POTENSI POPULASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) DI HUTAN BLANGRAWEU – EKOSISTEM ULU MASEN PROVINSI ACEH
ANDRIANA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
POTENSI POPULASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) DI HUTAN BLANGRAWEU – EKOSISTEM ULU MASEN PROVINSI ACEH
ANDRIANA
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ANDRIANA. Potensi Populasi dan Karakteristik Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Hutan Blangraweu – Ekosistem Ulu Masen, Provinsi Aceh. Pembimbing Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F dan Dr. Ir. Harnios Arief, MSc. RINGKASAN Kondisi harimau sumatera saat ini semakin terancam akibat alih fungsi hutan sehingga berdampak pada penurunan populasi. Kawasan hutan Blangraweu merupakan salah satu habitat yang sesuai dan berpotensi terhadap keberadaan harimau sumatera. Saat ini tidak adanya data awal yang mampu memperkirakan jumlah populasi harimau sumatera merupakan permasalahan dalam kelestarian harimau khususnya di provinsi Aceh. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, dimulai 30 November 2009 hingga 28 Mei 2010 di kawasan hutan Blangraweu – ekosistem Ulu Masen, Pidie dan Pidie Jaya, Aceh. Tujuan penelitian ini adalah menduga kepadatan populasi serta mengidentifikasi komponen habitat dan karakteristik habitat harimau sumatera di hutan Blangraweu. Pengambilan data
menggunakan metode
perangkap kamera serta analisis vegetasi untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi pembentuk habitat. Estimasi populasi harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu adalah 5 – 9 ekor dengan efektif sampling area 211,25 km2. Tingkat kepadatan harimau sumatera dengan selang kepercayaan 95% antara (X SE) 2 – 4 ekor (2,36 – 4,07 2,43 individu harimau/100 km2). Perbandingan jenis kelamin antara harimau jantan dan betina secara positif adalah 1 : 4 dengan struktur umur adalah 5 individu dewasa. Kawasan hutan Blangraweu memiliki dua tipe habitat, yaitu hutan pegunungan dan sub-pegunungan. Satwa mangsa utama harimau sumatera, yaitu rusa sambar, rusa dan babi jenggot. Sumber air yang digunakan oleh harimau sumatera adalah sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan air yang jernih. Penutupan tajuk berupa hutan merupakan fungsi utama cover bagi harimau sumatera. Gangguan habitat yang ada di kawasan hutan Blangraweu berupa illegal loging, perambahan hutan, perburan dan eksplorasi tambang emas.
Kata kunci : harimau sumatera, populasi dan karakteristik habitat.
ANDRIANA. Population Potential and Habitat Characteristic of Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) in Blangraweu Forest – Ulu Masen Ecosystem, Province of Aceh. Advised by Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F and Dr. Ir. Harnios Arief, MSc. SUMMARY Sumatran tiger’s condition was threatened by forest over function, with the result of decreasing its population. Blangraweu forest area is one of suitable habitat and potential for Sumatran tiger existence. There is no recently data, which can be estimating about population of Sumatran tiger is a problem in tiger sustainability, especially in Aceh. This research was held for six months, started on November 30th 2009 until May 28th 2010 in Blangraweu forest area – Ulu Masen ecosystem, Pidie and Pidie Jaya, Aceh. The purpose is to estimate population density, and to identify habitat component and characteristic of Sumatran tiger in Blangraweu forest. The data was collected by camera trap method and vegetation analysis to find vegetation structure and composition where consist of its habitat. Population Estimation of Sumatran tiger in Blangraweu forest area is 5 – 9 individuals per 211,25 km2 effective sampling area. Density level of Sumatran tiger with 95% deviation standart is about (X SE) 2 – 4 individuals (2,36 – 4,07 2,43 individuals/100 km2). Sex comparison between male and female positively is 1 : 4, which age structure are 5 adult individuals. Blangraweu forest has two type of habitat, are mountain and sub-mountain forest. Main preys are sambar deer, deer, and bearded pig. Water resources which used by Sumatran tiger source is river during the year with pure water. Crown cover as forest has main function to covering Sumatran tiger. Habitat disturbances of Blangraweu forest are illegal logging, forest cutting, hunting and gold-mine exploration.
Keywords: Sumatran tiger, population, and habitat characteristic.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Potensi Populasi dan Karakteristik Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Hutan Blangraweu – Ekosistem Ulu Masen, Provinsi Aceh” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi ataupun lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Andriana E34051984
Judul Penelitian
: Potensi Populasi dan Karakteristik Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Hutan Blangraweu – Ekosistem Ulu Masen, Provinsi Aceh.
Nama
: Andriana
NRP
: E34051984
Menyetujui,
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F NIP. 19581111 198703 1 003
Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc NIP. 19640709 199002 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 28 Agustus 1987. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Enjah Sukarna dan Ibu Saripah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1999 di SD Negeri Pangebatan 1 Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Bumiayu pada tahun 1999 hingga 2002. Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan penulis pada tahun 2005 di SMA Negeri 1 Bumiayu. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif di organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna Institut Pertanian Bogor (UKM UKFIPB) pada tahun 2005 hingga sekarang. Anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA). Menjabat Ketua 1 UKM UKFIPB periode 2007-2008. Pada tahun 2007 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di CA Kamojang dan CA Leuweung Sancang, Garut, Jawa Barat. Di tahun yang sama penulis juga melakukan Ekspedisi Global UKFIPB di Taman Nasional Alas Purwo dan pada tahun 2009 di Taman Nasional Ujung Kulon. Dari tahun 2006 hingga 2011 penulis mengikuti puncak metamorfosa UKF-IPB di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pada tahun 2008 penulis melakukan Praktek Umum Penangkaran Satwaliar (PUKES) di penangkaran Rusa Jonggol dan Kebun Raya Bogor serta Monitoring Macan Tutul di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, kemudian pada tahun 2009 penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang dan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Kerinci Seblat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Potensi Populasi dan Karakteristik Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Hutan Blangraweu – Ekosistem Ulu Masen, Provinsi Aceh” dibawah bimbingan Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F dan Dr. Ir. Harnios Arief, MSc.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini : Penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tinginya penulis sampaikan kepada keluarga tercinta ayahanda Enjah Sukarna, ibunda Saripah dan adikku M. Heru Setiawan serta keluarga besar di Bumiayu dan Cikampek atas segala doa, kasih sayang dan dukungan yang tak lekang oleh waktu. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F dan Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, MSc selaku dosen pembimbing atas segala nasihat dan bimbingannya. 2. Dosen penguji, Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc.F.Trop (wakil dari DMNH), Bapak Dr. Ir. Dede Hermawan, MSc (wakil dari DHHT) dan Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr (wakil dari DSVK). 3. Bapak Dolly Priatna (Zoologycal Society of London – Conservation Leadership Programs) atas kesempatan, diskusi, masukan dan bantuan dana selama penelitian. 4. Bang Susilo, Bang Mahdi, Bang Hadi, Bang Dedi, Ka Iep, Ka Yanti dan Bang Mukhlis (Fauna Flora Internasional – Aceh Program) atas masukan dan bantuannya selama penelitan. 5. Bang Hasbalah (Cek Lah), Bang Popon, Bang Abu, Bang Komeng, Bang Banta, Bang Amrizal, bang Zaenal dan Bang Tomi“Bakri” (team CRU – FFI-AP) atas kesediaan tempat menginap dan berbagi pengalaman menjadi Mahout (pawang gajah). 6. Team Blangraweu Ranger (Aby Nurman, Bang Norman, Bang Saefudin, Bang Maemun, Bang Antomi, Bang Rusdi, Bang Burhan, Bang Budiman dan Bang Nasir) yang secara bergantian menemani di rimba belantara Aceh.
7. Tofan Mustafa (Universitas Syiah Kuala) atas segala bantuan dan diskusi selama penelitian berlangsung. 8. Erry “Wedhus” dan Arul teman seperjuangan mengarungi rimba belantara hutan Aceh. 9. Pika Aritama yang selalu memberi semangat, doa dan mengingatkan akan harapan mengejar mimpi dan cita-cita yang telah dibangun bersama. 10. Keluarga besar KSHE’Tarsius’42 atas kebersamaan, kekeluargaan dan pengalaman yang pernah kita jalani bersama. 11. Keluarga besar Uni Konservasi Fauna (UKF) khususnya angkatan 03 umumnya semua angkatan atas kekeluargaanya, pengalamannya, dan perjuangannya dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia. 12. Seluruh penghuni “J.Camp” (Dimas, Wedus, Arul, Bibir, Bang Ucok, Kenchot, Mba Yuki dan Fika ) dan keluarga Bapak Supriatna atas kekeluargaan dan kebersamaannya. 13. Bapak Reza Syamsudin, SPi atas segala saran dan semangatnya. 14. Bapak dan ibu dosen serta seluruh staff yang ada di lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB. 15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Bogor, Maret 2011
Penulis
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, dan ridho-Nya kepada penyusun sehingga dalam penyusunan skripsi yang berjudul “Potensi Populasi dan Karakteristik Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Hutan Blangraweu – Ekosistem Ulu Masen, Provinsi Aceh ” dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang membahas potensi populasi dan karakteristik habitat harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu ini merupakan penelitian awal karena data dan informasi di Aceh sendiri sangat minim dan terbatas. Informasi ini merupakan langkah awal dalam pengelolaan kawasan hutan lindung di kawasan ekosistem Ulu Masen. Untuk itu perlu adanya dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan di Aceh dalam hal penetapan status ekosistem Ulu Masen, monitoring kawasan dan penegakan hukum. Sehingga keberadaan harimau sumatera di hutan Aceh dapat terjaga dan berkembangbiak dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam perlindungan harimau sumatera khususnya di Provinsi Aceh.
Terima kasih Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
viii
I.
II.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .........................................................................
1
1.2. Tujuan ......................................................................................
2
1.3. Manfaat ....................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bio-Ekologi Harimau Sumatera 2.1.1. Taksonomi Harimau Sumatera ........................................
3
2.1.2. Morfologi .........................................................................
4
2.1.3. Populasi dan Distribusi .....................................................
5
2.1.4. Habitat ..............................................................................
5
2.1.5. Mangsa .............................................................................
6
2.1.6. Cover ................................................................................
7
2.1.7. Daya Dukung ...................................................................
8
2.2. Perangkap Kamera ...................................................................
9
2.3. Program Software Capture ......................................................
10
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Sejarah dan Status Kawasan ....................................................
13
3.2. Letak dan Luas .........................................................................
13
3.3. Kondisi Fisik Kawasan 3.3.1. Topografi ........................................................................
14
3.3.2. Tanah ..............................................................................
14
3.3.3. Iklim ................................................................................
15
3.4. Kondisi Biologi 3.4.1. Flora ................................................................................
15
3.4.2. Fauna ...............................................................................
16
iii
IV.
METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................
17
4.2. Alat dan Bahan .........................................................................
17
4.3. Metode Pengumpulan Data 4.3.1. Kegiatan Pendahuluan ....................................................
18
4.3.2. Data yang Dikumpulkan .................................................
18
4.3.3. Cara Pengumpulan Data 4.3.3.1. Metode Perangkap Kamera ................................
18
4.3.3.2. Metode Garis Berpetak ......................................
19
4.3.4. Analisis Data 4.3.4.1. Analisis Foto Untuk Identifikasi Individu Harimau .................................................
20
4.3.4.2. Kepadatan Absolut Harimau ..............................
21
4.3.4.3. Kepadatan Satwa Mangsa ..................................
22
4.3.4.4. Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate/ER) Harimau dan Mangsa ..........................................
22
4.3.4.5. Komponen Habitat 4.3.4.5. 1.Analisis Vegetasi .................................
23
4.3.4.5.2. Bentuk Cover .......................................
24
4.3.4.5.3. Ketersediaan Air ..................................
24
4.3.4.6. Hubungan Penggunaan Antara Tipe Habitat dengan
V.
Jumlah Satwa........................................................
24
4.3.4.7. Gangguan Habitat ...............................................
25
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Potensi Populasi Harimau Sumatera 5.1.1.1. Kepadatan Harimau Sumatera ...........................
26
5.1.1.2. Perbandingan Jenis Kelamin (Sex ratio) Harimau Sumatera ...............................................
28
5.1.1.3. Struktur Umur Harimau Sumatera .....................
29
5.1.1.4. Tingkat Perjumpaan (ER) Harimau Sumatera dan Mangsa ........................
29
iv
5.1.2. Kondisi Habitat Harimau Sumatera ................................
31
5.1.2.1. Satwa Mangsa .....................................................
35
5.1.2.1.1. Kepadatan Satwa Mangsa ....................
37
5.1.2.2. Sumber Air ..........................................................
38
5.1.2.3. Cover ...................................................................
39
5.1.3. Karakteristik Habitat 5.1.3.1. Satwa Mangsa ......................................................
41
5.1.3.2. Air ........................................................................
42
5.1.3.3. Cover ...................................................................
43
5.1.4. Hubungan Penggunaan Antara Tipe Habitat Dengan Jumlah Satwa ...................................................................
45
5.1.5. Gangguan Habitat ............................................................
45
5.2. Pembahasan 5.2.1. Potensi Populasi Harimau Sumatera 5.2.1.1. Kepadatan ...........................................................
48
5.2.1.2. Perbandingan Jenis Kelamin (Sex ratio) Harimau sumatera ...............................................
49
5.2.1.3. Struktur Umur Harimau Sumatera .....................
49
5.2.1.4. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsa ........................................................
50
5.2.2. Habitat Harimau Sumatera ..............................................
52
5.2.2.1. Satwa Mangsa .....................................................
54
5.2.2.1.1. Kepadatan Satwa Mangsa ....................
56
5.2.2.2. Sumber Air ..........................................................
57
5.2.2.4. Cover ...................................................................
58
5.2.3. Karakteristik Habitat 5.2.3.1. Satwa Mangsa .....................................................
60
5.2.3.2. Sumber Air ..........................................................
61
5.2.3.3. Cover ...................................................................
61
5.2.4. Hubungan Penggunaan Antara Tipe Habitat Dengan Jumlah Satwa ...................................................................
62
v
5.2.4. Gangguan Habitat Harimau Sumatera 5.2.4.1. Penebangan Liar dan Perambahan Hutan ...........
63
5.2.4.2. Perburuan dan Eksplorasi Tambang ...................
64
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ...................................................................................
66
6.2. Saran .............................................................................................
66
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
67
LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Luas Kawasan Ekosistem Ulu Masen per-kabupaten/kota .........
14
Tabel 2. Hasil Analisis Program Capture ..................................................
26
Tabel 3. Jumlah Foto Individu Harimau ....................................................
28
Tabel 4. Individu Harimau Berdasarkan Jenis kelamin .............................
28
Tabel 5. Individu Harimau Berdasarkan Kelas Umur ................................
29
Tabel 6. Tingkat Perjumpaan Satwa Mangsa .............................................
30
Tabel 7. Hasil Analisi Vegetasi Tingkat Pohon pada Tipe Habitat Sub-pegunungan ....................................................
32
Tabel 8. Hasil Analisi Vegetasi Tingkat Tiang pada Tipe Habitat Sub-pegunungan ....................................................
32
Tabel 9. Hasil Analisi Vegetasi Tingkat Pancang pada Tipe Habitat Sub-pegunungan ....................................................
33
Tabel 10. Jenis Satwa Mangsa yang Tertangkap Kamera Trap Selama Penelitian ........................................................................
35
Tabel 11. Estimasi Kepadatan Satwa Mangsa .........................................
37
Tabel 12. Parameter Fisik Sumber Air yang Digunakan Harimau Sumatera ......................................................................
38
Tabel 13. Ketersediaaan Cover di Kawasan Hutan Blangraweu ..............
39
Tabel 14. Penggunaan Habitat Oleh Harimau Sumatera ..........................
44
Tabel 15. Bentuk Gangguan Habitat di Kawasan Hutan Blangraweu.......
47
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian ..............................................................
17
Gambar 2. Bentuk Jalur Analisis Vegetasi ................................................
19
Gambar 3. Peta Lokasi Titik Harimau Sumatera .......................................
27
Gambar 4. Harimau Sumatera ...................................................................
28
Gambar 5. ER Harimau Sumatera .............................................................
29
Gambar 6. ER Satwa Mangsa ...................................................................
30
Gambar 7. Kawasan Hutan Blangraweu ...................................................
31
Gambar 8. Tegakan Pinus Strain Aceh, Padang Rumput dan Tegakan di Hutan Sub-pegunungan .........................................................
34
Gambar 9. Satwa Mangsa .........................................................................
36
Gambar 10. Kerangka Rusa Sambar di Padang Rumput ..........................
37
Gambar 11. Sumber Air di Kawasan Hutan Blangraweu .........................
39
Gambar 12. Ceruk/Gua Kecil ...................................................................
41
Gambar 13. Satwa Mangsa Utama Harimau sumatera .............................
42
Gambar 14. Sumber Air di Blangraweu ....................................................
42
Gambar 15. Padang Rumput dan Semak Belukar .....................................
43
Gambar 16. Kondisi Cover di Hutan Sub-pegunungan ............................
44
Gambar 17. Potongan Kayu sisa Illegal Logging ......................................
46
Gambar 18. Perambahan Hutan dan Bentuk Jerat .....................................
47
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Nama Individu Harimau Sumatera Lampiran 2. Daftar Jenis Satwa yang Tertangkap Kamera pada Masing-Masing Lokasi Penelitian. Lampiran 3. Hasil Perhitungan Program Capture
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan harimau sumatera pada saat ini sangat mengkhawatirkan, hal ini seiring dengan semakin berkurangnya hutan sebagai habitat alaminya. Harimau sumatera merupakan satu dari enam sub-spesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini. Harimua sumatera merupakan satwa endemik Indonesia yang populasinya saat ini tersebar dalam populasi-populasi kecil di dalam dan di luar kawasan konservasi di Sumatera. Data terbaru dari WWFIndonesia tahun 2009 diperkirakan populasi yang tersisa di habitat alaminya hanya 300 – 400 ekor dan jumlahnya akan terus berkurang apabila kerusakan hutan sumatera terus berlanjut. Satwa ini termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered) dalam daftar merah species terancam yang dirilis Lembaga Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature). Harimau sumatera termasuk dalam kategori apendix 1 dalam CITES (Convensoin on International Trade in Endengered Spesies if Wild Flora and Fauna) yang berarti jenis ini dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Kondisi harimau sumatera saat ini semakin terancam, antara lain dengan menyempitnya areal hutan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan, pemukiman, pertanian, dan industri sehingga semakin mempersempit habitat yang dapat berdampak pada penurunan populasi. Harimau sumatera dalam upaya konservasinya membutuhkan habitat yang memadai. Kehidupan harimau yang sendiri (soliter), pemburu dan penjelajah membutuhkan areal cukup luas untuk tetap melangsungkan kehidupannya. Sebagai karnivora sejati, harimau secara keseluruhan menggantungkan hidupnya pada keberadaan satwa mangsa sebagai sumber pakannya (Kitchener, 1991 dalam Sriyanto, 2003). Berdasarkan hasil analisis terbaru, konservasi populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) diprioritaskan pada 12 bentang alam konservasi harimau (Tiger Conservaton Landscape). Dua bentang alam yang menjadi prioritas global terletak di bentang alam Kerinci Seblat dan Bukit Tiga Puluh, sedangkan yang menjadi bentang alam regional meliputi Kuala Kampar, Bukit
2
Balai Rejang Selatan, Bukit Barisan Selatan, Rimbo Panti Batang Gadis bagian Barat, Rimbo Panti Batang Gadis bagian Timur, Tesso Nilo, Bukit Rimbang Baling, Berbak, Ekosistem Leuser, dan Sibolga. Menurut Wildlife Conservation Society (WCS) penilaian status terkini terhadap harimau sumatera di hampir 80% habitat yang tersisa dari 2007 hingga 2009, data awal yang bisa disimpulkan bahwa populasi terbesar di Aceh terutama di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan Bentang Alam Ulu Masen. Kawasan hutan Blangraweu – ekosistem Ulu Masen yang merupakan bagian dari deretan pegunungan bukit barisan yang masih tersisa di pulau Sumatera. Ekosistem ini merupakan bagian dari ekosistem Leuser yang terhubung antar koridor namun koridor ini terpisah oleh pemukiman penduduk. Lokasi tersebut merupakan tempat yang sesuai dengan habitat harimau sumatera. Saat ini belum ada data dan penelitian yang mampu memperkirakan populasi harimau sumatera di kasawan hutan Blangraweu. Penelitian mengenai potensi populasi dan habitat penting untuk mengetahui populasi dan karakteristik habitat yang digunakan harimau sumatera. Dengan ini maka dapat dilakukan suatu tindakan dan upaya dalam pelestarian harimau sumatera baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menduga populasi harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu. 2. Mengidentifikasi komponen habitat meliputi cover, sumber air, dan satwa mangsa harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu. 3. Mengidentifikasi karakteristik habitat harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu.
1.3. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan data mengenai populasi dan habitat harimau sumatera. Untuk itu diharapkan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan yang menyangkut kelestarian harimau sumatera dan habitatnya.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bio-Ekologi Harimau Sumatera 2.1.1. Taksonomi Secara taksonomi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) menurut Slater dan Alexander (1986) termasuk dalam : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub Phylum : Vertebrata Kelas
: Mamalia
Ordo
: Karnivora
Sub Ordo
: Fissipedia
Famili
: Felidae
Sub Famili : Pantherina Genus
: Panthera
Spesies
: Panthera tigris
Sub Spesies : Panthera tigris sumatrae Harimau sumatera merupakan salah satu dari delapan sub-spesies harimau yang ada di dunia. Dari delapan sub-spesies harimau hanya lima sub-spesies harimau yang mampu bertahan hidup hingga saat ini, sedangkan tiga sub-spesies lainnya dinyatakan telah punah. Delapan sub-spesies harimau tersebut (Grzimek, 1975) yaitu : 1.
Harimau Siberia/Amur (Panthera tigris altaica, Temminck 1845) daerah penyebarannya meliputi Cina, Korea (utara) dan Rusia.
2.
Harimau Cina (Panthera tigris amoyensis, Hilzheimer 1905) terdapat di Cina.
3.
Harimau Indo-cina (Panthera tigris corbetti, Mazak 1968) daerah penyebarannya meliputi Kamboja, Cina, Laos, Malaysia, Myanmar (bagian timur), Thailand dan Vietnam.
4.
Harimau Benggala/India (Panthera tigris tigris, Linneaus 1758) daerah penyebarannya meliputi Bangladesh, Bhutan, Cina, India, Myanmar dan bagian barat Nepal.
4
5.
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) terdapat di pulau Sumatera, Indonesia.
6.
Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica, Temminck 1845) daerah penyebarannya di kepulauan Sunda Besar, Indonesia. Punah tahun 1970-an.
7.
Harimau Bali (Panthera tigris balica, Schwarz 1912) terdapat di pulau Bali, Indonesia dan punah tahun 1937-an.
8.
Harimau Kaspia (Panthera tigris virgata, Illiger 1815) daerah penyebarannya meliputi Afghanistan, Iran, China dan Turki. Punah tahun 1950-an.
2.1.2. Morfologi Ukuran harimau jantan lebih besar dibandingkan dengan harimau betina. Kaki belakang lebih panjang ukurannya dari pada kaki depan sehingga memudahkan harimau melompat lebih tinggi dan jauh. Kaki depan dan bahu lebih besar dan berotot dari pada kaki belakang. Telapak kakinya sangat halus sehingga saat berjalan biasanya suara langkahnya tidak terdengar. Lebar telapak kaki antara 9 – 20 cm. dan ukuran kaki belakang lebih kecil antara 1 – 1,5 cm. Cakar pada kaki depan dilengkapi dengan kuku yang panjang, runcing, dan tajam yang panjangnya 80 – 100 mm dan digunakan untuk menangkap dan menggenggam mangsanya. Kuku-kuku ini bisa disembunyikan atau ditarik (retractable) bila tidak digunakan (Goodwin, 1963; MacDonald, 1986 dalam Hutabarat, 2005). Susunan gigi harimau keras dan kuat, gigi seri tersusun berdekatan berderet melintang dengan gigi bagian luar berukuran paling besar. Gigi taringnya panjang sedangkan gigi premolar bagian pertama sangat kecil bahkan kadangkadang tidak ada, sedangkan bagian bawah agak lebih besar dengan tiga gigi taring utama. Geraham bawah berderet dengan gusi, berukuran sangat kecil dan terkadang tidak mencukupi. Pada rahang bawah, gerahamnya merupakan gigi karnasial dengan pola yang sangat berbeda dengan premolar, yang mempunyai satu gigi berukuran besar dengan gigi taring tengah dan tambahan gigi pada setiap sisi (Lekagul dan McNeely, 1977). Jumlah total gigi geligi harimau dewasa adalah 30 buah (MacDonald, 1986 dalam Hutabarat, 2005).
5
2.1.3. Populasi dan Distribusi Penyebaran harimau sumatera hanya terletak di Pulau Sumatera. Hasil analisa terkini mengenai status harimau sumatera, secara global menetapkan 18 bentang alam konservasi harimau (Tiger Conservation Landscape) di Pulau Sumatera. Dua di antaranya dikategorikan sebagai prioritas global, Kerinci Seblat dan Bukit Tiga Puluh, sedangkan prioritas regional terletak di Kuala Kampar dan Bukit Balai Rejang Selatan (Sanderson et al., 2006). Harimau sumatera tersebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah pegunungan Sumatera bagian barat daya. Sebelumnya, harimau sumatera banyak terdapat di Aceh, di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalem, Sungan Litur, Batang Serangan dan sekitarnya, Jambi dan Sungai Siak (Suwelo dan Somantri, 1978), Pada tahun 1800-1900, jumlah harimau sumatera masih sangat banyak, mencapai ribuan ekor. Pada tahun 1978 diperkirakan jumlah harimau sumatera adalah sekitar 1000 ekor. Menurut perkiraan pada saat ini jumlah yang tersisa adalah 500 ekor. Diperkirakan 400 ekor hidup di kawasan konservasi utama yang tersebar di Sumatera, sedangkan 100 ekor harimau hidup di kawasan yang tidak dilindungi dimana cepat atau lambat kawasan tersebut berubah menjadi pertanian dan perkebunan (Siswomartono et al., 1994). Data terbaru dari WWF-Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa diperkirakan populasi yang tersisa di habitat alaminya hanya 300 - 400 ekor dan jumlahnya akan terus berkurang apabila kerusakan hutan sumatera terus berlanjut
2.1.4. Habitat Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra, 2002). Lebih lanjut mengemukakan, bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air, dan pelindung serta habitat yang baik bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Harimau dapat ditemukan diberbagai tipe habitat asal tersedia makanan berupa satwa mangsa yang cukup, terdapat sumber air yang selalu tersedia, dan
6
adanya cover sebagai pelindung dari sinar matahari. Harimau tidak menyukai cuaca panas dan umumnya mencari tempat yang teduh untuk beristirahat. Harimau dapat hidup dengan ketinggian antara 0 – 2000 meter di atas permukaan laut (Borner, 1978 dalam Lestari, 2006). Bahkan harimau sumatera biasa menyeberangi sungai untuk menjangkau habitat lainnya yang masih dalam teritorinya (Sriyanto, 2003). Menurut Santiapillai dan Ramono (1985) dalam Lestari (2006), distribusi harimau sumatera tidak hanya ditentukan oleh jumlah ketersediaan habitat atau vegetasi hutan yang cocok. Adanya pemangsa dan kompetisi dengan karnivora yang lain merupakan salah satu ancaman. Harimau sumatera mendiami habitat yang bervariasi terutama daerah yang bersungai, hutan rawa dan padang rumput, namun sangat susah ditemukan pada daerah bervegetasi semak belukar yang terlalu rapat. Tidak seperti keluarga kucing yang lain, harimau sangat menyukai air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau sumatera, seperti halnya jenis-jenis harimau lainnya adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas. Akan tetapi satwa ini bersifat neofobi, yaitu kurang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Tipe habitat yang biasanya menjadi pilihan habitat harimau sumatera di Indonesia bervariasi (Suwelo dan Soemantri, 1978; Heryatin dan Resubun, 1992 dalam Lestari, 2006) yaitu sebagai berikut : 1. Hutan hujan tropik, hutan primer dan hutan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka dan pantai. 2. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau dan pantai air tawar. 3. Padang rumput terutama padang alang-alang. 4. Daerah datar sepanjang aliran sungai. 5. Daerah perkebunan dan tanah pertanian.
2.1.5. Mangsa Menurut Siswomartono et al., (1994) habitat yang optimal untuk harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Lokasi ini sangat mendukung kelangsungan hidup harimau sumatera karena terdapat
7
kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak) dan kancil (Tragulus javanicus). Ketersediaan pakan merupakan faktor pembatas populasi harimau sumatera. Jenis mangsa lebih banyak terdapat di hutan dataran rendah dibandingkan dengan sub-montana. Hutan sekunder yang disebabkan oleh adanya penebangan kayu secara selektif merupakan habitat yang optimal untuk satwa mangsa harimau karena ketersediaan tumbuhan pakan dan memiliki kerapatan cover yang tinggi (Borner, 1992 dalam Lestari, 2006). Selain memiliki fungsi, habitat juga memiliki daya dukung terhadap satwa tertentu. Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp), kambing gunung (Capricornus sumatraensis), kerbau air (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), kera (Macaca sp), landak (Hystrix brachyura) dan trenggiling (Manis javanica). Tidak seperti satwa karnivora lainnya, kelompok kucing besar termasuk harimau tidak dapat mengantikan pakannya dengan pakan tumbuhan karena sifat anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging. Kelompok ini merupakan kelompok karnivora spesialis yang cenderung menangkap beberapa jenis satwa mangsa, rata-rata kurang dari empat jenis (Kitchener, 1991; Jackson, 1990 dalam Lestari, 2006). Untuk memuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3 – 6 hari sekali tergantung ukuran mangsanya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6 – 7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan. Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anaknya (MacDonald, 1986; Mounfort, 1973 dalam Hutabarat, 2005).
2.1.6. Cover Alikodra (1990) mendefinisikan cover sebagai suatu tempat yang sering digunakan oleh suatu jenis satwaliar sebagai tempat berlindung dari segala bentuk ancaman dan bahaya. Dalam suatu ekosistem tertutup, proses rantai makanan akan berjalan normal. Masing-masing makhluk hidup akan menempati tingkatan
8
tertentu dalam siklus rantai makanan baik itu sebagai produsen, konsumen maupun sebagai dekomposer. Menurut Alikodra (1990) cover terbagi menjadi dua bagian yaitu thermal cover (teduhan) dan hiding cover (lindungan). Teduhan adalah tempat perlindungan terhadap sengatan panas matahari, sedangkan lindungan adalah tempat perlindungan dari serangan atau ancaman bahaya predator. Cover yang digunakan harimau terdiri dari tiga macam yaitu cover berkembangbiak, cover berburu, dan cover berlindung (Hasiholan, 2004). Cover yang digunakan harimau sumatera untuk berkembangbiak biasanya terdiri dari sarang yang berbentuk gua atau berbanir besar yang bersusun (bertumpuk atau miring) dan pohon besar yang bolong atau berbanir besar dan bertajuk rindang. Cover harimau sumatera memiliki komponen yang terdiri dari bentuk dan tanah, serta komponen sektor cover yang terdiri dari suhu, topografi dan vegetasi. Cover berlindung terdiri dari dua macam yaitu cover yang digunakan untuk melindungi diri dari sengatan panas sinar matahari dan cover yang digunakan untuk melindungi diri dari hujan. Komponen penyusunnya terdiri dari suhu, topografi, dan vegetasi. Cover berburu, bentuk cover berburu menurut Booner (1971) adalah ruang terbuka berbentuk semak-semak sering dijadikan cover atau tempat berburu dan menghabiskan makanan hasil buruannya dengan cara bersembunyi disemak-semak tersebut.
2.1.7. Daya Dukung Daya dukung dalah kemampuan suatu areal atau kawasan untuk mendukung satwa pada suatu periode tertentu untuk kebutuhan hidup margasatwa, seperti reproduksi, pertumbuhan, pemeliharaan dan pergerakan (Ontario, 1985 dalam Khakim, 2009). Menurut (Dasman, 1964 dalam Alikodra, 2002) daya dukung habitat satwaliar mempunyai pengertian-pengertian, yaitu : 1. Jumlah satwaliar yang dapat ditampung oleh suatu habitat. 2. Batas (limit) atas pertumbuhan suatu populasi yang diatasnya jumlah populasi tidak berkembang lagi. 3. Jumlah satwaliar pada suatu habitat yang dapat mendukung keesehatan dan kesejahteraannya.
9
2.2. Perangkap Kamera (Camera Trap) Metode yang efisien dan dapat dipercaya bagi kegiatan kekayaan dan kepadatan suatu jenis menjadi sangat penting dalam kegiatan mengetahui keberadaan mamalia mungkin sudah menjadi metode yang kuno saat ini. Beberapa tahun belakangan ini telah ditemukan metode baru yang lebih efisien dalam melakukan kegiatan inventarisasi mamalia yaitu dengan menggunakan perangkan kamera atau kamera trap. Metode ini dinilai sangat efisien dalam kegiatan inventarisasi satwa terutama untuk satwa yang samar, untuk mempelajari populasi dari spesies tersebut karena masing-masing individu dapat dibedakan berdasarkan tanda atau pola pada tubuhnya. (Karant,1995; Carbone, 2001; Diacu dalam Silveira, 2003). Sistem kamera otomatis atau lebih dikenal dengan kamera trap merupakan suatu alat dan sistem yang dapat memantau satwaliar secara lebih efektif dan akurat guna mendukung usaha konservasi terhadap satwaliar khususnya untuk pendugaan kepadatan harimau sumatera (Karant & Nichols, 2002), situasi perubahan satwa karnivora dan herbivora di hutan tropika (Sanderson et al., 2004). Generasi kamera trap dalam pengembangan model capture-recapture telah meningkatkan keefektifan dalam metode survei dan monitoring untuk sebagian besar satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karant & Nichols, 2002). Teknologi berupa kamera trap telah banyak membantu usaha konservasi satwaliar di dunia khususnya Indonesia. Dengan adanya sistem kamera trap dapat digunakan
untuk
memantau
populasi
satwaliar
yang
terancam
punah
keberadaannya di alam liar. Penggunaan metode kamera trap untuk memantau populasi karnivora
besar
pertama kali dilakukan oleh
Karant
(1995)
diempat taman nasional di India. Di Indonesia, metode ini pertama kali diterapkan di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara (Griffith, 1994). Kamera trapa bekerja dengan menggunakan sistem infra merah yang dapat mendeteksi keberadaan satwa dengan sensor panas tubuh satwa tersebut. Setiap
satwa
yang
melintas
akan
terekam
gambarnya
oleh
kamera.
Gambar-gambar tersebut dilengkapi dengan data tentang waktu pengambilan, bulan, tanggal, dan nomor gambar yang tersimpan dalam data logger dan ditransformasikan kedalam software komputer. Keberadaan set kamera tidak
10
mempengaruhi aktivitas satwa yang melintas didepan kamera sehingga tidak mengganggu kegiatan hariannya. Penempatan kamera diusahakan tidak pada celah yang lebar sehingga pada saat harimau melintasi kamera trap akan mengaktifkan secara otomastis dan menangkap gambar individu yang melintas (Karant & Nichols, 2002). Seperti manusia, kebanyakan satwaliar menggunakan jalur-jalur yang ada di hutan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain (Fonseca et al., 2003). Sehingga jalur-jalur yang ada di dalam hutan dapat digunakan sebagai lokasi pemasangan kamera trap (Karant & Nichols, 2000). Tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh satwaliar seperti sumber air, sumber air garam (saltlick). Dan sumber makanan seperti pohon yang sedang berbuah dapat juga digunakan sebagai tempat untuk pemasangan kamera trap (Fonseca et al., 2003). Dalam perkembangannya kamera trap juga memiliki beberapa kelemahan. Beberapa kendala dan permasalahan sistem kamera otomatis sinar infra merah (Bostani & Apriawan, 1997) antara lain adalah : a. Pencurian kamera di lokasi penelitian. b. Ganguan dari satwaliar, misalnya gajah sumatera, semut, tupai, beruk, dan lainnya. c. Tekanan dari intensitas cahaya matahari. d. Kesalahan teknis kamera (technical error).
2.3. Program Capture Program CAPTURE merupakan alat bantu berupa software komputer yang dipergunakan untuk menganalisis capture-recapture dalam pendugaan suatu populasi. Untuk memperkirakan kepadatan dan kelimpahan relatif harimau menggunakan metode yang dikembangkan olek Karant (1995) serta Karant & Nichols (2002) berdasarkan foto dengan memakai program CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991). Perkiraan populasi pada CAPTURE membolehkan untuk cathability atau kesempatan penangkapan tidak sama (heterogenitas) dan kamera trap tidak mempengaruhi perilaku satwa dan peluang tangkap bervariasi untuk setiap periode sampling. CAPTURE menghasilkan estimasi populasi berdasarkan data capture-recapture tertutup (Closed Population). Maksudnya adalah selama
11
periode pemasangan kamera trap tidak terjadi penambahan individu baru (imigrasi dan kelahiran) atau hilang (emigrasi atau mati). jika hal ini terjadi maka populasi tersebut dikatergorikan terbuka satu dan suatu analisa yang berbeda harus dilakukan (Otia et al., 1978 dalam Linkie, 2006a). Linkie (2006a) selanjutnya menyebutkan bahwa selama analisa data, asumsi-asumsi dalam populasi tertutup yang perlu diperhatikan sebagai berikut : a. Penandaan tidak hilang yaitu pola garis atau belang harimau permanen. b. Penandaan dicatat dengan benar, identifikasi harimau dan foto dengan melihat pola garis pada bagian perut, bagian atau kaki belakang dan jika perlu bagian ekor. Pola belang harimau bersifat asimetris (pola belang sisi bagian kiri dan kanan harimau terlihat berbeda). c. Peluang tertangkapnya individu harimau sama dalam waktu periode sampling, kamera sebaiknya dipasang pada daerah yang membagi dua daerah jelajah individu untuk kemungkinan menghindari bias. Dengan menggunakan program CAPTURE diperoleh beberapa model yang cocok untuk ukuran populasi (D-hat). Model-model dalam CAPTURE yang sering dipergunakan dalam pendugaan suatu populasi (Linkie, 2006a) yaitu : a. Mo, yaitu kemungkinan penangkapan seluruh harimau adalah sama dan tidak terpengaruh respon perilaku (b), waktu (t) atau heterogenitas individu (h). b. Mh (Jackknife, Nh), yaitu kemungkinan penangkapan bersifat heterogen pada masing-masing individu harimau (setiap individu mempunyai kemungkinan penangkapan yang unik), tetapi tidak dipengaruhi respon peerangkap dan waktu. Hal ini mungkin dikarenakan aksesibilitas trap yang ditentukan oleh status kediaman (penetap atau tidak) harimau. c. Mb (Zippin, Nb),yaitu kemungkinan penangkapan berbeda pada penangkapan sebelumnya dan harimau yang belum pernah tertangkap yang disebabkan respon perilaku tangkap, tetapi tidak dipengaruhi oleh heterogenitas atau waktu. Model Mb memperkirakan untuk trap happines atau trap shyness yaitu satwa tersebut merubah perilakunya setelah tertangkap kamera untuk pertama kalinya. Walaupun trap secara fisik tidak menandai satwa tekanan mungkin karena adanya kilatan atau flash kamera.
12
d. Mt (Darroch, Nt), yaitu kemungkinan penangkapan adalah semua untuk seluruh individu harimau, tetapi bervariasi selama survey yang hanya disebabkan faktor waktu spesifik. Misalnya tangkapan sedikit jika cuaca tidak menentu yang selanjutnya akan mengurangi ukuran daerah jelajahnya. Seekor harimau saat setelah melahirkan akan mengurangi peningkatan aktivitas berburunya yang biasannya 9 hari menjadi 7 hari, peluang tangkap harimau pada masa tersebut akan semakin kecil karena harimau tersebut akan tetap selalu dekat dengan anaknya.
13
III. KONDISI UMUM KAWASAN
3.1. Sejarah dan Status Kawasan Ekosistem Ulu Masen merupakan suatu kawasan ekosistem yang terletak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ekosistem ini merupakan jajaran Pegunungan Bukit Barisan yang membentang di bagian barat Pulau Sumatera. Pegunungan Bukit Barisan yang terdapat di Aceh dibentuk oleh dua ekosistem yang berhubungan langsung tetapi berbeda, yaitu ekosistem Ulu Masen di bagian utara dan ekosistem Leuser di bagian selatan hingga Propinsi Sumatera Utara. Tidak seperti ekosistem Leuser yang diberi status sebagai taman nasional, ekosistem Ulu Masen belum memiliki status kuat. Ekosistem ini berada di bawah pengawasan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam melalui SK no. 19/1999 tentang penunjukkan kawasan hutan Aceh. Penamaan hutan Ulu Masen diambil dari nama gunung Ulu Masen yang terletak di Kecamatan Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya. Ulu Masen dianggap mampu mewakili satu kawasan ekosistem hutan di bagian utara Provinsi Aceh. Nama Ulu Masen sendiri diambil dan diputuskan oleh komunitas yang mewakili oleh Imum Mukim Kabupaten Aceh Jaya, yaitu sebuah kesepakatan yang dilakukan pada pertemuan mukim pada tahun 2003 di Meulaboh dan Banda Aceh. Sebuah nama Ulu Masen diputuskan, juga muncul usulan penamaan kawasan gunung sikawet sebagai ekosistem hutan yang layak dilindungi, yaitu habitat satwa terancam punah seperti gajah sumatera. Setelah ditelaah dan didiskusikan lebih lanjut maka nama Ulu Masen dipilih sebagai kawasan hutan yang mewakili satu kesatan ekosistem yang terdapat di lima kabupaten.
3.2. Letak dan Luas Secara geografis kawasan ekosistem Ulu Masen berada pada 4o20’3” LU sampai 5o30’0” LU dan 95o20’0” BT sampai 96o30’0” BT. Secara administratif ekosistem Ulu Masen berada di lima kabupaten di Provinsi Aceh yang meliputi Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya. Luas ekosistem Ulu Masen adalah 738,857 hektar. Pembagian luasan ekosistem Ulu Masen
14
berdasarkan kawasan administratif pemerintahannya dan disajikan dalam tabel berikut. Tabel 1. Luas kawasan ekosistem Ulu Masen per-kabupaten/kota No 1 2 3 4
Kabupaten/Kota Aceh Barat Aceh Jaya Aceh Besar Pidie dan Pidie Jaya Total
Luas (ha) 113.012 266.573 94.989 264.283 738.857
Luas (%) 15 36 13 36 100
3.3. Kondisi Fisik Kawasan 3.3.1. Topografi Kawasan ekosistem Ulu Masen barada di kawasan pegunungan yang berbukit dan bergelombang. Sebagian kecil saja areal yang berupa dataran rendah, yaitu di daerah barat dan timur kawasan. Bentangan topografinya meliputi rangkaian pegunungan dengan berbagai lipatan, patahan dan rengkahan, gugusan bukit terjal dan bergelombang, dataran tinggi, plato, celah, lembah, jurang, lereng, dataran rendah, pantai, dan aliran sungai dengan berbagai bentukan serta sistem pola sungai dengan cabang-cabangnya.
3.3.2. Tanah Pegunungan Bukit Barisan meliputi beberapa formasi geologi yang berbeda. Perbedaan karakteristik menentukan perbedaan pada lapisan tanah, hidrologi, tumbuhan dan produktivitas biologis. Kawasan berkapur, termasuk formasi karst, pada umumnya berpori, mengalirkan sedikit air permukaan dan mempunyai produktivitas relatif rendah. Intrusi granodiorites yang parah, seperti yang terjadi di dalam batas air Krueng Sabee dari daerah Aceh Jaya, memiliki porositas rendah, lapisan tanah tipis dan memiliki produktivitas relatif rendah. Terdapat tiga jenis tanah yang mendominasi kawasan ini yaitu, kompleks podsolik cokelat, podsolik, litosol kompleks podsolik merah kuning, latosol, litosol, dan andosol. Jenis-jenis tanah tersebut mencakup organosol dan gleihumus, regosol, podsolik merah kuning (batuan endapan), podsolik merah kuning (batuan aluvial), regosol, andosol, litosol, podsolik merah kuning (bahan
15
endapan dan batuan beku), kompleks podsolik merah kuning latosol dan litosol, kompleks podsolik cokelat, podsolik dan litosol, setra kompleks resina dan litosol.
3.3.3. Iklim Ekosistem Ulu Masen memiliki iklim yang tropis dengan kelembaban yang tinggi (80-90%) dan variasi kecil pada temperatur harian (25-27oC) sepanjang musim. Rataan temperatur tahunan bervariasi pada ketinggian yang berbeda, mulai dari 26oC pada 0 m dpl dan turun sekitar 0,52oC untuk setiap penanbahan ketinggian 100 m. Sementara dataran rendah yang panas dan lembab memiliki rataan suhu tanah tahunan di atas 22oC, dan puncak gunung mempunyai rataan antara 0-8oC (3000 m ke atas). Kecepatan angin secara umum rendah, berkisar antara 1,5-2,5 m/detik. Ekosistem ini dapat digolongkan dalam 11 tipe curah hujan, berdasarkan pada angka rataan jangka panjang dari bulan basah ke bulan kering. Curah hujan tahunan rata-rata di ekosistem ini bervariasi. Hal ini disebabkan oleh hubungan timbal balik yang kompleks antara topografi dan hujan. Daerah dengan curah hujan paling tinggi terletak di sepanjang pantai barat dan dataran sepanjang pegunungan barisan, yaitu sebesar 3000 mm hingga 5000 mm/tahun. Kebalikannya, curah hujan tahunan rata-rata di beberapa daerah sepanjang pantai utara dan pantai timur hanya berkisar antara 1000 mm hingga 1500 mm/tahun, yaitu pada lembah pegunungan antara Takengon dan Owaq di Aceh Tengah. Pada sistem klasifikasi ini, pantai barat Aceh kaki bukit, dan Bukit Barisan timur termasuk dalam golongan sangat basah tipe A dan Af (>9 bulan basah dan <2 bulan kering). Sementara daerah paling kering terletak di lembah Kreung Aceh dan pantai timur laut Aceh, yaitu tipe E2 (<3 bulan basah dan 2-3 bulan kering).
3.4. Kondisi Biologi 3.4.1. Flora Kawasan ekosistem Ulu Masen ditumbuhi berbagai jenis flora mulai dari tanaman bernilai ekonomi tinggi sampai semak belukar. Berbagai jenis tanaman yang dapat dijumpai antara lain meranti (Shorea spp), keruing (Derbalgia
16
latifolia), dan kamper (Dryobalanops aromatica). Pohon buah-buahan antara lain jeruk hutan (Citras macroptera), durian hutan (Durio exeleyanus dan Durio zibethinus), menteng (Baccaurea montheyana dan Baccaurea racemosa), dukuh (Lansium domesticum), mangga (Mangifera foetida dan Mangifera guadrifolia), rukem (Flacaourtia rukem), dan rambutan (Nephelium laphaceum). Selain jenis tersebut juga dapat ditemukan rotan (Daemonorops rubra) yang merupakan plasma nutfah penting bagi kawasan ini, palm daun sang (Johannesteijsmania altifrons) yang merupakan jenis endemik daerah Langkat, tanaman obat herbal dan aroma terapi (kemenyan dan kayu manis), beberapa jenis bunga raflesia (Rafflesia cropylosa, R. atjehensis, R. haseltii), dan Rhizanthes zipelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 m seta berbagai tumbuhan pencekik (ara).
3.4.2. Fauna Ekosistem Ulu Masen memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi. Berbagai jenis satwaliar yang dapat dijumpai diantaranya mamalia, burung, dan reptil. Jenis mamalia yang dapat dijumpai antara lain orangutan (Pongo abeli), serudung
(Hylobathes
(Hylobathes (Nycticebus
lar),
syndactylus), coucang),
kedih linsang
kucing
emas
(Presbytis
thomasi),
siamang
(Prionodon
linsang),
kukang
(Cathopuma
teminckii),
pulusan
(Artconyx collaris), bajing terbang (Lariscus insignis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), gajah
sumatera
(Elephas
maximus
sumatrensis),
ajag
(Cuon
alpinus),
macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa sambar (Cervus unicolor), kambing hutan (Capricornus sumatraensis), babi jenggot (Sus barbatus), pelanduk (Tragulus napu). Jenis burung, yaitu kuntul kerbau (Bubulkus ibis), kuntul (Egretta sp), itik liar (Cairina sp), rajawali kerdil (Microhierax spp), rangkong papan (Buceros bicornis), rangkong badak (buceros rhinoceros), julang ekor abu-abu (Annorhius gaeleritus), julang emas (Rhiticeros undulatus), kangkareng (Anthracoceros convextus) dan beo nias (Gracula
religiosa).
Untuk
jenis
reptil
antara
(Orlitia bornensis) dan buaya sinyulong (Tomistoma sp).
lain
kura-kura
gading
17
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di kawasan hutan Blangraweu – ekosistem Ulu Masen, Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya, Propinsi Aceh. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 November 2009 – 28 Mei 2010.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian 4.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Global Positioning System (GPS) Garmin 7.6, kompas, Field guide mamalia, Camera Reconnyx tipe 55 & 45 color IR 3,1 megapixel, memory card 2GB dan 4GB, kamera digital Olympus 5 megapixel, meteran, alat pencatat waktu (jam), alat tulis, dan program software Arc GIS versi 9.2, software ERDAS 9.1, dan program software CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991).
18
Bahan yang digunakan dalam objek penelitian adalah peta kerja 1:50.000, alkohol 70%, battere Alkalin dan Energizer, silica gel, tambang plastik, pita ukur dan kawasan hutan Blangraweu sebagai habitat harimau sumatera dan satwa mangsa.
4.3. Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data terdapat beberapa tahap, yaitu : 4.3.1. Kegiatan Pendahuluan Kegiatan pendahuluan meliputi : a. Kajian pustaka meliputi buku teks, laporan, makalah, jurnal, dan skripsi yang bertujuan mendapatkan informasi yang tepat tentang harimau sumatera yang berkaitan dengan potensi populasi dan habitat harimau sumatera. b. Orientasi lapangan dan wawancara dengan masyarakat mengenai kondisi kawasan hutan yang menjadi informasi penting.
4.3.2. Data yang dikumpulkan Adapun jenis data yang dikumpulkan meliputi : a.
Hasil foto yang diperoleh dari kamera trap.
b. Struktur dan komposisi vegetasi (analisis vegetasi). c. Ketersediaan satwa mangsa, sumber air dan cover (lindungan).
4.3.3. Cara Pengumpulan Data 4.3.3.1. Metode Perangkap Kamera Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan perangkap kamera. Data pada kamera mencetak foto dengan waktu, suhu dan tanggal kejadian. Kamera dipasang sebanyak 19 unit di 18 titik lokasi dengan jarak antar kamera rata-rata 1 gride atau 3 – 4 km pada peta. Kamera trap dipasang pada batang pohon dengan ketinggian rata-rata 40 cm di atas tanah, posisi kamera menghadap ke jalur pada jarak 2,5 meter (Karanth & Nichols, 2000). Setiap unit diprogram untuk merekam gambar satwa dengan selang waktu 1 detik dan beroperasi selama 24 jam/hari. Pengecekan kamera dilakukan satu kali dalam
19
periode 2 minggu untuk penggantian memory card, battere, silica gel dan sebagainya. Perangkap kamera di tempatkan di lapangan tidak secara random tetapi berdasarkan probabilitas optimum untuk mendapatkan foto harimau (Karanth et al. 2002; McClurgh et al., 2000; Silver 2004). Pembagian waktu periode sampling digunakan sebagai ulangan (occassion) captures (Karanth 1995; Karanth & Nichols 1998; 2000) untuk mengestimasi jumlah populasi suatu jenis pada suatu lokasi dan waktu tertentu. Pembagian waktu periode sampling dibagi per 10 hari kamera aktif.
4.3.3.2. Metode Garis Berpetak Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi dilakukan dengan cara analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak contoh disepanjang jalur pengamatan. Ukuran petak adalah 20 m x 20 m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Dalam petak dibuat sub-plot berukuran 2 m x 2 m untuk tingkat pertumbuhan semai, 5 m x 5 m untuk tingkat pertumbuhan pancang dan 10 m x 10 m untuk tingkat pertumbuhan tiang. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah jenis pohon, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total. Untuk tingkat pertumbuhan pancang dan semai meliputi jenis tumbuhan dan jumlah individu setiap jenis (Soerianegara dan Indrawan, 1998). C 10m
D
B A
Lintasan pengamatan
A B 10m 20m
D
C
1000m
Gambar 2. Bentuk jalur pengamatan vegetasi Keterangan:
A
= Petak pengamatan tingkat semai dan herba
B
= Petak pengamatan tingkat pancang
20
C
= Petak pengamatan tingkat tiang
D
= Petak pengamatan tingkat pohon
4.3.4. Analisis Data 4.3.4.1. Analisis Foto Untuk Identifikasi Individu Harimau Harimau diidentifikasi berdasarkan jenis kelamin dan ciri-ciri morfologis seperti pola loreng dibagian perut dan ukuran tubuh yang mendasar (bentuk kepala, panjang tubuh). Pengembangan data dasar dilakukan untuk memilih fotofoto harimau yang bermutu, sehingga terlihat gambar harimau yang telah diidentifikasi dari arah kanan dan kiri, dan mungkin juga dari arah depan dan belakang serta penunjuk waktu. Setelah individu harimau benar-benar telah teridentifikasi maka semua foto individu harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al., 1999). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program software CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991), Arc GIS 9.3 dan ERDAS 9.1. Beberapa istilah penting yang sering ditemukan dalam analisis foto akan dideskripsikan untuk standarisasi istilah yaitu: 1. Trap night merupakan lama hari aktual camera trap beroperasi selama 24 jam per hari mulai saat pemasangan hingga akhir periode sampling pada suatu lokasi kamera dengan memperhitungkan camera trap yang tidak beroperasi baik karena hilang atau rusak. 2. Trap night effective merupakan lama hari aktual camera trap aktif beroperasi selama periode sampling pada suatu lokasi. Waktu camera trap yang tidak beroperasi akibat rusak dan hilang tidak diperhitungkan. 3. Deteksi (detection) adalah kehadiran jenis berdasarkan foto pada suatu waktu dan lokasi. Nilai deteksi suatu jenis adalah satu (1) dan nilai nondeteksi suatu jenis adalah nol (0). 4. Frame adalah jumlah foto dalam satu nomor film. Film yang digunakan memiliki isi 36 frame. 5. Occassion merupakan ulangan berdasarkan trap night dengan pembagi waktu (t). 6. Periode sampling (sampling period) merupakan total lama waktu camera trap beroperasi pada satu blok penelitian di lokasi studi.
21
7. Capture history harimau merupakan matriks deteksi individu harimau pada suatu lokasi dan occassion tertentu. 8. Independent photo (foto independen) adalah foto yang terekam secara berurutan/sekuel pada satu frame foto dalam satu nomor film yang telah disaring berdasarkan waktu. Dapat dikatakan foto independen (nilai 1) bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Foto yang berurutan/sekuel dari individu berbeda atau spesies berbeda pada satu nomor film. 2). Foto berurutan/sekuel dari individu yang sama (spesies sama) pada satu nomor film dengan rentang waktu lebih dari 1 jam atau foto berurutan/sekuel dari individu berbeda bila dapat dibedakan dengan jelas. 3). Foto individu yang sama atau jenis sama yang tidak berurutan/sekuel pada satu nomor film. Kriteria foto independen ini merujuk pada O’Brien et al., (2003).
4.3.4.2. Kepadatan Absolut Harimau 2
Analisis kepadatan absolut harimau (harimau/100 km ) digunakan dengan mengetahui jumlah individu yang telah diidentifikasi. Data hasil identifikasi foto dapat digunakan untuk memperkirakan populasi (N-hat). Estimasi kepadatan harimau menurut Karanth (2002) sebagai berikut :
Keterangan : 2
D
: Estimasi kepadatan harimau (individu/100 km )
N
: Jumlah individu yang telah diidentifikasi
AW
: Efektif sampling area (100 km )
2
Luas efektif sampling area diperoleh dengan menghubungkan titik koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan dengan lebar garis batas (W ) (Karanth & Nichols, 1998) yang didapatkan dari ½ Mean Maximum Distance Move (½MMDV) yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu harimau yang tertangkap kamera lebih dari sekali dan pada dua lokasi berbeda (Linkie, 2005).
22
Keterangan : W
: Lebar garis batas
m
: Jumlah recapture individu
d
: Rata-rata jarak individu recapture
di
: Jarak dari tiap individu recapture ke-i
4.3.4.3. Kepadatan Satwa Mangsa Analisis kepadatan satwa mangsa (/100 km2) dapat menggunakan jumlah foto independent dari satwa yang telah teridentifikasi. Estimasi kepadatan satwa mangsa menurut Hutchinson & Waser (2007) sebagai berikut : y = 2rtvD Keterangan : y
: Jumlah kontak satwa
r
: Jari-jari zona deteksi
t
: Waktu
v
: Kecepatan satwa
D
: Kepadatan
4.3.4.4. Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate/ER) Harimau dan Mangsa Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) didapat dari perhitungan total jumlah foto dibagi total hari kamera aktif dikali 100. Faktor pembagi 100 hari untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan (Lynam, 2000).
Keterangan : ER
: Tingkat perjumpaan (Encounter rate)
Σf
: Jumlah total foto yang diperoleh
Σd
: Jumlah total hari operasi kamera
23
4.3.4.5. Komponen Habitat 4.3.4.5.1. Analisis vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu jenis vegetasi pada suatu komunitas sehingga mengetahui preferensi habitat yang sesuai bagi harimau sumatera. Dominansi dapat dilihat dari Indeks Nilai Penting (INP) yang diperoleh dari penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) untuk tingkat semai dan pancang serta ditambah nilai dominansi relatif (DR) untuk tingkat tiang dan pohon (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Persamaan yang digunakan adalah : Kerapatan jenis ke-i(Ki)
Jumlah individu suatu spesies
=
Luas seluruh petak Kerapatan suatu spesies x 100 %
Kerapatan Relatif (KR)
=
Dominansi jenis ke-i(Di)
Kerapatan seluruh jenis
Luas bidang dasar suatu spesies
=
Dominansi Relatif (DR)
=
Frekuensi jenis ke-I (Fi)
=
Frekuensi Relatif (FR)
=
Luas seluruh petak
Dominansi suatu spesies x 100 % Dominansi seluruh jenis Jumlah petak terisi suatu spesies Jumlah seluruh petak
Frekuensi suatu spesies x 100 % Frekuensi seluruh jenis
Luas bidang dasar suatu spesies = 1 . .d i2 4
Indeks Nilai Penting
= KR + DR + FR
24
4.3.4.5.2. Bentuk Cover Bentuk cover dipelajari dengan cara obervasi langsung di lapangan. Cover dapat dibedakan atas tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Bentuk cover dibedakan menurut bentuk dan fungsinya, yaitu sebagai tempat berlindung, tempat minum, tempat mengasuh anak, tempat berburu dan tempat beristirahat.
4.3.4.5.3. Ketersediaan Air Ketersediaan air dapat dilihat dari parameter fisik yang diamati secara langsung di lapangan (permanen atau tidak permanen). Parameter yang diamati adalah : 1) betuk sumber air, 2) lokasi sumber air dan 3) ketersediaan sumber air meliputi ketersediaan air sepanjang tahun serta tidak tersedia air sepanjang tahun.
4.3.4.6. Hubungan Penggunaan Antara Tipe Habitat dengan Jumlah Satwa Parameter yang akan dianalisis menggunakan uji chi kuadrat (chi-square) adalah tipe habitat dengan jumlah satwa baik harimau sumatera maupun satwa mangsa yang ada di kawasan hutan Blangraweu. Langkah pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hipotesis Ho : Tidak ada perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan jumlah satwa. H1 : Ada perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan jumlah satwa. 2. Kriteria Pengujian Jika x2 hitung kurang dari x2 tabel maka terima Ho pada taraf nyata, dengan derajat bebas (v) = (b-) (k-1) diman b dan k masing-masing menyatakan baris dan kolom. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : h (Oi – Ei)2 χ² = Σ i=1 Ei Keterangan : Oi = Frekuensi hasil pengamatan ke- i Ei = Frekuensi harapan ke-i(Oi. ai)
25
Frekuensi harapan = Total kolom x total baris Total pengamatan 4.3.4.7. Gangguan Habitat Harimau Sumatera Bentuk atau anacaman terhadap harimau sumatera yang terjadi dilapangan yaitu illegal logging, perambahan liar, perburuan liar dan tambang.
26
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil 5.1.1. Potensi Populasi Harimau Sumatera 5.1.1.1. Kepadatan Harimau Sumatera Berdasarkan hasil pengamatan lapang dengan kamera trap yang dianalisis dengan software program Capture didapat data estimasi kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu sebagai berikut : Tabel 2. Hasil analisis kepadatan harimau sumatera berdasarkan program Capture Progam Capture Efektif sampling area Model yang digunakan Jumlah individu (Mt+1) Rata-rata (p-hat) Peluang capture Populasi (N) Standar error (SE) Populasi CI 95% (individu) Kepadatan harimau/100 km2
Hasil perhitungan 211,25 km2 Mh 5 0,33 0,67 5,00 2,43 5–9 2,36 – 4,07 ekor/100 km2
Berdasarkan tabel lima diketahui bahwa populasi (N) harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu adalah 5 ekor dengan tingkat kepadatan 2,36 – 4,07 ekor/100 km2. Data ini menunjukkan bahwa tingkat kepadatan di hutan Blangraweu tergolong normal. Hasil analisis program Capture menyatakan bahwa kemungkinan rekam kembali (capture probability) (p-hat) sebesar 0,33. Hal ini berarti asumsi yang digunakan adalah asumsi populasi tertutup yaitu tidak ada harimau yang keluar atau harimau baru yang masuk dalam wilayah studi. Tabel 3. Jumlah foto individu harimau pada masing-masing tipe habitat No 1 2 3 4 5
Nama harimau Agam Cut Ineung Mayang Rayeuk
Jumlah sekuen/10 foto Hutan pegunungan Hutan sub-pegunungan 0 1 (10) 0 4 (40) 4 (40) 0 1 (10) 0 0 3 (30)
Pergerakan individu harimau sumatera pada dua tipe habitat yang berbedabeda menyebabkan sebaran pada tiap lokasi kamera berbeda pula. Pergerakan
27
antara harimau jantan dengan betina masing-masing hanya tertangkap di satu kamera trap saja. Pergerakan individu harimau lebih banyak ditipe hutan subpegunungan dibandingkan di hutan pegunungan. Lokasi penempatan sebaran kamera trap dan daerah ditemukannya harimau sumatera disajikan pada gambar 3.
Gambar 3. Peta lokasi titik harimau sumatera Pemasangan kamera trap dilakukan secara mengelompok di 18 gride cell dengan menempatkan 19 kamera trap dengan identitas RC (Reconnyx). 6 kamera trap dipasang di hutan pegunungan yaitu di padang rumput sedangkan 13 kamera trap lainnya dipasang di hutan sub-pegunungan. Harimau sumatera tertangkap kamera di empat titik kamera trap yaitu kamera RC02, RC03, RC07 dan RC11 diperalihan antara hutan dengan padang rumput dengan dua di padang rumput dan tiga di hutan sub-pegunungan. Kondisi ini menandakan bahwa harimau sumatera lebih mudah ditemukan di peralihan antara hutan dengan padang rumput. Di lokasi di peralihan ini aktivitas satwa mangsa lebih tinggi dibandingkan di hutan sub-pegunungan.
28
(a)
(b)
Gambar 4. Harimau sumatera betina yang tertangkap kamera di hutan Blagraweu dengan identitas (a) Cut dan (b) Rayeuk 5.1.1.2. Perbandingan Jenis Kelamin (Sex ratio) Harimau Sumatera Jenis kelamin (sex ratio) individu harimau sumatera yang tertangkap kamera adalah 1 jantan dan 4 betina. Hasil ini didapat di empat titik kamera trap yang terpasang yang terkonsentrasi di hutan pegunungan yaitu sekitar savana/padang rumput dan peralihan antara savana dengan hutan. Salah satu kamera trap berhasil menangkap dua individu yang berbeda, yaitu individu jantan dan individu betina. Setelah individu harimau selesai diidentifikasi menurut jenis kelaminnya kemudian di beri indentitas (ID) nama harimau, yaitu Agam (jantan), Cut (betina), Ineung (betina), Mayang (betina) dan Rayeuk (betina). Data hasil identifikasi individu harimau sumatera menurut jenis kelamin yang disajikan dalam tabel : Tabel 4. Individu harimau berdasarkan jenis kelamin pada tipe habitat No
ID harimau
Jenis kelamin
1 Agam Jantan 2 Cut Betina 3 Ineung Betina 4 Mayang Betina 5 Rayeuk Betina Keterangan : = ada (-) = tidak ada
Tipe habitat Hutan pegunungan -
Hutan subpegunungan
29
5.1.1.3. Struktur Umur Harimau Sumatera Hasil identifikasi foto, terdapat 5 individu harimau sumatera. Struktur umur, individu harimau yang tertangkap kamera trap merupakan tingkatan dewasa. Sedangkan anakan (sub-adult) individu harimau tidak tertangkap kamera trap sama sekali. Individu harimau sumatera berdasarkan struktur umur disajikan pada tabel : Tabel 5. Individu harimau berdasarkan kelas umur pada tipe habitat No
Kelas umur
ID harimau
Tipe habitat Hutan subpegunungan
Hutan pegunungan
1 Agam Dewasa 2 Cut Dewasa 3 Ineung Dewasa 4 Mayang Dewasa 5 Rayeuk Dewasa Keterangan : = ada
-
(-) = tidak ada
5.1.1.4. Tingkat Perjumpaan (ER) Harimau Sumatera dan Mangsa Hasil perhitungan terhadap tingkat perjumpaan harimau sumatera di dua tipe habitat menggunakan kamera trap, disajikan dalam diagram batang berikut : 16 14,29
14
11,43
12 10
8,57
8 5,71
6 4
2,86
2 0
ER Harimau 0
0
0
0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 Kode kamera
Gambar 5. ER harimau sumatera
30
Berdasarkan diagram batang diatas
menunjukkan
bahwa tingkat
perjumpaan (ER) harimau sumatera lebih tinggi di hutan sub-pegunungan dibandingkan di hutan pegunungan. Perhitungan hasil ini didasarkan pada jumlah individu harimau sumatera yang tertangkap kamera trap di 19 titik pemasangan. Dari 19 kamera trap yang terpasang hanya empat kamera trap yang berhasil menangkap aktivitas harimau sumatera dengan kode kamera RC02, RC03, RC07 dan RC11. Kamera RC02 memiliki ER paling tinggi dibandingkan dengan kamera RC lainnya. Hasil perhitungan terhadap tingkat perjumpaan satwa mangsa di dua tipe habitat menggunakan kamera trap, disajikan dalam tabel dan diagram batang berikut : Tabel 6. Tingkat perjumpaan satwa mangsa No
Nama Satwa
Nama Ilmiah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kijang Rusa sambar Kancil Beruk Landak Beruang madu Babi jenggot Binturong Sempidan sumatera Kuau-kerdil sumatera Musang galing
Muntiacus muntjak Cervus unicolor Tragulus napu Macaca nemestrina Hystrix brachyura Helarctos malayanus Sus barbatus Arctictis binturong Lophura inormata Polyplectron chalcurum Paguma larvata
14 12 10 8 6 4 2 0
ER Rata-rata 9,47 13,06 0,65 3,84 1,98 0,90 0,16 0,45 0,82 0,98 0,90
ER rata-rata
Gambar 6. ER satwa mangsa
31
Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa tingkat perjumpaan satwa mangsa yang memiliki nilai ER terbesar adalah rusa sambar (Cervus unicolor). Persebaran satwa ini yang luas mulai dari hutan pegunungan dan sub-pegunungan. Hal ini dapat diperjelas dengan teridentifikasi melalui hasil kamera trap di dua tipe habitat tersebut. Ketersediaan sumber pakan dan air yang melimpah terutama di padang rumput kawasan hutan pegunungan sangat membantu untuk perkembangbiakan. Selama penelitian dilapangan mudah untuk melihat secara langsung maupun tidak langsung (jejak) dan sisa aktivitas lainnya. Babi jenggot (Sus barbatus) memiliki nilai ER yang rendah. Selama pemasangan kamera trap, babi jenggot hanya terekam/terfoto beberapa segmen saja. Hal tersebut kecenderungan satwa ini tersingkir oleh populasi rusa sambar dan kijang.
5.1.2. Kondisi Habitat Harimau Sumatera Tipe hutan yang masuk ke dalam lokasi penelitian terdiri dari hutan pegunungan dan hutan sub-pegunungan. Lokasi penelitian ditipe hutan pegunungan tidak memungkinkan untuk analisis vegetasi karena sebagian besar berupa hamparan padang rumput dan hanya sebagian kecil pohon saja yang hidup mengelompok di tebing dan disekitar aliran sungai. Sedangkan ditipe hutan subpegunungan analisis vegetasi dilakukan pada tumbuhan tingkat pohon, tiang dan pancang.
Gambar 7. Kawasan hutan Blangraweu
32
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui kondisi habitat harimau sumatera yang ada di kawasan hutan Blangraweu melalui komposisi dan struktur vegetasi. Berikut hasil analisis vegetasi yang dilakukan di tipe hutan sub-pegunungan : Tabel 7. Hasil analisi vegetasi tingkat pohon pada tipe habitat sub-pegunungan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama lokal Balam Geseng batu Geseng tanduk Kayu kapuk Kuli batu Kalek jambu Langsat hutan Mangga hutan Manggis hutan Medang legundi Medang cengkeh Medang hitam Medang lasa Medang sangit Medang singkat Medang siron Meranti Meranti kecil daun Meranti lebar daun Pungkir gunung Rambutan hutan Resak Tampui Tingkam Trap/Tarok
Nama ilmiah Palaquium walsurifolium Lithocarpus glutinosus Lithocarpus sp. Bombax valetonii Dacryodes incurvata Laplacea sp. Lansium sp. Mangifera foetida Garcinia hombroniana Erythroxylon cunaetum Ixonanthes icosandra Gironeira subaequalis Notaphoebe umbelliflora Phoebe excelsa Alseodaphne bancana Alseodaphne macrocarpa Shorea sp. Shorea palviflora Shorea uliginosa Calophyllum brassii Nephelium mutabile Vatica wallichii Baccaurea deflexa Baccaurea malayana Artocarpus elastica
KR (%) 8,70 5,80 10,14 1,45 4,35 5,80 1,45 1,45 1,45 5,80 1,45 1,45 2,90 2,90 1,45 5,80 5,80 2,90 11,59 1,45 1,45 7,25 4,35 1,45 1,45
DR (%) 15,94 10,14 11,59 1,45 4,35 5,80 1,45 1,45 1,45 5,80 1,45 1,45 2,90 2,90 1,45 5,80 5,80 2,90 11,59 1,45 1,45 7,25 4,35 1,45 1,45
FR (%) 0,11 0,08 0,13 0,02 0,06 0,08 0,02 0,02 0,02 0,08 0,02 0,02 0,04 0,04 0,02 0,08 0,08 0,04 0,15 0,02 0,02 0,09 0,06 0,02 0,02
INP (%) 24,75 16,02 21,87 4,37 8,75 11,67 2,92 2,92 2,92 11,67 2,92 2,92 5,83 5,83 2,92 11,67 11,67 5,83 23,34 2,92 2,92 14,59 8,75 2,92 2,92
Vegetasi pada tingkat pohon yang mendominasi di hutan sub-pegunungan adalah dari famili Guttiferae (6) dan Dipterocarpaceae (4). Jenis pohon yang mendominasi di lokasi penelitian adalah dari jenis Balam (Palaquium walsurifolium), Meranti lebar daun (Shorea uliginosa) dan Geseng tanduk. Strata tajuk divegetasi ini adalah strata A dan strata B. Tabel 8. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada tipe hutan sub-pegunungan No 1 2 3 4 5 6 7
Nama lokal Balam Bintangur Geseng Geseng batu Geseng tanduk Kayu kapuk Kuli batu
Nama ilmiah Palaquium walsurifolium Calophyllum inophyllum Lithocarpus spicatus Lithocarpus glutinosus Lithocarpus sp. Bombax valetonii Dacryodes incurvata
KR (%) 4,55 2,27 18,18 10,23 14,77 2,27 7,95
DR (%) 19,30 24,46 3,49 3,26 3,11 4,53 3,82
FR (%) 4,55 3,31 26,44 14,87 21,48 3,31 11,57
INP (%) 28,39 30,04 48,11 28,36 39,37 10,11 23,34
33
No
Nama lokal
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kuli jambu Langsat hutan Manggis hutan Medang lasa Medang singkat Medang siron Medang stui Meranti Meranti kecil daun Meranti lebar daun Pungkir gunung Tampui tapak gajah
Nama ilmiah Laplacea sp. Lansium sp. Garcinia hombroniana Notaphoebe umbelliflora Alseodaphne bancana Alseodaphne macrocarpa Litsea resinosa Shorea sp. Shorea palviflora Shorea uliginosa Calophyllum brassii Baccaurea sp.
KR (%) 2,27 2,27 1,14 5,68 2,27 11,36 1,14 2,27 2,27 6,82 1,14 1,14
DR (%) 5,84 3,51 3,06 2,75 2,89 3,22 2,48 2,38 3,84 3,15 2,27 2,63
FR (%) 3,31 3,31 1,65 8,26 3,31 16,53 1,65 3,31 3,31 9,92 1,65 1,65
INP (%) 11,42 9,09 5,58 16,69 8,46 31,11 5,27 7,92 9,24 19,89 5,06 5,42
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada tingkat tiang di hutan subpegunungan yang menunjukkan bahwa vegetasi yang mendominasi adalah dari jenis Geseng, Geseng tanduk dan Medang siron. Strata tajuk divegetasi pada tingkat tiang adalah strata tajuk C. Tabel 9. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada tipe hutan sub-pegunungan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Nama lokal Ara gunung Balam Gajabing Gelombang Geseng Geseng batu Geseng tanduk Jambu batih Kayu kapuk Kuli batu Kuli jambu Langsat hutan Mangga hutan Manggis hutan Medang Medang lasa Medang singkat Medang siron Medang stui Meranti Meranti buaya Meranti kecil daun Meranti lebar daun Peradah Pungkir gunung Rambutan hutan Resak Risung batu Tingkam Tiga urat Trap/Tarok
Nama ilmiah Ficus sp. Palaquium walsurifolium Ficus fruncata Cassia sp. Lithocarpus spicatus Lithocarpus glutinosus Lithocarpus sp. Eugenia lineata Bombax valetonii Dacryodes incurvata Laplacea sp. Lansium sp. Mangifera foetida Garcinia hombroniana Dehaasia sp. Notaphoebe umbelliflora Alseodaphne bancana Alseodaphne macrocarpa Litsea resinosa Shorea sp. Shorea bullata Shorea palviflora Shorea uliginosa Horsfieldia sp. Calophyllum brassii Nephelium mutabile Vatica wallichii Triomma macrocarpa Baccaurea malayana Cinnamomum sp. Artocarpus elastica
KR (%) 1,30 4,55 2,60 0,65 22,73 5,19 5,19 0,65 2,60 9,09 6,49 1,95 1,30 4,55 0,65 2,60 1,30 1,95 0,65 2,60 0,65 2,60 7,14 0,65 2,60 0,65 0,65 0,65 3,90 1,30 0,65
FR (%) 1,30 4,55 2,60 0,65 22,73 5,19 5,19 0,65 2,60 9,09 6,49 1,95 1,30 4,55 0,65 2,60 1,30 1,95 0,65 2,60 0,65 0,60 7,14 0,65 2,60 0,65 0,65 0,65 3,90 1,30 0,65
INP (%) 2,60 9,09 5,19 1,30 45,45 10,39 10,39 1,30 5,19 18,18 12,99 3,90 2,60 9,09 1,30 5,19 2,60 3,90 1,30 5,19 14,29 1,30 14,27 1,30 5,19 1,30 1,30 1,30 7,79 2,60 1,30
34
Berdasarkan hasil analisis vegatasi tingkat pancang menunjukkan bahwa vegetasi pada tingkat pancang didominasi dari jenis Geseng, Kuli batu dan Meranti lebar daun. Strata tajuknya adalah strata D. Tumbuhan tingkat pancang berfungsi sebagai pakan bagi satwa mangsa harimau. Bagi harimau, vegetasi tingkat pancang digunakan untuk menyamarkan tubuhnya saat berburu dengan mengintai mangsanya. Dan juga digunakan untuk memandai daerah teritorinya dengan menyemprotkan urine kebagian tumbuhan tersebut. Pada tipe hutan pegunungan sebagian besar berupa padang rumput yang cukup luas dengan beberapa sumber air yang terkandung didalamnya. Namun demikian padang rumput tersebut masih ditumbuhi beberapa tumbuhan yang hidup mengelompok dipunggungan dan lereng bukit, seperti pinus (Pinus merkusii strain Aceh). Letak tumbuh pohon ini menyulitkan untuk melakukan analisis vegetasi. Sebagian besar tumbuh ditebing dengan batuan cadas disekitarnya.
(a)
(b)
(c) Gambar 8. (a) Tegakan pinus strain Aceh, (b) Tegakan di hutan sub-pegunungan dan (c) Padang rumput
35
5.1.2.1. Satwa Mangsa Berikut data satwa mangsa yang diperoleh dengan kamera trap selama pengamatan di lapangan disajikan dalam tabel berikut : Tabel 10. Jenis satwa mangsa yang tertangkap kamera trap selama penelitian Total foto No Nama lokal Nama ilmiah foto independen 1 Rusa sambar Cervus unicolor 160 33 2 Kijang Muntiacus muntjak 116 27 3 Babi jenggot Sus barbatus 2 2 4 Macan dahan Neofelis nebulosa 2 1 5 Kucing emas Cathopuma temminckii 11 3 6 Beruang madu Helarctos malayanus 11 2 7 Musang galing Paguma larvata 11 5 8 Binturong Arctictis binturong 3 2 9 Pelanduk Tragulus napu 8 2 10 Landak Hystrix brachyura 12 9 11 Bajing tanah Lariscus insignis 5 2 12 Sempidan sumatera Lophura inornata 10 2 13 Kuau-kerdil sumatera Polyplectron chalcurum 12 2 14 Beruk Macaca nemestrina 47 22 Berdasarkan tabel 10 dapat diketahui bahwa jumlah satwa mangsa potensial harimau sumatera yang tertangkap kamera pada dua tipe habitat yaitu di hutan sub-pegunungan dan hutan pegunungan sebanyak 14 jenis satwa mangsa. Rusa sambar (Cervus unicolor) merupakan jenis satwa mangsa yang banyak tertangkap kamera trap dibandingkan dengan jenis satwa mangsa lainnya yang ada di hutan Blangraweu. Satwa ini lebih banyak ditemukan di areal padang rumput di hutan pegunungan yang berbatasan dengan hutan sub-pegunungan. Di hutan pegunungan rusa sambar akan berkelompok saat mencari makan yang berupa rumput berbeda pada hutan sub-pegunungan rusa sambar lebih hidup soliter karena hutannya lebih rapat bila dibandingkan di padang rumput.
36
(a)
(c)
(e)
(b)
(d)
(f)
Gambar 9. Satwa mangsa yang tertangkap kamera trap (a) Rusa sambar, (b) Kijang, (c) Beruk, (d) Babi jenggot, (e) Beruang madu dan (f) Landak Jenis satwa mangsa potensial lainnya yang sering tertangkap kamera adalah dari jenis kijang (Muntiacus muntjak), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura) dan kuau-kerdil sumatera (Polyplectron chalcurum). Beruk mudah ditemukan karena kebiasaannya yang berkelompok. Sedangkan jenis satwa mangsa lain seperti
babi jenggot (Sus barbatus) dan
binturong (Arctictis
binturong) sulit tertangkap kamera trap karena kondisi topografi sekitar
37
pemasangan kamera berbukit-bukit. Sebagian besar satwa mangsa ini sebarannya hampir merata ditemukan di hutan sub-pegunungan dan di hutan sub-pegunungan.
Gambar 10. Kerangka rusa sambar 5.1.2.1.1. Kepadatan Satwa Mangsa Estimasi kepadatan (density) satwa mangsa harimau sumatera yang tertangkap kamera disajikan dalam tabel berikut : Tabel 11. Estimasi kepadatan satwa mangsa berdasarkan tipe habitat No
Nama lokal
Nama ilmiah
1 2
Rusa sambar Kijang
Cervus unicolor Muntiacus muntjak
Kepadatan (/100 km2) Hutan Hutan subpegunungan pegunungan 34,59 12,81 6,86 47,70
Total 47,40 54,50
Estimasi kepadatan (density) satwa mangsa harimau sumatera yaitu rusa sambar (Cervus unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak). Kijang memiliki tingkat kepadatan yang tinggi di hutan sub-pegunungan. Rusa sambar memiliki tingkat kepadatan yang tinggi di hutan pegunungan namun di hutan subpegunungan satwa ini memiliki tingkat kepadatan yang cukup rendah. Secara umum tingkat dugaan kepadatan satwa mangsa harimau sumatera tertinggi adalah kijang. Selisih dugaan tingkat kepadatan kijang tidak begitu jauh dengan dugaan tingkat kepadatan rusa sambar.
38
5.1.2.2. Sumber Air Sumber air yang ditemukan di kawasan hutan Blangraweu terdiri dari berbagai tipe. Berdasarkan penemuan selama di lapangan sumber air dapat dikelompokkan sebagai berikut : Tabel 12. Parameter fisik sumber air yang digunakan harimau sumatera Bentuk sumber air
Lokasi sumber air
Krueng blee Krueng meureudu Sungai Krueng guha Krueng gumue Krueng sabee Alue blang senong Alue ilee Alur Alue gajah indram Kolam musiman Air hujan Genangan dan air hujan Rawa Rembesan air Cekungan di gua Keterangan : = ada sumber air
Ketersediaan sumber air Tersedia Tidak tersedia sepanjang tahun sepanjang tahun ⁻
(-) = tidak ada sumber air
Sumber air yang digunakan harimau sumatera di dua tipe habitat yang berupa sungai, alur, kolam musiman, genangan dari air hujan, dan rembesan air. Tabel di atas menunjukkan bahwa sungai memiliki peranan penting dalam kelangsungan hidup harimau sumatera. Sungai yang terdapat di lokasi penelitian memiliki ciri-ciri berarus deras dengan campuran batuan besar, batuan kerikil, tanah lempung dan pasir yang ada didalamnya. Terdapat lima sungai dengan masing-masing airnya yang jernih. Dari kelima sungai tersebut, krueng meureudu merupakan sungai terbesar dengan debit air yang tinggi. Sungai ini merupakan tempat bertemunya antara krueng sabee dengan krueng blee. Alur hanya ditemukan pada saat musim hujan, sedangkan pada musim kemarau alur akan mengering. Alue ilee merupakan alur yang dapat mengalir sepanjang tahun. Hal ini terlihat saat musim kemarau berlangsung, namun dengan debit air yang rendah. Di lokasi penelitian ditemukan rawa-rawa yang tergenang. Rawa ini terdapat diantara peralihan hutan pegunungan dengan hutan subpegunungan.
39
(a)
(b)
(a)
(b) (c) (d) Gambar 11. Sumber air yang ada di kawasan hutan Blangraweu (a) Krueng guha, (b) Krueng meuruedu, (c) Kolam musiman dan (d) Kubangan. 5.1.2.3. Cover Bentuk tutupan (cover) yang digunakan harimau sumatera yang ditemukan di lapangan terdiri dari berbagai tipe cover. Berikut adalah bentuk dan tipe cover yang disajikan dalam tabel. Tabel 13. Ketersediaaan cover di kawasan hutan Blangraweu Tipe cover
Fungsi cover
Tajuk pohon
Sebagai thermal cover
Banir pohon
Tempat untuk istirahat, mengasuh anak, dan menyembunyikan mangsa Tempat istirahat, bersarang, mengasuh anak Tempat berburu dan menyimpan buruannya. Tempat berburu
Gua Padang rumput Semak belukar
Tipe habitat Hutan subpegunungan Hutan subpegunungan
Ketinggian (mdpl) 1000-1500 1000-1500
Hutan subpegunungan Hutan pegunungan
1000-1500
Hutan pegunungan
500-1000
500-1000
40
Tutupan hutan pada lokasi penelitian di kawasan Hutan Blangraweu terbagi menjadi dua, yaitu hutan pegunungan berupa padang rumput dan hutan sub-pegunungan. Strata tajuk pada vegetasi yang ada di hutan sub-pegunungan adalah dari strata tajuk A, B, C, D dan E. Tajuk pohon merupakan tipe cover yang digunakan harimau untuk melindungi diri dari sengatan panas matahari (thermal cover). Banir pohon digunakan harimau sebagai tempat istirahat baik pada siang hari maupun malam hari. Saat musim beranak biasanya banir pohon digunakan pula sebagai tempat mengasuh anak. Saat mendapatkan mangsa buruan, harimau akan menyimpan sisa buruannya di banir pohon. Pada karnivora besar, cover berupa gua sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya. Gua dimanfaatkan oleh harimau sumatera sebagai tempat tinggal/bersarang/persembunyian (hiding cover), mengasuh anak, dan terdakang saat buruan mangsanya melimpah biasanya disimpan di tempat tersebut. Kondisi gua yang digunakan harimau biasanya dalam keadaan lembab dan dekat dengan sumber air. Padang rumput merupakan ciri khas habitat yang ada di kawasan hutan Blangraweu. Padang rumput digunakan harimau untuk mengintai dan berburu mangsa. Dalam pengamatan langsung ditemukan kelompok rusa sambar yang sedang mencari makan. Semak belukar sama halnya dengan padang rumput yang digunakan sebagai tempat berburu. Setiap cover ditipe habitat memiliki perbedaan masing-masing. Hutan sub-pegunungan tipe cover berupa tutupan tajuk, banir pohon, dan gua sedangkan di hutan pegunungan berupa padang rumput dan semak belukar. Untuk vegetasi di hutan pegunungan berupa hamparan padang rumput yang sangat luas dengan ditumbuhi pinus (Pinus merkusii strain Aceh) yang tumbuh mengelompok ditebing-tebing bebatuan cadas.
41
Gambar 12. Ceruk yang ada seberang sungai 5.1.3. Karakteristik Habitat 5.1.3.1. Satwa Mangsa Satwa mangsa yang tersedia bagi harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu yang tertangkap kamera trap sebanyak 14 jenis. Satwa mangsa kesukaan/utama dari harimau sumatera memiliki kriteria biomassa yang besar berkisar antara 6 – 7 kg daging per hari. Satwa mangsa kesukaan/utama bagi harimau sumatera antara lain rusa sambar, kijang dan babi jenggot. Namun demikian harimau sumatera juga akan memakan satwa yang ukurannya lebih sedang hingga kecil seperti beruk, pelanduk, landak dan kuau-kerdil sumatera. Hal ini dilakukan harimau apabila satwa mangsa utama sulit untuk didapatkan atau diburu di alam. Penyebaran satwa mangsa di kawasan hutan Blangraweu bersifat acak dan tersebar di dua tipe habitat. Namun ada beberapa jenis satwa mangsa yang hanya tertangkap kamera di salah satu tipe habitat saja. Babi jenggot hanya tertangkap kamera di hutan pegunungan saja, yaitu di perbatasan antara hutan dengan ladang penduduk. Rusa sambar dan kijang merupakan satwa mangsa utama harimau sumatera. Rusa memiliki penyebaran yang hampir merata di seluruh lokasi pemasangan kamera trap dua tipe habitat, namun lebih dominan di hutan pegunungan. Kijang lebih dominan tertangkap kamera di hutan sub-pegunungan sedangkan dihutan pegunungan hanya tertangkap pada satu kamera trap saja.
42
(a)
(b)
Gambar 13. (a) Kijang dan (b) Rusa sambar sebagai satwa mangsa utama harimau
5.1.3.2. Air Harimau merupakan kucing besar yang suka terhadap sumber air, berbeda dengan spesies dari keluarga Felidae yang takut terhadap air. Pada saat matahari terik harimau akan berendam untuk mendinginkan suhu tubuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air merupakan salah satu faktor penunjang yang mempengaruhi kelangsungan hidup harimau di habitatnya. Sungai yang dimanfaatkan harimau yang terdapat di kawasan hutan Blangraweu antara lain krueng meureudu, krueng guha, krueng sabee, krueng blee dan krueng gumue. Selama di lapang ditemukan jejak berupa tapak kaki baik yang tercetak di pasir maupun di batu (cetakan tapak yang masih basah).
(a)
(b)
Gambar 14. Sumber air di hutan Blangraweu (a), Tapak harimau dipinggir sungai (b)
43
5.1.3.3. Cover Penutupan tajuk pada tipe hutan pegunungan cukup bervariasi dari terbuka hingga rapat. Pada jalur bekas daerah transmigrasi penutup tajuk berada pada lapisan tajuk pertengahan dan lebih terbuka karena lebih dominan ditumbuhi padang rumput, ilalang dan semak belukar yang tidak terlalu rapat sehingga dimanfaatkan harimau untuk menyamarkan tubuhnya dalam melakukan perburuan. Di areal ini terdapat tanda-tanda keberadaan sekunder, yaitu ditemukan tapak (pugmark), kotoran/feses serta sisa tulang rusa bekas pemangsaan. Di areal ini juga ditemukan banyak tanda-tanda keberadaan satwa mangsa. ()
(a)
(b)
Gambar 15. Padang rumput (a) dan Semak belukar dijalur bekas transmigrasi (b) Keberadaan harimau sumatera ditipe hutan sub-pegunungan cenderung lebih memanfaatkan tutupan tajuk untuk menghindari sinar matahari terik. Tutupan tajuk dimanfaatkan harimau untuk istirahat, serta untuk berburu mangsa. Tingkat perjumpaan satwa mangsa di hutan ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan ditipe hutan pegunungan namun jenis satwa mangsa di hutan subpegunungan lebih beragam. Strata tajuk pada lokasi penelitian ditipe hutan subpegunungan didominasi oleh pohon balam dan meranti lebar daun.
44
Gambar 16. Kondisi cover di hutan sub-pegunungan Harimau sumatera cenderung akan menghindari jalur yang di tumbuhi jenis pandan dan rotan yang rapat dan akan memilih jalur yang sudah ada. Biasanya jalur yang sering di lewati harimau adalah jalur yang sudah ada atau jalur yang dilalui oleh satwa mangsa dan juga manusia serta jalur bekas logging. Walaupun lantai hutan sebagian besar ditutupi serasah dan vegetasi yang di tumbuhi lumut namun tanda keberadaan sekundernya dapat ditemui. Tanda-tanda keberadaan harimau sumatera ditipe hutan ini, yaitu ditemukannya tapak (pugmark), kotoran/feses, cakaran di tanah (scrape) dan cakaran di pohon (scratch). Tanda keberadaan harimau sumatera lebih bervariasi di hutan sub-pegunungan dari pada di hutan pegunungan. Sepanjang jalur satwa dari batas hutan pegunungan hingga hutan sub-pegunungan (pal batas daerah eks transmigrasi) ditemukan tapak harimau baik yang lama maupun yang masih baru. Tabel 14. Penggunaan habitat oleh harimau sumatera No 1 3 4 5 6 7
Jenis aktivitas
Berburu Berjalan Cakaran di tanah Cakaran di pohon Membuang kotoran Bersuara Keterangan : = ada aktivitas
Hutan pegunungan
(-) = tidak ada aktivitas
Frekuensi Hutan sub-pegunungan
45
5.1.4. Hubungan Penggunaan Antara Tipe Habitat Dengan Jumlah Satwa Hasil pengamatan terhadap jumlah individu harimau sumatera pada tipe habitat hutan pegunungan dan hutan sub-pegunungan dengan penggunaan habitat lebih banyak individu harimau sumatera yang ditemukan ditipe habitat subpegunungan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji chi kuadrat (chi-square) menyatakan bahwa χ²hit = 0,2 sedangkan χ²tab = 5,991, maka dinyatakan χ²hit < χ²tab sehingga terima H0 pada taraf nyata 95%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan jumlah harimau sumatera. Hasil uji chi kuadrat (chi-square) untuk satwa mangsa harimau sumatera pada tipe habitat hutan pegunungan dan hutan sub-pegunungan menunjukkan bahwa nilai χ²hit = 10,30 sedangkan χ²tab = 7,815 atau χ²hit > χ²tab maka tolak H0 pada taraf nyata 95%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan jumlah satwa mangsa yang ada di hutan Blangraweu.
5.1.5. Gangguan Habitat Bentuk gangguan yang ada di lokasi penelitian adalah ditemukan bekas aktivitas perambahan liar baik yang sudah lama maupun yang masih baru yang dilakukan dengan cara tradisional (menggunakan kerbau sebagai alat angkut kayu), dan dengan cara modern. Masyarakat Aceh yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani kopi dan cokelat berupaya untuk memperluas kebunnya dengan merambah hutan. Sehingga masyarakat yang memiliki lahan sempit mengkonversi hutan sebagai kebun baru. Kegiatan berburu merupakan aktivitas rutin yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Dalam satu bulan biasa masyarakat akan masuk hutan selama lebih kurang 15 hari sekitar 5 – 10 orang per kelompok. Perburuan besar-besaran terjadi apabila memasuki hari raya Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi. Alat yang digunakan untuk berburu berupa jerat tradisional, yaitu tali tambang, anyaman rotan, dan kayu sebagai pelontar. Selain itu, aktivitas yang dilakukan masyarakat masuk ke dalam hutan adalah untuk mencari ikan, rotan, jeureunang, gaharu, dan cendana. Adanya eksplorasi
46
tambang emas yang dilakukan oleh perusahaan tertentu yang dibantu oleh masyarakat lokal dapat berdampak merusak sistem ekologi yang ada di dalam kawasan hutan Blangraweu. Pembakaran padang rumput dan peracunan ikan yang dilakukan oleh oknum tertentu di padang rumput dan di sungai akan berakibat pada perubahan ekosistem di daerah tersebut.
Gambar 17. Potogan kayu sisa Illegal Logging Bentuk aktivitas perambahan liar yang dilakukan masyarakat lokal lainnya yaitu dengan cara modern. Cara ini lebih praktis dan efisien karena menggunakan mesin potong kayu (chainsaw). Di dalam hutan yang berbatasan dengan kebun masyarakat terutama di areal bekas tebangan masih ditemukan sisa kayu log yang terpotong rapih namun belum sempat terangkut. Kayu-kayu tersebut dibiarkan menumpuk sehingga ditumbuhi semak belukar. Di lokasi ini temukan gubuk atau pondokan yang sudah tidak terpakai, namun pada waktu tertentu pondokan tersebut berguna bagi masyarakat yang akan masuk ke dalam hutan untuk bermalam. Di jalur bekas transmigrasi masyarakat memanfaatkan jalut itu untuk mengangkut hasil hutan baik kayu maupun non kayu serta satwa hasil buru.
47
(a)
(b)
Gambar 18. (a) Perambahan di perbatasan antara kebun dengan hutan dan (b) Jerat yang terpasang di jalur satwa Bentuk ganguan habitat yang ada di kawasan hutan Blangraweu dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 15. Bentuk gangguan habitat di kawasan hutan Blangraweu No
Jenis gangguan
1 Penebangan liar 2 Perburuan 3 Eksplorasi tambang emas 4 Perambahan hutan 5 Illegal logging 6 Kebakaran 7 Pencari gaharu dan cendana Keterangan : = ada gangguan (-) = tidak ada gangguan
Tipe hutan Hutan pegunungan Hutan (savana) sub-pegunungan
48
5.2. Pembahasan 5.2.1. Potensi Populasi Harimau Sumatera 5.2.1.1. Kepadatan Harimau sumatera yang berhasil diidentifikasi dengan metode capture selama enam bulan adalah 5 individu. Estimasi populasi harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu adalah 5 – 9 ekor dengan total efektif sampling area kawasan tersebut seluas 211,25 km2. Model yang digunakan dalam program capture adalah (Mh) dengan asumsi bahwa kemungkinan rekam antar individu adalah tetap atau konstan diantara individu harimau sumatera, namun bervariasi diantara ulangan dari individu yang sama (Karanth & Nichols, 2003). Hal ini dapat diketahui bahwa kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu dengan selang kepercayaan 95% antara (X SE) 2 – 4 ekor (2,36 – 4,07 2,43 individu harimau/100 km2). Berdasarkan analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu tergolong normal. Karena per 100 km2 terdapat 2 hingga 4 individu harimau. Umumnya 1 individu tiap 50 km2, pada habitat relatif yang tidak terganggu dengan mangsa yang cukup seperti babi dan rusa (Whitten et al., 1992). Menurut Yosry (2002) idealnya 4 – 5 ekor harimau dewasa memerlukan kawasan seluas 100 km2 di kawasan tanah rendah dengan jumlah hewan buruan optimal (tidak dirambah oleh manusia). Hal ini berbeda dengan tingkat kepadatan harimau di kawasan hutan Batang Hari dengan luasan efektif sampling area yang lebih besar yaitu 1 – 3 ekor individu harimau/100 km2 (Budiana, 2009). Harimau sumatera yang berada pada tingkat kepadatan rendah yaitu 1 – 3 ekor/km2 memiliki jelajah yang luas sekitar 180 km2 untuk harimau jantan dewasa (Linkie, 2006b). Kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu sebesar 2,36 individu/100
km2
dapat
dikatakan normal.
Hal
ini
diketahui
dengan
mempertimbangkan dua faktor penentu, yaitu faktor luasan area dan faktor topografi. Topografi di kawasan hutan Blangraweu yang sebagian besar berupa hamparan bukit yang cukup terjal namun tidak menghambat pergerakan harimau dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Tipe hutan berupa hutan pegunungan, yaitu padang rumput dan hutan sub-pegunungan. Tingkat kepadatan
49
harimau sumatera lebih tinggi di hutan sub-pegunungan dibandingkan di hutan pegunungan yang terkonsentrasi di peralihan antara hutan dengan padang rumput. Hal ini diperoleh dari hasil kamera trap yang terpasang di dua tipe habitat tersebut. Kawasan hutan Blangraweu memiliki daya dukung yang sangat mencukupi bagi kehidupan harimau sumatera dengan satwa mangsa lebih banyak ditemukan di hutan sub-pegunungan.
5.2.1.2. Perbandingan Jenis Kelamin (Sex ratio) Harimau Sumatera Keberadaan harimau sumatera di habitatnya tidak lepas dari jumlah perbandingan antara harimau jantan dengan harimau betina. Berdasarkan identifikasi jenis kelamin harimau sumatera foto hasil kamera trap, perbandingan jenis kelamin jantan dan betina adalah 1 : 4, yaitu satu jantan dengan empat betina. Perbandingan jumlah betina lebih banyak dari pada jumlah jantan merupakan kebutuhan yang sesuai bagi harimau sumatera dalam bereproduksi selama satu tahun. Hal ini sama menurut Budiana (2009) yang berhasil mengidentifikasi perbandingan jenis kelamin harimau jantan dan harimau betina secara positif di kawasan hutan Batang Hari adalah 1 : 3. Harimau mempunyai struktur sosial pada perkawinan terbatas yaitu poligami, satu jantan dengan banyak betina (Smith, 1994 dalam Suryana, 2004). Sementara rasio perbandingan antara harimau jantan dan betina adalah sebesar rata-rata 2,4 betina/jantan (Karanth, 1991).
5.2.1.3. Struktur Umur Harimau Sumatera Komposisi struktur umur harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu adalah 5 dewasa. Sedangkan anakan harimau (sub-adult) tidak ditemukan selama pemasangan kamera trap di lapangan. Walaupun tidak tertangkap kamera trap keberadaan individu harimau sub-adult dapat diketahui dari tapak yang struktur metatarsal dan metacarpal yang sama dengan indukannya. Selama di lapangan ditemukan jejak berupa tapak anakan harimau (sub-adult) yang overlape dengan indukan harimau. Lokasinya ditemukan di seberang sungai dengan jalur jalan setapak. Singh (1999) menyatakan bahwa ukuran tapak anakan harimau berkisar antara 7 – 10 cm, sedangkan harimau dewasa memiliki ukuran tapak 10,5 – 17
50
cm. Hal ini mengindikasikan populasi akan berada dalam kondisi stabil atau mungkin akan mengalami peningkatan (Primack, 1998). Populasi harimau normal dan berkelanjutan harus memiliki 25 % anak (Karanth & Stith, 1999) Struktur umur dapat dipergunakan untuk menilai tingkat keberhasilan perkembangbiakan satwa, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai prospek kelestarian satwa (Alikodra, 2002). Untuk harimau, struktur umur juga dapat dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya dan diperjelas dengan bentuk ukuran tubuh. Semakin besar ukuran tubuh harimau maka semakin bertambah juga usia harimau tersebut. Menurut Primack (1999) bahwa populasi stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas, dengan perbandingan khas antara anak, individu muda, dewasa dan tua. Sunquist (1981) menjelaskan bahwa harimau betina melahirkan pertama kali pada usia sekitar tiga tahun setelah menetap di suatu tempat. Pada umumnya, jumlah anak harimau per satu kelahiran adalah tiga ekor namun dapat sampai lima ekor dengan jarak antar kelahiran mencapai 20 bulan. Jarak antar kelahiran yang relatif pendek ini dapat mempertinggi hasil reproduksi harimau betina dan daya tahan untuk harimau muda adalah tinggi. Harimau mampu dan dapat merespon secara reproduktif terhadap perubahan kondisi lingkungan. Rata-rata harimau betina untuk mampu berkembangbiak selama 6,1 tahun.
5.2.1.4. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsa Kamera trap sangat membantu dalam mengetahui tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa. Hasil dari kamera trap tersebut kemudian dipilih berdasarkan jumlah foto independen dari tiap jenis satwa.
Foto independen
merupakan foto yang terekam secara berurutan/sekual pada satu frame foto dalam satu nomor film yang telah disaring berdasarkan waktu (O’Brien et al. 2003). Tingkat perjumpaan harimau sumatera pada tiap kamera cukup bervariasi. Terdapat 19 kamera trap dengan kode RC (Reconnyx) yang terpasang di kawasan hutan Blangraweu. Hasil kamera trap menunjukkan nilai tingkat perjumpaan lebih tinggi pada kamera trap RC02 dan RC11 dengan nilai ER masing-masing sebesar 14,29 foto/100 hari dan 11,43 foto/100 hari. Posisi kedua kamera ini berjauhan namun masih disatu habitat yaitu di hutan sub-pegunungan. Secara umum tingkat
51
perjumpaan harimau sumatera tertinggi berada di hutan sub-pegunungan, kemudian di hutan pegunungan. Berbeda dengan Riansyah (2007) yang menyatakan bahwa ER harimau sumatera tertinggi berada ditipe hutan perbukitan sebesar 7,25 foto/100 hari. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan tingkat perjumpaan harimau adalah cara penempatan kamera di jalur yang biasa dilalui secara kontinu oleh harimau dalam hitungan hari, jam maupun menit. Kurun waktu tertentu dalam masa aktif kamera harimau akan melewati jalur yang di pasang kamera trap. Sehingga perhitungan tingkat perjumpaan akan lebih besar pada kamera tersebut. Selain itu, perbedaan jumlah pemasangan kamera juga sangat mempengaruhi tingkat perjumpaan. Hutan sub-pegunungan memiliki penempatan kamera trap yang lebih banyak (n=13) dari pada hutan pegunungan (n=6). Semakin banyak jumlah kamera yang terpasang pada tipe habitat maka akan semakin besar peluang tertangkapnya individu harimau. Tingkat perjumpaan satwa mangsa di kawasan hutan Blangraweu tertinggi adalah rusa sambar (Cervus unicolor) sebesar 13,06 foto/100 hari dengan foto independen sejumlah 33 foto. Menurut Endri (2006) kelimpahan satwa mangsa tertinggi di Blok Hutan Sipurak adalah rusa sambar. Rusa sambar dapat dikatakan mudah untuk dijumpai atau dilihat. Tempat yang mudah untuk melihat keberadaan rusa sambar di hutan Blangraweu adalah disekitar padang rumput yaitu pada pagi hari dan sore hari. Rusa merupakan satwa yang dominan keberadaannya di hutan pegunungan. Faktor utama yang menyebabkan rusa memiliki tingkat perjumpaan lebih tinggi di hutan pegunungan adalah karena di hutan ini terdapat padang rumput (feeding ground) yang digunakan bagi rusa untuk merumput. Rusa merupakan satwa herbivora dengan tipe graseer. Sedangkan di hutan sub-pegunungan rusa sambar tidak mudah untuk ditemukan. Namun demikian penyebaran rusa sambar terdapat didua habitat tersebut. Babi jenggot (Sus barbatus) memiliki ER yang sangat rendah dibandingkan satwa mangsa lain, yaitu sebesar 0,19 foto/100 hari. Berbeda dengan Riansyah (2007) menyatakan bahwa tingkat perjumpaan satwa mangsa tertinggi di Ipuh-Seblat adalah babi jenggot. Topografi yang berbukit-bukit dan curam menyulitkan satwa ini untuk dapat dijumpai. Hal ini terlihat dari jumlah
52
foto independen yang hanya 3 foto saja. Namun diluar gride cell terutama di perbatasan antara hutan dengan kebun masyarakat, satwa ini mudah untuk dijumpai karena sering memakan tanaman yang ada di dalam kebun tersebut. Hal lain yaitu jumlah populasi babi jenggot sedikit dibandingkan dengan populasi rusa sambar dan kijang. Sehingga kecenderungan satwa ini tersingkir oleh populasi rusa sambar dipinggiran padang rumput dan menempati areal hutan yang berbatasan dengan kebun masyarakat. Kijang (muntiacus muntjak) yang merupakan satwa mangsa kesukaan atau utama dari harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu yang memiliki tingkat perjumpaan setelah rusa sambar yaitu sebesar 9,47 foto/100 hari dengan foto independen sejumlah 27 foto. Berbeda dengan rusa yang sebagian besar menyukai padang rumput, kijang menyukai tempat yang teduh dengan lantai hutan yang bersih namun masih ditumbuhi berbagai tumbuhan bawah. Hal ini dikatahui dari ditemukannya aktifitas berupa sisa makanan, tapak kaki dan feses kijang disekitar pemasangan kamera trap dan jalur pengamatan.
5.2.2. Habitat Harimau Sumatera Kawasan hutan Blangraweu terdapat dua tipe habitat, yaitu hutan pegunungan dan hutan sub-pegunungan. Struktur vegetasi di kawasan hutan Blangraweu terdiri dari berbagai tipe strata tajuk mulai dari strata A sampai strata E. Strata A merupakan lapisan teratas dari pohon-pohon yang tinggi totalnya lebih dari 30 m, strata B dengan tinggi 15 – 30 m, strata C dengan tinggi 5 – 15 m, strata D merupakan lapisan perdu dan semak dengan tinggi 1 – 4 m dan strata E merupakan lapisan tumbuhan penutup tanah dengan tinggi 0 – 1 m (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Vegetasi di hutan sub-pegunungan memiliki strata tajuk yang cukup lengkap. Ditipe hutan ini tumbuhan yang mendominasi adalah dari famili Guttiferae dan Dipterocarpaceae. Guttiferae dengan ciri-ciri pohon, sebagian bergetah kuning lengket dan berdaun tebal sedangkan Dipterocarpaceae memiliki ciri-ciri pohon raksasa, berdamar, berbanir dan kulit batang mengelupas. Pada tingkat pohon, jenis yang banyak ditemui adalah dari jenis Balam (Palaquium walsurifolium) dan Meranti lebar daun (Shorea uliginosa). Jenis ini tumbuh
53
tersebar pada topografi yang landai dengan strata tajuk yang lebar dan rapat pada pada bagian kanopinya. Sekitar tumbuhnya jenis ini, lantai hutan dipenuhi serasah daun yang cukup tebal namun masih ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan lainnya dari tingkat tiang dan tingkat pancang. Tingkat kerapatannya dapat mengurangi sinar matahari yang masuk dan jatuh ke lantai hutan. Menurut McDougal (1979) harimau merupakan satwa yang tidak tahan terhadap sinar matahari terik. Habitat berguna
bagi
harimau
untuk
melakukan
aktivitasnya,
seperti berburu,
berkembangbiak dan istirahat. Di hutan ini yang merupakan peralihan dengan padang rumput, ditemukan bekas aktivitas satwa seperti jalur gajah sumatera (Elephas maximus sumatraensis) yang digunakan secara kontinu/terus-menerus oleh satwa tersebut untuk menjelajah wilayahnya. Lokasi tersebut juga terdapat tempat berkubang dan tempat mengasin (salt lick) rusa sambar dan kijang baik yang sudah lama maupun yang masih baru serta tapak harimau sumatera yang tercetak di tanah disepanjang jalur setapak yang menuju ke padang rumput. Hutan pegunungan di lokasi penelitian merupakan padang rumput yang cukup luas. Di padang rumput sangat sedikit ditumbuhi pepohonan. Pohon tumbuh berpencar dan ada juga yang tumbuh mengelompok di tebing-tebing bukit dan ada juga yang tumbuh di pinggiran sumber air. Tebingan bukit banyak ditumbuhi jenis pinus (Pinus merkusii strain Aceh). Jenis ini tumbuh di tebing cadas dengan kontur yang cukup landai hingga curam. Di aliran sungai, jenis ini juga tumbuh baik namun memencar di titik-titik alur air sekitar padang rumput. Aliran sungai yang berfungsi sebagai sumber air yang sangat disukai oleh satwa. Harimau menghindari hutan yang terbuka karena badannya yang dapat terlihat dengan mudah (Endri, 2006). Habitat ini digunakan harimau sumatera untuk menjelajah wilayahnya serta berburu mangsanya. Padang rumput merupakan tempat favorit bagi satwa, seperti rusa sambar dan gajah sumatera untuk mencari sumber pakan. Menurut Siswomartono et al., (1994) habitat yang optimal untuk harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Habitat pegunungan berupa hamparan padang rumput adalah tempat yang sesuai bagi kelangsungan hidup satwa dengan melimpahnya sumber pakan sehingga keseimbangan ekosistem di dalamnya dapat terjaga dengan baik. Namun jika
54
salah satu komponen habitat tersebut terganggu maka salah satu komponen lain akan terganggu keseimbangannya dalam ekosistem.
5.2.2.1. Satwa Mangsa Seperti halnya sub-spesies harimau lainnya, harimau sumatera adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas, sepanjang tersedia cukup mangsa dan sumber air (Seidensticker, 1999). Satwa karnovira khususnya harimau sumatera tidak lepas dari tingkat kelimpahan satwa mangsa. Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yaitu mamalia pemakan daging sejati yang berbeda dengan satwa karnivora lainnya. Harimau memiliki anatomi pencernaan yang khusus sebagai pemakan daging. Kondisi satwa mangsa yang stabil akan mempengaruhi keberadaan harimau di habitatnya. Sedangkan satwa mangsa sangat bergantung dari kelimpahan dan kualitas sumber pakan yang sesuai di alam. Harimau memiliki tingkatan dalam memilih satwa mangsa buruannya. Tingkatannya terdiri dari satwa mangsa kesukaan/utama dan dan satwa mangsa potensial. Satwa mangsa kesukaan adalah satwa mangsa yang secara kontinu dimangsa oleh harimau sumatera. Mangsa utama harimau sumatera memiliki komposisi daging 6 – 7 kg per hari dan sampai 40 kg yang sesuai dengan kebutuhan harimau sumatera dan yang mudah diburu (MacDonald, 1986 dalam Lestari, 2006). Sedangkan mangsa potensial adalah mangsa harimau yang berpotensi untuk diburu. Biasanya dalam kondisi kritis, harimau akan memangsa satwa apapun yang terdeteksi keberadaannya. Berdasarkan jumlah foto independen, jenis satwa mangsa yang sering tertangkap kamera trap adalah rusa sambar (Cervus unicolor) dengan 33 foto. Satwa ini penyebarannya hampir merata di dua tipe habitat. Populasinya yang sesuai dengan sumber pakan yang melimpah di alam terutama di padang rumput. Hal ini diketahui dengan tertangkapnya oleh kamera trap pada dua habitat tersebut. Keberadaan satwa ini lebih banyak terekam kamera trap di hutan pegunungan, yaitu di padang rumput. Di padang rumput ditemukan sisa makanan harimau berupa tulang belulang rusa sambar dekat dengan sumber air. Satwa yang aktif di atas tanah (terestrial) ini merupakan satwa dengan perilaku hariannya
55
mengelompok. Sistem berkelompok satwa ini juga berfungsi sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan predator (Dinata dalam Budiana, 2002). Dengan demikian konsentrasi populasi rusa sambar lebih tinggi di padang rumput. Selain rusa sambar, jenis mangsa lain yang tertangkap kamera trap dengan foto independen masing-masing adalah kijang (Muntiacus muntjak) 27 foto dan babi jenggot (Sus barbatus) 2 foto. Berdasarkan tingkatan dalam pemangsaan, satwa yang telah disebutkan di atas termasuk satwa mangsa kesukaan/utama harimau sumatera karena komposisi dagingnya sesuai dengan yang dibutuhkan oleh harimau. Satwa mangsa kesukaan/utama di kawasan hutan Blangraweu adalah kijang (Muntiacus muntjak). Pakan utama harimau sumatera adalah dari keluarga Cervidae berukuran besar dan Suidae (Seidensticker, 1986). Seekor harimau membutuhkan 5 – 6 kg daging seharinya untuk kelangsungan hidupnya (Sunquist 1981). Sunquist (1981) melanjutkan bahwa seekor harimau betina dapat membunuh seekor muntjak seberat 20 kg setiap 2-3 hari atau membunuh seekor rusa dan muntjak seberat 200 kg setiap beberapa minggu. Kijang merupakan satwa mangsa bertipe browser, yaitu satwa yang lebih suka memakan pucuk/tunas daun muda (Endri, 2006). Satwa ini melakukan aktivitas harian yang suka menyendiri (soliter). Hal ini diketahui dari foto hasil kamera trap selama di lapangan. Penyebarannya terekam kamera trap hanya di hutan sub-pegunungan saja dan tidak terekam di hutan pegunungan yaitu di padang rumput. Satwa ini menyukai hutan yang alami dengan komposisi vegetasi yang baik dan lengkap. Namun di hutan sekunder satwa ini masih dapat dijumpai. Hal ini terlihat dari hasil kamera trap yang terpasang di lokasi yang berbatasan dengan kebun masyarakat tersebut. Jenis satwa mangsa potensial harimau sumatera antara lain pelanduk (Tragulus napu), beruk (Macaca nemestrina), beruang madu (Helarctos malayanus) dan landak (Hystrix brachyura). Satwa mangsa potensial ini cenderung lebih mudah ditemukan di hutan sub-pegunungan dari pada di hutan pegunungan. Hal ini didasarkan pada faktor-faktor dan daya dukung habitat yang sesuai yang ada di hutan sub-pegunungan. Dasman (1964) menyatakan bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung. Jelajah harimau sumatera yang cukup luas sehingga mampu berpindah tempat dengan
56
cepat menurut pergerakan satwa mangsanya. Harimau akan cepat berpindah tempat apabila satwa mangsa disuatu lokasi dalam keadaan kritis dan berpindah ke lokasi lain yang melimpah satwa mangsanya. Kondisi habitat yang sesuai bagi harimau sumatera adalah daerah yang memiliki kepadatan dan keanekaragaman satwa mangsa yang tinggi (Lestari, 2006). Pemilihan habitat oleh harimau sumatera akan mengikuti habitat yang dipilih oleh satwa ungulata di dalam wilayah hidupnya.
5.2.2.1.1. Kepadatan Satwa Mangsa Dalam penentuan jumlah populasi satwa mangsa harimau digunakan perhitungan kepadatan guna untuk mengetahui kisaran jumlah yang sesuai bagi pakan harimau per 100 km2. Penentuan kepadatan satwa mangsa harimau adalah dengan menggunakan bantuan kamera trap sehingga memudahkan dalam perhitungan. Berdasarkan identifikasi dan perhitungan diketahui bahwa tingkat kepadatan satwa mangsa tertinggi adalah kijang (Muntiacus muntjak) sebesar 54,70 ekor/100 km2. Rusa sambar (Cervus unicolor) menempati posisi kedua dalam tingkat kepadatan, yaitu sebesar 47,40 ekor/100 km2. Hasil perhitungan ini didasarkan pada jenisnya yang ungulata dan pada pergerakan satwa yang relatif konstan. Kijang merupakan satwa mangsa kesukaan bagi harimau sumatera didua tipe habitat yaitu di hutan pegunungan dan hutan sub-pegunungan yang ada di kawasan hutan Blangraweu. Pada ketinggian di atas 600 m dpl, sebagian besar mangsa harimau adalah muntjak dan kadang-kadang rusa (Griffiths, 1996). Walaupun harimau membunuh sejumlah mangsa jenis tertentu (Karanth & Sunquist 1995), namun sebagian besar kebutuhan mereka akan biomassa dipenuhi oleh spesies ungulata besar (>20 kg) Cervidae, Bovidae dan Suidae membentuk mangsa yang utama bagi harimau. Kijang terekam kamera hampir disebagian besar titik kamera di hutan sub-pegunungan. Hutan sub-pegunungan merupakan habitat yang sesuai bagi kijang dengan cukup melimpahnya sumber pakan alami sehingga dapat berkembangbiak dengan baik. Namun di hutan pegunungan, kijang sulit untuk terekam kamera trap. Hal ini diketahui dari hasil kamera trap yang terpasang di hutan pegunungan. Rusa sambar terekam kamera trap lebih
57
melimpah di hutan pegunungan yaitu di padang rumput. Padang rumput yang luas dengan melimpahnya rerumputan, semak belukar dan sumber air memudahkan bagi rusa sambar untuk berkembangbiak. Rusa menyukai tempat yang terbuka dengan sumber makanan yang mencukupi di habitatnya. Kepadatan satwa mangsa harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu dapat dikatakan rendah karena per 100 km2 terdapat 40 – 50 ekor satwa mangsa saja. Sunquist (1981) menyatakan bahwa luas wilayah hidup harimau betina bervariasi dari 10 km2 sampai 15 km2 di habitat utamanya dengan tingkat kepadatan satwa mangsa normal sebesar 25 – 75 ungulata/km2. Kepadatan satwa mangsa yang rendah dipengaruhi oleh topografi antara dua habitat yang berbukitbukit dan jumlah hijauan pakan yang lebih banyak terdapat di hutan pegunungan yaitu di padang rumput. Sehingga satwa mangsa lebih terkonsentrasi diperalihan antara hutan dengan padang rumput. Ada beberapa parameter populasi yang berpengaruh terhadap nilai kepadatan, yaitu natalitas, mortalitas, imigrasi dan emigrasi (Alikodra, 2002). Satwa yang rentan terhadap lingkungan akan tersingkir dari wilayahnya sedangkan satwa yang kuat akan hidup menetap dan dapat berkembangbiak dengan baik. Alikodra (2002) menambahkan bahwa populasi yang relatif kecil dan terisolasi akan terjadi indreeding, sehingga kemungkinan terjadinya kepunahan menjadi bertambah besar.
5.2.2.2. Sumber Air Sumber air terbagi menjadi dua, yaitu sumber air yang mengalir sepanjang tahun dan sumber air yang tidak mengalir sepanjang tahun. Sungai yang ditemukan di lokasi penelitian merupakan sumber air yang mengalir sepanjang tahun antara lain krueng meureudu, krueng guha, krueng sabee, krueng blee dan krueng gumue. Sungai ini terdapat di hutan pegunungan dan hutan subpegunungan. Sungai yang terdapat di lokasi penelitian memiliki ciri-ciri berarus deras dengan substrat berupa campuran batuan besar, batuan kerikil, pasir dan lempung. Sungai tersebut masing-masing memiliki air yang jernih namun saat hujan sungai akan terlihat keruh karena bercampur dengan endapan lumpur yang terbawa arus. Sunquist (1981) menyatakan bahwa harimau menyukai habitat pinggiran sungai (riverine habitat). Selama di lapangan ditemukan tapak harimau
58
yang tercetak di atas bebatuan yang masih basah di pinggir sungai. Aliran air merupakan tempat yang sesuai bagi harimau sumatera karena digunakan untuk menurunkan suhu tubuhnya saat matahari terik. Suhu badan yang terlalu panas dapat membunuh harimau sehingga harimau berendam untuk menurunkan suhu tubuhnya (McDougal, 1979). Sumber air lain yang ditemukan di lokasi penelitian adalah alur, kolam musiman, genangan dan rembesan air. Terdapat alur yang mengalir sepanjang tahun, yaitu alue ilee. Alur ini terdapat di hutan sub-pegunungan. Ketersediaan sumber air disuatu habitat itu sendiri dipengaruhi oleh iklim lokal yang menentukan kuantitas total air yang tersedia dan juga keadaan hujan apakah merata sepanjang tahun atau hanya dalam beberapa bulan saja (Alikodra, 2002). Saat musim kemarau alur ini masih mengalir namun dengan debit air yang cukup kecil. Alur lain banyak ditemukan di padang rumput di hutan pegunungan. Ketika hujan alur ini akan terisi alir dengan debit air yang deras mengarah ke krueng meureudu. Namun saat musim kemarau alurnya akan mengering sehingga dimanfaatkan satwa untuk berkubang. Kolam musiman berupa cekungan air yang terisi air ketika hujan. Cekungan ini dimanfaatkan satwa herbivora untuk minum, berkubang dan mengasin (saltlick). Di sekitar cekungan tersebut banyak ditemukan bekas aktivitas satwa berupa tapak dan kotoran/feses. Rembesan air yang ada di dalam gua juga merupakan sumber air yang potensial bagi satwa. Di lokasi penelitian ditemukan ceruk di sepanjang aliran sungai krueng guha yang airnya cukup melimpah. Sekitar ceruk ditemukan bekas aktivitas berupa tapak harimau beserta anakannya (sub-adult).
5.2.2.3. Cover Lindungan (cover) merupakan tempat yang dibutuhkan satwa untuk berlindung dari gejala alam. Cover dibedakan menjadi dua, yaitu tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Harimau sumatera merupakan satwa yang aktif sehingga membutuhkan cover untuk penyesuaian kondisi tubuhnya. Cover dapat berfungsi sebagai tempat berkembangbiak, tempat makan, tempat bersembunyi,
59
tempat bersarang dan tempat untuk beristirahat (Bailay, 1982 dalam Lestari, 2006). Kondisi strata tajuk pada hutan sub-pegunungan cukup sesuai dengan penutup tajuk yang rimbun dengan tegakan kanopi yang tinggi. Sehingga dapat mengurangi intensitas cahaya matahari yang masuk. Selain itu, di hutan ini ditemukan pohon yang berbanir besar dan membentuk celah-celah kecil yang dimanfaatkan bagi satwa untuk berlindung. Pada siang hari atau matahari terik kondisi di dalam hutan sangat sejuk namun cahaya matahari masih dapat masuk melalui celah-celah kanopi. Kondisi kerapatan vegetasi akan berpengaruh terhadap intensitas sinar matahari yang masuk (Alikodra, 2002). Lantai hutan yang tertumpuk serasah yang hangat dimanfaatkan harimau untuk istirahat. Serasah daun pada lantai hutan mampu menghangatkan suhu tubuh harimau dari suhu tanah yang lembab dan dingin (Riansyah, 2007). Di lokasi penelitian ditemukan bekas aktivitas berburu harimau pada saat pagi hari. Selain itu, di hutan sub-pegunungan ditemukan bekas aktivitas harimau sumatera, yaitu cakaran di tanah (scrape), cakaran di batang pohon (scratch) dan feses/kotoran. Pada hutan pegunungan di sekitar padang rumput yang sedikit ditumbuhi pepohonan merupakan tempat favorit bagi harimau sumatera. Cover di tempat ini berupa rerumputan, ilalang dan semak belukar. Ilalang dan semak belukar dimanfaatkan harimau sebagai tempat untuk berlindung. Lestari (2006) menyebutkan bahwa harimau merebahkan dirinya pada alang-alang tersebut sehingga dapat terhindar dari sinar matahari pada cuaca yang panas. Semak belukar dan ilalang yang hampir mirip dengan warna tubuh harimau dimanfaatkan untuk menyamar saat mengintai mangsanya. Hal ini diperkuat oleh Borner (1992) yang menyebutkan bahwa ilalang juga dapat digunakan harimau sebagai tempat persembunyian untuk mengintai satwa mangsa dan tempat berlindung saat memakan satwa mangsa. Saat musim hujan, harimau akan terkonsentrasi di peralihan antara hutan dengan padang rumput untuk mengintai satwa mangsanya. Pada musim hujan rerumputan yang ada di padang rumput akan hijau segar sehingga satwa mangsa akan berkumpul mencari makan di lokasi tersebut.
60
5.2.3. Karakteristik Habitat 5.2.3.1. Satwa Mangsa Harimau sumatera mampu hidup mulai dari hutan dataran rendah hingga hutan sub-pegunungan dengan ketinggian antara 0 – 2000 m dpl. Borner (1978) dalam Endri (2006) menyebutkan bahwa harimau dapat hidup di hutan pegunungan sampai ketinggian lebih dari 2000 m dpl. Kawasan hutan Blangraweu dengan ketinggian lebih kurang 600 – 2000 m dpl ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau sumatera berupa tapak kaki, feses/kotoran, scrape dan scratch. Hal ini diperoleh berdasarkan pada penemuan tanda-tanda keberadaan sekunder di jalur pengamatan yang terpasang kamera trap. Ungulata merupakan penyusun terbesar dalam komposisi jenis pakan harimau. Harimau membutuhkan 5 – 6 kg daging sehari dengan biomassa diatas 20 kg, apabila dalam setahun maka harimau akan membutuhkan daging mangsanya sebesar 1825 – 2190 kg (Sunquist, 1981 dalam Seidensticker et al., 1999). Pakan utama harimau sumatera adalah dari keluarga Cervidae berukuran besar dan Suidae (Seidensticker, 1986). Satwa mangsa utama harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu adalah rusa sambar, kijang dan babi jenggot. Rusa sambar lebih menyukai hutan pegunungan dari pada hutan sub-pegunungan karena di hutan ini terdapat sumber pakan seperti rumput dan sumber air yang cukup melimpah. Faktor utama penyebab rusa sambar lebih dominan di hutan pegunungan adalah terdapat padang rumput/padang penggembalaan (feeding ground) yang digunakan bagi rusa sambar untuk merumput karena rusa merupakan tipe grasser. Sedangkan kijang lebih mendominasi di hutan subpegunungan. Hutan sub-pegunungan merupakan tempat yang sesuai bagi kijang karena terdapat sumber makanan utama yaitu pucuk daun muda. Kijang merupakan satwa mangsa bertipe browser, yaitu satwa yang lebih suka memakan pucuk/tunas daun muda (Endri, 2006). Harimau sumatera lebih terkonsentrasi diperalihan antara hutan dengan padang rumput. Hal ini dikarenakan di padang rumput jumlah rusa sambar lebih banyak dan berkelompok. Sehingga mempermudah harimau untuk berburu satwa buruannya tersebut. Berbeda dengan rusa sambar yang ada di hutan sub-pegunungan yang hidup soliter sehingga menyulitkan harimau untuk berburu.
61
5.2.3.2. Sumber Air Air sangat penting bagi kehidupan satwa khususnya harimau sumatera. Berbeda dengan keluarga kucing lainnya, harimau menyukai air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam Lestari, 2006). Kebiasan harimau tidak lepas dari aktivitasnya yang suka berburu mangsa sehingga suhu tubuhnya selalu berubah karena sifatnya yang aktif (termofilia). Harimau termasuk dalam satwaliar yang menggantungkan hidupnya terhadap kelimpahan sumber air yang mempengaruhi dalam proses mobilitas, soliter dan suhu tubuh. Kawasan hutan Blangraweu memiliki sumber-sumber air baik yang mengalir maupun yang menggenang. Terdapat lima sungai besar yang terdapat di lokasi penelitian yang mengalir sepanjang tahun. Harimau sumatera lebih menyukai sumber air yang mengalir sepanjang tahun dengan air yang jernih. Sumber air ini digunakan harimau untuk minum, mendinginkan suhu tubuh dan membersihkan badan. Saat matahari terik harimau akan berendam untuk menurunkan suhu tubuhnya. Di dekat aliran sungai ditemukan tapak harimau yang tercetak di pasir yang bercampur
lumpur. Hal ini mengindikasikan bahwa harimau sumatera
memanfaatkan sungai sebagai sumber minum serta untuk kebutuhan lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan hutan Blangraweu berfungsi sebagai penyedia air yang cukup sepanjang tahun yang dibutuhkan oleh harimau sumatera.
5.2.3.3. Cover Tutupan vegetasi dengan naungan tajuk yang rimbun sangat berkaitan dengan tinggi rendahnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan. Kondisi di dalam hutan sangat berpengaruh terhadap keberadaan satwa khususnya harimau. Tegakan pohon dengan tajuk yang rimbun yang digunakan sebagai cover merupakan tempat yang nyaman dan sesuai bagi harimau sumatera. Cover berupa tegakan pohon (hutan) merupakan tempat utama yang paling disukai oleh harimau sumatera. Hutan pegunungan dan hutan sub-pegunungan memiliki komponen habitat yang melimpah dengan komposisi vegetasi yang beragam. Jumlah satwa mangsa yang cukup dengan sumber air yang memadai merupakan penyokong bagi
62
kehidupan harimau. Di hutan pegunungan yang berupa padang rumput memiliki keunikan tersendiri bagi kelangsungan hidup harimau. Tempat ini ditumbuhi rerumputan dan semak belukar yang tumbuh secara alami yang cukup luas sehingga menjadi tempat yang disukai bagi satwa baik harimau maupun satwa mangsa. Padang rumput dijadikan sentral atau pusat bagi satwa mangsa ungulata untuk berkembangbiak. Hal ini dimanfaatkan harimau untuk berburu mangsa. Hutan pegunungan yang lebih dominan ditumbuhi padang rumput, ilalang dan semak belukar dapat dikatakan belum dikategorikan memenuhi kebutuhan harimau akan cover sebagai pelindung dari panas matahari. Pada lokasi ini cenderung dimanfaatkan harimau untuk berburu mangsa. Hutan pegunungan merupakan tempat yang lebih banyak dijumpai rusa sambar yang hidup berkelompok sedangkan di hutan sub-pegunungan dengan hutan yang relatif rapat rusa sambar hidup lebih soliter. Pemanfaatan cover ini lebih pada penyamaran tubuhnya saat mengintai satwa buruannya. Harimau merupakan satwa karnivora yang menangkap mangsanya dengan teknik mendekat secara diam-diam dari dalam semak belukar atau alang-alang dan kemudian langsung menyergapnya dalam sekali terkam (Sanghala, 2005).
5.2.4. Hubungan Penggunaan Antara Tipe Habitat Dengan Jumlah Satwa Berdasarkan hasil analisis dengan uji chi kuadrat (chi-square), didapat nilai χ²hit sebesar 0,2 dengan nilai χ²tab sebesar 5,991. Karena χ²hit < χ²tab, maka hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan jumlah harimau sumatera dikawasan hutan Blangraweu. Jumlah harimau sumatera lebih besar di hutan sub-pegunungan dari pada di hutan pegunungan namun demikian tidak ada perbedaan penggunaan habitat oleh harimau sumatera di hutan tersebut. Tutupan hutan yang rimbun dengan jajaran pohon cukup rapat dan padang rumput yang cukup luas dimanfaatkan oleh harimau untuk istirahat, berkembangbiak dan berburu mangsa. Keberadaan satwa mangsa yang melimpah di dua tipe habitat tersebut dapat dijadikan referensi bagi harimau sumatera untuk berkembangbiak dan mempertahankan hidupnya. Hasil untuk perbandingan tingkat penggunaan habitat oleh satwa mangsa antara dua tipe habitat didapat nilai χ²hit sebesar 10,30 dengan nilai χ²tab sebesar
63
7,815. Karena perbandingan χ²hit > χ²tab, maka dapat dikatakan bahwa satwa mangsa yaitu, kijang dan babi jenggot lebih menyukai tipe habitat di hutan subpegunungan dari pada di hutan pegunungan. Rusa sambar lebih menyukai tipe habitat di hutan pegunungan karena di areal ini terdapat padang rumput sebagai sumber makanan utama. Hal ini dikarenakan jumlah pakan di hutan subpegunungan lebih melimpah dengan daya dukung habitatnya yang sesuai dari pada dihutan pegunungan. Berbeda dengan hutan pegunungan yang di dalamnya terdapat padang rumput sehingga hanya satwa tertentu saja yang bisa memanfaatkannya.
5.2.5. Gangguan Habitat Harimau Sumatera 5.2.5.1. Penebangan Liar (illegal logging) dan Perambahan Hutan Deforestasi dan degradasi hutan di Sumatera merupakan salah satu ancaman yang signifikan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati, terutama terhadap jenis-jenis mamalia besar yang memiliki daerah jelajah yang luas seperti harimau. Jenis ancaman terhadap kelestarain hutan adalah illegal logging dan perambahan hutan. Holmes (2003) memperkirakan hampir 6.700.000 hektar tutupan hutan telah menghilang dari pulau ini antara 1985 – 1997. Sementara menurut Departemen Kehutanan, antara tahun 2000 – 2005, memperkirakan deforestasi di pulau Sumatera mencapai 1.345.500 hektar, dengan rata-rata per tahun sebesar 269.100 hektar. Ancaman atau gangguan ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini berakibat semakin menyempitnya habitat harimau sumatera di alam. Kawasan hutan Blangraweu yang menjadi ancaman terhadap habitat harimau sumatera adalah di hutan pegunungan yang berbatasan dengan kebun penduduk dan bekas areal transmigrasi. Akses masyarakat yang sebagian besar memiliki ladang yang dekat hutan memudahkan untuk menebang dan merambah hutan. Aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di dalam hutan adalah penebangan
liar
dan
perambahan.
Penebangan
liar
dilakukan
dengan
menggunakan chainsaw, yaitu alat yang digunakan untuk memotong batang kayu. Sedangkan alat angkutnya masih menggunakan kerbau dan mobil. Kerbau difungsikan untuk mengangkut potongan kayu dari dalam hutan menuju pinggiran
64
hutan yang terdapat jalan bekas transmigrasi sedangkan mobil difungsikan untuk mengangkut kayu yang terkumpul dipinggir jalan. Kegiatan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat pada awalnya hanya sebatas membuat dan memperluas ladang/kebun saja. Namun seiring jumlah masyarakat yang setiap tahun bertambah dan harga kayu yang semakin mahal, maka hutan dirambah secara terus menerus tanpa adanya batasan. Kayu hasil perambahan digunakan untuk membuat rumah dan ada juga yang menjualnya tapi masih dalam skala antar kampung namun sebagian kecil ada yang dijual ke kota. Perambahan dilakukan oleh masyarakat secara terang-terangan di pinggiran hutan. Sisa-sisa perambahan yang di dalamnya masih terdapat gubuk biasanya dimanfaatkan masyarakat untuk bermalam jika akan masuk ke hutan. Tingkat pengawasan dari aparat keamanan setempat yang kurang tegas terhadap kegiatan penebangan liar dan perambahan membuat masyarakat tertentu lebih leluasa dalam kegiatan illegal logging.
5.2.5.2. Perburuan dan Eksplorasi Tambang Bentuk ancaman atau gangguan lain yang terhadap habitat harimau sumatera yang dilakukan oleh manyarakat adalah perburuan dan penambangan. Kegiatan ini dilakukan di hutan pegunungan dan hutan sub-pegunungan. Penambangan dilakukan di hutan sub-pegunungan di dekat gunung peut sagoe oleh perusahaan swasta yang dibantu oleh masyarakat lokal. Menurut masyarakat penambang emas kegiatan ini masih dalam tahap eksplorasi. Namum akan berdampak luas terhadap keseimbangan ekosistem yang ada disekitarnya. Karena akan berdampak pada degradasi habitat yaitu, penggundulan areal tambang, pencemaran air dan tanah maupun pengerukan tanah. Perburuan merupakan bentuk ancaman nyata yang berdampak pada penurunan populasi satwaliar yang ada di habitatnya. Perburuan dilakukan dengan cara yang masih tradisional, yaitu dengan menggunakan perangkap taren atau jerat. Jerat ini terdiri dari kayu dan ranting yang diikat tali sebagai pelontar dan jebakan yang terbuat dari rotan yang sudah dianyam. Satwa target merupakan satwa ungulata, yaitu rusa sambar, kijang, dan kambing batu. Di hutan pegunungan, jerat dipasang di sekitar padang rumput, yaitu di jalur satwa, dekat
65
sumber air dan tempat berkubang sedangkan di hutan sub-pegunungan, jerat dipasang di jalur satwa, tempat berkubang dan di jalur logging. Menurut narasumber, biasanya hasil buruan dipotong-potong terlebih dahulu kemudian dibawa pulang. Namun apabila lokasinya jauh maka daging buruan akan diasap atau disalai terlebih dahulu agar lebih awet. Hasil buruan sebagian akan dikonsumsi sendiri dan sebagian akan dijual ke pasar lokal. Selain itu kegiatan lain masyarakat masuk ke hutan adalah mencari gaharu dan cendana. Dalam pencarian gaharu dan cendana biasanya dilakukan dengan survei lokasi yang terdapat kayu tersebut. Biasanya terdapat 10 – 15 orang yang mencari gaharu dan cendana dalam satu kelompok. Hal ini diketahui saat di lapangan yang bertemu dengan orang tersebut. Harga komoditi kedua jenis ini cukup mahal di pasaran membuat masyarakat berbondong-bondong untuk mencari kayu tersebut bahkan orang-orang di luar Aceh juga ikut dalam pencarian kayu tersebut. Perburuan dilakukan oleh masyarakat lokal setiap tahunnya semakin meningkat. Jumlah satwa ungulata khususnya rusa sambar dan kijang masih melimpah. Permintaan pasar yang terus meningkat membuat para pemburu harus mencari lebih banyak. Di masyarakat Aceh, permintaan daging akan meningkat apabila mendekati hari raya keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi. Namum apabila hal ini tidak dicegah maka tingkat perburuan akan semakin mengancam jumlah satwa ungulata sehingga akan mengancam pula terhadap keberadaan harimau sumatera di alam. Jika hal ini terjadi maka harimau akan turun mendekati kampung yang dekat dengan hutan untuk memangsa hewan ternak dan manusia. Perburuan terhadap satwa mangsa akan berpengaruh terhadap populasi harimau, karena ketergantungan harimau terhadap satwa mangsa (Lestari, 2006). Maka semakin lama akan menjadi konflik antara manusia dengan harimau yang berbatasan dengan hutan. Kenyataannya kejadian ini sudah terjadi dibeberapa kawasan hutan yang berbatasan dengan masyarakat.
66
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Jumlah individu harimau sumatera yang teridentifikasi sebanyak 5 ekor individu. Estimasi kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu dengan total luas efektif sampling area sebesar 211,25 km2 adalah 2 – 4 individu harimau/100 km2. Untuk perbandingan antara harimau jantan dengan harimau betina yaitu 1 : 4 dengan struktur umur dominan harimau sumatera adalah dewasa. 2. Komponen habitat harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu, yaitu satwa mangsa terdiri dari 14 jenis antara lain : kijang, rusa sambar, landak, pelanduk, binturong serta sempidan sumatera. Sumber air terdiri dari sungai, alur, kolam musiman, genangan air dan rembesan air. Cover berupa padang rumput, semak belukar, ceruk/gua dan tegakan pohon yang cukup rapat. 3. Karakteristik habitat harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu, yaitu Satwa mangsa utama harimau sumatera adalah rusa sambar, kijang dan babi jenggot. Sumber air yang digunakan harimau sumatera adalah berupa sungai dengan ciri-ciri sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan airnya yang jernih. Cover utama yang dimanfaatkan oleh harimau sumatera adalah tutupan vegetasi (hutan) dengan kanopi yang rimbun yang dapat melindungi harimau dari panas matahari.
6.2. Saran 1. Adanya kejelasan status dalam pengelolaan kawasan lindung baik dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga pengelolaannya menjadi maksimal dan menyeluruh. 2. Komunikasi dan pemahaman serta penegakan hukum bagi masyarakat yang memasang jerat, illegal logging dan penambangan liar disekitar kawasan hutan Blangraweu – ekosistem Ulu Masen. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai populasi harimau sumatera dan habitatnya di kawasan Ulu Masen baik yang ada di dalam maupun di luar lokasi penelitian ini.
67
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. 1990. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. IPB. Bogor. Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Anderson, J. G. 2004. Camera Photograpping Monitoring Protocol, Version 2.0. TEAM Inintiative. Washington DC. USA Seidensticker J and Suyono, I. 1980 The Javan tiger and the Meru Betiri Reserve, aplan for management, pp. 167. Gland: IUCN. Anonimous, 1986. Harimau Sumatera (P.C.S. Pocock, 1829) Borner, M. 1992. Status and Conservation of the Sumatran Tiger. Carnivore 1: 97-102. Budiana. R. 2009. Karakteristik Habitat dan Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Kawasan Hutan Batang Hari, Solok Selatan, Sumatera Barat. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Carbone, C, Crhistie S, Conforti K, Coulson T, Franklin N, Ginsberg JR, griffith M, holden J, Kawanisi K, Kinnaird M, Liadlaw R, Lynam A, Macdonald D, Martyr DJ, McDouglas C, Nath L, O’Brien T, Seidensticker J, Smith DJL, Sunquist M, Tilson R and Wan Shahrudin WN. 2001. The use of pothographic rates to estimate densitas of tigers and other cryptis mammals. Animal Conservation 4:75-79. Endri, N. 2006. Distribusi dan Kelimpahan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan Satwa Mangsa di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2007. Strategi Konservasi dan Rencana Aksi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) 2007 – 2017. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga, Balai Pustaka. Jakarta. Dinata, Y. 2002. Preferensi Habitat Pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan Hewan Mangsa di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera [Skripsi]. Fakultas Biologi. Universitas Nasional. Jakarta. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. 1978. Mamalia di Indonesia. Direktorat Jendral Kehutanan. Bogor.
68
Griffith, M. 1994. Population Density of Sumatran Tiger in Gunung Leuser National Park in Tilsen, R et al., (eds) : Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis Report. Pp. 93-102.IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Apple Valley MN. Grzimek, B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia. Volume 12. Van Nostrand Reinhold Company. New York. Hasibuan, K. M. 1988. Pemodelan Matematika di dalam Biologi Populasi, Dinamika Populasi. Pusat Antar Universitas. Lembaga Sumberdaya Informasi - Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hasiholan, W. 2005. Pengalaman dalam Implementasi Konservasi Harimau Sumatera Secara In-Situ di Pulau Sumatera. Bogor: PKHS. Heryatin, T. dan A, Anieger. 1984. “Harimau Sumatera di Provinsi Jambi”, dalam Khazanah Flora dan Fauna Nusantara. Ed. : S.D Sastrapradja, S. Adi Soemarto dan M. A Rifai. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia IV. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Holmes, D. 2000. Deforestation in Indonesia: A View of the Situation in 1999. Jakarta, Indonesia: World Bank. Draft Laporan 3 July. Hutabarat, A. S. 2005. Perencanaan Tapak Pusat Konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Senepis, Provinsi Riau. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hutchinson, J.M.C. & Waser, P.M. (2007) Use, misuse and extensions of ‘ideal gas’ models of animal encounter. Biological Reviews, 82, 335–359. IUCN/SSC. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group. IUCN Publication Service Unit. Cambridge. Karanth, K. U. and Nichols. 1995. Prey Selection By Tiger, Leopard and Dhole In Tropical Forest, J. Animal Ecology. Karanth, K. U. and J. D. Nichols. 1998. Estimation of Tiger Densitas in India Using Photographic Captures and Recaptures. Ecology 79:2852-2862 Karanth, K. U. and J. D. Nichols. 2000. Ecologycal Status and Conservation of Tigers ini India. Final Technical Report to The Division of International Conservation. Uniter States. Karanth, K. U. and J. D. Nichols. 2002. Monitoring Tiger and Their Prey ; a Manual Research, Managers and Conservation in Tropical Asia. Center for Wildlife Studies. India.
69
Kitchener, A. 1991, The Natural History of Wild Cats, Christoper Helm, A&C Black. Krebs, C. J. 1978. Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York Lekagul, B. and J. A. McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Sahakarnbhat Co. Bangkok. Lestari, N. S. 2006. Studi Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Linkie, M. 2005. Monitoring Status Populasi Harimau dan Hewan Mangsa di TNKS. London : [DICE] Durel Institute Conservation and Ecology. Linkie, M. 2006a. Estimasi Kepadatan Harimau Menggunakan Fotografi Untuk Taman Nasional Kerinci Seblat. [DICE] Durrell Institute Conservation and Ecology. University of Kent. England. ________. 2006a. Estimasi Kepadatan Harimau Menggunakan Fotografi dengan Pengambilan Sampel Penangkapan Kembali. Monitoring Status Populasi Harimau dan Hewan Mangsa di TNKS. [DICE] Durrell Institute Conservation and Ecology. University of Kent. England. Lynam, A. J, T. Palasuwan, J. Ray and S. Galster. 2000. Tiger Survey Techniques and Conservation Training Handbook. Bangkok-Thailand : Khao Yai Forestry Training Center. MacDougal, C. 1979. The Face of the Tiger. Rivington book and Andre Deutsch. London. O’Brien, T. G., M. F. Kinnaird, dan H. T. Wibisono. 2003. Crouching Tiger, Hidden Prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape.Animal Conservation 6:131-139. Primack, R, Jatna S. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Rexstad, E and Burnham KP. 1991. User’s Guide for Interactif Program CAPTURE. Abundance Estimation of Closed Animal Population. Fort Collins : Colorado state University. Riansyah, A. 2007. Kepadatan dan Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Ipuh – Seblat, Seksi Konservasi Wilayah II Bengkulu, Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sankhala, K. 2005. Tiger : The Story of Indian Tiger. Veena Arora. New Delhi
70
Schaller, G.B. 1967. The Deer and the Tiger: A Study of Widlife in India, The University of Chicago Press, Chicago. Seidensticker, J. S. Christie and P. Jackson. 1999. Menunggang Harimau ; Pelestarian Harimau di Lingkungan yang Didominasi Manusia. Cambridge University Press. Siswomartono, D., Samedi, N. Andalusi, F. I. Hardjanti. 1994. Strategi Konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Direktorat jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Simon & Shister. 1996. Webster’s New World Colledge Dictionary, 3rd edition, Washington D.C. Sriyanto. 2003. Kajian Mangsa Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sunquist, M. E. 1981. The Social Organization of Tigers (Panthera tigris) in Royal Chitwan National Park, Nepal. Smithsonian Contribution to Zoology 336:1-98. Sunquist, M., K. U. Karanth, dan S. Sunquist. 1999. Ecology, behaviour and resilience of the tiger and its conservation needs. Halaman: 5-18 dalam: J. Seidensticker, S. Christie, P. dan Jackson, editor. Riding the tiger: tiger conservation in humandominated landscape. Cambridge University Press, Cambridge, UK Suryana, R. T. 2004. Studi Karakteristik Cover harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae Pocock, 1929) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Propinsi Riau dan Jambi (Studi Kasus di Rantau Langsat, Granit dan Datai). Laporan Tugas Akhir. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suwelo, I. dan A. Somantri. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka – Mamalia, Reptil dan Amphibia. Jilid I. Direktorat Jenderal Kehutanan, Direktorat Perlindungan dan Pengawetan alam. Bogor. Wildlife Conservation Sociaty. 2009. Masalah Kehutanan di Indonesia 2007 – 2009. Jakarta. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/06/100609_hut anharimau.shtml [20 November 2010] Whitten J, Thony. 1992. Wild Indonesia. The Wildlife and scenery of Indonesian Archipelago. Singapore. World Wildlife Fond Flora & Fauna. 2009. Sahabat Harimau. Jakarta. http://www.wwf-ip/Indonesia/SahabatHarimau.htm [20 November 2010] Yosry, M. Y. 2002. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). http://www.geocities.com/harimau_yosri [17 Januari 2011]
Lampiran 1. Nama Individu Harimau Sumatera
Cut
Agam
Ineung
Mayang
Rayeuk
Lampiran 2. Daftar jenis satwaliar yang tertangkap kamera trap di kawasan hutan Blangraweu No
Nama lokal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Harimau sumatera Macan dahan Kucing emas Kucing hutan Musang galing Beruang madu Binturong Rusa sambar Kijang Pelanduk Gajah sumatera Babi jenggot Beruk Landak Bajing tanah Sempidan sumatera
Kode dan Nama Kamera Trap RC (Reconnyx)
Nama ilmiah 1
Panthera tigris sumatrae Neofelis nebulosa Cathopuma temminckii Prionailurus bengalensis Paguma larvata Helarctos malayanus Arctictis binturong Cervus unicolor Muntiacus muntjak Tragulus napu Elephas maximus sumatraensis Sus barbatus Macaca nemestrina Hystrix brachyura Lariscus insignis Lophura inornata Kuau kerdil sumatera Polyplectron chalcurum Tikus Ratus sp Manusia Homo sapiens
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Lampiran 3. Mark-recapture population and density estimation program Page 1 Program version of 16 May 1994 10-Dec-10 Input---title='harimau' Input---task read captures x matrix occasions=3 captures=3 Input---format='(A5,7x,3f1.0)' Input---read input data Summary of captures Number of Number of Maximum x Maximum y
read trapping occasions animals captured grid coordinate grid coordinate
3 5 1.0 1.0
Input---task closure test Input---task model selection Input---task population estimate approp null jackkn **
Warning
** Appropriate model has been selected, but no estimator is available. Processing will be attempted.
1Mark-recapture population and density estimation program Page 2 Program version of 16 May 1994 10-Dec-10 harimau Test for closure procedure. See this section of the Monograph for details. Overall test results -z-value Probability of a smaller value
6.000 1.00000
1Mark-recapture population and density estimation program Page 3 Program version of 16 May 1994 10-Dec-10 harimau Model selection procedure. for details. Occasion Animals caught Total caught Newly caught
j= n(j)= M(j)= u(j)=
See this section of the Monograph
1 5 0 5
2 0 5 0
3 0 5 0
5
Frequencies *** ERROR *** M(tbh) assumed.
f(j)=
5
0
No recaptures.
0 Analysis stopped with model
1Mark-recapture population and density estimation program Page 4 Program version of 16 May 1994 10-Dec-10 harimau Population estimation with constant probability of capture. See model M(o) of the Monograph for details. Number of trapping occasions was Number of animals captured, M(t+1), was Total number of captures, n., was ***
ERROR
***
No recaptures.
3 5 5
Analysis stopped.
1Mark-recapture population and density estimation program Page 5 Program version of 16 May 1994 10-Dec-10 harimau Population estimation with variable probability of capture by animal. See model M(h) of the Monograph for details. Number of trapping occasions was Number of animals captured, M(t+1), was Total number of captures, n., was
3 5 5
Frequencies of capture, f(i) i= 1 2 3 f(i)= 5 0 0 Computed jackknife coefficients
1 2 3
N(1) 1.667 1.000 1.000
N(2) 2.000 0.833 1.000
N(3) 2.000 0.833 1.000
N(4)
N(5)
The results of the jackknife computations i 0 1 2 3
N(i) 5 8.3 10.0 10.0
SE(i) .95 Conf. LimitTest ofN(i+1) vs. N(i) Chi-square (1 d.f.) 2.36 3.7 13.0 -33554436.000 3.16 3.8 16.2 0.000 3.16 3.8 16.2 0.000
Average p-hat = 0.3333
Interpolated population estimate is 5 with standard error 2.4310 Approximate 95 percent confidence interval estimate: 5.00000048 se: 2.43099189
5 to
9
Histogram of f(i)
Frequency 5 0 0 -----------------------------5 * 4 * 3 * 2 * 1 * -----------------------------1Mark-recapture population and density estimation program Page 6 Program version of 16 May 1994 10-Dec-10 harimau
S u c c e s s f u l
E x e c u t i o n