RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI KAWASAN RAWAN BENCANA ROB KECAMATAN KAMPUNG LAUT, KABUPATEN CILACAP
SYLSILIA TRINOVA SEMBIRING
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Rawan Bencana Rob, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Sylsilia Trinova Sembiring NIM I34100
ABSTRAK SYLSILIA TRINOVA SEMBIRING. Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Rawan Bencana Rob Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana resiliensi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga petani dengan memanfaatkan livelihood asset yang mereka miliki serta melihat bagaimana hubungannya terhadap strategi nafkah dan tingkat pendapatan baik dari sektor pertanian maupun non pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, yaitu penggunaan instrumen berupa kuesioner, dan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa livelihood asset yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh rumahtangga petani baik di Dusun Klaces maupun Lempong Pucung berhubungan dengan aktifitas nafkah yang mereka lakukan. Berdasarkan tiga aspek pembentuk strategi nafkah, terdapat perbedaan diantara kedua dusun, dimana Dusun Klaces mendominasi di sektor non-farm, sedangkan di Dusun Lempong Pucung mendominasi di sektor off-farm. Kontribusi sektor pertanian di kedua dusun masih relatif rendah dibandingkan dengan sektor non-pertanian. Kata kunci : Resiliensi, strategi nafkah, rumahtangga petani
ABSTRACT SYLSILIA TRINOVA SEMBIRING. Livelihood resilience of farmer household in flood hazard area, Kampung Laut, Cilacap. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN The purpose of this study was to determine adopted livelihood reselience by farmer household which correlated with their livelihood asset. This study also determine how both component influencing livelihood strategy and household income from agricultural sector and non-agricultural sector in Klaces and Lempong Pucung village. This study combined quantitative approach using questioner method and qualitative approach using in-depth interview method. The result of this study explained livelihood asset used by farmers in both village highly influencing their livelihood activities. According of three former aspect of livelihood strategy, there was difference of both village. Klaces dominated by non-farm sector. In the other hand, Lempong Pucung dominated by off-farm sector. The number of contribution of agricultural sector relatively lower than non-agricultral sector Keywords : Resilience, livelihood strategy, farmer household
ii
RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI KAWASAN RAWAN BENCANA ROB KECAMATAN KAMPUNG LAUT, KABUPATEN CILACAP
SYLSILIA TRINOVA SEMBIRING
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
iv
Judul Skripsi
Nama NIM
: Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Rawan Bencana Rob, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap : Sylsilia Trinova Sembiring : I34100080
Disetujui oleh
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ________________
vi
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Rawan Bencana Rob Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap”. Tulisan ini memaparkan bagaimana strategi yang dibangun oleh masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana rob terhadap bentuk-bentuk aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk meningkatkan taraf hidup. Penulis menyadari bahwa studi pustaka ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa teruma kasih kepada: 1. Bapak dan Ibu yang telah membesarkan dan merawat penulis dengan penuh kasih sayang serta menjadi sumber motivasi paling besar untuk penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi masukan serta saran yang berarti selama proses penyelesaian penulisan skripsi ini. 3. Tanoto Foundation yang membantu meringankan seluruh biaya pendidikan penulis selama kuliah, serta memberi motivasi untuk terus berkarya. 4. Ibu, Bapak, serta seluruh keluarga di Dusun Lempong Pucung, Kampung Laut. Terima kasih untuk kehangatan keluarga yang diberi selama penulis melakukan Kuliah Kerja Profesi (KKP) dan juga penelitian. Keluarga baru yang memberi penulis semangat untuk terus mengejar impian. 5. Anak-anak Kampung Laut yang membantu dan menemani penulis ketika pengambilan data di lapang. Kalian anak-anak paling romantis yang pernah ada. 6. Adi Chandra Berampu, Fuad Habibi Siregar, dan Richardus Keiya. Penulis tidak tahu harus menulis kalian sebagai sahabat, rekan, teman seperjuangan atau apalah semacamnya. Terimakasih untuk kebersamaannya selama ini. Kalian orang-orang hebat yang pernah penulis temui. 7. Rezza Lazuardi Pratama, orang yang selalu menjadi tempat penulis berdiskusi tentang berbagai hal. Terimakasih untuk dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, Juni 2014
Sylsilia Trinova S. I34100080
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iix DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................... 1 Masalah Penelitian ............................................................................................. 3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4 Kegunaan Penelitian ........................................................................................... 4 PENDEKATAN TEORITIS ................................................................................... 5 Tinjauan Pustaka ................................................................................................ 5 Kerangka Pemikiran ........................................................................................... 9 Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 10 Definisi Operasional ......................................................................................... 10 METODE PENELITIAN ...................................................................................... 13 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 13 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................... 13 Teknik Pengolahan dan Analisis Data.............................................................. 14 PROFIL MASYARAKAT KAMPUNG LAUT ................................................... 15 Sejarah Munculnya Tanah Timbul ................................................................... 15 Penguasaan Tanah Timbul ............................................................................... 17 Kondisi Fisik .................................................................................................... 19 PENGUASAAN LIVELIHOOD ASSET RUMAHTANGGA PETANI ............... 23 Modal Manusia (Struktur Anggota Rumahtangga) .......................................... 23 Modal Alam ...................................................................................................... 28 Modal Finansial ................................................................................................ 32 Modal Sosial ..................................................................................................... 33 Modal Fisik....................................................................................................... 35 STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI .......................................... 39 On-Farm ........................................................................................................... 39 Off-Farm ........................................................................................................... 41 Non-Farm ......................................................................................................... 43 Bentuk-Bentuk Strategi Nafkah yang Dibangun Oleh Rumahtangga Petani ................................................................................................................ 44 STRUKTUR PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI .............................. 49
x
Tingkat Pendapatan Pertanian .......................................................................... 49 Tingkat Pendapatan Non Pertanian................................................................... 53 Pendapatan Total Rumahtangga Petani ............................................................ 54 Total Pengeluaran Rumahtangga Petani ........................................................... 57 Saving Capacity Rumahtangga Petani .............................................................. 58 RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI ........................................ 63 Bentuk Resiliensi Nafkah ................................................................................. 63 Hubungan Tingkat Resiliensi Nafkah dengan Tingkat Penguasaan Livelihood Asset Rumahtangga Petani .............................................................. 65 Hubungan Tingkat Resiliensi Nafkah dengan Jumlah Variasi Nafkah ............ 68 Hubungan Tingkat Resiliensi Nafkah dengan Tingkat Pendapatan Total Rumahtangga Petani ......................................................................................... 69 SIMPULAN DAN SARAN................................................................................... 73 Simpulan ............................................................................................................ 73 Saran ................................................................................................................. 74 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 75 LAMPIRAN
78
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
Tabel 18.
Metode Pengumpulan Data Kondisi penyusutan wilayah Segara Anakan menurut periode waktu Berbagai konflik yang melibatkan beberapa aktor di Kampung Laut Jumlah dan persentase responden menurut alokasi tenaga kerja di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut penggunaan tenaga kerja di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut kelompok umur di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut cara memperoleh lahan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut kelompok umur dan cara memperoleh lahan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan di tanah timbul di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 2014 Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan di Nusakambangan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut modal finansial di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Total skor responden menurut modal sosial di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah kepemilikan asset rumahtangga petani di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Berbagai kegiatan sektor non-farm di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendapatan pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 Hubungan luas lahan tanah timbul dengan tingkat pendapatan pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 2014 Hubungan luas lahan di Nusakambangan dengan tingkat pendapatan pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendapatan
14 15 18 24 25 26 29 29
30
31
33 35 36 43 49
57
52
53
xii
Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22.
Tabel 23.
Tabel 24.
Tabel 25.
Tabel 26.
Tabel 27.
Tabel 28.
Tabel 29. Tabel 30
Tabel 31
non pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 Total rata-rata pendapatan petani di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 Jumlah saving capacity rumahtangga Petani di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 Jumlah dan persentase rumahtangga menurut tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat penguasaan livelihood asset dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal alam dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal manusia dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal finansial dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal fisik dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah variasi nafkah dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut total pendapatan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat total pendapatan dan tingkat resiliensi rumahtangga di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 – 2014 Hubungan tingkat resiliensi dengan tingkat total pendapatan rata-rata menggunakan uji statisik rank spearman di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013-2014
55 59 64 65
65
66
67
67
68
69
69 70
70
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8. Gambar 9.
Gambar 10 Gambar 11
Gambar 12
Kerangka Analisis Penelitian Perubahan luasan Segara Anakan Tahun 1984 – 2003 Jumlah responden menurut tingkat pendidikan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 Jumlah responden menurut status kependudukan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 Penguasaan livelihood asset di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 – 2014 Pendapatan rata-rata rumahtangga petani dari sektor pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 Pendapatan rata-rata rumahtangga petani dari sektor non pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Persentase kontribusi sektor pertanian dan non pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Kontribusi pendapatan rumahtangga baik dari sektor pertanian maupun non pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 – 2014 Total pengeluaran rumahtangga petani di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014 Perbandingan rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani per tahun di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 Pendapatan rata-rata rumahtangga petani per hari di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 – 2014
9 17 23 27 37 50
54
55 56
57 58
60
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3.
Peta Lokasi Uji Rank Spearman Kerangka Sampling
79 80 82
PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini berisi latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian. Latar belakang berisi alasan mengenai pemilihan topik penelitian. Masalah penelitian berisi permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian merupakan jawaban dari masalah penelitian dan kegunaan penelitian berisi kegunaan untuk berbagai pihak yang menjadi sasaran dari hasil penelitian. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan sumberdaya alamnya. Menurut Badan Pusat Statistik (2010), luas wilayah Indonesia adalah 1 890 754 km2 dengan jumlah penduduk 237 641 326 jiwa. Namun dibalik alam yang membentang luas dan menjanjikan bagi perekonomian masyarakat, tersimpan kekuatan dahsyat yang kapan saja dapat membawa masyarakat ke jalan yang lebih sulit. Memang tidak dapat dipungkiri, selain memberi kehidupan bagi manusia, alam juga dapat memberikan bencana. Bencana alam adalah peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada masyarakat yang menyebabkan kerugian yang besar baik secara ekonomi, sosial, lingkungan dan melampaui batas kemampuan masyarakat untuk mengatasi dampak bencana alam dengan menggunakan sumberdaya yang mereka miliki (IDEP 2007). Bencana alam dapat terjadi karena aktivitas alami dan juga kombinasi dengan aktivitas manusia. Seperti yang dikutip dari BPPN (2006), ada bencana yang disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) dan adapula yang disebabkan karena ulah manusia (man-made disaster). Beberapa bencana seperti tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, gempa bumi di Nias, banjir di Jakarta, letusan gunung berapi di berbagai daerah, serta kekeringan menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap resiko bencana. Dampak yang dihasilkan dari bencana yang terjadi dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, salah satunya adalah petani. Mayoritas penduduk Indonesia berprofesi di sektor pertanian. Berdasarkan pemaparan Hadianto et al. (2009), penduduk Indonesia yang tercatat sebagai petani mencapai 45 juta jiwa, dan sebagian besar adalah nelayan kecil, buruh tani, dan petani pemilik lahan kurang dari 0.3 ha. Dalam kondisi yang normal pun (tanpa bencana) usaha tani adalah usaha yang rentan, apalagi dengan ditambah adanya bencana yang memperparah keadaan. Hal ini mengakibatkan kehidupan petani jauh dari berkecukupan. Alam tidak dapat diprediksi dan cenderung tidak menentu. Adanya perubahan iklim juga sangat berpengaruh bagi produktivitas pertanian. Menurut Nurmala (2011)1, perubahan iklim merupakan isu yang hangat diperbincangkan 1
kutipan pada artikel di Suara Pembaruan yang berjudul BMKG Sosialisasi Dampak Perubahan Iklim bagi Petani diakses pada tanggal 16 November 2013 pukul 23.00 di http://www.suarapembaruan.com/home/bmkg-sosialisasi-dampak-perubahan-iklim-bagipetani/11406
2
dan memerlukan penanganan yang berkelanjutan. Pada skala nasional, jika tidak ada upaya peningkatan kapasitas petani, maka situasi ini akan mengancam keamanan pangan nasional karena kegagalan panen akibat bencana alam yang terkait dengan cuaca dan iklim. Contoh kasus kerugian yang muncul dari bencana terhadap petanian terjadi di Kabupaten Garut. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (DTPH) Kabupaten Garut Tatang Hidayat menuturkan, luas lahan sawah mengalami kekeringan di Kabupaten Garut berdasarkan data lapangan pada tanggal 1 - 7 September 2013 mencapai sekitar 341 ha. Terdiri atas kekeringan ringan 289 ha, kekeringan sedang 32 ha, dan kekeringan berat 20 ha. Kekeringan tersebut menyebabkan kehilangan produksi padi sekitar 426 ton, atau setara Rp1.6 miliar2. Kondisi alam seperti yang dipaparkan sebelumnya menuntut petani untuk dapat beradaptasi dan membuat pola-pola tertentu untuk mempertahankan kehidupan mereka. Walaupun petani memiliki kerentanan yang tinggi terhadap ketidakstabilan alam, tetapi petani juga memiliki kelentingan atau resiliensi yang tinggi yang diwujudkan sebagai strategi nafkah oleh rumahtangga petani. Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan strategi nafkah tidak terbatas pada mata pencaharian, tetapi lebih ke strategi penghidupan. Selain itu, menurutnya sumber nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple source of livelihood) karena rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Strategi nafkah sangatlah beragam di setiap wilayahnya dan individunya. Seperti yang diungkapkan oleh Turasih (2011), “pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut. Berdasarkan penelitian Hastuti (2006) diketahui bahwa adanya perubahan strategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat sekitar wisata Kaliedem pasca erupsi Gunung Merapi. Pada awalnya kegiatan utama masyarakat di wilayah tersebut adalah berdagang di lokasi wisata Kaliadem. Namun kegiatan tersebut harus berubah menjadi beternak dan beragam jenis pekerjaan lainnya setelah adanya bencana erupsi Gunung Merapi. Kampung Laut merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Cilacap. Sesuai dengan namanya, Kampung Laut terletak di Laguna Segara Anakan yang dikelilingi perairan dan hutan mangrove. Akibat endapan lumpur dari Sungai Citanduy dan sungai–sungai lain, luasan desa di Kampung Laut semakin bertambah tiap tahun (Suryawati 2012). Terdapat empat desa di Kecamatan Kampung Laut, yakni Desa Ujung Alang, Klaces, Ujung Gagak, dan Panikel. Kampung Laut merupakan kawasan yang rawan terhadap bencana rob. Rob merupakan istilah untuk banjir di daerah pasang surut. Setiap tahunnya, Kampung Laut direndam air laut yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi penduduk sekitar, terutama di sektor pertanian. Dikutip dari Harian Suara
2
artikel di inilah.com "inovasi portal berita" yang berjudul 431 Ha Sawah di Garut Kekeringan, Kerugian Rp1,6 M diakses pada tanggal 17 November 2013 pukul 12.40 di http://m.inilah.com/read/detail/2027639/431-ha-sawah-di-garut-kekeringan-kerugianrp16-m
3
Merdeka3, kerugian yang ditimbulkan dari banjir rob pada tahun 2007 di Kampung Laut mencapai ratusan juta rupiah dan mengakibatkan kerusakan tanaman padi di areal seluas 95 ha. Setiap tahun setidaknya ada 200 KK di Kecamatan Kampung laut yang rumahnya terancam air pasang. Naiknya permukaan air di sungai-sungai yang ada di kecamatan tersebut memang tergantung bergantinya angin musim. Berdasarkan pemaparan tersebut, menjadi penting bagi penulis untuk menganalisis lebih jauh mengenai Resililensi nafkah petani di Kecamatan Kampung Laut sebagai kawasan yang rawan bencana.
Masalah Penelitian Mayoritas penduduk Indonesia berusaha di sektor pertanian. Usaha tani merupakan usaha yang sangat rentan, hal ini dikarenakan ketergantungan sepenuhnya terhadap kondisi alam. Alam tidak dapat diprediksi dan cenderung tidak menentu. Ketergantungan yang tinggi itulah yang menyebabkan kerentanan bagi kehidupan petani. Dalam kondisi yang normal pun (tanpa bencana) usaha tani adalah usaha yang rentan, apalagi dengan ditambah adanya bencana yang memperparah keadaan. Keadaan sumberdaya sangat mempengaruhi pilihan strategi nafkah yang akan dilakukan oleh seseorang. Ellis (2000) memaparkan terdapat lima modal ataupun yang disebut livelihood assets, yakni modal alam, fisik, manusia, sosial, dan finansial. Rumahtangga akan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki semaksimal mungkin untuk mendukung kehidupan anggota rumahtangganya. Keterbatasaan modal yang dialami rumahtangga akan membatasi peluang rumahtangga dalam menentukan strategi nafkah` yang mereka lakukan. Selain itu, dapat dikatakan keterbatasan akan modal tersebut mempengaruhi “kerentanan” yang dialami oleh rumahtangga. Bencana rob yang terjadi di Kampung Laut memang sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat sekitar, karena bencana tersebut rutin terjadi setiap tahunnya. Namun, dampak dari bencana tersebut sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, khususnya petani karena produktivitas pertanian sangat menurun dengan adanya kondisi tersebut. Penurunan produktivitas tersebut otomatis akan mempengaruhi kondisi perekonomian petani setempat. Mengingat kebutuhan hidup yang semakin meningkat, petani dituntut untuk melakukan beragam cara dan strategi agar keluar dari permasalahan ekonomi yang melanda. Strategi nafkah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk dapat keluar dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti : 1. Sejauhmana penguasaan livelihood asset yang dilakukan oleh rumahtangga petani 2. Bagaimana bentuk strategi nafkah yang dibangun rumahtangga petani 3. Bagaimana struktur pendapatan yang dimiliki oleh rumahtangga petani baik dari sektor pertanian maupun non pertanian 4. Bagaimana bentuk resiliensi nafkah rumahtangga petani 3
Kutipan pada Harian Suara Merdeka yang berjudul Rob di Kampung Laut Semakin Tinggi diakses pada tanggal 30 Desember 2013 pukul 21.34 di http://www.suaramerdeka.com/harian/0712/28/ban03.htm
4
Tujuan Penelitian
1. 2. 3. 4.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: Menganalisis penguasaan livelihood asset yang dibangun oleh rumahtangga Menganalisis bantuk strategi nafkah yang dibangun rumahtangga petani Menganalisis struktur pendapatan yang dimiliki oleh rumahtangga petani baik dari sektor pertanian maupun non-pertanian Menganalisis bentuk resiliensi nafkah rumahtangga petani
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan literatur mengenai topik yang terkait. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi desa, serta memaparkan berbagai usaha yang dilakukan oleh masing-masing rumahtangga dalam bertahan hidup, sehingga menjadi referensi bagi rumahtangga lainnya untuk membangun strategi penghidupannya dengan menggunakan potensi yang dimiliki masing-masing. 3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan menjadi suatu saran dalam memberikan informasi dan data untuk pembuatan kebijakan yang terkait dengan petani dan pertanian khususnya di Kecamatan Kampung Laut.
5
PENDEKATAN TEORITIS Bab ini berisi tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian dan definisi operasional. Tinjauan pustaka berisi teori-teori dan konsep-konsep dasar untuk menganalisis data hasil penelitian, kerangka pemikiran berisi alur pemikiran logis yang diteliti, hipotesis adalah dugaan sementara dari hasil penelitian dan definisi operasional berisi variabel-variabel yang diteliti. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Tinjauan Pustaka Bencana Alam dan Pengaruhnya bagi Sektor Pertanian Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana adalah sebagai berikut: “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, nonalam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. Menurut BPPN (2006), faktor-faktor penyebab terjadinya bencana antara lain: 1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena manusia (man-made hazars) yang menurut United Nations International Strategy For Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards), dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation). 2. Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kawasan beresiko bencana 3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat. Penelitian Suryawati (2012) menunjukkan adanya ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap alam baik dari segi ekonomi maupun sosial. Adanya sedimentasi yang terjadi di Laguna Segara Anakan membuat masyarakat harus memutar otak menciptakan sumber-sumber ekonomi bagi penghidupan
6
rumahtangganya. Hasil penelitian Hastuti (2006) di lereng Gunung Merapi memaparkan bahwa adanya peristiwa letusan Gunung Merapi di Tahun 2006 menciptakan keterpurukan ekonomi rumahtangga karena kesulitan memperoleh pendapatan. Penelitian Rochana (2011) di Pesisir Bandar Lampung juga menyebutkan bahwa gelombang pasang telah menjadi bencana yang memporakporandakan kehidupan pesisir. Seluruh aktivitas ekonomi produktif penangkapan ikan di laut beserta ikutannya terhenti oleh gelombang pasang. Sebagian bangunan fisik rumah masyarakat pesisir hancur luluh lantak. Rusaknya infrastruktur rumah sebagai sarana dasar untuk berteduh dan lumpuhnya perekonomian bagi masyarakat pesisir yang sebagian besar miskin yang berujung pada peningkatan kesulitan hidupnya. Kerentanan Rumahtangga Petani Kerentanan yaitu kecenderungan sistem kompleks adaptif mengalami pengaruh buruk dari keterbukaannya terhadap tekanan eksternal dan kejutan (Kasperson 1998 dalam Suryawati 2012). Kerentanan adalah manifestasi dari struktur sosial, ekonomi, politik, dan pengaturan lingkungan. Kerentanan dapat dilihat dari dua unsur, yaitu paparan terhadap resiko dan coping capacity. Manusia yang lebih memiliki kapasitas untuk mengatasi kejadian ekstrem, kerentanannya lebih sedikit terhadap resiko. Semakin rentan sebuah sistem, maka semakin rendah kapasitas kelembagaan dan masyarakat untuk beradaptasi dan membentuk perubahan (Adger et al. dalam Rochana 2011). Menurut Hadianto et al. (2009), penetapan indikator kerentanan dilihat berdasarkan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh di tingkat individu, masyarakat, wilayah dan institusi. Adapun beberapa faktor utama yang berpengaruh terhadap kerentanan sosial, diantaranya adalah kurangnya akses terhadap sumberdaya (informasi, pengetahuan, dan teknologi), terbatasnya akses terhadap kekuatan dan keterwakilan politik, modal sosial, koneksi dan jejaring sosial, adat kebiasaan dan nilai budaya. Selain itu, terdapat beberapa indikator kuantitatif kerentanan sosial ekonomi, diantaranya: usia (dibawah 5 tahun dan diatas 65 tahun), pendapatan, gender, dan status kerja. Dalam penelitian Sunarti (2007) menunjukkan bahwa pendidikan seseorang menentukan kemampuannya dalam mengembangkan mekanisme coping dalam menghadapi situasi darurat karena bencana. Petani adalah kelompok orang yang sangat rentan. Hal ini diakibatkan oleh SDM dan aksesnya yang terbatas. Menurut Hadianto et al.(2009), dalam kondisi yang normal pun usaha tani adalah usaha yang rentan, ditambah lagi dengan adanya bencana yang memperparah kondisi kehidupan petani. Dalam hasil penelitian Suryawati (2012), kerentanan yang terdapat pada masyarakat di Laguna Segara Anakan diantaranya disebabkan kondisi SDM yang rendah yang dikarenakan kurangnya dukungan sarana dan prasarana pendidikan, akses dan mobilitas yang sangat rendah, serta penduduk yang berdiam di lokasi-lokasi yang sangat rawan bencana dengan dukungan fasilitas yang sangat terbatas. Konsep Resiliensi Menurut Adger (2000), resiliensi merupakan kebalikan dari kerentanan (vulnerability), dimana kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep resiliensi merupakan konsep yang luas, didalamnya termasuk kapasitas dan
7
kemampuan merespon dalam situasi krisis/konflik/darurat. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan kembali ke keadaan semula pada saat terjadi bencana. Resiliensi merupakan proses yang dinamis mencakup adaptasi yang positif saat rerjadi bencana. Resiliensi pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Resiliensi termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan mengimplementasikan back up system, dan pengurangan kerugian (James et al. 2006 dalam Praptiwi 2009) Palmer (1997) dalam Praptiwi (2009) mendeskrispsikan empat tipe resiliensi, yaitu: 1. Anomic survival; orang atau keluarga yang dapat bertahan dari gangguan 2. Regenerative resilience; dapat melengkapi usaha untuk mengembangkan kompetensi dari mekanisme coping 3. Adaptive resilience; periode yang relatif berlanjut dari pelaksanaan dan strategi coping 4. Flourishing resilience; penerapan yang luas dari perilaku dan strategi coping Michalski & Watson dalam Praptiwi (2009) memaparkan berbagai karakteristik rumahtangga yang memiliki resiliensi, yakni: 1. Kompeten dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan dalam mengambil keputusan 2. Adanya pembagian tugas dalam rumahtangga 3. Fleksibilitas dan kemampuan adaptasi untuk mencapai tujuan 4. Kemampuan komunikasi yang baik 5. Mempunyai hubungan yang konsisten dengan sesama. Resiliensi dalam hubungannya dengan ekonomi dapat dilihat dari ketahanan nafkah rumahtangga, dimana resiliensi diartikan sebagai kemampuan rumahtangga untuk bertahan ketika krisis keuangan. Selain hubungannya dengan faktor ekonomi, resiliensi juga dapat dihubungkan dengan faktor sosial-ekologi. Menurut Carpenter (2001) dalam Suryawati (2012), resiliensi sosial-ekologi adalah (1) jumlah gangguan yang dapat diserap oleh sistem dan berada dalam keadaan yang sama, (2) tingkatan dimana sistem memiliki kemampuan mengorganisir kembali dirinya, dan (3) tingkatan dimana sistem mampu membuat dan meningkatkan kapasitas untuk belajar dan beradaptasi. Sistem sosial-ekologis yang kehilangan resiliensi disebut sebagai sistem yang rentan. Nafkah Rumahtangga Petani Pedesaan Konsep nafkah memiliki arti sebagai cara hidup. Konsep ini biasanya disejajarkan dengan konsep livelihood (mata pencaharian). Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pengertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna secara sempit sebagai mata pencaharian saja. Strategi nafkah adalah berbagai kombinasi dari aktivitasaktivitas dan pilihan-pilihan kegiatan nafkah yang dilakukan orang untuk mencapai kebutuhan dan tujuan kehidupannya (Aristiyani 2001 dalam Tulak 2009). Strategi nafkah adalah proses-proses dimana rumahtangga membangun suatu kegiatan dan kapabilitas dukungan sosial yang beragam untuk bertahan hidup atau meningkatkan taraf hidupnya (Tulak 2009).
8
Menurut Crow dalam Dharmawan (2001), terdapat aspek-aspek penting dalam strategi nafkah, yaitu: 1. Harus terdapat pilihan yang dapat dipilih oleh seseorang sebagai tindakan alternatif 2. Kemampuan melatih kekuatan 3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakapastian yang dihadapi seseorang dapat diminimalisir 4. Strategi dibangun sebagai respon terhadap tekanan yang hebat yang menerpa seseorang 5. Harus ada sumberdaya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa membentuk dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda 6. Strategi biasanya merupakan keluaran dari konflik dan proses yang terjadi dalam rumahtangga. Menurut Ellis (2000) pembentuk strategi nafkah dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Berasal dari on-farm Merupakan strategi nafkah yang didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan sebagainya) 2. Berasal dari off-farm Berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), konrak upah tenaga kerja non-upah dan lain-lain. 3. Berasal dari non-farm Sumber pendapatan berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi lima, yaitu: upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian, usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota, dan kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. Ellis (2000) memaparkan terdapat lima tipe modal atau yang biasa disebut sebagai (livelihood asset), yakni: 1. Modal manusia yang meliputi jumlah (populasi manusia), tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki dan kesehatannya. 2. Modal alam yang meliputi segala sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan manusia untuk kelangsungan hidupnya, seperti air, tanah. udara, hutan, dan sebaganya. 3. Modal sosial yaitu berupa jaringan sosial dan lembaga dimana seseorang berpartisipasi dan memperoleh dukungan untuk kelangsungan hidupnya. 4. Modal finansial yaitu berupa kredit dan persediaan uang tunai yang bisa diakses untuk keperluan produksi dan konsumsi 5. Modal fisik yaitu modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti gedung, jalan dan sebagainya. Scoones (1998) dalam Tulak (2009) menggolongkan strategi nafkah petani menjadi tiga golongan besar, yakni: 1. Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang merupakan usaha penguasaan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi) maupun dengan memperluas lahan garapan pertanian (ekstensifikasi)
9
2. Pola nafkah ganda yang merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan) 3. Rekayasa spasial merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi/perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkular (migrasi) Berdasarkan beberapa literatur, terdapat berbagai jenis strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga dalam meningkatkan kualitas hidupnya atau sekedar untuk mempertahankan hidupnya. Hasil penelitian Widiyanto (2009) pada petani tembakau di Lereng Gunung Sumbing, diketahui bahwa strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani tembakau dengan mengkombinasikan aset-aset (modal) yang dimiliki, yaitu: modal alami, modal fisik, modal finansial, modal sumberdaya manusia, dan modal sosial. Secara umum rumahtangga petani di daerah penelitian membangun beberapa strategi nafkah, yaitu: strategi produksi, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, srabutan, akumulasi, dan manipulasi komoditas, sedangkan kelembagaan yang dibangun oleh petani sebagai implementasi dari strategi nafkah adalah sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, dan maro. Kerangka Pemikiran
Penguasaan Livelihood Assets Modal Alam
Kerentanan
Modal Manusia
Modal Fisik
Modal Sosial
Modal Finansial
Tingkat Resiliensi Nafkah
Tingkat Pendapatan dari Sektor Pertanian
Tingkat Pendapatan dari Sektor Non- Pertanian
Gambar 1. Kerangka Analisis Penelitian Keterangan : Berhubungan Deskriptif
Strategi Nafkah
10
Usaha tani merupakan usaha yang rentan. Hal ini dikarenakan keterbatasan petani terhadap berbagai hal seperti akses terhadap informasi, teknologi dan sebagainya. Kerentanan pada petani diperparah dengan adanya ketergantungan terhadap alam yang sangat tinggi, sementara alam tidak dapat diprediksi dan tidak menentu. Kecamatan Kampung Laut merupakan representasi dari hal tersebut. Banjir rob yang merendam wilayah tersebut membuat kehidupan perekonomian masyarakat sekitar semakin sulit. Usaha yang dilakukan untuk keluar dari permasalahan ini dengan cara menerapkan berbagai strategi untuk dapat tetap bertahan hidup. Beragam strategi dapat diterapkan oleh petani sesuai dengan kondisi alam dan karakteristik mereka masing-masing. Salah satunya dengan penguasaan livelihood asset berupa modal fisik, alam, finansial, sosial, dan manusia. Dengan penguasaan yang optimal, diduga pendapatan ekonomi rumahtangga akan meningkat pula. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Diduga terdapat hubungan antara penguasaan livelihood asset yang terdiri dari modal manusia, alam, fisik, finansial dan sosial yang dilakukan rumahtangga terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani 2. Diduga terdapat hubungan antara tingkat resiliensi rumahtangga terhadap struktur pendapatan yang dibangun rumahtangga baik dari sektor pertanian maupun non-pertanian 3. Diduga rumahtangga petani melakukan berbagai strategi nafkah untuk dapat bertahan hidup.
Definisi Operasional 1.
Livelihood Asset adalah lima modal sumberdaya yang dimanfaatkan dalam penerapan strategi nafkah. Kelima modal tersebut antara lain: a. Tingkat modal manusia, dilihat dari tingkat pendidikan, penggunaan tenaga kerja, dan tingkat alokasi tenaga kerja Berikut merupakan pemaparan dari masing masing variabel. - Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang dijalani. Tingkat pendidikan termasuk ke dalam jenis data ordinal, dengan kategori : a. Rendah : tidak sekolah atau lulus SD b. Sedang : lulus SMP c. Tinggi : lulus SMA atau PT - Tingkat penggunaan tenaga kerja adalah jumlah orang yang dipekerjakan dalam usahatani yang dijalankan. Tingkat penggunaan tenaga kerja masuk ke dalam jenis data ordinal, dengan kategori: a. Rendah : apabila tidak menggunakan orang lain b. Sedang : apabila mengunakan satu orang c. Tinggi : apabila menggunakan dua orang atau lebih
11
-
b.
c.
d.
e.
4
Tingkat alokasi tenaga kerja adalah jumlah anggota rumahtangga yang memiliki pendapatan. Pengkategorian variabel ini sebagai berikut: a. Rendah, apabila hanya kepala keluarga yang bekerja b. Sedang, apabila ibu dan bapak yang bekerja c. Tinggi, apabila seluruh anggota keluarga dengan usia produktif bekerja. Pengskoran4 untuk tingkat modal manusia adalah sebagai berikut: Rendah (3 – 5), sedang (6 – 7), dan tinggi (8 – 9) Tingkat modal alam adalah luas kepemilikan lahan pertanian oleh rumahtangga petani. Kategori variabel tingkat modal alam termasuk dalam jenis data ordinal yang diperoleh dari lapangan, berikut penggolongannya: 2 a. Rendah, apabila luas lahan yang dimiliki 150 m – 850 m2 b. Sedang, apabila luas lahan yang dimiliki 851 m2 – 1551m2 c. Tinggi, apabila luas lahan yang dimiliki > 1551 m2 Tingkat modal sosial dilihat berdasarkan tiga aspek, yakni kekuatan jaringan, kepercayaan, tingkat kepatuhan terhadap norma. Rincian ketiga aspek tersebut sebagai berikut : - Kekuatan jaringan adalah hubungan-hubungan yang terjalin antara sesama masyarakat yang dapat dilihat dari aspek hubungan pertetanggaan, pertemanan, kerja, maupun hubungan dengan pemangku desa - Kepercayaan meliputi kepercayaan pada keluarga, tetangga, orang dari kelas yang berbeda, pada pemilik usaha, pada aparat pemerintah - Kepatuhan terhadap norma meliputi kesediaan menolong orang lain, kepedulian pada orang lain, keterbukaan pada orang lain. Tingkat modal sosial termasuk dalam jenis data ordinal, adapun pengkategoriannya sebagai berikut: a. Rendah, apabila hanya memiliki satu aspek saja b. Sedang, apabila memiliki dua aspek c. Tinggi, apabila memiliki ketiga aspek Tingkat modal finansial adalah investasi keuangan yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola sumber daya dalam memenuhi kebutuhan hidup, yakni berupa tingkat tabungan dan tingkat pinjaman. Tingkat tabungan akan dilihat berdasarkan tingkat pendapatan dan pengeluaran, seperti berikut : a. Rendah, apabila tabungan bernilai negatif (tidak memiliki) dan rumahtangga memiliki pinjaman b. Sedang, apabila tabungan bernilai negatif (tidak memiliki) dan rumahtangga tidak memiliki pinjaman c. Tinggi, apabila tabungan bernilai positif (memiliki) dan tidak memiliki pinjaman Modal fisik adalah berbagai sarana dan prasarana fisik yang dibangun untuk tujuan-tujuan pembangunan dan penghidupan masyarakat, seperti infrastruktur jalan, listrik, sarana pendidikan dan kesehatan. Tingkat modal fisik akan diukur dengan melihat kepemilikan alat-alat yang mendukung Penentuan skor : rendah (1), sedang (2), dan tinggi (3)
12
2.
3.
4.
5.
dalam aktifitas nafkah rumahtangga, seperti sepeda motor, traktor dan warung. Tingkat modal fisik termasuk dalam jenis data ordinal, adapun pengkategoriannya sebagai berikut: a. Rendah, apabila tidak memiliki alat-alat yang mendukung aktifitas nafkah b. Sedang, apabila memiliki satu alat-alat yang mendukung aktifitas nafkah c. Tinggi, apabila memiliki dua atau lebih alat yang mendukung aktifitas nafkah Pengskoran untuk tingkat penguasaan livelihood asset adalah sebagai berikut: rendah (5 – 8), sedang (9 – 12), tinggi (13 – 15) Tingkat resiliensi nafkah adalah lama waktu yang dibutuhkan oleh rumahtangga untuk recovery ketika terjadi krisis. Variabel tingkat resiliensi nafkah termasuk dalam jenis data ordinal, berikut pengkategoriannya berdasarkan data yang diperoleh di lapang: a. Rendah, apabila rumahtangga membutuhkan waktu 1 sampai 5 bulan untuk kembali ke kondisi normal b. Sedang, apabila rumahtangga membutuhkan waktu 6 sampai 11 bulan untuk kembali ke kondisi normal c. Tinggi, apabila rumahtangga membutuhkan waktu lebih dari 11 bulan untuk kembali ke kondisi normal Tingkat variasi nafkah adalah jumlah aktifitas nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat variasi nafkah termasuk pada data ordinal. Berikut pengkategoriannya: a. Rendah, apabila hanya memiliki satu aktifitas nafkah b. Sedang, apabila memiliki dua aktifitas nafkah c. Tinggi, apabila memiliki tiga aktifitas nafkah Tingkat pendapatan pertanian adalah total uang yang diterima oleh rumahtangga dari bekerja di sektor pertanian seperti bertani, berternak, dan menangkap ikan. Variabel tingkat pendapatan pertanian merupakan data ordinal. Penentuan kategori tingkat pendapatan pertanian disesuaikan dengan data yang diperoleh di lapang. Berikut penggolongannya: a. Rendah, jika pendapatan Rp. 500 000 – Rp. 6 800 000 per tahun b. Sedang, jika pendapatan Rp. 6 800 001 – Rp. 13 100 000 per tahun c. Tinggi, jika pendapatan > Rp. 13 100 000 per tahun Tingkat pendapatan non pertanian adalah total uang yang diterima oleh rumahtangga dari bekerja di non sektor pertanian seperti berdagang, membuat gula kelapa, menjadi kuli angkut dan sebagainya. Variabel tingkat pendapatan non pertanian merupakan data ordinal. Penentuan kategori tingkat pendapatan non pertanian disesuaikan dengan data yang diperoleh di lapang. Berikut penggolongannya: a. Rendah, jika pendapatan Rp. 500 000 – Rp. 9 033 000 per tahun b. Sedang, jika pendapatan Rp. 9 033 001 – Rp. 17 566 000 per tahun c. Tinggi, jika pendapatan > Rp. 17 566 000 per tahun
13
METODE PENELITIAN Metode penelitian berisi informasi mengenai lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik pengolahan dan analisis data. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pertanian di daerah tersebut, serta letaknya yang berada di Laguna Segara Anakan yang menjadikan desa ini cukup unik dibandingkan dengan desa lainnya. Penelitian ini difokuskan pada dua dusun, yakni Dusun Lempong Pucung dan Klaces. Data yang diperoleh dari masingmasing dusun disandingkan untuk melihat perbandingan dan variasi data. Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti melakukan observasi melalui penjajakan ke lokasi penelitian dan penelusuran literatur yang terkait dengan lokasi penelitian. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Lama pelaksanaan penelitian sekitar enam bulan.
Teknik Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data, dan informasi dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei yaitu mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data (Singarimbun dan Efendi 1989). Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap informan. Metode lain yang digunakan adalah melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena aktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data monografi desa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di Dusun Lempong Pucung dan Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik simple cluster sampling. Jumlah sampel yang akan dijadikan responden berjumlah enam puluh orang (tiga puluh di Dusun Lempong Pucung dan tiga puluh di Dusun Klaces). Jumlah ini dirasa cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data yang dihasilkan. Lebih lanjut tentang pengumpulan data dapat dilihat pada tabel berikut.
14
Tabel 1. Metode pengumpulan data Teknik Pengumpulan Data Kuesioner
Wawancara mendalam
Data yang dikumpulkan
Observasi lapang analisis dokumen
Karakteristik responden Penguasaan livelihood assets Struktur pendapatan pertanian Struktur pendapatan non-pertanian Struktur pengeluaran Bagaimana bencana mempengaruhi penghidupan petani Bagaimana petani membentuk strategi dalam bertahan hidup Bagaimana strategi nafkah petani Dampak dari bencana Bentuk resiliensi petani Aktivitas yang dilakukan oleh petani Gambaran umum desa melaui data monografi
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul dilakukan reduksi data, yakni pemilihan, pemusatan perhatian, serta penyederhanaan terhadap data sehingga menjawab tujuan penelitian. Data yang diperoleh melalui kuesioner diolah dengan menggunakan microsoft excel 2007 sebelum dimasukan ke perangkat lunak SPSS for Windows versi 20 untuk mempermudah pengolahan data. Uji statistik yang digunakan yakni uji korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan antara variabel yang akan diuji. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif diolah dan dianalisis untuk disajikan dalam bentuk tabulasi silang, teks naratif, matriks, bagan dan gambar. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
15
PROFIL MASYARAKAT KAMPUNG LAUT Pada bab ini, akan dipaparkan mengenai sejarah munculnya Kampung Laut yang berasal dari proses sedimentasi. Selain itu, dipaparkan pula mengenai pola penguasaan lahan yang terjadi setelah munculnya “tanah timbul”, serta bagaimana kondisi sosial ekonomi dan fisik masyarakat Kampung Laut secara umum. Sejarah Munculnya Tanah Timbul Kecamatan Kampung Laut berada di Laguna Segara Anakan yang berdiri sejak tahun 2004. Kecamatan Kampung Laut terdiri dari empat desa; Panikel, Ujung Alang, Ujung Gagak, dan Klaces. Kondisi wilayah kawasan Segara Anakan termasuk di dalamnya Kecamatan Kampung Laut merupakan wilayah pengembangan sungai Citanduy bagian hilir yang berada diantara pantai selatan Jawa Tengah bagian barat dengan pulau Nusakambangan. Segara Anakan merupakan perairan payau karena percampuran air tawar yang mengalir dari sungai Citanduy, Cibeureum, Donan dan Cikonde serta beberapa sungai lainnya yang bermuara langsung di Segara Anakan dan bercampur dengan air laut Samudera Hindia. Menurut hasil penelitian Farid et al. (2009), Kampung Laut muncul dari proses sedimentasi muara sungai Citanduy dan Cimeneng yang disebut sebagai tanah timbul. Sedimentasi yang terjadi di wilayah Segara Anakan sangat tinggi, diperkirakan mencapai 1 juta m3 pertahun. Suryawati (2012) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa telah terjadi penyempitan laguna disetiap tahunnya. Berikut pembagian tahun menurut hasil penelitiannya. Tabel 2 Kondisi penyusutan wilayah Segara Anakan menurut periode waktu Periode 1980 – 1985
Kondisi Meletusnya Gunung Galunggung pada Tahun 1982 diyakini sebagian masyarakat sebagai pemicu terjadinya sedimentasi di Segara Anakan. Terjadi penyusutan laguna sebesar 247 ha akibat sedimentasi Mata pencaharian warga mulai berubah dari nelayan menjadi petani padi sawah tetapi belum secara menyeluruh. Perikanan masih memberi hasil yang mencukupi Terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran dari daratan Jawa ke Kampung Laut dengan tujuan mencoba bercocok tanam di tanah timbul, hal ini mengakibatkan kenaikan jumlah populasi di Segara Anakan Warga mulai mematok wilayah yang diyakini sebagai warisan nenek moyang, tetapi hal ini menimbulkan sengketa antara perhutani, Departemen Kehakiman dan warga sekitar.
16
1986 – 1990
1991 – 1995
1996 – 2000
2001 – 2012
Sedimentasi terus berlanjut, terjadi penambahan daratan seluas 74 ha dan penyempitan laguna seluas 346 ha. Penambahan pemukiman seluas 2 ha. Pemerintah desa mulai mengatur pembagian tanah timbul kepada setiap rumahtangga seluas 0.5 ha Kegiatan pertanian terus meningkat dengan adanya bantuan pengelolaan air dari yayasan keagamaan. Jumlah pendatang terus meningkat. Sedimentasi terus berlanjut, terjadi penambahan daratan seluas 1 339 ha dan penyempitan laguna seluas 719 ha. Penambahan pemukiman seluas 3 ha. Produksi perikanan dan pendapatan nelayan drastis menurun Perubahan ekologi tersebut mendorong berkembangnya jenis perekonomian baru, yakni tambak ikan. Sedimentasi terus berlanjut, terjadi penambahan daratan seluas 631 ha dan penyempitan laguna seluas 594 ha. Penambahan pemukiman seluas 5 ha. Cakupan areal mangrove yang cukup luas mengundang para inverstor untuk mengusahakan pertambakan secara intensif. Petambak-petambak tersebut berasal dari luar daerah seperti Pangandaran, Jakarta, Lampung, Karawang dan Pekalongan. Pada periode ini, terjadi degradasi lingkungan yang sangat cepat. Pengurangan luasan mangrove berdampak pada ekologi dan kehidupan masyarakat. Usaha pertambakan yang dilakukan investor tenyata berhasil yang kemudian mengundang masyarakat sekitar untuk menirunya. Namun hal ini gagal karena mereka melakukannya pada lahan-lahan yang baru terbentuk, serta sistem irigrasi yang buruk. Sedimentasi terus berlanjut, terjadi penambahan daratan seluas 631 ha dan penyempitan laguna seluas 366 ha. Antara tahun 2000 – 2005 dilakukan tiga kali pengerukan untuk mengurangi sedimentasi. Petani yang tanahnya dipergunakan untuk membuang hasil kerukan memperoleh kompensasi untuk tanaman-tanaman ekonomis seperti kelapa. Adanya pengerukan juga membuat perairan menjadi keruh, sehingga menghambat nelayan dalam melaut, sehingga nelayan juga diberikan kompensasi.
Sumber : Suryawati (2012)
17
Berdasarkan Tabel 2 tersebut, tampak perubahan ekologi yang terjadi di Segara Anakan selalu diikuti dengan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh masyarakat. Perubahan mata pencaharian dari nelayan menjadi petani memang upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk tetap bertahan hidup, namun keterbatasan keterampilan dalam bercocok tanam menjadi hambatan tersendiri bagi mereka. Mendatangkan petani dari luar daerah adalah jalan keluar dari permasalahan yang ada. Semakin hari, jumlah pendatang di Kampung Laut terus bertambah.
Sumber : KPKSA (2009)
Gambar 2 Perubahan luasan Segara Anakan Tahun 1984 – 2003 Sedimentasi yang terus terjadi dengan laju yang sangat tinggi menimbulkan kekhawatiran akan kelestarian Laguna Segara Anakan. Proses sedimentasi di Laguna Segara Anakan terjadi karena beberapa hal. Salah satunya karena penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy. Kondisi alam di sekitar DAS Citanduy juga terus mempengaruhi kecepatan laju sedimentasi. Tingginya curah hujan pada daerah hulu yang mencapai 3 000 – 5 500 mm telah membawa partikel tanah yang berasal dari wilayah sekitarnya. Begitu pula dengan daun-daunan kering yang terseret air masuk ke dalam aliran sungai (Ramadhan A dan Hafsari D 2012). Penguasaan Tanah Timbul Dalam UUPA1960, tanah timbul adalah tanah milik negara. Masyarakat dapat memiliki hak kuasa atas tanah timbul dengan sepengetahuan dan izin negara (Farid et al. 2009). Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan warga untuk dapat memperoleh hak akses terhadap tanah timbul adalah dengan sistem trukah,
18
yakni pembagian lahan yang dilakukan oleh pemerintah kepada warga Kampung Laut atas seluas tanah. Sistem ini dilakukan sejak tahun 1980-an. Masyarakat dapat membuka lahan seluas 350 ubin bagi masing-masing rumahtangga dan menentukan sendiri letaknya. Saat ini, sistem ini tidak dapat lagi dilakukan mengingat luasan lahan yang sudah habis dibagi rata pada seluruh masyarakat Kampung Laut. Munculnya tanah timbul pastinya menimbulkan persengketaan antara berbagai pihak yang bersangkutan atas tanah tersebut. Menurut hasil penelitian Farid et al. (2009), terdapat beberapa konflik pengelolaan di atas tanah timbul. Berikut disajikan pada tabel. Tabel 3 Berbagai konflik yang melibatkan beberapa aktor di Kampung Laut Aktor Masyarakat asli dan pendatang
Masalah Masyarakat Kampung laut adalah pertemuan warga pendatang dengan warga asli. Pada proses pendistribusian lahan tanah timbul muncul konfik atas akses lahan antara warga asli dan pendatang. Perhutani dan Meningkatnya luasan tanah timbul secara terus menerus masyarakat mengakibatkan perselisihan interpretasi batas-batas tanah (konflik timbul. Setelah dilakukan trukah, masyarakat meyakini perbatasan) bahwa batasan lahan mereka berada diluar batas wilayah perhutani, namun perhutani tetap bersikukuh bahwa tanah timbul tersebut masuk ke wilayah mereka. Masyarakat dan Kasus ini terjadi di Muara Dua Panikel, dimana hanya pemerintah desa beberapa orang saja yang memiliki surat hak atas tanah yang (konflik tumpang dianggap sah oleh pemerintah desa. Pemerintah desa yang tindih dianggap memiliki kuasa terhadap pengelolaan tanah timbul kepemilikan) serta pendistribusiannya dianggap sebagai makelar tanah yang dapat menjual beli surat penguasaan lahan tanah timbul. Masyarakat dan Usaha investor tidak mendapat dukungan oleh masyarakat investor (konflik Kampung Laut. Beragam bentuk perlawanan ditunjukkan pengelolaan) oleh masyarakat setempat sebagai bentuk penolakannya seperti melakukan pencurian udang-udang, penjarahan serempak hasil panen, turut serta dalam panen hasil tambak namun tidak dikembalikan kepada pemilik tambak. Masyarakat dan Adanya tanah timbul di area LP Nusakambangan LP mengakibatkan konflik antara masyarakat dan LP Nusakambangan Nusakambangan. Masyarakat sempat ditegur oleh pihak LP (konflik klaim) Nusakambangan karena dianggap mengolah lahan milik LP Nusakambangan. Pada kasus ini, sempat terjadi pembakaran gubug (rumah sementara) Sumber : Farid et al. (2009) Tabel 3 tersebut memaparkan berbagai konflik yang terjadi di wilayah Kampung Laut. Secara umum, permasalahan yang terdapat diantara beberapa aktor tersebut adalah batas wilayah yang tidak jelas sehingga terjadi perebutan dan tumpang
19
tindih penguasaan lahan. Selain itu, adanya usaha investor yang melakukan usaha pertambakan di wilayah Kampung Laut juga mengundang perlawanan dari masyarakat setempat Kondisi Sosial dan Ekonomi Sub-bab sebelumnya telah menjelaskan bahwa jumlah pendatang di setiap tahunnya terus meningkat. Tahun 2000 sampai 2010 jumlah penduduk terus bertambah dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2.7 persen. Mayoritas pendatang di Kampung Laut berasal dari Jawa Barat, sehingga bahasa yang digunakan Jawa dan Sunda. Ikatan kekerabatan antar penduduk masih tergolong kuat satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dari silsilah keluarga yang masih menyambung antar keluarga. Kondisi seperti ini cukup menguntungkan bagi masyarakat apabila terjadi konflik. Kelembagaan yang terbentuk dan tergolong kuat di kedua desa yaitu kelembagaan informal yaitu seperti pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, serta kelompok badminton remaja. Kelembagaan informal ini merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan masyarakat dibandingkan dengan kelembangaan formal yang ada. Kondisi kelembagaan formal yang ada terutama di Desa Klaces dan Ujung Alang masih lemah khususnya PKK dan Karang Taruna. Dahulu, mayoritas penduduk di Kecamatan Kampung Laut adalah berprofesi sebagai nelayan dan petani. Meskipun kegiatan pertanian mulai berkembang, mayoritas penduduk asli memilih tetap menjadi nelayan karena masih memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar. Sedimentasi yang mengakibatkan dangkalnya wilayah perairan mengakibatkan banyak nelayan yang berganti profesi sebagai petani. Menurut penuturan salah satu informan, jumlah ikan yang didapat tidak lagi melimpah seperti tahun-tahun sebelumnya, sehingga kadang hanya cukup untuk kebutuhan makan rumahtangga saja. Lembaga keuangan formal tidak ada di Kecamatan Kampung Laut, sehingga sebagian besar masyarakat meminjam pada kerabat ataupun kepada warga yang memiliki modal berlebih. Biasanya, uang yang dipinjam akan dikembalikan dengan hasil tangkapan ataupun hasil panen di sawah. Hasil yang diperoleh dari pertanian dan perikanan sebenarnya sudah sangat tidak mendukung lagi. Perikanan yang menggantungkan produksi pada jumlah ikan yang melimpah sudah tidak menjanjikan lagi. Pertanian sawah juga menghadapi kendala masuknya air asin ke lahan yang mengakibatkan produkivitas pertanian pun menurun. Kedua hal inilah yang mengakibatkan pendapatan dari sektor pertanian secara luas tidak dapat diandalkan, sehingga banyak warga yang beralih ke sektor non-pertanian. Kondisi Fisik Hingga tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an rumah-rumah tempat tinggal di Kampung Laut masih berupa rumah panggung. Rumah-rumah tersebut wujudnya seperti rumah-rumah Jawa pada umumnya, yaitu berbentuk segi empat dengan atap model Kampung Srotong atau Limasan, dibangun di atas tiang-tiang
20
kayu tancang5. Kayu yang digunakan pada waktu itu mudah ditemukan di hutanhutan bakau, adapula yang memperolehnya dari Nusakambangan. Menjelang tahun 1980-an rumah-rumah panggung tersebut semakin menghilang tergerus waktu. Salah satu penyebabnya adalah dangkalnya wilayah perairan. Masyarakat setempat menggunakan tanah timbul untuk menimbun kolong-kolong rumah yang tergenang air, sehingga tidak diperlukan tiang-tiang penyangga lagi. Salah satu penyebab lainnya adalah semakin sulitnya memperoleh kayu untuk dijadikan tancang, sehingga kebanyakan warga memilih untuk menimbun kolong rumah dengan tanah. Sarana dan prasarana yang terdapat di Kampung Laut dapat dikatakan masih belum baik. Salah satu contoh yang paling nyata adalah kelangkaan air bersih dan energi listrik. Pemenuhan kebutuhan air bersih sangat terbatas, biasanya masyarakat terutama yang berada di Desa Ujung Gagak dan Dusun Motean memperoleh air bersih untuk mandi dan masak dari Nusakambangan. Jaringan listrik dari PLN pun belum merata di semua wilayah, hanya di Desa Panikel dan Ujung Gagak yang sudah mendapatkan fasilitas PLN karena wilayahnya sudah menyatu dengan daratan Jawa. Berbeda dengan Desa Klaces dan Ujung Alang, masyarakat di kedua desa baru bisa menikmati aliran listrik dari PLN semenjak akhir tahun 2012. Sebelumnya warga hanya memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), itupun belum merata ke semua penduduk, hanya 100 KK di masing-masing desa yang dipilih dengan sistem dikocok. Listriknya pun tidak menyala sepanjang hari, melainkan hanya pada jam 6 sore sampai jam 10 malam. Bagi sebagian warga, menggunakan genset merupakan jalan keluar dari kegelapan. Selain itu, infrastruktur jalan di Desa Ujung Alang khususnya Dusun Lempong Pucung baru dirasakan semenjak akhir tahun 2013 lalu (belum merata), berbeda dengan Desa Klaces yang lebih dahulu merasakannya yakni pada tahun 2005.
Ikhtisar Kecamatan Kampung Laut merupakan wilayah yang berada di Laguna Segara Anakan yang berdiri sejak tahun 2004. Kondisi wilayah Kawasan Segara Anakan termasuk didalamnya Kecamatan Kampung Laut merupakan wilayah pengembangan sungai Citanduy bagian hilir yang berada diantara Pantai Selatan Jawa Tengah bagian barat dengan Pulau Nusakambangan. Menurut hasil penelitian Farid et al. (2009), Kampung Laut muncul dari proses sedimentasi muara sungai Citanduy dan Cimeneng yang disebut sebagai tanah timbul. Sedimentasi yang terjadi di wilayah Segara Anakan sangat tinggi, diperkirakan mencapai 1 juta m3 pertahun. Dalam UUPA1960, tanah timbul adalah tanah milik negara. Masyarakat dapat memiliki hak kuasa atas tanah timbul dengan sepengetahuan dan izin negara (Farid et al. 2009). Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan warga untuk dapat mendapatkan hal akses terhadap tanah timbul adalah dengan sistem trukah, yakni pembagian lahan yang dilakukan oleh pemerintah kepada warga Kampung 5
Kutipan berjudul Menelusuri Sejarah Kampung Laut Diakses pada tanggal 23 April 2014 Pukul 23:19 di http://cilacapmedia.com/index.php/component/content/article/14budaya/778-menelusuri-sejarah-kampung-laut
21
Laut atas seluas tanah. Munculnya tanah timbul pastinya menimbulkan persengketaan antara berbagai pihak yang bersangkutan atas tanah tersebut. Secara umum, permasalahan yang terdapat diantara beberapa aktor tersebut adalah batas wilayah yang tidak jelas sehingga terjadi perebutan dan tumpang tindih penguasaan lahan. Selain itu, adanya usaha investor yang melakukan pertambakan di wilayah Kampung Laut juga mengundang perlawanan dari masyarakat setempat. Hasil yang diperoleh dari pertanian dan perikanan sebenarnya sudah sangat tidak mendukung lagi. Perikanan yang menggantungkan produksi pada jumlah ikan yang melimpah sudah tidak menjanjikan lagi. Pertanian sawah juga menghadapi kendala masuknya air asin ke lahan yang mengakibatkan produkivitas pertanian pun menurun. Kedua hal inilah yang mengakibatkan pendapatan dari sektor pertanian secara luas tidak dapat diandalkan, sehingga banyak warga yang beralih ke sektor non-pertanian.
22
23
PENGUASAAN LIVELIHOOD ASSET RUMAHTANGGA PETANI Bab ini membahas mengenai penguasaan livelihood asset yang dimiliki oleh rumahtangga petani Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung. Adapun livelihood asset dilihat berdasarkan kepemilikan lima modal, yakni modal alam, manusia, sosial, finansial, dan fisik. Adanya kepemilikan kelima modal tersebut oleh rumahtangga petani akan mempengaruhi penghidupan mereka. Modal manusia dalam penelitian ini mencakup tingkat pendidikan, alokasi tenaga kerja rumahtangga, tingkat penggunaan tenaga kerja, usia, dan status kependudukan. Modal alam mencakup pola penguasaan lahan dan luas lahan, baik lahan di tanah timbul maupun di dataran tinggi Nusakambangan. Modal finansial mencakup tabungan dan pinjaman. Modal fisik mencakup kepemilikan asset yang mendukung perekonomian rumahtangga petani. Terakhir, modal sosial mencakup norma, nilai, dan jejaring yang terdapat dalam rumahtangga petani.
Modal Manusia Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Berdasarkan data primer yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa dari 60 responden (30 di Dusun Klaces dan 30 di Dusun Lempong Pucung) rata-rata yang terlibat dalam usaha tani adalah hanya tamatan Sekolah Dasar. Sebagian warga memaparkan bahwa mereka hanya mengikuti Sekolah Rakyat (SR). Penelitian ini mengkategorikan responden menjadi tiga golongan, yakni rendah (tidak bersekolah atau tamatan SD), sedang (tamatan SMP), dan tinggi (tamatan SMA atau Perguruan Tinggi). Sebarannya dapat dilihat pada gambar berikut. 30
n = responden
25 20
Dusun Lempong Pucung Dusun Klaces
15 10 5 0 Tingkat Rendah Pendidikan Rendah
TingkatSedang Pendidikan Sedang
Tingkat Pendidikan Tinggi Tinggi
Sumber: Data primer
Gambar 3 Jumlah responden menurut tingkat pendidikan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014
24
Berdasarkan Gambar 3 tersebut, tingkat pendidikan antara Dusun Lempong Pucung dan Klaces terlihat berbeda, dimana petani di Dusun Lempong Pucung lebih tinggi pada kategori tingkat pendidikan yang rendah dan cenderung rendah pada kategori tingkat pendidikan sedang dan tinggi. Salah satu penyebab dari perbedaan tingkat pendidikan di kedua dusun tersebut adalah akses yang cukup jauh untuk mencapai sarana pendidikan di Dusun Lempong Pucung. Keterkaitan antara tingkat pendidikan terhadap aktifitas nafkah yang dilakukan berdasarkan data yang diperoleh di lapang, diketahui bahwa tingkat pendidikan ternyata memiliki hubungan dengan pilihan aktifitas nafkah yang dapat mereka lakukan. Mereka yang termasuk kategori sedang dan tinggi cenderung dapat memiliki pilihan aktifitas nafkah yang beragam, misalnya dapat menjadi guru PAUD dan SD, serta menjadi perangkat desa. Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga Tingkat alokasi tenaga kerja adalah jumlah anggota rumahtangga yang memiliki pendapatan. Alokasi tenaga kerja dalam rumahtangga sangat mempengaruhi tingkat pendapatan rumahtangga. Rumahtangga yang hanya berpegang pada satu orang sebagai pencari nafkah rumahtangga akan cenderung lebih rentan secara perekonomian dibandingkan dengan rumahtangga yang memiliki beberapa anggota sebagai pencari nafkah. Berikut data yang ditemukan dilapang dari kedua dusun. Tabel 4
Jumlah dan persentase responden menurut alokasi tenaga kerja di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
No Alokasi tenaga kerja 1. 2. 3.
Hanya Kepala Keluarga Ibu dan Bapak Ibu, Bapak, Anak/Anggota keluarga lainnya Total
Dusun Klaces (rumahtangga)
Dusun Lempong Pucung (rumahtangga)
Jumlah 16
Persentase 53
Jumlah 25
Persentase 83
12 2
40 7
4 1
13 4
30
100
30
100
Sumber: Data primer
Berdasarkan Tabel 4 tersebut, diketahui bahwa lebih dari 50 persen rumahtangga di kedua dusun hanya bergantung pada kepala keluarga dalam mencari pendapatan rumahtangga. Pada umumnya, ibu-ibu di kedua dusun hanya melakukan pekerjaan rumah saja seperi memasak, membersihkan rumah, menjaga anak-anak, dan kadang-kadang ikut membantu suami mereka di sawah atau kebun. Menurut pemaparan ibu MT (44 Tahun):
25
“Ibu-ibu di sini rata-rata tidak ada kegiatan. Dulu ada program pemerintah membuat kerajinan tangan, tetapi ibu-ibu di sini enggan dan bermalas-malasan mengikutinya, katanya mereka tidak kreatif dan tidak memiliki bakat” Pemaparan tersebut diungkapkan oleh ibu rumahtangga yang berada di Dusun Lempong Pucung. Apabila kedua dusun dibandingkan, ibu-ibu di Dusun Klaces masih lebih kreatif dalam mencari tambahan pendapatan bagi rumahtangganya, seperti menjual kue, membuka warung ataupun membantu di tempat produksi tempe. Sebenarnya kalangan ibu-ibu juga memiliki peluang bekerja sebagai buruh tani sama seperti laki-laki. Namun upah yang diterima tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki biasanya dibayar Rp. 40 000 dalam sehari, sedangkan perempuan hanya Rp. 35 000 dalam sehari. Alasan ini dipaparkan oleh salah satu warga dikarenakan tenaga yang dicurahkan berbeda antara laki-laki dan perampuan. Biasanya laki-laki lebih kuat dan cekatan. Tingkat Penggunaan Tenaga Kerja Tingkat penggunaan tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani yang dilakukan oleh rumahtangga. Penggunaan tenaga kerja bagi masing-masing rumahtangga berbeda-beda, bergantung pada kondisi perekonomian dan luas lahan yang dimiliki. Berikut pemaparan untuk kedua dusun. Tabel 5 Jumlah dan persentase responden menurut penggunaan tenaga kerja di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 No Penggunaan tenaga kerja 1. 2. 3.
Hanya sendiri Menggunakan satu orang Menggunakan dua orang atau lebih Total
Dusun Klaces (rt)
Dusun Lempong Pucung (rt)
Jumlah 4 3
Persentase 13 10
Jumlah 6 4
Persentase 20 13
23
77
20
67
30
100
30
100
Sumber: Data primer
Tabel 5 tersebut memaparkan bahwa pada umumnya rumahtangga petani menggunakan tenaga tambahan dalam mengelola usahataninya. Biasanya rumahtangga petani menggunakan tenaga tambahan lima sampai sepuluh orang untuk musim tanam dan panen. Penggunaan tenaga kerja dipengaruhi oleh luas lahan yang digarap. Petani yang memiliki lahan yang relatif luas biasanya menggunakan lebih banyak tenaga kerja. Sebaliknya, rumahtangga petani yang memiliki lahan yang sempit biasanya hanya mengandalkan tenaga kerja rumahtangga.
26
Usia Usia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun. Usia seseorang mempengaruhi aktifitas nafkah yang mereka lakukan. Pada umumnya petani yang berumur muda dan sehat mempunyai fisik yang lebih baik dari petani yang lebih tua, sehingga hal ini berpengaruh terhadap usaha tani yang dijalankan. Dalam rumahtangga, usia menjadi faktor yang penting dalam kontribusi pendapatan rumahtangga. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, semakin tua seseorang, maka semakin sedikit aktifitas nafkah yang dapat mereka lakukan. Data yang diperoleh di lapang menunjukkan bahwa usia kepala rumahtangga petani di kedua Dusun beragam antara 22 tahun hingga 86 tahun. Pengelompokan usia responden dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6 Jumlah dan persentase responden menurut kelompok umur di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 No. Kelompok Umur (Th) 1. 2. 3.
22 – 41 42 – 61 ≥62 Total
Dusun Klaces Jumlah 12 13 5 30
Dusun Lempong Pucung
Persentase (%)
Jumlah
40 43 17 100
15 11 4 30
Persentase (%) 50 37 13 100
Sumber: Data primer
Berdasarkan Tabel 6 diatas, empat sampai lima responden yang tersebar di kedua dusun masih bekerja pada usia yang sudah tua, yakni diatas 62 tahun. Hal ini berimbas pada pilihan aktifitas nafkah yang mereka lakukan. Sembilan responden yang termasuk pada kategori usia tua hanya melakukan satu aktifitas nafkah, yakni sebagai petani, sedangkan petani yang berusia lebih muda dapat memiliki pilihan aktifitas nafkah yang bervariasi, hal ini didorong oleh faktor fisik yang berbeda pada masing-masing kelompok umur. Status Kependudukan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ternyata terdapat perbedaan diantara kedua dusun terkait dengan status kependudukan. Status kependudukan yang dimaksud pada penelitian ini adalah identitas tempat kelahiran responden, dimana respoden yang termasuk kategori “asli” apabila lahir dan dibesarkan di tempat tersebut, dan “pendatang” apabila tidak lahir di tempat tersebut tetapi sudah cukup lama menetap. Adapun pengkategorian mengenai status kependudukan dapat dilihat pada gambar 4 berikut.
27
25
n = responden 20
15
Asli
10 Pendatang 5
0 Dusun Klaces
Dusun Lempong Pucung
Sumber: Data primer
Gambar 4. Jumlah responden menurut status kependudukan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 Berdasarkan Gambar 4 tesebut, terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar di kedua dusun. Dusun Klaces didominasi oleh responden yang berstatus kependudukan adalah asli, sedangkan Dusun Lempong Pucung didominasi oleh pendatang. Adanya perbedaan status kependudukan ini ternyata berkaitan terhadap aktifitas nafkah yang mereka lakukan. Menurut pemaparan Bapak AP (53 Tahun): “Dulu, masyarakat asli bekerja hanya sebagai nelayan, kalau lapar tinggal ke depan rumah langsung mendapat ikan. Sejak adanya tanah timbul, banyak orang Jawa Barat yang berdatangan. Mereka di daerah asalnya kebanyakan sebagai petani, jadi mereka garap lahan di sini. Warga di sini lama-kelamaan ikut-ikutan.” Sejarah masuknya pendatang ke Kecamatan Kampung Laut dikarenakan adanya tanah timbul yang dianggap oleh pendatang sebagai peluang untuk dapat bercocok tanam. Dulunya, warga asli kampung laut hanyalah sebagai nelayan. Adanya sedimentasi serta mendangkalnya wilayah perairan di daerah tersebut mengakibatkan perubahan pola nafkah masyarakat yang biasanya sebagai nelayan beralih menjadi petani. Berikut penuturan Bapak SGN (46 Tahun) : “Dulu saya setiap hari menangkap ikan untuk dijual. Sekarang ikan sudah sedikit, karena perairan udah dangkal. Setiap tahun dilakukan pengerukan, tetapi tetap saja masih dangkal. Mau tidak mau sekarang saya ke sawah” Berbeda dengan penuturan Bapak SGN dan AP yang merupakan penduduk asli Kampung Laut, RS (27 Tahun) yang merupakan pendatang ketika ditanyakan mengapa tidak menjadi nelayan menjawab :
28
“Saya dari dulu petani, dari kecil sudah bercocok tanam. Sewaktu pindah ke Kampung Laut ya tujuan saya juga untuk bercocok tanam. Lagian saya tidak bakat jadi nelayan.” Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pemaparan hal yang serupa tidak hanya dikatakan oleh RS saja, tetapi beberapa pendatang lainnya juga mengatakan hal yang sama. Selain itu, keterbatasan alat penangkapan dan perahu juga mejadi alasan pendatang mengapa tidak menjadi nelayan.
Modal Alam Tanah Timbul Kecamatan Kampung Laut adalah wilayah yang berada di Laguna Segara Anakan. Laguna Segara Anakan merupakan muara dari berbagai sungai, yakni Sungai Citanduy, Cikonde, dan beberapa sungai lainnya. Kecepatan pengangkutan sedimen dari Sungai Citanduy mencapai 5 juta m3/tahun. Sedangkan dari Sungai Cikonde serta sungai-sungai lainnya mencapai 770 000 m3/tahun. Dari data tersebut, diperkirakan jumlah sedimen yang mengendap di Laguna Segara Anakan sebesar 1 juta m3/tahun (Suryawati 2012). Adanya proses sedimentasi tersebut, mengakibatkan munculnya tanah timbul dan setiap tahunnya semakin meluas. Berikut pemaparan Bapak AP (53 Tahun) : Kata sepuh disini, dulu hanya ada 7 KK di Kampung Laut, itupun tinggalnya di atas dekat Nusakambangan. Sejak muncul tanah timbul, 7 KK tadi pindah ke bawah (tanah timbul). Terus semakin lama semakin berkembang penduduknya, ditambah banyaknya pendatang terutama dari Jawa Barat. Dulu, sebelum ada hutan mangrove, kita masih bisa melihat lampu-lampu di Cilacap dari sini. Sekarang sudah tidak bisa. Adanya tanah timbul di Kampung Laut dianggap sebagian warga sebagai “tanah berkah”, terutama bagi pendatang yang memang mencoba peruntungan di tanah tersebut. Namun, adanya tanah timbul tersebut ternyata berpengaruh negatif terhadap nelayan. Karena adanya sedimentasi yang terjadi, wilayah perairan semakin dangkal, sehingga ikan menjadi sedikit. Adanya fenomena alam ini mengharuskan nelayan beralih mata pencaharian dari perikanan menjadi pertanian daratan. Dahulu warga asli Kampung Laut tidak tahu menahu mengenai cara bertani yang baik dan benar, sampai ada pendatang dari Jawa Barat yang mencontohkan dan kemudian mereka menirunya. Pola Penguasaan Lahan Tahun 1970-an ketika semakin meluasnya tanah timbul di Kampung Laut, warga pun berbondong-bondong membuka lahan (trukah) untuk ditanami padi. Ada syarat yang diberikan oleh pemerintah bagi mereka yang ingin membuka lahan, yakni harus sudah berumahtangga dan batasan membuka lahan seluas 350 ubin. Saat itu, warga asli yang memperoleh lahan dari “trukah” banyak
29
menjualnya kepada pendatang dengan berbagai alasan seperti masalah keuangan sampai tidak mengerti cara bertani. Berdasarkan hasil penelitian di lapang terhadap 60 responden yang dilakukan di kedua dusun, terdapat tiga cara petani dalam memperoleh lahan, yakni trukah, warisan, dan membeli. Trukah adalah bagi mereka yang memperoleh lahan dengan cara pembukaan lahan sendiri, sedangkan warisan adalah mereka yang mendapat lahan dari orang tua yang pada umumnya bekas trukah. Rincian dari ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut cara memperoleh lahan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 No.
1. 2. 3. 4.
Cara Memperoleh Lahan Trukah Warisan Beli Tidak Memiliki/Paro Total
Dusun Klaces
Dusun Lempong Pucung
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
6 5 17 2
20 17 56 7
2 0 21 7
7 0 70 23
30
100
30
100
Sumber: Data primer
Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa 20 persen petani di Dusun Klaces memperoleh lahan dengan cara trukah, sedangkan di Dusun Lempong Pucung hanya 7 persen. Dusun Klaces terdapat 17 persen yang mendapat lahan dari warisan, sedangkan di Dusun Lempong Pucung tidak ada yang memperoleh lahan dari warisan. Fenomena tersebut dapat dijelaskan dari status kependudukan mereka yang pada sub bab sebelumnya telah dipaparkan, yakni mayoritas penduduk di Dusun Klaces adalah asli, sehingga untuk memperoleh lahan pun pasti relatif lebih mudah (trukah dan warisan), sedangkan mayoritas penduduk Lempong Pucung adalah pendatang sehingga dalam memperoleh lahan kebanyakan dari mereka dengan cara membeli kepada warga asli. Berikut tabel mengenai cara memperoleh lahan menurut tingkatan umur di kedua dusun. Tabel 8 Jumlah dan persentase responden menurut kelompok umur dan cara memperoleh lahan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 2014 Cara Memperoleh Lahan Trukah Warisan Beli Tidak punya/ Paro Total Sumber: Data Primer
Kelompok Umur 22-41 42-61 n % n % 0 0 0 0 2 7 3 15 21 75 14 70 5 18 3 15 28 100 20 100
>61 n 8 0 3 1 12
% 67 0 25 8 100
Total n % 8 14 5 8 38 63 9 15 60 100
30
Berdasarkan Tabel 8 tersebut, terlihat jelas bahwa cara memperoleh lahan dengan cara trukah hanya dilakukan bagi mereka yang termasuk pada kelompok umur yang tua (>61) dan merupakan penduduk asli Kampung Laut. Cara memperoleh lahan dengan cara beli kebanyakan dilakukan bagi mereka yang termasuk pada kelompok umur 22 - 41 tahun, dan pada umumnya kelompok ini merupakan pendatang. Sama halnya dengan petani yang tidak mempunyai lahan, mereka pada umumnya pendatang yang mencari peruntungan di Kampung Laut. Mereka yang tidak mempunyai lahan biasanya menggarap lahan orang dengan cara paro/bagi hasil. Biasanya hasil dari lahan tersebut di bagi satu banding satu antara penggarap dan pemilik. Luas Lahan Mayoritas penduduk di Dusun Klaces dan Lempong Pucung adalah berprofesi sebagai petani. Ketika bercocok tanam, ternyata petani di kedua dusun tidak hanya memanfaatkan lahan “tanah timbul” yang saat ini juga sebagai pemukiman, tetapi mereka juga memanfaatkan lahan di Nusakambangan. Konflik pernah terjadi antara petani setempat dengan pihak Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan, karena petani dianggap menggarap lahan yang merupakan milik LP Nusakambangan. Berikut tabel luasan lahan tanah timbul milik petani di kedua dusun Tabel 9
Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan di tanah timbul di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Dusun Klaces
No. Luas lahan
1. 2. 3.
Sempit Sedang Luas Total
Jumlah (rumahta ngga) 13 10 7 30
Persentase (%) 44 33 23 100
Dusun Lempong Pucung Jumlah (rumaht angga) 19 11 0 30
Persentase (%) 63 37 0 100
Sumber: Data Primer
Luas lahan yang dikategorikan sempit adalah lahan yang memiliki luas 150 m2 – 850 m2. Luas lahan sedang adalah lahan yang memiliki luas 851 m2 – 1 551 m2, sedangkan lahan yang termasuk kategori luas adalah lahan yang memiliki luas >1 551 m2. Adapun penentuan kategori ini disesuaikan dengan data di lapangan dengan mempertimbangkan kedua dusun. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat perbedaan yang cukup besar antara kedua dusun. Responden di Dusun Klaces cenderung memiliki lahan yang lebih luas dibandingkan dengan responden di Dusun Lempong Pucung. Hal ini terlihat dari kepemilikan lahan yang termasuk pada kategori luas di Dusun Klaces mencapai 23 persen, sedangkan di Dusun Lempong Pucung tidak ada. Tampak juga perbedaan yang cukup besar di kedua dusun, dimana di Dusun Klaces hanya
31
terdapat tujuh persen responden yang tidak memiliki lahan, sedangkan di Dusun Lempong Pucung relatif lebih banyak, yakni mencapai 23 persen. Dataran Tinggi Nusakambangan Seperti yang dipaparkan sebelumnya, selain bercocok tanam di lahan tanah timbul, petani di kedua dusun juga memanfaatkan lahan di dataran tinggi Nusakambangan. Faktanya, walaupun bukan merupakan tanah milik, tanah yang digarap tersebut sudah memiliki batasan-batasan tertentu. Berikut tabel yang memaparkan luasan lahan di Nusakambangan yang digarap oleh responden di kedua dusun. Tabel
10
Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan di Nusakambangan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014 Dusun Klaces
No.
Luas Lahan
1.
Tidak Memiliki Sempit Sedang Luas Total
2. 3. 4.
Jumlah (rumahta ngga) 8
Persentase (%)
5 12 5 30
Dusun Lempong Pucung Persentase (%)
27
Jumlah (rumahta ngga) 5
16 40 17 100
7 15 3 30
23 50 10 100
17
Sumber: Data Primer
Luas lahan yang dikategorikan sempit adalah lahan yang memiliki luas 375 m – 875 m2. Luas lahan sedang adalah lahan yang memiliki luas 876 m2 – 1 376 m2. Sedangkan lahan yang termasuk kategori luas adalah lahan yang memiliki luas >1 376 m2. Adapun penentuan kategori ini disesuaikan dengan data di lapangan dengan mempertimbangkan kedua dusun. Berdasarkan Tabel 10 tersebut, terlihat jelas bahwa sebagian besar warga menguasai dan menggarap lahan di Nusakambangan. Responden yang tidak menggarap lahan di Nusakambangan adalah mereka yang pada umumnya adalah pendatang. Agar dapat menggarap lahan di Nusakambangan, petani terlebih dahulu membuka lahan, sehingga siapa yang cepat maka ia yang berhak menggarap. Hal ini tentunya membuat pendatang kalah cepat dengan warga asli yang sudah terlebih dahulu membuka lahan. Menariknya, walaupun lahan tersebut bukan hak milik, tetapi dapat diperjual belikan. Masyarakat setempat menyebutnya “bayar tenaga”. Berikut penuturan ibu SJH (45 Tahun) : 2
“Saya pendatang dari Ciamis. Saya pindah ke Dusun Lempong Pucung karena rumah saya terbakar. Ya mau ngga mau saya harus pindah ke sini. Disinipun saya ngga punya sawah, cuma nanem albu (Pohon Albasia) di gunung (Nusakambangan). Itupun dulu saya harus beli ke warga asli”
32
Dataran tinggi Nusakambangan bagi petani di dua dusun cukup berkontribusi dalam penghidupan mereka, terutama di Dusun Lempong Pucung. Hasil penelitian terhadap 30 responden di dusun tersebut, terdapat tujuh orang yang tidak memiliki lahan, mereka hanya mengandalkan lahan di Nusakambangan untuk ditanami pohon albasia dan padi gogo untuk makan sehari-hari. Pohon albasia merupakan tanaman tahunan, dapat ditebang sampai masa tanam 3 – 4 tahun. Hasil yang diperoleh dari pohon tersebut juga tidak seberapa dengan modal tanam diawal. Petani pada umumnya menanam tanaman jenis lain seperti kapool, pisang, singkong, kelapa, kopi, dan sebagainya selain menanam pohon albasia. Hasilnya pun rata-rata hanya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri.
Modal Finansial Tabungan Tabungan merupakan salah satu investasi keuangan yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola sumber daya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, secara umum petani di kedua dusun tidak memiliki tabungan, baik yang disimpan di bank ataupun yang disimpan di rumah. Hanya sebagian kecil saja yang memiliki tabungan, dan sebagian menabung dengan cara ikut arisan bulanan. Menurut penuturan ibu MR (36 Tahun) : “Untuk makan saja susah, apalagi untuk menabung. Ya tidak bisa. Jajan anak-anak saja sudah berapa perharinya. Dulu saya ikut arisan, sekarang sudah tidak.” Berdasarkan penuturan Ibu MR tersebut, diketahui bahwa mayoritas petani di kedua dusun rentan secara perekonomian. Produktivitas pertanian yang tidak mumpuni serta kebutuhan hidup yang terus meningkat merupakan alasan utama mengapa menabung tidak menjadi prioritas bagi rumahtangga. Menabung bagi mereka adalah menanam albasia di Nusakambangan. Apabila sewaktu-waktu mereka membutuhkan uang, mereka dapat menjual lebih awal pohon albasianya. Pinjaman Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, petani di kedua dusun biasanya memanfaatkan hubungan kekerabatan untuk meminjam. Kemudian, petani di kedua dusun juga memanfaatkan program PNPM yang ada. Berdasarkan hasil penelitian, petani biasanya melakukan peminjaman yang disebut sebagai hijoan. Pada sistem hijoan, apabila petani meminjam uang sebesar Rp. 200 000 untuk keperluan penanaman, maka ketika panen harus dikembalikan dengan 1 kwintal padi, sedangkan apabila petani meminjam uang Rp. 300 000 pada saat pemeliharaan atau petani setempat menyebutnya “matun”, maka ketika panen peminjam harus mengembalikan dengan 1 kwintal padi. Hal ini dikarenakan jarak antara peminjaman untuk keperluan tanam relatif lebih lama ke masa panen, sedangkan peminjaman saat “matun” relatif lebih cepat. Tabel 11 merupakan pemaparan mengenai modal finansial di kedua dusun yang dilihat berdasarkan tingkat tabungan dan peminjaman.
33
Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut modal finansial di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Dusun Klaces No.
1. 2. 3.
Tingkat Modal Finansial Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (rt) 12 8 10 30
Persentase 40 27 33 100
Dusun Lempong Pucung Jumlah (rt) 13 16 1 30
Persentase 43 53 4 100
Sumber: Data primer
Pengkategorian tingkat modal finansial dilihat dari jumlah tabungan dan pinjaman. Rendah apabila tidak memiliki tabungan dan memiliki pinjaman, sedang apabila tidak memiliki tabungan tetapi tidak memiliki pinjaman, dan tinggi apabila memiliki tabungan dan tidak memiliki pinjaman. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa 40 persen responden di kedua dusun tidak memiliki tabungan dan memiliki pinjaman. Hal ini menunjukkan bahwa mereka rentan secara perekonomian. Perbandingan juga terlihat jelas di kedua dusun pada kategori modal finansial tinggi, Dusun Klaces memiliki persentase yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Modal Sosial Modal sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh sumberdaya sosial yang terdapat di dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Berdasarkan hasil penelitian, kekerabatan dan interaksi antar warga yang terjalin antara kedua dusun cukup berbeda. Interaksi dan kekerabatan di Dusun Klaces relatif lebih baik dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan letak atau jarak antar rumah yang berbeda di kedua dusun. Jarak antar rumah di Dusun Klaces relatif dekat atau rapat. Sedangkan di Dusun Lempong Pucung relatif jauh. Jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya bisa mencapai 50 m, dipisahkan oleh pohon-pohon mangrove dan sungai. Konflik laten antara warga dengan perangkat desa ternyata terdapat di Dusun Lempong Pucung. Menurut pengakuan beberapa warga yang menjadi informan dalam penelitian ini, salah satu perangkat desa memanfaatkan warga sebagai alat untuk memperkaya keluarganya sendiri. Banyak dana-dana desa yang tidak mengalir ke warga, namun warga setempat tidak berani angkat bicara, semata-mata hanya untuk menghindari konflik. Berikut pemaparan Bapak RS (27 Tahun) dan contoh kasus ibu KR (38 Tahun): “Gimana desanya bisa berkembang kalau perangkat desanya mencekoki miras ke warga? Sebenarnya sudah banyak warga yang tidak suka dengan perangkat desa, tetapi semuanya tidak berani angkat bicara”
34
Box 1. Kisah kehidupan kasus Ibu KR (38 Tahun) Ibu KR adalah seorang ibu rumahtangga. Ia mengisahkan mengenai kekesalan warga, khususnya ibu-ibu terhadap salah seorang istri perangkat desa yang dinilai tidak mencerminkan sikap sebagaimana mestinya. Menurut penuturannya, banyak warga yang kecewa kepada keluarga perangkat desa tersebut, tetapi semuanya lebih memilih bungkam. Ibu KR mengatakan ia memang berasal dari keluarga yang pas-pasan, namun hal tersebut tidak menjamin bahwa moral dan etika anak-anaknya juga bobrok. Perkataan tersebut sebagai bentuk kekesalannya terhadap orang-orang yang menganggap keluarganya rendah, terutama kepada keluarga perangkat desa tersebut. Ibu KR merupakan anggota PKK yang diketuai oleh istri perangkat desa tersebut. Menurut penuturannya, sekali pernah ada bantuan berupa alatalat dapur kepada kelompok PKK di daerahnya, namun semuanya ditempatkan di rumah ketuanya saja. Padahal jumlah barang cukup banyak dan sebaiknya dapat dibagi rata kepada seluruh anggota kelompok. Pemaparan kedua narasumber tersebut merupakan buah kekesalannya selama ini kepada perangkat desa. Perangkat desa yang seharusnya memberi contoh yang baik, malah menjual minuman keras (miras) kepada warganya dan tidak mencerminkan sikap sebagaimana mestinya. Kegiatan jual beli miras di dusun tersebut sudah berkembang sejak lama, bahkan anak-anak di dusun tersebut pun sudah familiar dan biasa dengan berbagai jenis miras. Kesombongan yang selalu diumbar oleh anggota keluarga juga menjadi momok kebencian bagi sebagian warga di dusun tersebut. Agar memperjelas konflik laten yang terdapat di Dusun Lempong Pucung, berikut box kasus salah satu perangkat desa yang menjadi bahan gunjingan sebagian warga. Box 2. Kisah Kehidupan Kasus Bapak WY (45 Tahun) Bapak WY adalah salah satu perangkat desa di daerahnya. Dibandingkan dengan warga lainnya, keluarga Bapak WY memang terlihat lebih menonjol. Rumah Bapak WY adalah yang paling mewah dan bagus dibandingkan rumah di sekitarnya yang sebagian masih ada yang beralaskan tanah. Anak-anaknya pun dicukupi dengan barang-barang mewah seperti handphone, sepeda gunung, motor, play stasion 2, dan sebagainya. Barang-barang yang terdapat dirumah Bapak WY juga terbilang mewah, terdapat lima kamar tidur dan dua diantaranya terdapat kamar mandi di dalam, TV flat, mesin cuci, alat-alat dapur yang mewah, dan lainnya. Selain itu, Bapak WY juga memiliki dua perahu motor. Ketika berdiskusi dengan Bapak WY, ia mengatakan jangan mudah percaya dengan omongan warga di dusun tersebut. Banyak warga yang apabila ditanya mengenai pendapatan akan diturunkan/dikecil-kecilkan. Menurutnya, tujuan warganya melakukan hal tersebut untuk mencari perhatian pemerintah sehingga ada bantuan yang datang. Selain itu, dilain kesempatan istrinya juga menuturkan bahwa kebanyakan warga di dusun tersebut malas dan tidak kreatif. Padahal banyak peluang untuk mendapatkan pendapatan tambahan selain hanya di sawah ataupun jadi buruh.
35
Keluarga Bapak WY memang cukup kreatif, semua peluang usaha ia lakukan bersama sang istri mulai dari menanam bermacam-macam rempah untuk keperluan dapur, sampai memiliki tambak untuk budidaya ikan dan udang. Tak heran memang perekonomian rumahtangga Bapak WY lebih baik dibandingkan dengan warga lainnya. Berdasarkan dua box kasus diatas, memang tampak adanya perselisihan antara warga dengan Bapak WY sebagai perangkat desa, hal ini tercermin dari sikap tidak percaya yang ditampakkan dari kedua pihak. Berikut tabel yang memaparkan tingkat modal sosial di kedua dusun. Tabel 12
No. 1. 2. 3.
Total skor responden menurut modal sosial di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Dusun Klaces
Dusun Lempong Pucung
(rumahtangga) 30 30 30
(rumahtangga) 11 17 22
90
50
Modal Sosial Jejaring Kepercayaan Norma Total
Sumber : Data primer Tingkat modal sosial dalam penelitian ini dilihat berdasarkan tiga aspek, yakni jejaring, kepercayaan, dan norma. Hasil yang diperoleh adalah kepemilikan tiga aspek tersebut dimiliki secara sempurna di Dusun Klaces, artinya seluruh responden mengakui memiliki jejaring, kepercayaan, dan norma dalam kehidupan sehari-harinya. Hasil berbeda ditemukan di Dusun Lempong Pucung, tidak semua aspek dimiliki ataupun diterapkan oleh responden. Hal ini telah dipaparkan sebelumnya, bahwa jarak antar rumah yang berjauhan sehingga interaksi tidak intens serta adanya konflik laten dengan perangkat desa.
Modal Fisik Modal fisik dalam penelitian ini adalah berbagai sarana infrastruktur yang dibangun untuk tujuan-tujuan pembangunan dan penghidupan masyarakat. Adapun sarana dan infastruktur yang terdapat di kedua dusun diantaranya sarana transportasi, sarana kelistrikan, infrastruktur pendidikan, jalan dan kesehatan. Pada umumnya, sarana dan prasarana di kedua dusun kurang baik. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kerentanan petani. Sarana transportasi di kedua dusun hanya menggunakan sepeda, sepeda motor, dan perahu. Kepemilikan alat transportasi ini hanya dimiliki segelintir warga saja. Sebagian besar dari mereka menggunakan transportasi umum, yakni compreng (perahu). Compreng hanya ada satu kali sehari, sehingga apabila warga ingin pergi ke Kota Cilacap, harus menginap semalam dan kembali lagi keesokan harinya. Akses transportasi di kedua dusun cukup sulit, sehingga tidak heran
36
banyak warga yang tidak pernah atau jarang ke Kota Cilacap padahal jaraknya tidak terlalu jauh. PLN di kedua dusun baru ada sejak akhir 2012 lalu. Sebelumnya masyarakat hanya menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), itupun belum merata ke semua penduduk, hanya 100 KK di masing-masing desa yang dipilih dengan sistem dikocok. Listriknya pun tidak menyala sepanjang hari, melainkan hanya pada jam 6 sore sampai jam 10 malam. Bagi sebagian warga, menggunakan genset merupakan jalan keluar dari kegelapan. Infrastruktur pendidikan di kedua dusun pun masih sangat buruk. Sekolah dasar memang terdapat di kedua dusun, namun SMP hanya terdapat di Lempong Pucung (Ujung Alang), dan SMA hanya terdapat di Klaces, sehingga siswa SMP di Dusun Klaces harus berjalan sekitar 4 km untuk dapat bersekolah, begitu pula sebaliknya bagi siswa SMA yang berada di Lempong Pucung. Hal inilah yang menjadi penyebab banyaknya anak-anak di Dusun Lempong Pucung yang tidak meneruskan sekolah ke tingkat SMA karena alasan jarak sekolah yang cukup jauh. Perlu diketahui bahwa untuk mencapai SMA, anak-anak Dusun Lempong Pucung berjalan relatif lebih jauh dibandingkan anak-anak Dusun Klaces mencapai SMP. Infrastruktur jalan di Dusun Lempong Pucung baru dibangun pada Desember 2013 lalu (belum menyeluruh), sedangkan di Dusun Klaces sudah ada sejak 2005 silam. Dibidang kesehatan, puskesmas hanya terdapat di Klaces sebagai pusat pemerintahan, sedangkan di Dusun Lempong Pucung hanya ada Poliklinik Desa (PKD). PKD di Lempong Pucung tidak beroperasi sebagai mana mestinya. Bangunan tersebut tidak dirawat dan jarang digunakan. Faktor penyebabnya menurut warga adalah jarak PKD yang terlalu jauh dari rumah warga. Memang relatif sulit untuk membangun infrastruktur umum di Dusun Lempong Pucung mengingat kondisi geografisnya yang memanjang sejauh 9 km, sehingga solusi untuk permasalahan tersebut sulit dipecahkan. Kepemilikan Asset Rumahtangga Aset rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala benda atau barang yang dimiliki oleh rumahtangga yang dimanfaatkan untuk mencari nafkah, seperti: sepeda motor, warung, traktor. Berikut daftar kepemilikian berbagai asset di kedua dusun. Tabel 13
No. 1. 2. 3.
Jumlah kepemilikan asset rumahtangga petani di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014
Jenis Asset Sepeda Motor Warung Traktor
Dusun Klaces (rumahtangga) 15 5 1
Dusun Lempong Pucung (rumahtangga) 7 3 0
Sumber : Data primer
Saat mengolah lahan, petani di kedua dusun telah menggunakan mesin traktor untuk membajak sawah. Tidak semua petani di kedua dusun memiliki
37
traktor, kebanyakan dari mereka memperolehnya dengan sistem sewa. Tampak pada tabel tersebut, hanya satu responden saja yang memiliki mesin traktor. Sepeda motor juga memberikan peranan yang cukup berarti dalam mendukung aktifitas nafkah petani. Sepeda motor digunakan sebagian petani untuk mengangkut hasil panen dan juga kayu albasia dari Nusakambangan. Terakhir, kepemilikan warung juga sangat mempengaruhi.perekonomian rumahtangga. Biasanya kaum ibu-ibu yang mengusahakan warung yang terletak dibagian depan rumah mereka. Pada Tabel 13 tersebut, diketahui bahwa dalam hal kepemilikan asset rumahtangga, responden di Dusun Klaces lebih unggul dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Kepemilikan warung dan sepeda motor yang relatif lebih kecil di Lempong Pucung dapat dijelaskan karena kondisi jalan yang masih berkerikil (tahun ini sudah ada perbaikan) serta jarak rumah yang berjauhan, sehingga membuka warung tidak memberikan keuntungan yang cukup bagi rumahtangga.
Perbandingan Penguasaan Livelihood Asset di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Terdapat lima modal yang terdiri dari modal alam, manusia, sosial, finansial, dan fisik yang dimanfaatkan oleh rumahtangga petani di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung. Tingkat penguasaan kelima modal berbeda di setiap dusunnya. Berikut pemaparan mengenai penguasaan kelima modal tersebut. 100
n = skor
90 80
Dusun Klaces
70 60
Dusun Lempong Pucung
50 40 30 20 10 0 Manusia
Alam
Sosial
Finansial
Fisik
Sumber : Data Primer
Gamber 5 Perbandingan skor tingkat Penguasaan livelihood asset oleh responden di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014 Berdasarkan Gambar 5 yang ditampilkan diatas, terdapat perbedaan menurut tingkat penguasaan livelihood asset di Dusun Klaces dan Lempong Pucung. Berdasarkan kelima modal, Dusun Klaces lebih menguasai kelima asset
38
dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Adanya perbedaan dalam penguasaan kelima modal memiliki hubungan dengan aktifitas nafkah yang dilakukan rumahtangga petani. Rumahtangga di Dusun Klaces pada umumnya memiiki variasi nafkah yang lebih beragam dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Modal sosial yang tinggi di Dusun Klaces memberikan peluang usaha yang beragam bagi rumahtangga. Banyaknya kerabat ataupun jaringan di dalam maupun diluar desa, membuat warga di Dusun Klaces banyak yang menjadi distributor untuk jual beli kayu, kambing, batu dan juga pasir. Kondisi ini memantapkan bahwa modal yang paling kuat diantara kelima modal yang terdapat di Dusun Klaces adalah modal sosial. Penguasaan kelima modal di Dusun Lempong Pucung tidak tampak modal yang paling menonjol. Kelima modal hanya berada pada rentang 30 – 50 saja. Hal ini menandakan tidak ada asset yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk meningkatkan perekonomian bagi rumahtangga petani. Tampak juga pada variasi nafkah yang tidak beragam (lihat di bab selanjutnya). Pada umumnya, rumahtangga petani di Dusun Lempong Pucung hanya bekerja sebagai buruh serabutan. Ikhtisar Penguasaan kelima modal di kedua dusun relatif berbeda. Dari segi status kependudukan, mayoritas petani di Dusun Klaces merupakan asli, sedangkan di Dusun Lempong Pucung adalah pendatang. Dalam hal kepemilikan lahan, mayoritas petani di Dusun Klaces memiliki lahan yang relatif lebih luas dibanding dengan Dusun Lempong Pucung. Selain menggarap lahan tanah timbul, kedua dusun juga menggarap lahan yang berada di Nusakambangan. Umumnya mereka menanami pohon albasia yang dipanen 3-4 tahun sekali. Walaupun lahan di Nusakambangan bukan tanah milik, tetapi diperjualbelikan oleh petani setempat. Dalam mempertahankan kehidupannya, petani tidak terlepas dari perilaku meminjam kepada kerabat dan juga ke PNPM. Selain itu, dalam usaha taninya, petani juga menggunakan sistem hijoan, yakni meminjam sejumlah uang lalu dikembalikan dengan padi ketika panen. Jumlah pengembalian pinjaman berbeda antara ketika meminjam di masa tanam dan matun (pemeliharaan). Dalam kehidupan sosial di kedua dusun pun ternyata terdapat perbedaan, dimana tingkat interaksi dan kekerabatan di Dusun Klaces lebih baik dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Selain itu, terdapat konflik laten di Dusun Lempong Pucung antara warga dengan perangkat desanya. Apabila dilihat dari segi sarana prasarana dan infrastrukturnya, kedua dusun tersebut masih dapat dikatakan belum memadai. .
39
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI Menurut Ellis (2000), terdapat tiga aspek pembentuk strategi nafkah, yakni dari on-farm, off-farm, dan non-farm. On-farm merupakan sumber nafkah yang diperoleh dari hasil pertanian dalam arti luas, mencakup pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan sebagainya. Off-farm merupakan aktifitas nafkah yang diperoleh dalam bentuk upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), dan lain-lain. Non-farm adalah sumber pendapatan yang diperoleh dari luar kegiatan pertanian. Scoones (1998) dalam Tulak (2009) menggolongkan strategi nafkah petani menjadi tiga golongan besar, yakni: rekayasa sumber nafkah pertanian, pola nafkah ganda, dan rekayasa spasial. Berbagai bentuk strategi nafkah tersebut diterapkan oleh rumahtangga petani di Dusun Klaces dan Lempong Pucung, namun masing-masing dusun memiliki strategi yang paling dominan dilakukan oleh rumahtangga.
On-Farm Petani Padi Sawah Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas penduduk di kedua dusun berprofesi sebagai petani padi sawah. Petani di kedua dusun memanfaatkan tanah timbul sebagai lahan untuk bercocok tanam. Sebenarnya produktivitas yang dihasilkan dari usaha tani di kedua dusun ini belum optimal, hal ini dikarenakan sawah di kedua dusun merupakan sawah tadah hujan, sehingga apabila musim kemarau tiba, petani sering kali mengalami gagal panen. Biasanya, petani bisa panen dua kali dalam setahun, namun sekarang sudah tidak menentu. Selain itu, faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian di kedua dusun disebabkan masuknya air asin ke lahan pertanian mereka. Berikut pemaparan ketua kelompok tani di Dusun Lempong Pucung dalam box 3. Bapak KSN (78 Tahun) merupakan pendatang di Dusun Lempong Pucung, ia mengeluhkan produktivitas padinya yang sangat rendah. Bukan hanya Bapak KSN saja yang mengeluhkan permasalahan tersebut, seluruh petani di kedua dusun juga mengalami hal yang sama. Saat mahasiswa IPB melakukan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Dusun Lempong Pucung tahun 2013 lalu, hanya satu hal yang diminta warga setempat, yakni bagaimana caranya agar air asin tidak masuk ke lahan mereka. Sampai saat ini, masalah tersebut belum juga bisa terpecahkan. Dulu petani di kedua dusun pernah mencoba menggunakan varietas padi yang tahan air asin, tetapi menurut pengakuan petani, produktivitas mereka tidak meningkat secara berarti dan rasa nasi yang dihasilkan kurang enak sehingga penggunaan varietas tersebut tidak diteruskan.
40
Box 3. Kisah Kehidupan kasus Bapak KSN (78 Tahun) Bapak KSN adalah pendatang dari Jawa Barat, ia pindah ke Dusun Lempong Pucung pada awal Tahun 2005. Usianya yang sudah tua mengakibatkan tidak banyak aktifitas yang dapat dilakukannya. Sehari-hari, ia hanya mengolah lahan milik tetangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sang istri. Namun penghasilan yang diterima dalam bertani tidaklah sepadan dengan usaha yang dilakukan. Beliau mengatakan, “produktivitas di sini belum mumpuni, soalnya air asin masuk lahan”. Selain keluhan tersebut, adanya hama tikus, keong, dan walang juga semakin memperburuk keadaan. Beliau mengatakan sering dalam setahun hanya sekali panen saja. Selain sebagai petani penggarap, Bapak KSN juga ditugaskan untuk menjaga dan mengelola masjid yang ada di sebelah rumahnya. Beliau juga diutus sebagai “kuncen” di salah satu goa yang terdapat di Lempong Pucung. Berbagai aktifitas tambahan tersebut memberikan pendapatan bagi rumahtangganya. Ia mengatakan, setiap bulannya pasti ada santri yang mondok di daerah tersebut dan tinggal di masjid ataupun rumahnya. Selain itu, wisatawan juga banyak yang tertarik untuk berkunjung ke goa tersebut, sehingga pendapatannya cukup menjanjikan dibandingkan dari sektor pertanian.
Produktivitas pertanian padi rata-rata di kedua dusun dengan luas per 1 ha hanyalah berkisar 1 – 2 ton saja. Produktivitas ini sangat berbeda dengan hasil penelitian Sari (2013) di Desa Rajasinga Kecamatan Terisi, Indramayu, dimana produktivitas padinya mencapai 5 ton/ha. Perbedaan ini disebabkan karena faktor dan kondisi alam yang berbeda di kedua lokasi. Produktivitas padi yang rendah di kedua dusun mengakibatkan hasil yang diperoleh biasanya hanya cukup untuk kebutuhan rumahtangga sendiri, sehingga mayoritas petani di kedua dusun termasuk pada kategori petani yang subsisten. Berikut pemaparan Ibu MT (44 Tahun) yang memiliki luas lahan termasuk kategori luas : “Hasil padi sawah saya sekali panen dapat 1 ton lebih, tetapi tidak ada yang dijual, hanya untuk makan sendiri saja. Pernah sekali dijual karena sangat membutuhkan uang” Penuturan beberapa petani termasuk ibu MT (44 Tahun) tersebut mengatakan bahwa mereka memang pernah menjual hasil panen mereka, tetapi itu sangat jarang. Mereka melakukannya ketika ada keperluan yang mendadak dan bersifat mendesak. Menurut mereka, ketika mereka kehabisan cadangan beras di rumah, maka mereka harus membeli dengan harga yang lebih tinggi, sehingga mereka lebih mengutamakan hasil panen untuk bekal ke depannya. Hal ini berbeda dengan penurutan Ibu SG (34 Tahun) yang memiliki luas lahan sempit, yakni: “Wah, jangankan untuk dijual, untuk makan sendiri saja masih kurang, harus beli lagi”
41
Perbedaan luas lahan ternyata mempengaruhi tingkat kesubsistenan suatu rumahtangga. Petani yang memiliki lahan yang cukup luas, secara pemenuhan kebutuhan rumahtangganya sendiri terpenuhi dan kadang dijual pada kondisi tertentu. Berbeda dengan rumahtangga petani yang memiliki lahan sempit, mereka cenderung lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya sendiri. Menanam Pohon Albasia Selain bercocok tanam di lahan tanah timbul yang pada umumnya ditanami padi sawah, rumahtangga petani di kedua dusun juga mencari penghasilan tambahan dengan menggarap lahan di Nusakambangan. Lahan di Nusakambangan pada umumnya ditanami pohon albasia yang dapat dijual saat masa tanam 3 - 4 tahun. Namun biasanya pohon dapat ditebang lebih awal ketika petani membutuhkan uang dalam waktu yang cepat. Biasanya harga pohon albasia disesuaikan dengan ukuran batangnya, semakin besar maka harga jualnya akan semakin mahal. Sebagian warga juga menanam pisang, kapool, terong, kopi, dan cabe di lahan Nusakambangan. Namun biasanya hasil panennya hanya sedikit sehingga jarang untuk dijual, melainkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Nelayan Pencari Kepiting dan Kerang Bakau Sektor on-farm lain yang terdapat di kedua dusun adalah mencari kepiting dan mencari kerang bakau (totok). Kegiatan mencari kepiting hanya dilakukan pada musim-musim tertentu, sehingga tidak bisa menjadi penghasilan tetap bagi rumahtangga. Biasanya kepiting akan dijual ke Kota Cilacap, Sidareja, Ciamis dan Tasikmalaya melalui pedagang pengumpul yang berada di masing-masing dusun. Sedangkan mencari kerang bakau biasanya dilakukan di waktu-waktu senggang petani. Aktifitas mencari kerang bakau tidak memerlukan alat khusus, cukup menggunakan tangan saja. Selain itu, tidak diperlukan keahlian khusus dalam melakukannya, hanya perlu pengalaman mengenai kelimpahan lokasi sehingga kerang yang diperoleh cukup banyak. Proses pasca panen pun tidak dijalankan, pada umumnya kerang dijual dalam keadaan masih bercangkang, sehingga harga jualnya rendah.
Off-Farm Embret (Buruh Tani) Berdasarkan hasil penelitian di lapang, diketahui bahwa selain memperoleh penghasilan dari sektor on-farm, mayoritas petani di kedua dusun juga menjadi buruh tani ataupun yang biasa disebut sebagai embret. Embret merupakan sebutan bagi pekerja serabutan yang hanya bekerja pada saat-saat tertentu saja ketika ada panggilan. Selain menjadi buruh di sawah, petani juga menjadi kuli pikul/buruh angkut kayu-kayu yang diperoleh dari Nusakambangan. Upah yang diperoleh menjadi buruh tani berbeda antara laki-laki dan perempuan. Biasanya laki-laki memperoleh upah sebesar Rp. 40 000 sedangkan perempuan hanya Rp. 35 000. Hal ini diakui oleh warga karena laki-laki lebih cekatan dan lebih cepat kerjanya. Ketika musim panen, biasanya buruh tidak dibayar dengan uang. Terdapat sistem bawon di kedua dusun, dimana upah akan dibayar dengan
42
menggunakan padi. Adapun ketentuan jumlah padi yang diterima adalah 5 : 1. Lima untuk pemilik dan satu untuk buruh. Apabila dibandingkan antara kedua dusun, petani di Dusun Lempong Pucung lebih banyak yang memiliki sampingan sebagai buruh tani. Hampir 85% responden mengaku bekerja sebagai buruh, sedangkan di Dusun Klaces hanya 23% dari total 30 responden. Berikut box kasus kehidupan Bapak DD (30 Tahun). Box 4. Kisah kehidupan Bapak DD (30 Tahun) Bapak DD memiliki seorang istri dan dua orang anak yang masih kecil. Selain bersama istri dan anak-anaknya, Bapak DD juga tinggal bersama adik iparnya. Sehari-hari Bapak DD hanya bekerja sebagai buruh angkut kayu albasia di Nusakambangan. Tidak hanya ia, adik, adik ipar, serta kakak iparnya juga bekerja sebagai buruh angkut kayu albasia. Sebenarnya, pendapatan yang diperoleh menjadi buruh tidaklah menjanjikan bagi perekonomian keluarga. Berusaha untuk menambah pendapatan keluarga, istri Bapak DD bekerja sebagai guru PAUD di dusun tersebut. Pendapat yang diperoleh terbilang sangat kecil, yakni hanya Rp 150 000 per bulan. Selain itu, istrinya juga aktif sebagai kader posyandu. Namun menurut penuturannya, menjadi kader tidak memberi pemasukan secara finansial. Terkadang ia dan rekannya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk keperluan kegiatan. Kesukarelaan adalah kunci sebagai kader, tuturnya.
Variasi sumber nafkah di Dusun Lempong Pucung memang tidak terlalu banyak apabila di bandingkan dengan Dusun Klaces. Petani di Dusun Lempong Pucung lebih mengandalkan pekerjaan sebagai buruh disamping mengolah lahan mereka sendiri. Hal ini seirama dengan rata-rata pendapatan yang diperoleh rumahtangga di kedua dusun, dimana Dusun Lempong Pucung lebih kecil dibandingkan dengan Dusun Klaces (lihat bab selanjutnya) Bagi Hasil Bagi hasil merupakan penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja keseluruhan dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Besar kecilnya bagian hasil yang harus diterima oleh masing-masing pihak pada umumnya disepakati bersama oleh petani pemilik dan penggarap sebelum penggarap mulai mengusahakan tanahnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ternyata terdapat beberapa petani yang tidak memiliki lahan. Mereka hanya menggarap lahan milik orang lain. Sistem bagi hasil yang terdapat di kedua dusun ternyata berbeda-beda setiap rumahtangganya. Ada sistem bagi hasil dimana seluruh modal tanam ditanggung oleh penggarap, dan hasil panen di bagi satu banding satu. Adapula sistem bagi hasil dimana pemilik dan penggarap berganti-gantian setiap musim tanamnya dalam menanggung modal awalnya.
43
Non-Farm Sektor non-farm merupakan sektor yang lebih bervariasi dibandingkan sektor lainnya. Hal ini terutama terlihat di Dusun Klaces, dimana terdapat begitu banyak jenis pekerjaan di sektor ini. Berbeda dengan Dusun Lempong Pucung, variasi pekerjaannya relatif lebih sedikit. Berikut tabel mengenai jenis-jenis sumber nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani di kedua dusun. Tabel 14 Berbagai kegiatan sektor non-farm di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 1.
Jenis Kegiatan Non-Farm Membuka Warung Membuat Gula Merah Pengemudi Compreng Mencari Pasir/Batu Distributor Pasir dan Bata Penjual Kambing Tukang Pijat Petugas PLN Pembungkus Tempe Penjaga Sekolah Jual Beli Kayu Albasia Pengrajin Meubel Tukang Ojek Menjual Telur Bebek Guru Membuka Bengkel Menjual Kue Kuncen goa/ Mantri Off-Farm Embret/Buruh Tani
Dusun Klaces (rumahtangga)
Dusun Lempong Pucung (rumahtangga)
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
1
1
Sumber : Data primer
Keterangan : 1 = Terdapat rumahtangga yang melakukan 0 = Tidak terdapat rumahtangga yang melakukan Berdasarkan Tabel 14, diketahui berbagai jenis pekerjaan di sektor nonfarm yang digeluti oleh rumahtangga petani. Berbagai jenis pekerjaan tersebut dipilih karena cukup menjanjikan bagi perekonomian masyarakat dan tidak membutuhkan modal yang cukup besar, selain itu beberapa jenis pekerjaan menggunakan bahan baku yang terdapat dari alam. Terdapat perbedaan yang mencolok diantara kedua dusun, dimana responden yang berada di Dusun Klaces
44
memiliki aktifitas nafkah yang jauh lebih beragam dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Responden yang terdapat di Dusun Lempong Pucung hanya menjalankan beberapa kegiatan saja, seperti membuka warung, membuat gula merah, menjadi guru PAUD, dan menjadi kuncen goa. Semakin sedikit sumber nafkah, tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan rumahtangga petani. Hal itulah yang terjadi di Dusun Lempong Pucung. Selain bertani, responden yang berada di Lempong Pucung pada umumnya hanya menggantungkan nafkah mereka di sektor off-farm, yakni menjadi buruh tani ataupun buruh angkut. Padahal menjadi buruh bukanlah pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan yang tetap. Buruh tani atau pun buruh angkut hanya dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu saja. Perbedaan yang mencolok mengenai variasi kegiatan nafkah diantara kedua dusun terjadi karena letak Dusun Klaces yang berada di pusat pemerintahan (Kecamatan Kampung Laut), sehingga lebih terbuka terhadap peluang-peluang usaha. Selain itu, faktor status kependudukan (asli atau pendatang) sepertinya memberi kontribusi dalam keadaan tersebut. Menurut penuturan Ibu MT di Dusun Lempong Pucung (44 Tahun) “Orang-orang sini tidak ada yang berniat untuk usaha sampingan. Kebanyakan pendatang. Mereka datang kesini ya hanya untuk peruntungan saja. Banyak yang datang, terus pergi tanpa izin apaapa. Sebenarnya lahan di Lempong Pucung ini bisa ditanami sayuran-sayuran, cabe, kunyit, jahe, tetapi warga di sini tidak tahu mengapa kurang memiliki inisiatif. Padahal lumayan untuk mengurangi pengeluaran dapur” Menurut penuturan beberapa informan di lapang, kebanyakan petani di Dusun Lempong Pucung enggan melakukan berbagai kegiatan sampingan, terutama di kalangan ibu-ibu. Pendapatan rumahtangga di dusun tersebut pada umumnya digantungkan hanya kepada kepala rumahtangga. Lahan di Nusakambangan sebenarnya dapat ditanami berbagai jenis tanaman untuk keperluan rumahtangga, namun petani di Dusun Lempong Pucung jarang yang melakukannya, hanya beberapa rumahtangga saja. Berbeda dengan Dusun Klaces, petani disana mengusahakan lahan di Nusakambangan tidak hanya menanam pohon albasia, namun berbagai jenis tanaman lainnya untuk dijadikan penghasilan sampingan ketika paceklik.
Bentuk-Bentuk Strategi Nafkah yang Dibangun Oleh Rumahtangga Petani Scoones (1998) dalam Tulak (2009) menggolongkan strategi nafkah petani menjadi tiga golongan besar, yakni: (1) rekayasa sumber nafkah pertanian, yang merupakan usaha penguasaan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi) maupun dengan memperluas lahan garapan pertanian (ekstensifikasi), (2) pola nafkah ganda yang merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan selain sektor pertanian untuk menambah
45
pendapatan (diversifikasi pekerjaan), (3) rekayasa spasial merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi/perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkular (migrasi). Rekayasa Sumber Nafkah Pertanian Mayoritas penduduk di kedua dusun adalah berprofesi sebagai petani padi sawah tadah hujan. Pertanian sebenarnya bukanlah sektor yang cukup menjanjikan di kedua dusun, mengingat adanya bencana alam yang berpengaruh terhadap produktivitas yang dihasilkan. Usaha untuk mengatasi bencana rob pernah dilakukan pembuatan sekat-sekat ataupun penghalang yang terbuat dari karung agar menghambat masuknya air asin ke lahan pertanian, namun hasilnya tetap saja sia-sia. Penggunaan varietas tahan air asin juga pernah dilakukan, tetapi produktivitas pertanian tidak meningkat secara berarti dan rasa nasinya kurang enak. Pada usaha taninya, petani di kedua dusun juga menambahkan input eksternal berupa tenaga kerja tambahan. Saat musim tanam dan panen, biasanya rumahtangga yang memiliki lahan yang cukup luas menggunakan tambahan buruh untuk membantu pengerjaannya. Jumlah buruh yang dipekerjakan tergantung luasan lahan masing-masing rumahtangga. Saat matun (pemeliharaan), jumlah buruh yang digunakan biasanya lebih sedikit dibandingkan dengan musim tanam dan panen. Berbeda dengan rumahtangga yang memiliki lahan yang sempit, mereka cenderung tidak menggunakan tenaga kerja tambahan untuk menghemat pengeluaran. Mereka lebih memilih menggunakan tenaga kerja keluarga seperti istri dan anak. Selain menambah input berupa tenaga kerja, dalam membajak lahannya petani di kedua dusun juga sudah menggunakan traktor. Sebelum adanya traktor, petani di desa ini hanya mengandalkan cangkul untuk mengolah lahannya. Dengan adanya traktor, proses pengolahan lahan lebih cepat dilakukan sehingga tidak memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang tinggi apabila menggunakan tenaga buruh. Berdasarkan survey yang dilakukan, dari 60 responden hanya satu rumahtangga yang memiliki traktor pribadi. Mereka yang tidak memiliki traktor harus menyewa. Adapun biaya yang harus dikeluarkan per 100 ubin adalah sekitar Rp. 150 000. Biaya tersebut diluar upah untuk membayar orang yang mengemudi traktornya Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa petani di kedua dusun dalam menambah penghasilan rumahtangga tidak melakukan strategi ekstensifikasi lahan, hal ini disebsbkan terbatasnya lahan yang ada di kedua dusun. Selain itu, produktivitas pertanian yang kurang menjanjikan mengakibatkan petani tidak memilih strategi ini sebagai alat untuk menambah penghasilan rumahtangga. Pola Nafkah Ganda Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, untuk mencari penghasilan selain dari sektor pertanian, petani juga menerapkan beragam pekerjaan seperti membuka warung, menjadi tukang pijat, mencari pasir atau batu, membuat gula merah, menjual kambing, menjadi tukang ojek, dan lain sebagainya. Hal ini telah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya yakni tekait dengan sektor non-farm. Terdapat perbedaan diversifikasi nafkah yang dilakukan di kedua desa, dimana
46
Dusun Klaces memiliki lebih banyak variasi jenis pekerjaan dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung yang pada umumnya hanya mengandalkan sebagai buruh tani saja. Mayoritas petani di Dusun Lempong Pucung tidak menerapkan pola nafkah ganda, hanya sebagian petani saja yang melakukannya, yakni sebagai pembuat gula merah, membuka warung, dan juga menjadi kuncen goa.
Rekayasa Spasial Rekayasa spasial adalah usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi/ perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkular (migrasi). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, tujuan lokasi migrasi cukup beragam, yakni Kota Cilacap, Jakarta, Batam, dan ada juga yang sampai ke Singapore. Migrasi yang mereka lakukan dengan menggunakan jaringan kekerabatan dan pertemanan. Berbeda dengan buruh migran internasional, mereka terlebih dahulu mendaftar pada lembaga penyalur (sponsor). Anggota rumahtangga yang biasanya melakukan migrasi lokal adalah mereka yang masuk dalam usia remaja yang pada umumnya telah putus sekolah, sedangkan yang melakukan migrasi ke Singapore biasanya mereka yang sudah berkeluarga. Pekerjaan yang dilakukan pun beragam, biasanya perempuan bekerja sebagai pembantu rumahtangga, sedangkan laki-laki bekerja di perusahaan otomotif, buruh bangunan dan ada juga yang bekerja di kapal. Menurut pengakuan salah seorang bekas migran mengatakan bahwa hasil yang diperoleh tidak seberapa, habis untuk kebutuhan mereka di tempat migrasi, sehingga sangat jarang mengirim uang ke rumah.
Ikhtisar Menurut Ellis (1998), terdapat tiga aspek pembentuk strategi nafkah, yakni dari on-farm, off-farm, dan non-farm. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa selain dari sektor on-farm, petani juga pada umumnya melakukan kedua sektor lainnya. Pada sektor off-farm, petani melakukan aktifitas nafkah sebagai buruh tani dan juga buruh angkut kayu albasia. Namun terdapat perbedaan dari kedua dusun berdasarkan sektor ini, dimana Dusun Lempong Pucung lebih dominan melakukan pekerjaan di sektor ini dibandingkan dengan Dusun Klaces. Pada sektor non-farm, petani melakukan berbagai pekerjaan seperti membuka warung, menjadi tukang pijat, mencari pasir atau batu, membuat gula merah, menjual kambing, menjadi tukang ojek, dan lain sebagainya. Pada sektor ini juga terdapat perbedaan di kedua dusun, dimana Dusun Klaces lebih dominan melakukan pekerjaan ini dibandingkan Dusun Lempong Pucung. Scoones (1998) dalam Tulak (2009) menggolongkan strategi nafkah petani menjadi tiga golongan besar, yakni rekayasa sumber nafkah pertanian, pola nafkah ganda, dan rekayasa spasial. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kedua dusun melakukan strategi rekayasa sumber nafkah pertanian dengan cara menggunakan input eksternal yakni penggunaan tenaga kerja tambahan dan teknologi. Selain itu petani di kedua dusun juga melakukan pola nafkah ganda, namun pada petani di Dusun Lempong Pucung tidak semua rumahtangga melakukannya. Sedangkan strategi rekayasa spasial biasanya dilakukan oleh
47
mereka yang masuk dalam usia remaja yang pada umumnya telah putus sekolah, sedangkan yang melakukan migrasi ke Singapore biasanya mereka yang sudah berkeluarga. Adapun tujuan lokasi migrasi cukup beragam, yakni Kota Cilacap, Jakarta, Batam, dan ada juga yang sampai ke Singapore.
48
49
STRUKTUR PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI Bab ini menguraikan mengenai hasil di lapang mengenai struktur pendapatan rumahtangga petani yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Sub bab yang pertama membahas mengenai hasil analisis tingkat pendapatan rumahtangga baik dari sektor pertanian maupun non pertanian. Selain membahas mengenai struktur pendapatan, bab ini juga membahas mengenai tingkat pengeluaran rumahtangga petani dan juga kaitannya dengan kapasitas menabung (saving capacity) yang dimiliki. Struktur nafkah baik pendapatan, pengeluaran dan saving capacity merupakan implikasi dari berbagai strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani.
Tingkat Pendapatan Pertanian Tingkat pendapatan pertanian adalah total uang yang diterima oleh rumahtangga dari bekerja di sektor pertanian seperti bertani, berternak, mencari kepiting dan juga kerang. Penduduk di kedua dusun memang mayoritas bekerja sebagai petani, namun pendapatan dari usaha sebagai petani bisa dikatakan tidak memberikan penghasilan secara langsung dalam bentuk materi karena rata-rata petani di kedua dusun bersifat subsisten. Seluruh hasil pertanian biasanya habis untuk konsumsi rumahtangganya sendiri, hanya sebagian kecil saja yang menjual terutama bagi mereka yang memiliki lahan yang termasuk pada kategori luas. Pendapatan dari sektor pertanian lainnya diperoleh dari menjual pohon albasia yang ditanam di lahan Nusakambangan, namun pendapatan yang diperoleh cenderung tidak menentu. Penelitian ini menggolongkan rumahtangga menjadi tiga kategori atau lapisan, yakni lapisan bawah, menengah, dan atas. Penggolongan ini didasarkan pada rata-rata jumlah pendapatan yang dihasilkan rumahtangga petani selama satu tahun. Tabel berikut memaparkan penggolongan petani berdasarkan jumlah pendapatan dari sektor pertanian. Tabel 15
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendapatan pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014 Dusun Klaces Dusun Lempong Pucung No. Tingkat Pendapatan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Pertanian (rumaht (rumaht angga) angga) 1. Bawah 16 53 28 94 2. Menengah 5 17 1 3 3. Atas 9 30 1 3 30 100 30 100 Total
Sumber: Data primer
50
Berdasarkan rata-rata pendapatan yang diperoleh di lapangan, kategori tingkat pendapatan bawah adalah mereka yang pendapatannya Rp.500 000 – Rp. 6 800 000, kategori menengah adalah Rp. 6 800 001 – Rp. 13 100 000 dan kategori atas adalah > Rp. 13.100 000. Berdasarkan tabel 15 tersebut, diketahui bahwa terdapat perbedaan antara Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung menurut tingkat pendapatan pertanian, dimana mayoritas responden di Dusun Lempong Pucung termasuk kategori pendapatan rendah atau bawah (mencapai 94%), sedangkan di Dusun Klaces hanya 53%. Pada kategori tingkat pendapatan sedang atau menengah, terdapat 17% responden di Dusun Klaces dan hanya 3% di Dusun Lempong Pucung. Pada tingkat kategori pendapatan tinggi atau atas, Dusun Klaces mencapai 30%, sedangkan Dusun Lempong Pucung hanya 3%. Berikut adalah grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani dari sektor pertanian selama satu tahun. (Rp/Tahun) 25,000,000
21.388.000 19.400.000
20,000,000
15,000,000 Pertanian Dusun Klaces
10.718.000 10,000,000
5,000,000
7.500.000 Pertanian Dusun Lempong Pucung
3.136.563 2.826.250
0 Bawah
Menengah
Atas
Sumber : Data primer
Gambar 6 Pendapatan rata-rata rumahtangga petani dari sektor pertanian menurut lapisan di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 2014 Gambar 6 tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan dari sektor pertanian yang diperoleh rumahtangga petani di Dusun Klaces lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Rata-rata pendapatan rumahtangga lapisan bawah di Dusun Klaces lebih tinggi daripada Dusun Lempong Pucung. Adapun selisih rata-rata pendapatan diantara keduanya yakni sebesar Rp. 310 313. Pada kategori lapisan menengah, rata-rata pendapatan di Dusun Klaces juga lebih besar dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung, dimana selisihnya mencapai Rp. 3 138 000. Terakhir, pada kategori lapisan atas,
51
pendapatan petani di Dusun Klaces juga lebih besar dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Adapun selisih pada lapisan ini sebesar Rp. 1 988 000. Ratarata pendapatan yang dihasilkan pada sektor pertanian berhubungan dengan luas lahan yang mereka kuasai. Semakin luas lahan yang mereka kuasai akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi rumahtangga untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya. Hubungan Tingkat Pendapatan Pertanian dan Luas Lahan Tanah Timbul Berdasarkan pemaparan sebelumnya, diketahui bahwa tingkat pendapatan petani di kedua dusun cukup berbeda, hal tersebut disebabkan oleh perbedaan luas lahan diantara keduanya. Rata-rata kepemilikan luas lahan di Dusun Klaces lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Berikut tabel hubungan antara tingkat pendapatan responden di kedua dusun dengan tingkat luas lahan. Tabel 16
Hubungan luas lahan tanah timbul dengan tingkat pendapatan pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
Tingkat pendapatan pertanian Rendah Sedang Tinggi Total
Tingkat luas lahan tanah timbul Sempit n 29 3 0 32
% 91 9 0 100
Sedang n 14 2 5 21
% 67 10 23 100
Total
Luas n 1 1 5 7
% 14 14 72 100
n 44 6 10 60
% 73 10 17 100
Sumber : Data primer
Berdasarkan Tabel 16 tersebut, diketahui bahwa kepemilikan luas lahan memiliki hubungan dengan tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian. Pada kategori tingkat luas lahan sempit diikuti dengan tingkat pendapatan yang rendah, tampak dari persentasenya sebesar 91 (mendekati sempurna). Pada kategori tingkat luas lahan tinggi juga diikuti dengan tingkat pendapatan yang tinggi pula, yakni sebesar 72%. Semakin luas lahan yang usahakan oleh rumahtangga petani, maka pendapatan yang akan diperoleh juga semakin besar. Agar memperjelas (mendukung) hubungan kedua variabel ini, peneliti menggunakan perangkat lunak SPSS melalui uji statistik non-parametik melakukan uji Rank Spearman pada variabel tingkat luas lahan tanah timbul dengan tingkat pendapatan pertanian. Hasilnya adalah diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0,534, dengan korelasi signifikan pada interval keyakinan (alpha) yang lebih teliti yaitu 0,00 untuk uji dua sisi. Berdasarkan data tersebut maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang kuat (lihat lampiran 2). Hubungan Tingkat Pendapatan Pertanian dan Luas Lahan di Nusakambangan Seperti dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa selain memanfaatkan lahan tanah timbul, petani setempat juga memanfaatkan lahan yang berada di
52
dataran tinggi Nusakambangan. Sebenarnya hasil yang diperoleh dari penanaman pohon albasia tidak serta merta dapat dinikmati, melainkan butuh waktu tahunan untuk memperolehnya. Berikut data lapang yang telah diolah mengenai hubungan luas lahan yang digarap di Nusakambangan dengan tingkat pendapatan pertanian rumahtangga di kedua dusun. Tabel 17
Hubungan luas lahan di Nusakambangan dengan tingkat pendapatan pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
Tingkat pendapatan pertanian
Rendah Sedang Tinggi Total
Tingkat luas lahan di Nusakambangan Tidak menggarap n 10 1 2 13
% 77 8 15 100
Sempit n 10 1 1 12
% 84 8 8 100
Sedang n 20 4 3 27
% 74 15 11 100
Luas n 4 0 4 8
% 50 0 50 100
Total n 44 6 10 60
% 73 10 17 100
Berdasarkan Tabel 17 tersebut, tidak terlihat hasil yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Pada responden yang tidak menggarap lahan di Nusakambangan, terdapat 77 persen yang yang berpendapatan rendah, tetapi terdapat 15 persen yang berpendapatan tinggi. Pada kategori luas lahan sempit, tingkat pendapatan rumahtangga tergolong besar pada kategori rendah yakni sebesar 84% (lebih besar daripada tidak menggarap). Pada kategori sedang, tingkat pendapatan juga tergolong rendah, yakni sebesar 74% Agar memperjelas hubungan kedua variabel ini, peneliti kembali menggunakan perangkat lunak SPSS non-parametrik dengan uji Rank Spearman. Hasilnya adalah diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0,179, dengan korelasi signifikan pada interval keyakinan (alpha) yang lebih teliti yaitu 0,172 untuk uji dua sisi. Berdasarkan data tersebut maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang lemah. Hal ini dikarenakan hasil yang dirasakan dari menanam kayu albasia di Nusakambangan hanya dapat dinikmati dalam jangka waktu tahunan (lihat lampiran 2). Rendahnya produktivitas di sektor pertanian tentunya menjadi momok bagi petani di kedua dusun. Berikut pemaparan salah seorang informan. Bapak TS (54 Th) : “Pendapatan dari pertanian memang sangat sedikit, ya tidak bisa diharapkan, makanya mayoritas warga disini mau tidak mau harus kerja lain, kalau tidak ya dapur di rumah tidak bisa ngebul lagi, anakanak tidak bisa sekolah. Ibu dirumah juga sambilan membuka warung untuk menambah jajan anak.” Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, produktivitas pertanian di kedua desa sangat rendah, sehingga hal ini berimbas pada tingkat pendapatan rumahtangga. Bencana rob yang melanda kedua dusun ternyata berdampak sangat besar bagi
53
kehidupan rumahtangga. Selain berdampak pada tingkat pendapatan, banjir rob juga sampai ke rumah sehingga merendam peralatan rumahtangga seperti kasur, lemari, kursi dan sebagainya. Hal ini mengharuskan warga untuk terus waspada ketika air pasang. Selain itu, tidak jarang warga terserang penyakit gatal-gatal, terutama dikalangan anak-anak.
Tingkat Pendapatan Non Pertanian Tingkat pendapatan non pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah total uang yang diterima oleh rumahtangga petani dari sektor nonpertanian, baik yang off-farm (buruh tani dan buruh angkut kayu) maupun nonfarm (membuka warung, ojek, mencari pasir/batu, berjualan kue, membuat gula merah, distributor pasir dan batu bata, tukang pijet, dan sebagainya). Pekerjaan di sektor non-pertanian banyak digeluti oleh rumahtangga petani karena pendapatan dari sektor pertanian dianggap tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Penelitian ini menggolongkan rumahtangga menjadi tiga kategori, yakni rumahtangga lapisan bawah, menengah, dan atas. Penggolongan ini didasarkan pada rata-rata jumlah pendapatan yang dihasilkan rumahtangga petani selama satu tahun dari sektor non-pertanian. Tabel berikut memaparkan penggolongan petani berdasarkan jumlah pendapatan dari sektor non-pertanian. Tabel 18
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendapatan nonpertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014
Tingkat No. Pendapatan Non Pertanian 1. 2. 3.
Dusun Klaces
Dusun Lempong Pucung
Jumlah (rt)
Persentase
Jumlah (rt)
Persentase
Bawah Menengah Atas
8 12 10
27 40 33
11 14 5
37 47 16
Total
30
100
30
100
Sumber : Data primer
Berdasarkan rata-rata pendapatan yang diperoleh di lapangan, kategori tingkat pendapatan rendah adalah mereka yang pendapatannya Rp. 500 000 – Rp. 9 033 000, kategori sedang adalah Rp. 9 033 001 – Rp. 17 566 000 dan kategori tinggi adalah > Rp. 17 566 000. Berdasarkan Tabel 18 tersebut, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup besar diantara kedua dusun menurut tingkat pendapatan non-pertanian. Responden di Dusun Klaces sebanyak 27% masih tergolong dalam pendapatan yang rendah, sebesar 40% masuk pada kategori pendapatan sedang, dan sebesar 33% responden masuk pada kategori pendapatan yang tinggi. Sedangkan di Dusun Lempong Pucung, sebesar 37% responden masuk pada kategori berpendapatan rendah, sebesar 47% masuk pada kategori berpendapatan sedang, dan 16% masuk pada kategori tinggi. Berikut tabel pendapatan rata-rata petani dari sektor non-pertanian di kedua dusun.
54
35,000,000
30.435.000 30,000,000 25,000,000
20.309.444 Dusun Klaces
20,000,000
14.437.647 15,000,000
13.108.333 Dusun Lempong Pucung
10,000,000 5,000,000
5.675.000 5.133.000
0 Bawah
Menengah
Atas
Sumber : Data primer
Gambar 7
Pendapatan rata-rata rumahtangga petani dari sektor non pertanian menurut lapisan di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
Gambar 7 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan yang diperoleh rumahtangga petani lapisan bawah dari sektor non pertanian di Dusun Klaces lebih tinggi daripada Dusun Lempong Pucung. Adapun selisih rata-rata pendapatan diantara keduanya yakni sebesar Rp. 542 000. Sebaliknya, pada kategori lapisan menengah, rata-rata pendapatan di Dusun Lempong Pucung lebih besar dibandingkan dengan Dusun Klaces, dimana selisihnya mencapai Rp. 1 329 314. Terakhir, pada kategori lapisan atas, pendapatan petani di Dusun Klaces lebih besar dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Adapun selisih pada lapisan ini sangat besar, yakni Rp. 10 125 556. Seperti yang telah dipaparkan di bab sebelumnya, jumlah variasi sumber nafkah di Dusun Klaces lebih beragam dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung, sehingga hal tersebut dapat menjelaskan mengapa rata-rata tingkat pendapatan di Dusun Lempong Pucung lebih rendah dibandingkan dengan Dusun Klaces pada kategori lapisan bawah dan atas. Petani di Dusun Lempong Pucung pada umumnya cenderung hanya berpegang pada mata pencaharian sebagai buruh serabutan saja.
Pendapatan Total Rumahtangga Petani Pendapatan total rumahtangga petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah pendapatan rumahtangga baik dari sektor pertanian maupun non pertanian. Sektor pertanian dan non pertanian memegang peran penting dalam pemenuhan kebutuhan rumahtangga sehari-hari, walaupun berdasarkan hasil penelitian kontribusi pendapatan dari sektor non-pertanian lebih tinggi
55
dibandingkan dengan sektor pertanian. Berikut total rata-rata pendapatan rumahtangga petani di kedua dusun. Tabel 19
Total pendapatan rata-rata petani di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014
No.
Sumber Pendapatan
1. 2.
Pertanian Non Pertanian
Dusun Klaces
Dusun Lempong Pucung
Rupiah/Tahun
Rupiah
Total
9 875 833 16 341 666
3 534 500 14 902 500
26 217 499
18 437 000
Sumber : Data Primer
Tabel 19 memaparkan bahwa rata-rata total pendapatan di antara kedua dusun terlihat perbedaan yang cukup besar. Adapun selisih pendapatan diantara kedua dusun mencapai Rp.7 780 499. Berikut grafik yang menunjukkan perbandingan besar kontribusi kedua sektor bagi pendapatan rumahtangga petani di kedua dusun. 100% 90% 80% 70% 60% 50% Nonpertanian
40% 30%
Pertanian
20% 10% 0% Bawah
Menengah Dusun Klaces
Atas
Bawah
Menengah
Atas
Dusun Lempong Pucung
Sumber : Data primer
Gambar 8 Persentase kontribusi sektor pertanian dan non pertanian menurut lapisan di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 2014
56
Berdasarkan Gambar 8, tidak ditemukan pola yang khas mengenai kontribusi pendapatan rumahtangga petani baik dari sektor pertanian maupun nonpertanian di kedua dusun. Pada rumahtangga yang masuk pada lapisan bawah, pada umumnya mereka memiliki luasan lahan yang relatif sempit, sehingga produktivitas yang dihasilkan juga sedikit. Dusun Lempong Pucung pada kategori menengah dan atas hanya terdapat masing-masing satu responden, sehingga grafik yang ditampilkan tidak cukup representatif. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 30 orang responden di Dusun Lempong Pucung, terdapat 28 responden yang masuk ke tingkat pendapatan rendah. Pertanian bukanlah menjadi sandaran utama bagi perekonomian rumahtangga lapisan bawah. Mayoritas rumahtangga petani di kedua dusun menjadi buruh untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Hal ini berbeda dengan penelitian Wulan (2014) di Desa Ciganjeng, dimana petani yang masuk pada lapisan bawah cenderung lebih memanfaatkan sektor pertanian dibandingkan dengan lapisan menengah dan atas. Secara umum, berikut grafik yang memaparkan kontribusi pendapatan rumahtangga baik dari sektor pertanian maupun non pertanian. 100% 90% 80% 70% 60% Non Pertanian
50%
Pertanian
40% 30% 20% 10% 0% Dusun Klaces
Dusun Lempong Pucung
Sumber : Data primer
Gambar 9 Pendapatan rata-rata rumahtangga menurut kontribusi sektor pertanian maupun non pertanian di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014 Berdasarkan Gambar 9, diketahui bahwa kontribusi sektor non-pertanian di kedua dusun mendominasi dibandingkan dengan sektor pertanian. Pada Dusun Lempong Pucung, kontribusi sektor non pertanian sangat tinggi mencapai 80 persen, hal ini tampak dari mayoritas rumahtangga petani di dusun tersebut berprofesi sebagai buruh tani, serta kepemilikan luas lahan yang relatif sempit. Sedangkan di Dusun Klaces, sekitar 60 persen rumahtangga petani memperoleh penghasilan dari sektor non-pertanian, seperti membuka warung, menjual kambing, kayu, batu, pasir, dan sebagainya.
57
Total Pengeluaran Rumahtangga Petani Adapun yang dimaksud dengan total pengeluaran rumahtangga dalam penelitian ini adalah semua jenis pengeluaran yang rutin dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, meliputi kebutuhan makan, pendidikan, listrik, transportasi, kesehatan, dan sebagainya. Total pengeluaran rumahtangga penting untuk diketahui dalam menentukan saving capacity masing-masing rumahtangga petani. Berikut grafik mengenai total pengeluaran rumahtangga petani di kedua dusun Rp/Tahun 35,000,000
30.325.200 30,000,000
24.685.000 25,000,000 20,000,000
Dusun Klaces
21.127.500 19.215.210 15.735.714 14.881.363
15,000,000 Dusun Lempong Pucung
10,000,000 5,000,000 0 Bawah
Menengah
Atas
Sumber : Data Primer
Gambar 10 Total pengeluaran rata-rata rumahtangga petani menurut lapisan di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014 Gambar 10 menunjukkan sebuah pola, dimana semakin tinggi lapisan rumahtangga petani, maka semakin tinggi pula tingkat pengeluaran rumahtangga per tahun. Selain itu, diketahui pula bahwa rata-rata pengeluaran rumahtangga petani di kedua dusun berbeda, dimana pengeluaran rumahtangga di Dusun Klaces relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Pada rumahtangga yang termasuk pada lapisan bawah di Dusun Klaces, total pengeluaran rumahtangga per tahun adalah sebesar Rp. 15 735 714, sedangkan di Dusun Lempong Pucung sebesar Rp. 14 881 363. Pada rumahtangga yang termasuk pada lapisan menengah di Dusun Klaces, total pengeluaran rumahtangga per tahun adalah sebesar Rp. 21 127 500, sedangkan di Dusun Lempong Pucung sebesar Rp. 19 215 210 . Terakhir, pada rumahtangga yang termasuk pada lapisan bawah di Dusun Klaces, total pengeluaran rumahtangga per tahun adalah sebesar Rp. 30 325 200, sedangkan di Dusun Lempong Pucung sebesar Rp. 24 685 000. Berikut adalah contoh kasus mengenai tingkat pengeluaran pada rumahtangga yang termasuk pada kategori atas.
58
Box 5. Kisah kehidupan kasus Ibu SMY (38 Tahun) Ibu SMY adalah seorang ibu yang memiliki 3 orang anak. Anak pertamanya meneruskan sekolahnya ke tingkat Perguruan Tinggi (PT) disalah satu universitas ternama di Indonesia. Setiap bulannya, ibu SMY harus mengirimkan uang sebesar tiga juta rupiah untuk biaya praktik, uang saku, dan juga uang kosannya. Ibu SMY juga memaparkan, pengeluaran anaknya tidak menentu, terkadang anaknya meminta lebih setiap bulannya untuk keperluan tambahan di perkuliahan, salah satunya adalah motor. Selain untuk keperluan pendidikan anaknya, Ibu SMY juga merupakan orang yang royal. Setiap pergi ke pasar (seminggu sekali), Ibu SMY bisa menghabiskan jutaan rupiah untuk keperluan dapur dan kebutuhan sehari-hari. Menurut penuturannya, Ibu SMY merupakan orang yang dermawan, setiap tetangga yang memerlukan bantuan akan datang kepada dia. Pengeluaran yang tinggi, tentunya diikuti oleh pendapatan yang tinggi pula. Dalam hal ini, Ibu SMY dan suami merupakan orang yang cekatan dan kreatif. Mereka memilki lahan yang luas, dan juga memiliki usaha sampingan yang cukup menjanjikan, yakni jual beli kayu albasia, pasir dan juga batu Saving Capacity Rumahtangga Petani Kapasitas menabung rumahtangga petani dapat dilihat dari selisih total pendapatan dan juga pengeluaran. Apabila selisih yang dihasilkan besar, maka jumlah tabungan yang diperoleh pun akan semakin besar. Biasanya daya menabung antar rumahtangga berbeda-beda. Besarnya saving capacity suatu rumahtangga akan berpengaruh besar kepada kelangsungan hidup suatu rumahtangga. Semakin besar saving capasity rumahtangga, maka semakin kuat (tidak rentan) terhadap guncangan atau krisis. Berikut grafik yang menampilkan perbandingan rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani per tahun. Rp/Tahun 40,000,000 35,000,000 30,000,000 25,000,000 20,000,000
Pendapatan
15,000,000
Pengeluaran
10,000,000 5,000,000 0 Bawah
Menengah Dusun Klaces
Atas
Bawah
Menengah
Atas
Dusun Lempong Pucung
Sumber : Data primer
Gambar 11
Perbandingan pendapatan rata-rata dan pengeluaran rata-rata rumahtangga petani per tahun menurut lapisan di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013
59
Berdasarkan Gambar 11, diketahui bahwa rumahtangga petani lapisan bawah di kedua dusun lebih tinggi tingkat pengeluarannya dibandingkan dengan tingkat pendapatannya, tetapi dalam kategori ini selisih pengeluaran dengan pendapatan di Dusun Klaces jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Artinya, kapasitas menabung di Dusun Klaces jauh lebih buruk dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung pada lapisan bawah. Pada lapisan menengah, kapasitas menabung di kedua dusun sudah mulai tampak, namun masih relatif kecil. Pada lapisan atas, kapasitas menabung sudah cukup tinggi di kedua dusun. Tabel berikut akan memaparkan selisih antara pendapatan dan pengeluaran, sehingga tampak jelas saving capacity masing-masing lapisan rumahtangga. Tabel 20
Jumlah saving capacity rumahtangga Petani di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
Kategori
Rata-Rata Total Pendapatan Rata-Rata Total Pengeluaran Saving Capacity (per tahun) Saving Capacity (per bulan)
Bawah (Rp)
Dusun Klaces Menengah (Rp)
10.296.428
21.190.555
36.582.333
13.988.636
19.779.687
29.000.000
15.735.714
21.127.500
30.325.200
14.881.363
19.125.210
24.685.000
-5.439.286
63.055
6.257.133
-892.727
654.477
4.315.000
-453.274
5.255
521.427
-74.394
54.539
359.583
Atas (Rp)
Dusun Lempong Pucung Bawah Menengah Atas (Rp) (Rp) (Rp)
Sumber : Data primer
Tabel 20 memaparkan bahwa saving capacity di kedua dusun cenderung sama di kategori penduduk lapisan bawah, dimana saving capacity di kedua dusun bernilai negatif. Pada kategori rumahtangga lapisan menengah, Dusun Lempong Pucung memiliki saving capacity yang lebih besar yakni Rp. 654 477 per tahun, sedangkan Dusun Klaces hanya Rp. 63 055 per tahunnya. Pada kategori lapisan atas, saving capacity Dusun Klaces lebih besar yakni Rp. 6 257 133 pertahun, sedangkan Dusun Lempong Pucung hanya 4 315 000 per tahun. Tingkat Kemiskinan Rumahtangga Petani Tingkat kemiskinan dalam suatu rumahtangga dapat diukur dengan menggunakan beragam instrumen, salah satunya menggunakan indikator yang dibuat oleh World Bank, yakni setara dengan USD $2.00 per orang per hari atau kurang lebih sebesar Rp. 20 000. Berdasarkan data mengenai total pendapatan rumahtangga petani di kedua dusun, maka dapat diketahui tingkat kemiskinannya.
60
Rp/Hari 40000
33 873
35000 30000
26 851
25000
19 620
20000
18 314 12 925
15000 10000
Total Pendapatan perkapita/hari
9 533
5000 0 Bawah
Menengah Dusun Klaces
Atas
Bawah
Menengah
Atas
Dusun Lempong Pucung
Gambar 12 Pendapatan per kapita per hari rumahtangga petani menurut lapisan di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung Tahun 2013 – 2014 Berdasarkan Gambar 12 diketahui bahwa pendapatan rata-rata per kapita petani di kedua dusun pada lapisan bawah dan menengah masih berada di bawah Rp. 20 000. Apabila dikaitkan dengan garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank, maka responden yang termasuk pada lapisan bawah dan menengah di kedua dusun masih berada di bawah garis kemiskinan. Rata-rata pendapatan perkapita lapisan bawah di Dusun Klaces hanya sebesar Rp. 9 533. Berbeda dengan Dusun Lempong Pucung, pendapatan per kapita lebih tinggi yakni Rp. 12 925, namun masih tetap berada di bawah garis kemiskinan World Bank. Lapisan menengah di kedua dusun juga memiliki perbedaan dimana pendapatan perkapita di Dusun Klaces lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung yakni sebesar Rp. 19 620, sementara pendapatan perkapita Dusun Lempong Pucung hanya Rp. 18 314. Pendapatan perkapita kedua dusun pada lapisan atas sudah berada di atas garis kemiskinan World Bank, dimana pendapatan Dusun Klaces sebesar Rp. 33 873 dan Dusun Lempong Pucung sebesar Rp. 26 851. Dapat disimpulkan bahwa, hanya lapisan atas saja di kedua dusun yang sudah berada di garis kemiskinan menurut World Bank.
Ikhtisar Penduduk di kedua dusun memang mayoritas bekerja sebagai petani, namun pendapatan dari usaha sebagai petani bisa dikatakan tidak memberikan penghasilan secara langsung dalam bentuk materi karena rata-rata petani di kedua dusun bersifat subsisten. Berdasarkan rata-rata pendapatan yang diperoleh di lapangan, diketahui bahwa terdapat perbedaan antara Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung menurut tingkat pendapatan pertanian, dimana mayoritas responden di Dusun Lempong Pucung termasuk kategori pendapatan rendah
61
(mencapai 94%), sedangkan di Dusun Klaces hanya 53%. Pada kategori tingkat pendapatan sedang, terdapat 17% responden di Dusun Klaces dan hanya 3% di Dusun Lempong Pucung. Pada tingkat kategori pendapatan tinggi, Dusun Klaces mencapai 30%, sedangkan Dusun Lempong Pucung hanya 3%. Dengan melakukan uji Rank Spearman, diketahui bahwa tingkat pendapatan pertanian rumahtangga petani ternyata berhubungan dengan luas lahan tanah timbul yang mereka miliki. Berdasarkan tingkat pendapatan dari sektor non pertanian, diketahui bahwa pendapatan rata-rata di Dusun Klaces lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. ini disebabkan jumlah variasi nafkah di Dusun Klaces lebih beragam dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung, sehingga hal tersebut dapat menjelaskan mengapa rata-rata tingkat pendapatan di Dusun Lempong Pucung dapat lebih rendah dibandingkan dengan Dusun Klaces. Petani di Dusun Lempong Pucung pada umumnya cenderung hanya berpegang pada mata pencaharian sebagai buruh serabutan saja. Semakin tinggi lapisan rumahtangga petani, maka semakin tinggi pula tingkat pengeluaran rumahtangga per tahun. Struktur pengeluaran di kedua dusun juga tampak perbedaan, dimana rata-rata pengeluaran rumahtangga di Dusun Klaces relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung.
62
63
RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI Bentuk Resiliensi Nafkah Resiliensi merupakan kebalikan dari kerentanan (vulnerability), dimana kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep resiliensi merupakan konsep yang luas, didalamnya termasuk kapasitas dan kemampuan merespon dalam situasi krisis/konflik/darurat. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan kembali ke keadaan semula pada saat terjadi bencana. Resiliensi merupakan proses yang dinamis mencakup adaptasi yang positif saat rerjadi bencana. Resiliensi pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Kerentanan adalah keterbukaan sekelompok orang atau individu terhadap stress yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan ataupun keadaan krisis (Adger 2000). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, petani di kedua dusun memiliki pola khusus dalam bertahan saat kondisi krisis, seperti menjual pohon albasia dan meminjam (hijoan). Pohon Albasia sebagai Asset Umumnya, selain menggarap sawah, petani di kedua dusun juga menggarap lahan di Nusakambangan untuk ditanami pohon albasia. Waktu yang dibutuhkan untuk menanam hingga memanen pohon albasia cukup lama, yakni 3 sampai 4 tahun lamanya. Menanam albasia bagi petani tidak begitu sulit, pohon albasia tidak perlu perawatan yang intensif, sehingga tidak terlalu menguras waktu dan tenaga petani. Saat pohon albasia masih berumur pendek (baru tanam), petani dapat menanam tanaman lain di sela-selanya (tumpang sari), sehingga menjadi keuntungan tersendiri bagi petani. Ketika masa panen, petani albasia biasanya dapat meraup keuntungan sampai belasan juta per hektarnya. Sistem jual beli yang mereka terapkan juga berbeda, dimana pemilik tidak perlu repot-repot menebang kayu lalu menjualnya, melainkan pemilik hanya menjual pohon lalu yang menebang adalah dari pihak pembelinya. Bagi petani di kedua dusun, pohon albasia dijadikan asset ketika terjadi krisis ekonomi. Berikut pemaparan kedua informan di lapangan. “Setahun yang lalu sewaktu membangun rumah, perekonomian keluarga memasuki masa-masa yang sulit. Mau makan ya pas-pasan. Jalan keluarnya ya menjual pohon albasia” (YTM 32 Tahun) “Sewaktu ibu saya sakit, pengeluaran menjadi banyak sekali. Setiap minggu harus ke rumah sakit. Itupun tidak sembuh-sembuh juga. Kemarin padahal habis panen pohon alba (albasia) mendapat untung sampai 19 juta, tapi ya habis semua untuk membeli obat ibu. RSM (29 Tahun) Pohon albasia memang idealnya dijual pada saat masa tanam 3 – 4 tahun. Namun, ketika petani di kedua dusun membutuhkan uang yang sifatnya mendesak, mereka lebih memilih untuk menjualnya walaupun umur tanamnya
64
belum mencukupi. Resiko yang harus diterima adalah harga jualnya yang relatif lebih murah karena batang kayu yang dihasilkan masih kecil. Sistem Hijoan Hijoan merupakan istilah bagi mereka yang meminjam uang kepada kerabat untuk keperluan usaha tani mereka. Sistem hijoan biasanya diterapkan oleh petani yang memiliki lahan yang sempit dengan modal yang minim. Berbeda dengan sistem pinjam meminjam lainnya, hijoan merupakan sistem pinjam meminjam berupa uang, namun dikembalikan dengan padi saat panen. Adapun ketentuan dalam sistem peminjaman ini ditentukan oleh waktu peminjaman. Petani yang meminjam pada saat awal menanam, biasanya membayar padinya lebih banyak dari pada meminjam uang pada saat matun (pemeliharaan). Biasanya uang yang dipinjam sebesar Rp. 200.000 saat menanam, akan dikembalikan dengan 1 kwintal padi, sedangkan apabila meminjam saat matun (pemeliharaan) relatif lebih murah yakni Rp. 300.000 untuk 1 kuintal padi. Tingkat Resiliensi Nafkah Dalam penelitian yang dilakukan, penulis mengukur tingkat resiliensi rumahtangga petani berdasarkan lama waktu yang dibutuhkan oleh rumahtangga untuk recovery ketika terjadi krisis Berdasarkan data yang diperoleh di lapang, pengkategorian tingkat resiliensi dijadikan tiga bagian, rendah apabila petani hanya membutuhkan 1 – 5 bulan saja, sedang apabila petani membutuhkan 6 – 11 bulan, dan sedang apabila lebih dari 11 bulan. Berikut data yang diperoleh di kedua dusun. Tabel 21 Jumlah dan persentase rumahtangga menurut tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Tingkat No. Resiliensi Rumahtangga 1. 2. 3.
Rendah Sedang Tinggi Total
Dusun Klaces Jumlah (rumaht angga) 9 3 18 30
Persentase
30 10 60 100
Dusun Lempong Pucung Jumlah (rumahta ngga) 16 6 8 30
Persentase
53 20 27 100
Sumber : Data primer
Berdasarkan Tabel 21, diketahui bahwa tingkat resiliensi di kedua dusun berbeda, Dusun Klaces memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung, hal ini tampak dari jumlah persentase tingkat resiliensi yang tinggi di Dusun Klaces sebesar 60%, sedangkan di Dusun Lempong Pucung hanya 27%. Pada kategori tingkat resiliensi rendah, Dusun Lempong Pucung relatif lebih besar, yakni mencapai 53%, sedangkan di Dusun Klaces hanya 30%. Perbedaan tingkat resiliensi di kedua dusun berhubungan dengan tingkat penguasaan livelihood asset, terutama modal sosial.
65
Hubungan Tingkat Resiliensi Nafkah dengan Tingkat Penguasaan Livelihood Asset Rumahtangga Petani Hasil uji statistik menggunakan rank spearman untuk melihat korelasi antara tingkat penguasaan livelihood asset dengan tingkat resiliensi rumahtangga, diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0,508, dengan korelasi signifikan pada interval keyakinan (alpha) yang lebih teliti yaitu 0,00 untuk uji dua sisi. Berdasarkan data tersebut maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang kuat (lihat lampiran 2). Berikut tabulasi silang antara tingkat penguasaan livelihood asset dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani untuk melihat lebih jelas sebaran data. Tabel 22
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat penguasaan livelihood asset dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Tingkat penguasaan livelihood asset
Tingkat resiliensi
Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah n 16 5 4 25
% 64 20 16 100
Sedang n 9 4 16 29
% 31 14 55 100
Tinggi n 0 0 6 6
% 0 0 100 100
Total n 25 9 26 60
% 42 15 43 100
Sumber : Data Primer Berdasarkan Tabel 22, diketahui bahwa tingkat penguasaan livelihood asset memiliki hubungan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani. Kategori tingkat penguasaan livelihood asset tinggi juga diikuti dengan tingkat resiliensi yang tinggi pula, tampak dari persentase yang sempurna. Kategori tingkat penguasaan livelihood asset rendah, juga diikuti dengan tingkat resiliensi yang tinggi pula, tampak dari persentase yang mencapai 64%. Agar tampak lebih jelas, maka kelima modal akan dilihat satu per satu untuk melihat keterhubungannya dengan tingkat resiliensi. Berikut penjabarannya. Tabel 23
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal alam dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Tingkat modal alam
Tingkat resiliensi
Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah n 20 6 6 32
% 62 19 19 100
Sedang n 5 3 13 21
% 24 14 62 100
Tinggi n 0 0 7 7
% 0 0 100 100
Total n 25 9 26 60
% 42 15 43 100
66
Tabel 23 menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara tingkat modal alam dengan tingkat resiliensi. Terlihat dari kategori tingkat modal alam tinggi diikuti dengan tingkat resiliensi yang tinggi pula, sebesar 100%. Pada kategori tingkat modal alam rendah juga diikuti dengan tingkat resiliensi yang rendah, yakni sebesar 62%. Modal alam yang diukur berdasarkan luas lahan yang digarap memiliki hubungan tingkat pendapatan rumahtangga, dimana hal ini juga akan berpengaruh terhadap kesiapan rumahtangga ketika diterpa guncangan atau krisis. Tabel 24
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal manusia dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Tingkat modal manusia
Tingkat resiliensi
Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah n 21 7 12 40
% 52.5 17.5 30 100
Sedang n 4 2 11 17
% 23 12 65 100
Tinggi n 0 0 3 3
% 0 0 100 100
Total n 25 9 26 60
% 42 15 43 100
Sumber : Data Primer
Tabel 24 menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara tingkat modal manusia dengan tingkat resiliensi. Terlihat dari kategori tingkat modal manusia tinggi diikuti dengan tingkat resiliensi yang tinggi pula, sebesar 100%. Pada kategori tingkat modal manusia rendah juga diikuti dengan tingkat resiliensi yang rendah, yakni sebesar 52.5%. Modal manusia yang diukur berdasarkan tingkat pendidikan, penggunaan tenaga kerja dan alokasi tenaga kerja rumahtangga memiliki hubungan dengan tingkat resiliensi rumahtangga dapat dijelaskan terutama dari tingkat alokasi tenaga kerja rumahtangga dan tingkat pendidikan. Rumahtangga yang seluruh anggotanya bekerja dan memiliki penghasilan akan memiliki pendapatan rumahtangga yang tinggi pula, sehingga hal ini juga akan berpengaruh terhadap kesiapan rumahtangga ketika diterpa guncangan atau krisis. Seperti yang telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, pendidikan juga berhubungan dengan pilihan nafkah yang dapat dilakukan oleh rumahtangga. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi relatif lebih terbuka terhadap berbagai aktifitas nafkah. Berbagai pilihan aktifitas nafkah yang mereka lakukan juga berhubungan terhadap tingkat pendapatan mereka.
67
Tabel 25
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal finansial dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 Tingkat modal finansial
Tingkat resiliensi
Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah n 13 5 7 25
% 52 20 28 100
Sedang n 11 3 10 24
% 46 13 41 100
Tinggi n 1 1 9 11
% 9 9 82 100
Total n 25 9 26 60
% 42 15 43 100
Sumber : Data primer
Tabel 25 menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara tingkat modal finansial dengan tingkat resiliensi. Terlihat dari kategori tingkat modal finansial tinggi diikuti dengan tingkat resiliensi yang tinggi pula, sebesar 82%. Pada kategori tingkat modal finansial rendah juga diikuti dengan tingkat resiliensi yang rendah, yakni sebesar 52%. Tingkat modal finansial yang diukur berdasarkan tabungan dan pinjaman memiliki hubungan dengan tingkat resiliensi karena rumahtangga yang tergolong pada modal finansial tinggi adalah mereka yang memiliki tabungan dan tidak memiliki pinjaman, sehingga mereka akan lebih siap atau lenting ketika diterpa guncangan dan krisis. Berbeda dengan mereka yang tergolong pada tingkat modal finansial rendah (tidak memiliki tabungan tetapi memiliki pinjaman), secara perekonomian mereka memang sudah rentan, sehingga apabila diterpa guncangan atau krisis, rumahtangga akan masuk pada zona yang lebih sulit. Tabel 26
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Tingkat modal sosial
Tingkat resiliensi
Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah n 14 3 2 19
% 74 16 10 100
Sedang n 0 1 1 2
% 0 50 50 100
Tinggi n 11 5 23 39
% 28 13 59 100
Total n 25 9 26 60
% 42 15 43 100
Sumber : Data primer
Tabel 26 menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara tingkat modal sosial dengan tingkat resiliensi. Terlihat dari kategori tingkat modal sosial tinggi diikuti dengan tingkat resiliensi yang tinggi pula, sebesar 59%. Pada kategori tingkat modal sosial rendah juga diikuti dengan tingkat resiliensi yang rendah, yakni sebesar 74%. Modal sosial yang diukur berdasarkan tiga aspek:
68
kepercayaan, jejaring, dan norma memiliki hubungan dengan tingkat resiliensi karena rumahtangga yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi lebih memiliki peluang untuk melakukan berbagai aktifitas nafkah, seperti membuka warung, menjual batu, pasir, kue dan sebagainya yang memanfaatkan jejaring di dalam maupun diluar desa. Selain itu, mereka yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi kepada kerabat, perangkat desa, dan tetangga akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan ketika terjadi krisis ataupun guncangan. Tabel 27
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal fisik dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Tingkat modal fisik
Tingkat resiliensi
Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah n 14 3 12 29
% 48 10 42 100
Sedang n 7 5 6 18
% 39 28 33 100
Tinggi n 4 1 8 13
% 31 8 61 100
Total n 25 9 26 60
% 42 15 43 100
Sumber : Data primer
Tabel 27 menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara tingkat modal fisik dengan tingkat resiliensi. Terlihat dari kategori tingkat modal fisik tinggi diikuti dengan tingkat resiliensi yang tinggi pula, sebesar 61%. Pada kategori tingkat modal fisik rendah juga diikuti dengan tingkat resiliensi yang rendah, yakni sebesar 48%. Tingkat modal fisik yang diukur berdasarkan kepemilikan asset seperti traktor, sepeda motor, dan warung memiliki hubungan dengan tingkat resiliensi nafkah karena kepemilikan asset tersebut akan meringankan pekerjaan dan lebih menghemat biaya (kepemilikan sepeda motor dan traktor). sedangkan kepemilikan warung akan menambah pendapatan rumahtangga.
Hubungan Tingkat Resiliensi Nafkah dengan Jumlah Variasi Nafkah Jumlah variasi nafkah rumahtangga dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni rendah (apabila hanya memiliki satu pekerjaan sampingan di luar bertani), sedang (apabila memiliki 2 pekerjaan sampingan diluar bertani), dan tinggi (apabila memiliki tiga pekerjaan sampingan diluar bertani). Hubungan antara jumlah variasi nafkah dengan tingkat resiliensi nafkah di uji dengan menggunakan Rank Spearman. Hasilnya diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0,522, dengan korelasi signifikan pada interval keyakinan (alpha) yang lebih teliti yaitu 0,00 untuk uji dua sisi. Berdasarkan data tersebut maka dapat dikatakan bahwa variabel tingkat resiliensi nafkah dan jumlah variasi nafkah memiliki hubungan yang kuat (lihat lampiran 2). Berikut pemaparan lebih rinci dengan menggunakan tabulasi silang.
69
Tabel 28
Jumlah dan persentase responden menurut jumlah variasi nafkah dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014 Jumlah Variasi Nafkah Tingkat resiliensi Total Rendah Sedang Tinggi
Rendah Sedang Tinggi Total
n 21 7 8 36
% 58 20 22 100
n 4 2 13 19
% 21 11 68 100
n 0 0 5 5
% 0 0 100 100
n 25 9 26 60
% 42 15 43 100
Sumber : Data primer
Berdasarkan Tabel 28, diketahui bahwa tampak semakin tinggi jumlah variasi nafkah, maka akan semakin tinggi pula tingkat resiliensi nafkah rumahtangga, hal ini tampak dari persentase yang dihasilkan yakni sebesar 100%. Pada kategori jumlah variasi nafkah rendah juga diikuti dengan tingkat resiliensi yang rendah, tampak dari angka yang dihasilkan mencapai 58%. Semakin banyak jumlah variasi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga, maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang dihasilkan, sehingga perekonomian rumahtangga lebih terjaga dan kuat. Hubungan Tingkat Resiliensi Nafkah dengan Tingkat Pendapatan Total Rumahtangga Petani Berdasarkan total pendapatan yang diketahui pada kedua dusun, dilakukan penggolongan menjadi tiga kategori. Kategori rendah adalah rumahtangga yang memiliki total pendapatan Rp. 8 650 000 – Rp. 16 433 000. kategori sedang adalah Rp. 16 433 001 – Rp. 24 216 000, dan kategori tinggi adalah > Rp. 24 216 000. Berikut tabel mengenai penggolongan total pendapatan rumahtangga di kedua dusun. Tabel 29
Jumlah dan persentase responden menurut total pendapatan di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 Dusun Klaces
No. Total pendapatan 1. 2. 3.
Rendah Sedang Tinggi Total
Sumber : Data primer
Dusun Lempong Pucung
Jumlah (rt)
Persentase
Jumlah (rt)
Persentase
7 8 15
23 27 50
11 16 3
36 54 10
30
100
30
100
70
Pada Tabel 29, diketahui bahwa sebesar 36% responden di Dusun Lempong Pucung masuk dalam kategori rumahtangga berpendapatan rendah, sedangkan di Dusun Klaces hanya 23%. Pada kategori pendapatan sedang, Dusun Klaces relatif lebih rendah dibandingkan dengan Dusun Lempng pucung. Lebih dari 50% responden di Dusun Lempong Pucung termasuk dalam kategori berpendapatan sedang. Sebaliknya, pada kategori pendapatan tinggi, responden di Dusun Klaces mencapai 50%, sedangkan di Dusun Lempong Pucung hanya 10%. Berdasarkan data tersebut, peneliti menghubungkan tingkat pendapatan total rumahtangga dengan tingkat resiliensi. Tabel 30
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat total pendapatan rata-rata dan tingkat resiliensi rumahtangga di Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung Tahun 2013 – 2014 Tingkat total pendapatan Tingkat Total Rendah Sedang Tinggi resiliensi n % n % n % n % Rendah 17 94 8 33 0 0 25 42 Sedang 0 0 9 38 0 0 9 15 Tinggi 1 6 7 29 18 100 26 43 18 100 24 100 18 100 60 100 Total Sumber : Data primer
Berdasarkan Tabel 30, diketahui bahwa terdapat hubungan antara tingkat total pendapatan rumahtangga dengan tingkat resiliensi. Semakin tinggi tingkat total pendapatan rumahtangga, maka semakin tinggi pula tingkat resiliensinya. Rumahtangga yang memiliki pendapatan yang tinggi tentunya memiliki daya lenting yang tinggi pula ketika terjadi krisis. Apabila terjadi krisis, maka kelompok dengan tingkat pendapatan tinggi akan lebih cepat recovery. Agar memperjelas (mendukung) hubungan kedua variabel ini, peneliti menggunakan perangkat lunak SPSS melalui uji statistik non-parametik melakukan uji Rank Spearman pada variabel tingkat total pendapatan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani. Berikut hasil yang diperoleh. Tabel 31 Hubungan tingkat resiliensi dengan tingkat total pendapatan rata-rata menggunakan uji statisik rank spearman di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013-2014 Dusun
Koefisien Korelasi Klaces 0.883 Lempong Pucung 0.609 Sumber : Data primer yang diolah menggunakan SPSS
Signifikan 0.000 0.000
Berdasarkan uji hubungan yang dilakukan di masing-masing dusun, diketahui bahwa nilai koefisien korelasi di Dusun Klaces sangat tinggi yakni mencapai 0.883 dengan korelasi signifikan pada interval keyakinan (alpha) yang lebih teliti yaitu 0,00 untuk uji dua sisi. Angka tersebut menjelaskan bahwa
71
terdapat hubungan yang sangat kuat antara tingkat total pendapatan rata-rata dengan tingkat resiliensi di Dusun Klaces. Tidak berbeda jauh dengan Dusun Klaces, nilai koefisien korelasi di Dusun Lempong Pucung juga cukup tinggi, yakni sebesar 0,609 dengan korelasi signifikan pada interval keyakinan (alpha) yang lebih teliti yaitu 0,00 untuk uji dua sisi. Angka tersebut menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara tingkat total pendapatan rata-rata dengan tingkat resiliensi di Dusun Lempong Pucung (lihat lampiran 2).
Ikhtisar Berdasarkan penelitian yang dilakukan, petani di kedua dusun memiliki pola khusus dalam bertahan saat kondisi krisis, seperti menjual pohon albasia dan meminjam (hijoan). Resiliensi nafkah berhubungan dengan tingkat penguasaan livelihood asset (modal alam, manusia, fisik, finansial, dan sosial) yang dilakukan rumahtangga. Semakin tinggi tingkat pemanfaaatan livelihood asset, maka semakin tinggi pula tingkat resiliensi nafkah rumahtangga petani. Resiliensi nafkah memiliki hubungan dengan variasi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani. Semakin tinggi tingkat variasi nafkah, maka semakin tinggi pula tingkat resiliensi rumahtangga. Tingkat variasi nafkah dilihat dari banyaknya jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh rumahtangga untuk menambah penghasilan. Semakin banyak variasi pekerjaan yang dilakukan oleh rumahtangga, maka tingkat pendapatan rumahtangga petani semakin tinggi pula. Selain itu, resiliensi nafkah juga berhubungan dengan tingkat pendapatan rumahtangga petani. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga, maka semakin tinggi pula tingkat resiliensinya. Rumahtangga yang memiliki pendapatan yang tinggi tentunya memiliki daya lenting yang tinggi pula ketika terjadi krisis.
72
73
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil deskripsi mengenai profil masyarakat Kampung Laut, penguasaan livelihood asset oleh rumahtangga petani, bentuk-bentuk strategi nafkah yang dibangun, struktur pendapatan baik dari sektor pertanian maupun non pertanian, serta bentuk resiliensi nafkah pada rumahtangga petani, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Livelihood Asset yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh rumahtangga petani baik di Dusun Klaces maupun Lempong Pucung memiliki hubungan dengan aktifitas nafkah yang mereka lakukan. Modal manusia terdiri dari tingkat pendidikan, alokasi tenaga kerja rumahtangga, dan tingkat penggunaan tenaga kerja. Tingkat pendidikan yang terdapat di kedua dusun relatif berbeda, dimana pada umumnya tingkat pendidikan di Dusun Klaces lebih tinggi dibandingkan dengan Lempong Pucung. Alokasi penggunaan tenaga kerja di Dusun Klaces lebih baik dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung, dimana mayoritas di Dusun Lempong Pucung hanya mengandalkan kepala keluarga saja sebagai pencari nafkah. Dalam penggunaan tenaga kerja, tidak tampak perbedaan yang begitu berarti diantara kedua dusun. Modal alam mencakup pola penguasaan lahan dan luas lahan, baik lahan di tanah timbul maupun di dataran tinggi Nusakambangan. Kedua dusun memiliki perbedaan dalam pola penguasaan lahan, dimana cara trukah dan warisan lebih banyak dilakukan di Dusun Klaces dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Selain itu, luas penguasaan lahan di Dusun Klaces lebih besar dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Modal finansial yang terdapat di kedua dusun tidak tampak perbedaan yang cukup berarti, dimana pada umumnya rumahtangga petani di kedua dusun tidak memiliki tabungan dan memiliki pinjaman (modal finansial rendah). Hal ini menunjukkan bahwa mereka rentan secara perekonomian. Perbandingan juga terlihat jelas di kedua dusun pada kategori modal finansial tinggi (memiliki tabungan dan tidak memilki pinjaman), Dusun Klaces memiliki persentase yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. Modal fisik mencakup kepemilikan asset yang mendukung perekonomian rumahtangga petani seperti traktor, warung, dan sepeda motor. Perbedaan tampak di kedua dusun, dimana Dusun Klaces memiliki lebih banyak asset dibandingkan Dusun Lempong Pucung. Terakhir, modal sosial mencakup norma, nilai, dan jejaring yang terdapat dalam rumahtangga petani. Perbedaan yang cukup besar tampak di kedua dusun, dimana Dusun Klaces memiliki tingkat modal sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung. 2. Berdasarkan tiga aspek pembentuk strategi nafkah, terdapat perbedaan antara kedua dusun, dimana Dusun Klaces mendominasi di sektor nonfarm, sedangkan di Dusun Lempong Pucung mendominasi di sektor off-
74
farm. Selain itu, strategi rekayasa sumberdaya nafkah, pola nafkah ganda, dan rekayasa spasial juga dilakukan rumahtangga di kedua dusun. Namun, terdapat perbedaan di kedua dusun, dimana strategi pola nafkah ganda tidak terlalu banyak dilakukan di Dusun Lempong Pucung, sedangkan pada Dusun Klaces relatif lebih banyak. 3. Kontribusi sektor pertanian di kedua dusun masih relatif rendah dibandingkan dengan sektor non-pertanian. Tingkat pendapatan rumahtangga di Dusun Klaces relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Lempong Pucung, hal ini dikarenakan variasi nafkah yang dilakukan di Dusun Klaces relatif lebih banyak. 4. Bentuk resiliensi nafkah rumahtangga petani yang terdapat di kedua dusun adalah dengan cara memanfaatkan pohon albasia yang ditanam di Nusakambangan sebagai asset ketika terjadi krisis. Rumahtangga petani pada umumnya akan menjual pohon albasia lebih awal jika mereka memiliki keperluan mendesak. Selain itu, bentuk resiliensi nafkah lainnya yakni dengan memanfaatkan sistem pinjam - meminjam kepada kerabat atau yang disebut sebagai “hijoan”. Hijoan adalah aktifitas meminjam sejumlah uang yang dikembalikan dengan sejumlah padi ketika panen. Resiliensi nafkah memiliki hubungan dengan tingkat penguasaan livelihood asset. Semakin tinggi tingkat penguasaan livelihood asset, maka semakin tinggi tingkat resiliensi rumahtangga. Selain itu, resiliensi nafkah juga memiliki hubungan dengan total pendapatan rumahtangga. Semakin tinggi total pendapatan rumahtangga, maka semakin tinggi tingkat resiliensinya. Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan masukan atau saran diantaranya sebagai berikut : 1. Pendekatan teknologi dan sumber daya alam dalam menjamin produksi tani sepanjang tahun. Dalam hal ini, akademisi, pemerintah lokal dapat menginisiasi adanya sumber air pertanian dengan memanfaatkan fasilitas Water Treatment Plant (WTP) air laut (yang merupakan sumber daya melimpah) menjadi air untuk pertanian. Teknologi ini dapat menggunakan settling pond (kolam penampungan), rekayasa kimiawi (Deslitasi) , rekayasa biologis (Reverse Osmosis), dan sebagainya. 2. Pendekatan hukum. Dalam hal ini akademisi dan petani harus mampu membentuk lembaga lokal yang mampu melakukan pemetaan lahan milik masyarakat. Hal ini digunakan agar masyarakat mendapatkan status yang legal atas kepemilikan lahan maupun land sharing dari pihak Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Dengan adanya status hukum yang jelas, maka produksi tani masyarakat secara tidak langsung akan terjamin keberlanjutannya. 3. Pendekatan komunitas. LSM, petani dan akademisi harus mampu membentuk koperasi atau lembaga keuangan mikro yang mampu mensupport kegiatan pra-pertanian, produksi dan pasca panen sehingga petani memiliki akses modal atau asset lainnya dalam bertani.
75
DAFTAR PUSTAKA Adger NW. 2000. Social and ecological resilience: are they related?. Progress in human geoghraphy. 23(03); 347-364 Adiwibowo dan Turasih (2012). Sistem nafkah rumahtangga petani kentang di Dataran Tinggi Dieng. Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 06(02); 196-107 BPPN [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]. 2006. Rencana aksi nasional: Pengurangan resiko bencana. Jakarta : Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Badan Pusat Statistik [BPS]. 2010. Luas wilayah Indonesia. [internet]. [dikutip : 2 Maret 2014]. Dapat diunduh dari http://www.bps.go.id/65tahun/SP2010_agregat_data_perProvinsi.pdf. Dharmawan AH. 2001. Farm Household livelihood strategies and socio-economic changes in rural Indonesia. [Disertasi]. Germany: the Georg-August University of Gottingen Dharmawan AH. 2006. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan pandangan sosiologi nafkah (livelihood sociology) mazhab barat dan mazhab bogor. Sodality: Jurnal transdisiplin sosiologi, komunikasi, dan ekologi manusia. 01(02) Dharmawan AH, Mardiyaningsih DI, Tonny F. 2010. Dinamika sistem penghidupan masyarakat tani tradisional dan moderen di Jawa Barat. Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 04(01):115-145. [internet]. [dikutip 8 Oktober 2013]. Dapat diunduh dari: http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi10-6.pdf Ellis F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. New York [US]: Oxford University. Farid et al. 2009. Memahami dan menemukan jalan keluar dari problem agraria dan krisis sosial ekologi; Sekolah tinggi pertanahan Indonesia dan Sajogyo Institute. Hadianto A, Murdiyanto, Sumarno H, Sunarti E. 2009. Indikator kerentanan keluarga petani dan nelayan untuk pengurangan risiko bencana di sektor pertanian. Bogor(ID): LPPM IPB Hastuti. 2006. Strategi perempuan mengatasi kesulitan ekonomi rumahtangga (studi di lereng Gunung Merapi Pasca Erupsi Merapi Juni 2006). Jurnal Humaniora [internet] [dikutip 9 Oktober 2013]. Dapat diunduh dari http://www.docstoc.com/?docId=136420529&download=1
76
IDEP
[Lembaga Swadaya Masyarakat Bali] . 2007. Panduan umum: penanggulangan bencana berbasis masyarakat edisi Ke-2. Bali : IDEP Foundation
Imron A. 2012. Strategi dan usaha peningkatan kesejahteraan hidup nelayan Tanggulsari Mangunharjo Tugu Semarang dalam menghadapi perubahan iklim. Riptek.06(01);27-37 Irawan A, Dharmawan AH, Putri E, Astuti Y. 2008. Struktur nafkah rumahtangga dan pengaruhnya terhadap kondisi ekosistem sub DAS Citanduy. Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 02(01);1-30. Muchtar Z. 2013. 431 Ha Sawah di Garut Kekeringan, Kerugian Rp1,6 M [internet]. [diunduh tanggal 17 November 2013] Tersedia pada: http://m.inilah.com/read/detail/2027639/431-ha-sawah-di-garutkekeringan-kerugian-rp16-m Praptiwi N. 2009. Hubungan antar kelentingan keluarga, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga di daerah rawan bencana. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Ramadhan A, Hafsari D. 2012. Dampak perubahan lingkungan terhadap perkembangan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan Segara Anakan. Jurnal sosek KP. 01(02) Rochana E. 2011. Survival strategi perempuan dalam menghadapi gelombang pasang (studi perubahan sosial di desa pesisir Kota Bandar Lampung). Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan [internet]. [dikutip 17 November 2013]. 02(02). Dapat diunduh dari publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/administratio/article/view/105\ Sari IP. 2014. Strategi nafkah rumahtangga petani tunakisma. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Singarimbun M, Effendi S. 1987. Metode penelitian survai. Jakarta; LP3ES Sumarti T. 2007. Kemiskinan petani dan strategi nafkah ganda rumahtangga pedesaan. Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. [internet]. [dikutip 9 Oktober 2013]. 01(02):217-232. Dapat diunduh dari: http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi2-3.pdf Sumitro B. 1986. Pola-pola pencaharian nafkah di pedesaan, studi kasus perubahan pola pencaharian nafkah pada suatu desa di jawa barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
77
Sunarti.2007. Theoritical and methodological issue of family resilience in disaster condotion. Makalah disampaikan pada Senior Official Forum pada East Asian Ministerical Forum on Families. Bali: September 2007 Suryawati SH. 2012. Model resiliensi masyarakat di Laguna Segara Anakan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Tulak P. 2009. Analisis tingkat kesejahteraan dan strategi nafkah rumahtangga petani transmigran ( studi sosio-ekonomi perbandingan di tiga kampung di Distrik Masni Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Turasih. 2011. Sistem nafkah rumahtangga petani kentang di dataran tinggi dieng (kasus desa Karangtengah, kecamatan Batur, kabupaten Banjarnegara, provinsi Jawa Tengah) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [UU] Undang-undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Wasito. 2012. Strategi coping dan nafkah serta dampaknya terhadap keberfungsian dan ketahanan fisik keluarga petani miskin di Kabupaten Blora [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Widiyanto. 2009. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau di lereng gunung Sumbing (studi kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Widodo S. 2009. Strategi nafkah rumahtangga miskin di daerah pesisir kasis dua desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Wulan K. 2014. Dampak krisis ekologi terhadap strategi nafkah rumahtangga petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
78
79
LAMPIRAN Lampiran 1 PETA LOKASI
80
Lampiran 2 (Uji Rank Spearman) 1. Variabel tingkat penguasaan livelihood asset dan tingkat resiliensi
2. Variabel tingkat resiliensi dan jumlah variasi nafkah
3. Variabel tingkat pendapatan pertanian dan luas lahan tanah timbul
81
4. Variabel tingkat pendapatan pertanian dan luas lahan tanah timbul
5. Variabel total pendapatan dan tingkat resiliensi Dusun Klaces
Dusun Lempong Pucung
82
Lampiran 3. Kerangka Sampling
Dusun Klaces No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nama JNB FDL RST AS TRS MMN RTM STH MHD PU MDW SK SB SS RST EB KS AC JND HSN SNR GNT SMG WT RD SGN SP KLM MSN SW WSD TRJ AHM SMR AP SNR KR JN JK SLM SC SLM
No. 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Nama DRJ WLY JAE WGN SWR SKT ENK HD NOK JK TKM IS JKS ATK WRD PAI WG CM TLSS YNT HRY HMY SMT TGL TKM SS IPO NR LLS SRT MJ MDJ SDL JKR MJR WT KYM MJ DLWHD MRJ RNT RS
No. 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126
Nama SMD BNG DRM YTN SMNT NRSD MRJ MNDG WRS KM KRTA SMH MTYTN TR JSKT DNR SWT KRS INO SPRYD TKR ENDG TRH SWRN JKL LPO NING IM MRD PNRN PMN JNA WRSM SNPD HD MDMK DR YN TR YT TR SMY
83
127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174
HR MST SMD SM GN JS SRN SB AB WW PT SNY KSD IH ST BBT NSM SKR MSW RHL YNT NN SHD WHD HE MTN JSM TTG TRY TRN SJ PN MST SGR SNR RTN MSR JNH END SNTH AP PNI MT BRD JND AD RHM NRY
175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 226 227 228 229 230 231 232
MRJ WGN DP SDK SMP RS NNG IK ST SPY HRY STP SH SNG MJT MSL MGN SRG TMR SNM TSW MA SR TT YYT MMT FTM NN ING IMG PNM JMR TTN KRS DRJ BLT RD UND IND SMD YUS SW YNS KRS DRH DD DRJ AKG
84
Dusun Lempong Pucung
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nama JNB FDL RST MMT TRS MMN YTM STH MHD AHM MDW SK SB AD RST EB KS AC JND HSN SSN GNT SMG WT RD SGN SP LSM MSN SW WSD TRJ AHM SMR TIA SNR KR JN JK SLM SC KRS
No. 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Nama DRJ WLY JAE WGN SWR SKT YN HD NOK JK TKM IS JKS RSM WRD PAI WG CM TLSS YNT DYT HMY SMT TGL TKM SS IPO DRY LLS SRT MJ MDJ SDL JKR WTM WT KYM MJ DLWHD MRJ RNT NGL
No. 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126
Nama SMD BNG DRM YTN SMNT NRSD WRS MNDG WRS KM KRTA SMH MTYTN WGN JSKT DNR SWT KRS INO SPRYD SMA ENDG TRH SWRN JKL LPO NING SMN MRD PNRN PMN JNA WRSM SNPD EL MDMK DR YN TR YT TR TN
85
127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174
HR MST SMD SM GN JS MNS SB AB WW PT SNY KSD DRS ST BBT NSM SKR MSW RHL PNN NN SHD WHD HE MTN JSM KSN TRY TRN SJ PN MST SGR KSN RTN MSR JNH END SNTH AP STN MT BRD JND AD RHM NRY
175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212
MRJ WGN DP SDK SMP RS TGN IK ST SPY HRY STP SH PRT MJT MSL MGN SRG TMR SNM WHY MA SR TT YYT MMT FTM DRS ING IMG PNM JMR TTN KRS RHM BLT RD UND
86
87
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Berastagi, Sumatera Utara pada tanggal 3 November 1992 sebagai anak terakhir dari dua bersaudara dari pasangan W. Sembiring dan Sry Agustina Bate’e. Penulis menempuh pendidikan formal di SD N 03 Berastagi pada tahun 1998-2004, SMP N 02 Berastagi pada tahun 2004-2007, SMA N 01 Berastagi pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan (USMI) di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama penulis menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa kepanitiaan, diantaranya pada kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen SKPM 2012, Duta FEMA 2012, E’Spent 6th 2013. Penulis juga tergabung dalam organisasi IMKA sebagai sekertaris umum dan mengambil bagian pada divisi percetakan Majalah Komunitas FEMA. Penulis merupakan salah seorang penerima beasiswa Tanoto Foundation. Selain itu, penulis juga terlibat sebagai asisten praktikum pada mata kuliah Sosiologi Pedesaan.