PERTUMBUHAN DAN HASIL KACANG HIJAU (Vigna radiata L.) PADA BEBERAPA KONSENTRASI LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT Oleh Endang Yulia*) *) Fatimah dan Ediwirman Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa Padang ABSTRAK Penelitian tentang pertumbuhan dan hasil kacang hijau (Vigna radiata L. ) pada beberapa konsentrasi limbah cair pabrik kelapa sawit. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi LCPKS yang tepat terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau. Penelitian telah dilaksanakan pada lahan UPT Penyuluhan Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2013. Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok, konsentrasi LCPKS dengan 5 perlakuan dan 3 kelompok. Perlakuan yang diberikan yaitu : 0, 5%, 10%, 15%, 20%. Pengamatan dilakukan terhadap tanaman sampel yang diambil acak sebanyak 4 tanaman setiap plot. Setiap pengamatan dirata-ratakan untuk masing-masing plot kemudian dianalisis dengan sidik ragam jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT pada taraf 5%. Variabel yang diamati adalah : tinggi tanaman, umur muncul bunga pertama, jumlah cabang primer per tanaman, umur panen pertama, jumlah polong, persentase polong bernas, bobot 100 biji kering, bobot biji kering per tanaman, hasil biji kering per plot dan per hektar, dan jumlah bintil akar efektif. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi 5% LCPKS mampu meningkatkan hasil biji kering 1,48 t/ha, disarankan untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil kacang hijau terbaik menggunakan rekomendasi konsentrasi 5% LCPKS. Kata kunci : Kacang Hijau, Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit PENDAHULUAN Kacang hijau di Indonesia menempati urutan ketiga terpenting sebagai tanaman pangan legum, setelah kedelai dan kacang tanah. Penggunaan kacang hijau sangat beragam, dari olahan sederhana hingga produk olahan teknologi industri. Produk terbesar hasil olahan kacang hijau di pasar berupa taoge (kecambah), bubur, makanan bayi, industri minuman, kue, bahan campuran soun dan tepung hunkue. Kacang hijau juga dimanfaatkan sebagai bahan makanan, kacang hijau juga mempunyai manfaat sebagai tanaman penutup tanah dan pupuk hijau. Kandungan gizi dalam 100 g kacang hijau meliputi karbohidrat 62,9 g, protein 22,2 g, lemak 1,2 g juga mengandung Vitamin A 157 U, Vitamin B1 0,64 g, Vitamin C 6,0 g dan mengandung 345 kalori (Mustakim, 2012).
Ekspor kacang hijau masih sedikit, tetapi volume impor cenderung meningkat, apabila rata-rata kebutuhan kacang hijau sekitar 2,5 kg perkapita pertahun maka kebutuhan kacang hijau adalah 12.117,28 ton pertahun, sehingga masih terdapat peluang penambahan permintaan (Supeno dan Sujudi, 2002). Menurut Anonima (2014), produksi kacang hijau cenderung menurun selama kurun waktu lima tahun terakhir (2009 sampai 2013) produksi kacang hijau adalah berturut-turut 4.426 ton, 1.134 ton, 1.121 ton, 3.817 ton dan 720 ton, sehingga untuk memenuhi kebutuhan kacang hijau dilakukan impor sebesar 29.443 ton pertahun. Produksi kacang hijau di Sumatera Barat masih tergolong rendah dibandingkan dengan produksi Indonesia yaitu 237.142,8 ton/tahun yang disebabkan antara lain : kesuburan tanah yang rendah dan semakin terbatasnya lahan produktif yang dapat digunakan untuk budidaya kacang hijau. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan memperbaiki kesuburan tanah, dengan pemberian pupuk organik. Pupuk organik merupakan bahan yang penting dalam menciptakan kesuburan tanah baik secara fisika, kimia dan biologi tanah. Pupuk organik dapat berupa pupuk kandang, pupuk hijau, kascing, kompos limbah kelapa sawit (sludge, abu dan kompos janjang kelapa sawit), serta limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS). LCPKS mempunyai kandungan hara yaitu N 450 - 590 mg/L, P 92 - 104 mg/L, K 1.246 – 1.262 mg/L, Mg 249 - 271 mg/L (Ideriah, Adukwu, Stainley dan Briggs, 2007) dan Ca 361 mg/L (Smart, 2000). Rinaldi, Hanibal dan Syahputra (2012), melaporkan bahwa, pemberian LCPKS 1,6 l perpolybag memberikan pengaruh terbaik terhadap total luas daun, bobot kering pupus, bobot kering akar dan diameter bibit kakao. Putri (2011), juga melaporkan bahwa pemberian LCPKS dengan dosis 2,52 l perpot dapat meningkatkan tinggi tanaman dan berat kering tanaman kedelai. Ermadani dan Muzar (2011), juga melaporkan, dengan pemberian 150,000 L/ha LCPKS + 150 kg/ha SP36 dan aplikasi 75,000 L/ha LCPKS dapat meningkatkan hasil kedelai yaitu 2,01 t/ha. Pemberian LCPKS pada tanaman kacang hijau dapat pula dilakukan, namun belum banyak informasi terkait dengan kebutuhan LCPKS pada kacang hijau. Tujuan penelitian untuk
mendapatkan konsentrasi LCPKS yang tepat terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau. BAHAN DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan pada Lahan UPT Penyuluhan Kecamatan Luhak Nan Duo, Pasaman Barat yang dilaksanakan bulan Juni sampai September 2013. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih kacang hijau varietas Vima-1, Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS), Urea, SP36, KCl, Decis 2.5 EC dan Dithane M-45. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 kelompok.
Perlakuan yang diberikan adalah
konsentrasi limbah cair pabrik
kelapa sawit yang terdiri dari 5 taraf yaitu : 0 (PO), 5% (P1), 10% (P2), 15% (P3), 20% (P4). Plot yang diperlukan dalam percobaan ini adalah 15 plot, setiap plot terdiri dari 30 tanaman kacang hijau, 4 tanaman sebagai sampel dan 2 sebagai tanaman destruktif. Data hasil pengamatan di sidik ragam pada taraf nyata 5% dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%. Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, umur muncul bunga pertama, jumlah cabang primer per tanaman, umur panen pertama, jumlah polong, persentase polong bernas, bobot 100 biji kering, bobot biji kering per tanaman, hasil biji kering per plot dan per hektar, dan jumlah bintil akar efektif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman Tabel 1 memperlihatkan bahwa, pemberian LCPKS 0, 5%, 10%, 15% dan 20% menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman kacang hijau yang relatif sama. Pemberian LCPKS 0 sampai 20% menghasilkan tinggi tanaman 40,00 cm sampai 43,67 cm, tinggi tanaman varietas Vima-1 rata-rata 53 cm, bila dibandingkan dengan deskripsi tinggi tanaman kacang hijau lebih rendah. Pemberian LCPKS tidak berpengaruh dengan pertumbuhan tinggi tanaman.
Hal ini disebabkan
LCPKS tidak mampu memenuhi kebutuhan hara bagi pertumbuhan tinggi tanaman, sehingga penambahan LCPKS tidak meningkatkan pertumbuhan.
Kebutuhan hara yang diperlukan oleh tanaman kacang hijau sudah dapat dipenuhi dari hara yang ada di dalam tanah. Tabel 1. Tinggi tanaman kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi LCPKS pada umur 7 mst. Konsentrasi LCPKS (%) Tinggi tanaman (cm) 0 43,33 5 43,67 10 42,67 15 40,00 20 43,33 KK (%) 8,31 Angka pada lajur tinggi tanaman berbeda tidak nyata menurut Uji F taraf 5%. Kebutuhan hara yang sudah terpenuhi, pertumbuhan tinggi tanaman juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lakitan (2007), bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Oleh karena itu pemberian konsentrasi
LCPKS tidak mempengaruhi pertumbuhan kacang hijau. Jumlah Bintil Akar Efektif Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian beberapa kosentrasi LCPKS 0 sampai 20% tidak berpengaruh pada jumlah bintil akar efektif. Jumlah bintil akar efektif 13,4 buah sampai 22,9 buah. Hal ini berarti pemberian kosentrsi LCPKS tidak mempengaruhi pembentukan bintil akar efektif. Pembentukan bintil akar dipengaruhi oleh keberadaan nitrogen. Tabel 2. Jumlah bintil akar efektif kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi LCPKS. Konsentrasi LCPKS (%) Jumlah bintil akar efektif (buah) 0 19,5 5 13,4 10 22,9 15 19,2 20 20,5 KK (%) 51,33 Angka pada lajur jumlah bintil akar efektif, berbeda tidak nyata menurut Uji F pada taraf 5%. Kandungan nitrogen didalam tanah ditambah dengan sumbangan hara dari LCPKS menjadi cukup tinggi, karena Nitrogen yang tinggi di dalam tanah tidak
terlalu merangsang pembentukan bintil akar. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), kadar nitrogen yang tinggi dalam tanah tidak terlalu mempengaruhi jumlah dan bintil akar.
Nitrogen dalam bentuk amonium dan nitrat yang
diberikan dalam jumlah banyak umumnya dapat mengurangi terbentuknya bintil akar dan fiksasi N2 oleh bintil akar. Pada beberapa leguminosa, senyawa nitrogen dalam jumlah kecil memang sering diperlukan untuk mengatasi kekurangan nitrogen pada awal pertumbuhan sebelum tanaman dapat mengandalkan kebutuhan nitrogen dari fiksasi N2 oleh bintil akar. Sistem perakaran kacang hijau lebih dipengaruhi oleh sifat genetik, selain sistem perakaran juga dipengaruhi oleh kondisi tanah. Lebih lanjut
Hanum
(2009), menjelaskan bahwa, tanah merupakan faktor terpenting dan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat kaitannya dengan tanaman yang tumbuh di atasnya. Umur Muncul Bunga Pertama Tabel 3 menunjukkan bahwa, pemberian 0 sampai 20% LCPKS tidak berpengaruh terhadap umur muncul bunga pertama kacang hijau. Umur muncul bunga pertama kacang hijau berkisar 39 hst sampai 41 hst.
LCPKS tidak
berpengaruh langsung terhadap proses pembungaan, karena hara yang terdapat dalam LCPKS tidak langsung digunakan bagi pembungaan. Tabel 3. Umur muncul bunga pertama kacang hijau akibat pemmberian beberapa kosentrasi LCPKS. Konsentrasi LCPKS (%) Umur muncul bunga pertama (hst) 0 41 5 39 10 40 15 41 20 40 KK% = 4,62 Angka pada lajur umur muncul bunga pertama, berbeda tidak nyata menurut Uji F taraf 5%. Hal ini disebabkan hara yang terdapat pada LCPKS belum mampu mempengaruhi umur muncul bunga pertama, tetapi memperbaiki penggunaan pupuk organik lebih dominan dengan perbaikan kesuburan tanah antara lain sifat fisik dan biologi tanah (Murbandono, 2001).
Lebih lanjut (Mustakim, 2012)
menjelaskan bahwa, penentuan umur muncul bunga pertama tanaman kacang
hijau selain dipengaruhi oleh ketersediaan hara, juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Jumlah Cabang Primer Tabel 4 menunjukkan bahwa, pemberian konsentrasi LCPKS 0 menghasilkan 6,2 cabang , jumlah cabang yang relatif sama dengan peningkatan kosentrasi 5% sampai 20% dengan jumlah cabang adalah berturut-turut 9,0 cabang, 8,0 cabang, 7,2
cabang dan 8,0 cabang. Hal ini disebabkan jumlah
cabang primer lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan batang atau tinggi tanaman yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 4. Jumlah cabang primer kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi LCPKS. Kosentrasi LCPKS (%) Jumlah cabang primer (cabang) 0 6,2 5 9,0 10 8,0 15 7,2 20 8,0 KK (%) 23,26 Angka lajur jumlah cabang primer, berbeda tidak nyata menurut Uji F taraf 5%. Jumlah cabang primer memiliki hubungan dengan tipe pertumbuhan kacang hijau (Adrianto dan Indarto, 2004).
Menurut Mustakim (2012), tipe
pertumbuhan kacang hijau tidak sama, varietas Vima-1 tumbuhan memiliki tipe pertumbuhan determinit. Tipe determinit mempunyai pertumbuhan tinggi terbatas, dengan pertumbuhan batang yang lebih dominan. Hal ini sesuai menurut Gardner et al., (1991), percabangan tanaman dipengaruhi oleh pertumbuhan batang. Umur Panen Pertama Tabel 5 menunjukkan bahwa, pemberian konsentrasi LCPKS 0% menghasilkan umur panen 67,7 hst dan menghasilkan umur panen yang relatif sama dengan konsentrasi 5 % sampai 20 % yang berturut - turut 67,0 hst, 66,7 hst, 66,3 hst dan 66,6 hst. Umur panen dengan pemberian LCPKS lebih lambat dari deskripsi kacang hijau varietas Vima-1 dengan umur panen pertama adalah 57 hst. Umur panen berkaitan dengan umur muncul bunga pertama kacang hijau yang disajikan pada Tabel 2, meskipun konsentrasi yang diberikan lebih tinggi. Menurut Gardner et al., (1991), umur berbunga suatu tanaman dipengaruhi oleh intesitas penyinaran, suhu dan curah hujan.
Tabel 5. Umur panen pertama kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi LCPKS. Kosentrasi LCPKS (%) Umur panen (hst) 0 67,7 5 67,0 10 66,7 15 66,3 20 66,6 KK (%) 1,07 Angka pada lajur umur panen pertama, berbeda tidak nyata menurut Uji F 5%. Curah hujan merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya suatu tanaman dapat memasuki fase generatif. Fase pertumbuhan generatif membutuhkan curah hujan yang terbatas, tetapi curah hujan saat penelitian dilakukan curah hujan cukup tinggindengan rata-rata 269 mm/bln seperti disajikan pada lampiran 6. Fase vegetatif akan lebih lambat pada musim hujan dan hal ini akan berpengaruh terhadap penundaan tanaman memasuki fase berbunga dan panen kacang hijau. Harjadi (1996) menjelaskan bahwa, terdapat dua fase yaitu fase vegetatif dan generatif. Fase vegetatif terutama pada perkembangan akar, daun, batang yang membutuhkan hasil fotosintat yang banyak. Fase generatif ditandai dengan perkembangan dan pembentukan kuncup bunga dan buah. Menurut Mangoendidjo (2003), umur panen suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik. Hal ini sesuai dengan pendapat Fachruddin (2000), bahwa umur panen tanaman ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu varietas dan ketinggian tempat penanaman. Jadi meskipun diberikan LCPKS umur panen lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tanaman itu sendiri. Jumlah Polong Tabel 6 menunjukkan bahwa, pemberian LCPKS dengan konsentrasi 0 menghasilkan jumlah polong sebanyak 21,41 buah dan menghasilkan jumlah polong yang relatif sama dengan pemberian konsentrasi 5% sampai 20% yang masing-masingnya 25,66 buah, 19,00 buah, 18,08 buah dan 15,66 buah menunjukkan tidak berpengaruh.
Hal ini disebabkan LCPKS tidak dapat
memenuhi kebutuhan hara yang dibutuhkan untuk pembentukan dan pengisian polong.
Tabel 6. Jumlah polong kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi LCPKS. Konsentrasi LCPKS (%) Jumlah polong (buah) 0 21,41 5 25,66 10 19,00 15 18,08 20 15,66 KK (%) 23,28 Angka pada lajur jumlah polong, berbeda tidak nyata menurut Uji F pada taraf 5%. Hara yang penting untuk pembentukkan polong adalah Ca pada LCPKS yang berperan untuk pembentukkan polong belum terpenuhi, sehingga jumlah polong yang dihasilkan relatif sama. Hardjowigeno (2003), bahwa unsur hara Ca penting untuk proses pembentukkan polong, karena pada saat pembentukkan polong tanaman akan membutuhkan fotosintat dalam jumlah banyak. Jumlah polong berkaitan dengan jumlah cabang, jumlah cabang yang dihasilkan sama, sehingga jumlah polong juga relatif sama. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan cabang primer kacang hijau. Persentase Polong Bernas Tabel 7 menunjukkan bahwa, pemberian LCPKS dengan konsentrasi 0 menghasilkan persentase polong bernas sebanyak 78,09% dan mengahasilkan persentase polong bernas yang relatif sama dengan pemberian konsentrasi 5% sampai 20% yang masing-masingnya 75,18%, 82,53%, 81,15% dan 69,29% menunjukkan tidak berpengaruh. Tabel 7. Persentase polong bernas kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi LCPKS. Konsentrasi LCPKS (%) Persentase polong bernas (%) 0 78,09 5 75,18 10 82,53 15 81,15 20 69,29 KK (%) 19,04 Angka selajur pada persentase polong bernas, berbeda tidak nyata menurut Uji F taraf 5%. Hal ini menunjjukkan bahwa LCPKS yang diberikan belum memenuhi kebutuhan hara yang diperlukan oleh pembentukkan polong bernas.
Hal ini
disebabkan bahan organik bersifat lambat tersedia untuk tanaman, selain itu pembentukkan dan pengisian polong merupakan sifat yang dipengaruhi oleh genetik tanaman itu sendiri. Hal ini sesuai menurut Hidayat (1985) cit. Kurniadi, Yetti dan Anom (2012) menjelaskan bahwa, pembentukkan dan pengisian polong sangat ditentukan oleh sifat genetik tanaman. Lebih lanjut Lakitan (2007) juga menjelaskan bahwa, pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik. Bobot 100 Biji Kering Tabel 8 menunjukkan bahwa, pemberian beberapa konsentrasi LCPKS 0 sampai 20% terhadap bobot 100 biji kering kacang hijau tidak memberikan pengaruh. Terlihat dari respon semua perlakuan relatif sama. Hal ini diduga hara yang disumbangkan oleh LCPKS seperti fosfor dan kalium ternyata belum berpengaruh baik terhadap pembentukan biji. Menurut
Hardjowigeno (2003)
menjelaskan bahwa unsur P berperan salah satunya dalam pembentukan biji. Selanjutnya menurut Suprapto (2002) bahwa besarnya/beratnya biji bervariasi tergantung dari genetik suatu varietas. Tabel 8.
Bobot 100 biji kering kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi LCPKS.
Kosentrasi LCPKS (%) Bobot 100 biji kering (g) 0 6,2 5 6,3 10 6,3 15 6,1 20 6,4 KK (%) 1,83 Angka pada kolom bobot 100 biji kering berbeda tidak nyata menurut Uji F 5%. Bobot 100 biji kering kacang hijau yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah 6,2 g sampai 6,4 g. Pada kisaran ini merupakan kisaran yang normal dan telah mendekati bobot yang sama bila dibandingkan dengan deskripsi tanaman kacang hijau varietas Vima-1 (Lampiran 2) yaitu 6,3 g. Bobot Biji kering/tanaman Tabel 9 menunjukkan bahwa, pemberian LCPKS meningkatkan bobot biji kering pertanaman dengan konsentrasi 5% memberikan pengaruh nyata terhadap perlakuan 10% dan 15% berturut - turut 5,29 g dan 5,56 g namun pada kedua
konsentrasi ini memberikan relatif sama sedangkan tanpa pemberian konsentrasi 0 dengan konsentrasi 20% yaitu masing – masing 7,15 g dan 6,82 g. Hal ini disebabkan LCPKS yang diberikan pada kosentrasi 5% sudah dapat dimanfaatkan tanaman secara optimal. Tabel 9. Bobot biji kering/tanaman kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi LCPKS. Konsentrasi LCPKS (%) Bobot biji kering (g) 0 6,82 ab 5 9,10 a 10 5,29 b 15 5,56 b 20 7,15 ab KK (%) 12,70 Angka pada lajur bobot biji kering/tanaman kacang hijau angka kecil yang selajur, berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%. Penyerapan hara yang lambat tersedia pada fase vegetatif, setelah memasuki fase generatif dan pembentukan polong dan biji dapat dioptimalkan oleh tanaman kacang hijau. Menurut Murbandono (2001), unsur hara yang terdapat dalam pupuk organik lambat tersedia untuk pertumbuhan tanaman, akan tetapi dengan penggunaan pupuk organik perbaikan tanah akan terus berlangsung. Sejalan dengan Lingga dan Marsono (2003) ketersedian hara yang cukup diperlukan selama fase generatif. Hasil Biji Kering/plot dan ha Tabel 10 menunjukkan bahwa, pemberian kosentrasi LCPKS 5% yaitu 1,48 ton dapat meningkatkan hasil biji kering perhektar. memberikan pengaruh nyata terhadap perlakuan 0, 10%, 15% dan 20% yang masing – masing adalah 0,98 ton, 0,83 ton, 0,89 ton dan 1,11 ton. Kosentrasi 5% mampu meningkatkan hasil biji kering per plot dan per hektar tanaman kacang hijau yaitu 1,48 ton. Hal ini disebabkan karena LCPKS lama tersedia pada fase generatif. Hasil penelitian Putri (2011) melaporkan bahwa, pemberian LCPKS pada konsentrsi tertentu dapat meningkatkan berat kering tanaman kedelai. Menurut Mekki dan Ahmed (2005) peningkatan hasil kedelai akibat pemberian pupuk organik disebabkan karena peran pupuk organik yang tidak hanya memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah tetapi juga sifat kimia tanah. Lebih lanjut Gardner et al., (1991) menyatakan unsur hara akan dimanfaatkan untuk memacu proses fotosintesis, hasil fotosintesis
akan ditranslokasikan keseluruh bagian tanaman untuk memacu perkembangan vegetatif dan generatif tanaman. Tabel 10. Hasil biji kering/plot dan ha kacang hijau akibat pemberian beberapa konsentrasi LCPKS. Hasil biji kering Kosentrasi LCPKS (%) Perplot ( g ) Perha (t) 0 128,44 ab 0,71 5 277,84 a 1,54 10 160,28 b 0,89 15 171,26 b 0,95 20 210,85 ab 1,17 KK (%) = 12,70 Angka pada kolom hasil biji kering/plot dan ha yang selajur berbeda tidak nyata menurut DMRT taraf 5%. Ermadani dan Muzar (2011), Pengaruh aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit terhadap hasil kedelai dan perubahan sifat kimia tanah ultisol menunjukan peningkatan kandungan Pdan K tanaman serta bobot biji kedelai dengan perlakuan 150,000 L LCPKS/Ha + 150 kg SP/Ha serta perbaikan sifat kimia tanah ditunjukkan dengan meningkatnya C organik, KTK, N total, P total, P tersedia dan K dapat ditukar serta menurunnya Al dapat ditukar. Menurut Rinaldi et al., (2010) pemberian dengan dosis 1,6 l perpolybag memberikan pengaruh terbaik terhadap luas daun total, bobot kering pupus bibit kakao, bobot kering akar bibit kakao dan diameter bibit kakao di polybag. Selanjutnya Wahyudi, Kasry, dan Purwaningsih (2011) penggunaan limbah cair pabrik kelapa sawit memberikan pengaruh yang baik terhadap produksi buah jagung, lingkar batang dan jumlah daun tanaman jagung pada perlakuan kosentrasi BOD5 7000mg/l. KESIMPULAN Pemberian LCPKS sampai 20% tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, umur muncul bunga pertama, jumlah cabang primer, jumlah polong, jumlah polong bernas, bobot 100 biji kering dan jumlah bintil akar. Konsentrasi 5% LCPKS mampu meningkatkan bobot kering pertanaman dan hasil biji kering perplot yaitu sebesar 51,02% dari tanpa perlakuan, konsentrasi 5% meningkatkan hasil sebesar 277,84 g atau setara 1,54 ton.
DAFTAR PUSTAKA Andriato, T.T. dan Indarto, N. 2004. Budidaya dan analisis tani kedelai, kacang hijau dan kacang panjang. Penerbit Absolut. Yogyakarta. Hal : 93,94,100. Anonima. 2014. Indonesia dalam angka. Badan Pusat Statistik Indonesia. Ermadani dan A, Muzar. 2011. Pengaruh aplikasi limba cair pabrik kelapa sawit teradap perubahan hasil kedelai (Glcine max L.) dan perubahan sifat kimia tanah ultisol. Jurnal J. Agron. Indonesia. 39 (3) : 160-167. Fachrudin, L. 2000. Budidaya kacang-kacangan. Kanisius. 118 hal. Gardner, F.P., R.B. Pearce., R.L. Mitchell. 1991. Physiologi of crop plant. Diterjemahkan oleh Herawati Susilo. Fisiologi Tanaman Budidaya. UIPress. Jakarta Hanum, C. 2009. Ekologi tanaman. Universitas Sumatera Utara Press. Medan. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademi Pressindo. Jakarta. Harjadi S. S, 1996. Pengantar agronomi. Gapustaka Utama. Jakarta. 197 hal. Hidayat, O.O. 1985. Morfologi tanaman kedelai. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor :74-75 dalam Kurniadi, F. P., Yetti, H., Anom, E. 2012. Peningkatan produksi kacang hijau dengan pemberian pupuk kandang ayam dan NPK. Ideriah, T.J.K., P.U Adiukwu, H.O. Stainley, A.O. Bringgs. 2007. Impact of palm oil (Elais guineensis Jacq; Banga) mill effluent on water quality of receiving Olaya Lake in Niger Delta, Nigeria. Res. J. Apll. Sci.2:842 – 845. Lakitan, B. 2007. Dasar-dasar agronomi. Rajawali. Jakarta. Mangoendidjo, W. 2003.Dasar – dasar pemuliaan tanaman. Kanisius. Yogyakarta. Mekki, B. B,. A. G. Ahmed. 2005. Growith-yield and seed quality of soybean (Gylcine max L.) as affected by organic. Bio-fertilizer and yeast application. Res. J. Agr. Bio. Sci. 1:320-324. Murbandono. 2001. Membuat kompos. Penebar swadaya. Jakarta. 54 hal. Mustakim, M. 2012. Budidaya kacang hijau secara intensif. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. 140 hal. Purwono dan Hartono, R. 2005. Kacang hijau. Penebar Swadaya. Jakarta. 114 hal. Putri, R. E. 2011. Pengaruh pemberian aplikasi bahan organic limbah cair kelapa sawit teradap beberapa sifat tanah oxisol dan pertumbuhan tanaman kedelai (Gylcine max L.). Skripsi fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang.
Rinaldi, Hanibal dan Syahputra W. 2010. Pengaruh limbah cair pabrik kelapa sawit terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.). Vol 1 No.2 April-Juni 2012 ISSN: 2302-6472. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Hal. 98-107. Roswarkam, A. dan Yuwono, N.W. 2002. Ilmu kesuburan tanah. Kanisius. Yogyakarta. 224 hal. Supeno A dan Sujudi, 2002 Teknik pengujian adaptasi galur harapan kacang hijau di lahan sawah. Bulletin Teknik Pertanian vol. 9, Nomor 1, 2004. Hal. 2022. Suprapto. H. S, 2002. Bertanam kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. Wahyudi, H., Kasry, A., dan Purwaningsih, I. S. 2011. Pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dalam budidaya tanaman jagung (Zea mays L.). Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. ISSN 1978-5283.2011:5 (2).