TINJAUAN TEORI PEMBAGIAN DAN PEMISAHAN KEKUASAAN DALAM PRAKTEK HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA SKRIPSI
OLEH : YUDA PERMADI KUSUMA DINATA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2013
TINJAUAN TEORI PEMBAGIAN DAN PEMISAHAN KEKUASAAN DALAM PRAKTEK HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA
NAMA
: YUDA PERMADI KUSUMA DINATA
NPM
: 29120012
JURUSAN
: ILMU HUKUM
FAKULTAS
: HUKUM
DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH: PEMBIMBING
Dr. Wahyu Kurniawan., S.H., LLM NIDN : 0708017602
2
Perihal
: Tugas Akhir
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: YUDA PERMADI KUSUMA DINATA
N.P.M
: 29120012
Judul Tugas Akhir
: TINJAUAN TEORI PEMBAGIAN DAN PEMISAHAN KEKUASAAN DALAM PRAKTEK HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA.
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penulisan saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat tindakan meniru, menyalin, dan menjiplak karya ilmiah yang telah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu Perguruan Tinggi dan lembaga pendidikan lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum atau tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka.
Apabila, saya telah terbukti melakukan tindakan atau perbuatan tersebut, maka saya bersedia untuk menerima sanksi yang telah diatur dalam perundangundangan dan ketentuan yang telah ditetapkan dan berlaku di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, 2 Agustus 2013 Penulis
(YUDA PERMADI KUSUMA DINATA)
3
SKEMA PENULISAN SKRIPSI BAB
I
adalah
menggambarkan
konsep
pemerintahan
dalam
sistem
ketatanegaraan sebagian negara di dunia yang didasarkan pada teori para ahli hukum dan ahli filsafat dengan melihat aspek sejarah dan teori terbentuknya sistem pemerintahan dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia. Dengan, melihat hierarki pemegang kekuasaan tertinggi secara horizontal dan melihat sistem pemerintahan secara vertikal melalui sistem pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan yang diterapkan oleh negara Indonesia sebelum perubahan dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. BAB II adalah menjelaskan tentang konsep teori organisasi pembagian kekuasaan lembaga negara dengan memahami teori-teori para ahli hukum di dunia dan di Indonesia dalam praktek ketatanegaraan di suatu negara, khususnya dalam praktek kekuasaan pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia. Di samping konsep mengenai teori organisasi pembagian kekuasaan dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia, di Bab II ini, juga menjelaskan tentang teori atau konsep organisasi pemisahan kekuasaan dalam praktek ketataegaraan di Indonesia. Menjelaskan keterkaitan prinsip checks and balances pembagian kekuasaan pemerintahan dalam praktek ketatanegaraan yang berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan, serta menjelaskan keterkaitan prinsip check and balances dalam konsep teori pemisahan kekuasaan praktek ketatanegaraan sebelum perubahan UUD 1945, di Bab III juga menjelaskan keterkaitan keterkaitan prinsip check and balances pemisahan kekuasaan dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia sesudah perubahan UUD 1945.
4
BAB III adalah menjelaskan dari hasil penerapan kekuasaan lembaga negara dengan prinsip checks and balances untuk mengontrol antara pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan lembaga negara di Indonesia. Setelah perubahan UUD 1945, dengan setelah adanya perubahan UUD 1945 lembaga pemerintahan di Indonesia sebagian ada yang di hapus dan sebagian pula ada penambahan lembaga pemerintahan negara di Indonesia dengan mengacu pada konsep pembagian kekuasaan dan pemisahaan kekuasaan lembaga negara baik secara horizontal maupun pembagian dan pemisahan lembaga negara secara vertical sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman yang ada di masyarakat Indonesia. BAB IV adalah menjelaskan tentang penutup dari penulisan skripsi yang berisi tentang kesimpulan dari isi penulisan skripsi dan memuat tentang saran dari pembaca mengenai penulisan skripsi tersebut yang di tulis oleh penulis
5
“SESUNGGUHNYA
SESUDAH KESULITAN ITU ADA KEMUDAHAN
……………. (QS: ALAM NASYRAH 6)”
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan AlHikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku………………….(ALBAQARAH 152-152)”.
SEANDAINYA BUMI BISA KU JUNJUNG, LAGIT BISA KU ANGKAT, DAN WAKTUPUN BISA BERPUTAR KEMBALI, SEMUANYA AKAN KU LAKUKAN DAN KU KORBANKAN SERTA KUPERSEMBAHKAN UNTUK SANG PEMBAWA RIDHO DI DUNIA TIDAK AKAN KU SIA-SIAKAN LAGI. CURAHAN AIR MATA YANG ENGKAU TETESKAN DI WAKTU MALAM DAN SUBUH DALAM SUJUD DAN MUNAJADMU. AKU TIDAK MAMPU MEMBALAS KEIKHLASAN DAN KERIDHOANMU DALAM SETIAP WAKTU……….. DARI GORESAN TINTA INI AKAN KU PERSEMBAHKAN TERBAIK UNTUKMU BAPAK, IBU KU SEMOGA ENGKAU BAHAGIA, BANGGA, DAN BISA TERSENYUM MANIS,,,,,,,,,,,!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
6
MOTTO
“ TIME IS KNOWLEDGE ” “KEJUJURAN DAN KEDiSiPLiNAN ADALAH LANGKAH AWAL MENUJU KEBERHASiLAN”. GUNAKANLAH WAKTUMU SEBAiK MUNGKiN, SEBAB WAKTU TiDAK AKAN KEMBALi LAGi INGAT PENYESALAN DATANG Di KEMUDiAN HARi. BERSiKAPLAH SEPERTi HALNYA SETANGKAi PADi, SEMAKiN BERiSi PADi
iTU
AKAN
SEMAKiN
MERUNDUK
KE
BAWAH.
7
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Dengan memanjatkan rasa syukur kepada ALLAH S.W.T, karena hanya berkat limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya semata. Sehingga, penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: “TINJAUAN TEORI PEMBAGIAN DAN PEMISAHAN KEKUASAAN DALAM PRAKTEK HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA” untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Tugas Akhir Sarjana Strata-1 Di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Skripsi ini, tidak akan penulis selesaikan tanpa adanya bantuan dan dorongan dari semua pihak yang penuh keikhlasan serta ketulusan baik moril maupun spiritual, waktu, tenaga, dan pikiran. Oleh karena itu, penulis mempersembahkan sebagai “kado” dan mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Kedua orang tua Bapak Mata’i dan Ibu Li’a serta kakak, adik-adik ku semuanya telah memberikan semangat penuh baik moril maupun spiritual yang tak terhingga nilainya. 2. Bapak Budi Endarto., S.H., M.Hum. Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya.
i
i
3. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman., S.H., M.Hum. Selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya dan selaku Dosen Pembina PLKH. 4. Bapak Dr. Wahyu Kurniawan., S.H., L.LM. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis. 5. Ibu Tri Wahyu Andayani., S.H., C.N., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 6. Bapak Andy Usmina Wijaya., S.H., M.H. Selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 7. Bapak H. Arief Syahrul Alam., S.H., M.Hum. Selaku Sekretaris Rektor dan Dosen Pendamping KKM. 8. Bapak H. Mulus Sugiarto., S.Sos., M.Si. Selaku Kepala Biro Kemahasiswaan Universitas Wijaya Putra Surabaya. 9. Bapak/Ibu Dosen Penguji skripsi penulis. 10. Para Bapak/Ibu Dosen Universitas Wijaya Putra Surabaya. 11. Para Staf dan Karyawan Universitas Wijaya Putra Surabaya. 12. Luluk Nur Hakiki (Sang Kekasih) makasih sayang sudah banyak membantu mencarikan buku dan memberikan motivasi penuh I LOVE YOU, I MISS YOU. 13. Kakak
Atik
Puspita
Rini
yang
sudah
memberikan
do’a
dan
semangatnya. 14. Adik-adik ku Sudrajat Suryo Kusumo, Abdul Ghofur Hardiyanto Prabowo, dan Si Kecil manis Kartika Hardiyanti Pratiwi (icha).
ii
ii
15. Sobat ku I Komang Satria, makasih banyak sobat sudah korbanin waktu, tenaga, dan pikiran buat membantuku. 16. Sobat Simon Hendro Tharob, makasih dulur saudaraku dari Ambon. 17. Sobat Bagus Wahyudi Agung Prabowo (Kecap), makasih bos sudah kasih semangatnya. 18. Sobat Johannes Hutapea makasih bang sudah memotivasi aku HORAS,,,,,!!!!!!. 19. Sobat Nocky Leon Agusta sebagai sahabat dekat penulis yang selalu membuat suasana menjadi semangat. 20. Temen-temen dan Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 21. Temen-temen aktifis UKM dan ORMAWA Universitas Wijaya Putra Surabaya. 22. Temen-temen Fakultas Ekonomi, Fakultas FISIP, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik, Fakultas Sastra dan Bahasa. 23. Temen-temen TIM PLKH 2013. 24. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini tidak dapat penulis sebutkan secara rinci, karena keterbatasan waktu dan pikiran penulis thanks you all the best. Semoga segala amal perbuatan dan amal ibadah yang diberikan kepada penulis. Senantiasa mendapatkan berkah, pahala dan kebaikan yang berlipat ganda dari ALLAH SWT. Amiiiiiiiiiiiinnnnn,,,,,,,,,!!!!!!!!.
iii
iii
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini dalam rangka memenuhi Ujian Tugas Akhir. Jauh dari kesempurnaan masih memiliki banyak kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi penyusunannya. Mengingat keterbatasan wawasan dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat mengharapkan saran, kritik, tanggapan, serta masukan untuk penyempurnaan penulisan skripsi. Dengan demikian, skripsi ini diharapkan akan memberikan nilai tambah dan manfaat yang besar bagi semua pihak untuk menambah Khasanah, wawasan, dan pengetahuan luas di dunia pendidikan Indonesia dimasa depan.
Surabaya, 2 Agustus 2013 Terima kasih
Penulis
iv
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i DAFTAR ISI....................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1
LATAR BELAKANG MASALAH.............................................................. 1
1.2
RUMUSAN MASALAH............................................................................... 7
1.3
PENJELASAN JUDUL............................................................................... 7
1.4
ALASAN PEMILIHAN JUDUL .................................................................. 8
1.5
TUJUAN PENELITIAN ............................................................................... 9
1.6
MANFAAT PENELITIAN ........................................................................... 9
1.7
METODE PENELITIAN ............................................................................ 10
1.8
SISTEMATIKA PERTANGGUNGJAWABAN ...................................... 13
BAB II KETERKAITAN CHECKS AND BALANCES DENGAN PEMBAGIAN KEKUASAAN DAN PEMISAHAN KEKUASAAN BERDASARKAN UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN DAN SESUDAH AMANDEMEN............................. 15 2.1. CHECKS AND BALANCES PEMBAGIAN KEKUASAAN BERDASARKAN UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN ............................. 15 2.2. CHEK AND BALANCE PEMISAHAN KEKUASAAN BERDASARKAN UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN ............................. 33 2.3. CHEK AND BALANCE PEMISAHAN KEKUASAAN BERDASARKAN UUD 1945 SESUDAH AMANDEMEN ............................. 42 BAB III PENERAPAN CHECK AND BALANCE LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA..................................................................................................... 60 3.1. CHECK AND BALANCE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENGONTROL PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA................................................................................... 60 3.1.1. KEWENANGAN DAERAH ........................................................ 74 3.1.2. LEMBAGA EKSEKUTIF DI DAERAH ..................................... 78 3.1.3. LEMBAGA LEGISLATIF DI DAERAH .................................... 81 3.2. CHECK AND BALANCE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENGONTROL PEMISAHAN KEKUASAAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA................................................................................... 83
v
v
3.2.1. LEMBAGA LEGISLATIF ........................................................... 83 3.2.2. LEMBAGA EKSEKUTIF ............................................................ 95 3.2.3. LEMBAGA YUDIKATIF ............................................................. 98 BAB IV PENUTUP......................................................................................... 111 4.1.
KESIMPULAN ............................................................................... 111
4.2.
SARAN .......................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 114
vi
vi
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH Dalam
praktek
ketatanegaraan
sebelum
amandemen
konstitusi
pemusatannya. Kekuasaan hanya lembaga tertinggi negara. Sehingga, sistem pemerintahan yang dilakukan telah cenderung menjadi bersifat absolut, monarki dan otoriter. Hal ini bisa di lihat misalnya seperti dalam bentuk pemerintahan yang menerapkan sistem monarki di negara-negara yang berbentuk kerajaan. Sementara, Negara Republik Indonesia menganut sistem demokrasi yang kekuasaan pemerintahannya dipegang oleh seorang Presiden dan dibantu oleh Menteri. Dalam hal ini, berbagai bentuk-bentuk pemerintahan yang dianut oleh masing-masing negara didunia baik yang berbentuk absolut, otoriter, monarki maupun demokratis tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Hal ini terlihat dan didukung oleh sejarah peradaban dan budaya sistem pemerintahan masing-masing negara yang bersangkutan. Contohnya saja negara yang sistem kekuasaan itu di warnai dengan paham Teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan.
1
Maka, kekuasaan Raja semakin absolut dan tak terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban negara yaitu Mesir, Yunani, Romawi Kuno, China, India, hingga peradaban Eropa. Untuk menghindari kekuasaan terpusat perlu adanya pembagian kekuasaan dan/atau pemisahan kekuasaan lembaga negara. Sehingga, terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Konsep dasar pembagian dan/atau pemisahan kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasan politik, melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Sejak merdeka lebih dari enam puluh tahun yang lalu, Indonesia telah mengalami berbagai gejolak tahapan sejarah atau peristiwa penting dalam perkembangan bidang ketatanegaraan. Pergolakan masyarakat itu, mewarnai perjalanan sejarah perkembangan hukum ketatanegaraan berbagai gejolak peristiwa yang terjadi penghambat terbentuknya persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Sehingga, mengalami peralihan pemegang kekuasaan pemerintah.1 Negara Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Ciri dari negara demokrasi menurut Montesquieu dalam teori trias politica adalah adanya pemisahan kekuasaan negara (separation of power) menjadi : a. Kekuasaan Legislatif atau kekuasan pembuat peraturan perundangundangan yang dipegang oleh Parlemen.
1
Hingga tahun 2007, Indonesia telah mengalami lima kali pergantian Presiden. Soekarno, yang menjadi presiden republik indonesia (RI) pertama pada tahun 1945, di gantikan oleh Soeharto pada tahun 1967. Selanjutnya berturut-turut; Soeharto di gantikan B.J. Habibie tahun 1998; B.J. Habibie di gantikan Abdurrahman Wahid tahun 1999; Abdurrahman Wahid di gantikan Megawati Soekarno Putri tahun 2001; Megawati Soekarno Putri di gantikan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 sampai sekarang.
2
b. Kekuasaan
Eksekutif
atau
kekuasaan
melaksankan
peraturan
perundang-undangan yang dipegang oleh Raja / Kepala Negara. c. Kekuasaan
Yudikatif
atau
kekuasaan
mengawasi
pelaksanaan
perundang-undangan yang dipegang oleh Hakim. Maksud utama dari teori trias politica Montesquieu tersebut adalah agar tidak terjadi suatu keadaan di mana semua kekuasaan negara berpusat pada satu badan atau lembaga negara saja melainkan terpisah antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainnya. Dengan kata lain untuk mencegah agar tidak terjadi di mana satu lembaga yang telah memegang
satu
kekuasaan
pemerintahan
memegang
kekuasaan
pemerintahan lainnya. Montesquieu berpendapat bahwa tidak menolak apabila lembaga negara yang satu mengawasi lembaga negara yang lain dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya masing–masing. Karena, tujuan utama dari ajaran teori trias politica Montesquieu adalah meniadakan sistem absolutisme.2 Berdasarkan teori trias politica, sistem kepartaian yang diterapkan dalam suatu negara harus selaras dengan sistem pemerintahan yang dianut dinegara tersebut. Keterkaitan dan hubungannya yang erat antara sistem kepartaian dengan sistem ketatanegaraan, negara Indonesia sesuai amanah yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ‘45) yang asli (original) dan amandemennya mempunyai tujuan yang mulia untuk terciptanya persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia serta
2
Soehino, Hukum Tata Negara Pemerintahan Negara, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal: 46.
3
masyarakat adil, makmur, aman dan sejahtera. Upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan terwujudnya sistem pemerintahan dengan baik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia. Penataan sistem pemerintahan yang demokratis sebagai koreksi pendapatnya Plato “bahwa negara yang ideal ialah yang diselenggarakan atau penyelenggaraan negaranya ialah para ahli pikir atau para filsafat dan negara itu di sebut Politea maka dengan mengamati pengalaman penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebut dengan istilah Nomoi”3. Dengan terwujudnya sistem pemerintahan yang baik itu sendiri merupakan salah satu cermin jati diri bangsa dan merupakan salah satu aspek yang menentukan penyelenggaraan negara. Sistem demokratis itu sendiri pada hakekatnya adalah tidak menjamin suatu negara tersebut dapat mencapai tujuan dan cita-cita yang diinginkan untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan, masyarakat yang adil dan makmur keseimbangan pelaksanaan pemerintahan disetiap negara. Sistem pemerintahan menunjukkan pada pembagian kekuasaan negara dan hubungan antara lembaga negara, khususnya antara eksekutif dan legislatif
sistem
pemerintahan
pemerintahan yang
presidensiil
dimana
dianut
seorang
Indonesia adalah sistem Presiden
sebagai
Kepala
Pemerintahan dibantu dengan para kabinet-kabinetnya atau para menteri dalam rangka menjalankan dan membantu tugas seorang Presiden. Hal ini, terdapat dan diatur dalam UUD 1945 asli (original) dan amandemennya. Sistem Pemerintahan Presidensiil telah dianut oleh Indonesia sejak masa 3
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Ctk. Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal: 2.
4
Orde Lama sampai masa reformasi pada saat ini. Namun, dalam perjalanannya sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia dapat dibagi kedalam dua periode, yaitu periode sebelum amandemen UUD 1945 dan periode sesudah amandemen UUD 1945. Pada periode sebelum amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan presidensiil yang terdapat dan diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen serta di dalam mempraktekkannya dianggap tidak sesuai dengan inti ajaran sistem pemerintahan presidensiil yang sesungguhnya. Karena, UUD 1945 sebelum
amandemen
memuat
prinsip-prinsip
sistem
pemerintahan
presidensiil dan prinsip-prinsip sistem pemerintahan parlementer secara bersamaan. Dengan adanya dua sistem pemerintahan yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum amandemen, dimana UUD 1945 merupakan dasar dari sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia peristiwa yang dialami tersebut, menunjukkan terjadinya dualisme sistem pemerintahan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Padahal jika ditinjau dari teori sistem, dalam UUD 1945 tidak boleh ada dualisme karena, konstitusi merupakan satu kesatuan yang tersusun secara sistematis, tidak boleh ada pertentangan antara lembaga negara yang satu dengan bagian lembaga negara yang lain, atau antara bagian-bagian lembaga secara keseluruhannya.4 Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias politica
dirasakan
tidak
lagi
relevan
mengingat
tidak
mungkinnya
mempertahankan eksklusivitas setiap lembaga dalam menjalankan fungsinya masing-masing secara terpisah. Kenyataan menunjukkan bahwa hubungan 4
Bintan R. Saragih & M. Kusnardi, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hal: 2.
5
antar lembaga negara itu pada prakteknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga lembaga tersebut pun sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.5 UUD 1945 yang asli (original) dan amandemennya dikenal sebagai konstitusi yang tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti formil (formal separation of power), melainkan hanya menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) atau pemisahan kekuasaan secara materiil (material separation of power). Dalam hubungan itu, UUD 1945 yang asli (original) menganut sistem supremasi parlemen, yaitu sistem kedaulatan rakyat yang terjelma dalam lembaga tertinggi negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam kerangka pemikiran demikian kedaulatan rakyat yang terjelma di lembaga tertinggi MPR dibagi-bagikan ke lembaga negara di bawahnya. Dalam proses pembagian itu, terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif, tidak terpisah pemisahan yang tegas, dan karena itu tidak terdapat hubungan ‘checks and balances’ antara satu dengan yang lain.6
5
6
Jimly Asshiddiqie (b), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. v. Lokakarya Program Legislasi Nasional yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional, bekerjasama dengan Universitas Taruma Negara, Jakarta, 29 Juli, 2002.
6
1.2
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan dari penjelasan latar belakang di atas maka, penulis
mengambil pokok rumusan masalah yaitu sebagai berikut : 1. Apakah checks and balances berkaitan dengan pembagian dan pemisahan kekuasaan berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan dan sesudah perubahan? 2. Bagaimana penerapan checks and balances antar lembaga negara di Indonesia pada sistem pembagian dan pemisahan?
1.3
PENJELASAN JUDUL Untuk menghindari salah pengertian atau multitafsir dalam penelitian ini
maka, diperlukan adanya suatu penjelasan istilah proposal skripsi ini berjudul: “TINJAUAN TEORITIS PEMBAGIAN DAN PEMISAHAN KEKUASAAN DALAM PRAKTEK HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA” 1. Tinjauan
adalah
cara,
sudut
pandang
dari
penyelesaian
suatu
permasalahan.7 2. Teoritis adalah Asas dan Hukum umum yang menjadi dasar suatu pendapat, cara dan aturan yang melakukan sesuatu.8 3. Pembagian adalah proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain.9 4. Pemisahan adalah suatu proses pembatasan kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan suatu kekuasaan.10
7 8 9
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press. Ibid. Ibid.
7
5. Kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu.11 6. Tata negara adalah ilmu yang menyelidiki dan mempelajari negara-negara tertentu,
yaitu
bagaimana
pemerintah
negara
itu
disusun
dan
diselenggarakan mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah.12
1.4
ALASAN PEMILIHAN JUDUL Untuk mengetahui lebih jauh konsep dasar yang diterapkan oleh filosof
dari perancis yaitu Baron De Montesquieu mengenai trias politica dengan penerapan prespektif Hukum Tata Negara Indonesia dengan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan yang lebih efektif digunakan serta penerapan dalam pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia. Karena, ada perbedaan istilah yang digunakan antara konsep dasar dari Montesquieu dengan prespektif Hukum Tata Negara Indonesia dari dasar pengambilan judul mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan dalam prespektif Hukum Tata Negara Indonesia perlu adanya suatu pemahaman yang lebih jauh agar tidak mengalami multi tafsir.
10 11 12
Jimly Asshiddiqie, Ibid. Ibid. Budiyanto, Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga, Jakarta, 2003. Hal.
8
1.5
TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan dari Rumusan Masalah tersebut di atas, maka dapat
diambil tujuan dari penilitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan memahami lebih jauh keterkaitan prinsip check and balance pembagian dan pemisahan lembaga negara dalam ketatanegaraan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang asli (original) dan amandemennya. 2. Untuk mengetahui penerapan prinsip check and balance pembagian dan pemisahan lembaga negara berdasarkan UUD 1945 asli (original) dan amandemennya dalam Hukum Tata Negara di Indonesia.
1.6
MANFAAT PENELITIAN Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain : a.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya. 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakan tentang pemisahan dan pembagian kekuasaan yang diterapkan Montesquieu dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta implikasi mengenai lembaga-lembaga tinggi negara dan pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
9
2. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitianpenelitian sejenis untuk tahap selanjutnya.
b.
Manfaat Praktis
1. Sebagai wahana penulis mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang di peroleh di bangku perkuliahan. 2. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
1.7
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dari penulisan ini adalah menggunakan yuridis normatif yang mengacu pada UUD 1945. 2. Pendekatan Penelitian Pedekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang mengacu pada UUD 1945 beserta amandemennya yaitu pedekatan yang melihat dari doktrindoktrin atau pandangan-pandangan dari para filosof-filosof terdahulu dengan para ahli hukum Tata Negara khususnya pada saat ini yang dilandaskan pada UUD 1945 beserta amandemennya. 3. Langkah Penelitian 1. Obyek Penelitian Sejarah terbentuknya konsep trias politica yang dicetuskan oleh Montesquieu dengan pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
10
2. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah berupa bahan hukum, yang di peroleh dengan cara studi kepustakaan, meliputi : a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat secara yuridis seperti Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen dan sesudah amandemen. b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan
tentang
bahan
hukum
primer,
seperti
rancangan
perundang-undangan, literatur, jurnal, hasil penelitian, buku-buku, teks-teks tentang hukum. c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi. 3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk mendapatkan bahan-bahan
hukum
yang
diperlukan
sesuai
dengan
pokok
pembahasan.
Bahan hukum yang dikumpulkan sebagai sumber penelitian adalah: -
UUD 1945 original beserta Amandemennya. Adalah sebagai sumber hukum primer yaitu sebagai dasar landasan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis dengan dasar UUD 1945 yang asli (original) dan
11
amandemennya inilah sebagai dasar acuan penulis dalam pembuatan penelitian hukum. -
Buku dan artikel yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan khususnya tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan adalah sebagai sumber hukum sekunder yaitu menjelaskan dan memaparkan secara rinci mengenai bahan hukum primer yang diperoleh melalui sumber buku,literatur, hasil penelitian hukum, risalah rapat yang ada kaitannya dengan penulisan penelitian hukum ini.
-
Kamus Adalah sebagai sember hukum tersier, yaitu memberikan penjelasan pengertian terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dari ketiga bahan hukum primer, sekunder, dan tersier ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap bahan-bahan yang harus penulis kumpulkan untuk keperluan penelitian ini. Setelah bahan-bahan tersebut berhasil dikumpulkan dilanjutkan dengan
wilayah-wilayah
yang
menjadi
pembahasannya.
Adapun
penelitian ini dilakukan terhadap buku-buku, artikel, risalah-risalah, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar serta peraturan perundangundangan yang mempunyai keterkaitan dengan penulisan ini.
12
4. Metode Analisis Menganalisis hubungan dan keterkaitan serta penerapan prinsip checks and balances pada sistem ketatanegaraan mengenai pembagian dan pemisahan kekuasaan lembaga tinggi negara berdasarkan teori para ahli hukum dengan berbagai bentuk penafsiran terhadap UUD 1945 asli (original) dan amandemennya. Metode analisis tersebut menggunakan cara deduktif, dimana pembahasan diuraikan lebih lanjut dengan menggambarkan wilayah yang bersifat umum menjadi wilayah penelitian yang bersifat khusus.
1.8
SISTEMATIKA PERTANGGUNGJAWABAN Dalam pembuatan proposal Penulisan Hukum (skripsi) ini digunakan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB
I
adalah
pendahuluan
yang
mencakup
latar
belakang
permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pertanggung jawaban. BAB II adalah tinjauan pustaka yang meliputi tinjauan tentang prinsip checks and balances secara umum yang digunakan berdasarkan UUD 1945 beserta amandemennya dan juga tinjauan terhadap keterkaitan pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances dalam praktek Hukum Tata Negara di Indonesia. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai kerangka pemikiran, sehingga sangat membantu penulis dalam menjawab permasalahan mengenai penerapan konsep trias politica yang sebenarnya sesuai dengan
13
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Indonesia dan prosedur pembagian kekuasaan, tugas, dan fungsi dari masing-masing lembaga tinggi negara secara jelas dan juga akibat yang ditimbulkan dari pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia yang diterapkan oleh konstitusi. BAB III adalah menjelaskan dari hasil penelitian dan pembahasan yaitu yang menjelaskan tentang penerapan pembagian dan pemisahan kekuasaan sesuai konsep trias politica yang sebenarnya didasarkan pada prinsip checks and balances dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Hukum Ketatanegaraan Indonesia dan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dan sesudah amandemen. BAB IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan penulis.
14
115
BAB II KETERKAITAN CHECKS AND BALANCES DENGAN PEMBAGIAN KEKUASAAN DAN PEMISAHAN KEKUASAAN BERDASARKAN UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN DAN SESUDAH AMANDEMEN 2.1. CHECKS AND BALANCES PEMBAGIAN KEKUASAAN BERDASARKAN UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN Aristoteles dalam membicarakan bentuk-bentuk pemerintahan yang ada dan yang seharusnya berlaku, seperti dikemukakan dalam bukunya C.F Strong yang berjudul “Modern Political Constitution”, beranggapan bahwa demokrasi itu termasuk salah satu bentuk pemerosotan. Landasan dari teori Aristoteles adalah bahwa bentuk-bentuk pemerintahan itu harus berlandaskan pada 2 alternatif yaitu Good and Bad. Demikianlah, menurut Aristoteles, demokrasi itu bentuk pemerintahan yang kemudian mengalami pemerosotan. Bahkan kemudian, demokrasi itu disebut dengan istilah Mobocracy, the rule of the mob, yaitu suatu pemerintahan yang dilakukan oleh massa. Dengan demikian terjadilah anarcy (tanpa adaya pemerintahan) (C.F Strong dalam bukunya Modern Political Constitution).13 Hal ini ada hubungannya dengan teori cyclus dari Polybos yang mengatakan bahwa mula-mula pemerintahan itu berbentuk monarcy. Tetapi, kemudian karena manusia itu tidak sama sifatnya, maka apabila keturunan Raja yang memerintah itu kemudian menggantikannya dan memerintah 13
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal: 1-2.
15
dengan sewenang-wenang maka timbullah suatu tirany, yaitu dimana Raja itu hanya memperhatikan kepentingan-kepetingannya sendiri. Kemudian diantara kaum-kaum bangsawan timbul perasaan tidak puas dan menggulingkan raja tersebut sehingga, terjadilah aristocracy karena manusia tidak mempuyai sifat-sifat yang sama serta tidak abadi, timbullah olygrachy, yaitu pemerintahan oleh sekelompok orang untuk kepentingan mereka sendiri. Tetapi, kemudian pemerintah yang demikian ini akan ditentang oleh rakyat sehingga timbullah democracy dan seterusnya. Seorang sarjana Prancis yang bernama Maurice Duverger di dalam bukunya Les Regimes Politicues, mengatakan sebagai berikut: “Kalau menurut arti kata seperti yang diartikan oleh umum, maka demokrasi yang sungguh-sungguh tidaklah pernah ada dan tidak mugkin ada. Adalah pertentangan dengan kodrat alam bahwa golongan yang berjumlah besar memerintah, sedangkan yang sedikit jumlahnya harus diperintah.” Apa yang dikemukakan oleh Maurice Duverger itu sebenarnya adalah demokrasi formal atau demokrasi menurut bentuknya. Karena itu, apabila demokrasi dapat diartikan dari segi bentuknya, tentunya ada pula pengertian demokrasi yang dilihat dari segi isinya atau materinya. Jadi, dengan demikian mengenai demokrasi ini mempuyai 2 pengertian. Dan tentang adanya 2 macam pengertian mengenai demokrasi ini dikemukakan juga oleh beberapa sarjana yaitu antar lain,14 Robert K. Carr : (American democracy in theory and practice). A further difficulty about divining democracy is that the term is used to describe both an ideology and an actual governmental mechanism.
14
Ibid. hal:3.
16
People refer to the former when they talk about democratic way of life, and the latter when they talk about democratic in action. In other words, democracy is both theory and practice. Bonger: (Problemen der Democratie) Menggunakan 2 istilah yaitu : Demokrasi Materiil (materiele democratie) dan demokrasi Formil (formele democratie). William Goodman: (The two party system in the United States) Menyebutnya sebagai Philosophy and Representative in form. Perbedaan yang fundamental adalah demokrasi dalam arti isinya (materiil) sedangkan dalam arti yang kedua (formil), maka pada asasnya tidak terdapat perbedaan-perbedaan, yang ada hanyalah bermacam-macam variasi. Richard Butwell dalam bukunya yang berjudul Southeast Asia Today and Tomorrow, mengatakan bahwa demokrasi itu pada perkembangannya kemudian mempunyai bermacam-macam predikat seperti social democraty, liberal democraty, people democraty, guided democraty dan sebagainya. Sehubungan dengan hal itu, dapat dikelompokkan demokrasi itu menjadi 2 golongan besar yaitu:15 1.
Demokrasi yang didasarkan kepada kemajuan di bidang sosial dan ekonomi dan;
2.
Demokrasi yang didasarkan kepada kemerdekaan dan persamaan.
Tetapi, dapat pula demokrasi itu didasarkan kepada kemajuan di bidang sosial ekonomi dan kemerdekaan serta persamaan bersama-sama.
15
Ibid. hal: 4.
17
Ditinjau dari segi isinya, demokrasi sebagai salah satu alam pikiran, menuntut terwujudnya kemerdekaan dan keadilan bagi setiap orang dalam kehidupannya bermasyarakat atau bernegara. Oleh
karena,
itu
Prof.
Usep
Ranawidjaja
dalam
memberikan
pembahasannya terhadap prasaran Prof. Ismail Suni tentang mekanisme demokrasi Pancasila dalam Seminar Hukum Nasional kedua pada bulan Desember 1968 di Semarang, dikemukakan adanya 4 unsur penting yaitu : 1)
Keyakinan bahwa keadaan masyarakat senantiasa berubah-ubah dan bergerak menuju ke arah yang lebih maju.
2)
Keyakinan bahwa perubahan masyarakat itu terjadi karena dorongan dari perbuatan manusia dan oleh karenanya manusia dapat dan harus berbuat untuk membentuk keadaan yang lebih maju.
3)
Keyakinan bahwa didalam kehidupan bermasyarakat/bernegara harus ada toleransi, konsesi dan saling beri memberi. Berhubung dengan hal itu, harus ada kesediaan untuk memberikan kepercayaan (mandat)
kepada
pihak
lain
untuk
menjalankan
kekuasaan/kepemimpinan dalam jangka waktu tertetu. 4)
Keyakinan akan kebenaran akal sehat, yaitu bahwa pada akhirnya akal sehatlah yang akan mencapai kemenangan di atas akal yang tidak sehat.
Atas dasar adanya 4 unsur di atas, maka demokrasi pancasila mengandung di dalamnya, bermacam-macam kosekuensi, yaitu perlunya diusahakan dan dipeliharanya beberapa macam keseimbangan yaitu: 1)
Keseimbangan di antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
18
(Pasal 26 UUDS 1950, meyatakan: Ayat 1: Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Ayat 2: Hak milik itu adalah suatu fungsi sosial). 2)
Keseimbangan di antara dimensi hidup fisik dan dimensi hidup kerohanian yang permanen pada manusia.
(Manusia itu tidak hanya mengutamakan kebutuhan-kebutuhan sandang dan pangan saja (kebutuhan fisik), tetapi perlu juga adanya pemenuhan seperti pendidikan dan sebagainya). 3)
Keseimbangan antara nilai-nilai integratif (agama, politik, moral dan sebagainya) dan nilai-nilai desintegratif (ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika, dan sebagainya).
(Nilai agama mempunyai arti mempersatukan manusia-manusia yang menganut keyakinan. Demikian juga politik/ideologi mempersatukan manusia di dalam suatu kelompok. Sedangkan nilai ekonomi, ilmu pengetahuan adalah nilai-nilai yang memisahkan, seperti juga halnya nilai-nilai estetika karena pandangan seseorang mengenai apa yang baik dan yang buruk, yang indah dan yang tidak indah, tidaklah mungkin dapat dipersatukan). 4)
Keseimbangan antara tujuan dan cara untuk mencapai tujuan.
(Tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan, dan tentunya diperlukan adanya keseimbangan dengan cara-cara untuk mencapainya).
19
5)
Keseimbangan
antara
kemerdekaan
dan
keadilan,
yakni
kemerdekaan yang menjamin keadilan dan keadilan yang menjamin kemerdekaan. (Jadi yang dipentingkan bukanlah hanya kemerdekaan saja, sebab merdeka itu harus ada batasnya, karena apabila tanpa ada batas kemerdekaan
itu
dapat
melanggar
keadilan;
Jadi
perlu
adanya
keseimbangan antara kemerdekaan dan keadilan). Dengan demikian demokrasi pancasila itu dapat kita rumuskan sebagai berikut:16 “Demokrasi pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang mengandung semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan keadilan sosial”.
Pelaksanaan demokrasi pancasila harus kita hubungkan pula dengan prakteknya, baik dalam periode 1945 s/d 1949, 1959 s/d 1965 maupun dalam periode 1965 sampai masa sekarang. Dalam pada itu demokrasi yang berlaku di Indonesia yang kemudian kita kenal dengan demokrasi Pancasila itu tidaklah mungkin dilaksanakan dengan hanya satu cara saja. Dengan perkataan lain, apa yang dirumuskan dan ditentukan
dalam
batang
tubuh
UUD
1945
bukanlah
satu-satunya
perwujudan/implementasi dari demokrasi Pancasila. Artinya ialah bahwa demokrasi Pancasila dapat dilaksanakan dengan cara lain dari apa yang ditentukan di dalam UUD 1945. Di dalam sejarah ketatanegaraan, kita telah mengetahui berlakunya 3 UUD, yaitu di samping UUD 1945, juga pernah berlaku Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950).Yang jelas ialah baik UUD
16
Ibid. hal:6.
20
1945, Konstitusi RIS maupun UUDS tersebut adalah merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang termuat di dalam mukadimah/Pembukaannya, sedangkan di dalam setiap mukadimah pada (ketiga UUD) tersebut, jelas dianut demokrasi Pancasila. Dengan demikian jelaslah bahwa demokrasi Pancasila itu dapat diwujudkan dalam bermacam-macam bentuk serta sistem. Dan karena itu UUD 1945 tidaklah berarti tidak mungkin dapat diubah. Perubahan tersebut bergantung kepada perkembangan serta kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri. Itulah sebabnya mengapa di dalam UUD 1945 dicantumkan pasal 37 tentang perubahan UUD. Atas dasar adanya kemungkinan perubahan terhadap UUD 1945, tidaklah dapat dimengerti adanya slogan yang berbunyi laksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kalau UUD itu secara murni dan konsekuen harus dilaksanakan maka kaidah-kaidah yang ada di dalamnya akan menjadi beku. Slogan yang disebutkan di atas sebenarnya merupakan reaksi terhadap pengalamanpengalaman pada masa lalu, dimana UUD 1945 seringkali tidak ditaati mala diselewengkan. Atau dengan perkataan lain, slogan tersebut sebenarnya lebih ditujukan kepada lembaga-lembaga legislatif dan terutama lembaga eksekutif, supaya dalam mejalankan kekuasaan dan wewenangnya selalu berpegang kepada UUD 1945 yang berlaku sebagai bagian dari hukum positif di Indonesia. Seperti telah diketahui, badan pelaksana UUD 1945 yang terpenting adalah kedua lembaga tersebut. Dalam hubungan ini, terutama sekali adalah karena lembaga eksekutif mempunyai kedudukan dan arti yang menonjol,
21
malahan karena masalah kenegaraan itu bersifat kompleks, luas dan berlikuliku dan karena lembaga legislatif itu pada umumnya terdiri dari amatir-amatir, maka terdapatlah pergeseran kekuasaan dari legislatif ke eksekutif. Tetapi walaupun di atas dikatakan, bahwa lembaga eksekutif itu mempunyai kedudukan dan arti yang menonjol, hal ini tidaklah berarti bahwa pihak eksekutif dapat bertidak semau-maunya dengan lebih menitik beratkan kepada tujuan negara dan mengabaikan atau melupakan cara untuk mencapai tujuan itu. Dan oleh karena itu, untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan, maka berdasarkan asas-asas demokrasi, haruslah diperhatikan prinsip-prinsip: 1) Keharusan adanya pembatasan kekuasaan seperti yang tercantum di dalam UUD yaitu: a) Jangka waktu kekuasaan itu dilakukan. b) Perincian kekuasaan yag diberikan kepada tiap-tiap Lembaga Negara. 2) The lelection of public officers in a meaningful way by the people. a) The operations of government by the public officers so selected in a manner that shows responsibility to the wishes of the people. (Robert K. Carr cs.: American democracy in theory and prastice). Dalam persoalan ini, maka DPR harus dapat menyesuaikan putusanputusannya sesuai dengan kemauan masyarakat atau social engineering (istilah Rouscou Pound). Demokrasi formal sebagaimana terdapat dalam demokrasi Pancasila diwujudkan di dalam UUD 1945. Bahwa UUD 1945 itu mengatur demokrasi dalam arti representative in form, dari bunyi pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang
22
menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR.17 MPR memiliki wewenang menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan Garis-Garis Besar dari Pada Haluan Negara (GBHN), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan di bawah MPR serta bertanggung jawab kepada MPR.18 Di dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan bahwa DPR harus memberikan persetujuan kepada setiap rancangan Undang-Undang dari pemerintah. MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditambah utusan daerah-daerah dan golongan-golongan. Oleh karena itu juga di kenal adanya lembaga perwakilan, yaitu DPR. Sedangkan, utusan daerahdaerah dan golongan-golongan bukan merupakan lembaga tersendiri, melainkan merupakan komponen keanggotaan MPR di samping, anggota DPR. Walaupun DPR merupakan lembaga perwakilan, namun kekuasaan membentuk Undang-Undang ada pada Presiden.DPR berperan memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden.19 Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias politica
dirasakan
tidak
lagi
relevan
mengingat
tidak
mungkinnya
mempertahankan eksklusivitas setiap lembaga dalam menjalankan fungsinya masing-masing secara terpisah. Kenyataan menunjukkan bahwa hubungan 17 18 19
Ibid. hal: 7-12. Sistem Pemerintahan Negara berdasarkan penjelasan UUD 1945 Sebelum Amandemen. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen.
23
antar lembaga negara itu pada prakteknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga lembaga tersebut pun sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.20 UUD 1945 yang asli (original) dan perubahannya dikenal sebagai konstitusi yang tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti formil (formal separation of power), melainkan hanya menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) atau pemisahan kekuasaan secara materiil (material separation of power). Dalam hubungan itu, UUD 1945 yang asli (original) menganut sistem supremasi parlemen, yaitu sistem kedaulatan rakyat yang terjelma dalam lembaga tertinggi negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di samping itu, adanya pembagian atas demokrasi formal dan material, pembagian atas direct dan indirect democracy (demokrasi langsung dan tidak langsung). Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 maka, demokrasi yang dianut oleh UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah indirect democracy. Hal ini, berarti bahwa demokrasi formal yang dilaksanakan di Indonesia adalah demokrasi melalui perwakilan atau demokrasi perwakilan atau juga disebut demokrasi parlementer. Ditinjau
dari
kata-kata
permusyawaratan/perwakilan
demokrasi
Pancasila akan dilaksanakan melaui permusyawaratan. Suatu pemerintahan yang berdasarkan atas sistem perwakilan dinamakan Representative government.
20
Jimly Asshiddiqie (b), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. v.
24
Yang dimaksud Representatif Government menurut International Commission of jurist dalam konperensinya di Bangkok pada Tahun 1965 mengemukakan definisi sebagai berikut: “Representatif governmentis a government deriving its power and authority from the people wich power and authority are exercised through reprentative freely chosen and responsible to them”. Seperti dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan, kekuasaan Kehakiman atau kekuasaan Pengadilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan Kehakiman menurut UU. Kemudian dalam penjelasan terhadap kedua pasal tersebut, bahwa kekuasaan kehakiman itu adalah merupakan kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Sebelum membicarakan mengenai pengajuan rancangan UndangUndang (usul inisiatif), terlebih dahulu akan dibahas tentang proses penetapan suatu Undang-Undang tentang proses penetapan suatu UndangUndang menurut Undag-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), baik dalam priode keempat maupun dalam periode-periode sebelumnya. Periode pertama berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, yang terbagi atas dua sub-periode, yaitu sebelum keluarnya Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945 dan sesudahnya Periode kedua berlaku antara 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, periode ketiga antara 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959, dan periode keempat berlaku antara 5 Juli 1959 sampai periode orde baru. Seperti telah dikemukakan diatas, periode ini terbagi atas dua subperiode. Baik dalam sub-periode pertama maupun dalam sub-periode kedua
25
berlaku Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Pasal 5 ayat (1) UndangUndang 1945 kekuasaan membentuk Undang-Undang dipegang oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Berlainan dengan teori Trias Politica Montesquieu, yang mengatakan, bahwa kekuasaan perundang-undangan dipegang oleh lembaga Legislatif sepenuhnya, maka menurut kekuasan ini dilakukan oleh dua Jabatan atau dua Lembaga Negara/Alat-alat Perlengkapan Negara, yaitu Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan kata lain Undang-Undang produk Legislatif kedua Lembaga Negara. Undang-Undang sebagai suatu bentuk peraturan tertentu atau dalam arti formal tidak mungkin ditetapkan oleh hanya satu Lembaga Negara saja, baik presiden sendiri maupun Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena, pada waktu itu Lembaga-Lembaga Negara seperti Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum dapat dibentuk, maka menurut Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 segala kekuasannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Adapun bunyi selengkapnya Pasal IV diatas ialah: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar Ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.” Menurut ketentuan Pasal IV aturan Peralihan, Presiden menjalankan kekuasaan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
(MPR),
sedang
dalam
menjalankan kekuasan tersebut mendapat bantuan sebuah Komite Nasional.
26
Dengan demikian, khusus mengenai penetapan Undang-Undang hanya dijalankan oleh Presiden, yang dalam menjalankan kekuasaannya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Dalam periode kedua telah berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), ini sebagai akibat perundingan dan persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag pada akhir tahun 1949 antara delegasi Republik Indonesia, delegasi Panitia Permusyawaratan Urusan Federal (Bijeenkomst voor Federal Overleg) dan delegasi Kerajaan Belanda. Adapun sistem pemerintahan yang dianut oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat ialah sistem pemerintahan parlementer pola Inggris. Hal ini dapat dilihat dari pasal 118 Konstitusi yang berbunyi: Ayat (1) Presiden tidak dapat diganggu gugat. Ayat (2) Menteri-Menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu. Dalam Pasal 127 Konstitusi yang mengatakan: “Kekuasaan perundang-undangan federal, sesuai dengan ketentuanketentuan bagian ini, dilakukan oleh: a. Pemerintah, bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, sekedar hal itu mengenai peraturan-peraturan tentang hal-hal yang khusus mengenai satu, beberapa, atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannya, ataupun yang
27
khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam Pasal 2 Konstitusi; b. Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya.” Dari ketentuan diatas dapat dilihat adanya dua macam Undang-Undang Federal, yaitu Undang-Undang Federal yang ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat saja. Adapun, yang dimaksud dengan Pemerintahan menurut Konstitusi dikatakan dalam Pasal 68 yang terdiri atas dua ayat. Ayat (1) Presiden dan Menteri-menteri bersama-sama merupakan Pemerintah. Ayat (2) dimana-mana dalam Konstitusi ini disebut Pemerintah, maka yang dimaksud ialah Presiden dengan seorang atau beberapa atau para menteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum mereka itu. Dengan demikian, suatu Undang-Undang Federal ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, apabila hal itu mengenai pengaturan masalah: 1. Satu daerah bagian; 2. Beberapa daerah bagian; 3. Semua daerah bagian, atau 4. Bagian-bagiannya; 5. Perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam Pasal 2 Konstitusi.
28
Hal yang tidak merupakan pengaturan kelima masalah pengaturan pembagian kekuasaan atau selebihnya dari yang telah disebutkan ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena, Menteri mempunyai tanggung jawab, maka setiap UndangUndang Federal harus ada tanda tangan serta atau contra seign Menterimenteri yang bersangkutan. Dalam periode sebelumnya telah berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat. Akan tetapi, bentuk negara serikat sebagaimana terlihat dalam konstitusinya tidak belaku lama. Melalui Pasal 190 Konstitusi kemudian dilakukan perubahan-perubahan terhadap Konstitusi itu dengan jalan mengubah bagian-bagian yang merupakan unsur-unsur negara serikat menjadi kesatuan sesuai dengan keinginan serta cita-cita semula. Hal ini dilakukan melalui Undang-Undang Federal No.7/1950 (Lembaran Negara No.56/1950). Berlainan dengan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, UndangUndang Dasar Sementara 1950, yang termasuk dalam Pasal I UndangUndang Federal No.7/1950 hanya mengenal adanya satu macam UndangUndang. Hal ini, dapat dilihat dari bunyi Pasal 89 Undang-Undang Dasar Sementara. Adapun Pasal tersebut berbunyi; “Kecuali apa yang ditentukan dalam Pasal 140 maka kekuasaan perundang-undangan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian dalam Pasal ini, dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat”. Jadi, berdasarkan ketentuan
tersebut
Undang-Undang
itu
merupakan
produk
legislatif
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
29
Oleh karena, menurut Pasal 89 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 kekuasaan untuk menetapkan atau membuat undang-undang dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, maka berdasarkan arti Pemerintah tersebut hal ini mengandung arti, bahwa kekuasaan perundang-undangan dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden bersama-sama dengan Menteri atau Menteri-menteri dan Dewan Perwakilan Rakyat.21 Sejak 5 juli 1959 telah berlaku kembali Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden. Demikian pula Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi. Adanya keputusan Presiden yang berbentuk Dekrit ini disebabkan tidak berhasilnya Konstituante/Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar menetapkan Undang-Undang Dasar Baru yang tetap. Setelah Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali dalam periode keempat ini Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar tidak berlaku lagi. Hal ini disebabkan telah adanya atau telah terbentuknya Lembagalembaga Negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara, masing-masing melalui Penetapan Presiden No.2/1959 jo. Peraturan Presiden No.12/ 1959 serta Keputusan Presiden No. 199/1960, Penetapan Presiden no.4/1960 jo. Keputusan Presiden No.156/1960 serta Penetapan Presiden No.3/1959 jo. Keputusan Presiden No.168/1959. Walaupun alat-alat Perlengkapan Negara tersebut masih bersifat sementara, hal ini berarti telah dilaksanakannya Undang-Undang Dasar 1945
21
Ibid. hal: 63-64.
30
dan tidak terjadi pada periode pertama. Akan tetapi, kemudian terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, seperti antara lain keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tentang pengangkatan presiden seumur hidup.22 Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 sebelum amandemen itu belumlah menjamin sepenuhnya adanya Pengadilan yang bebas dan tidak memihak. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 sebelum perubahan kemudian diatur dalam UndangUndang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal ini terdapat dalam pasal-pasal: Pasal 1: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pasal 4: (1) Peradilan dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. (3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihakpihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan. 22
Ibid. hal: 66.
31
Di samping, adanya penegasan terhadap kedudukan Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 di atas, di dalam Undang-Undang itu juga ditentukan tentang kemungkinan Mahkamah Agung sebagai pemegang Kekuasaan Kehakiman tertinggi dalam Negara melakukan hak menguji materiil (judicial review). Hal ini, terdapat dalam Pasal 26 Undang-Undang tersebut yang keseluruhannya berbunyi: Pasal 26: (1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (2) Putusan
tentang
pernyataan
tidak
sahnya
peraturan
perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak
sah
tersebut
dilakukan
oleh
instansi
yang
bersangkutan. Dari penjelasan, Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen maupun Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman di atas dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa ciri kedua adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak terdapat dalam Negara Republik Indonesia.23
23
Ibid. hal: 13-15.
32
2.2. CHEK AND BALANCE PEMISAHAN KEKUASAAN BERDASARKAN UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN Pada pokoknya semua pihak, baik dalam struktur kenegaraan maupun diluar struktur kenegaraan dan pemerintahan dapat memprakarsai gagasan pembentukan peraturan perundang-undangan. Prinsip ini berlaku di semua negara demokrasi. Seperti dikemukakan oleh Cornelius M. Kerwin sebagai berikut:24 “Rules can be initiated in a varriety of ways. Statutory mandates, judicial orders, petitions from the public, and agency determinations of need can all cause a rulemaking to begin. A requirement that those about to begin writing rules must secure permission todo so from senior agency officials or simply must inform higher authorities that a rulemaking is being initiated, serves a number of purpose.”
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (naskah asli) berbunyi “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Dalam risalah sidang BPUPKI yang diterbitkan oleh Sekretaris Negara RI 1998, diketahui bahwa istilah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pertama kali dikemukakan oleh Yamin25 dalam pidatonya pada rapat besar BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 atau sebelum terbentuknya Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Pada intinya Yamin menghendaki agar dalam UUD yang akan disusun, ada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang menjadi kekuasaan setinggi-tingginya didalam republik sebagai pelaksana
24 25
Kerwin, Op., Cit., hal:130. Risalah Sidang Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan PanitiaPersiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, hal: 201-203.
33
kedaulatan rakyat yang meliputi wakil rakyat yang dipilih, utusan daerah dan utusan golongan.26 Menurut pendapat Prof. Sri Soemantri,27 bahwa jika, dibandingkan dengan alat perlengkapan negara menurut UUD 1945 dengan
Indische
staarsregeling, terdapat kemiripan, yaitu: Presiden dan wakil Presiden dengan de gouverneur Generaal dan de Luitenant Gouverneur General, DPR sama dengan de Volkstraad, DPA sama dengan de Raad van Nederlands Indie, BPK sama dengan de Algemene Rekenkamer, MA sama dengan he Hooggerechtshof, sedangkan lembaga yang bernama de alegemene secretarie adalah menurut Sekretaris Negara. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Prof. Mr. Ph. Kleintjes, dalam bukunya Wet op de Staatsinrichting van Naderlands Indie, 1926, Sri Soemantri28 mengemukakan bahwa di Hindia Belanda (Naderlands Indie) alat perlengkapan negara semacam MPR mempunyai kemiripan dengan Sovyet tertinggi Republik Sosialis Uni Sovyet (the Supreme Sovyet of the Union Sovyet Socialist Republic) dan kongres Rakyat Nasional Republik Rakyat Cina (National People’s Congress). Pendapat Sri Soemantri tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa MPR yang digagas oleh Yamin, sebagaimana yang diakui sendiri dalam bagian pidatonya hendak mengikuti model yang ada dikedua negara sosialiskomunis pada waktu itu. Dugaan lain yang melatar belakangi keberadaan MPR antara lain dikemukakan oleh Laica Marzuki,29 bahwa MPR dirancang the founder of constitution (BPUPKI-PPKI) guna menggantikan kedudukan het
26
Ibid. Sri Soemantri Martosoewignjo, UUD dan Ketapan MPR sebagai Produk MPR, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Mata Kuliah Ilmu Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum UNPAD, Sabtu, 21 Februari 1987, hal: 8. 28 Ibid. 27
29
H.M. Laica Marzuki, Kedudukan MPR Setelah amandemen UUD 1945, dalam Soewoto Mulyo sudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melaui perubahan Konstitusi, Op.Cit., hal: 275.
34
Koninkrijk der Naderlands selaku oppergezag bagi negeri jajahan Hindia Belanda. Dalam rancangan UUD hasil kerja Panitia Kecil Perancang UUD yang diketuai oleh Soepomo dalam rapat Panitia Perancang UUD tanggal 13 Juli 1945 yang dipimpin oleh ketua Panitia Perancang UUD (Soekarno), Pasal 1 ayat (2)30 menyebut Badan Permusyawaratan Rakyat sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Jadi, dalam RUUD hasil kerja Panitia Kecil Perancang UUD masih menggunakan “Badan Permusyawaratan Rakyat”. Keberadaan MPR, baik dalam risalah sidang BPUPKI maupun dalam risalah PPKI disepakati bahwa MPR merupakan tempat bagi bersatunya perwakilan politik rakyat, perwakilan utusan daerah, dan perwakilan utusan golongan, sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedaulatan tetap berada ditangan rakyat, bukan di tangan MPR, hanya pelaksanaannya diserahkan kepada lembaga negara yang dipandang sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam kaitan ini, laica Marzuki31 mengemukakan bahwa MPR adalah mandataris rakyat, bukan penerima delegasi. Dalam mandatum, mandant (mandator) tidak kehilangan kewenangannya. MPR selaku mandataris, bertindak untuk dan atas nama rakyat selaku mandant (mandator) karena itu MPR bertanggung jawab kepada rakyat banyak. MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu menetapkan UUD, mengubah UUD, menetapkan GBHN, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden.
30
Pasal 1 ayat (2) RUUD hasil kerja Panitia Kecil perancang UUD berbunyi: “Souvereiniteit berada ditangan rakyat, yang dilakukan sepenuhnya oleh Badan Permusyawaratan Rakyat.” 31 H.M. Laica Marzuki, kedudukan MPR Setelah Amandemen UUD 1945, dalam Soewoto Mulyosudarmo, Op.Cit., hal:278-279.
35
Dengan berdasarkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum amandemen), Agung Aryanto32 dalam disertasinya berpendapat bahwa MPR sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Pendapat itu sejalan dengan penjelasan Pasal 3 UUD 1945, antara lain berbunyi bahwa “Oleh karena Majelis Permusyawaratan rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas,...............”. tentunya pendapat tersebut menyimpulkan bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 memberi kekuasaan tidak terbatas kepada MPR tidak tepat, bahkan dapat dipandang menyesatkan, sebab pasal ini hanya menempatkan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya, MPR selanjutnya mendistribusikan kekuasaan yang diterimanya untuk menetapkan dan mengubah UUD, MPR mengatur, menata kekuasaan lembaga lainnya; berdasarkan kekuasaannya untuk menetapkan GBHN, MPR mmbuat pedoman penyelenggaraan negara yang harus dilaksanakan lembaga negara lainnya, terutama Presiden; berdasarkan kekuasaannya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, MPR berhak memutuskan siapa
putra-putri terbaik bangsa Indonesia untuk
memegang amanah melaksanakan Pemerintahan. Pemahaman bahwa kekuasaan MPR tidak terbatas mendasarkan pada Penjelasan Pasal 3 UUD 1945, secara teoritis bertentangan dengan hakekat dari UUD 1945. Salah satu tujuan suatu UUD untuk mengatur dan membatasi kekuasaan dalam suatu negara sehingga, tidak terjadi suatu kekuasaan yang absolut, demikian pula, diperhatikan dalam penjelasan UUD 1945, bagian sistem pemerintahan negara,
butir II.1.
berbunyi “Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtsstaats), tidak berdasarkan kekuasaan belaka 32
Agung Aryanto, Makna Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan penerapannya dalam MPR Masa Kerja 1972-1992, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung, 1995, hal: 285.
36
(Machtsstaat).” Dengan kata lain, apabila UUD 1945 menerima prinsip negara berdasarkan hukum, secara akontrario maka tidak ada lembaga negara yang kekuasaanya tidak terbatas, jadi semuanya terbatas. Konsekuensi dari kedudukan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 adalah kekuasaan negara terbagi secara vertikal yang berpuncak pada MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Istilah MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, demikian pula Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA sebagai Lembaga Tinggi Negara tidak dijumpai dalam UUD 1945, istilah ini pada awalnya muncul dari analisis akademik terhadap hubungan kelembagaan Negara; istilah ini mempunyai dasar hukum setelah tertuang dalam Tap MPR, seperti dalam TAP MPR RI No. VI/MPR/1973 tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, selanjutnya dalam TAP MPR RI No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan Tata Kerja Lembaga tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Tap-Tap MPR ini secara tegas menyebut MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dan Lembaga Negara lainnya sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sebagai lembaga tertinggi negara, hubungan MPR dengan lembaga negara lainnya berupa: a) MPR mengatur dan menetapkan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya (presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA) melalui penetapan dan amandemen UUD; b) MPR membuat pedoman lebih rinci untuk manjadi acuan bagi lembaga tinggi negara dalam menjalankan
37
kekuasaannya,
dalam
bentuk
Ketetapan
MPR;
c)
MPR
mengawasi
pelaksanaan kekuasaan Lembaga Tinggi Negara.33 Sri Soemantri34 berpendapat bahwa “Agar supaya lembaga-lembaga tinggi negara tidak melakukan tindakan-tindakan semaunya sendiri, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan bermacam-macam pedoman yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tinggi negara tersebut. Di samping Undang-Undang Dasar, pedoman tersebut dituangkan pula dalam ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).” Namun demikian, khusus pembentukan undang-undang, inisiatif yang bersifat resmi harus datang dari Presiden dan DPR. Inisiatif dari lembaga lain atau dari pihak lain tetap harus diajukan melalui salah satu dari Presiden atau DPR. Apabila dari salah satu dari kedua lembaga ini sudah menyetujui sesuatu ide pembentukan undang-undang, baru dapat dikatakan bahwa rancangan undang-undang yang diajukan itu bersifat resmi dan harus ditindak lanjuti dengan pembahasan bersama di DPR antara DPR dan Pemerintah.35 Mengenai lembaga pembentuk undang-undang itu sendiri, sebelum diadakan Amandemen Pertama UUD 1945, ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat”. Sedangkan Pasal 21 ayat (1) berbunyi, “Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan 33 34
Anwar .C, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011, hal: 156-163.
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD Negara 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal:99. 35 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Perss, Jakarta, 2011, hal: 221.
38
kekuasaan yang bersifat horisontal atau vertikal. Dalam konteks yang vertikal, pemisahan
kekuasaan
itu
dimaksudkan
untuk
membedakan
antara
kekuasaan pemerintah atasan dan kekuasaan pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintahan federal dan negara bagian dalam negara federal (federal state), atau antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dalam negara kesatuan (unitary state). Mengenai lembaga pembentuk Undang-Undang itu sendiri, sebelum diadakan Amandemen Pertama UUD 1945, ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk UndangUndang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sedangkan Pasal 21 ayat (1)-nya berbunyi, “Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan Undang-undang”. Bahwa setiap rancangan Undang-undang haruslah dibahas bersamasama oleh DPR dan Pemerintah untuk medapatkan persetujuan bersama. Untuk dapat disahkan menjadi Undang-Undang dipersyaratkan secara mutlak bahwa rancangan Undang-Undang haruslah mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden atau pemerintah. Setiap rancangan Undang-Undang memang selalu dibahas bersama oleh parlemen dan pemerintah, karena pemerintah kelak yang akan menjalankan Undang-Undang itu, maka pemerintah pula yang membahasnya bersama-sama dengan parlemen untuk mendapatkan pesetujuan bersama. Setelah mendapatkan persetujuan bersama, setiap rancangan UndangUndang itu akan disahkan sebagaimana mestinya oleh Presiden. Hal ini, ditentukan dengan tegas oleh Pasal 20 UUD 1945 yang terdiri atas 5 ayat sebagai berikut:
39
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang; (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama; (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang; (5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang adalah Presiden dengan persetujuan DPR. Artinya legislator utamanya adalah Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Negara yang tertinggi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan yang ada ditangan rakyat (Pasal 1 ayat 2). Sesuai dengan asas Kedaulatan Rakyat yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945, Majelis yang memegang kekuasaan tertinggi berwenang memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis
Besar
Haluan
Negara
dan
Ketetapan-ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Pasal 6 ayat 2). Menurut penjelasan Undang-
40
Undang Dasar 1945 Presiden adalah Mandataris Majelis dan oleh sebab itu ia tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis serta wajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Sebagai Mandataris kedudukan Presiden bukanlah sebagai pengganti dari Majelis melainkan sebagai pemegang mandat, karena adanya delegasi kekuasaan dari Majelis kepada Presiden (Delegation of Authority). Menurut, Padmo Wahyono,36 kekuasaan tertinggi (kedaulatan) rakyat itu sesuai dengan UUD 1945 dikuasakan oleh rakyat, masing-masing: Pertama, rakyat mewakilkan kepada MPR dalam hal menetapkan UUD, menetapkan GBHN dan dalam hal menentukan Mandataris/Presiden dan Wakil Presiden; Kedua, rakyat mewakilkan kepada DPR dalam hal pelaksanaan GBHN dalam bentuk
UU
bersama-sama
dengan
Presiden,
mengawasi
jalannya
pemerintahan yang diselenggarakan oleh Presiden; Ketiga,rakyat mewakilkan kepada Mahkamah Agung (MA), berdasarkan UU untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; Keempat, rakyat mewakilkan kepada Presiden/Mandataris melaui MPR (Tap MPR) untuk melaksanakan GBHN; Kelima, rakyat mewakilkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui UU menjalankan pemeriksaan keuangan negara dan menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR.
36
Padmo Wahyono,Negara Republik Indonesia,Rajawali, Jakarta, 1982, hal:.117-118.
41
2.3. CHECKS AND BALANCES PEMISAHAN KEKUASAAN BERDASARKAN UUD 1945 SESUDAH AMANDEMEN Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan lembaga-lembaga Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal dan pembagian kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Oleh karena itu, kekuasaan harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa lembaga negara yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu lembaga yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.37 Hakekat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan ke dalam bangunan kenegaraan. Kuncinya terletak pada dan siapa yang sesungguhnya memegang kekuasaan tertinggi atau yang biasa disebut sebagai pemegang kedaulatan (soverigny) dalam suatu negara. Sehubungan dengan konsep kekuasaan tertinggi atau konsep kedaulatan, dalam filsafat hukum dan kenegaraan, dikenal adanya lima ajaran atau teori dalam sejarah, yaitu kedaulatan Tuhan (Sovereignty of the King), kedaulatan Hukum (Sovereignty
37
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafik, Jakarta, 2011, hal: 129.
42
of Law), kedaulatan Rakyat (People’s Soveregnty), dan ajaran kedaulatan Negara (State’s Soveregnty).38 Menurut, Prof. Jimly Asshiddiqie “Ketiga ajaran kedaulatan Tuhan, kedaulatan Hukum, dan Kedaulatan Rakyat itu berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa Indonesia tentang kekuasaan”. Kekuasaan kenegaraan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pokonya adalah derivat dari kesadaran kolektif
individu mengenai kemahakuasaan Tuhan
Yang Maha Esa. Keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan itu diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus dalam kedaulatan rakyat yang diterima masyarakat Indonesia sebagai dasar-dasar berfikir sistemik dalam konstruksi UUD 1945 (sesudah amandemen) Negara Indonesia. Prinsip kedaulatan hukum diwujudkan dalam gagasan rechtsstaat atau the rule of law serta prinsip supremasi hukum yang selalu di denggung-dengungkan setiap waktu. Namun dalam perwujudannya, perumusan hukum yang dijadikan pegangan tertinggi itu haruslah disusun sedemikian rupa melalui mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Sebaliknya prinsip kedaulatan rakyat diwujudkan melaui instrumeninstrumen hukum dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai institusi hukum yang tertib. Oleh karena itu, produk-produk hukum yang dihasilkan selain mencerminkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, juga haruslah mencerminkan perwujudan prinsip kedaulatan rakyat. Setiap produk hukum yang dihasilkan tidak boleh bertentangan dengan cita Ketuhanan bangsa Indonesia yang dijamin dalam Pancasila, tetapi produk hukum itu
38
Ibid, hal:135.
43
bukan pula penjelmaan langsung dari keyakinan-keyakinan umat beragama terhadap hukum terhadap hukum-hukum ilahiyah. Proses terbetuknya hukum nasional yang disepakati haruslah dilakukan melaui proses permusyawaratan sesuai prinsip demokrasi perwakilan sebagai pengejawatan prinsip kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin kedalam struktur dan mekanisme kelembagaan Negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melaui dua pilihan cara, yaitu melaui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power). Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances)39. Dalam prespektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Oleh karena itu, dalam UUD 1945 sebelum amandemen, tidak diatur pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif. Dalam sistem yang lama, fungsi utama DPR lebih merupakan lembaga pengawas dari pada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi, dalam amandemen UUD 1945 (khususnya Amandemen Pertama dan Kedua), prinsip pemisahan secara horizontal jelas mulai dianut oleh perumus perubahan UUD 1945 seperti
39
Ibid, hal: 137.
44
tercermin dalam amandemen Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai ayat (5). Anutan prinsip pembagian atau pemisahan kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan dan hubungan antar lembaga negara secara keseluruhan. Dalam paham pemisahan kekuasaan, prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga tinggi negara, dianggap sebagai suatu yang sangat pokok. Oleh karena itu, dengan ditegaskannya prinsip pemisahan kekuasaan maka format dan mekanisme ketatanegaraan yang dikembangkan pada masa depan juga mengalami perubahan mendasar. Kekuasaan Negara yang selama ini terpusat pada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara, termasuk berkenaan dengan ini terkait dengan keberadaan MPR. Pada intinya, prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkian mejadi sumber penindasan dan tindakan sewenang-wenang pada penguasa. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan itulah yang menjadi ciri kostitualisme dan sekaligus tugas utama konstitusi, sehingga kemungkinan sewenangwenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan. Seperti kata-kata Lord Acton yang terkenal yaitu “Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”. (Kekuasaan cenderung untuk menjadi sewenang-wenang, dan dalam kekuasaan yang bersifat mutlak, kesewenang-wenangannya juga cenderung mutlak). Inilah hukum besi kekuasaan yang jika tidak dikendalikan dan dibatasi menurut prosedur konstitusional, dapat menjadi sumber malapetaka Moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat,
45
ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. 40
Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat selama ini (sebelum amandemen) diwujudkan melaui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan yang diakui sebagai lembaga tetinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Dari Majelis inilah kekuasaan rakyat dibagi-bagikan secara
vertikal
kedalam
lembaga-lembaga
tinggi
negara
yang
ada
dibawahnya. Oleh karena itu, prinsip yang dianut dalam model ini disebut sebagai prinsip pembagian kekuasaan (division or distribution of power). Akan tetapi, dalam Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen), kedaulatan rakyat ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances. Cabang legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi Majelis ini terdiri atas dua lembaga perwakilan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Untuk melengkapi tugas pelaksanaan pengawasan, disamping lembaga legislatif, dibentuk pula Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Cabang kekuasaan eksekutif berada ditangan Presiden dan wakil Presiden. Untuk memberikan nasehat dan saran kepada Presiden dan Wakil Presiden. Adapun cabang kekuasan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh 2 (dua) jenis mahkamah, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
40
Ibid, hal: 138.
46
Dalam sistem checks and balances, Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai kedudukan yang sederajat tetapi saling mengendalikan dengan lembaga parlemen, sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Sesuai prinsip presidensiil, presiden tidak dapat membubarkan parlemen, tetapi sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan Presiden. Parlemen hanya dapat menuntut pemberhentian Presiden. Jika, Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, itupun biasanya dibatasi oleh konstitusi hanya untuk jenis-jenis pidana tertentu saja. Pada hakekatnya, fungsi utama parlemen adalah fungsi pegawasan dan legislasi. Fungsi tambahan yang terkait erat dengan kedua fungsi itu adalah fungsi anggaran (budget). Dalam pelaksanaan kedua fungsi utama di bidang pengawasan dan legislasi, kedudukan parlemen sangat kuat. Istrumen yang dapat digunakan oleh parlemen untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan secara efektif adalah (a) hak budget, (b) hak Interpelasi, (c) hak angket, (d) hak usul resolusi, (e) hak konfirmasi ataupun hak memilih calon pejabat tertentu. Khusus dengan fungsi legislatif, parlemen memiliki pula hak-hak seperti (a) hak inisiatif dan (b) hak amandemen. Dalam sistem bikameral, setiap kamar lembaga parlemen juga dilengkapi dengan hak veto dalam menghadapi rancangan undang-undang yang dibahas oleh kamar yang berbeda. Hak veto yang berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap pelaksanaan fungsi legislatif ini biasanya juga diberikan kepada Presiden, sehingga dalam sistem bikameral yang pemerintahannya bersifat presidensiil hak veto dimiliki oleh 3 (tiga) pihak sekaligus, yaitu: Presiden, Majelis Tinggi, dan Majelis Rendah. Dalam sistem bikameral di Indonesia dimiliki oleh Presiden, Dewan
47
Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). melalui mekanisme hak veto itu, proses checks and balances tidak saja terjadi di antara parlemen dengan pemerintah, tetapi juga di antara kamar parlemen sendiri. Amandemen Ketiga dan Keempat UUD 1945 menegaskan struktur parlemen Indonesia menjadi baru, yaitu terdiri atas tiga lembaga yang masingmasing berdiri sendiri, yaitu MPR, DPR, DPD. Di antara ketiga lembaga legislatif ini, yang paling kuat adalah DPR karena semua keputusan yang berkaitan denga fungsi legislatif, pengawasan yang bersifat rutin, dan budgeting (anggaran) ada padanya. Bahkan kewenangan yang sebelumnya dimiliki oleh Presiden, harus berbagi sedemikian rupa dengan DPR. Di pihak lain, kewenangan DPR juga bertambah degan hal-hal baru yang sebelumnya berada di bidang yudikatif ataupun setidak-tidaknya terkait dengan fungsi yudikatif. Namun demikian terlepas dari perkembangan untuk melunakkan kekuasaan DPR untuk memanggil paksa itu, perkembangan ketentuan yang berkenaan dengan penguatan kewenangan DPR itu dibandingkan dengan makin lemah dan berkurangnya kewenangan Presiden, dapat dikatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang baru, memang telah terjadi pergeseran kekuasaan yang sangat mendasar. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan yang besar dari Presiden ke tangan DPR, sehingga dikatakan bahwa kalau dulu sebelum adanya perubahan UUD 1945 bercorak executive heavy, maka UUD 1945 pasca perubahan telah berkembang menjadi legislative heavy.41
41
Ibid, hal:186-189.
48
Selain, lembaga-lembaga negara seperti DPR, bentuk keorganisasian banyak negara modern dewasa ini juga mengalami perkembangan yang sangat pesat, khususnya berkenaan dengan inovasi baru yang tidak terelakkan. Perkembangan baru itu terjadi di Indonesia, di tengah keterbukaan yang muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di era reformasi. Pada tingkatan pertama, muncul kesadaran yang semakin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi tentara, organisasi kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan secara independen. Independensi lembaga-lembaga negara ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Dari keempatnya, yang sekarang ini telah resmi menikmati kedudukan yang independen adalah orgaisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara (Polri), dan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Adapun Kejaksaan Agung sampai saat ini belum ditingkatkan kedudukannya menjadi lembaga yang indepeden. Pada tingkat kedua, yang muncul perkembangan berkenaan dengan lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Unum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan sebagainya. Di bidang administrasi dan pelaporan dan transaksi keuangan dibentuk pula lembaga baru yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga ditentukan bersifat independen.
49
Selain itu, ada pula komisi yang dibentuk hanya dengan Keputusan Presiden, misalnya, Komisi Hukum Nasional (KHN). Komisi atau lembaga semacam ini selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campursari, yaitu semilegislatif dan regulatif, semi-administrasi, dan bahkan semi-yudikatif. Bahkan, dalam kaitan itu muncul pula istilah independent and self regulatory bodies yang juga berkembang dibanyak negara. Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Jika, kekuasaan legislatif berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari anggota DPR dan DPD, maka cabang kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dapat dipahami terdiri atas Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada mulanya, memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi (MK) didunia memang dapat dikatakan relatif masih baru. Oleh karena itu, pada tahun 1945 ketika UUD 1945 asli dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi (MK) ini belum muncul. Namun di kalangan negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari ototitarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjadi sangat popular.
50
Setelah Indonesia memasuki Era Reformasi dan demokratisasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi sangat luas diterima. Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) itu sudah diadopsikan ke dalam rumusan UUD 1945. Bahkan, pada waktu UUD 1945 disusun pada tahun 1945, para perumusnya bersepakat bahwa UUD 1945 itu memang tidak didasarkan atas teori trias politica yang memisahkan secara tegas antar tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, sejak awal khusus berkenaan dengan cabang kekuasaan yudikatif sudah dengan tegas ditentukan harus bebas dan merdeka dari pengaruh cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Oleh karena itu, sekarang setelah lembaga MPR sendiri mengalami reformasi struktural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga negara dapat dikatakan struktural ketatanegaraan Indonesia berpuncak pada tiga cabang kekuasaan, yang saling mengontrol, dan saling mengimbangi secara sederajat satu sama lain,yaitu (i) Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu institusi kepemimpinan, (ii) MPR yang terdiri atas DPR dan DPRD, dan (iii) kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketiganya tunduk di bawah pengaturan konstitusi, yaitu UndangUndang Dasar 1945 setelah amandemen. Dengan demikian, lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan puncak dari kedaulatan rakyat, sedangkan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat sebagai puncak pencerminan kedaulatan hukum. Oleh karena itu, timbul suatu gagasan agar kedua mahkamah itu dihat
51
sebagai satu kesatuan yang utuh dengan sebutan Mahkamah Agung yang memiliki dua pintu, dengan dengan sekretariat jendralnya satu, hanya saja tidak mudah mencari nomenklatur yang tepat untuk sebutan kedua mahkamah itu. Jika, keduaya disebut Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung yang asli disebut Mahkamah Kasasi, maka dapat menimbulkan kesan seakan-akan kewenangan Mahkamah Agung yang asli itu hanya bersifat kasasi,
padahal
dalam
kenyataannya
kewenangannya
tidak
hanya
menyangkut perkara-perkara kasasi. Oleh karena itu, kedua Mahkamah itu, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat diterima berdiri sendiri dengan pengertian bahwa pada hakikatnya keduanya berada dalam satu kesatuan fungsi kekuasaan mahkamah kehakiman yang mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen). Sangat boleh jadi bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi itu secara bersama-sama dapat pula disebut sebagai Mahkamah Kehakiman. Sebelum adanya Amandemen UUD 1945, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri dari lembaga-lembaga peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip independent of judiciary diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, juga tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan yang lain. Namun, setelah Amandemen Ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan
52
kehakiman negara Indonesia mendapat tambahan satu jenis Mahkamah lain yang berada di luar Mahkamah Agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang dewasa ini banyak negara yang membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung (Supreme Court).42 Dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen), Mahkamah Konstitusi ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan pengujian atas konstitutionalitas undang-undang, (b) mengambil putusan atas sengketa kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar 1945 sesudah amandemen, (c) mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga secara hukum tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang atas dasar putusan itu, kesalahan Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memperhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya, (d) memutus perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan (e) memutus perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik. Ada beberapa hal yang dapat diajukan berkenaan dengan pembagian tugas antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Salah satunya adalah dalam soal pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (judicial review)
42
atas
peraturan
perundang-undangan.
Mahkamah
Konstitusi
Ibid, hal: 190-194.
53
berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) ditentukan berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya yang bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Adapun dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dinyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang……..”. pembagian demikian sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.43 Mengutip pendapat Bagir Manan ia mencatat ada lima perubahan, mencakup: (1) Perubahan pengertian lembaga negara. (2) Perubahan kedudukan lembaga negara. (3) Perubahan macam-macam lembaga negara. (4) Perubahan tugas dan wewenang lembaga negara. (5) Perubahan hubungan antar lembaga negara.44 Di antara kelima lingkup perubahan lembaga negara yang telah dikemukakan tersebut, perubahan pengertian dan perubahan kedudukan lembaga negara merupakan perubahan yang terpenting sebab berdampak pada perubahan lembaga negara lainnya. Menurut Bagir Manan,45 paling tidak, ada dua perubahan lingkup pengertian lembaga negara. Pertama, dimasa Orde Baru diadakan sebutan Lembaga Tinggi Negara, dan Lembaga Tertinggi Negara. Presiden, DPR, DPA, BPK, dan MA adalah Lembaga Tinggi 43 44
Ibid, hal: 195.
Bagir Manan, Pembaharuan Lembaga-Lembaga Negara dalam UUD 1945-Baru, Makalah yang disampaikan sebagai ceramah di hadapan civitas akademika Universitas Sam Ratulagi, Manado, Januari 2007, hal: 3. 45 Ibid, hal: 5.
54
Negara. MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara. Perubahan UUD 1945 meniadakan perbedaan sebutan tersebut. Hanya ada satu sebutan yaitu “Lembaga Negara”. Kedua, perubahan sifat hukum. Dimasa Orde Baru, lembaga negara hanya diartikan sebagai yang lazim disebut “state organs” yaitu lembaga-lembaga yang bersifat ketatanegaraan belaka, yang dimuat dalam UUD 1945 sebelum amandemen yaitu Presiden, MPR, DPA, DPR, BPK, dan MA. Setelah amandemen, selain tambahan lembaga negara ketatanegaraan (state organs), diadakan pula lembaga Negara yang sematamata menjalankan fungsi membantu lembaga negara lain, misalnya Komisi Yudisial. Berbagai undang-undang menciptakan bermacam-macam lembaga negara yang semata-mata menjalankan fungsi administrasi negara (misalnya, BI, KPU). Ada pula lembaga yang bersifat ad hoc seperti KPK dengan wewenang yang sangat luas.46 Jadi, menurut Bagir Manan, jika ditinjau dari sifatnya terdapat bermacam-macam lembaga Negara: (1) lembaga negara ketatanegaraan; (2) lembaga negara administratif; (3) lembaga negara “auxiliary”, dan (4) lembaga negara ad hoc.47 Perubahan lingkup pengertian lembaga negara sebagaimana yang dikemukakan Bagir Manan tidak lepas dari perubahan rumusan kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen, yang tidak lagi menempatkan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Sebagai konsekuensi dari kedudukan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat (UUD 1945 sebelum amandemen), MPR berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
46 47
Anwar .C, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011, hal: 183. Ibid, hal: 6.
55
Amandemen UUD 1945 juga berdampak pada perubahan kedudukan lembaga negara. Perubahan kedudukan ini, antara lain penghapusan lembaga negara (DPA), pergeseran secara normatif pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, dan yang paling kena dampaknya adalah kedudukan MPR. Menurut Bagir Manan, MPR terkena dampak perubahan UUD 945 pasca amandemen, antara lain: (1) MPR
tidak
lagi
ditafsirkan
sebagai
“satu-satunya
pelaksana
kedaulatan rakyat”. (2) MPR tidak lagi ditafsirkan “mempunyai kekuasaan tak terbatas”. (3) MPR tidak lagi disebut sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang membawahkan lembaga negara yang lain. (4) MPR tidak lagi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara lima tahunan. (5) MPR tidak lagi sebagai tempat mempertanggungjawabkan jalannya pemerintahan. Presiden tidak lagi ditafsirkan sebagai mandataris MPR yang bertanggungjawab kepada MPR. Presiden tidak lagi “untergordnet” terhadap MPR, Presiden “neben” terhadap MPR. (6) MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden. (7) Susunan keanggotaan MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan, melainkan terdiri dari anggota DPR dan Anggota DPD.48 Kedudukan MPR setelah amandemen UUD 1945 sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan sesungguhnya dapat disebut sebagai implikasi dari perubahan rumusan kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
48
Ibid. hal: 8.
56
1945 sebelum amandemen. Sebab, perubahan rumusan Pasal 1 ayat (2) merupakan perubahan yang paling mendasar dalam ketatanegaraan. Karena, amandemen UUD 1945 meniadakan dan menambah lembagalembaga negara baru, oleh sebab itu paparan tentang pelaksana kedaulatan oleh lembaga-lembaga negara pasca perubahan lebih dirinci. Berbeda dengan UUD 1945 (sebelum amandemen) yang dalam Pasal 1 ayat (2) dengan jelas menyebut MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, meskipun secara faktual kedaulatan rakyat telah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga lain, seperti DPR. Maka dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (setelah amandemen) tidak lagi menyebut secara khusus pelaksana kedaulatan, tetapi dilaksanakan menurut UUD 1945. Jimly Asshiddiqie49 mengemukakan bahwa ’ordening subject’ atau dimana ‘locus of sovereignty’ berada tidak lagi dicantumkan secara tegas, karena sifatya yang tidak lagi tunggal, dan lagi pula dapat dimengerti dengan membaca pasal-pasal lain yang berkenaan dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat itu. Setelah UUD 1945 mengalami empat kali amandemen, dapat dikatakan bahwa sistem konstitusi negara Indonesia telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan secara nyata.50 Beberapa bukti mengenai hal ini antara lain adalah: 1) Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
49 50
Jimly Asshiddiqie, Ibid. lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalime Indonesia, Konpress, Jakarta, 2005
57
2) Diadopsikannya sistem pegujian konstitusional atas undangundang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi.51 Sebelumnya tidak dikenal adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-undang tidak dapat diganggu gugat di mana hakim dianggap hanya dapat menerapkan undangundang dan tidak boleh menilai undang-undang. 3) Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaulatan rakyat itu tidak hanya terbatas pada MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Presiden, anggota DPR, dan DPD sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat dan karena itu sama-sama merupakan pelaksana langsung prinsip kedaulatan rakyat. 4) Dengan demikian, MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan merupakan lembaga tinggi negara yang sama derajatnya dengan lembaga-lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, dan MK. 5) Hubungan-hubungan antarlembaga tinggi negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Dari kelima ciri atau bukti pemisahan kekuasaan, dapat diketahui bahwa UUD 1945 (setelah amandemen) tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal, tetapi juga tidak menganut paham trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan saling 51
Lihat Pasal 24C UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, LNRI Tahun 2003 Nomor 98, TLN-RI Nomor 4316.
58
mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 (setelah amandemen) keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances. Istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) itu hendak dihindari, sebenarnya dapat menggunakan istilah pembagian kekuasaan (division of power) yaitu capital division of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan territorial division of power untuk pengertian yang bersifat vertikal.52 Berangkat dari pemahaman bahwa UUD 1945 (setelah amandemen) menganut konsepsi kedaulatan Tuhan, konsepsi kedaulatan Negara, konsepsi kedaulatan Rakyat, konsepsi kedaulatan Hukum, yang berlaku secara simultan dalam Negara Republik Indonesia. Kedaulatan Tuhan menjiwai kedaulatan rakyat yang berdasar pada kedaulatan hukum, dan kedaulatan hukum mencerminkan kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat. Jadi, kedaulatan Tuhan seyogyanya terpatrih dalam kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, demi kejayaan bangsa dan negara. Dalam prespektif prosedur, maka sesungguhnya hanya ada kedaulatan rakyat, sehingga rumusannya adalah kedaulatan rakyat yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa (Kedaulatan Tuhan), berdasarkan supremasi hukum (Kedaulatan Hukum), untuk kejayaan bangsa dan negara (Kedaulatan Negara).53
52 53
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hal: 291-292. Ibid, hal: 184-186.
59
60
BAB III PENERAPAN CHECKS AND BALANCES LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA 3.1. CHECKS AND BALANCES SEBAGAI UPAYA UNTUK MENGONTROL PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA Lembaga-lembaga negara dalam UUD 1945 (setelah amandemen) tidak dapat dilepaskan dari teori trias politica yang dipelopori oleh John Locke,
kemudian
dikembangkan
oleh
Montesquieu
yang
membagi
kekuasaan dalam negara menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, meskipun UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen tidak mengikuti sepenuhnya teori trias politica. Bagir Manan54 dalam bukunya Lembaga Kepresidenan, bahwa dalam praktek ajaran pemisahan tidak dapat dijalankan secara konsekuen, selain tidak praktis, pemisahan secara absolud antara cabang-cabang kekuasaan yang meniadakan sistem pengawasan atau keseimbangan antara cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan menurut atau di dalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Dalam perkembangannya, teori trias politica hampir mengilhami semua sistem ketatanegaraan di dunia, mengalami modifikasi, yaitu teori pembagian kekuasaan (distribution of power) yang power) yang menekankan pada
54
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, diterbitkan atas kerjasama Pusat Studi Hukum UII dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal: 9.
60
pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada lembaga dan teori checks and balances. Dengan checks and balances sistem, dapat dihindari absolutism dari masing-masing lembaga negara, eksekutif tidak dapat menjalankan pemerintahan secara absolut, demikian pula lembaga legislatif dan lembaga yudikatif tidak terjerumus dalam kekuasaan yang secara absolut.55 Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah provinsi dan provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. daerah provinsi disamping memiliki status sebagai daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi. Adapun daerah kabupaten daerah kota sepenuhnya berkedudukan sebagai daerah otonom, yang menurut ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempuyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut, Jimly Asshiddiqie,56 dalam setiap pembicaraan mengenai lembaga negara, ada 2 (dua) unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya, organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm), sedangkan
functie
adalah
gerakan
wadah
itu
sesuai
maksud
pembentukannya. Jika, dikaitkan dengan pembagian kekuasaan dalam negara menurut ajaran Montesquieu, lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 (setelah amandemen), berdasarkan fungsinya, secara garis besar 55 56
Anwar C., Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011, hal: 186-187. Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal:49.
61
dikelompokkan dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Meskipun lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 (setelah amandemen) tidak hanya MPR, DPR, DPD sebagai pemegang kekuasaan legislatif, Lembaga Kepresidenan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, MA dan MK sebagai pemegang kekuasaan yudikatif, namun lembaga negara lainnya seperti BPK dapat dikelompokkan dalam rumpun kekuasaan legislatif, demikian pula lembaga negara lainnya juga dapat dikelompokkan dalam salah satu rumpun kekuasaan yang utama dalam negara. Pengelompokan semacam ini adalah penggelompokan dari segi fungsi yang diemban oleh lembaga-lembaga negara tersebut. Pengelompokan berdasarkan lembaga, artiya setiap lembaga negara yang kekuasaannya disebutkan dalam UUD 1945 (setelah amandemen) secara tersendiri berdiri sendiri sebagai lembaga negara yang otonom. Lembaga-lembaga kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 (setelah amandemen), ada yang secara eksplisit disebut namanya, dan ada pula yang implisit hanya fungsinya, ada pula lembaga yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah. Dalam kaitan dengan lembaga negara yang disebut dalam UUD 1945 (setelah amandemen) Jimly Asshiddiqie57 membedakan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: (i) lembaga negara yang keberadaannya disebut dalam UUD 1945 (setelah amandemen) dan kewenangannya ditentukan dalam UUD 1945 (setelah amandemen), seperti Mahkamah Konstitusi; (ii) lembaga negara yang keberadaannya disebut dalam UUD 1945 (setalah amandemen) dan kewenangannya tidak ditentukan secara
57
Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hal: 57.
62
eksplisit dalam UUD 1945 (setelah amandemen), seperti Bank Sentral; (iii) lembaga negara yang keberadaannya tidak disebut secara eksplisit dalam UUD 1945 (setelah amandemen), dan kewenangannya tidak ditentukan secara eksplisit
dalam
UUD 1945 (setelah amandemen), tetapi,
keberadaannya mempunyai apa yang oleh para ahli sebagai constitutional importance, seperti misalnya Komisi Nasioanal Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agung yang keberadaannya dapat ditafsirkan dari ketentuan implisit dari UUD 1945 (setelah amandemen). Menurut, Jimly Asshiddiqie juga dapat dibedakan dari dua segi, yaitu Pertama, dari segi fungsinya dan kedua, dari segi hierarkinya. Menurut hierarkinya lembaga negara itu penting untuk ditentukan karena harus ada peraturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara, selanjutnya ia mengemukakan 2 (dua) kriteria yang dapat dipakai dalam penentuan hierarki, ialah (i) berdasarkan bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya; dan (ii) berdasarkan kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem
kekuasaan
negara.
Jadi,
lembaga
negara
yang
telah
dikemukakannya, dari segi fungsinya ada yang bersifat primer dan ada pula yang besifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hierarki, dapat dibedakan ke dalam tiga lapis, lembaga lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, lembaga lapis kedua disebut sebagai lembaga negara, sedangkan lembaga lapis ketiga merupakan lembaga daerah.58
58
Ibid., hal: 58-59.
63
Adapun lembaga konstitusi lapis pertama oleh Jimly Asshiddiqie disebut sebagai lembaga tinggi negara, yaitu: 1)
Presiden dan Wakil Presiden;
2)
Dewan Perwakilan Rakyat;
3)
Dewan Perwakilan Daerah;
4)
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
5)
Mahkamah Konstitusi;
6)
Mahkamah Agung;
7)
Badan Pemeriksa Keuangan.
Adapun lembaga negara lapis kedua, ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945 (setelah amandemen) dan ada pula yang memperoleh kewenangannya dari undang-undang. Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara adalah lembaga lapis kedua yang kewenangannya diperoleh dari UUD 1945 (setelah amandemen), sedangkan lembaga negara lapis kedua yang kewenangannya diperoleh dari undang-undang
seperti
misalnya
Komnas
HAM,
Komisi
Penyiaran
Indonesia. Secara rinci, lembaga negara sebagai lembaga konstitusi lapis kedua antara lain adalah: 1)
Menteri Negara;
2)
Tentara Nasional Indonesia;
3)
Kepolisian Negara;
4)
Komisi Yudisial;
5)
Komisi Pemilihan Umum;
6)
Bank Sentral;
7)
Dewan Pertimbangan Presiden.
64
Selanjutnya, lembaga lapis ketiga adalah lembaga konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang, misalnya Komisi
Hukum
dan
Komisi
Ombudsman
Nasional
yang
dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden. Di samping itu ada pula lembaga daerah sebagaimana diatur dalam Bab VI UUD 1945 (setelah amandemen) tentang Pemerintahan Daerah. Lembaga Daerah itu adalah: Pemerintah Daerah Provinsi; Gubernur selaku Kepala Pemerintah Daerah Provinsi; Dewan Perwakilan rakyat Daerah Provinsi; Pemerintahan Daerah Kabupaten; Bupati selaku Kepala Daerah Kabupaten; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten; Pemerintahan Daerah Kota; Walikota selaku Kepala Daerah Kota; dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota. Jadi, penggelompokan lengkap padangan Jimly Asshiddiqie tentang hierarki lembaga konstitusi atau lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 (setelah amandemen) berdasarkan lapisannya adalah sebagai berikut:59 Lembaga Konstitusi Lapis Pertama:
59
1.
Presiden dan wakil Presiden;
2.
Dewan Perwakilan Rakyat;
3.
Dewan Perwakilan Daerah;
4.
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
5.
Mahkamah Konstitusi;
6.
Mahkamah Agung;
7.
Badan Pemeriksa Keuangan.
Ibid, hal: 192-194.
65
Lembaga Konstitusi Lapis Kedua 1.
Menteri Negara;
2.
Tentara Nasional Indonesia;
3.
Kepolisian Negara;
4.
Komisi Yudisial;
5.
Komisi Pemilihan Umum;
6.
Bank Sentral;
7.
Dewan Pertimbangan Presiden.
Lembaga Konstitusi Lapis Ketiga: A. Nasional: 1) Komisi Hukum Nasional; 2) Komisi Ombudsman. B. Daerah: 1) Pemerintah Daerah Provinsi; 2) Gubernur selaku Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi; 3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi; 4) Pemerintahan Daerah Kabupaten; 5) Bupati selaku Kepala Daerah Kabupaten; 6) Dewan Perwakilan Rakyat; 7) Pemerintahan Daerah Kota; 8) Walikota selaku Kepala Daerah Kota; 9) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota. Rincian lembaga negara oleh Jimly Asshiddiqie, berdasarkan hierarki dengan membuat tiga kelompok lapisan di atas dapat dipahami.Sebab, melihat pengelompokan itu dari segi subyek dalam sengketa kewenangan
66
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen), sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 (setelah amandemen). Bahwa perlunya penataan hierarki tersebut supaya ada perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga Negara. Bahwa, Jimly Asshiddiqie, mengunakan 2 (dua) kriteria dalam menentuka hierarki, yaitu (i) kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya; dan (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Jika, digunakan kriteria pertama (i), jelas bahwa semua lembaga negara tersebut memperoleh kewenangannya dari UUD 1945 (setelah amandemen), kriteria pertama ini benar jika dikaitkan dengan lembaga konstitusi lapis pertama, kedua, dan ketiga. Apabila, kriteria kedua diguakan, tidak dapat dikatakan bahwa lebih besar kualitas fungsi MK dari pada MA. Apabila, diasumsikan kedudukan MK lebih tinggi dari MA. Karena, MK memutus berdasarkan UUD 1945 (setelah amandemen) norma hukum tertinggi, bahkan dapat menafsirkan UUD 1945 (setelah amandemen), sedangkan MA memutus berdasarkan terutama pada UU sehingga lebih tinggi kualitas peran MK. Sebab, bukanlah MPR yang urutannya lebih rendah dari DPR dan DPD memiliki kualitas peran untuk merubah dan menetapkan UUD 1945 (setelah amandemen), sedangkan DPR hanya membentuk UU, apalagi dengan DPD yang tidak memiliki kualitas peran membentuk UU. Penggelompokan lembaga negara memang perlu memperhatikan penggelompokan menurut teori trias politica dari Motesquieu, bahwa
67
kekuasaan utama dalam
negara terbagi atas kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Meskipun UUD 1945 (setelah amandemen)
tidak
mengikuti
dikemukakan
oleh
Bagir
sepenuhnya
Manan,60
bahwa
teori
ini,
teori
sebagaimana
tersebut
dalam
perkembangannya tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen dalam praktek, dan pemikiran mengenai saling mengawasi dan kerjasama antar kekuasaan tersebut melahirkan teori-teori modofikasi, yaitu checks and balances maupun distribution of power (pembagian kekuasaan). Demikian pula, dengan jumlah lembaga negara tidak sepenuhnya mengikuti teori tersebut, UUD 1945 (asli) mengenal enam lembaga negara (MPR, DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA). Setelah perubahan keempat UUD 1945, DPA dihapus, namun menurut Pasal 16, Presiden membentuk dewan
pertimbangan
yang
bertugas
memberikan
nasehat
dan
pertimbangankepada Presiden. Tentunya kedudukan dewan pertimbangan yang baru ini berbeda dengan DPA, dewan pertimbangan yang baru kedudukannya lebih rendah dari Presiden. Lembaga negara baru yang diatur dalam UUD 1945 (setelah amandemen), lembaga yudikatif yang semula hanya MA, sekarang ada MK, juga ada lembaga yang oleh Jimly Asshiddiqie disebut dengan penunjang (auxiliary state organs), seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Nasional HAM. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa perubahan UUD 1945 telah merubah hubugan kekuasaan kelembagaan negara dari hubungan vertikal yang berpuncak pada MPR, kepada hubungan horizontal, perubahan ini karena disebabkan
60
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Op.Cit., hal: 9-10.
68
perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum amandemen) yang semula menempatkan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, setelah amandemen maka kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD 1945 (setelah amandemen).61 Artinya, MPR buka lagi pelaksana tunggal dan sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR hanya salah satu pelaksana kedaulatan rakyat di samping lembaga negara lainnya. Berangkat dari pemahaman bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (setelah amandemen) sebagai subsistem dari UUD 1945 (sebelum
amandemen)
menganut
konsepsi
kedaulatan
rakyat
dan
supremasi hukum (konsepsi kedaulatan hukum), dan UUD 1945 (asli) sebagai suatu sistem menganut konsepsi kedaulatan Tuhan, konsepsi kedaulatan negara, konsepsi kedaulatan rakyat, dan konsepsi kedaulatan hukum. Keempatnya berlaku secara simultan, dengan pola hubungan adalah: Kedaulatan Rakyat yang dijiwai oleh Ketuhanan yang Maha Esa (kedaulatan Tuhan), dan menurut hukum (kedaulatan Hukum), demi kejayaan bangsa dan negara. Selanjutnya, adalah lembaga negara yang merupakan pelaksana kedaulatan tersebut. Maka, lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 (setelah
amandemen)
akan
dikelompokan
berdasarkan
fungsi-fungsi
utamanya dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif dan lembaga negara yang secara fugsional menjadi penunjang (auxiliary) kekuasaan lembaga negara yang utama tersebut:
61
Ibid, hal: 195-197.
69
A. Kekuasaan Legislatif 1. Lembaga Negara utama kekuasaan legislatif: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). B. Kekuasaan Eksekutif 1. Lembaga Negara utama kekuasaan eksekutif: Presiden dan Wakil Presiden. 2. Lembaga Negara penunjang kekuasaan eksekutif, al.: Dewan Pertimbangan Presiden. Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bank Sentral. C. Kekuasaan Yudikatif 1. Lembaga Negara utama kekuasaan yudikatif: Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Konstitusi (MK). 2. Lembaga Negara penunjang kekuasaan yudikatif: Komisi Yudisial (KY). Berdasarkan
penggelompokan
kelembagaan,
dalam
kekuasaan
legislatif terdapat empat lembaga negara yang memiliki kedudukan sama dalam ketatanegaraan, yaitu MPR, DPR, DPD, dan BPK, dalam kekuasaan eksekutif terdapat lembaga kepresidenan (Presiden dan Wakil Presiden) sebagai lembaga negara utama, dan dalam kekuasaan yudikatif terdapat dua lembaga negara utama, yaitu MA dan MK, dan Komisi Yudisial sebagai
70
lembaga negara penunjang. Sesungguhnya wakil Presiden bukan lembaga negara yang berdiri sendiri, tetapi berkedudukan sebagai wakil yang membantu Presiden karena itu hanya Presiden yang merupakan lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Jadi, lembaga negara utama yang memiliki kedudukan sederajat setelah amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 3. Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). 4. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 5. Presiden. 6. Mahkamah Agung (MA). 7. Mahkamah Konstitusi (MK). Lazimnya, lembaga negara yang merupakan pelaksana kedaulatan rakyat adalah yang membentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan Presiden. Seharusnya, DPD juga masuk dalam kategori pelaksana kedaulatan rakyat, sehingga berdasarkan kewenangannya, DPD tidak dapat dimasukkan dalam pelaksana kedaulatan rakyat. Karena itu, pemikiran untuk perlunya perubahan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (setelah amandemen), agar supaya dikonkritkan pelaksana kedaulatan itu memang perlu dipertimbangkan, akan tetapi harus terlebih dahulu mempertegas pengaturan DPD dalam UUD 1945 (setelah amandemen).62
62
Ibid, hal: 198-199.
71
Masing-masing lembaga negara memiliki kewenangan yang berbeda oleh karena itu Jimly Asshiddhiqie menyebut lembaga perwakilan rakyat sebagai parlemen tiga kamar, dan menurutnya sebagai satu-satunya yang dianut di dunia.63 Hingga, Tahun 1998, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi ke dalam 27 daerah provinsi.64 Untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai demokratisasi dan pemekaran wilayah bersamaan dengan berpisahnya Timor Timur dari Republik Indonesia sejak tahun 1999 telah dibentuk pula 7 provinsi baru, yaitu daerah Provinsi Maluku Utara, Banten, Gorontalo, Bangka Belitung, Riau Kepulauan, dan 2 provinsi tambahan di Irian Jaya. Setelah terbentuknya Pemerintahan Kabinet Persatuan di bawah pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, pemekaran provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi ditunda pelaksaaannya. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Megawati, pemekaran Irian Jaya menjadi tiga provinsi diusahakan untuk dipercepat perwujudannya, sehingga tambahan provinsibaru tercatat 7 buah, sehingga seluruhnya menjadi 32 provinsi, yaitu dikurangi Timor Timur dan ditambah provinsi Maluku Utara, Gorontalo, Banten, Bangka Belitung, Riau Kepulauan, dan dua provinsi di Papua atau Irian Jaya. Lalu kemudian dengan dikukuhkannya Sulawesi Barat sebagai provinsi baru, jumlah keseluruhannya menjadi 33 Provinsi. Sementara itu, beberapa daerah kabupaten dalam satu provinsi juga mengalami pemekaran, penciutan wilayah ataupun pemindahan wilayah ke daerah provinsi baru. Semua daerah itu, baik berbentuk provinsi ataupun
63 64
Jimly Asshiddhiqie, Format Kelembagaan Negara……….., Op. Cit. hal: 13-14. Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal: 233.
72
kabupaten dan kota, dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. pembentukan, nama, batas, dan ibukota daerahyang bersangkutan ditetapkan dengan undang-undang. Adapun perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah, perubahan nama daerah serta perubahan nama dan pemindahan ibukota daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Daerah-daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah dan dapat pula dihapus dan/atau digabung dengan daerah lain, karena pertimbangan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. syaratsyarat pembentukan daerah, kriteria penghapusan, penggabungan dan pemekaran daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan penghapusan, penggabungan, dan pemekaran daerah seperti dimaksud di atas ditetapkan dengan Undang-Undang karena Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 setelah amandemen yang menegaskan bahwa pola hubungan antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota itu bersifat hierarki.65 Implementasi konsepsi kedaulatan terkait dengan perubahan rumusan kedaulatan dlam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (setelah amandemen) dalam undang-undang dalam hal ini UU RI No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
65
Ibid, hal: 234.
73
3.1.1. KEWENANGAN DAERAH Berdasarkan Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam beberapa bidang kewenangan yang dikecualikan, yaitu dalam politik luar negeri, pertahanan-keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional, dan urusan agama. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (8) Amandemen Kedua UUD 1945, kewenangan yang dikecualikan itu dirinci menjadi 6 bidang, yaitu sebagai berikut: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Peradilan; e. Moneter dan Fiskal; f. Agama. Segala kewenangan pemeritahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi ditentukan harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta Sumber Daya Manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Kewenangan yang diserahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai pula dengan pembiayaan sesuai dengan
kewenangan
yang
dilimpahkan.
Dengan
demikian,
pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya mengalihkan beban dan tanggung jawab ke daerah, tetapi juga mengalihkan kewenangan dan hak-hak yang dikuasai oleh pusat kepada daerah. Bahkan, untuk melaksanakan agenda otonomi tersebut, pemerintah daerah dan
74
masyarakat daerah diberdayakan dengan dukungan fasilitas dan dana yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebutsebagaimana mestinya. Dalam rangka kewenangan provinsi, dapat pula dikemukakan bahwa kewenangan sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang tertentu lainnya. Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Kewenangan provinsi sebagai wilayah administratif mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Selain dari itu dapat dikatakan bahwa kewenangan pemerintahan dan kewenangan dalam pelaksanaan tugas-tugas dalam pembangunan seluruhnya berada di tangan daerah kabupaten dan daerah kota. Ketentuan demikian ini, jika dikaitkan dengan teori mengenai kekuasaan dalam sistem federasi dan konfederasi, dibandingkan dengan sistem negara kesatuan, maka dapat dikatakan bahwa sistem yang dianut dalam UU No. 32 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah sistem federasi. Karena kekuasaan asal berada
di
kabupaten dan kota, sedangkan kewenangan di tingkat pemerintahan pusat dirumuskan secara rinci, persis seperti pembagian kekuasaan dalam pengaturan konstitusi di lingkungan negara-negara federasi dan konfederasi. Dalam UU No 22 Tahun 1999 tersebut, kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota justru ditentukan mencakup semua
75
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti tercantum dalam Pasal 7 dan diatur dalam Pasal 9 UndangUndang tersebut. Padahal, dalam sistem negara kesatuan, biasanya kewenangan pemerintah daerah itulah yang dirinci sedangkan kekuasaan yang tidak dirinci dianggap dengan sendirinya merupakan kewenangan pemerintah pusat (residual power). Dalam ketentuan tersebut, kewenangan pusat yang dirinci, sedangkan sisanya dianggap kewenangan daerah. Daerah ditentukan berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dengan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, misalnya kewenangan daerah di wilayah laut, meliputi: a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; b. Pengaturan kepentingan admministratif; c. Pengaturan tata ruang; d. Penegakan peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat; dan e. Bantuan penegak keamanan dan kedaulatan negara. Kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 22 Tahun 1999, sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi. Adapun wilayah dua pertiga sisanya menjadi wilayah kewenangan atau wilayah koordinasi Pemerintah Pusat. Di samping itu, ada pula bidang-bidang terinci
76
ditentukan wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yaitu meliputi kewenangan di bidang-bidang berikut: a. Pekerjaan Umum; b. Kesehatan; c. Pendidikan dan Kebudayaan; d. Pertanian; e. Perhubungan; f. Industri dan Perdagangan; g. Penanaman Modal; h. Lingkungan Hidup; i. Pertanahan; j. Koperasi, dan k. Tenaga Kerja. Dengan diaturnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota seperti dijelaskan di atas tersebut, tidak perlu lagi ada persoalan mengenai otonomi diberikan ditingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten. Karena, baik provinsi maupun kabupaten dan kota sama-sama merupakan daerah otonom. Jika, sasaran otonomi di kabupaten dan kota belum dapat dilaksanakan atau belum dapat dicapai, maka koordinasi dan pelaksanaan otonominya untuk sementara waktu dipusatkan
di
provinsi
yang
bertanggung
jawab
untuk
mengkoordinasikan dan mempersiapkan segala sesuatunya sampai daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan siap melaksanakan otonomi yang diharapkan.
77
Dengan demikian, keseluruhan jajaran birokrasi pemerintahan, mulai dari pusat sampai daerah-daerah, dapat mengalami penataan ulang untuk memenuhi tuntutan aspirasi reformasi, dan mendekatkan jarak
pelayanan
yang
makin
efisien
dan
transparan
kepada
masyarakat serta sekaligus dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan
otonomi
masyarakat
dalam
berhadapan
dengan
organisasi pemerintahan. Selain itu, Pemerintah Pusat juga dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka pembantuan (medebewin) disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta Sumber Daya Manusia
(SDM)
pelaksanaannya
dengan dan
kewajiban
melaporkan
mengenai
mempertanggungjawabkannya
kepada
Pemerintah Pusat. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.66
3.1.2. LEMBAGA EKSEKUTIF DI DAERAH Pada daerah ditentukan adanya lembaga eksekutif pemerintah dan lembaga legislatif yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Di daerah provinsi, pihak pemerintah dipimpin oleh Gubernur yang mempunyai kedudukan sebagai Kepala Daerah dan sekaligus sebagai Kepala Wilayah mewakili Pemerintah Pusat adapun di daerah kabupaten, pihak pemerintah dipimpin oleh Bupati dan di daerah kota
66
Ibid, hal: 234-238.
78
dipimpin oleh Walikota yang berkedudukan sebagai Kepala Daerah Otonom. Baik Gubernur di daerah provinsi maupun Bupati dan Walikota di daerah kabupaten dan kota mempunyai kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan kedudukan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing untuk daerah provinsi ataupun untuk daerah kabupaten dan daerah kota. Karena itu, dalam UU No. 22 Tahun 1999, istilah daerah tingkat I dan daerah tingkat II tidak digunakan lagi agar tidak mengesankan adanya hierarki antar daerah yang lebih tinggi di daerah yang tingkatnya lebih rendah. Setiap daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah yang berdasarkan asas desentralisasi merupakan Kepala Eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah. kepala Daerah provinsi disebut Gubernur yang karena jabatannya juga merupakan Wakil Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menurut asas desentralisasi, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi. Akan tetapi, dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Gubernur mempertanggungjawabkan
segala
pelaksanaan
tugas
dan
kewenangannya kepada Presiden Republik Indonesia. Ketentuan pertanggungjawaban Gubernur tersebut berbeda dari mekanisme pertanggungjawaban Bupati dan Walikota yang sepenuhnya mempunyai kedudukan sebagai Kepala daerah dalam rangka asas desentralisasi. Dengan demikian, kedudukan Bupati dan Walikota berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan
79
Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota, dan tidak bertanggung jawab kepada Gubernur. Karena Bupati dan Wallikota bukanlah wakil pemerintah provinsi di kabupaten dalam rangka asas dekonsentrasi. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara bersamaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPRD yang bersangkutan, dengan cara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kepala
Daerah
memimpin
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan atau sewaktu-waktu atas permintaan DPRD. Di samping itu, Kepala Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri sekurang-kurangnya atas permintaan Presiden atau apabila di pandang perlu oleh Kepala Daerah. Laporan Bupati atau Walikota kepada Presiden,
melalui
Menteri
Dalam
Negeri,
disampaikan
dengan
memberikan tembusan kepada Gubernur sebagai Kepala Provinsi.67
67
Ibid, hal: 238-239.
80
3.1.3. LEMBAGA LEGISLATIF DI DAERAH Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk, baik di daerah provinsi maupun di daerah Kabupaten dan Kota. Pada umumnya, dewan perwakilan ini disebut sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif, dan karena itu biasa disebut dengan lembaga legislatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya haruslah dicatat bahwa fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada di tangan DPRD seperti
fungsi
DPR-RI
dalam
hubungannya
dengan
Presiden.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan, DPR ditentukan memegang kekusaan membentuk Undang-Undang, dan dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Adapun kewenangan menetapkan
Peraturan
Daerah,
baik
daerah
provinsi
maupun
kabupaten, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD sebagaimana ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, DPRD lebih berfugsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah dari pada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun, dalam kenyataannya, lembaga DPRD itu bisa disebut sebagai lembaga
81
legislatif. Seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RI menurut ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen, lembaga perwakilan rakyat ini berhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR berhak mengajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula DPRD, baik di daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota, berdasarkan ketentuan UU No. 22 Tahun 1999, berhak mengajukan rancangan Peraturan Daerah kepada Gubernur. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama dibidang ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota. Fungsi
utama
DPRD
adalah
untuk
mengontrol
jalannya
pemerintahan di daerah, sedangkan bekenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur atau Bupati/Walikota. Bahkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 Gubernur dan Bupati/Walikota (“diwajibkan”)
mengajukan
rancangan
Peraturan
Daerah
dan
menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui, menolak ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan Peraturan Daerah.68
68
Ibid, hal: 241-242.
82
3.2. CHECKS AND BALANCES SEBAGAI UPAYA UNTUK MENGONTROL PEMISAHAN KEKUASAAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA 3.2.1. LEMBAGA LEGISLATIF Hakekat
legislatif,
bahwa
negara
modern
menyatakan
kehendaknya dengan hukum, dalam bentuk undang-undang. Di Amerika Serikat disebut Congress, di Inggris namanya Parliament, di Belanda disebut Staten General dan di Jerman Reichstag.69 Fungsi legislatif di berbagai negara tidak sama, akan tetapi memiliki garis besar yang sama, yaitu: 1. Menetapkan undang-undang; 2. Di Inggris legislatif mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan dalam konstitusi; 3. Menetapkan anggaran negara dengan menentukan cara-cara yang diperoleh dan menggunakan dana; 4. Menentukan dan mengawasi jalannya dengan resolusiresolusi, mosi, interpelasi, dengan hak angket; 5. Memberikan rekomendasi seseorang untuk jabatan-jabatan yang
penting
seperti
anggota
Mahkamah
Agung
dan
sebagainya; 6. Menentukan hubungan dengan negara-negara lain termasuk juga menentukan perang dan damai.70 Berdasarkan kedudukan
dan
kekuasaannya,
maka
dapat
dibedakan adanya tiga kategori lembaga legislatif: 69 70
GS. Diponolo, Ilmu Negara, Balai Pustaka, Jakarta, 1975, hal: 189. Ibid, hal: 191.
83
1. Legislatif nominal, legislatif ini pada hakikatnya hanya berperan secara formalitas belaka; 2. Legislatif supremasi, legislatif yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan supremasi di dalam negara dan mempunyai peranan menentukan; 3. Legislatif
imbangan,
yaitu
legislatif
yang
mempunyai
kedudukan sama tinggi dan mempunyai peranan seimbang dengan eksekutif.71 Dalam konsep pemisahan kekuasaan ataupun pembagian kekuasaan, maka kekuasaan negara dipisahkan atau dibagi ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini, secara historis atas lahirnya konsep trias politica. Adanya DPR di Indonesia sebagai lembaga legislatif menurut Dahlan Thaib,72 di Indonesia merupakan modifikasi dari konsep trias politica yang selama ini dikenal di Barat. Hal itu, disebabkan lembaga eksekutif di Indonesia terlibat dalam proses legislasi. Di Indonesia keterlibatan eksekutif dalam proses legislasi adalah pada proses pengusulan rancangan undang-undang, pembahasan rancangan undang-undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat, memberikan persetujuan, dan mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang. Bahkan DPR tidak hanya mempunyai fungsi legislatif tetapi juga, mempunyai fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Secara demikian, maka DPR mempunyai tiga pokok fungsi, yaitu:
71 72
Ibid, hal: 191-192. Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1994, hal:44.
84
1. Kewenangan
legislasi
membentuk
undang-undang
dan
menetapkan APBN bersama Presiden; 2. Kewenangan pengawasan terhadap pelaksanaan undangundang; 3. Kewenangan memberi atau menolak ratifikasi pernyataan perang dan damai serta perjanjian dengan negara lain.73 Fajar Laksono dan Subardjo,74 merinci lebih detail ketiga fungsi DPR tersebut, yaitu: 1. Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; 2. Membahas persetujuan
dan
memberikan
terhadap
atau
Peraturan
tidak
Pemerintah
memberikan Pengganti
Undang-Undang; 3. Menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan mengikutsertakan dalam pembahasannya; 4. Memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan UndangUndang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
73
Yuzril Izha Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, Gema Insani, Pers, Jakarta, 1996, hal: 135. 74 Fajar Laksono dan Subardjo, Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden, UII Press, 2006, hal: 42-43.
85
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; 5. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD; 6. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UndangUndang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta kebijakan pemerintah; 7. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan Undang-Undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonommi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; 8. Memilih
anggota
Badan
Pemeriksa
Keuangan
dengan
memperhatikan pertimbangan DPD; 9. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan; 10. Mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan, dan pendapat; 11. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
86
12. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam UUD 1945 (setelah amandemen) dan Undang-Undang. Dari hasil amandemen UUD 1945, maka telah terjadi penguatan pada DPR. Penguatan yang paling dirasakan adalah terjadinya pergeseran dalam hal pembentukan undang-undang. Seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen): “Presiden
memegang
kekuasaan
membentuk
undang-undang”,
kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (setelah amandemen) menjadi: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dengan perubahan kekuasaan dalam membuat undang-undang ini, semestinya terjadi perubahan pula dalam pembentukan undangundang, hanya saja jika dilihat produk undang-undang belum menunjukkan bukti bahwa DPR menguasai dalam pembentukan undang-undang, sebab periode 2004-2009 yang menghasilkan 104 undang-undang, baru 24 undang-undang yang diajukan oleh DPR.75 Menurut A. Muktie Fadjar76 minimnya usulan dari DPR itu, karena ketidakmampuan atau sistem kepolitikan, sehingga DPR tidak bisa secara optimal memanfaatkan peluang itu. Semestinya ketika mendapat peran untuk membentuk undang-undang segera memikirkan bagaimana model legislasinya. Sedang menurut Latief Farikun,77 jika saat ini usulan rancangan undang-undang dari DPR masih minim itu, bukan lagi hambatan konstitusional pada masa UUD 1945 (sesudah
75 76 77
Sekretariat Jendral DPR RI, Biro Persidangan, data ini sampai dengan 10 April 2008. Wawancara 6 Juli 2008. Wawancara tanggal 12 Januari 2009.
87
amandemen), tetapi pada problem professional anggota DPR. Hal ini berhubungan dengan sistem pemilu dan kepartaian di Indonesia. Peran legislasi menurutnya adalah inti dari fungsi DPR. Pendapat Harjono78 dalam hal pergeseran kekuasaan legislasi itu, jika seluruh pembuat undang-undang pada DPR, maka Presiden menjadi tidak ikut sama sekali, hal ini akan beresiko pada pembuatan undangundang, sebab jika Presiden tidak mengajukan rancangan undangundang, maka DPR harus membuatnya. Sebenarnya, untuk lebih menguatkan sistem pemerintahan Presidensiil perlu juga ada hak veto bagi Presiden dalam menyusun undang-undang, dalam rangka mengimbangi kuatnya dalam proses legislasi. Hak veto yang dimiliki oleh Presiden sebenarnya ada, yaitu pada saat Presiden tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR, ada pula yang berpendapat bahwa veto yang ada pada Presiden hanya selama satu bulan, seperti yang termuat dalam Pasal 20 ayat (5): “Dalam hal rancangan undangundang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan udangundang disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib
diundangkan”.
Menurut
Anwar
C.79
pandangan itu hanya berdasarkan pada rumusan semantik dari UUD 1945 (setelah amandemen) dan melihat UUD 1945 secara persial, di
78 79
Wawancara tanggal 7 Juli 2008. Anwar C., Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945: Suatu Perbandingan Antara Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945, Jurnal Konstitusi, PPKH-Universitas Widya Gama, Malang, Vol.1, Oktober 2008, hal: 13-14.
88
mana cara untuk melihat siapa yang memiliki kewenangan untuk membuat adalah dengan terlebih dahulu memahami siapakah yang lebih dominan dalam pembentukan undang-undang, Presiden atau DPR. Dengan demikian, proses pembentukan undang-undang seperti yang diatur dalam UUD 1945 (setelah amandemen) menurut A. Muktie Fadjar80 di samping terjadi penguatan pada DPR, sekaligus reduksi pada kekuasaan Presiden pada taraf inilah pencapaian salah satu ciri sistem Presidensiil itu terjadi. Penguatan legitimasi keanggotaan DPR, di mana seluruh anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum yang termuat dalam Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 (setelah amandemen), dengan kata lain tidak ada lagi anggota DPR diangkat. Cara ini memperbesar legitimasi keanggotaan DPR, karena pemilih yang menentukan. Perubahan dan penguatan lainnya adalah DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 (setelah amandemen), DPR mempunyai kewenangan mengusulkan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden kepada MPR setelah ada putusan dari MK (Pasal 7 ayat (1)), DPR memberikan persetujuan atas undang-undang bersama Presiden (Pasal 20 ayat (2)). Di
luar
proses
legislasi,
hasil
amandemen
UUD
1945
menempatkan legislatif sebagai lembaga penentu dalam bentuk memberi persetujuan terhadap agenda kenegaraan.
80
Wawancara 6 Juli 2008.
89
Menurut, Kacung Marijan81 untuk mencegah terulangnya pada executive heavy sebagaimana terjadi sebelumnya. Hal tersebut membuat DPR mengalami apa yang dinamakan ‘Political shock’82. Keberadaan Impeachment atau pun mosi tidak percaya adalah salah satu bagian dari upaya membatasi kekuasaan penguasa agar tidak
sewenang-wenang,
dalam
konteks
Indonesia
agar
tidak
melakukan pengkhianatan terhadap negara korupsi, perbuatan pidana berat dan melakukan perbuatan yang tercela. Setelah amandemen UUD 1945 (1999-2002) model lembaga perwakilan rakyat di Indonesia mengalami perubahan, dari sistem monokameral menjadi bikameral seiring perubahan komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Semula ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “MPR terdiri dari anggota DPR ditambah utusanutusan daerah dan golongan-golongan”. Pasal ini dimaksudkan bahwa MPR sebagai penjelmaan rakyat tidak hanya terdiri dari unsur politik, namun juga dari golongan-golongan yang ada di masyarakat dan utusan tokoh-tokoh daerah yang di pilih oleh DPRD Tingkat I. Setelah amandemen UUD 1945 ketentuan mengenai MPR menjadi: “MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan
Perwakilan
Daerah”.
dengan
adanya
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) di samping DPR, maka arah bikameral sudah menunjukan keberadaannya. Walau ada pula yang berpendapat
81
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Pasca Orde Baru, Kencana Predana Media, Jakarta, 2010, hal: 25. 82 Susi Dwi Harijanti, Op.Cit, hal:259.
90
bahwa
bikameralnya
bersifat
soft
bicameral,
ada
pula
yang
menyatakan sebagai model trikameral. Lazimnya di negara yang menganut model bikameral, antara kamar yang satu dengan kamar yang lain mempunyai fungsi yang sama, yakni di bidang legislasi dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan hubungan yang setara, yang membedakan cara pembentukannya, argumen mengapa diperlukan kamar kedua dalam lembaga perwakilan adalah:83 a. Mencegah pengesahan undang-undang secara tergesa-gesa dan tidak direncanakan dengan matang oleh satu majelis. b. Untuk mewujudkan prinsip federal dan melindungi kehendak rakyat negara bagian yang berbeda dengan kehendak negara federasi. Walaupun pada dasarnya, kamar kedua dihubungkan dengan negara federasi yang memerlukan dua kamar majelis. Namun, demikian bentuk bikameral juga dipraktekkan di negara kesatuan.84 Alasan utama yang dapat dikemukakan mengenai penggunaan bikameral adalah:85 1. Adanya kebutuhan akan perlunya suatu keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislatif.
83
CF. Strong, Konstitusi Politik Modern, kajian tentang sejarah da bentuk-bentuk konstitusi dunia, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hal: 273. 84 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII, Press, Yogyakarta, 2007, hal:75. 85
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi berbagai negara, UI, Press, Jakarta, 1996, hal: 39.
91
2. Keinginan untuk membuat sistem parlementer berjalan, jika tidak lebih efisien, setidak-tidaknya lebih lancar, melalui suatu majelis yang disebut revising chamber untuk memelihara a careful check on the sometimes hasty decisions of a first Chamber. Negara yang menganut parlemen bikameral tidak hanya negara federasi, ada beberapa negara kesatuan yang parlemennya menganut bikameral, misalnya Inggris, Perancis, Italia, dan sejak ada DPD negara Indonesia mengarah pada parlemen bikameral. Di Indonesia antara DPR dan DPD mempunyai fungsi yang berbeda. DPR mempunyai kekuasaan penuh di bidang legislasi, pengawasan dan APBN. Sedang DPD terkesan menjadi sub dari DPR. Fungsi legislasi terbatas pada kata dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR dan dapat ikut membahas rancangan undang-undang pemerintahan
yang daerah,
berkaitan serta
dengan
melakukan
penyelenggaraan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal tersebut menunjukan hubungan antara DPR dan DPD yang tidak berkeseimbangan dan berkesetaraan. Bahkan lebih pada dominasi DPR atas DPD. Menurut, Bagir Manan: DPR, DPD, dan MPR di Indonesia merupakan model bikameral yang soft. Ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia dalam menuju sistem bikameral, yakni: 1. Sistem dua kamar merupakan mekaisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan.
92
2. Penyederhanaan sistem lembaga perwakilan. Hanya ada satu lembaga perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak di perlukan utusan golongan. Kepentingan golongan di wakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat. 3. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi Parlemen.
Dengan
demikian
segala
kepentingan
daerah
terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan Parlemen.
Hal
ini,
merupakan
salah
satu
faktor
untuk
menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi. 4. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu lembaga seperti DPR sekarang (gagasan ini ditulis sebelum UUD 1945 diamandemen), jadi konteks sekarang menunjukan DPR sebelum dilakukan amandemen UUD 1945. Hasil
kajian
terhadap
lembaga
perwakilan
di
Indonesia,
Formappi86 menyatakan bahwa DPD tak lebih dari sekedar staf ahlinya DPR. Hal ini berkaitan dengan peran DPD yang hanya merupakan peran tempelan dari DPR. Walaupun demikian hasil kajian Firmasyah Arifin dkk87 menyampaikan bahwa DPD merupakan lembaga negara yang sama dengan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Yang 86
T.A Legowo, Lembaga Perwakilan Indonesia Studi dan Analisa Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945 (kritik, masalah dan solusi, Formappi, Jakarta, 2005, hal: 7). 87 Firmasyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, KRHN dan MKRI, Jakarta, 2005, hal: 75.
93
membedakan hanyalah DPD merupakan representasi rakyat
di
daerah dalam hal ini adalah provinsi. Sesungguhnya DPD juga, memiliki kedudukan yang cukup penting, sebab anggota DPD adalah anggota MPR. Dengan demikian menjadi urgen untuk mengupas kedudukan DPD dalam mekanisme ketatanegaraan dalam pemberhentian Presiden. Mengingat salah satu kewenangan MPR adalah memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Dalam Pasal 7B ayat (1) dinyatakan bahwa usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanya terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan pendapat Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
94
3.2.2. LEMBAGA EKSEKUTIF Kekuasaan eksekutif dalam negara konstitusional di masa sekarang ini dapat diringkas sebagai berikut:88 a. Kekuasaan diplomatik, yaitu berkaitan dengan hubungan luar negeri; b. Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang dan administrasi negara; c. Kekuasaan
militer,
yaitu
berkaitan
dengan
organisasi
menyangkut
memberi
bersenjata dan pelaksanaan perang; d. Kekuasaan
yudikatif,
yaitu
pengampunan, penangguhan hukuman, dan sebagainya terhadap narapidana atau perilaku kriminal; e. Kekuasaan legislatif, yaitu berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang dan mengatur proses pengesahan menjadi undang-undang. Istilah eksekutif dipahami dalam dua pengertian, Pertama eksekutif dalam pengertian luas, yaitu seluruh lembaga menterimenteri, pelayanan sipil, polisi, dan bahkan militer. Kedua, eksekutif dalam pengertian sempit, yang berarti pemimpin tertinggi kekuasaan eksekutif. Berdasarkan pada UUD 1945 (sebelum amandemen), maka eksekutif yang dimaksud adalah Presiden, Wakil Presiden dan Para
88
C.F Strong, Op.Cit, hal: 328. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH-UII, Press, Yogyakarta, 2004, hal: 75.
95
Menteri. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 4 ayat (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar”ayat
(2):
“Dalam
melakukan
kewajiban
Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden.” Demikian halnya yang termuat dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) Pasal 17 ayat (1): “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.” Ayat (2): “Menterimenteri itu diangkat dan diberhentikan oleh negara.” Ayat (3): “Menterimenteri tersebut memimpin departemen pemerintahan”. Penegasan Pasal 4 ayat (1) pada masa Orde Baru dianggap sebagai sumber kewenangan
dan
dipergunakan
sebagai
dasar
dari
berbagai
Keputusan Presiden. Penggunaan Pasal 4 ayat (1) sebagai sumber wewenang itu, dipelopori oleh Hamid Attamami, yang mengatakan:89“ Bahwa dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) tersebut terkandung di dalamnya pemahaman tentang kekuasaan mengatur dalam arti pembentukan peraturan-peraturan negara”. Dalam Muhammad Ridwan Indra90,dijelaskan bahwa kekuasaan Presiden menurut UUD 1945 (setelah amandemen), dibagi dalam empat hal yaitu: 1) Kekuasaan Presiden di bidang eksekutif; 2) Kekuasaan Presiden di bidang legislatif; 3) Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara; dan
89
A. Hamid S. Attamami, Peran Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal: 182-183. 90 Muhammad Ridwan Indra, Kekuasaan Presiden dalam UUD 1945Sangat Besar, Trisula, Jakarta, 1998, hal: 37.
96
4) Kekuasaan Presiden di bidang yudikatif. Kekuasaan Presiden yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) tersebut, menunjukan betapa besarnya kekuasaan Presiden, hal tersebut yang menjadikan penyebab mengapa Orde Baru Presiden menjadi sangat dominan91 Di dalam UUD 1945 (sebelum amandemen), kekuasaan Presiden sebenarnya secara dikotomi dapat dipisahkan menjadi, kekuasaan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kekuasaan Presiden selaku kepala negara, dan masih memiliki kekuasaan baru yaitu: Presiden sebagai mandataris MPR. Demikian besar kekuasaan Presiden berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen) tersebut, dalam prakteknya memunculkan dua masalah mendasar yang selalu menjadi perhatian pengkaji hukum tata negara. Pertama, UUD 1945 (sebelum amandemen) memberikan kekuasaan yang luar biasa kepada Presiden. Kedua, sepanjang berlakunya UUD 1945 (sebelum amandemen), masa Orde Baru belum pernah dilakukan pengisihan jabatan puncak eksekutif secara “wajar”92. Adanya executive heavy berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen) disebabkan karena adanya dua kekuasaan sekaligus yaitu kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di tangan Presiden.93
91 92
A. Ramlan Surbakti, Reformasi Kekuasaan Presiden, Grasindo, Jakarta, 1998, hal: 45.
Saldi Isra, Amandemen Lembaga Legislatif dan Eksekutif Prospek dan Tantangan, dalam Jurnal Unisia, No. 49/XXVI/III/2003, Universitas Islam Indonesia, hal: 228. 93 Syaifudin, Kajian terhadap Perubahan UUD 1945,: Studi Tentang Sistem Pemerintahan Negara, dalam, Kontribusi Pemikiran untuk 50 Tahun Prof. Dr. Mahfud MD, FH-UII, Press, 2007, hal: 47.
97
Sesuai
dengan
prinsip
perubahan
UUD
1945
untuk
mempertegas sistem presidensiil94, dan dianutnya pemisahan cabangcabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks and balances.
3.2.3. LEMBAGA YUDIKATIF Banyak sarjana yang selalu mengaitkan pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga pilar kekuasaan yang berdasar pada trias politica, maka Moh. Koesnoe95 mempunyai pandangan bahwa UUD 1945 (sebelum amandemen) justru tidak menganut trias politica, tetapi ‘Duo Politico’ sebab dalam ketyentuan dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) menunjukkan adanya ajaran politik separation of power yang di buktikan dalam Bab III yang mengatur tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dan di Bab IX khusus untuk Kekuasaan Kehakiman. Setelah
amandemen
UUD
1945
menghendaki
adanya
kekuasaan kehakiman yang mandiri, seperti yang termuat dalam Pasal 24 ayat (1) yaitu: “Kekuasaan kehakiman dilakukan merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan umum guna menegakan hukum dan keadilan”. Jika, sebelum perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, hasil amandemen UUD 1945 kekuasaan kehakiman jadi dilakukan oleh
94 95
Moekhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, KonPress, Citra Media, Jakarta, 2006, hal: 54. Moh. Koesnoe, Kedudukan dan Fungsi Kekuasaan Kehakiman Menurut Undang-Undang Dasar 1945, dalam Mudzakir, Selayang Pandang Sistem Hukum Indonesia Menurut, H. Moh. Koesnoe, Universitas IndonesiaUniversitas Islam Indonesia, Jakarta, 1977, hal:119.
98
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi seperti yang termuat dalam Pasal 24 ayat (2): “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah MK”.
3.2.3.1. MAHKAMAH AGUNG Kewenangan Mahkamah Agung dan hal-hal yang terkait dalam hakim agung diatur dalam Pasal 24A UUD 1945 ayat (1): “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang”. (2):”Hakim Agung harus memiliki integritas dan pengalaman di bidang hukum”, ayat (3): “Calon Hakim Agung memiliki dan kepribadian yang tidak tercela, adil profesional dan pengalaman di bidang hukum”. Sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (1), maka yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut: a) Mengadili pada tingkat kasasi; b) Menguji
peraturan
perundang-undangan
di bawah
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; c) Wewenang lainnya atas dasar undang-undang. Setelah amandemen UUD 1945 lahir Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
99
menggantikan UU Nomor 14 tahun 1970 dan UU Nomor 35 tahun 1999. Dalam ketentuan Pasal 10 UU Nomor 4 Tahun 2004 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah MK. Badan peradilan di bawah Mahkamah Agung meliputi, badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
3.2.3.2. MAHKAMAH KONSTITUSI Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari keinginan masyarakat di negara ini agar pemerintahan Indonesia diselenggarakan atas dasar prinsip-prinsip cita negara hukum. Di mana dalam paham negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara, hal ini sesuai dengan prinsip the rule of law, and not of man, yang sejalan dengan pengertian ‘nomocratie’ kekuasaan yang dijalankan oleh hukum96. Selain negara diselenggarakan dengan memegang teguh prinsip cita negara hukum, masyarakat juga menghendaki terselenggaranya kekuasaan negara yang berpegang pada prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Hal tersebut dikarenakan sepanjang Orde Baru berkuasa (1966-1988) pemerintahan 96
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Penerbit Sekjen Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal: 69.
100
Indonesia diselenggarakan dengan model pemusatan kekuasaan pada Presiden, di mana cita-cita sebagai negara hukum justru diwujudkan dalam bentuk negara kesatuan. Jelas hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (setelah amandemen) yang secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Berdasar pada keinginan penyelenggaraan pemerintahan yang berprinsip cita hukum dan checks and balances dan wewenang serta kewajiban Mahkamah Konstitusi yang termuat dalam UUD 1945 (setelah amandemen) dan yang diatur kembali dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam Negara Republik Indonesia merupakan tuntutan jaman yang terus bergerak progesif,
sehingga
mampu
menjawab
masalah
bangsa,
khususnya masalah pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
(setelah
amandemen)
dan
masalah
pemberhentian
Presiden dan Wakil Presiden. Kedua hal tersebut diasumsikan sebagai tugas MK yang paling berhubungan dengan sistem Presidensiil. Terbentuknya MK menurut Mahfud MD97 turut menggerakkan roda pengembangan isu-isu ketatanegaraan menjadi lebih dinamis dan tidak sekedar berkutat dalam tataran teoritis semata. Sebagai suatu pengadilan ketatanegaraan, MK juga menjadi kawah candradimuka bagi penerapan ilmu hukum tatanegara dan hukum administrasi negara dalam tataran praktis. 97
Moh. Mahfud MD, Refleksi dan Sistem Ketatanegaran di Indonesia, Makalah Keynote Speech disampaikan pada acara ”Seminar Ketatanegaraan dan Refleksi Akhir Tahun” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur pada 27 Desember 2009 di Jember Jawa Timur. Hal: 3.
101
Berbagai kalangan berpendapat bahwa terjadinya krisis di Indonesia saat ini bermuara kepada ketidakjelasan konsep yang dibangun oleh UUD 1945 (sebelum amandemen), tidak adanya checks and balances antar alat perlengkapan organisasi negara, selain berbagai kelemahan yang melekat pada UUD 1945 (sebelum amandemen). Sejak saat itu berbagai kalangan menyiapakan bahan kajian untuk
perubahan UUD 1945
(sebelum amandemen) dan mendesak MPR untuk secepatnya melakukan perubahan tersebut. Belakangan muncul aspirasi politik yang menghendaki agar dipakai sistem perimbangan kekuasaan (checks and balances). Dijelaskan oleh Ferguson dan Mc Henry, yang dimaksud dengan sistem perimbangan kekuasaan sebagaimana yang dipraktekkan di Amerika Serikat, sebagai berikut:98 “Separation of power is implemented by an elaborate system of check and balances. To mention only a few, Congress is checked by the requirement that laws must receive the approval of both house, by the President’s veto and by the power of judicial review of the courts. The president is checked by the fact that he cannot encact laws, that no money may be spent except in accordance with appropriations made by laws, that Congress can override his veto, that he can be inpeached, that treaties must be apporoved and appointments confirmed by the 98
Lihat dalam John Ferguson and Dean Mc Henry, The American System of Government (New York-TorontoLondon: Mc Graw-Hill Book Company, Inc., 4th ed., 1956), hal:50.
102
Senate and by judicial review. The judicial branch is checked by the power retained by the people to amend the constitution, by the power the President with the advice and consent of the Senate to appoint fact that Congress can determine the size of courts and limit the appellate jurisdiction of both the supreme Court and inferior court”. Secara substantif, UUD 1945 (sebelum amandemen) banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu, dapat diketahui antara lain, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai,99 sehingga UUD 1945 (sebelum amandemen) biasa disebut eksecutive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan Presiden. Menurut istilah Soepomo: “Concentration of power and responsibility upon the President”. Reformasi Mei tahun 1998, telah membawa berbagai perubahan
mendasar
dalam
berbangsa
Indonesia.
Pertama,
kehidupan sejak
bernegara
jatuhnya
dan
Presiden
Soeharto, tidak lagi memiliki seorang pemimpin sentral dan menentukan. Munculnya pusat-pusat kekuasaan baru di luar negara telah menggeser kedudukan seorang Presiden Republik Indonesia dari penguasa yang hegemonic dan monopolistik menjadi kepala pemerintahan biasa, yang sewaktu-waktu dapat digugat bahkan diturunkan dari kekuasaannya. Kedua, munculya kehidupan politik yang lebih liberal, yang melahirkan proses 99
Moh. Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara (Yogyakarta: UII Press, 1999), hal: 96-98. Lihat juga dalam Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hal: 11-14.
103
politik
yang
juga
liberal.
Ketiga,
reformasi
politik
juga
mempercepat pencerahan politik rakyat. Semangat keterbukaan yang dibawanya telah memperlihatkan kepada publik betapa tingginya tingkat distorsi dari proses penyelenggaraan negara. Keempat, pada tataran lembaga tinggi negara, kesadaran untuk memperkuat proses checks and balances antar cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa bahkan melampui konvensi yang selama ini dipegang- yakni “asas kekeluargaan” di dalam penyelenggaraan negara. Kelima, reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagian elite berpengaruh dan publik politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan mendasar dalam konstitusi Republik Indonesia.100 Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat, selama ini diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku kedaulatan rakyat, dan sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Selanjutnya, dari Majelis ini kekuasaan rakyat itu ‘seolah’ dibagi-bagikan secara vertikal ke dalam lembagalembaga tinggi negara yang berada di bawahnya. Karena itu, prinsip yang dianut disebut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power). Setelah dilakukan perubahan terhadap kelembagaan dan kewenangan MPR sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Majelis Permusyawaratan 100
Rakyat
berwenang
mengubah
dan
Indria Samego, Perubahan Politik dan Amandemen UUD 1945, Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Nasional “Evaluasi Kritis Atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945” yang diselenggarakan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 8-10 Juli 2002.
104
menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen). (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat menlatik Presiden dan Wakil Presiden . (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), baik yang berbentuk GBHN maupun yang berbentuk perundang-undangan, serta memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Dengan ketentuan baru ini, secara teoritis berarti, terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu sistem yang vertikal hierarki dengan prinsip supremasi MPR menjadi horizontal fugsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara (checks and balances). Demikian pula, dengan amandemen yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden dan DPR, amandemen pertama UUD 1945 terhadap Pasal 5 dan Pasal 20 dipandang sebagai permulaan terjadinya “pergeseran” executive heavy
kearah
legislative heavy. Hal ini telihat dari pergeseran kekuasaan Presiden dalam membentuk undang-undang, yang diatur dalam Pasal 5, rancangan
berubah menjadi Presiden berhak mengajukan undang-undang,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
105
memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20). Perubahan pasal-pasal ini memindahkan kekuasaan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula di tangan Presiden, beralih ke tangan DPR. Dengan pergeseran kewenangan membentuk undangundang ini, maka sesunggunhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan”101 dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (separation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri pelekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensiil. Aspek
perimbangan
kekuasaan
mengenai
hubungan
Presiden dan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung tampak dalam perubahan Pasal 13 dan 14. Perubahan terhadap pasalpasal ini dapat dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogatif. Perubahan Pasal 13 berbunyi: (1) dalam hal mengangkat Duta Besar, Presiden memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum ada perubahan, Presiden sebagai Kepala Negara mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri duta dan
101
Dengan meminjam teori Prof. Ivor Jennings, pada umumnya pemisahan kekuasaan dalam arti materiil adalah dalam arti pembagian itu dipertahankan dengan prinsipiil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga bagian. Sedang pemisahan kekuasaan dalam arti formil, pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan secara prinsipiil. Sir W. Ivor Jennings, The Law and the Constitutions (London: Cetakan Keempat, University of London Press, 1956) hal: 267. Lihat juga dalam Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal: 16.
106
konsul serta menerima duta dari negara lain. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka Presiden dalam mengangkat dan menerima duta besar sebaiknya diberikan pertimbangan oleh DPR. Perubahan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan Mahkamah Agung (MA). (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan perlunya Presiden memerhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi, Pertama, grasi dan rehabilitasi itu adalah proses yustisial dan biasanya diberikan kepada orang yang sudah mengalami proses, sedangkan amnesti dan abolisi ini lebih bersifat proses politik. Kedua,
grasi
dan
rehabilitasi
itu
lebih
banyak
bersifat
perorangan, sedangkan amnesti da abolisi biasanya bersifat massal.102 Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi adalah lembaga negara yang paling tepat dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu, karena grasi menyangkut putusan hakim, sedangkan rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan hakim. Sementara itu, DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian
amnesti
dan
abolisi
karena
didasarkan
pada
pertimbangan politik. Bagir Manan kurang sependapat dengan rumusan tersebut karena pemberian amnesti dan abolisi tidak 102
Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia Perubahan Pertama UUD 1945 (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), hal: 190.
107
selalu terkait dengan pidana politik. Kalaupun diperlukan pertimbangan, cukup dari Mahkamah Agung (MA). DPR adalah badan politik, sedangkan yang diperlukan adalah pertimbangan hukum. Pertimbangan politik, kemanusiaan, sosial dan lain-lain, merupakan isi dari hak prerogatif. Yang diperlukan adalah pertimbangan hukum untuk memberi dasar yuridis pertimbangan Presiden.103 Perubahan lain mengenai fungsi dan hak lembaga DPR serta hak anggota DPR yang diatur dalam Pasal 20A, berbunyi antara lain sebagai berikut: (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
fungsi
legislasi,
fungsi
anggaran,
dan
fungsi
pengawasan. (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempuyai hak mengajukan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara,
menyampaikan
pajak,
hasil
pendidikan,
pengawasannya
dan itu
agama kepada
serta Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
103
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hal: 165.
108
Ketentuan
UUD
1945
(setelah
amandemen)
yang
mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk: (1) Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; (2) Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerahdaerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara
dan
daerah-daerah;
(3)
Mendorong
percepatan
demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 (setelah amandemen), yang berbunyi sebagai berikut:
“Kekuasaan
kehakiman
dilakukan
oleh
sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, ligkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.” Berkenaan dengan tugas dan wewenangan Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk meguji undang-undang terhadap UUD 1945 (setelah amandemen), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
109
hasil pemilihan umum.” Selain itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD 1945 (setelah amandemen). Ketiga cabang kekuasaan legislatif, legislatif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi
bahkan
dikontrol
dengan
sebaik-baiknya.
Sehingga, penyalagunaan kekuasaan oleh aparatur negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.104
104
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Perss, Jakarta, 2013, hal: 105-115.
110
111
BAB IV PENUTUP 4.1. KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil kajian peelitian yang dilakukan oleh penulis, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 4.1.2 Dalam konsep hukum ketatanegaraan tidak dijelaskan secara emplisit mengenai pemisahan kekuasaan berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen. Sehingga, terjadi ketumpang tindihan mengenai tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga tinggi negara yang saling mengintervensi antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainnya. Hal ini menunjukkan ketidak konsistensinya suatu sistem ketatanegaraan di Indonesia yang mengakibatkan ketidakjelasan dalam hal pemisahan kekuasaan di Indonesia. Dengan sistem trias politica yang diterapkan oleh Negara Indonesia merupakan suatu bentuk penyalah pahaman terhadap konsep yang dicetuskan oleh filosof dari perancis yaitu De Montesquieu yang mana konsep tersebut tidak menjelaskan tentang pembagian kekuasaan melainkan pemisahan kekuasaan sebelum amandemen UUD 1945. Hal ini merupakan
bentuk
dari
kelemahan
sistem
ketatanegaraan
di
Indonesia.
111
4.1.2 Dengan prinsip checks and balances dalam pelaksanaan pemisahan kekuasaan ketatanegaraan di Indonesia masih banyak kelemahankelemahan dan ketatanegaraan yang ingin dicapai bersama serta masih banyak campur tangan dari lembaga-lembaga lain yang tidak mempunyai kewenangan untuk menjalankan roda ketatanegaraan dan pemerintahan tersebut.
4.2. SARAN 4.2.1.Perlu adanya pemisahan yang jelas terhadap lembaga tinggi negara dalam pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia. Sehingga tidak terjadi ketumpang tindihan dalam menjalankan fungsi dan kewenangan pada setiap lembaga tinggi negara dan dapat bekerja secara proporsional sesuai bidang dan tugasnya masing-masing tanpa ada suatu bentuk campur tangan dari lembaga tinggi negara yang lain. 4.2.2.Dalam pelaksanaan pemisahan kekuasaan di Negara Indonesia untuk menerapkan konsep trias politica seharusnya melihat lebih jauh lagi dan mempertimbangkan secara matang mengenai konsep pembagian dan pemisahan kekuasaan terhadap lembaga tinggi negara. Sehingga secara jelas seperti yang dikemukakan oleh filosof yang berasal dari perancis yaitu Montesquieu yang menerapkan konsep trias politica mengenai pemisahan kekuasaan bukan pembagian kekuasaan di suatu negara khususnya dalam penerapan hukum ketatanegaraan di indonesia. Secara jelas konsep tersebut sesuai dengan konsep dasarnya.
112
4.2.3. UUD 1945 sebagai fundamental norm menjelaskan dalam pasalpasalnya mengenai pemisahan kekuasaan pada lembaga tinggi negara dengan tujuan untuk menghindari pemultitafsiran dari konsep trias politica yang pertama kali dicetuskan. Sehingga jelas ada suatu bentuk kepastian suatu perundang-undangan dan regulasi dalam menjalankan
hukum
ketatanegaraan
di
Indonesia
mengenai
pemisahan kekuasaan terhadap lembaga tinggi negara. Kekurangankekurangan yang mendasar mengenai kontrol kinerja dari baik internal lembaga kenegaraan maupun ekternal lembaga kenegaraan yang mengakibatkan terkendalanya pelaksanaan.
113
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan perundang-undangan UUD 1945, sebelum dan setelah amandemen. Buku Asshiddiqie Jimly (b), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal danKepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. v. Asshiddiqie Jimly, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitulisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Asshiddiqie Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta 2012. Asshiddiqie Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013. Basah Sjachran, Ilmu Negara Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembagan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Budiyanto, Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga, Jakarta, 2003. C. Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011. Cruz de Peter, Perbandingan Sistem Hukum, Nusa Media, Bandung, 2012. Daulay Parluhutan Rosyada Ikhsan, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta 2006. Ence Baso A. Irianto, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Alumni, Bandung, 2008.
114
Friedrich Joachim Carl, Filsafat Hukum Prespektif Historis, Nusa Media, Bandung, 2010. Hadjon M. Philipus dan Djamiati Sri Tatiek, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011. Huda Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013. Ismatullah Deddy dan Gatara Sahid A. Asep, Ilmu Negara Dalam Multi Prespekrif, Pustaka Setia, Bandung 2007. Kansil C.S.T. dan Kansil S.T.Christine, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Ctk. Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, 2003. Kusnardi Moh. dan Saragih Bintan, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, 1980. Kurnia
SlametTiton, Dwiyatmi HariniSri, dan P. HapsariDyah, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelitian Hukum Di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013.
Lokakarya Program Legislasi Nasional yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional, bekerjasama dengan Universitas Taruma Negara, Jakarta, 29 Juli, 2002. Lumbun Ronald, Perma RI Wujud Kerancauan Antara Praktek Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945, Buku Tiga Jilid 1 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945, Buku Tiga Jilid 2 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945, Buku Enam Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.
115
Marzuki Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011. MD Mahfud Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012. Rato Dominikus, Filsafat Hukum Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum, LaksBang Justitia, Surabaya, 2010. Saragih R. Bintan & Kusnardi M., Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990. Soehino, Hukum Tata Negara Pemerintahan Negara, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1993. Soemantri Sri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989. Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Setara Press, Malang, 2012. Zulkarnaen dan Saebani AhmadBeni, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia, Bandung, 2012.
Kamus Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press.
116