PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN TERAPANNYA I (SEMNAS MANTAP I) Membangun SDM yang Berjiwa Technopreneur dengan Pendidikan dan Aplikasi Matematika
Peyunting Ahli: Dewi Sri Susanti, M.Si. Drs. Faisal, M.Si. Aprida Siska Lestia, M.Si.
Program Studi Matematika FMIPA Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarbaru, 22 April 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN TERAPANNYA I (SEMNAS MANTAP I) Banjarbaru, 22 April 2017 Membangun SDM yang Berjiwa Technopreneur dengan Pendidikan dan Aplikasi Matematika X , 177 halaman, 29,7 cm
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Copyright @ 2017 ISBN: 9786026159700 Peyunting Ahli: Dewi Sri Susanti, M.Si. Drs. Faisal, M.Si. Aprida Siska Lestia, M.Si. Desain Layout dan Sampul: Oni Soesanto, M.Si.
Diterbitkan oleh: Program Studi Matematatika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat
Alamat Penerbit: Jalan Jend. A. Yani Km. 35,800 Banjarbaru 70714 Telp. Fakultas (0511) 4773112, Telp. PS Mat (0511) 4774167 Email:
[email protected]
ii | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan ke hadlirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Seminar Nasional hasil penelitian yang telah diseminarkan pada tanggal 22 April di PS Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dapat terwujud. Buku prosiding tersebut memuat sejumlah artikel hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Bapak/Ibu dosen ULM dan perguruan tinggi lain, serta mahasiswa yang dikumpulkan dan ditata oleh tim dalam kepanitiaan seminar nasional. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor ULM, Bapak Prof. Dr. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc. 2. Dekan FMIPA ULM, Bapak Heri Budi Santoso, M.Si. 3. Ketua Program Studi Matematika FMIPA ULM, Ibu Dewi Sri Susanti, M.Si. 4. Bapak/Ibu segenap panitia seminar nasional yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi suksesnya kegiatan ini. 5. Bapak/Ibu dosen dan mahasiswa penyumbang artikel hasil penelitian dalam kegiatan ini. Semoga buku prosiding ini dapat memberi manfaatan bagi kita semua, khususnya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Matematika. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara. Terakhir, tiada gading yang tak retak. Mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan. Saran dan kritik yang membangun tetap kami tunggu demi kesempurnaan buku prosiding ini. Banjarbaru, Mei 2017 Ketua Penerbit,
Yuni Yulida, S.Si., M.Sc. NIP. 198110102005012004
iii | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL......................................................................................
i
PENERBIT.....................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR...................................................................................
iii
DAFTAR ISI..................................................................................................
iv
MAKALAH UTAMA: MATEMATIKA HUMANISTIK-REALISTIK Prof. Dr. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc..........................................................
2
KONTRIBUSI PEMODELAN MATEMATIKA DALAM MENENTUKAN PENGELOMPOKAN SIFAT KIMIAWI BIJI COKLAT Dr. Agus Yodi Gunawan............................................................................
6
MAKALAH PENDAMPING: EVALUASI BAGAN KENDALI 𝐹𝐹�𝑚𝑚 UNTUK PROSES SHORT-RUN BERDASARKAN NILAI ARL
Darmanto.....................................................................................................
14
DIMENSI WAKTU DALAM PENANGGALAN PRASASTI Agung Prabowo, Agus Sugandha dan Agustini Tripena Br. Sb............
21
PERHITUNGAN GALAT DERET COSINUS DENGAN KOEFISIEN DARI KLAS BARISAN BERVARIASI TERBATAS SUPREMUM Moch. Aruman Imron.................................................................................
25
PERAMALAN JUMLAH PENDERITA HIV/AIDS DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN METODE WINTER ADITIF Agung Prabowo dan Nugroho Sapto Yudanto Yudasubrata..................
30
BIFURKASI PADA MODEL LOGISTIK DENGAN FAKTOR PEMANENAN KONSTAN Firman Nurrobi, Yuni Yulida, Faisal....................................................... MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG
iv | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
36
TERINFEKSI Yeni Rahkmawati, Yuni Yulida, Faisal.....................................................
42
PEMODELAN DAN ANALISIS SENSITIVITAS PENGARUH PENGGUNAAN KONDOM DAN TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA MODEL PENYEBARAN HIV/AIDS Marsudi........................................................................................................
49
ANALISIS KEPUTUSAN UNTUK PERKEMBANGAN WISATA MENGGUNAKAN METODE DEMATEL DAN ANP(Studi Kasus: Desa Adat Kemiren Banyuwangi) Sobri Abusini, Echa Ayu Fatmawati.......................................................
56
KONSTRUKSI KODE HAMMING-[7,4,3] DARI FINITE PROJECTIVE PLANE ORDER 2 Vira Hari Krisnawati.................................................................................
61
PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA QUASI LINIER MENGGUNAKAN METODE KRYLOFF DAN BOGOLIUBOFF Shely Adlini, Yuni Yulida, Faisal..............................................................
68
IMPLEMENTASI FUZZY ANALYTICAL NETWORK PROCCES (FANP) PADA ANALISA SWOT STRATEGI PROMOSI Eni Puji Lestari, Oni Soesanto, Radityo Adi Nugroho............................
74
KENDALI OPTIMAL PADA INVENTORI DENGAN MODEL PRODUKSI STOKASTIK Pardi Affandi, Faisal, Nur Salam..............................................................
85
PENDEKATAN DISTRIBUSI PREDICTIVE POSTERIOR BAYESIAN PADA MODEL CURAH HUJAN Suci Astutik, Umu Sa’adah, Supriatna A., Rauzan Sumara .................
91
ESTIMASI PARAMETER DISTRIBUSI GENERALIZED GAMMA DENGAN MENGGUNAKAN METODE MAKSIMUM LIKELIHOOD Elya Priska, Dewi Sri Susanti, Yuni Yulida.............................................
95
HUBUNGAN PSEUDOPRIMA EULER DENGAN PSEUDOPRIMA DAN PSEUDOPRIMA STRONG Hariyadi, Thresye, Akhmad Yusuf............................................................ ANALISIS REGRESI POISSON TERBOBOTI SECARA GEOGRAFIS (RPTG) v | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
100
Indah Setiawati, Dewi Sri Susanti, Nur Salam.........................................
108
PEMISAHAN SINYAL DARI NOISE MENGGUNAKAN METODE INDEPENDENT COMPONENT ANALYSIS (ICA) Riondi Anda Jaya Ginting, Oni Soesanto, Thresye..................................
123
KARAKTERISTIK IDEAL Q-FUZZY 3-PRIME PADA NEARRING Noor Hidayat ..............................................................................................
128
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING TERHADAP PENINGKATAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA Ibnu Rizki Wardhana, Moch. Lutfianto...................................................
133
EKSISTENSI DAN KETUNGGALAN TITIK TETAP UNTUK PEMETAAN PADA RUANG METRIK-G TERURUT PARSIAL KOMPLET Nurul Huda..................................................................................................
138
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR AND SHARE TERHADAP NILAI AFEKTIF Mohammad Sholeh, Anisa Fatwa Sari.......................................................
146
PEMETAAN JORDAN PADA ALJABAR SEGITIGA Siti Dwirinty Hardyanti, Nurul Huda, Thresye .......................................
153
UJI WELCH PADA DATA HETEROSKEDASTISITAS Risdawati, Nur Salam, Dewi Sri Susanti....................................................
159
PERAMALAN DATA PENUMPANG BANDAR UDARA DJALALUDDIN GORONTALO DENGAN METODE HOLT-WINTER EXPONENTIAL SMOOTHING MULTIPLIKATIF Ismail Djakaria ............................................................................................ PENJADWALAN PERKULIAHAN MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA
165
PriscilyaArianing Tyas, Akhmad Yusuf, Pardi Affandi...........................
169
PANITIA SEMINAR.................................................................................
177
vi | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
MAKALAH UTAMA SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN TERAPANNYA I (SEMNAS MANTAP I) 2017
1 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
MATEMATIKA REALISTIK-HUMANISTIK Sutarto Hadi Rektor Universitas Lambung Mangkurat Gagasan matematika realistik-humanisTIK nampaknya dianggap sebagai resep untuk menciptakan pembelajaran matematika yang ramah bagi (maha)siswa. Menggabungkan istilah realistik dan istilah humanistik, seperti ingin membuat hubungan sebab akibat. Karena dalam teori pendidikan matematika hanya ada empat: mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik (Treffers, 1991). Pembedaan itu berdasarkan ada atau tidak adanya matematisasi vertikal dan horisontal. Istilah matematika realistik-humanis, seperti ingin menegaskan bahwa matematika realistik adalah humanis, dan kalau ingin humanis maka harus realistik. Karena matematika realistik lah yang sesuai dengan kodrat siswa sebagai manusia. Maka di sini tidak ada opsi matematika mekanistik-humanis, karena robot tetap lah robot (mesin), dan bukan manusia. Demikian pula, tidak ada matematika empiristik-humanis karena hanya bergerak pada tataran informal sehingga tidak akan mencapai sistem matematika formal. Tidak ada matematika strukturalistik-humanis, karena mengingkari peran matematika itu sendiri sebagai alat bantu memecahkan berbagai persoalan kehidupan manusia.
1.
PENDAHULUAN
Apa yang saya uraikan di sini ranahnya adalah pendidikan atau pembelajaran matematika. Saya tidak berbicara tentang matematika sebagai suatu cabang ilmu yang berkaitan dengan besaran (kuantitas), ruang dan bentuk, serta perubahan. Saya ingin berbagi tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar dan bagaimana membelajarkannya. Dalam kaitan ini, matematika sering dianggap sebagai mata ajar yang sulit. Sebagian maha(siswa) mengalami ketakutan (phobia) terhadap matematika. Ketakutan terhadap matematika dapat menghalangi seseorang mengembangkan kemampuan kognitifnya ke level yang lebih tinggi. Secara umum orang beranggapan bangsa yang besar adalah bengsa yang memiliki sumber daya manusia yang unggul, khususnya dalam bidang sains dan teknologi. Bukan yang unggul dalam ketersedian sumber daya alam. Matematika menjadi prasyarat penguasaan sains dan teknologi. Sehingga perlu dicari cara untuk mengembangkan kompetensi matematik bagi setiap anak bangsa agar kelak mereka unggul. Lalu, munculah gasasan pendidikan matematika yang ramah bagi siswa, untuk mengurangi absenteism (kemangkiran) dalam pelajaran matematika. Kemangkiran dalam pelajaran matematika tidak selalu harus ditandai dengan ketidakhadiran di kelas. Siswa yang duduk di kelas tapi tidak fokus terhadap pelajaran yang diikutinya bisa dianggap sebagai kemangkiran. Demikian pula ketiadaan peningkatan dalam penguasaan konsep padahal sudah belajar beberapa bulan hingga beberapa semester, dapat dianggap sebagai absenteism. Kasus seperti ini nyata adanya apabila kita melihat rendahnya capaian belajar matematika siswa, baik dalam ujian sekolah, ujian nasional, maupun dalam studi komparatif internasional yang diikuti oleh siswa kita. Prestasi siswa kelas 2 SMP (usia 15 tahun) Indonesia dalam mata ajar matematika pada studi PISA (Programme for International Students Assessment) dari tahun ke tahun selalu pada peringkat bawah. Tahun 2009 kita berada pada peringkat 38 dari 41 negara. Sementara pada PISA 2012 berada di peringkat 64 dari 65 negara, dan pada PISA 2015 berada di peringkat 63 dari 70 negara.
2.
PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
Gagasan matematika realistik-humanistik nampaknya dianggap sebagai resep untuk menciptakan pembelajaran matematika yang ramah bagi siswa. Menggabungkan istilah realistik dan istilah humanistik, seperti ingin membuat hubungan sebab akibat. Karena dalam teori pendidikan matematika hanya ada empat: mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik (Treffers, 1991). Pembedaan itu berdasarkan ada atau tidak adanya matematisasi vertikal dan horisontal (Gambar 1). Istilah matematika realistik-humanistik, seperti ingin menegaskan bahwa matematika realistik adalah humanis, dan kalau ingin humanis maka harus realistik.
2 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Karena matematika realistik lah yang sesuai dengan kodrat siswa sebagai manusia. Maka di sini tidak ada opsi matematika mekanistik-humanis, karena robot tetap lah robot (mesin), dan bukan manusia. Demikian pula, tidak ada matematika empiristik-humanistik karena hanya bergerak pada tataran informal sehingga tidak akan mencapai sistem matematika formal. Tidak ada matematika strukturalistik-humanistik, karena mengingkari peran matematika itu sendiri sebagai alat bantu memecahkan berbagai persoalan kehidupan manusia. Pendidikan matematika realistik-humanistik menonjolkan peran guru sebagai fasilitator sebagaimana diilustrasikan oleh Hadi (2004) sebagai kerangka didaktik PMR.
Gambar 2 Kerangka Didaktik PMR
Pendekatan matematika realistik cenderung ramah kepada siswa. Menurut filsafat konstraktivisitik yang mendasari pendidikan matematika realistik, pemahaman matematika dibangun oleh siswa sendiri dan dimulai dengan pengetahuan awal yang dimiliki siswa. Pengetahuan awal ini menjadi titik berangkat dalam perjalanan membangun pengetahuan. Pengetahuan awal tersebut dimanifestasikan melalui dunia nyata yang dikenal oleh siswa. Dalam pembelajaran matematika dunia nyata ini dikonstruksi menjadi soal-soal kontekstual untuk memicu terjadinya proses
matematisasi, dengan asumsi bahwa pengetahuan merupakan proses transformasi yang secara terus menerus dibentuk dan dibentuk kembali, dan dunia nyata siswa disesuaikan terus menerus (de Lange, 1996). 3.
ILUSTRASI PEMBELAJARAN
Pertanyaan sekarang, bagaimana implementasi pendidikan matematika realistik di sekolah? Berikut ilustrasi pembelajaran di sekolah. (lihat Hadi, 2017, hal. 237-239). Pembelajaran topik pecahan di sekolah dasar. Guru membuka pelajaran dengan hal-hal sederhana dan sudah dikenal oleh siswa. Ini menjadi daya tarik tersendiri, dan persepsi dan sikap negatif siswa terhadap matematika dapat diminimalkan sejak awal. Guru membimbing siswa melakukan aktivitas membagi roti. Siswa-siswa dibagi menjadi 7 kelompok. Jumlah anggota masing-masing
3 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
kelompok berbeda. Demikan pula roti yang dibagikan kepada masing-masing kelompok berbeda banyaknya, dengan maksud agar bagian roti yang didapatkan masing-masing siswa (di setiap kelompok) berbeda tergantung dari banyak anggota dan banyak roti yang dibagi. Dalam hal ini siswa melakukan kegiatan enaktif, yaitu siswa mencoba menemukan pemecahan masalah konstektual yang melibatkan benda konkret disertai indakan fisik. Perencanaan untuk memotong roti untuk dibagi secara adil dilakukan siswa mulai dari mengukur sisi roti dengan penggaris atau pun hanya dengan memperkirakan garis potongnya saja. Para siswa sibuk mencoba menemukan jawaban sendiri. Strategi pembagian roti kebanyakan dilakukan siswa dengan memotong secara vertikal dan horisontal secara berulang-ulang untuk mendapatkan pembagian yang lebih kecil. Terdapat perbedaan bagian roti yang diperoleh setiap siswa di masing-masing kelompok sesuai dengan banyakna roti dan banyaknya anggota kelompok. Ada yang membagi 1 roti menjadi 2 bagian, karena anggota kelompoknya terdiri dari 2 orang. Ada yang membagi 1 roti menjadi 3 bagian, karena anggota kelompoknya terdiri dari 3 orang. Ada yang membagi 1 roti menjadi 4 bagian, karena anggota kelompoknya terdiri dari 4 orang. Ada yang membagi 1 roti menjadi 6 bagian, karena anggota kelompoknya terdiri dari 6 orang. Sisa kelompok yang lain membagi 2 roti menjadi 3, 4 dan 6 bagian, karena anggota kelompoknya masing-masing terdiri dari 3, 4 dan orang. Aktivitas ini dapat dilakukan siswa dengan baik walaupun guru hanya memberikan sedikit bimbingan. Siswa dengan cermat telah membagi roti yang telah dibagikan sesuai banyaknya anggota kelompok dan dapat menentukan dengan mudah bagian yang didapat setiap orang. Dengan demikian siswa telah bisa memahami konsep pecahan melalui aktvitas nyata dengan memandang bagian dari obyek secara langsung. “Tadi kalian berempat mendapat satu roti, yang harus dibagi secara adil. Satu roti dipotong menjadi empat bagian.” Guru lalu menunjukkan bagian-bagian yang telah terbagi tadi. “Sehingga semuanya terdiri dari berapa bagian?”, tanya guru. “Empat”, jawab siswa. Selanjutnya guru bertanya, “Satu bagian ini berapa banyaknya?” “Satu per empat” jawab siswa. Begitulah cara membangun makna dan merumuskan apa yang dipelajari dan menemukan kembali pemecahan masalah oleh siswa sebagian bagian dari proses penemuan kembali (reinvention) secara terbimbing. Siswa dilibatkan secara langsung untuk mengikuti step by step proses pembentukan pengetahuan formal. Dari konsep dasar inilah siswa akan diarahkan untuk mengembangkan konsep yang lebih formal.
Gambar 3 Membagi roti untuk memahami pecahan Konteks membagi roti kemudian disajikan dalam bentuk model roti berupa kertas warna berbentuk persegi. Selain itu, juga digunakan kertas warna berbentuk persegi panjang sebagai model dari kue bika ambon. Melalui konteks membagi roti dan bika ambon, siswa belajar bagaimana membagi secara adil dan menentukan berapa bagian yang didapatkan oleh masing-masing orang.
4 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Siswa dilibatkan kembali untuk menerapkan pemahaman konsep terdahulu melalui kegiatan ikonok ini. Siswa terlibat dan aktivitas fisik dan psikis dalam rangkaian kegiatan memotong dan menempel model roti berupa kertas berwarna sebagai permasalahan kontekstual untuk dipecahkan sesuai perintah yang ada pada Lembar Kerja Siswa (LKS). Semua siswa sibuk berdiskusi dan merencanakan pembagian model tersebut. Siswa membuat sketsa terlebih dahulu menggunakan penggaris sebelum memotongnya. Selanjutnya siswa mulai mengukur besarnya roti ataupun bika ambon dan membaginya beberapa bagian sesuai dengan jumlah yang diinginkan dengan menggunakan pensil pada kertas tersebut. Pada kegiatan ini siswa telah mampu menerjemahkan konsep yang dipahami sebelumnya tentang pembagian benda utuh menjadi beberapa bagian, dan siswa mengetahui hubungan antara bagian dan keseluruhan (part and whole relation). Kemudian, setiap kelompok menampilkan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas. Mereka menunjukkan hasil pekerjaan mereka tentang bagaimana mendapatkan pecahan ½, ¼, ¾, dan pecahan-pecahan lainnya (Gambar 3).
4. PENUTUP Pendidikan matematika realistik sudah cukup dikenal di Indonesia dan diterapkan di sekolahsekolah dasar di beberapa daerah di Indonesia. Implementasinya berhasil berkat kerja sama antara ahli PMR Indonesia dan Belanda yang dimulai sejak Juli 2001 melalui tahap uji coba awal. Tahap uji coba penuh dimulai di kelas 1 SD sejak tahun ajaran 2002/2003 di tiga kota Yogyakarta, Bandung dan Surabaya (Hadi, 2017). Setelah melalui tahap uji coba, implementasi PMR menyebar ke kota-kota lain di Indonesia, termasuk Banjarmasin. Penelitian yang dilaksanakan Hadi, dkk (2009; 2010) menunjukkan guru yang dilatih menggunakan PMR berhasil menerapkan pendekatan ini di SD, yaitu mereka dapat memanfaatkan konteks untuk membuat soal-soal matematika untuk keperluan pembelajaran, cara mengajar mereka lebih variatif, dan secara tidak langsung bisa meningkatkan nilai Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).
REFERENSI De Lange, J. (1996). “Using and applying mathematics in education.” Dalam A.J. Bishop, dkk. (Eds.), International Handbook of Mathematics Education. Kluwer, 49 -97. Gravemeijer, K. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: Freudenthal Institute. Hadi, S. (2004). Pengembangan Materi Pembelajaran Matematika Realistik untuk Mendukung Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Hadi, S., Sumartono, Danaryanti, A., Arifin, B., (2009). Kemampuan Guru dalam Menerapkan PMRI di Sekolah Dasar. (Laporan Penelitian Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II Tahun 2009). Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Hadi, S., Danaryanti, A., Ansori, H., Arifin, B. (2010). Perbandingan Literasi Matematika Siswa Sekolah Dasar yang Diajar dengan PMRI dan Diajar dengan Cara Konvensional. Laporan Penelitian. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Hadi, S. (2017). Pendidikan Matematika Realistik: Teori, Pengembangan dan Implementasinya. Jakarta: Rajawali Pres. Treffers, A. (1991). “Didactical background of a mathematics program for primary education.” Dalam L. Streefland (Ed.), Realistic mathematics education in primary school. Utrecht: CD-B Press, 21-56.
5 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
6 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
7 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
8 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
9 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
10 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
11 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
12 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
MAKALAH PENDAMPING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN TERAPANNYA I (SEMNAS MANTAP I) 2017
13 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
� 𝒎𝒎 UNTUK EVALUASI BAGAN KENDALI 𝑭𝑭 PROSES SHORT-RUN BERDASARKAN NILAI ARL Darmanto Program Studi Statistika, Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Brawijaya
[email protected] atau
[email protected]
Abstrak Proses produksi manufaktur yang tren saat ini adalah short-run. Proses short-run bersifat job shop (spesifikasi berbeda tiap proses) dan just in-time (jumlah produk sesuai pesanan). Hal tersebut menyebabkan parameter proses tidak diketahui karena tidak tersedianya data dan umumnya jumlah produk sedikit. Bagan kendali 𝐹𝐹�𝑚𝑚 adalah salah satu bagan kendali yang dirancang untuk proses short-run. Cara kerja bagan kendali 𝐹𝐹�𝑚𝑚 mengikuti konsep succesive difference dan di bawah asumsi distribusi Normal multivariat. Tingkat sensitifitas suatu bagan kendali dievaluasi berdasarkan nilai average run length (ARL). Semakin kecil nilai ARL, maka semakin tinggi tingkat sensitifitas bagan kendali dan sebaliknya. ARL adalah rata-rata banyaknya data produksi yang diplotkan pada bagan kendali hingga satu titik keluar dari batas kendali. Disebut ARL0 jika nilai ARL diperoleh dari proses terkendali (in-control) dan ARL1 jika diperoleh dari proses tidak terkendali (out of-control). Pada penelitian ini, nilai ARL dihitung berdasar simulasi pergeseran terhadap vektor rata-rata dengan mencatat titik ke-m pertama yang keluar dari batas kendali. Simulasi pergeseran vektor rata-rata dari target (𝛍𝛍0 ) dilakukan secara serempak dengan sifat pergeseran prositif (𝛍𝛍𝑠𝑠 = 𝛍𝛍0 + 𝛿𝛿, 𝛿𝛿 = 0; 0,5; ⋯ 3; 4; 5). Variasi ukuran data dan banyak variabel pada penelitian ini berturut-turut adalah 𝑚𝑚 = 20, 50 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑝𝑝 = 2, 4, 8. Tiap skema (kombinasi dari 𝛿𝛿, 𝑚𝑚 dan 𝑝𝑝) diiterasi masing-masing sebanyak 250.000 kali. Hasil simulasi menunjukkan bahwa untuk semua skema ketika kedua parameter diketahui ARL0 ≈ 370. Adapun nilai ARL1 , seiring bertambah jauhnya vektor rata-rata digeser menjauh dari target, nilainya semakin kecil. Artinya, sensitifitas bagan kendali 𝐹𝐹�𝑚𝑚 meningkat. Kesimpulan ini juga berlaku untuk bertambahnya banyaknya variabel p, sedangkan bertambahnya ukuran n akan mengurangi sensitifitas bagan kendali 𝐹𝐹�𝑚𝑚 . Kata kunci: average run length (ARL), 𝐹𝐹�𝑚𝑚 , job shop, just in-time, short-run, successive difference
1. PENDAHULUAN Saat ini, proses produksi yang sedang tren adalah proses produksi short-run, yakni suatu proses produksi dengan kondisi [1][2]: (1) Proses job shop yaitu karakteristik kualitas beserta standar (spesifikasi) yang dimonitor berbeda-beda tiap produk, (2) Sistem Just-in-Time (JIT) yaitu jumlah produk yang diproduksi sedikit (low volume) sehingga proses produksi berjalan lebih pendek dari yang konvensional, (3) Parameter proses tidak tersedia. Hal ini dikarenakan tidak cukup atau tidak tersedia data produksi sebelumnya (no historical data). Dinyatakan pula bahwa secara umum proses produksi short-run memproduksi produk dengan kuantitas kurang dari 50 (2050) [3][4][5][6][7]. Dikarenakan jumlah
produk yang sedikit, maka amatan yang paling banyak diterapkan pada kondisi shortrun adalah amatan individu. Secara konvensional, bagan kendali multivariat amatan individu didasarkan pada bagan kendali klasik T2-Hotelling. Untuk menghitung statistik T2 bagan kendali T2Hotelling, diperlukan statistik vektor ratarata dan matriks kovarians yang diperoleh berdasarkan data produksi sebelumnya (historical data). Dikarenakan pada kondisi short-run proses produksi berjalan cepat dan karakteristik kualitas dan spesifikasi berbeda- beda tiap proses produksi, maka data historis relatif sulit diperoleh. Oleh karenanya, hal ini menjadi kendala untuk memonitor proses produksi dengan
14 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
menggunakan bagan kendali T2-Hotelling konvensional. Untuk mengatasi kondisi (1) dan (2) pada proses produksi short-run, para peneliti telah mengusulkan beberapa bagan kendali multivariat short-run. Di antaranya adalah Scholz-Tosch (1994) yang mengusulkan bagan kendali multivariat X untuk sampel berukuran kecil. Pada tahun 2001, Quesenberry mengusulkan bagan kendali multivariat snapshot Q yang merupakan perluasan dari bagan kendali univariat Q oleh Quesenberry (1993). Selanjutnya, Khoo-Quah (2002) mengusulkan bagan kendali multivariat V m . Statistik V m merupakan modifikasi dan perluasan dari statistik T2 dengan mentransformasi ke dalam distribusi multivariat normal standar,
(
)
N p 0, I p .
dan Σ = Σ 0 , maka statistik Fm dinyatakan dengan Fi = ( xi − μ0 )′ Σ0−1 ( xi − μ0 )
(1)
Suatu proses dinyatakan tidak terkendali secara statistik jika nilai Fi lebih besar dari batas kendali UCL = χ 2 , F > χ 2 . α,p
i
α,p
Apabila kedua parameter ( μ dan Σ ) tidak diketahui, maka penghitungan statistik F m
menggunakan konsep SD. Berikut adalah rumusan statistik Fm jika kedua parameter tidak diketahui: d − p +1 m = Fi ( xi − xm )′ S −m1 ( xi − xm ) , d ⋅ p m +1 (2) dengan m −1
m −1
∑
∑
1 1 S m = Si y i ⋅ y i′ (3) Kemudian, pada tahun 2005, Khoo-Gan = 2 ( m − 1) i 1 m −1 =i 1 = mengusulkan bagan kendali multivariat m CUSUM untuk amatan individu 1 xi dan di mana = y i xi +1 − xi , xm = menggunakan statistik V m . Selanjutnya, pada m i =1 tahun 2012, Zou, dkk. mengusulkan bagan 2 kendali multivariat short-run EWMA untuk 2 ( m − 1) data yang tidak diketahui distribusinya . S m adalah estimator matriks d= 3m − 4 dengan basis rank-spatial. Pada tahun 2013, kovarians. Suatu proses produksi dikatakan Jaupi dkk. juga mengusulkan bagan kendali tidak terkendali secara statistik (out-ofmultivariat short-run untuk mengendalikan rata-rata dan variabilitas dengan melibatkan control) jika statistik Fi > Fα , p , d − p +1 [8]. fungsi pengaruh (influence function). Dari beberapa bagan kendali tersebut terdapat du 3. METODE PENELITIAN bagan kendali yang mempunyai persamaan Evaluasi kinerja bagan kendali dapat yaitu bagan kendali yang diusulkan oleh diketahui dengan melihat nilai ARL 1 yang Scholz-Tosch (1994) [8] dan bagan kendali diperoleh dari hasil simulasi. Pada kondisi yang diusulkan oleh Khoo-Quah (2002) [3]. kedua parameter diketahui, langkah awal Persamaan dari kedua bagan kendali tersebut evaluasi kinerja bagan kendali multivariat adalah keduanya dikembangkan dari konsep short-run Fm adalah inisiasi awal kedua successive difference (SD) untuk menghitung estimator parameter dan parameter yang diketahui yaitu μ 0 = 0 dan mengasumsikan bahwa data yang diamati Σ0 = I p . Selanjutnya adalah berdistribusi normal multivariat. membangkitkan data secara random sebanyak N = 10.000 yang kemudian 2. TINJAUAN PUSTAKA dinyatakan sebagai x f (future observation), Dinyatakan bahwa {x1 , x 2 ,…, x m } x f N p μs , I p untuk p = 2, 4 dan 8. p merupakan vektor amatan yang berdistribusi normal p-variat, identik dan independen adalah banyaknya karakteristik kualitas yang dengan vektor rata-rata μ dan matriks diamati dan μ s adalah vektor rata-rata yang kovarians Σ. Statistik bagan kendali Scholztelah mengalami pergeseran proses sebesar Tosch dilambangkan dengan Fm . Jika kedua δ yaitu μ= μ 0 + δ , δ = 0; 0,5; 1; 1,5; 2; s 2,5; 3; 4; 5. parameter ( μ dan Σ ) diketahui atau μ = μ
∑
(
0
15 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
)
Selanjutnya adalah menghitung statistik Fm sebagaimana pada Persamaan (1). Kemudian 2 membandingkan statistik F dengan χ m
α,p
untuk mendeteksi ada tidaknya titik yang keluar pertama kali (RL 1 ), F < χα2 , p . Jika RL 1 = 0, ulangi langkah-langkah sebelumnya. Namun, jika RL 1 ≠ 0, maka catat sebagai nilai RL 1 . Seluruh proses tersebut diiterasi sebanyak 250.000 kali. Langkah terakhir adalah mencari rata-rata RL 1 (ARL 1 ). Nilai ARL 1 didapatkan dengan cara menjumlahkan seluruh RL 1 yang diperoleh dari tiap-tiap iterasi dibagi dengan banyaknya iterasi. Sedangkan untuk kondisi kedua parameter tidak diketahui, proses simulasi terbagi menjadi dua fase yakni Fase I dan Fase II. Fase I adalah fase estimasi parameter vektor rata-rata dan matriks kovarians berdasarkan m titik yang terkendali (in-control). Fase II adalah fase menghitung nilai ARL 1 berdasarkan data bangkitan yang telah mengalami pergeseran terhadap statistik vektor rata-rata dan matriks kovarians yang telah diperoleh pada Fase I. Fase I dimulai dengan membangkitkan data secara random sebanyak N = 10.000 yang berdistribusi normal multivariat N p ( μ 0 , Σ0 ) dengan variasi p = 2, 4 dan 8. Kemudian, mengambil secara random dari N = 10.000 untuk tiap-tiap p sebanyak m = 20 dan 50. Selanjutnya, menghitung statistik xm dan S m pada Persamaan (3). Langkah berikutnya adalah menghitung statistik F m
sebagaimana pada Persamaan (2). Jika ada 1 titik yang tidak terkendali , maka tahapan awal pada F >F
(
m
α , p , d − p +1
Kemudian, menghitung statistik Fm sebagaimana pada Persamaan (2) dengan memanfaatkan statistik xm dan S m yang diperoleh pada Fase I. Langkah selanjutnya adalah membandingkan antara statistik Fm dengan Fα , p , d − p +1 dan menyatakan tidak terkendali secara statistik jika dan hanya jika Fm > Fα , p , d − p +1 . Kemudian, menghitung nilai ARL 1 dengan cara seperti sebelumnya. Setelah memperoleh nilai ARL 1 masingmasing untuk bagan kendali, maka selanjutnya adalah membandingkan nilai ARL 1 kedua bagan kendali. Semakin kecil nilai ARL 1 , maka dapat dinyatakan bahwa semakin sensitif suatu bagan kendali mendeteksi adanya pergeseran vektor ratarata proses dari vektor rata-rata yang sebenarnya (target). Selanjutnya, menerapkan kedua bagan kendali dengan data contoh. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun analisis evaluasi kinerja dari kedua bagan kendali tersebut adalah dengan melihat nilai ARL 1 hasil simulasi. Semakin kecil nilai ARL 1 , maka akan semakin sensitif suatu bagan kendali dalam mendeteksi adanya titik yang tidak terkendali (out of control). Secara praktik, nilai ARL 1 dihitung dengan mencatat titik ke-m pertama yang keluar dari batas bagan kendali. Pada penelitian ini, simulasi pergeseran terhadap vektor rata-rata dilakukan secara serempak dengan sifat pergeseran positif (+). Misal: untuk p = 3, maka μ= μ0 + δ s
)
0 = 0 + δ= 0
fase ini diulangi hingga semua titik m terkendali Fm < Fα , p , d − p +1 . Jika semua
(
)
δ δ δ
Pada Fase II, langkah awalnya adalah membangkitkan data secara random sebanyak N= 10.000 yang kemudian dinyatakan sebagai x f (future observation),
Tabel 1 merupakan tabel yang berisi nilai ARL bagan kendali multivariat short-run Fm untuk kondisi kedua parameter diketahui. Nilai δ dimulai dari 0 yang artinya tidak ada pergeseran vektor rata-rata proses, 0,5 artinya vektor rata-rata proses digeser menjauh secara serempak sebesar 0,5 dari vektor rata-rata yang sebenarnya ( μ 0 = 0 ) , 1
x f N p μs , I p
artinya vektor rata-rata proses digeser menjauh secara serempak sebesar 1 dari
titik m terkendali, maka statistik xm dan S m dari m titik terkendali ini disimpan untuk perhitungan pada Fase II.
(
)
untuk p = 2, 4 dan 8.
16 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
vektor rata-rata yang sebenarnya, dan demikian seterusnya untuk nilai δ = 1,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 4; 5. Berdasarkan Tabel 1, untuk besar δ = 0 atau tidak ada pergeseran vektor rata-rata, bagan kendali Fm berlaku untuk setiap p, diketahui nilai ARL 0 berada di sekitar angka 370. Nilai ARL 0 = 370 artinya, titik amatan ke-370 adalah titik yang pertama kali keluar yang dideteksi oleh bagan kendali. Atau dengan kata lain, bagan kendali membutuhkan amatan sebanyak 370 untuk menyatakan bahwa proses mengalami pergeseran vektor rata-rata. Tabel 1. Nilai ARL Kondisi Kedua Parameter Diketahui dengan m = 20
δ
p=2 F m
p=4 F m
p=8 F m
370.52 370.29 370.19 0 0.5 129.56 101.33 71.86 27.74 15.16 7.26 1 3.64 1.77 1.5 7.71 3.07 1.57 1.08 2 1.11 1.00 2.5 1.68 1.21 1.01 1.00 3 1.01 1.00 1.00 4 1.00 1.00 1.00 5 Berdasarkan Tabel 1 pula, jika besar pergeseran vektor rata-rata adalah δ = 0,5 dengan banyak karakterisik kualitas, p, misal: p = 4, diketahui nilai ARL 1 bagan kendali Fm adalah 101. Artinya, ketika vektor rata-rata digeser sebesar δ = 0,5 dari vektor rata-rata spesifikasi, bagan kendali Fm memberikan sinyal bahwa telah terjadi pergeseran vektor rata-rata untuk yang pertama kali adalah pada amatan ke-101.
Gambar 1. Contoh Plot Simulasi untuk p = 4, m = 20 dan δ = 1 Pada Kondisi Kedua Parameter Diketahui
Gambar 1 adalah contoh dari plot satu kali perulangan simulasi. Data pada Gambar 1 dibangkitkan secara random dengan
x f N 4 ( μ= μ 0 + δ , I 4 ) . Besar pergeseran s dari Gambar 1 adalah δ = 1, sehingga μs = μ 0 + 1= 1 . Batas kendali atas dari adalah bagan kendali F m
Berdasarkan = UCL χ= 16, 2512 . Gambar 1, dapat diketahui bahwa nilai RL 1 untu bagan kendali Fm adalah 11. Artinya, titik pertama kali yang terdeteksi ketika telah terjadi pergeseran vektor rata-rata sebesar 1 adalah titik ke-11. 2 0,0027,4
Tabel 2 merupakan tabel yang berisi nilai ARL bagan kendali Fm untuk kondisi kedua parameter tidak diketahui. Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa untuk p = 2, tanpa ada pergeseran vektor rata-rata, nilai ARL 0 untuk bagan kendali Fm adalah 1593. Artinya, ketika vektor rata-rata tidak bergeser dari vektor rata-rata target, bagan kendali ini mendeteksi adanya titik yang keluar batas kendali untuk yang pertama kali (RL 1 ) adalah pada amatan ke-1593. Tabel 2. Nilai ARL Kondisi Kedua Parameter Tidak Diketahui dengan m = 20
δ
p=2 F
p=4 F
p=8 F
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 4 5
1593.59 499.78 82.42 17.76 5.50 2.41 1.46 1.03 1.00
1577.66 412.78 56.60 14.58 3.45 1.39 1.25 1.02 1.00
1419.89 256.30 40.44 10.82 2.90 1.15 1.10 1.00 1.00
m
m
m
Dibandingkan dengan kondisi parameter diketahui, ketika parameter tidak diketahui sensitifitas bagan kendali Fm menurun. Hal ini ditunjukkan dengan nilai ARL pada parameter tidak diketahui yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai ARL pada parameter diketahui. Sensitifitas bagan kendali akan sama ketika pergeseran vektor rata-rata pada nilai δ > 2. Gambar 2 merupakan contoh dari plot bagan kendali hasil simulasi. Data pada Gambar 2 dibangkitkan secara random dengan x f N8 ( μ= μ 0 + δ , I8 ) . Besar pergeseran s
17 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dari Gambar 2 adalah δ = 2, sehingga μs = μ 0 + 2 = 2 . Batas kendali atas dari bagan = UCL F= 4,1434 . kendali F adalah m
0,0027,8,33
Gambar 2. Contoh Plot Simulasi untuk p = 8, m = 50 dan δ = 2 Pada Kondisi Kedua Parameter Tidak Diketahui
Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa nilai RL 1 dari kedua bagan kendali adalah sama yakni 1. Artinya titik pertama kali yang keluar dari batas kendali dari kedua bagan kendali adalah titik amatan ke1. Dapat diartikan juga bahwa ketika vektor rata-rata digeser menjauh sebesar δ = 2, kedua bagan kendali tersebut dapat dengan segera pada titik pertama mendeteksi bahwa proses memang benar telah terjadi pergeseran. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa sekitar 80% titik amatan yang keluar dari batas kendali. Artinya, semakin besar pergeseran vektor rata-rata, maka semakin banyak titik amatan yang keluar dari batas kendali. Sebagai terapan, berikut adalah hasil analisis data Quesenberry (2001) [9]. Data terdiri atas 11 karakteristik kualitas (p = 11) dengan banyak amatan m = 30. Berdasarkan uji Mardia, dinyatakan bahwa data tersebut berdistribusi normal multivariat. Kemudian, dengan menggunakan Persamaan (2) diperoleh nilai statistik untuk bagan kendali dan diplotkan sebagaimana pada Gambar 3.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisa hasil dan pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan di antaranya: 1. Pada kondisi kedua parameter diketahui, konsep SD pada bagan kendali Fm hanya digunakan untuk menghitung S m , xm melibatkan semua titik amatan. Akibat dari penghitungan xm yang melibatkan semua titik amatan, maka bagan kendali Fm tidak dapat segera terbentuk. 2. Pada kondisi kedua parameter diketahui, mempunyai bagan kendali Fm sensitifitas lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi kedua parameter tidak diketahui. 3. Berdasarkan evaluasi kinerja kedua bagan kendali, semakin bertambahnya karakteristik kualitas (p) yang diamati, maka semakin kecil nilai ARL 1 , namun semakin banyak titik amatan yang diamati, maka nilai ARL 1 semakin besar. 4. Semakin jauh pergeseran vektor rata-rata proses, maka kedua bagan kendali ini semakin cepat mendeteksi. Adapun saran yang dapat diberikan adalah perlu dikembangkan rumusan baru dengan menggunakan konsep SD untuk estimasi kedua parameter pada bagan kendali Fm , sehingga bagan kendali dapat segera terbentuk setelah didapat beberapa data amatan. Pola pergeseran vektor rata-rata yang disimulasikan pada penelitian ini bersifat simultan, agar lebih komprehensif, perlu dilakukan pola pergeseran vektor ratarata secara parsial. Pada penelitian ini yang dikaji adalah hanya bagan kendali pergeseran rata-rata proses, sehingga perlu dikaji lebih lanjut bagan kendali untuk dispersi.
DAFTAR PUSTAKA [1]
Gambar 3. Bagan Kendali Fm Untuk Data Terapan Quesenberry (2001) [2]
Khoo, M. B. C., S. H. Quah, H. C. Low, dan C. K. Ch’Ng. 2005. Short Runs Multivariate Control Chart for Process Dispersion. International Journal of Reliability, Quality and Safety Engineering, 12, hal. 127-147. Marques, P. A., Carlos B. C., Paula P., Sousa R., dan Helena G. 2015. Selection of The Most Suitable Statistical Process Control Approach
18 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
for Short Production Runs: A DecisionU′U = ( xi − μ 0 )′ Σ −1 ( xi − μ 0 ) . Perkalian matriks Model. International Journal of U′U merupakan jumlah kuadrat dari p Information and Education variabel saling bebas yang masing-masing Technology, 5, hal. 303-310. berdistribusi N ( 0,1) , sehingga U′U χ 2p . Jika Khoo, M. B. C., dan S. H. Quah. 2002. Proposed Short Run Multivariate maka benar bahwa Σ = Σ0 , Control Chart for The Proses Mean. Fi = ( xi − μ0 )′ Σ0−1 ( xi − μ0 ) − χ 2p . Quality Engineering, 14, hal. 603-621. Elam, M. E., dan Case, K. E. 2005. KEDUA PARAMETER TIDAK DIKETAHUI Two-Stage Short-Run Control Charts. Quality Engineering, 17, hal. 95-107. Dimisalkan bahwa {x1, x2 ,…, xm } ; xi N p ( μ, Σ ) Fonseca, D. J., M. E. Elam, dan L. y i xi +1 − xi ; . Dinyatakan pula bahwa = Tibbs. 2007. Fuzzy Short-Run Control = i 1,..., m − 1 disebut vektor selisih lokal (local Charts. Mathware & Soft Computing, difference vector). 14, hal. 81-101. y1′ x′2 - x1′ Montgomery, D. C. 2009. Introduction to Statistical Quality Control. Edisi ke y2′ x′3 - x′2 y ′ = x′ - x′ 5. John Wiley & Sons: New York. 3 4 3 Jaupi, L., D. E. Herwindiati, Ph. y ′ x′ - x′ Durand dan D. Ghorbanzadeh. 2013. m −1 m m −1 Short-Run Multivariate Control Charts y1′ −1 1 0 0 0 0 x1′ for Process Mean and Variability. y2′ 0 −1 1 0 0 0 x′2 Proceeding of the World Congress on y3′ = 0 0 −1 1 0 0 x′3 Engineering, London. Scholz, F. W. dan T. J. Tosch. 1994. ′ 0 0 0 0 −1 1 x′ −1 m ym Small Sample Uni- and Multivariate Y = DX. Control Charts for Means. Proceedings di mana D disebut sebagai matriks pembeda of The American Statistical (differencing matrix). Diketahui bahwa Association, Quality and Production 1 Section. Si = y i y ′i dan estimator tak bias gabungan 2 Quesenberry, C. P. 2001. The S Multivariate Short-Run Snapshot Q ( m ) untuk Σ adalah Chart. Quality Engineering, 13, hal. m −1 m −1 1 1 679-683. = S m = Si y i y′i
( m − 1) ∑
2 ( m − 1)
∑
=i 1 =i 1
APENDIKS
=
KEDUA PARAMETER DIKETAHUI Dimisalkan bahwa {x1, x2 ,…, xm } ; xi N p ( μ, Σ ) . Jika
xi N p ( μ, Σ ) ,
maka ( xi − μ ) − N p ( 0, Σ ) .
Definisi 1. Jika x1, x2 ,…, xm berdistribusi normal pvariat, identik dan independen, N p ( 0, Σ ) ; m
maka
W=
∑ x x′
i i
akan berdistribusi Wishart
i=1
dengan derajat bebas m. (Seber, 2004) Berdasarkan Definisi
1,
m
μ0 ) . ∑ ( xi − μ0 )( xi − μ0 )′ − Wp ( m, Σ ) ; ( μ = i =1
Jika
1 Y′Y. 2 ( m − 1) 1 A = D′D , 2
S m =
maka
Teorema 1. Diketahui bahwa xi N p ( 0, Σ )
1 = X′AX. m −1
di mana
ξ ( ≠ 0)
adalah
dan
v = Xξ,
vektor konstan berukuran p × 1 . Jika A adalah suatu matriks berukuran m × m dengan rank r , maka X′AX W p ( r , Σ ) jika dan hanya jika v′Av σ ξ2 χ r2 untuk setiap
,
di mana σ ξ = ξ′Σξ . (Seber, 2004)
U = C−1 ( xi − μ0 ) − N p 0, I p
berukuran
dan
ξ
2
Teorema 2. Jika W W p ( m, Σ ) dan
)
.
X′ = ( x1 , x 2 ,…, x m )
Jika CC′ = Σ , di mana C adalah matrik nonmaka singular berukuran p× p ,
(
1 Y′Y 2 ( m − 1)
r× p
adalah matriks
dengan rank
CWC′ W p ( m, CΣC′ ) .
19 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
C
r
, maka
2 ( m − 1)
Akibat Teorema 2. Jika ξ adalah sembarang vektor konstan
d=
berukuran p × 1 , ( ξ ≠ 0 ) , maka
tergantung pada ξ , maka dapat dinyatakan
di mana
= σ ξ ξ′Σξ > 0 2
2 ξ′Wξ σ ξ2 χ m
Σ>Ο
karena
.
Berdasarkan Teorema 1, diketahui bahwa S m perkalian beberapa mempunyai distribusi yang dapat didekati dengan distribusi Wishart, W p ( d , Σ ) . Jika
(
vi = ξ′i ξ N 0, σ ξ2
Dengan berikut: 1
η
μ=0 ,
diasumsikan
)
v′Av ≈ σ ξ2 χ d2 .
v′ = ( v1, v2 , , vm ) .
dan
persamaan
maka
pendekatan
seperti
Maka ekspektasi dan varians
dari kedua sisi adalah 1 m −1 2 E v′Av = σξ η η
dan
4 1 σξ v′Av var = ( 3m − 4 ) . η η2
(
)
E σ ξ2 χ d2 = dσ ξ2
dan
(
η
)
sehingga diperoleh η =
σ 4 3m − 4 = 2dσ 4 2 η
3m − 4 2 ( m − 1)
S m ( m − 1)=
η
m
1 m
terhadap
S m .
x f N p ( μ, Σ )
i
i =1
dan d tidak
dS m ≈ W p ( d , Σ ) .Dinyatakan
∑x N
bahwa xm =
p μ,
Σ n
Lebih
independen
lanjut,
jika
adalah amatan selanjutnya
(future
observation),
( x f − xm ) − N p 0, Σ 1 + m1
maka
juga independen
terhadap S m . Oleh karena dinyatakan benar
itu, dapat bahwa
d − p +1 m Fm = x f − xm ′ S −m1 x f − xm d ⋅ p m +1
(
)
(
)
(
d − p +1 m = Fm x f − xm ′ S −m1 x f − xm − Fp, d − p +1 d ⋅ p m +1
(
var σ ξ2 χ d2 = 2dσ ξ4 .
dan
bahwa
η
Dikarenakan
.
mengikuti distribusi F dengan numerator p dan denominator d − p + 1 . Dengan demikian dapat ditulis:
Selanjutnya menyamakan hasil ekspetasi dan varians untuk masing-masing sisi. m −1 2 σ ξ = dσ ξ2
3m − 4
2
)
.
,
dan
20 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
)
(
)
DIMENSI WAKTU DALAM PENANGGALAN PRASASTI Agung Prabowo, Agus Sugandha, Agustini Tripena Br. Sb. Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jenderal Soedirman Jl. Dr. Soeparno No. 61 Karangwangkal Purwokerto, 53123, Jawa Tengah, Indonesia. e-mail:
[email protected] ;
[email protected]
Abstrak Prasasti-prasasti yang bertarikh Saka mencatat perjalanan waktu dalam caranya yang khas, seperti penggunaan suklapaksa dan kresnapaksa, dilengkapi nama hari saptawara, pancawara dan sadwara. Pada tahap selanjutnya ditambahkan dengan naksatra dan yoga. Pada masa Majapahit, pencatatan dimensi waktu diperluas dengan menambahkan unsur-unsur seperti karaṇa, wuku, muhūrta, yoga, nakṣatra, dewatā, grahacāra, parweśa, maṇḍala, rāśi bintang. Artikel ini melacak perjalanan penggunaan dimensi-dimensi waktu tersebut dan disertai contoh pahatannya pada beberapa prasasti dari masa hingga Mataram Kuno dan menyodorkannya sebagai etnoastronomi nusantara. Kata Kunci: etnoastronomi, Mataram Kuno, prasasti, waktu.
1. PENDAHULUAN Arti penting prasasti-prasasti yang ditemukan di nusantara (Indonesia) adalah sebagai media untuk penelitian astronomi dan karena terkait dengan astronomi masa lampau yang digunakan oleh suatu komunitas etnik tertentu maka disebut sebagai etnoastronomi. Salah satu data yang direkam dalam prasasti dan digunakan sebagai kajian etnoastronomi adalah dimensi waktu berupa penanggalan prasasti. Dengan melacak sistem penanggalan (kalender) mulai dari prasasti yang paling tua hingga terkini, berbagai informasi dapat diungkap dengan jernih. Beberapa informasi tersebut antara lain (1) sistem kalender yang pernah digunakan di nusantara, dan (2) sistem atau cara penamaan waktu. Dalam tulisan ini akan kedua hal tersebut akan dipaparkan dengan memberikan contoh-contoh prasasti yang memuatnya. 2. TINJAUAN PUSTAKA Salah satu tulisan yang memuat informasi tentang dimensi waktu dapat ditemukan pada http://epigraphyscorner.blogspot.co.id/p/pem bahasan-epigrafi.html. Namun, tulisan ini tidak atau belum dikhususkan sebagai kajian etnoastronomi, tetapi dalam lingkkup kajian epigrafi. Dengan merujuk pada tulisan tersebut, dan dengan memilih informasi
yang benar-benar dibutuhkan, akan diungkap berbagai bukti prasasti terkait penggunaan dimensi waktu. 3. METODE Metodologi penelitian yang dilakukan adalah studi pustaka dan analisis data. 3.1 Metode Pengumpulan Data Berbagai pustaka yang digunakan merupakan arsip atau teks-teks sejarah terkait dengan prasasti-prasasti di Nusantara. Dengan demikian, data-data yang digunakan merupakan data sekunder. Meskipun prasasti ditulis dengan aksara dan bahasa yang saat ini sudah jarang atau bahkan sudah tidak digunakan, penelitian ini tidak menemukan kesulitan berarti. Para pakar sejarah tersohor telah membaca dan menerjemahkan prasastiprasasti tersebut dalam Bahasa Indonesia ataupun Inggris. 3.2 Metode Analisis Data Jenis data yang dikumpulkan berupa teks prasasti dalam aksara aslinya, seperti aksara Palawa, aksara Jawa Kuno dan lain-lain. Bahasa yang digunakan untuk penulisan prasasti berupa bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuno, dan lain-lain. Untuk setiap teks tersebut disertakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan aksara latin, dan sejauh memungkinkan disertakan kutipan asli dari prasastinya. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan pemilihan pada teks-teks yang
21 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
memuat unsur dimensi waktu. Dengan demikian, metode analisis datanya adalah kualitatif. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sistem Kalender antar Prasasti Beberapa sistem kalender yang pernah digunakan di Nusantara khususnya Jawa adalah kalender Saka, Hijriah, Masehi dan Jawa. Selain itu, juga dikenal kalender Pawukon dan Pranata Mangsa. Dua yang terakhir tidak mempunyai angka tahun dan dilekatkan (disatukan) pada sistem kalender lainnya (Saka, Hijriah, Masehi dan Jawa). Secara garis besar, kalender Saka digunakan sejak Kerajaan Kutai hingga akhir Majapahit. Berdirinya Demak sebagai penerus Majapahit merubah Saka menjadi Hijriah. Kalender Hirjiah masih terus digunakan hinga hari ini. Namun, pada masa Sultan Agung di Mataram diperkenalkan kalender baru yang disebut Kalender Jawa. Beberapa dekade sebelumnya, saat penduduk nusantara bersentuhan dengan orang Eropa, kalender Masehi menjadi dikenal. Tabel 1 menampilkan prasasti-prasasti dengan jenis kalender yang digunakannya Tabel 1: Jenis-Jenis Kalender pada Prasasti hingga Masa Mataram Hindu No Nama Prasasti Jenis Kalender 1 Tugu Saka 2 Kedukan Bukit Saka 3 Talang Tuo Saka 4 Kota Kapur Saka 5 Karang Brahi Saka 6 Canggal Saka 7 Manjusrigraha Saka 8 Jaya Bupati Saka
4.2 Dimensi Waktu antar Prasasti Prasasti pertama yang ditemukan di Nusantara adalah tujuh buah yupa dari Kutai, Kalimantan Timur. Ketiadaan unsur penanda waktu menyebabkan yupa-yupa tersebut tidak dapat dengan pasti diketahui asal waktunya. Namun, berdasarkan jenis aksara dan bahasa yang digunakan, yupayupa tersebut diperkirakan berasal dari masa 400 Masehi. Awal digunakannya unsur penanggalan hanya berupa beberapa unsur saja. Pada
prasasti masa Jawa Kuno dikenal paling sedikit lima unsur yaitu warṣa atau tahun, māsa atau bulan, tithi atau tanggal, pakṣa atau paruh bulan, dan wāra atau hari. Sistem penanggalan India mengenal lima unsur penanda waktu, yaitu wāra, tithi, nakṣatra, yoga, dan karaṇa (Sewell & Dikshit, 1995: 2). Pada masa selanjutnya, prasasti nusantara memahatkan delapan dimensi waktu dengan tambahan nakṣatra, yoga, dan karaṇa (Damais, 1952; http://epigraphyscorner.blogspot.co.id). 1. Warṣa (angka tahun). Prasasti-prasasti nusantara menggunakan dua jenis penyebutan angka tahun. Pertama, dengan angka dan kedua dengan katakata. Penyebutan angka tahun dengan kata-kata disebut sengkala, sengkalan atau candrasengkala. Sengkala terdiri dua jenis yaitu sengkala mĕmĕt dan sĕngkala lamba. Sengkala memet adalah angka tahun yang terdiri dari gambar, ukiran, relief, patung, atau bentuk lainnya yang memiliki makna dengan konotasi angka. Sedangkan sengkala lamba adalah angka tahun yang berupa kalimat (Bratakesawa, 1968: 6). Penggunaan sengkala lamba masih memungkinkan digunakannya unsur penanda waktu lainnya, seperti masa, tithi, paksa dan wara. Sedangkan penggunaan sengkala memet tidak memungkinkan hal tersebut. Berikut beberapa contoh angka tahun yang bukan berupa angka, tetapi dalam bentuk sengkala lamba. Tabel 2: Angka Tahun dalam Bentuk Sengkala Lamba pada Beberapa Prasasti Prasasti
Sengkala
Canggal Dinoyo Kalasan Siwagrha
Cruti Indriya Rasa Nayana Wayu Rasa Sa Taih Sapta Wwalung Gunung sang Wiku Paksa Tunggal Sa Bumi Panca Sad Dwi Sa
Sapu Angin Arca Manjushri
22 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tahun (Saka) 654 682 701 778 1112 1265
2. Masa (bulan). Kalender Saka mempunyai 12 nama bulan, berturutturut adalah caitra, waisaka, jyestha, asadha, srawana, bhadrawada, aswina/asuji, kartika, margasira, posya, magha, dan palguna. 3. Paksa (paruh-bulan). Perjalanan bulan terbagi dua bagian yang disebut paruhbulan atau paksa. Paruh-bulan pertama disebut paruh-terang atau suklapaksa (sukla = terang), dimulai sejak bulan baru hingga purnama, berlangsung lima belas hari, dari tanggal 1 – 15. Akibatnya, bulan baru menjadi penanda waktu untuk tanggal 1 paruh-terang yang disebut tithi pratipada suklapaksa. Paruh-bulan kedua disebut paruh-gelap atau kresnapaksa (kresna = gelap), dimulai sejak berakhirnya purnama hingga terbenamnya bulan atau bulan mati, berlangsung empatbelas atau limabelas hari, dari tanggal 16 – 29/30. Akibatnya, sehari setelah purnama disebut tithi pratipada kresnapaksa atau tanggal 1 paruh-gelap. Bukan 16 paruhgelap. 4. Tithi (tanggal). Perubahan bentuk bulan sebagai perjalanan harian bulan ditandai dengan urutan sebagai berikut: tithi pratipada suklapaksa, tithi dvitīya śuklapakṣa, tithi tṛtiyā suklapaksa, tithi caturthi suklapaksa, tithi pañcamī śuklapakşa, tithi sadmi/sasti suklapaksa, tithi saptamī śuklapakşa, tithi (h)astami suklapaksa, tithi nawami suklapaksa, tithi daśī/dasami suklapakşa, tithi ekādaśī śuklapakşa, tithi dwadasi suklapaksa, tithi trayosasi suklapaksa, tithi caturdaśi śuklapaksa, tithi pancadaśī suklapakşa. Untuk paruh-bulan kedua (paruh-gelap) cukup mengganti frase ‘suklapaksa’ dengan ‘kresnapaksa’. Sebagai catatan, untuk tanggal 1 atau 16 tidak digunakan istilah tithi ekatiya suklapaksa/kresnapaksa, tetapi tithi pratipada suklapaksa/kresnapaksa. Khusus untuk purnama (tanggal 15), terkadang digunakan istilah pūrṇṇenduyogāyate. 5. Wewaran. Pengelompokan wara (hari) berdasar pada lamanya siklus, mulai dari siklus 1 harian, 2 harian, hingga 10 harian. Siklus 5, 6 dan 7 harian berturut-
turut disebut pancawara, sadwara dan saptawara. Nama-nama hari pancawara adalah pa = pahing; po = pon; wa = wagai; ka = kaliwon; u = umanis atau ma = manis. Nama-nama hari sadwara adalah tu atau tung = tunglai; ha = hariyang; wu = wurukung; pa = paningron; wa = was; dan ma = mawulu. Nama-nama hari saptawara adalah ra atau a = raditya atau aditya (minggu); so = soma (senin); ang = anggara (selasa); bu = budha (rabu); wr = wrhaspati (kamis); su = sukra (jumat); dan sa = saniscara (sabtu). Berikut beberapa contoh prasasti yang memuat unsur-unsur penanda waktu. 1. Prasasti Canggal/Sanjaya/Gunung Wukir Prasasti Canggal ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta (de Casparis, 1975). Pada prasasti ini tertulis (http://kidemang.com) “Cakendre'tigete crutindriyarasair ankikrte vatsare. varendau dhavalatrayodaci-tithau bhadrottare kartike....” yang artinya telah berlalu tahun Saka dengan penanda Cruti Indriya Rasa, pada bulan Kartika, pada hari Senin, hari ketiga belas ......
Gambar 1. Prasasti Canggal http://ki-demang.com/medang/index.php/isiprasasti/408-02-prasasti-canggal/
Unsur-unsur penanda waktu yang dimuat adalah (1) unsur warsa yang ditemukan berupa sengkala lamba berbunyi Cruti (4) Indriya (5) Rasa (6) menyatakan tahun 654 Saka, (2) unsur masa yaitu bulan kartika, (3) unsur paksa dijelaskan berupa paruh terang, (4) unsur tithi menyatakan hari ketiga belas pada paruh terang, dan (5) unsur wewaran berupa nama hari saptawara soma atau senin. 2. Prasasti Manjusrigraha Pada prasasti ini tertulis (de Casparis, 1975) “śri swasti śakawarṣātītā 714 kārttika māsa caturddaśi śukla pakṣa śukrawāra wās
23 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
pon...” yang artinya Bahagia, telah lewat dengan selamat tahun Śaka 714, bulan kārttika, tanggal 14 paruh-terang, jum’at, was, pon. Unsur-unsur penanda waktu yang dimuat adalah (1) unsur warsa yang ditemukan berupa angka tahun ditulis dengan aksara Jawa Kuno menyatakan tahun 714 Saka, (2) unsur masa yaitu bulan kartika, (3) unsur paksa dijelaskan berupa suklapaksa atau paruh terang, (4) unsur tithi menyatakan hari keempat belas pada paruh terang, dan (5) unsur wewaran berupa nama hari pancawara pon, sadwara was, dan saptawara sukra (jumat), 3. Prasasti Jaya Bupati (Cicatih). Pada prasasti ini tertulis (de Casparis, 1975) “//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapaksa. ha. ka. ra. wara.......” yang artinya Bahagia, telah lewat dengan selamat tahun Śaka 952, bulan kārttika, tanggal 12 paruh-terang, hari ha. ka. ra. Unsur-unsur penanda waktu yang dimuat adalah (1) unsur warsa yang ditemukan berupa angka tahun dalam aksara Jaw Kuno menyatakan tahun 952 Saka, (2) unsur masa yaitu bulan kartika, (3) unsur paksa dijelaskan berupa sukla paksa atau paruh terang, (4) unsur tithi menyatakan hari ketiga belas pada paruh terang, dan (5) unsur wewaran berupa nama hari sadwara ha (haryang), hari pancawara ka (kaliwon), dan hari saptawara ra (radite) atau minggu).
berbagai wilayah di nusantara (Indonesia), khususnya di Pulau Jawa. Unsur-unsur tersebut meliputi warsa (angka tahun), masa (bulan), paksa (paruh bulan), tithi (tanggal) dan wewaran (nama hari). UCAPAN TERIMA KASIH Penyusunan dan pemaparan artikel ini didanai dari hibah penelitian Riset Institusi UNSOED Tahun Anggaran 2017, Nomor Kept. 1247 / UN23.14 / PN.01.00 / 2017. DAFTAR PUSTAKA de Casparis, J. G. (1975). Indonesian Chronology. Leiden/Koln: Brill. Bratakeswara. (1968). Katrangan Tjandrasengkala, Djakarta: Balai Pustaka. Damais, L. C. (1952). “Le Calendrier de l’ancienne Java”. “Penanggalan Jawa Kuno” dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan Karangan Louis Charles Damais. Jakarta: EFEO. Sewell, R. and S.B. Dikshit, S.B. (1995). The Indian Calendar (With Tables for the Conversion of Hindu and Muhammadan into A. D. Dates and Vice Versa). Motilal Banarsidass. http://epigraphyscorner.blogspot.co.id/p/p embahasan-epigrafi.html [16 Maret 2017]. http://kidemang.com/medang/index.php/isiprasasti/408-02-prasasti-canggal/ [2 Maret 2017].
5. KESIMPULAN Sebagai kesimpulan, unsur penanggalan yang merupakan dimensi waktu telah digunakan pada prasasti-prasasti dari
24 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PERHITUNGAN GALAT DERET COSINUS DENGAN KOEFISIEN DARI KLAS BARISAN BERVARIASI TERBATAS SUPREMUM Moch. Aruman Imron Jurusan Matematika, FMIPA, UB Malang
[email protected]
Abstrak Teorema klasik tentang kekonververgenan seragam deret sinus adalah jika barisan koefisien deret sinus {a n } turun monoton dan na n menuju 0 untuk n menuju tak hingga maka deret sinus terjamin konvergen seragam. Barisan koefisien {a n } yang turun monoton dimasukkan dalam klas MS (Monotone Sequence). Klas tersebut dapat diperumum menjadi klas RBVS, GMS, MBVS, SBVS dan lain-lain dengan syarat deret sinus tetap konvergen seragam dari koefisien-koefisien dalam klas tersebut. Penelitian ini dilaksanakan dengan studi literatur, buku-buku pendukung dan jurnal-jurnal ilmiah untuk mendapatkan pemahaman yang baik kemudian mengembangkan penelitian terkait. Selanjutnya pada tulisan ini dibicarakan penerapan klas SBVS (Supremum Bounded Variation sequences) atau klas barisan bervariasi terbatas supremum untuk mencari galat dari deret cosinus jika dilakukan pemotongan pada deret tersebut. Hasil-hasil yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa jika digunakan cara pertama yaitu menggunakan norma maka fungsi harus diketahui sebagai jumlahan deret. Jika menggunakan cara kedua yaitu menggunaka sifat-sifat barisan SBVS, fungsi tidak harus diketahui asalkan koefisiennya berasal dari klas SBVS. Kata Kunci: deret cosinus, galat, klas barisan bervariasi terbatas supremum
1. PENDAHULUAN Kemonotonan dari barisan atau fungsi memainkan peran yang penting di beberapa masalah analisis diantaranya di dalam kekonvergenan deret Fourier Sinus atau Cosinus. Chaundy dan Jollife (Chaundy dan Jolife, 1916) telah membuktikan Teorema klasik bahwa syarat cukup dan perlu agar deret sinus konvergen seragam dengan koefisien barisan non-negatif dan turun monoton adalah lim𝑘𝑘→∞ 𝑎𝑎𝑘𝑘 = 0. Koefisienkoefisien dari deret sinus yang turun monoton (monotone sequences (MS)) telah digeneralisasi menjadi klas General Monotone Sequences (GMS) (Tikhonov, 1988) , klas NBVS dan MVBVS (Zhou dkk, 2010) beserta aplikasinya pada masalah aproksimasi (Liflyand dan Tikhonov, 2011), dan selanjutnya digeneralisasi lagi menjadi klas Supremum Bounded Variation Sequences of the second type (SBVS2)(Korus, 2010). Klas SBVS2 didefinisikan sebagai berikut. Barisan {𝑎𝑎𝑛𝑛 } disebut anggota klas SBVS2 jika terdapat konstan non negatif C
dan barisan real {𝑏𝑏𝑛𝑛 } menuju tak hingga sehingga berlaku 2𝑛𝑛−1
2𝑚𝑚
𝑘𝑘=𝑛𝑛
𝑘𝑘=𝑚𝑚
𝐶𝐶 � |𝑎𝑎𝑘𝑘 − 𝑎𝑎𝑘𝑘+1 | ≤ � sup � |𝑎𝑎𝑘𝑘 |� . 𝑛𝑛 𝑚𝑚≥𝑏𝑏𝑛𝑛
Kemudian telah dibahas perhitungan galat deret cosinus untuk klas 𝓢𝓢𝓢𝓢𝓢𝓢𝓢𝓢𝒑𝒑 (Imron , 2015) pada makalah ini dibahas perhitungan galat pada deret cosinus dengan koefisien dari klas barisan bervariasi terbatas supremum dengan pendekatan melalui aproksimasi deret melalui klas barisan bervariasi terbatas supremum (𝑺𝑺𝑺𝑺𝑺𝑺𝑺𝑺).
2. TINJAUAN PUSTAKA Penerapan klas monoton yang telah dibahas adalah penerapan klas barisan monoton-p umum (general p-monotone sequences) pada masalah aproksimasi. Masalah tersebut memberikan estimasi dari aproksimasi terbaik terhadap fungsi f (Tikhonov, 2008) dengan fungsi 𝑓𝑓 ∈ 𝐶𝐶([0, 𝜋𝜋]) serta f(x) sebagai jumlahan dari deret
25 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
∞
dan
� 𝑎𝑎𝑛𝑛 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛
(2.1)
� 𝑐𝑐𝑛𝑛 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛 ,
(2.2)
𝑛𝑛=1 ∞
𝑛𝑛=1
untuk setiap 𝑥𝑥 ∈ [0, 𝜋𝜋]. Istilah aproksimasi terbaik (the best approximation) telah dibicarakan oleh P.L Chebyshev seorang ahli mathematika Rusia dalam (Devore dan Lorentz, 1993) yang mempelajari polinomial 𝑃𝑃 ∈ 𝑃𝑃𝑛𝑛 dengan 𝑃𝑃𝑛𝑛
himpunan semua polinomial orde 𝑛𝑛 dari aproksimasi seragam terbaik (the best uniform approximation) dari fungsi ℎ ∈
𝐶𝐶[𝑎𝑎, 𝑏𝑏]. Teorema yang membahas masalah tersebut disampaikan di Teorema 2.1. Teorema 2.1. Jika ℎ ∉ 𝑃𝑃𝑛𝑛 , maka 𝑝𝑝 ∈ 𝑃𝑃𝑛𝑛 merupakan aproksimasi seragam terbaik jika dan hanya jika terdapat 𝑛𝑛 + 2 titik-titik dalam [𝑎𝑎, 𝑏𝑏], dengan 𝑎𝑎 ≤ 𝑥𝑥1 < 𝑥𝑥2 < ⋯ < 𝑥𝑥𝑛𝑛+2 ≰ 𝑏𝑏 sehingga |ℎ(𝑥𝑥) − 𝑝𝑝(𝑥𝑥)| = ‖ℎ − 𝑝𝑝‖ untuk setiap 𝑥𝑥 = 𝑥𝑥𝑗𝑗 , 𝑗𝑗 = 1,2,3, … , 𝑛𝑛 + 2, dengan ‖. ‖ norma pada 𝐿𝐿1 . Kemudian konsep tentang aproksimasi berkembang dalam ruang Banach 𝑋𝑋 dari fungsi real atau kompleks. Selanjutnya diberikan ruang Banach 𝑋𝑋 dan 𝑌𝑌 ruang bagian tertutup dari 𝑋𝑋. Untuk setiap ℎ ∈ 𝑋𝑋 didefinisikan kesalahan aproksimsi (error of approximation) 𝐸𝐸(ℎ) (2.3) = inf ‖ℎ − 𝑝𝑝‖. 𝑝𝑝∈𝑌𝑌
Jika terdapat 𝑃𝑃 = 𝑃𝑃0 , sehingga (2.3) terpenuhi maka 𝑃𝑃0 disebut aproksimasi terbaik (best approximation) untuk ℎ dari 𝑌𝑌. Untuk ruang bagian berdimensi hingga dari ruang 𝑋𝑋 dituliskan dengan 𝑋𝑋𝑛𝑛 dan 𝐸𝐸𝑛𝑛 (ℎ) untuk 𝐸𝐸(ℎ). Teorema 2.2. Untuk setiap ruang bagian berdimensi hingga 𝑋𝑋𝑛𝑛 dari 𝑋𝑋 dan setiap ℎ ∈ 𝑋𝑋 terdapat aproksimasi terbaik terhadap ℎ dari 𝑋𝑋𝑛𝑛 , yaitu 𝐸𝐸𝑛𝑛 (ℎ) = inf ‖ℎ − 𝑝𝑝‖. 𝑝𝑝∈𝑋𝑋𝑛𝑛
Kemudian Xie dan Zhou (1994) membicarakan aproksimasi terbaik pada polinomial trigonometri dengan orde kurang dari atau sama dengan 𝑛𝑛, yaitu 𝑋𝑋𝑛𝑛 dengan 𝑋𝑋𝑛𝑛 = �𝑝𝑝 ∈ 𝐶𝐶[0,2𝜋𝜋]: 𝑝𝑝(𝑥𝑥) = 𝑎𝑎0 + ∑𝑘𝑘𝑗𝑗=1�𝑎𝑎𝑗𝑗 cos 𝑗𝑗𝑗𝑗 + 𝑐𝑐𝑗𝑗 sin 𝑗𝑗𝑗𝑗� , 𝑘𝑘 ≤ 𝑛𝑛�. (2.4) Teorema 2.3. Jika barisan {𝑛𝑛𝑎𝑎𝑛𝑛 } monoton turun untuk barisan monoton turun {𝑎𝑎𝑛𝑛 }
dengan 𝑎𝑎𝑛𝑛 > 0, maka terdapat fungsi 𝑓𝑓 ∈ 𝐶𝐶[0,2𝜋𝜋] sehingga ‖𝑓𝑓 − 𝑆𝑆𝑛𝑛 (𝑓𝑓)‖ > 0, lim 𝑛𝑛→∞ log(𝑛𝑛)𝐸𝐸𝑛𝑛 (𝑓𝑓) dengan 𝑆𝑆𝑛𝑛 (𝑓𝑓) merupakan jumlah parsial deret cosinus. Kemudian Zhou dan Le (2006) membahas aproksimasi terbaik pada klas GBVS pada Teorema berikut. Teorema 2.4. Diberikan barisan bilangan real {𝑎𝑎𝑛𝑛 } ∈ 𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺. Jika 𝑓𝑓 ∈ 𝐶𝐶[0,2𝜋𝜋] dan ∑2𝑛𝑛 𝑘𝑘=𝑛𝑛+1 𝑎𝑎𝑘𝑘 = 𝐶𝐶 maks1≤𝑘𝑘≤𝑛𝑛 𝑘𝑘 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑘𝑘 , untuk konstanta positi C, maka ‖𝑓𝑓 − 𝑆𝑆𝑛𝑛 (𝑓𝑓)‖ = 𝐶𝐶𝐸𝐸𝑛𝑛 (𝑓𝑓), dengan 𝑆𝑆𝑛𝑛 (𝑓𝑓) jumlah parsial deret sinusr dan C konstanta positif. Kemudian Tikhonov (2008) menggunakan konsep aproksimasi untuk fungsi 𝑓𝑓 dan 𝑔𝑔 yang berturut-turut merupakan fungsi-fungsi jumlahan dari deret (2.1) dan (2.2) terhadap polinomial trigonometri dengan orde kurang dari atau sama dengan 𝑛𝑛, yaitu 𝑝𝑝 ∈ 𝑋𝑋𝑛𝑛 (2.4) yang disampaikan pada Teorema 2.5. dan Teorema 2.6. Teorema 2.5. Jika 𝑎𝑎 = {𝑎𝑎𝑛𝑛 } ∈ 𝒢𝒢ℳ𝒮𝒮(𝛽𝛽) dengan lim𝑛𝑛→∞ 𝑛𝑛𝛽𝛽𝑛𝑛 = 0 dan ∑∞ 𝑛𝑛=1|𝑎𝑎𝑛𝑛 | < ∞, maka 𝐸𝐸𝑛𝑛 (𝑓𝑓) ≤ 𝐶𝐶 maks 𝑣𝑣(|𝑎𝑎𝑣𝑣+𝑛𝑛 | + 𝛽𝛽𝑣𝑣+𝑛𝑛 ) 𝑣𝑣∈[1,𝑛𝑛]
∞
+ � |𝑎𝑎𝑣𝑣 | 𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1
Teorema 2.6. Jika 𝑐𝑐 = {𝑐𝑐𝑛𝑛 } ∈ 𝒢𝒢ℳ𝒮𝒮(𝛽𝛽) dengan lim𝑛𝑛→∞ 𝑛𝑛𝛽𝛽𝑛𝑛 = 0 dan ∑∞ 𝑛𝑛=1|𝑐𝑐𝑛𝑛 | < ∞, maka 𝐸𝐸𝑛𝑛 (𝑔𝑔) ≤ 𝐶𝐶 maks 𝑣𝑣(|𝑐𝑐𝑣𝑣+𝑛𝑛 | + 𝛽𝛽𝑣𝑣+𝑛𝑛 ). 𝑣𝑣≥1
Teorema 2.7. (Abel). Diberikan bilanganbilangan real 𝑢𝑢𝑘𝑘 dan 𝑣𝑣𝑘𝑘 , dengan 𝑘𝑘 = 1,2,3, . . , 𝑛𝑛 dan 𝑈𝑈𝑛𝑛 = ∑𝑛𝑛𝑘𝑘=1 𝑢𝑢𝑘𝑘 , maka 𝑛𝑛−1 ∑𝑛𝑛𝑘𝑘=1 𝑢𝑢𝑘𝑘 𝑣𝑣𝑘𝑘 = ∑𝑘𝑘=1 𝑈𝑈𝑘𝑘 (𝑣𝑣𝑘𝑘 − 𝑣𝑣𝑘𝑘+1 ) + 𝑈𝑈𝑛𝑛 𝑣𝑣𝑛𝑛 .
3. METODE Penelitian ini dilaksanakan dengan studi literatur, buku-buku pendukung dan jurnaljurnal ilmiah untuk mendapatkan pemahaman yang baik, kemudian mengembangkan hasilhasil penelitian terkait dengan penelitian yang sudah dimuat dalam jurnal. Hasil-hasil yang dicapai dikomunikasikan dalam seminar.
26 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Secara ringkas metode penelitian yang dilakukan adalah menghitung galat deret cosinus dengan koefisien dari klas barisan bervariasi terbatas supremum menggunakan teori aproksimasi barisan klas 𝑺𝑺𝑺𝑺𝑺𝑺𝑺𝑺.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini dibahas penerapan klas barisan monoton supremum pada masalah aproksimasi terhadap deret cosinus. Diberikan deret ∞
𝑓𝑓(𝑥𝑥) = � 𝑎𝑎𝑛𝑛 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛
(4.1. )
𝑛𝑛=1
dengan fungsi f merupakan jumlah deret pada titik-titik tersebut konvergen sehingga fungsi 𝑓𝑓 ∈ 𝐶𝐶([0, 𝜋𝜋]). Kemudian notasi 𝐸𝐸𝑛𝑛 (𝑓𝑓) merupakan aproksimasi terbaik dari f dengan polinomial trigonometri orde n dengan definisi 𝐸𝐸𝑛𝑛 (𝑓𝑓) = inf ‖𝑓𝑓 − 𝑝𝑝‖ 𝑝𝑝∈𝑋𝑋𝑛𝑛
dan p adalah polinomial trigonometri orde kurang atau sama dengan n, dengan
𝑎𝑎0 +
𝑝𝑝 ∈ 𝑋𝑋𝑛𝑛 = �𝑝𝑝 ∈ 𝐶𝐶[0,2𝜋𝜋]: 𝑝𝑝(𝑥𝑥) =
∑𝑘𝑘𝑗𝑗=1�𝑎𝑎𝑗𝑗 cos 𝑗𝑗𝑗𝑗 + 𝑐𝑐𝑗𝑗 sin 𝑗𝑗𝑗𝑗� , 𝑘𝑘 ≤ 𝑛𝑛�, d dengan ‖. ‖ norma pada 𝐿𝐿1 . Selanjutnya dibahas teorema berikut. Teorema 4.1. Diberikan 𝑎𝑎 ∈ 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆2, jika {𝛼𝛼𝑛𝑛 } monoton turun dengan 𝛼𝛼𝑚𝑚 = ∞ sup𝑖𝑖≥𝑏𝑏𝑚𝑚 ∑2𝑖𝑖 𝑘𝑘=𝑖𝑖 |𝑎𝑎𝑘𝑘 | dan ∑𝑛𝑛=1|𝑎𝑎𝑛𝑛 | < ∞ maka
𝐸𝐸𝑛𝑛 (𝑓𝑓) ≤ 𝜋𝜋maks 𝑣𝑣|𝑎𝑎𝑣𝑣+𝑛𝑛 | 𝑣𝑣∈[1,𝑛𝑛]
∞ +𝐶𝐶 sup𝑖𝑖≥𝑏𝑏1 ∑2𝑖𝑖 𝑘𝑘=𝑖𝑖 |𝑎𝑎𝑘𝑘+𝑛𝑛 | + ∑𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1|𝑎𝑎𝑣𝑣 |,
dengan C konstanta positif tergantung 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆2.
yang hanya
Bukti.𝐸𝐸𝑛𝑛 (𝑓𝑓) = inf𝑝𝑝∈𝑋𝑋𝑛𝑛 ‖𝑓𝑓 − 𝑝𝑝‖ ≤ ‖𝑓𝑓 − 𝑝𝑝 ∗ ‖
𝑝𝑝
∗ (𝑥𝑥)
𝑛𝑛
= � 𝑎𝑎𝑣𝑣 cos 𝑣𝑣𝑣𝑣 𝑣𝑣=1
𝑛𝑛
+ � 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 cos(𝑛𝑛 − 𝑣𝑣)𝑥𝑥 𝑣𝑣=1
Selanjutnya |𝑓𝑓(𝑥𝑥) − 𝑝𝑝 ∗ (𝑥𝑥)|
𝑛𝑛 ≤ |∑∞ 𝑣𝑣=𝑛𝑛+1 𝑎𝑎𝑣𝑣 cos 𝑣𝑣𝑣𝑣 − ∑𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 cos (𝑛𝑛 − 𝑣𝑣)𝑥𝑥|
2𝑛𝑛 = |∑∞ 𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1 𝑎𝑎𝑣𝑣 cos 𝑣𝑣𝑣𝑣 + ∑𝑣𝑣=𝑛𝑛+1 𝑎𝑎𝑣𝑣 cos 𝑣𝑣𝑣𝑣 − ∑𝑛𝑛𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 cos (𝑛𝑛 − 𝑣𝑣 )𝑥𝑥|
= |∑∞ 𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1 𝑎𝑎𝑣𝑣 cos 𝑣𝑣𝑣𝑣 + ∑𝑛𝑛𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 (cos (n + 𝑣𝑣)𝑥𝑥 − cos (𝑛𝑛 − 𝑣𝑣)𝑥𝑥)| = |∑∞ 𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1 𝑎𝑎𝑣𝑣 cos 𝑣𝑣𝑣𝑣 − 2 ∑𝑛𝑛𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛 sin 𝑣𝑣𝑣𝑣 |
≤ |∑∞ 𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1 𝑎𝑎𝑣𝑣 cos 𝑣𝑣𝑣𝑣 | + 2|∑𝑛𝑛𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛 | =
𝐴𝐴 + 𝐵𝐵
dengan 𝐴𝐴 = |∑∞ 𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1 𝑎𝑎𝑣𝑣 cos 𝑣𝑣𝑣𝑣 | dan 𝐵𝐵 = 2|∑𝑛𝑛𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛 |.
Jelas bahwa
∞ |∑∞ 𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1 𝑎𝑎𝑣𝑣 cos 𝑣𝑣𝑣𝑣 | ≤ ∑𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1|𝑎𝑎𝑣𝑣 |, sehingga ∞
𝐴𝐴 ≤ � |𝑎𝑎𝑣𝑣 | 𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1
Selanjutnya
diambil
sebarang
𝜋𝜋
𝑥𝑥 ∈ (0, 𝜋𝜋) dan 𝑗𝑗 = � �, dengan [𝑥𝑥] adalah 2𝑥𝑥
bilangan bulat terbesar atau sama dengan x. Kemudian jika 𝑗𝑗 ≥ 𝑛𝑛, maka 𝐵𝐵 = |∑𝑛𝑛𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 sin 𝑣𝑣𝑣𝑣 | ≤ 𝑥𝑥 ∑𝑛𝑛𝑣𝑣=1 𝑣𝑣|𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 | ≤ 𝜋𝜋
dengan
𝜋𝜋 2
𝑛𝑛
2𝑗𝑗
maks1≤𝑣𝑣≤𝑛𝑛 𝑣𝑣|𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 |
≤ maks1≤𝑣𝑣≤𝑛𝑛 𝑣𝑣|𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 |.
27 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
(4.2)
Jika 𝑗𝑗 < 𝑛𝑛, maka jumlahan ∑𝑛𝑛𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 sin 𝑣𝑣𝑣𝑣 dipecah menjadi ∑𝑛𝑛𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 sin 𝑣𝑣𝑣𝑣 = ∑𝑗𝑗𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 sin 𝑣𝑣𝑣𝑣
+ ∑𝑛𝑛𝑣𝑣=𝑗𝑗+1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣
sin 𝑣𝑣𝑣𝑣 .
Kemudian menurut (4.2) 𝑗𝑗
(4.3)
𝑗𝑗
�∑𝑣𝑣=1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 sin 𝑣𝑣𝑣𝑣 � ≤ 𝑥𝑥 ∑𝑣𝑣=1 𝑣𝑣|𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 | ≤
𝜋𝜋 maks 𝑣𝑣|𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 |. 2 1≤𝑣𝑣≤𝑛𝑛
(4.4)
Selanjutnya menurut (Transformasi Abel) suku kedua ruas kanan (4.3) dapat ditulis �∑𝑛𝑛𝑣𝑣=𝑗𝑗+1 𝑎𝑎𝑛𝑛+𝑣𝑣 sin 𝑣𝑣𝑣𝑣 � ≤
𝑛𝑛−1 �∑𝑣𝑣=𝑗𝑗+1 ∆𝑎𝑎𝑣𝑣+𝑛𝑛 𝐷𝐷𝑠𝑠∗ (𝑥𝑥)� +
𝑥𝑥
𝑥𝑥
Diketahui |𝐷𝐷𝑠𝑠∗ (𝑥𝑥)| ≤
𝑠𝑠+1
dengan s bilangan bulat non-negatif dan 2𝑠𝑠 𝑗𝑗 ≤ 𝑛𝑛 ≤ 2𝑠𝑠+1 𝑗𝑗. Kemudian didefinisikan 2𝑖𝑖
𝛼𝛼𝑚𝑚 = sup �|𝑎𝑎𝑘𝑘 |
dan diperoleh
𝑘𝑘=𝑖𝑖
𝑠𝑠+1 𝜋𝜋 𝑡𝑡 ∑ ∑(2 𝑠𝑠 𝑗𝑗)−1|∆𝑎𝑎𝑣𝑣+𝑛𝑛 | 𝑥𝑥 𝑠𝑠=0 𝑣𝑣=2 𝑗𝑗
𝜋𝜋𝜋𝜋 1 𝛼𝛼 ∑𝑡𝑡 ≤ 𝑥𝑥𝑥𝑥 1 𝑠𝑠=0 2𝑠𝑠 sup𝑖𝑖≥𝑏𝑏1 ∑2𝑖𝑖 𝑘𝑘=𝑖𝑖|𝑎𝑎𝑘𝑘+𝑛𝑛 | .
≤
𝐶𝐶
𝑥𝑥 2
≤
𝛼𝛼 𝑠𝑠 𝜋𝜋𝜋𝜋 𝑡𝑡 ∑𝑠𝑠=0 2𝑠𝑠 𝑗𝑗 2 𝑗𝑗 𝑥𝑥
Kemudian
|𝑎𝑎2𝑛𝑛 𝐷𝐷𝑛𝑛∗ (𝑥𝑥)| + �𝑎𝑎𝑗𝑗+1+𝑛𝑛 𝐷𝐷𝑗𝑗∗ (𝑥𝑥)�
≤ 𝜋𝜋 maks 𝑣𝑣|𝑎𝑎𝑣𝑣+𝑛𝑛 |. 1≤𝑣𝑣≤𝑛𝑛
𝜋𝜋2
Contoh 4.2. Diberikan fungsi 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = − 4 12 untuk 0 < 𝑥𝑥 ≤ 𝜋𝜋. Jika dideretkan dengan deret Fourier diperoleh 𝑓𝑓(𝑥𝑥) ∞ (−1)𝑘𝑘 cos 𝑘𝑘𝑘𝑘 . (4.8) =� 𝑘𝑘 2 (−1)𝑘𝑘
koefisien 𝑎𝑎 = {𝑎𝑎𝑘𝑘 } = � 2 �. 𝑘𝑘 𝑎𝑎 ∈ 𝒮𝒮ℬ𝒱𝒱𝒱𝒱2𝑝𝑝 dengan 𝑝𝑝 = 1, 𝐶𝐶 = 1 2 2, 𝑏𝑏𝑚𝑚 = √𝑚𝑚, 𝑚𝑚 ≥ 1 dan |𝑎𝑎𝑘𝑘 | = 2 . 𝑘𝑘 Sebab barisan Barisan
2𝑚𝑚−1
2𝑚𝑚−1
2𝑚𝑚−1 ≤ 2 ∑𝑘𝑘=𝑚𝑚
𝑠𝑠+1
𝑖𝑖≥𝑏𝑏𝑚𝑚
dengan C konstanta positif yang hanya tergantung 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆2. ∎ Selanjutnya Teorema 4.1. dapat dijelaskan pada contoh berikut:
𝑘𝑘=𝑚𝑚
(2 𝑗𝑗)−1 ≤ ∑𝑡𝑡𝑠𝑠=0 ∑𝑣𝑣=2𝑠𝑠𝑗𝑗 |∆𝑎𝑎𝑣𝑣+𝑛𝑛 |, 𝑥𝑥
(4.7)
� |𝑎𝑎𝑘𝑘 − 𝑎𝑎𝑘𝑘+1 | = � �
2 𝑗𝑗−1 ∑𝑡𝑡𝑠𝑠=0 ∑𝑣𝑣=2 𝑠𝑠 𝑗𝑗 |∆𝑎𝑎𝑣𝑣+𝑛𝑛 | 𝜋𝜋
+ ∑∞ 𝑣𝑣=2𝑛𝑛+1|𝑎𝑎𝑣𝑣 | ,
Kemudian dari deret Fourier (4.8) didapatkan
𝑛𝑛−1 �∑𝑣𝑣=𝑗𝑗+1 ∆𝑎𝑎𝑣𝑣+𝑛𝑛 𝐷𝐷𝑠𝑠∗ (𝑥𝑥)� ≤ 𝜋𝜋
𝑣𝑣∈[1,𝑛𝑛]
𝑘𝑘=1
|𝑎𝑎2𝑛𝑛 𝐷𝐷𝑛𝑛∗ (𝑥𝑥)| + �𝑎𝑎𝑗𝑗+1+𝑛𝑛 𝐷𝐷𝑗𝑗∗ (𝑥𝑥)�
dengan 𝐷𝐷𝑠𝑠∗ (𝑥𝑥) = ∑𝑠𝑠𝑣𝑣=1 sin 𝑣𝑣𝑣𝑣 . bahwa untuk 𝑥𝑥 ∈ (0, 𝜋𝜋], maka 𝜋𝜋 , sehingga
Dari pertidaksamaan (4.2), (4.3), (4.4), (4.5) dan (4.6) diperoleh 𝐸𝐸𝑛𝑛 (𝑓𝑓) ≤ 𝜋𝜋maks 𝑣𝑣|𝑎𝑎𝑣𝑣+𝑛𝑛 | + 𝐶𝐶 sup𝑖𝑖≥𝑏𝑏1 ∑2𝑖𝑖 𝑘𝑘=𝑖𝑖|𝑎𝑎𝑘𝑘+𝑛𝑛 |
(4.5)
(4.6)
≤
2
𝑚𝑚 2
1
𝑘𝑘 2
1
𝑘𝑘=𝑚𝑚
sup𝑖𝑖≥ 2√𝑚𝑚 � 2 + 𝑖𝑖
1
(−1)𝑘𝑘 (−1)𝑘𝑘+1 − � 𝑘𝑘 2 (𝑘𝑘 + 1)2
(𝑖𝑖+1)2 1
sup𝑖𝑖≥ 2√𝑚𝑚 ∑2𝑖𝑖 𝑘𝑘=𝑖𝑖 𝑘𝑘 2 . 𝑚𝑚
+ ⋯+
= Selanjutnya barisan {𝛼𝛼𝑚𝑚 } dengan 2𝑖𝑖
𝛼𝛼𝑚𝑚 = sup � 𝑖𝑖≥ 2√𝑚𝑚 𝑘𝑘=𝑖𝑖
1 𝑘𝑘 2
1
(2𝑖𝑖)2
�
berlaku lim𝑚𝑚→∞ 𝛼𝛼𝑚𝑚 = 0 sebab barisan {𝛼𝛼𝑚𝑚 } monoton turun dan terbatas kebawah, dapat ditunjukkan sebagai berikut: Untuk 𝑚𝑚 = 1 maka unsur pertama yaitu 1 1 1+ =1 . 4 4 Untuk 𝑚𝑚 = 2 maka unsur kedua yaitu 1 1 1 144 + 64 + 36 244 + + = = . 4 9 16 576 576 Jadi 𝛼𝛼1 > 𝛼𝛼2 . Selanjutnya jika berlaku untuk 𝑚𝑚 = 𝑘𝑘, ditunjukkan berlaku untuk 𝑚𝑚 = 𝑘𝑘 + 1, sehingga jika berlaku (4.9) 1 1 1 + + ⋯+ 2 2 (𝑘𝑘 + 1) (2𝑘𝑘)2 1 1 + ⋯+ (4.9) ≥ 2 (2𝑘𝑘 + 2)2 (𝑘𝑘 + 1)
28 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dibuktikan (4.10) 1 1 + ⋯+ 2 (𝑘𝑘 + 1) (2𝑘𝑘 + 2)2 1 1 +. . + (4.10) ≥ 2 (2𝑘𝑘 + 4)2 (𝑘𝑘 + 2) berlaku. Kemudian dapat dijelaskan bahwa (4.10) berlaku, sebab 1 1 1 − − ≥ 0. 2 2 (2𝑘𝑘 + 3) (2𝑘𝑘 + 4)2 (𝑘𝑘 + 1)
Jadi {𝛼𝛼𝑚𝑚 } monoton turun dan terbatas kebawah sehingga
dan
𝛼𝛼𝑚𝑚 =
1 1 1 + + ⋯+ 𝑚𝑚2 (𝑚𝑚 + 1)2 (2𝑚𝑚)2 1 1 + +⋯ 2 𝑚𝑚→∞ 𝑚𝑚 (𝑚𝑚 + 1)2 1 = 0. + (2𝑚𝑚)2
lim 𝛼𝛼𝑚𝑚 = lim
𝑚𝑚→∞
Selanjutnya menurut Teorema 4.1 dengan 𝑛𝑛 = 10 diperoleh 𝐸𝐸10 (𝑓𝑓) ≤
3𝜋𝜋 maks 𝑣𝑣|𝑎𝑎𝑣𝑣+10 | 2 𝑣𝑣∈[1,10]
∞ +2 sup𝑖𝑖≥ 2√1 ∑2𝑖𝑖 𝑘𝑘=𝑖𝑖|𝑎𝑎𝑘𝑘+10 | + ∑𝑣𝑣=21|𝑎𝑎𝑣𝑣 |
1 1 1 10 = 𝜋𝜋 � 2 � + 2 � 2 + 2 + ⋯ + 2 � 11 12 22 20 +�
1 1 + 2 + ⋯� 2 22 21
= 𝜋𝜋(0,025) + 2(0,050729202)
+0,039029055 = 0,219027275,
Jadi Teorema 4.1. dapat digunakan untuk menghitung kesalahan tanpa mengetahui fungsi 𝑓𝑓.
maupun finansial yaitu Jurusan matematika , Fakultas MIPA dan Universitas Brawijaya. DAFTAR PUSTAKA Chaundy, T. W. and Jollife, A.E. (1916), The Uniform Convergence of certain class trigonometric series, Proc. London, Soc. 15, 214-216. DeVore, R. A. and Lorentz, G. G., 1991, Constructive Approximation, Springer-Verlag, New York. Imron, M.A., (2015), Masalah aproksimasi Terhadap Deret Fourier Cosinus Dengan Koefisien Dari Klas Barisan Bervariasi Terbatas Supremum-p Tipe Kedua 𝛾𝛾, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pensidikan Matematika, STKIP Siliwangi, Bandung. Korus, P., Remark On the uniform And L1Convergence Of Trigonometric Series, Acta Math. Hungar, 128(4), 2010. Liflyand, E. and Tikhonov, S., A concept of general monotonicity an application, Math. Nachr, 284, No.8-9, (2011), 1083-1098. Tikhonov, S., Best approximation and moduli of Smoothness computation and Equivalence Theorems, Journal of Approximation Theory, 153 (19-39), 2008. Xie, T. F. and Zhou, S. P., 1994, The uniform convergence of certain trigonometric series, J. Math. Anal. Appl., 181, 171-180. Zhou, S. P., Zhou, P. and Yu, 2010, Ultimate generalization to monotonicity for uniform convergence of trigonometric series, Science China Mathematics, Vol. 53, No. 7, 18531862. Zhou, S. P. and Le, R. J., 2006, Some Remark on The Best Approximation Rate of Certain Trigonometric Series, Arxive:math/061136611v1 [math.CA] 13 Nov 2006
5. KESIMPULAN Kesimpulan dari makalah ini dapat dijelaskan bahwa Teorema 4.1. dapat digunakan untuk menghitung kesalahan deret cosinus tanpa mengetahui fungsi 𝑓𝑓.
UCAPAN TERIMA KASIH Saya ucapan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu secara substansi
29 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PERAMALAN JUMLAH PENDERITA HIV/AIDS DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN METODE WINTER ADITIF Agung Prabowo dan Nugroho Sapto Yudanto Yudasubrata Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jenderal Soedirman Jl. Dr. Soeparno No. 61 Karangwangkal Purwokerto, 53123, Jawa Tengah, Indonesia. e-mail:
[email protected] ;
[email protected] ;
[email protected]
Abstrak HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang mengancam hidup manusia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. Berdasarkan kecenderungan saat ini, penderita HIV/AIDS akan bertambah seiring dengan banyaknya faktor dan sarana penularannya. Di Kabupaten Banyumas sendiri tercatat 706 penderita HIV/AIDS dari tahun 2013-2015. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan peramalan jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas tahun 2016 berdasarkan data sekunder dari Januari 2013 hingga Desember 2015 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Dengan metode winter aditif diperoleh hasil peramalan bahwa pada tahun 2016 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 267 orang dan kondisi ini masih dapat dikatakan belum mengkhawatirkan karena kenaikan antar tahun mengikuti deret aritmatika. Kata Kunci: HIV/AIDS, peramalan, winter aditif.
1. PENDAHULUAN Sejak awal diketahui, HIV/AIDS telah menginfeksi 50–60 juta orang dan telah membunuh lebih dari 22 juta anak–anak dan orang dewasa. Menurut Abbas et al (2007), setengah dari 5 juta kasus HIV/AIDS menjangkiti dewasa muda (usia 15–24 tahun) setiap tahunnya. Saat ini, lebih dari 42 juta orang hidup dengan infeksi HIV/AIDS dengan kira–kira 70% berada di Afrika dan 20% di Asia. Jika dirata-rata, hampir 3 juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit ini (Profil Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015: 87). Di Indonesia, sampai Maret 2010 tercatat 20.564 kasus HIV/AIDS dan 3.936 orang telah meninggal akibat penyakit ini (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015: 87). Di Kabupaten Banyumas tercatat 706 penderita HIV/AIDS hingga tahun 2015. Berdasarkan data-data yang ada saat ini, jumlah penderita HIV/AIDS diprediksikan bertambah seiring dengan banyaknya faktor dan sarana
penularan HIV/AIDS. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diramalkaan jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas untuk tahun 2016 dengan metode winter aditif. Dengan mencermati data yang digunakan untuk peramalan, maka dalam penelitian ini digunakan batasan masalah (1) data yang digunakan adalah jumlah penderita HIV/AIDS dari Januari 2013 hingga Desember 2015, dan (2) tidak memperhatikan faktor kematian, migrasi penduduk kedalam, dan migrasi penduduk keluar. Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah meramalkan jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas tahun 2016 dengan metode winter aditif. 2. TINJAUAN PUSTAKA Peramalan (forecasting) merupakan kegiatan memperkirakan yang akan terjadi pada masa depan berdasarkan data masa lalu yang relevan dengan menggunakan model matematis. Salah satu metode yang
30 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
digunakan untuk peramalan adalah time series (deret/runtun waktu). Analisis data deret waktu menerangkan dan mengukur berbagai perubahan data selama satu periode. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh pola data deret waktu dengan menggunakan data masa lalu untuk meramalkan suatu nilai pada masa yang akan datang. Dalam analisis deret waktu terdapat empat macam pola, yaitu pola data horisontal (H), tren (T), musiman (S), dan siklis (C). Pola data horisontal terjadi jika data berfluktuasi di sekitar nilai rata-rata yang konstan (gambar 1 kiri). Pola data ini pada data deret waktu disebut stasionary. Pola tren (gambar 1 kanan) terjadi jika data menunjukkan adanya kecendrungan naik atau turun untuk jangka waktu yang panjang. Pola data musiman (gambar 2 kiri) terjadi jika suatu data deret waktu dipengaruhi oleh faktor musiman (misalnya kuartal tahun tertentu, bulanan, atau hari-hari pada minggu tertentu). Pola siklis (gambar 2 kanan) terjadi jika fluktuasi permintaan jangka panjang membentuk pola gelombang atau siklus. Biasanya pola ini dipengaruhi oleh siklus bisnis. 𝑋𝑋𝑡𝑡
𝑋𝑋𝑡𝑡
𝑡𝑡
𝑡𝑡
Gambar 1 Pola Data Horisontal (Kiri) dan Tren (Kanan)
𝑋𝑋𝑡𝑡
𝑋𝑋𝑡𝑡 𝑡𝑡
R
R
Gambar 2. Pola Data Musiman (Kiri) dan Siklis (Kanan)
Metode triple exponential smoothing atau winter, digunakan apabila data mengandung unsur tren dan musiman. Metode ini didasarkan pada tiga persamaan parameter, yaitu kestasioneran, tren, dan musiman serta menggunakan tiga pembobotan atau parameter pemulusan yakni α, β, dan γ. Parameter-parameter tersebut berada pada interval (0,1).
digunakan adalah musiman penjumlahan (aditif). Menurut Montgomery (1990), model musiman aditif cocok untuk prediksi data deret waktu yang amplitudo (atau ketinggian) pola musimannya tidak tergantung pada rata-rata level atau ukuran data. Tiga persamaan yang digunakan dalam metode winter aditif menurut Makridakis (1999) adalah sebagai berikut: Level : 𝐿𝐿𝑡𝑡 = 𝛼𝛼 ∙ (𝑌𝑌𝑡𝑡 − 𝑆𝑆𝑡𝑡−𝑠𝑠 ) + (1 − 𝛼𝛼) ∙ (1) (𝐿𝐿𝑡𝑡−1 + 𝑇𝑇𝑡𝑡−1 ) Tren : 𝑇𝑇𝑡𝑡 = 𝛽𝛽 ∙ (𝐿𝐿𝑡𝑡 − 𝐿𝐿𝑡𝑡−1 ) + (1 − (2) 𝛽𝛽) ∙ 𝑇𝑇𝑡𝑡−1 Musiman : 𝑆𝑆𝑡𝑡 = 𝛾𝛾 ∙ (𝑌𝑌𝑡𝑡 − 𝐿𝐿𝑡𝑡 ) + (1 − 𝛾𝛾) ∙ (3) 𝑆𝑆𝑡𝑡−𝑠𝑠 Peramalan: 𝑌𝑌�𝑡𝑡+𝑝𝑝 = 𝐿𝐿𝑡𝑡 + 𝑝𝑝 ∙ 𝑇𝑇𝑡𝑡 + 𝑆𝑆𝑡𝑡−𝑠𝑠+𝑝𝑝 (4) dengan: 𝐿𝐿𝑡𝑡 : nilai level 𝛼𝛼 : konstanta level (0 < 𝛼𝛼 < 1) 𝑇𝑇𝑡𝑡 : estimasi tren 𝛽𝛽 : konstanta pemulusan untuk tren 𝑆𝑆𝑡𝑡 : estimasi musiman 𝛾𝛾 : konstanta pemulusan untuk musiman 𝑠𝑠 : panjang musiman 𝑝𝑝 : periode yang diramalkan 𝑌𝑌�𝑡𝑡+𝑝𝑝 : nilai ramalan pada 𝑝𝑝 periode mendatang
3. METODE 3.1 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Data yang digunakan berupa jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas dari tahun 2013-2015.
3.2 Metode Analisis Data Metode analisis data menggunakan metode kuantitatif berupa penggunaan metode winter aditif dalam analisis data deret waktu. Pengolahan data dibantu dengan Minitab 16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan data sekunder selama tiga tahun, sejak Januari 2013 hingga Desember 2015. Sebaran data untuk tiap bulan didaftarkan pada tabel 1.
Metode winter terdiri dua model yaitu musiman perkalian (multiplicative seasonality) dan musiman penjumlahan (additive seasonality). Bila besarnya pengaruh musiman berubah dari waktu ke waktu, maka model yang digunakan adalah musiman perkalian. Sedangkan bila besarnya pengaruh musiman konstan dari waktu ke waktu, maka bentuk model yang
31 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tabel 1: Jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas dari Januari 2013 hingga Desember 2015
2013 2014 2015 Total
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Total
13 18 16 47
8 26 13 47
13 26 22 61
23 14 25 62
16 16 30 62
22 20 19 61
14 15 18 47
18 21 16 55
17 21 28 66
19 20 21 60
22 20 15 57
28 25 28 81
213 242 251 706
Berdasarkan data pada tabel 1 dapat dibuat plot data yang diberikan pada gambar 3. Metode winter tipe aditif cocok digunakan untuk peramalan data jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas karena data menunjukkan adanya pola tren dan pola musiman konstan dari waktu ke waktu. Dengan Minitab 16, diperoleh nilai-nilai konstanta pemulusan (smoothing constant) yaitu nilai level (α), tren (β), dan seasonal (γ). Nilai konstanta pemulusan yang dipilih adalah yang memberikan kesalahan ramalan paling minimum (MAPE, MAD dan MSD). Nilai atau ukuran kesalahan ramalan diberikan pada Tabel 2. Parameter level (α) 0,009 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,0997 0,0999 0,9
trend (β) 0,009 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,0998 0,0999 0,9
seasonal (γ) 0,009 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,0999 0,0999 0,9
Gambar 3. Plot Data Jumlah Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas dari Januari 2013 hingga Desember 2015
Dari Tabel 2, dengan menguji beberapa nilai konstanta pemulusan yang berbeda-beda, akan dipilih parameter dengan nilai kesalahan paling minimum berupa nilai MAPE, MAD, dan MSD terkecil. . MAPE
MAD
MSD
58,817 53,721 49,195 44,8389 40,7002 36,8266 33,5055 30,6962 28,3566 26,3721 26,3441 34,8065
10,980 9,951 9,038 8,1594 7,3254 6,5457 5,9026 5,3788 4,9596 4,6061 4,6014 6,3957
186,127 148,286 119,240 95,2790 76,0890 61,1547 49,8489 41,5106 35,5070 31,3707 31,3103 62,1525
Tabel 2: Parameter Kesalahan Ramalan
Dari Tabel 2, dengan level (α) 0,0999; tren (β) 0,0999; dan seasonal (γ) 0,0999 diperoleh nilai MSD terkecil yaitu 31,3103; nilai MAPE terkecil 26,3441, dan nilai MAD terkecil yaitu 4,6014 Untuk nilai parameter level (α), yang dipilih adalah 0,0999 karena memiliki nilai kesalahan terkecil. Jika nilai alfa mendekati 0, nilai kesalahan akan meningkat sehingga ramalan memiliki error yang besar. Begitu pula jika nilai alfa lebih besar dari 0,0999 dan
mendekati 1, nilai alfa semakin meningkat. Maka nilai alfa dengan nilai kesalahan terkecil adalah 0,0999. Untuk nilai parameter tren (β), yang dipilih adalah 0,0999 karena memiliki nilai kesalahan terkecil. Jika nilai beta lebih kecil dari 0,0999 dan semakin mendekati 0, maka error akan membesar. Begitu pula jika nilai beta lebih besar dari 0,0999 dan mendekati 1, nilai kesalahannya akan semakin bertambah.
32 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Untuk nilai seasonal (γ), dipilih nilainya yaitu 0,0999 karena nilai kesalahannya kecil. Jika nilai gamma semakin mendekati 0, maka tingkat kesalahannya akan bertambah, begitu pula jika nilai gamma mendekati 1, tingkat kesalahannya pun semakin besar. Dari analisis tersebut, dipilih nilai level (α) 0,0999; nilai tren (β) 0,0999; dan nilai seasonal (γ) 0,0999. Berikut hasil forecast untuk data jumlah penderita HIV/AIDS dengan level 0,0999; tren 0,0999; dan gamma 0,0999 yang diberikan pada gambar 4.
Tabel 3 adalah output Minitab 16 yang meliputi nilai smoothing, level, trend, musiman (seasonal), fits, residual dan nilai peramalan (forecast). Nilai pemulusan untuk level dihitung dengan cara: 1 1 𝐿𝐿𝑠𝑠 = ∙ (𝑌𝑌1 + 𝑌𝑌2 + ⋯ + 𝑌𝑌𝑠𝑠 ) = ∙ 𝑠𝑠 12 (13 + 8 + ⋯ ) = 12,36358 Sedangkan untuk nilai pemulusan tren adalah
1 𝑌𝑌𝑠𝑠+1 − 𝑌𝑌1 𝑌𝑌𝑠𝑠+2 − 𝑌𝑌2 ∙� + 𝑠𝑠 𝑠𝑠 𝑠𝑠 +⋯ 𝑌𝑌𝑠𝑠+𝑠𝑠 − 𝑌𝑌𝑠𝑠 + � 𝑠𝑠 1 𝑌𝑌 −𝑌𝑌1 𝑌𝑌 −𝑌𝑌2 = 12 � 12+1 + 12+2 + 12 12
𝑇𝑇𝑠𝑠 =
Winters' Method Plot for Jumlah Penderita Additive Method
Variable A ctual Fits Forecasts 95.0% PI
40
Jumlah Penderita
35 30
Smoothing C onstants 0.0999 A lpha (lev el) 0.0999 Gamma (trend) 0.0999 Delta (seasonal)
25
A ccuracy Measures 26.3441 MA PE MA D 4.6014 MSD 31.3103
20 15
⋯+
10
Month Year
5
Jan 2013
Jul
Jan 2014
Jul
Jan 2015
Jul
Jan 2016
1
12 18−13
�
= 12 � 12 + 1,092612
Jul
Gambar 4. Hasil Peramalan dengan Metode Winter Aditif
𝑌𝑌12+12 −𝑌𝑌12
26−8 12
+⋯� =
Nilai pemulusan musiman diperoleh dengan cara 𝑆𝑆1 = 𝑌𝑌1 − 𝐿𝐿𝑠𝑠 = −2,624133733
Tabel 3: Output Minitab dan Nilai Peramalan Level
Trend
Seasonal
Fits
Actual
Forecast
13
Residual = Actual-Fits 4,024476
12,36358
1,092612
-2,624133733
8,975524
13,22683
1,069699
-3,366723747
10,29592
8
-2,29592
19,36019999
14,03393
1,043464
1,095762721
15,62866
13
-2,62866
23,78366452
15,71989
1,10765
2,069517095
16,5686
23
6,431402
23,79638576
16,61331
1,086248
1,124113448
18,14448
16
-2,14448
23,63931537
18,04831
1,121089
1,123271385
18,50891
22
3,491094
22,91521112
19,05573
1,109734
-4,133887946
15,13783
14
-1,13783
18,08490804
20,1029
1,103483
-1,595484589
18,6263
18
-0,6263
20,48338766
20,59104
1,04201
1,399365805
23,15962
17
-6,15962
24,05030407
21,39209
1,017938
-0,437910355
21,41203
19
-2,41203
21,7643651
22,50845
1,027771
-1,306686639
21,01474
22
0,985258
20,50162578
23,33975
1,008143
6,253615143
29,96668
28
-1,96668
28,38541689
23,97589
0,97098
-2,958974165
21,72376
18
-3,72376
25,38841
1,01509
-2,969290541
21,58015
26
4,419854
26,25373
1,000128
0,960948696
27,49927
26
-1,49927
25,72305
0,8472
0,691639658
29,32337
14
-15,3234
25,40198
0,73049
0,072556393
27,69436
16
-11,6944
25,40762
0,658078
0,470834869
27,25574
20
-7,25574
33 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
19,63345541
25,37321
0,588898
-4,757196656
21,93181
15
-6,93181
25,62579
0,555299
-1,898211763
24,36663
21
-3,36663
25,5237
0,489626
0,807651639
27,58045
21
-6,58045
25,45634
0,433984
-0,939251618
25,57542
20
-5,57542
25,43242
0,388239
-1,71884737
24,58364
20
-4,58364
25,11394
0,317638
5,617496511
32,07427
25
-7,07427
24,78496
0,253041
-3,540990493
22,4726
16
-6,4726
24,13204
0,162535
-3,784749208
22,06871
13
-9,06871
23,96935
0,130045
0,668212025
25,25552
22
-3,25552
24,12027
0,132131
0,710429969
24,79103
25
0,208967
24,81934
0,188768
0,582856288
24,32496
30
5,675044
24,36086
0,124108
-0,111751254
25,47894
19
-6,47894
24,31236
0,106864
-4,912557631
19,72777
18
-1,72777
23,76778
0,041785
-2,484581303
22,52101
16
-6,52101
24,1475
0,075545
1,111831806
24,61721
28
3,382787
23,9949
0,052753
-1,144610456
23,2838
21
-2,2838
23,3155
-0,02039
-2,377853076
22,3288
15
-7,3288
23,20394
-0,0295
5,535434743
28,91261
28
-0,91261
Kesimpulan hasil peramalan jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas untuk 12 bulan kedepan diberikan pada tabel 4. Tabel 4: Hasil Peramalan Jumlah Penderita HIV/AIDS Tahun 2016 Fb
Mr
Ap
Me
Jn
Jl
Ag
Sp
Ok
Nv
Ds
Total
20
19
24
24
24
23
18
20
24
22
21
28
267
Mengacu data hasil peramalan pada tabel 4, jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas pada tahun 2016 diperkirakan sebanyak 267 orang. Peramalan tersebut menggunakan metode winter aditif dengan pola parameter level α = 0,0999; tren β = 0,0999; dan musiman γ = 0,0999. Tingkat ketepatan (akurasi) metode peramalan diukur dengan tiga kriteria yairu MSD = 31,3103; MAPE = 26,3441; dan MAD = 4,6014. Dari penelitian ini diperoleh data jumlah penderita HIV/AIDS tahun 2013, 2014 dan 2015 berturut-turut adalah 213, 242, dan 251. Peramalan untuk tahun 2016 adalah 267 penderita. Grafik untuk angka-angka ini diberikan pada gambar 5.
Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas 270 260
Jumlah Penderita
2016
Ja
250 240 230 220 210
2013
2014
Year
2015
2016
Gambar 5. Grafik Kenaikan secara Aritmatika untuk Jumlah Penderita HIV/AIDS Tahun 2013-2015 dan Peramalannya di Tahun 2016
Terlihat bahwa jumlah penderita HIV/AIDS mengalami kenaikan tiap tahunnya dengan kenaikan mengikuti pola deret aritmatika yang ditengarai oleh beda atau selisih, bukan rasio pada deret geometri.
34 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
5.
KESIMPULAN
Dari hasil peramalan dengan metode winter aditif diperoleh kesimpulan jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banyumas dari tahun 2013 hingga tahun 2016 mengalami kenaikan yang mengikuti deret aritmatika. Karena pertambahan jumlah penderita masih disekitar rata-rata, bisa dikatakan kenaikan jumlah penderita HIV/AIDS tahun 2016 dianggap belum mengkhawatirkan. Saran yang dapat diberikan oleh penilis adalah (1) melibatkan faktor kematian, migrasi penduduk kedalam, dan migrasi penduduk keluar pada data jumlah penderita HIV/AIDS, (2) melakukan peramalan dengan data yang lebih banyak dan mencari konstanta pemulusan lain yang memungkinkan memberikan akurasi kesalahan peramalan lebih kecil, dan (3) Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas harus memantau secara intensif penularan
HIV/AIDS agar dapat pertambahan jumlah penderita.
menekan
DAFTAR PUSTAKA Abbas, A.K., Linchtman, A.H., and Pillai, S. (2007). Congenital and Acquired Immunodeficiences Cellular and Molecular Immunology. 6nd Ed. Elsevier Saunders. Hanum, S. Y. M. (2009). Hubungan Kadar CD4 dengan Infeksi Jamur Superfisialis pada Penderita HIV di RSUP H. Adam Malik Medan. Tugas Akhir. Medan: Universitas Negeri Medan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2016).. Profil Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2015. Montgomery, D. 1990. Forecasting and Time Series Analysis. Singapore: McGraw-Hill.
35 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
BIFURKASI PADA MODEL LOGISTIK DENGAN FAKTOR PEMANENAN KONSTAN Firman Nurrobi, Yuni Yulida*, Faisal Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru 70714, Kalsel * Email:
[email protected]
Abstrak Model pertumbuhan populasi dapat berupa model eksponensial atau model logistik. Doust (2013) meneliti model logistik dengan faktor pemanenan. Faktor pemanenan yang digunakan berupa pemanenan konstan dan pemanenan tidak konstan. Pada paper ini yang akan dibahas adalah model logistik dengan pemanenan konstan. Pemanenan konstan adalah pemanenan yang tidak bergantung pada jumlah populasi yang dipanen. Paper ini bertujuan untuk menjelaskan model logistik populasi dengan faktor pemanenan konstan, menganalisa titik kesetimbangan dan menganalisa bifurkasi yang terjadi karena perubahan dari parameter. Penelitian ini bersifat studi literatur. Model logistik dengan pemanenan konstan memiliki dua titik kesetimbangan. Kestabilan titik kesetimbangan tersebut berubah bergantung nilai parameter ℎ dan mengalami 𝑟𝑟𝑟𝑟 bifurkasi Saddle node pada saat ℎ = . 4
Kata kunci : Model logistik, Pemanenan konstan, Bifurkasi
1. PENDAHULUAN Barnes (2009) menjelaskan bahwa model matematika membantu manusia di berbagai bidang seperti biologi dan ekologi. Salah satu model yang dibahas adalah model pertumbuhan populasi. Bentuk dari model pertumbuhan populasi dapat berupa model eksponensial atau model logistik. Campbel (1925) menerangkan model eksponensial adalah model pertumbuhan populasi yang mengasumsikan bahwa sumber daya melimpah sehingga populasi akan tumbuh secara eksponensial dengan cepat. Sedangkan model logistik adalah model pertumbuhan populasi yang mengasumsikan bahwa sumber daya pada suatu populasi terbatas sehingga terjadi persaingan antar sesama spesies agar dapat bertahan hidup. Para ahli ekologi mendefinisikan istilah daya tampung (carrying capacity) sebagai ukuran populasi yang ideal agar populasi spesies tersebut dapat hidup layak pada suatu lingkungan tertentu. Doust (2013) meneliti tentang model logistik dengan faktor pemanenan. Pemanenan adalah proses pengambilan sejumlah populasi per satuan waktu. Pemanenan konstan adalah pemanenan yang
bernilai tetap tanpa memperhatikan jumlah populasi yang dipanen. Dalam model tersebut ditentukan titik kesetimbangan dan solusi persamaan. Perubahan nilai parameter pemanenan dapat menyebabkan perubahan perilaku dari model logistik dengan faktor pemanenan. Perilaku populasi pada model dapat dijelaskan melalui kestabilan di titik kesetimbangan. Kemudian jika kestabilan titik kesetimbangan tidak dapat ditentukan maka diselidiki melalui analisa bifurkasi. Bifurkasi terjadi jika pada suatu model kestabilan pada model tidak dapat diselidki stabil atau tidak. Bifurkasi adalah perbedaan keadaan dinamik seiring dengan perubahan parameter dalam suatu model.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Kesetimbangan dan Kestabilan Model Satu Persamaan Diberikan persamaan diferensial dengan satu variabel tak bebas sebagai berikut 𝑥𝑥̇ = 𝑓𝑓(𝑥𝑥) … (2.1) 𝑑𝑑𝑑𝑑 Dimana 𝑥𝑥̇ menotasikan turunan (Hale, J.K. 𝑑𝑑𝑑𝑑 and Kocak, H. 1991) Definisi 2.1 (Hale dan Kocak, 1991) Titik 𝑥𝑥� ∈ ℝ disebut titik kesetimbangan dari 𝑥𝑥̇ = 𝑓𝑓(𝑥𝑥) jika 𝑓𝑓(𝑥𝑥�) = 0.
36 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
jika 𝑓𝑓(𝑥𝑥) adalah fungsi nonlinier pada persamaan (2.3) maka 𝑓𝑓(𝑥𝑥) didekati secara linier menggunakan deret taylor maka dapat dinyatakan sebagai berikut 𝑓𝑓(𝑥𝑥) ≈ 𝑓𝑓(𝑥𝑥�) + 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥�)(𝑥𝑥 − 𝑥𝑥�) … (2.2) Karena 𝑥𝑥� adalah titik kesetimbangan maka berdasarkan Definisi 2.1 diperoleh 𝑓𝑓(𝑥𝑥�) = 0. Jadi persamaan (2.1) didekati secara linier di sekitar titik kesetimbangan 𝑥𝑥� dapat dinyatakan menjadi 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥�)(𝑥𝑥 − 𝑥𝑥�) … (2.3) 𝑑𝑑𝑑𝑑 Misalkan 𝑣𝑣(𝑡𝑡) = 𝑥𝑥(𝑡𝑡) − 𝑥𝑥� maka 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝑣𝑣(𝑡𝑡) + 𝑥𝑥� disubstitusi ke persamaan (2.3) sehingga diperoleh 𝑑𝑑(𝑣𝑣(𝑡𝑡) + 𝑥𝑥�) = 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥�)(𝑣𝑣(𝑡𝑡) + 𝑥𝑥� − 𝑥𝑥�) 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑡𝑡) = 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥�)𝑣𝑣(𝑡𝑡) … (2.4) 𝑑𝑑𝑑𝑑 Otto (2007) menjelaskan bahwa nilai dari 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥) di titik kesetimbangan 𝑥𝑥 = 𝑥𝑥� disebut dengan nilai eigen 𝜆𝜆 yang dapat dinyatakan dengan 𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑥𝑥) 𝜆𝜆 = 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥�) = � … (2.5) 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑥𝑥=𝑥𝑥� Berdasarkan persamaan (2.5) maka persamaan (2.4) menjadi 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝜆𝜆𝑣𝑣 … (2.6) 𝑑𝑑𝑑𝑑 Berikut akan diberikan konsep kestabilan di titik kesetimbangan pada persamaan diferensial. Teorema 2.2 (Olver, P.J & Shikiban. 2003) Diberikan 𝑥𝑥� adalah titik kesetimbangan untuk persamaan diferensial nonlinier 𝑥𝑥̇ = 𝑓𝑓(𝑥𝑥) . Jika 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥�) < 0 maka 𝑥𝑥� adalah stabil asimtotik sedangkan jika 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥�) > 0 maka 𝑥𝑥� adalah tidak stabil. Olver (2003), mengatakan bahwa jika 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥�) = 0 maka tidak ada jaminan yang cukup untuk menentukan kestabilan pada persamaan (2.3). Terdapat tiga tipe dasar dari prilaku 𝑥𝑥(𝑡𝑡) yang dapat digambarkan di sekitar 𝑥𝑥�. a.
Jika solusi 𝑥𝑥(𝑡𝑡) bergerak dari nilai awal 𝑥𝑥(0) di sekitar 𝑥𝑥� medekati pada kedua sisi memperlihatkan perilaku asimtotik lim𝑡𝑡 → ∞ 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝑥𝑥� (mendekati 𝑥𝑥� karena 𝑡𝑡 meningkat), maka 𝑥𝑥� dikatakan stabil asimtotik (𝑥𝑥� attractor).
b.
c.
Jika solusi 𝑥𝑥(𝑡𝑡) bergerak dari nilai awal 𝑥𝑥(0) di sekitar 𝑥𝑥� menjauhi pada kedua sisi maka 𝑥𝑥� dikatakan tidak stabil (𝑥𝑥� repeller). Jika solusi 𝑥𝑥(𝑡𝑡) bergerak dari nilai awal 𝑥𝑥(0) di sekitar 𝑥𝑥� medekati pada satu sisi … (2.2) dan menjauhi pada sisi yang lain maka 𝑥𝑥� dikatakan semi-stabil(Zill, D.G & M.R. Cullen 2009)
2.3 Bifurkasi Definisi 2.3 (Kuznetsov, Y. A. 1998) Bifurkasi adalah munculnya keadaan … (2.3) dinamik suatu sistem yang dengan potret fase yang berbeda karena adanya perubahan parameter. Bifurkasi mengacu pada perubahan keadaan dinamik suatu sistem berparameter. … (2.4) Teori bifurkasi membahas tentang perubahan stuktur orbit dari sistem dinamik karena adanya perubahan parameter. Sistem persamaan diferensial biasa dengan satu parameter diberikan sebagai berikut 𝑑𝑑𝒙𝒙 = 𝑓𝑓(𝒙𝒙, 𝜇𝜇), 𝒙𝒙 ∈ ℝ𝑛𝑛 , 𝜇𝜇 ∈ 𝑅𝑅 𝑑𝑑𝑑𝑑
… (2.5) … (2.7)
dengan 𝑓𝑓(𝒙𝒙, 𝜇𝜇) adalah fungsi smooth dan … (2.6) misalkan 𝑥𝑥� = 𝑥𝑥�0 adalah titik kesetimbangan sistem 𝜇𝜇 = 𝜇𝜇0 (Verhults, F. 1990)
Jika sistem pada persamaan (2.7) mempunyai nilai eigen dengan bagian riil nol yaitu 𝜆𝜆1 = 0 dan 𝜆𝜆1,2 = ±𝑖𝑖𝜔𝜔0 , 𝜔𝜔0 > 0 untuk suatu nilai dari parameter. Berikut diberikan definisi mengenai bifurkasi berdasarkan kondisi di atas Definisi 2.4 (Kuznetsov, Y. A. 1998) Suatu bifurkasi yang berhubungan dengan nilai eigen 𝜆𝜆 = 0 maka disebut bifurkasi fold. Catatan: Bifurkasi ini memiliki nama lain, diantaranya Limit point, Bifurkasi SaddleNode dan Turning point.
Definisi 2.5 (Kuznetsov, Y. A. 1998) Suatu bifurkasi yang mempunyai nilai eigen 𝜆𝜆1,2 = ±𝑖𝑖𝑖𝑖0 , 𝜔𝜔0 > 0 maka disebut bifurkasi Hopf (atau Andronov-Hopf).
37 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2.4
kesetimbangan dilakukan simulasi dengan beberapa nilai parameter.
Model Logistik
Model logistik mengasumsikan bahwa sumber daya yang dibutuhkan populasi pada suatu habitat terbatasPara ahli ekologi mendefinisikan hal tersebut dengan istilah daya tampung (carrying capacity) sebagai ukuran populasi yang ideal agar populasi spesies tersebut dapat hidup layak pada suatu lingkungan. Model logistik dapat dinyatakan sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐾𝐾 − 𝑁𝑁 = 𝑟𝑟 𝑁𝑁 � � 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐾𝐾
dengan
… (2.8)
𝑁𝑁 : Jumlah populasi 𝑟𝑟 : Laju pertumbuhan alami populasi. 𝐾𝐾: daya dukung / kapasitas tampung (carrying capacity) populasi (Campbel, N.A dkk. 1925) Bagian ini menjelaskan mengenai referensi pustaka yang digunakan. Bisa disertai dengan penelitian terdahulu yang bersesuaian dengan pembahasan hasil penelitian.
3. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur. Adapun prosedur pada penelitian ini adalah mengumpulkan dan mengkaji bahan-bahan yang berkaitan dengan model logistik dengan pemanenan berupa fungsi konstan dan bifurkasi pada suatu model. Kemudian, menentukan asumsi-asumsi untuk model logistik dengan faktor pemanenan. Dalam artikel ini yang akan dibahas yaitu model logistik dengan pemanenan konstan. Selanjutnya, menjelaskan terbentuknya model tersebut. Kemudian, menentukan titik kesetimbangan dan menentukan kestabilan di titik kesetimbangan pada model logistik dengan pemanenan konstan . Jika nilai eigen yang diperoleh bagian riilnya nol maka kestabilan model tersebut tidak dapat ditentukan. Kemudian dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan analisa bifurkasi. Selanjutnya untuk membantu menjelaskan kestabilan pada titik
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Model logistik adalah model laju perubahan jumlah populasi terhadap waktu yang dipengaruhi oleh laju pertumbuhan alami dan daya dukung (carrying capacity) populasi tersebut. Kemudian dikenakan faktor lain yaitu pemanenan pada populasi tersebut. Model logistik dengan faktor pemanenan yang akan dibahas adalah pada kondisi pemanenan konstan … (2.8) 4.1 Model Logistik dengan Pemanenan Konstan Adapun asumsi–asumsi yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pada populasi mengalami laju kelahiran dan laju kematian. 2. Jumlah populasi dipengaruhi oleh daya dukung (carrying capacity) berupa ketersediaan sumber makanan terbatas dan tempat tinggal hidup terbatas, sehingga terjadi persaingan antar spesies dalam populasi. 3. Pada populasi mengalami pemanenan yaitu pengambilan sejumlah populasi per satuan waktu. Pemanenan dapat dilakukan oleh manusia atau predator dari populasi tersebut. Pemanenan yang terjadi adalah pengambilan sejumlah populasi yang tetap jumlahnya tidak bergantung pada jumlah populasi yang ada. Ini biasa disebut dengan model logistik dengan pemanenan konstan yang dinyatakan sebagai berikut:
dengan
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐾𝐾 − 𝑁𝑁 = 𝑟𝑟𝑟𝑟 � �−ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐾𝐾
… (4.1)
𝑁𝑁 : Jumlah populasi 𝑟𝑟 : Laju pertumbuhan alami populasi. 𝐾𝐾: Kapasitas tampung / (carrying capacity) populasi ℎ : Laju pemaneenan 4.2
Titik kesetimbangan Model Logistik dengan Pemanenan Konstan Berdasarkan definisi 2.1 titik kesetimbangan model logistik dengan faktor
38 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
pemanenan
harus
𝑑𝑑𝑑𝑑
memenuhi
𝑑𝑑𝑑𝑑
= 0,
sehingga titik kesetimbangan dapat diperoleh dari persamaan (4.1). Berikut adalah titik kesetimbangan model logistik dengan pemanenan konstan yaitu, 𝐾𝐾 𝐾𝐾 ℎ �1 = + �1 − 4 𝑁𝑁 2 2 𝑟𝑟𝑟𝑟
… (4.3)
kesetimbangan 𝑥𝑥� pada model
𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑥𝑥) 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝑓𝑓(𝑥𝑥)
pada saat
𝑥𝑥 = 𝑥𝑥�. Selanjutnya akan ditentukan nilai eigen pada model logistk pada pemanenan �1 konstan di sekitar titik kesetimbangan 𝑁𝑁 yaitu 𝜆𝜆 =
𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑁𝑁) ℎ � = −𝑟𝑟 �1 − 4 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑁𝑁=𝑁𝑁� 𝑟𝑟𝑟𝑟 1
… (4.4)
kemudian akan ditentukan nilai eigen pada model logistik pada pemanenan konstan di �2 yaitu sekitar titik kesetimbangan 𝑁𝑁 𝜆𝜆 =
𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑁𝑁) ℎ � = 𝑟𝑟 �1 − 4 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑁𝑁=𝑁𝑁� 𝑟𝑟𝑟𝑟
Dimana ℎ =
𝑟𝑟𝑟𝑟 4
2
… (4.5)
adalah pemanenan maksimal
(ambang batas pemanenan). Kemudian parameter laju pemanenan (ℎ) akan dibandingkan dengan ambang batas 𝑟𝑟𝑟𝑟
pemanenan� �. 4
Jika ℎ <
Berikut diberikan analisa kestabilan model logistik dengan pemanenan konstan �2 �1 dan 𝑁𝑁 disekitar titik kesetimbangan 𝑁𝑁 dengan parameter 𝑟𝑟, 𝐾𝐾 dan ℎ adalah konstanta positif. Kemudian akan diselidiki kestabilannya berdasarkan nilai eigen yang
𝑟𝑟𝑟𝑟
maka titik kesetimbangan
4
�1 = 𝐾𝐾 + 𝐾𝐾 �1 − 4 𝑁𝑁
𝜆𝜆 =
2
2
�1 ) 𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑁𝑁
kesetimbangan
b.
stabil
𝑟𝑟�1 − 4
ℎ
4
ℎ
𝑟𝑟𝑟𝑟
karena
< 0 dan titik … (4.2)
�2 = 𝐾𝐾 − 𝐾𝐾 �1 − 4 𝑁𝑁
karena
2
2
𝜆𝜆 =
�2 ) 𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑁𝑁
ℎ
𝑟𝑟𝑟𝑟
= … (4.3)
𝑑𝑑𝑑𝑑
Maka titik kesetimbangan
�1 = 𝐾𝐾 + 𝐾𝐾 �1 − 4 𝑁𝑁 2
stabil
> 0.
𝑟𝑟𝑟𝑟 𝑟𝑟𝑟𝑟
Jika ℎ >
ℎ
𝑟𝑟𝑟𝑟
= −𝑟𝑟�1 − 4
𝑑𝑑𝑑𝑑
tidak
Kestabilan pada Titik kesetimbangan Model Logistik dengan Pemanenan Konstan Menurut Teorema 2.2 kestabilan titik
dapat diselidiki dari nilai
a.
… (4.2)
𝐾𝐾 𝐾𝐾 ℎ �2 = − �1 − 4 𝑁𝑁 2 2 𝑟𝑟𝑟𝑟 4.3
diperoleh dari persamaaan (4.4) dan (4.5) dengan beberapa kondisi parameter ℎ.
2
kesetimbangan
ℎ
dan
𝑟𝑟𝑟𝑟
titik
�2 = 𝐾𝐾 − 𝐾𝐾 �1 − 4 𝑁𝑁 2
2
ℎ
𝑟𝑟𝑟𝑟
berbentuk kompleks ini tidak mungkin terjadi karena 𝑁𝑁 menyatakan jumlah populasi sehingga pada kondisi ini tidak diperoleh titik kesetimbangan yang riil. Jadi laju pemanenan melebihi ambang batas pemanenan maka analisa kestabilan titik kesetimbangan tidak tercapai. 𝑟𝑟𝑟𝑟 c. Jika ℎ = maka diperoleh hanya satu 4 �1 = 𝑁𝑁 � = titik kesetimbangan karena 𝑁𝑁 . . 2. (4.4) 𝐾𝐾 . Kemudian dicari niai eigen dengan 2 cara menenentukan pada turunan pertama 𝐹𝐹(𝑁𝑁) dititik kesetimbangan �2 = 𝐾𝐾 �� = �1 = 𝑁𝑁 yaitu 𝜆𝜆 = 𝐹𝐹 ′ �𝑁𝑁 𝑁𝑁 𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑁𝑁) 𝑑𝑑𝑑𝑑
�
𝑁𝑁=𝑁𝑁1
2
= 𝑟𝑟 −
2𝑟𝑟
𝐾𝐾 2
𝐾𝐾
= 0. Berdasarkan
Definisi 2.4 karena 𝜆𝜆 = 0 pada titik . . . (4.5) �2 = 𝐾𝐾 maka terjadi bifurkasi �1 = 𝑁𝑁 𝑁𝑁 2 saddle node. 4.4 Simulasi Model Logistik dengan Pemanenan Konstan Model logistik dengan pemanenan konstan dapat digambarkan dalam bentuk grafik dengan melakukan simulasi pada model dengan memberikan nilai awal dan beberapa parameter. 4.4.1 Simulasi Model Logistik dengan Pemanenan Konstan dengan 𝒓𝒓𝒓𝒓 Kondisi Pemanenan 𝒉𝒉 < 𝟒𝟒 Misalkan beberapa jumlah populasi awal yaitu 𝑁𝑁(0) = 10, 𝑁𝑁(0) = 50 dan 𝑁𝑁(0) = 90. Berikut diberikan nilai parameter untuk model ini dengan syarat ℎ <
39 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝑟𝑟𝑟𝑟 4
yaitu
ℎ = 5, 𝑟𝑟 = 0.4 dan 𝐾𝐾 = 100. Pada kondisi ini diperoleh dua titik kesetimbangan yaitu �2 = 14.6450. �1 = 85.3550 dan 𝑁𝑁 𝑁𝑁 Selanjunya dilakukan simulasi sebagai berikut.
Berikut diberikan nilai untuk model ini dengan syarat ℎ =
𝑟𝑟𝑟𝑟 4
yaitu ℎ = 10, 𝑟𝑟 = 0.4 dan
𝐾𝐾 = 100. Pada kondisi ini diperoleh satu titik �2 = 50. �1 = 𝑁𝑁 kesetimbangan yaitu 𝑁𝑁 Selanjunya dilakukan simulasi sebagai berikut
�1 𝑁𝑁 �2 = 𝑁𝑁 �1 𝑁𝑁
�2 𝑁𝑁
Gambar.1 Potret Phase Model logistik dengan Pemanenan Konstan dengan ℎ = 5
Menurut Zill [9] berdasarkan analisa diatas �2 tidak stabil dan maka titik kesetimbangan 𝑁𝑁 � 𝑁𝑁1 stabil asimtotik 4.4.2
Simulasi Model Logistik dengan Pemanenan Konstan dengan Kondisi Pemanenan 𝒉𝒉 >
𝒓𝒓𝒓𝒓 𝟒𝟒
Gambar.2 Potret Phase Model Pemanenan Konstan dengan ℎ = 10
logistik
dengan
Menurut Zill [9] berdasarkan analisa diatas maka titik kesetimbangan 𝑁𝑁 ∗ semi stabil yaitu tidak dapat ditentukan stabil atau tidak. Sehingga untuk menentukan kestabilan di titik �1 = 𝑁𝑁 �2 = 𝑁𝑁 ∗ kesetimbangan 𝑁𝑁 dengan menggunakan analisa bifurkasi. Simulasikan menggunakan maple sebagai diagram bifurkasi
Berikut diberikan nilai parameter untuk model ini dengan syarat ℎ >
𝑟𝑟𝑟𝑟 4
yaitu ℎ = 20, 𝑟𝑟 = 0.4
dan 𝐾𝐾 = 100. Pada kondisi ini tidak diperoleh �1 = 50 + titik kesetimbangan yang riil yaitu 𝑁𝑁 �2 = 50 − 50𝑖𝑖. kesetimbangan yang 50𝑖𝑖 dan 𝑁𝑁 riil. Pada model logistik dengan pemanenan konstan dimana laju pemanenanya lebih besar dari laju pemanenan maksimumnya. Karena tidak dapat dijelaskan kestabilan titik ksetimbangan yang tidak rill pada model maka simulasi tidak dilakukan lebih lanjut. 4.4.3 Simulasi Model Logistik dengan Pemanenan Konstan Kondisi Pemanenan 𝒉𝒉 =
𝒓𝒓𝒓𝒓 𝟒𝟒
Misalkan berberapa jumlah populasi awal yaitu 𝑁𝑁(0) = 10, 𝑁𝑁(0) = 50 dan 𝑁𝑁(0) = 90.
Gambar.3 Diagram Bifurkasi Model Logistik dengan penenan konstan dengan 𝑟𝑟 = 0.4 dan 𝐾𝐾 = 100
Pada Gambar.3 untuk titik kesetimbangan yang berada pada selang 0 < 𝑁𝑁 < 50 maka titik kesetimbangan tidak stabil dan untuk titik kesetimbangan yang berada pada selang 𝑁𝑁 > 50 maka titik kesetimbangan stabil.
40 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
5. KESIMPULAN
Ucapan Terima Kasih
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
Terima kasih kepada dosen-dosen pengajar di Program Studi Matematika, terutama dosendosen pembimbing yang telah membantu Saya dalam menyelesaikan Artikel Ilmiah ini.
1.
2.
Model logistik dengan pemanenan konstan yang dapat dinyatakan sebagai berikut. 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐾𝐾 − 𝑁𝑁 = 𝑟𝑟𝑟𝑟 � �−ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐾𝐾
Titik kesetimbangan pada model logistik dengan pemanenan konstan didapatkan �1 = 𝐾𝐾 + 𝐾𝐾 �1 − 4 yaitu 𝑁𝑁
3.
𝐾𝐾 2
𝐾𝐾
2
− �1 − 4 2
ℎ
𝑟𝑟𝑟𝑟
2
.
ℎ
𝑟𝑟𝑟𝑟
�2 = dan 𝑁𝑁
Kestabilan titik kesetimbangan pada model logistik dengan pemanenan konstan bergantung pada nilai parameter laju pemanenan ℎ. 𝑟𝑟𝑟𝑟 a. Jika ℎ < maka terdapat dua titik 4 kesetimbangan dengan titik kesetimbangan 𝑁𝑁1 stabil dan 𝑁𝑁2 tidak stabil. 𝑟𝑟𝑟𝑟 b. Jika ℎ > maka tidak diperoleh 4 titik kesetimbangan yang riil. 𝑟𝑟𝑟𝑟 c. Jika ℎ = maka terdapat satu titik 4 kesetimbangan 𝑁𝑁1 = 𝑁𝑁2 yang tidak dapat ditentukan kestabilanya. Karena terjadi titik kesetimbangan yang semi stabil sehingga dilakukan uji bifurkasi. Bifurkasi yang terjadi adalah bifukasi saddle node. Pada bagian kesimpulan dituliskan temuan penelitian secara singkat, ringkas dan padat, tanpa tambahan intepretasi baru lagi. Pada bagian ini juga dapat dituliskan kelebihan dan kekurangan dari penelitian, serta rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA Barnes,
B & G.R Fulford. 2009. Mathematical Modelling With Case Studies. Second Edition. Taylor & Francis Group, LLC: New york. Campbel, N.A dkk. 1925. Biologi. Edisi Ke2. Jilid.3, Terjemahan Manalu, Wamen. Erlangga: Jakarta. Doust, R.M.H & M. Saraj. 2013. The Logistic Modelling Population; having Harvesting Factor. Yugoslav Journal of Operations Research. Vol 25, No.1,107-115. Hale, J.K. and Kocak, H. 1991. Dynamics and Bifurcations. Springer-Verlag: New York. Kuznetsov, Y. A. 1998, Element of Applied Bifurcation Theory. Second Edition. Springer-Verlag, New York, USA. Olver, P.J & Shikiban. 2003. Appllied Mathematics. Springer Cambridge: University Press. Otto, S.P & T, Day. 2007. A Biologist’s Guide to Mathematical Modeling in Ecology and Evolution. Princeton University Press: New Jersey Verhults, F. 1990. Nonlinear differential Equation and Dynamical System. Springer-Verlag, Heidelberg, Germany. Zill, D.G & M.R. Cullen 2009. Differential Equations with Boundary-Value Problems, Edisi ke-7, Brooks/Cole Publishing Company: US
41 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI Yeni Rahkmawati, Yuni Yulida, Faisal. Program Studi Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Model yang dibahas pada tulisan ini menggunakan model dasar mangsa-pemangsa Lotka-Voltera yang termodifikasi dengan adanya mangsa yang terinfeksi dengan kemungkinan laju predasi yang berbeda antara mangsa yang rentan dan mangsa yang terinfeksi. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan terbentuknya sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi, menentukan titik ekuilibrium sistem, menentukan kestabilan sistem di titik ekuilibrium pada sistem, menganalisa adanya bifurkasi serta membuat simulasi sistem. Tulisan ini dilakukan dengan metode studi literatur. Hasil dari tulisan ini adalah menjelaskan terbentuknya model mangsa–pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi. Model mangsa-pemangsa dengan 𝑎𝑎 mangsa yang terinfeksi memiliki 5 titik ekuilibrium, yaitu: titik ekuilibrium 𝐸𝐸0 (0,0,0) tidak stabil, 𝐸𝐸3 � , 0,0� stabil asimtotik lokal, titik ekuilibrium 𝐸𝐸4 � 𝛾𝛾 𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑏𝑏𝑏𝑏
𝐸𝐸5 � ,
, 0�
stabil
𝑎𝑎𝑎𝑎+𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑏𝑏𝑏𝑏+𝑐𝑐𝑐𝑐
asimtotik
, 0,
𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑏𝑏𝑏𝑏+𝑐𝑐𝑐𝑐
lokal
𝑏𝑏
� stabil asimtotik lokal, titik ekuilibrium dan
𝜔𝜔 𝜔𝜔2 𝑎𝑎ℎ𝑘𝑘+𝑐𝑐ℎ𝛾𝛾+𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓−𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏+𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏−𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 −𝑑𝑑𝜔𝜔2 +𝑎𝑎ℎ𝜔𝜔−𝑏𝑏ℎ𝛾𝛾+𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 , , � stabil 𝐸𝐸 ∗ � 2 𝑓𝑓𝜔𝜔 +𝑐𝑐ℎ𝜔𝜔+𝑏𝑏ℎ𝑘𝑘−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑓𝑓𝜔𝜔2 +𝑐𝑐ℎ𝜔𝜔+𝑏𝑏ℎ𝑘𝑘−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑓𝑓𝜔𝜔2 +𝑐𝑐ℎ𝜔𝜔+𝑏𝑏ℎ𝑘𝑘−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 ∗ akan mengalami bifurkasi Hopf jika nilai parameter bifurkasi ω =
ekuilibrium 𝐸𝐸
titik
asimtotik
ekuilibrium
lokal.
Titik
ω∗ .
Kata kunci : Bifurkasi Hopf, Model mangsa-pemangsa, Model epidemik, Stabil asimtotik lokal.
1. PENDAHULUAN Penggunaan model matematika memungkinkan untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku pada peristiwa biologi seperti pada masalah ekologi dan epidemiologi. Malthus (1798) memformulasikan model spesies tunggal yang kemudian dimodifikasi oleh Verhults (1838). Selanjutnya, Vito Volterra (1920) membentuk model dua populasi mangsa pemangsa yang dikenal sebagai model LotkaVolterra. Di samping itu, matematika epidemiologi juga menjadi masalah yang menarik dalam penelitian bidang matematika. Salah satu keberhasilan awal matematika epidemiologi adalah perumusan model sederhana oleh Kermack dan McKendrick (1927) tentang sistem SIRS (susceptibleinfected-removed-susceptible). Kemudian, Hadeler & Freedman (1989) pertama kali mengkaji tentang adanya penyakit pada interaksi populasi, dimana penyakit terinfeksi pada spesies mangsa maupun pemangsa. Di sisi lain, Venturino (2002) juga mengkaji tentang model mangsa-pemangsa dengan adanya spesies pemangsa yang terinfeksi penyakit. Selanjutnya, Chattopadhyay, J.(
2003), mempertimbangkan model mangsapemangsa dengan adanya mangsa yang terinfeksi penyakit, sehingga mangsa dibagi menjadi dua jenis, yaitu mangsa yang rentan terhadap penyakit dan mangsa yang terinfeksi penyakit. Model yang dibahas pada tulisan ini menggunakan model dasar mangsa-pemangsa Lotka-Voltera yang termodifikasi dimana adanya mangsa yang terinfeksi dengan kemungkinan laju predasi yang berbeda antara mangsa yang rentan dan mangsa yang terinfeksi. Berdasarkan analisa masalah yang dikaji, maka dibahas terbentuknya model mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi yang kemudian dianalisa perilaku pada sistem. Salah satu perilaku sistem yang dapat dianalisa adalah kestabilan sistem dan bifurkasi.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.2 Model Pertumbuhan Logistik Salah satu model pertumbuhan populasi adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth models). Model ini merupakan penyempurnaan model eksponensial dan pertama kali diperkenalkan oleh Pierre
42 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Verhulst (1838). Model eksponensial merupakan model pertumbuhan populasi yang menjelaskan suatu populasi ideal dalam lingkungan yang tidak terbatas. Model ini mengasumsikan bahwa pada masa tertentu jumlah populasi akan mendekati nilai kapasitas batas (carrying capacity). Misalkan 𝑋𝑋(𝑡𝑡) menyatakan jumlah populasi pada saat 𝑡𝑡, r adalah laju pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate), yaitu nilai yang menggambarkan daya tumbuh suatu populasi, 𝐾𝐾 = carrying capacity, yaitu ukuran populasi maksimum yang dapat ditampung oleh suatu lingkungan tertentu tanpa ada pertambahan, model pertumbuhan logistik yang dapat dituliskan sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑡𝑡) 𝑋𝑋(𝑡𝑡) (2.1) = 𝑟𝑟𝑟𝑟(𝑡𝑡) �1 − � 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐾𝐾 (Brauer, Fred, dkk. 2010) 2.3 Model Mangsa-Pemangsa Sistem mangsa-pemangsa Lotka-Volterra dapat dituliskan sebagai berikut : 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑋𝑋(𝑎𝑎 − 𝑐𝑐𝑐𝑐) 𝑑𝑑𝑑𝑑 (2.2) 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑃𝑃(−𝑑𝑑 + 𝑒𝑒𝑒𝑒) 𝑑𝑑𝑑𝑑 dimana 𝑋𝑋 menunjukkan populasi mangsa, 𝑃𝑃 menunjukkan populasi pemangsa, persamaan 𝑑𝑑𝑑𝑑 menyatakan laju perubahan jumlah 𝑑𝑑𝑑𝑑 populasi mangsa terhadap waktu, persamaan 𝑑𝑑𝑑𝑑 menyatakan laju perubahan jumlah 𝑑𝑑𝑑𝑑 populasi pemangsa terhadap waktu, 𝑎𝑎 menyatakan laju pertumbuhan alami pada mangsa tanpa adanya populasi pemangsa, 𝑐𝑐 merupakan laju konsumsi pemangsa terhadap mangsa, 𝑑𝑑 merupakan laju kematian pemangsa dan 𝑒𝑒 merupakan laju pertumbuhan pemangsa akibat mengonsumsi mangsa. Parameter 𝑎𝑎, 𝑐𝑐, 𝑑𝑑, 𝑒𝑒 merupakan bilangan positif (Brauer, Fred, dkk. 2010 ). 2.4 Model Epidemik Menurut Flake (2003), model penyebaran penyakit tipe SI dapat digambarkan dengan kompartemen sebagai berikut:
Berdasarkan gambar.1, model SI dapat di tulis sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝜖𝜖 − 𝜔𝜔𝜔𝜔𝜔𝜔 − 𝜌𝜌𝜌𝜌
... (2.3) = 𝜔𝜔𝜔𝜔𝜔𝜔 − 𝛾𝛾𝛾𝛾 𝑑𝑑𝑑𝑑 Semua parameter pada model ini diasumsikan bernilai positif. 2.5 Titik ekuilibrium dan Kestabilan Sistem Sistem persamaan diferensial nonlinier dapat dinyatakan dalam bentuk, sebagai berikut: 𝑑𝑑𝐱𝐱 (2.4) = 𝐟𝐟(𝑡𝑡, 𝐱𝐱) 𝑑𝑑𝑑𝑑
Definisi dari titik ekuilibrium dapat dituliskan sebagai berikut : Definisi 2.1 (Perko, L. 2000) � ∈ ℝ𝑛𝑛 disebut titik kesetimbangan (titik Titik 𝒙𝒙 ekuilibrium) dari persamaan (2.4) jika �) = 𝟎𝟎. 𝒇𝒇(𝑡𝑡, 𝒙𝒙 Kestabilan dibagi menjadi dua, yaitu: kestabilan lokal dan kestabilan global. Sistem persamaan diferensial nonlinear dapat dianalisa kestabilan lokal pada titik ekuilibriumnya melalui linierisasi dengan menggunakan matriks Jacobian dan setelah itu ditentukan nilai eigen berdasarkan persamaan karakteristik yang didapat. Pada permasalahan tertentu nilai eigen tidak mudah untuk ditentukan. Oleh karena itu, perlu digunakan metode lain untuk menentukan nilai eigen. Untuk matriks yang berukuran 𝑛𝑛 𝑥𝑥 𝑛𝑛 nilai eigen dapat ditentukan dengan menggunakan kriteria RouthHurwitz, yaitu kriteria umum yang digunakan untuk menentukan semua akar negatif dari suatu persamaan polinomial. Teorema 2.2 (Bellomo N. & Preziosi L. 1995) Jika 𝜆𝜆𝑖𝑖 merupakan nilai eigen dari matriks Jacobian 𝑛𝑛 𝑥𝑥 𝑛𝑛 di titik kesetimbangan dan 𝑅𝑅𝑅𝑅(𝜆𝜆𝑖𝑖 ) merupakan bagian riil dari 𝜆𝜆𝑖𝑖 maka: 1. Untuk setiap 𝑖𝑖 = 1,2,3, … , 𝑛𝑛, 𝑅𝑅𝑅𝑅(𝜆𝜆𝑖𝑖 ) < � stabil asimtotik 0 maka 𝒙𝒙 2. Jika terdapat 𝑅𝑅𝑅𝑅(𝜆𝜆𝑖𝑖 ) > 0 untuk suatu 𝑖𝑖 � tidak stabil. maka 𝒙𝒙 2.6 Bifurkasi Hopf
𝜖𝜖
S ρ
𝜔𝜔
I 𝛾𝛾
Gambar 1. Kompartemen Model SI
Definisi 2.3 (Perko, L. 2000) Bifurkasi yang terjadi berkaitan dengan adanya nilai eigen 𝜆𝜆1,2 = ±𝑖𝑖𝜔𝜔0 , 𝜔𝜔0 > 0, disebut bifurkasi Hopf (Andronov-Hopf). Untuk menunjukkan terjadinya bifurkasi Hopf pada sistem yang terdapat parameter penyebab bifurkasi maka perlu ditunjukkan bahwa syarat terpenuhi [3] yaitu:
43 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
���𝑘𝑘 �𝑑𝑑2 �𝛿𝛿 ���𝑘𝑘 � − 𝑑𝑑3 �𝛿𝛿 ���𝑘𝑘 � = 0 i. 𝑑𝑑1 �𝛿𝛿
ii. 𝑅𝑅𝑅𝑅 �
𝑑𝑑𝜆𝜆𝑘𝑘
�
𝑑𝑑𝛿𝛿𝑘𝑘 𝛿𝛿 =𝛿𝛿 ���� 𝑘𝑘 𝑘𝑘
3. METODE
≠ 0, 𝑘𝑘 = 1,2
... (2.5)
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi literatur. Adapun prosedur pada penelitian ini adalah mengumpulkan dan mengkaji bahan-bahan yang berkaitan dengan persamaan diferensial, sistem mangsapemangsa, sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi, titik ekuilibrium, kestabilan titik ekuilibrium pada sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi dan bifurkasi. Kemudian, menentukan asumsi-asumsi untuk sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi. Selanjutnya, menjelaskan terbentuknya sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi. Kemudian, menentukan titik ekuilibrium dan menentukan kestabilan lokal sistem di titik ekuilibrium pada sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi melalui linierisasi dan menggunakan kriteria RouthHurwitz. Jika nilai eigen yang diperoleh bagian riilnya nol maka kestabilan sistemnya tidak dapat ditentukan. Apabila kestabilan tersebut tidak dapat ditentukan maka dapat dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan bifurkasi. Selanjutnya, menganalisa adanya bifurkasi dan membuat simulasi sistem dengan beberapa parameter.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Model MangsaPemangsa dengan Mangsa yang Terinfeksi Sistem mangsa pemangsa dibagi menjadi 2 populasi yaitu populasi mangsa 𝑋𝑋(𝑡𝑡) dan populasi pemangsa 𝑃𝑃(𝑡𝑡) dengan 𝑡𝑡 adalah waktu. Populasi mangsa pada sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi terbagi menjadi 2 subpopulasi, yaitu 𝑆𝑆(𝑡𝑡) menyatakan populasi mangsa yang rentan terhadap penyakit (Susceptible) pada saat 𝑡𝑡 dan 𝐼𝐼(𝑡𝑡) menyatakan populasi mangsa yang terinfeksi penyakit (Infected) pada saat 𝑡𝑡. Proses pembentukan model mangsapemangsa dengan mangsa yang terinfeksi dimulai dengan menyusun asumsi-asumsi yang akan digunakan sebagai berikut: 1. Tanpa adanya pemangsa dan infeksi penyakit, maka laju pertumbuhan populasi mangsa akan tumbuh mengikuti model pertumbuhan logistik. 2. Adanya penyebaran penyakit hanya pada mangsa, sehingga terbagi dua subpopulasi, yaitu: populasi menjadi
mangsa yang rentan (𝑆𝑆) dan mangsa yang terinfeksi (𝐼𝐼). 3. Mangsa yang terinfeksi tidak dapat sembuh dari penyakit, tidak dapat tumbuh dan tidak dapat bereproduksi. 4. Mangsa yang rentan terhadap penyakit dan mangsa yang terinfeksi penyakit merupakan spesies yang sama. 5. Populasi mangsa yang rentan saling berkompetisi dalam mencari sumber makanan. 6. Populasi pemangsa saling berkompetisi dalam mencari sumber makanan. 7. Mangsa yang rentan terhadap penyakit mengalami penurunan jumlah populasi hanya akibat dimangsa dan karena persaingan antar mangsa akibat berkompetisi dalam hal mencari makanan. 8. Penyakit hanya dapat menyebar pada spesies mangsa dan tidak dapat berpindah ke spesies pemangsa. 9. Pemangsa memburu kedua jenis mangsa yaitu mangsa yang rentan dan mangsa yang terinfeksi penyakit dengan laju konsumsi mangsa oleh pemangsa yang berbeda. Adapun penjelasan mengenai pembentukan model mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi berdasarkan asumsi-asumsi yang telah dibuat adalah sebagai berikut: Secara umum model mangsa-pemangsa Lotka-Voltera dapat dituliskan sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝑋𝑋(𝑎𝑎 − 𝑐𝑐𝑐𝑐)
= 𝑃𝑃(−𝑑𝑑 + 𝑒𝑒𝑒𝑒)
... (4.1)
Pada model ini, berdasarkan asumsi ke1 laju pertumbuhan mangsa per kapita tanpa adanya pemangsa mengikuti model pertumbuhan logistik. Kemudian, karena lingkungan yang terbatas, berdasarkan asumsi ke-5 maka terjadi kompetisi antar populasi mangsa yang rentan. Sehingga sistem (4.1) pada persamaan pertama dapat ditulis sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
Kemudian,
𝑋𝑋
= 𝑎𝑎𝑎𝑎 �1 − � − 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 ... (4.2) jika
𝐾𝐾
misalkan
𝑏𝑏 =
𝑎𝑎
𝐾𝐾
maka
persamaan (4.2) dapat dituliskan sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑏𝑏𝑋𝑋 2 − 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐
... (4.3)
Berdasarkan asumsi ke-6, populasi pemangsa saling berkompetisi dalam hal
44 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
mencari sumber makanan persamaan kedua pada persamaan (4.1) dapat ditulis sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= −𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 − 𝑓𝑓𝑃𝑃2
... (4.4)
Sehingga berdasarkan persamaan (4.3) dan (4.4), persamaan (4.1) dapat ditulis sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
2
= 𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑏𝑏𝑋𝑋 − 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐
= −𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 − 𝑓𝑓𝑃𝑃2
... (4.5)
Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah dibuat, model mangsa pemangsa ini dimodifikasi dengan adanya penyakit yang menyebar hanya pada mangsa berdasarkan model 𝑆𝑆𝑆𝑆 yaitu jumlah mangsa berdasarkan asumsi ke-2, yaitu mangsa yang rentan terhadap penyakit (𝑆𝑆) dan mangsa yang terinfeksi penyakit (𝐼𝐼) dengan notasi sebagai berikut: ...(4.6) 𝑋𝑋 = 𝑆𝑆 + 𝐼𝐼 oleh sebab itu, sistem (4.5) dapat dinyatakan sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑏𝑏𝑆𝑆 2 − 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 − 𝜔𝜔𝐼𝐼𝐼𝐼
= 𝜔𝜔𝐼𝐼𝐼𝐼 − 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 − 𝛾𝛾𝛾𝛾
2
= 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 + ℎ𝐼𝐼𝐼𝐼 − 𝑓𝑓𝑃𝑃 − 𝑑𝑑𝑑𝑑
…(4.7)
dimana 𝑎𝑎 menyatakan laju pertumbuhan alami pada mangsa tanpa adanya populasi pemangsa, 𝑏𝑏 menyatakan laju kompetisi antarpopulasi mangsa yang rentan, 𝑐𝑐 menyatakan laju konsumsi mangsa yang rentan oleh pemangsa, 𝑘𝑘 menyatakan laju konsumsi mangsa yang terinfeksi oleh pemangsa, 𝜔𝜔 menyatakan laju penularan penyakit saat terjadi kontak antaramangsa yang terinfeksi dengan mangsa yang rentan, 𝛾𝛾 menyatakan laju kematian pada mangsa yang terinfeksi penyakit, 𝑒𝑒 merupakan laju pertumbuhan pemangsa akibat mengonsumsi mangsa yang rentan, ℎ merupakan laju pertumbuhan pemangsa akibat mengonsumsi mangsa yang terinfeksi, 𝑓𝑓 menyatakan laju kompetisi antarpopulasi pemangsa dan 𝑑𝑑 adalah laju kematian alami populasi pemangsa. Semua parameter adalah + nonnegatif (𝑎𝑎 ∈ ℝ , 𝑏𝑏, 𝑐𝑐, 𝑑𝑑, 𝑒𝑒, 𝑓𝑓, ℎ, 𝑘𝑘, 𝜔𝜔, 𝛾𝛾 ∈ (0,1]) dan 𝑆𝑆 ≥ 0, 𝐼𝐼 ≥ 0, 𝑃𝑃 ≥ 0.
4.2 Titik Ekuilibrium Berdasarkan Definisi 2.1, diperoleh titik ekuilibrium sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi, yaitu 𝐸𝐸0 (0,0,0), 𝑑𝑑
𝐸𝐸1 �0,0, − �, 𝑎𝑎
𝐸𝐸3 � , 0,0�,
𝑏𝑏 𝛾𝛾 𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑏𝑏𝑏𝑏
𝐸𝐸5 � , 𝜔𝜔
𝑆𝑆 ∗ = 𝐼𝐼 ∗ =
𝑃𝑃 ∗ =
𝐸𝐸2 �0,
𝑓𝑓
𝜔𝜔2
𝐸𝐸4 �
−𝑓𝑓𝑓𝑓+ 𝑑𝑑𝑑𝑑
ℎ𝑘𝑘 𝑎𝑎𝑎𝑎+𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑏𝑏𝑏𝑏+𝑐𝑐𝑐𝑐
, 0,
𝛾𝛾
, − �,
𝑘𝑘 𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑏𝑏𝑏𝑏+𝑐𝑐𝑐𝑐
, 0� dan 𝐸𝐸 ∗ �𝑆𝑆∗ , 𝐼𝐼∗ , 𝑃𝑃∗ � , dengan:
�,
𝑎𝑎ℎ𝑘𝑘+𝑐𝑐ℎ𝛾𝛾+𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓−𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑓𝑓𝜔𝜔2 +𝑐𝑐ℎ𝜔𝜔+𝑏𝑏ℎ𝑘𝑘−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒
𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏+𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏−𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑓𝑓𝜔𝜔2 +𝑐𝑐ℎ𝜔𝜔+𝑏𝑏ℎ𝑘𝑘−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒
−𝑑𝑑𝜔𝜔2 +𝑎𝑎ℎ𝜔𝜔−𝑏𝑏ℎ𝛾𝛾+𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑓𝑓𝜔𝜔2 +𝑐𝑐ℎ𝜔𝜔+𝑏𝑏ℎ𝑘𝑘−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒
Karena (𝑆𝑆, 𝐼𝐼, 𝑃𝑃) ≥ 0 maka 𝐸𝐸0 , 𝐸𝐸3 , 𝐸𝐸4 , 𝐸𝐸5 dan 𝐸𝐸 ∗ termuat di ℝ3 + , sedangkan 𝐸𝐸1 dan 𝐸𝐸2 tidak termuat di ℝ3 + . 4.3 Kestabilan Sistem Sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi pada sistem persamaan (4.7) merupakan sistem persamaan nonlinier, maka untuk menganalisa kestabilan titik ekuilibrium diperlukan linierisasi sistem dengan menggunakan matriks Jacobian, sebagai berikut: 𝑱𝑱 = �
𝑎𝑎 − 2𝑏𝑏𝑏𝑏 − 𝑐𝑐𝑐𝑐 − 𝜔𝜔𝐼𝐼 𝜔𝜔𝐼𝐼 𝑒𝑒𝑒𝑒
−𝜔𝜔𝑆𝑆 𝜔𝜔𝑆𝑆 − 𝑘𝑘𝑃𝑃 − 𝛾𝛾 ℎ𝑃𝑃
−𝑐𝑐𝑐𝑐 −𝑘𝑘𝑘𝑘 � 𝑒𝑒𝑒𝑒 + ℎ𝐼𝐼 − 2𝑓𝑓𝑓𝑓 − 𝑑𝑑
...(4.8)
Kemudian masing-masing titik ekuilibrium di substitusi ke matriks Jacobian dan ditentukan nilai eigennya menggunakan kriteria RouthHurwitz, sehingga diperoleh kestabilan sistem pada masing-masing titik ekuilibrium sebagai berikut: Titik Ekulibrium 𝐸𝐸0 𝐸𝐸3
𝐸𝐸4 𝐸𝐸5
45 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Kondisi untuk Kestabilan
Kestabilan
Tidak kondisi
Tidak Stabil
ada
𝑎𝑎𝑎𝑎 < 𝑏𝑏𝑏𝑏 dan 𝑎𝑎𝑎𝑎 < 𝑏𝑏
𝑎𝑎𝑎𝑎 > 𝑏𝑏𝑏𝑏 dan 𝜔𝜔(𝑎𝑎𝑎𝑎 + 𝑐𝑐𝑐𝑐) < 𝑘𝑘(𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑏𝑏𝑏𝑏) + 𝛾𝛾(𝑒𝑒𝑒𝑒 + 𝑏𝑏𝑏𝑏) 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 + ℎ(𝑎𝑎𝑎𝑎 −
Stabil asimtotik lokal
Stabil asimtotik lokal
Stabil asimtotik
𝑏𝑏𝑏𝑏) < 𝑑𝑑𝜔𝜔2 dan 𝑎𝑎𝑎𝑎 > 𝑏𝑏𝑏𝑏 𝐸𝐸 ∗
𝑑𝑑1 𝑑𝑑2 > 𝑑𝑑3
lokal
Stabil asimtotik lokal
dengan 𝑑𝑑1 = 𝑏𝑏𝑆𝑆 ∗ + 𝑓𝑓𝑃𝑃∗ 𝑑𝑑2 = 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑆𝑆 ∗ 𝑃𝑃 ∗ + ℎ𝑘𝑘𝐼𝐼 ∗ 𝑃𝑃 ∗ + ω2 𝑆𝑆 ∗ 𝐼𝐼 ∗ + 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑆𝑆 ∗ 𝑃𝑃 ∗ 𝑑𝑑3 = 𝑏𝑏ℎ𝑘𝑘𝑆𝑆 ∗ 𝐼𝐼 ∗ 𝑃𝑃 ∗ + 𝑓𝑓ω2 𝑆𝑆 ∗ 𝐼𝐼 ∗ 𝑃𝑃 ∗ − 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑆𝑆 ∗ 𝐼𝐼 ∗ 𝑃𝑃 ∗ + 𝑐𝑐ℎ𝜔𝜔𝑆𝑆 ∗ 𝐼𝐼 ∗ 𝑃𝑃 ∗ 4.4 Analisa Bifurkasi Analisa bifurkasi Hopf pada sistem (4.7) terjadi apabila parameter penyebab bifurkasi 𝜔𝜔 = 𝜔𝜔∗ . Kemudian, titik ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) merupakan titik ekuilibrium nonhiperbolik jika dan hanya jika 𝑑𝑑1 𝑑𝑑2 = 𝑑𝑑3 untuk nilai 𝜔𝜔 = 𝜔𝜔 ∗ sehingga persamaan karakteristik untuk titik ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) memiliki sepasang akar imajiner murni dengan kata lain terdapat 𝜔𝜔∗ sedemikian sehingga mengakibatkan persamaan karakteristik untuk titik ∗ (𝑆𝑆 ∗ ∗ ∗ )tidak ekuilibrium 𝐸𝐸 memiliki akar , 𝐼𝐼 , 𝑃𝑃 riil positif. Persamaan karakteristik untuk titik ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ )untuk ω = ω∗ , dapat ditulis sebagai berikut: 𝜆𝜆3 + 𝑑𝑑1 𝜆𝜆2 + 𝑑𝑑2 𝜆𝜆 + 𝑑𝑑3 = 0
dengan 𝑑𝑑1 𝑑𝑑2 = 𝑑𝑑3 , sehingga diperoleh: 𝜆𝜆3 + 𝑑𝑑1 𝜆𝜆2 + 𝑑𝑑2 𝜆𝜆 + 𝑑𝑑1 𝑑𝑑2 = 0 ⟺ (𝜆𝜆2 + 𝑑𝑑2 )(𝜆𝜆 + 𝑑𝑑1 ) = 0
…(4.9)
Dari persamaan (4.9) diperoleh: 𝜆𝜆1 = +𝑖𝑖�𝑑𝑑2 atau 𝜆𝜆2 = −𝑖𝑖�𝑑𝑑2 atau 𝜆𝜆3 = −𝑑𝑑1 Untuk setiap ω, akar dari persamaan (4.9) dapat dibentuk secara umum, yaitu: 𝜆𝜆1 (𝜔𝜔) = 𝛽𝛽1 (𝜔𝜔) + 𝑖𝑖𝛽𝛽2 (𝜔𝜔),
𝜆𝜆2 (𝜔𝜔) = 𝛽𝛽1 (𝜔𝜔) − 𝑖𝑖𝛽𝛽2 (𝜔𝜔), 𝜆𝜆3 (𝜔𝜔) = −𝑑𝑑1 (𝜔𝜔)
Analisa terjadinya bifurkasi Hopf pada model mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi ini, dengan menyelidiki sepasang akar yang bernilai imajiner, sebagai berikut:
Substitusi 𝜆𝜆𝑗𝑗 (𝜔𝜔) = 𝛽𝛽1 (𝜔𝜔) + 𝑖𝑖𝛽𝛽2 (𝜔𝜔), 𝑗𝑗 = 1,2 ke persamaan karakteristik untuk titik kemudian ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) diturunkan, sehingga diperoleh: 𝐾𝐾(𝜔𝜔)𝛽𝛽1′ (𝜔𝜔) − 𝐿𝐿(𝜔𝜔)𝛽𝛽2′ (𝜔𝜔) + 𝑀𝑀(𝜔𝜔) = 0 𝐿𝐿(𝜔𝜔)𝛽𝛽1′ (𝜔𝜔) + 𝐾𝐾(𝜔𝜔)𝛽𝛽2′ (𝜔𝜔) + 𝑁𝑁(𝜔𝜔) = 0
…(4.10)
dengan:
𝐾𝐾(𝜔𝜔) = 3𝛽𝛽1 2 (𝜔𝜔) + 2𝑑𝑑1 (𝜔𝜔)𝛽𝛽1 (𝜔𝜔) − 3𝛽𝛽2 + 𝑑𝑑2 (𝜔𝜔)
𝐿𝐿(𝜔𝜔) = 6𝛽𝛽1 (𝜔𝜔)𝛽𝛽2 (𝜔𝜔) + 2𝑑𝑑1 (𝜔𝜔)𝛽𝛽2 (𝜔𝜔)
2 𝑀𝑀(𝜔𝜔) = 𝑑𝑑1′ (𝜔𝜔)𝛽𝛽1 2 (𝜔𝜔) − 𝑑𝑑1′ (𝜔𝜔)𝛽𝛽2 (𝜔𝜔) + 𝑑𝑑2′ (𝜔𝜔)𝛽𝛽1 (𝜔𝜔) + 𝑑𝑑3′ (𝜔𝜔)
𝑁𝑁(𝜔𝜔) = 2𝑑𝑑1′ (𝜔𝜔)𝛽𝛽1 (𝜔𝜔)𝛽𝛽2 (𝜔𝜔) + 𝑑𝑑2′ (𝜔𝜔)𝛽𝛽2 Selanjutnya, berdasarkan persamaan (2.5) akan ditunjukkan bahwa syarat transversal terpenuhi, yaitu: 𝑅𝑅𝑅𝑅 �
𝑑𝑑𝑑𝑑 (𝜔𝜔) 𝑑𝑑𝑑𝑑
�
ω=ω∗
≠0
Diferensial total 𝑓𝑓�𝜆𝜆𝑗𝑗 (𝜔𝜔), 𝜔𝜔� diperoleh dengan mengeliminasi sistem persamaan (4.10) sehingga diperoleh: 𝑀𝑀𝑀𝑀+𝐿𝐿𝐿𝐿 𝛽𝛽1′ (𝜔𝜔) = − 2 2 𝐾𝐾 +𝐿𝐿 Sehingga berdasarkan syarat transversal diperoleh: =−
𝑀𝑀𝑀𝑀+𝑁𝑁𝑁𝑁
2�
𝐾𝐾 2 +𝐿𝐿
ω=ω∗
≠0
𝑅𝑅𝑅𝑅 �
𝑑𝑑𝑑𝑑 (𝜔𝜔) 𝑑𝑑𝑑𝑑
�
ω=ω∗
Sehingga syarat transversal bifurkasi Hopf terpenuhi pada kondisi 𝜆𝜆𝑗𝑗 .
Berdasarkan analisa di titik ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) yang nonhiperbolik jika 𝑑𝑑1 (ω∗ )𝑑𝑑2 (ω∗ ) = 𝑑𝑑3 (ω∗ ) dan memenuhi syarat transversal terjadinya bifurkasi Hopf, sehingga kestabilan sistem (4.7) pada titik ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) akan mengalami bifurkasi Hopf jika nilai parameter bifurkasi ω = ω∗ .
4.5 Simulasi Model Misalkan nilai awal 𝑆𝑆(0) = 20, 𝐼𝐼(0) = 15, 𝑃𝑃(0) = 35 dan parameter yang memenuhi syarat kestabilan masing-masing titik ekuilibrium. 4.5.1 Simulasi untuk Titik 𝑬𝑬𝟑𝟑 (𝑺𝑺, 𝟎𝟎, 𝟎𝟎) Misalkan beberapa parameter yang memenuhi syarat 𝑎𝑎𝑎𝑎 < 𝑏𝑏𝑏𝑏 dan 𝑎𝑎𝑎𝑎 < 𝑏𝑏𝛾𝛾. Simulasi parameter dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
46 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Gambar 1. Simulasi Titik Ekuilibrium 𝐸𝐸3 (𝑆𝑆, 0,0) dengan parameter 𝑎𝑎 = 4; 𝑏𝑏 = 0.6; 𝑐𝑐 = 0.09; 𝑑𝑑 = 0.25; 𝑒𝑒 = 0.01; 𝑓𝑓 = 0.005; ℎ = 0.09; 𝑘𝑘 = 0.01; 𝛾𝛾 = 0.3; 𝜔𝜔 = 0.02
4.5.2 Simulasi untuk Titik 𝑬𝑬𝟒𝟒 (𝑺𝑺, 𝟎𝟎, 𝑷𝑷) Misalkan beberapa parameter dengan (𝑎𝑎𝑎𝑎 + 𝑐𝑐𝑐𝑐) < syarat 𝑎𝑎𝑎𝑎 > 𝑏𝑏𝑏𝑏 dan 𝑘𝑘(𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑏𝑏𝑏𝑏) + 𝛾𝛾(𝑒𝑒𝑒𝑒 + 𝑏𝑏𝑏𝑏) . Simulasi parameter dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Gambar 3. Simulasi Titik Ekuilibrium 𝐸𝐸5 (𝑆𝑆, 𝐼𝐼, 0) dengan parameter 𝑎𝑎 = 4; 𝑏𝑏 = 0.06; 𝑐𝑐 = 0.01; 𝑑𝑑 = 0.8; 𝑒𝑒 = 0.01; 𝑓𝑓 = 0.005; ℎ = 0.01; 𝑘𝑘 = 0.01; 𝛾𝛾 = 0.5; 𝜔𝜔 = 0.07
4.5.4 Simulasi untuk Titik 𝑬𝑬∗ (𝑺𝑺, 𝑰𝑰, 𝑷𝑷) Selanjutnya, berdasarkan analisa bifurkasi yang telah dibuktikan, sistem persamaan (4.7) di sekitar titik ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) mengalami bifurkasi Hopf jika melewati nilai bifurkasi 𝜔𝜔 = 𝜔𝜔∗ , sehingga terjadinya bifurkasi Hopf pada sistem persamaan (4.7) dengan hanya mengubah parameter 𝜔𝜔. Adapun kestabilan sistem dapat terlihat pada nilai 𝐻𝐻 ≡ 𝑑𝑑1 𝑑𝑑2 − 𝑑𝑑3 dengan nilai 𝜔𝜔 yang berbeda-beda, jika 𝐻𝐻 > 0 maka sistem stabil dan 𝐻𝐻 < 0 maka sistem tidak stabil. Tabel 1. Kestabilan sistem (4.7) untuk beberapa nilai 𝜔𝜔
𝜔𝜔
𝐻𝐻 ≡ 𝑑𝑑1 𝑑𝑑2 − 𝑑𝑑3
0,023
0,1087768
0,02
Gambar 2. Simulasi Titik Ekuilibrium 𝐸𝐸4 (𝑆𝑆, 0, 𝑃𝑃) dengan parameter 𝑎𝑎 = 4; 𝑏𝑏 = 0.06; 𝑐𝑐 = 0.09; 𝑑𝑑 = 0.25; 𝑒𝑒 = 0.01; 𝑓𝑓 = 0.005; ℎ = 0.01; 𝑘𝑘 = 0.01; 𝛾𝛾 = 0.6; 𝜔𝜔 = 0.02
4.5.3 Simulasi untuk Titik 𝑬𝑬𝟓𝟓 (𝑺𝑺, 𝑰𝑰, 𝟎𝟎) Misalkan beberapa parameter dengan syarat 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 + ℎ(𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑏𝑏𝑏𝑏) < 𝑑𝑑𝜔𝜔2 dan 𝑎𝑎𝑎𝑎 > 𝑏𝑏𝑏𝑏 Simulasi parameter dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
0,024
0,0248
0,03377763 0,0463195 0,0350319
0,02481
−0,0203458
0,02483
−0,0013097
0,02482
−0,0007568
Misalkan beberapa parameter dengan syarat 𝑑𝑑1 𝑑𝑑2 > 𝑑𝑑3 . Simulasi parameter dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
47 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
a. Titik ekuilibrium 𝐸𝐸0 (0,0,0) tidak stabil lokal 𝑎𝑎 b. Titik ekuilibrium 𝐸𝐸3 � , 0,0� stabil 𝑏𝑏 asimtotik lokal jika 𝑎𝑎𝑎𝑎 < 𝑏𝑏𝑏𝑏 dan 𝑎𝑎𝑎𝑎 < 𝑏𝑏𝛾𝛾 𝑎𝑎𝑎𝑎+𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑏𝑏𝑏𝑏 c. Titik ekuilibrium 𝐸𝐸4 � , 0, � 𝑏𝑏𝑏𝑏+𝑐𝑐𝑐𝑐
𝑏𝑏𝑏𝑏+𝑐𝑐𝑐𝑐
stabil asimtotik lokal jika 𝑎𝑎𝑎𝑎 > 𝑏𝑏𝑏𝑏 dan 𝜔𝜔(𝑎𝑎𝑎𝑎 + 𝑐𝑐𝑐𝑐) < 𝑘𝑘(𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑏𝑏𝑏𝑏) + 𝛾𝛾(𝑒𝑒𝑒𝑒 + 𝑏𝑏𝑏𝑏). 𝛾𝛾 𝑎𝑎𝑎𝑎−𝑏𝑏𝑏𝑏
Gambar 4. Simulasi Titik Ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) dengan parameter 𝑎𝑎 = 4; 𝑏𝑏 = 0006; 𝑐𝑐 = 0.09; 𝑑𝑑 = 0.25; 𝑒𝑒 = 0.01; 𝑓𝑓 = 0.005; ℎ = 0.09; 𝑘𝑘 = 0.01; 𝛾𝛾 = 0.3; 𝜔𝜔 = 0.02
Adapun simulasi titik 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃∗ ) dengan nilai parameter 𝜔𝜔 yang berbeda. Simulasi parameter dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
d. Titik ekuilibrium 𝐸𝐸5 � , 2 , 0� 𝜔𝜔 𝜔𝜔 stabil asimtotik lokal jika 𝑎𝑎𝑎𝑎 > 𝑏𝑏𝑏𝑏 dan 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 + ℎ(𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑏𝑏𝑏𝑏) < 𝑑𝑑𝜔𝜔2 . e. Titik ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ stabil asimtotik lokal jika 𝑑𝑑1 𝑑𝑑2 > 𝑑𝑑3 . 3. Analisa bifurkasi Hopf dengan 𝜔𝜔 sebagai parameter bifurkasi Hopf terjadi di titik yang ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) merupakan titik ekuilibrium nonhiperbolik jika 𝑑𝑑1 (ω∗ )𝑑𝑑2 (ω∗ ) = 𝑑𝑑3 (ω∗ ), sehingga memilik tiga nilai eigen dengan sepasang akar imajiner murni yang merupakan syarat terjadinya bifurkasi Hopf dan dengan terpenuhinya syarat transversal, maka kestabilan sistem (4.7) pada titik ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) akan mengalami bifurkasi Hopf jika nilai parameter bifurkasi ω = ω∗ , artinya kestabilan pada titik tersebut saat ω = ω∗ tidak dapat ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 5. Simulasi Titik Ekuilibrium 𝐸𝐸 ∗ (𝑆𝑆 ∗ , 𝐼𝐼 ∗ , 𝑃𝑃 ∗ ) dengan parameter 𝑎𝑎 = 4; 𝑏𝑏 = 0006; 𝑐𝑐 = 0.09; 𝑑𝑑 = 0.25; 𝑒𝑒 = 0.01; 𝑓𝑓 = 0.005; ℎ = 0.09; 𝑘𝑘 = 0.01; 𝛾𝛾 = 0.3; 𝜔𝜔 = 0.02482
5. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Sistem mangsa-pemangsa dengan mangsa yang terinfeksi dapat dituliskan sebagai berikut: 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑏𝑏𝑆𝑆 2 − 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 − 𝜔𝜔𝐼𝐼𝐼𝐼 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝜔𝜔𝐼𝐼𝐼𝐼 − 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 − 𝛾𝛾𝛾𝛾 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 + ℎ𝐼𝐼𝐼𝐼 − 𝑓𝑓𝑃𝑃2 − 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 2. Titik ekuilibrium pada sistem mangsapemangsa dengan mangsa yang terinfeksi adalah sebagai berikut:
Bellomo N. & Preziosi L. 1995. Modelling Mathematical Methods and Scientific Computation. CRC Press, Florida. Brauer, Fred, dkk. 2010. Mathematical Models in Population Biology and Epidemiology, Second Edition. Springer-Verlag, New York. Chattopadhyay, J. 2003. Classical predatorprey system with infection of prey population-a mathematical model. Math. Meth. Appl. Sci. 2003; 26:1211– 1222 (DOI: 10.1002/mma.414). Flake, C. 2003. A Predator-Prey Model with Disease Dynamics. The Rose-Hulman Journal of Undergraduate Mathematics, 4(1)(2003), 1-16. Kuznetsov, Y. A. 1998. Element of applied Bifurcation Theory, Second Edition. Springer-Verlag, New York. Perko, L. 2000. Differential Equation and Dynamics Systems,Third Edition. Springer-Verlag, New York.
48 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PEMODELAN DAN ANALISIS SENSITIVITAS PENGARUH PENGGUNAAN KONDOM DAN TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA MODEL PENYEBARAN HIV/AIDS Marsudi1 1
Jurusan Matematika FMIPA, Universitas Brawijaya
[email protected].
Abstrak Sebuah model matematika deterministik nonlinear untuk masalah penyebaran HIV/AIDS dengan pengaruh penggunaan kondom dan terapi antiretroviral dianalisis secara kualitatif menggunakan teori kestabilan dan analisis sensitivitas. Angka reproduksi efektif R e diturunkan menggunakan metode matriks generasi berikutnya yang menunjukkan rata-rata jumlah infeksi baru yang disebabkan oleh satu individu terinfeksi HIV dalam populasi di mana penggunaan kondom dan terapi antiretroviral digunakan sebagai strategi kontrol. Hasil simulasi menunjukkan bahwa program penggunaan kondom dan terapi antiretroviral dapat mereduksi kejadian dan prevalensi penyakit HIV/AIDS. Kata Kunci: terapi antiretroviral, kampanye penggunan kondom, prevalensi penyakit, angka reproduksi efektif, analisis sensitivitas
1. PENDAHULUAN Perkembangan epidemi HIV/AIDS di dunia telah menyebabkan penyakit HIV/AIDS menjadi masalah global dan semakin nyata menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (termasuk di Kabupaten Malang). Dalam rangka mempercepat akselerasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, sangatlah penting untuk memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan dimana keduanya merupakan komponen penting dan saling melengkapi. Upaya perawatan, dukungan dan pengobatan terapi antiretroviral dapat digunakan untuk memperlambat penyebaran virus HIV di dalam tubuh. Demikian juga upaya pencegahan menggunakan kondom pada setiap hubungan seks berisiko dapat digunakan untuk memutus rantai penularan HIV/AIDS. Salah satu masalah yang timbul berkaitan dengan implementasi kedua program kebijakan yang telah dilakukan ini adalah bagaimana mengukur keberhasilan dari program kebijakan kampanye penggunaan kondom dan terapi antiretroviral dalam rangka mengurangi penyebaran dan meminimalisasi prevalensi HIV/AIDS. Penelitian ini dilakukan untuk merumuskan dan menganalisis dinamika model penyebaran penyakit HIV/AIDS dengan intervensi kampanye penggunaan kondom dan terapi antiretroviral. Dalam menentukan bagaimana starategi terbaik untuk mereduksi jumlah individu yang terinfeksi atau jumlah individu yang mati karena penyakit, kita harus mengetahui
nilai ambang atau variabel state yang berpengaruh terhadap penyebaran dan prevalensi penyakit. Penyebaran penyakit awal berhubungan langsung dengan angka reproduksi efektif (R e ) dan prevalensi penyakit berhubungan langsung dengan variabel state dari titik kesetimbangan endemik (x i ). 2. TINJAUAN PUSTAKA Dewasa ini banyak penelitian yang berkaitan dengan masalah-masalah epidemiologi, misalnya Anderson (2001) dan Brauer and Castillo-Chavez (2001). Penelitian lain mengkaji masalah penyebaran HIV/AIDS dikaitkan dengan intervensi edukasi kesehatan publik (lihat Mukandavire et al., 2009). Beberapa penelitian yang berkaitan dengan skrining HIV dan vaksinasi HIV kepada anggota masyarakat yang aktif-seksual antara lain Naresh et al. (2008), menggunakan persamaan diferensial biasa nonlinear untuk mengkaji efek vaksinasi pada penyebaran HIV/AIDS dalam populasi homogen. Tripathi et al. (2007), mengkaji model matematika tentang efek skrining dari unware infectives pada penyebaran infeksi HIV. Dari kajian ini, disimpulkan bahwa cara yang paling efektif dengan laju insidensi dan tingkat prevalensi yang lebih rendah adalah edukasi populasi yang menjadikan mereka tahu konsekuensi dari seks bebas dan kebutuhan ukuran pencegahan terhadap infeksi. Chitnis et al. (2008) mengkaji
49 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
penentuan parameter-parameter penting dalam penyebaran malaria melalui analisis sensitivitas model matematika. Marsudi dkk. (2014 dan 2016) mengkaji pengaruh skrining dan terapi pada dinamika HIV/AIDS menggunakan analisis sensitivitas pada angka reproduksi efektif terhadap semua parameter. Indeks sensitivitas dari angka reproduksi efektif ini mengukur penyebaran penyakit awal. Dalam tinjauan di atas, program skrining dan pemberian perlakuan HIV dapat mereduksi penyebaran HIV/AIDS. Dalam model ini diasumsikan bahwa subpopulasi rentan (susceptible) mendapatkan infeksi karena hubungan seksual. Namun dalam penelitian yang diusulkan ini diasumsikan juga bahwa ada individu-individu rentan yang menerima tindakan pencegahan (kampanye penggunaan kondom). 3. METODE Penelitian dikaji secara analitik dan numerik dengan langkah-langkah: (i) mengkonstruksi model matematika penyebaran HIV/AIDS dengan penggunaan kondom dan terapi antiretroviral, (ii) melakukan analisis kualitatif menggunakan analisis dinamik. Kestabilan lokal dikaji menggunakan konsep angka reproduksi efektif yang diturunkan dengan metode matriks generasi berikutnya dan (iii) mengevaluasi dampak penggunaan kondom dan terapi antiretroviral menggunakan analisis sensitivitas pada angka reproduksi efektif terhadap parameterparameter model. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Model Matematika Dalam model matematika penyebaran HIV/AIDS dengan penggunaan kondom dan terapi antiretroviral diasumsikan bahwa populasi yang aktif seksual dibagi menjadi lima subpopulasi: susceptibles atau negatif HIV (S), unaware infectives atau positif HIV tetapi tidak mengetahui mereka terinfeksi (I), infectives individuals atau positif HIV tetapi tidak menerima terapi antiretroviral (P), AIDS population adalah populasi dari individu-individu dengan klinis AIDS dan tidak menerima terapi antiretroviral (A) dan treated population atau positif HIV dan menerima terapi antiretroviral (T). Secara skematis, transisi antar subpopulasi dapat disajikan dalam diagram kompartemen (Gambar 1).
Gambar 1. Diagram kompartemen Model HIV/AIDS Dari Gambar 1 dinamika populasi dinyatakan dalam sistem persamaan diferensial nonlinear berikut:
dS = Λ − (λ + µ ) S dt dI = λS − (σ 1 + µ ) I dt dP = σ 1 I − (σ 2 + d 1 + µ ) P dt dA = σ 2 P − (d 2 + α 1 + µ ) A dt dT = d 1 P + d 2 A − (α 2 + µ )T dt
λ=
(1)
(1 − δ )( β 1 I + β 2 P ) , N = S + I + P + A + T. N
Dengan kondisi awal
= S (0) S= I= P0= , A(0) A0 , 0 , I (0) 0 , P (0) T (0) = T0 . Nilai parameter model diperoleh dari Safiel et. al. dan dideskripsikan dalam Tabel 1. Tabel 1: Parameter dan nilai parameter yang digunakan dalam model HIV/AIDS Parameter
Deskripsi
Nilai
Λ
Laju rekruitmen ke dalam S
700
β1
Laju penyebaran kontak dengan I
0.86
β2
Laju penyebaran kontak dengan P
0.15
σ1
Laju progres dari kelas I ke P
0.5
σ2
Laju progres dari kelas P ke A
0.01
δ
Laju penggunaan kondom
0.2
δ1
Laju terapi dari kelas P ke T
0.99
δ2 µ
Laju terapi dari kelas A ke T
0.01
Laju kematian alami
0.01
α2
Laju kematian karena penyakit kelas A Laju kematian karena penyakit kelas
0.5
α1
50 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
( β1 < β 2 )
(σ 1 < σ 2 )
T
(α 1 < α 2 )
0.2
4.2 Analisis Model Dengan menambahkan kelima persamaan diferensial dalam model (1) diperoleh dN = Λ − µN − α 1 A − α 2 T ≤ Λ − µN . (2) dt Menggunakan Teorema Birchoff dan Rota pada pertidaksamaan diferensial (2) dan dengan memisah variabel diperoleh dN (3) ≤ dt. Λ − µN Dengan mengintegralkan (3) pada kedua ruas diperoleh (4) Λ − µN ) ≥ Ce − µt di mana C konstan. Menggunakan kondisi awal, N (0) = N 0 diperoleh (5) C = Λ − µN 0 . Dengan mensubstitusikan (5) ke dalam (4) diperoleh Λ Λ − µN 0 − µt (6) N ≤ − e . µ µ Dari persamaan (6), Λ 0 ≤ N (t ) ≤ untuk t → ∞ . Jadi, himpunan µ solusi fisibel dari sistem (1) masuk dalam himpunan invarian positif Λ Γ = ( S , I , P, A, T ) ∈ r 5+ N ≤ . (7) µ Kepositifan solusi yang menjelaskan solusi nonnegatif untuk setiap t > 0 dari sistem (1) ditunjukkan dalam lemma berikut. Lemma 1. Jika S (0) > 0, I (0) ≥ 0, P(0) ≥ 0, A(0), T (0) ≥ 0, maka solusi S (t ), I (t ), P(t ), A(t ), T (t ) dari sistem (1) adalah positif untuk setiap t > 0. 4.3 Titik Kesetimbangan Bebas Penyakit Titik kesetimbangan sistem (1) diperoleh dengan menyamakan nol untuk masingmasing persamaan diferensial dalam system dS dI dP dA dT = = = = =0 (1), artinya dt dt dt dt dt dan diperoleh titik kesetimbangan bebas penyakit Λ E 0 = ( S * , I * , P * , A* , T * ) = , 0, 0, 0, 0 . (8) µ
Menggunakan metode matriks generasi berikutnya (Watmough et. al., 2002), angka reproduksi efektif (R e ) dari sistem (1) adalah radius spektral (nilai eigen terbesar) dari matriks generasi berikutnya
∂F i ( E 0 ) ∂V i ( E 0 ) ∂X j ∂X j
−1
(9)
di mana F i adalah laju yang muncul dari infeksi baru dalam kompartemen i karena interaksi antara individu yang terinfeksi dan individu yang tidak terinfeksi, V i + adalah laju transfer dari individu-individu yang masuk ke dalam kompartemen i dan V i − adalah laju transfer dari individu-individu yang keluar dari kompartemen i. Misalkan X = ( I , P, A, T , S ) T , F = (F 1 , F 2 , F 3 , F 4 , F 5 ) T , V = (V 1 ,V 2 ,V 3 ,V 4 ,V 5 )T −
dan
+
V i =V i −V. i . Sistem (1) dapat ditulis sebagai dX = f ( X ) = F ( X) −V ( X ). (10) dt Dari sistem (10), F i dan V i didefinisikan sebagai (σ 1 + µ ) I F 1 λ S F 0 − σ I + (σ + δ + µ ) P 1 2 1 F i = 2 = ;V i = F 3 0 − σ 2 P + (δ 2 + α 1 + µ ) A F 4 0 − δ 1 P − δ 2 A + (α 2 + µ )T Derivatif-derivatif dari F i danV i terhadap I , P, A dan T pada titik kesetimbangan bebas
penyakit N=
Λ
,
Λ E 0 = , 0, 0, 0, 0 µ
masing-masing
µ (1 − δ ) β1 (1 − δ ) β 2 0 0 F = 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
dan jika adalah
(11)
0 0 0 σ 1 + µ −σ σ +δ + µ 0 0 2 1 V = 1 . (12) 0 −σ 2 0 δ 2 + α1 + µ − δ1 −δ2 α 2 + µ 0
Maka (1 − δ ) β 2 σ 1 (1 − δ ) β 2 (1 − δ ) β 1 σ + µ (σ + µ )(σ + δ + µ ) σ + δ + µ 1 2 1 2 1 1 0 0 FV −1 = 0 0 0 0 0 0 0 Angka reproduksi efektif sistem (10) adalah
51 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
0 0 . 0 0
Re = ρ ( FV −1 ) (1 − δ ) β 1 (σ 2 + δ 1 + µ ) + (1 − δ ) β 2σ 1 = . (σ 2 + δ 1 + µ )(σ 1 + µ ) (13) Angka reproduksi efektif, R e menunjukkan rata-rata jumlah infeksi baru yang disebabkan oleh satu individu terinfeksi HIV dalam suatu populasi di mana program kampanye penggunaan kondom dan terapi antiretroviral digunakan sebagai strategi kontrol. Titik kesetimbangan bebas penyakit ada untuk semua nilai µ > 0, yaitu Λ E 0 = , 0, 0, 0, 0 . Kestabilan µ
lokal dari titik
kesetimbangan dirumuskan menggunakan teorema dari van den Driessche dan Watmough (2002). Teorema 1. Titik kesetimbangan bebas penyakit E0 dari sistem (1) adalah stabil asimptotik lokal jika Re < 1 dan tidak stabil jika Re > 1. Secara epidemiologi, teorema ini mengimplikasikan bahwa HIV dapat dieliminasi dari populasi jika Re < 1 , artinya jika ukuran subpopulasi awal dari model dengan program penggunaan kondom dan terapi antiretroviral diberikan dalam daerah stabil E 0 . Ini berarti, jika Re < 1 , individu yang terinfeksi rata-rata menghasilkan kurang dari satu individu terinfeksi baru pada periode infeksi dan infeksi tidak dapat berkembang. Sebaliknya, jika Re > 1 , maka setiap individu yang terinfeksi rata-rata menghasilkan lebih dari satu infeksi baru dan penyakit dapat berkembang dalam populasi. 4.4 Titik Kesetimbangan Endemik Titik kesetimbangan endemik sistem (1) terjadi jika penyakit ada dalam populasi ( I ≠ 0 ). Misalkan titik kesetimbangan endemik sistem (1) adalah * * * * * E1 = ( S , I , P , A , T ). Titik kesetimbangendemik dari sistem (1) adalah
w4 Λ , (σ 1 + µ )( R0 − 1) + µw4 R −1 * S I * = 0 w4
S* =
(7)
(14) σ1 I * = w1 I * σ 2 + δ1 + µ σ 1σ 2 * A = I * = w2 I * (σ 2 + δ 1 + µ )(δ 2 + α 1 + µ ) σ 1δ 1 (δ 2 + α 1 + µ ) + σ 1σ 2δ 2 T* = I* (σ 2 + δ 1 + µ )(δ 2 + α 1 + µ )(α 2 + µ )
P* =
= w3 I * Dengan
σ1 , σ 2 + δ1 + µ σ 1σ 2 w2 = , (σ 2 + δ1 + µ )(δ 2 + α1 + µ ) σ 1δ 1 (δ 2 + α 1 + µ ) + σ 1σ 2δ 2 , w3 = (σ 2 + δ 1 + µ )(δ 2 + α 1 + µ )(α 2 + µ ) w1 =
w4 = 1 + w1 + w2 + w3 + w4 , R0 = β 1 + β 2 w1 . σ1 + µ
Dari uraian di atas, adanya titik kesetimbangan endemik dapat dinyatakan dalam lemma berikut. Lemma 1. Jika
Re > 1, terdapat dengan
tunggal titik kesetimbangan endemik E1 dengan koordinat diberikan dalam persamaan (14). Menggunakan Teorema Manifold Pusat (Castillo-Chavez and Song, 2004), kestabilan titik kesetimbangan endemik dari sistem (1) dapat dirumuskan menggunakan teorema berikut. Teorema 2. Titik kesetimbangan endemik tunggal E1 dari sistem (1) adalah stabil asimtotik lokal jika Re > 1 . 4.5 Analisis Sensitivitas Penularan penyakit awal secara langsung berkaitan dengan angka reproduksi efektif (R e ) dan prevalensi berhubungan langsung dengan titik kesetimbangan endemik. Oleh karena itu, perlu dihitung indeks sensitivitas dari R e dan indeks sensitivitas dari state titik kesetimbangan endemik terhadap parameterparameter berbeda dalam model. Indeks sensitivitas ini menjelaskan bagaimana
52 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
pentingnya setiap parameter terhadap penyebaran penyakit dan prevalensi. • Indeks Sensitivitas dari R e Indeks sensitifitas dari nilai ambang R e menunjukkan penyebaran penyakit awal dihitung menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan oleh Chitnis et al. (2008). Definisi 1 Indeks sensitivitas normalisasi maju dari variabel R e yang bergantung diferensial pada parameter p , didefinisikan sebagai
I
Re p
=
∂Re p × . ∂p Re
(15)
Menggunakan nilai-nilai parameter (Tabel 1) di atas, diperoleh nilai angka-angka reproduksi
Re = 1.4665. Nilai indeks sensitivitas dari R e
dianggap konstan, maka nilai R e akan naik (turun) sebesar 10% × 0.0795 = 0.00795. Sebaliknya, secara individu parameter parameter σ 1 , d , d 1 , µ dan d 2 mempunyai indeks sensitivitas negatif, artinya: jika salah satu parameter dari σ 1 , d , d 1 , µ dan d 2 dinaikkan (diturunkan) 10% sementara parameter-parameter yang lain dianggap konstan, maka nilai R e akan turun (naik) sebesar 10% kali nilai indeks sensitivitasnya. Misalnya, parameter laju penggunaan kondom (δ ) dinaikkan (diturunkan) 10% sementara parameter-parameter yang lain dianggap konstan, maka nilai R e akan turun (naik) sebesar 10% × − 0.2500 = 0.0250. Tabel 2 menunjukkan urutan nilai indeks sensitivitas parameter yang paling sensitif sampai yang parameter- parameter ( p ) dihitung menggunakan rumus normalisasi maju dari x i yang bergantung pada suatu parameter p i ,
I pxi =
untuk model (1) disajikan dalam Tabel 2 berikut:
∂x i p × . ∂p x i
(16)
dengan Tabel 2 Indeks Sensitivitas dari R e untuk Model (1) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Parameter
β1 σ1 δ
β2 δ1 µ δ2
Indeks Sensitivitas 0.9205 -0.9009 -0.2500 0.0795 -0.0779 -0.0204 -0.0008
x1 = S * , x 2 = I * , x 3 = P * , x 4 = A*dan x5 = T * . Tabel 3 menunjukkan nilai-nilai indeks sensitivitas dari variabel state E 1 untuk model (1). Parameter laju rekruitmen ke dalam S (ᴧ) mempunyai nilai indeks sensitivitas 1, artinya Λ dinaikkan (diturunkan) 100% jika sementara parameter-parameter yang lain dianggap konstan, maka nilai variabel state dari titik kesetimbangan endemik akan naik (turun) sebesar 100% × 1 = 1 . Dari kolom dua
Dari Tabel 2, secara umum menunjukkan β 1 dan β 2 bahwa parameter-parameter mempunyai nilai indeks sensitivitas positif, β 1 dinaikkan artinya: jika parameter (diturunkan) 10% sementara parameterparameter yang lain dianggap konstan, maka nilai R e akan naik (turun) sebesar 10% × 0.9205 = 0.09205 . Sedangkan jika
dan tiga dalam Tabel 3, tampak bahwa nilai indeks sensitivitas sama untuk masingmasing parameter. Hal ini berarti masingmasing parameter mempunyai pengaruh sama terhadap prevalensi I* dan P*. Demikian juga halnya parameter β 1 dan β 2 mempunyai nilai
parameter β 2 dinaikkan (diturunkan) 10% sementara parameter-parameter yang lain
indeks sensitivitas sama individu terinfeksi (I,
53 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dari P,
individuA, T).
Tabel 3 Indeks Sensitivitas dari state E 1
β1 σ1 β2 δ1 µ δ2 σ2 α2 α1
Indeks Sensitivitas I* P* A* 1 1 1 0.1119 0.1119 0.1119
T* 1 0.1119
1.5118
-1.0687
-1.0687
-0.0687
-0.0687
-0.1654
0.0097
0.0097
0.0097
0.0097
-0.0242
0.0014
0.0014
-0.9788
0.0208
-0.0445 -0.0002
-0.0754 0.00001
-0.0754 0.00001
-0.1308 -0.0454
-0.1049 0.0005
0.0048
-0.0003
-0.0003
0.9898
-0.0097
-0.3592
0.0209
0.0209
0.0209
-0.9594
-0.0079
0.0005
0.0005
-0.9086
0.00005
urang sensitif terhadap perubahan R e . Parameter yang paling sensitif adalah laju kontak dari unaware infectives dengan suscepribles ( β 1 ), diikuti laju progres dari
kelas I ke P (σ 1 ) dan seterusnya. Parameter yang kurang sensitif adalah laju terapi dari kelas A ke T (δ 2 ) . • Indeks sensitivitas dari state E1 Sistem (1) mempunyai titik kesetimbangan epidemik E1 = S * , I * , P * , A* , T * dengan masing-masing variabel state dirumuskan dalam persamaan (14). Variabel-variabel state pada titik kesetimbangan endemik ( xi ) terhadap parameter- parameter ( p ) dihitung menggunakan rumus normalisasi maju dari x i yang bergantung pada suatu parameter p i , ∂x p I pxi = i × . (16) ∂p x i dengan x1 = S * , x 2 = I * , x 3 = P * , x 4 = A*dan x5 = T * . Tabel 3 menunjukkan nilai-nilai indeks sensitivitas dari variabel state E 1 untuk model (1). Parameter laju rekruitmen ke dalam S (ᴧ) mempunyai nilai indeks sensitivitas 1, artinya Λ dinaikkan (diturunkan) 100% jika sementara parameter-parameter yang lain dianggap konstan, maka nilai variabel state dari titik kesetimbangan endemik akan naik (turun) sebesar 100% × 1 = 1 . Dari kolom dua dan tiga dalam Tabel 3, tampak bahwa nilai indeks sensitivitas sama untuk masingmasing parameter. Hal ini berarti masingmasing parameter mempunyai pengaruh sama terhadap prevalensi I* dan P*. Demikian juga halnya parameter β 1 dan β 2 mempunyai nilai
(
)
indeks sensitivitas sama dari individuindividu terinfeksi (I, P, A, T). 4.6 Analisis Numerik Gambar 2 menunjukkan subpopulasi infektif HIV (unaware infectives, infectives individuals, terapi Antiretroviral) dan AIDS population yang diplot terhadap susceptibles menggunakan nilai-nilai parameter dalam Tabel 1 untuk dua nilai awal yang berbeda: 1. S (0) = 35000, I (0) = 21000, P (0) = 8400, A(0) = 4900, T (0) = 700. 2. S (0) = 42000, I (0) = 14000, P(0) = 5600, A(0) = 1400, T (0) = 7000. Titik kesetimbangan endemik dari model (1) adalah E1 = ( S * , I * , P * , A* , T * ) dengan S * = 3864.36, , I * = 1296.78, P * = 641.97, A* = 29.18 dan T * = 1246.75. Dari Gambar 2, menunjukkan bahwa untuk sebarang nilai awal dimulai, kurva solusi menuju titik kesetimbangan E 1 . Oleh karena itu, disimpulkan bahwa titik kesetimbangan endemik dari model (1) adalah stabil global untuk nilai-nilai parameter dalam Tabel 1. Gambar 3 menunjukkan variasi populasi total dalam semua subpopulasi. Tampak bahwa populasi susceptibles menurun dengan waktu dan kemudian mencapai posisi kesetimbangannya. Karena diberikan terapi antiretroviral, maka infeksi menjadi kurang endemik pada populasi. 2.5
x 10
4
(a)
(b) 10000
1 2 E1
2 1.5 1 0.5 0
1 2 E1
8000
Infectives (P)
Λ
S* 1 -1.9152
Unaware infectives (I)
Parameter
6000 4000 2000
0
54 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2
6
4
Susceptibles (S)
x 10
4
0
0
2
6
4
Susceptibles (S)
x 10
4
(c)
(d)
kondom dan terapi antiretroviral penyebaran HIV/AIDS
14000 1 2 E
4000
1 2 E
12000
Terapi infectives (T)
IAIDS patient (A)
5000
1
3000
2000
1000
10000
1
8000
UCAPAN TERIMA KASIH
6000 4000 2000
0
0
2
4
Susceptibles (S)
0
6 x 10
0
2
4
6
Susceptibles (S)
4
x 10
4
Gambar 2. Varasi Susceptibles melawan (a) Unaware infectives (b) Infectives (c) AIDS patient dan (d) Terapi infectives
Pada awalnya populasi unaware infectives dan infectives individuals meningkat namun karena peningkatan penggunaan kondom dan terapi antiretroviral dengan laju masingmasing δ dan δ 1 menjadi turun kemudian mencapai posisi kesetimbangannya. Ini akhirnya menyebabkan penurunan populasi AIDS infectives. 4
x 10
4
S I P A T
3.5
Populasi
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
0
2
4
6
8
10
pada
12
14
16
18
20
Waktu (tahun)
Gambar 3. Dinamika populasi dengan penggunaan kondom dan terapi antiretroviral
5. KESIMPULAN Sebuah model matematika nonlinear telah digunakan untuk menganalisis dampak program penggunaan kondom dan terapi antiretroviral pada model penyebaran HIV/AIDS. Secara numerik, berdasarkan nilai parameter yang diberikan, diperoleh angka reproduksi efektif Re = 1.4665 , yang merepresentasikan dinamika penyebaran HIV/AIDS dengan intervensi penggunaan kondom dan terapi antiretroviral. Sistem stabil asimptotik pada titik kesetimbangan endemik E1 = (3864.36,1296.78, 641.97, 29.18,1246.75). Dari analisis sensitivitas, parameter yang sensitif terhadap R e adalah laju kontak β 1 diikuti laju progesi σ 1 . Parameter yang sensitif terhadap variable state titik kesetimbangan endemik E 1 adalah laju rekruitmen ᴧ, diikuti laju kontak β 1 diikuti laju progesi σ 1 . Untuk penelitian selanjutnya, perlu dianalisis dan diaplikasikan kontrol optimal pada model (pengembangan) untuk menentukan pengaruh dari penggunaan
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kementerian Ristek DIKTI dan Universitas Brawijaya atas dukungan finansial untuk penulisan paper yang dipresentasikan pada Semnasmantap I di ULM tanggal 22 April 2017.
DAFTAR PUSTAKA Brauer, F. and Castillo-Chavez, C. ,(2001), Mathematical Models in Population Biology and Epidemiology, Text in Applied Mathematics Vol. 40, Springer Verlag. Marsudi, Marjono and Andari, A. (2014), Sensitivity Analysis of Effect of Screening and HIV Therapy on the Dynamics of Spread of HIV,Applied Mathematical Sciences, 8(155): p.749776. Marsudi, Wibowo, R.B.E. and Hidayat, N. (2016). A Sensitivity Analysis of the Impact of Educational Campaign, Screening and Therapy on the Spread of HIV Infection, Nonlinear Analysis and Differential Equations, 4(7), p. 327 – 341. Naresh, R. , Tripath, A. and Sharma, D. ,(2009), Modelling the Effect of Risky Sexual Behavior on The Spread of HIV/AIDS, International Journal of Applied Mathematics and Computation, 1 (3): p. 132-147. Safiel, R., Massawe E.S. and Makinde, D.O. , (2012), Modelling the Effect of Screening and Treatmen on Transmission of HIV/AIDS Infection in a Population. American Journal of Mathematics and Statistics 2012, 2(4): p. 75-88 Tripath, A., Naresh, R. and Sharma, D., (2007), Modeling the Efect of Screening and Unaware Infective on the Dynamics of HIV Transmission. England Journal of Medicine, Applied Mathematics and computation, 184: p.1053-1068. Van den Driessche, P. and Watmough, J., (2002), Reproduction Numbers and Subthreshold Endemic Equilibria for Compartmental Models of Disease Transmission, Mathematical Biosciences, 180: p. 29–48.
55 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
ANALISIS KEPUTUSAN UNTUK PERKEMBANGAN WISATA MENGGUNAKAN METODE DEMATEL DAN ANP (Studi Kasus: Desa Adat Kemiren Banyuwangi) Sobri Abusini(1), Echa Ayu Fatmawati(2) (1)
Department of Mathematics - University Brawijaya, Malang, Indonesia e-mail:
[email protected] (2) Department of Mathematics - University Brawijaya, Malang, Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstrak Desa Adat Kemiren sebagai desa wisata di Kabupaten Banyuwangi harus menggunakan konsep pariwisata berkelanjutan untuk mengembangkan desa pariwisata. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk menyelesaikan masalah dalam perkembangan wisata yang berkelanjutan. Metode DEMATEL (Decision Making Trial and Evaluation Laboratory) dan ANP (Analytic Network Process) dapat dijadikan alternatif untuk suatu permasalahan yang mempunyai banyak kriteria yang saling berkaitan atau berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Terdapat enam kriteria yang digunakan untuk perkembangan wisata yaitu kearifan lokal, kesenian, jenis mata pencaharian, tingkat kesejahteraan masyarakat, komoditas asli, dan akomodasi wisata. Tahap pertama metode DEMATEL adalah mencari kriteria yang paling dominan dan keterkaitan antar kriteria. Hasil yang diperoleh bahwa kearifan lokal merupakan kriteria yang dominan dan memberikan pengaruh paling banyak diantara kriteria yang lain. Mengacu hasil keterkaitan antar kriteria, diperoleh bobot serta alternatif yang bisa digunakan untuk perkembangan wisata adalah menggunakan metode ANP dengan bantuan software Super Decision. Bobot yang paling tinggi yaitu kearifan lokal. Alternatif-alternatif untuk perkembangan wisata yang pertama yaitu mengadakan event, menambahkan objek wisata, dan mengembangkan komoditas asli. Kata Kunci: Perkembangan wisata, DEMATEL, ANP.
1. PENDAHULUAN Bagian ini Pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektorsektor produktif lainnya (Pendit, 2006). Perkembangan pembangunan pariwisata di Kabupaten Banyuwangi bila ditinjau berdasarkan jumlah obyek-obyek wisata serta akomodasi penunjangnya, dapat dikategorikan sebagai daerah tujuan wisata yang sedang berkembang. Potensi alam yang strategis bisa menjadikan Banyuwangi sebagai daerah transit bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke dan atau dari pulau Bali. Desa adat Kemiren sebagai desa wisata di Kabupaten Banyuwangi dapat menggunakan konsep pariwisata berkelanjutan untuk mengembangkan desa pariwisata. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk menyelesaikan masalah dalam perkembangan wisata yang berkelanjutan. Metode
DEMATEL dan ANP dapat digunakan untuk perkembangan pariwisata. DEMATEL digunakan untuk mencari kriteria yang dominan dan keterkaitan antar kriteria (Tzeng, 2010). ANP digunakan untuk mengetahui bobot serta alternatif yang bisa mengembangkan desa pariwisata yang berkelanjutan (Saaty dan Vargas, 2006). Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui kriteria yang paling berpengaruh dalam pengembangan pariwisata desa adat Kemiren menggunakan analisis DEMATEL. 2. Mengetahui keterkaitan antar kriteria pada elemen pariwisata berkelanjutan dalam pengembangan pariwisata desa adat Kemiren menggunakan analisis DEMATEL. 3. Mengetahui bobot prioritas tiap kriteria pada elemen pariwisata berkelanjutan dalam pengembangan pariwisata desa adat Kemiren menggunakan Analytic Network Process.
2. TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan
56 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektorsektor produktif lainnya. Mengembangkan kepariwisataan di suatu objek wisata berarti mengembangkan potensi fisik pada objek pariwisata yang dipasarkan. Di setiap objek atau lokasi pariwisata sebetulnya memiliki berbagai unsur saling tergantung yang diperlukan agar para wisatawan dapat menikmati suatu pengalaman memuaskan. 2.1 Multi Criteria Decision Making (MCDM) Multi Criteria Decision Making (MCDM) adalah suatu metode pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif berdasarkan beberapa kriteria tertentu. Kriteria biasanya berupa ukuran-ukuran, aturan-aturan atau standar yang digunakan dalam pengambilan keputusan (Kusumadewi,2006). Terdapat beberapa fitur umum yang akan digunakan dalam MCDM (Janko,2005). 1. Alternatif, alternatif adalah objek-objek yang berbeda dan memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih oleh pengambil keputusan. 2. Atribut, atribut sering juga disebut sebagai karakteristik, komponen atau kriteria keputusan. Meskipun pada kebanyakan kriteria bersifat satu level, namun tidak menutup kemungkinan adanya subkriteria yang berhubungan dengan kriteria yang telah diberikan. 3. Konflik antar kriteria, beberapa kriteria biasanya mempunyai konflik antara satu dengan yang lainnya, misalnya kriteria keuntungan akan mengalami konflik dengan kriteria biaya. 4. Bobot keputusan, bobot keputusan menunjukkan kepentingan relatif dari setiap kriteria. Pada MCDM akan dicari bobot kepentingan dari setiap kriteria. 5. Matriks keputusan, suatu matriks keputusan X yang berukuran mxn, berisi elemen-elemen xij , yang merepresentasikan rating dari alternatif Ai terhadap kriteria C j . Ada beberapa cara dalam mengklasifikasikan metode MCDM. Menurut tipe data yang digunakan, MCDM dapat dibagi berdasarkan tipe data deterministik, stokastik atau fuzzy. Menurut jumlah pengambilan keputusan, MCDM dapat dibagi berdasarkan pengambil keputusan satu orang atau pengambil keputusan dalam bentuk grup (Kusumadewi,2006).
2.2 Decision Making Trial and Evaluation Laboratory (DEMATEL) Metode DEMATEL merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menyusun atau merumuskan hubungan antar kriteria menjadi model terstruktur yang mudah dipahami. Decision Making Trial and Evaluation Laboratory (DEMATEL) merupakan analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antar faktor yang bersangkutan. Pengidentifikasian faktor dengan menggunakan analisis ini bertujuan untuk menemukan faktor yang berpengaruh paling besar/dominan terhadap faktor lain (Tzeng, 2010). Tujuan utama dari analisis DEMATEL adalah untuk menggambarkan hubungan langsung dan dapat memberikan nilai besar kecilnya pengaruh yang terjadi dalam hubungan skema tersebut. Suatu diagram/skema pengaruh dan metode ini sangat efektif digunakan untuk menganalisis faktor yang paling dominan berperan dalam keberlanjutan suatu perencanaan atau sistem program (Wu, 2007). Analisis DEMATEL sama seperti analisis pengambilan keputusan lainnya, hanya saja analisis ini memiliki pendekatan yang sistematik untuk dapat secara sekaligus mengidentifikasi faktor yang dominan dan hubungan antar faktor. Melalui pendekatan ini, maka hasil pengambilan keputusan menjadi lebih akurat. Pendekatan DEMATEL digunakan untuk pemecahan masalah di berbagai bidang, seperti strategi bisnis, strategi pemasaran, evaluasi pendidikan, proyek perencanaan, dan kualitas pelayanan (Tzeng, 2010). DEMATEL secara efektif dapat memberikan hubungan pengaruh melalui matriks. Gabus dan Fontela (1973) menjelaskan bahwa terdapat 3 dasar asumsi analisis DEMATEL, antara lain. 1. Menggunakan angka 0,1,2,3 dan 4 untuk mengetahui skala perbandingan yang diberikan dari satu faktor ke faktor yang lainnya. 2. Menjelaskan definisi karakteristik faktor dan hubungannya melalui skema pengaruh/dampak. 3. Faktor yang paling dominan berpengaruh ditetapkan sebagai faktor kunci.
57 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tabel 1. Skala Perbandingan Metode DAMATEL Nilai
Definisi
0
Tidak ada pengaruh
1
Pengaruh rendah
2
Pengaruh sedang
3
Pengaruh tinggi
4
Pengaruh sangat tinggi
Sumber: Hsien and Chin, 2009
2.3 Analytic Network Process (ANP) Analytic Network Process (ANP) yang diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1975 yang merupakan perluasan dari AHP (Analytic Hierarchy Process). ANP memberikan hubungan timbal balik yang lebih kompleks antara elemen keputusan, dengan mengganti hirarki dalam AHP menjadi sebuah jaringan. Metode ANP menyediakan suatu cara untuk menilai dan mengukur skala rasio prioritas untuk distribusi pengaruh antara faktor dan grup dari faktor dalam keputusan. Karena proses didasarkan pada pengukuran dari penurunan rasio, maka dapat digunakan untuk mengalokasi sumber daya prioritas rasio. Oleh karena itu, ANP menjadi metode pengambilan keputusan alternatif, peramalan, perancangan, alokasi sumber daya, uji kesesuaian, riset kualitatif, dan sebagainya yang melibatkan berbagai faktor yang saling berkaitan mempunyai komparasi lebih obyektif, prediksi yang lebih akurat dan hasil yang lebih stabil. ANP merupakan kombinasi dari dua bagian yaitu jaringan kriteria dan sub-kriteria yang mengontrol interaksi, dan jaringan yang mempengaruhi elemen dan cluster. Prinsip dasar dari ANP adalah penilaian komparasi dan sintesis hasil. Sintetis hasil analisis dilakukan melalui perhitungan dengan software superdecision sehingga mudah dan cepat.
sub-kriteria. Kontrol lainnya adalah kontrol keterkaitan yan menunjukkan adanya saling keterkaitan antar kriteria. 2.4 Menyusun konstruksi model Analytic Network Process Definisi hirarki menurut Saaty (1993) adalah gambaran dari permasalahan yang kompleks kedalam struktur banyak tingkat, dimana tingkat paling atas adalah tujuan dan diikuti tingkat kriteria, sub kriteria dan seterusnya ke bawah, sampai tingkat yang paling bawah adalah tingkat alternatif. 2.5 Matriks Perbandingan Berpasangan.. Untuk mengisi matriks perbandingan berpasangan, digunakan bilangan untuk menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen terhadap elemen lain. Skala banding secara berpasangan mendefinisikan dan menjelaskan nilai 1 sampai 9 yang ditetapkan untuk pertimbangan dalam membandingkan pasangan elemen yang sejenis. Skala banding secara berpasangan ditunjukkan pada Tabel 2.2 (Saaty,1993). Tabel 2. Skala Banding Secara Berpasangan IK
Definisi
1
Kedua elemen sama pentingnya.
3
Elemen satu sedikit lebih penting dari yang lain.
5
Elemen satu esensial atau lebih penting dari elemen yang lain.
7
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya.
9
Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lain.
2,4,6,8 Nilai-nilai di antara dua pertimbangan yang berdekatan. IK
= Intensitas Kepentingan
2.6 Nilai eigen dan vektor eigen Untuk mencari nilai eigen dari matriks B, menurut Anton (2004): (λI − B) x = 0, x ≠ 0 akan mempunyai penyelesaian, jika dan hanya jika λI − B = 0 Vektor eigen diperoleh dengan menormalisasi matrik B terlebih dahulu n
ANP biasanya dilakukan untuk mencari bobot dari setiap kriteria. Pada metode ANP ada 2 jenis keterkaitan yaitu keterkaitan dalam satu set elemen (inner dependence) dan keterkaitan antar elemen yang berbeda (outer dependence). Sedangkan AHP tidak mewakili hubungan antar tingkat. Kelemahan ini akan dihapus dalam ANP melalui pendekatan umpan balik. Ada dua kontrol yang perlu diperhatikan dalam memodelkan sistem yang hendak diketahui bobotnya. Kontrol pertama adalah kontrol hirarki yang menunjukkan keterkaitan antar kriteria dan
sehingga
∑b j =1
j
=1
3. METODE ANALISIS DATA Data dalam penelitian ini berasal dari kuisioner yang diberikan kepada stakeholder yang digunakan untuk perhitungan kedua metode. Hasil kuisioner DEMATEL diolah menggunakan software MAPLE dan Microsoft Excel dengan membangun matriks hubungan langsung, menormalisasi matriks hubungan langsung, menentukan matriks hubungan total, mencari vektor dispatcher
58 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dan vektor receiver dengan rumus (Wu, 2007):
[]
T = t ij
nxn
i, j = 1,2,3,..., n
,
n R = ∑ t ij = [t i ]nx1 j =1 nx1 n D = ∑ t ij = [t j ]1xn i =1 1xn Dimana : T : Matriks hubungan Total D : Vektor dispatcher R : Vekrot receiver Hasil dari vektor-vektor tersebut dikonversikan menjadi peta impact-digraph. Peta tersebut menjadi input ke dalam software Super Decision untuk menentukan bobot setiap elemen. Setelah membentuk jaringan ANP, kemudian mencari matriks perbandingan berpasangan dengan menggunakan skala Saaty. Setelah mendapatkan matriks perbandingan berpasangan, kemudian mencari nilai eigen ( λ maks ) dengan rumus:
λ maks =
1 n
n
n
∑∑ i =1
j =1
(a ij .
wj wi
)
Dimana i, j = 1,2,3,..., n
λ maks : nilai eigen maksimum wi wj
: vektor bobot kriteria ke-i
perkembangan pariwisata di desa adat Kemiren yaitu K (kearifan lokal), L (kesenian), M (jenis mata pencaharian), N (tingkat kesejahteraan masyarakat), O (komoditas asli), P (akomodasi wisata). Setelah mendapatkan matriks hubungan total kemudian menormalisasi matriks, mencari matriks hubungan total, mendapatkan vektor dispatcher dan vektor receiver, mendapatkan koordinat x dan y, serta tabel nilai kekuatan pengaruh seperti pada Tabel 3 dan Tabel 4 Tabel 3. Koordinat x dan y Kriteria D + R t (x) K 1,7070 L 1,4371 M 1,3097 N 1,3734 O 1,2880 P 1,6758 Sumber: Hasil Analisis
Jika CR ≤ 0,1 maka responden konsisten pada saat mengisi matriks perbandingan berpasangan. Jika CR 〉 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria tidak konsisten. Setelah melakukan uji konsistensi, langkah selanjutnya adalah mendapatkan nilai supermatriks yang terdiri dari matriks tidak tertimbang, matriks tertimbang, dan limit matriks (Saaty, 1993).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
1,4466 0,7234 0,2060 -0,2994 -0,6558 -1,4208
Tabel 4. Nilai Kekuatan Pengaruh Pengaruh Kriteria Nilai ke L 0,2068 M 0,2449 N 0,2972 K O 0,2772 P 0,4204 M 0,1479
Jumlah pengaruh
5
N
0,2333
O
0,2154
P
0,3336
N O
0,1479
P
0,2766
O
0,1434
P
0,2356
O
P
0,1547
1
P
-
0
0
L
: vektor bobot kriteria ke-j
Lalu melakukan uji konsistensi dengan rumus: (λ − n) CI CI = maks dan CR = (n − 1) RI
D − R t ( y)
M
N
0,1744
4
3
2
Sumber: Hasil Analisis
Pada Tabel-4 terlihat bahwa kearifan lokal merupakan kriteria yang paling dominan dengan memberikan pengaruh yang paling banyak terhadap kriteria yang lain. Setelah mendapatkan koordinat x dan y, kemudian dikonversikan ke dalam peta impact-digraph seperti pada Gambar 1.
4.1 Pembuatan Model DEMATEL pada Perkembangan Pariwisata Langkah awal dalam metode DEMATEL adalah menganalisis kriteria yang digunakan untuk mengembangkan pariwisata di desa adat Kemiren. Kriteria yang digunakan untuk
59 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tabel 6. Nilai Prioritas Alternativ Klaster
Alternativ
Sub
Prioritas
Prioritas
Klaster
Global
Kriteria
Rangking
AI
0,17935
0,41718
1
AII
0,15091
0,35103
2
AIII
0,09965
0,23179
3
Sumber: Hasil Analisis
Dari Tabel 6 diperoleh prioritas alternatif yang tertinggi yaitu mengadakan event, diikuti oleh menambahkan objek wisata, dan mengembangkan komoditas asli. Gambar 1. Peta impact-diagraph
5. KESIMPULAN
4.2 Menentukan Bobot dan Alternatif Terbaik Menggunakan Metode ANP Model ANP dapat dibuat dengan menggunakan bantuan software Super Decision yang dibuat oleh Saaty. Pembuatan model ANP berdasarkan peta impact-digraph yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Model ANP pada Perkembangan Pariwisata
Setelah mendapatkan model ANP, kemudian mencari matriks perbandingan berpasangan dan vektor eigen, rasio kekonsistenan, kemudian mendapatkan supermatriks dengan tiga tahapan yaitu matriks tidak tertimbang, matriks tertimbang, dan limit matriks. Hasil dari limit matriks digunakan untuk mencari prioritas kriteria, dan prioritas alternatif yang dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Nilai Prioritas Alternativ Klaster Budaya
Ekonomi
Sub
Prioritas
Prioritas
Klaster
Global
Kriteria
Kearifan lokal
0,22345
0,39195
1
Kesenian
0,12778
0,22414
2
Akomudasi wisata
0,06112
0,10721
3
Akomudasi asli
0,05266
0,09237
4
jemape
0,04482
0,07862
5
kes masy
0,06026
0,10570
6
kes masy
= kesejateraan masyarakat
jemape
= jenis mata pencaharian
Rangking
Sumber: Hasil Analisis
Tabel 5 menunjukkan nilai prioritas kriteria yaitu kearifan lokal dengan nilai prioritas 0,39195; diikuti oleh kesenian, akomodasi wisata, tingkat kesejahteraan masyarakat, komoditas asli, dan jenis mata pencaharian.
Kriteria yang paling dominan untuk mengembangkan pariwisata di desa adat Kemiren yaitu kearifan lokal. Kearifan lokal juga memberikan pengaruh paling banyak diantara kriteria yang lain. Selain itu, kearifan lokal memiliki nilai prioritas yang paling tinggi. Alternatif yang bisa digunakan untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan di desa adat Kemiren yaitu mengadakan event kemudian menambahkan objek wisata, dan mengembangkan komoditas asli. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterimakasih kepada pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi, Kantor Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, dan Kantor Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi yang telah memberikan kesempatan bagi penulis mengambil data yang diperlukan. DAFTAR PUSTAKA Pendit, N.S., (2006), Ilmu Pariwisata (Sebuah Pengantar Perdana), PT. Malta Pritindo, Jakarta. Saaty, T.L., (1993), Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang kompleks, Pustaka Binaan Pressindo, Jakarta. Saaty, T.L., dan Vargas, L.G., (2006), Decision Making with the Analytic Network Process, Springer, USA. Tzeng, Gwo-Hshiung, dan Chang, Hung-Fan, (2010), A Causal Decision Making Model for Knowledge Management Capabilities to Innovation Perfomance in Taiwan’s High-Tech Industry, Journal of Technology Management & Innovation, Universidad Alberto Hurtado, 5, hal. 138-144. Wu, W.W., (2008), Choosing Knowledge Managemet Strategies by using A Combined ANP and DEMATEL Approach, Expert System with Application, Elsevier, 35, hal. 828-835.
60 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
KONSTRUKSI KODE HAMMING-[7,4,3] DARI FINITE PROJECTIVE PLANE ORDER 2 Vira Hari Krisnawati Jurusan Matematika Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya
[email protected]
Abstrak Kode Hamming adalah suatu kelas dari kode linear biner yang dapat mengoreksi eror secara tunggal. Kode Hamming-[7,4,3] merupakan suatu himpunan kode Hamming sederhana dengan panjang 7, dimensi 4, dan jarak minimumnya 3. Sedangkan finite projective plane order 2 merupakan suatu konstruksi geometri yang terdiri dari 7 titik dan 7 garis dimana setiap garisnya memuat 3 titik dan begitu pula setiap titik termuat dalam 3 garis. Konsep projective plane ini mengalami perkembangan terkait dengan konstruksi kode linear binernya. Untuk mengkonstruksi kode Hamming ini biasanya dilakukan dengan membentuk fungsi encoding atau matriks generator tertentu. Akan tetapi dalam artikel ini dianalisa konstruksi kode Hamming-[7,4,3] yang dibentuk dari finite projective plane order 2 berdasarkan matriks insidennya. Kata Kunci: kode Hamming, fungsi encoding, matriks generator, finite projective plane order 2
1. PENDAHULUAN Dalam teori pengkodean, kode linear merupakan suatu kode yang dapat digunakan untuk mengoreksi eror sehingga lebih efisien dalam penyusunan algoritma encoding dan decoding dibandingkan dengan kode yang lain. Secara matematis, kode linear adalah suatu subruang dari ruang vektor atas field berhingga, yang secara umum menggunakan kode biner yaitu atas field 𝐅𝐅2 . Salah satu contohnya adalah kode Hamming yang biasa disebut sebagai single error-correcting code. Menurut Lint (1999), kode Hamming adalah suatu himpunan kode dengan panjang 𝑛𝑛 = 2𝑟𝑟 − 1, dimensi 𝑘𝑘 = 2𝑟𝑟 − 𝑟𝑟 − 1, dengan 𝑟𝑟 ≥ 2, serta jarak minimumnya sama dengan 3. Untuk 𝑟𝑟 = 3, dapat dikonstruksi kode Hamming dengan panjang 7, dimensi 4, dan jarak minimumnya 3, atau dinotasikan dengan kode Hamming-[7,4,3]. Sedangkan, finite projective plane merupakan suatu konstruksi geometri yang merupakan perluasan dari konsep bidang, yang terdiri dari himpunan titik dan garis bersama dengan suatu relasi yang didefinisikan di dalamnya dengan order 2 sebagai order terkecil. Menurut Krisnawati and Karim (2016), finite projective plane order 2 terdiri dari 7 titik dan 7 garis dimana setiap garisnya memuat 3 titik dan begitu pula setiap titik termuat dalam 3 garis. Berdasarkan Bogopolski (2008), dalam konstruksi finite projective plane order 2 ini dapat dibangun suatu kode linear yang
direntang oleh baris dalam matriks insidennya. Kode linear dari finite projective plane order 2 ternyata mempunyai suatu hubungan yang erat dengan pengkonstruksian kode Hamming-[7,4,3]. Oleh karena itu, dalam artikel ini dilakukan analisis sifat-sifat yang terkait dengan konstruksi kode di antara keduanya.
2. TINJAUAN PUSTAKA Dalam dasar teori ini dikaji dan dibahas studi literatur mengenai beberapa definisi dan sifat tentang kode linear dan beberapa teori tentang finite projective plane yang menunjang untuk menganalisa topik dalam artikel ini. 2.1 Kode Linear dan Kode Hamming-[n, k, d] Kode linear adalah suatu subruang dari ruang vektor atas field berhingga (secara umum menggunakan kode biner yaitu atas field 𝐅𝐅2 ) sedemikian sehingga fungsi encoding merupakan transformasi linear. Berikut diberikan beberapa definisi terkait konstruksi kode linear berdasarkan Lint (1999). Definisi 1. Kode linear C-[n,k,d] adalah suatu himpunan kode yang setiap elemennya mempunyai panjang n, dimensi k, dan jarak minimum d. Banyaknya elemen (order) dari C, |𝐶𝐶| = 2𝑘𝑘 dan jarak minimum adalah nilai minimum digit yang berbeda dari setiap 2 elemen berbeda dari C.
61 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Definisi 2. Bobot Hamming dari suatu elemen c pada kode C, dinotasikan w(c) adalah banyaknya koordinat tak nol dari elemen c tersebut. Sedangkan enumerator bobot (weight) dari C didefinisikan sebagai polinomial 𝑊𝑊𝐶𝐶 (𝑋𝑋, 𝑌𝑌) = ∑𝑐𝑐∈𝐶𝐶 𝑋𝑋 𝑛𝑛−𝑤𝑤(𝑐𝑐) 𝑌𝑌 𝑤𝑤(𝑐𝑐) = ∑𝑛𝑛𝑖𝑖=0 𝐴𝐴𝑖𝑖 𝑋𝑋 𝑛𝑛−𝑖𝑖 𝑌𝑌 𝑖𝑖
dengan 𝐴𝐴𝑖𝑖 = |{𝑐𝑐 ∈ 𝐶𝐶|𝑤𝑤(𝑐𝑐) = 𝑖𝑖}|.
Definisi 3. Matriks generator untuk kode linear C adalah suatu matriks G yang barisnya terbentuk dari basis untuk C. Dalam kode linear C-[n,k,d], bentuk standar matriks G adalah (𝐼𝐼𝑘𝑘 |𝑋𝑋)𝑘𝑘×𝑛𝑛 dengan 𝐼𝐼𝑘𝑘 adalah matriks identitas ukuran 𝑘𝑘 × 𝑘𝑘.
Salah satu contoh kode linear adalah kode Hamming-[n,k,d]. Berikut diberikan definisi dan cara mengkonstruksi kode Hamming.
Definisi 4. Kode Hamming-[n,k,d] merupakan kode biner linear atau biasa disebut sebagai single error-correcting code dengan panjang bit 𝑛𝑛 = 2𝑟𝑟 − 1, dimensi 𝑘𝑘 = 2𝑟𝑟 − 𝑟𝑟 − 1 dengan 𝑟𝑟 ≥ 2, serta jarak minimumnya d = 3. 2.2 Finite Projective Plane Suatu projective plane terdiri dari himpunan titik dan garis bersama dengan suatu relasi yang didefinisikan di dalamnya. Berikut diberikan beberapa definisi tentang projective plane dan teorema terkait berdasarkan Colbourn and Dinitz (1996). Definisi 5. Suatu projective plane 𝜋𝜋 adalah suatu triple (℘, ℒ, 𝐼𝐼) dengan ℘ adalah himpunan titik dan ℒ adalah himpunan garis, dan 𝐼𝐼 adalah relasi insiden antara titik dan garis (yaitu titik terletak pada garis) yang memenuhi beberapa aksioma berikut. (i) Untuk setiap 𝑝𝑝1 , 𝑝𝑝2 ∈ ℘, terdapat dengan tunggal 𝑙𝑙 ∈ ℒ sedemikian sehingga 𝑝𝑝1 ∈ 𝑙𝑙 dan 𝑝𝑝2 ∈ 𝑙𝑙. (ii) Untuk setiap 𝑙𝑙1 , 𝑙𝑙2 ∈ ℒ, terdapat dengan tunggal 𝑙𝑙 ∈ ℘ sedemikian sehingga 𝑝𝑝 ∈ 𝑙𝑙1 dan 𝑝𝑝 ∈ 𝑙𝑙2 . (iii) Terdapat empat titik tetapi tidak ada tiga titik di antaranya yang terletak dalam satu garis. Suatu projective plane yang bersifat setiap garis mempunyai 𝑞𝑞 + 1 titik disebut sebagai finite projective plane berorder 𝑞𝑞.
Teorema 6. Misalkan 𝜋𝜋 adalah suatu projective plane berorder q. Maka
(i) (ii) (iii)
Setiap garis memuat 𝑞𝑞 + 1 titik. Setiap titik insiden dengan 𝑞𝑞 + 1 garis. |℘| = |ℒ| = 𝑞𝑞 2 + 𝑞𝑞 + 1.
Dengan demikian menurut Hughes and Piper (1973), dalam geometri projective plane dapat didefinisikan dualitas yang berarti suatu transformasi geometri dimana ketentuan titik dapat digantikan olah garis begitu sebaliknya. Berdasarkan Krisnawati and Karim (2016), finite projective plane order 2 terdiri dari 7 titik dan 7 garis dimana setiap garisnya memuat 3 titik dan begitu pula setiap titik termuat dalam 3 garis. Serta dicantumkan pula sifat dari pengkonstruksiannya seperti berikut. Teorema 7. Misalkan 𝜋𝜋 adalah finite projective plane order 2 atau dinotasikan sebagai PG(2,2). ℘ = { 𝑝𝑝𝑖𝑖 | 𝑖𝑖 = 1, 2, ⋯ , 7 } adalah himpunan titik dari 𝜋𝜋 dan ℒ = { 𝑙𝑙𝑖𝑖 | 𝑖𝑖 = 1, 2, ⋯ , 7 } adalah himpunan garis dari 𝜋𝜋. Terdapat 3 buah garis generator dari ℒ untuk membangun suatu finite projective plane order 2 sedemikian sehingga 4 garis lainnya dapat ditentukan secara tunggal. Adapun 3 garis generator tersebut terdiri dari: (i). 2 garis dari { 𝑙𝑙 ∈ ℒ | 𝑝𝑝𝑖𝑖 ∈ 𝑙𝑙 }, dan (ii). 1 garis dari { 𝑙𝑙′ ∈ ℒ | 𝑝𝑝𝑖𝑖 ∉ 𝑙𝑙′ }. Teori pengkodean yang telah dibahas sebelumnya menjadi lebih menarik karena dapat digabungkan dengan materi finite projective plane. Konsep finite projective plane ini dapat dikonstruksi kode linearnya dengan definisi berikut berdasarkan Ebeling (2002).
Definisi 8. Misalkan 𝜋𝜋 adalah suatu finite projective plane. Kode linear dari 𝜋𝜋 adalah ruang vektor atas 𝑭𝑭2 yang direntang oleh baris-baris dalam matriks insiden dari 𝜋𝜋. Untuk finite projective plane π order q dengan n = q2 + q + 1, kode linear yang terbentuk dari π adalah subruang dari 𝐅𝐅2n .
3. METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur dan analisa penentuan sifatsifat yang terkait. Langkah-langkah yang diperlukan dalam penentuan konstruksi kode Hamming-[7,4,3] dari finite projective plane order 2 adalah sebagai berikut. 1. Menganalisa konstruksi kode Hamming[7,4,3] berdasarkan fungsi encoding atau matriks generator.
62 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2. Menentukan proposisi tentang fungsi encoding, basis, matriks generator bentuk standar, bobot Hamming (weight enumerator) dari semua elemen kode Hamming-[7,4,3]. 3. Menganalisa kembali mengenai beberapa sifat dari konstruksi finite projective plane order 2. 4. Mengkonstruksi kode linear dari finite projective plane order 2, kemudian membandingkan hasilnya dengan kode Hamming-[7,4,3].
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini dibahas tentang analisa beberapa sifat pengkonstruksian kode Hamming-[7,4,3] dari finite projective lanes order 2. Sebelumnya dikaji ulang mengenai ketentuan konstruksi kode Hamming-[7,4,3] dari fungsi encoding atau matriks generator. 4.1 Konstruksi Kode Hamming-[7,4,3] dari Fungsi Encoding Kode Hamming-[7,4,3] merupakan kode linear dengan panjang bit setiap elemennya 7, dimensi 4, dan jarak minimumnya 3. Secara umum, dalam mekonstruksi kode Hamming[7,4,3] didefinisikan terlebih dahulu suatu pemetaan/fungsi sebagai encoding. Kemudian ditentukan bobot setiap elemen kode (weight enumerator), basis, dan matriks generatornya. Proposisi 9. Diberikan fungsi encoding E dari field 𝑭𝑭42 ke 𝑭𝑭72 dengan ketentuan berikut ini. 𝐸𝐸 ∶ 𝐅𝐅24 ⟶ 𝐅𝐅27 (𝑥𝑥3 , 𝑥𝑥5 , 𝑥𝑥6 , 𝑥𝑥7 ) ↦ (𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , 𝑥𝑥3 , 𝑥𝑥4 , 𝑥𝑥5 , 𝑥𝑥6 , 𝑥𝑥7 ) persamaan linear yaitu: 𝑥𝑥1 = 𝑥𝑥3 + 𝑥𝑥5 + 𝑥𝑥7 , 𝑥𝑥2 = 𝑥𝑥3 + 𝑥𝑥6 + 𝑥𝑥7 , dan 𝑥𝑥4 = 𝑥𝑥5 + 𝑥𝑥6 + 𝑥𝑥7 . Maka dapat dibentuk kode Hamming [7,4,3], C = {0000000, 1101001, 0101010, 1000011, 1001100, 0100101, 1100110, 0001111, 1110000, 0011001, 1011010, 0110011, 0111100, 1010101, 0010110, 1111111}. Bukti. Karena 𝑥𝑥3 , 𝑥𝑥5 , 𝑥𝑥6 , 𝑥𝑥7 ∈ 𝐅𝐅2 = {0, 1}, maka nilai dari 𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , 𝑥𝑥4 masing-masing kemungkinannya dapat bernilai 0 atau 1 tergantung nilai 𝑥𝑥3 , 𝑥𝑥5 , 𝑥𝑥6 , dan 𝑥𝑥7 , sehingga kemungkinan banyaknya kode adalah 24 = 16. Kemudian, dapat didaftar semua elemen kode dengan panjang 7 yang bersesuaian dengan nilai 𝑥𝑥3 , 𝑥𝑥5 , 𝑥𝑥6 , dan 𝑥𝑥7 serta untuk menentukan nilai dari 𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , 𝑥𝑥4
berdasarkan ketentuan dalam persamaan linear. Hal ini dinyatakan dalam tabel berikut. Tabel 1. Daftar Elemen Kode Hamming-[7,4,3] No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
𝑥𝑥1 0 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1
𝑥𝑥2 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1
𝑥𝑥3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1
𝑥𝑥4 0 1 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0 1 0 0 1
𝑥𝑥5 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1
𝑥𝑥6 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1
𝑥𝑥7 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
Berdasarkan Tabel 1 di atas diperoleh, C = {0000000, 1101001, 0101010, 1000011, 1001100, 0100101, 1100110, 0001111, 1110000, 0011001, 1011010, 0110011, 0111100, 1010101, 0010110, 1111111}. dan jelas diperoleh jarak minimum 𝑑𝑑 = 3 dan dimensi 4 sedemikian sehingga membentuk kode Hamming-[7,4,3]. ■ Proposisi 10. Weight enumerator dari kode Hamming-[7,4,3] yaitu 𝑊𝑊𝐶𝐶 (𝑋𝑋, 𝑌𝑌) = ∑𝑐𝑐∈𝐶𝐶 𝑋𝑋 𝑛𝑛−𝑤𝑤(𝑐𝑐) 𝑌𝑌 𝑤𝑤(𝑐𝑐) = 𝑋𝑋 7 + 7𝑋𝑋 4 𝑌𝑌 3 + 7𝑋𝑋 3 𝑌𝑌 4 + 𝑌𝑌 7 sedemikian sehingga terdapat 1 elemen berbobot 0, 7 elemen berbobot 3, 7 elemen berbobot 4, dan 1 elemen berbobot 7. Bukti. Akan ditentukan bobot Hamming dari setiap elemen dalam C: kode Hamming[7,4,3] seperti yang telah diperoleh pada Proposisi 9. Distribusi dari bobot Hamming semua elemen C diberikan dalam tabel berikut. Tabel 2. Bobot Hamming dari C. Bobot Hamming, Elemen dalam kode C 𝑤𝑤(𝑐𝑐)
0
0000000
3
0101010, 1000011, 1001100, 0100101, 1110000, 0011001, 0010110
4
63 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
1101001, 1100110, 0001111, 1011010, 0110011, 0111100,
Banyaknya kode, 𝐴𝐴𝑖𝑖
𝐴𝐴0 = 1 𝐴𝐴3 = 7 𝐴𝐴4 = 7
1010101 7
1111111 Total
𝐴𝐴7 = 1 16
Dengan demikian, enumerator bobot (weight) dari C yaitu 𝑊𝑊𝐶𝐶 (𝑋𝑋, 𝑌𝑌) = ∑𝑐𝑐∈𝐶𝐶 𝑋𝑋 𝑛𝑛−𝑤𝑤(𝑐𝑐) 𝑌𝑌 𝑤𝑤(𝑐𝑐) = 𝐴𝐴0 𝑋𝑋 7−0 𝑌𝑌 0 + 𝐴𝐴3 𝑋𝑋 7−3 𝑌𝑌 3 + 𝐴𝐴4 𝑋𝑋 7−4 𝑌𝑌 4 + 𝐴𝐴7 𝑋𝑋 7−7 𝑌𝑌 7 = 𝑋𝑋 7 + 7𝑋𝑋 4 𝑌𝑌 3 + 7𝑋𝑋 3 𝑌𝑌 4 + 𝑌𝑌 7 Jadi terbukti terdapat 1 elemen berbobot 0, 7 elemen berbobot 3, 7 elemen berbobot 4, dan 1 elemen berbobot 7. ■ Proposisi 11 Bentuk standar matriks generator untuk kode Hamming-[7,4,3] adalah 1 0 0 0 0 1 1 𝐺𝐺 = � 0 1 0 0 � 1 0 1� = (𝐼𝐼4 |𝑋𝑋), 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 sedemikian sehingga 𝐶𝐶 = {𝑥𝑥𝑥𝑥|𝑥𝑥 ∈ 𝑭𝑭42 }.
Bukti. Misalkan C adalah kode Hamming[7,4,3]. Untuk memperoleh bentuk standar dari matriks generator untuk C dapat dilakukan dengan cara memilih 4 elemen kode berbeda yang tak nol, kemudian lakukan transformasi elementer sedemikian sehingga membentuk baris eselon tereduksi atau matriks generator standar G. Sebagai contoh dipilih kode-kode berikut. 1. Pilih elemen kode nomor 4, 6, 8, dan 15, kemudian susun membentuk baris pertama (𝐵𝐵1 ), kedua (𝐵𝐵2 ), ketiga (𝐵𝐵3 ), dan keempat (𝐵𝐵4 ) dalam matriks sedemikian sehingga secara langsung membentuk bentuk standar dari matriks generator G. 2. Pilih sembarang kode, misalkan elemen kode nomor 2, 3, 12, dan 13, kemudian susun membentuk baris pertama (𝐵𝐵1 ), kedua (𝐵𝐵2 ), ketiga (𝐵𝐵3 ), dan keempat (𝐵𝐵4 ) dalam matriks. Selanjutnya lakukan beberapa transformasi elementer sedemikian sehingga membentuk matriks generator standar G. 1 1 0 1 0 0 1 �0 1 0 1 � 0 1 0 � 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0
𝐵𝐵2 +𝐵𝐵1 𝐵𝐵2 +𝐵𝐵3 𝐵𝐵2 +𝐵𝐵4
1 �⎯⎯⎯� �0 0 0
1 �⎯⎯⎯� �0 0 0 𝐵𝐵4 +𝐵𝐵2 1 𝐵𝐵4 +𝐵𝐵3 0 �⎯⎯⎯� � 0 0 𝐵𝐵3 +𝐵𝐵4
0 1 0 0 0 1 0 0
0 1 0 0
0 0 1 0 0 0 1 0
0 0 1 1
0 0 1 � 0 1 0 0 1
0 0 1 � 0 1 0 1 1 0 0 0 � 1 0 1 1 1
1 1 0 1 1 0 1 1
1 1 0 1
1 0� 1 0
1 0� 1 1 1 1�= 𝐺𝐺 0 1
dengan 𝐵𝐵𝑖𝑖 + 𝐵𝐵𝑗𝑗 adalah penjumlahan elemen sekolom pada baris ke-i ditambahkan pada baris ke-j. Setiap baris dalam matriks generator membentuk basis untuk C. Karena terdapat 4 baris dalam matriks G, maka jelas C membentuk subruang berdimensi 4 dari ruang vektor 𝐅𝐅27 . Dan karena basis adalah himpunan vektor-vektor yang bebas linear dan merentang, maka untuk setiap 𝑐𝑐 ∈ 𝐶𝐶, 𝑐𝑐 = 𝑥𝑥3 ∙ 𝑔𝑔1 + 𝑥𝑥5 ∙ 𝑔𝑔2 + 𝑥𝑥6 ∙ 𝑔𝑔3 + 𝑥𝑥7 ∙ 𝑔𝑔4 dengan 𝑥𝑥 = (𝑥𝑥3 , 𝑥𝑥5 , 𝑥𝑥6 , 𝑥𝑥7 ) ∈ 𝐅𝐅24 dan 𝑔𝑔𝑖𝑖 adalah baris ke-i dalam matriks G. Dengan demikian, terbukti 𝐶𝐶 = {𝑥𝑥𝑥𝑥|𝑥𝑥 ∈ 𝐅𝐅24 }. ■ 4.2 Konstruksi Kode Linear dari Finite Projective Plane Order 2 Berdasarkan Definisi 5 dan Teorema 6, finite projective plane order 2 terdiri dari 7 titik dan 7 garis dengan ketentuan setiap garis memuat 3 titik dan begitu pula setiap titik termuat dalam 3 garis. Sebagai contoh finite projective plane order 2, yaitu: Misalkan himpunan titik ℘ = {1, 2, ⋯ , 7}. Maka dapat disusun himpunan garis ℒ = {𝑙𝑙1 , 𝑙𝑙2 , ⋯ , 𝑙𝑙7 } berdasarkan ketentuan yang berlaku sedemikian diperoleh 𝑙𝑙1 = {1, 2, 3},
𝑙𝑙2 = {1, 4, 5}, 𝑙𝑙3 = {1, 6, 7},
𝑙𝑙5 = {2, 5, 7},
𝑙𝑙6 = {3, 4, 7}, dan
𝑙𝑙7 = {3, 5, 6}.
𝑙𝑙4 = {2, 4, 6}, Secara geometri, semua garis tersebut dapat digambarkan sebagai berikut
64 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Gambar 1. Finite Projective Plane Order 2.
Menurut Teorema 7, tiga buah garis generator dari ℒ dapat dipilih sembarang 2 garis yang memuat satu titik tertentu, misalkan 𝑙𝑙1 = {1, 2, 3} dan 𝑙𝑙2 = {1, 4, 5} yang masingmasing memuat titik 1. Kemudian pilih lagi satu garis lain sedemikian sehingga titik tertentu tersebut tidak termuat pada garis yang dipilih, misalkan 𝑙𝑙4 = {2, 4, 6} yang tidak memuat titik 1. Dalam konstruksi finite projective plane order 2 ini dapat dibangun suatu kode linear yang direntang oleh baris dalam matriks insidennya. Berdasarkan Definisi 8, kode linear dari finite projective plane, 𝜋𝜋 adalah ruang vektor atas 𝐅𝐅2 yang direntang oleh baris-baris dalam matriks insiden dari 𝜋𝜋 dengan ketentuan setiap barisnya menandakan garis dan setiap kolomnya menandakan posisi titik. Matriks insiden ini bernilai 1 jika titik terletak pada garis dan 0 jika titik tidak terletak pada garis. Proposisi 12 Matriks insiden dari finite projective plane order 2 terdiri dari 7 elemen dari kode Hamming-[7,4,3] berbobot 3 sedemikian sehingga kode linear dari finite projective plane order 2 merupakan kode Hamming[7,4,3].
• 𝑙𝑙1 = {1, 2, 3} 𝐵𝐵1 = (1, 1, 1, 0, 0, 0, 0), • 𝑙𝑙2 = {1, 4, 5} 𝐵𝐵2 = (1, 0, 0, 1, 1, 0, 0), • 𝑙𝑙3 = {1, 6, 7} 𝐵𝐵3 = (1, 0, 0, 0, 0, 1, 1), • 𝑙𝑙4 = {2, 4, 6} 𝐵𝐵4 = (0, 1, 0, 1, 0, 1, 0), • 𝑙𝑙5 = {2, 5, 7} 𝐵𝐵5 = (0, 1, 0, 0, 1, 0, 1), • 𝑙𝑙6 = {3, 4, 7} 𝐵𝐵6 = (0, 0, 1, 1, 0, 0, 1), • 𝑙𝑙7 = {3, 5, 6} 𝐵𝐵7 = (0, 0, 1, 0, 1, 1, 0). 1 1 ⎛1 ⎜0 ⎜ ⎜0 0 ⎝0
1 0 0 1 1 0 0
1 0 0 0 0 1 1
𝐵𝐵2
𝐵𝐵3
berarti berarti berarti berarti berarti
0 1 0 1 0 1 0
0 1 0 0 1 0 1
0 0 1 1 0 0 1
0 0 1⎞ ⎟ 0⎟ 1⎟ 1 0⎠
Karena setiap baris dalam matriks insiden membentuk ruang vektor, maka penjumlahan masing-masing barisnya harus tertutup sedemikian sehingga membentuk kode linear. Hal ini dapat ditentukan berdasarkan tabel berikut.
Tabel 3. Penjumlahan antar Baris dalam Matriks Insiden
𝐵𝐵1
berarti
Jadi matriks insidennya adalah
Bukti. Pada contoh finite projective plane order 2 di atas dapat diperoleh baris-baris dalam matriks insiden yaitu:
+
berarti
𝐵𝐵4
𝐵𝐵5
𝐵𝐵6
𝐵𝐵7
𝐵𝐵1 000 000 0
011 110 0
011 001 1
101 101 0
101 010 1
110 100 1
110 011 0
𝐵𝐵2 011 110 0
000 000 0
000 111 1
110 011 0
110 100 1
101 010 1
101 101 0
𝐵𝐵3 011 001 1
000 111 1
000 000 0
110 100 1
110 011 0
101 101 0
101 010 1
65 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝐵𝐵4 101 101 0
110 011 0
110 100 1
000 000 0
000 111 1
011 001 1
011 110 0
𝐵𝐵5 101 010 1
110 100 1
110 011 0
000 111 1
000 000 0
011 110 0
011 001 1
𝐵𝐵6 110 100 1
101 010 1
101 101 0
011 001 1
011 110 0
000 000 0
000 111 1
𝐵𝐵7 110 011 0
101 101 0
101 010 1
011 110 0
011 001 1
000 111 1
000 000 0
Oleh karena itu, diperoleh 7 buah elemen kode dari matriks insiden yang masingmasing mempunya bobot Hamming 3 serta berdasarkan Tabel 3 didapat elemen nol dan 7 buah elemen kode berbobot Hamming 4 setiap elemen yang telah diperoleh tersebut harus tertutup terhadap penjumlahan, misalkan 1110000 + 0001111 = 1111111 maka harus ditambahkan elemen 1111111. Dengan demikian, total diperoleh kode linear yaitu: 1001100(𝐵𝐵2 ), 𝐶𝐶 ′ ={1110000(𝐵𝐵1 ), 1000011(𝐵𝐵3 ),
0101010(𝐵𝐵4 ),0100101(𝐵𝐵5 ),0011001(𝐵𝐵6 ), 0010110(𝐵𝐵7 ), 0000000, 0111100, 0110011, 1011010, 1010101, 1101001, 1100110, 0001111, 1111111} = 𝐶𝐶. Jadi dapat disimpulkan bahwa kode linear dari finite projective plane order 2 merupakan kode Hamming-[7,4,3] dengan ketentuan semua garis dalam finite projective plane order 2 membentuk semua elemen kode berbobot Hamming 3 yang termuat dalam matriks insidennya. ■
Proposisi 1. Pengambilan 4 baris sembarang dari matriks insiden finite projective plane order 2 ekuivalen dengan matriks generator standar dari kode Hamming-[7,4,3]. Bukti. Telah dinyatakan dalam bukti Proposisi 11, untuk memperoleh bentuk standar matriks generator untuk kode Hamming-[7,4,3] dapat dilakukan dengan cara memilih 4 elemen kode berbeda yang tak nol, kemudian lakukan transformasi elementer sedemikian sehingga membentuk baris eselon tereduksi atau matriks generator
standar G. Dalam hal ini dipilih 4 elemen kode berbobot Hamming 3 yang termuat dalam matriks insidennya. Sebagai contoh pilih 𝐵𝐵2 , 𝐵𝐵4 , 𝐵𝐵6 , dan 𝐵𝐵7 . 1 �0 0 0
0 1 0 0
1 �⎯⎯⎯� �0 0 0 𝐵𝐵3 +𝐵𝐵4
𝐵𝐵4 +𝐵𝐵1 𝐵𝐵4 +𝐵𝐵2 𝐵𝐵4 +𝐵𝐵3
0 0 1 1
1 1 1 � 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1
0 1 0 1
0 0� 1 0 1 0 � 0 1 0 0 1 1
0 0� 1 1
1 0 0 0 0 1 1 �⎯⎯⎯� �0 1 0 0 � 1 0 1�= 𝐺𝐺. 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 Dengan demikian dapat dibentuk kode Hamming-[7,4,3], yaitu 𝐶𝐶 = {𝑥𝑥𝑥𝑥|𝑥𝑥 ∈ 𝐅𝐅24 }. ■ Berdasarkan Proposisi 12 dan 13, diperoleh hasil bahwa kode linear dari finite projective plane order 2 ini identik dengan kode Hamming-[7,4,3].
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kode Hamming-[7,4,3] merupakan kode linear dengan panjang 7, dimensi 4, dan jarak minimumnya 3. Sedangkan, finite projective plane order 2 terdiri dari 7 titik dan 7 garis dimana setiap garisnya memuat 3 titik dan begitu pula setiap titik termuat dalam 3 garis. Dalam konstruksi finite projective plane order 2 ini dapat dibangun suatu kode linear yang direntang oleh baris dalam matriks insidennya.
66 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diperoleh beberapa ketentuan antara lain sebagai berikut. 1. Kode Hamming-[7,4,3] memuat 16 elemen yang terdiri dari 1 elemen berbobot 0, 7 elemen berbobot 3, 7 elemen berbobot 4, dan 1 elemen berbobot 7. Penentuan bentuk standar matriks generator dari kode Hamming[7,4,3] dapat dibentuk secara langsung dengan memilih 4 elemen kode yang bersesuaian. 2. Kode linear dari finite projective plane order 2 identik dengan kode Hamming[7,4,3] dengan ketentuan semua garis dalam finite projective plane order 2 ini membentuk semua elemen kode berbobot Hamming 3 yang termuat dalam matriks insidennya. Selanjutnya, disarankan untuk menganalisa keisomorfikan grup automorfisma dari kode Hamming-[7,4,3] dan finite projective plane order 2. Selain itu, pada artikel ini hanya diamati pembentukan kode linear dari finite projective plane order 2, sehingga sebagai perkembangan dapat dikaji mengenai kode linear dari finite projective plane order yang lebih tinggi. Serta dapat dianalisa penentuan kode linear secara geometri yang isomorfik dengan kode Hamming-[n, k] secara general untuk n > 7 . Dengan demikian dapat memperkuat kajian konsep aljabar mengenai teori pengkodean dan desain kombinatorika.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyusunan artikel ini, terutama kepada DPP/SPP FMIPA Universitas Brawijaya.
DAFTAR PUSTAKA Bogopolski, Oleg. (2008). Introduction to Group Theory, EMS, Germany. Colbourn, C.J. and Dinitz, J.H. (1996). The CRC Handbook of Combinatorial Designs, Chapter I.3, CRC Press, Boca Raton. Ebeling, Wolfgang. (2002). Lattices and Codes, 2nd Edition, Vieweg, Germany. Hughes, D.R. and Piper, F.C. (1973). Projective Planes, Springer, USA. Krisnawati, Vira Hari and Karim, Corina. (2016). Some Properties from Construction of Finite Projective Planes of Order 2 and 3, Cauchy Jurnal Matematika dan Murni dan Aplikasi, volume 4, issue 3. Lint, J.H.van. (1999). Introduction to Coding Theory, 3rd Edition, Springer, USA.
67 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA QUASI LINIER MENGGUNAKAN METODE KRYLOFF DAN BOGOLIUBOFF Shely Adlini, Yuni Yulida, Faisal Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru 70714, Kalsel Email :
[email protected],
[email protected]
Abstrak Persamaan quasi linier merupakan salah satu bentuk persamaan diferensial nonlinier. Pada paper ini dibahas tentang penerapan metode Kryloff dan Bogoliuboff untuk menentukan solusi persamaan quasi linier. Dasar dari metode ini ialah metode variasi parameter yaitu dengan mengganti konstanta pada solusi homogen menjadi suatu fungsi. Tujuan dari paper ini adalah untuk mengkonstruksi persamaan diferensial quasi linier dari kasus pegas dan menentukan penyelesaian persamaan diferensial quasi linier dengan menggunakan metode Kryloff dan Bogoliuboff. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa persamaan diferensial biasa 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
𝑑𝑑𝑑𝑑
quasi linier 2 + 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 + 𝜇𝜇 𝑓𝑓 �𝑥𝑥, � = 0 dapat terbentuk dari kasus pegas. Penyelesaian dari persamaan 𝑑𝑑𝑡𝑡 𝑑𝑑𝑑𝑑 diferensial biasa quasi linier diperoleh bergantung parameter. Jika 𝜇𝜇 = 0 maka diperoleh persamaan linier 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
berbentuk 2 + 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 = 0 dengan solusi 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ). Jika 𝜇𝜇 ≠ 0 maka diperoleh solusi 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝑑𝑑𝑡𝑡 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin[𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] dengan fungsi 𝐴𝐴(𝑡𝑡) dan ɸ(𝑡𝑡) dinyatakan oleh 2𝜋𝜋 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜇𝜇 =− � 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) cos 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋𝜋𝜋 0 2𝜋𝜋 𝑑𝑑ɸ 𝜇𝜇 = � 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) sin 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑. 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋𝜋𝜋 𝐴𝐴 0
Kata Kunci : Persamaan diferensial biasa quasi linier, Metode Kryloff dan Bogoliuboff
1. PENDAHULUAN Persamaan diferensial quasi linier merupakan persamaan diferensial yang turunan tertinggi pada persamaan tersebut tidak terdapat perkalian antara variabelvariabel tak bebas dan turunannya. Salah satu metode untuk menyelesaikan persamaan diferensial quasi linier ialah metode Kryloff dan Bogoliuboff. (Ariani, 2012) menyatakan metode Kryloff dan Bogoliuboff dikemukakan oleh Kryloff dan Bogoliuboff yang merupakan ahli matematika dari Rusia pada tahun 1937. Metode ini menggunakan metode variasi parameter sebagai dasarnya. Dimana metode variasi parameter ini digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial biasa linier non homogen yaitu dengan menggantikan konstanta-konstanta pada solusi homogen menjadi suatu fungsi. Fungsi tersebut dicari untuk memenuhi
persamaan diferensial linier non homogen sehingga akan diperoleh solusi partikuler persamaan diferensial linier non homogen. Sedangkan Metode Kryloff dan Bogoliouboff digunakan untuk pesamaan diferensial biasa quasi linier. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Turunan Definisi 1 Sebuah fungsi 𝑓𝑓 adalah fungsi lain 𝑓𝑓′ yang nilainya pada sebarang 𝑥𝑥 adalah 𝑓𝑓(𝑥𝑥+ℎ)−𝑓𝑓(𝑥𝑥) 𝑓𝑓 ′ (𝑥𝑥) = limℎ→0 ℎ asalkan limit ini ada dan bukan ∞ atau −∞. 2.2 Deret Fourier Definisi 2 Diberikan 𝑓𝑓 adalah fungsi yang memiliki periode 2𝐿𝐿 dan dapat dinyatakan dalam
68 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
bentuk
deret
𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛
𝑎𝑎0
2𝜋𝜋
+ ∑∞ 𝑛𝑛=1(𝑎𝑎𝑛𝑛 cos
𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛 𝐿𝐿
+
𝑏𝑏𝑛𝑛 sin ) maka fungsi tersebut dapat 𝐿𝐿 direpresentasikan dengan deret Fourier. Deret Fourier dari 𝑓𝑓 adalah ∞ 𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛 + 𝑏𝑏𝑛𝑛 sin ) 𝑎𝑎0 + �(𝑎𝑎𝑛𝑛 cos 𝐿𝐿 𝐿𝐿 𝑛𝑛=1
dengan koefisien-koefisien 1 𝐿𝐿 � 𝑓𝑓(𝑡𝑡) 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑎𝑎0 = 2𝐿𝐿 −𝐿𝐿 1 𝐿𝐿 𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑎𝑎𝑛𝑛 = � 𝑓𝑓(𝑡𝑡) cos 𝐿𝐿 −𝐿𝐿 𝐿𝐿 1 𝐿𝐿 𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑏𝑏𝑛𝑛 = � 𝑓𝑓(𝑡𝑡) sin 𝐿𝐿 −𝐿𝐿 𝐿𝐿 semua ada. Koefisien-koefisien dinamakan dengan koefisien Fourier.
ini
2.3 Metode Kryloff dan Bogolioboff Diberikan persamaan diferensial biasa quasi linier sebagai berikut 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
+ 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 + 𝜇𝜇𝜇𝜇 �𝑥𝑥,
𝑑𝑑𝑑𝑑
�=0 𝑑𝑑𝑑𝑑 (1) dimana 𝜔𝜔2 merupakan percepatan sudut dan 𝜇𝜇 adalah parameter yang cukup kecil |𝜇𝜇| ≪ 1 pada kasus osilasi, sedemikian 𝑑𝑑𝑑𝑑 2
𝑑𝑑𝑑𝑑
sehingga bentuk nonlinier 𝜇𝜇𝜇𝜇 �𝑥𝑥, � relatif 𝑑𝑑𝑑𝑑 kecil. Jika 𝜇𝜇 = 0, maka Persamaan (1) menjadi persamaan linier 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
+ 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 = 0 solusi Persamaan (2) dapat ditulis 𝑥𝑥 = 𝑎𝑎 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ) 𝑑𝑑𝑑𝑑 2
(2)
(3)
dimana 𝑎𝑎 dan ɸ konstanta. Turunan Persamaan (3) dari Persamaan (2) adalah 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑎𝑎𝑎𝑎 cos(𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ) (4) 𝑑𝑑𝑑𝑑 Metode Kryloff dan Bogoliuboff diterapkan jika 𝜇𝜇 ≠ 0, karena 𝜇𝜇 merupakan parameter yang sangat kecil, hal tersebut menyebabkan Persamaan (1) menjadi persamaan nonlinear. Kemudian dapat diasumsikan bahwa Persamaan (1) juga mempunyai solusi dalam bentuk Persamaan (3) dengan turunannya pada bentuk (4), dengan syarat 𝑎𝑎 dan ɸ menjadi fungsi dalam t. Sehingga solusi untuk persamaan (1) menjadi 𝑥𝑥 = 𝑎𝑎(𝑡𝑡) sin[𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] (5) (Ross, S. L. 1984)
3. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur. Adapun prosedur pada penelitian ini adalah mengumpulkan dan mengkaji bahan-bahan yang berkaitan dengan persamaan diferensial biasa terutama untuk persamaan diferensial biasa quasi linier orde dua. Kemudian, mengkontruksi persamaan diferensial biasa quasi linier secara khusus yaitu pada kasus osilasi. Kemudian, menentukan penyelesaian persamaan diferensial biasa quasi linier menggunakan metode Kryloff dan Bogoliouboff. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Persamaan Diferensial Biasa Quasi Linier Berikut akan dijelaskan pembentukan persamaan diferensial biasa quasi linier. Kasus diberikan dari pegas. Pengertian usaha adalah gaya yang bekerja pada suatu benda sehingga benda mengalami perpindahan. Jika 𝑊𝑊 merupakan usaha, 𝐹𝐹 …(1) adalah gaya yang bekerja pada suatu sistem osilasi dan perpindahan dilambangkan dengan 𝑥𝑥, maka berdasarkan hal tersebut usaha dapat dituliskan sebagai berikut 𝑊𝑊 = 𝐹𝐹. 𝑥𝑥 (6) Jika usaha dihubungkan dengan energi maka usaha dapat dinyatakan sebagai besarnya energi yang bekerja, karena pada pegas haenergi yang bekerja hanya energy kinetic dan energi potensial sehingga selain persamaan (6) usaha juga dapat dituliskan dalam bentuk 1 1 𝑊𝑊 = 𝐸𝐸𝑘𝑘 + 𝐸𝐸𝑝𝑝 = 𝑚𝑚𝑣𝑣 2 − 𝑘𝑘𝑥𝑥 2 (7) 2 2 Kemudian Persamaan (7) disubtitusi ke Persamaan (6), sehingga diperoleh 1 1 𝑚𝑚𝑣𝑣 2 − 𝑘𝑘𝑥𝑥 2 = 𝐹𝐹. 𝑥𝑥 (8) 2
2
Selanjutnya untuk menentukan gaya-gaya yang bekerja pada (𝐹𝐹) digunakan Hukum Newton I ∑𝐹𝐹 = 0 (9) Karena pada kasus ini digunakan forced oscillation yaitu osilasi pada pegas yang dipengaruhi oleh gaya pegas, gaya gesek, gaya tarik benda, dan Hukum Newton II. Sehingga Persamaan (9) dapat ditulis (10) 𝐹𝐹𝑠𝑠 + 𝐹𝐹𝑓𝑓 + 𝐹𝐹 + 𝑚𝑚𝑚𝑚 = 0 Perhatikan Gambar 1
69 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥 + 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 + 𝜇𝜇 𝑓𝑓 �𝑥𝑥, � = 0 2 𝑑𝑑𝑡𝑡 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 1 dengan 𝑓𝑓 �𝑥𝑥, � = 𝑏𝑏 + 𝑘𝑘𝑘𝑘. 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 4.2 Penyelesaian Persamaan Diferensial Biasa Quasi Linier Menggunakan Metode Kryloff dan Bogoliuboff Diberikan persamaan diferensial biasa quasi linier yang berbentuk 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
Gambar 1. Pergerakan pegas
Dari Gambar 1 dapat dilihat arah gaya pegas, gaya gesek, dan percepatan benda berlawanan dengan arah gaya tarik benda dan gaya pegas dan gaya gesek berturutturut dapat dinyatakan dalam bentuk 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐹𝐹𝑠𝑠 = 𝑘𝑘𝑘𝑘 dan 𝐹𝐹𝑓𝑓 = 𝑏𝑏 . Maka Persamaan 𝑑𝑑𝑑𝑑 (10) menjadi 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥 −𝑘𝑘𝑥𝑥 − 𝑏𝑏 + 𝐹𝐹 − 𝑚𝑚 2 = 0 𝑑𝑑𝑡𝑡 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐹𝐹 = 𝑚𝑚 2 + 𝑏𝑏 + 𝑘𝑘𝑘𝑘 (11) 𝑑𝑑𝑡𝑡
𝑑𝑑𝑑𝑑
dengan 𝑏𝑏 = konstanta gesek, 𝑘𝑘 = konstanta
pegas, 𝑚𝑚 = massa benda,
𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
= percepatan
𝑑𝑑𝑡𝑡 2 𝑑𝑑𝑑𝑑
= kecepatan pegas pada saat berosilasi, 𝑑𝑑𝑑𝑑 pegas pada saat berosilasi. Karena gaya tarik sebanding dengan semua gaya yang bekerja pada osilasi yang bekerja maka Persamaan (11) dapat dinyatakan sebagai gaya yang bekerja pada pegas sehingga Persamaan (11) dapat disubtitusi ke Persamaan (8), diperoleh
1
1
𝑚𝑚𝑣𝑣 2 − 𝑘𝑘𝑥𝑥 2 = �𝑚𝑚
𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
𝑑𝑑 2 𝑥𝑥 𝑑𝑑𝑡𝑡 2
2
+
𝑘𝑘
𝑚𝑚
𝑥𝑥 +
1
𝑚𝑚
�𝑏𝑏
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑡𝑡 2
1
+ 𝑏𝑏
𝑑𝑑𝑑𝑑
+ 𝑘𝑘𝑘𝑘� . 𝑥𝑥 (12) Karena pada kasus pegas mula-mula benda dianggap diam dan gerak osilasi hanya dipengaruhi kecepatan pegas menyebabkan 𝑣𝑣 = 0, sehingga Persamaan (12) menjadi 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥 𝑑𝑑𝑑𝑑 1 + 𝑘𝑘𝑘𝑘� . 𝑥𝑥 − 𝑘𝑘𝑥𝑥 2 = �𝑚𝑚 2 + 𝑏𝑏 𝑑𝑑𝑡𝑡 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 2
𝑑𝑑𝑑𝑑
+ 𝑘𝑘𝑘𝑘� = 0 2
𝑑𝑑𝑑𝑑
+ 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 + 𝜇𝜇 𝑓𝑓 �𝑥𝑥, � = 0 (14) 𝑑𝑑𝑑𝑑 dimana 𝜇𝜇 merupakan suatu parameter yang sangat kecil yang menyebabkan bagian 𝑑𝑑𝑡𝑡 2
(13)
𝑘𝑘
Pada kasus pegas berdasarkan [1] 𝑚𝑚 merupakan kecepatan sudut yang 1 dilambangkan dengan 𝜔𝜔2 . Kemudian 𝑚𝑚 adalah konstanta yang sangat kecil dan dapat dilambangkan 𝜇𝜇. Sehingga Persamaan (13) dapat ditulis menjadi
𝑑𝑑𝑑𝑑
nonlinier 𝜇𝜇 𝑓𝑓 �𝑥𝑥, � juga kecil. Solusi dari 𝑑𝑑𝑑𝑑 Persamaan (14) berdasarkan kondisi 𝜇𝜇 adalah 1) 𝜇𝜇 = 0 Persamaan (14) menjadi persamaan linier 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
+ 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 = 0 (15) Karena akar-akar karakteristik dari persamaan (15) merupakan akar-akar karakteristik kompleks maka solusi dari Persamaan (15) adalah (16) 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝑐𝑐1 cos 𝜔𝜔𝜔𝜔 + 𝑐𝑐2 sin 𝜔𝜔𝜔𝜔 Dipilih 𝑐𝑐1 = 𝐴𝐴 sin ɸ dan 𝑐𝑐2 = 𝐴𝐴 cos ɸ maka Persamaan (16) menjadi 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ) (17) dengan 𝐴𝐴 dan ɸ merupakan konstanta. 2) 𝜇𝜇 ≠ 0 Untuk memperoleh solusi Persamaan (14) maka Persamaan (17) diturunkan terhadap 𝑡𝑡 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝐴𝐴𝐴𝐴 cos (𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ) (18) 𝑑𝑑𝑑𝑑 karena 𝜇𝜇 ≠ 0 maka Persamaan (14) memuat bagian nonlinier sehingga pada bagian ini metode Kryloff dan Bogoliuboff digunakan yaitu diasumsikan solusi pada Persamaan (17) beserta Persamaan (18) yaitu 𝐴𝐴 dan ɸ tidak lagi bernilai konstan namun merupakan suatu fungsi dalam 𝑡𝑡.Sehingga solusi Persamaan (14) diasumsikan berbentuk 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin[𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] (19) dan turunan pada Persamaan (18) diasumsikan berbentuk 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] 𝑑𝑑𝑑𝑑 (20) dengan 𝐴𝐴(𝑡𝑡) dan ɸ(𝑡𝑡) adalah fungsi yang akan dicari. Langkah 1 solusi pada Persamaan (19) diturunkan terhadap 𝑡𝑡, maka diperoleh 𝑑𝑑𝑡𝑡 2
70 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] + 𝑑𝑑ɸ
𝑑𝑑𝑑𝑑
𝐴𝐴(𝑡𝑡) cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] + sin [𝜔𝜔𝜔𝜔 + 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 ɸ(𝑡𝑡)] (21) Dari Persamaan (20) dan Persamaan (21) diperoleh 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] = 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] + 𝑑𝑑ɸ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐴𝐴(𝑡𝑡) cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] + sin [𝜔𝜔𝜔𝜔 + 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 ɸ(𝑡𝑡)] 𝑑𝑑ɸ ⟺ 𝐴𝐴(𝑡𝑡) cos[𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] + 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑑𝑑
sin[𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] = 0 (22) 𝑑𝑑𝑑𝑑 Langkah 2 Persamaan (20) diturunkan terhadap 𝑡𝑡, maka diperoleh 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥 𝑑𝑑𝑡𝑡 2
= −𝜔𝜔2 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] −
𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡) 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑ɸ 𝑑𝑑𝑑𝑑
sin [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] +
(23) 𝜔𝜔 cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] 𝑑𝑑𝑑𝑑 Selanjutnya Persamaan (19), Persamaan (20), dan Persamaan (23) disubtitusi ke Persamaan (14), diperoleh −𝜔𝜔2 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] − 𝑑𝑑ɸ 𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] + 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑑𝑑
2
𝜔𝜔 cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] + 𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin[𝜔𝜔𝜔𝜔 + 𝑑𝑑𝑑𝑑 ɸ(𝑡𝑡)] + 𝜇𝜇 𝑓𝑓(𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin[𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)]) = 0 atau 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜔𝜔 cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] − 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑ɸ
𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] = 𝑑𝑑𝑑𝑑 −𝜇𝜇 𝑓𝑓(𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin[𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos [𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)]) (24) Langkah 3 misalkan 𝜃𝜃(𝑡𝑡) = 𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡) maka dari Langkah 1 dan Langkah 2, Persamaan (22) dan Persamaan (24) dapat dinyatakan dalam bentuk sistem seperti dibawah ini 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑ɸ
sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) + 𝐴𝐴(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡) =0 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑ɸ 𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡) − 𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 = −𝜇𝜇 𝑓𝑓[𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡)]
(25) dengan menggunakan metode subtitusi dan eleminasi, diperoleh penyelesaian dari sistem Persamaan (25) adalah
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡) 𝑓𝑓 � � cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡) 𝜇𝜇 𝑑𝑑ɸ 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) , = sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) 𝑓𝑓 � � 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡) 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡) =−
𝜇𝜇
𝜔𝜔
(26)
karena Persamaan (26) merupakan fungsi periodik dengan periode 𝑇𝑇 = 2𝜋𝜋 maka Persamaan (26) dapat diintegralkan yaitu pada ruas kiri dengan nilai batas 𝑡𝑡 dan 𝑡𝑡 + 𝑇𝑇 dan pada ruas kanan dengan nilai batas 𝜃𝜃 = 𝜃𝜃0 = 0 dan 𝜃𝜃 = 𝜃𝜃0 + 2𝜋𝜋 = 2𝜋𝜋. 𝑡𝑡+𝑇𝑇 𝑑𝑑𝑑𝑑
∫𝑡𝑡
2𝜋𝜋
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜇𝜇
2𝜋𝜋
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜇𝜇
𝑑𝑑𝑑𝑑 =
∫0 – 𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡) 𝑓𝑓[𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡)] 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑡𝑡+𝑇𝑇 𝑑𝑑ɸ
∫𝑡𝑡
∫0
𝑑𝑑𝑑𝑑 =
𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡)
sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) 𝑓𝑓[𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡)] 𝑑𝑑𝑑𝑑
⟺ 𝐴𝐴(𝑡𝑡 + 𝑇𝑇) − 𝐴𝐴(𝑡𝑡) = 𝜇𝜇 2𝜋𝜋 − ∫0 cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡) 𝑓𝑓[𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡)] 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜔𝜔 ɸ(𝑡𝑡 + 𝑇𝑇) − ɸ(𝑡𝑡) = 2𝜋𝜋 𝜇𝜇 ∫0 sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) 𝑓𝑓[𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡)] 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡)
(27) diasumsikan bahwa 𝐴𝐴(𝑡𝑡) konstan pada satu periode maka fungsi pada ruas kanan Persamaan (27) dapat ditulis
𝑓𝑓[𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡)] cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡) ≈ 𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃] cos 𝜃𝜃 𝑓𝑓[𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) , 𝜔𝜔𝜔𝜔(𝑡𝑡) cos 𝜃𝜃(𝑡𝑡)] sin 𝜃𝜃(𝑡𝑡) ≈ 𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃] sin 𝜃𝜃 (28) Persamaan (28) diekspansi menggunakan deret fourier dalam 𝜃𝜃, berdasarkan Definisi 2 diperoleh
𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃]
∞
= 𝑎𝑎0 �(𝑎𝑎𝑛𝑛 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑛𝑛=1
+ 𝑏𝑏𝑛𝑛 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛)
𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃] sin 𝜃𝜃 = 𝑐𝑐0 + ∑∞ 𝑛𝑛=1(𝑐𝑐𝑛𝑛 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛 + 𝑑𝑑𝑛𝑛 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛) (29) dengan 𝑎𝑎0 =
𝑎𝑎𝑛𝑛 =
𝑏𝑏𝑛𝑛
1 2𝜋𝜋 � 𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃] cos 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋 0
1 2𝜋𝜋 � 𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃] cos 𝜃𝜃 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜋𝜋 0
1 2𝜋𝜋 � 𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃] cos 𝜃𝜃 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜋𝜋 0 1 2𝜋𝜋 𝑐𝑐0 = � 𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃] sin 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋 0 𝑐𝑐𝑛𝑛 1 2𝜋𝜋 = � 𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃] sin 𝜃𝜃 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜋𝜋 0 𝑑𝑑𝑛𝑛 1 2𝜋𝜋 = � 𝑓𝑓[𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃] sin 𝜃𝜃 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜋𝜋 0 =
Subtitusi Persamaan (29) ke Persamaan (26)
71 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝐴𝐴(𝑡𝑡 + 𝑇𝑇) − 𝐴𝐴(𝑡𝑡) = −
𝜇𝜇 2𝜋𝜋 � �𝑎𝑎0 𝜔𝜔 0 ∞
+ �(𝑎𝑎𝑛𝑛 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑛𝑛=1
+ 𝑏𝑏𝑛𝑛 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛) � 𝑑𝑑𝑑𝑑
ɸ(𝑡𝑡 + 𝑇𝑇) − ɸ(𝑡𝑡) =
2𝜋𝜋 𝜇𝜇 � �𝑐𝑐0 𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡) 0 ∞
+ �(𝑐𝑐𝑛𝑛 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑛𝑛=1
+ 𝑑𝑑𝑛𝑛 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛)� 𝑑𝑑𝑑𝑑
⟺ 𝐴𝐴(𝑡𝑡 + 𝑇𝑇) − 𝐴𝐴(𝑡𝑡) = − 2𝜋𝜋 ∑∞ 𝑛𝑛=1 �𝑎𝑎𝑛𝑛 ∫0 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛 2𝜋𝜋 𝑏𝑏𝑛𝑛 ∫0 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑��
ɸ(𝑡𝑡 + 𝑇𝑇) − ɸ(𝑡𝑡) =
𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝜇𝜇
𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡)
2𝜋𝜋 + ∑∞ 𝑛𝑛=1 �𝑐𝑐𝑛𝑛 ∫0 cos 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋 𝑑𝑑𝑛𝑛 ∫0 sin 𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑑𝑑𝑑𝑑��
⟺ 𝐴𝐴(𝑡𝑡 + 𝑇𝑇) − 𝐴𝐴(𝑡𝑡) ≈ − ɸ(𝑡𝑡 + 𝑇𝑇) − ɸ(𝑡𝑡) ≈ 𝜇𝜇 2𝜋𝜋𝑐𝑐0 (30) 𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡)
𝜇𝜇
𝜔𝜔
�2𝜋𝜋𝜋𝜋0 +
�2𝜋𝜋𝑐𝑐0 − +
𝜇𝜇 2𝜋𝜋𝜋𝜋0 𝜔𝜔
Selanjutnya kalikan Persamaan (4.37) 1 1 1 dengan pada bagian kiri dan = 𝑇𝑇 𝑇𝑇 2𝜋𝜋 pada bagian kanan, sehingga menjadi 𝜇𝜇 𝐴𝐴(𝑡𝑡 + 𝑇𝑇) − 𝐴𝐴(𝑡𝑡) ≈ − 𝑎𝑎0 𝜔𝜔 𝑇𝑇 ɸ(𝑡𝑡+𝑇𝑇)−ɸ(𝑡𝑡) 𝜇𝜇 ≈ 𝑐𝑐0 𝑇𝑇
𝜔𝜔 𝐴𝐴(𝑡𝑡)
(31) Berdasarkan Definisi 1 dan nilai 𝑎𝑎0 dan 𝑐𝑐0 , maka Persamaan (31) dapat ditulis
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
=−
𝑑𝑑ɸ 𝑑𝑑𝑑𝑑 =
2𝜋𝜋 𝜇𝜇 � 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) cos 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋𝜋𝜋 0
2𝜋𝜋 𝜇𝜇 � 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) sin 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋𝜋𝜋 𝐴𝐴 0
(32) persamaan ini merupakan pendekatan pertama dari metode Kryloff dan Bogoliuboff untuk fungsi 𝐴𝐴 dan ɸ pada Persamaan (19). Dimana 𝐴𝐴(𝑡𝑡) dan ɸ(𝑡𝑡) dinyatakan pada Persamaan (32).
Pada Persamaan (14) fungsi 𝑓𝑓 bergantung pada dua variabel yaitu variabel 𝑥𝑥 dan 𝑑𝑑𝑑𝑑 turunannya sehingga muncul dua kasus. 𝑑𝑑𝑑𝑑 Kasus 1 𝑑𝑑𝑑𝑑
Apabila 𝜇𝜇 𝑓𝑓 �𝑥𝑥, � hanya bergantung pada 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑥𝑥, maka Persamaan (14) menjadi 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
+ 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 + 𝜇𝜇 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 0 (33) Persamaan (33) diperoleh ketika pegas yang berosilasi tidak hanya gaya pegas dan gaya gesek yang bekerja namun dikenakan gaya eksternal berupa tarikan pada benda atau yang biasa disebut forced oscillation. Maka 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) menjadi 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃), dan Persamaan (32) menjadi 2𝜋𝜋 𝜇𝜇 𝑑𝑑𝑑𝑑 =− � 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃) cos 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋𝜋𝜋 0 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋 𝜇𝜇 𝑑𝑑ɸ = � 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃) sin 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋𝜋𝜋 𝐴𝐴 0 𝑑𝑑𝑡𝑡 2
(34) 𝑑𝑑𝑑𝑑 karena = 0, maka amplitudo 𝐴𝐴(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴0 𝑑𝑑𝑑𝑑 konstan. Kemudian apabila dimisalkan 2𝜋𝜋 𝜇𝜇 𝐹𝐹(𝐴𝐴0 ) = ∫0 𝑓𝑓(𝐴𝐴0 sin 𝜃𝜃) sin 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋𝜋𝜋 𝐴𝐴0
(35) maka persamaan kedua dari Persamaan (34) menjadi 𝑑𝑑ɸ = 𝐹𝐹(𝐴𝐴0 ) …(36) 𝑑𝑑𝑑𝑑 Dari Persamaan (36) diperoleh ɸ(𝑡𝑡) = 𝐹𝐹(𝐴𝐴0 )𝑡𝑡 + ɸ0 dimana ɸ0 adalah konstanta. Oleh sebab itu pendekatan pertama dari solusi Persamaan (30) yang diberikan oleh Solusi (19) dengan ɸ(𝑡𝑡) = 𝐹𝐹(𝐴𝐴0 )𝑡𝑡 + ɸ0 dan 𝐴𝐴(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴0 adalah sebagai berikut 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴0 sin{[𝐹𝐹(𝐴𝐴0 ) + 𝜔𝜔]𝑡𝑡 + ɸ0 } (37) Dimana konstanta 𝐹𝐹(𝐴𝐴0 ) dinyatakan pada Persamaan (35). Kasus 2 Apabila 𝜇𝜇 𝑓𝑓 �𝑥𝑥, 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
� hanya bergantung pada
, maka Persamaan (14) menjadi
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
𝑑𝑑𝑑𝑑
+ 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 + 𝜇𝜇 𝑓𝑓 � � = 0 𝑑𝑑𝑑𝑑 (38) Persamaan (38) diperoleh ketika pegas yang berosilasi gaya yang bekerja dibatasi hanya pada gaya pegas dan gaya gesek atau yang biasa disebut damped oscillation. Maka 𝑑𝑑𝑡𝑡 2
72 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) menjadi 𝑓𝑓(𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃), dan Persamaan (32) menjadi 2𝜋𝜋 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜇𝜇 =− ∫0 𝑓𝑓( 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) cos 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑ɸ 𝑑𝑑𝑑𝑑
=
2𝜋𝜋𝜋𝜋 2𝜋𝜋 𝜇𝜇 ∫ 𝑓𝑓( 2𝜋𝜋𝜋𝜋 𝐴𝐴 0
𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) sin 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑
(39) 𝑑𝑑ɸ karena = 0, maka ɸ(𝑡𝑡) konstan ɸ0 . 𝑑𝑑𝑑𝑑 Oleh sebab itu pendekatan pertama dari solusi Persamaan (38) diberikan oleh 𝑥𝑥 = 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin[𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ0 ] dimana 𝐴𝐴(𝑡𝑡) dinyatakan oleh persamaan pertama pada Persamaan (39). Berikut diberikan contoh untuk kasus 1 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥 𝑑𝑑𝑡𝑡 2
+ 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 + 𝜇𝜇𝑥𝑥 3 = 0
…(40)
𝑑𝑑𝑑𝑑
dimana 𝑓𝑓 �𝑥𝑥, � = 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 𝑥𝑥 3 maka 𝑑𝑑𝑑𝑑 Persamaan (40) merupakan bentuk Persamaan (33) pada kasus 1 yaitu kondisi nonliniernya hanya bergantung pada 𝑥𝑥. Pendekatan pertama untuk solusi Persamaan (40) diberikan oleh Persamaan (37) dengan 𝐹𝐹(𝐴𝐴0 ) pada Persamaan (35). Karena 𝑓𝑓(𝐴𝐴0 sin 𝜃𝜃) = 𝐴𝐴0 3 sin3 𝜃𝜃, dapat ditentukan bentuk Persamaan (35) menjadi 3𝜇𝜇𝐴𝐴0 2 𝐹𝐹(𝐴𝐴0 ) = 8𝜔𝜔 Maka pendekatan pertama untuk solusi Persamaan (40) diberikan oleh 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴0 sin ��
3𝜇𝜇𝐴𝐴0 2 8𝜔𝜔
+ 𝜔𝜔� 𝑡𝑡 + ɸ0 � …(41)
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian mengenai penyelesaian persamaan diferensial biasa quasi linier menggunakan metode Kryloff dan Bogoliuboff maka dapat disimpulkan bahwa 1. Persamaan diferensial biasa quasi 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
𝑑𝑑𝑑𝑑
linier + 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 + 𝜇𝜇 𝑓𝑓 �𝑥𝑥, � = 0 𝑑𝑑𝑡𝑡 2 𝑑𝑑𝑑𝑑 terbentuk dari kasus pegas. 2. Penyelesaian dari persamaan diferensial biasa quasi linier diperoleh bergantung parameter. Jika 𝜇𝜇 = 0 maka 𝑑𝑑 2 𝑥𝑥
diperoleh persamaan linier 2 + 𝜔𝜔2 𝑥𝑥 = 0 𝑑𝑑𝑡𝑡 dengan solusi 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ). Jika 𝜇𝜇 ≠ 0 maka solusi diperoleh dengan mengasumsikan bahwa konstanta yang terdapat pada solusi persamaan linier diubah dalam bentuk fungsi 𝑥𝑥(𝑡𝑡) = 𝐴𝐴(𝑡𝑡) sin[𝜔𝜔𝜔𝜔 + ɸ(𝑡𝑡)] dengan fungsi 𝐴𝐴(𝑡𝑡) dan ɸ(𝑡𝑡) dinyatakan oleh
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
=− 𝑑𝑑ɸ 𝑑𝑑𝑑𝑑
=
2𝜋𝜋 𝜇𝜇 � 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) cos 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑 2𝜋𝜋𝜋𝜋 0
2𝜋𝜋 𝜇𝜇 � 𝑓𝑓(𝐴𝐴 sin 𝜃𝜃 , 𝜔𝜔𝜔𝜔 cos 𝜃𝜃) sin 𝜃𝜃 𝑑𝑑𝑑𝑑. 2𝜋𝜋𝜋𝜋 𝐴𝐴 0
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, F. 2012. Metode Dekomposisi Adomian Termodifikasi Untuk Menyelesaikan Masalah Nilai Awal Pada Persamaan Diferensial Biasa Orde Dua. Skripsi Program Sarjana, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Arya, A. P. 1998. Introduction to Classical Mechanics 2nd edition. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Farlow, S. J. 1994. An Introduction to Differential Equations and Their Applications. McGraw-Hill, Inc. New York. Humi, Mayer & W. B. Miller. 1992. Boundary Value Problems and Partial Differential Equations. Boston: PWS-KENT. Musa, S. A. 2007. A note on “An extension of the method of Kryloff and Bogoliubof”. International Journal of Control. 14:3, 605-607. Rasof, Bernard. 1964. Variation of Parameters and the Method of Kryloff and Bogoliuboff. Journal of the Franklin Institute. Vol. 277, No. 3. Resnick, Halliday. 2008. Fundamental of Physics 8th Edition. New York. John Wiley & Sons Inc. Ross, S. L. 1984. Diferensial Equation. Canada. John Wiley & Sons Inc. Stanisic, M. M. & J. A. Euler. 1973. A Contribution to The KryloffBogoliuboff Theory in Nonlinear Mechanics. Ingenieur-Archiv. 42 (a973) S. 371-38o. Yuste, S. B. & J. D. Bejarano. 1990. Improvement of a KrylovBogoliubov Method that Uses Jacobi Elliptic. Journal of Sound and Vibration. (1990) 139(l), 151-163.
73 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
IMPLEMENTASI FUZZY ANALYTICAL NETWORK PROCCES (FANP) PADA ANALISA SWOT STRATEGI PROMOSI Eni Puji Lestari1, Oni Soesanto2, Radityo Adi Nugroho3 1,3
Prodi Ilmu Komputer FMIPA UNLAM 2 Prodi Matematika FMIPA UNLAM Jl. A. Yani Km 36 Banjarbaru, Kalimantan selatan Email:
[email protected]
Abstrak Metode ANP yang merupakan metode pengembangan dari metode AHP digunakan karena kemampuanya dalam menghitung keterkaitan interaksi antar elemen-elemen dan hubungan antar kriteria dengan penilaian subjektif (data kualitatif) dan pendekatan dengan pengolahan data kualitatif fuzzy dan metode pembobotan Entropy sebagai pengukur ketidakpastian dengan memprediksi hasil dalam percobaan. Analisa SWOT merupakan metode yang dipakai untuk menganalisa faktor internal (strengths dan weaknesses) dan faktor eksternal (opportunities dan threats). Penelitian ini mengimplementasikan Fuzzy ANP dalam analisa SWOT untuk mendapatkan rekomendasi strategi promosi bagi Museum Lambung Mangkurat agar tetap dapat menjaga eksistensinya terhadap masyarakat secara luas. Data Analisa SWOT didapat dari hasil wawancara dan studi pustaka. Hasil wawancara untuk analisa kriteria SWOT terbentuk 7 faktor kekuatan (Strengths), 6 faktor kelemahan (Weaknesses), 6 faktor peluang (Opportunities), dan 9 faktor ancaman (Threats) serta terbentuk 6 Alternatif yaitu, SO, ST, WO, WT1, WT2, dan WT3. Hasil perhitungan menggunakan 𝜆𝜆=0,5 didapat nilai Relatif Importance untuk masing-masing alternatif yaitu, Alternatif SO sebesar 0,1651, Alternatif ST sebesar 0,1655, Alternatif WO sebesar 0,1687, Alternatif WT1 sebesar 0,1795, Alternatif WT2 sebesar 0,1524, dan Alternatif WT3 sebesar 0,1687. Perhitungan untuk nilai 𝜆𝜆=0,8 dan 𝜆𝜆=0,2 menunjukkan perbedaan kenaikan dan penurunan nilai yang sangat sedikit. Rekomendasi strategi terbaik terpilih adalah Alternatif ke-4 dengan nilai Relatif Importance sebesar 0,1795 yang merupakan hasil Analisa kriteria weaknesses dan threats. Metode FANP dapat memberikan nilai rekomendasi bagi Museum Lambung Mangkurat dengan menghitung seluruh hubungan antar subkriteria dan antar kriteria SWOT serta pengaruh subkriteria dan kriteria SWOT terhadap Alternatif strategi yang terbentuk. Kata kunci : Fuzzy, FANP, Entropy, analisa SWOT, rekomendasi
1. PENDAHULUAN Menurut Saaty (1999) ANP merupakan pengembangan dari metode AHP, teori umum yang digunakan untuk melakukan pengukuran skala rasio prioritas dan skala rasio individu dengan interaksi elemenelemen didalamnya dan hubungan antar kriterianya. Dalam penilaianya baik AHP maupun ANP dilakukan secara subjektif, penilaian subjektif menggunakan data kualitatif dan salah satu pendekatan untuk mengolah data yang bersifat kualitatif adalah Fuzzy. Fuzzy adalah sebuah metode yang dikenalkan oleh Zadeh (1965) yang memiliki ciri utama berupa derajat keanggotaan sebagai penentu keberadaan dalam himpunan Fuzzy.
Metin Dağdeviren & İhsan Yuksel (2010) melakukan penelitian dengan menggabungkan metode ANP dengan fuzzy dengan menambahkan metode pembobotan extent analysis chang, dengan hasil bahwa SCL bisa diukur atas dasar korelasi dari kelima faktor (pemasok, pembeli, pendatang potensial dan produk pengganti) dalam model ANP, bukan ditentukan hanya dengan mengukur masing-masing lima kekuatan Porter secara terpisah. Penelitian lain telah dilakukan oleh Yasmin et al. (2013), dengan hasil bahwa ANP adalah cara yang berguna untuk menghadapi keputusan yang kompleks dan fuzzy digunakan ketika pengambil keputusan tidak dapat dengan mudah memberikan nilai numerik yang tepat. Maka FANP
74 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
adalah metode yang efisien untuk memecahkan banyak masalah yang kompleks dan nyata. Analisa SWOT merupakan hal yang penting bagi sebuah perusahaan atau lembaga agar dapat bertahan dalam berbagai kondisi. Menurut Gorener (2012) analisa SWOT adalah metode yang biasa dipakai untuk mengetahui faktor internal dan eksternal yang dibagi menjadi empat bagian yaitu: kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Faktor tersebut berguna untuk mengetahui strategi yang cocok dan sesuai bagi masa depan perusahaan atau lembaga yang melibatkan cara berpikir sistematis dan diagnosis komprehensif terhadap faktor yang berkaitan dengan hal baru seperti produk, teknologi, manajemen, atau perencanaan. Dalam menganalisis SWOT semua interaksi elemen dan hubungan antar kriteria dihitung untuk mendapatkan strategi yang paling menguntungkan dan memiliki nilai keberhasilan tinggi. Partani et al. (2013) dalam penelitianya “Using Fuzzy Analytic Network Process (FANP) in a SWOT Analysis” yang dilakukan dengan membandingkan antara metode FAHP dengan metode FANP mengatakan bahwa metode FANP dapat menyelsaikan masalah dengan lebih baik daripada metode FAHP dengan menggunakan metode pendekatan Chang’s. Metode sintesis Fuzzy selain Chang’s adalah metode Buckley, dan metode Entropy (Kahraman, 2008). Berdasarkan beberapa penelitian di atas sehingga menggunakan fuzzy ANP pada implementasi analisa SWOT strategi promosi Museum Lambung Mangkurat, dengan metode pembobotan entropy. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh museum untuk menganalisis strategi berdasarkan faktor internal dan eksternal yang dibangun bersadarkan kriteria SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats) dan diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pengambil keputusan. 2. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA Fuzzy Fuzzy adalah sebuah metode yang dikenalkan oleh zadeh (1965) yang memiliki ciri utama berupa derajat keanggotaan sebagai penentu keberadaan
dalam himpunan fuzzy. Derajat keanggotaan pada himpunan fuzzy ditentukan dengan menggunakan fungsi keanggotaan, salah satunya adalah fungsi keanggotaan segitiga (Susilo, 2006).
1 𝜇𝜇[𝑥𝑥] 0 𝑎𝑎1
𝑎𝑎2
𝑎𝑎3
Gambar 1. Triangular fuzzy number
Fungsi Keanggotaan (Susilo, 2006):
𝜇𝜇𝐴𝐴 (𝑥𝑥) =
⎧ ⎪ ⎨ ⎪ ⎩
0
𝑥𝑥 ≤ 𝑎𝑎1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑥𝑥 ≥ 𝑎𝑎3
(𝑥𝑥−𝑎𝑎1 )
𝑎𝑎1 < 𝑥𝑥 ≤ 𝑎𝑎2
(𝑎𝑎2−𝑎𝑎1 )
(𝑎𝑎3 – 𝑥𝑥)
𝑎𝑎2 < 𝑥𝑥 < 𝑎𝑎3
(𝑎𝑎3 −𝑎𝑎2 )
(1)
Sementara itu, apabila dinyatakan interval of confidence pada level 𝛼𝛼, triangular fuzzy number (TFN) dengan 𝛼𝛼 ∈ [0,1] sehingga dapat dikarakteristikkan sebagai berikut (Cheng & Lin Mon, 1993b): (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) 𝐴𝐴̃𝛼𝛼 =�𝑎𝑎1 , 𝑎𝑎3 � 𝐴𝐴̃𝛼𝛼 = [(𝑎𝑎2 − 𝑎𝑎1 )𝛼𝛼 + 𝑎𝑎1 , − (𝑎𝑎3 − 𝑎𝑎2 )𝛼𝛼 + ...(2) 𝑎𝑎3 ] Beberapa operasi pada bilangan fuzzy dengan interval of confidence (Cheng & Lin Mon, 1993b): (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) ∀ 𝑎𝑎1 , 𝑎𝑎3 , 𝑏𝑏1 , 𝑏𝑏3 ∈ ℝ+ , 𝐴𝐴̃𝛼𝛼 = �𝑎𝑎1 , 𝑎𝑎3 �, (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) 𝐵𝐵�𝛼𝛼 = �𝑎𝑎1 , 𝑎𝑎3 � (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) A ⊕ B = �𝑎𝑎1 + 𝑎𝑎3 , 𝑎𝑎1 + 𝑎𝑎3 � …(3) (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) (4) A ⊖ B =�𝑎𝑎1 − 𝑎𝑎3 , 𝑎𝑎1 − 𝑎𝑎3 � (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) (5) A ⊗ B = �𝑎𝑎1 𝑎𝑎3 , 𝑎𝑎1 𝑎𝑎3 � (𝛼𝛼)
(𝛼𝛼) 𝑎𝑎1 (𝛼𝛼) (𝛼𝛼) 𝑎𝑎3 𝑎𝑎3
𝑎𝑎1
A⊘B= �
,
�
(6)
Index of Optimism (λ) merupakan kombinasi dari suatu linier konveks, digunakan untuk menyatakan sikap pengambil keputusan terhadap resiko (decision maker’s risk taking attitude) (Kim & Park 1990). index of optimism dapat dinyatakan dengan: 𝛼𝛼 𝛼𝛼 𝛼𝛼 = (1- 𝜆𝜆 ) 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 + 𝜆𝜆𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 , ∀ 𝜆𝜆 ∈ [0,1] 𝑎𝑎�𝑖𝑖𝑖𝑖
75 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
(7)
Namun secara umum index of optimism dibagi menjadi 3 bagian (Kim & Park 1990): 1. Optimis (optimistic decision maker’s), 𝜆𝜆=1 2. Moderat (moderate decision maker’s), 𝜆𝜆=0,5 3. Pesimis (pessimist decision maker’s), 𝜆𝜆=0
ANP tidak mampu dalam proses fuzziness karena hanya menggunakan penilaian yang bersifat subjektif. Metode untuk menyelesaikan FANP adalah metode Entropy Cheng (1997a) dimana fungsi keanggotaan yang digunakan berbentuk segitiga untuk perbandingan berpasangannya(Kahraman, 2008). Sehingga Cheng (1997a) menentukan skala Triangular Fuzzy pada metode entropy seperti pada Tabel 1. 2.2 FANP Tabel 1. Skala Triangular Fuzzy pada metode Entropy Skala Fuzzy Triangular Skala Resiprokal Definisi Number Fuzzy Sama Penting 1 (1, 1, 3) (1/3, 1, 1) (SP) Sedikit Lebih 3 (1, 3, 5) (1/5, 1/3, 1) Penting (SLP) Lebih Penting 5 (3, 5, 7) (1/7, 1/5, 1/3) (LP) Sagat Penting 7 (5, 7, 9) (1/9, 1/7, 1/5) (SNP) Mutlak Lebih 9 (7, 9, 9) (1/9, 1/9, 1/7) Penting (MLP) yang bersesuaian pada Fuzzy Judgement Matriks X. 2.3 Langkah-langkah fuzzy ANP Ã= 𝑤𝑤2 ⊗ 𝑥𝑥12 … 𝑤𝑤𝑛𝑛 ⊗ 𝑥𝑥1𝑛𝑛 𝑤𝑤1 ⊗ 𝑥𝑥11 Berikut ini adalah langkah-langkah dalam metode pendekatan fuzzy berbasis 𝑤𝑤1 ⊗ 𝑥𝑥21 𝑤𝑤2 ⊗ 𝑥𝑥22 … 𝑤𝑤𝑛𝑛 ⊗ 𝑥𝑥2𝑛𝑛 � � ANP (Kahraman, 2008): ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ 𝑤𝑤1 ⊗ 𝑥𝑥𝑛𝑛111 𝑤𝑤2 ⊗ 𝑥𝑥𝑛𝑛2 … 𝑤𝑤𝑛𝑛 ⊗ 𝑥𝑥𝑛𝑛𝑛𝑛 1. Membangun struktur hirarki untuk (10) permasalahan. 5. Penjumlahan dan perkalian 2. Membangun kriteria penilaian bilangan fuzzy dengan interval of fungsi keanggotaan dengan confidence, 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎 menentukan Fuzzy Judgement 𝑎𝑎11𝑢𝑢 ⋯ 𝑎𝑎1𝑛𝑛𝑛𝑛, 𝑎𝑎1𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑎𝑎11𝑙𝑙, Matriks X. ⋮ ⋱ ⋮ � Ã𝑎𝑎 = � 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎𝑛𝑛1𝑢𝑢 ⋯ 𝑎𝑎𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛, 𝑎𝑎𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑎𝑎𝑛𝑛1𝑙𝑙, 𝑥𝑥11 𝑥𝑥12 … 𝑥𝑥1𝑛𝑛 … (11) 𝑥𝑥21 𝑥𝑥22 … 𝑥𝑥2𝑛𝑛 Dimana � … (8) 𝑋𝑋 = � ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ 𝛼𝛼 𝑎𝑎 𝛼𝛼 𝑎𝑎 𝑎𝑎 = 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖𝑎𝑎 𝑥𝑥𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 , 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑥𝑥𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 , 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑥𝑥𝑛𝑛1 𝑥𝑥𝑛𝑛2 … 𝑥𝑥𝑛𝑛𝑛𝑛 untuk 0 < 𝛼𝛼 ≤ 1 … (12) 3. Menentukan fuzzy subjective 6. Ideks of optimism berdasarkan weight vector yang merupakan pengambil keputusan dinyatakan: penilaian subjektif dari pengambil 𝛼𝛼 𝛼𝛼 𝛼𝛼 𝑎𝑎 𝑖𝑖𝑖𝑖 = (1 − 𝜆𝜆)𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 + 𝜆𝜆 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 , ∀ 𝜆𝜆 ∈ keputusan mengenai tingkat [0,1] … (13) kepentingan untuk seluruh kriteria Sehingga diperoleh: yang ada. 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎 … 𝑎𝑎1𝑛𝑛 𝑎𝑎12 𝑎𝑎11 (9) 𝑊𝑊 = [𝑤𝑤1 𝑤𝑤2 … 𝑤𝑤𝑛𝑛 ] 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎22 … 𝑎𝑎2𝑛𝑛 4. Menghitung skor kinerja. Bentuk �  = � 21 ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ total Fuzzy Judgement Matriks à 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎 𝑎𝑎𝑛𝑛1 𝑎𝑎𝑛𝑛2 … 𝑎𝑎𝑛𝑛𝑛𝑛 dengan mengalikan subjective … (14) weight vector W dengan kolom
76 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Untuk menghitung entropy terlebih dahulu tentukan matriks frekuensi relatif sebagai berkut: 𝑎𝑎 𝑎𝑎11 𝑎𝑎12 … 1𝑛𝑛 ⎤ ⎡ 𝑠𝑠1
2.4
𝑠𝑠1
𝑠𝑠𝑛𝑛
𝐹𝐹 = ⎢ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⎥= ⎢𝑎𝑎𝑛𝑛1 𝑎𝑎𝑛𝑛2 … 𝑎𝑎𝑛𝑛𝑛𝑛 ⎥ 𝑠𝑠𝑛𝑛 ⎦ ⎣ 𝑠𝑠𝑛𝑛 𝑠𝑠𝑛𝑛 𝑓𝑓1𝑛𝑛 𝑓𝑓12 … 𝑓𝑓1𝑛𝑛 ⋮ � ⋮ ⋱ ⋮ � 𝑓𝑓𝑛𝑛1 𝑓𝑓𝑛𝑛2 … 𝑓𝑓𝑛𝑛𝑛𝑛 … (15) Dimana 𝑆𝑆𝑖𝑖 = ∑𝑛𝑛𝑗𝑗=1 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖 Selanjutnya untuk meghitung entropy menggunakan persamaan: 𝐻𝐻1 = − ∑𝑛𝑛𝑗𝑗=1�𝑓𝑓1𝑗𝑗 �𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙2 �𝑓𝑓1𝑗𝑗 � ⋮ 𝐻𝐻𝑛𝑛 = − ∑𝑛𝑛𝑗𝑗=1�𝑓𝑓𝑛𝑛𝑛𝑛 �𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙2 �𝑓𝑓𝑛𝑛𝑛𝑛 � … (16) nilai Dimana 𝐻𝐻1 merupakan entropy ke-i Bobot entropy ditentukan dengan persamaan: 𝐻𝐻 𝑊𝑊𝐻𝐻𝐻𝐻 = ∑𝑛𝑛 1 , 𝑖𝑖 = 1,2, … , 𝑛𝑛 (17) 𝑗𝑗=𝑖𝑖 𝐻𝐻𝑗𝑗
Analisa SWOT Menurut Sevkil (2012) kemampuan SWOT dalam menganalisa strategi, menjadikan SWOT banyak digunakan. Namun, SWOT memiliki kelemahan pada identifikasi yang kurang pada faktor/kriteria. Maka SWOT dikembangkan dengan menggabungkan metode AHP pada awalnya, kemudian dikembangkan lagi dengan penambahan ANP, dimana ANP mampu menangkap potensi intraksi, saling ketergantungan, dan masukan antar faktor matriks SWOT. Matriks SWOT yang digunakan seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Matriks SWOT Internal Eksternal
STREGHTS S
OPPORTUNITIE S O
SO STRATEGI Menggunaka n kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari peluang ST STRATEGI Menggunaka n kekuatan untuk menghindari ancaman
THREATS T
WEAKNESSE S W WO STRATEGI Mengatasi kelemahan dengan mengambil keuntungan dari peluang WT STRATEGI Meminimalisir kelemahan untuk menghindari ancaman
Menurut Kandakoglu et al. (2007) untuk mendapatkan weight strategi dalam SWOT dilakukan dengan perhitungan menggunakan metode entropy pada Persamaan 18, kemudian untuk rumus perhitungan weight strategi dalam SWOT dengan menggunakan Persamaan 19. ∑𝑛𝑛𝑗𝑗=1 𝐺𝐺𝑗𝑗 = 𝑅𝑅𝑖𝑖𝑖𝑖 Ti (18) Dimana : T i : Jumlah weight strategi ke-i 𝐺𝐺𝑗𝑗 : Weight ke-j pada SWOT faktor 𝑅𝑅𝑖𝑖𝑖𝑖 : Derajat hubungan strategi ke-i terhadap ke-j n : jumlah faktor SWOT Dan berikut merupakan rumus perhitungan weight strategi dalam SWOT yang sudah di normalisasi, yaitu : 𝑇𝑇 (19) N i = ∑𝑚𝑚 𝑖𝑖 𝑖𝑖=1 𝑇𝑇𝑖𝑖
Dimana: Ni : weight yang dinormalisasi dari strategi ke-i m : Jumlah strategi 3.
METODE PENELITIAN Penelitian melakukan pengamatan dan penentuan terhadap objek yang sesuai dengan metode yang akan digunakan. Dilanjutkan dengan studi pustaka untuk sebagai pemahaman tentang cara kerja metode ANP, proses pembobotan metode entropy, analisa SWOT dan penelitian terkait baik melalui buku-buku, jurnal, dan situs internet yang ada. Tahap ke-3 mengumpulakn data dengan cara wawancara dan studi dokumentasi. Setelah data didapap tahap ke-4 adalah menganalis data yang didapatkan dengan analisa SWOT faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Hasil penelitian berupa matriks perbandingan berpasangan dengan skala linguistik yang akan diubah menjadi skala numeris mengacu pada Tabel 1. Kemudian mencari nilai interval confidence dari masing-masing kriteria dan subkriteria dengan mengalikan fuzzy judgement matrix dan fuzzy subjektif weight vector, setelah didapatkan maka dilakukan perkalian interval of confidence. Kemudian dihitung index of optimism dengan nilai lamda yang menunjukkan tingkat keoptimisanya.
77 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Selanjutnya setiap baris dilakukan normalisasi sehingga didapat matriks frekuensi relatif, langkah terakhir mencari entropy value dan entropy weight. Tahap terakhir adalah melihat pengaruh strategi analisa SWOT. SWOT terbagi menjadi 4 strategi yaitu SO, WO, ST, dan WT. Hasil yang diharapkan masing-masing faktor telah memiliki bobot entropy yang kemudian di rangkingkan untuk melihat rekomendasi strategi terbaik bagi Museum Lambung Mangkurat. 4. 4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi masalah dan perumusan masalah Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi terhadap pegawai, serta survey pendahuluan di lingkungan Museum Lambung Mangkurat, serta berdasarkan penilaian decision maker didapat faktor internal dan faktor eksternal dengan kriteria kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, yang secara ringkas ditampilkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. No 3 4 7 8 9 10 11 1 2 5 6 12 13
Ringkasan hasil kriteria faktorfaktor internal Streghts Kualitas SDM Sarana dan prasarana penyimpanan Sarana dan prasarana MCK Letak geografis Destinasi wisata Biaya kunjung Peningkatan pengunjung Weaknesses SDM sebagai penunjang kegiatan museum Regenerasi pegawai Sarana dan prasarana pendidikan Sarana dan prasarana istirahat Kualitas pelayanan Sistem informasi
Tabel 3.
Ringkasan hasil kriteria faktorfaktor eksternal No Opportunities 1 Pendapatan daerah 2 Minat masyarakat 5 Tempat pendidikan 6 Kerjasama dengan sekolah 12 Kerjasama dengan pemerintah 13 Kondisi kebersihan sekitar Threats 3 Pengaruh kebijakan 4 Pengaruh budaya asli 7 Kesadaran masyarakat 8 Pengaruh budaya asing 9 Usaha masyarakat 10 Kerjasama dengan bangunan modern 11 Kerjasama dengan masyarakat 14 Pengadaan alat teknis 15 Alokasi anggaran Untuk mengetahui keterkaitan antar strategi maka dilakukan kombinasi strategi internal-eksternal. Perumusan strategi-strategi tersebut disusun berdasarkan wawancara terhadap decision maker dengan melihat dan menganalisa faktor internal, strengths dan weaknesses, serta faktor eksternal, opportunities dan threats, sehingga terbentuk 6 alternatif strategi yang dimasukkan ke dalam matrik SWOT seperti pada Tabel 13. Ketergantungan antar faktor SWOT ditentukan dari hasil analisa pengaruh tiap-tiap faktor terhadap faktor lain menggunakan perbandingan berpasangan. Hasil identifikasi hubungan ketergantungan berdasarkan penelitian ArshadiKhamseh (2013) ditampilkan pada Gambar 2. Weaknesses
Strengths
Opportunities
Threats
Gambar 2. Ketergantungan antar Faktor SWOT Setelah mendapatkan hasil identifikasi masing-masing kriteria dan alternatif strategi, selanjutnya adalah mengubah hasil analisa tesebut ke dalam bentuk hirarki menggunakan model ANP. Struktur jaringan ini ditampilkan pada Gambar 3. Dalam model ANP, strategi terbaik yang
menjadi tujuan utama ditempatkan pada level pertama, faktor SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats) ditempatkan pada level kedua, sedangkan subkriteria dengan 7 faktor kekuatan, 6 faktor kelemahan, 6 faktor peluang, dan 9 faktor ancaman ditempatkan pada level ketiga, dan enam altenatif strategi terbentuk untuk matrik SWOT Museum
78 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Lambung Mangkurat diletakkan pada level terakhir dalam model ANP.
Tabel 5.
S1
S2
C S W O T
S3 SO
S4
S5
S (Strengths)
S6
S7
WO
W1
W2
Tabel 6.
W3
W4
ST
Matriks perbandingan berpasangan antar Kriteria SWOT S W O T SP SLP SNP LP SLP’ SP SLP SP SNP’ SLP’ SP SLP LP’ SP’ SLP’ SP
W (Weaknesses)
W5
W6
O1
Rekomendasi Strategi
O2
O3
C S W O T
Matriks perbandingan berpasangan skala numeris
S (1,1,3) (1/5,1/3,1) (1/9,1/7,1/5) (1/7,1/5,1/3)
W (1,3,5) (1,1,3) (1/5,1/3,1) (1/3,1,1)
O (5,7,9) (1,3,5) (1,1,3) (1/5,1/3,1)
T (3,5,7) (1,1,3) (1,3,5) (1,1,3)
WT1 O4 O (Opportunities) O5
O6
T1 WT2 T2
T3
T4
T5
WT3
T (Threats)
T6
T7
T8
T9
Gambar 3. Model ANP untuk matrik SWOT Matriks perbandingan berpasangan didapatkan dari hasil wawancara kedua
Penentuan fuzzy subjektif weight vector yang merupakan penilaian subjektif berdasarkan pendapat dari decision maker dengan kolom yang bersesuaian pada Tabel 12. Dalam skala linguistik untuk kriteria SWOT: W c = [ LP, SLP, SNP, SP] Dalam skala numeris untuk kriteria SWOT: W c = [ (3,5,7), (1,3,5), (5,7,9), (1,1,3) ] Pada tahap ini semua bobot kepentingan dihitung dan tingkat kepentingan antar faktor dipertimbangkan dengan 𝛼𝛼 = 0,8 yang menunjukkan tingkat keoptimisan.
dengan Kepala Museum Lambung Mangkurat digunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan antar kriteria, sehingga masing-masing kriteria dapat terlihat seberapa besar tingkat kepentingannya terhadap kriteria lainya. Matriks ini ditentukan oleh decision maker dengan skala linguistik yang kemudian diubah menjadi nilai numeris berdasarkan pada Tabel 1. Skala resiprokal berlaku untuk nilai kebalikan untuk setiap tingkat kepentingan yang terbentuk.
79 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tabel 7. Hasil interval of confidence untuk Kriteria SWOT C S W O T S 1,000 1,400 2,600 3,400 6,600 7,400 4,600 5,400 W 0,307 0,467 1,000 1,400 2,600 3,400 1,000 1,400 O 0,137 0,154 0,307 0,467 1,000 1,400 2,600 3,400 T 0,189 0,227 0,867 1,000 0,307 0,467 1,000 1,400 Tabel 8. Hasil interval of confidence untuk fuzzy subjective weight vector Wc S W O T 4,600 5,400 2,600 3,400 6,600 7,400 1,000 1,400 Tabel 9. Hasil perkalian interval of confidence Kriteria SWOT S W O T (4,600); (7,560) (6,760); (11,560) (43,560); (54,760) (4,600); (1,411); (2,520) (2,600), (4,760) (17,160); (25,160) (1,000); (0,628); (0,833) (0,797); (1,587) (6,600); (1,.360) (2,600); (0,867); (1,224) (2,253); (3,400) (2,024); (3,453) (1,000);
𝐶𝐶𝐴𝐴� S W O T
(7,560) (1,960) (4,760) (1,960)
Setelah diperoleh hasil perkalian ⊗ antara matriks perbandingan kriteria SWOT dengan fuzzy subjective weight vector maka akan dilakukan perhitungan index of optimism, dimana pengambilan suatu 𝜆𝜆 menunjukkan tingkat keoptimisanya. Perhitungan index of optimism 𝜆𝜆 = 0.5 (moderat decision maker).
vector, selanjutnya akan dilakukan perkalian Dengan interval of confidence. menggunakan hasil matriks frekuensi relatif selanjutnya adalah menghitung entropy value weight entropy.
Setelah didapatkan hasil perhitungan index of optimism maka akan dicari nilai matriks frekuensi relatif dengan menormalisasi setiap baris.
Setelah didapatkan hasil perhitungan entropy value dan entropy weight selanjutnya adalah menghitung nilai masing-masing subkriteria dari kriteria strengths dengan 7 subkriteria, weaknesses dengan 6 subkriteria, opportunities dengan 6 subkriteria, dan threats dengan 9 subkriteria menggunakan langkah dan persamaan yang sama seperti perhitungan pada kriteria. Sehingga diperoleh entropy value dan entropy weight secara keseluruhan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil perhitungan entropy value dan entropy weight CE
Tabel 10. Index of optimism Kriteria SWOT 𝐶𝐶𝐴𝐴� S W O T
S 6,080 1,965 0,731 1,046
W 9,160 3,680 1,192 2,827
O 49,160 21,160 8,480 2,739
T 6,080 1,480 3,680 1,480
Tabel 11. Hasil Matriks Frekuensi Relatif CF S W O T
S 0,086 0,069 0,052 0,129
W 0,130 0,130 0,085 0,349
O 0,698 0,748 0,602 0,338
Entropy value
Entropy weight
0,408 0,357 0,442 0,569 1,776
0,230 0,201 0,249 0,320 1,000
S W O T Total
Total 70,480 28,285 14,083 8,091
T 0,086 0,052 0,261 0,183
Setelah didapatkan interval of confidence dari kriteria SWOT dan subjective weight Tabel 13 Pengaruh Strategi Analisa SWOT SWOT Group
S
Weight
SWOT Factors
Entropy Value
Entropy Weight
S1
0,658
S2
Strategi (A1) SO
(A2) WO
(A3) ST
(A4) WT1
(A5) WT2
(A6) WT3
0,151
7
3
9
7
5
7
0,739
0,170
9
3
5
5
3
5
S3
0,630
0,145
3
1
3
5
3
1
S4
0,754
0,173
5
7
1
1
1
3
0,230
80 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
W
O
T
S5
0,488
0,112
1
5
1
1
3
1
S6
0,479
0,110
1
1
3
3
3
1
S7
0,610
0,140
3
7
3
1
1
3
W1
0,593
0,196
5
3
7
9
9
7
W2
0,544
0,180
3
3
9
9
7
5
W3
0,382
0,126
7
5
3
3
1
9
W4
0,443
0,147
1
9
1
5
3
1
W5
0,584
0,193
3
9
5
5
3
9
0,201
W6
0,475
0,157
7
1
9
9
7
9
O1
0,652
0,183
3
1
1
3
3
1
O2
0,603
0,169
1
7
3
7
5
1
O3
0,701
0,197
9
5
1
3
3
7
O4
0,508
0,143
5
3
5
3
3
7
O5
0,454
0,128
9
7
7
9
9
3
O6
0,643
0,181
3
9
5
3
1
7
T1
0,845
0,122
7
7
9
7
9
9
T2
0,861
0,124
3
5
9
7
9
1
T3
0,853
0,123
1
3
5
9
1
1
T4
0,752
0,108
3
1
3
1
9
3
T5
0,769
0,111
1
3
1
3
1
1
T6
0,745
0,107
5
1
5
3
1
1
T7
0,619
0,089
1
7
7
7
3
3
T8
0,652
0,094
9
3
3
3
3
9
T9
0,836
0,249
0,320
0,121
9
7
3
3
7
9
Total weight
Ti
18,000
18,392
18,044
19,568
16,618
18,388
Relatif importance
Ni
0,16512
0,16872
0,16553
0,17951
0,15244
0,16868
5
2
4
1
6
3
Rangking
Percobaan perhitungan juga dilakukan untuk nilai lamda berbeda, perhitungan di atas menggunakan lamda bernilai moderat (moderate decision maker’s) yaitu 𝜆𝜆=0,5, dan untuk perhitungan lain menggunakan nilai optimis (optimistic decision maker’s) yaitu 𝜆𝜆=0,8, serta nilai pesimis (pessimist decision maker’s), 𝜆𝜆=0,2.
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa rekomendasi strategi terbaik terpilih adalah A4 yang merupakan hasil Analisa kriteria weaknesses dan threats dengan nilai kepentingan sebesar 0,17951 pada Strategi Promosi dan jika rekomendasi strategi ini dijalankan akan memberikan dampak yang paling berpengaruh sebesar 17,95%
dibandingkan strategi lainya. Sehingga dari hasil secara keseluruhan dapat diurutkan dengan nilai kepentingan terbesar hingga terkecil, WT1, WO,WT3, ST, SO, dan WT2 Berdasarkan hasil perhitungan dengan nilai lamda berbeda dapat terlihat bahwa nilai relatif impportance tertinggi tetap terdapat pada A4/WT1. Jika dibandingankan nilai relatif impportance tertinggi dengan nilai lamda mulai dari 𝜆𝜆=0,2 sebesar 0,17948, 𝜆𝜆=0,5 sebesar 0,17951, dan 𝜆𝜆=0,8 sebesar 0,17961, perbedaan yang terjadi sangat sedikit. Nilai 𝜆𝜆=0,2 dibandingkan dengan 𝜆𝜆=0,5 selisih 0,00003 atau 3.104 ; 𝜆𝜆=0,5 dibadingkan dengan 𝜆𝜆=0,8 selisih 0,0001 atau 1.103 ; dan 𝜆𝜆=0,2 dibadingkan dengan 𝜆𝜆=0,8 selisih 0,00013 atau 13.103. dapat diartikan bahwa
81 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dengan nilai lamda pesimis, moderat maupun optimis rekomendasi strategi terbaik terpilih akan tetap yaitu alternatif ke-4 (A4/WT1). 4. KESIMPULAN Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa metode FANP dapat memberikan nilai rekomendasi strategi bagi Museum Lambung Mangkurat dengan menghitung seluruh hubungan antar subkriteria dan antar kriteria SWOT serta pengaruh subkriteria dan kriteria SWOT terhadap Alternatif strategi yang terbentuk. Hasil analisa SWOT yang didapat dari wawancara dan studi dokumentasi terbentuk 7 faktor kekuatan (Strengths), 6 faktor kelemahan (Weaknesses), 6 faktor peluang (Opportunities), dan 9 faktor ancaman (Threats). Sedangkan dari hasil wawancara terbentuk 6 Alternatif yaitu, SO, ST, WO, WT1, WT2, dan WT3. Hasil perhitungan menggunakan metode FANP dan metode pembobotan menggunakan metode entropy didapat nilai relatif importance untuk masing-masing alternatif yaitu, alternatif SO sebesar 0,1651, alternatif ST sebesar 0,1655, alternatif WO sebesar 0,1687, alternatif WT1 sebesar 0,1795, alternatif WT2 sebesar 0,1524, dan alternatif WT3 sebesar 0,1687. Percobaan peritungan untuk nilai 𝜆𝜆 berbeda didapat Nilai 𝜆𝜆=0,2 dibandingkan dengan 𝜆𝜆=0,5 selisih 0,00003 atau 3.104 ; 𝜆𝜆=0,5 dibadingkan dengan 𝜆𝜆=0,8 selisih 0,0001 atau 1.103 ; dan 𝜆𝜆=0,2 dibadingkan dengan 𝜆𝜆=0,8 selisih 0,00013 atau 13.103. Dapat diartikan bahwa dengan nilai lamda pesimis, moderat maupun optimis rekomendasi strategi terbaik terpilih adalah alternatif ke-4 (A4/WT1) yaitu “Rekrutmen SDM untuk memperkuat tugas dan fungsi museum dengan merekrut PNS berlatar belakang Arkeolog, Antropologi, Sejarah, Posisi Eksterior, dan Komputer” yang merupakan hasil analisa kriteria weaknesses dan threats.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12. DAFTAR PUSTAKA 1. ArshadiKhamseh, A. & M. Fazayeli. 2013. A fuzzy Analytical Network Process for SWOT analysis (Case Study: Drug Distribution Company). 2. Cheng, C.H., 1997a, Evaluating naval tactical missile systems by fuzzy AHP based on the grade value of
13.
membership function. European Journal of Operational Research 96(2) : 343-350 Cheng, C.H., & Lin Mon, D. 1993b. Fuzzy system reability analysis by interval of confidence. Elsivier NorthHolland, Inc.56(1):29-35. Gorener, A., Karem T, Korkmaz U. 2012. Application of Combined SWOT and AHP: A Case Study for a Manufacturing Firm. Procedia - Social and Behavioral Sciences. 58: 1525. Kahraman, Cengiz. 2008. Fuzzy MultiCriteria Decision Making. Istanbul Tecnichal University, Turki. 19316828: 978-0-387-76812-0. Kandakoglu, A. 2007. “Strategi Development & Evaluation In The Battlefield Using Quantified SWOT Analytical Methode”. Proceeding of The International Symposium ISAHP. Istanbul, Turkey. Kim K. & Park K.S., 1990. Rangking Fuzzy Number With Index Of Optimism. Journal Fuzzy Set and System. Elsevier North-Holland, Inc. Amsterdam.35(2) :143-150. Lestari E. P. 2017. Fuzzy analytical network procces (fanp) Pada analisa swot strategi promosi Museum lambung mangkurat. Skripsi Program Studi Ilmu Komputer, Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Saaty, T. L. 1999. Fundamentals of The Analytic Network Process. University of Pittsburgh Mervis Hall, USA. Sevkli, Mehmet, A. Oztekin, O. Uysal, G. Torlak, A. Turkyilmaz, & D. Delen. 2012 Development of a fuzzy ANP based SWOT analysis for the airline industry in Turkey. Expert Systems with Applications. 39: 15, 24.. Susilo, Frans SJ. 2006. Himpunan & Logika Kabur Serta Aplikasinya Edisi 2. Graha Ilmu, Yogyakarta. S. V, T. Partani, Marashi & M. Haji Alishahi. 2013.Using Fuzzy Analytic Network Process (FANP) in a SWOT Analysis. Global Journals Inc. (USA). 13: 23-24. Yasmin, F., Avadhesh K., & Ashwini K. 2013. Fuzzy Theory Concept Applied in Analytic Network Process. International Journal of Advanced
82 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Research in Computer Science and Software Engineering. 3: 832, 837. 14. Yuksel I. & M. Dagdeviren. 2010. A fuzzy analytic network process (ANP) model for measurement of the sectoral competititon level (SCL). Expert Systems with Applications 37 (2) 1270–1278. 15. Zadeh, L.A. 1965. Fuzzy Set Theory – and Its Application. Fourth Edition. University of California, California. 8: 338.
83 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tabel 14. Kerangka SWOT untuk Alternatif Strategi Promosi STRENGTHS 1. Kualitas SDM 2. Sarana dan prasarana penyimpanan Internal Sarana dan prasarana MCK 3. Letak geografis Eksternal 4. Destinasi wisata 5. Biaya kunjung 6. Peningkatan pengunjung OPPORTUNITIES Membangun gedung ruang data dan informasi 1. Pendapatan daerah permuseuman, sejarah, dan budaya sebagai 2. Minat masyarakat tempat penenelitian, pengkajian, studi 3. Tempat pendidikan banding, dan sumber informasi dengan 4. Kerjasama dengan sekolah mengumpukan data hasil kegiatan Seksi 5. Kerjasama dengan pemerintah Koleksi dan Edukasi dan Seksi Tata Usaha, 6. Kondisi kebersihan sekitar dalam satu tempat.
WEAKNESSES 1. SDM sebagai penunjang kegiatan museum Regenerasi pegawai 2. Sarana dan prasarana pendidikan 3. Sarana dan prasarana istirahat 4. Kualitas pelayanan 5. Sistem informasi Memperbaiki sarana dan prasarana pengunjung dengan rehabilisasi taman sehingga pengunjung dapat beristirahat dengan nyaman setelah melihat koleksi museum, dengan mengajukan anggaran dana ke BAPEDDA. 1.
THREATS 1. Pengaruh kebijakan 2. Pengaruh budaya asli 3. Kesadaran masyarakat 4. Pengaruh budaya asing 5. Usaha masyarakat 6. Kerjasama dengan bangunan modern 7. Kerjasama dengan masyarakat 8. Pengadaan alat teknis 9. Alokasi anggaran
Memaksikalkan manajemen personalia sehingga karier dan hasil kerja jelas, dengan fasilitasi promosi untuk karyawan kompeten, dan memaksimalkan fungsi penjaga ruang agar tidak ada gedung yang di pengunjung.
84 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2.
3.
Rekrutmen SDM untuk memperkuat tugas dan fungsi museum dengan merekrut PNS berlatar belakang Arkeolog, Antropologi, Sejarah, Posisi Eksterior, dan Komputer. Pelatihan pemanduan secara intensif terhadap karyawan agar dapat melayani pengunjung secara maksimal dengan memperdalam pengetahuan/ display berdasarkan silabus Edukatif Kultural. Memaksimalkan fungsi peralatan teknis agar dapat digunakan tanpa harus dirakit dan di atur ulang sehingga lebih efisien, seperti LCD dan sound system terpasang permanen.
KENDALI OPTIMAL PADA INVENTORI DENGAN MODEL PRODUKSI STOKASTIK Pardi Affandi1, Faisal2, Nur Salam3 1,2,3
Program Studi Matematika FMIPA UNLAM Jl. A. Yani Km 36 Banjarbaru, Kalimantan, Indonesia. Tel/HP/ 081349499131 Fax(0511)4663375 email:
[email protected]
Abstrak Banyak permasalahan yang melibatkan teori sistem dan teori kontrol serta aplikasinya. Beberapa referensi teori yang mengaplikasikan teori kontrol ke dalam masalah inventori adalah Sprzeuzkouiski (1967), Hwang, Fan dan Erickson (1967), Pekelman (1974), Bensoussan, Affandi P. (2011). Masalah klasik dalam masalah inventori adalah bagaimana mengatur perubahan permintaan konsumen pada sebuah produk barang jadi. Masalah ini salah satunya dapat dimodelkan dan diselesaikan dengan menggunakan teknik kontrol optimal. Model matematika dari masalah permintaan inventori dapat bersifat deterministik dan juga probabilistik atau disebut stokastik. Dalam penelitian ini akan dibahas bagaimana model inventori dengan produksi stokastik serta bagaimana menyelesaikan bentuk model inventori tersebut menggunakan teknik optimal kontrol. Kata Kunci: masalah inventori, produksi stokastik, kontrol optimal.
1.
PENDAHULUAN Masalah inventori termasuk salah satu masalah yang berkembang secara pesat. Masalah yang timbul sangat kompleks, diantaranya masalah produksi yang didalamnya mengandung ketidakpastian, yang jumlahnya sangat berpengaruh terhadap inventori yang tersedia. Perusahaan melakukan produksi besar menginginkan cukup pasokan untuk memenuhi permintaan pelanggan, tapi produksi terlalu banyak kenaikan dapat meningkatkan biaya dan risiko kerugian melalui terjadi keusangan atau kerusakan barang. Produksi terlalu kecil meningkatkan risiko kehilangan penjualan dan akibatnya kehilangan pelanggan. Dibutuhkan metode yang tepat mengatur jumlah barang yang diproduksi dalam tingkat yang menyeimbangkan risiko permintaan dan risiko kekurangan. Dalam penelitian ini dibahas model matematika dari masalah inventori Inventori dengan Model Produksi Stokastik serta bagaimana menyelesaikan bentuk model inventori tersebut menggunakan teknik optimal kontrol.
2. TINJAUAN PUSTAKA Unsur ketidakpastian sangat berperan dalam model inventori. Perusahaan menginginkan cukup pasokan untuk memenuhi permintaan pelanggan, tapi produksi terlalu banyak kenaikan dapat
meningkatkan biaya dan risiko kerugian melalui terjadi keusangan atau kerusakan barang. Produksi terlalu kecil meningkatkan risiko kehilangan penjualan dan akibatnya Manajer sumber kehilangan pelanggan. daya harus mengatur jumlah barang yang disimpan dalam tingkat yang menyeimbangkan risiko permintaan dan risiko kekurangan. Manajer operasi harus dapat mengatur jadwal produksi induk mengingat sifat tepat dari perkiraan masa depan tuntutan dan lead time dari proses manufaktur. Situasi ini umum, dan jawaban yang didapatkan dari analisis deterministik sangat sering tidak memuaskan. Sehingga model produksi bersifat stokastik akan memberikan jawaban yang lebih sesuai untuk diharapkan. Sehinga dalam bab ini memberikan perkembangan baru dalam studi stokastik model persediaan produksi. Kontrol optimal stokastik dari perencanaan model produksi barang akan disajikan dalam model berikut. Solusi dari model ini akan dibentuk melalui dari persamaan Hamilton-Jacobi-Bellman dengan fungsi nilai tertentu yang diketahui. Asumsi dari model ini adalah untuk menggeneralisasi dari bentukan Sethi dan Thomson (2000). Harapan tingkat produksi yang optimal, tingkat persediaan yang optimal dan Fungsi
85 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
nilai saat optimal diperoleh sebagai fungsi waktu. Sensitivitas analisis model ini dengan parameter sistem, yang dibagi dan disajikan ke dalam kategori parameter moneter dan nonmoneter.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Model Matematika Estimasi keadaan optimal untuk sistem linear dengan noise dan pengukuran noise. Juga akan didefinisikan proses white noise untuk memperoleh filter Kalman-Bucy untuk sistem waktu kontinu. Selanjutnya akan diperkenalkan kemungkinan mengendalikan sistem yang diatur oleh Ito dalam persamaan diferensial stokastik. Dengan kata lain, akan diperkenalkan kontrol variabel menjadi versi nonlinear dari persamaan sebelumnya. Ini menghasilkan rumusan masalah kontrol optimal stokastik. Perlu dicatat bahwa untuk masalah seperti itu, prinsip pemisahan tidak berlaku secara umum. Oleh karena itu, untuk mempermudah dalam perawatan, sering diasumsikan bahwa state variabel dapat diamati, dalam arti bahwa state variabel dapat langsung diukur. Selanjutnya, sebagian besar literatur tentang masalah ini menggunakan pemrograman dinamis atau kerangka Hamilton-Jacobi-Bellman untuk menentukan prinsip maksimum stokastik. Berikut akan diberikan rumusan masalah kontrol optimal stokastik dengan menyediakan, pengembangan informal yang singkat dari bentuk penyelesaian konsep Hamilton-Jacobi-Bellman (HJB) untuk solusi persamaan masalah tersebut. 3.2 Optimal Control Inventori Produksi Stokastik Berikut ini akan diperkenalkan notasi dan simbol yang digunakan dalam model inventori produksi stokastik. Dalam penelitian ini digunakan generalisasi model yang diperoleh Sethi dan Thompson (2000). Asumsi yang digunakan dengan menganggap pabrik menghasilkan homogen baik tunggal dan memiliki produk yang jadi dalam gudang. Untuk menggambarkan keadaan dari model berikut di definisikan parameter dan variabel dalam sistem, adalah sebagai berikut: Xt : tingkat persediaan pada waktu t, Ut : tingkat produksi pada waktu t, S (t) : tingkat permintaan pada waktu t, T : panjang periode perencanaan, X : tingkat tujuan persediaan pabrik, û : tingkat tujuan produksi pabrik,
: tingkat persediaan awal, : koefisien biaya penyimpanan persediaan, c : koefisien biaya produksi, B : nilai sisa per unit persediaan saat T, z t : proses Wiener standar, σ : koefisien difusi. Tingkat tujuan persediaan pabrik X adalah tingkat safety stock bahwa perusahaan ingin untuk menjaga jumlah inventori yang aman dalam penyimpanan. Juga, produksi pabrik tingkat tujuan U adalah tingkat yang paling efisien yang diinginkan untuk menjalankan pabrik. Dengan menggunakan notasi di atas, dapat digambarkan kondisi model. Persamaan x0 h
X (t) = u (t) - S (t), x (0) = x0,
(3.1)
pertama adalah persamaan aliran model, itu adalah: yang menyatakan bahwa tingkat persediaan pada waktu t meningkat dengan produksi dan semakin berkurang dengan adanya permintaan. Kemudian persamaan (3.1) dapat digeneralisasi menjadi model stokastik. Dengan membuat asumsi tingkat inventori x t mengikuti persamaan Ito Differensial sebagai berikut : dXt = (UtStokastik – S)dt + σdz t , X0= x0, Dengan menggunakan proses dz t dapat dinyatakan sebagai w (t) dt, dimana w (t) adalah sebagai proses white noise. Proses ini dapat diartikan sebagai penjualan pengembalian atau pembusukan persediaan yang acak di alam. Dalam model ini tidak ada pembatasan laju produksi menjadi negatif. Ini berarti bahwa diizinkan pembuangan (u t < 0). Hal ini menyatakan kondisi di mana sebuah pembuangan tidak diperlukan. Selanjutnya tingkat persediaan diperbolehkan untuk menjadi negatif. Solusi dari masalah ini akan dilakukan dengan menggunakan dimodifikasi Hamilton-Jacobi yang Prinsip yang dihasilkan oleh persamaan Hamilton-JacobiBellman disebut bahwa puas dengan fungsi nilai tertentu. Sekarang, masalahnya adalah untuk meminimalkan total biaya yang diharapkan yang ditentukan oleh integral fungsional berikut:
86 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Asumsikan bahwa V(x, t) menunjukkan nilai minimum total biaya yang diharapkan dari t menuju T dengan X t =x menggunakan kebijakan optimal dari t ke T. Kemudian fungsi diberikan oleh:
Penting untuk dicatat bahwa jika tingkat produksi menjadi nonnegatif, maka tingkat produksi yang optimal akan berubah menjadi
3.3 Solusi Model Bellman Equation
Oleh karena itu nilai fungsi V (x, t) harus memenuhi Hamilton-Jacobi-Bellman (HJB) persamaan
dengan kondisi batas V(x,t) = Bx . (3.6)
Hamilton-Jacobi-
Dalam bagian ini kita akan mendapatkan solusi dari perencanaan masalah produksi stokastik dengan tingkat permintaan yang berbeda. Untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial nonlinier (3.9), mari gunakan asumsi bahwa yang solusi mengambil bentuk berikut
Kemudian
Sekarang untuk memaksimalkan ekspresi sehubungan dengan u dengan mengambil turunannya sehubungan dengan u dan pengaturan ke nol. Prosedur hasil ini
Oleh karena itu, tingkat produksi optimal yang meminimalkan total biaya dapat dinyatakan sebagai fungsi dari fungsi dengan ditentukan nilai persamaan yang diketahui pada saat dalam bentuk:
Dengan substitusi (3.8) ke (3.5) akan diperoleh persamaan
Ini adalah persamaan diferensial parsial nonlinier yang harus dipenuhi oleh nilai fungsi V(x,t) dengan kondisi batas (3.6).
di mana titik menunjukkan diferensiasi terhadap waktu. Dengan melakukan penggantian dari persamaan (3.9) ke persamaan (3.11) akan memberikan hasil
Persamaan (3.15) harus berlaku untuk setiap nilai x, kita mendapatkan sistem berikut persamaan diferensial biasa nonlinear :
Selanjutnya, akan diselesaikan sistem nonlinear ini untuk kasus yang berbeda dari tingkat permintaan dengan
87 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Q (T) = 0, R (T) = B, M (T) = 0.
(3.19)
dengan mengubah waktu t menjadi:
mengambil rata-rata sehubungan dengan keadaan variabel x dan menggantikannya dengan optimal tingkat produksi dari (3.23) untuk mendapatkan:
τ = e2√h/c (t-T). Kemudian, akan diperoleh nilai
dan waktu tertentu akan diperoleh dua kasus umum yang berbeda untuk tingkat permintaan
Beberapa kasus khusus dapat diperoleh dari ini, misalnya ketika tingkat permintaan konstan dan sama dengan U tingkat tujuan produksi. Dalam hal ini Tingkat persediaan yang diharapkan akan diberikan oleh fungsi berikut ini:
Berarti akan diperoleh nilai
Untuk (3.16)
dapat
menyelesaikan dapat
persamaan digunakan Sehingga biaya ekspekstasi total E[V (x,T)] akan diperoleh dalam bentuk
Sehingga akan diperoleh (3.22) Berikutnya akan dibahas dua kasus general untuk menentukan permintaan rata-rata. Kasus pertama adalah kasus yang di mana tingkat permintaan konstan yang S (t) = S 0 = const. Dalam hal ini tingkat produksi yang optimal diberikan oleh:
Kasus kedua adalah kasus di mana tingkat permintaan waktu tingkat yang bervariasi, dengan bentuk nilai yang diperoleh adalah S(t)=u-2τ√τ/τ-1. Tingkat produksi yang optimal dalam hal ini diberikan oleh:
Fungsi R(τ) and M(τ) akan diperoleh dengan :
Pada kasus kedua akan diperoleh, fungsi R(τ) akan diberikan dengan
Dalam rangka untuk mencari tingkat persediaan yang diharapkan dapat diselesaikan persamaan state (3.2) dengan
Akan diperoleh nilai perhitungan sebagai berikut
88 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Dimana
Kemudian ekpekstasi tingkat inventori akan diberikan dengan
4. KESIMPULAN DAN SARAN Dari pembahasan diperoleh beberapa kesimpulan 1. Pengaturan produksi yang tepat sangat penting agar dapat mengatur jumlah barang yang diproduksi dalam tingkat yang menyeimbangkan risiko permintaan dan risiko kekurangan. 2. Kendali Optimal dapat digunakan untuk menyelesaikan model Inventori dengan Model Produksi Stokastik. Bagi para peneliti selanjutnya, disarankan agar meneliti aplikasi Teori Kendali ke bidang operasi riset yang lain. Model-model inventori baik inventori bahan baku ataupun inventori produksi, deterministi dan stokastik dapat diselesaikan dengan teori kontrol. DAFTAR PUSTAKA [1] Anton, H., 1988. Calculus. Drexel University, John Wiley & Sons, New York. [2] Affandi, P., 2011. Kendali Optimal system pergudangan dengan produksiyang mengalami kemerosotan. Tesis, Yogyakarta. [3] Astrom, J. K. (1970). Introduction to stochastic control theory, Academic Press,New York. [4] Bensoussan, A., Sethi, S. P., Vickson, R. G. and Derzko, N. (1984). Stochastic production planning with production constraints, SIAM J. Control and Optimization Vol. 22, No.6, 920-935.
[5] Burghes, D.N Introduction to Control Theory Including Optimal Control .John Wiley & Sons. New York. [6] Chi-Tsong Chen, 1984. Linear System Theory and Design, Madison Avenue New York. [7] Danese,A.E. 1965. Advanced Calculus an introduction to Applied Mathematics. [8] Davis, M. H. (1977). Linear estimation and stochastic control, John Wiley and Sons, New York. [9] Edwin K.P Chong, 1996. An introduction to Optimization, John Wiley & Sons. New York. [10]El-Gohary, A. (2001). Optimal control of the gential herpers epidemic, Chaos, Solutions and Fractals Vol. 12, 1817-1822. [11]El-Gohary, A. and Bukhari, F. (2003). Optimal control of stochastic preyperdator models, Applied Mathematics and Computations, Vol. 146, 11, 403-415. [12]El-Gohary, A., Tadj, L. and Al-Rahmah, A. (2006). Optimal control of a stochastic production planning model with different demand rates, International Journal of Applied Mathematics, (Accepted). [13]Frank L.Lewis, Applied Optimal Control & Estimation. The University of Texas at Arlington. New York. [14]Goyal, S. K. and Giri, B. C. (2001). Recent trends in modeling of deteriorating inventory, European Journal of Operational Research, Vol. 134, 1-16. [15]Hamdy A.Taha.1998. Operations Research an Introduction.Prentice Hall International, Inc.Philippines. [16] Murray R. Spiegel Statistic Schaum, 2 edition Renselaer Polytechnic Institut Hartford. [17] Olsder, G.J., 1994. Mathematical System Theory, 1 . Delft University of Technlogy. Netherlands. [18]Parlar,M. (1985). A stochastic production planning model with a dynamic chance constraint, European Journal of Operational Research, Vol. 20, 255-260. [19]Perkins, J. R. and Kumar, P. R. (1994). Optimal control of pull
89 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
manufacturing systems, IEEE Transactions on Automatic Control, 40:12, 2040-2051. [20]Presman, L. E. Sethi, S. P., Zhang, H. and Bisi, A. (2001). Average cost optimal policy for a stochastic twomachine flow shop with limited work-in-process, Nonlinear Analysis, Vol. 47, 5671-5678. [21]Sagirow, P. (1972). Stochastic methods in the dynamics of satellites, Springer Verlag, New York. [22]Shepley L.Ross.1984. Differential Equation. 3 Editions, John Wiley & Sons. New York. [23] Sethi, S.P. and Thompson, G.L. (2000). Optimal Control Theory: Applications to Management Science and Economics, 2nd ed., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. [24]Shety S.P and Thompson G.L 1985. Optimal Control Theory : Applied to Management science and economics. 2 editions. [25] Sethi, S. P. (1973a). Optimal control of Vidale-Wolfe advertising models, Operations Research, Vol. 21, 9981013.
90 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PENDEKATAN DISTRIBUSI PREDICTIVE POSTERIOR BAYESIAN PADA MODEL CURAH HUJAN Suci Astutik1, Umu Sa’adah1, Supriatna Adhisuwignjo2, Rauzan Sumara1 1
Program Studi Statistika, Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Brawijaya Malang 2 Program Studi Elektronika, Jurusan Elektro, Politeknik Negeri Malang 1
[email protected]
Abstrak Distribusi predictive posterior Bayesian merupakan distribusi dari observasi yang tidak tersampel (prediksi) bersyarat pada data tersampel (observasi) dengan Bayesian. Berbeda dengan metode klasik seperti maximum likelihood, hasil estimasi parameter menghasilkan suatu distribusi prediksi. Estimasi dilakukan dengan simulasi Markov Chain Monte Carlo (MCMC). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh distribusi predictive posterior Bayesian pada model data curah hujan VAR yang merupakan gabungan data diskrit (sebagian besar bernilai nol) dan data kontinu. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data curah hujan dari dua stasiun hujan yang masing-masing terdapat 1483 titik pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prediksi curah hujan per jam di dua stasiun hujan tersebut dapat didekati dengan model VAR(5) dengan pendekatan predictive posterior Bayesian dilihat dari plot dan nilai MSE. Namun nilai prediksi curah hujan per-jam yang dihasilkan tidak tepat sama dengan nilai data curah hujan observasi. Kata Kunci: MCMC, MSE, VAR
1. PENDAHULUAN Banjir merupakan kejadian bencana yang sering terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia. Curah hujan yang tinggi ,merupakan penyebab utama terjadinya banjir disamping penyebab lainnya seperti kondisi geografis, iklim dan perilaku manusia. Oleh karena itu penting dilakukan prediksi curah hujan untuk dapat mengetahui besarnya curah hujan sehingga tindakan penanganan banjir dapat dilakukan sedini mungkin. Astutik dkk (2013) memodelkan curah hujan dengan mengkombinasikan model state space Bayesian dan metode Coupling di DAS Sampean Bondowoso. Namun model ini belum dapat memprediksi curah hujan di waktu yang akan datang. Sementara itu, model VAR (Vector Autoregressive) merupakan model yang juga dapat digunakan untuk memodelkan curah hujan yang melibatkan lebih dari satu variabel/lokasi. Saputro dkk (2011)
memodelkan curah hujan di Indramayu dengan model VAR yang melibatkan beberapa lokasi pada satu variabel. Sedangkan Nugroho dkk (2014) memodelkan curah hujan di Semarang dengan model VAR dengan melibatkan beberapa variabel di satu lokasi. Metode estimasi parameter model VAR dapat didekati dengan MLE atau Bayesian. Selanjutnya model VAR yang diperoleh dapat digunakan untuk memprediksi curah hujan di waktu lain dengan pendekatan MLE atau Bayesian. Prediksi curah hujan dengan model VAR yang didekati dengan predictive posterior Bayesian menghasilkan nilai prediksi dalam suatu distribusi. Hal ini berbeda dengan pendekatan MLE yang hanya menghasilkan satu nilai prediksi atau dalam selang kepercayaan. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah memprediksi curah hujan dengan pendekatan predictive posterior bayesian.
91 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2. TINJAUAN PUSTAKA Curah Hujan Presipitasi/curah hujan adalah suatu endapan dalam bentuk padat/cair hasil dari proses kondensasi uap air di udara yang jatuh kepermukaan bumi. Satuan ukur untuk presipitasi adalah Inch, millimetres (volume/area), atau kg/m2 (mass/area) untuk precipitation bentuk cair. 1 mm hujan artinya adalah ketinggian air hujan dalam radius 1 m2 adalah setinggi 1 mm, apabila air hujan tersebut tidak mengalir, meresap atau menguap. Pengukuran curah hujan harian sedapat mungkin dibaca/dilaporkan dalam skala ukur 0.2 mm (apabila memungkinkan menggunakan resolusi 0.1 mm). Prinsip kerja alat pengukur curah hujan antara lain : pengukur curah hujan biasa (observariaum) curah hujan yang jatuh diukur tiap hari dalam kurun waktu 24 jam yang dilaksanakan setiap pukul 00.00 GMT, pengukur curah hujan otomatis melakukan pengukuran curah hujan selama 24 jam dengan merekam jejak hujan menggunakan pias yang terpasang dalam jam alat otomatis tersebut dan dilakukan penggantian pias setiap harinya pada pukul 00.00 GMT, sedangkan pengukuran curah hujan digital dimana curah hujan langsung terkirim kemonitor komputer berupa data sinyal yang telah diubah kedalam bentuk satuan curah hujan.
Model Vector Autoregressive (VAR) Model umum dari VAR ordo p yakni: 𝒀𝒀𝒕𝒕 = 𝜶𝜶𝟎𝟎 + 𝑨𝑨𝟏𝟏 𝒀𝒀𝒕𝒕−𝟏𝟏 + 𝑨𝑨𝟐𝟐 𝒀𝒀𝒕𝒕−𝟐𝟐 +. . +𝑨𝑨𝒑𝒑 𝒀𝒀𝒕𝒕−𝒑𝒑 + 𝜺𝜺𝒕𝒕 Atau 𝒑𝒑
𝒀𝒀𝒕𝒕 = 𝜶𝜶𝟎𝟎 + � 𝑨𝑨𝒏𝒏 𝒀𝒀𝒕𝒕−𝒏𝒏 + 𝜺𝜺𝒕𝒕 𝒏𝒏=𝟏𝟏
𝟏𝟏
Dengan 𝒀𝒀𝒕𝒕 merupakan vektor Y pada waktu t, 𝜶𝜶𝟎𝟎 vektor intersep, 𝑨𝑨𝒏𝒏 merupakan matriks yakni besarnya nilai parameter Y ke n dan 𝜺𝜺𝒕𝒕 merupakan vektor sisaan pada saat t. (Saputro dkk, 2011) Distribusi Predictive Posterior Bayesian Congdon (2006), dalam statistika Bayesian, distribusi predictive posterior merupakan distribusi dari observasi yang tidak tersampel (prediksi) bersyarat pada data tersampel (observasi). Berbeda dengan
metode klasik seperti maximum likelihood, hasil estimasi parameter menghasilkan suatu distribusi prediksi bukan merupakan penduga titik. Ini merupakan salah satu kelebihan dari estimasi Bayesian. Misal y data observasi, θ parameter dan y pred adalah data yang tidak terobservasi, distribusi predictive posterior didefinisikan sebagai berikut: 𝑝𝑝�𝒚𝒚𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑 �𝒚𝒚� = � 𝑝𝑝�𝒚𝒚𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑 , 𝜽𝜽�𝒚𝒚�𝑑𝑑𝜽𝜽
= ∫ 𝑝𝑝�𝒚𝒚𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑 �𝜽𝜽, 𝒚𝒚�𝑝𝑝(𝜽𝜽|, 𝒚𝒚)𝑑𝑑𝜽𝜽
Dengan asumsi data observasi dan tidak terobservasi saling bebas maka: 𝑝𝑝�𝒚𝒚𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑 �𝒚𝒚� = � 𝑝𝑝�𝒚𝒚𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑 �𝜽𝜽�𝑝𝑝(𝜽𝜽|𝒚𝒚)𝑑𝑑𝜽𝜽
MCMC digunakan untuk membangkitkan sampel dari distribusi predictive posterior didasarkan dari distribusi posterior dari 𝜽𝜽 .
Distribusi predictive posterior digunakan untuk memeriksa apakah model konsisten dengan data (a model checking tool) (Gelman dkk., 2004). Suatu model dikatakan tepat jika selisih antara hasil predictive posterior dengan data observasi kecil. Atau dapat dilakukan dengan menghitung: 𝑃𝑃𝑃𝑃 �𝑻𝑻�𝒚𝒚𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑 � > 𝑇𝑇(𝒚𝒚|𝜽𝜽)�
Dimana: 𝑇𝑇(𝒚𝒚|𝜽𝜽) adalah nilai uji (mean, standar deviasi, order statistics, dll) dari data observasi, 𝑻𝑻�𝒚𝒚𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑𝒑 � adalah nilai uji (mean, standar deviasi, order statistics, dll) dari urutan data ke-i distribusi predictive posterior. Markov Chain Monte Carlo (MCMC) Langkah-langkah mendapatkan posterior dengan menggunakan Markov Chain Monte Carlo adalah sebagai berikut: 1. Memilih nilai initial θ(0). 2. Membangkitkan sampel θ(1), θ(2), …, θ(T) dari distribusi posterior p(θ|x). 3. Memonitor kekonvergenan algoritma, bila tidak konvergen maka perlu pembangkitan observasi lebih banyak lagi.
92 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
4.
Menghapus observasi B (sampel yang burn-in) 5. Menganggap {θ(B+1), θ(B+2), …, θ(T)} sebagai sampel untuk analisis posterior. 6. Mem-plot distribusi posterior 7. Memperoleh kesimpulan dari distribusi posterior (mean, median, dll.) Markov Chain Monte Carlo (MCMC) memberikan sampel random θ(1), θ(2), …, θ(t), …, θ(T’) dari sampel tersebut, untuk setiap fungsi G(θ) dari parameter θ bisa diperoleh: 1. 2.
Sampel dari parameter yang diinginkan yaitu G(θ(1)), G(θ(2)), …, G(θ(t)), G(θ(T’)). Ringkasan posterior G(θ) dari sampel dengan menggunakan estimasi sampel sederhana. Sebagai contoh, bisa didapatkan mean dari posterior dengan rumus: 1 Eˆ (G (θ ) | x) = T'
T'
∑ G(θ
(t )
)
1
Skala pengukuran yang lain adalah median dan quantil (2,5% dan 97,5%) memberikan 95% selang kepercayaan. 3. Ringkasan MC error, yaitu sebuah skala pengukuran yang mengukur variabilitas dari setiap estimasi saat simulasi. MC error harus bernilai kecil untuk menghitung parameter yang diinginkan dengan peningkatan presisi. 4. Perhitungan korelasi antara parameter yang satu dengan parameter yang lain. Plot dari distribusi marginal posterior.
Software yang digunakan dalam analisis adalah software open source R Adapun langkah –langkah yang dilakukan sebagai berikut: 1.
Memeriksa asumsi stasioneritas data 2. Menentukan ordo dari model VAR 3. Mengestimasi model VAR dengan bayesian 4. Memprediksi dengan pendekatan distribusi posterior predictive pada model VAR 5. Membuat plot hasil posterior predictive dan data observasi 6. Menghitung nilai RMSE. 7. Interpretasi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengujian stasioneritas dengan Dickey Fuller didapatkan nilai P < 0.05, sehingga disimpulkan bahwa terdapat kestasioneran terhadap rata-rata untuk setiap lokasi. Selanjutnya untuk menentukan ordo dari VAR dilakukan melalui skema MACF dan MPACF dan diperoleh model yang sesuai adalah VAR(5) sebagaimana disajikan di Gambar 1 dan Gambar 2.
3. METODE Pada penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan bantuan software R
Gambar 1. Skema MACF
3.1 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu curah hujan per jam di dua stasiun hujan yaitu Sentral dan Maesan pada Januari 2006 – Desember 2007. Total data untuk setiap lokasi sebanyak 1483. Gambar 2. Skema MPACF
3.2 Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Bayesian dengan MCMC untuk distribusi predictive posterior bayesian pada model VAR.
Estimasi parameter model VAR dengan bayesian diperoleh model sebagai berikut:
93 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝑍𝑍1,𝑡𝑡 � 𝑍𝑍2,𝑡𝑡 = �
0.32846 0.03902 𝑍𝑍1,𝑡𝑡−1 � �� �+ 0.0293 0.10493 𝑍𝑍2,𝑡𝑡−1
sebesar 3.84 dan 2.86 di stasiun hujan Sentral dan Maesan secara berturut-turut. Hal ini disebabkan karena data curah hujan per jam banyak memuat nilai nol sehingga menyebabkan terjadi overdispersi.
0.08394 −0.03709 𝑍𝑍1,𝑡𝑡−3 � �� �+ 0,07187 0.05309 𝑍𝑍2,𝑡𝑡−3
5. KESIMPULAN
0.06536 0.10109 𝑍𝑍1,𝑡𝑡−2 � �� �+ 0.00278 0.01725 𝑍𝑍2,𝑡𝑡−2
10 0 -10
1 84 167 250 333 416 499 582 665 748 831 914 997 1080 1163 1246 1329 1412
Curah Hujan (mm)
Pola predictive posterior bayesia pada model curah hujan VAR(5) mendekati pola data 𝑍𝑍 observasi namun nilai yang dihasilkan tidak 0.01715 −0.01391 1,𝑡𝑡−4 � �� � + sama. Pada penelitian selanjutnya dapat 0.01791 −0.00594 𝑍𝑍2,𝑡𝑡−4 dikembangkan model curah hujan yang 𝜀𝜀 𝑍𝑍 dapat mengatasi fenomena curah hujan per 1,𝑡𝑡 1,𝑡𝑡−5 −0.04053 0.03991 � �� � + �𝜀𝜀 � 𝑍𝑍 2,𝑡𝑡 jam yang sebagian besar data bernilai nol di 0.06279 0.16345 2,𝑡𝑡−5 beberapa lokasi. Selanjutnya perbandingan data observasi dengan pendekatan predictive posterior UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih diperuntukkan kepada bayesian pada model VAR (5) di stasiun Kemenristekdikti atas dukungan dana hujan Sentral dan Maesan disajikan di peneltian dalam Hibah Peneltian Gambar 3 dan 4 secara berturut-turut. Fundamental Tahun Anggaran 2017, Rektor Universitas Brawijaya, Dekan FMIPA dan 50 Ketua Jurusan Matematika Univsersitas 40 30 Brawijaya atas dukungan ijin dan bantuan 20 dana kegiatan seminar ini..
Jam keObs_Sentral
Pred_Sentral
Gambar 3. Perbandingan Data Curah Hujan Posterior Predictive dan Observasi di Stasiun Hujan Sentral
30 20 10 0 -10
1 84 167 250 333 416 499 582 665 748 831 914 997 1080 1163 1246 1329 1412
Curah Hujan (mm)
40
Jam ke-
Obs_Maesan
Pred_Maesan
Gambar 4. Perbandingan Data Curah Hujan Posterior Predictive dan Observasi di Stasiun Hujan Maesan
Berdasarkan Gambar 3 dan 4 terlihat bahwa pola predictive posterior Bayesian pada model curah hujan VAR(5) mendekati pola data curah hujan observasi walaupun nilai yang dihasilkan tidak sama. Hal ini juga didukung oleh RMSE yang dihasilkan
DAFTAR PUSTAKA Astutik S., Iriawan,N., Suhartono, dan Sutikno. (2013). Bayesian State-Space Modeling for Spatio-Temporal Rainfall Disaggregation, International Journal of Applied Mathematics and Statistics (IJAMAS), 37 (7) : p.26-37. Congdon, P. 2003. Applied Bayesian Modelling, John Wiley & Sons. England Gelman, A., Carlin, J.B. , Stern, H.S. , Dunson, D.B., Vehtari, A. , dan Rubin, D.B. (2004). Bayesian Data Analysis, Third Edition. Chapman & Hall/CRC Texts in Statistical Science Nugroho, A., Subanar, Hartati, S., dan Mustofa, K. Vector Autoregression (Var) Model for Rainfall Forecast and Isohyet Mapping in Semarang –Central Java –Indonesia. (2014). (IJACSA) International Journal of Advanced Computer Science and Application, 5(11):p. 44-49. Saputro, D.R.S., Wigena, A.H., dan Djuraidah, A. (2011). Model Vektor Autoregressive untuk Peramalan Curah Hujan di Indramayu. Forum Statistika dan Komputasi. 16(2):p7-1
94 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
ESTIMASI PARAMETER DISTRIBUSI GENERALIZED GAMMA DENGAN MENGGUNAKAN METODE MAKSIMUM LIKELIHOOD Elya Priska, Dewi Sri Susanti, Yuni Yulida Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru, Kalsel Email :
[email protected]
Abstrak Paper ini mengkaji estimasi parameter pada distribusi generalized gamma menggunakan metode maksimum likelihood. Proses ini menghasilkan sistem persamaan, sehingga tidak bisa langsung ditentukan estimator , dan . Selanjutnya, sistem persamaan tersebut diselesaikan menggunakan metode iterasi Newton Raphson, sehingga diperoleh estimator berikut:
Kata Kunci : Distribusi Generalized Gamma, Metode Maksimum Likelihood dan Metode Newton Raphson.
1. PENDAHULUAN Statistika inferensia adalah suatu ilmu yang mempelajari tata cara penarikan kesimpulan mengenai ciri-ciri populasi berdasarkan data yang diperoleh dari sampel. Penarikan kesimpulannya dapat dilakukan dengan estimasi parameter. Suatu parameter yang akan diestimasi dalam penelitian ini adalah parameter dari distribusi generalized gamma. Distribusi generalized gamma merupakan suatu distribusi peluang kontinu yang digunakan untuk memodelkan data waktu hidup. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan langkah-langkah mengestimasi parameter distribusi generalized gamma dengan menggunakan metode maksimum likelihood.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Distribusi Generalized Gamma Distribusi generalized gamma merupakan perumuman dari distribusi gamma. Ditribusi generalized gamma memiliki tiga parameter, yaitu parameter bentuk (α,τ) dan parameter skala (λ). Definisi 2.1 [5] Suatu variabel acak berdistribusi generalized
X dikatakan gamma dengan
parameter λ, α dan τ, jika fungsi kepadatan peluangnya adalah sebagai berikut : τ x aτ −1 − x l f ( x; a ,τ , l ) = lΓ(a ) l e 0
τ
x≥0
a ,τ , l > 0 x lainnya
(1) 2.2 Metode Maksimum Likelihood Estimasi adalah suatu metode untuk memperkirakan nilai-nilai suatu populasi dengan menggunakan nilai-nilai sampel. Nilai-nilai suatu populasi disebut parameter populasi. Pada umumnya, parameter populasi diberi simbol θ dimana θ tidak diketahui, sehingga θ diduga menggunakan estimator. Definisi 2.2.1 [3] Estimator dari T( ) adalah suatu nilai statistik yang berupa yang digunakan untuk mengestimasi nilai T( ). Estimasi titik dari suatu parameter populasi adalah prosedur mendapatkan nilai dari sampel yang digunakan sebagai estimator dari parameter yang nilainya tidak diketahui. Tujuan estimasi titik adalah untuk memberikan nilai yang sesuai untuk
95 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
parameter θ berdasarkan pengamatan dari populasi [2].
data
hasil
Penentuan estimator titik sebuah parameter populasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode maksimum likelihood. Definisi 2.2.2 [3] Jika X 1 , X 2 , … ,X n adalah sampel acak dengan fungsi f(x;θ) yang memiliki fungsi kepadatan peluang bersama, yaitu f(x 1 ,x 2 , … ,x n : θ), maka fungsi likelihood didefinisikan sebagai berikut
Misalkan dimana adalah suatu nilai yang mendekati nilai maka persamaan deret Taylor disekitar dapat dinyatakan sebagai berikut
,
Suku-suku orde kedua dari deret Taylor pada persamaan (5) adalah
L(θ) = f(x 1 ; θ) f(x 2 ; θ) … f(x n ; θ) (2) Metode maksimum likelihood merupakan salah satu metode estimasi yang memberikan hasil yang baik dengan memaksimumkan fungsi likelihood yang memenuhi definisi berikut: Definisi 2.2.3 [3] Jika L(θ) = f(x 1; θ)f( x 2 ; θ) … f(x n : θ), θ ϵ Ω adalah fungsi kepadatan peluang bersama dari X 1 , X 2 , … ,X n dengan Ω adalah ruang parameter populasi dalam . Suatu nilai dalam Ω sedemikian sehingga L(θ) maksimum disebut Maximum Likelihood Estimator (MLE) dari θ dan didefinisikan sebagai berikut :
(
)
f x1 , x2 ,..., xn ;θˆ = max f (x1 , x2 ,..., xn ;θ ) θ ∈Ω
Misalkan
, , dan , maka persamaaan (6) menjadi
Jika diturunkan terhadap dan menyamakannnya dengan nol, maka
Sehingga didapatkan (8) Jadi,
(3) Dalam hal ini, fungsi kepadatan peluang bersama adalah suatu fungsi dari parameter yang tidak diketahui, yaitu θ. Penduga maksimum likelihood dari θ adalah nilai θ yang memaksimumkan fungsi kepadatan peluang bersama. 2.3 Metode Newton Raphson Metode Newton Raphson adalah salah satu metode iterasi numerik untuk menyelesaikan persamaan non linier. Metode ini biasanya digunakan untuk menyelesaikan persamaan non linier dari proses estimasi parameter sehingga memperoleh estimator yang dapat memaksimumkan suatu fungsi [1]. Metode ini didapatkan dari deret Taylor, yang dinyatakan sebagai berikut
(9) Jika dan
vektor yang terdiri dari dapat ditulis dengan , maka
96 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dan
dimana untuk sebagai berikut :
dituliskan berturut-turut
dimana adalah vektor dari turunan pertama fungsi dan adalah matriks Hessian atau matriks dari turunan kedua fungsi . Persamaan (9) dapat ditulis seperti berikut: dimana
3.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat studi literatur, yaitu mengumpulkan bahan atau materi kemudian memahami dan mempelajari konsep yang berkaitan dengan distribusi generalized gamma dan estimasi parameter, selanjutnya mengestimasi parameter distribusi generalized gamma dengan menggunakan metode maksimum likelihood dengan cara menentukan fungsi likelihood dari fungsi kepadatan peluang distribusi generalized gamma, kemudian menentukan estimator dari parameter λ, α dan τ dengan memaksimumkan fungsi likelihood dan dilanjutkan dengan proses iterasi newton raphson.
Fungsi likelihood adalah suatu fungsi kepadatan peluang bersama dari distribusi generalized gamma dengan parameter λ, α dan τ, maka berdasarkan Definisi 2.2.2 persamaan (2), diperoleh fungsi likelihood dari fungsi kepadatan peluang yang sesuai dengan persamaan (11), yaitu: n
L(α ,τ , λ ) = ∏ f ( xi ; α ,τ , λ ) i =1
τ = ατ λ Γ(α )
4. Hasil dan Pembahasan Estimasi adalah pendugaan, penaksiran atau usaha untuk menemukan setepat-tepatnya nilai dari suatu parameter λ, α dan τ yang berdistribusi generalized gamma. Penentuan estimator dari parameter λ, α dan τ menggunakan metode maksimum likelihood, dengan cara: Langkah I: Menentukan fungsi likelihood dari fungsi kepadatan peluang distribusi generalized gamma. Jika masing–masing berasal dari distribusi generalized gamma dimana adalah sampel acak bersifat saling bebas dan identik, maka fungsi kepadatan peluang sesuai dengan Definisi 2.1 persamaan (1) adalah
τ
ατ −1
τ
xi =∏ i =1 λΓ (α ) λ n
n
e
x − i λ
n
xi n ατ −1 − λτ ∑ ∏ xi e i=1 i =1 1
(12) Estimator parameter λ, α dan τ yang dapat memaksimumkan fungsi likelihood dapat diperoleh pada saat turunan pertamannya bernilai nol. Namun biasanya sulit untuk mencari turunan fungsi likelihood, sehingga yang dilakukan adalah menentukan estimator maksimum dari logaritma asli fungsi likelihood tersebut atau disebut fungsi ln-likelihood. Fungsi ln-likelihood adalah fungsi kepadatan peluang bersama yang diubah menjadi bentuk logaritma, tujuannya untuk mempermudah proses pengestimasian parameter. Bentuk fungsi likelihood dari persamaan (12) yang diubah ke bentuk fungsi ln-likelihood seperti berikut: [3]
97 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
τ
ln L(α ,τ , l ) n
= n ln τ − nατ ln l − ∑ ln xi − i =1
1 τ
l
τ
metode ini, yaitu dengan melakukan iterasiiterasi hingga memperoleh hasil yang konvergen. Misalkan
(13)
adalah vektor parameter-parameter
n
∑x i =1
i
Langkah II: Menentukan estimator dari parameter λ, α dan τ dengan memaksimumkan fungsi likelihood dan dilanjutkan dengan proses iterasi newton raphson. Estimasi maksimum likelihood dari parameter λ, α dan τ berdasarkan Definisi 2.2.3 persamaan (3) diperoleh dengan cara memaksimumkan fungsi likelihood. Estimasi maksimum likelihood juga dapat dilakukan dengan cara memaksimumkan fungsi logaritma asli likelihood, karena dengan memaksimumkan fungsi logaritma asli likelihood juga akan memaksimumkan fungsi likelihood-nya. Untuk mendapatkan estimator yang mengestimasi fungsi likelihood, maka persamaan (13) diturunkan secara parsial terhadap parameter λ, α dan τ, sehingga persamaan normalnya diperoleh seperti berikut: [4] 1. Turunan parsial persamaan (13) terhadap λ
− nαˆ + 2.
1 λˆτˆ
n
∑x i =1
Turunan parsial terhadap α
τˆ
i
=0
, dan , maka persamaan umum Newton Raphson terhadap berdasarkan persamaan (10) adalah
(17) merupakan vektor berukuran dimana berisi turunan pertama fungsi ln-likelihood pada persamaan (13) secara parsial terhadap parameter , parameter dan terhadap parameter . adalah matriks Hessian berukuran yang berisi turunan kedua parsial fungsi ln-likelihood pada persamaan (13) terhadap parameter , parameter dan terhadap parameter . Berdasarkan persamaan (14), persamaan (15) dan persamaan (16), vektor adalah
(14)
persamaan
(13)
n
− nτˆ ln lˆ − nψ (αˆ ) + τˆ∑ ln xi = 0 (15) i =1
3.
Turunan parsial terhadap τ
persamaan
(13)
n n τˆ τˆ ∑ xi ln xi − ∑ xi ln lˆ n n i = 1 i = 1 − nαˆ ln lˆ + αˆ ∑ ln xi − =0 τˆ lˆτˆ i =1
Entri-entri dari vektor telah ditunjukkan pada persamaan (18), sedangkan entri-entri dari matriks hessian didapat dengan mencari turunan kedua parsial dari fungsi ln-likelihood sebagai berikut:
(16) Karena penentuan estimator dari parameter , parameter dan parameter menggunakan metode maksimum likelihood yang diperoleh masih mengandung parameter yang tidak diketahui nilainya, maka persamaan (14), persamaan (15) dan persamaan (16) tidak dapat diselesaikan secara analitik, sehingga diperlukan pendekatan numerik menggunakan metode iterasi Newton Raphson. Penggunaan
Estimasi parameter persamaan (17) adalah
98 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dan
berdasarkan
DAFTAR PUSTAKA
Misalkan , , dan , maka berdasarkan persamaan (19) estimasi parameter dan menjadi
Dimana adalah suatu matriks Hessian dan adalah turunan pertama fungsi ln-likelihood secara parsial terhadap parameter , parameter dan terhadap parameter .
5. KESIMPULAN Fungsi likelihood yang diperoleh dari fungsi kepekatan peluang Generalized Gamma, yaitu
[1] Agresti, A. 2002. Categorical Data Analysis. Edisi ke-2. John Wiley & Sons, New York. [2] Algifari. 2003. Statistika Induktif untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi ke-2. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. [3] Bain, L.J & Engelhardt, M. 1992. Introduction to Probability and Mathematical Statistics. Second Edition. Duxbury Press; California. [4] Cameron, T.A & White, K.J. 1985. Generalized Gamma Family Regression Models For Long-Distance Telephone Call Durations. Paper : Tidak Diterbitkan. California & Columbia. [5] Morteza.K & Alireza.A. 2010. Some Properties of Generalized Gamma Distribution. Journal of Mathematical Science.Vol. 4, No. 1 9-28. [6] Wibisono, Y. 2005. Metode Statistika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
n
n xiτ τ n ατ −1 − λτ ∑ ∏ xi L(α ,τ , λ ) = ατ e i=1 λ Γ(α ) i =1 Dengan memaksimumkan fungsi diatas diperoleh persamaan normal sebagai berikut: 1 n τˆ − nαˆ + τˆ ∑ xi = 0 λˆ i =1 1
n
− nτˆ ln lˆ − nψ (αˆ ) + τˆ∑ ln xi = 0 i =1
n n τˆ τˆ ∑ xi ln xi − ∑ xi ln lˆ n n i =1 =0 − nαˆ ln lˆ + αˆ ∑ ln xi − i =1 τˆ lˆτˆ i =1
Estimator parameter distribusi Generalized Gamma didapatkan dengan menyelesaikan persamaan normal diatas secara iteratif yaitu yang memenuhi:
Dimana adalah suatu matriks Hessian dan adalah turunan pertama fungsi ln-likelihood secara parsial terhadap parameter , parameter dan terhadap parameter .
99 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
HUBUNGAN PSEUDOPRIMA EULER DENGAN PSEUDOPRIMA DAN PSEUDOPRIMA STRONG Hariyadi, Thresye*, Akhmad Yusuf Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru 70714, Kalsel * Email:
[email protected]
Abstrak Pseudoprima untuk basis 𝑏𝑏 merupakan bilangan komposit 𝑛𝑛 yang memenuhi 𝑏𝑏 𝑛𝑛−1 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛), dengan 𝑏𝑏 bilangan bulat positif dan (𝑏𝑏, 𝑛𝑛) = 1. Terdapat beberapa jenis lain dari pseudoprima, diantaranya yaitu pseudoprima strong dan pseudoprima Euler. Pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏 merupakan bilangan bulat komposit 𝑛𝑛 yang memenuhi uji Miller untuk basis 𝑏𝑏. Pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏 merupakan bilangan (𝑛𝑛−1)
𝑏𝑏
komposit ganjil 𝑛𝑛 yang memenuhi kekongruenan 𝑏𝑏 2 ≡ � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) dengan 𝑏𝑏 bilangan bulat positif. 𝑛𝑛 Pseudoprima dan pseudoprima strong memiliki suatu hubungan karena pseudoprima strong diperoleh dari modifikasi kekongruenan pada definisi pseudoprima. Hasil penelitian ini yaitu setiap pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏 merupakan pseudoprima untuk basis 𝑏𝑏, setiap pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏 merupakan 𝑏𝑏 pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏, dan jika 𝑛𝑛 ≡ 3 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 4) atau � � = −1 dimana 𝑛𝑛 merupakan pseudoprima 𝑛𝑛 strong untuk basis 𝑏𝑏, maka 𝑛𝑛 merupakan pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏. Kata kunci : Kekongruenan, Pseudoprima, Pseudoprima Strong, Pseudoprima Euler.
1. PENDAHULUAN Dalam teori bilangan dipelajari tentang kekongruenan. Pada kekongruenan terdapat beberapa kekongruenan khusus, salah satunya yaitu pseudoprima. Menurut Pomerance dkk. (1980) jika diberikan 𝑛𝑛 bilangan bulat positif dengan (𝑏𝑏, 𝑛𝑛) = 1 sedemikian hingga memenuhi kekongruenan 𝑏𝑏 𝑛𝑛−1 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛), jika tidak memenuhi kekongruenan tersebut maka 𝑛𝑛 bilangan komposit. Tetapi terdapat 𝑛𝑛 bilangan komposit yang memenuhi kekongruenan tersebut disebut pseudoprima. Selanjutnya, terdapat pseudoprima strong diperoleh dari modifikasi kekongruenan pada definisi pseudoprima. Pseudoprima strong merupakan bilangan komposit 𝑛𝑛 yang memenuhi uji Miller untuk basis 𝑏𝑏. Menurut Rosen (2005) berdasarkan teorema kriteria Euler, untuk mengetahui keprimaan suatu bilangan bulat positif 𝑛𝑛, dapat diberikan 𝑏𝑏 bilangan bulat, dengan (𝑏𝑏, 𝑛𝑛) = 1 dan memenuhi 𝑏𝑏
𝑏𝑏
𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 ≡ � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛), 𝑛𝑛
dengan � � merupakan simbol Jacobi. Jika 𝑛𝑛 tidak memenuhi kekongruenan tersebut, maka 𝑛𝑛 bilangan komposit. Tetapi terdapat 𝑛𝑛 bilangan komposit yang memenuhi kekongruenan tersebut disebut pseudoprima Euler.
Pseudoprima dan pseudoprima strong memiliki suatu hubungan karena pseudoprima strong diperoleh dari modifikasi kekongruenan pada definisi pseudoprima, dimana pseudoprima diperoleh dari teorema Little Fermat. Selanjutnya, suatu jenis dari pseudoprima yaitu pseudoprima Euler yang diperoleh dari teorema kriteria Euler juga memiliki hubungan dengan pseudoprima maupun pseudoprima strong. Berdasarkan analisa masalah yang dikaji, maka dibahas hubungan implikasi antara pseudoprima Euler dengan pseudoprima serta hubungan implikasi antara pseudoprima Euler dengan pseudoprima strong.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keterbagian dan Faktorisasi Prima Berpangkat Definisi 2.1.1 [6] Diberikan 𝑎𝑎 dan 𝑏𝑏 bilangan bulat dengan 𝑎𝑎 ≠ 0. Jika terdapat 𝑐𝑐 bilangan bulat sedemikian sehingga 𝑏𝑏 = 𝑎𝑎𝑎𝑎, maka 𝑎𝑎 membagi habis 𝑏𝑏. Teorema 2.1.2 [6] Jika 𝑎𝑎, 𝑏𝑏, dan 𝑐𝑐 bilangan bulat dengan 𝑎𝑎 | 𝑏𝑏 dan 𝑏𝑏 | 𝑐𝑐, maka 𝑎𝑎 | 𝑐𝑐.
100 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Teorema 2.1.3 [3] Setiap bilangan bulat 𝑛𝑛 > 1 dapat dinyatakan sebagai faktorisasi prima berpangkat yaitu 𝑛𝑛 = 𝑝𝑝1 𝑒𝑒1 𝑝𝑝2 𝑒𝑒2 . . . 𝑝𝑝𝑘𝑘 𝑒𝑒𝑘𝑘 dimana 𝑝𝑝1 , 𝑝𝑝2 , . . . , 𝑝𝑝𝑘𝑘 bilangan prima berbeda dan 𝑒𝑒1 , 𝑒𝑒2 , . . . , 𝑒𝑒𝑘𝑘 bilangan bulat positif. Representasi ini tunggal, terlepas dari perubahan urutan faktor-faktornya. 2.2 Kekongruenan Definisi 2.2.1 [5] Diberikan 𝑚𝑚 bilangan bulat positif, 𝑎𝑎 dan 𝑏𝑏 bilangan bulat, 𝑎𝑎 kongruen 𝑏𝑏 modulo 𝑚𝑚 disimbolkan 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚) jika dan hanya jika 𝑚𝑚 | (𝑎𝑎 − 𝑏𝑏). Teorema 2.2.2 [1] Untuk 𝑚𝑚 > 0 dan 𝑎𝑎, 𝑏𝑏, 𝑐𝑐, dan 𝑑𝑑 bilangan bulat, maka diberikan pernyataan berikut 1. 𝑎𝑎 ≡ 𝑎𝑎 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚). 2. Jika 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚), maka 𝑏𝑏 ≡ 𝑎𝑎 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚). 3. Jika 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚) dan 𝑏𝑏 ≡ 𝑐𝑐 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚), maka 𝑎𝑎 ≡ 𝑐𝑐 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚). 4. Jika 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚) dan 𝑐𝑐 ≡ 𝑑𝑑 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚), maka 𝑎𝑎 + 𝑐𝑐 ≡ 𝑏𝑏 + 𝑑𝑑 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚) dan 𝑎𝑎𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚). 5. Jika 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚), maka 𝑎𝑎 + 𝑐𝑐 ≡ 𝑏𝑏 + 𝑐𝑐 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚) dan 𝑎𝑎𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏𝑐𝑐 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚). 6. Jika 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚), maka 𝑎𝑎𝑘𝑘 ≡ 𝑏𝑏 𝑘𝑘 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚) untuk setiap 𝑘𝑘 bilangan bulat positif. Teorema 2.2.3 [6] Untuk a, b, c dan m bilangan bulat sedemikian sehingga m > 0, dimana d=(c,m), jika ac≡bc (mod m) maka a≡b (mod m/d). Akibat 2.2.4 [6] Jika 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚1 ), 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚2 ), ..., 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚𝑘𝑘 ), dimana 𝑎𝑎 dan 𝑏𝑏 bilangan bulat dan 𝑚𝑚1 , 𝑚𝑚2 , . . . , 𝑚𝑚𝑘𝑘 bilangan bulat positif relatif prima berpasangan, maka 𝑎𝑎 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚1 𝑚𝑚2 . . . 𝑚𝑚𝑘𝑘 ). Teorema 2.2.5 [6] Diberikan 𝑝𝑝 prima, suatu bilangan positif 𝑎𝑎 invers dirinya sendiri dalam modulo 𝑝𝑝 jika dan hanya jika 𝑎𝑎 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝) atau 𝑎𝑎 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Teorema 2.2.6 [7] Jika 𝑝𝑝 bilangan prima dan 𝑏𝑏 bilangan bulat positif dimana 𝑝𝑝 tidak membagi habis 𝑏𝑏 (𝑝𝑝 ∤ 𝑏𝑏), maka 𝑏𝑏 𝑝𝑝−1 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). 2.3 Pseudoprima Definisi 2.3.1 [6] Diberikan 𝑏𝑏 bilangan bulat positif dan 𝑛𝑛 bilangan komposit dimana (𝑏𝑏, 𝑛𝑛) = 1, 𝑛𝑛
memenuhi 𝑏𝑏 𝑛𝑛−1 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) jika dan hanya jika 𝑛𝑛 pseudoprima untuk basis 𝑏𝑏. Definisi 2.3.2 [6] Diberikan 𝑛𝑛 bilangan bulat positif dengan 𝑛𝑛 > 2 dan 𝑛𝑛 − 1 = 2𝑠𝑠 𝑡𝑡, dimana 𝑠𝑠 bilangan bulat tak negatif dan 𝑡𝑡 bilangan bulat positif ganjil, 𝑛𝑛 memenuhi uji Miller untuk basis b 𝑗𝑗 atau 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 ≡ jika 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) untuk suatu 𝑗𝑗 dengan 0 ≤ 𝑗𝑗 ≤ 𝑠𝑠 − 1. Definisi 2.3.3 [6] Diberikan 𝑛𝑛 bilangan komposit dan memenuhi uji Miller untuk basis 𝑏𝑏, maka 𝑛𝑛 disebut pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏. Pseudoprima strong 𝑛𝑛 terkecil untuk basis 𝑏𝑏, dimana 𝑏𝑏 bilangan prima 2, 3, 5, 7, 11, 13, dan 17 adalah 2047, 1373653, 25326001, 3215031751, 2152302898747, 3474749660383, dan 341550071728321, 𝑛𝑛 terakhir juga merupakan pseudoprima strong untuk basis 19. [2] 2.4 Fungsi phi Euler Definisi 2.4.1 [6] Diberikan n bilangan bulat positif. Fungsi phi Euler 𝜙𝜙(𝑛𝑛) merupakan suatu jumlah bilangan bulat positif yang tidak melebihi 𝑛𝑛 dan relatif prima dengan 𝑛𝑛. Teorema 2.4.2 [6] 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 𝑝𝑝 bilangan prima jika dan hanya jika 𝜙𝜙(𝑝𝑝) = 𝑝𝑝 − 1. 2.5 Order Definisi 2.5.1 [1] Diberikan 𝑛𝑛 > 1 dan (𝑎𝑎, 𝑛𝑛) = 1. Order dari 𝑎𝑎 modulo 𝑛𝑛 adalah bilangan bulat positif terkecil 𝑦𝑦 sedemikian sehingga 𝑎𝑎 𝑦𝑦 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). Disimbolkan 𝑦𝑦 = 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑛𝑛 𝑎𝑎. Teorema 2.5.2 [6] Jika (𝑎𝑎, 𝑛𝑛) = 1 dan 𝑛𝑛 > 0, maka bilangan bulat positif 𝑥𝑥 adalah solusi dari kekongruenan 𝑎𝑎 𝑥𝑥 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) jika dan hanya jika 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑛𝑛 𝑎𝑎 | 𝑥𝑥. Akibat 2.5.3 [6] (𝑎𝑎, 𝑛𝑛) = 1 Jika dan 𝑛𝑛 > 0, maka 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑛𝑛 𝑎𝑎 | 𝜙𝜙(𝑛𝑛). 2.6 Residu Kuadrat Definisi 2.6.1 [6] Diberikan 𝑚𝑚 bilangan bulat positif, bilangan bulat 𝑏𝑏 disebut residu kuadrat dari 𝑚𝑚 jika (𝑏𝑏, 𝑚𝑚) = 1 dan kekongruenan 𝑥𝑥 2 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚) mempunyai solusi. Jika tidak kekongruenan 𝑥𝑥 2 ≡ 𝑏𝑏 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚) mempunyai solusi, maka 𝑏𝑏 disebut bukan residu kuadrat.
101 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Definisi 2.6.2 [6] Diberikan 𝑝𝑝 bilangan prima ganjil dan 𝑏𝑏 bilangan bulat yang tidak dapat dibagi oleh 𝑝𝑝, 𝑏𝑏 simbol Legendre � � didefinisikan oleh 𝑝𝑝
1 jika 𝑏𝑏 residu kuadrat dari 𝑝𝑝, jika 𝑏𝑏 bukan residu kuadrat dari 𝑝𝑝. −1 Teorema 2.6.3 [6] Jika 𝑝𝑝 bilangan prima ganjil dan 𝑏𝑏 bilangan bulat positif yang tidak dapat dibagi oleh 𝑝𝑝, 𝑏𝑏
� �=� 𝑝𝑝
𝑏𝑏
maka � � ≡ 𝑏𝑏 (𝑝𝑝−1)/2 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝) 𝑝𝑝
Definisi 2.6.4 [6] Diberikan 𝑛𝑛 bilangan ganjil positif dengan faktorisasi prima berpangkat dan 𝑏𝑏 bilangan bulat yang relatif prima dengan 𝑛𝑛. Sehingga 𝑏𝑏
simbol Jacobi � �, dinyatakan oleh �
𝑏𝑏
𝑝𝑝1 𝑒𝑒1 𝑝𝑝2 𝑒𝑒2 ...𝑝𝑝𝑘𝑘 𝑒𝑒𝑘𝑘
𝑛𝑛
𝑏𝑏
𝑒𝑒1
𝑏𝑏
𝑒𝑒2
𝑏𝑏
𝑏𝑏
� �= 𝑛𝑛
𝑒𝑒𝑘𝑘
� = � � � � ...� � , 𝑝𝑝1
𝑝𝑝2
𝑝𝑝𝑘𝑘
dimana simbol-simbol pada samping kanan persamaan adalah simbol Legendre. Definisi 2.6.5 [6] Diberikan b bilangan bulat positif dan 𝑛𝑛 bilangan komposit ganjil dimana (𝑏𝑏, 𝑛𝑛) = 1, 𝑏𝑏 𝑛𝑛 memenuhi 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 ≡ � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) jika dan 𝑛𝑛 hanya jika 𝑛𝑛 pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏.
3.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara studi literatur. Adapun prosedur penelitian ini adalah mengumpulkan dan mempelajari buku atau materi yang berkaitan dengan pseudoprima, pseudoprima strong dan pseudoprima Euler. Membuktikan teorema yang menunjukkan setiap pseudoprima Euler merupakan pseudoprima, membuktikan teorema yang menunjukkan setiap pseudoprima strong merupakan pseudoprima Euler, dan membuktikan teorema yang menunjukkan setiap pseudoprima Euler merupakan pseudoprima strong dengan syarat-syarat tertentu serta menerapkan contoh masingmasing teorema tersebut. Kemudian didapatkan hubungan implikasi antara pseudoprima Euler dengan pseudoprima serta hubungan implikasi antara pseudoprima Euler dengan pseudoprima strong.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pseudoprima dan pseudoprima strong memiliki hubungan yaitu setiap pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏 merupakan pseudoprima, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Rosen (2005) menyatakan suatu bilangan komposit 𝑛𝑛 yang memenuhi uji Miller untuk basis 𝑏𝑏 secara otomatis merupakan pseudoprima. Selanjutnya, pseudoprima Euler memiliki hubungan dengan pseudoprima dan pseudoprima strong. Berikut akan ditunjukkan mengenai hubungan tersebut. 4.1 Hubungan implikasi antara Pseudoprima Euler dengan Pseudoprima Teorema 4.1.1 Jika 𝑛𝑛 suatu pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏, maka 𝑛𝑛 suatu pseudoprima untuk basis 𝑏𝑏. Bukti . Diberikan 𝑛𝑛 suatu pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏 maka berdasarkan Definisi 2.6.5 𝑏𝑏 diperoleh 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 ≡ � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). Dengan 𝑛𝑛 menggunakan Teorema 2.2.2 bagian 6, dimana 2
𝑏𝑏 2
𝑘𝑘 = 2 diperoleh �𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 � ≡ � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). 𝑛𝑛 𝑏𝑏 2
Sehingga diperoleh 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1) ≡ � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). 𝑛𝑛
𝑏𝑏
Karena � � merupakan simbol Jacobi dengan 𝑛𝑛
𝑏𝑏
nilai 1 atau −1, yaitu � � = ±1, diperoleh 𝑛𝑛
𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1) ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). Sehingga berdasarkan Definisi 2.3.1, 𝑛𝑛 merupakan suatu pseudoprima untuk basis 𝑏𝑏 ■ Contoh Untuk 𝑛𝑛 = 561 dan basis 𝑏𝑏 = 2. Akan ditunjukkan 𝑛𝑛 = 561 pseudoprima Euler untuk basis 2. 𝑛𝑛 = 561 = 3.11.17 561−1
a. 2 2 = 2280 = (214 )20 ≡ 11520 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 561) 2 b. Dengan Definisi 2.6.4, � � = 2
2
2
561
� � � � � � = (−1) . (−1) . 1 = 1 3
11
17
561−1
Dari (a) dan (b) diperoleh bahwa 2 2 ≡ 2 𝑛𝑛 = 561 � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 561), sehingga 561 pseudoprima Euler untuk basis 2. Akan ditunjukkan 𝑛𝑛 = 561 pseudoprima untuk basis 2. 𝑛𝑛 = 561 = 3 . 11 . 17 Berdasarkan Teorema 2.2.6 diperoleh 22 ≡ 1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 3) ⟹ 2560 = (22 )280 = 4280 ≡ 1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 3)
102 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
210 ≡ 1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 11) ⟹ 2560 = (210 )28 ≡ 1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 11) 216 ≡ 1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 17) ⟹ 2560 = (216 )35 ≡ 1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 17) Berdasarkan akibat 2.2.4 diperoleh 2560 ≡ 1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 561). Sehingga 𝑛𝑛 = 561 juga pseudoprima untuk basis 2. 4.2 Hubungan implikasi antara Pseudoprima Euler dengan Pseudoprima Strong Teorema 4.2.1 Jika 𝑛𝑛 suatu pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏, maka 𝑛𝑛 suatu pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏. Bukti. Diketahui 𝑛𝑛 pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏. Menurut Definisi 2.3.3 bilangan komposit 𝑛𝑛 pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏 jika memenuhi uji Miller yaitu jika 𝑛𝑛 − 1 = 2𝑠𝑠 𝑡𝑡, dimana 𝑡𝑡 bilangan bulat positif ganjil dan 𝑠𝑠 bilangan bulat tak negatif, memenuhi salah 𝑗𝑗 satu yaitu 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) atau 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛), dimana 0 ≤ 𝑗𝑗 ≤ 𝑠𝑠 − 1. Berdasarkan Teorema 2.1.3, diberikan bilangan 𝑛𝑛 > 0 yang merupakan faktorisasi prima berpangkat. i. Untuk kasus 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). 𝑏𝑏
Akan ditunjukkan � � = 1. Diberikan 𝑝𝑝 𝑝𝑝
pembagi prima dari 𝑛𝑛. Karena 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑝𝑝), berdasarkan Teorema 2.5.2 diperoleh bahwa 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 | 𝑡𝑡. Karena 𝑡𝑡 ganjil, sehingga 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 juga ganjil. Selanjutnya, berdasarkan Akibat 2.5.3 diperoleh 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 | 𝜙𝜙(𝑝𝑝). Karena 𝑝𝑝 prima maka dengan Teorema 2.4.2, 𝜙𝜙(𝑝𝑝) = 𝑝𝑝 − 1. Akibatnya 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑑𝑑𝑝𝑝 𝑏𝑏 | (𝑝𝑝 − 1). Karena 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 | (𝑝𝑝 − 1) sehingga berdasarkan Definisi 2.1.1 diperoleh bahwa 𝑝𝑝 − 1 = (𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)𝑔𝑔, dengan 𝑔𝑔 bilangan bulat. Karena 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 bilangan bulat positif ganjil, sehingga 𝑔𝑔 harus bilangan bulat positif genap. Sehingga 𝑔𝑔 = 2ℎ dengan ℎ bilangan bulat, akibatnya 𝑝𝑝 − 1 = (𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)2ℎ dengan kata lain (𝑝𝑝 − 1)/2 = �𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏�ℎ. Berdasarkan Definisi 2.1.1 diperoleh Karena itu, 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 | (𝑝𝑝 − 1)/2. berdasarkan Teorema 2.5.2 diperoleh 𝑏𝑏 (𝑝𝑝−1)/2 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Akibatnya, 𝑏𝑏
dengan Teorema 2.6.3, � � = 1.
Selanjutnya 𝑏𝑏
� � = 1. 𝑛𝑛
𝑝𝑝
ditunjukkan
Untuk
nilai
dari
menghitung
� �,
𝑏𝑏
𝑛𝑛
𝑏𝑏
diberikan � � = 1 untuk semua bilangan 𝑝𝑝
prima 𝑝𝑝 yang membagi 𝑛𝑛. Sehingga berdasarkan Definisi 2.6.4 diperoleh 𝑏𝑏
� �=� 𝑛𝑛 𝑏𝑏 𝑒𝑒1
𝑏𝑏
��
𝑝𝑝1 𝑒𝑒1 𝑏𝑏 𝑒𝑒2
𝑏𝑏
� � � � ... � 𝑝𝑝1
𝑝𝑝2 𝑏𝑏
�...�
𝑝𝑝2 𝑒𝑒2 𝑏𝑏
𝑝𝑝𝑘𝑘
�
𝑒𝑒𝑘𝑘
𝑏𝑏
𝑝𝑝𝑘𝑘 𝑒𝑒𝑘𝑘
�
𝑏𝑏 𝑒𝑒𝑖𝑖
= ∏𝑘𝑘𝑖𝑖=1 � � 𝑝𝑝𝑖𝑖
=
Karena � � = 1 sehingga diperoleh 𝑝𝑝
𝑏𝑏
� �=
𝑛𝑛 ∏𝑘𝑘𝑖𝑖=1(1)𝑒𝑒𝑖𝑖
= 1 … (4.1) Selanjutnya akan ditunjukkan 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). Karena 𝑛𝑛 − 1 = 2𝑠𝑠 𝑡𝑡, sehingga diperoleh 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 = 𝑠𝑠 𝑠𝑠−1 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡/2 = (𝑏𝑏 𝑡𝑡 )2 . Karena 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛), sehingga 𝑠𝑠 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 = 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡/2 = 𝑠𝑠−1 (𝑏𝑏 𝑡𝑡 )2 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) … (4.2) Sehingga, dengan mensubstitusikan persamaan (4.1) ke persamaan (4.2) 𝑏𝑏
maka 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 ≡ � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). Sehingga 𝑛𝑛 berdasarkan Definisi 2.6.5, 𝑛𝑛 merupakan pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏. 𝑗𝑗 ii. Untuk kasus 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) untuk setiap 𝑗𝑗 dimana 0 ≤ 𝑗𝑗 ≤ 𝑠𝑠 − 1. 𝑏𝑏
Akan ditunjukkan � � = (−1)𝑑𝑑 dengan 𝑝𝑝
Diberikan 𝑝𝑝 𝑑𝑑 = (𝑝𝑝 − 1)/2𝑗𝑗+1 . merupakan pembagi prima dari 𝑛𝑛, 𝑗𝑗 sehingga diperoleh 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Dengan Teorema 2.2.2 bagian 6, dimana 𝑘𝑘 = 2 diperoleh 𝑗𝑗+1 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝), sehingga berdasarkan Teorema 2.5.2 tetapi diperoleh 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 | 2𝑗𝑗+1 𝑡𝑡, 𝑗𝑗 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 ∤ 2 𝑡𝑡. Karena 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 | 2𝑗𝑗+1 𝑡𝑡, sehingga berdasarkan Definisi 2.5.1 terdapat bilangan bulat positif terkecil yang memenuhi 2𝑗𝑗+1 𝑐𝑐 𝑗𝑗+1 yaitu 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 = 𝑏𝑏 2 𝑐𝑐 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝) 2𝑗𝑗+1 𝑐𝑐, dimana 𝑐𝑐 bilangan bulat positif ganjil. Karena 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 = 2𝑗𝑗+1 𝑐𝑐, sehingga diperoleh 𝑏𝑏 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Misalkan jika 𝑦𝑦 = 𝑏𝑏 (𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)/2 , maka 𝑦𝑦 2 = (𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏) 𝑏𝑏 ≡ 1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Berdasarkan Teorema 2.2.5 diperoleh 𝑦𝑦 = atau 𝑦𝑦 = 𝑏𝑏 (𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝𝑏𝑏)/2 ≡ 1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝) 𝑏𝑏 (𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝𝑏𝑏)/2 ≡ −1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Oleh karena 𝑏𝑏
itu, agar terpenuhi nilai dari � � = ±1,
103 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝑝𝑝
akan digunakan kekongruenan 𝑏𝑏 (𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝𝑏𝑏)/2 ≡ −1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Selanjutnya, sehingga karena 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 = 2𝑗𝑗+1 𝑐𝑐 berdasarkan Definisi 2.1.1 diperoleh 2𝑗𝑗+1 | 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏. Berdasarkan Akibat 2.5.3 diperoleh 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 | 𝜙𝜙(𝑝𝑝) dan berdasarkan Teorema 2.4.2 𝜙𝜙(𝑝𝑝) = 𝑝𝑝 − 1, sehingga diperoleh 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 | (𝑝𝑝 − 1). Akibatnya, karena 2𝑗𝑗+1 | 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 dan 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏 | (𝑝𝑝 − 1), berdasarkan Teorema 2.1.2 diperoleh 2𝑗𝑗+1 | (𝑝𝑝 − 1). Berdasarkan Definisi 2.1.1 diperoleh 𝑝𝑝 − 1 = 2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑 dengan 𝑑𝑑 bilangan bulat. Karena 𝑝𝑝 = 2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑 + 1 maka 𝑑𝑑 = (𝑝𝑝 − 1)/2𝑗𝑗+1 . Selanjutnya, berdasarkan Teorema 2.6.3, 𝑏𝑏
� � ≡ 𝑏𝑏 (𝑝𝑝−1)/2 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). 𝑝𝑝 (𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)/2
≡ (𝑏𝑏 ((𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)/2) )((𝑝𝑝−1)/(𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)) (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝) ≡ (−1)(𝑝𝑝−1)/(𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)) (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝) 𝑗𝑗+1 ≡ (−1)(𝑝𝑝−1)/2 𝑐𝑐 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝) 𝑗𝑗+1 ≡ (−1)(1/𝑐𝑐)((𝑝𝑝−1)/2 ) (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Karena 𝑑𝑑 = (𝑝𝑝 − 1)/2𝑗𝑗+1 , sehingga 𝑏𝑏 � � ≡ ((−1)(1/𝑐𝑐) )𝑑𝑑 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Misalkan 𝑝𝑝
𝑥𝑥 = (−1)(1/𝑐𝑐) maka 𝑥𝑥 𝑐𝑐 = −1. Oleh karena itu, 𝑥𝑥 yang mungkin jika 𝑐𝑐 bilangan bulat positif ganjil adalah 𝑥𝑥 = −1. Sehingga −1 = (−1)1/𝑐𝑐 . Oleh 𝑏𝑏 karena itu, � � ≡ (−1)𝑑𝑑 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝). Sehingga diperoleh
𝑝𝑝
𝑏𝑏
� �=
Karena
𝑝𝑝
≡ −1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝) dan 𝑏𝑏 (𝑝𝑝−1)/2 = 𝑏𝑏 ((𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)/2)((𝑝𝑝−1)/(𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)) 𝑏𝑏 sehingga
… (4.3) (−1)𝑑𝑑 dengan 𝑑𝑑 = (𝑝𝑝 − 1)/2𝑗𝑗+1 .
𝑏𝑏
� �≡ 𝑝𝑝
𝑏𝑏 ((𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)/2)((𝑝𝑝−1)/(𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑝𝑝 𝑏𝑏)) (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝) 𝑘𝑘
Selanjutnya akan ditunjukkan 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 ≡ (−1)∑𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). Karena setiap 𝑝𝑝𝑖𝑖 membagi habis 𝑛𝑛, dimana 𝑝𝑝𝑖𝑖 = 2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1, berarti bahwa 𝑘𝑘
𝑛𝑛 = � 𝑝𝑝𝑖𝑖 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑘𝑘
𝑖𝑖=1
= �(2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1)𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑖𝑖=1
= ∏𝑘𝑘𝑖𝑖=1(2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1)(2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1)(2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1) … (2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1) 𝑘𝑘
= ��22𝑗𝑗+2 𝑑𝑑𝑖𝑖 2 + 2𝑗𝑗+1 2𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1�(2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1) … (2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1)
sebanyak 𝑎𝑎𝑖𝑖 kali
𝑖𝑖=1 𝑘𝑘
≡ �(2𝑗𝑗+1 2𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1)(2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1) … (2𝑗𝑗+1 𝑑𝑑𝑖𝑖 + 1) (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 22𝑗𝑗+2 ) 𝑖𝑖=1
Karena sebanyak 𝑎𝑎𝑖𝑖 kali maka ≡ ∏𝑘𝑘𝑖𝑖=1(1 + 2𝑗𝑗+1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 ) (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 22𝑗𝑗+2 ) = (1 + 2𝑗𝑗+1 𝑎𝑎1 𝑑𝑑1 )(1 + 2𝑗𝑗+1 𝑎𝑎2 𝑑𝑑2 )(1 + 2𝑗𝑗+1 𝑎𝑎3 𝑑𝑑3 ) … (1 + 2𝑗𝑗+1 𝑎𝑎𝑘𝑘 𝑑𝑑𝑘𝑘 ) = (1 + (… + 2𝑗𝑗+1 𝑎𝑎𝑘𝑘 𝑑𝑑𝑘𝑘 ) + 2𝑗𝑗+1 (𝑎𝑎1 𝑑𝑑1 + 𝑎𝑎2 𝑑𝑑2 + 𝑎𝑎3 𝑑𝑑3 ) + 22𝑗𝑗+2 (𝑎𝑎1 𝑑𝑑1 𝑎𝑎𝑘𝑘 𝑑𝑑𝑘𝑘 + 𝑎𝑎2 𝑑𝑑2 𝑎𝑎𝑘𝑘 𝑑𝑑𝑘𝑘 + 𝑎𝑎3 𝑑𝑑3 𝑎𝑎𝑘𝑘 𝑑𝑑𝑘𝑘 ) (1 ≡ + 2𝑗𝑗+1 (𝑎𝑎1 𝑑𝑑1 + 𝑎𝑎2 𝑑𝑑2 + 𝑎𝑎3 𝑑𝑑3 + ⋯ + 𝑎𝑎𝑘𝑘 𝑑𝑑𝑘𝑘 ) (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 22𝑗𝑗+2 ) ≡ 1 + 2𝑗𝑗+1 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 22𝑗𝑗+2 ) Dengan menggunakan Teorema 2.2.2 bagian 5 maka diperoleh Sehingga diperoleh 𝑛𝑛 ≡ 1 + 2𝑗𝑗+1 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 22𝑗𝑗+2 ). 𝑛𝑛 − 1 ≡ 2𝑗𝑗+1 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 22𝑗𝑗+2 ).
2𝑗𝑗+1
𝑛𝑛−1
≡
2𝑗𝑗+1 𝑗𝑗+1 𝑗𝑗+1 2 ∑𝑘𝑘 𝑎𝑎 𝑑𝑑 2 2𝑗𝑗+1 𝑖𝑖=1 𝑖𝑖 𝑖𝑖
104 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 22𝑗𝑗+2 ).
Dari kekongruenan tersebut, (2𝑗𝑗+1 , 22𝑗𝑗+2 ) = 2𝑗𝑗+1 sehingga berdasarkan Teorema 2.2.3 𝑛𝑛−1 ≡ ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2𝑗𝑗+1 ). diperoleh 2𝑗𝑗+1 Dengan Teorema 2.2.2 bagian 5 maka diperoleh 𝑘𝑘
𝑛𝑛 − 1 𝑗𝑗 2 ≡ 2𝑗𝑗 � 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2𝑗𝑗+1 ) 2𝑗𝑗+1 𝑖𝑖=1
(𝑛𝑛 − 1)/2 ≡ 2𝑗𝑗 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2𝑗𝑗+1 ) Selanjutnya, karena 𝑛𝑛 − 1 = 2𝑠𝑠 𝑡𝑡 maka Akibatnya (𝑛𝑛 − 1)/2 = 2𝑠𝑠 𝑡𝑡/2 = 𝑡𝑡2𝑠𝑠−1 . diperoleh 𝑡𝑡2𝑠𝑠−1 = (𝑛𝑛 − 1)/2 ≡ Dengan 2𝑗𝑗 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2𝑗𝑗+1 ). menggunakan Teorema 2.2.2 bagian 5 maka diperoleh 2𝑗𝑗
𝑡𝑡2𝑠𝑠−1 2𝑗𝑗
≡ 2𝑗𝑗
2𝑗𝑗 2𝑗𝑗
∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2𝑗𝑗+1 )
Dengan menggunakan Teorema 2.2.3, karena (2𝑗𝑗 , 22𝑗𝑗+1 ) = 2𝑗𝑗 sehingga 𝑡𝑡2𝑠𝑠−1−𝑗𝑗 ≡ 𝑘𝑘 ∑𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2). Karena 𝑡𝑡 bilangan bulat positif ganjil maka dalam modulo 2 menghasilkan 1, sehingga 2𝑠𝑠−1−𝑗𝑗 ≡ 𝑘𝑘 ∑𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2). Berdasarkan Definisi 2.2.1 diperoleh 2 | 2𝑠𝑠−1−𝑗𝑗 − ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 . Berdasarkan Definisi 2.1.1 diperoleh 2𝑠𝑠−1−𝑗𝑗 − ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 = 2𝑙𝑙 dengan 𝑙𝑙 bilangan bulat. Karena itu, 2𝑠𝑠−1−𝑗𝑗 = 2𝑙𝑙 + ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 . Akibatnya, 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 = 𝑏𝑏 𝑡𝑡2
(−1)2
𝑠𝑠−1−𝑗𝑗
𝑠𝑠−1
𝑗𝑗
= �𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 �
2𝑠𝑠−1−𝑗𝑗
≡
(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) 𝑘𝑘 ≡ (−1)2𝑙𝑙+∑𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) 𝑘𝑘 … (4.4) ≡ (−1)∑𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑑𝑑𝑖𝑖 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). 𝑘𝑘 𝑏𝑏 Selanjutnya ditunjukkan � � = (−1)∑𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑑𝑑𝑖𝑖 . 𝑛𝑛 Dari persamaan (4.3) maka 𝑏𝑏
𝑏𝑏 𝑎𝑎𝑖𝑖
� � = ∏𝑘𝑘𝑖𝑖=1 � � 𝑛𝑛
𝑘𝑘
𝑝𝑝𝑖𝑖
= ∏𝑘𝑘𝑖𝑖=1((−1)𝑑𝑑𝑖𝑖 )𝑎𝑎𝑖𝑖 =
… (4.5) (−1)∑𝑖𝑖=1 𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑖𝑖 Sehingga, dengan mensubstitusikan persamaan (4.5) ke persamaan (4.4) maka 𝑏𝑏 diperoleh 𝑏𝑏 (𝑛𝑛−1)/2 ≡ � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). Sehingga 𝑛𝑛 berdasarkan Definisi 2.6.5, 𝑛𝑛 merupakan pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏.
Dari (i) dan (ii) disimpulkan bahwa 𝑛𝑛 pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏 ■ Contoh
Untuk 𝑛𝑛 = 2047 dan basis 𝑏𝑏 = 2. Akan ditunjukkan 𝑛𝑛 = 2047 pseudoprima strong untuk basis 2.
2046
2047 − 1 = 2𝑠𝑠 𝑡𝑡 ⟹ 𝑡𝑡 = 𝑠𝑠 ; 𝑠𝑠 = 1 ⟹ 2 𝑡𝑡 = 1023. Sehingga berdasarkan 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ≡ 2046
1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) maka 2 2 = 21023 = (211 )93 = Sehingga (2048)93 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2047). 𝑛𝑛 = 2047 pseudoprima strong untuk basis 2. Akan ditunjukkan 𝑛𝑛 = 2047 juga pseudoprima Euler untuk basis 2. 𝑛𝑛 = 2047 = 23 . 89 2047−1
a. 2 2 = 21023 = (211 )93 = (2048)93 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2047) 2 2 b. Dengan Definisi 2.6.4, � �=� �= 2
2047
2
� �� � = 1 .1 = 1 23
89
23.89
2047−1
Dari (a) dan (b) diperoleh 2 2 ≡ 2 � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 2047), sehingga diperoleh � 2047 𝑛𝑛 = 2047 juga pseudoprima Euler untuk basis 2. Teorema 4.2.2 Jika 𝑛𝑛 ≡ 3 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 4) dan 𝑛𝑛 suatu pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏, maka 𝑛𝑛 suatu pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏. Bukti Teorema 4.2.2 Dari kekongruenan 𝑛𝑛 ≡ 3 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 4) yang diketahui, diperoleh 𝑛𝑛 − 1 = 2 𝑡𝑡, dimana 𝑡𝑡 = (𝑛𝑛 − 1)/2 adalah bilangan ganjil. Karena diketahui 𝑛𝑛 merupakan suatu pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏, sehingga berdasarkan Definisi 2.6.5 diperoleh 𝑏𝑏 𝑡𝑡 = 𝑏𝑏 𝑛𝑛−1/2 ≡ 𝑏𝑏 𝑏𝑏 � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). Karena � � merupakan simbol 𝑛𝑛
𝑏𝑏
𝑛𝑛
Jacobi dengan � � = ±1, maka diperoleh 𝑛𝑛 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) atau 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). sehingga Karena 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ≡ 1 (𝑚𝑚𝑜𝑜𝑑𝑑 𝑛𝑛), berdasarkan Definisi 2.3.3, 𝑛𝑛 merupakan pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏 ■ Contoh Untuk 𝑛𝑛 = 703 dan basis 𝑏𝑏 = 3. Akan ditunjukkan 𝑛𝑛 = 703 memenuhi 𝑛𝑛 ≡ 3 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 4). Berdasarkan Definisi 2.2.1, 703 ≡ 3 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 4) maka 4 | 703 − 3. Karena 4 | 700 maka 𝑛𝑛 = 703 memenuhi 𝑛𝑛 ≡ 3 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 4). Akan ditunjukkan 𝑛𝑛 = 703 pseudoprima Euler untuk basis 3. 𝑛𝑛 = 703 = 19.37 703−1
a. 3 2 = 3351 = (39 )39 ≡ (−1)39 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 703) b. Dengan Definisi 2.6.4, � 3
3
� � � � = (−1) . 1 = −1 19
37
105 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
3
703
�=�
3
19.37
�=
703−1
Dari (a) dan (b) diperoleh bahwa 3 2 ≡ 3 sehingga 𝑛𝑛 = 703 � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 703), 703 pseudoprima Euler untuk basis 3. Akan ditunjukkan 𝑛𝑛 = 703 juga pseudoprima strong untuk basis 3. 702 703 − 1 = 2𝑠𝑠 𝑡𝑡 ⟹ 𝑡𝑡 = 𝑠𝑠 ; 𝑠𝑠 = 1 ⟹ 𝑡𝑡 = 2
𝑗𝑗
351. Sehingga berdasarkan 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) dimana 0 ≤ 𝑗𝑗 ≤ 𝑠𝑠 − 1 diperoleh 𝑗𝑗 Dengan 𝑗𝑗 = 0 𝑏𝑏 2 (351) ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). diperoleh 3351 = (39 )39 = (19683)39 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 703). Sehingga 𝑛𝑛 = 703 juga
pseudoprima strong untuk basis 3.
Teorema 4.2.3 Jika 𝑛𝑛 suatu pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏 𝑏𝑏
dan � � = −1, maka 𝑛𝑛 suatu pseudoprima 𝑛𝑛 strong untuk basis 𝑏𝑏. Bukti Teorema 4.2.3 Diberikan 𝑛𝑛 − 1 = 2𝑠𝑠 𝑡𝑡, dimana 𝑡𝑡 adalah bilangan ganjil dan 𝑠𝑠 bilangan bulat positif. Karena 𝑛𝑛 adalah pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏, maka berdasarkan Definisi 2.6.5 𝑠𝑠−1 𝑏𝑏 diperoleh 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 = 𝑏𝑏 𝑛𝑛−1/2 ≡ � � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). 𝑛𝑛
𝑏𝑏
Karena � � = −1, diperoleh bahwa 𝑏𝑏 2 𝑛𝑛
2𝑗𝑗𝑡𝑡
𝑠𝑠−1 𝑡𝑡
≡
−1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). Selanjutnya, 𝑏𝑏 ≡ −1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) untuk suatu 𝑗𝑗 dengan 0 ≤ 𝑗𝑗 ≤ 𝑠𝑠 − 1. Karena 𝑛𝑛 𝑗𝑗 bilangan komposit dan diperoleh 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 ≡ −1(𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) untuk suatu 𝑗𝑗 dengan 0 ≤ 𝑗𝑗 ≤ 𝑠𝑠 − 1, akibatnya berdasarkan Definisi 2.3.3 𝑛𝑛 merupakan pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏 ■ Contoh Untuk 𝑛𝑛 = 1891 dan basis 𝑏𝑏 = 3. Akan ditunjukkan bahwa �
3
Dengan Definisi 2.6.4, � 3
3
� = −1.
1891 3
1891
�=�
3
31.61
�=
� � � � = (−1) . 1 = −1. 31 61 Akan ditunjukkan 𝑛𝑛 = 1891 pseudoprima Euler untuk basis 3. 𝑛𝑛 = 1891 = 31.61 1891−1
a.
3 2 = 3945 = (315 )63 ≡ (−1)63 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 1891)
b. Dengan Definisi 2.6.4, � 3
3
� � � � = (−1) . 1 = −1. 31
61
3
1891
�=�
Dari (a) dan (b) diperoleh bahwa 3 3
3
31.61
�=
1891−1 2
� � (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 1891), sehingga 1891 1891 pseudoprima Euler untuk basis 3.
≡
𝑛𝑛 =
Akan ditunjukkan 𝑛𝑛 = 1891 juga pseudoprima strong untuk basis 3. 1890 1891 − 1 = 2𝑠𝑠 𝑡𝑡 ⟹ 𝑡𝑡 = 𝑠𝑠 ; 𝑠𝑠 = 1 ⟹ 𝑡𝑡 = 2
𝑗𝑗
945. Sehingga berdasarkan 𝑏𝑏 2 𝑡𝑡 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛) dimana 0 ≤ 𝑗𝑗 ≤ 𝑠𝑠 − 1 diperoleh 𝑗𝑗 Dengan 𝑗𝑗 = 0 𝑏𝑏 2 (945) ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑛𝑛). diperoleh 3945 = (315 )63 = (14348907)63 ≡ −1 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 1891). Sehingga 𝑛𝑛 = 1891 juga merupakan pseudoprima strong untuk basis 3.
5.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penilitian ini adalah 1. Suatu bilangan bulat komposit 𝑛𝑛 yang merupakan pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏 juga merupakan pseudoprima untuk basis 𝑏𝑏. Sebaliknya, 𝑛𝑛 yang merupakan pseudoprima untuk basis 𝑏𝑏 belum tentu merupakan pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏. 2. Suatu bilangan bulat komposit 𝑛𝑛 yang merupakan pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏 juga merupakan pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏. Sebaliknya, 𝑛𝑛 yang merupakan pseudoprima strong untuk basis 𝑏𝑏 belum tentu merupakan pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏, tetapi saat diberikan syarat 𝑛𝑛 ≡ 𝑏𝑏 3 (𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 4) atau � � = −1 maka 𝑛𝑛 juga 𝑛𝑛 merupakan pseudoprima Euler untuk basis 𝑏𝑏. 3. Jumlah 𝑛𝑛 pseudoprima untuk basis 𝑏𝑏 lebih banyak dari jumlah 𝑛𝑛 pseudoprima Euler, dan jumlah 𝑛𝑛 pseudoprima Euler lebih banyak dari 𝑛𝑛 pseudoprima strong.
6. DAFTAR PUSTAKA [1] Burton, D.M. 2007. Elementary Number Theory Sixth Edition. McGraw-Hill Higher Education, New York. [2] Guy, R.K. 2004. Unsolved Problems in Number Theory Third Edition. Springer-Verlag, New York. [3] Jones, G.A. 1998. Elementary Number Theory. Springer-Verlag, London. [4] Pomerance, C.J., J.L. Selfridge & Samuel S.W.Jr., 1980. The Pseudoprimes to 25 ∙ 109 . Mathematics of Computation, Vol. 35, Number 151, Pages 1003 – 1026.
106 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
[5] Redmond, D. 1996. Number Theory: An Introduction. Marcell Dekker, New York. [6] Rosen, K.H. 2005. Elementary Number Theory and Its Applications Fifth Edition. Pearson/Addison Wesley, Boston.
[7] Stillwell, J. 2003. Elements of Number Theory. Springer-Verlag, New York.
107 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
ANALISIS REGRESI POISSON TERBOBOTI SECARA GEOGRAFIS (RPTG) Indah Setiawati, Dewi Sri Susanti, Nur Salam Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 36 Banjarbaru, Kalsel. e-mail:
[email protected].
Abstrak Analisis regresi adalah suatu model untuk mengetahui hubungan antara dua variabel ataupun lebih. Model regresi yang sering digunakan dalam penelitian adalah model regresi berganda, yaitu model regresi dengan lebih dari satu variabel penjelas. Ada beberapa asumsi klasik yang harus dipenuhi dalam regresi berganda, salah satunya adalah variabel respon berdistribusi normal dan bersifat kontinu. Jika variabel respon (Y) berupa data diskrit sehingga uji asumsi kenormalan sulit untuk dipenuhi, maka salah satu model yang tepat digunakan adalah model regresi Poisson. Jika data yang akan digunakan diperoleh dari beberapa lokasi yang berbeda maka disebut data spasial. Jika ditemukan suatu kasus data yang bersifat diskrit, dan besar pengaruh dari variabel penjelasnya bergantung pada lokasi pengamatan, maka model regresi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut adalah model Regresi Poisson Terboboti secara Geografis (RPTG). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi parameter dan menjelaskan prosedur pengujian parameter dari model RPTG. Penelitian ini bersifat studi literatur. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengestimasian model RPTG dengan menggunakan MLE adalah suatu persaman-persamaan yang non linier sehingga digunakan pendekatan iterasi Newton-Raphson untuk memperoleh pendekatan nilai estimasi setiap parameternya. Pengujian signifikansi parameter model dilakukan secara parsial menggunakan distribusi-t. Kata kunci: Regresi Poisson, Data Spasial, Regresi Poisson Terboboti scara Geografis (RPTG)
1. PENDAHULUAN Analisis regresi adalah suatu model untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih [3]. Model regresi yang sering digunakan dalam penelitian adalah model regresi berganda yaitu model regresi dengan variabel penjelasnya lebih dari satu variabel [4]. Model regresi berganda memiliki beberapa asumsi klasik yang harus dipenuhi, salah satunya adalah variabel respon berdistribusi normal yang bersifat kontinu [4]. Jika variabel respon (Y) berupa data diskrit maka salah satu model regresi yang dapat digunakan adalah model regresi Poisson [3]. Jika data yang akan digunakan diperoleh dari beberapa lokasi yang berbeda maka data tersebut disebut data spasial, karena faktor lokasinya diperhatikan [2].Model regresi yang melibatkan pengaruh heterogenitas spasial ataupun dependensi spasial ke dalam model adalah model Regresi Terboboti secara Geografis (RTG). RTG adalah model yang digunakan untuk menganalisis data spasial yang menghasilkan estimasi parameter model bersifat lokal untuk setiap titik atau lokasi
dimana data tersebut dikumpulkan [2].Jika ditemukan suatu kasus data yang bersifat diskrit, dan besar pengaruh dari variabel penjelasnya bergantung pada lokasi pengamatan, maka model regresi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut adalah model Regresi Poisson Terboboti secara Geografis (RPTG) [23]. Dalam penelitian ini akan dilakukan pendugaan parameter dan tahapan pengujian pada model Regresi Poisson Terboboti secara Geografis. 2. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Model Regresi Berganda Analisis regresi adalah kumpulan teknik-teknik statistika untuk memodelkan dan mengetahui hubungan antara variabel respon dengan variabel penjelas . Secara umum model regresi berganda dapat dituliskan sebagai [3]:
Yi = β 0i + β1i X 1i + β 2i X 2i + ... + β ki X ki + ε i i = 1, 2, 3, ... , n
108 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
(1)
dengan adalah parameter model yang tidak diketahui atau koefisien regresi. Nilai rata-rata atau ekspektasi dari variabel respon adalah
E (Yi ) = β 0i + β1i X 1i + β 2i X 2i + ... + β ki X ki
(2) Sehingga model regresi dapat dituliskan sebagai: (3) Yi = E (Yi ) + ε i 2.2 Model Regresi Poisson Regresi Poisson merupakan suatu bentuk analisis regresi yang digunakan untuk memodelkan data yang berbentuk count (cacahan), misalnya data tersebut dilambangkan dengan Y yaitu banyaknya kejadian yang terjadi dalam suatu periode waktu dan/atau wilayah tertentu. Regresi Poisson mengasumsikan bahwa variabel acak Y berdistribusi Poisson [3]. Suatu variabel acak diskrit , dikatakan berdistribusi Poisson dengan parameter jika fungsi kepekatan peluang diskritnya berbentuk [1]:
f ( y; µ ) =
µ ye−µ y!
, y = 1, 2, 3, …
(4)
Model regresi Poisson dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut: k
log(µi ) = X Tβ = β 0 + ∑ β j x ji
(5)
j =1
k
j =1
µi = exp β 0 + ∑ β j x ji
(6)
Berdasarkan Persamaan (4), dan dengan mensubtitusi Persamaan (6) didapatkan fungsi kepadatan peluangnya adalah: f ( yi ; β 0 , β1 ,..., β k ) yi
k k exp β 0 + ∑ β j x ji exp − exp β 0 + ∑ β j x ji j =1 j =1 = yi !
(7) 2.3 Model Regresi Terboboti secara Geografis (RTG) Menurut Fortheringham et al (2002) [2], model RTG merupakan model regresi linier lokal yang menghasilkan penafsiran parameter model bersifat lokal untuk setiap titik atau
lokasi dimana data dikumpulkan. Model RTG dapat dituliskan sebagai berikut: k
yi = β 0 (ui , vi ) + ∑ β j (ui , vi )x ji + ε i (8) j =1
i = 1, 2, 3, … , n. dengan: : Nilai observasi variabel respon ke-i. : Menyatakan titik koordinat (longitude, latitude) lokasi ke-i : Koefisien regresi, dimana : Nilai observasi variabel penjelas j pada pengamatan ke-i : Error ke-i 3. METODOLOGI Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku/jurnal-jurnal berkaitan pada pembahasan model Regesi Terboboti secara Geografis (RTG), model regresi Poisson, dan model Regresi Poisson Terboboti secara Geografis (RPTG). Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat literatur, yaitu peneliti mengumpulkan bahan atau materi yang berkaitan dengan topik penelitian, baik yang bersumber dari buku maupun jurnal yang menunjang dan relevan dengan tinjauan yang dilakukan, kemudian memahami dan mempelajari konsep bahan atau materi tersebut dan mengaplikasikannya untuk melakukan penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah: 1. Mempelajari perumusan model regresi Poisson dan model Regresi Terboboti secara Geografis (RTG), model Regresi Poisson Terboboti secara Geografis (RPTG) 2. Mengestimasi parameter pada model Regresi Poisson Terboboti secara Geografis (RPTG) menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) dan metode iterasi numerik Newton Raphson. 3. Menguji parameter yang bersesuaian dengan model RPTG. 4. Menyelesaikan contoh kasus yang berkaitan dengan model RPTG. 5. Membuat kesimpulan.
109 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dengan cara memaksimumkan fungsi likelihood. Estimasi maksimum likelihood juga dapat dilakukan dengan cara memaksimumkan fungsi logaritma natural likelihood, karena dengan memaksimumkan fungsi ln-likelihood juga akan memaksimumkan fungsi likelihoodnya. Untuk mendapatkkan estimasi maksimum likelihood, Persamaan (11) diturunkan secara parsial terhadap parameter
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Pengestimasian Parameter Model Regresi Poisson Terboboti Secara Geografis (RPTG) Pengestimasian parameter model RPTG dalam penelitian ini di lakukan dengan menggunakan metode MLE. Misalkan terdapat sampel acak yang saling bebas dimana dan dipengaruhi oleh , maka langkah-langkah untuk melakukan pengestimasian parameter dengan menggunakan MLE adalah sebagai berikut:
sehingga diperoleh: n
∑ y i =1
i
k − exp β 0 (ui , vi ) + ∑ β j (ui , vi )x ji wij (ui , vi ) = 0 j = 1
(12)
Langkah pertama: Membentuk fungsi likelihood.
k x1i yi − exp β 0 (ui , vi ) + ∑ β j (ui , vi )x ji wij (ui , vi ) = 0 ∑ i =1 j =1 n
yi k exp β 0 ( ui , vi ) + ∑ β j ( ui , vi ) x ji = j 1 k exp − exp β 0 ( ui , vi ) + ∑ β j ( ui , vi ) x ji n j =1 L (β ) = ∏ yi ! i =1
(9)
Langkah kedua: Membentuk fungsi logaritma natural likelihood, sehingga persamaan (9) menjadi: (β ) = L(β ) k yi β 0 + ∑ β j x ji (10) n j =1 = ∑ k i =1 − exp β 0 + ∑ β j x ji − ln ( yi !) j 1 = Langkah ketiga: Memberi faktor letak geografis ( pada fungsi ln likelihood. Faktor ini memiliki nilai yang berbeda untuk setiap daerah yang menunjukan sifat lokal pada model RPTG. Oleh karena itu, pembobot diberikan pada bentuk ln-likelihoodnya untuk model lokal RPTG sehingga diperoleh: * (β(ui , vi )) = ln L* (β(ui , vi )) k yi β 0 (ui , vi ) + ∑ β j (ui , vi )x ji j =1 = ∑ wij (ui , vi ) k i =1 ( ) ) ( ) ( − exp β 0 ui , vi + ∑ β j ui , vi x ji − ln yi ! j =1 n
(11)
(13) . . . n
∑ x i =1
ki
k yi − exp β 0 (ui , vi ) + ∑ β j (ui , vi )x ji wij (ui , vi ) = 0 j =1
(14)
Karena bentuk persamaan (12), (13) dan (14) yang diperoleh adalah suatu persamaan yang nonlinier sehingga penyelesaian untuk menentukan estimasi dari digunakan suatu prosedur iterasi numerik yaitu dengan menggunakan metode iterasi Newton-Raphson. Secara umum bentuk persamaan untuk iterasi Newton-Raphson adalah:
[(
−1
n
i
i
(15) dengan: : vektor estimasi parameter pada iterasi ke-n+1 : vektor estimasi parameter pada iterasi ke-n g
:
vektor
dengan
elemen-
elemennya merupakan turunan parsial pertama dari adalah
Langkah keempat: Membentuk persamaan likelihood untuk mencari estimasi maksimum likelihood
)] g(βˆ ( ) (u , v ))
βˆ (n +1) (ui , vi ) = βˆ (n ) (ui , vi ) − H βˆ (n ) (ui , vi )
matriks
dengan
elemen-elemennya turunan parsial kedua dari
110 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
.
Proses iterasi konvergen
akan
berhenti yaitu
pada
saat jika dimana ,
dengan kecil.
adalah bilangan positif yang sangat
4.2
Pengujian Parameter Model Regresi Poisson Terboboti secara Geografis (RPTG) Pengujian parameter model RPTG dilakukan dengan menguji parameter secara parsial untuk mengetahui variabel penjelas apa saja yang secara signifikan mempengaruhi variabel respon. Hipotesis pengujian parameter model RPTG yaitu: H0 :
βˆ j (ui , vi ) = 0
βˆ j (ui , vi ) ≠ 0
H 1 : minimal terdapat satu
Dimana i = 1, 2, … , n dan j = 0, 1, 2, … , k Statistik uji yang digunakan untuk menguji parameter model RPTG adalah:
t j (ui , vi ) =
βˆ j (ui , vi )
(
dengan error
(16)
adalah nilai standar . Selanjutnya menentukan
selang kepercayaan tabel yaitu
)
se βˆ j (ui , vi )
dan menentukan nilai tKemudian menarik
kesimpulan dengan cara menolak H 0 jika yang artinya variabel penjelas pada parameter ke-j dan lokasi ke-i memiliki pengaruh signifikan terhadap model. 4.3 Penerapan Regresi Poisson Terboboti secara Geografis Terhadap Banyaknya Jumlah Penduduk Miskin di Kalimantan Selatan Tahun 2015 Penerapan regresi Poisson terboboti secara geografis dalam penelitian ini adalah analisa banyaknya jumlah penduduk miskin di Kalimantan Selatan tahun 2015. Data-data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Selatan. BPS menyatakan kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan. Dengan
kata lain, kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Rata-rata banyaknya jumlah penduduk miskin di Kalimantan Selatan adalah 14.629 jiwa yang tersebar beraneka ragam di setiap kabupaten. Banyaknya jumlah penduduk miskin terendah adalah di kabupaten Tapin yaitu sebesar 6.520 jiwa. Sedangkan, banyaknya jumlah penduduk miskin tertingga terdapat di daerah ibu kota yaitu kota Banjarmasin, sebesar 29.980 jiwa. Berdasarkan pengertian kemiskinan itulah maka dilakukan analisa terhadap banyaknya jumlah penduduk miskin sebagai variabel yang diamati atau variabel respon (Y) dengan beberapa faktor yang diduga mempengaruhi banyaknya jumlah penduduk miskin atau variabel penjelas adalah banyaknya jumlah penduduk , pengeluaran perkapita , Banyaknya jumlah pengangguran ( , jumlah penduduk dengan pendidikan terakhir SMP ( , jumlah penduduk dengan pendidikan terakhir SMA ( , dan jumlah penduduk dengan pendidikan terakhir D3 dan S1 ( . Hasil analisis data menunjukan bahwa data kemiskinan tersebut merupakan data yang homogen dan terdapat pengaruh korelasi spasial antar setiap variabel yang digunakan. Oleh karena itu, model RPTG dapat digunakan untuk menganalisa data banyaknya jumlah penduduk miskin di Kalimantan Selatan pada tahun 2015. Langkah pertama sebelum membentuk model RPTG adalah menentukan nilai bandwidth terlebih dahulu. Pemilihan bandwidth optimum dilakukan menggunakan kriteria AIC, yaitu dengan melihat nilai AIC yang terkecil. Bandwidth optimum yang terpilih dalam kasus ini adalah 11, maka selanjutnya akan dibentuk matriks pembobot. Setelah memperoleh nilai bandwidth optimum dan pembobot, maka selanjutnya akan dilakukan pengestimasian parameter model RPTG. Pengestimasian parameter model RPTG menggunakan metode MLE dan iterasi Newton-Raphson diselesaikan dengan menggunakan bantuan software GWR4. Setelah diperoleh estimasi parameter setiap variabel penjelas, maka selanjutnya dibentuk model RPTG untuk masing-masing lokasi ke dalam dua kelompok.
111 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tabel 1. Model untuk Masing-masing Lokasi yang Telah Dikelompokan Kabupaten/ Kota
Model yang Terbentuk
Tanah Laut Balangan Banjarmasin Banjarbaru Banjar Barito Kuala Tapin Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Tabalong Tanah Bumbu Kotabaru
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa hampir setiap model masing-masing lokasi memiliki bentuk yang hampir serupa. Sebelas kabupaten/kota yang dikelompokan ke dalam kategori dengan warna terang memiliki bentuk model yang artinya setiap pertambahan satu satuan pada variabel dan maka variabel respon (Y i ) mengalami penurunan sebesar nilai parameter dan untuk masing-masing kabupaten/kota. Sedangkan setiap pertambahan satu satuan pada variabel variabel respon (Y i ) akan mengalami peningkatan sebesar nilai parameter untuk masing-masing kabupaten/kota. Kabupaten/ kota yang masuk kedalam kategori warna terang adalah Tanah Laut, Balangan, Banjarmasin, Banjarbaru, Banjar, Barito Kuala, Tapin, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Tabalong. Sedangkan dua kabupaten lainnya dikelompokan ke dalam kategori dengan warna gelap. Hal ini dikarenakan pada saat variabel bertambah satu satuan variabel respon (Y i ) mengalami penurunan yaitu
berkurang sebesar nilai parameter dilokasi tersebut. Lokasi-lokasi yang variabel respon (Y i ) mengalami penurunan saat variabel bertambah satu satuan adalah kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu. Setelah mendapatkan model RPTG untuk setiap lokasi, maka selanjutnya akan dilakukan pengujian parameter secara parsial untuk mengetahui variabel penjelas apa saja yang signifikan mempengaruhi variabel respon di masing-masing lokasi ( . Uji ini dilakukan dengan uji-t, dengan hipotesis:
dengan kriteria pengujian hipotesis tersebut adalah tolak pada taraf nyata jika . Nilai t-hitung untuk masing-masing parameter diperoleh dengan menggunakan software GWR4. Jika tingkat signifikansi yang dipilih maka dari tabel
t
diperoleh
112 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dengan
dan .
Pengujian parameter dengan menggunakan uji-t diperoleh bahwa hampir semua variabel penjelas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel respon karena Tetapi terdapat salah satu variabel penjelas yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel respon yaitu variabel . Variabel adalah jumlah pengeluaran perkapita dan variabel penjelas yang tidak berpengaruh ini hanya terjadi di satu kabupaten yaitu kabupaten Balangan. Sehingga model yang terbentuk untuk kabupaten Balangan pada Tabel 2 menjadi: Y = 9.832 − 0.389 X 1 + 0.163 X 3 + 0.604 X 4 (18) + 0.258 X 5 + 0.741X 6
Pengujian parameter yang signifikan dengan taraf nyata diperoleh bahwa hampir seluruh variabel penjelas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel respon di setiap lokasi . Oleh karena itu, setiap lokasi tersebut dapat dikelompokan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan pada variabel penjelas yang mempengaruhinya. Pada kasus ini setiap kabupatan/kota dikelompokan menjadi dua kelompok dan dibuat dalam bentuk peta tematik. Kabupaten/kota yang dipengaruhi oleh semua variabel penjelas dikelompokan ke dalam warna yang terang, sedangkan kabupaten/kota yang hanya variabel (pengeluaran perkapita) yang tidak berpengaruh dikelompokan kedalam warna yang lebih gelap. Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan variabel penjelas yang mempengaruhi secara signifikan ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 3. Pengelompokan Kab/Kota Berdasarkan Variabel yang Signifikan
Selanjutnya, untuk mengetahui model yang terbaik maka akan dilakukan perbandingan model regresi Poisson dengan model RPTG. Model regresi Poisson yang terbentuk pada taraf nyata adalah: Y = 9.549 − 0.156 X 2 − 0.194 X 3
(19)
+ 0.189 X 4 + 0.205 X 5 + 0.303 X 6
Perbandingan model regresi Poisson pada Persaman (19) dengan model RPTG pada Tabel 3 dan persamaan (18 ) dilakukan dengan melakukan perbandingan pada nilai AIC . AIC adalah salah satu kriteria untuk menentukan model yang terbaik, yaitu dilihat berdasarkan nilai AIC yang terkecil. Tabel 2. Perbandingan Kesesuaian Model Model Devians AIC Regresi 3870,631 3907,031 Poisson RPTG 107,681 -2941,985 Berdasarkan perbandingan kesesuaian model pada Tabel 5 diperoleh bahwa nilai AIC pada model RPTG lebih kecil dibandingkan dengan nilai AIC pada model regresi Poisson. Hal ini menyatakan bahwa bahwa model RPTG lebih baik digunakan untuk menganalisa jumlah penduduk miskin di Kalimantan Selatan tahun 2015 karena memiliki nilai AIC yang terkecil. Dengan kata lain, terdapat pengaruh spasial antar setiap variabel penjelas dengan variabel responnya pada masing-masing lokasi dimana data tersebut dikumpulkan. 5. KESIMPULAN Estimasi parameter dari model Regresi Poisson Terboboti secara Geografis (RPTG) dilakukan dengan metode maksimum Likelihood yang menghasilkan persamaanpersamaan yang nonlinier sehingga digunakan pendekatan dengan metode iterasi NewtonRaphson untuk mendapatkan estimator parameter model, yaitu:
βˆ (n +1) (ui , vi ) = βˆ (n ) (ui , vi ) −
[H(βˆ ( ) (u , v ))] g(βˆ ( ) (u , v )) −1
n
i
i
n
i
i
dengan adalah parameter
113 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
vektor
pada iterasi ke-m+1
estimasi
adalah parameter g
vektor
estimasi
pada iterasi ke-m adalah
elemen-elemennya
vektor
dengan
turunan parsial pertama
dari fungsi ln likelihood adalah
. Matriks
Hessian
yang elemen-elemennya turunan parsial kedua dari fungsi ln likelihood Proses iterasi akan berhenti konvergen yaitu
pada
saat jika dimana ,
dengan adalah bilangan positif yang sangat kecil. Pengujian signifikansi parameter model Regresi Poisson Terboboti secara Geografis
dilakukan secara parsial terhadap masingmasing model dengan menggunakan uji-t. 6. DAFTAR PUSTAKA [1] Bain, L.J & M. Engelhardt. 1992. Introduction to Probability and Mathematical Statistics. Edisi-2. PT Belmont Company, California. [2] Fotheringham, A. S., Brunsdon, C., & Charlton, M. 2002. Geographically Weighted Regression : the Analysis of Spatially Varying Relationships. Chichester : Wiley, England [3] Myers, R. H. et al. 2010. Generallizad Linier Models with Applications in Engineering and The Sciences. Ed. 2. John Wiley and Sons. New Jersey. [4] Pangesti, S. 2008. Model Linier Terapan. Universitas Terbuka, Jakarta.
114 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
ANALISIS REGRESI LINIER PADA DATA TIDAK BERDISTRIBUSI NORMAL DENGAN METODE THEIL Sri Arpianti, Dewi Sri Susanti, Nur Salam*, Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat, * e-mail:
[email protected]
Abstrak Analisis regresi didefinisikan sebagai kajian terhadap hubungan satu variabel tak bebas dengan satu atau lebih variabel bebas. Diberikan model regresi linier sederhana sebagai berikut: Y=β 0 +β 1 X i +ε i . Pada umumnya untuk menduga parameter model digunakan metode kuadrat terkecil dan metode maksimum likelihood dimana terdapat asumsi error harus berdistribusi normal. Suatu metode yang dapat digunakan jika asumsi tersebut tidak terpenuhi salah satunya metode Theil. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dugaan titik dan dugaan selang parameter model regresi linier sederhana menggunakan metode Theil.Dari penelitian ini diperoleh hasil yaitu: pendugaan titik untuk koefisien kemiringan (slope) garis ialah 𝛽𝛽̂1 = 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 ), 𝑦𝑦𝑗𝑗 −𝑦𝑦𝑖𝑖 dimana b ij = dengan i < j dan xi ≠ xj . Dan pendugaan untuk intersep ialah 𝛽𝛽̂0 = 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝑎𝑎𝑖𝑖 ) dimana a i xj −xi
n n � �−� �τ(n,α/2) 2 2 2
= y i - 𝛽𝛽̂1 x i. Selanjutnya selang kepercayaan bagi β 0 dan β 1 ditentukan urutan dengan rumus: k 1 = n – nτ(n,α/2)
dan k 2= dimana batas bawah untuk β 1 ialah nilai 𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 terkecil ke k 1 dan batas atas untuk β 1 ialah 2 nilai 𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 terbesar ke k 1 sedangkan untuk batas bawah β 0 ialah nilai a i terkecil ke k 2 dan nilai a i terbesar ke k 2 sebagai batas atas.Pengujian signifikan dari koefisien kemiringan dengan menggunakan statistik uji τ Kendall. Kata kunci : Regresi Linier Pada Data Tidak Berdistribusi Normal, Pendugaan Parameter Menggunakan Metode Theil.
1. PENDAHULUAN Analisis regresi didefinisikan sebagai kajian terhadap hubungan satu variabel yang diterangkan atau yang disebut variabel tak bebas dengan satu atau lebih variabel yang menerangkan atau variabel bebas. Jika hanya terdapat satu variabel bebas maka disebut regresi linier sederhana[9]. Hubungan antara variabel-variabel tersebut dinyatakan dalam suatu model yang disebut model regresi linier sederhana. Selanjutnya diperlukan proses pendugaan parameter. Terdapat dua macam penduga, yakni penduga titik dan penduga selang (selang kepercayaan)[3]. Dari kedua penduga tersebut lebih baik jika menggunakan dugaan selang dengan harapan didalamnya terdapat suatunilai parameter yang sebenarnya.Secara umum untuk menduga parameter model dari persamaan regresi linier sederhana digunakan metode kuadrat terkecil dimana terdapat asumsi yang harus dipenuhi diantaranya error berdistribusi normal. Apabila asumsi tersebut tidak terpenuhi maka hasil dugaan yang didapatkan menjadi
bias. Pada kenyataannya, data yang diperoleh dari hasil penelitian tidak selalu mengikuti distribusi normal. Sehingga diperlukan suatu metode untuk mengatasi hal tersebut. Metode Theil merupakan metode yang digunakan sebagai alternatif dari regresi linier sederhana apabila error tidak terdistribusi normal karena metode Theil merupakan suatu metode bebas distribusi[5].Penelitian ini menentukan dugaan titik dan dugaan selang kepercayaan parameter model regresi linier sederhana menggunakan metode Theil. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Model Regresi Linier Sederhana Analisis regresi diperkenalkan pertama kali oleh Sir Francis Galton pada akhir abad ke19. Model regresi linier merupakan bentuk hubungan antara satu atau lebih variabel bebas (X) dengan satu variabel tak bebas (Y)[4]. Dikatakan regresi linier sederhana jika hanya terdapat satu variabel bebas sebagai berikut: Y i = 𝛽𝛽0 + β 1 X i + ε i ; i = 1, 2, ,n. (1)
115 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dimana: β 0 disebut intersep β 1 disebut kemiringan garis (slope) ε i ialah error Dalam regresi, apabila dua variabel X dan Y mempunyai hubungan, maka nilai variabel X yang sudah diketahui dapat dipergunakan untuk menaksir atau menduga Y. Dugaan pada dasarnya merupakan taksiran mengenai terjadinya suatu kejadian untuk waktu yang akan datang. Adapun model dugaan dari model regresi linier sederhana pada persamaan (1) adalah: (2) 𝑦𝑦� i = 𝛽𝛽̂0 + 𝛽𝛽̂ 1 x i ;i = 1, 2, ,n. R
2.2
R
Penduga Parameter
Penduga merupakan usaha untuk menentukan setepat-tepatnya nilai dari parameter suatu populasi. Secara umum penduga parameter digolongkan menjadi dua yaitu penduga titik dan penduga selang. Suatu nilai dugaan titik tidak memberikan gambaran mengenai berapa jarak/selisih nilai penduga tersebut dengan nilai sebenarnya, karena itu dilakukan penduga selang[7]. Penduga selang adalah suatu nilai dari parameter dugaan dengan menggunakan beberapa selang sedemikian hingga parameter dugaan mempunyai peluang yang besar tercakup dalam selang tersebut atau menaksir nilai parameter diantara batasbatas dua nilai yaitu batas atas dan batas bawah. Oleh sebab itu, dugaan selang sering disebut selang kepercayaan. Semakin besar jarak selang semakin dipercaya tentang kebenaran penduga yang dilakukan.
2.3
Median
Misalkan terdapat data sampel 𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , … , 𝑥𝑥𝑛𝑛 yang telah diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar atau sebaliknya, maka median data adalah pengamatanyang tepat di tengah-tengah bila banyaknya pengamatan itu ganjil, atau rata-rata kedua pengamatan yang di tengah bila banyaknya pengamatan genap [9]. Median sampel (x� ) dapat ditentukan sebagai berikut: 𝑥𝑥(𝑛𝑛+1)� 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑛𝑛 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 2 ⎧ 𝑥𝑥� = (3) ⎨𝑥𝑥𝑛𝑛/2+ 𝑥𝑥�𝑛𝑛�2�+1 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑛𝑛 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 ⎩
2.4
2
Uji Kenormalan
Salah satu asumsi pada regresi linier adalah data berdistribusi normal. Uji normalitas
dilakukan untuk mengetahui apakah error dari model regresi berdistribusi normal atau tidak, hal ini dilakukan karena apabila asumsi normalitas tidak terpenuhi maka statistik uji tidak dapat diterapkan[2]. Ada bermacam-macam cara untuk mendeteksi normalitas distribusi data salah satunya menggunakan Kolmogorov Smirnov dengan hipotesis: H 0 : Data berdistribusi normal H 1 : Data tidak berdistribusi normal diberikan S(x) yang menyatakan frekuensi relatif kumulatif (sebagai fungsi distribusi kumulatif empiris) dari data asal atau dengan (2) kata lain banyaknya nilai pengamatan dalam sampel yang nilainya kurang dari sama dengan x. Dan F(x) merupakan suatu fungsi distribusi kumulatif yang dihipotesiskan yaitu berdistribusi normal.Dengan statistik uji: 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑇𝑇ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 = | 𝐹𝐹(x) – 𝑆𝑆(x) | (4) 𝑥𝑥 Tolak H 0 pada taraf nyata yang ditentukan jika T hit > T tabel .
2.5 Statistik Terurut
Sampel acak berukuran 𝑛𝑛 dan fungsi kepadatan peluang bersama dari 𝑛𝑛 variabel acak saling bebas dari 𝑋𝑋1 , 𝑋𝑋2 , … , 𝑋𝑋𝑛𝑛 diberikan dengan 𝑓𝑓(𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , … , 𝑥𝑥𝑛𝑛 ) = 𝑓𝑓(𝑥𝑥1 ) 𝑓𝑓(𝑥𝑥2 ). . . 𝑓𝑓(𝑥𝑥𝑛𝑛 ) (5) Mengurutkan nilai-nilai 𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , … , 𝑥𝑥𝑛𝑛 dengan 𝑦𝑦𝑖𝑖 untuk 𝑖𝑖 = 1,2, … , 𝑛𝑛 dimana 𝑦𝑦𝑖𝑖 merupakan nilai terkecil ke-𝑖𝑖 dari 𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , … , 𝑥𝑥𝑛𝑛 , sehingga 𝑦𝑦1 = min (𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , … , 𝑥𝑥𝑛𝑛 ) 𝑦𝑦𝑛𝑛 = max (𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , … , 𝑥𝑥𝑛𝑛 ) Jika ini diterapkan pada suatu sampel acak 𝑋𝑋1 , 𝑋𝑋2 , … , 𝑋𝑋𝑛𝑛 , maka akan didapatkan sampel acak terurut, yang disebut dengan statistik terurut (order statistics) dinotasikan dengan 𝑋𝑋1:𝑛𝑛 , 𝑋𝑋2:𝑛𝑛 , … , 𝑋𝑋𝑛𝑛:𝑛𝑛 atau 𝑋𝑋(1) , 𝑋𝑋(2) , … , 𝑋𝑋(𝑛𝑛) atau juga bisa dinotasikan dengan 𝑌𝑌1 , 𝑌𝑌2 , … , 𝑌𝑌𝑛𝑛 . Dalam hal ini 𝑌𝑌1 sebagai statistik terurut pertama,𝑌𝑌2 sebagai statistik terurut kedua, dan seterusnya[1]. Misalkan 𝑋𝑋1 , 𝑋𝑋2 , … , 𝑋𝑋𝑛𝑛 adalah sampel acak yang berukuran 𝑛𝑛 dari fungsi kepadatan peluangnya 𝑓𝑓(𝑥𝑥)kontinu dan 𝑓𝑓(𝑥𝑥) > 0untuk 𝑎𝑎 < 𝑥𝑥 < 𝑏𝑏. Maka fungsi kepadatan peluang statistik terurut ke-𝑘𝑘, 𝑋𝑋(𝑘𝑘) diberikan dengan 𝑛𝑛!
𝑓𝑓(𝑘𝑘) �𝑥𝑥(𝑘𝑘) � = (𝑘𝑘−1)!(𝑛𝑛−𝑘𝑘)! �𝐹𝐹�𝑥𝑥(𝑘𝑘) �� 𝑛𝑛−𝑘𝑘
𝑘𝑘−1
�1 −
(6) 𝐹𝐹�𝑥𝑥(𝑘𝑘) �� 𝑓𝑓�𝑥𝑥(𝑘𝑘) � Jika𝑎𝑎 < 𝑥𝑥(𝑘𝑘) < 𝑏𝑏, dan 0 untuk 𝑥𝑥(𝑘𝑘) lainnya.
116 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Dalam memahami pernyataan ini, maka akan diberikan argumen yang mengacu pada kesamaan antara pernyataan pada persamaan (6) dan distribusi binomial. Diketahui definisi dari distribusi peluang variabel acak binomial 𝑋𝑋 adalah𝑓𝑓(𝑘𝑘) = 𝑃𝑃(𝑋𝑋 = 𝑘𝑘) = �𝑛𝑛𝑘𝑘�𝑝𝑝𝑘𝑘 (1 − 𝑝𝑝)𝑛𝑛−𝑘𝑘 , dimana 𝑋𝑋 adalah banyaknya keberhasilan dalam 𝑛𝑛 ulangan yang bebas dan 𝑝𝑝 adalah peluang bahwa setiap percobaan yang diberikan berakhir dalam keberhasilan. Kejadian 𝑋𝑋 = 𝑘𝑘 sebenarnya merupakan gabungan dari perbedaan semua urutan yang memiliki tepat 𝑘𝑘 keberhasilan dan 𝑛𝑛 − 𝑘𝑘 kegagalan. Karena percobaan saling bebas, maka peluang setiap urutan tersebut adalah 𝑝𝑝𝑘𝑘 (1 − 𝑝𝑝)𝑛𝑛−𝑘𝑘 dan banyaknya urutan tersebut adalah kombinasi dari 𝑛𝑛 benda yang berlainan bila diambil 𝑛𝑛! atau sebanyak 𝑘𝑘 sekaligus adalah 𝑘𝑘!(𝑛𝑛−𝑘𝑘)!
�𝑛𝑛𝑘𝑘�, sehingga peluang 𝑋𝑋 = 𝑘𝑘 adalah �𝑛𝑛𝑘𝑘�𝑝𝑝𝑘𝑘 (1 − 𝑝𝑝)𝑛𝑛−𝑘𝑘 . (7)
Disini terlihat pdf dari statistik terurut ke-𝑘𝑘 di beberapa titik 𝑥𝑥(𝑘𝑘) adalah 𝑓𝑓(𝑘𝑘) �𝑥𝑥(𝑘𝑘) � yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok ke𝑘𝑘pada titik 𝑥𝑥(𝑘𝑘) , yaitu 𝑘𝑘 − 1 amatan kurang dari 𝑥𝑥(𝑘𝑘) , 𝑛𝑛 − 𝑘𝑘 amatan yang lebih besar dari 𝑥𝑥(𝑘𝑘) dan satu amatan pada 𝑥𝑥(𝑘𝑘) , dimana 𝑃𝑃�𝑋𝑋 ≤ 𝑥𝑥(𝑘𝑘) � = 𝐹𝐹�𝑥𝑥(𝑘𝑘) �, 𝑃𝑃�𝑋𝑋 > 𝑥𝑥(𝑘𝑘) � = 1 − 𝐹𝐹�𝑥𝑥(𝑘𝑘) � dan pada amatan 𝑥𝑥(𝑘𝑘) adalah 𝑓𝑓�𝑥𝑥(𝑘𝑘) �. Sama halnya pada kasus binomial, kejadian pada statistik terurut ke-𝑘𝑘 ini adalah kejadian yang saling bebas, sehingga dapat diterapkan kaidah penggandaan peluang, maka peluang setiap urutan yang terdiri dari adalah beberapa titik di 𝑥𝑥(𝑘𝑘) 𝑘𝑘−1
𝑛𝑛−𝑘𝑘
�𝐹𝐹�𝑥𝑥(𝑘𝑘) �� �1 − 𝐹𝐹�𝑥𝑥(𝑘𝑘) �� 𝑓𝑓�𝑥𝑥(𝑘𝑘) �. Dan banyaknya pengurutan tersebut adalah 𝑛𝑛! sehingga fungsi kepadatan (𝑘𝑘−1)!(𝑛𝑛−𝑘𝑘)!
peluang statistik terurut ke-𝑘𝑘, 𝑋𝑋(𝑘𝑘) diberikan seperti persamaan (6) di atas.
3. METODOLOGI 1. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah: Mengumpulkan dan mengkaji bahan-bahan yang berkaitan dengan penduga titik dan penduga selang dengan metode Theil. 2. Menjelaskan konsep awal metode Theil. 3. Menentukan dugaantitik parameter model dengan metode Theil.
4. Menentukan batas atas dan batas bawah selang dengan tingkat kepercayaan sebesar (1-α)100% dengan metode Theil. 5. Menduga parameter model yang berupa selang dengan tingkat kepercayaan sebesar (1-α)100% pada regresi linier sederhana dengan metode Theil. 6. Memberikan contoh aplikasinya.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun asumsi yang harus dipenuhi dalam metode Theil ini antara lain sebagai berikut: a. Model yang digunakan seperti tertulis pada persamaan (1). b. Untuk masing-masing nilai x i terdapat nilai y i. c. y i adalah nilai yang teramati dari variabel acak Y dan kontinu untuk nilai x i. d. Semua nilai x i berbeda (tidak ada yang sama) dan ditetapkan x 1 < x 2 < ... < x n. dan e. Nilai-nilai ε i saling bebas (7) mempunyai hubungan saling bebas dengan X [3].
4.1 Pendugaan Titik untuk Parameter Model dengan Metode Theil Langkah pertama yang dilakukan untuk mendapatkan 𝛽𝛽̂ 1 ialah dengan menghitung kemiringan garis dari seluruh pasangan antar dua titik. Untuk satu pasangan (x i, y i ) dan (x j, y j ) kemiringannya dirumuskan sebagai: 𝑦𝑦𝑗𝑗 −𝑦𝑦𝑖𝑖 𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 = (8) R
xj −xi
dimana i ≠ j dan i < j ; i = 1, 2, ..., n-1;j = 2, 3, ..., n. Pada n pasangan nilai pengamatan terdapat 𝑛𝑛 𝑛𝑛(𝑛𝑛−1) dari kemiringan (b ij ) yang � �= 2 2 berbeda. Penduga 𝛽𝛽̂ 1 yang baik untuk β akan menjadi nilai error yang sesuai dengan masing-masing nilai pengamatan dan dinotasikan dengan ε i =y i –β 0 – β 1 x i, dan nilai error ε i akan memiliki median nol serta memiliki hubungan yang saling bebas dengan X i . Sehingga untuk mendapatkan 𝛽𝛽̂ 1 dengan metode Theil pada dasarnya adalah dengan membuat jumlah concordant (C) sama dengan jumlah discordant (D) pada pasangan data (x i, ε i ). Statistik yang digunakan adalah:
117 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
R
R
𝐷𝐷�𝛽𝛽̂ 1� = ∑�𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖 �𝛽𝛽̂ 1��
(9)
dengan d ij (𝛽𝛽̂ 1 ) = ε j - ε i = (Y j – Y i ) – 𝛽𝛽̂ 1 (X j – X i ) (10) dimana i ≠ j dan i < j ; i = 1, 2, ..., n-1; j = 2, 3, ..., n +1, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖 �𝛽𝛽̂1 � > 0 [d ij (𝛽𝛽̂ 1 )] = � 0, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖 �𝛽𝛽̂1 � = 0 R
R
R
−1, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖 �𝛽𝛽̂1 � < 0 dengan : D(𝛽𝛽̂ 1 ) =selisih banyaknya concordant dengan discordant pada data berpasangan (X i, ε i ) d ij (𝛽𝛽̂ 1 ) = selisih nilai ε j dengan ε i Menentukan penduga 𝛽𝛽̂ 1 dilakukan dengan cara membuat D(𝛽𝛽̂ 1 )=0, karena banyaknya concordant sama dengan banyaknya discordant, sehingga dapat disimpulkan nilai error ε i dan X i saling bebas. Jika nilai x i disusun dari nilai terkecil hingga terbesar, maka dapat mengganti d ij (𝛽𝛽̂ 1 ) dengan b ij -𝛽𝛽̂ 1 maka R
R
R
R
R
𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 − 𝛽𝛽̂1 = sehingga
R
𝑦𝑦𝑗𝑗 −𝑦𝑦𝑖𝑖 xj −xi
− 𝛽𝛽̂1 =
�1 (xj −xi ) 𝑦𝑦𝑗𝑗 −𝑦𝑦𝑖𝑖 −𝛽𝛽 xj −xi
D(𝛽𝛽̂ 1 ) = ∑[𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 − 𝛽𝛽̂1 ]
(11)
+1, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 − 𝛽𝛽̂1 > 0 [b ij - 𝛽𝛽̂1 ] = � 0, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 − 𝛽𝛽̂1 = 0 −1, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 − 𝛽𝛽̂1 < 0 ̂ Dipilih 𝛽𝛽 1 = median (b ij ) untuk mendapatkan D(𝛽𝛽̂ 1 ) = 0 sehingga memungkinkan setengah pasangan concordant dan setengahnya lagi discordant. Jika banyaknya concordant dan discordant sama (C = D) maka akan menyebabkan nilai koefisien korelasi τ Kendall antara ε i dan X i sama dengan nol, artinya ε i dan X i saling bebas.Sehingga penduga 𝛽𝛽̂ 1 dapat dituliskan sebagai berikut: R
R
R
(13)
dan bila dugaan dari β 0 dinyatakan dengan 𝛽𝛽̂ 0 yang merupakan median dari nilai-nilai intersep dari setiap pasangan pengamatan. R
R
R
b 0(1)
(15)
dengan b 0(1) merupakan nilai a i yang terkecil pertama, b 0(2) merupakan nilai a i yang terkecil kedua dan seterusnya sampai 𝑏𝑏0(n) merupakan nilai a i yang terkecil terakhir dengan kata lain merupakan nilai a i yang terbesar. Sehingga dapat dituliskan dugaan untuk β 0 sebagai berikut: 𝛽𝛽̂ 0 = median (a i )
(16)
R
pembilang pada persamaan (11) di atas memiliki nilai yang sama dengan d ij (𝛽𝛽̂ 1 ) pada persamaan (10). Sehingga dengan (11) mengganti d ij (𝛽𝛽̂ 1 ) dengan b ij - 𝛽𝛽̂ 1 tidak akan mempengaruhi tanda d ij (𝛽𝛽̂ 1 ), karena penyebut x j - x i selalu bernilai positif. R
R
R
dimana i ≠ j dan i < j ; i = 1, 2, ..., n-1; j = 2, 3, ..., n.
𝛽𝛽̂1 = 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 )
R
R
(12)
R
Diberikan nilai a i sebagai nilai intersep pada pengamatan ke-i dengan i=1, 2, (9) ..., n dimana 𝑦𝑦 i = a i +𝛽𝛽̂ 1 x i maka: 𝑎𝑎𝑖𝑖 = 𝑦𝑦𝑖𝑖 − 𝛽𝛽̂1 𝑥𝑥𝑖𝑖 . (14) (10) Dari nilai 𝛽𝛽̂ 1 yang diperoleh dari persamaan (13) maka dapat dihitung a i sebanyak n dengan menggunakan persamaan (14) kemudian diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar dengan
Pendugaan Selang untuk (12) Parameter Model dengan Metode Theil
4.2
Selang kepercayaan untuk β 1 ialah 𝛽𝛽̂ L <β 1 <𝛽𝛽̂ U dengan 𝛽𝛽̂ L merupakan batas bawah selang kepercayaan untuk β 1 dan 𝛽𝛽̂ U merupakan batas atas selang kepercayaan untuk β 1 . Maka dipercaya bahwa sebesar (1α)100% nilai β 1 terletak diantara nilai 𝛽𝛽̂ L dan 𝛽𝛽̂ U [3].Dari persamaan (8) dan (1) maka didapatkan 𝑦𝑦𝑗𝑗 −𝑦𝑦𝑖𝑖 𝜀𝜀𝑗𝑗 −𝜀𝜀𝑖𝑖 𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 = = 𝛽𝛽1 + (17) R
R
R
R
R
R
xj −xi
xj−xi
dimana i ≠ j dan i < j ; i = 1, 2, ..., n-1; j = 2, 3, ..., n Karena 𝜀𝜀𝑗𝑗 − 𝜀𝜀𝑖𝑖 dapat bernilai positif maupun negatif maka 1 Asumsi 1. P[εi < εj ] = P[εi > εj ] = 2 Untuk xj − xi selalu bernilai positif berdasarkan asumsi poin (d) akibatnya 1 P[𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 < 𝛽𝛽1 ] = P[𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 > 𝛽𝛽1 ] = (18)
118 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2
Asumsi 1a. Variabel acak ε i memiliki fungsi distribusi yang sama Asumsi 1b. Variabel acak ε i memiliki fungsi distribusi yang masing-masing simetris dengan suatu nilai yaitu median ε Pada asumsi 1a distribusi serentak dari ε i dan ε j simetris dengan garis ε i = ε j ,maka pernyataan terbukti. Pada asumsi 1b garis ε i = ε j simetris dengan garis ε i = median(ε) dan ε j = median (ε); karena distribusi serentak dari ε i – median (ε) dan ε j – median (ε) simetris, maka pernyataan terbukti. 𝑛𝑛 𝑛𝑛(𝑛𝑛−1) Diurutkan sebanyak 𝑁𝑁 = � � = nilai2 2 nilai b ij dari yang terkecil hingga terbesar dengan (19) b 1(1) < b 1(2) < b 1(3) < ... <𝑏𝑏1(𝑁𝑁) dengan b 1(1) merupakan nilai b ij yang terkecil pertama, b 1(2) merupakan nilai b ij yang terkecil kedua dan seterusnya sampai 𝑏𝑏1(𝑁𝑁) merupakan nilai b ij yang terkecil terakhir dengan kata lain merupakan nilai b ij yang terbesar. Misalkan m merupakan setengah dari banyaknya b ij yaitu dari data pertama atau nilai b ij terkecil sampai median b ij dari nilainilai b ij yang sudah diurutkan dari terkecil sampai terbesar. Terdapat k 1 yang menyatakan batas bawah dari selang kepercayaan β 1 dimana probabilitas k 1 ada diantara m nilai-nilai b ij yang kurang dari β 1, diberikan persamaan binom pada persamaan 1 (7) dengan p = sehingga persamaan (7) 2 m 1 menjadi � � m karena dari asumsi poin (e) r 2 dan asumsi 1 maka diperoleh: P[bk1 ≦ 𝛽𝛽1 ≦ bN−k1 +1 | β 1 ] 𝑘𝑘1 −1 m 1 = 1 - 2∑𝑟𝑟=0 � � m (20) r 2 = 1 – 2 I 1/2 (k 1 , m − k1 + 1) (21) 1 = 1 – 2( α) = 1 – α (22) 2
Maka dengan menolak sebanyak k 1 -1 nilainilai b ij yang sudah diurutkan tersebut akan diterima nilai-nilai b ij dari urutan ke k 1 hingga median b ij. Karena simetris maka untuk sisi lainnya juga terdapat daerah penolakan sebanyak k 1 -1 namun dengan urutan data dari terbesar hingga terkecil. Sehingga, diberikan interval kepercayaan untuk β 1 ialah terkecil ke k 1 dan terbesar ke k 1 dari dari nilai-nilai b ij .
Untuk menentukan batas bawah dan batas atas selang kepercayaan dengan metode Theil maka terlebih dahulu ditentukan suatu konstanta yang akan digunakan untuk menentuan urutan ke-k dari nilai b ij yang sudah diurutkan. Untuk memperoleh nilai k 1 digunakan suatu metode yang diberikan n Kendall dengan rumus l = � � – 2k 1 maka 2 𝑛𝑛 𝑘𝑘1 =
� �– 𝑙𝑙 2 2
dengan
l
=
sehingga didapatkan: 𝑛𝑛 � �–𝑠𝑠 𝛼𝛼 +2 2 (𝑛𝑛, )
𝑠𝑠(𝑛𝑛,𝛼𝛼) − 2 2
2 𝑘𝑘1 = (23) 2 Dimana: k 1 = urutan untuk interval kepercayaan 𝛽𝛽̂ 1 𝑠𝑠(𝑛𝑛,𝛼𝛼) = titik kritis τ Kendall yang (19) dapat R
2
dilihat pada tabel τ Kendall
Jadi batas bawah untuk selang kepercayaan β 1 (𝛽𝛽̂ 1L ) adalah nilai b ij pada urutan ke k 1 yang diperoleh dari urutan nilai b ij dari yang terkecil hingga yang terbesar. Sedangkan batas atas untuk selang kepercayaan β 1 (𝛽𝛽̂ 1U ) adalah nilai b ij pada urutan ke-k 1 yang diperoleh dari urutan nilai b ij dari yang terbesar hingga yang terkecil. Dengan cara yang sama untuk mendapatkan selang kepercayaan bagi β 0 ialah dari 𝑛𝑛 persamaan (23) dimana S (n, α/2) = � �τ (n, α/2) 2 maka R
R
𝑛𝑛–𝑛𝑛𝑛𝑛
𝛼𝛼 +2 (𝑛𝑛, )
2 𝑘𝑘2 = 2 dimana: k 2 = urutan untuk kepercayaan 𝛽𝛽̂ 0 τ(n,α/2) = nilai tabel τ Kendall
(24) interval
R
Sehingga nilai 𝛽𝛽̂ 0L adalah nilai a i (20) pada nilai urutan ke k 2 yang diperoleh dari urutan(21) a i dari yang terkecil hingga yang terbesar. (22) Sedangkan nilai 𝛽𝛽̂ 0U adalah nilai a i pada urutan ke k 2 yang diperoleh dari urutan nilai a i dari yang terbesar hingga yang terkecil. R
R
4.3
Pengujian Koefisien Kemiringan dengan Metode Theil Pengujian koefisien kemiringan garis regresi dengan menggunakan metode Theil dapat disusun berdasarkan statistik 𝜏𝜏 Kendall dan digunakan untuk mengetahui bentuk hubungan antara dua variabel acak X dan Y. Asumsi yang mendasari dalam analisis 𝜏𝜏 Kendall ialah sebagai berikut [3]:
119 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
1. Data yang tersedia berupa data kuantitatif maupun data kualitatif. 2. Data sekurang-kurangnya diukur pada skala ordinal. Hipotesis yang digunakan pada pengujian ini ialah: tidak ada H 0 : β 1 = 0; menyatakan hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas H 1 : β 1 ≠ 0 ; menyatakan adanya hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas Misalkan terdapat sampel acak sebanyak n yang berbentuk pasangan hasil pengamatan (x 1, y 1 ), (x 2, y 2 ), ..., (x n, y n ). Masing-masing pasangan hasil pengamatan tersebut diperoleh dari dua pengukuran yang dilakukan terhadap objek yang sama. Untuk setiap dua pasangan hasil pengamatan (x i, y i ) dan (x j, y j ) dimana i≠j ditentukan apakah merupakan pasangan concordant atau pasangan discordant. Dari sampel acak n 1 berukurann dapat dibentuk � � = 𝑛𝑛 (𝑛𝑛 − 2 2 1) pasangan yang mungkin. Koefisien korelasi τ Kendall merupakan probabilitas dari selisih banyaknya pasangan concordant dan pasangan discordant dibandingkan dengan seluruh pasangan yang mungkin dari n pasangan hasil pengamatan. Sehingga statistik ujinya dinyatakan: 𝐶𝐶−𝐷𝐷 𝜏𝜏̂ = 1 (25) 2
𝑛𝑛 (𝑛𝑛−1)
dengan C = banyaknya pasangan concordant D = banyaknya pasangan discordant Jika terdapat angka sama antar nilai-nilai y, maka rumus τ menjadi: 𝐶𝐶−𝐷𝐷 𝜏𝜏̂ = 1 (26) 1 � 𝑛𝑛(𝑛𝑛−1)−𝑇𝑇𝑥𝑥 � 𝑛𝑛(𝑛𝑛−1)−𝑇𝑇𝑦𝑦 2
dimana:
1
2
𝑊𝑊𝑋𝑋 𝑡𝑡𝑥𝑥𝐼𝐼 (𝑡𝑡𝑥𝑥𝐼𝐼 − 1) Tx = ∑𝐼𝐼=1
2 𝑌𝑌 ∑𝑊𝑊 𝑡𝑡 (𝑡𝑡 2 𝐼𝐼=1 𝑦𝑦𝐼𝐼 𝑦𝑦𝐼𝐼 1
dan
− 1) Ty = dengan: w x = banyaknya pasangan data pada variabel X yang bernilai sama w y = banyaknya pasangan data pada variabel Y yang bernilai sama t x = banyaknya nilai x yang sama pada suatu pengamatan t y = banyaknya nilai y yang sama pada suatu pengamatan Kaidah pengambilan keputusan : tolak H 0 pada taraf nyata α jika nilai 𝜏𝜏̂ (untuk 𝜏𝜏̂ positif) > τ (n, α/2) atau nilai 𝜏𝜏̂ (untuk 𝜏𝜏̂ negatif) < -τ (n, α/2) . Dimana nilai τ (n, α/2) dapat dilihat
pada tabel τ Kendall untuk sampel sebanyak n dan taraf nyata α/2 [3].
4.4
Penerapan Regresi Linier Sederhana dengan Metode Theil Penerapan dari regresi linier sederhana untuk lebih memperjelas kajian tentang metode Theil dalam penelitian ini mengenai jumlah penduduk dan konsumsi permen di 17 negara pada tahun 1991. Sumber data yang digunakan diambil dari buku Applied Regression Analysis oleh Draper, N.R dan H. Smith (1998) merupakan data yang di publikasikan oleh Chicago Tribune pada 7 Desember 1993. Dimana banyaknya permen yang dikonsumsi dalam satuan juta pound dijadikan sebagai variabel Y dan jumlah penduduk dalam satuan juta dijadikan sebagai variabel X. Dari data tersebut ingin diketahui hubungan antar variabel dengan mencari persamaan regresinya. Terlebih dahulu dicari tahu apakah data berdistribusi normal maka dilakukan uji normalitas dengan hipotesis seperti bagian Kolmogorov-Smirnova T hit DB Sig. populasi .261 17 .003 konsumsi .294 17 .000 permen sebelumnya dan α=5%. Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Dapat dilihat nilai signifikansi kurang dari α sehingga H 0 ditolak, artinya bahwa data tidak berdistribusi normal. Karena data tidak berdistribusi normal (26) maka digunakan metode Theil untuk melakukan dugaan model regresi. Dihitung kemiringan garis dari tiap satu titik dengan titik lainnya dengan menggunakan persamaan (8). Berdasarkan persamaan (13) maka median b ij dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (3), sehingga nilai dugaan untuk Sedangkan untuk β 1= 19,732. mendapatkan nilai 𝛽𝛽̂ 0 terlebih dahulu dihitung nilai a i berdasarkan persaman (14). Karena data yang digunakan sebanyak 17 pasangan pengamatan maka banyaknya a i = 17. Berdasarkan persamaan (16) maka sama halnya seperti menentukan 𝛽𝛽̂ 1 bahwa dengan menggunakan persamaan (3) sehingga diperoleh 𝛽𝛽̂0 = 30,232. Sehingga didapat
120 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
R
R
model dugaan untuk persamaan (2) ialah sebagai berikut: � i= 30,232 + 19,732 𝑋𝑋𝑖𝑖 Y Dapat dikatakan bahwa ketika jumlah penduduk di suatu negara bertambah satu juta maka konsumsi permen akan meningkat sebesar 19.732.000 pound. Kemudian untuk menentukan batas atas dan batas bawah selang kepercayaan dengan metode Theil maka terlebih dahulu ditentukan urutan ke-k dari nilai b ij yang sudah dirutkan dari nilai terkecil hingga terbesar. Dari tabel τ Kendall didapat nilai S(17,0,05) = 50 dimana taraf nyata yang R
2
digunakan 5%. Maka berdasarkan persamaan (23) dapat ditentukan nilai k 1 = 44 sehingga didapatkan 𝛽𝛽̂1 L = 11,543 dan 𝛽𝛽̂1 U = 27,357. Karena 1-2(0,025) = 0,95 maka interval kepercayaan untuk β 1 dapat dituliskan sebagai P(11,543<β 1 <27,357) = 0,95. Artinya dipercaya 95% bahwa koefisien slope akan berada dalam interval 11,543 sampai 27,357. R
R
Sedangkan interval kepercayaan untuk β 0 didapat dari nilai a i dengan batas yang telah ditentukan, berdasarkan persamaan (24) diperoleh nilai k 2 = 6,372. Karena batas penerimaan untuk selang berada diantara urutan data ke 6 dan 7 maka selang kepercayaan dimulai dari data ke 7. Oleh karena itu didapatkan 𝛽𝛽̂ 0L = 27,564 dan 𝛽𝛽̂ 0U = 38,467. Karena 1-2(0,025) = 0,95 maka interval kepercayaan untuk β 0 dapat dituliskan sebagai P(27,564<β 0 <38,467) = 0,95. Artinya dipercaya 95% bahwa koefisien intersep akan berada dalam interval 27,564 sampai dengan 38,467. R
sama, maka statistik uji yang digunakan ialah persamaan (25) dan diperoleh 𝜏𝜏̂ = 0,853.Berdasarkan tabel τ Kendall dengan menggunakan taraf nyata 5% maka didapatkan τ (n, α/2) = 0,368. Karena 𝜏𝜏̂ = 0,853 > τ (n, α/2) = 0,368 maka tolak H 0 . Pada taraf nyata 0.05 koefisien kemiringan berarti yang dapat diartikan populasi suatu negara berpengaruh terhadap banyaknya konsumsi permen.
5. KESIMPULAN Berdasarkan dari penelitian pendugaan parameter model dengan metode Theil ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dugaan titik untuk koefisien kemiringan (slope) garis regresi dengan metode Theil ialah 𝛽𝛽̂1 = 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 ), dimana b ij = 𝑦𝑦𝑗𝑗 −𝑦𝑦𝑖𝑖 xj −xi
dugaan untuk intersep ialah 𝛽𝛽̂0 = 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝑎𝑎𝑖𝑖 ) dimana a i = y i - 𝛽𝛽̂1 x i. 2. Untuk membuat selang kepercayaan bagi β 0 dan β 1 maka terlebih dulu ditentukan suatu urutan dengan rumus: k 1 n n � �−� �τ(n,α/2)
n – nτ(n,α/2)
dan k 2= dimana =2 2 2 2 batas bawah untuk β 1 ialah nilai 𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 terkecil ke k 1 dan batas atas untuk β 1 ialah nilai 𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 terbesar ke k 1 sedangkan untuk batas bawah β 0 ialah nilai a i terkecil ke k 2 dan untuk β 0 ialah nilai a i terbesar ke k 2 sebagai batas atas.
R
Agar model tersebut dapat digunakan untuk menyatakan hubungan antar variabel X dan variabel Y maka harus dilakukan identifikasi apakah parameter model berarti atau tidak dengan hipotesis yang akan diuji sebagai berikut: H 0 : β 1 = 0 artinya tidak terdapat pengaruh jumlah penduduk suatu negara terhadap banyaknya konsumsi permen terdapat pengaruh H 1 : β 1 ≠ 0 artinya jumlah penduduk suatu Negara terhadap banyaknya konsumsi permen Taraf nyata uji yang digunakan sebesar 5%. Karena tidak ada nilai x maupun nilai y yang
dengan i < j dan xi ≠ xj . Sedangkan
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Bain, L.J & M. Engelhardt. 1992. Introduction to Probability and MathematicalStatistics. Duxbury Press, California. Conover, W. J. 1980. Practical Nonparametric Statistics 2nd edition. John Wiley and Sons, New York. Daniel, W. W. 1989. Statistika Nonparametrik Terapan. Alih Bahasa Alex Tri KW. Gramedia, Jakarta. Draper, N dan Smith, H. 1998. Applied Regression Analysis 3rd edition. John Wiley and Sons, New York. Sarti, Aldila. 2013. Regresi Linier Nonparametrik dengan Metode Theil. Jurnal Matematika UNAND, Vol. 2 No. 3, ISSN: 2303-2910.
121 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
[6]
[7] [8]
[9]
Sprent, P. 1991. Metode Statistik Nonparametrik Terapan. Universitas Indonesia, Jakarta. Sudjana. 2000. Metode Statistik. Tarsito, Bandung. Theil, H. 1950. A Rank-Invariant Method of Linear and Polynomial Regression Analysis I. Mathematics Centrum, Amsterdam 85-91 Walpole R. E. dan Myers R. H. 1995. Ilmu peluang dan statistika untuk insinyur dan ilmuan; edisi ke-4. Alih bahasa RK Sembiring. ITB, Bandung.
122 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PEMISAHAN SINYAL DARI NOISE MENGGUNAKAN METODE INDEPENDENT COMPONENT ANALYSIS (ICA) Riondi Anda Jaya Ginting, Oni Soesanto, Thresye Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru 70714, Kalsel Email : riondi.g27@gmail
Abstrak Dalam pengolahan sinyal terdapat gangguan-ganguan yang disebut dengan noise. Noise adalah sinyal – sinyal yang tidak diinginkan yang terbawa oleh sinyal. Salah satu metode pengolahan sinyal yang dapat digunakan untuk memisahkan sinyal dari noise adalah metode Independent Component Analysis (ICA) yang pada penelitian ini menggunakan algoritma FastICA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan proses pemisahan sinyal dari noise menggunakan metode independent component analysis. Pencampuran sinyal terhadap noise dilakukan dengan cara mengalikan sinyal terhadap matriks pencampur. Kemudian melakukan preprosesing yang dibagi menjadi dua tahap yaitu centering dan whitening. Untuk mendapatkan matriks pemisah dapat menggunakan algoritma FastICA. Matriks pemisah digunakan untuk memisahkan sinyal tercampur terhadap noise. Hasil simulasi data menunjukkan bahwa metode independent component analysis (ICA) dengan menggunakan algoritma FastICA dapat memisahkan sinyal dengan noise lebih baik dibandingkan dengan metode tanpa melalui proses FastICA. Kata kunci : Pengolahan Sinyal, Independent Component Analysis (ICA), FastI
1. PENDAHULUAN Pada proses pengolahan sinyal yang dihasilkan tidak menutup kemungkinan terdapat gangguan-gangguan di dalam sinyal tersebut yang disebut noise. Noise yang dimaksudkan adalah sinyal – sinyal tidak diinginkan yang terbawa oleh sinyal. Menurut Hyvärinen [3] salah satu metode pengolahan sinyal yang dapat digunakan untuk memisahkan sinyal adalah metode Independent Component Analysis (ICA). Metode ini dapat digunakan untuk mengurangi noise yang terdapat di dalam sinyal. Independent Component Analysis adalah suatu metode penemuan sinyal asli dari sekelompok sinyal yang tercampur dengan sinyal – sinyal yang berupa noise. Jadi secara garis besar metode Independent Component Analysis dapat digunakan untuk memisahkan sinyal dari noise yang tercampur di dalam sinyal.
2.
METODE PENELITIAN
2.1
Model Independent Component Analysis (ICA) Menurut pernyataan Hyvärinen, A. & E.Oja [5] Independent merupakan suatu kejadian yang tidak bergantung pada kejadian yang lain. Sedangkan Independent Component Analysis (ICA) adalah motode untuk memisahkan sinyal-sinyal tercampur menjadi menjadi sinyal yang Independent. Bila ada sumber - sumber yang saling bebas satu sama lain (independent) tercampur 123 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
maka komponen terukur sensor dalam rentang waktu dapat dimodelkan sebagai berikut, (1) 𝑥𝑥𝑗𝑗 (𝑡𝑡) = 𝑎𝑎𝑗𝑗1 𝑠𝑠1 (𝑡𝑡) + ⋯ + 𝑎𝑎𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑠𝑠𝑛𝑛 (𝑡𝑡) Persamaan di atas apabila ditulis dalam bentuk vektor matriks maka menjadi 𝒙𝒙(𝒕𝒕) = 𝑨𝑨𝑨𝑨(𝒕𝒕) (2) Dimana 𝒙𝒙 adalah penangkap sinyal (Sinyak tercampur). 𝑨𝑨 adalah jarak antara 𝒔𝒔 dan 𝒙𝒙. 𝒔𝒔 adalah pemancar sinyal (sumber sinyal). Untuk menduga 𝒔𝒔(𝒕𝒕) pada persamaan (11), menggunakan metode Independent Component Analysis (ICA), dapat dicari menggunakan persamaan y yang dapat dinyatakan, 𝒚𝒚(𝒕𝒕) = 𝑾𝑾𝑾𝑾(𝒕𝒕) (3)
2.2 Preprocessing Pada bagian algoritma ICA terdapat suatu tahapan yang disebut preprocessing. Tahapan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan ICA dalam mereduksi data sehingga kualitas keluaran yang akan dihasilkan algoritma ICA dapat ditingkatkan. Secara keseluruhan preprocessing terdiri dua bagian yaitu centering dan whitening. 2.2.1 Centering ( Pemusatkan ) Centering dilakukan dengan cara mengurangkan mean data terhadap data aslinya. Yaitu[3]: (4) 𝒙𝒙𝒄𝒄 = 𝒙𝒙 − 𝑥𝑥̅
𝑥𝑥̅ adalah mean dari 𝒙𝒙, sedangkan 𝑥𝑥 merupakan sinyal campur, dan 𝒙𝒙𝒄𝒄 adalah hasil dari proses centering. 2.2.2 Whitening ( Pemutihan ) Setelah data dipusatkan maka proses selanjutnya adalah proses whitening. Salah satu untuk mencari whitening [3] adalah dengan Eigen Value Decomposition (EVD) dari kovarian matriks 𝐸𝐸{𝑥𝑥𝑥𝑥 𝑇𝑇 } = 𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 𝑇𝑇 . Sehingga proses whitening dapat ditulis dalam persamaan berikut : (5) 𝒙𝒙𝒘𝒘 = 𝑽𝑽𝒙𝒙𝒄𝒄 dimana 𝑽𝑽 = 𝑬𝑬𝑫𝑫−𝟏𝟏/𝟐𝟐 𝑬𝑬𝑻𝑻 merupakan matriks whitening dan 𝑯𝑯 = (𝑬𝑬𝑻𝑻 )−𝟏𝟏 𝑫𝑫𝟏𝟏/𝟐𝟐 𝑬𝑬−𝟏𝟏 Merupakan matriks dewhitening dimana 𝑯𝑯 = 𝑽𝑽−𝟏𝟏 . Matriks E merupakan matriks orthogonal dari vektor eigen. D adalah diagonal matriks dari nilai eigennya, matriks 𝑫𝑫 = 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑑𝑑1 , 𝑑𝑑2 , … , 𝑑𝑑𝑛𝑛 ). 2.3 FastICA One Unit Hyvarinen [3] menetapkan algoritma untuk menyelesaikan masalah Independent Component Analysis yang disebut sebagai fixed-point maximum negentropy disebut FastICA, dan dinyatakan sebagai berikut : a. Memilih inisial bobot vektor w (secara acak) dan setiap entrinya > 0 b. Misalkan 1 (8) 𝑤𝑤 + = {𝑥𝑥𝑥𝑥(𝑤𝑤 𝑇𝑇 𝑥𝑥)𝑇𝑇 − 𝑤𝑤𝑔𝑔′ (𝑤𝑤 𝑇𝑇 𝑥𝑥)1𝑁𝑁 } 𝑀𝑀 dengan persamaan 𝑔𝑔 yang akan digunakan adalah sebagai berikut: 𝑔𝑔1 (𝑢𝑢) = tanh(𝑎𝑎1 𝑢𝑢)
d.
Menjalankan Symmetric Orthogonalization yang terhadap 𝑾𝑾 = (𝑤𝑤1 , … , 𝑤𝑤𝑚𝑚 )𝑇𝑇 , merupakan hasil dari algoritma one-unit, dengan cara 1
𝑾𝑾 = (𝑾𝑾𝑾𝑾𝑻𝑻 )−2 𝑾𝑾 e. Menguji konvergen menggunakan cara 1 − min(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎(𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑾𝑾𝑻𝑻 𝑾𝑾) < 𝜺𝜺 f. Jika tidak konvergen, kembali ke langkah c. 2.5 MSE (Mean Square Error) MSE (Mean Square Error) merupakan suatu nilai yang menunjukkan besarnya error atau besarnya nilai penyimpangan terhadap nilai yang sebenarnya. Semakin besar nilai MSE maka semakin besar tingkat kesalahannya, begitu pula sebaliknya. Untuk mendapatkan nilai MSE digunakan persamaan sebagai berikut [6]:
𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 =
1 𝑛𝑛 ∑ (𝑓𝑓𝑓𝑓𝑎𝑎 (𝑖𝑖) − 𝑛𝑛 𝑖𝑖=1
c.
d.
𝑤𝑤 +
Misalkan 𝑤𝑤 = ‖𝑤𝑤 + ‖
Jika tidak konvergen, kembali ke langkah b
2.4 Symmetric Orthogonalization Symmetric Orthogonalization merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam menyelesaikan algoritma FastICA one unit dengan cara iterasi setiap vektor 𝑤𝑤𝑖𝑖 secara orthogonal. Langkah-langkah dalam metode Symmetric Orthogonalization adalah sebagai berikut[6]: a. Menentukan banyaknya sinyal yang akan di bentuk sebanyak m sinyal b. Memilih inisial bobot vektor 𝑤𝑤𝑖𝑖 , 𝑖𝑖 = 1, … , 𝑚𝑚 (secara acak) c. Mengiterasi setiap vektor 𝑤𝑤 dengan cara melakukan algoritma one-unit
(7)
𝑓𝑓𝑠𝑠𝑏𝑏 (𝑖𝑖))2
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Input Sinyal Data untuk pengujian sinyal akan di ambil dengan cara membangkitkan fungsi yang berbentuk sinyal. Terdapat 3 sinyal yang akan di bangkitkan pada pengujian ini. Adapun bentuk persamaan fungsi sinyal yang dipilih pada penelitian ini antara lain 1. 𝑆𝑆1 = sin(2𝜋𝜋 × 5 × 𝑡𝑡) (sinyal 1) 2. 𝑆𝑆2 = sin(2𝜋𝜋 × 20 × 𝑡𝑡) (sinyal 2) 3. 𝑆𝑆3 = sin(2𝜋𝜋 × 3 × 𝑡𝑡) (sinyal 3) (9)
𝑢𝑢2
𝑔𝑔2 (𝑢𝑢) = u exp �− � 2 Dimana 𝑤𝑤 + adalah nilai vektor kolom baru. merupakan 𝑥𝑥𝑤𝑤 adalah hasil whitening. g fungsi nonlinearitas. w adalah vektor kolom
(6)
(10)
Gambar 4.3 Sinyal Sumber yang di bangkirkan.
Dalam penelitian kali ini panjang waktu (𝑡𝑡) yang digunakan dalam setiap sinyal yang bangkitkan adalah 5 detik. Setiap persamaan fungsi sinyal akan di partisi sebanyak 200 partisi per detik. Partisi setiap sinyal akan dimulai dari detik ke 0. Sehingga jumlah data yang tersedia sebanyak 1001 data per sinyal. 3.2 Uji Coba Data Metode ICA dapat diterapkan jika ketiga buah sumber sinyal saling independent satu sama lain. Untuk mengetahui sinyal bersifat independent dapat menggunakan definisi berikut : 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐(𝑆𝑆𝑛𝑛 , 𝑆𝑆𝑚𝑚 ) = 𝐸𝐸��𝑆𝑆𝑛𝑛 − 𝜇𝜇𝑆𝑆𝑛𝑛 ��𝑆𝑆𝑚𝑚 − 𝜇𝜇𝑆𝑆𝑚𝑚 ��
124 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
(14) Tabel 3.1 Nilai Kovarian dari sinyal sumber Sinyal Kovarian Sinyal 1 dan Sinyal 2 −2,0161 × 10−16 Sinyal 1 dan Sinyal 3 −1,9905 × 10−16 Sinyal 2 dan Sinyal 3 5,6685 × 10−17
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa data masukan yang digunakan dalam penelitian ini saling independent / saling bebas karena antara sinyal satu dengan sinyal lainya memiliki nilai kovarian mendekati atau sama dengan 0. Selanjutnya adalah mengukur non-Gaussian dari suatu sinyal. Untuk mengukur sifat nonGaussian sinyal dapat menggunakan kurtosis dengan persamaan (14) berikut: 𝐸𝐸{𝑠𝑠 4 } 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾(𝑦𝑦) = (𝐸𝐸{𝑠𝑠 2 })2 Setelah proses diatas dilakukan, didapatkan nilai kurtosis pada tabel 3.2 sebagai berikut :
Tabel 3.2 Nilai Kurtosis dari sinyal sumber Kurtosis Sinyal 1 1,5003 Sinyal 2 Sinyal 3
1,5003 1,5003
3.3 Proses Pencampuran Sinyal Langkah selanjutnya adalah mencampur ketiga sinyal menggunakan persamaan (2) sebagai berikut : 𝑿𝑿 = 𝑨𝑨𝑨𝑨 Sesuai dengan model ICA pada persamaan (2) matriks pencampur 𝑨𝑨3×3 , yang dipilih secara random, dikalikan dengan ketiga buah sinyal S. Dalam penelitian ini nilai matriks pencampur (A) yang digunakan adalah sebagai berikut. 0,8878 0,6498 0,1253 𝐴𝐴 = �0,0551 0,7641 0,3645� 0,0984 0,9880 0,6762
3.4 Pemisahan Sinyal Dalam realnya, sinyal yang di terima adalah sinyal yang sudah tercampur. Jadi proses yang sebenarnya dimulai dari tahap pemisahan sinyal ini. Berikut adalah tahap-tahap dari pemisahan sinyal: 3.4.1 Centering Proses centering dimaksudkan untuk mengurangi kompleksitas data yang akan diolah pada proses whitening. Menentukan nilai centering dengan cara mengurangkan sinyal tercampur 𝒙𝒙𝟏𝟏 , 𝒙𝒙𝟐𝟐 dan 𝒙𝒙𝟑𝟑 dengan mean (𝑥𝑥̅ ) dari setiap sinyal tercampur 𝒙𝒙𝟏𝟏 , 𝒙𝒙𝟐𝟐 dan 𝒙𝒙𝟑𝟑 sesuai dengan persamaan (4) sebagai berikut � 𝒙𝒙𝒄𝒄 = 𝒙𝒙 − 𝒙𝒙
3.4.2 Whitening Setelah melakukan proses centering, tahap selanjutnya adalah proses whitening. Langkah awal dalam proses whitening adalah mencari matriks kovarian dari proses centering (𝑥𝑥𝑐𝑐 ) menggunakan persamaan berikut : 1 𝑴𝑴𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒏𝒏 × 𝒏𝒏 = 𝑥𝑥� 𝑇𝑇 𝑥𝑥� 𝑛𝑛−1 Hasil matriks kovarian didapatkan sebagai berikut : 0,6125 𝑴𝑴𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄 = �0,2953 0,4066
0,2953 0,3595 0,5029
0,4066 0,5029� 0,7208
Proses selanjutnya adalah mencari nilai eigen dan vektor eigen dari mariks 𝑴𝑴𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄 . Untuk memperoleh nilai eigen (𝜆𝜆) dari matriks 𝑴𝑴𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄 menggunakan persamaan berikut: �𝜆𝜆𝜆𝜆 – 𝑴𝑴𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄 � = 0
Nilai eigen yang akan diperoleh yakni sebanyak 3 buah sesuai dengan banyaknya sinyal. Nilai eigen dari matriks 𝑴𝑴𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄 diberikan pada table 3.3. Tabel 3.3 Nilai eigen dari mariks 𝑴𝑴𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄 𝜆𝜆2 𝜆𝜆3 𝜆𝜆1 0.0056
0.2906
1.3965
Sehingga diagonal matriks (D) dari nilai eigen diatas dapat dinyatakan sebagai berikut: 0.0056 0 0 𝑫𝑫 = � 0 0.2906 0 � 0 0 1.3965 Selanjutnya yaitu menentukan vektor eigen dari matriks 𝑴𝑴𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄 dengan mensubsitusikan nilai eigen yang didapat ke persamaan berikut: �𝜆𝜆𝜆𝜆 – 𝑴𝑴𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄𝒄 �𝒙𝒙 = 0 Setelah melakukan proses diatas akan menghasilkan matriks orthogonal (E) dari vector eigen yang berukuran 3×3 sebagai berikut: 0,6125 0,2953 0,4066 𝑬𝑬 = �0,2953 0,3595 0,5029� 0,4066 0,5029 0,7208 Diagonal matriks (D) dari nilai eigen dan matriks orthogonal (E) dari vector eigen akan digunakan untuk melakukan proses whitening menggunakan pesamaan berikut: 𝒙𝒙𝒘𝒘 = 𝑬𝑬 𝑫𝑫−𝟏𝟏/𝟐𝟐 𝑬𝑬𝑻𝑻 𝒙𝒙𝒄𝒄 Tampak pada Gambar 3.2 terlihat bahwa hasil sinyal setelah proses whitening menunjukkan sinyal yang tercampur mulai terpisah , namun hasilnya kurang bersih, sehingga masih terdapat informasi data satu sama lain.
125 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
3.4.3
Algoritma FastICA several units menggunakan Symmetric orthogonalization Proses FastICA merupakan proses utama pada penelitian tugas akhir ini. Proses FastICA dilakukan untuk menentukan matriks W yang optimal pada proses pemisahan sinyal. Langkah awal dalam proes FastICA adalah memilih banyaknya vektor kolom w yang akan dibuat secara acak. Dalam penelitian ini banyak vektor kolom w yang akan dipilih sebanyak 3 vektor sesuai dengan banyaknya ��1�, ����,dan 𝑤𝑤2 𝑤𝑤 �3 . sinyal yang dibentuk yaitu �𝑤𝑤 Adapun ukuran vektor kolom yang akan dibentuk yaitu 3 × 1. Dalam proses FastICA menggunakan Symmetric orthogonalization, setiap vektor yang dibuat secara acak akan dikumpulkan menjadi satu sehingga menjadi ���1� ���� 𝑤𝑤2 ����]. 𝑤𝑤3 Langkah suatu matriks 𝑾𝑾 = [𝑤𝑤 selanjutnya adalah memproses matriks W menggunakan algoritma FastICA seperti persamaan (8). Pada penelitian ini, fungsi nonlinearitas (g) pada algoritma FastICA yang akan digunakan adalah persamaan: 𝑔𝑔(𝑢𝑢) = tanh(𝑎𝑎1 𝑢𝑢) Dan turunan dari fungsi nonlinearitas (𝑔𝑔′ ) adalah sebagai berikut: 𝑔𝑔′ (𝑢𝑢) = 𝑎𝑎1 (1 − tanh2 (𝑎𝑎1 𝑢𝑢)) Langkah selanjutnya adalah melakukan proses Symmetric orthogonalization. Apabila dalam proses Symmetric orthogonalization matriks W tidak konvergen, maka matriks W akan kembali diproses menggunakan algoritma FastICA sampai maktiks W konvergen. Setelah melakukan proses algoritma FastICA menggunakan persamaan (8) diatas didapakan matriks yang konvergen yaitu : 0,6278 0,4595 0,0886 𝑾𝑾 = �0,0390 0,5403 0,2577� 0,0696 0,6986 0,4781 3.4.4 Dewhitening Untuk mendapatkan nilai 𝐖𝐖𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛𝐛 , nilai 𝐖𝐖 yang sebelumnya telah melalui tahap whitening akan ditranformasi balik yang bisa disebut juga sebagai dewhitening pada persamaan (7). 𝑾𝑾𝒃𝒃𝒃𝒃𝒃𝒃𝒃𝒃 = (𝑬𝑬𝑻𝑻 )−𝟏𝟏 𝑫𝑫𝟏𝟏/𝟐𝟐 𝑬𝑬−𝟏𝟏 𝑾𝑾𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏 Dimana E merupakan Orthogonal matriks dari vector eigen. D adalah Diagonal matriks dari nilai eigen nya, 𝐷𝐷 = 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑(𝑑𝑑1 , 𝑑𝑑2 , … , 𝑑𝑑𝑛𝑛 ). Sedangkan 𝑊𝑊𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛 adalah hasil proses FastICA. Setelah proses diatas dilakukan, didapatkan dewhitening sebagai berikut: −0,4592 0,0886 0,6275 𝑾𝑾𝒃𝒃𝒃𝒃𝒃𝒃𝒃𝒃 = �−0,5400 0,2576 0,0389� −0,6983 0,4779 0,0695 3.4.5 Sinyal Output Untuk mendapatkan sinyal yang diharapkan, maka langkah selanjutnya adalah menggunakan persamaan (3):
𝒀𝒀 = 𝑨𝑨−𝟏𝟏 𝒙𝒙 Pada Gambar 3.2 dan 3.3 terlihat bahwa output sinyal pada Gambar 3.3 menunjukkan sinyal output yang lebih baik bila dibandingkan dengan Gambar 3.2 yang menunjukkan gambar sinyal output tanpa melalui proses FastICA.
Gambar 3.2 Sinyal hasil dari proses Whitening
Gambar 3.3. Sinyal hasil dari proses FastICA
Dari hasil simulasi yang telah dilakukan terlihat bahwa sinyal input berbeda urutan dengan sinyal output. Hal tersebut merupakan kelemahan dari metode ICA bahwa komponen bebas yang dihasilkan melalui proses ICA dapat berubah-ubah urutannya. 3.4.6 MSE (Mean Square Error) Perhitungan MSE dilakukan untuk membandingkan kualitas sinyal output tanpa proses FastICA (whitening) dengan sinyal output setelah melalui proses FastICA. Berikut adalah hail perhitungan nilai MSE: Tabel : 3.4 Perhitungan Nilai MSE
SINYAL Sinyal 1 Sinyal 2 Sinyal 3
NILAI MSE Tanpa FastICA (whitening) 0,1592 0,2495 0,1781
FastICA
0,0858 0,0858 0,0858
Dari Tabel 3.4 terlihat bahwa perhitungan MSE pada sinyal 1, 2 dan 3 dengan menggunakan FastICA diperoleh nilai MSE yang lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai MSE tanpa melalui proses FastICA. Ini berarti bahwa sinyal yang melalui proses FastICA memiliki kualitas sinyal yang lebih
126 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
baik dibandingkan dengan melalui proses FastICA.
sinyal
tanpa
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil tentang Pemisahan Sinyal Dari Noise Menggunakan Metode Independent Component Analysis (ICA) diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat dua syarat dasar dari proses ICA yaitu pertama sinyal memiliki sifat independent yang artinya setiap sinyal tidak memiliki hubungnan dengan sinyal yang lain. Kedua adalah setiap dari sinyal memiliki sifat non Gaussian. 2. Dalam pemisahan sinyal dengan noise terdapat beberapa tahap. Pertama adalah tahap preprocessing yang terbagi menjadi dua yaitu centering dan whitening. Tahap kedua adalah proses dari algoritma FastICA menggunakan Symmetric orthogonalization. Tahap ketiga adalah dewhitening. Dan tahap terakhir adalah perhitungan sinyal output. 3. Kemampuan metode ICA menggunakan algoritma FastICA memiliki kualitas sinyal yang lebih baik dibandingkan dengan sinyal tanpa melalui proses FastICA.
5. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
A, Jonathan, 2013. Peningkatan kualitas sinyal suara dengan menggunakan metode independent component analysis. Tugas Akhir, Universitas Kristen Maranatha. Anton, H & Rorres, C. 2004. Aljabar Linier Elementer Versi Aplikasi Jilid 1. Edisi Kedelapan. Erlangga, Jakarta.
[3]
Bain, J. Lee & Engelhardt, Max. 1992. Introduction To Probability And Mathematical Statistics. Second Edition. Duxbury. United States [4] Comon, P, 1994.Independent component analysis, a new concept?," Signal Processing, Vol. 36, No.3, hal 287-314 [5] Hyvärinen, A. & E.Oja. 2000. Independent Component Analysis: Algorithm and Applications. Neural Networks 13, 411-430. [6] Hyvärinen, A. & dkk. 2001. Independent Component Analysis. A WileyInterscience Publication, New York. [7] Lay, David C. 2006. Linier Algebra and Its Application: Third Edition. Pearson Education, Inc. Boston. [8] Murray, R. S .& Larry, J. S. 1998. Theory and Problems of Statistics. Third Edition. McGraw-Hill. New York [9] Rosi. F, Wirawan, Endang. W. 2013. Penerapan Teknik Blind Source Separation untuk Memisahkan Noise dari Sinyal Akustik yang Non Gaussian. Jurnal Teknik Pomits, Vol. 1, No. 1, hal 1-6 [10] Tichavsky,P & dkk. 2006. Performance Analysis of the FastICA Algorithm and Cramér Rao Bounds for Linear Independent Component Analysis. IEEE Transactions On Signal Processing, Vol. 54, No. 4, Hal 1189-1203 [11] W.Lary, 2004. All of Statistics: A Concise Course in Statistical Inference. Springer, Pennsylvania.
127 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
KARAKTERISTIK IDEAL Q-FUZZY 3-PRIME PADA NEARRING Noor Hidayat Jurusan Matematika FMIPA Universitas Brawijaya
[email protected] ,
[email protected]
Abstrak Q-fuzzy merupakan suatu pemetaan dengan domain suatu himpunan pasangan terurut dan kodomain interval tertutup antara nol dan satu. Dalam makalah ini dibahas tentang karakteristik ideal Q-fuzzy 3-prime melalui ideal level subset dari Q-fuzzy. Pembahasan dilakukan pada Nearring. Diperoleh syarat perlu dan cukup untuk ideal Q-fuzzy 3-prime. Kata Kunci: ideal Q-fuzzy, level subset, 3-prime,
1.PENDAHULUAN Himpunan bagian fuzzy (fuzzy set) merupakan salah satu konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang peneliti bernama Lotfi A Zadeh pada tahun 1965. Sejak itu perkembangan penelitian konsep fuzzy semakin banyak dilakukan oleh para peneliti lain, sehingga muncul konsep subgroup fuzzy (Rosenfeld, 1971, Moderson dkk.,2005), ideal fuzzy nearing (Basumatary dan Barthakur, 2014; Boua dan Taoufiq, 2016). Pengembangan konsep fuzzy lainnya menghasilkan terminology Q-fuzzy dan selanjutnya dikenal ideal Q-fuzzy (Solairaju dan Nagarajan, 2009; Lekkongsung, 2012). Pengembangan demi pengembangan konse fuzzy diterus dilakukan, sehingga berbagai konsep baru pun banyak bermunculan. Salah satu pengembangan yang menarik perhatian penulis adalah tentang konsep ideal fuzzy dengan threshold pada suatu nearing sebagaimana yang dikerjakan oleh Kedukodi dkk. (2009), dalam hal mendefinisikan 3 jenis ideal fuzzy: equiprime, 3-prime dan c-prime dengan threshold pada suatu nearing. Dalam makalah ini akan didefinisikan dan dibahas tentang sifat-sifat ideal Q-fuzzy 3-prime, equiprime, c-prime dengan threshold pada suatu nearing. Penelitian merupakan pengembangan dari hasil penelitian Kedukodi (2009), yakni dengan cara mengubah ideal fuzzy menjadi ideal Qfuzzy. Dibanding dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Lekkongsong (2012), terletak pada definisi ideal, dimana pada penelitian ini didefinisikan ideal dengan
threshold, sedangkan pada (2012) ideal tanpa threshold.
Lekkoksong
2. HASIL-HASIL TERDAHULU Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pengertian dan hasil-hasil yang telah diperoleh untuk ideal fuzzy dengan ideal fuzzy dengan threshold pada suatu nearing , yang slanjutnya akan dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan pada ideal Q-fuzzy. Uraikan diawali dengan pengertian nearing dan ideal dari nearing, dilanjutkan dengan pengertian ideal fuzzy (equiprime, 3-prime, c-prime). 2.1. Ideal dari Nearring Nearring 𝑁𝑁 (Piltz, 1977) adalah suatu himpunan tak-kosong dengan dua buah operasi biner, misal “ + ” dan “. ” , sedemikian sehingga syarat berikut dipenuhi: i) (𝑁𝑁, +) grup; ii) (𝑁𝑁, . ) semigrup; iii) 𝑥𝑥(𝑦𝑦 + 𝑧𝑧) = 𝑥𝑥𝑥𝑥 + 𝑥𝑥𝑥𝑥 untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 ∈ 𝑁𝑁. Suatu himpunan bagian 𝐼𝐼 dari 𝑁𝑁 disebut ideal dari 𝑁𝑁 jika syarat berikut dipenuhi: (a) (𝐼𝐼, +) adalah subgrup normal dari (𝑅𝑅, +); (b) 𝑅𝑅𝑅𝑅 ⊆ 𝐼𝐼; (c) (𝑥𝑥 + 𝛼𝛼)𝑦𝑦 − 𝑥𝑥𝑥𝑥 ∈ 𝐼𝐼 untuk sembarang 𝛼𝛼 ∈ 𝐼𝐼 dan 𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑁𝑁. Definisi 2.1 Pandang 𝑃𝑃 suatu ideal dari 𝑁𝑁: a) 𝑃𝑃 disebut ideal prime jika 𝐼𝐼𝐼𝐼 ⊆ 𝑃𝑃 mengakibatkan 𝐼𝐼 ⊆ 𝑃𝑃 atau 𝐽𝐽 ⊆ 𝑃𝑃 untuk semua ideal 𝐼𝐼 dan 𝐽𝐽 dari 𝑁𝑁. b) 𝑃𝑃 disebut ideal semiprime jika 𝐼𝐼2 ⊆ 𝑃𝑃 mengakibatkan 𝐼𝐼 ⊆ 𝑃𝑃 untuk semua ideal 𝐼𝐼 dari 𝑁𝑁. c) 𝑃𝑃 disebut ideal equiprime (Zhan & Yin (2010) jika 𝑎𝑎 ∈ 𝑁𝑁\𝑃𝑃 dan 𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑁𝑁
128 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dengan 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 ∈ 𝑃𝑃 untuk setiap 𝑟𝑟 ∈ 𝑁𝑁 mengakibatkan 𝑥𝑥 − 𝑦𝑦 ∈ 𝑃𝑃. d) 𝑃𝑃 disebut ideal 3-prime jika 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑁𝑁 dan 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 ∈ 𝑃𝑃 untuk semua 𝑛𝑛 ∈ 𝑁𝑁 mengakibatkan 𝑎𝑎 ∈ 𝑃𝑃 atau 𝑏𝑏 ∈ 𝑃𝑃. e) P disebut ideal c-prime jika 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑁𝑁 dan 𝑎𝑎𝑎𝑎 ∈ 𝑃𝑃 mengakibatkan 𝑎𝑎 ∈ 𝑃𝑃 atau 𝑏𝑏 ∈ 𝑃𝑃
Definisi 2.2 Nearring 𝑁𝑁 disebut: 1) nearring equiprime jika {0} merupakan ideal equiprime dari 𝑁𝑁. 2) nearring 3-prime jika {0} adalah ideal 3prime dari 𝑁𝑁. 3) nearring c-prime jika {0} merupakan cprime dari 𝑁𝑁.
Definisi 2.3 Suatu ideal 𝑃𝑃 dari 𝑁𝑁 dikatakan mempunyai sifat insersi faktor (Insertion of factors property, disingkat IFP) jika 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑁𝑁 dan 𝑎𝑎𝑎𝑎 ∈ 𝑃𝑃 mengakibatkan 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 ∈ 𝑃𝑃 untuk semua 𝑛𝑛 ∈ 𝑁𝑁. 𝑁𝑁 disebut integral jika 𝑁𝑁 tidak memiliki pembagi nol yang bukan nol (Piltz 1977).
2.2. Ideal dari Himpunan Bagian Fuzzy Pandang 𝑋𝑋 himpunan tak-kosong. Pemetaan 𝜇𝜇: 𝑋𝑋 → [0,1] disebut suatu himpunan bagian fuzzy (fuzzy subset) dari 𝑋𝑋 (Zadeh, 1965). Definisi 2.4 Misal 𝛼𝛼, 𝛽𝛽 ∈ [0,1], 𝛼𝛼 < 𝛽𝛽 dan 𝜇𝜇 himpunan bagian fuzzy dari suatu nearring 𝑁𝑁. 𝜇𝜇 disebut ideal fuzzy dengan ideal fuzzy dengan threshold pada suatu nearing dari 𝑁𝑁, jika untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑖𝑖 ∈ 𝑁𝑁, kondisi berikut dipenuhi: (i) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥) ∧ 𝜇𝜇(𝑦𝑦), (ii) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(−𝑥𝑥) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥), (iii) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑦𝑦 + 𝑥𝑥 − 𝑦𝑦) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥), (iv) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥𝑥𝑥) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥), (v) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥(𝑦𝑦 + 𝑖𝑖) − 𝑥𝑥𝑥𝑥) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑖𝑖), Jika aksioma (i) dan (ii) dikombinasikan, maka diperoleh aksioma berikut: 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥) ∧ 𝜇𝜇(𝑦𝑦). 𝛼𝛼 dan 𝛽𝛽 berturut-turut disebut sebagai threshold bawah dan threshold atas dari 𝑁𝑁.
Definisi 2.5 Misal 𝜇𝜇 suatu himpunan bagian fuzzy dari 𝑁𝑁 dan 𝑡𝑡 ∈ [0,1]. Definisikan dan 𝜇𝜇∗ sebagai berikut. himpunan 𝜇𝜇𝑡𝑡 dan 𝜇𝜇∗ = 𝜇𝜇𝑡𝑡 = {𝑥𝑥 ∈ 𝑁𝑁|𝜇𝜇(𝑥𝑥) ≥ 𝑡𝑡} {𝑥𝑥 ∈ 𝑁𝑁|𝜇𝜇(𝑥𝑥) ≥ 𝜇𝜇(0)}. Himpunan 𝜇𝜇𝑡𝑡
selanjutnya disebut level subset dari 𝑁𝑁 atas 𝜇𝜇.
Definisi 2.6 Suatu ideal fuzzy 𝜇𝜇 dari 𝑁𝑁 disebut a) ideal fuzzy equiprime dengan threshold jika untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎 ∈ 𝑁𝑁, 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎) ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎) 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
b) Ideal fuzzy 3-prime dengan threshold jika untuk semua 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑁𝑁, 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎) c)
𝑛𝑛∈𝑁𝑁
ideal fuzzy c-prime dengan threshold jika untuk semua 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑁𝑁, 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎)
Lema 2.7 Misal 𝜇𝜇 ideal fuzzy 3-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁 dan 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎 ∈ 𝑁𝑁. Jika (𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎) ≥ 𝛽𝛽 ∀𝑟𝑟 ∈ 𝑁𝑁, maka 𝜇𝜇(𝑥𝑥) ≥ 𝛽𝛽.
Teroema 2.8 Misal 𝜇𝜇 suatu ideal fuzzy dari 𝑁𝑁. 𝜇𝜇 merupakan ideal fuzzy 3-prime dengan threshold jika dan hanya jika untuk setiap 𝑡𝑡 ∈ (𝛼𝛼, 𝛽𝛽], level subset 𝜇𝜇𝑡𝑡 merupakan ideal 3-prime dari 𝑁𝑁.
Akibat 2.9 Misal 𝑁𝑁 suatu nearring dengan himpunan ideal 3-prime dari 𝐼𝐼0 ⊂ 𝐼𝐼1 ⊂ 𝐼𝐼2 ⊂ ⋯ ⊂ 𝐼𝐼𝑛𝑛 = 𝑁𝑁. Dapat ditunjukkan bahwa terdapat suatu ideal fuzzy 3-prime dari 𝑁𝑁 yang memiliki ideal levelnya sama dengan anggota dari rangkaian dengan 𝜇𝜇𝛽𝛽 = 𝐼𝐼0 .
Teorema 2.10 Jika 𝑁𝑁 ring, maka setiap ideal fuzzy 3-prime dengan threshold merupakan ideal fuzzy equiprime dengan threshold dari 𝑁𝑁.
Teorema 2.11 Jika 𝑁𝑁 ring komutatif, maka setiap ideal fuzzy 3-prime dengan threshold merupakan ideal fuzzy c-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁.
Teorema 2.12. Jika 𝑁𝑁 ring komutatif, maka pernyataan berikut ekivalen (i) 𝜇𝜇 ideal fuzzy equprime dengan threshold dari 𝑁𝑁 (ii) 𝜇𝜇 ideal fuzzy 3-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁 (iii) 𝜇𝜇 ideal fuzzy c-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁
129 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Definisi 2.13. Pandang 𝑅𝑅 dan 𝑄𝑄 dua buah himpunan tak-kosong. Suatu pemetaan 𝜇𝜇 ∶ 𝑅𝑅 × 𝑄𝑄 → [0,1] disebut himpunan bagian Q-fuzzy dari 𝑅𝑅.
Definisi 2.14 Misal 𝜇𝜇 suatu himpunan bagian Q-fuzzy dari nearing 𝑁𝑁. Jika syarat berikut dipenuhi, maka 𝜇𝜇 disebut sebagai subnearring Q-fuzzy dari 𝑁𝑁: a) 𝜇𝜇(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦, 𝑞𝑞) ≥ min{𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞), 𝜇𝜇(𝑦𝑦, 𝑞𝑞)}. b) 𝜇𝜇(𝑥𝑥𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ min{𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞), 𝜇𝜇(𝑦𝑦, 𝑞𝑞)}. Definisi 2.15 Misal 𝜇𝜇 suatu subnearring Qfuzzy dari nearing 𝑁𝑁. Jika syarat berikut dipenuhi, maka 𝜇𝜇 disebut sebagai ideal Qfuzzy: a) 𝜇𝜇(𝑦𝑦 + 𝑥𝑥 − 𝑦𝑦, 𝑞𝑞) ≥ 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) b) 𝜇𝜇(𝑥𝑥𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝜇𝜇(𝑦𝑦, 𝑞𝑞) c) 𝜇𝜇�(𝑥𝑥 + 𝑧𝑧)𝑦𝑦 − 𝑥𝑥𝑥𝑥, 𝑞𝑞� ≥ 𝜇𝜇(𝑧𝑧, 𝑞𝑞)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan diuraikan tentang sifatsifat dari ideal Q-fuzzy 3-prime dengan ideal fuzzy dengan threshold pada suatu nearing dari suatu nearing yang merupakan pengembangan dari ideal fuzzy 3-prime. Sifat tersebut berkaitan dengan level subset Q-fuzzy, ideal equiprime, ideal c-prime. Terlebih dahulu didefinisikan tentang ideal Q-fuzzy dengan threshold dari 𝑁𝑁 sebagaimana Definisi 3.1. Definisi 3.1 Misal 𝛼𝛼, 𝛽𝛽 ∈ [0,1], 𝛼𝛼 < 𝛽𝛽 dan 𝜇𝜇 himpunan bagian Q-fuzzy dari suatu nearring 𝑁𝑁. 𝜇𝜇 disebut ideal Q-fuzzy dengan threshold dari 𝑁𝑁, jika untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑖𝑖 ∈ 𝑁𝑁, 𝑞𝑞 ∈ 𝑄𝑄, syarat berikut dipenuhi: dipenuhi: (i) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥 + 𝑦𝑦, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ∧ 𝜇𝜇(𝑦𝑦, 𝑞𝑞), (ii) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(−𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞), (iii) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑦𝑦 + 𝑥𝑥 − 𝑦𝑦, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞), (iv) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞), (v) 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥(𝑦𝑦 + 𝑖𝑖) − 𝑥𝑥𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑖𝑖, 𝑞𝑞),
Jika aksioma (i) dan (ii) dikombinasikan, maka diperoleh aksioma berikut: 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ∧ 𝜇𝜇(𝑦𝑦, 𝑞𝑞). 𝛼𝛼 dan 𝛽𝛽 berturut-turut disebut sebagai threshold bawah dan threshold atas dari 𝑁𝑁.
Definisi 3.2 Pandang dua buah himpunan yaitu 𝜇𝜇 𝑡𝑡 untuk 𝑡𝑡 ∈ [0,1] dan 𝜇𝜇∗ yang didefinisikan sebagai berikut:
a) 𝜇𝜇𝑡𝑡 = {𝑥𝑥 ∈ 𝑁𝑁|𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝑡𝑡, 𝑞𝑞 ∈ 𝑄𝑄}. b) 𝜇𝜇 ∗ = {𝑥𝑥 ∈ 𝑁𝑁|𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝜇𝜇(0, 𝑞𝑞), 𝑞𝑞 ∈ 𝑄𝑄} . Himpunan 𝜇𝜇 𝑡𝑡 disebut level subset Q-fuzzy. Definisi 3.3 Suatu ideal Q-fuzzy 𝜇𝜇 dari 𝑁𝑁 disebut a) ideal equiprime dengan threshold jika untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎 ∈ 𝑁𝑁, 𝑞𝑞 ∈ 𝑄𝑄 berlaku 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
− 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) b) ideal 3-prime dengan threshold jika untuk semua 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑁𝑁, 𝑞𝑞 ∈ 𝑄𝑄, berlaku 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞)
c)
𝑛𝑛∈𝑁𝑁
ideal c-prime dengan threshold jika untuk semua 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑁𝑁, 𝑞𝑞 ∈ 𝑄𝑄, 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞)
Lema 3.4 Misal 𝜇𝜇 ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁 dan 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎 ∈ 𝑁𝑁, 𝑞𝑞 ∈ 𝑄𝑄. Jika (𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∀𝑟𝑟 ∈ 𝑁𝑁, maka 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽. Bukti. Perhatikan definisi ideal Q-fuzzy 3 prime dengan threshold, yaitu 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
atau max{𝛼𝛼, 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞), 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞)} ≥ min �𝛽𝛽, inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) � 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
Karena 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 maka min{𝛽𝛽, inf𝑟𝑟∈𝑁𝑁 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) } = 𝛽𝛽. Oleh karena itu max{𝛼𝛼, 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞), 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞)} ≥ 𝛽𝛽. Berdasarkan persamaan terakhir, diperoleh bahwa 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽. Teroema 3.5 Misal 𝜇𝜇 suatu ideal Q-fuzzy dengan threshold dari 𝑁𝑁. 𝜇𝜇 merupakan ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold jika dan hanya jika untuk setiap 𝑡𝑡 ∈ (𝛼𝛼, 𝛽𝛽], level subset 𝜇𝜇 𝑡𝑡 merupakan ideal 3-prime dari 𝑁𝑁.
Bukti. (⟹) Diketahui 𝜇𝜇 merupakan ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold. Akan ditunjukkan bahwa 𝜇𝜇 𝑡𝑡 ideal 3-prime dari 𝑁𝑁. Ambil 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑁𝑁 sedemikian sehingga 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 ∈ 𝜇𝜇 𝑡𝑡 untuk semua 𝑛𝑛 ∈ 𝑁𝑁. Akan ditunjukkan bahwa untuk sembarang
130 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝑡𝑡 ∈ (𝛼𝛼, 𝛽𝛽] berlaku 𝑎𝑎 ∈ 𝜇𝜇𝑡𝑡 atau 𝑏𝑏 ∈ 𝜇𝜇 𝑡𝑡 , dalam hal ini 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ≥ 𝑡𝑡 atau 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝑡𝑡. Sekarang perhatikan bahwa dengan 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 ∈ maka 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ≥ 𝑡𝑡, ∀𝑛𝑛 ∈ 𝑁𝑁. 𝜇𝜇 𝑡𝑡 Beradasarkan Definisi 3.3 dan Lema 3.4 didapat bahwa 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝑡𝑡 atau 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ≥ 𝑡𝑡 sehingga 𝑏𝑏 ∈ 𝜇𝜇 𝑡𝑡 atau 𝑎𝑎 ∈ 𝜇𝜇 𝑡𝑡 . (⟸) Diketahui bahwa 𝜇𝜇𝑡𝑡 ideal 3prime dari 𝑁𝑁. Akan dibuktikan 𝜇𝜇 merupakan ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold, dalam hal ini 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
Andaikan terdapat t sedemikian sehingga 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) < 𝑡𝑡 < 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
Hal ini berarti bahwa 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) < 𝑡𝑡 atau 𝜇𝜇(𝑥𝑥, 𝑞𝑞) < 𝑡𝑡 dan inf𝑟𝑟∈𝑁𝑁 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) > 𝑡𝑡. Hal ini menunjukkan bahwa 𝑎𝑎 ∉ 𝜇𝜇 𝑡𝑡 , 𝑏𝑏 ∉ 𝜇𝜇 𝑡𝑡 , 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 ∈ 𝜇𝜇𝑡𝑡 . Hal ini kontradiksi dengan diketahuinya bahwa arena 𝜇𝜇 𝑡𝑡 ideal 3-prime ∀𝑡𝑡 ∈ (𝛼𝛼, 𝛽𝛽]. Akibat 3.6 Jika 𝑁𝑁 suatu nearring dan 𝐼𝐼0 , 𝐼𝐼1 , 𝐼𝐼2 , … , 𝐼𝐼𝑛𝑛 = 𝑁𝑁 adalah ideal-ideal 3prime dari 𝑁𝑁 sedemikian sehingga 𝐼𝐼0 ⊂ 𝐼𝐼1 ⊂ 𝐼𝐼2 ⊂ ⋯ ⊂ 𝐼𝐼𝑛𝑛 = 𝑁𝑁, maka terdapat suatu ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁 yang memiliki ideal levelnya sama dengan anggota dari rangkaian dengan 𝜇𝜇𝛽𝛽 = 𝐼𝐼0 .
Teorema 3.7 Jika 𝑁𝑁 ring, maka setiap ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold merupakan ideal Q-fuzzy equiprime dengan threshold dari 𝑁𝑁.
Bukti. Diketahui 𝑁𝑁 ring dan 𝑃𝑃 sembarang ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold. Akan dibuktikan bahwa 𝑃𝑃 ideal Q-fuzzy equiprime dengan threshold. Perhatikan definisi ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold sebagai berikut: 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) 𝑛𝑛∈𝑁𝑁
Pilih 𝑏𝑏 = 𝑥𝑥 − 𝑦𝑦, sehingga 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 = 𝑎𝑎𝑎𝑎(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦) untuk setiap 𝑛𝑛 ∈ 𝑁𝑁. Karena 𝑁𝑁 ring maka 𝑎𝑎𝑎𝑎(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦) = 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, sehingga 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) = 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) 𝑛𝑛∈𝑁𝑁
= 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
Hal ini menunjukkan bahwa 𝑃𝑃 adalah ideal Q-fuzzy equiprime dengan threshold. Teorema 3.8 Setiap ideal Q-fuzzy c-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁 adalah ideal Qfuzzy 3-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁.
Bukti. Diketahui 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎). Akan ditunjukkan bahwa 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞). 𝑛𝑛∈𝑁𝑁
Atau cukup ditunjukkan bahwa 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎) ≥ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞). 𝑛𝑛∈𝑁𝑁
Teorema 3.9 Jika 𝑁𝑁 ring komutatif, maka setiap ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold merupakan ideal Q-fuzzy c-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁. Bukti. Diketahui 𝑁𝑁 ring komutatif dan 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞). 𝑛𝑛∈𝑁𝑁
Akan ditunjukkan bahwa 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎).
Teorema 3.16. Jika 𝑁𝑁 ring komutatif, maka pernyataan berikut ekivalen (i) 𝜇𝜇 ideal Q-fuzzy equprime dengan threshold dari 𝑁𝑁 (ii) 𝜇𝜇 ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁 (iii) 𝜇𝜇 ideal Q-fuzzy c-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁
Bukti: (𝒊𝒊) ⟹ (𝒊𝒊𝒊𝒊) Diketahui 𝑵𝑵 ring komutatif dan 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
Akan ditunjukkan bahwa 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞). 𝑛𝑛∈𝑁𝑁
Pandang inf𝑟𝑟∈𝑁𝑁 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) Karena N ring komutatif, maka diperoleh inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) = inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎(𝑥𝑥 − 𝑦𝑦), 𝑞𝑞) 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
𝑟𝑟∈𝑁𝑁
Misal 𝑏𝑏 = 𝑥𝑥 − 𝑦𝑦, sehingga diperoleh inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 − 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) = inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
𝑟𝑟∈𝑁𝑁
Jadi 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞). 𝑟𝑟∈𝑁𝑁
sehingga 𝜇𝜇 adalah ideal Q-fuzzy 3-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁
131 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
(𝒊𝒊𝒊𝒊) ⟹ (𝒊𝒊𝒊𝒊𝒊𝒊). Diketahui 𝑁𝑁 ring komutatif dan 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞). 𝑛𝑛∈𝑁𝑁
Akan ditunjukkan bahwa 𝜶𝜶 ∨ 𝝁𝝁(𝒂𝒂, 𝒒𝒒) ∨ 𝝁𝝁(𝒃𝒃, 𝒒𝒒) ≥ 𝜷𝜷 ∧ 𝝁𝝁(𝒂𝒂𝒂𝒂). Misal inf𝑛𝑛∈𝑁𝑁 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) = 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) untuk suatu 𝑟𝑟 ∈ 𝑁𝑁. Karena N ring komutatif, maka inf𝑛𝑛∈𝑁𝑁 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) = 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) = 𝜇𝜇(𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟, 𝑞𝑞) ≥ 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞). Jadi diperoleh 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞) 𝑛𝑛∈𝑁𝑁
≥ 𝛽𝛽 ∧ 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎), Sehingga 𝜇𝜇 adalah ideal Q-fuzzy c-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁
(𝒊𝒊𝒊𝒊𝒊𝒊) ⟹ (𝒊𝒊) Diketahui 𝑁𝑁 ring komutatif dan 𝛼𝛼 ∨ 𝜇𝜇(𝑎𝑎, 𝑞𝑞) ∨ 𝜇𝜇(𝑏𝑏, 𝑞𝑞) ≥ 𝛽𝛽 ∧ inf 𝜇𝜇(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝑞𝑞). 𝑛𝑛∈𝑁𝑁
Akan ditunjukkan bahwa 𝜶𝜶 ∨ 𝝁𝝁(𝒂𝒂, 𝒒𝒒) ∨ 𝝁𝝁(𝒙𝒙 − 𝒚𝒚, 𝒒𝒒) ≥ 𝜷𝜷 ∧ 𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢 𝝁𝝁(𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂 − 𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂, 𝒒𝒒). 𝒓𝒓∈𝑵𝑵
Misal 𝒃𝒃 = 𝒙𝒙 − 𝒚𝒚 dan substitusikan 𝒃𝒃 ke dalam persamaan pertama, sehingga diperoleh 𝜶𝜶 ∨ 𝝁𝝁(𝒂𝒂, 𝒒𝒒) ∨ 𝝁𝝁(𝒙𝒙 − 𝒚𝒚, 𝒒𝒒) ≥ 𝜷𝜷 ∧ 𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢 𝝁𝝁(𝒂𝒂𝒂𝒂(𝒙𝒙 − 𝒚𝒚), 𝒒𝒒) 𝒏𝒏∈𝑵𝑵
= 𝜷𝜷 ∧ 𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢𝐢 𝝁𝝁(𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂 − 𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂, 𝒒𝒒) 𝒏𝒏∈𝑵𝑵
DAFTAR PUSTAKA Basumatary, B., Barthakur, G.K. (2014). On Q-Fuzzy Ideal and Q-Fuzzy Quotient Near-Rings, Research Journal of Mathematical and Statistical Sciences, Vol. 2(7), 4 – 6. Boua, A., Taoufiq, L. (2016). On Skew Derivations in 3-Prime Near-Rings, Gulf Journal of Mathematics, Vol. 4, Issue 4, 28 – 32. Kedukodi, B.S., Kuncham, S.P., Bhavanari, S. (2009). Equiprime, 3-prime and cprime fuzzy ideals of nearring, Soft Comput, 13 : 933 – 944. Lekkongsung, S. (2012). 3-Prime Q-Fuzzy Ideals of Ordeed Semigroups, International Mathematical Forum, Vol. 7, No. 12, 591 – 595. Pilz, G. (1977). Near-Rings The Theory and Its Applications, North-Holland Publishing Company, Amsterdam. Rosenfeld, A. (1971). Fuzzy Groups, Journal of Mathematical Analysis and Applications, 35, 512 – 517 Solairaju, A., Nagarajan, R. (2009). A New Structure and Construction of QFuzzy Groups, Advance in Fuzzy Mathematics, ISSN 0973 – 533X, Volume 4, Number 1, pp. 23 – 29. Zadeh, L.A. (1965). Fuzzy Sets, Information and Control, 8, 338 – 353.
Jadi terbukti bahwa 𝜇𝜇 ideal Q-fuzzy c-prime dengan threshold dari 𝑁𝑁.
Berdasarkan pembuktian tersebut, terbukti bahwa pernyataan tiga pernyataan tersebut ekivalen.
132 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING TERHADAP PENINGKATAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA Ibnu Rizki Wardhana1), Moch. Lutfianto2) 1)
S-1 Pendidikan Matematika, STKIP Al Hikmah Surabaya Email :
[email protected] 2) S-1 Pendidikan Matematika, STKIP Al Hikmah Surabaya Email :
[email protected]
Abstrak Percaya diri (self confidence) merupakan sikap yang harus dimiliki oleh seorang peserta didik. Namun pada saat ini sikap percaya diri itu sudah mulai berkurang, hal ini disebabkan karena peserta didik malu untuk mengungkapkan buah pemikirannya kepada temannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan seorang pendidik untuk memperbaiki pola berfikir seperti ini adalah dengan mengadakan suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa. Salah satu model pembelajaran yang menurut peneliti cocok digunakan adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explaining. Oleh karena itu peneliti mengadakan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explaining (SFaE) terhadap peningkatan self-confidence siswa. Model pembelejaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explaining (SFaE) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif dimana siswa dituntut untuk mampu membuat peta konsep maupun bagan untuk meningkatkan kreatifitas dan kepercayaan diri. Desain penelitian ini menggunakan metode One-Shot Case Study. Sampel dalam penelitian ini adalah 40 siswa kelas X program IPA di salah satu sekolah swasta di Sidoarjo. Alat tes yang digunakan adalah angket penilaian kepercayaan diri. Data dianalisis menggunakan uji r korelasi, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran SFaE memberikan pengaruh pada self-confidence siswa. Kata kunci : Model Kooperatif, Metode Student Facilitator and Explaining, Kepercayaan diri siswa
1.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika dibidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini (BSNP dalam Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari, 2012: 159). Mengingat begitu pentingnya pembelajaran matematika, maka perlu diupayakan peningkatan kualitas upaya pembelajaran matematika. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika diawali dari bagaimana cara seorang guru mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran
matematika. Percaya diri merupakan salah satu nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam pembentukan pendidikan karakter. Percaya diri siswa sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang secara tidak langsung akan berdampak pada kualitas siswa tersebut. Dengan adanya proses percaya diri yang baik siswa akan dapat mengerjakan segala tugas dan tanggung jawab dalam belajarnya dengan baik. Menurut Nur Ghufron dan Rini Risnawati (2011: 35) percaya diri merupakan keyakinan untuk melakukan sesuatu oada diri subjek sebagai karakteristik pribadi yang didalamnya terdapat kemampuan diri, optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional, dan realistik. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dapat diperoleh keragaman masalah yang terdapat di salah satu SMA swasta di Sidoarjo diantaranya yaitu rasa oercaya diri yang masih rendah.
133 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Rendahnya rasa kepercayaan diri seorang siswa antara, 1) masih rendahnya siswa yang berani bertanya ketika ada hal-hal yang belum mereka pahami, 2) rendahnya kemampuan siswa dalam mengemukakan pendapatnya, 3) rendahnya siswa yang berani mengerjakan soal dan mempresentasikannya di depan kelas. Rendahnya rasa percaya diri siswa tersebut dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya adalah banyak siswa yang tidak/ kurang suka dengan pelajaran matematika, mereka menganggap bahwasannya pembelajaran matematika itu sulit dipahami dan sangat membosankan. Lain dari hal itu siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajarannya karena masih banyak guru yang menggunakan strategi yang kurang cocok diterapkan pada era sekarang. Berdasarkan penyebab diatas, maka diperlukan alternatif tindakan yang dapat digunakan untuk mengatasi segala masalah diatas, yaitu dengan menerapkan suatu model pembelajaran yang tepat untuk diterapkan pada siswa. Penerapan model pembelajaran yang akan diterapkan ini akan membuat siswa turut aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung, sehingga suasana pembelajaran akan menjadi lebih menyenangkan dan dapat menarik perhatian siswa. Salah satu model pembelajaran dan pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan rasa kepercayaan diri siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explaination (SFaE). Model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explaination (SFaE) merupakan pembelajaran dimana seorang siswa dituntun untuk mempresentasikan ide atau gagasan pada rekan yang lain. Hal ini model pembelajaran tipe ini menekankan siswa untuk memperbanyak pengalaman dan meningkatkan motivasi belajar yang mempengaruhi sikap tumbuhnya keaktifan siswa, hal ini dikemukakan oleh Adam dan Mbirimujo(1990:21) dalam Prasetyo. Tugas seorang guru bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan yang ia miliki kepada siswanya, namun tugas guru sebenarnya adalah bagaimana menyiapkan seorang peserta didik yang memiliki rasa perrcaya diri yang kuat, sehingga ketika ia sudah menjadi seseorang di masa depannya nanti ia siap menghadapi permasalahannya
dengan baik. Oleh karena itu guru harus menyiapkan situasi pembelajaran yang baik untuk memotivasi siswa agar tetap fokus dalam pembelajaran, berani mengungkapkan pendapat, bertanya jika ada hal yang kurang dimengerti. Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti bermaksud untuk melakukan suatu penelitian dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explaination (SFaE), dan diharapakn proses ini dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa.
2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Student Facilitator and Explaining Student facilitator and explaining mempunyai arti metode yang menjadikan siswa dapat membuat peta konsep maupun bagan untuk meningkatkan kreativitas dan hasil belajar siswa. Adapun langkah-langkah untuk menerapkan metode ini adalah 1) Guru menyampaikan materi yang ingin dicapai 2) Guru mendemonstrasikan/ menyajikan materi, 3) Guru menetapkan beberapa siswa sebagai tutor sebaya, 4) Guru memberikan kesempatan siswa yang ditunjuk untuk menjelaskan kepada siswa yang lainnya, 5) Guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa, 6) Verivikasi dan refleksi. Kelebihan dari metode ini adalah 1) siswa diajak untuk dapat menerangkan kepada siswa lain, 2) bisa mengeluarkan berbagai ide yang ada dibenaknya sehingga pembelajaran saat itu bisa mengena, 3) mendorong tumbuhnya keberanian mengutarakan pendapat siswa. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah 1) Adanya pendapat yang sama sehingga hanya sebagian saja yang tampil, 2) banyak siswa yang kurang aktif, 3) siswa yang malas memiliki kesempatan tetap pasif. 2. Percaya diri Lauster (1978), menyatakan bahwa Percaya diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya, dapat merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang disukainya dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan untuk berprestasi serta
134 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dapat mengenal kekurangannya.
kelebihan
dan
Percaya diri adalah sikap positif seorang individu yang merasa memiliki kompetensi atau kemampuan untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap dirinya maupun lingkungan. Percaya diri adalah percaya akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta dapat memanfaatkan secara tepat. Coopersmith (1996) menjelaskan bahwa ketika individu lebih aktif, mempunyai perilaku yang bertujuan, bersemangat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kelompok cenderung memiliki Percaya diri yang tinggi. Sedangkan menurut Hakim (2002) menjelaskan Percaya diri yaitu sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk dapat mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya. Menurut Al-Uqshari (2005) Percaya diri adalah keyakinan seorang individu akan kemampuan yang dimiliki sehingga merasa puas dengan keadaan dirinya.
3.
METODE PENGUMPULAN DATA
Metode penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode pre-eksperimen desain. Desain eksperimen dalam penelitian ini menggunakan desain One Shot Case Study. Rancangan tentang desain ini adalah : X
O
Keterangan : X : Perlakuan dengan menggunakan pembelajaran SFaE O : Nilai observasi/ angket
3.1 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan di SMA swasta di Sidoarjo pada kelas X MIPA selama 3 pertemuan atau selama 3 pekan. Sampel dalam penelitian ini adalah 20 jawaban siswa dalam pengisian angket. Sedangkan subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X MIPA. Teknik pengumpulan data yaitu dengan memberikan siswa angket percaya diri.
Sebelum guru menerapkan model pembelajaran SFaE, guru mengecek kepercayaan diri siswa yaitu dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang itu harus dijawab oleh siswa. Ternyata tidak ada respon siswa yang memperhatikan. Setelah itu guru menerapkan model pembelajaran SFaE selama 2 pertemuan kemudian di pertemuan ketiga guru memberikan angket kepercayaan diri siswa. Angket ini memiliki 44 pertanyaan mengenai kepercayaan diri siswa. Dalam hal ini peneliti hanya mengambil sampel 20 pertanyaan dari 20 siswa. Karena peneliti beranggapan bahwa 20 siswa sudah mewakili semua soal yang berada di dalam angket. Peneliti menekankan kepada siswa untuk mengerjakan angket secara jujur tidak asalasalan menjawab. Hal ini agar data yang didapat akurat serta menghindari kebiasan data.
3.2 Metode Analaisis Data Teknik pengujian data dilakukan dengan menggunakan teknik uji realibilitas metode split half reability. Dengan mempertimbangkan pemberian 44 soal angket yang telah diberikan dengan acuan taraf signifikansi (∝) dan 𝑟𝑟ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 > 𝑟𝑟𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 , maka hal ini dinyatakan reliabel. Dalam pengujian realibitas peneliti menggunakan rumus sebagai berikut 𝑛𝑛 ∑ 𝑋𝑋𝑋𝑋 − (∑ 𝑋𝑋)(∑ 𝑌𝑌) 𝑟𝑟 = �[𝑛𝑛 ∑ 𝑋𝑋 2 − (𝑋𝑋)2 )(𝑛𝑛 ∑ 𝑌𝑌 2 − (𝑌𝑌)2 ] Keterangan :
R = realibilitas Y = jumlah hasil data soal genap X = jumlah hasil data soal ganjil n = jumlah data
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap percaya diri siswa dalam pembelajaran. Keberhasilan penelitian ini berawal dari proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran yang telah direncanangkan dan cara penerapan guru menerapkan model tipe ini. Berdasarkan hasil penelitian, siswa dapat berperan secara aktif pada setiap aktivitas pembelajaran, sesuai dengan perencanaan guru. Sesuai dengan angket hasil pengamatan :
135 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tabel 1. Angket hasil pengamatan
𝑟𝑟 =
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jmlh
x 28 30 31 29 27 29 28 28 29 28 29 26 28 29 27 28 27 28 27 29 565
𝑛𝑛 ∑ 𝑋𝑋𝑋𝑋 − (∑ 𝑋𝑋)(∑ 𝑌𝑌)
y 25 29 30 27 24 31 23 28 29 27 28 27 28 28 28 29 26 27 29 28 551
�[𝑛𝑛 ∑ 𝑋𝑋 2 − (𝑋𝑋)2 )(𝑛𝑛 ∑ 𝑌𝑌 2 − (𝑌𝑌)2 ] 𝑟𝑟 =
311720 − 311315
√515 × 1419 405 𝑟𝑟 = √730785 405 𝑟𝑟 = 854,85 𝑟𝑟 ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = 0,473
Berdasarkan analisi uji-r pada kelas X MIPA dengan menggunakan metode SFaE diperoleh nilai 𝒓𝒓 𝒉𝒉𝒉𝒉𝒉𝒉𝒉𝒉𝒉𝒉𝒉𝒉 > 𝒓𝒓 𝒕𝒕𝒕𝒕𝒕𝒕𝒕𝒕𝒕𝒕 (𝟎𝟎, 𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒 > 𝟎𝟎, 𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒) dengan taraf signifikansi 0,05 , sehingga didapat r hitung dapat diterima/ dinyatakan reliabel.
x^2 784 900 961 841 729 841 784 784 841 784 841 676 784 841 729 784 729 784 729 841 15987
y^2 625 841 900 729 576 961 529 784 841 729 784 729 784 784 784 841 676 729 841 784 15251
xy 700 870 930 783 648 899 644 784 841 756 812 702 784 812 756 812 702 756 783 812 15586
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa model pembelajaran SFaE berpengaruh terhadap peningkatan percaya diri siswa. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data statistik dengan menggunakan uji-r didimpulkan bahwa 𝑟𝑟 ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 > 𝑟𝑟 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasannya ada pengaruh antara model pembelajaran tipe SFaE terhadap peningkatan percaya diri siswa. Dari hasil yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran sebagai berikut : 1.
Semakin baik penerapan model pembelejaran yang efektif, yang membuat anak senang, maka peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mengembangkan segala bentuk model pembelajaran yang efektif, sehingga anak akan mudah dalam memahami pembelajaran yang akan ia pelajari.
136 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2.
3.
Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti bisa dilanjutkan ke penelitian yang lebih mendalam mengenai model pembelajaran tipe ini. Model ini mungkin bisa diterapkan dalam proses pembelajaran yang sedang bapak/ibu lakukan.
Masih banyak kekurangan dalam model pembelajaran ini. Bagi peneliti selanjutnya disarankan dapat mengembangkan penelitian yang sama dengan kegiatan yang beragam lagi.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirobbil’alamin, ucap syukur dengan segala rasa syukur kehadirat Allah SWT sehingga artikel kali ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga saya berikan kepada kedua orang tuaku yang selalu mendo’akan saya dimanapun dan kapanpun itu. Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada seluruh dosen prodi pendidikan matematika STKIP Al Hikmah yang dengan sabarnya membimbing kami sampai hari ini. Ucapan terima kasih juga saya berikan kepada mudir dan pengasuh ma’had ‘aly STKIP Al Hikmah yang senantiasa sabar menghadapi kami. Tak lupa rekan-rekan pentagon 15 dan seluruh civitas akademika di STKIP Al Hikmah. Kalau bukan berkat semuanya saya tidak akan bisa seperti ini.
kemampuan berpikir kritis matematik siswa SMK di Kota Tasikmalaya. Jurnal Pendidikan dan Keguruan Universitas Terbuka Hapsari, Mahrita Julia. (2011). Upaya meningkatkan self-confidence siswa dalam pembelajaran matematika melalui model inkuiri terbimbing. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY. Suherman, Eman dan Winataputra. (2001). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud (http://www.zakymedia.com/2013/06 /proposal-skripsi-pengaruhpenerapan.html) diakses 9 April 2017 pkl. 22.00 https://wyw1d.wordpress.com/2009/11/10/m odel-pembelajaran-19-studentfacilitator-and-explaining/ (diakses tgl 12 April 2017 pkl 08.30) Hanken, Sheenah. (2012). Strategi untuk meningkatkan rasa percaya diri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
DAFTAR PUSTAKA Martiyanti, Adhetia. (2013). Membangun self-confidence siswa dalam pembelajaran matematika dengan pendekan problem solving. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY. Zain, A.R. (2012). Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe student facilitator and explaination (SFaE) terhadap hasil belajar siswa pada standart kompetensi menafsirkan gambar teknik listrik SMKN 2 Pamekasan. Jurnal Pendidikan Teknik Elektro UNESA. Muslim, Siska Ryane. (2014). Pengaruh penggunaan metode student facilitaor and explaining dalam pembelajaran kooperatif terhadap kemampuan pemechan masalah matematik dan
137 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
EKSISTENSI DAN KETUNGGALAN TITIK TETAP UNTUK PEMETAAN PADA RUANG METRIK-G TERURUT PARSIAL KOMPLET Nurul Huda Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru 70714, Kalsel Email:
[email protected]
Abstrak Titik 𝑥𝑥 disebut titik tetap dari pemetaan 𝑓𝑓 jika dan hanya jika 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 𝑥𝑥, sebagai contoh jika pemetaan 𝑓𝑓 didefinisikan dengan 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 𝑥𝑥 2 − 3𝑥𝑥 + 4, maka 2 adalah titik tetap dari 𝑓𝑓 karena 𝑓𝑓(2) = 2. Paper ini akan membahas tentang eksistensi titik tetap meliputi syarat cukup agar pemetaan 𝑓𝑓 memiliki titik tetap dan membuktikan ketunggalan titik tetap untuk pemetaan tak turun pada ruang Metrik-𝐺𝐺 terurut parsial. Ruang Metrik-𝐺𝐺 adalah pasangan (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) dengan 𝑋𝑋 adalah himpunan tak kosong dan 𝐺𝐺 adalah metrik (jarak) pada 𝑋𝑋 (didefinisikan pada 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋) dengan 𝐺𝐺: 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 → 𝑅𝑅+ sedemikian hingga untuk setiap 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑎𝑎 ∈ 𝑋𝑋, memenuhi syarat berikut: (G1) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 jika 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧, (G2) 0 < 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) dengan 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦, (G3) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) dengan 𝑧𝑧 ≠ 𝑦𝑦,(G4) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑦𝑦) = 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) = 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥), (G5) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧. Ruang Metrik−𝐺𝐺 (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah Ruang Metrik-𝐺𝐺 komplet jika setiap barisan 𝐺𝐺-Cauchy di (𝑋𝑋, 𝐺𝐺)adalah 𝐺𝐺-konvergen di (𝑋𝑋, 𝐺𝐺). Misal (X,≤) adalah himpunan terurut parsial, suatu pemetaan T:X→ 𝑋𝑋 pemetaan dari X ke dirinya sendiri disebut pemetaan tidak turun jika untuk x,y ∈ 𝑋𝑋, maka x≤ 𝑦𝑦 berakibat T(x)≤ 𝑇𝑇(𝑦𝑦). Tidak semua pemetaan memiliki titik tetap. Dari hasil penelitian dengan mendefinisikan jarak-Ω diperoleh sifat-sifat dari Ruang Metrik-𝐺𝐺 lengkap dan syarat cukup agar diperoleh ketunggalan titik tetap untuk pemetaan tak turun pada Ruang Metrik-𝐺𝐺 terurut parsial komplet yaitu terdapat r∈ [0,1) sedemikian hingga Ω(Tx,𝑇𝑇 2 𝑥𝑥, 𝑇𝑇𝑇𝑇) ≤ 𝑟𝑟Ω(𝑥𝑥, 𝑇𝑇𝑇𝑇, 𝑤𝑤) untuk setiap x≤ 𝑇𝑇𝑇𝑇 dan w∈ 𝑋𝑋, juga untuk setiap x∈X dan inf{Ω(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) + Ω(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑇𝑇𝑇𝑇) + Ω(𝑥𝑥, 𝑇𝑇 2 𝑥𝑥, 𝑦𝑦): 𝑥𝑥 ≤ 𝑇𝑇𝑇𝑇} > 0 untuk setiap y∈ 𝑋𝑋 dengan y≠ 𝑇𝑇𝑇𝑇. Jika terdapat suatu x 0∈ 𝑋𝑋 dengan x 0≤ 𝑇𝑇𝑥𝑥0 , maka T mempunyai titik tetap. Lebih lanjut Jika 𝑣𝑣 = 𝑇𝑇𝑇𝑇 , maka Ω(𝑣𝑣, 𝑣𝑣, 𝑣𝑣) = 0. Kata Kunci: Ketunggalan, Titik tetap, Tak turun, Ruang Metrik-G, Komplet, Jarak-Ω
1. PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan teknologi dalam era globalisasi saat ini, konsep-konsep matematika juga mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan munculnya berbagai masalah dan fenomena baik dunia nyata maupun abstrak yang semakin komplek, sehingga dibutuhkan pengembangan konsepkonsep matematis untuk menangani masalahmasalah tersebut. Sebagai contoh adalah teorema titik tetap. Titik 𝑥𝑥 ∈ 𝑋𝑋 disebut titik tetap dari pemetaan 𝑓𝑓 jika dan hanya jika 𝑓𝑓: 𝑋𝑋 → 𝑋𝑋 dengan 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 𝑥𝑥. Sebagai contoh jika pemetaan 𝑓𝑓: 𝑅𝑅 → 𝑅𝑅 didefinisikan dengan 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 𝑥𝑥 2 − 3𝑥𝑥 + 4, maka 2 ∈ 𝑅𝑅 adalah sebuah titik tetap dari 𝑓𝑓 karena 𝑓𝑓(2) = 2. Tidak semua pemetaan memiliki titik tetap, sebagai contoh jika 𝑓𝑓: 𝑅𝑅 → 𝑅𝑅 dengan 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 𝑥𝑥 + 1, maka 𝑓𝑓 tidak memiliki titik tetap. Penggunaan teorema titik tetap
diantaranya untuk menentukan solusi dari sistem persamaan linear aljabar dan untuk menentukan solusi khusus persamaan differensial. Sejarah teorema titik tetap berawal dari masa kira-kira tahun 1500 SM di Mesopotamia. Pada awalnya diperkenalkan Metrik 𝑑𝑑 pada sebuah himpunan tidak kosong 𝑋𝑋, dan pasangan (𝑋𝑋, 𝑑𝑑) disebut Ruang Metrik (Metric Space). Pada tahun enampuluhan Gahler memperkenalkan Metrik baru 𝑑𝑑 ∗ pada sebuah himpunan tidak kosong 𝑋𝑋 yang disebut Metrik-2 ( 2-Metric) dan pasangan (𝑋𝑋, 𝑑𝑑 ∗ ) disebut Ruang Metrik-2 (2-Metric Space) . Pada tahun 1992 Led Baphure Dhage pada disertasinya memperkenalkan Metrik baru 𝐷𝐷 pada himpunan tidak kosong 𝑋𝑋 yang disebut Metrik-𝐷𝐷 (𝐷𝐷 − Metric) dan pasangan (𝑋𝑋, 𝐷𝐷) disebut Ruang Metrik-𝐷𝐷(𝐷𝐷-Metric Space).
138 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Pada tahun 2006 Zead Mustafa dan Brailey Sims memperkenalkan Metrik yang lebih baru lagi pada himpunan tidak kosong 𝑋𝑋 yang disebut Metrik-𝐺𝐺 (𝐺𝐺 − Metric ) dan pasangan (𝑋𝑋, 𝐺𝐺)disebut Ruang Metrik-𝐺𝐺(𝐺𝐺- Metric Space). Masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah bagaimana sifat-sifat dari Ruang Metrik-𝐺𝐺 komplet dan bagaimana apabila diberikan suatu pemetaan tak turun 𝑇𝑇 pada Ruang Metrik-𝐺𝐺 terurut parsial komplet, dengan mendefinisikan jarak- Ω syarat cukup apa yang harus dipenuhi agar pemetaan itu memiliki titik tetap tunggal pada Ruang Metrik-𝐺𝐺 terurut parsial komplet. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas/ mengkaji sifat-sifat dari dari Ruang Metrik-𝐺𝐺 komplet dan membahas/ mengkaji syarat cukup agar suatu pemetaan tak turun 𝑇𝑇 pada Ruang Metrik-𝐺𝐺 terurut parsial komplet memiliki ketunggalan titik tetap. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan matematika dibidang matematika analisis terutama dalam penyelesaian masalah ketunggalan titik tetap. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan mempelajari karya-karya ilmiah yang disajikan dalam bentuk buku, jurnal, makalah, tesis, disertasi ataupun artikel yang relevan dengan topik penelitian, kemudian berdasar konsep-konsep yang ada dilakukan pengembangan dari hasil yang sudah ada untuk pembuktikan teorema ketunggalan titik tetap pada Ruang Metrik-𝑮𝑮 komplet. 2.1 Ruang Metrik (𝑿𝑿, 𝒅𝒅) Disini akan diberikan definisi dan contoh dari Ruang Metrik (𝑋𝑋, 𝑑𝑑) Definisi 2.1 [1] Ruang Metrik adalah pasangan (𝑋𝑋, 𝑑𝑑) dengan 𝑋𝑋 adalah himpunan yang tidak kosong dan 𝑑𝑑: 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 → 𝑅𝑅 + adalah Metrik (jarak) pada 𝑋𝑋 sedemikian sehingga untuk setiap 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 ∈ 𝑋𝑋, terpenuhi: (M1) 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≥ 0 dan 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = 0 ⟺ 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 (Sifat Non Negatif) (M2) 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = 𝑑𝑑(𝑦𝑦, 𝑥𝑥) (Sifat Simetri) (M3) 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑧𝑧) ≤ 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦) + 𝑑𝑑(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) (Sifat Ketaksamaan Segitiga). Contoh: (1) 𝑑𝑑: 𝑅𝑅 × 𝑅𝑅 → 𝑅𝑅 + dengan 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = |𝑥𝑥 − 𝑦𝑦| (2) 𝑑𝑑: 𝑅𝑅𝑛𝑛 × 𝑅𝑅𝑛𝑛 → 𝑅𝑅 + dengan 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = �(𝑥𝑥1 − 𝑦𝑦1 )2 + (𝑥𝑥2 − 𝑦𝑦2) 2 + ⋯ + (𝑥𝑥𝑛𝑛 − 𝑦𝑦𝑛𝑛) 𝑛𝑛
∀𝑥𝑥 ∈ 𝑅𝑅𝑛𝑛 dan ∀𝑦𝑦 ∈ 𝑅𝑅𝑛𝑛 dengan 𝑥𝑥 = (𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , … , 𝑥𝑥𝑛𝑛 ) dan 𝑦𝑦 = (𝑦𝑦1 , 𝑦𝑦2 , … , 𝑦𝑦𝑛𝑛 ) maka (𝑅𝑅𝑛𝑛 , 𝑑𝑑) adalah sebuah Ruang Metrik. (3) 𝑋𝑋 himpunan tak kosong, 𝑑𝑑: 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 → 𝑅𝑅+ 0 ; 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 dengan 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = � ∀𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑋𝑋 1 ; 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦 maka (𝑋𝑋, 𝑑𝑑) adalah sebuah Ruang Metrik yang disebut Ruang Metrik Diskrit. 2.2 Ruang Metrik-2 Disini akan diberikan definisi dan contoh dari Ruang Metrik-2 Definisi 2.2 [2] Misal 𝑋𝑋 adalah sebuah himpunan tak kosong, pemetaan 𝑑𝑑 ∗ : 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 → 𝑅𝑅+ yang bersifat bahwa untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑎𝑎 ∈ 𝑋𝑋 berlaku: (A1) Untuk 𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑋𝑋, dengan 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦, terdapat 𝑧𝑧 ∈ 𝑋𝑋, sedemikian sehingga 𝑑𝑑 ∗ (𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≠ 0 (A2) 𝑑𝑑 ∗ (𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 jika 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 atau 𝑥𝑥 = 𝑧𝑧 atau 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 (A3) 𝑑𝑑 ∗ (𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝑑𝑑 ∗ (𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑦𝑦) = 𝑑𝑑 ∗ (𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) = 𝑑𝑑 ∗ (𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) = 𝑑𝑑 ∗ (𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = 𝑑𝑑 ∗ (𝑧𝑧, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) (Sifat Simetri) (A4) 𝑑𝑑 ∗ (𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝑑𝑑 ∗ (𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝑑𝑑 ∗ (𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) + 𝑑𝑑 ∗ (𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) maka pemetaan 𝑑𝑑 ∗ disebut Metrik-2 pada 𝑋𝑋, dan pasangan (𝑋𝑋, 𝑑𝑑 ∗ ) disebut Ruang Metrik2. Contoh: Ambil 𝑋𝑋 = {𝑥𝑥1 , 𝑥𝑥2 , 𝑥𝑥3 } dan 𝑑𝑑 ∗ : 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 → 𝑅𝑅 + sebagai berikut: Bila 𝑥𝑥 ∈ 𝑋𝑋, 𝑦𝑦 ∈ 𝑋𝑋 dan 𝑧𝑧 ∈ 𝑋𝑋 maka akan terbentuk segitiga 𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥, dan definisikan 𝑑𝑑 ∗ (𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = luas ⊿𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥. maka dapat dibuktikan bahwa pemetaan 𝑑𝑑 ∗ merupakan sebuah Metrik-2 dan (𝑋𝑋, 𝑑𝑑 ∗ ) adalah sebuah Ruang Metrik-2 . 2.3 Ruang Metrik-𝑫𝑫 Disini akan diberikan definisi dan contoh dari Ruang Metrik-𝑫𝑫 Definisi 2.3 [2] Bila 𝑋𝑋 adalah sebuah himpunan tidak kosong, pemetaan 𝐷𝐷: 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 → 𝑅𝑅+ yang bersifat bahwa untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑎𝑎 ∈ 𝑋𝑋 berlaku: (D1) 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 jika dan hanya jika 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 (D2) 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑦𝑦) = 𝐷𝐷(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) = 𝐷𝐷(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) = 𝐷𝐷(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = 𝐷𝐷(𝑧𝑧, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) (Sifat Simetri) (D3) 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) + 𝐷𝐷(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) (D4) 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) ≤ 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) + 𝐷𝐷(𝑧𝑧, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦).
139 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
maka pemetaan 𝐷𝐷 disebut Metrik-𝑫𝑫 pada 𝑋𝑋, dan pasangan (𝑋𝑋, 𝐷𝐷) disebut Ruang Metrik𝑫𝑫.
Contoh: (1) Misal (𝑋𝑋, 𝑑𝑑) adalah sebuah Ruang Metrik dan 𝐷𝐷: 𝑅𝑅 × 𝑅𝑅 × 𝑅𝑅 → 𝑅𝑅 + dengan 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = max{𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦), 𝑑𝑑(𝑦𝑦, 𝑧𝑧), 𝑑𝑑(𝑧𝑧, 𝑥𝑥)} untuk 𝑥𝑥 ∈ 𝑅𝑅, 𝑦𝑦 ∈ 𝑅𝑅, 𝑧𝑧 ∈ 𝑅𝑅 . maka dapat dibuktikan bahwa (𝑅𝑅, 𝐷𝐷) adalah Ruang Metrik-𝑫𝑫. (2) 𝑋𝑋 himpunan tak kosong, dengan 0 ; 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 𝐷𝐷(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = � untuk 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 ∈ 1 ; 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦 ≠ 𝑧𝑧 𝑋𝑋 maka (𝑋𝑋, 𝐷𝐷) adalah Ruang Metrik-𝑫𝑫
2.4 Ruang Metrik-𝑮𝑮 Definisi 2.4 [6] Bila 𝑋𝑋 adalah himpunan tak kosong, dan 𝐺𝐺: 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 → 𝑅𝑅+ memenuhi syarat berikut, untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑎𝑎 ∈ 𝑋𝑋: (G1) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 jika 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 (G2) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑦𝑦) = 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) = 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) (Sifat Simetri) (G3) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) > 0 untuk 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦 (G4) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) untuk 𝑧𝑧 ≠ 𝑦𝑦 (G5) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑎𝑎 ∈ 𝑋𝑋 (Sifat Ketaksamaan Segiempat) maka pemetaan 𝐺𝐺 disebut Metrik-𝑮𝑮 pada 𝑋𝑋, dan pasangan (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) di sebut Ruang Metrik𝑮𝑮.
Contoh: (1) Misalkan (𝑅𝑅, 𝑑𝑑) adalah sebuah Ruang Metrik, dan 𝐺𝐺: 𝑅𝑅 × 𝑅𝑅 × 𝑅𝑅 → 𝑅𝑅 + dengan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦) + 𝑑𝑑(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) + 𝑑𝑑(𝑧𝑧, 𝑥𝑥), untuk 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 ∈ 𝑋𝑋, maka dapat dibuktikan bahwa (𝑅𝑅, 𝐺𝐺) adalah sebuah Ruang Metrik-𝑮𝑮. (2) Misalkan (𝑋𝑋, 𝑑𝑑) ruang sebuah Ruang Metrik, dan 𝐺𝐺: 𝑅𝑅 × 𝑅𝑅 × 𝑅𝑅 → 𝑅𝑅 + dengan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = max {𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑦𝑦), 𝑑𝑑(𝑦𝑦, 𝑧𝑧), 𝑑𝑑(𝑥𝑥, 𝑧𝑧)} untuk 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 ∈ 𝑅𝑅. maka dapat dibuktikan bahwa (𝑅𝑅, 𝐺𝐺) adalah Ruang Metrik-𝑮𝑮. (3) Misal 𝑋𝑋 = {𝑎𝑎, 𝑏𝑏, 𝑐𝑐} 𝐺𝐺: 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 × 𝑋𝑋 → 𝑅𝑅 + dengan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 jika 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑏𝑏, 𝑏𝑏) = 𝐺𝐺(𝑏𝑏, 𝑎𝑎, 𝑏𝑏) = 𝐺𝐺(𝑏𝑏, 𝑏𝑏, 𝑎𝑎) = 𝐺𝐺(𝑏𝑏, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑏𝑏, 𝑎𝑎) = (𝑎𝑎, 𝑎𝑎, 𝑏𝑏) = 22, 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑐𝑐, 𝑐𝑐) = 𝐺𝐺(𝑐𝑐, 𝑎𝑎, 𝑐𝑐) = 𝐺𝐺(𝑐𝑐, 𝑐𝑐, 𝑎𝑎) = 𝐺𝐺(𝑐𝑐, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑐𝑐, 𝑎𝑎) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑎𝑎, 𝑐𝑐) = 27,
𝐺𝐺(𝑏𝑏, 𝑐𝑐, 𝑐𝑐) = 𝐺𝐺(𝑐𝑐, 𝑏𝑏, 𝑐𝑐) = 𝐺𝐺(𝑐𝑐, 𝑐𝑐, 𝑏𝑏) = 𝐺𝐺(𝑐𝑐, 𝑏𝑏, 𝑏𝑏) = 𝐺𝐺(𝑏𝑏, 𝑐𝑐, 𝑏𝑏) = 𝐺𝐺(𝑏𝑏, 𝑏𝑏, 𝑐𝑐) = 30, 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑏𝑏, 𝑐𝑐) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑐𝑐, 𝑏𝑏) = 𝐺𝐺(𝑏𝑏, 𝑎𝑎, 𝑐𝑐) = 𝐺𝐺(𝑏𝑏, 𝑐𝑐, 𝑎𝑎) = 𝐺𝐺(𝑐𝑐, 𝑎𝑎, 𝑏𝑏) = 𝐺𝐺(𝑐𝑐, 𝑏𝑏, 𝑎𝑎) = 35, maka dapat dibuktikan bahwa (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah sebuah Ruang Metrik-𝑮𝑮. 2.5 Pemetaan Tak turun Definisi 2.5 [8] Misal (X,≤) adalah himpunan terurut parsial dan T:X→ 𝑋𝑋 adalah pemetaan dari X ke dirinya sendiri. T disebut pemetaan tidak turun jika untuk x,y ∈ 𝑋𝑋, maka x≤ 𝑦𝑦 berakibat T(x)≤ 𝑇𝑇(𝑦𝑦).
2.6 Titik Tetap Definisi 2.6 [7] Pemetaan 𝑇𝑇: 𝑋𝑋 → 𝑋𝑋 disebut mempunyai Titik Tetap 𝑥𝑥 jika 𝑇𝑇(𝑥𝑥) = 𝑥𝑥. Contoh: 𝑇𝑇(𝑥𝑥) = 𝑥𝑥 2 − 3𝑥𝑥 + 4, maka 2 adalah Titik Tetap dari 𝑻𝑻(𝒙𝒙) karena 𝑻𝑻(𝟐𝟐) = 𝟐𝟐.
2.7 Kekonvergenan dan Kekontinuan Definisi 2.7 [4] Misal (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah Ruang Metrik-𝑮𝑮, maka barisan (𝑥𝑥𝑛𝑛 ) ⊆ 𝑋𝑋 disebut G-Cauchy jika untuk setiap 𝜀𝜀 > 0, terdapat 𝑛𝑛0 ∈ 𝑁𝑁 sedemikian hingga 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 , 𝑥𝑥𝑙𝑙 ) < 𝜀𝜀, untuk jika setiap 𝑛𝑛, 𝑚𝑚, 𝑙𝑙 ≥ 𝑛𝑛0 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙(𝑛𝑛,𝑚𝑚,𝑙𝑙)→∞ 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 , 𝑥𝑥𝑙𝑙 ) = 0. Definisi 2.8 [4] Misal (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah Ruang Metrik−𝑮𝑮, misal (𝑥𝑥𝑛𝑛 ) adalah barisan dari titik-titik pada 𝑋𝑋, (𝑥𝑥𝑛𝑛 ) dikatakan G-konvergen ke 𝑥𝑥 jika 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑛𝑛,𝑚𝑚→∞ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 ) = 0 artinya untuk setiap 𝜀𝜀 > 0, terdapat 𝑛𝑛0 ∈ 𝑁𝑁 sedemikian hingga 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 ) < 𝜀𝜀 untuk setiap 𝑛𝑛, 𝑚𝑚 ≥ 𝑛𝑛0 . Selanjutnya 𝑥𝑥 disebut titik limit dari barisan (𝑥𝑥𝑛𝑛 ) ditulis 𝑥𝑥𝑛𝑛 (𝐺𝐺) 𝑥𝑥. →
Proposisi 2.9 [2] Misal (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah Ruang Metrik-𝑮𝑮, maka pernyataan berikut equivalen; (1) (𝑥𝑥𝑛𝑛 ) adalah G-konvergen ke 𝑥𝑥 (2) 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑛𝑛→∞ 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥) = 0 (3) 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑛𝑛→∞ 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥, 𝑥𝑥) = 0 Bukti: (1) ⟶ (2) Dari definisi 3.1.2 karena (𝑥𝑥𝑛𝑛 ) adalah G-konvergen ke 𝑥𝑥 maka maka 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑛𝑛,𝑚𝑚→∞ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 ) = 0 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑛𝑛→∞ 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥) = 0 (2) ⟶ (3) dengan menggunakan sifat (G4) maka 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑛𝑛→∞ 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥, 𝑥𝑥) = 0
140 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
(3) ⟶ (1) karena 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑛𝑛→∞ 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥, 𝑥𝑥) = 0 maka (𝑥𝑥𝑛𝑛 ) adalah G-konvergen ke 𝑥𝑥. Terbukti. Proposisi 2.10 [4] Misal (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah Ruang Metrik-𝑮𝑮, maka pernyataan berikut equivalen; (1) Barisan(𝑥𝑥𝑛𝑛 ) adalah G-Cauchy. (2) Untuk setiap 𝜀𝜀 > 0, terdapat 𝑛𝑛0 ∈ 𝑁𝑁 sedemikian hingga 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 ) < 𝜀𝜀 untuk setiap 𝑛𝑛, 𝑚𝑚 ≥ 𝑁𝑁. Bukti: (1) → (2)Barisan (𝑥𝑥𝑛𝑛 ) adalah G-Cauchy, jika untuk setiap 𝜀𝜀 > 0 terdapat 𝑛𝑛0 ∈ 𝑁𝑁 sedemikian hingga 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 , 𝑥𝑥𝑙𝑙 ) < 𝜀𝜀 untuk jika setiap 𝑛𝑛, 𝑚𝑚, 𝑙𝑙 ≥ 𝑛𝑛0 Menurut 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙(𝑛𝑛,𝑚𝑚,𝑙𝑙)→∞ 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 , 𝑥𝑥𝑙𝑙 ) = 0. (G3) 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 ) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 , 𝑥𝑥𝑙𝑙 ) < 𝜀𝜀
Definisi 2.11 [4] Misal (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) dan (𝑋𝑋 ′ , 𝐺𝐺 ′ ) adalah Ruang Metrik-𝑮𝑮 dan misal 𝑓𝑓: (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) → (𝑋𝑋 ′ , 𝐺𝐺 ′ ) suatu pemetaan, maka 𝑓𝑓 dikatakan G-kontinu pada titik 𝑎𝑎 ∈ 𝑋𝑋 jika diberikan sebarang 𝜀𝜀 > 0 terdapat 𝛿𝛿 > 0 sedemikian sehingga 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) < 𝛿𝛿 ∀𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑋𝑋, mengakibatkan 𝐺𝐺 ′ (𝑓𝑓(𝑎𝑎), 𝑓𝑓(𝑥𝑥), 𝑓𝑓(𝑦𝑦)) < 𝜀𝜀. Pemetaan 𝑓𝑓 dikatakan G-kontinu pada 𝑋𝑋 jika dan hanya jika G-kontinu pada setiap 𝑎𝑎 ∈ 𝑋𝑋. Teorema 2.12 Suatu pemetaan tak turun pada Ruang Metrik-𝑮𝑮 adalah pemetaan kontinu. Bukti: Misal (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah Ruang Metrik-𝑮𝑮 Misal 𝑇𝑇: 𝑋𝑋 → 𝑋𝑋 adalah suatu pemetaan tak turun. maka untuk setiap 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 ∈ 𝑋𝑋 berlaku: 𝐺𝐺(𝑇𝑇(𝑥𝑥), 𝑇𝑇(𝑦𝑦), 𝑇𝑇(𝑧𝑧)) ≤ 𝑘𝑘𝑘𝑘(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) untuk 0 ≤ 𝑘𝑘 < 1 Ambil sembarang 𝜀𝜀 > 0 𝜀𝜀 Pilih 𝛿𝛿 = > 0 Jika
𝑘𝑘
𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) <
𝜀𝜀
𝑘𝑘
= 𝛿𝛿
mak 𝐺𝐺�𝑇𝑇(𝑥𝑥), 𝑇𝑇(𝑦𝑦), 𝑇𝑇(𝑧𝑧)� ≤ 𝑘𝑘𝑘𝑘(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝜀𝜀 𝑘𝑘. ≤ 𝜀𝜀 𝑘𝑘 Jadi jika 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) < 𝛿𝛿 maka 𝐺𝐺�𝑇𝑇(𝑥𝑥), 𝑇𝑇(𝑦𝑦), 𝑇𝑇(𝑧𝑧)� ≤ 𝜀𝜀. maka 𝑇𝑇 kontinu. Terbukti. Proposisi 2.13 [4] Misal (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) dan (𝑋𝑋 ′ , 𝐺𝐺 ′ ) adalah Ruang Metrik-𝑮𝑮 dan misal 𝑓𝑓: 𝑋𝑋 → 𝑋𝑋 ′ adalah Gkontinu pada titik 𝑥𝑥 ∈ 𝑋𝑋 jika dan hanya jika
kapanpun (𝑥𝑥𝑛𝑛 ) adalah G-konvergen ke 𝑥𝑥, maka �𝑓𝑓(𝑥𝑥𝑛𝑛 )� adalah G-konvergen ke 𝑓𝑓(𝑥𝑥).
Proposisi 2.14 [2] Misal (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah Ruang Metrik-𝑮𝑮, maka pemetaan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) adalah kontinu bersama (Joinly continuous) di semua 3 variabel. Bukti:Misal (𝑥𝑥𝑘𝑘 ), (𝑦𝑦𝑚𝑚 ), (𝑧𝑧𝑛𝑛 ) adalah Gkonvergen ke 𝑥𝑥, 𝑦𝑦 dan 𝑧𝑧 secara bersamaan (respectively). Berdasarkan sifat (G5) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 ) + 𝐺𝐺(𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦𝑚𝑚 ) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑥𝑥𝑘𝑘 ) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑧𝑧) dan 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 ) ≤ 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑧𝑧𝑛𝑛 , 𝑧𝑧𝑛𝑛 ) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧𝑛𝑛 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑥𝑥𝑘𝑘 ), Jadi 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑧𝑧𝑛𝑛 ) ≤ 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 ) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑥𝑥𝑘𝑘 ) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑧𝑧𝑛𝑛 , 𝑧𝑧𝑛𝑛 )
Dan 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑧𝑧𝑛𝑛 ) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑥𝑥, 𝑥𝑥) + 𝐺𝐺(𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧𝑛𝑛 , 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) Dengan mengkombinasi (3) dari Proposisi 2.9 , diperoleh |𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑧𝑧𝑛𝑛 ) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)| ≤ 2(𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑥𝑥𝑘𝑘 ) + 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 ) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑧𝑧𝑛𝑛 , 𝑧𝑧𝑛𝑛 )) Jadi 𝐺𝐺(𝑥𝑥𝑘𝑘 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑧𝑧𝑛𝑛 ) → 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)sepanjang 𝑘𝑘, 𝑚𝑚, 𝑛𝑛 → ∞ (proposisi 2.9) Terbukti. 2.8 Ruang Metrik-G Komplet Definisi 2.15 [4] Sebuah Ruang Metrik-𝑮𝑮 (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) dikatakan Ruang Metrik-𝑮𝑮 komplet jika setiap barisan G-Cauchy di (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah Gkonvergen di (𝑋𝑋, 𝐺𝐺). 2.9 Jarak- Ω Definisi 2.16 [8] Misal (X,G) adalah Ruang Metrik-G. Maka fungsi Ω: 𝑋𝑋 𝑥𝑥 𝑋𝑋 𝑥𝑥 𝑋𝑋 ⟶ [0, ∞)disebut jarak-Ω pada X jika kondisi ini terpenuhi: a. Ω(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ Ω(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + Ω(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) untuk setiap x,y,z,a 𝜖𝜖X b. Untuk suatu x, y𝜖𝜖X, Ω(x,y,.), Ω(x,.,y): X⟶[0,∞) adalah lower semi kontinu c. Untuk setiap 𝜀𝜀 > 0, terdapat suatu 𝛿𝛿 > 0 sedemikian hingga Ω(x,a,a)≤ 𝛿𝛿 dan Ω(a,y,z)≤ 𝛿𝛿 jika G(x,y,z)≤ 𝜀𝜀.
Lemma 2.17 [8] Misal (X,G) adalah ruang metrik-G dan Ω adalah jarak pada X. Misal {𝑥𝑥𝑛𝑛 }, {𝑦𝑦𝑛𝑛 }adalah barisan di X, {∝𝑛𝑛 }, {𝛽𝛽𝑛𝑛 } adalah barisan di [0, ∞)konvergen ke 0 dan missal x,y,z,a∈X. Maka :
141 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
a. Jika Ω(𝑦𝑦, 𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑛𝑛 ) ≤ 𝛼𝛼𝑛𝑛 dan Ω(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝛽𝛽𝑛𝑛 untuk n∈ 𝑁𝑁, maka G(y,y,z)< 𝜀𝜀 dan y=z dan b. Jika Ω(𝑦𝑦𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑛𝑛 ) ≤ 𝛼𝛼𝑛𝑛 Ω(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑧𝑧) ≤ 𝛽𝛽𝑛𝑛 untuk m> 𝑛𝑛 maka G(𝑦𝑦𝑛𝑛 , 𝑦𝑦𝑚𝑚 , 𝑧𝑧)→ 0 dan 𝑦𝑦𝑛𝑛 → 𝑧𝑧 c. Jika Ω(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑥𝑥𝑚𝑚 , 𝑥𝑥𝑙𝑙 ) ≤ 𝛼𝛼𝑛𝑛 untuk suatu l,m,n ∈ 𝑁𝑁 dengan n≤ 𝑚𝑚 ≤ 𝑙𝑙, maka 𝑥𝑥𝑛𝑛 adalah barisan Cauchy-G; d. Jika Ω(𝑥𝑥𝑛𝑛 , 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) ≤ 𝛼𝛼𝑛𝑛 untuk suatu n ∈ 𝑁𝑁 maka 𝑥𝑥𝑛𝑛 adalah barisan Cauchy-G
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Sifat-Sifat Ruang Metrik-𝑮𝑮 Komplet Berikut akan dijabarkan sifat-sifat dari Ruang Metrik-𝑮𝑮 komplet Proposisi 3.1 [4] Misal (𝑋𝑋, 𝐺𝐺) adalah Ruang Metrik-𝑮𝑮, maka untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑎𝑎 ∈ 𝑋𝑋 berlaku: (1) Jika 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 maka 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 (2) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) (3) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) ≤ 2𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥) (4) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 2 (5) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ (𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 3 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)) (6) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ (7) max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ (8) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧)| ≤ (9) max {𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥)} |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) − 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥)| ≤ (10) max {𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥), 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦)} . Bukti: (1) Akan dibuktikan jika 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 maka 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 Bukti: Misalkan 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 tidak benar maka kemungkinan yang ada adalah: (i) 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦, 𝑥𝑥 = 𝑧𝑧, 𝑦𝑦 ≠ 𝑧𝑧 (ii) 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦, 𝑥𝑥 ≠ 𝑧𝑧, 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 (iii) 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦, 𝑥𝑥 ≠ 𝑧𝑧, 𝑦𝑦 ≠ 𝑧𝑧 (iv) 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦, 𝑥𝑥 ≠ 𝑧𝑧, 𝑦𝑦 ≠ 𝑧𝑧 Untuk (i) dan (iii) Berdasarkan sifat (G3) 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦 → 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) > 0 Berdasarkan sifat (G4) 𝑦𝑦 ≠ 𝑧𝑧 → 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) maka 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) > 0 Ini bertentangan dengan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 maka 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 Untuk (ii) dan (iv)
Berdasarkan sifat (G3) 𝑥𝑥 ≠ 𝑦𝑦 → 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) > 0 Berdasarkan sifat (G4) 𝑥𝑥 ≠ 𝑧𝑧 → 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) ≤ 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) Berdasarkan sifat (G2) 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) maka 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) > 0 Ini bertentangan dengan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 maka 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 Terbukti. (2) Akan dibuktikan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) Bukti: Berdasarkan sifat (G5) untuk sembarang 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 dan 𝑎𝑎 di 𝑋𝑋 berlaku 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) maka dengan mengambil 𝑥𝑥 sebagai 𝑎𝑎 dan 𝑦𝑦, 𝑦𝑦 sebagai 𝑥𝑥 dan 𝑧𝑧 sebagai 𝑧𝑧, diperoleh: 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) Dan berdasarkan sifat (G2) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧). Terbukti. (3) Akan dibuktikan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) = 2𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥) Bukti: Berdasarkan sifat (G5) untuk sembarang 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 dan 𝑎𝑎 di 𝑋𝑋 berlaku 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) maka dengan mengambil 𝑦𝑦 sebagai 𝑧𝑧 dan 𝑥𝑥, dan 𝑥𝑥 sebagai 𝑦𝑦 dan 𝑎𝑎, diperoleh: 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≤ 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) dan berdasarkan sifat (G2) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) ≤ 2𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥). Terbukti. (4) Akan dibuktikan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) Bukti: Berdasarkan sifat (G5) untuk sembarang 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 dan 𝑎𝑎 di 𝑋𝑋 berlaku 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) Sedangkan dari (G2) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑎𝑎, 𝑥𝑥) dan berdasarkan sifat (G4) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑎𝑎, 𝑥𝑥) ≤ 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) maka 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) Terbukti. (5) Akan dibuktikan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) ≤ 2 �𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)� 3 Bukti: Berdasarkan sifat (G5) untuk sembarang 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 dan 𝑎𝑎 di 𝑋𝑋 berlaku 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) Berdasarkan sifat (4) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) ≤ 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≤ 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑦𝑦) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) Berdasarkan sifat (G2) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) = 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) = 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)
142 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dan 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) = 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) Berdasarkan sifat (G2) juga diperoleh 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) = 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) dan 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑦𝑦) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) maka 3𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 2(𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)) 2 Jadi 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ �𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) + 3
𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)�. Terbukti. (6) Akan dibuktikan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ �𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)� Bukti: Berdasarkan sifat (G5) untuk sembarang 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 dan 𝑎𝑎 di 𝑋𝑋 berlaku 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) Berdasarkan sifat (G2) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) Berdasarkan sifat (G5) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) Berdasarkan sifat (G2) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) maka 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ �𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)� Terbukti. |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − (7) Akan dibuktikan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} Bukti: Berdasarkan sifat nilai mutlak diperoleh: − max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) ≤ max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} maka 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) − max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} Dari sini terdapat 2 kasus: (i) max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) (ii) max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} = 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) Untuk kasus (i) harus dibuktikan (ia) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) (ib) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) Untuk kasus (ii) harus dibuktikan (iia) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) (iib) 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) Untuk(ia) harus dibuktikan 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) Berdasarkan sifat (G5) 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≤ 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) Berdasarkan sifat (G2) dapat diperoleh: 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) Untuk kasus (i) 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) ≤ 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) Jadi 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) Jadi (ia) terbukti. Untuk (ib) gunakan sifat (G5) 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≤ 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦)
Maka berdasarkan sifat (G2) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) Jadi (ib) terbukti. Untuk (iia) gunakan sifat (G5) pula 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≤ 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) maka berdasarkan sifat (G2) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) Jadi (iia) terbukti. Untuk (iib), gunakan sifat (G5) pula, 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) ≤ 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) maka berdasarkan sifat (G2) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) Pada kasus (ii), berlaku 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) maka 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) maka (iib) terbukti. (8) Akan dibuktikan |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) Bukti: Berdasarkan (7) |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} Berdasarkan sifat (G4) diperoleh: 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧) = 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑧𝑧, 𝑎𝑎) ≤ 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑥𝑥) untuk 𝑥𝑥 ≠ 𝑎𝑎 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) = 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) untuk 𝑧𝑧 ≠ 𝑥𝑥 maka max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) maka |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) Terbukti. (9) Akan dibuktikan |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥)} Bukti: Berdasarkan (7) |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} dengan mengganti 𝑥𝑥 dengan 𝑦𝑦, 𝑦𝑦 dengan 𝑧𝑧, 𝑧𝑧 dengan 𝑥𝑥, dan 𝑎𝑎 dengan 𝑧𝑧, maka diperoleh: |𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑥𝑥) − 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥), 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧)} Jadi |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥)} Terbukti. (10) Akan dibuktikan |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) − 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥), 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦)} Bukti: Berdasarkan (7) |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} dengan mengganti 𝑧𝑧 dengan 𝑦𝑦, dan 𝑎𝑎 dengan 𝑥𝑥, maka diperoleh: |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦), 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥)} atau |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) − 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥)| ≤ max {𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥), 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦)} Terbukti.
143 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
3.2 Ketunggalan Titik Tetap Untuk Pemetaan Tak Turun Pada Ruang Metrik𝑮𝑮 Terurut Parsial Komplet
Teorema 3.2.1 [8] Misal (X,≤) adalah himpunan terurut parsial. Misal terdapat Metrik-G pada X sedemikian hingga (X,G) adalah Ruang Metrik-G komplet dan Ω adalah jarak pada X dan T adalah pemetaan tak turun dari X ke dirinya sendiri. Misal X terbatas-Ω. Maka terdapat r∈ [0,1) sedemikian hingga Ω(Tx,𝑇𝑇 2 𝑥𝑥, 𝑇𝑇𝑇𝑇) ≤ 𝑟𝑟Ω(𝑥𝑥, 𝑇𝑇𝑇𝑇, 𝑤𝑤) untuk setiap x≤ 𝑇𝑇𝑇𝑇 dan w∈ 𝑋𝑋, juga untuk setiap x∈X inf{Ω(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) + Ω(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑇𝑇𝑇𝑇) + Ω(𝑥𝑥, 𝑇𝑇 2 𝑥𝑥, 𝑦𝑦): 𝑥𝑥 ≤ 𝑇𝑇𝑇𝑇} > 0 untuk setiap y∈ 𝑋𝑋 dengan y≠ 𝑇𝑇𝑇𝑇. Jika terdapat suatu x 0∈ 𝑋𝑋 dengan x 0≤ 𝑇𝑇𝑥𝑥0 . Maka T mempunyai titik tetap. Lebih lanjut Jika 𝑣𝑣 = 𝑇𝑇𝑇𝑇 , maka Ω(𝑣𝑣, 𝑣𝑣, 𝑣𝑣) = 0. Teorema 3.2.2 [8] Misal (X,≤) adalah himpunan terurut parsial. Misal terdapat Metrik-G pada X sedemikian hingga (X,G) adalah Ruang Metrik-G komplet dan Ω adalah jarak pada X dan T adalah pemetaan tak turun dari X ke dirinya sendiri. Misal X terbatas-Ω. Maka terdapat r∈ [0,1) sedemikian hingga Ω(Tx,𝑇𝑇 2 𝑥𝑥, 𝑇𝑇𝑇𝑇) ≤ 𝑟𝑟Ω(𝑥𝑥, 𝑇𝑇𝑇𝑇, 𝑤𝑤) untuk setiap x≤ 𝑇𝑇𝑇𝑇 dan w∈ 𝑋𝑋. Dengan asumsi yang sama jika: (i) y≠ 𝐴𝐴𝐴𝐴 maka inf{Ω(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) + Ω(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑇𝑇𝑇𝑇) + Ω(𝑥𝑥, 𝑇𝑇 2 𝑥𝑥, 𝑦𝑦): 𝑥𝑥 ≤ 𝑇𝑇𝑇𝑇} > 0 untuk setiap x∈ 𝑋𝑋 {𝑥𝑥𝑛𝑛 }, {𝑇𝑇𝑥𝑥𝑛𝑛 } konvergen ke y dan (ii) Ω(𝑣𝑣, 𝑤𝑤, . ) = 𝛺𝛺(𝑤𝑤, 𝑣𝑣, . ) untuk setiap 𝑣𝑣, 𝑤𝑤 ∈ 𝑋𝑋 maka y=Ty (iii) T adalah kontinu dan Ω(𝑣𝑣, 𝑤𝑤, . )= Ω(𝑤𝑤, 𝑣𝑣, . ) untuk setiap 𝑣𝑣, 𝑤𝑤 ∈ 𝑋𝑋 . Jika terdapat suatu x 0∈ 𝑋𝑋 dengan x 0≤ 𝑇𝑇𝑥𝑥0 . Maka T mempunyai titik tetap. Lebih lanjut Jika 𝑣𝑣 = 𝑇𝑇𝑇𝑇 , maka Ω(𝑣𝑣, 𝑣𝑣, 𝑣𝑣) = 0.
f. 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ (𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) + 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎) |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ g. max{𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑎𝑎, 𝑎𝑎)} |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎)| ≤ h. 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) − 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧)| ≤ i. max{𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑧𝑧, 𝑧𝑧), 𝐺𝐺(𝑧𝑧, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥)} j. |𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) − 𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥)| ≤ 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 {𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥), 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦)} 2. Syarat cukup agar diperoleh ketunggalan titik tetap untuk pemetaan tak turun pada Ruang Metrik-𝑮𝑮 terurut parsial komplet (X,G) dengan Ω adalah jarak-Ω dan T pemetaan tak turun Maka terdapat r∈ [0,1) sedemikian hingga Ω(Tx,𝑇𝑇 2 𝑥𝑥, 𝑇𝑇𝑇𝑇) ≤ 𝑟𝑟Ω(𝑥𝑥, 𝑇𝑇𝑇𝑇, 𝑤𝑤) untuk setiap x≤ 𝑇𝑇𝑇𝑇 dan w∈ 𝑋𝑋. Dengan asumsi yang sama jika: (i) y≠ 𝐴𝐴𝐴𝐴 maka inf{Ω(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑥𝑥) + Ω(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑇𝑇𝑇𝑇) + Ω(𝑥𝑥, 𝑇𝑇 2 𝑥𝑥, 𝑦𝑦): 𝑥𝑥 ≤ 𝑇𝑇𝑇𝑇} > 0 untuk setiap x∈ 𝑋𝑋 (ii) {𝑥𝑥𝑛𝑛 }, {𝑇𝑇𝑥𝑥𝑛𝑛 } konvergen ke y dan Ω(𝑣𝑣, 𝑤𝑤, . ) = 𝛺𝛺(𝑤𝑤, 𝑣𝑣, . ) untuk setiap 𝑣𝑣, 𝑤𝑤 ∈ 𝑋𝑋 maka y=Ty (iii) T adalah kontinu dan Ω(𝑣𝑣, 𝑤𝑤, . )= Ω(𝑤𝑤, 𝑣𝑣, . ) untuk setiap 𝑣𝑣, 𝑤𝑤 ∈ 𝑋𝑋 . Jika terdapat suatu x 0∈ 𝑋𝑋 dengan x 0≤ 𝑇𝑇𝑥𝑥0 . Maka T mempunyai titik tetap. Lebih lanjut Jika 𝑣𝑣 = 𝑇𝑇𝑇𝑇 , maka Ω(𝑣𝑣, 𝑣𝑣, 𝑣𝑣) = 0. 4.2. Saran Dari beberapa kesimpulan diatas, perlu adanya penelitian untuk menyelidiki ketunggalan titik tetap pada tipe pemetaan yang lain yaitu pemetaan ekspansif ataupun pada ruang yang lain seperti Ruang Quazy Metrik dan Ruang Fuzzy Metrik.
DAFTAR PUSTAKA [1]
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan Dari hasil pembahasan di Bab 3 diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Sifat- sifat dari Ruang Metrik-𝑮𝑮 komplet antara lain: a. Jika 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0 maka 𝑥𝑥 = 𝑦𝑦 = 𝑧𝑧 b. 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑦𝑦) + 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑥𝑥, 𝑧𝑧) c. 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑦𝑦) ≤ 2𝐺𝐺(𝑦𝑦, 𝑥𝑥, 𝑥𝑥) d. 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 2 e. 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) ≤ (𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑎𝑎) + 3 𝐺𝐺(𝑥𝑥, 𝑎𝑎, 𝑧𝑧) + 𝐺𝐺(𝑎𝑎, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)
[2]
[3]
V.S. Pugachev and I.N. Sinitsyn. (1999). Lectures on Functional Analysis and Applications. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Singapore. Z. Mustafa and B. Sims. (2006). A New Approach to Generalized Metric Space. Journal of Non Linier and Convex Analysis (vol.7, no. 2,pp.289-297). Z. Mustafa, H. Obiedat and F. Awawdeh. (2008). Some fixed Point Theorem for Mapping on Complete GMetric Space. Research Article: Fixed Point Theory and Applications (vol. 2008). Hindawi Publishing Corporation.
144 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
[4]
[5]
[6]
Z. Mustafa and B. Sims. (2009). Fixed Point Theorem for Contractive Mappings in Complete G-Metric Spaces. Research Article: Fixed Point Theory and Applications (vol.2009). Hindawi Publishing Corporation. Z. Mustafa, F. Awawdeh and W. Shatanawi.(2010). Fixed Point Theorem for Expansive Mappings in G-Metric Spaces. Math. Sciences (vol. 5, no. 50, pp.2463 – 2472). Int. J. Contemp. H. Obiedat and Z. Mustafa. (2010). Fixed Point Result On A Nonsymmetric G-Metric Spaces. Jordan Journal of
Mathematics and Statistics (JJMS) (vol.3, no.2, pp. 65-79). [7] Suwarno. (2011). “Teorema Titik Tetap Bersama Dari Pemetaan-Pemetaan Pada Ruang Seragam”. Tesis. Universitas Gajah Mada Yogyakarta. [8] R. Saadati, S.M.Vaezpour, P.Vetro, B.E.Rhoades. (2010). Fixed Point Theorem in Generalized Partially Ordered G-Metric Spaces . Journal Mathematical and Computer Modelling 52 (2010), 797-801
145 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR AND SHARE TERHADAP NILAI AFEKTIF Mohammad Sholeh1 ; Anisa Fatwa Sari2 S-1 Pendidikan Matematika, STKIP Al-Hikmah Surabaya Email :
[email protected];
Abstrak Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar matematika adalah sikap siswa selama proses belajar di kelas. Sikap belajar siswa dapat dinilai dan disebut sebagai nilai afektif siswa. Aspek afektif siswa diantaranya menerima, memberi tanggapan, menghargai, mengorganisasi, dan konsisten terhadap suatu nilai. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair and Share adalah salah satu model pembelajaran yang menuntut siswa lebih aktif dan saling berbagi pengetahuan. Penerapan model pembelarajan tersebut diharapkan meningkatkan nilai afektif siswa. Penelitian kuantitatif ini bertujuan mengetahui pengaruh model pembelajaran TPS terhadap nilai afektif siswa kelas X. Penelitian dilaksanakan selama pembelajaran topik trigonometri. Nilai afektif siswa diperoleh dari angket yang diisi oleh teman sebaya yaitu pasangan dalam kelompok TPS. Berdasarkan analisis hasil angket siswa, disimpulkan hipotesis diterima. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS berpengaruh terhadap nilai afektif siswa. Berdasarkan perbandingan sebelum dan sesudah pembelajaran, disimpulkan ada peningkatan nilai afektif Kata Kunci: Model Kooperatif, Nilai Afektif
1. PENDAHULUAN Sekitar 1960-an, belajar kompetitif dan individualistik telah mendominasi pendidikan di Amerika Serikat. Siswa biasanya datang ke sekolah dengan harapan untuk berkompetensi dan tekanan dari orang-orang unutk menjadi yang terbaik. Dalam belajar kompetitif dan individualistik, guru menempatkan siswa pada tempat duduk yang terpisah dari siswa lain. Kata-kata ‘’ dilarang mencontoh’’, ‘’geser tempat dudukmu’’, ’’saya ingin kamu bekerja sendiri dan jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri’’ sering digunakan dalam belajar kompetitif dan individualistik (Johnson & Johnson, 1994). Proses belajar seperti itu masih terjadi dalam pendidikan di indonesia sekarang ini. Menurut pendapat oleh Peter Sheal, sesuai dengan ‘’ kerucut pengalaman belajar’’, dia menyatakan (hasil penelitian) bahwa peserta didik hanya mengandalkan ‘’ penglihatan’’ dan ‘’pendengaran’’ dalam proses pembelajarannya kan memperoleh daya serap kurang dari 50%. Disisi lain dalam melaksanakan proses belajar mengajar , kurang dari 20% guru menggunakan alat bantu pembelajaran. Kurang dari 30% guru yang selalu mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga wajar
apabila hasilnya belum seperti yang diharapakan. Salah satu model pembelajaran yang tepat diimplementasikan dengan pendekatan saintifik yang sesuai dengan kurikulum 2013 ini adalah model pembelajaran kooperatif. Berdasarkan lampiran Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014, salah satu prinsip pembelajaran dengan pendekatan saintifik menurut peserta didik belajar dari sumber, hal ini berarti peserta didik lain dapat menjadi salah satu sumber belajar. Pada penerapan pembelajaran menggunakan model kooperatif, peserta didik satu menjadi sumber belajar bagi peserta didik lain, karena peserta didik saling bekerjasama dalam memaksimalkan suasanana belajar secara interaktif dan mandiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diwujudkan (Warsono, 2013). Prinsip lain yang sejalan adalah pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik diberikan kesempatan untuk mampu mengemukakan alasan, belajar berargumentasi, menjaga perasaan peserta didik lain, saling bertoleransi, dan tidak hanya mau menang sendiri (Warsono, 2013) Salah satu unsur agar tujuan pembelajaran dapat tercapai ialah dengan adanya
146 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
kerjasama. Bekerjasama akan membuat seseorang mampu melakukan lebih banyak hal dari pada bekerja sendirian. Riset membuktikan bahwa pada bidang aktifitas dan upaya manusia, jika dilakukan dengan adanya kerjasama secara kelompok, maka akan mengarah pada efisiensi dan efektifitas yang lebih baik (west, 2002:1). Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengajak siswa untuk saling bekerjasama. Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif ialah memaksimalkan belajar siswa untuk meningkatkan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Dalam kurnia, Zamroni (2000) mengemukakan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif yakni dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Disamping itu belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial dikalangan siswa. Dengan belajar kooperatif, diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas yang kuat. Dalam pembelajaran kooperatif yang diprioritaskan adalah kemajuan bidang akademik siswa dan afektif melalui keterampilan kerjasama. Think pair and share merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi siswa dan mendorong afektif partisipasi mereka dalam kelas sehingga muncul unsur kerjasama. Pembelajaran kooperatif memiliki beberapa variasi. Dalam penelitian ini digunakan tipe dengan pendekatan think pair share. Model pembelajaran kooperativ tipe think-pairshare merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang telah memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa lebih banyak untuk berfikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain. Metode pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa unutk mengemukakan jawaban yang sangat tepat, serta mendorong siswa untuk meningkatkan kerjasama antar siswa. Strategi think pair and share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Strategi think pair share ini
berkembang dari penelitian belajar kooperatif dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di universitas maryland sesuai yang dikutip Arends(1997), menyatakan bahwa think-pair-share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam thinkpair-share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespons dan saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya. Sekarang guru menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan dialami. Guru memilih menggunakan thinkpair-share untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan.
2. TINJAUAN PUSTAKA Menurut gagne, sikap adalah suatu keadaan yang ada didalam diri seseorang yang mempengaruhi dan mengubah tindakan yang dipilihnya. Jadi tindakan yang dipilih seseorang adalah tindakan yang dipengaruhi oleh sikapnya. Sikap bersifat abstrak, oleh karena untuk melihat dan mengukur sikap seseorang dilakukan dengan melihat dan mengukur manifestasi dari sikapnya yaitu berupa tindakan yang dipilihnya. Sikap yang terbentuk oleh pendidikan, pengalaman atau yang lainnya. Tujuan utama dari hasil belajar afektif adalah proses internalisasi. Proses internalisasi adalah proses menjalin ‘’sesuatu’’ kedalam tingkah laku individu. Internalisasi adalah membawa dimensi ekternal kedalam keinternal, bahkan lebih komplek dari itu, yaitu dimensi konkrit dibawah kedimensi abstrak Kategori utama domin afektif menurut krathwohl adalah sebagai berikut 1) Receiving (menerima). Individu yang telah mencapai tingkat ini merasa sadar untuk menerima rangsangan/ gejala (misalnya petunjuk guru, buku pelajaran, kegiatan kelas), misalnya kesadaran siswa akan kewajibannya. Sikap menerima ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa subkategori, yaitu: a) Awarenes, yaitu menyadari perasaan orang lain.
147 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
b) Willing to recieve: dengan penuh perhatian mendengar orang lain berbicara. c) Controlled or selected attention, memilih atau memberikan perhatian terhadap rangsangan tertentu saja. 2) Responding (memberi tanggapan), seseorang yang telah mencapai tingkatan ini, tidak hanya memberikan perhatian, tetapi juga memberikan reaksi terhadap suatu gejala. Hasil belajar yang diharapkan didalam kategori ini misalnya: seseorang tidak merasa terbebani bila kepadanya diberi tugas sekolah. Responding dapat dibagi menjadi tiga kategori, (1) acquiescene in responding, mentaati atau mematuhi peraturan/perintah; (2) wiiling to respond, melaksanakan tugas ; (3) satisfaction in respond, kepuasan saat berpartisipasi dalam suatu kegiatan. 3) Valuing/ menghargai: pada tingkat ini seseorang mengakui bahwa gejala, benda, tingkah laku mempunyai nilai. Konsep nilai ini merupakan hasil pengalaman. Mengambil tanggung jawab, menghargai suatu tugas merupakan contoh kategori ini. Dalam kegiatan belajar mengajar dapat dilihat misalnya keajegan siswa dalam membantu teman lain, kemantapan dalam menghargai waktu. Ada tiga subkategori yang tergolong kedalam kategori ini, yaitu (1) acceptance of value, menerima pendapat tentang pentingnya tujuan,(2) preference of value, menghargai peranan aktif dalam masyarakat, (3) committmen, setia pada tujuan yang telah ditetapkan 4) Organizing (pengorganisasian): tahap ini merupakan awal pengenal struktur nilai. Seseorang mengumpulkan, memproses, menyusun berbagai nilai kedalam suatu struktur nilai, kemudian menegakkan nilai yang dominan/yang benar. Dalam kegiatan belajar mengajar, siswa pada peningkatan ini diharapkan mengenal tanggung jawab, mengorganisasi tugas-tugas, mengembangkan rencana pekerjaan. Ada dua subkategori sikap tingkatan, yaitu (1) conceptualization of value, seseorang memutuskan untuk bertanggung jawab terhadap nilai yang telah ditetapkan.(2) Organization of value system, mengembangkan suatu rencana untuk melestarikan nilai tersebut keseharianya.
5) Charecterization by a value (Karakteristik sistem nilai); merupakan integrasi dari kepercayaan, fikiran, ide, dan sikap kedalam pandangan hidup. Pada tahap ini sistem nilai telah menempati diri seseorang secara hierarki, tersusun dalam sistem internal yang kokoh. Pada saat ini seseorang akan mampu mengontrol diri, stabil dalam jangka waktu yang panjang dari segi belajar pada tahap ini siswa telah memilki tingkah laku yang khas. Ada dua subkategori dari sikap tingkatan ini, yaitu generalized set: mengalisis dan membuat kesimpulan secara logis menggunakan nilai-nilai yang konsisten terhadap setiap fakta. Strategi think pair and share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Strategi think pair share ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di universitas maryland sesuai yang dikutip Arends(1997), menyatakan bahwa think-pair-share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam thinkpair-share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk meresponsdan saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya. Sekarang guru menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan dialami. Guru memilih menggunakan thinkpair-share untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan. Guru menggunakan langkah-langkah (fase) menurut Ibnu (2015:130) sebagai berikut. Tabel 1. Kisi-Kisi Aktifitas Belajar Siswa No
Sintaks
Aspek Aktivitas
Indikator
1
Think
Guru mengajukan suatu pernyataan atau masalah yang
Membaca buku yang relevan dengan masalah atau soal
148 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2
3
dikaitkan dengan pelajaran Siswa berpasangan dan mendiskusika n apa yang telah mereka peroleh (4-5 menit)
Pair
Share
Berbagi hasil diskusi keseluruhasn kelas
X Menjelaskan penyelesaian soal kepada pasangannya , menyatukan kedua jawaban mereka dan bertanya kepada pasangannny a Guru meminta setiap pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan, membagikan hasil diskusi, menggapai hasil bertanya dari pasangan yang lain dan memperlihat kan siswa yang sedang membagikan hasil diskusi.
3. METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian ekperimen dengan menggunakan design One-Group Pretest-Post test. Desain ini digunakan dalam penelitian terdapat suatu kelompok yang diberi perlakuan (treatment), kemudian bermaksud untuk membandingkan keadaan sebelum dengan sesudah diberi perlakuan. Dengan demikian, hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat jika dibandingkan dengan desain sebelumnya. Paradigma penelitian ini, diilustrasikan sebagai berikut:
𝑂𝑂1 𝑋𝑋 𝑂𝑂2
Keterangan : : pelaksanaan pretest 𝑂𝑂1
𝑂𝑂2
:perlakuan/treatment yang diberikan : pelaksanaan posttest Pretest (𝑂𝑂1 ) dilaksanakan sebelum guru memberikan perlakuan terhadap siswa. Treatment (X) dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair and Share dengan menggunakan tahapan-tahapan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Postest (𝑂𝑂2 ) dilaksanakan setelah guru memberikan treatment/ tindakan. Penelitian dianalisis secara kuantitatif, karena peneliti memberikan penilaian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. melalui langkahlangkah model pembelajaran kooperatif TPS menurut Cholifah (2010:13) adalah 1) guru mengajukan pertanyan atau problema yang terkait dengan pelajaran dan guru menyediakan bahan dan alat yang diperlukan. 2) guru meminta para siswa untuk mendiskusikan mengenai apa yang telah dipikirkan melalui, explorasi atau prosedur penelitian. 3) pada langkah akhir ini guru meminta pasangan tersebut untuk berbagi atau bekerja sama dengan kelas secara keseluruhan mengenai apa yang telah dibicarakan. Subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 15 Surabaya, dengan jumlah siswa 37 orang yanng terdiri 18 siswa laki-laki dan 19 orang siswa perempuan. Waktu yang digunakan penelitian adalah semester genap tahun ajaran 2016/2017.
3.1 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar angket dan tes hasil belajar. Penilaian angket afektif terdiri dari 5 kategori, yaitu sangat setuju (nilai 5), setuju (nilai 4), cukup setuju (3), kurang setuju (nilai 2), sangat tidak setuju (nilai 1). Penelitian ini dilaksanakan sebanyak 3 kali pertemuan dikelas. Ada 3 cara pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu: (1) metode observasi untuk menilai hasil afektif siswa selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, (2) metode dokumentasi untuk memperoleh data nama-nama siswa yang menjadi sampel dalam penelitian, (3) metode angket untuk mengungkap nilai
149 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
afektif siswa selama proses berlangsung.
pembelajaran
3.2 Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah realibilitas tes yang menyatakan konsistensi suatu tes dalam memberikan hasil walaupun tes tersebut diujikan berkali-kali. Untuk menentukan koefisien reabilitas tes digunakan rumus sebagai berikut:
𝑟𝑟𝑋𝑋𝑋𝑋 =
𝑁𝑁 ∑ 𝑋𝑋.𝑌𝑌−(∑ 𝑋𝑋)(∑ 𝑌𝑌)
�[𝑁𝑁 ∑ 𝑋𝑋 2 −(∑ 𝑋𝑋)2 ][𝑁𝑁 ∑ 𝑌𝑌 2 −(∑ 𝑌𝑌)2 ]
D Keterangan: rXY = koefisien korelasi N = Banyaknya nilai X = Nilai hasil tes pertama Y = Nilai hasil tes kedua Data dianalisis dengan langkah-langkah berikut yaitu mendeskripsikan data, menganalisis secara kuantitatif untuk data berupa skor, dan menyimpulkan data. Sedangkan data pre test-postest dilakukan analisis kuantitatif yaitu dengan uji-r, adapun tahapannya seperti berikut 1. Hipotesis 𝐻𝐻𝑜𝑜 : Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe think pair and share tidak berpengaruh meningkatan nilai afektif siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 15 Surabaya. 𝐻𝐻𝑎𝑎 : Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe think pair and share berpengaruh meningkatan nilai afektif siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 15 Surabaya. 2. Kriteria Pengambilan Kesimpulan 𝐻𝐻𝑜𝑜 diterima jika 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 ≤ 𝐹𝐹𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝐻𝐻𝑜𝑜 ditolak atau 𝐻𝐻𝑎𝑎 diterima, jika 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 > 𝐹𝐹𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 3. Hasil Percobaan 4. Analisis menggunakan rumus uji r 5. Kesimpulan yaitu dengan membandingkan Harga 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 dengan harga 𝐹𝐹𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 .
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu peneliti mengidentifikasi masalah yang terjadi. Setelah teridentifikasi, peneliti merumuskan permasalahan dan tujuan dari penelitian dilakukan. Selanjutnya peneliti membuat instrumen penelitian yang akan digunakan sebagai alat ukur tercapai atau tidaknya tjuan penelitian yang diharapkan.
Sebelum instrument penelitian digunakan, terlebih dahulu divalidasi oleh validator dari satu dosen matematika dan satu guru pamong. Pada pelaksanaan tindakan, peneliti terlebih dahulu melakukan pre test untuk mengetahui nilai afektif awal siswa sebelum diberikan tindakan dan post test sesudah tindakan. Ada dua variabel yang diukur dalam penelitian ini yaitu nilai pre test dan post test angket siswa. Rincian nilai pre test dan post test angket siswa disajikan dalam tabel 2 4.1 Tabel Tabel 2 : Nilai Pretest dan Post Test Angket Siswa No Nama Pre test Post Siswa test 1 Siswa 1 45 45 2
Siswa 2
47
48
3
Siswa 3
47
47
4
Siswa 4
47
50
5
Siswa 5
46
51
6
Siswa 6
52
60
7
Siswa 7
46
45
8
Siswa 8
56
56
9
Siswa 9
61
55
10
Siswa 10
61
61
11
Siswa 11
52
53
12
Siswa 12
57
60
13
Siswa 13
54
54
14
Siswa 14
53
53
15
Siswa 15
53
54
16
Siswa 16
53
53
17
Siswa 17
53
53
18
Siswa 18
52
52
19
Siswa 19
52
52
20
Siswa 20
52
52
21
Siswa 21
52
52
22
Siswa 22
50
46
23
Siswa 23
55
52
24
Siswa 24
48
47
25
Siswa 25
55
59
26
Siswa 26
45
50
27
Siswa 27
59
56
28
Siswa 28
53
61
29
Siswa 29
48
54
30
Siswa 30
58
59
31
Siswa 31
51
50
32
Siswa 32
52
56
150 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
33
Siswa 33
Jumlah
49
49
1714
1745
Dari jumlah siswa sebanyak 37 orang, yang dianalisis hanya 33 karena 4 siswa lainnya dikarenakan tidak masuk atau berhalangan hadir. Selanjutnya dari data diatas akan dicari seberapa kuat hubungan kedua variabel tersebut agar dapat diketahui ada tidaknya hubungan atau pengaruh antara nilai pre test sebelum tindakan dan post test sesudah tindakan sehingga diperlukan uji hipotesis untuk mengetahui hal tersebut.
𝑟𝑟𝑋𝑋𝑋𝑋 =
𝑁𝑁 ∑ 𝑋𝑋.𝑌𝑌−(∑ 𝑋𝑋)(∑ 𝑌𝑌)
�[𝑁𝑁 ∑ 𝑋𝑋 2 −(∑ 𝑋𝑋)2 ][𝑁𝑁 ∑ 𝑌𝑌 2 −(∑ 𝑌𝑌)2 ]
15700 = 0,753771922 20828,58161
Maka R hitung 0,753771922. Berdasarkan uji r diperoleh 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 > 𝐹𝐹𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 , dengan a=0,05=0,632. Maka ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe think pair and share terhadap nilai afektif siswa 4.2 Gambar
Gambar 1. Hasil Pairing Siswa
Ternyata hasil pekerjaan siswa tersebut, terlihat siswa belum memahami maksud soal pada kesimpulannya tanpa memperhatikan pertanyaan soal yang seharusnya menunjukkan 1 + tan 𝑥𝑥 = (𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 + sin 𝑥𝑥) 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑥𝑥. Hal ini biasanya disebabkan siswa terburu-buru menyimpulkan hasil akhirnya. Supaya tidak terulang kembali, pada saat refleksi peneliti menekankan pentingnya memahami perintah soal sampai tuntas. Selain itu peneliti juga merefleksi bagian yang masih kurang dan
membenarkan yang masih salah penyampaian siswa pada saat presentasi. Pada akhir pembelajaran peneliti membagikan angket untuk mengetahui nilai afektif saat pembelajaran berlangsung yaitu dengan menilai teman sebaya (pasangan) kelompok. Selama proses pembelajaran kooperatif tipe think pair and share berlangsung, seorang guru yang bertugas sebagai observer sekaligus guru pamong. Observer mengamati proses pembelajaran dari awal sampai akhir membantu peneliti untuk menemukan pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe think share and share terhadap siswa. Peneliti mengontrol jalannya diskusi dan memberi bimbingan pada hal-hal yang belum dipahami oleh siswa berkaitan dengan materi dan tugas yang didiskusikan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa; 1. Adanya pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe think pair and share terhadap nilai afektif siswa 2. Model pembelajaran kooperatif tipe think pair and share dapat meningkatkan nilai afektif siswa dengan aspek afektif diantaranya, menerima, memberi tanggapan, menghargai, mengorganisasi, dan konsisten terhadap suatu nilai. 3. Pada saat diskusi kelompok siswa bisa bekerja sama dengan baik dan mampu menjelaskan kepada anggota lainnya 4. Pada saat presentasi siswa sangat antusias presentasi menyampaikan hasil diskusi. 5. Berdasarkan hasil tes akhir 88,88% siswa memperoleh nilai tidak kurang dari 85, yang berarti sudah mencapai kriteria keberhasilan tindakan. Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe think pair and share yaitu membutuhkan banyak waktu sehingga peneliti harus disiplin memperhatikan waktu yang sudah tersedia. Penelitian ini hanya untuk mendeskripsikan pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe think pair and share terhadap nilai afektif siswa,
151 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
sehingga selanjutnya diharapkan dapat dilakukan penelitian membangun pemahaman konsep matematika lainnya melalui model pembelajaran kooperatif tipe think pair and share.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua saya yaitu Ibu, bapak beserta keluarga yang selalu mendukung saya dalam mencari ilmu hingga masuk di dunia kampus derajat sekolah tertinggi di dunia pendidikan Indonesia. Tak lupa ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya kami haturkan kepada bapak-ibu dosen atas kesudiannya tidak ada lelahnya untuk membimbing mahasiswanya menjadi seoarang guru peneliti, menjadi pengarah kejalan yang sangat mulia yakni menjadikan guru yang professional baik pedagogik, spiritual, dan berakhlakul karimah. Terakhir terimakasih kepada STKIP Al-hikmah yang memfasilitasi semua hal terkait penyusunan proposal penelitian hingga seminar semoga bermanfaat bagi bangsa dan negara.
DAFTAR PUSTAKA Nurnawati, Enis dkk.2012.Peningkatan Kerjasama Siswa SMP Melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif Pendekatan THINK PAIR SHARE. Unnes Physics Education. Vol.1, No.1, Mei
Mufidah, Lailatul.2013.Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan Matriks. Journal Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo. Vol.1, No.1, April Saila, nurul.2016.Penerapan Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Pada Perkuliahan Metematika Materi Ukuran Gejala Pusat dan Ukuran Letak.Prosiding Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika.Cirebon: FKIP Unswagati Press Racmawati, indah.2016.Pengembangan Perangkat Berbasis Pendekatan Saintifik Dengan Model Kooperatif Jigsaw Pada Pokok Bahasan Segi Empat Untuk Kelas & SMP.Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika.Malang: CV. Bintang Sejahtera Kurnia, E.L dkk.2015. Penelitian Pendidikan Matematika. Bandung: PT Rafika Aditama Ibnu, trianto.2015. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif dan Konstektual.. Jakarta: Prenada Media Group Amri,sofan.2015.Pengembangan & Model Pembelajaran.Jakarta: PT Pustak
152 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PEMETAAN JORDAN PADA ALJABAR SEGITIGA Siti Dwirinty Hardyanti, Nurul Huda, Thresye Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung Mangkurat
[email protected]
Abstrak Aljabar adalah cabang matematika yang mempelajari struktur, hubungan dan kuantitas. Aljabar sendiri memiliki beberapa cabang ilmu, seperti aljabar Jordan dan aljabar segitiga. Menurut Richard (2007), aljabar Jordan merupakan ruang vektor dengan operasi perkalian khusus yang dinotasikan dengan ○ pada aljabar Jordan dan memenuhi aksioma 𝑝𝑝 ○ 𝑞𝑞 = 𝑞𝑞 ○ 𝑝𝑝 dan 𝑝𝑝2 ○ (𝑞𝑞 ○ 𝑝𝑝) = (𝑝𝑝2 ○ 𝑞𝑞) ○ 𝑝𝑝 untuk setiap 𝑝𝑝, 𝑞𝑞 ∈ 𝑃𝑃. Pemetaan Jordan sendiri menurut Jie dan Liu (2008) adalah jika 𝑃𝑃 dan 𝑄𝑄 suatu aljabar Jordan, maka suatu fungsi bijektif 𝜙𝜙 ∶ 𝑃𝑃 → 𝑄𝑄 yang memenuhi 𝜙𝜙(𝑝𝑝 ○ 𝑞𝑞) = 𝜙𝜙(𝑝𝑝) ○ 𝜙𝜙(𝑞𝑞) untuk setiap 𝑝𝑝, 𝑞𝑞 ∈ 𝑃𝑃 merupakan suatu pemetaan Jordan. Aljabar segitiga menurut Cheung (2000), merupakan suatu aljabar dengan bentuk 𝐴𝐴 𝑋𝑋 𝔄𝔄 = � � dengan 𝐴𝐴 dan 𝐵𝐵 modul atas ring komutatif 𝑅𝑅, dan 𝑋𝑋 bimodul atas (𝐴𝐴, 𝐵𝐵) dimana 𝑋𝑋 modul kiri 𝐵𝐵 atas 𝐴𝐴 dan 𝑋𝑋 modul kanan atas 𝐵𝐵. Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan teorema yang menunjukkan bagaimana pemetaan Jordan pada aljabar segitiga. Penelitian ini bersifat studi literatur, yaitu mengumpulkan bahan atau materi yang berkaitan dengan topik penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemetaan 𝑀𝑀: 𝑇𝑇 → 𝑅𝑅′ dan 𝑀𝑀∗ : 𝑅𝑅′ → 𝑇𝑇 di mana 𝑇𝑇 aljabar segitiga 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇(𝐴𝐴, 𝑋𝑋, 𝐵𝐵) dan 𝑅𝑅′ suatu sebarang ring merupakan suatu pemetaan bijektif. Pemetaan 𝑀𝑀: 𝑇𝑇 → 𝑅𝑅′ merupakan suatu pemetaan Jordan jika 𝑀𝑀 aditif pada 𝑇𝑇, yaitu 𝑀𝑀(𝑎𝑎 + 𝑏𝑏) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎) + 𝑀𝑀(𝑏𝑏) untuk setiap 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑇𝑇 dan pemetaan 𝑀𝑀 ∗ : 𝑅𝑅′ → 𝑇𝑇 merupakan suatu pemetaan Jordan jika 𝑀𝑀∗ penjumlahan pada 𝑅𝑅′ , yaitu 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) = 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦) untuk setiap 𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑅𝑅′. Kata kunci : Aljabar Jordan, pemetaan Jordan, aljabar segitiga
1. PENDAHULUAN Menurut Richardo [6], aljabar Jordan merupakan ruang vektor dengan operasi perkalian khusus yang dilambangkan dengan ○ dan memenuhi aksioma 𝑝𝑝 ○ 𝑞𝑞 = 𝑞𝑞 ○ 𝑝𝑝 dan 𝑝𝑝2 ○ (𝑞𝑞 ○ 𝑝𝑝) = (𝑝𝑝2 ○ 𝑞𝑞) ○ 𝑝𝑝. Pemetaan Jordan sendiri menurut Jie dan Liu (2008) adalah jika 𝑃𝑃 dan 𝑄𝑄 suatu aljabar Jordan, maka suatu fungsi bijektif 𝜙𝜙 ∶ 𝑃𝑃 → 𝑄𝑄 yang memenuhi 𝜙𝜙(𝑝𝑝 ○ 𝑞𝑞) = 𝜙𝜙(𝑝𝑝) ○ 𝜙𝜙(𝑞𝑞) untuk setiap 𝑝𝑝, 𝑞𝑞 ∈ 𝑃𝑃 merupakan suatu pemetaan Jordan. Aljabar segitiga menurut Cheung [4], merupakan suatu aljabar dengan bentuk 𝐴𝐴 𝑋𝑋 𝔄𝔄 = � � dengan 𝐴𝐴 dan 𝐵𝐵 modul atas 𝐵𝐵 ring komutatif 𝑅𝑅, dan 𝑋𝑋 bimodul atas (𝐴𝐴, 𝐵𝐵) dimana 𝑋𝑋 modul kiri atas 𝐴𝐴 dan 𝑋𝑋 modul kanan atas 𝐵𝐵. Berdasarkan definisi aljabar Jordan dan aljabar segitiga, maka diketahui bahwa salah satu syarat dari aljabar Jordan adalah ruang vektor dan salah satu syarat dari aljabar segitiga adalah modul. Ruang vektor merupakan suatu grup komutatif yang dioperasikan dengan lapangan dan memenuhi aksioma pada ruang vektor, sedangkan modul
merupakan suatu grup komutatif yang dioperasikan dengan ring dan memenuhi aksioma pada modul sehingga dapat dikatakan bahwa modul merupakan perumuman dari ruang vektor. Melihat hubungan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan aljabar Jordan dengan aljabar segitiga yang ditunjukkan dengan pemetaan Jordan pada aljabar segitiga.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.7 Ring Ring 𝑅𝑅 adalah suatu aljabar yang memiliki dua operasi biner yaitu penjumlahan + dan perkalian • yang dinotasikan dengan (𝑅𝑅, +,•) dan memenuhi beberapa aksioma berdasarkan definisi sebagai berikut: Definisi 2.1.1 [7] 1. Suatu ring R dengan dua operasi biner + dan • (umumnya disebut dengan penjumlahan dan perkalian) yang memenuhi aksioma: a. (𝑅𝑅, +) merupakan grup komutatif.
153 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
b. (𝑅𝑅,•) merupakan asosiatif (𝑎𝑎𝑎𝑎)𝑐𝑐 = 𝑎𝑎(𝑏𝑏𝑏𝑏) jika untuk setiap 𝑎𝑎, 𝑏𝑏, 𝑐𝑐 ∈ 𝑅𝑅, c. Hukum distributif pada R, untuk (𝑎𝑎 + 𝑏𝑏)𝑐𝑐 = setiap 𝑎𝑎, 𝑏𝑏, 𝑐𝑐 ∈ 𝑅𝑅 (𝑎𝑎𝑎𝑎) + (𝑏𝑏𝑏𝑏) dan 𝑎𝑎(𝑏𝑏 + 𝑐𝑐) = (𝑎𝑎𝑎𝑎) + (𝑎𝑎𝑎𝑎) 2. Ring R merupakan suatu ring komutatif jika perkaliannya suatu komutatif. 3. Ring R merupakan suatu ring dengan elemen satuan jika terdapat 1 ∈ 𝑅𝑅 dengan 1𝑎𝑎 = 𝑎𝑎1 = 𝑎𝑎 untuk setiap 𝑎𝑎 ∈ 𝑅𝑅. Teorema 2.1.2 [7] Diberikan 𝑅𝑅 suatu ring. Maka i. 0𝑎𝑎 = 𝑎𝑎0 = 0 untuk setiap 𝑎𝑎 ∈ 𝑅𝑅 ii. (−𝑎𝑎)𝑏𝑏 = 𝑎𝑎(−𝑏𝑏) = −(𝑎𝑎𝑎𝑎) untuk setiap 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑅𝑅. iii. (−𝑎𝑎)(−𝑏𝑏) = 𝑎𝑎𝑎𝑎 untuk setiap 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑅𝑅. iv. Jika 𝑅𝑅 memiliki elemen identitas 1, maka −𝑎𝑎 = (−1)𝑎𝑎.
Definisi 2.1.3 [1] Misalkan 𝑅𝑅 suatu Ring. Lapangan adalah Ring komutatif yang mempunyai elemen satuan serta setiap elemen tak nolnya mempunyai invers di operasi pergandaan yaitu 𝑥𝑥 −1 ∈ 𝑅𝑅 sehingga 𝑥𝑥𝑥𝑥 −1 = 𝑥𝑥 −1 𝑥𝑥 = 1, 𝑥𝑥 ∈ 𝑅𝑅.
c. 𝑚𝑚(𝑎𝑎𝑎𝑎) = (𝑚𝑚𝑚𝑚)𝑏𝑏 d. 𝑚𝑚1 = 𝑚𝑚. Lemma 2.2.2 [1] Jika 𝑅𝑅 suatu ring komutatif dengan elemen satuan maka 𝑅𝑅 merupakan modul kiri sekaligus modul kanan atas dirinya sendiri yang didefinisikan 𝑚𝑚𝑚𝑚 = 𝑟𝑟𝑟𝑟, untuk setiap 𝑚𝑚 ∈ 𝑀𝑀, 𝑟𝑟 ∈ 𝑅𝑅. 2.9 Ruang Vektor Ruang vektor adalah struktur matematika yang dibentuk oleh sekumpulan vektor, yaitu objek yang dapat dijumlahkan dan dikalikan dengan suatu bilangan yang dinamakan skalar. Berikut ini dijelaskan definisi dari ruang vektor. Definisi 2.3.1 [2] Ruang vektor V atas lapangan F adalah suatu operasi matematika dengan operasi penjumlahan dan operasi perkalian dengan skalar yang memenuhi aksioma sebagai berikut: 1.
2.8 Modul Modul merupakan perumuman dari ruang vektor yang memiliki dua operasi biner. Berikut ini merupakan definisi dari Modul.
2. Definisi 2.2.1 [1] Diberikan R suatu ring dengan elemen satuan 1. Modul kiri atas R adalah grup komutatif 𝑀𝑀 terhadap penjumlahan yang dilengkapi dengan pemetaan pergandaan skalar•∶ 𝑅𝑅 × 𝑀𝑀 → 𝑀𝑀 sedemikian hingga untuk setiap 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑅𝑅 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑚𝑚, 𝑛𝑛 ∈ 𝑀𝑀 berlaku: a. 𝑎𝑎(𝑚𝑚 + 𝑛𝑛) = 𝑎𝑎𝑎𝑎 + 𝑎𝑎𝑎𝑎 b. (𝑎𝑎 + 𝑏𝑏)𝑚𝑚 = 𝑎𝑎𝑎𝑎 + 𝑏𝑏𝑏𝑏 c. (𝑎𝑎𝑎𝑎)𝑚𝑚 = 𝑎𝑎(𝑏𝑏𝑏𝑏) d. 1𝑚𝑚 = 𝑚𝑚 2. Modul kanan atas R adalah grup komutatif 𝑀𝑀 terhadap penjumlahan yang dilengkapi dengan pemetaan pergandaan skalar•∶ 𝑀𝑀 × 𝑅𝑅 → 𝑀𝑀 sedemikian hingga untuk setiap 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑅𝑅 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑚𝑚, 𝑛𝑛 ∈ 𝑀𝑀 berlaku: a. (𝑚𝑚 + 𝑛𝑛)𝑎𝑎 = 𝑚𝑚𝑚𝑚 + 𝑛𝑛𝑛𝑛 b. 𝑚𝑚(𝑎𝑎 + 𝑏𝑏) = 𝑚𝑚𝑚𝑚 + 𝑚𝑚𝑚𝑚
Terhadap operasi penjumlahan a. 𝑥𝑥 + 𝑦𝑦 = 𝑦𝑦 + 𝑥𝑥 untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑉𝑉 b. (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) + 𝑧𝑧 = 𝑥𝑥 + (𝑦𝑦 + 𝑧𝑧), untuk semua 𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 ∈ 𝑉𝑉 c. terdapat unsur 0 ∈ 𝑉𝑉, ,yang bersifat 𝑥𝑥 + 0 = 𝑥𝑥 untuk setiap 𝑥𝑥 ∈ 𝑉𝑉 d. untuk setiap 𝑥𝑥 ∈ 𝑉𝑉 terdapat −𝑥𝑥 ∈ 𝑉𝑉 yang memenuhi 𝑥𝑥 + (−𝑥𝑥) = 0 Terhadap operasi perkalian dengan skalar a. 𝛼𝛼(𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) = 𝛼𝛼𝛼𝛼 + 𝛼𝛼𝛼𝛼, untuk setiap 𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑉𝑉 dan 𝛼𝛼 ∈ 𝐹𝐹 b. (𝛼𝛼 + 𝛽𝛽)𝑥𝑥 = 𝛼𝛼𝛼𝛼 + 𝛽𝛽𝛽𝛽, untuk setiap 𝑥𝑥 ∈ 𝑉𝑉 dan 𝛼𝛼, 𝛽𝛽 ∈ 𝐹𝐹 c. (𝛼𝛼𝛼𝛼)𝑥𝑥 = 𝛽𝛽(𝛼𝛼𝛼𝛼), untuk setiap 𝑥𝑥 ∈ 𝑉𝑉 dan 𝛼𝛼, 𝛽𝛽 ∈ 𝐹𝐹 d. 1𝑥𝑥 = 𝑥𝑥 untuk setiap 𝑥𝑥 ∈ 𝑉𝑉
2.10 Aljabar Jordan Aljabar Jordan yang biasa disimbolkan dengan 𝒥𝒥 merupakan suatu aljabar dimana ruang vektor dengan operasi perkalian Jordan ○ dengan definisi sebagai berikut:
Definisi 2.4.1 [5] Aljabar Jordan yang disimbolkan dengan 𝒥𝒥, merupakan aljabar dimana ruang vektor dengan operasi perkalian Jordan ○, serta memenuhi aksioma: 1. 𝑝𝑝 ○ 𝑞𝑞 = 𝑞𝑞 ○ 𝑝𝑝 untuk setiap 𝑝𝑝, 𝑞𝑞 ∈ 𝒥𝒥
154 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
𝑝𝑝2 ○ (𝑞𝑞 ○ 𝑝𝑝) = (𝑝𝑝2 ○ q) ○ 𝑝𝑝, di mana 𝑝𝑝2 = 𝑝𝑝 ○ 𝑝𝑝 untuk setiap 𝑝𝑝, 𝑞𝑞 ∈ 𝒥𝒥 Operasi perkalian pada Jordan, ○ 1 didefinisikan dengan 𝑝𝑝 ○ 𝑞𝑞 = (𝑝𝑝𝑝𝑝 + 𝑞𝑞𝑞𝑞) 2 . Definisi 2.4.2 [9] Diberikan 𝑃𝑃 dan 𝑄𝑄 suatu aljabar Jordan dengan fungsi bijektif 𝜙𝜙: 𝑃𝑃 → 𝑄𝑄. Jika 𝜙𝜙(𝑝𝑝 ○ 𝑞𝑞) = 𝜙𝜙(𝑞𝑞) ○ 𝜙𝜙(𝑝𝑝) untuk setiap 𝑝𝑝, 𝑞𝑞 ∈ 𝑃𝑃,maka 𝜙𝜙 merupakan suatu pemetaan Jordan. 2.
Definisi 2.4.3 [2] Diberikan 𝑅𝑅1 dan 𝑅𝑅′ suatu ring, dan 𝜙𝜙 pemetaan dari 𝑅𝑅1 → 𝑅𝑅′ dengan 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 dan 𝑐𝑐 sebarang elemen di 𝑅𝑅1 . 1. 𝜙𝜙 suatu perkalian jika 𝜙𝜙(𝑎𝑎𝑎𝑎) = 𝜙𝜙(𝑎𝑎)𝜙𝜙(𝑏𝑏). 2. 𝜙𝜙 suatu pemetaan Jordan jika 𝜙𝜙(𝑎𝑎𝑎𝑎 + 𝑏𝑏𝑏𝑏) = 𝜙𝜙(𝑎𝑎)𝜙𝜙(𝑏𝑏) + 𝜙𝜙(𝑏𝑏)𝜙𝜙(𝑎𝑎). 3. 𝜙𝜙 suatu pemetaan triple Jordan jika 𝜙𝜙(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 + 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐) = 𝜙𝜙(𝑎𝑎)𝜙𝜙(𝑏𝑏)𝜙𝜙(𝑐𝑐) + 𝜙𝜙(𝑐𝑐)𝜙𝜙(𝑏𝑏)𝜙𝜙(𝑎𝑎). Definisi 2.4.4 [9] Diberikan 𝑅𝑅1 dan 𝑅𝑅′ suatu ring, dan jika 𝑀𝑀: 𝑅𝑅1 → 𝑅𝑅′ dan 𝑀𝑀∗ : 𝑅𝑅′ → 𝑅𝑅1 dua buah pemetaan. Pasangan berurut (𝑀𝑀, 𝑀𝑀∗ ) merupakan pemetaan Jordan atas 𝑅𝑅1 × 𝑅𝑅′ jika 𝑀𝑀(𝑎𝑎𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥)𝑎𝑎) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎)𝑥𝑥 + 𝑥𝑥𝑥𝑥(𝑎𝑎). � 𝑀𝑀∗ �𝑀𝑀(𝑎𝑎)𝑥𝑥 + 𝑥𝑥𝑥𝑥(𝑎𝑎)� = 𝑎𝑎𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥)𝑎𝑎, untuk setiap 𝑎𝑎 ∈ 𝑅𝑅1 , 𝑥𝑥 ∈ 𝑅𝑅′ . 2.11
Aljabar Segitiga
𝐴𝐴 Suatu aljabar dengan bentuk 𝔄𝔄 = �
𝑋𝑋 � 𝐵𝐵 dengan aljabar A dan B atas ring komutatif R, dan 𝑋𝑋 bimodul atas (𝐴𝐴, 𝐵𝐵)dimana 𝑋𝑋 modul kiri atas 𝐴𝐴 dan 𝑋𝑋 modul kanan atas 𝐵𝐵 merupakan suatu aljabar segitiga dengan definisi sebagai berikut. Definisi 2.5.1 [3] 𝑅𝑅 suatu ring komutatif dengan elemen satuan. Diberikan A dan B modul atas ring komutatif 𝑅𝑅, dan X bimodul atas (A,B) dimana 𝑋𝑋 modul kiri atas 𝐴𝐴 dan 𝑋𝑋 modul kanan atas 𝐵𝐵. Suatu aljabar 𝔄𝔄 = 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇(𝐴𝐴, 𝑋𝑋, 𝐵𝐵) 𝑎𝑎 𝑥𝑥 = �� � : 𝑎𝑎 ∈ 𝐴𝐴, 𝑏𝑏 ∈ 𝐵𝐵, 𝑥𝑥 ∈ 𝑋𝑋� 𝑏𝑏 dengan operasi penjumlahan dan perkalian matriks disebut aljabar segitiga.
Selanjutnya 𝑎𝑎⨁𝑏𝑏 menunjukkan 𝑎𝑎 0 � elemen pada 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇(𝐴𝐴, 𝑋𝑋, 𝐵𝐵). bahwa � 𝑏𝑏
3. METODE
Penelitian dilakukan dengan cara studi literatur dari berbagai sumber baik dari buku, artikel maupun jurnal yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Adapun prosedur yang digunakan dalam penelitian adalah mengumpulkan bahan atau materi penelitian baik berupa buku ataupun jurnal yang berkaitan dengan materi tersebut, kemudian mempelajari tentang pemetaan, grup, ring, lapangan, ruang vektor, modul, aljabar Jordan dan aljabar segitiga yang merupakan dasar dari pemetaan Jordan pada aljabar segitiga, selanjutnya membuktikan teorema dan lemma pada grup, ring dan modul, serta membuktikan lemma-lemma yang diperlukan untuk membuktikan teorema pemetaan Jordan pada aljabar segitiga, kemudian membuktikan teorema yang menyatakan hubungan aljabar Jordan dan aljabar segitiga yang ditunjukkan dengan pemetaan Jordan pada aljabar segitiga.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.6
Pemetaan Jordan pada Aljabar Segitiga Teorema 4.1.1 [10] Diberikan 𝑅𝑅′ suatu ring sebarang, kemudian A dan B merupakan modul atas ring komutatif 𝑅𝑅, X suatu bimodul atas (𝐴𝐴, 𝐵𝐵) dan T suatu aljabar segitiga 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇(𝐴𝐴, 𝑋𝑋, 𝐵𝐵) yang memenuhi: (i) Jika 𝑎𝑎 ∈ 𝐴𝐴 sedemikian sehingga 𝑎𝑎𝑎𝑎1 + 𝑎𝑎1 𝑎𝑎 = 0 untuk setiap 𝑎𝑎1 ∈ 𝐴𝐴, 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑎𝑎 = 0 (ii) Jika 𝑏𝑏 ∈ 𝐵𝐵 sedemikian sehingga 𝑏𝑏𝑏𝑏1 + 𝑏𝑏1 𝑏𝑏 = 0 untuk setiap 𝑏𝑏1 ∈ 𝐵𝐵, 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑏𝑏 = 0 (iii) Jika 𝑥𝑥 ∈ 𝑋𝑋 sedemikian sehingga 𝑎𝑎𝑎𝑎 = 0 untuk setiap 𝑎𝑎 ∈ 𝐴𝐴, 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑥𝑥𝑥𝑥 = 0 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑏𝑏 ∈ 𝐵𝐵, 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑥𝑥 = 0(𝑀𝑀, 𝑀𝑀∗ ) merupakan suatu pemetaan Jordan dari 𝑇𝑇 × 𝑅𝑅′ serta 𝑀𝑀 dan 𝑀𝑀∗ suatu pemetaan surjektif. Akan ditunjukkan bahwa 𝑀𝑀 dan 𝑀𝑀∗ merupakan suatu penjumlahan. Berdasarkan teorema tersebut, untuk membuktikan Teorema 4.1.1 maka diperlukan lemma-lemma sebagai berikut:
155 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Lemma 4.1.2 Diberikan pemetaan 𝑀𝑀: 𝑇𝑇 → 𝑅𝑅′ ∗ ′ dan 𝑀𝑀 : 𝑅𝑅 → 𝑇𝑇 suatu pemetaan surjektif, di mana T aljabar segitiga 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇(𝐴𝐴, 𝑋𝑋, 𝐵𝐵) dan 𝑅𝑅 suatu sebarang ring. Tunjukkan bahwa 𝑀𝑀(0) = 0 dan 𝑀𝑀∗ (0) = 0. Lemma 4.1.3 Diberikan pemetaan Jordan 𝑀𝑀: 𝑇𝑇 → suatu pemetaan 𝑅𝑅′ 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑀𝑀∗ : 𝑅𝑅′ → 𝑇𝑇 surjektif, di mana 𝑇𝑇 aljabar segitiga 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇(𝐴𝐴, 𝑋𝑋, 𝐵𝐵) dan 𝑅𝑅′ suatu sebarang ring, maka 𝑀𝑀 dan 𝑀𝑀∗ merupakan bijektif. Lemma 4.1.4 merupakan Pasangan (𝑀𝑀∗−1 , 𝑀𝑀−1 ) pemetaan Jordan atas 𝑇𝑇 × 𝑅𝑅′ , maka pemetaan 𝑀𝑀∗−1 : 𝑇𝑇 → 𝑅𝑅′ dan 𝑀𝑀−1 : 𝑅𝑅′ → 𝑇𝑇 sehingga
𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎𝑀𝑀−1 (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀−1 (𝑥𝑥)𝑎𝑎) = 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎)𝑥𝑥 + 𝑥𝑥𝑀𝑀 ∗−1 (𝑎𝑎), � −1 ∗−1 𝑀𝑀 �𝑀𝑀 (𝑎𝑎)𝑥𝑥 + 𝑥𝑥𝑀𝑀 ∗−1 (𝑎𝑎)� = 𝑎𝑎𝑀𝑀 −1 (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀−1 (𝑥𝑥)𝑎𝑎
untuk setiap 𝑎𝑎 ∈ 𝐴𝐴, 𝑥𝑥 ∈ 𝑅𝑅′ dimana 𝑇𝑇 aljabar segitiga 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇(𝐴𝐴, 𝑋𝑋, 𝐵𝐵) dan 𝑅𝑅′ suatu sebarang ring. Lemma 4.1.5 Jika 𝑠𝑠, 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑇𝑇 sedemikian sehingga 𝑀𝑀(𝑠𝑠) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎) + 𝑀𝑀(𝑏𝑏), maka untuk setap 𝑡𝑡 ∈ 𝑇𝑇 berlaku i. 𝑀𝑀(𝑡𝑡𝑡𝑡 + 𝑠𝑠𝑠𝑠) = 𝑀𝑀(𝑡𝑡𝑡𝑡 + 𝑎𝑎𝑎𝑎) + 𝑀𝑀(𝑡𝑡𝑡𝑡 + 𝑏𝑏𝑏𝑏) ii. 𝑀𝑀∗−1 (𝑡𝑡𝑡𝑡 + 𝑠𝑠𝑠𝑠) = 𝑀𝑀∗−1 (𝑡𝑡𝑡𝑡 + 𝑎𝑎𝑎𝑎) + 𝑀𝑀∗−1 (𝑡𝑡𝑡𝑡 + 𝑏𝑏𝑏𝑏) Lemma 4.1.6 Jika 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖 ∈ 𝑇𝑇𝑖𝑖𝑖𝑖 , 1 ≤ 𝑖𝑖 ≤ 𝑗𝑗 ≤ 2. Maka i. 𝑀𝑀(𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 ) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎11 ) + 𝑀𝑀(𝑎𝑎12 ) ii. 𝑀𝑀(𝑎𝑎22 + 𝑎𝑎12 ) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎22 ) + 𝑀𝑀(𝑎𝑎12 ) iii. 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 ) = 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎11 ) + 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎12 ) iv. 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎22 + 𝑎𝑎12 ) = 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎22 ) + 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎12 ) Lemma 4.1.7 Jika 𝑎𝑎11 ∈ 𝑇𝑇11 , 𝑎𝑎12 , 𝑏𝑏12 ∈ 𝑇𝑇12 , 𝑏𝑏22 ∈ 𝑇𝑇22 , maka i. 𝑀𝑀(𝑎𝑎11 𝑏𝑏12 + 𝑎𝑎12 𝑏𝑏22 ) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎11 𝑏𝑏12 ) + 𝑀𝑀(𝑎𝑎12 𝑏𝑏22 ) ii. 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎11 𝑏𝑏12 + 𝑎𝑎12 𝑏𝑏22 ) = 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎11 𝑏𝑏12 ) + 𝑀𝑀∗−1 (𝑎𝑎12 𝑏𝑏22 )
Lemma 4.1.8 𝑀𝑀 dan 𝑀𝑀∗−1 merupakan penjumlahan pada 𝑇𝑇12 . Lemma 4.1.9 𝑀𝑀 dan 𝑀𝑀∗−1 merupakan penjumlahan pada 𝑇𝑇11 . Lemma 4.1.10 𝑀𝑀 dan 𝑀𝑀∗−1 merupakan penjumlahan pada 𝑇𝑇22 .
Lemma 4.1.11 Jika 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖 ∈ 𝑇𝑇𝑖𝑖𝑖𝑖 , 1 ≤ 𝑖𝑖 ≤ 𝑗𝑗 ≤ 2, maka akan ditunjukkan bahwa 𝑀𝑀(𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 ) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎11 ) + 𝑀𝑀(𝑎𝑎12 ) + 𝑀𝑀(𝑎𝑎22 ). Berdasarkan pembuktian dari Lemma 4.1.2 hingga Lemma 4.1.11, selanjutnya akan dibuktikan Teorema 4.1.1. Bukti Teorema 4.1.1 i. 𝑀𝑀 suatu penjumlahan pada 𝑇𝑇 Jika 𝑎𝑎 = 𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 ∈ 𝐴𝐴, 𝑏𝑏 = 𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏22 ∈ B, berdasarkan Lemma 4.1.8 hingga 4.1.11 diperoleh 𝑀𝑀(𝑎𝑎 + 𝑏𝑏) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎11 + 𝑏𝑏11 ) + 𝑀𝑀(𝑎𝑎12 + 𝑏𝑏12 ) + 𝑀𝑀(𝑎𝑎22 + 𝑏𝑏22 )
ii.
= 𝑀𝑀(𝑎𝑎11 ) + 𝑀𝑀(𝑏𝑏11 ) + 𝑀𝑀(𝑎𝑎12 ) + 𝑀𝑀(𝑏𝑏12 ) + 𝑀𝑀(𝑎𝑎22 ) + 𝑀𝑀(𝑏𝑏22 ) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 ) + 𝑀𝑀(𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏22 ) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎) + 𝑀𝑀(𝑏𝑏) Sedemikian sehingga 𝑀𝑀 merupakan penjumlahan pada 𝑇𝑇. Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa 𝑀𝑀∗ merupakan penjumlahan pada 𝑅𝑅′ . Jika 𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑅𝑅′ , Akan ditunjukkan bahwa 𝑎𝑎 = 𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 = 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦), 𝑏𝑏 = 𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏22 = 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦). Untuk setiap 𝑡𝑡11 ∈ 𝑇𝑇11 , 𝑀𝑀 suatu penjumlahan pada 𝑇𝑇 sedemikian sehingga 𝑀𝑀(𝑡𝑡11 𝑎𝑎 + 𝑎𝑎𝑡𝑡11 ) = 𝑀𝑀((𝑡𝑡11 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥)𝑡𝑡11 ) + (𝑡𝑡11 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦) + 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦)𝑡𝑡11 ) = 𝑀𝑀(𝑡𝑡11 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥)𝑡𝑡11 ) + 𝑀𝑀(𝑡𝑡11 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦) + 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦)𝑡𝑡11 )
156 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
= 𝑀𝑀(𝑡𝑡11 )𝑥𝑥 + 𝑥𝑥𝑥𝑥(𝑡𝑡11 ) + 𝑀𝑀(𝑡𝑡11 )𝑦𝑦 + 𝑦𝑦𝑦𝑦(𝑡𝑡11 )
= 𝑀𝑀(𝑡𝑡11 )(𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) + (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦)𝑀𝑀(𝑡𝑡11 )
= 𝑀𝑀(𝑡𝑡11 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) + 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦)𝑡𝑡11 )
𝑀𝑀(𝑡𝑡12 𝑎𝑎 + 𝑎𝑎𝑡𝑡12 )
= 𝑀𝑀(𝑡𝑡11 𝑏𝑏 + 𝑏𝑏𝑡𝑡11 )
Dari persamaan tersebut maka diperleh 𝑡𝑡11 𝑎𝑎 + 𝑎𝑎𝑡𝑡11 = 𝑡𝑡11 𝑏𝑏 + 𝑏𝑏𝑡𝑡11 .
= 𝑀𝑀(𝑡𝑡12 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥)𝑡𝑡12 ) + 𝑀𝑀(𝑡𝑡12 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦) + 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦)𝑡𝑡12 )
𝑡𝑡11 (𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 ) + (𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 )𝑡𝑡11
= 𝑀𝑀(𝑡𝑡12 )𝑥𝑥 + 𝑥𝑥𝑥𝑥(𝑡𝑡12 ) + 𝑀𝑀(𝑡𝑡12 )𝑦𝑦 + 𝑦𝑦𝑦𝑦(𝑡𝑡12 )
= 𝑡𝑡11 (𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏22 ) + (𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏22 )𝑡𝑡11
= 𝑀𝑀(𝑡𝑡12 )(𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) + (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦)𝑀𝑀(𝑡𝑡12 )
𝑡𝑡11 𝑎𝑎11 + 𝑡𝑡11 𝑎𝑎12 + 𝑡𝑡11 𝑎𝑎22 + 𝑎𝑎11 𝑡𝑡11 + 𝑎𝑎12 𝑡𝑡11 + 𝑎𝑎22 𝑡𝑡11
= 𝑀𝑀(𝑡𝑡12 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) + 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦)𝑡𝑡12 )
= 𝑡𝑡11 𝑏𝑏11 + 𝑡𝑡11 𝑏𝑏12 + 𝑡𝑡11 𝑏𝑏22 + 𝑏𝑏11 𝑡𝑡11 + 𝑏𝑏12 𝑡𝑡11 + 𝑏𝑏22 𝑡𝑡11
Diketahui bahwa 𝑡𝑡𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑎𝑎𝑘𝑘𝑘𝑘 = 0, 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑡𝑡𝑘𝑘𝑘𝑘 = 0, 𝑡𝑡𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑏𝑏𝑘𝑘𝑘𝑘 = 0, 𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑡𝑡𝑘𝑘𝑘𝑘 = 0 jika 𝑗𝑗 ≠ 𝑘𝑘, sehingga diperoleh
= 𝑀𝑀((𝑡𝑡12 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥)𝑡𝑡12 ) + (𝑡𝑡12 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦) + 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦)𝑡𝑡12 )
= 𝑀𝑀(𝑡𝑡12 𝑏𝑏 + 𝑏𝑏𝑡𝑡12 )
Dari persamaan tersebut maka diperoleh 𝑡𝑡11 𝑎𝑎 + 𝑎𝑎𝑡𝑡11 = 𝑡𝑡11 𝑏𝑏 + 𝑏𝑏𝑡𝑡11 .
𝑡𝑡11 𝑎𝑎11 + 𝑡𝑡11 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎11 𝑡𝑡11 = 𝑡𝑡11 𝑏𝑏11 + 𝑡𝑡11 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏11 𝑡𝑡11
𝑡𝑡12 (𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 ) + (𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 )𝑡𝑡12
𝑡𝑡11 (𝑎𝑎11 − 𝑏𝑏11 ) + (𝑎𝑎11 − 𝑏𝑏11 )𝑡𝑡11 + 𝑡𝑡11 (𝑎𝑎12 − 𝑏𝑏12 ) = 0 untuk setiap 𝑡𝑡11 ∈ 𝑇𝑇11 . Sedemikian sehingga 𝑡𝑡11 (𝑎𝑎11 − 𝑏𝑏11 ) + (𝑎𝑎11 − 𝑏𝑏11 )𝑡𝑡11 = 0
𝑡𝑡12 𝑎𝑎11 + 𝑡𝑡12 𝑎𝑎12 + 𝑡𝑡12 𝑎𝑎22 + 𝑎𝑎11 𝑡𝑡12 + 𝑎𝑎12 𝑡𝑡12 + 𝑎𝑎22 𝑡𝑡12
𝑡𝑡11 𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎11 𝑡𝑡11 = 𝑡𝑡11 𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏11 𝑡𝑡11 dan 𝑡𝑡11 𝑎𝑎12 = 𝑡𝑡11 𝑏𝑏12
dan 𝑡𝑡11 (𝑎𝑎12 − 𝑏𝑏12 ) = 0.
= 𝑡𝑡12 (𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏22 ) + (𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏22 )𝑡𝑡12 .
= 𝑡𝑡12 𝑏𝑏11 + 𝑡𝑡12 𝑏𝑏12 + 𝑡𝑡12 𝑏𝑏22 + 𝑏𝑏11 𝑡𝑡12 + 𝑏𝑏12 𝑡𝑡12 + 𝑏𝑏22 𝑡𝑡12
Berdasarkan Teorema 4.1.1 (i) dan (iii),
maka diperoleh bahwa 𝑎𝑎11 = 𝑏𝑏11 dan 𝑎𝑎12 = 𝑏𝑏12 . Untuk setiap 𝑡𝑡12 ∈ 𝑇𝑇12 , 𝑀𝑀 suatu penjumlahan pada 𝑇𝑇 sedemikian sehingga
Diketahui bahwa 𝑡𝑡𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑎𝑎𝑘𝑘𝑘𝑘 = 0, 𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑡𝑡𝑘𝑘𝑘𝑘 = 0, 𝑡𝑡𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑏𝑏𝑘𝑘𝑘𝑘 = 0, 𝑏𝑏𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑡𝑡𝑘𝑘𝑘𝑘 = 0 jika 𝑗𝑗 ≠ 𝑘𝑘, sehingga diperoleh 𝑡𝑡12 𝑎𝑎22 + 𝑎𝑎11 𝑡𝑡12 = 𝑡𝑡12 𝑏𝑏22 + 𝑏𝑏11 𝑡𝑡12
𝑡𝑡12 (𝑎𝑎22 − 𝑏𝑏22 ) + (𝑎𝑎11 − 𝑏𝑏11 )𝑡𝑡12 = 0 untuk setiap 𝑡𝑡11 ∈ 𝑇𝑇11 . Sedemikian
157 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
sehingga 𝑡𝑡12 (𝑎𝑎22 − 𝑏𝑏22 ) = 0 dan (𝑎𝑎11 − 𝑏𝑏11 )𝑡𝑡12 = 0.
3.
Dengan Teorema 4.1.1 (i) dan (iii), maka diperoleh 𝑎𝑎22 = 𝑏𝑏22 . Dari pembuktian tersebut maka diperoleh 𝑎𝑎 = 𝑏𝑏, ∗ (𝑥𝑥)
𝑎𝑎 = 𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 = 𝑀𝑀 + 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦) dan 𝑏𝑏 = 𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏22 = 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) sedemikian sehingga 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦) = 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) dan 𝑀𝑀∗ merupakan suatu penjumlahan.
Karena pemetaan 𝑀𝑀: 𝑇𝑇 → 𝑅𝑅′memenuhi 𝑀𝑀(𝑎𝑎 + 𝑏𝑏) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎) + 𝑀𝑀(𝑏𝑏) dan pemetaan 𝑀𝑀: 𝑅𝑅′ → 𝑇𝑇 memenuhi 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) = ∗ (𝑥𝑥) ∗ (𝑦𝑦), 𝑀𝑀 + 𝑀𝑀 maka Teorema 4.1.1 terbukti sedemikian sehingga 𝑀𝑀: 𝑇𝑇 → 𝑅𝑅′ dan 𝑀𝑀: 𝑅𝑅′ → 𝑇𝑇 merupakan suatu pemetaan Jordan pada aljabar segitiga. ∎
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemetaan 𝑀𝑀: 𝑇𝑇 → 𝑅𝑅′ dan 𝑀𝑀∗ : 𝑅𝑅′ → 𝑇𝑇 di mana 𝑇𝑇 aljabar segitiga 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇(𝐴𝐴, 𝑋𝑋, 𝐵𝐵) dan 𝑅𝑅 suatu sebarang ring merupakan suatu pemetaan bijektif. 2. 𝑀𝑀 suatu pemetaan dimana 𝑀𝑀: 𝑇𝑇 → 𝑅𝑅′ dan 𝑀𝑀 merupakan suatu pemetaan Jordan jika 𝑀𝑀 aditif pada 𝑇𝑇, yaitu 𝑀𝑀(𝑎𝑎 + 𝑏𝑏) = 𝑀𝑀(𝑎𝑎) + 𝑀𝑀(𝑏𝑏), 𝑎𝑎 = dan 𝑎𝑎11 + 𝑎𝑎12 + 𝑎𝑎22 𝑏𝑏 = 𝑏𝑏11 + 𝑏𝑏12 + 𝑏𝑏22 untuk setiap 𝑎𝑎, 𝑏𝑏 ∈ 𝑇𝑇.
suatu pemetaan dimana 𝑀𝑀∗ 𝑀𝑀∗ : 𝑅𝑅′ → 𝑇𝑇 dan 𝑀𝑀∗ merupakan suatu pemetaan Jordan jika 𝑀𝑀∗ aditif pada 𝑅𝑅′ , yaitu 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥 + 𝑦𝑦) = untuk setiap 𝑀𝑀∗ (𝑥𝑥) + 𝑀𝑀∗ (𝑦𝑦) 𝑥𝑥, 𝑦𝑦 ∈ 𝑅𝑅′.
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
Adkins, William A., dkk. 1992. Algebra An Approach via Module Theory. Louisiana State University, USA. Cheng, Xuehan dkk. 2008. Additivity of maps on Triangular Algebras. Lu Dong University, China. Cheung,Wai-shun. 2000. Mappings on Triangular Algebra, University of Victoria, Canada. Cheung,Wai-shun. 2001. Commuting Map of Triangular Algebra, University of Victoria, Canada. Covas, Ricardo dkk. 2007. Lattices of Jordan Algebras. University of Lisbon, Portugal. Dummit, David S dkk. 2004. Abstract Algebra 3rd Edition. University of Vermont, United States. Fraleigh, J.B. 2003.A First Course in Abstract Algebra, 7th Edition. Addison Wesley Publishing Company Inc., United States. Goldberg, R.R. 1976. Method of Real Analysis, Second Edition. John Willey & Sons. New York. Ji, Peisheng. 2007. Jordan Maps on Triangular Algebra. Qing Dao University, China.
158 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
UJI WELCH PADA DATA HETEROSKEDASTISITAS Risdawati, Nur Salam*, Dewi Sri Susanti Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat * email:
[email protected]
Abstrak Salah satu yang harus dipenuhi pada statistik parametrik ialah kehomogenitasan ragam (homoskedastisitas) pada data. Metode yang sering digunakan dalam membandingkan nilai rata-rata dari beberapa populasi ketika kehomogenitasan ragam terpenuhi ialah analisis ragam dengan statistik uji F. Alternatif statistik uji yang digunakan ketika asumsi kehomogenitasan ragam tidak terpenuhi (heteroskedastisitas) adalah statistik uji Welch. Pada statistik uji ini terdapat pembobot 𝑤𝑤𝑖𝑖 untuk mengurangi efek dari ragam yang tidak homogen,dimana ragam tidak homogen menyatakan bahwa ragam galat dari 𝑘𝑘 populasi tidak sama 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣(𝜀𝜀𝑖𝑖 ) = 𝜎𝜎𝑖𝑖2 ; 𝑖𝑖 = 1,2, … , 𝑘𝑘. Pembobot 𝑤𝑤𝑖𝑖 menyatakan rasio dari ukuran sampel (𝑛𝑛𝑖𝑖 ) dan ragam sampel (𝑠𝑠𝑖𝑖2 ). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun statistik uji Welch dengan membangun jumlah kuadrat terboboti dan pendekatan distribusi pada jumlah kuadrat terboboti. Hasil penelitian menunjukan bahwa statistik uji Welch sebagai berikut : 𝐹𝐹𝑊𝑊 =
𝑖𝑖
𝑤𝑤 2(𝑘𝑘−2) 𝑘𝑘 1 ∑ �1− 𝑘𝑘 𝑖𝑖 � �𝑘𝑘2 −1� 𝑖𝑖=1𝑛𝑛𝑖𝑖 −1 ∑ 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖
�1+
dengan derajat bebas 𝜈𝜈1 = 𝑘𝑘 − 1 dan 𝜈𝜈2 = �
2
� � ∑𝑘𝑘 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌𝑖𝑖. −𝑌𝑌..�𝑤𝑤 � � /(k−1) 3
𝑘𝑘 2 −1
∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
𝑤𝑤𝑖𝑖
�1 − ∑𝑘𝑘
2
�
𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖
2 −1
� �
Kata kunci : heteroskedastisitas, jumlah kuadrat terboboti, statistik uji Welch.
1.
PENDAHULUAN
Teknik yang sering digunakan dalam membandingkan nilai rata-rata dari beberapa populasi ketika asumsi kehomogenitasan ragam terpenuhi ialah analisis ragam. Analisis ragam ialah suatu teknik menguraikan keragaman total menjadi komponen-komponen yang mengukur berbagai sumber keragaman, yaitu keragaman yang disebabkan oleh pengaruh perlakuan terhadap satuan percobaan dan keragaman yang disebabkan oleh galat dalam percobaan dengan statistik uji F. Teknik ini mensyaratkan adanya asumsi-asumsi dasar yang harus dipenuhi dalam menganalisa data. Asumsi yang harus dipenuhi diantaranya ialah kehomogenitasan ragam [9]. Salah satu alternatif dalam membandingkan nilai rata-rata dari beberapa populasi ketika asumsi kehomogenitasan ragam tidak terpenuhi (heteroskedastisitas) ialah statistik uji Welch [7].
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungsi Pembangkit Momen Fungsi pembangkit momen digunakan untuk memperoleh momen-momen dari distribusi variabel acak.
Definisi 2.1[1] Jika 𝑋𝑋 adalah suatu variable acak, maka nilai harapan (1)disebut fungsi 𝑀𝑀𝑋𝑋 (𝑡𝑡) = 𝐸𝐸(𝑒𝑒 𝑡𝑡𝑡𝑡 ) pembangkit momen (MGF) dari variabel 𝑋𝑋 jika nilai harapan ini ada untuk semuanilai 𝑡𝑡 pada interval −ℎ < 𝑡𝑡 < ℎ 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ℎ > 0 Definisi 2.2 [1] Jika 𝑋𝑋 dan Y adalah suatu variable acak, maka fungsi pembangkit momen bersama pada X dan Y didefinisikan dengan 𝑀𝑀𝑋𝑋,𝑌𝑌 (𝑠𝑠, 𝑡𝑡) = 𝐸𝐸(𝑒𝑒 𝑠𝑠𝑠𝑠+𝑡𝑡𝑡𝑡 ) ; 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 𝑠𝑠, 𝑡𝑡 ∈ 𝑅𝑅 Teorema 2.2 [1] Jika 𝑀𝑀𝑋𝑋.𝑌𝑌 (𝑡𝑡1 , 𝑡𝑡2 ) ada, kemudian X dan Y variabel acak yang saling bebas jika dan hanya jika 𝑀𝑀𝑋𝑋.𝑌𝑌 (𝑡𝑡1 , 𝑡𝑡2 ) = 𝑀𝑀𝑋𝑋 (𝑡𝑡1 )𝑀𝑀𝑌𝑌 (𝑡𝑡2 ) (2) 2.2 Fungsi Pembangkit Kumulan Fungsi pembangkit kumulan digunakan untuk mencari kumulan dari suatu variabel acak. Fungsi pembangkit kumulan untuk suatu variabel acak X disimbolkan dengan 𝐾𝐾𝑋𝑋 (𝑡𝑡) Definisi 2.3 [6] Fungsi pembangkit Kumulant (CGF) dari variabel X didefinisikan sebagai berikut: (3) 𝐾𝐾𝑋𝑋 (𝑡𝑡) = log 𝑀𝑀𝑋𝑋 (𝑡𝑡)
159 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
dimana 𝑀𝑀𝑋𝑋 (𝑡𝑡) merupakan fungsi pembangkit momen dari variabel acak X. 2.3 Distribusi Normal Variabel acak 𝑋𝑋 mengikuti distribusi normal dengan rata-rata 𝜇𝜇 dan ragam 𝜎𝜎 2 yang memiliki fungsi kepekatan peluang sebagai berikut [1]: 𝑓𝑓(𝑥𝑥; 𝜇𝜇, 𝜎𝜎) =
1
�2𝜋𝜋𝜎𝜎
1 𝑥𝑥−𝜇𝜇 2 � 𝜎𝜎
𝑒𝑒 −2� 2
(4)
untuk −∞ < 𝑥𝑥 < ∞, dimana −∞ < 𝜇𝜇 < ∞ dan 0 < 𝜎𝜎 < ∞.
2.4 Distribusi Chi – Square Distribusi Chi-Square (𝜒𝜒 2 ) merupakan kasus khusus dari distribusi gamma dengan derajat bebas (𝜈𝜈). Distribusi ChiSquare memiliki fungsi kepekatan peluang sebagai berikut [1]: 𝑓𝑓(𝑥𝑥; 𝑣𝑣) =
𝑥𝑥
𝜈𝜈 −1
�2 �2
𝜈𝜈 2Γ� � 2
𝑥𝑥
𝑒𝑒 −2
(5)
dimana 𝑥𝑥 ≥ 0. Sedangkan fungsi pembangkit momen dari distribusi chisquare adalah 𝑣𝑣
𝑀𝑀𝑋𝑋 (𝑡𝑡) = (1 − 2𝑡𝑡)− 2 (6) 2.5 Distribusi Noncentral Chi – Square Distribusi noncentral chi-square 𝜒𝜒𝜈𝜈2 (𝜆𝜆) merupakan perluasan dari distribusi chisquare dimana distribusi ini memiliki dua parameter yaitu 𝜆𝜆 dan 𝜈𝜈. Definisi 2.4 [6] Jika 𝑋𝑋1 , 𝑋𝑋2 , … , 𝑋𝑋𝑘𝑘 merupakan variabel acak yang saling bebas dan berdistribusi normal serta 𝛿𝛿1 , 𝛿𝛿2 … 𝛿𝛿𝑘𝑘 konstan maka distrbusi pada ∑ki=1 (Xi + δi )2 (7) bergantung pada 𝛿𝛿1 , 𝛿𝛿2 … 𝛿𝛿𝑘𝑘 yang hanya sampai penjumlahan kuadrat. Ini disebut distribusi noncentral chi-square [𝜒𝜒𝜈𝜈2 (𝜆𝜆)] dengan derajat bebas (𝜈𝜈) dan parameter noncentral 𝜆𝜆 = ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝛿𝛿𝑖𝑖2 dan ketika nilai 𝜆𝜆 = 0 maka distribusi noncentral chi-square 𝜒𝜒𝜈𝜈2 (𝜆𝜆) menjadi distribusi chi-square 𝜒𝜒𝜈𝜈2 fungsi pembangkit momen sesuai dengan definisi (2.1): 𝑀𝑀𝑋𝑋 (𝑡𝑡) = 𝐸𝐸�𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒�𝑡𝑡 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=𝑖𝑖( 𝑋𝑋𝑖𝑖 + 𝛿𝛿𝑖𝑖 )2 �� ∞ 1 1 ∫ 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− 2 𝑥𝑥 2 √2𝜋𝜋 −∞ 𝑡𝑡(𝑥𝑥 + 𝛿𝛿𝑖𝑖 )2 � 𝑑𝑑𝑑𝑑�
= ∏𝑘𝑘𝑖𝑖=1 �
+
1
= (1 − 2𝑡𝑡)−𝑣𝑣/2 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � 𝜆𝜆(1 − 2𝑡𝑡)−1 � (8) 2 Fungsi pembangkit kumulant sesuai dengan definisi (2.3) yaitu:
1
𝐾𝐾𝑋𝑋 (𝑡𝑡) = log 𝑀𝑀𝑋𝑋 (𝑡𝑡) = − 𝜈𝜈 log(1 − 2 2𝑡𝑡) + 𝜆𝜆𝜆𝜆(1 − 2𝑡𝑡)−1 (9) 2.6 Distribusi F Distribusi F adalah salah satu distribusi kontinu, yang merupakan perbandingan dua variabel chi-square yang saling bebas dan masing-masing dibagi oleh derajat bebasnya. Definisi 2.5 [1] Jika 𝑋𝑋1 dan 𝑋𝑋2 adalah variabel acak yang saling bebas dan masing-masing berdistribusi 𝜒𝜒 2 dengan derajat bebas 𝜈𝜈1 dan 𝜈𝜈2 , maka variabel acak berikut: 𝑋𝑋 /𝜈𝜈 𝐹𝐹 = 1 1 (10) 𝑋𝑋2 /𝜈𝜈2
merupakan variabel acak yang berdistribusi F dengan derajat bebas 𝜈𝜈1 dan 𝜈𝜈2 yang dapat dinotasikan dengan 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 ~𝐹𝐹(𝜈𝜈1 , 𝜈𝜈2 ). 2.7 Homogenitas Ragam Ragam yang homogen dapat dinyatakan bahwa ragam galat dari 𝑘𝑘 populasi sama yaitu sebesar 𝜎𝜎 2 . Asumsi kehomogenan ragam mensyaratkan bahwa distribusi galat untuk masing-masing perlakuan/kelompok harus memiliki ragam yang sama. Sedangkan ragam yang tidak homogen (heteroskedastisitas) merupakan penyimpangan dari asumsi homoskedastisitas yang menyatakan bahwa ragam galat dari 𝑘𝑘 perlakuan/kelompok berbeda atauberubah-ubah 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣(𝜀𝜀𝑖𝑖 ) = 𝜎𝜎𝑖𝑖 2 ; 𝑖𝑖 = 1,2, … , 𝑘𝑘 [2]. 2.8
Uji Homogenitas Ragam Uji Levene merupakan alternatif uji untuk membandingkan ragam galat dari beberapa populasi dengan hipotesis : 𝐻𝐻0 ∶ 𝜎𝜎12 = 𝜎𝜎22 = ⋯ = 𝜎𝜎𝑘𝑘2 𝐻𝐻1 ∶ Minimal terdapat satu populasi dengan ragam galat tidak homogen Adapun statistik uji Lavene adalah sebagai berikut : 𝐿𝐿 =
2 ∑𝑘𝑘 𝑖𝑖=1 𝑛𝑛𝑖𝑖 (𝑧𝑧̅𝑖𝑖. −𝑧𝑧̅.. ) /(𝑘𝑘−1) 𝑛𝑛𝑖𝑖 2 𝑘𝑘 ∑𝑖𝑖=1 ∑𝑗𝑗=1�𝑧𝑧𝑖𝑖𝑖𝑖−𝑧𝑧̅𝑖𝑖. � / ∑𝑘𝑘 𝑖𝑖=1(𝑛𝑛𝑖𝑖 −1) 𝑛𝑛 𝑧𝑧𝑖𝑖𝑖𝑖
dimana 𝑧𝑧̅𝑖𝑖. = ∑𝑗𝑗=1 𝑛𝑛
𝑛𝑛𝑖𝑖 𝑧𝑧𝑖𝑖𝑖𝑖
𝑖𝑖 𝑧𝑧̅.. = ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 ∑𝑗𝑗=𝑖𝑖 ∑𝑘𝑘
𝑖𝑖=1 𝑛𝑛𝑖𝑖
(11)
dan
Keputusan diambil dengan membandingkan 𝐿𝐿-hit dengan 𝐹𝐹-tabel pada taraf nyata 𝛼𝛼 dengan derajat bebas (𝑘𝑘 − 1) dan ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1(𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1). Jika 𝐿𝐿-hit lebih besar daripada 𝐹𝐹-tabel maka tolak 𝐻𝐻0 yang artinya terima 𝐻𝐻1 yaitu minimal terdapat satu populasi dengan ragam galat tidak homogen [8].
160 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2.9
Analisis Ragam Satu Arah Analisis ragam dinamakan analisis ragam satu arah sebab keragaman total hanya diuraikan kedalam keragaman karena perlakuan dan keragaman yang tak terjelaskan (galat) [8]. Adapun model linier dari analisis ragam satu arah adalah: 𝑌𝑌𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝜇𝜇 + 𝜏𝜏𝑖𝑖 + 𝜀𝜀𝑖𝑖𝑖𝑖 dimana 𝑖𝑖 = 1,2, … 𝑘𝑘 𝑗𝑗 = 1, … , 𝑛𝑛𝑖𝑖 𝑌𝑌𝑖𝑖𝑖𝑖 = nilai pengamatan pada perlakuan ke-𝑖𝑖 ulangan ke-𝑗𝑗 𝜇𝜇 = nilai rataan umum 𝜏𝜏𝑖𝑖 = pengaruh perlakuan ke-i 𝜀𝜀𝑖𝑖𝑖𝑖 = galat percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j Komponen-komponen ragam pada analisis ragam satu arah didapatkan dengan menduga parameter-parameter 𝜇𝜇 dan 𝜏𝜏𝑖𝑖 diduga menggunakan metode kuadrat terkecil (MKT) sehingga didapatkan nilai-nilai dugaan parameter tersebut sebagai berikut : 𝜇𝜇̂ = 𝑌𝑌�.. ; 𝜏𝜏̂𝑖𝑖 = 𝑌𝑌�𝑖𝑖. − 𝑌𝑌�.. dan 𝜀𝜀̂𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝑌𝑌𝑖𝑖𝑖𝑖 − 𝑌𝑌�𝑖𝑖. dengan mesubsitusikan dan menguadratkan kedua belah ruas serta dijumlahkan menurut 𝑖𝑖 dan 𝑗𝑗 maka akan didapatkan komponen-komponen ragam untuk analisis ragam satu arah sebagai berikut: 2 𝑛𝑛𝑖𝑖 𝑛𝑛𝑖𝑖 (𝑌𝑌�𝑖𝑖. − ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 ∑𝑗𝑗=1 �𝑌𝑌𝑖𝑖𝑖𝑖 − 𝑌𝑌�.. � = ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 ∑𝑗𝑗=1 2 𝑛𝑛𝑖𝑖 𝑌𝑌�.. )2 + ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 ∑𝑗𝑗=1 �𝑌𝑌𝑖𝑖𝑖𝑖 − 𝑌𝑌�𝑖𝑖. � (12) ( 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 ) = (𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽) + ( 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽) Selanjutnya untuk menduga nilai ragam atau Kuadrat Tengah masing-masing 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 dan 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 akan dibagi dengan derajat bebasnya yaitu (𝑘𝑘 − 1) dan ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1, maka dapat ditulis sebagai berikut : 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 = dan 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 = ∑𝑘𝑘 𝑘𝑘−1
𝑖𝑖=1 𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
Statistik uji F dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara dua ragam yaitu ragam perlakuan dengan ragam galatnya. 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 = (13) 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 tersebar F dengan derajat bebas 𝜈𝜈1 dan 𝜈𝜈2 , 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 ~𝐹𝐹(𝜈𝜈1 ;𝜈𝜈2 ) . Keputusan diambil dengan membandingkan 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 dengan 𝐹𝐹(𝜈𝜈1 ;𝜈𝜈2) pada taraf nyata 𝛼𝛼 dengan derajat bebas 𝜈𝜈1 dan 𝜈𝜈2 jika 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 > 𝐹𝐹(𝜈𝜈1;𝜈𝜈2 ) maka tolak 𝐻𝐻0 sebaliknya jika 𝐹𝐹ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 ≤ 𝐹𝐹(𝜈𝜈1;𝜈𝜈2 ) maka terima 𝐻𝐻0 . 3. METODOLOGI Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ialah menjelaskan konsep
hipotesis statistik uji Welch pada data heteroskedastisitas.Kemudian membangun statistik uji Welch dengan terlebih dahulu membangun jumlah kuadrat terboboti dan melakukan pendekatan distribusi pada jumlah kuadrat terboboti. Selanjutya menjelaskan prinsip penerimaan atau penolakan 𝐻𝐻0 pada statistik uji Welch. Serta memberikan contoh penerapan penggunaan hingga membuat suatu kesimpulan dan saran
untuk penelitian. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jumlah Kuadrat Terboboti Penggunaan statistik uji Welch tidak jauh berbeda dengan statistik uji F, Hanya pada statistik uji Welch untuk mengurangi efek dari ragam yang tidak homogen (heteroskedastisitas)[5] menyatakan bahwa untuk setiap pengaruh perlakuan ke-𝑖𝑖, ragam akan terboboti sebesar 𝑤𝑤𝑖𝑖 dimana 𝑤𝑤𝑖𝑖 merupakan rasio dari ukuran sampel (ni ) dan 𝑛𝑛 ragam sampelnya (si2 ), 𝑤𝑤𝑖𝑖 = 2𝑖𝑖 ; 𝑖𝑖 = 1,2, … , 𝑘𝑘. 𝑠𝑠𝑖𝑖
Karena pada setiap pengaruh perlakuan ke-𝑖𝑖 ragam terboboti sebesar 𝑤𝑤𝑖𝑖 maka untuk nilai rata-rata disesuaikan berdasarkan pembobot pada setiap nilai rata-rata pengaruh perlakuan ke-𝑖𝑖,
yaitu
𝑘𝑘
�
∑ 𝑤𝑤𝑖𝑖 𝑌𝑌𝑖𝑖. . 𝑌𝑌�..(𝑤𝑤𝑖𝑖 ) = ∑𝑖𝑖=1 𝑘𝑘 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖
𝑌𝑌�..(𝑤𝑤𝑖𝑖)
merupakan nilai rata-rata keseluruhan dengan ragam terboboti. Sehingga untuk pengukuran (12) komponen ragam perlakuan atau jumlah kuadrat perlakuan (JKP) pada staistik uji Welch juga akan terboboti sebesar 𝑤𝑤𝑖𝑖 , yaitu 2 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 = ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌�𝑖𝑖. − 𝑌𝑌�..(𝑤𝑤𝑖𝑖 ) � dimana setiap kuadrat selisih antara nilai rata-rata pengaruh perakuan ke-i dengan nilai rata-rata keseluruhan sampel memberikan kontribusi yang berbeda terhadap nilai jumlah kuadrat perlakuannya (JKP) yaitu sebesar 𝑤𝑤𝑖𝑖 .Sedangkan perhitungan Kuadrat Tengah Perlakuan (KTP) atau ragam perlakuan pada statistik uji Welch didapat dari perbandingan jumlah kuadrat perlakuan (JKP) dengan derajat bebasnya (𝜈𝜈1 ) yang dapat dituliskan sebagai berikut : 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =
2
� � ∑𝑘𝑘 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌𝑖𝑖. −𝑌𝑌..�𝑤𝑤 � � 𝜈𝜈1
𝑖𝑖
=
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽
𝑘𝑘−1
(14)
4.2 Pedekatan Distribusi pada Jumlah Kuadrat Terboboti Statistik uji Welch juga dinyatakan sebagai perbandingan antara dua ragam yaitu ragam perlakuan dengan ragam galatnya sehingga untuk menentukan ragam galat atau kuadrat tengah galat (KTG), [5] menyatakan dengan
161 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
melakukan pendekatan distribusi pada jumlah kuadrat perlakuan (JKP) yang terboboti.yang dimisalkan sebagai 𝑞𝑞𝑤𝑤 . 𝑞𝑞𝑤𝑤 mempunyai distribusi pendekatan noncentral chi-square dengan parameter 𝜈𝜈 dan 𝜆𝜆 [3]. Fungsi pembangkit momen untuk 𝑞𝑞𝑤𝑤 berdsarkan definisi (2.1) adalah 𝑀𝑀𝑞𝑞𝑤𝑤 (𝑡𝑡) = 𝐸𝐸(𝑒𝑒 𝑡𝑡𝑞𝑞𝑤𝑤 ) 2 = 𝐸𝐸 �exp �𝑡𝑡 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌�𝑖𝑖. − 𝑌𝑌�..(𝑤𝑤 ) � �� 𝑖𝑖
Karena 𝐸𝐸 merupakan ekspektsi rata-rata distribusi bersama pada 𝑌𝑌�𝑖𝑖. dan 𝑠𝑠𝑖𝑖2 , maka fungsi kepekatan peluang untuk 𝑞𝑞𝑤𝑤 𝑀𝑀𝑌𝑌�𝑖𝑖,s2 (𝑡𝑡) = 𝐸𝐸1 𝐸𝐸2 �𝑒𝑒 i
� � 𝑡𝑡 ∑𝑘𝑘 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌𝑖𝑖. −𝑌𝑌..�𝑤𝑤𝑖𝑖 � �
2
�
2 = 𝐸𝐸1 �𝐸𝐸2 exp �𝑡𝑡 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌�𝑖𝑖. − 𝑌𝑌�..(𝑤𝑤𝑖𝑖) � � � Terlebih dahulu menyelesaikan 𝐸𝐸2 yang merupakan ekspektasi rata-rata distribusi bersama pada 𝑠𝑠𝑖𝑖2 𝐸𝐸2 exp �𝑡𝑡 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌�𝑖𝑖. − 2 𝑌𝑌�..(𝑤𝑤𝑖𝑖 ) � � = exp�𝑡𝑡 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 ωi (µi − µω )2 � ×
�1 + 2𝑡𝑡 ∑𝑖𝑖 𝑡𝑡 2 ∑𝑖𝑖
𝜔𝜔𝑖𝑖 (µi −µω )2
ni −1 𝜔𝜔𝑖𝑖 (µi −µω )4 ni −1
…�
2𝑡𝑡
− (∑
𝑖𝑖 ωi )
∑𝑖𝑖
𝜔𝜔𝑖𝑖 (µi −µω )2 ni −1
(16)
Fungsi kepekatan peluang bersama dari distribusi normal dengan ragam terboboti 1
1
1
2
(2𝜋𝜋)−2𝑘𝑘 (ω1 ω2 … ωk )− 2 𝑒𝑒 − 2 ∑𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖 𝑣𝑣𝑖𝑖 (17) Maka, 1 − 𝑘𝑘 2
𝑘𝑘 𝑀𝑀𝑞𝑞𝑤𝑤 (𝑡𝑡) = ∫𝑖𝑖=1(2𝜋𝜋) (𝜔𝜔1 𝜔𝜔2 . . . 𝜔𝜔𝑘𝑘 ) 1 𝑘𝑘 exp �− ∑𝑖𝑖=1 𝜔𝜔𝑖𝑖 (µi − µω )2 + 2 t ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 𝜔𝜔𝑖𝑖 (µi − µω )2 + ∑ki=1(µi −
µω ) δi � 𝑑𝑑𝑑𝑑1 , … , 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑘𝑘 × �1 +
2𝑡𝑡 ∑𝑖𝑖 2
𝑡𝑡 ∑𝑖𝑖
𝜔𝜔𝑖𝑖 (µi −µω )2
ni −1 𝜔𝜔𝑖𝑖 (µi −µω )4 ni −1
2𝑡𝑡
− (∑
…�
𝑖𝑖 ωi )
∑𝑖𝑖
𝜔𝜔𝑖𝑖 (µi −µω )2 ni −1
1 2
×
+
1
3𝑡𝑡 2 (1 − 2𝑡𝑡)−1 } �∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
𝜔𝜔𝑖𝑖
�1 − ∑
𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖
2
� �� (18)
Sedangkan untuk fungsi pembangkit kumulant pada 𝑞𝑞𝑤𝑤 berdasarkan definisi (2.3) ialah: 𝐾𝐾𝑞𝑞𝑤𝑤 (𝑡𝑡) = log 𝑀𝑀𝑞𝑞𝑤𝑤 (𝑡𝑡) = 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙(1 − 1
2𝑡𝑡)−2
(𝑘𝑘−1)
𝜔𝜔𝑖𝑖 2 � �� ∑𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖
3𝑡𝑡 2 (1 − 2𝑡𝑡)−2 } �∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
�1 −
1
𝜔𝜔𝑖𝑖
�1 − ∑
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖
2
� �
(19) 4.3 Fungsi Pembangkit Momen dan Kumulant pada Distribusi F Distribusi ini merupakan rasio dari dua variable acak yang terdistribusi chi-square yang masing-masing dibagi dengan derajat bebasnya, yang dapat dinyatakan sebagai berikut : 𝜒𝜒12 𝜒𝜒22
𝐹𝐹 =
+
1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
1
= − (𝑘𝑘 − 1) log(1 − 2𝑡𝑡) + 2 {2𝑡𝑡(1 − 2𝑡𝑡)−1 +
𝜈𝜈1
:
(20)
𝜈𝜈2
Fungsi pembangkit momen pada distribusi F, untuk 𝜒𝜒12 akan didapatkan sebagai berikut : 𝑀𝑀𝐹𝐹 (𝑡𝑡) = 𝐸𝐸(𝑒𝑒 𝑡𝑡𝑡𝑡 ) = 𝐸𝐸 �𝑒𝑒
2
2
𝜒𝜒 𝜒𝜒 𝑡𝑡 1 / 2 𝜈𝜈1 𝜈𝜈2
� = 𝐸𝐸 �𝑒𝑒 𝜈𝜈
𝑡𝑡
1 2𝑡𝑡𝑡𝑡2 − 2 � 𝜈𝜈1 𝜒𝜒22
= �1 −
𝜈𝜈2 𝜒𝜒12 𝜈𝜈1 𝜒𝜒2 2
�
(21)
Fungsi pembangkit momen untuk distribusi F dengan urutan 𝜈𝜈1 dan 𝜈𝜈2 adalah sebagai berikut : 1
2𝑡𝑡 − 𝜈𝜈1 ) 2 𝜈𝜈1 2𝑡𝑡 −1
𝑀𝑀𝐹𝐹 (𝑡𝑡) = (1 − (𝜈𝜈2 +2) 2 𝑡𝑡 (1 𝜈𝜈1 𝜈𝜈2
−
𝜈𝜈1
) �
�1 +
2𝑡𝑡
𝜈𝜈2
(1 −
2𝑡𝑡 −1
𝜈𝜈1
)
+
𝜈𝜈1 = (𝑘𝑘 − 1) dan diberikan variabel acak 𝐺𝐺 1
untuk urutan
𝑀𝑀𝑞𝑞𝑤𝑤 (𝑡𝑡) = (1 − 2𝑡𝑡)−2(𝑘𝑘−1) {2𝑡𝑡(1 − 2𝑡𝑡)−1 +
{2𝑡𝑡(1 − 2𝑡𝑡)−1 + 3𝑡𝑡 2 (1 − 2𝑡𝑡)−1 } �∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
dengan parameter �(𝑘𝑘 − 1) +
Sehingga didapatkan fungsi pembangkit momen untuk 𝑞𝑞𝑤𝑤 ialah: �1 +
�1 +
𝜈𝜈2
� kemudian
fungsi pembangkit momen
pada 𝐺𝐺 ialah sebagai berikut : 1
𝑀𝑀𝐺𝐺 (𝑡𝑡) = (1 − 2𝑡𝑡)−2
2𝑡𝑡)−1
𝐴𝐴
𝜈𝜈2
(𝑘𝑘 2 −1)2 2 + 𝑡𝑡 (1 𝜈𝜈2
(𝑘𝑘−1)
�1 +
− 2𝑡𝑡)−1 �
(𝐴𝐴+2(𝑘𝑘−1) 𝜈𝜈2
(22)
(1 −
sedangkan untuk fungsi pembangkit kumulant pada 𝐺𝐺 sesuai definisi (2.3) 𝐾𝐾𝐺𝐺 (𝑡𝑡) = log 𝑀𝑀𝐺𝐺 (𝑡𝑡) 1
= log(1 − 2𝑡𝑡)−2
2𝑡𝑡)−1 + 1
(𝑘𝑘 2 −1)2 𝜈𝜈2
(𝑘𝑘−1)
�1 +
(𝐴𝐴+2(𝑘𝑘−1)
𝑡𝑡 2 (1 − 2𝑡𝑡)−2 �
= − (𝑘𝑘 − 1) log(1 − 2𝑡𝑡) + 2
𝑘𝑘 2 −1 2 𝑡𝑡 (1 2𝑡𝑡)−1 + 𝜈𝜈2
𝜈𝜈2
𝑡𝑡(1 −
(𝐴𝐴+2(𝑘𝑘−1)
− 2𝑡𝑡)−2 (23)
𝜈𝜈2
𝑡𝑡(1 −
Hasil dari log 𝑀𝑀𝐺𝐺 (𝑡𝑡) akan dibandingkan dengan fungsi pembangkit kumulant 𝑞𝑞𝑤𝑤 pada persamaan (19) yang masing-masing memiliki distribusi yang sama yaitu terdistribusi chisquare sehingga didapatkan hasil sebagai berikut :
162 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
�𝑘𝑘 2 −1�
= 3 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
𝜈𝜈2
(𝐴𝐴+2(𝑘𝑘−1) 𝜈𝜈2
1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
= 2 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
𝜔𝜔𝑖𝑖
�1 − ∑ 1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖
1
𝐴𝐴
𝜈𝜈2 𝐴𝐴
𝜈𝜈2
3
= (𝑘𝑘 2
+
=
−1)
2(𝑘𝑘−1) 𝜈𝜈2
2(𝑘𝑘−2) 𝑘𝑘+1
1
∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
= 2 ∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1 1
2
𝜔𝜔𝑖𝑖
�1 − ∑
akan diperoleh nilai 𝜈𝜈2 dan
𝜈𝜈2
�
𝐴𝐴
𝜈𝜈2 𝜔𝜔𝑖𝑖
𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖
1
2
sebagai berikut :
�1 − ∑
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
�
𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖
�
2
𝜔𝜔𝑖𝑖
�1 − ∑ 𝜔𝜔𝑖𝑖
�1 − ∑
𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖
�
𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖 2
�
2
diperoleh statistik uji Welch (𝐹𝐹𝑊𝑊 ) yang
teristribusi F dengan parameter �(𝑘𝑘 − 1) + 𝐴𝐴
𝜈𝜈2
�dimana 𝜈𝜈1 = 𝑘𝑘 − 1dan 3
𝜈𝜈2 = �(𝑘𝑘 2
−1)
∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
𝜔𝜔𝑖𝑖
�1 − ∑
𝑖𝑖 𝜔𝜔𝑖𝑖
2 −1
� �
statistik uji Welch sebagai berikut : 𝐹𝐹𝑊𝑊 =
2
� � ∑𝑘𝑘 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌𝑖𝑖. −𝑌𝑌..�𝑤𝑤 � � /(k−1) 𝑖𝑖
2
𝑤𝑤 2(𝑘𝑘−2) 𝑘𝑘 1 ∑ �1+ 2 �1− 𝑘𝑘 𝑖𝑖 � � �𝑘𝑘 −1� 𝑖𝑖=1𝑛𝑛𝑖𝑖 −1 ∑ 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖
(24)
dengan derajat bebas 𝜈𝜈1 = 𝑘𝑘 − 1 dan
𝜈𝜈2 = �
3
𝑘𝑘 2 −1
∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
𝑤𝑤𝑖𝑖
�1 − ∑𝑘𝑘
𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖
2 −1
� �
Keputusan yang diambil dalam pengujian hipotesis dengan perhitungan statistik uji Welch sama dengan pengambilan keputusan pada statistik uji Lavene dan F yang terdapat pada persamaan (11) dan (13). 4.4 Penerapan Statistik Uji Welch Penerapan statistik uji Welch ini di ambil dari percobaan [4] yang ingin mengetahui pengaruh padat penebaran telur ikan gurami dengan jumlah yang berbeda terhadap daya tetas dan kelangsungan hidup larva. Adapun percobaan yang dilakukan terdapat tiga perlakuan yang diberikan yaitu padat penebaran telur ikan gurami dengan jumlah 1000 butir/72 liter air, padat penebaran telur ikan gurami dengan jumlah 1500 butir/72 liter air dan padat penebaran telur ikan gurami dengan jumlah 2000 butir/72 liter air. Setiap perlakuan akan di ulang sebanyak 3 kali. Respon yang di amati ialah daya tetas telur ikan gurami dengan satuan data respon adalah persen (%). Tabel. Rerata Daya Tetas Telur Ikan Gurami
T A B C
1 98,9% 98,73% 99,3%
Sumber : Ulfah (2012)
U 2 98,8% 98,86% 97,75%
3 98,6% 99,13% 98,1%
Sebelumnya menguji asumsi kehomogenitasan ragam menggunakan statistik uji Levene dengan hipotesis 𝐻𝐻0 ∶ 𝜎𝜎12 = 𝜎𝜎22 = 𝜎𝜎32 𝐻𝐻1 ∶ Minimal terdapat sebuah perlakuan dengan ragam yang berbeda. Diperoleh hasil pengujian dengan statistik uji Lavene, bahwa nilai L > 𝐹𝐹-tabel yaitu 6.37 > 5.14. Sehingga kesimpulan yang diambil ialah tolak 𝐻𝐻0 yaitu setidaknya terdapat satu buah perlakuan dengan keragaman daya tetas telur yang berbeda. Setelah mengetahui bahwa data tidak memenuhi asumsi kehomogenitasan ragam, maka alternatif statistik uji yang digunakan untuk menganalisa data tersebut ialah dengan menggunakan statistik uji Welch. Tabel. Statistik deskriptif masing-masing perlakuan T A B C
𝑛𝑛𝑖𝑖 3 3 3
𝑌𝑌�𝑖𝑖.
98,76 98,90 98,39
𝑠𝑠𝑖𝑖2
0,0234 0,0417 0,6609
𝑤𝑤𝑖𝑖
128,21 71,94 4,53
𝑤𝑤𝑖𝑖 × 𝑌𝑌�𝑖𝑖.
12.662,02 7.114,87 445,7
Selanjutnya dihitung nilai rata- rata terboboti berdasarkan pada persamaan (4.1) didapatkan 98,80 dan menghitung 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 serta 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 masing-masing didapatkan1,685dan 0,84. Derajat bebas (𝜈𝜈2 ) yang didapatkan 3,5 dan derajat bebas (𝑣𝑣1 ) = 2. Kemudian untuk pengujian hipotesis mengenai ada tidaknya pengaruh perlakuan dengan membandingkan nilai rata-ratanya. Analisis Statistik: a. 𝐻𝐻0 : 𝜇𝜇1 = 𝜇𝜇2 = 𝜇𝜇3 𝐻𝐻1 : minimal terdapat satu nilai rata-rata perlakuan yang berbeda b. Taraf nyata uji sebesar 5 % (𝛼𝛼 = 0,05) c. Statistik uji Welch diperoleh nilai sebagai berikut:
d.
F𝑊𝑊 =
2
� � ∑𝑘𝑘 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌𝑖𝑖. −Y..(w) � �𝑘𝑘−1 2𝛬𝛬(𝑘𝑘−2) 3
1+
= 0,71
Wilayah kritik Tolak 𝐻𝐻0 jika F𝑊𝑊 > F(0,05;2;3,5) dan terima 𝐻𝐻0 jika F𝑊𝑊 < F(0,05;2;3,5) karena F𝑊𝑊 = 0,71 dan F(0,05;2;3,5) = 8,2 maka F𝑊𝑊 < F(0,05;2;3,5) sehingga terima 𝐻𝐻0 e. Kesimpulan padat penebaran telur ikan gurami memberikan pengaruh yang sama terhadap daya tetas telur.
5. KESIMPULAN Statistik uji Welch merupakan statistik uji alternatif dalam membandingkan nilai ratarata dari beberapa populasi ketika asumsi
163 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
kehomogenan ragam tidak terpenuhi, dimana untuk setiap nilai rata-rata pengaruh perlakuan ke-𝑖𝑖 ragam akan terboboti sebesar 𝑤𝑤𝑖𝑖 dengan nilai 𝑤𝑤𝑖𝑖 merupakan rasio dari ukuran sampel 𝑛𝑛 dan ragam sampelnya, 𝑤𝑤𝑖𝑖 = 2𝑖𝑖 ; 𝑖𝑖 = 1,2, … , 𝑘𝑘. Statistik Uji Welch,
𝐹𝐹𝑊𝑊 =
𝑠𝑠𝑖𝑖
2
� � ∑𝑘𝑘 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 �𝑌𝑌𝑖𝑖. −𝑌𝑌..�𝑤𝑤𝑖𝑖 � � /(k−1)
derajat bebas 𝜈𝜈1 = 𝑘𝑘 − 1 dan 𝜈𝜈2 = �
3
𝑘𝑘 2 −1
∑𝑘𝑘𝑖𝑖=1
1
𝑛𝑛𝑖𝑖 −1
𝑤𝑤𝑖𝑖
�1 − ∑𝑘𝑘
dengan
2
𝑤𝑤 2(𝑘𝑘−2) 𝑘𝑘 1 ∑ �1+ 2 �1− 𝑘𝑘 𝑖𝑖 � � �𝑘𝑘 −1� 𝑖𝑖=1𝑛𝑛𝑖𝑖 −1 ∑ 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖
2 −1
� �
keputusan yang diambil jika 𝐹𝐹𝑊𝑊 > 𝐹𝐹(𝜈𝜈1 ;𝜈𝜈2 ) maka tolak 𝐻𝐻0 sebaliknya jika 𝐹𝐹𝑊𝑊 ≤ 𝐹𝐹(𝜈𝜈1 ;𝜈𝜈2 ) maka terima 𝐻𝐻0 . 6. DAFTAR PUSTAKA [1] Bain, L.J & M. Engelhardt. 1992. Introduction to Probability and Mathematical Statistics. Edisi-2. PT Belmont Company, California. [2] Gujarati,D.N.2004. Basic Econometrics fourth edition. The McGraw−HillCompanies.
[3] Kulinskaya, E.2003.Power Approximations in Testing for Unequal Means in a One-Way ANOVA Weighted for Unequal Varians. Comunnication in Statistics : Theory and Methods. [4] Ulfah, Yulizar. 2012. Daya Tetas dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac.) pada Padat Tebar Yang Berbeda. FPerikanan, UNLAM. [5] Walch, B.L. 1951. On The Comparison of Several Mean Values : An Alternative Approach. Biometrika, University of Leeds. [6] Walck, Cristian.2007.Statistical Distributions for experimentalist. Particle Physics Group Fysikum. University of Stockhlom. [7] Walpole, R .E & Myers, R. H. 1995. Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuwa Edisi ke- 4. Alih bahasa oleh Sembiring, R.K. Penerbit ITB; Bandung. [8] Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan Perancangan, Analisis, dan Interpretasinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
164 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PERAMALAN DATA PENUMPANG BANDAR UDARA DJALALUDDIN GORONTALO DENGAN METODE HOLTWINTER EXPONENTIAL SMOOTHING MULTIPLIKATIF Ismail Djakaria Program Studi Statistika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo,
[email protected]
Abstrak Data penumpang pada suatu andar udara merupakan data yang mengandung pola musiman dengan fluktuasi musim bervariasi, sehingga dapat digunakan metode Holt-Winter Exponential Smoothing Multiplikatif. Metode ini dimaksudkan untuk menyelesaikan data runtun waktu musiman. Jika data hanya dipengaruhi oleh pola trend maka metode yang digunakan adalah Holt Exponential Smoothing, sedangkan jika data tidak hanya dipengaruhi pola trend, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pola musiman, maka metode yang digunakan adalah Winter Exponential Smoothing Kata Kunci: trend, musiman
1. PENDAHULUAN Analisis runtun waktu pada prinsipnya digunakan untuk menganalisis data yang memperhatikan pengaruh waktu. Data ini dikoleksi secara periodik berdasarkan rentang waktu tertentu, misalkan, jam, harian, mingguan, bulanan, triwulan, kwartal, semester, dan/atau tahunan.Analisis ini digunakan sebagai acuan dalam menyusun perencanaan waktu yang akan datang, atau meprediksi suatu fenomena masa datang. Peramalan data penumpang suatu bandar udara dalam rentang waktu tertentu yang akan datang, yang diperlukan hanya data penumpang pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam analisis runtun waktu dikenal dua model, yaitu model deterministik dan model stokastik (probabilitas) Model deterministik adalah model yang nilai observasi mendatang dapat dihitung atau dapat diramalkan secara pasti melalui suatu fungsi berdasarkan observasi masa lampau, tetapi peramalan hanya berlaku untuk data yang ada saja. Untuk menentukan metode peramalan pada data runtun waktu perlu diketahui pola data tersebut sehingga peramalan data dapat dilakukan dengan metode yang sesuai. Pola data dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu pola musiman, pola siklis, pola trend, dan pola irregular (Hanke dan Wichern, 2005). Pola musiman merupakan fluktuasi dari data yang terjadi secara periodik dalam kurun waktu satu tahun, seperti triwulan, kuartalan, bulanan, mingguan, atau harian. Pola siklis terjadi
apabila datanya dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi jangka panjang, seperti yang berhubungan dengan siklus bisnis. Pola ini sulit dideteksi dan tidak dapat dipisahkan dari pola trend. Pola trend merupakan kecenderungan arah data dalam jangka panjang, dapat berupa kenaikan maupun penurunan. Sedangkan pola irregular merupakan kejadian yang tidak terduga dan bersifat random, tetapi kemunculannya dapat mempengaruhi fluktuasi data runtun waktu. Untuk data model stokastik terdapat beberapa model yang dapat digunakan seperti AR, MA, ARMA, ARIMA, SARIMA, dan lainnya. Jika data mempunyai pola musiman, maka metode yang lebih tepat adalah ARIMA musiman, dan metode lainnya yenga terkait, seperti metode Holt-Winter exponential smoothing multiplikatif. Metode terakhir inilah yang menjadi pokok bahasan pada tulisan ini. 2. TINJAUAN PUSTAKA Metode yang digunakan untuk melakukan peramalan data penumpang Bandar Udara dalam tulisan ini adalah metode HoltWinter exponential smoothing multiplikatif, sehingga yang dibahas di sini adalah metode smoothing, metode Holt’s exponential smoothing, metode Winter’s exponential smoothing. - Metode smoothing Peramalan pada suatu data runtun waktu yang mengandung pola trend, pola musiman, atau mengandung keduanya sekaligus, dapat dilakukan dengan metode smoothing. Smoothing (pemulusan) adalah
165 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
mengambil rerata nilai pada beberapa tahun untuk menaksir nilai pada suatu tahun (Hoshmand, 2010). Metode smoothing diklasifikasi menjadi dua bagian, yaitu metode perataan dan metode pemulusan eksponensial atau exponential smoothing (Makridakis, 1999). Peramalan pada data yang dipengaruhi pola trend maupun musiman dilakukan dengan menggunakan metode exponential smoothing dengan menggunakan bobot yang berbeda untuk data masa lalu dan bobot tersebut mempunyai ciri menurun secara eksponensial. (Makridakis, 1999). - Metode Holts’ exponential smoothing Terdapat tiga persamaan yang dapat digunakan dalam metode smoothing (Hanke dan Wichern, 2005), yaitu: 1. Exponential smoothing data asli (pada waktu t) L t = αYt + (1 − α )( Lt −1 + Tt −1 ) 2. Smoothing pola trend (waktu t) T t = γ ( Lt − Lt −1 ) + (1 − γ )Tt −1 ) 3. Peramalan p-periode ke depan
Yˆt + p = L t + pT t dengan (0 < α, γ < 1). Metode Winters’ exponential smoothing Jika pola data tidak hanya dipengaruhi pola trend, tetapi juga pola musiman, maka metode Holt’s exponential smoothing tidak tepat digunakan untuk melakukan peramalan, karena tidak dapat mendeteksi adanya pola musiman. Sehingga, Winter menyempurnakan Holt’s exponential smoothing dengan menambahkan satu parameter untuk mengatasi pola musiman pada data. Metode ini dibagi menjadi dua model, yaitu model aditif dan multiplikatif. Analisis dengan model aditif dilakukan jika plot data asli menunjukkan fluktuasi musim yang relatif stabil, sedangkan model multiplikatif digunakan jika plot data asli menunjukkan fluktuasi musim yang bervariasi. Dalam model multiplikatif, terdapat empat persamaan (Hanke dan Wichern, 2005), yaitu: 1. Exponential smoothing data asli (pada waktu t)
Lt =
α
Yt + (1 − α )( Lt −1 + Tt −1 ) S t −s
2. Smoothing pola trend (pada waktu t) T t = γ ( Lt − Lt −1 ) + (1 − γ )Tt −1 ) 3. Smoothing pola musiman (pada waktu t) St =
δ
Yt + (1 − δ ) S t − s Lt
4. Peramalan p-periode ke depan
Yˆt + p = (L t + pT t )S t-s+p dengan (0 < α, γ, δ < 1). - Ketepatan metode peramalan Penggunaan metode peramalan tergantung pada pola data yang akan dianalisis. Jika metode yang digunakan sudah dianggap benar untuk melakukan peramalan, maka pemilihan metode peramalan terbaik didasarkan pada tingkat kesalahan prediksi (Santoso, 2009). Setiap metode peramalan tidak dapat dengan tepat meramalkan keadaan data di masa yang akan datang, sehingga pasti menghasilkan kesalahan. Jika tingkat kesalahan yang dihasilkan semakin kecil, maka hasil peramalan akan semakin mendekati tepat. Untuk menghitung kesalahan prediksi digunakan antara lain mean squared deviation (MSD), mean absolute deviation (MAD), mean absolute percentage error (MAPE)
3. METODE Bagian ini menguraikan singkat langkahlangkah peramalan dengan metode yang ada. 3.1 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data penumpang pesawat pada Bandar Udara Djalaluddin Gorontalo, yang bersumber dari data BPPS selang tahun 2007 – 20014 (Gorontalo Dalam Angka, 2008 – 2015). 3.2 Metode Analisis Data Analisis data yang ada dilakukan dengan bantuan MINITAB 17 Statistical Software.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Plot data runtun waktu penumpang pada Bandar Udara Djalaluddin Gorontalo, baik kedatangan maupun keberangkatan, selang tahun 2007-2014, berturut-turut sebagai:
166 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Gambar 1. Plot Data Runtun Waktu Kedatangan Penumpang pada Bandar Udara Gorontalo
Gambar 2. Plot Data Runtun Waktu Keberangkatan Penumpang pada Bandar Udara Gorontalo
Kedua plot data ini memperlihatkan bahwa data dipengaruhi pola trend sekaligus pola musiman karena menunjukkan fluktuasi meningkat. Plot autokorelasi dan autokorelasi parsial untuk data runtun waktu penumpang kedatangan dan keberangkatan berturututurut ditampil berikut.
Gambar 4. Plot ACF Data Runtun Waktu Keberangkatan Penumpang pada Bandar Udara Gorontalo
Gambar 5. Plot PACF Data Runtun Waktu Kedatangan Penumpang pada Bandar Udara Gorontalo
Gambar 6. Plot PACF Data Runtun Waktu Kerangkatan Penumpang pada Bandar Udara Gorontalo
Gambar 3. Plot ACF Data Runtun Waktu Kedatangan Penumpang pada Bandar Udara Gorontalo
Keempat plot di atas memperlihatkan bahwa terjadi autokorelasi pada data, yaitu adanya bar yang melebihi garis putus– putus sehingga data nonstasioner. Sedangkan Gambar 3 dan 4, menujukkan bahwa pola trend yang lebih kuat dibandingkan dengan pola musiman. Dengan beberapa cara percobaan yang dilakukan, diperoleh plot data runtun waktu penumpang pada Bandar Udara Djalaluddin Gorontalo, sebagai berikut.
167 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
S t = 0.2
Yt + 0.8S t −12 Lt
4. Peramalan p-periode ke depan
Yˆt + p = (L t + pT t )S t-12+p dengan MSD = 2683439 untuk data keberangkatan dan MSD = 3532755 untuk data kedatangan penumpang pada Bandar Udara Djalaluddin Gorontalo, selang tahun 2007 hingga tahun 2014. Gambar 7. Peramalan Data Runtun Waktu Keberangkatan Penumpang pada Bandar Udara Gorontalo dengan Metode Holts’-Winters’ Exponential Smoothing
Gambar 8. Peramalan Data Runtun Waktu Kedatangan Penumpang pada Bandar Udara Gorontalo dengan Metode Holts’-Winters’ Exponential Smoothin
Berdasarkan plot peramalan data runtun waktu di atas, diperoleh model peramalan dengan metode Holts’-Winters’ exponential smoothing, sebagai berikut. 1. Exponential smoothing data asli (pada waktu t) L t = 0.4
Yt + 0.6( Lt −1 + Tt −1 ) S t −12
5. KESIMPULAN Peramalan data runtun waktu penumpang kedatangan dan keberangkatan pada Bandar Udara Djalaluddin Gorontalo dapat dilakukan dengan metode Holts’-Winters’ exponential smoothing multiplikatif. Hal ini ditunjukkan dengan data plot yang tidak hanya dipengaruhi pola trend tetapi juga dipengaruhi oleh pola musiman.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. (2008-2015). Gorontalo dalam Angka. Gorontalo: BPS Provinsi Hanke, J.E. & Wichern, D.W. (2005). Business Forecasting, 8th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Hoshmand, A. R., (2010). Business Forcasting, a practical approach), 2nd ed. New York: Routledge Makridakis, S., Wheelwright, S.C., & McGee, V.E. (1999). Metode dan Aplikasi Peramalan, Jilid 1 (terjemahan Ardiyanto & Basith). Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga.
2. Smoothing pola trend (pada waktu t) T t = 0.2( Lt − Lt −1 ) + 0.8Tt −1 ) 3. Smoothing pola musiman (pada waktu t)
168 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PENJADWALAN PERKULIAHAN MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA Priscilya Arianing Tyas, Akhmad Yusuf*, Pardi Affandi *Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan E-Mail :
[email protected]
Abstrak Penjadwalan mata kuliah (lecture timetabling) adalah masalah menempatkan waktu dan ruangan kepada sejumlah mata kuliah dengan memperhatikan kendala – kendala seperti adanya permintaan dosen yang tidak bisa mengajar pada waktu tertentu, tidak boleh adanya jadwal mata kuliah yang saling bentrok antar dosen, ruang, ataupun waktu perkuliahan. Dalam penelitian ini, pendekatan algoritma genetika digunakan untuk memecahkan masalah penjadwalan perkuliahan. Algoritma genetika adalah suatu teknik pencarian (searching technique) dan teknik optimasi yang proses kerjanya mengikuti proses evolusi dan perubahan struktur genetik pada makhluk hidup yang terdiri dari representasi kromosom, fungsi fitness, elitisme, seleksi, penyilangan dan mutasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membentuk jadwal perkuliahan menggunakan algoritma genetika. Metode penelitian ini dilakukan dengan metode studi literature yaitu dengan mengumpulkan referensi pendukung yang berkaitan dengan topik. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data mata kuliah sebanyak 29 mata kuliah, dosen sebanyak 17 dosen,total waktu perkuliahan sebanyak 14 kali pertemuan dalam satu minggu (5 hari), dan ruangan sebanyak 6 ruangan. Dari penelitian dengan menggunakan nilai Probabilitas crossover (Pc) = 0,65 ;Probabilitas mutasi (Pm) = 0,5 ; populasi sebanyak 5 kromosom dan generasi maksimal sebanyak 30 generasi diperoleh hasil jadwal perkuliahan terbentuk pada generasi ke – 13 dikromosom ke – 2 yang berarti bahwa penjadwalan perkuliahan dapat diselesaikan dengan menggunakan algoritma genetika dengan tidak terdapatnya bentrokan – bentrokan yang terjadi baik antara ruang dan waktu perkuliahan, antara dosen yang mengajar matakuliah yang sama, dan antara permintaan dosen yang tidak bisa mengajar diwaktu tertentu. Kata Kunci: penjadwalan perkuliahan, algoritma genetika, representasi kromosom, fungsi fitness, elitisme, seleksi, penyilangan dan mutasi.
1. PENDAHULUAN Penjadwalan adalah penempatan serangkaian pertemuan dalam suatu waktu yang merupakan kombinasi dari sumber daya misalnya ruangan, orang-orang, barang-barang atau peralatan yang disesuaikan dengan kasus yang diinginkan [1].Penjadwalan mata kuliah merupakan persoalan penjadwalan umum yang tujuannyamenjadwalkan pertemuan dari dosen pengasuh mata kuliah, mata kuliah, ruang kuliah, dan waktu perkuliahan [6].Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan penjadwalan, misalnya secara exact tetapicara tersebut kurang efektif untuk skala yang besar dengan waktu yang relatif singkat untuk itu diperlukan penyalesaian secara heuristicmisalnya algoritma genetika [1]. Algoritma genetika adalah suatu teknik pencarian (searching technique) dan teknik optimasi yang kerjanya mengikuti proses evolusi dan perubahan struktur genetik pada makhluk hidup [2]. Keuntungan penggunaan algoritma genetika yaitu kemudahan implementasi dan kemampuannya untuk menemukan solusi
secara cepat untuk pencarian dengan ruang masalah yang besar [8]. Dalampenelitian ini akan dibahas tentang pembentukan jadwal perkuliahan menggunakan algoritma genetika. 2. TINJAUAN PUSTAKA Penjadwalan Perkuliahan Batasan/persyaratan (constraints) dalam penyusunan penjadwalan mata kuliah.Constraint merupakan suatu syarat tidak boleh terjadi pelanggaran terhadap kendala yang ditetapkan agar dapat menghasilkan susunan penjadwalan yang baik. Beberapa constraint tersebut yaitu [6] : a) Dosen tidak boleh dijadwalkan lebih dari satu kali pada waktu yang bersamaan b) Satu ruang tidak boleh dijadwalkan lebih dari satu kali pada waktu yang bersamaan Formulasi Penjadwalan Perkuliahan Model matematika untuk menyelesaikan masalah penjadwalan perkuliahan adalah sebagai berikut: Fungsi tujuan :
169 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
min 𝑧𝑧 (𝑥𝑥)
𝐶𝐶
𝑅𝑅
= min �� ��𝑋𝑋𝑡𝑡,𝑐𝑐,𝑟𝑟 � 𝐶𝐶
𝑐𝑐=1 𝑟𝑟=1
+ ��𝑋𝑋𝑡𝑡,𝑐𝑐,𝑟𝑟 � 𝑐𝑐=1 𝐶𝐶 𝑅𝑅
+ � �(𝑋𝑋𝑡𝑡,𝑐𝑐,𝑟𝑟 , 𝐴𝐴𝑑𝑑,𝑡𝑡 )� 𝑐𝑐=1 𝑟𝑟=1
. . . (2.1)
Fungsi tujuan digunakan untuk mencari jadwal perkuliahan yang memiliki bentrokan paling minimum, dimana 𝑋𝑋𝑡𝑡,𝑐𝑐,𝑟𝑟 adalah perkuliahan di waktu 𝑡𝑡 pada mata kuliah 𝑐𝑐 di ruangan 𝑟𝑟. 𝑋𝑋𝑡𝑡,𝑐𝑐,𝑟𝑟 akan bernilai 1 jika terjadi bentrokan perkuliahan di waktu 𝑡𝑡 pada mata kuliah 𝑐𝑐 di ruangan 𝑟𝑟 dan bernilai 0 jika terjadi perkuliahan di waktu 𝑡𝑡 pada mata kuliah 𝑐𝑐 di ruangan 𝑟𝑟. dengan kendala :
dosen, data waktu perkuliahan yang digunakan sebanyak 14 waktu perkuliahan (5 hari kerja), dan data ruangan sebanyak 6 ruangan. Berikut ini merupakan data mata kuliah beserta dosen pengajar, waktu,ruangan perkuliahan dan permintaan dosen yang tidak bias mengajar pada waktu tertentu : 4.1 Tabel Tabel harus diberi nomor secara urut (Tabel 1, Tabel 2, dan seterusnya). Judul dan sumber (jika diambil dari sumber lain) harus ditulis dan diletakkan seperti contoh tabel berikut: Tabel 1.Data mata kuliah beserta dosen pengajar
No
Id MK
1
C01
. . . (2.2)
2 3
C02 C03
4
C04
. . . (2.3)
5 6
C05 C06
7
C07
8 9 10
C08 C09 C10
11
C11
12
C12
13
C13
14
C14
15
C15
16
C16
17
C17
18 19
C18 C19
20
C20
21
C21
22
C22
23 24
C23 C24
25
C25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
26
C26
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data mata kuliah sebanyak 29 mata kuliah beserta dosen pengajar sebanyak 17
27 28
C27 C28
𝐶𝐶
𝑅𝑅
𝑓𝑓(𝑥𝑥) = � ��𝑋𝑋𝑡𝑡,𝑐𝑐,𝑟𝑟 � 𝑐𝑐=1 𝑟𝑟=1
𝐶𝐶
𝑔𝑔(𝑥𝑥) = ��𝑋𝑋𝑡𝑡,𝑐𝑐,𝑟𝑟 � 𝑐𝑐=1 𝐶𝐶
𝑅𝑅
ℎ𝑖𝑖 (𝑥𝑥) = � �(𝑋𝑋𝑡𝑡,𝑐𝑐,𝑟𝑟 𝐴𝐴𝑑𝑑,𝑡𝑡 ) 𝑐𝑐=1 𝑟𝑟=1
[4]. Algoritma Genetika
. . . (2.4)
Algoritma genetika adalah suatu teknik pencarian (searching technique) dan teknik optimasi yang kerjanya mengikuti proses evolusi dan perubahan struktur genetik pada makhluk hidup. Prinsip utama dari cara kerja algoritma genetika ini diilhami oleh proses seleksi alam dan prinsipprinsip ilmu genetika [2].
3. METODE Metode yang digunakan bersifat studi literatur. Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu a.Mengumpulkan dan mempelajari materi tentangalgoritma genetika dan penjadwalan perkuliahan b.Menentukan variabel-variabel yang digunakan dalam pembentukan penjadwalan perkuliahan. c.Mengumpulkan data mengenai pembentukan penjadwalan perkuliahan d.Mengolah datayang telah terkumpul denganmetode algoritma genetika menggunakan program MATLAB
170 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Mata kuliah Pendidikan Agama Kimia Dasar Fisika Dasar 1 Biologi Umum PKL KPB Statistik Elementer Kalkulus 1 PDP Analisis Riil 1 Pemodelan Matematika Basis Data Fungsi Kompleks Analisis Deret Waktu Metode Diskrit Teori Bilangan Statistik Inferensi Aljabar Linier PDB Teori Optimasi Ekonometrika Stat. Non Parametrik Kapita Selekta Geometri Geometri Transformasi Metode Numerik PDM Sistem
Id Dosen D01 D02 D03 D04 D10 D07 D17 D07 D05 D15 D11 D08 D06 D14 D05 D16 D12 D13 D11 D09 D12 D14 D09 D13 D15 D10 D06 D08
29
C29
Informasi Analisis Fungsional
D08 : Akhmad Yusuf, S.Si, M.Kom D09 : Pardi Affandi, S.Si, M.Sc D10: Oni Soesanto, S.Si, M.Si D11 : Yuni Yulida, S.Si, M.Sc D12 : Nur Salam, S.Si, M.Sc D13 : Saman Abdurrahman, S.Si, M.Sc D14 : Dewi Sri Susanti, S.Si, M.Si D15 : M. Mahfuzh Shiddiq, S.Si, M.Si D16 : Nurul Huda, S.Si, M.Si D17 : Aprida Siska Lestia S.Si, M.Si
D16
Keterangan : D01 : Dosen Pendidikan Agama D02 : Dosen Kimia Dasar D03 : Dosen Fisika Dasar 1 D04 : Dosen Biologi Umum D05 : Drs. Faisal, M.Si D06 : Na’imah Hijriati, S.Si, M.Si D07 : Thresye, S.Si, M.Si
Tabel 2. Waktu perkuliahan dalam satu minggu
Indeks Waktu T01
Hari
Waktu
Senin
T02
Senin
T03
Senin
T04
Selasa
T05
Selasa
T06
Selasa
T07
Rabu
08.00– 10.30 10.30– 13.00 13.00– 15.30 08.00– 10.30 10.30– 13.00 13.00– 15.30 08.00– 10.30
Indeks Waktu T08
Hari
Waktu
Rabu
T09
Rabu
T10
Kamis
T11
Kamis
T12
Kamis
T13
Jum’at
T14
Jum’at
10.30– 13.00 13.00– 15.30 08.00– 10.30 10.30– 13.00 13.00– 15.30 08.00– 10.30 14.00– 16.30
Tabel 2. Waktu perkuliahan dalam satu minggu Indeks Waktu T01
Hari
Waktu
Senin
T02
Senin
T03
Senin
T04
Selasa
T05
Selasa
T06
Selasa
T07
Rabu
08.00 – 10.30 10.30 – 13.00 13.00 – 15.30 08.00 – 10.30 10.30 – 13.00 13.00 – 15.30 08.00 – 10.30
Indeks Waktu T08
Hari
Waktu
Rabu
T09
Rabu
T10
Kamis
T11
Kamis
T12
Kamis
T13
Jum’at
T14
Jum’at
10.30 – 13.00 13.00 – 15.30 08.00 – 10.30 10.30 – 13.00 13.00 – 15.30 08.00 – 10.30 14.00 – 16.30
Tabel 3. Data ruangan yang tersedia Id ruang R1 R2 R3 R4 R5 R6
Nama Ruang Hilbert (1.1) Joule (1.2) Pascal (2.2) Alkhawarizmi (2.6) Marie Curie (2.4 – 2.5) Eistain (Aula Dekanat)
171 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tabel 4.Misalkan terdapat beberapa permintaan dosen yang tidak bisa mengajar pada waktu tertentu yang disajikan pada tabel 5
Id dosen D02 D05 D07 D08 D09 D10 D12 D16
Tidak bisa mengajar pada Hari Jam Senin 13.00– 15.30 Rabu 08.00 – 10.30 Rabu 13.00 – 15.30 Jum’at 08.00 – 10.30 Selasa 08.00 – 10.30 Selasa 13.00 – 15.30 Kamis 13.00 – 15.30 Selasa 13.00 – 15.30
Algoritma Genetika untuk Penjadwalan Perkuliahan Berikutmerupakanlangkah-langkah penyelesaian penjadwalan perkuliahan menggunakan algoritma genetika: Representasikromosom Langkah pertama dalam membangun algoritma genetika adalah mendefinisikan representasi genetika yang sesuai (pengkodean) [5].Pada penelitianini representasi kromosom yang digunakan adalah representasi bilangan integer, dimana panjang satu kromosom adalah gabungan gen berdasarkan jumlah dari seluruh mata kuliah yang ditawarkan pada semester ganjil. Satu gen berisi informasi waktu (T), mata kuliah (C), dosen (D) dan ruang (R), nilai genpada urutan kode waktu, mata kuliahdan ruangan dilakukan dengan membangkitkan bilangan secara acakmenggunakanmatlab. Contoh kromosom yang direpresentasikan dengan metode ini: Kromosom 1:
Id waktu T03 T07 T09 T13 T04 T06 T12 T06
Id dosen dan waktu D02T03 D05T07 D07T09 D08T13 D09T04 D10T06 D12T12 D16T06
𝑓𝑓𝑘𝑘 =
1 𝑧𝑧𝑘𝑘 + 𝑎𝑎
Salah satu teknik seleksi dalam algoritma genetika adalah teknik seleksi cakram rolet (roulette wheel selection) [3]. Dalam penelitian ini teknik seleksi yang digunakanyaituteknikmesin roulettedenganprosedur sebagai berikut: c. Menghitung nilai fitness total (F) untuk populasi
𝐹𝐹 = d.
e.
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃_𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆
�
𝑘𝑘=1
𝑓𝑓(𝑣𝑣𝑘𝑘 ) 𝑘𝑘
= 1,2, … , 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝_𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Menghitung probabilitas seleksi tiap jalur (𝑝𝑝𝑘𝑘 ) untuk masing-masing kromosom 𝑣𝑣𝑘𝑘 :
𝑝𝑝𝑘𝑘 =
𝑓𝑓(𝑣𝑣𝑘𝑘 ) , 𝐹𝐹
𝑘𝑘
= 1,2, … , 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝_𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Menghitung probabilitas komulatiftiap jalur (𝑞𝑞𝑘𝑘 ) untuk masing-masing kromosom 𝑣𝑣𝑘𝑘 : 𝑘𝑘
𝑞𝑞𝑘𝑘 = � 𝑝𝑝𝑗𝑗 , 𝑗𝑗=1
𝑘𝑘 = 1,2, … , 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝_𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Fungsi fitnessdanseleksi Untuk memperoleh nilai fitness melalui tahap sebagai berikut: a. Menghitung total bentrokan dari setiap kromosom (𝑧𝑧𝑘𝑘 ) b. Menghitung nilai fitness untuk masing-masing kromosom (𝑓𝑓𝑘𝑘 )
Proses penyeleksian dimulai dengan memutar cakram roulette sebanyak ukuran populasinya. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : a. Bilangan 𝑟𝑟 dibangkitkan secara acak dari range[0,1] dengan menggunakan program. b. Jika 𝑟𝑟 ≤ 𝑞𝑞1 , kromosom pertama 𝑣𝑣1 diseleksi; sebaliknya, seleksi
172 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
kromosom ke-𝑘𝑘(𝑣𝑣𝑘𝑘 ) jika 𝑞𝑞𝑘𝑘−1 < 𝑟𝑟 ≤ 𝑞𝑞𝑘𝑘 , dimana (2 ≤ 𝑘𝑘 ≤ 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝_𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠)[2]. Cross Over (Pindah silang) Crossover adalah operator primer dalam algoritma genetika. Operator ini bekerja pada sepasang kromosom induk untuk menghasilkan dua kromosom anak dengan cara menukarkan beberapa gen yang dimiliki masing-masing kromosom induk. Tingkat penyilangan atau peluang penyilangan (P c ) adalah rasio antara jumlah kromosom yang diharapkan mengalami penyilangan dalam setiap generasi dengan jumlah kromosom total dalam populasi [2]. Dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah teknik one point crossover. Pindah silang ini dilakukan dengan membangkitkan secara acak satu posisi titik potongantara 1 hingga G – 1, dimana G adalah jumlah gen dalam kromosom. Misalkan terpilih titik potongnya adalah posisi T. Selanjutnya, untuk anak 1 dengan gen 1 sampai T diambil dari orang tua 1 dan gen T + 1 sampai G diambil dari orang tua 2. Sebaliknya, anak 2 mendapatkan gen 1 sampai T dari orang tua 2 dan gen T + 1 sampai G dari orang tua 1 [9]. Berikut penyilangan dengan posisi titik potong pada posisi genke- 11 :
Kromosom 2’:
Mutasi Mutasi (mutation) adalah operator sekunder dalam algoritma genetika yang berperan mengubah struktur kromosom secara spontan. Tingkat mutasi atau peluang mutasi (𝑃𝑃𝑚𝑚 ) adalah rasio antara jumlah gen yang diharapkan mengalami mutasi pada setiap generasi dengan jumlah gen total dalam populasi [2]. Teknik yang digunakan untuk proses mutasi adalah mutasi creep (perlahan). Mutasi ini dilakukan secara perlahan, yaitu dengan menambahkan suatu bilangan bulat positif ke gen yang dimutasi. Pada penelitian ini informasi dalam gen yang akan diubah adalah waktu perkuliahan dan bilangan bulat positif yang dipilih yaitu 1 agar lebih mudah dalam perulangan nilai pada waktu (T) yang telah ditentukan. Berikut merupakan kromosom sebelum mengalami proses mutasi :
Kromosom 1: Kromosom 1:
Kromosom 2 : Berikut merupakan kromosomsesudah melalui proses mutasi : Kromosom 1:
Berikut merupakan penyilangannya: Kromosom 1’:
hasil
dari
Elitisme Konsep elitisme adalah konsep yang berusaha untuk mempertahankan individuindividu terbaik yang telah diperoleh dari suatu generasi kedalam generasi selanjutnya. Sehingga individu-individu
173 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
terbaik ini akan tetap muncul dipopulasi berikutnya. Langkah ini dilakukan dengan cara menyalinan kromosomyang mempunyai nilai fitness paling tinggi kemudian kromosom yang mempunyai nilai fitness rendah diganti dengan salinan dari kromosom yang mempunyai nilai fitness paling tinggi [7]. Implementasi Algoritma Genetika dalam Program Hasil simulasi dengan menggunakan Probabilitas Crossover (Pc) dan Probabilitas Mutasi (Pm) yang berbeda – beda dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.Perolehan nilai fitness terbaik (sebesar 1) dari ketiga percobaan :
Percobaan
Pc
Pm
1
0,4
0,2
2
0,65
0,5
3
0,75
0,01
Mulai konvergen pada generasi ke – 22 di kromosom ke –2 generasi ke – 13 di kromosom ke –2 generasi ke –
23 di kromosom ke –3 Dapat dilihat pada tabel 5 percobaan yang menghasilkan generasi yang paling cepat dalam pembentukan jadwal perkuliahan dengan nilai fitness terbaik (sebesar 1) yaitu pada percobaan dengan menggunakan Pc = 0,65 dan Pm = 0,5 pada generasi ke – 13 dikromosom ke – 2. Hal ini berarti semakin besar probabilitas crossover (Pc) maka kromosom yang mengalami penyilangan akan semakin banyak sehingga menghasilkan jadwal perkuliahan dengan gen – gen yang lebih bervariasi.Begitu juga dengan mutasi semakin besar probabilitas mutation (Pm) maka gen yang akan mengalami mutasi akan semakin banyak sehingga menghasilkan banyak mutan (suatu kromosom baru yang secara genetik berbeda dari kromosom sebelumnya) yang muncul.Berikutmerupakanhasilpercobaans etelah melalui proses Algoritma Genetika pada generasi ke - 13 denganPc = 0,65 dan Pm = 0,5 :
174 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
Tabel 6. Penjadwalan perkuliahan yang terbentuk untuk Pc = 0,65 dan Pm = 0,5
5. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : Pada penjadwalan perkuliahan data yang digunakan adalah data mata kuliah sebanyak 29 mata kuliah, dosen sebanyak 17 dosen, total waktu perkuliahan sebanyak 14 kali pertemuan dalam satu minggu (5hari), dan ruangan sebanyak 6 ruangan. Dalam penelitian ini digunakan ukuran populasi sebanyak 5 kromosom, generasi maksimum sebanyak 30 generasi (iterasi) dan nilai probabilitas crossover (Pc) dan probabilitas mutasi (Pm) yang berbeda-beda. Percobaan pertama menggunakan nilai Pc = 0,4 dan Pm = 0,2; percobaan kedua menggunakan nilai Pc = 0,65 dan Pm = 0,5; dan percobaan ketiga menggunakan nilai Pc = 0,75 dan Pm = 0,01. Dari ke – 3 percobaan tersebut yang menghasilkan generasi yang paling cepat dalam pembentukan jadwal perkuliahan dengan nilai fitness terbaik (sebesar 1) yaitu pada percobaan dengan
menggunakan Pc = 0,65 dan Pm = 0,5 yaitu pada generasi ke – 13 dikromosom ke – 2yang berarti algoritma genetika telah mencapai hasil optimal dengan terdapatnya kromosom yang tidak memiliki bentrokan – bentrokan. Hal ini berarti jadwal perkuliahan dapat diselesaikan dengan menggunakan algoritma genetika dengan tidak terdapatnya bentrokan – bentrokan yang terjadi baik antara ruang dan waktu perkuliahan, antara dosen yang mengajar mata kuliah yang sama, dan antara permintaan dosen yang tidak bisa mengajar diwaktu tertentu.Berikutmerupakanpenjadwalan yang terbentukdengan menggunakan Pc = 0,65 dan Pm = 0,5 yaitu pada generasi ke – 13 dikromosom ke – 2: DAFTAR PUSTAKA [1]
Aizam, Hanum. computational
175 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
2013. Effective models for
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
timetabling problem. Thesis Department of Mathematics and Statistics Curtin University. Arkeman, Yandra dkk. 2012. Algoritma Genetika Teori dan Aplikasinya untuk Bisnis dan Industri. IPB Press, Bogor. Goldberg, D. E. 1989. Genetic Algorithms in Search, Optimization and Machine Learning. AddisonWesley Publishing, Canada. Hutomo, A. R dkk. 2011. Implementasi Algoritma Integer Linier Programming Untuk Sistem Informasi Penjadwalan Ruangan Di Fakultas Ilmu Computer Universitas Indonesia, Journal of information systems, Vol.7, No.1. Universitas Indonesia, Depok. Li, Yen & Chen, Yan. 2010. A Genetik Algorithm for Job-Shop Scheduling. Journal of Software, Vol.5, No.3. Dalian Maritime University, Dalian, China. Sam’ani. 2012. Rancang Bangun Sistem Penjadwalan Perkuliahan dan Ujian Akhir Semester dengan Pendekatan Algoritma Genetika. Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Suyanto. 2005. Algoritma Genetika dalam Matlab.Andi Offset, Yogyakarta. Suyanto. 2008. Evolutionary Computation. Informatika, Bandung.
176 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017
PANITIA SEMINAR Pelindung Penangungjawab
: :
Ketua Sekertaris Bendahara
Dekan Fakultas MIPA ULM Dewi Sri Susanti, M.Si. (Ketua Prodi Matematika FMIPA ULM) : Nurul Huda, M.Si. : Akhmad Yusuf, M.Kom : Thresye, M.Si.
Seksi Acara
:
Pardi Affandi, M.Sc. (Koordinator) M. Meidy Maulana Septa Nadya Putri Ukhti Eka Izzaty
Seksi Perlengkapan
:
Nur Salam, M.Sc. (Koordinator) Tri Panjanudi Ahmad Jupri Yogie Apriyanto Fahrurrazi
Seksi Humas dan Dana
:
M. Leoni Hermawan (Koordinator) Hendra Maulan M. Nurdin Al Kahfi Dea Karina Rusidawati M. Afif Balya
Seksi Publikasi, Dokumentasi dan Jurnal
:
Yuni Yulida, M.Sc. (Koordinator) Oni Soesanto, M.Si. Ahmad Robian M. Nizar Zulfi
Seksi Kesekretariatan
:
Tri Kusuma Aji (Koordinator) M. Syathiri Siska Dharma Pratiwi Fitriani
177 | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya I 2017