 2.400,08 936,88 978,81 725,02 716,82 1.980,41 872,01 1.477,18 1.098,18 871,47 923,35 1.596,13 2.088,60 1.920,94 697,37 780,47
18,05
-
273,1
291,15
6,78
-
127,71
134,49
1.556,13
1.209,40
21.501,60
24.307,13
Sumber : Sulawesi Selatan dalam Angka 2009, BPS. Pembangunan sarana pos dan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan kelancaran arus informasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Kalancaraan informasi/data-data yanng diharapkan mampu memacu kegiatan perekonomian antara daerah. Jumlah fasilitas pelayanan pos yang dibangun pemerintah di daerah Sulawesi Selatan hingga tahun 2008 tercatat 91 kantor pos, yang terdiri dari 23 kantor pos dan giro yang tersebar di 23 Kabupaten/kota, 68 kantor pos dan giro pembantu. Jumlah surat yang dikirim di dalam negeri melalui kantor pos dan giro pembantu.
70
71
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia
salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah tertinggal. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki cukup banyak daerah tertinggal, yaitu sebanyak 199 daerah dimana sebesar 43 persen Kabupaten tertinggal, dengan konsentrasi kawasan timur Indonesia 62 persen, dan kawasan barat Indonesia 38 persen. (Menteri, 2008) Sulawesi Selatan memiliki 13 Kabupaten yang dikategorikan tertinggal, yaitu Jeneponto, Luwu, Selayar, Enrekang, Pangkajene Kepulauan, Luwu Timur, Sinjai, Takalar, Tana Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Barru, dan Pinrang. Daerah ini memiliki permasalahan aspek pengembangan ekonomi lokal, permasalahan aspek pengembangan sumber daya
manusia, permasalahan aspek kelembagaan,
permasalahan aspek sarana dan prasarana dan permasalahan aspek karakteristik daerah (Soetomo, 2008). Namun sebaliknya di Sulawesi Selatan juga terdapat beberapa daerah yang cenderung maju dengan kecenderungan aktivitas perekonomian yang berkembang cepat. Perbedaan kondisi geografis, sasaran program, serta kebijakan, dan juga kondisi sarana dan prasarana mengakibatkan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah. Hal tersbut selanjutnya dapat memicu terjadinya ketimpangan wilayah. Untuk mengetahui sejauh mana ketimpangan wilayah yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, maka dilakukan analisis melalui pendekatan keterkaitan sektoral-spasial (sektoral-spatial linkages approach). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) indeks Williamson dan (2) indeks Theil. Indeks Williamon mempunyai keunggulan ukuran nilai ketimpangan wilayah yang jelas terutama antar subwilayah, sedangkan indeks Theil mampu menjelaskan penyebab ketimpangan wilayah yang terjadi. Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan dalam mengukur disparitas antar wilayah (Rustiadi et al, 2007). Indeks Williamson ini digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah dengan
72
menggunakan nilai PDRB per kapita dapat digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah. Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika dihasilkan nilai indeks sama dengan nol, berarti tidak ada disparitas antar wilayah yang terjadi, sedangkan indeks lebih besar dari nol menunjukkan adanya disparitas perekonomian atau pembangunan antarwilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan maka semakin besar tingkat ketimpangan antarwilayah di suatu tempat yang lebih luas. Analisis indeks Williamson ini menggunakan data PDRB per kapita dan jumlah penduduk tiap kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 hingga tahun 2008, dengan tingkat disparitas dapat dilihat di Tabel 16. Tabel 16. Indeks Ketimpangan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009 No
Tahun
1 2 3 4 5 6
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Perubahan Williamson 0,57 0,70 0,13 0,70 0 0,71 0,01 0,67 -0,04 0,69 0,02
Sumber: Hasil Analisis Indeks Williamson, data diolah Nilai indeks Williamson Provinsi Sulawesi Selatan masih di bawah nilai Indeks Williamson Indonesia sebesar 0,836 dan Indeks Williamson Kawasan Barat 0,6625 di tahun 2006. Terlihat bahwa ketimpangan Provinsi Sulawesi Selatan berada di bawah ketimpangan Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia. Tahun 2009 terjadi ketimpangan yang lebih tinggi yaitu sebesar 0,69. (BPS, 2007)
73
Gambar 15. Nilai Indeks Williamson dari tahun 2004-2009 Terdapat ketimpangan dari nilai indeks williamson Sulawesi Selatan, terlihat dari perjalanan 5 tahun tahun 2004-2009 memiliki nilai indeks lebih dari nol. Meski di bawah Indeks Williamson Indonesia sebesar 0,836, dan berada di atas ketimpangan kawasan barat Indonesia 0,66 di tahun 2006. Berdasarkan hasil analisis tersebut, tingkat disparitas Provinsi Sulawesi Selatan mengalami kecenderungan peningkatan di tahun 2004 hingga 2005 terlihat dari hasil analisis dari 0,57 menjadi 0,70. Terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2005 sebesar 0,13 pada tahun 2005. Namun setelah 2005 tidak terjadi peningkatan maupun penurunan di tahun 2006 berada pada 0,70 pada tahun 2006, dan terus mengalami peningkatan sebesar 0,01 pada tahun 2007 menjadi 0,71. Pada tahun 2008 terjadi penurunan sebesar 0,04 menjadi 0,67 dan naik sebesar 0,02 di tahun 2009 menjadi 0,69. Nilai Indeks Williamson yang berada di atas nol ini menunjukkan telah terjadi ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan, dan besarnya nilai Indeks Williamson menunjukkan tingginya ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, jika melihat ketimpangan yang ditunjukkan Provinsi Sulawesi Selatan selama 5 tahun terakhir dengan mengeluarkan 3 kota besar di Provinsi Sulawesi Selatan, terlihat kecenderungan penurunan ketimpangan. Tetapi besaran Indeks Williamson di Provinsi Sulawesi Selatan tetap berada lebih dari nol. Jadi secara umum, peningkatan ketimpangan atau memburuknya ketimpangan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan lebih dikarenakan kehadiran tiga kota tersebut. Seperti terlihat pada Gambar 16.
74
Gambar 16. Perbandingan Indeks Willimson tanpa 3 kota di Sulawesi Selatan Indeks Williamson dapat menunjukkan tingkat ketimpangan suatu wilayah, namun analisis ketimpangan ini dirasa kurang mendalam dalam melihat hubungan antarwilayah penyebab ketimpangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga digunakan analisis indeks Theil untuk lebih jauh mengkaji besarnya disparitas (disparitas total)
yang dikomposisi menjadi dua, yaitu disparitas antar
Kabupaten/kota (between) dan disparitas dalam Kabupaten/kota (within). Dimana diperoleh bahwa disparitas di Provinsi Sulawesi Selatan sebagian besar disebabkan oleh ketimpangan yang terjadi intern kabupaten/kota yang ditunjukkan nilai theil within yang lebih besar. Seperti terlihat lebih rinci pada Tabel 17. Tabel 17 . Indeks Theil Within dan Between Tahun 2004-2009 2004
2006
2007
2008
2009
(persen)
Nilai
(persen)
Nilai
(persen)
Nilai
(persen)
Nilai
(persen)
Nilai
(persen)
0.05
94.18
0.14
62.21
0.12
58.36
0.11
57.23
0.08
53.28
0.09
54.10
0.0032
5.82
0.08
37.79
0.08
41.64
0.08
42.77
0.07
46.72
0.08
45.90
0.06
100.00
0.22
100.00
0.20
100.00
0.19
100.00
0.16
100.00
0.17
100.00
Nilai Theil Within (Sektoral) Theil Between (Regional) Indeks Theil (Total)
2005
Sumber : Hasil Analisis Indeks Theil, data dioleh, 2010
Hasil perhitungan indeks Theil menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan dengan tingkat ketimpangan sebesar 0,06 untuk tahun 2004, 0,22 untuk tahun 2005, 0,20 untuk tahun 2006, 0,19 untuk tahun 2007, dan 0,16 untuk tahun 2008 serta 0,17 untuk tahun 2009. Dari hasil perhitungan Theil within dan Theil between, diketahui bahwa proporsi theil within lebih besar dari
75
theil between. Dimana nilai indeks theil within sebesar 0,052 atau 94,1838 persen sedangkan theil between 0,0032 atau 5,8162 persen untuk tahun 2004. Untuk tahun 2005, theil within sebesar 0,1387 atau 62,2068 persen sedangkan untuk indeks theil between sebesar 0,0842 atau 37,7932 persen. Untuk tahun 2006, indeks theil within sebesar 0,1168 atau 58,3614 persen sedangkan indeks theil between sebesar 0,0834 atau 41,6386 persen. Untuk tahun 2007, indeks theil within sebesar 0,1110 atau 57,2319 persen sedangkan untuk theil between sebesar 0,0830 atau 42,7681 persen. Untuk tahun 2008, indeks theil within sebesar 0,0835 atau 53,2834 persen sedangkan indeks theil between sebesar 0,0733 atau 46,7166 persen. Ditinjau dari besarnya persentase dekomposisi Indeks Theil dapat diketahui bahwa sumber disparitas yang berasal dari disparitas dalam Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Seperti terlihat Gambar 17.
Gambar 17. Komposisi Indeks Theil Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004 2009
76
Tabel 18 . Indeks Theil Between Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2004 - 2009 No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare Palopo
Theil Between 2004 -0.0025 -0.0059 -0.0039 -0.0075 -0.0051 -0.0114 -0.0028 -0.0051 0.0090 -0.0024 -0.0113 -0.0025 -0.0014 -0.0005 0.0045 -0.0037 -0.0039 -0.0066 -0.0099 * 0.0753 -0.0001 0.0008
Theil Between 2005 -0.0022 -0.0047 -0.0040 -0.0067 -0.0050 -0.0119 -0.0036 -0.0045 0.0068 -0.0023 -0.0124 -0.0033 -0.0018 -0.0005 0.0042 -0.0045 -0.0030 -0.0078 -0.0041 0.0700 0.0834 0.0005 0.0015
Theil Between 2006 -0.0021 -0.0065 -0.0037 -0.0069 -0.0047 -0.0113 -0.0038 -0.0044 0.0075 -0.0019 -0.0111 -0.0033 -0.0022 -0.0003 0.0035 -0.0042 -0.0031 -0.0091 -0.0039 0.0666 0.0863 0.0007 0.0012
Theil Between 2007 -0.0020 -0.0081 -0.0035 -0.0070 -0.0044 -0.0107 -0.0040 -0.0043 0.0083 -0.0016 -0.0098 -0.0034 -0.0025 -0.0003 0.0031 -0.0040 -0.0032 -0.0101 -0.0038 0.0627 0.0896 0.0009 0.0010
Theil Between 2008 -0.0021 -0.0065 -0.0023 -0.0072 -0.0043 -0.0121 -0.0033 -0.0047 0.0068 -0.0018 -0.0099 -0.0022 -0.0020 -0.0016 0.0024 -0.0036 -0.0026 -0.0082 -0.0038 0.0525 0.0898 0.0000 0.0002
Theil Between 2009 -0.0020 -0.0075 -0.0036 -0.0068 -0.0043 -0.0113 -0.0032 -0.0036 0.0087 -0.0010 -0.0110 -0.0019 -0.0021 0.0008 0.0044 -0.0038 -0.0005 -0.0090 -0.0029 0.0467 0.0922 0.0002 0.0005
Tabel 18 dan Gambar 19 menunjukkan bahwa Kota Makassar mempunyai konstribusi terbesar terhadap terjadinya ketimpangan antar Kabupaten/kota, yaitu sebesar 0,0753 di tahun 2004, 0,0834 di tahun 2005, 0,0863 di tahun 2006, 0,0896 di tahun 2007 dan 0,0898 di tahun 2008 dan 0.0922 untuk tahun 2009. Selanjutnya diikuti oleh daerah lainnya, yaitu Luwu Timur, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Palopo dan Kota Pare-Pare dan Sidrap. Khusus untuk Sidrap ini menjadi pemberi proporsi ketimpangan antara Kabupaten/kota pada tahun 2009 berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk daerah lainnya, menunjukkan belum optimal atau belum berkembangnya pembangunan di Kabupaten/kota tersebut.
77
Gambar 18. Peta Ketimpangan Daerah Dari Gambar 18, dapat diketahui bahwa ada 6 daerah yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Kota Makassar, Kabupaten Pangkajene dan Kep, Kota Pare-Pare, Kabupaten Pinrang, Kota Palopo dan Kabupaten Luwu Timur.
78
Tabel 19 . Indeks Theil Within Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Theil Within Standardized
Theil Within
Theil Within Standardized
Theil Within
Theil Within Standardized
Theil Within
Theil Within Standardized
2009
Theil Within
2008
Theil Within Standardized
2007
Theil Within
2006
Theil Within Standardized
2005
Theil Within
2004
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare
0.0703
0.0006
0.0482
0.0004
0.0425
0.0004
0.0464
0.0004
0.0864
0.0008
0.0468
0.0004
0.0112
0.0004
0.0193
0.0007
0.0064
0.0002
0.0458
0.0016
0.037
0.0013
0.0244
0.0009
0.0146
0.0002
0.0082
0.0001
0.0103
0.0002
0.0151
0.0002
0.0276
0.0004
0.0081
0.0001
0.0344
0.0007
0.0305
0.0006
0.042
0.0008
0.0549
0.001
0.0449
0.0008
0.0561
0.0010
0.0341
0.0006
0.0078
0.0001
0.0125
0.0002
0.019
0.0003
0.0197
0.0004
0.0173
0.0003
0.0163
0.0006
0.019
0.0007
0.0194
0.0007
0.0185
0.0007
0.03
0.0011
0.0123
0.0005
0.0255
0.0006
0.0325
0.0007
0.0385
0.0008
0.0417
0.0009
0.0374
0.0008
0.0407
0.0009
0.0632
0.0016
0.0387
0.0009
0.0573
0.0013
0.0874
0.002
0.0818
0.0019
0.0854
0.0020
0.3945
0.0201
0.4762
0.0241
0.3893
0.0196
0.3381
0.017
0.3275
0.0165
0.2623
0.0133
0.0124
0.0002
0.0149
0.0002
0.0144
0.0002
0.0322
0.0005
0.0211
0.0003
0.0148
0.0002
0.0333
0.0021
0.0306
0.0019
0.0446
0.0028
0.0826
0.0052
0.0367
0.0023
0.0454
0.0029
0.029
0.0007
0.0754
0.0018
0.0711
0.0017
0.0719
0.0017
0.0444
0.0011
0.0548
0.0014
0.0373
0.0019
0.0755
0.0038
0.0508
0.0025
0.0362
0.0018
0.0638
0.0032
0.0480
0.0024
0.0103
0.0003
0.0109
0.0003
0.0129
0.0004
0.0179
0.0005
0.0173
0.0005
0.0062
0.0002
0.0061
0.0003
0.0195
0.001
0.0102
0.0005
0.016
0.0008
0.0099
0.0005
0.0272
0.0014
0.0607
0.001
0.0698
0.0011
0.0806
0.0012
0.0977
0.0015
0.0779
0.0012
0.0938
0.0014
23
Palopo
No
Kabupaten/Kota
0.054
0.0018
0.037
0.0013
0.0566
0.0019
0.0737
0.0025
0.0518
0.0017
0.0325
0.0011
0.1168
0.0033
0.1666
0.0046
0.1627
0.0044
0.2023
0.0054
0.1472
0.0039
0.1748
0.0023
0.004
0.0001
0.0322
0.0009
0.0193
0.0006
0.0158
0.0005
0.0143
0.0004
0.0141
0.0004
0.6343
0.0696
0.509
0.056
0.4365
0.0477
0.3389
0.0337
0.4525
0.0412
*
*
0.0515
0.0146
0.0736
0.0211
0.0642
0.0187
0.0593
0.0175
0.0334
0.0102
0.0526
0.0167
0.0242
0.0004
0.1214
0.0018
0.0625
0.0009
0.0326
0.0005
0.0163
0.0002
0.0505
0.0008
0.0101
0.0002
0.042
0.0008
0.035
0.0006
0.0415
0.0007
0.0252
0.0005
0.0729
0.0013
0.0522
0.1387
0.1168
0.111
0.0835
Sumber : Hasil Analisis Indeks Theil, data diolah
Dari data pada tabel 19 diatas menunjukkan bahwa nilai indeks Theil Within Provinsi Sulawesi Selatan adalah 0,0522 di tahun 2004, 0,1387 di tahun 2005, 0,1168 di tahun 2006, 0,1110 di tahun 2007, 0,0835 di tahun 2008 dan 0,0931 di tahun 2009. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan di Internal kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Daerah dengan ketimpangan terbesar di tahun 2004 di dalamnya adalah Kabupaten Pangkep (0,201) dan Kota Makassar (0,0146). Untuk Kabupaten Pangkep sendiri, sektor yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan adalah sektor industri pengolahan dan sektor lainnya, begitu pula
0.0931
79
untuk Kota Makassar, sektor yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan adalah sektor industri pengolahan dan sektor lainnya. Tahun 2005, daerah dengan ketimpangan internal terbesar adalah Kabupaten Luwu Timur (0,0696), Kabupaten Pangkep (0,0241) dan Kota Makassar (0,0211), begitupula untuk tahun 2006, 2007 dan 2008. Sektor yang memberikan proporsi ketimpangan terbesar di Kabupaten Luwu Timur adalah sektor lainnya yang terdiri dari pertambangan, penggalian, transportasi, komunikasi, keuangan asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi, dan bisnis jasa. Kabupaten Luwu Timur terkenal dengan pertambangan nikel yang besar. Oleh sebab itu, sektor lainnya ini yang menjadi sektor dengan penyumbang terjadinya ketimpangan internal di kabupaten tersebut. Sektor lainnya ini terdiri dari pertambangan, penggalian dan transportasi, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi dan bisnis jasa. Sedangkan untuk Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar, sektor yang menjadi proporsi ketimpangan dalam kota ini adalah industri pengolahan dan sektor lainnya yang menjadi pemicu ketimpangan. Untuk Kabupaten Pangkep, sektor industri pengolahan yang sangat berkembang adalah pengolahan industri semen Tonasa. Sedangkan
untuk
melihat
seberapa
besar
perkembangan
aktivitas
perekonomian pada suatu wilayah dapat dianalisis dengan menghitung diversifikasi dengan konsep entropi. Prinsip indeks entropi ini adalah semakin beragam aktivitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah, yang berarti bahwa wilayah tersebut semakin berkembang. Aktivitas suatu wilayah dapat dicerminkan dari perkembangan sektor-sektor perekonomian dalam PDRB. Semakin besar indeks entropinya maka dapat diperkirakan semakin berkembang dan proporsional komposisi antara sektor-sektor perekonomian, dan sebaliknya semakin kecil indeksnya maka dapat diperkirakan terdapat sektor tidak beragam di wilayah tersebut. Hasil analisis indeks entropi total untuk seluruh Kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2004-2009 ditunjukkan pada Tabel 27. Dari hasil entropi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 27 dapat diketahui bahwa nilai entropi total provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2004 hinggga 2009 meskipun besarnya peningkatan nilai indeks tersebut tidak terlalu signifikan (yaitu sebesar 4,1497 menjadi 4,2125 di tahun
80
2009). Namun hal tersebut mencerminkan perekonomian di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami perkembangan, khususnya dilihat dari keberagaman jenis aktivitasnya. Tabel 20
Indeks Entropi Kabupaten/Kota Berdasarkan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009 Indeks Entropi
No
Kabupaten/ Kota
2004
2005
2006
2007
2008
2009
RataRata
1
Selayar
0,0586
0,0577
0,0573
0,0575
0,0576
0,0584
0,0579
2
Bulukumba
0,1649
0,1639
0,1643
0,1644
0,1609
0,1672
0,1643
3
Bantaeng
0,0836
0,083
0,0826
0,082
0,0794
0,0828
0,0822
4
Jeneponto
0,1054
0,1022
0,1005
0,0991
0,0947
0,0972
0,0999
5
Takalar
0,1036
0,1033
0,1028
0,1026
0,0986
0,102
0,1022
6
Gowa
0,1807
0,1807
0,1806
0,181
0,1757
0,1843
0,1805
7
Sinjai
0,1119
0,1114
0,1119
0,1115
0,1088
0,1131
0,1114
8
Maros
0,1317
0,1291
0,1272
0,1257
0,1205
0,1247
0,1265
9
Pangkep
0,2253
0,2239
0,223
0,2226
0,2163
0,2234
0,2224
10
Barru
0,0875
0,0871
0,0861
0,0852
0,0827
0,0852
0,0856
11
Bone
0,2705
0,2677
0,2676
0,2695
0,2627
0,2742
0,2687
12
Soppeng
0,1321
0,1297
0,1304
0,1298
0,1262
0,1309
0,1299
13
Wajo
0,2345
0,2343
0,2336
0,233
0,2263
0,2327
0,2324
14
Sidrap
0,1512
0,1535
0,1547
0,1539
0,1504
0,1562
0,1533
15
Pinrang
0,218
0,219
0,2169
0,2162
0,2102
0,2191
0,2166
16
Enrekang
0,0882
0,0884
0,0868
0,0862
0,083
0,0865
0,0865
17
Luwu
0,1583
0,1595
0,161
0,1613
0,1557
0,1611
0,1595
18
Tana Toraja
0,1421
0,1416
0,1395
0,1392
0,0757
0,0784
0,1194
19
Luwu Utara
0,1289
0,1349
0,1393
0,1411
0,1396
0,1454
0,1382
20
Luwu Timur
0,3168
0,3184
0,319
0,318
0,2951
0,2887
0,3093
21
Toraja Utara
0,0779
0,0804
0,0792
22
Kota Makassar
0,8651
0,8706
0,8799
0,8889
0,8841
0,9233
0,8853
23
Kota Pare-pare
0,088
0,0879
0,0883
0,0887
0,0851
0,0901
0,0880
24
Kota Palopo
0,1026
0,1039
0,104
0,1045
0,1021
0,1071
0,1040
Total
41.497
41.518
41.574
41.617
40.693
42.125
41.504
Provinsi Sulawesi Selatan
1,93
1,94
1,95
1,96
1,96
1,97
1,95
Sumber : Hasil Analisis Indeks Entropi data diolah Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari tahun 2004 hingga tahun 2009, nilai entropi tertinggi dan terendah dimiliki oleh daerah yaitu tertinggi oleh kota Makassar dan terendah oleh Kabupaten Selayar. Dengan angka terendah berturutturut dari 2004 hingga 2007 adalah 0.0586, 0.0577, 0.0573, 0.0575 dan 0,0584.
81
Nilai tertinggi berturut-turut dari tahun 2004 hingga 2009 di Makassar adalah 0.8651, 0.8706, 0.8799, 0.8841 dan 0,9233. Sedangkan untuk tahun 2008 terdapat perubahan untuk daerah dengan nilai entropi terendah yaitu pada Kabupaten Bantaeng sebesar 0.0576, dan di tahun 2009 Kabupaten Selayar menjadi yang terendah dengan nilai entropi 0,0584. Hal ini menunjukkan bahwa kota Makassar merupakan kota/ daerah yang paling berkembang dari wilayah lainnya dari aspek perekonomiannya dan tiap sektor perekonomiannya berkembang dengan baik (relatif merata) sehingga tidak didominasi oleh sektor-sektor tertentu saja, sedangkan untuk Kabupaten Selayar merupakan Kabupaten/daerah yang kurang berkembang sektor-sektor perekonomiannya, dan cenderung didominasi oleh sektor tertentu saja, yaitu sektor pertanian sebesar 39,34 persen dari total PDRB wilayahnya. Daerah yang memiliki nilai indeks entropi tinggi selain Makassar pada tahun 2008 adalah Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo. Sedangkan daerah yang memiliki nilai entropi rendah selain Kabupaten Selayar dan Kabupaten Tana Toraja, adalah Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Barru dan Kabupaten Enrekang. Secara umum perkembangan indeks entropi kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2004-2009 dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Perkembangan Entropi Kabupaten/Kota Tahun 2004 hingga 2009
Untuk melihat tingkat penyebaran setiap sektor yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat dari tabel
82
Tabel 21
Penyebaran Setiap Sektor Hasil Analisis Entropy Tahun 2004-2009
No
Sektor
2004
2005
2006
2007
2008
2009
RataRata
1
Pertanian
1,3249
1,3055
1,2745
1,2472
1,2429
1,2291
1,2707
2
Pertambangan dan Penggalian
0,2753
0,2742
0,275
0,275
0,261
0,2471
0,2679
3
Industri Pengolahan
0,514
0,5143
0,5128
0,5101
0,5108
0,5062
0,5114
4
Listrik, Gas dan Air Minum
0,0646
0,0637
0,0636
0,0639
0,0658
0,067
0,0648
5
Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi
0,2482
0,2541
0,2622
0,2719
0,2871
0,2982
0,2703
0,5773
0,5845
0,5927
0,5991
0,616
0,6305
0,6000
0,3209
0,3251
0,3242
0,3303
0,3359
0,342
0,3297
6 7 8
Keuangan, Perusahaan dan Jasa Perusahaan
0,2956
0,2962
0,3001
0,3095
0,319
0,3325
0,3088
9
Jasa-Jasa
0,5288
0,5343
0,5522
0,5547
0,5543
0,5597
0,5473
Sumber
Hasil Analisis Indeks Entropi, data diolah
Tabel 21 diatas menunjukkan bahwa perkembangan aktivitas di sebagian besar sektor cenderung belum merata. Sektor pertanian pada tahun 2009 memiliki nilai indeks entropi yang lebih besar dari yang lain yaitu sebesar 1,2291 menunjukkan bahwa penyebaran aktifitas setiap Kabupaten/kota di sektor pertanian cenderung merata dibanding sektor lainnya. Sektor yang paling tidak merata penyebaran aktivitasnya dapat dilihat pada tahun 2009 adalah sektor listrik, gas dan air minum, indeks entropi menunjukkan sebesar 0.0670 adalah nilai yang terendah diantara semua sektor. Pertanian sebagai sektor yang merupakan sektor utama negeri ini, sektor yang merupakan sektor yang lebih dulu dikenal oleh masyarakat Indonesia memiliki tingkat penyebaran yang cenderung merata di setiap Kabupaten/kota, sedangkan listrik, gas dan air minum cenderung tidak merata penyebaran aktivitasnya di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk melihat perkembangan seberapa maksimalkah perkembangan aktivitas ekonomi dan penyebaran ekonomi provinsi Sulawesi Selatan, dapat dilihat pada Tabel 22.
83
Tabel 22. Nilai Entropi Tahun 2004-2009 Tahun
Entropi Total
Entropi Maksimum
2004 2005 2006 2007 2008 2009
4.1497 4.1518 4.1574 4.1617 4.1929 4.2125
5.3327 5.3327 5.3327 5.3327 5.3753 5.3753
Perkembangan Wilayah (Indeks Diversitas Entropy) 0.7782 0.7785 0.7796 0.7804 0.7800 0.7837
Sumber : Hasil Analisis Entropi, data olah Perkembangan maksimal yang dapat diperoleh Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebesar 5,3327 untuk tahun 2004 hingga 2007 dan 5,3753 untuk tahun 2008 dan 2009, dimana hingga saat ini Provinsi Sulawesi Selatan memiliki total nilai entropi berkisar antara 4,1497 hingga 4,2125, menunjukkan belum maksimalnya perkembangan wilayah yang dilakukan. Meski dari tahun ke tahun ada peningkatan nilai total entropi yang ada tetapi perkembangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan masih berkisar antara 0.7782 hingga 0,7838. Hal ini menunjukkan masih perlunya Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengembangkan aktivitas perekonomian setiap Kabupaten/kota. Hasil ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 20. Nilai Entropi Total dari tahun 2004 hingga tahun 2009
84
5.2 Analisis Keuangan Provinsi Sulawesi Selatan Analisis sumber disparitas di Provinsi Sulawesi Selatan. Terkait dengan belanja yang digunakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang mencakup Rasio Belanja setiap sektor, baik yang terkait sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor sosial, sektor ekonomi dan infrastruktur umum.
Gambar 21. Perkembangan Persentase Alokasi Belanja per Urusan/Bidang Prov. Sulawesi Selatan 2007 hingga 2009 1. Rasio Belanja Sektor Pendidikan Rasio belanja yang terkait dengan sektor pendidikan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan masih belum memberikan belanja yang cukup dan memenuhi kebutuhan pendidikan. Hal tersebut secara terperinci ditunjukkan pada gambar 21 yang menerangkan perkembangan rasio belanja di urusan pendidikan selama kurun waktu 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009. Dari gambar 21 pada tahun 2009 pemerintah provinsi Sulawesi Selatan hanya megalokasikan 24,04 persen untuk keperluan belanja yang terkait dengan urusan pendidikan, mengalami penurunan dari tahun 2007 yang
85
sebesar 23,93 persen, dimana tahun 2008 dengan persentase terbesar yaitu sebesar 27,55 persen. 2. Rasio Belanja Kesehatan Masalah kesehatan selalu menjadi hal yang penting dalam suatu Negara, karena ini merupakan kebutuhan dasar bagi setiap masyarakat yang ada. Dalam hal ini pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan secara umum dalam melihat kebutuhan dalam hal kesehatan dapat terlihat dari rasio belanja urusan kesehatan ini yang terkait dengan belanja dalam kurun waktu 3 tahun dapat terlihat dari gambar 21. Dari Gambar 21 terlihat persentase belanja kesehatan untuk Provinsi Sulawesi Selatan yang pada tahun 2007 sebesar 8,35 persen, meski mengalami peningkatan di tahun 2008 tetapi alokasi untuk urusan kesehatan ini masih cukup kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran secara keseluruhan. Dimana untuk tahun 2008 dengan alokasi belanja kesehatan terkecil yaitu 9,2 persen dan di tahun 2009 sebesar 9,8 persen. 3. Rasio Belanja Ekonomi Rasio belanja urusan ekonomi juga mengalami fluktuasi yang cukup besar yang terjadi dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dimana kecenderungannya mengalami peningkatan di tahun 2008. Persentase terkecil berada di tahun 2007 sebesar 9,025 persen masih lebih besar daripada persentase urusan kesehatan. Dimana pada tahun 2008 mengalami kenaikan lagi menjadi 9,4210 persen. Perkembangan Rasio Belanja Ekonomi selama 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar 22. 4. Rasio Belanja Sosial Rasio belanja urusan sosial juga mengalami fluktuasi meski kecil yang terjadi dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dimana kecenderungannya mengalami penurunan di tahun 2008. Persentase terkecil berada di tahun 2008 sebesar 1,6260 persen. Dimana pada tahun 2009 mengalami kenaikan lagi menjadi 1,8515 persen. Perkembangan Rasio Belanja ekonomi selama 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar 21.
86
5. Rasio Belanja Infrastruktur Selain itu Rasio belanja infrastruktur selama tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan penurunan dari 19,98persen di tahu 2007, naik di tahun 2008 menjadi 20,06persen dan turun lagi di tahun 2009 menjadi 17,84persen. Secara terperinci di tunjukkan pada gambar 21. Yang kemudian dalam permodelan ekonometrika, faktor-faktor yang dibahas diatas yang dianggap menjadi sumber disparitas. Variabel-variabel yang diduga
menjadi
sumber-sumber
disparitas
pembangunan
wilayah
adalah
pertumbuhan PDRB (Y), rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, rasio belanja kesehatan, rasio belanja sosial,dan rasio belanja ekonomi. Disparitas pembangunan wilayah akan menggunakan indikator Indeks Williamson yang menunjukkan disparitas atau ketimpangan dari sisi pendapatan PDRB per kapita di Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun estimasi permodelan secara matematis dapat dilihat dibawah ini Iw = 2,12 - 0,190 Pertumbuhan PDRB - 0,0101 Rasio Infrastruktur - 0,0241 Rasio Pendidikan + 0,0836 Rasio Kesehatan - 0,03 Rasio Sosial + 0,181 Rasio Ekonomi Tabel
23
Analisis Ekonometrika Regresi Berganda Sumber Pembangunan Wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan
Variabel
Coef
t-stat
Prob (t-stat)
2,1209
3,38
Pertumbuhan PDRB
-0,18988
-2,34
0,000 0,000
Infrastruktur
-0,01011
-0,72
Pendidikan
-0,02411
-2,00
Kesehatan
0,08363
1,98
Sosial
-0,0312
-2,38
Ekonomi R2 F-Stat Prob (F-Stat)
0,18118 88,6 15,6 0,000
2,48
Constant
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2011
0,000 0,000 0,298 0,000 0,244
Disparitas
87
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diperoleh bahwa F-hitung untuk model sumber disparitas pembangunan 15,6, jika dibandingkan dengan nilai t-tabel pada tingkat signifikan 5 persen (2,447), nilai F-hitung yang diperoleh untuk model tersebut adalah lebih besar.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
PDRB, rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, rasio belanja kesehatan, rasio belanja sosial dan rasio belanja ekonomi secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat disparitas yang dinilai melalui indeks Williamson di Prov Sulawesi Selatan. Pada perhitungan model dapat diketahui bahwa variabel laju pertumbuhan PDRB memberikan pengaruh paling besar terhadap menurunnya angka disparitas, yakni 0,18988. Jadi jika terjadi peningkatan laju pertumbuhan PDRB 1 persen maka Indeks Williamson akan menurun sebesar 0,18988. Variabel independen lainnya yang juga mempengaruhi penurunan indeks Williamson adalah rasio belanja infrastruktur (0,01011) , rasio belanja pendidikan (0,02411), dan rasio belanja sosial (0,0312). Pertumbuhan PDRB di Provinsi Sulawesi Selatan secara sistematis oleh pertumbuhan PDRB akan ikut menurunkan tingkat disparitas pembangunan wilayah (Indeks Williamson). Ketimpangan proporsional pada PDRB per kapita secara signifikan menjadi salah satu sumber ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson di Provinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, tingkat ketimpangan pembangunan mampu ditekan sekecil mungkin dengan cara meningkatkan pertumbuhan PDRB dan juga memperkecil tingkat proporsional pada PDRB per kapita tiap-tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, rasio belanja sosial juga menjadi salah satu sumber disparitas, kurang diperhatikannya masalah-masalah sosial khususnya di daerah-daerah tertentu dibanding Kabupaten/kota yang lebih maju menjadi salah satu penyebab utama disparitas yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Rasio belanja pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu sumber utama terjadinya ketimpangan pembangunan. Perbedaan rasio belanja ini juga berimplikasi pada kondisi IPM daerah-daerah di sebelah utara dan sebelah selatan Sulawesi Selatan. Kondisi daerah-daerah di sebelah utara memiliki tingkat kualitas sumber daya manusia yang lebih baik jika dibandingkan daerah-daerah di
88
sebelah selatan. Maka salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan angka disparitas ini adalah dengan meningkatkan belanja pendidikan khususnya di daerah-daerah selatan dengan tingkat IPM-nya yang cenderung lebih rendah. Selain variabel-variabel diatas, rasio belanja infrastruktur juga merupakan salah satu penyebab terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan. Infrastruktur yang dimaksud berupa jalan, jembatan, listrik, saluran irigasi dan sumberdaya air bersih. Semakin baiknya kondisi infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini akan meningkatkan akses transportasi antar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga ini akan berdampak pada perbaikan pola interaksi dan meningkatkan pula investasi yang terjadi di daerah tersebut. Tumbuhnya investasi ini akan mendorong peningkatan kapasitas ekonomi lokal yang akan mampu meningkatkan PDRB setiap Kabupaten/kota. Rasio belanja kesehatan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat disparitas pembangunan wilayah yang diukur dengan Indeks Williamson Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga rasio belanja kesehatan ini bukan sumber utama terjadinya ketimpangan pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan, begitu pula halnya dengan rasio belanja ekonomi, tidak berpengaruh nyata terhadap disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan. 5.3 Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kabupaten/Kota Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengetahui perkembangan suatu
wilayah,
dapat
dilakukan
dengan
menganalisis
pencapaian
hasil
pembangunan melalui indikator-indikator kinerja di bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan. Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi pusat perkembangan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu
89
wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang lengkap akan menjadi daerah belakang (hinterland). Berdasarkan data Podes yang dianalisis, tingkat perkembangan wilayah dapat dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota (IPK). Pada analisis skalogram, semakin tinggi IPK maka semakin berkembang
atau
maju
kabupaten/kota tersebut, sehingga dapat menjadi pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya atau bagi wilayah yang memiliki nilai IPK yang lebih rendah. Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat konsentrasi penduduk (permukiman); pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri; (3) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland, dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi; (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma; (4) penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis. Setiap pemusatan itu akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif. Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah, disamping akan menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup juga akan menyebabkan dana dan sumber daya untuk pembangunan wilayah menjadi terbatas (Tarigan, 2002).
90
Tabel 24. Nilai IPK dan Jumlah Jenis Hasil Perhitungan Skalogram 2003 Kabupaten/ Jumlah Kota Penduduk 1 Pare-pare 107.791 2 Palopo 111.856 3 Makassar 1.130.343 4 Soppeng 224.177 5 Maros 277.910 6 Sidrap 241.708 7 Wajo 365.090 8 Gowa 524.020 9 Bone 665.728 10 Bulukumba 357.486 11 Luwu Utara 461.562 12 Barru 154.008 13 Takalar 234.306 14 Pinrang 313.789 15 Jeneponto 358.889 16 Selayar 104.040 17 Pangkajene 274.587 18 Enrekang 170.983 19 Bantaeng 162.859 20 Sinjai 206.936 21 Luwu 286.491 22 Tana Toraja 413.432 Sumber : Data diolah, 2010 No.
IPK 80,07 72,14 61,30 49,00 57,94 64,57 53,67 32,44 46,98 36,75 48,32 62,24 41,27 25,32 33,22 76,95 50,31 47,08 40,38 29,63 38,56 43,68
Jumlah Jenis Fasilitas/Infrastruktur 92 91 86 85 84 82 82 82 81 80 79 76 76 76 75 74 73 73 73 73 70 67
Berdasarkan jumlah jenis Kota Pare-Pare, Kota Palopo dan Kota Makassar memiliki jumlah jenis yang lebih besar jika dibandingkan Kabupaten lainnya. Ketiga kota ini memiliki perkembangan yang lebih maju jika dilihat dari banyaknya jumlah fasilitas. Ketiga kota ini cenderung menjadi daerah yang bersifat pusat kegiatan bagi daerah-daerah di sekelilingnya maupun daerah yang dapat memberikan pelayanan bagi daerah di sekelilingnya. Baik itu pelayanan dari segi pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Pola ketersediaan infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini dapat dilihat pada Gambar 22.
91
Gambar 22. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2003 Peta skalogram berdasarkan jumlah jenis dapat terlihat (Gambar 22) daerahdaerah yang memiliki jumlah fasilitas yang ada di kelas kedua yaitu yang tersebar merata mengelilingi Kota Pare-Pare dan Kota Makassar, sedsangkan Kota Palopo dikelilingi daerah-daerah yang terkategori di kelas ketiga. Kecuali daerah-daerah seperti Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Selayar, Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Sinjai yang berada di sebelah selatan Pulau Sulawesi ini cenderung memiliki jumlah fasilitas yang lebih sedikit jenisnya. Daerah-daerah ini memiliki jarak yang jauh dari ibukota Provinsi. Sedangkan untuk melihat ketersediaan infrastruktur berdasarkan sektor aktivitas pendidikan, kesehatan, sosial dan
92
ekonomi ini dapat dilihat Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota bidang yang dominan seperti yang ditunjukkan Gambar 23.
Gambar 23. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2003
Berdasarkan jumlah jenis yang dominan di tahun 2003 dari data yang berasal dari IPK sosial, sebagian besar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki jumlah IPK sosialnya dominan dibandingkan IPK lainnya, kecuali Kota Makassar yang didominasi oleh IPK kesehatan, Kabupaten Enrekang oleh IPK pendidikan serta Kota Pare-Pare dan Kota Palopo IPK pendidikan. Ketersediaan IPK kesehatan dan pendidikan lebih baik dimiliki oleh ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan di Kabupaten/kota lainnya
93
perkembangan IPK Sosial belum diimbangi oleh IPK pendidikan, kesehatan maupun ekonomi. Sedangkan ketersediaan infrastruktur berdasarkan jumlah jenis yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan di tahun 2006 berdasarkan hasil perhitungan Skalogram 2006 adalah dapat terlihat pada peta di bawah (Gambar 24).
Gambar 24. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2006
Ketersediaan infrastruktur di setiap Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan tahun 2006 dengan jumlah jenis fasilitas yang masuk pada kelas pertama dengan total berkisar antara 91-99 jenis berada hampir di sebagian besar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebanyak 13 Kabupaten dan 2 kota. Sedangkan untuk Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Selayar, Kabupaten Tana Toraja, dan Kabupaten
94
Enrekang menjadi daerah yang memiliki jumlah jenis fasilitas yang lebih sedikit atau berada pada kelas 2 dimana daerah-daerah ini merupakan daerah-daerah yang memiliki produktivitas rendah terlihat dari nilai kontribusi PDRB terhadap Sulawesi Selatan secara keseluruhan. Yang menarik terjadi di Kabupaten Maros meskipun Kabupaten Maros merupakan daerah yang berbatasan dengan Kota Makassar dan berjarak 21 Km dan menjadi lebih dekat dengan adanya fasilitas jalan TOL menuju Maros-Makassar, tidak serta merta membuat Maros di tahun 2003 dan 2006 memiliki jumlah jenis fasilitas yang tinggi. Dikarenakan masyarakat Kabupaten Maros sendiri lebih sering menikmati fasilitas di Kota Makassar dibanding di Kabupaten Maros sendiri. Sementara untuk melihat Ketersediaan Infrastruktur berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota yang dibagi kedalam 4 sektor, yaitu: IPK pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat terlihat dari pada peta di bawah ini (Gambar 25).
Gambar 25.
Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2006
95
Dari peta mengenai Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota yang terkait 4 sektor IPK pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat dilihat bahwa kondisi yang mendominasi pembangunan infarastruktur di sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah dengan melihat IPK ekonomi yang dominan di 14 Kabupaten/kota yang ada. Dan IPK Pendidikan memperlihatkan kondisi yang semakin membaik dengan munculnya 8 daerah yang dominan nilai IPK pendidikannya. Sementara untuk IPK kesehatan yang dominan berada di Kabupaten Soppeng. Terlihat masih rendahnya fokus pembangunan di Bidang Kesehatan hampir di seluruh Kabupaten/kota yang ada. Kondisi ketersediaan infrastruktur yang ada di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 dipetakan berdasarkan jumlah jenis infrastruktur yang ada (Gambar 26).
Gambar 26. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2008
Berdasarkan jumlah jenisnya ketersediaan infrastruktur di Kota Pare-Pare, Kota Palopo dan Kabupaten Sidrap memiliki jumlah yang lebih lengkap
96
dibandingkan dengan Kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan jika dilihat dari sisi jumlah jenis. Sementara 9 Kabupaten/kota berada di kelas 2 dengan jumlah jenis berkisar 56 – 63 dan sebanyak 11 Kabupaten yang berada di kelas dengan jumlah jenis yang paling sedikit. Jumlah infrastruktur yang paling sedikit umumnya berada di bagian paling utara yang berada di sekitar kota Palopo dan di bagian Selatan yang berada di sekitar kota Makassar. Dari daerah-daerah yang memiliki ketersedian infrastruktur ini dapat diamati sektor apa yang kemudian di tahun 2008 dominan, seperti terlihat pada peta di bawah (Gambar 27).
Gambar 27. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2008
Dari peta diatas terlihat ketersediaan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan terkait IPK pendidikan, kesehatan dan IPK ekonomi cenderung lebih
97
merata. IPK Pendidikan didominasi di 13 Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan. Kondisi IPK pendidikan
yang semakin membaik, IPK ekonomi di
dominasi di 8 Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan dan Kesehatan hanya sebanyak 2 Kabupaten 5.4
Analisis Pola Interaksi Antar Kabupaten/Kota Pendugaan keterkaitan antar wilayah ditinjau berdasarkan asal-tujuan
perjalanan orang, digunakan variabel jarak (dalam satuan kilometer) dengan memperhitungan pengaruh infrastrukur pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Setelah dilakukan pemrosesan data dengan menggunakan analisis entopi interaksi spasial dengan sowtware statistica, dengan melakukan 5 kali pemrosesan, maka diperoleh hasil estimasi untuk setiap model. Maka peningkatan fasilitas ekonomi tidak mendorong terjadinya interaksi yang berlebih karena pada angka di bawah nilai estimasi untuk ekonomi bernilai negatif (-11,2144). Dari hasil ini juga dapat dilihat bahwa adanya kecenderungan pemusatan ekonomi pada wilayah tertentu sehingga tidak memberikan nilai interaksi yang lebih untuk sektor ekonomi (bernilai negatif). Sedangkan peningkatan infrastruktur pendidikan, peningkatan infrastruktur kesehatan dan peningkatan infrastruktur sosial memberikan nilai estimasi yang cenderung lebih baik jika ketiga infrastruktur ini diberikan perhatian khusus. Karena dengan mengembangkan ketiga sektor ini maka akan meningkatkan pola interaksi diantara Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara umum, motif pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan adalah faktor ekonomi. Dari hasil analisis Interaksi spasial ini akan diperoleh dugaan bernilai negatif maupun positif. Nilai negatif di setiap dugaan baik daerah asal maupun daerah tujuan mengindikasikan bahwa penambahan daya tarik atau daya dorong tidak akan memperluas atau menambah interaksi secara kesuluruhan berbeda halnya dengan dugaan yang bernilai positif di daerah asal maupun daerah tujuan maka penambahan daya tarik ataupun daya dorong di Kabupaten/kota tersebut maka akan meningkatkan interaksi secara
keseluruhan di Provinsi Sulawesi
Selatan. Hasil analisis secara rinci terlihat pada Tabel 25.
98
Tabel 25. Hasil Dugaan Analisis Entropi Interaksi Spasial No Kabupaten/Kota
Dugaan Asal
Kabupaten/Kota
Dugaan Tujuan
50.105 14.844 Jeneponto Luwu Utara 18.299 14.170 Selayar Bone 15.085 13.480 Luwu Timur Luwu Timur 0,967 13.216 Wajo Gowa 5 0,9667 10.798 Bone Tana Toraja 6 0,6279 10.463 Tana Toraja Bulukumba 7 0,5711 0,7715 Luwu Utara Wajo 8 0,4845 0,7004 Barru Takalar 9 0,4636 0,6425 Soppeng Luwu 10 Pinrang 0,1922 0,6256 Bantaeng 11 Palopo 0,0000 0,5761 Maros 12 Gowa -0,0475 Enrekang 0,4457 13 Pangkep -0,1123 Pinrang 0,4412 14 Makassar -0,6322 Jeneponto 0,3733 15 Enrekang -0,772 0,2312 Pangkep 16 Bantaeng -0,8631 Sinjai 0,1066 17 Bulukumba -11.777 Palopo 0,0000 18 Takalar -13.744 Soppeng -0,0069 19 Sidrap -18.363 Pare-pare -0,0237 20 Pare-pare -20.824 Barru -0,1312 21 Sinjai -22.318 Sidrap -0,208 22 Maros -24.522 Makassar -16.186 -26.341 Selayar -17.228 23 Luwu Sumber data : Hasil Analisis Entropi Interaksi Spasial, 2009 1 2 3 4
Hasil interaksi tersebut juga menunjukkan bahwa Kota Makassar dan Kota Pare-Pare, serta Kabupaten Sidrap memiliki daya dorong (-) dan daya tarik (-) kota ini dikatakan mandiri, maka kedua kota ini telah tumbuh menjadi pusat pertumbuhan sendiri sehingga peningkatan kapasitas supply dan demand tak akan mempengaruhi interaksi. Kota Makassar yang merupakan ibukota provinsi dari Sulawesi Selatan kemudian telah berkembang lebih dahulu dibandingkan daerah lainnya, kondisi sektor-sektor yang berkembang pun cenderung lebih merata dibandingkan daerah lainnya. Sedangkan untuk kabupaten Sidenreng Rappang memiliki hasil yang sama dengan Kota Makassar dan Kota Pare-Pare. Daerah ini telah berkembang dan menjadi pusat pertumbuhan sendiri dan cenderung menjadi daerah yang lebih
99
mandiri. Sehingga peningkatan supply dan demand tidak akan mempengaruhi interaksi. Sedangkan untuk daerah-daerah yang bernilai (+) pada perkiraan daerah asal, seperti Jeneponto, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Pinrang, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur dan Palopo adalah daerah-daerah yang perlu adanya peningkatan daya dorong, karena dengan daya dorong ini akan meningkatkan pola interaksi antara daerah-daerah ini dengan daerah-daerah lainnya. Bila interaksi spasial atau pengembangan wilayah di Kabupaten/kota tersebut ditingkatkan, maka pengaruh pengembangan di wilayah penelitian secara keseluruhan dapat terlihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Peta Interaksi Kabupaten/Kota (Dugaan Asal) Jeneponto yang memiliki nilai dugaan tertinggi, dikaitkan dengan rendahnya PDRB per kapita, dan terbatasnya kemampuan wilayahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Oleh karena itu, apabila di wilayah ini
100
dilakukan kegiatan yang dapat meningkatkan daya dorong, maka akan terjadi peningkatan interaksi spasial dan diduga wilayah penelitian secara keseluruhan akan semakin berkembang. Pada Kabupaten Luwu Timur, kehadiran pertambangan nikel di daerah ini, diduga hasil dari nilai tambah pertambangan ini tidak mengalir menuju wilayah bersangkutan, tetapi di luar wilayah, dimana PDRB per kapita Luwu Timur yang tertinggi tahun 2008 (Rp. 18.584.100,-) di duga pendapatan tersebut tidak mengalir ke wilayah sekitarnya. (Kabupaten Luwu Utara yang mempunyai PDRB per kapita jauh lebih kecil Rp. 4.690.100,-). Sedangkan untuk daerah-daerah dugaan asal (+) seperti
Kabupaten
Jeneponto dan Kabupaten Selayar memiliki karakteristik daerah yang kurang berkembang untuk 2 wilayah ini sehingga peningkatan daya dorong di daerah ini bisa meningkatkan interaksi yang ada secara keseluruhan. Sedangkan daerah seperti Kabupaten Tana Toraja yang memiliki jarak daerah yang cukup jauh dimana pariwisata di daerah ini berkembang cukup pesat tetapi dari segi pembangunan dan aktivitas daerahnya daerah ini masih kurang berkembang, sehingga peningkatan daya dorong dapat meningkatkan interaksi yang ada. Begitupula halnya yang terjadi di Kabupaten Bone, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Wajo, dimana sektor yang berkembang adalah sektor pertanian yang berkisar 40 persen hingga 50 persen. Jika daya dorong di daerah ini ditingkatkan maka akan terjadinya peningkatan interaksi. Untuk daerah-daerah yang memiliki nilai (+) pada perkiraan tujuan seperti Bulukumba, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkajene, Bone, Wajo, Pinrang, Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo daya tariknya ditingkatkan, maka akan meningkatkan interaksi. Apabila kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan “daya tarik tujuan perjalanan penumpang (misalnya penyediaan lapangan kerja) lebih dikonsentrasikan pada wilayah dengan nilai dugaan (+) maka akan terjadi peningkatan interaksi. Gambaran daerah-daerah ini dapat kita lihat pada peta dugaan tujuan Gambar 29.
101
Gambar 29. Dugaan Daerah Tujuan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Lebih lanjut, untuk daerah Kabupaten Selayar, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng jika daya tarik ditingkatkan tidak membawa peningkatan interaksi pada daerah ini. Ketiga kabupaten ini tergolong daerah dengan kondisi yang kurang berkembang dimana sumbangan Kabupaten Selayar dan Kabupaten Barru ini terhadap PDRB Sulawesi Selatan juga sangat kecil. Selain itu untuk daerah dengan nilai (+) ini memiliki potensi daerah yang baik untuk dikembangkan sehingga peningkatan daya dorong ini akan meningkatkan interaksi yang ada.
102
5.4 Analisis Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan yang terjadi secara umum telah menimbulkan ketimpangan dalam prosesnya yang jika diamati dalam 6 tahun terakhir 2004 hingga 2009 memberikan gambaran yang sangat fluktuatif dengan kecenderungan yang terus meningkat. Ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki nilai yang cukup tinggi berada di atas ketimpangan yang terjadi di KBI (Kawasan Barat Indonesia) meski berada di bawah ketimpangan nasional untuk tahun 2006. Kecenderungan ini jika tidak cepat diminimalisir akan cenderung semakin memburuk dan membahayakan stabilitas pembangunan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketimpangan yang secara umum terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan ini tidak terlepas dari andil 3 kota besar yang memperparah kondisi ketimpangan yang ada yaitu Kota Makassar, Kota Pare-Pare, dan Kota Palopo. Hadirnya 3 kota besar ini menyebabkan ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kecenderungan peningkatan selama 6 tahun terakhir. Meski ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan nilai yang relative tetap, namun hal ini perlu diatasi. Ketimpangan terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan yang memberikan proporsi terhadap ketimpangan yang ada adalah ketimpangan antar sektor dalam kabupaten/kota tersebut. Hal ini diperkuat dengan melihat perkembangan aktivitas ekonomi yang belum mencapai maksimal untuk Provinsi Sulawesi Selatan dan perkembangan setiap sektor yang cenderung kurang merata. Sektor pertanian merupakan sektor yang lebih merata dibandingkan sektor lainnya. Sedangkan sektor listrik, gas dan air minum adalah sektor yang paling tidak merata penyebaran aktivitasnya di seluruh kabupaten/kota yang ada. Hadirnya ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan selain dilihat dari aktivitas ekonominya juga bisa dilihat dari realisasi alokasi dana belanja pemerintah daerah yang tertuang dalam APBD setiap kabupaten/kota. Alokasi dana belanja ini merupakan stimulus setiap daerah dalam mewujudkan pembangunan daerahnya yang dapat diukur dengan pertumbuhan PDRB. Alokasi belanja yang kemudian disederhanakan menjadi beberapa urusan/bidang yang umum dibutuhkan dalam
103
menciptakan pembangunan yaitu terkait belanja infrastruktur, belanja pendidikan, belanja kesehatan, belanja sosial dan belanja ekonomi. Dari urusan/bidang yang ada ini kemudian dapat disimpulkan bahwa yang memiliki pengaruh yang besar terhadap menurunnya angka disparitas selain pertumbuhan PDRB adalah rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, dan rasio belanja sosial. Meskipun rasio belanja kesehatan tidak signifikan memberikan pengaruh terhadap menurunnya angka disparitas tetapi dari hasil yang ditunjukkan dapat diketahui bahwa Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan ini masih memiliki jumlah infrastruktur kesehatan sangat minim yang terlihat dari nilai IPK kesehatan yang dimiliki di setiap Kabupaten/kota. Tiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Kota Palopo, dan Kota Pare-Pare memiliki perkembangan yang lebih baik dari Kabupaten yang ada. Dilihat dari besarnya kontribusi PDRB terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, perkembangan aktivitas ekonomi yang terkait aktivitas setiap sektor yang lebih merata dan berimbang, ketidakberimbangan yang terjadi ini kemudian menjadi hal yang dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan. Begitupula halnya dengan ketersediaan infrastruktur yang ada di ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini. Ketiganya memiliki jumlah jenis fasilitas yang lebih lebih baik dengan kategori paling banyak jumlah jenisnya jika dibandingkan dengan seluruh kabupaten yang ada. Ketersediaan infrastruktur yang lebih baik ini merupakan hal yang dapat memicu terjadinya ketimpangan. Diperkuat dengan melihat pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan yang cenderung masih sangat kuat motif ekonominya, hadirnya infrastruktur ekonomi di suatu daerah tidak mempengaruhi interaksi yang ada karena urusan ekonomi ini hanya difokuskan pada daerah-daerah tertentu saja, hal ini akan mengakibatkan eksploitatif yang besar. Hadirnya ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini ternyata tidak memberikan hasil yang baik bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros yang ada di sekitarnya. Karakteristik kedua daerah ini yang masih dominan oleh sektor pertanian, membuat perkembangan aktivitas ekonomi per sektornya tidak lebih baik dari daerah-daerah yang berada di utara Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Pinrang, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone.
104
dan Kabupaten Pangkep. Begitupula yang terlihat dari ketersediaan infrastruktur yang dapat dilihat dari jumlah jenis yang ada, Kabupaten Maros, masih cenderung tidak seperti Kota Makassar dan Kabupaten Gowa perkembangannya.
Meski
demikian peningkatan daya tarik yang ada di kedua Kabupaten ini memungkinkan terjadinya interaksi. Peningkatan daya tarik ini, diharapkan memberikan rangsangan terhadap sumber daya yang ada di kedua daerah ini agar dapat maksimal dimanfaatkan di daerah ini agar kebocoran daerah di kedua daerah ini bisa dicegah. Sedangkan untuk daerah-daerah yang terletak di sebelah selatan yang memiliki perkembangan yang rendah dibandingkan di daerah utara Sulawesi Selatan ini. Seperti Kabupaten Selayar dan Kabupaten Jeneponto, dimana rendahnya perkembangan aktivitas ekonomi dan juga rendahnya kualitas sumber daya manusia serta karakteristik daerah yang kurang subur cenderung menjadi daerah kering jika dilihat dari gambaran umum daerah ini, membuat kedua daerah ini menjadi daerah memiliki perkembangan yang paling kecil jika dibandingkan Kabupaten lainnya. Tidak meratanya aktivitas penyebaran ekonomi setiap sektor juga menjadi penyebab kurang berkembangnya daerah ini, sehingga peningkatan daya dorong dari kedua daerah ini dapat meningkatkan interaksi yang terjadi antara kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini juga dikarenakan karena terbatasnya daerah ini dalam memenuhi kebutuhan penduduknya. Untuk Kabupaten Luwu Timur yang memiliki SDA yang lebih baik, belum bisa memberikan hasil yang lebih baik bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti Kabupaten Luwu Utara, terlihat dari PDRB per kapita yang cenderung paling tinggi di tahun 2008 dan tertinggi menurut rata-rata 5 tahun terakhir ini dibandingkan PDRB per Kapita Luwu Utara yang jauh lebih kecil. Meski tingginya PDRB dan PRDB per Kapita di Luwu Timur ini tidak diikuti dengan peningkatan ketersediaan infrastruktur yang lebih baik. Sehingga mendorong pergerakan manusia keluar dari Luwu Timur adalah salah satu cara untuk meningkatkan interaksi antar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Potensi tambang yang ada di Luwu Timur menjadi sektor yang memiliki proporsi terbesar dalam menciptakan ketimpangan.
105
Begitupula yang terjadi di Kabupaten Pangkep, adanya industri pengolahan semen tonasa yang ada di Kabupaten Pangkep memberikan proporsi terbesar bagi ketimpangan yang ada di dalam Kabupaten Pangkep. Tingginya PDRB per kapita yang dimiliki Kabupaten Pangkep serta kontribusi yang besar yang dimiliki Kabupaten Pangkep tidak serta merta memperbaiki ketersedian infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
Sektor pengolahan ini yang memberikan
kontribusi yang terbesar, meski demikian Kabupaten Pangkep memiliki perkembangan aktivitas yang cukup merata. Karena besarnya potensi lapangan kerja yang ada di Kabupaten Pangkep maka untuk meningkatkan intreraksi yang ada perlunya mengembangkan daya tarik di Kabupaten/kota ini. Kabupaten Sidrap, Kabupaten Bone dan Kabupaten Wajo adalah daerahdaerah dengan perkembangan sektor pertanian dimana ketiga daerah ini merupakan daereh lumbung beras Provinsi Sulawesi Selatan. Perkembanagan aktivitas ekonomi ketiga daerah ini pun cukup merata dibandingkan daerah lainnya. Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Tana Toraja dengan luas yang cukup besar, bahkan Luwu Utara menjadi kabupaten yang terluas, masih
sangat
perlu
mengembangkan
aktivitas
sektor-sektornya
karena
perkembangannya masih sangat kurang, selain itu ketiga daerah ini perlunya pengembangan daya dorong dan daya tarik agar tercipta interaksi yang semakin baik dan semakin sinergis antara Kabupaten/kota yang ada. Sedangkan untuk daerah-daerah yang berada di selatan Sulawesi Selatan seperti Kabupaten Takalar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba perlu pengembangan yang maksimal dalam aktivitas-aktivitas ekonominya karena kecenderungan memiliki perkembangan yang masih lebih kecil jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah di selatan Sulawesi Selatan. Meski kurangnya daya tarik berupa sumber daya alam yang ada, kondisi infrastruktur yang kurang memadai, kecuali Bulukumba yang memiliki perkebunan yang cukup besar, dengan adanya perkebunan-perkebunan nasional yang ada di sana sebaiknya bisa dikembangkan untuk meningkatkan daya tarik agar interaksi yang terjadi meningkat dan memberikan nilai tambah yang baik.
106
Kabupaten Pinrang sebagai daerah yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat yang juga termasuk daerah yang memberikan kontribusi terhadap Sulawesi Selatan yang cukup besar jika dibandingkan Kabupaten lainnya, juga merupakan daerah-daerah lumbung beras Provinsi Sulawesi Selatan dengan kontribusi sektor pertanian sebesar kurang lebih 60 persen.
Pinrang ini memiliki ketersediaan
infrastruktur yang cenderung baik dengan kondisi perkembangan Kabupaten lebih kepada sektor ekonomi. Perkembangan aktivitas-aktivitas ekonomi juga cenderung lebih merata. Kabupaten Pinrang perlu meningkatkan daya tarik dan daya dorongnya agar tercipta interaksi yang lebih baik antar Kabupaten/kota. Secara umum, meski sektor pertanian menjadi sektor yang paling besar memberikan kontribusi terhadap PDRB Sulawesi Selatan secara keseluruhan tetapi sektor ini memberikan proporsi yang sangat kecil terhadap ketimpangan sektoral dalam wilayah Kabupaten/kota yang ada. Pentingnya tetap menjaga sektor pertanian sebagai leading sektor perekonomian di Sulawesi Selatan dengan diikuti pengembangan sektor-sektor lainnya dengan potensi masing-masing daerah untuk dikembangkan. Sektor listrik, gas dan air minum perlu mendapatkan perhatian khusus dalam pengembangannya di setiap Kabupaten/kota agar penyebarannya menjadi lebih merata. Selain itu, perlunya pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan dan sosial di setiap daerah bukan saja diwujudkan dengan pembangunan infrastruktur ekonomi sehingga dapat meningkatkan interaksi yang terjadi kearah yang lebih baik.
Sintesis dan Alternatif Upaya Mengurangi Tingkat Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan Ketimpangan pembangunan antar Kabupaten/kota merupakan fenomena universal yang hampir selalu terjadi pada suatu wilayah, namun pada tingkat yang lebih lanjut dapat berimplikasi terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan lainnya, bahkan memicu terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu upaya mengurangi ketimpangan merupakan salah satu aspek penting dalam kebijakan pembangunan guna mewujudkan pemerataan
dan mendistribusikan hasil-hasil
pembangunan. Pemerataan pembangunan (equity) bukan berarti identik dengan
107
persamaan pembangunan tetapi lebih kearah mewujudkan adanya keseimbangan yang proporsional antara kemajuan suatu kabupaten/kota dengan Kabupaten/kota lainnya, sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Dinamika pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, begitupula halnya dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di masing-masing Kabupaten/kota. Hal tersebut juga dapat diamati dari tingkat perkembangan aktivitas perekonomian wilayah di masing-masing kabupaten/kota. kabupaten/kota
tetapi
secara
Meskipun cenderung fluktuatif untuk tiap keseluruhan
terdapat
peningkatan
aktivitas
perekonomian (berdasarkan hasil analisis indeks diversitas entropi). Meskipun dalam peningkatannya masih belum diimbangi dengan pemerataan perkembangan aktivitas ekonomi yang dimiliki masing-masing sektor. Sektor Pertanian yang menyerap kurang lebih 50 persen tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Selatan ini yang mendominasi karakteristik perkembangan aktivitas di Sulawesi Selatan dan cenderung lebih merata, merupakan sektor yang perlu mendapat perhatian khusus karena dari sisi kontribusi saat ini terdapat penurunan hingga 31 persen kontribusi untuk PDRB Provinsi Sulawesi Selatan. Rendahnya kontribusi sektor pertanian khususnya daerah-daerah dengan dominasi sektor pertanian kiranya dapat meningkatkan produktivitas daerahnya, dengan tidak hanya mengahasilkan bahan mentah untuk daerahnya tetapi juga dapat mengolah bahan mentah ini menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi agar nantinya menciptakan nilai tambah yang jauh lebih besar. Selain itu pengembangan sektorsektor lainnya juga dapat diberi perhatian sehingga distribusi penyebarannya dapat menjadi lebih baik. Sementara itu, hasil analisis dengan menggunakan indeks Willamson dan indeks Theil entropy berhasil membuktikan hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian tentang dugaan adanya ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan dan seluruh kabupaten/kota yang ada. Dari ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan yang ditunjukkan dengan nilai Indeks Williamson ini kemudian ditelaah lebih dalam dan kemudian dapat diketahui bahwa yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan yang terjadi adalah
108
ketimpangan dalam Kabupaten/kota (within sektoral) yang lebih ditunjukkan oleh ketimpangan antar sektor dalam kabupaten/kota tersebut nilai yang lebih besar dibandingkan dengan ketimpangan yang terjadi antara Kabupaten/kota (between regions). Selain itu dari permodelan ekonometrika yang dilakukan dalam penelitian ini juga berhasil menguji beberapa variabel yang diduga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah yang ditinjau dari besarnya realisasi belanja APBD yang dihabiskan dalam membiayai pembangunan. Berdasarkan model tersebut dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap penurunan ketimpangan adalah pertumbuhan PDRB, rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, dan rasio belanja sosial. Pertumbuhan penduduk ini meski berpengaruh terhadap penurunan tingkat disparitas belum merupakan syarat cukup, perlu pula diimbangi dengan faktorfaktor lain yang berpengaruh terhadap ketimpangan. Faktor lain yang coba dikaji yang disinyalir menjadi hal yang memicu terjadinya ketimpangan adalah ketersediaan infrastruktur yang ada di setiap Kabupaten/kota. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa daerah yang memiliki tingkat ketersediaan infrastruktur yang lebih baik memiliki tingkat perkembangan aktivitas perekonomian dan aktivitas sosial lainnya yang lebih baik.
Keberadaan
infrastruktur disini merupakan hal yang mutlak diperlukan dan kekurangan infrastruktur ini akan menghambat ekonomi nasional untuk berkembang. Hasil ini juga sekaligus membuktikan hipotesis kedua yang dirumuskan pada penelitian ini, yaitu terdapat perbedaan ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana terkait fasilitas pendidikan dan kesehatan serta aksesibilitas setiap kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Penyebaran aktivitas ekonomi yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan masih kurang optimal. Oleh karena itu dibutuhkan interaksi spasial yang optimal, sehingga keterkaitan antar wilayah dapat berlangsung secara dinamis dan ketimpangan yang terjadi dapat diminimalisir. Interaksi spasial dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode interaksi spasial dengan kendala ganda dengan
melihat
pengaruh jarak terhadap kendala-kendala keberimbangan
109
infarstruktur yang ada di setiap kabupaten/kota yang terkait sektor dasar yang dibutuhkan dalam pembangunan, sektor pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Dari hasil analisis ini diperoleh bahwa kota-kota yang memiliki ketersediaan infrastruktur yang lebih baik seperti Kota Makassar dan Kota Pare-Pare cenderung lebih mandiri dibanding Kabupaten yang lainnya. Kota besar inipun cenderung menjadi kota yang memberikan sumbangan ketimpangan yang besar untuk Provinsi Sulawesi Selatan yang jika diamati lebih lanjut dengan mengeluarkan kota-kota besar ini membuat ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan cenderung mengalami perbaikan. Khusus untuk daerah-daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang kecil serta penyebaran aktivitas yang belum merata terutama daerah-daerah di sebelah selatan Kota Makassar perlu adanya peningkatan daya dorong sehingga interaksi yang terjadi bisa lebih dinamis. Sedangkan untuk daerah-daerah di utara Provinsi Sulawesi Selatan, peningkatan daya tarik merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam menciptakan sinergitas pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga tercipta keterkaitan antar wilayah (interaksi spasial) yang saling memperkuat. Berdasarkan upaya di atas, secara sederhana dapat dirumuskan alternatif upaya-upaya dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar Kabupaten/kota, antara lain: (1)
Mendorong bentuk-bentuk pertumbuhan ekonomi yang lebih
berkualitas dalam menciptakan keberimbangan struktur ekonomi Kabupaten/kota dan keberimbangan antar Kabupaten/kota; (2) Meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk daerah-daerah yang tertinggal, dan (3) Meningkatkan interaksi untuk daerah-daerah yang membutuhkan optimalisasi peningkatan daya dorong dan daya tarik sehingga ketimpangan dapat diminimalisir.
110
111
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa telah terjadi ketimpangan pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Penyebab ketimpangan terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan adalah ketimpangan antar sektor yang terjadi di dalam Kabupaten/kota Perkembangan aktivitas ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan belum mencapai maksimal dan perkembangan setiap sektor yang cenderung kurang merata. Sektor pertanian
merupakan sektor yang
lebih
merata penyebaran aktivitasnya
dibandingkan sektor lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk sektor listrik, gas dan air minum adalah sector yang paling tidak merata penyebaran aktivitasnya di seluruh Kabupaten/kota yang ada. Apabila dilihat dari struktur keuangan daerah, ketimpangan yang terjadi juga dapat bersumber dari belanja realisasi APBD yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Dari hasil yang diperoleh, realisasi belanja dari bidang/urusan-urusan besar terkait belanja pendidikan, belanja kesehatan, belanja ekonomi , belanja sosial dan belanja infrastruktur juga menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB, belanja infrastruktur, belanja pendidikan dan belanja sosial merupakan sumber utama terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketimpangan yang sama juga diperoleh dari analisis skalogram yang dapat melihat ketersediaan infrastruktur yang terkait pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Dari hasil skalogram ini diperoleh informasi bahwa perkembangan kondisi ketersediaan infrastruktur di kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan sangat bervariasi. Hal ini sangat jelas terlihat dari perbedaan ketersediaan infrastruktur antara kota dan kabupaten yang ada. Dengan pola pengembangan pembangunan saat ini yang masih terfokus pada infrastruktur ekonomi dan mengalami
perbaikan diikuti dengan pengembangan infrastruktur pendidikan
meski pada kenyataannya infrastruktur kesehatan masih sangat minim.
112
Sementara untuk meningkatkan interaksi antara kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan secara umum adalah dengan mengoptimalkan perningkatan infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan sosial, bukan pada peningkatan infrastruktur ekonomi saja. 6.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh atas terjadinya ketimpangan pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan, maka dibutuhkan strategi dan upaya pemerintah terutama dalam mengatasi ketimpangan intern (antar sektor) dalam Kabupaten/kota sebagai bentuk ketimpangan tertinggi dibandingkan ketimpangan antara Kabupaten/.kota tersebut. Selain itu butuh strategi khusus yang diberikan untuk Kabupaten-Kabupaten yang ada sehingga dalam pengembangannya kabupaten-kabupaten tersebut bisa setara dengan 3 kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan dan menciptakan hubungan yang sinergis antara kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Upaya mengurangi/mengatasi semakin lebarnya ketimpangan pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan diantaranya adalah mendorong bentuk-bentuk pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi ketimpangan dalam wilayah dengan pembangunan sektor-sektor lainnya yang dapat mendorong sinergitas pembangunan antara sektor, serta meningkatkan pembangunan infrastruktur/fasilitas pelayanan baik yang terkait infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan sosial, dimana peningkatan infrastruktur ini diharapkan mampu mendorong daerah-daerah yang tertinggal.
Pola pembangunan ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas
ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga dapat tercipta optimalisasi bagi provinsi ini terutama dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi.
113
DAFTAR PUSTAKA Adifa, Y. 2007. Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan Di Kabupaten Alor. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Tinjauan Kritis. P4W Press Bogor. Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE Badan Pusat Statistika Sulawesi Selatan. 2008. Sulawesi Selatan Dalam Angka . 2007. Badan Pusat Statistika. Makassar. Badan Pusat Statistika Sulawesi Selatan. 2009. Sulawesi Selatan Dalam Angka . 2008. Badan Pusat Statistika. Makassar. Iskandar, 2001. Penyusunan Perencanaan Pasipatori. Makalah pada Seminar Kuliah Perencanaan Ekonomi Tata Ruang IPB Bogor. Bogor, 2001. Juanda, B, 2009. EkonometrikaPermodelan dan Pendugaan. IPB Press: Bogor. Kuncoro 2002. Analisis Spasial dan Regional: Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN. Yogyakarta. Murty, S. 2000. Regional Disparities: Need and measures for Balanced Development. In Shukla, A (Ed). Regional Planning and Sustainable Development. Kanishka Publishers, Distributors. New Delhi-110 002. Pravitasari, A.E. 2009. Dinamika Perubahan Disparitas Regional di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Kebijakan Otonomi Daerah. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rustiadi, E, S. Hadi, 2007. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. http://www.pu.go.id/ditjen-miskin/agro/berita/pengemb-agro.asp Rustiadi. E, D.R. Panuju, S. Saefulhakim. 2007. Perencanaan Pembangunan Wilayah. IPB. Bogor. Sibrani M. H. M. 2002. Konstribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (26 Provinsi di Indonesia Tahun 1983-1997). Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Soetomo, S. 2008. Penanganan Daerah Tertinggal melalui Paradigma Pembangunan Berkelanjutan dalam Pembangunan Daerah. Universitas Islam Indonesia, 4-5 Agustus 2008. Suhyanto, O. 2005. Disparitas Tingkat Kehidupan Masyarakat antar Wilayah di Jawa Barat dan Strategi Penaggulangannya. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tarigan, R. 2002. Perencanaan Pembangunan Wilayah, Pendekatan Ekonomi dan Ruang. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Medan.
114
Tarigan, R. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta. Tadjoeddin, M. Z, et al. 2001. Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan Konflik Vertikal. Working Paper Serises No. 01/01-I, Policy Support for Suistanable Sosial Economy Recovery. UNSFIR Jakarta Tukiyat, 2002. Pengantar Pengembangan Ekonomi Wilayah. Di dalam : Urbanus M. Ambardi dan Socia Prihawantoro. Editor. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta : Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Williamson, S., 2002. Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Dan Kawasan Tertinggal Lainnya. Makalah dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat Pusat Tanggal 16-17 September 2002 di Jakarta. Dirjen Bina Pembangunan Daerah Depertemen Dalam Negeri Jakarta, 16 September 2002. www.econ.worldbank.org. [25 Maret 2009]. World Bank Development Report 2009: Reshaping Economic Geography. Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya terhadap Ketimpangan di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 2. Nilai Indeks Williamson 2005 Kabupaten/ Kota
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare Palopo Jumlah
2005 PDRB
329.607 1.271.226 544.271 688.894 670.477 1.369.096 796.685 879.862 1.857.730 550.220 2.305.159 894.324 1.834.825 1.120.899 1.895.725 578.147 1.257.713 1.016.541 1.076.470 4.018.283 10.492.541 532.393 656.855 656 855 36.637.941
Jumlah Penduduk
114.265 378.479 169.053 327.115 247.060 573.232 219.167 293.235 284.908 158.147 688.437 225.984 371.225 245.475 335.352 180.882 312.890 437.231 290.236 212.437 1.201.454 114.000 129.440 129 440 7.509.704 Rataan
PDRB per kapita
2,8846 3,3588 3,2195 2,1060 2,7138 2,3884 3,6351 3,0005 6,5205 3,4792 3,3484 3,9575 4,9426 4,5662 5,6529 3,1963 4,0197 2,3250 3,7089 18,9152 8,7332 4,6701 5,0746 5 0746
(fi/∑fi) 0,0152 0,0504 0,0225 0,0436 0,0329 0,0763 0,0292 0,0390 0,0379 0,0211 0,0917 0,0301 0,0494 0,0327 0,0447 0,0241 0,0417 0,0582 0,0386 0,0283 0,1600 0,0152 0,0172 0 0172
(yi‐ỳ) ‐1,7422 ‐1,2680 ‐1,4073 ‐2,5209 ‐1,9130 ‐2,2384 ‐0,9918 ‐1,6263 1,8936 ‐1,1476 ‐1,2784 ‐0,6694 0,3158 ‐0,0606 1,0261 ‐1,4306 ‐0,6072 ‐2,3019 ‐0,9179 14,2884 4,1064 0,0433 0,4478 0 4478
(yi‐ỳ)^2 3,0354 1,6079 1,9805 6,3547 3,6596 5,0106 0,9836 2,6448 3,5859 1,3171 1,6344 0,4480 0,0997 0,0037 1,0529 2,0465 0,3686 5,2986 0,8425 204,1571 16,8624 0,0019 0,2005 0 2005
(fi/∑fi)/(yi‐ỳ)^2 0,0462 0,0810 0,0446 0,2768 0,1204 0,3825 0,0287 0,1033 0,1360 0,0277 0,1498 0,0135 0,0049 0,0001 0,0470 0,0493 0,0154 0,3085 0,0326 5,7753 2,6978 0,0000 0,0035 0 0035 10,3448
4,63 Indeks Wiliamson
0,70
Lampiran 1. Nilai Indeks Williamson 2004 Kabupaten/K ota Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare Palopo Jumlah
2004 Jumlah Penduduk
PDRB per (fi/∑fi) kapita
PDRB (000) 317.241 111.458 1.216.723 374.247 521.580 167.284 680.690 327.489 635.047 244.582 1.294.783 565.252 757.117 217.374 853.289 290.173 1.758.994 277.223 524.304 157.680 2.209.958 686.986 869.500 225.183 1.731.528 363.508 1.035.486 247.723 1.787.713 334.090 545.840 178.658 1.173.626 309.588 969.903 420.733 990.409 475.092 3.806.154 * * 9.791.709 1.164.380 502.367 114.933 609.769 125.734,000 34.583.731 7.379.370 Rataan
2,8463 3,2511 3,1179 2,0785 2,5965 2,2906 3,4830 2,9406 6,3450 3,3251 3,2169 3,8613 4,7634 4,1800 5,3510 3,0552 3,7909 2,3053 2,0847
(yi-ỳ)
(yi-ỳ)^2
0,0151 0,0507 0,0227 0,0444 0,0331 0,0766 0,0295 0,0393 0,0376 0,0214 0,0931 0,0305 0,0493 0,0336 0,0453 0,0242 0,0420 0,0570 0,0644
-0,9043 0,8178 -0,4995 0,2495 -0,6327 0,4003 -1,6721 2,7959 -1,1542 1,3321 -1,4600 2,1315 -0,2676 0,0716 -0,8100 0,6561 2,5944 6,7311 -0,4255 0,1810 -0,5337 0,2849 0,1107 0,0123 1,0128 1,0257 0,4294 0,1844 1,6004 2,5612 -0,6954 0,4836 0,0403 0,0016 -1,4453 2,0890 -1,6659 2,7754 * * * * 8,4094 0,1578 4,6588 21,7041 4,3710 0,0156 0,6203 0,3848 4,8497 0,0170 1,0991 1,2079
(fi/∑fi)/(yiỳ)^2 0,0124 0,0127 0,0091 0,1241 0,0442 0,1633 0,0021 0,0258 0,2529 0,0039 0,0265 0,0004 0,0505 0,0062 0,1160 0,0117 0,0001 0,1191 0,1787 3,4247 0,0060 0,0206 4,6106
3,75 Indeks Wiliamson
0,57
Lampiran 2. Nilai Indeks Williamson 2005 Kabupaten/ Kota
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare Palopo Jumlah
2005 PDRB
329.607 1.271.226 544.271 688.894 670.477 1.369.096 796.685 879.862 1.857.730 550.220 2.305.159 894.324 1.834.825 1.120.899 1.895.725 578.147 1.257.713 1.016.541 1.076.470 4.018.283 10.492.541 532.393 656.855 656 855 36.637.941
Jumlah Penduduk
114.265 378.479 169.053 327.115 247.060 573.232 219.167 293.235 284.908 158.147 688.437 225.984 371.225 245.475 335.352 180.882 312.890 437.231 290.236 212.437 1.201.454 114.000 129.440 129 440 7.509.704 Rataan
PDRB per kapita
2,8846 3,3588 3,2195 2,1060 2,7138 2,3884 3,6351 3,0005 6,5205 3,4792 3,3484 3,9575 4,9426 4,5662 5,6529 3,1963 4,0197 2,3250 3,7089 18,9152 8,7332 4,6701 5,0746 5 0746
(fi/∑fi) 0,0152 0,0504 0,0225 0,0436 0,0329 0,0763 0,0292 0,0390 0,0379 0,0211 0,0917 0,0301 0,0494 0,0327 0,0447 0,0241 0,0417 0,0582 0,0386 0,0283 0,1600 0,0152 0,0172 0 0172
(yi‐ỳ) ‐1,7422 ‐1,2680 ‐1,4073 ‐2,5209 ‐1,9130 ‐2,2384 ‐0,9918 ‐1,6263 1,8936 ‐1,1476 ‐1,2784 ‐0,6694 0,3158 ‐0,0606 1,0261 ‐1,4306 ‐0,6072 ‐2,3019 ‐0,9179 14,2884 4,1064 0,0433 0,4478 0 4478
(yi‐ỳ)^2 3,0354 1,6079 1,9805 6,3547 3,6596 5,0106 0,9836 2,6448 3,5859 1,3171 1,6344 0,4480 0,0997 0,0037 1,0529 2,0465 0,3686 5,2986 0,8425 204,1571 16,8624 0,0019 0,2005 0 2005
(fi/∑fi)/(yi‐ỳ)^2 0,0462 0,0810 0,0446 0,2768 0,1204 0,3825 0,0287 0,1033 0,1360 0,0277 0,1498 0,0135 0,0049 0,0001 0,0470 0,0493 0,0154 0,3085 0,0326 5,7753 2,6978 0,0000 0,0035 0 0035 10,3448
4,63 Indeks Wiliamson
0,70
Lampiran 3. Nilai Indeks Williamson 2006 2006
Kabupaten/Kota PDRB
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare Palopo Jumlah
347.966 1.352.303 572.015 716.236 710.108 1.453.593 845.347 917.987 1.967.631 577.189 2.442.413 953.607 1.938.618 1.198.896 1.973.870 599.946 1.326.987 1.057.920 1.158.340 4.293.868 11.341.848 569.455 698.368 39.014.512
Jumlah Penduduk
116.513 383.870 170.681 329.023 250.651 586.069 222.220 297.618 289.342 159.235 696.712 227.273 373.938 246.879 340.439 183.923 317.794 446.661 298.947 219.202 1.223.540 115.169 133.990 7.629.689 Rataan
PDRB per kapita
2,9865 3,5228 3,3514 2,1769 2,8331 2,4802 3,8041 3,0844 6,8004 3,6248 3,5056 4,1959 5,1843 4,8562 5,7980 3,2619 4,1756 2,3685 3,8747 19,5886 9,2697 4,9445 5,2121
(fi/∑fi) 0,0153 0,0503 0,0224 0,0431 0,0329 0,0768 0,0291 0,0390 0,0379 0,0209 0,0913 0,0298 0,0490 0,0324 0,0446 0,0241 0,0417 0,0585 0,0392 0,0287 0,1604 0,0151 0,0176
(yi‐ỳ)
(yi‐ỳ)^2
‐1,8353 ‐1,2989 ‐1,4704 ‐2,6449 ‐1,9887 ‐2,3415 ‐1,0177 ‐1,7373 1,9786 ‐1,1970 ‐1,3161 ‐0,6259 0,3626 0,0345 0,9763 ‐1,5598 ‐0,6461 ‐2,4532 ‐0,9470 14,7669 4,4479 0,1228 0,3903
3,3682 1,6872 2,1620 6,9955 3,9549 5,4827 1,0356 3,0182 3,9149 1,4328 1,7322 0,3917 0,1315 0,0012 0,9531 2,4330 0,4175 6,0184 0,8968 218,0608 19,7842 0,0151 0,1524
(fi/∑fi)/(yi‐ ỳ)^2 0,0514 0,0849 0,0484 0,3017 0,1299 0,4211 0,0302 0,1177 0,1485 0,0299 0,1582 0,0117 0,0064 0,0000 0,0425 0,0587 0,0174 0,3523 0,0351 6,2649 3,1727 0,0002 0,0027 11,4866
4,82 Indeks Wiliamson
0,70
Lampiran 4. Nilai Indeks Williamson 2007 Kabupaten/Kot a
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare Palopo Jumlah
2007 PDRB
Jumlah Penduduk
370.395 1.424.822 601.418 745.303 752.977 1.543.568 891.286 960.025 2.088.096 605.711 2.589.298 1.004.853 2.052.424 1.264.330 2 075 244 2.075.244 630.595 1.400.329 1.114.497 1.237.400 4.540.568 12.261.539 609.225 743.974 41.507.878
116.540 385.165 170.847 330.301 251.338 593.716 222.174 298.162 289.403 159.082 698.551 227.821 374.702 246.915 342 800 342.800 183.904 319.066 451.070 303.433 224.445 1.235.118 114.804 136.536 7.675.893 Rataan
PDRB per kapita
3,1783 3,6993 3,5202 2,2564 2,9959 2,5998 4,0117 3,2198 7,2152 3,8075 3,7067 4,4107 5,4775 5,1205 6 0538 6,0538 3,4289 4,3888 2,4708 4,0780 20,2302 9,9274 5,3067 5,4489
(fi/∑fi) 0,0152 0,0502 0,0223 0,0430 0,0327 0,0773 0,0289 0,0388 0,0377 0,0207 0,0910 0,0297 0,0488 0,0322 0 0447 0,0447 0,0240 0,0416 0,0588 0,0395 0,0292 0,1609 0,0150 0,0178
(yi‐ỳ)
(yi‐ỳ)^2
‐1,8893 ‐1,3683 ‐1,5473 ‐2,8111 ‐2,0716 ‐2,4677 ‐1,0559 ‐1,8477 2,1477 ‐1,2600 ‐1,3609 ‐0,6568 0,4100 0,0530 0 9863 0,9863 ‐1,6386 ‐0,6787 ‐2,5967 ‐0,9895 15,1627 4,8599 0,2391 0,3814
3,5693 1,8722 2,3942 7,9022 4,2917 6,0894 1,1148 3,4140 4,6124 1,5876 1,8519 0,4314 0,1681 0,0028 0 9727 0,9727 2,6850 0,4606 6,7430 0,9792 229,9069 23,6186 0,0572 0,1455
(fi/∑fi)/(yi‐ ỳ)^2 0,0542 0,0939 0,0533 0,3400 0,1405 0,4710 0,0323 0,1326 0,1739 0,0329 0,1685 0,0128 0,0082 0,0001 0 0434 0,0434 0,0643 0,0191 0,3963 0,0387 6,7225 3,8004 0,0009 0,0026 12,8026
5,07 Indeks Wiliamson
0,71
*
Kabupaten/Kota
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare Palopo Jumlah
2007 PDRB
Jumlah Penduduk
370.395 1.424.822 601.418 745.303 752.977 1.543.568 891.286 960.025 2.088.096 605.711 2.589.298 1.004.853 2.052.424 1.264.330 2 075 244 2.075.244 630.595 1.400.329 1.114.497 1.237.400 4.540.568 12.261.539 609.225 743.974 41.507.878
117.860 386.239 171.468 330.379 252.270 594.423 223.522 299.662 291.506 160.428 699.474 228.181 375.833 248.769 342 852 342.852 185.527 320.205 452.663 305.468 224.383 1.235.239 116.309 137.595 7.700.255 Rataan
PDRB per kapita
3,1427 3,6890 3,5075 2,2559 2,9848 2,5968 3,9875 3,2037 7,1631 3,7756 3,7018 4,4038 5,4610 5,0823 6 0529 6,0529 3,3989 4,3732 2,4621 4,0508 20,2358 9,9265 5,2380 5,4070
(fi/∑fi) 0,0153 0,0502 0,0223 0,0429 0,0328 0,0772 0,0290 0,0389 0,0379 0,0208 0,0908 0,0296 0,0488 0,0323 0 0445 0,0445 0,0241 0,0416 0,0588 0,0397 0,0291 0,1604 0,0151 0,0179
(yi‐ỳ)
(yi‐ỳ)^2
‐1,9052 3,6297 ‐1,3589 1,8466 ‐1,5404 2,3728 ‐2,7919 7,7950 ‐2,0630 4,2561 ‐2,4511 6,0079 ‐1,0604 1,1244 ‐1,8442 3,4009 2,1153 4,4744 ‐1,2723 1,6186 ‐1,3461 1,8119 ‐0,6441 0,4149 0,4132 0,1707 0,0345 0,0012 1 0050 1 0101 1,0050 1,0101 ‐1,6489 2,7189 ‐0,6746 0,4551 ‐2,5858 6,6861 ‐0,9970 0,9940 15,1879 230,6737 4,8786 23,8008 0,1901 0,0362 0,3591 0,1290
(fi/∑fi)/(yi‐ ỳ)^2 0,0556 0,0926 0,0528 0,3344 0,1394 0,4638 0,0326 0,1323 0,1694 0,0337 0,1646 0,0123 0,0083 0,0000 0 0450 0,0450 0,0655 0,0189 0,3930 0,0394 6,7218 3,8180 0,0005 0,0023 12,7965
5,05 Indeks Wiliamson
0,71
Lampiran 5. Nilai Indeks Williamson 2008 2008
Kabupaten/Kota PDRB
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare Palopo Jumlah
397.331 1.539.670 720.290 788.379 799.564 1.650.324 957.713 1.013.913 2.237.502 647.990 2.776.660 1.082.806 2.204.416 1.368.326 2.214.904 671.534 1.480.646 1.194.535 1.356.834 4.429.717 13.551.827 655.255 799.329 44.539.466
Jumlah Penduduk
118.463 385.974 171.586 327.500 252.309 602.335 223.937 300.119 291.523 160.479 697.918 227.171 375.112 248.662 343.741 185.482 319.289 455.758 309.256 228.720 1.282.418 119.833 144.061 7.771.646 Rataan
PDRB per kapita
3,3540 3,9891 4,1978 2,4073 3,1690 2,7399 4,2767 3,3784 7,6752 4,0378 3,9785 4,7665 5,8767 5,5028 6,4435 3,6205 4,6373 2,6210 4,3874 19,3674 10,5674 5,4681 5,5485 5,73 5,30
(fi/∑fi) 0,0152 0,0497 0,0221 0,0421 0,0325 0,0775 0,0288 0,0386 0,0375 0,0206 0,0898 0,0292 0,0483 0,0320 0,0442 0,0239 0,0411 0,0586 0,0398 0,0294 0,1650 0,0154 0,0185
(yi‐ỳ) ‐1,9508 ‐1,3158 ‐1,1070 ‐2,8976 ‐2,1358 ‐2,5649 ‐1,0281 ‐1,9264 2,3704 ‐1,2670 ‐1,3263 ‐0,5383 0,5719 0,1979 1,1387 ‐1,6843 ‐0,6675 ‐2,6838 ‐0,9174 14,0626 5,2626 0,1633 0,2437
(yi‐ỳ)^2 3,8055 1,7312 1,2254 8,3958 4,5618 6,5789 1,0570 3,7112 5,6188 1,6052 1,7591 0,2898 0,3270 0,0392 1,2967 2,8370 0,4455 7,2030 0,8416 197,7569 27,6948 0,0267 0,0594
Indeks Wiliamson
(fi/∑fi)/(yi‐ ỳ)^2 0,0580 0,0860 0,0271 0,3538 0,1481 0,5099 0,0305 0,1433 0,2108 0,0331 0,1580 0,0085 0,0158 0,0013 0,0574 0,0677 0,0183 0,4224 0,0335 5,8200 4,5700 0,0004 0,0011 12,7748 0,67
Lampiran 6. Nilai Indeks Williamson 2009 2009 Kabupaten/Kota PDRB
SELAYAR BULUKUMBA BANTAENG JENEPONTO TAKALAR GOWA SINJAI MAROS PANGKAJENE DAN KEP BARRU BONE SOPPENG WAJO SIDENRENG RAPPANG PINRANG ENREKANG LUWU TANA TORAJA LUWU UTARA LUWU TIMUR TORAJA UTARA MAKASSAR PARE‐PARE PALOPO
428.669 1.639.312 690.411 830.780 852.209 1.782.159 1.024.934 1.077.478 2.369.773 685.026 2.985.922 1.156.498 2.316.834 1.459.401 2.384.283 716.023 1.581.663 623.230 1.450.443 4.250.551 641.939 14.788.188 707.235 862.192 47.305.152
Jumlah Penduduk
121.749 394.745 174.176 334.175 257.974 617.317 228.304 306.687 298.701 162.985 711.748 230.744 381.066 252.483 351.042 190.576 328.180 240.249 321.979 237.354 229090 1.271.870 118.842 146.482 7.908.518 Rataan
PDRB per kapita
3,5209 4,1528 3,9639 2,4861 3,3035 2,8869 4,4893 3,5133 7,9336 4,2030 4,1952 5,0120 6,0799 5,7802 6,7920 3,7572 4,8195 2,5941 4,5048 17,9081 2,8021 11,6271 5,9511 5,8860 5,98 5,34
(fi/∑fi) 0,0154 0,0499 0,0220 0,0423 0,0326 0,0781 0,0289 0,0388 0,0378 0,0206 0,0900 0,0292 0,0482 0,0319 0,0444 0,0241 0,0415 0,0304 0,0407 0,0300 0,0290 0,1608 0,0150 0,0185
(yi‐ỳ) ‐1,8192 ‐1,1873 ‐1,3762 ‐2,8540 ‐2,0366 ‐2,4532 ‐0,8508 ‐1,8268 2,5935 ‐1,1371 ‐1,1449 ‐0,3281 0,7398 0,4401 1,4519 ‐1,5830 ‐0,5206 ‐2,7460 ‐0,8353 12,5680 ‐2,5380 6,2870 0,6109 0,5459
Indeks Wiliamson
(yi‐ỳ)^2 3,3094 1,4096 1,8940 8,1456 4,1479 6,0180 0,7238 3,3373 6,7262 1,2930 1,3108 0,1076 0,5473 0,1937 2,1080 2,5057 0,2710 7,5405 0,6978 157,9536 6,4413 39,5266 0,3733 0,2980
(fi/∑fi)/(yi‐ ỳ)^2 0,0509 0,0704 0,0417 0,3442 0,1353 0,4697 0,0209 0,1294 0,2540 0,0266 0,1180 0,0031 0,0264 0,0062 0,0936 0,0604 0,0112 0,2291 0,0284 4,7406 0,1866 6,3568 0,0056 0,0055 13,4147 0,69
Lampiran 7. Hasil Perhitungan Theil Tahun 2004
No
Pertanian, Kehutanan, perburuan perikanan/ Kab/Kota Agriculture , Forestry, Hunting and fishery
Industri Pengolaha n/manufac turing Industry
Perdagang an besar, eceran, Jasa rumah Kemasyara makan dan hotel, retail katan, social dan trade, restaurant personal services/co dan Hotel/whol mmunity, social and esale personal trade, services retail trade, restaurant dan hotels
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Selayar ‐0,08835 Bulukumba ‐0,03765 Bantaeng ‐0,03471 Jeneponto ‐0,0454 Takalar ‐0,01725 Gowa 0,023468 Sinjai ‐0,03664 Maros ‐0,04323 Pangkep ‐0,08524 Barru ‐0,02725 Bone ‐0,04614 Soppeng ‐0,05146 Wajo ‐0,0421 Sidrap ‐0,02741 Pinrang ‐0,01035 Enrekang ‐0,08249 Luwu ‐0,04462 Tana Toraja ‐0,10481 Luwu Utara 0,013708 Luwu Timu * Makassar ‐0,0016 Parepare ‐0,00285 Palopo 0,044746
0,005335 0,005399 0,001054 0,003179 0,005291 0,004926 ‐0,00408 0,106961 0,50158 0,004005 0,048317 0,02865 ‐0,00895 0,010839 0,006184 0,013358 0,044187 0,032394 ‐0,0028 * 0,1022 ‐0,00885 0,000727
0,038149 0,006936 ‐0,00646 0,00068 ‐0,03093 ‐0,02447 ‐0,00824 ‐0,02395 ‐0,02783 ‐0,01496 ‐0,01052 ‐0,00848 0,00858 ‐0,01067 ‐0,01082 0,014182 ‐0,01552 0,075026 ‐0,00897 * ‐0,03265 0,00103 ‐0,01998
0,026741 0,031738 0,026666 0,076729 0,048919 0,029896 0,028489 0,020449 ‐0,00973 0,019977 0,012067 0,01926 ‐0,00098 0,010675 0,000858 0,082789 0,061348 0,06242 0,007871 * ‐0,02675 ‐0,03077 ‐0,01251
Lainnya (pertamba ngan,peng galian dan transportas i, komunikasi , keuangan, asuransi, usaha poersewaa n bangunan, tanah dan jasa perusahaa n, asuransi, bisnis jasa
0,088389 0,004772 0,028094 ‐0,0008 0,02805 ‐0,01757 0,045959 0,002953 0,015702 0,030613 0,029574 0,04099 0,080736 0,026837 0,020184 0,032899 0,008653 0,051781 ‐0,0058 * * 0,010347 0,065609 ‐0,00284
Theil Within
Theil Within Theil Standardi Between zed
0,0703 0,0112 0,0146 0,0344 0,0341 0,0163 0,0255 0,0632 0,3945 0,0124 0,0333 0,0290 0,0373 0,0103 0,0061 0,0607 0,0540 0,1168 0,0040
0,0006 0,0004 0,0002 0,0007 0,0006 0,0006 0,0006 0,0016 0,0201 0,0002 0,0021 0,0007 0,0019 0,0003 0,0003 0,0010 0,0018 0,0033 0,0001 *
0,0515 0,0242 0,0101
‐0,0025 ‐0,0059 ‐0,0039 ‐0,0075 ‐0,0051 ‐0,0114 ‐0,0028 ‐0,0051 0,0090 ‐0,0024 ‐0,0113 ‐0,0025 ‐0,0014 ‐0,0005 0,0045 ‐0,0037 ‐0,0039 ‐0,0066 ‐0,0099 *
0,0146 0,0004 0,0002 0,0522 T total %TW % TB
0,0753 ‐0,0001 0,0008 0,0032 0,0554 94,1838 5,8162
Lampiran 8. Hasil Perhitungan Theil Tahun 2005
No
Jasa Kemasyarak atan, social dan personal services/com munity, social and personal services
Lainnya (pertambang an,penggalia n dan transportasi, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha poersewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi, bisnis jasa
1 Selayar
-0,0634349 0,00220273 0,00780295 0,00492676
0,0967119
0,0482
0,0004
-0,0022
2 Bulukumba
0,06876458
-0,0058501
-0,0031011
0,0193
0,0007
-0,0047
3 Bantaeng
-0,0327489
-0,0003284 0,01137752 0,00443074 0,02549249
0,0082
0,0001
-0,0040
4 Jeneponto
-0,0004195
-0,0028077
5 Takalar
-0,0143014 0,00745014
6 Gowa
0,04916478
Kab/Kota
Perdagangan besar, eceran, Pertanian, rumah Kehutanan, makan dan perburuan Industri hotel, retail perikanan/ Pengolahan/ trade, Agriculture, manufacturi restaurant ng Industry dan Forestry, Hotel/whole Hunting and fishery sale trade, retail trade, restaurant dan hotels
-0,014294
-0,0261225
-0,0143589
-0,0145044 0,06871107
Theil Within
Theil Within Standardize d
Theil Between
-0,0204664
0,0305
0,0006
-0,0067
-0,0165413 0,01188962 0,01926394
0,0078
0,0001
-0,0050
0,0190
0,0007
-0,0119
-0,018137 0,01567218
-0,0134347
7 Sinjai
-0,0336089 0,00415988
-0,0197841 0,03420983 0,04755327
0,0325
0,0007
-0,0036
8 Maros
-0,0164511 0,07206046
-0,028454 0,00215475 0,00940656
0,0387
0,0009
-0,0045
-0,0791272 0,58603658
-0,0223794
-0,0342149 0,02590018
0,4762
0,0241
0,0068
10 Barru
9 Pangkep
0,02403174
-0,0235836
-0,0100244 0,03085611
0,0149
0,0002
-0,0023
11 Bone
-0,0328316 0,01796587
-0,0162962 0,00217425 0,05960585
0,0306
0,0019
-0,0124
12 Soppeng
-0,0672194 0,05011013
-0,0087476 0,01010402 0,09116205
0,0754
0,0018
-0,0033
13 Wajo
-0,0591183
-0,0173645 0,03792174 0,00234098 0,11172615
0,0755
0,0038
-0,0018
14 Sidrap
-0,0074359
-0,0014753
15 Pinrang
-0,0081623 0,01741091
16 Enrekang
-0,0825097 0,02300069 0,00272758 0,07122104 0,05533199
0,0698
0,0011
-0,0045
17 Luwu
-0,0570409 0,03858664
-0,0057804 0,02979389 0,03141313
0,0370
0,0013
-0,0030
18 Tana Toraja
-0,1165801 0,00800829 0,09214371 0,08583118 0,09720737
0,1666
0,0046
-0,0078
19 Luwu Utara
0,00395388
-0,0014179
-0,0214646
-0,0029592 0,05406978
0,0322
0,0009
-0,0041
20 Luwu Timur
-0,089153
-0,0072163
-0,0121105
-0,0087177 0,75148379
0,6343
0,0696
0,0700
21 Makassar
-0,0039931 0,07945776
-0,0373649
-0,0418967 0,07740285
0,0736
0,0211
0,0834
22 Parepare
0,00463801
-0,0069926
-0,0232352
-0,0551586
0,2021743
0,1214
0,0018
0,0005
23 Palopo
0,03134176
-0,0027524
-0,0136801
-0,042398 0,06950709
0,0420
0,0008
0,0015
0,1387
0,0842
-0,0063649
-0,0200174 0,01416011 0,02569569
0,0109
0,0003
-0,0005
-0,0094388
0,0195
0,0010
0,0042
-0,0142631 0,03394915
T total
0,2229
%TW
62,2068
% TB
37,7932
di dalam wilayah antara wilayah
Lampiran 9. Hasil Perhitungan Theil Tahun 2006
Perdaganga n besar, eceran, Pertanian, rumah Kehutanan, makan dan Industri perburuan hotel, retail Pengolahan perikanan/ trade, /manufactu Kab/Kota Agriculture restaurant ring , Forestry, dan Industry Hunting Hotel/whol and fishery esale trade, retail trade, restaurant dan hotels
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraj Luwu Utara Luwu Timu Makassar Parepare Palopo
-0,06738 -0,01283 -0,039 -0,0261 -0,00682 0,040909 -0,04717 -0,0269 -0,08169 0,000373 -0,0546 -0,0686 -0,06004 -0,02385 0,008053 -0,08843 -0,06373 -0,1189 -0,0139 -0,08609 -0,00342 0,007459 0,058807
0,000811 0,001722 0,002823 -0,00078 0,009447 -0,01142 0,003336 0,098203 0,500671 -0,00613 0,030532 0,03781 -0,01029 0,005991 0,002576 0,020245 0,05405 0,022969 -0,00212 -0,00645 0,081916 -0,00577 0,000368
0,008216 -0,01174 0,004495 -0,01273 -0,0242 -0,02394 -0,01554 -0,02915 -0,02492 -0,0249 -0,01406 -0,01332 0,027009 -0,01698 -0,02043 0,005141 -0,01047 0,084226 -0,0152 -0,01217 -0,04794 -0,03185 -0,03167
Jasa Kemasyara katan, social dan personal services/co mmunity, social and personal services
Lainnya (pertamban gan,pengga lian dan transportasi , komunikasi , keuangan, asuransi, usaha poersewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi, bisnis jasa
0,023799 0,025575 0,017322 0,092563 0,017423 0,025866 0,049122 0,010504 -0,02221 0,017659 0,019825 0,022306 0,008849 0,021028 -0,00323 0,093568 0,039272 0,09357 0,004631 -0,00818 -0,03277 -0,04187 -0,03326
0,077053 0,003629 0,024624 -0,01096 0,016625 -0,01198 0,048801 0,004604 0,017462 0,027443 0,062898 0,092928 0,085298 0,026675 0,023274 0,050064 0,037485 0,080812 0,045843 0,621921 0,066404 0,134485 0,040716
Theil Within
0,0425 0,0064 0,0103 0,0420 0,0125 0,0194 0,0385 0,0573 0,3893 0,0144 0,0446 0,0711 0,0508 0,0129 0,0102 0,0806 0,0566 0,1627 0,0193 0,5090 0,0642 0,0625 0,0350
Theil Within Theil Standardiz Between ed
0,0004 0,0002 0,0002 0,0008 0,0002 0,0007 0,0008 0,0013 0,0196 0,0002 0,0028 0,0017 0,0025 0,0004 0,0005 0,0012 0,0019 0,0044 0,0006 0,0560 0,0187 0,0009 0,0006 0,1168 T total %TW % TB
-0,0021 -0,0065 -0,0037 -0,0069 -0,0047 -0,0113 -0,0038 -0,0044 0,0075 -0,0019 -0,0111 -0,0033 -0,0022 -0,0003 0,0035 -0,0042 -0,0031 -0,0091 -0,0039 0,0666 0,0863 0,0007 0,0012 0,0834 0,2002 58,3614 41,6386
Lampiran 10. Hasil Perhitungan Theil Tahun 2007
Pertanian, Kehutanan, perburuan perikanan/ Kab/Kota Agriculture , Forestry, Hunting and fishery
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timu Makassar Parepare Palopo
‐0,07163 ‐0,06214 ‐0,04228 ‐0,04642 0,000616 0,03378 ‐0,05527 ‐0,03588 ‐0,08409 ‐0,02231 ‐0,07701 ‐0,07026 ‐0,05877 ‐0,03487 0,024537 ‐0,09355 ‐0,06485 ‐0,12185 ‐0,02276 ‐0,08343 ‐0,00291 0,008818 0,081505
Industri Pengolaha n/manufac turing Industry
‐0,00013 0,010278 0,006707 0,00143 0,011451 ‐0,0079 0,002683 0,137182 0,440476 ‐0,0058 0,050473 0,030961 ‐0,00175 0,014671 ‐0,00504 0,016692 0,060022 0,066761 ‐0,0043 ‐0,00581 0,082241 ‐0,00463 0,001946
Perdagang an besar, eceran, Jasa rumah Kemasyara makan dan hotel, retail katan, social dan trade, restaurant personal services/co dan Hotel/whol mmunity, social and esale personal trade, services retail trade, restaurant dan hotels
0,008965 0,003497 ‐0,00123 ‐0,01082 ‐0,03068 ‐0,0281 ‐0,01078 ‐0,02968 ‐0,02711 ‐0,02615 ‐0,0125 ‐0,01675 0,016527 ‐0,0153 ‐0,02865 0,007112 ‐0,01617 0,075408 ‐0,00989 ‐0,01252 ‐0,05582 ‐0,03692 ‐0,04383
0,038589 0,079638 0,028923 0,109145 0,023276 0,029338 0,056927 0,014016 ‐0,0026 0,061593 0,040881 0,037303 0,012379 0,025229 0,008635 0,11999 0,048647 0,10608 0,016262 ‐0,00757 ‐0,02359 ‐0,02599 ‐0,02435
Lainnya (pertamba ngan,peng galian dan transportas i, komunikasi , keuangan, asuransi, usaha poersewaa n bangunan, tanah dan jasa perusahaa n, asuransi, bisnis jasa
0,070603 0,014523 0,022973 0,001525 0,014318 ‐0,00865 0,048111 0,001797 0,011407 0,024841 0,080792 0,090642 0,067786 0,028216 0,016547 0,047419 0,046054 0,075864 0,036492 0,545841 0,059413 0,091371 0,026257
Theil Within
0,0464 0,0458 0,0151 0,0549 0,0190 0,0185 0,0417 0,0874 0,3381 0,0322 0,0826 0,0719 0,0362 0,0179 0,0160 0,0977 0,0737 0,2023 0,0158 0,4365 0,0593 0,0326 0,0415
Theil Within Theil Standardi Between zed
0,0004 0,0016 0,0002 0,0010 0,0003 0,0007 0,0009 0,0020 0,0170 0,0005 0,0052 0,0017 0,0018 0,0005 0,0008 0,0015 0,0025 0,0054 0,0005 0,0477 0,0175 0,0005 0,0007 0,1110 T total %TW % TB
‐0,0020 ‐0,0081 ‐0,0035 ‐0,0070 ‐0,0044 ‐0,0107 ‐0,0040 ‐0,0043 0,0083 ‐0,0016 ‐0,0098 ‐0,0034 ‐0,0025 ‐0,0003 0,0031 ‐0,0040 ‐0,0032 ‐0,0101 ‐0,0038 0,0627 0,0896 0,0009 0,0010 0,0830 0,1940 57,2319 42,7681
di dalam wilayah antara wilayah
Lampiran 11. Hasil Perhitungan Theil Tahun 2008
Pertanian, Kehutanan, perburuan perikanan/ Kab/Kota Agriculture , Forestry, Hunting and fishery
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timu Makassar Parepare Palopo
‐0,09627 ‐0,05562 ‐0,0591 ‐0,05552 0,012236 0,033131 ‐0,06707 ‐0,04532 ‐0,08907 ‐0,03778 ‐0,06804 ‐0,07409 ‐0,08298 ‐0,04109 ‐0,00553 ‐0,09258 ‐0,07725 ‐0,11328 ‐0,03113 ‐0,08626 ‐0,00325 ‐0,00521 0,071895
Industri Pengolaha n/manufac turing Industry
0,013081 0,019432 0,00051 0,002399 0,008506 ‐0,01007 0,000807 0,132257 0,44047 ‐0,0077 0,02897 0,019205 0,046141 ‐0,00082 ‐0,01326 0,019371 0,048663 0,033659 ‐0,00717 ‐0,00287 0,071965 ‐0,0038 0,003244
Perdagang an besar, eceran, Jasa rumah Kemasyara makan dan hotel, retail katan, social dan trade, restaurant personal services/co dan Hotel/whol mmunity, social and esale personal trade, services retail trade, restaurant dan hotels
0,062895 0,02138 0,005579 0,011513 ‐0,02783 ‐0,00066 0,019822 ‐0,02223 ‐0,01685 0,001738 0,004379 0,003652 0,057506 0,015012 0,00074 0,030876 0,022467 0,069537 0,018289 ‐0,00866 ‐0,01636 0,015246 ‐0,01687
0,030515 0,059448 0,014149 0,091293 0,035617 0,046445 0,059019 0,028063 0,004735 0,053427 0,03242 0,041366 0,011382 0,041922 0,016179 0,089836 0,020697 0,112513 0,019025 ‐0,00962 ‐0,02562 ‐0,03118 ‐0,02588
Lainnya (pertamba ngan,peng galian dan transportas i, komunikasi , keuangan, asuransi, usaha poersewaa n bangunan, tanah dan jasa perusahaa n, asuransi, bisnis jasa
0,07614 ‐0,00764 0,066478 ‐0,0048 ‐0,00885 ‐0,03889 0,024864 ‐0,01097 ‐0,0118 0,011376 0,038919 0,054255 0,031772 0,002292 0,011737 0,03035 0,037261 0,044751 0,015293 0,446271 0,006623 0,041199 ‐0,00722
Theil Within
0,0864 0,0370 0,0276 0,0449 0,0197 0,0300 0,0374 0,0818 0,3275 0,0211 0,0367 0,0444 0,0638 0,0173 0,0099 0,0779 0,0518 0,1472 0,0143 0,3389 0,0334 0,0163 0,0252
Theil Within Theil Standardi Between zed
0,0008 0,0013 0,0004 0,0008 0,0004 0,0011 0,0008 0,0019 0,0165 0,0003 0,0023 0,0011 0,0032 0,0005 0,0005 0,0012 0,0017 0,0039 0,0004 0,0337 0,0102 0,0002 0,0005 0,0835 T total %TW % TB
‐0,0021 ‐0,0065 ‐0,0023 ‐0,0072 ‐0,0043 ‐0,0121 ‐0,0033 ‐0,0047 0,0068 ‐0,0018 ‐0,0099 ‐0,0022 ‐0,0020 ‐0,0016 0,0024 ‐0,0036 ‐0,0026 ‐0,0082 ‐0,0038 0,0525 0,0898 0,0000 0,0002 0,0733 0,1568 53,2834 46,7166
di dalam wilayah antara wilayah
di dalam wilayah antara wilayah