PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN

PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN さTata Kelola Hutan untuk Mewujudkan Pembangunan Hijau Sumatera Selatanざ Palembang, 1 September 2016

ISBN: 978-602-98588-6-0

Penyunting: Abdul Hakim Lukman Fitri Nurfatriani Neo Endra Lelana R Deden Djaenudin

Penerbit Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

Alamat Jl. Kolonel H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu Palembang Telp/Fax. (0711) 414864 Email: [email protected] Website: www.bpk-palembang.org atau http://palembang.litbang.menlhk.go.id

Foto Sampul: Agus Sumadi Disain Sampul dan Tata Letak: Hendra Priatna

Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang TA. 2017

PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN さTata Kelola Hutan untuk Mewujudkan Pembangunan Hijau Sumatera Selatanざ Palembang, 1 September 2016

Penyunting: Abdul Hakim Lukman Fitri Nurfatriani Neo Endra Lelana R Deden Djaenudin

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PALEMBANG TAHUN 2017

KATA PENGANTAR Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang (BP2LHK Palembang) tahun 2016 dilaksanakan secara kolaboratif dengan GIZ BIOCLIME Project dan didukung oleh Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, Universitas Sriwijaya, Balai Penelitian Karet Sembawa dan Institut Pertanian Bogor di bidang konservasi sumber daya hutan, silvikultur, perlindungan dan biometrika serta sosial, ekonomi dan kebijakan. Ekspose dilaksanakan pada tanggal 1 September 2016 di Palembang dengan tema Tata Kelola Hutan untuk Mewujudkan Pembangunan Hijau Sumatera Selatan. Penyelenggaraan ekspose disasar untuk mewujudkan sinergitas antar pihak dalam mencari solusi bersama guna mewujudkan tata kelola kehutanan untuk mendukung pembangunan hijau di Sumatera Selatan, membangun capacity building dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi litbang dan lembaga pengelola project kerjasama, mendukung program-program kerja pemerintah di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, serta membangun jejaring kerja penelitian. Prosiding ini memuat seluruh materi presentasi dan makalah poster yang relevan dan mendukung tema ekspose setelah melalui tahap penyuntingan dari tim penyunting sesuai kepakaran terkait di lingkup Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Data dan informasi dalam prosiding ini bermanfaat menjadi landasan ilmiah bagi pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan, sebagai tambahan informasi untuk memahami status terkini pengelolaan hutan di Sumatera Selatan serta bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan mewujudkan pembangunan hijau di Sumatera Selatan. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada para pihak yang telah membantu dalam penyelenggaraan Ekspose hingga Prosiding ini dapat tersusun. Semoga prosiding ini bermanfaat untuk semua pihak.

Palembang,

Maret 2017

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang,

Ir. Tabroni, MM NIP. 196302231990031003

iii

iv

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................................ DAFTAR ISI ..................................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................ SAMBUTAN .................................................................................................................... RUMUSAN ......................................................................................................................

iii v ix xi xiv

A. ASPEK SILVIKULTUR 1. Hasil Hutan Bukan Kayu Untuk Pembangunan Hijau di Sumatera Selatan Sahwalita, Adi Kunarso, Nanang Herdiana, Agus Sofyan ...................................... 1 2. Pembangunan Hutan Tanaman Dengan Pola Tanam Campuran Karet dan Tanaman Kayu Seru (Schima wallichii) M. J Rosyid dan Andi N. Cahyo ............................................................................... 19 3. Pengembangan dan Pemanfaatan Energi Biomassa Sebagai Sumber Energi Ramah Lingkungan Hengki Siahaan dan Purwanto ............................................................................... 27 4. Evaluasi Awal Uji Keturunan Mahoni (Swietenia macrophylla King) Umur 1 Tahun di Kemampo, Banyuasin-Sumatera Selatan Imam Muslimin, Agus Sofyan, Eman Suherman, Yudi Harisman, Helen Voviarti dan Dewi Susanti ..................................................................................................... 39 5. Peluang Pembangunan Sumber Benih Kebun Benih Semai (KBS) Mahoni (Swietenia macrophylla King) Imam Muslimin ....................................................................................................... 47 6. Efisiensi Pembuatan Bibit Ulin Melalui Pemotongan Benih Agus Sofyan ............................................................................................................ 65 7. Respon Ukuran Benih dan Perlakuan Pendahuluan Terhadap Perkecambahan Benih Rotan Jernang Asal Muara Enim Nanang Herdiana dan Sahwalita ........................................................................... 77 8. Pemangkasan Cabang Dalam Penanaman Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) Dan Bambang lanang (Michelia champaca L) Agus Sofyan ............................................................................................................ 85 9. Penanganan Buah dan Perkecambahan Benih Rotan Penghasil Jernang Sahwalita dan Nanang Herdiana ........................................................................... 95 10. Pertumbuhan Diameter dan Tinggi Pohon Penghasil Gaharu di Lampung Agus Sumadi dan Agus Sofyan ............................................................................... 103 11. Peningkatan Pertumbuhan Awal Tanaman Pola Agroforestri di KHDTK Kemampo Sumatera Selatan Agus Sumadi dan Andika Imanullah ....................................................................... 109 12. Penyusunan Model Penduga Volume Gelam Sebagai Perangkat Pengelolaan Lahan Rawa di Sumatera Selatan Hengki Siahaan dan Agus Sumadi .......................................................................... 117 v

13. Tormentella. Sp.: Ektomikoriza Promiscuous Species Untuk Rehabilitasi Hutan Dipterokarpa Maliyana Ulfa, Eny Faridah, Su See Lee, Sumardi, Antoine Galiana, Christine le Roux, Patahayah Mansor dan Andi Nopriansyah ................................ 123 B. ASPEK PERLINDUNGAN HUTAN 1. Potensi Beberapa Jenis Tumbuhan Bawah untuk Pengendalian Hama Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah ........................................................................ 2. Pengendalian Gulma Gadung (Dioscorea hispida Dennst) pada Tanaman Kayu Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) Andika Imanullah dan Agus Kurniawan ................................................................. 3. Serangan Hama Babi Hutan pada Tanaman Rotan Jernang dan Alternatif Pengendaliannya Agus Kurniawan ...................................................................................................... 4. Serangan Hama Kutu Daun (Toxoptera aurantii) pada Jenis Seru di Persemaian Agus Kurniawan dan Andika Imanullah ................................................................. 5. Kandungan Fitokimia Beberapa Tumbuhan Obat di Pesisir Pantai dan Lahan Basah Serta Potensinya sebagai Pestisida Nabati Asmaliyah, Etik Erna Wati Hadi, Efendi Agus Waluyo dan Imam Muslimin ..........

133

141

149 157

165

C. ASPEK KONSERVASI DAN LINGKUNGAN 1. Potensi Penyerapan Karbon pada Pola Tumpang Sari Karet dan Tanaman Kayu Sahuri ...................................................................................................................... 179 2. Peningkatan Akurasi Pendugaan Emisi Sektor Hutan dan Lahan Melalui Pengukuran Cadangan Karbon Tier 3 dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim di Sumatera Selatan Hengki Siahaan, Adi Kunarso dan Tedy Rusolono ................................................. 187 D. ASPEK SOSIAL EKONOMI 1. Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran: Kritik Ideologis dan Alternatif Pembangunan Lokal Lukas Rumboko Wibowo, Ismatul Hakim, Yadi, Triyono Puspitojati, Aneka Prawesti Suka, Dewi Ratna Kurniasari dan Fitri Nurfatriani ....................... 201 2. Dapatkah Pertumbuhan Ekonomi Hijau Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan? Pembelajaran dari Riau untuk Sumatera Selatan Mamat Rahmat ..................................................................................................... 209 3. Pencegahan Karhutla untuk Mendukung Pertumbuhan Hijau di Sumatera Selatan: Studi Kasus di Desa Riding Mamat Rahmat, Bondan Winarno, Bastoni dan Adi Kunarso ............................... 219 4. Kelembagaan Pengelolaan DAS untuk Mendukung Kelestarian DAS Musi Nur Arifatul Ulya. ..................................................................................................... 231 5. Eksistensi Kelembagaan Pengelolaan Air di Sub DAS Perapau (Desa Muara Danau Laut, Kabupaten Muara Enim) Efendi Agus Waluyo, Nur Arifatul Ulya, Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah Syahbana ............................................................................................................... 241

vi

6.

Prospek Pengembangan Agroforestri Rotan Jernang oleh Masyarakat di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu Sri Lestari dan Bambang Tejo Premono ................................................................ 7. Produksi dan Pasar dalam Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu sebagai Solusi Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat Sri Lestari dan Bambang Tejo Premono ................................................................ 8. Pilihan Sumber Energi Rumah Tangga Pedesaaan: Studi Kasus di Kota Pagar Alam Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari ................................................................ 9. Perilaku Komuniksi Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Penguasaan Lahan di KHDTK Suban Jeriji Ari Nurlia, Bondan Winarno dan Teten Rahman S ................................................ 10. Proses Awal Negosiasi Penguasaan Lahan oleh Masyarakat pada Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji, Sumatera Selatan Bondan Winarno, Ari Nurlia, Edwin Martin ..........................................................

249

257 271

279

291

LAMPIRAN ...................................................................................................................... 307

vii

viii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Susunan Acara ......................................................................................................... 307 2. Susunan Panitia ....................................................................................................... 309 3. Daftar Peserta .......................................................................................................... 310 4. Notulensi ................................................................................................................. 313

ix

x

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN BP2LHK PALEMBANG DAN GIZ-BIOCLIME さTATA KELOLA HUTAN UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN HIJAU SUMATERA SELATANざ PALEMBANG, 1 SEPTEMBER 2016 Yang saya hormati: 1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan 2. Direktur Inventarisasi GRK dan Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi, Dirjen PPI 3. Project Leader GIZ-BIOCLIME 4. Pejabat Struktural Pemerintah Daerah Sumatera Selatan 5. Pejabat Struktural dan Fungsional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 6. Perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten 7. Perwakilan Badan Lingkungan Hidup Provinsi/Kabupaten 8. Perwakilan UPT lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 9. Para Kepala KPH, Penyuluh, Akademisi dan Praktisi Kehutanan serta seluruh hadirin yang berbahagia. Assalamu'alaikum Wr. Wb Selamat pagi dan salam sejahtera, Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal afiat u tuk e ghadiri a ara Ekspose Bersama Tata Kelola Hutan untuk Mendukung Pembangunan Hijau Sumatera Selatan. Hadirin yang saya hormati, Saat ini kita dihadapkan pada permasalahan dalam pengelolaan hutan antara lain: eksploitasi sumberdaya alam yang melampaui kapasitasnya atau tidak ramah lingkungan, pertumbuhan penduduk, peningkatan kebutuhan akan lahan akibat perkembangan industri dan peningkatan pembangunan, penggunaan lahan oleh masyarakat di luar batas kemampuannya, konversi lahan, dan orientasi pembangunan yang semata-mata fokus pada economic development. Eksploitasi sumberdaya hutan yang dilakukan sejak era 1970-an ternyata dilakukan melebihi kapasitasnya dan tidak sesuai dengan laju pemulihannya. Akibatnya, sumberdaya hutan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Atau dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan yang kita lakukan selama ini tergolong belum menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Eksploitasi sumberdaya hutan juga e ga il odal ya g seharus ya tidak dieksplotasi. “e agai aki at ya, odal ala (hutan) tidak berfungsi sebagai saham yang menghasilkan arus sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Bukti dari eksploitasi sumberdaya hutan adalah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Selain itu, kontribusi sektor kehutanan dalam perekonomian nasional (PDB) mengalami penurunan mulai periode tahun 2000-an. Dari sisi lingkungan, kita bisa melihat bahwa seiring dengan degradasi hutan dan lahan, frekuensi terjadinya bencana lingkungan juga semakin meningkat. Bencana lingkungan xi

akibat degradasi lingkungan (deforestasi dan degradasi hutan) yang paling mudah kita amati adalah kebakaran hutan dan lahan. Frekuensi kebakaran hutan dan lahan semakin meningkat apabila dibandingkan periode awal eksploitasi sumberdaya hutan dalam rangka memberikan kontribusi pada perekonomian nasional. Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan pun juga semakin meningkat. Pola-pola pemanfaatan hutan yang berbasis pada pembangunan ekonomi semata hanya akan menyisakan kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Untuk itu pembangunan sektor kehutanan dan sektor-sektor sumber daya alam lainnya harus berparadigma pembangunan hijau (green growth development) di mana pembangunan tidak hanya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau meningkatkan kesejahteraan manusia, tapi juga sekaligus memastikan kelestarian lingkungan hidup. Memastikan kelestarian lingkungan hidup berarti mengurangi risiko kerusakan lingkungan dan kelangkaan ekologi dengan jalan menekan emisi karbon dan melakukan efisiensi penggunaan sumber daya. Pembangunan hijau merupakan kegiatan ekonomi yang rendah karbon, tidak mengandalkan bahan bakar fosil, dan hemat sumberdaya alam. Hadirin sekalian yang berbahagia, Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah merumuskan tujuan pembangunan tahun 2015-2019, yaitu memastikan kondisi lingkungan berada pada toleransi yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia dan sumberdaya berada rentang populasi yang aman, serta secara paralel meningkatkan kemampuan sumberdaya alam untuk memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional. Dalam rangka mendukung tujuan pembangunan Kementerian LHK seperti yang sudah dirumuskan diatas, Badan Litbang dan Inovasi KLHK memiliki posisi strategis dalam menyediakan data dan informasi berbasis penelitian, pengembangan dan inovasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka alokasi sumberdaya hutan untuk kelestarian pembangunan kehutanan menuju kelestarian pembangunan perekonomian nasional. Sebagai lembaga di dalam lingkup KLHK yang berperan dalam melayani dan memenuhi kebutuhan IPTEK, Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi disokong oleh struktur organisasi penelitian yang berada di pusat serta jaringan UPT yang ada di daerah. Saat ini, struktur Badan Litbang dan Inovasi LHK ditopang oleh empat Pusat Penelitian dan 15 UPT yang tersebar mulai dari wilyah Sumatera hingga ke Papua. Ke-15 UPT tersebut terdiri dari dua Balai Besar dan 13 Balai, salah satunya Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang. Bapak, Ibu dan Hadirin sekalian yang berbahagia, Seminar yang terlaksana pada hari ini adalah merupakan hajat Badan Litbang dan Inovasi yang tahun ini secara khusus dilaksanakan secara kolaboratif antara BP2LHK Palembang dengan GIZ-Bioclime, yang merupakan salah satu project kerjasama pemerintah Jerman dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan fokus kegiatan untuk membantu pemerintah Sumatera Selatan dalam upaya penurunan emisi dari sektor kehutanan untuk mendukung pembangunan hijau Sumsel. Saya menyambut baik dan memberikan apresiai terhadap langkah kerjasama diseminasi hasil penelitian seperti ini. Sehingga diharapkan hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan baik oleh Badan Litbang dan Inovasi serta kegiatan-kegiatan yang sudah xii

dilakukan oleh GIZ-BIOCLIME dapat disosialisasikan dan disebarluaskan kepada publik. Melalui seminar ini, saya berharap berbagai informasi dan kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan dapat diketahui oleh masyarakat luas sebagai media pembelajaran sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan. Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, Seminar bersama antara BP2LHK Palembang dengan GIZ-Bioclime ini diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan tata kelola hutan khususnya di Sumatera Selatan. Kami pun menyadari bahwa aspek kajian mengenai tata kelola hutan ini belum sepenuhnya terjawab oleh Badan Litbang dan Inovasi. Lembaga-lembaga lain yang hadir hari ini yang memiliki fokus kegiatan terkait, dan sudah melakukan kajian ilmiah mendalam mungkin dapat berbagi kepada kita semua pada kesempatan yang baik ini. Melalui kerjasama antar lembaga seperti ini diharapkan dapat membuahkan solusi yang menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Harapan kolaborasi seperti ini tidak terhenti sampai dengan seminar saja tetapi bisa dilanjutkan kepada kerjasama yang lebih operasional baik dengan dinas, perguruan tinggi, lembaga donor, NGO, praktisi, dll. Hadirin, peserta seminar yang saya hormati, Pada kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Direktur GIZ-BIOCLIME yang telah memberikan kontribusi pembiayaan untuk kegiatan ini. Semoga kegiatan ini dapat dijadikan sebagai ajang berdiskusi yang bersifat konstruktif dan memberikan umpan balik yang dapat memperkaya wawasan peneliti, serta memberikan manfaat bagi kita semua. Dengan mengucap Bismillahirahmannirahim a ara se i ar de ga te a Tata Kelola Huta u tuk Me duku g Pe a gu a Hijau “u atera “elata res i saya yataka dibuka. Semoga pertemuan ini berjalan lancar dan Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan perlindungan dan petunjuk-Nya. Wassalamu'alaikum Wr. Wb KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

DR. Henry Bastaman, MES.

xiii

RUMUSAN EKSPOSE BERSAMA BP2LHK Palembang Bekerjasama dengan GIZ-BIOCLIME Dengan Tema: さTata Kelola Hutan Untuk Mewujudkan Pembangunan Hijau Sumatera Selatanざ (Palembang, 1 September 2016) ‘u usa se i ar Ekspose Hasil Lit a g de ga te a Tata Kelola Huta Me duku g Pe a gu a Hijau di “u atera “elata e ga u pada sa uta Kepala Bada Lit a g dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, paparan keynote speaker Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan Verifikasi, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, serta pemaparan 10 makalah dan diskusi yang berlangsung selama seminar: 1.

Kerjasama ekspose hasil litbang antara BP2LHK-Palembang dengan Bioclime-GIZ merupakan kolaborasi yang baik dalam menyebarluaskan hasil-hasil litbang kepada para pihak terkait. Hasil-hasil penelitian, pengembangan dan inovasi diharapkan dapat memberikan dukungan yang nyata bagi pengelolaan hutan dan lingkungan yang lestari.

2.

Pertumbuhan hijau merupakan tahapan menuju pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya dengan tiga pilar utama, yaitu: aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Terkait pilar-pilar tersebut, target pertumbuhan hijau di Indonesia yang ingin dicapai meliputi: 1. Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan; 2. Pertumbuhan yang inklusif dan merata; 3. Ketahanan sosial, ekonomi dan lingkungan; 4. Ekosistem sehat dan produktif dalam menyediakan jasa lingkungan, dan; 5. Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

3.

Pertumbuhan hijau di konteks nasional merupakan amanat konstitusi UUD 1945 yang saat ini menjadi suatu kebutuhan dengan meningkatnya berbagai permasalahan lingkungan yang dampaknya yang semakin meluas. Konsep pertumbuhan hijau seiring dengan arah kebijakan nasional pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan yang mendorong perbaikan sistem tata kelola yang disertai dengan perbaikan kondisi tapak lingkungan dan hutan. Beberapa faktor yang menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan hijau adalah: koordinasi,sinergi dan koherensi lintas sektor dan lintas level tata kelola (pusat-daerah) yang memerlukan proses yang sinergis dan berkelanjutan dengan indikatornya antara lain: rendah emisi, jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Beberapa rekomendasi strategi pertumbuhan hijau: 1. Koheren dengan rencana aksi Gas Rumah Kaca 2020, Perjanjian Paris terkait National Determined Contributions, dan Sustainable Development Goals; 2. Terintegrasi pada seluruh komponen penting pembangunan (sosial, ekonomi dan lingkungan) yang meliputi: pengentasan kemiskinan, pembangunan maritim, keberlanjutan pangan, air, dan energi,

4.

xiv

5.

6.

7.

8.

membangun archipelagic climatic resilience; 3. Riset dan Inovasi; 4. Review RTRW menggunakan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis; 5. Aplikasi prinsip Co o ut differe tiated respo si ilities a d respe tive apa ilities ; 6. Kriteria Clarity, Transparancy, dan Understandable (CTU) relevan digunakan sebagai landasan strategis dalam pembangunan hijau Provinsi Sumatera Selatan memiliki pilar sosial ekonomi dan lingkungan yang potensial untuk mendukung konsep pembangunan hijau. Pilar-pilar tersebut antara lain: potensi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang cukup besar, ekonomi yang terus tumbuh dengan peningkatan GDP dengan kontribusi terbesar dari sektor pertambangan, pertanian-kehutanan dan industri pengolahan. Di samping itu, pembangunan hijau di Sumatera Selatan juga masih menghadapi tantangan, antara lain berupa: deforestasi, pembalakan ilegal dan alih guna lahan pada areal lindung dan konservasi, degradasi lahan gambut, ancaman kebakaran hutan dan lahan yang berulang hampir setiap tahun, dan degradasi kondisi biofisik daerah aliran sungai (DAS). Provinsi Sumatera Selatan memiliki komitmen terhadap pertumbuhan hijau melalui berbagai rencana dan implementasi program sosial ekonomi dan lingkungan dengan melibatkan para pihak terkait. Beberapa rekomendasi terkait pertumbuhan ekonomi hijau dihubungkan dengan kondisi skala sistem ekonomi Provinsi Sumatera Selatan yang saat ini belum diketahui adalah: 1. Jika kondisi sistem ekonomi optimal belum dicapai, maka implementasi program pertumbuhan ekonomi hijau dinilai baik karena dapat memperlambat pencapaian kondisi skala optimal; 2. Jika sistem ekonomi berada pada posisi optimal maka pertumbuhan hijau dapat mempertahankan agar penambahan nilai manfaat dan biaya tetap seimbang; 3. Jika sistem ekonomi telah melampaui posisi optimal maka pertumbuhan hijau hanya dapat meminimalkan kerugian yang disebabkan oleh biaya-biaya lingkungan yang dikorbankan. Pada level tapak, konsep desa pertumbuhan hijau berkemakmuran merupakan bentuk kritik ideologis, alternatif pembangunan lokal dan gerakan sosial yang menempatkan warga desa dan pemerintah desa sebagai subyek pembangunan untuk mewujudkan pembangunan desa yang sejahtera. Konsep desa ini mencoba mendorong desa menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi dengan mengedepankan konsep-konsep berwawasan lingkungan, mendorong partisipasi kritis warga, meningkatkan produktivitas warga melalui optimalisasi pengelolaan asset desa (bio-fisikal dan social capital), pengembangan kapsitas warga dan mendorong tatakelola pemerintahan desa yang demokratis, transparan, akuntabel dan responsive (good-village governance). Survey sosial ekonomi dan kerentanan masyarakat dapat dijadikan pilihan pendekatan sebagai baseline dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan. Hasil kegiatan menunjukkan beberapa jenis produk HHBK yang cukup berperan dalam perdagangan di dalam dan luar negeri antara lain Sari Kelapa/Nata De Coco (Desa Muara Sungsang); Rotan (Desa Pangkalan Bulian), Ubi Racun (Desa Kepayang), Kopi (Desa Karang Panggung), dan Nilam (Desa Napalicin). xv

9.

Petak Ukur Permanen (PUP) pada berbagai tipe ekosistem dan penutupan lahan di Sumatera Selatan untuk menduga emisi sektor hutan dan lahan telah dibangun baseline data cadangan karbon di Sumatera Selatan. Akurasi pengukuran emisi sektor hutan dan lahan ditentukan oleh metode yang digunakan dalam menentukan perubahan luas tutupan lahan dan besarnya faktor emisi. Data faktor emisi yang akurat diperoleh melalui PUP dengan jumlah yang memadai dan metode sampling yang tepat sesuai dengan kondisi di lapangan. 10. Hutan dan lahan rawa gambut yang telah terdegradasi akibat eksploitasi, kebakaran, konvesi dan drainase dari tingkat degradasi ringan sampai berat masih dapat direhabilitasi dan direvegetasi melalui pemahaman 5 asas restorasi dan penerapan 4 siasat teknis revegetasi. Lima asas restorasi yang perlu dipahami adalah memahami hubungan antar komponen ekosistem gambut, penyebab utama dan dampak degradasi ekosistem gambut, prioritas restorasi sesuai dengan faktor penyebab utama degradasi, karakteristik lahan gambut terdegradasi, dan mencegah kerusakan kembali pasca restorasi. Sedangkan empat siasat teknis revegatasi yang dapat diterapkan adalah mengidentifikasi karakteristik lahan, revegetasi lahan gambut yang tergenang hanya pada musim hujan, tergenang sepanjang tahun, kecuali pada musim kemarau panjang, dan revegatasi lahan gambut yang tidak tergenang sepanjang tahun akibat konversi dan drainase. 11. Pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu-kayuan secara tradisional sudah dikembangkan oleh masyarakat di beberapa sentra karet di Indonesia, dengan sistem usaha tani yang umum dilaksanakan tidak optimal, sehingga hasil yang diperoleh juga menjadi tidak optimal. Di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, sebagian masyarakatnya membiarkan pohon seru (Schima walichii) tumbuh di antara barisan tanaman karet, dengan populasi pohon seru sangat beragam mulai dari di bawah 50 pohon/ha sampai di atas 100 pohon/ha. Jumlah pohon seru yang tumbuh di areal kebun karet berpengaruh baik terhadap pertumbuhan pohon seru itu sendiri, maupun terhadap pertumbuhan dan produksi getah karet. Semakin tinggi populasi tanaman seru, maka pertumbuhan pohon seru paling lambat, dan pertumbuhan tanaman karet serta hasil karetnya semakin rendah. Oleh karena itu perlu diketahui populasi pohon seru yang optimal dan tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil karetnya. 12. Pengembangan dan pemanfaatan energi biomasa dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang semakin menipis dan sekaligus sebagai upaya Indonesia untuk mengurangi emisi dengan menghasilkan energi yang ramah lingkungan. Peran sektor kehutanan dalam kebijakan tersebut adalah menyediakan bahan baku (feedstock) dan pencadangan areal untuk pengembangan. Tiga bentuk bioenergi yang telah diteliti oleh Badan litbang dan inovasi, KLHK, yaitu biodiesel dari tanaman nyamplung dan malapari, bioethanol dari nipah dan lontar, dan biomassa (kayu energi) dari kaliandra, lamtoro dan jenis-jenis kayu lokal. Pengembangan kayu energi di Sumatera Selatan difokuskan pada jenis lokal yang unggul, seperti pelawan (Tristaniopsis obovata), laban (Vitex pubescens), talok (Microcos tomentosa), seru (Schima wallichii), plangas (Aporosa nervosa) dan betih (Decaspermum humile).

xvi

13. Pengusahaan HHBK dapat menjadi pilihan untuk menjaga kondisi lahan dan meningkatkan nilai tambah karena sifat pemanfaatannya sepanjang daur dan relatif sedikit dampaknya terhadap lingkungan. Selain itu, pengusahaan HHBK akan memberi nilai pendapatan yang jauh lebih baik apabila dilakukan dengan pola tumpangsari dengan mencampur tanaman berkayu atau tanaman semusim melalui pengelolaan terpadu. Beberapa jenis HHBK unggulan yang dapat dikembangkan di Sumatera Selatan, antara lain rotan jernang, gaharu dan kayu putih. Palembang, 1 September 2016 Tim Perumus: 1. Ir. Abdul Hakim Lukman, M.Si 2. Bondan Winarno, S.Hut, MT, MMG

xvii

xviii

ASPEK SILVIKULTUR

xix

xx

Aspek Silvikultur

HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNTUK PEMBANGUNAN HIJAU DI SUMATERA SELATAN Sahwalita, Adi Kunarso, Nanang Herdiana dan Agus Sofyan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Pembangunan hijau menjadi penting karena mengakomodir semua aspek, yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi. Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan sehingga dapat memberikan hasil dan jaminan masa depan. Komitmen untuk pembangunan hijau telah dibuat baik secara nasional maupun daerah dengan rencana aksi disesuaikan kondisi masing-masing. Kehutanan memiliki peran besar dalam pelaksanaan aksi pembangunan hijau tersebut, salah satunya dapat melalui pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Potensi HHBK di Sumatera Selatan cukup besar tapi belum tertangani dengan baik dan umumnya masih mengeksploitasi dari alam. Selama ini, HHBK telah terbukti dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dan sebagai sumber pangan dan obat-obatan serta mampu menjaga lingkungan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam pengelolan HHBK yaitu konservasi, budidaya dan peningkatan nilai tambah. HHBK dapat dijadikan solusi dalam pengelolaan hutan karena dapat dikembangkan dengan berbagai pola baik monokultur maupun campuran dengan tanaman hutan, tanaman perkebunan dan tanaman pertanian. Beberapa jenis HHBK unggulan yang dapat dikembangkan di Sumatera Selatan antara lain: rotan jernang, gaharu dan kayu putih. Kata kunci: Gaharu, HHBK, kayu putih, pembangunan hijau, rotan jernang

I. PENDAHULUAN Pembangunan hijau merupakan konsep pembangunan yang mengambil jalan tengah antara kepentingan lingkungan, sosial dan ekonomi. Konsep pembangunan hijau menjadi penting seiring berjalannya waktu bahwa pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak lagi sesuai dan dengan semakin berkurangnya ketersediaan sumberdaya tak terbarukan serta degradasi lingkungan. Ketiga pilar pembangunan hijau tersebut bergerak dinamis sehingga perlu konsep dan perencanaan yang tepat. Konsep pembangunan hijau ini lebih mengutamakan aspek lingkungan diantara tiga pilar utama tersebut, pembangunan hijau dapat dikatakan merujuk pada alam dan kelestariannya. Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan, sehingga pembangunan hijau dapat memberi hasil dan jaminan masa depan. Dalam upaya mendukung pembanguan hijau secara nasional telah terbit Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011, tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), dengan komitmen menurunkan emisi nasional sebesar 41% pada tahun 2020, dengan target 26% dilakukan dengan upaya mandiri dan 15% berasal dari bantuan Internasional. Komitmen ini dibarengi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Di Sumatera Selatan Rencana Aksi Daerah Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) telah tertuang dalam Peraturan Gubernur No. 34 Tahun 2012. Dalam pelaksanaannya, diperlukan rencana aksi yang disesuaikan dengan kondisi di setiap kabupaten dan kemudian dapat diimplementasikan dalam perencanaan tata guna lahan. Beberapa model aksi yang dilaksanakan antara lain: mempertahankan tutupan rawa diareal yang bergambut, agroforestri karet, pengkayaan tanaman sawit dengan tanaman pohon lainnya, menghijaukan kembali lahan-lahan terdegradasi, membangun agroforestri di kebun masyarakat. Kehutanan memiliki peran besar dalam pelaksanaan aksi pembangunan hijau untuk kelestarian sumberdaya dan memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat. 1

Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

Perencanaan tata guna lahan, pola pemanfaatan lahan, tanaman penutup lahan dan pola kemitraan menjadi panduan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Jenis-jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dapat dijadikan unggulan dalam pola pembangunan hijau tersebut antara lain: rotan penghasil jernang, tanaman penghasil gaharu dan tanaman kayu putih. Ketiga jenis tanaman tersebut memiliki karakteristik yang dapat dikembangkan di wilayah Sumatera Selatan. Selain itu produk tanaman tersebut merupakan komoditas ekspor dengan pemanfaatan yang luas, sehingga permintaan selalu meningkat yang menyebabkan harga terus meningkat pula. Di sisi lain tanaman tersebut telah teruji dalam menambah pendapatan masyarakat, terutama untuk masyarakat disekitar hutan. II. KONDISI HUTAN DAN LAHAN DI SUMATERA SELATAN Sumatera Selatan memiliki luas hutan sekitar 3,4 juta hektar atau sekitar 40% luas Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan hutan tersebut dibagi pada beberapa fungsi dan luasan seperti terlihat pada Gambar 1 dan Tabel 1.

Gambar 1. Peta Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Selatan Namun demikian, kondisi hutan di Sumatera Selatan saat ini terus mengalami tekanan akibat laju pertambahan penduduk berupa: illegal logging, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, konversi hutan untuk keperluan lain yang semakin meningkat, serta terjadinya kebakaran hutan dan lahan (BPDAS Musi, 2014). Hal ini terindikasi dari kondisi tutupan hutan yang 72% lahan dalam kawasan hutan negara (atau sekitar 2,6 juta ha) dalam kondisi tidak berhutan (Kementerian Kehutanan, 2014). Sebagian besarnya (1,9 juta ha) berada dalam fungsi hutan produksi dalam pengelolaan Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP).

2

Aspek Silvikultur

Tabel 1. Tabel Luas Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Selatan No FUNGSI KAWASAN 1 Hutan Produksi (HP) 2 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 3 Hutan Produksi yang dapat diKonversi (HPK) 4 Hutan Lindung (HL) 5 Suaka Margasatwa (SM) 6 Taman Nasional (TN) 7 Taman Nasional Laut (TNL) 8 Tawan Wisata Alam (TWA) Luas Total (Ha)

Luas (ha) 1.713.530,57 208.724,05 176.693,81 577.326,99 269.540,09 472.154,57 48.707,30 223,23 3.466.900,61

Sumber: Peta Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Sumatera Selatan SK Menhut No.866 Tahun 2014 (Lembar 1013 - 006)

Kondisi tersebut diatas telah memicu timbulnya lahan-lahan kritis (Gambar 2). Berdasarkan kriteria kekritisan lahan, luas lahan kritis dengan kategori agak kritis hingga sangat kritis di DAS Musi yang mencapai 1,7 juta Ha (± 20%). Sedangkan 51% diantaranya masuk ke dalam kriteria tidak kritis. Selain itu, sebanyak 62% lahannya memiliki produktifitas lahan yang baik dan sudah dimanfaatkan (Balai Pengelolaan DAS Musi, 2014). Disamping itu, kondisi hutan di Sumatera Selatan rawan terhadap okupasi atau perambahan, hal ini disebabkan berbagai faktor antara lain: 1. Banyak masyarakat yang tinggal di dalam kawasan sebelum penetapan kawasan hutan. 2. Keberadaan desa di sekitar/dalam kawasan hutan, sebagian termasuk dalam kategori kurang mampu secara ekonomi. 3. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan tinggi, sedangkan kesempatan untuk mengelolanya terbatas. 4. Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah.

Gambar 2. Peta lahan kritis di Sumatera Selatan (Sumber: BPDAS Musi, 2014) 3


Untuk itu diperlukan pola pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang tepat dengan melibatkan masyarakat setempat sehingga dapat mempertahankan sekaligus melestarikan sumberdaya hutan yang tersisa, di samping mengoptimalkan berbagai fungsi yang ada sehingga keberadaan hutan mampu memenuhi kebutuhan yang semakin beragam serta memberikan manfaat kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan diskursus tata kelola hutan secara partisipatif (Situmorang, et al., 2013), di mana masyarakat lokal atau pemerintah lokal atau secara bersama-sama mengelola hutan. Pertimbangan dari diskursus ini adalah, pengelolaan hutan dapat lebih efektif dan efisien jika dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, dan tidak dikelola oleh pemerintah secara sentralistis. III. POTENSI PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU Salah satu komoditi yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan hutan secara lestari adalah pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Ekosistem hutan memiliki hasil hutan berupa kayu hanya sebesar 10%, sedang 90% adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK). Hal ini menunjukkan bahwa potensi HHBK sangat menjanjikan jika dikelola dengan baik. Selain itu hasil hutan bukan kayu memiliki peran yang nyata dalam pembangunan hijau karena memiliki karakter sebagai berikut: a. Aspek lingkungan: pemanenan HHBK relatif lebih kecil dampaknya bila dibandingkan dengan kegiatan pembalakan kayu (konservasi dan kelestarian) dan pola pengembangan yang lebih sederhana (campuran). b. Aspek sosial: HHBK lebih banyak memberi manfaat dan keuntungan bagi masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar hutan (pangan, obat-obatan). c. Aspek ekonomi: bisa lebih besar dibandingkan nilai kayu karena lebih mudah dalam memanfaatkan sehingga masyarakat dapat terlibat langsung (mata pencarian). Sumatera Selatan memiliki potensi HHBK yang sangat beragam terdiri dari berbagai jenis dengan sebaran luas. Beberapa jenis HHBK unggulan yang dapat dikembangkan antara lain: rotan jernang, gaharu dan kayu putih. A. Rotan Jernang Di Indonesia, pada awalnya jernang terkenal hanya di daerah Jambi, Aceh, dan Kalimantan (Sumarna, 2005). Di Sumatera Selatan pemanfaatan rotan jernang masih pada taraf awal dibandingkan dengan provinsi tetangga seperti Jambi dan Bengkulu. Di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS) pemanfaatan dimulai sekitar tahun 2008/2009, sedangkan di daerah Kabupaten Muara Enim sekitar tahun 2013/2014. Untuk kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Bengkulu, seperti Kabupaten Musi Rawas dan Musi Banyuasin telah lebih dahulu mengenal rotan jernang. Masyarakat Sumatera Selatan mengenal rotan jernang dari para penjernang yang datang ke daerah tersebut atau dari para tengkulak yang datang untuk membeli rotan jernang (Sahwalita et a.l, 2015). Sebaran rotan jernang di wilayah Provinsi Sumatera Selatan cukup luas yang terdiri dari beberapa jenis. Rotan jernang tumbuh pada berbagai ketinggian sesuai jenisnya masingmasing, tetapi ada juga yang memiliki rentang sebaran yang luas. Kondisi ini memberikan keuntungan dalam pemanfaatan dan pengembangannya di masa yang akan datang. Saat ini, telah diketahui lima (5) jenis rotan jernang yang tumbuh di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, seperti pada Tabel 2. Rotan jernang dengan produk resin jernang (dragon blood) termasuk komoditas yang pemanfaatannya diatur oleh Departemen Kehutanan (Permenhut Nomor: P.35/Menhut4

Aspek Silvikultur

II/2007). Jernang adalah resin yang menempel dan menutupi bagian luar buah rotan jernang dan sampai saat ini merupakan resin termahal. Kegunaan jernang yaitu sebagai bahan pewarna vernis, keramik, marmer, alat dari batu, kayu, rotan, bambu, kertas, cat dan sebagainya. Selain itu juga digunakan sebagai bahan obat-obatan seperti diare, disentri, obat luka, serbuk untuk gigi, asma, sipilis, berkhasiat apbrodisiac (meningkatkan libido) serta pembeku darah karena luka (Grieve 2006 dalam Waluyo, 2008). Khusus di Sumatera Selatan, terutama masyarakat di daearah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS) dan Kabupaten Muara Enim, resin jernang sudah dipakai untuk obat sakit gigi, ambien, luka dan pembeku darah jika terjadi pendarahan akibat melahirkan (Sahwalita et al., 2015). Tabel 2. Data jenis rotan jernang dan kondisi tempat tumbuh rotan jernang di wilayah Sumatera Selatan Lokasi Muara Enim

Jenis

Lonjong (D. hystrix (Griff.), Lengkukup (D. draco Beccari) Ogan Komering Bulat (D.didymophylla Ulu Selatan Beccari) (OKUS) Jantung (belum teridentifikasi) Pagar Alam Lonjong (D. hystrix (Griff.) Martius var.hystrix) Lengkukup (D. draco Beccari) Lahat Lonjong, Bulat Musi Banyuasin Bulat (D.didymophylla Beccari) Musi Rawas Bulat (D.didymophylla Utara Beccari) Sumber: Sahwalita et al. (2015)

Ketinggian tempat (m dpl) 1.200 – 1.600 400 - 500

1.200 – 1.300

300 - 360 20 -140 200 - 600

Topografi

Ket.

Bergelombang

Alam

Tebing-tebing curam Datar (budidaya) Tebing-tebing curam

Alam Budidaya terbatas

Bergelombang DatarBergelombang Bergelombang hingga curam

Alam Alam

Alam

Alam

Pola pemanfaatan rotan jernang masih mengeksplotasi dari alam yang bersifat open akses, dilakukan secara turun-temurun tanpa aturan main dan kelembagaan yang menaunginya. Masyarakat sekitar kawasan hutan memanen buah rotan jernang dari hutan alam dengan cara berburu secara berkelompok maupun perorangan. Perburuan jernang dilakukan setelah selesai pekerjaan utama mereka sebagai petani yaitu setelah panen kopi dan merica atau menunggu waktu panen padi. Musim berburu jernang dilakukan pada bulan September - Desember (Elvidayanty dan Erwin, 2006 dalam Waluyo, 2008; Sahwalita et al., 2015). Produksi jernang semakin menurun padahal permintaan terus meningkat. Kondisi terkini, rotan jernang di hutan alam sudah mulai sulit didapatkan. Untuk mendapatkan 1 - 2 kg jernang membutuhkan waktu 2 pekan, padahal 10 - 15 tahun silam, hanya perlu waktu 1 pekan di hutan untuk memperoleh 7 - 10 kg jernang (Panjaitan, 2011). Masalah serius yang dihadapi keragaman hayati di Indonesia termasuk rotan jernang adalah proses kepunahan baik akibat alam maupun eksplotasi tanpa batas. Berdasarkan informasi dari pengepul di daerah OKUS, jumlah penjernang terus menurun dari tahun ke tahun. Menurunnya produksi jernang ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1. Pemanfaatan buah dengan pola pemanenan yang tidak lestari dengan memanen semua buah yang ditemukan dan bahkan dengan menebang batangnya. 2. Pemanfaatan umbut untuk konsumsi (bahan baku sayur), biasanya dilakukan oleh masyarakat yang berdekatan dengan hutan. 5


3. Pemanfaatan batang rotan jernang. Batang rotan jernang dimanfaatan masyarakat sebagai tali dan bahan kerajinan. 4. Belum ada tindakan campur tangan manusia dalam upaya pengayaan maupun pemeliharaan. 5. Rusaknya habitat rotan jernang akibat illegal logging dan kebakaran hutan. 6. Ekspansi lahan untuk perkebunan, berladang dan pemukiman. Upaya yang perlu segera dilakukan untuk menjamin kelestarian rotan jernang melalui 3 (tiga) cara yaitu: konservasi, budidaya dan peningkatan nilai tambah. 1. Konservasi Konservasi keragaman hayati mencakup tiga aspek utama, yaitu perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan. Perlindungan terhadap tumbuhan dari kepunahan dan pelestarian keberadaan untuk masa sekarang dan akan datang. Sedangkan pemanfaatan diarahkan menjamin kelestarian serta mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Alikodra (2012), menyatakan pemanfaatan harus didukung dengan pengetahuan (bio-teknologi dan bio-ekologi) dan kebijakan yang konsisten. Konservasi terhadap rotan jernang dilakukan untuk memberi kepastian produktivitas buah rotan terhadap masyarakat sekitar hutan dan upaya menjamin ketersediaan bahan baku industrinya. Konservasi menjadi penting untuk menikmati hidup yang layak dan bermartabat, serta menjamin kesejahteraan hidup bagi generasi mendatang dan masa yang akan datang (OECD, 2001). Pengelolaan rotan jernang yang baik akan berdampak lebih luas terhadap pengelolaan hutan secara keseluruhan. Rotan jernang yang berasosiasi dengan tumbuhan lain akan membentuk tegakan campuran yang seimbang. Di sisi lain, masyarakat yang menjaga keberadaan rotan jernang secara tidak langsung menjaga kondisi hutan disekitarnya. Hal positif lainnya adalah jika keberadaan rotan jernang diperbukitan dengan kondisi tanah yang berlereng akan menjaga tutupan lahan didaerah hulu DAS. Pengelolaan keragaman hayati yang baik akan dapat mengurangi dampak negatif perubahan iklim (CBD,2007). Upaya penyelamatan rotan jernang dapat dilakukan dengan tindakan konservasi pada habitat aslinya dan dapat memberikan manfaat terhadap masyarakat sekitarnya. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan: a. Melakukan kajian tentang kondisi rotan jernang meliputi kepadatan populasi, sebaran dan regenerasi untuk menentukan jumlah rotan jernang yang dapat dipanen. b. Menentukan pengelolaan jenis rotan jernang pada setiap lokasi sebaran alaminya. c. Menata kawasan konservasi in situ rotan jernang. d. Membangun kerjasama pada semua pihak untuk melaksanakan konservasi tersebut. e. Meningkatkan peran semua pihak menuju efektivitas konservasi, pemanfaatan dan perlindungan. f. Memberikan penyuluhan terhadap pemburu rotan jernang tentang pentingnya konservasi untuk pemanfaatan dimasa yang akan datang. g. Meningkatkan berbagai penelitian untuk mengetahui ekologi, keragaman spesies, pola pemanenan, regenerasi dan pemanfaatan. h. Menegakkan hukum yang tegas dan konsisten dalam pengelolaan yang lestari. 2. Budidaya Dalam upaya untuk menjaga kelestarian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu domestikasi. Leakey dan Newton (1994), menyatakan bahwa proses domestikasi hasil hutan kayu dan bukan kayu merupakan upaya manusia untuk membudidayakan tanaman hutan dengan tujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas hasilnya sehingga dapat meningkatkan 6

Aspek Silvikultur

kesejahteran dan kelestarian hutan. Budidaya rotan jernang masih sangat terbatas dilakukan oleh masyarakat walaupun sebenarnya telah muncul kesadaran, seperti yang telah dilakukan mayarakat di Provinsi Jambi dan di Kabupaten OKUS Provinsi Sumatera Selatan. Jenis rotan jernang yang dibudidayakan merupakan unggulan dari setiap daerah tersebut, belum ada usaha untuk mencari jernang yang terbaik. Menurut Sumarna (2005), jenis rotan yang mampu memproduksi resin jernang adalah D. draco, D. micracantha, D. Didymophylla, dan D. Mattanensis, ke empat jenis rotan ini akan mulai berbunga pada umur tanaman 2 - 3 tahun dan berbuah antara 4 - 6 tahun. Pola budidaya rotan jernang yang paling tepat adalah agroforestri yang berarti menggabungkan antara tanaman kehutanan dengan pertanian atau perkebunan. Potensi budidaya jernang untuk 1 ha lahan (dengan asumsi ada 500 rumpun/ha, 1 rumpun ada 5 batang, 60% batang adalah betina, harga jernang Rp 250.000/kg) akan memperoleh hasil sebesar 225 kg/ha/th, yang berasal dari hasil panen raya 150 kg/ha/th dan hasil panen selang sebesar 75 kg/ha/th. Sehingga akan dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 56.250.000/ha/th atau Rp 4.687.500/bulan (Elwamendri et al., 2008). Usaha agroforestri jernang dan karet layak untuk diusahakan secara finansial dan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak bagi petani maka usaha agroforestry karet dan jernang harus diusahakan dengan luas minimal 1,28 hektar (Ardi et al., 2011).

Gambar 3. Budidaya rotan jernang 3. Peningkatan Nilai Tambah Kebutuhan negara asing terhadap resin jernang cukup tinggi karena digunakan sebagai bahan baku untuk industi-industri di negara China, Singapura, dan Hongkong. China membutuhkan 400 ton jernang tiap tahunnya dan Indonesia baru mampu memasok sekitar 27 ton pertahun (Pasaribu, 2005). Tingginya permintaan terhadap resin jernang membuat usaha ini berkembang di masyarakat terutama bagi masyarakat sekitar hutan. Untuk itu perlu dukungan dari semua pihak dalam komersialisasi jenis ini sehingga dapat memberikan nilai tambah mulai dari hulu (tanaman) sampai hilir (industri). Menurut Belcher dan Schrenckenberg (2007), komersialisasi HHBK merupakan usaha untuk meningkatkan nilai HHBK dalam perdagangan, yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja terutama untuk masyarakat miskin. Selain itu dapat memberikan kesempatan untuk pemanfaatan hutan secara lestari serta dapat menciptakan insentif untuk konservasi individu spesies berharga dan lingkungan tempat tumbuhnya. Untuk memperoleh resin tersebut diperlukan proses ekstraksi buah. Resin tertinggi diperoleh dari buah rotan jernang yang masih muda karena semakin tua buah maka resin akan berkurang. Komponen utama resin jernang adalah draco resinolanol (56%), dracoresen (11%), 7


draco alban (2,5%), asam benzoate, dan asam bensolaktat (Chu, 2006 dalam Risna 2006 dalam Waluyo, 2008). Buah jernang diproses melalui beberapa tahapan untuk memperoleh produk resin. Teknik pengolahan rotan jernang terus mengalami penigkatan berawal dari pengolahan yang hanya mendapatkan resin super (sekali olahan) sampai pada teknik pengolahan tanpa limbah (zero waste). Teknik pengolahan tahap awal dilakukan oleh Suku Anak Dalam (SAD) di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Kab. Sarolangun dan oleh Suku Melayu Jambi (SMJ) di Taman Nasional Kerinci Seblat, Kab. Merangin, Jambi (ITTO, 2007 dan Waluyo, 2008). Adapun teknik pengolahan pasca penen yang dilakukan oleh pengepul di Sumatera Selatan dan Bengkulu sebagai berikut: a. Buah jernang dirontokkan dari tangkai dengan cara didiamkan 3 - 4 hari atau dipotong dengan gunting. b. Buah dipisahkan berdasarkan ukuran besar, sedang dan kecil. c. Buah ukuran sedang dan besar langsung dimasukan dalam mesin penggiling sekitar 15 - 20 menit untuk memperoleh resin kualitas SUPER. Buah sisa penggilingan dijemur 4 - 5 hari. d. Buah ukuran kecil langsung dijemur, selanjutnya ditumbuk menghasilkan resin kualitas SUPER. e. Buah besar, sedang dan kecil yang sudah digiling selanjutnya dicampurkan untuk ditumbuk. Hasil tumbukan pertama menghasilkan Grade A1, tumbukan kedua menghasilkan Grade A2, tumbukan ketiga menghasilkan Grade A3, tumbukan keempat selanjutnya menghasilkan Grade A4 (Ketok 0) dan sampah serta biji. f. Selanjutnya serbuk resin dibungkus sesuai dengan grade masing - masing. Semua hasil pengolahan laku dijual. Tabel 3. Harga masing-masing produk pada tingkat pengepul pada tahun 2015 Harga Buah Bulat Harga Buah Lonjong No Jenis Produk (Rp/kg) (Rp/kg) 1 Buah bertangkai 35.000 15.000 2 Serbuk super 3.500.000 3.000.000 3 Tumbuk 1 tanpa diambil murninya 1.000.000 400.000 4 Tumbuk 2 tanpa diambil murninya 400.000 200.000 5 Tumbuk 1 buah kecil 400.000 100.000 6 Tumbuk 1 buah besar 200.000 40.000 7 Tumbuk 2 60.000 30.000 8 Tumbuk 3 40.000 25.000 9 Tumbuk 4 30.000 25.000 10 Sampah 15.000 7.000 11 Biji 10.000 np Keterangan: np = no price

Berdasarkan fakta yang ada di lapangan, sistem tataniaga jernang yang ada bersifat tertutup. Jalur pemasaran jernang yaitu petani penjernang dari dalam hutan, setelah itu buah dijual ke pengumpul tingkat desa. Selanjutnya pengumpul tingkat desa ini akan menjual kembali ke pengumpul tingkat desa yang lebih besar atau pengumpul tingkat kota, baik dalam bentuk buah atau dalam bentuk bubuk jernang. Pengumpul tingkat kota atau kabupaten kemudian akan memasarkan bubuk jernang ke pembeli besar yang ada di Medan dan Surabaya yang kemudian di ekspor ke Tiongkok.

8

Aspek Silvikultur

B. Gaharu Gaharu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Produk gaharu dapat dihasilkan dari beberapa genus pohon penghasil gaharu dari famili Thymeleaceae antara lain: Aquilaria, Gonystylus, Gyrinops, Dalbergia dan Aetoxylon. Pembentukan gaharu merupakan proses perubahan kimia dan fisik sebagai akibat adanya infeksi jamur atau mikro organisme lainnya pada bagian tanaman. Produknya berbentuk padat, berwarna coklat sampai hitam dan menghasilkan aroma wangi atau harum jika dibakar. Dalam perdagangan internasional gaharu sering disebut sebagai agarwood, aloewood atau eaglewood. Seiring perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, saat ini pemanfaatan gaharu telah demikian berkembang untuk berbagai kebutuhan dalam kehidupan manusia, mulai sebagai pewangi bagi industri parfum, pengharum tubuh, aroma terapi, produk minuman (teh gaharu), asesories seperti barang seni, tasbih, gelang, hio, dupa serta sebagai bahan obatobatan untuk beberapa penyakit seperti gangguan ginjal, hepatitis, sirosis dan penghilang stress (Tarigan, 2004). Indonesia merupakan negara produsen gaharu terbesar di dunia, namun demikian saat ini potensinya di alam sudah sangat menurun karena berbagai aktivitas eksploitasi terhadap sumber daya hutan serta perburuan gaharu yang tidak pernah berhenti, sehingga kondisinya saat ini beberapa jenis tanaman penghasil gaharu telah masuk dalam jenis yang dikhawatirkan mengalami kepunahan. Menurut Sitepu et al. (2010), sejak Oktober 2004, dua jenis pohon penghasil gaharu yaitu Aquilaria dan Gyrinops telah masuk dalam daftar CITES appendix II. Dengan semakin menurunnya keberadaan dan potensi tanaman gaharu alam, maka perlu dilakukan upaya penyelamatan serta konservasi terhadap sumberdaya jenis dan sumberdaya genetik terhadap jenis-jenis yang masih tersisa. Upaya penyelamatan sumberdaya jenis dan genetik dibuat dalam skema dan strategi untuk kepentingan jangka panjang, dalam rangka pengembangan dan peningkatan produktivitas gaharu yang akan dihasilkan serta kelestarian produk. 1. Budidaya Budidaya dan pengembangan tanaman penghasil gaharu merupakan kunci utama dalam upaya peningkatan serta menjaga kesinambungan produksi gaharu yang semakin berkurang (Sitepu et al., 2010 dan Mucharromah, 2009). Saat ini dengan semakin langkanya tanaman penghasil gaharu di hutan alam, serta tingginya permintaan dan harga jual gaharu, telah mendorong masyarakat dalam melakukan penanaman tanaman penghasil gaharu di berbagai daerah seperti Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan (Squidoo, 2008 dalam Suharti, 2010). Menurut Santoso et al. (2012), saat ini penanaman atau budidaya tanaman penghasil gaharu oleh masyarakat, kelompok tani, swasta serta instansi pemerintah telah banyak dilakukan di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Pesatnya perkembangan budidaya dan pengembangan tanaman penghasil gaharu dalam bentuk kebun atau hutan tanaman oleh masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1). Nilai jual yang tinggi, 2). Penanaman yang relatif mudah secara teknis, karena sebagian masyarakat sudah sangat familiar dengan tanaman penghasil gaharu, 3). Sumberdaya bibit (anakan alam) yang melimpah serta harganya yang murah, 4). Tidak memerlukan lahan khusus karena ditanam sebagai tanaman sela, 5). Biaya tanam yang relatif murah (sebagai tanaman sela). Animo atau minat serta inisiatif masyarakat yang begitu tinggi sebagaimana diuraikan di atas, merupakan modal yang sangat penting dan potensial dalam pembudidayaan dan 9


pengembangan tanaman penghasil gaharu, Oleh karena itu untuk mendorong pada capaian produktivitas hasil yang maksimal, maka selain apresiasi yang tinggi kepada para pelaku usaha tersebut, maka harus pula didukung oleh para pihak sehingga upaya pencapaian produksi yang maksimal dapat terwujud. 2. Peningkatan Produktivitas Usaha budidaya gaharu berupa penanaman yang telah dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat di berbagai daerah, harus diarahkan pada usaha atau industri yang bersifat produktif. Sebagaimana kita ketahui bahwa usaha atau industri gaharu yang ada saat ini secara umum masih dilakukan secara tradisional dengan materi dan teknologi penanaman yang sangat sederhana. Beberapa faktor penting untuk mewujudkan pencapaian usaha gaharu yang produktif, antara lain adalah: a. Penyediaan materi tanaman (bibit) yang berkualitas baik b. Penyediaan inokulan yang efektif dan murah c. Teknologi produksi yang tepat d. Penanganan pasca panen (industri pengolahan yang efisien) e. Akses dan informasi pasar yang terbuka dan jelas Sebagaimana kita ketahui bahwa keberhasilan penanaman dalam mencapai produktivitas atau produksi yang maksimal dalam penanaman tanaman penghasil gaharu, sangat ditentukan beberapa faktor, diantaranya adalah materi tanaman atau bibit yang digunakan. Karenanya materi bibit yang digunakan harus mempunyai keunggulan secara genetik, baik dari sisi pertumbuhan maupun responnya terhadap inokulan. Sementara untuk perolehan hasil produksi gaharu yang maksimal, dibutuhkan varian-varian inokulan yang efektif serta teknik inokulasi yang tepat dalam menginduksi atau merekayasa pembentukan gaharu. Untuk aspek penyediaan materi tanaman atau bibit unggul, inokulan yang efektif dan murah serta teknologi produksi (inokulasi) pada tingkat hulu dalam budidaya dan rekayasa pembentukan gaharu, institusi Litbang dan perguruan tinggi telah banyak berperan melalui program dan kegiatan risetnya yang inten. Saat ini telah dihasilkan beberapa teknologi penaman yang tepat sesuai dengan tujuan dan kondisi lahan yang tersedia serta berbagai produk inokulan yang dapat menginduksi pembentukan gaharu oleh berbagai institusi maupun perorangan yang telah banyak beredar di pasaran. Varian produk inokulan tersebut dapat dijadikan sebagai modal untuk mendapatkan inokulan yang efektif dan efesien dalam pembentukan gaharu dengan hasil yang maksimal. Faktor-faktor penting lainnya dalam pengembangan dan pencapaian usaha gaharu yang produktif adalah industri pengolahan berbahan baku gaharu pada tingkat hilir. Industri-industri kecil atau home industri berbasis bahan gaharu ini sudah mulai bermunculan di beberapa daerah di Indonesia. Di pulau Jawa seperti Surabaya, Kediri, Lumajang dan sekitarnya, telah tumbuh industri-industri kecil berbahan baku gaharu dalam jumlah yang sangat banyak (lebih dari 100) dengan produk berupa minyak gaharu, gelang, tasbih dan asesories lainnya. Di wilayah Sumatera juga telah hadir industri yang sama (industri kecil), di antaranya Sumatera Selatan, Lampung dan Pekan Baru serta Provinsi Bangka Belitung dengan produk yang sama yaitu minyak gaharu, chip gaharu, gelang dan tasbih gaharu, produk dekoratif serta air suling gaharu. Beberapa contoh produk industri berbasis bahan baku gaharu yang telah dihasilkan di beberapa daerah sebagaimana dikemukakan di atas antara lain disajikan dalam Gambar 4, di bawah ini.

10

Aspek Silvikultur

Gambar 4. Beberapa produk gaharu berupa chip (a), minyak (b), gelang (c) dan tasbih (d) Terhadap industri yang telah tumbuh tersebut tentunya harus terus didorong dan di improve, sehingga menjadi semakin tumbuh dan berkembang sebagai industri yang bersifat ekonomis dan kompetitif. Pada aspek ini, selain peran dari Litbang dan perguruan tinggi, tentu peran nyata dari pihak pemerintah juga sangat dibutuhkan. Peran pemerintah antara lain berupa pelatihan-pelatihan untuk peningkatan kapasitas para pelaku usaha gaharu, khususnya dalam teknologi pengolahan pasca panen, penyediaan fasilitas berupa bantuan alat pengolahan yang sederhana, akses dan informasi pemasaran serta penentuan gradasi kualitas gaharu yang jelas untuk kepastian dalam penentuan harga gaharu atau produk lainnya. Usaha budidaya dan pengembangan tanaman penghasil gaharu, selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta terjaminnya ketersediaan dan kesinambungan produksi gaharu sebagai komoditas perdagangan dengan nilai ekonomi tinggi, juga sangat sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, baik ditanam sebagai tanaman sela (Gambar 5a) maupun secara monokultur yang ditanam dengan perlakuan-perlakuan khusus (Gambar 5b).

Gambar 5. Pola tanam gaharu secara campuran sebagai tanaman sela (a) dan ditanam secara monokultur (b) Dengan teknik penanaman, inokulasi serta pemanenan yang diatur (di disain) sedemikian rupa, dengan hanya satu kali penanaman, tanaman gaharu dapat dipanen beberapa kali dalam selang waktu yang sesuai dengan tujuan dan keinginan kita dalam memproduksi gaharu. Hal tersebut dapat dilakukan melalui rekayasa terhadap tanaman, khususnya dalam pembentukan batang ganda atau multy stem dengan teknik coppice atau pemotongan batang utama (Gambar 6a). Selain dengan teknik coppice, pembentukan batang ganda juga dapat dilakukan melalui penanaman pada lahan terbuka dengan perlakuan-perlakuan khusus (Gambar 6b).

11


Gambar 6. Pembentukan batang ganda pada tanaman gaharu melalui teknik coppice (a) dan penanaman pada lahan terbuka (b) Dengan penguasaan teknologi penanaman atau budidaya yang telah dikuasai serta hadirnya beragam produk inokulan yang telah dihasilkan oleh berbagai institusi, tentunya langkah untuk mencapai produktivitas maksimal dalam budidaya gaharu akan dapat diwujudkan dalam waktu dekat. Langkah penting dalam mencapai produktivitas atau hasil gaharu yang maksimal adalah melalui serangkaian uji kesesuaian atau kompabilitas antara jenis tanaman dengan jenis dan bahan inokulan. Melalui pengujian tersebut akan diperoleh peta kesesuaian antara jenis pohon dan inokulan yang efektif dan produktif dalam menghasilkan gaharu secara maksimal. Mengingat sumberdaya tanaman yang sudah sangat banyak tersebar di berbagai wilayah serta beragamnya produk inokulan, maka peluang untuk melakukan pengujian agar memperoleh peta kesesuaian dimaksud tentu tidak sulit untuk dilakukan. C. Kayu Putih Tanaman kayu putih merupakan salah satu jenis yang cukup berpotensi dalam upaya rehabilitasi lahan, baik dari aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Terdapat keuntungan ganda yang diperoleh pada pengembangan tanaman kayu putih di lahan kritis antara lain untuk menunjang usaha konservasi lahan dan pemanfaatan lahan marginal menjadi lahan produktif serta memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meningkatkan penghasilan kepada petani dan meningkatkan keamanan lahan. Kayu Putih adalah tanaman yang mengandung minyak atsiri dan merupakan bahan baku untuk menghasilkan produk Minyak Kayu Putih (MKP). Brophy dan Doran, 1996 dalam Kartikawati et al., 2014 menyebutkan bahwa kayu putih dapat tumbuh pada ketinggian antara 5 - 400 mdpl dan curah hujan rata-rata 1.300 - 1.750 mm per tahun. Di Kepulauan Maluku, kayu putih tumbuh pada berbagai kondisi tapak, baik di dataran tinggi maupun rendah yang berbatasan dengan hutan pantai dan tumbuh secara monokultur. Kayu putih juga dikenal mampu beradaptasi pada tanah dengan drainase jelek, tahan terhadap kebakaran dan toleran terhadap tanah dengan kadar garam rendah-tinggi (Doran et al., 1998 dalam Kartikawati et al., 2014). MKP merupakan obat yang berkhasiat meredakan beberapa penyakit ringan, seperti perut kembung, mual, masuk angin, gatal-gatal dan digigit serangga. Kebutuhan minyak kayu putih di dalam negeri sampai saat ini masih defisit sekitar 1.000 ton/tahun sehingga dalam industri farmasi diperlukan produk komplementer berupa minyak eucalyptus yang diimpor dari RRC dalam jumlah yang tidak sedikit (Sunanto, 2003 dalam Kartikawati dkk, 2014). Melihat produksi minyak kayu putih yang belum memenuhi kebutuhan tersebut maka masih terbuka

12

Aspek Silvikultur

peluang untuk meningkatkan produksi minyak kayu putih di Indonesia dengan tingkat keterlibatan masyarakat yang lebih intensif. Tanaman kayu putih banyak terdapat di Jawa dan di Kepulauan Maluku. Di Kepulauan Maluku, Pulau Seram, Pulau Buru, dan juga di Nusa Tenggara Timur yang berupa tegakan alam. Sedangkan di Jawa telah dilakukan budidaya yang dikelola oleh Perum Perhutani baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Jawa Barat dan di Yogyakarta pengelolaan dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Sampai saat yang menjadi sentra produksi MKP di Indonesia masih terbatas di Maluku dan Jawa dengan total luas tegakan tanaman kayu putih yang masih rendah, yaitu sebesar 248.756 ha (Sunanto, 2003 dalam Kartikawati et al., 2014). Luas ini hanya dapat memenuhi 1/3 kebutuhan MKP di Indonesia, yaitu sebesar 500 ton per tahun dari jumlah kebutuhan Nasional 1.500 ton per tahun. Pengelolaan industri kayu putih ini disesuaikan dengan kondisi alam. Di Maluku pengolahan dilakukan masyarakat dalam skala kecil (home industry), sedangkan di Jawa Perum Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan sudah dikelola oleh pabrik-pabrik skala industri yang bekerjasama dengan masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk membuka lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peran masyarakat dalam industri kayu putih di Jawa adalah sebagai buruh dalam kegiatan pemanenan daun, pengangkutan, proses penyulingan, dan penanganan limbah, maupun sebagai penggarap lahan tumpang sari dengan tanaman palawija disela-sela tanaman kayu putih. Dua karakteristik pola produksi ini, yaitu budidaya dan pengolahan minyak ini dapat di adopsi untuk pengembangannya di Sumatera Selatan. Peluang ini cukup terbuka karena pada tahun 2007, Badan Litbang Kehutanan telah melakukan uji penanaman kayu putih di Sumatera Selatan. Uji penanaman dari jenis Melaleuca cajuputi sub sp cajuputi yang bersumber dari benih KBS F1 tersebut telah memberi hasil yang memuaskan (Suryanto et al., 2015). Tabel 4. Deskripsi penanaman dan hasil produksi tanaman kayu putih di KHDTK Benakat Parameter Uraian Pola Tanam A. Jarak tanam 2m x 2m B. Jumlah Tanaman 2.500 tanaman/ha Produktifitas A. Umur Panen (Panen Daun Perdana) 4 Tahun B. Periode Panen (Panen Daun Berikutnya) 4 bulan; 3 kali/tahun C. Produksi Daun 3 - 4,5 kg daun/pohon/panen 20 - 30 ton daun/ha/tahun Pengolahan A. Metode / Tipe Alat Suling Metode Kukus / Ketel B. Kapasitas 100 kg daun/kukusan. C. Waktu dan Suhu Kukusan 3 - 4 jam/kukusan; 1700 - 1800 C D. Rendemen 0,8 - 1,3% E. Produksi MKP 200 - 300 liter/ha/tahun Pengembangan kayu putih di Sumatera Selatan dapat diarahkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan-lahan marginal yang dimiliki masyarakat dan atau pada kawasan hutan tidak berhutan dalam pengelolaan KPH. Pengolahan juga dapat dikombinasikan dengan skala rumah tangga melalui kelompok tani dan skala industri melalui KPH dengan melibatkan masyarakat. Strategi dapat disusun dengan target penanaman 200 - 300 ribu hektar, sehingga Sumatera Selatan dapat menjadi sentra baru penghasil Minyak Kayu Putih. 13


Saat ini pabrik penyulingan kayu putih belum tersedia di Sumatera Selatan, sehingga pengembangan awal komoditas kayu putih diarahkan untuk usaha terpadu antara pembangunan tegakan tanaman dan penyulingan minyak. Usaha terpadu ini tidak memiliki kendala yang cukup berarti karena teknologinya adalah teknologi yang dapat diadopsi dengan mudah. Untuk pertanaman, benih unggul dapat diperoleh dari sumber kebun benih tersertifikasi, di antaranya dari kebun benih Paliyan dan Kebun benih Ponorogo. Berdasarkan hasil pemuliaan kayu putih terbaru, Kebun benih Paliyan telah berhasil mendapatkan benih unggul dengan rendemen mencapai 2%, sementara dari kebun benih Ponorogo menghasilkan benih unggul dengan rendemen 4,4%. Produksi daun mencapai 6 kg/pohon. Sementara itu, alat suling, atau biasanya disebut dengan ketel dapat diperoleh di pasaran. Ketel ini tersedia dalam beberapa jenis dan kapasitas yang berbeda. Di antaranya kapasitas 25 kg/kukus/, 50 kg/kukus, 100 kg/kukus atau 150 kg/kukus. 1. Budidaya a. Pembangunan tegakan. Tegakan kayu putih dapat dibangun dalam berbagai pilihan pola tanam baik monokultur maupun campuran. Dalam prakteknya, pola tanam yang biasa dilakukan adalah 3 m x 1 m (3.333 tanaman per ha) atau 2 m x 2 m (2.500 tanaman per ha). Pola tanam 3 m x 1 m mempunyai keunggulan larikan yang lebih lebar, sehingga dalam sela larikan dapat di tanam tanaman pertanian musiman, seperti sayuran,buah dan nilam. Sedangkan jarak tanam 2 m x 2 m untuk pola monokultur. b. Pengaturan Panen Minyak kayu putih kualitas baik diperoleh dari hasil pengolahan dari daun yang masih segar dengan waktu penyimpanan tidak lebih dari 12 jam. Karena itu sebaiknya usaha dibangun dalam konsep terpadu antara tanaman dan pengolahan minyak serta pengaturan panen. Karena harga ketel yang cukup mahal, maka pengaturan panen sebaiknya juga mempertimbangkan kemampuan pemodalan dalam pengadaan ketel. Setelah panen, daun kayu putih dapat dipanen sekitar 4 bulan berikutnya, maka aktifitas pemanenan dapat diatur sekali rotasi panen per musim panen atau dibagi beberapa rotasi per musim panen. 2. Pengusahaan Minyak Kayu Putih a. Pengolahan Minyak Kayu Putih Aktifitas dalam musim panen sangat padat, meliputi aktifitas pemangkasan daun di tegakan, pencacahan dan pengukusan daun. Jika pemanenan dan pencacahan daun dilakukan pada pagi hari, maka sebaiknya siang hingga malam dilakukan aktifitas pengukusan. Asumsi jumlah waktu pemasakan adalah 3 - 4 jam per kukusan, maka intesitas pengolahan minyak kayu putih dilakukan sebanyak dua kali per hari. b. Pemodalan dan Pemasaran Produk Modal terbesar dalam usaha terpadu ini terdapat pada tahun pertama dan ke empat; yaitu untuk pembangunan tegakan tanaman dan pengadaan ketel. Pasar minyak kayu putih cukup baik, tetapi kualitas minyak dan pengemasan perlu menjadi pertimbangan karena dapat mempengaruhi harga jual. Menurut Kartikawati et al. (2014), bahwa usaha penanaman dan penyulingan minyak kayu putih skala rakyat dengan pola tumpangsari secara ekonomi dapat memberikan keuntungan yang layak kepada petani dan menggunakan bibit unggul terbaru. Dengan asumsi luas tanaman satu hektar, harga daun Rp 700 per kg dan suku bunga 12% per tahun, diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 4.403.727, B/C rasio sebesar 1,18 dan nilai IRR sebesar 18%, petani dapat memperoleh laba hingga Rp. 6.768.470 (jika biaya sewa lahan dan tenaga kerja sendiri tidak 14

Aspek Silvikultur

diperhitungkan). Sedangkan hasil perhitungan Suryanto et al. (2015), terhadap pengusahaan kayu putih dengan pola monokultur dengan luas 2 Ha diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 196 juta dengan BCR yang cukup signifikan pada ratio 1,32 serta IRR pada suku yang sangat aman, yaitu pada nilai 54,8%. Jika dirata-ratakan diperoleh keuntungan adalah sebesar Rp. 38,4 juta per tahun atau hampir Rp. 3,2 juta per bulan. Usaha ini dapat meningkatkan nilai tambah lahan dari posisi awal yang kritis dan tidak termanfaatkan menjadi salah satu sumber pendapatan baru untuk menambah kesejahteraan masyarakat. IV. PENUTUP 1. Pengusahaan HHBK dapat menjadi pilihan untuk menjaga kondisi lahan dan meningkatkan nilai tambahnya karena sifat pemanfaatannya sepanjang daur dan sedikit dampaknya terhadap lingkungan. 2. Pengusahaan HHBK dilakukan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing seperti kondisi lahan, kesesuaian tempat tumbuh, tenaga kerja, modal serta pemasaran. 3. Pengusahaan HHBK akan memberi nilai pendapatan yang jauh lebih baik apabila dilakukan dengan pola-pola tumpangsari dengan mencampur tanaman berkayu atau tanaman semusim melalui pengolahan terpadu. 4. HHBK dapat menjadi solusi untuk meningkatkan tutupan lahan dan keamanaannya (okupasi dan kebakaran), menjaga konservasi lahan dan vegetasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kemitraan serta mata pencaharian alternatif. DAFTAR PUSTAKA Adams, W.M. 2009. Green development 3rd edition: Environmental and sustainability in a developing World. New York: Routledge Alikodra, H.S. 2012. Konservasi sumberdaya alam dan lingkungan pendekatan cosophy bagi penyelamatan bumi. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ardi, H. Kartodiharjo, D. Darusman, dan B. Nugroho, 2011. Prospek usaha agroforestry karet dan jernang di Kabupaten Sarolangun – Jambi. Sorot, vol. 6 no. 1, April 2011. Pekanbaru. Balai Pengelolaan DAS Musi. 2014. Review lahan kritis wilayah kerja BPDAS Musi. Laporan. Kerjasama Kementerian Kehutanan dan Universitas Gadjah Mada, Palembang. Belcher and Schreckenberg. (2007) Commercialisation of non timber forest products: A reality check. development Policy Review, 25 (3). CBD. 2007. Biodiversity and climate change. Secretariat of The CBD. Elwamendri, F. Lambok, dan Hendryanto, 2008. Studi tata niaga jernang di Provinsi Jambi. Kerjasama antara Sumatra Sustainable Support dengan Yayasan Gita Buana Jambi. Huxley, P. 1999. Tropical agroforestri. Blackwell science. IBSAP. 2003. Startegi dan rencana aksi keanekaragaman hayati Indonesia 2003 - 2020. BAPPENAS, Jakarta. ITTO, 2007. Guideline on harvesting and extraction techniques of dragon blood. Development of sustainable rattan production and utilization through participation of rattan small holders and industry in Indonesia. Jakarta. Kartikawati, NK., Rimbawanto, A., Susanto, M., Baskorowati, L., dan Prastyono. 2014. Budidaya dan prospek pengembangan Kayu Putih (Melaleuca cajuputi). Kerjasama Balai Besar

15


Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dengan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. IPB press. Jakarta. Kementerian Kehutanan. 2014. Statistik Kementerian Kehutanan 2013. Kementerian Kehutanan, Jakarta. Leakey, R.R.B and A.C Newton. (1994 . Do esti atio of i derella spesies as the start of a woody-plant revolution. Tropical trees: The potential for domesication and the rebuilding of forest resources. The Proceeding of a conference organised by the Edinburgh Center for Tropical Forests, held at Heriot-Watt University, Edinburg on 23 28 August 1992. Mucharromah. 2009. Pengembangan gaharu di Bengkulu, Sumatera. Info Hutan. Volume VII Nomor 2. Tahun 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. ISSN 1410-0657. Nair, P.K.R.1987. Agroforestry system Inventory. Agroforestry System. Netherland: Kluwer Academic Publishers. OECD. 2001. Sustainable development: Critical issues. Organization for economic co-operation and development, Paris. Panjaitan, L. 2011. Panen jernang di pekarangan. Trubus 494 – Januari 2011. Pasaribu, H., 2005. China butuh 400 ton jernang rotan dari Indonesia. www.kapanlagi.com. Diakses tanggal 1 Desember 2010. Peraturan Gubernur No. 34 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.35/Menhhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011, tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Pontoh, N. K., dan Kustiawan, I. 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung : Penerbit ITB. Sahwalita, Nanang H., Tubagus A.A.S., Sri Lestari, Bambang T.P.,Kusdi dan Andi N. 2015. Strategi konservasi, budidaya dan tata niaga rotan jernang. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. (Tidak diterbitkan). Santoso, E., D. Purwito, Pratiwi, G. Pari, M. Turjaman, B. Leksono, A.Y.P.B.C. Widyatmoko, R.S.B. Irianto, A. Subiakto, T. Kartonowaluyo, Rahman, A. Tampubolon, S. A. Siran. 2012. Master plan penelitian dan pengembangan gaharu tahun 2013-2023. Kementerian Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Sitepu, I.R., Aryanto., Y. Hashidoko, Y dan M. Turjaman. 2010. Aplikasi Rhizobakteri penghasil fitohormon untuk meningkatkan pertumbuhan bibit Aquilaria sp. di persemaian. Info Hutan. Volume VII Nomor 2. Tahun 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. ISSN 1410-0657. Situmorang, A.W., Nababan, A., Kartodihardjo, H., Khatarina, J., Santosa, M. A.,unaryo (2013). Indeks tata kelola hutan, lahan, dan REDD+2012 di Indonesia. UNDP. Jakarta. Suharti, S. 2010. Prospek pengusahaan gaharu melalui pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Info Hutan Vol. VII No. 2:141-154,2000. Sumarna, Y., 2005. China Butuh 400 ton jernang rotan dari Indonesia. www.kapanlagi.com. Diakses tanggal 1 Desember 2010.

16

Aspek Silvikultur

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 866 Tahun 2014 tentang Peta kawasan hutan dan konservasi perairan Provinsi Sumatera Selatn (lembar 1014-002). Suryanto, Sahwalita dan Nanang H. 2016. Strategi awal pengembangan usaha minyak kayu putih sebagai komoditas ekonomi di Sumatera Selatan. Prosiding: Seminar Nasional XVIII MAPEKI Mas arakat Pe eliti Ka u I do esia Akselerasi Pera da “i ergi Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia dalam Upaya Mendukung Industri Kehutanan Berbasis Iptek da Ber a asa Li gku ga Ba du g, - 5 November 2015. Bandung. Tarigan, Kelin. 2004. Profil pengusahaan (budidaya) gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Waluyo, T.K., 2008. Teknik ekstraksi tradisional dan analisis sifat-sifat jernang asal Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 26 No. 1, Maret 2008: 30 - 40. Puslitbang Hasil Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. World Bank. 2006. Melestarikan pertumbuhan ekonomi penghidupan pedesaan, dan manfaat lingkungan: Opsi-opsi strategi untuk bantuan kehutanan Indonesia. The World Bank, Jakarta.

17


18

Aspek Silvikultur

PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN POLA TANAM CAMPURAN KARET DAN TANAMAN KAYU SERU (Schima wallichii) M.J. Rosyid, Sahuri* dan Andi N. Cahyo Balai Peneltian Sembawa, Pusat Penelitian Karet *

Email: [email protected]

ABSTRAK Pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu-kayuan secara tradisional sudah dikembangkan oleh masyarakat di beberapa sentra karet di Indonesia. Namun pola yang terbentuk tidak direncanakan dari awal, tetapi terbentuk secara alami. Prosesnya diawali dari sistem perladangan dengan penanaman padi ladang dan palawija, kemudian penanaman karet dengan bahan tanam biji sapuan dan penghutanan kembali, sebagai akibat tidak adanya pemeliharaan kebun. Hutan yang terbentuk menjadi sangat heterogen, namun produktivitasnya rendah. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya untuk memperbaiki pola tanam campuran ini sehingga menjadi pola yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi secara berkesinambungan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh dari tanaman seru terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman karet. Penelitian awal dilakukan di Desa Sembawa, Desa Pulau Harapan, dan Desa Sejagung, Kabupaten Banyuasin. Penelitian ini merupakan kajian dari pengamatan yang sudah berkembang di tingkat petani, yaitu pola penanaman karet dengan pohon seru (Schima wallicii). Pola ini cukup menarik untuk dikaji lebih dalam lagi karena banyak petani yang mengusahakannya. Jumlah pohon seru sebagai tanaman sela karet sangat beragam, namun dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelas , yaitu: A: populasi > 100 pohon/ha, B: populasi antara 80 – 100 pohon/ha, C: populasi antara 50 – 80 pohon/ha dan D populasinya < 50 pohon/ha. Hasil pengamatan menunjukan bahwa semakin banyak pohon seru, maka pertumbuhan pohon seru semakin lambat, serta pertumbuhan dan produksi tanaman karetnya juga semakin rendah. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menghitung populasi pohon seru yang optimal dan tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil karetnya. Kata kunci: Pola tanam campuran, hutan, karet, tanaman kayu seru, dan peningkatan produktivitas lahan hutan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem usahatani karet yang umum dilaksanakan di sebagian besar sentra karet rakyat baik di Sumatera maupun Kalimantan adalah dengan sistem usahatani tradisional yang dimulai dengan pengusahaan perladangan, kemudian dilanjutkan dengan pengusahaan tanaman karet yang dicampur dengan tanaman buah-buahan dan kayu-kayuan yang sesuai. Pola usahatani seperti ini akan membentuk suatu sistem usahatani hutan tanaman karet (rubber agroforestry sistems). Sebenarnya sistem ini sudah mulai berkurang, karena areal hutan yang digunakan untuk perladangan sudah mulai berkurang. Namun demikian budidaya atau teknologi pengusahaannya masih berjalan di masyarakat terutama di Sumatera Selatan, hal ini disebabkan pengetahuan masyarakat mengenai cara budidaya dan penanaman karet masih sangat rendah dan terbatas, yaitu masih menganut budaya nenek moyang dengan teknologi perladangan. Sistem usahatani hutan tanaman karet yang umum dilaksanakan petani tidak optimal, sehingga hasil yang diperolehnya juga menjadi tidak maksimal. Beberapa faktor yang menyebabkan produktivitasnya tidak maksimal (Rosyid dan Suryaningtyas, 2006; Joshi, 2008) adalah: 1. Lahan usahanya merupakan lahan bekas perladangan yang sudah terkuras unsur haranya

19


2. Tanaman karet tidak menggunakan jenis karet yang baik, hanya menggunakan bahan tanam biji sapuan dari hutan, sehingga potensi hasilnya menjadi sangat rendah 3. Tidak ada pengaturan jarak tanam, sehingga terjadi kompetisi yang tinggi baik antar tanaman karet maupun dengan tanaman atau pohon-pohon hutan lainnya 4. Pemeliharaan hampir tidak ada, baik pemupukan maupun pengendalian gulma dan kondisinya dibiarkan menghutan, dengan populasi yang sangat padat. Akibat dari kondisi ini maka pertumbuhan tanaman karet menjadi sangat lambat dan produksinya sangat rendah. Pada sistem ini, umumnya tanaman karet baru disadap setelah tanaman berumur lebih dari tujuh tahun, dengan rata-rata produksi kurang dari 10 kg/ha/hari. Sistem pengembangan hutan, dengan pola tanam campuran karet dengan tanaman kayu-kayuan seperti ini banyak kerugiannya, meskipun bagi petani sangat mudah dan cukup terjangkau dalam membangunnya. Kerugian yang diakibatkan dari sistem ini adalah sebagai berikut: 1. Terjadinya kerusakan lahan hutan 2. Lahan hutan beralih fungsi atau menjadi hutan yang kurang produktif 3. Pendapatan petani rendah 4. Pembangunan di daerah terhambat. Sistem usahatani hutan tanaman karet secara tradisional terbentuk karena adanya sistem perladangan. Kegiatan sistem perladangan ini diawali dari sistem berburu lahan yang subur untuk melakukan penanaman padi ladang, sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan pokok. Dalam sistem usahatani ini, pelaksanaannya diawali dengan penanaman padi, kemudian disusul dengan penanaman palawija dan sayuran. Pada umumnya penanaman padi dilaksanakan hanya dua sampai tiga tahun. Pada tahun kedua atau pada saat tanah sudah mulai menurun kesuburannya dan hasil padi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hidupnya, areal lahan perladangan ini selanjutnya ditanami karet dengan bahan tanam biji sapuan, dan pohon buah-buahan seperti durian, nangka, cempedak, kemang dan lainnya sesuai dengan selera petani. Disamping itu, apabila ada pohon kayu-kayuan yang bermanfaat bagi masyarakat seperti meranti (Shorea sp.), tembesu (Fagraea fragrans), seru (Schima wallicii), sungkai (Peronema canessens), pulai (Alstonia scholaris) dan pohon hutan lainnya akan dibiarkan tumbuh secara alami. Pada beberapa tahun kemudian areal ini akan menghutan kembali dengan kondisi yang sangat padat dan heterogen. Model dari sistem perladangan saat ini pada umumnya sudah berubah, karena lahan untuk melakukan rotasinya sudah terbatas dan petani tidak melakukan perladangan berpindah lagi tapi melakukan usahatani menetap. Namun demikian, ciri model perladangannya masih dilaksanakan petani. Hal ini disebabkan pengetahuan atau teknologi yang dikuasai petani ini hanya teknologi perladangan yang merupakan warisan dari nenek moyangnya. Namun model spesifiknya lebih disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya. Beberapa model yang berkembang pada sistem usahatani karet yang merupakan kelanjutan dari sistem perladangan menurut Wibawa et al., (2005); Rosyid (2003); Rosyid (2004); Rosyid dan Suryaningtyas (2006) adalah sebagai berikut: 1. Penanaman padi + sayuran + pisang – penanaman karet – menyisipkan beberapa tanaman buah-buahan tahunan – membiarkan beberapa tanaman hutan tumbuh seperti pulai (Alstonia scholaris), tembesu (Fagraea fragrans), meranti (Shorea sp), seru (Schima wallicii), sungkai (Peronema canessens) dan pohon kayu lainnya yang dianggap berguna untuk menghutankan kembali (Daerah Musi Banyuasin, Musi Rawas, Muara Enim dan Lahat) 2. Penanaman padi + palawija atau nenas + penanaman karet - membiarkan beberapa tanaman hutan tumbuhan seperti pulai (Alstonia scholaris), tembesu (Fagraea fragrans), 20

Aspek Silvikultur

meranti (Shorea SP.), seru (Schima wallicii), sungkai (Peronema canessens) dan pohon kayu lainnya yang dianggap berguna untuk menghutankan kembali (daerah Banyuasin, OKI, OKU Selatan dan OKU) 3. Penanaman padi + sayuran + pisang – penanaman karet – menyisipkan beberapa tanaman buah-buahan tahunan – membiarkan tumbuh untuk tanaman tembesu (Fagraea fragrans) dan seru (Schima wallicii) untuk menghutankan kembali (Daerah OKU Timur) 4. Penanaman nenas + penanaman karet – membiarkan tumbuh untuk tanaman tembesu (Fagraea fragrans) dan seru (Schima wallicii) untuk menghutankan kembali (Ogan Ilir). Kelemahan dari sistem ini adalah teknologi budidaya yang digunakan masih sangat rendah, seperti tidak ada pengaturan jarak tanam, baik untuk tanaman karetnya maupun untuk tanaman kayunya akibatnya populasi tanaman per satuan luas menjadi sangat padat, belum menggunakan varietas atau klon unggul, produktivitas tanaman tergantung dari kesuburan secara alamiah dan tidak ada pemeliharaan tanaman baik pemupukan maupun pengendalian gulma. Akibatnya, produktivitas dan kualitas hasil dari areal seperti menjadi sangat rendah. Berdasarkan pengamatan di Kabupaten Banyuasin, sebagian masyarakatnya membiarkan pohon seru (Schima wallicii) tumbuh di antara barisan tanaman karet, namun karena kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan, sehingga beberapa petani membiarkannya sampai tanaman ini besar. Permasalahannya adalah bagaimana pengaruh dari tanaman seru ini terhadap pertumbuhan dan produksi karet. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antara tanaman seru dengan tanaman karet di tingkat petani di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. B. Tujuan Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh dari tanaman seru terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman karet, secara spesifik adalah: 1. Mengetahui rata-rata populasi pohon seru yang dibiarkan tumbuh yang ada di kebun karet 2. Mengetahui pertumbuhan tanaman seru yang tumbuh di kebun karet 3. Mengetahui pengaruh tanaman seru terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman karet. II. METODOLOGI Penelitian diaksanakan mulai dari tahun 2014 sampai dengan 2016 di Desa Sembawa, Desa Sejagung dan Desa Pulau Harapan, Kecamatan Sembawa, Kabupaten Banyuasin. Metode penelitian yang digunakan adalah survey lapang dengan dua tahapan, yaitu tahap pertama melihat keragaman pohon seru yang ada di kebun karet dengan jarak tanam karet 6 m x 3 m, untuk mengetahui populasinya dengan membuat petak plot pengamatan sebanyak 55 pohon karet atau seluas 990 m2 – 1000 m2, dan tahap kedua pengukuran perumbuhan dan produksi, pengambilan datanya secara purposive sampling sesuai dengan kelas populasi kayu seru yang ada di areal kebun karet. Adapun jumlah sampel keseluruhan adalah 5 areal kebun dari umur 3 – 7 tahun pada tahun 2014, sehingga pada tahun 2016 diperoleh umur 5 – 9 tahun. Data yang dikumpulkan adalah: (1) Populasi pohon seru, (2) Pertumbuhan lilit batang pohon seru dan (3) Pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Data dianalisis dengan mengunakan Table Curve untuk melihat pola ekstrapolasi pertumbuhan dan hasil tanaman karet.

21


III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Pohon Seru Keberadaan tanaman seru di lahan pada umumnya tumbuh sendiri dan dibiarkan oleh petani setelah penanaman tanaman sela pangan dan palawija, sehingga umur tanaman seru ini 2 (dua) tahun lebih muda dari tanaman karet, demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa, populasi pohon seru persatuan luasnya sangat beragam, karena jumlah yang tumbuh ditentukan secara alami (tumbuh sendiri secara alami). Keragaman populasi tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengelompokkan jumlah pohon seru, pada luasan 990 m2 atau 1000 m2, dari keragaman tersebut diperoleh keragaman seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengkelasan pohon seru yang tumbuh di antara karet Kelas Kelompok Pupulasi di Plot (1000 m2) Kelompok Pupulasi per hektar A > 10 pohon > 100 pohon B 8 - 10 pohon 80 - 100 pohon C 5 - 8 pohon 50 - 80 pohon D < 5 pohon < 50 pohon Berdasarkan Tabel di atas, maka dapat diperoleh empat kelas kepadatan pohon seru, yaitu kelas A yang populasi pohon serunya > 100 pohon/ha, kelas B populasinya antara 80 – 100 pohon/ha, kelas C populasinya antara 50 – 80 pohon/ha dan kelas D populasinya < 50 pohon/ha. B. Pertumbuhan Pohon Seru Pengaruh dari jumlah tanaman seru terhadap pertumbuhan tanaman seru yang ada di areal kebun karet dapat dilihat pada Gambar 1. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pertumbuhan pohon seru yang populasinya > 100 pohon/ha kebun karet yang paling lambat. Hal ini menunjukkan terjadinya kompetisi yang tinggi baik dengan tanaman karet maupun dengan tanaman serunya. Apabila kriteria panen kayu pada saat lilit mencapai 60 cm, maka pada populasi < 50 pohon/ha dapat dipanen pada umur 10 tahun, sedangkan yang populasinya antara 50 – 80 pohon/ha pada umur 11 tahun, populasi 80 – 100 pohon/ha dipanen 12 tahun dan yang populasinya > 100 pohon/ha dapat dipanen pada umur 14 tahun. Lilit Batang Tanaman Seru (cm)

60,0 Populasi >100 ('-0,14+7,5X0,236X2+0,0025X3) R2=0,98

50,0

Populasi >100

40,0

Populasi 80 - 100 ('-0,14+7,5X0,236X2+0,0025X3) R2=0,98 Populasi 80 - 100

30,0 Populasi 50-80 ('-0,15+8X0,245X2+0,0025X3) R2=0,98

20,0

Populasi 50-80

10,0

Populasi <50 ('-0,15+8,5X0,256X2+0,0025X3) R2=0,98 Populasi <50

0,0 1

2

3

4

5

6

7

Umur Tanaman (Tahun)

Gambar 1. Pengaruh jumlah pohon seru terhadap petumbuhan tanaman seru yang tumbuh di antara tanaman karet. 22

Aspek Silvikultur

C. Pertumbuhan Tanaman Karet Data mengenai pengaruh jumlah pohon seru terhadap perumbuhan tanaman karet dapat dilihat pada Gambar 2. Jumlah pohon seru yang tumbuh di areal kebun karet berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman karet juga. Semakin tinggi populasi tanaman seru, maka pertumbuhan tanaman karet semakin tertekan (Gambar 2). Hal ini cukup wajar karena ada pengaruh kompetisi antara tanaman karet dengan pohon seru baik untuk mendapatkan unsur hara, air, sinar matahari dan udara CO 2 . Tanaman karet yang terdapat pohon seru dengan populasi < 50 pohon/ha dapat matang sadap pada umur 5,5 tahun, sedangkan yang populasinya antara 50 – 80 pohon/ha matang sadapnya pada umur 6 tahun, yang populasi 80 – 100 pohon/ha matang sadapnya umur 6,5 tahun; dan yang populasinya > 100 pohon/ha matang sadapnya yang paling lambat, yaitu pada umur 7.0 tahun. 70,0

60,0

Lilit Batang Karet (cm)

Populas i >100 ((4,05+1,45LNX)2) R2 = 0,99 Populas i >100

50,0

Populas i 80-100 ((4,1+1,51LNX)2) R2 = 0,99

40,0

Populas i 80-100 Populas i 50-80 ((4,1+1,51LNX)2) R2 = 0,99

30,0

Populas i 50-80 Populas i <50 ((4,15+1,55LNX)2) R2 = 0,99

20,0

Populas i <50

10,0

0,0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

Umur Tanaman karet (Tahun)

Gambar 2. Pengaruh jumlah pohon seru terhadap pertumbuhan lilit batang tanaman karet D. Hasil Tanaman Karet Populasi pohon seru juga berpengaruh terhadap hasil karet dimana semakin banyak pohon seru di antara gawangan karetnya, maka hasil karetnya semakin rendah. Datanya dapat dilihat pada Gambar 3. Seluruh hasil sadapan dari tanaman karet di sini sangat rendah, yaitu < 10 g/p/s (gram/pohon/sadap). Hal ini disebabkan oleh karena tanaman karet yang ada di daerah ini menggunakan bahan tanam yang kurang baik dan pemeliharaan kebunnya sangat terbatas pada pembersihan rumput di gawangan karet saja, sedang pupuk tidak pernah diberikan. Rata-rata hasil tanaman karet yang jumlah tanaman serunya banyak lebih rendah dibanding dengan yang jumlah tanaman serunya sedikit, rata-rata pada jumlah pohon seru < 50 pohon/ha hasilnya mencapai 6,7 g/p/s, sedangkan pada populasi antara 50 – 80 pohon/ha hasilnya 6,0 g/p/s, pada populasi 80 – 100 pohon/ha hasilnya 5.8 g/p/s dan pada populasi > 100 pohon/ha hasilnya 5,1 g/p/s.

23


Populasi < 50 pohon (45+28X3,25X2+0,03X3+0,004X4)x 0,008/(10,22X+0,02X2-0,001X3+0,00002X4) R2 = 0,98

9,0 8,0

Hasil Sadap (gram/pohon/sadap)

Populasi < 50 pohon

7,0 6,0 Populasi 50 -80 pohon (45+28X3,25X2+0,03X3+0,004X4) x 0,008/ (10,22X+0,02X2-0,001X3+0,00003X4) R2 = 0,98

5,0 4,0

Populasi 50 -80 pohon

3,0 2,0

Populasi 80 - 100 pohon (115+24X3,35X2+0,007X3+0,006X4) x 0,008 / (1-0,22X+0,02X20,001X3+0,00003X4) R2 = 0,98

1,0 0,0

Populasi 80 - 100 pohon

6

7

8

9

Umur Tanaman Karet (Tahun)

Gambar 3. Pengaruh jumlah pohon seru terhadap hasil karet E. Kajian ke Depan Data-data di sini hanya merupakan data kajian awal, untuk mengetahui model usahatani karet dengan tanaman hutan lainnya perlu kajian dan penelitian yang lebih dalam. Namun demikian berdasarkan data-data di atas terlihat bahwa masyarakat petani karet di Banyuasin pada umumnya mengusahakan tanaman sela padi, palawija dan sayuran antara satu atau dua tahun, kemudian membiarkan beberapa pohon kayu yang berguna bagi kebutuhan pembangunan atau perbaikan rumah tinggalnya. Khusus di daerah Banyuasin pada umumnya petani membiarkan tanaman seru. Namun permasalahannya sangat heterogen, baik jumlah maupun jarak tanam yamg digunakannya. Oleh karena itu, untuk perbaikan pola ini agar diperoleh hasil yang optimal maka perlu ada perbaikan pola. Pada saat ini Balai Penelitian Sembawa sudah mengembangkan pola jarak tanam lebar (18 m + 2 m) x 2.5 m yang memungkinkan mengusahakan tanaman sela kayu menjadi lebih baik lagi. VI. PENUTUP 1. Penelitian ini merupakan kajian dari pengamatan yang sudah berkembang di tingkat petani Kabupaten Banyuasin, yaitu pola penanaman kayu seru (Schima wallicii). Pola ini cukup menarik untuk dikaji lebih dalam lagi karena banyak petani yang mengusahakannya. 2. Jumlah pohon seru sebagai tanaman sela karet sangat beragam, namun dapat dikelompokkan menjadi A yang populasi pohon serunya > 100 pohon/ha, kelas B populasinya antara 80 – 100 pohon/ha, kelas C populasinya antara 50 – 80 pohon/ha dan kelas D populasinya < 50 pohon/ha. 3. Hasil pengamatan menunjukan bahwa semakin banyak pohon seru maka pertumbuhan pohon seru semakin lambat, serta pertumbuhan dan areal tanaman karetnya semakin rendah. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menghitung populasi pohon seru yang optimal dan tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil karetnya.

24

Aspek Silvikultur

DAFTAR PUSTAKA Joshi, L. 2008. Smallholder rubber agroforestry sistem. (common fund for commodities Report) Rosyid, M.J. 2003. Diversifikasi usahatani tanaman sela tahunan penghasil buah, lateks dan atau kayu. Laporan akhir kegiatan Penelitian: Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Balai Penelitian Sembawa, Puslit Karet, LRPI. Tahun 2003. Rosyid, M.J. 2004. Model pemanfaatan kayu karet di tingkat petani untuk mendukung pengembangan agribisnis kayu karet. Laporan akhir kegiatan Penelitian: Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Balai Penelitian Sembawa, Puslit Karet, LRPI. Tahun 2004. Rosyid, M.J. dan H. Suryaningtyas. 2006. Estimation of timber volume based on stem girth in rubber plantation. International Natural Rubber Conference, 13 – 14 November 2006, Ho Chi Minh City, Vietnam. Wibawa, G, M.J. Rosyid dan A. Gunawan. 2005. Marketing of rubber-based agroforest product i I do esia: “ur e report at four pro i es. appraisal eeti g o I pro i g the produ ti it of ru er s allholdi gs through ru er Agroforestr s ste s . - 8 September 2005 at Lee Gardens Plaza Hotels, Hat Yai District, Songkhla Province, Thailand.

25


26

Aspek Silvikultur

PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN ENERGI BIOMASSA SEBAGAI SUMBER ENERGI RAMAH LINGKUNGAN Hengki Siahaan dan Purwanto Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Email: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Pengembangan energi baru dan terbarukan dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang semakin menipis dan sekaligus sebagai upaya Indonesia untuk mengurangi emisi dengan menghasilkan energi yang ramah lingkungan. Peran sektor kehutanan dalam kebijakan tersebut adalah untuk menyediakan bahan baku (feedstock) dan pencadangan areal untuk pengembangan. Oleh karena itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah melakukan serangkaian kegiatan penelitian dan pengembangan untuk membangun hutan tanaman yang produktif dan dapat menghasilkan energi dengan kualitas yang baik. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis nyamplung dan malapari sebagai penghasil biodiesel, lontar dan nipah sebagai penghasil bioethanol, sementara energi biomassa dikembangkan dari jenis kaliandra, lamtoro, dan jenis-jenis lokal yang unggul. Pengembangan kayu energi biomassa dari jenis-jenis lokal yang unggul di Sumatera Selatan difokuskan pada jenis kayu pelawan (Tristaniopsis obovata), kayu laban (Vitex pubescens), talok (Microcos tomentosa), seru (Schima wallichii), plangas (Aporosa nervosa), dan betih (Decaspermum humile). Serangkaian kegiatan pengujian nilai kalor dan pertunasan telah dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas produksi yang diperoleh. Kata kunci: Energi, biomassa, ramah lingkungan

I. PENDAHULUAN Sejalan dengan isu perubahan iklim dan semakin terbatasnya sumber energi fosil, pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan sangat diperlukan. Cadangan minyak Indonesia diperkirakan akan habis dalam waktu 12 tahun mendatang, demikian pula gas bumi akan habis 33 tahun, dan batubara 75 tahun mendatang. Selain itu kebutuhan energi Indonesia masih bergantung pada impor karena keterbatasan produksi dalam negeri. Pada tahun 2012, impor energi Indonesia mencapai 20% dan diperkirakan naik hingga 30% pada tahun 2035 (Sugiyono et al., 2014). Agar Indonesia dapat keluar dari tekanan persoalan energi, maka ketergantungan terhadap sumber energi fosil harus dikurangi dengan mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan. Salah satu energi terbarukan dan ramah lingkungan yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia adalah bio energi. Bio energi merupakan energi yang berasal dari sumberdaya hayati terutama dari tumbuh-tumbuhan seperti biodiesel, bioethanol, dan energi biomassa. Walaupun masih dalam skala terbatas, pengembangan bioenergi di Indonesia sudah mulai dilakukan. Energi biodiesel dikembangkan dari biji tanaman seperti biji nyamplung (Calophyllum inophyllum) (Leksono et al., 2010; Bustomi et al., 2008; Permatasari et al., 2013), kesambi (Schleichera oleosa) (Sudrajat et al., 2010), kemiri sunan (Aleurites trisperma) (Hendra, 2014) atau jarak pagar (Jatropa curcas) (Roliadi et al., 2012). Energi bioethanol yang diproyeksikan sebagai substitusi bensin, saat ini produksinya dari tetes tebu telah mencapai 200 ribu kl/tahun dengan kapasitas produksi 416 ribu kl/tahun dari 8 produsen energi biomassa (Sugiyono et al, 2014). Nipah dan lontar merupakan sumber bioethanol yang sangat potensial namun belum banyak dikembangkan (Widyati, 2016). Luas sebaran nipah di Indonesia diperkirakan 0,75-1,35 juta ha atau sekitar 30% dari luas hutan mangrove. Dari hutan nipah diperkirakan dapat diproduksi 750 ribu kl ethanol (Sugiyono et al., 2014).

27


Selain biodiesel dan bioethanol, energi biomassa merupakan bentuk energi yang telah lama digunakan di Indonesia dalam bentuk kayu bakar dan arang dan diperkirakan telah menyumbang 237 juta SBM (22%) dari total kebutuhan energi Indonesia pada tahun 2012 (Sugiyono et al., 2014). Sebagian besar energi biomassa dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga di pedesaan dan sebagian lagi digunakan pada industri kecil seperti pembuatan batubata, genteng, serta pembuatan tahu dan tempe. Pada saat ini, energi biomassa telah mulai dikembangkan untuk kepentingan industri besar yaitu sebagai pengganti batubara pada industri semen. Misalnya PT. Indocement Tunggal Perkasa yang mengembangkan jarak pagar (Lavalle, 2007), PT. Semen Padang mengembangkan sumber energi dari tandan buah kosong kelapa sawit (Saksono, 2006) dan PT. Holcim yang mengembangkan jenis-jenis weru (Albizia procera), lamtoro (Leucaena leucochepala), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), gamal (Gliricidia sepium), trembesi (Samanea saman), gmelina (Gmelina arborea Roxb), dan angsana (Pterocarpus indicus) (Cahyono et al., 2008). Kayu energi merupakan salah satu bentuk energi biomassa yang potensial dikembangkan di Sumatera Selatan. Di wilayah ini sumber energi ini masih tersedia dalam jumlah yang cukup besar namun belum termanfaatkan secara optimal. Demikian pula lahan pengembangannya masih tersedia, misalnya pada hutan-hutan sekunder pada areal tertentu yang terdapat di KPH. Dirjen Listrik dan Energi Baru telah menetapkan 70 jenis pohon yang potensial sebagai sumber energi biomassa, yang ditetapkan berdasarkan sifat tanaman yang dapat dikembangkan melalui metode pangkas, riap yang tinggi dan dapat menyuburkan tanah (Rostiwati et al., 2006). Jenis yang sudah mulai dibudidayakan adalah kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan lamtoro (Leucaena leucochepala). Salah satu syarat pengembangan kayu energi adalah kesesuaian dengan kondisi iklim lokasi pengembangan. Di Sumatera Selatan terdapat beberapa jenis kayu yang telah dimanfaatkan sebagai sumber energi biomassa, antara lain adalah jenis kayu pelawan (Tristaniopsis obovata), kayu laban (Vitex pubescens), talok (Grewia hirsuta), seru (Schima wallichii), plangas (Aporosa nervosa), dan betih (Decaspermum humile). Jenis-jenis ini dapat dijumpai pada kebun-kebun masyarakat atau pada hutan-hutan sekunder yang terdapat di wilayah sekitar desa. Kebutuhan akan kayu energi, baik untuk kebutuhan masyarakat maupun untuk industri kecil umumnya dipenuhi dengan cara mengumpulkannya dari alam tanpa melakukan budidaya atau penanaman. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak dapat memilih kayu energi yang memenuhi kualitas tertentu, tetapi hanya memanfaatkan jenis-jenis yang tersedia disekitarnya. Jika pengelolaan energi biomassa dilakukan secara terencana, maka kebutuhan energi akan tersedia secara berkelanjutan. Kebijakan pengembangan energi biomassa dapat dilakukan secara terintegrasi pada areal KPH sebagai areal pengembangan, sehingga KPH dapat berperan sebagai feedstock atau penyedia sumber energi biomassa yang berkelanjutan. Kebijakan pengembangan energi biomassa perlu dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir. Pada sektor hulu, pembangunan hutan tanaman penghasil energi biomassa perlu dilakukan. Kegiatan ini diawali dengan pemilihan jenis-jenis tanaman penghasil bioenergi berdasarkan kemudahan pengelolaannya, sifat pertumbuhan, nilai kalor dan kemudahan pengolahannya. Pada bagian hilir, perlu dilakukan peningkatan kuantitas dan kualitas pemanfaatan energi biomassa pada sektor industri, terutama pada industri skala kecil menengah.

28

Aspek Silvikultur

II. KONSUMSI DAN PERMASALAHAN ENERGI NASIONAL 1. Konsumsi Energi Nasional Besarnya kebutuhan energi sebanding dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 252 juta jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 1,31%. Jumlah penduduk yang besar akan membutuhkan energi dalam jumlah yang besar pada berbagai sektor perekonomian. Kebutuhan energi di Indonesia meningkat dari 555,88 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 961,39 juta SBM pada tahun 2014 atau meningkat sebesar 3,99% per tahun. Pengguna energi terbesar pada tahun 2014 adalah sektor industri (48%), diikuti oleh sektor transportasi (35%), sektor rumah tangga (11%), komersial (4%), dan lainnya (2%). Selama periode 2000 - 2014, pertumbuhan konsumsi energi terbesar terjadi pada sektor transportasi dengan rata-rata 6,46% per tahun (Pusdatin ESDM, 2015). Tingginya pertumbuhan konsumsi energi pada sektor transportasi terjadi karena pertumbuhan kendaraan bermotor yang tinggi mencapai 13,7% per tahun (BPS, 2015). Berdasarkan jenis, konsumsi energi tertinggi pada tahun 2014 adalah BBM dengan konsumsi sebesar 308 juta SBM (32%), diikuti oleh batubara 23%, gas listrik, dan biomassa masing-masing 13%, biofuel 9%, serta LPG 5% (Sugiyono et al., 2016). Selanjutnya Sugiyono et al. (2016), menjelaskan bahwa konsumsi BBM mengalami sedikit penurunan pada periode 2000-2014, yaitu sebesar 0,18% per tahun. Konsumsi bioenergi relatif tidak berubah pada periode 2000 - 2014 yaitu sekitar 22% dengan rincian energi biomassa sebesar 13% dan energi biofuel 9% tanpa memperhitungkan penggunakan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga. Jika penggunaan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga diperhitungkan, total pemanfaatan bioenergi mencapai 26% (Sugiyono et al., 2014). Pengembangan energi terbarukan dari bioenergi saat ini masih pada tahap awal berupa eksplorasi dan ujicoba penanaman. Pada sektor kehutanan penelitian bioenergi telah dimulai pada tahun 2009 - 2014 dalam bentuk biodiesel (dari jenis nyamplung dan malapari), bioethanol (lontar dan nipah) dan 7 jenis kayu energi yaitu weru, turi, gamal, kaliandra, akor, pilang, dan lamtoro (Widyati, 2016). 2. Permasalahan Energi Nasional Permasalahan energi yang mendasar di Indonesia adalah ketergantungan terhadap energi fosil sementara cadangan energi fosil semakin menipis. Berdasarkan rasio cadangan energi terhadap produksi (R/P), diperkirakan cadangan minyak bumi akan habis dalam waktu 12 tahun mendatang, batubara 33 tahun, dan batubara 75 tahun mendatang. Perhitungan ini didasarkan dengan asumsi tidak ditemukan sumber energi baru dan produksi sumber energi tersebut tidak mengalami peningkatan. Selain persoalan mendasar tersebut, terdapat berbagai permasalahan dalam penyediaan energi di Indonesia, baik ditinjau dari aspek demografi, infrastruktur dan penerapan teknologi, bauran energi nasional, kebijakan energi nasional, serta aspek lingkungan. Ditinjau dari aspek demografi, selain jumlah dan pertumbuhan penduduk yang besar, distribusi penduduk Indonesia tidak merata. Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa (57%) sedangkan sumber energi sebagian besar terdapat di luar Jawa, yaitu di Sumatera sekitar 60%, sedangkan di Jawa hanya sekitar 21% dari total cadangan nasional, sehingga diperlukan biaya transportasi untuk distribusi energi. Infrastruktur dan teknologi yang kurang memadai mengakibatkan penggalian dan pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif menjadi sangat terbatas. Pemanfaatan energi gas alam, panas bumi, hydro, energi surya, dan pengembangan energi terbarukan berupa bioethanol, biodiesel, dan biomassa tidak dapat dilakukan secara optimal. Keterbatasan infrastruktur dan teknologi mengakibatkan Indonesia menjadi sangat tergantung pada sumber

29


energi minyak bumi sementara cadangannya semakin menurun sehingga untuk pemenuhan energi nasional harus dilakukan melalui impor dari negara lain. Permasalahan energi nasional lainnya adalah alokasi subsidi energi pada APBN. Realisasi subsidi BBM tahun 2013 mencapai Rp. 199 triliun dan diperkirakan akan meningkat 1,7% per tahun. Disamping membebani APBN, subsidi BBM akan menjadi disinsentif bagi pembangunan infrastruktur untuk pengembangan energi baru dan terbarukan. Pemberian subsidi pada awalnya dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan energinya, namun pada kenyataannya, pemberian subsidi BBM dan subsidi energi lainnya, tidak sepenuhnya mencapai sasaran. Subsidi BBM sebagian besar justru dinikmati pemilik kendaraan pribadi, demikian pula subsidi listrik dan LPG 3 kg banyak dinikmati oleh masyarakat yang tergolong mampu. Penyediaan energi listrik nasional juga mengalami berbagai permasalahan. Permasalahan utama adalah harga jual listrik yang lebih rendah dibanding harga produksi, sehingga perusahaan penyedia listrik PLN akan selalu mengalami kerugian jika tidak disubsidi dari APBN. Penyebabnya adalah inefisiensi dalam produksi listrik dan daya beli sebagian masyarakat yang rendah. Persoalan lain dalam penyediaan energi listrik adalah rasio elektrifikasi yang baru mencapai 75,8% yang berarti bahwa 24,2% penduduk Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan dan daerah terpencil belum menikmati aliran listrik. Ditinjau dari aspek lingkungan, sektor energi merupakan penyumbang emisi terbesar di dunia yang mencapai 34% dari total emisi dunia pada tahun 2010 sebesar 49,5 Gt CO 2 eq/tahun (Victor et al., 2014). Di Indonesia, sektor energi dan AFOLU (Agriculture Forestry and Other Landuse) diperkirakan merupakan penyumbang emisi terbesar (Wibowo, 2010). Pada tahun 2012, emisi GRK dari sektor energi diperkirakan mencapai 540 juta ton CO 2 eq/tahun dan diperkirakan akan meningkat menjadi 2.223 CO 2 eq/tahun pada tahun 2035 (Sugiyono et al., 2014). III. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN Salah satu fokus utama dari kebijakan energi nasional yang dituangkan dalam PP No. 79/2014 adalah pengembangan energi baru dan terbarukan (Widyati, 2016) Pengembangan energi baru dan terbarukan menjadi hal yang mendesak disebabkan oleh dua hal, pertama karena semakin terbatasnya cadangan energi fosil di Indonesia sedangkan di sisi lain kebutuhan energi semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Kedua adalah komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK, baik dengan usaha sendiri maupun dalam konteks kerjasama internasional. Pengembangan energi baru dan terbarukan akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil dan akan membantu Indonesia untuk mencapai kedaulatan energi nasional. Potensi pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia sangat besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Kebijakan energi nasional diarahkan untuk mengatasi berbagai hambatan dalam pengembangan energi baru dan terbarukan, terutama dalam penyediaan infrastruktur dan teknologi pengolahan. Pemanfaatan energi baru dan terbarukan bersifat netral dalam hal emisi GRK (Richardson, et al., 2002) bahkan pada beberapa aspek dapat menjadi rosot karbon. Baseline emisi dihitung pada kondisi tanpa intervensi dan kebijakan (Bussiness as usual), sehingga dengan adanya kebijakan pengembangan energi baru dan terbarukan dan upaya lain yang bersifat efisiensi merupakan upaya mitigasi. Oleh karena itu, pengembangan energi baru dan terbarukan akan secara langsung membantu pemerintah Indonesia dalam upaya mencapai target penurunan emisinya dan dianggap sebagai upaya mandiri. 30

Aspek Silvikultur

1. Sumber Energi Baru dan Terbarukan Sumber energi baru dan terbarukan yang tersedia cukup melimpah dan berpotensi dikembangkan di Indonesia antara lain adalah energi panas bumi, energi air, energi surya, angin, dan biomassa. Sumber-sumber energi ini selama ini belum dikelola secara optimal karena keterbatasan infrastruktur dan IPTEK. Kendala lain yang dihadapi karena sumbersumber tersebut tersebar dan institusi yang mengembangkannya belum dipetakan secara jelas. Ditjen EBTKE (2013) telah melakukan inventarisasi potensi berbagai sumber nergi baru dan terbarukan di Indonesia (Tabel 1). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa kapasitas terpasang industri penghasil energi terbarukan masih sangat rendah (umumnya kurang dari 10%) dibandingkan potensi yang tersedia. Potensi yang paling banyak dimanfaatkan adalah energi mini/mikrohidro (28,31%) sedangkan pemanfaatan energi biomassa masih sangat rendah (3,25%). Disamping sumber-sumber energi tersebut terdapat sumber energi laut yang hingga saat ini belum dimanfaatkan di Indonesia yaitu energi laut dan samudra, berupa energi gelombang laut, energi pasang surut, dan energi arus laut. Tabel 1. Potensi dan kapasitas terpasang beberapa sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia Sumberdaya Kapasitas Rasio KT/SD No. Sumber energi (SD) terpasang (KT) (%) 1. Panas bumi 28.543 MW 1.189 MW 7,54 2.

Tenaga air

3.

Mini/mikrohidro

4.

Biomassa/Bioenergi

75.670 MW 770 MW 49.810 MW 2

5.705 MW

4,17

218 MW

28,31

1.618 MW

3,25

5.

Tenaga surya

4,8 kwh/m /hari

13,5 MW

-

6.

Tenaga angin

3-6 m/s

1,87 MW

-

Sumber: Ditjen EBTKE, 2013; Widyati, 2016

3. Peran Sektor Kehutanan Pengembangan energi baru terbarukan dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai sektor pembangunan. Sektor kehutanan memiliki peran penting dalam penyediaan energi baru terbarukan di Indonesia. Berdasarkan PP No. 79/2014, pengembangan bioenergi (bahan bakar nabati) yaitu berupa biodiesel dan bioethanol diarahkan sebagai substitusi BBM, khususnya untuk transportasi dan industri. Sementara energi biomassa dari sampah dan kayu untuk ketenagalistrikan dan transportasi. Pada konteks ini sektor kehutanan berperan sebagai penyedia bahan baku (feedstock) dan lahan untuk pengembangannya. Secara lebih rinci, sektor kehutanan berkewajiban untuk menyediakan informasi jenis-jenis kayu yang potensial sebagai sumber energi (kadar minyak, nilai kalor) dan kesesuaian lahan untuk pengembangan dan sekaligus mengalokasikan lahan untuk pengembangannya (Widyati, 2016). Sebagai implementasi perannya dalam pengembangan energi baru dan terbarukan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Badan Litbang dan Inovasi KLHK telah melakukan beberapa penelitian yang dimulai sejak tahun 2010. Pada tahun 2010 – 2014 dilakukan penelitian pengembangan nyamplung dan malapari sebagai sumber energi biodiesel dan pengembangan 7 jenis sumber energi biomassa yaitu akor, weru, lamtoro, kaliandra, pilang, turi, dan gamal. Pada periode 2015 - 2019 akan dilakukan pengembangan hingga ke bioprocessing dan ujicoba pemanfaatannya. Pengembangan diarahkan pada tiga bentuk bioenergi (bahan bakar nabati), yaitu biodiesel (nyamplung dan malapari), bioethanol (nipah dan lontar), dan biomassa (kaliandra, lamtoro, dan jenis-jenis lokal). 31


IV. PENGEMBANGAN TANAMAN KAYU ENERGI 1. Karakteristik Jenis Kayu Energi Pada dasarnya semua jenis kayu dapat dijadikan sebagai bahan bakar, namun untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan beberapa kriteria terkait sifat kayu dan sifat pertumbuhannya. Richardson (2002), menyebutkan beberapa kriteria pemilihan jenis untuk sumber energi biomassa: - adaptif dengan kondisi lokal dan mudah dikembangkan dan dipelihara - pertumbuhan cepat dengan umur optimal yang pendek - dapat dikembangkan dengan sistem pangkas (coppice system) - mempunyai nilai kalor yang tinggi, mudah kering Sesuai dengan kriteria tersebut, beberapa jenis kayu energi telah dikembangkan di Indonesia, seperti kaliandra, lamtoro, pilang, akor, turi, gamal, dan weru. Jenis-jenis ini mempunyai nilai kalor yang relatif tinggi, pertumbuhan yang cepat, menghasilkan trubusan dengan cepat, dan mempunyai adaptasi yang baik terutama di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tabel 2. Karakteristik, produktivitas, dan potensi energi yang dapat dihasilkan beberapa jenis kayu di Jawa Jenis Akor (A. auriculiformis) Pilang (A. leucophloa) Weru (Albizia procera) Kaliandra (C. callothyrsus) Sengon (P. falcataria) Gamal (Gliricidia sepium)

Riap (m3/ha /th)

BJ (gr/cm3)

Nilai kalor Kal/gr

Energi GJ/ha/th

17,0 20,5 25,0 32,0 30,0 23,4

0,77 0,70 0,67 0,67 0,44 0,55

4.907 5.218 4.870 4.384 4.464 4.548

235,6 258,3 301,5 385,9 237,6 375,0

Sumber: Bustomi et al., 2011

Pengembangan kayu energi perlu memperhatikan kesesuaian jenis dengan kondisi tapak, agar diperoleh hasil yang optimal. Jenis-jenis yang mempunyai produktivitas yang tinggi di Jawa belum tentu mempunyai produktivitas yang sama jika dikembangkan di luar Jawa. Oleh karena itu pengembangan kayu energi di Sumatera Selatan dilakukan terhadap jenis-jenis lokal yang mempunyai kualitas baik sebagai kayu energi. Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian terdapat 6 jenis kayu lokal di Sumatera Selatan yang sangat potensial dikembangkan sebagai kayu energi, yaitu kayu pelawan (Tristaniopsis obovata), kayu laban (Vitex pubescens), talok (Microcos tomentosa), seru (Schima wallichii), plangas (Aporosa nervosa), dan betih (Decaspermum humile). Jenis-jenis ini dapat dijumpai pada hutan sekunder lahan kering maupun kebun-kebun milik masyarakat. Pengujian dilakukan terhadap nilai kalor, berat jenis, dan kemampuan bertunas. Berat jenis umumnya tergolong sedang kecuali untuk jenis pelawan dengan berat jenis mencapai 1,18 gr/cm3. Sedangkan nilai kalor relatif sama yaitu berkisar antara 4059 Kcal/kg untuk kayu plangas dan 4356 Kcal/kg untuk jenis seru. Sedangkan kemampuan bertunas semua jenis tergolong tinggi (Tabel 3). Pengembangan dilakukan dengan pembuatan demplot seluas 4 ha yang berlokasi di KHDTK Kemampo, Banyuasin.

32

Aspek Silvikultur

Tabel 3. Hasil pengujian berat jenis dan nilai kalor jenis-jenis kayu energi di Sumatera Selatan Kemampuan Berat jenis Nilai kalor No. Jenis 3 bertunas (kg/m ) (Kcal/kg) 1.

Kayu laban (Vitex pubescens)

tinggi

0,61

4302

2.

Pelawan (Tristaniopsis obovata)

tinggi

1,18

4296

3.

Seru (Schima wallichii)

tinggi

0,58

4356

4.

Plangas (Aporosa nervosa)

tinggi

0,60

4059

5.

Talok (Microcos tomentosa)

tinggi

0,67

4153

6.

Betih (Decaspermum humile)

tinggi

-

4076

2. Sistem Silvikultur Pengembangan Kayu energi Pada hutan sekunder dalam bentuk hutan rakyat atau agroforestri, sistem silvikultur pengelolaan kayu energi dapat dilakukan dengan sistem tebang pilih dan tebang habis dengan permudaan buatan dan permudaan trubusan. Namun demikian, karena pengembangan tanaman kayu energi umumnya dijumpai hutan rakyat, maka sistem silvikultur yang digunakan adalah sistem tebang pilih dengan permudaan trubusan. Beberapa jenis tanaman pada hutan rakyat yang umumnya dikembangkan dengan sistem trubusan antara lain adalah kaliandra, sengon, sungkai, lamtoro, kayu putih, dan akasia (Mindawati, 2006; Wahyuningtyas, 2010). Sistem ini dipilih karena lebih mudah diterapkan, rotasinya yang pendek dan praktis dilakukan pada skala pengembangan hutan tanaman yang relatif kecil. Sistem ini juga dapat digunakan untuk mengatasi kelangkaan benih yang bersumber dari biji. Sistem permudaan trubusan merupakan cara memanen dengan menyisakan tunggak (stump) yang pendek sebagai tempat tumbuh tunas sebagai alat regenerasi. Menurut Nyland (2001), tempat tumbuh tunas dapat terjadi melalui tunggak (batang), akar yang menjalar, dan percabangan. Kemampuan tanaman untuk bertunas berbeda menurut jenis. Wahyuningtyas (2010) telah melakukan penelitian terhadap beberapa jenis tanaman yang dapat dikembangkan dengan sistem trubusan serta mempelajari tingkat kemampuannya menghasilkan trubusan, sifat pertumbuhan dan pemanfaatannya pada hutan rakyat di Pulau Jawa. Pada perusahaan pengembang hutan tanaman industri (HTI) di negara maju dengan tujuan produksi pulp atau kayu bulat, kayu dengan kualitas yang rendah (lower grade) dan residu diolah untuk menghasilkan energi. Sistem silvikultur yang digunakan disesuaikan dengan tujuan produksi utama. Hal ini membutuhkan peralatan yang lengkap dan tenaga kerja yang trampil. Tujuannya adalah untuk memenuhi standar lingkungan yang bersih dan kelestarian jangka panjang. Namun demikian di beberapa negara telah dibangun HTI kayu energi, misalnya di Brazil terdapat HTI yang dibangun khusus untuk menghasilkan arang untuk industri baja dan semen. Kayu energi dikembangkan dengan sistem pangkas (Coppice system) rotasi 5-12 tahun untuk jenis Eucalyptus grandis, E. saligna, E. urophyllus dan E. hybrid. Jarak tanam awal dibuat cukup rapat dengan jumlah tanaman 900-1500 per hektar. Peningkatan produktifitas tanaman sesuai dengan tujuan pengelolaan merupakan inti dari serangkaian kegiatan silvikultur. Pada hutan tanaman penghasil energi diperlukan tindakan silvikultur yang intensif, untuk mengimbangi hara yang keluar melalui pemanenan seluruh biomass. Tindakan silvikultur seperti pemupukan dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan, kuantitas biomassa dan nilai kalor yang dihasilkan. Narendra (2012), menyatakan bahwa pertumbuhan jenis kaliandra dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk kandang sebesar 10 kg/lubang tanam. Sementara Herdiawan et al., (2005), menyatakan bahwa 33


tanaman kaliandra dapat meningkatkan kesuburan dan kandungan unsur hara tanah melalui bintil akar yang terdapat pada tanaman tersebut. 3. Pemanfaatan Kayu Sebagai Sumber Energi Pemanfaatan kayu sebagai sumber energi terbarukan telah lama dilakukan terutama sebagai pemanas dan kayu bakar, baik digunakan secara langsung maupun tidak langsung dengan mengubah menjadi bentuk lain. Pemanfaatan kayu sebagai sumber energi menguntungkan baik secara lingkungan, ekonomi dan sosial (Bergman dan Zerbe, 2004). Dari segi lingkungan, kayu bersifat renewable (terbarukan), emisi karbonnya rendah bahkan nol, minimal sulfur dan besi, minimal abu. Dari segi ekonomi, kayu lebih murah dibandingkan energi fosil. Dari segi sosial, penggunaan kayu terutama pada masyarakat pedesaan telah lama digunakan untuk keperluaan memasak sehingga penerimaannya lebih baik dibandingkan biomasaa lainnya. Sejak bergulirnya isu perubahan iklim, penggunaan biomassa dari hutan sebagai sumber energi meningkat secara signifikan. Heinimo dan Junginger (2009), menyatakan bahwa pemakaian kayu pada tahun 2005 secara menyeluruh mencapai 10% dari pemakaian energi dunia. Sedangkan pemakaian kayu bakar sebagai pembangkit listrik baru 1%. Konsumsi kayu dunia sebagian besar digunakan untuk pemanas rumah dan memasak. Sementara itu di Indonesia, seperti dilaporkan oleh Soetomo dan Soemarna dalam Rostiwati et al., (2006), pemakaian kayu energi umumnya digunakan di pedesaan dalam bentuk kayu bakar. Namun demikian upaya untuk meningkatkan penggunaan dalam indutri sedang diupayakan antara lain untuk penghasil tenaga listrik dan bahan bakar pengganti batubara pada industri semen. Beberapa industri semen di Indonesia telah mengembangkan energi biomassa untuk pemenuhan kebutuhan energi alternatif. Misalnya PT. Indocement Tunggal Perkasa yang mengembangkan jarak pagar (Lavalle, 2007), PT. Semen Padang mengembangkan sumber energi dari tandan buah kosong kelapa sawit (Saksono, 2006) dan PT. Holcim yang mengembangkan jenis-jenis weru, lamtoro, sengon buto, gamal, trembesi, gmelina, dan angsana (Cahyono et al, 2008). Biomassa tidak dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar karena sifat fisiknya seperti kerapatan energi yang kecil dan permasalahan penanganan, penyimpanan dan transportasi sehingga perlu dilakukan diversifikasi di antaranya dengan dibuat produk pelet (Siemers, 2006). Konversi biomassa menjadi bentuk yang lebih baik dapat meningkatkan kualitasnya sebagai bahan bakar seperti peningkatan daya bakar, efisiensi pembakaran, bentuk yang lebih seragam, produk yang lebih kering serta kerapatan massa yang lebih besar (Bergman dan Zerbe, 2004). Di Indonesia industri kayu pelet antara lain terdapat di Boyolali (PT. Mahya Energi) untuk pemakaian dalam negeri maupun impor ke Korea dan Jepang. Selain untuk pemanas ruangan, produk kayu pellet dapat dari perusahaan tersebut digunakan untuk industri makanan. V. PENUTUP Krisis energi di Indonesia akan dapat teratasi dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan. Sektor kehutanan terutama berperan dalam penyediaan bahan baku (feedstock) dan lahan untuk pengembangan jenis-jenis yang potensial. Dalam hal ini sektor kehutanan bertanggungjawab untuk menyediakan teknik silvikultur penghasil kayu energi, membangun demplot dan hutan tanaman penghasil energi, dan melakukan penelitian untuk meningkatkan mutu energi yang diperoleh.

34

Aspek Silvikultur

Pengembangan energi baru dan terbarukan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan difokuskan pada tiga bentuk bahan bakar nabati (bioenergi), yaitu bentuk biodiesel, bioethanol, dan biomassa. Energi penghasil biodiesel dikembangkan dari jenis nyamplung dan malapari, energi penghasil bioethanol difokuskan dari jenis lontar dan nipah, sementara energi biomassa dikembangkan dari jenis kaliandra, lamtoro, dan jenis-jenis lokal yang unggul. Pengembangan kayu energi di Sumatera Selatan difokuskan pada jenis-jenis lokal yang unggul. Jenis-jenis yang telah mulai dikembangkan adalah kayu pelawan (Tristaniopsis obovata), kayu laban (Vitex pubescens), talok (Microcos tomentosa), seru (Schima wallichii), plangas (Aporosa nervosa), dan betih (Decaspermum humile). Serangkaian kegiatan pengujian telah dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas produksi yang diperoleh. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2015. Statistik Transportasi Darat 2014. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Bergman, R., and J. Zerbe. 2004. Primer on wood biomass for energy. Forest service, state and private forestry technology marketing unitforest products glaboratory. Madison, Wisconsin. Bustomi S., Rostiwati T., Sudrajat R., Leksono B., Rahman E., 2008. Nyamplung (Callophyllum inophyllum L.) Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Cahyono TD., Coto Z., dan Febrianto F. 2008. Analisis nilai kalor dan kelayakan ekonomis kayu sebagai bahan bakar substitusi Batubara di pabrik semen. Forum Pascasarjana Vol 31 (2) : 105-116 Ditjen EBTKE. 2013. Statistik Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi. KESDM. Jakarta. Haygreen JG, Bowyer JL, Schmulsky R. 2003. Forest Product and Wood Sciences an Introduction. Ames : Iowa State University Press. USA. Heinimö, J., & Junginger, M. (2009). Production and trading of biomass for energy - An overview of the global status. Biomass and Bioenergy, 33 (9), 1310–1320. doi:10.1016/j.biombioe.2009.05.017 Hendra D. 2014. Pembuatan biodiesel dari biji kemiri sunan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 32 (1): 37-45 Hendra D. 2012. Rekayasa pembuatan mesin pellet kayu dan pengujian hasilnya. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 30 (2): 144-154. Herdiawan I., Fanindi A., dan Semali A. 2005. Karakteristik dan Pemanfaatan Kaliandra (Calliandra callothyrsus). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Http://balitnak.litbang.deptan.go.id Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Diterjemahkan oleh: Badan Litbang Kehutanan. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta. Lavalle D., 2007. Indocement akan garap bahan baku alternatif. Bisnis Indonesia. Senin, 26 Februari 2007. Lele, S. 2005. Biodiesel in India. htttp//www.svlele.com/biodiesel 27 Juli 2005. India. Leksono B., Widyatmoko AYPBC., Pudjiono S., Rahman E., dan Putri KP. 2010. Pemuliaan Nyamplung (Callophyllum inophyllum L.) untuk bahan baku biofuel. Laporan Hasil Penelitian Program Ristek 2010 (tidak dipublikasikan).

35


Martawijaya, A., I.K. Sujana, K. Kadir dan A.P. Soewanda. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid 1. Jakarta Mindawati N., 2006. Tinjauan tentang pola tanam hutan rakyat. Info Hutan Tanaman Vol 1 (1): 32-39. Narendra B.H., 2012. Pengaruh perbaikan kondisi tanah terhadap pertumbuhan kaliandra (calliandra callothyrsus) dan buni (Antidesma bunius) di kawasan konservasi Gunung Batur Bali. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 9 (2): 101-111. Nyland R.D., 2001. Silviculture: Concept and Application. Mc. Graw Hill. New York. Permatasari A., Mayangsari W., dan Gunadi I. 2013. Pembuatan biodiesel dari minyak nyamplung (Callophyllum inophyllum L.) dengan reaksi transesterifikasi menggunakan katalis K20/H-Za berbasis zeolit alam. Jurnal Teknis ITS 2013 (1-6). Pusdatin KESDM. 2015. Handbook of Energy and Economics Statistic of Indonesia. KESDN. Jakarta. Roliadi H., Sudrajat R., dan Anggraini A. 2012. Kemungkinan penggunaan antioksidan guna mempertinggi ketahanan oksidasi biodiesel dari minyak biji tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 30 (1): 69-86. Rostiwati T, Yetti H, dan Sofwan B. 2006. Review Hasil Litbang Kayu Energi dan Turunannya. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Richardson, J., R. Bjorheden, P. Hakkila, A.T. Lowe, and C.T. Smith. 2002. Bioenergy from Sustainable Forestry: Guiding Principle and Practice. Academic Publisher. Dordrect. Saksono 2006. Semen Padang menggalakkan sumber energi alternatif. Media Indonesia Online. http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id =90180. Siemers, W. 2006. Prospects for biomass and biofuels in Asia. The 2 joint international nd conference on sustainable energy and environment, Bangkok,Thailand. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sudrajad, R., R. Sahirman dan D. Setiawan. 2007. Pembuatan biodisel dari biji nyamplung. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Sudrajat R., Pawoko E., Hendra D., dan Setiawan D. 2010. Pembuatan biodiesel dari biji kesambi (Schleichera oleosa L.). Sudrajad, R., Yogie, S., D. Hendra., D. Setiawan. 2010. Pembuatan biodisel biji kepuh dengan proses transesterifikasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Sugiyono A., Anindhita, L.M.A. Wahid, dan Adiarso, 2016. Outlook Energi Indonesia 2016: Pengembangan Energi untuk Mendukung Industri Hijau. Pusat Teknologi Sumberdaya Energi dan Industri Kimia BPPT. 2016. Sugiyono A., Anindhita, M.S. Boedoyo, dan Adiarso. 2014. Outlook Energi Indonesia 2014: Pengembangan Energi untuk Mendukung Program Substitusi BBM. Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT. 2014. Sumangat. D dan W. Broto. Kajian teknis dan ekonomis pengolahan briket bungkil biji jarak pagar sebagai bahan bakar tungku. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol 5 Tahun 2009. Victor D.G., D. Zhou, E.H.M. Ahmed, P.K. Dadhich, J.G.J. Oliver, H-H Rogner, K. Sheikho, and M. Yamaguchi. 2014. Introductory Chapter. In: Climate Change 2014: Mitigation of Climate Change Contribution of Working Group III to The Fift Assessment Report of The 36

Aspek Silvikultur

Intergovermental Panel on Climate Change. [Edenhofer, O., R. Pichs-Madruga, Y. Sokona, E. Farahani, S. Kadner, K. Seyboth, A. Adler, I. Baum, S. Brunner, P. Eickemeier, B. Krie a , J. “a olai e , “. “ hlὂ er, C o “te ho , T. ) i kel, a d J.C. Mi (Eds)]. Cambridge University Press. Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Wahyuningtyas RS. 2010. Hutan rakyat trubusan sebagai alternatif sistem permudaan. Galam Vol IV (3): 189-207. Wibowo, A. 2010. Measurable, Reportable dan Verifyable (MRV) untuk Emisi Gas Rumah Kaca dari Kegiatan Kehutanan. Dalam: Masripatin N., dan Wulandari C (Editors). REDD+ & Forest Governance. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Widyati E. 2016. RPPI 2015-2019 Bidang Pengelolaan Hutan: Sumber Energi Alternatif dari Hutan. IPB Press. Bogor.

37


38

Aspek Silvikultur

EVALUASI AWAL UJI KETURUNAN MAHONI (Swietenia macrophylla King) UMUR 1 TAHUN DI KEMAMPO, BANYUASIN-SUMATERA SELATAN Imam Muslimin1*, Agus Sofyan1*, Eman Suherman2, Yudi Harisman2, Helen Voviarti2, Dewi Susanti2 1

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang 2 Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Sumatera *

E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla King) merupakan salah satu tanaman penghasil kayu pertukangan yang potensial untuk dikembangkan. Sebagai daya dukung terhadap penyediaan benih berkualitas, maka Balai Perbenihan Tanamn Hutan (BPTH) Sumatera dan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang bekerjasama membangun plot uji keturunan (progeny test) mahoni yang nantinya dapat dikembangkan sebagai Kebun Benih Semai Konversi Uji Keturunan (KBSUK). Uji keturunan half-sib mahoni dibangun di Kemampo, Banyuasin-Sumsel, menggunakan blok tak lengkap (IBD) dengan baris kolom, 80 famili, 4 pohon/ plot (treeplot), 9 replikasi, jarak tanam 4x3 meter. Variabel yang diukur pada tanaman mahoni umur 1 tahun adalah pertumbuhan tinggi dan diameter. Terdapat variasi genetik antar famili yang berbeda sangat nyata pada pertumbuhan tinggi dan diameter. Nilai heritabilitas individu sebesar 0,22 dan 0,19; sedangkan heritabilitas famili sebesar 0,47 dan 0,42. berturut-turut untuk tinggi dan diameter. Korelasi genetik antara tinggi dan diameter tanaman relatif tinggi (0,79). Kata kunci: S. macrophylla, uji keturunan, variasi genetik, heritabilitas, korelasi genetik

I. PENDAHULUAN Tanaman mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla King) sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini dimanfaatkan sebagai tanaman penghasil kayu pertukangan dan termasuk kayu mewah (fancy wood). Umumnya mahoni banyak di tanam sebagai tanaman peneduh jalan, tanaman tepi, tanaman rehabilitasi dan tanaman pencampur pada kebun-kebun masyarakat. Awalnya, tanaman mahoni digunakan sebagai tanaman rehabilitasi karena memiliki sifat pertumbuhan yang tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang spesifik, nilai persentase tumbuh tanaman tinggi, mempunyai rentang geografis tempat tumbuh yang lebar. Dalam perkembangannya, tanaman mahoni dikembangkan sebagai tanaman budidaya untuk penghasil kayu pertukangan yang mempunyai nilai ekonomis dan tidak kalah bersaing dengan jenis-jenis tanaman lainnya. Keberhasilan budidaya suatu jenis tanaman sangat ditentukan oleh beberapa hal yaitu penggunaan benih unggul, aplikasi teknik silvikultur dan perlindungan tanaman. Ketiga faktor tersebut menjadi satu kesatuan pengelolaan yang diaplikasikan dalam bentuk teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Penggunaan benih unggul merupakan persyaratan utama dalam SILIN. Benih dapat dikatakan unggul bilamana mempunyai kualitas dan kuantitas genetik yang unggul yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan. Sampai dengan saat ini sumber benih jenis tanaman mahoni yang ada di Indonesia baru terbatas pada kelas Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) dan Tegakan Benih Terseleksi (TBTs). Sampai dengan tahun 2015 tercatat sebanyak 73 sumber benih di Indonesia, dimana sebanyak 70 sumber benih berada pada level TBT dan 3 sumber benih berada pada level TBTs (SIM-RHL, 2015). Sumber benih dalam kelas TBT dan TBTs merupakan sumber benih yang dibentuk berdasarkan penunjukan dari tegakan yang sudah ada dengan beberapa kriteria/ indikator 39


sebagai dasar penunjukan (Permenhut No. 72/Menhut-II/2009 tentang perubahan atas Permenhut P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan), yaitu: 1) Tegakan yang berasal dari hutan alam atau hutan tanaman yang tidak direncanakan dari awal untuk dijadikan sebagai sumber benih, 2) Asal-usul benihnya tidak diketahui, 3) Terdapat minimal 25 pohon induk, 4) Kualitas tegakan rata-rata (TBT) dan untuk TBTs mempunyai kualitas tegakan rata-rata lebih baik bila dibandingkan dengan tegakan umumnya yang terdapat di sekitarnya, 5) Tidak memerlukan jalur isolasi, 6) Tidak memerlukan penjarangan. Kriteria dan indikator penunjukan dari sumber benih kelas TBT tersebut mengindikasikan bahwasanya sumber benih kelas TBT dan TBTs ditunjuk berdasarkan kriteria dasar adanya tegakan yang bisa menghasikan benih dan belum mempertimbangkan aspek kualitas genetik dari benih yang dihasilkan. Benih unggul baik dari segi kualitas maupun kuantitas genetik dapat dibangun melalui program pemuliaan pohon dengan membangun tanaman uji keturunan (progeny test) yang nantinya dapat dikonversi menjadi Kebun Benih Semai Konversi Uji Keturunan (KBSUK). Pembangunan uji keturunan mahoni daun lebar telah dimulai pada tahun 2014 oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Sumatera dan Balai Penelitian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang dan plot tanaman uji keturunan telah dipapankan pada Desember 2014. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui variasi dan parameter genetik tanaman uji keturunan mahoni umur 1 tahun. Data dan informasi yang didapatkan akan sangat membantu dalam pengelolaan sumber benih unggul di Indonesia. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Penelitian Tanaman uji keturunan mahoni dibangun menggunakan materi dari pohon induk hasil seleksi massa yang dilaksanakan di beberapa tegakan mahoni yang ada di Pulau Sumatera (Sumsel, Lampung, Bengkulu) dan Pulau Jawa (Bogor). Sebagian besar tegakan yang ada merupakan tanaman yang telah berusia lanjut. Pohon induk dipilih berdasarkan kriteria utama pertumbuhan tanaman yang superior (diameter relatif besar dan tinggi), batang relatif lurus, berbatang tunggal, tajuk ringan, serta tidak terserang hama dan penyakit. Uji keturunan mahoni dibangun di Kemampo, Desa Kayuara Kuning, Kabupaten Banyuasin-Sumatera Selatan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan blok tak lengkap (IBD) dengan baris kolom, 80 famili, 4 pohon/ plot (treeplot), 9 replikasi dan menggunakan jarak tanam 4x3 meter. Lokasi dari masing-masing pengambilan pohon induk dan jumlah famili yang dilibatkan dalam pembangunan uji keturunan ini terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Materi genetik uji keturunan mahoni daun lebar (S. macrophylla) di Kemampo Provinsi

Kab/ Kota

Asal Benih

Sumatera Selatan

Penukal Abab Lematang Ilir (Pali)

SB.Benakat Mahoni (TBT) No.SB. 16.03.004 Sertifikat No.110/BPTH.Sum-2/SSB/2009 Tgl. 28 Desember 2009 SB.Mahoni Katibung (TBT) No.SB. 18.03.007 Sertifikat No.029/BPTH.Sum-2/SSB/2012 Tgl. 20 Agustus 2012 SB.Mahoni Bangun Rejo (TBT) No.SB.18.03.011 Sertifikat No.040/BPTH.Sum-2/SSB/2013 Tgl. 30 Desember 2013

Lampung

Lampung Selatan

40

Jumlah famili 34

5

13

Aspek Silvikultur Tabel 1 (Lanjutan) Provinsi

Kab/ Kota

Bengkulu

Kota Bengkulu

Jawa Barat

Kab. Bogor

Asal Benih SB.Mahoni Taman Remaja (TBT) No.SB. 17.71.003 Sertifikat No.143/BPTH.Sum2/SSB/2011 Tgl. 25 Juli 2011 SB. Mahoni Parung Panjang (KBS) BPTPTH Bogor Jumlah Total

Jumlah famili 5

23 80

B. Metode Penelitian Pengamatan dan pengukuran pertumbuhan tanaman dilakukan pada bulan Desember 2015 (umur 1 tahun). Variabel yang diamati adalah pertumbuhan tanaman yaitu tinggi dan diameter tanaman. Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai dengan titik tumbuh apikal (pucuk), sedangkan diameter batang tanaman diukur pada ketinggian 5cm dari permukaan tanah. Model matematis yang digunakan adalah: Yijlm = µ + Rm + Bj(m) + Kl(m) + Fi + RFmi+Eijlm Keterangan : Yijlm = pengamatan pada replikasi ke-m, famili ke-i, baris ke-j dan kolom ke-l µ = rerata umum Rm = replikasi ke-m Bj(m) = efek baris ke-j dalam replikasi ke-m Kl(m) = efek kolom ke-l dalam replikasi ke-m Fi = efek famili ke-i RFmi = efek interaksi pada replikasi ke-m dan famili ke-i Eijlm = random galat pada pengamatan ke-ijlm Taksiran heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) dihitung dengan rumus (Zobel dan Talbert, 1984): σ2f σ2f 2 h2f = h i = σ2f + (σ2e/ nr) + (σ2fr/r) σ2f + σ2 e + σ2fr Keterangan : h2f : heritabilitas famili σ2e : komponen varians galat 2 hi : heritabilitas individu r : rerata harmonik jumlah replikasi 2 σf : komponen varians famili n : rerata harmonik jumlah pohon tiap plot σ2fr : komponen varians interaksi famili replikasi Korelasi genetik antar sifat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Zobel dan Talbert, 1984): σf rG = √ σ2f(x) . σ2 f(y)) Besarnya komponen kovarians untuk dua sifat (x dan y) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut : σf = , σ2f (x+y) – σ2f (x) – σ2f(y)) Keterangan : rG : korelasi genetik σ2f (y) : komponen varians untuk sifat y σf : komponen kovarians untuk sifat x σ2f (x+y): komponen varians untuk sifat x dan y dan y 41


σ2f (x) : komponen varians untuk sifat x Korelasi fenotipik dapat dihitung dengan cara biasa dari 2 variabel terukur pada pohon yang sama, yaitu kovarians dibagi dengan perkalian standar deviasi fenotipik (Hardiyanto, 2008). σp rp = σp(x) . σ p(y) Keterangan : rp : korelasi fenotipik σp : komponen kovarians fenotipik untuk sifat x dan y σp : komponen kovarians fenotipik untuk sifat x σp : komponen kovarians untuk sifat y σp : dapat dipisahka e jadi σ Aditif ; σ No Aditif da σE III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman Tanaman uji keturunan mahoni (S. macrophylla) di Kemampo pada umur 1 tahun mempunyai pertumbuhan tinggi sebesar 0,90+0,34 m dan pertumbuhan diameter batang sebesar 1,33+0,44 cm. Pertumbuhan tanaman mahoni relatif baik, batang tumbuh lurus, namun beberapa tanaman sudah mengalami serangan hama dengan intensitas serangan yang masih rendah (1%). Hama yang menyerang tanaman mahoni adalah hama penggerek pucuk Hypsiphylla robusta (Lamb, 1966). Tanaman yang terserang oleh H. Robusta mengalami layu dan matinya bagian pucuk tanaman. Kotoran dan serbuk dari serangga penggerek berwarna merah kecoklatan dan mengumpul pada ketiak daun. Pada fase berikutnya muncul tunas sebagai cabang baru tepat di bawah bekas lubang gerek. Serangan hama penggerek ini secara faktual menyebabkan kematian pucuk tanaman, tetapi tidak sampai menyebabkan kematian tanaman (Whitmore, 1976; Newton et al., 1993). B. Variasi Genetik Pertumbuhan Tanaman Besaran variasi genetik dapat diketahui melalui analisis varians dan taksiran komponen varians dari pertumbuhan tanaman mahoni. Analisis varians (Tabel 2) menunjukkan bahwa sumber variasi replikasi, baris (rep.) dan kolom (rep.) pada semua variabel yang diamati berbeda sangat nyata. Hasil analisis ini membuktikan bahwasanya lahan tempat penanaman mempunyai kondisi yang tidak seragam, hal ini terbukti dengan antar baris dan kolom dalam replikasi adalah berbeda. Sehingga, pemilihan rancangan penanaman uji keturunan menggunakan IBD (Incomplete Block Design) row-column design adalah sangat tepat karena dianggap mampu untuk mengestimasi variasi bentuk lahan dan tidak menyebabkan varians galat (error) menjadi besar. Tabel 2. Analisis varians pertumbuhan uji keturunan mahoni (S. macrophylla) umur 1 tahun di Kemampo Sumber Variasi Replikasi Baris(rep.) Kolom(rep.) Famili

Parameter pertumbuhan tanaman Tinggi Diameter 2,14** 0,54** 0,33** 0,26**

42

4,05** 0,78** 0,64** 0,36**

Aspek Silvikultur Tabel 2 (lanjutan) Sumber Variasi

Parameter pertumbuhan tanaman Tinggi Diameter Rep.*Fam. 0,15** Galat 0,07 Keterangan: ** Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 1 %

0,23** 0,11**

Sumber variasi interaksi antara replikasi dan famili (rep*fam) juga berbeda sangat nyata pada semua variabel yang diamati. Data dan informasi ini mengindikasikan bahwasanya pertumbuhan (tinggi dan diameter) tanaman mahoni sampai dengan umur 1 tahun dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik (Kramer dan Kozlowski, 1979). Efek dari adanya interkasi antara genetik dan lingkungan ini menyebabkan famili-famili yang berada pada rangking tertinggi pada suatu replikasi bisa jadi menduduki rangking yang berubah pada replikasi lainnya. Sumber variasi yang sangat penting untuk dicermati adalah sumber variasi famili yang juga berbeda sangat nyata. Adanya variasi genetik ini memberikan kesempatan untuk dapat meningkatkan nilai genetik melalui seleksi (White et al., 2007). Selain itu, adanya variasi genetik memberikan bukti bahwa tanaman mahoni (S. macrophylla) bukan merupakan tanaman asli Indonesia (Krisnawati et al., 2011), namun bisa dipastikan mempunyai variasi genetik yang cukup lebar. Variasi genetik yang lebar artinya masih terbuka banyak kesempatan untuk kegiatan program pemuliaan pohon dan pembangunan sumber benih mahoni dengan kualitas genetik yang baik (KBS). Taksiran komponen varians famili (σ2f) (Tabel 3) pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman mahoni umur 1 tahun mempunyai nilai yang relatif kecil yaitu berturut-turut sebesar 4,57% dan 3,69%. Persentase taksiran komponen varians yang mempunyai nilai besar adalah pada interaksi replikasi dan famili (18,23% dan 17,55%), yang sekaligus memberikan nilai besaran faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tabel 3. Taksiran komponen varians (tkv) pertumbuhan uji keturunan mahoni (S. macrophylla) umur 1 tahun di Kemampo Sumber variasi Replikasi Baris(rep.) Kolom(rep.) Famili Rep.*Fam. Galat

Tinggi Tkv 0,005 0,006 0,008 0,005 0,021 0,071

Diameter (%) 4,48 5,45 6,89 4,57 18,23 60,38

Tkv 0,011 0,009 0,019 0,007 0,033 0,111

(%) 5,66 4,68 10,16 3,69 17,55 58,25

C. Taksiran Nilai Heritabilitas Heritabilitas merupakan parameter untuk mengetahui kuat dan lemahnya sifat-sifat yang diwariskan pohon induk kepada keturunannya. Taksiran nilai heritabilitas merupakan kunci penting dalam estimasi perolehan genetik yang dapat dihasilkan oleh program seleksi dan merupakan petunjuk untuk perolehan genetik untuk sifat tertentu (Wright, 1976; Zobel dan Talbert, 1984; Fins et al., 1991). Heritabilitas individu pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji keturunan mahoni di Kemampo (Tabel 4) mempunyai nilai yang termasuk dalam kategori sedang (Cotteril dan Dean, 1990). Heritabilitas famili pertumbuhan tinggi dan diameter juga mempunyai nilai yang termasuk dalam kategori sedang (Hardiyanto dalam Leksono, 1994). Nilai heritabilitas yang berada pada level sedang tersebut mengindikasikan bahwa terdapat kendali faktor genetik pada pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman mahoni, dimana

43


perolehan genetik secara signifikan akan diperoleh cukup besar dan efektif bilamana dilakukan seleksi secara individual (seleksi massa) (Wright, 1976). Tabel 4. Taksiran nilai heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) pertumbuhan uji keturunan mahoni (S. macrophylla) umur 1 tahun di Kemampo Variabel Tinggi Diameter

Heritabilitas 2

Individu (h i) 0,22 0,19

Famili (h2f) 0,47 0,42

Taksiran nilai heritabilitas uji keturunan mahoni di Kemampo mempunyai nilai yang sangat besar bilamana dibandingkan dengan taksiran nilai heritabilitas pertanaman uji keturunan mahoni lainnya. Muslimin (2003) mengemukakan bahwa pertanaman uji keturunan mahoni di Jember dan Purwakarta (Perhutani) pada umur 3 tahun, mempunyai variasi genetik yang sangat kecil sekali. Kecilnya nilai variasi genetik mengakibatkan nilai heritabilitas mempunyai nilai yang sangat kecil dan bahkan mendekati nol (0). Rendahnya nilai variasi genetik pada pertanaman uji keturunan di Jember dan Purwakarta (Perhutani) lebih disebabkan oleh adanya teknis pengambilan sampel pohon induk yang terbatas (Muslimin, 2003). Nilai heritabilitas pertanaman uji keturunan mahoni di Kemampo lebih besar dibandingkan dengan pertanaman uji keturunan di Jember dan Purwakarta (Perhutani). Hal ini mengindikasikan dan sekaligus membuktikan bahwa tanaman mahoni yang ada di Indonesia bukan asli Indonesia, namun demikian masih layak dikembangkan untuk pembangunan Kebun Benih Semai melalui pertanaman uji keturunan dengan syarat teknik dan metode pemilihan pohon induk di lapangan harus baik dan benar. D. Korelasi Genetik Koefisien korelasi genetik dan korelasi fenotipik (Tabel 5.) mempunyai nilai yang berbeda, hal ini mengindikasikan bahwa korelasi fenotipik yang ada tidak sepenuhnya merupakan ekspresi dari faktor genetik, dimana faktor lingkungan dan interaksi antara faktor lingkungan dan genetik lebih banyak pengaruhnya terhadap penampilan fenotipik tanaman yang sekaligus akan berpengaruh terhadap nilai korelasi fenotipik. Tabel 5. Korelasi genetik (rG) dan fenotipik pertumbuhan uji keturunan mahoni (S. macrophylla) umur 1 tahun di Kemampo Korelasi Tinggi-Diameter Genetik Fenotipik

Koefisien Korelasi 0,79 0,83

Nilai korelasi yang perlu untuk mendapatkan perhatian adalah nilai korelasi genetik. Korelasi genetik antar sifat sangat berguna untuk mengembangkan dua sifat berdasarkan seleksi atas satu sifat secara tidak langsung (Zobel dan Talbert, 1984). Korelasi genetik antara tinggi dan diameter tanaman bernilai positif dan tinggi yaitu sebesar 0,79 (Tabel 5). Korelasi genetik ini mengindikasikan bahwa semakin besar nilai pertumbuhan tinggi tanaman maka nilai pertumbuhan diameter tanaman juga semakin besar. Korelasi genetik yang tinggi sangat bermanfaat bagi kegiatan seleksi. Bilamana dilakukan seleksi dan perbaikan pada salah satu sifat misalnya pada sifat tinggi saja, maka secara otomatis akan memperbaiki sifat diameter tanaman.

44

Aspek Silvikultur

IV. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Terdapat variasi genetik antar famili pada variabel pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji keturunan mahoni umur 1 tahun di Kemampo. 2. Taksiran nilai heritabilitas individu (h 2i) famili (h2f) berada pada level sedang yang memberikan peluang peningkatan genetik melalui seleksi. 3. Korelasi genetik antara tinggi dan diameter cukup besar, maka perbaikan genetik pada salah satu sifat secara otomatis akan memperbaiki sifat yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA Cotteril, P.P. dan C.A. Dean. 1990. Succesful Tree Breeding with index selection. CSIRO Division of Forestry and Forest Product. Australia. Fins, L., S.T. Friedman dan J.V. Brotschol. 1991. Handbook of quantitative forest genetics. Kluwer Academic Publishers. London. Hardiyanto, E. B. 2008. Diktat mata kuliah pemuliaan pohon lanjut. Program Pasca Sarjana. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak dipublikasikan Kramer, P. J. dan T. T. Kozlowsky. 1979. Physiologi of woody plant. Academic Press. New York. Krisnawati, H., M. Kallio, M. Kanninen. 2011. Swietenia macrophylla King: Ecology, silviculture and productivity. CIFOR. Bogor. Lamb, F. B. 1966. Mahogany of Tropical America: Its ecology and management. Forestry Compendium. University of Michigan Press. Ann Arbor. Leksono, B. 1994. Variasi genetik produksi getah Pinus merkusii Jungh et de Vriese. Tesis Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Muslimin, I. 2003. Uji keturunan mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla King) di KPH Jember dan Purwakarta. Skripsi Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Newton, A. C., P. Baker, S. Ramnarine, J. F. Mesen, R. R. B. Leakey. 1993. The mahogany shoot borer:Prospect for Ccntrol. Forestry Compendium. Forest Ecology and Management 57:301-328. Australia. White, T. L., W. T. Adams, D. B. Neale. 2007. Forest genetics. CABI Publishing. UK. Whitmore, J. L. 1976. Studies on the shoot borer Hypsiphyla grandella (Zeller) Lep. Pyralidae. Vol. II. IICA Miscellaneous Publications No. 101. CATIE. Turrialba, Costa Rica. Wright, J. W. 1976. Introduction to forest genetics. Academic Press. New York. Zobel, B.J. dan J. T. Talbert. 1984. Appplied forest tree improvement. John Willey and Sons. Inc. New York.

45


46

Aspek Silvikultur

PELUANG PEMBANGUNAN SUMBER BENIH KEBUN BENIH SEMAI (KBS) MAHONI (Swietenia macrophylla King) Imam Muslimin Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Email: [email protected]

ABSTRAK Mahoni (Swietenia macrophylla King) merupakan salah satu jenis yang umumnya dipakai dalam program rehabilitasi. Dalam perkembangannya, jenis ini berpeluang untuk digunakan sebagai salah satu jenis dalam pembangunan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Keberhasilan pembangunan hutan tanaman dalam pengertian peningkatan produktifitas, salah satunya ditentukan oleh penggunaan benih unggul. Sampai dengan saat ini, belum terdapat benih unggul tanaman mahoni yang mempunyai kualitas genetik teruji. Benih dengan kualitas genetik unggul didapatkan dari hasil serangkaian kegiatan pemuliaan pohon, di mana data dasar dari kegiatan ini adalah adanya basis genetik yang lebar. Walaupun mahoni di Indonesia merupakan tanaman introduksi (bukan alami), namun data dan informasi pendukung menunjukkan bahwa sebenarnya tanaman mahoni di Indonesia mempunyai basis genetik yang cukup lebar. Hal ini sangat menguntungkan dan bisa dijadikan sebagai dasar dalam pembangunan Kebun Benih Semai melalui konversi uji keturunan. Kata kunci: Mahoni, benih unggul, genetik, produktifitas, hutan tanaman

I. PENDAHULUAN Mahoni (Swietenia macrophylla King) merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak digunakan sebagai tanaman rehabilitasi dan penghijauan. Mahoni di sukai karena mempunyai banyak keunggulan yaitu penyebaran yang lebar dan daya adaptabilititas tinggi, mampu tumbuh pada ketinggian sampai 1400m dpl (Lamb, 1966) dan jenis tanah yang beragam (Krisnawati et al., 2011) serta mempunyai nilai ekonomi tinggi sebagai bahan kayu pertukangan (Lemmens, 2005). Dalam perkembangannya, mahoni banyak ditanam oleh masyarakat dan pengelola hutan tanaman (Perhutani) walaupun belum sebagai tanaman pokok. Umumnya mahoni ditanam sebagai tanaman pencampur di lahan masyarakat atau sebagai tanaman tepi pada lahan yang dikelola oleh Perhutani. Budidaya tanaman mahoni dapat ditingkatkan sebagai komoditas tanaman pokok (utama) yang mampu memberikan nilai ekonomi tinggi. Dalam upaya mendukung keberhasilan pelaksanaan kegiatan penanaman atau pembuatan hutan tanaman, maka penggunaan benih berkualitas secara keseluruhan sangat diperlukan untuk menunjang kualitas dan kuantitas hasil (produksi) yang lebih baik. Penggunaan benih berkualitas diyakini oleh berbagai pihak membutuhkan biaya yang besar, namun hal ini akan sebanding dengan peningkatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang lebih baik pula bilamana dibandingkan dengan penggunaan benih yang tidak diketahui kualitasnya. Pengelolaan benih berkualitas dari suatu sumber benih mutlak untuk mendapatkan perhatian khusus. Sumber benih berkualitas secara genetik didapatkan melalui serangkaian kegiatan pemuliaan pohon. Produk akhir dari kegiatan ini adalah terbentuknya sumber benih minimal pada level/ kelas Kebun Benih Semai (KBS). Beberapa jenis tanaman kehutanan telah menggunakan benih berkualitas melalui program pemuliaan pohon seperti pada jenis Acacia mangium (mangium), Eucalyptus pellita, Tectona grandis (jati) dan sebagainya. Khusus untuk jenis Mahoni, masih sangat sedikit sekali data dan informasi yang berhubungan dengan pembangunan sumber benih Mahoni pada level KBS. Oleh karena itu, makalah ini di susun dan 47


berhubungan dengan peluang bilamana dilakukannya pembangunan sumber benih jenis mahoni khususnya pada level Kebun Benih Semai (KBS) yang mempunyai kualitas dan kuantitas genetik unggul sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan benih berkulitas dalam pembangunan hutan tanaman mahoni. II. MAHONI DAUN LEBAR (Swietenia macrophylla King) Mahoni daun lebar secara alamiah ditemukan di hutan tropis basah di Amerika Tengah dan Selatan, mempunyai penyebaran yang lebar mulai dari Mexico sampai Bolivia dan Brazil bagian tengah (Lamb, 1966). Dalam perkembangannya, mahoni mengalami persebaran ke Asia Selatan, Tenggara dan Pasifik khususnya wilayah Indonesia dan Philipina. Mayhew dan Newton (1998) mengemukakan bahwa tanaman mahoni pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1870 menggunakan benih dari India. Tanaman mahoni mulai dibudidayakan secara umum oleh masyarakat Indonesia khususnya di Jawa antara tahun 1897 dan 1902. Di Indonesia, mahoni banyak dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dengan ketinggian 1.000 m dpl. Tanaman ini tumbuh baik pada daerah beriklim kering maupun basah, curah hujan A – D (klasifikasi Schmidt dan Ferguson), curah hujan 1600-4000 mm/tahun (Martawijaya et al., 1989). Mahoni merupakan pohon yang tumbuh besar, batang silindris, tajuk berbentuk payung, tajuk muda sempit dan saat tua melebar, tebal dan lebat serta mempunyai banyak percabangan, pada waktu muda mempunyai akar tunggang dalam dan cepat tumbuh dengan sedikit akar cabang (Lamprecht, 1989 dalam Mayhew dan Newton, 1998). Buah berbentuk kapsul dan berkayu, terdapat sekitar 55 - 70 biji, jumlah biji tak bersayap dalam setiap kg adalah 2.000 - 2.500 biji (Soerianegara dan Lemmens, 1994). Biji mahoni tidak memerlukan perlakuan khusus untuk berkecambah, benih normal mempunyai daya kecambah rata-rata 80 - 90% (Tompset, 1994 dalam Mayhew dan Newton, 1998). Kayu mahoni memiliki kelas kuat II dan kelas awet II - III, sifat kayu mengerut sedikit sekali, mempunyai warna yang indah dan pengerjaannya yang mudah untuk bahan konstruksi kayu dan interior seperti venir, kayu lapis, mebel, perkapalan, percetakan, patung, ukiran, barang bubutan (Martawijaya et al., 1989). Selain itu, tanaman mahoni umumnya digunakan sebagai tanaman reboisasi dan ditanam pada daerah konservasi sebagai bentuk utama perlindungan terhadap tanah dan air (Anonim, 1977 dalam Prabowo, 1994). III. SUMBER BENIH MAHONI Sumber benih merupakan tegakan hutan baik alam maupun tanaman yang ditunjuk ataupun dengan sengaja dibangun untuk dikelola guna memproduksi benih bermutu (Badan Standardisasi Nasional, 2005). Benih yang dihasilkan dari suatu sumber benih mempunyai kualitas dan kuantitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan areal/lahan biasa. Pembangunan dan penggunaan benih berkualitas membutuhkan biaya yang besar, namun hal ini akan sebanding dengan peningkatan produktifitas tanaman yang lebih baik bilamana dibandingkan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dihasilkan dari benih yang tidak diketahui asal usulnya (benih asalan). Kualitas dan kuantitas suatu sumber benih yang baik bisa dipastikan akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang lebih baik pula, dalam pengertian mampu untuk meningkatkan produktifitas. Berdasarkan nilai kualitas genetiknya, sumber benih tanaman kehutanan yang ada di Indonesia dibedakan menjadi 7 kelas yaitu: 1) Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), 2) Tegakan Benih Terseleksi (TBTs), 3) Areal Produksi Benih 48

Aspek Silvikultur

(APB), 4) Tegakan Benih Provenan (TBP), 5) Kebun Benih Semai (KBS), 6) Kebun Benih Klon (KBK), 7). Kebun Pangkas (KP) (Permenhut No. 71/Menhut-II/2009 tentang perubahan atas Permenhut P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan). Sumber benih pada kelas 1 - 2 (TBT dan TBTs) dibentuk berdasarkan penunjukan dari tegakan yang sudah ada, sedangkan sumber benih pada kelas 3 (APB)s dibentuk berdasarkan penunjukan dan atau pembangunan. Ketiga kelas sumber benih tersebut mempunyai kualitas ge etik e ih a g elu teruji, kare a e a g tidak ada pe gelolaa peningkatan produktifitas ge etik elalui tahapan uji dalam proses penunjukan/pembangunannya. Sumber benih yang mempunyai kualitas genetik unggul adalah sumber benih mulai dari kelas no. 4 sampai dengan kelas no. 7 (TBP, KBS, KBK dan KP). Semakin tinggi tingkatan/kelas sumber benihnya, maka kualitas genetiknya juga semakin bagus. Sumber benih jenis mahoni di Indonesia sudah banyak sekali, namun umumnya masih berada pada level kelas sumber benih yang rendah. Data dan informasi sumber benih mahoni (Lampiran 1) menyebutkan bahwa total sumber benih mahoni di seluruh Indonesia yang telah disertifikasi oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) adalah sebanyak 70 sumber benih, dimana 67 sumber benih berada pada kelas Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) dan 3 sumber benih lainnya berada pada kelas Tegakan Benih Terseleksi (TBTs). Kedua kelas sumber benih tersebut berada pada kelas yang terendah dan sumber benihnya dibentuk berdasarkan penunjukan dengan beberapa kriteria/indikator yaitu: 1) Tegakan bisa berasal dari hutan alam atau tanaman dari awal tidak direncanakan sebagai sumber benih, 2) Tidak diketahui asal-usul benihnya, 3) Minimal terdapat 25 pohon induk, 4) Tegakan mempunyai kualitas rata-rata, 5) Keberadaan jalur isolasi tidak begitu diperlukan, 6) Penjarangan juga tidak diperlukan. Beberapa syarat dan indikator tersebut menunjukkan bahwasanya sumber benih kelas TBT dan TBTs umumnya di tunjuk berdasarkan kriteria dasar adanya tegakan yang bisa menghasilkan benih (aspek kuantitas) dan belum mempertimbangkan aspek kualitas genetik dari benih yang dihasilkannya. Berdasarkan kondisi ini dapat dipastikan bahwasanya benih mahoni yang ada di Indonesia dan secara otomatis benih tersebut umumnya digunakan sebagai bahan pertanaman massal berasal dari benih dengan kualitas genetik yang belum bisa diketahui produktifitasnya, karena memang kedua kelas sumber benih tersebut tidak ada pengelolaan peningkatan kualitas genetik. Upaya pembangunan sumber benih mahoni pada kelas yang lebih tinggi dari sumber benih yang telah ada, pernah dilakukan oleh Perum Perhutani. Sumber benih yang dibangun adalah sumber benih KBSUK (Kebun Benih Semai Konversi Uji Keturunan) di KPH Jember dan Purwakarta pada tahun 1999. Sumber benih ini awalnya merupakan tanaman uji keturunan (progeny test) yang dalam perkembangannya bisa di konversi menjadi Kebun Benih Semai dengan terlebih dahulu melalui serangkaian tahapan uji dan penjarangan genetik (rouging). Prinsip dasar dari KBSUK adalah pemanfaatan variasi genetik yang terdapat pada tanaman uji serta seleksi yang dilakukan untuk dapat meningkatkan nilai genetik. Semakin lebar variasi genetik yang ada pada suatu sifat, maka kesempatan peningkatan genetik melalui kegiatan seleksi juga semakin besar. Pembangunan uji keturunan (progeny test) tanaman mahoni oleh Perum Perhutani di Jember dan Purwakarta merupakan langkah kongkrit dari Perum Perhutani dalam upaya untuk peningkatan genetik suatu sifat tanaman mahoni yang berimbas pada peningkatan produktifitas tanaman. Namun, upaya pembangunan KBSUK melalui pembangunan uji keturunan ini mempunyai hasil yang kurang maksimal. Muslimin (2003) melakukan evaluasi tanaman uji keturunan (progeny test) mahoni umur 3 tahun yang telah di bangun oleh Perum Perhutani di Jember dan Purwakarta. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa tidak terdapat variasi 49


genetik antar family pada variabel pertumbuhan (tinggi dan diameter) pada semua lokasi tanaman uji keturunan. Tidak adanya variasi genetik dimungkinkan disebabkan oleh kesalahan aspek teknis dalam pengambilan pohon induk, dimana pohon induk dipilih pada areal yang terlalu sempit dan merupakan areal APB (Area Produksi Benih) yang memang secara visual memiliki penampilan yang lebih baik bila dibandingkan dengan tegakan mahoni pada umumnya. IV. PELUANG PEMBANGUNAN KBS (KEBUN BENIH SEMAI) MAHONI Pengadaan benih bermutu untuk pembangunan hutan tanaman merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan. Pembangunan hutan tanaman yang lebih diidentikkan sebagai hutan tanaman industri dan hutan rakyat telah memasuki fase-fase yang sangat menentukan dimana keberhasilan dan kegagalan dalam implementasinya dilapangan merupakan pengalaman dan pengetahuan yang sangat berharga. Pemenuhan benih bermutu untuk mendukung terwujudnya hutan tanaman yang berproduktivitas tinggi telah lama dibicarakan, tetapi akses kearah itu tidaklah mudah, karena memerlukan biaya yang tinggi untuk membelinya dan investasi yang cukup besar untuk membangun sumber benihnya (Nurhasybi et al., 2005). Beberapa pustaka menyebutkan bahwasanya terdapat peningkatan produktifitas yang signifikan dari produksi tanaman yang menggunakan benih dari sumber benih hasil kegiatan pemuliaan pohon. Penggunaan benih dari KBS Eucalyptus grandis generasi ke-empat di Zimbabwe mampu meningkatkan produktifitas volume sebesar 31% pada umur 5 tahun (Gapare, 2000). Penggunaan benih dari KBS generasi pertama jenis Acacia mangium di Kalimantan Selatan dan Jawa Tengah mampu meningkatkan produktifitas volume sebesar 59% dan 81% pada umur 4 tahun (Nirsatmanto et al., 2014). Penggunaan benih dari KBS konversi uji keturunan (progeny) Pinus radiata di Australia Selatan dengan menyisakan 10% famili terbaik mempunyai peningkatan produktifitas keteguhan kayu sebesar 21% (Matheson et al., 2006). Penggunaan benih KBS generasi pertama tanaman Douglas-fir (Pseudotsuga menziesii) mempunyai peningkatan produktifitas volume sebesar 17,2% (Ye et al., 2009). Penggunaan benih dari KBS konversi uji keturunan jati (Tectona grandhis) di Costa rica dengan menyisakan 50% famili terbaik, mempunyai peningkatan produktifitas volume kayu sebesar 11,5% (Olman dan Yorleny, 2004). Pembangunan Kebun Benih Semai untuk jenis tanaman mahoni di Indonesia menjadi sangat penting dan segera untuk dilakukan. Beberapa nilai penting segera dilakukannya pembangunan sumber benih KBS mahoni adalah sebagai berikut: 1. Ta a a Maho i erupaka je is ta a a pri ado a u tuk reha ilitasi laha kritis. Dalam perkembangannya, tanaman mahoni bisa dikembangkan sebagai hutan tanaman produksi kayu yang mempunyai nilai jual tinggi. 2. Mempunyai daya adaptabilitas dan rentang geografis tinggi dengan tingkat persentase hidup yang tinggi. 3. Dari sisi teknologi perbanyakan, jenis ini mempunyai masa berbuah yang teratur, produksi benih melimpah, teknik perkecambahan mudah. 4. Sampai dengan saat ini belum terdapat sumber benih mahoni di Indonesia yang mempunyai kualitas genetik unggul (kelas KBS) berdasarkan hasil dari pertanaman uji. Selain beberapa hal tersebut diatas, pentingnya pembangunan sumber benih mahoni di Indonesia diperkuat oleh SK Menhut No. SK.707/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Jenis Tanaman yang Benihnya Wajib Diambil dari Sumber Benih Bersertifikat. Surat Keputusan ini merupakan salah satu tindak lanjut dari Permenhut No. 71/Menhut-II/2009 tentang perubahan 50

Aspek Silvikultur

atas Permenhut P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan, dimana Menteri menetapkan jenis tanaman tertentu yang benihnya harus diambil dari sumber benih bersertifikat (Pasal 20 ayat 2). Dalam surat keputusan tersebut terdapat 5 jenis tanaman yang benihnya wajib diambil dari sumber benih bersertifikat yaitu Jati (Tectona grandhis), Jabon (Antocephalus cadamba), Gmelina (Gmelina arborea), Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Mahoni (Swietenia macrophylla). Penetapan 5 jenis prioritas ini didasarkan pada pertimbangan ketersediaan sumber benih bersertifikat dan tingkat kebutuhan permintaan yang tinggi dari masyarakat mengenai jenis tersebut. Pembangunan KBS mempunyai prasyarat utama adanya variasi genetik yang lebar sebagai basis untuk seleksi dalam rangka peningkatan genetik. Berhubungan dengan basis genetik tanaman mahoni, sampai dengan sekarang belum terdapat data dan informasi berhubungan dengan variasi genetik tanaman mahoni yang ada di Indonesia. Mahoni secara alami tumbuh di Belize, Bolivia, Brazil, Colombia, Costa Rica, Ecuador, El Salvador, Guatemala, Honduras, Mexico, Nicaragua, Panama, Peru dan Venezuela. Dalam perkembangannya, pada abad ke-19 tanaman mahoni dikembangkan skala besar di Asia Selatan dan Tenggara serta di Regional Pasifik. Penanaman mahoni terbesar terdapat di Indonesia (116.282 hektar) dan Philiphina (25.000 hektar) (Mayhew dan Newton, 1998). Noltee (1926) dan Coster (1938) dalam Mayhew dan Newton (1998) mengemukakan bahwa mahoni yang ada di Indonesia bukanlah asli tanaman Indonesia, namun berasal dari India yang berasal dari sumber benih alami mahoni dari Guatemala. Data dan informasi tersebut memberikan gambaran, bahwasanya penanaman mahoni di Indonesia tidak secara langsung berasal dari sumber benih alaminya, namun dari tanaman di India yang benihnya berasal dari mahoni alami (provenansi) Guatemala. Meskipun tidak didatangkan secara langsung dari sumber alaminya, namun penanaman mahoni di Indonesia dalam skala besar dimungkinkan berasal dari individu penghasil benih yang lebih banyak. Hal ini memberikan peluang adanya variasi genetik antar individu yang lebih besar bilamana dibandingkan dengan penggunaan benih yang berasal dari hanya beberapa individu tanaman saja. Pembangunan tanaman uji keturunan mahoni di wilayah Asia tercatat dibangun di Philipina. Tujuan pembangunan tanaman uji ini adalah untuk mengetahui variasi genetik antar family yang diuji, parameter genetik dan peluang untuk dikembangkan sebagai sumber benih KBS dengan serangkaian penjarangan genetik. Abarquez et al. (2015), melakukan evaluasi tanaman uji keturunan mahoni umur 4 tahun yang terdapat di Philipina, dimana materi genetik yang digunakan berasal dari tanaman mahoni yang ada di Philipina tanpa ada tambahan (infusi) materi genetik mahoni dari populasi alaminya. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terdapat variasi genetik antar famili, taksiran nilai heritabilitas individu berada pada level yang tinggi yaitu sebesar 0,29 untuk diameter dan 0,37 - 0,43 untuk tinggi tanaman, dengan taksiran nilai peningkatan genetik sebesar 2,6 - 4,3% untuk diameter dan 3,4 - 8,3% untuk tinggi. Hasil ini mengindikasikan bahwasanya meskipun tanaman mahoni yang terdapat di Philipina bukan merupakan tanaman asli melainkan introduksi, namun penanaman awal dalam skala besar mampu memberikan basis genetik yang lebar. Sehingga peluang pembangunan KBS melalui pembangunan uji keturunan menjadi lebih besar dan diharapkan melalui kegiatan seleksi bisa memberikan peluang peningkatan genetik (peningkatan produktifitas) yang lebih besar pula. Melihat keberhasilan pembangunan uji keturunan yang telah dilaksanakan di negara Philipina, tidak menutup kemungkinan pembangunan uji keturunan di Indonesia juga mempunyai hasil yang menggembirakan, mengingat introduksi tanaman mahoni di Indonesia pada tahap awal juga mempunyai luasan yang sangat besar dan bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan penanaman introduksi tanaman mahoni yang terdapat di Philipina. 51


Pembangunan KBS melalui konversi tanaman uji keturunan di Indonesia salah satunya telah dimulai oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Sumatera dan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang. Tanaman uji keturunan di bangun pada tahun 2014 di Kemampo-Banyuasin (Palembang-Sumsel) menggunakan materi genetik tanaman mahoni yang terdapat di wilayah Sumatera (Muara Enim, Bengkulu, Lampung) dan beberapa menggunakan materi genetik dari Jawa (Parung Panjang-Bogor). Analisa tanaman uji keturunan tahap awal dilakukan pada umur 1 tahun. Hasil analisis awal ini menunjukkan bahwa terdapat variasi genetik antar family yang diuji (BPTH, 2015). Tanaman uji mempunyai taksiran nilai heritabilitas individu sebesar 0,22 dan 0,19; sedangkan heritabilitas famili sebesar 0,47 dan 0,42 berturut-turut untuk variabel tinggi dan diameter. Hasil ini mengindikasikan bahwa tanaman uji keturunan mahoni yang dikembangkan di Indonesia, walaupun berasal dari materi genetik yang terbatas, namun memberikan hasil yang menggembirakan dengan nilai genetik yang tinggi. Selain itu, tanaman uji keturunan ini mempunyai pola nilai parameter genetik yang hampir sama dengan tanaman uji keturunan yang diselenggarakan di Philipina, dimana kedua tempat tersebut (Philipina dan Indonesia) bukan merupakan wilayah persebaran alami dari tanaman mahoni, melainkan tanaman yang diintroduksi dalam skala besar pada waktu yang cukup lama. Data dan informasi evaluasi tanaman uji keturunan (progeny test) umur 1 tahun yang terdapat di KHDTK Kemampo-Banyuasin walaupun menggunakan materi yang terbatas (umumnya regional Sumatera dan beberapa dari Jawa) memberikan gambaran bahwasanya tanaman mahoni yang terdapat di Indonesia masih mempunyai variasi genetik yang cukup lebar. Peluang pembangunan Kebun Benih Semai melalui pembangunan uji keturunan masih sangat terbuka lebar, mengingat umumnya jenis tanaman ini mempunyai tingkat persebaran yang sangat lebar di Indonesia. Pembangunan uji keturunan baru dengan melibatkan jumlah pohon induk yang lebih banyak dan distribusi pohon induk yang lebih lebar dimungkinkan akan mempunyai nilai parameter genetik yang lebih baik dan secara langsung akan berpengaruh pada nilai peningkatan genetik yang baik pula. V. PENUTUP Keberhasilan pembangunan hutan tanaman dalam hubungannya dengan peningkatan produktifitas (produktifitas tinggi), salah satunya ditentukan oleh kualitas genetik benih yang digunakan. Tanaman mahoni yang terdapat di Indonesia merupakan tanaman introduksi dan bukan tanaman asli Indonesia. Namun, introduksi dalam skala besar mampu menyediakan basis genetik yang lebar sebagai dasar dalam pembangunan KBS. Pembangunan KBS melalui konversi tanaman uji keturunan dengan melibatkan pohon induk tanaman mahoni yang tersebar di seluruh Indonesia diyakini akan mampu menghasilkan benih mahoni dengan kualitas genetik yang bisa dipertanggung jawabkan. Upaya ini harus segera dilakukan sebagai bagian dari strategi peningkatan produktifitas tanaman untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu pertukangan melalui penggunaan benih unggul. DAFTAR PUSTAKA Abarquez, A., D. Bush, J. Ata, E. L. Tolentino, D. Gilbero. 2015. Early growth and genetic variation of Mahogany (Swietenia macrophylla) in progeny tests planted in Northern Mindanao, Philippines. Journal of Tropical Forest Science 27(3):314 - 324 (2015). Badan Standardisasi Nasional. 2005. Sumber benih jati (Tectona grandis Linn F.) SNI 01-71352005. 52

Aspek Silvikultur

Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera (BPTH). 2015. Laporan pemeliharaan I Mahoni Tahun 2015. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial. Tidak dipublikasikan. Gapare, W. J. 2000. Predicted and realized genetic gain in Eucalyptus grandis breeding seedling orchard in Zimbabwe. The Southern African Forestry Journal. Vol. 189, Issue 1, 2000, 1115. Krisnawati, H., M. Kallio, M. Kanninen. 2011. Swietenia macrophylla King.:Ecology, silviculture and productivity. CIFOR. Bogor. Lamb, F.B. 1966 Swietenia macrophylla of tropical America: its ecology and management. University of Michigan Press, Ann Arbor, Michigan, USA. Lemmens, R. M. H. J. 2005. Swietenia macrophylla King. Record from Protabase. http://database.prota.org/search.htm. Diakses tanggal 27 Juni 2016. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 1989. Atlas kayu Indonesia. Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Matheson, A. C., W. J. Gapare, J. Ilic, H. X. Wu. 2006. Inheritance and genetic gain in wood stiffness in Radiata Pine assessed acoustically in young standing trees. Silvae genetica 57, 2 (2008), 56 - 64. Mayhew, J.E. dan A.C., Newton. 1998 The silviculture of S. macrophylla. CABI Publishing, New York Muslimin, I. 2003. Uji keturunan mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla King) di KPH Jember dan Purwakarta. Skripsi Mahasiswa S-1. Fakultas Kehutanan Jurusan Budidaya Hutan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Nirsatmanto, A., T. Styaji, R. S. Wahyuningtyas. 2014. Realized genetics gain and seed source site interaction on stand volume productivity of Acacia mangium. Indonesia Journal of Forestry Research Vol. 1, No. 1, April 2014, 21 - 32. Nurhasybi, Dida Syamsuwida, Danu. 2005. Implementasi litbang perbenihan dalam standarisasi mutu benih dan bibit tanaman hutan. Departemen Kehutanan. Prosiding Seminar Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Yogyakarta. Olman, M., B. Yorleny. 2004. Breeding teak in Costa Rica. IUFRO Forest Genetics Meeting Proceedings. North Carolina State University. USA. Pra o o, A. . Uji keturu a half si aho i Swietenia macrophylla King) di Wanagama I, serta evaluasi pertumbuhannya pada umur 11 bulan. Skripsi Jurusan Budidaya Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. SIM-RHL. 2015. Data base sumber benih mahoni. Diakses tanggal 15 Mei 2016. http://simrhl.com/tes/smbbnh_list.php?qs=swietenia&criteria=or. Soerianegara, I., R. H. M. J. Lemmens. 1994. Plant resources of South – East Asia N0 5(1). Timber trees: major commercial timbers. Bogor. Indonesia. Wightman, K. E., S. E. Ward, J. P. Haggar, B. R. Santiago, J. P. Cornelius. 2007. Performance and genetic variation of big-leaf mahogany (Swietenia macrophylla King) in provenance and progeny trials in the Yucatan Peninsula of Mexico. Forest Ecology and Management 255 (2008) 346-355. Ye, T. Z., K. J. S. Jayawikrama, J. B. ST. Clair. 2009. Realized gains from block-plot coastal douglas-fir trials in the northern oregon cascades. Silvae genetica 59, 1 (2010), 29-39.

53


Lampiran 1. Daftar sumber benih mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla King) di seluruh Indonesia Nomor Sumber Benih

Nama Sumber Benih

1

11.08.009

Mahoni Nusa

2,00

TBT

Aceh

Aceh Besar

2

13.03.005

Mahoni Guguk Lancang

2,00

TBT

Sumatra Barat

3

13.03.011

Mahoni Indudur

0,50

TBT

4

13.06.001

Mahoni Pariaman

1,00

5

13.08.001

Mahoni Sitanang

6

13.08.004

Mahoni Mudiak Liki

13.76.001

Ngalau Balai Panjang

No

7

Kelas Luas Sumber (Ha) Benih

Desa

Pemilik

Alamat Pemilik

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

Lhoknga

Nusa

CV. Usaha Gelora Tani

Jl. Banda Aceh-Lhoknga Km. 9,5 Desa Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar

032/BPTH.Sum2/SSB/2014 Tgl. 22Okt-14

-

Solok

Payung Sekaki

Nagari Aia Luo

Donal

-

Sumatra Barat

Solok

IX Koto Sungai Lasi

Nagari Indudur

Ibrahim Malin Bungsu

TBT

Sumatra Barat

Padang Pariaman

2 x 11 Kayu Tanam

Nagari Kayu Tanam

Yayasan INS Kayu Tanam

1,00

TBT

Sumatra Barat

Lima Puluh Koto

Lareh Sago Halaban

Nagari Sitanang

Afrianto

1,00

TBT

Sumatra Barat

Lima Puluh Koto

Suliki

Mudiak Liki, Nagari Kurai

Ferry Zulhasdi

TBT

Sumatra Barat

Kota Payakumbuh

Payakumbuh Selatan

Ngalau, Kelurahan Balai Panjang

Dinas Pertanian Kota Payakumbuh

1,50

Provinsi

Kabupaten

Kecamatan

54

Jorong Lembang, Nagari Indudur, Kec. IX Koto, Kab. Solok Nagari Kayu Tanam, Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Propinsi Sumatera Barat Nagari Sitanang, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera Barat Jorong Mudiak Liki, Nagari Kurai, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera Barat Jalan Pahlawan No.16 Payakumbuh

010/BPTH.Sum2/SSB/2015 Tgl. 22Des-15 147/BPTH.Sum2/SSB/2011 Tgl. 18Agust-11

-

-

020 /BPTH.Sum2/SSB/2012. Tgl. 30Jul-12

-

021/BPTH.Sum2/SSB/2012. Tgl. 30Jul-12

-

008/BPTHSum.2/SSB/2013. Tgl. 03-Jun-13

-

015/BPTH.Sum2/SSB/2012. Tgl. 21Mei-12

-

Aspek Silvikultur

Lampiran 1. (Lanjutan) Nomor Sumber Benih

Nama Sumber Benih


16.03.004

Benakat Mahoni

11,0 0

9

16.08.001

Mahoni Simpang Saga

4,00

10

17.01.006

Mahoni Sukajaya

11

17.71.003

12

No

Provinsi

Kabupaten

Kecamatan

Desa

Pemilik

Alamat Pemilik

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

Talang Ubi

Sungai Baung

Balai Penelitian Kehutanan Palembang

Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5 Punti Kayu Palembang

055/BPTH. Sum2/SSB/2014. Tgl. 05Nop-14

-

009/BPTH. Sum2/SSB/2014. Tgl. 28Apr-14

-

043/BPTH.Sum2/SSB/2014. Tgl. 03Nop-14

-

07/BPTH.Sum2/SSB/2015. Tgl. 07Des-15

-

029/BPTH. Sum2/SSB/2012. Tgl. 20Agust-12

-

363/V/BPTH.JM2/S.SB-1/2011. Tgl. 17-Jun-11

Juli

Sumatera Selatan

Muara Enim

TBT

Sumatera Selatan

Ogan Komering Ulu Selatan

Buay Runjung

Simpang Saga

H. Rozali

1,00

TBT

Bengkulu

Bengkulu Selatan

Kedurang Ilir

Sukajaya

Lilik

Mahoni Taman Remaja

0,50

TBT

Bengkulu

Kota Bengkulu

Gading Cempaka

Jalan Mangga

CV. Karya Maju Bersama

18.03.007

Mahoni Katibung

1,00

TBT

Lampung

Lampung Selatan

Katibung

Tanjung Agung

UPTD Gedong Wani

13

32.02.097

Mahoni BDK Jampang Tengah

2,00

TBT

Jawa Barat

Sukabumi

Bojong Lopang

Sindang Resmi

Balai Diklat Kehutanan Bogor

Jln. Prada Samlawi, Kec Rumpin-Bogor 16350

14

32.05.080

Mahoni Ciharuman

1,47

TBT

Jawa Barat

Garut

Kadungora

Harumansari

Kel. Tani Buana Mukti

Desa Haruman Kec. Kadungora, Kab. Garut

15

32.06.105

Mahoni Cipatujah

3,00

TBT

Jawa Barat

Tasikmalaya

Cipatujah

Lebak Saat

CV. Calakan Bina Lingkungan

Jl. Perjuangan No. 115 Ciawi - Tasikmalaya

8

TBT

55

Desa Simpang Saga, Kecamatan Buay Runjung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Propinsi Sumatera Selatan Desa Sukajaya, Kecamatan Kedurang Ilir, Kabupaten Bengkulu Selatan, Propinsi Bengkulu Jl. Semangka RT. 003 RW.001, Desa Kandang, Kota Bengkulu Desa Tanjung Agung, Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung

419/BPTH.JM2/S.SB-1/2012. Tgl. 07-Jun-12 408/BPTH.JM2/S.SB-1/2012. Tgl. 10-Mei-12

Agustus

September


Lampiran 1. (Lanjutan) No

Nomor Sumber Benih

Nama Sumber Benih


16

32.11.115

Mahoni Cisarua

3,00

17

33.01.154

Mahoni Nirbaya

18

33.06.114

19

33.18.055

20

34.03.092

21

22

Provinsi

Kabupaten

Kecamatan

Desa

Pemilik

Alamat Pemilik

TBT

Jawa Barat

Sumedang

Cisarua

Cisarua

CV. Djohar Putra

Jln. Dahlia II No.3 Bugel Tomo-Sumedang

10,0 0

TBT

Jawa Tengah

Karanganyar

Tawangman gu

Tawangman gu dan Kalisoro

BKSDA Jawa Tengah

0,50

TBT

Jawa Tengah

Purworejo

Loano

Karangrejo

0,52

TBT

Jawa Tengah

Pati

Tambakrom o

Maitan

Mahoni Tahura Bunder

3,20

TBT

D.I. Yogyakart a

Gunung Kidul

Patuk

Bunder

35.07.091

Mahoni Ngantang

8,50

TBT

Jawa Timur

KPH Malang

BKPH Ngantang

Petak 25b RPH Ngantang

35.10.070

Suko Petak 37.e/37.g

13,0 0

TBT

Jawa Timur

KPH Banyuwangi Barat

BKPH Kalipuro

RPH Gombengsar i

Mahoni Kr Jati Rejo Mahoni Blok Maitan

56

Kelompok Tani Murakabi Sarman/CV. Tani Maju Makmur Dishutbun Prop.DIY/ BP3KP Yogyakarta Perum Perhutani Divre Jawa Timur (KPH Malang) Perum Perhutani Divre Jawa Timur (KPH Banyuwangi Barat)

Jl. DR. Cipto Mangunkusumo Pemalang Jawa Tengah Karangrejo, Loano Kab. Purworejo Jln. Tunggul Wulung 265 Pati

Nomor Sertifikat 425/BPTH.JM2/S.SB-1/2012. Tgl. 12-Jun-12 441/BPTH.JM2/S.SB-1/2012. Tgl. 02-Jul-12 335/V/BPTH.JM2/S.SB-1/2010. 369/BPTH.JM2/S.SB-1/2011. Tgl. 20-Jul-11

Awal Buah Masak Agustus

Agustus Agustus Agustus

Jln. Argolubang No. 19 Baciro - Yogyakarta

453/BPTH.JM2/S.SB-1/2012. Tgl. 08-Okt-12

JuliAgustus

Jln. Dr Cipto No. 14A Malang

372/BPTH.JM2/S.SB-1/2011. Tgl. 20-Jul-11

JuliAgustus

Jl. Genteng Kali No .49 Surabaya

381/BPTH.JM2/S.SB-1/2011. Tgl. 25-Nop-11

Agustus

Aspek Silvikultur


Nama Sumber Benih

23

35.21.002

Mahoni Sidowayah Petak 46-A

5,80

TBT

Jawa Timur

24

35.26.086

Mahoni Kombanga n

2,00

TBT

25

36.04.146

Mahoni Gn Gedor

4,20

TBT

No


Provinsi

Kabupaten

Kecamatan

Desa

KPH Ngawi

BKPH Kedunggalar

Petak 46a RPH Sidowayah

Jawa Timur

Bangkalan

Geger

Kombangan

Banten

Serang

BKPH Serang

RPH. Ciomas

Pemilik Perum Perhutani Divre Jawa Timur (KPH Ngawi) Forest Management Unit Bangkalan/ PT. Tunas Karya Asta Wiguna Perum Perhutani Divre Jawa Barat (KPH Banten)

26

51.01.002

Bongan

6,97

TBT

Bali

Jembrana

Melaya

Melaya

Dinas Kehutanan Provinsi Bali

27

51.04.003

Pilan

0,48

TBT

Bali

Gianyar

Payangan

Kerta

Desa Pekraman Pilan

TBT

Nusa Tenggara Barat

Lombok Barat

Lembah Sari

Dinas Kehutanan Kab. Lombok Barat

28

52.01.002

Pusuk Pass

0,98

Batu Layar

57

Alamat Pemilik

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

Jl. Yos Sudarso No. 10 Ngawi

525/BPTH.JM2/S.SB-1/2014. Tgl. 03-Mar-14

Agustus

Jl. Wonorungkut Utara, Ruko Nirwana Eksekutif RK 75 Surabaya

338/V/BPTH.JM2/S.SB-1/2010. Tgl. 05-Apr-10

Agustus

Jl. Soekarno Hatta No. Km 14 Bandung

544/BPTH.JM2/S.SB-7/2014. Tgl. 10-Jun-14

Agustus

ST. 45/BPTH.BNT/2012. Tgl. 09-Agust-12

Juli

ST.26/BPTH.BNT/20 13. Tgl. 06-Mei-13

September

ST. 36/BPTH.BNT/2011. Tgl. 10-Jun-11

Juli

Jl. Raya Puputan No. 23 Niti Mandala Renon, Denpasar 80235, Tlp. 0361-237039, 235679 Fax. 0361-227819 Banjar Dinas Pilan, Desa Kerta, Kec. Payangan, Kab. Gianyar, Bali. Jl. Soekarno Hatta, Girimenang, Gerung Telp. (0370) 681040, Fax. (0370) 681101, Email: [email protected] o.id



29

30

31

32

33

Nomor Sumber Benih

52.01.003

Nama Sumber Benih

Sesaot

52.01.008

Nyet Nyet

52.01.021

Mahoni Batu Kemalik

52.02.001

52.02.008

Mahoni Gunung Jenggot

Repuk Pidendang 1


1,47

1,06

7,22

8,72

5,00

Provinsi

Kabupaten

TBT

Nusa Tenggara Barat

Lombok Barat

TBT

Nusa Tenggara Barat

Lombok Barat

TBT

Nusa Tenggara Barat

Lombok Barat

TBT

TBT

Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Barat

Lombok Tengah

Lombok Tengah

Kecamatan

Desa

Pemilik

Narmada

Sesaot


Lembar

Mareje Timur


Bukit Tinggi


Aik Berik

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lombok Tengah

Pemepek

Balai Penelitian Kehutanan Mataram

Gunung Sari

Batukliang Utara

Pringgarata

58

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

ST. 37/BPTH.BNT/2011. Tgl. 10-Jun-11

Juli

ST. 02/BPTH.BNT/2013. Tgl. 07-Mar-13

Juni

ST.08/BPTH.BNT/20 14. Tgl. 11-Mar-14

Juni

, Jl. Garuda No. 3 Praya, Kab. Lombok Tengah Telp. 0370-654204

ST.13/BPTH.BNT2/2015. Tgl. 31Agust-15

Oktober

Jl. Dharma Bakti No.7 Desa Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat, NTB 83371 Telp. (0370) 6573874, 6573841 Fax. (0370) 6573841

SK. 162/BPTH.BNT/201 0. Tgl. 30-Agust-10

Juni

Alamat Pemilik Jl. Soekarno Hatta, Girimenang, Gerung Telp. (0370) 681040, Fax. (0370) 681101, Email: [email protected] o.id Jl. Soekarno Hatta, Girimenang, Gerung Telp. (0370) 681040, Fax. (0370) 681101, Email: [email protected] o.id Jl. Soekarno Hatta, Girimenang, Gerung Telp. (0370) 681040, Fax. (0370) 681101, Email: [email protected] o.id

Aspek Silvikultur


Nama Sumber Benih

34

52.04.014

Kayu MaduLabuan Badas

4,90

TBT

Nusa Tenggara Barat

Sumbawa

Labuan Badas

Labuan Badas

35

53.01.032

Mahoni Weewiruk

1,54

TBT

Nusa Tenggara Timur

Sumba Barat

Kota Waikabubak

Soba Rade

36

53.04.005

Mahoni Desa Cendana

2,58

TBT

Nusa Tenggara Timur

Timor Tengah Selatan

Kota SoE

Cendana

37

53.04.012

Netpala

4,40

TBT

Nusa Tenggara Timur


Mollo Utara

Netpala

38

53.04.045

Mahoni Karang Siri

1,50

TBT

Nusa Tenggara Timur


Kota SoE

Karang Siri

No


Provinsi

Kabupaten

Kecamatan

Desa

59

Pemilik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa Dinas Kehutanan Kab. Sumba Barat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Timor Tengah Selatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Timor Tengah Selatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Timor Tengah Selatan

Alamat Pemilik

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

Jl. Garuda No. 108 Sumbawa Besar Tlp. 037122451, Fax. 0371-21644

SK. 65/BPTH.BNT/2011. Tgl. 25-Mar-11

Juli, Agustus

Jl. Wee Karou Waikabubak (0387) 21724

ST. 02/BPTH.BNT/2014. Tgl. 13-Feb-14

Juli

Jl. Tua Sonbai, SoE, Tlp. 0388-21324

ST. 09/BPTH.BNT2/2015. Tgl. 20Agust-15

Juli


ST. 61/BPTH.BNT/2011. Tgl. 03-Okt-11

Agustus


ST. 12/BPTH.BNT2/2015. Tgl. 20Agust-15

-



Nomor Sumber Benih

Nama Sumber Benih


Provinsi

Kabupaten

Timor Tengah Utara

Noemuti

Bijeli

Timor Tengah Utara

Noemuti

Nibaat

Kecamatan

Desa

Pemilik Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Utara Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Utara

Alamat Pemilik

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

Jl. Pacuan Kuda Baru Km 6, Sasi, Kefamenanu 85613 Tlp. (0388) 31016


Juli

Jl. Pacuan Kuda Baru Km 6, Sasi, Kefamenanu 85613 Tlp. (0388) 31016


Agustus

Jl. Moruk Pasunan, Atambua Telp. (0389) 21006 Fax. (0389) 21515 Email: [email protected]

ST. 49 /BPTH.BNT/2011. Tgl. 14-Jun-11

Juni

39

53.05.002

Oeluan

0,61

TBT

Nusa Tenggara Timur

40

53.05.003

Nibaat

0,52

TBT

Nusa Tenggara Timur

Belu

Atambua Selatan

Fatukbot

Dinas Kehutanan Kabupaten Belu

Alor

Kabola

Lawahing

Dinas Kehutanan Kab. Alor

Jl. Kelimutu No. 6 Kalabahi Telp./Fax. (0386) 21037

ST. 24/BPTH.BNT/2013. Tgl. 06-Mei-13

Juni

Labalimut

Laurensius Mega

RT 06/RW 01, Dusun Boto Timur, Desa Labalimut, Kec. Ngawutung, Kab. Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

ST.27/BPTH.BNT2/2015. Tgl. 16Nop-15

-

Boru Kedong

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Flores Timur

Jl. Ile Lewotolok, Larantuka, Tlp. 038321233


Mei

41

53.06.002

Fatukbot 1

1,30

TBT

Nusa Tenggara Timur

42

53.07.006

Tiga Buuta

1,69

TBT

Nusa Tenggara Timur

53.08.047

Mahoni Gerobatala k

TBT

Nusa Tenggara Timur

43

44

53.09.003

Boru

0,78

1,75

TBT

Nusa Tenggara Timur

Lembata

Flores Timur

Nagawutung

Wulanggitan g

60

Aspek Silvikultur


Nomor Sumber Benih

Nama Sumber Benih


Provinsi

Kabupaten

Kecamatan

Desa

Pemilik

Alamat Pemilik

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

45

53.13.006

Wetok

0,42

TBT

Nusa Tenggara Timur

Manggarai

Weirii

Ndehes

Geradus Engkar

Dusun Wetok, Desa Ndehes, Kec. Weirii, Kab. Manggarai

SK 46/BPTH.BNT/2010. Tgl. 12-Feb-10

Juni

53.17.002

Waimangu ra 1

TBT

Nusa Tenggara Timur

Sumba Barat Daya

Wewewa Barat

Waimangura

Dinas Kehutanan Kab. Sumba Barat Daya

Jl. Ir. Soekarno, Puspem Kadul, Tambolaka 87254

ST. 23/BPTH.BNT/2011. Tgl. 28-Apr-11

Agustus

Nagekeo

Boawae

Raja

Gaspar Mange

ST. 31/BPTH.BNT/2011. Tgl. 28-Apr-11

Januari

ST. 19/BPTH.BNT/2012. Tgl. 20-Mar-12

Juni


Juni

Jl. A. Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalsel

195/BPTH.KAL2/STFK/2013. Tgl. 24-Jun-13

Juli

Jl. KH. Wahid Hasyim Perum Kayu Manis Blok E8 Samarinda Base Camp Kenangan, Penajam Paser Utara Fax. 0542 840014

190/BPTH.KAL2/STFK/2013. Tgl. 07-Mei-13 134/BPTH.KAL2/STFK/2011. Tgl. 22-Apr-11

46

1,56

47

53.18.005

Natalea

0,45

TBT

Nusa Tenggara Timur

48

53.18.007

Tengatiba

0,45

TBT

Nusa Tenggara Timur

Nagekeo

Aesesa Selatan

Tengatiba

Aloysius Dhoy

49

53.19.001

Sita

0,96

TBT

Nusa Tenggara Timur

Manggarai Timur

Borong

Sita

Kasmir Nggaro

50

63.03.053

Mahoni KHDTKRIAM KIWA

2,00

TBT

Kalimanta n Selatan

Banjar

Pengaron

Lobang Baru

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

51

64.04.068

Mahoni Mukti Jaya

0,40

TBT

Kalimanta n Timur

Kutai Timur

Rantau Pulung

Mukti Jaya

PT. Tectona Alas Makmur

52

64.09.026

APB Mahoni

1,48

TBT

Kalimanta n Timur

Penajam Paser Utara

Sepaku

Maridan

PT. ITCI Kartika Utama

61

Natalea RT 02 Desa Raja, Kec. Boawae, Kab. Nagekeo (HP 0813 2408 7495) Lokasi Padugoa, Dusun Bonat, Desa Tangitiba, Kec. Aesesa Selatan, Kab. Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (HP 0812 3656 4570) Desa Sita, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (HP 0813 3917 7169)

Agustus

Juli



Nomor Sumber Benih

Nama Sumber Benih


Provinsi

Desa

Pemilik

Alamat Pemilik

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

Minahasa

Langowan Barat

Tumaratas

Dinas Kehutanan Kab. Minahasa

-

093/BPTH.Sul2/2012. Tgl. 28-Dec12

-

Kabupaten

Kecamatan

TBT

Sulawesi Utara

53

71.02.017

Tumaratas

10,0 0

54

71.05.016

Motoling II

0,50

TBT

Sulawesi Utara

Minahasa Selatan

Motoling

Motoling II

Edward Paat

-

55

71.05.032

Pinapalengko

0,4

TBT

Sulawesi Utara

Minahasa Selatan

Suluun Tareran

Pinapalengk o

Masyarakat Desa Pinapalengko

-

56

71.09.002

Mahoni Lowu II

1,10

TBT

Sulawesi Utara

Minahasa Tenggara

Ratahan

Lowu II

Sam Kandoli

-

57

71.73.030

Tumatangtang

1,24

TBT

Sulawesi Utara

Kota Tomohon

Tomohon Selatan

Tumatangta ng I

Yantje Kainde/Mantj e Sumolang

-

58

72.02.002

Bringin Jaya

2

TBT

Sulawesi Tengah

Banggai

Simpang Raya

Bringin Jaya

Kastuji

-

59

73.05.063

Pappa

1

TBT

Sulawesi Selatan

Takalar

Pattalasang

Pappa

H. Siajang

-

60

73.09.001

Bonto Birao

10

TBT

Sulawesi Selatan

Pangkep

Tondong Tallasa

Bonto Birao

61

73.09.021

Bulupao

10,0 0

TBT

Sulawesi Selatan

Pangkep

Ma'rang

Padalampe

62

Dinas Kehutanan Perkebunan Kab. Pangkajene Kep. Dinas Kehutanan dan perkebunan Kab. Pangkep

18/BPTH.Sul2/2011. Tgl. 24-Aug11 26/BPTH.Sul2/2014. Tgl. 22-Dec14 30/BPTH.Sul2/2011. Tgl. 28-Dec11 16/BPTH.Sul2/2011. Tgl. 11-Jul11 11/BPTH.Sul2/2014. Tgl. 14-Apr14 40/BPTH.Sul2/2013. Tgl. 31-Oct13

-

-

-

-

-

-

-

10/BPTH.Sul2/2013. Tgl. 18Mar-13

-

-

069/BPTH.Sul2/2012. Tgl. 28-Dec12

-

Aspek Silvikultur


62

63

Nomor Sumber Benih

73.13.017

73.16.032

Nama Sumber Benih

Palaguna

Bonnea


5,00

1,80

Provinsi

TBS

Sulawesi Selatan

TBT

Sulawesi Selatan

Kabupaten

Wajo

Enrekang

Kecamatan

Pammana

Maiwa

Desa

Pemilik

Alamat Pemilik

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

Lempa

Dinas Kehutanan dan Konservasi Tanah Kab. Wajo

-

076/BPTH.Sul2/2012. Tgl. 28-Dec12

-

Abdul Jalil

Dusun Lebbani, Desa Lebani, Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang, HP. 081342231943

10/BPTH.Sul2/2011. Tgl. 18May-11

-

-

08/BPTH.Sul2/2012. Tgl. 7-Mar12

-

-

057/BPTH.Sul2/2012. Tgl. 28-Dec12

-

-

052/BPTH.Sul2/2012. Tgl. 28-Dec12

-

-

050/BPTH.Sul2/2012. Tgl. 28-Dec12

-

Lebani

64

75.02.003

Dudepo

5,00

TBT

Gorontalo

Gorontalo

Bongomeme

Tohupo

65

75.02.015

Dulamayo Barat

10,0 0

TBT

Gorontalo

Gorontalo

Telaga

Dulamayo Barat

66

75.04.008

Lawade

3,50

TBT

Gorontalo

Bone Bolango

Botupingge

Buata

67

75.04.009

Panggulo

2,00

TBT

Gorontalo

Bone Bolango

Kabila

Panggulo

63

Dishut Pertambanga n dan Energi Kab. Gorontalo Dishut Pertambanga n dan Energi Kab. Gorontalo Dinas Kehutanan Kab. Bone Bolango Dinas Kehutanan Kab. Bone Bolango



Nama Sumber Benih

68

75.04.020

Botumongi li

20,0 0

69

75.05.001

Bualemo

70

76.02.041

Sumarrang

No


Kecamatan

Desa

Pemilik

Alamat Pemilik

Nomor Sertifikat

Awal Buah Masak

Gorontalo

Bone Bolango

Suwawa

Huluduotam o

Dishutbun dan Lingkungan Hidup Kab. Bone Bolango

-

45/BPTH.Sul2/2010. Tgl. 5-Jul-10

-

TBS

Gorontalo

Gorontalo Utara

Kwandang

Bualemo

Masyarakat

-

TBT

Sulawesi Barat

Polman

Campalagian

Sumarrang

Klp Tani Sipatuo

-

Provinsi

Kabupaten

TBS

1,00

1,7

Sumber: SIM-RHL (2015)

64

24/BPTH.Sul2/2014. Tgl. 22-Dec14 05/BPTH.Sul2/2014. Tgl. 3-Feb13

-

-

Aspek Silvikultur

EFISIENSI PEMBUATAN BIBIT ULIN MELALUI PEMOTONGAN BENIH Agus Sofyan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]

ABSTRAK Eksploitasi terhadap jenis ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn) yang tidak pernah berhenti menempatkan jenis ini berada pada kondisi yang rawan mengalami kepunahan. Upaya-upaya perlindungan terhadap ulin sudah dilakukan sejak tahun 1972 hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang maksimal, karenanya upaya penyelamatan yang serius harus terus dilakukan agar ulin dapat terhindar dari kepunahan. Salah satu kendala dalam penyelamatan serta budidaya jenis ini adalah regenerasinya yang rendah dan ketersediaan bahan benih atau biji yang sangat terbatas serta pertumbuhannya yang sangat lambat. Dengan kendala ketersediaan benih serta harganya yang mahal, guna mendukung upaya penyelamatan ulin, maka diperlukan teknik yang tepat dan efesien dalam pembibitan ulin. Salah satu karakter khas benih ulin adalah ukurannya yang besar dan dapat dipotong menjadi tiga bagian (depan, tengah dan belakang) yang masing-masing bagian tersebut dapat dijadikan sebagai benih. Pembibitan ulin dengan menggunakan bahan benih potongan (bagian benih) yang ditunjang dengan teknik pembibitan yang tepat, dapat menghemat biaya pembuatan bibit dengan tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Penghematan yang dapat dicapai dalam pembuatan 5.000 bibit ulin, dengan menggunakan bahan berupa benih potongan (bagian benih) adalah sebesar 69,86% jika dibandingkan dengan total biaya dengan menggunakan benih utuh, yaitu hanya dibutuhkan biaya sebesar Rp. 4.473.000,-, sementara dengan menggunakan benih utuh biaya yang dibutuhkan sebesar Rp. 14.840.000,-. Kata kunci: Ulin, rawan, punah, penyelamatan, kendala, benih potongan, efisien

I. PENDAHULUAN Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn), yang dikenal sebagai kayu besi atau iron wood dalam dunia perdagangan, mempunyai keawetan dan kekuatan yang sangat tinggi dan telah dimanfaatkan sejak beberapa abad yang lalu. Dalam budaya masyarakat adat, seperti komunitas Dayak Paser, tanaman ulin tidak saja memiliki nilai ekonomi, namun juga nilai magis (religius), sehingga bagi setiap anggota komunitasnya diwajibkan untuk menanam pohon ulin. Menurut Wirasapoetra (2006), aturan adat berupa kewajiban menanam 5-10 tanaman ulin, sebagai pengganti atas penebangan 1 batang pohon ulin, hingga saat ini masih berlaku dalam masyarakat adat Dayak Paser. Seiring perjalanan waktu, saat ini keberadaan tegakan ulin sudah semakin sulit ditemukan, termasuk di daerah sebaran alaminya. Salah satu penyebabnya menurut Sutrisno (2006), adalah adanya kegiatan eksploitasi yang tidak pernah berhenti terhadap jenis ini, bahkan pada tempat-tempat yang dilindungi. Hal tersebut dapat terlihat dengan masih berlangsungnya perdagangan kayu ulin hingga saat ini. Menurut Nurhayati et al. (2006), volume kayu ulin yang keluar dari Balikpapan selama periode Januari-September 2005 untuk perdagangan dalam negeri (antar pulau) sebesar 1.552,298 m 3, sementara untuk tujuan ekspor sebesar 102.711,056 m3. Regenerasi ulin secara alami umumnya relatif rendah, sebagaimana yang dinyatakan Noor a , ah a pote si rege erasi uli pada areal ko ser asi in-situ di PT. Hutan Sanggam Labanan Lestari, Kabupaten Berua, Kalimantan Timur, hanya sebesar 9,71 pohon per hektar. Kondisi yang relatif sama dikemukakan oleh Partomihardjo (1987) yang menyatakan bahwa pada beberapa tipe hutan campuran seperti Taman Nasional 65


Kutai, Hutan Pendidikan Lempake Kalimantan Timur, Riam Kanan Kalimantan Selatan dan Hutan Senami di Jambi, hanya berkisar antara 14 – 54 pohon per hektar. Beberapa faktor penyebab rendahnya permudaan alami jenis ulin menurut Sidiyasa (1995) dan Leksono (2000), adalah karena proses regenerasinya yang kurang sempurna, kulit biji atau cangkangnya yang keras serta sifatnya yang tumbuh secara soliter. Kondisi sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi ancaman serius terhadap keberadaan sumber daya ulin. Menurut Pradjadinata dan Murniati (2014), saat ini International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah memasukkan ulin ke dalam Red List Species dengan kategori rawan (Vurnerable A1cd+2cd ver 2.3). Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu dekat ulin menghadapi resiko kepunahan yang tinggi. Bahka e urut Noor a , saat i i uli telah die aluasi u tuk di asukka dala Appendix II CITES. Upaya perlindungan jenis ulin Menurut Sutrisno (2006), telah dilakukan sejak tahun 1972, yaitu melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor. 54/Kpts/UM/2/1972 tentang penetapan ulin sebagai jenis pohon yang dilindungi dan penebangannya hanya boleh dilakukan pada pohon berdiameter di atas 60 cm. Namun demikian pada kenyataannya menurut Kueng (2006), eksploitasi ulin tidak pernah berhenti hingga saat ini, sehingga upaya-upaya penyelamatan yang telah dilakukan oleh berbagai pihak belum berhasil secara maksimal. Jika kondisi ini terus berlangsung, sementara upaya permudaannya tidak segera dilakukan dengan baik, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama jenis ini dikhawatirkan akan mengalami kepunahan (Sutrisno, 2006). Mengingat kondisi dan status ulin sebagaimana dikemukakan di atas, tentu upaya konservasi dan penyelamatan jenis ini dari ancaman kepunahan menjadi hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan secara intensif dan serius. Sehubungan dengan hal tersebut, melalui makalah ini penulis mencoba berbagi informasi tentang teknik pembibitan ulin secara sederhana dan efisien. Dengan informasi ini, penulis berharap dapat memberi kontribusi dalam mendukung upaya konservasi serta pengembangan jenis ulin secara berkelanjutan. II. MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG ULIN Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B), secara taksonomi menurut Martawidjaya et al. (2005), termasuk dalam famili Lauraceae. Beberapa ahli botani menyatakan bahwa jenis ulin terdiri atas beberapa varietas (Susanto, 2006). Ulin merupakan salah satu jenis penyusun hutan tropika basah yang menghasilkan kayu dengan kualitas yang sangat istimewa, baik kekuatan maupun keawetannya. Di Indonesia ulin tumbuh tersebar pada beberapa pulau seperti Kalimantan, Sumatera dan Bangka Belitung. Jenis ini mempunyai beberapa nama daerah, antara lain bulian, bulian rambai, onglen (Sumatera), dan di Kalimantan dikenal sebagai belian, tabulin, telian dan tulian (Martawijaya et al., 2005). Ulin tumbuh pada ketinggian 5 - 400 m dpl pada topografi datar dan miring, dapat tumbuh baik pada tanah kering dan sarang, tanah liat dan tanah endapan pasir. Iklim yang sesuai untuk pertumbuhan ulin menurut Soerianegara (1974) adalah iklim tropika basah pada tipe iklim A dan B menurut klasifikasi Schmidth-Fergusson, dengan rerata curah hujan 2000 - 6000 mm per tahun. Ulin termasuk jenis pohon besar yang dapat mencapai tinggi hingga 35 - 50 m dengan tinggi bebas cabang 10 - 20 m dan diameter 1 - 1,5 m. Ciri umum jenis ini adalah pertumbuhannya yang lambat. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1996), tingkat 66

Aspek Silvikultur

pertumbuhan atau riap pertumbuhan tanaman ulin yang berdiameter 20 cm atau lebih berkisar antara 0,34 - 0,49 cm per tahun. Hal senada juga dilaporkan Qirom (2006) yang menyatakan bahwa rerata riap pertumbuhan diameter tanaman ulin umur 1 tahun pada areal bekas tebangan, di bawah tegakan meranti hanya sebesar 0,1 cm/tahun, dengan rerata tinggi 3,8 cm/tahun, demikian pula halnya yang dilaporkan Susanto (2006), yang menyatakan bahwa rerata pertambahan tinggi selama 1 tahun, pada tanaman ulin umur 18 bulan yang terdapat di kebun konservasi ex-situ di Bondowoso, hanya sebesar 17,58 cm. Pohon ulin menghasilkan kayu dengan tekstur yang keras dan kasar, kayu teras berwarna coklat-kuning dan lambat laun akan berubah menjadi coklat–hitam. Kayu gubal mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras, permukaan kayu licin, agak mengkilap dengan rerata berat jenis 1,04 gram/cm3 (Martawijaya et al., 2005). Kayu ulin termasuk ke dalam katagori kayu kelas kuat dan awet I (Martawijaya et al., 2005). Kayu sangat tahan terhadap perubahan suhu, kelembaban dan pengaruh air laut, karenanya sering digunakan dalam pembuatan berbagai macam bahan konstruksi berat yang membutuhkan tingkat keawetan dan kekuatan yang sangat tinggi, seperti dalam pembuatan bangunan yang terendam air, dermaga, jembatan, tiang listrik, bantalan rel kereta api dan aneka macam konstruksi berat lainnya. Permudaan atau regenerasi ulin secara alami sengat rendah, sebagaimana dikemukakan di muka, dengan penyebaran yang relatif sempit, dimana anakan hanya tersebar disekitar pohon induknya. Menurut Soetrisno (2006), penyebaran semai ulin dari pohon induknya berkisar antara 0,78 meter (terdekat) hingga sekitar 10,31 meter (jarak terjauh). Namun demikian pada daerah yang curam, semai ulin dapat berada pada jarak yang relatif jauh dari pohon induknya (Cahyani, 1999). Pohon ulin umumnya mulai berbuah pada umur 20 tahun, dengan musim atau masa berbunga dan berbuah yang terjadi setiap tahun, yaitu pada pertengahan atau akhir musim kemarau. Menurut Martawidjaya et al. (2005), musim buah ulin tergantung pada kondisi iklim di masing-masing lokasi. Musim berbuah di wilayah Sumatera umumnya terjadi pada bulan Juli - Agustus sementara di wilayah Kalimantan pada bulan Oktober November (Anwar et al., 1984 dalam Junaidah et al., 2006). Pohon ulin menghasilkan buah dan biji (benih) dengan ukuran yang relatif besar. Buah berbentuk bulat lonjong dengan panjang 10 - 20 cm dan garis tengah 5 - 10 cm (Leksono, 1998), sebagaimana disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Buah Ulin (Puslitbang Hutan Tanaman, 2006)

67


Buah muda berwarna hijau, kemudian berubah menjadi coklat saat buah mulai masak. Setiap buah mengandung satu biji atau benih dengan ukuran panjang antara 7 12 cm dan diameter 3 - 7 cm. Biji atau benih terbungkus dalam kulit benih atau cangkang yang keras dengan ketebalan cangkang 1 – 3 mm (Sofyan et al., 2000). Kulit biji yang keras dan tebal sering kali menjadi kendala dalam proses perkecambahan dan pembibitan ulin. Beberapa laporan dan hasil penelitian, menunjukkan bahwa benih ulin dapat dipotong menjadi beberapa bagian (3 - 4 bagian), tergantung besar dan panjang benihnya dan masing-masing potongannya dapat dijadikan sebagai benih atau bahan semai. Menurut Sofyan et al. (2000), semua bagian potongan benih (bagian depan/pangkal, tengah dan bagian belakang) dapat menghasilkan bibit secara normal dan sama dengan hasil bibit yang berasal dari benih utuh. Hasil bibit dengan menggunakan bagian potongan benih selengkapnya disajikan dalam Gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Bibit asal benih utuh dan benih potongan (Sofyan et al., 2000) Pada gambar 2 nampak bahwa masing-masing bagian benih menghasilkan bibit yang relatif sama dengan bibit yang berasal dari benih utuh, namun demikian nampaknya ukuran bibit yang dihasilkan dipengaruhi oleh ukuran benih, dimana benih dengan ukuran lebih besar menghasilkan bibit yang lebih besar (Gambar 3). Hal ini diduga disebabkan karena kandungan makanan yang terdapat dalam benih yang lebih besar, lebih banyak dibanding dengan benih yang lebih kecil.

Gambar 3. Bibit yang berasal dari bagian pangkal, tengah dan ujung benih ulin

68

Aspek Silvikultur

Perkecambahan benih ulin, baik pada benih utuh maupun benih potongan umumnya tidak berlangsung secara serempak. Menurut Leksono (1998), perkecambahan benih utuh umumnya dimulai pada hari ke 33, dengan persentase perkecambahan tertinggi (di atas 50%) terjadi pada hari ke 45, kemudian mengalami penurunan hingga hari ke 69. Sementara perkecambahan dengan menggunakan benih potongan (bagian benih) menurut Sofyan et al. (2000), umumnya dimulai pada hari ke 45 sampai hari ke 128. Benih potongan bagian depan atau pangkal sering kali lebih cepat berkecambah dibanding dengan benih yang berasal dari bagian tengah dan bagian belakang atau ujung. Penggunaan benih potongan dalam pembuatan bibit ulin, selain menghasilkan bibit yang sama dengan hasil bibit dari benih utuh, menurut Sofyan et al. (2000) juga mempunyai persen kecambah yang tinggi, yaitu rata-rata sebesar 82,9% untuk benih bagian depan, 74,4% benih bagian tengah dan 56% untuk benih bagian belakang. Sementara hasil penelitian yang dilakukan Ernayati (2006) dalam Efendi (2006), dengan menggunakan benih utuh yang diberikan beberapa perlakuan berupa peretakan, pengikiran dan penyunatan benih, masing-masing menghasilkan kecambah sebesar 46%, 47% dan 65%. Mengingat sumberdaya benih ulin yang sudah sangat terbatas, serta hasil sebagaimana dikemukakan di atas, maka pembuatan bibit ulin disarankan dengan menggunakan benih potongan (bagian benih), karena selain dapat menghemat dalam penggunaan benih, juga akan diikuti penghematan biaya bahan atau komponen lainnya. III. PEMBIBITAN ULIN Beberapa kendala yang seringkali dikeluhkan masyarakat dalam pembuatan atau pembibitan ulin, antara lain adalah sulit memperoleh benih serta harga benihnya yang relatif mahal serta persentase perkecambahannya yang rendah, karena benih gagal berkecambah. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, diketahui bahwa penyebab gagalnya perkecambahan benih dalam pembibitan ulin, dikarenakan oleh faktor teknis yang terjadi pada saat penyemaian, dimana benih atau biji masih dalam kondisi terbungkus di dalam kulit atau cangkang benihnya, sehingga benih tidak dapat berkecambah. Kegagalan tersebut tentu lebih disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang karakter benih ulin. A. Teknik Pembibitan Ulin Tahapan penting yang dilakukan dalam pembibitan ulin adalah perlakuan benih berupa skarifikasi dan penyemaian. 1. Skarifikasi benih ulin Benih ulin mempunyai kulit/cangkang yang tebal dan keras, sehingga benihnya terlebih dahulu harus dikeluarkan dari kulit atau cangkangnya atau biasa disebut dengan istilah skarifikasi benih. Skarifikasi benih ulin dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan cara merendam benih ke dalam air selama 2 – 3 jam, kemudian benih dijemur di bawah terik matahari selama 2- 3 jam. Dengan cara ini, kulit atau cangkang benih akan retak atau pecah dengan sendirinya, sebagaimana disajikan dalam Gambar 4. Jika dalam perendaman dan penjemuran pertama, kulit benih belum mengalami keretakan atau pecah maka perlakuan perendaman dan penjemuran dapat dilakukan beberapa kali, hingga benih benar-benar terkelupas atau lepas dari cangkangnya, dan benih siap untuk disemai.

69


Gambar 4. Skarifikasi atau pelepasan benih dengan perendaman dan penjemuran 2. Penyemaian benih ulin Setelah proses skarifikasi benih, agar pembuatan bibit ulin menjadi lebih efisien, maka benih yang digunakan adalah bahan benih potongan atau bagian benih. Benih ulin dipotong menjadi 3 bagian, dan masing-masing bagiannya dijadikan sebagai benih atau bahan semai. Dengan bahan benih potongan ini, ukuran benih menjadi lebih kecil atau lebih pendek, yaitu 1/3 dari dari ukuran benih utuh. Penyemaian atau pengecambahan benih ulin dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: penyemaian tidak langsung yaitu, melalui penyemaian/pengecambahan benih di bedeng semai dan penyemaian atau penanaman benih secara langsung ke dalam polybag. a. Penyemaian benih tidak langsung Penyemaian tidak langsung dilakukan dengan cara menyemai atau mengecambahkan benih ke dalam bedeng semai, kemudian setelah benih berkecambah dilanjutkan dengan proses penyapihan ke dalam polybag. Media semai yang digunakan adalah media pasir steril yang berada dalam kondisi lembab, dengan ketebalan media 1215 cm. Penyemaian dilakukan dalam bedeng semai yang tertutup rapat dengan menggunakan sungkup plastik transparan, berbentuk setengah lingkaran dengan garis tengah ± 80 cm. Benih ditanam sedalam ± 3/4 dari tinggi benih pada posisi membujur, dengan jarak antar benih masing-masing ± 10 cm (Gambar 5). Bedeng semai dibuat di bawah tegakan atau naungan.

Gambar 5. Penaburan benih ulin 70

Aspek Silvikultur

Dengan sistem sungkup yang tertutup rapat, kelembaban media dan benih akan selalu terjaga, sehingga benih tidak mengalami kekeringan yang dapat menyebabkan kematian. Benih ulin dalam bentuk potongan umumnya mulai berkecambah 1,5 – 2,5 bulan setelah penyemaian. Setelah kecambah atau semai memiliki 3-4 pasang daun (2 – 3 bulan setelah berkecambah), dengan rerata tinggi 15 - 20 cm, semai dapat disapih ke dalam polybag. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam penyapihan semai ulin antara lain:  Semai atau sapihan tidak boleh terlepas/putus dari biji atau benihnya, karena dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah sapih. Hal yang sama juga berlaku pada semai yang menggunakan benih utuh.  Sebagaimana halnya biji, akar yang terbentuk pada semai ulin juga tidak boleh rusak atau patah. Kerusakan atau putusnya akar, dapat menyebabkan stagnasi pertumbuhan bahkan kematian semai, karenanya pada saat pengangkatan dan penanaman semai harus dilakukan dengan sangat hati-hati.  Penyapihan dilakukan dengan cara menanam seluruh bagian akar dan ± 1,5 cm batang semai bagian bawah terbenam dalam media.  Media sapih yang digunakan harus bersifat porous, yaitu dapat berupa media campuran antara kompos + sabut kelapa (cocopeat) + top soil, dengan perbandingan 1 : 1 : 2 yang dicampur dan diaduk secara merata.  Penyapihan dilakukan dibawah naungan yang teduh dan terhindar dari sinar matahari langsung. Dengan pemeliharaan yang baik, bibit akan siap tanam di lapangan 3 - 5 bulan setelah penyapihan, dengan tinggi bibit ± 30 cm. b. Penyemaian atau penanaman secara langsung ke dalam polybag Penyemaian atau penanaman benih dilakukan secara langsung ke dalam media sapih di dalam polybag. Benih disemai atau ditanam sedalam ± 3/4 dari tinggi benih pada posisi membujur ke dalam media yang berada dalam kondisi lembab dan agak jenuh. Penyemaian atau penanaman benih dilakukan di dalam sungkup yang tertutup rapat. Dengan penyemaian secara langsung ke dalam polybag ini, proses pembuatan bibit ulin manjadi lebih sederhana dan efesien, karena tidak melalui proses penyemaian dan pembuatan bedeng semai untuk pengecambahan benih serta tidak perlu melakukan penyapihan semai, yang mengandung resiko kematian pada semai. B. Penghematan Menggunakan Benih Potongan dengan Penyemaian Langsung Penggunaan benih dalam bentuk potongan dalam pembuatan bibit ulin adalah pilihan yang tepat dan bijak, karena selain dapat menghemat penggunaan sumber daya benih (biji), juga akan diikuti dengan penghematan berbagai bahan atau komponen lainnya yaitu berupa polybag, media semai dan media sapih. Dengan penghematan tersebut, berarti akan terjadi penghematan biaya pembuatan bibit dan biaya transportasi bibit dari lokasi persemaian ke lokasi tanam serta biaya pengeceran bibit pada saat penanaman. Gambaran penghematan yang dapat diperoleh dalam pembuatan bibit ulin hingga proses pengeceran bibit, yang dilakukan dengan cara penyemaian atau penanaman langsung ke dalam polybag, dengan menggunakan bahan benih potongan, dengan asumsi persen jadi bibit sebesar 80%, selengkapnya disajikan sebagaimana terdapat dalam Tabel 1. 71


Tabel 1. Perbandingan dan penghematan kebutuhan bahan dan biaya dalam pembuatan 5000 bibit ulin dengan menggunakan benih utuh dan benih potongan. No.

Jenis kebutuhan 1. Benih

Menggunakan benih utuh Menggunakan benih potongan Jumlah/volume Nilai Rupiah Jumlah/volume Nilai Rupiah 6.250* Rp. 9.375.000,2.084 Rp. 3.126.000 (Rp. 1.500**x6.250) (Rp. 1.500x2.084) 2. Polybag 20x30cm Rp. 1.300.000 12x15cm Rp. 338.000 = 121 lembar (50xRp. 26.000) = 462 lembar (13xRp. 26.000) = 50 kg = 13 kg 3. Media semai 1215,8 Rp. 1.825.000 218,8 Rp. 325.000,3 3 cm /polybag (7.3xRp. 250.000) cm /polybag (1.3xRp. =6000x1212,8cm3 =6000x218.8cm3 250.000) = 7,3 m3 =1.3m3 4. Transportasi Kapasitas 1750 Rp. 1.800.000,Kapasitas 7000 Rp. 600.000,Ukuran Bak bbt : (3xRp. 600.000,-) bbt (1xRp. 600.000,-) Truk : = 350 = 1000 Pj=3,5m, bibit/tingkat bibit/tingkat Lb=1,8m = 5 tingkat bibit, = 6 tingkat bibit, dan T= 1,5 m = 3 Truk = 1 Truk

5. Kantong 3 bibit/kantong Rp. 540.000,20 bibit/kantong plastik saat = 1800 kantong (45xRp. 12.000) = 255 kantong pengeceran = 40 kantong/pak = 40 kantong/pak bibit = 45 pak = 7 pak 6 Total Biaya Rp. 14.840.000,Keterangan: * Asumsi persen jadi bibit 80% ** Harga benih = Rp. 1.500,-

Rp. 84.000,(7xRp. 12.000,-)

Rp. 4.473.000,-

Dari data dan informasi yang tersaji dalam Tabel 1, nampak bahwa dengan menggunakan bahan benih potongan (bagian benih), komponen bahan benih yang dapat dihemat mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu sebesar 66,66% (hanya membutuhkan 2.084 benih dari 6.250 benih jika menggunakan benih utuh), penghematan tersebut menunjukkan nilai yang tinggi yaitu sebesar Rp. 6.249.000,-. Dengan ukuran benih yang relatif lebih kecil, yaitu 1/3 dari ukuran benih utuh, maka kebutuhan bahan-bahan lainnya seperti polybag dan media semai/tanam juga menjadi lebih kecil dan lebih sedikit. Hal ini tentu akan diikuti pula dengan penghematan biaya atas bahan-bahan yang digunakan, jika dibandingkan dengan menggunakan benih utuh. Dari data yang tersaji dalam Tabel 1, nampak bahwa penghematan yang dapat dicapai dalam penggunaan polybag mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu sebesar 74%, yang setara dengan nilai Rp. 962.000,-. Sebagaimana halnya penghematan benih dan polybag, penghematan dalam penggunaan media juga menunjukkan nilai yang sangat tinggi, yaitu sebesar 82,19% atau setara dengan nilai biaya sebesar Rp. 1.500.000,-. Gambaran ukuran polybag serta volume media semai yang digunakan dengan menggunakan benih utuh dan benih potongan, dapat dilihat dalam Gambar 6. Dari gambar tersebut nampak bahwa walaupun ukuran benih serta volume media yang digunakan sangat jauh berbeda, namun ternyata bibit yang dihasilkan mempunyai kondisi, ukuran serta kualitas bibit yang selatif sama.

72

Aspek Silvikultur

Gambar 6. Bibit ulin yang berasal dari benih utuh dan benih yang potongan Berdasarkan uraian di atas nampak bahwa pembuatan bibit sebanyak 5.000 bibit yang menggunakan benih potongan, ternyata dapat menghemat semua komponen bahan dan biaya yang digunakan yaitu benih, polybag serta media, dengan nilai penghematan yang sangat tinggi yaitu rata-rata sebesar 69,69%, setara dengan penghematan biaya sebesar Rp. 8.711.000,-, sehingga biaya yang dibutuhkan hanya sebesar Rp. 3.789.000,-. Penghematan lainnya adalah pada komponen biaya pengangkutan atau transportasi bibit dari persemaian ke lokasi tanam serta biaya bahan kantong plastik untuk pengeceran bibit pada saat penanaman. Dengan ukuran polybag yang jauh lebih kecil, pengangkutan bibit dengan menggunakan kendaraan truk berukuran bak, panjang = 3,5 m, lebar = 1,8 m dan tinggi = 1,5 m, maka untuk mengangkut 5.000 bibit hanya membutuhkan 1 kendaraan, sementara untuk mengangkut bibit yang menggunakan benih utuh, dengan ukuran polybag yang sangat besar, maka dengan kendaraan yang sama dibutuhkan 3 kendaraan. Penghematan yang dapat diperoleh dalam pengangkutan bibit dengan menggunakan benih potongan adalah sebesar 66,67%, setara dengan penghematan biaya sebesar Rp. 1.200.000,- (Tabel 1). Adapun penghematan bahan berupa kantong plastik yang digunakan sebagai wadah dalam pengeceran bibit ke lubang tanam adalah sebesar Rp. 456.000,-. Berdasarkan data dan hasil penghitungan total biaya terhadap berbagai komponen kebutuhan dalam pembuatan bibit ulin sebanyak 5.000 bibit, hingga proses pengeceran bibit pada saat penanaman, maka total biaya bahan yang dapat dihemat dengan menggunakan benih potongan adalah sebesar 69,86% atau senilai Rp. 10.367.000,-. Artinya biaya bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan 5.000 bibit dengan menggunakan benih potongan hanya sebesar Rp. 4.473.000,- sementara dengan benih utuh dibutuhkan biaya sebesar Rp. 14.840.000,-. Dari data dan perhitungan di atas, diketahui bahwa harga persatuan bibit dengan menggunakan bahan benih potongan hanya sebesar Rp. 895,- sementara jika menggunakan benih utuh harga bibit menjadi jauh lebih tinggi yaitu sebesar Rp. 2.968,-. Harga bibit tersebut diluar komponen upah dan biaya bahan dalam pembuatan sungkup.

73


IV. PENUTUP Dengan melihat hasil serta uraian sebagaimana dikemukakan di atas, nampak bahwa pembuatan bibit ulin dapat dilakukan secara sederhana, dengan bahan yang sangat efisien serta biaya yang sangat murah. Semoga informasi ini dapat memberi manfaat bagi para pihak yang berkepentingan dalam upaya penyelamatan serta pengembangan jenis ulin. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada saudara Hendra Priatna dan Syaiful Islam atas bantuannya dalam penyusunan dan pembuatan poster makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Cahyani, E. W. 1999. Distribusi jenis ulin (Eusideroxylon zwageri T.et B.) di areal Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman Lempake Samarinda, Kalimantan Timur. Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Effendi, R. 2006. Teknik silvikultur ulin. Prosiding Workshop Sehari Peran Litbang Dalam Pelestarian Ulin. Kerjasama Pusat Libang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Samarinda, 20 Desember 2006. Junaidah, Nugroho. A.W., Siahaan. H., Sofyan. A. 2006. Status penelitian dan pengembangan ulin (Eusiderixylon zwageri T.et B.) di Sumatera Bagian Selatan. Prosiding Workshop Sehari Peran Litbang Dalam Pelestarian Ulin. Kerjasama Pusat Libang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Samarinda, 20 Desember 2006. Kueng, J.J.H. 2006. Kajian aspek sosial dan ekonomi kayu ulin. Prosiding Workshop Sehari Peran Litbang Dalam Pelestarian Ulin. Kerjasama Pusat Libang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Samarinda, 20 Desember 2006. Leksono, B. 1998. Teknik penanaman ulin (Eusideroxylon zwageri T.et B.). Tekno Reboisasi. Nomor. 08. 1998. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. 1998. Leksono, B., Saebani. A dan Wanto. 2000. Pertumbuhan bibit ulin (Eusideroxylon zwageri T.et B.) dari beberapa ukuran benih dan jenis media tumbuh. Buletin Teknologi Reboisasi. Pusat Penelitiabn dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I., Wong, W.C. 1996. Plant Resources of South-East Asia 5. (2) Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA. Bogor Indonesia. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A, Kadir, K. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Noor a , ‘.F. . Ko ser asi in-situ Eusideroxylon zwageri T.et B. Di PT. Hutani Sanggam Lestari (Ex. PT. INHUTANI I), Kabupaten Berau. Kalimantan Timur. Prosiding Workshop Sehari Peran Litbang Dalam Pelestarian Ulin. Kerjasama Pusat Libang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Samarinda, 20 Desember 2006.

74

Aspek Silvikultur

Nurhayati, Suastuti, L., Wiati, C.B., Suryanto. 2006. Kondisi tata niaga ulin di Kalimantan Timur. Prosiding Workshop Sehari Peran Litbang Dalam Pelestarian Ulin. Kerjasama Pusat Libang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Samarinda, 20 Desember 2006. Partomihardjo, T. 1987. The ulin wood which is threatened to extinction. Duta Rimba 8788 (13): 10-15. Qirom, M.A. 2006. Peranan litbang dalam mendukung kegiatan pelestarian jenis ulin di Kalimantan Selatan. Prosiding Workshop Sehari Peran Litbang Dalam Pelestarian Ulin. Kerjasama Pusat Libang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Samarinda, 20 Desember 2006. Sidiyasa, K. 1995. Struktur dan komposisi hutan ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.) di Kalimantan Barat. Wanatrop Vol. 8 (2): 1-11. Balai Litbang Kehutanan Samarinda. Soerianegara, I dan R.H.M. Lemmens. 1996. Timber trees: Mayor commercial timbers. PROSEA. Bogor. Soerianegara, I. 1974. Ecological research relevant to current silvikultur problems. Biotrop and IPB. Bogor. Sofyan, A., Lukman. A.H. dan Sagala. 2000. Laporan Hasil Penelitian (LHP) teknik budidaya jenis-jenis andalan setempat. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan. Susanto, M. 2006. Status litbang ulin (Eusideroxylon zwageri T.et B) Puslitbang Hutan Tanaman. Prosiding Workshop Sehari Peran Litbang Dalam Pelestarian Ulin. Kerjasama Pusat Libang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Samarinda, 20 Desember 2006. Sutrisno, K. 2006. Penyebaran semai dan pancang ulin (Eusiderixylon zwageri T.et B.) dari pohon induk pada tingkat kelerengan yang berbeda. Prosiding Workshop Sehari Peran Litbang Dalam Pelestarian Ulin. Kerjasama Pusat Libang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Samarinda, 20 Desember 2006. Wirasapoetra, K. 2006. Teliyon pelestarian pohon ulin belajar bersama masyarakat adat. Prosiding Workshop Sehari Peran Litbang Dalam Pelestarian Ulin. Kerjasama Pusat Libang Hutan Tanaman dan Tropenbos International Indonesia. Samarinda, 20 Desember 2006.

75


76

Aspek Silvikultur

RESPON UKURAN BENIH DAN PERLAKUAN PENDAHULUAN TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH ROTAN JERNANG ASAL MUARA ENIM Nanang Herdiana dan Sahwalita Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Rotan jernang merupakan salah satu HHBK unggulan dengan sebaran yang cukup luas. Akibat pemanfaatan yang bersifat mengektraksi dari alam dan semakin berkurangnya luas wilayah hutan karena alih fungsi maka jenis ini mulai langka. Pengembangan rotan jernang melalui budidaya, akan berimplikasi terhadap pengadaan bibit rotan jernang dengan kualitas yang baik dan dalam jumlah yang cukup. Di sisi lain terdapat permasalahan dalam perkecambahan rotan jernang, yaitu rendahnya daya kecambah yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah variasi buah dalam satu tandan dan sulitnya mematahkan dormansi benih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ukuran benih dan perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih rotan jernang (Daemonorops hystrix (Griff.) Martius var. hystrix). Parameter yang diamati adalah daya kecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih rotan jernang berukuran besar cenderung memiliki nilai daya berkecambah, kecepatan dan keserampakan tumbuh yang lebih baik dibanding benih rotan berukuran kecil, masing-masing sebesar 41,13%, 13,66 hari dan 24,27%. Perlakuan pendahuhuan dengan pencongkelan mata tumbuh paling efektif dalam meningkatkan kualitas perkecambahan untuk skala kecil, tetapi untuk skala luas lebih baik memanfaatkan zat pengatur tumbuh atonik sebagai larutan perendam benih sebelum dikecambahkan. Kata kunci: rotan jernang, daya berkecambah, kecepatan berkecambah, keserempakan tumbuh

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rotan jernang adalah rotan yang menghasilkan resin jernang atau dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama Darah Naga Asia (Asian Dragon Blood) (Gupta et al., 2008). Jernang merupakan bahan baku yang diekspor untuk industri-industri di China, Singapura dan Hongkong. Menurut data dari Atase Perdagangan Negara RRC, RRC membutuhkan 400 ton jernang tiap tahunnya dan Indonesia baru mampu mengekspor kurang dari 27 ton per tahun (Pasaribu, 2005). Di Indonesia, rotan jernang banyak tumbuh di wilayah Sumatera Bagian Selatan dan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Pola pemanfaatan rotan jernang sampai saat ini masih sederana dan masih mengandalkan dari alam. Para penjernang berkeliling hutan untuk mencari rotan jernang dan pegolahannya dilakukan di dalam hutan atau di rumah. Meskipun permintaan dan harga resin semakin tinggi, potensi produksi resin jernang semakin menurun dan menjadi langka. Hal ini disebabkan oleh sistem pemanenan di hutan alam yang tidak lestari (pemanenan buah jernang muda dan pemancungan batang pada saat pegambilan buah), kebakaran hutan dan perubahan fungsi lahan. Dalam upaya menjaga produksi jernang, salah satunya dapat dilakukan dengan pengembangan melalui budidaya, baik pengayaan di hutan alam maupun penanaman di areal budidaya. Upaya tersebut akan berimplikasi terhadap pengadaan bibit rotan jernang dengan kualitas yang baik dan dalam jumlah yang cukup. Dalam upaya pengadaan bibit rotan jernang, sampai saat ini masih terkendala oleh rendahnya daya berkecambah. Buah rotan jernang berbentuk malai dengan jumlah buah yang cukup banyak, berkisar dari 10 – 50 butir, memiliki variasi ukuran buah atau benih 77


yang relatif tinggi. Secara umum, ukuran benih berhubungan dengan viabilitas dan vigor benih (Schmidt, 2002). Benih yang berat pada umumnya mempunyai vigor yang lebih baik dibandingkan dengan benih yang ringan. Selain itu, struktur kulit benih rotan yang sangat keras diduga akan menghambat secara mekanis terhadap masuknya air dan gas ke dalam benih. Dengan demikian, perlu dilakukan pengujian tentang pengaruh ukuran benih dan perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih rotan jernang (Daemonorops hystrix (Griff.) Martius var. hystrix). B. Tujuan Pengujian ini bertujuan untuk memperoleh informasi respon ukuran benih dan perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih rotan jernang. II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Persemaian Balai Penelitain dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang pada Bulan September - Desember 2015. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah buah rotan jernang yang dipanen dari Semendo Kabupaten Muara Enim pada bulan September 2015, cocopeat, dan atonik. Alat yang digunakan boks perkecambahan, handsprayer dan alat tulis. C. Metode Buah hasil pemanenan dilepas dari tangkainya dan disortir untuk memilih buah yang baik dan telah matang dengan seragam kemudian dikupas untuk menghilangkan kulit dan daging buahnya. Buah selanjutnya dicuci bersih sampai tidak ada daging buah yang menempel. Benih yang diperoleh kemudian disortir menjadi 2 kelompok berdasarkan ukuran dimensinya, kelompok benih besar berukuran panjang antara 1,18 1,45 cm dan diameter antara 0,95 - 1,19 cm, sedangkan benih kecil memiliki panjang antara 0,99 - 1,25 cm dan diameter 0,78 - 1,02 cm. Aplikasi perlakuan pendahuluan dilakukan sebelum benih dikecambahkan dalam kontainer berisi media cocofeat lembab steril. Rancangan perlakuan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial dengan dua faktor, yaitu ukuran benih (Faktor A) dan perlakuan pendahuluan (Faktor B). A = Faktor ukuran benih A1 : Benih ukuran besar (panjang > 1,20 cm dan diameter > 0,95 cm) A2 : Benih ukuran kecil (panjang 1,20 cm dan diameter , cm) B

= Perlakuan pendahuluan B1 : Kontrol B2 : Be ih dire da dala air pa as C di iarka sampai dingin selama 12 jam B3 : Benih dicuci menggunakan larutan Atonik dengan konsentrasi 5ml/liter B4 : Benih direndam dalam larutan Atonik dengan konsentrasi 5ml/liter selama 12 jam. B5 : Benih dicongkel mata tunasnya

Masing-masing perlakuan menggunakan 3 ulangan yang terdiri dari 50 butir benih, jumlah benih yang ditabur 1.500 butir. Respon pengamatan yang diukur adalah jumlah 78

Aspek Silvikultur

kecambah yang tumbuh per hari pengamatan. Sedangkan parameter yang diamati adalah daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh. a. Daya Berkecambah Daya berkecambah dihitung berdasarkan persentase benih yang berkecambah normal terhadap banyaknya benih yang ditabur, dihitung berdasarkan rumus: DB (%) 

 kecambah normal yang tumbuh x 100%  benih yang ditabur

b. Kecepatan Berkecambah Kecepatan berkecambah dihitung berdasarkan jumlah penambahan kecambah setiap hari, dihitung berdasarkan rumus: n h  n2 h2  ..... ni hi KcB (hari)  1 1 n1  n2  .... ni Di mana: ni :  benih yang berkecambah pada hari ke-i hi :  hari yang diperlukan untuk mencapai jumlah kecambah ke-i c. Keserempakan Tumbuh Penentuan keserempakan tumbuh dilakukan dengan cara menghitung persentase jumlah kecambah yang muncul selama satu minggu pada saat puncak perkecambahan terjadi dan dilakukan pada saat sudah terbentuk kecambah normal. Data hasil pengukuran dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dengan model matematis sebagai berikut (Mattjik dan Made, 2000): Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk Keterangan: Yijk : nilai pengamatan µ : nilai tengah Ai : faktor ukuran benih pada taraf ke-i Bj : faktor perlakuan pendahuluan pada taraf ke-j (AB)ij : komponen interaksi dari faktor A dan faktor B εijk : pengaruh acak yang menyebar normal Jika perlakuan yang diuji berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati, maka dilakukan uji beda nilai tengah dengan uji jarak berganda duncan (Steel and Torrie, 1980). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analsis ragam perlakuan yang diujikan terhadap parameter daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh perkecambahan rotan jernang (Daemonorops hystrix (Griff.) Martius var. hystrix) selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

79


Tabel 1. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih rotan jernang. Sumber Keragaman

Db

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

Fhit

Ftabel 0,05

Ftabel 0,01

a. Daya Berkecambah Ukuran benih (A) Perlakuan pendahuluan (B) A*B Galat Total

1 4 4 20 29

2,11 105,78 0,65 1,63 110,15

2,11 26,44 0,16 0,08

25,324 324,67 1,99

4,35 2,87 2,87ns

8,10** 4,43** 4,4

1 4 4 20 29

4,79 155,39 1,76 6,01 167,95

4,79 38,84 0,44 0,30

15,95 129,28 1,46

4,35 2,87 2,87 ns

8,10** 4,43** 4,43

Ukuran benih (A) 1 8,41 Perlakuan pendahuhuan (B) 4 224,46 A*B 4 3,71 Galat 20 4,61 Total 29 241,19 Keterangan:  = berbeda sangat nyata pada taraf 0,01 ns = Tidak berbeda nyata pada taraf 0,05

8,41 56,11 0,93 0,23

36,44 243,27 4,02

4,35 2,87 2,87*

8,10** 4,43** 4,43

b. Kecepatan Berkecambah Ukuran benih (A) Perlakuan pendahuhuan (B) A*B Galat Total c. Keserempakan tumbuh

 = berbeda nyata pada taraf 0,05

Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa ukuran benih dan perlakuan pendahuluan berpengaruh sangat nyata terhadap semua parameter perkecambahan benih rotan jernang. Sedangkan interaksi antara dua perlakuan yang diuji tersebut hanya berpengaruh nyata terhadap parameter keserempakan tumbuh. Hasil uji lanjut perlakuan ukuran benih, perlakuan pendahuluan serta interaksinya terhadap daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih rotan jernang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih rotan jernang No 1

2

Perlakuan

Daya Berkecambah (%)

Kecpatan Berkecambah (hari)

Keserempakan Tumbuh (%)

Ukuran benih (A) A1 A2

41,13 a 27,87 b

13,66 a 18,39 b

24,27 a 16,13 b

Perlakuan pendahuluan (B) B1 B2 B3 B4 B5

27,67 c 0,00 d 39,67 b 44,00 b 63,67 a

26,39 a 0,00 d 23,77 a 19,73 b 10,24 c

9,67 c 0,00 d 19,00 b 24,33 b 48,00 a

80

Aspek Silvikultur Tabel 2 (lanjutan) Daya Kecpatan Keserempakan No Perlakuan Berkecambah Berkecambah Tumbuh (%) (%) (hari) 3. Interaksi ukuran benih dan perlakuan pendahuluan (A*B) A1B1 30,00 23,09 8,00 f A1B2 0,00 0,00 0,00 g A1B3 48,67 20,60 13.33 def A1B4 55,33 15,86 18,00 cde A1B5 76,67 8,73 41,33 ab A2B1 25,33 29,69 11,33 ef A2B2 0,00 0,00 0,00 g A2B3 30,67 26,97 24,67 cd A2B4 32,67 23,59 30,67 bc A2B5 50,67 11,75 54,67a a Keterangan:  Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata bedasarkan Uji Jarak Berganda Duncan.  Keterangan kode taraf perlakuan terdapat pada metodologi

Proses perkecambahan benih merupakan rangkaian kompleks dari perubahanperubahan morfologi, fisiologis dan biokimia. Pada proses perkecambahan, protein, pati dan lipid dirombak oleh enzim-enzim yang akan digunakan sebagai bahan penyusun pertumbuhan di daerah titik-titik tumbuh dan sebagai bahan bakar respirasi (Sutopo, 2002). Hasil pengujian menunjukkan bahwa perkecambahan rotan jernang (Tabel 1 dan 2) dipengaruhi oleh ukuran benih, benih rotan jernang berukuran besar cenderung memiliki nilai daya berkecambah, kecepatan dan keserampakan tumbuh yang lebih baik dibanding benih rotan berukuran kecil, masing-masing sebesar 41,13%, 13,66 hari dan 24,27%. Secara umum perkecambahan benih dipengaruhi oleh tingkat kemasakan benih, ukuran benih (berat benih) serta dormansi benih (Sutopo, 2002). Pengaruh ukuran benih terhadap perkecambahan berhubungan dengan ketersediaan cadangan makanan, karena benih yang besar mempunyai kandungan makanan yang lebih besar sehingga memacu embrio untuk tumbuh lebih cepat dan sehat (Mugnisyah et.al., 1994; Laksmi et.al., 1995; Hartman dan Kester, 1975 dalam Saebani, 1997). Hasil penelitian pada beberapa jenis tanaman juga menunjukkan kecenderungan yang sama, di antaranya pada tanaman Eusideroxylon zwageri (Saebani, 1997), Acacia auriculiformis (Komar dan Indrati, 2001), Khaya anthoteca (Bramasto dan Nurhayati, 1999) dan Gmelina arborea (Tampubolon et al., 1999). Berdasarkan hal tersebut, maka untuk kepentingan produksi sebaiknya menggunakan benih dengan ukuran normal atau sedang sampai besar. Menurut Mayer dan Mayber (1975) dalam Winarni dan Suita (2008) disebutkan bahwa benih yang normal mengandung bahan makanan yang cukup untuk menyediakan kebutuhan energi saat perkecambahan. Kulit benih rotan jernang memiliki struktur yang keras, sehingga diduga akan kedap dan menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air dan gas ke dalam benih, biasanya dikenal dengan istilah dormansi fisik. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan perlakuan yang bertujuan untuk melunakkan kulit benih yang keras, sehingga menjadi permeabel terhadap air dan gas (Sutopo, 2002). Menurut Sahupala (2007), perlakuan yang dapat digunakan untuk mematahkan tipe dormansi fisik adalah dengan skarifikasi pada kulit benih dengan cara penusukan, penggoresan, pemecahan, pengikiran atau cara 81


lainnya. Salah satu perlakuan pendahuluan yang diuji dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkecambahan benih rotan jernang adalah pencongkelan mata tunas (over culume). Perlakuan ini mampu memberikan daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh masing-masing sebesar 63,67%, 10,24 hari dan 48,00%. Nilai yang diperoleh pada pengujian ini memang cukup tinggi jika dibandingkan dengan hasil pengujian perkecambahan D. didymophilla yang dilakukan oleh Bustomi (2014), daya berkecambah yang diperoleh berkisar antara 47,75 - 50,00%. Perlakuan lain yang diujikan dalam upaya meningkatkan imbibisi air kedalam benih adalah dengan perendaman benih dalam air panas (80 ºC) dan dibiarkan sampai dingin selama 12 jam. Ternyata perlakuan tersebut berpengaruh buruk, seluruh benih yang diberi perlakuan ini tidak berkecambah. Hal ini diduga karena sebenarnya kulit benih jernang cukup porous untuk mendukung imbibisi air, tetapi lapisan penutup titik tumbuh (over culume) relatif sulit ditembus oleh kecambah. Kemungkinan lain adalah lapisan penutup titik tumbuh benih rotan jernang cepat luruh akibat suhu tinggi air panas yang digunakan dan langsung masuk ke dalam benih, sehingga langsung mematikan embrio. Pemanfaatan zat pengatur tumbuh diharapkan dapat mempercepat proses perkecambahan dan pertumbuhan bibit rotan jernang karena didalamnya mengandung bahan aktif natrium orto-nitrofenol 2,0 g/l, natrium para-nitrofenaol 3,0 g/l, natrium 2-4 dinitrofenol 0,5 g/l dan natrium 5 nitroguaiacol 1,0 g/l. Menurut Lingga dan Marsono (2007), zat-zat pengatur tumbuh dengan bahan aktif tersebut dapat mempercepat perkecambahan, merangsang pertumbuhan akar, mengaktifkan penyerapan unsur hara, meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan meningkatkan keluarnya kuncup. Perlakuan perendaman dan pencucian dengan larutan atonik cenderung memberikan respon daya berkecambah dan keserempakan tumbuh yang relatif sama (Tabel 2), tetapi respon kecepatan perkecambahan perlakuan perendaman dengan larutan atonik lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pencucian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pencucian benih dengan larutan zat pengatur tumbuh telah cukup untuk menambah hormon tumbuh di dalam benih. Senyawa organik tersebut dapat membantu merangsang berbagai proses fisiologis benih. Berdasarkan hal tersebut, maka kemungkinan pengaturan lama perendaman diduga tidak akan efektif dalam meningkatkan perkecambahan rotan jernang. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunarlin et al. (2012) pada benih semangka, bahwa lama perendaman dengan zat pengatur tumbuh dengan bahan aktif yang sama tidak memberikan pengaruh nyata pada daya kecambah dan pertumbuhan tanaman semangka. Interaksi antara ukuran benih rotan jernang dengan perlakuan pendahuluan yang memberikan pengaruh signifikan hanya pada parameter keserempakan tumbuh saja. Perlakuan dengan pencongkelan titik tumbuh pada benih berukuran besar maupun kecil mampu meningkatkan keserempakan tumbuh perkecambahan benih rotan jernang, masing-masing sebesar 54,67% dan 41,33%. Upaya peningkatan kualitas perkecambahan benih rotan jernang yang paling memungkinkan adalah dengan perlakuan pencongkelan titik tumbuh, tetapi perlakuan ini akan menjadi kurang efektif dan ekonomis jika dilakukan dalam skala luas. Berdasarkan hal tersebut maka pemanfaatan atonik sebagai bahan perendam dalam perkecambahan rotan jernang akan lebih praktis dan ekonomis untuk diaplikasikan dalam skala luas oleh para penangkar bibit rotan jernang.

82

Aspek Silvikultur

IV. KESIMPULAN Benih rotan jernang (Daemonorops hystrix (Griff.) Martius var. hystrix) berukuran besar cenderung memiliki nilai daya berkecambah, kecepatan dan keserampakan tumbuh yang lebih baik dibanding benih rotan berukuran kecil, masing-masing sebesar 41,13%, 13,66 hari dan 24,27%. Perlakuan pendahuhuan dengan pencongkelan mata tumbuh paling efektif dalam meningkatkan kualitas perkecambahan untuk skala kecil, tetapi untuk skala luas lebih baik memanfaatkan zat pengatur tumbuh atonik sebagai larutan perendam benih sebelum dikecambahkan. DAFTAR PUSTAKA Bramasto, Y. dan K. Nurhayati. 1999. Pengaruh ukuran dan cara ekstraksi buah khaya anthoteca terhadap perkecambahan serta mutu bibit. Buletin Teknologi Perbenihan 6(l). Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Bustomi, S. 2014. Pembibitan Rotan jernang Daemonorops dan D. Dydimophilla. Tekno Hutan Tanaman Vol. 7 no. 1, Maret 2014. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produksi hutan. Bogor. Gupta, D., B. Bleakley, R.K. Gupta. 2008. Dragon blood: Botany, chemistry and therapeutic uses. Review. Journal of athnopharmacology 115. Komar, T.E. dan R. K. Indrati. 2001. Pengaruh ukuran benih terhadap per-kecambahan, tinggi dan jumlah daun pada anakan A auriculiformis A. Cunn. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon 5(2). Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Laksmi, R., S. Sunarti, P. Tambunan dan F. Mangjuwibowo. 1995. Viabilitas dan variabilitas benih antar famili pada kebun benih Eucalyptus pellita di Wonogiri dan Kalimantan Selatan. Wana Benih. Yogyakarta. Lingga, P. dan Marsono, 2007. Petunjuk penggunaan pupuk. Edisi Revisi Penebar Swadaya, Jakarta. Mattjik, A. dan Made. S. 2000. Perancangan percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Istitut Pertanian Bogor. Bogor. Mugnisyah, WQ; A. Setiawan; Suwarto dan C. Santiwa. 1994. Panduan pratikum dan penelitian bidang ilmu dan teknologi benih. Raja Grafindo Pustaka. Pasaribu, H., 2005. China butuh 400 ton jernang dari Indonesia. Sumber: www.kapanlagi.com. Diakses tanggal 1 Desember 2010. Saebani, A. 1997. Pengaruh ukuran benih terhadap pertumbuhan semai ulin (Eusideroxylon zwageri T. et. B) pada media pasir. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Universitas Sjakhyakirti. Palembang. Tidak dipublikasikan. Sahupala, A., 2007. Teknologi benih. Prosiding. Pelatihan Penanaman Hutan. Ambon, 12 13 Desember 2007. Schmidt, L. 2002. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub-tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Forest Seed Project. Departemen Kehutanan. Jakarta. Steel, R.G.D. and Torrie, J.H. 1980. Principles and procedures of statistic. McGraw-Hill, inc.

83


Sunarlin, N dan Syukria, I.Z., dan Joko, P. 2012. Pelukaan benih dan perendaman dengan atonik pada perkecambahan benih dan pertumbuhan tanaman semangka non biji (Citrullus vulgaris Schard L.). Jurnal Agroteknologi, Vol. 2 No. 2, Februari 2012. Sutopo, L. 2002. Teknologi benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Tampubolon, A., Rusmana dan M.Y. Ham. 1999. Pengaruh morfologi benih (G. arborea, A. crassicarpa, dan S. macrophylla) terhadap sifat perkecambahan dan penampakan bibit serta pengaruh kekompakan akar bibit terhadap mutu bibit. Buletin Balai Teknologi Reboisasi 2. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Winarni, T. B dan E. Suita. 2008. Pengaruh ukuran benih terhadap perkecambahan benih kayu afrika (Maesopsis Eminii Engl.). Artikel. Diakses tanggal 3 September 2015. www.findthatpdf.com/.../download-documents-vol 13.

84

Aspek Silvikultur

PEMANGKASAN CABANG DALAM PENANAMAN TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb) dan BAMBANG LANANG (Michelia champaca L) Agus Sofyan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]

ABSTRAK Menanam pohon penghasil kayu dalam bentuk hutan rakyat sebagai salah satu bentuk investasi sudah banyak dilakukan. Jati, sengon dan jabon merupakan jenis-jenis yang banyak dipilih oleh sebagian masyarakat, khususnya di Pulau Jawa. Untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan, jenis-jenis yang banyak ditanam masyarakat adalah tembesu (Fagraea fragrans Roxb) dan Bambang lanang (Michelia champaca L). Tembesu dan Bambang lanang memiliki karakter pertumbuhan yang sama, yaitu banyaknya jumlah cabang yang dihasilkan selama proses pertumbuhannya. Keberhasilan pertumbuhan tanaman dalam pembangunan hutan tanaman (Hutan Rakyat) sangat dipengaruhi berbagai faktor, terutama penerapan teknik silvikultur yang diterapkan. Pemangkasan cabang merupakan salah satu praktek teknik silvikultur yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas hutan rakyat, khususnya jenis-jenis tanaman yang proses peluruhan cabangnya secara alami atau self pruning yang rendah. Pemangkasan cabang yang tepat dan di dukung dengan pemeliharaan yang baik dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas hutan rakyat tembesu dan bambang lanang. Kata kunci: hutan rakyat, produktivitas, pemangkasan, tembesu, bambang

I. PENDAHULUAN Dewasa ini, menanam kayu (pohon penghasil kayu) sudah menjadi salah satu bentuk investasi yang menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat. Di pulau Jawa, jati (Tectona grandis), sengon (Paraserianthes falcataria) dan jabon (Anthochepalus cadamba) merupakan jenis-jenis yang cukup populer dan banyak ditanam di kebun-kebun rakyat (Hutan Rakyat). Untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan seperti Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung, penanaman pohon penghasil kayu juga telah lama dilakukan oleh sebagian masyarakat. Beberapa jenis yang cukup banyak dikembangkan di wilayah tersebut adalah tembesu (Fagraea fragrans Roxb.), bambang lanang (Michelia champaca L.) dan cempaka. Berbeda dengan kondisi kebun atau hutan rakyat yang terdapat di Jawa, hutan rakyat yang terdapat di beberapa daerah di Sumbagsel, khususnya hutan rakyat tembesu terkesan tidak atau kurang terawat sehingga pertumbuhannya nampak tidak maksimal dan sangat lambat. Sedikit berbeda, pada hutan atau kebun bambang lanang, yang umumnya ditanam dalam bentuk pola campuran dengan kopi atau kakao, nampak mempunyai kondisi yang lebih baik dan lebih terawat di banding kebun tembesu. Tembesu dan bambang lanang mempunyai kemiripan dalam pola pertumbuhannya, yaitu sama-sama menghasilkan cabang dalam jumlah yang sangat banyak selama periode pertumbuhannya. Kebun tembesu milik masyarakat yang ada saat ini, umumnya mempunyai pertumbuhan yang belum maksimal, yaitu dengan rerata riap pertumbuhan diameter dan tinggi pada umur 3 tahun masing-masing sebesar 1,82 cm dan 1,82 m per tahun, sementara pada umur 6 tahun sebesar 1,67 cm dan 1,71 m untuk diameter dan tinggi (Sofyan et al., 2013). Tidak maksimalnya pertumbuhan tanaman tembesu masyarakat, menurut Sofyan et al. (2013), disebabkan oleh beberapa faktor yaitu 1). Pemeliharaan yang tidak optimal, 2). Kurangnya pemahaman atau pengetahuan tentang aspek 85


silvikultur jenis tembesu, 3). Penggunaan materi bibit yang seadanya, dimana bibit tidak dipersiapkan dan diseleksi secara serius. Keberhasilan pertumbuhan tanaman atau tegakan, menurut Hardiyanto (2005) dan Purwita dan Supriadi (2010), sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor pemeliharaan dan praktek-praktek silvikultur yang tepat. Peran dan pengaruh yang nyata dari faktor pemeliharaan dan praktek silvikultur terhadap peningkatan produktivitas atau pertumbuhan tegakan telah banyak dilaporkan. Dalam rangka mendukung pembangunan hutan rakyat jenis tembesu dan bambang lanang, penulis ingin menyampaikan informasi beberapa hasil penelitian yang terkait dengan karakter atau pola pertumbuhan tanaman tembesu dan bambang lanang serta pentingnya praktek silvikultur yang tepat, khususnya perlakuan pemangkasan cabang dalam rangka mencapai pertumbuhan tegakan serta hasil kayu yang maksimal. II. MENGENAL KARAKTER PERTUMBUHAN TEMBESU DAN BAMBANG LANANG A. Pertumbuhan Tembesu Tembesu merupakan jenis tanaman pioner yang mudah tumbuh pada areal terbuka dan hutan-hutan sekunder bekas tebangan. Jenis ini secara alami tumbuh dari tunas-tunas akar atau tunggul tanaman sisa tebangan. Walaupun mempunyai pertumbuhan yang lambat, namun tembesu mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi dan dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah dan kondisi lingkungan (Lemmens et al., 1995). Tembesu mempunyai pola atau karakter pertumbuhan yang khas, yaitu banyaknya jumlah cabang yang dihasilkan pada seluruh periode pertumbuhannya, baik pada periode pertumbuhan awalnya (fase vegetatif) maupun pertumbuhan lanjutannya (fase reproduktif). Gambaran tentang banyaknya jumlah cabang tembesu yang dihasilkan pada pertumbuhan awal, baik pada tanaman yang berasal dari anakan alam maupun tanaman yang berasal dari bibit, selengkapnya disajikan pada Gambar 1.

(a)

(b)

Gambar 1. (a) Permudaan alam (Trubusan akar) dan (b) Permudaan buatan (penanaman) Umur 1 Tahun Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa proses pertumbuhan batang selalu diikuti dengan munculnya cabang dalam jumlah yang cukup banyak, sebagaimana disajikan dalam Gambar 1a dan Tabel 1. Cabang-cabang tersebut mempunyai sifat pertumbuhan yang sangat aktif, hal ini ditandai dengan munculnya anak cabang dalam jumlah yang sangat banyak (Gambar 1b). 86

Aspek Silvikultur

Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan pada tanaman muda (Tabel 1), nampak bahwa pada umur 4 bulan setelah tanam, rerata cabang yang dihasilkan sebanyak 6,05 cabang, dengan diameter dan tinggi batang masing-masing sebesar 0,85 cm dan 59,1 cm. Dengan rerata jumlah cabang sebanyak 6,05 cabang dan tinggi tanaman 59,1cm, maka jarak antar cabangnya adalah 9,77 cm. Kondisi yang sama juga terjadi pada tanaman berumur 1 tahun, dengan rerata tinggi tanaman 203 cm, jumlah rerata cabang yang dihasilkan sebanyak 23,85 cabang, dengan demikian jarak antar cabang dalam kondisi yang sangat rapat yaitu 8,51 cm. Jika dilihat pertambahan cabang dari tanaman umur 4 bulan sampai dengan umur 1 tahun, sebagaimana disajikan dalam Tabel 1, maka rerata pertambahannya sangat besar yaitu sebanyak 17,80 cabang. Data tersebut menunjukkan bahwa selama pertumbuhan 8 bulan telah terjadi pertambahan cabang dalam jumlah yang sangat tinggi yaitu sebesar 294,21 %. Tabel 1. Rerata jumlah ruas dan cabang pada tanaman tembesu umur 4 bulan dan 1 tahun setelah tanam di KHDTK Kemampo Umur Tanaman (4 bulan) Umur Tanaman (1 tahun) Tinggi Diameter Jumlah Jumlah Tinggi Diameter Jumlah Jumlah No (cm) (cm) ruas cabang (m) (cm) ruas cabang 1 60 0,8 10 7 2,40 3,2 32 28 2 48 0,7 10 10 2,00 3,0 24 18 3 56 0,8 12 3 2,30 3,2 31 25 4 58 0,8 10 2 2,35 3,2 33 31 5 61 0,8 11 7 2,60 3,2 32 33 6 48 0,6 14 5 1,85 2,5 24 21 7 51 0,7 13 2 2,15 2,8 26 26 8 61 0,9 12 6 1,80 2,0 21 19 9 60 0,8 12 3 2,30 3,2 31 22 10 64 1,0 12 6 1,60 1,6 26 20 11 54 0,7 7 2 2,00 2,6 25 22 12 53 0,8 9 4 1,70 2,0 25 23 13 58 0,8 10 6 2,20 2,5 26 23 14 61 0,9 13 8 2,50 3,5 29 27 15 66 1,0 12 7 2,10 3,2 31 27 16 53 0,6 11 3 1,50 1,6 22 26 17 69 1,0 12 9 2,30 3,0 30 22 18 62 1,0 14 10 1,50 2,0 24 21 19 73 1,2 15 14 2,10 3,0 28 30 20 66 1,1 12 7 1,30 1,3 17 13 Rerata 59.1 0.85 11.55 6,05 2.03 2.63 26.85 23.85 Sebagaimana telah disampaikan dimuka bahwa pada seluruh periode pertumbuhan tembesu akan selalu diikuti dengan muncul/tumbuhnya cabang baru dengan jumlah yang banyak, hal ini dapat dilihat pada pertumbuhan tanaman tembesu umur 8 tahun (fase generatif), dimana rerata jumlah cabang yang dihasilkan sebanyak 84 cabang (gambar 3a, 3b). Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman tembesu pada umur 8 tahun adalah 14,75 m dan diameter 20,38 cm. Dengan rerata jumlah cabang sebanyak 84 cabang, maka jarak antar cabang pada umur 8 tahun menjadi sangat rapat 87


yaitu 17,56 cm (Sofyan et al., 2014). Berbeda dengan kebanyakan jenis pohon hutan pada umumnya, cabang-cabang tembesu yang tumbuh sejak pertumbuhan awalnya, ternyata pada umur tanaman 8 tahun, tidak mengalami peluruhan atau rontok secara alami (Gambar 3a, 3b). Kondisi serta pola pertumbuhan tersebut, jika dibiarkan tentunya selain dapat menghambat pertumbuhan batang juga akan menurunkan kualitas kayu yang dihasilkan karena banyaknya mata kayu.

(a)

(b)

(c)

Gambar 3 (a) Cabang yang tidak luruh (8 tahun), (b) Ukuran cabang yang semakin besar (8 tahun), (c) Hasil Pemangkasan (6 tahun) Berbeda dengan kondisi tegakan yang tidak diberi perlakuan pemangkasan, sebagaimana disajikan dalam Gambar 3a dan 3b, pada tegakan/tanaman umur 6 tahun yang diterapkan perlakuan pemangkasan sejak umur 2 tahun, menunjukkan hasil batang tembesu yang lurus dan batang bebas cabang yang sangat (gambar 3c). Dengan kondisi hasil pemangkasan tersebut, tentu pertumbuhan batangnya dapat berlangsung secara optimal dan kualitas kayu yang dihasilkan menjadi lebih baik. Pola dan karakter pertumbuhan yang menghasilkan banyak percabangan, tentunya akan menghambat pertumbuhan batang utama, karena hasil-hasil fotosintesis, biomass serta nutrisi tanaman akan banyak terfokus ke bagian cabang yang memiliki banyak jaringan muda atau juvenile, dengan demikian produktifitas tegakan (khususnya batang) yang akan dihasilkan tidak optimal bahkan menjadi rendah. Berdasarkan pada data serta penjelasan sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan serta kualitas kayu yang maksimal, maka perlakuan pemangkasan cabang dalam penanaman tembesu harus dilakukan secara periodik, mulai awal pertumbuhan yaitu umur 6 bulan hingga umur 3-4 tahun. Hasil penelitian terkait perlakuan pemangkasan yang dilakukan oleh Sofyan et al. (2013), pada tanaman tembesu umur 3 tahun, menunjukkan bahwa pemangkasan dengan tingkat intensitas 40 - 50% dapat meningkatkan pertumbuhan diameter batang (dbh) sebesar 24,88% dibanding dengan tanaman kontrol yang tidak dilakukan pemangkasan. Rerata riap diameter batang (dbh) yang tidak diberi perlakuan pemangkasan adalah sebesar 2,05 cm, sementara pada tanaman yang dipangkas sebesar 2,56 cm. B. Pertumbuhan Bambang Lanang Sebagaimana telah disampaikan dimuka, bahwa pertumbuhan bambang lanang juga disertai dengan pertumbuhan cabang dalam jumlah yang sangat banyak sejak pertumbuhan awalnya. Namun demikian, berbeda dengan tembesu, cabang-cabang pada bambang lanang akan mengalami peluruhan atau rontok secara alami pada saat tanaman 88

Aspek Silvikultur

memasuki umur 4 tahun. Proses peluruhan biasanya terjadinya secara bertahap, dimulai dari cabang yang terdapat pada bagian yang paling bawah. Berdasakan hasil pengamatan dan pengukuran pada tanaman bambang lanang umur 1 sampai 2 tahun, diketahui bahwa percabangan tanaman bambang lanang tumbuh dan terdapat pada hampir seluruh bagian batang (sepanjang batang), yaitu antara 75 % 90 % dari tinggi total tanaman. Gambaran percabangan pada pertumbuhan awal tanaman bambang lanang, nampak sebagaimana disajikan pada gambar 4. Berbeda dengan kondisi tanaman yang tidak mendapat perlakuan pemangkasan, tanaman yang mendapat perlakuan pemangkasan pada umur 2,5 tahun, nampak mengalami pertumbuhan batang yang cukup baik dan cabang-cabang yang tumbuh setelahnya (setelah pemangkasan), nampak mengalami kekeringan dan luruh atau rontok secara alami pada umur 4,5 tahun.

a

b

c

Gambar 4. (a) Percabangan Bambang lanang umur 1 tahun, (b) 2 tahun dan (c) tegakan umur 4,5 tahun Berdasarkan hasil perhitungan terhadap jumlah cabang pada tanaman bambang lanang umur 1 tahun dan 2 tahun, diperoleh rerata jumlah cabang masing-masing sebanyak 21,08 dan 38,46 cabang. Pada tanaman umur 1 tahun, rerata tinggi tanaman adalah 2,17 m (diameter 3,80 cm) dan rerata jumlah cabang sebanyak 21,08 cabang, dengan demikian jarak antar cabangnya dalam kondisi yang sangat rapat yaitu sebesar 10,29 cm. Sementara pada umur 2 tahun, dengan tinggi tanaman 2,93 m (diameter 3,90 cm), jarak antar cabangnya menjadi semakin rapat yaitu 7,62 cm. Sebagaimana halnya yang terjadi pada tembesu, pertambahan jumlah cabang pada bambang lanang juga diikuti dengan bertambah besarnya ukuran cabang (Gambar 5).

Gambar 5. Percabangan B. Lanang umur 2 tahun

89


Melihat pola pertumbuhan tersebut, maka perlakuan pemangkasan dalam penanaman bambang lanang harus dilakukan sejak dini, sehingga akan diperoleh pertumbuhan yang optimal pada batang utamanya. Pemangkasan dapat dilakukan pada saat tanaman berumur 6 bulan sampai 3 tahun dengan periode 6 bulan sekali. Perlakuan pemangkasan cabang, selain dapat meningkatkan pertumbuhan batang utama serta kualitas kayu yang akan dihasilkan, juga memiliki fungsi dan manfaat lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu tersedianya ruang tumbuh bagi tanaman lain, sehingga diperoleh peluang penanaman dengan pola tanam campuran. Salah satu contoh manfaat pemangkasan adalah diterapkannya pola tanam campuran tembesu atau bambang lanang dengan tanaman hortikultura atau sayuran seperti cabai, tomat, terong atau lainnya sebagaimana disajikan dalam Gambar 6 dan 7. Dengan pola taman campuran tentu akan dihasilkan produk tambahan, selain hasil dari tanaman pokok. Disamping itu dari sisi pemeliharaan, tanaman pokok manjadi lebih terpelihara dengan adanya pemeliharaan tanaman campuran (tanaman sela) yang dilakukan secara intensif.

Gambar 6. Pola tanam campuran Tembesu, cabai

DENGAN PEMANGKASAN MEMBERI RUANG TANAMAN BAWAH CAMPURAN KARET, BAMBANG LANANG CABE DAN TOMAT

Gambar 7. Pola tanam campuran Bambang lanang, karet, cabai dan tomat

90

Aspek Silvikultur

III. PEMANGKASAN Pemangkasan cabang adalah tindakan silvikultur berupa pembuangan cabang yang tumbuh pada batang utama, yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman (batang utama) serta kualitas kayu yang akan dihasilkan. Untuk jenis-jenis tanaman yang kemampuan peluruhan cabangnya (self pruning) rendah, maka perlakuan pemangkasan wajib dan harus dilakukan sejak fase pertumbuhan awalnya, guna diperoleh pertumbuhan dan hasil kayu yang maksimal. Pemangkasan awal atau dikenal sebagai pemangkasan bentuk (form pruning) yang dilakukan pada saat tanaman berumur muda sangat efektif untuk dilaksanakan, karena ukuran cabangnya masih relatif kecil dan jaringannya masih relatif muda (Departement of Primary Industries, 2001). Beberapa laporan hasil penelitian terkait perlakuan pemangkasan yang telah dilakukan pada beberapa jenis tanaman hutan, menunjukkan pangaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Viques, E dan D. Perez, (2005) menyatakan bahwa pemangkasan cabang dengan intensitas yang tepat pada tanaman jati umur 2,2 tahun, memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan, baik pertumbuhan tinggi maupun diameter setinggi dada (DBH). Pemangkasan cabang pada tanaman harus dilakukan dengan intensitas yang tepat, karena intensitas pemangkasan akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman, khususnya pertumbuhan diameter setinggi dada. Selanjutnya dikatakan pula bahwa dengan intensitas yang terlalu tinggi, justru dapat mengganggu dan menurunkan pertumbuhan tanaman. Sebagaimana halnya tanaman jati, pemangkasan cabang yang terlalu berat atau tinggi yaitu 60% dan 70% dari tinggi total tanaman, pada Pinus radiata telah menurunkan riap pertumbuhan diameter (Neilsen, W.A dan E.A. Pinkard, 2003). Hal senada juga dilaporkan oleh Lukman et al. (2010), pada tanaman tembesu, yang menyatakan bahwa pemangkasan dengan intensitas 40%-50% dari tinggi total menghasilkan pertambahan diameter tertinggi dan berbeda nyata dibanding dengan kontrol dan pemangkasan dengan intensitas 60%. 3.A. Beberapa manfaat perlakuan pemangkasan cabang (Pramono et al., 2010 dan Viques, E dan D. Perez, 2005) 1. Dengan pemangkasan akan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, tinggi bebas cabang serta mengurangi mata kayu pada batang utama. 2. Dengan pemangkasan cabang dan ranting maka nutrisi tanaman lebih terkonsentrasi untuk pertumbuhan batang utama. 3. Pemangkasan dapat mengurangi resiko kebakaran hutan atau tegakan. 4. Kayu hasil pangkasan dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan tambahan pendapatan petani. 5. Pemangkasan dapat meningkatkan kualitas kayu yang dihasilkan. 3.B. Bagaimana pemangkasan dilakukan 1. Pemangkasan tanaman tembesu dan bambang lanang dilakukan mulai umur 6 bulan, dimana ukuran cabang masih relatif kecil dan jaringannya masih muda, sehingga lebih efektif dan mudah dilakukan. 2. Pemangkasan harus dilakukan dengan tingkat intensitas yang tepat sesuai dengan jenis, untuk tembesu dengan intensitas 40%-50% dari tinggi total tanaman.

91


3. Pemotongan cabang sebaiknya sedekat mungkin dengan batang utama, namun tidak sampai memotong leher cabang (Gambar 7). Sisa cabang yang terlalu panjang dapat menyebabkan cacat pada kayu dan munculnya tunas baru.

(a)

(b)

Gambar 7. Pemotongan cabang terlalu jauh dari leher cabang (a), dan pemotongan cabang dekat batang utama (b) 4. Pemangkasan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa alat seperti gunting stek, gergaji pangkas serta gunting pangkas bertangkai (Gambar 8). 5. Untuk menghindari hama dan penyakit, maka bekas pangkasan ditutup dengan cat atau ter.

b Gambar 8. Kegiatan pemangkasan cabang tembesu dengan berbagai alat pangkas yang sesuai dengan kondisi tanaman. IV. PENUTUP Keberhasilan pembangunan hutan rakyat atau hutan tanaman, sangat ditentukan oleh beberapa faktor penting, seperti kesesuaian lahan, materi (genetik) atau bahan yang digunakan serta penerapan teknik silvikultur yang tepat. Diantara perlakuan silvikultur seperti pemeliharaan dan pemupukan yang intensif, perlakuan pemangkasan cabang 92

Aspek Silvikultur

mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman, khususnya untuk jenis-jenis tanaman yang kemampuan peluruhan atau pruning alaminya rendah seperti tembesu dan bambang lanang. Pemangkasan cabang harus dilakukan pada intensitas serta waktu yang tepat. Melalui tulisan ini, penulis berharap pembangunan hutan rakyat, khususnya jenis tembesu dan bambang lanang dapat dilakukan secara tepat, sehingga dicapai pertumbuhan tanaman dan tegakan dengan tingkat produktivitas yang maksimal. DAFTAR PUSTAKA Departement of Primary Industries, 2001. Agriculture Note: Eucalypt Stem Pruning. Forest Science Centre, Des Stackpole. Victoria. Hardiyanto, E. B. 2005. Beberapa Isu Silvikultur dalam Pengembangan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. Yogyakarta, 26-27 Mei 2005. Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam Mendukung Rehabilitas Hutan. ITTO dan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Lemmens, R. H. M. J., I. Soerianegara and W.C. Wong. 1995. Plant Resources of South East Asia No 5 (2). Timer Trees: Minor Comercial timbers. PROSEA. Bogor, Indonesia. Lukman, A. H., Junaidah., Sofyan, A. dan Nasrun. 2010. Pengaruh Pemangkasan Terhadap Pertumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) pada Dua Jarak Tanaman Berbeda. Prosiding Seminar Nasional. Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan. Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Neilsen, W. A. and E. A. Pinkard. 2003. Effects green pruning on growth of Pinus radiata. Can. J. For. Res. 33 :2067-2073. NRC Research Press. Canada. Purwita, T. Dan B. Supriadi. 2010. Pembangunan Hutan Tanaman Industri Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Makalah pada Diskusi Multi Pihak: Peran Litbang Dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman di Sumatera Selatan. Palembang 2010. Pramono, A. A., Fauzi, M. A., Widyani, N., Heriansyah, I dan Roshetko, J.M. 2010. Pengelolaan Hutan Jati Rakyat. Panduan Lapangan Untuk Petani. Central for International Forestry Research, Bogor. Indonesia. Sofyan, A., A. H. Lukman, Junaidah dan Nasrun. 2013. Peningkatan Riap Pertumbuhan Tanaman Tembesu Melalui Beberapa Perlakuan Silvikultur. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan. Palembang, 2 Oktober 2013. Sofyan, A., A. H. Lukman dan Nasrun. 2014. Teknik Silvikukltur Jenis Tembesu. Laporan Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan. Viquez, E. and D. Perez. 2005. Effect of Pruning on Tree Growth, Yield and Wood Properties of Tectona grandis Plantation in Costa Rica. Silva Fennica 39 (3): 381390.

93


94

Aspek Silvikultur

PENANGANAN BUAH DAN PERKECAMBAHAN BENIH ROTAN PENGHASIL JERNANG Sahwalita dan Nanang Herdiana Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]

ABSTRAK Tingginya permintaan terhadap resin jernang menyebabkan semakin tinggi pula eksplotasi terhadap rotan jernang di hutan alam. Persaingan antar pengepul rotan jernang dalam memperoleh bahan baku untuk industri resin jernang semakin memperparah eksplotasi terhadap rotan jernang. Keberadaan rotan jernang di alam semakin terdesak juga akibat kerusakan habitat, kebakaran dan alih fungsi lahan. Upaya yang perlu dilakukan adalah dengan pengembangan rotan jernang baik di dalam maupun di luar habitatnya. Pengembangan dilakukan melalui pengayaan dan budidaya dengan sistem campuran. Untuk mendukung program tersebut diperlukan bibit dalam jumlah cukup dengan kualitas yang baik dan seragam. Kendala utama dalam memperoleh bibit adalah kesulitan dalam memperoleh buah yang masak fisiologis dan rendahnya daya berkecambah. Untuk meningkatkan daya berkecambah maka perlu upaya proses penanganan buah dan perkecambahan yang baik. Tahapan yang dilakukan terdiri dari 2 tingkatan: 1). Penanganan buah dan benih meliputi seleksi dan sortasi buah, ekstraksi benih serta seleksi dan sortasi benih 2). Perkecambahan meliputi perendaman benih dan pencucian fungisida, pengantongan dan pengamatan perkecambahan. Kata kunci: rotan jernang, benih, bibit, penanganan, perkecambahan

I. PENDAHULUAN Menurunnya produktivitas rotan jernang dari hutan alam mulai dirasakan oleh para pengepul jernang pada saat ini. Persaingan dalam memperoleh produk resin jernang semakin ketat bahkan cenderung tidak sehat. Pengepul pada tingkat kecamatan berusaha merebut pasar dengan bersaing menitip alat pengolahan pasca panen rotan jernang pada tingkat desa yang dekat dengan sumber buah rotan jernang. Hal ini bersifat positif dengan membentuk sentra-sentra baru industri resin jernang, tetapi di lain pihak akan mempercepat kepunahan rotan jernang akibat tuntutan pemenuhan bahan baku yang cukup tinggi. Bahan baku tersebut mengandalkan dari hutan alam dengan cara pemanfaatan yang tidak lestari karena persaingan antar penjernang dari masing-masing wilayah. Peningkatan sentra-sentra baru resin jernang memberikan manfaat yang luas baik secara ekonomi dan sosial. Kondisi ini perlu didukung dengan persediaan bahan baku rotan jernang yang cukup dan berkelanjutan. Pemenuhan bahan baku tidak dapat mengandalkan produksi rotan jernang di hutan alam karena terus menurun dan tidak ada jaminan kontinuitas karena bersifat open access. Pemanfaatan buah jernang dapat dilakukan kapan saja dengan kapasitas yang tidak terbatas. Selain itu teknik pemanenan yang dilakukan menyebabkan produksi buah menurun bahkan dapat menyebabkan kematian pohonnya. Upaya yang perlu dilakukan adalah domestikasi rotan jernang untuk menjamin bahan baku dalam mendukung keberlangsungan industri resin jernang. Domestikasi dapat dilakukan melalui pengembangan tanaman rotan jernang baik di dalam kawasan berupa pengayaan maupun pada lahan milik melalui budidaya. Pengembangan tanaman rotan jernang akan berimplikasi terhadap ketersediaan bibit yang berkualitas dan seragam 95


dalam jumlah yang cukup. Di sisi lain, sampai saat ini masih ada hambatan untuk memperoleh bibit, terutama dalam hal keterbatasan memperoleh benih dan daya kecambah yang rendah. Salah satu penyebab benih sulit diperoleh adalah karena buah rotan jernang dipanen masih muda untuk mendapatkan resin jernang, sehingga sulit diperoleh buah rotan jernang yang masak secara fisiologis. Selain itu, daya berkecambah rotan jernang termasuk rendah, untuk jenis rotan jernang bulat (Daemonorops dydimophilla) hanya berkisar antara 37,11% (Bustomi, 2014) sampai 50,00 % (Sahwalita, 2015). Daya berkecambah yang rendah tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kualitas buah dan penanganan buah yang kurang baik serta metoda perkecambahan yang belum sesuai dan terstandar. Dalam upaya memperoleh bibit yang berkualitas diperlukan penanganan buah dan benih yang baik, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan daya berkecambah yang tinggi dengan kualitas yang baik dan seragam. Untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam menangani buah dan benih rotan penghasil jernang serta perkecambahannya. II. PENANGANAN BUAH DAN BENIH Buah rotan jernang yang akan digunakan sebagai materi pembibitan harus yang telah masak secara fisiologis, ditandai dengan warna kulit buah yang telah berubah dari hijau menjadi hijau kekuningan sampai berwarna kuning. A. Seleksi dan Sortasi Buah Buah rotan jernang yang diperoleh di seleksi dan disortir, untuk memilih dan memilah buah yang memiliki kualitas yang baik dan seragam. Buah yang baik tidak hanya telah masak secara fisiologis, tetapi juga masih segar dan memiliki ukuran buah sedang sampai besar (diameter di atas 15 mm). Ukuran buah atau benih akan berhubungan dengan viabilitas dan vigor benih (Schmidt, 2002). Benih yang berat pada umumnya mempunyai vigor yang lebih baik dibandingkan dengan benih yang ringan. Ukuran benih dalam mempengaruhi proses perkecambahan berhubungan dengan ketersediaan cadangan makanan, karena benih yang besar mempunyai kandungan makanan yang lebih besar sehingga memacu embrio untuk tumbuh lebih cepat dan sehat (Mugnisyah, et.al., 1994; Laksmi et.al., 1995 dan Hartman dan Kester, 1975 dalam Saebani, 1997).

Gambar 1. Proses seleksi dan sortasi buah rotan jernang Seleksi dan sortasi diperlukan karena buah rotan jernang yang dipanen biasanya langsung diambil pertandan, dengan jumlah buah bisa mencapai lebih dari puluhan butir per tandannya, sehingga akan terdapat variasi buah yang cukup tinggi, baik tingkat kemasakan buah maupun ukurannya. Saat ini, buah jernang yang telah masak fisiologis ini 96

Aspek Silvikultur

hanya diperoleh jika para penjernang memasuki wilayah baru yang sebelumnya belum pernah dimasuki oleh penjernang. Karena tempatnya yang jauh akan berimplikasi pada transportasi buah yang juga lama, sehingga beresiko terjadinya pembusukan buah selama transportasi, maka buah yang sampai perlu dipisahkan antara buah yang masih segar dan buah yang busuk atau rusak. B. Ekstraksi Benih Ekstraksi benih yaitu proses pengeluaran benih dari buah yang bertujuan agar menghasilkan benih dengan jumlah yang maksimum dan kualitas fisiologis yang baik dengan cara yang efisien dan ekonomis (Bonner, et al., 1994). Metoda ekstraksi buah rotan jernang dapat menggunakan cara ekstraksi kering dan ekstraksi basah. Ekstraksi kering dilakukan dengan cara mengupas langsung buah menggunakan alat bantu seperti pisau dan dilanjutkan dengan membersihkan sisa-sisa daging buah yang menempel pada benih. Ekstraksi basah dilakukan dengan cara menggilas buah di atas tampah dengan bantuan media air yang dilakukan berulang-ulang. Tujuannya untuk merusak lapisan kulit dan daging buah, selanjutnya benih dicuci sampai bersih sampai tidak ada lagi daging buah yang menempel pada benih. Untuk memudahkan proses penggilasan, buah terlebih dahulu diperam di dalam karung supaya kulit dan daging buah melunak/busuk. Pada prakteknya, metode ekstraksi basah biasa digunakan karena lebih praktis, cepat dan kulitas benih yang diperoleh lebih baik. Pada jumlah benih yang banyak cara ini akan mempersingkat waktu pengerjaan ekstraksi, sehingga dapat menjaga kualitas benih.

Gambar 2. Ekstraksi kering (a) dan Ekstraksi basah (b) C. Seleksi dan Sortasi Benih Benih rotan jernang hasil ekstaksi diseleksi dengan cara dibersihkan dari kotoran sisa-sisa proses ekstraksi berupa kulit dan daging buah, karena akan mempengaruhi kualitas fisik benih. Di samping itu, bagian benih tertentu jika tidak dibersihkan/dihilangkan akan merangsang datangnya patogen dan juga kotoran benih akan mengurangi volume bersih benih untuk kepentingan pengangkutan dan penyimpanan serta untuk memudahkan panaburan di persemaian. Sortasi merupakan suatu upaya untuk memperbaiki kemampuan potensial dari seed lot dengan membuang benih yang kosong, rusak, lemah, muda atau benih dengan ukuran yang tidak normal. Setelah disortasi diharapkan benih memiliki kondisi dan ukuran yang seragam dan tingkat kemurnian yang tinggi (Bonner, et al., 1994). Dalam kegiatan sortasi tersebut juga dilakukan kembali pemilihan dan pengelompokkan benih berdasakan warna kulit benih dan ukurannya, karena kadangkala kita tidak mendapatkan benih segar yang mudah ditentukan tingkat masak fisiologisnya. Benih tua adalah benih yang memiliki tempurung yang berwarna hitam kecoklatan, sedangkan benih muda 97


memiliki tempurung berwarna coklat muda. Ukuran benih juga bervariasi sesuai dengan jenisnya, untuk jenis jernang bulat (Daemonorops dydimophilla) mulai dari besar (panjang antara 1,18 - 1,45 cm dan diameter antara 0,95 - 1,19 cm) dan kecil (panjang antara 0,99 1,25 cm dan diameter 0,78 - 1,02 cm) (Sahwalita, 2015).

Gambar 3. Variasi warna dan ukuran benih rotan jernang Seleksi dan sortasi ini diperuntukan untuk memperoleh benih-benih yang berkualitas sehingga dapat meningkatkan daya berkecambah. Hasil penelitian Sahwalita (2015), menunjukkan bahwa ukuran benih berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah dan kecepatan berkecambah. III. PERKECAMBAHAN BENIH Secara umum, proses perkecambahan benih terdiri dari rangkaian komplek perubahan-perubahan morfologi, fisiologis dan biokimia benih. Pada proses perkecambahan, protein, pati dan lipid dirombak oleh enzim-enzim yang akan digunakan sebagai bahan penyusun pertumbuhan di daerah titik-titik tumbuh dan sebagai bahan bakar respirasi (Soetopo, 2002). Berdasarkan pengalaman, perkecambahan benih rotan jernang relatif sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama, diduga memiliki dormansi benih. Dormansi benih menunjukkan suatu keadaan di mana benih-benih yang sehat (viabel) gagal untuk berkecambah walaupun berada dalam kondisi yang secara normal baik untuk perkecambahan, seperti kelembaban yang cukup, suhu dan cahaya yang sesuai. Beberapa tipe dormansi yang terdapat pada benih tanaman hutan antara lain: dormansi embrio, makanis, fisik, kimia, cahaya dan dormansi suhu (Schmidt, 2002). Beberapa jenis benih memiliki satu tipe dormansi, tetapi kadang-kadang lebih dari satu tipe terjadi dalam benih yang sama. Benih rotan jernang memiliki struktur kulit benih yang keras yang diduga akan menghambat pemecahan benih pada saat perkecambahan. Selain itu, benih rotan jernang juga memiliki mata tunas (over culume) yang dilapisi oleh semacam lapisan yang kedap air, sehingga menghambat imbibisi air ke dalam benih. A. Perendaman Benih dan Pencucian dalam Larutan Fungisida Benih rotan jernang termasuk rekalsitran, sehingga tidak bisa dikeringkan sampai kadar air yang rendah atau disimpan lama. Benih rotan jernang secepat mungkin untuk dikecambahkan. Benih yang telah dipilih berdasarkan ukuran selanjutnya direndam selama 3 hari. Perendaman bertujuan untuk membantu melunakan over culume dan memacu imbibisi air ke dalam benih, sehingga akan memacu proses perkecambahan. Setelah benih rotan direndam selanjutnya ditiriskan dan kemudian direndam dalam larutan fungisida selama sekitar 15 menit. Perendaman menggunakan fungisida bertujuan untuk menjaga kondisi benih dari serangan jamur karena kondisi benih yang

98

Aspek Silvikultur

lembab. Benih yang terserang jamur dapat mempengaruhi kualitas tunas yang muncul dalam proses perkecambahan.

Gambar 4. Perendaman benih dalam larutan fungisida B. Pengantongan Setelah benih steril dari jamur selanjutnya dimasukan ke dalam kantong plastik bening. Ukuran kantong plastik disesuaikan dengan jumlah benih, kantong plastik ukuran 3 kg dapat menampung sekitar 100-200 butir benih. Kantong plastik berisi benih tersebut selanjutnya diikat erat dengan karet dan diusahakan agar terdapat udara dalam plastik yang dibutuhkan selama proses perkecambahan. Kantung plastik berisi benih rotan tersebut selanjutnya diletakkan dan ditata pada rak.

Gambar 5. Benih rotan jernang dalam kantong plastik transparan C. Pengamatan Perkecambahan Benih rotan jernang umumnya akan mulai berkecambah pada minggu ke dua. Pengamatan perkecambahan dilakukan secara periodik setiap minggu dengan membuka kantong plastik. Hal ini dilakukan untuk penggantian udara di dalam kantong selama perkecambahan dan sekaligus untuk mengambil benih-benih rotan yang berkecambah. Benih rotan yang mulai berkecambah ditandai dengan lepasnya over culume dan munculnya organ tumbuh berwarna putih pada titik tumbuh yang selanjutnya akan berkembang menjadi radikel dan plumula. Untuk menghindari serangan jamur sisa benih yang ada dicuci kembali dengan fungisida sebelum dimasukkan kembali ke dalam kantong plastik.

99


Gambar 6. Kecambah rotan jernang Kecambah-kecambah tersebut selanjutnya dimasukan dalam kontainer yang berisi media cocofeat lembab dan steril (disemprot dengan fungisida secara teratur). Pemeliharaan kecambah dalam kontainer tersebut dilakukan sampai kecambah membentuk akar dan batang jarum, hingga layak untuk disapih ke dalam polybag dengan panjang batang jarum sekitar 2 cm dan akar sekitar 5 cm.

Gambar 7. Kecambah rotan jernang yang siap dipindahkan ke polybag IV. PENUTUP Penanganan buah rotan jernang yang baik diharapkan dapat menghasilkan benih yang memiliki kualitas fisik dan fisiologis yang baik dan seragam. Perlakuan dan pengkondisian benih rotan jernang selama perkecambahan telah mampu menghasilkan daya berkecambah yang cukup baik. Sulitnya memperoleh buah yang masak dan rendahnya daya berkecambah membuat penanganan terhadap buah rotan jernang ini perlu hati-hati. Ke depan diharapkan dapat diperoleh cara perkecambahan yang lebih baik untuk mendukung penyediaan bibit yang berkualitas. DAFTAR PUSTAKA Bonner, F. T., J. A. Vozzo, W. W. Elam, dan S. B. Land Jr. 1994. Tree seed technology trai i g ourse i stru tor s a ual. United States Departement of Africulture, Forest Service. New Orleans. Lousiana.

100

Aspek Silvikultur

Bustomi, Sofwan. 2014. Pembibitan rotan jernang Daemonorops dan D. Dydimophilla. Tekno Hutan Tanaman Vol. 7 no. 1, Maret 2014. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produksi hutan. Bogor. Laksmi, R., S. Sunarti, P. Tambunan dan F. Mangjuwibowo. 1995. Viabilitas dan variabilitas benih antar famili pada kebun benih Eucalyptus pellita di Wonogiri dan Kalimantan Selatan. Wana Benih. Yogyakarta. Mugnisyah, WQ; A. Setiawan; Suwarto dan C. Santiwa. 1994. Panduan pratikum dan penelitian bidang ilmu dan teknologi benih. Raja Grafindo Pustaka. Saebani, A. 1997. Pengaruh ukuran benih terhadap pertumbuhan semai ulin (Eusideroxylon zwageri T. et. B) pada Media Pasir. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Universitas Sjakhhyakirti. Palembang. Tidak dipublikasikan. Sahwalita. 2015. Perkecambahan benih rotan penghasil jernang (Daemonorops dydimophilla) asal Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Sewindu BPTHHBK Mataram dengan tema Pengarusutamaan hasil Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai lokomotif Pembangunan Berkelanjutan. Mataram, 1 Oktober 2015. Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Forest Seed Project. Soetopo, L. 2002. Teknologi benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

101


102

Aspek Silvikultur

PERTUMBUHAN DIAMETER DAN TINGGI POHON PENGHASIL GAHARU DI LAMPUNG Agus Sumadi dan Agus Sofyan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Pohon penghasil gaharu merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki potensi ekonomi tinggi. Jenis ini sudah dibudidayakan oleh masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Lampung merupakan salah satu wilayah pembudidayaan pohon penghasil gaharu dengan berbagai pola tanam. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan informasi pertumbuhan diameter dan tinggi pohon penghasil gaharu yang dibudidayakan oleh masyarakat di wilayah Lampung. Model pertumbuhan pohon penghasil gaharu dibangun dengan menggunakan persamaan logistik yang meliputi persamaan pertumbuhan diameter dan pertumbuhan tinggi. Dengan persamaan ini dapat memproyeksikan informasi perkembangan pertumbuhan diameter dan tinggi berdasarkan umur tegakan atau tanaman, sehingga dapat menjadi pedoman dalam melakukan inokulasi, penerapan perlakukan silvikultur serta estimasi produksi. Kata kunci: Gaharu, Lampung, pertumbuhan, diameter, tinggi

I. PENDAHULUAN Pohon gaharu merupakan jenis yang memiliki potensi ekonomi tinggi. Dengan hasil gubal dan nilai jualnya yang tinggi, telah mendorong sebagian masyarakat membudidayakan jenis ini. Gaharu memiliki beragam manfaat, sebagaimana yang dinyatakan Abdurachman et al. (2009) bahwa penggunaan gaharu yang pada mulanya hanya sebagai pengharum tubuh, ruangan dan bahan baku pembuatan dupa, kemudian dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, penggunaannya telah mengalami perkembangan yang sangat beragam antara lain, sebagai bahan baku industri parfum dan bahan pengikat wewangian serta sebagai bahan obat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Menurut Millang et al. (2011), saat ini jenis pohon penghasil gaharu alam, potensinya sudah sangat menurun dan sulit ditemukan di hutan alam Sumatera yang merupakan wilayah penyebaran alaminya. Kondisi ini disebabkan karena semakin meningkatnya eksploitasi terhadap hutan alam serta semakin gencarnya penebangan pohon penghasil gaharu di berbagai wilayah. Dengan semakin menurunnya potensi produksi gaharu alam, sementara permintaannya semakin meningkat, maka situasi ini pada satu sisi tentunya dapat dijadikan sebagai peluang baik bagi pengembangan gaharu hasil budidaya, sebagaimana dinyatakan oleh Anwar dan Hartal (2007) bahwa untuk melestarikan sumberdaya dan produksi gaharu yang berkelanjutan, maka secara teknis perlu dilakukan upaya budidaya yang didukung dengan teknik penanaman serta inokulasi yang tepat, guna dicapai produksi yang maksimal. Provinsi Lampung merupakan salah satu wilayah, dimana masyarakatnya telah cukup familiar dengan budidaya dan pengembangan tanaman penghasil gaharu. Tanaman ini telah banyak dikembangkan dengan berbagai pola tanam, baik secara monokultur, campuran maupun pola agroforestri. Pengembangkan pohon penghasil gaharu umumnya dilakukan secara swadaya pada lahan milik masyarakat. Pengembangan pola campuran yang paling banyak dikembangkan oleh masyarakat berupa campuran antara pohon 103


penghasil gaharu dengan tanaman perkebunan berupa karet, sedangkan pola agroforestri yang dikembangkan oleh masyarakat di lampung berupa tanaman penghasil gaharu dengan kakao dan jagung. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pertumbuhan pohon penghasil gaharu berdasarkan umurnya yang dikembangkan oleh masyarakat di beberapa lokasi di Provinsi Lampung. Pertumbuhan yang akan disajikan berupa pertumbuhan diameter dan tinggi, yang sangat berguna dalam menentukan waktu yang tepat melakukan inokulasi. II. METODOLOGI Kegiatan penelitian dilakukan dengan cara penentuan dan pembuatan plot ukur pada berbagai umur dan pola tanam tegakan gaharu yang dikembangkan oleh masyarakat. Plot ukur dibuat dengan ukuran 30 m x 30 m, kemudian dilakukan pengukuran terhadap dimensi pohon, yaitu berupa diameter setinggi dada, tinggi pohon serta diameter tajuk. Pertumbuhan diameter dan tinggi pohon dibangun dengan model logistik (Husch et al., 2003; Forss et al., 1996), yaitu: Y = a/(1+b Exp (-cA)) Di mana Y = dimensi pohon diameter (Dbh) / tinggi pohon (H) A = umur tegakan (thn) a, b, c = nilai koefisien regresi III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pohon penghasil gaharu merupakan salah satu jenis pohon yang banyak diminati oleh masyarakat untuk dibudidayakan. Sebagai Informasi umum, pertumbuhan tanaman penghasil gaharu yang telah dikembangkan oleh masyarakat di wilayah Lampung ini, dapat memberikan gambaran tentang pertumbuhan diameter dan tinggi tegakan yang dikelola oleh masyarakat. Hasil pengukuran terhadap tegakan pohon penghasil gaharu pada masing-masing plot ukur yang tersebar di wilayah Lampung, yaitu meliputi daerah Lampung Timur dan Lampung Tengah, selengkapnya disajikan sebagaimana terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Data hasil pengukuran pohon penghasil gaharu pada beberapa tegakan yang terdapat di daerah Lampung Tengah dan Lampung Timur No Plot 1 2 3 4

Lokasi

Umur (th)

Letak Geografis

Diamater

Tinggi

Notoharjo, Trimurjo, Lampung Tengah Lampung Tengah Pekalongan, Lampung Timur

6

X 526505

6

540445

9443537

9,49

6,25

Batanghari Nuban, Lampung Timur Batanghari Nuban, Lampung Timur

2

549396

9444234

3,78

4,37

12

549395

9444283

17,08

9,96

104

Y 9436179

(cm) 11,20

(m) 7,70

Aspek Silvikultur Tabel 1. (Lanjutan)

No Plot

Lokasi

Umur (th)

5

Pekalongan, Lampung Timur

6

Letak Geografis

Diamater

Tinggi

6

X 538672

Y 9437588

(cm) 6,50

(m) 5,29

Probolinggo, Lampung Timur

3

560068

9449348

4,14

4,40

7

Trimurjo, Lampung Tengah

2

526693

9432677

2,54

4,15

8

Trimurjo, Lampung Tengah

6

526693

9432677

8,44

6,52

Data informasi hasil pertumbuhan dari berbagai tegakan pada masing-masing plot ukur sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. di atas, dapat dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan persamaan regresi untuk pertumbuhan diameter dan tinggi pohon peghasil gaharu secara umum di beberapa daerah di wilayah Lampung. A. Pertumbuhan Diameter Diameter pohon merupakan dimensi pohon yang umum digunakan untuk mengukur pertumbuhan pohon. Diameter pohon setinggi dada merupakan diameter pohon setinggi 1,3 m dari permukaan tanah. Pertumbuhan diameter merupakan penambahan dimensi diameter pohon dengan bertambahnya waktu. Berdasarkan data hasil pengukuran sebagaimana disajikan dalam Tabel 1, maka pola perkembangan diameter pohon penghasil gaharu berdasarkan umur adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 1. 18 16

14 Dbh (cm)

12 10 8 6 4 2 0 0

2

4

6 8 Umur (thn)

Data pengukuran

10

12

14

Model regresi

Gambar 1. Perkembangan diameter pohon penghasil gaharu di Lampung Berdasarkan data dan pola pertumbuhan sebagaimana disajikan dalam Gambar 1, maka persamaan yang terbangun untuk pertumbuhan diameter (dbh) adalah = 19.18/(1+10.86 Exp(-0.37A) dengan nilai R2 sebesar 92,25%. Model regresi yang terbangun tersebut memberikan gambaran bahwa besarnya variasi dalam pertumbuhan diameter tegakan pohon gaharu dapat diterangkan oleh variable umur tegakan sebesar 92,25%, sedangkan 7,75% nya diterangkan oleh faktor lain yang tidak masuk dalam variabel regresi yaitu dapat berupa faktor pola tanam, perlakuan silvikultur atau faktor

105


lingkungan tempat tumbuhnya. Model regresi ini memberikan gambaran secara umum pertumbuhan diameter pohon gaharu pada berbagai umur tegakan. Pola pertumbuhan diameter pohon penghasil gaharu dapat menjadi pedoman dalam melakukan budidaya dan penentuan waktu yang tepat untuk melakukan inokulasi. Berdasarkan persamaan yang terbangun sebagaimana diuraikan di muka, maka apabila inokulasi dapat atau akan dilakukan pada tanaman dengan diameter 10 cm, maka kegiatan inokulasi akan dapat dilakukan pada saat tegakan telah berumur 7 tahun. Pemodelan ini juga dapat menjadi pedoman dalam memproyeksikan hasil produksi dalam budidaya gaharu. B. Pertumbuhan Tinggi Tinggi merupakan salah satu dimensi pohon yang sering menjadi parameter dalam pertumbuhan tegakan. Tinggi total pohon merupakan tinggi pohon yang diukur dari permukaan tanah sampai dengan tajuk teratas. Pola pertumbuhan tinggi pohon penghasil gaharu pada berbagai umur berdasarkan data pertumbuhan tegakan yang dibudidayakan masyarakat di beberapa daerah di wilayah Lampung, selangkapnya disajikan dalam Gambar 2. berikut ini.

12 10

H (m)

8 6 4 2 0 0

2

4

6 8 Umur (thn)

Data pengukuran

10

12

14

Model regresi

Gambar 2. Perkembangan tinggi pohon penghasil gaharu di Lampung Pertumbuhan tinggi merupakan perkembangan tinggi pohon berdasarkan umurnya. Model regresi yang terbangun untuk pertumbuhan tinggi adalah H = 15.26/(1+3.80Exp(-0.16A)) dengan nilai R 2 sebesar 88,63%. Persamaan yang terbangun tersebut memberikan gambaran umum tentang pertumbuhan tinggi pohon penghasil gaharu yang dikembangkan oleh masyarakat di wilayah Lampung. Berdasarkan model yang terbangun tersebut, menunjukkan bahwa keragaman dalam pertumbuhan tinggi pohon dapat diterangkan oleh variabel umur sebesar 88,63% sedangkan sisanya 11,37% diterangkan oleh variabel lain, yaitu dapat berupa faktor pola tanam, perlakuan silvikultur atau faktor lingkungan tempat tumbuhnya. Model regresi ini memberikan gambaran secara umum pertumbuhan diameter pohon gaharu pada berbagai umur tegakan.

106

Aspek Silvikultur

IV. KESIMPULAN Pohon penghasil gaharu yang dikembangkan oleh masyarakat di beberapa daerah di wilayah Lampung memiliki berbagai umur tegakan. Persamaan regresi yang terbangun meliputi persamaan regresi pertumbuhan diameter dan tinggi pohon dengan persamaan Dbh = 19.18/(1+10.86 Exp(-0.37A) untuk diameter dan H = 15.26/(1+3.80Exp(-0.16A)) untuk tinggi. Persamaan yang terbangun tersebut dapat memproyeksikan perkembangan diameter dan tinggi pohon pada berbagai umur. Persamaan ini dapat menjadi pedoman dalam mengambangkan pohon penghasil gaharu terutama dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan inokulasi dan tindakan silvikultur lainnya. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, Saridan A. dan Lanniarti I. 2009. Potensi dan riap diameter jenis Aquilaria malaccensis Lamk di Hutan Alam Produksi Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol VI No 1. 1-11. Anwar. G dan Hartal, 2007. Teknologi peningkatan kualitas kayu gubal gaharu (Aquilaria malaccensis lamk.) Di kawasan pesisir bengkulu dengan inokulasi jamur penginduksi resin. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Forss E. D., Gadow K.V., and Saborowski J. 1996. Growth models for Unthinned Acacia mangium plantations in South Kalimantan, Indonesia. Journal of Tropical Forest Science, 8 (4): 449-462. Husch B, Beers TW, and Kershaw JA. 2003. Forest mensuration. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey. Millang, S., Bactiar B. dan Makmur A. 2011. Pertumbuhan awal pohon gaharu (Gryinops sp.) asal Nusa Tenggara Barat di Hutan Pendidikan Universitas Hasanudin. Jurnal Hutan dan Masyarakat., Volume. 6, No. 2, Agustus 2011.

107


108

Aspek Silvikultur

PENINGKATAN PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN POLA AGROFORESTRI DI KHDTK KEMAMPO - SUMATERA SELATAN Agus Sumadi dan Andika Imanullah Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Pengembangan pola agroforestri antara tanaman kehutanan, perkebunan dan pertanian dapat menjadi salah satu solusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pola agroforestri dapat memberikan penghasilan beragam bagi masyarakat dan meningkatkan produktifitas lahan. Produk pertanian dapat dihasilkan dalam waktu cepat sambil menunggu hasil tanaman perkebunan dan pada akhir daur pola ini dapat menghasilkan kayu. Salah satu tanaman pertanian yang dapat dikembangkan berupa cabai sedangkan tanaman perkebunan berupa karet yang dapat memproduksi getah sedangkan tanaman kehutanan dapat berupa pohon jenis lokal seperti bambang lanang. Kegiatan penelitian dilakukan dengan pembuatan demplot agroforestri dengan berbagai pola di KHDTK Kemampo. Hasil penelitian menunjukkan pola agroforestri antara karet, bambang lanang dan cabai dapat meningkatkan pertumbuhan diameter bambang lanang sebesar 45,77% serta tinggi sebesar 32.37% dibandingkan dengan pola monokultur. Pada tegakan karet pola agroforestri dapat meningkatkan pertumbuhan diameter sebesar 40.65% dan tinggi sebesar 22.81% dibandingkan dengan pola monokultur. Kata kunci: Agroforestri, karet, bambang lanang, cabai, pertumbuhan

I. PENDAHULUAN Alih-guna lahan hutan disadari menimbulkan banyak masalah seperti perubahan lingkungan global, kesuburan tanah yang menurun, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, dan kekeringan. Masalah ini menjadi beban berat bagi lingkungan di setiap tahunnya seiring dengan areal hutan yang bertambah menjadi lahan usaha lain. Agroforestri merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan yang bisa ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan dan secara tak langsung mengatasi masalah pangan. (Sardjono et al., 2003). Pengembangan pola agroforestri memerlukan pengaturan pola tanam antara pohon dan tanaman pertanian, hal ini sesuai dengan pendapat Irawan et al, (2012) agroforestri adalah sistem dan teknologi penggunaan lahan secara terencana, dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu dan tanaman pertanian yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran. Selain itu pola agroforestri dengan sistem penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian sehingga meningkatkan penghasilan bagi masyarakat dan meningkatkan produktifitas lahan. Pola agroforestri dapat meningkatkan keanekaragaman tanaman dalam luasan lahan (Hairiah et al., 2003). Pengembangan pohon dalam pola agroforestri menurut Awang et al. (2007) memiliki peran yaitu : (1) pohon berperan memelihara dan memperbaiki lingkungan fisik dalam rangka melestarikan tanaman pertanian dengan cara memperbaiki asupan nutrisi lahan dan energi, serta (2) pohon berfungsi melestarikan sumber ekonomi keluarga di pedesaan. Tanaman yang dikembangkan pada pola agroforestri di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo yaitu tanaman pertanian berupa cabai, tanaman kehutanan lokal bambang lanang dan tanaman perkebunan berupa karet yang dapat 109


memproduksi getah. Pengembangan pola agroforestri antara karet, bambang lanang dan cabai akan meningkatkan produktifitas lahan. Pola agroforestri merupakan pengelolaan lahan yang sama dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian sehingga pemanfaatan lahan dapat optimal dan lestari (Triwanto et al., 2013). Dampak positifnya dapat mempercepat pertumbuhan pohon. Tulisan ini memberikan gambaran pengaruh pola agroforestri terhadap riap diameter dan tinggi pohon yang dipolakan dengan agroforestri. II. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian dilakukan di KHDTK Kemampo dengan pembuatan plot penelitian seluas 3 ha. Pengembangan pola agroforestri antara tanaman kehutanan, perkebunan dan pertanian dapat menjadi salah satu solusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu tanaman pertanian yang dapat dikembangkan berupa cabai sedangkan tanaman perkebunan berupa karet yang dapat memproduksi getah sedangkan tanaman kehutanan dapat berupa jenis lokal seperti bambang lanang. Pola agroforestri telah dikembangkan di KHDTK Kemampo dengan berbagi perlakukan (pola tanam) sebagai berikut. Pola 1 (P1) : Pola agroforestri 1 baris bambang lanang + 2 baris karet + cabai Pola 2 (P2) : Pola campuran 1 baris bambang lanang + 2 baris karet Pola 3 (P3) : Pola monokultur bambang lanang / monokultur karet Penjelasan berbagai pola tanam yang dikembangkan di KHDTK Kemampo seperti pada Gambar 1, 2 dan 3 berikut ini.

Gambar 1. Pola tanam agroforestri (Pola 1)

110

Aspek Silvikultur

Gambar 2. Pola tanam Campuran (Pola 2)

Gambar 3. Pola tanam monokultur (Pola 3) tanaman kehutanan (A) dan tanaman karet (B) Kegiatan pengukuran dilakukan terhadap dimensi pohon baik berupa diameter dan tinggi total pohon. Pengukuran diameter pada tegakan yang berumur 1 sampai 2 tahun dilakukan pada diameter pangkal pohon karena belum memiliki diameter setinggi dada sedangkan tinggi pohon dilakukan pengukuran sampai ujung tajuk. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan pola agroforestri antara tanaman kehutanan, perkebunan dan pertanian dapat menjadi salah satu solusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pola agroforestri dapat memberikan penghasilan beragam bagi masyarakat. Produk pertanian dapat dihasilkan dalam waktu cepat sambil menunggu hasil tanaman perkebunan dan pada akhir daur pola ini dapat memproduksi kayu. Salah satu tanaman pertanian yang dapat dikembangkan berupa cabai sedangkan tanaman perkebunan berupa karet yang dapat memproduksi getah sedangkan tanaman kehutanan dapat 111


berupa jenis lokal seperti bambang lanang. Hasil pengukuran pertumbuhan diameter dan tinggi tegakan bambang maupun karet pada pola agroforestri dibandingkan dengan pola lain menunjukkan pertumbuhan yang berbeda.

Pertumbuhan Diameter (cm/thn)

A. Pertumbuhan bambang lanang Pertumbuhan diameter merupakan penambahan dimensi diameter tegakan bambang lanang selama 1 tahun penerapan berbagai pola tanam. Diameter yang menjadi objek pengukuran merupakan diameter pangkal pohon bambang lanang. Perkembangan pertumbuhan diameter tegakan bambang lanang pada berbagai pola tanam agroforestri, pola campuran dan pola monokultur sangat beragam seperti pada gambar berikut ini. 6,00

5,07

5,00 2,90

4,00

3,48

3,00 2,00 1,00 0,00 Agroforestri

Campuran

Monokultur

Pola tanam

Gambar 4. Pertumbuhan diameter tegakan bambang lanang umur 1-2 tahun pada berbagi pola tanam Pengembangan pola agroforestri antara bambang lanang, karet dan cabai dari Gambar 4. diatas, menunjukkan bahwa pola agroforestri memberikan pertumbuhan/riap diameter tegakan bambang lanang tercepat dibandingkan dengan pola lainnya. Pada pola agroforestri pertumbuhan diameter bambang mencapai 5,07 cm/tahun sedangkan pada pola lain seperti pola monokultur riap diameter 3,48 cm/tahun dan terendah pada pola campuran 2,90 cm/tahun. Pola campuran yang dikembangkan di KHDTK Kemampo cenderung memiliki pertumbuhan lebih lambat dibandingkan dengan pola monokultur. Pola campuran memiliki pertumbuhan lebih lambat 16,71% dibandingkan dengan pola monokultur. Pengembangan pola agroforestri mampu meningkatkan riap diameter tegakan bambang sebesar 45,77% dibandingkan dengan pola monokultur. Pemberian input dalam budidaya cabai mampu meningkatkan pertumbuhan diameter pohon bambang lanang yang signifikan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wijayanto dan Rifai (2010) menyebutkan pertumbuhan diameter pohon terbaik pada pola agroforestri dengan tanaman pertanian berupa cabai. Pola ini sangat direkomendasikan untuk dikembangkan secara luas oleh masyarakat selain dapat menghasilkan berbagai produk juga mampu meningkatkan pertumbuhan pohon. Tinggi tegakan merupakan dimensi pohon yang menjadi salah satu parameter dalam menilai pertumbuhan suatu pohon/tegakan. Pengembangan berbagai pola tanam di KHDTK Kemampo memberikan gambaran riap tinggi tegakan bambang lanang berbeda pada tiap pola tanam. Kondisi pertumbuhan tinggi tegakan bambang lanang seperti pada Gambar 5 berikut ini.

112

Aspek Silvikultur

Pertumbuhan tinggi (m/thn)

3,00

2,71 2,05

2,50 1,66

2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Agroforestri

Campuran

Monokultur

Pola tanam

Gambar 5. Pertumbuhan tinggi tegakan bambang lanang umur 1 – 2 tahun pada berbagai pola tanam Pola tanam yang dikembangkan memberikan pengaruh terhadap riap tinggi tegakan bambang lanang. Riap tinggi tegakan bambang lanang terbaik terdapat pada pola agroforestri dengan riap sebesar 2,71 m/tahun lebih cepat dibandingkan dengan pola monokultur dengan riap 2,05 m/tahun dan riap terendah terdapat pada pola campuran dengan riap 1,66 m/tahun. Pengembangan pola agroforestri dengan bercocok tanam cabai secara intensif mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi bambang lanang sebesar 32,37% lebih cepat dibandingkan dengan pola monokultur. Budidaya intensif cabai dengan pemberian pupuk serta perawatan yang intensif terhadap lahan budidaya cabai berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan tinggi pohon bambang lanang. Pola campuran antara bambang lanang dan karet cenderung memiliki riap tinggi tegakan bambang lanang yang lebih lambat 18,70% dibandingkan dengan pola monokultur. B. Pertumbuhan Karet Karet merupakan komoditas unggulan di wilayah Sumatera Selatan. Jenis ini banyak dikembangkan oleh masyarakat pada lahan milik. Hasil pengembangan berbagai pola tanam yang ada di KHDTK Kemampo memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan diameter maupun tinggi tegakan karet. Pertumbuhan diameter tegakan karet dengan berbagai pola tanam seperti pada Gambar 6 berikut ini. Pertumbuhan Diameter (cm/thn)

3,68 4,00 3,50

2,62

3,00

2,02

2,50 2,00

1,50 1,00

0,50 0,00 Agroforestri

Campuran

Monokultur

Pola tanam

Gambar 6. Pertumbuhan diameter karet umur 1 - 2 tahun pada berbagai pola tanam 113


Riap diameter karet merupakan penambahan dimensi diameter pangkal karet antara umur 1 tahun sampai dengan 2 tahun. Pada berbagai pola tanam menunjukkan riap diameter karet beragam. Pada pola agroforestri pertumbuhan diameter karet tercepat dengan riap sebesar 3,68 cm/tahun diikuti dengan pola monokultur sebesar 2,62 cm/tahun dan pertumbuhan terlambat pada pola campuran dengan riap 2,02 cm/tahun. Pola campuran antara karet dan bambang lanang menunjukkan pertumbuhan diameter tegakan karet terlambat dibandingkan dengan pola-pola lainnya. Pola agroforestri antara bambang lanang , karet dan tanaman pertanian berupa cabai mampu meningkatkan pertumbuhan diameter sebesar 40,65% dibandingkan dengan pola monokultur. Dengan adanya budidaya cabai secara intensif dapat menyebabkan pertumbuhan diameter karet meningkat secara pesat. Pada usia muda antara 1 tahun sampai 2 tahun merupakan puncak pertumbuhan pohon sehingga pengambangan pola agroforestri sangat cocok untuk meningkatkan riap diameter karet, sehingga merupakan pola tanam yang harus banyak dikembangkan oleh masyarakat secara luas. Pertumbuhan tinggi dapat menjadi indikator dalam menilai pola tanam yang sesuai untuk dikembangkan. Riap tinggi merupakan penambahan dimensi tinggi selama satu tahun. Pada penelitian ini tinggi karet merupakan tinggi total sampai ujung tajuk. Riap tinggi tegakan karet dengan berbagai pola tanam seperti pada Gambar 7 di bawah ini. 3,38

Pertumbuhan tinggi (m/thn)

3,50 2,76

3,00

2,33

2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Agroforestri

Campuran

Monokultur

Pola tanam

Gambar 7. Pertumbuhan tinggi tegakan karet umur 1 – 2 tahun pada berbagai pola tanam Pertumbuhan tinggi suatu tegakan merupakan gambaran tingkat kesesuain lahan suatu pohon. Pengembangan berbagai pola tanam memberikan gambaran pertumbuhan tinggi yang beragam. Pertumbuhan tinggi karet terbaik terdapat pada pola tanam agroforestri dengan riap sebesar 3,38 m/tahun diikuti pola monokulur sebesar 2,76 m/tahun dan pola campuran sebesar 2,33 m/tahun. Pola tanam tersebut memberikan pengaruh besar terhadap pola tanam. Agroforestri antara bambang lanang, karet dan tanaman pertanian (cabai) mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi karet sebesar 22,81% dibandingkan dengan pola monokultur. Pola campuran antara bambang lanang dan karet memiliki pertumbuhan tinggi lebih lambat 15,57% dibandingkan dengan pola monokultur. Pengembangan pola

114

Aspek Silvikultur

agroforestri dengan tanaman pertanian serta budiaya secara intensif sangat berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi pohon pada masa awal pertumbuhan. IV. KESIMPULAN Pengembangan pola agroforestri antara bambang lanang, karet dana tanaman pertanian berupa cabai dapat meningkatkan riap diameter dan tinggi secara signifikan baik pada tegakan bambang lanang maupun karet. Pola ini dapat meningkatkan berbagai produk baik pertanian, perkebunan dan kehutanan. Pengembangan pola ini mampu mempercepat pertumbuhan pohon, sehingga pola ini sangat cocok dikembangkan oleh masyarakat secara luas. DAFTAR PUSTAKA Awang, S. A., E. B. Wiyono, dan S. Sadiyo. 2007. Unit manajemen hutan rakyat, proses kontruksi pengetahuan lokal. Yogyakarta: Banyumili dan PKHR UGM. Hairiah, K., M. A. Sardjono, S. Sabarnurdin, 2003. Pengantar agroforestri. World Agroforesty Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Irawan. U.S., Harum, Purwanto, Gumelar, dan Gunawan. 2012. Apa Itu agroforestry?. Pnpm Mandiri. Jakarta. 24pp. Sardjono, M. Agung, T. Djogo, H. S. Arifin, N. Wijayanto. 2003. Klasifikasi dan pola komponen agroforestri. Word Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor. Triwanto, J., A. Syarifuddin, and T. Mutaqin. 2013. Aplikasi agroforestry Di Desa Mentaraman Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang. http://ejournal. umm.ac.id/index.php/dedikasi/article/viewFile/1380/1474. Di akses tanggal 27 Juli 2016. Wijayanti N. dan M. Rifai. 2010. Pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. pada beberapa pola agroforestri. Jurnal Silvikultur Tropika. Vol. 01 No. 01 Desember 2010, Hal. 29 – 34.

115


116

Aspek Silvikultur

PENYUSUNAN MODEL PENDUGA VOLUME GELAM SEBAGAI PERANGKAT PENGELOLAAN LAHAN RAWA DI SUMATERA SELATAN Hengki Siahaan dan Agus Sumadi Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Gelam merupakan salah satu jenis penting pada lahan basah di Sumatera Selatan karena sebarannya yang cukup luas terutama pada lahan rawa sulfat masam. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian tentang potensi jenis tersebut di Sumatera Selatan merupakan hal penting dilakukan. Pendugaan volume pohon memegang peranan penting dalam pengelolaan hutan, yaitu untuk menduga nilai ekonomi tegakan yang dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model penduga volume gelam pada lahan rawa sulfat masam. Model penduga gelam disusun dengan analisis regresi terhadap data dari 40 pohon sampel dengan sebaran diameter 10,7 - 24,5 cm. Berdasarkan nilai-nilai uji statistik yang dilakukan, model penduga volume gelam terbaik dengan dua variable bebas tinggi (H) dan diameter setinggi dada (D) adalah V = -0.00532 + 0.0000326D2H (R2 = 97,28). Sedangkan model terbaik dengan variable tunggal diameter adalah V = 0,000102 D2,5047 (R2 = 92,82%). Kata kunci: Gelam (Melaleuca leucadendron L) dan model penduga volume

I. PENDAHULUAN Gelam merupakan jenis utama pada lahan rawa, terutama lahan rawa bersulfat masam (acid sulphate soil). Kondisi lahan sulfat masam yang spesifik mengakibatkan hanya sedikit jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi pada lahan tersebut, salah satunya adalah gelam. Beberapa faktor yang mengakibatkan gelam dapat tumbuh mendominasi lahan rawa sulfat masam adalah kemampuan anakan gelam yang mampu hidup dalam genangan, hingga seluruh bagian tanaman, dan perkecambahan benih gelam yang massif setelah terjadinya kebakaran lahan rawa pada musim kering (Bastoni, 2013). Produksi kayu gelam di Sumatera Selatan umumnya diperoleh dari lahan rawa sulfat masam, yang tersebar di beberapa wilayah terutama di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin. Sedangkan pada lahan rawa gambut yang umumnya dijumpai di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir, potensi dan pertumbuhan gelam sangat rendah sehingga tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber produksi gelam. Oleh karena itu, pendugaan potensi gelam pada lahan rawa sulfat masam perlu dilakukan secara akurat, agar pemanfaatannya dapat dilakukan sesuai dengan potensi yang tersedia. Pemanfaatan gelam di Sumatera Selatan cukup intensif, baik dalam bentuk kayu batangan (tiang pengecoran) maupun sebagai kayu pertukangan, seperti papan dan kayu sento. Sentra produksi gelam di Sumatera Selatan antara lain ditemukan di Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan Sungai Lilin, Musi Banyuasin. Produksi gelam pada kedua wilayah tersebut masih didominasi oleh gelam dalam bentuk kayu batangan. Permasalahan yang ditemukan dalam pemanfaatan gelam sebagai kayu batangan adalah bahwa perdagangan gelam batangan tidak memberi keuntungan yang signifikan bagi pemilik lahan, oleh karena itu pemanfaatan kayu gelam perlu ditingkatkan sebagai sumber kayu pertukangan. Pengelolaan lahan rawa yang didominasi oleh gelam untuk kebutuhan kayu pertukangan membutuhkan berbagai perangkat pengelolaan terutama dalam menduga potensi yang dapat diperoleh per satuan luas lahan. Salah satunya adalah perangkat penduga volume. 117


Model matematis penduga volume pohon bertujuan untuk memperoleh dugaan yang akurat sebagai langkah awal pengelolaan yang efisien (Qirom dan Supriyadi, 2013; Subedi dan Sharma, 2012). Penyusunan model matematis dapat dilakukan dengan menggunakan dua variable penduga yaitu diameter setinggi dada (D) dan tinggi total (H), atau hanya menggunakan penduga tunggal diameter saja (Krisnawati, 2007; Krisnawati, 2009; Davis et al., 2001; Clutter et al, 1983; Loetsch et al., 1973;). Jika terdapat hubungan yang kuat antara diameter dan tinggi pada suatu jenis, maka model penduga volume dengan menggunakan variabel tunggal diameter akan lebih efektif untuk digunakan karena tidak memerlukan pengukuran tinggi. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan rawa sulfat masam di Desa Gasing, Kecamatan Talang kelapa dan Desa Kayu Ara Kuning, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin. Pengumpulan data melalui pengukuran pohon sampel dilaksanakan selama periode 20122014. B. Pengumpulan Data Penyusunan model penduga volume gelam diawali dengan memilih pohon sampel sebanyak 40 pohon yang terdapat di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Pohon sampel dipilih secara subjektif, yaitu pohon yang tidak rusak, sehat (tidak terserang hama penyakit) dan mewakili sebaran diameter yang digunakan sebagai kayu pertukangan (Subedi dan Sharma, 2012). Rata-rata diameter dan tinggi pohon yang digunakan sebagai penyusun model masing-masing adalah 15,7 cm dan 13,4 m dengan sebaran sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Pada pohon sampel dilakukan pengukuran diameter setinggi dada, tinggi, dan pengukuran seksi batang yang meliputi pengukuran diameter pangkal dan diameter ujung, hingga diameter ujung 10 cm. Tabel1. Sebaran diameter dan tinggi pohon penyusun model penduga volume gelam Kelas Diameter (cm) 12,0 – 13,9 14,0 – 15,9 16,0 – 17,9 18,0 – 19,9 , Jumlah

Tinggi pohon (m) 8,0 – 9,9 1 1

10,0 – 11,9 3 3 6

12,0 – 13,9 10 7 2 2 1 22

≥ 14 2 3 3 3 11

Jumlah (pohon) 14 9 8 5 4 40

C. Pengolahan Data dan Penyusunan Model Perhitungan volume pohon gelam dilakukan dengan menjumlahkan volume seksiseksi ata g da a a g poho a g e pu ai dia eter uju g 7 cm. Perhitungan volume seksi batang pohon dan cabang dilakukan dengan menggunakan persamaan Smalian (Chapman dan Meyer, 1949; Husch, 1963) berikut:

Vs 

Bp  Bu xL 2

Vp   Vs n

i 1

Keterangan: Vs = volume sortimen(m3), Vp = volume pohon (m3), Bp= luas bidang dasar pangkal seksi (m2), Bu= luas bidang dasar ujung seksi (m2), L= panjang seksi (m)

118

Aspek Silvikultur

Penyusunan model volume menggunakan analisis regresi dengan satu variabel penduga, yaitu diamater setinggi dada (D) dan dengan dua variabel penduga diameter setinggi dada (D) dan tinggi pohon (H). Model-model yang diuji dengan satu atau dua variabel penduga disajikan pada Tabel 2 (Loetsch et al., 1973). Tabel 2. Model yang diuji dalam pendugaan volume pohon gelam Variabel Penduga D

D, H

Keterangan:

No. Penulis Formula 1. Berkhout V = b0 Db1 2. Kopezky-Gehrhardt V = b0 + b1 D2 3. Hohenadl-Krenn V = b0 + b1 D + b 2 D2 4. Spurr V = b0 D 2 H 5. Spurr V = b0 + b1 D 2 H 6. Schumacher-Hall V = b1Db2Hb3 V= volume pohon, D = diameter setinggi dada, H = tinggi total, b0, b1, b2, b2 = koefisien regresi

Pada Model 1 hingga model 5, regresi dilakukan secara langsung pada data asli, sedangkan pada model 6, regresi dilakukan dengan terlebih dulu melakukan transformasi logaritma. Tetapi dalam perhitungan nilai-nilai uji statistik R2 dan RMSE, data terlebih dulu dikembalikan pada bentuk asli. D. Evaluasi Model Evaluasi model penduga volume didasarkan koefisien determinasi (R 2), 1. Koefisien determinasi (R2) Koefisien determinasi merupakan proporsi variasi total di sekitar nilai tengah y yang dapat dijelaskan oleh variasi regresi (Draper &Smith 1992). Semakin tinggi nilai R 2, maka semakin besar variasi yang dapat dijelaskan. R 2 dihitung dengan rumus: R2  1 

 (Y  Yˆ )  (Y  Y ) i

2

i

2

i

2. Akar rata-rata kuadrat simpangan (root mean squared error = RMSE) RMSE menyatakan akurasi dugaan (Huang et al., 2003) yang dinyatakan dengan rumus RMSE 

 (Y  Yˆ ) n p i

2

i

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Model penduga volume gelam disusun untuk menduga volume pohon hingga diameter ujung 7 cm. Model dibangun berdasarkan variabel tunggal diameter atau dengan menggunakan dua variabel, yaitu tinggi dan diameter pohon. Model penduga volume dengan menggunakan variabel tunggal diameter dengan nilai-nilai uji statistiknya disajikan pada Tabel 3, sedangkan model dengan menggunakan dua variabel bebas tinggi dan diameter disajikan pada Tabel 4.

119


Tabel 3. Model penduga volume pohon gelam dengan menggunakan variabel tunggal diameter dan nilai-nilai uji statistiknya No. 1. 2. 3.

V = 0,000102 D V = -0,0276 + 0,000536 D2

R2 (%) 92,82 90,83

RMSE 0,019 0,018

V = -0.00276 – 0,00305 D + 0,000625 D2

90,69

0,019

Model 2,5047

Diantara ketiga model penduga volume dengan menggunakan variabel tunggal diameter, model eksponensial mempunyai koefisien determinasi yang lebih tinggi dibanding dua model kuadratik lainnya (Tabel 3). Hal ini berarti bahwa model eksponensial lebih mampu menjelaskan keragaman volume gelam dibanding model kuadratik sehingga lebih efisien untuk digunakan. Tabel 4. Model penduga volume gelam dengan dua variabel bebas dan nilai-nilai uji statistiknya No. 1. 2. 3.

R2 (%) 86,53 97,28 96,75

Model V = 0.0000307 D2H V = -0.00532 + 0.0000326D2H V = 0,0000196 D2,0594 H1,1095

RMSE 0,011 0,010 0,010

Model penduga volume dengan dua variabel penduga tinggi dan diameter dapat meningkatkan ketelitian pendugaan volume, yaitu model combined variable (Model 2) dan eksponensial (Model 3). Kedua model ini dapat meningkatkan koefisien determinasi hingga 4% - 5% dibanding model eksponensial dengan satu variabel penduga (Tabel 3 dan 4). Model 1 dan model 2 mempunyai kesamaan bentuk yaitu menggunakan variabel D 2H, namun penambahan konstanta pada model 2 dapat meningkatkan koefisien determinasi hingga 10,75%. Hal ini dapat dipahami, karena volume yang diukur adalah volume batang dengan diameter ujung 7 cm, sehingga pada diameter yang lebih kecil dari 7 cm, volume dapat bernilai 0 atau negatif (ditunjukkan oleh konstanta yang bernilai negatif). Dalam penilaian potensi tegakan dalam skala lapangan, penggunaan model penduga dengan satu variabel penduga, yaitu diameter (dbh) jauh lebih praktis digunakan. Pengukuran tinggi pohon dalam jumlah besar tidak praktis dilakukan, pertama membutuhkan biaya yang cukup besar, kedua membutuhkan waktu yang lama, dan ketiga dapat menimbulkan terjadinya bias dalam pengukuran. Nilai-nilai uji statistik pada Tabel 3 menunjukkan bahwa model penduga volume gelam dengan 1 variabel bebas diameter setinggi dada (D), dapat digunakan secara akurat dalam menduga volume kayu gelam. IV. KESIMPULAN 1. Model penduga volume gelam dengan satu variabel penduga diameter setinggi dada (D) adalah V = 0,000102 D2,5047 (R2 = 92,82%). 2. Model penduga volume gelam dengan dua variabel penduga, yaitu tinggi dan diameter setinggi dada adalah V = -0.00532 + 0.0000326D2H (R2 = 97,28). 3. Model penduga volume dengan dua varibel penduga efektif digunakan untuk menghitung volume tegakan dalam jumlah terbatas, sedangkan model penduga dengan satu variabel penduga diameter setinggi dada efektif digunakan pada pengukuran volume tegakan pada skala besar. 120

Aspek Silvikultur

DAFTAR PUSTAKA Bambang E. D. dan D. Wahjono. 1996. Tabel isi pohon jenis rasamala (Altingia exelsa) di KPH Cianjur, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan. Bogor Bastoni, 2013. Pembibitan gelam (Melaleuca leucadendron) untuk mendukung kegiatan restorasi dan rehabilitasi lahan rawa gambut bersulfat masam. Prosiding Workshop ITTO: Stakeholder Consultation the Application of Method and Technologies to Enhance the Restoration of PSF Ecosystem. Palembang, 25 April 2013. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Chapman, H.H. and W.H. Meyer. 1949.Forest mensuration. McGraw-Hill Book Company, Inc, New York. Clutter J.L., Fortson J.C., Pienar L.V., Brister G.H., Bailey R.L., 1983. Timber Management: A Quantitative Approach. John Wiley & Sons Inc. New York. Davis, L.S., K.N. Johnson, P.S. Bettinger, and T.E. Howard, 2001. Forest Management, To Sustain Ecological, Economic, and Sosial Values. Forth Edision. MC Graw-Hill Book Co. New York. Draper N, Smith H. 1992. Analisis regresi terapan. Bambang Sumantri, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Applied regression analysis. Huang, Yang Y, Wang Y. 2003. A critical look at procedures for validating growth and yield models. Di dalam: Amaro A, Reed D, Soares P, editor. Modelling forest systems. London : CABI Publishing. Husch, B. 1963. Forest mensuration and statistics. Ronald Press Company, New York. Husch, B., C. I. Miller dan T. W. Beer. 1972. Forest mensuration. Second Edition. The Ronald Press Company. New York. Krisnawati, H. 2007. Modelling stand growth and yield for optimizing management of Acacia mangium Willd. plantation in Indonesia. Desertasi. University of Melbourne. Krisnawati, H., 2009. Dominant Height and Site Index Models for Acacia mangium Willd. Plantations. Journal of Forestry Research 6 (2): 148-165. Loetsch, F., F. Zohrer, K.E. Haller. 1973. Forest Inventory (Volume I). BLV Verlagsgesellschaft. Munchen. Qirom, M.A., dan Supriyadi. Model penduga Volume Pohon Nyawai (Ficus variegata Blume) di Kalimantan Timur. Jurnal penelitian Hutan Tanaman 10 (4). Subedi, M.R., and R.P. Sharma. 2012. Allometric Biomass Model for Bark of Cinnamomum tamala in Midd-Hill of Nepal. Biomass and Bioenergy (47): 44-49. Van Laar A., and Akca A., 2007. Forest Mensuration. Cuvillier Verlag. Gottingen.

121


122

Aspek Silvikultur

Tormentella. sp. : EKTOMIKORIZA Promiscuous Species UNTUK REHABILITASI HUTAN DIPTEROKARPA Maliyana Ulfa1*, Eny Faridah2, Su See Lee3, Sumardi2, Antoine Galiana4, Christine le Roux4, Patahayah Mansor3, dan Andi Nopriansyah1 1

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang 2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Forest Research Institute Malaysia (FRIM), Malaysia 4 Centre de Cooperation Internationale en Recherce Agronomique pour le Development (CIRAD), France *E-mail: [email protected]

ABSTRAK Penelitian mengenai asosiasi simbiosis Dipterokarpa dengan ektomikoriza yang telah dilakukan di hutan Sungai Telang, Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi. Pada tingkat pohon, penelitian diawali dengan pengambilan sampel root tips. Kegiatan tersebut juga dilakukan pada anakan Shorea leprosula, S. stenoptera, dan S. mecissopteryx yang ditanam di bawah tegakan tiap pohon Dipterokarpa di lokasi penelitian. Analisis molekuler terhadap sampel root tips menghasilkan berbagai jenis ektomikoriza yang berasosiasi dengan jenis-jenis Dipterokarpa. Berdasarkan hasil tersebut, dijumpai karakter promiscuous species ektomikoriza pada Tormentella sp. Jenis ektomikoriza tersebut ditemukan mampu berasosiasi dengan lebih dari satu Dipterokarpa, baik pada tingkat pohon maupun anakan. Kata kunci: ektomikoriza, dipterokarpa, tormentella sp., asosiasi

I. PENDAHULUAN Dipterokarpa merupakan jenis yang mendominasi hutan hujan tropis Indonesia, dan dikenal pula mempunyai asosiasi simbiosis dengan ektomikoriza. Penelitian mengenai keanekaragaman dipterokarpa telah banyak dilakukan di Asia (Ashton, 1982; Smits, 1994; Appanah & Turnbull, 1998;. Newman et al, 1996; Newman et al, 1998; Subiakto dan Rachmat, 2015). United Nations Environment Program-World Conservation Monitoring Centre (UNEP-WCMC) (Anonimous, 2010) melaporkan bahwa hutan dipterokarpa di Indonesia serius terancam karena eksploitasi berlebihan. Famili dipterokarpa memiliki kekhususan yang sistematis dengan ektomikorisa, yaitu pembentuk jamur tanah simbiotik terkait dengan akar. Adanya simbiosis tersebut, mampu meningkatkan nutrisi, mineral dan melindungi tanaman dari gangguan pathogen tanah. Sebagai timbal balik, tanaman memberikan karbon yang diperlukan untuk perkembangbiakan jamur (Smith dan Read, 2008). Beberapa spesies pohon tropis alami terkait dengan ektomikoriza cenderung membentuk kluster yang mendominasi di antara tegakan mono atau multi jenis yang spesifik (Newbery et al., 2004;. Alexander dan Lee, 2005), dengan kelimpahan anakan di bawah pohon dewasa (Hart et al., 1989). Hal tersebut sekaligus menjelaskan adanya pengembangan miselia mikoriza, yang dapat berfungsi sebagai inokulan ektomikoriza alami yang mendukung regenerasi alami di hutan. Ini mempromosikan kelangsungan hidup anakan alam di kedua ekosistem hutan beriklim sedang (Nara, 2006) dan tropis (Onguene dan Kuyper, 2002; McGuire, 2007). Jamur pembentuk ektomikoriza sebagai mitra simbiosis memiliki keanekaragaman yang tersebar di wilayah sebaran pertumbuhan Dipterocarps di Indonesia (Ingleby et al., 1998; Fakuara & Wilarso 1992; Ogawa 1992; Supriyanto et al., 1993;. Soegiharto et al., 123


2010). Dalam kasus tertentu, keanekaragamannya memiliki dampak langsung terhadap keanekaragaman hayati tanaman, variabilitas dan produktivitas ekosistem (van der Heijden et al., 1998). Miselia jaringan mikoriza yang memfasilitasi interkoneksi antara sistem akar pohon sehingga akan memungkinkan transfer senyawa karbon dan nutrisi lain dari pohon dewasa untuk anakan (Simard et al., 1997). Keanekaragaman ektomikoriza memunculkan istilah promiscuous species, yang diambil dari kata Promiscuity. Istilah promiscuity sendiri banyak digunakan dalam mempelajari spesies hewan, karena beberapa spesies memiliki sistem kawin promiscuous, mulai dari poliandri dan poligami untuk sistem kawin dengan tidak ada hubungan yang stabil, jika umumnya perkawinan antara dua individu terjadi satu kali. Banyak individu spesies membentuk ikatan pasangan yang stabil, tapi masih kawin dengan individu lain di luar pasangan (Anonimous, 2016). Dalam asosiasi simbiosis, promiscuous species digunakan untuk menjelaskan adanya karakter asosiasi simbiosis pada suatu simbion dengan lebih dari satu simbion yang lain, yang dalam penelitian ini adalah ketika jenis ektomikoriza tertentu dapat berasosiasi dengan lebih dari satu jenis Dipterokarpa. II. LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian adalah Hutan Desa Sungai Telang, yang merupakan hutan sekunder pada Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur. Berdasarkan SK. Menhut Nomor: SK. 301/ Menhut-II/ 2012 tanggal 15 Juni 2012, luas Hutan Desa Sungai telang Dusun Sungai Telang adalah ±1.000 ha. Lokasi penelitian ini berjarak ± 1,5 km arah te ggara dari Desa “u gai Tela g, a g se ara geografis terletak pada “ ° da E ° . .

Gambar 1. Lokasi penelitian di Hutan Sungai Telang, Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Muara Bungo, menunjukkan bahwa Desa Sungai Telang terletak di Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi. Kecamatan ini merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Rantau Pandan selama tiga tahun. Jarak dusun dengan pusat kecamatan yang terletak di Muara Buat sekitar 14 km dan 84 km dari Pusat Kabupaten yang terletak di Muara Bungo serta 256 Km dari pusat propinsi. Secara geografis Dusun Su gai Tela g erada di posisi “ ° . da E ° . de ga urah huja rata-rata 3.100 mm/tahun dan suhu rata-rata 22 – 26 °C. 124

Aspek Silvikultur

Secara administratif dusun ini berbatasan dengan Kecamatan Tanah Tumbuh dengan batas alam Sungai Batang Uleh di sebelah Utara, Bukit Panjang di sebelah Selatan, Bukit Gedang di sebelah Barat dan Dusun Timbolasi di sebelah Timur. III. BAHAN DAN METODE 1. Bahan dan Alat Sampel penelitian adalah akar pohon yang terkolonisasi oleh ektomikoriza, yang disebut dengan root tip, yang diambil pada 4 penjuru arah mata angin di tiap pohon dewasa dipterokarpa di lokasi penelitian. Pengambilan root tips juga dilakukan pada anakan dipterokarpa yang sengaja ditanam di setiap pohon dewasa dipterokarpa, yaitu anakan Shorea leprosula, S. stenoptera, dan S. mecissopteryx, yang sudah berumur 4 bulan setelah tanam. Root tips diambil menggunakan pinset, gunting, dan pisau, yang kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang disertai dengan tisu basah agar tetap terjaga kesegarannya. Sampel root tips kemudian diisolasi dan disimpan dalam Cetyl trimethylammonium bromide (CTAB)(Gardes and Bruns, 1993).

Gambar 2. Pengambilan sampel root tips untuk analisis molekuler ektomikoriza pada pohon dipterokarpa dewasa

Gambar 3. Penanaman anakan dipterokarpa (S. leprosula, S. stenoptera,dan S. mecissopteryx) di bawah pohon dipterokarpa dewasa, yang diambil root tipsnya sudah berumur 4 bulan setelah tanam untuk analisis molekuler ektomikoriza 125


2. Metode Penelitian a. Analisis Molekuler Sampel root tip dipterokarpa dan non dipterokarpa dianalisis secara molekuler, untuk mendapatkan secara pasti jenis ektomikoriza yang mengkolonisasi akar. Analisis molekuler dilakukan melalui tahap ekstraksi, dilusi, dan amplifikasi menggunakan bahan kimia RedExtract® kit. Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan primer ITS 1F untuk spesifik jamur dan primer ITS 4B untuk spesifik Basidiomycetes.

Gambar 4. Root tips ektomikoriza pada Dipterokarpa b. Analisis Data Molekuler Urutan basa hasil amplifikasi yang dianalisis sebagai sekuens dikoreksi dengan menggunakan program software Chromas Pro, yang kemudian diidentifikasi berdasarkan kesamaan antar sekuen (sekuen hasil amplifikasi dan sekuen di data Genbank) menggunakan program BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) untuk mengetahui jenis ektomikoriza. Data hasil molekuler tersebut kemudian dianalisis secara statistik untuk mengetahui kecenderungan asosiasi yang terbentuk. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis molekuler pada sampel root tips pada akar pohon dewasa dan anakan dipterokarpa, diperoleh 5 genus ektomikoriza, yaitu Russula sp., Clavulina sp., Amanita sp., Sebacina sp., and Tomentella sp. (Gambar 5). Dari kelima genus tersebut, Tomentella sp. mendominasi dan lebih mempunyai kecenderungan berasosiasi dengan banyak jenis dan ragam dipterokarpa, baik pada tingkat pohon dewasa maupun anakan. Jika dicermati adanya grafik dalam Gambar 6, yang menjelaskan kecenderungan asosiasi yang terbentuk antara dipterokarpa dengan ektomikoriza yang diperoleh dari analisis molekuler, maka menunjukkan bahwa Tomentella sp. juga mempunyai kecenderungan asosiasi yang tinggi. Grafik kecenderungan asosiasi tersebut sekaligus menunjukkan adanya potensi asosiasi yang tinggi dari berbagai jenis dan banyaknya dipterokarpa di lokasi tersebut dengan ektomikoriza. Pada tingkat anakan dipterokarpa, Tomentella sp. juga ditemukan berasosiasi dengan ketiga jenis dipterokarpa, yaitu S. leprosula, S. stenoptera, dan S. mecissopteryx, yang ditanam di bawah pohon dewasa dipterokarpa (Gambar 7).

126

Aspek Silvikultur

Tomentella sp.

Sebacina sp. Russula sp.

Boletus sp. Entoloma sp. Clavulina sp.

Kelimpahan jenis jamur ektomikoriza (Richness of ectomycorrhizal fungi )

Gambar 5. Phylogenetic ektomikoriza pada root tips dipterokarpa dewasa dan anakan berdasarkan hasil analisis molekuler 20 15

Sobs (Mao Tau)

10

Sobs 95% CI Lower Bound

5

Sobs 95% CI Upper Bound

0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 Unit sampel dipterocarpacaeae (Sampling unit of dipterocarpaceae)

Gambar 6. Grafik analisis kecenderungan asosiasi antara ektomikoriza dan dipterokarpa di lokasi penelitian Symmetric plot (axes F1 and F2: 100.00 %) 1,5

Clavinula Ascomycota

F2 (27.80 %)

1

Inocybe Boletus Tricholoma Shorea mecistopteryx Shorea stenoptera Cantharellus Sebacina Tomentella Russula Thelephora Phaeocollybia Shorea leprosula

0,5 0 -0,5 -1 -2

-1,5

-1

-0,5

0

0,5

1

1,5

2

2,5

F1 (72.20 %)

Gambar 7. Grafik correspondent analysis aosiasi antara ektomikoriza dengan 3 jenis anakan dipterokarpa (S. leprosula, S. stenoptera and S. mecissopteryx) 127


Analisis data hasil molekuler di atas menunjukkan bahwa Tomentella sp. merupakan jenis ektomikoriza yang mampu berasosiasi dengan berbagai jenis dipterokarpa, yang dapat disebut sebagai promiscuous species. Jenis tersebut merupakan salah satu bentuk kekayaan hayati yang unik, penting, dan merupakan warisan biologi dalam kondisi pasca degradasi hutan. Hal tersebut menjadi potensi dalam asosiasi simbiotik, yang mendukung rehabilitasi hutan yang berkelanjutan. Rehabilitasi hutan dipterokarpa terdegradasi dapat dilakukan berdasarkan kondisi hutan yang ditinggalkan, yaitu apabila masih ditemukan tegakan dipterokarpa yang tersisa maka cukup dilakukan penanaman tanpa inokulasi. Namun jika tidak ditemui tegakan dipterokarpa yang mencukupi, maka rehabilitasi dapat dilakukan dengan inokulasi Tomentella sp. pada jenis dipterokarpa yang akan ditanam, yang pemilihan jenis pohonnya berdasarkan kondisi lahan yang terdegradasi. Bibit tersebut akan menjadi pembuka proses rehabilitasi berkelanjutan karena adanya jaringan ektomikoriza yang terbentuk. Tantangan jika diperlukan tindakan inokulasi adalah tubuh buah Tomentella sp. jarang ditemui di alam dan perkembangbiakannya lebih banyak dibantu dengan udara, sehingga memerlukan teknik tertentu dalam isolasi, purifikasi, perbanyakan, dan inokulasi pada bibit rehabilitasi. V. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tomentella sp. merupakan jamur ektomikoriza yang mempunyai sifat promiscuous species, karena mampu berasosiasi dengan lebih dari satu inang dipterokarpa. 2. Tomentella sp. merupakan jenis jamur ektomikoriza yang mampu menginfeksi pada dipterokarpa, baik pada tingkat pohon maupun seedling. 3. Tomentella sp. mempunyai potensi untuk digunakan dalam upaya rehabilitasi. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Laboratorium Tropical dan Mediterania Simbiosis dari CIRAD (Centre de Cooperation internationale en recherche agronomique pour le développement) Prancis, untuk dukungan analisis molekuler dan bantuan dana penelitian, serta kepada Forest Research Institute Malaysia (FRIM) Malaysia yang telah mendukung observasi, sampling dan metode persiapan laboratorium selama penelitian dilaksanakan. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih pula kepada Kementerian Riset dan Teknologi untuk bantuan dana penelitian melalui Nusantara Project, dan Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Republik Indonesia, atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk melakukan penelitian antar negara. DAFTAR PUSTAKA Alexander, I.J. and Lee, S.S. 2005. Mycorrhizas and ecosystem process in tropical rain forest: implications for diversity. In: Biotic interaction in the tropic (Eds D. Burslem, M. Pinard & S. Hartley). Cambrigde University Press. P 165-203. Anonimous. 2010. Tropical Rainforest Heritage of Sumatra Indonesia. United Nations Environment Programme World Conservation Monitoring Centre [http:www.sea-

128

Aspek Silvikultur

bov.unepcmc.org_sites_wh_pdf_SUMATRA% 20RAINFOREST] diakses tanggal 3 Juni 2010. Anonimous. 2016. Promiscuity. [https://en.wikipedia.org/wiki/Promiscuity] diakses pada tanggal 19 April 2016. Appanah, S., & Turnbull, J. M. 1998. A review of dipterocarps: taxonomy, ecology, and silviculture. CIFOR. Ashton, P. S. 1982. Dipterocarpaceae. Vol. 9, No. 2, pp. 237-552. Fakuara, Y. & Wiiarso, S. 1992. Effect of mycorrhizal tablet storage on seedling growth of Shorea pinanga Scheff. Pp 174-179 in Proceedings of the BIO-REFOR Tsukuba Workshop, Tsukuba, Japan. BIO-REFOR, IUFRO/ SPDC, Japan. Gardes M & Bruns TD. 1993. ITS primers with enhanced specificity for basidiomycetes – application to the identification of mycorrhizae and rusts. Molecular Ecology 2: 113-118. Hart TB, Hart JA, Murphy PG. 1989. Monodominant and species-rich forests of the humid tropics: causes for their occurrence. American Naturalist 133: 613-633. Ingleby, K., Munro, R. C., Noor, M., Mason, P. A., & Clearwater, M. J. 1998. Ectomycorrhizal populations and growth of Shorea parvifolia (Dipterocarpaceae) seedlings regenerating under three different forest canopies following logging. Forest Ecology and Management, 111(2), 171-179. McGuire, K. L. 2007. Common ectomycorrhizal networks may maintain monodominance in a tropical rain forest. Ecology, 88(3), 567-574. Nara K. 2006. Ectomycorrhizal networks and seedling establishment during early primary succession. New Phytologist 169: 169-178. Newbery DM, van der Burgt XM, Moravie MA. 2004. Structure and inferred dynamics of a large grove of Microberlinia bisulcata trees in central African rain forest: the possible role of periods of multiple disturbance events. Journal of Tropical Ecology 20: 131-143. Newman, M.F., Burgess, P.M. & Whitmore, T.C. 1996. Borneo Island Light Hardwoods. Royal Botanic Garden Edinburgh and Centre for International Forestry Research, Edinburgh. Newman, M.F., Burgess, P.M. & Whitmore, T.C. (1998) Borneo Island Medium and Heavy Hardwoods. Royal Botanic Garden Edinburgh and Centre for International Forestry Research, Edinburgh. Ogawa, M. 1992a. Mycorrhiza of dipterocarps. In: Proceedings of the BIO-REFOR Tsukuba Workshop, 19-21 May 1992, 55-58. BIO-REFOR, IUFRO/SPDC. Tsukuba, Japan. Onguene NA, Kuyper TW. 2002. Mycorrhizal associations in the rain forest of South Cameroon. Forest Ecology Management, 140: 277-287. Simard SW, Perry D.S, Jones MD, Myrold DD, Durall DM, Molina R. 1997. Net transfer of carbon between ectomycorrhizal tree species in the field. Nature, 388: 579-582. Smits, WTM. 1994. Dipterocapaceae: Mycorrhizae and regeneration. Tropenbos Series 9. The Tropenbos Foundation. Wageningen. Smith SE and Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis (Third Edition) Smith Soil Science Society American Journal, 73: 694.

129


Soegiharto, S., A. Kholik, A. Rachman, dan A. Supriyanto. 2010. Faktor Kesesuaian Ectomycorrhiza di Berbagai Tipe Ekosistem Dipterocarpaceae. Laporan Akhir Penelitian. Program Insentif Riset Terapan. Balai Besar Penelitian Dipterocarpa. Samarinda. Subiakto, A., & Rachmat, H. H. 2015. Exploration, collection, and conservation of dipterocarps in Riau Islands. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 1 (3): 428-433. Supriyanto, Turjaman, M., Suciatmih and Prajadinata, S. 1993. Status of mycorrhizal research in Indonesia. In: Soerianegara, I. and Supriyanto (eds.) Proceedings of the Second Asian Conference on Mycorrhiza. 11- 15 March 1991, Thailand, 9-20. BIOTROP Special Publication no. 42. Van der Heijden MGA, Klironimos JN, Ursic M, Moutoglis P, Streitwolf-Engel R, Boller T, Wiemken A, Sanders IR. 1998. Mycorrhizal fungal diversity determines plant biodiversity, ecosystem variability and productivity. Nature 396: 69–72. White TJ, Bruns TD, Lee SB & Taylor JW. 1990. Aplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetic. Pp. 315-322 in Innis MA et al. (Eds.) PCR Protocols: A Guide to Methods and Applications. Academic Press. New York.

130

Aspek Silvikultur

ASPEK PERLINDUNGAN HUTAN

131


132

Aspek Perlindungan Hutan

POTENSI BEBERAPA JENIS TUMBUHAN BAWAH UNTUK PENGENDALIAN HAMA Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Masyarakat secara tradisional memanfaatkan tumbuhan disekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, antara lain untuk pangan, obat, pengendali hama dan beberapa hal lainnya. Pengendalian hama menggunakan bahan dari tumbuhan (pestisida nabati) merupakan salah satu kearifan lokal yang masih dilakukan dibeberapa wilayah di Pulau Sumatera. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik, yaitu merusak perkembangan, telur, larva dan pupa, penolak makan, menghambat reproduksi serangga betina, mengusir serangga dan menghambat penggantian kulit serangga. Tulisan ini bertujuan mengulas potensi beberapa tumbuhan bawah untuk pengendalian hama. Di beberapa daerah, tumbuhan bawah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan obat tradisional. Pemanfaatan tumbuhan untuk pengendalian hama dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu dibakar, ditumbuk kemudian disebar, diambil ekstraknya atau hanya diletakkan saja di dekat tanaman yang dibudidayakan. Secara empiris jenis yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengendalikan hama antara lain cabe mesang/menyangsam/lawatan, capai/sembung, dukut sembuo, jukuk ancing/babandotan, salimundi, sebubeu/kerinyu, sedingin dan seruni/tembelekan. Sedangkan 6 (enam) jenis lain yang secara empiris dimanfaatkan sebagai bahan obat, yaitu cadur/sawi tanah, gajah duduk, kelulut, kedu’uk/se duduk, selada darat, da tapal kuda/pegaga diduga juga e iliki pote si sebagai bahan pestisida nabati berdasarkan kandungan senyawa aktifnya. Kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam tumbuhan bawah tersebut antara lain flavonoid, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid. Tumbuhan bawah dapat berperan sebagai anti-feedant, repellent, racun, dan penghambat pertumbuhan hama, sehingga berpotensi sebagai sumber bahan pestisida nabati. Kata kunci: hama, serangga, senyawa aktif, tumbuhan bawah

I. PENDAHULUAN Tumbuhan bawah adalah komunitas yang menyusun stratifikasi bawah dekat pemukaan tanah, umumnya berupa rumput, herba, semak, atau perdu rendah (Suharti, 2015). Vegetasi ini banyak terdapat di tempat-tempat terbuka, tepi jalan, tebing sungai, lantai hutan, lahan pertanian dan perkebunan. Tumbuhan bawah dapat bersifat biannual atau perennial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak menjalar atau memanjat. Komposisi dari tumbuhan bawah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari pohon sekitarnya dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis. Beberapa jenis tumbuhan bawah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan, obat, sumber energi, dan pestisida nabati. Jenis-jenis tumbuhan tersebut diantaranya pakis pedang (Nephrolepis bisserata) dan pakis tangan (Microsorum membranifolium) sebagai penghasil bahan sayuran, daun Peperomia pellucida (sasaladan atau suruhan) yang memiliki efek penyembuhan terhadap luka bakar dan memiliki efek antiinflamasi, serta ekstrak akar Mimosa pudica (putri malu) yang memiliki sifat anthelmintik terhadap Hymenolepis sp. Sebagai bahan pestisida nabati antara lain pemakaian ekstrak daun kirinyuh (Eupatorium odoratum) yang efektif untuk mengendalikan rayap Coptotermes (Hadi, 2008) dan Ageratum conyzoides L. yang berpotensi sebagai insektisida botanis untuk mengendalikan larva Spodoptera litura instar IV (Lumowa, 2011). Namun demikian, beberapa diantaranya diidentifikasi sebagai gulma yang mengganggu pertumbuhan permudaan tanaman budidaya, contohnya Mikania 133


micrantha (Hilwan et al., 2013), dan berfungsi sebagai sumber makanan dan tempat bersarangnya hama. Berdasarkan berbagai potensi tumbuhan bawah yang dapat dikembangkan, saat ini potensi sebagai bahan pestisida nabati untuk pengendalian hama merupakan salah satu yang banyak diteliti. Pengendalian hama menggunakan bahan alami sebenarnya merupakan kearifan lokal yang telah dilakukan sejak zaman nenek moyang, bahkan jauh sebelum adanya pestisida sintetik. Seiring kemajuan zaman, muncul pestisida sintetik yang digunakan dalam pertanian dan pengelolaan tanaman yang dilakukan secara intensif. Namun demikian dampak negatif justru dirasakan akibat penggunaan pestisida sintetik secara terus menerus. Oleh sebab itu, saat ini kita kembali kepada kearifan lokal dengan mengunakan pestisida nabati sebagai bahan dalam mengendalikan serangga hama. Pestisida nabati dapat mengendalikan serangan hama melalui cara kerja yang unik, cara kerjanya sangat spesifik, yaitu merusak perkembangan, telur, larva dan pupa, penolak makan, menghambat reproduksi serangga betina, mengusir serangga dan menghambat penggantian kulit serangga. Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary metabolic products) yang fungsinya dalam pertumbuhan tanaman tidak esensial. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan pesaingnya (Kardinan dan Wikardi 1995 dalam Kardinan, 2011). Penelitian yang menggali potensi tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati telah dilakukan di beberapa wilayah Pulau Sumatera. Tulisan ini bertujuan mengulas potensi beberapa tumbuhan bawah untuk pengendalian hama. Hal ini penting disampaikan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap jenis-jenis tumbuhan bawah, dikarenakan selama ini tumbuhan bawah dianggap mengganggu pertumbuhan dan estetika, namun disisi lain memiliki potensi untuk pengendalian serangga hama, sehingga kedepan dapat dilakukan upaya pengembangan dan pelestarian jenis. II. KANDUNGAN SENYAWA AKTIF BERBAGAI TUMBUHAN BAWAH DAN PEMANFAATANNYA Pengendalian serangga hama dengan menggunakan bahan dari tumbuhan yang dikenal sebagai pestisida nabati merupakan langkah yang bijak dalam perlindungan tanaman. Berdasarkan hasil eksplorasi di beberapa wilayah Pulau Sumatera, terdapat beragam habitus tumbuhan (pohon, semak, liana, pemanjat, perayap, terna, epifit, parasit dan saprofit) yang berpotensi sebagai bahan pestisida. Salah satu kelompok penghasil bahan pestisida nabati adalah tumbuhan bawah (semak, herba, liana, pemanjat, dan perayap). Tumbuhan bawah yang memiliki potensi untuk pengendalian hama berdasarkan pemanfaatan secara empiris dan kandungan senyawa aktifnya disajikan pada Tabel 1.

134


Tabel 1. Tumbuhan bawah yang memiliki potensi untuk pengendalian serangga hama (Asmaliyah, et al., 2015) Nama Jenis No.

Lokal

Ilmiah/Famili

Kandungan senyawa aktif

Pemanfaatan secara empiris

1 +++

2 +++

3 +++

4 +++

5 -

++

++

++

+++

-

+++

+++

+++

+++

-

Eleusine indica / Leguminosae

++

-

+++

++

-

Crotalaria incana / Leguminosae Ageratum conyzoides L./ Asteraceae

+

++

-

+++

-

+++

+

+

+++

-

Urena lobata / Malvaceae Sida rhombifolia L./ Malvaceae

++

-

+

+++

-

+

+

++

++

-

Sebubeu; kerinyu

Eupatorium odoratum / Asteraceae

+++

+++

+++

+++

-

10.

Sedingin

Kalanchoe pinnata L. / Crassulaceae

+++

+

+

+

-

11.

Selada darat

++

++

++

++

+

12.

Senduduk; kedu’uk

Peperomia pellucida / Piperaceae Melastoma malabatrichum / Melastomataceae

+++

+++

++

++

-

13.

Seruni; tembelekan

Lantana camara / Verbenaceae

++

++

+

+++

-

14.

Tapal kuda; pegagan

Centella asiatica L. urban / Apiaceae

+++

+++

++

++

-

1.

Cabe mesang; mikania; lawatan; menyangsam Cadur; sawi tanah Capai; sembung

Mikania micrantha/ Asteraceae

4.

Dukut sembuo

5.

Gajah duduk

6.

Jukuk ancing; babandotan

7.

Kelulut

8.

Salimundi

9.

2. 3.

Nasturtium montanum/ Brassicaceae Blumea balsamifera/ Asteraceae

Keterangan kandungan senyawa aktif: 1: Flavonoid 3: Saponin 2: Tanin 4: Steroid

5: Triterpenoid

135

Ekstrak daun untuk mengendalikan rayap tanah, obat typus (lokasi prov. Lampung dan Bengkulu) Obat asam urat (lokasi prov. Bangka Belitung) Daunnya dibakar untuk pengusir hama (lokasi prov. Lampung dan Bangka Belitung) Daun dan batang untuk racun ikan (lokasi prov. Bengkulu) Obat rematik dan asam urat (lokasi prov. Sumsel) Daun diekstrak kemudian disemprotkan atau dibakar untuk pengusir/pembunuh hama (lokasi prov. Sumsel dan Lampung) Obat ambeyen (lokasi prov. Lampung dan Jambi) Seluruh bagian tanaman diekstrak untuk menghalau hama (lokasi prov. Sumsel) Daun untuk mengendalikan ulat grayak (Spodoptera litura); Obat maag dan luka (lokasi prov. Bengkulu) Daun diekstrak dicampur dengan sitawar, cekerau dan kumpai untuk pengusir wereng (lokasi prov. Sumsel dan Bengkulu) Obat stroke dan asam urat (lokasi prov. Bengkulu) Obat bisul, ambeyen, cacingan, luka baru dan sakit kuning (lokasi prov. Sumsel, Jambi, Babel, Bengkulu) Daun untuk mengendalikan kumbang dan penggerek daun (lokasi prov. Lampung) Obat untuk rematik, asam urat dan penyakit jantung (lokasi prov. Sumsel dan Lampung)


Berdasarkan data di atas terbukti bahwa masyarakat di beberapa daerah telah memanfaatkan tumbuhan bawah sebagai bahan untuk mengendalikan hama dan obat secara tradisional. Pemanfaatan tumbuhan untuk pengendalian hama dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, antara lain dengan dibakar, ditumbuk kemudian disebar, diambil ekstraknya atau hanya diletakkan saja di dekat tanaman yang dibudidayakan. Secara empiris jenis yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengendalikan serangga hama antara lain M. micrantha, B. balsamifera, E. indica, A. conyzoides, S. rhombifolia, E. odoratum, K. pinnnata, dan L. camara. Sedangkan 6 (enam) jenis yang lain secara empiris dimanfaatkan sebagai bahan obat, yaitu N. montanum, C. incana, U. lobata, M. malabatrichum, P. pellucida, dan C. asiatica. Jenis tumbuhan bawah yang secara empiris digunakan untuk pengendalian hama beberapa sudah diteliti dan dikaji secara ilmiah. Berbagai hasil penelitian menunjukkan besarnya potensi tumbuhan bawah untuk mengendalikan hama. Hasil penelitian Salam et al. (2014) menyebutkan bahwa ekstrak M. micrantha memiliki potensi sebagai insektisida rayap tanah C. curvignathus, dengan konsentrasi 8,07% mampu mencapai LC50. Selain M. micrantha, ekstrak daun kirinyuh (E. odoratum) juga bersifat toksik dan berpotensi sebagai pengendali rayap dengan cara ekstrak dicampur dalam proses pembuatan kertas, konsentrasi 2,5% mampu mencapai LC50. Beberapa jenis memiliki potensi sebagai pengendali nyamuk, yaitu ekstrak etanol daun cocor bebek (K. pinnata) yang memiliki aktivitas antimalaria dengan nilai konsentrasi hambat 50 (LC50) sebesar 0,022 µg/mL (Hermanto et al., 2014), ekstrak daun tembelekan (L. camara) yang dapat membunuh larva Aedes aegypti sebesar 90% selama 24 jam dengan konsentrasi efektif 3% dan 5% (Wardani et al., 2010), dan rendaman (infusion) E. indica berpotensi sebagai bahan atraktan bagi nyamuk Ae. Aegypti (Santos et al., 2010 dalam Salim dan Satoto, 2015). Untuk mengendalikan hama ulat, salah satu jenis tumbuhan bawah yang berpotensi adalah babandotan. Penelitian oleh Lumowa (2011) menunjukkan bahwa ekstrak A. conyzoides memiliki sifat sebagai insektisida botanis terhadap larva instar IV S. litura. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak babadotan yang diberikan maka semakin tinggi tingkat mortalitas larva uji. Uji toksisitas minyak atsiri daun sidaguri (S. rhombifolia) dengan metode BSLT menunjukkan jenis ini juga berpotensi sebagai pestisida nabati pembunuh ulat (larvasidal) dengan konsentrasi untuk mencapai LC50 adalah 462,231 ppm (Kusuma et al., 2010 dalam Firdausi et al., 2013). III. TUMBUHAN BAWAH UNTUK PENGENDALIAN HAMA Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut terbukti bahwa beberapa jenis tumbuhan bawah yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat secara ilmiah memiliki potensi sebagai bahan pestisida nabati untuk mengendalikan hama. Secara tradisional masyarakat memanfaatkan jenis tersebut berdasarkan pelajaran dari alam, bahwa tanaman yang didekatnya tumbuh jenis-jenis tersebut tidak diserang/dimakan serangga hama, sehingga dicobalah memanfaatkan jenis-jenis tersebut meskipun dengan cara yang sangat sederhana. Potensi tumbuhan bawah untuk mengendalikan serangga hama terutama karena adanya kandungan senyawa metabolit sekunder dalam tumbuhan tersebut. Senyawa metabolit sekunder memiliki berbagai fungsi, salah satunya untuk melindungi tumbuhan dari serangan hama dan penyakit. Produk metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati (Grainge dan Ahmed 1987; Kardinan dan Wikardi 1997 dalam Kardinan, 2011). Senyawa metabolit sekunder memiliki

136


distribusi terbatas yang sering dijumpai dalam satu jenis atau kelompok jenis yang memiliki hubungan taksonomi (Sumantoro, 2012). Masyarakat memiliki kecenderungan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan, baik untuk obat ataupun untuk kepentingan yang lain. Produk dengan bahan baku dari tumbuhan dinilai relatif lebih aman dan ramah lingkungan dibanding dengan produk berbahan aktif kimia sintetik. Sampai saat ini ketersediaan pestisida yang berbahan baku tumbuhan (pestisida nabati) yang telah diuji khasiat dan keamanannya secara ilmiah masih terbatas, sementara masyarakat kerapkali membuat ramuan sendiri dari berbagai tumbuhan. Tanaman obat telah diketahui juga mengandung bahan aktif yang dapat mempengaruhi aktivitas biologis bahkan bersifat toksik sehingga dapat mematikan serangga hama (Grainge dan Ahmed, 1987; Prakash dan Rao, 1997 dalam Kardinan, 2011), sehingga sering dijadikan data dasar/pendekatan dalam menggali potensi suatu jenis untuk dijadikan bahan pestisida nabati. Berdasarkan pendekatan tersebut, dapat diduga bahwa suatu jenis yang memiliki potensi sebagai tanaman obat dapat juga digunakan sebagai sumber bahan pestisida nabati. Hal ini sesuai dengan pendapat Balfas dan Willis (2009) yang menyatakan bahwa tanaman obat mengandung bahan aktif yang dapat mempengaruhi aktivitas biologis dan bersifat toksik dapat mematikan serangga. Beberapa jenis tumbuhan bawah yang secara empiris dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan obat, ditinjau dari kandungan senyawa aktifnya memiliki potensi sebagai bahan pestisida nabati, sebagai contoh M. malabatrichum dan C. asiatica memiliki kandungan flavonoid dan tanin yang cukup tinggi, sehingga berpotensi sebagai racun, mengurangi nafsu makan dan menghambat pertumbuhan serangga hama. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian Simmonds (2003) dalam Indiati (2014) yang menyatakan bahwa senyawa flavonoid dapat mempengaruhi nafsu makan dan perilaku peletakan telur serangga sedangkan Firdausi et al. (2013), menyebutkan bahwa senyawa tanin merupakan senyawa makro molekul, berfungsi sebagai penolak nutrisi (anti-nutrient) dan menghambat enzim (enzyme-inhibitor) sehingga mengurangi nafsu makan pada herbivora. Jenis N. montanum, C. incana, dan U. lobata memiliki kandungan steroid yang lebih tinggi dibandingkan jenis lain, berdasarkan hasil penelitian Syakir (2011) senyawa steroid memiliki kemampuan untuk menekan kelahiran, sedangkan alkaloid mampu menekan populasi. P. pellucida memiliki kandungan senyawa flavonoid, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid. Diantara jenis-jenis tumbuhan bawah yang di eksplorasi, P. pellucida merupakan jenis yang unik, karena memiliki triterpenoid yang menurut Rusdi (2009) memiliki peran sebagai anti makan (antifeedant), penghambat pertumbuhan serangga dan repellent bagi serangga. IV. PENUTUP Masyarakat saat ini mulai banyak menerapkan pengendalian hama menggunakan bahan alami yang berasal dari tumbuhan (pestisida nabati). Hal ini membuka peluang pengembangan jenis-jenis tumbuhan yang secara alami memiliki kandungan senyawa aktif didalamnya sebagai bahan baku pestisida nabati. Tumbuhan bawah memiliki potensi yang cukup besar sebagai bahan baku pestisida nabati, hal ini dikarenakan tumbuhan bawah mudah di dapat, kelimpahannya banyak dan harganya murah karena sering dianggap sebagai tumbuhan pengganggu (gulma). Berbagai penelitian yang dilakukan dalam rangka menggali potensi tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati mendapatkan hasil yang memuaskan, sehingga kedepan perlu disosialisasikan kepada masyarakat jenis137


jenis tumbuhan yang memiliki potensi serta cara pengolahan yang efektif untuk menghasilkan bahan baku pestisida nabati yang terbaik. DAFTAR PUSTAKA Asmaliyah, Muslimin, I., Hadi, E. E. W., Waluyo, E. A. 2015. Pengembangan Jenis-jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat Degeneratif Metabolik di Sub Region Sumatera Bagian Selatan. Laporan Hasil Penelitian Balai Litbang LHK, Palembang (Tidak dipublikasikan). Balfas, R. dan Willis, M. 2009. Pengaruh Ekstrak Tanaman Obat Terhadap Mortalitas dan Kelangsungan Hidup Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae). Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 20 (2): 148-156. Firdausi, A., Siswoyo, T.A. dan Wiryadiputra, S. 2013. Identifikasi Tanaman Potensial Penghasil Tanin-protein Kompleks -amylase Kaitannya Sebagai  untuk Penghambatan Aktivitas Pestisida Nabati. Pelita Perkebunan 29 (1): 31-43. Grainge, M. and S. Ahmed, 1987. Handbook of plants with pest control properties. A Willey Interscience Publication. New York.

Hadi, M. 2008. Pembuatan Kertas Anti Rayap Ramah Lingkungan dengan Memanfaatkan Ekstrak Daun Kirinyuh (Eupatorium odoratum). Jurnal Bioma 6 (2): 12-18. Hermanto, F., Yun, Y.F., Aisyah, L.S., Saputra, T.R., Hakim, A.R., Ningsih, A.K., Herlina, T., Julaeha, E., Zainuddin, A., Supratman, U. 2014. Uji Aktivitas Antimalaria Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek (Kalanchoe blossfeldiana Poelln.) Pada Plasmodium falciparum 3D7. Kartika Jurnal Ilmiah 2 (2): 54-58. Hilwan, I., Mulyana, D. dan Pananjung, W.G. 2013. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Pada Tegakan Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum Griseb.) dan Trembesi (samanea saman Merr.) di Lahan Pasca tambang Batubara PT. Kitadin, Embalut, Kutai Kartanagara, Kalimantan Timur. Jurnal Silvikultur Tropika 4 (1): 610. Indiati, S. W. 2014. Kombinasi Ekstrak Rimpang Jahe Dengan Insektisida Fipronil Untuk Pengendalian Hama Trips Pada Kacang Hijau. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 33 (3): 202-209. Kardinan, A. 2011. Penggunaan Pestisida Nabati Sebagai Kearifan Lokal Dalam Pengendalian Hama Tanaman Menuju Sistem Pertanian Organik. Pengembangan Inovasi Pertanian 4 (4): 262-278. Lumowa, S. V. V. 2011. Efektivitas Ekstrak Babandotan (Ageratum conyzoides L.) Terhadap Tingkat Kematian Larva Spodoptera litura F. Jurnal Eugenia 17 (3): 186-191. Rusdi, A. 2009. Efektivitas Ekstrak Nimba Dalam Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Pada Tanaman Selada. Jurnal Floratek 4 (1): 41-54. Salam, D. M., Mukarlina, Diba, F. 2014. Pengendalian Rayap Tanah Captotermes curvignathus Holmgren Menggunakan Ekstrak daun Gulma Sembung Rambat (Mikania micrantha Kunth). Protobiont 3 (2): 87-92. Salim, M. dan Satoto, T.B.T. 2015. Uji Efektivitas Atraktan Pada Lethal Ovitrap Terhadap Jumlah dan Daya Tetas Telur Nyamuk Aedes aegypti. Buletin Penelitian Kesehatan 43 (3): 147-154.

138


Suharti, S. 2015. Pemanfaatan Tumbuhan Bawah di Zona Pemaanfaatan Taman Nasional Gunung Merapi Oleh Masyarakat Sekitar Hutan. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia 1 (6): 1411-1415. Sumantoro, P. 2012. Serangan Hama Kutu Lilin (Pineus borneri Annand) Pada Tanaman Uji Keturunan Pinus merkusii Generasi II Umur 9 Tahun di Tampomas, Sumedang. Tesis: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Syakir, M. 2011. Status Penelitian Pestisida Nabati. Prosiding Seminar Nasional Pestisida Nabati IV. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Jakarta. Wardani, R. S., Mifbakhuddin dan Yokorinanti, K. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Tembelekan (Lantana camara) Terhadap Kematian Larva Aedes aegypti. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia 6 (2): 30-38.

139


140


PENGENDALIAN GULMA GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) PADA TANAMAN KAYU BAWANG (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) Andika Imanullah dan Agus Kurniawan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) merupakan komoditas kayu unggulan lokal di Provinsi Bengkulu. Tanaman ini telah dimanfaatkan karena memiliki kelebihan dan memiliki potensi pertumbuhan yang sangat baik, namun belum optimal karena gangguan gulma gadung (Dioscorea hispida Dennst). Kerugian yang ditimbulkan oleh gulma gadung cukup besar, maka dilakukan penelitian pengendalian ini. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan September 2014 di plot tegakan Kayu Bawang KHDTK Kemampo. Metode penelitian teknik pengendalian gadung menggunakan rancangan percobaan RCBD (Randomized Complete Blok Design), 3 blok jarak tanam yaitu jarak tanam 3 x 4 m, jarak tanam 4 x 4 m dan jarak tanam 5 x 4 m, 3 ulangan dan 5 treeplot, 270 tanaman sampel. Perlakuan pengendalian adalah mekanis tebas tunas, mekanis pengambilan umbi, kimiawi menggunakan herbisida kontak, kimiawi menggunakan herbisida sistemik, kimiawi dengan herbisida kontak+sistemik, dan kontrol. Gadung menyerang tanaman kayu bawang umur muda dengan melilitkan sulurnya ke tanaman kayu bawang bahkan mencekik menjadikan batang tanaman kayu bawang miring, menyebabkan kayu bawang melengkung sampai rebah ke tanah, dan lama kelamaan patah. Pengamatan 3 bulan perlakuan mekanis pengambilan umbi yang terbaik parameter panjang sulur 1,778 cm; diameter 0,286 cm; jumlah tunas 0,156 tunas dan jumlah daun 0,3111 daun. Pada pengamatan 6 bulan mekanis pengambilan gadung yang terbaik pada panjang sulur sebesar 0,044 cm dan jumlah tunas sebesar 0,018. Parameter diameter dan jumlah daun nilai terbaiknya pada perlakuan penyemprotan herbisida kontak masing-masing 0,022 tunas dan 0,133 daun. Kata Kunci: Kayu bawang, gadung, gulma, mekanis ambil umbi, herbisida kontak

I. PENDAHULUAN Kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) merupakan komoditas kayu unggulan lokal yang menjadi unggulan petani hutan rakyat di Provinsi Bengkulu. Kayu bawang termasuk dalam famili Meliaceae, merupakan jenis tanaman endemis di Provinsi Bengkulu. Tanaman ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan bangunan dan meubel karena memiliki kelebihan antara lain pertumbuhan yang cepat, batang lurus, tinggi batang bebas cabang tinggi, serat kayu halus. Kayu bawang memiliki potensi pertumbuhan yang sangat baik. Hasil penelitian Apriyanto (2003) di Bengkulu Utara menunjukkan pertumbuhan kayu bawang yang ditanam secara monokultur dengan jarak tanam 4 m x 4 m sampai umur 9 tahun memiliki rata-rata riap diameter batang sebesar 1,93 cm/tahun dan rata-rata riap tinggi 2,14 m/tahun. Sedangkan dari hasil penelitian Sumadi et al. (2009), berdasarkan hasil proyeksi MAI (Mean Annual Increment) dan CAI (Current Annual Increment), daur optimal tegakan kayu bawang diperoleh pada umur 11 tahun dengan potensi volume 142,12 m 3/ha. Menurut Wiryohadinoto (2009), tanaman ini dapat ditanam dengan pola polikultur maupun monokultur, sehingga masyarakat lebih leluasa dalam memilih pola tanam yang diinginkan. Produk kayu bawang sangat mudah dipasarkan, umumnya berupa kayu glondongan maupun gergajian. Harga jual kayu bawang di Provinsi Bengkulu untuk kayu glondong berkisar Rp. 1,1 juta/m3 sedangkan untuk kayu gergajian sekitar Rp. 2,2 juta/m3. 141


Kegiatan perlindungan hutan perlu dilakukan secara baik sehingga tujuan pembangunan hutan tanaman dapat tercapai dengan baik. Perlindungan hutan merupakan bagian dari silvikultur yang harus dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan tanaman dipanen bahkan juga diperlukan saat produk hasil hutan dikeluarkan dari hutan. Sumardi, dan S. M. Widyastuti (2004), menjelaskan salah satu kegiatan perlindungan hutan yaitu dengan pembebasan gulma. Gulma adalah tumbuhan yang berkompetisi dengan tanaman pokok dan tumbuh tidak pada tempatnya. Adanya kompetisi tersebut akan menurunkan produktivitas tanaman pokok. Nazif (2003), menjelaskan gulma adalah tumbuhan dengan nilai negatifnya lebih banyak dari nilai positifnya dan menimbulkan kerugian bagi tanaman pokok. Ernawati (2007) menjelaskan, persaingan antara gulma dengan tanaman pokok dapat menurunkan produktivitas tanaman sebesar 30%, bahkan juga dapat menyebabkan kehilangan hasil yang lebih dibanding akibat serangan hama dan penyakit. Jenis gulma yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara efektif adalah gulma gadung (Dioscorea hispida Dennst). Berbagai upaya pengendalian, seperti melalui pemangkasan maupun aplikasi herbisida yang selama ini sering dilakukan, belum mendapatkan hasil yang maksimal. Gadung sulit untuk dikendalikan karena memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat, baik vertikal maupun horizontal, mampu membelit tanaman pokok dengan sangat kuat, dan berkembangbiak dengan cepat karena terdapat umbi sebagai alat bertahan hidup. Di lapangan banyak dijumpai tanaman yang tumbuh tidak normal seperti patah, bengkok dan batang tumbuh tidak simetris karena belitan gulma gadung. Melihat potensi kerugian yang ditimbulkan oleh gulma gadung, maka penelitian pengendalian gulma gadung di areal tanaman kayu bawang perlu dilakukan sebagai upaya perlindungan tanaman. II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan September 2014 pada plot tegakan kayu bawang di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan dan plot tanaman Kayu bawang di Provinsi Bengkulu. KHDTK Kemampo berada dalam wilayah kerja desa Kayuara Kuning, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis terletak pada 104o ’ ” - 104o ’ ” BT da o ’ ” - 2o ’ ” LS. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah herbisida kontak, herbisida sistemik, akuades, kapas dan thally sheet. Sedangkan alat yang digunakan adalah gelas ukur, label, parang, sprayer tangan, kotak plastik, ember/baskom, pinset, hand counter, meteran, tali plastik, kamera, dan alat tulis. C. Pelaksanaan Penelitian 1. Teknik pengendalian gulma gadung (D. hispida Dennst ) Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan Rancangan Blok Acak Lengkap (RBAL) / Randomized Complete Blok Design (RCBD), dengan 3 variasi jarak tanam yaitu 3 x 4 m, 4 x 4 m dan 5 x 4 m, dan 6 perlakuan pengendalian. Masing-masing perlakuan terdiri atas 3 ulangan dengan 5 treeplot. Total tanaman gadung yang digunakan sebanyak 270 tanaman dengan 2 kriteria, yaitu: 1. Tanaman gadung memiliki umbi; 2. Jarak tanaman gadung dengan tanaman kayu bawang maksimal radius 2,5 meter (berdasarkan 142


pengamatan pendahuluan). Pengamatan dilakukan selama 2 kali setahun yaitu pada 3 bulan setelah pengamatan dengan kayu bawang berumur 3 bulan dan 6 bulan setelah pengamatan dengan kayu bawang berumur 6 bulan. Perlakuan pengendalian yang dipergunakan adalah sebagai berikut: a. Mekanis tebas tunas b. Mekanis pengambilan umbi c. Kimiawi menggunakan herbisida kontak d. Kimiawi menggunakan herbisida sistemik e. Kimiawi menggunakan herbisida kontak+sistemik f. Kontrol Herbisida yang digunakan pada penelitian ini yaitu herbisida kontak dengan bahan aktif Paraquat diklorida, herbisida sistemik dengan bahan aktif IPA Glyphosate, dan herbisida kontak+sistemik dengan bahan aktif campuran antara Paraquat diklorida dan IPA Glyphosate. Dosis yang digunakan pada masing-masing jenis herbisida yaitu 0,25 liter herbisida kontak + 0,25 liter herbisida sistemik per 15 liter air. Parameter yang diukur yaitu pertumbuhan gadung dengan mengukur pertambahan panjang sulur gadung, diameter gadung, jumlah tunas dalam satu umbi gadung dan jumlah daun pada gadung. Perlakuan dilakukan setiap 2 kali dalam setahun. 2. Pengamatan bentuk kerusakan tanaman oleh gadung Deskripsi bentuk kerusakan diamati dengan melakukan pencatatan bentuk gejala dan tanda kerusakan pada tanaman yang diakibatkan oleh gulma. 3. Pengambilan data pertumbuhan Pengambilan data pertumbuhan tanaman meliputi data pertumbuhan diameter dan tinggi. Data ini diperlukan untuk mengetahui pengaruh kerusakan tanaman oleh serangan gulma gadung terhadap pertumbuhan tanaman. Pengambilan data dilakukan pada awal dan akhir pengamatan. 4. Analisis data Data pertumbuhan tanaman dianalisis menggunakan uji sidik ragam dengan menggunakan program SPSS Statistika. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Bentuk Serangan Gadung Gadung merupakan salah satu gulma yang tumbuh di KHDTK Kemampo. Gadung mudah menyerang tanaman kayu bawang pada umur muda. Gadung melilitkan sulurnya pada tanaman kayu bawang dengan erat, sehingga dapat menghambat kayu bawang untuk tumbuh lebih optimal. Anonim (2013) menjelaskan, gadung memiliki duri pada sulurnya dan berakar serabut, beberapa diantaranya berkembang menjadi umbi bulat kecil ketika muda dan memanjang saat gadung tumbuh lebih besar. Umbi berwarna coklat tertutup di luar dan berserat. Gadung berbunga antara bulan April sampai Mei dan periode berbuah antara bulan Juli sampai September. karakteritik gadung yang mencengkram dengan kuat pada tanaman kayu bawang dan mempunyai kecepatan tumbuh yang relatif cepat, dapat mengganggu pertumbuhan batang kayu bawang. (Ernawati, 2009) menjelaskan batang kayu bawang melengkung akibat lilitan dan belitan gulma gadung. Lilitan gulma gadung tersebut menjadikan batang terus meninggi dan diameter tanaman pokok tidak tumbuh optimal. 143


(a)

(b)

Gambar 1 (a) Serangan gadung, (b) pada kayu bawang Sulur gadung mempunyai sifat merambat pada setiap tanaman atau batang disekitar gadung tersebut tumbuh, menurut pengamatan di lapangan sulur gadung mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat. Rambatan gadung berawal dari sulur yang tumbuh di umbi gadung yang berbentuk seperti spiral. Berdasarkan pengamatan, sulur ini berfungsi sebagai pembelit tanaman kayu bawang. Sulur tersebut tumbuh dengan cepat dan membelit dengan kuat pada kayu bawang. Pada gambar 1 (a) terlihat gulma gadung yang sudah membelit bahkan mencekik menyebabkan batang tanaman kayu bawang menjadi miring. Serangan gadung dengan membelit kayu bawang tidak hanya satu gadung saja tetapi berdasarkan pengamatan di lokasi gadung mampu membelit sampai dengan 5 batang gadung sekaligus. Batang gadung mempunyai duri yang menurut pengamatan di lapangan berfungsi sebagai pencengkram kayu, sehingga gadung kuat mencengkram dan membelit kayu bawang. Seperti yang terlihat pada gambar 1 (b), apabila lilitan gadung di buka maka akan terlihat bekas lilitan. Bila dilihat dari serangannya, gadung termasuk tumbuhan pencekik, menurut Elisa (2013), tumbuhan pencekik (Strangler) mempunyai beberapa ciri yaitu biji berkecambah jauh dari permukaan tanah pada cabang pohon besar, akar menjuntai mirip kabel dan terus tumbuh menjuntai mencapai tanah, sebelum mencapai tanah, tumbuhan pencekik tumbuh seperti epifit lain yang memperoleh air. Apabila tumbuhan telah menguasai tanaman pokok maka tanaman pokok akan tercekik dan akhirnya membusuk, sedangkan strangler dapat bebas dengan bagian tengah yang berongga (gerowong).

Gambar 2. Kayu bawang melengkung akibat belitan dan lilitan gadung

144


Gambar di atas memperlihatkan serangan gadung yang membelit kayu bawang menyebabkan kayu bawang yang sudah terserang oleh beberapa tumbuhan gadung akan melengkung sampai merebah ke tanah, dan lama kelamaan batang kayu bawang akan patah. Namun rebahan yang ditemukan pada kayu bawang ini belum menyebabkan patah bagian pucuk, sehingga masih dapat dibebaskan dengan jalan di tebas. Gulma yang memiliki pertumbuhan menjalar atau memanjat seperti gadung dapat memanjat tanaman dan suatu saat kanopi gulma tersebut menutupi tanaman yang dipanjatnya (Sembodo, 2010). Ernawati (2009) menjelaskan, tanaman yang sudah ditutupi oleh gadung menyebabkan patah pada bagian pucuk. Patahan pada pucuk tersebut akan memunculkan banyak cabang baru di tanaman pokok, dapat mengurangi nilai kayu yang dihasilkan karena terdapat banyak mata kayunya. B. Teknik Pengendalian Gadung Hasil pengendalian perrtumbuhan gulma terhadap kayu bawang umur 3 bulan disajikan pada Gambar 3 sedangkan untuk 6 bulan pada gambar 4. Dari data uji pengendalian di lapangan diperoleh informasi bahwa perlakuan pengendalian gadung pada tanaman kayu bawang umur 3 dan 6 bulan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan gulma gadung. Pada umur 3 bulan, perlakuan mekanis dengan pengambilan umbi menunjukkan hasil terbaik. Perlakuan tersebut berpengaruh tehadap semua parameter pengamatan, yaitu rata-rata panjang sulur yang terpendek (1,778 cm); rata-rata diameter gadung terkecil (0,286 cm); rata-rata jumlah tunas paling sedikit (0,156 tunas) dan rata-rata jumlah daun paling sedikit (0,3111 daun). Umbi merupakan salah satu organ penting pada gadung, organ ini merupakan modifikasi dari akar. Fungsi utamanya sebagai penyimpan energi dan makanan dan menyimpan unsur tertentu seperti karbohidrat. selain itu umbi juga memiliki banyak tunas untuk pertumbuhannya. Perlakuan pengambilan umbi dengan mengambil secara langsung menyebabkan gadung akan kehilangan sumber nutrisi dan mata tunas. Apabila umbi tersebut tidak ada, pertumbuhan gadung akan terganggu dan mati dan secara langsung mengurangi gangguan pada kayu bawang yang masih muda. Hal ini yang membuat pengambilan umbi lebih baik daripada perlakuan yang lainnya. Ernawati (2014), menyatakan cara pengendalian gadung secara mekanik, yaitu dengan cara mengambil/mendongkel umbinya. Pengambilan umbi harus benar-benar bersih, karena gadung dapat memperbanyak diri dengan bagian umbinya. Pada pengamatan umur 6 bulan terjadi perbedaan hasil perlakuan pengendalian gulma. Perlakuan mekanis pengambilan umbi menunjukkan hasil terbaik untuk parameter panjang sulur dan panjang tunas, sementara untuk parameter diameter dan jumlah daun terbaik ditunjukkan oleh perlakuan herbisida kontak. Pada perlakuan mekanis pengambilan gadung panjang sulur sebesar 0,044 cm dan jumlah tunas sebesar 0,0022. Sedangkan pada perlakuan penyemprotan herbisida kontak diameter dan jumlah daun masing-masing sebesar 0,018 cm dan 0,133 daun. Tidak samanya hasil perlakuan pengambilan umbi pada pengamatan tersebut karena umbi sudah diambil pada 3 bulan sebelumnya yang menyebabkan pertumbuhan dan jumlah gadung yang ada sedikit. Hal ini menjadikan pengambilan umbi hanya efektif pada dua parameter saja. Herbisida kontak efektif mengendalikan gulma yang berwarna hijau. Gadung semua bagiannya berwarna hijau terutama pada bagian daun, sehingga jika terkena herbisida akan bereaksi dengan berubah warna kuning seperti terbakar dan mati. Hal ini 145


sesuai yang dijelaskan oleh Barus (2003) dan Purba (2009), gulma yang baru tumbuh dan berwarna hijau serta mempunyai sistem perakaran tidak meluas akan lebih cepat dan efektif dikendalilan oleh herbisida kontak. Herbisida kontak efektif bila langsung terkena bagian tumbuhan. Herbisida kontak berbahan aktif Paraquat memiliki keunggulan dalam hal suksesi gulma. Paraquat menyebabkan kematian pada bagian atas gulma secara cepat tanpa merusak bagian sistem perakaran, dan stolon. Herbisida kontak mematikan gulma dengan cara mematikan bagian gulma yang terkena/kontak langsung dengan herbisida kerena sifat herbisida ini tidak ditranslokasikan atau tidak dialirkan dalam tubuh gulma. Semakin banyak organik yang terkena herbisida akan semakin baik daya kerja herbisida tersebut (Sembodo, 2010). Penetrasi herbisida kontak ke dalam daun atau bagian lain yang hijau, bila terkena sinar matahari, molekul herbisida bereaksi dan membentuk hidrogen peroksida yang merusak membran sel dan seluruh organ tanaman, sehingga tanaman seperti terbakar. Herbisida jenis ini baik untuk mengendalikan gulma golongan rumputan dan berdaun lebar (Tjitrosedirdjo et al., 1984 dalam Fadly, 2004).

Gambar 3. Rerata pertumbuhan panjang sulur, diameter, jumlah tunas dan jumlah daun tanaman gadung yang mengganggu tanaman kayu bawang pada umur 3 bulan

146


Gambar 4. Rerata pertumbuhan panjang sulur, diameter, jumlah tunas dan jumlah daun tanaman gadung yang mengganggu tanaman kayu bawang pada umur 6 bulan IV. KESIMPULAN 1. Serangan Gadung menyebabkan kayu bawang melengkung sampai merebah ke tanah, dan lama kelamaan batang kayu bawang akan patah. 2. Pengamatan umur 3 bulan terlihat perlakuan mekanis dengan pengambilan umbi merupakan perlakuan yang terbaik dimana pada parameter panjang sulur 1,778 cm; diameter gadung 0,286 cm; jumlah tunas sebanyak 0,156 tunas dan jumlah daun sebanyak 0,3111 daun. 3. Pada pengamatan umur 6 bulan, perlakuan mekanis pengambilan gadung yang terbaik pada panjang sulur sebesar 0,044 cm dan jumlah tunas sebesar 0,022. Sedangkan untuk parameter diameter dan jumlah daun nilai terbaiknya pada perlakuan penyemprotan herbisida kontak masing-masing 0,018 tunas dan 0,133 daun. 4. Pengambilan umbi secara langsung berakibat gadung tersebut akan kehilangan sumber nutrisi dan mata tunas, menyebabkan gadung akan terganggu dan mati. 5. Daun yang terkena herbisida kontak akan bereaksi dengan berubah warna kuning seperti terbakar dan mati. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2013. Dioscorea hispida Dennst. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja& ved=0CGoQFjAI&url=http%3A%2F%2Fwww.uiowa.edu%2F~tboard%2Fmuro%2FR esearchData%2Ftuber.info.for.cast.doc&ei=R6fxUpvaNs2UrAftxoGIBQ&usg=AFQjC

147


NE6jHImpX5DaCTg77LvKjYIqOysug&sig2=WMXPG9BjOXJDZBIBzFVVvg. Di akses 5 Februari 2014. Apriyanto, E. 2003. Pertumbuhan kayu bawang (Protium javanicum Burm.F) pada tegakan monokultur kayu bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia 5(2). Diakses di http://www. bdpunib.org/jipi/artikeljipi/2003/64.PDF pada 13 Agustus 2007. Barus, E. 2003. Pengendalian gulma di perkebunan: Efektivitas dan efisiensi aplikasi herbisida. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Elisa. 2013. Gulma dalam ekosistem Hutan. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja& ved=0CGEQFjAG&url=http%3A%2F%2Felisa.ugm.ac.id%2Fuser%2Farchive%2Fdow nload%2F66425%2F07c884bf6eeb2bc99e1a3381ca08c1e0&ei=k77xUvLyJMeBrQf btIEg&usg=AFQjCNHvUHUGznOUZMqpJqN3G9p131mFlQ&sig2=gvQFszMsubN8PLU4O_T6A. Di akses 5 Februari 2014. Ernawati Hadi, Etik dan F. Azwar. 2014. Teknik pengendalian gulma pada tanaman tembesu. Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatra. Forda Press. Palembang. Ernawati, E. 2007. Laporan hasil penelitian teknik pengendalian hutan tanaman. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. (tidak dipublikasikan). Ernawati, E. 2009. Laporan hasil penelitian teknik pengendalian hutan tanaman. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. (tidak dipublikasikan). Fadly, A.F. dan F.Tabri. 2004. Pengendalian gulma pada pertanaman jagung. http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/images/stories/satulima.pdf. Di akses tanggal 16 Juni 2016. Nazif, M. 2003. Teknik pengendalian gulma di hutan tanaman. Paket Teknologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Purba, E. 2009. Keanekaragaman herbisida dalam pengendalian gulma mengatasi populasi gulma resisten dan toleran herbisida. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Gulma pada Fakultas Pertanian, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumtera Utara. Medan. Sembodo, D. R. J., 2010. Gulma dan pengelolaannya. PT. Graha Ilmu. Yogyakarta. Sumadi, A., Siahaan, H. dan Saefullah, T. R. 2009. Kuantifikasi model pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Sumardi, dan S. M. Widyastuti. 2004. The incidence of potential weed in tropical rain forest. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. Volume 6. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) dan Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI). Yogyakarta. Wiryohadinoto, K. 2009. Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) Kayu Jenis Unggulan Provinsi Bengkulu. Indonesia Journal of Forestry Rimba Indonesia (44): 20-21.

148


SERANGAN HAMA BABI HUTAN PADA TANAMAN ROTAN JERNANG DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA Agus Kurniawan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]

ABSTRAK Rotan jernang (Daemonorops sp.) merupakan salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan dengan sebaran yang luas. Jernang merupakan komoditi ekspor yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga dapat menjadi alternatif mata pencaharian masyarakat sekitar hutan. Salah satu kendala yang dihadapi pada budidaya rotan jernang adalah serangan babi hutan (Sus sp.) pada tanaman muda yang mengakibatkan kerusakan bahkan kematian tanaman. Penelitian ini dilakukan di plot uji coba Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Sumatera Selatan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bentuk kerusakan, luas serangan hama pada tanaman rotan jernang umur 2 tahun serta pengaruh aplikasi pengendaliannya. Pengendalian yang dilakukan adalah dengan metode tidak langsung yaitu dengan pemasangan selubung/pagar pada setiap individu tanaman. Dari hasil pengamatan diketahui kerusakan yang disebabkan oleh serangan babi hutan adalah kerusakan pada umbut/pucuk rotan dan perakaran. Upaya pengendalian dengan metode pemasangan selubung ini sangat efektif mengurangi serangan babi hutan. Luas serangan hama babi hutan sebelum aplikasi pengendalian mencapai 29,5% dan tidak dijumpai serangan (0%) setelah aplikasi pengendalian. Kata kunci: Daemonorops sp., HHBK, pengendalian hama, Sus sp

I. PENDAHULUAN Laju konversi, penebangan liar dan pemanfaatan sumber daya hutan yang mengabaikan kelestarian menyebabkan perubahan lingkungan dan ekosistem hutan. Akibatnya beberapa jenis tanaman maupun satwa hutan terancam kehidupannya bahkan terancam punah, diantaranya adalah keberadaan rotan jernang (Daemonorops sp.) yang makin sedikit dijumpai di hutan alam. Rotan jernang merupakan salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan dengan sebaran yang luas (Nugroho, 2010). Jernang merupakan komoditi ekspor yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga dapat menjadi alternatif mata pencaharian masyarakat sekitar hutan (Pasaribu, 2005; Elwamendri et al.,2008) Konversi hutan menjadi perkebunan karet, kalapa sawit dan pemukiman menyebabkan habitat satwa menjadi terganggu dan daya dukungnya menurun. Hal ini menyebabkan satwa hutan mencari sumber makanan di luar hutan sehingga konflik manusia dengan satwa hutan meningkat. Salah satu bentuk konflik antara satwa dengan manusia adalah gangguan satwa hutan terhadap komoditi pertanian maupun perkebunan. Serangan hama babi hutan terhadap tanaman rotan jernang di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo merupakan salah satu contoh konflik tersebut. Babi hutan (Sus sp.) digolongkan sebagai hama karena aktivitas hidupnya yang menyebabkan kerusakan tanaman perkebunan, pertanian maupun kehutanan. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Jambi tahun 2010, tercatat kerusakan di pertanaman kelapa sawit oleh serangan babi hutan mencapai 694,8 Ha, dengan perkiraan kerugian sebesar Rp. 98,3 juta sedangkan pada pertanaman karet sebesar 1.235 Ha dengan kerugian sebesar Rp. 355 juta (Anonim, 2014). Kerusakan yang disebabkan oleh 149


babi hutan dapat berupa kerusakan pada titik tumbuh (pucuk tanaman, akar muda), luka terbuka di bagian batang sehingga dapat mengurangi persen hidup tanaman dan menghambat pertumbuhan. Serangan hama babi hutan berkaitan dengan aktivitasnya dalam mencari makan. Aktivitas harian babi hutan sebagian besar digunakan untuk mencari makan yaitu 67,5% dari seluruh aktivitas harian dan umumnya dilakukan pada malam hari (Azhima dan Vincent, 2001). Berdasarkan pengamatan, serangan hama babi hutan umumnya akan meningkat saat musim penghujan (Alamprabu, 2014). Aktivitas mencari makan ini dilakukan secara berkelompok yang dapat mencapai 4 - 50 individu tiap kelompok (Anonim, 2014). Populasi babi hutan berpotensi makin besar karena memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dan berkembang biak yang cepat, yaitu 2 - 10 ekor tiap kelahiran per tahun dan berkurangnya jumlah predator alami (Azhima dan Vincent, 2001). Salah satu tanaman budidaya yang mengalami kerusakan oleh serangan babi hutan adalah rotan jernang. Kerusakan tanaman rotan jernang oleh serangan babi hutan umumnya terjadi pada umbut/pucuk serta perakaran. Serangan ini umumya terjadi sangat cepat dan apabila tidak mendapatkan perlakuan perlindungan maka budidaya rotan jernang dapat mengalami kegagalan. Oleh karena itu upaya perlindungan dari serangan hama babi hutan pada budidaya rotan jernang perlu dilakukan. II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di area plot budidaya rotan jernang umur 2 tahun di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang. Pengamatan terbagi pada 3 blok dan pengamatan serangan hama dilakukan secara periodik setiap 4 bulan selama setahun.

Gambar 1. Plot uji coba budidaya rotan penghasil jernang di KHDTK Kemampo B. Prosedur Kerja 1. Pengamatan bentuk kerusakan tanaman oleh serangan hama Deskripsi bentuk kerusakan diperoleh dengan mengamati bagian tanaman yang diserang, yaitu bagian daun, batang dan perakaran. Prosedur penelitian dilaksanakan sebagai berikut:

150


a. Pengamatan serangan hama dilaksanakan pada 3 blok tanaman rotan jernang di KHDTK Kemampo. Setiap blok terdiri dari 75 tanaman rotan jernang. Pada tiap tanaman diamati bentuk kerusakan dan bagian tanaman yang terserang. b. Bentuk kerusakan diamati dengan melakukan pencatatan bentuk gejala pada tanaman yang merupakan akibat langsung dari serangan hama. 2. Penghitungan Serangan Hama Persentase serangan hama (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah pohon yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 % (Natawigena, 1994). P 

Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur x 100 % Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur

Penghitungan intensitas serangan tanaman (I) dilakukan menurut kriteria Natawigena (1994), tabel klasifikasi kerusakan menurut Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994) dengan sedikit modifikasi (Tabel 1). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini.  (ni x v j ) x 100 % I  Z xN Keterangan : I : Intensitas serangan hama ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun Sehat - Kerusakan daun  5 % Ringan - Kerusakan daun antara 5 %  x  25 % Agak berat - Kerusakan daun antara 25 %  x  50 % Berat - Kerusakan daun antara 50 %  x  75 % - Kerusakan daun antara 75 %  x  100 % Sangat berat - Pohon gundul/hampir gundul - Pohon mati

Nilai 0 1 2 3 4

3. Pengendalian Hama Babi Pengendalian hama babi menggunakan metode tidak langsung yaitu dengan memasang selubung yang terbuat dari karung plastik pada setiap individu tanaman. Penggunaan selubung ini berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu: tanaman yang masih relatif kecil, sederhana dan murah. Bahan yang diperlukan hanya tiang kayu/bambu dan karung plastik bekas.

151


III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis dan Klasifikasi Hama Babi Hama babi terdiri dari 9 spesies, yaitu S. barbatus, S. bucculentus, S. cebifrons, S. celebensis, S. domestica, S. oliveri, S. philippensis, S scrofa dan S. verrucosus. Adapun klasifikasi hama babi sebagai berikut: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Suidae Genus : Sus Species : Sus. Sp (Sumber: www.cabi.org, 2015) Menurut Azhima dan Vincent (2001), jenis babi yang dijumpai menyerang perkebunan karet adalah jenis S. scrofa atau dikenal dengan nama lokal babi celeng (Gambar 2). Babi merupakan hewan omnivora sehingga sangat mudah beradaptasi dengan berbagai macam sumber makanan. Babi memangsa jamur, umbi-umbian, akar, buah-buahan, sayuran, padi, jagung dan bermacam-macam invertebrata seperti ular, tikus. Babi hutan menemukan makanan dengan cara mengendus dan menggaruk-garuk tanah dan perilaku mencari makan ini menyebabkan banyak kerusakan pada tanaman maupun area perakaran. Babi lebih aktif pada malam hari (nokturnal) untuk menghindari gangguan dan ancaman dari predator (Lekagul dan Mcneely, 1988).

Gambar 2. Babi celeng (Sus scrofa) (Foto: alamendah.org-online, 2016) B. Bentuk Kerusakan Tanaman Rotan Jernang Dari pengamatan di lapangan, serangan hama babi mengakibatkan kerusakan pada bagian pucuk/daun muda (umbut) dan kematian tanaman akibat tercabut (Gambar 3). Hama babi memakan umbut rotan yang memiliki rasa manis dan gurih sebagai sumber makanan yang sangat disukai. Umbut rotan ini sudah dikenal oleh masyarakat sekitar hutan dan banyak diburu sebagai bahan lalapan dan banyak dijual di pasar-pasar tradisional.

152


Babi seringkali menggali tanah di sekitar tanaman untuk mencari cacing, rayap dan larva tanah lainnya. Aktivitas menggali tanah di sekitar tanaman rotan jernang mengakibatkan adanya lobang-lobang dan menyebabkan perakaran rotan putus, rusak dan bahkan tercabut dan akhirnya rotan mati.

(b)

(a)

Gambar 3. (a) Kerusakan umbut/pucuk tanaman rotan karena dimakan babi dan (b) Rotan jernang yang tercabut karena serangan babi C. Luas Serangan dan Intensitas Serangan Hama Babi Hama babi menyerang tanaman rotan jernang pada umur muda. Hal ini dikarenakan ukuran tanaman yang belum tinggi, duri yang belum lebat dan jaringan tanaman yang relatif lunak. Serangan terjadi terutama pada tanaman yang memiliki daun muda. Selain memakan daun muda, sebagian tanaman mengalami kerusakan pada bagian perakaran dan mengalami kematian akibat tercabut. Dari hasil pengamatan diketahui luas serangan hama babi ini mencapai 29,5%. D. Pengendalian Hama Babi Pada Tanaman Budidaya Rotan Jernang Pengendalian hama babi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengendalian secara langsung dapat dilakukan dengan jerat, memasang perangkap, menembak/memburu dan memasang racun. Pengendalian secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pembuatan parit, memasang pagar dan penjagaan serta penyediaan musuh alami. Pertimbangan efektivitas pengendalian dan ketersediaan dana merupakan dua hal yang harus diperhatikan. Memperhatikan hal tersebut, diperlukan bahan yang murah dan mudah dipergunakan. Pengendalian hama babi dapat dilakukan dengan metode tidak langsung yaitu dengan memasang selubung yang terbuat dari karung pada setiap individu tanaman (Gambar 4). Penggunaan karung sebagai pelindung atau pagar tanaman mudah dilakukan dengan biaya yang murah.

153


Gambar 4. Pengendalian serangan hama babi menggunakan selubung dari karung Berdasarkan hasil pengamatan, cara ini terbukti sangat efektif mengurangi serangan babi hutan. Pengamatan serangan hama babi sebelum aplikasi pengendalian sebesar 29,5%. Setelah itu dilakukan penyulaman dan pengendalian menggunakan selubung karung. Pada pengamatan berikutnya, yaitu 4 dan 8 bulan setelah aplikasi pengendalian tidak dijumpai lagi serangan hama babi. Hal ini membuktikan bahwa aplikasi pengendalian menggunakan selubung karung sangat efektif melindungi serangan babi pada tanaman muda rotan jernang. IV. PENUTUP Pengembangan dan pelestarian tanaman rotan jernang harus selalu diupayakan. Keberhasilan budidaya rotan jernang merupakan salah satu upaya mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Salah satu upaya untuk mendukung keberhasilan budidaya tanaman rotan jernang adalah dengan upaya perlindungan tanaman dari ancaman hama. Rotan jernang umur muda rentan rusak oleh serangan hama babi hutan. Hama babi menyerang tanaman rotan jernang berumur muda dan mengakibatkan kerusakan pada bagian pucuk/daun muda (umbut) dan pada beberapa serangan mengakibatkan kematian tanaman. Pengendalian hama babi dapat dilakukan dengan metode tidak langsung yaitu dengan memasang selubung karung pada setiap individu tanaman. Cara pengendalian ini sangat mudah diaplikasikan, murah dan sangat efektif dalam mencegah serangan hama babi hutan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih Kepada Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang dan khususnya Ibu Sahwalita atas perkenannya dalam pengambilan data penelitian ini pada plot penelitian budidaya rotan jernang di KHDTK Kemampo dan semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

154


DAFTAR PUSTAKA Alamprabu, D. 2014. Kendalikan babi hutan. Diakses 10 februari 2014 pada http://ditjenbun.deptan.go.id/perlindungan/berita-192-kendalikan-babihutan.html Anonim. 2014. Pengendalian hama babi hutan. Diakses 1 Agustus 2016 pada http://www.sawitindonesia.com/artikel/pengendalian-hama-babi-hutan. Anonim. 2015. Sus scrofa. Diakses 10 Agustus 2016 pada www.cabi.org Azhima dan Vincent. 2001. Pengendalian babi hutan,hama utama pada kebun karet di Jambi. Seri Wanatani Karet. International Centre For Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor Djunaedah, S. 1994. Pengaruh Perubahan Lingkungan Biofisik Dari Hutan Alam ke Hutan Tanaman Terhadap Kelimpahan Keragaman Famili serangga dan Derajat Keruskaan Hama Pada Tegakan Jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program pasca sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan. Elwamendri, F. Lambok dan Hendriyanto, 2008. Studi Tata Niaga Jernang di Provinsi Jambi. Kerjasama antara Sumatera Suistainable Support dengan Yayasan Gita Buana, Jambi. Lekagul, B. and McNeely, J.A. 1988. Mammals of Thailand, 2nd ed. Association for the Conservation of Wildlife, Bangkok. Natawigena, 1994. Dasar–Dasar Perlindungan Tanaman. PT. Trigenda Karya, Bandung. Nugroho, A. W., 2010. Informasi Sebaran, Persyaratan Tumbuh dan Variasi Rotan Jernang di Jambi untuk Mendukung Konservasi Sumberdaya Genetik Hutan dalam Mendukung Pemuliaan Hutan Tanaman. BBPBPTH, Yogyakarta. Pasaribu, 2005. China Butuh 400 Ton Jernang Rotan dari Indonesia. Diakses, Desember 2010 pada http://www.kapanlagi.com.

155


156


SERANGAN HAMA KUTU DAUN (Toxoptera aurantii) PADA JENIS SERU DI PERSEMAIAN Agus Kurniawan dan Andika Imanullah Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Keberhasilan penyediaan bibit tanaman hutan dalam rangka rehabilitasi maupun pengembangan jenis tanaman untuk tujuan tertentu salah satunya ditentukan oleh keberhasilan pengendalian serangan hama dan penyakit. Berkembangnya serangan hama pada semai perlu dimonitor dan dikendalikan. Hama kutu daun merupakan hama yang sering dijumpai menyerang tanaman jenis seru (Schima wallichii) terutama pada fase semai. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di persemaian semi permanen, Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, serangan hama kutu daun dijumpai pada semai seru umur 4 bulan. Berdasarkan hasil identifikasi, jenis kutu daun yang menyerang semai seru adalah jenis kutu daun hitam (Toxoptera aurantii). Hama ini merusak semai seru dengan cara menghisap cairan semai sehingga daun yang terserang memperlihatkan gejala mengeriting, berubah bentuk dan berubah warna menjadi kekuning-kuningan. Serangan hama ini berkembang cepat dan menyebabkan hambatan pertumbuhan sehingga semai menjadi kerdil. Kata kunci: hama, kutu daun,semai, Schima wallicii, Toxoptera aurantii

I. PENDAHULUAN Keberhasilan penyediaan bibit tanaman hutan dalam rangka rehabilitasi maupun pengembangan jenis tanaman untuk tujuan tertentu salah satunya ditentukan oleh keberhasilan pengendalian serangan hama dan penyakit. Serangan hama atau penyakit di persemaian umumnya terjadi secara tiba-tiba dan menyebar secara cepat. Hal ini disebabkan oleh kondisi semai yang rentan karena masih didominasi oleh sel-sel meristematik, monokultur dan dalam jumlah banyak. Seru (Schima wallichii) merupakan salah satu jenis tanaman pioner pada hutan sekunder yang perlu dibudidayakan. Seru juga dikenal dengan nama lokal puspa, medang seru, medang gatal, ciru, kementru. Pohon seru dapat mencapai tinggi 25 m dan diameter batang 50-60 cm dengan batang lurus, tanpa banir. Seru tersebar di seluruh bagian barat Nusantara dan Sumatera Selatan terutama pada hutan sekunder (Heyne, 1987). Tanaman ini merupakan salah satu jenis tanaman penghasil bioenergi yang saat ini gencar dikembangkan oleh pemerintah sebagai salah satu substitusi energi fosil yang makin menipis (Siahaan, 2016). Salah satu kendala pembibitan jenis seru di persemaian adalah adanya serangan hama kutu daun. Hama ini menyerang semai seru pada bagian daun muda dan umumnya mengakibatkan kerusakan fisiologis dan dapat mengakibatkan kematian semai. Untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang dapat ditimbulkan dari serangan hama kutu daun pada semai seru maka diperlukan penelitian sehingga upaya pengendalian akan dapat dilakukan secara efektif.

157


II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di persemaian semi permanen, Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang. Pengamatan dilakukan pada Oktober 2015. Pengamatan kerusakan tanaman dilakukan secara sensus pada bedeng persemaian jenis seru (Schima wallichii) umur 4 bulan dengan jumlah tanaman total sebanyak 531 tanaman (Gambar 1).

(a)

(b)

Gambar 1. (a) Persemaian semi permanen di KHDTK Kemampo dan (b) Semai seru umur 4 bulan B. Prosedur Kerja 1. Pengamatan bentuk kerusakan tanaman oleh serangan hama Deskripsi bentuk kerusakan diperoleh dengan mengamati bagian semai yang diserang, yaitu bagian daun dan batang semai. Pengamatan serangan hama dilaksanakan secara sensus pada 3 blok semai seru umur 4 bulan di persemaian semi permanen KHDTK Kemampo dengan jumlah semai 531 semai. Pada tiap tanaman diamati bentuk kerusakan dan bagian tanaman yang terserang. Bentuk kerusakan diamati dengan melakukan pencatatan bentuk gejala dan tanda pada tanaman akibat serangan hama. 2. Penghitungan Serangan Hama Persentase serangan hama (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah pohon yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 % (Natawigena, 1994). Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur P  x 100 % Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur Keterangan: P: persentase serangan hama Penghitungan intensitas serangan tanaman (I) dilakukan menurut kriteria Natawigena (1994), tabel klasifikasi kerusakan menurut Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994) dengan sedikit modifikasi (Tabel 1). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini.

158




 (n

i

x vj )

x 100 % Z xN Keterangan: I : Intensitas serangan tanaman ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh I

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun Sehat - Kerusakan daun  5 % Ringan - Kerusakan daun antara 5 %  x  25 % Agak berat - Kerusakan daun antara 25 %  x  50 % Berat - Kerusakan daun antara 50 %  x  75 % - Kerusakan daun antara 75 %  x  100 % Sangat berat - Bibit gundul/hampir gundul

Nilai 0 1 2 3 4

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hama penyebab kerusakan pada semai seru Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hama kutu daun yang menyerang semai seru umur 4 bulan di persemaian semi permanen KHDTK kemampo adalah jenis kutu daun hitam (Toxoptera aurantii) (Gambar 2). Secara umum kutu berukuran antara 1 - 6 mm, tubuh lunak, berbentuk seperti buah per, pergerakan rendah dan biasanya hidup secara berkoloni (bergerombol). Perkembangan optimal terjadi pada saat tanaman bertunas. Satu generasi berlangsung selama 6 - 8 hari pada suhu 25oC dan 3 minggu pada suhu 15oC (Anonim, 2001) Klasifikasi dari kutu daun hitam (T. aurantii) adalah sebagai berikut: Kerajaan : Animalia Phylum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Hemiptera Famili : Aphididae Genus : Toxoptera Spesies : Toxoptera aurantii (Sumber: www. cabi.org, 2016).

Gambar 2. Kutu daun hitam (Toxoptera aurantii) yang merusak daun semai seru (Foto/gambar: Anonim, 2011; Kurniawan, 2015) 159


Kutu T. aurantii merupakan kutu polifag yang dijumpai menyerang pada berbagai jenis tanaman. Menurut Kalshoven (1981), kutu ini juga dijumpai menyerang tanaman kakao, kopi, teh, kina dan lain-lain. Kutu ini juga dikenal sebagai hama pada tanaman jeruk dan sekaligus sebagai vektor utama penyakit citrus tristeza virus (CVT) yang disebabkan oleh virus Tristeza (Widyaningsih et al, 2013). B. Bentuk kerusakan semai seru akibat serangan hama kutu daun Kutu T. aurantii menyerang tanaman pada tunas pucuk dan daun muda dengan cara menghisap cairan sel. Kutu daun nampak bergerombol di bawah permukaan daun dan pucuk semai yang terserang. Daun yang terserang kutu daun hitam akan memperlihatkan gejala mengeriting dan pertumbuhan daun tidak sempurna (Gambar 3). Pada serangan tingkat lanjut, jaringan daun mengeras dan kerdil. Selain itu, daun mengalami deformasi, perubahan warna (klorosis) menjadi kekuning-kuningan akibat hilangnya cairan sel. Selain karena cairan sel yang dihisap, menurut Anonim (2011) kutu juga mengeluarkan toksin melalui air ludahnya sehingga timbul gejala kerdil, deformasi dan terbentuk puru pada helaian daun. Sesuai dengan penamaannya, koloni kutu daun ini berwarna hitam dan beberapa kutu yang masih muda berwarna coklat kehitaman.

Gambar 3. Gejala tanaman seru yang terserang kutu daun T. aurantii Berdasarkan pengamatan, pada serangan hama kutu daun ini dijumpai aktivitas semut (Gambar 4). Hal ini dikarenakan kutu daun dalam aktivitasnya mengeluarkan sejenis cairan yang disukai semut. Menurut Anonim (2011), kutu daun menghasilkan embun madu yang melapisi permukaan daun sehingga merangsang pertumbuhan jamur (embun jelaga). Diduga selain cairan embun madu, semut juga menyukai jamur yang tumbuh ini.

Gambar 4. Asosiasi kutu daun yang menyerang semai seru dengan semut

160


C. Persentase serangan dan intensitas serangan hama Pengamatan dilakukan saat terjadi serangan hama,yaitu pada saat semai umur 4 bulan. Berdasarkan hasil pengamatan pertama diperoleh data sebagai berikut: Tabel 2. Serangan hama kutu daun T. aurantii di persemaian KHDTK Kemampo Uraian

Jumlah

Total tanaman sampel

531

Tanaman terserang

242

Persentase Serangan

45,57%

Intensitas Serangan

36,76%

Dari Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa serangan hama kutu daun T. aurantii pada semai seru sudah melewati ambang batas (45,57%) dan berpotensi terus meningkat apabila tidak dikendalikan. Meskipun pergerakan hama kutu ini tergolong lambat tetapi penularan serangan hama dari tanaman satu ke tanaman lainnya terjadi dengan cepat. Intensitas serangan hama tergolong agak berat (36,76%) sehingga perlu segera dilakukan upaya pengendalian. Pengendalian hama kutu pada persemaian seru secara cepat dapat dilakukan secara kimiawi. Sebelum dilakukan pengedalian, seyogyanya dilakukan upaya pencegahan dan monitoring secara periodik. Pengendalian hama atau penyakit dilakukan apabila populasi hama dinilai telah melewati ambang batas yang mengakibatkan kerusakan atau hambatan pertumbuhan semai. Monitoring serangan kutu daun terutama dilakukan pada tunas-tunas muda. Di alam kutu daun dikendalikan oleh musuh alami dari famili Syrpidae, Chrysopidae, Coccinellidae (Anonim, 2011; Kairo, et.al., 2013). Salah satu musuh alami kutu daun adalah kepik atau kumbang koksi (famili Cocconellidae) (Gambar 5). Mayoritas kepik pada fase larva maupun dewasa merupakan predator alami kutu daun (Kalshoven, 1981). Seekor kepik dapat memangsa 1000 kutu daun sepanjang hidupnya. Kepik makan dengan cara menghisap cairan tubuh mangsanya. Di kepalanya terdapat sepasang rahang bawah (mandibula) untuk membantunya memegang mangsa saat makan. Ia lalu menusuk tubuh mangsanya dengan tabung khusus dimulutnya untuk menyuntikkan enzim pencerna ke tubuh mangsanya, lalu menghisap jaringan tubuh mangsanya yang sudah berbentuk cair. Beberapa spesies kepik justru menjadi hama, yaitu jenis kepik herbivora seperti Epilachna admirabilis (Anonim, 2015).

Gambar 5. Kepik (Ladybug) predator kutu daun (sumber: www.pinterest.com, 2016) 161


Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida yang bersifat racun kontak dan racun lambung. Insektisida jenis ini diantaranya adalah insektisida yang berbahan aktif dimethoate, alfametrin, abamektin klorpirifos dan sipermetrin (Wicaksono dan Wuryantini, 2016). Pengendalian hama kutu daun menggunakan insektisida racun kontak dengan mempertimbangkan pergerakan hama yang rendah, letak koloni hama yang terjangkau oleh semprotan insektisida dan mengurangi resiko menumpuknya residu racun dalam tanaman. Pengendalian dilakukan dengan menyemprot semai dengan insektisida terutama diarahkan pada tunas-tunas muda yang terserang. Aplikasi insektisida dengan bahan aktif klorpirifos 500 g/l dan sipermetrin 50 g/l di lapang disarankan menggunakan konsentrasi rekomendasi yang rendah (0,5 –1,0 ml/l) ( (Wicaksono dan Wuryantini, 2016). IV. PENUTUP Kutu daun hitam (T. aurantii) merupakan hama yang perlu diwaspadai dalam pembibitan tanaman seru (Schima wallichii). Kerusakan yang ditimbulkan dapat merusak jaringan daun dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan semai. Upaya pengendalian diperlukan untuk menjamin keberhasilan pembibitan. Pengendalian hama kutu daun dapat dilakukan dengan menyediakan musuh alami yaitu kepik atau kumbang koksi di area persemaian atau dengan cara kimiawi dengan menggunakan insektisida berbahan aktif yang bersifat racun kontak dan racun lambung. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Kutu daun (Aphids sp). Diakses 10 Agustus 2016 pada http://saungsumberjambe.blogspot.co.id/2011/10/kutu-daun-aphid-sp.html. Anonim. 2015. Kumbang Koksi. Diakses 18 Agustus 2016 pada www.wikipedia.org Anonim. 2016. Toxoptera aurantii, camellia aphid. Diakses 11 Agustus 2016 pada www.cabi.org. Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program pasca sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3: 1367-1368. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Kairo, M.T.K., Paraiso, O., Guatam, R. D., Peterkin, D. D. 2013. Cryptolaemus montrouzieri (Mulsant) (Coccinellidae: Scymninae): a review of biology, ecology, and use in biological control with particular reference to potential impact on non-target organisms. CAB Reviews Perspectives in Agriculture Veterinary Science Nutrition and Natural Resources 8 (5): 1-20. January 2013. CABI Publishing. Wallingford. UK. Kalshoven, LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Ichtiar Baru-van Hooeve. Jakarta. Natawigena. 1994. Dasar–Dasar Perlindungan Tanaman. PT Trigenda Karya, Bandung Siahaan, H. 2016. Pengembangan Energi Biomassa sebagai Sumber Energi Terbarukan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Palembang. 162


Wicaksono, RC. dan S. Wuryantini. 2016. Pengaruh Insektisida Berbahan Aktif Klorpirifos dan Sipermetrin Terhadap Kutu Loncat (Diaphorina citri) dan Kutu Daun (Toxoptera sp.) pada Tanaman Jeruk. Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 26 Maret 2016. Widyaningsih, S., Yulianti, F. dan Devy, NF. 2013. Keefektifan Eliminasi Penyakit Sistemik (Huanglongbing dan Citrus Tristeza Virus) pada Jeruk dengan Embriogenesis Somatik. J. Hort. Vol. 23 No. 2, 2013.

163


164


KANDUNGAN FITOKIMIA BEBERAPA TUMBUHAN OBAT DI PESISIR PANTAI DAN LAHAN BASAH SERTA POTENSINYA SEBAGAI PESTISIDA NABATI Asmaliyah, Etik Erna Wati Hadi, Effendi Agus Waluyo dan Imam Muslimin Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Salah satu alternatif cara pengendalian hama dan penyakit yang lebih berwawasan lingkungan dan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam pengendalian hama terpadu adalah pengendalian secara biologi dengan menggunakan tumbuhan yang mempunyai aktivitas sebagai pestisida. Salah satu pendekatan untuk mendapatkan bahan atau tumbuhan yang berkhasiat sebagai pestisida adalah berdasarkan penggunaannya dalam pengobatan tradisional atau pengetahuan tentang aktivitas biologi lainnya. Penelitian ini dilakukan di daerah sepanjang pantai dan lahan basah yang ada di sejumlah desa dalam wilayah Sumatera Bagian Selatan, mulai bulan April sampai dengan November 2015. Hasil penelitian menunjukkan ada 12 jenis tumbuhan obat di pesisir pantai dan lahan basah yang berpotensi besar digunakan sebagai bahan baku pestisida nabati, diantaranya adalah pelawan (Tristaniopsis merguensis), bintaro (Cerbera manghas), simpur (Dillenia indica), kelebuk (Ficus sp.) dan mensirak (Ilex cymosa). Kata kunci: fitokimia, lahan basah, pantai, pestisida nabati, tumbuhan obat

I. PENDAHULUAN Salah satu kendala dalam pembangunan hutan tanaman adalah adanya serangan hama dan penyakit. Tindakan pengendalian yang paling sering digunakan untuk mengatasi serangan hama dan penyakit pada tanaman adalah menggunakan pestisida kimia sintetis. Sampai saat ini pestisida sintetis masih dianggap cara yang paling ampuh untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Petani masih mengandalkan penggunaan pestisida sintetis untuk pengendalian hama karena mudah didapat dan efektif, walaupun banyak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, diantaranya resistensi, ledakan hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan target dan pencemaran lingkungan serta menyebabkan penyakit akut pada manusia. Oleh karena itu perlu dicari alternatif cara pengendalian lain yang dampak negatifnya terhadap lingkungan dan manusia dapat diminimalisasi. Pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan pestisida nabati merupakan alternatif yang sesuai dengan persyaratan tersebut karena cara pengendalian ini lebih berwawasan lingkungan dan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam pengendalian hama terpadu (PHT) serta efektivitasnya tidak kalah dengan pestisida sintetis. Menurut Prijono (2003), salah satu pendekatan untuk mencari bahan pestisida nabati adalah berdasarkan penggunaannya dalam pengobatan tradisional atau pengetahuan tentang aktivitas biologi lainnya, misalnya senyawa penghambat ekdisis plumbagin yang diisolasi dari tumbuhan yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional di Afrika, dan penggunaan akar tuba (Derris sp.) sebagai insektisida yang diilhami oleh sifatnya sebagai racun ikan. Metabolik sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan selain berkhasiat sebagai obat fungsi utamanya adalah sebagai alat untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, satu diantaranya untuk mengatasi serangan hama dan 165


penyakit. Hasil penelitian yang membuktikan potensi beberapa tumbuhan obat sebagai pestisida atau insektisida telah banyak dilaporkan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi lain dari tumbuhan yang berkhasiat obat yang terdapat di pesisir pantai dan lahan basah yang terdapat di wilayah Sumbagsel, khususnya sebagai pestisida nabati. II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian Kajian Etnobotani Tumbuhan Berkhasiat Obat Degeneratif Metabolik di Sub Region Sumatera Bagian Selatan. Pengamatan dan pengumpulan sampel tumbuhan obat dilakukan di sepanjang pantai dan lahan basah di sejumlah desa dalam wilayah Sumatera Bagian Selatan. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan April sampai dengan bulan November 2015. B. Eksplorasi dan Identifikasi Tumbuhan Obat Eksplorasi tumbuhan obat dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai narasumber yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan tradisional seperti tabib atau pengobat tradisional, pemuka adat dan masyarakat lokal yang masih menggunakan pengobatan tradisional. Sampel tumbuhan yang digunakan untuk kegiatan identifikasi dikemas dalam plastik sampel dan koran, sedangkan sampel untuk kegiatan uji fitokimia diambil sesuai dengan bagian yang digunakan dalam pengobatan tradisional dan dikemas dalam kantong plastik besar. Kegiatan identifikasi dilakukan melalui kajian literatur dan dilanjutkan di Herbarium Wanariset Samboja, Kalimantan Timur. C. Uji Fitokimia Bagian tumbuhan yang diperoleh dari lapangan, kemudian dipotong-potong kecil lalu dikeringanginkan di suhu ruang tanpa terkena sinar matahari langsung. Setelah kering sampel diblender sampai menjadi tepung. Sampel selanjutnya dikirim ke Laboratorium Biofarmaka IPB untuk dilakukan uji fitokimia. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan Berdasarkan hasil eksplorasi dan uji fitokimia ditemukan beberapa jenis tumbuhan berkhasiat obat di pesisir pantai dan lahan basah di wilayah Sumbagsel yang berpotensi sebagai pestisida nabati untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman (Tabel 1). 1. Deskripsi Jenis-jenis Tumbuhan Obat a. Bemban Burung (Donax canniformis K. Schum) Donax canniformis atau Thalia canniformis termasuk dalam kelompok famili Marantaceae yang dikenal dengan nama daerah, antara lain bemban, bomban, bamban. Tumbuhan ini merupakan terna yang berumpun, membentuk semak dengan tinggi bisa mencapai 5 m. Batang bulat, berwarna hijau tua dengan ruas panjang-panjang. Daun tunggal, bertangkai, helai daun berbentuk bulat telur lebar hingga jorong. Panjang helai daun 30 cm dan lebar 20 cm (Suksthan et al., 2010). Perbungaan sering bercabang dipangkal, panjang hingga 20 cm, bunga berwarna putih. Buah matang berwarna putih. Biji berwarna coklat. Bemban tersebar di seluruh hutan disepanjang sungai dan biasa ditemukan ditempat-tempat yang basah di hutan sekunder dan bambu belukar. 166


Mempunyai wilayah sebaran yang luas di Malaysia, Thailand, Singapore, Brunei, Papua New Guinea dan negara Asia Tenggara lainnya. Perbanyakan dapat melalui biji dan rimpang (Hasan et al., 2010). Secara tradisional daun bemban burung dimanfaatkan oleh masyarakat suku ogan di Sumatera Selatan sebagai obat kencing manis, buah dimanfaatkan oleh suku asli didesa Ulu Kuang, Selangor, Malaysia sebagai obat bisul dan abses (Azliza et al., 2012) dan batang dimanfaatkan oleh suku asli di Kampung Parit, Perak, Malaysia sebagai obat demam tinggi (Milow et al., 2011). b. Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) Pelawan (T. merguensis) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang termasuk dalam famili Myrtaceae, yang dikenal dengan nama lain pelawan tudak (Belitung). T. merguensis merupakan pohon dengan ciri khusus batang berwarna merah dan bagian kulit luar mengelupas. Duduk daun berseling, jarang berhadapan, ujung daun tumpul sampai membulat. Pangkal daun meruncing ke arah tangkai daun. Tangkai daun bersayap, panjang daun antara 10 cm - 15 cm dan lebar 3 cm – 5 cm. Permukaan daun kasar, tidak berambut. Bunga majemuk, padat, putih, ibu tangkai bunga di ketiak daun dan berambut. Kelopak berbentuk tabung menyatu dengan bagian lobus yang tajam dan berambut. Mahkota berjumlah 5 dan berlekatan. Buah berbentuk kapsul dengan 3 lokus. Biji bersayap (Ridley 1922 dalam Yarli, 2011). T. merguensis tersebar di selatan Myanmar, selatan Thailand, Malaysia, Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat dan Kalimantan. Tristaniopsis dapat tumbuh pada daerah dataran rendah, pegunungan sampai dengan ketinggian 1300 mdpl., juga terdapat di sepanjang aliran sungai dan daerah berbatu. Tumbuhan ini secara tradisional daun mudanya dimanfaatkan oleh masyarakat suku melayu di Bangka Belitung sebagai obat darah tinggi dengan cara dimakan langsung dengan garam dan untuk obat demam dengan cara daun diremas-remas lau diusapkan keseluruh tubuh. c. Pandan Duri (Pandanus tectorius) Pandanus tectorius termasuk dalam kelompok famili Pandanaceae, yang dikenal dengan nama daerah antara lain pandan samak, pandan tikar, pandan abu atau pandan cucuk. Tumbuhan ini berupa pohon berukuran sedang hingga besar, tinggi bisa mencapai 15 m. Akar penopang tampak jelas dengan tinggi bisa mencapai 1 m atau lebih, berbintil tajam, kulit luar abu-abu kecoklatan. Daun tersusun dalam karangan rapat, di ujung atas batang tersusun melingkar dalam 3 lingkaran, helaian daun kaku, agak berlilin putih, ujung meruncing, tepinya berduri kaku, sangat tajam. Permukaan atas daun berwarna hijau dan halus, permukaan bawah berwarna hijau pucat. Perbungannya berupa tongkol. Buah majemuk, keras, berat, bila masak kulit buah berwarna oranye kemerahan (Rahayu et al., 2008). Biji berbentuk bulat telur, menjorong atau lonjong (Sangi et al., 2008). Tumbuhan ini tersebar di seluruh pantai-pantai dan pulau-pulau di kawasan Asia selatan dan Timur sampai Polinesia. Di Indonesia, akar tumbuhan pandan duri secara tradisional dimanfaatkan masyarakat suku melayu di Bangka Belitung sebagai obat sakit kuning atau hepatitis, sedangkan di China Selatan suku aslinya memanfaatkan buahnya sebagai obat kolesterol (Zhang et al., 2013). d. Rumbia (Metroxylon sago Rottb.) Rumbia (M. sago) merupakan jenis tumbuhan yang termasuk dalam kelompok Arecaceae. Pohon palma yang merumpun, akar rimpang panjang dan bercabang-cabang. 167


Batang berbentuk silinder, dengan diameter 50-90 cm, tinggi batang dapat mencapai 1620 m pada saat panen. Daun besar, majemuk menyirip, panjang hingga 7 m, dengan anak daun, bertangkai panjang dan berpelepah. Daun berwarna hijau muda-hijau tua, kemudian berubah menjadi coklat kemerahan bila sudah tua. Rumbia berbunga pada umur 10 - 15 tahun dan berbuah sekali dan setelah itu mati. Karangan bunga bentuk tongkol, panjang hingga 5 m. Bunga rumbia berbau kurang enak. Buah berbentuk bulat dan terdapat benih didalamnya. Perkembangan dari bunga muncul hingga buah matang berlangsung selama 2 tahun. Rumbia tumbuh di hutan rawa air tawar, aliran sungai dan tanah bencah lainnya, hutan tropis dataran rendah sampai pada ketinggian 700 m dpl. Pada wilayah yang sesuai, rumbia dapat membentuk kebun atau hutan sagu yang luas (Agung, 2011). Secara alami rumbia tersebar dari kepulauan pasifik selatan sampai Indonesia, Malaysia dan Thailand (Karim et al., 2008) Tumbuhan ini secara tradisional buahnya dimanfaatkan oleh masyarakat suku melayu di Bangka Belitung sebagai obat penyakit maag dengan cara dimakan langsung atau diolah dalam bentuk ramuan dan untuk pengobatan penyakit asam urat. e. Bungur (Lagerstroemia speciosa (L.) Pres.) Bungur (L. speciosa) termasuk dalam kelompok Lytraceae, yang dikenal dengan nama lain yaitu tekuyung, bungur kuwal, wungu, bhungor dan wungur. Tumbuhan ini merupakan pohon dengan tinggi dapat mencapai 20-25 m. Batang berwarna coklat krem atau abu-abu, permukaannya licin atau halus, kulit batang tipis. Daun bertangkai pendek (panjang 1 cm), berbentuk bulat telur atau memanjang, mempunyai ukuran panjang sekitar 11-26 cm dan lebar sekitar 7-12 cm, berwarna hijau tua sampai coklat kekuningan. Daun dewasa licin atau halus. Ada 10-15 pasang urat-urat daun yang tumbuh kesamping, melingkar kearah tepi daun, cukup menonjol dipermukaan bawah daun. Daun tua berwarna merah jingga. Bunga mempunyai ukuran diameter 5-7,5 cm, berwarna merah muda cerah atau ungu. Buah berbentuk bulat (globose) dengan ukuran 1,5-2,5 cm (Thitikornpong et al., 2011). Di Asia Tenggara, tumbuhan ini secara tradisional dimanfaatkan sebagai obat penyakit kencing manis, anti oksidan dan rematik (Thitikornpong et al., 2011). f. Bintaro (Cerbera manghas) Bintaro (C. manghas) termasuk dalam famili Apocynaceae. Tumbuhan ini dikenal dengan nama lain pong-pong tree atau indian suicide tree dan termasuk tumbuhan berbahaya karena mengandung racun. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan pantai atau rawa, hutan mangrove, dan tepi sungai. Tumbuhan ini berupa pohon dengan tinggi bisa mencapai 10-20 m dengan bentuk batang bulat, berkayu dan berbintik-bintik hitam. Daun tunggal, bentuk bulat telur, warna hijau tua. Bunga harum, berwarna putih, terletak di ujung batang. Buah berbentuk bulat telur, ketika muda berwarna hijau, mengkilap dan ketika matang berwarna merah tua. Biji berbentuk oval, pipih, warna putih (Prayuda, 2014). Wilayah sebaran tanaman bintaro ini dimulai dari wilayah Asia Tenggara, Oceania da wilayah di sekitar Sa udra I dia Sa’diyah, . Tumbuhan ini secara tradisional buahnya dimanfaatkan masyarakat lokal Sumatera sebagai obat luka. Suku Muna yang berasal dari Kecamatan Wakarumba Sulawesi Utara juga memanfaatkan buah bintaro sebagai obat luka. Selain digunakan sebagai obat, secara tradisional buah bintaro ini juga dimanfaatkan oleh suku banjar dan suku dayak di Kalimantan untuk membasmi serangan tikus, nyamuk, meracuni ikan dan untuk berburu binatang di hutan. 168


g. Pacing (Costus speciosus) Pacing (C. speciosus) termasuk famili Costaceae, yang dikenal dengan banyak nama daerah, diantaranya sitawar, tebu tawar (Sumatera), tepung tawar, bunto (Jawa), lingkuwas, tepu tepung (Sulawesi), tebe pusa dan tehe tepu (Maluku). Pacing merupakan tumbuhan herba yang tumbuh tegak dengan tinggi 0,5-3 m dan menyukai daerah subur, organik, basah, lembab dan teduh. Daun tunggal, permukaan licin, persisten, melingkar diskeitar batang, bertangkai pendek, berwarna hijau tua, bentuk jorong atau bulat telur. Bunga berwarna putih dengan kelopak bunga besar berwarna merah terang, bunga seperti kertas krep. Buah berbentuk kapsul, berwarna merah dengan biji berwarna hitam. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli di semenanjung melayu-Asia Tenggara (Rani et al., 2012). Di Indonesia, daun dan batang pacing secara tradisional dimanfaatkan oleh masyarakat suku lembak di Provinsi Bengkulu dan suku lampung pesisir di Provinsi Lampung sebagai obat penurun panas, malaria dan liver. h. Simpur (Dillenia indica Linn.) Tumbuhan Simpur (Dillenia indica L.) termasuk dalam famili Dilleniaceae, merupakan tumbuhan berkayu yang banyak tumbuh di lahan rawa pasang surut dan dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama kayu simpoh. Pohon, evergreen, tinggi bisa mencapai 30 m, dengan diameter 120 cm. Permukaan kayu sangat halus, mengelupas, berwarna coklat kemerahan. Daun simpur tumbuh kaku, bentuk daun bulat memanjang atau bulat telur, tulang daun sekunder, menonjol, bertepi rata dan bergigi, ujung daun runcing. Bunga soliter dengan diameter 12 - 20 cm, kelopak saling terpisah, berukuran besar dan cukup menarik, muncul diujung ranting. Buah mempunyai banyak bumbung dan terlindung dari pseudocarp, tetap menutup atau akan membuka merekah seperti bentuk bintang. Daging buahnya dapat dimakan, rasanya masam, berwarna hijau kekuningan. Tumbuhan ini tersebar di banyak negara Asian, Indonesia, Vietnam, Filipina, Thailand, Laos, Myanmar, India, Nepal, dan Bhutan (Gandhi dan Mehta, 2013). Di Indonesia, tumbuhan ini secara tradisional daun mudanya dimanfaatkan oleh suku melayu di provinsi Bangka Belitung untuk pengobatan penyakit darah tinggi. Di India suku asli Lepcha memanfaatkan daun dan buahnya untuk penyakit demam, disentri, sakit perut dan sembelit (Gandhi dan Mehta, 2013). i. Salak hutan (Eleiodoxa conferta) Tumbuhan salak hutan (Eleiodoxa conferta), termasuk famili Arecaceae, yang dikenal sebagai salak palsu dengan nama kelubi, asam paya (Riau). Tumbuhan ini banyak tumbuh liar dihutan rawa gambut dan rawa air tawar. Di bangka tumbuhan ini tumbuh berdampingan dengan nipah, sagu dan pandan. Tumbuhan ini tersebar juga di lampung, Sumatera Selatan dan Riau serta Kalimantan Timur. Sekilas pohon dan buahnya mirip salak (Salacca zalacca), tetapi bunganya berbeda, bunga kelubi tergolong bunga terminal yang muncul dari ujung batang. Batang pendek, berduri putih gading dan muncul berkelompok, daunnya mirip daun sagu dengan panjang 3 - 5 m. Buah muncul dibagian bawah tanaman dari ujung batang yang sangat pendek, berkelompok, ukurannya lebih kecil dari buah salak, berdiameter 3 - 5 cm, kulitnya bersisik berwarna kuning gading saat masih muda dan berubah kemerahan saat matang, tekstur kulit keras dan lebih tebal daripada kulit salak, rasanya sangat asam (Trubus online, 2009). Buah mengandung 1-2 biji yang dapat dimakan segar atau dibuat asinan (Mokhtar dan Aziz, 2015)

169


Tumbuhan ini umbutnya secara tradisional dimanfaatkan oleh masyarakat suku lampung pesisir di Provinsi Lampung sebagai campuran bahan obat untuk penyakit berak darah. j. Buah kelebuk (Ficus sp.) Genus Ficus termasuk famili Moraceae yang dikenal secara umum sebagai ara, pohon ara atau kayu ara. Ficus sp. kebanyakan berupa tumbuhan tropis yang evergreen dan menghuni berbagai relung ekologi, namun beberapa jenis ada yang menggugurkan daun, tumbuh terbatas di daerah di luar wilayah tropis dan di dataran tinggi. Pohon ini sering ditemukan disekitar aliran air dan ditanam, tinggi bisa mencapai 10 - 16 m, daun hijau berlimpah sehingga baik sebagai pelindung. Kulit batang abu-abu kemerahan dan sering merekah/retak (Murti et al., 2010). Genus ini dikenali dari perbungaannya yang unik dan pola penyerbukannya yang khas. Identifikasi jenis dari banyak spesiesnya agak sukar dilakukan, banyak yang memiliki akar gantung atau akar udara, perawakannya khas, bentuk buah unik, mempunyai getah putih hingga kekuningan yang keluar apabila bagian tumbuhan dilukai. Tulang daun lateral yang pertama cenderung lurus dan menyudut terhadap ibu tulang daun di bagian pangkal daun, membentuk pola tiga-cabang yang khas. Di Indonesia beberapa genus Ficus ini secara tradisional dimanfaatkan sebagai obat herbal, diantaranya suku melayu Jambi memanfaatkan buah ini sebagai obat bengkak atau tumor, suku Gayo memanfaatkan sebagai obat afrodisiak (menambah vitalitas), suku Bali Aga menggunakan genus Ficus ini sebagai obat kencing batu, penyakit kulit dan kembung, di Sumba digunakan untuk obat cacing dan habis melahirkan. k. Bijur laut (Ipomoea prescaprae) Tumbuhan bijur laut termasuk dalam famili Convolvulaceae, yang mempunyai nama lokal lainnya oyot-oyotan, katang-kata g da le’lei. Tu buha i i erupaka je is pioner di daerah pantai (Schulte dan Kohler, 2010). Herba tahunan dengan akar yang tebal. Batang panjangnya 5 - 30 m dan menjalar, akar tumbuh pada ruas batang. Batang berbentuk bulat, basah dan berwarna hijau kecoklatan. Daun tunggal, tebal, licin dan mengkilat. Bunga berwarna ungu dan agak gelap di bagian pangkal bunga. Buah berbentuk kapsul bundar hingga agak datar dengan empat biji berwarna hitam dan berambut rapat. Tumbuh liar mulai permukaan laut hingga 600 m, biasanya di pantai berpasir, tetapi juga tepat pada garis pantai serta kadang-kadang pada saluran air. Jenis ini merupakan jenis pioner (Schulte dan Kohler. 2010). Tumbuhan ini secara tradisional akarnya dimanfaatkan oleh masyarakat lokal suku melayu di Bangka Belitung untuk mengobati penyakit step/kejang karena panas yang tinggi. Di daerah lain di Indonesia daun bijur laut ini dimanfaatkan untuk obat rematik, nyeri persendian, pegal-pegal, wasir dan orengan, sedangkan akarnya untuk obat sakit gigi dan eksim serta cairan dari batang untuk mengobati gigitan atau sengatan binatang. l. Mensirak (Ilex cymosa) Tumbuhan ini termasuk dalam famili Aquifoliaceae yang dikenal dengan nama lokal mensirak, bengkulat, belimbing hutan, sidapong, mangkulat, dan ajer pinggah. Tumbuhan ini berupa pohon dengan tinggi bisa mencapai 29 m dan diameter 63 cm. Daun berselang-seling, sederhana, berurat. Berbunga, diameter 3 mm, warna kuning putih, sedikit wangi. Buah mempunyai diameter 3 mm, warna merah muda-ungu, dan berdaging. Dijumpai pada hutan dengan ketinggian dibawah 1500 m dpl, biasa terdapat

170


pada rawa, sepanjang aliran sungai, dekat dengan pantai (mangrove) (Purwani et al., 2014; Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2002). Tumbuhan ini secara tradisional akarnya dimanfaatkan oleh masyarakat suku melayu di Provinsi Bangka Belitung untuk mengatasi penyakit asam urat dan nyeri di persendian. Sedangkan di kalimantan Barat, masyarakat sekitar kawasan hutan Cagar Alam Mandor memanfaatkan akar, ranting dan daun tumbuhan ini untuk penyakit kulit (kudis) (Wardani, 2008). 2. Uji Fitokimia Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa dua belas jenis tumbuhan obat yang ditemukan positif mengandung senyawa metabolit sekunder berupa flavonoid, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid, sedangkan senyawa alkaloid tidak ditemukan. Hasil analisis tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Fitokimia dalam tumbuhan obat di pesisir pantai dan lahan basah No.

Nama lokal

Nama ilmiah

Bagian yang

Fitokimia

digunakan a b c Daun ++ ++ Buah ++++ ++ Ranting ++ 2. Pelawan T. merquensis Daun +++ +++ Kulit batang + +++ 3. Pandan duri P. tectorius Akar ++ + Daun + 4. Rumbia M. sago Daun +++ +++ 5. Bungur L. speciosa Daun +++ +++ Cabang +++ +++ 6. Bintaro C. manghas Buah ++ ++ 7. Pacing C. speciosus Daun + Batang +++ 8. Simpur D. indica Daun +++ ++ Kulit batang ++ + 9. Salak hutan E. conferta Umbut +++ + 10. Kelebuk Ficus sp. Buah +++ +++ Daun ++ +++ 11. Bijur laut I. prescaprae Batang, akar +++ +++ Daun +++ +++ 12. Mensirak I. cymosa Akar +++ +++ Daun +++ +++ Keterangan: a = Flavonoid; b = Alkaloid, c = Tanin; d = Saponin; e = Steroid, rendah; (++) = sedang; (+++) = tinggi; (++++) = sangat tinggi; (-) = tidak ada 1.

Bemban burung

D. canniformis

d e f ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ + ++ ++ + + ++ + +++ +++ +++ +++ + ++ +++ +++ + + ++ ++ + + ++ + ++ + ++ +++ +++ + ++ ++ +++ +++ +++ +++ f = Triterpenoid; (+) =

Tabel 1 menunjukkan bahwa dua belas jenis tumbuhan obat yang ditemukan mengandung senyawa aktif flavonoid, tanin, saponin, dan steroid, kecuali tanaman pacing tidak ditemukan adanya senyawa aktif tanin dan simpur tidak ditemukan adanya senyawa aktif saponin. Senyawa aktif yang terkandung dalam satu tanaman bisa berbeda antara bagian tanaman baik jumlah maupun jenisnya, misalnya tanaman bemban burung dan pelawan. Pada daun dan buah dari tanaman bemban burung mengandung tanin dan steroid yang sedang (++), tetapi pada ranting tidak ada. Begitu juga dengan jumlah kandungan senyawa aktifnya, pada daun dan ranting bemban burung kandungan 171


senyawa aktif flavonoid sedang (++), sedangkan pada buah kandungan senyawa aktif flavonoid sangat tinggi (++++). Daun pelawan mengandung senyawa aktif steroid yang sedang (++), tetapi pada kulit batangnya tidak ada kandungan steroid. Kandungan senyawa aktif flavonoid pada daun pelawan tinggi (+++), tetapi pada kulit batang rendah (+). Hasil uji fitokimia juga menunjukkan bahwa dari dua belas jenis tumbuhan obat yang ditemukan hanya sebagian kecil saja yang mengandung senyawa aktif triterpenoid, yaitu pada daun bemban burung, daun pelawan, daun simpur dan buah kelebuk (Tabel 1). B. Pembahasan Berdasarkan hasil uji fitokimia, dua belas jenis tumbuhan yang ditemukan pada lahan basah tersebut berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai pestisida nabati, karena mengandung senyawa aktif metabolit sekunder cukup tinggi sampai tinggi berupa flavonoid, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid. Hasil penelitian Kandek et al., (2012), menyatakan bahwa steroid yang terkandung dalam jaringan tumbuhan pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis L.) bersifat menolak dan menarik serangga. Saponin selain berfungsi sebagai pelindung tanaman terhadap serangan serangga juga bersifat racun kuat untuk ikan dan hewan berdaran dingin (ampibi) (Kandek et al., 2012; Sinagar, 2014). Triterpenoid yang umumnya terdapat dalam daun berfungsi sebagai pelindung tanaman untuk menolak serangga dan serangan mikroba atau berfungsi sebagai fungisida (Nunik, 2011). Tanin berperan sebagai pertahanan diri tumbuhan dari kelompok serangga dan fungi. Serangga yang memakan bagian tumbuhan dengan kandungan tanin yang tinggi akan memperoleh sedikit makanan yang bermanfaat bagi kehidupannya, akibatnya terjadi penurunan pertumbuhan (Sinagar, 2014). Tumbuhan semak bunga putih (Chromolaena odorata) mengandung senyawa fenol, flavonoid, alkaloid, triterpenoid dan tanin dapat digunakan sebagai larvasida alami. Flavonoid dari mindi (Melia azedarach) dapat digunakan sebagai insektisida biologi (Wigati dan Aminah, 2011). Selain potensi kandungan kimianya ada beberapa jenis tumbuhan yang secara tradisional telah dimanfaatkan masyarakat sebagai pestisida. Hasil penelitian Wardani (2008), menunjukkan bahwa kulit batang pelawan (Tristaniopsis merguensis) secara tradisional digunakan oleh masyarakat disekitar kawasan hutan Cagar Alam Mandor, Kalimantan Barat sebagai bahan baku insektisida alami untuk mengusir hama padi di sawah. Masyarakat lokal di Kabupaten Merangin dan Tebo, Jambi serta di Kabupaten Agam, Sumatera Barat memanfaatkan daun pacing (Costus speciosus) untuk mengusir hama tanaman padi (Asmaliyah et al., 2010). Buah bintaro (Cerbera manghas) secara tradisional dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung sebagai racun babi (Asmaliyah et al., 2010). Selanjutnya hasil penelitian Wigati dan Aminah (2011), menyatakan bahwa Pandanus tectorius secara tradisional juga digunakan sebagai insektisida oleh masyarakat di kepulauan Seribu. Disamping kandungan kimia dan pemanfaatannya secara tradisional, beberapa jenis tumbuhan tersebut sudah teruji toksisitas dan efektivitasnya terhadap serangga hama, tikus dan jamur. Hasil penelitian Zailani et al. (2015), menunjukkan bahwa ekstrak buah bintaro dengan dosis 10 ml/l dapat menyebabkan kematian tikus dengan efek knock down. Kartimi (2015), juga menyatakan hal yang sama, bahwa ekstrak buah bintaro dengan dosis 5%-15% dengan pelarut air maupun pelarut organik efektif menyebabkan ke atia tikus. Sa’diyah , e a bahka bahwa ekstrak dau bi taro de ga konsentrasi 2% dapat menurunkan berat tubuh, menghambat ekdisis instar 2 dan 3 dan menghambat pembentukan pupa larva Spodoptera litura dan dapat membunuh S. litura 172


diatas 50% pada konsentrasi 1,5 - 2% (Purwani et al., 2014). Hasil penelitian lainnya, menunjukkan bahwa ekstrak daun bintaro efektif mengendalikan jamur patogen Phytophthora capsici pada tanaman cabe rawit (Ningrum, 2012). Hasil pengujian penggunaan asam cuka dari kayu pelawan dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bakteri Staphyloccus aureus dan Pseudomonas aeruginosa (Anisah, 2014). Ekstrak daun Pandanus tectorius dengan pelarut alkohol 90% dapat menyebabkan kematian larva Aedes aegypti dengan LD50 0,300 mg (Wigati dan Aminah, 2011). Hasil penelitian Asikin (2014), menunjukkan bahwa ekstrak daun simpur efektif mengendalikan hama ulat grayak dengan mortalitas sebesar 75 - 80%. Di duga kuat tanaman simpur yang ditemukan di wilayah Sumbagsel juga mempunyai potensi yang besar sebagai pestisida nabati karena hasil penelitian Gandhi dan Mehta (2013), menunjukkan hasil uji fitokimia yang sama yaitu adanya kandungan senyawa aktif flavonoid dan tanin pada daun dan kulit pohon serta adanya kandungan senyawa aktif steroid dan triterpenoid pada daun simpur. Hasil penelitian Murti et al. (2010), menunjukkan ekstrak daun Ficus racemosa dapat menghambat pertumbuhan beberapa patogen penyakit tanaman (Curvularia sp., Collerotrichum gloesporiodes, Alternaria sp. Cercospora casssicola dan Fusarium sp.). III. KESIMPULAN Berdasarkan kandungan kimia dan pemanfaatannya secara tradisional oleh masyarakat dalam pengendalian hama dan penyakit pada tanaman menunjukkan bahwa dua belas jenis tumbuhan yang ditemukan di pesisir pantai dan lahan basah di wilayah Sumatera Bagian Selatan berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku pestisida nabati untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit pada tanaman maupun komoditas lainnya. DAFTAR PUSTAKA Agung, M. 2011. Pengelolaan perkebunan sagu (Metroxylon spp.) di PT. National Sagu Prima Selat Panjang Riau: Seleksi bibit sagu berdasarkan jenis tinggi pohon induk dan bobot bibit sagu terhadap pertumbuhan bibit sagu di persemaian. Bogor: Fakultas Institut Pertanian Bogor. Repository y.ipb.ac.id/bitstream/handle. Anisah, K. 2014. Analisa komponen kimia dan uji anti bakteri asap cair tempurung kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa). Skripsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran da Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi, Jakarta. Tidak Dipublikasikan. Asmaliyah, Hadi, E. E., Utami S., Mulyadi K., Yudhistira dan Sari F. W. 2010. Pengenalan tumbuhan penghasil pestisida nabati dan pemanfaatannya secara tradisional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan. Asikin, S. 2014. Tumbuhan berkayu simpur penakluk hama. Balitra/litbang.pertanian.go.id. Tanggal akses 17 mei 2016. Azliza M. A., Ong H. C., Vikineswary S., Noorlidah A. dan Haron N.W. 2012. Ethnomedicinal resources used by The Temuan in Ulu Kuang Village. Ethno Med 6 (1). 2012.

173


Gandhi D. dan Mehta P. 2013. Dillenia indica Linn. and Dillenia pentagyna Roxb. Pharmacognostic, Phytochemical and Therapeutic aspect. Journal of Applied Pharmaceutical Science Vol.3 (11). Hasan M., Hawa H., Daud M., Jamaluddin, Hashim, Ridzwan dan Taher B.M. 2010. Qualitatif analysis of biochemical and proximate determination of saponin in different parts of Donax grandis plant extracts. Makalah dalam 3rd International Conference on Advancement in Science and Technology (iCast) 27-29 November 2010. Kandek C. N, J. S Tasirin, R. P. Kainde dan J. I Kalangi. 2012. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat sekitar hutan desa Minanga III kabupaten Minahasa Tenggara. Ejournal.unsrat.ac.id. Tanggal akses 3 Mei 2016. Karim A. A., Tie A. P. L., Manan D. M. A., dan Zaidul I. S. M. 2008. Starch from the sago (Metroxylon sagu) palm tree-properties, prospect, and challenges as a new a new industrial source for food and other uses. Comprehensive Review in Food Science and Food Safety Vol. 7, No. 3, 2008. Kartimi. 2015. Pemanfaatan buah bintaro sebagai biopestisida dalam penanggulangan hama pada tanaman padi di kawasan pesisir Desa Bandengan Kabupaten Cirebon. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi 2015. Malang 21 Maret 2015. Tanggal akses 3 Mei 2016. Milow P., Ghazali N. H., Mohammad N. S. and Ong H. C. 2011. Characterization of plant resources at Kmapung Parit, Tok Ngoh, Perak, malaysia. Sci. Res. Essays 6 (13). Mokhtar S. I dan Aziz N. A. A. 2015. Organic acid content and antimicrobial properties of Eleiodoxa conferta extracts at different maturity stages. Journal of Tropical Resources and suistainable scince 3 (2015). Murti K., Kumar V., Kambole V., Bhat S. P., Panchall M. A. 2010. Pharmacological properties of Ficus racemosa-A Review. Pharmacologyonline 2 (2010). Ningrum, R. 2012. Studi potensi biofungisida ekstrak daun bintaro (Cerbera manghas) dalam mengendalikan jamur patogen Phytophthora capsici Pada tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens LONGA). Proposal Tugas Akhir. Jurusan Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Nunik. 2012. Pecut Kuda Obat Tadisional Yang Tidak Dianjurkan Bagi Wanita Hamil. http://biologinunik.wordpress.com. Tanggal akses 3 Mei 2016. Prayuda Y. E. 2014. Efikasi esktrak biji bintaro (Cerbera manghas) sebagai larvasida pada larva Aedes aegypti L. Instar III/IV. Skripsi mahasiswa Fakultas Kedoktera dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Prijono D. 2003. Teknik ekstraksi, uji hayati dan aplikasi senyawa bioaktif tumbuhan. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB. Purwa i K.I., Wijayawati L., Nurhatika S., Sa’diyah N. A. dan Arifiyanto A. 2014. Bintaro (Cerbera odollam) leaf extract as a potential biological pest control toward Spodoptera litura F. Mortality. J. Appl. Environ. Sci 4 (4), 2014. Rahayu M., Sunarti S., Keim A. P. 2008. Kajian etnobotani pandan samak (Pandanus odoratissima L. f.): Pemanfaatan dan peranannya dalam usaha menunjang penghasilan keluarga di Ujung Kulon, Banten. Biodiversitas Vol. 9 No.4 Oktober 2008. 174


Rani A. S., Sulakshana G. dan Patnaik S. 2012. Costus speciosus, An antidiabetic plantreview. FS J. Pharm Res (2012) Vol. 1, No. 3. Sa’diyah. . Pe garuh Ekstrak Dau Bi taro Cerbera odollam) terhadap Perkembangan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.). Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Surabaya. Sangi M., Runtuwene M. R. J., Simbala H.E.I dan Makang V.M.A. 2008. Analisis fitokimia tumbuhan obat di Kabupaten Minahasa Utara. Chem. Prog. Vol. 1 No. 1, 2008. Schulte U. and Kohler G. 2010. Microhabitat selection in the spiny-tailed iguana Ctenosaura bakeri on Utila Island, Honduras. Salamandra 46 (3). Sinagar, R. 2014. Metabolit sekunder. http://rahmatsinaga10.wordpress.com. Tanggal akses 20 April 2016. Suksthan P., Madulid D. A. dan Borchsenius F. 2010. Marantaceae in the Philippines. Taiwania 55 (1). Trubus online. 2009. Asam bersisik dari pulau Timah. www.trubus-online.co.id. Tanggal akses 20 April 2016. Thitikornpong W., Phadungcharoen T., and Sukrong S. 2011. Pharmacognostic evaluations of Lagerstroemia speciosa leaves. Journal of Medicine Plants Research Vol.5 (8), 2011. Valkenburg J. L. C. H. V and N. Bunyapraphatsara. 2002. Plant resources of South-East Asia 12 (2) Medicinal and poisonous plants 2. Prosea, Bogor, Indonesia. Wardani, M. 2008. Keragaman potensi tumbuhan berguna di Cagar Alam Mandor, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. V. No.3. Wigati R.A dan Aminah N.S. 2011. Potential plants in the coast and mangrove forest area of seribu archipelago. Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 39 No. 1, 2011. Yarli N. 2011. Ekologi pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) sebagai inang jamur pelawan di Kabupaten Bangka Tengah. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. 2011. Zailani H.F, Sutjipto dan Prastowo S. 2015. Uji efektifivitas rodentisida nabati ekstrakbuah bintaro (Cerbera manghas Boiteau, Pierre L.) terhadap hama tikus. Berkala Ilmiah Pertanian (BIP) 1 (1). Zhang X., Wu C., Wu H., Sheng L., Su Yan, Zhang Xue, Luan Hong, Sun G., Sun X., Tian Yu, Ji Yubin, Guo P., Xu Xudang. 2013. Anti-Hyperlipidemic effect and potential mechanisme of action of the caffeoylquinic acid rich Pandanus tectorius fruit extract in Hamster fed a high fat diet. PloS ONE 8 (4).

175


176


ASPEK KONSERVASI & LINGKUNGAN

177


178

Aspek Konsevasi dan Lingkungan

POTENSI PENYERAPAN KARBON PADA POLA TUMPANG SARI KARET DAN TANAMAN KAYU Sahuri Balai Peneltian Sembawa, Pusat Penelitian Karet E-mail: [email protected]

ABSTRAK Tanaman karet (Hevea brasilliensis) memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian dan penyerapan CO2. Tanaman karet seperti halnya tanaman hutan mampu mengolah CO 2 sebagai sumber karbon yang digunakan untuk fotosintesis. Penyerapan CO2 dapat ditingkatkan melalui penerapan pola tumpangsari karet dan tanaman kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi penyerapan karbon pada pola tumpangsari karet dan tanaman kayu. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Balai Penelitian Sembawa, Sumatera Selatan, dengan tiga pola tanam (PT), yaitu PT1: tanaman karet + jati (Tectona grandis), PT2: tanaman karet + trembesi (Samanea saman), PT3: tanaman karet monokultur, PT4: tanaman jati monokultur, dan PT5: tanaman trembesi monokultur. Pengukuran cadangan karbon terdiri dari biomasa pohon dan bahan organik tanah. Hasil penghitungan menunjukan bahwa jumlah penyerapan CO2/tahun di perkebunan karet selama 10 tahun untuk PT1, PT2, PT3, PT4, dan PT5 masing-masing adalah 86,46 ton/ha, 125,90 ton/ha, 77,90 ton/ha, 36,26 ton/ha, dan 49,03 ton/ha. Penambahan penyerapan karbon selama 10 tahun akibat adanya pola tumpang sari karet dan tanaman kayu adalah 30,13% atau 49,17 ton CO 2/ha dibandingkan tanaman karet monokultur. Kata kunci: cadangan karbon, pola tumpangsari, karet, trembesi, jati

I. PENDAHULUAN Indonesia menjadi negara penghasil emisi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Oleh karena itu, perlu upaya untuk meningkatkan kualitas hutan yang luasnya semakin menurun sehingga tetap mampu mempertahankan fungsi ekologi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan (Houghton, 2004; IPCC, 2006; Hairiah dan Rahayu, 2007; Hairiah et al., 2011). Laju peningkatan emisi CO 2 harus diimbangi dengan usaha penyerapannya melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan/tanaman dan organisme lainnya. Penyerapan CO2 dapat ditingkatkan melalui penerapan pola tumpangsari karet dan tanaman kayu. Hal ini karena tanaman karet seperti halnya tanaman hutan mampu mengolah CO2 sebagai sumber karbon yang digunakan untuk fotosintesis (Yulyana, 2005; Cesylia, 2009; Zhou et al., 2010; Snoeck et al., 2013). Indonesia memiliki luas lahan perkebunan karet terbesar di dunia, dengan luas areal mencapai 3,4 juta ha, mengungguli areal karet Thailand (2,67 juta ha) dan Malaysia (1,02 juta ha) (Ditjenbun, 2012). Kemampuan penyerapan karbon oleh perkebunan karet dapat mencapai 4,65 ton CO2/ha tiap tahunnya. Artinya, jumlah karbon yang diserap dalam areal perkebunan karet selama satu siklus penanaman (± 21 tahun) dapat mencapai 97,65 ton CO2/ha. Penyerapan tersebut bersumber dari serasah tanaman karet (64,99 ton CO2/ha) dan biomassa tanaman (32,59 ton CO /ha) (Jacob et al., 2006). Penelitian mengenai penyerapan karbon melalui pola tumpangsari karet dan tanaman kayu di Indonesia belum banyak dilakukan. Menurut Montagnini et al., (2004), pola agroforestri sangat strategis untuk pencadangan karbon yang potensial. Rata-rata cadangan karbon melalui pola ini sekitar 9,21 dan 50 Mg C/ha pada daerah semiarid, subhumid, dan humid. 179


Berdasarkan fakta di atas maka perlu untuk mengkaji penyerapan karbon pada pola tumpangsari karet dan tanaman kayu. Pola yang terdapat di kebun percobaan Balai Penelitian Sembawa antara lain pola tumpangsari karet + jati dan tumpangsari karet + trembesi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi penyerapan karbon pada pola tumpangsari karet dan tanaman kayu. II. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Balai Penelitian Sembawa, Sumatera Selatan, dari tahun 2005-2015. Pengukuran cadangan karbon dilakukan pada pola tumpangsari karet dan tanaman kayu, yaitu PT1: tumpangsari karet + jati; PT2: tumpangsari karet + trembesi; dan sistem monokultur, yaitu: PT3: karet monokultur; PT4: jati monokultur; dan PT5: trembesi monokultur, sehingga terdapat lima pola tanam (PT). Pada pola tumpangsari, jarak tanam karet (14 m x 6 m) x 2 m, sedangkan pada sistem monokultur 6 m x 3,3 m. Jenis klon yang digunakan adalah PB330 tahun tanam 2000. Tanaman kehutanan yang digunakan adalah jati tahun tanam 2002 dan trembesi tahun tanam 2002. Populasi masing-masing sistem pola tanam sebagai berikut: a. Pola tumpangsari karet dan tanaman kayu 1. PT1 : populasi tanaman jati 100 pohon dan karet 400 pohon. 2. PT2 : populasi tanaman trembesi 100 pohon dan karet 400 pohon. b. Pola monokultur 1. PT3 : populasi tanaman karet 500 pohon. 2. PT4 : populasi tanaman jati 500 pohon. 3. PT5 : populasi tanaman trembesi 500 pohon. B. Pengukuran Biomassa Tanaman Karet, Jati, dan Trembesi Pengukuran biomassa tanaman karet, jati dan trembesi dilakukan dengan cara non-destruktif sampling (tanpa merusak sampel) yaitu dengan cara mengukur tinggi dan diameter pohon setinggi dada (1,3 m dari permukaan tanah). C. Pengukuran Karbon Tanah Pengukuran cadangan karbon tanah diukur berdasarkan kandungan karbon organik (C-organik) dengan mengambil sampel tanah utuh menggunakan ring sampel dengan tinggi 7 cm dan diameter 5,5 cm pada kedalaman 0-20 cm. D. Analisis Data Hasil pengukuran di lapangan dan laboratorium kemudian ditabulasi dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk mengetahui nilai C yang terkandung dalam tanaman dan tanah, digunakan beberapa persamaan sebagai berikut: 1. Menduga biomassa pohon (Ketterings et al., 2001): a) Tanaman karet (Kettering et al., : BK = . πD2.62..................................(1) Berat jenis kayu karet adalah : 0,63 g/cm3 (Boerhendy dan Agustina, 2006) b) Tanaman jati (Hendri, 2001; Kraenzel et al., 2003): BK = 0.20091*D2.30.............................................................................................(2) Berat jenis jati adalah 0,66 g/cm3 (Rulliaty dan Lempang, 2004) c) Tanaman trembesi (Hairiah et al., 2001; Nuroniah et al., 2010): BK= π*e p -1.499+2.148 ln(D)+0.207 (ln(D))2-0.0281(ln(D))3).........................(3) Berat jenis trembesi adalah 0,6 g/cm3 (Hairiah et al., 2001) 180


2. Menduga kandungan C (Van Noordwijk, 1999; Murdiyarso et al., 2002;2004): KC = 0.5 BK........................................................................................................(4) 3. Menduga kandungan C tanah (Van Noordwijk, 1999; Murdiyarso et al., 2002;2004): KC = B x A x Dt x Co................................................,...........................................(5) Keterangan: BK = erat keri g kg , π = BJ ka u g/ 3), D = diameter batang (cm) setinggi ±1,3 m (Van Noordwijk, 1999; Naji et al., 2014), KC = kandungan karbon (ton), B = bobot isi (g/cm3 atau ton/m3), A = luas tanah (m2) Dt = kedalaman tanah (m), Co = C-organik (%). E. Penghitungan Penyerapan CO2 Biomassa Pohon Penghitungan penyerapan CO2 (Hairiah dan Rahayu, 2007): Serapan CO2 = BK pohon (ton/ha) x 0,46* x 3,67**......................................................(6) Keterangan : *kadar C dalam bahan organik merupakan nilai kadar terpasang , yaitu 46%; **konversi C ke CO2, menggunakan perbandingan antara berat atom CO 2 /berat atom C. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Biomassa Pohon Penambahan biomassa selama 10 tahun akibat adanya pola tanam trembesi dan jati di antara karet adalah 30,14% atau 29,13 ton/ha dibandingkan dengan tanaman karet monokultur (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa pola tumpangsari memiliki biomassa lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur. Tabel 1. Estimasi biomassa per pohon dan per hektare pada berbagai pola penanaman Biomassa (ton) Pola Tanam Total Jenis Pohon (PT) (ton/ha) Per pohon Per hektare Tumpangsari (A) 125,79 Karet 0,07 32,69 PT1 51,21 Jati 0,04 18,52 Karet 0,08 38,79 PT2 74,58 Trembesi 0,48 35,79 Monokultur (B) 96,66 PT3 Karet 0,09 46,14 46,14 PT4 Jati 0,04 21,48 21,48 PT5 Trembesi 0,06 29,04 29,04 Sumber: data primer diolah

Pada sistem monokultur biomassa tanaman karet lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jati dan trembesi. Biomassa tanaman karet pada sistem monokultur lebih tinggi 114,80% dari tanaman jati dan 58,88% dari tanaman trembesi (Tabel 1). B. Cadangan Karbon Pohon Penambahan cadangan karbon selama 10 tahun akibat adanya pola tanam trembesi dan jati diantara karet adalah 30,13% atau 14,56 ton C/ha dibandingkan dengan tanaman karet monokultur (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa pola tumpangsari memiliki cadangan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur.

181


Tabel 2. Estimasi cadangan C per pohon dan per hektare pada berbagai pola penanaman C (ton) Pola Tanam Total C Jenis Pohon (PT) (ton/ha) Per pohon Per hektare Tumpangsari (A) 62,89 Karet 0,03 16,35 PT1 25,61 Jati 0,02 9,26 Karet 0,04 19,39 PT2 37,28 Trembesi 0,24 17,89 Monokultur (B) 48,33 PT3 Karet 0,05 23,07 23,07 PT4 Jati 0,02 10,74 10,74 PT5 Trembesi 0,03 14,52 14,52 Sumber: data primer diolah

Pada sistem monokultur cadangan karbon tanaman karet lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jati dan trembesi. Cadangan karbon tanaman karet pada sistem monokultur lebih tinggi 114,80% dari tanaman jati dan 58,88% dari tanaman trembesi (Tabel 2). C. Serapan CO2 Pohon Penambahan penyerapan CO2 selama 10 tahun akibat adanya pola tanam trembesi dan jati di antara karet adalah 30,13% atau 49,17 ton CO 2/ha dibandingkan dengan tanaman karet monokultur (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa pola tumpangsari karet dan tanaman kayu memiliki cadangan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur. Tabel 3. Estimasi serapan CO2 per pohon dan per hektare pada berbagai pola penanaman Serapan CO2 (ton/ha) Pola Tanam Total Jenis Pohon (PT) (ton/ha) Per pohon Per hektare Tumpangsari (A) 212,36 Karet 0,11 55,19 PT1 86,46 Jati 0,06 31,27 Karet 0,13 65,48 PT2 125,90 Trembesi 0,12 60,42 Monokultur (B) 163,19 PT3 Karet 0,16 77,90 77,90 PT4 Jati 0,07 36,26 36,26 PT5 Trembesi 0,10 49,03 49,03 Sumber: data primer diolah

Pada sistem monokultur serapan CO2 tanaman karet lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jati dan trembesi. Serapan CO 2 tanaman karet pada sistem monokultur lebih tinggi 114,80% dari tanaman jati dan 58,88% dari tanaman trembesi (Tabel 3). Hal tersebut membuktikan bahwa perkebunan karet merupakan tanaman yang ramah lingkungan karena dapat mengurangi emisi CO 2. Kontribusi perkebunan karet dalam menyerap karbon dapat ditingkatkan. Peningkatan penyerapan karbon di perkebunan karet akan sangat potensial karena menurut data Ditjenbun (2012), rata-rata pertambahan luas areal perkebunan karet sekitar 24.700 ha/tahun.

182


D. Cadangan Karbon Tanah Penambahan karbon tanah selama 10 tahun akibat adanya pola tanam trembesi dan jati di antara karet adalah 21,35% atau 22,99 ton/ha dibandingkan dengan tanaman karet monokultur (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa sistem agroforestri memiliki cadangan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur. Tabel 4. Kandungan C-organik dan cadangan karbon tanah Pola Tanam (PT) Kedalaman (cm) C - Organik (%) Tumpangsari (A) PT1 0 - 20 cm 2,42 PT2 0 - 20 cm 2,98 Monokultur (B) PT3 0 - 20 cm 2,04 PT4 0 - 20 cm 1,10 PT5 0 - 20 cm 1,31

C (ton/ha) 130,68 58,56 72,12 107,69 49,37 26,62 31,70

Sumber: data primer diolah

Pada sistem monokultur cadangan karbon tanah tanaman karet karet lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jati dan trembesi. Cadangan karbon tanah tanaman karet pada sistem monokultur lebih tinggi 85,45% dari tanaman jati dan 55,73% dari tanaman trembesi (Tabel 3). Pada Tabel 3 dan gambar 1 menunjukkan bahwa kandungan C organik tanah pola tumpangsari karet dan tanaman kayu lebih tinggi dibandingan sistem monokultur sehingga pola tumpangsari memiliki cadangan karbon tanah lebih tinggi dibandingkan sistem mnokultur. Hal ini karena pada pola tumpangsari biomassa pohon dan serasah lebih tinggi sehingga bahan organik akan lebih terjaga. Menurut Young (1989); Paul (1996); Elsas et al., (2007), kadar bahan organik tanah akan terjaga melalui serasah dan sisa akar/ranting dari pohon sehingga terjadi peningkatan akitivitas fauna tanah. Penjelasan lain dinyatakan oleh Ito et al., (2014), bahwa kandungan karbon tanah nyata dipengaruhi oleh serasah tanaman. Perbedaan rata-rata kandungan C-tanah antara yang memiliki serasah dan tidak memiliki serasah dapat mencapai 67%. Penambahan cadangan karbon serasah selama 10 tahun akibat adanya pola tanam trembesi dan jati diantara karet adalah 64,03% atau 0,06 ton/ha dibandingkan dengan tanaman karet monokultur (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa sistem agroforestri memiliki cadangan karbon serasah lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur.

Gambar 1. Cadangan karbon pohon dan bahan organik tanah pada pola penggunaan lahan (A: Pola tumpangsari karet dan tanaman kayu dan B: Sistem monokultur) 183


IV. KESIMPULAN Penyerapan CO2/tahun di perkebunan karet selama 10 tahun meningkat dengan adanya pola tumpangsari karet dengan tanaman trembesi dan jati melalui peningkatan jumlah biomassa pohon pada satu hektar lahan. Penambahan penyerapan karbon selama 10 tahun akibat adanya pola tumpangsari karet dengan tanaman kayu adalah 30,13% atau 49,17 ton CO2/ha dibandingkan dengan tanaman karet monokultur. Penyerapan CO 2 pada pola tumpangsari karet dengan tanaman trembesi sebesar 125,90 ton CO 2/ha/tahun lebih tinggi dibandingkan pola lain yang diuji. DAFTAR PUSTAKA Boerhendy, I dan D.S. Agustina. 2006. Potensi pemanfaatan kayu karet untuk mendukung peremajaan perkebunan karet rakyat. Jurnal litbang pertanian, 25 (2): 61 – 67. Cesylia L. 2009. Cadangan karbon pada pertanaman karet (Hevea brasiliensis) di perkebunan karet Bojong Datar PTP Nusantara VIII Kabupaten Pandeglang Banten [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Ditjenbun. 2012. Statistik Perkebunan Indonesia. Elsas V, Jansson, Trevors. 2007. Modern soil microbiology. USA: CRC Press Taylor and Francis Group. Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. Bogor: World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Unibraw, Indonesia. 77 p. Hairiah, K., A, Ekadinata, R. R. Sari, dan S. Rahayu. 2011. Pengukuran cadangan karbon dari tingkat lahan ke bentang lahan: petunjuk praktis. Edisi Kedua. Bogor: World Agroforestry Centre, ICRAF. Hendri. 2001. Analisis emisi dan penyerapan gas rumah kaca (baseline) dan evaluasi teknologi mitigasi karbon diwilayah Perum Perhutani. Tesis Magister. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Houghton, R.A. 2004. Aboveground forest biomass and the global carbon balance. USA: Woods Hole Research Center. 2004. Aboveground forest biomass and the global carbon balance. USA: Woods Hole Research Center. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2006. IPCC guidelines for national greenhouse gas inventories. Switzerland: Co-Chairs of the Task Force Bureau on National Greenhouse Gas Inventories. Ito, E., J. Toriyama., M. Araki., Y. Kiyono., M. Kanzaki., B. Tith., S. Keth., L. Chandararity, and S. Chan. 2014. Psysicochemical surface-soil properties after litter-removal manipulation in a Cambodia lowland dry evergreen forest. Jarq. 48(2): 195 – 211. Jacob, J., and N. M. Matthew. 2006. Carbon sequestration potential of natural rubber plantations. Dalam Kyoto Protocol and the Rubber Industry. Rubber Research Institute of India. pp: 165 – 176. Kettering, Q. M., R. Coe, N. M. Van, Y. Ambagau, and C. Palm. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 146: 199 – 209. Bogor: Winrock International Institute for Agriculutural Development. 184


Kraenzel, M., A. Castillo., T. Moore and C. Potvin. 2003. Carbon storage of harvest-age teak (Tectona grandis) plantation, Panama. Forest Ecology and Management, 173: 213 – 225. Montagnini, F and P. K. R. Nair. 2004. Carbon sequestration: an underexploited environmental beneft of agroforestry systems. Agroforestry System. 61: 281 – 295. Murdiyarso D, Widodo M, dan Suyanto D. 2002. Fire risk in forest carbon project in Indonesia. Science in China Supl : 65 – 74. Murdiyarso, D; U. Rosalina; K. Hairiah; L. Muslihat; I.N.N. Suryadiputra, dan A. Jaya, 2004. Petunjuk lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Wetlands International-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Naji, H. R., E. S. Bakar., M. Soltani., S. E. Ebadi., H. A. Hamid., S. K. S. Javad, and M. H. Sahri. 2014. Effect of initial planting density and tree features on growth, wood, density, and anatomical properties from a Hevea brasiliensis trial plantation. Forest Product Journal. 64 (12): 41 – 48. Nuroniah, H. S., dan A. S. Kosasih. 2010. Mengenal jenis trembesi (Samanea saman) sebagai pohon pelindung. Mitra Hutan Tanaman, 5 (1): 1 – 5. Paul, E. A. 1996. Soil microbiology and biochemistery. San Diego: Academic Press. Rulliaty, S., dan M. Lempang. 2004. Sifat anatomi dan fisis kayu jati dari Muna dan Kendari Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 22 (4): 231 – 237. Snoeck, D., R. Lacote, J. Keli, A. Doumbia., T. Chapuset., Jagoret and E. Gohet. 2013. Association of hevea with other tree crops can be more proftable than hevea monocrop during frst 12 years. Industrial Crops and Products 43: 578 – 586. Van Noordwijk, 1999. Functional Branch Analysis to derive alometrik equations of trees. In: Murdyarso D, Van Noordwijk M and Suyamto D A (eds.) Modelling global change impactson the soil environment. IC-SEA Report 6: 77-79. Young, A. 1989. Agroforestry for soil conservation. CAB Intenational. Yulyana R. 2005. Potensi kandungan karbon pada pertanaman karet (Hevea brasiliensis) yang disadap: kasus perkebunan inti rakyat Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Utara [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Zhou Y, Li M. H, Cheng X. B, Wang C. G, Fan A.N. 2010. Soil respiration in relation to photosynthesis of Quercus mongolia trees at elevated CO2. Shenyang China: Department of Forest Ecology, Institute of Aplied Ecology, Chinese Academy of Sciences.

185


186


PENINGKATAN AKURASI PENDUGAAN EMISI SEKTOR HUTAN DAN LAHAN MELALUI PENGUKURAN CADANGAN KARBON TIER 3 DALAM UPAYA MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI SUMATERA SELATAN Hengki Siahaan*, Adi Kunarso* dan Teddy Rusolono Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang *

E-mail: [email protected]; [email protected];

ABSTRAK Sumatera Selatan sebagai salah satu wilayah dengan luas kawasan hutan mencapai 3,48 juta ha mempunyai peran penting dalam upaya pencapaian target penurunan emisi nasional. Sebagai salah satu wilayah penyebaran gambut di Indonesia, Sumatera Selatan menyumbang emisi 50,8 juta ton CO2eq atau 5,9% dari emisi nasional dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup telah melakukan berbagai upaya penurunan emisi sektor hutan dan lahan, baik dengan upaya sendiri maupun dalam konteks kerjasama internasional. Salah satu bentuk kerjasama internasional di Sumatera Selatan melalui skema REDD+ adalah Project Bioclime. Tulisan ini menyajikan rangkaian proses pembangunan dan pengukuran Petak Ukur Permanen (PUP) pada berbagai tipe ekosistem dan penutupan lahan di Sumatera Selatan. Selain untuk memperoleh baseline data cadangan karbon di Sumatera Selatan kegiatan ini juga dimaksudkan sebagai pembelajaran dalam meningkatkan akurasi pendugaan emisi sektor hutan dan lahan sehingga memperkuat posisi Provinsi Sumatera Selatan dalam berbagai kerjasama internasional dalam bidang mitigasi perubahan iklim. Kata kunci: cadangan karbon, petak ukur permanen, lahan gambut, baseline data

I. PENDAHULUAN Mitigasi perubahan iklim merupakan rangkaian upaya yang dilakukan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), terutama karbondioksida (CO2) yang bersumber dari berbagai aktivitas manusia (Dewi et al, 2013; Sukadri et al, 2013). Indonesia termasuk sebagai negara penyumbang utama emisi dunia, di sisi lain, Indonesia juga sangat rentan terhadap perubahan iklim yang timbul akibat akumulasi emisi GRK di atmosfir. Menurut laporan IPPC (Inter Govermental Panel on Climate Change) tahun 2014, emisi Indonesia mencapai 1,5% dari emisi global atau sebesar 0,77 Gt CO2eq/tahun. Indonesia berada pada peringkat ke-13 diantara 20 negara penghasil 75% emisi global berdasarkan konsumsi dalam negeri dan peringkat 11 berdasarkan teritorial. Namun dari sisi peningkatan emisi periode 1990-2010, Indonesia berada pada peringkat ke-3 diantara negara-negara yang meratifikasi UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), setelah China dan India, yaitu sebesar 0,77 Gt CO 2eq (Victor et al, 2014). Berdasarkan sektor, sektor utama penyumbang emisi adalah sektor energi sebesar 34% dan sektor AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use) sebesar 24% dari emisi total, proporsi ini diperkirakan menjadi lebih besar pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Victor et al., 2014). Menurut Krisnawati (2010), emisi dari deforestasi, degradasi hutan, dan perubahan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai 65% dari total emisi karbon nasional. Selanjutnya berdasarkan data INCAS, emisi GRK dari sektor kehutanan dan lahan gambut di Indonesia pada tahun 2012 cukup besar, yaitu mencapai 862 juta ton CO2eq. Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisinya sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan negara lain pada tahun 2020 seperti yang dituangkan dalam Perpres No. 71 tahun 2011 tentang RAN GRK dan kontribusi sektor 187


kehutanan ditargetkan sebesar 14%. Dalam kerangka kerjasama internasional, salah satu mekanisme penurunan emisi dari sektor hutan dan lahan adalah mekanisme REDD+ (Reducing emission from deforestation and land degradation, sustainable forest management, forest conservation, and enhancement of carbon stocks). Prinsip utama yang harus dipenuhi dalam berbagai upaya menurunkan emisi adalah bahwa penurunan emisi tersebut harus terukur (measureable), terlaporkan (reportable), dan dapat diverifikasi (verifiable) disingkat MRV. Untuk menerapkan prinsip ini, IPPC mengeluarkan metode baku pengukuran dan pelaporan emisi melalui IPPC Guidline 2006. Metode ini memberikan hasil perhitungan yang akurat dengan tingkat ketelitian yang tinggi atau Tier 3 (Wibowo, 2010; Dharmawan, 2012). Pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan, pengukuran emisi dilakukan dengan menghitung dinamika stok karbon melalui pembangunan dan pengelolaan petak ukur permanen (PUP) pada berbagai tipe hutan dan penutupan lahan. Emisi terjadi jika stok karbon berkurang dan sebaliknya jika stok karbon bertambah maka yang terjadi adalah penyerapan karbon. Selain menggunakan metode pengukuran yang baku, akurasi dan efisiensi pendugaan stok karbon juga sangat ditentukan oleh metode sampling yang digunakan. Metode sampling yang paling tepat digunakan adalah stratified sampling karena kondisi stok karbon yang sangat beragam pada berbagai tipe hutan dan penutupan lahan. Sumatera Selatan sebagai salah satu wilayah dengan luas kawasan hutan mencapai 3,48 juta ha mempunyai peran penting dalam upaya pencapaian target penurunan emisi nasional. Sebagai salah satu wilayah penyebaran gambut di Indonesia, Sumatera Selatan menyumbang emisi 50,8 juta ton CO 2eq atau 5,9% dari emisi nasional dari sektor kehutanan dan lahan gambut (Krisnawati, 2010). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah melakukan berbagai upaya penurunan emisi, terutama dari sektor kehutanan dan lahan gambut, baik dengan usaha sendiri maupun melalui kerangka kerjasama internasional (Gustina, 2014). Dalam konteks kerjasama internasional, maka akurasi pendugaan emisi dan database stok karbon hutan dan penutupan lahan di Sumatera Selatan perlu ditingkatkan hingga tingkat ketelitian tier 3 melalui pembangunan dan pengelolaan PUP. Selama ini perhitungan cadangan karbon di Sumatera Selatan masih bersifat parsial pada kawasan hutan tertentu tanpa memperhitungkan keterwakilan kondisi penutupan pada tipe-tipe hutan yang berbeda sehingga hasil yang diperoleh tidak dapat dijadikan sebagai acuan yang baku dalam perhitungan emisi di regional Sumatera Selatan. Melalui kerjasama KLHK dan Perguruan Tinggi dengan Bioclime, telah dilakukan pengukuran cadangan karbon secara menyeluruh pada berbagai tipe dan kondisi penutupan hutan dengan tingkat ketelitian yang memadai sehingga dapat dijadikan sebagai acuan (baseline) dalam perhitungan emisi di Sumatera Selatan. Tulisan ini menyajikan pengalaman pembangunan, pengukuran, dan analisis data PUP dalam rangka penyusunan baseline emisi tersebut. II. METODE SAMPLING DAN STRATIFIKASI Metode sampling merupakan hal yang sangat mendasar dalam pengukuran stok karbon untuk memenuhi tingkat akurasi yang diperlukan secara efisien, baik dari sisi waktu maupun biaya. Metode stratified sampling dipandang sebagai metode yang paling efisien karena tipe dan kandungan stok karbon hutan dan penutupan lahan di Sumatera 188


Selatan sangat beragam. Metode stratified sampling diawali dengan melakukan stratifikasi berdasarkan tipe ekosistem dan penutupan lahan pada seluruh populasi. Dengan stratifikasi, populasi dibagi menjadi beberapa stratum yang mempunyai kondisi yang lebih seragam. Lokasi pembangunan PUP disesuaikan dengan wilayah kerja Project Bioclime pada 4 kabupaten di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara. Total luas kawasan hutan pada keempat kabupaten tersebut mencapai 1.707.070 ha atau 49% dari total luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 3.482.667 ha. Pada tahap awal wilayah kerja Bioclime pada 4 kabupaten tersebut dibagi menjadi 2 sub populasi, yaitu areal berhutan dan areal tak berhutan. Selanjutnya areal berhutan dibedakan berdasarkan tipe ekosistem, ketinggian tempat, dan jenis tanah. Berdasarkan analisis peta tutupan lahan tahun 2013 areal berhutan pada lokasi tersebut dibagi menjadi 6 tipe ekosistem, yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa, dan hutan tanaman. Luas total areal berhutan pada lokasi studi adalah 744.818 ha (Tabel 1). Tabel 1. Luas dan jumlah plot untuk areal berhutan dan tidak berhutan serta lokasi pembuatan PSP areal project Bioclime. Jumlah Stratum Luas (Ha) Lokasi/ Pemangku Kawasan Plot Areal berhutan 1. Hutan lahan kering primer 217.594 33 TNKS 2. Hutan lahan kering sekunder 115.376 20 KPHK Bentayan Dangku, KPHP Meranti, PT. REKI 3. Hutan mangrove primer 85.041 5 KPHL Banyuasin, TNS 4. Hutan mangrove sekunder 61.951 5 KPHL Banyuasin 5. Hutan rawa sekunder 106.848 24 KPHP Lalan 6. Hutan tanaman 158.008 18 PT. MHP, PT. RHM Jumlah areal berhutan 744.818 105 Areal tidak berhutan 1. Perkebunan 2. Pertanian lahan kering 3. Semak belukar Jumlah areal tidak berhutan Total

84.722 419.604 301.368 805.694

15 7 13 35

1.550.512

140

KPHK Bentayan Dangku KPHP Lakitan KPHP Lakitan

Sumber: Rusolono et al., 2015 (diolah)

Stratifikasi pada areal tak berhutan dibedakan menjadi 3 stratum, yaitu perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar. Areal ini cukup penting karena berdasarkan analisis peta tutupan lahan tahun 2013 (Rusolono et al., 2015), luas areal ini pada kawasan hutan pada 4 kabupaten wilayah Project Bioclime mencapai 805.694 ha (Tabel 1). Tipe penutupan ini umumnya dijumpai pada lahan kering dengan jenis tanah mineral. Stratum yang umum dijumpai adalah perkebunan sawit skala perusahaan dan perkebunan karet rakyat.

189


Penentuan jumlah plot pada masing-masing stratum ditetapkan berdasarkan tingkat ketelitian pendugaan yang dikehendaki dan keragaman populasi stok karbon pada populasi. Tingkat ketelitian pendugaan dinyatakan dengan tingkat kesalahan penarikan contoh (sampling error) dan pada kegiatan ini ditetapkan sebesar 10%. Keragaman populasi diperoleh dari hasil-hasil penelitian sebelumnya pada lokasi yang sama. Sesuai dengan ketentuan tersebut dan penambahan 20% plot untuk antisipasi jika kemungkinan ada plot yang tidak dapat diakses, ditetapkan sebanyak 140 PUP pendugaan stok karbon pada areal studi dengan rincian 105 plot pada areal berhutan dan 35 plot untuk areal tak berhutan (Rusolono et al., 2015). Penempatan titik-titik plot dilakukan secara sistematik dengan jarak antar titik sejauh 5 km pada berbagai kawasan hutan yang dikelola oleh KPH atau perusahaan pemegang ijin pengelola kawasan. Pembuatan titik plot berbentuk grid dengan jarak 5 km dimaksudkan agar hasil pengukuran yang diperoleh dapat diintegrasikan dengan hasil survey hutan nasional NFI (National Forest Inventory). Rincian lokasi pada masing-masing stratum serta lokasi dan pemangku kawasannya disajikan pada Tabel 1. III. SURVEY LAPANGAN DAN PENGAMBILAN DATA 1. Aksesibilitas Lokasi Aksesibilitas menuju lokasi merupakan aspek penting yang perlu direncanakan secara matang. Umumnya aksesibilitas menuju lokasi diawali dengan menempuh perjalanan darat dengan kendaraan roda 4 menuju tempat mandah (camping) terdekat dengan lokasi titik-titik pembuatan PUP. Dari lokasi mandah, umumnya akses menuju plot ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 1-5 km. Pada areal hutan rawa gambut dan mangrove, akses menuju lokasi diawali dengan menggunakan kendaraan air seperti ketek dan speed boat hingga tepi sungai terdekat dengan plot, kemudian dilanjutan dengan berjalan kaki selama 2-3 jam. Pada beberapa lokasi terutama pada hutan lahan kering sekunder dan hutan tanaman tanah mineral di KPHK Bentayan Dangku dan PT. MHP, perjalanan menuju plot dapat dilakukan dengan menggunakan kendaraan roda 4 (Tabel 2). Walaupun telah dipersiapkan secara matang, pada saat pelaksanaan, terdapat beberapa plot yang tidak dapat diakses, terutama pada hutan lahan kering primer di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Aksesibilitas menuju lokasi yang sangat terjal, tutupan hutan atau pohon yang rapat dan jarak tempuh yang jauh tidak memungkinkan untuk dijangkau, walaupun dengan berjalan kaki. Pada areal TNKS, lokasi tertinggi yang dapat dicapai adalah pada ketinggian 460 m dpl, sehingga hutan lahan kering yang disurvey pada kegiatan ini adalah hutan lahan kering primer dataran rendah. Lokasi lainnya yang tidak dapat diakses adalah areal perusahaan pemegang ijin IUPHHK HTI pada lahan gambut berkaitan dengan ijin masuk lokasi. Tabel 2. Aksesibilitas menuju lokasi mandah dan lokasi survey cadangan karbon areal project Bioclime di Sumatera Selatan No. 1.

Lokasi plot TNKS

Lokasi mandah Pondok masyarakat

Aksesibilitas ke lokasi mandah Kendaraan roda 4 ke desa terdekat dilanjutkan dengan ketek ± 10 km

190

Aksesibilitas menuju plot Berjalan kaki sejauh 1-4 km


Tabel 2. (Lanjutan) No. 2.

3.

4.

5.

Lokasi plot

Lokasi mandah

Aksesibilitas ke lokasi mandah

Aksesibilitas menuju plot

KPHP Lalan Mangsang Mendis KPHK Bentayan Dangku PT. MHP

Kamp KPHP Merang dan Muara Medak Rumah penduduk

Kendaraan roda 4

Kendaraan roda 4

Menggunakan ketek 1-10 km dilanjutkan jalan kaki 1-4 km Kendaraan roda 4

Kamp PT. MHP

Kendaraan roda 4

Kendaraan roda 4

KPHL Banyuasin (Sungsang)

-

-

Kendaraan roda 4, dilanjutkan dengan speed boat 5-10 km jalan kaki 1-4 km

2. Kondisi Tutupan Lahan Survey dan pembuatan PUP untuk pendugaan stok karbon direncanakan dilakukan pada 6 stratum (tipe) hutan dan 3 tipe penutupan lahan tak berhutan. Target jumlah plot yang ditetapkan sebanyak 140 plot berdasarkan tingkat ketelitian dengan sampling error 10% dan keragaman stok karbon pada masing-masing stratum tidak sepenuhnya dapat terpenuhi. Kondisi tutupan lahan yang jumlah plotnya cukup terbatas adalah hutan lahan kering primer, karena kondisi tutupan ini hanya dijumpai di kawasan TNKS. Jumlah plot untuk tutupan lahan kering primer adalah sebanyak 9 plot. Hingga akhir kegiatan jumlah plot yang telah disurvey adalah sebanyak 114 titik ditambah 1 titik yang di re-enumerasi (diukur ulang). Jumlah ini hanya mencapai 81,4 % dari target plot yang telah ditetapkan, namun karena pada awal penentuan jumlah plot telah dilakukan antisipasi adanya plot yang tidak terakses dengan penambahan plot sebanyak 20%, maka secara statistik jumlah plot tersebut telah memadai. Tabel 3. Kondisi tutupan lahan pada kawasan hutan lokasi survey cadangan karbon areal project Bioclime di Sumatera Selatan No.

Lokasi plot

Jumlah plot

1.

TNKS

14

2.

KPHP Lalan Mangsang Mendis

16

3.

KPHK Bentayan Dangku

17

4. 5.

PT. REKI KPH Meranti

18 5

Kondisi tutupan lahan (hasil survey) Hutan lahan kering primer (9 plot) Hutan lahan kering sekunder (4 plot) Pertanian lahan kering sekunder (1 plot) Hutan rawa gambut sekunder (13 plot) Pertanian lahan kering (2 plot) Semak belukar (1 plot) Hutan lahan kering sekunder (4 plot) Pertanian lahan kering (6 plot) Perkebunan sawit (4 plot) Hutan rawa gambut sekunder (2 plot) Semak belukar (1 plot) Hutan lahan kering sekunder (18 plot) Hutan lahan kering sekunder (4) Perkebunan (1)

191

Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Tabel 3. (Lanjutan)

No.

Lokasi plot

Jumlah plot

6.

PT. MHP

10

7.

KPHP Lakitan

5

8.

KPHP Rawas

5

9.

KPHL Banyuasin (Sungsang) TN Sembilang

9

10.

15

Jumlah

Kondisi tutupan lahan (hasil survey) Hutan tanaman tanah mineral (7) Hutan lahan kering sekunder (2) Pertanian lahan kering sekunder (1) Hutan lahan kering sekunder (2) Semak belukar (3) Semak belukar (3) Hutan rawa gambut sekunder (2)

Hutan mangrove primer (3) Hutan mangrove sekunder (6) Hutan mangrove primer (11) Hutan rawa gambut sekunder (4)

114

Kondisi tutupan lahan pada masing-masing stratum cukup bervariasi. Misalnya pada stratum hutan lahan kering primer di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dari 14 plot yang disurvey, selain hutan lahan kering primer juga dijumpai tutupan lahan berupa hutan lahan kering sekunder sebanyak 4 plot dan pertanian lahan kering sebanyak 1 plot. Kondisi tutupan lahan yang paling banyak dijumpai pada areal berhutan adalah hutan lahan kering sekunder sebanyak 34 plot dari jumlah plot pada areal berhutan sebanyak 91 plot. Pada areal tidak berhutan, penutupan lahan paling banyak dijumpai adalah tutupan pertanian lahan kering sekunder (13 plot dari 23 plot pada areal tidak berhutan (Tabel 3). 3. Pembuatan Plot Pengukuran Ekosistem hutan dan penutupan lahan lainnya menyimpan cadangan karbon pada berbagai tempat penyimpanan yang disebut dengan pool carbon. Terdapat lima pool carbon pada ekosistem hutan dan penutupan lahan, yaitu pada biomassa diatas permukaan tanah, biomassa di bawah permukaan tanah, kayu mati (nekromas), seresah, dan bahan organik tanah. Pembuatan dan pengukuran plot dilakukan untuk mengetahui cadangan karbon pada kelima pool tersebut. Pembuatan dan pengukuran dengan tingkat ketelitian tier 3 dilakukan sesuai dengan metode IPPC 2006. A B

C

E

D

Gambar 1. Bentuk dan ukuran plot persegi panjang untuk pengukuran kabon pada hutan alam dan tanaman budidaya campuran

192


r = 11,29 m

r = 7,98 m

(a)

(b)

Gambar 2. Bentuk dan ukuran plot lingkaran untuk pengukuran kabon pada hutan tanaman atau perkebunan: (a) umur < 4 tahun dan (b) umur > 4 tahun Bentuk plot yang digunakan disesuaikan dengan tipe ekosistem dan kondisi penutupan lahan. Pada hutan alam ataupun penutupan lahan lainnya yang mempunyai ukuran vegetasi yang bertingkat bentuk plot yang digunakan adalah bentuk persegi panjang tersarang (nested). Plot berbentuk persegi panjang dibuat dengan ukuran 20 m x 50 m. Plot ini terdiri dari 5 sub plot, masing-masing untuk mengukur ukuran diameter pohon yang berbeda sebagai berikut (Gambar 1): - sub plot A: 2 m x 2 m untuk pengukuran tumbuhan bawah dan seresah - sub plot B: 5 m x 5 m, untuk pengukuran pancang (dbh < 10 cm) - sub plot C: 10 m x 10 m, untuk pengukuran tiang (dbh 10-20 cm) - sub plot D: 20 m x 20 m, untuk pengukuran pohon kecil (dbh 20-35 cm) - su plot E: 5 , u tuk pe gukura poho esar d h ≥ 5 Hutan tanaman atau perkebunan mempunyai vegetasi dengan ukuran dan umur yang relatif seragam sehingga pengukurannya lebih sederhana menggunakan plot berbentuk lingkaran (Gambar 2). Radius plot berbentuk lingkaran disesuaikan dengan umur tanaman. Pengukuran pada hutan tanaman dengan umur < 4 tahun menggunakan plot lingkaran radius 7,98 m (luas 0,02 ha) dan jika umur > 4 tahun, radius plot adalah 11,29 m (luas 0,04 ha). 4. Pengukuran Cadangan Karbon Pengukuran cadangan karbon dilakukan secara terintegrasi pada plot yang telah dibuat, baik berbentuk persegi panjang ataupun lingkaran. Untuk memperoleh hasil dengan tingkat ketelitian tinggi, pengukuran dilakukan sesuai dengan standar yang memadai seperti SNI atau metode lain yang diakui secara internasional. Metode pengukuran cadangan karbon pada project Bioclime menggunakan panduan yang disarikan dari berbagai sumber yang relevan (Rusolono et al, 2015). Pada intinya pengukuran cadangan karbon dilakukan pada lima pool carbon, yaitu biomassa atas permukaan, biomassa bawah permukaan, nekromas, seresah dan karbon tanah. a. Biomassa atas permukaan tanah Pendugaan biomassa atas permukaan dibedakan berdasarkan ukuran vegetasi. Biomassa tumbuhan bawah ditimbang secara langsung (berat basah) dengan cara memanen dan mengambil sampel untuk menghitung berat kering. Biomassa tumbuhan bawah diukur pada plot 2 m x 2 m atau dapat juga menggunakan plot 0,5 m x 0,5 m yang diletakkan pada pojok bawah plot A, B, dan C (Gambar 1). Pada hutan tanaman sub plot pengukuran biomassa dapat ditempatkan di sekitar titik pusat lingkaran. 193


Biomassa pohon dari tingkat pancang hingga pohon besar didekati berdasarkan volume dan berat jenis, sehingga yang diukur di lapangan adalah DBH dan tinggi pohon pada sub plot masing-masing (Gambar 1). Jika model penduga biomassa untuk suatu jenis tertentu telah tersedia maka pendugaan biomassa lebih baik menggunakan model tersebut. b. Biomassa bawah permukaan tanah Biomassa bawah permukaan merupakan biomassa sistem perakaran pohon yang tidak dapat diukur secara langsung. Pendugaan dapat dilakukan dengan menggunakan nisbah akar pucuk atau persamaan allometrik pendugaan biomassa akar. Pada kegiatan ini pendugaan biomassa bawah permukaan menggunakan rasio akar pucuk, sehingga pengukuran biomassa akar tidak dilakukan. c. Biomassa kayu mati (nekromas) Biomassa kayu mati terdiri atas kayu mati berdiri dan kayu mati rebah. Pengukuran biomassa kayu mati berdiri dilakukan secara terintegrasi pada plot biomassa atas permukaan dengan metode pengukuran yang sama. Pengukuran kayu mati rebah dilakukan pada plot besar 20 m x 50 m dengan mengukuran diameter pangkal dan diameter ujung dengan diameter >10 cm. Kayu mati dan bagian lainnya yang mempunyai diameter < 10 cm digolongkan sebagai seresah. Pengukuran lain yang perlu dilakukan untuk kayu mati adalah pengambilan sampel kayu mati untuk menghitung berat jenisnya di laboratorium. Untuk keperluan tersebut maka kayu mati dapat dikelaskan kedalam 3 atau 4 kelas sesuai dengan tingkat pelapukannya. Pada kegiatan ini kelas kayu mati berdiri digolongkan ke dalam 4 kelas dan kayu mati rebah digolongkan ke dalam 3 kelas. Setiap kelas kayu mati berdiri dan kayu mati rebah di ambil sampelnya untuk perhitungan berat jenis di laboratorium. d. Biomassa seresah Seresah adalah bagian dari pohon yang telah mati seperti daun, ranting, dan dahan yang berukuran kecil dengan diameter < 10 cm tetapi belum terdekomposisi secara sempurna. Pengukuran biomassa seresah dilakukan dengan cara ditimbang langsung di lapangan pada sub plot A atau 3 plot dalam bingkai 0,5 m x 0,5 m yang diletakkan di ujung bawah sub plot A, B, dan C. Pengambilan sampel seresah juga dilakukan untuk pengukuran berat kering di laboratorium. e. Karbon tanah Pengukuran karbon tanah dilakukan dengan mengukur kadar karbon tanah (C-organik) dan berat jenis tanah. Sampel tanah untuk pengukuran kadar C-organik disebut sampel tanah terganggu sedangkan sampel untuk pengukuran berat jenis (bulk density) disebut sampel tanah utuh. Pengambilan sampel tanah terganggu dan contoh tanah utuh menggunakan metode yang berbeda untuk tanah mineral dan tanah gambut atau mangrove. Pengambilan tanah utuh pada tanah mineral untuk pengukuran berat jenis tanah dilakukan dengan menggunakan ring soil sampler. Pengambilan contoh tanah terganggu dapat dilakukan dengan menggunakan cangkul atau bor tanah. Masingmasing contoh tanah diambil pada kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, dan 20-30 cm. Pada tanah gambut atau tanah mangrove alluvial pengambilan sampel tanah terganggu maupun tanah utuh dilakukan dengan menggunakan bor gambut atau bor mangrove. Pengambilan sampel dilakukan secara bertahap dari permukaan gambut sampai 194


kedalaman atau lapisan gambut atau mangrove dalam plot. Tahapan pengambilan sampel dilakukan dari kedalaman 0 - 40 cm, 40 - 100 cm, 100 - 150 cm, 150 - 200 cm dan seterusnya hingga ditemukan bahan induk (batuan dasar atau pasir karang pada tanah mangrove dan lapisan tanah mineral pada tanah gambut). 5. Analisis Laboratorium Analisis laboratorium merupakan rangkaian penting untuk meningkatkan akurasi dalam pengukuran cadangan karbon hutan dan tutupan lahan lainnya, terutama kandungan karbon pada seresah, kayu mati, dan karbon tanah. Pengukuran laboratorium perlu dilakukan segera untuk menghindari terjadinya perubahan, kerusakan atau kehilangan sampel. Pada prinsipnya pengukuran di laboratorium dilakukan mengetahui berat jenis dan berat kering seluruh sampel yang diambil pada kegiatan pengumpulan data lapangan. a. Analisis sampel kayu mati Analisis sampel kayu mati dilakukan untuk mengetahui berat jenis kayu mati baik kayu mati rebah mapun kayu mati berdiri. Hal ini perlu dilakukan karena berat jenis kayu mati telah mengalami penurunan seiring terjadinya dekomposisi. Semakin lanjut tingkat dekomposisi, berat jenis kayu mati semakin menurun. Oleh karena itu pengukuran biomassa kayu mati harus dilakukan melalui analisis laboratorium. Pengukuran dilakukan meliputi pengukuran volume menggunakan gelas ukur dan pengukuran berat kering menggunakan timbangan setelah sampel dikeringkan dalam oven. Contoh hasil perhitungan berat jenis kayu mati berdiri dan kayu mati rebah disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Hasil pengukuran berat jenis kayu mati berdiri pada plot pengukuran cadangan karbon di PT. MHP No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Plot 7 14 20 27 27 27 76

Kelas Lapuk 1 1 3 1 2 3 2

V (cm³) 79 133 260 164 83 102 410

BK (g) 24.6 71.38 67.42 108.27 39.03 44.85 181.56

BJ (g/cm3) 0.311 0.537 0.259 0.660 0.470 0.440 0.443

Tabel 5. Hasil pengukuran berat jenis kayu mati rebah pada plot pengukuran cadangan karbon di PT. MHP No. 1 2. 3. 4.

Plot 17 27 27 68

Kelas Lapuk 1 2 3 2

V (cm³) 230 151 420 304.5

BK (g) 88.48 33.87 164.45 107.09

BJ (g/cm3) 0.385 0.224 0.392 0.352

b. Analisis seresah dan tumbuhan bawah Analisis seresah dan tumbuhan bawah dilakukan untuk mengetahui berat kering sampel yang diperoleh dari pengukuran lapangan. Pengukuran berat kering dilakukan dengan metode oven. Biomassa seresah pada plot dihitung dengan perbandingan berat kering dan berat basah sampel dikalikan dengan berat basah seluruh sampel. 195


Biomassa seresah dan tumbuhan bawah selanjutnya dapat di konversi dalam satuan ton per hektar, selanjutnya cadangan kabon per hektar dapat dihitung dengan mengalikan biomassa dengan kadar C atau menggunakan angka perbandingan 0,5 (Tabel 6 dan 7). Tabel 6. Hasil pengukuran biomassa dan cadangan karbon seresah pada plot pengukuran di PT. MHP Plot 7 8 14 HS 17 20 22 27 39 68 76

BBT (g) 870 970 270 430 740 490 810 870 330 250

BB spl (g) 257.01 197.26 129.54 84.67 163.51 119.7 232.99 92.27 185.59 117.35

BK spl (g) 185.3 156.19 114.43 69.11 125.76 95.92 197.38 72.88 154.98 94.61

BK (g/plot) 627.3 768.0 238.5 351.0 569.2 392.7 686.2 687.2 275.6 201.6

BK (t/ha) 8.36 10.24 3.18 4.68 7.59 5.24 9.15 9.16 3.67 2.69

C (ton/ha) 4.18 5.12 1.59 2.34 3.79 2.62 4.57 4.58 1.84 1.34

Tabel 7. Hasil pengukuran biomassa dan cadangan karbon tumbuhan bawah pada plot pengukuran di PT. MHP Plot 8 14 HS 17 20 22 27 39 68 76

BBT (g) 190 850 380 700 900 140 200 800 2500

BB spl (g) 194.05 141.2 137.06 209.53 287.71 115.79 158.07 221.66 148.64

BK spl (g) 72.4 67.48 49.15 60.75 94.24 48.15 40.54 104.44 54.4

BK (g/plot) 70.9 406.2 136.3 203.0 294.8 58.2 51.3 376.9 915.0

BK (t/ha) 0.95 5.42 1.82 2.71 3.93 0.78 0.68 5.03 12.20

C (ton/ha) 0.47 2.71 0.91 1.35 1.97 0.39 0.34 2.51 6.10

c. Analisis karbon tanah Pada tanah mineral analisis sampel tanah meliputi pengukuran bluk density dan kadar C-organik tanah. Pengukuran berat jenis tanah dilakukan dengan metode oven untuk mengatahui berat kering tanah dalam ring soil sampler. Bulk density tanah adalah berat kering tanah dalam ring soil sampler dibagi dengan volume ring. Cadangan karbon tanah dihitung dengan mengalikan bulk density dengan kadar C-organik dan kedalaman pengambilan sampel dan satuan dikonversi dalam ton/ha (Tabel 8). Penghitungan cadangan karbon tanah pada lahan gambut dan tanah mangrove dilakukan dengan cara yang sama hanya saja volume yang digunakan adalah volume pembagi untuk menghitung bulk density adalah volume bor yang digunakan.

196


Tabel 8. Hasil pengukuran bulk density dan cadangan karbon tanah pada plot pengukuran di PT. MHP Plot

Kedalaman

t (cm)

7

− − − − − − − − − − − − − − −

10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

8

14

HS 17

20

BK

V (ring)

159.11 221.55 206.56 168.43 218.98 236.16 124.44 245.64 230.79 193.81 209.81 219.18 165.16 249.5 249.82

162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93 162.93

BD (gr/cm3) 0.98 1.36 1.27 1.03 1.34 1.45 0.76 1.51 1.42 1.19 1.29 1.35 1.01 1.53 1.53

C-org (%) 2.75 1.44 1.25 1.46 1.05 0.80 1.17 0.98 0.94 1.97 1.11 0.96 2.50 1.70 1.40

C (ton/ha) 26.86 19.58 15.85 15.09 14.11 11.60 8.94 14.77 13.32 23.43 14.29 12.91 25.34 26.03 21.47

IV. PENUTUP Besarnya emisi atau serapan karbon ditentukan oleh activity data dan faktor emisi. Activity data merupakan perubahan tutupan lahan yang diperoleh melalui penginderaan jauh remote sensing sedangkan faktor emisi merupakan besarnya cadangan karbon pada tipe penutupan lahan tertentu yang diperoleh melalui pengukuran lapangan (ground survey). Pada prinsipnya, akurasi pengukuran emisi sektor hutan dan lahan ditentukan oleh metode yang digunakan dalam menentukan perubahan luas tutupan lahan dan besarnya faktor emisi. Activity data yang akurat diperoleh dengan menggunakan data spatial dengan resolusi yang baik, yaitu yang mampu memantau terjadinya perubahan penutupan lahan sesuai dengan kategori penutupan lahan IPPC. Sedangkan data faktor emisi yang akurat diperoleh PUP dengan jumlah yang memadai dan metode sampling yang tepat sesuai dengan kondisi di lapangan. Sebagai salah satu bentuk kerjasama internasional dalam upaya mitigasi perubahan iklim dengan mekanisme REDD+, Bioclime Project pada empat kabupaten di Sumatera Selatan telah memberikan dukungan, khususnya bagi Provinsi Sumatera Selatan. PUP yang telah dibangun diharapkan dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik sebagai alat untuk melakukan monitoring cadangan karbon dan penurunan emisi sektor hutan dan penggunaan lahan di Sumatera Selatan. DAFTAR PUSTAKA Dharmawan W.S. 2012. Konsep Sistem MRV dalam REDD+ dan Perkembangan di Tingkat Global dan Nasional. Prosiding Workshop MRV untuk Persiapan Implementasi REDD+ di Sumatera Selatan. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. Dewi, S., F. Johana, P. Agung, M.T. Zulkarnaian, D.H. Asmara, G. Galudra, Suyanto, dan A. Ekadinata. 2013. Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Mendukung 197


Pembangunan Rendah Emisi; Luwes – Land Use Planning for Low Emission Development Strategies. Word Agroforestry Centre (ICRAF) SEA Regional Office. Bogor. Gustina, T.M. 2014. Strategi dan Kebijakan Provinsi Sumatera Selatan untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman dari Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD). Dalam: Ginoga, K.L., A. Pribadi, D. Djaenudin, dan M. Lugina (Editor): Monitoring Permanen Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan. Bogor. Krisnawati H. 2010. Status Data Stok Karbon Dalam Biomas Hutan di Indonesia. Dalam: Masripatin N., dan Wulandari C (Editors). REDD+ & Forest Governance. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Manuri S., Lingenfelder and KH. Steinmann. 2011. Tier 3 Biomass Assessment for Baseline Emission in Merang Peat Swamp Forest. Workshop on Tropical Wetland Ecosystems of Indonesia. Cifor. Bogor. Rusolono T., T. Tiryana, dan J. Purwanto. 2015. Panduan Survey Cadangan Karbon dan Keanekaragaman Hayati di Sumatera Selatan. GIZ, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Sukadri, D. S., B. Widyantoro, H. Tarumadevyanto, U. Z. Farisa. Putting Low Emission Development Strategy into Indonesia National Development and Plans. DNPI. Jakarta. Victor D. G., D. Zhou, E. H. M. Ahmed, P. K. Dadhich, J. G. J. Oliver, H-H Rogner, K. Sheikho, and M. Yamaguchi. 2014. Introductory Chapter. In: Climate Change 2014: Mitigation of Climate Change Contribution of Working Group III to The Fift Assessment Report of The Intergovermental Panel on Climate Change. [Edenhofer, O., R. Pichs-Madruga, Y. Sokona, E. Farahani, S. Kadner, K. Seyboth, A. Adler, I. Baum, S. Brunner, P. Eickemeier, B. Kriemann, J. Savolainen, S. Schlὂmer, C von Stechow, T. Zwickel, and J.C. Minx (Eds)]. Cambridge University Press. Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Wibowo, A. 2010. Measurable, Reportable dan Verifyable (MRV) untuk Emisi Gas Rumah Kaca dari Kegiatan Kehutanan. Dalam: Masripatin N., dan Wulandari C (Editors). REDD+ & Forest Governance. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

198


ASPEK SOSIAL EKONOMI

199


200

Aspek Sosial Ekonomi

DESA PERTUMBUHAN HIJAU BERKEMAKMURAN: KRITIK IDEOLOGIS DAN ALTERNATIF PEMBANGUNAN LOKAL Lukas Rumboko Wibowo*, Ismatul Hakim, Yadi, Triyono Puspitojati, Aneka Prawesti Suka, Dewi Ratna Kurniasari dan Fitri Nurfatriani Pusat Litbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim *

E-mail: [email protected]

ABSTRAK Ideologisasi paradigma pembangunan dengan menempatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menjadi semacam keyakinan tunggal bagi banyak bangsa negara berkembang. Kegagalan ideologi pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam memproduksi keadilan dan kesejahteraan dan keberlanjutan adalah pertanda bahwa ideologi ini telah usang dan harus menjadi titik poin penting refleksi untuk mencari jalan alternatif ideologi pembangunan ekonomi yang lebih bermartabat dan berkelanjutan. Desa pertumbuhan hijau berkemakmuran hadir tidak hanya sebagai alternatif pembangunan lokal tetapi merupakan salah satu bentuk kritik ideologis pembangunan krusial yang perlu dilembagakan di tingkat lokal. Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran adalah konsep pembangunan desa yang sudah saatnya di introdusir dan dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Secara esensial, desa pertumbuhan hijau berkemakmuran bukan hanya sekedar konsep, ide atau gagasan tetapi sebuah wacana tandingan dan ideologi alternatif pembangunan lokal yang lebih bermartabat dengan menempatkan warga desa dan pemerintahan desa sebagai subyek pembangunan. Dan yang lebih penting lagi, desa pertumbuhan hijau juga harus dimaknai sebagai gerakan sosial untuk menggerakan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan pembangunan desa yang mandiri, berkelanjutan dan berkesejahteraan. Selain menggerakan warga juga meminta kelancaran birokrasi pemerintah pusat untuk mendukung dan melembagakan idiologi pembangunan lokal tersebut. Kata kunci: Pembangunan ekonomi, ideologi alternatif dan pembangunan lokal

I. LATAR BELAKANG Kegagalan dan kejatuhan politik Orde Baru, sesungguhnya juga tidak bisa dilepaskan oleh model dan pendekatan pembangunan yang dijalankan ketika itu. Paradigma pembangunan ekonomi yang mengedepankan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengandalkan sektor ekstraktif dan industri padat modal sebagai leading sectors serta mempercayakan sekelompok kecil pelaku ekonomi untuk menjadi aktor utama pembangunan, telah membuat fundamental ekonomi kita rapuh. Kontrol usaha bisnis dari kelompok kecil konglomerasi yang mengendalikan bisnis dari lembaga keuangan negara yang lemah, telah memperburuk kondisi perekonomian ketika krisis melanda sekitar tahun 1998, yang menjalar menjadi krisis politik. Ritzer dalam Baudrillard (1998), menegaskan pertumbuhan tidak mampu membawa masyarakat lebih sejahtera, tetapi justru mereproduksi kemiskinan struktural. Belajar dari kasus pendekatan ekonomi pembangunan tersebut, yang justru hanya melahirkan kesenjangan dan keruntuhan politik, komitmen politik kuat dari Presiden Jokowi untuk melakukan dekonstruksi paradigma pembangunan ekonomi yang menempatkan desa sebagai basis paling dasar dalam pembangunan sesuai dengan Nawacita, perlu didukung dan terus dikembangkan. Tanpa ada dukungan dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pembangunan dari pi ggira ha ya aka e jadi itos da retorika politik . Pe a gu a eko o i yang selama ini bias urban, telah mereproduksi desa bukan sebagai pusat pertumbuhan 201


ekonomi tetapi sebagai pusat pasar dari industri-industri yang ada di kota. Transformasi masyarakat desa pun tidak terelakan lagi, dari masyarakat produsen menjadi consumer society (Jean Baudillard 1998; Ulrich Beck 2006). Di sisi lain, paradigma pembangunan desa sebagai pusat produksi komoditas pertanian untuk memenuhi kebutuhan orang kota tetap terus dipertahankan, tanpa disertai dengan kebijakan insentif yang diperlukan bagi pengembangan desa. Bahkan, pemerintah justru terus melakukan pengurangan insentif bagi petani, sebagai dampak dari liberalisasi sektor pertanian, akibatnya banyak petani yang meninggalkan pekerjaannya dan kehilangan lahan pertaniannya. Ko it e politik u tuk elakuka Hijrah politik pe a gu a perta ia dari industri yang berbasis di kota dengan menempatkan desa sebagai center of growth and de elop e t adalah la gkah politik eko o i ya g tepat e gi gat masyarakat kita lebih dari 60% menggantungkan hidupnya dari pertanian. Berbagai program pembangunan yang berbasis desa, seperti ekowisata, atau program-program pemberdayaan lainnya, adalah secara umum belum mampu mendorong pertumbuhan desa dan memakmurkan warga desa secara signifikan, karena pendekatannya tidak berbasis komunitas, masih parsial, tidak terintegrasi dengan program pembangunan desa dan tidak terkoneksi dengan jaringan ekonomi eksternal, terutama bagi desa-desa di land locked areas (Sachs, Mellinger, dan Gallup, 2001). II. KRITIK IDEOLOGIS PEMBANGUNAN Desa pertumbuhan hijau berkemakmuran hadir tidak hanya sebagai alternatif pembangunan lokal, tetapi sebagai kritik ideologi pembangunan krusial, yang selama ini dijalankan di banyak negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Menurut Morishima (2004) ideologi didefinisikan sebagai sistem keyakinan yang mengikat orang bersama-sama ke pengelompokan sosial. Tidak juah berbeda, Sarbini (2005) menegaskan bahwa ideologi adalah sebuah istilah yang lahir pada akhir abad ke-18 atau tahun 1796 yang dikemukakan oleh filsuf Perancis bernama Destutt de Tracy dan kemudian dipakai Napoleon. Istilah itu berasal dari dua kata ideos yang berarti gagasan, dan logos yang artinya ilmu. Ideologi ini tidak sekedar gagasan, melainkan gagasan yang diikuti dan dianut sekelompok besar manusia atau bangsa, sehingga ideologi bersifat mengerakkan manusia untuk merealisasikan gagasan tersebut. Ideologisasi paradigma pembangunan dengan menempatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menjadi semacam keyakinan tunggal bagi banyak bangsa negara berkembang. Beberapa tokoh penting proponen pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya jalan pembangunan ekonomi rasional bagi negara-negara berkembang diantaranya Harrod-Domar, Nurkse, Kuznets, Prebisch, Rostow, Meir, Lewis, serta Hirschman. Mereka umumnya telah mereduksi makna pembangunan ekonomi sebagai identikal dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Meir (1984) misalnya, menyamakan pembangunan dengan pertumbuhan riil pendapatan per kapita. Restiyanto, dan Yusroni (2006) menyatakan bahwa kelemahan ideologi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ternyata mengabaikan masalah distribusi pendapatan nasional, sehingga timbul masalah kemiskinan, penganguran, kesenjangan pembagian pendapatan, urbanisasi, (Suradi, 2012) dan kerusakan lingkungan. Bahkan, ideologi pertumbuhan ekonomi justru telah memunculkan konglomerasi yang terisolir relasinya dengan masyarakat miskin (Firmansyah dan Gunawan 2007; Zaini 2010). Akibatnya, bagi Zaini (2010), kekayaan sumberdaya alam (SDA) yang menjadi basis kegiatan ekonomi produksi tidak menjadikan 202


masyarakat sejahtera tetapi sebaliknya membuat masyarakat semakin sengsara akibat konflik dan permasalahan komplek lainnya. Pranadji (2005) mengingatkan bahwa pertumbuhan ada batasnya (limit to growth) sehingga eksploitasi yang berlebihan dan tak terkendali terhadap SDA akan berujung bencana (resource curse) bukan menjadi berkah. III. ALTERNATIF PEMBANGUNAN LOKAL Dalam kontek tersebut, maka sudah saatnya kita mereformulasi, merevitalisasi dan me-rebranding desa kembali, sebab selama ini desa telah begitu besar berkontribusi tidak saja terhadap pembangunan ekonomi, tetapi juga pembangunan demokrasi politik melalui partisipasi warga dalam setiap Pemilihan Umum. Warga desalah yang selama ini terus memberikan subsidi demokrasi. Mereka rela berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara untuk memberikan suaranya sementara banyak kalangan terdidik justru melakukan penggembosan politik melalui gerakan golongan putih. Dalam suatu kesempatan Chalid Muhammad (2014) pada suatu seminar menegaskan bahwa kalau kita mampu menjadikan desa sebagai penggerak pembangunan ekonomi, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan sulit dicapai. Data statistik menunjukkan bahwa ada lebih dari 74,000 desa dan sekitar 30,000 desa yang terletak di pinggiran dan di dalam kawasan hutan. Jumlah desa yang besar ini adalah potensi besar untuk dikembangkan sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional dengan tanpa mengabaikan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat desa. Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran adalah konsep pembangunan desa yang sudah saatnya diperkenalkan dan dikembangkan oleh Kementerian LHK. Secara esensial, desa pertumbuhan hijau berkemakmuran bukan hanya sekedar konsep, ide atau gagasan tetapi adalah sebuah wacana tandingan dan ideologi alternatif pembangunan lokal yang lebih bermartabat dengan menempatkan warga desa dan pemerintahan desa sebagai subyek pembangunan. Dan yang lebih penting lagi, desa pertumbuhan hijau juga harus dimaknai sebagai gerakan sosial untuk menggerakan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan pembangunan desa yang mandiri, berkelanjutan dan berkesejahteraan. Selain menggerakan warga juga menggerakan birokrasi suprastruktur untuk mendukung dan melembagakan idiologisasi pembangunan lokal tersebut. Konsep desa ini sesungguhnya sudah jelas yakni mecoba mendorong desa menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi dengan mengedepankan low-carbon emission development, mendorong partisipasi kritis warga, meningkatkan produktivitas warga melalui optimalisasi pengelolaan asset desa (bio-fisikal dan social capital), pengembangan kapasitas warga dan mendorong tata kelola pemerintahan desa yang demokratis, transparan, akuntabel dan responsif (good-village governance). Sedangkan out-putnya adalah adanya model desa pertumbuhan berkemakmuran hijau. Sedangkan impaknya jelas untuk mendorong tata kelola desa yang demokratis dan memberdayakan warga bagi kemakmuran warga secara keseluruhan. IV. PENDEKATAN DAN PELEMBAGAAN DESA PERTUMBUHAN HIJAU BERKEMAKMURAN Transplantasi ideologi alternatif pembangunan lokal melalui desa pertumbuhan hijau berkemakmuran tentunya memerlukan pendekatan yang tidak konservatif melalui proses birokratisasi yang bersifat top-down, tetapi melalui pendekatan yang lebih 203


menekankan fleksibilitas dengan mengutamakan dialog partisipatif warga, lobby dan studi banding untuk meyakinkan warga. Yang perlu diingat bahwa desa pertumbuhan hijau berkemamuran adalah konsep ideologi dan resep yang kaku, tetapi walaupun demikian resep ini harus dibangun bersama warga desa dan pemerintahan desa sehingga bisa bersenyawa dengan tata nilai dan keyakinan warga sebagai gagasan dan cita-cita yang perlu diwujudkan bersama. Terkait dengan lobby politik dengan para pejabat pemerintahan provinsi, kabupaten dan desa adalah salah satu pendekatan penting untuk mainstreaming di tingkat pemerintahan desa, kabupaten, dan provinsi. Setelah melakukan proses dialog warga dan lobby politik, secara teknis, langkah-langkah mewujudkan desa pertumbuhan hijau berkemakmuran secara khusus dapat dilakukan melalui berbagai aktifitas, dalam kerangka untuk melihat dan menganalisis baseline data atau status terkini dari kondisi sosial ekonomi dan biofisik desa. Rangkaian kegiatan dalam tahapan ini meliputi antara lain melakukan pemetaan biofisik desa, asset desa dan kapasitas desa serta social seperti kelembagaan desa, fragmentasi desa dan struktur sosial dan relasi tatakuasa desa. Kegiatan tahapan ini dilakukan secara partisipatif. Tahapan berikutnya merupakan tahapan transisional dimana memfasilitasi desa dan warga untuk menciptakan atau membangun program bersama dengan tujuan untuk penguatan partisipasi warga, demokrasi desa dan good village governance, serta pengelolaan asset mereka serta penguatan kapasitas kelembagaan desa. Arah dari kegiatan ini adalah bagaimana membangkitkan simpul-simpul potensi ekonomi desa dengan basis pengelolaan sumber daya alam mereka secara lestari. Ruang lingkup pembangkitan ekonomi ini meliputi tiga azas, yakni dalam kegiatan off farm seperti pembuatan roti, penggilingan padi, on farm, seperti agroforestry dan non farm seperti pengembangan jasa lingkungan dengan orientasi pada peningkatan nilai tambah.

Gambar 1. Konseptual model Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran V. TANTANGAN DAN KRISIS PERDESAAN Tantangan pelembagaan desa pertumbuhan hijau diantaranya adalah mengubah cara pandang warga dan pemerintah desa. Birokrastisasi program pembangunan desa yang selama ini dijalankan oleh suprastruktur yang tidak partisipatif dan berorientasi pada 204


proyek telah menciptakan sesat pikir bagi sebagian warga bahwa semua pembagunan desa bersifat elitis dan menguntungkan sebagian kecil elit desa. Terbatasnya kapital secara tidak langsung membangun kultur pengelolaan asset SDA yang tidak produktif dan desa tidak lagi menjadi sumber pangan dan usaha tani warganya yang diistilahkan oleh Shohibuddin (2016) sebagai proses deagrarianisasi. Selain itu program pembangunan desa selama ini tidak mampu memanfaatkan sumber daya alam dan manusia secara optimal. Pembangunan desa selama ini hanya menciptakan aktor ekonomi yang terbatas. Menurut Shohibuddin (2016) desa dan masyarakat desa tidak homogen melainkan telah mengalami diferensiasi yang mendalam yang bisa menimbulkan problem soliditas dan kolektifitas warga dalam membangun desa. Fragmentasi dan akuisisi lahan-lahan petani kecil oleh para orang kaya lokal dan pemodal luar desa mengakibatkan proses yang disebut depeasantisation. Di sisi lain desa menjadi representasi kepentingan elit dan luar desa. Tabel 1. Krisis Perdesaan Krisis Agraria Krisis Ekologi Hilangnya control desa atas sumberdaya Eksploitasi SDA yang merusak alam setempat Pembatasan akses warga atas SDA Desa Ancaman produksi skala besar dan atau monokultur Ketimpangan akses warga atas SDA Desa Degradasi sistem hidrologi lokal Ketimpangan relasi perburuhan Penurunan dan produksi lahan Ketimpangan pola-pola kemitraan Ketergantungan input eksternal Kerentanan sistem pangan lokal Perluasan lahan kritis Ketiadaan akses warga terhadap SDA Desa Kerentanan akibat perubahan iklim global Lemahnya keamanan akses warga terhadap Pudarnya kelembagaan dan kearifan SDA Desa lokal dalam pengelolaan SDA Sumber: Shohibuddin 2015, 2016

Tabel 1, mengilustrasikan bagaimana beratnya tantangan pembangunan pedesaan. Krisis pedesaan biasanya tidak tunggal tetapi merupakan kombinasi antara krisis ekologis dan agrarian yang berdampak pada kehidupan warga. Pengembangan desa pertumbuhan hijau berkemakmuran tentunya tidak lepas dari kondisi-kondisi empiris tersebut. VI. DESA MODEL MEKARJAYA Salah satu Desa yang tengah dirancang untuk menjadi desa pilot atau model pertumbuhan hijau berkemakmuran adalah Desa Mekarjaya. Kelompok Peneliti Politik dan Hukum P3SEKPI telah menetapkan desa tersebut sebagai laboratorium sosial transformasi masyarakat desa untuk 4 - 5 tahun ke depan. Tahap awal ini tim P3SEKPI tengah melakukan pendekatan dan diharapkan tahun 2017 desa model mulai dikembangkan melalui riset aksi. Desa Mekarjaya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi adalah suatu desa yang berada di daerah relatif terpencil, sekitar 5 - 6 jam dari Bogor. Untuk mencapai desa tersebut, harus melalui perjalanan yang cukup melelahkan. Desa Mekarjaya berada di atas pegunungan dengan lanskap alam yang cukup indah. Pemilihan desa Mekarjaya sebagai desa model pertumbuhan hijau berkemakmuran atas pertimbangan dimana desa 205


tersebut masih termasuk tertinggal. Kedua, lokasi desa Mekarjaya juga berdekatan dengan calon obyek wisata geopark dan air terjun (curug) yang sangat indah. Ketiga, desa Mekarjaya memiliki basis sumber daya lahan yang belum banyak termanfaatkan secara optimal. Desa ini terbagi ke dalam enam wilayah dusun dengan 12 Rukun Warga dan 59 Rukun Tetangga. Desa Mekarjaya merupakan desa terluas di Kecamatan Ciemas dengan luas 8.768 ha dengan ketinggian rata-rata 350 mdpl. Penggunaan lahan di Desa Mekarjaya terdiri atas tanah sawah 420 ha, tanah kering 2.651 ha, bangunan/pekarangan 697 ha, dan hutan negara 5.000 ha. Rata-rata kepemilikan lahan masyarakat Desa Mekarjaya adalah 0,3 ha. Desa Mekarjaya terdapat 2.495 rumah tangga di mana tiap rumah tangga memiliki anggota sekitar tiga sampai empat orang. Sumber penghasilan utama masyarakat Desa Mekarjaya berasal dari pertanian dengan komoditas utama padi. Persentase keluarga pertanian di desa ini mencapai 70%. Setelah melalui lobby dan dialog dengan warga dan pemerintah desa, maka pemerintah desa dan warga bersedia membukakan pintu sebagai desa pilot pengembangan desa pertumbuhan hijau berkemamuran. Bahkan dalam suatu kesempatan pertemuan dengan tim peneliti P3SEKPI pemerintah desa bersedia mengalokasikan sebagian dana desa bagi pengembangan desa pertumbuhan hijau ini. Apa yang telah dilakukan oleh tim peneliti P3SEKPI ini adalah baru langkah permulaan, namun yang perlu mendapatkan catatan adalah pertama, pemerintah desa dan warga desa paham akan makna desa pertumbuhan hijau berkemamuran tanpa harus mendiskusikan kerumitan istilah low carbon emission development yang justru bisa membuat sesat pikir masyarakat desa. Catatan kedua, pemerintah kabupaten, terutama bupati memiliki pandangan yang sama dan berkomitmen untuk mendukung program desa pertumbuhan hijau berkemakmuran. Catatan ketiga dengan adanya UU desa, secara finansial desa semakin kaya, tetapi tidak secara otomatis membuat desa semakin kaya akan gagasan inovatif. Dalam dunia yang terus berubah, kelangsungan dan keberlanjutan ekonomi desa sangat ditentukan oleh gagasan-gagasan inovatif tersebut. VII. PENUTUP Keberhasilan dari desa pertumbuhan hijau berkemakmuran akan terletak pada perubahan cara pandang desa dan warga desa tentang ideologi pembangunan, yang meletakkan warga desa sebagai subyek pembangunan. Cara pandang tentang desa dari para pengambil kebijakan harus berubah dengan melepaskan diri dari stereotype jargonik desa sebagai penyandang berbagai ketertinggalan dan inferioritas. Faktor penting lain yang menentukan keberhasilan desa pertumbuhan hijau berkemakmuran adalah fasilitasi atau pendampingan yang bisa menciptakan fasilitatorfasilitator organik yang kuat. Basis pengembangan desa tetap perlu bertumpu pada sumber daya lokal dan karakteristik masyarakat, termasuk budayanya dan pengembangan desa pertumbuhan hijau berkemakmuran harus bersifat multi-disiplin dan lintas sektor dan kelembagaan Keberhasilan pengembangan desa pertumbuhan hijau juga sangat ditentukan oleh pendekatan deliberasi melalui dialog interaktif dengan komunitas-komunitas warga, perangkat desa serta dukungan politik suprastruktur. Selain hal tersebut di atas, kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan desa yang demokratis, partisipatif dan akuntabel dan politik penganggaran di tingkat desa melalui 206


pro-poor dan pro-environmental budgeting adalah prasyarat krusial bagi keberhasilan desa pertumbuhan hijau berkemakuran. Desa pertumbuhan hijau akan berhasil bila ada perubahan desain pembangunan desa dari upaya menciptakan masyarakat desa sebagai masyarakat konsumen menjadi masyarakat produktif dan inovatif. Masyarakat desa tidak boleh lagi di desain hanya menjadi sasaran tembak kepentingan dan produk-produk globalisasi modernitas tetapi tantangannya adalah bagaimana membawa kepentingan lokal dalam era globalisasi. Adanya UU Desa No. 6/2014 adalah peluang sekaligus tantangan bagi desa untuk mewujudkan desa pertumbuhan hijau berkemakmuran melalui otoritas dan kewenangannya yang semakin besar untuk mengelola sumberdayanya secara lebih mandiri. Pemerintah Desa Mekarjaya yang bersedia mengalokasikan sebagian dana desa bagi pengembangan desa pertumbuhan hijau adalah catatan awal penting yang harus terus dirawat dengan proses yang transparan dan kerja yang terukur dengan dukungan riset aksi yang lebih terencana. DAFTAR PUSTAKA Baudrillard, J. 1998. The consumer society: Myths and structures. Sage Publishing, London, England. Beck, U.2006.Risk society:towards a new modernity. Sage Publishing, London, England. Firmansyah, M., dan Gunawan, D.S. 2007. Antara pembangunan ekonomi dan degradasi lingkungan. Eko-Regional, Vol. 2, No. 2 September 2007. Morishima, M. 1986. Ideology and economic activity. Discussion Paper No. JS/86/142. London School of Economics and Political Science Houghton Street, London, WC2A 2AE, UK. Pranadji, T. 2005. Keserakahan, kemiskinan dan kerusakan lingkungan: Pintu gerbang pencermatan dan penguatan nilai-nilai budaya Indonesia pada Milenium ke-3. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional V Ikatan Sosiologi Indoesia (ISI) bertema Indonesia yang bebas korupsi, rukun dan mandiri 20 September 2005. Gedung Pertemuan BKKBN, Jakarta. Restiyanto, D. T., dan Yusroni, N. 2006. Kegagalan pembangunan ekonomi Indonesia akibat terperangkap kegagalan pendekatan teori ekonomi pembangunan. AKSES: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No. 2, Oktober 2006. Sachs, J. D., Mellinger, A. D., and Gallup, J. L. 2001. The geography of poverty and wealth. Scientific American, March 2001, pp.71 - 74. Sarbini, 2005. Islam di tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005. Shohibbudin, M. 2016. Dinamika akses dan eksklusi. Makalah dipaparkan di diskusi internal P3SEKP dengan Tema Pengkayaan Pengetahuan pada tanggal 17 Juni 2016 di P3SEKPI. Suradi.2012. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Informasi, Vol. 17, No. 03 Tahun 2012. Zaini, A. 2010. Kemiskinan di daerah kaya sumberdaya alam: Sebuah Paradoks Pembangunan.

207


208


DAPATKAH PERTUMBUHAN EKONOMI HIJAU MENCAPAI PEMBANGUNAN EKONOMI BERKELANJUTAN? PEMBELAJARAN DARI RIAU UNTUK SUMATERA SELATAN Mamat Rahmat Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]

ABSTRAK Pertumbuhan hijau dimaksudkan sebagai tahapan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Dalam menuju keberlanjutan, pertumbuhan ekonomi dihadapkan pada kendala keterbatasan sumber daya alam. Kemampuan sumber daya alam dalam menyediakan bahan baku untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi bersifat terbatas. Demikian pula, kapasitas lingkungan untuk menetralisir limbah dari proses produksi dan konsumsi barang dan jasa juga bersifat terbatas. Paper ini dimaksudkan untuk mendiskusikan kembali peran pertumbuhan ekonomi hijau dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Diskusi tersebut didasarkan atas hasil kajian skala optimal sistem ekonomi di Provinsi Riau yang telah mencapai kondisi optimal. Pembandingan kondisi ketergantungan terhadap sumber daya alam dilakukan untuk menjustifikasi perlunya kajian skala optimal di Provinsi Sumatera Selatan. Bila ditinjau dari pola ketergantungan terhadap sumber daya alam dalam pembangunan ekonomi antara Riau dan Sumatera Selatan memperlihatkan kondisi yang mirip. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan serta sektor pertambangan dan penggalian masih menjadi sektor unggulan di kedua provinsi tersebut. Oleh karena itu, kajian skala optimal terhadap perekonomian Sumatera Selatan perlu dilakukan sebelum menetapkan strategi-strategi kebijakan pembangunan dalam mencapai pertumbuhan hijau. Kata kunci: pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan hijau, skala optimal

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ir. Alex Nurdin telah mendeklarasikan Provinsi Sumatera Selatan sebagai provinsi terdepan dalam mengimplementasikan konsep pertumbuhan hijau. Untuk upaya tersebut, pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti Initiatief Duurzame Handel (IDH) the trade sustainable, Zoological Society of London (ZSL), dan Pemerintah Norwegia (Asmani, 2016). Pada tataran nasional, program pertumbuhan hijau juga telah dituangkan di dalam dokumen Green Growth Program (Program Pertumbuhan Hijau) yang disusun oleh Global Green Growth Institute (GGGI). Dokumen tersebut dimaksudkan untuk mengarusutamakan pertumbuhan hijau dalam pembangunan nasional (GoI-GGGI, 2013). Di dalam dokumen Green Growth Program disebutkan bahwa konsep pertumbuhan hijau dimaksudkan sebagai tahapan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable economic development). Adapun, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan sosial dan ekonomi yang mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi mendatang (WCED, 1987). Definisi tersebut mengandung dua konsep yang menjadi acuan dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Konsep yang pertama, yaitu pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia (human needs) saat ini. Konsep kedua, pembangunan yang berkelanjutan disyaratkan agar dapat memenuhi kebutuhan antar generasi (WCED, 1987).

209


Pemenuhan kebutuhan manusia dihadapkan pada realitas ketersediaan sumber daya alami yang bersifat terbatas. Sebagaimana dikatakan Meadow et al., (2006), bahwa planet bumi memiliki keterbatasan dalam menyediakan bahan baku dan keterbatasan kapasitas penyerapan limbah. Oleh karena itu apabila kapasitasnya telah melampaui kondisi optimal maka pertumbuhan tidak dapat dilanjutkan. Sehingga yang menjadi pertanyaan, kapankah kondisi optimal tersebut dicapai. Apabila kondisi optimal telah dicapai apakah pertumbuhan ekonomi hijau masih relevan bila digunakan sebagai batu loncatan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan? B. Tujuan Paper ini disajikan untuk mengkaji ulang penerapan konsep pertumbuhan hijau dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Selatan, menuju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Kajian pertumbuhan hijau di dalam paper ini dibatasi dalam kerangka analisa ilmu ekologi ekonomi. Dalam pandangan ilmu ekologi ekonomi, terdapat dua sistem yang saling terkait, yaitu sistem alami (lingkungan) dan sistem ekonomi (perekonomian). Sistem lingkungan berperan sebagai pemasok sinar matahari, bahan bakar fosil, serta material dan jasa-jasa lingkungan. Selain itu sistem lingkungan juga berperan sebagai penampung limbah dari proses-proses yang terjadi di dalam sistem ekonomi, yang secara umum digolongkan ke dalam proses produksi dan konsumsi barang dan jasa. Di samping itu, proses produksi dan konsumsi juga mengakibatkan degradasi pada material dan jasa lingkungan yang tersisa di sistem lingkungan. Untuk lebih jelasnya kerangka analisa tersebut dapat diamati pada Gambar 1. Proses produksi dan konsumsi yang terjadi pada sistem ekonomi mendorong proses pertumbuhan, sehingga terjadi perubahan relatif sistem ekonomi terhadap sistem lingkungan. Pertumbuhan yang terjadi pada sistem ekonomi dihadapkan pada kondisi sistem lingkungan yang tidak bertumbuh. Jumlah material dan energi yang disediakan oleh sistem lingkungan tidak bertambah. Oleh karena itu pada situasi tertentu akan dicapai titik optimal pertumbuhan ekonomi. Jika titik optimal tersebut telah dicapai maka nilai kerugian akibat limbah dan degradasi material dan jasa lingkungan akan lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi. Proses pertumbuhan sistem ekonomi dalam sistem lingkungan ditampilkan secara grafis pada Gambar 2.

210


Gambar 1. Gambaran hubungan sistem ekonomi sebagai sub sistem dengan sistem lingkungan (Diadopsi dari Colby (1999))

Gambar 2. Proses Pertumbuhan Ekonomi dalam sistem lingkungan B. Pengumpulan dan Analisa Data untuk Mendapatkan Angka Skala Optimal Berdasarkan kerangka pemikiran di muka, untuk mendiagnosa kondisi skala optimal dapat berpedoman pada Daly & Farley (2006), yang menyatakan bahwa skala optimal sistem ekonomi dicapai pada saat penambahan nilai manfaat akibat kenaikan satu unit output setara dengan penambahan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi satu unit output tersebut. Situasi tersebut dapat dituliskan sebagai MB=MC, atau manfaat marjinal sama dengan biaya marjinal. Untuk mendapatkan nilai MB dan MC pada studi di Provinsi Riau, Rahmat (2014) menggunakan beberapa pendekatan (proxy). Nilai MB didekati dengan penambahan nilai PDRB tahunan, sehingga simbolnya lebih tepat dituliskan sebagai MR. Selanjutnya, nilai MC didekati dengan nilai biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) akibat kenaikan jumlah PDRB, sehingga simbolnya dituliskan sebagai MOC. Oleh karena itu, maka situasi Apabila optimal dicapai pada saat MR=MOC atau dapat dituliskan sebagai disederhanakan menjadi k, maka kondisi optimal dapat dicapai pada saat k=1. 211


C. Penarikan Kesimpulan Simpulan dalam kajian ini ditarik berdasarkan hasil membandingkan antara kondisi yang dicapai oleh sistem ekonomi Provinsi Riau dengan dengan kondisi yang terjadi dalam perekonomian Provinsi Sumatera Selatan. Pembandingan dilakukan dalam hal ketergantungannya terhadap sumber daya alam dan degradasi lingkungan yang terjadi di wilayah Sumatera Selatan. III. PERTUMBUHAN EKONOMI: ANTARA COKLAT DAN HIJAU Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka waktu tertentu (Boediono, 2005). Berdasarkan definisi tersebut, terdapat dua pokok konsep yang menjadi penentu dalam pertumbuhan ekonomi yaitu proses kenaikan output per kapita dan interval waktu pengukuran. Nilai output yang dihasilkan oleh suatu sistem ekonomi pada tingkat regional dikenal sebagai PDRB. Dalam sistem perekonomian konvensional, pertumbuhan ekonomi merupakan indikator perekonomian yang paling utama. Pertumbuhan ekonomi diperhitungkan berdasarkan kenaikan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB yang saat ini dikenal dengan istilah PDRB konvensional atau PDRB Coklat. PDRB coklat dinilai belum menggambarkan situasi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan karena nilainya masih mengandung penyusutan nilai sumber daya alam serta terindikasi mengandung nilai degradasi manfaat lingkungan. Situasi tersebut terjadi karena nilai PDRB hanya ditaksir berdasarkan nilai pasar dari seluruh barang-barang dan jasa-jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian pada periode waktu tertentu (Mankiw, 2010). Adapun, barang dan jasa-jasa yang belum atau tidak memiliki nilai pasar atau belum dikomersialkan tidak dapat diperhitungkan dalam nilai PDRB. Walaupun pada kenyataanya, sumber daya alam seperti hutan mampu menghasilkan manfaat barang dan jasa komersil dan jasa-jasa lingkungan yang belum dikomersialkan. Angka PDRB merupakan penjumlahan atau nilai agregat atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh beragam proses produksi. Bila disederhanakan, output yang berbentuk barang dan jasa dihasilkan oleh dua elemen, yaitu perusahaan dan rumah tangga. Dalam konteks produksi barang dan jasa, kedua elemen tersebut bertindak sesuai dengan tujuan masing-masing, yakni perusahaan bertindak untuk memaksimumkan keuntungan (profit maximization), sedangkan rumah tangga bertindak untuk memaksimumkan kepuasan (utility maximization). Perbedaan tujuan tersebut merangsang terjadinya pertukaran barang dan jasa yang dimiliki oleh masing-masing (Daly, 1981; Mankiw, 2010). IV. HASIL KAJIAN SKALA OPTIMAL PROVINSI RIAU Hasil pengujian skala optimal di Riau diperoleh nilai k rata-rata sebesar 31,975. Nilai k rata-rata yang diperoleh dapat diartikan sebagai jumlah MR yang nilainya 31 kali nilai MOC. Namun demikian, nilai tersebut adalah nilai rata-rata dan deviasinya sangat lebar yaitu mencapai 82,74. Hasil pengujian statistik (uji t) terhadap nilai k tersebut yang telah dilakukan mendapatkan kesimpulan bahwa nilai k yang diperoleh tersebut tidak berbeda nyata dengan 1 (satu). Secara lengkap hasil uji tersebut mendapatkan nilai t hitung = 1,059 dan nilai t tabel pada tingkat derajat bebas (df) 7 dan nilai probabilitas 5% yaitu 1,895 (Rahmat, 2014). Secara grafis, kondisi optimal dapat diilustrasikan sebagai titik perpotongan antara kurva MR dan MOC (lihat Gambar 3). 212


Telah dibuktikan oleh Rahmat (2014) bahwa pencapaian nilai skala optimal tersebut berkorelasi positif dengan kenaikan deplesi barang tambang dan sumber daya hutan. Tahun 2004 adalah era permulaan eksploitasi batu bara di Riau dan konversi hutan tertinggi selama periode 2000 – 2009. Jika kedua hukum tersebut diterapkan dalam situasi sistem ekonomi Provinsi Riau yang sudah mencapai skala optimal maka dapat dijelaskan sebagai berikut. Penambahan jumlah output perekonomian guna memacu pertumbuhan ekonomi yang dilakukan dengan cara menambah jumlah ekstraksi barang tambang dan menambah luas konversi hutan alam menjadi areal perkebunan maka dapat menghasilkan manfaat berupa peningkatan nilai output dari sektor pertambangan dan sub sektor perkebunan. Namun, nilai penambahan manfaat per satu unit tambahan output tersebut angkanya lebih kecil dibandingkan dengan tambahan opportunity cost (nilai deplesi barang tambang dan tegakan serta degradasi manfaat jasa lingkungan) yang ditimbulkan oleh penambahan volume ekstraksi barang tambang dan konversi hutan alam tersebut. Situasinya berbeda jika sistem ekonomi belum mencapai skala optimal. Dalam kondisi tersebut, tambahan jumlah volume ekstraksi barang tambang dan jumlah konversi hutan alam dapat memberikan manfaat marjinal yang lebih besar dibandingkan dengan marjinal opportunity cost atau dapat dinyatakan sebagai MR>MOC.

TR, TOC

TOC

a)

TR

Output Perekonomian

b) MR, MOC

MOC

MR

O

Output Perekonomian

Gambar 3. Penggambaran skala optimal sistem ekonomi terhadap sistem lingkungan (Sumber: Rahmat (2014), diadopsi dari Lawn & Sanders (1999))

213


V. REFLEKSI SKALA OPTIMAL RIAU UNTUK SUMATERA SELATAN Sama halnya dengan perekonomian Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Selatan pun masih disokong oleh sektor berbasis sumber daya alam, yaitu Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan serta Sektor Pertambangan dan Penggalian. Kedua sektor tersebut selama periode tahun 2012 – 2014 memberikan kontribusi sekitar 40% terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan (Tabel 1). Kontribusi PDRB dari sektor pertambangan dan penggalian dapat dikatakan sebagai nilai deplesi (penyusutan) modal alami, karena PDRB dari sektor ini dihitung berdasarkan jumlah barang tambang yang berhasil diekstrak dari alam. Tabel 1. Kontribusi sektoral terhadap PDRB Provinsi Riau dan Sumatera Selatan Riau Sumatera Selatan No. Sektor 2012 2013 2014 2012 2013 2014 Pertanian, kehutanan dan 1. 19,08 19,00 19,68 18,90 18,60 17,77 Perikanan Pertambangan dan 2. 42,16 42,21 39,57 25,72 24,98 23,87 Penggalian 3 Industri Pengolahan 20,60 20,56 20,88 16,55 17,15 17,36 4 Pengadaan Listrik dan Gas 0,03 0,03 0,03 0,07 0,07 0,07 Pengadaan Air, 5 Pengelolaan Sampah, 0,01 0,01 0,01 0,10 0,09 0,10 Limbah dan Daur Ulang 6 Konstruksi 6,24 6,30 6,69 12,30 12,68 13,41 Perdagangan Besar dan 7 Eceran; Reparasi Mobil dan 6,69 6,63 7,77 9,14 8,99 9,08 Sepeda Motor Transportasi dan 8 0,59 0,62 0,66 1,64 1,77 1,86 Pergudangan Penyediaan Akomodasi 9 0,36 0,39 0,47 1,17 1,18 1,26 dan Makan Minum 10 Informasi dan Komunikasi 0,54 0,52 0,52 2,51 2,39 2,42 Jasa Keuangan dan 11 0,76 0,81 0,80 2,48 2,59 2,57 Asuransi 12 Real Estate 0,66 0,67 0,69 2,43 2,41 2,60 13 Jasa Perusahaan 0,00 0,00 0,00 0,10 0,10 0,11 Administrasi 14 Pemerintahan, Pertahanan 1,48 1,44 1,36 3,26 3,23 3,55 dan Jaminan Sosial Wajib 15 Jasa Pendidikan 0,38 0,37 0,41 2,29 2,45 2,64 Jasa Kesehatan dan 16 0,13 0,13 0,14 0,59 0,58 0,59 Kegiatan Sosial 17 Jasa lainnya 0,30 0,31 0,34 0,75 0,74 0,74 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Diolah dari Sumatera Selatan dalam Angka 2016 (BPS Prov. Sumsel, 2016) dan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Riau Menurut Lapangan Usaha 2011 – 2015 (BPS Prov. Riau, 2016).

214


Adapun PDRB yang disumbangkan oleh sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, dapat berupa hasil ekstraksi sumber daya alam (seperti kayu dan ikan), namun tidak serta merta digolongkan sebagai deplesi sumber daya alam. Kayu yang dihasilkan dari pola pengelolaan hutan yang berkelanjutan, yaitu yang hanya memanen riap kayu yang dihasilkan, maka tidak disebut sebagai deplesi. Deplesi dari hasil hutan kayu hanya dikenakan pada kelebihan tebangan dari riap normalnya. Sama halnya dengan ekstraksi ikan, apabila penangkapan ikan tidak melebihi riap pertumbuhan ikan maka tidak tergolong sebagai deplesi. Namun, ekstraksi sumber daya alam kerapkali menyebabkan kerusakan lingkungan sekitarnya atau menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Hal ini yang kemudian dinilai sebagai faktor pengurang terhadap pertumbuhan dan dikenal dengan istilah degradasi lingkungan. Ekstensifikasi lahan pertanian dan perkebunan juga kerap kali mengorbankan hutan gambut sehingga berpotensi menyebabkan degradasi manfaat jasa lingkungan dari hutan gambut. Kajian Rahmat (2013), menunjukkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2000 – 2007 ternyata seiring dengan peningkatan luas areal perkebunan. Ekstensifikasi lahan perkebunan pada periode tersebut telah merambah pada lahan gambut. Konversi lahan gambut di Sumatera Selatan telah mengakibatkan degradasi lingkungan manfaat jasa lingkungan hingga mencapai Rp. 55 trilyun per tahun (Rahmat, 2013). Jika diperhitungkan terhadap nilai pendapatan dari hasil mengkonversi lahan gambut tersebut (nilai PDRB sektor pertanian) ternyata diperoleh nilai minus, sekitar Rp. 45 trilyun per tahun (Rahmat, 2013). Biaya yang dikorbankan dalam bentuk nilai degradasi lingkungan ternyata empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan nilai manfaat ekonomi yang diperoleh dalam bentuk PDRB. Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Rahmat (2013) tersebut, maka program pertumbuhan hijau Sumatera Selatan seharusnya mampu menekan biaya lingkungan tersebut yang nilai kerugiannya empat kali lipat dari dari PDRB sektor pertanian. Jika program pertumbuhan hijau tidak mampu mereduksi nilai kerugian tersebut, maka pembangunan berkelanjutan Provinsi Sumatera Selatan sulit tercapai. Data yang ditampilkan Rahmat (2013) baru mengemukakan nilai degradasi akibat konversi gambut, belum menghitung nilai degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan serta, nilai deplesi barang tambang dan nilai deplesi sumber daya hutan. Jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan semuanya, maka nilai pengurang terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan berpotensi untuk bertambah. Oleh karena itu, penggunaan indikator PDRB Hijau dapat diaplikasikan untuk memprediksi nilai pertumbuhan ekonomi yang berkelajutan pada tingkat regional. Karena indikator tersebut telah menginkorporasi nilai deplesi/apresiasi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan. VI. PENUTUP Berkaca pada kondisi skala optimal yang dicapai oleh sistem perekonomian Provinsi Riau, maka strategi pertumbuhan hijau Provinsi Sumatera Selatan laiknya diawali dengan kajian skala optimal. Hal ini dipandang perlu mengingat ketercapaian kondisi skala optimal akan menentukan efektif atau tidaknya program pertumbuhan hijau dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

215


Saat ini, sistem ekonomi Provinsi Riau telah mencapai posisi puncak (skala optimal). Dalam situasi tersebut, jika akan diimplementasikan program pertumbuhan hijau, maka akan mampu mempertahankan keberlanjutan pembangunan ekonomi. Namun, berbeda kondisinya dengan Provinsi Sumatera Selatan yang belum diketahui skala optimalnya. Untuk itu, tidak dapat diyakini bahwa program-program pertumbuhan hijau Sumatera Selatan akan dapat mencapai keberlanjutan pembangunan. Mengingat tingkat degradasi lingkungan yang terjadi akibat konversi gambut di Sumatera Selatan juga cukup tinggi dan ketergantungan PDRB terhadap sumber daya alam juga masih dominan. Oleh karena itu, kajian skala optimal Provinsi Sumatera Selatan perlu dilakukan terlebih dahulu sebagai langkah awal untuk mendiagnosa kondisi daya dukung sistem lingkungan terhadap sistem ekonomi. Untuk mendukung kajian skala optimal diperlukan kajian menyeluruh mengenai deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan pada lingkup regional Provinsi Sumatera Selatan. DAFTAR PUSTAKA Asamani, N. 2016. Sambutan pada acara kick off meeting penyusunan pertumbuhan ekonomi hijaun Provinsi Sumatera Selatan. Di Hotel Arista Palembang, pada tanggal 15 Agustus 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (BPS Prov. Riau). 2016. Produk domestik regional bruto Provinsi Riau menurut lapangan usaha 2011 – 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. Pekanbaru. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan (BPS Prov. Sumsel). 2016. Provinsi Sumatera Selatan dalam angka 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan. Palembang. Boediono. 2005. Pertumbuhan ekonomi. Cetakan ke-9. UGM Press. Yogyakarta. Colby, M. C. 1991. Environmental management in development: The evolution of paradigms. Ecological Economics, 3 (1991): 193 - 213. Daly, H. E. 1981. Three visions of the economic process. Paper dipresentasikan pada “e i ar o E iro e taly “ustai a le “trategies for E o o i De elop e t , World Bank, Washington, DC, 4 Januari 1981. Daly, H.E. dan J. Farley. 2011. Ecological economics: Principles and applications, Second Edition. Island Press. Washington, Covelo, London. Government of Indonesia & Global Green Growth Institute (GoI & GGGI). 2013. Government of Indonesia-Global Green Growth Institute Green Growth Program Prioritizing Investments: Delivering Green Growth. Government of IndonesiaGlobal Green Growth Institute. Jakarta Lawn, P. A. and R. D. Sanders. 1999. Has Australia surpassed its optimal macroeconomic s ale? fi di g out ith the aid of e efit a d ost a ou ts a d a sustai a le net benefit index. Ecological Economics, 28 (1999): 213 – 229. Mankiw, N.G. 2010. Macroeconomics. Seventh Edition. Worth Pubishers. New York. Meadows, D., J. Randers, & D. Meadows. 2006. Limits to growth: The 30-years updated. earthscan. London, UK.

216


Rahmat, M. 2013. Restorasi hutan rawa gambut untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan: sebuah tilikan di Sumatera Selatan. Dalam D. Purwito et al., (Eds.), Prosiding Workshop ITTO Project RED-SPD 009/09 Rev.2 (F), Stakeholder Consultation The Application of Method and Technologies to Enhance The Restoration of PSF Ecosystem, hal: 161 – 173. Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Bogor. Rahmat, M. 2014. Dampak perubahan sediaan sumber daya alam terhadap kinerja kelestarian pembangunan ekonomi: Kasus Provinsi Riau. Disertasi Program Doktor, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. World Commission on Environment and Development (WCED). 1987. Report of the World Commission on Environment and Development: Our common future. Website: www.un-documents.net/our-common-future.pdf.

217


218


PENCEGAHAN KARHUTLA UNTUK MENDUKUNG PERTUMBUHAN HIJAU DI SUMATERA SELATAN: STUDI KASUS DI DESA RIDING Mamat Rahmat*, Bondan Winarno*, Bastoni, Adi Kunarso Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang *


ABSTRAK Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) berpotensi menjadi kendala dalam mencapai pertumbuhan hijau di Provinsi Sumatera Selatan. Dalam pandangan ilmu ekonomi ekologi, karhutla merupakan gejala merosotnya sistem lingkungan sebagai akibat ekstraksi sumber daya alam yang melampaui kapasitasnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai kondisi biofisik lahan gambut yang kerapkali terbakar, dinamika pemanfaatan lahan gambut, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut serta minat masyarakat pada pola budidaya tanpa bakar. Kajian dilakukan di Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Metode penelitian yang digunakan menggabungkan survey biofisik dan survey sosial ekonomi. Survey biofisik meliputi kajian observasi kondisi vegetasi, kedalaman gambut dan kedalaman muka air tanah. Adapun survey sosial ekonomi dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam kepada tokoh kunci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi biofisik gambut rawan terbakar di Desa Riding telah mengalami degradasi berupa penyusutan kedalaman muka air tanah dan lapisan gambut sebagai akibat kerapnya peristiwa kebakaran. Seringnya lahan gambut terbakar juga diindikasikan dari vegetasi penutupnya berupa belukar dan permudaan gelam. Permasalahan lahan gambut di Desa Riding timbul sebagai akibat tingginya tekanan ekonomi pada level rumah tangga petani maupun perusahaan dalam mengeksploitasi lahan gambut sebagai sumber daya alam. Dalam menuju pembangunan yang berkelanjutan melalui tahap pertumbuhan hijau di Sumatera Selatan, upaya pencegahan kebakaran merupakan salah satu langkah yang diperlukan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pengelolaan lahan gambut secara terpadu yang meliputi berbagai aspek (sosial, ekonomi dan lingkungan). Kata kunci: ekologi, ekonomi, kebakaran hutan, lahan gambut, pembangunan berkelanjutan

I. PENDAHULUN A. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) merupakan bencana yang muncul secara periodik di Sumatera Selatan. Sejak dua puluh tahun yang lalu, tercatat telah terjadi karhutla yang berdampak terhadap bencana kabut asap, yaitu pada tahun 1997/1998, 2006, 2013 (Gaveau et al., 2014) dan terakhir pada tahun 2015 (Koplitz et al., 2015). Pada awalnya bencana karhutla kerapkali dikaitkan dengan kondisi kemarau panjang yang terjadi pada masa el nino. Namun, belakangan, karhutla juga terjadi pada tahun-tahun di luar el nino (Gaveau et al., 2014). Selain el nino, faktor yang seringkali dikaitkan dengan kejadian kebakaran di Sumatera Selatan adalah budaya penggunaan api dalam berbagai aktivitas mata pencaharian masyarakat, antara lain sonor (budidaya padi pada lahan gambut), mencari ikan dan mencari kayu pada hutan dan lahan gambut (Setijono, 2004; Chokkalingam et al., 2007). Selain itu, karhutla juga dipicu oleh kelimpahan biomasa berupa gambut yang telah mengering terutama pada saat musim kemarau. Pengeringan gambut tersebut disebabkan oleh karena terjadi penyusutan permukaan air pada lahan gambut sebagai akibat pengaliran air melalui kanal-kanal primer, sekunder dan tersier.

219


Pengeringan lahan gambut di Sumatera Selatan pada dasarnya merupakan bagian dari proses pembangunan ekonomi, khususnya melalui program transmigrasi, pembangunan perkebunan dan proyek-proyek pertanian (Chokkalingam et al., 2007). Dalam kaidah pembangunan ekonomi, pelaksanaan program dan proyek tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), khususnya pada sektor pertanian. Di lain pihak, upaya peningkatan PDRB tersebut justru menimbulkan dampak lingkungan yang tidak diperhitungkan dalam akuntansi PDRB. Dampak lingkungan yang secara langsung terlihat pada lahan ekosistem gambut adalah meningkatnya tingkat kerawanan kebakaran lahan sebagai akibat pengeringan lahan gambut. Kenaikan volume gambut kering bukan satu-satunya faktor yang dapat memicu kebakaran, namun pengeringan serta pembukaan hutan dan lahan gambut melalui kanalisasi juga turut memberikan kemudahan akses bagi sebagian orang untuk memasuki kawasan hutan dan lahan gambut yang semula tidak pernah terjangkau (Chokkalingam, et al., 2007). Akibatnya, daerah-daerah tersebut menjadi semakin rawan terbakar. Bertolak dari uraian tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa bencana karhutla pada dasarnya berkaitan dengan dinamika yang terjadi pada dua sistem, yaitu sistem ekonomi dan sistem lingkungan. Aktivitas masyarakat di lahan gambut merupakan gambaran dinamika pada sistem ekonomi dalam skala rumah tangga, sedangkan ekspansi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut adalah indikator dinamika sistem ekonomi yang terjadi pada level regional. Dinamika pada sistem lingkungan tampak pada perubahan yang terjadi pada lahan gambut yang menyebabkan kenaikan bahan bakar dalam bentuk gambut kering dan terjadinya penyusutan muka air tanah pada lahan-lahan gambut. Dalam pandangan ilmu ekonomi ekologi, kedua sistem di muka (sistem ekonomi dan sistem lingkungan) berinteraksi sebagai sub sistem dan sistem utama. Ekonomi merupakan sub sistem yang diayomi oleh sistem lingkungan, sehingga apabila digambarkan, posisi sistem ekonomi berada di dalam lingkup sistem ligkungan (Daly, 2007). Oleh karena posisinya tersebut, sistem lingkungan berperan dalam menyediakan berbagai material bahan baku yang dibutuhkan oleh sistem ekonomi, baik berupa barang maupun jasa-jasa lingkungan. Di samping itu sistem lingkungan juga berperan sebagai penampung sisa-sisa material yang tidak terpakai oleh sistem ekonomi serta sebagai penetralisir polusi yang timbul akibat proses-proses yang terjadi di dalam sistem ekonomi. Dalam kerangka ilmu ekonomi ekologi tersebut, bencana kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan dapat dipandang sebagai indikator bahwa kemampuan sistem lingkungan dalam menetralisir asap telah melampaui kapasitasnya, sebagai akibat kenaikan volume gambut yang terbakar dan meluasnya pembakaran pada lahan gambut. Fenomena tersebut tidak timbul secara tiba-tiba, namun muncul karena adanya interaksi pada berbagai faktor dalam sistem ekonomi yang secara langsung juga berdampak terhadap sistem lingkungan. Interaksi dalam sistem ekonomi dapat dilihat dalam bentuk pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat serta pola ekspansi areal perusahaan perkebunan dan hutan tanaman pada lahan gambut. B. Tujuan Berlandaskan pada teori ekonomi ekologi tersebut, kajian ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai kondisi biofisik lahan gambut yang hingga saat ini masih kerapkali terbakar, dinamika pemanfaatan lahan gambut, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut serta mendapatkan 220


pengetahuan mengenai minat masyarakat terhadap pola budidaya yang tidak mengubah sifat-sifat lahan gambut. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kajian ini dilakukan untuk mengamati dampak yang terjadi pada sistem lingkungan sebagai dampak interaksi faktor-faktor di dalam sistem ekonomi pada level mikro, yaitu di tingkat desa. Lokasi yang dipilih adalah Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Desa ini meliputi wilayah desa yang cukup luas dan wilayahnya sebagian besar merupakan lahan gambut yang termasuk kategori Hutan Produksi, Kawasan Konservasi dan Area Penggunaan Lain. Selain itu, kondisi pemanfaatan lahan gambut di wilayah Desa Riding cukup mewakili dinamika sistem lingkungan yang tengah dieksploitasi oleh sistem ekonomi. Kegiatan pengumpulan data lapangan dilakukan pada tahun 2015. B. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini meliputi dua aspek kajian, yaitu: aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi. Kajian aspek biofisik dilakukan dengan menggunakan metode observasi kondisi vegetasi, kedalaman gambut, dan kedalaman muka air tanah. Selain itu juga dilakukan pemetaan jumlah hotspot pada bulan-bulan terjadinya kebakaran dengan menggunakan metode tumpang susun (overlay) titik panas (hotspot) pada peta penggunaan lahan. Adapun, aspek sosial ekonomi dilakukan melalui metode diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD). Peserta FGD terdiri dari wakil-wakil tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, aparat pemerintahan desa dan penyuluh pertanian. Di samping dilakukan FGD, juga dilakukan wawancara mendalam kepada informan kunci. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Kondisi Biofisik Lahan Rawan Terbakar Berdasarkan hasil observasi lapangan, diketahui bahwa kondisi lahan gambut di Desa Riding yang kerapkali terbakar pada umumnya, dikelompokkan ke dalam dua jenis pemanfaatan lahan, yaitu Hutan Produksi (HP) dan Area Penggunaan Lain (APL). Areal HP di wilayah desa ini merupakan areal konsesi PT. Bumi Mekar Hijau (anak perusahaan Sinarmas Forestry). Kebakaran pada areal ini umumnya dipicu oleh kebakaran yang terjadi pada areal HP yang tengah dipersengketakan oleh masyarakat Desa Riding dengan PT. BMH. Beberapa kali perundingan telah dilakukan, namun titik temu belum diperoleh. Kedua pihak masih bersitegang dengan kehendaknya masing-masing. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat desa, diketahui bahwa total areal PT. BMH yang diklaim oleh masyarakat seluas 10.000 ha. Hasil musyawarah antara masyarakat dengan perusahaan diperoleh kesepakatan bahwa perusahaan bersedia untuk membangunkan sawah untuk masyarakat seluas 2.000 ha, tanaman akasia dengan pola bagi hasil seluas 3.000 ha dan sisanya seluas 5.000 ha diserahkan pemanfaatannya oleh masyarakat kepada perusahaan. Sejatinya, butir kesepakatan tersebut telah disetujui oleh kedua belah pihak, namun dalam implementasinya masih terdapat ketidaksepahaman. Masyarakat menuntut agar sawah seluas 2.000 ha tersebut dibangun serentak dalam satu tahun, dengan harapan seluruh rumah tangga di desa Riding mendapatkan sawah secara 221


bersamaan. Akan tetapi, pihak perusahaan tidak bersedia memenuhi tuntutan tersebut. Pihak perusahaan bersedia untuk membangunkan sawah seluas 2.000 ha tersebut secara bertahap, yaitu 200 ha per tahun. Belum adanya titik temu antara kedua belah pihak yang saling bersengketa, menyebabkan lahan gambut yang tengah dipersengketakan tersebut sangat rawan terbakar. Termasuk pada kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015, lahan konflik tersebut menjadi sumber asap. Pada bulan-bulan basah, lahan gambut dimaksud tampak hijau ditumbuhi semak belukar yang didominasi oleh belukar, belidang (Scleria terrestris), senduduk (Melastoma malabathricum), dan permudaan gelam (Melaleuca leucadendron) (lihat Gambar 1). Namun, pasca terbakar lahan-lahan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal tanaman padi (padi sonor). Menurut pengakuan sebagian masyarakat memang perilaku membakar untuk kegiatan budidaya sonor masih belum bisa ditinggalkan sepanjang belum ada penggantinya.

(a)

(b)

Gambar 1. Kondisi Tutupan lahan gambut di areal HP di desa Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir yang tengah dipersengketakan. (a) Tutupan lahan pada saat sebelum terbakar, (b) Tutupan lahan setelah terbakar (padi sonor) Tingginya intensitas kebakaran pada areal tersebut menyebabkan turunnya lapisan permukaan gambut. Hasil pengukuran yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ketebalan lahan gambutnya tidak lebih dari 50 cm. Dibangunnya kanal di sekeliling areal HP tersebut juga telah menyebabkan turunnya muka air tanah pada saat musim kemarau. Hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Agustus 2015 (pertengahan musim kemarau) memperlihatkan bahwa muka air tanahnya lebih dari atau sama dengan 1,5 m. Sementara itu, lahan gambut yang terdapat di areal yang belum didrainase, yakni di Area Penggunaan Lain (APL) yang terletak di sekitar areal HP tersebut, kondisinya relatif lebih tebal, yaitu lebih dari 50 cm. Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman muka air tanah pada areal tersebut diperoleh angka 0,8 m. Artinya muka air tanah pada areal tersebut relatif lebih dangkal. Secara umum, tipe vegetasi pada kedua areal tersebut serupa dengan tipe vegetasi pada lahan areal HP yang tengah dipersengketakan. Vegetasinya didominasi oleh jenis belidang (Scleria terrestris), senduduk (Melastoma malabathricum), dan gelam (Melaleuca leucadendron). Kondisi vegetasi demikian mengindikasikan bahwa areal APL tersebut juga kerapkali terbakar. Karena kondisi muka air tanah yang tidak terlalu dalam, dapat menjaga kedalaman gambut sehingga volume gambut yang terbakar tidak sebanyak pada lahan gambut di areal HP yang telah didrainase. Secara legal, areal APL tersebut kini merupakan area ijin lokasi perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2011 areal tersebut dilepaskan oleh Kementerian Kehutanan dari areal Hutan Produksi Konversi (HPK) menjadi APL dan diberikan ijin untuk lahan perkebunan tebu. Namun, hingga tahun 2015, kegiatan operasional perkebunan di areal tersebut 222


belum dilakukan, ijin lokasi tersebut dicabut oleh Pemerintah Kabupaten OKI, selanjutnya diberikan ijin kepada perusahaan lainnya sebagai lokasi perkebunan kelapa sawit. Walaupun secara legal merupakan areal ijin lokasi perkebunan kelapa sawit, namun lahan tersebut sebagian telah diklaim oleh masyarakat sebagai lahan mereka dan biasanya digunakan sebagai areal budidaya padi sonor. Hasil pengamatan yang diutarakan di muka, boleh dikatakan sebagai gambaran dalam skala mikro, karena sampel kajian yang dipilih pada level desa, tetapi sesungguhnya dapat memberikan konklusi yang dapat ditarik dalam skala lebih umum. Salah satunya adalah bukti yang menunjukkan bahwa pola pemanfaatan lahan gambut yang dilakukan dalam skala kecil oleh masyarakat memang berdampak terhadap penyusutan ketebalan gambut, akan tetapi penyusutan yang terjadi pada areal kelola skala kecil tersebut dampaknya lebih kecil dibandingkan dengan pengelolaan lahan gambut yang dilakukan oleh perusahaan atau masyarakat yang bermodal besar. Karena pemanfaat lahan gambut skala kecil umumnya tidak cukup modal untuk membangun kanal guna mengeringkan gambut. 2. Gambaran Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten OKI pada bulan Agustus – Oktober 2015 Berdasarkan data titik api yang timbul pada kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015, tampak bahwa sebaran titik-titik api mulai bergerak dari kawasan APL kemudian pada akhirnya disusul pada kawasan HP (Gambar 2). Fakta tersebut dapat memberikan informasi bahwa pembakaran lahan mulai pada areal-areal APL dan areal HP yang tengah menjadi sengketa. Sebaran api pun tak terhindarkan sehingga merambah hingga ke areal inti HP yang tidak menjadi areal konflik. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kebakaran pada areal HP merupakan rembetan (APHI, 2015). Namun karena kondisi lahan gambut di dalam areal HP sangat kering, air di dalam kanal pun anjlok drastis, sehingga areal tersebut menjadi sangat rawan terbakar. Situasi kekeringan tersebut memberikan pelajaran bahwa pengeringan gambut melalui pembuatan kanalkanal, walaupun dilakukan sejenis pengelolaan air agar tidak surut drastis. Pada realitanya, pengaturan air tersebut tidak mampu mempertahankan ketinggian air untuk menjaga agar gambut tetap basah karena sekelilingnya dan kubah gambutnya telah dibelah sehingga tak mampu lagi menyimpan air pada musim kemarau.

SM

Oktober

HPT HPK

September

HP HL

Agustus

APL 0

1000

2000

3000

4000

5000

Gambar 2. Sebaran titik-titik api (hotspot) pada kejadian kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kabupaten OKI pada tahun 2015. Sebaran titik panas terbanyak pada awal-awal kejadian kebakaran hutan tahun 2015 terdapat di wilayah Kecamatan Pampangan dan Kecamatan Tulung Selapan (Gambar 223


2). Namun pada puncak kebakaran (Oktober 2015), titik api terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan Tulung Selapan dan Air Sugihan (Gambar 3).

Gambar 3. Penyebaran titik-titik panas (hotspots) pada bulan Agustus 2015 di Kabupaten OKI

Gambar 4. Sebaran titik-titik panas pada bulan Oktober 2015 di Kabupaten OKI 3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Riding Jumlah penduduk Desa Riding tercatat sebanyak 984 KK dan jumlah total penduduknya mencapai 3.762 jiwa. Berdasarkan kategori usia, jumlah penduduk terbesar berada pada kisaran usia 15 – 45 tahun, yaitu 2.361 jiwa atau 62% dari total jumlah 224


penduduk. Apabila dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, jumlah penduduk laki-laki dan perempuan menunjukkan porsi yang berimbang, yakni masing-masing sebanyak 1882 dan 1880 jiwa (Slamet, 2015). Proporsi jumlah penduduk miskin di Desa Riding relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Kabaupaten OKI secara keseluruhan. Jumlah penduduk miskin di Desa Riding mencapai 174 KK atau 22% dari jumlah total KK. Adapun, prosentase penduduk miskin di tingkat Kabupaten OKI pada tahun 2010 sebesar 15%. Penduduk Desa Riding secara umum menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan. Data yang ditampilkan dalam dokumen Profil Desa Riding Tahun 2014 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Riding bermata pencaharian sebagai petani (900 KK), sisanya tersebar dalam berbagai mata pencaharian, antara lain: buruh (48 KK), dagang (16 KK), aparatur negara yaitu sebagai PNS/TNI/POLRI (13 KK) dan mata pencaharian lainnya yang belum termasuk dalam kategori di muka (7 KK). Pola budidaya pertanian masyarakat Desa Riding umumnya mirip dengan pola bertani masyarakat lokal umumnya yang tinggal di wilayah Kabupaten OKI. Pola bertani mereka adalah berkebun dan komoditi yang dikembangkannya yaitu tanaman karet. Selama menunggu tanaman karet siap sadap, petani umumnya melakukan praktik tumpang sari. Praktik demikian biasanya dilakukan pada saat peremajaan tanaman karet yaitu saat mengganti tanaman karet lama dengan tanaman yang baru. Jenis komoditi pertanian yang ditanam umumnya adalah padi (pada tahun pertama), kemudian aneka jenis sayuran (tahun kedua) dan ada pula yang menanam pisang (pada tahun ketiga). Setelah tanaman karet lebih dari 3 tahun, tajuknya sudah agak rapat sehingga tidak digunakan untuk tumpang sari. Penggunaan api dalam proses persiapan lahan untuk meremajakan tanaman karet masih umum dilakukan oleh masyarakat Desa Riding. Pembakaran dimaksudkan untuk membersihkan lahan dari semak belukar, daun, ranting dan cabang-cabang pohon karet tua yang telah ditebang. Menurut penuturan warga setempat, walaupun pembakaran dilakukan pada saat musim kemarau, namun jarang sekali api pada proses pembakaran tersebut merembet ke tempat lain. Karena pembakaran dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit dan di sekeliling kebun telah dibuat sekat bakar. Selain itu, proses pembakaran pun senantiasa diawasi dan dijaga agar api tidak merembet ke tempat lain. Hasil pemantauan lapangan juga memperlihatkan bahwa penggunaan api oleh masyarakat dalam proses permudaan tanaman karet masih menjadi pola yang belum ditinggalkan. Walaupun demikian, tampak bahwa api hanya menghanguskan areal yang memang hendak dibakar. Budaya membakar dalam kegiatan berkebun pada tanah mineral juga dilakukan oleh masyarakat pada lahan rawa yang telah mengering. Walaupun telah ada maklumat larangan membakar namun sepertinya aturan tersebut belum sepenuhnya ditaati. Penggunaan api untuk menghilangkan semak pada areal tegakan hutan sekunder gelam juga merupakan salah satu sumber api yang dapat menyebabkan kebakaran pada lahan rawa gambut. Adanya aktivitas di dalam kawasan hutan rawa gambut juga meningkatkan potensi terbakarnya lahan dan hutan rawa gambut. Keteledoran dalam membuang puntung rokok saat mencari kayu gelam juga dapat memicu terjadinya kebakaran lahan dan hutan rawa gambut, khususnya pada saat lapisan gambut sangat kering dan hembusan angin yang cukup kencang.

225


Kayu gelam telah menjadi harapan hidup bagi sebagian masyarakat Desa Riding yang bermukim di Dusun III yang tersebar di beberapa pemukiman, yaitu di Muara Penyabungan, Rengas Potong, Rengas Merah dan Muara Biyuku. Mereka memanen kayu gelam dari tegakan alam yang tersebar di sekitar dan di dalam areal konsesi IUPHHK-HTI PT. BMH dan dalam kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan. Ukuran kayu gelam yang ditebang bervariasi dari ukuran diameter pangkal 5 cm hingga di atas 20 cm. Kayu gelam ukuran diameter 5 cm panjang 4 m dijual pengumpul kepada pedagang pengepul seharga Rp3.000,- per batang. Harga kayu gelam dengan ukuran panjang yang sama (4 m) dan ukuran diameter 7 cm dan 12 cm, berturut turut adalah Rp 5.000,- dan Rp 10.000,per batang. Pengumpul kayu gelam biasanya berkelompok empat hingga lima orang. Hal ini untuk meringankan biaya pengangkutan kayu gelam dari dalam hutan ke pinggir jalan Desa. Sarana pengangkut kayu gelam dari dalam hutan ke pinggir jalan tersebut menggunakan roda yang ditarik oleh mesin hand tracktor. Kondisi perekonomian yang sedang terpuruk saat ini juga berimbas terhadap menurunnya harga komoditas getah karet dan kelapa sawit diduga dapat berdampak terhadap kelestarian tegakan gelam. Jumlah permintaan dan harga kayu gelam yang relatif stabil dapat berpotensi menarik minat para para penyadap karet upahan untuk beralih menjadi pengumpul gelam. Hasil investigasi kami di lapangan dapat mengungkap bahwa para pencari gelam yang bermukim di wilayah Rengas Potong, tidak hanya warga asli Desa Riding tetapi mereka pendatang dari wilayah Sirah Pulau (SP) Padang (salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten OKI). Hal yang akan menjadi faktor penentu keberlanjutan sumber pendapatan masyarakat pengumpul gelam adalah kelestarian tegakan gelam di hutan alam. Jika hanya mengandalkan tegakan alam tanpa adanya upaya budidaya dan pengaturan ekstraksi maka berpotensi menghadapi kehilangan pendapatan dari gelam. Untuk itu, eksplotasi gelam oleh masyarakat ini juga perlu diatur agar mampu menjamin kelestarian pendapatan mereka. Selain itu, eksploitasi kayu gelam dari dalam kawasan Suaka Margasatwa Sugihan perlu dihentikan untuk menjaga habitat satwa di dalamnya dan meminimalkan potensi kebakaran hutan rawa gambut di dalam kawasan SM (Suaka Margasatwa) tersebut. Seperti telah disinggung di muka, meskipun wilayah Desa Riding sangat luas, namun sebagian besar arealnya berupa Kawasan Hutan. Areal yang dikelola secara intensif oleh masyarakat dan telah dibebani Hak Milik tidak lebih dari 13.000 ha. Areal tersebut umumnya digunakan sebagai tanah sawah/pertanian (383 ha), pekarangan (22 ha), tegalan (10.465 ha) dan perkebunan (1.537 ha). Selebihnya, sekitar 80% areal Desa Riding adalah berupa kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Konservasi (HK), dan Areal Penggunaan Lain (APL). Kawasan HP tersebut saat ini telah menjadi areal konsesi IUPHHKHTI PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH), Sinar Mas Group. Adapun, HK merupakan bagian dari kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan. Sebagian besar responden berpandangan bahwa cara mengolah lahan gambut untuk bisa ditanami adalah dengan cara membakar. Dengan adanya larangan membakar maka mereka berharap ada bantuan dari pemerintah untuk mengolah lahan rawa tersebut. Terkait dengan upaya pencegahan kebakaran lahan rawa gambut, Proyek Penanggulangan dan Pencegahan Kebakaran Hutan yang didanai oleh Uni Eropa (South Sumatra Forest Fire Management Project) telah mengimplementasikan beberapa program pembangunan di Desa Riding, yakni pendidikan lingkungan bagi anak sekolah, pemetaan partisipatif lahan desa, dan pemberdayaan masyarakat. Upaya pemberdayaan 226


yang dilaksanakan di Desa Riding adalah usaha penggemukan kerbau. Namun program tersebut dapat dikatakan tidak berhasil, kerbau bantuan dari proyek tersebut bukannya digulirkan di dalam kelompok tani melainkan dijual. Program serupa telah dicoba oleh Manggala Agni melalui program penggemukan kambing etawa. Namun program tersebut juga belum mampu meminimalkan kebakaran hutan dan lahan. B. Pembahasan Berdasarkan uraian hasil penelitian di muka tampak bahwa kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut seiring dengan dinamika pada sistem lingkungan yaitu terganggunya keseimbangan ekosistem rawa gambut. Gangguan terhadap keseimbangan ekosistem gambut disebabkan oleh aktivitas dan dinamika yang terjadi pada sistem ekonomi. Sistem ekonomi yang terjadi dalam skala rumah tangga terkait dengan proses produksi dan konsumsi atas barang dan jasa oleh rumah tangga yang tergambar dalam pemanfaatan lahan gambut. Dalam kasus pemanfaatan lahan gambut di desa Riding, Kabupaten OKI, rumah tangga memproduksi barang konsumsi berupa beras melalui aktivitas budidaya padi sonor. Pada skala perusahaan, juga terjadi proses eksploitasi lahan gambut oleh firma yang tujuannya juga memproduksi barang konsumsi. Jenis barang konsumsi yang diproduksi oleh perusahaan adalah barang setengah jadi (intermediate goods) yaitu kayu bahan baku pulp dan kertas. Kedua jenis proses produksi baik yang dilakukan oleh rumah tangga maupun perusahaan oleh bidang statistik dicatat dan dijumlahkan secara agregat dalam skala regional kabupaten atau provinsi sebagai nilai PDRB. Namun dampak lingkungan yang ditimbulkannya berupa kekurangan air dan kerugian akibat bencana asap luput dari perhitungan. Sebagai contoh bencana pencermaran asap yang tergolong ekstrim pada kejadian kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada tahun 2015 diprediksi dapat menyebabkan kematian penduduk hingga 100.300 jiwa yang tersebar di Indonesia, Malaysia dan Singapura (Koplitz et al., 2016). Biaya korban asap seperti itu yang tidak dikalkulasikan dalam neraca pendapatan konvensional. Meng hijau kan neraca pendapatan dapat diartikan sebagai upaya untuk meminimalkan limbah yang dibuang ke sistem lingkungan (polusi) (Douthwaite, 1999). Oleh karena itu dalam konteks bencana kabut asap, maka pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan langkah menuju pengurangan limbah sehingga pertumbuhan yang diraih oleh sistem ekonomi lebih ramah lingkungan, atau secara singkat dikenal sebagai pertumbuhan hijau. Dalam konteks pertumbuhan hijau, meminimalkan polusi juga selayaknya tidak menyebabkan pengurangan serapan tenaga kerja. Oleh karena itu, pertumbuhan tetap diperkenankan dengan disertai upaya-upaya mengurangi polusi. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan cara menerapkan pola produksi (budidaya) yang bersifat efisien terhadap bahan baku dan praktik-praktik budidaya yang tidak mengganggu keseimbangan alam. Internalisasi eksternalitas (dampak positif dan negatif) pembangunan ekonomi dapat memperbaiki performa perekonomian (Reilly, 2012). Internalisasi eksternalitas negatif ke dalam penghitungan pendapatan ekonomi menghasilkan gambaran pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (pertumbuhan hijau). Dalam kasus yang terjadi di desa Riding adalah timbulnya eksternalitas berupa bencana asap yang disebabkan oleh kebakaran yang terkait dengan aktivitas ekonomi pada lahan gambut, yakni sonor oleh rumah tangga dan produksi bahan baku pulp & kertas oleh perusahaan.

227


Pencegahan kebakaran adalah upaya untuk mengurangi eksternalitas tersebut, sehingga pertumbuhan ekonomi hijau dapat dicapai. IV. KESIMPULAN Kebakaran lahan dan hutan terjadi berulang pada lahan gambut yang tidak dikelola dengan baik karena beberapa alasan. Konflik pada kawasan hutan dan lahan gambut menyebabkan lahan yang disengketakan tidak dapat dikelola dan menjadi rawan terbakar di musim kemarau. Manipulasi dan modifikasi lingkungan gambut melalui pembangunan kanal menimbulkan masalah baru yang menyebabkan lahan gambut semakin terancam bahaya kebakaran pada musim kemarau. Di sisi lain, praktik pertanian sonor di lahan gambut masih sederhana dengan input sumberdaya yang rendah dan masih mengandalkan areal bekas terbakar sebagai lokasinya. Hal ini menunjukkan api masih menjadi media penting dalam kegiatan produksi pertanian di lahan gambut dan belum ada alternatif penggantinya. Dinamika pada sistem ekonomi dalam lingkup Desa Riding menunjukkan adanya aktivitas pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat sebagai lahan budidaya padi sonor dan oleh perusahaan sebagai lahan pengembangan produk kayu bahan baku pulp dan kertas. Dinamika pada sistem ekonomi tersebut telah mengakibatkan degradasi pada sistem lingkungan berupa penyusutan lahan gambut dan meningkatnya kerawanan lahan rawa gambut karena orientasi pada manfaat finansial ekonomi dengan mengesampingkan pertimbangan lingkungan. Dinamika kegiatan sosial ekonomi masyarakat masih mengandalkan lahan sebagai sumber utama penggerak perekonomian masyarakat dan rumah tangga. Upaya pelarangan pembakaran lahan gambut tanpa disertai alternatif upaya pengelolaan lahan tanpa bakar menurut masyarakat bukan menjadi upaya pencegahan kebakaran yang solutif. Salah satu hal mendasar dalam mencari solusinya adalah menempatkan masyarakat menjadi aktor utama dalam pengelolaan gambut dan bukan menjadi obyek. Evaluasi terhadap berbagai program pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan perlu dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperbaiki. Sentuhan teknik pengelolaan lahan gambut yang lebih baik belum ada pada level masyarakat sedangkan teknik pengeloaan lahan gambut oleh korporasi terbatas hanya meliputi areal yang dikelolanya sehingga pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dalam konteks lansekap kesatuan hidrologi gambut belum dilakukan. Konsep pengelolaan gambut dalam satu wilayah hendaknya mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan ekosistem secara komprehensif. Upaya tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan mengadopsi konsep green growth dalam pengelolaan lahan gambut secara terpadu. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih Kepada Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang yang telah mendanai kegiatan penelitian sehingga memungkinkan didapatkan data untuk penulisan tulisan ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Kepala Dinas, Kabid Perlindungan Hutan, Kasie Pencegahan Kebakaran Hutan di Dinas Kehutanan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kadaop Manggala Agni Daop Kayu Agung beserta anggotanya, Kades Riding, Kadus II Riding, Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Pangkalan Lampam dan segenap masyarakat Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI. 228


DAFTAR PUSTAKA Chokkalingan, U., Suyanto, R. P. Permana, I. Kurniawan, J. Mannes, A. Darmawan, N. Khususyiah, R. H. Susanto. 2007. Community fire use, resource change, and livelihood impacts: The downward spiral in the wetlands of southern Sumatra. Mitigation and Adaptation Strategy for Global Change (2007) 12: 75 – 100. Daly, H.E. 2007. Ecological Economics and Sustainable Development, Selected Essays of Herman Daly. Edward Elgar, Cheltenham, UK, Northampton, MA, USA. Douthwaite, R. 1999. The need to end economic growth, Dalam M. S. Cato, & M. Kennett (Eds.) Green Economics: Beyond Supply and Demand to Meeting Human Needs. Aberystwyth: Green Audit. Ga eau, D.L.A., M. A. “ali , K. Hergoual h, B. Lo atelli, “. “loa , M. Wooster, M. E. Marlier, E. Molidena, H. Yaen, R. DeFries, L. Verchot, D. Murdiyarso, R. Nasi, P. Holmgren & D. Sheil. 2014. Major atmospheric emissions from peat fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires. Scientific Report. 4 (6112): 1 – 7. Koplitz, S. N., L. J. Mickley, M. E. Marlier, J. J. Buonocore, P. S. Kim, T. Liu, M. P. Sulprizio, R. S. DeFries, D. J. Jacob, J. Schwartz, M. Pongsiri, & S. S. Myers. 2016. Public health impacts of the severe haze in Equatorial Asia in September – October 2015: demonstration of a new framework for informing fire management strategies to reduce downwind smoke exposure. Environmental Research Letters, 11 (2016) 094023: 1 – 10. Reilly, J.M. 2012. Green growth and the efficient use of natural resources. Energy Economics, 34 (2012): S85–S93. Setijono, D. 2004. Kehidupan Masyarakat dan Kaitannya dengan Kebakaran Lahan Rawa/Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir – Provinsi Sumatera Selatan. Dalam Suyanto, U. Chokkalingam & P. Wibowo (Eds.). Prosiding Semiloka Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. 47 – 61. Slamet, H. 2015. Profil Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

229


230


KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS UNTUK MENDUKUNG KELESTARIAN DAS MUSI Nur Arifatul Ulya Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]

ABSTRAK DAS Musi ditetapkan sebagai salah satu DAS prioritas dalam RPJMN 2015 - 2019 maupun dalam SK Menhut No SK.328/Menhut-II/2009 karena kondisinya yang kritis. Banyaknya pemangku kepentingan dengan beragam latar belakang dan cara pandang menjadi salah satu penyebab tidak lestarinya pengelolaan DAS Musi yang mengarahkan pada kerusakan DAS. Bentuk kelembagaan bersama (dalam bentuk forum/badan koordinasi) merupakan alternatif yang paling memungkinkan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini. Forum koordinasi DAS Musi yang berubah menjadi FDAS Sumsel tahun pada tahun 2015 diharapkan menjadi wadah yang terstruktur dan independen dari perwakilan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS Musi untuk saling berkomunikasi, berkonsultasi dan berkoordinasi dalam rangka pengelolaan DAS Musi secara lestari. Kelembagaan koordinasi DAS Musi perlu mengadopsi kolaborasi bersarang yang mengkordinasikan micro-macro watershed, karena DAS Musi mempunyai lingkup DAS yang berjenjang. Kolaborasi ini seyogyanya dilembagakan dalam bentuk aturan. Kata kunci: DAS prioritas, kolaborasi, koordinasi, pemangku kepentingan

I. PENDAHULUAN Jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dari waktu ke waktu terus bertambah. Jumlah DAS Prioritas pada tahun 1970 adalah 22 DAS, tahun 1980-an menjadi 36 DAS dan 1999 semakin meningkat, menjadi 60 DAS. Peningkatan jumlah DAS Prioritas menunjukkan bahwa pengelolaan DAS yang dilakukan selama ini belum tepat sasaran. Pengelolaan yang kurang tepat sasaran diindikasikan oleh tingkat kekritisan suatu DAS. Tingkat kekritisan DAS ditunjukkan oleh penurunan penutupan vegetasi permanen dan meningkatnya luasan lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air. Akibatnya terjadi peningkatan frekuensi banjir, erosi dan tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Areal berhutan sekitar 96,490.8 juta hektar (51,53% dari luas daratan). Angka deforestasi tahun 2012 - 2013 sekitar 727.981,2 hektar. Luas lahan kritis pada tahun 2013 adalah 24.303.294 hektar (Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan, 2015). Erosi daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk pada angka yang tinggi, melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th), sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi mengalami penurunan (Ekawati, 2015). Penurunan kemampuan DAS dalam menjalankan fungsinya berdampak negatif pada kualitas hidup manusia, sehingga diperlukan upaya perbaikan kondisi DAS. Perbaikan kondisi DAS yang menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia diakomodir pemerintah dalam rencana pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015 - 2019 mencantumkan 15 DAS (Daerah Aliran Sungai) prioritas untuk dipulihkan dalam jangka waktu tahun 2015 sampai 2019. DAS prioritas untuk dipulihkan berada di Pulau Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. DAS prioritas yang berada di Pulau Sumatera adalah DAS

231


Asahan Toba, Siak, Musi, Way Sekampung, dan Way Seputih. DAS Musi termasuk salah satu DAS prioritas untuk dipulihkan dalam kurun waktu 2015 - 2019. Penetapan DAS Musi sebagai DAS prioritas juga terdapat dalam SK Menhut No SK.328/Menhut-II/2009. DAS Musi dengan luas sekitar 8,6 juta hektar merupakan salah satu dari 108 DAS di Indonesia yang ditetapkan melalui SK Menhut No SK.328/MenhutII/2009 sebagai DAS prioritas karena kondisinya yang kritis. Kondisi ini diindikasikan dari luas lahan kritis dengan kategori agak kritis hingga sangat kritis yang mencapai 1,7 juta hektar (BPDAS Musi, 2011). Indikasi lainnya adalah luas tutupan hutan di Sumatera Selatan yang tersisa adalah 1.346,8 hektar (± 15,6% dari luas wilayah Sumatera Selatan). Tekanan terhadap DAS Musi cenderung bersifat antropogenik. Data BPS Provinsi Sumatera Selatan (2015) menunjukkan bahwa jumlah penduduk Sumatera Selatan yang meningkat dari waktu ke waktu dengan jumlah 7.941.495 pada tahun 2014 (meningkat 1,44% dari tahun 2013). Jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan air dan lahan yang juga meningkat dari waktu ke waktu. BPS Provinsi Sumatera Selatan (2015) menyatakan bahwa empat sektor utama penyumbang PDRB Sumatera Selatan, yaitu sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Keempat sektor utama di Sumatera Selatan berkaitan erat dengan lahan dan wilayah DAS. Kebutuhan akan lahan untuk budidaya maupun infrastruktur dalam rangka pembangunan ekonomi memberikan tekanan pada sumberdaya hutan melalui kegiatan konversi hutan yang mengancam tutupan lahan di wilayah DAS Musi. Industrialisasi memberikan kontribusi pada menurunnya kualitas air dan kualitas lingkungan secara umum di DAS Musi. Perbedaan cara pandang dari pemangku kepentingan yang terkait dengan DAS Musi juga berkontribusi pada penurunan kualitas lingkungan DAS Musi. DAS Musi memberikan berbagai manfaat dalam pengelolaannya berkaitan dengan banyak pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS Musi berasal dari berbagai sektor dengan cara pandang yang beragam terhadap DAS. Kondisi ini berpotensi memperburuk kondisi DAS apabila tidak diikuti upaya untuk menjembatani berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Musi. Tulisan ini bertujuan untuk: 1) memberikan informasi mengenai mekanisme koordinasi, dan kelembagaan pengelolaan DAS; 2) memberikan rekomendasi kelembagaan pengelolaan DAS dengan dengan fokus DAS Musi. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi acuan dalam pengelolaan DAS Musi secara terpadu menuju kelestarian DAS Musi. Tulisan ini disusun dari review hasil-hasil penelitian yang terkait dengan kebijakan dan kelembagaan pengelolaan DAS, aturan pengelolaan dan dokumen DAS di Indonesia. Hasil review selanjutnya dihubungkan dengan kondisi DAS Musi pada saat ini. II. KONDISI UMUM DAS MUSI DA“ Musi se ara geografis terletak a tara ° – ° BT da 02° - ° L“, de ga luas . . , hektar. Wilayah “u gai Musi se ara administratif berada di empat wilayah provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi dan Provinsi Lampung. Wilayah DAS Musi sebagian besar berada di Provinsi Sumatera Selatan merupakan wilayah yang memiliki wilayah DAS terluas dibanding dengan tiga provinsi lainnya (Jambi, Lampung dan Bengkulu) (BP DAS Musi, 2011).

232


Wilayah DAS Musi terbagi ke dalam 22 Sub DAS. Sub-Sub Das tersebut adalah, Sub DAS Banyuasin, Sub DAS Batang Pelidang, Sub DAS Batanghari Leko, Sub DAS Baung, Sub DAS Bungin, Sub DAS Calik, Sub DAS Deras, Sub DAS Kelingi, Sub DAS Kikim, Sub DAS Komering, Sub DAS Lakitan, Sub DAS Lalan, Sub DAS Lematang, Sub DAS Macan, Sub DAS Medak, Sub DAS Musi Hilir, Sub DAS Musi Hulu, Sub DAS Ogan, Sub DAS Rawas, Sub DAS Soleh, Sub DAS Semangus dan Sub DAS Sugihan (BP DAS Musi, 2011).

Gambar 1. Peta DAS Musi (Sumber: Forum DAS Musi, 2015) III. KOORDINASI Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih dipengaruhi aktivitas daratan (PP No. 37 tahun 2012). Li sey a d ‘ay e ye ut DA“ se agai A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet . DA“ se ara u u dapat didefi isika sebagai suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anakanak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau ke danau. DAS secara sederhana merupakan kesatuan wilayah yang mengalirkan air ke titik yang sama. Pengelolaan DAS, seperti dikemukakan di atas, melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan berbagai cara pandang. Kerusakan DAS disebabkan oleh kuatnya latar belakang pemikiran sektoral, beragamnya kepentingan dan kendala dalam berkoordinasi. Koordinasi menjadi kunci dalam menjembatani berbagai perbedaan

233


pandangan dan kepentingan dalam pengelolaan DAS. Di sisi lain, koordinasi menjadi kendala dalam pengelolaan DAS. Koordinasi merupakan kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkooordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan dalam mencapai tujuan organisasi (Hasibuan, 2009). Koordinasi mengandung pengertian kerjasama (cooperation). Tanpa adanya kerjasama, koordinasi tidak dapat dilakukan. Meskipun demikian, kerjasama tidak sama dengan koordinasi. Hasibuan (2009) menambahkan bahwa kerjasama mengandung unsur kesukarelaan (voluntary), sedangkan koordinasi bersifat kewajiban (compulsory). Koordinasi mempunyai ciri-ciri: 1) berkelanjutan; 2) pengaturan oleh kelompok; 3) kesatuan tindakan; 4) tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, dan 5) tanggungjawab koordinasi ada pada pimpinan. Faktor-faktor yang mempengaruhi koordinasi adalah: 1) komunikasi; 2) kesatuan tindakan; 3) pembagian kerja, dan 4) disiplin. Asas koordinasi adalah asas hirarki, artinya koordinasi dilakukan menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggung jawab yang disesuaikan dengan jenjang-jenjang yang berbeda satu sama lain. Hasibuan (2009) membagi kooordasi menurut hirarkinya menjadi dua bagian besar, yaitu: a. Koordinasi vertikal (vertical coordination), yaitu kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuankesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya. b. Koordinasi horizontal (horizontal coordination), yaitu mengkoordinasikan tindakantindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan pada organisasi yang setingkat. Terdapat dua model koordinasi yang diperkenalkan oleh Pulzl (2008), yaitu: a. Koordinasi positif, yaitu melibatkan semua aktor yang bersangkutan secara interaktif (multilateral) untuk mencapai manfaat kolektif paling tinggi. b. Koordinasi negatif, yaitu koordinasi yang hanya melibatkan aktor-aktor tertentu dan utama saja (bilateral). Koordinasi antar institusi dalam pengelolaan DAS di Indonesia cenderung pada model koordinasi negatif (bilateral) belum mengarah pada koordinasi positif (multilateral) (Ekawati, 2015). Koordinasi bilateral terjadi pada koordinasi antar UPT (Unit Pelaksana Teknis) dengan Kementerian Teknisnya. Koordinasi positif (multilateral) yang melibatkan antar sektor (pemangku kepentingan) yang terlibat dalam pengelolaan DAS merupakan kendala koordinasi yang harus diselesaikan. Koordinasi multilateral merupakan pilihan yang sesuai untuk diterapkan dalam kelembagaan pengelolaan DAS Musi. Koordinasi multilateral mampu membentuk hubungan yang interaktif antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Musi. Asas-asas koordinasi harus menjadi perhatian dalam membangun koordinasi. IV. KELEMBAGAAN DAS Pengelolaan DAS bertujuan untuk mengelola sistem hidrologi agar berjalan dengan baik sehingga dapat menjalankan fungsi ekologi, sosial dan ekonomi. Diperlukan koordinasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam wilayah DAS oleh semua pemangku kepentingan, agar sistem hidrologi dapat berjalan dengan baik. Pengelolaan menjadi tidak mudah karena sumber daya alam dari sistem DAS memiliki beberapa

234


bertentangan penggunaan, sehingga setiap bentuk pengelolaan akan menyebabkan manfaat dan biaya tidak merata di antara pengguna. Pengelolaan DAS melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan latar belakang dan cara pandang yang beragam terhadap DAS. Untuk mengatur dan mengarahkan perilaku para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS diperlukan suatu kelembagaan pengelolaan DAS yang mempunyai peranan koordinatif menuju pengelolaan das yang terpadu dan berkelanjutan. Fungsi kelembagaan menurut Soekanto (1990), adalah: 1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku; 2) menjaga keutuhan masyarakat; dan 3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Konsep pertumbuhan sebuah lembaga tidak lepas dari sifat dasar manusia sebagai mahluk sosial, yaitu manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa memerlukan mahluk lain untuk memenuhi kebutuhannya. Terdapat beberapa pertimbangan yang digunakan merumuskan bentuk kelembagaan dalam pengelolaan DAS. Pertimbangan tersebut didasarkan pada kekuatan dan kelemahan yang ada pada setiap bentuk kelembagaan (Kartodihardjo et al., 2004). Selanjutnya Kartodihardjo et al., (2004) menyatakan bahwa terdapat 3 bentuk kelembagaan, yaitu: a. Polycentric Bentuk kelembagaan ini merupakan sistem yang menganggap individu sebagai dasar dari unit analisis. Otoritas pokok yang dimiliki seseorang diartikulasikan kedalam tindakan. Tidak ada supremasi otoritas, otoritas tergantung dari bagaimana mempertemukan kepentingan dalam suatu struktur pengambilan keputusan antar pihak. Kelebihan sistem polycentric adalah masing-masing wilayah dan masing-masing sektor mempunyai kedudukan yang setara. Kelembagaan polycentric mempunyai ciri berupa kemampuan untuk menangani sistem yang kompleks dan sistem biofisik yang dinamik. Kelemahan dari sistem polycentric adalah belum adanya saling percaya baik secara hirarki, maupun secara horizontal, lemahnya azas timbal balik, kurangnya arahan sentral dan permasalahan yang terlalu kompleks. b. Monocentric Bentuk kelembagaan monocentric merupakan sistem dengan otoritas terpusat di satu titik. Hubungan antar anggota tidak setara, melainkan di bawah komando oleh pusat. Kelebihan sistem ini adalah memungkinkan dilakukannya sistem pengelolaan DAS one river, one plan and multi management. Di sisi lain, resentralisasi pengelolaan DAS akan membentuk pengelolaan DAS sampai pada tataran formal dan akan berakibat mengurangi kewenangan wilayah administrasi, padahal yang diinginkan adalah kerjasama dari parapihak. c. Gabungan Polycentric dan Monocentric. Sistem ini merupakan kombinasi bentuk kelembagaan polycentric dan monocentric. Pada sistem ini masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang setara, tetapi masih ada beberapa arahan dari pusat, misalnya dalam hal kebijakan, penyusunan pola perencanaan dan pedoman monitoring dan evaluasi. Bentuk kelembagaan pengelolaan DAS yang memungkinkan antara lain adalah badan koordinasi, badan otorita, badan usaha atau forum DAS yang didalamnya melibatkan para pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaan DAS. Terdapat beberapa alternatif pembentukan kelembagaan dalam pengelolaan DAS, antara lain 235


membentuk kelembagaan bersama (collaborative), membentuk lembaga baru atau memanfaatkan lembaga yang sudah ada. Bentuk kelembagaan bersama (dalam bentuk forum/badan koordinasi) merupakan alternatif yang paling memungkinkan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini. Hal ini dimungkinkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) Sesuai dengan aturan (perundang-undangan); 2) Kegiatan pengelolaan DAS melibatkan banyak pemangku kepentingan, lintas sektoral, lintas wilayah, sehingga diperlukan kelembagaan yang bersifat independen dan mewakili banyak pihak; 3) Permasalahan yang paling menonjol dalam pengelolaan DAS adalah koordinasi, sehingga diperlukan suatu wadah untuk mengikat, menyatukan dan menyelaraskan semua sektor dan wilayah agar terwujud pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Kelembagaan koordinasi pengelolaan DAS sebelum tahun 2001 diatur dalam Keppres no 9 tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai. Keppres tersebut diganti dengan Keppres No.123 Tahun 2001 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air. Selanjutnya PP 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS mengatur tentang Forum Koordinasi Pengelolaan DAS. Forum koordinasi DAS Musi mulai dibentuk tahun 2010. Dasar pendirian Forum DAS Sumatera Selatan adalah Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 818/KPTS/IV/2010 tentang Pembentukan Forum DAS dan Kepengurusan Forum DAS Sumatera Selatan periode 2010 2015 tanggal 16 November 2010. Nama Forum DAS Sumatera Selatan berubah menjadi Forum Koordinasi Pengelolaan DAS Sumatera Selatan berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No. 85/KPTS/DISHUT/2015. Kedudukan kelembagaan bersama tersebut disajikan pada Gambar 2.

REGULATOR (Gubernur, Bupati/Walikota)

FORUM KOORDINASI USER

OPERATOR

PDAM, PLN, dunia usaha

(BPDAS, Instansi terkait)

Gambar 2. Koordinasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Musi (Dimodifikasi dari Ekawati, 2006) Forum Koordinasi DAS Sumatera Selatan (FDAS Sumsel) diharapkan merupakan wadah yang terstruktur dan independen dari perwakilan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS Musi untuk saling berkomunikasi, berkonsultasi dan berkoordinasi dalam rangka pengelolaan DAS Musi. Kedudukan FDAS Sumsel adalah sebagai fasilitator di antara para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS (operator, regulator dan user). Hubungan forum koordinasi DAS Musi dengan pemangku kepentingan lainnya pada dasarnya bersifat konsultatif dan koordinatif, sedangkan penetapan kebijakan tetap dilakukan oleh regulator. 236


Keanggotaan FDAS Sumsel idealnya mewakili para pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaan DAS Musi. Keanggotaan FDAS Sumsel terdiri dari kelompok pemerintah atau pemerintah daerah, akademisi, dunia usaha dan kelompok masyarakat. Tugas pokok dari forum koordinasi DAS Musi adalah menyusun kebijakan, rencana, koordinasi pelaksanaan, memonitor serta melakukan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS Musi. Rekomendasi yang dihasilkan oleh FDAS Sumsel selanjutnya diserahkan kepada pihak regulator (Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS Musi. FDAS Sumsel yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan terkait pengelolaan DAS Musi pada tahun 2011 menunjukkan kinerjanya dalam penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu Musi (RP DAS Terpadu Musi), bekerja sama dengan BPDAS Musi. Rencana ini disusun dengan pendekatan pastisipatif, melibatkan operator, user maupun regulator, lintas disiplin ilmu. RP DAS Terpadu Musi selanjutnya direkomendasikan kepada regulator sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pembangunan. Selain direkomendasikan kepada regulator, dalam pelaksanaannya RP DAS Terpadu Musi melibatkan berbagai instansi pemerintah, swasta, perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat baik di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota (BP DAS Musi, 2011). FDAS Sumsel selanjutnya juga berperan dalam penyusunan prioritas restorasi DAS Musi, bekerja sama dengan BP DAS Musi, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, ICRAF dan forum DAS di tingkat kabupaten. Secara umum, FDAS Sumsel sudah mampu menjalankan fungsinya dalam menyusun rencana maupun kebijakan pengelolaan DAS Musi. Namun, fungsi koordinasi pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS Musi belum berjalan dengan baik. V. MEMBANGUN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS MENUJU KELESTARIAN DAS TERPADU MUSI Kegiatan pengelolaan DAS di Indonesia sebenarnya mulai dilakukan sejak jaman Belanda, terutama dalam kaitannya dengan kegiatan pengelolaan hutan di Pulau Jawa. Dalam kegiatan pengelolaan hutan di Pulau Jawa, pembagian wilayah pengelolaan hutan diatur berdasarkan wilayah DAS. Hasil dari kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan wilayah hutan tersebut dapat dilihat dalam pembagian wilayah KPH di Perhutani. Kegiatan pengelolaan DAS terpadu yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia diawali di DAS Citanduy pada tahun 1981, dimana dilakukan berbagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral. Selanjutnya pengelolaan DAS terpadu dikembangkan di DAS Brantas, Jratunseluna. Kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS yang dilakukan di ketiga DAS tersebut lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah erosi dan banjir yang hampir seluruhnya dibiayai oleh dana pemerintah (Sudaryono, 2002). A. Perumusan Tujuan Sosial Pengelolaan DAS Musi, seperti halnya pengelolaan DAS pada umumnya, merupakan suatu kegiatan yang kompleks yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, beragam kepemilikan dan banyak kepentingan sehingga penuh dengan permasalahan yang membutuhkan penyelesaian yang mengakomodir kepentingan banyak pihak. Pembelajaran dari beberapa DAS menunjukkan bahwa beberapa hambatan dalam pembangunan kelembagaan koordinasi DAS antara lain adalah sulitnya

237


merumuskan tujuan sosial, belum terwakilinya keanggotaan DAS dari semua pihak, dan belum disepakatinya aturan main yang jelas (Ekawati, 2006). Tujuan sosial (social goal) sebagai perubahan yang diharapkan oleh anggotaanggota sistem sosial yang ingin dicapai melalui interaksi dengan anggotanya. Motif yang sama harus disertai kesadaran bahwa tujuan-tujuan tersebut harus dicapai dengan kerjasama antara orang-orang bermotif sama (Loomis and Loomis, 1991). Santosa (1999) menambahkan tujuan sosial hanya dapat dicapai jika anggota kelompok bekerja sama atau berinteraksi dalam satu kelompok. Tanpa adanya interaksi, tujuan kelompok tidak mungkin dapat dicapai. Tujuan bersama merupakan perpaduan/kepentingan masingmasing individu anggota kelompok, sehingga masing-masing individu anggota menyediakan tenaga untuk saling membantu dan saling memberi/menerima pengaruh dari anggota yang lain. Apabila tidak terdapat kesadaran maka tujuan yang sama akan dikejar sendiri-sendiri. Hal itu mudah menimbulkan perselisihan, pemborosan tenaga dan perpecahan kelompok. Kelembagaan koordinasi dalam rangka pengelolaan DAS Musi (dalam hal ini adalah FDAS Sumsel) terdiri dari berbagai pemangku kepentingan yang mewakili kelompok pemerintah (pemerintah daerah), akademisi, dunia usaha dan masyarakat. FDAS Sumsel harus mampu merumuskan tujuan sosial (social goal) dan bersepakat bekerjasama untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini menjadi penting karena esensi dibangunnya kelembagaan adalah mengatur dan mengarahkan perilaku seluruh pemangku kepentingan pada tujuan yang sama, yaitu mengelolaan DAS Musi secara berkelanjutan. B. Kelembagaan Koordinasi antar DAS dalam lingkup DAS Terpadu Musi DAS Musi terdiri dari 22 sub DAS (microwatershed) yang berada di Provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi dan Lampung. Sebagai suatu DAS terpadu (macrowatershed), koordinasi antar pemangku kepentingan tidak hanya dilakukan secara horizontal, melainkan juga vertikal, antara micro-macro watershed dan micro-micro watershed. Kerr (2007) menyatakan bahwa teori dan pengalaman menunjukkan bahwa tindakan kolektif lebih berhasil pada skala yang lebih kecil, tetapi beberapa hasil penelitian menyimpulkan permasalahan hidrologi akan lebih baik hasilnya bila menggunakan pendekatan pada level skala yang lebih besar. Diperlukan kerjasama simultan untuk meningkatkan kapasitas di dalam dan di antara sub DAS (microwathershed). Sementara Easterly (2006) memiliki pendapat lain yang memperkuat untuk pengelolaan DAS pada skala yang lebih kecil, dengan menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam berbasis lokal dalam skala kecil jauh lebih berhasil dalam mengentaskan kemiskinan daripada pendekatan yang bersifat skala besar (big push). Pengaturan kelembagaan baru pada skala DAS (macrowatershed), diperlukan untuk meningkatkan interaksi antara kelompok sub DAS (microwatershed) yang tergabung dalam DAS. Selama ini kelembagaan yang dipilih lebih menitikberatkan pada pendekatan macrowatershed, sementara pendekatan microwatershed kurang begitu diperhatikan. Untuk itu diperlukan pendekatan bersarang (nested) dalam kelembagaan pengelolaan DAS, dari tingkat sub DAS sampai ke tingkat DAS untuk mengurangi kompleksitas. Pendekatan bersarang dapat dilakukan dengan membangun aksi bersama forum forum di tingkat Sub DAS. Agar hubungan kolaboratif produktif yang dibangun dengan pendekatan bersarang tetap bertahan, maka perlu dilembagakan melalui penetapan peraturan yang 238


secara hirarki lebih tinggi atau dengan menciptakan struktur organisasi baru. Pengembangan organisasi kolaboratif baru adalah cara yang sangat efektif untuk meningkatkan tata kelola kegiatan kolaboratif di tingkat operasional dan kebijakan. Penciptaan sebuah organisasi kolaboratif membantu melembagakan kebijakan dan komitmen bersama sumber daya dan mempromosikan stabilitas interaksi yang memperkuat norma-norma kerjasama dan timbal balik. FDAS Sumsel perlu mengadopsi kolaborasi bersarang yang mengkoordinasikan micro-macro watershed, karena DAS Musi mempunyai lingkup DAS yang berjenjang. Pembentukan Forum koordinasi DAS pada tingkat DAS idealnya diikuti pembentukan Forum koordinasi DAS di tingkat Sub DAS. Kolaborasi ini seyogyanya dilembagakan dalam bentuk aturan. VI. PENUTUP Pengelolaan DAS Terpadu Musi kompleks dan melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan persepsi dan kepentingan yang beragam. Diperlukan koordinasi antar pemangku kepentingan yang dilembagakan dalam suatu wadah berupa forum atau badan koordinasi, yang keanggotaannya mewakili semua pemangku kepentingan. Koordinasi multilateral sesuai untuk diterapkan dalam kelembagaan pengelolaan DAS Musi karena mampu membentuk hubungan yang interaktif antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Musi. Asas-asas koordinasi harus menjadi perhatian dalam membangun koordinasi. FDAS Sumsel merupakan kelembagaan koordinasi di DAS Musi yang keanggotannya terdiri dari kelompok pemerintah atau pemerintah daerah, akademisi, dunia usaha dan kelompok masyarakat. Tugas pokok dari FDAS Sumsel adalah menyusun kebijakan, rencana, koordinasi pelaksanaan, memonitor serta melakukan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS Musi. Rekomendasi yang dihasilkan selanjutnya diserahkan kepada pihak regulator (Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS Musi. Perumusan tujuan sosial merupakan hal terpenting yang harus dibangun di awal pembangunan kelembagaan DAS. Karena esensi dibangunnya kelembagaan adalah mengatur dan mengarahkan perilaku seluruh pemangku kepentingan pada tujuan yang sama, yaitu mengelolaan DAS secara berkelanjutan. Kelembagaan koordinasi DAS Musi perlu mengadopsi kolaborasi bersarang yang mengkordinasikan micro-macro watershed, karena DAS Musi mempunyai lingkup DAS yang berjenjang. Pembentukan Forum Koordinasi Pengelolaan DAS pada tingkat DAS seyogyanya diikuti pembentukan Forum Koordinasi Pengelolaan DAS di tingkat Sub DAS. Kolaborasi ini seyogyanya dilembagakan dalam bentuk aturan. DAFTAR PUSTAKA BPDAS Musi. 2011. Penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu Musi. Balai Pengelolaan DAS Musi. Palembang BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2015. Sumatera Selatan dalam angka 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan. Palembang.

239


Easterly, W. 2006. The big push déjà vu: A review of jeffrey sachs's the end of poverty: economic possibilities for our time. Journal of Economic Literature, 44 (1): 96 105. Ekawati, S. 2006. Kelembagaan pengelolaan DAS lokal (sebagai wacana dalam pengelolaan Sub DAS Cicatih). Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan DAS Cicatih, Cimandiri. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. _________. 2015. Mewujudkan pengelolaan DAS terpadu untuk menghadapi perubahan iklim: tinjauan dari sisi kelembagaan. Prosiding Seminar Nasional Restorasi DAS: Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Iklim: 43 - 62. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret dan Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. Hasibuan, H.M.S.P. 2009. Manajemen: Dasar pengertian dan masalah. Bumi Aksara. Jakarta. 266p. Kartodihardjo, H., K. Murtilksono, dan H.S. Pasaribu. 2004. Institusi pengelolaan DAS. Konsep dan pengaturan analisis kebijakan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan. 2015. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2014. Jakarta. Kerr, J. 2007. Watershed management: Lesson from Common property theory. International Journal of the Commons Vol 1 (1): 89 - 109. Linsley, JR., Ray K. 1980. Applied hydrology. Tata McGraw Hill Publication. Co. New Delhi. Loomis,C.P and Loomis, Z.K. 1991. Modern social theories. Selected American Writers. D. Van Nostrand Company Inc. Princeton-New Jersey. Pülzl, H. 2008. Coordination, co-operation and communication: forest policy within the European Union. In: Pülzl, H. (Ed.), Proceedings of the EC/FTP Workshop on Forest Goverance and the Role of Forestry Research, 7 - 10. European Commission. Brussels. Santosa, S. 1999. Dinamika Kelompok. Bina Aksara. Jakarta. Soekanto, S. 1990. Sosiologi suatu pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sudaryono. 2002. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu, konsep pembangunan berkelanjutan. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.3, No. 2, Mei 2002: 153 - 158.

240


EKSISTENSI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR DI SUB DAS PERAPAU (Desa Muara Danau dan Desa Tanah Abang, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim) Efendi Agus Waluyo*, Nur Arifatul Ulya*, Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah Syahbana Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang *


ABSTRAK Pandangan petani tentang air dalam kehidupan sehari-hari secara filosofi bahwa air merupakan bagian dari sistem nilai perilaku bermasyarakat tani. Kelangkaan air dan semakin meningkatnya kebutuhan air berpotensi menimbulkan konflik air pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Kenyataan yang terjadi saat ini pada musim kemarau sering terjadi kelangkaan air untuk usaha pertanian. Kelembagaan pengelolaan air merupakan hal yang penting dalam menjaga keberlanjutan penggunaan air. Pengumpulan data dilakukan melalui survey lapangan, data dan informasi dikumpulkan melalui wawancara semi-tersetruktur, wawancara mendalam (indept interview) dan Diskusi Kelompok Fokus (Focus Group Discussion/FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan pengelolaan air sawah sudah tidak ada lagi dimasyarakat sedangkan kelembagaan pengelolaan air untuk rumah tangga mengalami penurunan. Hal ini karena kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah cenderung kurang melembaga di masyarakat karena bersifat top down. Sehingga diperlukan usaha pemerintah untuk mengaktifkan lembaga-lembaga pengelolaan air dengan memperhatikan nilai lokal yang ada. Kata kunci: Air, DAS, kelembagaan, lokal, Semendo

I. PENDAHULUAN Air merupakan sumber kehidupan (nyawa) bagi petani. Ketersediaan air yang cukup untuk usaha pertanian diyakini oleh mereka bahwa apapun yang diusahakan dipastikan berhasil. Pandangan petani tentang air dalam kehidupan sehari-hari secara filosofi bahwa air merupakan bagian dari sistem nilai perilaku bermasyarakat tani. Air sebagai salah satu bentuk barang publik dimana setiap orang berhak mendapatkannya tanpa persaingan maupun batas pengkhususan. Namun, dengan ketersediaan air yang terbatas di dunia, maka air cenderung lebih cocok jika disebut dengan Common Pool Resources (CPR), yaitu suatu jenis barang publik dengan manfaat yang terbatas sehingga ada persaingan dalam penggunaannya (Randall, 1983). Karena ada persaingan antar penggunanya, maka untuk pengelolaannya diperlukan aturan main yang baik. Kelembagaan pengelolaan air merupakan hal yang penting dalam menjaga keberlanjutan penggunaan air. Kelembagaan adalah seperangkat aturan yang digunakan (aturan-aturan kerja atau aturan-aturan yang benar-benar dipakai) oleh sejumlah individu untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang berulang yang mendatangkan hasil sehingga mempengaruhi semuai individu-individu tersebut dan secara potensial mempengaruhi yang lain (Ostrom, 1992). Perubahan iklim yang terjadi menyebabkan penyediaan air tanah relatif terbatas. Meningkatnya degradasi lahan hutan tangkapan hujan karena ulah manusia menyebabkan penyediaan air pada sumber mata air dari tahun ke tahun semakin menurun (Suwardji et al., 2002). Perubahan pola curah hujan bedampak terhadap ketersediaan air masa mendatang, sehingga ketersediaan sistem pengelolaan air yang efisien dan efektif akan semakin diperlukan (Boer et al., 2005). 241


Berbagai bukti menunjukkan bahwa sumber air untuk pertanian di beberapa desa di sekitar sub DAS Perapau mempunyai kecenderungan semakin berkurang. Degradasi hutan di daerah hulu, prasarana jaringan irigasi yang semakin rusak dan kinerja kelembagaan air dalam pengelolaan sumber daya air untuk pertanian yang semakin menurun merupakan faktor utama terjadinya krisis air. Kelangkaan air dan semakin meningkatnya kebutuhan air berpotensi menimbulkan konflik air pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Kenyataan yang terjadi saat ini pada musim kemarau sering terjadi kelangkaan air untuk usaha pertanian. Pengendalian sistem pengelolaan air yang ditangani langsung oleh pemerintah menyebabkan rasa memiliki petani rendah sehingga masyarakat menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab pemerintah. Hal ini memberikan gambaran bahwa masalah modal sosial merupakan faktor utama yang perlu dibangun kembali dalam penguatan kelembagaan pemanfaatan air untuk pertanian. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kajian ini dilakukan di desa Muara Danau dan Desa Tanah Abang, Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan pada Bulan Agustus 2015. B. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui survey lapangan, data dan informasi dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur, wawancara mendalam (indept interview) dan Diskusi Kelompok Fokus (Focus Group Discussion/FGD). Responden yang dipilih terdiri dari masyarakat petani pengguna air, pengurus air, aparat desa, para tetua masyarakat desa, dan penyuluh. C. Analisis data Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Data yang telah diperoleh diidentifikasi, diinterpretasi dan ditarik kesimpulan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik DAS Perapau Tutupan lahan di wilayah studi didominasi oleh perkebunan (64,71%), yaitu berupa kebun karet, kopi, dan kebun campuran (durian, coklat, jengkol, petai) (Tabel 1). Di bagian selatan wilayah DAS Perapau, pada ketinggian 1000 - 1490 mdpl, terdapat hutan primer yang menjadi hulu Sungai Betung yang bermuara di Sungai Perapau. Hutan primer tersebut merupakan bagian dari Hutan Lindung (HL) Bukit Jambul Asahan. Sedangkan di bagian utara DAS, juga terdapat hutan primer yang menjadi bagian dari Hutan Suaka Alam (HSA) Isau-Isau Pasemah, yang sekaligus merupakan hulu Sungai Perapau. Luas tutupan hutan saat ini diperkirakan sekitar 19,07% dari luas DAS Perapau.

242


Tabel 1. Luas tutupan lahan DAS Perapau Tutupan Lahan Hutan primer Hutan sekunder Semak/ belukar Perkebunan Pertanian lahan kering Sawah Pemukiman Tanah terbuka Total

Luas (ha) 748,40 78,65 43,90 2.539,00 23,74 256,84 17,05 215,97 3.923,54

Persen (%) 19,07 2,00 1,12 64,71 0,60 6,55 0,43 5,50 100,00

(Sumber: Data primer yang diolah)

B. Kelembagaan Pengelolaan Air Peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk dan mengingkatnya jumlah petani yang mengusahakan lahan pertanian dan keberhasilan pembangunan di bidang pertanian menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan akan air terutama di sektor pertanian. Penduduk di desa Tanah Abang dan Muara Danau sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani kopi dan sawah untuk memenuhi kebutuhan pangan (BPS, 2016). Untuk mengimbangi kebutuhan akan air yang semakin meningkat maka diperlukan pengelolaan atau manajemen air yang lebih efisien serta peningkatan kemampuan dan partisipasi kelembagaan dalam pengelolaan air. Menurut Bulu et al., (2006) ada 3 aspek utama yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya air yaitu teknik, kelembagaan dan sosial budaya. Ke tiga aspek tersebut harus saling menunjang dalam pengelolaan sumberdaya air. Pada aspek kelembagaan tidak hanya menyangkut organisasi dalam penyediaan dan penggunaan yang terkait dengan pendistribusian air serta pelayanan umum, tetapi yang lebih penting adalah penggunaan air secara efektif dan efisien. Kecenderungan semakin menurunnya kuantitas atau terjadinya kelangkaan air yang terjadi akhir-akhir ini tentunya membutuhkan pengelolaan pengelolaan air yang lebih arif termasuk pemilihan teknologi yang sesuai dengan ketersediaan air. 1. Desa Tanah Abang Mata air Sungai Perapau yang mengaliri Desa Tanah Abang berasal dari perbukitan yang dikenal oleh masyarakat Desa Tanah Abang sebagai Talang Ampe. Menurut informasi dari tokoh masyarakat Desa Tanah Abang, sumber mata air tersebut berada di hutan lindung. Pada Musim kemarau panjang tahun 1997 yang dimulai pada bulan Mei, masyarakat mulai kekurangan air, tetapi masih bisa bercocok tanam. Sehubungan dengan semakin maraknya pembukaan hutan di Talang Ampe, pada tahun 2002 sampai 2003 maka pada musim kemarau masyarakat benar-benar tidak bisa bercocok tanam. Tahun 2015 terjadi musim kemarau kering. Air sudah tidak ada mulai bulan Maret, sehingga masyarakat tidak bisa membudidayakan sawah. Secara umum ada 2 pengelolaan air di desa Tanah Abang, yaitu pengelolaan air untuk persawahan dan air rumah tangga. Sumber air bagi masayarakat Desa Tanah Abang adalah Sungai Perapau, sumur dan jaringan air bersih WSLIC (Water Sanitation for Low Income Community) yang merupakan program dari Kementerian Kesehatan. Sungai Perapau dimanfaatkan utamanya untuk irigasi sawah. Sumur dan jaringan air bersih WSLIC dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga. 243


a. Kelembagaan air pertanian Pengaturan air untuk persawahan pada periode sebelum tahun 1970 diatur oleh kepala siring. Kepala siring merupakan jabatan yang diperoleh secara turun temurun dan merupakan pemilik sawah yang letak sawahnya paling hulu dalam suatu hamparan sawah. Tugas kepala siring yaitu mengkoordinir pembagian air dalam suatu hamparan sawah. Akan tetapi jabatan kepala siring merupakan jabatan sosial karena tidak ada imbalan jasa bagi kepala siring. Terdapat seorang kelapa siring dalam suatu hamparan sawah. Adapun di Desa Tanah Abang terdapat 8 hamparan sawah (bahasa lokal : ataran), yaitu: (1) air betung, (2) padang kunyit, (3) padang sepit, (4) nanjungan, (5) danau nipis, (6) danau barang, (7) danau buntak, dan (8) dusun (di tepi dusun). Ataran padang sepit, padang kunyit merupakan hamparan sawah yang paling dekat dengan Talang Ampe. Posisi kepala siring di ataran nanjungan sudah tidak ada sejak tahun 1960-an awal. Hilangnya posisi kepala siring di ataran nanjungan karena debit air semakin kecil sehingga dianggap tidak perlu diatur lagi karena tidak ada yang bisa diatur lagi. Posisi kepala siring di Desa Tanah Abang secara umum sudah tidak ada pada tahun 1970. Pengaturan air dilakukan secara gotong royong oleh pemilik sawah. Apabila ada permasalahan pengairan, biasanya masyarakat melakukan gotong royong mulai dari bendungan, kemusian air dialirkan ke siring dan diatur ke bidang sawah (bahasa lokal : tanggam). Masyarakat di Desa Tanah Abang dengan rentang usia sekitar 30 tahun bisa dinyatakan tidak lagi mengenal istilah kepala siring. Pada dasarnya masyarakat di Desa Tanah Abang mempunyai aturan adat dari nenek moyang (Puyang) yang menyatakan bahwa hutan di sekitar sumber mata air tidak boleh dibuka (dalam bahasa lokal = dipanaskan). Apabila hutan yang berada di sekitar mata air ditebang/dibuka, maka orang yang membuka/menebang akan dikenakan hukum adat yaitu dikucilkan dari masyarakat. Larangan untuk membuka/menebang hutan di sekitar sumber diperkuat oleh aturan pemerintah yang dalam hal ini disampaikan oleh camat kepada kepala desa (Keriyo) dan seluruh masyarakat di Desa Tanah Abang, bahwa hutan dengan radius 100 meter dari sumber mata air tidak boleh ditebang/dibuka. Aturan ini sangat potensial untuk dijadikan landasan dalam pembentukan lembaga-lembaga pengelolaan air. Karena nilai-nilai lokal ini sangat mendukung dalam pengelolaan sumber daya air (Sulastriyono, 2009). b. Kelembagaan Air rumah tangga Pada periode sebelum tahun 1980-an masyarakat Desa Tanah Abang memanfaatkan air Sungai Perapau untuk air minum, memasak dan kegiatan mandi, cuci, kakus (MCK). Air minum diambil dengan menggunakan bambu (bahasa lokal: sambang). Sumur mulai dibuat oleh sebagian kecil masyarakat mulai tahun 1980-an. Sumur pada awalnya digunakan sebagai sumber air minum dan memasak, sedangkan kegiatan MCK masih dilakukan di sungai. Pembangunan sumur semakin marak pada tahun 2000-an, setelah listrik masuk ke Desa Tanah Abang pada tahun 1999. Selain karena adanya jaringan listrik, masyarakat beralih dari sungai ke sumur sebagai sumber air karena air Sungai Perapau mulai tidak layak untuk dikonsumsi baik untuk minum, memasak maupun MCK. Air Sungai Perapau mulai kotor, cepat keruh pada musim hujan dan pencemarannya tinggi sebagai akibat dari penggunaan pestisida di bagian hulu sungai yang semakin meningkat. Sumber air bersih lainnya yang bagi masyarakat Desa Tanah Abang berasal dari Program Water and Sanitation for Low Income Community (WSLIC) Departemen Kesehatan Republik Indonesia. WSLIC merupakan suatu program penyediaan sarana air bersih dan sanitasi 244


yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaannya, mulai dari tahap perencanaan, pembangunan hingga pengelolaan. Jaringan air bersih melalui program WSLIC dibangun di Desa tanah Abang pada tahun 2006 dan dioperasikan pada tanggal 18 Juli . Melalui progra W“LIC di a gu tugu air se ara ersa aa , di a a tugu diproyeksikan untuk melayani 7 rumah tangga. Jaringan ini direncanakan melayani 1 desa (Desa Tanah Abang) yang terdiri dari 3 dusun. Sumber mata air (bahasa lokal = entup entup) dari jaringan air bersih WSLIC adalah Ayek Hangat yang berada di ataran, tepatnya di kebun milik Bapak Abdul Haki. Pengelolaan jaringan air bersih WSLIC dilakukan oleh pengurus yang terdiri dari Ketua, sekretaris, bendahara dan 2 orang datuk air (bahasa lokal = datuk ayek). Pengurus ini dipilih oleh Badan Permusyawaratan Desa (BDP) dan perangkat desa. Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan layanan air bersih WSLIC tidak dikenakan biaya awal. Biaya sebesar Rp. 1.000 per bulan dikenakan bagi rumah tangga yang mengambil air di keran-kera ya g terdapat di tugu air. Masyarakat ya g menya u gka sela g atau pipa dari tugu ke ru ah dike aka iaya ‘p. . per ula . Pada a al pe goperasia W“LIC terdapat sa u ga dari tugu air ke ru ah Layanan jaringan air bersih ini berjalan dengan baik sampai tahun 2008. Pada tahun 2009 sampai 2010 sebagian masyarakat pengguna air WSLIC mulai tidak disiplin, dengan tidak menutup keran air ketika, sehingga sebagian masyarakat tidak bisa memperoleh air. Saat ini masyarakat yang menyambung ke jaringan WSLIC secara aktif tinggal 40 rumah, yang berada di Dusun 1. Kualitas air dari jaringan WSLIC tidak mengalami penurunan kualitas sampai saat ini meskipun jangkauan layanannya berkurang. Semakin berkurangnya partisipasi dan anggota yang aktif dalam jaringan WSLIC karena kurang adanya kontrol dari pemerintah setelah proyek berakhir. Menurut Nurcahya dan Purboyo (2013) bahwa peran pemerintah dalam pemberlakukan peraturan terhadap sumberdaya air sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya konflik dan eksploitasi air yang berlebihan. Anandini (2011) menambahkan bahwa keberhasilan program WSLIC itu sangat tergantu pada individu-individu setiap desa, adanya tokoh utama yang peduli dan aktif sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan program ini sedang kurangnya kapasitas lembaga pengelolanya bisa menyebabkan program ini tidak berjalan dengan baik. 2. Desa Muara Danau Masyarakat Desa Muara Danau menggunakan Sungai Betung dan Betung Renik (bahasa lokal: Betung Ghenik). Desa Muara Muara Danau mulai ada pada tahun 1916. Air dari kedua sungai tersebut dialirkan melalui siring (saluran air) ke desa yang kemudian dimanfaatkan untuk irigasi maupun kebutuhan rumah tangga. a. Kelembagaan air pertanian Air untuk persawahan berasal dari Sungai Betung yang dialirkan ke siring. Lembaga pengelolaan air tidak ditentukankan secara adat istiadat. Air dari sumber air di Bukit Blai dialirkan ke 4 babakan (3 babakan di Desa Muara Danau dan 1 babakan di Desa Penyandingan). Air dari babakan dialirkan ke 3 siring di Desa Muara Danau. Lembaga pengelolaan air mulai dibentuk pada tahun 1966 karena terjadi konflik terkait pengaliran air dari siring ke sawah (tanggam). Pengelolaan air untuk persawahan mulai tahun 1966 dilakukan oleh datuk air. Terdapat 3 datuk air, sesuai dengan jumlah siring di Desa Muara Danau. Datuk siring dipilih dengan musyawarah. Datuk siring mengawasi dan memperbaiki tanggam, serta 245


mengajak masyarakat pemilik sawah bergotong royong bila ada gangguan di siring. Datuk siring diberi imbalan 1 kaleng padi (7 kg) per bidang sawah. Jabatan datuk siring sudah tidak ada lagi pada tahun 1970-an karena masyarakat sudah sadar akan pembagian air dan tidak terjadi perebutan/konflik air irigasi. Lembaga pengelolaan air dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1997 dengan nama Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). P3A adalah kelembagaan pengelolaan air irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga local pengelola irigasi. Lembaga ini tidak berfungsi lagi sejak ada jabatan pamong tani dalam struktur pemerintahan desa. Saat ini orang yang dulunya pengurus P3A masih difungsikan ketika ada permasalahan air. Hasil kajian Agustina dan Subari (2011) menyebutkan bahwa organisasi P3A meskipun cukup terorganisir tetapi tetapi tidak cukup melembaga karena kebersamaan antara anggota dan penggurus masih kurang serta banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang dibuat secara top down. Sedangkan keberhasilan pengelolaan air irigasi pertanian sangat tergantung kepada pengelolaan/manajemen ditingkat lokal (Rahman, 2009). Mata air utama dari Sungai Betung dan Betung Renik berada di Bukit Balai. Jenis pohon yang tumbuh alami di hutan yang berada di hulu sungai antara lain adalah cemare, serian, medang, pampat, seru, penawang mami, tenam dan rimau. Masyarakat Desa Muara Danau mempunyai ajaran dari nenek moyang (bahasa lokal: puyang), bahwa dilarang membuka hutan di atas sumber air agar sumber air tidak kering. Pembukaan hutan untuk perluasan ataran yang dikelola sebagai kebun kopi maupun sawah menyebabkan jarak hutan dari desa semakin jauh. Mulai tahun 2006 jarak dari desa ke hutan sekitar 1,5 km. Selain itu kondisi air di Sungai Betung juga berubah, dimana pada musim hujan meluap sedangkan musim kemarau debitnya kecil meskipun tidak pernah terjadi kekeringan. b. Kelembagaan air rumah tangga Masyarakat Desa Muara Danau memanfaatkan air dari pemandian umum. Pemandian umum di Desa Muara Danau hanya 1, yang dimanfaatkan oleh masayarakat untuk mengambil air minum dan MCK. Air pemandian umum berasal dari siring, dan sisanya dibuang ke siring untuk irigasi sawah. Pembuatan sumur mulai ada tahun 2000-an. Masyarakat membuat sumur untuk kemudahan mengambil air dan rasa segan karena aturan air ya g dia il dari siri g harus ke alu ke siri g , se e tara ereka tidak e galirka air ke siri g. Saat ini sebagian masyarakat mempunyai sumur untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan juga terdapat jaringan air bersih dari PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) di dusun 2 (dua) yang posisnya berada di bawah. PAMSIMAS merupakan proyek dari pemerintah dalam menyediaakan air bersih berbasis masyarakat. Jaringan air bersih PAMSIMAS hanya ada di Dusun 2. Masyarakat di Dusun 1 tidak mengijinkan pembangunan PAMSIMAS karena direncanakan akan mengambil air di hulu Sungai Betung. Masyarakat Dusun 1 khawatir air untuk pertanian berkurang. Permasalahan ini yang mengakibatkan program ini tidak bisa berjalan di seluruh wilayah desa. Penelitian yang dilakukan oleh Heston dan Wati (2011) terhadap efektivitas kinerja program PAMSIMAS menemukan bahwa proses pemberdayaan perlu diperhatikan untuk melihat keterlibatan dan pola prilaku masyarakat terhadap program tersebut serta perlu adanya kejelasan dalam tahapan sosialisasi di masyarakat.

246


IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian di kedua desa dapat disimpulkan bahwa keberadaan kelembagaan pengelolaan air baik untuk pertanian maupun air rumah tangga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kelembagaan pengelolaan air sawah sudah tidak ada lagi dimasyarakat sedangkan kelembagaan pengelolaan air untuk rumah tangga mengalami penurunan. Hal ini karena kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah cenderung kurang melembaga di masyarakat karena bersifat top down. Masih adanya potensi konflik di masyarakat akibat kekurangan penyediaan air baik untuk pertanian sawah maupun untuk rumah tangga cenderung menimbulkan sehingga diperlukan usaha pemerintah untuk mengaktifkan lembaga-lembaga pengelolaan air dengan memperhatikan nilai lokal yang ada. DAFTAR PUSTAKA Agustina, D. A. dan Subari. 2011. Potensi kearifan lokal dalam kelembagaan pengelolaan irigasi di pulau Jawa. Jurnal Irigasi Vol. 6 No. 2. Hal: 104 – 113. Anandini, F. 2011. Identifikasi prospek keberlanjutan kegiatan penyediaan air bersih berbasis masyarakat setelah program Water and Sanitation for Low Income Community 2 (Studi kasus: Kabupaten Bogor). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol. 22 No.3. Hal: 161 – 178. Badan Pusat Statistik (BPS). 2016. Kecamatan Semende Darat Laut dalam angka 2016. BPS Muara Enim. Boer, R., Y. Koesmaryono, dan H. Harjanto. 2005. Dinamika iklim masa kini dan mendatang dan hubungannya dengan ketersediaan air. Makalah disampaikan dalam seminar Nasional PERHIMPI. Mataram tanggal 1 September. Bulu, Y. G., K. Pupadi, I. M. Wisnu, W. R, Sasongko dan Mashur. 2006. Kerlembagaan air sebagai solusi mengatasi kelangkaan dan konflik air di kabupaten Lombok Timur. Dalam Pasandaran, E., B. Sayoko, T. Pranadji. Pengelolaan Lahan dan Air di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Hal: 156 – 169. Heston, Y.P. dan N.A.P. Wati. 2011. Sanitasi dan kesehatan lingkungan: Pengukuran dan keberlanjutannya. teknosain. Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang Pemukiman. Yogyakarta. Nurcahya, A. dan H. Purboyo. 2013. Privatisasi lokal dalam penyediaan dan pengelolaan air bersih di wilayah peri urban. Studi kasus: Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol.2 No.2. Hal: 1- 9. Ostrom, E. 1992. Crafting institution for self governing irrigation system. Institute for Contemporary Studies. San Fransisco, California. Rachman, B. 2009. Kebijakan sistem kelembagaan pengelolaan irigasi: Kasus Provinsi Banten. Jurnal Kebijakan Pertanian. Vol. 7 No. 1 Hal: 1 – 19. Randall, A. 1983. The problem of market failures. Natural Resources Journal, Vol. 23, No. 1.

247


Sulastriyono. 2009. Nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air di Telaga Omang dan Ngloro kecamatan Saptosari, Gunung Kidul Yogyakarta. Mimbar Hukum Vol. 21, No. 2 Hal: 203 – 408. Suwardji dan Tejowulan. 2002. Pengembangan pertanian lahan kering terpadu dengan pe erapa ko sep Master BLEQ di Pro i si NTB. Pusat Pe gkajia Laha Keri g dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL)-UNRAM. Mataram.

248


PROSPEK PENGEMBANGAN AGROFORESTRI ROTAN JERNANG OLEH MASYARAKAT DI KABUPATEN KAUR, PROVINSI BENGKULU Sri Lestari dan Bambang Tejo Premono Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Salah satu jenis hasil hutan bukan kayu yang dikembangkan dengan metode agroforestri oleh masyarakat adalah rotan jernang. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui prospek pengembangan agroforestri rotan jernang oleh masyarakat di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan petani pengembang agroforestri jernang, petani penjernang di hutan alam, serta pelaku bisnis jernang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait, literatur dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menggambarkan prospek dan upaya pengembangan rotan jernang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Kabupaten Kaur sudah mengetahui dan mengenal rotan jernang. Interaksi intensif masyarakat penjernang dengan jernang alam di hutan, telah memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat tentang sifat dan karakter rotan jernang. Rotan jernang mulai dikembangkan dengan metode agroforestri oleh masyarakat karena ketersediaannya di hutan alam telah mengalami penurunan secara signifikan, sementara itu tingkat permintaan pasar terus meningkat. Masyarakat berharap mampu mengembangkan rotan jernang di kebun mereka sendiri agar kelestarian hasil lebih terjamin, tidak harus masuk ke dalam hutan, cara pemanenan lebih mudah, serta hasil produksi lebih banyak. Pengembangan rotan jernang di Kabupaten Kaur diharapkan menjadi salah satu upaya untuk menjamin kelestarian rotan jernang yang keberadaannya sudah semakin terbatas. Selanjutnya, diharapkan dapat berperan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang menjadikan rotan jernang sebagai tambahan pendapatan. Kata kunci: agroforestri, kelestarian, rotan jernang, Kabupaten Kaur

I. PENDAHULUAN Sistem pengembangan tanaman kehutanan dengan pola agroforestri lebih banyak diminati oleh masyarakat karena mampu memberikan hasil yang lebih bervariasi, baik dari segi jumlah, jenis dan waktu pemanfataannya. Sistem agroforestri juga memberikan kemudahan bagi petani dalam penanaman dan pemanenan karena tidak harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Melalui sistem agroforestri, penggunaan lahan diharapkan dapat lebih optimal dan berkelanjutan, sehingga mampu menjamin dan memperbaiki tingkat pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat serta meningkatkan daya dukung ekologi, khususnya di wilayah pedesaan (Mayrowani dan Ashari, 2011). Agroforestri merupakan sistem pemanfaatan lahan oleh manusia yang di dalamnya terdapat unsur penerapan teknologi serta mengkombinasikan tanaman semusim, tanaman tahunan serta hewan atau ternak dalam waktu yang bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu, sehingga terjadi interaksi ekologi, sosial dan ekonomi (Hairiah, Sardjono, dan Sabarnurdin, 2003). Salah satu jenis tanaman kehutanan yang mulai dikembangkan dengan metode agroforestri oleh masyarakat di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu adalah rotan jernang yang dalam praktiknya dikombinasikan dengan tanaman kopi dan durian. Sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu, tanaman jernang terdapat di hampir seluruh Pulau Sumatera, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Selain itu jernang juga 249


diproduksi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Belum lama ini jernang juga mulai dikembangkan di wilayah Sulawesi. Permintaan jernang untuk ekspor sebagian besar berasal dari Tiongkok, Hongkong dan Singapura. Getah jernang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain di bidang farmasi dimanfaatkan sebagai serbuk untuk gigi, campuran obat diare, disentri dan pembeku darah akibat luka (Gafar, 2010). Lebih lanjut, Gafar (2010) menambahkan bahwa getah jernang juga banyak dimanfaatkan di dunia industri sebagai bahan baku vernis, pelitur, pewarna keramik dan marmer, bahan baku pewarna porselen, bahan baku lipstik, serta digunakan dalam proses penyamakan kulit. Hasil hutan bukan kayu juga berperan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan pengumpulan dan pemasarannya (Gauli dan Hauser, 2009; Shackleton et al., 2011; Islam dan Kumar, 2014). Kurang lebih 1,5 milliar orang di seluruh dunia, khususnya di Asia dan Eropa selama ini bergantung pada hasil hutan bukan kayu, terutama bambu dan rotan serta produk-produk terkait untuk meningkatkan sumber pendapatan mereka (Rahman et al., 2012). Hasil hutan bukan kayu tidak hanya dinikmati hasilnya oleh masyarakat pedesaan akan tetapi juga masyarakat miskin di perkotaan (Kaoma dan Shackleton, 2015). Hasil hutan bukan kayu, terutama jernang akan menjadi alternatif pendapatan bagi masyarakat sekitar pada saat hasil dari kebun dan sawah sudah di panen dan masih menunggu musim panen selanjutnya (musim paceklik). Terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan keperluan anak sekolah. Penanaman HHBK di Ghana yang dilakukan dengan sistem campuran menggunakan manajemen pengaturan hasil yang baik dapat menjamin kelestarian hasil dan pendapatan bagi petani (Boadi et al., 2014) Hasil hutan bukan kayu ini pada awalnya banyak terdapat di hutan, masyarakat yang berada di sekitarnya dapat dengan mudah mengambil dan menjualnya ke pedagang pengumpul yang ada di desa. Akan tetapi pada saat ini keberadaanya semakin langka sehingga sulit didapatkan. Masyarakat harus masuk jauh ke dalam hutan, pergi secara berkelompok dan menginap untuk bisa mendapatkan biji jernang. Hasil yang diperoleh semakin lama semakin menurun kuantitasnya. Hal tersebut mendorong masyarakat di Kabupaten Kaur untuk mengembangkan jernang di lahan milik dengan sistem agroforestri. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.19/MenhutII/2009, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) mempunyai nilai ekonomis yang perlu dioptimalkan pengelolaan, pemanfaatan, dan pemungutannya. Oleh karena itu perlu mendayagunakan segenap potensi dan kemampuan pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha, dan masyarakat dalam rangka meningkatkan pemanfaatan dan pemungutannya. Lebih lanjut perlu disusun strategi pengembangan HHBK untuk memberikan arah, kebijakan, serta gambaran pengembangan HHBK kepada pelaku usaha, para pihak dan masyarakat yang akan mengembangkan usaha HHBK tersebut, termasuk di dalamnya adalah rotan. Budidaya rotan jernang di Kabupaten Kaur diharapkan menjadi salah satu upaya untuk menjamin kelestarian rotan jernang yang keberadaannya sudah semakin terbatas. Selanjutnya, diharapkan dapat berperan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang menjadikan rotan jernang sebagai tambahan pendapatan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui prospek pengembangan agroforestri rotan jernang oleh masyarakat di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Prospek pengembangan ini diketahui melalui sejauh

250


mana pengetahuan lokal masyarakat tentang rotan jernang, serta bagaimana penerapan agroforestri jernang oleh masyarakat di Kabupaten Kaur sampai dengan saat sekarang ini. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Lokasi ini dipilih secara sengaja karena beberapa anggota masyarakat di kabupaten ini sudah mengembangkan rotan jernang dengan sistem agroforestri, yaitu dicampur dengan tanaman kopi dan durian. Beberapa orang di wilayah ini juga telah melakukan bisnis jernang sejak tahun 1998, yaitu pada saat keberadaan jernang di hutan alam masih melimpah dan harga jernang masih sangat rendah. Kegiatan dilakukan pada Oktober dan Desember 2015, dimana masyarakat penjernang masuk ke dalam hutan untuk memungut jernang alam. B. Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan petani pengembang agroforestri jernang, petani penjernang di hutan alam, serta pelaku bisnis jernang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait, literature dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan rotan jernang. Wawancara dilakukan dengan bantuan kuesioner dan dilakukan untuk menggali informasi tentang bagaimana pengetahuan masyarakat tentang rotan jernang. Lebih lanjut kegiatan ini juga dimaksudkan untuk mengetahui upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat, terutama petani penjernang dan pelaku bisnis jernang, untuk melestarikan tanaman jernang. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menggambarkan prospek dan upaya pengembangan rotan jernang dengan sistem agroforestri oleh masyarakat lokal di Kabupaten Kaur. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengetahuan Masyarakat Lokal tentang Rotan Jernang Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Kaur sudah mengetahui dan mengenal rotan jernang, bahkan beberapa di antara mereka telah menjadi pelaku bisnis jernang sejak tahun 1998. Pada awalnya masyarakat yang mengetahui jernang hanya terbatas mereka yang merupakan pebisnis hasil bumi, kemudian mereka mulai memperkenalkan jernang kepada masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Tujuan utama mereka memperkenalkan jernang adalah agar masyarakat mencari jernang di hutan dan menjual hasilnya kepada para pebisnis tersebut. Masyarakat banyak yang tertarik karena pada awalnya keberadaan jernang sangat melimpah di hutan. Mereka tidak perlu masuk hutan terlalu jauh untuk memungut jernang karena di pinggir-pinggir hutan sudah bisa didapatkan. Pertama kali dijual, buah rotan bersama dengan tangkainya dihargai Rp 2.500 per kilogram. Harga ini cukup tinggi mengingat jernang masih melimpah dan mudah diperoleh. Pada saat sekarang ini harga jernang mencapai Rp. 20.000 sampai dengan Rp. 25.000 per kilogram. Walaupun harga ini cukup tinggi, akan tetapi ketersediaan jernang di alam sudah semakin sedikit. Untuk mendapatkannya, penjernang harus jauh masuk ke dalam hutan dan menginap beberapa hari sehingga bisa mengumpulkan jernang untuk dijual. Kelangkaan jernang ini kemudian menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat 251


penjernang untuk menjaga kelestarian indukan jernang. Pada awalnya, karena keberadaannya yang melimpah, masyarakat memanen jernang dengan cara memotong pohon induk jernang. Beberapa anggota masyarakat penjernang juga menarik buah rotan jernang ke bawah untuk kemudian dipungut buahnya, sehingga hal ini merusak keragaan pohon jernang. Menurut mereka, apabila dahan jernang sudah ditarik ke bawah untuk diambil buahnya, maka di tahun berikutnya batang jernang ini tidak dapat berbuah kembali. Baru di tahun kedua, rotan jernang ini mampu berbuah kembali, akan tetapi dengan kuantitas buah yang lebih sedikit. Interaksi intensif masyarakat penjernang dengan jernang alam di hutan, telah memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat tentang sifat dan karakter rotan jernang. Lebih lanjut, masyarakat juga berharap mampu mengembangkan rotan jernang di kebun mereka sendiri, sehingga kelestarian hasil lebih terjamin, tidak harus masuk ke dalam hutan, cara pemanenan lebih mudah, serta hasil produksi lebih banyak. Karena berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh masyarakat, buah jernang yang paling banyak biasanya terdapat pada jernang indukan yang tumbuh di pinggir-pinggir hutan dan dekat dengan sungai. Sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa jernang akan berbuah lebih lebat apabila sinar matahari yang didapatkan oleh tanaman tersebut cukup optimal dan kebutuhan airnya terpenuhi dengan baik. Oleh karena itu, apabila pengembangannya dilakukan di kebun mereka sendiri, petani dapat mengatur pencahayaan bagi tanaman jernang tersebut dan pada akhirnya dapat mengoptimalkan hasil dari tanaman jernang mereka. Pengetahuan masyarakat lokal akan rotan jernang diharapkan dapat menjadi modal utama untuk upaya pengembangan dalam skala kebun dengan model agroforestri. Agroforestri tradisional merupakan bentuk kebijakan masyarakat lokal yang sudah melembaga selama ratusan tahun (Weiwei et al., 2014). Lokasi-lokasi kebun yang berdekatan dengan wilayah hutan pada umumnya memiliki kondisi yang serupa, sehingga kesesuaian tempat tumbuh untuk rotan jernang sudah cukup mendukung. Berdasarkan wawancara dengan petani pengumpul dan pebisnis jernang, masyarakat sangat tertarik untuk menanam jernang karena harganya terus naik sehingga mampu menambah penghasilan rumah tangga pada saat musim panen telah usai. Di sisi lain, pengembangan rotan jernang oleh masyarakat ini juga merupakan salah satu upaya konservasi untuk melestarikan tanaman rotan sehingga tidak akan punah akibat kegiatan pemungutan oleh masyarakat. B. Agroforestri Jernang di Kabupaten Kaur Agroforestri merupakan praktek penggunaan lahan yang telah lama diterapkan oleh masyarakat di banyak belahan dunia dan terbukti memiliki kekuatan dan ketahanan selama berabad-abad dalam memberikan kelestarian hasil (Atangana et al., 2013 dalam Weiwei et al., 2014). Agroforestri mengintegrasikan pohon dengan tanaman pertanian, ternak atau lainnya dengan sengaja pada unit lahan yang sama sesuai dengan kondisi lokasi. Lebih lanjut, Weiwei et al., (2014) mengungkapkan bahwa agroforestri dilakukan untuk mengembangkan sumberdaya alam yang serba terbatas oleh masyarakat lokal, dimana keuntungan yang diberikan bukan hanya secara ekonomi, akan tetapi juga keuntungan ekologi dan sosial budaya (Gambar 1). Jenis tanaman yang dikembangkan dalam sistem agroforestri tersebut diantaranya adalah HHBK yang pada kondisi alaminya memang tumbuh bersamaan dengan tanaman kayu. Di Afrika Selatan, dua desa yang menjadi objek penelitian oleh Paumgarten dan Shackleton (2011) menunjukkan bahwa

252


70% rumah tangga di wilayah tersebut mengembangkan HHBK sebagai alternatif untuk konsumsi rumah tangga dan pendapatan. Ekonomi: Makanan, pakan ternak, kayu energi, hasil bumi

Agroforestri

Sosial budaya: Organisasi, pengetahuan, air dan pengelolaan lahan, budaya rakyat, makanan tradisional sebagai warisan budaya

Ekologi: Keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, konservasi tanah, pengendalian hama, aliran nutrisi

Gambar 1. Manfaat sistem agroforestri (Weiwei et al., 2014) Penentuan jenis komoditas HHBK prioritas yang akan dikembangkan pada suatu wilayah dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu: (1) prospek pasar (lokal, regional, dan internasional), (2) kesiapan infrastruktur menuju sentra HHBK, dan (3) dukungan pengusaha dan pemerintah daerah setempat (P.19/Menhut-II/2009). Untuk wilayah kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, prospek pasar untuk produk rotan jernang sebagai salah satu HHBK unggulan dinilai sangat menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari semakin tingginya tingkat permintaan ekspor dan harga di pasaran juga terus naik. Rotan jernang mulai dikembangkan dengan metode agroforestri oleh masyarakat di Kabupaten Kaur karena ketersediannya di hutan alam telah mengalami penurunan, sementara itu tingkat permintaan pasar terus meningkat. Peningkatan permintaan pasar akan produk hasil hutan bukan kayu ini terjadi seiring dengan semakin berkembangnya pusat-pusat kota dan pinggiran perkotaan (Sonwa dan Weise, 2014). Pada saat ini, HHBK jenis rotan jernang ini dikembangkan di lahan-lahan kebun masyarakat yang berada di areal-areal dengan tingkat aksesibilitas cukup rendah, seperti di pinggi-pinggir hutan. Hal ini dilakukan karena petani yakin bahwa lokasi yang dekat dengan hutan akan memiliki kondisi alam yang mirip dengan hutan, sehingga jernang dapat tumbuh dengan baik. Lebih dari itu, petani yang telah tertarik mengembangkan jernang adalah mereka yang memiliki kemudahan akses terhadap sumber benih jernang. Pada umumnya mereka mengembangkan rotan jernang dari biji-biji jernang tua yang mereka dapatkan dari dalam hutan. Gambar 2 menunjukkan tanaman rotan jernang yang dikembangkan masyarakat di Kabupaten Kaur dengan sistem agroforestri. Rotan jernang ditanam bersebelahan dengan pohon duren sehingga pohon duren dapat berperan sebagai pohon panjatan bagi jernang. Gambar 2 juga menunjukkan masyarakat yang sedang mengolah rotan jernang. Rotan jernang ini biasanya dijual ke pedagang pengumpul masih menempel pada tangkainya, sehingga buahnya harus dipetik atau dipisahkan dari tangkainya. Setelah itu buah jernang akan dijemur sampai agak kering sebelum kemudian diolah untuk diambil serbuknya.

253


Gambar 2. Tanaman rotan jernang di kebun masyarakat dan proses pengolahan jernang yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan adanya pengembangan HHBK jenis rotan jernang ini diharapkan tujuan yang ditetapkan pemerintah berikut ini dapat tercapai: 1. Mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu. Selama ini masyarakat di beberapa lokasi masih melakukan praktik illegal logging, sehingga keberadaan kayu alam di hutan semakin lama akan habis. Apabila hal ini dibiarkan, dapat berdampak pada keseimbangan lingkungan, ketersediaan air tanah, kemampuan lahan menyerap curahan air hujan, serapan karbon oleh hutan alam dan juga kelestarian keanekaragaman hayati. Adanya hasil hutan bukan kayu diharapkan dapat menjadi alternatif pendapatan bagi masyarakat, sehingga tidak perlu lagi menebang pohon. 2. Peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari HHBK serta menumbuhkan kesadaran memelihara kawasan hutan. Hasil hutan bukan kayu yang semakin lama memiliki nilai ekonomi tinggi dapat menjadi sumber tambahan pendapatan bagi masyarakat. Keberadaannya yang semakin langka, justru menjadi peluang bagi masyarakat untuk berusaha mengembangkannya di lahan milik. Sehingga masyarakat memiliki kemudahan dalam pemeliharaan dan pemanenan hasil. HHBK yang nilainya semakin tinggi menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat untuk menjaga kelestariannya dan tidak melakukan perusakan saat melakukan pengumpulan hasil. 3. Terciptanya lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari komoditas HHBK. Pengembangan HHBK di lahan milik dapat menjadi lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Masyarakat yang memiliki lahan sempit dapat memanfaatkan lahan yang ada dengan pola agroforestri. Di sisi lain, bagi masyarakat yang memiliki lahan cukup luas dapat memberikan kesempatan kepada orang lain sebagai tenaga upahan untuk membantu menggarap lahannya. Sampai saat ini informasi tentang besarnya jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengembangan jernang ini belum didapatkan, karena belum ada masyarakat yang khusus mengembangkan jernang dalam satu hamparan lahan. 4. Optimalisasi pemanfaatan HHBK yang meliputi jumlah, jenis, bentuk, dan tahap pengolahan serta mutunya.

254


Selama ini HHBK diambil dari hutan dan dijual dalam bentuk mentah tanpa proses pengolahan lebih lanjut. Diharapkan dengan adanya pengembangan jernang dalam skala luas dapat mendorong munculnya teknologi pengolahan, sehingga baik dari segi jumlah, jenis, kualitas, dan bentuk akhir dari jernang dapat memberikan nilai tambah yang cukup signifikan. 5. Peningkatan produksi HHBK. Pengembangan jernang dalam skala luas oleh masyarakat secara otomatis akan dapat meningkatkan produksi jernang. Sehingga permintaan pasar yang selama ini cukup tinggi dapat dipenuhi. 6. Optimalisasi potensi daerah. Beberapa wilayah di Indonesia memiliki potensi untuk pengembangan rotan jernang. Hampir di seluruh wilayah Pulau Sumatera terdapat rotan jernang dengan jenis yang beraneka ragam, demikian pula kualitas dan harganya. Pengembangan jernang dalam skala luas akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya juga dapat meningkatkan pendapatan daerah. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Salah satu jenis hasil hutan non kayu yang dikembangkan dengan metode agroforestri oleh masyarakat adalah rotan jernang. Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Kaur sudah mengetahui dan mengenal rotan jernang. Interaksi intensif masyarakat penjernang dengan jernang alam di hutan, telah memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat tentang sifat dan karakter rotan jernang. Lebih lanjut, masyarakat juga berharap mampu mengembangkan rotan jernang di kebun mereka sendiri, sehingga kelestarian hasil lebih terjamin, tidak harus masuk ke dalam hutan, cara pemanenan lebih mudah, serta hasil panen lebih banyak. Rotan jernang mulai dikembangkan dengan metode agroforestri oleh masyarakat di Kabupaten Kaur karena ketersediannya di hutan alam telah mengalami penurunan, sementara itu tingkat permintaan pasar terus meningkat. Pengembangan rotan jernang di Kabupaten Bengkulu diharapkan menjadi salah satu upaya untuk menjamin kelestarian rotan jernang yang keberadaannya sudah semakin terbatas. Selanjutnya, diharapkan dapat berperan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang menjadikan rotan jernang sebagai tambahan pendapatan. Pengembangan HHBK jenis rotan jernang ini diharapkan dapat: mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu; meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari HHBK serta menumbuhkan kesadaran memelihara kawasan hutan; menciptakan lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari komoditas HHBK; mengoptimalkan pemanfaatan HHBK yang meliputi jumlah, jenis, bentuk, dan tahap pengolahan serta mutunya; meningkatkan produksi HHBK; serta mengoptimalkan potensi daerah. DAFTAR PUSTAKA Boadi, S., Baah-acheamfour, M., Ulzen-appiah, F., dan Jamro, G. M. (2014). Nontimber forest product yield and income from thaumatococcus daniellii under a mixed tree plantation system in ghana, 2014. Gafar, P. A. (2010). Performance technology and quality production of Indonesia jernang . Journal of Research Industry. Pusat Pengkajian Teknologi dan HKI, Kementerian Perindustrian. 255


Gauli, K., dan Hauser, M. (2009). Pro-poor Commercial management of non-timber forest produ ts i Nepal s Co u ity Forest User Groups: Factors for Success. Mountain Research and Development, 29(4), 298–307. http://doi.org/10.1659/mrd.00051. Hairiah, K., Sardjono, M. A., dan Sabarnurdin, S. (2003). Pengantar Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 1. ICRAFT. Islam, J., dan Kumar, T. (2014). Forest-based betel leaf and betel nut farming of the Khasia i dige ous People i Ba gladesh : approa h to iodi ersity o ser atio i Lawachara National Park ( LNP ), 25. http://doi.org/10.1007/s11676-014-0470-1. Kaoma, H., dan Shackleton, C. M. (2015). Forest Policy and economics the direct-use value of urban tree non-timber forest products to household income in poorer suburbs in South African towns. Forest Policy and Economics. http://doi.org/10.1016/j.forpol.2015.08.005 Mayrowani, H., dan Ashari, A. (2011). Pangan dan pemberdayaan petani sekitar hutan agroforestry development to support food security and farmers empowerment nearby the forests, 83–98. Paumgarten, F., dan Shackleton, C. M. (2011). The role of non-timber forest products in household coping strategies in South Africa: the influence of household wealth and gender, 108–131. http://doi.org/10.1007/s11111-011-0137-1. Peraturan Menteri Kehutanan [Permenhut] No. P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi pengembangan hasil hutan bukan kayu nasional. Rahman, M. H., Fardusi, M. J., Roy, B., Kamal, M. M., Uddin, M. J., dan Khan, M. A. S. A. (2012). Production, economics, employment generation and marketing pattern of rattan-based cottage enterprises: A Case study from an urban area of northeastern bangladesh. small-scale forestry, 11(2), 207–221. http://doi.org/10.1007/s11842-011-9179-6. Shackleton, S., Delang, C. O., dan Angelsen, A. (2011). From Subsistence to safety nets and cash income: Exploring the Diverse values of non-timber forest products for livelihoods and poverty alleviation. http://doi.org/10.1007/978-3-642-17983-9. Sonwa, D. J., dan Weise, S. F. (2014). Plant diversity management in cocoa agroforestry systems in West and Central Africa — effects of markets and household needs, 1021–1034. http://doi.org/10.1007/s10457-014-9714-5. Weiwei, L. I. U., Wenhua, L. I., Moucheng, L. I. U., dan Fuller, A. M. (2014). Traditional Agroforestry systems: One Type of globally important agricultural heritage systems, 5(4), 306–313. http://doi.org/10.5814/j.issn.1674-764x.2014.04.004.

256


PRODUKSI DAN PASAR DALAM PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SEBAGAI SOLUSI KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT Sri Lestari dan Bambang Tejo Premono Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Pemasaran dan produksi beberapa jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) masih menjadi kendala utama dalam pengelolaan dan pengembangan sumberdaya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem pemasaran dan produksi HHBK di Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jambi. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Pengambilan data dilakukan dengan survei dan wawancara dengan petani pengembang HHBK, pemungut HHBK, serta pelaku bisnis HHBK. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menjelaskan sistem pemasaran dan produksi dari HHBK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa HHBK memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan subsisten dan sumber nafkah bagi masyarakat terutama masyarakat miskin di sekitar hutan. Guna menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan ekologi, maka dalam pemungutan atau pemanenan HHBK harus mengikuti kaidah kelestariannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sekaligus menjaga kelestarian sumber daya tersebut. Salah satu bentuk intervensi manusia guna memenuhi kebutuhan atau produksi HHBK adalah dengan budidaya dan domestikasi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tekanan terhadap populasi pemungutan HHBK yang berlebihan. Upaya budidaya ini dapat menjadi strategi konservasi bagi HHBK yang keberadaannya semakin terbatas. Selanjutnya, informasi dan akses pasar, pengetahuan tentang pemungutan yang lestari, cara budidaya, serta kepemilikan lahan selama ini merupakan beberapa faktor pembatas masyarakat untuk mengembangkan HHBK. Oleh karena itu pemahaman mengenai pengetahuan pasar dan minimnya kesenjangan informasi antar pelaku pasar diharapkan dapat lebih mempromosikan pasar HHBK secara lebih baik. Perlu adanya upaya untuk mendorong HHBK sebagai komoditi yang penting dalam perdagangan dengan menciptakan keadilan pasar, tanpa mengurangi dampak ekosistem dan habitatnya. Kata kunci: budidaya, hasil hutan bukan kayu, pasar, strategi konservasi

I. PENDAHULUAN Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan materi biologis dari tumbuhan dan satwa liar selain kayu yang diambil dari hutan alam dan hutan buatan, dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri serta dipasarkan untuk kepentingan sosial, budaya dan agama. Produk HHBK tersebut dapat berupa bahan pangan, obat, energi dan lainnya. Berdasarkan Permenhut no P.35/Menhut-II tahun 2007, HHBK didefinisikan sebagai hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu, yang berasal dari hutan, yang terbagi dalam 13 kelompok HHBK. Oleh karena itu HHBK memiliki jenis produk dan kegunaan yang beragam. Di dalam paradigma pengelolaan hutan berkelanjutan, hasil hutan bukan kayu (HHBK) memiliki peranan penting karena (1) memberikan kontribusi yang penting bagi sumber nafkah dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Godoy et al., 1995; Svarrer dan Olsen, 2005; Saha dan Sundriyal, 2012); (2) pemungutan hasil hutan bukan kayu memberikan dampak ekologi relatif lebih kecil dibandingkan pemungutan hasil hutan kayu (Ticktin, 2004); dan (3) peningkatan komersialisasi HHBK akan menambah nilai terhadap hutan sehingga dapat meningkatkan insentif untuk mempertahankan 257


sumberdaya hutan (Delang, 2006; Rasul et al., 2008). Oleh karena itu dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan, peran HHBK tidak diposisikan sebagai hasil ikutan namun harus bergeser sebagai hasil hutan utama. Hal ini dikarenakan dari segi ekonomi, budaya dan konservasi memberikan manfaat yang lebih baik terutama dalam pembangunan berkelanjutan. Guna menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan ekologi, maka dalam pemungutan atau pemanenan HHBK harus mengikuti kaidah kelestariannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga kelestarian sumber daya HHBK tersebut. Potensi ekstraksi dan eksploitasi HHBK sebagai cara pengelolaan hutan berkelanjutan, terutama didasarkan pada asumsi bahwa pemungutan HHBK komersial dari hutan alam secara bersamaan bisa mendukung upaya konservasi keanekaragaman hayati dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat miskin pedesaan (Arnold dan Pérez, 1997). Hubungan tersebut digambarkan oleh Shaanker et al. (2004), sebagaimana dalam Tabel 1. Tujuan utama dalam pengelolaan sumberdaya adalah dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat, akan tetapi secara bersamaan kelestariannya dapat terjaga sehingga fungsi ekologinya masih dapat dipertahankan (Win-Win/Desire). Kenyataan yang sering terjadi adalah pemanfaatan untuk kepentingan ekonomis lebih diutamakan, sementara itu fungsi ekologi terabaikan (Win-Lose/Existing). Tabel 1. Hubungan antara manfaat ekonomi sebagai sumber mata pencaharian dan nilai ekologi Keuntungan sebagai sumber nafkah Menang

Kalah

Nilai Ekologi Menang Win-Win (Desire)

Win-Lose (Existing)

Kalah

Lose-Win (Protectes area)

(Lose-Lose) (Wastelands)

Sumber: Shaanker et al., 2004

HHBK berdasarkan banyak penelitian memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan subsisten dan sumber nafkah bagi masyarakat terutama masyarakat dalam kategori miskin. Ada beberapa alasan mengapa HHBK sangat penting bagi masyarakat miskin yaitu pertama, karena ketidakadaan sumber pendapatan atau nafkah lainnya. Masyarakat miskin cenderung tidak memiliki cukup lahan produktif yang dapat dijadikan sumber nafkah dan juga hasil dari budidaya pertanian hanya dapat untuk pemenuhan kebutuhan utama. Kedua, dalam pemanenan dan pengumpulan HHBK tidak memerlukan biaya yang besar dan pengetahuan yang baik. Dengan kata lain hanya memerlukan tenaga saja dan teknik pemanenan yang sederhana. Ketiga, lokasi HHBK yang biasanya di hutan yang merupakan sumber daya milik bersama dan bersifat open access, umumnya dekat dengan tempat tinggal mereka sehingga memudahkan untuk memungutnya. Keempat, kesempatan untuk berkerja di sektor lain sangat kecil sehingga terjadi surplus tenaga (waktu luang banyak). Pemungutan HHBK menjadi alternatif pekerjaan yang tersedia. (Ezebilo dan Mattsson, 2010). Ko disi i i dise ut se agai je aka ke iski a a e ye a ka ada ya kecenderungan terjadinya pemungutan HHBK yang berlebihan oleh masyarakat sehingga berdampak pada aspek ekologi dan sosial. Setiap orang ingin mendapatkan hasil yang lebih dari pemungutan HHBK tanpa memikirkan kelestarian sumberdaya dan orang lain 258


karena merupakan sumberdaya milik bersama. Perilaku pemungut tersebut dapat dijelaskan dalam model perilaku common dilema yang diungkapkan Messick et al. (1983), dimana ada 3 motivasi potensial yang mempengaruhi perilaku pemanenan, yaitu 1) memanen sebanyak mungkin untuk memaksimalkan hasil atau bersaing dengan orang lain, 2) menggunakan sumberdaya secara bertanggung jawab untuk mencegah tekanan terhadap sumber daya, dan 3) menyesuaikan diri dengan norma-norma implisit kelompok mengenai perilaku panen yang tepat. Untuk itu perlu adanya tata kelola dan tata nilai yang membatasi seseorang dalam memanfaatkan hasil hutan yang merupakan barang publik yang open access agar permanfaatannya dapat berkelanjutan. Berdasarkan hal di atas, informasi pemasaran HHBK menjadi sangat penting dalam rangka menjadikan HHBK sebagai komoditi untuk menambah pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat banyak kendala dalam penyediaan informasi pemasaran HHBK. Kendala utama dalam pasar dan pemasaran HHBK adalah kondisi fisik (infrastruktur) dan kelembagaan pasarnya (Shackleton et al., 2007). Lebih lanjut hambatan yang cukup serius juga terletak pada pengetahuan dan informasi pasar (Marshall et al., 2006). Adanya pemahaman mengenai pengetahuan pasar dan minimnya kesenjangan informasi antar pelaku pasar akan lebih mempromosikan pasar HHBK secara lebih baik. Salah satu upayanya dengan menggunakan sistem informasi pemasaran (Marketing Information System) yang diungkapkan (Binayee, 2005) yaitu mempelajari aliran informasi mengenai pasar dan produk antar tingkatan pelaku pasar sehingga memberikan dampak positif bagi usaha HHBK. Tulisan ini akan membahas tentang pentingnya pemahaman terhadap sistem pemasaran dan produksi HHBK di tiga provinsi di Sumatera Bagian Selatan, yaitu Bengkulu, Sumatera Selatan dan Jambi. Hal ini diharapkan dapat mendorong upaya konservasi serta mampu mendukung ekonomi masyarakat sekitar hutan. Sehingga diharapkan sistem pemasaran dan produksi HHBK mampu memberikan hasil nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan tahun 2015 di Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan, selanjutnya tahun 2016 di Provinsi Jambi. Lokasi ini dipilih secara sengaja karena beberapa jenis HHBK sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat di ketiga provinsi ini, antara lain jelutung, jernang, gaharu, kepahyang dan kayu manis. Jenis-jenis HHBK ini dikembangkan oleh masyarakat baik dengan sistem monokultur maupun dengan sistem agroforestri. Penanaman dengan sistem agroforestri pada umumnya dicampur tanaman perkebunan dan buah-buahan seperti kopi, karet dan durian. B. Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari kegiatan survei dan wawancara dengan petani pengembang HHBK, pemungut HHBK, serta pelaku bisnis HHBK. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait, literature dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan HHBK. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi tentang bagaimana pengetahuan masyarakat tentang HHBK, nilai dan peluang pemasaran HHBK, serta potensi produksi HHBK secara berkelanjutan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menjelaskan 259


sistem pemasaran dan produksi HHBK di beberapa provinsi di Sumatera Bagian Selatan, yaitu Bengkulu, Jambi dan Sumatera Selatan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN I. Nilai dan Peluang Pemasaran HHBK Berdasarkan karakteristik produknya, hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu HHBK yang belum ada pasar (non marketed) dan telah ada pasar (marketed). HHBK yang belum ada pasar, pemungutannya biasanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sehingga sulit untuk menghitung secara langsung seberapa besar nilai dari HHBK tersebut. Perlu menggunakan pendekatan tertentu guna menghitung nilai HHBK yang dihasilkan. HHBK yang telah dikomersialisasikan atau diperdagangkan, nilainya dapat dihitung secara langsung dengan pendekatan menggunakan harga pasar. Namun secara keseluruhan, kontribusi ekonomi, sosial dan lingkungan HHBK masih sulit untuk dinilai dan masih sedikit studi yang mempelajarinya apabila dibandingkan dengan hasil hutan kayu. Oleh karena itu data yang akurat dan komprehensif mengenai nilai dan rantai nilai HHBK belum tersedia dan sulit didapatkan. Selama ini, HHBK di Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jambi tidak hanya untuk kebutuhan lokal namun beberapa HHBK ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan ekspor. Kebutuhan untuk kesehatan dan budaya pada beberapa produk HHBK meningkat seiring dengan kesadaran untuk hidup sehat dan produk alami, antara lain untuk jenis jernang dan kepahyang yang banyak tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jambi. Munculnya kelas sosial menengah atas dengan gaya hidupnya memberikan dampak pada perdagangan dan peluang pada HHBK semakin baik. Meningkatnya permintaan pasar untuk hasil hutan bukan kayu (HHBK), tentunya akan mendorong terjadi pemungutan yang berlebihan (Ruiz-pérez et al., 2004), yang berakibat pada tidak berkelanjutannya produksi hasil hutan dan pada akhirnya menyebabkan degradasi plasma nutfah (Pandit dan Thapa, 2003). Bagi rumah tangga, peningkatan permintaan pasar akan meningkatkan pendapatan dengan syarat pemungutan hasil hutan dilakukan dengan berkelanjutan. Konsumsi (permintaan) dan produksi (penawaran) barang termasuk HHBK tidak bersifat statis, akan tetapi selalu berubah sesuai dengan selera, kebutuhan dan beragam pilihan. Kaitannya dengan permintaan dan penawaran, pemanenan HHBK akan berdampak tidak langsung namun tergantung dengan jenis sumber dan musim panen. Begitu pula dengan pasar HHBK akan selalu berubah-ubah bergantung jumlah penawaran dan permintaan. Pada asumsi kenaikan akan preferensi HHBK, kenaikan konsumsi atau kebutuhan HHBK dikarenakan kenaikan utilitas marjinalnya sehingga akan mendorong kenaikan harga pasar. Kenaikan harga yang melebihi biaya produksi akan memberikan dorongan untuk meningkatnya pemungutan/pemanenan sehingga kurva penawaran akan bergerak sampai pada titik keseimbangan baru (pada p1q1 – Gambar 1). Pada titik ini, harga akan konstan dengan berapa pun besar jumlah pasokan/panen. Meskipun panen HHBK melimpah untuk memenuhi kenaikan permintaan dan harga. Sebaliknya apabila penawaran cenderung tetap, kenaikan permintaaan sedikit dan tekanan pasar meningkat, maka harga akan naik (dari po ke p1 pada penawaran Qo yang tetap – Gambar 1). Secara sederhana, pemasaran diartikan sebagai bentuk aktifitas untuk menyampaikan produk dari produsen dan konsumen. Rantai pemasaran HHBK akan melibatkan beberapa pelaku dan tahapan proses mulai dari sumber bahan baku sampai dengan konsumen akhir. Oleh Sebab itu informasi mengenai kuantitas dan kualitas 260


barang, serta harga HHBK sangatlah penting karena pasar HHBK merupakan pasar tidak sempurna. Produsen umumnya memiliki sedikit informasi pasar tentang produk, harga dan kebutuhan konsumen sehingga kenaikan harga di tingkat konsumen tidak berdampak di tingkat produsen. Hal ini karena kurangnya akses terhadap pasar HHBK seperti jernang, kepahyang, kayu manis, dan jelutung. Beberapa jenis HHBK tersebut belum memiliki pasar yang cukup terbuka, sehingga informasi pasar masih dikuasai oleh para pedagang perantara dan pedagang besar (eksportir). Ketergantungan pemungut

Kenaikan Konsumsi

Rumah tangga

Permintaan Tinggi S

P

P S

S

p 0 p 1

p 1 p

D 1

Pengaruh Permintaan q0 q1 Q0

D 0

Q

Q q1 q2

Kelangkaan

Kenaikan Produksi

Pemungut/Pemanen

Respon pd kenaikan permintaan Kenaikan tekanan pasar

Penawaran naik/tetap

P S Penawaran/ Produksi tetap

p 1

Sumberdaya

Penawaran tetap

p 0

D 1 D Q Q 0

Gambar 1. Model permintaan dari pemanenan dan penawaran HHBK dalam kondisi pasar normal dan dampak terhadap sumberdaya. (Model yang dikembangkan Dovie, 2003) Rantai pemasaran HHBK akan dimulai dari produsen, yaitu para pemungut HHBK dari hutan dan atau petani yang telah menanam HHBK. Para pemungut ini akan mengumpulkan dan atau memproses HHBK yang kemudian akan menjual dalam bentuk barang mentah atau produk olahan ke pedagang lokal atau regional, baik secara langsung 261


maupun melalui perantara. Para pedagang/tengkulak akan mengkoordinasikan pasokan HHBK untuk pelaku lain dalam rantai pemasaran tersebut. Selain itu, pedagang/tengkulak akan berperan sebagai pengumpul dan pengantar barang antar pelaku pemasaran. Pedagang/tengkulak biasanya tidak membeli dan menjual barang langsung ke konsumen. Setiap pelaku pemasaran akan memberikan input dalam setiap prosesnya yang dapat menjadi nilai tambah terhadap barang tersebut. Dalam rantai pemasaran ini akan dapat dilihat distribusi marjin, setiap pelaku sehingga akan dapat memberikan bentuk kebijakan yang tepat, agar setiap pelaku mendapatkan marjin yang adil. Beberapa rantai pemasaran komoditi kehutanan baik kayu maupun bukan kayu masih terjadi ketimpangan informasi (asimetris informasi) yang menyebabkan adanya kegagalan pasar (Courtois & Subervie, 2014). Perbaikan informasi dalam harga, penambahan nilai, dan teknik pemungutan yang berkelanjutan untuk HHBK diharapkan dapat memperbaiki posisi tawar dan penerimaan yang lebih tinggi dari barang tersebut. Courtois & Subervie, (2014) menambahkan bahwa membangun jaringan kerja guna memperlancar informasi akses pasar dapat memberikan harga yang adil terutama bagi produsen (petani dan pemungut HHBK). Selengkapnya rantai pemasaran HHBK yang berlangsung di masyarakat Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jambi dapat dilihat pada Gambar 2. HHBK alam

Produsen Pengolahan

HHBK budidaya Perantara/agen

Penyimpanan Pengolah/ pekerja Pengolahan Pengirim barang Transportasi Pedagang besar Strategi Pemasaran Konsumen internasional Domestik

Gambar 2. Rantai pemasaran HHBK yang terjadi di masyarakat pada umumnya II. Produksi HHBK Berkelanjutan Kontribusi HHBK sebagai sumber nafkah bagi masyarakat akan sangat tergantung dengan bagaimana pemungutan dan pengelolaan HHBK yang bersumber pada alam atau domestikasi, sejauh mana akses masyarakat terhadap sumber daya dan bagaimana akses terhadap pasar yang dapat memberikan keuntungan yang lebih baik. Salah satu aspek 262


penting dalam HHBK adalah sistem produksi, yaitu seberapa besar jumlah produk yang dapat dihasilkan dan tersedia dari sumber HHBK baik yang berasal dari alam maupun yang telah didomestikasikan. Ketersediaan produk pada akhirnya akan mempengaruhi harga produk itu sendiri selain promosi, selera dan penempatannya. Salah satu bentuk intervensi manusia guna memenuhi kebutuhan atau produksi HHBK adalah dengan budidaya dan domestikasi. Harga yang tinggi dan ketersediaan produk HHBK yang semakin berkurang akan mendorong domestikasi produk (Homma, 1999). Domestikasi bertujuan untuk mengurangi tekanan terhadap populasi pemungutan HHBK yang berlebihan, sehingga dapat meningkatkan sumber nafkah bagi masyarakat sekitar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan budidaya HHBK yang bernilai ekonomi tinggi, baik di dalam maupun di luar habitatnya. Upaya budidaya ini dapat menjadi strategi konservasi bagi HHBK yang keberadaannya semakin terbatas. Budidaya dapat menjadi substitusi bagi hasil pemungutan alam, agar tidak terjadi eksploitasi di alam secara berlebih dan juga memenuhi kebutuhan pasar. Upaya domestikasi HHBK sudah banyak dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian, terutama untuk jenis jernang, kayu manis, dan jelutung. Masyarakat melakukan upaya pengembangan di lahan milik dengan harapan dapat mendapatkan kelestarian hasil. Nilai ekonomi yang tinggi dari produk HHBK tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga. Merujuk pada model dinamika ekonomi untuk pemungutan yang dikemukakan oleh Homma (1999), ada 4 tahapan dalam pengembangan HHBK, yaitu tahap ekspansi (eksploitasi), tahap stabilitas, tahap penurunan dan tahap budidaya (Gambar 3.). Pada tahapan ekspansi akan terjadi pemungutan yang berlebihan atas sumber daya HHBK dikarenakan harga yang melonjak. Setelah itu akan terjadi keseimbangan antara permintaan dan penawaran HHBK, sehingga harga akan tetap dan memasuki tahap stabilitas. Pada tahap penurunan, ditandai dengan menurunnya produksi alam dan harga cenderung tetap. Hal ini menyebabkan biaya pemungutan tidak seimbang dengan hasil yang didapatkan. Selanjutnya akan memasuki tahap domestikasi, dimana teknik budidaya telah tersedia, harga cenderung tetap dan meningkat, serta belum tersedianya barang substitusi. Ditambah lagi selera dan pilihan konsumen untuk produk HHBK alam pada tahap ini meningkat. Q Tahap ekspansi /eksploitasi

Tahap stabilitas

Tahap penurunan

Tahap budidaya/penanaman

Produksi/Pemungutan

Time

0 Pemungutan alam

Budidaya

Gambar 3. Model dinamika ekonomi HHBK (Homma, 1999)

263


Lama waktu pada tiap tahap akan berbeda yang akan dipengaruhi oleh: 1) ketersediaan dan kondisi HHBK pada sumbernya, 2) kebijakan yang terkait dengan sosial ekonomi, dan lingkungan, 3) perkembangan ilmu dan teknologi terkait dengan produksi dan budidaya, serta 4) ketersediaan tenaga kerja dan pasar HHBK. Unsur penting yang mempengaruhi model Homma tentang dinamik ekonomi HHBK adalah permintaan terhadap HHBK tersebut. Hasil hutan bukan kayu cenderung memiliki karakteristik seperti musim panen yang tidak sepanjang tahun, serta jumlah dan kualitas yang tidak stabil sehingga perlu adanya campur tangan manusia. Campur tangan atau intervensi yang dilakukan terhadap sistem produksi HHBK perlu dilakukan melalui cara pengelolaan yang lebih berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas, kelestarian sumberdaya dan akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Ada beberapa bentuk intervensi manusia berdasarkan sistem produksi HHBK melalui pengelolaan HHBK dan terhadap biodiversitas seperti terlihat pada Tabel 2. Intervensi manusia bertujuan untuk peningkatan produktifitas HHBK guna memenuhi kebutuhan yang makin meningkat. Peningkatan produktifitas akan menaikkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Belcher et al., 2005; Akinnifesi et al., 2004; Sanchez, 1995; Schreckenberg et al., 2006; Tchoundjeu et al., 2010), namun akan memberikan dampak negatif pada habitat dan ekosistem serta keragaman genetik HHBK (Clement, 1999; Hollingsworth et al., 2005; Lengkeek et al., 2005; Lengkeek et al., 2006; Miller dan Schaal, 2006; Schippmann et al., 2002; Dawson, 2009).

264


Tabel 2. Hubungan sistem produksi HHBK dengan pengelolaan HHBK, pendapatan, kesejahteraan masyarakat, degradasi habitat, ekosistem, dan keragaman genetik (dimodifikasi dari Ticktin dan Shackleton, 2011) Sistem produksi HHBK Populasi alam

Pengelolaan HHBK   

Populasi yang terpelihara

 

Tingkat intervensi manusia



Populasi pertanian





Populasi budidaya





Populasi perkotaan



Tidak membatasi pemungutan dari alam Membatasi pemungutan dari alam Tindakan diarahkan untuk merangsang pertumbuhan atau regenerasi alam pada individu Memelihara atau menanam anakan alam pada lingkungan tempat tinggal manusia, perumahan, atau kebun. Mempertahankan tanaman dewasa di tempat tumbuhnya pada saat melakukan pembersihan lahan untuk perkebunan. Perlindungan situs atau individu tanaman (karena alasan utilitarian atau budaya, misalnya hutan keramat) Budidaya dan regenerasi HHBK sebagai tanaman sekunder atau pelengkap di (atau sekitar) rumah-rumah, kebun, atau sawah. Menanam HHBK untuk alasan budaya, seperti untuk menandai tempat pemakaman, pohon penanda candi, kuburan, dan lain lain Pembangunan ladang atau kebun dimana HHBK secara aktif ditanam, cenderung dan merupakan tanaman yang dominan Pemilihan berdasarkan waktu untuk sifat yang diinginkan (misalnya rasa, ukuran, tingkat pertumbuhan) Pemeliharaan atau penanaman di daerah perkotaan

Dampak terhadap pendapatan dan kesejahteraan masyarkat

Keragaman genetik dan degradasi habitat dan ekosistem

Domestikasi dengan budidaya HHBK akan berhasil apabila permintaan masih tetap tinggi dan adanya inovasi teknologi sehingga pemanenan dapat efisien, tidak adanya barang substitusi sintetik, dan tidak adanya gangguan terhadap sumber HHBK (Homma, 265


1999). Selain itu, tanaman HHBK memiliki perspektif (image) yang baik, teknik budidaya yang mudah dan murah, memiliki preferensi yang baik, dan mudah untuk dipasarkan. Adopsi untuk budidaya jenis baru akan mengalami hambatan sosial ekonomi, dan budaya seperti harga komoditi, teknologi, kepemilikan lahan, kebijakan dan modal ((R. A. Godoy, 1992; Thapa & Rasul, 2005) serta karakteristik rumah tangga (Chukwuone, 2009). Gambaran tentang bagaimana keputusan rumah tangga untuk memungut dan budidaya HHBK berdasarkan karakteristik sosial ekonomi individu dan karakteritik biologi tanaman HHBK dapat dilihat pada Gambar 4 berikut: Populasi setiap tahun

Biaya pemungutan

Populasi setiap tahun

Produksi

kebijakan

Total tanaman mati

teknologi

Jumlah tanaman yang di panen

Biaya perorangan Keputusan: Memungut, menanam, atau alternatif sumber nafkah

Budidaya

Populasi

Keuntungan

Jumlah tanaman yang di pungut

Alternatif sumber nafkah

Harga komoditi

Tidak ada pemanenan Pasar

Sosial ekonomi individu

Gambar 4. Keputusan individu dalam kaitan dengan HHBK sebagai sumber nafkah (diadaptasi dari Williams et al., 2014.) IV. KESIMPULAN Pengembangan HHBK di Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jambi dapat menjadi upaya untuk konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di sekitar hutan. Selain itu, untuk mendukung agenda pembangunan berkelanjutan (sustainable developments goals) terutama mengurangi kemiskinan serta memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Produk dan sumber HHBK bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu, apabila tidak ada pengelolaan yang baik akan menyebabkan penurunan produktifitas dan kerusakan ekosistem sehingga berdampak pada kehidupan masyarakat. Informasi dan akses pasar, pengetahuan tentang pemungutan yang lestari, cara budidaya, serta kepemilikan lahan merupakan beberapa faktor pembatas masyarakat untuk mengembangkan HHBK. Semakin baiknya akses dan pengetahuan masyarakat dapat meningkatkan posisi tawar dalam pemasaran. Produksi HHBK dari alam semakin lama akan berkurang tanpa adanya intervensi manusia melalui budidaya dan domestikasi, padahal kebutuhan HHBK semakin lama semakin meningkat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mendorong HHBK sebagai komoditi yang penting dalam 266


perdagangan dengan menciptakan keadilan pasar, tanpa mengurangi dampak ekosistem dan habitatnya. Pada akhirnya, diharapkan demokrasi kehutanan dapat terjadi, dari hutan, untuk hutan dan oleh hutan untuk menciptakan kemakmuran masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Akinnifesi, F. K., Kwesiga, F. R., Mhango, J., Mkonda, A., Chilanga, T., & Swai, R. (2004). Domesticating Priority for Miombo Indigenous Fruit Trees as a Promising Livelihood Option for Small-holder Farmers in Southern Africa, 15 – 30. Arnold, J E M, Pérez, M. R. (1997). framing the issue relating to non timber forest products research. In current issues in non timber forest products research (p. 264). Belcher, B., Ruíz-Pérez, M., & Achdiawan, R. (2005). Global patterns and trends in the use and management of commercial NTFPs: Implications for livelihoods and conservation. World Development, 33 (9), 1435 – 1452. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2004.10.007. Binayee, S. B. (2005). Marketing Information System: An overview of agriculture marketing systems in South Asia May 2005 By:, (May). Chukwuone, N. A. (2009). Socioeconomic determinants of cultivation of non-wood forest products in southern Nigeria, 339 – 353. https://doi.org/10.1007/s10531-008-9489y. Clement, C. R. (1999). 1492 and the loss of amazonian crop genetic resources. I. The Relation Between Domestication and Human Population Decline. Economic Botany, 53(2), 188–202. https://doi.org/10.1007/bf02866498. Courtois, P., & Subervie, J. (2014). Farmer Bargaining Power And Market Information Services. American Journal of Agricultural Economics, 1 – 25. https://doi.org/10.1093/ajae/aau051. Dawson, I. K., Lengkeek, A., Weber, J. C., & Jamnadass, R. (2009). Managing genetic variation in tropical trees: Linking knowledge with action in agroforestry ecosystems for improved conservation and enhanced livelihoods. Biodiversity and Conservation, 18(4), 969 – 986. https://doi.org/10.1007/s10531-008-9516-z. Delang, C. O. (2006). Indigenous systems of forest classification: Understanding land use patter s a d the role of NTFPs i shifti g ulti ators su siste e e o o ies. Environmental Management, 37(4), 470–486. https://doi.org/10.1007/s00267-0050097-2. Dovie, D. B. K. (2003). Rural economy and livelihoods from the non-timber forest products trade. Compromising sustainability in southern Africa? International Journal of Sustainable Development & World Ecology, 10 (3), 247–262. https://doi.org/10.1080/13504500309469803. Ezebilo, E. E., & Mattsson, L. (2010). Contribution of non-timber forest products to livelihoods of communities in southeast Nigeria. International Journal of Sustainable Development & World Ecology, 17 (3), 231–235. https://doi.org/10.1080/13504501003749992. Godoy, R. A. (1992). Determinants of smallholder commercial tree cultivation. World 267


Development, 20(5), 713–725. https://doi.org/10.1016/0305-750X(92)90147-N. Godoy, R., Brokaw, N., & Wilkie, D. (1995). The effect of income on the extraction of nontimber tropical forest products: Model, hypotheses, and preliminary findings from the Sumu Indians of Nicaragua. Human Ecology, 23(1), 29–52. https://doi.org/10.1007/BF01190097. Hollingsworth, P. M., Dawson, I. K., Goodall-Copestake, W. P., Richardson, J. E., Weber, J. C., Montes, C. S., & Pennington, R. T. (2005). Do farmers reduce genetic diversity when they domesticate tropical trees? A case study from Amazonia. Molecular Ecology, 14(2), 497–501. https://doi.org/10.1111/j.1365-294X.2005.02431.x. Homma, A. K. O. (1999). The dynamics of extraction in Amazonia: A Historical Perspective. In S. S. Nepstad, Daneil C (Ed.), Non timber products from tropical forests: Evaluation of a conservation and developments strategy. Lengkeek, A. G., Jaenicke, H., & Dawson, I. K. (2005). Genetic bottlenecks in agroforestry systems: Results of tree nursery surveys in East Africa. Agroforestry Systems, 63(2), 149–155. https://doi.org/10.1007/s10457-004-9155-7. Lengkeek, A. G., Mwangi, A. M., Agufa, C. a C., Ahenda, J. O., & Dawson, I. K. (2006). Comparing genetic diversity in agroforestry systems with natural forest: A case study of the important timber tree Vitex fischeri in central Kenya. Agroforestry Systems, 67(3), 293–300. https://doi.org/10.1007/s10457-005-5830-6 Marshall, E., Schreckenberg, K., & Newton, A. (2006). Commercialization of non-timber forest products. Cambridge, UK: UNEP-WCMC. Retrieved from http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Commercialization +of+non-timber+forest+products#6. Messick, D. M., & et al. (1983). Individual adaptations and structural change as solutions to social dilemmas. Journal of Personality and Social Psychology, 44(2), 294–309. https://doi.org/10.1037/0022-3514.44.2.294. Miller, A. J., & Schaal, B. a. (2006). Domestication and the distribution of genetic variation in wild and cultivated populations of the Mesoamerican fruit tree Spondias purpurea L. (Anacardiaceae). Molecular Ecology, 15(6), 1467–1480. https://doi.org/10.1111/j.1365-294X.2006.02834.x. Pandit, B. H., & Thapa, G. B. (2003). A tragedy of non-timber forest resources in the mountain commons of Nepal. Environmental Conservation, 30(3), 283–292. https://doi.org/10.1017/S0376892903000286. Rasul, G., Karki, M., & Sah, R. P. (2008). The role of non-timber forest products in poverty reduction in India: prospects and problems. Development in Practice, 18(6), 779– 788. https://doi.org/10.1080/09614520802386876. Ruiz-pérez, M., Belcher, B., Achdiawan, R., Alexiades, M., Au erti , C., Ca p ell, B., … Nair, T. K. R. (2004). Markets Drive the Specialization Strategies of Forest Peoples. Ecology and Society, 9(2), 23 [online]. Saha, D., & Sundriyal, R. C. (2012). Utilization of non-timber forest products in humid tropics: Implications for management and livelihood. Forest Policy and Economics, 14(1), 28–40. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2011.07.008. 268


Sanchez, P. a. (1995). Science in agroforestry. Agroforestry Systems, 30(1–2), 5–55. https://doi.org/10.1007/BF00708912. Schippmann, U., Leaman, D. J., & Cunningham, A. B. (2002). Impact of Cultivation and Gatheri g of Medi i al Pla ts o Biodi ersity : Glo al Tre ds a d Issues, O to er , 12–13. Schreckenberg, K., Awono, a, Degrande, a, Mbosso, C., Ndoye, O., & Tchoundjeu, Z. (2006). Domesticating Indigenous Fruit Trees As a Contribution To Poverty Reduction. Forests, Trees and Livelihoods, 16(1), 35–51. https://doi.org/10.1080/14728028.2006.9752544. Shaanker, R. U., K.N.Ganeshaiah, Krishnan1, S., R.Ramya, C.Meera, N.a.Aravind, … ‘eddy. (2004). Livelihood gains and ecological costs of non-timber forest product dependence: assessing the roles of dependence, ecological knowledge and market structure in three contrasting human and ecological settings in south India. Environmental Conservation, 31(3), 242–253. https://doi.org/10.1017/S0376892904001596. Shackleton, C. M., Shackleton, S. E., Buiten, E., & Bird, N. (2007). The importance of dry woodlands and forests in rural livelihoods and poverty alleviation in South Africa, 9, 558–577. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2006.03.004. Svarrer, K., & Olsen, C. S. (2005). The Economic Value of Non- Timber Forest Products — A Case Study from Malaysia. Journal of Sustainable Forestry, 20(1), 17–41. https://doi.org/10.1300/J091v20n01. Tchoundjeu, )., Degra de, a, Leakey, ‘. ‘. B., Ni i o, G., Ke ajou, E., Asaah, E., … Tsobeng, a. (2010). Impacts of Participatory Tree Domestication on Farmer Livelihoods in West and Central Africa. Forests, Trees and Livelihoods, 19(3), 217– 234. https://doi.org/10.1080/14728028.2010.9752668. Thapa, G. B., & Rasul, G. (2005). Patterns and determinants of agricultural systems in the Chittagong Hill Tracts of Bangladesh. Agricultural Systems, 84(3), 255–277. https://doi.org/10.1016/j.agsy.2004.06.022. Ticktin, T. (2004). The ecological implications of harvesting non-timber forest products. Journal of Applied Ecology, 41(1), 11–21. https://doi.org/10.1111/j.13652664.2004.00859.x. Ticktin, T., & Shackleton, C. (2011). Non-Timber Forest Products in the Global Context. Non-Timber Forest Products in the Global Context, 7, 149–169. https://doi.org/10.1007/978-3-642-17983-9. Williams, S. J., Jones, J. P. G., Annewandter, R., & Gibbons, J. M. (2014). Cultivation can increase harvesting pressure on overexploited plant populations. Ecological Applications, 24(8), 2050–2062. https://doi.org/10.1890/13-2264.1.

269


270


PILIHAN SUMBER ENERGI RUMAH TANGGA PEDESAAN: STUDI KASUS DI KOTA PAGARALAM Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang


ABSTRAK Kayu bakar masih menjadi sumber energi utama bagi sebagian besar rumah tangga di pedesaan untuk kebutuhan memasak terutama pada masyarakat pra-sejahtera. Berbagai faktor dapat mempengaruhi rumah tangga dalam memilih sumber energi untuk kegiatan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi rumahtangga yang mempengaruhi pilihan sumber energi bagi rumah tangga selain ekonomi (pendapatan). Penelitian dilakukan di 2 (dua) Kelurahan yaitu Kelurahan Jokoh Kecamatan Dempo Tengah dan Kelurahan Dempo Makmur Kecamatan Pagar Alam Utara di Kotamadya Pagaralam. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2015. Data primer diperoleh dengan metode survei dan wawancara terhadap responden menggunakan bantuan kuesioner. Analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan untuk mengukur persepsi dalam pemilihan penggunaan sumber energi dalam rumah tangga dilakukan dengan berdasarkan skala Likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi penelitian masih menggunakan dua macam sumber bahan bakar yaitu kayu bakar dan gas. Adanya program konversi bahan bakar tidak membuat masyarakat sepenuhnya beralih pada bahan bakar gas. Persepsi positif masyarakat terhadap kayu bakar sangat baik sehingga masyarakat masih mempertahankan penggunaan kayu bakar sebagai sumber energi rumah tangga. Kayu bakar dinilai murah, mudah untuk didapatkan karena masih tersedia di lingkungan sekitar tempat tinggal atau di kebun milik masyarakat, dan hemat. Selain itu, bahan bakar minyak dan gas sulit didapatkan. Perlu adanya perbaikan infrastruktur untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan bahan bakar bersih (gas), perubahan teknologi dan penanaman pohon diharapkan dapat menjadi pendorong bagi penggunaan energi rumah tangga yang bersih dan terbarukan. Kata kunci: kayu bakar, rumah tangga pedesaan, sumber energi, persepsi

I. PENDAHULUAN Perubahan penggunaan energi terbarukan memegang peranan penting dalam pembangunan berkelanjutan. Penyediaan energi yang bersih dan terjangkau sebagai prasyarat upaya mengurangi kemiskinan pada masyarakat pedesaan (Pachauri dan Spreng, 2003; Bhide dan Monroy, 2011; Karakezi et al., 2012). Selain itu, penggunaan energi modern dapat mengurangi dampak perubahan iklim, meningkatkan ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat (Rehfuess et al., 2006; Joon, Chandra, dan Bhattacharya, 2009; Mainali et al., 2014). Di sisi lain, ketergantungan pada bahan bakar padat seperti kayu bakar atau biomassa untuk memasak menjadi salah satu indikator kemiskinan energi. Dalam tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals, MDGs) disebutkan bahwa akses ke energi modern termasuk energi listrik dan bahan bakar bersih adalah penting (UN, 2005). Tanpa akses ke layanan energi modern, kemungkinan keluar dari kemiskinan sangat rendah. Dalam ko sep energy ladder/ta gga e ergi (Hosier dan Dowd, 1987; Leach, 1992; Van der Horst dan Hoovorka, 2008; van der Kroon et al., 2013) bahwa akan terjadi pergeseran dari sumber energi yang inferior ke sumber energi yang superior karena adanya peningkatan status ekonomi rumah tangga. Peningkatan pendapatan akan mendorong penggunaan sumber energi yang lebih modern dan lebih bersih yaitu dari 271


penggunaan sumber energi tradisional seperti kayu bakar (biomassa) ke sumber energi modern seperti, minyak tanah, LPG, listrik dan sebagainya (Ouedraogo, 2006). Yang e jadi perta yaa adalah Apakah ha ya pe dapata ya g aka e pe garuhi pilihan pe ggu aa su er e ergi ru ah ta gga atau peraliha ke su er e ergi lai ya? Berdasarkan beberapa literatur, karakteristik sosial ekonomi rumah tangga akan mempengaruhi penggunaan sumber energi (Van der Horst dan Hoovarka, 2008) terutama pendapatan (Gupta dan Köhlin, 2006). Sedangkan sumber lain menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga dan harga barang substitusi akan mempengaruhi konsumsi kayu bakar (Budiyanto, 2009), dan juga akses kredit (Edwards & Langpap, 2005) Steg dan Vlek (2009) mengungkapkan bahwa perilaku kebiasaan pemilihan energi mengacu pada pendekatan terhadap keputusan individu dalam penggunaan energi dan tidak meniru (mengikuti) tindakan yang mengacu pada alasan mengapa orang lain memilih untuk melakukan kebiasaan pemilihan energi dengan cara tertentu. Kebiasaan dalam pemilihan energi akan melibatkan persepsi dan perhatian selektif. Akibatnya, perilaku kebiasaan diharapkan akan diberlakukan ketika perilaku yang dihasilkan dari tindakan bisa memuaskan, meskipun tanggapan kebiasaan dikelola oleh pikiran mental. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan sumber energi bagi rumah tangga, selain faktor ekonomi (pendapatan). II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2015. Kegiatan dilakukan di 2 (dua) kelurahan, yaitu Kelurahan Jokoh Kecamatan Dempo Tengah dan Kelurahan Dempo Makmur Kecamatan Pagar Alam Utara di Kotamadya Pagaralam. Jumlah sampel masing-masing 45 dan 35 rumah tangga responden. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa kedua kecamatan tersebut memiliki persentase penduduk prasejahtera (miskin) terbesar masing-masing sebesar 1,63% dan 2,89% (BPS Pagaralam, 2015). Selain itu, faktor lain yang menjadi pertimbangan adalah adanya pengguna kayu energi/kayu bakar, pendapatan, mata pencaharian, ketersediaan kayu, dan komoditi yang ditanam. Di Kecamatan Pagar Alam Utara ketersediaan kayu energi lebih sedikit dibandingkan Kecamatan Dempo Tengah karena jenis komoditi yang diusahakan masyarakat tidak menghasilkan banyak sumber kayu. Jenis komoditi yang banyak ditanam adalah palawijaya (sayuran) dan sebagian kecil kopi. Kecamatan Pagar Alam Utara diambil sampel pada Kelurahan Dempo Makmur dengan ketinggian tempatnya sekitar 1500 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan kepadatan penduduk 399 jiwa/km2. Sampel Kelurahan Jokoh untuk mewakili Kecamatan Dempo Tengah dengan kepadatan penduduk 56 jiwa/km2. Kelurahan Jokoh memiliki ketinggian 911 mdpl. Jarak dari kota kecamatan 23 km dan 25 km dari pusat pemerintahan. Data primer yang diambil adalah data karakteristik responden, persepsi terhadap kayu energi, data sosial ekonomi, dan data lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Data tersebut diperoleh dengan cara wawancara terhadap responden menggunakan bantuan kuesioner. Analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Untuk mengukur persepsi dalam pemilihan penggunaan sumber energi oleh rumah tangga dilakukan dengan menggunakan Skala Likert 1 - 5 (1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = ragu-ragu, 4 = setuju, 5 = sangat setuju). 272


III. KERANGKA PEMIKIRAN Pengambilan keputusan dapat dilakukakan dalam lingkungan yang berbeda-beda, pada saat terdapat kepastian kondisi (certainty), ketidakpastian (uncertainty) maupun pada saat adanya resiko (risk). Pengambilan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan teknis, sosial dan ekonomi. Tidak semua keputusan yang diambil tersebut tepat karena disebabkan oleh adanya asimetri informasi. Informasi akan mempengaruhi persepsi atau keyakinan individu dalam penentuan pilihan. Proses pemilihan penggunaan sumber energi rumah tangga akan dipengaruhi oleh persepsi, motivasi, preferensi, dan emosi terhadap pilihan sumber energi yang tersedia. Oleh karena itu, keputusan akhir individu dalam melakukan pilihan penggunaan sumber energi untuk rumah tangga akan beragam dan ditentukan oleh seberapa tingkat kepuasan terhadap pilihan yang ada. Pengambilan keputusan atas pilihan sumber energi yang digunakan individu rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 1. Informasi

Sikap

Emosi/Hasrat

Motivas i

Persepsi

Proses

Pilihan pengggunaan sumber energi

Preferensi

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sumber Energi Rumah Tangga Pedesaan Kotamadya Pagaralam termasuk dalam Kabupaten/Kotamadya yang sudah terentaskan di Provinsi Sumatera Selatan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) sebesar 64,75 pada Tahun 2014. Nilai ini masih berada di bawah rata-rata indeks pembangunan manusia di Propinsi Sumatera Selatan. Jumlah masyarakat miskin di Kota Pagaralam pada Tahun 2013 sebesar 9 persen turun dari 9,81 persen pada Tahun 2010. Pengeluaran non pangan masyarakat sebesar Rp. 288.395,- dan pengeluaran pangan sebesar Rp. 308.238,- per bulan per rumah tangga (BPS, 2015). Kota Pagaralam merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian tempat berkisar antara 600 – 2.700 mdpl. Oleh karena itu sumber pendapatan masyarakat paling besar berasal dari hasil budidaya tanaman kopi, sayuran, perikanan dan sebagian kecil jasa. Kayu bakar masih menjadi sumber energi utama bagi sebagian besar rumah tangga di pedesaan untuk kebutuhan memasak terutama pada masyarakat pra-sejahtera yang terdiri dari 1.206 rumah tangga. Kayu bakar merupakan kebutuhan prioritas pada rumah tangga untuk kepentingan memasak setiap harinya. Bagi masyarakat, kayu bakar e iliki ilai pe ti g di a di gka de ga ke utuha lai ya kare a ada ya istilah gak pu ya eras isa guta g teta gga tapi tidak u tuk kayu akar . Oleh kare a itu ha pir 273


sebagian besar rumah tangga pedesaan di kota Pagaralam memiliki persediaan kayu bakar, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebutuhan lain apabila ada acara tertentu (Gambar 2).

Gambar 2. Persediaan kayu bakar rumah tangga Sejak adanya program konversi minyak tanah ke LPG 3 Kg, sebagian masyarakat sudah mulai beralih menggunakan LPG. Rumah tangga pengguna minyak tanah sudah sangat jarang karena harga yang mahal dan kelangkaannya. Program konversi ini bertujuan untuk peningkatkan kehidupan masyarakat dengan memberikan akses kepada sumber energi yang lebih bersih dan modern, pengurangan subsidi dan ketergantungan terhadap minyak. Namun program ini tidak serta-merta menghapus penggunaan kayu bakar di masyarakat. Berdasarkan survei yang telah dilakukan, sebagian besar rumah tangga belum melakukan peralihan sumber energi (energy transition) seperti yang diu gkapka Lea h dala energy ladder . Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Hambatan untuk adopsi penggunaan sumber energi yang lebih sehat, bersih dan modern oleh masyarakat disebabkan oleh (1) harga LPG yang menurut masyarakat mahal, (2) ketersediaan kayu bakar yang masih cukup banyak dan murah, (3) seringkali LPG sulit didapatkan terutama pada daerah yang jauh dari kota. Dalam praktek sehari-hari masyarakat mengkombinasikan penggunaan kayu bakar dan LPG. Hanya sedikit yang menggunakan satu jenis bahan bakar. Kebutuhan memasak yang memerlukan waktu lama, masyarakat akan memilih menggunakan kayu bakar dan untuk kebutuhan memasak yang cepat, maka mereka memilih menggunakan LPG. Sebagian besar rumah tangga cenderung memilih menggunakan dua jenis sumber energi yaitu kayu bakar dan LPG. Rumah tangga melakukan portofolio dalam menggunakan sumber energi karena dianggap lebih efisien dan menjadi strategi rumah tangga untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Dengan demikian peralihan penggunaan su er e ergi ya g oder da ersih seperti pada odel energy ladder erakhir pada penggunaan sumber energi ganda (multiple use energy/energy stacking). Hal ini dapat dinilai sebagai kurang berhasilnya program konversi LPG (gas) karena masyarakat pedesaaan tidak sepenuhnya beralih ke sumber energi yang lebih bersih namun masih menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi.

274


Tabel 3. Pengguna sumber energi di Kelurahan Jokoh dan Dempo Makmur Lokasi Kelurahan Jokoh Kelurahan Dempo Makmur

Kayu bakar (%) 23,26 2,86

Pilihan sumber energi LPG (gas) (%) Kayu bakar dan Gas (%) 76,74 8,57 88,57

Sumber: Data Primer, 2015

B. Persepsi Rumah Tangga terhadap Sumber Energi Penggunaan bahan bakar biomassa seperti kayu bakar oleh rumah tangga tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, akses, ketersediaan kayu bakar dan barang substitusi, budaya, pola hidup dan tingkat kepedulian terhadap kesehatan dan lingkungan. Melainkan juga dikarenakan adanya kepuasan, kebahagian atau manfaat individu yang dapat dijelaskan dalam teori pilihan konsumen. Keputusan rumah tangga untuk memilih bahan bakar yang digunakan dikarenakan tingkat kepuasan individu terhadap bahan bakar yang dipilihnya. Dalam proses keputusan tersebut akan diinformasikan dari persepsi dan keyakinan berdasarkan informasi yang tersedia dan dipengaruhi sikap, motif dan preferensi. Berdasarkan hasil analisis pada kedua lokasi, pada masyarakat Kelurahan Dempo Makmur ada tiga persepsi yang mempengaruhi pemilihan kayu bakar sebagai sumber energi yaitu penggunaan kayu bakar lebih murah, penggunaan kayu bakar sering menyebabkan batuk/sesak nafas dan masyarakat seringkali beralih ke sumber energi yang lebih murah apabila ada penurunan hasil panen atau pendapatan berkurang. Dengan demikian, pemilihan kayu bakar sebagai sumber energi dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu faktor ekonomi dan kesehatan. Kayu bakar masih menjadi sumber energi yang murah dibandingkan sumber energi lainnya. Dalam hal ini, masyarakat berpikir rasional yang didasarkan pada pertimbangan ekonomi dimana pengeluaran untuk belanja energi cenderung akan dikurangi dengan menggunakan sumber energi yang tersedia dan murah seperti kayu bakar. Apa yang dilakukan rumahtangga tersebut merupakan bentuk strategi adaptasi untuk penghidupan mereka. Faktor kesehatan memiliki dampak negatif dimana penggunaan kayu bakar seringkali menyebabkan gangguan kesehatan seperti sesak napas/batuk. Akan tetapi hal ini masih diabaikan oleh sebagian masyarakat karena kayu bakar adalah pilihan yang paling ekonomis. Dengan demikian faktor kesehatan tidak diperhitungkan dalam pertimbangan dalam pemilihan karena tidak dihitung sebagai kerugian secara langsung (dianggap nol). Hal ini dijelaskan dalam teori tradisional pilihan rasional, dimana individu dalam pemilihan keputusan akan didasarkan pada perhitungan untung dan rugi. Dampak terhadap kesehatan diatasi dengan memisahkan antara dapur dalam dan dapur luar dan juga menggunakan kayu yang lebih kering sehingga akan mengurangi asap dan abu dari pembakaran. Di Kelurahan Jokoh, persepsi pemilihan kayu bakar sebagai sumber energi adalah penggunaan kayu bakar lebih murah, penggunaan kayu bakar lebih hemat dan bahan bakar minyak tanah dan LPG seringkali sulit didapatkan. Dengan demikian, pemilihan kayu bakar sebagai sumber energi dapat dikelompokkan menjadi faktor ekonomi dan faktor aksesibilitas. Kayu bakar masih menjadi sumber energi murah dan hemat karena banyak tersedia di sekitar tempat tinggal yang merupakan limbah dari kebun, baik dari tanaman pokok kopi maupun tanaman penaungnya seperti Gliricideae, johar, sengon dan lainnya. Kelangkaaan LPG menyebabkan LPG sulit didapatkan di warung terdekat dan menjadikannya lebih mahal sehingga menyebabkan masyarakat lebih memilih 275


menggunakan kayu bakar. Chen et al., (2006) menegaskan bahwa akses ke pasar, jarak hutan/kebun sebagai sumber bahan bakar, serta harga bahan bakar modern akan mempengaruhi penggunaan atau adopsi bahan bakar modern yang lebih bersih. Tabel 4. Persepsi pengguna konsumsi kayu bakar dan sumber energi lainnya No.

Persepsi Pengguna Konsumsi Kayu Bakar dan Sumber Energi Lainnya

Kelurahan Dempo Makmur Mean

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

9.

10 11. 12. 13

Memasak menggunakan kayu bakar lebih murah Memasak menggunakan kayu bakar lebih hemat Menggunakan kayu bakar lebih aman Kayu bakar mudah didapatkan Memasak dengan kayu bakar lebih cepat Memasak menggunakan kayu bakar perlu dapur khusus Memasak menggunakan kayu bakar akan memberikan asap yang banyak Memasak menggunakan kayu bakar sering menyebabkan batuk/sesak nafas Besarnya pendapatan akan mempengaruhi penggunakaan jenis Bahan Bakar Harga Gas dan Minyak tanah lebih mahal Gas dan Minyak lebih mudah digunakan Gas dan Minyak seringkali sulit didapatkan Hasil panen menurun akan menyebabkan peralihan ke bahan bakar yang lebih murah

1)

Sd

Kelurahan Jokoh Mean 3)

Sd

4,06

0,968

4,25

0,508

3,80

0,933

4,311)

0,535

3,37 3,20

1,087 1,256

3,56 3,13

0,669 0,793

3,23

1,060

2,22

0,491

3,54

1,400

3,91

0,296

3,46

1,291

3,63

0,751

3,942)

0,998

3,28

0,991

3,69

0,900

3,88

0,707

3,57

1,170

4,19

0,592

3,77

0,910

3,97

0,474

3,34

1,187

4,282)

0,457

3,893)

1,105

4,25

0,508

Keterangan: 1,2,3 merupakan nilai rata-rata tertinggi Sumber: Data primer 2015

C. Rekomendasi Kebijakan Terkait Energi Terbarukan pada Rumah Tangga Pedesaan Kebijakan konversi ke bahan bakar gas tidak sepenuhnya berjalan dengan baik terutama pada daerah pedesaan yang dapat dilihat dari tidak sepenuhnya rumah tangga beralih ke sumber yang lebih modern, melainkan menggunakan lebih dari satu sumber energi yaitu gas dan kayu bakar. Adopsi dalam penggunaan energi modern yang disebabkan oleh beragam faktor pembatas baik ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Kendala utama untuk beralih ke sumber energi yang modern adalah keterjangkauan dan harga kayu bakar yang masih lebih murah dibandingkan lainnya. Keterjangkauan dan keputusan penggunaan energi dalam rumah tangga tidak hanya dipengaruhi tingkat pendapatan rumah tangga seperti dalam teori energy ladder namun juga persepsi individu rumah tangga terhadap sumber energi modern. Untuk merubah perilaku penggunaan energi tersebut tidak hanya didekati dengan satu pendekatan saja, karena keputusan untuk menggunakan sumber energi akan dipengaruhi beragam faktor. Guna mendorong penggunaan energi yang lebih bersih pada masyarakat pedesaan maka setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, meningkatkan akses dan 276


ketersediaan kepada sumber energi yang lebih bersih dengan cara memperbaiki infrastruktur sehingga akan memperlancar ketersediaan dan harga yang lebih murah. Perbaikan infrastruktur juga akan memperbaiki kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Kedua, memberikan alternatif sumber energi bersih dan terbarukan yang sesuai dengan potensi daerah tersebut salah satunya seperti penggunaan pellet kayu sebagai bahan bakar. Dengan memperkenalkan sumber bahan bakar berbasis biomassa seperti pelet kayu pada masyarakat, masyarakat dapat memanfaatkan potensi sumber energi di sekitarnya. Bahan baku untuk membuat pelet kayu banyak tersedia di sekitar tempat tinggal masyarakat. Penggunaan teknologi baru dengan merubah kompor untuk pelet kayu sebagai bahan bakar untuk memasak sangat diperlukan masyarakat, untuk mengurangi dampak dari penggunaan kayu bakar secara langsung. Ketiga, dengan meningkatkan kegiatan penanaman pohon pada lahan milik dan juga mempertahankan jenis komoditi yang berbasis tanaman perkebunan seperti kopi, dan karet. Tujuan penanaman pohon tidak saja untuk kebutuhan kayu pertukangan melainkan juga untuk bahan kayu bakar sebagai bentuk kemandirian energi rumah tangga. V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Masyarakat di Kelurahan Jokoh Kecamatan Dempo Tengah dan Kelurahan Dempo Makmur Kecamatan Pagar Alam Utara di Kotamadya Pagaralam masih menggunakan dua macam sumber bahan bakar yaitu kayu bakar dan gas LPG. Adanya program konversi bahan bakar tidak membuat masyarakat sepenuhnya beralih pada bahan bakar gas. 2. Perspektif masyarakat terhadap kayu bakar masih cukup baik sehingga masyarakat masih mempertahankan penggunaan kayu bakar sebagai sumber energi rumah tangga. Kayu bakar dinilai murah, mudah dan hemat untuk didapatkan karena masih tersedia di lingkungan sekitar tempat tinggal atau di kebun milik masyarakat. Selain itu, bahan bakar gas dan minyak sulit didapatkan. 3. Perbaikan infrastruktur untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan bahan bakar bersih (gas), perubahan teknologi dan penanaman pohon diharapkan dapat menjadi pendorong bagi penggunaan energi rumah tangga yang bersih dan modern. DAFTAR PUSTAKA Bhide, A., & Monroy, C. R. (2011). Energy poverty: A special focus on energy poverty in India and renewable energy technologies. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 15(2), 1057–1066. https://doi.org/10.1016/j.rser.2010.11.044. Binayee, S. B. (2005). Marketing Information System: An overview of agriculture marketing systems in South Asia May 2005. Budiyanto. (2009). Tingkat konsumsi kayu bakar masyarakat di sekitar hutan. Kasus Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. 2009. BPS Pagaralam. (2015). Pagaralam dalam angka 2015. BPS Kotamadya Pagaralam. Chen, L., Heerink, N., & van den Berg, M. (2006). Energy consumption in rural China: A household model for three villages in Jiangxi Province. Ecological Economics, 58, 407–420. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2005.07.018. 277


Edwards, J., & Langpap, C. (2005). Startup costs and the decision to switch from firewood to gas fuel. Land Economics, 81(4), 570–586. https://doi.org/10.2307/4129683. Gupta, G., & Köhlin, G. (2006). Preferences for domestic fuel: Analysis with socioeconomic factors and rankings in Kolkata, India. Ecological Economics, 57, 107–121. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2005.03.010. Hosier, R. H., & Dowd, J. (1987). Household fuel choice in zimbabwe, 9, 347–361. Joon, V., Chandra, a., & Bhattacharya, M. (2009). Household energy consumption pattern and socio-cultural dimensions associated with it: A case study of rural Haryana, India. Biomass and Bioenergy, 33(11), 1509–1512. https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2009.07.016. Karekezi, Stephen McDade, S., Boardman, B., Kimani, J., 2012. (2012). Energy Access | Access 2012. In Global Energy Assessment Toward a Sustainable Future. Leach, G. (1992). The energy transition. Energy Policy, Februari 1, 116–123. Mainali, B., Pachauri, S., Rao, N. D., & Silveira, S. (2014). Energy for Sustainable Development Assessing rural energy sustainability in developing countries. Energy for Sustainable Development, 19, 15–28. https://doi.org/10.1016/j.esd.2014.01.008. Ouedraogo, B. (2006). Household energy preferences for cooking in urban Ouagadougou , Burkina Faso, 34, 3787–3795. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2005.09.006. Pachauri, S., & Spreng, D. (2003). Energy use and energy access in relation to poverty. Economic and Political Weekly, (25), 1–15. https://doi.org/10.2307/4414526. Rehfuess, E., Mehta, S., & Pruss - Ustun, A. (2006). Assessing household solid fuel use: Multiple implications for the Millennium Development Goals. Environmental Health Perspectives, 114(3), 373–378. https://doi.org/10.1289/ehp.8603. Steg, L., & Vlek, C. (2009). Encouraging pro-environmental behaviour: An integrative review and research agenda. Journal of Environmental Psychology, 29(3), 309–317. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2008.10.004. UN. (2005). The Millennium development goals report 2005. New York. Van der Kroon, B., Brouwer, R., & Van Beukering, P. J. H. (2013). The energy ladder: Theoretical myth or empirical truth? Results from a meta-analysis. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 20, 504–513. https://doi.org/10.1016/j.rser.2012.11.045. Van der Horst, G. H., & Hoovarka. . ‘eassessi g the e ergy ladder : Household energy use in Maun, Botswana, 36, 3333–3344. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2008.05.006.

278


PERILAKU KOMUNIKASI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PENGUASAAN LAHAN DI KHDTK SUBAN JERIJI Ari Nurlia*, Bondan Winarno*, Edwin Martin dan Teten Rahman Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang *

E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Tidak terkelolanya KHDTK Suban Jeriji sejak tahun 2004 hingga tahun 2014 membuat KHDTK Suban Jeriji menghadapi berbagai tekanan seperti penebangan liar, kebakaran dan okupasi lahan oleh masyarakat. Hampir sebagian besar areal KHDTK Suban Jeriji saat ini telah dikuasai oleh masyarakat dan menjadi perkebunan karet. Perilaku komunikasi masyarakat ditengarai menjadi salah satu faktor berkembangnya penguasaan lahan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan perilaku komunikasi masyarakat dengan perilaku masyarakat dalam penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji. Penelitian dilakukan di KHDTK Suban Jeriji dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif korelasional, karena selain mendeskripsikan kondisi yang ada juga berupaya secara kualitatif menjelaskan hubungan di antara variabel yang diamati. Variabel yang diamati adalah karakteristik Individu, perilaku komunikasi dan perilaku masyarakat dalam penguasaan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik individu yang diindikasikan berpengaruh terhadap perilaku komunikasi adalah pendidikan dan pengetahuan. Perilaku komunikasi yang paling berperan dalam perilaku masyarakat terhadap penguasaan lahan adalah komunikasi interpersonal yaitu komunikasi dengan sesama petani karena didasari oleh asas kesamaan kepentingan. Perilaku komunikasi masyarakat baik melalui komunikasi interpersonal maupun komunikasi media massa dapat dikatakan pasif dalam hal mencari dan menerima informasi yang benar yang berkaitan dengan penguasaan lahan. Kata kunci: KHDTK Suban Jeriji, penguasaan lahan, perilaku komunikasi

I. PENDAHULUAN Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi penelitian dan pengembangan serta produksi benih. KHDTK Suban Jeriji terbentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.278/Menhut-II/2004 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Produksi Tetap Suban Jeriji Seluas ± 761,98 hektar menjadi KHDTK. Penunjukan KHDTK tidak disertai dengan penunjukan penanggungjawab pengelola KHDTK sehingga terjadi ketidakpastian dalam pengelolaannya. Tidak adanya pengelolaan di areal tersebut menyebabkan KHDTK mengalami banyak tekanan antara lain terjadinya penebangan liar (illegal logging), kebakaran dan penguasaan lahan oleh masyarakat. Pada tahun 2014 melalui Keputusan Kepala Badan Nomor SK.33/VIII-SET/2014, Balai Litbang LHK Palembang ditunjuk sebagai pengelola KHDTK Suban Jeriji. Namun, kondisi sebagian besar areal KHDTK telah dibuka oleh masyarakat menjadi perkebunan karet, singkong dan kelapa sawit. Bahkan beberapa areal yang belum dibuka pun telah diakui kepemilikannya oleh masyarakat. Rendahnya kesadaran masyarakat menjadi salah satu penyebab terjadinya penguasaan lahan secara masif di wilayah KHDTK Suban Jeriji. Perilaku komunikasi ditengarai sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kesadaran masyarakat karena dapat mempengaruhi tindakannya di lingkungan. Oleh karena itu perlu adanya penelitian yang mengkaji pengaruh perilaku komunikasi masyarakat terhadap penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan perilaku komunikasi masyarakat dengan perilaku masyarakat dalam penguasaan lahan di KHDTK 279


Suban Jeriji. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran untuk dijadikan acuan dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan di KHDTK Suban Jeriji. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji yang terletak di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. KHDTK Suban Jeriji merupakan salah satu KHDTK yang sejak akhir tahun 2014 pengelolaannya berada di bawah Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang. Penelitian dilakukan pada bulan April - Mei 2016. B. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan wawancara setelah sebelumnya dilakukan pra survei kepada masyarakat untuk mendapatkan gambaran awal lokasi penelitian dan untuk menjalin hubungan yang baik antara masyarakat dengan tim peneliti. Responden dalam penelitian ini merupakan Kepala Keluarga (KK) yang menguasai lahan di KHDTK Suban jeriji dengan Jumlah responden sebanyak 30 orang yang tersebar di Dusun 1, Dusun 2 dan Dusun 4, Desa Suban Jeriji. Dusun 3 tidak termasuk dalam wilayah penelitian karena letaknya yang jauh dari KHDTK Suban Jeriji dan tidak ada anggota masyarakatnya yang menguasai lahan di KHDTK Suban Jeriji. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja berdasarkan data-data yang telah diperoleh pada tahapan pra survey berkaitan dengan masyarakat yang menguasai lahan di KHDTK Suban Jeriji. C. Analisis Data Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif korelasional, karena selain mendeskripsikan kondisi yang ada juga berupaya menjelaskan secara kualitatif hubungan di antara variabel yang diamati. Variabel yang diamati adalah Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Perilaku Masyarakat dalam Penguasaan Lahan. Karakteristik Individu  Umur  Pendidikan  Pekerjaan  Pendapatan  Pengetahuan

Perilaku Masyarakat  Penguasaan Lahan  Membuka Lahan  Berkebun di Areal KHDTK

Perilaku Komunikasi  Saluran Komunikasi Interpersonal  Kontak dengan sesama petani  Kontak dengan aparat  Saluran Komunikasi Media Massa

Gambar 1. Hubungan antar variabel yang di amati

280


Data karakteristik individu dan perilaku komunikasi dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang dibahas secara kualitatif. Adapun kategori yang digunakan dalam mengukur beberapa karakteristik individu dirinci dalam Tabel 1. Tabel 1. Kategori yang digunakan dalam mengukur karakteristik responden. No

Karakteristik Responden

1

Umur

2

Pendidikan

3

Pendapatan

Satuan 0 s.d 14 tahun 15 s.d. 55 tahun > 56 tahun Tidak Sekolah s.d. SD SMP s.d. SMA Perguruan Tinggi 1 juta s.d. 3 juta 3 juta s.d. 6 juta > 6 juta

Kategori Tidak Produktif Usia Produktif Tidak Produktif Rendah Sedang Tinggi Rendah Cukup Tinggi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. KHDTK Suban Jeriji Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji merupakan KHDTK yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 278/MenhutII/2004 pada tanggal 2 Agustus 2004 dengan luas 761,98 hektar. KHDTK Suban Jeriji terletak di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

Gambar 2. Peta KHDTK Suban Jeriji

281


Sebelum ditunjuk sebagai KHDTK, areal tersebut merupakan areal produksi benih tanaman kehutanan yang dikelola oleh PT. INHUTANI V yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan benih tanaman kehutanan yang berkualitas tinggi bagi pembangunan hutan tanaman industri, reboisasi, penghijauan dan program lainnya. Selain memproduksi benih tanaman kehutanan berkualitas, areal tersebut juga menjadi areal uji coba beragam tanaman kehutanan fast growing species yang kemudian diimplementasikan dalam skala luas melalui pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP (Martin et al., 2015). Pada tahun 2000 kegiatan produksi benih dihentikan karena adanya alasan operasional yang dialami oleh PT. INHUTANI V. Pada tahun 2004 areal eks PT. INHUTANI V melalui Keputusan Menteri Kehutanan ditunjuk sebagai KHDTK Suban Jeriji. Namun, dikarenakan penunjukan areal KHDTK Suban Jeriji tidak diiringi dengan penunjukan penanggung jawab pengelolanya, membuat areal tersebut menjadi tidak terkelola. Tidak adanya pengelolaan di KHDTK Suban Jeriji membuat KHDTK mengalami banyak tekanan antara lain penebangan liar (illegal loging), kebakaran dan penguasaan lahan oleh masyarakat. Pada tahun 2014 melalui Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Nomor: SK.33/VIII-SET/2014 Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang yang saat ini telah berganti nama menjadi Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang, ditunjuk sebagai pengelola KHDTK Suban Jeriji. 2. Desa Suban Jeriji Desa Suban Jeriji terletak di Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Desa Suban Jeriji merupakan desa yang berbatasan langsung dengan KHDTK Suban Jeriji. Meski telah berdiri sejak tahun 1960-an, Desa Suban Jeriji baru diakui secara definitif pada tahun 2015. Hal ini dikarenakan Desa Suban Jeriji terletak di kawasan hutan yang usulan pelepasannya baru disetujui pada tahun 2014 melalui SK.866/Menhut-II/2014. Meski demikian, areal yang disetujui untuk dilepaskan hanyalah areal pemukiman masyarakat seluas 165,86 hektar, sedangkan wilayah perkebunan masyarakat masih berada pada kawasan hutan. Desa Suban Jeriji terdiri dari 4 (empat) dusun dengan jumlah penduduk mencapai 3.809 jiwa dan luas wilayah 122,09 km2 (BPS, 2016). Masyarakat Desa Suban Jeriji merupakan masyarakat heterogen yang berasal dari berbagai wilayah nusantara diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Papua. Masyarakat Desa Suban Jeriji juga terdiri dari berbagai suku dan etnis, antara lain Suku Sunda, Jawa, Batak hingga etnis Tionghoa. Walaupun terdiri dari berbagai suku dan etnis, karena telah mengalami akulturasi budaya maka perbedaan di antara masyarakat tidak menjadi berarti lagi. Hal ini terlihat dari letak pemukiman masyarakat yang bersifat membaur antara suku satu de ga suku lai ya. Masyarakat ke udia e juluki “u a Jeriji se agai “i gapura Ke il kare a ke eradaa eraga et is da suku ya g erada di ilayah i i da ikata kekeluargaan yang tidak erat antar anggota masyarakatnya. Sebagian besar masyarakat di Desa Suban Jeriji menggantungkan hidupnya dari berkebun karet. Berkebun karet merupakan sumber pendapatan utama yang berkembang pesat di masyarakat setelah berakhirnya kegiatan pertambangan minyak di wilayah tersebut. Pertambangan minyak merupakan cikal bakal dari berdirinya Desa Suban Jeriji yang diawali dengan ditemukannya minyak oleh Kolonial Belanda pada tahun 1917 dan dimulainya pertambangan minyak pada tahun 1923. Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1947, pertambangan besar-besaran dimulai kembali oleh Badan Pertambangan Minyak (BPN) yang dilanjutkan oleh PT. SEL yang merupakan pecahan dari 282


BPN dan dilanjutkan oleh Perusahaan Minyak Negara (Pertamin) yang saat ini dikenal dengan PERTAMINA. Pada awalnya masyarakat pendatang dari Jawa dan lain-lain bekerja sebagai karyawan atau buruh pada perusahaan tersebut, namun dengan berakhirnya kegiatan pertambangan minyak dan diiringi pertumbuhan masyarakat yang pesat membuat sebagian besar masyarakat beralih membuka lahan untuk kegiatan perkebunan. B. Karakteristik Responden yang Mempengaruhi Perilaku Komunikasi Karakteristik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku komunikasi seseorang. Bettinghaus (1973) menyatakan dalam hubungannya dengan perilaku komunikasi dan adopsi inovasi, terdapat beberapa karakteristik sosial ekonomi yang berhubungan dengan perilaku komunikasi antara lain umur, pendidikan, pengetahuan dan pendapatan. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, pekerjaan utama, pendapatan dan pengetahuan. Tabel 2. Karakteristik responden penelitian. Karakteristik No Satuan Responden 10 – 29 1 Umur 30 – 49 50 – 69 > 70 Rata-rata Tidak Sekolah 2 Pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi 3 Pekerjaan Tani PNS Buruh Tani Pekerja MHP 4 Pendapatan < Rp. 1 juta 1 juta s.d. 3 juta 3 juta s.d. 6 juta > 6 juta 5 Pengetahuan Pengetahuan mengenai areal eks Inhutani Pengetahuan kondisi saat masih dikelola Inhutani Keterlibatan dalam pengelolaan lahan Inhutani Pengetahuan mengenai pengelolaan Inhutani Pengetahuan mengenai larangan berkebun di Inhutani Sumber: Data Primer Hasil Penelitian (diolah)

283

Responden Jumlah % 2 6,67 13 43,33 14 46,67 1 3,33 48 Tahun 1 3,33 19 63,33 6 20,00 4 13,33 0 0,00 18 60,00 0 0,00 6 20,00 6 20,00 0 10,00 21 70,00 6 20,00 3 10,00 27 90,00 17

56,67

9

30,00

11

36,67

1

3,33


Sebagian besar responden berada pada kisaran usia 30 - 69 tahun, yang artinya masih berada pada usia produktif namun menjelang usia non produktif. Usia umumnya menunjukkan pengetahuan seseorang berdasarkan pengalamannya. Semakin tua umur seseorang maka semakin tinggi tingkat pengetahuannya karena semakin banyak pengalaman yang telah didapatkannya. Bajari (1995) mengatakan bahwa usia berhubungan dengan perilaku komunikasi seperti curahan waktu untuk melakukan kontak komunikasi dengan media massa dan saluran interpersonal. Semakin berumur seseorang semakin tinggi curahan waktu untuk melakukan kontak komunikasinya. Pendidikan berhubungan nyata dengan perilaku komunikasi dalam hal ini perilaku mencari informasi dan menyebarkan informasi (Ichwanudin, 1998). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi daya pikir dan kemampuan yang dimiliki dalam mencari dan menyebarkan informasi. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula kemampuannya untuk menanggapi, menyaring, menerima dan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu (Susiatik, 1998). Pendidikan rata-rata responden adalah Sekolah Dasar (SD) dengan pekerjaan utama sebagai petani. Rendahnya pendidikan rata-rata masyarakat menyebabkan kurangnya daya pikir masyarakat dalam menerima dan menyampaikan informasi. Masyarakat cenderung menerima informasi apa adanya tanpa mengecek kebenaran dari informasi yang diterima terutama informasi yang menguntungkan dirinya. Pekerjaan utama sebagian besar responden adalah bertani, hanya sedikit masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi buruh tani atau sebagai karyawan perusahaan HTI. Bertani merupakan pekerjaan utama masyarakat terutama pasca berakhirnya pertambangan minyak di Suban Jeriji. Karena bergantung pada kegiatan bertani, masyarakat membutuhkan lahan untuk kegiatannya tersebut. Pendapatan rata-rata masyarakat masih rendah berkisar antara 1 hingga 3 juta rupiah. Pendapatan berpengaruh nyata terhadap perilaku komunikasi terutama dalam mencari informasi. Masih rendahnya pendapatan masyarakat dapat berpengaruh pada tindakan masyarakat yang cenderung akan terus mengekspansi kawasan hutan di KHDTK Suban Jeriji. KHDTK Suban Jeriji merupakan areal eks Sumber Benih yang dikelola oleh PT. INHUTANI V. Oleh karena itu, masyarakat lebih mengenal KHDTK Suban Jeriji sebagai lahan eks INHUTANI. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan masyarakat masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari ketidaktahuan masyarakat mengenai larangan pembukaan lahan di areal eks INHUTANI walaupun sebagian besar masyarakat mengetahui mengenai areal tersebut dan mengetahui bagaimana kondisi lahan sebelum ditunjuk menjadi KHDTK. Kurangnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat menunjukkan masih minimnya informasi yang seharusnya mereka terima. Masyarakat menjadi lebih mudah menerima informasi-informasi yang lebih sesuai dengan pendapatnya dan dapat menguntungkan mereka, sebagai contoh adalah pidato calon Bupati pada tahun 2010 yang membolehkan masyarakat untuk membuka lahan. Dikarenakan ketidaktahuan masyarakat mengenai aturan dalam pengelolaan kawasan hutan, mereka menganggap informasi yang disampaikan oleh calon Bupati tersebut adalah informasi yang benar sehingga mereka berbondong-bondong membuka kawasan hutan di KHDTK Suban Jeriji. C. Penguasaan Lahan di KHDTK Suban Jeriji Dikarenakan tidak adanya pengelolaan di KHDTK Suban Jeriji sejak ditunjuknya KHDTK Suban Jeriji pada tahun 2004 hingga ditunjuknya BP2LHK Palembang sebagai pengelola KHDTK Suban Jeriji pada tahun 2014, kondisi KHDTK Suban Jeriji sebagian besar 284


sudah dikuasai oleh masyarakat. Tidak hanya dikuasai oleh masyarakat sekitar KHDTK Suban Jeriji juga dikuasai oleh masyarakat luar. Hasil penelitian menunjukan, pihak-pihak yang menguasai areal KHDTK Suban Jeriji saat ini adalah: 1. Masyarakat lokal Masyarakat lokal merupakan masyarakat yang paling banyak menguasai lahan di KHDTK Suban Jeriji. Masyarakat lokal ini berasal dari Desa Suban Jeriji yang merupakan desa yang berbatasan langsung dengan KHDTK Suban Jeriji. Walaupun demikian, luas lahan yang dikuasai masyarakat lokal hanya dalam luasan kecil (sekitar 2 hektar) karena terkendala pada kemampuannya. Tujuan masyarakat lokal menguasai lahan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian kecil masyarakat lokal memiliki beberapa bidang lahan dengan luasan lebih dari 4 hektar. Masyarakat lokal yang memiliki beberapa bidang lahan dengan luasan lebih dari 4 hektar merupakan masyarakat lokal yang memiliki finansial tinggi yang tidak menggantungkan hidupnya hanya pada kegiatan bertani. Masyarakal lokal kategori ini umumnya adalah tokoh masyarakat yang telah turun menurun memiliki lahan luas di wilayah tersebut. 2. Masyarakat luar yang menetap (pendatang) Masyarakat luar yang menetap (pendatang) merupakan masyarakat yang berasal dari luar wilayah Suban Jeriji yang mulai berkebun dan menetap di areal KHDTK Suban Jeriji. Masyarakat ini secara tidak langsung dapat memberi pengaruh pada masyarakat lokal dalam hal pemilihan jenis tanaman, sebagai contoh pendatang dari Lampung yang memperkenalkan tanaman ubi racun sebagai komoditas budidayanya. 3. Masyarakat luar yang tidak menetap. Masyarakat luar yang tidak menetap merupakan masyarakat yang berasal dan menetap di luar wilayah Suban Jeriji namun memiliki lahan di kawasan KHDTK. Masyarakat yang tergolong kategori ini hanya berjumlah beberapa orang saja tetapi merupakan masyarakat yang memiliki kemampuan finansial tinggi. Walaupun hanya terdiri dari beberapa orang, penguasaan lahan yang dimilikinya sangat luas dimana setiap orang menguasai lahan lebih dari 20 hektar. Mereka memperoleh lahan dengan cara membeli dari oknum desa ataupun masyarakat sekitar KHDTK Suban Jeriji. Tujuan penguasaan lahan yang dilakukan adalah sebagai investasi. Luas Lahan KHDTK yang Dikuasai Masyarakat

13%

Banyaknya Bidang Lahan Yang Dimiliki Masyarakat

< 4 hektar 4-8 hektar

23% 64%

> 8 hektar

1 bidang

15% 17%

2 bidang 53%

15%

3 bidang > 4 bidang

Gambar 3. Penguasaan lahan oleh masyarakat Penguasaan lahan yang melebihi 1 bidang dimiliki oleh masyarakat yang memiliki modal dimana umumnya merupakan masyarakat yang pendapatannya bukan hanya 285


berasal dari kegiatan bertani. Pembukaan lahan dilakukan secara bertahap dan lahan yang dimiliki umumnya tersebar di beberapa tempat. Masyarakat yang memiliki lahan lebih dari 4 bidang merupakan masyarakat luar yang tidak menetap dan memiliki kemampuan finansial tinggi. Mereka membayar penduduk setempat atau pendatang untuk mengelola lahan yang dimilikinya dengan sistem gaji per bulan atau sistem bagi hasil bagi lahan yang sudah mulai menghasilkan. D. Perilaku Komunikasi Masyarakat Terhadap Penguasaan Lahan di KHDTK Suban Jeriji Perilaku adalah segala tindakan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas 2001). Sedangkan komunikasi merupakan proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian (Rogers dan Kincaid, 1981). Dengan demikian perilaku komunikasi dapat dikatakan sebagai tindakan manusia dalam melakukan pertukaran informasi yang dapat menciptakan kesamaan persepsi satu dengan yang lainnya. Wahyudi (2004) menyatakan perilaku komunikasi adalah aktivitas responden dalam mencari atau menerima komunikasi melalui saluran interpersonal, media cetak, dan media elektronik. Perilaku komunikasi seseorang akan berpengaruh pada tindakannya dalam lingkungan, karena menurut Berlo (1973) dalam Yusmasari (2003), perilaku seseorang akan menjadi kebiasaan pelakunya, karena pada dasarnya seseorang akan melakukan kegiatan komunikasi sesuai dengan tujuan dan kebutuhan berdasarkan penalarannya sendiri. Begitupun perilaku komunikasi masyarakat terhadap penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji. Perilaku komunikasi yang terjadi di masyarakat telah membentuk persepsi tersendiri dalam hal penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji. Persepsi yang terbentuk di masyarakat telah mempengaruhi tindakan masyarakat dalam penguasaan lahan, dimana masyarakat menganggap penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji adalah hal umum yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan. Berdasarkan hasil penelitian terdapat dua saluran perilaku komunikasi yang terjadi di masyarakat sekitar kawasan yaitu saluran komunikasi interpersonal dan saluran komunikasi media massa. 1. Saluran Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal atau komunikasi tatap muka adalah komunikasi yang terjadi langsung antara pemberi informasi dan pencari informasi. Menurut Rakhmat (2001) komunikasi interpersonal dapat dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Komunikasi interpersonal mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk persepsi masyarakat karena dilakukan langsung secara tatap muka sehingga informasi yang disampaikan lebih rinci dan tingkat pemahaman pesan akan lebih tinggi. Tingkat Pengetahuan masyarakat yang rendah mengenai penguasaan lahan disertai dengan kebutuhan yang tinggi akan lahan membuat informasi yang salah mengenai penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji diterima begitu saja oleh masyarakat dan dianggap sebagai informasi yang benar. Masyarakat sekitar kawasan KHDTK Suban Jeriji menyadari sepenuhnya bahwa areal yang mereka kuasai adalah milik negara, namun berdasarkan informasi yang di terima mereka diizinkan untuk menguasai lahan di areal tersebut agar lahan tidak terlantar. Komunikasi interpersonal yang terjadi di masyarakat sekitar KHDTK Suban jeriji adalah:

286


a. Kontak dengan sesama petani Perilaku komunikasi khususnya kontak dengan sesama petani untuk mencari dan memberi informasi dipengaruhi oleh faktor situasional yaitu kesamaan kepentingan dalam hal kebutuhan akan lahan. Atas dasar kesamaan kepentingan tersebut, masyarakat saling berkomunikasi satu dengan lainnya untuk memberi dan mencari informasi mengenai lahan-lahan kosong yang masih dapat dikuasai. Hasil penelitian menunjukkan informasi mengenai kondisi lahan di KHDTK Suban Jeriji diperoleh melalui pengamatan sendiri, dari sesama petani, dan dari calon bupati. Sumber Informasi Penguasaan Lahan di KHDTK SUban Jerji 14 12 10 8 responden

6 4 2 0

Pengamatan Sendiri

Sesama Petani

Calon Bupati

Gambar 4. Sumber informasi penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji Kontak dengan sesama petani merupakan komunikasi yang paling banyak dilakukan dan memiliki peranan paling besar dalam membentuk persepsi masyarakat. Perilaku komunikasi yang dilakukan dengan sesama petani terutama adalah memberi dan mencari informasi mengenai lahan KDHTK yang belum dikuasai masyarakat. Masyarakat saling memberi dan mencari informasi satu sama lainnya mengenai tempat-tempat dimana lahan KHDTK yang masih berpotensi untuk dikuasai maupun sudah dikuasai oleh masyarakat. Oleh karena itu, jarang ditemukan adanya double claim dalam penguasaan lahan oleh masyarakat. b. Kontak dengan aparat Komunikasi interpersonal terutama kontak dengan aparat kehutanan masih dalam kategori sangat rendah. Tidak pernah adanya penyuluhan mengenai aturan dan fungsi kawasan hutan dari aparat terkait menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penguasaan lahan. Sebagian besar masyarakat mengatakan aparat baik aparat desa maupun aparat kehutanan yang bertugas disana tidak pernah menegur masyarakat yang menguasai lahan KHDTK. Hal ini menjadi pembenaran bagi masyarakat bahwa penguasaan lahan pada areal KHDTK bukan suatu kesalahan karena tujuan masyarakat dalam menguasai lahan adalah untuk mengelola lahan agar tidak rusak dan terbakar karena tidak adanya pengelolaan. 2. Saluran Komunikasi Media Massa Komunikasi media massa ialah bentuk komunikasi dimana individu atau masyarakat mencari dan menyebarkan informasi melalui media massa baik berupa media cetak maupun media elektronik. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar masyarakat menggunakan media elektronik berupa televisi untuk mencari informasi. Umumnya kegiatan menonton TV dilakukan setelah kegiatan berkebun selesai yaitu sore hingga 287


malam hari. Walaupun demikian, tingkat komunikasi media massa melalui media elektronik tergolong sangat rendah, dimana masyarakat menggunakan media hanya untuk sekedar mencari hiburan saja. Komunikasi media massa melalui media cetak hanya dilakukan oleh sebagian kecil responden saja. Jenis komunikasi melalui media cetak adalah dengan menggunakan surat kabar. Mencari informasi melalu media cetak umumnya hanya dilakukan oleh kalangan tertentu. Karena dengan tingkat pendapatan yang masih tergolong rendah, petani lebih memilih untuk membelanjakan uangnya untuk membeli kebutuhan sehari-hari daripada untuk membeli surat kabar. Selain itu, petani lebih memilih untuk menonton TV daripada membaca surat kabar. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku komunikasi masyarakat. Karakteristik yang paling berpengaruh dalam perilaku komunikasi masyarakat adalah faktor pendidikan dan pengetahuan. Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang rendah menyebabkan tersampaikannya informasi yang salah yang akhirnya membentuk persepsi yang berpengaruh terhadap perilaku komunikasinya. Perilaku komunikasi yang paling berperan dalam perilaku masyarakat terhadap penguasaan lahan adalah komunikasi interpersonal yaitu komunikasi dengan sesama petani karena didasari oleh asas kesamaan kepentingan. Perilaku komunikasi masyarakat baik melalui komunikasi interpersonal maupun komunikasi media massa dapat dikatakan pasif dalam hal mencari dan menerima informasi yang benar yang berkaitan dengan penguasaan lahan. Pendekatan secara langsung dan berkesinambungan perlu dilakukan oleh pihakpihak terkait untuk mengubah persepsi dan memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat dalam hal penguasaan lahan pada kawasan hutan. DAFTAR PUSTAKA Bajari, A. 1995. Hubungan karakteristik sosiodemografi, motif menonton tv dan keterdedehan pada tv satelit dengan pencarian informasi oleh penonton siaran tv satelit di dua desa di Jawa Barat [Tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bettinghaus, E.P. 1973. Persuasive communication. New York, Holt, Reinhart and Winston, Inc. BPS. 2016. Kecamatan Rambang Dangku dalam angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim. Muaran Enim. Departemen Pendidikan Nasional [Depdiknas]. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed ke-3. Jakarta. Balai Pustaka. Ichwanudin. 1998. Hubungan perilaku komunikasi peserta Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) dengan adopsi Program Sapta Pesona di Kabupaten Sukabumi [Tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martin, E., Winarno, B., Nurlia, A., Herdiana, N., dan Rahman, T.S. 2015. Laporan hasil penelitian kemitraan pengelolaan KHDTK Suban Jeriji. Balai Penelitan Kehutanan Palembang. Palembang. 288


Rakhmat, J. 2001. Metode penelitian komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Rogers, E.M. dan Kincaid, D.L. 1981. Communication networks: Towar a new paradigm for research. Printing 10. The Free Press. A Division of MacMilan Publishing Co. Inc, New York. Susiatik, T. 1998. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Kegiatan PDHT di desa Mojorebo, Kec. Wirosari, Kab. Grobogan – Jawa Tengah [Tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wahyudi, S. 2004. Perilaku komunikasi anggota masyarakat sekitar hutan terhadap pelestarian hutan [Tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yusmayasari. 2003. Perilaku komunikasi masyarakat terhadap manfaat dan pelestarian mangrove di Desa Pematang Pasir Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan [Tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

289


290


PROSES AWAL NEGOSIASI PENGUASAAN LAHAN OLEH MASYARAKAT PADA KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS (KHDTK) SUBAN JERIJI, SUMATERA SELATAN Bondan Winarno*, Ari Nurlia*, Edwin Martin*, Teten Rahman S Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang *

E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK Pendekatan sosial melalui negosiasi menjadi langkah awal yang penting dalam mengelola konflik yang melibatkan masyarakat di berbagai kawasan hutan saat ini, termasuk di KHDTK Suban Jeriji. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan perkembangan penguasaan lahan oleh masyarakat di KHDTK Suban Jeriji dan proses awal negosiasi dalam rangka mencari solusi dalam pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok fokus, penelusuran dokumentasi, dan observasi kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Pengelolaan KHDTK Suban Jeriji mengalami dinamika pengelolaan yang panjang sejak tahun 1979/1980 dengan pengelola yang bergantian antara institusi perusahaaan kehutanan milik negara dan institusi pemerintah di bidang kehutanan. Kawasan ini dibangun sebagai areal produksi benih. Transisi pengelolaan yang berlangsung dari tahun 2000 dan penebangan kayu untuk rencana pembangunan Pusat Perlebahan Sumatera Selatan yang gagal telah memicu terjadinya pembalakan ilegal yang diikuti klaim lahan oleh masyarakat untuk kebun karet. Hal ini semakin intensif terjadi pada tahun 2010/2011 karena tidak adanya lembaga yang aktif mengelola, minim monitoring dan lemahnya penegakan hukum serta kebutuhan lahan yang meningkat dengan pelaku klaim lahan berasal dari masyarakat lokal Desa Suban Jeriji, pendatang dan masyarakat dari luar. BP2LHK Palembang ditunjuk untuk mengelola kawasan tersebut pada akhir 2014 dengan kondisi sebagian besar telah dikuasai dan dikelola masyarakat dalam bentuk semak belukar dan kebun karet. Pendekatan sosial melalui negosiasi menunjukkan bahwa masyarakat masih mengakui lahan tersebut merupakan kawasan hutan dan bersedia untuk mencari solusi terbaik. Tahap negosiasi baru berada pada tahap mengubah asumsi dan prioritas masing-masing pihak menuju kerjasama yang saling menguntungkan. Hal itu juga dilakukan melaui pembangunan demplot agroforestri bersama masyarakat. Monitoring kawasan, komunikasi intensif dan diskusi yang konstruktif dengan para pihak di tingkat tapak diperlukan untuk merencanakan pengelolaan lahan yang adaptif dan praktis. Membangun kepercayaan melalui komitmen dan konsistensi tim negosiasi menjadi penting untuk dilakukan. Kata kunci: demplot agroforestri, hutan penelitian, masyarakat, negosiasi, penguasaan lahan.

I. PENDAHULUAN Konflik kepentingan dalam pengelolaan hutan terus terjadi di berbagai kawasan hutan sampai dengan saat ini. Jumlah konflik agraria di sektor kehutanan menurut catatan KPA (2015) mencapai luas 52.176 ha dan berada di peringkat ke dua terbesar setelah sektor perkebunan. Di sisi lain, pertimbangan terhadap komponen sosial dalam pengelolaan hutan di Indonesia belum berkembang walaupun berbagai program pendukung telah banyak dilakukan (Darusman, et al., 2013; Kartodihardjo, 2013; Wibowo, 2013; Sardjono, 2013; Suharjito, 2013). Pendekatan sosial dalam pengelolaan hutan sebenarnya berpotensi dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di kawasan hutan. Program-program perhutanan sosial yang belum berkembang terjadi karena pendekatan yang digunakan masih bersifat konvensional (Sardjono, 2013). Hal ini belum mampu meredam konflik yang terjadi di kawasan hutan. Konsep pertumbuhan hijau dapat menjadi pendekatan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan kawasan hutan yang rawan konflik. Konsep ini bermakna mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dengan mempertimbangkan kondisi 291


lingkungan beserta sumberdayanya bagi keberlanjutan manfaat barang dan jasa bagi kehidupan manusia (OECD, 2011). Dalam konteks Indonesia, pertumbuhan hijau yang diharapkan terdiri dari: (1) Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan; (2) Pertumbuhan yang inklusif dan setara; (3) Resiliensi ekonomi, sosial dan lingkungan; (3) Ekosistem yang sehat dan produktif dalam menyediakan berbagai jasa, dan; (5) Pengurangan emisi gas rumah kaca (Govenment of Indonesia-GGGI Green Growth Program, 2015). Dalam konteks konflik dalam kawasan hutan, berbagai aspek perlu dipertimbangkan dalam rangka mencari solusi yang dapat mewujudkan pengelolaan hutan yang memberikan manfaat sosial ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan. Langkah awal yang penting dalam mengelola konflik yang melibatkan masyarakat di berbagai kawasan hutan saat ini adalah pendekatan sosial melalui proses negosiasi selain mediasi. Negosiasi merupakan bentuk pembuatan keputusan yang melibatkan pembicaraan dua pihak atau lebih sebagai upaya menyelaraskan kepentingan yang berbeda-beda (Pruitt, 1993 dalam Engel dan Korf, 2005). Permasalahan konflik di tingkat tapak, seperti penguasaan lahan oleh masyarakat di KHDTK Suban Jeriji, dapat dicarikan pilihan penyelesaian melalui negosiasi sehingga konflik dapat segera diakhiri. Pendekatan sosial dan prinsip-prinsip dasar negosiasi dari Fisher, et al., (2003) yang dikombinasikan dengan teknik negosisasi dari Engel dan Korf (2005) diimplementasikan pada kasus ini. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan perkembangan penguasaan lahan oleh masyarakat di KHDTK Suban Jeriji dan proses awal negosiasi dalam rangka mencari solusi dalam pengelolaan kawasan hutan yang melibatkan peran aktif masyarakat. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji dan Desa Suban Jeriji, Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dari bulan Mei 2015-Juli 2016. KHDTK ini merupakan kawasan hutan yang baru diserahkan pengelolaannya kepada manajemen Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang pada akhir tahun 2014. Kegiatan dari manajemen yang dapat dilakukan sementara ini hanya monitoring kawasan yang tidak rutin dilakukan karena keterbatasan anggaran. B. Pengumpulan dan Analisis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara mendalam, diskusi kelompok, dan penelusuran dokumentasi terkait keberadaan KHDTK Suban Jeriji. Wawancara mendalam dilakukan terhadap aparat Desa Suban Jeriji (5 orang), tokoh masyarakat dan petani yang menguasai lahan KHDTK (8 orang), staf Dinas Kehutanan Kabupaten Muara Enim (2 orang), mantan pegawai PT INHUTANI V (1 orang). Diskusi kelompok dilakukan dengan 2 kelompok masyarakat yang menguasai lahan KHDTK Suban Jeriji. Data yang diperoleh kemudian dipilah dan dikelompokkan berdasarkan topik yang akan dibahas. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menghubungkan dan mengamati konsistensi informasi yang diperoleh serta melakukan cek ulang terhadap berbagai informasi dari responden yang berbeda.

292


III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penguasaan Lahan KHDTK Suban Jeriji oleh Masyarakat Pada tahun 2004, Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji ditunjuk Kementerian Kehutanan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan. Hal spesifik mengenai pengelola areal tersebut tidak dijelaskan dalam surat penunjukkan. Baru kemudian pada akhir bulan Desember tahun 2014 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang ditunjuk oleh Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan menjadi pengelola KHDTK Suban Jeriji. Kondisi areal tersebut saat ini sebagian besar telah dikuasai oleh pihak lain karena lamanya tidak ada pengelolaan terhadap areal tersebut dan menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaannya. Penguasaan lahan KHDTK Suban Jeriji oleh masyarakat sebenarnya belum berlangsung lama dan dilakukan secara perlahan. Penguasaan lahan dilakukan mulai tahun 2000-2005 oleh sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkan areal bekas tebangan liar. Dalam skala luasan tertentu antara 1-3 ha, tergantung kemampuan masyarakat, lahan bekas tebangan ditebas oleh masyarakat sebagai tanda penguasaan lahan dan dalam rangka persiapan lahan. Budidaya tanaman palawija dilakukan pada awal pengelolaan lahan. Setelah panen palawija dan tidak ada teguran dari pihak yang berwenang, masyarakat menanam karet secara bertahap dan melakukan budidaya palawija kembali. Penanaman karet terus dilakukan sesuai dengan kemampuan masyarakat. Masyarakat melakukan hal ini secara hati-hati karena khawatir sewaktuwaktu digusur, sedangkan masyarakat lainnya yang tidak membuka lahan takut akan kemungkinan risiko kerugian akibat penggusuran yang dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga memilih menunggu dan mengamati kondisi. Masyarakat semakin ekstensif dan intensif dalam penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji pada tahun 2011-2012. Pada era itu banyak pendatang yang juga melakukan penguasaan lahan pada kawasan tersebut. Kehadiran para pendatang diinisiasi melalui informasi dan fasilitasi oknum masyarakat Desa Suban Jeriji yang menawarkan lahan dengan harga murah. Penguasaan lahan yang semakin masif di kawasan tersebut disebabkan oleh 3 faktor utama berikut: 1. Masa transisi pengelolaan KHDTK Suban Jeriji tanpa pengelolaan aktif setelah tidak dikelola oleh PT. INHUTANI. Hal ini menjadikan kawasan tersebut dipandang sebagai lahan bebas untuk dikelola oleh masyarakat karena tidak ada pengawasan dan pelarangan serta tindakan tegas terhadap masyarakat yang mengelola lahan. 2. Minim monitoring dan lemahnya penegakan hukum. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi salah satu faktor penting terjadinya penguasaan lahan oleh masyarakat yang semakin luas di kawasan hutan (Tahyudin, 2014). Kondisi ini memiliki implikasi yang luas terhadap kegiatan pembalakan ilegal yang semakin intensif terjadi dan tidak terkendali sehingga menyisakan areal semak belukar tidak produktif dan rawan kebakaran. Dampak lanjutannya adalah upaya penguasaan lahan kawasan hutan oleh masyarakat untuk pembangunan kebun karet rakyat. Upaya pengamanan kawasan oleh aparat Dinas Kehutanan setempat tidak mampu menahan upaya penguasaan lahan yang terjadi karena terbatasnya monitoring dan lemahnya penegakan hukum. Selain itu, tidak ada upaya pengelolaan kawasan semakin memberikan peluang bagi berbagai pihak dalam menguasai kawasan hutan. 3. Kebutuhan lahan untuk areal perkebunan masyarakat yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Tahyudin (2014) juga menerangkan faktor 293


pertambahan penduduk yang disertai peningkatan kebutuhan lahan yang mendorong masyarakat untuk menguasai kawasan hutan di Suaka Margasatwa Bentayan. Perkembangan jumlah penduduk yang terus bertambah menjadikan kelompok permukiman berkembang menjadi desa yang diakui secara administratif. Berhentinya penambangan minyak telah mengalihkan sumber penghidupan masyarakat menjadi pengelola lahan. Kawasan desa masih berada di dalam kawasan hutan dan baru pada tahun 2014 kawasan permukiman desa dikeluarkan dari kawasan hutan. Namun hampir seluruh lahan usaha masyarakat, dalam bentuk perkebunan karet, sampai dengan saat ini masih berada di dalam kawasan hutan. Areal desa yang dikelilingi kawasan hutan menjadikan upaya perluasan lahan usaha masyarakat dilakukan ke dalam kawasan hutan yang selama ini tidak dikelola negara, termasuk di KHDTK Suban Jeriji. Penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji dilakukan tidak hanya oleh masyarakat lokal tetapi juga oleh masyarakat dari luar Suban Jeriji. Oknum masyarakat lokal membuka akses kepada masyarakat luar untuk menguasai lahan kawasan hutan tersebut elalui pe elia ya g di kala ga asyarakat dise ut ga ti te asa . “eda gka masyarakat lokal secara umum menguasai KHDTK Suban Jeriji dengan menandai penguasaan lahan melalui rintisan dan papan nama dengan luasan lahan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Cara-cara penguasaan lahan oleh para pihak di KHDTK Suban Jeriji dilakukan melalui: 1. Merintis lahan-lahan bekas kebakaran, lahan-lahan bekas pembalakan liar, dan alangalang secara perorangan maupun berkelompok. Bila kondisi lahan mudah diakses dan kondisi tutupan lahannya relatif mudah untuk dibersihkan, seperti areal bekas pembalakan liar, penguasaan lahan dilakukan secara perseorangan. Penguasaan lahan dilakukan secara berkelompok bila letak lahan relatif sulit diakses dan kondisi lahan berupa semak belukar. Selain itu, kekhawatiran masyarakat terhadap kemungkinan terhadap pengusiran oleh aparat kehutanan yang mungkin terjadi juga mendorong masyarakat untuk menguasai lahan secara berkelompok. Walaupun dilakukan secara berkelompok namun masing-masing anggota kelompok bebas menentukan luasan lahan yang dikuasai berdasarkan kemampuannya masing-masing. Tanda penguasaan lahan bila tidak langsung dikelola biasanya berupa rintisan batas dan patok dari kayu. 2. Pe elia laha de ga istilah ga ti te as te a g . Hal i i dilakuka oleh asyarakat dari luar Suban Jeriji dan sebagian kecil masyarakat Suban Jeriji yang memiliki kemampuan untuk membeli lahan. Seperti diuraikan sebelumnya, perantara yang merupakan warga lokal menjadi penghubung antara penguasa lahan yang ingin menjual lahannya dengan calon pembeli lahan dari luar Desa Suban Jeriji. Perantara juga berasal dari masyarakat pendatang yang menawarkan lahan kepada kerabatnya yang ada di daerah lain. Lahan yang dibeli dapat berupa semak belukar bekas kebakaran dan kebun karet. Kondisi lahan yang saat ini dikuasai para pihak di KHDTK Suban Jeriji bervariasi tergantung kepada kemampuan modal untuk pengelolaan lahan yang dimiliki masingmasing penguasa lahan dan orientasi penguasaan. Sebagian besar lahan yang dikuasai para pihak saat ini berupa kebun karet (kebun karet muda dan kebun karet sedang disadap). Sebagian lainnya berupa kebun karet gagal yang tidak lagi dikelola karena kebakaran dan serangan hama. Semak belukar bekas areal pembalakan ilegal dan kebakaran juga masih dapat ditemui di KHDTK ini dan telah dikuasai oleh masyarakat. Semak belukar ini belum dikelola karena keterbatasan modal yang dimiliki oleh penguasa 294


lahan dan belum menjadi prioritas untuk dikelola. Lahan tersebut sewaktu-waktu dapat dialihka kepada pihak lai elalui pe juala ya g ereka se ut ga ti te asa . “aat ini, sulit untuk mengidentifikasi lahan di KHDTK Suban Jeriji yang belum dikuasai pihak lain. Lahan KHDTK yang belum dikuasai pihak lain terletak relatif jauh dari permukiman dengan akses yang sulit dengan kondisi tutupan lahan berupa semak belukar. Namun identifikasi dan delineasi terhadap lahan tersebut sampai dengan saat ini belum dilakukan oleh pengelola. Pembangunan kebun karet menjadi tujuan utama penguasaan lahan yang dilakukan pada kawasan hutan KHDTK Suban Jeriji karena komoditas karet terbukti telah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat selama puluhan tahun. Karet menjadi komoditas penting bagi masyarakat dan getah karet menjadi sumber pendapatan utama. Hasil dari getah karet tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat namun juga mampu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, biaya anak sekolah, dan bahkan untuk investasi usaha. Pasar getah karet telah terbentuk sejak dulu dan sangat mudah pemasarannya di sekitar desa. Harga getah karet yang kadangkala fluktuatif tidak menyurutkan masyarakat untuk membangun kebun karet. Sampai dengan saat ini tidak ada komoditas lain yang mampu menyaingi nilai manfaat sosial ekonomi dari karet sehingga monokultur karet menjadi pilihan utama intensifikasi dan ekstensifikasi lahan oleh masyarakat. Tabel 1. Dinamika pengelolaan dan penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji. Tahun Uraian Aktivitas Para Pihak di KHDTK Suban Jeriji 2000 PT. INHUTANI V tidak lagi melakukan pengelolaan terhadap KHDTK Suban Jeriji yang ketika itu dikenal sebagai kawasan sumber benih. Aktivitas rencana pembangunan Pusat Perlebahan Sumatera Selatan (Pusbahsus) melalui penebangan pohon untuk pembukaan lahan areal tanaman pakan lebah dilakukan. Izin Pusbahsus tidak diberikan oleh Kementerian Kehutanan dan lahan yang telah dibuka terbengkalai. Sebagian kecil masyarakat mulai mengamati peluang penggunaan lahan KHDTK Suban Jeriji untuk dikelola menjadi kebun. Kondisi ini juga membuka peluang terjadinya pembalakan liar. 2001-2004 Pembalakan liar disertai penguasaan lahan mulai terjadi. Aktor pembalakan liar adalah para pihak dari luar Desa Suban Jeriji. Penguasaan lahan dilakukan oleh masyarakat Suban Jeriji melalui penanaman palawija dan secara bertahap kemudian ditanami karet. Kondisi ini terjadi pada spot-spot tertentu yang relatif mudah diakses dengan luasan yang kecil. Agustus 2004 Penunjukkan kawasan hutan menjadi KHDTK Suban Jeriji oleh Menteri Kehutanan. 2004-2010 Kebakaran hutan dan lahan banyak terjadi di dalam areal KHDTK Suban Jeriji. Pembalakan liar terus terjadi dan disertai klaim lahan oleh masyarakat Suban Jeriji untuk dijadikan kebun karet. Pada tahun 2010 pembalakan liar semakin marak terjadi.

295

Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Lanjutan.

2011-2012

Pembalakan liar semakin intensif terjadi dan klaim masyarakat pada lahan KHDTK Suban Jeriji semakin luas. Jual beli lahan marak terjadi yang mendorong penguasaan lahan oleh pihak dari luar Suban Jeriji dengan luasan bahkan lebih dari 10 ha untuk dijadikan kebun karet. Pihak-pihak tersebut antara lain berasal dari sekitar Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Ogan Ilir, Kota Palembang dan Provinsi Lampung. Desember Penunjukan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan 2014 Kehutanan Palembang sebagai penanggung jawab pengelolaan KHDTK Suban Jeriji 2015-Mei 2016 Sebagian besar lahan di KHDTK Suban Jeriji telah dikuasai para pihak dalam bentuk kebun karet dan areal semak belukar. Tanaman sumber benih tidak lagi ditemukan di dalam kawasan. Belum ada aksi nyata pengelolaan KHDTK oleh pengelola. Sumber: Diolah dari data primer penelitian (2015)

Penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji juga menjadi bagian dari upaya spekulasi sebagian masyarakat. Penguasaan lahan yang dilakukan merupakan salah satu alternatif aset masyarakat yang sewaktu-waktu dapat dijual kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini dilakukan karena mereka menyadari bahwa lahan tersebut merupakan kawasan hutan yang tidak memiliki jaminan kepemilikan pribadi dan sewaktuwaktu dapat diambil alih pihak kehutanan. Upaya-upaya spekulan tanah ini yang memungkinkan pengusaan lahan dilakukan oleh pihak-pihak dari luar Desa Suban Jeriji dan semakin bervariasinya pihak-pihak yang menguasai lahan.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 1. Kondisi lahan di KHDTK Suban Jeriji yang dikuasai masyarakat: (a) Tanaman karet yang baru ditanam; (b) Belukar yang baru ditebas; (c) Kebun karet muda dengan tumpangsari palawija; (d) kebun karet monokultur yang telah disadap.

296


Kondisi KHDTK saat ini merupakan akumulasi dari berbagai persoalan mendasar yang dihadapi dalam pengelolaan hutan yang belum menempatkan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan hutan secara komprehensif. Pemahaman interaksi hutanmasyarakat menjadi penting dalam konteks pembangunan kehutanan. Pemerintah sering menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bukan subyek, pihak swasta sering menempatkan masyarakat sebagai plaksana program-program perusahaan yang seolaholah sesuai dengan kepentingan masyarakat yang pada kenyataannya tidak selalu demikian (Suharjito, 2013). B. Pendekatan Sosial melalui Negosiasi dalam rangka Pengelolaan kembali KHDTK Suban Jeriji Pendekatan sosial menjadi hal penting bagi BP2LHK Palembang untuk memahami secara komprehensif kondisi KHDTK Suban Jeriji saat ini sebagai bahan pertimbangan penyusunan rencana pengelolaan kawasan hutan. Negosiasi menjadi bagian penting dalam pendekatan sosial untuk mengakomodasi dan menyelaraskan berbagai kepentingan para pihak terhadap KHDTK Suban Jeriji. Proses negosiasi memberi pengertian kepada para pihak bahwa belum ada solusi terbaik dari permasalahan yang terjadi saat ini (Engel dan Korf, 2005). Negosiasi yang dilakukan oleh tim peneliti merupakan bagian dari penelitian aksi untuk merekam proses sosial dan respon para pihak terhadap keberadaan BP2LHK Palembang sebagai pengelola KHDTK Suban Jeriji. Negosiasi merupakan proses yang dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang terlibat konflik dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan para pihak menuju suatu konsensus (Engel dan Korf, 2005). Dalam kasus ini, negosiasi dipilih karena: a) Belum pernah ada komunikasi sebelumnya antara masyarakat dengan BP2LHK Palembang sehingga dapat membangun kepercayaan untuk dapat menyelesaikan kasus yang ada dengan negosiasi. b) Tim peneliti meyakini bahwa bernegosiasi dengan jalan dialog lebih dapat diterima saat ini oleh masyarakat untuk mencari solusi dibandingkan dengan tindakan represif. c) Pembelajaran proses bagi institusi kehutanan pada tingkat tapak untuk mengetahui pendekatan sosial yang adaptif untuk menyusun kerangka pengelolaan hutan bersama masyarakat. Dalam kasus KHDTK Suban Jeriji, proses awal negosiasi dilakukan sementara ini antara pihak BP2LHK Palembang dengan perwakilan masyarakat. Tim peneliti bertindak sebagai negosiator untuk merekam proses dan menganalisa peluang solusi serta implementasi kesepakatan terhadap penguasaan lahan oleh masyarakat. Fisher, et al., (2003), menjelaskan bahwa dalam suatu negosiasi harus menganut prinsip-prinsip mendasar, yaitu: (1) pisahkan orangnya dari masalah yang sedang dibahas; (2) pusatkan perhatian pada kepentingan, bukan pada posisi; (3) temukan pilihan-pilihan untuk kebaikan kedua belah pihak, dan; (4) mendorong digunakannya kriteria-kriteria obyektif. Membangun kepercayaan dan pembelajaran yang saling menguntungkan merupakan langkah awal yang penting dalam negosiasi untuk meredam emosi yang terjadi antar stakeholder (Engel dan Korf, 2005). Tahapan yang dilakukan dalam proses negosiasi menurut Engel dan Korf (2005) adalah sebagai berikut : (1) tahap persiapan; (2) mendengar dan memahami persoalan dari perspektif para pihak; (3) membingkai kembali konflik yang terjadi: mengubah asumsi dan prioritas masing-masing pihak terhadap konflik yang terjadi menuju kerjasama yang saling menguntungkan; (4) menyediakan beragam pilihan solusi konflik; (5) menilai pilihan-pilihan dan membangun kesepakatan 297


terhadap pilihan solusi yang dapat diterima para pihak dalam merespon isu yang krusial. Terkait dengan kasus KHDTK Suban Jeriji, adopsi dan modifikasi proses awal negosiasi yang dilakukan melaui proses-proses berikut ini, yaitu: 1. Persiapan Tim peneliti melakukan koordinasi dengan internal manajemen BP2LHK Palembang (pengelola KHDTK Suban Jeriji), aparat Dinas Kehutanan setempat, dan mantan staf PT. INHUTANI V untuk mendiskusikan berbagai informasi terkait KHDTK Suban Jeriji. Kawasan ini baru diserahkan pengelolaannya kepada BP2LHK Palembang pada akhir 2014 sehingga masih minim informasi dasar kawasan dan belum memiliki program rencana pengelolaan kawasan. Koordinasi awal dengan pengelola dilakukan untuk membangun komitmen dan persepsi yang selaras mengenai pengelolaan KHDTK tersebut. Hal ini merupakan proses yang terus berjalan seiring dengan proses awal negosiasi yang dilakukan dan pengamatan kondisi kawasan. 2. Memahami kondisi di lapangan Observasi disertai dengan diskusi di lapangan dilakukan tim peneliti sebagai bagian untuk memahami kondisi nyata di lapangan. Diskusi dilakukan dengan aparat desa, tokoh desa, dan perwakilan masyarakat mengenai keberadaan pengelola KHDTK Suban Jeriji yang baru dan perkembangan penguasaan lahan oleh masyarakat. Diskusi juga dilakukan dengan aparat dinas kehutanan untuk mengetahui respon dan upaya yang telah dilakukan dalam kasus penguasaan lahan kawasan KHDTK Suban Jeriji. Dalam tahapan ini tim peneliti lebih banyak mendengar berbagai hal yang diutarakan para pihak dan melakukan cek ulang tehadap berbagai informasi yang diperoleh kepada para pihak yang lain. Komunikasi dengan berbagai pihak dilakukan secara intensif melalui kunjungan yang dilakukan teratur. Kunjungan tersebut mendorong masyarakat untuk bersikap lebih terbuka terhadap penguasaan lahan kawasan yang dilakukan dan membuka peluang dialog yang lebih serius untuk mencari solusi pengelolaan bersama kawasan hutan. Sebagian besar masyarakat masih menyadari bahwa lahan yang mereka kuasai merupakan kawasan hutan milik negara. Mereka memiliki kepentingan untuk memanfaatkan lahan kawasan yang selama ini tidak produktif. Motif ekonomi menjadi alasan utama penguasaan lahan yang dilakukan untuk kepentingan pembangunan kebun karet rakyat. Penguasaan KHDTK oleh masyarakat telah berlangsung dalam 10 tahun terakhir dan marak dilakukan dalam 4-5 tahun terakhir. Sebagian penguasaan lahan telah berpindah tangan kepada masyarakat lainnya dengan jual beli yang dikenal dengan pembayaran ganti tebas tebang semak belukar dan ganti modal tanaman karet di lahan yang telah dikelola selama beberapa tahun. Model jual beli lahan seperti ini marak terjadi pada tahun 2011/2012. 3. Diskusi dan konsultasi para pihak tentang peluang solusi pengelolaan KHDTK Suban Jeriji Hal ini dilakukan dengan pihak manajemen internal manajemen BP2LHK, aparat dinas kehutanan setempat dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan diskusi dan konsultasi tersebut untuk memahami persepsi para pihak terhadap peluang titik temu dalam pengelolaan KHDTK Suban Jeriji antara masyarakat yang menguasai lahan kawasan dengan pengelola saat ini. Hasil diskusi menunjukkan bahwa pengelolaan bersama antara pihak BP2LHK dengan masyarakat penguasa lahan berpeluang menjadi pilihan solusi pengelolaan KHDTK Suban Jeriji dibanding pendekatan represif. Pengelolaan kawasan hutan bersama para pihak merupakan pilihan yang semakin mengemuka 298


pada kawasan hutan rawan konflik (Harun dan Prabowo, 2015; Abdurrahim, 2015; Aliadi, 2011). Hal ini juga perlu diselaraskan dengan berbagai aturan tentang pengelolaan bersama kawasan hutan yang berlaku saat ini. 4. Membangun komunikasi, komitmen dan kesepakatan dengan masyarakat Masyarakat sebenarnya memiliki keinginan untuk bekerjasama dengan pengelola KHDTK Suban Jeriji untuk memperjelas status keberadaan lahan yang dikelolanya di dalam KHDTK Suban Jeriji. Kepentingan masyarakat saat ini adalah dapat mengelola lahan kawasan dengan tanaman karet untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu,terdapat juga anggota masyarakat yang mengelola lahan kawasan untuk memperluas kebun karet yang dimilikinya. Pendekatan yang dilakukan kepada kelompok-kelompok masyarakat tersebut perlu mempertimbangkan kepentingannya terhadap lahan dan latar belakang penguasaan lahan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan prinsip yang dikemukan Fisher, et al. (2003), tentang fokus pada berbagai kepentingan yang ada dan bukan pada posisi pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi. Komitmen yang dibangun bersama masyarakat menjadi hal penting untuk menunjukan keseriusan dalam melakukan negosiasi dan membangun kesepakatan. Para pihak yang terlibat dalam negosiasi memiliki tujuan dan cara pandang yang selaras dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang ada. Dalam konteks KHDTK Suban Jeriji, komitmen dibangun dengan masyarakat yang memiliki pandangan yang positif terhadap kerjasama pengelolaan kawasan hutan. Tim peneliti berupaya untuk membangun kepercayaan dan memunculkan peluang-peluang nilai tambah bila masyarakat mau bekerjasama dalam pengelolaan kawasan. Beberapa anggota masyarakat kemudian menjadi calon pihak yang terlibat aktif untuk membangun kesepakatan dengan pengelola KHDTK dalam skala yang kecil untuk mengimplementasikan program bersama pengelolaan kawasan hutan. 5. Evaluasi beberapa peluang solusi dalam bentuk demplot Hasil komunikasi dan diskusi dengan masyarakat bermuara pada perlunya dibangun demplot sebagai model kerjasama pengelolaan lahan antara masyarakat dengan pengelola. Dempot ini merupakan bentuk kesepakatan yang dibangun dengan berbagi hak dan tanggung jawab dalam pengeloaannya. Hal ini juga menunjukkan adanya kesediaan berbagi ruang dalam pengelolaan bersama kawasan hutan antara pengelola dan masyarakat. Kepentingan mendasar bagi masyarakat sebenarnya adalah memperoleh manfaat finansial ekonomi melalui budidaya tanaman karet atau tanaman pertanian lainnya di KHDTK Suban Jeriji. Sedangkan bagi pengelola kepentingannya adalah memfungsikan kembali kawasan hutan sebagai areal penelitian dan produksi benih. Berdasarkan kepentingan utama terhadap lahan dan memperhatikan kondisi penutupan lahan yang ada, maka peluang solusi yang disepakati antara lain: (1) pembangunan plot penelitian monokultur tanaman kayu pada lahan semak belukar yang belum dikelola; (2) penanaman tanaman kayu di batas kebun karet; (3) pola campuran agroforestry pada lahan-lahan yang pernah dikelola masyarakat. Berdasarkan pertimbangan manfaat sosial ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat, kegiatan pengelolaan lahan yang aktif dan peluang keberhasilan demplot, maka pola agroforestry dipilih sebagai bentuk demplot hasil kesepakatan dengan masyarakat.

299


6. Membangun demplot ujicoba agroforestry Demplot saat ini dibangun oleh kedua belah pihak pada lahan yang sama dengan pola berbagi tanggung jawab dalam proses pembangunannya. Monitoring dan evaluasi masih terus dilakukan untuk mengetahui manfaat dan perbaikan yang perlu segera dilakukan. Demplot baru dibangun pada skala kecil dengan luasan sekitar 2,5 ha. Berdasarkan prinsip negosiasi yang dibangun Fisher, et al. (2003) dan tahapan negosiasi dari Engel dan Korf (2005), proses negosiasi di KHDTK Suban Jeriji berada dalam tahapan upaya mengubah asusmsi dan prioritas masing-masing pihak menuju kerjasama yang saling menguntungkan. Demplot yang sedang dibangun merupakan upaya untuk membangun kepercayaan dan mendorong masyarakat serta pengelola untuk melakukan kerjasama dalam pengelolaan lahan yang adaptif praktis. Membangun kepercayaan dan pembelajaran yang saling menguntungkan merupakan langkah awal yang penting dalam negosiasi untuk meredam emosi yang terjadi antar stakeholder (Engel dan Korf, 2005). Kerjasama pengelolaan lahan dalam pembangunan demplot agroforestry merupakan salah satu langkah awal yang menurut Yasmi, et al. (2010) merupakan pilihan solusi jangka pendek dalam co-management berbagi tanggung jawab dan manfaat pengelolaan hutan. Setelah itu perlu dibangun solusi jangka panjang terkait klarifikasi pengaturan tenurial dan koordinasi antar lembaga/instansi yang lebih baik (Yasmi, et al., 2010). Tim peneliti berupaya untuk mengenalkan proses-proses negosiasi yang perlu dilalui untuk menghasilkan kesepakatan karena seringkali proses ini yang dilupakan dalam mencari solusi. Masing-masing pihak, baik pengelola dan masyarakat, biasanya menghendaki hasil akhir yang cepat dan dapat segera diimplementasikan dengan perhatian terhadap proses yang minim. Berdasarkan proses yang dikerjakan saat ini ada beberapa pembelajaran penting yang diperoleh, yaitu: 1. Komunikasi yang intensif dengan masyarakat dan pihak terkait lainnya memberikan berbagai informasi yang lebih komprehensif mengenai kondisi nyata di tingkat tapak. 2. Observasi di lapangan disertai dengan diskusi dengan para pihak terkait dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai kepentingan para pihak terhadap kawasan hutan. 3. Komitmen dan konsistensi sikap serta tindakan dari pengelola menjadi hal penting yang akan terus diacu oleh masyarakat dalam mencari solusi pengelolaan bersama kawasan. 4. Perlu adanya perhatian mendasar dari pengelola tentang monitoring rutin kawasan, pola pendekatan sosial dan merancang program yang berupaya menjawab permasalahan di kawasan hutan dan bukan hanya kegiatan rutinitas yang sebenarnya tidak berdampak nyata terhadap perbaikan pengelolaan kawasan hutan. 5. Masyarakat memiliki potensi sebagai mitra dalam pengelolaan hutan seiring dengan terbatasnya sumberdaya yang dimiliki pengelola. Negosiasi baru dilakukan pada skala kecil dengan 2 anggota masyarakat dengan monitoring dan evaluasi bersama yang terus dilakukan untuk memperbaiki negosiasi dan bentuk konsensus di lapangan. Intensitas komunikasi dan terbuka terhadap alternatif solusi yang praktis bagi masyarakat dalam bentuk demplot menunjukkan respon awal masyarakat yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa proses partisipatif cukup penting dilakukan. Riggs, et al., (2016) juga menegaskan bahwa proses resolusi konflik di berbagai kawasan hutan memerlukan proses partisipasi yang aktif dan membutuhkan waktu dalam membangun kepercayaan antar pihak yang terlibat konflik.

300


Proses awal negosiasi diterapkan pada skala kecil untuk mengetahui performansinya sebelum dibangun pada skala yang luas. Hal ini sebagai bahan evaluasi dan perbaikan untuk merancang proses negosiasi dan bentuk-bentuk kesepakatan dalam model pengelolaan bersama kawasan hutan. Pihak kehutanan saja tidak dapat menyelesaikan kondisi yang terjadi dan perlu melibatkan pihak-pihak lain dari sudut pandang dan keahlian berbeda sehingga dapat dianalisis solusi yang komprehensif (Yasmi, et al., 2013; Wakka, 2014). Penyesuaian terhadap kondisi lahan, kepentingan masayarakat serta karakteristik masyarakat perlu dilakukan sehingga model pengelolaan yang ditawarkan dapat disepakati. Model pengelolaan bersama kawasan hutan kemungkinan memiliki spesifikasi tertentu sehingga terdapat pilihan-pilihan model yang secara umum sama namun memiliki karakteristik tertentu yang berbeda. IV. PENUTUP Penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji oleh para pihak saat ini telah menjangkau sebagian besar areal yang ada. Penguasaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat sejak awal dekade 2000-an kemudian berkembang dengan cepat dan ekspansif sejak tahun 2011/2012 dengan melibatkan masyarakat luar Suban Jeriji dan para pendatang. Sejarah pengelolaan dan sejarah penguasaan lahan membantu dalam memahami permasalahan yang terjadi saat ini di KHDTK Suban Jeriji. Tingginya kebutuhan lahan, masa transisi pengelolaan kawasan yang lama, minimnya monitoring dan lemahnya penegakan hukum menjadi beberapa faktor penting yang mendorong penguasaan lahan kawasan yang semakin intensif dan meluas oleh para pihak di KHDTK Suban Jeriji. Pendekatan sosial menjadi pilihan dalam merancang pola pengelolaan kawasan hutan yang rawan konflik tersebut. Pendekatan tersebut perlu dilakukan terhadap semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap KHDTK Suban Jeriji. Proses negosiasi awal menunjukkan bahwa masyarakat yang saat ini menguasai KHDTK memberikan ruang solusi untuk mengelola bersama kawasan tersebut. Hal ini perlu direspon pengelola untuk menunjukkan komitmen, keterbukaan dan melakukan komunikasi intensif dengan masyarakat dalam merancang pola pengelolaan kawasan hutan yang adaptif dan melibatkan masyarakat secara aktif. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada manajemen Balai Litbang LHK Palembang yang telah membiayai kegiatan penelitian melalui DIPA Balai Litbang LHK Palembang, Pak Heri (staf lapangan pengelola KHDTK Suban Jeriji), Kepala Desa Suban Jeriji beserta pera gkat ya, Pak Kar oto da Le Mi peta i di “u a Jeriji serta asyarakat Desa Suban Jeriji yang telah komunikatif selama pengumpulan data penelitian. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahim, A.Y. 2015. Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) kolaboratif sebagai solusi penyelesaian konflik pengelolaaan Sdadi Hutan Sesaot, Lombok Barat. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan. Vol. 03 No. 03. Aliadi, A. 2011. Pengembangan kolaborasi Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian melalui riset aksi. Tesis. IPB.

301


Bappenas-GGGI Green Growth Program. 2015. Delivering green growth for a prosperous Indonesia: A roadmap for policy, plannning and investment. Bappenas-GGGI Green Growth Program. Darusman, D., Hardjanto, Suharjito, D., Bahruni, I. Ichwandi, Y. Hero, H. Kartodihardjo, Sudaryanto, B. Nugroho, DR. Nurrochmat, L. Sundawati, H. Purwawangsa, S. Trison, S. Soedomo. 2013. Membangkitkan kehutanan Indonesia: kristalisasi konsep dan strategi implementasi. Dalam Suharjito, D dan Putro, HR (ed). Pembangunan kehutanan Indonesia baru refleksi dan inovasi pemikiran. IPB Press. Engel, A. dan Korf, B. 2005. Negotiation and mediation techniques for natural resource management. Food and Agricultural Organization. Fisher, R., Ury, W., B. Patton. 2003. Getting yes: teknik berunding menuju kesepakatan tanpa memaksakan kehendak. Penerjemah: D. Haryono dan G. Situmorang. Yayasan Obor Indonesia. Harun, M.K. dan Dwiprabowo, H. 2014. Model resolusi konflik lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 11 No. 4. Kartodihardjo, H. 2013. Integrasi pendayagunaan modal ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam Kartodihardjo, H. (ed.). Kembali ke jalan lurus: kritik penggunaan ilmu dan praktek kehutanan Indonesia. Forci Development. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). 2015. Catatan Akhir Tahun. KPA. OECD. 2011. Towards green growth: a summary for policy makers. OECD. PT. INHUTANI V. 1996. Rencana Karya Tahunan Pengelolaan Sumber Benih Subanjeriji. PT. INHUTANI V Sumatera Selatan. Riggs, RA., Sayer, A., Margules, C., A. K. Boedhihartono, JD. Langston, H. Sutanto. 2016. Forest tenure and conflict in Indonesia: Contested rights in Rempek Village, Lombok. Land Use Policy 57: 241-249. SK. Menteri Kehutanan Nomor: SK. 278/Menhut-II/2004 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap Subanjeriji Seluas + 761,98 (tujuh ratus enam puluh satu sembilan puluh delapan per seratus) hektar di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Untuk Hutan Penelitian dan Pengembangan Serta Produksi Benih. SK. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Nomor: SK.33/VIII-SET/ 2014 tentang Penunjukan Penanggung Jawab Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji. Sardjono, M. A. 2013. Membawa perhutanan sosial Indonesia ke upaya yang lebih menjanjikan. Dalam Kartodihardjo, H. (ed.). Kembali ke jalan lurus: kritik penggunaan ilmu dan praktek kehutanan Indonesia. Forci Development. Suharjito, D.2013. Reforma agraria di sektor kehutanan: mewujudkan pengelolaan huan lestari, keadilan sosial dan kemakmuran bangsa. Dalam Kartodihardjo, H. (ed.). Kembali ke jalan lurus: kritik penggunaan ilmu dan praktek kehutanan Indonesia. Forci Development. Tahyudin, D. 2014. Potensi konflik dan pola penguasaan kawasan Suaka Margasatwa Bentayan di Sumatera Selatan. Mimbar Vol. 30 No. 2: 221-232.

302


Wakka, A. 2014. Analisis stakeholders pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Mengkendek, Kabupaten Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea Vol. 3 No. 1: 47-55. Yasmi, Y., Kelley, L., Enters, T. 2010. Conflict over forests and lands in Asia: Impacts, causes and management. RECOFTC. . 2013. Community-outsider conflicts over forests: perspective from Southeast Asia. Forest Policy and Economic 33: 21-27. kbbi.web.id. Diaskses tanggal 25 Agustus 2016.

303


304


LAMPIRAN

305


306

Lampiran

Lampiran 1. Susunan Acara Waktu

Agenda

Pembicara

Kamis, 1 September 2016 Registrasi Peserta 08.00 - 08.30 Pembukaan Laporan Ketua Panitia 08.30 - 09.00 Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi

Panitia Ketua Panitia Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi Direktur Inventarisasi GRK, Direktorat Jenderal PPI

09.00 - 10.00

Keynote speech

10.00 - 10.15 10.15 - 12.15

Rehat SESI I Desa Berpetumbuhan Hijau Berkemakmuran Survei Penilaian Cepat Biodiversitas Fauna di Sumatera Selatan Socio Economic Study and NTRP Value Chain Analisys: Case Study of Community Based Business Unit Development in South Sumatra Penelitian Kerjasama BioclimeBP2LHK Palembang Diskusi ISHOMA SESI II Peran dan Tantangan Sektor Kehutanan dalam Mendukung Pertumbuhan Hijau Sumatera Selatan Teknik Revegetasi Lahan Gambut Terdegradasi Pembangunan Hutan Tanaman dengan Pola Tanam Campuran Karet dan Tanaman Kayu Seru Pengembangan dan Pemanfaatan Energi Biomassa sebagai Sumber Energi Ramah Lingkungan Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Pembangunan Hijau di

10.15 - 10.30 10.30 - 10.45

10.45 - 11.00

11.00 – 11.15 11.15 - 12.15 12.15 – 13.30 13.30 - 15.30 13.30 - 13.45

13.45 - 14.00 14.00 - 14.15

14.15 - 14.30 14.30 – 14.45

Moderator

307

Lukas Rumboko, Pd.D Prof. Hilda Zulkifli (UNSRI) Prof. M Yazid

Ir. Zulfikar, M.Si

Adi Kunarso, S.Hut, M.Sc

Dr. Mamat Rahmat

Ir. Bastoni Dr. M Jahidin Rosyid Hengki Siahaan, S.Hut, M.Si

Sahwalita, S.Hut, MP

Ellyn K Damayanti, Ph.D. Agr

Lampiran

Waktu 14.45 – 15.45 15.45 - 16.00 16.00 - 16.15 16.15 - 16.30

Agenda

Pembicara

Sumatera Selatan Diskusi Rehat Pembacaan Rumusan Penutupan

Tim Perumus Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi

308

Moderator

Lampiran

Lampiran 2. Susunan Panitia

1.

Pengarah

: Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang

2.

PenanggungJawab

: 1. Anita T L Silalahi, SP, M.Si (Kepala Seksi Data Informasi dan Kerjasama BP2LHK Palembang) 2. Hendi Sumantri (GIZ-BIOCLIME)

3.

Ketua

: Adi Kunarso, S.Hut, M.Sc

4.

Sekretaris

: 1. Syaiful Islam 2. Kusdi, S.Hut

5.

Seksi Acara dan Persidangan

: 1. Dr. Nur Arifatul Ulya 2. Nanang Herdiana, S.Hut, M.Sc 3. Ir. Wiyanto

6.

Seksi Konsumsi

: Rista Novalina Sihombing, SP

7.

Seksi Transportasi dan Umum

: 1. Heri Setiabudi 2. Drs. Heriyanto, MM

8.

Seksi Dokumentasi

: 1. Hendra Priatna, ST 2. Andi Nopriansyah

9.

Perumus

: 1. Ir. Abdul Hakim Lukman, M.Si 2. Bondan Winarno, S.Hut, MT, MMG

309

Lampiran

Lampiran 3. Daftar Peserta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39

Nama Lengkap Nesti Andriani Ahwansah Putra Zulpan Padli Mega Selviani Heri Kusriyanto Pauli Kristianto Dian Septianita Ansyori Yunus Nurhadi Sahwalita Cik Aluyah Asmaliyah Etik Erna Wati Hadi Efendi A Waluyo Ari Nurlia Imam Muslimin Novri Sisfanto Mamat Rahmat Agus Kurniawan M. Andri Edwin Martin A.H Lukman Safrudin Mokodompit Fitri Agustina Gusti Nirwana Putra Agus Sofyan Safrul Yunardy Bambang Setiyono Nanang Herdiana Lukas Rumboko Wibowo Zulfikar Joko Triono Ellyn K Damayanti Hilda Zukifli M. J. Rosyid Saripin Joni Muara Sufyan Suri M. Sidiq

Instansi BP2LHK Palembang Mahasiswa Kehutanan RHLPP Muba KPHL Banyuasin Setbadan Litbang Partisipan Palembang Univ. Syakhyakirti Palembang Dishut Provinsi Sumsel Balai PPI-Karhutla BP2LHK Palembang Stiper Sriwigama BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang BDLHK Pekanbaru BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang PT. KEN BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang BP2TSTH Kuok BLH Provinsi Sumsel BP2LHK Palembang BAPPEDA Provinsi Sumsel BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang P3SEKPI Setda Provinsi Sumsel Dishut Provinsi Jambi PPLH IPB – BIOCLIME UNSRI Palembang Balai Penelitian Sembawa BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang GIZ BIOCLIME 310

Lampiran

No 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79

Nama Lengkap Urip Wiharjo Purwanto Nys Wardah Endang S Parinah Rendra Bayu P Nina Rose Nurkholis Iwan Setiawan Bambang Supriyadi Hemansyah H. Ali Munir Hengki Siahaan Voli Setiawan Dida Migfar Sri Maryam Kurniawati Negara Neneng H. Liliana Oktriana Vertasari Laila Fahriati Eni Rulianti Zulkarnaen Samsul Bachir Arip Rahman Bastoni Alwi K Nasrun Ardi Candra Alimusin Yudha Barata Ichwan Rosyidi Jun Harbi Atep Edi H Sri Lestari Raditya Ariet G Indra Yustian Fentie Sahuri Bondan Winarno M. Emron Funaka

Instansi PT. KEN BP2LHK Palembang GIZ BIOCLIME Stiper Sriwigama KPHP Lalan GIZ-BIOCLIME Dishut Provinsi Sumsel Dishut Provinsi Sumsel HTI PT. Sinarmas PT. MHP BALITBANGNOVDA BALITBANGNOVDA BP2LHK Palembang KPHL Banyuasin Dit. IGRK MPV KLHK BALITBANGNOVDA BP2IKHL KPHP BBC Tim Restorasi Gambut BPDASHL Musi BPDASHL Musi BAKORLUH BTN – BS KPHP Subanjeriji BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang Dit. IGRK/UNDP BALITBANGNOVDA Dishut Kabupaten MUBA KPHP Lakitan Univ. Muhamadiyah Palembang BPKH II Palembang BP2LHK Palembang Setbadan BLI UNSRI P3SEKPI Balai Penelitian Sembawa BP2LHK Palembang Dishub Kabupaten MUBA 311

Lampiran

No 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106

Nama Lengkap Hadenli Ugihan Apri Nuryanti Muallimah Gustini Hartati Yusuf Andika Imanullah Andri Ahmad Adi Jaya Yanita Aryani Etika Desy Hafizah Muhamad Yazid M Arif Sardi Rachman E Priyono Fauzi Fetty F Sadid Maliyana Ulfa Andi Nopriansyah M Ied Akbar Selvi Mahinda H Rendi Puji Agus Sumadi Andhi Wiriansyah Adi Kunarso Bambang Tejo Premono Nur Arifatul Ulya

Instansi BLH Provinsi Sumsel UPTB PR UPTB PR BAPEDA Sumsel BP2LHK Palembang BPHP V BPHP V BAKORLUH BAKORLUH BAKORLUH UNSRI BAKORLUH P3SEKPI P3SEKPI PSDI Kabupaten Banyuasin BPTH Wilayah I PT. REKI BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang UPTB PR BAPEDA Sumsel BAPEDA Sumsel BP2LHK Palembang BAPEDA Sumsel BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang BP2LHK Palembang

312

Lampiran

Lampiran 4. Notulensi No

Penanya/Pertanyaan

Jawaban

Sesi: Keynote Speaker 1

2

Iwan Setiawan (Sinar Mas Forestry) Bagaiana program pemerintah pusat terkait dengan tata kelola hutan dalam rangka mendukung pembangunan hijau. Sektor swasta di Sumsel telah berkolaborasi baik dengan akademisi, dinas terkait, maupun NGO. Dari sisi ekonomi, pilar utama kehutanan adalah HTI. Seberapa jauh/besar program-program pemerintah, melalui UPT, yang bisa mendukung perkembangan ekonomi, terutama yang terkait bagi kepentingan swasta dalam rangka peningkatan hasil ?.

Zulkarnaen (Bakorluh Provinsi Sumsel) Dalam konteks tata kelola hutan untuk mendukung pembangunan hijau di Sumsel membutuhkan dukungan berbagai pihak, karena terdapat kelemahan-kelemahan dalam beberapa kasus, seperti penegakan hukum yang masih lemah, ketidak pastian pemilikan lahan atau alih fungsi lahan. Bagaimana perkembangan kasus-kasus tersebut di Indonesia, terutama di Sumsel ?

Tren kontribusi sektor kehutanan terhadap ekonomi terus menurun sejak tahun 1980-an. Harus bisa evaluasi dan identifikasi dalam rangka mencari upaya kreatif dan inovatif, sehingga pasar dan usaha dapat terus berjalan. Dalam proses produksi yang dimulai dari input akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik teknis maupun non teknis, bahkan non teknis biasanya lebih dominan dalam mempengaruhi output. Dalam hal ini akan membutuhkan upaya kreativitas dan inovasi, misalnya menjaga kelestarian bahan baku dari hutan tanaman, pemeliharaan cluster lahan yang tepat dan sesuai antara lahan dan jenis yang dikembangkan, melakukan terobosan pasar. Selain itu, bisa dimulai dikembangkan potensi non kayu, seperti plasma nutfah bagi kesehatan, mekanisme insentif bagi pihak-pihak untuk bisa lebih bekerja sama. Kasus-kasus tersebut merupakan masalah non teknis yang menjadi tantangan dalam rangka membangun ekonomi hijau, sehingga dibutuhkan pendekatan partisipatif, agar semua pihak bisa berperan. Semua pihak ditempatkan dalam proporsinya masingmasing, tanggung jawab dan perannya ditempatkan dalam posisinya masing-masing. Penyelesaian hukum yang dilakukan oleh juga akan membutuhkan waktu agar bisa sesuai seperti yang diharapkan. Dalam hal ini akan membutuhkan kesadaran untuk tertib terhadap aturan yang harus dimulai dari diri sendiri dan sekarang. Dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak dalam mengatasi

313

Lampiran

ketidakpastian lahan, kolaborasi antara beberapa kementerian. Selain itu harus ada political will, sosial will dan economic will dalam upaya mengatasi permasalahn di sektor kehutanan. Sesi I 1

2

Agus Sofyan (BP2LHK Palembang) Syafrul Yunardi dan Lukas Rumboko: Masyarakat sebagai subjek pembangunan, sehingga ide dari seorang rimbawan digunakan di Kemendes, tetapi saat ini sektor kehutanan seperti dipinggirkan. Sejak tahun 1980-an sampai saat ini, program reboisasi seperti Gerhan belum berhasil karena tidak pernah dievaluasi secara nyata. Dalam rangka tata kelola hutan untuk mendukung pembangunan hijau, tugas kita untuk menjaga sisa SDH yang ada dan meningkatkan tutupan lahan, agar permasalahan seperti karhutlah atau emisi gas akan berkurang.

Titin (Bappeda Provinsi Sumsel) Syafrul Yunardi dan Hilda Zulkifli: Di Provinsi Sumsel telah diupayakan Green Growth Developmen, walau masih dalam tahap kajian. Target akhir akan sampai ke level tapak dan saat ini telah dibantu oleh berbagai pihak, seperti Bioclime. Saat ini telah diupayakan pembangunan pangkalan data Sumsel, tidak hanya data biodiversity saja, tetapi akan lebih lengkap.

Syafrul Yunardi: persoalan degradasi dan deforestasi perlu penguatan fasilitator, terutama di tingkat tapak. Dengan bubarnya Bakorluh, maka strategi beru, misalnya peningkatan peran penguatan oleh KPH, peningkatan peran desa sesuai dengan undang-undang desa. Lukas Rumboko: output keberhasilan kegiatan reboisasi masih secara administrasi, karena upaya evaluasi lapangan seringkali mengalami hambatan. Terkait dengan penempatan masyarakat sebagai subjek pembangunan, UU no 79 tentang pemerintahan desa telah mematikan inovasi masyarakat, sehingga struktur masyarakat berubah. Dalam program PIR juga telah mematian inovasi masyarakat, masyarakat hanya sebagai objek, hanya mementingkat pemilik program dan kepentingan global. Syafrul Yunardi: perlu kolaborasi, tidak hanya sinkronisasi, tetapi juga harmonisasi untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pembangunan jaringan data, baik spasial mapun non spasial, termasuk peta-peta yang telah ada dan banyak versinya. Hilda Zulkifli: forum ini bisa dijadikan sebagai ajang saling mengisi dan melengkapi serta mengekplorasi semua data yang ada di Sumsel.

314

Lampiran

Adi Kunarso: Sumsel sedang melakukan revisi RAT GRK, pendugaan emisi karbon sektor hutan dan lahan melalui pengukuran cadangan karbon tier 3, akan sesuai dengan revisi yang sedang dilaksanakan, terutama dari sektor kehutanan. Mohon informasi waktu (tahun) dan lokasi, terutama yang berdampingan dengan kawasan hutan.

3

4

Hadenli Ugihan (Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumsel) Syafrul Yunardi dan Muhammad Yazid: Dalam UU lingkungan hidup hanya memuat definisi pembangunan berwawasan lingkungan, belum ada istilah pembangunan hijau. Harus dijelaskan secara detail, baik indikator atau pun aplikasinya di level tapak proyek. Green growth economy dimaksudkan untuk mengkoreksi pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Rahman (Puspijak Badan Litbang dan Inovasi) Kotribusi sektor reel kehutan semakin menurun, bagaimana kaitannya pembangunan hijau sehingga terjadi sinergitas terhadap kontribusi sektor kehutanan ? Penanggulangan kebakaran di Sumsel telah menurunkan kasus kebakaran hutan

Adi Kunarso: diharapkan kegiatan yang telah dilakukan litbang menjadi salah satu yang berkontribusi bagi review GRK di Sumsel. Data yang dalam kegiatan ini diambil mulai tahun 2015 – 2016, semoga dapat digunakan untuk updating data di Sumsel. Lokasi di OKI sebagai salah satu lokus projeknya Bioclime, selain Muratara, Banyuasin dan Musi Banyuasin. Sebenarnya litbang juga memiliki PUP di Banyuasin sejak tahun 2014 atas dukungan Forest Carbon Patnership yang dapat digabung dengan data yang dimiliki juga oleh FCF atau ICRAF. Plot pengukuran yang digunakan merupakan plot standar, tetapi ke depan akan dilakuakan kajian terhadap ukuran plot optimal terkait dengan keakuratan data dan biaya yang dibutuhkan. Syafrul Yunardi: memang perlu disepakati terkait definisi dan indikator yang akan digunakan, sehingga perlu ditindaklanjuti bersama-sama. Muhammad Yazid: sebagai salah satu alternatif untuk memahami konsep green growth, ada pernyataan bahwa tidak ada satu kegiatan pun di dunia ini yang zero emisi, karena sudah sunatullah. Yang harus dilakukan dalam mengukur green growth adalah seberapa banyak positif externality yang bisa dicapai dikurangi dengan negatif externality, jika hasinya masih positif bisa kita sebut sebagai green growth. Syafrul Yunardi: strategi pengendalian kebakaran hutan ke depan tidak hanya meningkatkan intensitas patroli sebagai strategi jangka pendek, tetapi strategi untuk jangka menengah dan panjang berupa skema insentif dan disinsentif bagi desa-desa rawan kebakaran

315

Lampiran

dan lahan yang cukup drastis, tetapi kondisi ini berhubungan dengan alam (musim hujan) dan frekuensi pengawasan satgas yang cukup intensif, tapi yang menjadi masalah adalah terkat dengan apa yang diperoleh masyarakat terkait dengan penurunan intensitas kebakaran hutan.

hutan atau Desa Peduli Api (DPA). Selain itu, akan memadukan program penanggulangan kemiskinan, hasil analisis menunjukkan bahwa desa-desa yang rawan kebakaran biasanya adalah desa-desa yang miskin.

Lukas Rumboko: membuat masyarakat tersenyum dapat dilakukan Syafrul Yunardi: kebijakan apa yang mampu meningkatkan nilai dengan cara merubah kebijakan di tingkat lokal, misalnya dengan manfaat bagi masyarakat terkait dengan penurunan intensitas strategi insentif dan disinsentif, perubahan tata kelola pemerintahan kebakaran ? yang inklusif dan transparan. Lukas Rumboko: apakah kondisi tersebut (menurunnya intensitas kebakaran) baik bagi masyarakat (membuat masyarakat tersenyum) ? Sesi II 1

Fauzi (Masyarakat Kayu Ara Kuning) Beberapa bulan ini telah ada komitmen kerjasama untuk Hengki Siahaan: KHDTK adalah areal dengan tujuan khusus, dalam pemanfaatan lahan Kemampo, tetapi masih terkendala dengan hal ini untuk tujuan penelitian. Pada prinsipnya akan terbuka untuk MOU. kerja sama dalam kegiatan penelitian. Terkait dengan MOU, bisa dikonsultasikan dengan pihak manajeman.

2

Syafrul Yunardi (Forum DAS Sumsel) Mamat Rahmat: salah satu kesimpulan yang disampaikan dalam paparan disebutkan bahwa pengelolaan SDA di Riau sudah optimal, apakah optimal tersebit bisa kita samakan bahwa pengelolaan SDA di Riau tersebut tidak atau belum melebihi daya dukung atau daya tampung lingkungan di daerah tersebut ?

Mamat Rahmat: kajian yang dilakukan memang ditujukan untuk melihat dari sistem lingkungan dan sistem ekonomi apakah posisi nilai manfaat yang diperoleh telah sama dengan nilai biaya yang dikorbankannya dan ini berkaitan dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

316

Lampiran

Bastoni: Forum DAS bekerja sama dengan World Resources Institute dan ICRAF sedang membuat peta potensi restorasi terhadap fungsi. Saat ini ide restorasi gambut yang cenderung merubah fungsi, dengan memberikan input tertentu untuk mempercepat proses dekomposisinya, diubah menjadi humus dan selanjutnya menjadi tanah. Apakah ini menyalahi azas dan siasat yang dikemukanan pada paparan tadi ?

3

David Pernanda (GIZ) Bastoni: apakah revegetasi yang dilakukan menggunakan jenis- Bastoni: restorasi yang ideal adalah restorasi dengan jenis-jenis yang jenis alami yang telah ada secara alami atau dengan jenis-jenis alaminya, direvegatasi dengan jenis-jenis alami prioritas. Jika jenis yang biasa dijumpai di lapangan pada saat sekarang ? lokal yang dikenal sekarang merupakan jenis lokal alami, maka bisa jadi jenis lokal prioritas. Terdapat banyak jenis lokal yang bisa Sahwalita: ketika di REKI pernah melakukan explorasi jernang dikembangkan, termasuk jenis yang mampu mensubstitusi jenis di sepanjang Sungai Kapas (Jambi) dan ditemukan jenis jernang akasia yang dikembangan oleh HTI. produktif (jernang kalamuhai, jernang rambai dan jernang burung). Selain itu, ternyata di lapangan terdapat dua macam jernang, yaitu: jernang jantan dan jernang betina, bagaimana cara membedakan ke dua jenis tersebut pada saat di persemaian ?

4

Bastoni: restorasi dilakukan dalam rangka mengembalikan fungsi ekosistem gambut secara utuh, hutannya terestorasi dan hidrologinya terestorasi, sehingga gambunya otomatis akan terestorasi. Solusi restorasi dengan mempercepat dekomposisi terkait dengan penanggulangan kebakaran hutan, di mana salah satu sumber apinya berasal dari areal gambut yang terlantar dan produktivitas untuk pertaniannya rendah. Dengan menyuburkan areal gambut tersebut, maka dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, sehingga resiko terjadinya kebakaran dapat diminimalkan. Jika areal tersebut merupakan areal APL dengan gambut tipis dan produtivitasnya rendah, maka hal tersebut bisa dilakukan, tetapi jika areal tersebut bersambungan dengan areal gambut yang menjadi prioritas untuk direstorasi, maka upaya restorasi menyeluruh tidak dapat tercapai.

Sahwalita: untuk menentukan jantan atau betina pada saaat pembibitan belum bisa, penelitian jernang masih terbatas, masih dalam upaya penyelamatan, ke depan semoga bisa mengarah pada upaya budi daya, termasuk pemuliaan. Sejak dulu jambi merupakan penghasil jernang potensial, tetapi saat ini sudah sangat menurun.

Verta (Tim Restorasi Gambut) Bastoni: pada saat pemadaman api kebakaran gambut, Bastoni: Di Air Laut Hitam TN Berbak sekitar tahun 2007, terjadi 317

Lampiran

terdapat gambut yang tergenang air pada pinggirnya, tetapi di tengahnya terdapat api. Bagaimana hal tersebut terjadi ?. Untuk daerah Muara Telang (MUBA) dengan kondisi masam, apakah penaman padi akan mempengaruhi komposisi tanahnya ?

kebakaran pada areal yang tidak ada penduduknya, hal ini terjadi karena disebabkan oleh aktivitas pencari ikan di sepanjang Air Hitam, sehingga terjadi proses terbentuknya danau, terjadi hanya pada areal-areal yang selalu tergenang sepanjang tahun jika kemarau normal dan hanya kering jika terjadi el nino. Munculnya api hanya pada saaat terjadinya el nino. Terkait dengan pengembangan Sahwalita: bagaimana kebijakan atau program Litbang dalam padi di gambut (misalnya di Air Telang), pesawahan yang asalnya masih sedalam 80 cm, dengan adanya pengaturan drainase akan pengembangan rotan jernang ? berdampak terhadap kedalaman gambut. Sahwalita: sampai saat ini pengembangan jernang masih sangat terbatas, termasuk hasil penelitian. Ke depan diharapkan ada kerja sama berbagai pihak dalam pengembangan rotan jernang. 5

6

Zulfikar (Dinas Kehutanan M. J. Rosyid dan Sahwalita: harga karet cukup baik sampai dengan akhir 2010, sehingga tidak hanya masyarakat, tetapi HTI juga mengembangkannya. Saat ini harga karet semakin menurun, tetapi masyarakat terlanjur menanamnya, sehingga sebagaian masyarakat di lahan kering sudah mulai menggantinya dengan tanaman lain, misalnya singkong, selain itu juga ada pilihan tanaman HHBK yang memiiki potensi yang cukup baik, misalnya kayu putih, jernang ata gaharu. Bagaimana mensinergikan ke dua hal tersebut, apakan dengan pengaturan jarak tanam dan intercrooping ?.

M. J. Rosyid: gejolak karet terkait dengan harga minyak bumi, berhubungan dengan karet sintetis. Selain itu juga terkait stok karet di Singapura, kebun karet cina yang berlokasi di Kamboja dan Myanmar mulai panen. Indonesia hanya ekspor bahan baku karet, bukan barang jadi. Saat ini juga Jepang telah mampu memanfaatkan karet bekas diolah menjadi karet baru dengan kualitas yang baik. Untuk mengatasinya hal tersebut salah satunya adalah dengan diversifikasi produk, salah satunya mencampur tanaman karet dengan tanaman lain yang ekonomis, misalnya kayu-kayuan. Tanamann karet memiliki karakter tajuk yang berbeda, ada tajuk lebat dan tajuk cemara (klon PB 260, IRR 112, IRR 118). Pengaturan jarak tanam dan pemanfaatan tajuk cemara memberikan tuang Agus Sofyan (BP2LHK Palembang) tumbuh yang bagus dengan intensitas cahaya masuk yang baik, yang M. J. Rosyid: perbedaan produksi getah karet sebanyak 400 – dapat dimanfaatkan untuk budidaya, misalnya menanam jagung 600 batang tidak signifikan, sehingga terdapat ruang tumbuh (Kalimantan Selatan). Intercrooping tanaman palawija atau tanaman bagi 200 batang kayu. Apakah sudah ada pola/desain untuk ekonomis lain akan mampu meningkatkan pendapatan petani, 318

Lampiran

pengembangan pola campuran tersebut ?

walaupun harga karet sedang jatuh. Sahwalita: belum ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa jernang berpengaruh terhadap produksi getah, di beberapa lokasi dijumpai masyarakat yang menanam jernang dengan karet (Sungai Baung, Sarolangun) atau dirambatkan pada pohon durian (Muara Dua, Oku Selatan). Sehingga dianjurkan agar menaman karet dengan jernang atau gaharu. Tanaman kayu putih tidak bisa ditanam di bawah naungan, hal ini terkait dengan penurunan kualitas minyak kayu putih yang dihasilkan.

319

Lampiran

320

PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN

Recommend Documents