____________________________________________________________________________________________________________________
PRODUKSI TELUR PERSILANGAN ITIK MOJOSARI DAN ALABIO SEBAGAI BIBIT NIAGA UNGGULAN ITIK PETELUR L. H. PRASETYO, B. BRAHMANTIYO dan B. WIBOWO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Egg Production of Crossbreds between Mojosari and Alabio Ducks as Final Stocks of Local duck Layers The development of duck farming toward full intensification requires the availability of good quality breeding stock. This study was aimed at evaluating the potential of crossbreds between Mojosari and Alabio ducks, called MA strain, which will be developed as final stocks of local duck layers. This study was conducted in a duck farm which belongs to a farmer who had raised duck layers intensively for many years, in Bacem village, Blitar, during 2000 and 2001. Three hundreds and forty crossbreds MA, 1700 backcross between MA and Mojosari (MMA), and 1000 Mojosari (MM) ducks were used in this study, and they were raised following the system which had been used by the farmer for years. The egg production is presented as % hen-day. The average egg production per year of MA was 71.5%, much higher when compared to MM which was only 61% or to MMA which was 62.8%. The peak production of MA was reached at 16 weeks into the production at 93.7%, and the production above 80% was maintained for 6 months. The results show that consistency and level of egg production of MA are very high, but this level of production may still not be stabile yet, their parent stocks are being under selection process in order to fix the desired genes and to increase homogeneity. However, these results give strong indication that MA crossbreds are very potential to be developed as the final stock of local duck layers. Keywords: Crossbred, duck layers, egg production
PENDAHULUAN Seperti halnya pada peternakan ayam ras yang industrinya sudah terstruktur dengan baik, ternak unggas secara umum memerlukan sistem pembibitan yang terstruktur pula sebagai komponen pendukung yang penting dalam sistem produksi keseluruhan. Struktur pembibitan yang ideal sebaiknya terdiri dari bibit galur murni (pure line), bibit nenek (grand-parent stock), bibit induk (parent stock), dan bibit niaga (final stock), karena pembentukan setiap tingkatan bibit tersebut mempunyai tujuan tertentu dalam menghasilkan kualitas bibit niaga yang dikehendaki. Namun, banyaknya tingkatan (strata) pembibitan juga ditentukan oleh materi genetik yang tersedia. Peternakan itik di Indonesia akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cukup pesat dan salah satu kendala yang dihadapi adalah belum tersedianya sistem pembibitan yang memadai untuk bisa menyediakan bibit berkualitas bagi para peternak produksi. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut telah dirintis melalui program perbaikan genetis terhadap dua jenis itik lokal yang akan dikembangkan sebagai bibit induk, melalui program seleksi untuk memperbaiki konsistensi dan efisiensi produksi telurnya. Persilangan diantara kedua galur bibit induk tersebut diharapkan akan dapat digunakan sebagai bibit niaga galur itik petelur. Program kawin silang telah umum dilakukan dalam industri peternakan sebagai alat
untuk memanfaatkan heterosis, jika fenotipe yang dikehendaki merupakan kombinasi dari galur-galur yang ada, atau untuk memperbaiki efisiensi produksi melalui penggunaan galur tetua jantan atau betina yang spesifik. SHERIDAN (1981) menyatakan bahwa istilah heterosis digunakan untuk menggambarkan keunggulan keturunan kawin silang terhadap tetuanya, tanpa memperhatikan penyebabnya. Oleh karena itu, heterosis hendaknya diukur relatif terhadap rata-rata tetuanya. Seperti telah dilaporkan oleh PRASETYO dan SUSANTI (2000) bahwa pada kondisi kandang percobaan itik hasil persilangan antara itik Mojosari dan Alabio menunjukkan tingkat heterosis yang cukup nyata, yaitu 11,69% untuk produksi telur 3 bulan, dan hal ini mengindikasikan bahwa itik persilangan tersebut mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai bibit niaga. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemanfaatan heterosis ini telah sering dipakai untuk menghasilkan bibit niaga pada unggas karena komponen non-aditif berpengaruh cukup nyata pada banyak sifat ekonomis pada unggas (FAIRFULL et al., 1998). Hasil penelitian KETAREN dan PRASETYO (2000) di kandang percobaan juga menunjukkan tingkat produksi telur yang cukup bagus dari itik hasil persilangan antara Mojosari dan Alabio, dengan rataan produksi selama 1 tahun adalah sebesar 69,4% dan FCR 4,1. Rataan produksi telur lebih dari 80% bertahan selama 24 minggu.
_____________________________________________________________________________________________ 360
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat produksi itik hasil persilangan antara itik Mojosari dan Alabio yang langsung dipelihara oleh peternak di lapang. Sebagai galur itik yang akan dikembangkan sebagai bibit niaga itik petelur, perlu diketahui potensi produksi telur dari itik persilangan ini serta daya adaptasinya terhadap sistem pemeliharaan yang diterapkan langsung oleh peternak. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di kandang itik milik seorang peternak di Desa Bacem, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Peternak tersebut telah berpengalaman cukup lama dalam memelihara itik petelur secara intensif (sepenuhnya terkurung), dan dengan sistem pencatatan produksi yang teratur. Sejumlah 340 ekor itik betina persilangan Mojosari dan Alabio (MA dan AM), 1700 ekor itik hasil persilangan antara itik Mojosari jantan dengan itik MA betina (silang balik, yang selanjutnya disebut itik MMA), dan 1000 ekor itik Mojosari murni (itik MM) digunakan dalam pengamatan produksi telur. Itik MA dan AM (yang selanjutnya secara kolektif disebut itik MA) didatangkan dari Balitnak (Ciawi), itik Mojosari murni dibeli sendiri oleh peternak dari pembibit setempat, sedangkan silang balik antara itik MA dengan itik Mojosari dilakukan sendiri oleh peternak yang bersangkutan. Pengamatan produksi itik MA dan itik Mojosari murni dilakukan pada tahun 2000, sedangkan untuk itik persilangan MA dengan itik Mojosari dilakukan pada tahun 2001. Selain tahun pengamatan, faktor-faktor pemeliharaan yang lain adalah sama seperti jumlah dan kualitas pakan, sistem perkandangan, dan petugas kandang. Kandang itik merupakan bangunan permanen menggunakan batako pres dan bata merah sebagai dinding dengan tinggi 60 cm, tiang dari semen cor dan batang kayu kelapa, serta genteng tanah liat. Kandang terdiri dari bagian terbuka dengan ukuran 3x4 m2 dan bagian beratap dengan ukuran 3x2 m2 . Lantai berupa tanah yang telah dipadatkan dimana pada ujung kandang terdapat saluran air untuk minum selebar 30 cm. Komponen pakan utama terdiri dari konsentrat K144 (35-37% kadar protein) produksi PT Charoen Pokphand, dan campuran yang terdiri dari dedak, menir, dan bekatul. Selain itu pakan juga dicampur dengan bahan-bahan lain yang secara musiman tersedia dan dengan harga murah, seperti misalnya limbah roti, limbah mi, beras rusak dan lain-lain. Komposisi antara konsentrat dan bahan campuran dapat dilihat pada tabel 1, dengan perhitungan komposisi nutrisi yaitu 20% kadar protein dan 2.900 kkal/kg enersi metabolis. Pemberian pakan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pagi dan sore hari, dalam bentuk tepung dengan jumlah
pakan berkisar antara 140-160 gram/ekor/hari tergantung dari kondisi dan selera makan itik. Tabel 1. Komposisi pakan itik masa bertelur oleh peternak di Blitar Periode Awal – 50% produksi 50 – 70% produksi setelah 70% produksi
Komposisi 1 konsentrat + 6 campuran 1 konsentrat + 4 campuran 1 konsentrat + 3 campuran
Campuran terdiri dari dedak, menir, bekatul dan bahan lain, dan konsentrat yang digunakan adalah K-144 produksi P.T. Charoen Pokphand
Pengumpulan telur dilakukan setiap pagi hari sebelum pembersihan kandang dan pemberian pakan. Pencatatan produksi dilakukan setiap hari dari setiap kandang. Analisa data produksi telur dalam bentuk %hen-day dilakukan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan produksi telur itik MA di lapang ternyata menunjukkan tingkat yang cukup tinggi, dengan rataan produksi setahun sebesar 71,5%. Dinamika produksi telur setiap 4 mingguan dari ketiga kelompok genotipa selama setahun dapat dilihat pada tabel 2, dimana terlihat bahwa itik MA lebih unggul dibanding itik silang balik (MMA) dan itik Mojosari mu rni. Itik MMA mempunyai rataan produksi telur setahun 62,8% dan itik MM hanya 61,0%. Hasil ini sesuai dengan hasil terdahulu (PRASETYO dan SUSANTI, 2000) yang memperoleh bahwa itik MA menunjukkan tingkat heterosis yang nyata dibandingkan rataan kedua populasi induknya, dan disini itik MM hanya merupakan salah satu dari populasi induknya. Selain itu, seperti yang diharapkan bahwa itik MA yang merupakan hasil persilangan menunjukkan tingkat produksi yang lebih tinggi dari silang baliknya (MMA). Hal ini disebabkan oleh pengaruh tingkat heterosigositas yang tinggi pada hibrida telah berkurang jika dilakukan silang balik. Hal ini juga menegaskan bahwa penggunaan F1 persilangan sebagai bibit niaga adalah yang paling menguntungkan. FLOCK (1980), yang dikutip oleh PIRCHNER (1983), melaporkan hubungan linier yang hampir sempurna antara tingkat produksi telur dengan derajat heterosigositas (sebagai pengaruh dominan) berbagai persilangan pada ayam petelur. Namun SHERIDAN (1980) dalam ringkasannya terhadap tingkat produksi telur dari berbagai persilangan ayam menyimpulkan bahwa derajat heterosis dari F2 sangat kurang dari separoh dari tingkat heterosis pada F1, sehingga disimpulkan bahwa epistasislah yang penting pada produksi telur. Hal ini menegaskan bahwa terdapat beberapa teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
361
____________________________________________________________________________________________________________________
Tabel 2. Dinamika rataan produksi telur 4 mingguan 3 genotipa itik petelur (% hen-day) Periode produksi Minggu 1-4 Minggu 5-8 Minggu 9-12 Minggu 13-16 Minggu 17-20 Minggu 21-24 Minggu 25-28 Minggu 29-32 Minggu 33-36 Minggu 37-40 Minggu 41-44 Minggu 45-48 Rataan
MA 15,0 52,1 84,5 89,3 88,6 74,3 80,9 84,2 78,7 75,3 66,9 68,8 71,5
tentang heterosis ini (SHERIDAN, 1981). Teori dominan menyebutkan bahwa galur tetua adalah dominan yang homosigos pada beberapa loci yang berbeda, sedangkan teori overdominan menjelaskan bahwa individu heterosigot lebih unggul daripada individu homosigot. Disamping itu, teori epistasis menyebutkan bahwa heterosis merupakan perwujudan dari segala bentuk interaksi antar lokus. Akan tetapi, BOWMAN (1969) yang dikutip oleh SHERIDAN (1981) menyebutkan bahwa heterosis mungkin merupakan kombinasi dari semuanya itu. Tingkat produksi telur tertinggi yang dicapai oleh itik MA adalah 93,7% pada minggu ke-16, sedangkan untuk itik MMA 88,5% pada minggu ke-14. Tingkat produksi tertinggi ini bahkan lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh HETZEL (1983) untuk itik persilangan antara itik Alabio dan itik Tegal yang mencapai 91% pada minggu ke-7 masa produksi, dimana itik persilangan tersebut menunjukkan tingkat heterosis produksi telur sebesar 11,9%. Sedangkan konsistensi produksi ditunjukkan oleh itik MA yang mampu mempertahankan tingkat produksi telur di atas 80% selama 24 minggu, kecuali antara minggu 21-24 dimana terjadi pergantian konsentrat yang diproduksi oleh perusahaan komersial. Tingkat konsistensi ini sama dengan hasil yang diperoleh KETAREN dan PRASETYO (2000) pada kondisi kandang percobaan dengan kualitas pakan yang senantiasa termonitor. Rataan produksi telur setahun bahkan sedikit lebih tinggi dibandingkan yang diperoleh KETAREN dan PRASETYO (2000). Rataan produksi telur itik Mojosari murni mencapai tingkat produksi tertinggi antara minggu 13-16 yang mencapai 85%. Hasil ini sejalan dengan yang diperoleh PRASETYO dan SUSANTI (1996) pada kondisi kandang
Jenis itik MMA 5,1 24,8 70,2 86,9 82,0 68,8 72,8 77,4 62,3 71,7 68,7 62,8
MM 40,0 69,5 80,5 85,0 81,0 77,5 65,8 59,3 50,3 47,8 43,0 32,0 61,0
percobaan yaitu bahwa puncak produksi terjadi antara minggu 14-17 yang mencapai 87,14%. Kemiripan hasil ini sangat menggembirakan mengingat bahwa keragaman produksi diantara itik-itik lokal Indonesia masih sangat tinggi karena belum adanya upaya pemuliaan untuk meningkatkan konsistensi produksi telur. Kemiripan hasil ini juga menggambarkan bahwa sistem pemeliharaan itik terkurung telah mendekati baku, terutama dari aspek nutrisi dan bahan pakan yang dipakai. Perbandingan kurva produksi telur ketiga genotipe dapat dilihat pada gambar 1. Dari kurva tersebut nyata terlihat bahwa itik MA dan MM menunjukkan konsistensi yang cukup baik, sedangkan itik MMA masih menunjukkan fluktuasi produksi yang lebih besar. Itik MA agak lebih lambat pada awalnya tapi pada bulan ketiga dan seterusnya senantiasa lebih unggul dibanding itik Mojosari sebagai tetuanya. Kurva produksi telur itik Mojosari murni telah disajikan dalam M AHMUDI (2002). Akan tetapi, walaupun tingkat dan konsistensi produksi itik MA dalam penelitian ini cukup baik, belum dapat dijamin bahwa bibit ini akan menunjukkan hasil yang sama jika dipelihara di peternak lain dengan sistem pemeliharaan yang mirip sekalipun karena tingkat produksi tersebut belum stabil. Itik-itik tersebut berasal dari induk-induk yang belum mengalami proses seleksi yang mantap sehingga keragamannya masih tinggi dan komposisi genetik yang diinginkan belum terfiksasi dalam populasi induk. Oleh karena itu, masih diperlukan proses pemuliaan yang terarah pada populasi induk agar tercipta galur bibit induk yang stabil untuk digunakan dalam menghasilkan itik-itik MA yang stabil pula sebagai bibit niaga.
_____________________________________________________________________________________________ 362
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________
100 90 80
Produksi telur
70 60 50 40 30 MA MMA
20 10
MM
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan poduksi Gambar 1. Kurva produksi telur (%hen-day) 3 genotipe itik petelur
KESIMPULAN Itik hibrida hasil persilangan antara itik Mojosari dan itik Alabio menunjukkan kelayakannya untuk dikembangkan sebagai bibit niaga itik petelur yang berasal dari sumberdaya genetik itik lokal yang ada di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat dan konsistensi produksi telurnya yang cukup tinggi baik dalam kandang percobaan maupun di tingkat peternak di lapang. Walaupun itik MA belum stabil sebagai itik niaga namun telah menunjukkan potensinya yang cukup baik, sehingga upaya untuk menghasilkan bibit niaga yang stabil dalam memanfaatkan potensi genetik tersebut masih memerlukan program pemuliaan yang terarah dalam suatu sistem pembibitan yang terstruktur dengan baik. Itik persilangan MA mempunyai daya adaptasi yang cukup baik terhadap lokasi maupun sistem pemeliharaan yang diterapkan oleh peternak, sejauh pedoman kebutuhan nutrisi itik sesuai dengan tahapan fisiologisnya tetap dipakai. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mahmudi yang telah menunjukkan kerjasama yang sangat baik dalam memelihara itik serta menyediakan data pengamatan yang dibutuhkan. Mudah-mudahan hasil penelitian ini selain dapat menyediakan informasi ilmiah juga dapat bermanfaat
bagi peternak seperti Bapak Mahmudi beserta para peternak itik anggota kelompok yang memperoleh pembinaannya. DAFTAR PUSTAKA FAIRFULL, R.W., I.M. M ILLAN and W.M. M UIR. 1998. Poultry breeding : progress and prospects for genetic improvement of egg and meat production. Proceedings of the 6th World Congress on Genetics Applied to Livestock Production, vol.24 ; pp. 271-278. HETZEL, D.J.S. 1983. The egg production of intensively managed Alabio and Tegal ducks and their reciprocal crosses. World Rev. Anim. Prod. 19(4):41-46 KETAREN, P.P., L.H. PRASETYO dan T . MURTISARI. 2000. Karakter produksi telur pada itik silang Mojosari x Alabio. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, 18-19 Oktober 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan; hal. 286-291. M AHMUDI, H. 2002. Pengembangan usaha peternakan itik di Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Prosiding Lokakarya Nasional Unggas Air, 6-7 Agustus 2001. Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. PIRCHNER, F. 1983. Population Genetics in Animal Breeding. 2nd edition. Plenum Press, New York and London. PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI . 1996. Karakteristik dan potensi plasma nutfah itik Mojosari. Buletin Plasma Nutfah 1(1): 35-37.
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
363
____________________________________________________________________________________________________________________
PRASETYO, L.H. dan T . SUSANTI . 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: periode awal bertelur. JITV 5(4):210-214.
SHERIDAN, A.K. 1980. A new explanation of egg production heterosis in crosses between White Leghorns and Australorps. Br. Poult. Sci. 21:85-89. SHERIDAN, A.K. 1981. Crossbreeding and heterosis. Animal Breeding Abstract 49(3):131-144.
DISKUSI Pertanyaan: 1.
Bagaimana dengan silang balik ?
Jawaban: 1. Ternyata jika dilakukan silang balik, secara genetik menurun. Jika dilakukan sintetik breed, agak sulit.
_____________________________________________________________________________________________ 364
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003