POLA PENGGUNAAN RUANG DAN MODEL KESESUAIAN HABITAT HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) PASCA TRANSLOKASI BERDASARKAN PEMANTAUAN KALUNG GPS
DOLLY PRIATNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
for my wife (Iin) and my children (Azka, Nisa and Kiky), who colouring my life and always motivate me to be a better for the nature, what needs to always be considered in doing anything
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pola Penggunaan Ruang dan Model Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Pasca Translokasi Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012 Dolly Priatna NIM E361070021
ABSTRACT DOLLY PRIATNA. Space Use and Habitat Suitability Model for Post Translocation Sumatran Tigers (Panthera tigris sumatrae, Pocock, 1929) Based on Monitoring of GPS Collars. Under the direction of YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO and AGUS PRIYONO KARTONO. Panthera tigris sumatrae is the last remaining Indonesian tiger after its relatives, the Bali and Javan tigers, became extinct in 1940s and 1980s respectively. Although translocation has been employed in mitigating human-tiger conflict in Sumatra for the last decade, the behavioral ecology of post-release animals is still poorly understood. Furthermore, the spatial modelling of tiger behavior based on global positioning system (GPS) collar tracking has never been done before. This information is urgently needed for improving Sumatran tiger translocation in the future. In this study we examine the movement and home range, activity pattern, and habitat selection of translocated tigers, as well as construct a habitat suitability model for identifying appropriate sites for future tiger translocation in Ulu Masen forest. Between July 2008 and December 2010 we translocated six Sumatran tigers, five males and one female. All tigers were fitted with GPS collars which were set to fix 24-48 location coordinates per day. The logistic regression equation was used to produce the habitat suitability prediction models and the tiger distribution map was overlaid with data on the relative abundance of tiger prey to determine suitable sites for future translocation. The mean distance traveled by the tigers varies from 2.8 to 4.0 km per day, but the female moved further than the males. In general, there was no difference in the mean distance traveled between day-time and night-time among the males, but the female traveled further in the day-time than during night-time. The length of time needed by each tiger to establish home range was significantly affected by the abundance of local tigers already in the area. The home range of each individual tiger, estimated using 95% fixed kernel, varies between 37.5 km2 and 188.1 km2 for males while for the female it was 376.8 km2. The most active period for translocated tigers is in the evening between 6 and 10 pm. However, on certain occasions, the tigers are most active in the morning between 6 and 10 am. The translocated tigers tend to range across all natural land cover types within the landscape, but forest availability within the landscape remains important for their survival. However, it seems that all translocated tigers prefer to conduct their daily activity within the mozaic landscape of lowland forest and regrowth vegetation. Modelling has shown that elevation, distance from rivers, distance from the edge of the forest, density of the forest canopy, and the slope of the terrain significantly influence the habitat model. Extrapolation of the model to the whole area of Ulu Masen forest (7,496.86 km2) has indentified 23.5% of the area as highly suitable habitat, 71.5% as suitable habitat, and 5.0% as less suitable habitat for the Sumatran tiger. It is also predicted that 5.2% of the ecosystem is highly suitable for future tiger translocation. Despite being preliminary, the findings of this study, the first ever conducted in Sumatra, highlight the conservation value of tiger translocation and provide valuable information for improving future translocation of rescued tigers. Key words: GPS collars, habitat suitability model, habitat use, ranging pattern, Sumatran tiger, translocation.
RINGKASAN DOLLY PRIATNA. Pola Penggunaan Ruang dan Model Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Pasca Translokasi Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO dan AGUS PRIYONO KARTONO. Indonesia pernah memiliki tiga dari sembilan subspesies harimau yang ada di dunia. Namun, saat ini harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satusatunya yang masih bertahan hidup setelah dua kerabat dekatnya, yakni harimau bali (P. t. balica) dan harimau jawa (P. t. sondaica), dinyatakan punah pada tahun 1940an dan 1980-an. Selain itu, kondisi populasinya juga sangat memperihatinkan karena jumlahnya diduga terus menurun, dan di alam diperkirakan hanya tersisa sekitar 300 ekor. Meski translokasi telah digunakan dalam mengurangi konflik konservasi harimau (konflik konservasi harimau dengan kepentingan manusia) selama dekade terakhir ini, namun ekologi perilaku harimau pasca peliarannya masih belum difahami. Demikian pula pemodelan spasial berdasarkan data posisi harimau yang dikumpulkan melalui Global Positioning System collars (kalung GPS) belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal, informasi-informasi tersebut sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan pemilihan lokasi translokasi harimau sumatera di masa depan. Studi ini bertujuan mengkaji pergerakan, daerah jelajah, pola aktivitas, dan pemilihan habitat oleh harimau translokasi, serta membangun model kesesuaian habitat untuk mengidentifikasi areal-areal yang cocok untuk translokasi harimau pada masa yang akan datang. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, yaitu pengambilan data koordinat posisi yang dikumpulkan melalui kalung GPS yang dipasangkan pada enam individu harimau, yang ditranslokasikan ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Lampung, Kerinci Seblat (TNKS) di Sumatera Barat, serta ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan kawasan hutan Ulu Masen (KHUM) di Aceh. Tahap kedua, yaitu pengumpulan data pendukung yang diperlukan dalam penyusunan model kesesuaian habitat harimau, dilaksanakan di areal hutan Blangraweu, KHUM. Observasi lapangan juga dilakukan guna memvalidasi data areal contoh tutupan lahan. Pengumpulan data posisi harimau yang ditranslokasikan dilakukan sejak Juli 2008-Agustus 2011; sedangkan observasi lapangan dilakukan sejak 2009-Juni 2010. Enam harimau sumatera yang ditranslokasikan dipasangi kalung GPS (Televilt, Lindesberg, Sweden; Argos/Sirtrack Ltd, Hawkes Bay, New Zealand), yang telah ditetapkan untuk beroperasi selama 1-2 tahun dan mengambil sebanyak 24-48 posisi koordinat setiap harinya. Data koordinat posisi ditransmisikan secara berkala ke satu alat penerima melalui satelit, yang kemudian dikirimkan ke alamat email pengamat. Seluruh kalung GPS yang terpasang pada harimau tersebut telah diprogram untuk terlepas secara otomatis (auto released) ketika masa kerjanya habis. Data yang digunakan untuk menghitung kelimpahan relatif (KR) harimau lokal dan hewan mangsa utama (babi, rusa dan kijang) pada setiap lokasi translokasi, merupakan hasil survey transek sign yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program di TNBBS pada Januari 2008, Yayasan Leuser Internasional
(YLI) di TNGL pada Juli-Agustus 2008, serta Fauna & Flora International (FFI) Indonesia di TNKS (Juli-Agustus 2008) dan di KHUM (Agustus 2008-Juni 2009). Uji Mann-Whitney digunakan untuk membedakan jarak tempuh harian jantan dan betina, uji Wilcoxon untuk membedakan jarak pergerakan siang dan malam, sedangkan uji Chi-square dan Neu digunakan untuk menduga waktu paling aktif harimau. Untuk mendapatkan ukuran daerah jelajah harimau, data posisi dianalisis metode Minimum Convex Polygon (MCP) dan Fixed Kernel (FK). Selanjutnya uji korelasi Spearman digunakan untuk menentukan faktor lingkungan yang mempengaruhi lamanya waktu membangun daerah jelajah dan ukuran daerah jelajah harimau. Data koordinat posisi setiap harimau ditumpang-susunkan (overlay) dengan peta tipe tutupan vegetasi Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) resolusi 250 meter tahun 2010, kemudian dilakukan uji Chi-square dan Neu untuk menduga preferensi harimau terhadap habitat tertentu. Uji Wilcoxon digunakan untuk membedakan penggunaan habitat siang dan malam hari. Pemodelan kesesuaian habitat hanya dilakukan berdasarkan data posisi kalung GPS harimau betina yang ditranslokasikan di KHUM, karena tingkat akuisisi dan proporsi data akuratnya tertinggi. Sebanyak 50% dari data posisi yang terkumpul digunakan untuk menentukan areal presence dan 50% data lainnya digunakan untuk validasi model. Titik pseudo-absence ditentukan berdasarkan pengacakan titik posisi menggunakan ekstensi Hawthstool pada ArcGIS 9.3, pada areal di luar poligon KHUM dan daerah jelajah harimau betina studi yang telah diberi buffer. Variabelvariabel yang diukur dalam penelitian ini adalah elevasi dan kelerengan/slope yang didapat dari peta radar Aster Global Digital Elevation Model (GDEM), jarak posisi harimau dari sungai, jarak dari pemukiman dan jarak dari jalan yang didapat dari peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50:000 yang diproses dengan euclidean distance. Variabel jarak dari tepi hutan diperoleh dari peta tutupan kawasan hutan/non hutan yang diproses dengan euclidean distance, dan kerapatan tajuk direpresentasikan melalui nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Peta tutupan kawasan hutan/non hutan dan tutupan lahan/vegetasi dibuat dari citra Landsat 5-TM menggunakan Erdas Imagine 9.1 yang dilanjutkan dengan pembuatan peta NDVI. Setiap peta di-overlay dengan data posisi harimau dari kalung GPS untuk mendapatkan nilai setiap variabel bebas, untuk menduga variabel terikat berupa kehadiran/ketidak-hadiran harimau. Uji Variance Inflation Factor (VIF) untuk menentukan multikolinearitas masing-masing variabel bebas. Analisis regresi logistik digunakan untuk menentukan persamaan regresi dan peluang penggunaan habitat, yang dilanjutkan dengan analisis spasial dengan memasukkan persamaan regresi logistik yang terbentuk pada raster calculator ArcGIS 9.3. Setelah model dinyatakan layak kemudian dilakukan ekstrapolasi model spasial ke seluruh KHUM. Areal-areal yang sesuai untuk lokasi translokasi mendatang di KHUM, diperoleh dengan melakukan overlay peta kesesuaian habitat harimau hasil ekstrapolasi dengan peta kesesuaian lokasi translokasi, yang dibuat berdasarkan KR harimau lokal dan hewan mangsa utama. Harimau sumatera JD-1 dan JD-2 yang dilepas-liarkan di TNBBS, diamati pergerakannya selama masing-masing 224 hari (menghasilkan 3.469 data posisi) dan 253 hari (1.288 data posisi). Harimau BD-1 yang ditranslokasikan ke KHUM diobservasi selama 213 hari (6.680 data posisi), namun kemudian diketahui juga mati akibat terjerat di sebuah ladang di pinggir hutan setelah kalung GPS-nya bekerja selama 7 bulan. Harimau JD-3 di TNGL diamati pergerakannya selama 79 hari
(1.486 data posisi), dan harimau JD-5 di TNKS dipantau selama 238 hari pengamatan (7.007 data posisi). Kalung GPS yang pasang pada harimau JD-1, JD-3 dan JD-5 rusak setelah masing-masing beroperasi selama 7,5 bulan, 2,5 bulan dan 8 bulan. Kalung GPS pada JD-2 terlepas secara otomatis sesuai rencana setelah 8,5 bulan beroperasi. Sedangkan harimau JD-4 yang ditranslokasikan ke TNKS, ditemukan mati terperangkap jerat di dalam kawasan taman nasional tersebut. Rata-rata jarak tempuh harimau bervariasi antara 2,8-4,0 km per hari, namun betina menempuh jarak yang lebih panjang dari jantan. Secara umum, pada jantan tidak ditemukan perbedaan jarak tempuh antara siang dan malam hari. Bentuk lintasan atau trajektorinya zig-zag dan garis lurus serta berkeliling mengunjungi areal-areal yang pernah didatangi sebelumnya. Pergerakan dan penjelajahan harimau kebanyakan dilakukan pada areal-areal tepi hutan atau batas antara dua tipe vegetasi, terutama pada batas-batas antara vegetasi hutan alam dataran rendah dan belukar/hutan sekunder muda. Harimau yang ditranslokasikan membutuhkan waktu antara 8-17 minggu untuk membangun daerah jelajah tetapnya. Lama waktu yang dibutuhkan harimau dalam penetapan daerah jelajah, dipengaruhi oleh kelimpahan harimau lokal yang lebih dahulu mendiami areal pelepas-liaran. Namun, meski tidak terbukti secara signifikan, ada kecenderungan bahwa umur harimau ketika dilepas-liarkan serta kelimpahan hewan mangsa utama di areal pelepas-liaran turut mempengaruhi lamanya waktu penetapan daerah jelajah. Selain itu, perbedaan karakteristik daerah jelajah harimau di tempat asal dengan di areal translokasi, mungkin juga turut mempengaruhi lamanya waktu penetapan tersebut. Menggunakan metode 95% Fixed Kernel diperkirakan ukuran daerah jelajah jantan antara 37,5 km2 dan 188,1 km2 dan betina 376,8 km2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, tidak semua harimau translokasi menjadikan areal pelepasliarannya sebagai bagian dari daerah jelajahnya. Dua dari lima harimau translokasi yang diamati, membangun daerah jelajahnya pada jarak 4,06 km dan 14,64 km dari lokasi dimana mereka dilepas-liarkan. Karakteristik habitat yang disukai harimau translokasi adalah lansekap mosaik perpaduan antara hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, yang berada pada elevasi di bawah 1.000 meter dpl dan dengan topografi datar hingga landai. Harimau sumatera translokasi menggunakan habitat utama dengan proporsi yang sama baik pada siang maupun malam hari, namun waktu paling aktif harimau adalah sore hingga malam hari yaitu antara pukul 14.00-22.00 WIB setiap harinya. Pada situasi tertentu harimau translokasi juga dapat melakukan aktivitasnya pada pagi hari (06.00-10.00 WIB). Pemodelan kesesuaian habitat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan seperti elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI dan kelerengan memberikan pengaruh yang nyata terhadap model yang dibangun. Ekstrapolasi model pada seluruh KHUM yang luasnya 7.496,86 km2 telah mengidentifikasi 23,5% kawasan sebagai habitat sangat sesuai, 71,5% sebagai habitat sesuai, dan 5,0% sebagai habitat kurang sesuai untuk harimau. Diprediksi juga bahwa di KHUM terdapat 388,1 km2 (5,2% luas total kawasan) areal yang diduga sangat sesuai, dan 2.135,67 km2 (28,5%) areal yang sesuai untuk lokasi translokasi harimau sumatera. Penelitian ini merupakan studi ekologi perilaku harimau pertama di Indonesia yang memanfaatkan teknologi kalung GPS pada satwa, sehingga informasi yang dihasilkan merupakan sesuatu yang berharga, serta menjawab beberapa hal yang
selama ini menjadi prediksi atau dugaan tentang perilaku harimau sumatera. Meski informasi dasar dihasilkan dari harimau sumatera yang ditranslokasikan, sehingga pada beberapa hal seperti pendugaan luas daerah jelajah mengandung bias, namun dalam beberapa hal lain menjadi pengetahuan baru yang amat berharga. Areal yang didominasi oleh hutan dataran rendah dan vegetasi belukar/hutan sekunder muda merupakan lansekap yang sangat penting bagi kelangsungan hidup harimau sumatera. Sehingga, harus segera dilakukan upaya untuk mengurangi tekanan/konversi terhadap hutan dataran rendah yang tersisa, serta upaya untuk mencegah perburuan hewan yang menjadi mangsa harimau pada habitat belukar/hutan sekunder muda yang berbatasan langsung dengan hutan dataran rendah di Sumatera. Hal ini penting untuk menjaga kelangsungan hidup harimau sumatera, serta untuk mencegah dan mengurangi konflik antara manusia dengan harimau di Sumatera. Perlu kajian yang komprehensif sebelum menetapkan satu kawasan sebagai lokasi translokasi. Kajian tersebut harus meliputi ketersediaan lansekap mosaik hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, ketersediaan hewan mangsa utama yang cukup, serta keberadaan dan struktur demografi harimau lokal di calon lokasi pelepas-liaran. Mengingat beberapa harimau sumatera yang ditranslokasikan terbunuh akibat jerat (baik yang dipasang masyarakat untuk menjaga ladang dari hama babi hutan maupun yang sengaja dipasang pemburu), maka sangat penting untuk memastikan bahwa calon lokasi translokasi juga terbebas dari gangguan manusia yang dapat membahayakan harimau. Sebagai tambahan, kajian sosial tentang penerimaan masyarakat yang tinggal berdampingan dengan calon lokasi translokasi juga sangat diperlukan sebelum translokasi harimau dilakukan. Dengan adanya kecenderungan bahwa semua harimau yang ditranslokasikan akan kembali mencari dan mengarah pada lansekap campuran antara hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, maka tidak diperlukan adanya translokasi harimau yang berbiaya sangat mahal ke lokasi-lokasi yang terpencil di daerah pegunungan karena hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan. Dengan dihasilkannya model spasial kesesuaian habitat (meskipun model yang digunakan belum tepat), serta teridentifikasinya beberapa areal yang dapat dijadikan sebagai lokasi translokasi harimau di KHUM, paling tidak hasil ini dapat dijadikan panduan bagi pihak berwenang apabila akan melaksanakan kegiatan translokasi harimau pada masa yang akan datang. Kata kunci: harimau sumatera, kalung GPS, model kesesuaian habitat, penggunaan habitat, pola penjelajahan, translokasi.
© Hak Cipta milik IPB tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
POLA PENGGUNAAN RUANG DAN MODEL KESESUAIAN HABITAT HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) PASCA TRANSLOKASI BERDASARKAN PEMANTAUAN KALUNG GPS
DOLLY PRIATNA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Jatna Supriatna, MSc. Prof. Dr. Ir. Sambas Basyuni, MS.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Novianto Bambang Wawandono, MSi. Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.
Judul Disertasi : Pola Penggunaan Ruang dan Model Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Pasca Translokasi Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS Nama
: Dolly Priatna
NIM
: E361070021
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. Ketua
Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, MSc. Anggota
Dr. Ir. Agus P. Kartono, MSi. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
Dekan Sekolah Pasacasarjana
Prof. Dr. Ir. Ervizal AM. Zuhud, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah MSc.Agr.
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 hingga Agustus 2011 ini adalah habitat dan pemodelan, dengan judul Pola Penggunaan Ruang dan Model Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) Pasca Translokasi Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS. Penelitian ini merupakan satu wujud kepedulian dan keperihatinan penulis terhadap harimau sumatera yang merupakan satwa kharismatik namun terancam punah, memiliki peran penting dalam tatanan ekosistem hutan, serta penting bagi kehidupan manusia. Disertasi ini tidak mugkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan, dukungan, pengorbanan (baik waktu, materi, tenaga maupun pemikiran), serta do’a dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada: 1. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA., Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc., dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang senantiasa mendorong serta selalu meluangkan waktunya dalam membimbing penulis sejak penyusunan proposal penelitian hingga terselesaikannya karya ilmiah ini. 2. Prof. Dr. Ervizal AM. Zuhud, MS. dan Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, MSc., selaku ketua dan sekretaris Program Studi KVT, yang tiada hentinya memberikan semangat untuk penyelesaian disertasi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Sambas Basyuni, MS. dan Dr. Ligaya ITA Tumbelaka, MSc., yang telah memperkaya proposal penelitian. 4. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS., Dr. Ir. AM. Thohari, MSc., Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS., Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, MSi., Dr. Ir. Agus Hikmat, MScF., Dr. drh. Erna Suzana, serta civitas Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika IPB, atas ilmu-ilmu dan pengajarannya. 5. Dekan serta seluruh civitas Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah menerima penulis untuk berinteraksi dan menempuh pendidikan serta mengembangkan kemampuan. 6. Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan RI, khususnya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, atas kesempatan yang diberikan untuk turut berperan menangani translokasi harimau sumatera. 7. Theresa Chipman dan The 10th Duke of Rutland Memorial Conservation Trust, atas beasiswa yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan. 8. Conservation Leadership Program, Idea Wild, FFI Aceh dan ZSL Indonesia, yang telah memberikan dukungan finansial dan menyumbangkan peralatan untuk penelitian di Ulu Masen. 9. Artha Graha Peduli, Taman Safari Indonesia, Forum HarimauKita, BKSDA Lampung, BBTN Bukit Barisan Selatan, BKSDA Aceh, BKSDA Sumatera Barat, BTN Kerinci Seblat, FFI Aceh, BPKEL, YLI,
PanEco/YEL, Veswic, FFI Kerinci, KB Bukit Tinggi, KB Sawah Lunto, dan ZSL Indonesia, yang secara bersama mendukung upaya translokasi harimau di Sumatera. 10. Australia Zoo, Denver Zoo dan ZSL, yang telah mendonasikan kalung GPS untuk kepentingan konservasi harimau sumatera yang datanya digunakan dalam karya ilmiah ini. 11. WCS Indonesia, FFI Indonesia (Program Aceh dan Kerinci) serta YLI, atas izin penggunaan data untuk mendapatkan nilai kelimpahan harimau dan hewan mangsa utamanya di lokasi-lokasi penelitian. 12. Dr. Ir. Tonny Soehartono, MSc., Tommy Winata, Tony Sumampouw, Dr. Thomas Maddox, Hariyo T. Wibisono, MSc., Ir. Kurnia Rauf, Drh. Retno Sudarwati, Andi Basrul, Mike Griffiths, GV. Reddy, Dr. Matt Linkie, Dr. Ian Singleton, Drh. Anhar Lubis, Dr. Dave Augeri, Ir. Indrawarman, Drh. Wisnu Wardana, Debbie Martyr, Bastoni, serta seluruh kolega yang terlibat dalam kegiatan translokasi harimau di Sumatera. 13. Dr. Thomas Maddox, Dr. Joseph Smith, Hario T. Wibisono, MSc., Dr. Sunarto, Dr. Chris Carbone, dan Murray Collins, MSc., atas diskusi serta saran pada awal penelitian dan penulisan karya ilmiah. 14. Susilo Sudarman, Dedi Kiswayadi, Cek Lah, Popon, Gesti M. Arief, Erry Kurniawan, Iqrarul Fata, Andriana, Taufan Mustafa, Nurman, Norman, Maimun, Adi, Syaifudin, Rusdi, Antomi, Budiman, Nasir, dan Burhan, atas bantuan dan kerjasamanya selama survey di Blangraweu, Ulu Masen. 15. Sarah Christie, Laura Darcy, MSc. dan Dr. Adam Barlow, yang memberikan dukungan secara penuh serta selalu memberi keleluasaan pada penulis dalam membagi antara waktu kantor dan penulisan disertasi. 16. Dudy Nugroho, Wulan Pusparini, Maryati, Benny, Candra, serta Wenda Yandra Komara, atas diskusi dan batuannya dalam pengolahan data. 17. Rekan-rekan sesama mahasiswa pada Program Studi Koservasi Biodiversitas Tropika, atas kebersamaan serta diskusi-diskusi selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. 18. Rekan-rekan di Forum HarimauKita, khususnya HA. Wahyudi, yang selalu siap terganggu manakala penulis ingin “menyepi” di kantor Forum. 19. Seluruh kolega di ZSL Indonesia, terutama Dr. Barita Manullang, Ine Wasillah, Ifran Imanda, Erna Khilman, Karen Jeffers, serta Hermansyah, yang banyak membantu selama proses penyelesaian karya ilmiah. 20. Almarhum dan almarhumah kedua orangtua (Mgs. H. A. Rozak Karin dan T. Sekarningsih), kakak, adik, serta keluarga besar Mgs. H. Abdul Karim dan Tisnadibrata, yang selalu memberikan dukungan dan do’a restunya kepada penulis. 21. Istri tercinta: Iin Fathya, serta anak-anak tersayang: Azka L. Amanda, Annisa M. Amelia, dan A. Rizky Baehaqi, yang senantiasa ikhlas, sabar, penuh pengertian, setia mendampingi, serta tempat berbagi suka dan duka. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat. Bogor, Juli 2012 Dolly Priatna
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Oktober 1965 sebagai anak ke-enam dari sembilan bersaudara pasangan Mgs. H. A. Rozak Karim (alm) dan T. Sekarningsih (almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta, lulus tahun 1991. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Magister Biologi Konservasi pada Fakultas MIPA Universitas Indonesia, dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan diperoleh secara mandiri dari The 10th Duke of Rutland Memorial Conservation Trust. Dana penelitian lapangan didapat dari Conservation Leadership Program, Idea Wild, serta kontribusi in-kind dari ZSL Indonesia dan FFI Aceh. Penulis bekerja pada The Zoological Society of London (ZSL). Pada periode 2004-2010 menjabat sebagai manajer proyek konservasi harimau sumatera, kemudian hingga saat ini menjadi Country Coordinator di ZSL Indonesia Program dan berkantor di Bogor. Tanggung-jawabnya adalah menjadi representatif ZSL serta mengkoordinasikan seluruh kegiatan proyek konservasinya di Indonesia. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Dewan Penasehat forum konservasi harimau sumatera, HarimauKita (FHK), anggota IUCN SSC (Species Survival Commission) Tapir Specialist Group, sebagai ketua SCGIS (The Society for Conservation GIS) Indonesia, serta anggota Dewan Penasehat Asian Journal of Conservation Biology. Karya ilmiah dalam format poster berjudul Translocation of Sumatran Tigers telah disajikan pada Society for Conservation Biology 2010 Annual Meeting di Edmonton, Kanada, pada bulan Juli 2010, dan pada International Conference of the Association of Tropical Biodiversity and Conservation pada bulan yang sama di Bali, Indonesia. Sebuah artikel ilmiah dengan judul Home Range and Movements of Male Translocated Problem Tigers in Sumatra, telah diterbitkan pada jurnal internasional Asian Journal of Conservation Biology (AJCB) Volume 1 (1): 20-30 edisi Juli 2012. Artikel lain berjudul Pemilihan Habitat dan Pola Aktivitas Harimau Sumatera Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS, telah dijadwalkan untuk terbit pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika (JMHT) Volume XVIII (2) pada edisi Agustus 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
iii v vii
I
PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4 Hipotesis ..................................................................................... 1.5 Kerangka Pemikiran ................................................................... 1.6 Manfaat Penelitian ..................................................................... 1.7 Kebaruan (Novelty) Penelitian ...................................................
1 1 3 5 6 7 9 9
II
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera ................................................. 2.1.1 Taksonomi ...................................................................... 2.1.2 Morfologi ....................................................................... 2.1.3 Perilaku ........................................................................... 2.1.3.1 Perilaku Makan dan Berburu ............................. 2.1.3.2 Perilaku Sosial ................................................... 2.1.3.3 Perilaku Penguasaan Wilayah ........................... 2.1.3.4 Perilaku Kawin dan Berkembang Biak .............. 2.1.4 Distribusi ........................................................................ 2.1.5 Populasi .......................................................................... 2.2 Habitat dan Daerah Jelajah ........................................................ 2.2.1 Habitat ............................................................................ 2.2.2 Daerah Jelajah ................................................................ 2.3 Penggunaan Ruang ..................................................................... 2.4 Translokasi ................................................................................. 2.5 Model Kesesuaian Habitat .........................................................
11 11 11 12 14 14 16 16 17 18 20 22 22 24 25 27 32
III
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................................. 3.1 Sejarah dan Status Kawasan ...................................................... 3.2 Letak dan Luas ........................................................................... 3.3 Masyarakat Desa ........................................................................ 3.4 Kondisi Fisik Kawasan .............................................................. 3.4.1 Topografi ........................................................................ 3.4.2 Tanah .............................................................................. 3.4.3 Iklim ............................................................................... 3.5 Kondisi Biologi .......................................................................... 3.5.1 Flora ............................................................................... 3.5.2 Fauna ..............................................................................
33 33 33 34 35 35 35 36 37 37 38
(i)
IV
METODOLOGI ................................................................................... 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 4.2 Bahan dan Alat ........................................................................... 4.3 Tahapan Penelitian ..................................................................... 4.4 Metode Pengumpulan Data ........................................................ 4.4.1 Studi Literatur ................................................................ 4.4.2 Pengumpulan Data Posisi ............................................... 4.4.3 Pengumpulan Data Kelimpahan Relatif ......................... 4.4.4 Observasi Lapangan ....................................................... 4.4.5 Komponen Habitat Harimau Sumatera .......................... 4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ...................................... 4.5.1 Analisis Penggunaan Ruang ........................................... 4.5.2 Analisis Pemilihan Habitat ............................................. 4.5.3 Analisis Pemodelan Habitat ........................................... 4.5.4 Analisis Kesesuaian Lokasi Translokasi ........................
41 41 42 43 43 43 45 47 48 49 50 53 55 57 62
V
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 5.1 Pola Penggunaan Ruang ............................................................. 5.1.1 Pergerakan ...................................................................... 5.1.1.1 Panjang dan Bentuk Lintasan Pergerakan ......... 5.1.1.2 Panjang Pergerakan pada Siang dan Malam ..... 5.1.2 Daerah Jelajah ................................................................ 5.1.2.1 Waktu Pembentukan Daerah Jelajah ................. 5.1.2.2 Luas Daerah Jelajah .......................................... 5.1.2.3 Bentuk Daerah Jelajah ....................................... 5.1.2.4 Karakteristik Daerah Jelajah ............................. 5.2 Pola Aktivitas ............................................................................. 5.3 Pemilihan Habitat ....................................................................... 5.3.1 Penggunaan Habitat pada Siang dan Malam .................. 5.4 Model Kesesuaian Habitat ......................................................... 5.4.1 Penentuan Titik Presence dan Pseudo-absence ............. 5.4.2 Uji Multikolinearitas ...................................................... 5.4.3 Analisis Regresi Logistik ............................................... 5.4.4 Model Spasial Kesesuaian Habitat ................................. 5.4.5 Uji Kelayakan Model Regresi Logistik .......................... 5.4.6 Validasi Model ............................................................... 5.4.7 Ekstrapolasi Model ......................................................... 5.4.8 Model Kesesuaian dalam Perspektif Ekologi ................. 5.5 Penentuan Lokasi Translokasi ................................................... 5.6 Implikasi Konservasi dan Manajemen .......................................
63 65 65 65 69 71 71 74 79 81 84 88 93 95 95 96 97 103 105 105 106 107 110 113
VI
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 117 6.1 Simpulan .................................................................................... 117 6.2 Saran ........................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 121 LAMPIRAN .................................................................................................. 135
(ii)
DAFTAR TABEL Nomor 1
Halaman
Luas kawasan hutan Ulu Masen untuk setiap kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam .............................................
34
Karakteristik harimau sumatera yang terlibat konflik yang ditangkap dan ditranslokasikan pada periode 2008-2010 ..................
46
Komponen-komponen ekologi yang dijadikan variabel penduga kesesuaian habitat harimau yang ditranslokasikan .........................
50
Tujuan penelitian, metode pengumpulan data, variabel yang diukur, pengolahan dan analisis data, serta keluaran yang dihasilkan ...................................................................................................
51
Varabel yang diamati untuk menduga preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi menurut metode Neu ...........................................
56
Jadwal operasi dan jumlah data posisi yang berhasil dikumpulkan melalui kerah GPS pada masing-masing harimau sumatera translokasi selama penelitian antara 2008-2011 .............................
63
Rerata jarak pergerakan harian dan jarak tempuh maksimum harimau sumatera translokasi .........................................................
66
Waktu dibutuhkan harimau translokasi dalam menetapkan daerah jelajahnya serta nilai KR harimau lokal dan mangsa utama di masing-masing lokasi pelepas-liaran ..............................................
73
Luas daerah jelajah harimau yang diamati dengan kalung GPS yang dianalisis berdasarkan Minimum Convex Polygon dan Fixed Kernel .............................................................................................
74
10 Perkiraan rata-rata luas daerah harimau sumatera dan pada beberapa subspesies harimau lainnya, dengan metode yang digunakan, jumlah harimau (n) dan referensi ....................................
76
11 Tipe habitat yang paling disukai oleh harimau translokasi di masing-masing lokasi pelepas-liaran ..............................................
89
12 Persentasi penggunaan habitat oleh harimau pada sian dan malam hari ..................................................................................................
94
13 Hasil uji Wilcoxon untuk melihat perbedaan penggunaan habitat oleh harimau pada siang dan malam hari .......................................
95
14 Hasil diagnosa multikolinearitas variabel bebas dengan VIF .........
97
15 Hasil analisis regresi logistik biner dengan metode Enter terhadap variabel bebas .......................................................................
98
2 3 4
5 6
7 8
9
(iii)
(iv)
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Skema kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ..............
8
2
Harimau sumatera betina individu yang sama menunjukkan pola loreng yang berlainan di kedua sisi tubuhnya .....................
13
Peta sejarah distribusi harimau dan wilayah penyebaran saat ini di seluruh dunia ...........................................................................
19
4
Peta distribusi harimau di Pulau Sumatera lima tahun terakhir ..
21
5
Pelepas-liaran harimau sumatera yang ditranslokasikan dari Aceh ke kawasan TN Bukit Barisan Selatan ..............................
31
6
Hutan pegunungan rendah di kawasan Ulu Masen .....................
38
7
Peta lokasi penelitian di empat kawasan hutan di Sumatera .......
41
8
Bagan alir metode penelitian .......................................................
44
9
Kalung GPS dan proses pemasangannya pada harimau .............
45
10
Skema pemodelan kesesuaian habitat dan lokasi translokasi harimau sumatera ........................................................................
60
Persentase distribusi frekuensi jarak pergerakan harian harimau sumatera yang ditranslokasikan ..................................................
71
Daerah Jelajah kumulatif (km2) mingguan yang dibentuk oleh harimau translokasi .....................................................................
72
Pola aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan yang dipantau dengan signal X dan Y pada kalung GPS ........................
85
Grafik pola persentase pola aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan dalam 24 jam .......................................................
87
Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasikan (JD-1) ...................................................
91
Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasikan (JD-2) ...................................................
92
Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasikan (JD-3) ...................................................
92
Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasikan (JD-5) ...................................................
93
3
11 12 13 14 15
16
17
18
(v)
19
20 21 22 23
24
Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasikan (BD-1) ..................................................
93
Peta sebaran titik presence harimau translokasi yang digunakan untuk menyusun model dan validasi model ................................
96
Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi pada wilayah studi ...............................................................................
104
Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi hasil ekstrapolasi pada seluruh kawasan hutan Ulu Masen .................
108
Peta prediksi kesesuaian lokasi translokasi berdasarkan ketersediaan hewan mangsa dan keberadaan harimau lokal di kawasan hutan Ulu Masen ..........................................................
111
Peta prediksi lokasi yang sesuai bagi translokasi harimau di kawasan hutan Ulu Masen ..........................................................
112
(vi)
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1
Halaman
Rekapitulasi survey transek dengan nilai Encounter Rate (ER) harimau lokal dan hewan mangsa utama di setiap lokasi translokasi harimau .............................................................................
135
Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau jantan JD-1 di TNBBS pada bulan ke-1 hingga ke-8 setelah peliaran ...............
136
Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau jantan JD-2 di TNBBS pada bulan ke-1 hingga ke-9 setelah peliaran ...............
140
Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau jantan JD-3 di TNGL pada bulan ke-1 hingga ke-4 setelah peliaran .............................
145
Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau jantan JD-5 di TNKS pada bulan ke-1 hingga ke-9 setelah peliaran .............................
147
Bentuk dan pola lintasan bulanan harimau betina BD-1 di Ulu Masen pada bulan ke-1 hingga ke-8 setelah peliaran .................
152
Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-1 di TNBBS yang dibangun dengan metode MCP dan FK ......................................
156
Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-2 di TNBBS yang dibangun dengan metode MCP dan FK ......................................
157
Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-3 di TNGL yang dibangun dengan metode MCP dan FK ......................................
158
Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-5 di TNKS yang dibangun dengan metode MCP dan FK ......................................
159
Bentuk daerah jelajah harimau jantan BD-1 di KHUM yang dibangun dengan metode MCP dan FK ......................................
160
Persentase (%) luas penutupan vegetasi pada masing-masing daerah jelajah harimau translokasi ..............................................
161
Persentase (%) elevasi pada masing-masing daerah jelajah harimau translokasi .....................................................................
162
Persentase (%) kelerengan/slope pada masing-masing daerah jelajah harimau translokasi ..........................................................
163
Hasil perhitungan indeks preferensi Neu harimau translokasi terhadap waktu paling aktifnya ...................................................
164
16
Peta ketinggian tempat/elevasi di wilayah studi .........................
165
17
Peta euclidean jarak dari sungai di wilayah studi .......................
166
18
Peta euclidean jarak dari tepi hutan di wilayah studi .................
167
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
(vii)
19
Peta kerapatan tajuk (NDVI) di wilayah studi ............................
168
20
Peta kelerengan/slope di wilayah studi .......................................
169
21
Nilai Nagelkerke R2 dan uji Hosmer Lemeshow pada lima variabel bebas ..............................................................................
170
Hasil perhitungan nilai kappa acuracy, comission error dan omission error .............................................................................
171
Nilai kelimpahan relatif harimau lokal dan hewan mangsa di seluruh wilayah Ekosistem Ulu Masen .......................................
172
Peta prediksi kelimpahan relatif harimau lokal di kawasan Ekosistem Ulu Masen .................................................................
173
Peta prediksi kelimpahan relatif hewan mangsa di kawasan Ekosistem Ulu Masen .................................................................
174
22 23 24 25
(viii)
1
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) merupakan
satu-satunya subspesies harimau terakhir yang masih dimiliki Indonesia setelah dua kerabatnya, harimau bali (P. t. balica) dan harimau jawa (P. t. sondaica) punah. Kedua subspesies tersebut dinyatakan punah masingmasing pada tahun 1940-an dan 1980-an (Seidensticker et al. 1999). Kondisi populasi harimau sumatera di alam sangat memperihatinkan. Jumlahnya terus menurun, dan di alam saat ini diduga hanya tinggal sekitar 300 ekor (Soehartono et al. 2007). Mereka tersebar di seluruh daratan Pulau Sumatera, namun hidup dalam populasi-populasi yang terisolasi (Wibisono & Pusparini 2010). Menurut Sanderson et al. (2010), saat ini sebagian besar harimau sumatera liar menghuni 12 kawasan yang disebut lansekap konservasi harimau (Tiger Conservation Landscapes atau TCL) yang luas totalnya sekitar 88.000 km2. Oleh sebab itu, dari enam subspesies harimau yang masih tersisa di dunia, harimau sumatera menempati status keterancaman paling tinggi. The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), satu jaringan pelestarian sumberdaya alam global, sejak tahun 1996 telah menetapkan harimau sumatera sebagai satwa yang statusnya “Kritis” atau Critically Endangered, yaitu satu status dimana harimau sumatera sepertinya akan menjadi punah apabila tidak ada tindakan konservasi yang efektif diterapkan (IUCN 1996). Saat ini, harimau sumatera juga menghadapi banyak ancaman yang bersumber dari kegiatan manusia (Seidensticker 1986, Seidensticker et al. 1999), yang kemudian mendorong terjadinya konflik antara kepentingan manusia dengan konservasi harimau (Nugraha & Sugardjito 2009). Konflik konservasi harimau dengan manusia di Sumatera telah menjadi salah satu permasalahan utama dalam upaya konservasi satwa karnivora ini, karena dapat menimbulkan kerugian dan korban jiwa, yang akan menurunkan dukungan masyarakat terhadap upaya pelestariannya. Konflik konservasi
2
harimau juga merupakan salah satu faktor yang memicu masyarakat untuk menangkap dan bahkan membunuh harimau (CITES 1999, Nugraha & Sugardjito 2009). Selama beberapa dekade terakhir, translokasi telah digunakan sebagai salah satu metode dalam mitigasi konflik antara manusia dengan satwaliar, seperti pada beruang coklat (Ursus arctos) dan beruang hitam (U. americama) (Armistead et al. 1994, Blanchard & Knight 1995), serigala (Fritts et al. 1984, Bangs et al. 1999), serta kucing besar (Rabinowitz 1986, Stander 1990, Ruth et al. 1998) termasuk harimau (Seidensticker et al. 1976, Nowell & Jackson 1996, Goodrich & Miquelle 2005). Namun, penelitian ekologi perilaku dari satwa translokasi pasca pelepas-liarannya masih sangat jarang dilakukan. Padahal, pemahaman akan kebutuhan atau prasyarat ekologis dari satwa karnivora langka seperti harimau, sangat penting untuk implementasi pengelolaan yang efektif
serta strategi konservasinya
(Grassman et al. 2005). Global positioning system collars (kalung GPS) mulai banyak digunakan dalam studi seleksi habitat dan pergerakan satwaliar (Edwards et al. 2001, Coelho et al. 2008), karena alat tersebut dapat memberikan informasi lokasi satwa secara tepat pada berbagai kondisi (Hebblewhite et al. 2007). Menurut Begon et al. (1986), pergerakan satwa selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekitarnya, juga
dipengaruhi oleh distribusi
sumberdaya yang dibutuhkan satwa tersebut untuk tumbuh, berkembang-biak, serta menjaga kelangsungan hidupnya. Sedangkan seleksi habitat merupakan satu proses dimana individu-individu satwaliar yang secara preferensial memanfaatkan habitat-habitat yang tersedia pada satu lansekap (Morris 2003). Valeix et al. (2010) menyatakan bahwa ekologi spasial dan pergerakan satwa predator sangat dipengaruhi oleh ciri-ciri habitat yang dapat menentukan penyebaran hewan mangsanya. Beberapa studi terkait perilaku ekologi seperti penggunaan habitat dan pola aktivitas satwa Felidae pernah dilakukan pada macan salju (Jackson 1996, Xu et al. 2012), macan dahan, kucing emas, kucing batu (Grassman et
3
al. 2005), serta macan tutul (Simcharoen et al. 2008). Selain itu, Sunquist (1981) juga meneliti aspek yang sama pada harimau liar di Nepal. Di Sumatera, kajian-kajian terkait penggunaan ruang dan pendugaan luas jelajah berdasarkan temuan jejak dan camera-trapping pernah dilakukan pada harimau liar (Griffiths 1994, Franklin et al. 1999, Maddox et al. 2004, Maddox et al. 2007, Sunarto et al. 2012). Namun, penelitian serupa terhadap harimau sumatera translokasi dengan menggunakan metode kalung GPS belum pernah dilakukan. Kurangnya informasi ekologi perilaku dari harimau pasca pelepas-liarannya telah membuat keberhasilan translokasi harimau di Sumatera menjadi sulit diukur. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, sangat dibutuhkan satu kajian yang komprehensif tentang ekologi perilaku dan aspek-aspek pemanfaatan ruang harimau translokasi untuk memahami karakteristik lokasi pelepas-liaran, serta membangun satu model kesesuaian habitat yang dapat dijadikan landasan pertimbangan translokasi harimau pada masa yang akan datang. Kajian ini sangat penting untuk segera dilakukan agar translokasi harimau sumatera di masa depan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. 1.2
Perumusan Masalah Deforestasi dan degradasi hutan di Pulau Sumatera merupakan salah
satu ancaman yang signifikan terhadap keberadaan keanekaragaman hayati di pulau tersebut, terutama terhadap spesies-spesies satwa mamalia besar yang memiliki jelajah luas seperti harimau. Tingginya laju kehilangan hutan di Sumatera pada dasawarsa terakhir, telah mengakibatkan berkurang dan terfragmentasinya habitat harimau (Soehartono et al. 2007). Menurut perkiraan Holmes (2000), hampir 6,7 juta hektar tutupan hutan telah hilang dari pulau ini antara 1985-1997. Kementerian Kehutanan memperkirakan deforestasi di Pulau Sumatera mencapai 1,35 juta hektar dalam periode antara tahun 2000 hingga 2005, atau rata-rata deforestasi hampir 270 ribu hektar per tahun.
4
Ancaman
lain
yang
membahayakan
kelangsungan
hidup
dan
keberadaan harimau sumatera adalah perburuan ilegal. Ancaman seperti ini bukan hanya berasal dari perburuan langsung terhadap harimau saja, tetapi juga karena perburuan terhadap hewan mangsanya. Selain itu, konflik antara manusia dengan harimau juga telah menjadi salah satu masalah yang serius dalam upaya pelestarian harimau sumatera karena dapat mengakibatkan korban dikedua belah pihak. Data yang berhasil dihimpun forum konservasi harimau sumatera, HarimauKita (FHK), menunjukkan bahwa antara tahun 1998 dan tahun 2011 konflik konservasi harimau telah mengakibatkan 57 orang meninggal dunia dan 81 orang terluka, serta paling sedikit 326 hewan ternak dimangsa harimau. Di sisi lain, dilaporkan juga bahwa dalam periode waktu tersebut 69 ekor harimau telah dikeluarkan dari habitatnya akibat dibunuh atau ditangkap. Sejauh ini, menangkap harimau sumatera yang terlibat konflik (sering memasuki pemukiman, memangsa hewan ternak, atau bahkan hingga memakan korban jiwa manusia) yang kemudian mengirimkannya ke lembaga-lembaga konservasi ex-situ, merupakan satu cara yang dianggap paling efektif dalam menyelesaikan masalah konflik konservasi harimau. Namun, dengan terus meningkatnya intensitas konflik serupa di Sumatera, sudah saatnya dipikirkan untuk mencari solusi lain yang lebih bijaksana, yang dapat dijadikan alternatif dalam upaya mitigasinya. Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 42/MenhutII/2007 tentang “Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017” (Soehartono et al. 2007) dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 48/Menhut-II/2008 tentang “Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwaliar” (Gunaryadi et al. 2008), mentranslokasikan harimau sumatera yang terlibat konflik telah dijadikan sebagai salah satu alat atau cara resmi yang dapat digunakan dalam upaya menyelesaikan masalah konflik antara kepentingan manusia dengan harimau. Aarts et al. (2008) menyatakan bahwa untuk melaksanakan pengelolaan dan pelestarian satwaliar secara efektif dan efisien sangat dibutuhkan
5
informasi-informasi ekologi yang mendasar seperti dimana satwaliar tersebut berada, mengapa mereka berada di tempat tersebut, dan kemana lagi kemungkinannya mereka menuju. Namun demikian, kajian-kajian tentang ekologi perilaku dan aspek-aspek pemanfaatan ruang oleh harimau yang ditranslokasikan, serta karakteristik lokasi pelepasliaran dan kesesuaian habitat untuk lokasi translokasi sampai saat ini belum pernah dilakukan. Studi-studi tersebut sangat penting untuk segera dilakukan agar pertimbangan translokasi harimau sumatera di masa yang akan datang menjadi lebih baik. Berkaitan dengan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian guna menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pola pergerakan dan aktivitas harimau sumatera pasca translokasi di tempat hidupnya yang baru? 2. Berapa lama waktu dibutuhkan oleh harimau sumatera pasca translokasi untuk membangun daerah jelajahnya, berapa luas habitat yang digunakan oleh harimau tersebut sebagai daerah jelajahnya, dan bagaimana hubungan antara pembentukan dan ukuran daerah jelajah dengan kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa? 3. Apakah ada preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi tertentu dalam kaitannya dengan penggunaan ruang oleh harimau yang ditranslokasikan? 4. Bagaimanakah karakteristik habitat yang digunakan oleh harimau translokasi, dan komponen-komponen habitat apa yang paling menentukan harimau sumatera translokasi dalam menggunakan ruang habitatnya? 5. Kawasan seperti apa yang dianggap sesuai sebagai habitat harimau translokasi di wilayah hutan Ulu Masen? 6. Dimana lokasi yang sesuai untuk dijadikan sebagai kawasan translokasi harimau di wilayah hutan Ulu Masen? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pola
penggunaan ruang dan aktivitas harimau sumatera, penyusunan model kesesuaian
habitat
harimau
sumatera
yang
ditranslokasikan,
serta
6
merumuskan kriteria kawasan yang sesuai sebagai lokasi translokasi harimau sumatera di masa yang akan datang. Adapun tujuan khususnya adalah: 1. Mengetahui pola pergerakan dan aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan; 2. Mengetahui ukuran, bentuk serta karakteristik daerah jelajah harimau sumatera yang ditranslokasikan; 3. Mengetahui waktu yang dibutuhkan dalam membangun daerah jelajah (home range) harimau sumatera yang ditranslokasikan di tempat hidupnya yang baru, serta menguji hubungan antara pembentukan dan ukuran daerah jelajah dengan kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsanya; 4. Menentukan preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi oleh harimau sumatera yang ditranslokasikan di tempat hidupnya yang baru; 5. Mengetahui komponen-komponen ruang habitat yang paling menentukan harimau translokasi dalam menggunakan ruangnya (kasus Ulu Masen); 6. Menyusun model kesesuaian habitat harimau translokasi untuk kawasan hutan Ulu Masen; 7. Merumuskan kriteria dan menentukan areal-areal yang sesuai untuk dijadikan lokasi translokasi harimau di kawasan hutan Ulu Masen. 1.4 Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Pola pergerakan harimau sumatera pasca translokasi dilakukan secara acak dan terdapat waktu yang paling disukai untuk melakukan aktivitasnya; 2. Terdapat karakteristik pada daerah jelajah harimau sumatera pasca translokasi; 3. Terdapat perbedaan waktu yang dibutuhkan oleh setiap harimau sumatera translokasi dalam membangun daerah jelajahnya. Waktu yang dibutuhkan untuk membangun daerah jelajah harimau translokasi dipengaruhi oleh kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa;
7
4. Terdapat kesukaan atau preferensi harimau sumatera translokasi terhadap tipe tutupan vegetasi tertentu yang dijadikan habitat utamanya karena diduga keberadaan harimau mengikuti habitat hewan mangsanya; 5. Terdapat beberapa komponen habitat yang mempengaruhi penggunaan ruang harimau sumatera yang ditranslokasikan; 6. Kawasan lokasi translokasi harimau dapat diklasifikasikan kesesuaiannya melalui pemodelan spasial berdasarkan komponen habitat serta proporsi penggunaan spasial harimau translokasi mengikuti proporsi sebaran kesesuaian habitat. 7. Di kawasan hutan Ulu Masen terdapat areal-areal yang sesuai untuk dijadikan lokasi translokasi harimau sumatera. 1.5
Kerangka Pemikiran Pada dasarnya, harimau sumatera memerlukan tiga kebutuhan dasar
untuk menjamin kelangsungan hidupnya, yaitu tersedianya hewan mangsa yang cukup, terdapatnya sumber air (Sunquist & Sunquist 1989), serta adanya tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap mangsa (Lynam et al. 2000). Berdasarkan fenomena penggunaan ruang, diprediksi bahwa harimau sumatera memanfaatkan ruang secara tidak acak pada daerah jelajahnya, artinya terdapat indikasi adanya preferensi berdasarkan ruang dan habitat pada pergerakan harimau di dalam daerah jelajahnya. Tingkat kesukaan harimau pada suatu areal hutan tertentu di dalam satu lansekap, kemungkinan besar berhubungan dengan kondisi medan (terrain) serta faktor-faktor lingkungan (fisik dan biotik) lainnya, komposisi tutupan vegetasi, keberadaan hewan mangsa utama (rusa, kijang dan babi hutan), serta keberadaan harimau lain yang juga menghuni lansekap tersebut. Oleh karena itu, disusun satu kerangka pemikiran seperti disajikan pada Gambar 1.
8
Kawasan Hutan & Air
Harimau Sumatera
Deforestasi / Degradasi
Konflik Manusia-Harimau
Dieksekusi Masyarakat (Mati)
Ditangkap Petugas/ Masyarakat
Lembaga Koservasi Ex-situ
Hewan Mangsa
Perburuan
Dilakukan Pengusiran
Kalung GPS (GPS Collar)
Translokasi/ Relokasi Harimau
Data Analisis Spasial
Analisis Jelajah dan Aktivitas Harimau Translokasi
Peta Tutupan Vegetasi Analisis Pola Penggunaan Ruang Harimau Translokasi
Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau Translokasi
Data Spasial Fisik
Kepadatan Relatif Harimau Lokal & Hewan Mangsa
Peta Distribusi Harimau Lokal & Hewan Mangsa Peta Kawasan Lokasi Translokasi Harimau
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran yang melandasi penelitian.
9
1.6
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia ilmu
pengetahuan, berupa ketersediaan informasi umum tentang ekologi perilaku serta
tingkat
keberhasilan
hidup
dari
harimau
sumatera
yang
ditranslokasikan. Manfaat yang diharapkan didapat dari hasil penelitian ini bagi konservasi harimau sumatera adalah: 1. Tersedianya data dan informasi tentang pola pergerakan, pola aktivitas, serta daerah jelajah (ukuran, bentuk dan karakteristik) harimau sumatera yang ditranslokasikan; 2. Tersediannya informasi tentang waktu yang dibutuhkan harimau sumatera yang ditranslokasikan dalam membangun daerah jelajahnya; 3. Tersedianya data dan informasi tentang preferensi harimau terhadap tutupan vegetasi tertentu, serta komponen-komponen habitat yang mempengaruhi pola penggunaan ruangnya; 4. Tersedianya informasi tentang habitat yang sesuai bagi harimau sumatera di kawasan hutan Ulu Masen; 5. Tersusunnya kriteria dan tersedianya informasi areal-areal yang sesuai untuk dijadikan lokasi translokasi harimau di kawasan hutan Ulu Masen; 6. Tersedianya informasi tentang efektivitas kalung GPS untuk studi ekologi perilaku satwaliar. 1.7
Kebaruan (Novelty) Penelitian Kegiatan mentranslokasikan atau memindahkan satwaliar, terutama
satwa karnivora besar seperti harimau sumatera, merupakan suatu pendekatan baru yang digunakan dalam mitigasi konflik konservasi harimau di Indonesia. Selain itu, penggunaan kalung GPS (GPS collar) dalam penelitian ekologi perilaku satwaliar, serta membuat pemodelan kesesuaian habitat dengan menggunakan data yang dikumpulkan melalui alat tersebut juga merupakan suatu hal yang baru berkembang di dunia dan pertama dilakukan di Indonesia.
10
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera 2.1.1 Taksonomi Di dalam ilmu biologi, suatu jenis hewan atau tumbuhan dapat diklasifikasikan kedalam satu golongan tertentu. Pengelompokkan tersebut antara lain didasarkan atas persamaan bagian tubuh yang dimiliki kelompok hewan tersebut, dari yang bersifat umum menuju pada kesamaan yang lebih khusus. Ilmu mengenai pengelompokkan ini disebut taksonomi. Sistem klasifikasi yang digunakan saat ini merupakan sebuah perkembangan dari sistem pengelompokan yang diusulkan seorang ahli biologi terkemuka, Carl Linneaus, pada abad ke-18. Secara global, hanya dikenal satu spesies harimau, yaitu Panthera tigris, namun spesies ini dipisahkan menjadi sembilan subspesies yang berbeda, yang dikelompokkan atas dasar perbedaan morfologi, genetik, biogeografi, serta ekologinya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Tiga dari sembilan subspesies harimau tersebut telah dinyatakan punah. Harimau sumatera merupakan salah satu dari enam subspesies harimau yang masih ada di dunia hingga saat ini. Menurut Wozencraft (1993), klasifikasi taksonominya di masukkan kedalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Carnivora, family Felidae, genus Panthera, dan spesies Panthera tigris (Linnaeus, 1758), serta subspesies Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929). Selain harimau sumatera yang menghuni belantara di Pulau Sumatera, ada lima subspesies harimau lainnya yang masih tersisa di dunia yakni: a. Harimau siberia (Panthera tigris altaica Temminck, 1844) yang mendiami wilayah timur jauh Rusia; b. Harimau bengal (Panthera tigris tigris Linnaeus, 1758) yang hidup di wilayah-wilayah India, Bhutan, Nepal dan Bangladesh;
12
c. Harimau indocina (Panthera tigris corbetti Mazak, 1968) yang berada di wilayah Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja dan Myanmar; d. Harimau cina selatan (Panthera tigris amoyensis Hilzheimer, 1905) yang diperkirakan mendiami kawasan pegunungan di Cina bagian selatan, meskipun belum ada bukti baru tentang keberadaannya di habitat alaminya; e. Harimau malaya (Panthera tigris jacksoni Luo et al., 2004) yang berhabitat di semenanjung Malaysia. Tiga subspesies harimau yang telah dinyatakan punah adalah sebagai berikut: a. Harimau bali (Panthera tigris balica Schwarz, 1912) yang hanya pernah ada di Pulau Bali, yang dipercaya terakhir kali ditemukan terbunuh pada tahun 1937; b. Harimau kaspia (Panthera tigris virgata Illiger, 1815) yang pernah hidup di wilayah-wilayah Afghanistan, Iran, Turki, Mongolia, dan kawasan Asia Tengah di Rusia. Subspesies harimau ini punah pada tahun 1950-an; c. Harimau jawa (Panthera tigris sondaica Temminck, 1844) yang sebelumnya pernah mendiami hutan belantara Pulau Jawa dan diyakini terakhir kali terlihat pada tahun 1972. 2.1.2 Morfologi Semua subspesies harimau secara umum memiliki ciri morfologi yang hampir sama. Menurut Kitchener (1999), untuk membedakan antar subspesies harimau dapat dilihat dari perbedaan ukuran tubuh, pola loreng, warna dasar tubuh, serta karakter tulang tengkoraknya. Harimau sumatera merupakan subspesies yang ukuran tubuhnya paling kecil di antara harimau yang masih ada saat ini, dengan tinggi pundak hanya sekitar 75 cm, sehingga sangat cocok untuk hidup di dalam hutan. Variasi ukuran panjang tubuh jantan dewasa dari kepala hingga ekor antara 220-255 cm dengan kisaran berat antara 100-140 kg. Betina dewasa memiliki variasi ukuran panjang antara 215-230 cm, dengan kisaran berat 75-110 kg (Mazak 1981). Namun,
13
Maddox et al. (2004) melaporkan bahwa harimau sumatera jantan dewasa yang pernah ditangkap dalam penelitiannya di Provinsi Jambi beratnya mencapai 150 kg. Kisaran
panjang ekor harimau antara 90-120 cm,
sedangkan ukuran telapak kakinya berbeda-beda sesuai dengan umur. Sebagai pembanding, harimau siberia yang merupakan subspesies harimau terbesar di dunia memiliki kisaran berat tubuh antara 180-306 kg (jantan) dan 100-167 kg (betina) (Mazak 1981). Pola loreng dan warna dasar tubuh harimau juga berbeda-beda. Warna dasar tubuh harimau sumatera paling gelap dibandingkan subspecies harimau lainnya. Rambut pada bagian atas tubuhnya memiliki gradasi warna dari kuning tua atau jingga hingga coklat kemerahan, dengan dihiasi pola lorengloreng hitam yang rapat sehingga kadang-kadang terlihat seperti double. Pola loreng hitam pada harimau dapat dijadikan penanda individu seperti halnya sidik jari pada manusia, karena pola loreng tersebut berbeda antara satu individu harimau dengan individu lainnya (ITWS 2005). Bahkan, menurut Franklin et al. (1999), pola loreng pada sisi kiri dan sisi kanan badan seekor harimau juga berbeda (Gambar 2).
Gambar 2. Harimau sumatera betina individu yang sama menunjukkan pola loreng yang berlainan di kedua sisi tubuhnya. Foto didapat ketika melakukan observasi lapangan di kawasan hutan Ulu Masen, Januari 2010 (Dok: Dolly Priatna/PHKA/ZSL). Seperti kucing pada umumnya, cakar harimau dapat dikeluar-masukkan (retractable) ke dalam kantung cakar. Harimau menggunakan cakarnya untuk
14
mencengkeram hewan mangsanya ketika berburu dan mencakar pohon sebagai penanda daerah teritorialnya. Mata harimau mempunyai pupil bulat dengan selaput pelangi berwarna kuning. Selain itu, kumis pada harimau sumatera juga lebih panjang dibandingkan dengan kumis harimau subspesies lainnya. Kumis pada harimau berfungsi sebagai sensor ketika berada di dalam gelap atau semak-semak yang rapat (Phoenixzoo 2011). 2.1.3 Perilaku Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang berasal dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk
menyesuaikan
diri
dengan
kondisi
lingkungannya.
Untuk
mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, perlindungan, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 1990). Fungsi utama perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978 diacu dalam Alikodra 1990). Satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdaya habitat, mendeteksi adanya bahaya, serta menghindar atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial seperti ini timbul akibat adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, daerah jelajah dan rute-rute migrasi. Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial. Sistem hierarki dan teritorialisme ini kemudian mengendalikan
perilaku
agresif
intraspesifik
secara
terbatas,
yang
memungkinkan terbentuk dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984). 2.1.3.1 Perilaku Makan dan Berburu Secara umum, hewan mangsa yang menjadi pakan harimau adalah babi hutan, sapi liar (gaur) serta berbagai spesies hewan dari golongan ungulata.
15
Semua hewan mangsa tersebut merupakan hewan-hewan yang hidup di dalam hutan dan padang rumput, yang kisaran beratnya antara 30-900 kg. Biasanya, harimau liar memakan hewan buruannya yang masih segar, dan mereka mampu memakan sekitar 18 kg daging pada satu waktu. Setelah mengkonsumsi daging sebanyak itu, biasanya harimau tidak akan makan lagi selama beberapa hari (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Pendapat
lain
(Wibisono
2006)
menyatakan
bahwa
harimau
mengkonsumsi daging antara 5-6 kg setiap hari, yang sebagian besar (sekitar 75%) berasal dari hewan-hewan mangsa golongan ungulata seperti rusa (Sunquist et al. 1999). Sebagai satwa predator terbesar di hutan Sumatera, harimau memangsa hewan dari famili Cervidae dan Suidae sebagai pakan utamanya (Seidensticker 1986), seperti rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) dan babi hutan (Sus scrofa Linnaeus, 1758). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai jenis hewan lain yang lebih kecil sebagai alternatif, seperti kancil (Tragulus javanicus Osbeck, 1765) atau napu (T. napu F. Cuvier, 1822), beruk (Macaca nemestrina Linnaeus, 1766), landak (Hystrix brachyura Linnaeus, 1758), trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822), beruang madu (Helarctos malayanus Horsfield, 1825), dan
kuau
raja
(Argusianus
argus
Linnaeus,
1766).
Namun,
ada
kecenderungan bahwa harimau lebih menyukai hewan mangsa bertubuh besar (Bagchi et al. 2003). Harimau adalah pemburu penyergap. Mereka akan
mengintai
mangsanya, mendekati sedekat mungkin, dan kemudian menyergap hewan mangsanya dari belakang. Mereka biasanya menggigit leher atau tenggorokan untuk merobohkan hewan mangsanya. Gigitan pada leher dapat memutuskan saraf tulang belakang, yang biasanya digunakan dalam merobohkan hewan mangsa berukuran kecil atau sedang. Sedangkan gigitan pada tenggorokan akan menyebabkan sesak napas, dan digunakan saat menangkap hewan mangsa yang lebih besar. Setelah terbunuh, hewan mangsa tersebut biasanya akan disimpan di tempat yang aman, kemudian hewan hasil buruan tersebut
16
akan dikonsumsi selama beberapa hari tergantung pada ukuran hewan mangsanya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Harimau bengal (P. t. tigris) di Nepal berburu mangsa setiap 5-6 hari sekali. Setelah memperoleh hewan buruan, mereka akan tetap berada di sekitar hasil buruannya selama 1-4 hari. Setelah itu, mereka akan meninggalkan sisa hasil buruannya untuk kembali berburu hewan mangsa lainnya (Seidensticker 1986). Di India, harimau bengal diperkirakan memangsa sekitar 50 ekor hewan ungulata dalam setiap tahunnya (Karanth et al. 2004). Seekor harimau betina membutuhkan antara 5-6 kg daging segar setiap hari (Sunquist 1981). Mereka dapat menangkap kijang yang beratnya sekitar 20 kg setiap tiga hari, atau seekor rusa yang beratnya 200 kg setiap beberapa minggu (Sunquist et al. 1999). Berdasarkan penelitian di Malaysia, kebutuhan makan harimau indocina (P. t. corbetti) betina berkisar antara 1.613-2.041 kg per tahun, sedangkan jantan berkisar antara 1.936-2.448 kg (Kawanishi & Sunquist 2004). 2.1.3.2 Perilaku Sosial Harimau dewasa adalah hewan penyendiri (soliter) yang membangun daerah jelajahnya sendiri di areal dimana terdapat mangsa yang cukup, kawasan tempat berlindung (cover), serta tersedianya air untuk mendukung kehidupannya. Kesulitan dalam pencarian hewan mangsa di habitatnya, telah menjadikan harimau lebih efisien untuk berburu secara sendiri-sendiri. Oleh karenanya, harimau
cenderung untuk tidak membentuk kelompok sosial
seperti pada singa. Kelompok sosial pada harimau hanya terjadi pada seekor harimau betina dewasa dengan anak-anaknya, dan kelompok keluarga ini akan bertahan selama 2-3 tahun, sampai anak-anak harimau tersebut mampu untuk hidup mandiri (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). 2.1.3.3 Perilaku Penguasaan Wilayah Perilaku penguasaan wilayah pada satu lansekap juga dilakukan oleh harimau seperti halnya terjadi pada satwa karnivora lainnya. Baik harimau
17
jantan maupun betina akan menujukkan perilaku penguasaan wilayahnya dengan cara menyemprotkan air seni (urin) yang bercampur dengan aroma bau (scent) yang diproduksi oleh kelenjar sekresi, pada pohon atau belukar di sepanjang rute penjelajahannya. Hal ini dilakukan oleh seekor harimau sebagai cara mendeklarasikan wilayah teritorialnya terhadap individu harimau lainnya. Selain itu, harimau juga meninggalkan tanda bekas cakaran (scratch) pada pohon serta kotoran (feces) pada tempat-tempat yang mudah terlihat sebagai penanda wilayahnya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Smith et al. (1989) dan Sriyanto (2003) berpendapat bahwa perilaku penandaan wilayah pada harimau berkaitan dengan perilaku defekasi (membuang kotoran) yang biasanya diikuti dengan urinasi (kencing). Penguasaan wilayah yang dilakukan oleh harimau tidak eksklusif, yang mana beberapa individu harimau mungkin saja menggunakan jalur yang sama namun pada waktu yang berbeda. Menurut Karanth (1995) wilayah teritorial seekor harimau jantan dapat mengalami tumpang-tindih (overlap) dengan dua sampai empat individu betina. Wilayah teritorial harimau jantan jarang tumpang-tindih, namun kadang-kadang ada harimau jantan muda pelintas (transient) atau jantan yang kalah bersaing melintas di dalam wilayah satu harimau jantan dalam rangka pencarian wilayah baru yang akan dijadikan daerah jelajah tetapnya. 2.1.3.4 Perilaku Kawin dan Berkembang Biak Di kebun binatang, baik harimau jantan maupun betina dapat hidup hingga usia 20-an tahun. Kematangan seksual pada harimau betina tercapai ketika mereka berumur sekitar 3-4 tahun, sedangkan jantan sekitar usia 4-5 tahun (Nowak 1991). Harimau betina dapat melahirkan anak hingga umur sekitar 15 tahun. Di daerah yang beriklim sedang (temperate), estrus pada harimau betina terjadi secara bermusim. Di daerah beriklim tropis, estrus pada harimau betina terjadi sepanjang tahun kecuali ketika mereka sedang hamil atau membesarkan anak. Harimau betina akan memberikan signal kesiapannya untuk kawin dengan cara meninggalkan tanda-tanda aroma bau
18
(scent) serta suara auman. Selanjutnya, kopulasi-kopulasi singkat antara harimau jantan dan betina terjadi terus-menerus selama jangka waktu sekitar lima hari. Harimau termasuk satwa ovulator yang terinduksi (induced ovulator) sehingga harus dirangsang melalui kopulasi yang sering agar terjadi kehamilan (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Periode kehamilan harimau betina adalah sekitar 103 hari. Harimau jantan tidak tinggal dengan betina setelah perkawinan. Individu jantan juga tidak berpartisipasi dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya. Jumlah anak harimau pada setiap kelahiran biasanya 2-3 ekor, namun seekor anak umumnya mati sesaat setelah dilahirkan. Anak-anak harimau dilahirkan dalam keadaan buta dengan berat tubuh antara 0,7-1,0 kg, tergantung pada subspesies harimau (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Anak-anak menyusu pada induk harimau selama 6-8 minggu, kemudian setelah masa itu induk harimau akan mengajak anak-anak untuk makan hewan buruan bersama-sama. Anak-anak harimau akan mulai belajar berburu hewan mangsa sendiri pada usia sekitar 18 bulan. Setelah kawin dan melahirkan anak-anaknya, harimau betina tidak akan mengalami estrus lagi, hingga anak-anaknya berumur antara 1,5-3 tahun, dimana pada usia tersebut anak-anaknya telah memiliki keterampilan yang cukup untuk memulai hidup sendiri. Harimau betina muda cenderung untuk membangun daerah jelajahnya yang berdekatan dengan wilayah induknya (STF 2007
diacu
dalam Soehartono et al. 2007). 2.1.4 Distribusi Hingga awal tahun 1900-an, rentang wilayah penyebaran harimau (Panthera tigris) dunia mencakup 70 derajat pada garis lintang dan 100 derajat pada garis bujur, serta tersebar di 30 negara yang dikenal saat ini yaitu mulai dari Turki dan Armenia di wilayah barat daratan Asia hingga ke Indonesia, kemudian ke timur jauh Rusia, serta hingga ke ujung selatan India (Sanderson et al. 2006). Namun, Dinerstein et al. (2006) dan Sanderson et al. (2006) memperkirakan bahwa wilayah penyebaran harimau dunia yang
19
tersisa saat ini hanya tinggal sebesar 7% dari total luas berdasarkan sejarah penyebaran geografisnya (Gambar 3).
Gambar 3. Peta sejarah distribusi harimau (cokelat muda) dan wilayah penyebaran saat ini (hijau) di seluruh dunia (Dok: STF). Pada awal abad ke-19, harimau sumatera (P. t. sumatrae) juga penyebarannya masih ditemukan hampir di seluruh kawasan berhutan di sepanjang Pulau Sumatera, terutama di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan pegunungan. Namun, daerah penyebaran harimau sumatera saat ini terbatas pada fragmen-fragmen hutan yang kebanyakan ukurannya kecil serta terpisah antara satu dengan lainnya. Pada kawasan-kawasan tersebut harimau sumatera menyebar pada ketinggian 0-2.000 meter dari permukaan laut (dpl) (O‟Brien et al. 2003), tetapi kadang-kadang ditemukan juga pada ketinggian lebih dari 2.400 meter dpl (Linkie et al. 2003). Menurut Griffiths (1994), hutan dataran rendah (ketinggian < 600 m dpl) dapat mendukung populasi harimau dua kali lebih besar dari pada dataran tinggi. Di Sumatera, terbukti bahwa kelimpahan harimau berkurang seiring dengan naiknya elevasi
20
kawasan dari permukaan laut (Linkie et al. 2006, Wibisono 2006, Wibisono et al. 2009). Penyebaran suatu spesies pada suatu wilayah dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya sejarah evolusi spesies, perubahan geografis, interaksi antar spesies dan respon lingkungan, serta dampak aktivitas manusia pada suatu wilayah (Jarvis 2000). Namun, penyebaran harimau sumatera saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia, terutama seperti kegiatan konversi kawasan hutan untuk perkebunan, transmigrasi, pemukiman, serta kegiatan pembangunan infrastuktur lainnya (Soehartono et al. 2007). Smirnov & Miquelle (1999) menyatakan bahwa penyebaran dan kepadatan hewan mangsa juga merupakan faktor yang turut mempengaruhi penyebaran harimau pada suatu wilayah. Keberadaan harimau sumatera di alam belum seutuhnya diketahui dengan akurat. Perpaduan antara kajian-kajian sebelumnya (Faust & Tilson 1994, Seal et al. 1994, Sanderson et al. 2006) dengan beberapa hasil survey terkini, memprediksi bahwa saat ini harimau sumatera setidaknya tersebar di 19 fragmen kawasan konservasi dan kawasan-kawasan hutan lainnya, yang letaknya masing-masing terpisah satu sama lain (Soehartono et al. 2007). Namun, analisis yang dilakukan Wibisono & Pusparini (2010) menyebutkan bahwa harimau sumatera terbukti masih ditemukan pada 27 fragmen habitat yang ukurannya lebih dari 250 km2 (Gambar 4). 2.1.5 Populasi Sekitar satu abad lalu, di dunia masih terdapat sekitar 100.000 ekor harimau yang berkeliaran pada berbagai habitat di wilayah sejarah penyebarannya (GTI 2010). Jumlah populasi harimau saat ini terus menurun seiring dengan berkurangnya luas habitat harimau dunia yang mencapai 93% (Dinerstein et al. 2006, Sanderson et al. 2006). Penurunan tersebut terutama diakibatkan oleh perdagangan ilegal bagian tubuh harimau untuk obat-obatan tradisional, penangkapan atas harimau-harimau yang berkonflik (Tilson et al. 1994, Sunquist et al. 1999), berkurangnya hewan mangsa (Seidensticker
21
1986, Karanth & Stith 1999), serta hilangnya habitat alami (Dinerstein et al. 2006). Jumlah populasi harimau di dunia saat ini diperkirakan hanya tinggal sekitar 3.000-3.500 ekor yang hidup pada habitat alaminya (Sanderson et al. 2006, Morrel 2007, GTI 2010).
Gambar 4. Peta distribusi harimau di Pulau Sumatera pada lima tahun terakhir (Wibisono & Pusparini 2010). Borner (1978) pernah memperkirakan bahwa jumlah populasi harimau sumatera ketika itu sekitar 1.000 ekor. Kemudian pada tahun 1985 perkiraan tersebut menurun menjadi 800 ekor harimau yang hidup di 26 kawasan konservasi dan hutan lindung lainnya (Santiapillai & Ramono
1987).
Penilaian status distribusi dan populasi yang dilakukan tahun 1992 lalu, menunjukkan bahwa populasi harimau sumatera di alam diperkirakan hanya tinggal sekitar 500 individu (Tilson et al. 1994). Melihat pada semakin
22
tingginya ancaman terhadap kelangsungan hidup harimau saat ini, para ilmuwan dan pakar konservasi percaya bahwa jumlah harimau sumatera di alam telah mengalami penurunan yang drastis dalam beberapa dekade terakhir (Wibisono & Pusparini 2010). Bahkan diyakini jumlah harimau sumatera di alam saat ini hanya tinggal sekitar 300 ekor (Soehartono et al. 2007). Kelangsungan hidup suatu populasi di alam berhubungan erat dengan demografi, genetik, serta faktor-faktor lingkungan (Noss et al. 1996). Selain itu, rendahnya angka kelahiran, tingginya angka kematian anak, tingginya tingkat ancaman, serta rendahnya populasi hewan mangsa merupakan faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi satu spesies di alam (Alikodra 1990). Menurut Karanth et al. (2002), secara alamiah populasi harimau di alam tergolong rendah. Di hutan daratan rendah Sumatera kepadatan populasi harimau berkisar antara 1-3 ekor/100 km2, sedangkan di hutan dataran tinggi atau pegunungan kepadatan populasinya sekitar 1 ekor/100 km2 (Santiapillai & Ramono 1993). Jenis-jenis hewan mangsa yang mendukung penyebaran populasi harimau sumatera diantaranya adalah rusa sambar, babi hutan, kijang, kancil atau napu serta beruk (Franklin et al. 1999, O‟Brien et al. 2003). 2.2 Habitat dan Daerah Jelajah 2.2.1 Habitat Habitat adalah satu atau serangkaian komunitas biotik yang ditempati oleh satwa atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi satu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam komponen termasuk pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup serta melangsungkan reproduksinya secara berhasil (Bailey 1984). Habitat satwaliar menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar seperti pelindung (cover atau shelter), pakan, air, tempat berkembang biak
23
dan areal teritori. Teritori merupakan suatu tempat yang dipertahankan oleh spesies satwaliar tertentu dari gangguan spesies lainnya. Tempat berlindung (cover) memberikan perlindungan pada satwaliar dari kondisi cuaca yang ekstrim ataupun predator. Berdasarkan sumber pakannya, satwaliar dapat diklasifikasikan sebagai herbivora, spermivora (pemakan biji), frugivora (pemakan buah), karnivora dan sebagainya. Kadang-kadang kebiasaan makan individu spesies satwaliar tertentu sangat beragam tergantung pada kesehatan, umur, musim, habitat dan ketersediaan pakan. Akses spesies satwaliar terhadap ketersediaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kepadatan populasi, cuaca, kerusakan habitat dan suksesi tumbuhan (Owen 1980). Menurut Alikodra (1990), suatu habitat merupakan hasil interaksi dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen biotik terdiri atas vegetasi, mikro fauna, makro fauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Harimau (Pantera tigris) merupakan salah satu predator terbesar yang penyebarannya dahulu hampir meliputi seluruh daratan Asia hingga beberapa pulau di Indonesia (Nowell & Jackson 1996). Harimau juga merupakan satwa teresterial yang menempati beragam tipe habitat, diantaranya hutan taiga dan boreal, hutan musim (deciduous forest), hutan tropis, hutan bakau, hutan rawa gambut, dan padang rumput aluvial (Sunquist et al. 1999, Sanderson et al. 2006). Seperti halnya subspesies harimau lainnya, harimau sumatera juga mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam, sepanjang tersedia cukup mangsa, sumber air (Schaller 1967, Sunquist & Sunquist 1989, Sunquist et al. 1999) dan hutan sebagai tempat berlindung (cover), serta terhindar dari ancaman potensial. Harimau di Sumatera terdapat di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan, serta menghuni berbagai
24
tipe habitat mulai hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan bakau, hutan tebangan, perkebunan, hingga belukar terbuka. Namun, harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya karena hutan ini dapat mendukung biomassa hewanhewan ungulata besar (Santiapillai & Ramono 1993), seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak) yang merupakan hewan mangsa harimau sumatera (Dinata & Sugardjito 2008). Menurut Griffiths (1994), keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 meter dpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 900-1.700 meter dpl. Kajian Dinata & Sugardjito (2008) menunjukkan bahwa habitat hutan yang dekat dengan alur sungai, aman dari perburuan hewan mangsa serta bebas dari kegiatan penebangan pohon, seprtinya merupakan merupakan lokasi yang ideal bagi kehidupan harimau sumatera. Kehilangan habitat (Kinnaird et al. 2003, Linkie et al. 2003) dan perburuan untuk perdagangan bagian-bagian tubuh harimau (Kenney et al. 1994, Plowden & Blowes 1997) telah menyebabkan penyebaran dan populasi harimau sumatera menurun, serta telah membuat harimau sumatera semakin terdesak pada sisa-sisa habitat hutan yang ada. Bahkan diduga kuat hal tersebut juga yang telah mengakibatkan dua subpesies harimau jawa dan harimau bali menjadi punah di alam (Sunquist et al. 1999). 2.2.2 Daerah Jelajah Daerah jelajah
atau home range adalah satu wilayah yang biasa
dikunjungi dan digunakan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas satwaliar (Owen 1980). Daerah jelajah ini merupakan wilayah yang secara tetap dikunjungi satwaliar karena dapat mensuplai makanan, minuman, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur serta tempat kawin (Boughey 1973, Pyke 1983).
Owen (1980) juga
menyatakan bahwa daerah jelajah satu individu satwaliar dapat diketahui melalui penangkapan, penandaan, dan pelepasan kembali satwaliar tersebut.
25
Selain itu, daerah jelajah dapat diketahui melalui tanda-tanda satwaliar seperti feses, jejak tapak kaki dan sebagainya. Daerah jelajah satwaliar yang individunya dapat dibedakan melalui tanda-tanda khusus, seperti harimau berdasarkan pola belangnya, dapat ditentukan melalui survey kamera-trap (Maddox at al. 2004, 2007). Secara umum, daerah jelajah harimau berkisar antara 26-78 km2, kecuali harimau siberia yang daerah jelajahnya bisa mencapai 310 km2 (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Ukuran daerah jelajah harimau sangat tergantung pada keberadaan dan jumlah hewan mangsa yang tersedia. Oleh karenanya, ketersediaan hewan mangsa memainkan peran penting dalam menetukan daerah jelajah individu harimau (Aheams et al. 2001). Luas daerah jelajah harimau sumatera jantan bervariasi antara 40-250 km2, sedangkan betina antara 15-25 km2. Namun, menurut hasil penelitian Franklin et al. (1999), ukuran daerah jelajah harimau sumatera jantan telah diketahui sekitar 110 km2 dan betina mempunyai kisaran ukuran daerah jelajah antara 50-70 km2. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi luas jelajah harimau sumatera adalah ketersediaan hewan mangsa. Semakin tinggi kelimpahan hewan mangsa utamanya, maka semakin kecil pula daerah jelajah satu individu harimau. Daerah jelajah harimau juga tidak eksklusif, artinya bisa saja satu jalur harimau digunakan oleh beberapa individu yang berbeda pada waktu yang berlainan. Selain itu, daerah jelajah ini keberadaannya tumpang tindih antara indvidu harimau. Daerah jelajah satu harimau jantan dewasa biasanya tumpang-tindih dengan daerah jelajah dua hingga tiga betina dewasa. Sementara itu, jarang terjadi tumpang-tindih daerah jelajah antar harimau jantan dewasa. 2.3 Penggunaan Ruang Pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwa lair dengan habitatnya (Legay & Zie 1985 diacu dalam Muntasib 2002). Tata cara tentang bagaimana satwaliar
menggunakan ruang (space use atau
26
penggunaan spasial) di habitatnya dapat mempengaruhi beberapa aspek biologi, termasuk pola pemanfaatan sumberdaya dan persaingan intraspesifik (Oli et al. 2002). Perilaku spasial pada satwaliar mungkin dapat memediasi interaksi yang bersifat kompetitif di antara individu dalam satu spesies, yaitu dapat mengurangi biaya atau kerugian atas adanya perjumpaan intra-spesifik, serta dapat memaksimalkan kemampuan/kecocokan (fitness) (Wilson 1975). Perilaku spasial juga telah diketahui dapat memainkan peran penting dalam pengaturan populasi satwaliar (Krebs 1978). Pada mamalia, pola keruangan tersebut umumnya dikaji dengan cara mempelajari dinamika daerah jelajahnya (Oli et al. 2002). Mace & Harvey (1983) serta Alikodra (1990) menyatakan bahwa ukuran daerah jelajah akan semakin luas seiring dengan semakin bertambahnya ukuran tubuh satwa. Namun, kepadatan populasi berkorelasi negatif dengan luas daerah jelajah (Maza et al. 1973, O'Farrell 1974, Massei et al. 1997, Olie et al. 2002). Krebs & Davis (1993) berpendapat bahwa penyebaran geografis dan ketersediaan makanan dapat digunakan sebagai dasar dalam memprediksi pola pemanfaatan ruang oleh satwaliar. Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa keadaan, antara lain kebutuhan dasar, tipe habitat, faktor-faktor kesejahteraan yang spesifik, serta komponen faktor-faktor kesejahteraan (Bailey 1984). Bagi satwa foliovora, tipe habitat terutama tipe vegetasi sangat menentukan tingkat kesejahteraan bagi kehidupannya. Namun, bagi satwa karnivora, yang menjadi faktor penentu kesejahteraannya adalah kualitas habitat, terutama kelimpahan hewan mangsanya. Menurut Mutasib (2002), setiap spesies akan memerlukan faktor-faktor kesejahteraan khusus, misalnya harimau, selain sangat bergatung pada keberadaan hewan mangsa mereka juga memerlukan sumber air (Sunquist & Sunquist 1989) dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap hewan mangsanya (Lynam et al. 2000).
27
Daya dukung suatu habitat satwaliar dapat ditingkatkan melalui letak dan komposisi komponen-komponennya sehingga terbentuk lebih banyak titik pertemuan antara berbagai komponen habitat (covey). Pada suatu tempat dengan luasan yang sama dapat mempunyai covey yang berbeda, selain itu tempat-tempat yang mempunyai lebih banyak covey akan lebih tinggi daya dukungnya terhadap kehidupan satwaliar (Alikodra & Soedargo 1985 diacu dalam Alikodra 1990). Menurut Wahyu (1995 diacu dalam Muntasib 2002), mobilitas, luas dan komposisi daerah jelajah merupakan tiga parameter yang paling banyak digunakan sebagai indikator dan strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar. 2.4 Translokasi IUCN mendefinisikan translokasi sebagai perpindahan satu individu atau populasi liar yang disengaja dari daerah jelajahnya untuk membentuk daerah jelajah baru di wilayah yang baru. Sementara itu menurut Griffith et al. (1989), translokasi dalam dunia konservasi satwaliar berarti menangkap dan mengangkut satwaliar dari satu lokasi, kemudian melepas-liarkannya di lokasi lain. Translokasi juga dapat diartikan sebagai kegiatan pelepasan satwaliar ke alam dalam upaya untuk membentuk, membangun kembali, atau menambah populasi suatu spesies. Selain itu, translokasi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengurangi resiko katastrofi atau bencana kepunahan pada spesies satwaliar dengan populasi tunggal, untuk memperbaiki heterogenitas genetik dari spesies yang populasinya terpisahpisah satu sama lain, serta untuk membantu pemulihan alami dari satu spesies, atau untuk membangun kembali populasi spesies apabila terdapat hambatan yang menghalangi mereka untuk melakukannya secara alamiah (Shirey & Lamberti 2010). Hingga saat ini translokasi juga sering dimanfaatkan sebagai satu alat untuk memitigasi konflik antara manusia dengan satwaliar, karena menurut Griffith et al. (1989) dan Wolf et al. (1997) translokasi pada satwa karnivora besar merupakan suatu alat mitigasi konflik yang dapat mengurangi resiko
28
kematian pada satwa yang terlibat konflik, serta sebagai tambahan individu satwaliar dalam membangun kembali populasi liarnya. Bahkan selama beberapa dekade terakhir, translokasi digunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi pemangsaan hewan ternak oleh satwa karnivora besar, seperti beruang cokelat (Ursus arctos) dan beruang hitam (U. americana) (Armistead et al. 1994, Blanchard & Knight 1995), kucing besar liar (Rabinowitz 1986, Stander 1990, Ruth et al. 1998, Goodrich & Miquelle 2005), dan serigala (Fritts et al. 1984, Bangs et al. 1998). Namun, biasanya pada kasus mitigasi konflik satwaliar, translokasi biasanya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir seperti halnya eutanasia (Treves & Karanth 2003). Menurut Linnell et al. (1997), secara umum satwa karnivora yang ditranslokasikan akibat terlibat konflik, menunjukkan bahwa kemampuan bertahan hidup dan kemampuan reproduksinya rendah, serta cenderung untuk mengulangi pemangsaan hewan ternak di lokasinya yang baru. Meskipun tingkat kematian individu yang ditranslokasikan juga tinggi, translokasi untuk kepentingan ini akan terus digunakan, karena menurut persepsi masyarakat translokasi merupakan suatu cara mitigasi konflik yang tidak mematikan sehingga menjadi alat pengelolaan konflik yang populer (Craven et al. 1998), khususnya bagi spesies satwa langka atau yang terancam punah (Linnell et al. 1997). Kegiatan translokasi juga telah dilakukan pada harimau dengan menggunakan cara dan tingkat keberhasilan yang berbeda. Goodrich & Miquelle (2005) melaporkan bahwa di timur jauh Rusia pernah dilakukan translokasi yang melibatkan empat ekor harimau siberia, yang ditangkap setelah memangsa hewan ternak pada tahun 2004. Dua harimau diantaranya dilepas-liarkan setelah mereka dikarantina selama sekitar 8 dan 13 bulan (soft release) karena kondisi kesehatan tidak baik. Sementara, dua ekor lainnya di lepas-liarkan segera setelah ditangkap (hard release). Namun, dua dari empat harimau tersebut mati ditembak setelah kembali menimbulkan konflik. Dalam kasus ini, Goodrich & Miquelle (2005) menyatakan bahwa sangat penting untuk mengetahui bahwa pada lokasi dimana harimau akan dilepas-
29
liarkan memiliki populasi harimau lokal yang sangat rendah, sehingga persaingan atas sumberdaya yang ada menjadi lebih kecil. Seidensticker et al. (1976) menerangkan bahwa telah dilakukan translokasi terhadap seekor harimau jantan di India. Harimau bermasalah tersebut dilepas-liarkan di areal baru di hutan lindung Sundarbands, India, segera setelah tertangkap. Namun, beberapa waktu kemudian harimau tersebut ditemukan tewas akibat terluka setelah bertarung dengan harimau lokal. Oleh sebab itu diperlukan adanya kegiatan identifikasi untuk menentukan lokasi translokasi yang tepat, serta mengetahui organisasi sosial harimau lokal di calon lokasi pelepas-liaran. Pada awal tahun 2011, untuk pertama kalinya dilakukan translokasi harimau yang terlibat konflik di Nepal. Di Bangladesh, pada bulan Pebruari 2011 lalu telah dilaksanakan translokasi pertama yang melibatkan seekor harimau betina yang tertangkap akibat memasuki kawasan pemukiman. Kegiatan translokasi harimau untuk kepentingan program reintroduksi telah berhasil pada harimau bengal di India. Pada tahun 2004, pernah dinyatakan bahwa Suaka Margasatwa Sariska telah kehilangan semua populasi harimaunya akibat perburuan liar besar-besaran yang terjadi di tahun-tahun
sebelumnya.
Pemerintah
India
memutuskan
untuk
mereintroduksi harimau bengal dengan cara mentranslokasikan sepasang harimau dari Suaka Margasatwa Ranthambhore pada tahun 2008 (WPSI 2008). Kedua harimau betina dan jantan tersebut dilepas-liarkan setelah tiga dan delapan hari dikarantina, namun akhirnya keduanya berhasil menentukan daerah jelajah tetapnya masing-masing, serta dapat berburu hewan mangsa di habitatnya yang baru. Sampai dengan akhir tahun 2010 tercatat sebanyak tujuh ekor harimau ditranslokasikan ke Suaka Margasatwa Sariska. Namun, harimau jantan dewasa yang pertama kali dilepas-liarkan di tahun 2008 yang lalu, ditemukan mati diracun oleh orang yang tidak bertanggung-jawab pada November 2010 yang lalu. Di Indonesia, kegiatan translokasi harimau sumatera seluruhnya dilakukan dalam rangka untuk mengatasi atau mengurangi konflik konservasi
30
harimau sehingga pengiriman harimau-harimau bermasalah ke lembaga konsevasi ex-situ dapat diminimalkan. Kegiatan translokasi seperti ini sebenarnya telah mulai dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang dibantu lembaga mitranya, Sumatran Tiger Conservation Program (STCP), di Riau pada tahun 2003.
Dalam periode
antara tahun 2003-2007,
telah
ditranslokasikan lima ekor harimau ke areal hutan Senepis, di kawasan pesisir timur Provinsi Riau. Harimau-harimau tersebut seluruhnya ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat desa di provinsi tersebut. Namun, tingkat keberhasilan dari upaya ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Upaya translokasi harimau sumatera lainnya juga dilakukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kegiatan translokasi harimau yang pertama di provinsi ini dilaksanakan pada awal tahun 2008 oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dibantu para mitra kerjanya. Harimau jantan dewasa yang ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat, dilepasliarkan dengan bantuan helikopter di tengah hutan pegunungan di perbatasan antara dua kabupaten. Setelah itu, pada bulan Desember 2008 kembali ditranslokasikan dua ekor harimau (jantan dan betina) sumatera bermasalah ke dua areal hutan yang berbeda di Aceh. Sayangnya, harimau betina yang dilepas-liarkan di hutan dataran tinggi di provinsi tersebut diketahui mati terjerat oleh perangkap yang sengaja dipasang masyarakat untuk menagkap babi hutan yang menjadi hama pertanian, setelah tujuh bulan dilepas-liarkan. Pada pertengahan tahun 2008, Kementerian Kehutanan yang didukung oleh berbagai pihak, kembali mentranslokasikan lima ekor harimau yang terlibat konflik dengan masyarakat di Aceh Selatan, ke kawasan TN. Bukit Barisan Selatan di Lampung. Dua ekor dilepas-liarkan pada bulan Juli 2008, dan dua lainnya dilepas-liarkan pada awal tahun 2010 (Gambar 5). Namun, satu ekor lainnya dinyatakan tidak layak untuk dilepas-liarkan kembali ke alam bebas. Pada Juni 2009, BKSDA Sumatera Barat bersama dengan lembaga mitra mentranslokasikan harimau bermasalah ke salah satu hutan di wilayah TN Kerinci Seblat. Namun sayangnya harimau jantan muda tersebut
31
ditemukan mati terjerat di tengah hutan setelah satu minggu dilepas-liarkan. Setelah itu, kembali pihak BKSDA Sumatera Barat dibantu mitra-mitra kerjanya mentranslokasikan seekor harimau jantan pada Desember 2010. Harimau sumatera tersebut dilepas-liarkan di satu daerah di dalam kawasan TN. Kerinci Seblat, sekitar satu bulan setelah ditangkap akibat terpersosok dan terjebak di dalam perangkap lubang yang dipasang masyarakat untuk menangkap rusa.
Gambar 5. Pelepas-liaran harimau sumatera yang ditranslokasikan dari Aceh ke kawasan TN Bukit Barisan Selatan, Lampung, Juli 2008 (Dok: Hasbi Azhar & Rizal Pahlevi/Artha Graha Peduli).
32
2.5 Model Kesesuaian Habitat Habitat yang sesuai adalah tempat yang mampu menyediakan kondisi yang dibutuhkan oleh satwa untuk dapat bertahan hidup dan berkembangbiak dalam waktu jangka panjang. Dengan demikian, model kesesuaian habitat dapat didefinisikan sebagai sebuah model yang menunjukkan kemampuan suatu unit habitat untuk dapat mendukung kehidupan dan perkembang-biakan satwa (Nursal 2007). De La Ville et al. (1998 diacu dalam Nursal 2007) menjelaskan bahwa model kesesuaian habitat adalah sebuah model yang menunjukkan kemampuan suatu habitat untuk menyediakan kebutuhan spesies tertentu. Tujuan umum dari sebuah model adalah sebagai panduan dalam mengambil keputusan pengelolaan (Shenk & Franklin 2001 diacu dalam Nursal 2007). Model kesesuaian habitat dapat digunakan untuk menentukan prioritas konservasi (Margules & Austin 1994 diacu dalam Guisan & Zimmermann 2000), serta dapat menghasilkan pengetahuan biologi untuk menjelaskan distribusi suatu spesies dan mengevaluasi aktivitas lahan. Sklar & Hunsaker (2001) menyatakan bahwa model ekologi biasanya dibuat untuk satu atau dua tujuan dalam rangka lebih memahami sistem ekologi, atau untuk mengevaluasi pengaruh dari perubahan keadaan untuk membuat satu keputusan atau sekumpulan kebijakan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebuah model spasial dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki satu atau lebih variabel bebas yang merupakan fungsi suatu ruang atau sesuatu yang dapat dihubungkan dengan variabel bebas ruang lainnya. Box (1976 diacu dalam ver Hoef et al. 2001) mengemukakan bahwa semua model ekologi yang dibangun tidak mungkin ada yang benar-benar tepat karena semua model mengandung kesalahan. Constanza & Sklar (1985 diacu dalam Sklar & Hunsaker 2001) berpendapat bahwa semakin kompleks suatu model maka akan semakin besar data observasi dan data simulasi yang dibutuhkan. Akibatnya model tersebut menjadi semakin kurang akurat atau semakin tidak pasti.
33
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1
Sejarah dan Status Kawasan Kelompok hutan Ulu Masen adalah satu mosaik kesatuan hutan yang
mewakili berbagai tipe ekosistem, mulai dari ekosistem pantai, hutan dataran rendah, hingga ekosistem hutan pegunungan. Penamaan Ulu Masen sendiri diambil dari nama sebuah gunung yang berada di Kecamatan Sanpoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang letaknya di sebelah timur laut kawasan hutan Ulu Masen. Nama Ulu Masen ini diputuskan atas kesepakatan pada pertemuan mukim (jabatan setingkat kepala desa) di Kota Meulaboh dan Banda Aceh pada tahun 2003, dengan pertimbangan bahwa Ulu Masen dianggap mampu mewakili ekosistem hutan yang berada di bagian utara Provinsi NAD. Pada pertemuan di tahun 2003 tersebut, selain hutan Ulu Masen juga muncul nama Gunung Sikawet yang diusulkan sebagai ekosistem hutan yang layak dilindungi, karena merupakan habitat gajah sumatera yang terancam punah. Namun, setelah didiskusikan dan dikaji lebih lanjut, Ulu Masen yang terpilih serta dianggap sebagai satu kawasan hutan yang dapat mewakili kesatuan ekosistem yang terdapat di lima kabupaten di NAD. Status kawasan hutan yang termasuk kedalam kelompok hutan Ulu Masen umumnya merupakan hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Hingga saat ini belum ada rencana pengelolaan sinergis yang dilakukan antara pihak pemerintah pusat dengan pemerintah Provinsi NAD terhadap kawasan hutan yang berada di ujung utara Pulau Sumatera ini. Dalam pengelolaannya, kelompok hutan Ulu Masen saat ini berada dibawah pengawasan Gubernur NAD melalui Surat Keputusan No. 19/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Aceh. 3.2
Letak dan Luas Kawasan kelompok hutan Ulu Masen terbentang mulai dari ujung utara
hingga ke batas hutan Kawasan Ekosistem Leuser di sebelah tenggara
34
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Secara geografis kelompok hutan Ulu Masen berada pada 04o20‟03” hingga 05o30‟00” Lintang Utara serta pada 95o20‟00” hingga 96o30‟00” Bujur Timur. Secara administratif, kawasan hutan tersebut termasuk kedalam lima wilayah kabupaten di Provinsi NAD, yang meliputi Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya. Luas total kelompok hutan Ulu Masen adalah 738.857 hektar. Pembagian wilayah hutan Ulu Masen berdasarkan adminstratif pemerintahan serta luas kawasan pada masing-masing kabupaten disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas kawasan hutan Ulu Masen untuk setiap kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. No.
3.3
Kabupaten/Kota
Luas (ha)
Persentase luas (%)
1
Aceh Barat
11.012
15
2
Aceh Jaya
266.573
36
3
Aceh Besar
94.989
13
4
Pidie dan Pidie Jaya
264.283
36
Total
738.857
100
Masyarakat Desa Mayoritas penduduk desa sekitar kawasan hutan Ulu Masen bermata
pencaharian sebagai petani. Pola pertaniannya terbagi dalam aktivitas di sawah dan kebun. Sawah merupakan tempat untuk bercocok tanam padi yang menghasilkan beras; sedangkan, lahan kebun dikembangkan untuk tanamantanaman keras perkebunan seperti kakao, pinang, kopi dan beberapa komoditas perkebunan lainnya. Petani wanita banyak memainkan peran penting pada aktivitas di areal persawahan, mulai dari menabur benih, menuai padi ketika musim panen, sampai merontokkan padi menjadi gabah hasil panen; sedangkan petani laki-laki mengambil peran membersihkan lahan, membajak sawah, menabur benih, menjaga pengairan sawah, menjaga areal sawah dari hama, memberikan pupuk dan anti-hama, menuai padi hasil, merontokkan padi menjadi gabah, serta menjual hasil panen tersebut ke
35
pasar. Selain sebagai petani dan pekebun, terdapat beberapa masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang dan pegawai negeri atau staf pemerintahan yang ditugaskan di wilayah tersebut, baik sebagai tenaga guru sekolah maupun pegawai kantor desa dan kantor-kantor pemerintahan di wilayah kecamatan. 3.4
Kondisi Fisik Kawasan
3.4.1 Topografi Wilayah kelompok hutan Ulu Masen umumnya merupakan kawasan pegunungan serta perbukitan dengan topografi curam dan bergelombang. Sebagian kecil areal dataran rendah berada di wilayah barat dan dan timur kawasan yang mengarah ke pantai. Berbagai elemen morfologi terlihat nyata, seperti rangkaian pegunungan dengan berbagai lipatan, patahan dan rengkahan, gugusan bukit terjal dan bergelombang, gunung-gunung tinggi, kubah-kubah, dataran rendah dan tinggi, plateau, celah, lembah, jurang, lereng, pantai yang kompleks, serta aliran sungai dengan berbagai bentuk dan sistem pola sungai yang bercabang-cabang. 3.4.2 Tanah Pegunungan Bukit Barisan memiliki beberapa formasi geologi yang berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut menentukan perbedaan pada lapisan tanah, hidrologi, tumbuhan dan produktivitas biologi. Kawasan berkapur, termasuk formasi karst, pada umumnya berpori, mengalirkan sedikit air permukaan dan mempunyai produktivitas yang relatrif rendah. Intrusi granodiorites yang parah, seperti yang terjadi di dalam batas air Krueng Sabe dari daerah Aceh Jaya, memiliki porositas rendah serta lapisan tanah tipis dan memiliki produktivitas yang relatif rendah. Terdapat beberapa jenis tanah yang mendominasi kawasan hutan Ulu Masen, yaitu kompleks podsolik cokelat, podsolik dan litosol kompleks podsolik merah kuning latosol dan litosol, serta andosol. Jenis-jenis tanah tersebut mencakup organosol dan gleihumus, regosol, podsolik merah kuning (batuan endapan), podsolik merah kuning (batuan aluvial), regosol, andosol, litosol, podsolik merah kuning (bahan endapan dan batuan beku), kompleks
36
podsolik merah kuning latosol dan litosol, kompleks podsolik cokelat, podsolik dan litosol, serta kompleks resina dan litosol. 3.4.3 Iklim Secara umum iklim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, termasuk di kawasan hutan Ulu Masen, dideskripsikan sebagai tropis dengan kelembaban yang tinggi (80-90%), serta memiliki variasi yang kecil pada temperatur
hariannya (25-27oC) sepanjang musim. Rata-rata temperatur
tahunan bervariasi berdasarkan ketinggian yang berbeda, mulai dari 26oC pada 0 meter dari permukaan laut (dpl) kemudian turun sekitar 0,52oC untuk setiap pertambahan ketinggian 100 meter dpl. Dataran rendah yang panas dan lembab memiliki rataan suhu tanah tahunan diatas 22oC, sedangkan di puncak gunung (pada ketinggian diatas 3.000 meter dpl) memiliki rataan suhu tanah tahunan antara 0-8oC. Kecepatan angin secara umum rendah, berkisar antara 1,5-2,5 meter/detik. Curah hujan tahunan rata-rata di wilayah NAD bervariasi akibat adanya hubungan timbal balik yang kompleks antara topografi dan hujan. Daerah dengan curah hujan paling tinggi terletak di sepanjang pantai barat dan daratan sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, yaitu mencapai 3.000-5.000 mm/tahun. Sebaliknya, rata-rata curah hujan tahunan di beberapa daerah sepanjang pantai utara dan pantai timur hanya berkisar antara 1.000-1.500 mm/tahun. Wilayah dengan curah hujan rendah terdapat di sekitar lembah pegunungan antara Takengon dan Owaq di Aceh Tengah. Pada sistem klasifikasi iklim Schmidt & Ferguson, daerah pantai barat Aceh dan wilayah timur Pegunungan Bukit Barisan termasuk kedalam golongan sangat basah tipe A dan Af, yaitu memiliki bulan basah lebih dari 9 bulan serta bulan kering kurang dari 2 bulan). Daerah paling kering terletak di lembah Krueng Aceh dan kawasan pantai timur Aceh, yaitu tipe E2 yang hanya memiliki kurang dari 3 bulan basah dan 2-3 bulan kering. Berdasarkan pada angka rataan jangka panjang dari bulan basah dan bulan keringnya, secara umum wilayah Aceh dapat digolongkan kedalam 11 tipe curah hujan.
37
3.5
Kondisi Biologi
3.5.1 Flora Kawasan kelompok hutan Ulu Masen ditumbuhi berbagai jenis flora mulai dari tanaman bernilai ekonomi tinggi hingga semak belukar. Berdasarkan observasi lapangan, pohon hutan berkayu yang bernilai ekonomi tinggi yang dapat dijumpai di kawasan hutan Ulu Masen antara lain berbagai jenis meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus cornutus Dyer), dan kapur (Dryobalanops aromatica Gaertn.f.). Tanaman buah-buahan yang umum antara lain jeruk hutan (Citrus macroptera Montrouz), durian hutan (Durio exeleyanus dan D. zibethinus Murr), menteng (Baccaurea motleyana Mull.Arg. dan B. racemosa Mull.Arg.), dukuh (Lancium domesticum Corr), mangga (Mangifera foetida Lour dan M. guadrifolia), rukem (Flacourtia rukam Zoll.&Moritzi), dan rambutan (Nephelium lappaceum L). Analisis yang dilakukan oleh Andriana (2011) menunjukkan bahwa vegetasi pada tingkat pohon yang mendominasi kawasan hutan pegunungan rendah di hutan Ulu Masen adalah balam (Palaquium walsurifolium Pierre ex Dubard), meranti lebar daun (Shorea uliginosa Foxw) serta geseng tanduk (Lithocarpus sp). Selain jenis-jenis tersebut, di kawasan yang didominasi oleh hutan pegunungan rendah ini juga dapat ditemukan berbagai jenis rotan termasuk rotan manau (Calamus manan Miq) yang merupakan plasma nutfah penting bagi kawasan ini, palem daun sang (Johannesteijsmania altifrons H.E.Moore) yang hanya dapat ditemukan di beberapa tempat saja di Sumatera, berbagai tanaman obat-obatan (kemenyan dan kayu manis), beberapa jenis raflesia (Rafflesia micropylora Meijer, R. atjehensis Koord, R. hasseltii Suringar, dan Rhizanthes zippelnii) yang merupakan bunga terbesar di dunia, bunga bangkai (Amorphophallus titanum Becc) bunga tertinggi di dunia, serta berbagai tumbuhan ara pencekik yang buahnya merupakan sumber pakan penting bagi kebanyakan spesies mamalia dan burung yang hidup di hutan tropis. Gambaran tentang hutan pegunungan rendah disajikan pada Gambar 6.
38
Gambar 6. Hutan pegunungan rendah di daerah interior kawasan Ulu Masen. Foto diambil saat melaksanakan observasi lapangan Desember 2009 (Dok:Dolly Priatna/ZSL). 3.5.2 Fauna Kawasan hutan Ulu Masen memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi. Berbagai jenis satwa mamalia yang dapat dijumpai antara lain orangutan sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827), serudung (Hylobates lar Linneaus, 1771), siamang (H. sindactylus Raffles, 1821), kedih (Presbytis thomasi Collett, 1892), beruk (Macaca nemestrina Linnaeus, 1766), kukang (Nycticebus coucang Boddaert, 1785), ajak (Cuon alpinus Pallas, 1811), beruang madu (Helarctos malayanus Horsfield, 1825), gajah sumatera (Elephas
maximus
sumatranus
Linnaeus,
1758),
badak
sumatera
(Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929), macan dahan (Neofelis nebulosa Griffith, 1821), kucing emas (Catopuma temmincki Vigors & Horsfield, 1827), kucing batu (Pardofelis
marmorata
Martin,
1837),
kucing
hutan
(Prionailurus
39
bengalensis Kerr, 1792), babi batang (Arctonix collaris Cuvier, 1825 ), kambing hutan (Capricornis sumatrensis Hodgson, 1831), rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792), kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann, 1780), napu (Tragulus napu Cuvier, 1822), kancil (T. javanicus Osbeck, 1765), landak (Hystrix brachyura Linnaeus, 1758), bajing terbang sumatera (Hylopetes winstoni Sody, 1949), binturong (Arctictis binturong Raffles, 1821), musang galing (Paguma larvata Smith, 1827), dan linsang (Prionodon linsang Hardwicke, 1821). Berbagai jenis burung juga menggunakan kawasan hutan Ulu Masen sebagai tempat hidupnya, antara lain rangkong badak (Buceros rhinoceros Linnaeus, 1758), rangkong besar (B. bicornis Linnaeus, 1758), julang ekor abu-abu (Anorrhinus galeritus Temminck, 1831), julang emas (Aceros undulatus Shaw, 1811), kangkareng (Anthracoceros albirostris Temminck, 1832) rangkong papan (Rhinoplax vigil Forster, 1781) dan beo nias (Gracula religiosa Linnaeus, 1758) serta kuaw raja (Argusianus argus Linnaeus, 1766). Beberapa tempat dataran tinggi di kawasan ini juga merupakan habitat yang baik bagi sempidan sumatera (Lophura inornata Salvadori, 1879) dan kuaw kerdil sumatera (Polyplectron chalcurum Lesson, 1831). Jenis reptilia yang dapat dijumpai di kawasan hutan Ulu Masen antara lain kura-kura gading (Orlitia borneensis Gray, 1873) dan buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii Müller, 1838).
40
41
IV. METODOLOGI 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, yaitu
pengambilan data koordinat posisi melalui kalung GPS yang dipasangkan pada enam individu harimau yang ditranslokasikan ke empat kawasan hutan di Sumatera, yaitu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Provinsi Lampung, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Provinsi Sumatera Barat, serta Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan kawasan hutan Ulu Masen (KHUM) di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Tahap kedua, yaitu observasi lapangan untuk mengumpulkan data pendukung yang diperlukan dalam penyusunan model kesesuaian habitat harimau, dilaksanakan di salah satu lokasi translokasi harimau di Blangraweu, KHUM, yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya, Provinsi NAD (Gambar 7).
Gambar 7. Peta lokasi penelitian di empat kawasan hutan di Sumatera.
42
Pengumpulan data posisi harimau yang ditranslokasikan dilakukan sejak bulan Juli 2008 sampai Agustus 2011. Observasi lapangan dilakukan sejak bulan November 2009 sampai dengan Juni 2010. 4.2
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data
koordinat posisi harimau translokasi yang berhasil dikumpulkan oleh kalung GPS, citra Landsat 5 TM (Thematic Mapper) Path-Row (PR) 124-64 (hasil akuisisi 24 Mei 2009) untuk wilayah TNBBS, PR 126-61 (22 Mei 2009) untuk wilayah TNKS, PR 129-57 (8 Maret 2009) untuk wilayah TNGL, PR 130-56 (26 Nopember 2009), 130-57 (7 Nopember 2008), 131-56 (10 Agustus 2008), 131-57 (20 Januari 2010) untuk wilayah KHUM, peta tutupan lahan MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer) tahun 2010, peta DEM (Digital Elevation Model), peta kontur, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000 (peta sungai, peta jaringan jalan dan peta posisi desa), serta data koordinat hasil observasi lapangan untuk keperluan validasi data areal contoh tutupan lahan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalung GPS (Global Positioning System) (Televilt, Lindesberg, Sweden, Argos/Sirtrack Ltd, Hawkes Bay, New Zealand), GPS receiver Garmin CSX76, kompas, buku panduan identifikasi satwa, kamera saku digital, teropong binokular, pita penanda, tally sheet, dan alat tulis, serta komputer laptop dan alamat email untuk menampung data yang dikumpulkan melalui kalung GPS. Perangkat lunak (software) yang digunakan untuk pengolahan dan analisis data antara lain Mocrosoft Office Excel 2010, SPSS 17, Erdas Imagine 9.1, ArcView 3.3 dan ArcGIS 9.3. Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian lapangan dan analisis data diperoleh dari Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, The Zoological Society of London (ZSL), Fauna & Flora International (FFI), Wildlife Conservation Society, Badan Pengelola
43
Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Forum HarimauKita (FHK), Biotrop Training and Information Center (BTIC), serta Badan Planologi Kehutanan (Baplan) Kementerian Kehutanan. 4.3
Tahapan Penelitian Penelitian pola penggunaan ruang dan analisis kesesuaian habitat
harimau translokasi diawali dengan pemasangan kalung GPS pada harimauharimau sumatera yang terlibat konflik, yang ditranslokasikan dan dilepasliarkan kembali ke alam. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Dari data yang terkumpul dilakukan analisis pergerakan, pola aktivitas, luas daerah jelajah serta penggunaan habitat harimau sumatera yang ditranslokasikan. Selanjutnya dilakukan penyusunan data spasial untuk mempersiapkan variabel spasial. Observasi lapangan dilakukan untuk memvalidasi data areal contoh tutupan lahan. Data variabel spasial serta 50% dari data posisi harimau yang dikumpulkan melalui kalung GPS (data presence) digunakan dalam analisis data dengan membangun model regresi logistik kesesuaian habitat harimau sumatera. Dari model yang diperoleh dilakukan ekstrapolasi untuk mengetahui wilayah yang sesuai bagi harimau sumatera translokasi di KHUM. Peta kesesuaian yang dihasilkan di-overlay dengan peta kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa utama, untuk mendapatkan peta lokasi yang cocok untuk translokasi harimau di KHUM. Bagan alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 8. 4.4
Metode Pengumpulan Data
4.4.1 Studi Literatur Studi literatur bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang kondisi umum habitat, bio-ekologi, penyebaran dan kondisi populasi harimau sumatera berdasarkan penelitian serta kajian sebelumnya sebagai pendukung penelitian. Selain itu, studi literatur juga dilakukan untuk mendapatkan peta kawasan, citra satelit, peta topografi dan peta RBI, serta data pendukung lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
44
TRANSLOKASI HARIMAU
Ulu Masen
TNKS
Peta tutupan lahan MODIS
TNGL
TNBBS
Data kalung GPS
Analisis statistik
Informasi penggunaan ruang harimau
Data kalung GPS
Variabel bebas
Uji VIF
Elevasi (X1) Regresi logistik
Slope (X2) Sungai (X3) Mukim (X4)
Uji kelayakan model
Jalan (X5) Tepi (X6)
Validasi model
Peta kesesuaian habitat
Ekstrapolasi model
Gambar 8. Bagan alir metode penelitian.
NDVI (X7)
45
4.4.2 Pengumpulan Data Posisi Pemanfaatan teknologi kalung GPS dalam penelitian pergerakan satwa liar dan seleksi habitat semakin banyak digunakan dalam 10 tahun terakhir, mengingat perangkat ini dapat mengambil dan mencatat perkiraan lokasi koordinat posisi satwa liar secara tepat pada kondisi spasial dan temporal yang beragam (Frair et al. 2004, Hebblewhite et al. 2007, McKenzie et al. 2009). Bentuk dan cara pemasangan kalung GPS disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Kalung GPS dan proses pemasangannya pada harimau (Dok: ZSL & Taman Safari Indonesia). Sejak Juli 2008-Desember 2010 bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelesatarian Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan, dalam menangani permasalahan konflik antara kepentingan manusia dengan konservasi harimau. Setelah menjalani masa pemulihan antara 16-225 hari di karantina, enam harimau sumatera (5 jantan dan 1 betina, dan diberi nama JD-1, JD-2, JD-3, JD-4, dan JD-5 serta BD-1) yang ditangkap akibat terlibat konflik dengan manusia (memasuki perkampungan dan memangsa hewan ternak) ditranslokasikan ke empat lokasi yang berbeda.
46
Harimau-harimau tersebut dilepas-liarkan di lokasi dengan jarak antara 741.350 km dari tempat dimana mereka masing-masing ditangkap (Tabel 2). Harimau jantan dewasa JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan ke kawasan hutan TNBBS, JD-3 ditranslokasikan ke hutan TNGL, JD-4 dan JD-5 ke kawasan hutan TNKS, dan BD-1 ditranslokasikan ke kawasan KHUM. Tabel 2. Karakteristik harimau sumatera yang terlibat konflik yang ditangkap dan ditranslokasikan pada periode tahun 2008-2010. Harimau
Umur a (tahun)
Kondisi b fisik
Alasan ditangkap
Hari karantina (tgl dilepas)
Jarak translokasi (km)
Keterangan
JD-1
6
Baik
Masuk kampung; memangsa ternak
225 (22 Jul 2008)
1,350
Diketahui hidup hingga 7,5 bulan & kalung GPS rusak
JD-2
4
Baik
Masuk kampung; memangsa ternak
209 (22 Jul 2008)
1,350
Diketahui hidup hingga 8,5 bulan & kalung GPS terlepas otomatis
BD-1
2
Baik
Masuk kampung; memangsa ternak
18 (21 Des 2008)
70
Ditemukan mati terjerat di ladang yang berbatasan dengan hutan setelah 7 bulan
JD-3
4
Baik
Masuk kampung; memangsa ternak
42 (27 Des 2008)
200
Diketahui hidup hingga 2,5 bulan & kalung GPS rusak
JD-4
4
Baik
Sering masuk kampung
16 (05 Jun 2009)
85
Ditemukan mati terjerat di dalam hutan setelah 6 hari dilepas
JD-5
2
Baik
Terjebak 16 74 Diketahui hidup dalam (20 Des 2010) hingga 8 bulan & lubang kalung GPS rusak a) Saat pelepas-liaran; b) Berdasarkan pemeriksaan dokter hewan sebelum pelepas-liaran
Setelah diprogram untuk menentukan lamanya waktu aktif dan jumlah data posisi yang diambil setiap harinya, kalung GPS (Televilt, Lindesberg, Sweden; Argos/Sirtrack Ltd, Hawkes Bay, New Zealand) dipasangkan pada keenam harimau sebelum mereka dilepaskan kembali ke alam. Kalung GPS diprogram untuk bekerja selama 1-2 tahun, serta secara otomatis mencatat dan mengumpulkan data koordinat posisi harimau pada setiap interval waktu
47
setengah jam dan satu jam. Setiap terkumpul delapan data koordinat posisi, maka data tersebut ditransmisikan ke satu alat penerima melalui satelit yang kemudian dikirimkan ke alamat email pengamat. Seluruh kalung GPS yang terpasang pada harimau tersebut telah diprogram untuk terlepas secara otomatis (auto released) ketika masa kerjanya habis. Data yang dicatat oleh kalung GPS dan dikirimkan kepada pengamat antara lain tanggal dan waktu, koordinat posisi harimau, jumlah satelit pada saat data dicatat (2D/3D), elevasi, temperatur lingkungan di sekitar lokasi posisi harimau, serta tanda aktivitas harimau. Selanjutnya untuk kepentingan analisis pemilihan dan model kesesuain habitat harimau translokasi, data yang memiliki akurasi tinggi saja yang digunakan. 4.4.3 Pengumpulan Data Kelimpahan Relatif Data mentah yang digunakan untuk menghitung kelimpahan relatif (KR) harimau lokal dan hewan mangsa utama (babi, rusa dan kijang) pada setiap lokasi translokasi, merupakan hasil survey transek sign dalam kerangka survey okupansi harimau sumatera (Sumatra island wide occupancy survey), yang dikoordinasikan oleh forum konservasi harimau sumatera, HarimauKita. Data survey transek sign di lokasi translokasi di TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan data hasil survey yang dilakukan oleh WCS Indonesia Program pada bulan Januari 2008. Selanjutnya, data survey transek sign di lokasi translokasi TN Gunung Leuser (TNGL) diperoleh dari Yayasan Leuser International (YLI), berdasarkan hasil survey pada bulan Juli-Agustus 2008. Data survey transek sign di lokasi translokasi TN Kerinci Seblat (TNKS) merupakan hasil survey yang dilakukan oleh FFI Indonesia (Kerinci Seblat Programme) bulan Juli-Agustus 2008. Selain itu, FFI Indonesia (Aceh Programme) juga meminjamkan data hasil transek sign yang mereka lakukan di lokasi translokasi harimau dan lokasi-lokasi lainnya di kawasan hutan Ulu Masen (KHUM). Survey transek sign tersebut dilakukan pada Agustus 2008-Juni 2009.
48
4.4.4 Observasi Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan dengan cara mengamati semua unit contoh pengamatan yang telah ditentukan. Pengumpulan data secara langsung dilakukan untuk memperoleh data dan informasi keberadaan harimau lokal dan hewan mangsa utamanya (rusa, kijang dan babi) melalui metode transek sign di dalam daerah jelajah harimau sumatera yang ditranslokasikan di kawasan hutan Ulu Masen. Observasi lapangan juga dilakukan guna memvalidasi data areal contoh tutupan lahan. 4.4.4.1 Survey Transek Sign Survey keberadaan harimau lokal dan hewan mangsa utamanya (babi, kijang dan rusa) dengan metode transek dilakukan di areal yang dijadikan daerah jelajah oleh harimau yang ditranslokasikan di kawasan hutan Ulu Masen. Metode yang digunakan untuk menandakan keberadaan harimau lokal serta hewan mangsa utamanya adalah dengan melakukan pencatatan setiap perjumpaan langsung (direct encounter) dan setiap perjumpaan tidak langsung (inderect encounter) pada semua jalur yang disurvey (Dinata & Sugardjito 2008). Semua jejak atau tanda keberadaan harimau lokal dan hewan mangsa utama yang berada dalam segmen 1 km transek dianggap satu temuan (Wibisono et al. 2011). Jenis keberadaan harimau lokal dan hewan mangsa utama yang dicatat adalah perjumpaan langsung, jejak kaki, cakaran, kotoran serta tanda-tanda lain yang dapat diidentifikasi. 4.4.4.2 Penentuan Presence dan Pseudo-absence Penentuan titik presence dan pseudo-absence harimau digunakan untuk membuat model kesesuaian habitat harimau translokasi. Pemodelan dilakukan hanya berdasarkan data posisi kalung GPS harimau betina (BD-1) yang ditranslokasikan di kawasan hutan Ulu Masen, menimbang bahwa tingkat akuisisi (67,3%) dan proporsi data akuratnya tertinggi (59,8%). 6.680 data posisi yang terkumpul ditapis untuk mendapatkan data posisi dengan akurasi tinggi yakni sebanyak 6.116 data posisi. Sebanyak 50% dari data posisi tersebut digunakan untuk menentukan areal presence dan 50% data
49
lainnya digunakan untuk validasi model. Titik pseudo-absence ditentukan berdasarkan pengacakan titik posisi menggunakan ekstensi Hawthstool pada ArcGIS 9.3 pada areal seluas ukuran daerah jelajah harimau BD-1 studi, di luar poligon daerah jelajah harimau BD-1. 4.4.5 Komponen Habitat Harimau Sumatera Komponen bio-fisik habitat jika dirinci secara keseluruhan akan meliputi banyak sekali variabel-variabel ekologi yang berperan dalam membentuk seluruh komunitas dengan hubungan yang kompleks di tempat dimana satu spesies hidup (Odum 1993). Di dalam pemodelan spasial kesesuaian habitat, pemilihan variabel-variabel ekologi ini sangat tergantung pada ketersediaan data spasial. Oleh karena itu, dipilih variabel-variabel ekologi yang diduga menjadi variabel dominan yang berpengaruh terhadap kesukaan atau preferensi harimau sumatera akan suatu wilayah atau ruang tertentu. Variabel-variabel yang diobservasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Elevasi atau ketinggian tempat (X1), merupakan representasi komponen fisik kawasan, didapat dari peta radar Aster GDEM (Globat Digital Elevation Model); 2) Kelerengan atau slope (X2), merupakan representasi komponen fisik kawasan, didapat dari peta radar Aster GDEM (Globat Digital Elevation Model); 3) Jarak dari sungai (X3), merupakan representasi komponen fisik kawasan, didapat dari peta RBI skala 1:50:000 yang kemudian diproses dengan euclidean distance; 4) Jarak dari pemukiman (X4), merupakan representasi komponen fisik kawasan, didapat dari peta RBI skala 1:50:000 yang kemudian diproses dengan euclidean distance; 5) Jarak dari jalan (X5), merupakan representasi komponen fisik kawasan, didapat dari peta RBI skala 1:50:000 yang kemudian diproses dengan euclidean distance;
50
6) Jarak dari tepi hutan (X10), merupakan representasi komponen fisik kawasan, yang diperoleh dari peta tutupan hutan-non hutan yang diproses dengan euclidean distance; 7) Kerapatan tajuk (X7), merupakan representasi dari komponen biotik kawasan yang diperoleh melalui nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Adapun secara lengkap komponen-komponen ekologi yang diduga berpengaruh terhadap preferensi penggunaan habitat oleh harimau sumatera yang ditranslokasikan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komponen-komponen ekologi yang dijadikan variabel penduga kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi. Variabel
Simbol
Satuan
Representasi
Sumber
Ketinggian
X1
Meter dpl
Komponen fisik, berpengaruh pada pergerakan dan penjelajahan
Peta Aster GDEM
Kelerengan/
X2
(%)
Komponen fisik, berpengaruh pada pergerakan dan penjelajahan
Peta Aster GDEM
Jarak dari sungai
X3
Meter
Komponen fisik, berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan minum dan mencari makan
Peta RBI (sistem sungai)
Jarak dari pemukiman
X4
Meter
Komponen fisik, berpengaruh pada pola penggunaan ruang habitat
Peta RBI (lokasi desa)
Jarak dari jalan
X5
Meter
Komponen fisik, berpengaruh pada pola penggunaan ruang habitat
Peta RBI (jaringan jalan)
Jarak dari tepi hutan
X6
Meter
Komponen fisik, berpengaruh pada pencarian hewan mangsa
Peta tutupan hutan-non hutan
NDVI
X7
-
Komponen biotik berpengaruh pada kebutuhan akan tempat berlindung
Citra Landsat 5TM
slope
4.5
Metode Pengolahan dan Analisis Data Secara ringkas metode pengumpulan, pengolahan dan analisis data
berdasarkan masing-masing tujuan penelitian disajikan pada Tabel 4.
51
Tabel 4. Tujuan penelitian, metode pengumpulan data, variabel yang diukur, pengolahan dan analisis data, serta keluaran yang dihasilkan.
Pola pergerakan dan aktivitas harimau sumatera yang translokasi
Metode Pengumpulan Data 1. Mengumpulkan data posisi yang diambil melalui kalung GPS pada 4 harimau translokasi (JD1, JD-3, JD-5 dan BD-1) 2. Mengumpulkan data waktu aktif yang diambil oleh kalung GPS pada 2 harimau jantan (JD-1 dan JD-5)
Variabel yang Diukur
Metode Pengolahan dan Analisis Data
1. Rata-rata jarak tempuh harian jantan dan betina 2. Rata-rata jarak pergerakan siang dan malam hari 3. Jarak tempuh maksimum per hari 4. Waktu paling aktif harimau dalam periode waktu 24 jam
1. Seluruh data koordinat posisi masing-masing harimau dari kalung GPS di-upload dalam bentuk file database ke ArcGIS 9.3 2. Mengukur rata-rata jarak dengan bantuan ArcGIS 9.3 3. Uji Mann-Whitney untuk membedakan jarak tempuh harian jantan dan betina, uji Wilcoxon untuk membedakan jarak pergerakan siang dan malam 4. Data aktivitas setiap harimau dikelompokkan kedalam interval waktu setiap 4 jam, diuji dengan Chi-square dan Neu untuk menentukan waktu paling aktif harimau
Waktu yang dibutuhkan dalam membangun serta ukuran home range harimau sumatera translokasi di tempat hidupnya yang baru, serta menguji hubungan antara pembentukan dan ukuran daerah jelajah dengan kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa
1. Mengumpulkan data posisi yang diambil kalung GPS pada 5 harimau translokasi (JD1, JD-2, JD-3, JD-5 dan BD-1) 2. Mengumpulkan data survey transek sign dari seluruh lokasi translokasi
1. Kumulatif luas daerah jelajah masing-masing harimau setiap minggu 2. Luas daerah jelajah masing-masing harimau selama pengamatan 3. Kelimpahan relatif harimau lokal dan hewan mangsa utama
1. Seluruh data posisi masingmasing harimau dari kalung GPS di-upload dalam bentuk file database ke ArcGIS 9.3 2. Analisis metode MCP (Minimum Convex Polygon) dan Fixed Kernel (FK) 3. Uji korelasi Spearman untuk menentukan faktor yang mempengaruhi lamanya waktu membangun dan ukuran daerah jelajah harimau
Menentukan preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi oleh harimau sumatera yang ditranslokasikan di tempat hidupnya yang baru
1. Mendapatkan peta tutupan lahan MODIS 2010 untuk semua lokasi translokasi harimau 2. Mengumpulkan data posisi kalung GPS dari 5 harimau translokasi translokasi (JD1, JD-2, JD-3, JD-5 dan BD-1)
1. Ketersediaan setiap tipe habitat di dalam wilayah studi dan di dalam daerah jelajah 2. Tipe tutupan vegetasi yang digunakan sebagai habitat harimau translokasi di tempat hidupnya yang baru 3. Penggunaan habitat pada siang dan malam hari oleh masing-masing harimau translokasi
1. Menapis data posisi untuk mendapatkan data dengan akurasi tinggi (3D) 2. Meng-overlay koordinat posisi setiap harimau dengan tipe tutupan vegetasi MODIS 3. Menghitung frekuensi kehadiran harimau translokasi pada setiap tipe tutupan vegetasi 4. Uji Chi-square dan Neu untuk melihat preferensi harimau terhadap habitat tertentu 5. Uji Wilcoxon untuk melihat beda penggunaan habitat siang dan malam hari
Hsl
Pola Penggunaan Ruang
Tujuan Penelitian
52
Tabel 4. Lanjutan Variabel yang Diukur
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Karakteristik habitat yang digunakan oleh harimau translokasi, terutama untuk mengetahui komponen habitat yang paling menentukan harimau translokasi dalam menggunakan ruangnya (kasus Ulu Masen)
1. Mendapatkan peta- 1. Variabel terikat: titik peta citra Landsat posisi harimau 5TM, peta DEM, translokasi yang peta kawasan dan diambil oleh kalung RBI GPS harimau BD-1 2. Observasi lapang 2. Variabel bebas/ menggunakan faktor ekologis: metode transek sign elevasi, untuk mencatat kelerengan/slope, semua pertemuan jarak dari sungai, langsung dan tandajarak dari tanda keberadaan pemukiman, jarak harimau lokal dan dari jalan, jarak dari hewan mangsa tepi hutan, dan NDVI 3. Mengumpulkan 3. Mencari variabelseluruh data variabel ekologis koordinat posisi yang paling yang diambil oleh mempengaruhi kalung GPS yang kehadiran harimau dipasang pada harimau BD-1 di Ulu Masen
1. Upload 50% data posisi ke ArcGIS. 2. Membuat peta tutupan hutan-non hutan dan tutupan lahan/vegetasi dari Landsat 5TM menggunakan Erdas Imagine 9.1. 3. Membuat peta NDVI 4. Peta tutupan vegetasi dan tutupan hutan yang telah ada di-overlay dengan peta topografi, DEM, RBI dan file database koordinat posisi harimau dari kalung GPS 5. Mencari nilai-nilai variabel bebas untuk setiap titik data posisi pada ArcGIS 9.3, ArcView 3.3 dan Erdas Imagine 9.1 6. Melakukan uji Chi-square dan Neu untuk mengetahui apakah masing-masing variabel bebas mempengaruhi kehadiran harimau pada suatu tempat 7. Uji VIF untuk menentukan multikolinearitas masing-masing variabel bebas 8. Analisis regresi logistik digunakan untuk menentukan persamaan regresi dan peluang penggunaan areal.
Membuat model kesesuaian habitat bagi harimau translokasi (kasus Ulu Masen).
1. Mengumpulkan seluruh data posisi harimau BD-1 di Ulu Masen yang yang memiliki akurasi tinggi 2. 50% data untuk membuat model, 50% lainnya untuk validasi
1. Elevasi, kelerengan/ slope, jarak dari sungai, jarak dari pemukiman, jarak dari jalan, jarak dari tepi hutan, dan NDVI
1. Analisis spasial dengan raster calculator pada ArcGIS 9.3 2. Overlay dengan pembobotan 3. Uji kelayakan dan validasi model 4. Uji akurasi model 5. Ekstrapolasi model
Menyusun atau merumuskan kriteria kawasan yang sesuai untuk dijadikan lokasi translokasi harimau di masa depan (kasus Ulu Masen).
1. Menggunakan data hasil survey lapang dan studi literatur 2. Peta batas kawasan hutan Ulu Masen 3. Citra Landsat 5TM untuk semua kawasan hutan Ulu Masen 4. Mengumpulkan data hasil transek sign harimau lokal dan hewan mangsa utama
1. Peta kesesuaian habitat harimau translokasi 2. Peta kelimpahan relatif harimau lokal dan hewan mangsa di kawasan hutan Ulu Masen
1. Membuat peta distribusi kelimpahan relatif harimau lokal dan hewan mangsa utama 2. Overlay peta kesesuaian habitat dengan peta kelimpahan relatif harimau lokal dan hewan mangsa 3. Akan disajikan dalam bentuk peta habitat/kawasan yang sesuai untuk lokasi translokasi harimau
Hsl
Model dan Peta Kesesuaian Habitat
Metode Pengumpulan Data
Peta lokasi translokasi
Tujuan Penelitian
53
4.5.1 Analisis Penggunaan Ruang 4.5.1.1 Analisis Pergerakan dan Pola Aktivitas Harimau A. Pergerakan Untuk mendapatkan informasi rata-rata jarak pergerakan dan pola pergerakan, data yang berhasil dikumpulkan melalui kalung GPS yang dipasangkan pada harimau JD-1, JD-3, JD-5 dan BD-1 yang berupa file excell di-upload ke dalam ArcGIS 9.3 untuk dijadikan file shp. Hanya data yang lengkap saja (data dengan pengamatan hari penuh selama 24 jam setiap harinya) yang digunakan dalam penghitungan rata-rata jarak pergerakan. Selanjutnya dengan ekstensi X-tool pada ArcGIS 9.3 (ESRI, Redland, California) dilakukan pengukuran jarak antar point (data posisi) yang terkumpul setiap hari. Prosedur yang sama dilakukan untuk mendapatkan jarak tempuh harimau pada siang dan malam hari, namun sebelumnya data posisi telah dipisahkan terlebih dahulu. Untuk melihat perbedaan jarak pergerakan rata-rata harian antara harimau jantan dan betina digunakan Uji U Mann-Whitney (uji dua sampel tidak berpasangan) (Siegel 1992, Zar 1996, Pratisto 2009), sedangkan uji Wilcoxon (uji dua sampel berpasangan) digunakan untuk menentukan perbedaan jarak pergerakan harimau antara siang hari dan malam hari. B. Pola Aktivitas Selain mengambil data posisi, dua kalung GPS yang dipasang pada dua harimau jantan dewasa (JD-1 dan JD-5) juga memberikan informasi aktivitas dan pergerakannya, yang dikumpulkan bersamaan dengan data posisi. Ada dua signal yang merekam aktivitas harimau, yaitu signal X yang menandakan bahwa kalung GPS yang dikenakan harimau bergerak vertikal (ke depan dan ke belakang), sedangkan signal Y menandakan kalung GPS bergerak horizontal (ke kiri dan ke kanan). Pola aktivitas harimau selama 24 jam dibagi kedalam 6 interval waktu, yaitu pagi (06:00-09:59), siang (10:0013:59), sore (14:00-17:59), petang/malam (18:00-21:59), tengan malam (22:00-01:59) dan subuh (02:00-05:59).
54
Uji Chi-square (Siegel 1992, Zar 1996) digunakan untuk menentukan waktu tertentu dalam sehari-semalam yang paling aktif digunakan. Apabila ada preferensi terhadap periode waktu tertentu, perhitungan dilanjutkan dengan indeks Neu (Neu et al. 1974, Bibby et al. 1988) untuk mengetahui waktu paling aktif harimau jantan di dalam periode waktu 24 jam. 4.5.1.2 Analisis Luas Daerah Jelajah Harimau A. Kelimpahan Relatif Harimau Lokal dan Hewan Mangsa Data-data keberadaan harimau lokal dan hewan mangsa utama (rusa, kijang dan babi) di kawasan translokasi harimau yang berhasil dikumpulkan berdasarkan survey dengan metode transek sign dihitung dengan pendekatan Encounter Rate (ER) seperti yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Lancia et al. 1994, Dinata & Sugardjito 2008) dengan formula sebagai berikut:
ER = N/km Keterangan: N
= jumlah perjumpaan dengan jejak/tanda/sign
Km = panjang jalur transek B. Luas Daerah Jelajah Perkiraan luas daerah jelajah harimau diperlukan untuk mengetahui kualitas habitatnya di Sumatera. Selain itu, luas daerah juga penting untuk memperkirakan daya dukung (carrying capacity) suatu kawasan terhadap jumlah populasi harimau (Barlow et al. 2011). Ukuran daerah jelajah masing-masing harimau sumatera (JD-1, JD-2, JD-3, JD-5 dan BD-1) didapatkan dengan cara meng-upload seluruh data koordinat posisi masing-masing harimau yang dikumpulkan dari kalung GPS dalam bentuk file database ke ArcGIS 9.3, kemudian dianalisis dengan menggunakan ekstensi Hawthstool v. 3.6 (Hawthorne L. Beyer, Spatial Ecology LLC) dan Home Range Tools (Rodgers et al. 2005) yang dioperasikan melalui ArcGIS v. 9.3 (ESRI, Redlands, California). Luas daerah jelajah ditentukan dengan menggunakan metode MCP (Minimum
55
Convex Polygon) dan FK (Fixed Kernel) (Southwood 1996, Hooge & Eichenlaub 1997, Barlow et al. 2011). MCP merupakan metode tertua yang telah umum digunakan dalam memperkirakan daerah jelajah satwa (Sankar et al. 2010). Pendugaan luas jelajah dengan FK memberikan hasil yang lebih baik dari MCP (Nilsen et al. 2008). Namun dengan MCP akan memudahkan untuk membandingkan dengan hasil pendugaan lain pada spesies yang sama (Sankar et al. 2010), dan MCP paling umum digunakan dalam pendugaan daerah jelajah satwa Felidae (Edwards et al. 2001). Pendugaan luas daerah jelajah pada penelitian ini dihitung berdasarkan metode FK 95%, sedangkan dalam menentukan daerah inti daerah jelajah digunakan hasil estimasi dari FK 50% (Edwards et al. 2001, Barlow et al. 2011). Uji Korelasi Rank Spearman digunakan
untuk menentukan apakah
faktor-fator jenis kelamin, umur harimau, kelimpahan relatif harimau lokal dan kelimpahan relatif satwa mangsa utama mempengaruhi harimau translokasi dalam menentukan luas daerah jelajahnya serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membangun daerah jelajahnya masing-masing di lokasi yang baru. 4.5.2 Analisis Pemilihan Habitat 4.5.2.1 Pemilihan Habitat Dalam analisis penggunaan habitat, semua data yang terkumpul dari setiap kalung GPS ditapis sehingga diperoleh data posisi harimau dengan akurasi tinggi, yaitu data posisi yang diambil dengan bantuan empat satelit atau lebih (Gamo et al. 2000). Menggunakan ArcGIS v. 9.3 (ESRI, Redlands, California), data posisi ditumpang-susunkan dengan peta tutupan lahan (MODIS, Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer, resolusi 250 meter tahun 2010)
untuk menetapkan tipe vegetasi yang paling sering
digunakan oleh harimau translokasi. Menurut Meittinen et al. (2012) peta MODIS ini memiliki tingkat akurasi hingga 85%. Uji Chi-square digunakan untuk menentukan preferensi setiap individu harimau terhadap habitat tertentu. Tipe tutupan vegetasi atau habitat yang
56
disukai harimau sumatera yang ditranslokasikan dianalisis dengan asumsi bahwa semakin banyak posisi koordinat harimau sumatera pada satu tipe tutupan vegetasi, maka tipe tutupan vegetasi tersebut semakin disukai oleh harimau sumatera. Hubungan antara keberadaan harimau sumatera yang ditranslokasikan diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan uji Chisquare (Siegel 1992, Zar 1996) dengan formula sebagai berikut:
λ2 =
(e1 – f1)2
(e2 – f2)2 +
(en – fn)2 + ..... +
e1
f2
en
(ek – fk)2
n =∑ k=1
ek
Keterangan: e = frekuensi pengamatan; f= frekuensi harapan Batasan yang digunakan adalah jika λ
2 hit
> λ2(0,05, k-1) maka terdapat
preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi, dan jika λ
2 hit
< λ2(0,05, k-1) maka
tidak terdapat preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi. Hipotesis yang diuji dalam analisis ini adalah: Ho = harimau tidak memiliki preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi H1 = ada preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi tertentu oleh harimau Apabila ada preferensi, perhitungan dilanjutkan dengan indeks Neu (Neu et al. 1974, Bibby et al. 1988) untuk menentukan tipe vegetasi yang paling disukai. Pada analisis Neu (Tabel 5), jika indeks preferensi w > 1, maka tipe tutupan vegetasi tersebut disukai. Tabel 5. Variabel yang diamati untuk menduga preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi menurut metode Neu. Tipe tutupan Vegetasi 1 2 ...... K Total
p
n
u
e
W
b
p1 p2 ...... pk 1.00
n1 n2 .... Nk ∑ni
u1 u2 ...... Uk 1.00
e1 e2 ..... Ek ∑ei
w1 w2 ...... Wk ∑wi
b1 b2 ..... bk 1.00
57
Keterangan: p = proporsi luas masing-masing tipe tutupan vegetasi n = frekuensi posisi harimau yang teramati u = proporsi jumlah koordinat posisi harimau yang teramati (ni / ∑ni) e = nilai harapan (pi x ∑ni) w = indeks preferensi terhadap tipe tutupan vegetasi (ui / pi) b = indeks preferensi yang distandarkan (wi / ∑wi) 4.5.2.2 Penggunaan Habitat Siang dan Malam Ada dugaan bahwa satwa liar yang mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan dan menggunakan bermacam-macam tipe vegetasi pada satu lansekap, seperti harimau, membedakan penggunaan habitat utamanya berdasarkan waktu. Dalam analisis ini, dipilih hanya data posisi dari kalung GPS dengan akurasi tinggi saja. Kemudian dengan menggunakan ArcGIS v. 9.3 (ESRI, Redlands, California), data pisahkan berdasarkan siang hari (antara pukul 06:00-17:59) dan malam hari (antara pukul 18:00-05:59 keesokan harinya). Selanjutnya di-overlay-kan dengan peta tutupan lahan MODIS untuk menentukan frekuensi kunjungan setiap harimau translokasi pada setiap tipe vegetasi yang tersedia di dalam daerah jelajahnya. Untuk menentukan apakah ada
perbedaan penggunaan habitat oleh harimau
translokasi pada siang dan malam hari digunakan uji Wilcoxon signed rank (Siegel 1992, Zar 1996, Pratisto 2009). 4.5.3 Analisis Pemodelan Habitat 4.5.3.1 Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas merupakan salah satu uji asumsi klasik, yang merupakan prasyarat statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi. Multi kolinearitas adalah satu keadaan dimana variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi mempunyai korelasi (hubungan) yang erat satu sama lain. Menurut Pratisto (2010) korelasi yang erat di antara variabel bebas harus dihindari karena dapat menimbulkan berbagai masalah pada model regresi yang terbangun. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas adalah dengan memeriksa nilai VIF (Variance Inflation Factor) dan nilai Tolerance pada model regresi. Jika satu variabel bebas memiliki nilai
58
Tolerance lebih besar dari 0,1 atau nilai VIF lebih kecil dari10 maka variabel tersebut tidak mengalami multikolineraitas. Nilai VIF lebih besar dari 10 berarti telah terjadi multikolineraitas. Pada penelitian ini semua variabel bebas diuji dengan regresi linear berganda untuk melihat nilai VIF-nya dan mengeliminasi setiap variabel yang mengalami multikolineritas. 4.5.3.2 Analisis Regresi Logistik Model regresi logistik pada penelitian ini dibangun berdasarkan data variabel terikat titik presence/kehadiran harimau translokasi BD-1 pada satu tempat. Penyusunan model menggunakan 50% dari keseluruhan data posisi harimau yang dikumpulkan melalui kalung GPS, sedangkan 50% sisa data digunakan untuk validasi model. Bentuk regresi logistik yang digunakan dalam analisis kesesuaian habitat harimau translokasi ini adalah regresi logistik biner (binary logistic regression). Pengembangan model regresi logistik dimulai dengan memasukkan variabel-variabel bebas atau variabel habitat harimau yang tersisa setelah dilakukan eliminasi melalui nilai VIF. Semua analisis statistik dilakukan melalui program SPSS 17 dengan metode Enter. Metode ini digunakan karena tidak memandang besar-kecilnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Model parameter diduga menggunakan kaidah “maximum likelyhood method”, dengan rumus sebagai berikut (Pratisto 2010):
Z = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + .......... + BnXn
dan
P = 1/(1+e-z)
Keterangan: Z= model regresi logistik; P= peluang kehadiran harimau; X= variabel bebas (covariates); a= konstanta; e= (2,7182818) Tingkat kesesuaian habitat ditentukan berdasarkan pada tiga kategori yaitu “kurang sesuai”, “sesuai” dan “sangat sesuai”. Penentuan ambang batas kategori mengacu pada Supranto (2000) yang menentukan interval ambang batas suatu kategori berdasarkan persamaan sebagai berikut: Pmax - Pmin Jarak interval = Jumlah kategori
59
4.5.3.3 Model Spasial Kesesuaian Habitat Model spasial dibangun dari nilai peluang hasil perhitungan regresi logistik. Peta kesesuaian habitat dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. ArcGIS menggabungkan semua informasi yang ada (variabel-variabel lingkungan yang berpengaruh nyata) ke dalam sebuah peta kesesuaian dengan fungsi regresi logistik. Pengolahan menggunakan raster calculator memperoleh nilai kesesuaian lokasi translokasi harimau. Nilai tersebut kemudian diklasifikasikan melaui proses reclassify pada ArcGIS 9.3. Peta kesesuaian yang dinterpretasi merupakan peta dengan resolusi 30 meter. Skema pemodelan kesesuaian habitat disajikan pada Gambar 10. 4.5.3.4 Uji Kelayakan Model Regresi Logistik Uji kelayakan model menilai bagaimana sebuah model dapat menggambarkan variabel terikat. Penilaian kelayakan model berkaitan dengan penelusuran seberapa dekat nilai prediksi dari sebuah model terhadap nilai pengamatan. Untuk melakukan uji kelayakan model, maka digunakan uji Hosmer-Lemeshow. Uji ini cocok untuk model yang terdiri dari beberapa variabel bebas baik yang bernilai kontinyu atau kategorik (Hosmer & Lemeshow 2000). Pada penelitian ini, kelayakan model regresi logistik yang dibangun dapat dilihat dari penurunan nilai -2 log likelihood serta uji Hosmer-Lemeshow yang didapat dari hasil pengolahan data dengan SPSS 17. Model dinilai layak apabila signifikansi penurunan nilai -2 log likelihood kurang dari 0,05. Lain dengan penurunan nilai -2 log likelihood, uji Hosmer-Lemeshow digunakan untuk melihat kecocokan variabel prediktor dengan model yang dibangun. Variabel prediktor dinyatakan fit (cocok) dengan model atau model dikatakan layak jika signifikansi yang tertera pada hasil uji HosmerLemeshow diatas 0,05. Koefisien determinasi (R2) ditentukan dengan model Nagelkerke R2 yang analog dengan R2 pada metode kuadrat terkecil untuk fungsi regresi linear berganda (Piorecky & Prescott 2006). Nagelkerke R2 menunjukkan seberapa penting variabel bebas memprediksi variabel terikat.
60
Kawasan HUtan Ulu Masen
Data survey lapangan
Data kalung GPS harimau
Ketinggian Uji VIF Kelerengan
Kalkulasi berdasarkan grid cell 50% data
Jarak sungai
Regresi Logistik
Jarak pemukiman Jarak jalan
Penentuan nilai bobot Jarak tepi hutan Peta spasial variabel bebas terpilih NDVI
Analisis spasial (Raster Calculator)
Peta distribusi KR harimau & mangsa
Peta kesesuaian habitat harimau
Peta lokasi translokasi
Gambar 10. Skema pemodelan kesesuaian habitat dan lokasi translokasi harimau sumatera.
61
4.5.3.5 Validasi Model Validasi model regresi logistik kesesuaian habitat harimau translokasi dilakukan di lokasi yang sama dengan lokasi pengambilan data posisi harimau untuk membangun model, yaitu menggunakan data presence harimau. Teknisnya, validasi model dilakukan dengan menggunakan 50% posisi harimau yang dikumpulkan kerah GPS. Validasi ini berfungsi untuk meminimalkan kesalahan penggunaan model selanjutnya. Nilai validasi model ini ditunjukkan oleh indeks Kappa model terpilih. Validasi model selanjutnya dilakukan terhadap hasil ekstrapolasi model secara spasial pada areal studi. Tingkat validitas model dilihat dari persentasi data titik presence yang tumpang-tindih dengan areal yang sesuai bagi habitat harimau, dengan formulasi sebagai berikut:
VALIDASI (V) = n/N x 100% Keterangan: n = jumlah titik koordinat harimau translokasi yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian N = jumlah total titik koordinat harimau translokasi yang dikumpulkan kalung GPS pada saat pengamatan (50%) V = persentase kepercayaan 4.5.3.6 Ekstrapolasi Model Ekstrapolasi model dilakukan pada keseluruhan kawasan hutan Ulu Masen (KHUM). Hal ini memberikan gambaran mengenai bagian-bagian kawasan KHUM yang sesuai untuk habitat harimau dan distribusi harimau di kawasan KHUM. Proses ekstrapolasi dilakukan dengan memasukkan persamaan model regresi logistik yang terbentuk melalui raster calculator pada ArcGIS 9.3. Selanjutnya diperkirakan persentasi luas kawasan KHUM yang memiliki klasifikasi “kurang sesuai”, “sesuai” dan “sangat sesuai” bagi harimau sumatera.
62
4.5.4 Analisis Kesesuaian Lokasi Translokasi Sejak translokasi dianggap sebagai salah satu cara untuk mitigasi konflik antara konservasi harimau dengan kepentingan manusia, informasi tentang areal-areal yang sesuai bagi pelepas-liaran harimau yang terlibat konflik menjadi sangat penting. Beberapa langkah harus dilakukan dalam menentukan peta kesesuaian lokasi translokasi harimau. Pertama, memetakan nilai kelimpahan relatif (KR) harimau lokal dan hewan mangsa utama yang dihasilkan dari survey transek sign dengan metode intersect pada ArcGIS 9.3. Selanjutnya, kelimpahan relatif (KR) harimau lokal dan KR hewan mangsa dibedakan kedalam tiga katagori yaitu “kesesuaian rendah”, ”kesesuaian sedang” dan “kesesuaian tinggi”. Interval katagori didasarkan pada nilai KR terendah dan tertinggi. Semakin tinggi KR harimau lokal pada satu areal, berarti semakin rendah kesesuainya bagi translokasi harimau. Sebaliknya, semakin tinggi KR hewan mangsa pada saru areal, maka areal tersebut semakin sesuai bagi translokasi harimau. Untuk memprediksi areal-areal yang cocok bagi translokasi harimau di masa depan di kawasan hutan Ulu Masen (KHUM), maka dilakukan overlay dan intersect antara peta kesesuaian lokasi translokasi berdasarkan kelimpahan hewan mangsa dan harimau lokal dengan peta kesesuaian habitat harimau hasil ekstrapolasi di seluruh KHUM.
63
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Harimau yang ditranslokasikan dan dipasangi kalung GPS selama penelitian adalah sebanyak enam ekor. Namun demikian, harimau yang ditranslokasikan ke TNKS (JD-4) ditemukan mati hanya tujuh hari setelah dilepas-liarkan akibat terperangkap jerat yang dipasang pemburu kambing hutan di dalam kawasan taman nasional tersebut. Harimau JD-1 dan JD-2 yang dilepas-liarkan di TNBBS, diamati pergerakannya selama masingmasing 224 hari (menghasilkan 3.469 data posisi) dan 253 hari (1.288 data posisi). Harimau BD-1 yang ditranslokasikan ke KHUM diobservasi selama 213 hari (6.680 data posisi), namun kemudian diketahui juga mati akibat terjerat di sebuah ladang di pinggir hutan setelah kalung GPS-nya bekerja selama 7 bulan. Harimau JD-3 di TNGL diamati pergerakannya selama 79 hari (1.486 data posisi), dan harimau JD-5 di TNKS dipantau selama 238 hari pengamatan (7.007 data posisi). Kalung GPS yang pasang pada harimau JD-1, JD-3 dan JD-5 rusak setelah masing-masing beroperasi selama 7,5 bulan, 2,5 bulan dan 8 bulan. Kalung GPS pada JD-2 terlepas secara otomatis sesuai rencana setelah 8,5 bulan beroperasi (Tabel 6). Tabel 6. Jadwal operasi dan jumlah data posisi yang berhasil dikumpulkan melalui kerah GPS pada masing-masing harimau sumatera translokasi selama penelitian antara 2008-2011. Harimau Nama
Kls umur
JD-1
Jantan dewasa Jantan dewasa Betina dewasa Jantan dewasa Jantan dewasa Jantan dewasa
JD-2 BD-1 JD-3 JD-4 JD-5
Lokasi
Tanggal operasi kerah GPS
N hari operasi
N data posisi
TNBBS
22/07200803/03/2009 22/07/200831/03/2009 21/12/200821/07/2009 27/12/200815/03/2009 05/06/200911/06/2009 20/12/201014/08/2011
224
3.469
GPS rusak
253
1.288
213
6.680
79
1.486
GPS lepas otomatis Harimau mati GPS rusak
7
71
238
7.007
TNBBS KHUM TNGL TNKS TNKS
Keterangan
Harimau mati GPS rusak
64
Sebelum ditranslokasikan, harimau jantan dewasa JD-1 dan JD-2 ditangkap oleh petugas Balai KSDA Aceh di lokasi yang sama, yaitu di satu desa pesisir Kabupaten Aceh Selatan. Harimau JD-1 dan JD-2 masingmasing ditangkap pada 9 Nopember 2007 dan 25 Nopember 2007, dengan alasan bahwa kedua harimau tersebut sering memasuki perkampungan hingga meresahkan masyarakat. Habitat di tempat asal JD-1 dan JD-2 merupakan hutan dataran rendah kering, yang umumnya merupakan hutan bekas HPH yang bertopografi perbukitan. Kawasan tersebut terletak di kaki Pegunungan Bukit Barisan sebelah barat. Setelah tertangkap, baik JD-1 maupun JD-2 dirawat di dalam kandang berbentuk kotak berjeruji besi di halaman belakang kantor Balai KSDA Aceh selama sekitar 7 bulan. Kemudian, keduanya dipindahkan ke karantina pemulihan di dekat lokasi translokasi di dalam kawasan TNBBS di Lampung. JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan dengan jarak sekitar 1.350 km dari tempat asalnya di Aceh Selatan, ke kawasan hutan TNBBS di Lampung. Harimau jantan JD-3 ditangkap 15 Nopember 2008 di satu desa tepi pantai di Aceh Barat. JD-3 juga ditangkap akibat sering memasuki desa dan diduga telah sering memangsa hewan-hewan ternak milik masyarakat desa. Tempat hidup asal JD-3 di Aceh Barat merupakan hutan dataran rendah kering dan hutan-hutan bekas HPH yang topografinya berbukit-bukit di kaki Pegunungan Bukit Barisan sebelah barat. Setelah mendapat perawatan selama 42 hari, JD-3 ditranslokasikan dengan jarak sekitar 200 km dari tempat asalnya di kawasan pantai barat Aceh ke kawasan hutan di TNGL yang berbatasan dengan kawasan bekas HPH di kaki bagian timur Pegunungan Bukit Barisan. Harimau betina dewasa BD-1 ditangkap pada 3 Desember 2008 di satu desa di Kabupaten Aceh Utara, di wilayah timur laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. BD-1 evakuasi karena sering memasuki pemukiman dan memangsa hewan ternak masyarakat. Habitat asal BD-1 di Aceh Utara merupakan hutan perbukitan dan pegunungan rendah. Kawasan tersebut merupakan sisi timur dari Pegunungan Bukit Barisan. Setelah 18 hari
65
dikarantina, BD-1 langsung ditranslokasikan ke wilayah terpencil di kawasan hutan Ulu Masen, yang berjarak sekitar 70 km dari tempat dimana BD-1 ditangkap. Harimau jantan dewasa JD-5 berhasil diselamatkan petugas Balai KSDA Sumatera Barat pada 24 Nopember 2010. Harimau ini terjebak selama beberapa hari dalam lubang perangkap yang dibuat masyarakat untuk menangkap rusa, di hutan dekat sebuah desa di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Habitat JD-5 di tempat asalnya adalah hutan dataran rendah yang berbukit-bukit, di sisi barat Pegunungan Bukit Barisan. Sekitar tiga minggu setelah penangkapannya (20 Desember 2010), JD-5 di translokasikan ke satu areal hutan di TNKS yang berbatasan dengan perkebunan sawit, dengan jarak sekitar 74 km dari tempat asalnya ditangkap. 5.1 Pola Penggunaan Ruang 5.1.1 Pergerakan 5.1.1.1 Panjang dan Bentuk Lintasan Pergerakan Menurut (Ahearn et al. 2001) pola lintasan pergerakan harimau dicirikan melalui jarak dan arah pergerakannya. Dengan menggunakan data dari hari-hari observasi lengkap, diketahui bahwa rata-rata jarak pergerakan harian yang ditempuh oleh harimau sumatera translokasi berkisar antara 2,80 hingga 4,00 km. Rata-rata jarak pergerakan dari seluruh harimau adalah 3,52 km (Tabel 7). Jarak pergerakan harian betina dan jantan secara signifikan berbeda (U = 44473; P= 0,000). Harimau betina menempuh rata-rata jarak harian lebih panjang dibandingkan dengan jantan. Rata-rata jarak tempuh harimau jantan JD-1 adalah 3,51 km/hari (kisaran 0,06-13,92 km/hari), sedangkan harimau jantan JD-3 dan JD-5 memiliki rata-rata jarak pergerakan masing-masing 2,80 km (kisaran 0,058,00 km/hari untuk JD-3) dan 3,32 km/hari (kisaran 0,14-18,99 km/hari untuk JD-5). Satu-satunya harimau betina BD-1 yang juga menggunakan data satu lokasi setiap 0,5 jam memiliki rata-rata jarak tempuh 4,00 km/hari (kisaran 0,20-11,33 km/hari). Hasil penelitian Smith (1993) di TN Chitwan, Nepal,
66
menyatakan sebaliknya dimana harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh daripada harimau betina. Selain untuk pencarian hewan mangsa, panjangnya penjelajahan harimau jantan lebih dikarenakan untuk menjaga wilayah teritori serta pencarian betina pasangan kawin. Sunquist (2010) berpendapat bahwa luasnya daerah jelajah jantan lebih disebabkan untuk penguasaan betina daripada penguasaan sumber pakan. Menurut observasi Valen (2011) harimau jantan akan memberikan tanda dengan cara menyemprotkan urin serta sekresi dari kelenjar anal lebih sering pada wilayah jelajahnya ketika datang masa-masa estrus harimau betina. Harimau jantan mengunjungi betina tiga sampai lima kali per bulan di dalam daerah jelajahnya dan akan bergerak lebih lambat bila sedang bersama atau mencari pasangan betina untuk kawin (Ahearn et al. 2001). Tabel 7. Rata-rata jarak pergerakan harian dan jarak tempuh maksimum hari-mau sumatera translokasi. Harimau
Lokasi
N hari observasi
Rata-rata jarak tempuh (km) hari + SD siang + SD malam + SD
Jarak tempuh maks/hari (km)
JD-1
TNBBS
223
3,51 + 3,01
1,74 + 1,96
1,77 + 2,06
13,92
JD-3
TNGL
68
2,80 + 2,19
1,43 + 1,22
1,37 + 1,22
8,00
JD-5
TNKS
236
3,32 + 2,25
1,54 + 1,56
1,78 + 1,45
18,99
BD-1
EUM
208
4,00 + 2,41
2,27 + 1,74
1,74 + 1,26
11,33
Jantan
527
3,33 + 2,60
1,61 + 1,70
1,72 + 1,72
18,99
Betina
208
4,00 + 2,41
2,27 + 1,74
1,74 + 1,26
11,33
Rata-rata
735
3,52 + 2,56
1,80 + 1,74
1,73 + 1,60
18,99
Adanya perbedaan jarak jelajah harian pada setiap individu harimau translokasi di Sumatera ini sangat dimungkinkan akibat perbedaan tipe habitat utama dan kondisi topografi di masing-masing areal pelepas-liarannya. Lokasi pelepas-liaran harimau jantan JD-1 dan JD-2 di TNBBS serta JD-5 di TNKS, didominasi oleh belukar/hutan sekunder muda dan hutan dataran rendah dengan topografi umumnya datar. Lokasi translokasi jantan JD-3 di TNGL didominasi oleh hutan pegunungan rendah dan dataran rendah dengan tingkat kelerengan umumnya curam hingga sangat curam. Lokasi Ulu Masen (tempat BD-1 dilepas-liarkan) didominasi oleh hutan pegunungan rendah dan
67
belukar/sekunder muda dengan kelerengan datar-landai hingga curam. Konsekuensi dari perbedaan ketinggian tempat, medan dan tipe habitat adalah terjadinya perbedaan dalam keragaman dan kelimpahan hewan mangsa. Menurut Griffiths (1994), keanekaragaman dan kelimpahan hewan mangsa harimau di hutan dataran rendah dengan ketinggian 100-600 meter dpl lebih tinggi dibandingkan dengan di hutan pegunungan rendah dengan ketinggian 900-1.700 meter dpl. Dengan demikian, harimau BD-1 di Ulu Masen membutuhkan usaha yang lebih besar dengan melakukan perjalanan yang lebih panjang untuk mendapatkan hewan mangsanya. Data hasil observasi juga menunjukkan bahwa KHUM (tempat BD-1 ditranslokasikan), memiliki kelimpahan relatif hewan mangsa utama (rusa, kijang dan babi hutan) yang paling rendah dibandingkan dengan lokasi pelepas-liaran harimau lainnya (Lampiran 1). Menurut Sunquist (2010) sebagian besar waktu harimau di alam dihabiskan untuk mencari pakan dan umumnya mereka menjelajah areal yang luas untuk memenuhi kebutuhan pakannya. Pendapat lain (Nowak 1991) menyatakan bahwa di Rusia timur jauh, dimana hewan mangsa tersebar secara luas, harimau siberia melakukan pergerakan hingga 60 km per hari. Selain itu, mengingat BD-1 adalah harimau betina, panjangnya perjalanan harian yang ditempuhnya mungkin juga ada kaitannya dengan upaya menemukan jantan siap kawin karena masa estrus harimau betina terjadi pada setiap tiga sampai sembilan minggu sekali (Nowak 1991, Ahearn et al. 2001). Lamanya masa estrus adalah tiga sampai enam hari pada setiap periode (Nowak 1991).
Pada masa estrusnya harimau betina sering
mengeluarkan suara auman untuk menarik harimau jantan (Sunquist 1981). Jackson (1996) menemukan bukti bahwa pada musim kawin, macan salju betina melakukan pergerakan satu setengah kali lebih panjang daripada biasanya. Barlow et al. (2011) melakukan studi menggunakan kalung GPS memperoleh rata-rata jarak tempuh harimau betina di hutan bakau Sundarbans, Bangladesh adalah sekitar 2,9 km/hari dengan jarak pergerakan
68
maksimum 10,8 km. Adanya perbedaan jarak tempuh antara harimau betina di dua lokasi yang sangat berjauhan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan tipe habitat, dimana Sundarbans merupakan kawasan hutan bakau yang didominasi lahan basah, sementara KHUM merupakan kawasan yang didominasi oleh hutan pegunungan, yang secara alamiah memiliki kelimpahan hewan mangsa lebih rendah dibandingkan kawasan dataran rendah (Sunquist et al. 1999). Menurut Sunquist (2010) panjang atau pendeknya jarak tempuh harimau ada hubungannya dengan kelimpahan hewan mangsa, dimana di kawasan yang kelimpahan hewan mangsanya tinggi harimau tidak melakukan pencarian mangsa secara aktif.
Namun,
jarak pergerakan harimau sangat bervariasi tergantung lokasi dan habitat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum bentuk lintasan pergerakan semua harimau translokasi dilakukan secara zig-zag ketika melakukan eksplorasi di dalam daerah jelajahnya. Hal ini kemungkinan ada kaitannya dengan pemilihan jalan lintasan dalam pergerakannya. Sunquist (2010) berpendapat bahwa harimau sering ditemukan menggunakan jalanjalan bekas logging, jalan setapak dan alur-alur sungai di dalam hutan, dalam melakukan pergerakan di antara lokasi perburuan hewan mangsa. Hasil pengamatan pada saat observasi lapangan, juga menunjukkan bahwa jejakjekak harimau sangat sering ditemukan di jalan setapak yang biasa digunakan manusia di dalam hutan. Data pergerakan juga menunjukkan bahwa kadang-kadang sesekali harimau translokasi terlihat melakukan perjalanan panjang membentuk garis lurus, yang langsung menuju ke suatu tempat. Pergerakan seperti ini sepertinya berhubungan dengan perilaku kawin terutama pada harimau jantan, kemungkinan harimau akan langsung bergerak menuju daerah jelajah betina ketika mendapat tanda dari harimau betina yang siap kawin. Ahearn et al. (2001) berpendapat bahwa harimau jantan akan melakukan perjalanan langsung menuju sasaran ketika mencari hewan mangsa dan pasangan kawin, dan biasanya bergerak lebih lambat ketika berada pada daerah jelajah betina.
69
Harimau juga akan tinggal selama beberapa hari pada lokasi yang sama setelah mendapatkan hewan mangsa. Selain itu, harimau-harimau translokasi juga melakukan pergerakan memutar kembali mengunjungi tempat-tempat yang sebelumnya didatangi, setelah menjelajah selama beberapa hari atau beberapa minggu. Menurut Sunquist (2010), dalam pencarian hewan mangsanya harimau jarang sekali melakukan pengembaraan, tetapi pergerakan mereka sangat terarah. Harimau juga dapat mengingat dengan baik areal-areal tempat berburu hewan mangsa di dalam daerah jelajahnya, dan mereka juga hafal akan jalur-jalur yang terbaik di antara dua lokasi berburu mangsanya tersebut. Pergerakan harimau-harimau translokasi selalu diarahkan menuju batasbatas dua tipe habitat yang berbeda dan ke tepi-tepi hutan antara hutan dataran rendah dan vegetasi belukar/hutan sekunder muda. Pola pergerakan ini sepertinya erat kaitannya dengan kebiasaan hewan mangsa harimau yang selalu mencari makan di tepi-tepi atau batas hutan dengan vegetasi belukar. Karanth & Sunquist (1992) menyatakan bahwa mosaik lansekap yang terdiri atas hamparan hutan dan padang rumput, merupakan habitat yang sangat mendukung kehidupan hewan ungulata. Dalam penjelajahannya, terdapat kecenderungan bahwa harimau bergerak mengikuti kontur topografi dan punggungan bukit pada areal perbukitan dan pegunungan. Harimau umumnya menghindari daerah yang sangat terjal, dan akan memilih punggung bukit yang terendah apabila ingin melintasinya. Bentuk serta pola lintasan harimau translokasi setiap bulan disajikan pada Lampiran 2, 3, 4, 5 dan 6. 5.1.1.2 Panjang Pergerakan pada Siang dan Malam Rata-rata jarak pergerakan harimau pada siang hari berkisar antara 1,43-2,27 km, sedangkan pada malam hari antara 1,37-1,78 km. Secara individu, hasil uji menunjukkan bahwa pada dua harimau jantan, yaitu JD-1 (Z= -0,184; P= 0,854) dan JD-3 (Z= -0,706; P= 0,480), tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata jarak pergerakan pada siang dengan malam
70
harinya. Pada jantan JD-5 (Z= -2,667; P= 0,008) terdapat perbedaan jarak pergerakan antara siang dan malam hari, dimana pada malam hari harimau ini menempuh jarak lebih panjang dibandingkan siang hari. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh kondisi lokasi pelepas-liaran JD-5 di TNKS, yang mana daerah jelajah JD-5 didominasi oleh habitat belukar/sekunder muda (47,0%) serta mayoritas elevasinya adalah 0-500 meter dpl (59,8%). Pada kondisi tersebut dapat diprediksi bahwa suhu udara lingkungan umumnya panas pada siang hari, sehingga pergerakan atau penjelajahan akan lebih nyaman dilakukan pada malam hari yang suhu udara lingkungannya lebih dingin. Namun, secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata jarak pergerakan siang dan malam hari pada harimau jantan (Z= -1,348; P= 0,178). Rata-rata jarak pergerakan siang hari dan malam hari pada harimau betina secara signifikan berbeda (Z= -3,711; P= 0,000), dimana pada harimau betina rata-rata jarak jelajah pada siang hari (2,27 km) lebih panjang daripada malam hari (1,74 km). Lokasi pelepas-liaran harimau BD-1 di Ulu Masen didominasi oleh habitat hutan pegunungan rendah (37,0%) dan elevasi umumnya diatas 1.500 meter dpl (55,1%). Secara alamiah suhu udara lingkungan di dalam daerah jelajah BD-1 sejuk meskipun pada siang hari, sehingga pergerakan dan penjelajahan tetap nyaman meskipun dilakukan pada siang hari. Hamilton (1976) dan Sunquist (1981) melaporkan bahwa aktivitas macan tutul dan harimau erat kaitannya dengan temperatur udara, mereka umumnya tidak beraktivitas pada saat suhu udara panas di siang hari. Menurut Sunquist (2010) meskipun harimau merupakan satwa yang cenderung nokturnal, pada beberapa kasus perburuan hewan mangsa juga terjadi pada siang hari. Berdasarkan distribusi frekuensi jarak tempuh hariannya, ternyata umumnya harimau menempuh jarak < 5 km dalam sehari (76,9%) (Gambar 11). Sementara itu, masing-masing 19,0% dan 29,3% frekuensi rata-rata jarak tempuh harian harimau jantan dan betina adalah antara 5-10 km, sedangkan frekuensi untuk jarak tempuh diatas 10 km/hari hanya 1,3% pada jantan dan
71
1,9% pada betina. Hal ini memberi indikasi bahwa hanya pada kondisi dan situasi tertentu saja harimau menempuh perjalanan panjang dalam satu hari. Perjalanan panjang mungkin dilakukan harimau pada saat-saat mereka ingin menuju satu sasaran tertentu, misalnya lokasi tempat perburuan hewan mangsa atau pada jantan ketika menuju daerah jelajah betina untuk kawin.
Gambar 11. Persentase distribusi frekuensi jarak pergerakan harian harimau sumatera yang ditranslokasikan. 5.1.2 Daerah Jelajah 5.1.2.1 Waktu Pembentukan Daerah Jelajah Kajian terhadap data posisi setiap minggu menggunakan MCP100% memberi indikasi bahwa setiap harimau yang ditranslokasikan membutuhkan waktu yang berbeda, berkisar antara 8-17 minggu, untuk menetapkan daerah jelajah di lokasinya yang baru (Gambar 12). Pada harimau jantan daerah jelajah tersebut terbentuk masing-masing setelah 10 minggu untuk harimau JD-1, 11 minggu untuk JD-2, 8 minggu untuk JD-3, dan 13 minggu untuk JD-5. Sementara itu, harimau betina BD-1 membutuhkan waktu 17 minggu untuk menetapkan daerah jelajahnya.
72
Terdapat beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi lamanya waktu yang dibutuhkan setiap harimau translokasi dalam menetapkan daerah jelajahnya. Faktor-faktor tersebut antara lain umur dan
jenis kelamin
harimau, serta faktor kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa utama di lokasi tempat dimana harimau masing-masing dilepas-liarkan. Harimau betina BD-1 dan harimau jantan JD-5 membutuhkan waktu paling lama dalam menetapkan daerah jelajahnya, yaitu masing-masing 17 dan 13 minggu. Keduanya di translokasikan ke daerah dengan KR harimau lokal tertinggi (Tabel 8).
Gambar 12. Daerah Jelajah kumulatif (km2) mingguan yang dibentuk oleh harimau translokasi. Dengan analisis korelasi rank Spearman (N=5) diketahui bahwa kelimpahan harimau lokal di lokasi pelepas-liaran (r= 0,949; P= 0,014) merupakan satu-satunya faktor yang secara signifikan paling berpengaruh terhadap lamanya waktu harimau translokasi menetapkan daerah jelajahnya (Tabel 8). Sementara itu, faktor kelimpahan hewan mangsa, umur dan jenis kelamin harimau tidak signifikan pengaruhnya terhadap lamanya waktu pembentukan daerah jelajah harimau translokasi. Meskipun melalui uji
73
statistik tidak berpengaruh, namun data menunjukkan adanya kecenderungan bahwa lamanya waktu harimau translokasi membangun daerah jelajah tetapnya, dipengaruhi juga oleh faktor kelimpahan hewan mangsa di lokasi pelepas-liaran serta umur harimau ketika dilepas-liarkan. Harimau JD-1 dan JD-2 ternyata relatif cepat dalam menetapkan daerah jelajah, yaitu 10 dan 11 minggu. Keduanya ditranslokasikan ke areal dengan KR hewan mangsa paling tinggi (yaitu 0,8 tanda/km) dibanding areal translokasi lainnya (Lampiran 1). Baik harimau JD-1 maupun JD-2, keduanya juga berumur paling tua (6 dan 4 tahun) ketika dilepas-liarkan, sehingga sepertinya mereka lebih siap untuk menempati areal kosong di antara daerah jelajah harimau yang telah ada lebih dahulu di sekitar lokasi translokasinya. Tabel 8. Waktu dibutuhkan harimau translokasi dalam menetapkan daerah jelajahnya serta nilai KR harimau lokal dan mangsa utama pada masing -masing lokasi pelepas-liaran. ID
Lokasi
Waktu penetapan (minggu)
Kelamin (1=jantan; 2=betina)
Umur (thn)
KR harimau lokal (tanda/km)
KR mangsa utama (tanda/km)
JD-1
TNBBS
10
1
6
0,05
0,80
JD-2
TNBBS
11
1
4
0,05
0,80
BD-1
KHUM
17
2
2
0,09
0,25
JD-3
TNGL
8
1
4
0,01
0,45
JD-5
TNKS
13
1
2
0,09
0,31
Menurut laporan Smith et al. (1987), selain harimau jantan soliter yang memiliki wilayah teritori, setiap harimau betina juga memiliki daerah jelajah. Meskipun ukuran daerah jelajahnya lebih kecil dibandingkan jantan, namun daerah jelajah betina lebih stabil. Smith et al. (1987) dalam penelitiannya menemukan beberapa kasus perkelahian antara dua harimau betina yang bertemu pada satu lokasi di dalam hutan. Dengan adanya sistem teritorialitas baik pada harimau jantan maupun betina, maka jika satu harimau ditranslokasikan ke satu wilayah dimana terdapat harimau lokal yang lebih dahulu menghuni wilayah tersebut, maka akan dibutuhkan waktu untuk
74
mencari wilayah kosong yang dapat dijadikan daerah jelajah oleh harimau yang ditranslokasikan tersebut. 5.1.2.2 Luas Daerah Jelajah Setiap individu harimau yang ditranslokasi dan dilepas-liarkan di kawasan yang berbeda di Sumatera, menetapkan daerah jelajah dengan yang berbeda-beda. Dengan banyaknya data yang dikumpulkan melalui dari kalung GPS memungkinkan dilakukannya pendugaan luas daerah jelajah harimau dengan metode Fixed Kernel (FK). Perhitungan dengan FK95% memberikan variasi luas jelajah harimau jantan antara 37,5-188,1 km2 dan betina 376,8 km2 (Tabel 9). Perkiraan ukuran daerah jelajah dengan metode FK memberikan hasil yang akurat namun membutuhkan sampel data yang besar (Seaman & Powell 1996, Mitchell 2007). Tabel 9. Luas daerah jelajah harimau yang diamati dengan kalung GPS yang dianalisis berdasarkan Minimum Convex Polygon dan Fixed Kernel. Harimau
Lokasi
Daerah jelajah (km2)
N hari pengamatan
N data posisi
MCP (100%)
FK (95%)
FK (50%)
JD-1
TNBBS
224
3.469
191,2
140,9
27,9
JD-2
TNBBS
253
1.288
67,1
37,5
4,9
JD-3
TNGL
79
1.486
236
141,2
28,9
JD-5
TNKS
238
7.007
400
188,1
42,2
BD-1
KHUM
213
6.880
610,3
376,8
80,2
Luas daerah jelajah yang dibangun oleh masing-masing harimau translokasi tidak dipengaruhi oleh umur (r= -0,580; P= 0,306), jenis kelamin (r= 0,000; P= 1,000), kelimpahan harimau lokal (r= 0,264; P= 0,668) serta kelimpahan hewan mangsa (r= 0,667; P= 0,219). Namun demikian terdapat kecenderungan bahwa luas daerah jelajah yang dibentuk oleh setiap harimau translokasi berhubungan dengan kelimpahan hewan mangsa di masingmasing lokasi translokasi. Ahearn et al. (2001) melaporkan bahwa kelimpahan spesies hewan mangsa memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan
daerah jelajah harimau. Smith et al. (1987) juga
75
berpendapat bahwa ukuran daerah jelajah harimau betina dipengaruhi oleh kelimpahan hewan mangsa dan kualitas habitat. Harimau jantan JD-1 dan JD-2 membentuk daerah jelajah dengan ukuran terkecil dibanding harimau translokasi lainnya. Kedua harimau tersebut dilepas-liarkan di TNBBS yang kelimpahan relatif hewan mangsa utamanya tertinggi. Sementara itu, harimau betina BD-1 membentuk daerah jelajah dengan ukuran terluas dibandingkan dengan harimau translokasi lainnya. BD-1 dilepas-liarkan di KHUM yang memiliki kelimpahan hewan mangsa utama terendah (Lampiran 1). Lebih jauh, Griffiths (1994) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan
daerah jelajah harimau adalah ketersediaan hewan mangsa,
dimana luas daerah jelajah harimau meningkat seiring dengan berkurangnya kepadatan hewan mangsa. Studi Franklin et al. (1999) menunjukkan bahwa semakin tinggi kelimpahan hewan mangsa utamanya, maka semakin kecil pula daerah jelajah satu individu harimau. Menurut (Sunquist 2010), luasnya daerah jelajah pada harimau jantan lebih disebabkan untuk penguasaan betina daripada penguasaan sumber pakan. Rata-rata luas daerah jelajah MCP100% yang dihasilkan dari JD-1 dan JD-2 yang dilepas-liarkan dalam waktu dan lokasi yang sama, di hutan dataran rendah di TNBBS adalah 129 km2. Perkiraan ini mirip dengan perkiraan terdahulu dengan metode yang sama (Franklin et al. 1999), yang menyatakan bahwa luas daerah jelajah harimau jantan dewasa di hutan dataran rendah TN Way Kambas adalah sekitar 110 km2. Luas daerah jelajah MCP100% harimau betina BD-1 yang dilepas-liarkan di KHUM
dan
harimau jantan yang dilepas-liarkan di TNKS memiliki luas jelajah yang sangat luas masing-masing 610,3 km2 dan 400 km2. Ukuran daerah jelajah tersebut lebih luas jika dibandingkan dengan perkiraan luas jelajah harimau sumatera liar yang pernah ada sebelumnya. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan data yang digunakan dalam menduga ukuran daerah jelajah dengan metode MCP. Pendugaan-pendugaan luas daerah jelajah harimau yang ada sebelumnya (Tabel 10) umumnya cenderung underestimate karena
76
dilakukan menggunakan data dari camera-trapping dan radio-tracking. Kedua metode tersebut memiliki keterbatasan baik dalam hal penempatan camera trapping maupun dalam pelacakan signal radio-tracking, sehingga harimau studi sulit dilacak keberadaannya ketika menjauh dari wilayah studi. Estimasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan data posisi dari kalung GPS, sehingga hasilnya jauh lebih akurat dari hasil-hasil studi yang pernah ada di Sumatera, karena harimau-harimau studi selalu terlacak posisinya dimana pun mereka berada. Tabel 10. Perkiraan rata-rata luas daerah harimau sumatera dan pada beberapa subspesies harimau lainnya, dengan metode yang digunakan, jumlah harimau (n) dan referensi. No
Lokasi
Kelas umur
Metode*
N
Rata-rata ukuran daerah jelajah (kisaran; km2)
Referensi
1
Chitwan (Nepal) Chitwan (Nepal) Panna (India) Nagarahole (India) Shikote-Alin (Rusia) Way Kambas (Sumatera) Ulu Masen (Sumatera) Sundarbans (Banglades) Chitwan (Nepal) Panna (India) Nagarahole (India) Shikote-Alin (Rusia) Jambi (Sumatera) Bukit Barisan (Sumatera) Way Kambas (Sumatera) Leuser (Sumatera) Leuser (Sumatera) Kerinci (Sumatera)
BD
RT (MCP)
3
16 (15,3-16,5)
Sunquist (1981)
BD
RT (100% MCP)
7
20,7 (10-51)
Smith et al. (1987)
BD
RT (MCP)
1
27
BD
RT (95% MCP)
1
16,5
BD
RT (95% MCP)
14
402 (181-761)
BD
CT (100%MCP)
5
40-70
BD
GPS (95%FK)
1
376,8
Chundawat et al. (1999) Karanth & Sunquist (2000) Goodrich et al. (2005) Franklin et al. (1999) Penelitian ini
BD
GPS (95% MCP)
2
12,3 (10,6-14,1)
JD
RT (MCP)
2
52,5 (44,7-60,2)
JD
RT (MCP)
1
243
JD
RT (95% MCP)
4
43 (25,7-57,8)
JD
RT (MCP)
5
1,385
JD
RT (95% MCP)
1
12,2
JD
GPS (95%FK)
2
89,2 (37,5-140,9)
JD
CT (MCP)
1
110
JD
GPS (95%FK)
1
141,2
Franklin et al. (1999) Penelitian ini
JD
CT (MCP)
3
278 (180-380)
Griffiths (1994)
JD
GPS (95%FK)
1
188,1
Penelitian ini
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Barlow et al. (2011) Sunquist (1981) Chundawat et al. (1999) Karanth & Sunquist (2000) Goodrich et al. (2010) Maddox et al. (2007) Penelitian ini
77
Apabila data memungkinkan, sebaiknya metode FK digunakan dalam memprediksi ukuran daerah jelajah satwaliar. Penggunaan metode MCP akan selalu overestimate, karena poligon daerah jelajah yang dibentuk dengan metode ini didasarkan pada titik-titik terluar posisi harimau. Namun, pada kenyataanya, sebetulnya banyak areal di dalam daerah jelajah harimau yang dibentuk dengan MCP, sama sekali tidak digunakan oleh harimau dalam penjelajahannya.
Menurut Nilsen et al. (2008) sebaiknya penggunaan
metode MCP dihindari pada studi-studi ekologi. Mitchell (2007) menyatakan pendugaan luas daerah jelajah dengan metode FK membutuhkan banyak data, sehingga sulit dipenuhi oleh data-data yang dihasilkan dari camera-trapping atau
radio-tracking.
FK
merupakan
salah
satu
metode
yang
direkomendasikan untuk digunakan dalam menganalisis ukuran daerah jelajah satwa liar (Mitchell 2007). Pada Tabel 10 juga dapat dilihat bahwa ukuran daerah jelajah harimau sangat bervariasi. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat variasi yang tinggi pada penggunaan wilayah jelajah pada harimau, baik sesama subspesies maupun di antara subspesies. Selain itu, harimau yang ditraslokasikan ke kawasan hutan yang baru akan membutuhkan areal yang lebih luas, sehubungan dengan adanya masa orientasi sebelum mereka membangun daerah jelajah tetapnya. Masa orientasi ini dibutuhkan mengingat pada saat harimau-harimau tersebut dilepas-liarkan di kawasan yang baru, di tempat tersebut sudah terdapat populasi harimau lokal. Oleh karena itu, pengukuran luas daerah jelajah harimau yang ditranslokasikan, sebaiknya dilakukan pada saat harimau tersebut sudah merasa “nyaman” tinggal di lokasinya yang baru. Kajian yang dilakukan oleh Franklin et al. (1999) menunjukkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera betina dewasa berkisar antara 40-70 km2, sedangkan Griffiths (1994) melaporkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera jantan dewasa sangat bervariasi, tergantung pada ketinggian habitat dari permukaan laut (dpl). Berdasarkan perkiraannya, luas daerah jelajah harimau jantan dewasa sekitar 180 km2 pada kisaran ketinggian antara 100600 meter dpl, 274 km2 pada ketinggian antara 600-1.700 meter dpl, dan 380
78
km2 pada ketinggian diatas 1.700 meter dpl. Berdasarkan studi kamera-trap jangka panjang, Maddox et al. (2004) melaporkan bahwa luas daerah jelajah seekor harimau sumatera jantan pada kawasan hutan dataran rendah di Jambi adalah 14,2 km2 sedangkan betina dewasa rata-rata 7,9 km2. Jantan dewasa JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan ke kawasan yang sama pada waktu yang juga bersamaan di hutan dataran rendah TNBBS. Namun, yang menarik adalah bahwa daerah jelajah FK95% yang dibangun oleh kedua harimau jantan tersebut sangat berbeda, dimana daerah jelajah yang dibentuk oleh JD-1 (140,9 km2) hampir empat kali lebih luas dari luas daerah jelajah JD-2 (37,5 km2). Selain itu, selama 7,5 bulan pengamatan, diketahui bahwa hampir 100% daerah jelajah JD-2 tumpang-tindih dan berada di dalam daerah jelajah JD-1. Hal ini memberi indikasi bahwa daerah jelajah harimau jantan juga tidak eksklusif, yakni suatu areal yang menjadi bagian dari daerah jelajah seekor harimau jantan, mungkin juga dapat digunakan oleh jantan lain pada waktu yang berlainan. Selain itu, pada kasus ini ada kemungkinan juga bahwa jantan JD-1 lebih dominan. Pada saat dilepas-liarkan, JD-1 berumur sekitar 6 tahun dengan berat tubuh 122 kg; sedangkan JD-2 berumur sekitar 4 tahun dengan berat tubuh 73 kg. Sebagai harimau jantan yang lebih dominan, JD-1 dapat menggunakan kawasan yang lebih luas, sehingga selain memiliki akses yang lebih besar terhadap hewan mangsa, JD-1 juga memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan harimau betina. Fixed Kernel 50% digunakan untuk menentukan areal inti (core areal) yang paling sering digunakan oleh satwa liar di dalam daerah jelajahnya (Aliaga-Rossel et al. 2008). Menggunakan metode FK50% (Edwards et al. 2001, Barlow et al. 2011) dapat diprediksi bahwa luas daerah jelajah inti individu harimau jantan translokasi adalah masing-masing JD-1= 27,9 km2, JD-2= 4,9 km2, JD-3= 28,9 km2 dan JD-5= 42,2 km2 (Lampiran 7, 8, 9 dan 10); sedangkan daerah jelajah inti harimau betina BD-1= 80,2 km2 (Lampiran 11). Areal inti yang sering digunakan harimau sumatera translokasi berkisar antara 13,1% - 22,4% dari ukuran daerah jelajahnya masing-masing. Dari
79
data yang terkumpul, ada kecenderungan bahwa semakin besar luas daerah jelajah harimau translokasi, semakin besar pula persentase luas areal intinya. Selanjutnya memperhatikan pada bentuk dari setiap daerah jelajah yang dibangun dengan metode FK95%, terlihat bahwa daerah jelajah harimau jantan JD-3 yang ditranslokasikan di kawasan hutan TNGL bentuknya memanjang (Lampiran 9). Hal ini mengindikasikan bahwa sebetulnya sampai akhir masa pengamatan (selama 97 hari), harimau JD-3 ini masih belum menetapkan daerah jelajahnya. Kemungkinan besar di lokasi dimana JD-3 dilepas-liarkan sudah ada harimau jantan dewasa lain yang mengokupasi wilayah tersebut, sehingga JD-3 masih menjadi individu harimau pelintas (transient atau floater) yang belum memiliki daerah jelajah yang tetap (Karanth & Chundawat 2002). 5.1.2.3 Bentuk Daerah Jelajah Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa selama masa pengamatan daerah jelajah harimau jantan dewasa JD-1 yang ditranslokasikan ke TNBBS berbentuk menyerupai trapesium terbalik dengan panjang 20,08 km dan lebar 10,95 km. Namun, tidak semua areal di dalam poligon daerah jelajah digunakan oleh JD-1. Pada tingkat FK95% terlihat bentuk daerah jelajah JD1 menyerupai lingkaran lonjong (oval) dengan jarak terpanjang 16,33 km dan terlebar 10,95 km. Lampiran 8 memperlihatkan bahwa bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-2, yang lokasi translokasinya sama dengan JD-1 yaitu di TNBBS, terlihat seperti layang-layang terbalik dengan panjang 13,30 km dan lebar 8,58 km. Di dalam poligon daerah jelajah JD-2 juga terlihat areal-areal yang tidak digunakan oleh JD-2 selama masa pengamatan. Bentuk daerah jelajah JD-2 yang dihasilkan oleh FK95% adalah seperti lingkaran lonjong (oval) dengan jarak terpanjang 6,89 km dan terlebar 5,28 km. Lain halnya dengan JD-3 yang ditranslokasi ke TNGL, harimau jantan dewasa ini membangun daerah jelajah yang berbentuk seperti jajar genjang dengan panjang 31,47 km dan lebar 13,88 (Lampiran 9). Harimau JD-3 ini
80
diduga belum menentukan daerah jelajah tetapnya hingga akhir masa 2,5 bulan observasi, karena daerah jelajah hasil analisis FK95% masih berbentuk seperti koridor dengan jarak terpanjang 31,47 km dan terlebar 7,69 km. Pada Lampiran 10 diperlihatkan bahwa harimau jantan JD-5 selama 8 bulan pengamatan di TNKS membangun daerah jelajah yang bentuknya seperti persegi panjang 32,16 km x 14,33 km. Sama halnya dengan harimau lainnya yang mana di dalam daerah jelajahnya ini terdapat wilayah-wilayah yang sebetulnya tidak digunakan oleh JD-5 selama penjelajahannya. Dengan metode FK95% diketahui bahwa bentuk daerah jelajah JD-5 adalah belah ketupat berukuran 13,79 km x 13,09 km. Satu-satunya harimau betina dewasa yang ditranslokasi ke kawasan Ulu Masen membentuk daerah jelajah seperti lingkaran lonjong (oval) dengan panjang 37,14 km dan panjang 25,61 km (Lampiran 11). Dalam wilayah jelajah yang terbangun ini juga sebetulnya banyak areal yang tidak digunakan BD-1 dalam pergerakannya. Melalui FK95%, daerah jelajah harimau betina BD-1 berbentuk seperti layang-layang yang berukuran 35,80 km x 23,01 km. Dari hasil pengamatan diketahui harimau jantan JD-1 dan betina BD-1 menggunakan lokasi pelepas-liarannya sebagai bagian dari daerah jelajahnya. Harimau jantan JD-2 dan JD-5 sepertinya meninggalkan areal pelepas-liaran dan membangun daerah jelajah pada jarak masing-masing 4,06 km dan 14,64 km dari tempat mereka dilepas-liarkan. Harimau jantan JD-3 meninggalkan lokasi translokasi sejauh 31,52 km dan belum menetapkan daerah jelajahnya hingga akhir masa pengamatan. Menjauhnya JD-2, JD-5 dan JD-3 dari lokasi pelepas-liarannya mungkin akibat sudah adanya harimau lain yang mendiami lokasi pelepas-liarannya, sehingga mereka harus berusaha mencari wilayah kosong untuk dijadikan daerah jelajahnya. Contohnya, bergesernya harimau jantan JD-2 dari lokasi peliarannya akibat wilayah tersebut telah dijadikan bagian dari daerah jelajah harimau jantan JD-1, yang diliarkan pada lokasi dan waktu yang sama dengan JD-2. Berdasarkan survey transek sign (Lampiran 1) diketahui juga bahwa lokasi pelepas-liaran harimau jantan JD-3 dan JD-5 telah kuasai oleh harimau
81
lokal yang ada sebelumnya, namun kedua harimau ini kemungkinan kalah bersaing sehingga mereka harus pergi meninggalkan lokasi pelepasliarannya. Faktor lain yang juga mungkin turut mendorong harimau JD-3 dan JD-5 untuk pergi meninggalkan lokasi pelepas-liarannya adalah tipe vegetasi dan topografi wilayah. JD-3 dilepas-liarkan di areal yang didominasi oleh hutan pegunungan rendah dan tinggi dengan topografi mayoritas sangat curam, sedangkan JD-5 dilepas-liarkan di areal yang didominasi oleh perkebunan sawit skala besar. Kedua harimau tersebut (JD-3 dan JD-5) diketahui bermigrasi ke areal yang didominasi oleh hutan dataran rendah dan vegetasi belukar/hutan sekunder muda. 5.1.2.4 Karakteristik Daerah Jelajah Lima harimau sumatera yang diamati dilepas-liarkan di empat lokasi yang berbeda, yaitu TN Bukit Barisan Selatan, TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat dan kawasan hutan Ulu Masen. Hasil overlay antara data posisi dengan peta tutupan vegetasi MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer), menunjukkan bahwa areal yang dijadikan daerah jelajah
harimau jantan JD-1 di TNBBS didominasi oleh vegetasi belukar/hutan sekunder muda (83,62%) dan hutan dataran rendah (13,95%). Daerah jelajah harimau jantan JD-2, yang juga dilepas-liarkan di TNBBS, juga umumya merupakan vegetasi belukar/hutan sekunder muda (90,00%) dengan sebagain kecil hutan dataran rendah (9,24%) (Lampiran 12). Elevasi di dalam daerah jelajah JD-1 dan JD-2 seluruhnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-500 meter dpl (Lampiran 13), yang mayoritas topografi datar (kelas slope 0-8 persen) (87,46%) dengan sedikit landai (kelas slope 8-15 persen) (12,04%) (Lampiran 14). Selama pengamatan, kedua harimau baik JD-1 maupun JD-2 menghabiskan seluruh waktunya (100%) pada areal dataran rendah dengan ketinggian 0-500 meter dpl, dan seluruh waktunya (100%) pada areal-areal yang datar dengan kelerengan 0-8 persen. Sesuai dengan pernyataan O‟Brien et. al. (2003) bahwa medan pada ketinggian 0-500 meter dpl di TNBBS didominasi oleh
82
dataran dan perbukitan. Kawasan yang dijadikan daerah jelajah JD-1 dan JD2 merupakan kaki Pegunungan Bukit Barisan dengan kisaran curah hujan antara 3.000 mm hingga lebih dari 4.000 mm per tahun, dan memiliki suhu udara 22 hingga 35°C. Hasil penelitian O‟Brien et. al. (2003) menunjukkan bahwa di kawasan tempat dimana JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan memiliki kepadatan harimau lokal 1,6 harimau/100 km2. Hewan mangsa utama yang umum dijumpai di dalam daerah jelajah JD-1 dan JD-2 adalah babi hutan (Sus scrofa) and rusa sambar (Rusa unicolor). Hasil survey transek sign sepanjang 92 km di lokasi translokasi TNBBS, menghasilkan kelimpahan relatif (KR) harimau lokal sebesar 0,05 jejak/km dan KR hewan mangsa utama (babi hutan, rusa sambar dan kijang) sebesar 0,80 jejak/km (Lampiran 1). Areal yang menjadi daerah jelajah harimau jantan JD-3 di TNGL secara umum didominasi oleh vegetasi hutan pegunungan rendah (50,22%) dan hutan dataran rendah (36,87%), dengan sebagian kecil hutan pegunungan tinggi (7,54%) serta vegetasi belukar/hutan sekunder muda (5,36%) (Lampiran 12). Ketinggian elevasi pada wilayah jelajah JD-3 bervariasi mulai dari kurang dari 100 meter hingga diatas 2.000 meter dpl, namun kelas ketinggian yang mendominasi wilayah tersebut adalah berturut-turut hutan antara 500-1.000 meter dpl (34,18%), 0-500 meter dpl (33,82%), dan 1.0001.500 meter dpl (26,24%) (Lampiran 13). Kondisi medan (terrain) sangat curam (kelas slope > 40 persen) (60,38%) medominasi lokasi translokasi JD3, dimana topografi yang lainnya adalah curam (17,37%) dan agak curam (10,74%). Sementara itu areal dengan topografi datar dan landai (kelas slope 0-15 persen) hanya 10,16% dari total luas areal (Lampiran 14). Namun, selama 2,5 bulan observasi harimau jantan JD-3
menghabiskan 38%
waktunya untuk menjelajah pada areal dengan ketinggian 0-500 meter dpl dan 44% waktunya mengeksplorasi areal dengan elevasi 500-1.000 meter dpl. Selain itu, 42% waktu JD-3 digunakan untuk menjelajah pada daerah-daerah yang datar, dan 41% waktu lainnya digunakan untuk berkelana pada daerahdaerah dengan topografi sangat curam.
83
Seperti daerah-daerah lain di Sumatera, kawasan sekitar daerah jelajah JD-3 memiliki kisaran curah hujan antara 2.000 mm hingga 3.000 mm per tahun, dengan fluktuasi suhu udara mulai 21-28 °C. Wibisono & Pusparini (2011) melaporkan bahwa kepadatan harimau lokal minimum di sekitar lokasi translokasi JD-3 adalah 0,3 harimau/100 km2. Mereka juga mendapati bahwa rusa sambar (Rusa unicolor), babi hutan (Sus scrofa) dan kijang (Muntiacus muntjac) merupakan hewan-hewan mangsa utama harimau di lokasi tersebut. Berdasarkan hasil transek sign sepanjang 83 km di sekitar lokasi translokasi JD-3 di TNGL diketahui bahwa KR harimau lokal sebesar 0,01 jejak/km dan KR hewan mangsa sebesar 0,45 jejak/km (Lampiran 1). Tutupan vegetasi mayoritas di dalam daerah jelajah harimau jantan JD5 di TNKS adalah belukar/hutan sekunder muda (40,37%) dan hutan dataran rendah (37,11%). Selain itu, di dalam daerah jelajah JD-5 juga terdapat vegetasi hutan pegunungan rendah (17,99%), hutan pegunungan tinggi (3,93%) dan perkebunan sawit skala besar (5,01%) (Lampiran 12). Daerah jelajah JD-5 juga didominasi oleh areal dengan ketinggian 0-500 meter dpl (62,59,80%) dan 500-1.000 meter dpl (26,72%) (Lampiran 13), serta mayoritas topografinya datar (61,53%) dan landai (19,57%) (Lampiran 14). Harimau jantan JD-5 menghabiskan sebagian besar waktunya (65%) menjelajah pada areal yang datar dan landai (12%). Harimau JD-5 juga memilih wilayah pada ketinggian 0-500 meter dpl (64%) dan 500-1.000 meter dpl (34%) sebagai tempat mencari hewan mangsa dan beraktivitas lainnya. Menurut Linkie et al. (2006), rata-rata curah hujan tahunannya sekitar 3.000 mm dan kisaran suhu udara antara 7 hingga 28°C. Lebih jauh Linkie et al. (2006) memperkirakan bahwa kepadatan harimau di areal translokasi JD-5 di TNKS adalah sekitar 1,5-3,3 harimau/100 km2. Dinata & Sugadrjito (2008) mengidentifikasi bahwa hewan mangsa utama harimau di kawasan ini adalah babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac). Survey transek sign sepanjang 136 km di TNKS menghasilkan KR harimau lokal 0,09 jejak/km dan KR hewan mangsa 0,31 jejak/km (Lampiran 1).
84
Kawasan yang dijadikan daerah jelajah harimau betina BD-1 di Ulu Masen didominasi oleh tiga tipe tutupan vegetasi, yaitu belukar/hutan sekunder muda (33,29%), hutan pegunungan rendah (30,84%), dan hutan pegunungan tinggi (17,73%); sedangkan hutan dataran rendah hanya 11,56% dari luas total daerah jelajah BD-1 (Lampiran 12). Mayoritas kawasan tersebut merupakan dataran tinggi pada elevasi > 2.000 meter dpl (29,22%) dan antara 1.500-2.000 meter dpl (25,88%). Selebihnya adalah areal-areal dengan ketinggian 1.000-15.00 meter dpl (18,32%) dan 0-500 meter dpl (19,76%) (Lampiran 13). Areal-areal dengan topografi sangat curam (kelas slope > 40 persen) dan curam umum dijumpai di sekitar daerah jelajah BD-1 (Lampiran 14). Namun,
harimau betina BD-1 menghabiskan lebih dari
separuh waktunya (64%) beraktivitas pada daerah dengan topografi datar dan landai. BD-1 juga menghabiskan 64% waktunya dihabiskan di areal-areal dengan ketinggian 0-500 meter dpl dan 500-1.000 m dpl (15%). Pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa survey transek sepanjang 129 km di sekitar lokasi translokasi BD-1 di Ulu Masen menghasilkan KR harimau lokal 0,09 jejak/km dan KR hewan mangsa 0,25 jejak/km. 5.2 Pola Aktivitas Harimau jantan JD-1 terdeteksi aktif pada 1.483 (42,8%) dari 3.469 data aktivitas yang terbaca, sedangkan jantan JD-5 terdeteksi aktif pada 3.465 (49,5%) dari 7.007 data aktivitasnya. Hasil penelitian serupa pada jenis Felidae lainnya di Thailand mengungkapkan bahwa macan dahan (Neofelis nebulosa) jantan dan betina aktif selama masing-masing 57% dan 59% selama masa pengamatan (Grassman et al. 2005). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa harimau sumatera jantan pada malam hari (antara pukul 18:00-06:00) menghabiskan 45,5% waktunya untuk beraktivitas dan bergerak. Menurut Sunquist (1981) harimau bengal di Nepal menghabiskan 42% waktu malam harinya untuk beraktivitas dan melakukan pergerakan. Aktivitas harimau pada malam hari mungkin ada hubungannya dengan suhu udara dan aktivitas hewan mangsa harimau karena harimau umumnya melakukan
85
perburuan pada malam hari. Karanth & Sunquist (2000) menyatakan harimau memanfaatkan gelapnya malam dalam melakukan perburuan mangsanya. Pola grafik yang dibentuk oleh signal X dan Y (Gambar 13) menunjukkan bahwa kedua harimau jantan JD-1 dan JD-5 banyak melakukan pergerakan dan waktu paling aktifnya adalah mulai sore hari menjelang gelap hingga petang/malam hari. Harimau jantan JD-5 juga banyak melakukan pergerakan atau aktif pada waktu subuh menjelang pagi; sedangkan harimau JD-1 sedikit lebih aktif pada pagi hari. Kedua harimau mengurangi aktivitasnya pada pagi hari hingga tengah hari dan pada tengah malam hingga menjelang subuh. Waktu aktivitas harimau-harimau ini diduga berkaitan dengan waktu aktivitas hewan-hewan mangsa pada masing-masing lokasi dimana mereka ditranslokasikan. Hal ini karena umumnya harimau berhasil melakukan perburuan ketika hewan mangsanya beraktivitas.
Gambar 13. Pola aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan yang dipantau dengan signal X dan Y pada kalung GPS (total N JD-1= 1.599 dan JD-5= 3.643).
86
Sunquist (1981) menyatakan bahwa waktu aktivitas harimau tidak ada hubungannya dengan waktu terbit dan terbenamnya matahari, namun memang cenderung lebih nokturnal karena kadang-kadang ditemukan aktif pada siang hari. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa pada siang hari harimau translokasi meningkat aktivitasnya dimulai pada pukul 14:00 WIB dan terus meningkat hingga malam. Pada malam hari, peningkatan aktivitas harimau translokasi terjadi hingga pukul 22:00 WIB dan meninkat kembali pada waktu subuh hingga awal pagi. Sunquist (1981) menjelaskan bahwa harimau memiliki pola aktivitas musiman yang sepertinya dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, termasuk jadwal waktu aktivitas hewan mangsa dan suhu udara. Lebih jauh dijelaskan juga bahwa manakala tidak ada perbedaan dalam jumlah waktu aktivitas antara jantan dan betina, mungkin dipengaruhi oleh status sosial atau kondisi reproduktif setiap individu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa periode waktu paling aktif harimau jantan adalah pada petang/malam hari, yaitu antara pukul 18:0022:00 WIB (w= 1,19; Lampiran 15). Secara individual ada sedikit perbedaan dimana harimau jantan JD-1 yang ditranslokasikan ke TNBBS memilih waktu paling aktifnya pada petang/malam (pukul 18:00-22:00) dan pagi (pukul 06:00-10:00) hari (Gambar 14).
Hal ini mengindikasikan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan dalam penggunaan waktu aktif harimau (χ2hitung = 91,96; χ2
0,05; 5
= 11,07). Pola waktu aktif harimau JD-1 ini
sepertinya sangat erat kaitannya dengan waktu aktivitas hewan mangsanya, karena di hutan-hutan Sumatera hewan-hewan mangsa utama harimau seperti rusa sambar, kijang dan babi hutan, umumnya mencari pakan pada awal pagi hari dan pada sore hari hingga menjelang malam. Selain itu, dengan berkurangnya waktu aktivitas harimau pada siang hari mengindikasikan bahwa harimau sumatera translokasi juga menghindari panasnya sinar matahari. Penelitian-penelitian sebelumnya baik di Nepal maupun di Sumatera telah membuktikan bahwa pola aktivitas harimau sangat erat kaitannya dengan waktu aktif hewan mangsanya. Hal ini karena harimau akan lebih mudah melakukan perburuan hewan mangsanya pada saat
87
aktivitas hewan mangsa tinggi, yaitu ketika matahari mulai terbenam hingga menjelang tengah malam serta ketika matahari mulai terbit hingga awal pagi hari (Sunquist 1981, Fata 2011, Linkie & Ridout 2011).
Gambar 14. Grafik pola persentase pola aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan dalam 24 jam berdasarkan interval waktu setiap 4 jam. Temuan waktu aktif harimau ini hampir serupa dengan hasil penelitian sebelumnya menggunakan camera-trapping (Fata 2011) yang melaporkan bahwa peningkatan aktivitas harimau sumatera terjadi pada selang waktu menjelang subuh hingga awal pagi, akhir siang menjelang sore, serta senja hingga menjelang tengah malam. Meskipun Sunquist (1981) dan Sunquist (2010) menyatakan bahwa harimau bengal di cenderung nokturnal, namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa ternyata harimau sumatera yang ditraslokasikan tidak sepenuhnya nokturnal, bahkan ada kecenderungan merupakan satwa krepuskular, yakni hanya aktif pada senja menjelang malam hari saja. Temuan ini didukung oleh Perry (1964 diacu dalam Sunquist 1981) yang menyatakan bahwa harimau adalah satwa yang nokturnal dan krepuskular.
88
Perbedaan waktu aktif harimau sumatera translokasi dengan dengan harimau bengal di Nepal, dimana mereka umumnya aktif dan bergerak mulai matahari terbenam hingga menjelang pagi (Sunquist 1981), kemungkinan diakibatkan oleh adanya perbedaan waktu perilaku makan pada hewan-hewan ungulata mangsa harimau di kedua tempat tersebut. Schaller (1967) melaporkan bahwa harimau bengal di India waktu paling aktifnya adalah pada malam hari dan beristirahat mulai pagi menjelang siang hingga menjelang sore, namun kadang-kadang ada juga harimau yang berburu pada siang hari apabila harimau tersebut gagal menangkap hewan mangsa pada malam hari sebelumnya. Sunquist (1981) telah membuktikan bahwa waktu aktif harimau erat kaitannya dengan temperatur udara, dimana harimau bengal di Nepal umumnya beristirahat pada areal dengan tutupan vegetasi rapat di sepanjang aliran sungai pada siang hari di musim panas. Hamilton (1976) melaporkan hal yang sama, dimana macan tutul di Afrika umumnya tidak beraktivitas pada saat suhu udara panas di siang hari. 5.3
Pemilihan Habitat Seleksi habitat merupakan satu proses dimana individu-individu satwa
liar yang secara preferensial memanfaatkan habitat-habitat yang tersedia pada satu lansekap (Morris 2003). Khan & Chivers (2007) menyatakan bahwa ada indikasi bahwa harimau memiliki kesukaan (preferensi) terhadap satu habitat tertentu yang disesuaikan dengan beberapa aktivitasnya. Hasil overlay data posisi dengan peta tutupan vegetasi memperlihatkan bahwa semua harimau yang ditranslokasikan terbukti secara signifikan mempunyai preferensi terhadap tipe habitat tertentu di masing-masing lokasi dimana mereka dilepas-liarkan (Tabel 11). Analisis preferensi dengan metode Neu juga mempertegas bahwa setiap harimau translokasi memilih tipe tutupan vegetasi tertentu sebagai habitat utamanya.
89
Tabel 11. Tipe habitat yang paling disukai oleh harimau translokasi di masing -masing lokasi pelepas-liaran. Harimau
Lokasi
Hasil uji Chi-square
Habitat yang paling disukai (nilai indeks Neu/W) Belukar/hutan sekunder muda (W= 1,18)
JD-1
TNBBS
χ2hitung= 304,04 > χ2 0,05;5= 11,07
JD-2
TNBBS
χ2hitung= 2.840,72 > χ2 0,05;5= 11,07
Belukar/hutan sekunder muda (W= 1,21)
JD-3
TNGL
χ2hitung= 306,96 > χ2 0,05;8= 15,51
Hutan pegunungan rendah (W= 1,41)
JD-5
TNKS
χ2hitung= 3.551,99 > χ2 0,05;9= 16,92
Hutan dataran rendah (W= 1,98)
BD-1
EUM
χ2hitung= 3.234,16 > χ2 0,05;6= 12,59
Belukar/hutan sekunder muda (W= 2,17)
Harimau JD-1 dan JD-2 yang diliarkan di TNBBS serta JD-5 di TNKS, mereka menggunakan tutupan vegetasi belukar/hutan sekunder muda dengan intensitas yang sangat tinggi (93,4%, 96,3% dan 58,6%). Hal ini terjadi karena memang tipe tutupan vegetasi belukar/hutan sekunder muda mendominasi lansekap dimana mereka dilepas-liarkan (79,4% di TNBBS dan 41,6% di TNKS). Tingginya intensitas penggunaan vegetasi belukar/hutan sekunder muda sangat erat kaitannya dengan kesukaan hewan mangsa utama harimau (ungulata/herbivora) mencari makan pada areal-areal tersebut. Namun, harimau-harimau tersebut juga menggunakan hutan dataran rendah sebagai habitat yang juga digunakan dengan intensitas tinggi kedua. Demikian pula dengan harimau JD-3 yang dilepas-liarkan di TNGL, mengkombinasikan penggunaan hutan pegunungan rendah (42,8%) dengan hutan dataran rendah (30,1% ) sebagai habitat utamanya. Hal ini juga terjadi karena kedua tipe tutupan vegetasi tersebut memang mendominasi lansekap dimana JD-3 ditranslokasikan. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa setiap harimau memang memiliki preferensi terhadap tipe habitat tertentu, namun pemilihan ini selalu didasarkan atas tipe habitat alami yang mendominasi kawasan tempat mereka dilepas-liarkan (Gambar 15, 16, 17,18 dan 19). Dinata & Sugardjito (2008) menyatakan bahwa harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya, karena
90
hutan dataran rendah dapat mendukung biomassa hewan-hewan ungulata besar (Santiapillai & Ramono 1993), seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak) yang merupakan hewan mangsa utamanya. Rajapandian (2009) menginformasikan bahwa di kawasan Terai Arc, India, harimau menyenangi habitat-habitat hutan lebat yang kesesuaiannya tinggi dengan hewan mangsa utama mereka. Selain itu, terbukti juga bahwa keberadaan tutupan habitat hutan tetap penting bagi kehidupan harimau. Meskipun Sunquist et al. (1999) menyatakan bahwa secara global harimau menghuni berbagai tipe habitat dan mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan, namun hasil penelitian Sunarto et al. (2012) telah membuktikan bahwa harimau di Sumatera merupakan satwa yang sangat bergantung pada dan lebih menyukai kawasan hutan alam. Menurut mereka, harimau juga menggunakan kawasan perkebunan sawit dan hutan akasia, namun proporsinya sangat kecil dibandingkan dengan luas kawasan yang tersedia. Hasil studi ini di lokasi translokasi TNKS mendukung pernyataan tersebut, dimana meskipun perkebunan sawit menutupi 18,5% lansekap pelepas-liaran di TNKS, harimau JD-5 hanya menggunakan 0,6% frekuensi waktunya di kawasan perkebunan sawit. Selain itu, Maddox et al. (2007) juga berpendapat bahwa harimau sumatera sering menggunakan lahan belukar/hutan sekunder muda di kawasan perkebunan sawit, namun tidak memasuki wilayah interior dari areal yang sudah ditanami pohon sawit. Sunarto (2011) mengemukakan bahwa harimau sumatera umumnya terdeteksi di areal-areal yang memiliki kerapatan vegetasi bawah yang rapat.
91
Gambar 15. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-1) di TNBBS.
Gambar 16. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-2) di TNBBS.
92
Gambar 17. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-3) di TNGL.
Gambar 18. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-5) di TNKS.
93
Gambar 19. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (BD-1) di KHUM. 5.3.1 Penggunaan Habitat pada Siang dan Malam Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan setiap tipe habitat utama pada siang hari dan malam hari oleh masing-masing harimau di lokasi translokasi ada sedikit perbedaan. Harimau jantan JD-1 yang translokasikan ke TNBBS menggunakan habitat belukar/hutan sekunder muda sebesar 93,6% pada siang hari dan 93,3% pada malam hari. Harimau JD-3 di TNGL menghabiskan 62,2% waktu siangnya dan 58,2% waktu malamnya di habitat hutan pegunungan rendah. Sementara itu, harimau JD-5 menggunakan 54,1% waktu siangnya dan 62,3% waktu malamnya di habitat belukar/hutan sekunder muda. Sebaliknya, harimau betina BD-1 menggunakan 56,7% waktu siangnya dan 55,1% waktu malamnya menjelajah habitat semak/hutan sekunder muda (Tabel 12).
94
Tabel 12. Persentase penggunaan habitat/tutupan vegetasi oleh harimau pada siang (S) dan malam (M) hari di masing-masing lokasi translokasi. Tipe habitat/tutupan vegetasi
Persentase frekuensi penggunaan (%) Harimau JD-1 S M
Pearairan
0,0
0,4
Bakau
0,1
0,2
6,4
5,7
Harimau JD-3 S M
Harimau JD-5 S M
Harimau BD-1 S M
0,0
0,0
0,0
0,0
32,2
35,2
43,9
34,2
9,2
8,7
62,2
58,2
1,0
0,7
17,8
17,8
2,0
1,9
0,6
1,1
7,5
9,2
Hutan rawa gambut Hutan dataran rendah Hutan pegunungan rendah Hutan pegunungan tinggi Belukar/hutan sekunder muda Mosaik dataran rendah
93,6
93,3
3,6
4,6
54,1
62,3
56,7
55,1
0,0
0,1
0,0
0,0
0,1
0,7
8,7
8,9
0,0
0,0
0,0
0,0
0,1
0,3
0,0
0,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,3
0,0
Mosaik pegunungan Dataran rendah terbuka Pegunungan terbuka Areal urban Perkebunan skala besar Total (%) N data posisi
0,0
0,0
0,0
1,0
100
100
100
100
100
100
100
100
1.351
1.601
608
673
2.679
3.287
2.949
3.167
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penggunaan habitat pada waktu siang dan malam hari diantara individu harimau (Tabel 13). Tidak adanya perbedaan ini mungkin disebabkan oleh sifat harimau yang cenderung krepuskular, yakni aktif pada waktu peralihan antara terang dan gelap. Selain itu, hal ini mungkin juga terjadi karena harimau merupakan satwa top predator di hutan Sumatera yang tidak memiliki kompetitor, sehingga ada alasan bagi harimau untuk memilih waktu dalam penggunaan habitat utama. Simcharoen et al. (2008) yang mendapati bahwa macan tutul di Thailand menggunakan berbagai tipe habitat dengan proporsi yang berbeda antara siang dan malam. Hal ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh adanya harimau yang hidup simpatrik dengan macan tutul, dimana macan tutul menggunakan satu tipe habitat ketika harimau tidak menggunakan habitat
95
tersebut. Sunquist (1981) menyatakan bahwa macan tutul di TN Chitwan, Nepal, aktif pada malam hari karena pola aktivitasnya mungkin dipengaruhi oleh keberadaan harimau. Begitu juga dengan macan tutul di TN Tsavo, Kenya, yang juga aktif pada malam hari akibat adanya singa yang hidup simpatrik (Hamilton 1976). Tabel 13. Hasil uji Wilcoxon untuk melihat perbedaan penggunaan habitat/tutupan vegetasi oleh harimau pada siang (S) dan malam (M) hari di masing-masing lokasi translokasi. Harimau
Lokasi
Hasil uji Wilcoxon
JD-1
TNBBS
Z= -0,211; P= 0,883
JD-3
TNGL
Z= 0,000; P= 1,000
JD-5
TNKS
Z= -0,315; P= 0,752
BD-1
EUM
Z= -0,135; P= 0,892
5.4
Habitat utama (% penggunaan siang dan malam) Belukar/hutan sekunder muda (siang= 93,6: malam= 93,3) Hutan pegunungan rendah (siang= 62,2: malam= 58,2) Hutan dataran rendah (siang= 54,1: malam= 62,3) Belukar/hutan sekunder muda (siang= 56,7: malam= 55,1)
Model Kesesuaian Habitat
5.4.1 Penentuan Titik Presence dan Pseudo-absence Jumlah total titik posisi koordinat yang berhasil dikumpulkan (titik presence) melalui kalung GPS dari harimau BD-1 yang ditranslokasikan di kawasan hutan Ulu Masen (KHUM) adalah
6.880 titik posisi. Namun,
setelah diseleksi ternyata jumlah posisi harimau yang memiliki akurasi tinggi adalah 6.116 titik. Sebanyak 3.058 titik posisi presence (50% dari jumlah total titik) digunakan untuk membangun model, sedangkan 50% lainnya digunakan untuk validasi model (Gambar 20). Penyusunan model regresi logistik biner membutuhkan titik posisi kehadiran harimau translokasi (presence = 1) dan titik yang diduga tidak dikunjungi harimau (pseudo-absence = 0). Penetapan titik pseudo-absence untuk penyusunan model ataupun validasi model dilakukan secara acak menggunakan grid 30m x30m, luar poligon batas kawasan hutan Ulu Masen dan di luar poligon daerah jelajah harimau studi yang telah diberi buffer. Jumlah titik pseudo-absence yang ditetapkan untuk menyusun model dan
96
validasi model masing-masing 3.058 titik. Menurut Putri (2010) pemberian buffer pada batas kawasan hutan dalam penentuan titik pseudo-absence penting untuk menghindari termasukkannya areal-areal di luar hutan yang juga masih digunakan oleh harimau.
Gambar 20. Peta sebaran titik presence harimau translokasi yang digunakan untuk menyusun model dan validasi model. 5.4.2 Uji Multikolinearitas Dalam analisis regresi, untuk melihat ada atau tidak adanya multikolinearitas salah satunya dapat dilihat melalui nilai Variance Inflation Factor (VIF) setiap variabel bebas yang diuji (Tabel 14). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada dua variabel bebas yang memiliki nilai toleransi < 0,1 dan nilai VIF > 10 yaitu “jarak dari jalan” (TOL=0,052; VIF=19,064) dan “jarak dari pemukiman” (TOL=0,042; VIF=23,807). Hal ini memberikan gambaran adanya multikolinearitas antara variabel bebas tersebut dengan variabel bebas lainnya. Permasalahan
97
multikolinearitas (keterhubungan) antar variabel bebas harus ditanggulangi sebelum analisis data dapat dilanjutkan. Tabel 14. Hasil diagnosa multikolinearitas variabel bebas dengan VIF. Model 1
Collinearity Statistics Tolerance (TOL)
VIF
Ketinggian
0,116
8,587
Jarak dari jalan
0,052
19,064
Jarak dari pemukiman
0,042
23,807
Jarak dari sungai
0,903
1,107
Jarak dari tepi hutan
0,701
1,426
NDVI
0,886
1,129
Kelerengan/slope
0,713
1,402
(Constant)
Multikolinearitas dapat ditanggulangi dengan berbagai cara antara lain penggunaan informasi apriori, analisis komponen utama, analisis faktor, penambahan data serta prosedur mengeluarkan variabel bebas (eliminasi) yang berkolinear ganda. Prosedur penanggulangan multikolinearitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur eliminasi (Ambagau 2010). Berdasarkan prosedur tersebut, maka ada dua variabel bebas yang harus dikeluarkan yaitu “jarak dari jalan” dan “jarak dari pemukiman”. Dengan demikian, hanya lima variabel bebas yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan model kesesuaian habitat harimau translokasi berdasarkan persamaan regresi logistik. Variabel-variabel bebas tersebut adalah ketinggian/elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI serta kelerengan/slope. 5.4.3 Analisis Regresi Logistik Variabel bebas yang digunakan untuk membangun model regresi logistik adalah lima variabel bebas yang tidak memiliki kolinearitas ganda berdasarkan nilai tolerasi dan nilai VIF yaitu ketinggian, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, serta kelerengan. Hasil analisis regresi logistik
98
biner dengan metode Enter pada SPSS 17 dengan taraf kepercayaan 95% disajikan pada Tabel 15. Pada Tabel 15 ditunjukkan bahwa kelima variabel bebas yang dianalisis seluruhnya memiliki taraf nyata secara statistik (Sig < 0,05). Berdasarkan perhitungan tersebut dapat dilihat nilai-nilai sebagai berikut: Konstanta
= -1,149
Konstanta variabel ketinggian (elv)
= -1,563
Konstanta variabel jarak sungai (jsg)
= -0,205
Konstanta variabel jarak tepi hutan (jth) = -1,021 Konstanta variabel NDVI (ndvi)
= 3,724
Konstanta variabel slope (slp)
= 0,062
Dengan demikian persamaan regresi logistik kesesuaian habitat harimau translokasi yang terbentuk adalah sebagai berikut: Z = -1,149 - (1,563*elv)-(0,205*jsg)-(1,021*jth)+(3,724*ndv)+(0,062*slp) Tabel 15. Hasil analisis regresi logistik biner dengan metode Enter terhadap variabel bebas. B
Step 1(a)
Ketinggian Sungai Edge/tepi NDVI Slope Constant
-1,563 -,205 -1,021 3,724 ,062 -1,149
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
0,064 0,010 0,178 0,277 0,004 0,171
595,028 435,361 32,947 181,124 285,582 45,010
1 1 1 1 1 1
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
,210 ,815 ,360 41,437 1,064 ,317
Selanjutnya, melalui persamaan yang terbentuk dapat diprediksi kehadiran (presence) harimau sumatera translokasi pada wilayah studi sebagai berikut: 1
P= 1 + e-(-1,149 - (1,563*elv)-(0,205*jsg)-(1,021*jth)+(3,724*ndv)+(0,062*slp)) Keterangan: P= probabilitas; e adalah bilangan alam = 2,7182818
99
Secara umum hasil analisis yang disajikan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa variabel ketinggian, jarak dari sungai dan jarak dari tepi hutan memberikan pengaruh yang negatif terhadap model regresi yang terbentuk. Semakin tinggi, semakin jauh dari sungai serta semakin jauh satu areal dari tepi hutan, maka semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Sementara, variabel NDVI dan kelerengan memberikan pengaruh positif terhadap model, yang menunjukkan bahwa semakin rapat satu vegetasi (semakin berhutan) dan semakin curam satu areal maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Melalui nilai koefisien regresinya, dapat ditentukan bahwa NDVI merupakan variabel lingkungan yang paling berpengaruh pada model, sedangkan kelerengan/slope merupakan variabel yang memberi pengaruh paling kecil terhadap model yang disusun. Areal studi di hutan Blangraweu, Ulu Masen, merupakan kawasan daratan rendah yang berpadu dengan perbukitan hingga pegunungan dengan variasi ketinggian mulai 0 meter sampai 2.771 meter dpl (Lampiran 16). Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi ketinggian tempat atau elevasi adalah sebesar -1,563. Ini berarti semakin tinggi satu lokasi maka semakin kecil kemungkinannya bagi kehadiran harimau. Pemodelan yang dilakukan Wibisono et al. (2011) menunjukkan bahwa harimau sumatera umumnya ditemukan pada kawasan dataran rendah. Ketinggian merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah pegunungan (Jin et al. 2008). Adanya perbedaan ketinggian menyebabkan terjadinya variasi iklim yang berpengaruh pada keragaman jenis tumbuhan. Kawasan hutan dataran rendah memiliki keragaman tumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran tinggi. Keragaman jenis tumbuhan pada satu kawasan berpengaruh terhadap keragaman jenis satwa yang ada di dalamnya. Satwa mangsa utama harimau merupakan herbivora yang memerlukan tumbuhan sebagai sumber pakan.
100
Dalam hasil penelitiannya, Putri (2010) menyatakan bahwa ketinggian tempat bukan merupakan faktor pembatas bagi harimau sumatera untuk memilih habitatnya. Namun
Santiapillai & Ramono (1993) menjelaskan
bahwa harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya karena hutan ini dapat mendukung biomassa hewanhewan ungulata besar seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak), yang merupakan hewan mangsa utama harimau sumatera (Dinata & Sugardjito 2008). Menurut Griffiths (1994), keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 meter dpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 900-1.700 meter dpl. Air dipergunakan satwaliar untuk minum dan berkubang (Alikodra 1990). Tersedianya sumber air juga merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup harimau (Sunquist & Sunquist 1989). Analisis euclidean distance menunjukkan bahwa jarak kehadiran harimau translokasi dari sungai bervariasi antara 0 – 16.364 meter (Lampiran 17). Koefisien regresi jarak dari sungai sebesar -0,205 (Tabel 15), berarti bahwa semakin jauh jarak suatu tempat dari sungai maka semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Hasil ini sesuai dengan yang ditemukan Imam et al. (2009) dan Putri (2010) yang menyatakan bahwa semakin dekat satu areal dengan sumber air maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Dinata & Sugardjito (2008) juga menyatakan hal yang sama bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kesesuaian habitat harimau sumatera dengan jarak ke sungai. Menurut mereka harimau sumatera di TNKS menyukai areal-areal yang dekat alur sungai. Daerah dekat sungai merupakan daerah yang paling banyak dimanfaatkan oleh satwa liar termasuk hewan ungulata yang menjadi mangsa utama harimau, karena kebutuhan terhadap air dan daerah dekat sungai juga merupakan daerah aluvial yang kaya akan nutrisi. Strategi predator selalu mencari tempat-tempat hewan mangsa berkumpul agar mudah melakukan penyergapan. Hewan mangsa biasanya berkumpul pada tempat-tempat sumber pakan yang melimpah, dimana daerah
101
pinggiran alur sungai merupakan lahan yang sangat subur untuk jenis jenis vegetasi yang merupakan sumber pakan hewan mangsa. Harimau lebih memilih kawasan yang dekat dengan sungai agar lebih mudah melakukan penyergapan terhadap hewan mangsa. Tempat-tempat di sekitar alur sungai mempunyai tutupan vegetasi yang rapat, sehingga sangat menguntungkan harimau yang memburu mangsanya dengan cara serangan mendadak atau penyergapan. Areal-areal tepi hutan (edge) merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting pada daerah jelajah harimau sumatera. Daerah peralihan antara vegetasi hutan dengan areal tebuka (ekoton) merupakan tempat yang disukai berbagai jenis satwa ungulata untuk mencari pakan. Jarak antara kehadiran harimau sumatera translokasi terhadap batas hutan terdekat bervariasi antara 0 – 1.600 meter (Lampiran 18). Variabel jarak dari tepi hutan pada model regresi logistik yang tersusun menunjukkan korelasi negatif yaitu sebesar 1,021 (Tabel 15). Hal ini artinya bahwa semakin jauh jarak suatu areal dari tepi hutan maka areal tersebut semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Keberadaan harimau translokasi pada areal-areal tepi hutan sangat erat kaitannya dengan upaya perburuan hewan mangsa. Nahlik et al (2009) melaporkan bahwa rusa merah (Cervus elaphus) menggunakan areal terbuka di dalam daerah jelajahnya sebagai tempat mencari pakan, sementara hutan dijadikannya sebagai tempat berlindung dari pemangsaan predator dan gangguan manusia. Pada saat yang sama hutan juga memberikan perlindungan bagi rusa dari panas pada siang hari. Beberapa studi juga melaporkan bahwa tempat-tempat yang dipilih oleh hewan ungulata, yang merupakan mangsa harimau, adalah areal-areal terbuka dan tepi-tepi hutan. Sementara vegetasi hutan berfungsi sebagai cover untuk perlindungan (Williamson & Hirth 1985, Tufto et al. 1996 diacu dalam Masse & Cote 2009). Sementara itu, Masse & Cote (2009) menyatakan bahwa rusa mencari pakan di areal-areal tepi hutan pada kawasan dimana terdapat satwa predator, sedangkan pada kawasan dimana tidak terdapat predator rusa dapat mencari
102
pakan ke tengah areal terbuka jika areal tersebut menyediakan sumber pakan bagi mereka. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NDVI pada lokasi studi di kawasan hutan Blangraweu, Ulu Masen, berkisar antara -0,467 hingga 0,802 (Lampiran 19). NDVI berkaitan dengan derajat kehijauan dan kandungan biomasa relatif suatu vegetasi. Hal ini memberikan gambaran bahwa lokasi studi mayoritas merupakan kawasan berhutan lebat yang terdapat di dalam KHUM dengan sebagian kecil areal-areal terbuka (perladangan dan pemukiman) di luar batas kawasan.
Hasil penelitian Syartinilia & Tsuyuki
(2008) menunjukkan bahwa vegetasi berhutan memiliki nilai NDVI antara 0,1 – 0,7. Sementara, NDVI yang mendekati nilai 0 umumnya berhubungan dengan tutupan awan dan nilai NDVI yang kurang dari 0 umumnya merupakan badan air atau areal tanpa vegetasi (Justice et al. 1985 diacu dalam Roger et al. 2007). Koefisien regresi NDVI sebesar 3,724 (Tabel 15) memberikan korelasi positif terhadap
model regresi yang disusun. Artinya semakin tinggi
kandungan biomassa relatif atau semakin tinggi derajat kehijauan suatu vegetasi (berhutan), maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa NDVI berkorelasi positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau (Caroll & Larson 2008, Imam et al. 2009, Singh et al. 2009). Harimau memerlukan vegetasi dengan tajuk yang rapat sebagai tempat berlindung dari panas matahari, beristirahat dan sebagai tempat untuk bersembunyi ketika mengintai mangsanya. Variasi tingkat kelerengan atau slope pada area studi berkisar antara 0% (datar) hingga 79,4% (sangat curam) (Lampiran 20). Analisis regresi logistik biner menunjukkan bahwa tingkat kehadiran harimau sumatera translokasi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya nilai kelerengan. Namun dengan nilai koefisien regresi 0,062 (Tabel 15) dapat diterangkan bahwa variabel kelerengan pengaruhnya sangat kecil terhadap model regresi logistik yang dibangun. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa hasil
103
studi terdahulu yang menyatakan bahwa kelerengan atau slope
tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau, baik di Sumatera maupun di India (Endri 2006, Imam 2009, Singh et al. 2009). Berbeda dengan hasil penelitian Putri (2010) di TN Bukit Tigapuluh, yang menemukan bahwa habitat harimau semakin tidak sesuai dengan semakin meningkatnya nilai kelerengan suatu areal. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh metode pengumpulan data. Kehadiran harimau sumatera pada penelitian Putri (2010) ditetapkan melalui data sekunder, seperti posisi penempatan camera trapping yang merekam gambar harimau, tanda kotoran, serta tanda cakaran harimau. Penentuan lokasi kehadiran harimau dengan cara ini sangat mengandung bias, karena mungkin saja data-data kehadiran harimau tersebut hanya mewakili areal-areal bertopografi datar atau landai saja. Sementara itu, areal-areal bertopografi curam dan sangat curam yang sangat sulit dijangkau tidak terwakili. Data kehadiran harimau sumatera pada penelitian ini ditentukan berdasarkan data primer yang langsung diambil dari harimau hidup melalui kalung GPS, sehingga memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih tinggi. Namun, memang data kehadiran harimau pada penelitian ini dikumpulkan dari harimau sumatera yang ditranslokasikan ke kawasan yang didominasi dengan topografi curam dan sangat curam, sehingga tidak dapat mewakili harimau sumatera secara keseluruhan. Seidensticker et al. (1999) menyatakan bahwa harimau cenderung lebih menyukai areal dengan topografi datar dan bergelombang. 5.4.4
Model Spasial Kesesuaian Habitat Peta-peta tematik masing-masing variabel bebas penyusun model
regresi logistik (ketinggian, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI dan peta slope) disajikan pada Lampiran 16, 17, 18, 19, dan 20. Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi pada wilayah studi, yang dihasilkan dari penerapan model regresi logistik yang terbentuk, melalui raster calculator pada ArcGIS 9.3, dapat dilihat pada Gambar 21.
104
Gambar 21. Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi pada areal studi. Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa luas keseluruhan areal yang dijadikan wilayah studi di Ulu Masen adalah 1.278,05 km2. Berdasarkan model yang terbangun, maka diketahui luas areal yang termasuk kelas “kurang sesuai” adalah 112,9 km2 (8,84%), kelas “sesuai” seluas 566,39 km2 (44,32%) dan kelas “sangat sesuai” sebagai habitat harimau sumatera luasnya 598,76 km2 (46,85%). Pada peta yang terbentuk juga dapat dilihat bahwa sebetulnya areal “kurang sesuai” seharusnya lebih kecil dari yang terinterpretasikan, karena “awan” pada citra terbaca sebagai areal yang “kurang sesuai”. Areal yang kurang sesuai bagi habitat harimau umumnya merupakan pemukiman masyarakat. Areal yang terinterpretasi sebagai areal yang sesuai bagi habitat harimau, sebagian berada di dalam kawasan hutan Ulu Masen dan sebagian lainnya berada di hutan dan semak belukar di luar batas kawasan hutan Ulu Masen. Sementara itu, areal yang sangat sesuai
105
sebagai habitat harimau sumatera, hampir seluruhnya berada di dalam kawasan hutan Ulu Masen. 5.4.5 Uji Kelayakan Model Regresi Logistik Uji kelayakan model regresi logistik dengan menggunakan uji HosmerLemeshow menunjukkan bahwa model dinyatakan layak dengan signifikansi sebesar 0,233
(> 0,05). Nilai Nagelkerke R2 sebesar 0,302
merupakan
gambaran bahwa 30,2% variabel-variabel bebas dalam model menjelaskan varian kesesuaian habitat harimau sumatera yang ditranslokasikan (Lampiran 21). Sisanya yaitu sebesar 69,8% dari model dijelaskan oleh faktor-faktor atau variabel lain yang tidak masuk di dalam model yang terbentuk. Faktor-faktor lingkungan lainnya yang mungkin berpengaruh terhadap kesesuaian habitat harimau, namun tidak disertakan dalam penyusunan model regresi logistik ini antara lain kelimpahan hewan mangsa utama, tingkat gangguan manusia terhadap kawasan, serta struktur lansekap. Sunquist (2010) menyatakan bahwa mayoritas waktu aktivitas harimau digunakan untuk mencari pakan. Rajapandian (2009) dalam pemodelannya mendapati bahwa terdapat hubungan yang erat antara kelimpahan hewan mangsa dengan kehadiran harimau pada satu areal. Rajapandian (2009) dan Wibisono et al. (2011) melaporkan bahwa selain areal-areal yang berdekatan dengan patches hutan, areal-areal dengan gangguan perambahan yang minimal merupakan habitat yang palin disukai harimau baik di lansekap Terai Arc maupun di Sumatera. 5.4.6 Validasi Model Hasil validasi model menunjukkan nilai kappa akurasi sebesar 46,6%. Nilai ini menggambarkan bahwa tingkat keakuratan model kurang baik. Menurut Landis & Koch (1977), model yang baik atau akurat adalah model yang memiliki nilai kappa akurasi antara 60 – 80% karena merupakan nilai dengan akurasi tinggi (memuaskan). Uji validasi model juga menunjukkan bahwa terdapat kesalahan model dalam memprediksi suatu lokasi sebagai habitat yang kurang sesuai dimana
106
sebenarnya harimau kemungkinan dapat ditemukan pada lokasi tersebut (omission error) sebesar 53,5%. Kesalahan ini terjadi ketika menentukan titik pseudo-absence harimau dimana areal-areal yang sebenarnya masih merupakan habitat harimau dijadikan areal pengacakan untuk menentukan titik-titik pesudo-absence. Sepertinya menduga kesesuaian habitat harimau dengan menggunakan pendekatan titik ternyata kurang tepat, karena harimau merupakan satwa yang mempunyai daerah jelajah luas dan dapat ditemukan pada berbagai habitat dengan kondisi yang sangat beragam. Akibatnya menjadi sulit untuk menentukan titik pseudo-absence
yang dapat
merepresentasikan habitat kurang sesuai bagi harimau. Kesalahan lain adalah kesalahan model dalam memprediksi satu lokasi sebagai habitat yang sesuai namun sebenarnya tidak pernah dilaporkan adanya harimau sumatera pada lokasi tersebut (commission error) sebesar 38,7% (Lampiran 22). Namun, validasi yang dilakukan terhadap hasil ekstrapolasi model menggunakan 50% data titik presence harimau diketahui bahwa tingkat validitasnya 98,0%. 5.4.7 Ekstrapolasi Model Tingkat keakuratan model berdasarkan kappa akurasi menunjukkan bahwa model dapat diterapkan di tempat lain. Kawasan hutan Ulu Masen (KHUM) sebagai satu kesatuan ekosistem dengan wilayah studi, dapat dianggap memiliki kondisi yang menyerupai dengan kondisi wilayah studi. Dengan demikian, model dapat diterapkan atau diekstrapolasikan pada seluruh KHUM (Gambar 22). Berdasarkan poligon peta batas kawasan, hutan Ulu Masen memiliki luas 7.496,86 km2. Berdasarkan hasil ekstrapolasi, teridentifikasi kawasan yang kurang sesuai bagi habitat harimau translokasi seluas 376,89 km2 (5,0% luas kawasan),
yang termasuk dalam katagori sesuai luasnya 5.360,55 km2
(71,5% luas kawasan), dan luas areal yang termasuk katagori sangat sesuai bagi habitat harimau adalah 1.759,42 km2 (23,5% luas kawasan).
107
5.4.8 Model Kesesuaian Habitat dalam Perspektif Ekologi Hasil analisis dengan SPSS 17 menunjukkan bahwa dari tujuh variabel yang diamati, hanya lima variabel saja yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk menyusun model kesesuaian habitat harimau translokasi di kawasan hutan Ulu Masen (KHUM). Variabel-variabel bebas tersebut antara lain ketinggian/elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, dan kelerengan. Kelima variabel bebas signifikan memberi pengaruh nyata terhadap kesesuaian habitat harimau translokasi (sig. < 0,05). Hasil ini ternyata sesuai dengan hasil kajian Putri (2010) di TN Bukit Tigapuluh, yang menyatakan
bahwa
faktor-faktor
fisik
kawasan
seperti
ketinggian,
kelerengan, jarak dari sungai serta tutupan vegetasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesesuaian habitat bagi harimau sumatera. Namun pada penelitiannya, Putri (2010) tidak menyertakan faktor jarak dari tepi hutan (edge). Dalam penelitian ini, jarak dari tepi hutan (edge) termasuk kedalam salah satu faktor yang memberi pengaruh signifikan terhadap model kesesuaian habitat. Wibisono et al (2011) menyatakan dalam pemodelannya bahwa harimau di Sumatera paling banyak ditemukan pada areal-areal yang berbatasan dengan patches hutan. Wilayah-wilayah batas antara daerah terbuka dengan hutan merupakan areal yang disukai oleh banyak hewan ungulata sebagai tempat mencari makan. Williamson & Hirth (1985) menyatakan bahwa tempat-tempat yang dipilih oleh hewan ungulata (yang merupakan mangsa harimau) adalah areal-areal terbuka dan tepi-tepi hutan (edge). Areal-areal bervegetasi hutan bagi ungulata berfungsi sebagai cover untuk perlindungan baik dari predator maupun dari panas matahari. Secara alamiah areal-areal terbuka yang berbatasan dengan hutan banyak ditumbuhi vegetasi tingkat bawah yang menjadi pakan hewan ungulata. Selain itu, daerah-daerah seperti ini juga merupakan kawasan yang ideal bagi harimau untuk mengintai dan menyergap hewan mangsanya.
108
Gambar 22. Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi hasil ekstrapolasi pada seluruh kawasan hutan Ulu Masen, Aceh. Box (1976 diacu dalam ver Hoef et al. 2001) menyatakan bahwa semua model ekologi yang dibangun tidak mungkin ada yang benar-benar tepat karena semua model mengandung kesalahan. Sebuah model, baik yang dibangun oleh sedikit maupun banyak variabel, semuanya tetap mengandung kesalahan. Semakin kompleks suatu model (semakin besar data observasi dan data simulasi yang dibutuhkan), maka model tersebut akan semakin kurang akurat atau semakin tidak pasti (Constanza & Sklar 1985 diacu dalam Sklar & Hunsaker 2001). Model dengan kompleksitas yang rendah (yang disusun dengan sedikit variabel), dapat mencapai akurasi yang lebih tinggi karena dapat menerangkan banyak hal dari sesuatu yang sedikit. Efektivitas sebuah model yang sesungguhnya adalah seberapa banyak model dapat mencoba menjelaskan (kompleksitas) dan seberapa baik model dapat menjelaskan apa yang diamati (Sklar & Hunsaker 2001).
109
Model kesesuaian habitat yang terbentuk menunjukkan bahwa harimau sumatera translokasi di kawasan Ulu Masen dipengaruhi secara nyata oleh lima varabel lingkungan, yaitu ketinggian/elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, dan kelerengan. Sementara itu, Bailey (1984) dan Alikodra (1990) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan satwa pada suatu habitat tertentu merupakan kombinasi antara komponen fisik dan biotik. Demikian pula halnya dengan harimau sumatera yang merupakan satwa karnivora dan bersifat soliter, keberadaanya pada satu habitat juga ditentukan oleh adanya interaksi yang kompleks antar berbagai komponen fisik dan biotik. Ada beberapa komponen habitat atau faktor pembatas lain yang diduga kuat sangat mempengaruhi keberadaan harimau translokasi pada satu habitat, namun tidak diikutkan dalam model yang terbentuk
karena
keterbatasan
data
pendukung
dan
sumberdaya.
Faktor/variabel tersebut antara lain ketersediaan hewan mangsa utama (rusa, kijang dan babi hutan), keberadaan harimau lokal yang lebih dahulu menghuni kawasan, dan faktor gangguan atau kehadiran manusia pada kawasan yang menjadi habitat harimau. Sebagai satwa karnivora dan top predator, harimau sumatera membutuhkan sekitar 5-6 kg daging setiap harinya (Sunquist 1981). Seekor harimau dapat membunuh kijang seberat 20 kg setiap tiga hari atau satu ekor rusa seberat 200 kg setiap beberapa minggu (Sunquist et al. 1999). Meskipun kadang-kadang harimau ditemukan berburu hewan mangsa yang berukuran lebih kecil, seperti kancil/napu, beruk, landak, trenggiling dan burung kuwau (Soehartono et al. 2007), namun ada kecenderungan bahwa ada preferensi terhadap hewan mangsa bertubuh besar (Bachi el al. 2003). Dengan demikian, diduga kuat bahwa kehadiran harimau pada satu kawasan hutan dipengaruhi oleh ketersediaan hewan mangsa di tempat tersebut. Pemodelan yang dihasilkan Rajapandian (2009) menunjukkan bahwa ketersediaan satwa ungulata (rusa dan kijang) berpengaruh positif terhadap distribusi harimau. Harimau merupakan satwa yang bersifat soliter, penyendiri, dan berperilaku teritorial meskipun daerah jelajahnya tidak eksklusif. Interaksi
110
sosial hanya terjadi antara harimau betina dewasa dengan anak-anaknya. Harimau jantan tidak toleran akan kehadiran harimau jantan lain di wilayah teritorialnya.
Dengan adanya sifat-sifat tersebut, dapat dipastikan bahwa
kehadiran harimau lain yang ditranslokasikan akan berdampak besar terhadap struktur demografi harimau yang telah ada di wilayah tersebut. Dua skenario dapat terjadi. Harimau lokal akan meninggalkan wilayah jelajahnya bila kalah dalam persaingan, atau harimau translokasi akan tersingkir dan hanya menjadi individu pelintas (floater/transient) jika tidak mampu bersaing dengan harimau lokal yang lebih dahulu mendiami wilayah tersebut. Oleh karenanya, faktor keberadaan/kelimpahan harimau lokal di lokasi translokasi menjadi salah satu variabel penting yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan model kesesuaian habitat harimau translokasi. Dengan sifat naturalnya yang pesembunyi (secretive) dan menghindari interaksi dengan manusia, membuat harimau sumatera menjadi sangat sensitif akan kehadiran manusia pada habitatnya. Berbagai aktivitas yang semakin tidak terkendali yang dilakukan manusia di dalam kawasan hutan (merambah hutan, menebang kayu, berburu hewan mangsa harimau, mencari gaharu,
mencari madu, memanen rotan atau mengumpulkan hasil hutan
bukan kayu lainnya), secara langsung atau tidak langsung dapat menurunkan kepadatan harimau di wilayah tersebut. Dengan demikian, faktor intensitas gangguan manusia di dalam hutan yang menjadi habitat harimau juga seharusnya menjadi variabel penting untuk diikut-sertakan dalam penyusunan suatu model kesesuaian habitat. Hasil pemodelan di lansekap Terai Arc, India, yang dilakukan Rajapandian (2009) menunjukkan bahwa keberadaan lahanlahan pertanian dan kehadiran manusia di habitat harimau memberikan pengaruh negatif terhadap persebaran harimau. 5.5
Penentuan Lokasi Translokasi Data kelimpahan relatif (KR) harimau lokal dan hewan mangsa hasil
survey transek sign di seluruh kawasan hutan Ulu Masen, disajikan pada
111
Lampiran 23. Peta-peta prediksi kelimpahan relatif harimau lokal dan hewan mangsa hasil analisis spasial disajikan pada Lampiran 24 dan Lampiran 25. Setelah dilakukan intersect antara peta predisksi kesesuaian lokasi translokasi berdasarkan keberadaan harimau lokal dan hewan mangsa, maka didapat satu peta perkiraan kesesuaian lokasi translokasi di kawasan hutan Ulu Masen (KHUM), yang didasarkan pada KR harimau dan hewan mangsa utama (Gambar 23). Dari hasil analsis spasial tersebut diketahui bahwa di kawasan EUM terdapat areal yang memiliki kriteria “kesesuaian tinggi” untuk lokasi translokasi berdasarkan kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa seluas 2.632,43 km2 (35,1% dari luas kawasan). Luas areal dengan kriteria “kesesuaian sedang” 3.068,85 km2 (40,9%) dan areal dengan kriteria “kesesuaian rendah” seluas 640,21 km2 (8,5%). Sebanyak 15% kawasan EUM lainnya tidak diketahui karena tidak terdapat data (tidak tersurvey).
Gambar 23. Peta prediksi kesesuaian lokasi translokasi berdasarkan ketersediaan hewan mangsa dan keberadaan harimau lokal di kawasan hutan Ulu Masen.
112
Overlay antara peta kesesuaian habitat harimau translokasi hasil ekstrapolasi dengan peta prediksi kesesuain lokasi translokasi berdasarkan keberadaan harimau lokal dan ketersediaan hewan mangsa di kawasan Ulu Masen, menghasikan satu peta lokasi yang sesuai bagi translokasi harimau di kawasan hutan Ulu Masen (Gambar 24). Tumpang-susun hanya dilakukan antara peta kesesuaian habitat harimau dengan peta areal kesesuaian tinggi pada harimau lokal dan hewan mangsa, yaitu areal dengan kelimpahan harimau lokal rendah namun memiliki kelimpahan hewan mangsa utama (rusa, kijang dan babi hutan) tinggi.
Gambar 24. Peta prediksi lokasi yang sesuai bagi translokasi harimau di kawasan hutan Ulu Masen. Hasil analisis spasial yang tersaji pada Gambar 24 diketahui bahwa terdapat areal seluas 388,1 km2 (5,2% dari luas total KHUM) yang diduga sangat cocok untuk dijadikan lokasi translokasi harimau. Areal ini merupakan areal dimana memiliki kelimpahan harimau rendah, kelimpahan hewan
113
mangsa tinggi, serta sangat sesuai sebagai habitat harimau. Areal ini dapat dijadikan areal dengan prioritas pertama jika suatu saat diperlukan areal untuk pelepas-liaran harimau di masa yang akan datang. Selanjutnya, di KHUM juga terdapat areal-areal dimana kelimpahan harimau lokal rendah, kelimpahan mangsa tinggi, dan sesuai sebagai habitat harimau berdasarkan interpretasi spasial. Areal-areal dengan kriteria ini luasnya mencapai 2.135,67 km2 (28,5% dari luas total KHUM). Areal-areal ini dapat dijadikan prioritas kedua bagi lokasi translokasi harimau di masa yang akan datang. 5.6
Implikasi Konservasi dan Manajemen Penelitian ini merupakan penelitian ekologi perilaku harimau pertama
di Indonesia yang memanfaatkan teknologi kalung GPS (Global Positioning System) pada satwa, sehingga informasi yang dihasilkan merupakan sesuatu yang berharga serta menjawab beberapa hal yang selama ini menjadi prediksi atau dugaan tentang perilaku harimau sumatera. Meski informasi dasar dihasilkan dari harimau sumatera yang ditranslokasikan, sehingga pada beberapa hal seperti pendugaan luas daerah jelajah mengandung bias, namun dalam beberapa hal lain menjadi pengetahuan baru yang amat berharga. Dalam kajian trajektori dan pergerakan diketahui bahwa semua harimau yang diamati umumnya selalu melakukan pergerakan di antara batas dua tipe tutupan lahan/habitat yang berbeda, khususnya perbatasan (tepi hutan) antara hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda. Perburuan hewan mangsa sebagian besar dilakukan harimau pada vegetasi belukar/hutan sekunder muda yang berbatasan langsung dengan hutan dataran rendah. Selain itu,
dari data perjalanannya diketahui bahwa
meskipun harimau sumatera ditranslokasikan ke kawasan dengan tutupan vegetasi apa pun. Namun semua harimau cenderung untuk mencari dan penjelajahannya mengarah pada kawasan dengan mosaik tutupan vegetasi hutan dataran rendah dan belukar/hutan sekunder muda. Dengan demikian, kawasan yang didominasi oleh hutan dataran rendah dan vegetasi belukar/hutan sekunder muda merupakan lansekap yang sangat penting bagi
114
kelangsungan hidup harimau sumatera. Sehingga, harus segera dilakukan upaya untuk mengurangi tekanan atau konversi terhadap hutan dataran rendah yang tersisa, serta upaya untuk mencegah perburuan hewan yang menjadi mangsa harimau pada habitat belukar/hutan sekunder muda yang berbatasan langsung dengan hutan dataran rendah di Sumatera. Hal ini penting untuk menjaga kelangsungan hidup harimau sumatera, serta untuk mencegah dan mengurangi konflik antara manusia dengan harimau di Sumatera. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa kepadatan atau kelimpahan harimau lokal, yaitu harimau yang liar yang sudah lebih dahulu mendiami areal translokasi, mempengaruhi lamanya waktu harimau translokasi untuk membangun daerah jelajah tetapnya. Selain itu, diketahui juga bahwa tidak semua harimau yang ditranslokasikan menggunakan areal pelepas-liarannya sebagai
bagian
dari
daerah
jelajahnya.
Harimau-harimau
yang
ditranslokasikan juga umumnya menghindari wilayah-wilayah hutan dengan topografi curam dan sangat curam. Dengan demikian, perlu kajian yang komprehensif sebelum menetapkan satu kawasan sebagai lokasi translokasi. Kajian tersebut harus meliputi ketersediaan lansekap mosaik hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, ketersediaan sumber pakan berupa hewan mangsa utama yang cukup, serta keberadaan serta struktur demografi harimau lokal di calon lokasi pelepas-liaran. Mengingat beberapa harimau sumatera yang ditranslokasikan terbunuh akibat jerat (baik yang dipasang masyarakat untuk menjaga ladang dari hama babi hutan atau yang sengaja dipasang pemburu), maka sangat penting untuk memastikan bahwa calon lokasi translokasi juga terbebas dari gangguan manusia yang dapat membahayakan harimau. Sebagai tambahan, kajian sosial tentang penerimaan masyarakat yang tinggal berdampingan dengan calon lokasi translokasi juga sangat diperlukan sebelum translokasi harimau dilakukan. Dengan
adanya
kecenderungan
bahwa
semua
harimau
yang
ditranslokasikan akan kembali mencari dan mengarah pada lansekap campuran antara hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan
115
sekunder muda, maka translokasi harimau ke lokasi-lokasi terpencil di daerah pegunungan yang berbiaya sangat mahal tidak perlu dilakukan karena hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan. Dengan dihasilkannya model spasial kesesuaian habitat (meskipun model yang digunakan belum tepat), serta teridentifikasinya beberapa areal yang dapat dijadikan sebagai lokasi translokasi harimau di kawasan hutan Ulu Masen, paling tidak hasil ini dapat dijadikan panduan bagi pihak berwenang apabila akan melaksanakan kegiatan translokasi harimau sumatera di wilayah Sumatera bagian utara pada masa yang akan datang.
116
117
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Rata-rata jarak jelajah harian harimau sumatera translokasi bervariasi antara 2,8 km-4,0 km. Jarak pergerakan ini ada kaitannya dengan kondisi topografi medan dan tipe tutupan vegetasi yang mendominasi wilayah jelajahnya. Pola pergerakan dan penjelajahannya tidak dilakukan secara acak, namun umumnya mengikuti batas (edge) antara dua tipe tutupan lahan, terutama pada batas antara hutan dataran rendah dan belukar (hutan sekunder muda). Waktu yang paling disukai untuk melakukan aktivitas pergerakan dan perburuan hewan mangsa adalah pada petang hingga menjelang tengah malam (antara pukul 18.00 sampai dengan 22.00 WIB). Terdapat variasi baik pada bentuk maupun ukuran daerah jelajah harimau sumatera yang ditranslokasikan. Luas daerah jelajah jantan berkisar antara 37,5 km2 – 188,1 km2 sedangkan luas daerah jelajah betina 376,8 km2. Ukuran daerah jelajah ini dibangun berdasarkan ketersediaan hewan mangsa utama di lokasi pelepas-liaran. Karakteristik areal yang disukai harimau sumatera translokasi adalah batas-batas hutan, yang berada pada ketinggian elevasi dibawah 1.000 meter dpl serta bertopografi datar hingga landai, yang terdapat di dalam wilayah jelajahnya. Harimau translokasi membutuhkan waktu antara 8-17 minggu untuk membangun daerah jelajah tetapnya. Keberadaan harimau lokal yang sudah lebih dahulu mendiami kawasan pelepas-liaran, terbukti berpengaruh terhadap lamanya waktu dalam penetapan daerah jelajah mereka. Walaupun tidak terbukti secara signifikan, ada kecenderungan bahwa umur harimau ketika dilepas-liarkan serta kelimpahan hewan mangsa di areal pelepas-liaran turut mempengaruhi lamanya waktu penetapan daerah jelajah. Selain itu, perbedaan karakteristik daerah jelajah harimau di tempat asal dengan karakteristik di areal translokasi, mungkin juga turut berpengaruh pada lamamnya waktu penetapan daerah jelajah tersebut.
118
Meski ada kecenderungan bahwa harimau translokasi memilih tipe vegetasi alami dominan (mayoritas) yang tersedia pada lansekap sebagai habitat utamanya, namun mosaik hutan dataran rendah dan vegetasi belukar (hutan sekunder muda) merupakan tipe vegetasi yang paling disukainya. Harimau sumatera translokasi menggunakan habitat utama dengan proporsi yang sama baik pada siang maupun malam hari. Di kawasan hutan Ulu Masen, kehadiran harimau translokasi pada satu areal secara signifikan ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, antara lain ketinggian tempat/elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI serta kelerengan. Model regresi logistik yang tersusun bagi kesesuaian habitat harimau translokasi di kawasan hutan Ulu Masen adalah sebagai berikut: Z = -1,149 - (1,563*elv)-(0,205*jsg)-(1,021*jth)+(3,724*ndv)+(0,062*slp) Peluang kehadiran (presence) harimau sumatera translokasi pada wilayah studi di kawasan hutan Ulu Masen adalah: 1 P= 1 + e-(-1,149 - (1,563*elv)-(0,205*jsg)-(1,021*jth)+(3,724*ndv)+(0,062*slp)) Dimana, P= probabilitas; e adalah bilangan alam = 2,7182818 Berdasarkan model kesesuaian habitat, 95% kawasan hutan Ulu Masen (sekitar 7.500 km2) memiliki kriteria sesuai dan sangat sesuai sebagai habitat harimau sumatera. Model regresi logistik yang dibangun berdasarkan pendekatan titik kehadiran (presence), ternyata hasilnya kurang memuaskan atau kurang layak (validitas 46,6%). Model tersebut tersusun atas variabelvariabel lingkungan yang hanya dapat menjelaskan kesesuaian habitat harimau sebesar 30,2%. Kriteria lokasi yang baik bagi translokasi harimau sumatera adalah suatu lansekap dimana terdapat mosaik perpaduan antara hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar (hutan sekunder muda), bertopografi datar
119
hingga landai, serta pada ketinggian dibawah 1.000 meter dpl. Areal tersebut juga sebaiknya terbebas dari perburuan dan perambahan, serta jauh dari pemukiman penduduk. Di kawasan hutan Ulu Masen terdapat 388,1 km2 (5,2% luas total kawasan) areal yang diduga sangat sesuai, dan 2.135,67 km2 (28,5%) areal yang sesuai untuk lokasi translokasi harimau sumatera. 6.2 Saran Saat ini, kalung GPS merupakan satu alat yang paling akurat, yang mulai banyak digunakan dalam mempelajari ekologi perilaku satwaliar. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian terkait ekologi perilaku pada harimau sumatera liar, terutama pada harimau sumatera yang hidup pada lansekap campuran di luar kawasan konservasi, agar pengelolaannya dapat diperbaiki/ditingkatkan. Sebaiknya dilakukan kajian yang komprehensif pada areal kawasan hutan yang akan dijadikan lokasi translokasi, termasuk ketersediaan hewan mangsa, struktur demografi harimau lokal, intensitas gangguan manusia (perburuan dan jerat), serta kajian sosial masyarakat yang hidup berdampingan dengan calon lokasi translokasi, agar tingkat keberhasilannya dapat sesuai dengan harapan. Selain itu, tidak disarankan untuk melakukan translokasi harimau ke kawasan-kawasan hutan yang terpencil di tengah pegunungan, karena selain sudah pasti berbiaya sangat mahal, ada kecenderungan harimau yang ditranslokasikan juga akan kembali mencari lansekap hutan dataran rendah yang berpadu dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda. Mempertimbangkan harimau memiliki wilayah jelajah luas, tidak mengenal batas-batas administratif serta dapat melintas pada berbagai jenis lansekap, maka sudah saatnya mengembangkan kemitraan dengan para pemangku kepentingan lain di luar Kementerian Kehutanan dalam upaya konservasi harimau sumatera, agar semua pihak dapat berpartisipasi dan berkontribusi sehingga visi manajemen konservasi yang berkelanjutan dapat tercapai.
120
Mengingat harimau merupakan satwa yang memiliki jelajah luas dan selalu bergerak, maka perlu dilakukan pengulangan pemodelan kesesuaian habitat harimau dengan pendekatan “grid” menggunakan data serupa sehingga komponen-komponen lingkungan yang penting pada lansekap (misalnya panjang tepi hutan, jenis tepi hutan, struktur lansekap dan lain-lain) dapat dikutsertakan dalam membangun model, agar model yang terbangun menjadi lebih akurat.
121
DAFTAR PUSTAKA Aarts G, MacKenzie M, McConnell B, Fedak M, Matthiopoulos, J. 2008. Estimating space-use and habitat preference from wildlife telemetry data. Ecography 31: 140-160. Ahearn SC, Smith JLD, Joshi AR, Ding J. 2001. TIGMOD, an individualbased spatially explicit model for simulating tiger/human interaction in mutiple use forest. Ecological Modelling 140: 81-97. Aliaga-Rossel E, Kays RW, Fragoso JMV. 2008. Home-range use by the Central American agouti (Dasyprocta punctata) on Barro Colorado Island, Panama. Journal of Tropical Ecology 24: 367-374. Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid ke-1. Bogor: Ditjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Ambagau Y. 2010. Analisis kesesuaian habitat burung maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Andriana. 2011. Potensi populasi dan karakteristik habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di hutan Blangraweu, kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh [skripsi]. Bogor: Departemen KSDHE Fakultas Kehutanan IPB. Armistead AR, Mitchell K, Connolly GE. 1994. Bear relocation to avoid bear/sheep conflicts. Di dalam: Proceedings of the Sixteenth Vertebrate Pest Conference; Lincoln, 16 February 1994. Lincoln: University of Nebraska. hlm 31-35. Bagchi S, Goyal SP, Sankar K. 2003. Prey abundance and prey selection by tigers (Panthera tigris) in a semi-arid, dry deciduous forest in western India. Journal of Zoolology 260: 285-290. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. New York: John Willey & Sons. Bangs EE, Fritts SH, Fontaine JA, Smith DW, Murphy KM, Mack CM, Niemeyer CC. 1999. Status of gray wolf restoration in Montana, Idaho, and Wyoming. Wildlife Society Bulletin 26(4): 785-798. Barlow ACD, Smith JLD, Ahmad UI, Hossain ANM, Rahman M, Howlader A. 2011. Female tiger Panthera tigris home range size in the Bangladesh Sundarbans: the value of this mangrove ecosystem for the species‟ conservation. Oryx 45(1): 125-128. Begon M, Harper JL, Townsend CR. 1986. Ecology: Individuals, Populations and Communities. Oxford: Blackwell Scientific Publications.
122
Bibby C, Marsden S, Fielding A. 1988. Bird Habitat Studies. London: The Expedition Advisory Centre, Royal Geographic Society. Blanchard BM, Knight RR. 1995. Biological consequences of relocating grizzly bears in the Yellowstone ecosystem. Journal of Wildlife Management 59(3): 560-565. Borner M. 1978. Status and conservation of the Sumatran tiger. Carnivore 1: 97-102. Boughey AS. 1973. Ecology of Population. Edisi ke-2. New York: Macmillian Publishing Co. Inc. Caroll C, Larson C. 2008. Modeling potential tiger habitat in HupingshanHouhe and Mangshan-Nanling National Nature Reserves, China. Atlas of Maine 2008(2): article 9. Chundawat RS, Gogate N, Johnsingh AJT. 1999. Tigers in Panna: Preliminary Results from an Indian Tropical Dry forest. Di dalam: Seidensticker J, Christie S, Jackson P, editor. Riding the Tiger: Tiger Conservation in Human-dominated Landscape. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 123-129. [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 1999. Issues to relating species, tiger. Forty-second meeting of the Standing Committee, 28 September – 1 October 1999. Lisbon, Portugal: CITES Tiger Mission Team. Coelho CM, DeMelo LFB, Sabato MAL, Magni EMV, Hirsch A, Young RJ. 2008. Habitat use by wild maned wolves (Chrysocyon brachyurus) in transition zone environment. Journal of Mammalogy 89(1): 97-104. Craven S, Barnes T, Kania G. 1998. Toward a professional position on the translocation of problem wildlife. Wildlife Society Bulletin B 26: 171177. Dinata Y, Sugardjito J. 2008. Keberadaan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) dan hewan mangsanga di berbagai tipe habitat hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Biodiversitas 9(3): 222-226. Dinerstein E, Loucks C, Heydlauff A, Wikramanayake E, Bryja G, Forrest J, Ginsberg J, Klenzendorf S, Leimgruber P, O'Brien T, Sanderson E, Seidensticker J, Songer M. 2006. Setting Priorities for the Conservation
and Recovery of Wild Tigers: 2005-2015: A User’s Guide. Washington DC: WWF, WCS, Smithsonian and NFWF-STF. Edwards GP, de Preu N, Shakeshaft BJ, Crealy IV, Paltridge RM. 2001. Home range and movements of male feral cats (Felis catus) in a semiarid woodland environment in central Australia. Austral Ecology 26: 93-101.
123
Endri N. 2006. Kelimpahan dan distribusi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di blok hutan Sipurak Taman Nasional Kerinci Seblat [skripsi]. Bogor: Departemen KSDHE Fakultas Kehutanan IPB. Fata I. 2011. Aplikasi SIG untuk analisis distribusi populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan satwa mangsanya di hutan Blangraweu, kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh [skripsi]. Bogor: Departemen KSDHE Fakultas Kehutanan IPB. Faust T, Tilson R. 1994. Estimating How Many Tigers are in Sumatra: A Beginning. Di dalam: Tilson R, Soemarna K, Ramono W, Luslie S, Taylor KH, Seal U, editor. Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis Report. Apple Valley: Indonesian Directorate of Forest Protection and Nature Conservation and IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group Captive Breeding Specialist Group. hlm 11-38. Frair JL, Nielsen SE, Merrill EH, Lele SR, Boyce MS, Munro RHM, Stenhouse GB, Beyer HL. 2004. Removing GPS collar bias in habitat selection studies. Journal of Appiled Ecology 41(2): 201-212. Franklin N, Bastoni, Siswomartono D, Manansang J, Tilson R. 1999. The Last of the Indonesian Tigers, A Cause for Optimism. Di dalam: Seidensticker J, Christie S, Jackson P, editor. Riding the Tiger: Tiger Conservation in a Human-dominated Landscape. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 130-147. Fritts SH, Paul WJ, Mech LD. 1984. Movements of translocated wolves in Minnesota. Journal of Wildlife Management 48(3): 709-721. Gamo RS, Rumble MA, Lindzey F, Stefanich M. 2000. GPS radio collar performance as influenced by forest structure and topography. Di dalam: Eiler JH, Alcorn DJ, Neuman MR, editor. Biotelemetry 15, Proceedings of the 15th International Symposium on Biotelemetry; Juneau, Alaska USA, May 9-14, 1999. Wageningen: International Society on Biotelemetry. hlm 464-473. Goodrich JM, Miquelle DG. 2005. Translocation of problem Amur tigers Panthera tigris altaica to alleviate tiger-human conflicts. Oryx 39(4): 454-457. Goodrich JM, Miquelle DG, Smirnov EN, Kerley LL, Quigley HB, Hornocker MG. 2010. Spatial structure of Amur (Siberian) tigers (Panthera tigris altaica) on Sikhote-Alin Biosphere Zapovednik, Russia. Journal of Mammalogy 91(3): 737-748. Grassman LI, Tewes ME, Silvy NJ, Kreetiyutanont K. 2005. Ecology of three sympatric felids in a mixed evergreen forest in north-central Thailand. Journal of Mammalogy 86 (1): 29-38.
124
Griffiths M. 1994. Population Density of Sumatran Tigers in the Gunung Leuser National Park. Di dalam: Tilson R, Soemarna K, Ramono W, Luslie S, Taylor KH, Seal U, editor. Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis Report. Apple Valley: Indonesian Directorate of Forest Protection and Nature Conservation and IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group Captive Breeding Specialist Group. hlm 93-102. [GTI] Global Tiger Iniviative. 2010. Global Tiger Recovery Program: Saving Tigers to Save Asian Biodiversity. Volume Eksekutif. [tempat tidak diketahui]: Global Tiger Initiative. Guisan A, Zimmermann NE. 2000. Predictive habitat distribution models in ecology. Ecological Modelling 135: 147-186. Gunaryadi D, Sitompul A, Wahdi M, Rudijanta, Soesilo HD, Khalimatusadiah, Suprayogi B, Sumampouw T, Wibisono HT, Sunarto, Priatna D, Maddox T, Bastony, Yunus M, Elizabeth. 2008. Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar. Jakarta: Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan. Hamilton PH. 1976. The movements of leopards in Tsavo National Park, Kenya, as determined by radio-tracking [thesis]. Nairobi: University of Nairobi. Hebblewhite M, Percy M, Merrill EH. 2007. Are all global positioning system collars created equal?: Correcting habitat-induced bias using threebrands in the central Canadian Rockies. Journal of Wildlife Management 71(6): 2026-2033. Holmes D. 2000. Deforestation in Indonesia: A Review of the Situation in 1999. Jakarta: World Bank. Hooge PN, Eichenlaub B. 1997. Animal Movement Extension to ArcView Version 1.1. Anchorage: Alaska Science Center, Biological Science Office, U.S. Geological Survey. Hosmer DW, Lemeshow S. 2000. Applied Logistic Regression. Edisi ke-2. New York: John Willey & Sons. Imam E, Kushwaha SPS, Singh A. 2009. Evaluation of suitable tiger habitat in Chandoli National Park India using multiple logistic regression. Ecological Modelling 220: 3621-3629. [ITWS] Indian Tiger Welfare Society. 2005. Tiger. http://www.indiantiger. org/wild-cats/tiger.html [01 Apr 2011]. [IUCN] The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan Wild Cats. Cambridge: IUCN/SSC Cat Specialist Group, IUCN Publication Service Unit.
125
Jackson RM. 1996. Home range, movements and habitat use of snow leopard (Uncia uncia) in Nepal [disertasi]. London: University of London. Jarvis JP. 2000. Ecological Principles and Environmental Issues. Edisi ke-1. Englewood Cillfs, NJ: Prentice Hall. Jin XM, Zhang YK, Schaepman ME, Clevers JGPW, Su Z. 2008. Impact of elevation and aspect on the spatial distribution of vegetation in the Qilian Mountain area with remote sensing data. Remote Sensing and Spatial Information Science XXXVII: 1385-1390. Karanth KU. 1995. Estimating tiger Panthera tigris populations from camera-trap data using capture recapture models. Biological Conservation 71: 333-338. Karanth KU, Chundawat RS. 2002. Ecology of the Tiger: Implications for Populastion Monitoring. Di dalam: Karanth KU, Nichols JD, editor. Monitoring Tigers and Their Prey: A Manual for Researchers, Managers and Conservationists in Tropical Asia. Bangalore: Centre for Wildlife Studies. hlm 9-21. Karanth KU, Chundawat RS, Nichols JD, Kumar NS. 2004. Estimation of tiger densities in the tropical dry forests of Panna, Central India, using photographic capture–recapture sampling. Animal Conservation 7(3): 285-290. Karanth KU, Kumar NS, Nichols JD. 2002. Field Surveys: Estimating Absolute Densities of Tigers Using Capture-Recapture Sampling. Di dalam: Karanth KU, Nichols JD, editor. Monitoring Tigers and Their Prey: A Manual for Researchers, Managers and Conservationists in Tropical Asia. Bangalore: Centre for Wildlife Studies. hlm 139-152. Karanth KU, Stith BM. 1999. Prey Depletion As Critical Determinant of Tiger Population Viability. Di dalam: Seidensticker J, Christie S, Jackson P, editor. Riding the Tiger: Tiger Conservation in Humandominated Landscape. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 100-113. Karanth KU, Sunquist ME. 1992. Population structure, density and biomass of large herbivores in the tropical forests of Nagarhole, India. Journal of Tropical Ecology 8: 21-35. Karanth KU, Sunquist ME. 2000. Behavioural correlates of predation by tiger Panthera tigris, leopard Panthera pardus and dhole Cuon alpinus in Nagarahole, India. Journal of Zoology 250: 255-265. Kawanishi K, Sunquist M. 2004. Conservation status of tigers in a primary rainforest of Peninsular Malaysia. Biological Conservation 120: 329344. Kenney JS, Smith JLD, Starfield AM, McDougal CW. 1994. The long-term effects of tiger poaching on population viability. Conservation Biology 9(5): 1127-1133.
126
Khan MMH, Chivers DJ. 2007. Habitat preferences of tiger Panthera tigris in the Sundarbans East Wildlife Sanctuary, Bangladesh, and management recommendations. Oryx 4(4): 463-468. Kinnaird MF, Sanderson EW, O‟Brien TG, Wibisono HT, Woolmer G. 2003. Deforestation trends in a tropical landscape and implications for endangered large mammals. Conservation Biology 17: 245-57. Kitchener AC. 1999. Tiger Distribution, Phenotypic Variation and Conservation Issues. Di dalam: Seidensticker J, Christie S, Jackson P, editor. Riding the Tiger: Tiger Conservation in a Human-dominated Landscape. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 19-39. Krebs JC. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper and Row Publisher. Krebs JR, Davies NB. 1993. An Introduction to Behavioural Ecology. Edisi ke-4. Oxford: Blackwell. Lancia RA, Nichols JD, Pollock KH. 1994. Estimating of Number of Animals in Wildlife Populations. Di dalam: Bookhoult T, editor. Research and Management Techniques for Wildlife and Habitats. Bethesda: The Wildlife Society. hlm 215-253. Landis JR, Koch GG. 1977. The measurement of observer agreement for catagorical data. Biometrics 33: 159-174. Linkie M, Chapron G, Martyr DJ, Holden J, Williams NL. 2006. Assessing the viability of tiger subpopulation in a fragmented landscape. Journal of Applied Ecology 43: 576-586. Linkie M, Martyr DJ, Holden J, Yanuar A, Hartana AT, Sugardjito J, LeaderWilliams N. 2003. Habitat destruction and poaching threaten the Sumatran tiger in Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Oryx 37(1): 41-48. Linkie M, Ridout MS. 2011. Assessing tiger-prey interactions in Sumatran rainforests. Journal of Zoology 284: 224-229. Linnell JDC, Aanes R, Swenson JE, Odden J, Smith ME. 1997. Translocation of carnivores as a method for managing problem animals: a review. Biodiversity Conservation 6: 1245-1257. Lynam AJ, Palasuwan T, Ray J, Galster S. 2000. Tiger Survey Techniques and Conservation Handbook. Bangkok: Wildlife Conservation SocietyThailand Program. Mace GM, Harvey PH. 1983. Energetic constraints on homerange size. American Naturalist 121: 120–132. Maddox TM, Priatna D, Gemita E, Salampessy A. 2004. Pigs, Palms, People and Tigers: Survival of the Sumatran Tiger in A Commercial Landscapes. Jambi: ZSL Jambi Tiger Project.
127
Maddox T, Priatna D, Gemita E, Salampessy A. 2007. The Conservation of Tigers and Other Wildlife in Oilpalm Plantations. Conservation Report No. 7. London: The Zoological Society of London. Maza BG, French NR, Aschwanden AP. 1973. Home range dynamics in a population of heteromyid rodents. Journal of Mammalogy 54:405-425. Mazak VJ. 1981. Panthera tigris. Mammalian Species 152: 1-8. McKenzie HW, Jerde CL, Visscher DR, Merrill EH, Lewis MA. 2009. Inferring linear feature use in the presence of GPS measurement error. Environmental and Ecological Statistics 16(4): 531-546. Meittinen J, Shi C, Tan WJ, Liew SC. 2012. 2010 land cover map of insular Southeast Asia in 250-meter spatial resolution. Remote Sensing Letters 3(1): 11-20. Mitchell BR. 2007. Comparison of programs for fixed kernel home range analysis. Distribution 6: 1-7 Morrel V. 2007. Can the wild tiger survive?. Science 317: 1312-1314. Morris DW. 2003. Toward an ecological synthesis: a case for habitat selection. Oecologia 136: 1-13. Muntasib EKSH. 2002. Penggunaan ruang habitat oleh badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [disertasi]. Bogor: Program Pasacasarjana, IPB. Nahlik A, Sandor G, Tari T, Kiraly G. 2009. Space use and activity patterns of red deer in a highly forested and in a patchy forest-agricultural habitat. Acta Silva Lign. Hungary 5: 109-118. Neu CW, Byers CR, Peek JM. 1974. A technique for analysis of utilizationavailable data. Journal of Wildlife Management 38: 541-545. Nilsen EB, Pedersen S, Linnell JDC. 2008. Can minimum convex polygon home ranges be used to draw biologically meaningful conclusions?. Ecological Research 23(3): 635-639. Noss RF, Quigley HB, Hornocker MG, Merrill T, Paquet CP. 1996. Conservation biology and carnivore conservation in the Rocky Mountains. Conservation Biololgy 10: 949-963. Nowak RM. 1991. Walker’s Mammals of the World. Volume 2. Edisi ke-5. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Nowell K, Jackson P. 1996. Wild Cats: Status Survey and Conservation Action Plan. Gland: IUCN. Nugraha RT, Sugardjito J. 2009. Assessment and management options for tiger-human conflicts in Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia. Mammal Study 34(3): 141-154.
128
Nursal WI. 2007. Stand-alone GIS application for wildlife distribution and habitat suitability: case study javan gibbon, Gunung Salak, West Jawa [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. O‟Brien TG, Kinnaird MF, Wibisono HT. 2003. Crouching tiger, hidden prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: 131-139. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ke-3. Samingan T, penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. O'Farrell MJ. 1974. Seasonal activity patterns of rodents in a sagebrush community. Journal of Mammalogy 55: 809-823. Oli MK, Jacobson HA, Leopold BD. 2002. Pattern of space use by female black bears in the White River National Wildlife Refuge, Arkansas, USA. Jornal of Nature Conservation 10: 87-93. Owen OS. 1980. Natural Resources Conservation: An Ecological Approach. Edisi ke-3. New York: Macmillan. Phoenixzoo. 2011. Panthera tigris. http://www.phoenixzoo.org/learn/ animals/animal_detail.aspx?FACT_SHEET_ID=100035 [01 Apr 2011]. Piorecky MD, Presscott DRC. 2006. Multiple spatial scale logistic and autoligistic habitat selection model for northern pygmy owls, along the eastern slopes of Alberta‟s Rocky Mountains. Biological Conservation 129: 360-371. Plowden C, Bowles D. 1997. The illegal market in tiger parts in northern Sumatra, Indonesia. Oryx 31: 59-66. Pratisto A. 2010. Statistik Menjadi Mudah Dengan SPSS 17. Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia. Putri AMM. 2010. GIS dan remote sensing untuk analisis kesesuaian habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di TN Bukit Tiga Puluh dan sekitarnya [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Pyke GH. 1983. Animal Movements: An Optimal Foraging Approach. Di dalam: Swingland IR, Greenwood PJ, editor. The Ecology of Animal Movement. Oxford: Clarendon Press. hlm 7-31. Rabinowitz AR. 1986. Jaguar predation on domestic livestock in Belize. Wildlife Society Bulletin 14(2): 170-174. Rajapandian K. 2009. Factors affecting habitat occupancy of tiger in the Terai Arc landscape, India [disertasi]. Dehradun: Wildlife Institute of India Chandrabani, Saurashtra University Rajkot. Rodgers AR, Carr AP, Smith L, Kie JG. 2005. HRT: Home Range Tools for ArcGIS. Ontario: Ontario Ministry of Natural Resources-Centre for Northern Forest Ecosystem Research.
129
Roger E, Laffan SW, Ramp D. 2007. Habitat selection by the common wombat (Vombatus ursinus) in disturbed environments: implication for the conservation of a „common‟ species. Biological Conservation 137: 437-449. Ruth TK, Logan KA, Sweanor LL, Hornocker MG, Temple LJ. 1998. Evaluating cougar translocation in New Mexico. Journal of Wildlife Management 62(4): 1264-1275. Sanderson E, Forrest J, Loucks C, Ginsberg J, Dinerstein E Seidensticker J, Leimgruber P, Songer M, Heydlauff A, O‟Brien T, Bryja G, Klenzendorf S, Wikramanayake E. 2006. Setting Priorities for the Conservation and Recovery of Wild Tigers 2005–2015: The Technical Assessment. New York: WWF, Smithsonian, and NFWF-STF. Sanderson E, Forrest J, Loucks C, Ginsberg J, Dinerstein E, Seidensticker J, Leimgruber P, Songer M, Heydlauff A, O‟Brien T, Bryja G, Klenzendorf S, Wikramanayake E. 2010. Setting Priorities for Tiger Conservation: 2005-2015. Di dalam: Nyhus PJ, Tilson RL, editor. Tigers of the World: The Biology, Politics, and Conservation of Panthera tigris. Edisi ke-2. New York: Elsevier/ Noyes Publications. hlm 143-161. Sankar K, Qureshi Q, Nigam P, Malik PK, Sinah PR, Mehrotra RN, Gopal R, Bhattacharjee S, Mondal K, Gupta S. 2010. Monitoring of reintroduced tigers in Sariska Tiger Reserve, Western India: Preliminary findings on home range, prey selection and food habits. Tropical Conservation Science 3(3): 301-318. Santiapillai C, Ramono WS. 1985. On the status of the tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock,1829) in Sumatra. Tiger Paper 12(4): 23-29. Santiapillai C, Ramono WS. 1987. Tiger Numbers and Habitat Evaluation in Indonesia. Di dalam: Tilson RL, editor. Tigers of the World: The Biology, Biopolitics, Management, and Conservation of An Endangered Species. Park Ridge: Noyes Publications. hlm 85-91. Santiapillai C, Ramono WS. 1993. Conservation of Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) in Indonesia. Tiger Paper 20: 44-48. Schaller GB. 1967. The Deer and the Tiger, A Study of Wildlife in India. Chicago: The University of Chicago Press. Seal US, Soemarna K, Tilson RL. 1994. Population Biology and Analyses for Sumatran Tigers. Di dalam: Tilson R, Soemarna K, Ramono W, Luslie S, Taylor KH, Seal U, editor. Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis Report. Apple Valley: Indonesian Directorate of Forest Protection and Nature Conservation and IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group Captive Breeding Specialist Group. hlm 45-70.
130
Seaman DE, Powell RA. 1996. An evaluation of the accuracy of kernel density estimators for home range analysis. Ecology 77: 2075-2085. Seidensticker J. 1986. Large Carnivores and the Consequences of Habitat Insularization: Ecology and Conservation of Tigers in Indonesia and Bangladesh. Di dalam: Miller SD, Everett DD, editor. Cats of the World: Biology, Conservation, and Management. Washington DC: National Wildlife Federation. hlm 1-41. Seidensticker J, Christie S, Jackson P. 1999. Preface. Di dalam: Seidensticker J, Christie S, Jackson P, editor. Riding the Tiger: Tiger Conservation in a Human-dominated Landscape. Cambridge: Cambridge University Press. hlm xv-xix. Seidensticker J, Lahiri RK, Das KC, Wright A. 1976. Problem tiger in the Sundarbans. Oryx 13(3): 267-273. Sheppard CR, Magnus N. 2004. Nowhere to Hide: The Trade in Sumatran Tiger. Malaysia: TRAFFIC Southeast Asia. Shirey PD, Lamberti GA. 2010. Assisted colonization under the U.S. Endangered Species Act. Conservation Letters 3(1): 45-52. Siegel S.1992. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Edisi ke-5. Suyuti Z, Simatupang L, Hagul P, penerjemah; Jakarta: Gramedia. Terjemahan dari: Nonparametric Statistcs for the Behavioural Sciences. Simcharoen S, Barlow ACD, Simcharoen A, Smith JLD. 2008. Home range size and daytime habitat selection of leopards in Huai Kha Khaeng Wildlife Sanctuary, Thailand. Biological Conservation 141(9): 2242‐2250. Singh R, Joshi PK, Kumar M, Dash PP, Joshi BD. 2009. Development of tiger habitat suitability model using geospatial tools - a case study in Achankmar Wildlife Sanctuary (AMWLS) Chhattisgarh India. Environmental Monitoring Assessment 155(1-4): 555-567. Sklar FH, Hunsaker CT. 2001. The Use of Uncertainty of Spatial Data for Landscape Models: An Overview with Examples from Florida Everglades. Di dalam: Hunsaker CT, Goodchild MF, Friedl MA, Case TJ, editor. Spatial Uncertaity in Ecology: Implication for Remote Sensing and GIS Application. New York: Springer-Verlag. hlm 15-46. Smirnov EN, Miquelle DG. 1999. Population Dynamics of the Amur Tiger in Sikhote-Alin Zapovednik, Russia. Di dalam: Seidensticker J, Christie S, Jackson P, editor. Riding the Tiger: Tiger Conservation in Humandominated Landscape. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 61-70. Smith JLD. 1993. The role of dispersal in structuring the Chitwan tiger population. Behaviour 124(3-4): 165-195.
131
Smith JLD, McDougal C, Miquelle D. 1989. Scent marking in free ranging tigers, Panthera tigris. Animal Behaviour 37: 1-10. Smith JLD, McDougal CW, Sunquist ME. 1987. Female Land Tenure System in Tigers. Di dalam: Tilson RL, editor. Tigers of the World: The Biology, Biopolitics, Management, and Conservation of An Endangered Species. Park Ridge: Noyes Publications. hlm 97-109. Soehartono T, Wibisono HT, Sunarto, Martyr D, Susilo HD, Maddox T, Priatna D. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) 2007-2017. Jakarta: Departemen Kehutanan. Southwood, T.R.E. 1996. Ecological Methods. Methuen, London. Sriyanto. 2003. Kajian mangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Stander PE. 1990. A suggested management strategy for stock-raiding lions in Namibia. South African Journal of Wildlife Research 20(2): 37-43. Sunarto. 2011. Ecology and restoration of Sumatran tigers in forest and plantation landscapes [disertasi]. Blacksburg: Faculty of Fisheries and Wildlife Sciences, Virginia Polytechnic Institute and State University. Sunarto S, Kelly MJ, Parakkasi K, Klenzendorf S, Septayuda E, Kurniawan H. 2012. Tigers need cover: multy-scale occupancy study of the big cat in Sumatran forest and plantation landscapes. Plos ONE 7(1): e30859. Sunquist ME. 1981. The social organization of tigers (Panthera tigris) in Royal Chitwan National Park, Nepal. Smithsonian Contributions to Zoology 336: 1-98. Sunquist ME. 2010. Tigers: Ecology and Behavior. Di dalam: Nyhus PJ, Tilson RL, editor. Tigers of the World: The Biology, Politics, and Conservation of Panthera tigris. Edisi ke-2. New York: Elsevier/ Noyes Publications. hlm 19-33. Sunquist ME, Karanth KU, Sunquist F. 1999. Ecology, Behaviour and Resilience of the Tiger and Its Conservation Needs. Di dalam: Seidensticker J, Christie S, Jackson P, editor. Riding the Tiger, Tiger Conservation in a Human-dominated Landscape. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 5-18. Sunquist ME, Sunquist FC. 1989. Ecological Constraints on Predation by Large Felids. Di dalam: Gittleman GL, editor. Carnivore Behaviour, Ecology and Evolution. Ithaca: Cornell University Press. hlm 283-301. Supranto J. 2000. Statistik: Terapan dan Aplikasi. Jilid 1. Edisi ke-6. Jakarta: Erlangga.
132
Syartinilia, Tsuyuki S. 2008. GIS-based modeling of Javan hawk-eagle distribution using logistic and autologistic regression models. Biological Conservation 141: 756-769. Tilson R, Soemarna K, Ramono W, Luslie S, Taylor KH, Seal U. 1994. Sumatran Tiger Populations and Habitat Viability Analysis. Apple Valley: Indonesian DG of Forest Protection and Nature ConservationIUCN/SSC CBSG. Treves A, Karanth KU. 2003. Human-carnivore conflict and perspectives on carnivore management worldwide. Conservation Biology 17: 14911499. Valeix M, Loveridge AJ, Davidson Z, Madzikanda H, Fritz H, Macdonald DW. 2010. How key habitat features influence large terrestrial carnivores movement: waterholes and African lions in a semi-arid savanna of north-western Zimbabwe. Landscape Ecology 25: 337-351. Valen S. 2011. Tiger behaviour. http://www.behav.org/student_essay/ carnivores/tiger/Susanne%20Valen_2011_Tiger_behavior.pdf [1 Jun 2012]. ver Hoef JM, Cressie N, Fisher RN, Case CT. 2001. Uncertainty and Spatial Linear Models for Ecological Data. Di dalam: Hunsaker CT, Goodchild MF, Friedl MA, Case TJ, editor. Spatial Uncertaity in Ecology: Implication for Remote Sensing and GIS Application. New York: Springer-Verlag. hlm 214-237. Weier J, Herring D. 2010. Measuring vegetation (NDVI & EVI). http:// earthobservatory.nasa.gov/Features/MeasuringVegetation/ measuring_ vegetation_1.php [19 Apr 2011]. Wibisono HT. 2006. Population ecology of the Sumatran tigers (Panthera tigris sumatrae) and their prey in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia [thesis]. Amherst: Department of Natural Resources Conservation, University of Massachusetts. Wibisono HT, Figel JJ, Arief SM, Ario A, Lubis AH . 2009. Assessing the Sumatran tiger Panthera tigris sumatrae population in Batang Gadis National Park, a new protected areal in Indonesia. Oryx 43(4): 634-638. Wibisono HT, Linkie M, Guillera-Arroita G, Smith JA, Sunarto, Pusparini W, Asriadi, Baroto P, Brickle N, Dinata Y, Gemita E, Gunaryadi D, Haidir IA, Herwansyah, Karina I, Kiswayadi D, Kristiantono D, Kurniawan H, Lahoz-Monfort JJ, Leader-Williams N, Maddox T, Martyr DJ, Maryati, Nugroho A, Parakkasi K, Priatna D, Ramadiyanta E, Ramono WS, Reddy GV, Rood EJJ, Saputra DY, Sarimudi A, Salampessy A, Septayuda E, Suhartono T, Sumantri A, Susilo, Tanjung I, Tarmizi, Yulianto K, Yunus M, Zulfahmi. 2011. Population status of a cryptic top predator : an island-wide assessment of tigers in Sumatran rainforests. PLoS ONE 6(11): e25931.
133
Wibisono HT, Pusparini W. 2010. Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae): a review of conservation status. Integrative Zoology 5: 309-318. Wibisono HT, Pusparini W. 2011. Penilaian status populasi harimau sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera. A technical report. Bogor: WCS Indonesia. Williamson SJ, Hirth DH. 1985. An evaluation of edge use by white-tailed deer. Wildlife Society Bulletin 13: 252-257. Wilson EO. 1975. Sociobiology: The New Synthesis. Cambridge MA: Harvard University Press. Wolf CM, Griffith B, Reed C, Temple SA. 1997. Avian and mammalian translocations: update and reanalysis of 1987 survey data. Conservation Biology 10: 1142-1154. Wozencraft WC. 1993. Order Carnivora. Di dalam: Wilson DE, Reeder DM, editor. Mammal Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference. Edisi ke-2. Washington DC: Smithsonian Institute Press. hlm 286-346. Xu F, Ma M, Yang WK, Blank D, Wu YQ, McCarthy T, Munkhtsog, B. 2012. Winter habitat use of snow leopards in Tomur National Nature Reserve of Xinjiang, Northwest China. Journal of Arid Land 4(2): 191195. Zar JH. 1996. Biostatistical Analysis. New Jersey: Prentice-Hall International Inc.
134
135
Lampiran 1. Rekapitulasi survey transek dengan nilai Encounter Rate (ER) harimau lokal dan hewan mangsa utama di setiap lokasi translokasi harimau. Lokasi
Transek
TNBBS TNBBS TNBBS
EUM EUM EUM EUM
TNGL TNGL TNGL
TNKS TNKS TNKS TNKS TNKS
Panjang (km)
Temuan (harimau)
ER harimau (tanda/km)
Temuan (mangsa)
S38E17 S38E18 S39E18 Total ER Rata-rata STDEV
46,00 24,00 22,00 92,00
1 1 3 5
0,02 0,04 0,14 0,20
41 14 19 74
30,67 13,32
1,67 1,15
0,07 0,06
24,67 14,36
0,78 0,17
N33W38 N33W39 N34W38 N34W39 Total ER Rata-rata STDEV
33,00 38,00 28,00 30,00 129,00
2 8 2 0 12
0,06 0,21 0,07 0,00 0,34
8 12 2 10 32
0,24 0,32 0,07 0,33 0,96
32,25 4,35
3,00 3,46
0,09 0,09
8,00 4,32
0,24 0,12
N28W28 N26W28 N27W28 Total ER Rata-rata STDEV
34,00 22,00 27,00 83,00
0 1 0 1
0,00 0,05 0,00 0,05
14 5 18 37
0,41 0,23 0,67 1,31
27,67 6,03
0,33 0,58
0,02 0,03
12,33 6,66
0,44 0,22
S10W05 S10W04 S11W03 S11W04 S11W05 Total ER Rata-rata STDEV
39 1 11 62 23 136
0 0 1 8 3 12
0,00 0,00 0,09 0,13 0,13 0,35
21 1 1 13 6 42
0,54 1,00 0,09 0,21 0,26 2,10
27,20 24,07
2,40 3,36
0,07 0,07
8,40 8,59
0,05
ER mangsa (tanda/km)
0,89 0,58 0,86 2,34 0,80
0,09
0,25
0,01
0,45
0,09
0,31 0,42 0,36
136
Lampiran 2. Bentuk dan pola lintasan harimau jantan JD-1 di TNBBS pada bulan ke-1 (A), bulan ke-2 (B), bulan ke-3 (C), bulan ke-4 (D), bulan ke-5 (E), bulan ke-6 (F), bulan ke-7 (G) dan bulan ke-8 (H) setelah pelepas-liaran.
(A) Pola lintasan harimau JD-1 pada bulan ke-1
(B) Pola lintasan harimau JD-1 pada bulan ke-2
137
Lampiran 2. Lanjutan
(C) Pola lintasan harimau JD-1 pada bulan ke-3
(D) Pola lintasan harimau JD-1 pada bulan ke-4
138
Lampiran 2. Lanjutan
(E) Pola lintasan harimau JD-1 pada bulan ke-5
(F) Pola lintasan harimau JD-1 pada bulan ke-6
139
Lampiran 2. Lanjutan
(G) Pola lintasan harimau JD-1 pada bulan ke-7
(H) Pola lintasan harimau JD-1 pada bulan ke-8
140
Lampiran 3. Bentuk dan pola lintasan harimau jantan JD-2 di TNBBS pada bulan ke-1 (A), bulan ke-2 (B), bulan ke-3 (C), bulan ke-4 (D), bulan ke-5 (E), bulan ke-6 (F), bulan ke-7 (G), bulan ke-8 (H), dan bulan ke-9 (I) setelah pelepas-liaran.
(A) Pola lintasan harimau JD-2 pada bulan ke-1
(B) Pola lintasan harimau JD-2 pada bulan ke-2
141
Lampiran 3. Lanjutan
(C) Pola lintasan harimau JD-2 pada bulan ke-3
(D) Pola lintasan harimau JD-2 pada bulan ke-4
142
Lampiran 3. Lanjutan
(E) Pola lintasan harimau JD-2 pada bulan ke-5
(F) Pola lintasan harimau JD-2 pada bulan ke-6
143
Lampiran 3. Lanjutan
(G) Pola lintasan harimau JD-2 pada bulan ke-7
(H) Pola lintasan harimau JD-2 pada bulan ke-8
144
Lampiran 3. Lanjutan
(I) Pola lintasan harimau JD-2 pada bulan ke-9
145
Lampiran 4. Bentuk dan pola lintasan harimau jantan JD-3 di TNGL pada bulan ke-1 (A), bulan ke-2 (B), bulan ke-3 (C), bulan ke-4 (D) setelah pelepas-liaran.
(A) Pola lintasan harimau JD-3 pada bulan ke-1
(B) Pola lintasan harimau JD-3 pada bulan ke-2
146
Lampiran 4. Lanjutan
(C) Pola lintasan harimau JD-3 pada bulan ke-3
(D) Pola lintasan harimau JD-3 pada bulan ke-4
147
Lampiran 5. Bentuk dan pola lintasan harimau jantan JD-5 di TNKS pada bulan ke-1 (A), bulan ke-2 (B), bulan ke-3 (C), bulan ke-4 (D), bulan ke-5 (E), bulan ke-6 (F), bulan ke-7 (G), bulan ke-8 (H) dan bulan ke-9 (I) setelah pelepas-liaran.
(A) Pola lintasan harimau JD-5 pada bulan ke-1
(B) Pola lintasan harimau JD-5 pada bulan ke-2
148
Lampiran 5. Lanjutan
(C) Pola lintasan harimau JD-5 pada bulan ke-3
(D) Pola lintasan harimau JD-5 pada bulan ke-4
149
Lampiran 5. Lanjutan
(E) Pola lintasan harimau JD-5 pada bulan ke-5
(F) Pola lintasan harimau JD-5 pada bulan ke-6
150
Lampiran 5. Lanjutan
(G) Pola lintasan harimau JD-5 pada bulan ke-7
(H) Pola lintasan harimau JD-5 pada bulan ke-8
151
Lampiran 5. Lanjutan
(I) Pola lintasan harimau JD-5 pada bulan ke-9
152
Lampiran 6. Bentuk dan pola lintasan harimau jantan BD-1 di Ulu Masen pada bulan ke-1 (A), bulan ke-2 (B), bulan ke-3 (C), bulan ke-4 (D), bulan ke-5 (E), bulan ke-6 (F), bulan ke-7 (G) dan bulan ke8 (H) setelah pelepas-liaran.
(A) Pola lintasan harimau BD-1 pada bulan ke-1
(B) Pola lintasan harimau BD-1 pada bulan ke-2
153
Lampiran 6. Lanjutan
(C) Pola lintasan harimau BD-1 pada bulan ke-3
(D) Pola lintasan harimau BD-1 pada bulan ke-4
154
Lampiran 6. Lanjutan
(E) Pola lintasan harimau BD-1 pada bulan ke-5
(F) Pola lintasan harimau BD-1 pada bulan ke-6
155
Lampiran 6. Lanjutan
(G) Pola lintasan harimau BD-1 pada bulan ke-7
(H) Pola lintasan harimau BD-1 pada bulan ke-8
156
Lampiran 7. Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-1 di TNBBS yang dibangun dengan metode MCP 100% serta FK 95% dan 50%.
157
Lampiran 8. Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-2 di TNBBS yang dibangun dengan metode MCP 100% serta FK 95% dan 50%.
158
Lampiran 9. Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-3 di TNGL yang dibangun dengan metode MCP 100% serta FK 95% dan 50%.
159
Lampiran 10. Bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-5 di TNKS yang dibangun dengan metode MCP 100% serta FK 95% dan 50%.
160
Lampiran 11. Bentuk daerah jelajah harimau betina BD-1 di Ulu Masen yang dibangun dengan metode MCP 100% serta FK 95% dan 50%.
161
Lampiran 12. Persentase (%) luas penutupan vegetasi pada masing-masing daerah jelajah harimau translokasi. % luas areal dalam daerah jelajah Harimau (lokasi) Kls
Tipe tutupan vegetasi
JD-1 (TNBBS)
JD-2 (TNBBS)
JD-3 (TNGL)
JD-5 (TNKS)
BD-1 (EUM)
1
Pearairan
0,31
0,17
0,00
0,00
0,00
2
Bakau
1,23
0,00
0,00
0,00
0,00
3
Hutan rawa gambut
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4
Hutan dataran rendah
13,95
9,24
36,87
30,11
11,56
5
Hutan pegunungan rendah
0,00
0,00
50,22
17,99
30,84
6
Hutan pegunungan tinggi
0,00
0,00
7,54
3,93
17,73
7
Belukar/hutan sekunder muda
83,62
90,00
5,36
40,37
33,29
8
Mosaik dataran rendah
0,46
0,10
0,01
1,07
5,10
9
Mosaik pegunungan
0,00
0,00
0,00
0,97
1,34
10
Dataran rendah terbuka
0,44
0,41
0,00
0,18
0,15
11
Pegunungan terbuka
0,00
0,00
0,00
0,36
0,00
12
Areal urban
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
13
Perkebunan skala besar
0,00
0,00
0,00
5,01
0,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Total
162
Lampiran 13. Persentase (%) elevasi pada masing-masing daerah jelajah harimau translokasi.
Harimau (lokasi) Elevasi (m dpl) 0-500
% luas areal di lokasi translokasi JD-1 JD-2 JD-3 JD-5 (TNBBS) (TNBBS) (TNGL) (TNKS)
BD-1 (EUM)
100,00
100,00
33,82
59,80
19,76
500-1000
0,00
0,00
34,18
26,72
6,83
1000-1500
0,00
0,00
26,24
7,48
18,32
1500-2000
0,00
0,00
5,76
3,51
25,88
> 2000
0,00
0,00
0,00
2,49
29,22
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Total
163
Lampiran 14. Persentase (%) kelerengan/slope pada masing-masing daerah jelajah harimau translokasi. % luas areal di lokasi translokasi JD-1 JD-2 JD-3 JD-5 (TNBBS) (TNBBS) (TNGL) (TNKS)
Slope (persen)
Harimau (lokasi) Kondisi
0-8
Datar
87,46
87,46
8,61
61,53
19,67
8-15
Landai
12,04
12,04
2,90
19,57
6,99
15-25
Agak curam
0,24
0,24
10,74
14,42
18,79
25-40
Curam
0,21
0,21
17,37
3,92
26,17
> 40
Sangat curam
0,06
0,06
60,38
0,56
28,38
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Total
BD-1 (EUM)
164
Lampiran 15. Hasil perhitungan indeks preferensi Neu harimau translokasi terhadap waktu paling aktifnya. Waktu (WIB)
Frekuensi aktif
p
n
u= ni / ∑ni
e= pi x ∑ni
w= ui/pi
B= wi / ∑wi
Pagi (06:00-10:00)
758
0,167
758
0,153
824,67
0,919
0,15
Siang (10:00-14:00)
668
0,167
668
0,135
824,67
0,810
0,14
Sore (14:00-18:00)
968
0,167
968
0,196
824,67
1,174
0,20
Petang/malam (18:00-22:00)
977
0,167
977
0,197
824,67
1,185
0,20
Tgh malam (22:00-02:00)
773
0,167
773
0,156
824,67
0,937
0,16
Subuh (02:00-06:00)
804
0,167
804
0,162
824,67
0,975
0,16
Jumlah
4948
1,000
4948
1,000
4948,000
6,000
1,000
165
Lampiran 16. Peta ketinggian tempat/elevasi di wilayah studi.
166
Lampiran 17. Peta euclidean jarak dari sungai di wilayah studi.
167
Lampiran 18. Peta euclidean jarak dari tepi hutan di wilayah studi.
168
Lampiran 19. Peta NDVI di wilayah studi.
169
Lampiran 20. Peta kelerengan/slope di wilayah studi.
170
Lampiran 21. Nilai Nagelkerke R2 dan uji Hosmer Lemeshow pada lima variabel bebas. Model Summary Cox & Snell R Step -2 Log likelihood Square Nagelkerke R Square 1 280,794(a) ,224 ,302 a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 10,479
df
Sig. 8
,233
171
Lampiran 22. Hasil perhitungan nilai kappa acuracy, comission error dan omission error. Prosedur
Presence (1) User
Absence (0)
Presence (1) 2988
Absence (0) 1552
Total 4540
User akurasi 0,658
Comission errors 0,342
0,045
0,045
70
1478
1548
Total
3058
3030
6088
Prosedur akurasi
0,977
0,488
Omission errors
0,023
0,512
0,535
Kappa accuracy
= (Oa - Ca) / (1 - Ca)
Observed agreement (Oa)
= (2.988 + 1.478) / 6.088 = 0,734
Chance agreement (Ca)
= ((3.058 / 6.088) * (4.540/6.088)) + ((3.030 / 6.088) * (1.548 / 6.088)) = 0,501
Kappa accuracy
= (0,734 - 0,501) / (1 - 0,501) = 0,466 = 46,6%
Omission error
= (70 / 3.058) + (1.552 / 3.030) = 0,535 = 53,5%
Comission error
= (1.552 / 4.540) + (70 / 1.548) = 0,387 = 38,7%
0,387
172
Lampiran 23. Nilai KR harimau lokal dan hewan mangsa di Ulu Masen. Lokasi
Transek
Panjang (km)
Temuan (harimau)
ER harim (tanda/km)
Temuan (mangsa)
ER mangsa (tanda/km)
EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM EUM
N29W37 N29W38 N30W36 N30W37 N30W38 N30W39 N30W40 N31W36 N31W37 N31W38 N31W39 N31W40 N31W41 N31W42 N32W36 N32W37 N32W38 N32W40 N32W41 N32W42 N32W43 N33W36 N33W38 N33W39 N33W40 N33W41 N33W42 N33W43 N33W44 N34W37 N34W38 N34W39 N34W40 N34W42 N34W44 N35W41 N35W42 N35W43 N36W41 N36W42 N36W43 N36W44 N34W36
39 30 32 31 48 15 39 26 27 27 26 38 52 28 38 23 25 19 41 22 19 28 33 38 23 28 31 13 37 39 28 30 29 35 21 33 36 33 30 35 23 30 21
1 2 1 0 2 0 2 1 0 2 1 1 3 0 0 1 2 0 0 0 1 1 2 8 2 2 6 0 2 1 2 0 3 2 1 3 2 1 0 0 1 0 0
0,03 0,07 0,03 0,00 0,04 0,00 0,05 0,04 0,00 0,07 0,04 0,03 0,06 0,00 0,00 0,04 0,08 0,00 0,00 0,00 0,05 0,04 0,06 0,21 0,09 0,07 0,19 0,00 0,05 0,03 0,07 0,00 0,10 0,06 0,05 0,09 0,06 0,03 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00
9 11 1 2 12 8 20 2 4 13 10 4 16 8 2 19 8 9 17 9 5 3 8 12 10 10 10 2 9 2 2 10 11 11 2 11 3 13 3 3 3 1 2
0,23 0,37 0,03 0,06 0,25 0,53 0,51 0,08 0,15 0,48 0,38 0,11 0,31 0,29 0,05 0,83 0,32 0,47 0,41 0,41 0,26 0,11 0,24 0,32 0,43 0,36 0,32 0,15 0,24 0,05 0,07 0,33 0,38 0,31 0,10 0,33 0,08 0,39 0,10 0,09 0,13 0,03 0,10
173
Lampiran 24. Peta prediksi kelimpahan relatif harimau lokal di kawasan hutan Ulu Masen.
174
Lampiran 25. Peta prediksi kelimpahan relatif hewan mangsa di kawasan hutan Ulu Masen.