PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI DI SEKOLAH MENENGAH ATAS B. Rahmanto1 ABSTRAK Menghayati suatu puisi hanya mungkin terjadi jika kita menggaulinya secara
langsung. Fungsi guru dan apresiator menjadi penting sepanjang mereka hanya bertindak sebagai fasilitator. Namun, jika mereka berlagak mengajak untuk mengajar bagaimana menikmati dan menghayati puisi dengan cara-cara yang dipaksakan untuk diikuti, sebenarnya kedudukan mereka menjadi tidak penting. Agar kita dapat memahami puisi dengan baik dibutuhkan pengenalan unsur fisik dan batin sebuah puisi.
KATA KUNCI kurikulum, apresiasi, unsur pembangun puisi
1.
Pengantar Paparan ini diawali dengan melihat kembali bagaimana tujuan pembelajaran sastra dari Kurikulum SMA Tahun 1975 sampai KTSP, untuk melihat apakah tujuan pembelajaran sastra masih tetap sama ataukah sudah ada perubahan. Setelah mengenali tujuannya, akan dicoba dianalisis mengapa pembelajaran sastra masih dihayati sebagai menakutkan guru, kemudian akan diakhiri dengan tawaran pembelajaran apresiasi puisi. 2.
Tinjauan Kritis Tujuan Pembelajaran Sastra dari Kurikulum ke Kurikulum Tujuan Kurikulum SMA tahun 1975 adalah, “Siswa memiliki pengetahuan dasar tentang apresiasi sastra; siswa memiliki keterampilan mengapresiasi karya sastra Indonesia; dan siswa gemar dan senang mengapresiasikan sastra Indonesia”(1981: 5, 10, dan 16). Perhatikan tujuan yang pertama adalah siswa memiliki pengetahuan dasar tentang apresiasi sastra. Apa kira-kira yang dimaksud dengan pengetahuan dasar apresiasi sastra itu? Ternyata seperti ini: pengertian sastra; sejarah sastra; periodisasi sastra; aliran sastra; bentuk-bentuk sastra; pengaruh sastra dalam masyarakat; pembicaraan bukubuku sastra dan penulisnya; dan sebagainya. (Ibid.: 67 dan 122).
B. Rahmanto adalah dosen Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Alamat korespondensi: Mrican, Tromol Pos 29 Yogyakarta 55002. E-mail:
[email protected]
119
120 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Maka, dengan memiliki pengetahuan dasar tentang apresiasi sastra, diharapkan siswa memiliki keterampilan mengapresiasi karya sastra Indonesia sehingga mereka gemar dan senang mengapresiasikan karya sastra Indonesia. Maksudnya, secara mudah, berilah terlebih dahulu para siswa pengetahuan dasar apresiasi sastra agar mereka dapat terampil mengapresiasi karya sastra. Dengan tujuan kurikulum dan bahan pembelajaran seperti itu, berikut GBPP-nya dan buku-buku paketnya, hasilnya sudah samasama kita ketahui. Murid bukannya diajak kontak langsung dengan karya sastra terlebih dahulu, tetapi diberi pengetahuan alias konsepkonsep atau prinsip-prinsip yang harus dihafalkan terlebih dahulu sebelum mereka mempraktikkan pengetahuannya itu untuk mengapresiasi karya sastra. Alhasil, para siswa dan guru semakin jauh dari karya sastra, sementara sang guru memperoleh kesenangan baru untuk menanyakan pengertian pengetahuan apresiasi sastra itu lewat tes pilihan berganda lewat ulangan umum, tes hasil belajar, Ebtanas, dan bahkan tes masuk ke perguruan tinggi. Setelah banyak para pakar pembelajaran sastra berteriakteriak perihal semakin terpencilnya karya sastra di mata siswa-siswa sekolah menengah akibat posisi apresiasi sastra yang termarjinalkan, maka diundangkanlah Kurikulum 1984. Tujuan kurikulernya tertulis, “Siswa dapat menghargai dan menikmati bahasa dan karya sastra Indonesia yang sesuai dengan tingkat kesukaran bahasa dan kematangan penalaran siswa SMA”. Sementara itu dalam Kurikulum 1994, tujuan pengajaran sastranya agar siswa mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan hidup, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (1995: 1). Dari tujuan pembelajaran sastra baik dalam Kurikulum 1984 maupun 1994 tampak jelas bahwa konsep apresiasi sastra masih berkutat pada siswa memperoleh pengetahuan apresiasi sastra, pengalaman berapresiasi sastra agar dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain. Dan barulah secara tegas dalam Kurikulum 1994 ditambah dengan kemampuan berekspresi sastra. Memang banyak diakui bahwa Kurikulum 1994 selangkah lebih baik dibanding dengan Kurikulum 1984, tetapi Kurikulum 1994 dinilai terlalu sarat akan bahan yang harus diselesaikan oleh para siswa, bahkan terkesan terlalu banyak bahan yang ingin dipompakan kepada para siswa. Akhirnya dimunculkanlah konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dan kita sama-sama tahu, kurikulum ini paling hiruk-pikuk
Rahmanto, Pembelajaran Apresiasi Puisi di … 121
___________________________________________________________________________________
dalam sosialisasinya baik di masyarakat luas maupun di sekolahsekolah. Bagaimana dengan KBK dan KTSP yang secara esensial tidak ada perbedaannya itu? (Muslich, 2007: 17). Ternyata ada perubahan secara verbal. Pertama, pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan dapat membantu peserta didik untuk mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain; mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia; serta dapat menemukan dan menggunakan kemampuan analisis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Kedua, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, lisan maupun tulis; serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan Indonesia. Dan ketiga, standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia yang merupakan dasar untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, dan global (hlm. 259). Lalu apa tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia khususnya yang menyangkut pembelajaran sastranya? Tertulis seperti ini, agar peserta didik memiliki kemampuan untuk menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, dan menghargai, serta membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Di atas kertas sudah tak ada lagi tersurat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain itu dalam KBK dan juga KTSP ada yang menarik untuk dicatat terkait dengan bahan pembelajarannya. Dalam KBK ditekankan bahwa guru diharapkan lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya. Lebih hebat lagi, pembelajaran tak lagi dimonopoli oleh guru, tetapi orangtua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah. Di samping itu, gemuruhnya era desentralisasi disikapi dengan arif seperti ini: daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
122 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Hal-hal seperti itu, kembali ditawarkan dalam KTSP, dan bahkan guru dan sekolah diberi peluang untuk membuat silabus, kurikulum dan indikator-indikatornya sendiri. Guru juga diberi keleluasaan untuk menambah jumlah jam pelajaran per minggu sesuai dengan kebutuhan. Dalam konteks pembelajaran sastra, guru diizinkan memasukkan muatan lokal sebagai bahan pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Pertanyaannya, dengan diberi keleluasaan yang cukup signifikan itu, mengapa sang guru masih takut/ atau justru tambah takut mengajar sastra? Akar masalahnya di mana? Jangan-jangan akar masalahnya justru di perguruan tinggi tatkala sang guru masih berpredikat mahasiswa/i. Ah, ini asumsi saja, perlu penelitian lebih lanjut. Untuk mencoba merunut permasalahannya marilah kita awali terlebih dulu dengan istilah ‘apresiasi’. Binatang apakah apre-siasi itu. 3.
Pembelajaran Apresiasi Sastra Kalau kita membuka kamus Webster’s New World Dictionary (1991: 67) dijumpai kata appreciate yang berasal dari kata appretiatus (bahasa Latin), dan kata appreciation (n). Kata appreciate ternyata sangatlah luas artinya (ada lima) Satu di antaranya berkaitan dengan seni, yaitu ‘menikmati/menghargai’ dalam contoh kalimat “He appreciate good music.”(Ia menikmati musik yang baik). Dengan demikian kata appreciate menunjukkan bahwa seseorang dapat menikmati sesuatu, atau dapat menghargai sesuatu /musik yang baik. Sementara itu, kata benda appreciation, yang juga mengandung bermacam-macam arti, dua di antaranya berbunyi (1) the act or fact of appreciating, specifically proper estimation or enjoyment as, of art; (2) a judgment or evaluation, alias penghargaan/penilaian yang layak/tepat pada karya seni. Bagaimana cara melakukan penghargaan yang tepat/selayaknya terhadap karya seni khususnya sastra, itulah sebenarnya yang menjadi pokok persoalan apresiasi sastra. Pertanyaannya, penghargaan terhadap karya sastra yang tepat dan selayaknya itu yang seperti apa? Sapardi Djoko Damono (Kompas, 27 Maret 2000) secara tidak langsung menjawab pertanyaan itu sebagai penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan pada penghayatan dan pemahaman. Caranya sangat mudah, yaitu agar para siswa (tentu juga sang Guru) dapat menghayati dan memahami karya sastra dengan tepat/selayaknya, adalah dengan mengadakan kontak langsung antara pembaca (siswa dan guru) dan karya sastra. Atau jika meminjam rumusan S. Effendi (1982: 2) dengan menggauli
Rahmanto, Pembelajaran Apresiasi Puisi di … 123
___________________________________________________________________________________
karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Sementara itu, secara lebih panjang lebar Oemaryati (2005) menambahkan bahwa mengapresiasi sastra berarti peka terhadap nilai-nilai yang tersurat atau tersirat dalam karya sastra dalam kerangka tematik yang merengkuhnya, sekaligus berupaya memetakan pola tata nilai yang diperolehnya ke dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalannya. Baginya, pembelajaran sastra tidaklah berujung pada penilaian, melainkan mengedepankan apresiasi, yaitu menghargai apa adanya dalam konteks yang tersedia (konteks yang utuh dan padu sebagai karya seni). Keterpaduan karya sastra disusun oleh keeratan hubungan tiga unsur makro yang melandasi eksistensinya, yaitu pengarang, karya, dan pembaca. Menikmati sastra hanyalah mungkin apabila ketiga unsur tersebut juga berada dalam suatu kesatuan yang padu, berimbang, selaras. Selanjutnya, Oemaryati menambahkan bahwa sebagai pembaca yang sekaligus berperan sebagai guru di hadapan siswanya, posisi guru dalam proses pembelajaran dan apresiasi sastra digambarkan sebagai berikut. Pengarang
GURU Karya sastra
Pembaca/ Siswa
Keakraban guru dengan karya sastra, keakrabannya dengan pengarang, perlu digenapi keakrabannya dengan siswa. Secara khusus dia menekankan bahwa hubungan guru-siswa perlu dilandasi kejujuran dan keterbukaan, sikap saling menghormati dan saling memberi agar tercipta titian komunikasi yang efektif. Tanpa keterbukaan serta sikap saling menghormati dan saling memberi, tidak mungkin dibina kepercayaan—yaitu landasan komunikasi dua arah yang sehat dan konstruktif. Sastra tidak menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk siap-pakai. Sastra menyajikan suatu kemungkinan dalam menanggapi suatu permasalahan yang jalinan
124 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
dan penyajiannya sudah digariskan pengarangnya. Lakon yang ditampilkan tidaklah untuk diperiksa kebenaran—atau kesalahannya—terhadap alam nyata, melainkan dibiarkan menggelitik pembacanya agar menikmati, menyelami, menggali, untuk mengenali sebanyak-banyak kemungkinan lain di dalamnya, dan mengenali nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, mengakrabi sastra berarti mengenalkan siswa pada kemungkinan-kemungkinan yang ada dan dapat ditemui dalam kehidupan manusia— sebagaimana diréka pengarangnya. Nah, bagaimana cara mengakrabi sastra atau menghayati dan memahami karya sastra itu? Oleh karena secara garis besar genre sastra dalam pembelajaran apresiasi sastra dipilah menjadi puisi, prosa, dan drama, maka terkait soal kesempatan dan waktu, sharing pendapat ini saya batasi pada apresiasi puisi. Di samping itu, jika kita menengok standar kompetensi untuk kelas I semester 1, khusus puisi kita akan menjumpai antara lain: memahami puisi, menulis puisi, dengan kompetensi dasarnya siswa dapat mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi, mengungkapkan isi suatu puisi; membacakan puisi dengan lafal, nada, tekanan, dan intonasi yang tepat, serta menulis puisi lama dan baru dengan memperhatikan bait, irama, dan rima. 4. Pembelajaran Apresiasi Puisi 4.1 Menghayati/Mengakrabi Puisi Untuk dapat menghayati dan memahami atau mengakrabi puisi dalam rangka apresiasi puisi, pertanyaan awal biasanya terfokus pada apakah puisi itu. Biasanya saya jawab pertanyaan itu dengan mengakrabkan/membacakan dua buah puisi (dua-duanya berjudul “Sajak”) karya Sanusi Pane seperti ini. O, bukannya dalam kata yang rancak Kata yang pelik kebagusan sajak. O, pujangga, buang segala kata, Yang ‘kan cuma mempermainkan mata, Dan hanya dibaca sepintas lalu, Karena tak keluar dari sukmamu. Seperti matari mencintai bumi, Memberi sinar selama-lamanya, Tidak meminta sesuatu kembali, Harus cintamu senantiasa. (Jassin, 1963: 275)
Rahmanto, Pembelajaran Apresiasi Puisi di … 125
___________________________________________________________________________________
SAJAK Di mana harga karangan sajak, Bukan dalam maksud isinya, Dalam bentuk, kata nan rancak Dicari timbang dengan pilihnya Tanya pertama keluar di hati, Setelah sajak dibaca tamat, Sehingga ma’na tersebut sakti, Mengikat diri di dalam hikmat Rasa pujangga waktu menyusun Kata yang datang berduyun-duyun Dari dalam, bukan nan dicari. Harus kembali dalam membaca Sebagai bayang di muka kaca Harus berguncang hati nurani (Suryadi, 1987: 40-41)
Itu kata Sanusi Pane lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu. Kebagusan sebuah sajak alias puisi baginya tidaklah terletak pada kata-katanya yang rancak (indah), dan pelik. Rangkaian kata-kata semacam itu hanya akan mempermainkan mata (barangkali mata kita menjadi berkejab-kejab karena terkagum-kagum akan keelokannya dalam merangkaikan kata-kata nan indah elok), tetapi … kata-kata semacam itu hanya akan dibaca sepintas lalu. Mengapa? Rangkaian kata-kata indah itu hanya meluncur dari permukaan. Kata-kata yang tidak sungguh-sungguh keluar dari sukma. Bagi Sanusi Pane, sajak pastilah sebagaimana matahari mencintai bumi! Selamanya matahari akan memberi sinar kepada bumi, tanpa meminta imbalan. Sajak mestilah memberikan sesuatu kepada kita, pembaca, dengan sepenuh hati (cinta), jujur, dan polos tanpa berpretensi untuk menggurui misalnya. Sementara itu dari sajak yang kedua, ia merasa perlu untuk menegaskan kembali bahwa puisi bukanlah rentetan kata-kata yang rancak, bagus atau elok-elok. Kata-kata yang datang meluncur dari dalam, bukan dicari-cari. Dan yang lebih penting lagi, setelah kita selesai membaca sajak … ma’na tersebut sakti/ mengikat diri di dalam hikmat/ sebagai bayang di muka kaca/ harus berguncang hati nurani. Ya, setelah selesai membaca sajak harus berguncang hati nurani. Untuk mengguncang hati nurani memang tidak mudah, guru perlu banyak membaca kumpulan puisi, dan memilih puisi. Artinya
126 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
memilih bahan yang pas dan cocok untuk anak didiknya. Nah KTSP mempersilakan Anda untuk memasukkan muatan lokal sebagai bahan pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Nah, untuk mengguncang Anda saya pilihkan puisi-puisi seperti berikut. Kita awali dengan situasi kondisi bencana alam yang datang beruntun menimpa di beberapa bagian negeri kita. TUHAN TELAH MENEGURMU Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan lewat perut anak-anak yang kelaparan Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan lewat semayup suara adzan Tuhan telah menegurmu dengan cukup menahan Kesabaran lewat gempa bumi yang berguncang deru angin yang meraung kencang hujan dan banjir yang melintang pukang adakah kaudengar? (Musstopa, 1987: 317)
Ya, adakah Anda juga tidak mendengarnya? Mengapa kita lebih senang mencelakakan orang lain? Mengapa kita tidak bertobat? Dan masih banyak mengapa lagi yang dapat Anda deretkan. Dan, apabila kita masih juga tidak mempan disindir dengan halus, Taufiq Ismail (Ismail, 1987: 261-262) lewat sajak berjudul “Kembalikan Indonesia Padaku” terus terang melabrak kita dengan metafor-metafor yang getir seperti ini. Hari depan Indonesia/ adalah duaratus juta mulut yang menganga/ Hari depan Indonesia/ adalah bola-bola lampu 15 wat/ sebagian berwarna putih dan sebagian hitam/ yang menyala bergantian/ Hari depan Indonesia adalah/ pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya/ Kembalikan Indonesia padaku// Hari depan Indonesia/ adalah satu juta orang main pingpong siang malam/ dengan bola telur angsa/ di bawah sinar lampu 15 wat/ Hari depan Indonesia/ adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya/ kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya// Hari depan Indonesia/ adalah duaratus juta mulut yang menganga/ dan di dalam mulut itu/ ada bola-bola lampu 15 wat/ sebagian putih dan sebagian hitam/ yang menyala bergantian// Hari depan Indonesia adalah/ angsa-angsa putih yang berenang-renang/ sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam/ dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan// Kembalikan Indonesia/ padaku// ….
Rahmanto, Pembelajaran Apresiasi Puisi di … 127
___________________________________________________________________________________
Mengerikan memang. Lima belas wat memang cukup terang untuk lampu kamar mandi. Akan tetapi apa artinya untuk daerah seluas daratan Eropa ini? Masihkah kita akan membanggakan kepada dunia luar bahwa rakyat kita ayem temtrem di negeri yang konon murah kang sarwa tinuku, subur kang sarwa tinandur ini jika di masa krismon ini kita benar-benar hanya berlampukan lima belas wat? Maka tidaklah berlebihan jika penyair Yudistira Adi Nugraha Masardi dengan sangat pas menyuarakan teriakan anak-anak muda tahun 1974 yang rasa-rasanya masih sangat relevan untuk masa kini lewat puisi mbelingnya yang berjudul “Biarin!” (Massardi, 1987: 195196) seperti ini: kamu bilang hidup ini brengsek/ Aku bilang biarin/ kamu bilang hidup ini nggak punya arti/ Aku bilang biarin/kamu bilang aku nggak punya kepribadian/ Aku bilang biarin/ kamu bilang aku nggak punya pengertian/ Aku bilang biarin/ habisnya/ terus terang saja/ aku nggak percaya sama kamu/Tak usah marah/ Aku tahu kamu orangnya Sederhana/ Cuman/ karena kamu merasa asing saja/ makanya kamu selalu bilang seperti itu/ kamu bilang aku bajingan/ Aku bilang biarin/ kamu bilang aku perampok/Aku bilang biarin/ soalnya/ kalau aku nggak jadi bajingan/ mau jadi apa coba/ lonte?/ aku laki-laki/ Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu/ aku rampok hati kamu/ Tokh nggak ada yang nggak perampok di dunia ini/ Iya nggak?/ Kalau nggak percaya/ tanya saja sama polisi/ … Nah, bukankah kata-kata rancak tidak lagi kita jumpai dalam sajak-sajak tersebut di atas? Bukankah ia seperti halnya matahari yang selalu memberi dan tak ingin kembali menerima imbalannya? Baik, apabila UNESCO mengobarkan 4 pilar belajar sebagai (1) belajar untuk memahami dan menghayati; (2) belajar untuk dapat melaksanakan secara efektif; (3) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain; (4) belajar untuk membangun jati diri; KTSP menambahkan satu lagi dan ditaruh di depan yaitu belajar untuk beriman dan takwa kepada Tuhan, maka berikut saya sodorkan kegelihan penyair-penyair kita Amir Hamzah (1935: 5-6) dan Chairil Anwar yang berjudul “Doa” dalam keimanan dan ketakwaan mereka seperti ini. Habis kikis/ Segala cintaku/ hilang terbang/ Pulang kembali aku/ padamu/ Seperti dulu// Kaulah kandil kemerlap/ Pelita jendela/ di malam gelap/ Melambai/ pulang perlahan/ Sabar/ setia selalu// Satu kekasihku/Aku manusia/ Rindu rasa/ Rindu rupa// Di mana engkau/ Rupa tiada/ Suara sayup/ Hanya kata/ merangkai hati/ Engkau cemburu/ Engkau ganas/ Mangsa aku/ dalam cakarmu/ Bertukar tangkap/ dengan lepas// Nanar aku/ gila sasar/ Sayang/ berulang padamu jua/ Engkau pelik/ menarik ingin/ Serupa dara/ di balik tirai// Kasihmu sunyi/ Menunggu seorang diri/ Lalu waktu/ bukan giliranku/ Mati hari/ bukan kawanku//
128 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Tuhanku/Dalam termangu/ Aku/ masih menyebut nama-Mu// Biar susah sungguh/ mengingat Kau/ penuh seluruh// caya-Mu/ panas suci/tinggal kerdip lilin/ di kelam sunyi// Tuhanku/ aku hilang bentuk/ remuk// Tuhanku/ aku mengembara di negeri asing// Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling// Bandingkan dengan Emha Ainun Jadjib berikut ini. Tuhanku tak ingin aku untuk ingin sebab di antara seribu keinginan hanya Satu yang sejati, Tuhanku, tak ingin aku memerintah memerintah ialah diperintah, tak ingin aku memiliki memiliki ialah dimiliki Tuhanku, berserah diri kepada-Mu menumbuhkan segala kekuatan yang tak bisa diganggu. (Nadjib, 1983: 100)
Dalam bermuka-muka dengan Tuhan, Emha menukarkan pengalamannya kepada kita/pembaca bahwa ia tidak berkeinginan untuk ingin ini ingin itu terus-menerus sebagaimana kalau kita berdoa dan meminta kepada-Nya. Seribu keinginan itu tidak akan ada batasnya. Bagi Emha, keinginan untuk memerintah sebenarnya justru terperosok pada diperintah; begitu juga keinginan untuk memiliki sebenarnya akan jatuh pada dimiliki. Oleh karena itu, Emha lebih memilih untuk berserah diri, pasrah kepada Tuhan, karena dengan berserah diri akan beroleh kekuatan yang luar biasa. Akhirnya, bagi para guru yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa ini, boleh tersenyum kecut, atau sedih mendengar keterusterangan sang guru yang seperti digambarkan oleh Hartoyo Andangjaya dalam sajaknya yang berjudul “Dari Seorang Guru Kepada Murid-muridnya” Apakah yang kupunya, anak-anakku selain buku-buku dan sedikit ilmu sumber pengabdianku kepadamu
Rahmanto, Pembelajaran Apresiasi Puisi di … 129
___________________________________________________________________________________
Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku aku takut, anak-anakku kursi-kursi tua yang ada di sana dan meja tulis sederhana dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya semua padamu akan bercerita tentang hidupku di rumah tangga
4.2 Memahami Puisi dengan Mengenali Unsur Pembangunnya Setelah kita dapat mengakrabi dan menghayati puisi-puisi yang kita baca, kadang-kadang kita merasa belum puas jika belum mengetahui mengapa puisi dapat menggugah perasaan, atau bahkan dapat menghipnotis kita untuk diam sejenak (bahkan mungkin berjenak-jenak), terkagum-kagum sambil mengingat-ingat sebaris atau sebait puisi karya penyair tertentu. Maka pertanyaannya sampailah pada apakah ada unsur-unsur pembangun puisi yang menyebabkan pembaca terpikat untuk memahaminya lebih lanjut seperti halnya jika kita terpikat pada lawan jenis yang telah kita kenali tetapi belum sempat kita pahami. Puisi, sebagai karya seni biasanya dibangun oleh unsur fisik dan unsur batin. Unsur fisik tampak (kasat mata), sedangkan unsur batin, tidak kasat mata tetapi ada seperti halnya jiwa/roh dan badan dalam tubuh manusia. Hubungan tubuh dan jiwa ini bersifat organik. Artinya, seperti halnya manusia, sebuah puisi yang hanya terdiri dari tubuh saja, maka puisi itu akan “mati”; sebaliknya jika tanpa tubuh maka akan menjadi sulit untuk dilacak. Karya sastra yang berbentuk puisi, sebenarnya mirip seperti bangunan sebuah rumah yang terdiri dari unsur-unsur pembangunnya yang saling berelasi membentuk sebuah struktur yang terdiri dari susunan unsur-unsur yang bersistem. Antara unsur-unsurnya terdapat hubungan timbal balik, dan saling menentukan. Nah, unsur-unsur apa sajakah yang membangun bangunan struktur yang disebut puisi itu? Seperti halnya manusia, puisi memiliki tubuh dan jiwa/roh. Hubungan tubuh dan jiwa ini bersifat organik. Artinya, seperti halnya manusia, sebuah puisi yang hanya terdiri dari tubuh saja, maka puisi itu akan “mati”; sebaliknya jika tanpa tubuh maka akan menjadi sulit untuk dilacak. Unsur tubuh dalam puisi adalah unsur yang kasat mata, yang dapat dilihat secara visual; sedangkan unsur jiwa adalah unsur yang
130 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
tak kasat mata, tetapi dapat kita rasakan sebagai ada. Unsur tubuh (bentuk visualnya) dapat dirinci menjadi: diksi, citraan, kata-kata konkret, majas/lambang/kias/ rima dan irama. Unsur jiwa terdiri dari: rasa, nada, amanat/tujuan, dan temanya. Diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan penyair dengan secermat-cermatnya untuk menyampaikan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya agar terjelma ekspresi jiwanya seperti yang dikehendakinya secara maksimal sehingga pembaca pun akan merasakan hal yang sama. Ada banyak penyair yang mengubah, mengganti berulang kali kata yang dipilihnya sampai dirasakan pas betul untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas ekspresinya dengan mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya. Perhatikan diksi Chairil Anwar dalam sebuah puisinya yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” berikut ini: … Gerimis mempercepat kelam/ Ada juga kelepak elang/menyinggung muram/ desir hari lari berenang/ menemu bujuk pangkal akanan/…. Kita bisa bertanya mengapa gerimis mempercepat kelam mempunyai efek sangat mencekam ketimbang jika kita ubah menjadi hujan mempercepat kelam; atau gerimis menjadikan kelam. Demikian juga desir hari lari berenang. Kita pembaca dipaksa atau terhanyut ke dalam suasana tertentu atas rangkaian kata desir dan lari. Ada kombinasi bunyibunyi konsonan vokal berulang yang ritmis yang mampu menimbulkan kesan terhadap pembacanya. Citraan. Citraan (imagery) alias gambaran angan-angan/pikiran; sedangkan citra (image) adalah sebuah efek dalam gambaran angan atau pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh ungkapan penyair terhadap sebuah objek yang dapat ditangkap oleh indra penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, penciuman, bahkan juga pemikiran dan gerakan. Kata-kata konkret. Kita mengenal istilah kata umum, kata khusus, denotasi, dan konotasi. Kata ‘membawa’ misalnya, jelas bernilai rasa umum. Akan tetapi, ‘menggendong si upik’; ‘menggenggam uang’; ’menggotong mayat’; atau ‘menggandeng pacar’, jelas juga berarti membawa. Bedanya, yang belakangan itu lebih dapat dicitrakan, dibayangkan dengan jelas oleh pembaca, sedangkan ‘membawa’ sangat sulit untuk dicitrakan dengan tepat. Demikian juga kata ‘sunyi’ secara denotatif berarti (1) tidak ada bunyi atau suara apa pun; (2) tidak ada orang, kosong; (3) tidak banyak transaksi, tidak banyak pembeli; (4) bebas, lepas, terhindar dari kesalahan. Nah, bagi seorang penyair dia harus menentukan kata sunyi dalam arti yang
Rahmanto, Pembelajaran Apresiasi Puisi di … 131
___________________________________________________________________________________
mana, itu artinya secara denotatif berarti sunyi, tetapi secara konotatif mungkin dimaksudkan sebagai yang nomor (1) penyair dapat menggunakan kata hening atau senyap, misalnya dalam larik ‘berdiri aku di senja senyap’. Penyair-penyair tertentu, misalnya Rendra, Sitor Situmorang, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calcoum Bahri, Afrizal Malna, atau Dorothea Rosa Herliany sangat piawai dalam memilih kata-kata yang secara denotatif (berarti arti yang ditunjuk atau arti yang terdapat dalam kamus) sekaligus memancarkan asosiasiasosiasi yang muncul dari arti denotatifnya (konotasinya). Bahasa kias/majas/simbol. Sampai di sini sebenarnya kita bisa melihat betapa “serakahnya” penyair itu. Untuk mengungkap-kan sesuatu dengan tepat dan dirasakan pas dengan apa yang dimaksud ia harus berusaha dengan sangat keras untuk memilih kata (diksi) setepat-tepatnya dengan mempertimbangkan pula segi citraannya, kata khusus/konkret lengkap dengan denotasi-konotasinya. Dan apabila dengan pilihan semacam itu masih dirasakan belum cukup, penyair masih berusaha pula dengan memilih kata yang mengandung perbandingan/kias/majas atau simbol tertentu dan ditambah lagi yang disusun dalam rima dan irama tertentu pula. Luar biasa “serakahnya’. Atau luar biasa njlimet-nya? Perhatikan penggalan bait sajak karya Rendra berikut ini. BLUES UNTUK BONNIE Kota Boston lusuh dan layu kerna angin santer, udara jelek, dan malam larut yang celaka. Di dalam cafe itu seorang penyanyi Negro tua bergitar dan bernyanyi. Hampir-hampir tanpa penonton. Cuma tujuh pasang laki dan wanita berdusta dan bercintaan di dalam gelap mengepulkan asap rokok kelabu, seperti tungkutungku yang menjengkelkan. ..............................................
132 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Maka dengan blingsatan ia bertingkah bagai gorilla. Gorrila tua yang bongkok meraung-raung. Sembari jari-jari galak di gitarnya mencakar dan mencakar menggaruki rasa gatal di sukmanya. ........................................... (Rendra, Blues untuk Bonnie, hlm. 14-15)
Dari penggalan sajak tersebut di atas, menjadi sangat jelas betapa kata dipilih oleh Rendra dengan pertimbangan sangat ketat dan suntuk dari segi diksi-citra-kata konkrit/denotasi/konotasi, dan pigura bahasa dalam bentuk majas atau simbol. Pada sajak Rendra contoh di atas, misalnya: /Kota Boston lusuh dan layu/ kerna angin santer/ udara jelek/ dan malam larut yang celaka./ Larik “Kota Boston lusuh dan layu”, benar-benar diperhitungkan dari sudut diksi-citra-konotasi- dan majas personifikasi kota Boston layu. Dalam bayangan kita sebagai pembaca kota Boston di AS itu bukan hanya lusuh, kumuh, tapi juga layu alias tak bergairah lagi. Rendra masih merasa belum cukup. Ia juga mendeskripsikan angin, udara, dan tengah malam yang celaka. Malam yang celaka ini dilukiskan dengan sangat konkrit lewat suasana cafe yang sepi pengunjung, tapi penuh kepulan asap rokok kelabu, seperti tungkutungku yang menjengkelkan. Hanya ada tujuh pasang tamu yang sedang tenggelam dalam dansa dan dihibur oleh penyanyi Negro yang sudah tua. Bagaimana penyanyi Negro itu beraksi dilukiskan oleh Rendra dengan sangat pas lewat diksi-citra-konotasi-dan majas perbandingan dan metafora seperti di bawah ini. .......................................... Maka dengan blingsatan/ ia bertingkah bagai gorilla/.Gorrila tua yang bongkok/ meraung-raung/ Sembari jari-jari galak di gitarnya/ mencakar dan mencakar/ menggaruki rasa gatal di sukmanya/Bagaikan ikan hitam/ia menggelepar dalam jala./ Jumpalitan/dan sia-sia. ......................................
Rima dan irama. Rima adalah persamaan bunyi, yang dapat berbentuk assonansi, aliterasi, resonansi, rima berangkai, rima ber-selang, rima sempurna/tak sempurna, dsb. seperti dalam sajak Chairil Anwar dan Rendra yang berbunyi: menekan-mendesak/tak ber-
Rahmanto, Pembelajaran Apresiasi Puisi di … 133
___________________________________________________________________________________
gerak/memagut/melepas renggut// segala menanti/ menanti/ menanti/sepi//. Sementara irama adalah tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara, cepat lambatnya suara akan dibicarakan dalam membaca sajak khususnya deklamasi. Unsur jiwa/rokh puisi. Seperti telah disebutkan di depan unsur jiwa ini terdiri dari: rasa (feeling), nada (tone), amanat/tujuan (intention), dan pokok persoalan/tema (sense). Unsur rasa dan nada berkaitan erat. Dari seorang penyair yang sama misalnya Chairil Anwar, lewat sajak berjudul “Derai-Derai Cemara” dan sajak berjudul “Hampa”, nada yang sampai di telinga pendengar dalam pembacaan puisi jelas berbeda. Lewat “Derai-Derai Cemara” kita akan merasakan ketegaran, kedewasan sikap seseorang; sementara lewat “Hampa” pembaca akan merasakan nada yang menyesakkanmemilukan di antara geliat seseorang yang sedang stres berat. Itu semua jelas sebagai akibat dari rasa apa yang dialami Chairil Anwar pada saat melahirkan kedua puisi itu. Dengan demikian, salah satu unsur yang paling penting dalam membaca puisi adalah kepiawaian kita menangkap rasa dan nada sajak yang sedang kita baca. Jika kita salah menangkap rasa dan nadanya, maka akan berakibat fatal; sajak akan menjadi rusak dan bahkan salah kita tangkap makna atau rokhnya. Amanat dan temanya. Betapapun sederhana atau singkatnya sebuah puisi, dipastikan mengandung dua unsur itu. Berikut dikutipkan dua buah sajak pendek. (1) MEDITASI Tuhan, kau hanya kabar dari keluh. (Abdul Hadi W.M., Meditasi, hlm. 29) (2) SUNYI Katak kecil melompat dalam kolam tua Plup! (Haiku dari Jepang)
Sajak (1) karya Abdul Hadi W.M. paling mudah dilacak apa makna sajak itu, apa pula tema, dan amanatnya. Bukan hanya Abdul Hadi W.M. kita pun sering berbuat hal yang sama: dalam meditasi atau berdoa dalam kekhusukan, kita biasanya cenderung lebih banyak mengadukan kesusahan-kerepotan-kemalangan yang kita hadapi; sementara itu, dalam hal yang sebaliknya, masihkah kita ingat pada Tuhan? Maka, lewat tema bahwa kita berkecenderungan hanya ingat
134 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Tuhan jika sedang menderita, amanatnya sangat jelas: sindiran atau gugatan pada kita semua agar selalu ingat bahwa dalam situasi apapun kita harus selalu ingat dan bersujud kepada-Nya. Sajak (2) lebih mudah dilacak apa pokok persoalan/tema dan amanat puisi itu. Kesunyian yang tampil dalam sajak itu bukan hanya kesunyian dalam ruang dan waktu tetapi juga kesunyian dalam rasa. Bahwa kesunyian yang amat sangat secara alami tampak pada prasa “katak kecil” alias precil yang secara wadhak bukan main kecilnya itu “melompat dalam kolam tua” dan berbunyi “plup!” sampai terdengar ... apalagi jika bukan kesunyian yang benar-benar sepi. Dengan demikian, hampir dapat dikatakan bahwa tak ada sajak yang tidak mengandung tema dan pesan, betapa pun singkatnya sajak itu. Tema, pesan, rasa, dan nada sebuah sajak tidak lain adalah unsur dalam alias rokhnya puisi. Kita dapat terkesiap menangkap pesan sajak-sajak Chairil Anwar misalnya dalam sajak "Hampa", “Aku”, “Selamat Tinggal”; tetapi juga dapat menerima pesan kepasrahan pada sajak-sajaknya seperti: “Doa”, “Senja di Pelabuhan Kecil”, dan “Derai-Derai Cemara”. Lewat unsur-unsur pembangunnya itulah puisi menjadi karya seni yang dapat dinikmati, dan dipahami. Menikmati dan menghayati dapat terjadi apabila ada komunikasi langsung dengan jalan membaca atau berhubungan langsung dengan puisi; sedangkan memahami puisi akan menjadi lebih baik apabila mengenal unsur-unsur fisik dan batinnya. 5.
Penutup Apa yang dapat kita tarik dari paparan tersebut di atas, antara lain ialah (1) menghayati suatu puisi hanya mungkin terjadi jika kita menggaulinya secara langsung, (2) fungsi guru, apresiator menjadi penting dan tidak penting sepanjang mereka hanya bertindak sebagai fasilitator, tetapi jika mereka berlagak mengajak untuk mengajar bagaimana menikmati dan menghayati puisi dengan caracara yang dipaksakan untuk diikuti, sebenarnya kedudukan mereka menjadi tidak penting, dan (3) agar dapat memahami puisi dengan baik dibutuhkan mengenal unsur fisik dan batin sebuah puisi.
Rahmanto, Pembelajaran Apresiasi Puisi di … 135
___________________________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA Altenbernd, Lynn dan Lislie l. Lewis. 1970. A Handbook for the Study of Poetry. London: Collier-MacMillan Ltd. Damono, Sapardi Djoko. 1998. “Nasib Sastra di Sekolah” dalam Basis, No. 1-2. Januari-Februari. -------------------- . 2000. “Membaca Sastra” dalam Kompas, 27 Maret. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Kurikulum 1975 Sekolah Menengah Atas: Garis-Garis Besar Program Pengajaran. Jakarta: Departemen P dan K. ----------------------. 1985. Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Atas: Garis-Garis Besar Program Pengajaran. Jakarta: Departemen P dan K. ---------------------- . 1995. Kurikulum 1994 Sekolah Menengah Umum: Garis-Garis Besar Program Pengajaran. Jakarta: Departemen P dan K. ---------------------- . 1995. Kurikulum 1994 Sekolah Menengah Umum: Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Departemen P dan K. Hamzah, Amir. 1978 (cet. Ke-8). Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat. Jassin, H.B. 1963. Pujangga Baru. Jakarta: Gunung Agung. Nadjib, Emha Ainun. 1983. 99 Untuk Tuhanku. Bandung: Pustaka ITB Neufeldt, Victoria & David B. Guralnik (editor in chief). 1991. Webster’s New World Dictionary of American English. New York: Prentice Hall General Reference. Pinurbo, Joko. 2001. Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang: Indonesia Tera. Rahmanto, B. 2001. Metode Pengajaran Sastra (cetakan ke-7). Yogyakarta: Kanisius. Richard, I.A. 1987. Practical Criticism. London: Prentice Hall. Suryadi, Linus, Ag. 1987. Tonggak jilid 1.Jakarta; Gramedia. Oemarjati, Boen S. 2005. “Pengajaran Sastra: Quo Vadis?” Makalah Konferensi Internasional Kesusasteraan XVI HISKI, Palembang, 18-21 Agustus.