E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012
PROSES PELAKSANAAN KONSELING TERHADAP PELAKUDALAM MENANGANI BULLYING DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (STUDI KASUS SEKOLAH MENENGAH ATAS “Y”) YAYAN FERDIAN Department Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia *) Email :
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas mengenai Proses Pelaksanaan Konseling Dalam Menangani Tindakan bullying Di Sekolah Menengah Atas. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini mencoba mendeskripsikan proses konseling dan mengetahui faktor penghambat dan pendukung dalam proses konseling yang diterapkan oleh Sekolah Menengah Atas “Y”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses konseling yang diterapkan sudah baik namun ada beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki oleh Sekolah Menengah “Y” seperti peraturan yang diterapkan untuk bullying verbal, pengawasan sekolah di tempat yang kurang terstruktur, kerjasama sekolah dengan orang tua, dan peningkatan pengetahuan element sekolah baik di dalam (guru, kemanan, dan administrasi) maupun di luar (orang tua) sekolah mengenai tindakan bullying.
THE PROCESS OF COUNSELING FOR BULLY TO PREVENT BULLYING IN SENIOR HIGH SCHOOL (CASE STUDY: “Y”SENIOR HIGH SCHOOL Abstract This thesis is concerned to the process of the implementation of counseling in order to handle of bullying at senior high school. This research applied quantitative research with describe research as the type of research. This thesis is trying to describe the process of the counseling and to know the barrier and supporting factor in the process of counseling which is implemented by senior high school “Y”. The result of research shows that the process of counseling which is implemented is good enough yet. There are several weaknesses that must be improved by senior high school “Y” such as rule which is implemented for verbal bullying, school’s control at the lack of structured places, school and student’s parents cooperation, and the improvement of the knowledge of school’s element both inside (teacher, security, and administration) and outside (parent) of the school concerning bullying. Keywords: process of counseling, supported factors, inhibiting factors
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 perkembangan sosial siswa sebagaimana tertuang
1. PENDAHULUAN Anak merupakan generasi penerus bangsa.
pada
Pasal
3
UU
Sisdiknas.
Perkembangan
sangat
kecerdasan emosional siswa dapat terhambat karena
dipengaruhi oleh keadaan generasi mudanya pada
beberapa sebab salah satunya adalah tindakan
saat ini. Mereka adalah agen perubah (agen of
bullying yang terjadi di sekolah. Akhir-akhir ini
change) yang akan menjadi salah satu penentu
bullying menjadi marak dan bahkan menjadi
terpenting masa depan bangsa. Untuk itu penting
fenomena dalam kehidupan sehari-hari di sekitar
bagi seluruh pihak, baik keluarga, masyarakat,
lingkungan
maupun
dalam
melakukan survei tentang perilaku kekerasan di
melindungi dan menjamin segala bentuk hak-hak
sekolah. Survei dilakukan di Jakarta, Yogyakarta,
anak agar anak dapat tumbuh dan berkembang
Surabaya, dan Bogor, dengan melibatkan 1.500
dengan baik, serta terbebas dari segala bentuk
siswa
diskriminasi dan kekerasan. Selain itu ada beberapa
menunjukkan 67,9% menganggap terjadi kekerasan
hak anak yang harus dipenuhi salah satunya adalah
di sekolah, berupa kekerasan verbal, psikologis, dan
pendidikan. UU No. 23 Tahun 2002 menjelaskan
fisik. Pelaku kekerasan pada umumnya adalah
tentang Perlindungan Anak, pasal 9 yang berbunyi
teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah,
“setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
dan preman di sekitar sekolah. Sementara itu, 27,9
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya
persen siswa SMA mengaku ikut melakukan
dan
dan
kekerasan, dan 25,4 persen siswa SMA mengambil
bakatnya”. Selain itu UU No. 11 menjelaskan
sikap diam saat melihat terjadi kekerasan (Amrullah,
kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
Data BPS 2009).
Keadaan
masa
depan
pemerintah
tingkat
suatu
untuk
kecerdasannya
bangsa
ikut
serta
sesuai
minat
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara
agar
dapat
hidup
layak
dan
mampu
sekolah.
SMA
dan
Bullying kekerasan
Plan
75
guru.
adalah
dimana
Indonesia
Hasil
pernah
penelitian
bentuk-bentuk
terjadi
perilaku
pemaksaan
secara
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan
psikologis ataupun fisik terhadap seseorang atau
fungsi sosialnya (UU No11, 2009). Kesejahteraan
sekelompok
anak dapat terpenuhi ketika anak terbebas dari
seseorang atau sekelompok orang. Korban juga
masalah sosial dan terpenuhinya kebutuhan biologis,
mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang lemah,
psikologis dan sosial anak.
tidak berdaya dan selalu merasa terancam oleh bully.
Untuk menjamin anak terbebas dari masalah
orang
(Djuwita, 2005
yang
lebih
“lemah”
oleh
8). Coloroso menjelaskan banyak
sosial seperti diskriminasi dan kekerasan di dunia
korban bullying pergi ke sekolah dengan penuh rasa
pendidikan dibutuhkan sarana pendidikan yang
takut dan berpura-pura sakit agar terhindar dari olok-
menjamin kesejahteraan anak agar anak merasa
olok atau supaya tidak di serang dalam perjalanan ke
aman dan nyaman di sekolah. Pendidikan merupakan
sekolah atau di halaman sekolah, di ruang ganti
salah satu kebutuhan dasar bagi setiap individu.
pakaian,
Pendidikan
berdampak pada anak-anak yang menjadi korban
memiliki
beberapa
fungsi
yaitu
dan
di
banyak
kamar
mandi.
waktu
tersebut
peningkatan kompetensi, penggali potensi siswa, dan
bullying
yang terpenting adalah kecerdasan emosi serta
memikirkan cara menghindari trauma dan hanya
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
menghabiskan
Hal
untuk
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 memiliki sedikit energi untuk belajar (Coloroso,
nyaman dan aman bagi seluruh siswa dalam proses
2006, p. 12). Tindakan bullying bisa mengakibatkan
pembelajaran maupun interaksi sosial didalamnya.
anak menjadi tertutup dan berubah secara sikap
Dengan konseling tersebut diharapkan sekolah dapat
keseharianya. Anak yang tadinya ceria tiba-tiba
mengurangi penindasan dan dampak negatifnya pada
menjadi pemurung, anak yang tadinya senang
anak-anak, komunitas sekolah, dan keseluruhan
bersosialisasi menjadi penyendiri, dan sikap anak
komunitas. Riset telah memperlihatkan bahwa
yang tadinya bersahabat kini cenderung kaku bahkan
penindasan dapat dikurangi kalau para pendidik,
adakalanya bermusuhan (Monty, 2003, p. 30).
siswa, dan orang tua bekerjasama untuk menciptakan
Selain itu berbagai budaya sekolah kini
sebuah iklim yang memiliki semangat kesatuan dan
banyak memakai cara untuk melakukan bullying
semangat
pengabdian
dan
dapat
menuntaskan
sebagai bentuk kekuasaan senior terhadap junior dan
konflik kekerasan. Kebijakan dan prosedur-prosedur
harus di lewati junior untuk menjadi siswa disekolah
antibullying dan iklim budaya di sekolah perlu
tersebut. Bullying dapat terjadi ketika para siswa
dikembangkan oleh sekolah. (Coloroso, 2006, p.
baru mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa). Para
354).
mengalami
Bimbingan dan konseling merupakan proses
perpeloncoan yang dilakukan oleh para seniornya.
bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh
Perpeloncoan memiliki beberapa bentuk tindakan
pembimbing atau konselor kepada individu (konseli)
penindasan
melalui pertemuan tatap muka atau hubungan timbal
siswa
tersebut
tidak
yang
ketidakseimbangan
jarang
akan
dapat kekuasaan
menunjukan dimana
target
balik
antara
keduanya
agar
konseli
memiliki
perpeloncoan yang jumlahnya lebih sedikit atau
kemampuan atau kecakapan melihat dan menemukan
memiliki posisi dalam status sosial yang lebih rendah
masalah serta mampu melihat masalah konseli
daripada para pelaku (Coloroso. 2006, p. 63).
sehingga konseli mampu melihat masalahnya sendiri,
Untuk mengatasi masalah bullying pada siswa
mampu menerima dirinya sendiri sesuai dengan
dibutuhkan suatu sarana layanan bimbingan dan
potensinya dan mampu memecahkan masalahnya
konseling di sekolah yang dapat membantu siswa
yang dihadapinya (Tohirin, 2007, p. 26)
dalam menyelesaikan masalah yang tidak dapat
Dari berbagai penelitian yang dilakukan,
siswa selesaikan sendiri. Layanan bimbingan dan
belum ada penelitian yang menggambarkan proses
konseling merupakan bagian yang tidak dapat
konseling yang dilakukan terhadap pelaku bullying.
terpisahkan dari proses pendidikan di sekolah yang
Pada umumnya konseling dilakukan untuk korban
mempunyai peranan penting untuk membantu siswa
karena berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari
agar mampu mencapai perkembangan yang optimal
tindakan bullying seperti depresi, tidak merasa aman
dan membantu dalam pemecahan masalah siswa.
dan nyaman di sekolah, dan selalu menjauhkan diri
Masalah bullying pada siswa yang disebutkan diatas
dari lingkungan sosial korban sehingga perlu
menandakan bahwa siswa mebutuhkan bimbingan
dilakukan konseling kepada korban sebagai bentuk
dan konseling sebagai salah satu bentuk intervensi
pemulihan sifat dan karakter anak. Namun Astuti
bagi penanganan bullying di SMA “Y” yang pada
(2008; 11) menjelaskan apabila dibiarkan, pelaku
akhirnya memiliki tujuan menciptakan sekolah yang
bullying akan merasa bahwa tidak ada risiko apapun
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 bagi mereka bila mereka melakukan kekerasan,
2.
Apa saja faktor pendukung dan penghambat
agresi ataupun mengancam anak lain. Ketika dewasa,
pelaksanaan konseling SMA “Y” dalam
pelaku memiliki potensi lebih besar untuk menjadi
menanggulangi bullying?
kriminal
dan
akan
bermasalah
dalam
fungsi
sosialnya. Kaltiala-Heino, dkk (1999) dan Olweus (1993) (dalam Boyle, 2005, p: 22-24) menjelaskan dampak negatif yang diterima pelaku bullying adalah pelaku akan sering terlibat dalam kenakalan remaja, penyalahgunaan
alcohol
dan
zat,
melakukan
kekerasan di masa dewasa kelak, dan bisa menjadi pelaku criminal. Olweus 1993 (dalam Boyle, 2005, p: 22-24) menambahkan pelaku lebih mungkin terlibat dalam vandalism, mengutil, membolos, serta meningkatkan kemungkinan bahwa anak-anak dan remaja akan terlibat dalam perilaku anti sosial dimasa dewasa. Dalam proses penanganannya perlu dilakukannya konseling kepada pelaku sebagai bentuk
usaha
memberfungsikan
kembali
dan
tercapainya kondisi pelaku terbebas dari masalah sosial. Untuk menekan jumlah bullying, SMA”Y” memiliki beberapa program seperti system conduct, zero tolerance untuk bullying fisik dan penerapan program antibullying. Selain program tersebut SMA “Y” memiliki dua jenis proses konseling yang diterapkan untuk mengatasi siswa yang malakukan tindakan bullying yaitu konseling individu dan konseling kelompok. Namun menarik untuk diteliti dan dikaji, walaupun telah dilakukan konseling, masih ada pelaku yang melakukan tindakan bullying. Berangkat dari perumusan masalah tersebut muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1.
Bagaimana proses pelaksanaan konseling terhadap
pelaku
di
SMA
menanggulangi bullying?
“Y”
dalam
2. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Berdasarkan jenisnya penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif karena penelitian ini mencoba menggambarkan proses pelaksanaan konseling dalam menangani masalah bullying yang terjadi di SMA “Y”. Penelitian deskriptif memberikan gambaran yang jelas, detail, dan spesifik mengenai suatu kondisi, seting, atau interaksi sosial. Selain itu, penelitian deskripsi menciptakan
seperangkat
pengklasifikasian
atau
pengkategorisasian, serta menjelaskan tahapan-tahapan dalam suatu peristiwa. Penelitian deskriptif berfokus dan berangkat dari pertanyaan “bagaimana” dan “siapa”. Misalnya, bagaimana suatu peristiwa bisa terjadi atau siapa yang terlibat didalam peristiwa tersebut (Neuman, 2006: 34-35). Penelitian ini dilakukan di SMA “Y” Lampung. Penelitian ini dilakukan di lokasi tersebut karena Berdasarkan data didapat tercatat masih ada siswa yang melakukan tindakan bullying di SMA“Y” bullying yang terjadi termasuk dalam deretan ketiga tertinggi dari jumlah kesalahan yang dilakukan. Tindakan bullying kerap terjadi di lingkungan sekolah (ruang kelas, parkiran bis dan toilet) dan selama siswa dalam perjalanan kesekolah maupun pulang dari sekolah (di dalam bis). Untuk mengatasi masalah bullying yang terjadi SMA “Y” memiliki dua jenis proses
konseling
yaitu
konseling
individu
dan
konseling kelompok. Namun menarik untuk diteliti dan dikaji, walaupun telah dilakukan konseling, masih ada pelaku yang melakukan tindakan bullying.
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 Penelitian ini menggunakan teknik purposive or
perilaku bullying apa saja yang pernah di lakukan
judgemental sampling, yaitu penarikan informan yang
oleh pelaku dan faktor apa yang menyebabkan
dilakukan peneliti jika ingin mendalami suatu kasus
perilaku tersebut muncul pada mereka serta
yang melibatkan jenis responden tertentu, isu-isu
tahapan apa saja yang pelaku dapatkan dalam
sensitif bagi sekelompok masyarakat, dan untuk
pelaksanaan proses konseling yang diberikan
memperoleh pemahaman secara lebih menyeluruh
konselor. Pelaku yang dipilih adalah pelaku yang
tentang masalah yang ingin diteliti. Dalam memilih
pernah mendapatkan proses konseling berkaitan
informan, teknik ini melibatkan penilaian ahli atau
dengan masalah bullying yang dilakukan. Informan
tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Peneliti juga
selanjutnya adalah informan korban tindakan
menggunakan teknik ini untuk menjangkau informan
bullying
yang sulit untuk dijangkau. Peneliti juga sudah
mengenai perilaku bullying yang pernah dirasakan.
mengetahui informan yang akan dijadikan sumber informasi
penelitiannya
(Neuman,
2006:
yang
dapat
memberikan
informasi
3. Guru SMA “Y”
222).
Informan Guru dipilih karena ada satu guru yang
Informan-informan yang dipilih tersebut antaralain
pernah melakukan proses konseling bersama
sebagai berikut :
dengan konselor pada saat menjabat sebagai
1. Konselor sekolah SMA “Y”
homeroom. Informan ini dipilih untuk mengetahui
Konselor yang dipilih adalah konselor yang telah
proses konseling yang dilakukan dan mengetahui
bekerja selama empat tahun
hambatan dalam menanggulangi tindakan bullying
karena SMA “Y”
memiliki tiga konselor (satu konselor yang telah
yang terjadi di SMA “Y”.
bekerja selama empat tahun dan dua konselor yang baru bekerja selama dua bulan). Dalam hal ini konselor sekolah dapat memberikan informasi
3. HASIL
sekolah terkait dengan antibullying dan bagaimana
SMA “Y” memiliki dua jenis proses konseling yaitu konseling individu dan konseling kelompok sebagaimana dijelsakan sebagai berikut:
proses konseling yang dilakukan ketika tindakan
2.1 Bullying Di SMA “Y”
mengenai program-program apa saja yang dimiliki
Tindakan
bullying muncul, memberikan informasi mengenai
bullying
yang
terjadi
di
faktor pendukung dan penghambat dalam proses
lingkungan sekolah SMA “Y” memiliki dua
konseling
bentuk, yaitu bullying fisik dan bullying verbal.
serta
mengetahui
beberapa
kasus
bullying yang pernah terjadi di sekolah.
Dalam dua tahun terakhir tercatat 24 kasus bullying yang terjadi di SMA “Y” yang terdiri dari 37%
2. Siswa SMA “Y” Informan yang berasal dari siswa SMA “Y” terdiri dari empat orang informan pelaku (satu pelaku bullying fisik dan tiga bullying verbal) dan dua informan korban bullying (korban bullying fisik dan korban bullying verbal). Informan pelaku merupakan informan yang pernah melalui proses konseling. Informan ini dipilih untuk mengetahui
tindakan bullying fisik dan 63% tindakan bullying verbal.
Rendahnya
tingkat
bullying
fisik
dibandingkan dengan bullying verbal disebabkan karena SMA “Y” melarang siswa untuk melakukan tindakan kekerasan fisik dan kriminal, SMA menyebutnya dengan “zero tolerance”. Hal ini juga dijelaskan oleh Sullivan, Cleary, dan Ginny (2005)
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 bahwa upaya sekolah untuk menekan tindakan
lemah, tidak berdaya dan selalu merasa terancam
bullying salah satunya dengan cara menerapkan
oleh bully (Djuwita, 2005, p.
kebijakan nol toleransi terhadap bullying (Sullivan,
merupakan hal yang mendasari siswa SMA”Y”
2005, p. 58). Sebaliknya, bentuk bullying secara
melakukan tindakan bullying terhadap korban.
verbal masih banyak terjadi di SMA “Y”
Pelaku merasa memiliki kekuasaan yang lebih
sebagaimana juga diungkapkan oleh Coloroso
besar dibanding korban karena merasa lebih senior
(2006) dari ketiga bentuk penindasan (verbal, fisik,
dilingkungan sekolah sehingga pelaku memiliki
dan rasional), penindasan verbal adalah salah satu
kuasa untuk merubah korban sesuai dengan
jenis penindasan yang paling mudah dilakukan,
keinginan pelaku. Dikasus yang berbeda pelaku
karena kerap merupakan pintu masuk menuju
membentuk kelompok dengan cara mencari teman
kedua bentuk penindasan lainnya, serta dapat
yang memiliki perasaan yang sama (tidak suka)
menjadi langkah pertama menuju kekerasan yang
terhadap korban sehingga pelaku melakukan
lebih kejam dan merendahkan martabat korban
bullying
(Coloroso, 2006, p. 46-50)
kekuatan yang lebih besar seperti yang dilakukan
Berkaitan
dengan
alasan
pelaku
RE
secara
kelompok
8). Senioritas
untuk
membentuk
YE dan EL.
melakukan tindakan bullying terhadap korban,
Bullying secara kelompok yang dilakukan
temuan lapangan menunjukkan bahwa pelaku
YE dan EL juga dijelaskan Papalia (1998) bahwa
merasa lebih senior dan tidak suka dengan sifat
kelompok teman sebaya merupakan pengaruh yang
korban YU. Hal serupa juga dilakukan secara
sangat penting bagi remaja. Beberapa penelitian
individu oleh pelaku YG dengan cara melakukan
menunjukkan bahwa teman sebaya lebih dari faktor
kekerasan fisik terhadap korban YG karena pelaku
keluarga dalam menentukan apakah seseorang
merasa lebih senior dibanding korban baik di
pemuda akan terlibat dalam kenakalan remaja yang
lingkungan sosial siswa seperti di perguruan
serius. Ketika remaja begabung menjadi kelompok
pencak silat dan di lingkungan sekolah, selain itu
teman
pelaku merasa memiliki tanggung jawab untuk
mempengaruhi satu sama lain dalam hal sosial
mengingatkan korban. Dikasus yang berbeda
aktifitas, kebiasaan belajar, berpakaian, perilaku
pelaku YE dan EL yang merasa tidak cukup
seksual, penggunaan obat-obatan, kejujuran, dan
memiliki kekuatan membentuk kelompok untuk
juga hobi (dalam Zastrow, 2004, p: 286). YE dan
melakukan bullying secara berkelompok dengan
EL
cara mengolok-olok korban. Berkaitan dengan
kelompok kecil di SMA”Y”. Kelompok tersebut
temuan
mempengaruhi
lapangan
tersebut
Djuwita
(2005)
sebaya,
merupakan
anggota
individu pandangan
subkelompok
yang
akan
membentuk
anggota
kelompok
menjelaskan bahwa perilaku bullying yang biasa
terhadap seseorang yang mereka anggap memiliki
disebut bully bisa seseorang, bisa juga sekelompok
sisi negatif. Berdasarkan temuan lapangan EL telah
orang, dan ia atau mereka mempersiapkan dirinya
mempengaruhi
memiliki
untuk
pandangan terhadap korban AR. Kelompok sepakat
melakukan apa saja terhadap korbannya. Korban
bahwa korban AR memiliki sisi negatif (sok cantik
juga mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang
dan tidak suka melihat gaya AR). Berdasarkan atas
kekuatan
atau
kekuasaan
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
anggota
kelompok
tentang
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 perasaan tersebut YE dan EL melakukan bullying
diikuti. Dengan demikian pelapor (saksi, korban, dan
verbal terhadap korban dengan cara mengolok-olok
orangtua) peduli akan penindasan yang dilakukan
korban.
siswa
dilingkungan
sekolah.
Fasilitas
yang
Temuan lapangan juga menunjukkan
disediakan oleh SMA”Y” dapat digunakan oleh
bahwa tempat yang digunakan pelaku untuk
sumber informasi (pelapor) guna meminimalisir
melakukan tindakan bullying yaitu di toilet, di
informasi tindakan bullying yang tidak sampai ke
kelas, di balik locker, dan parkiran bus. Seperti
pihak sekolah. Informasi mengenai tindakan bullying
yang dijelaskan Coloroso (2006) tempat yang
merupakan hal primer yang diperlukan oleh konselor
sering digunakan untuk melakukan tindakan bullying adalah wilayah-‐wilayah yang kurang terstruktur, seperti di lapangan bermain dan di kantin atau tempat makan siang (Coloroso, 2006, p. 332-335). Tempat-‐tempat tersebut digunakan pelaku untuk melakukan tindakan bullying karena tidak tersetruktur dan lemahnya pengawasan
SMA”Y” sebelum dilakukannya proses konseling kepada pelaku. Perlunya kepedulian orang-orang sekitar korban dan pelaku untuk melaporkan dapat meminimalisir
tindakan
bullying
yang
tidak
ditangani konselor. 2.2.1 Proses Konseling Individu Proses konseling individu yang diterapkan SMA “Y” memiliki tahap:
sekolah sehingga membuka peluang pelaku untuk
1. Penggalian Informasi Mengenai Bullying
melakukan tindakan bullying di tempat-‐tempat
(assessment)
tersebut.
Tahap ini dilakukan konselor dengan memangil orang-orang yang terkait dalam
2.2 Tahap Sebelum Proses Konseling Temuan
lapangan
menunjukan
bahwa
pencarian informasi tindakan bullying yang terjadi di sekolah, diperoleh konselor dari beberapa sumber informasi seperti saksi, korban, homeroom dan orang tua. Untuk mengantisipasi terjadinya informasi yang tidak sampai pada konselor, SMA “Y” memiliki beberapa fasilitas yang dapat digunakan oleh orang tua untuk melaporkan tindakan bullying tersebut seperti memalui telephone, datang ke sekolah, atau melalui student hand book. Berkaitan dengan temuan lapangan tersebut Coloroso (2006, p: 336-337) menjelaskan untuk melaporkan kepada pihak sekolah mengenai tindakan bullying yang terjadi. Pelapor dapat menggunakan komunikasi apa yang diterapkan sekolah jika siswa menindas atau ditindas seperti melapor melalui telephone, surat, atau memo dimana sekolah memiliki prosedur-prosedur yang dapat
masalah bullying seperti korban. saksi, dan pelaku secara individu. Dalam penggalian informasi,
pelaku,
korban
dan
saksi
dipersilahkan untuk bercerita mengenai apa yang telah mereka lihat dan mereka lakukan. Setelah itu konselor melakukan cross cheek data yang telah diperoleh. Tahap ini sama dengan tahap yang dijelaskan oleh Tohirin (2007), dimana tahap ini termasuk dalam tahap pengumpulan data (Tohirin, 2007, p. 317-322).
Pengumpulan
data
merupakan
salah satu tahap yang sangat penting sebelum dilakukannya
proses
konseling
individu.
Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan data mengenai kronologis tindakan bullying yang terjadi.
Berkaitan
dengan
hal
tersebut
Prayitno dan Amti (1999) juga menjelaskan
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 bahwa dalam konseling, klien dan konselor
Konselor SMA “Y” melakukan tahap
harus benar-benar memahami masalah yang
ini setelah diketahui faktor penyebab dan
dihadapi
secara
data-data yang akurat mengenai tindakan
lengkap dan rinci. Pemahaman masalah klien
bullying yang terjadi, selanjutnya konselor
harus
dengan
menetapkan
objektif
konseling individu kepada pelaku dengan cara
sebagaimana adanya masalah itu. Hal itu
konseling setiap satu minggu sekali. Tahap ini
perlu
ketetapan
sama dengan tahap prognosis sebagaimana
efektivitas dan efisiensi proses konseling
diungkapkan oleh Tohirin dimana dalam
(Prayitno & Amti 1999, p. 293-296)
tahap ini konselor menetapkan langkah-
klien,
sedapat-dapatnya
benar-benar
pemahaman
persis
konselor
justru
untuk
sama dan
menjamin
langkah-langkah
proses
langkah konseling yang akan dilakukan.
2. Analisa Dalam tahap ini konselor SMA “Y”
Menurut Tohirin tahap prognosis dilakukan
melakukan analisa dengan membandingkan
setelah
informasi
timbulnya masalah pada siswa selanjutnya
yang
diperoleh
dari
berbagai
diketahui atau
faktor-faktor konselor
penyebab
informan. Analisa merupakan suatu langkah
pembimbing
menetapkan
yang dilakukan konselor setelah melakukan
langkah-langkah bantuan yang akan diambil
pengumpulan data. Analisa yang digunakan
(Tohirin, 2007, p. 317-322).
secara
Konselor SMA “Y” melakukan tahap
kualitatif. Tahap ini hampir sama dengan
ini dengan cara berdiskusi dengan pelaku
tahap yang dijelaskan oleh Tohirin (2007).
tetang langkah yang dapat dilakukan untuk
Data hasil tes bisa dianalisa secara kuantitatif
memperbaiki
dan data hasil notes dapat dianalisa secara
Tahap ini dilakukan konselor atas dasar
kualitatif (Tohirin, 2007, p. 317-322). Selain
analisa informasi yang diperoleh konselor
itu Prayitno dan Amti (1999) menjelaskan
dari beberapa informan seperti pelaku, saksi,
tahap analisa adalah usaha pemahaman
dan korban. Setelah itu konselor akan
masalah klien, biasanya terkait langsung
melakukan
dengan kajian tentang sumber penyebab
bekerjasama dengan korban dan homeroom
masalah.
pemahaman
untuk mengetahui apakah pelaku melakukan
masalah dan pengkajian tentang sumber-
hasil konseling atau tidak. Berkaitan dengan
sumber
temuan lapangan tersebut, Prayitno dan Amti
oleh
SMA
“Y”
adalah
Meskipun penyebab
analisa
upaya dapat
dipilih,
namun
hubungan
pengawasan
korban.
dengan
(1999)
dipisahkan. Dengan mengkaji sebab-sebab
mendorong terjadinya perubahan pada diri
timbulnya
konselor
klien tanpa konselor sendiri banyak masuk
memperoleh pemahaman yang lebih lengkap
dan terlibat langsung dalam proses perubahan
dan
tersebut (Prayitno & Amti, 1999, p. 300).
mendalam
klien
tentang
dan
masalah
klien
(Prayitno & Amti 1999, p. 293-296) 3. Penetapan Langkah-Langkah Bantuan
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
bahwa
cara
pembahasan keduanya sering kali sukar masalah,
menjelaskan
dengan
konselor
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 1. Tahap Awal
4. Pengawasan Pada
tahap
pengawasan
konselor
Langkah
pertama
yang
dilakukan
melakukan memonitoring perubahan klien
konselor SMA“Y” adalah menggali informasi
setelah
proses
konseling
secara mendalam kepada setiap narasumber
atau
monitoring
(pelaku, korban, dan saksi) secara terpisah.
menjadi dasar konselor sebelum dilakukanya
Dalam pertemuan secara individu tersebut
evaluasi.
dijelaskan
individu.
mendapatkan Pengawasan Dari
hasil
evaluasi
dapat
bahwa
akan
ada
konseling
menunjukan apakah proses konseling individu
kelompok. Tahap ini sesuai dengan tahap
memberikan
yang dikemukakan
hasil
atau
tidak.
Temuan
oleh Prayitno (1995)
lapangan menunjukan konselor SMA “Y”,
bahwa langkah atau tahap awal dimulai
korban, dan homeroom bekerjasama untuk
dengan penjelasan tentang adanya layanan
mengawasi perkembangan anak. Hal tersebut
bimbingan
dilakukan untuk meminimalisir terjadinya
kelompok. Langkah ini merupakan langkah
dampak lebih besar dari masalah tersebut.
penjelasan kepada klien tentang pengertian,
Tahap ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh
tujuan dan kegunaan secara umum layanan
Tohirin bahwa tahap evaluasi dan follow up
tersebut (Prayitno, 1995, p. 78-83). Tahap ini
dilakukan
dilakukan untuk memperdalam pengetahuan
untuk
melihat
apakah
upaya
kelompok
konselor
hasil atau tidak (Tohirin, 2007, p. 317-322).
memberikan kesempatan kepada pelaku agar
Proses
bimbingan
masalah
konseling
bantuan yang telah diberikan memperoleh 2.2.2 Proses Konseling Kelompok
tentang
dan
klien
dan
mempersiapkan diri dan mengetahui tujuan
konseling
kelompok
merupakan suatu langkah yang diberikan oleh konselor kepada klien untuk membantu pencarian solusi atau pemecahan masalah antara kedua belah
dari
konseling
kelompok
yang
akan
dijalankan. 2. Tahap Perencanaan Kegiatan Dalam tahap ini konselor SMA “Y”
pihak. Konselor SMA “Y” melakukan proses
melakukan
bimbingan
untuk
diberikan pada saat konseling kelompok seperti
menanggulangi tindakan bullying yang tidak bisa
perilaku yang diharapkan dan perilaku yang
diselesaikan sendiri oleh pelaku. Sebagaimana
dilarang. Untuk tindakan bullying secara fisik,
dijelaskan dalam konseling individu, konselor
konselor melakukan persiapan pemanggilan
memiliki tahap assessment yang didalamnya
orang tua untuk ikut dalam proses konseling
memberikan kesempatan kepada pelaku untuk
kelompok dan mempersiapkan surat keterangan
menyelesaikan
dengan
mengenai hal tersebut benar terjadi yang
melakukan konseling individu setiap minggu.
nantinya akan ditanda tangani oleh pelaku,
Apabila pelaku tidak bersedia untuk menyelesaikan
korban, dan saksi, selanjutnya surat tersebut
masalahnya sendiri,
akan diserahkan pada pihak management
konseling
masalahnya
kelompok
sendiri
konselor akan melakukan
persiapan
materi
yang
akan
konseling kelompok sebagai alternatif pemecahan
sekolah.
masalah pada klien.
dijelaskan oleh Prayitno (1995) bahwa yang
Tahap
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
ini
sama
dengan
yang
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 perlu dipersiapkan dalam tahap ini adalah
seluruh peserta. Selain itu Prayitno dan Amti
materi layanan, tujuan yang diinginkan, dan
(1999) sebelum dilakukannya konseling perlu
sasaran kegiatan (Prayitno, 1995, p. 78-83).
dibuat
Tahap
untuk
kegiatannya. Tanpa adanya aturan, konselor
mempersiapkan sistem layanan yang akan
tidak dapat menjalankan fungsinya dengan
diberikan.
akan
baik, kegiatan anggota tidak terarah, atau
berlangsungnya
akan terjadi kesimpangsiuran, atau bahkan
ini
dilakukan
konselor
Perencanaan
berpengaruh
pada
kegiatan
proses
aturan
melaksanakan
pemberian layanan. Persiapan ini dilakukan
benturan
untuk memenuhi kelengkapan yang harus
mengakibatkan tujuan bersama tidak tercapai.
dipersiapkan
konselor
kekacauan,
dan
akan
baik
bentuk
Dengan demikian, jelaslah bahwa suatu
maupun
arsip
kelompok membutuhkan aturan, nilai-nilai
administrasi. Bentuk pemanggilan orang tua
atau pedoman yang memungkinkan seluruh
untuk
kelompok
anggota dapat bertindak dan mengarah pada
dijelaskan oleh Santrock (2003) bahwa orang
pencapaian tujuan konseling (Prayitno &
tua
Amti,
persiapan
oleh
dan
dalam
ketrampilan
ikut
dalam
memiliki
perkembangan
konseling
peranan remaja
penting
karena
dalam
orang
tua
1999,
diterapkan
p.
309).
konselor
Peraturan SMA”Y”
yang adalah
berfungsi sebagai contoh atau cetakan yang
komunikasi multiarah. Dalam pelaksanaanya
akan dibawa terus dari waktu ke waktu dan
anggota kelompok akan secara bergantian
mempengaruhi pembentukan hubungan baru
mengungkapkan
terhadap anak (2003, p: 176).
perasaan dan tanggapan dengan diatur oleh konselor.
3. Tahap Kegiatan SMA
“Y”
memiliki
beberapa
tahap
Hal
kronologis tersebut
kejadian,
bertujuan
agar
tercapainya tujuan konseling kelompok dan
kegiatan yang dilakukan dalam konseling
efisiensi waktu pelaksanaan.
kelompok yaitu:
3.2 Pelaksanaan Kegiatan
3.1 Pembuatan Peraturan
Pelaksanaan
kegiatan
dilakukan
Sebelum dimulainya proses konseling,
dengan cara komunikasi multiarah yang
konselor SMA “Y” membuat peraturan
dilakukan oleh peserta konseling kelompok
terlebih dahulu agar proses konseling berjalan
dalam
dengan lancar dan efisien. Peraturan tersebut
pendapat. Setelah informasi yang didapat
antara lain adalah komunikasi multiarah dari
dirasa cukup, maka konselor mengarahkan
setiap element terkait seperti pelaku, korban,
pada pembuatan kesepakatan antara kedua
dan saksi. Tahap ini masuk dalam tahap I
belah pihak. Tahap ini termasuk dalam
dari pelaksanaan konseling yang dipaparkan
tahap dua, dimana dalam tahap ini jembatan
oleh Prayitno (1995) (Prayitno, 1995, p. 78-
antara tahap satu dan tahap tiga. Prayitno
83). Tahap ini berpengaruh pada efisiensi
(1995) menjelaskan bahwa tahap dua adalah
waktu, efektivitas pengembangan dinamika
tahap yang biasanya berisi tentang sifat
kelompok, dan kondisi positif netral fisik
topik atau masalah yang akan dibahas dan
mengemukakan
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
masalah
dan
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 peran
serta
membahas
segenap masalah
anggota atau
dalam
topik-topik
(Prayitno, 1995, p. 78-83).
Tahap terakhir yang dilakukan SMA “Y”
adalah
pemberian
konsekuensi.
Konsekuensi yang diberikan berbeda-beda
3.3 Pemberian Terapi
tergantung pada kesalahan yang dilakukan
Konselor SMA “Y” memiliki tahap
pelaku. Tahap ini juga termasuk dalam
pemberian terapi yang harus dijalankan oleh
tahap tiga dimana dalam tahap ini konselor
pelaku dan korban. SMA “Y” membedakan
memberikan konsekuensi yang bertujuan
bentuk terapi menjadi dua klasifikasi yaitu
untuk pengembangan pribadi dan perolehan
terapi bagi pelaku bullying fisik dan terapi
kerja. Berkaitan dengan hal tersebut Dr.
bagi pelaku bullying verbal. Pemberian
Olweus dalam Coloroso (2007) menjelaskan
terapi tersebut merujuk pada perilaku-
bahwa pentingnya konsekuensi-konsekuensi
perilaku yang diharapkan yang bertujuan
konstruktif mensyaratkan bahwa mereka
untuk mengembangkan kepribadian pelaku.
yang andil dalam penindasan menjalani tiga
Tahap ini masuk dalam tahap ke tiga
R:
sebagaimana diungkapkan oleh Prayitno
(perbaikan kembali), dan resolusi (jalan
(1995) dari tahap ini akan diperoleh hasil-
keluar) (Coloroso, 2006, p. 332-335).
hasil yang diharapkan, yaitu pengembangan
Konsekuensi yang diberikan konselor SMA
pribadi dan perolehan kerja yang mencakup
“Y”
aspek-aspek kognitif, afektif, dan berbagai
pembuatan
pengalaman
bullying,
masalah
serta
(Prayitno,
alternatif 1995,
pemecahan p.
restitusi
(pemulihan),
untuk
bullying poster
presentasi
rekonsiliasi
verbal
adalah
mengenai
tindakan
mengenai
tindakan
78-83).
bullying, dan pembuatan projek even. Hal
Pemberin terapi yang dilakukan SMA “Y”
tersebut dilakukan sebagai bentuk dari
sebagai suatu bentuk perbaikan kognitif dan
penerapan pemulihan, perbaikan, pemberian
afektif pelaku. Untuk pelaku bullying verbal
efek jera (agar tidak lagi melakukan
akan diberikan pin silent moment yang
tindakan yang serupa) dan jalan keluar dari
berlaku selama 3 minggu. Terapi tersebut
masalah
berfungsi sebagai pembatasan interaksi
pelaku.
yang
telah
dilakukan
kepada
pelaku dengan siswa/siswi lain. Terapi
4. Tahap Pengawasan, Analisa dan Tindak Lanjut
tersebut diberikan kepada setiap pelaku
Temuan lapangan menunjukkan konselor
yang melakukan bullying verbal. Sedangkan
SMA “Y” bekerjasama dengan homeroom,
untuk bullying fisik, pelaku akan dipisahkan
lingkungan sekitar pelaku dan korban untuk
dari siswa lain seperti belajar sendiri
mengawasi
diruang konselor. Hal tersebut dilakukan
mendapatkan konseling kelompok. Berkaitan
karena kepastianya adalah pelaku bullying
dengan
fisik akan dikeluarkan dari sekolah.
mengungkapkan perlu dikaji apakah hasil-hasil
3.4 Pemberian Konsekuensi
hal
perubahan tersebut
klien Prayitno
setelah (1995)
pembahasan dan pemecahan masalah sudah dilakukan sedalam atau setuntas mungkin, atau
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 sebenarnya masih ada aspek-aspek penting
management
yang belum dijangkau (Prayitno, 1995, p. 78-
keputusan, sedangkan untuk tindakan bullying
83). Bentuk pengawasan
verbal konselor mengambil langkah sendiri
dilakukan karena
sekolah
karena
konsekuensi yang harus dijalankan sehingga
pengambilan keputusan untuk bullying verbal.
pengawasan
ini
berfungi
memiliki
mengambil
diakhir tahap konseling pelaku mendapatkan bentuk
konselor
untuk
kuasa
dalam
sebagai
monitoring pelaku apakah pelaku menjalankan
2.3 Faktor Pendukung dan Penghambat Proses
konsekuensi
Konseling
tersebut.
Pelaku
dan
korban
menjelaskan dalam temuan lapangan bahwa
2.3.1 Faktor Pendukung Proses Konseling Di SMA
sering ditanya oleh konselor dan homeroom
“Y”
tentang
perkembangan
hubungan
antara
1.
keduanya.
SMA
homeroom
Analisa yang dilakukan oleh konselor SMA
Konselor
“Y”
dengan
dan
perkembangan
bekerjasama
TOD
untuk
pelaku
dengan
mengawasi
setelah
pelaku
membandingkan
mendapatkan konseling. Hal tersebut dilakukan
dilakukannya
untuk mengetahui apakah siswa menjalankan
konseling kelompok. Apabila pelaku setelah
hasil konseling atau tidak. Selain itu hasil dari
mendapatkan proses konseling justru lebih
pengawasan
banyak melakukan tindakan negatif maka
evaluasi konselor sebelum melakukan tahap
konselor akan berdiskusi dengan orang tua
tindak lanjut kepada pelaku. Tohirin (2007)
untuk membantu konselor dalam mengawasi
menjelaskan bahwa pengawasan ini dilakukan
pelaku. Tohirin (2007) menjelaskan tahap
untuk melihat apakah upaya bantuan yang telah
analisa mencakup kegiatan: menetapkan norma
diberikan memperoleh hasil atau tidak (Tohirin,
atau
analisa,
2007, p. 317-322). Selain itu Coloroso (2006)
menafsirkan hasil analisa (Tohirin, 2007 p.
menjelaskan bahwa para siswa menginginkan
185-186). Analisa merupakan tindak lanjut dari
kehadiran orang dewasa yang lebih banyak lagi
tahap pengawasan, setelah terkumpul data-data
di seluruh wilayah sekolah dan di bis sekolah
mengenai perkembangan siswa selanjutnya
untuk agar siswa merasa aman (Coloroso, 2006,
dilakukan
p. 332-335)
akumulasi
yaitu
“Y”
conduct
standar
setelah
analisa,
analisa
melakukan
oleh
konselor
untuk
mengetahui berhasil atau tidaknya proses konseling yang diberikan. diberikan
sebagai
akan
menjadi
daras
SMA “Y” menerapkan zero tolerance untuk siswa yang melakukan tindakan bullying fisik
Tindak lanjut merupakan suatu langkah yang
2.
tersebut
bentuk
pencarian
dan tindakan yang mengarah pada kriminalitas. Berkaitan dengan hal tersebut Sullivan, Cleary,
alternatif pemecahan masalah (Prayitno, 1995,
dan
p.
penerapan nol toleransi merupakan suatu
78-83).
Tindak
lanjut
ini
dilakukan
Ginny
(2005)
menjelaskan
bahwa
dipertemuan berikutnya. Konselor SMA “Y”
langkah
melakukan tindak lanjut untuk bullying fisik
tindakan bullying (Sullivan, 2005, p. 58). Hal
dengan
tersebut akan berpengaruh pada pemberian
cara
bekerjasama
dengan
pihak
sekolah
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
dalam
menanggulangi
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 konsekuensi saat proses konseling berlangsung.
menyebabkan adanya batasan dalam akumulasi
Khususnya
sekolah
kesalahan sehingga pelaku bisa melakukan
memiliki kepastian konsekuensi yang harus
tindakan bullying yang sama setelah masa
dijalankan pelaku ketika melakukan bullying
berlaku
fisik dilingkungan sekolah.
melatarbelakangi pelaku untuk bisa melakukan
untuk
bullying
fisik,
MSL
habis.
Hal
ini
lah
yang
bullying verbal lebih dari sekali. Selain itu 2.3.2 Faktor Penghambat Proses Konseling Di SMA
konselor SMA”Y” dalam proses konseling
“Y”
tidak memiliki hak untuk memberikan kontrak
1.
masalahnya
karena level conduct yang didapat hanya level
diketahui oleh orang lain karena khawatir akan
tiga sedangkan untuk sampai pada kontrak dan
mendapatkan intimidasi lebih besar dari pelaku.
dilakukan pemanggilan orang tua akumulasi
Berkaitan
Coloroso
conduct empat level. Hal tersebut mengurangi
mengungkapkan bahwa penindasan (tindakan
kuasa konselor untuk melakukan pemanggilan
Bullying) adalah aktivitas sadar, disengaja, dan
orang
keji yang dimaksudkan melukai, menanamkan
kelompok. Hal tersebut berbanding terbalik
ketakutan melalui ancaman agresi lebih lanjut
dengan penanganan yang dilakukan sekolah
dan menciptakan teror (Coloroso, 2006, p. 43-
untuk
45). Ketakutan korban untuk menyampaikan
Sebagaimana dijelaskan oleh Sullivan, Cleary,
tindakan bullying yang terjadi kepada sekolah
dan Ginny (2005) bahwa dalam menangani
mengakibatkan keterlambatan informasi yang
tindakan bullying sekolah memiliki kebijakan
didapat konselor menjadi suatu hambatan
nol toleransi (dalam Coloroso, 2006, p. 332-
dalam
335). Dalam penjelasannya Sullivan tidak
Korban
tidak
menginginkan
dengan
proses
hal
tersebut
konseling.
Hal
ini
akan
tua
untuk
pelaku
ikut
dalam
tindakan
bullying
membedakan
konselor tentang tindakan bullying. Selain itu
bullying verbal maupun fisik. Hal tersebut akan
akan
penanganan
kepada
torelansi
untuk
fisik.
berpengaruh pada akurasi data yang didapat berpengaruh
nol
konseling
pelaku
pada
keterlambatan
menekan jumlah tindakan bullying secara
korban
dan
menyeluruh
pelaku.
Dampak yang lebih besar adalah membuka
baik
bullying
fisik
maupun
bullying verbal.
peluang untuk pelaku melakukan kepada siswa lain karena pelaku merasa tindakannya tidak diketahui maka pelaku bebas melakukan hal yang serupa kepada orang lain. yang
diterapkan.
Tujuan
dari
penelitian
ini
yaitu
mendeskripsikan proses konseling individu dan
2. Faktor penghambat berikutnya adalah sistem conduct
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Setiap
kelompok yang diterapkan konselor SMA “Y” dan
level
mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat
misconduct akan berlaku selama satu minggu.
dari proses konseling tersebut. SMA “Y” memiliki
Untuk bullying verbal memiliki batas waktu
dua proses konseling yaitu konseling individu dan
masa berlaku MSL selama 3 minggu karena
konseling kelompok dalam mengatasi masalah
masuk dalam MSL level 3. Hal tersebut
bullying yang terjadi. Namun, dalam penerapanya
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 SMA “Y” memiliki beberapa faktor pendukung dan
pelaku bebas melakukan tindakan bullying
faktor penghambat.
setelah masa berlakunya habis dan tidak dapat
Faktor
pendukung
antaralain
adalah
konselor bekerja sama dengan wali kelas dan TOD
dilakukan pemanggilan orang tua untuk ikut dalam konseling kelompok.
(teacher on duty) untuk mengawasi siswa yang telah
2. Perlu dihapuskanya proses konseling individu
mendapatkan proses konseling untuk mengetahui
yang diterapkan oleh SMA “Y”. Karena
apakah hasil konseling memberikan manfaat bagi
konseling individu tidak dapat diterapkan
peserta
“Y”
dalam penanganan kepada pelaku bullying.
memberlakukan sistem zero tolerance untuk pelaku
Hal tersebut dikarenakan akan membuka
bullying fisik. Sedangkan faktor penghambat dalam
kesempatan kepada pelaku untuk melakukan
proses konseling adalah korban yang tidak mau
tindakan bullying kedua kalinya apabila
melaporkan masalahnya kepada pihak sekolah
pelaku tidak benar-benar memahami bahwa
karena takut mendapatkan intimidasi lebih besar dari
dirinya bersalah atau bermasalah.
konseling.
Selain
itu
SMA
pelaku. Selain itu SMA “Y” menerapkan misconduct
3. Selain itu, kerjasama dengan orang tua
slip (slip yang diberikan kepada siswa yang
seharusnya tidak dilakukan hanya kepada
melakukan kesalahan). MSL (misconduct slip)
pelaku bullying fisik saja namun kepada
memiliki tiga level dan setiap satu level berlaku
pelaku bullying verbal juga. Hal tersebut
selama satu minggu. Akumulasi kesalahan akan
dapat dilakukan dengan pemanggilan orang
dilakukan jika siswa melakukan kesalahan sebelum
tua
masa berlaku slip habis. Bullying termasuk dalam
kelompok.
level 3 yang memiliki masa berlaku akumulasi
karena orang tua memiliki peranan penting
kesalahan
tersebut
dalam pembentukan karakter pelaku. Selain
menyebabkan siswa dapat melakukan tindakan
itu, orang tua juga memiliki tanggung jawab
bullying setelah masaberlaku MSL habis..
untuk mengawasi anak di luar lingkungan
selama
tiga
minggu
hal
Berdasarkan dari hasil temuan lapangan dan analisa yang telah dilakukan, maka dihasilkan
untuk ikut dalam proses konseling Saran tersebut perlu dilakukan
sekolah. 4. Perlu dibentuknya tim khusus (konselor, guru,
beberapa saran yang menjadi rekomendasi untuk
dan
pihak
proses konseling selanjutnya yaitu sebagai berikut:
menangani
management masalah
sekolah)
bullying.
Tim
yang ini
peraturan
berfungsi sebagai pengawas kegiatan siswa
khususnya untuk tindakan bullying dalam
selama berada di lingkungan sekolah dan saat
akumulasi kesalahan seperti tidak ada batas
proses konseling berlangsung sampai proses
waktu masa berlaku MSL untuk bullying
konseling selesai. Langkah ini dapat menekan
verbal. Hal tersebut didasarkan atas temuan
jumlah bullying yang terjadi di lingkungan
lapangan yang menunjukkan bahwa
dalam
sekolah karena tim tersebut benar-benar
konseling kelompok tidak dapat dilakukan
memahami masalah bullying yang terjadi di
akumulasi kesalahan karena masa berlaku
sekolah dan mengetahui apakah pelaku
MSL telah habis. Hal tersebut mengakibatkan
menjalankan hasil konseling atau tidak. Selain
1. Perlu
dilakukan
perbaikan
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 itu konselor akan mendapatkan data yang akurat
apakah
proses
konseling
yang
diterapkan memberikan hasil atau tidak kepada pelaku. 5. Perlu diadakanya seminar atau pembahasan mengenai
tindakan
bullying
secara
menyeluruh. Hal tersebut dilakukan dengan mengaitkan elemen di dalam sekolah (siswa, guru, administrasi, kemanan) dan di luar sekolah (orang tua) dengan membahas materi yang menjelaskan bullying. Kegiatan tersebut berfungsi untuk meningkatkan pemahaman dan penanganan secara bersama tindakan bullying.
5. DAFTAR PUSTAKA Buku : Adi, Isbandi R.( 1994). Psikologi Pekerja Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial: DasarDasar Pemikiran. Jakarta : Raja Grafindo Persada Adi,
Isbandi
Rukminto
(2005).
Ilmu
Kesejahteraan Sosial dan Pekerja Sosial. Depok: FISIP UI Press Astuti, Ponny Retno (2008). Meredam Bullying 3 Cara Efektif Meredam K.P.A (Kekerasan Pada Anak). Jakarta : Grasindo. Bowles, Wendy and Margaret Alston (1998).Research for social workers : an introduction to methods. Australia: Allen &Unwin Coloraso, Barbara. (2006). Stop Bullying: Memutus Rantai Kekerasan Anak Dari Prasekolah Hingga SMU. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Faisal, Sanapiah (2005). ”Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif”, dalam Burhan Bungin Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah
Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Kartini Kartono. (1985). Bimbingan Dan DasarDasar Pelaksanaan Teknik Bimbingan Praktis. Jakarta: CV Rajawali Ketut, Dewa S. (1990). Bimbingan dan Konseling Jakarta: Pt Gramedia Moleong,Lexy J (2004).Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakary Monty P Satiadarma, & Fidelis E Waruwu (2003), Mendidik Kecerdasan, Pedoman Bagi Orang Tua dan Guru Dalam Mendidik Anak Cerdas, Jakarta : Pustaka Populer Obor Neuman, W. Lawrence. (2006). Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approaches (6th ed). United States of America: Pearson International Edition. Peter Sheras & Sherill S. (2002). Your Child Bully Or Victim ?. Understanding And Ending School Yard Tyranny. London : A Sky Light Poerwandari,E Kristi (1998).Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi. Jakarta; Lembaga Penelitian Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi ( LPSP3). Prayitno (1995). Layanan Bimbingan dan konseling kelompok (Dasar dan Profil) Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia Desember Prayitno. & Amti, Erman (1999), Dasar-dasar Bimbingan Konseling diterbitkan dengan kerjasama antara pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . Jakarta: Rineka Ciptas November Santrock,John W.2003.Adolescece Perkembangan Remaja. Jakarta:Erlangga Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (13th ed). Bandung: Alfabeta. Sulistyo & Basuki (2006), Metode Penelitian, Jakarta : Wedatama Widya Sastra.
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013
E-‐JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 1, NOMOR 1, DESEMBER 2012 Sullivan Keith, Mark Cleary & Ginny Sullivan (2005). Bullying in Secondary Schools, What it Looks Like and How to Manage It. London : Paul Chapman Publishing Tohirin (2007). Bimbingan dan Konseling Di Sekolah dan Maderasah Berbasis Integrasi Jakarta: Pt Raja Grafindo Bersada Zastrow, Charles H, Karen K. Kirst-Ashman (2004). Understanding Human Behavior and The Social Environment, 6th ed, Thomson, USA Bahan Bacaan : Boyle, DJ. (2005). Youth Bullying: Incidence, impact, and interventions. Journal of the New Jersey Psychological Association Chen, Jennifer Jun-Li. Relation of Academic Support From Parent, Teachers, and Peers To Hong Kong Adolescents” Academic Achievement : The Mediating Role of Academic Engagement Journal Genetic, Social, and General Psychology Monographs UU No 20 tahun 2003 Pasal 3 Sistem Pendidikan Nasional UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak UU No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial Djuwita, Riaukina, Soesetio, S.R. (2005). “Gencet-gencet” dimata siswa/siswi kelas satu SMA: Naskah Kognitif Tentang arti, scenario, dan dampak “gencet-gencet”. Jurnal Psikologi Sosial Wenrzel, Kathryn R (1998). Social relationships and motivation in middle school, the role of parents, teachers, and peers. Journal of Educational Psychology 90, 202-209. Karya Ilmiah Diajeng, Andina. (2004). Pemicu Perilaku Bullying Pada Siswa SMA “Z”. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi Indra, Irawan. (2009). Hubungan Antara Perilaku Bullying Dengan Permasalahan
Penyesuaian Psikososial Pada SiswaSiswa SMA SMA. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi Purwitaning, Dezy. (2012). Penerapan Misconduct Slip dan Faktor Penyebab Bullying Di SMP “X”. Depok: Faklutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Skripsi Websites : Amrullah, Data BPS 2009 dalam edukasi.kompas.com, 2011 diakses 29 maret 2012 http://www.depsos.go.id/unduh/UU-Kesos-No112009.pdf diakses 28 april 2012 http://edukasi.kompas.com/read/2011/04/09/1551 2144/.Bullying.Sering.Dianggap.Sepele tanggal 9 april 2011 diakses 28 april 2012 http://endang965.wordpress.com/peraturandiknas/uu-sisdiknas/ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, di akses 5 mei 2012 WWW. konselor Indonesia. Com diakses 29 maret 2012
Proses Pelaksanaan..., Yayan ferdian, FISIP UI, 2013