KONSERVASI PRIMATA ENDEMIK MENTAWAI : Analisis Habitat dan Populasi Primata di Siberut Utara1) Oleh : M. Bismark2) ABSTRAK Penelitian populasi primata endemik Mentawai dilakukan pada bulan Maret sampai April 2006 di komplek hutan Desa Tiniti Siberut Utara dan bertujuan untuk mengetahui populasi 4 jenis primata endemik, Hylobates klossii, Simias concolor, Presbytis potenziani, dan Macaca pagensis. Habitat primata yang diteliti berupa hutan bekas tebangan lebih dari 30 tahun, yaitu hutan sekunder tua yang kondisi fisiknya sudah menyerupai hutan primer. Dari 10 plot 200 m2 yang dibuat pada lokasi tidur primata diperoleh 115 jenis pohon berdiameter 4-120 cm dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wieners 4,756. Hylobates klossii dan S. concolor di areal penelitian lebih 60 % menggunakan habitat hutan sekunder tua di areal berbukit. Kondisi ini sangat mendukung ketersediaan pohon tidur untuk keamanan, sedangkan aktivitas P. potenziani dan M. pagensis sering menggunakan habitat tepi sungai (lebih dari 40 persen). Populasi H. klossii adalah 8,14 individu per km² sedangkan populasi S. concolor, P. Potenziani, dan M. pagensis masing-masing adalah 10,94; 10,14; dan 31,56 individu per km². Kata kunci : Habitat, primata, populasi, endemik Mentawai I. PENDAHULUAN Pulau Siberut adalah pulau terbesar di antara gugusan Kepulauan Mentawai, sebelah barat Pulau Sumatera. Pulau seluas 4.480 km persegi dalam gugusan Kepulauan Mentawai, telah terpisah oleh laut dalam dari daratan Sumatera sejak 500.000 tahun lalu (Whitten, 1980). Kondisi ini telah mempertahankan bentukbentuk kehidupan primata dari daratan utamanya sehingga di Kepulauan Mentawai banyak terdapat jenis-jenis endemik, seperti 65 persen jenis mamalia merupakan jenis endemik, di antaranya empat jenis primata endemik Mentawai, Hylobates klossii (bilou), Simias concolor (simakobu), Presbytis potenziami (joja), dan Macaca pagensis (bokoi); kategori jenis tersebut dalam daftar IUCN sebagai terancam (vulnerable) (Whittaker, 2005). Habitat utama jenis ini adalah di P. Siberut di mana terdapat Taman Nasional dan Cagar Biosfer Siberut. Perubahan habitat terjadi seiring dengan adanya kegiatan pemanfaatan hutan. Inventarisasi potensi hutan di Pulau Siberut untuk kepentingan pemanfaatan kayu komersial mulai dilakukan pada tahun 1969/1970 dan tahun 1972/1973. Kondisi sekarang, Pulau Siberut terbagi dalam komposisi fungsi hutan berupa taman nasional dan hutan produksi. Taman Nasional Siberut seluas 190.500 ha ditetapkan sejak tahun 1993 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 407/KptsII/ 1993 dan hutan produksi terdiri dari hutan produksi terbatas 42.050 ha, hutan produksi tetap 95.900 ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 74.450 ha; dan kawasan ini tercakup dalam Cagar Biosfer Siberut seluas 405.170 ha. HPH yang aktif saat ini dikelola oleh Koperasi Andalas Madani (KAM) seluas 45.650 ha 1
Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. 2 Peneliti pada Kelti Konservasi Sumberdaya Alam, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 (11,3% luas Pulau Siberut) dengan SK Menhut No. 105/Kpts/II/2001. Pengelolaan hutan dalam bentuk HPH ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak terhadap kelestarian biodiversitas fauna endemik di Cagar Biosfer Siberut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi primata endemik Mentawai H. klossii, S. concolor, P. potenziani, dan M. pagensis yang sangat tergantung pada kualitas dan potensi tegakan hutan. Lokasi penelitian berada di areal bekas tebangan sekitar 30 tahun lalu di Siberut Utara. Diharapkan hasil ini dapat memberikan masukan untuk pengelolaan hutan produksi sebagai habitat primata endemik yang sesuai dengan prinsip pengelolaan cagar biosfer. II. METODE Penelitian populasi primata didasarkan pada jumlah individu atau kelompok yang tercatat dalam luasan tertentu. Jumlah individu dalam kelompok diketahui dengan pengamatan langsung melalui jalur (transek) sensus, sedangkan estimasi jumlah kelompok dalam areal penelitian secara tidak langsung diketahui dan dicatat melalui suara (Whittaker, 2005) dengan metode Fixed Point Count (Nijman dan Menken, 2005). Penentuan luas areal pengamatan dihitung berdasarkan luas lingkaran atau luas areal transek (panjang x lebar) jalur pengamatan di mana penelitian dilakukan. Berdasarkan penelitian pendahuluan dan evaluasi sebaran kelompok primata di areal penelitian sebelum melakukan sensus, diketahui bahwa kelompok keempat jenis primata dapat dideteksi berdasarkan suara pada jarak 250-300 m (Bismark, 2006) dan daerah jelajah (home range) sekitar 30 ha (Whitten, 1980). Berdasarkan ini, lebar jalur untuk penelitian populasi primata ditetapkan 300 m kiri dan 300 m kanan jalur sensus, pada jalur sensus yang relatif pendek yaitu 500 m, 600 m, dan 1.200 m. Apabila pengamatan dilakukan pada jalur sepanjang 1 km maka luas areal sensus adalah 60 ha, dalam jalur sensus ini dicatat individu kelompok yang terlihat langsung atau kelompok dan individu jenis yang terdengar atau bersuara. Pencatatan individu dan kelompok primata di luar jalur sensus dilakukan dengan metode Fixed Point Count dalam bentuk lingkaran. Areal pengamatan adalah luas lingkaran sesuai radius suara individu kelompok yang dapat terdengar dengan baik. Suara P. potenziani dapat dideteksi dengan baik dalam radius 500 m (Tenaza dan Megantara, 1986), suara H. klossii dapat terdengar dengan baik sampai jarak 750 m, suara M. pagensis dan S. concolor 300 m (Bismark, 2006). Penelitian vegetasi diadakan untuk mengetahui kualitas habitat primata dengan penekanan pada parameter keragaman jenis, jumlah pohon, dan basal area. Data ini diambil dalam 10 plot berukuran 200 m² (14,14 x 14,14 m). Penelitian ini dilakukan di Desa Tiniti, Siberut Utara pada bulan Maret sampai April 2006. III. HASIL DAN DISKUSI A. Areal Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan Desa Tiniti Siberut Utara. Areal penelitian terdiri dari dua lokasi, areal pertama komplek hutan Takungan di hulu sungai Tiniti (2 km dari pantai), kawasan berupa hutan sekunder tua bekas areal tebangan lebih dari 30 tahun lalu, di mana jalan sarad sudah tertutup vegetasi. Sebagian kecil areal berupa ladang tua dan areal yang telah mengalami penjarangan tegakan untuk keperluan papan masyarakat serta penjarangan untuk 64
Konservasi Primata Endemik Mentawai: Analisis Habitat… (M. Bismak)
penanaman rotan manau. Areal berbukit bertopografi ringan sampai kelerengan lebih dari 50°, dan terdapat anak-anak sungai kecil. Di bagian yang landai tumbuh vegetasi hutan rawa air tawar. Areal kedua di kelompok hutan Tiniti adalah bekas tebangan dan sebagian bekas areal tebangan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK, 2004) yang sudah tidak beroperasi sejak 2005. Dengan demikian masih terdapat jalan sarad dan jalan cabang yang terbuka. Penelitian dilakukan sekitar jalan cabang sepanjang 4,7 km dan sebagian areal di tepi jalan sarad terdapat ladang masyarakat yang baru dibuka, sedangkan di jalan cabang tidak ditemukan ladang. Jalan cabang berada pada areal berbukit dengan kelerengan ringan sampai lebih dari 60°. Di areal ini hanya terdapat sungai-sungai kecil. B. Habitat Dalam penelitian habitat primata diukur beberapa parameter vegetasi yang berada di sekitar pohon tempat tidur atau areal yang berpotensi dan tersedia pohon tempat tidur dan pohon pakan primata. Dari 10 plot berukuran 200 m² yang dibuat tersebar pada jalur sensus sepanjang 600 m dalam ruang pengembaraan 4 jenis primata diketahui bahwa keragaman jenis pohon cukup tinggi di mana dalam areal 200 m² terdapat 11-32 jenis pohon berdiameter 4-120 cm. Total jenis dalam 10 plot pengamatan pada areal penelitian Takungan adalah 115 jenis (total areal 2.000 m²), dan 60 persen dari jenis hanya mempunyai satu individu pohon sehingga vegetasi menunjukkan indek keragaman jenis tinggi (Indeks ShanonWiener 4,756). Jumlah pohon menurut kelas diameter dapat dilihat pada Gambar 1. Jenis pohon yang berdiameter di atas 50 cm adalah mancemenleleu (Hopea mengarawan), kalumanau (Hoisfieldia sp.), kapene (Gymnacranthera bancana), palalenniba (Canarium sp.), pasese (Ormosia macrodisca), kaboi (Blumedendron tokbrai), lompogulid (Alseodaphne falcata), karai (Anisoptera costata), teitei-pana (Hydnocarpus woodi), lilak (Cynometra raniflora), dan maneget (Litsea sp.). 40 Jumlah Pohon (batang)
35 30 25 20 15 10 5 0
Diameter
Gambar 1. Jumlah pohon pada berbagai diameter di komplek hutan Takungan (dalam 10 plot 200 m²)
Penelitian Simbolon et al. (1997), bahwa dalam plot 30 x 30 m di desa Rokdog Siberut terdapat 54 jenis pohon yang berdiamater 4-180 cm dengan ketinggian mencapai 40 m, dan terdapat 28 jenis pohon dalam plot 10 x 30 (300 m²) di desa Madobag, jumlah jenis ini relatif rendah dari jumlah jenis pohon di habitat primata di Takungan yang mencapai 32 jenis pohon dalam areal 200 m².
65
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 Dari segi potensi hutan, analisis dibedakan berdasarkan diameter. Diameter tegakan yang masuk kategori pohon adalah diameter 10 cm ke atas, di mana pohon yang berpotensi sebagai pohon tempat tidur hylobates adalah pohon yang berdiameter lebih dari 40 cm (Iskandar, 2006). Komposisi tegakan dengan parameter kerapatan dan basal area dari tiga kelas diameter tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Jumlah Pohon
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Basal Area (m²) 17.1
1.24
1,40
13.7 0,70
0.57
3.4
Jumlah pohon Basal area
0.06 0,07 4- 9
10 - 39
> 40
Klas Diameter (cm)
Gambar 2.
Jumlah pohon dan basal area rata-rata menurut kelas diameter pohon (dalam 10 plot 200 meter²), habitat lokasi tidur primata endemik Mentawai
Pemilihan pohon tinggi sebagai pohon tidur bertujuan untuk mengurangi resiko primata dari predator termasuk ular dan burung pemangsa, sehingga anggota kelompok H. klossii tidur pada pohon terpisah kecuali induk dengan anak atau individu remaja (Whitten, 1980) dan tidak ada korelasi frekuensi penempatan pohon tidur dengan sumber pakan yang terdekat (Reichard, 1998). C. Populasi Hasil penelitian populasi 4 jenis primata endemik Mentawai disajikan dalam Tabel 1, di mana kepadatan populasi H. klossii di Siberut Utara adalah 8,14 individu per km2. Berdasarkan daerah jelajah (home range) H. klossii seluas 33 ha, maka pada habitat hutan primer kepadatan populasinya adalah 10,5 individu per km2 dengan besar kelompok rata-rata 3,7 individu (Whitten, 1980). Angka populasi ini berbeda dengan laporan Tenaza (1975) dan Tilson (1974) dalam Whitten (1980), di mana populasi H. klossii di hutan primer antara 25-30 individu per km2 (home range antara 15-20 ha). Penelitian Whittaker (2005) dengan metode Fixed Point Count dalam radius 600 m (luas contoh areal 1,13 km²) menunjukkan bahwa populasi H. klossii antara 26,5-31,3 individu per km2. Di areal penelitian Takungan dan Tiniti, luas areal contoh dengan radius 750 m (1,77 km²) populasi H. klossii rata-rata di hutan bekas tebangan 30 tahun terhitung sejumlah 8,14 individu per km2, dan hasil penelitian IPB menunjukkan populasi 8,9 individu per km2. Jumlah kelompok H. klossii yang didapat dari hasil penelitian Whittaker (2005) berkisar 4-15 individu atau rata-rata 10 individu per kelompok. Angka ini tidak menunjukkan umumnya kelompok Hylobatidae sebagai primata monogami yang berkelompok antara 2-6 individu. Besarnya anggota kelompok tersebut didukung 66
Konservasi Primata Endemik Mentawai: Analisis Habitat… (M. Bismak)
oleh perubahan perilaku H. klossii yang lebih bersifat omnivora dan tingginya sumber pakan yang tersedia (Whittaker, 2005). Hasil penelitian yang intensif menunjukkan bahwa H. klossii mempertahankan teritori yang cukup luas (65 % dari home range) untuk mempertahankan keragaman jenis pohon pakan dan buah-buahan yang tersedia menurut musim (Whitten, 1980). Meratanya sebaran sumber pakan dengan kerapatan tinggi menyebabkan kurangnya pertahanan kelompok terhadap daerah jelajah, sehingga terjadi tumpang tindih daerah jelajah yang luas (Bismark, 2006). Faktor ini menunjukkan keanekaragaman jenis pohon yang tinggi di habitat primata dan tercatat 40 jenis pohon sumber pakan (16 % dari jenis pohon yang tercatat) dari 55 jenis pohon pakan yang dilaporkan Whitten (1980). Dalam hal ini 30 persen pohon sumber pakan tercatat hanya ada satu individu dalam plot 20 x 50 m (Partomihardjo, Komunikasi pribadi). Rendahnya populasi dari masing-masing jenis pohon pakan di habitat hutan bekas tebangan menyebabkan populasi H. klosii lebih rendah dari hutan primer. Hasil penelitian IPB (2006) di hutan primer Siberut Utara, populasi S. concolor mencapai 53 individu per km² dan M. pagensis 16,2 individu. Angka ini cukup berbeda dengan hasil penelitian di Tiniti (Tabel 1 dan Tabel 2). Ini menunjukkan bahwa S. concolor tidak teradaptasi baik dengan hutan sekunder tua (10,94 individu/ km²) dengan kemungkinan tingginya tingkat perburuan. Tabel 1. Populasi primata di komplek hutan Takungan, desa Tiniti, Siberut Utara Luas areal Rata-rata Rata-rata Rata-rata Jumlah Jenis sampel kelompok SD individu per areal (ha) sampel (ha) per km² kelompok H. klossii 28,3-176,7 92,06 12 2,71 1,563 3 S. concolor 28,3-78,5 41,1 7 4,05 2,09 2,7 P. potenziani 28,3-78,5 36,5 8 3,85 1,75 3 M. pagensis 28,3-78,5 48,2 9 2,63 0,97 12
Rata-rata individu per km² 8,14 10,94 10,14 31,56
Tabel 2. Populasi primata di bekas tebangan, jalan Siberut Utara Luas areal Rara-rata Jumlah Jenis sampel areal (ha) sampel (ha) H. klossii 60-176,7 114,06 5 S. concolor 28,3-60 38,9 3 P. potenziani 28,3-60 44,7 6 M. pagensis 28,3-72 42,5 8
Rata-rata individu per km² 6,54 8,70 10,32 33,10
sarad, dan jalan cabang IPK 2004, desa Tiniti, Rata-rata kelompok per km² 2,18 2,90 2,58 3,15
SD 1,05 1,07 1,02 1,71
Rata-rata individu per kelompok 3 3 4 10,5
Macaca teradaptasi baik dengan hutan sekunder dan ladang sehingga populasi lebih tinggi (100 %) dari hasil yang dilaporkan IPB (2006). Berdasarkan Tabel 2, terlihat adanya kemungkinan pengaruh tebangan dalam luasan kecil terhadap penurunan populasi H. klossii dan S. concolor sejumlah 20 persen, dan penurunan ini akan lebih tinggi pada areal penebangan yang lebih luas. Tingkat pemanfaatan hutan melalui kegiatan HPH intensif dapat menurunkan populasi primata. Hal ini terindikasi dari jarangnya suara H. klossii dan jarangnya ditemukan pohon dengan tinggi di atas 20 m (Kawamura dan Megantara, 1986). Di HPH KAM, dalam areal bekas tebangan 3 tahun jarang terdengar suara H. klossii dan suara terdengar dalam jarak sekitar 1,5 km (Bismark, pengamatan pribadi). Jenis yang sangat tergantung pada habitat dengan pohon tinggi adalah H. klossii dan S. concolor (Kawamura dan Megantara, 1986), sehingga kedua jenis ini sangat rentan terhadap kegiatan logging. Selain itu populasi keduanya lebih 67
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 rendah dari populasi P. potenziani dan populasi M. pagensis. Salah satu akibat penjarangan pohon, pohon tinggi lain mudah tumbang sehingga dapat mencederai dan membunuh primata yang berada di pohon tersebut. Kasus ini terjadi saat penelitian berlangsung di mana induk P. potenziani mati terhempas akibat pohon tidurnya tumbang. Mengacu kepada dampak pengelolaan hutan dalam bentuk HPH terhadap vegetasi habitat tentunya kegiatan ini akan mempengaruhi terhadap populasi primata endemik yang menjadi acuan pengelolaan dan pelestarian hutan atau dalam pengamanan taman nasional dan cagar biosfer. Berdasarkan SK Menhut No. 252/Kpts-II/1993 tentang kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi alam Indonesia secara lestari, di antara indikatornya adalah aspek konservasi, dengan penetapan wilayah konservasi dalam areal hutan produksi. Berdasarkan angka populasi minimum primata sejumlah 250 individu (Harcourt, 1995) keberadaan populasi minimum satu jenis primata langka sejumlah 250 individu dapat dipertimbangkan untuk menentukan luas wilayah konservasi. Dalam hal ini H. klossii dan S. concolor merupakan jenis primata dengan populasi rendah dan paling tinggi tingkat ketergantungannya terhadap hutan primer dapat menjadi indikator penetapan luas tersebut. IV. KESIMPULAN 1. Kawasan hutan Tiniti, Siberut Utara adalah bekas areal tebangan lebih dari 30 tahun yang lalu telah membentuk ekosistem hutan sekunder tua dengan keanekaragaman jenis tinggi (4,756 dalam indek Shannon-Wieners). Kepadatan pohon di lokasi tidur primata berdiameter 10-39 cm mencapai 17,1 pohon per 200 m2, sedangkan yang berdiameter >40 cm mencapai 3,40 pohon per 200 m2. Tingginya jumlah pohon berdiameter 4-9 cm, menunjukkan tingkat regenerasi hutan berjalan baik. 2. Populasi pohon berdiameter >40 cm dengan basal area 1,243 m² per 200 m2 menunjukkan potensi hutan sekunder tua bekas tebangan dapat mendukung penyediaan pohon tidur dan pakan primata apabila tidak terjadi gangguan penebangan liar. 3. Populasi H. klossii di hutan sekunder tua adalah 8,14 individu per km² dan S. concolor 10,94 individu lebih rendah dari hutan primer karena sangat sensitif terhadap perubahan habitat, sedangkan P. potenziani dan M. pagensis masing-masing adalah 10,14 dan 31,56 individu per km² lebih tinggi dari hutan primer. Pada areal yang mengalami tebangan ulang untuk ladang dan sebagian areal untuk IPK (kegiatan dalam tahun 2004) populasi H. klossii dan S. concolor lebih rendah 20 %. Hal ini akan berakibat lebih besar pada areal tebangan yang lebih luas seperti HPH. DAFTAR PUSTAKA Bismark, M. 2006. Populasi Primata Endemik Mentawai di Kompleks Hutan Desa Tiniti Siberut Utara. Laporan Penelitian. C.I. Jakarta. Hacourt, A.M. 1995. Population Viability Estimates: Theory and Practice for Wild Gorilla Population. Conserv. Biology 9(1) : 134-142. IPB. 2006. Siberut Conservation Program. Research, Nature Conservation and Local Economy Perspectives on Siberut. Report, Institute of Research and Community Empowerment. IPB.
68
Konservasi Primata Endemik Mentawai: Analisis Habitat… (M. Bismak)
Iskandar, E. 2006. Model Estimasi Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Halimun, Jawa Barat. Disertasi. IPB. (draft). Kawamura, S. and E.N. Megantara. 1986. Observation of Primates in Logged Forest on Sipora Island, Mentawai. Studies on Asian Non-Human Primates, 5:1-12. Nijman, V. and S.B.J. Menken. 2005. Assement of Census Techniques or Estimating Density and Biomass of Gibbons (Primates: Hylobatidae). The Raffles Bulletin of Zoology 53(1):169-179. Reichard, U. 1998. Sleeping Site, Sleeping Place and Presleep Behaviour of Gibbons (Hylobates lar). J. of Primatology 46:35-62. Simbolon, M.A.S. Adhikerana, J.J. Afriastini dan A. Marakarmah. 1997. Beberapa Gatra Biologis Sumberdaya Tumbuhan Ekonomis Pulau Siberut, Sumatera Barat. Dalam Pulau Siberut : Potensi, Kendala dan Tantangan Pembangunan. Eko, B., W. H. Susanto dan A. S. Adhikerana (eds). LIPI. Whitten, A.J. 1980. The Kloss Gibon in Siberut Rain Forest. PhD Disertation. Univ. Cambridge. UK. Whittaker, D.J. 2005. New Population Estimates for the Endemic Kloss’s Gibbon Hylobates klossii on the Mentawai Islands, Indonesia. Oryx 39 (4) : 458-467.
69