APLIKASI SIG UNTUK ANALISIS DISTRIBUSI POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) DAN SATWA MANGSANYA DI HUTAN BLANG RAWEU, KAWASAN EKOSISTEM ULU MASEN, ACEH
IQRARUL FATA
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
APLIKASI SIG UNTUK ANALISIS DISTRIBUSI POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) DAN SATWA MANGSANYA DI HUTAN BLANG RAWEU, KAWASAN EKOSISTEM ULU MASEN, ACEH
IQRARUL FATA
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyeleseikan studi kesarjanaan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Penelitian : Aplikasi SIG untuk Analisis Distribusi Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan Satwa Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh Nama
:
Iqrarul Fata
NRP
:
E34050403
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc NIP. 19620316 198803 1 002
Dr. Ir. Jarwadi B. Hernowo, M.Sc.F NIP. 19581111 198703 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus :
RINGKASAN IQRARUL FATA. E34050403. Aplikasi SIG untuk Analisis Distribusi Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) dan Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh. Dibimbing oleh : LILIK B. PRASETYO dan JARWADI B. HERNOWO Keberadaan harimau sumatera dan mangsanya di Kawasan Ekosistem Ulu Masen belum sepenuhnya diketahui. Kawasan Ulu Masen merupakan satu dari 18 lokasi penelaahan populasi harimau sumatera yang ditetapkan Departemen Kehutanan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 20072017. Kawasan Ulu Masen baru memiliki data informasi keberadaan harimau sumatera tapi belum diketahui estimasi populasinya. Untuk mendukung program pemerintah melakukan penelaahan populasi harimau sumatera maka penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2009 sampai Mei 2010 di Hutan Blang Raweu dan sekitarnya dalam Kawasan Ekosistem Ulu Masen Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya, Propinsi Aceh. Berdasarkan tutupan lahannya, kawasan hutan Blang Raweu memiliki tipe hutan primer, hutan sekunder dan padang rumput. Berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya kawasan ini memiliki tipe hutan tropis dataran rendah, hutan tropis pegunungan dan hutan tropis pegunungan tinggi. Pengambilan data dilakukan dengan metode perangkap kamera yang dipasang secara acak berdasarkan peta kerja yang ditetapkan sebelum melakukan penelitian. Populasi harimau dianalisis dengan menggunakan metode capture-recapture sedangkan populasi mangsa dianalisis berdasarkan kecepatan berjalannya. Distribusi harimau dianalisis berdasarkan overlay titik perjumpaan dan peta tipe tutupan lahan, tipe hutan berdasarkan ketinggiannya, kemiringan lahan, letak padang rumput, letak sungai serta letak pemukiman dan aktivitas manusia dalam kawasan Berdasarkan analisis terhadap ditribusi harimau dan mangsanya menggunakan GIS diketahui bahwa distribusi harimau cenderung mengikuti distribusi mangsanya. Kecendrungan distribusi harimau mengikuti distribusi mangsanya dapat dilihat dari pola aktivitas harian dan keberadaan harimau terhadap mangsanya berdasarkan peta distribusi harimau dan mangsanya. Faktor yang paling berpengaruh dalam distribusi mangsanya adalah keberadaan pakan, salt lick dan air sehingga secara tidak langsung memepengaruhi distribusi harimau. Faktor lainnya seperti tutupan lahan, kemiringan, ketinggian aktivitas manusia dan letak pemukiman memiliki tingkat pengaruh yang berbeda pada setiap jenis satwanya. Perkiraan populasi harimau menggunakan program CAPTURE (X±SE) pada kawasan ini dengan model mh adalah 6±2.45 individu. Estimasi kepadatan harimau adalah 2-8 individu/100 km2 dengan tingkat kepercayaan 95%. Satwa mangsa pada kawasan Blang Raweu yang menjadi mangsa utama harimau adalah rusa sambar, kijang dan babi jenggot. Jenis satwa yang dapat dihitung populasinya adalah rusa dan kijang. Populasi rusa pada kawasan ini adalah 59 individu/100 km2 dengan sex rasio 1:5 sedangkan populasi kijang adalah 75 individu/100 km2 dengan sex rasio 1:1. Kata kunci : harimau, mangsa, distribusi, populasi.
SUMMARY IQRARUL FATA. E34050403. GIS Aplication for Sumtran Tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) and Prey Distribution Population Analisis in Blang Raweu Forest, Ulu Masen Ecosistem Area, Aceh. Suppervised by : LILIK B. PRASETYO and JARWADI B. HERNOWO Very little information is known of the distribution of Sumatran tiger and their prey species in Ulu Masen Ecosistem . Ulu Masen area is one of 18 Sumatran tiger’s population determining area which was appointed by Forestry Ministry in Sumatra for the implementation of Tiger Strategy and Action Plan at 2007. It was acknowledeged that Sumatran tiger existed at Ulu Masen, however, there was no any information on their population. This research was doing to support the government programs to determine the sumateran tiger population. This research was done from December 2009 until Mei 2010 in Blang Raweu Forest and its surrounding area in Ulu Masen ecosystem in Pidie and Pidie Jaya province Aceh. Based on the land cover, Blang Raweu Forest consisted 3 types, lowland tropical forest, mountain tropical forest and high mountain tropical forest. It ranging from lowland forest, hills forest, and mountain forest. The Data was taken by Random Camera Trap Methode and the prey population was analyzed based on the speed moving of the species. The tiger distribution was analyzed by overlaying the meeting point and the map of land cover type, forest type by the height, slope, grassland, river, settlement, and human activities in the area. Based on the tiger and prey distributionanalisys by using GIS, The tiger distribution was followed the prey. It was saw from the daily activity types and they prey bassed on the tiger and pery distribution maps. The primary factor in prey distribution wass feed, salt lick, and water, so it directly influence the tiger distribution. The other factors such as land cover, slope, altitude, human activity and the settlement which have different influence to the every animal. Estimated population based on CAPTURE (X±SE) program with the model mh was 6±2.45 individu. Meanwhile the tiger density is around 2-8 individu/100 km2 with the accuracy of about 95%. The primary prey in this area was Sambar deer, deer, and beard pig. Number of Sambar deer and deer could be estimated. There were 75 individu/100 km2 of sambar deer with 1:1 sex ratio.
Key word : tiger, prey, distribution, population
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Aplikasi SIG untuk Analisis Distribusi Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh” adalah hasil karya saya pribadi di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc dan Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi dan lembaga manapun. Sumber informasi yang diterbitkan maupun tidak diterbikan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
Iqrarul Fata E34050403
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 28 Oktober 1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mahzar Is dan Ibu Salinar. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1992 di SD Negeri 29 Tabek Patah, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar. Pada tahun 1998 melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Sungai Tarab Kecamatan Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2002 penulis memulai pendidikan menengah di SMA Negeri 1 IV Angkat Kabupaten Agam dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di komunitas olah raga dan seni Fraternidade Esportifo de Capoeira Alegria (FEdCA) IPB, serta menjadi pembina sejak tahun 2010 sampai sekarang. Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Jalur Baturraden-Cilacap tahun 2008. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi pada tahun 2009. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Aplikasi SIG untuk Analisi Distribusi Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc dan Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Syukur Kehadiran Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan pada penulis sehingga penulis dapat menyeleseikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Mahzar IS, BA dan Ibu Salinar A.Ma selaku orang tua serta Mesi Pebrina dan Khairul Fajri Selaku adik atas do’a, kasih sayang serta dukungan moril dan materil yang diberikan hingga skripsi ini selesai. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc. dan Bapak Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam pelaksannaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Ir. Dolli Priatna selaku pimpinan penelitian lapangan yang penulis ikuti atas bantuan moril dan materil yang diberikan. 4. CLP (Concervation Leadership Programe) atas bantuan dana penelitian yang diberikan. 5. ZSL (Zoological Socity of London) atas bantuan dana dan peralatan lapangan yang dipinjamkan selama penelitian berlangsung. 6. FFI (Flora Fauna International) Aceh Program dan segenap jajarannya atas bantuan yang diberikan selama penelitian lapangan dilakukan baik moral maupun materil. 7. Blang Raweu Ranger (Nurman, Norman, Maimun, Adi, Syaifudin, Rusdi, Antomi, Budiman, Nasir dan Burhan) atas bantuan guide,
ilmu dan
pendampingan selama penelitian lapangan. 8. Bang Susilo dan Bang Dedi atas bantuan dan pertukaran ilmu selama penelitian lapangan berlangsung. 9. Erry Kurniawan (Wedhuz) dan Andriana (Kenchot) atas kerjasama selama pelaksanaan penelitian lapangan. 10. Bang Geusti atas pelatihan singkat dan berbagi ilmu survey pemantauan harimau sumatera menggunkan perangkap kamera. 11. Taufan Mustafa atas bantuan lapangan dan tempat tinggal selama berada di kota Banda Aceh.
12. Bapak Nurman Bin Cut dan keluarga atas tumpangan temapat tinggal selama penelitian. 13. CRU Gumue (Cek Lah, Bang Popon dan para Mahot) atas bantuan akomodasi dan kebersamaannya selama peneltian. 14. Masyarakat Geumpang dan Mane atas kemudahan dan kerjasama yang diberikan selama penelitian. 15. Bang Agung Nugroho atas bantuan literatur, bimbingan dan pertukaran ilmu dalam penulisan skripsi. 16. Rika Budi Santoso S.Hut dan Muis Fajar S.Hut atas bantuan analisis data. 17. Teman-teman Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial atas pertukaran ilmu, kerjasama dan bantuan yang diberikan. 18. Keluarga Besar KSHE 42 atas persahabatan kebersamaan dan do,a yang telah diberikan. 19. Keluarga besar Kemawita atas kegembiraan dan kebersamaan yang terus diberikan. 20. Keluarga Besar J-Camp atas kebersamaan dan semangat yang selalu tercurahkan dalam duka maupun suka. 21. Keluarga Besar FEdCA (Fraternidade Esportivo de Capoeira Alegria) IPB atas kebersamaan dan semangat yang diberikan. 22. Bapak Supriatna dan Ibu Eem serta masyarakat Balebak yang telah memberikan suasana kekeluargaan selam penulis tinggal dilingkungan kampus IPB. 23. Semua pihak yang telah membantu dalam penyeleseian skripsi ini.
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Aplikasi SIG untuk Analisi Distribusi Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumtrae Pocock, 1929) dan Mangsanya di hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh” merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Desember 2009 sampai bulan Mei 2010 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan
Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M. Sc.F selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyususnan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CLP, ZSL dan FFI-Aceh Program atas segala bantuan yang telah diberikan baik moril maupun materil. Hasil ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran tentang populasi harimau sumatera dan mangsanya di kawasan hutan Blang Raweu dan sekitarnya yang berguna bagi upaya konservasi harimau sumatera pada kawasan tersebut. Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dan sempurna dan tidak tertutup kemungkinan terdapat ketidak sesuaian dalam penyajian isi materi maupun tata bahasa sebgai akibat belum optimalnya usaha. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang mebutuhkan
Bogor, Januari 2011
Iqrarul Fata E34050403
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................. DAFTAR TABEL .... ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR.... .................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. I.
i ii iv v vii
PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1. Latar Belakang .... ............................................................................... 1.2. Tujuan .............................................................................................. 1.3. Manfaat .............................................................................................
1 1 2 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2.1. Bio-Ekologi Harimau Sumatera ....................................................... 2.1.1. Taksonomi ............................................................................. 2.1.2. Morfologi ............................................................................... 2.1.3. Perilaku .................................................................................. 2.1.4. Populasi dan Penyebaran ........................................................ 2.1.5. Habitat ................................................................................... 2.1.6. Wilayah Jelajah dan Teritori ................................................. 2.1.7. Satwa Mangsa ......................................................................... 2.1.8. Hubungan Harimau dengan Satwa Mangsa ........................... 2.2. Perangkap Kamera (Camera Trap).................................................... 2.3.Sistem Informasi Geografi (SIG) ...................................................... 2.2.1. Definisi SIG ............................................................................ 2.2.2. Komponen SIG........................................................................ 2.2.3. Aplikasi SIG ............................................................................ 2.3. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) .............................................. 2.3.1. Definisi .................................................................................. 2.3.2. Citra Landsat .......................................................................... 2.3.3. Pengunaan Citra Landsat TM pada SIG ................................. 2.4. Global Positioning System (GPS) .....................................................
3 3 3 4 5 7 7 8 9 9 11 12 12 13 14 15 15 16 16 17
III. KONDISI UMUM LOKASI ................................................................. 3.1. Sejarah dan Status Kawasan .... .......................................................... 3.2. Letak dan Luas.... ............................................................................... 3.3. Kondisi Fisik Kawasan .... .................................................................. 3.3.1. Topografi ................................................................................ 3.3.2. Tanah........................................................................................ 3.3.3. Iklim ...................................................................................... 3.4. Kondisi Biologis .. .............................................................................. 3.4.1. Flora… ..................................................................................... 3.4.2. Fauna........................................................................................
18 18 19 19 19 19 20 21 21 22
ii
IV. METODE PENELITIAN ...................................................................... 4.1. Waktu dan Tempat ............................................................................ 4.2. Peralatan yang Digunakan ............................................................... 4.3. Jenis Data yang Dikumpulkan ......................................................... 4.4. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 4.4.1. Metode Perangkap Kamera ..................................................... 4.4.2. Survey Lapangan Menggunakan Metode Jalur ....................... 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 4.5.1. Pendugaan Populasi Harimau Sumatera ................................. 4.5.2. Pendugaan Populasi Mangsa ................................................... 4.5.2. Distribusi Harimau dan Mangsanya ....................................... 4.5.3. Hubungan Harimau dan Satwa Mangsa ..................................
23 23 24 24 25 25 26 26 26 28 28 32
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 5.1. Hasil.................................................................................................... 5.1.1. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Perangkap Kamera............................................... 5.1.2. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Survey Lapangan ................................................. 5.1.3. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsanya................................................................................ 5.1.4. Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya...................... 5.1.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya ........................ 5.1.6. Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya .......................... 5.1.7. Potensi Gangguan Terhadap Kawasan.....................................
35 35 35 44 48 54 59 68 70
5.2 pembahasan ....................................................................................... 5.2.1. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya berdasarkan Perangkap Kamera .............................................. 5.2.2. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya berdasarkan Survey Lapangan.................................................. 5.2.3. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsanya............................................................................... 5.2.4. Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya...................... 5.2.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya ........................ 5.2.6. Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya .......................... 5.2.7. Potensi Gangguan Terhadap Kawasan.....................................
76 78 80 87 89
VII. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 7.1. Kesimpulan......................................................................................... 7.2. Saran ................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
94 94 94 95
LAMPIRAN ...................................................................................................
97
iii
72 72 74
DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Perkiraan populasi harimau sumatera di kawasan konservasi Pulau Sumatera ......................................................................................... 7 2. Karakteristik spectral landsat thematic mapper ....................................... 16 3. Luasan Ekosistem Ulu Masen per-kabupaten kota ................................... 19 4. Keadaan perangkap kamera terpasang ...................................................... 35 5. Foto-foto hasil perangkap kamera di lokasi penelitian ............................ 36 6. Keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan perangkap kamera ....................................................................................................... 37 7. Jenis dan jumlah tanda-tanda keberadaan harimau sumatera.................... 45 8. Hasil uji regresi logistik tingkat perjumpaan harimau sumaetra dan satwa mangsa ...................................................................................... 53 9. Distribusi keberadaan dan tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan ............................................... 59 10. Distribusi keberadaan harimau dan mangsa berdasarkan tipe hutan menurut ketinggian .......................................................................... 60 11. Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan kemiringan................................................................................................. 62 12. Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak padang rumput .................................................................................. 63 13. Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak sungai................................................................................................ 65 14. Keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan jarak dari pemukiman dan terhadap gangguan .......................................................... 66 15. Individu harimau sumatera tertangkap kamera ......................................... 68 16. Populasi harimau sumatera berdasarkan Analisis CAPTURE .................. 69 17. Kepadatan rusa sambar dan kijang ............................................................ 70 18. Potensi gangguan pada kawasan penelitian............................................... 71
iv
DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Subsistem-subsistem SIG ........................................................................ 13 2. Peta keadaan geologi Aceh ....................................................................... 20 3. Peta Lokasi Penelitian ............................................................................... 23 4. Peralatan lapangan..................................................................................... 24 5. Posisi pemasangan perangkap kamera ...................................................... 26 6. Proses pembuatan peta tutupan lahan........................................................ 29 7. Proses pembuatan peta kontur, ketinggian dan kemiringan lahan ............ 30 8. Proses pembuatan peta padang rumput dan jarak dari padang rumput........................................................................................................ 31 9. Proses pembuatan peta sungai dan jarak dari sungai................................. 32 10 Proses pembuatan peta overlay ER harimau dan mangsanya ................... 34 11. Suku Felidae tertangkap perangkap kamera.............................................. 38 12. Beruang madu ............................................................................................ 39 13. Suku Cervidae ........................................................................................... 39 14. Babi jenggot dan anaknya ......................................................................... 40 15. Pelanduk .................................................................................................... 40 16. Gerombolan gajah sumatera. ..................................................................... 41 17. Beruk yang tertangkap perangkap kamera ................................................ 42 18. Landak yang berhasil tertangkap perangkap kamera ................................ 42 19. Suku viveridae yang tertangkap perangkap kamera.................................. 43 20. Suku phasianidae ....................................................................................... 44 21. Tanda keberadaan harimau........................................................................ 45 22. Satwa yang dijumpai langsung.................................................................. 47 23. Salt lick dan kubangan............................................................................... 48 24. Peta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera............................. 49 25. Grafik tingkat perjumpaan satwa mangsa berdasarkan jenis satwanya .................................................................................................... 50 26. Peta interpolasi tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera..................................................................................................... 51 27. Grafik overlay tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa ............... 52 28. Peta overlay interpolasi tingkat perjumpaan harimau dan mangsa ........... 53 29. Grafik pola waktu aktivitas harian harimau sumatera .............................. 55 30. Pola aktivitas cicardian mangsa harimau sumtera .................................... 56 31. Grafik pola aktifitas harian satwa mangsa................................................. 57 32. Grafik hubungan pola ativitas harimau sumatera dan mangsa ................. 58 32. Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan .......................................................................................................... 60 34. Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya .............................................................................. 61 35. Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan kelas kemiringan................................................................................................. 63 36. Peta distribusi harimau berdasarkan letak padang rumput ........................ 64 37. Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan letak dari sungai......................................................................................................... 66
v
38. Peta sebaran harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan aktivitas manusia dan letak terhadap pemukiman ..................................... 39. Harimau tertangkap kamera ......................................................................
vi
67 69
DAFTAR LAMPIRAN No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Halaman Rekapitulasi pemasangan perangkap kamera ........................................... 99 Keberadaan harimau dan mangsa pada setiap kamera.............................. 101 Rekapitulasi tingkat perjumpaan harimau dan mangsa ............................ 102 Rekapitulasi kecepatan berjalan rusa sambar ........................................... 103 Rekapitulasi kecepatan berjalan kijang..................................................... 107 Hasil uji regresi logistik ER harimau dan mangsa.................................... 110 Analisis program CAPTURE ................................................................... 113
vii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) tersebar di 26 kawasan konservasi dan kawasan hutan lainnya yang terpisah secara geografis dengan jumlah populasi sekitar 500 ekor (PHPA 1994). Sejak tahun 1996, harimau sumatera masuk dalam kategori sangat terancam kepunahan (critically endangered) oleh The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) atau Badan Dunia untuk Konservasi Alam dan Sumberdaya Alam. CITES (Convetion on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau Konvensi Internasional Tentang Perdagangan Satwa dan Tumbuhan Terancam Punah mengelompokan harimau sumatera dalam kategori Appendix I. Harimau sumatera dalam upaya konservasinya membutuhkan habitat yang memadai. Salah satu kawasan yang memiliki perhatian lebih terhadap harimau sumatera adalah Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Kawasan Ekosistem Ulu Masen merupakan salah satu kawasan penelaahan populasi harimau sumatera dari 18 kawasan yang ada di pulau sumatera (Departemen Kehutanan 2007). Kawasan Ekosistem Ulu Masen merupakan kombinasi antara hutan daratan rendah sampai pegunungan seluas 738.857 Ha pada lima Kabupaten di utara Propinsi Aceh yaitu: Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya. Keberadaan harimau sumatera di propinsi Aceh belum sepenuhnya diketahui dengan akurat karena penelitian lapangan relatif sedikit dilakukan terutama di Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Berdasarkan data WCS-IP (Wildlife Concervation Society Indonesia Programe) yang dipublikasikan Departemen Kehutanan tahun 2007 ditemukan bukti keberadaan harimau sumatera di Kawasan Ekosistem Ulu Masen namun estimasi populasinya belum diketahui. Untuk melengkapi bukti keberadaan harimau sumatera tersebut perlu dilakukan penelitian guna memperoleh data keberadaan, populasi dan penyebaran (distribusi) harimau sumatera dan mangsanya pada kawasan tersebut.
2 Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menentukan keberadaan harimau dan mangsanya adalah dengan analisis sistem informasi geografis (SIG) (Smith et al. 1998). Dalam ilmu satwaliar SIG dapat dimanfaatkan untuk analisis habitat, tutupan lahan, penentuan wilayah jelajah dan teritori, pemodelan spasial habitat satwaliar, pemetaan sebaran satwaliar dan acuan pengambilan keputusan dalam pengelolaan satwaliar salah satunya adalah harimau sumatera. 1.2. Tujuan Penelitian tentang Aplikasi GIS untuk Analisis Distribusi Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Ekosistem Ulu Masen, Aceh ini bertujuan: a). Menentukan hubungan distribusi harimau sumatera terhadap distribusi mangsanya b). Mengidentifikasi populasi harimau sumatera dan satwa mangsanya, c). Memanfaatkan GIS untuk analisis distribusi populasi harimau sumatera dan mangsanya. 1.3. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi distribusi populasi harimau dan satwa mangsanya di kawasan hutan Blang Raweu. Hasil studi pemanfaatan GIS untuk analisis distribusi populasi dan satwa mangsa harimau sumatera hendaknya dapat dijadikan bahan pertimbangan pengelola kawasan Ekosistem Ulu Masen dan pihak berwenang dalam perumusan kebijakan dan keputusan dalam usaha-usaha pelestarian harimau sumatera.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bio-Ekologi Harimau Sumatera 2.1.1. Taksonomi Harimau
dalam
ilmu
taksonomi
oleh
Carl
Linne
(Linneaeus)
diklasifikasikan sebagai Felis tigris. Felis melipuiti semua jenis kucing. Para ilmuwan menempatkan harimau pada genus yang berbeda dengan kucing yang lebih kecil yang diberi nama Panthera. Terdapat 8 subspesies harimau di dunia, dimana tiga diantaranya telah dinyatakan punah (Grzimek 1975), sub-spesies tersebut yaitu: a). Panthera tigris altaica (Temminck 1984); harimau siberia atau harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara. b). Panthera tigris amoyensis (Hilzheimer 1905); harimau cina, terdapat di Cina. c). Panthera tigris corbetti (Mazak 1968); harimau indocina, terdapat di Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia. d). Panthera tigris tigris (Linneaeus 1758); harimau bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar. e). Panther tigris sumatrae, Pocock 1929; harimau sumatera, terdapat di Pulau Sumatera. f). Panthera tigris sondaica (Temminck 1844); harimau jawa, terdapat di Pulau Jawa dan dinyatakan punah pada sekitar tahun 1980. g). Panthera tigris balica (Schwarz 1912); harimau bali, terdapat di Pulau Bali, dan dinyatakan punah pada tahun 1937. h). Panthera tigris virgata (Illiger 1815); harimau kaspia, terdapat di Iran, Afghanistan, Turki dan Rusia, sudah punah sekitar tahun 1950. Sistematika taksonomi harimau sumatera (Panthera tigris sumaterae, Pocock 1929) oleh Grzimek (1975) digolongkan dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Kelas Mamalia, Sub Kelas Theria Ordo Karnivora, Sub Ordo Fissipedia, Famili Felidae, Sub Famili Pantherina, Genus Panthera, Spesies Panthera tigris, dan Sub Spesies Panthera tigris sumatrae.
4 2.1.2. Morfologi Secara umum bentuk warna dan corak tubuh delapan spesies harimau hampir sama yaitu loreng dengan warna dasar oranye dan corak berwarna hitam. Dari segi ukuran tubuh harimau sumatera merupakan sub-spesies harimau yang memiliki ukuran tubuh paling kecil dari ukuran tujuh sub-spesies lainnya. Tipe loreng antar individu harimau berbeda dengan individu lainya begitu juga dengan corak kiri berbeda dengan corak kanan pada tubuh satu individu (asimetris). Jumlah corak atau loreng pada setiap individu harimau bervariasi dan cenderung terpisah-pisah (Sriyanto 2003). Pada bagian tertentu tubuh harimau berwarna putih dengan loreng berwarna hitam seperti pada bagian bawah tenggorokan dan bawah tubuh serta pada bagian dalam kaki (Boerer 1971). Iris mata harimau berwarna kuning dengan pupil mata berbentuk bulat, telinga bagian belakang berwarna hitam dan memiliki noda putih mencolok yang berfungsi sebagai tanda visual untuk membantu anaknya pada malam hari (Tilson et al. 1997). Harimau jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar daripada harimau betina (Jackson 1990). Harimau sumatera jantan memiliki massa tubuh antara 100-140 kg, dengan panjang total 220-255 cm, sedangkan harimau betina memiliki massa tubuh antara 75-110 kg, dengan panjang tubuh 215-230 cm (Subagyo 1996). Ukuran kaki depan harimau lebih panjang dari kaki belakangnya yang membantu memudahkan harimau melompat tinggi dan jauh (Jackson 1990). Setiap kaki harimau dilengkapi dengan cakar berupa kuku yang tajam dan bantalan pada telapak kakinya. Cakar kaki depan harimau lebih panjang daripada cakar kaki belakangnya. Cakar kaki depan harimau berupa kuku runcing dan tajam dengan panjang 80-100 mm yang dapat ditarik dan diulur serta sangat efektif untuk menangkap dan menggenggam mangsa (Jackson 1990). Bantalan pada telapak kaki harimau berfungsi mengurangi suara saat melangkah terutama saat harimau mengejar mangsanya. Telapak kaki harimau berbeda antara telapak kaki depan dan belakang. Telapak kaki depan harimau dewasa antara 10-20 cm dan kaki belakang lebih kecil 1-1,5 cm (Singh 1999).
5 2.1.3. Perilaku Harimau sumatera merupakan spesies kucing besar yang hidup soliter yaitu satwa yang sebagian besar waktu hidupnya dengan menyendiri, kecuali saat musim kawin dan selama memelihara anak. Harimau dapat bergerak mengunjungi setiap bagian teritorialnya setiap 10 hari sambil mengikuti hewan mangsanya yang secara terus-menerus bergerak aktif ketika harimau aktif bergerak mengejar mangsanya tersebut (Jackson 1990). Harimau merupakan satwa pemangsa yang menggunakan teknik berburu individual, bersembunyi, mengejar, menyerang secara tiba-tiba untuk kemudian membunuh mangsanya (Seidensticker et al. 1999). Dalam menjalankan perburuannya harimau mengawalinya dengan mengikuti setiap pergerakan mangsanya, berada sedekat mungkin dari mangsanya tersebut sehingga sering ditemukan jejak harimau berada tidak jauh dari jejak mangsanya. Harimau umumnya akan memulai perburuannya pada sore hari dan sangat aktif saat malam hari karena harimau merupakan satwa yang tidak tahan dengan panasnya sengatan matahari (Lekagul & McNeely 1977). Akan tetapi jika cuaca siang hari dingin dan mendung atau matahari tidak bersinar terik dan suhu udara relatif rendah harimau juga akan berburu mangsanya. Harimau sangat tergantung pada penglihatan dan pendengarannya saat berburu mangsa jika dibandingkan dengan indera lainnya. Indera ini sangat membantu harimau saat berburu terutama saat berburu di malam hari (Hoogerwerf 1970). Harimau berburu mangsa dan membunuhnya dengan cara mengigit pada bagian leher. Gigitan pada leher mangsa terarah pada saluran tenggorokan dari arah samping atau dari arah bawah. Setelah mangsa mati digigit, harimau akan cenderung membawa mangsanya mendekati sumber air dan memakannya di sana karena saat makan harimau berhenti beberapa saat untuk minum dan kembali melanjutkan makannya (Grzimek 1975). Untuk pemenuhan kebutuhannya akan energi yang berasal dari daging mangsanya, harimau berburu setiap 3-6 hari sekali dan sangat ditentukan oleh ukuran dan massa tubuh mangsa yang dimakannya. Seekor harimau biasanya membutuhkan energi dari 3-6 kg daging setiap harinya sehingga harimau biasanya
6 tidak menghabiskan mangsanya, hanya sekitar 70% mangsa yang dimakan (Seidensticker et al. 1999). Untuk satwa yang berukuran besar seperti rusa sambar biasanya dimakan beberapa kali. Sisa makanan biasanya disimpan dengan cara menutupinya dengan dedaunan dan ranting untuk dimakan kembali serta agar mangsanya tidak tercium dan dimakan oleh satwa pemangsa lainnya (Hutabarat 2005). Harimau betina memiliki satu periode bernama estrous yaitu periode dimana harimau betina akan membuka diri menerima harimau jantan untuk melakukan perkawinan. Aroma khas harimau betina saat mengalami masa estrous akan tercium oleh harimau jantan melalui urine harimau betina. Selama masa birahi harimau betina akan memperlihatkan perilaku yang lebih agresif dari biasanya, lebih banyak mengeluarkan suara dan lebih sedikit beristirahat. Harimau betina yang mengalami masa birahi akan mengeluarkan suara yang berasal dari udara dalam rongga hidung serta mengaum dan menggeram pelan atau disebut dengan istilah “prusten” (McDougal 1979). Pada daerah tropis seperti Indonesia yang memiliki fluktuasi iklim yang sangat kecil, harimau memiliki masa kawin sepanjang tahun. Lama kehamilan harimau sekitar 103 hari dengan rata-rata kelahiran 2 ekor anak setiap kelahiran (Sherpa dan Makey, 1998). Anak yang dilahirkan akan terus berada dalam sarang sampai kira-kira berumur 6 bulan, setelah itu akan mulai dibawa induknya untuk berburu mangsa. Saat berumur 18-28 bulan anak harimau akan disapih oleh induknya, namun beberapa temuan menyebutkan terdapat harimau yang masih di bawah pengasuhan induknya sampai menemukan pasangan hidupnya (Sherpa dan Makey, 1998). Harimau betina akan mencapai masa dewasa kelamin saat berumur 3 tahun sedangkan harimau jantan baru akan mencapainya saat berumur 4 tahun (Sherpa & Maskey 1998). Setelah mencapai masa dewasa kelamin harimau betina dapat melahirkan anak setiap dua tahun sekali sampai harimau tersebut berumur 9-10 tahun. Selama hidupnya harimau betina memiliki rata-rata masa berkembang biak 6,1 tahun dengan umur rata-rata harimau antara 10-15 tahun (Sherpa dan Makey, 1998).
7 2.1.4. Populasi dan Penyebaran Harimau sumatera tersebar di seluruh Pulau Sumatera, terutama di kawasan hutan primer mulai dari Ekosistem Ulu Masen di utara Sumatera sampai Way Kambas di selatan. Sampai tahun 1994 diperkirakan terdapat 400-500 ekor harimau sumatera yang tersebar pada kawasan hutan di Pulau Sumatera (PHPA 1994). Distribusi harimau sumatera di kawasan konservasi di Pulau Sumatera tahun 1994 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkiraan populasi harimau sumatera di kawasan konservasi pulau Sumatera Kawasan Konservasi
Luas (ha)
TN Gunung Leuser TN kerinci Seblat TN Bukit Barisan Selatan TN Berbak TN Way Kambas SM Kerumutan SM Rimbang Jumlah
900.000 1.500.000 357.000 163.000 130.000 120.000 136.000 3.306.000
Habitat Harimau Tersedia (ha) 360.000 600.000 282.000 114.000 97.000 78.000 122.000 1653.000
Dugaan Populasi (ekor) 110 76 68 50 20 30 42 396
Perkiraan Laju Hilangnya harimau (ekor/tahun) 2-4 6 1 2 0 2 2 15-17
Sumber: PHPA (1994)
2.1.5. Habitat Habitat satwaliar merupakan suatu kesatuan komponen biotik dan abiotik pada suatu kawasan yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak oleh satwaliar (Alikodra 2002). Harimau dapat hidup di berbagai habitat mulai dari hutan dataran rendah, hutan pegunungan, savana, hutan rawa, hutan pantai, hinggga hutan cemara di Semananjung Kamchatka, Rusia. Habitat yang optimum untuk harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput karena memiliki kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa dan kijang (PHPA 1994, Siswomartono 1994). Selain ketersediaan satwa mangsa, harimau sumatera juga memilih habitat yang memungkinkannya untuk bertemu dengan pasangannya (McDougal 1979). Harimau sumatera sangat menyukai habitat hutan bersungai, hutan rawa, dan padang rumput (Santiapilai & Ramono 1985). Kesukaan harimau pada habitat hutan bersungai dan berawa tersebut karena harimau tidak menyukai cuaca panas dan umumnya mencari tempat yang teduh untuk beristirahat. Selain itu harimau
8 merupakan jenis kucing yang suka berenang (Lekagul & McNeely 1977). Di Indonesia, variasi habitat harimau sumatera yang menjadi pilihan (Suwelo & Soemantri 1978) adalah: a). Hutan hujan tropis, hutan primer, hutan sekunder pada dataran rendah sampai pegunungan tinggi, savana, hutan terbuka dan hutan pantai, b). Pantai berlumpur, mangrove, rawa payau dan pantai air tawar, c). Padang rumput terutama padang alang-alang, d). Daerah datar sepanjang aliran sungai, e). Daerah perkebunan dan tanah pertanian. Selain daerah tersebut harimau juga dapat hidup pada tipe habitat hutan gambut (Hasiholan 2005). 2.1.6. Wilayah Jelajah dan Teritori Wilayah jelajah (home range) merupakan seluruh wilayah yang dijelajahi oleh harimau dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Harimau jantan memiliki wilayah jelajah yang lebih luas dibanding dengan harimau betina, yakni harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh dibanding betina. Harimau jantan mampu menjelajah antara 33-65 km, sedangkan jarak jelajah rata-rata harimau betina antara 10-33 km. Angka ini bersifat relatif karena daya jelajah harimau juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh hewan tersebut, tipe habitatnya dan ketersediaan kebutuhan hidupnya (Smith 1993). Teritori merupakan wilayah yang dipertahankan dengan aktif seperti tempat tidur dan tempat bersarang (Delany 1982). Teritori harimau sangat bervariasi tergantung pada kualitas habitat yang ditempatinya. Harimau yang tinggal di habitat baik dan mendukung memiliki wilayah teritori yang lebih sempit dibanding dengan harimau yang tinggal di wilayah yang kurang mendukung (Sherpa & Maskey 1998). Harimau melakukan penjagaan terhadap wilayah teritorinya dengan cara meninggalkan bau-bauan pada urine dan faeses serta penandaan berupa cakaran pada lokasi tertentu yang mereka anggap strategis dan mampu menghidarkan dari gangguan harimau lainnya, terutama pejantan. Penandaan wilayah teritori oleh harimau akan terus dilakukan berulang. Pengulangan akan meningkat
9 frekuensinya jika berada pada wilayah yang memiliki frekuensi kontak tinggi dengan harimau lain. Penandaan teritori juga dilakukan harimau dengan meninggalkan bekas cakaran pada pohon-pohon besar (Jackson 1990). Harimau merupakan kucing besar yang memiliki teritori intraseksual, yakni harimau jantan memiliki teritori yang lebih luas dibanding dengan harimau betina. Harimau jantan dalam satu habitat utama mampu mencakup beberapa teritori harimau betina hingga mencapai rasio 3:1 (teritori 3 harimau betina dalam teritori satu jantan) (Sherpa & Maskey 1998). Harimau jantan memiliki luas teritori 50150 km2, sedangkan betina 15-150 km2 (McDougal 1979). Harimau jantan tiga kali lebih sering mengontrol teritorinya jika dibanding dengan harimau betina (Jackson 1990). 2.1.7. Satwa Mangsa Kucing besar merupakan karnivora yang cenderung memangsa beberapa jenis mangsa dengan rata-rata 4 jenis satwa mangsa (Kitchener 1991). Beberapa jenis kucing besar merupakan karnivora yang oportunis dalam preferensi satwa mangsa yang dimakannya, dan ukuran maksimum mangsanya berhubungan dengan ukuran tubuhnya. Jumlah pakan yang dimakan kucing besar kurang lebih seperlima dari massa tubuhnya (Schaller 1967). Harimau memangsa berbagai spesies hewan yang berhasil ditangkapnya termasuk burung, reptil, amfibi, ikan, bahkan invertebrata. Akan tetapi komposisi jenis pakan terbesar yang dimangsa harimau adalah mamalia, khususnya hewan ungulata. Di Taman Nasional Gunung Leuser, satwa mangsa yang disukai harimau adalah rusa sambar, babi hutan, muncak dan landak (Griffith 1997). Harimau kadang-kadang memangsa kijang dan kambing hutan pada kawasan dengan ketinggian lebih dari 600 m dpl (Seidensticker et al. 1999). 2.1.8. Hubungan antara Satwa Mangsa dan Harimau Kepadatan dan populasi harimau pada suatu habitat dipengaruhi oleh kualitas habitat dan ketersedian satwa mangsa. Kepadatan satwa mangsa merupakan faktor signifikan yang menentukan ukuran teritori harimau betina serta kepadatan populasi harimau secara keseluruhan (Sherpa & Maskey 1998).
10 Wilayah teritori harimau jantan selain tergantung oleh ketersediaan mangsa juga ditentukan oleh keberadaan betina yang dikawininya (Jackson 1990). Pakan utama harimau sumatera adalah dari keluarga Cervidae berukuran besar dan Suidae seperti, rusa sambar (Cervus unicolor) dan babi hutan (Sus scrofa). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai jenis mangsa alternatif lain, seperti kijang (Muntiacus muntjac), kancil (Tragulus sp), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica), beruang madu (Helarctos malayanus) dan kuau raja (Argusianus argus) (Sihotang 2008). Penyusutan populasi satwa mangsa akan mengakibatkan menurunya tingkat keberhasilan berburu seekor harimau, pembuangan energi yang lebih besar setiap berburu serta semakin luasnya pergerakan harimau (Sunquist 1981). Jenis mangsa kucing besar termasuk harimau di hutan tropis yang telah ada sangat sedikit dikaji, bahkan preferensi pakan sangat jarang diketahui khususnya mangsa harimau sumatera (Kitchener 1991). Harimau dan satwa mangsa memiliki hubungan yang dinamis pada aktivitas memangsa dan dimangsa dalam rantai makanan di dalam ekosistem hutan. Sebagian besar kebutuhan makan harimau sumatera diperoleh dari Cervidae berbadan besar. Harimau betina dewasa membutuhkan daging 1708 2562 kg per tahun untuk hidup. Hal ini berarti seekor harimau betina dapat membunuh 122 - 183 ekor kijang setiap tahunnya. (Seidensticker et al. 1999). Berkurangnya jumlah satwa mangsa harimau merupakan faktor penting dalam menentukan kelangsungan hidup harimau. Namun demikian faktor ini sering terabaikan oleh para ahli pelestarian hingga saat ini (Karant & Stith 1995). Hal ini disebabkan oleh efek pengurangan jumlah satwa mangsa hampir tidak kentara, tidak seperti perburuan harimau dan musnahnya habitat yang dramatis. Tidak kentaranya pengaruh penurunan jumlah satwa mangsa terhadap populasi harimau juga disebabkan oleh kurangnya survey satwa mangsa yang dilakukan secara berkala dan rutin (Kitchener 1991).
11 2.2. Perangkap Kamera (Camera Trap) Perangkap kamera merupakan suatu alat dan sistem untuk memantau satwaliar secara efektif dan efisisen dalam upaya mendukung usaha-usaha konservasi terhadap satwaliar khususnya harimau sumatera (Karant & Nicolas 2001). Teknologi perangkap kamera telah banyak memberikan kemudahan dalam pemantauan berbagai jenis satwaliar termasuk di Indonesia. Penggunaan perangkap kamera dalam pemantauan satwaliar di Indonesia pertama kali digunakan oleh Grifft (1994) di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara. Pada awalnya perangkap kamera yang umum digunakan adalah perangkap kamera konvensional (kamera analog) yaitu menggunakan film sebagai bahan untuk merekam gambar. Seiring perkembangannya perangkap kamera mulai menggunakan tipe digital dengan menggunakan memori (SD, CF dan Micro SD) sebagai alat untuk merekam data. Kamera analog yang umum digunakan adalah tipe DeerCam dan tipe Trail Master, sedangkan kamera digital yang digunakan diantaranya tipe Reconix dan DLC. Dalam penggunaannya terdapat dua tipe sensor peangkap gambar yaitu sensor gerak dan sensor panas. Perangkap kamera Trail Master merupakan perangkap kamera yang menggunakan sensor gerak sedangkan perangkap kamera tipe DeerCam, Reconix dan DLC merupakan perangkap kamera yang menggunkan sensor panas. Perangkap kamera analog mampu merekam berbagai informasi satwaliar dan lingkungannya. Informasi yang mampu direkam perangkap kamera konvensional diantaranya, jenis satwa, keadaan fisik satwa, pergerakan satwa, waktu perjumpaan (sebagai waktu aktivitas).
Kamera digital selain mampu
merekam data yang sama dengan perangkap konvensional juga mampu menangkap beberapa data tambahan diantaranya suhu lokasi pemasangan, jarak perpindahan satwa pada sudut tangkap kamera. Hutchinson & Waser (2007) menggunakan kamera Reconix untuk menghitung kecepatan berjalan satwa. Kecepatan berjalan satwa dihitung untuk menduga kepadatan populasi satwa tersebut. Dalam pengunaannya perangkap kamera digital jauh lebih unggul dibandingkan perangkap kamera konvensional. Keunggulan yang dimiliki kamera
12 digital diantaranya, mampu merekam informasi lebih banyak, mampu merekam data (foto) lebih banyak, tahan terhadap perubahan cuaca yang ekstreem, hemat penggunaan baterei, dan memiliki casing yang kuat. Dalam pelaksanaan perangkap kamera digital juga memeilki beberapa kelemahan diantaranya ukuran ynag besar an bobotnya yang berat (bobot terpasang jenis Reconix ± 5kg/unit), rawan pencurian, gangguan satwaliar terutama gajah sumatera, mengambil gambar secara otomatis, dan ketergantungan terhadap cahaya matahari untuk mendapatkan data foto yang akurat. 2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.3.1. Definisi Sistem informasi geografis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data, manusia (brainware) dan lembaga-lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, manganalisa dan menyebarkan data-data dan informasi-informasi mengenai daerah-daerah di permukaan bumi (Chrishman 1997). SIG sebagai system informasi berbasis komputer memiliki empat kemampuan dasar (subsistem) (Prahasta 2002): a). Data input: subsistem ini memiliki tugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Subsistem ini juga bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan format asli sebuah data menjadi format yang dapat digunakan dalam SIG b). Data output: subsistem ini menampilkan atau menghasilkan seluruh atau sebagian keluaran basis data baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy seperti tabel, grafik dan peta, c). Data management: subsistem ini mengkoordinasikan data spasial dan atributnya kedalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update dan diedit, d). Data manipulations dan analisis: subsistem ini menentukan informasiinformasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.
13 Keempat subsistem dalam SIG memiliki hubungan yang sangat penting dalam penggunaannya. Keterkaitan antar subsistem SIG disajikan pada Gambar 1. Data manipulations dan analisis
Data input
SIG
Data output
Data management
Gambar 1 Subsistem-subsistem SIG (Prahasta 2002). 2.3.2. Komponen SIG SIG merupakan sistem operasi yang komplek yang terintegrasi dengan lingkungan sistem komputer lain di tingkat fungsional dan jaringan. SIG dalam pengoperasiannya terdiri atas komponen (Batubara dan Hasibuan 2000): a. Perangkat keras: Terdiri atas PC dekstop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan secara bersamaan, harddisk, dan mempunyai kapasitas memori serta RAM yang besar. b. Perangkat lunak: Software GIS menyediakan fungsi-fungsi dan alat-alat yang diperlukan untuk menyimpan, menganalisis, dan memperagakan informasi geografi. Komponen-komponen software adalah alat untuk memasukkan & memanipulasi informasi geografik, DBMS (sebuah database untuk sistem pengelolaan), Alat untuk menyokong pertanyaan-pertanyaan geografik, menganalis dan Memvisualisasikan GUI (Graphical User Interface) untuk mempermudah pengaksesan kepada alat-alat c. Data: merupakan komponen yang amat penting dalam GIS. Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan dikumpulkan dalam suatu tempat khusus yang dapat dibeli dari penyedia data komersial. GIS akan menggabungkan ruang data dengan sumber-sumber data lainnya dan menggunakan DBMS untuk mengorganisasikan dan memelihara serta mengatur data.
14 d. Manusia: Teknologi GIS memerlukan orang untuk mengatur sistem dan membangun rencana- rencana supaya teraplikasi dalam hal yang nyata. Pemakai GIS adalah teknikal khas yang medesain dan memelihara sistem dan pemakai untuk meningkatkan nilai kerja yang mereka lakukan sehari-hari. e. Metoda: Kesuksesan GIS beroperasi tergantung pada perencanaan desain yang baik dan metoda- metoda bisnis, yang merupakan model dan beroperasi khusus untuk tiap-tiap organisasi. Sumber-sumber data geospasial adalah foto udara, citra satelit, tabel statistik, dan dokumen lain yang berhubungan (Prayitno 2002). Data geospasial dapat dibedakan menjadi data grafis (data geometris) dan data atribut (data tematik). Data grafis terdiri atas tiga elemen yaitu: titik (node), garis (arc) dan luasan atau bidang (polygon) dalam bentuk vektor ataupun raster yang mewakili geometri topologi, ukuran, bentuk, posisi, dan arah. Fungsi pengguna adalah untuk memilih informasi yang diperlukan, membuat standar, membuat jadwal pemutakhiran, menganalisis hasil yang dikeluarkan untuk kegunaan sesuai keinginan dan merencanakannya (Prayitno 2002). 2.3.3. Aplikasi SIG Pemakaian SIG dalam penelitian harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) anatara lain: a.
Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh Seblat Taman Nasional Kerinci Seblat oleh Rudiansyah (2007). Penilaian kesesuaian habitat harimau sumatera berdasarkan tinjauan dan penilaian layer yaitu ketersedian mangsa (ER harimau dan mangsa hasil perangkap kamera), jarak dari sungai (buffer jarak dari sungai), topografi (peta kontur) dan kerapatan tajuk (LAI/Leaf Area Index). Pembobotan dilakukan menggunakan PCA terhadap titik sebaran harimau. Hasilnya menunjukan terdapat tiga daerah kesesuaian habitat harimau yaitu rendah, sedang dan tingggi dengan hasil kesesuaian pada tingkat kesesuaian tinggi 95.85% dengan validasi 95.64% sehingga model dapat diterima untuk kesesuaian habitat tinggi.
15 b.
Studi Karakteristik Ekologi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Berdasarkan Camera Trap di Lansekap Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh, Riau oleh Hutajulu (2007). Studi karakteristik harimau dilakukan berdasarkan overlay pemasangan perangkap kamera terhadap faktor ketinggian, letak sungai, aktivitas manusia dan ketersedian satwa mangsa. Hasil penelitian menunjukan penyebaran harimau dipengaruhi oleh faktorfaktor tersebut.
c.
Kepadatan dan Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Ipuh Seblat Taman Nasional Kerinci Seblat oleh Agus Riansyah (2007). Penelitian ini memanfaatkan SIG untuk melakukan interpolasi dan overlay tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya. Berdasarkan hasil interpolasi dan overlay keduanya diketahui pada titik kamera tertentu tingkat perjumpaan harimau yang tinggi diikuti oleh tingkat perjumpaan mangsa yang tinggi pula atau sebaliknya namun tidak pada kamera lainnya dimana tingkat perjumpaan mangsa tetap tinggi meskipun tingkat perjumpaan harimau rendah.
2.4. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) 2.4.1. Definisi Penginderaan jauh merupakan seni dan ilmu pengetahuan untuk mendapatkan data suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh tanpa melakukan kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena tersebut (Lillesand & Kiefer 1990). Komponen dasar sistem penginderaan jauh ditujukan oleh sumber tenaga yang seragam, atmosfer yang tidak mengganggu, kesempurnaan sensor, interaksi antara benda dengan tenaga yang digunakan, sistem pengolahan data tepat waktu, dan berbagai penggunaan data. Dalam penerapannya teknik penginderaan jauh menghasilkan beberapa data yang disebut citra dan selanjutnya diproses serta diinterpretasikan untuk mendapatkan data yang bermanfaat dalam aplikasi dalam bidang-bidang tertentu yang diinginkan. Keberhasilan penggunaan sistem penginderaan jauh meningkat berarti dengan mengunakan pendekatan multi pandang (mutiple view) dalam pengumpulan datanya. Metode ini meliputi penginderaan multi tingkat (multi
16 stage), multi spektral (multi spectral), dan multi waktu (multi temporal). Penginderaan multi tingkat merupakan pengumpulan data suatu daerah kajian dikumpulkan dari berbegai tingkat ketinggian. Penginderaan multi spectral merupakan pengumpulan data melalui beberapa saluran secara bersama-sama, sedangkan penginderaan multi waktu merupakan pengumpulan data yang dilakukan pada lebih dari satu waktu pemotretan (Lillesand & Kiefer 1990). 2.4.2. Citra Landsat Salah satu alat yang umum digunakan untuk memperoleh citra penginderaan jauh adalah Satelit Landsat. Citra landsat cocok digunakan untuk menduga cakupan lahan dan penggunaannya. Satelit landsat merupakan salah satu sensor yang memiliki thematic mapper (TM) spasial 30x30 meter dengan karakteristik seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik spectral landsat thematic mapper Band 1
2 3 4 5 6 7
Panjang Potensi pemanfaatan gelombang 0,45 - 0,52 a. Penetrasi badan air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai. b. Pembedan antara tanah dan vegetasi c. Pembedaan antara tumbuhan berdaun lebar dan berdaun jarum 0,52-0,60 Mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi untuk penilaian ketahanan 0,63-0,69 Saluran absorbsi klorofil untuk diskriminasi vegetasi 0,76-0,90 Menentukan kandungan biomassa dan deliniasi tubuh air 1,55-1,75 Menunjukan kandungan kelembaban vegetasi dan tanah serta untuk membedakan salju dan awan 2,08-2,35 Saluran infra merah termal untuk perekaman vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan termal 10,45-12,50 Saluran yang diseleksi karena memiliki potensi membedakan tipe batuan untuk pemetaan hydrotermal
Sumber: Lo (1995)
2.4.3. Penggunaan Citera Landsat ETM pada SIG Citera satelit dan foto udara merupakan hasil data penginderaan jauh yang dapat diintegrasikan dalam SIG dengan berbagai cara. Cara pengintegrasian data citra satelit dan foto udara kedalam SIG dapat dilakukan dengan cara (Wiradisastra 1996):
17 a). Foto udara discan dan diolah sehingga menghasilkan data raster dan atau vektor, tergantung pengunaan SIG. b). Digitasi peta rupa bumi menggunakan digitizer untuk menghasilkan data vektor. c). Citra satelit diolah mengunakan perangkat lunak pengolah citra dan datanya dikonversikan kedalam format data SIG, baik data vektor maupun data raster. d). Citra satelit yang telah memiliki georeferensi dapat langsung digunakan oleh perangkat lunak SIG. e). Citra satelit hasil olahan perangkat lunak pengolah citra, didigitasi dan akan menghasilkan data vektor. Data yang dihasilkan dalam sistem penginderaan jauh adalah berupa data raster dan vektor. Data raster merupakan data satuan homogen terkecil yang disebut dengan istilah piksel (pixel), dimana setiap piksel menyatakan luasan permukaan bumi pada suatu lokasi; sedangkan data vektor merupakan data berupa objek yang diwakili titik-titik, garis, poligon yang memiliki koordinat kartesius. Pemilihan citra satelit sangat ditentukan oleh kebutuhan pengunaan SIG tersebut. Semakin tinggi resolusi suatu citra yang digunakan maka akan semakin baik kenampakan spasial yang dihasilkan. 2.5. Global Positioning System (GPS) GPS merupakan sistem radio navigasi dan penentuan posisi di muka bumi dengan menggunakan satelit yang dapat memberikan informasi mengenai posisi, kecepatan dan waktu secara cepat, teliti, murah dimana saja di bumi pada setiap waktu (Abidin 1994). GPS juga merupakan jaringan satelit yang secara terus menerus memancarkan frekuensi radio rendah (Puntodewo et al. 2003). Data GPS merupakan salah satu bentuk sumber data SIG yang diinterpretasikan dalam bentuk vektor. Teknologi GPS mampu memberikan terobosan penting dalam menyediakan data untuk SIG karena memberikan data keakuratan yang tinggi (Puntodewo et al. 2003).
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Sejarah dan Status Kawasan Ekosistem Ulu Masen merupakan suatu kawasan ekosistem yang terletak di Propinsi Aceh. Ekosistem ini merupakan bagian Pegunungan Bukit Barisan yang membentang di bagian barat Pulau Sumatera. Pegunungan Bukit Barisan yang terdapat di Aceh dibentuk oleh dua ekosistem yang berhubungan langsung tetapi berbeda, yaitu ekosistem Ulu Masen di bagian utara dan ekosistem Leuser di bagian selatan hingga Provinsi Sumatera Utara. Tidak seperti ekosistem Leuser yang sebagian besar kawasannya berstatus sebagai Taman Nasional Gunung Leuser yang ditetapkan berdasarkan SK Menteri kehutanan, ekosistem Ulu Masen belum memiliki status tersebut. Ekosistem ini berada di bawah pengawasan Gubernur Propinsi Aceh melaui SK NO.19/1999 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Aceh. SK gubernur ini mengacu pada UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memberikan kewenangan bagi Propinsi Aceh untuk mengelola sumberdayanya termasuk bidang kehutanan Penamaan Hutan Ulu Masen diambil dari nama Gunung Ulu Masen yang terletak di Kecamatan Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya. Ulu Masen dianggap mampu mewakili satu kawasan ekosistem hutan di bagian utara Provinsi Aceh. Nama Ulu Masen sendiri diambil dan diputuskan oleh komunitas Imam Mukim yang diwakili oleh Imum Mukim Kabupaten Aceh Jaya, yaitu sebuah kesepakatan yang dilakukan pada pertemuan Mukim pada tahun 2003 di Meulaboh dan Banda Aceh. Sebelum nama Ulu Masen diputuskan, juga muncul usulan penamaan kawasan gunung Sikawet sebagai ekosistem hutan yang layak dilindungi, yaitu habitat satwa terancam punah seperti gajah sumatera. Setelah di telaah dan didiskusikan lebih lanjut, maka nama Ulu Masen dipilih sebagai nama kawasan hutan yang mewakili satu kesatuan ekosistem yang terdapat di lima Kabupaten.
19 3.2. Letak dan Luas Secara geografis Kawasan Ekosistem Ulu Masen berada pada 4020’3’’LU sampai 5030’0’’ LU dan 95020’0’’ BT sampai 96030’0’’ BT. Secara administratif pemerintahan Kawasan Ekosistem Ulu Masen berada pada lima kabupaten di Propinsi Aceh meliputi Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya. Luas keseluruhan Ekosistem Ulu Masen adalah 738.857 ha. Pembagian luasan Ekosistem Ulu Masen berdasarkan kawasan administratif pemerintahannya disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Luas kawasan Ekosistem Ulu Masen per-kabupaten kota No Kabupaten/Kota 1 Aceh Barat 2 Aceh Jaya 3 Aceh Besar 4 Pidie dan Pidie Jaya Total
Luasan (ha) Luasan (%) 113.012 15 266.573 36 94.989 13 264. 283 36 738.857 100
* sumber : Hidayat (2009)
3.3. Kondisi Fisik Kawasan 3.3.1. Topografi Kawasan Ekosistem Ulu Masen berada di kawasan pegunungan yang berbukit dan bergelombang. Sebagian kecil saja areal yang berupa dataran rendah, yaitu di daerah barat dan timur kawasan. Berbagai elemen morfologi terlihat nyata, seperti rangkaian pegunungan dengan berbagai lipatan patahan dan rengkahan, gugusan bukit terjal dan bergelombang, gunung-gunung, kubahkubah, dataran tinggi, plato, celah, lembah, jurang, lereng, dataran rendah, pantai, kompleks, dan aliran sungai dengan berbagai bentukan dan sistem pola sungai dengan cabang-cabangnya. 3.3.2. Tanah Pegunungan Bukit Barisan meliputi beberapa formasi geologi yang berbeda. Perbedaan karakteristik menentukan perbedaan pada lapisan tanah, hidrologi, tumbuhan dan produktivitas biologis. Kawasan berkapur, termasuk formasi kars, pada umumnya berpori, mengalirkan sedikit air permukaan dan mempunyai produktivitas relatif rendah. Intrusi granodiorites yang parah, seperti
20 yang terjadi di dalam batas air Krueng Sabe dari daerah Aceh Jaya, memiliki porositas rendah, lapisan tanah tipis dan memiliki produktivitas relatif rendah. Terdapat tiga jenis tanah mendominasi kawasan ini (FFI & CC Aceh 2007), yaitu kompleks podsolik coklat, podsolik dan litosol kompleks podsolik merah kuning latosol dan litosol dan andosol. Jenis-jenis tanah tersebut mencakup organosol dan gleihumus, regosol, podsolik merah kuning (batuan endapan), podsolik merah kuning (batuan aluvial), regosol, andosol, litosol, podsolik merah kuning (bahan endapan dan batuan beku), kompleks podsolik merah kuning latosol dan litosol, kompleks podsolik coklat, podsolik dan litosol, serta kompleks resina dan litosol. Sebaran tipe tanah propinsi Aceh disajikan pada gambar 3.
Gambar 2 Peta keadaan geologi Aceh (sumber: FFI & CC Aceh 2007). 3.3.3. Iklim Iklim Aceh dideskripsikan sebagai tropis dengan kelembaban yang tinggi (80-90%) dan variasi kecil pada temperatur harian (25-27 °C) sepanjang musim. Rataan temperatur tahunan bervariasi pada ketinggian yang berbeda, mulai dari 26°C pada 0 mdpl dan turun sekitar 0,52°C untuk setiap penambahan ketinggian 100 m. Sementara dataran rendah yang panas dan lembab memiliki rataan suhu
21 tanah tahunan di atas 22°C, dan puncak gunung mempunyai rataan antara 0-8°C (3000m ke atas). Kecepatan angin secara umum rendah, berkisar antara 1,5 – 2,5 m/detik. Daerah Aceh dapat digolongkan ke dalam 11 tipe curah hujan, berdasar pada angka rataan jangka panjang dari bulan basah dan bulan kering. Curah hujan tahunan rata-rata di Aceh bervariasi, hal ini disebabkan oleh hubungan timbal balik yang kompleks antara topografi dan hujan. Daerah dengan curah hujan paling tinggi terletak di sepanjang pantai barat dan daratan sepanjang pegunungan Barisan, yaitu sebesar 3000 mm hingga 5000 mm per tahun. Kebalikannya, curah hujan tahunan rata-rata di beberapa daerah sepanjang pantai utara dan pantai timur hanya berkisar antara 1000 mm hingga 1500 mm, yaitu pada lembah pegunungan antara Takengon dan Owaq di Aceh Tengah. Pada sistem klasifikasi ini, pantai barat Aceh, Kaki Bukit, dan Bukit Barisan timur termasuk dalam golongan sangat basah tipe A dan Af (>9 bulan basah dan <2 bulan kering). Sementara daerah paling kering terletak di lembah Krueng Aceh dan pantai timur laut Aceh, yaitu tipe E2 (<3 bulan basah dan 2-3 bulan kering). 3.4. Kondisi Biologi 3.4.1. Flora Kawasan ekosistem Ulu Masen ditumbuhi berbagi jenis flora mulai dari tanaman bernilai ekonomi tinggi sampai semak belukar. Berbagai jenis tanaman yang dapat di jumpai di ekosistem Ulu Masen antara lain lain meranti, keruing, shorea, dan pohon kapur (Dryoballanops aromatica). Pohon buah-buahan antara lain jeruk hutan (Citras macroptera), durian hutan (Durio exeleyanus dan D. Zibethinus), menteng (Baccaurea montheyana dan B. racemosa), dukuh (Lansium domesticum),
mangga
(Mangifera
foetida
dan
M.
guadrifolia),
rukem
(Flacaourtia rukem), dan rambutan (Nephelium lappaceum). Selain jenis tersebut juga dapat ditemukan rotan (merupakan plasma nutfah penting bagi kawasan ini), palm daun sang (Johannesteijsmania altifrons ) yang merupakan jenis yang hanya terdapat di daerah Langkat, tanaman obatobatan (kemenyan dan kayu manis), beberapa jenis bunga raflesia (Rafflessia cropylosa, R. atjehensis, R. hassetii), dan Rhizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter, serta berbagai tumbuhan pencekik (ara).
22 3.4.2. Fauna Ekosistem Ulu Masen memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi. Berbagai jenis satwaliar yang dapat dijumpai diantaranya mamalia, burung dan reptil. Jenis mamalia yang dapat dijumapai diantaranya lain orangutan (Pongo pygmaeus), serudung (Hylobates lar), kedih (Presbytis thomasi), siamang (Hylobates sindactylus), musang congkok (Prionodon linsang), kukang (Nycticebus coucang), kucing emas (Felis temmincki), pulusuan (Arctonyx collaris), bajing terbang (Lariscus insignis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), ajak (Cuon alpinus), harimau dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), gajah sumatera (Elephas maximus), rusa (Cervus unicolor),
kijang
(Muntiacus
muntjak),
badak
sumatera
(Dicerorhinus
sumatrensis), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), tapir (Tapirus indicus). Selain mamalia tersebut juga terdapat jenis burung dan dan reptile yaitu: kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul (Egretta sp), itik liar (Cairina sp), rajawali kerdil (Microhierax spp), rangkong (Buceros bicornis), julang ekor abu-abu (Annorhinus gaeleritus), julang emas (Rhiticeros undulatus), kangkareng (Anthracoceros convextus), dan beo nias (Gracula religiosa), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan senyulong (Tomistoma sp).
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Aplikasi SIG untuk analisis distribusi populasi harimau sumatera dan mangsanya di lakukan di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ekosistem Ulu Masen, secara administratif lokasi penelitian berada pada Kecamtan Mane dan Geumpang Kabupaten Pidie serta Kecamatan Meureudue Kabupaten Pidie Jaya Propinsi Aceh. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada Desember 2009 sampai Mei 2010. Tipe hutan yang terdapat pada lokasi penelitian adalah hutan primer, hutan sekunder dan padang rumput. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian.
24
4.2. Peralatan yang Digunkan Peralatan yang digunakan adalah perangkap kamera tipe Reconyx dan DLC, GPS, Kompas, Baterai, kamera digital, peta kerja, alkohol 70%, pengukur waktu, meteran dan alat tulis. Objek penelitian adalah harimau sumatera dan mangsanya serta habitatnya. Untuk memebantu analisis data digunkan komputer yang dilengkapai dengan program Microsoft Excel 2007, Adobe Photoshop CS3, CAPTURE, Erdas Imagine 9.1, Arc GIS 9.3, dan SPSS 19. Peralatan perangkap kamera dan GPS yang digunakan disajikan pada Gambar 4.
a
b
c
Gambar 4 Peralatan lapangan (a) Kamera reconix, (b) Kamera DLC dan (c) GPS. 4.3. Jenis Data Yang Dikumpulkan Jenis data yang akan dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang akan dikumpulkan merupakan data spasial berupa Citra Landsat ETM (Enhanced Thematic Mapper) 7 tahun 2000, Peta Rupa Bumi Propinsi Aceh skala 1: 50.000 tahun 1977, Peta RSTM (Shuttle Radar Topography Mission) keberadaan dan tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa, serta jumlah individu harimau dan satwa mangsa terdeteksi perangkap kamera. Data sekunder yang akan dikumpulkan meliputi kondisi harimau sumatera dan habitatnya pada waktu sebelum penelitian, gangguan yang terjadi dan potensial terjadi, interaksi antara harimau sumatera dengan masyarakat, serta kondisi penduduk di sekitar Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Data sekunder dikumpulkan melalui buku, jurnal, internet dan sumber lainnya serta pencarian informasi dengan wawancara informal pada masyarakat dan pihak-pihak yang berhubungan dengan Kawasan Ekosistem Ulu Masen dan
25
harimau serta habitatnya seperti manajemen Kewasan Ekosistem Ulu Masen, Ranger, masyarakat dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) serta lembaga lainya yang menjalin kerjasama dengan Ulu Masen dan Propinsi Aceh. 4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Metode Perangkap Kamera Perangkap kamera (camera trap) merupakan alat yang yang baik dan efektif digunakan dalam pendugaan populasi satwaliar serta penentuan penyebarannya terutama jenis mamalia besar yang hidup diatas tanah (terestrial) (Karanth & Nichols 2002). Pemasangan perangkap kamera dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan titik secara acak pada grid yang telah dibagi sesuai dengan peta kerja. Grid survey yang dipakai merupakan grid yang telah dibagi oleh FFI (Fauna & Flora International)-Aceh Programe untuk melakukan metode Ocalpancy (present-absen) terhadap harimau sumatera dan mamalia besar di Propinsi Aceh. FFI membagi kawasan Ulu Masen menjadi 52 Grid Cell, dengan luas areal 17×17 km2 per Grid Cell. Penentuan luas areal tersebut berdasarkan penelitian yang menyebutkan jarak jelajah harimau jantan dewasa mencapai 250 km2. Artinya areal satu grid cell 17×17 km setara dengan 289 km2 telah memenuhi jarak jelajah harimau sumatera. Untuk pemasangan perangkap kamera grid yang digunakan adalah grid dengan kode N33W39 dan N33W40. Setiap grid dibagi menjadi 30 grid kecil dengan pembagian 6 sejajar garis bujur dan 5 sejajar garis lintang atau setiap grid kecil berukuran 2,83 x 3,4 km. Pemasangan kamera dilkukan dengan asumsi titik dimanapun dalam setiap grid kecil mewakili keseluruhan kawasan pada grid tersebut. Pemasangan lapangan perangkap kamera dilakukan pada tiang dan atau pohon pada titik yang ditetapkan. Pada padang rumput pemasangan perangkpa kamera dilakukan dengan membawa pancang dari hutan sekitar padang rumput. Kamera dipasang pada ketinggin 30-60 cm dari permukaan jalur yang dilintasi satwa. Jatak tiang pemasangan perangkap kamera dari jalur adalah 1,5-3 m. Selain itu diusahakan sedapat mungkin kamera tidak mmenghadap langsung ke arah matahari karena dapat menyebabkan kamera mengambil gambar secara terus menerus saat matahari bersinar terik. Gambar 5 menyajikan posisi pemasangan perangkap kamera
26
Gambar 5 Posisi pemasangan perangkap kamera. 4.4.2. Survey Lapangan Menggunakan Metode Jalur Survey keberadaan harimau dan mangsanya dengan menggunkan metode jalur dilakukan pada semua jalur pemasangan perangkap kamera yaitu pada jalur Blang Raweu dan Krueng Gooha. Metode yang digunakan untuk menandakan titik-titik keberadaan harimau sumatera dan mangsanya adalah dengan melakukan pencatatan setiap perjumpaan langsung (direct encounter) dan perjumpaan tidak langsung (indirect encounter) keberadaan harimau sumatera dan mangsanya pada semua jalur pemasangan perangkap kamera yang dilakukan. Jenis keberadaan harimau yang dicatat adalah perjumpaan langsung, jejak kaki, cakaran, kotoran, sisa makanan serta jejak lainya yang dapat menunjukan keberadaan harimau sedangkan keberadaan mangsa harimau yang dilakukan pencatatan berupa perjumpaan langsung, kotoran, pusat-pusat kegiatan mangsa yang dapat menunjukan keberadaan mangsa harimau sumatera. 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Foto-foto hasil perangkap kamera dipisahkan antara satwa mangsa dan harimau sumatera. Foto-foto harimau sumatera dipisahkan berdasarkan pola loreng (McDougal 1979, , Franklin et al. 1999), jenis kelamin, ciri-ciri yang berbeda seperti morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Kemudian dikembangkan database referensi foto-foto harimau yang bermutu,
27
sehingga terlihat gambar harimau yang telah diidentifikasi dari arah kanan dan kiri, dan mungkin juga dari arah depan dan belakang serta penunjuk waktu. Setelah kumpulan referensi ini dibuat maka semua foto individu harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al. 1999) dengan menggunakan program Adobe Photoshop CS3. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program CAPTURE dan Arc View 3.3. jumlah individu teridentifikasi merupakan populasi minimum harimau sumatera pada kawasan penelitian. Penghitungan kepadatan populasi harimau dilakukan berdasarkan luas efektif
area
sampling.
Luas
efektif
area
sampling
diperoleh
dengan
menghubungkan titik koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan dengan lebar garis batas (W) (Karanth & Nichols 1998) yang didapatkan dari Vi Mean Maximum Distance Move (ViMMDV) (Karanth & Nichols 1998, Karanth & Nichols 19982000) yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu harimau yang tertangkap kamera lebih dari sekali dan pada dua lokasi berbeda (Linkie, 2005). m
∑ di
d = i =1 m
dan w =
d 2
Dalam hal ini w = lebar garis batas, m = Jumlah recapture Individu, d= rata-rata jarak individu recapture, di = Jarak dari tiap individu recapture ke-i. Karena tidak ada harimau yang tertangkap dua kali pada dua lokasi kamera berbeda maka luasan sampling area dihitung luasan grid kecil yang terpasang kamera. Luas sampling area diperoleh dengan mengalikan jumlah grid kamera terpasang dengan luas satu grid. Luasan ini dijadikan landasan karena asumsi pemasangan perangkap kamera pada setiap gridnya dianggap mewakili keseluruhan luasan grid yang bersangkutan. Selain penghitungan kepadatan relatif juga dilakukan penghitungan kepadatan absolut harimau sumatera untuk setiap 100 km2. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data jumlah individu yang telah diidentifikasi melalui data foto kamera Trap. Selanjutnya data hasil identifikasi foto dianalisis mengunkan metode capture recapture untuk memperkirakan populasi (N-hat). Dalam hal ini diasumsikan bahwa populasi tertutup (closure test) dan menggunakan model analisis Mh untuk heterogenetik dari harimau (Karanth & Nicholas, 2002) melalui
28
Program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991). Asumsi menggunakan capturerecapture model Mh dimana populasi yang diambil sampelnya adalah sampel tertutup secara demografi, yakni diasumsikan tidak ada kelahiran, kematian, imigrasi, maupun emigrasi selama survey dilakukan. Kepadatan absolut harimau dihitung dengan menggunakan persamaan: D=
N A(w)
Dalam hal ini D = estimasi kepadatan harimau, N = jumlah individu yang telah teridentifikasi dan A(w) = efektivitas sampling area. 4.5.2. Pendugaan Populasi Mangsa Dengan menggunakan data kecepatan berjalan satwa yang diperoleh berdasarkan hasil perangkap kamera maka digunkan metode yang dipekenalkan oleh Hutchinson & Waser (2007). Kecepatan berjalan yang dihitung adalah satwa jenis ungulata dalam hal ini adalah rusa dan kijang. Kecepatan berjalan rusa dan kijang dihitung menggunkan Adobe Photoshop untuk memperkirkan jarak berjalan satwa dengan meliahat waktu pada foto hasil perangkap kamera. Persamaan yang digunakan berdasarkan metode tersebut adalah:
dimana y merupakan jumlah foto, r adalah jarak dari lensa ke objek, t adalah waktu operasi kamera, v adalah kecepatan berjalan dan D kepadatan populasi. 4.5.3. Distribusi Harimau dan Satwa Mangsa Distribusi harimau sumatera dan mangsanya dianalisis dengan melakukan overlay (pelapisan) koordinat perjumpaan keberadaan harimau sumatera dan mangsanya terhadap data spasial (peta tematik) seperti tutupan lahan, ketinggian, kemiringan, jarak dari sungai, jarak dari padang rumput dan aktivitas manusia. 1. Peta Tutupan Lahan Peta tutupan lahan dibuat dengan menggunakan Erdas Imagine 9.1 dari citra landsat TM 7 tahun 2000. Proses pembuatan peta tutupan lahan disajikan pada Gambar 6.
29
Citra Lansat Erdas Imagine 9.1 Mosaic
Subset Image
Geo Correction
Klasifikasi Terbimbing
Recode
Fill Titik Uji
Focal Majority
Uji Akurasi
Peta Tutupan Lahan
Gambar 6 Proses pembuatan peta tutupan lahan. 2. Peta Kontur, ketinggian dan kemiringan Peta Kontur, ketinggian dan kemiringan dihasilkan dari peta srtm yang diperoleh melalui wbsite http//rstm.cgsir.usgs.org. Peta srtm yang digunakan adalah peta dengan kode geografi “srtm 56-11” dan “srtm 56-12”. Pembuatan peta dilakukan menggunakan program Arc GIS 9.3. Proses pembuatan peta kontur, ketinggian dan kemiringan disajikan pada Gambar 7.
30 Peta SRTM
Erdas Imagine 9.1 Subset Image (pemotongan Citra)
Arc GIS 9.3
Fill
Conditional
3D Analyst
Raster Survace
Create/Modify TIN
Slope
Create TIN from Feature
Reclassify
Reclassify
Peta Kemiringan
Countur
Peta Kontur
Peta Ketinggian
Gambar 7 Proses pembuatan peta kontur, ketinggian dan kemiringan lahan. 3. Peta padang rumput dan jarak dari padang rumput Peta padang rumput dan jarak dari padang rumput dibuat dari citra landsat yang telah diproses menjadi peta tutupan lahan. Peta padang rumput dibuat dengan mengkonversi padang rumput sebagai raster menjadi padang rumput dalam format vektor berupa polygon. Jarak dari padang rumput dibuat dengan
31
melakukan buffer terhadap padang rumput yang telah dikonversi menjadi polygon. Buffer yang dilakukan adalah pada jarak 5, 10,15, 20, dan >20 KM dari garis terluar padang rumput. Proses pembuatan peta padang rumput dan jarak dari padang rumput disajikan pada Gambar 8.
Citra Lansat Arc GIS 9.3 Convertion from Raster to Polygon
Peta Padang Rumput
Buffer
Peta Jarak dari Padang Rumput
Overlay
Peta padang rumput dan jarak dari padang rumput
Gambar 8 Proses pembuatan peta padang rumput dan jarak dari padang rumput. 4. Peta Sungai dan Jarak dari sungai Peta sungai dibuat dengan melakukan proses digitasi terhadap peta mosaik bakosurtanal yang telah di scan dan di-geokoreksi. Jarak dari sungai dibuat dengan melakukan proses buffer berdasarkan selang 500, 1000, 1500, 2000 dan lebih dari 2000 meter dari garis sungai yang telah didigitasi sebelumnya menggunkan program Arc GIS 9.3.proses pembuatan peta sungai dan jarak dari sungai disajikan pada gambar 9.
32
Peta Rupa Bumi Propinsi Aceh Tahun 1977 0520‐43, 0520‐44, 0521‐11 dan 0521‐21
Erdas Imagine 9.1
Subset Image Arc GIS 9.3
Digitasi
Polyline
Peta Sungai
Buffer
Polygone
Peta Batas Administratif
Peta Jarak dari Sungai
Gambar 9 Proses pembuatan peta sungai dan jarak dari sungai. 4.5.4. Hubungan Harimau dengan Satwa Mangsa 1. Penggunaan Habitat Harimau dan Mangsanya Hubungan penggunaan habitat oleh harimau dan mangsanya dilakukan dengan melakukan analisis deskriptif terhadap hasil analisis peta terhadap berbagai faktor ynag diduga mempengaruhi distribusi harimau dan mngsanya. Peta yang akan dianalisis merupakan peta hasil tumpang tindih (overlay) antara keberadaan harimau terhadap suatu faktor dengan keberadaan mangsa terhadap faktor tersebut.
33
2. Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya Pola aktivitas harian harimau sumatera dan mangsanya dianalisis menggunkan foto yang berhasil diperoleh dari perangkap kamera. Menurut Laidlaw (1999) dibutuhkan lebih dari 5 foto hasil perangkap kamera satu spesies satwa untuk dapat dijadikan acuan dalam analisis pola aktivitas harian satwa tersebut. Foto-foto yang dianalisis dikelompokan berdasarkan selang waktu tertentu dalam hal ini setiap satu jam. Pola aktivitas harian harimau dan mangsanya dapat dilihat dengan membuat grafik berdasarkan selang waktu yang digunakan. Untuk melihat hubungan pola aktivitas harian harimau dan mangsanya dapat dianalisis dengan melakukan penumpukan atau tumpang tindih (overlay) grafik pola aktivitas harian harimau dan mangsanya. 3. Tingkat Perjumpaan Harimau dan Mangsanya Tingkat perjumpaan (ER/Encounter Rate) harimau dan mangsanya (jumlah foto/100 hari) diperoleh dengan melakukan perhitungan total jumlah foto yang berhasil diidentifikasi dibagi dengan total hari kamera aktif dikali seratus. Faktor pembagi seratus digunakan untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan dalam keseluruhan periode pemasangan perangkap kamera (Lynam et al. 2000). ER harimau dan mangsanya dihitung dengan menggunakan persamaan: ER =
∑f .100 ∑d
Dalam hal ini ER = Encounter Rate, Σf = jumlah total foto harimau/mangsa, dan Σd = jumlah total hari operasi kamera. Untuk mendapatkan peta hubungan ER harimau dan mangsa diperoleh dari proses interpolasi ER harimau dan mangsa pada setiap kamera dan kemudian melakukan tumpang tindih kedua ER tersebut menggunkan program Arc GIS 9.3. sebelum melakukan proses interpolasi terlebih dahulu nilai ER dimasukan pada atribut setiap kamera yang digunakan pada proses pembuatan peta tersebut. Proses pembuatan peta interpolasi ER disajikan pada gambar 10.
34
Titik Pemasangan Kamera
Interpolasi (Arc GIS 9.0)
ER Harimau
Titik pemasangan kamera
ER Mangsa Harimau
ER Mangsa
ER Harimau
Overlay
Peta Interpolasi ER Harimau dan Mangsanya
Gambar 10 Proses pembuatan peta overlay ER harimau dan mangsanya. Untuk mendapatkan hubungan yang lebih akurat maka dilakukan uji regresi logistik ER harimau terhadap ER mangsanya dan ER mangsa terhadap ER harimau. Apabila terdapat nilai signifikan P > 0.05 maka dapat diartikan bahwa faktor yang diuji tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap faktor lainnya. Uji regresi linier ini dilakukan menggunakan program SPSS 19.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Perangkap Kamera Keberadaan harimau sumatera dan mangsanya diidentifikasi menggunakan perangkap kamera digital. Pada penelitian ini total terdapat 28 kamera terpasang. Semua kamera terpasang dalam 4 lokasi pemasangan selama periode November 2009 sampai Mei 2010. Lama periode pemasangan kamera pada setiap titik bervariasi antara 18 sampai 59 hari dengan rata rata periode pemasangan selama 31,35 hari setiap kamera. Rekapitulasi keadaan perangkap kamera terpasang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Keadaan perangkap kamera terpasang Kriteria Jumlah kamera terpasang (unit) Persentase Periode kamera terpasang (unit) Persentase Kamera yang rusak (unit) Persentase Kamera yang hilang (unit) Persentase Total trap night (hari) Persentase Efektif trap night (hari) Persentase
Blang Raweu 10 41.67% 42 29.17% 3 75.00% 0 0.00% 358 45.84% 243.18 37.52%
Lokasi Pemasangan Jumlah Krueng Alu Ilei Gumue Gooha 5 5 8 28 20.83% 16.67% 20.83% 100.00% 59 25 18 144 40.97% 17.36% 12.50% 100.00% 0 1 0 4 0.00% 25.00% 0.00% 100.00% 0 1 0 1 0.00% 100.00% 0.00% 100.00% 243 114 66 781 31.11% 14.60% 8.45% 100.00% 242.83 92.55 69.65 648.21 37.46% 14.28% 10.74% 100.00%
Terdapat dua tipe kamera terpasang yaitu tipe Reconyx dan DLC. Total terdapat 20 kamera tipe Reconyx dan 8 kamera tipe DLC terpasang. 4 dari 8 perangkap Kamer DLC merupakan Perangkap video tipe yang digunakan untuk mendapatkan data yang sama seperti perangkap kamera. Dari semua kamera terpasang terdapat 20 unit (71.42%) kamera yang berfungsi dengan baik dan dapat dimanfaatkan foto hasil tangkapannya. Selain itu juga terdapat 3 unit (10.71%) kamera yang berfungsi dengan baik namun tidak terdapat foto yang dapat dimanfaatkan. Untuk menghindari bias maka kamera
36
yang tidak memiliki foto diabaikan. Kamera yang tidak digunakan datanya adalah kamera DLC_01, DLC_02, dan DLC_03. Sedangkan kamera yang rusak adalah kamera RC_01, RC_10, ZSL_1 dan RC_07. Selain itu juga terdapat kamera DLC_08 yang hilang pada kelompok pemasangan Alu Ilei. 5.1.1.1.
Foto-foto Hasil Perangkap Kamera Terdapat 1487 sekuen foto atau 14870 frame foto hasil perangkap kamera
yang diperoleh dari seluruh lokasi pemasangan perangkap kamera. Dalam satu sekuen terdapat 10 frame foto artinya setiap sensor bekerja maka sensor akan menjepret sebanyak 10 kali dengan selang setiap framenya selama ±2 detik. Dalam sepuluh frame setiap sekuennya, tidak setiap frame menangkap pergerakan satwa namun jika terdapat satu frame saja yang menangkap pergerakan satwa maka sekuen tersebut dianggap menangkap pergerakan satwa. Secara umum fotofoto hasil perangkap kamera disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Foto-foto hasil perangkap kamera di lokasi penelitian Kriteria Jumlah Sekuen Foto (sekuen) Persentase Foto Teridentifikasi (sekuen) Persentase Foto tidak Teridentifikasi(sekuen) Persentase Team (sekuen) Persentase Miss Fire (sekuen) Persentase
Tahapan Pemasangan Blang Krueng Alu Ilei Raweu Gooha 754 383 194 50.71% 25.76% 13.05% 358 313 111 41.87% 36.61% 12.98% 42 3 3 85.71% 6.12% 6.12% 86 41 71 33.73% 16.08% 27.84% 268 26 9 81.71% 7.93% 2.74%
CRU Gumue 156 10.49% 73 8.54% 1 2.04% 57 22.35% 25 7.62%
Totol 1487 100% 855 100% 49 100% 255 100% 328 100%
Berdasarkan Tabel 5 diketahui terdapat 64.25 % foto yang dapat digunkan untuk analisis keberadaan harimau dan mangsanya. Dari jumlah tersdebut 94.57% foto hasil perangkap kamera berhasil diidentifikasi dan hanya 5.43% foto yang tidak dapat diidentifikasi. 5.1.1.2.
Identifikasi Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan foto-foto hasil perangkap kamera yang berhasil diidentifikasi
diketahui terdapat 28 spesies satwa liar dari 17 suku termasuk harimau sumatera. Tabel 6 menyajikan keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan perangkap kamera.
37
Tebel 6 Keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan perangkap kamera Suku
Nama Jenis
Cercopithecidae Cervidae Cervidae Columbidae
Beruk Rusa sambar Kijang Delimukan Zamrud Harimau sumatera
Felidae Felidae Felidae Felidae Hystercidae Mephitidae Muridae Phasianidae
Phasianidae Pittidae Proboscidae
Macan dahan Kucing hutan Kucing emas Landak Sigung Tikus Sempidan sumatera Kuau raja Kuau kerdil sumatera Sempidan aceh Pita anggun Gajah sumatera
Sincidae Suidae Timmaliidae
Kadal Babi jenggot Berencet Besar
Timmaliidae
Pelanduk topi hitam Anis Siberia Napu Beruang madu Biawak Binturong Linsang Musang
Phasianidae Phasianidae
Turdidae Tragulidae Ursidae Varanidae Viverridae Viverridae Viverridae
Macaca nemestrina Cervus unicolor Muntiacus muntjak Chalcophaps indica
40 73 88 11
Jumlah kamera menangkap (unit) 13 7 15 2
Panthera tigris sumatrae Neofelis nebulosa Felis bengalensis Catopuma teminkii Hystric brachyura Meydaus javanensis
6
4
3 2 6 16 1 126 4
2 2 4 6 1 11 3
4 2
2 2
3 1 15
3 1 5
1 11 1
1 5 1
1
1
1 7 7 1 3 4 7
1 2 4 1 2 3 3
Nama Ilmiah
Lophura inornata Argusianus argus Polyplectron chalcurum Lophura hoogerwerfi Pitta venusta Elephas maximus sumatranus Sus barbatus Napothera macrodactyla Pellorneum capistratum Zoothera sibirica Tragulus napu Helarctos malayanus Varanus salvator Arctictis binturong Prionodon linsang Diplogale derbianus
Jumlah foto independen (sekuen)
a. Suku Felidae Terdapat empat spesies dari suku felidae yaitu harimau sumatera, macan dahan, kucing hutan dan kucing emas. Harimau sumatera ditemukan pada empat kamera di empat kamera pada kelompok pemasangan Blang Raweu yaitu kamera RC_02, RC_03, RC_07 dan RC_11. Macan dahan hanya ditemukan pada kamera DLC_4 dan ZSL_03. Kedua kamera yang berhasil menangkap keberadaan macan
38
dahan berada pada kelompok pemasangan Alu Ilei. Kucing hutan juga ditemukan pada dua kamera yaitu kamera RC-07 dan RC_09 pada kelompok pemasangan Blang Raweu. Sedangkan kucing emas ditemukan pada empat kamera di empat kelompok pemasangan kamera berbeda pula. Ketiga kamera tersebut adalah RC_02 pada kelompok pemasangan Blang Raweu, IOZ_02 pada kelompok pemasangan Krueng Gooha, kamera ZSL_03 pada kelompok pemasangan Alu Ilei dan kamera RC_05 pada kelompok pemasangn CRU Gumue. Foto macan dahan, kucing emas dan kucing hutan tertangkap perangkap kamera disajikan pada Gambar 11.
a
b
c Gambar 11 Suku Felidae tertangkap perangkap kamera (a) Macan dahan, (b) Kucing emas, dan (c) Kucing hutan. b. Suku Ursidae Beruang madu merupakan satu-satunya jenis satwa dari suku ursidae yang berhasil tertangkap perangkap kamera. Beruang madu ditemukan pada dua kamera pada dua kelompok pemasangan yaitu kamera RC_07 pada kelompok pemasangan Blang Raweu dan kamera DLC_4 pada kelompok pemasangan Alu
39
Ilei. Foto beruang madu yang berhasil tertangkap perangkap kamera disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Beruang madu. c. Suku Cervidae Suku cervidae yaitu rusa dan kijang yang merupakan satwa mangsa utama harimau sumatera dan merupaka suku yang paling sering tertangkap kamera. Rusa sambar hanya ditemukan pada kamera kelompok pemasangan Blang Raweu dan Krueng Gooha tapi tidak ditemukan pada pemasangan Alu Ilei dan CRU Gumue. Kijang ditemukan hampir di semua kamera kecuali di kamera yang dipasang di padang rumput. Gambar 13 menyajikan foto rusa dan kijang yang berhasil tertangkap perangkap kamera.
(a)
(b)
Gambar 13 Suku Cervidae (a) Rusa sambar dan (b) Kijang. d. Suku Suidae Hanya terdapat satu suku suidae yang berhasil tertangkap kamera yaitu babi jenggot. Babi hanya ditemukan kamera RC_09 kelompok pemasangan Blang Raweu, kamera IOZ_08 dan ZSL_02 kelompok pemasangan Krueng Gooha, serta kamera DLC_07 dan RC_05 kelompok pemasangan CRU Gumue. Babi yang tertangkap kamera umumnya soliter dan satu sekuen tertangkap bersama anaknya. Gambar 14 menyajikan foto babi dan anaknya yang tertangkap kamera.
40
Gambar 14 Babi jenggot dan anaknya. e. Suku Tragulidae Berdasarkan foto perangkap kamera kancil ditemukan di tiga kelompok pemasangan perangkap kamera pada empat kamera terpasang yaitu kamera IOZ_8 pada kelompok pemasangan Krueng Gooha, ZSL_02 pada kelompok pemasangan Alu Ilei, serta kamera DLC_07 dan RC_05 pada kelompok pemasngan CRU Gumue. Berdasarkan posisi terpasngnya kamera tersebut pelanduk ditemukan pada semua tipe hutan kecuali pada tipe padang rumput. Pelanduk juga ditemukan pada siang dan malam hari. Pelanduk yang ditemukan pada siang dan malam hari disajikan pada Gambar 15.
a
b
Gambar 15 Pelanduk (a) Pelanduk ditemukan pada siang hari, (b) Pelanduk ditemukan pada malam hari.
41
f. Suku Proboscidae Gajah sumatera adalah jenis dari suku Proboscidae yang ditemukan di lokasi penelitian. Gajah seluruhnya ditemukan dalam gerombolan besar. Gajah sering tertangkap kamera hanya memperlihatkan bagian bawah tubuhnya seperti kaki dan belalai serta sebagian perut. Selain anakan jarang terdapat foto gajah yang terlihat utuh. Gajah ditemukan pada lima kamera di dua kelompok pemasangan perangkap kamera. pada kelompok pemasangan Blang Raweu gajah ditemukan pada kamera RC_02, RC_05 dan RC_07 sedangkan Pada Kelompok pemasangan Alu Ilei Gajah ditemukan pada kamera ZSL_02 dan ZSL_06. Selain itu pada Kamera RC_05 dan RC_07 gajah merupakan pelaku perusakan terhadap kamera tersebut. Gambar 16 menyajikan foto gajah yang berhasil tertangkap kamera
Gambar 16 Gerombolan gajah sumatera. g. Suku Cercopithecidae Beruk tertangkap kamera hampir seluruhnya dalam keadaan berkelompok. Setiap kelompok biasanya terdiri dari 3 sampai 7 ekor individu. Beruk yang tertangkap kamera umumnya tidak sama seperti jenis rusa atau kijang yang berjalan di tanah karena banyak sekuen foto justru beruk yang tertangkap kamera sedang bermain di ranting pohon atau tiang-tiang pohon yang dekat dengan tanah.
42
Gambar 17 menunjukan salah satu kelompok beruk yang tertangkap perangkap kamera.
Gambar 17 Beruk yang tertangkap perangkap kamera. h. Suku Hystercidae Jenis satwa mangsa yang juga banyak ditemukan adalah dari marga Hystercidae yaitu landak (Histric brachyura). Landak ditemukan pada 6 kamera pada 2 kelompok pemasangan.. Landak ditemukan pada kamera RC_02, RC_05, RC_09 dan RC_11 pada kelompok pemasangan Blang Raweu serta kamera IOZ_02 pada kelompok pemasangan Krueng Gooha. Berdasarkan data tersebut landak hanya ditemukan pada habitat hutan primer dan tidak ditemukan pada habitat padang rumput. Gambar 18 menunjukan salah satu landak yang berhasil tertangkap kamera.
Gambar 18 Landak yang berhasil tertangkap perangkap kamera.
43
i. Suku Viveridae Binturong, linsang dan musang merupakan jenis satwa dari suku viveridae yang berhasil tertangkap kamera. Binturong hanya ditemukan pada dua kamera yaitu kamera RC_05 dan ZSL_01. Linsang ditemukan sebanyak 4 sekuen independen pada empat kamera yaitu kamera RC_02, RC_09 dan IOZ_02. Jenis musang yang ditemukan adalah jenis Diplogae derbiyanus. Gambar 19 menunjukan gambar suku viveridae yang berhasil tertangkap perangkap kamera.
a
c b Gambar 19 Suku viveridae yang tertangkap perangkap kamera (a) Binturong, (b) Linsang dan (c) Musang. j. Suku Phasianidae Sempidan sumatera, sempidan aceh, kuau raja dan kuau kerdil sumatera merupakan jenis burung langka dari suku Phasianidae yang masih dietmukan pada Kawasan Ulu Masen. Sempidan sumatera ditemukan sebanyak 3 sekuen pada dua lokasi pemasangan kamera yaitu pada kamera RC_09 dan ZSL_01. Sempidan aceh ditemukan pada kamera RC_09 di kelompok pemasangan Blang Raweu dan serta kamera ZSL_03 dan ZSL_06 pada kelompok pemasngan Alu Ilei. Kuau raja hanya ditemukan pada kamera RC_06 pada kelompok pemasangan Alu Ilei dan Kamera DLC_07 pada kelompok pemasangan CRU Gumue. Kuau kerdil
44
sumatera ditemukan pada kamera RC_06 dan RC_11 di kelompok pemasangan Blang Raweu. Sempidan sumatera dan sempidan Aceh hampir selalu ditemukan berpasangan sedangkan kuau raja dan kuau kerdil sumatera semuanya ditemukan sendiri. Gambar 20 menunjukan suku Phasianidae yang tertangkap perangkap kamera.
a
b
c d Gambar 20 Suku phasianidae (a) Sempidan aceh, (b) Kuau kerdil sumatera, (c) Sempidan aceh dan (d) Kuau raja. 5.1.2. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya berdasarkan Survey Lapangan
5.1.2.1.
Keberadaan Harimau Sumatera Identifikasi keberadaan harimau berdasarkan survey lapangan diketahui
bahwa cukup mudah menemukan tanda-tanda keberadaan harimau seperti jejak telapak kaki dan kotoran. Bahkan beberapa kali terdengar suara auman harimau sumatera di sekitar Krueng Ble atau dekat dengan camp utama pemasangan perangkap kamera. Tabel 7 menyajikan jenis dan jumlah temuan keberadaan harimau.
45
Tabel 7 Jenis dan jumlah tanda-tanda keberadaan harimau sumatera No 1 2 3 4 5
Tanda keberadaan Jejak telapak kaki Kotoran Cakaran Cover Sisa makanan
Jumlah tanda 61 buah 22 buah 10 buah 2 buah 1 buah
Berdasarkan hasil survey pada Tabel 7 ditemukan 5 jenis tanda keberadaan harimau. Dari 61 jejak telapak kaki harimau 59 jejak ditemukan pada jalur pemasangan kamera serta 2 jejak lainya pada badan air tepatnya aliran sungai pada bagian pinggir sungai yang berarus tenang. Sementara dari kotoran yang ditemukan diperoleh 18 kotoran yang ditemukan dalam keadaan utuh dan 4 kotoran yang sudah mulai rusak. Dari semua kororan utuh yang ditemukan seluruhnya merupakan kotoran yang mengindikasikan mangsa harimau tersebut adalah jenis ungulata kecuali satu kotoran yang menunjukan bahwa makanan harimau tersebut adalah jenis felidae. Mangsa jenis felidae ini terlihat dari adanya kuku jenis felidae pada kotoran harimau tersebut. Cakaran yang ditemukan dapat dibedakan menjadi 3 tipe yaitu cakaran pada tanah (4 buah), cakaran pada pohon (2 buah) dan cakaran bekas tempat duduk harimau (4 buah). Cakaran bekas tempat duduk deketahui berdasarkan tanda kotoran atau urine pada salah satu ujung bekas cakaran tersebut. Selain itu juga ditemukan cover berupa batu besar yang memiliki rongga dibagian bawahnya serta sisa makanan harimau berupa tulang-belulang rusa. Gambar 21 menyajikan foto beberapa temuan keberadaan harimau.
a
b c Gambar 21 Tanda keberadaan harimau (a) Jejak kaki, (b) Cakaran di pohon dan (c) kotoran.
46
5.1.2.2. Keberadaan Mangsa Harimau Sumatera Keberadaan satwa mangsa harimau sumatera selain menggunkan perangkap kamera juga dapat diidentifikasi menggunkan survey langsung dilapangan. Survey lapangan dilakukan selama perjalanan (pergi dan pulang) pemasangan perangkap kamera dengan mencatat setiap perjumpaan langsung dan tanda-tanda yang menunjukan keberadaan suatu jenis satwa mangsa harimau sumatera. Tanda-tanda keberadaan satwa mangsa harimau sumatera dapat berupa jejak, kotoran, sisa/bekas makanan, kubangan, tempat makan dan minum serta melalui suaranya. Beberapa jenis satwa yang sering dijumpai langsung seperti rusa, kijang, monyet ekor panjang, kedih, siamang, sempidan sumatera, berbagai jenis rangkong, dan beberapa jenis ayam hutan. Sebagian besar satwa yang ditemukan secara langsung berada pada jalur survey perangkap kamera kecuali pada kawasan padang rumput Blang Raweu lokasi dimana ditemukannya rusa, gajah dan berbagai rangkong secara langsung. Pada padang rumput Blang Raweu satwa jenis gajah dan rusa sambar cukup mudah dikenali dari jarak jauh. Pada padang rumput Blang Raweu satwa dapat terlihat dari jarak dekat maupun pada jarak beberapa kilometer. Perjumpaan langsung dengan satwa mangsa sebisa mungkin diusahakan untuk mendapatkan dokumentasi terhadap satwa tersebut serta dilakukan pencatatan koordinat perjumpaan satwa menggunakan GPS. Perjumpaan satwa yang terlalu jauh jaraknya dari titik pengamatan tidak diulakukan pencatatan. Beberapa foto hasil perjumpaan langsung dengan satwa mangsa harimau sumatera dapat dilihat pada Gambar 22.
47
a
b
c
d e f Gambar 22 Satwa yang dijumpai langsung (a) Sempidan Sumatera, (b) Rusa sambar, (c) Gajah sumatera, (d) Beruk, (e) Kedih dan (f) Siamang. Selain perjumpaan langsung juga di identifikasi keberadaan satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan jejak yang ditinggalkan diantaranya rusa, kijang, beruang, kuau raja dan sempidan sumatera. Rusa dan kijang biasanya meninggalkan jejak berupa jejak kaki, kotoran dan bekas rumput yang dimakan. Beruang biasanya meninggalkan jejak berupa bekas cakaran di pohon serta kotoran. Sempidan sumatera dan kuau raja memiliki jejak yang khas yaitu lantai hutan yang seolah-olah disapu yang merukan bekas garukan kakinya pada tanah atau dalam bahasa lokal disebut “gelanggang burak”. Selain jejak dan perjumpaan langsung juga ditemukan pusat-pusat aktivitas satwa mangsa seperti tempat berkubang dan salt lick atau tempat satwa mengambil garam mineral (senong). Terdapat 2 buah salt lick yang ditemukan dan berada tidak jauh dari sungai. Salt llick tersebut secra berkala akan dikunjungi oleh satwaliar terutama jenis rusa sambar dan gajah sumatera untuk memperoleh garam mineral yang mereka butuhkan. Perbedaan antara salt lick dan kubangan dapat dilihat pada Gambar 23.
48
a
b
Gambar 23 (a) Salt lick dan (b) Kubangan. 5.1.3. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsanya 5.1.3.1.
Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera Hasil perhitungan tingkat perjumpaan harimau berdasarkan foto perangkap
kamera (n=6) adalah 0.93 foto/100 hari. Tingkat perjumpaan harimau untuk setiap kamera berkisar dari 0-7.85 foto/100 hari. Tingkat perjumpaan harimau tertinggi terdapat pada kamera RC_02 dengan nilai 7.85 foto/100 hari, diikuti kamera RC_03, RC_07 dan RC_11 masing masing dengan nilai 3.21 foto/100hari, 6.41 foto/100hari dan 2.83 foto/100hari. Sedangkan kamera lainya memiliki nilai tingkat perjumpaan 0 atau tidak memiliki perjumpaan harimau sumatera. Perangkap kamera yang berhasil mendapatkan gambar harimau sumatera berada pada kawasan padang rumput dan punggungan bukit pada hutan primer. Gambar 24 menyajikan peta tingkat
perjumpaan harimau yang dilakukan proses
interpolasi menggunakan program Arc GIS 9.3 terhadap titik-titik pemasangan perangkap kamera.
49
Gambar 24 Peta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera. 5.1.3.2.
Tingkat Perjumpaan Satwa Mangsa Tingkat perjumpaan satwa mangsa (296 foto independen) adalah 67.72
foto/100 hari. ER mangsa setiap jenis berkisar antara 0.31 foto/100 hari sampai 13.58 foto/100 hari. Berdasarkan jenis satwanya kijang dan rusa memiliki nilai tingkat perjumpaan yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan jenis lainnya masing-masing dengan nilai 13.58 foto/100 hari dan 11.26 foto/100 hari. Tingkat perjumpaan terendah adalah dengan nilai 0.31 foto/100 hari yang dimiliki jenis kucing hutan. satwa mangsa lain yang juga memiliki nilai yang tinggi adalah beruk dengan nilai 6.17 foto/100 hari dan landak dengan nilai 2.47 foto/100 hari dan gajah sumatera dengan nilai 2.31 foto/100 hari. Gambar 25 menyajikan grafik tingkat perjumpaan satwa mangsa berdasarkan jenis satwanya.
50
Gambar 25 Grafik tingkat perjumpaan satwa mangsa berdasarkan jenis satwanya. Berdasarkan kamera, tingkat perjumpaan mangsa berkisar antara 0 sampai 199 foto/100 hari dengan rata-rata setiap kameranya 67.72 foto/100 hari. Tingkat perjumpaan satwa tertinggi berada pada kamera RC_07 dengan nilai 199 foto/100 hari dan tingkat perjumpaan terkecil berada pada kamera RC_03 dengan nilai 0. Nilai tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera kemudian dilakukan proses interpolasi terhadap titik pemasangan perangkap kamera menggunakan program Arc GIS 9.3. Berdasarkan interpolasi yang dilakukan dapat diketahui
51
lokasi-lokasi perjumpaan yang rendah sampai daerah dengan tingkat perjumpaan tinggi. Gambar 26 menunjukan interpolasi tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera.
G ambar 26 Peta interpolasi tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera. 5.1.3.3.
Hubungan Tingkat Perjumpaan Harimau dan Mangsanya Untuk mengetahui hubungan tingkat perjumpaan harimau sumatera
dengan satwa mangsanya maka terlebih dahulu dilakukan overlay nilai tingkat perjumpaan harimau sumatrea dengan nilai tingkat perjumpaan mangsanya. Gambar 27 menyajikan overlay nilai tingkat perjumpaan harimau dan mangsa dalam bentuk grafik.
52
Gambar 27 Grafik overlay tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa. Pada kamera RC_02 dan RC_07 nilai tingkat perjumpaan harimau masingmasing 7.85 foto/100 hari dan 6.41 foto/100 hari diikuti dengan tingginya nilai perjumpaan satwa mangsa masing-masing dengan nilai 70.7 foto/100 hari dan 199 foto/100 hari. Meskipun demikian bukan berarti tingginya nilai pejumpaan mangsa diikuti dengan tingginya perjumpaan harimau namun tingkat perjumpaan harimau dipengaruhi tingkat perjumpaan mangsa karena di sisa kamera lainnya tingginya tingkat perjumpaan mangsa tidak diikuti dengan perjumpaan harimau. Berdasarkan interpolasi nilai tingkat perjumpaan harimau sumatera dan interpolasi nilai tingkat perjumpaan mangsanya dapat dilakukan overlay untuk mendapatkan gambaran hubungan tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya. Gambar 28 menyajikan peta overlay interpolasi tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa.
53
Gambar 27 Peta overlay interpolasi tingkat perjumpaan harimau dan mangsa. Pada peta terlihat nilai tingkat perjumpaan satwa mangsa yang tinggi pada kamera RC_02 dan RC_07 tumpang tindih dengan tingkat perjumpann harimau yang juga tinggi pada kamera tersebut. Namun demikian tumpang tindih ini hanya terjadi pada kamera tersebut dan tidak terjadi pada kamera lainya. Untuk membuktikan hubungan antara tingkat perjumpaan satwa mangsa dan harimau dilakuan uji regresi logistik menggunakan program SPSS 19.0. Hasil uji regresi logistik dengan n=20 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil uji regresi logistik tingkat perjumpaan harimau sumatera dan satwa mangsa ER_Harimau
B
Std. Error Wald
df
Sig.
95% Confidence Interval for Exp(B) Exp(B) Lower Upper Bound Bound
Intercept
0.198 3.243
0.004 1
0.951
ER_Mangsa
0.016 0.056
0.082 1
0.775 1.016
a. The reference category is: 2.47.
0.911
1.133
54
Hasil uji regresi logistik tingkat perjumpaan harimau dan mangsa pada Tabel 8 menunjukan kesimpulan yang sama yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat perjumpaan harimau dengan tingkat perjumpaan mangsanya atau sebaliknya. Dengan nilai signifikan P (Sig.) 0.775 menunjukan tidak adanya hubungan siknifikan antara tingkat perjumpaan harimau dan mangsa karena jika nilai signifikan P > 0.05 maka menunjukan hubungan yang tidak signifikan antara dua variabel yang dihubungkan. Artinya tingkat perjumpaan harimau sumatera tidak dipengaruhi oleh tingkat perjumpaan satwa mangsanya demikian juga sebalikanya. 5.1.4. Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya Secara umum pola aktivitas harian satwaliar dikelompokan pada tiga tipe yaitu diurnal, nocturnal dan crespuscular. Diurnal merupakan aktivitas satwaliar yang sangat dominan pada siang hari, nocturnal merupakan pola aktivitas satwaliar yang dominan pada malam hari. Sedangkan crespuscular merupakan pola aktivitas satwaliar yang aktif pada waktu-waktu peralihan (menjelang pagi, awal pagi, menjelang malam dan awal malam). Pola aktivitas harian satwa liar dapat dianalisis berdasarkan rekaman waktu perjumpaan pada foto yang tertangkap perangkap kamera. Menurut Laidlaw dan Noordin (1999) minimum dibutuhkan lebih dari lima buah foto satwaliar yang tertangkap perangkap kamera yang dapat dijadikan acuan untuk analisis pola aktivitas harian satu jenis satwaliar. Berdasarkan acuan tersebut harimau sumatera dan 17 jenis satwa mangsanya dapat dianalisis pola aktivitas hariannya. Jenis satwa mangsa harimau yang dapat dihitung pola aktivitas hariannya diantaranya adalah kucing emas, beruang madu, gajah sumatera rusa sambar, kijang, napu, babi, musang, beruk dan landak. 5.1.4.1.
Pola Aktivitas Harian Harimau Sumatera Harimau dalam aktivitas hariannya merupakan satwa yang sangat aktif.
Pola aktivitas harian harimau sumatera dianalisis berdasarkan catatan waktu pada foto hasil perangkap kamera (Pie 1995). Terdapat 14 sekuen foto yang digunakan sebagai data untuk analisis pola aktivitas harian harimau sumatera. Berdasarkan catatan waktu foto perangkap kamera diketahui 42.68% aktivitas harimau pada
55
siang hari dan 57.14% aktif pada malam hari. Untuk mendapatkan pola yang lebih akurat aktivitas harian harimau dikelompokan berdasarkan selang waktu setiap satu jam. Gambar 29 menyajikan grafik aktivitas harian harimau sumatera dalam 24 jam.
Gambar 29 Grafik pola waktu aktivitas harian harimau sumatera. Berdasarkan grafik di atas terlihat peningkatan aktivitas harimau sumatera pada selang waktu menjelang subuh, di awal pagi, menjelang siang dan di awal malam. Pada pagi hari terlihat dalam selang waktu 06.01-07.00 WIB dan selang 07.0108.00 WIB yang merupakan awal pagi pada lokasi penelitian serta pada senja hari 07.01-08.00 harimau sangat aktif bergerak menunjukan pada kawasan penelitian harimau digolongkan kedalam pola crespuscular. 5.1.4.2.
Pola Aktivitas Harian Mangsa Dari 28 jenis satwa yang tertangkap perangkap perangkap kamera hanya
17 jenis satwa yang dapat dianalisis pola aktivitas hariannya. Secara umum setiap satwa aktif pada waktu yang berbeda dengan satwa lainnya dan memiliki pola aktivitas harian yang dominan di siang hari atau dominan di malam hari. Gambar 30 grafik cicardian pola aktivitas harian mangsa hariamu sumatera.
56
Gambar 30 Pola aktivitas cicardian mangsa harimau sumtera. Untuk mendapatkan hasil pola aktivitas mangsa yang lebih akurat maka dilakukan pengelompokan pola aktivitas mangsa harimau berdasarkan selang waktu setiap satu jam dalam 24 jam. Pengelompokan berdasarkan selang waktu diperoleh berdasarkan data rekaman waktu penangkapan foto mangsa harimau oleh perangkap kamera. Gambar 31 menyajikan grafik pola aktivitas harian mangsa harimau sumatera setiap jenisnya.
57
Gambar 31 Grafik pola aktivitas harian satwa mangsa. Berdasarkan grafik di atas mangsa utama harimau seperti rusa sambar, kijang dan babi jenggot memiliki pola yang berbeda dan persamaan pada selang waktu tertentu. Rusa sambar sangat tinggi aktivitasnya pada malam hari mulai dari jam 21.01 sampai jam 02.00 dan kembali meningkat pada jam 4.01 sampai jam 6.00 sehingga rusa digolongkan pada satwa nokturnal. Berbeda dengan rusa kijang justru lebih tinggi aktivitasnya di pagi hari jam 07.00 sampai 10.00 dan di awal malam jam 18.00-12.00 sehingga digolongkan pada satwa crespuscular. Sedangkan babi jenggot lebih cenderung aktif siang hari (diurnal) yang terlihat dari tingginya aktivitas babi jenggot pada jam 7.00 sampai jam 10.00 WIB. Untuk jenis mangsa lainnya yang merupakan mangsa pilihan harimau memiliki pola yang bervariasi juga. Jenis mangsa dari suku felidae, viveridae, dan landak lebih cenderung disebut sebagi satwa nokturnal sedangkan jenis dari suku phasianidae cenderung merupakan satwa diurnal. Secara umum keseluruhan satwa mangsa harimau aktif sepanjang waktu sesuai dengan jenisnya. 5.1.4.3.
Hubungan Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya Hubungan pola aktivitas harimau dan mangsa dilakukan dengan cara
melakukan overlay antara grafik pola aktivitas harimau dengan grafik pola aktivitas keseluruhan satwa mangsa. Analisis hubungan pola aktivitas harimau
58
dan satwa mangsanya didasarkan pada harimau sebagi pemangsa dan satwa mngsa sebagai yang dimangsa. Overlay grafik pola aktivitas harian harimau sumatera dan pola aktivitas harian satwa mngsa disajikan pada Gambar 32.
Gambar 32 Grafik hubungan pola ativitas harimau sumatera dan mangsa. Dari hasil overlay di atas dapat dilihat kesamaan pola aktivitas harian harimau sumatera dan satwa mangsa. Peningkatan pola aktivitas satwa mangsa pada waktu tertentu diikuti dengan peningkatan pola aktivitas harian harimau sumatera. Dengan demikian asumsi kecenderungan harimau sumatera aktif mengikuti pola pergerakan mangsanya terpenuhi. Harimau sumatera aktif untuk mengejar mangsanya sedangkan mangsa aktif untuk menghindari harimau. Dapat disimpulakan pola aktivitas harian harimau sumatera mengikuti pola aktivitas harian mangsanya.
59
5.1.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya 5.1.5.1. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tipe Tutupan lahan Berdasarkan tipe tutupan lahannya lokasi hutan Blang Raweu dan sekitarnya memiliki enam tipe tutupan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, ladang, sawah, badan air dan lahan terbuka. Berdasarkan lokasi pemasangan perangkap kamera dan temuan keberadaan harimau dan mangsanya kawasan penelitian memiliki tiga tipe tutupan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder dan padang rumput. Secara keseluruhan ditemukan 101 keberadaan harimau dan 55 tanda keberadaan mangsa. Tabel 9 menyajikan distribusi keberadaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan. Tabel 9 Distribusi keberadaan dan tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan Peta tematik Hutan Primer Hutan Sekunder Padang Rumput Jumlah Ket : TK : Tapak kaki JK : Jejak lainnya
HK 2 0 2 4
CK 7 1 2 10
CK : Cakaran SL : Salt lick
Harimau TK KT 33 16 1 4 27 2 61 22
JK 2 0 2 4
KT : Kotoran K : Kubangan
ER 0.67 0 4.81
SL 1 0 1 2
Mangsa K PL ER 4 29 63.44 0 6 71.47 3 11 99.29 7 46
HK : Harimau di kamera PL : Perjumpaan langsung
Berdasarkan Tabel 9 distribusi harimau dan mangsanya bervariasi di setiap tipe tutupan lahannya. berdasarkan titik perjumpaannnya distribusi keberadaan harimau tertinggi terdapat pada tipe hutan primer dengan total 60 temuan dan terendah pada tipe hutan sekunder dengan 6 temuan. Berbeda dengan tanda keberadaan harimau, tingkat perjumpaan harimau justru menunjukan sebaliknya. Tingkat perjumpaan tertinggi terjadi pada tipe padang rumput dengan 4.81 foto/100 hari dan terendah pada hutan sekunder dengan 0 foto/100 hari. Mangsa harimau juga menunjukan hal yang sama dengan harimau dimana temuan tertinggi terjadi pada hutan primer dengan 34 temuan dan terendah pada hutan sekunder dengan 6 temuan. Tingkat perjumpaan mangsa tertinggi justru ditemukan pada padang rumput dengan 99.29 foto/100 hari yang didominasi jenis rusa dan gajah sumatera sedangkan paling rendah pada hutan sekunder yang didominasi oleh babi jenggot, kancil dan beruk. Gambar 33 menyajikan peta
60
distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan kawasan penelitian.
Gambar 33 Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan tutupan lahan 5.1.5.2. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tipe Hutan Menurut Ketinggian Menurut ketinggiannya kawasan Blang Raweu dibedakan menjadi 3 tipe hutan tropis yaitu hutan tropis dataran rendah (0-800 mdpl), hutan tropis pegunungan (800-1500 mdpl) dan hutan tropis pegunungan tinggi (>1500 mdpl. Tabel 10 menyajikan distribusi harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya. Tabel 10 Distribusi keberadaan harimau dan mangsa berdasarkan tipe hutan menurut ketinggian Tiepe tutupan lahan Hutan Dataran Rendah Hutan perbukitan Hutan Pegunungan Jumlah Ket : TK : Tapak kaki JK : Jejak lainnya
Harimau HK CK TK KT 0 0 0 0 4 7 55 19 0 3 6 3 4 10 61 22 CK : Cakaran SL : Salt lick
JK ER SL 0 0 0 4 1.35 2 0 0 0 2 4
KT : Kotoran K : Kubangan
Mangsa K PL ER 0 3 65.32 8 40 68.81 0 3 89.81 8 46
HK : Harimau di kamera PL : Perjumpaan langsung
61
Berdasarkan
perjumpaan
tanda
keberadaannya
hutan
pegunungan
merupakan tipe hutan yang paling tinggi ditemukan keberadaan harimau dan mangsanya masing-masing 89 dan 50 tanda keberadaan. Hutan dataran rendah memiliki perjumpaan paling sedikit baik harimau maupun mangsanya masing masing 0 dan 3 tanda keberadaan. Berdasarkan tingkat perjumpaannya, harimau sumatera hanya ditemukan pada hutan pegunungan dengan tingkat perjumpaan 1.35 foto/100 hari sedangkan mangsa harimau sumatera tertinggi perjumpaanya pada hutan pegunungan tinggi dengan 89.81 foto/100 hari dan tingkat perjumpaan terendah 65.32 foto/100 hari pada hutan dataran rendah. Gambar 34 menyajikan peta distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya.
Gambar 34 Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya. 5.1.5.3. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tingkat Kemiringan Lahan Berdasarkan tingkat kemiringannya wilayah penelitian dibagi menjadi lima kelas kemiringan lahan yaitu datar, landai, sedang, curam dan sangat curam. Kawasan yang masuk dalam sampling area penelitian hanya memiliki empat kelas
62
kemiringan lahan yaitu kelas datar, landai, sedang, dan curam. Tabel 11 menyajikan keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan kelas kemiringan lahan. Tabel 11 Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan kemiringan Kemiringan lahan Datar Landai Sedang Curam Jumlah
HK CK 0 2 1 3 2 3 1 2 4 10
Ket : TK : Tapak kaki JK : Jejak lainnya
Harimau TK KT 18 8 3 5 10 5 30 4 61 22
CK : Cakaran SL : Salt lick
JK 0 0 2 2 4
ER 0 0.64 1.31 1.51
KT : Kotoran K : Kubangan
SL 1 0 1 0 2
Mangsa K PL 4 12 0 12 4 8 0 14 8 46
ER 86.73 80.27 50.58 55.54
HK : Harimau di kamera PL : Perjumpaan langsung
Berdasarkan temuan tanda keberadaannya harimau sumatera tersebar merata berdasarkan kemiringan lahan lokasi penelitian. Distribusi tanda keberadan harimau paling banyak dijumpai pada kelas kemiringan curam dengan 26 tanda dan paling rendah pada kelas kemiringan landai dengan 12 tanda keberadaan. Berdasarkan tingkat perjumpaannya, harimau paling sering dijumpai pada kelas kemiringan sedang dengan 1.51 foto/100 hari dan paling rendah pada kelas kemiringan datar dengan 0 foto/100 hari. Secara umum berdasarkan tingkat perjumpaannya harimau sumatera tersebar cukup merata berdasarkan kelas kemiringan lahan kawasan penelitian. Untuk mangsa harimau berdasarkan tanda-tanda keberadaan yang ditemukan menunjukan distribusi keberadaan mangsa tertinggi terdapat pada kelas kemiringan datar dengan 17 tanda dan terendah pada kelas kemiringan sedang dengan 13 tanda. Berdasarkan tingkat perjumpaannya mangsa tertinggi diperoleh tingkat perjumpaannya pada kelas kemiringan datar dengan 86.73 foto/100 hari dan terendah pada kelas kemiringan sedang dengan 50.58 foto/100 hari. Secara umum
distribusi
mangsa
harimau
tersebar
merata
berdasarkan
kelas
kemiringannya jika dilihat dari distribusi tingkat perjumpaan mangsa harimau tersebut berdasarkan kelas kelerengannya. Gambar 35 menyajikan peta distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan kelas kemiringan lahan.
63
Gambar 35 Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan kelas kemiringan. 5.1.5.4. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak Padang Rumput Padang rumput Blang Raweu seluas 9008.37 ha diduga memiliki pengaruh terhadap distribusi harimau dan mangsanya. Berdasarkan letak padang rumput dari temuan dan lokasi pemasangan kamera maka kawasan penelitian dibagi pada jarak setiap 5 km dari padang rumput sehingga didapat 6 kriteria jarak dari padang rumput tersebut. Keberadaan harimau dan mangsa terhadap padang rumput disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak padang rumput Jarak dari Padang rumput 0 km 0-5 km 5-10 km 10-15 km 15-20 km >20 km Jumlah
HK 2 2 0 0 0 0 4
Ket : TK : Tapak kaki JK : Jejak lainnya
CK 2 2 3 3 0 0 10
Harimau TK KT 33 2 15 10 10 4 3 4 0 0 0 0 61 20
CK : Cakaran SL : Salt lick
JK 2 2 0 0 0 0 4
KT : Kotoran K : Kubangan
ER 4.81 1.52 0 0 0 0
SN 1 0 1 0 0 0 2
Mangsa PK PL 3 10 1 12 1 18 0 6 0 0 0 0 5 46
HK : Harimau di kamera PL : Perjumpaan langsung
ER 99.29 72.32 66.13 51.02 0 0
64
Secara umum berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa semakin mendekati padang rumput tanda keberadaan serta tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya semakin tinggi nilainya. Pada kawasan padang rumput total ditemukan 41 tanda keberadaan harimau dengan tingkat perjumpaan pada perangkap kamera mencapai 4.81 foto/100 hari, sedangkan mangsa total ditemukan 14 tanda keberadaan dengan tingkat perjumpaan berdasarkan perangkap kamera 99.29 foto/100 hari. Semakin menjauhi padang rumput,tingkat perjumpaan harimau mapun mangsanya akan mengalami penurunan. Gambar 36 menyajikan peta distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan letak padang rumput.
Gambar 36 Peta distribusi harimau berdasarkan letak padang rumput. 5.1.5.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak Sungai Berdasarkan letak sungai temuan keberadaan harimau dan mangsanya dibedakan pada jarak dengan selang setiap 500 meter dari sungai. Berdasarkan selang tersebut diperoleh 5 selang jarak dari sungai. Disribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak dari sungai dapat dilihat pada Tabel 13.
65
Tabel 13 Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak sungai Jarak dari sungai 0 - 500 meter 500 - 1000 meter 1000 - 1500 meter 1500 - 2000 meter > 2000 meter Jumlah Ket : TK : Tapak kaki JK : Jejak lainnya
HK 2 2 0 0 0 4
CK 5 4 1 0 0 10
Harimau TK KT 40 4 17 13 4 3 0 2 0 0 61 22
CK : Cakaran SL : Salt lick
JK ER 2 0.77 2 2.21 0 0 0 0 0 0 4
KT : Kotoran K : Kubangan
SL 2 0 0 0 0 2
Mangsa PK PL ER 5 20 81.56 3 17 47.55 0 4 0 0 3 76.73 0 2 0 8 46
HK : Harimau di kamera PL : Perjumpaan langsung
Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa jarak 0 sampai 1 km merupakan lokasi yang paling tinggi tingkat perjumpaan dan jumlah tanda keberadaan harimau dan mangsanya yang ditemukan. Dari 101 tanda keberadaan harimau yang ditemukan 89 tanda diantaranya ditemukan jarak tersebut. Demikian juga halnya dengan mangsa harimau dari 55 tanda yang ditemukan 47 tanda diantaranya ditemukan pada jarak 0 sampai 1 km dari sungai. Semakin menjauhi sungai menunjukan semakin berkurangnya tanda keberadaan harimau dan mangsanya yang dapat ditemukan. Ditinjau dari tingkat perjumpaan harimau dan mangsa diketahui bahwa distribusi tingkat perjumpaan harimau tertinggi terletak pada jarak 0.5-1 km dari sungai dengan nilai 2.21 foto/100 hari dan tingkat perjumpaan harimau pada jarak lebih dari 1 km adalah 0 foto/100 hari.
Tingkat perjumpaan mangsa cukup
bervariasi dimana tingkat perjumpaan tertinggi terletak pada jarak kurang dari 0.5 km dari sungai namun tingkat perjumpaan mangsa juga memiliki nilai yang relatif tinggi pada jarak 1.5-2 km dari sungai. Berdasarkan Tabel juga diketahui bahwa salt lick yang merupakan tujuan berbagai jenis satwa untuk mendapatkan garam juga berada pada jarak 0-0.5 km dari sungai. Gambar 37 menyajikan peta distribusi keberadaan serta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan letak sungai.
66
Gambar 37 Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan letak dari sungai. 5.1.5.6. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak Pemukiman dan Aktivitas Manusia Keberadaan manusia dan aktivitas yang dilakukannya sering merupakan bentuk gangguan terhadap kawasan tersebut. Keberadaan harimau dan satwa mangsanya dikelompokan pada jarak selang 5 km dari pemukiman. Keberadaan harimau dan mangsa berdasarkan letak pemukiman dan aktivitas manusia disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan jarak dari pemukiman dan terhadap gangguan Peta tematik 0 - 5 KM 5 - 10 KM 10 - 15 KM 15-20 KM > 20 KM Jumlah Ket : TK : Tapak kaki JK : Jejak lainnya
HK CK 0 0 0 2 0 4 4 4 0 0 4 10
Harimau TK KT 0 0 7 4 8 6 41 10 5 2 61 22
CK : Cakaran SL : Salt lick
JK 0 0 0 4 0 4
KT : Kotoran K : Kubangan
ER 0 0 0 2.90 0
SN 0 1 0 1 0 2
Mangsa PK PL 0 3 3 12 1 11 4 17 0 0 8 43
HK : Harimau di kamera PL : Perjumpaan langsung
ER 45.55 72.47 71.7 74.73 59.89
67
Secara umum aktivitas manusia dan gangguan terhadap kawasan terjadi hampir disepanjang jalur pemasangan perangkap kamera dengan temuan fakta lapangan berupa sisa-sisa camp bekas pencari rusa dan alin. Aktivitas manusia paling banyak terjadi pada selang jarak 5-10 kmdari pemukiman dan pada selang jarak 15-20 km dari pemukiman. Tempat ditemukannya sisa camp aktivitas perburuan selalu berada dekat dengan pusat keberadaan mangsa dan jerat yang ditemukan berada pada jalur utama pergerakan satwa. Distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan aktivitas manusia dan letak pemukiman disajikan pada Gambar 38.
Gambar 38 Peta distribusi harimau sumatera dan mangsanya berdasarkan aktivitas manusia dan letak terhadap pemukiman.
68
5.1.6. Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya 5.1.6.1. Populasi Harimau Sumatera Populasi harimau dapat diduga melalui analisis terhadap foto-foto harimau yang diperoleh melalui perangkap kamera. Jumlah individu teridentifikasi yang diperoleh merupakan populasi minimum harimau pada kawasan tersebut. Selain itu berdasarkan perjumpaannya dengan menggunakan proggram CAPTURE juga dapat dihitung dugaan populasi absolutnya. Rekapitulasi harimau tertangkap perangkap kamera disajikan pada Tebel 15. Tabel 15 Individu harimau sumatera tertangkap kamera Individu Agam Ineung 1 Ineung 2 Ineung 3 Ineung 4
Jenis kelamin Jantan Betina Betina Betina Betina
Perkiraan umur dewasa dewasa dewasa dewasa dewasa
Lokasi temuan RC 02 (Krueng Pisang) RC 02 (Krueng Pisang) RC 07 (Senong ba’kiet, krueng ble) RC 03 (Alu Ikuloe Idaek) RC 11 (Puncak Alu Gajah Indram)
Total keseluruhan foto harimau yang tertangkap perangkap kamera adalah 14 sekuen foto. Dari 14 sekuen foto tersebut dinyatakan terdapat 6 sekuen foto independen dan dinyatakan terdapat 5 individu hariamau. Berdasarkan sekuen foto yang berhasil teridentifikasi dapat dinyatakan bahwa populasi minimum harimau sumatera pada kawsan penelitian adalah 5 ekor. Keseluruhan harimau yang terfoto hidup secara soliter dimana tidak diperoleh foto individu yang berpasangan atau dengan anaknya. Dari lima individu tersebut empat individu dinyatakan sebagai individu betina dewasa dan satu individu merupakan individu jantan dewasa. Pada hasil perangkap kamera tidak ditemukan individu berusia anakan atau remaja. Dengan demikian dari foto harimau yang berhasil diidentifikasi tersebut diketahui bahwa perbandingan sex ratio harimau antara jantan dan betina pada kawasan ini adalah 1:4 dengan struktur umur 100% dewasa. Selain itu juga terdapat satu sekuen foto yang tidak bisa diidentifikasi apakah merupkan recapture dari individu yang ada atau sebagai individu baru, karena foto yang terakam tidak dapat dijadikan acuan untuk menunjukan perbedaan atau persamaan dngan individu yang telah terlebih dahulu di identifikasi. Foto ini diperoleh karena harimau tersebut bergerak terlalu dekat dengan posisi lensa kamera sehingga sulit dilakukan identifikasi pada harimau
69
tersebut. Harimau yang berhasil diidentifikasi diberi nama sebagai pengenal dan mempermudah dalam penyebutan harimau sumetera tersebut Lima individu yang berhasil tertangkap kamera tersebut dapat dilihat pada Gambar 39.
a
c
b
d
e
Gambar 39. Harimau tertangkap kamera (a) Agam (b) Ineung 1 (c) Ineung 2 (d) Ineung 3 (e) Ineung 4. Untuk mendapatkan dugaan kepadatan harimau pada keseluruhan kawasan maka dilakukan analisis foto independen perangkap kamera menggunakan program CAPTURE. Hasil analisis data menggunakan program tersebut disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Populasi harimau sumatera berdasarkan Analisi CAPTURE Item Efektif Traping kamera Tes Closure Kriteria seleksi Jumlah individu Rata-rata P-hat Peluang Capture (Mt+1/N) Populasi (N) dan Standar Error Populasi CI 95%
Nilai 192.67 km2 0.17 M(h) 5 0.17 0.75 6 (2.45) 4 -15
Nilai p dari hasil analisis CAPTURE adalah asumsi populasi tertutup (closed population) pada lokasi penelitian dapat diterima, hal ini mengacu pada penelitian
70
Karant (1995) yang mengungkapkan jika nilai P>0,005 maka asumsi populasi tertutup dapat diterima. Asumsi populasi tertutup adalah selama periode pemasangan perangkap kamera tidak ada penambahan dan atau pengurangan populasi baik melaui kelahiran, kematian atupun migrasi. 5.1.6.2. Populasi Mangsa Terdapat dua jenis satwa mangsa harimau yang dapat dihitung populasinya yaitu rusa sambar dan kijang. Parameter yang dapat diketahui berdasarkan perangkap kamera adalah kepadatan dan sex rasio. Rekapitulasi dugaan kepadatan populasi rusa dan kijang disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Kepadatan rusa sambar dan kijang Jenis satwa Rusa sambar Kijang
Kepadatan (ekor/ 100 Km2) Blang Raweu Krueng Gooha Rata-rata 56.09 (56) 39.39 (39) 58.96 (59) 31.33 (31) 37.34 (37) 74.57 (75)
Sex Rasio 1:5.11 (1:5) 1:1.11 (1:1)
** Nilai rata merupakan rataan dari keseluruhan pemasangan kamera bukan rataan dari dua lokasi tersebut.
Dari empat kelompok pemasangan perangkap kamera, rusa dan kijang hanya dapat dihitung dugaan kepadatan populasinya pada dua kelompok pemasangan yaitu kelompok pemasangan Blang Raweu dan kelompok pemasangan Krueng Gooha. Meskipun perhitungan kepadatan
keseluruhan
menunjukan kepadatan rusa lebih rendah daripada kepadatan kijang namun kijang tidak ditemukan satu individu pun pada kawasan padang rumput Blang Raweu sedangkan rusa ditemukan hampir di semua lokasi pemasangan kamera. Berdasarkan analisis jenis kelamin pada rusa sambar dan kijang perbandingan kelamin (sex rasio) antara jantan dan betina memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Sex rasio rusa sambar antara jantan dan betina adalah 1:5 (1:5.11) sedangkan sex rasio kijang adalah 1:1 (1:1.11). 5.1.7. Potensi Gangguan Terhadap Kawasan Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan informasi masyarakat sekitar kawasan potensi ganguan utama yang terdapat dalam kawasan adalah perburuan satwaliar dan penebangan pohon. Perburuan satwaliar yang paling intensif dilakukan adalah perburuan rusa dan kijang yang dijadikan sebagai pasokan
71
kebutuhan daging bagi masyarakat sekitar kawasan. Penebangan pohon umumnya terjadi pada kawasan yang relatif dekat dari jalan besar atau lokasi-lokasi yang memiliki potensi kayau yang bernilai ekonomis tinggi seperti kayu bran (meranti) yang merupakan sumber bahan baku utama untuk membangun rumah bagi masyarakat sekitar kawasan. Potensi gangguan pada setiap lokasi sangat tergantung dari jarak lokasi tersebut dari pemukiman serta potensi sumberdaya yang dimilikinya. Tabel 18 menunjukan potensi gangguan yang umum ditemukan pada blok pemasangan kamera. Tabel 18 Potensi gangguan pada kawasan penelitian. Kriteria Perburuan Penebangan liar Perambahan kebakaran Pencari hasil hutan non kayu Ket erangan :
Blang Raweu ++ 0 0 +++ + 0 + ++ +++
Krueng gooha ++ 0 ++ + ++
Gumue +++ +++ +++ ++ +++
Alu ilei ++ + + + +
: potensi gangguan sangat rendah : potensi gangguan rendah : potensi gangguan sedang : potensi gangguan tinggi
Berdasarkan pengamatan dan informasi dari masyarakat tingginya tingkat perburuan satwaliar terutama jenis Rusa sambar dan Kijang dikarenakan hewan tersebut merupkan sumber daging bagi masyarakat sekitar kawasan. Tidak adanya pasokan daging dari peternakan sapi atau kambing pada masyarakat sekitar kawasan mengakibatkan masyarakat mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan makanan berupa daging. Selain itu potensi gangguan yang menarik adalah pencari ikan kerelieng. Ikan kerelieng merupakan jenis ikan aliran deras yang berukuran besar. Ikan jenis ini banyak terdapat di sungai-sungai dalam kawasan yang memiliki aliran sepanjang tahun dan berarus deras. Pencarian ikan dalam kawasan masih dilakukan secara tradisional menggunakan pancing dan jala. Bagi masyarakat sekitar kawasan ikan jenis ini merupakan ikan yang paling mereka sukai sehingga harganya cukup mahal dibandingkan jenis ikan lainnya bahkan jika dibandingkan dengan ikan laut. Namun permasalahan yang dikhawatirkan timbul bukan dari pencarian ikannya tapi dari tingginya intensitas masyarakat masuk kawasan.
72
5.2. Pembahasan 5.2.1. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Perangkap Kamera Survey keberadaan distribusi populasi harimau sumatera dan mangsanya ini menggunakan 28 unit perangkap kamera. Dari 28 kamera terpasang hanya 20 unit kamera yang dapat dimanfaatkan foto hasil perangkapnya, sisanya terdapat 4 kamera rusak dan 1 kamera hilang serta 3 kamera lainnya tidak dapat dimanfaatkan
datanya.
Jumlah
jenis
dan
intensitas
perjumpaan
satwa
menggunakan perangkap bervariasi baik jenis maupun jumlahnya berdasarkan titik lokasi pemasangannya. Jumlah jenis dan intensitas perjumpaan satwa mangsa dipengaruhi oleh bebrapa faktor diantaranya perilaku satwa, lama satwa menempati sudut tangkap kamera dan penempatan kamera di lapangan. Sifat yang mempengaruhi penangkapan gambar satwa oleh perangkap kamera adalah sifat sosial satwa. Sifat sosial ditunjukkan dengan memiliki kelompok-kelompok atau rombongan dalam aktivitas hariannya seperti mencari makan, migrasi harian dan aktivitas lainnya. Rusa, gajah dan beruk adalah jenis satwa yang menunjukan aktivitas sosial dalam kesehariannya. Aktivitas sosial rusa, gajah dan beruk terlihat dari foto yang diperoleh sering dalam keadaan berkelompok atau rombongan. Berbeda dengan hewan tersebut, sempidan sumatera tertangkap kamera selalu berpasangan. Menurut Riansyah (2007) sebagian besar satwa mangsa (selain babi dan beruk) yang tertangkap perangkap kamera bersifat soliter dan populasinya di alam semakin berkurang. Sementara itu sempidan sumatera dan sempidan aceh merupakan satwa yang hampir selalu tertangkap kamera berpasangan. Pemanfaatan
sudut
tangkap
perangkap
kamera
oleh
satwa
liar
mempengaruhi kuantitas foto yang didapat. Bentuk pemanfaatan ruang sudut tangkap kamera diantaranya makan, bermain, berjalan, berlari, dan aktivitas sosial. Satwa yang memanfaatkan ruang tangkap perangkap kamera dalam waktu lama akan terus tertangkap kamera karena sensor yang digunakan adalah sensor panas sehingga kamera akan terus menangkap gambar pada sudut tangkapnya. Gajah sumatera yang bergerak dalam rombongan besar dan berjalan dengan
73
kecepatan rendah sering tertangkap dalm satu sekuen independen lebih dari satu sekuen foto bahakan mencapai 10 sekuen foto. Faktor terakhir yang sangat berpengaruh adalah posisi pemasangan perangkap kamera. Perangkap kamera dipasang pada jarak 30-60 cm dari tanah sehingga dapat dikatakan dipasang pada lantai hutan. Kondisi seperti ini mengakibatkan kamera hanya mampu menangkap pergerakan satwa pada lantai hutan (terestrial). Menurut Pie (1995) pemasangan perangkap kamera yang di tempatkan pada punggungan bukit dan feeding ground tidak mewakili satwasatwa yang bersifat arboreal. Kerusakan kamera trap disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor yang bersal dari kamera tersebut. Kerusakan dari faktor kamera diantaranya kerusakan komponen elektronik dan lensa kamera. kerusakan komponen elektronik yang terjadi yaitu kerusakan pada sensor panas sehingga kamera mengambil gambar terus menerus. Selain karena kerusakan sensor, panas (exposure light) yang berlebihan di sekitar perangkap kamera mengakibatkan sensor kamera bekerja secara terus menerus (Wibisono et al. 2007, Hutajulu 2007). Kerusakan lensa menyebabkan gambar yang dihasilkan tidak jelas (blur). Kerusakan karena faktor luar yang ditemukan yaitu perusakan oleh gajah sumatera. Gajah sumatera melakukan perusakan dengan menendang kamera. Diduga gajah merasa terganggu oleh lampu LED berwarna merah yang menyala saat kamera bekerja mengambil gambar. Menurut Hutajulu (2007) satwa sperti harimau pada saat pertama kali melintasi perangkap kamera cenderung kaget dengan cahaya lampu yang dihasilkan kamera sehingga satwa merusak dengan mencakar atau menggigit kamera. Pernyataan Hutajulu ini terbukti dimana diperoleh foto harimau dan beruang yang mendekati kamera sampai menjilati dan mencakar kamera seperti adanya bekas cakaran pada badan kamera. Kemungkinan hal yang terjadi pada harimau dan beruang juga dihadapi oleh gajah sehingga melakukan perusakan. Salah satu faktor luar yang juga merusak kamera adalah longsoran tanah yang terjadi di kawasan padang rumput. Longsoran tanah merusak karena menimbun kamera sehingga lumpur masuk ke dalam kamera.
74
Satwa mangsa yang berhasil dididentifikasi dibedakan dalam dua kelompok yaitu mangsa utama dan mangsa pilihan. Mangsa utama merupakan mangsa yang mampu memenuhi kebutuhan energi bagi harimau dan mudah untuk diburu. Mangsa utama ini ditandai dengan seringnya satwa tersebut dimangsa oleh harimau. Pada kawasan penelitian mangsa utama harimau adalah rusa sambar, kijang dan babi hutan. Mangsa pilihan harimau juga dibedakan menjadi dua yaitu mangsa yang memiliki peluang diburu tinggi dan mangsa yang kecil kemungkinan untuk diburu oleh harimau. Mangsa pilihan yang besar peluangnya diburu oleh harimau adalah satwa-satwa yang memiliki ukuran tubuh yang cukup besar seperti napu, beruk, landak, macan dahan, beruang, gajah (anak) dan sigung sedangkan yang kecil peluangnya seperti burung-burung kecil, tikus dan kadal. 5.2.2. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Survey Lapapangan 5.2.2.1.
Keberadaan Harimau Sumatera Survey keberadaan harimau sumatera dilakukan melalui identifikasi tanda-
tanda keberadaannya. Tanda tanda yang digunakan adalah jejak kaki, cakaran, kotoran, sisa dan bekas makanan, serta tanda lainnya yang dapat dijadikan acuan sebagai tanda keberadaan harimau sumatera. Jejak yang paling banyak dijumpai adalah jejak kaki dan kotoran harimau. Jejak kaki dan kotoran harimau ditemukan di sepanjang jalur survey. Berdasarkan proses identifikasi lapangan jejak kaki lebih mudah ditemukan pada jalur utama survey dibandingkan pada jalur baru yang sengaja dibuat untuk pemasangan kamera. Jalur utama lebih disukai harimau karena dalam aktivitasnya harimau lebih menyukai jalur yang bersih yang dapat menghindarkan kulitnya dari terluka akibat duri dan tajamnya dedaunan seperti yang terlihat pada jalur utama. Sebagian jalur pemasangan merupakan jalur satwa sedangkan sebagian lagi merupakan jalur yang dibuat tim survey. Dengan jalur yang dibuat baru maka jalur terlihat sempit dan banyak halangan yang terdapat di sepanjang jalur sehingga tidak disukai oleh harimau. Kondisi tersebut juga sejalan dengan pernyataan Santiapilai dan Ramono (1985) yang mengemukakan kerapatan vegetasi merupakan faktor yang menyebabkan satwa susah untuk
75
dijumpai. Vegetasi yang rapat dapat mempengaruhi visual dalam identifikasi jejak harimau. Berdasarkan hasil pengamatan pada kawasan padang rumput, harimau lebih menyukai jalur yang ada yang dibuat oleh gajah sumatera. Gajah sumatera membuat jalur ini melalui aktivitas migrasinya dari satu hutan ke hutan lainnya dalam kawasan ekosistem Ulu Masen. Rapatnya vegetasi rumput pada padang rumput juga merupakan faktor harimau lebih menyukai melintas pada jalur gajah sumatera karena jalur gajah sumatera terlihat jelas dan datar meskipun berada pada pinggir-pinggir tebing padang rumput. Selain itu pada padang rumput juga terdapat lubang-lubang dan jurang yang secara kasat mata tidak terlihat karena tersamarkan oleh rapatnya vegetasi rumput dan pada bagian tertentu bisa mencapai ketinggian 2 meter. Dengan berjalan pada jalur gajah yang ada harimau juga dapat memantau satwa buruannya pada area padang rumput yang luas karena berdasarkan survey lapangan dari banyak titik dapat terpantau area yang luas dengan keberadaan pergerakan rusa yang terpantau jelas bahkan dari satu titik dapat terpantau hampir keseluruhan area padang rumput. Dengan penglihatan yang tajam harimau akan mampu melihat jauh lebih baik dari tim survey. 5.2.2.2.
Keberadaan Mangsa Pada hutan primer dan sekunder, satwa yang umum dijumpai langsung
adalah jenis satwa arboreal dan beberapa jenis satwa terestrial. Satwa arboreal yang paling sering dijumpai adalah dari jenis primata dan burung. Semua jenis primata dilakukan pencatatan sementara untuk burung hanya jenis yang dapat dikenali saja yang dilakukan pencatatan. Siamang, kedih, beruk dan monyet ekor panjang merupakan jenis primata yang paling sering dijumpai bahakan pada beberapa titik perjumpaan satwa tersebut tidak merasa terganggu dengan kehadiran manusia. Diduga satwa-satwa tersebut telah terbiasa dengan kehadiran manusia karena pada jalur tersebut merupakan jalur utama dari perkampungan menuju padang rumput Blang Raweu. Jenis satwa lainynya baik arboreal maupun satwa terestrial relatif sulit ditemukan pada hutan primer amupun hutan sekunder. Satwa terestrial sulit ditemukan karena terlebih dahulu telah menghindar saat menyadari kedatangan tim survey pada wilayah mereka. Selain itu kerapatan hutan yang cukup rapat juga
76
menyulitkan pengamatan secara visual. Faktor lain yang mempengaruhi pengamatan langsung adalah kecepatan berjalan rombongan yang cepat karena harus sampai pada tujuan tepat waktu serta jumlah rombongan yang cukup banyak sehingga menimbulkan gangguan pada satwa yang ada sekitar jalur survey. Meskipun demikian pengamatan langsung juga berhasil mengamati beberapa jenis hewan terestrial pada hutan diantaranya, gajah sumatera, rusa, kijang, kucing emas, sempidan sumatera dan beberapa jenis ayam hutan. Pengamatan langsung pada padang rumput relatif lebih baik dari pada di hutan. Pengamatan pada padang rumput memberikan ruang pandang yang cukup luas dan cahaya yang cukup untuk menemukan keberadaan satwaliar secara langsung. Namun demikian tetap ada kekurangannya yaitu pada daerah yang memiliki rumput yang tinggi banyak hewan yang bersembunyi dalam rerumputan seperti rusa justru tidak dapat terlihat. Beberapa jenis satwa mangsa harimau yang ditemukan pada padang rumput adalah gajah sumatera. Rusa sambar, elang ular, dan julang emas. Perjumpaan tanda-tanda keberadaan satwa mangsa harimau sumatera pada hutan atau padang rumput relatif sama. Tanda-tanda yang umum ditemukan berupa kubangan, kotoran, jejak kaki, bekas goresan tanduk/gading, senong dan sisa/bekas makanan. Tidak semua tanda dilakukan pencatatan, tanda-tanda yang dicatat adalah kubangan, senong, kotoran dan goresan tanduk/gading yang jelas di ketahui jenisnya. Jejak kaki yang ditemukan sepanjang jalur pengamatan tidak dicatat karena dianggap jalur yang terekam GPS merupakan jalur perlintasan satwa sehingga sepanjang jalur tersebut merupakan titik perjumpaan tanda-tanda keberadaan satwa mangsa harimau sumatera. 5.2.3. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsanya 5.2.3.1.
Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera Tingkat perjumpaan harimau pada setiap kameranya bervariasi. Kamera
menunjukan hanya terdapat empat kamera yang menangkap pergerakan harimau yaitu kamera RC 02, RC 03, RC 07 dan RC 11. Tingkat perjumpaan harimau bervariasi dari 0 sampai 7.85 foto/100 hari. Bervariasinya tingkat perjumpaan harimau pada keseluruhan kawasan sangat dipengaruhi oleh keberadaan harimau tersebut pada kawasan penelitian selama periode pemasangan perangkap kamera.
77
dalam periode pemasangan perangkap kamera harimau yang memiliki pergerakan dan jelajah yang luas mungkin berada dalam kawsan perangkap kamera dan mungkin juga sedang berada di luar kawasan pemasangan perangkap kamera. Selain faktor keberadaan harimau, faktor yang juga berpengaruh diantaranya pemanfaatan lokasi pemasangan perangkap kamera oleh harimau. Kamera yang berada pada jalur utama pergerakan harimau menjadikan peluang tertangkapnya harimau lebih tinggi bila dibandingkan dengan kamera yang dipasang pada lokasi yang bukan jalur harimau. Selain itu penggunaan proporsi contoh yang berkaitan dengan jumlah kamera dibandingkan dengan luasan kawasan penelitian juga ikut mempengaruhi peluang tertangkapnya harimau sumatera. Semakin banyak kamera dipasang pada satu tipe hutan atau tipe lahan maka semakin besar peluang harimau tertangkap kamera. 5.2.3.2.
Tingkat Perjumpaan Mangsa Tingkat perjumpaan pada kawasan penelitian bervariasi baik dari segi
jenis yang ditemui maupun intensitas perjumpaan terhadap jenis satwa pada tiaptiap kameranya. Tingkat perjumpaan mangsa harimau dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya keberadaan mangsa, pemanfaatan lokasi pemasangan perangkap kamera oleh satwa mangsa. Lokasi-lokasi pemasangan perangkap kamera yang berada pada kawasan yang tinggi pemanfaatannya oleh satwa mangsa menyebabkan tingginya tingkat perjumpaan terhadap mangsa yang tinggi pula. Hal ini terlihat pada kamera RC 07 yang dipasang didekat salt lick yang menjadikan kamera tersebut paling tinggi tingkat perjumpaannya. Sebaliknya kamera RC 03 yang berada di kawasan padang rumput tidak mendapatkan keberadaan mangsa sedikitpun. Padang rumput yang luas dan memiliki banyak jalur pergerakan satwa diduga menyebabkan kamera tersebut tidak mendapatkan foto satwa mangsa harimau. Kamera RC 03 diduga terpasang tidak pada jalur pergerakan satwa mangsa atau satwa mangsa tidak memanfaatkan jalur tersebut dalap pergerakannya selama periode pemasangan perangkap kamera. 5.2.3.3.
Hubungan Tingkat Perjumpaan Harimau dan Mangsanya Berdasarkan overlay interpolasi tingkat perjumpaan harimau dan
mangsanya serta analisis uji regresi linier menunjukkan tidak adanya hubungan
78
antara perjumpaan harimau dengan perjumpaan satwa mangsanya dan sebaliknya. Pada kamera RC 07 dan RC 02 tingginya tingkat perjumpaan harimau diikuti oleh tingginya tingkat perjumpaan satwa mangsanya namun tidak pada kamera lainya dimana tingkat perjumpaan satwa tetap tinggi namun tingkat perjumpaan harimau tidak ada. Pada kamera RC 03 tingkat perjumpaan harimau 6.41 foto/ 100 hari tidak diikuti oleh perjumpaan satwa mangsa harimau dimana pada kamera tersebut tidak terjadi perjumpaan dengan satwa mangsa harimau. Tidak adanya korelasi antara tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya disebabkan mangsa harimau yang beragam dengan jumlah yang banyak serta memiliki wilayah penyebaran yang merata memungkinkan harimau tidak terkonsentrasi pada titik tertentu yang memiliki tingkat konsentrasi satwa yang cukup tinggi. Pemasangan kamera yang dilakukan tidak serentak pada semua lokasi penelaahan diduga ikut mempengaruhi tingkat perjumpaan satwa terutama harimau yang memiliki daerah jelajah yang luas. Daerah jelajah harimau yang yang luas meyebabkan harimau tidak tertangkap perangkap kamera karena pada periode pemasangan perangkap kamera pada suatu lokasi harimau justru berada pada lokasi lainnya. 5.2.4. Pola Aktivitas Harian Harimau Sumatera dan Mangsanya 5.2.4.1.
Pola Aktivitas Harian Harimau Sumatera Pola aktivitas harimau pada kawasan hutan Blang Raweu dan sekitarnya
digolongkan pada pola crespuscular. Artinya harimau cenderung meningkat aktivitasnya pada waktu-waktu peralihan seperti waktu menjelang subuh sampai awal pagi dan menjelang senja sampai awal malam. Berdasarkan penelitian Riansyah (2007) di taman nasional Kerinci Seblat, 69% aktivitas harimau digolongkan pada diurnal. Laidlaw (1999) dan Sunquist (1981) menggolongkan harimau sebagai satwa crespuscular karena lebih cenderung aktif pada waktu fajar dan senja hari. Hutajulu (2007) mengemukakan hal yang sama bahwa di Lansekap Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh harimau sumatera memiliki pola aktivitas harian crespuscular. Pola aktivitas harimau yang cenderung aktif pada selang waktu tertentu menjadikan harimau sangat aktif bergerak pada waktu tersebut dibandingkan pada waktu lainnya. Pergerakan aktivitas harimau yang aktif dan tinggi daya jelajahnya
79
merupakan bentuk perilaku pemangsaan terhadap mangsanya. McDonald (1984) mengungkapkan bahwa harimau memiliki pola aktivitas berburu soliter yang lebih aktif mencari daripada menunggu yang menyebabkan pola aktivitasnya sangat tinggi. Mangsa harimau yang tersebar luas baik jenis maupun jumlahnya serta memiliki pola aktivitas yang berbeda-beda mendukung harimau untuk dapat mencari dan menemukan mangsanya (Riansyah 2007). 5.2.4.2. Pola Aktivitas Harian Satwa Mangsa Pola aktivitas harian mangsa bervariasi setiap jenisnya. Secara keseluruhan 54.41% mangsa aktif pada siang hari dan 45,59% aktif pada malam hari. Rusa sambar, kijang dan babi jenggot memiliki pola aktivitas yang sangat berbeda. Kijang dan babi jenggot lebih cenderung aktif pada siang hari sedangkan rusa sambar cenderung sangat aktif pada malam hari. Kesimpulan ini senada dengan pernyataan Alikodra (2002) yang menyatakan bahwa kebanyakan jenis mamalia aktif pada siang hari dan berlindung pada malam hari. Pola aktivitas harian mangsa erat hubungannya dengan pemilihan dan adaptasi satwa tersebut terhadap waktu dalam mencari pakan. 5.2.4.3. Hubungan Pola Aktivitas Harian Harimau Sumatera dan Mangsanya Secara umum pola aktivitas harian harimau sumatera akan mengikuti pola aktivitas harian mangsanya. Sebagian besar satwa mangsa harimau berdsaarkan foto perangkap kamera meningkat aktif pada waktu peralihan antara sebelum subuh sampai awal pagi dan menjelang senja sampai malam hari atau dalam selang waktu 04.00-09.00 WIB dan 15.00-22.00 WIB.
Peningkatan aktivitas
mangsa pada selang waktu tersebut juga diikuti oleh peningkatan aktivitas harimau sumatera. Menurut
Riansyah (2007) pola aktivitas harimau sumatera cenderung
mengikuti pola aktivitas mangsa pilihan atau utamanya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada pola aktivitas rusa dan kijang yang meningkat aktivitasnya pada waktu tersebut. Kecenderungan kesukaan harimau pada jenis satwa tertentu disebabkan oleh ukuran tubuh satwa tersebut yang besar yang dapat mencukupi kebutuhan untuk beberapa hari serta kemudahan untuk mendapatkannya. Menurut Sunquist (1981) harimau membutuhkan 5-6 KG daging setiap harinya. Dengan
80
memburu satwa berbadan besar (kijang ±40 KG, rusa ±200KG) akan memberikan efesiensi energi pada harimau tersebut karena tidak harus berburu setiap hari. Aktivitas satwa mangsa potensial harimau yang meningkat aktivitasnya pada selang waktu yang sama dengan peningkatan aktivitas harimau dan dua mangsa utamanya memberikan kemudahan bagi harimau untuk memburu mereka. Harimau yang bersifat oportunis tidak akan melewatkan peluang mendapatkan mangsanya meskipun mangsa tersebut juga merupakan pemangsa. Sifat oportunis harimau ini terlihat dari analisis kotoran yang menunjukan bahwa kotoran tersebut merupakan kotoran harimau yang memakan jenis kucing-kucingan. Jenis kucing tersebut diidentifikasi berdasarkan bentuk kuku yang masih tersisa serta adanya bantalan seperti telapak kaki kucing yang masih menempel dengan kuku tersebut. 5.2.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya 5.2.5.1. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tipe Tutupan Lahnnya Berdasarkan tipe tutupan lahannya harimau sumatera tersebar cukup merata pada tipe tutupan hutan primer dan padang rumput jika ditinjau dari temuan tanda keberadaannya di lapangan, namun sangat sulit ditemukan pada kawasan hutan sekunder. Berbeda halnya dengan harimau satwa mangsanya tersebar relatif merata pada berbagai tipe tutupan lahan namun berbeda dari segi jenis yang menempati setiap tipe tutupan lahannya. Tutupan lahan bagi harimau sumatera erat kaitannya dengan fungsi perlindungan (cover) dari sinar matahari yang didapatkan dari lahan tersebut. McDougal 1979 mengemukakan bahwa harimau merupakan satwa yang tidak tahan terhadap sinar matahari. Hutan primer mampu memberikan perlindungan bagi harimau dari matahari. Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu perlindungan yang peranannya dapat dibedakan atas tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan suhu/temperatur udara (thermal cover) lingkungannya (Lestari 2006). Pada padang rumput meskipun terbuka namun masih bisa dijadikan tempat perlindungan bagi harimau. Lestari (2006) mengemukakan bahwa di Taman Nasional Way Kambas harimau biasa memanfaatkan alang-alang sebagai tempat
81
perlindungannya. Harimau menjadikan alang-alang sebagai perlindungan dari sengatan matahari dengan cara merebahkan dirinya. Alang-alang yang dapat dijadikan perlindungan bagi harimau adalah alang-alang yang tingginya lebih tinggi dari tinggi harimau tersebut. Pada padang rumput Blang Raweu di beberapa bagiannya memiliki rumput yang tingginya bahkan lebih tinggi dari tinggi manusia sehingga pada bagian padang rumput seperti inilah yang dimanfaatkan harimau sebagai tempat perlindungan. Bagi banyak mangsa harimau, tutupan lahan erat hubungannya dengan ketersediaan pakan. Padang rumput merupakan tempat paling ideal bagi rusa sambar karena mampu memeberikan pakan yang cukup melimpah bagi satwa dengan tipe pemakan rumput tersebut. Pada hutan primer maupun hutan sekunder rusa sambar akan membutuhkan energi lebih banyak dalam menemukan pakannya karena keanekaragaman jenis tanaman yang tinggi yang hanya sebagian kecil saja yang merupakan pakannya. Berbeda dengan rusa, kijang merupakan satwa mangsa harimau bertipe browser atau menyukai tunas-tunas tanaman sebagai makannya (Endri 2007). Kijang ditemukan terdistribusi merata di semua kawasan penelitian kecuali pada padang rumput. Luasnya distribusi atau sebaran kijang pada lokasi penelitian dapat diasumsikan bahwa kijang merupakan satwa mangsa utama harimau pada kawasan hutan primer dan hutan sekunder. Babi yang juga merupakan mangsa utama harimau memiliki distribusi yang lebih sempit berdasarkan tipe tutupan lahan lokasi penelitian. Babi jenggot lebih banyak dijumpai pada kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan kawasan perladangan. Babi jenggot lebih menyukai kawasan tersebut diduga karena sifat tolerannya terhadap perubahan dan gangguan serta ketersedian pakan yang melimpah di sekitar kawasan tersebut yang paling banyak terdapat pada ladang penduduk sehingga babi sering merupakan hama bagi penduduk. 5.2.5.2. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tipe Hutan Menurut Ketinggiannya Hutan sebagai perlindungan yang disukai harimau juga dipengaruhi oleh ketinggian. Ketinggian hutan mempengaruhi harimau karena perbedaan ketinggian akan memberikan perbedaan tutupan tajuk hutan yang dijadikan cover bagi harimau dari sinar matahari. Borner (1978) dalam Santiapillai dan Ramono
82
(1985) mengemukakan bahwa harimau sumatera dapat dijumpai sampai ketinggian lebih dari 2000 mdpl. Pernyataan tersebut dapat dijadikan salah satu alasan mengapa distribusi tanda-tanda keberadaan harimau sumatera tersebar merata pada kawasan penelitian yang ketingginya berkisar antara 400-1700 mdpl. Menurut Setijati et al.,(1992) harimau sumatera dapat ditemukan pada berbagai tipe hutan mulai dari hutan dataran rendah sampai dataran tinggi, meliputi dataran pantai, berawa payau dengan vegetasi primer sekunder, padang rumput sampai lahan perkebunan dan lahan pertanian masyarakat. Kawasan
penelitian
yang
didominasi
oleh
hutan
pegunungan
mengakibatkan pada hutan ini distribusi harimau dan mangsanya terlihat sangat tinggi bila dibandingkan dengan tipe hutan lainnya. Hal ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa distribusi harimau pada tipe habitat lainnya tidak tersebar merata karena pemasangan kamera dan jalur pengamatan yang tidak cukup mewakili keseluruhan tipe hutan berdasarkan ketinggiannya. Namun demikian tingginya perjumpaan tanda-tanda keberadaan harimau pada hutan perbukitan disebabkan oleh kerapatan tajuk hutan pegunungan yang relatif rapat menyebabkan lantai hutan menjadi sejuk dan teduh karena sinar matahari terhalang masuk (Marlan 2009). Kondisi lantai hutan yang sejuk dan teduh merupakan kondisi ideal yang disukai oleh harimau. Selain disukai oleh harimau kondisi hutan pegunungan juga memberikan kebutuhan akan pakan bagi mangsa harimau serat memberikan perlidungan dna persembunyian bagi mangsa harimau tersebut 5.2.5.3. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Tingkat Kemiringan Berdasarkan kelas kemiringan lahannya harimau sumatera dan mangsanya terdistribusi merata pada semua kelas kemiringan lahan pada lokasi penelitian mulai dari datar sampai curam. Dengan distribusi yang merata tersebut menandakan pada kawasan hutan Blang Raweu dan sekitarnya faktor kemiringan lahan tidak berpengaruh terhadap distribusi harimau maupun mangsanya. Meratanya distribusi harimau dan mangsanya terutama mangsa yang bersifat terestrial diduga karena jalur-jalur yang dijadikan survey dan lokasi pemasangan perangkap kamera justru memiliki tingkat kemiringan yang tergolong landai meskipun berdasarkan analisis terhadap peta kemiringan kawasan yang sama
83
menunjukan kelas kemiringan yang sedang bahkan curam. Jalur-jalur yang menjadi pilihan bagi harimau dan mangsanya dalam beraktivitas merupakan jalurjalur yang secara alami dibuat oleh gajah sumatera yang melakukan perjalanan secara periodik. Gajah sumatera berdasarkan pengamatan lapangan terlihat berjalan dalam kecepatan yang lambat dan cenderung memilih atau membuat jalur baru yang memberikan kemudahan baginya dalam melakukan perjalanan. Dengan massa dan ukuran tubuh yang besar serta langkah yang pendek dalam pergerakan normalnya gajah sumatera akan selalu meninggalkan jalur perlintasannya dalam keadaan seperti jalur baru yang lebar dan mudah dilalui oleh satwa lainnya. Gajah sumatera memiliki kecenderungan berjalan mengikuti garis kontur atau sejajar garis kontur dan sangat jarang dijumpai jalur yang langsung memotong kontur sehingga meskipun berdasarkan peta kemiringan lahan kawasan tersebut memiliki kemiringan yang sedang sampai curam tapi jalur yang dibuat dan dilalui gajah sumatera tersebut pada sebagian besar jalurnya justru memiliki kemiringan yang datar dan landai. Jalur-jalur seperti inilah yang dijadikan oleh satwa lainnya termasuk harimau sumatera sebagi jalur perlintasannya. Pemanfaatan jalur-jalur gajah tersebut oleh harimau sumatera dan mangsanya terlihat dari banyaknya jejak telapak kaki harimau dan mangsanya yang ditemukan pada jalur tersebut. 5.2.5.4. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak Padang Rumput Lokasi penelitian yang berada pada radius 15 km dari padang rumput menunjukan bahwa padang rumput tidak terlalu berpengaruh terhadap distribusi mangsa harimau sumatera hal ini dapat dilihat dari tetap tingginya tingkat perjumpaan mangsa harimau meskipun berada jauh dari padang rumput. Berbeda dengan mangsanya tersebut harimau sumatera justru memperlihatkan adanya pengaruh padang rumput yang cukup signifikan terhadap keberadaan dan tingkat perjumpaannya. Pengaruh padang rumput terhadap keberadaan dan tingkat perjumpaan harimau diduga terkait dengan keberadaan rusa sambar yang cukup melimpah di padang rumput yang merupakan mangsa utamanya. Pada padang rumput juga memberikan kemudahan bagi harimau dalam mengintai dan berburu mangsanya.
84
Pada padang rumput harimau dapat tersamarkan oleh rumput yang berwarna kuning kecoklatan sehingga dapat mengaburkan pandangan mangsanya terhadap keberadaan harimau tersebut. Selain faktor tersebut faktor keberadan salt lick yang juga berada dalam kawasan padang rumput diduga merupakan faktor paling berpengaruh karena salt lick yang ada merupakan lokasi yang dikunjungi secara berkala oleh mangsa harimau terutama rusa sambar. dengan keberadaan salt lick dan keuntungan yang didapat harimau dari padang rumput menjadikan kawasan tersebut sebagai tepat paling ideal bagi harimau dalam berburu mangsanya. 5.2.5.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak Sungai Harimau memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap air karena harimau memiliki mobilitas yang tinggi dalam aktivitas hariannya sehingga harimau memiliki kadar metabolisme dan suhu tubuh yang tinggi (Yong, 2005). Menurut Sunquist (1981) Harimau sumatera menyukai habitat yang dekat dengan sungai atau pinggiran sungai (riverine habitat). Meskipun demikian harimau juga bisa ditemukan pada habitat-habitat yang jauh dari sungai. Sebaran mangsa yang juga berada di sekitar sungai juga menunjukan ketergantungan mangsa dengan air. Dengan demikian selain karena faktor harimau yang suka air juga terdapat faktor keberadaan mangsa yang juga menyukai habitat sekitar perairan atau sungai. Hutajulu (2007) mengemukakan sungai sebagai tempat berkumpulnya satwa kemungkinan berhubungan dengan proses pemangsaan mangsa oleh harimau sumatera. Pada padang rumput terutama saat suhu udara tinggi harimau juga akan cenderung mendekati sungai dalam melakukan aktivitasnya di siang hari hal ini berguna untuk memudahkan mendapatkan air saat harimau membutuhkannya untuk mendinginkan suhu tubuhnya atau untuk menghindari dehidrasi. Menurut Hutajulu (2007) saat suhu harian mencapai 33 0C memungkinkan bagi harimau untuk menurunkan suhu tubuhnya dengan berendam di sungai. Pada beberapa pemetaan perjumpaan terdapat tanda-tanda keberadaan harimau dan mangsa berada jauh dari sungai. Data tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar karena berdasarkan fakta lapangan pada kawasan tersebut ternyata juga terdapat aliran sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun namun
85
tidak terpetakan dengan baik. Demikian juga halnya di padang rumput banyak terdapat aliran air kecil yang banyak digunakan oleh harimau dan mangsanya sebagai tempat minum yang ditandai dengan dijumpainya jejak harimau dan mangsa disekitar aliran tersebut. Ketersedian air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal (Alikodra, 2002). Pada saat musim kemarau sumber air yang bersifat temporal tidak mampu menyediakan air yang cukup bagi harimau dan mangsanya sehingga harimau dan mangsanya cenderung memanfaatkan air yang tersedia sepanjang tahun pada sungai-sungai besar untuk memenuhi kebutuhannya. 5.2.5.6. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Letak Pemukiman dan Aktivitas Manusia Pemukiman dan aktivitas manusia di kawasan dan sekitar kawasan penelitian identik dengan adanya gangguan terhadap harimau sumatera dan mangsanya bahkan terhadap habitatnya. Secraa umum harimau sumatera ditemukan semakin menjauhi pemukiman maka semakin tinggi perjumpaannya. Berbeda halnya dengan harimau, mangsanya justru tersebar merata pada semua selang jarak dari pemukiman namun memiliki komposisi jenis yang berbeda-beda. Pada kawasan yang dekat dengan pemukiman mangsa utama harimau yang seing dijumpai dan tinggi perjumpaannya adalah babi jenggot semakin menjauhi pemukiman komposisi akan mengalami perubahan dimana rusa dan kijang akan tinggi perjumpaannya bila dibandingkan dengan babi hutan. Meskipun berdasarkan data lapangan harimau memiliki kecenderungan menjauhi pemukiman namun berdasarkan informasi masyarakat harimau sumatera sering dijumpai memasuki kawasan pemukiman terutama perladangan. Harimau di perladangan masyarakat sering terlihat dalam aktivitas merawat anaknya. Selain itu harimau juga memasuki perkebunan durian masyarakat saat musim durian berlangsung. Hampir semua masyarakat yang memberikan informasi keberadaan harimau mengungkapkan bahwa harimau saat memasuki perkebunan durian ketika musim durian karena harimau menyukai buah durian untuk dimakannya.
86
5.2.5.7. Hubungan Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya Pada dasarnya harimau dapat hidup pada berbagai jenis tipe habitat. Menurut McDonald (1984) harimau merupakan jenis satwa yang mudah beradaptasi pada berbagi tipe habitat yang bervariasi. Bahkan menurut Endri (2006) harimau dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada kawasan hutan yang berada relatif dekat dengan manusia atau pemukiman selama masih tersedia cukup mangsa untuk menunjang kebutuhannya. Ada tiga komponen utama yang menyusun kebutuhan harimau yaitu ketersediaan air, mangsa yang cukup banyak dan perlindungan (cover). Tidak pada semua wilayah ketiga komponen tersebut dapat tercukupi sehingga harimau cenderung bergerak dan menjelajah untuk mencukupi kebutuhannya tersebut. Pergerakan harimau mencari mangsanya diikuti juga oleh pergerakan mangsanya menghindari harimau. Distribusi harimau sumatera sangat dipengaruhi oleh distribusi satwa mangsanya. Tipe tutupan lahan yang mempengaruhi distribusi satwa mangsa harimau terutama rusa dan kijang secara tidak langsung juga mempengaruhi distribusi harimau sumatera dan hewan yang dimangsanya. Pada kawasan padang rumput Blang Raweu harimau sumatera akan memilih rusa sebagai mangsa utamanya karena kepadatan rusa yang tinggi serta adanya pusat aktivitas rusa berupa salt lick yang memberi kemudahan bagi harimau dalam menentukan daerah perburuan. Pada padang rumput harimau sumatera relatif tidak memiliki mangsa cadangan selain rusa sehingga pada kondisi dimana rusa tidak ditemukan pada padang rumput atau berada di hutan, harimau akan memiliki pilihan lain dalam mencari mangsanya. Pada kawasan hutan terdapat tiga mangsa utama yang dapat dimakan harimau yaitu rusa, kijang dan babi. Namun berdasarkan sebarannya yang lebih merata rusa dan kijang merupakan pilihan utama bagi harimau sedangkan babi merupakan pilihan utama jika harimau berada pada kawasan yang dekat dengan pemukiman karena pada kawsan ini babi sangat mendominasi. Menurut Seidensticker et al., (1999) harimau sumatera pada ketinggian lebih dari 600 mdpl akan cenderung memangsa kijang dan kadang-kadang kambing hutan. Dengan demikian pada kawasan hutan, harimau memiliki kecendrungan lebih memilih
87
kijang sebagai mangsa utamanya. Tingginya perjumpaan dan ratanya distribusi kijang dapat mendukung kelanjutan populasi harimau, sesuai dengan pernyataan Seidenticker et al., (1999) yang menyatakan bahwa populasi kijang yang seimbang dapat mendukung populasi harimau secara berkelanjutan. Berdasarkan tingkat perjumpaan satwa menggunakan perangkap kamera jenis satwa yang mungkin menjadi pilihan jika harimau mendapat kesulitan memperolah maka jenis satwa yang dapat dijadikan pilihan sebagai mangsa cadangan adalah beruk dan landak karena memiliki sebaran yang merata. Tingginya perjumpaan beruk dan landak dapat mengindikasikan bahwa kedua satwa tersebut dapat merupakan satwa mangsa utama harimau. Hasil penelitian di TN gunung Leuser menunjukan bahwa landak merupakan salah satu satwa mngsa utama harimau (Griffith, 1997 dalam Seidenticker et al., 1999). Dari survey lapangan ditemukan tulang belulang rusa yang kuat dugaan merupakan bekas pemangsaan oleh harimau sumatera. Rusa tersebut mati diduga dibunuh oleh harimau sumatera berdasarkan tulang-belulang yang berserakan dan berbeda dekat sungai yang agak tersembunyi dari jalur. Di sekitar tulang belulang tersebut juga ditemukan jejak harimau sumatera. Kuat dugaan lokasi tersebut merupakan teritori harimau sumatera. Harimau sumatera setelah membunuh mangsanya cenderung menyeret mangsanya ke pinggir sungai atau sumber air dan memakannya di sana. 5.2.6. Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya 5.2.6.1. Populasi Harimau Sumatera Data perjumpaan harimau tersebut juga dianalisis menggunakan program CAPTURE dengan model Mh diperoleh populasi (X ± SE) 5.99±2.45 ekor untuk keseluruhan kawasan atau sekitar 3.11±2.45 ekor/100 km2. Dugaan estimasi populasi harimau antara 4 sampai 15 ekor atau dengan luasan kawasan penelitian 192.67 km2 dan dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh kepadatan harimau (X ± SE) yaitu 2-8 (2.08-7.79 ± 2.45) individu harimau/100 km2. Berdasarkan analisis foto perangkap kamaera minimal terdapat 5 individu harimau sumatera sehingga kepadatan minimum harimau sumatera pada kawasan ini adalah 2,59 ekor/100 km2 tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Riansyah (2007) di Ipuh Seblat (1.9 ekor/100 km2).
88
Bila dibandingkan dengan penelitian Hutajulu (2007) di beberapa hutan di Lansekap Tesso Nilo seperti Taman Nasional Tesso Nilo atau TNTN (4.89± 1.36 ekor/100 km2) dan Kerumutan (11.15±5.58 ekor/100 km2) kepadatan harimau sumatera pada lokasi penelitian tergolong rendah namun berdasarkan peneelitian Hutajulu (2007) di Rimbang Baling (2.89±1.83 ekor/100 km2) kepadatan harimau sumatera pada lokasi penelitian tidak jauh berbeda. Jika mengacu pada Yosry (2004) kepadatan ideal harimau sumatera adalah antara 4-5 individu harimau/100 km2 dan menurut Linkie (2006b) Harimau sumatera berada pada tingkat kepadatan yang rendah pada angka kepadatan 1-3 ekor/100 km2 maka kepadatan harimau sumatera pada kawasan penelitian Blang Raweu dan sekitarnya dengan perkiraan kepadatan 3.11±2.45 ekor/100 km2 dapat dikatakan sedang. Nilai kepadatan populasi harimau sumatera seperti ini dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi tertangkapnya individu harimau oleh perangkap kamera. Faktor pertama yang mempengaruhinya adalah kurang idealnya lokasi pemasangan perangkap kamera. Sebagian besar pemasangan perangkap kamera mengacu pada titik acak yang ditetapkan sebelum pemasangan sehingga dengan usaha pemasangan sedekat mungkin ketitik yang ditentukan dalam satu grid sering terjadi tidak ditemukanya lokasi yang ideal untuk penempatan kamera. Untuk pendugaan populasi harimau sumatera yang paling ideal menggunakan perangkap kamera menurut Linkie (2006a) adalah pada jalurjalur yang kuat dugaan merukan jalur yang sering dilewati harimau sumatera. Faktor kedua yang diduga mempengaruhi nilai kepadatan populasi harimau tersebut adalah tigginya aktivitas manusia pada jalur-jalur pemasangan kamera. Tingginya aktivitas manusia terutama terjadi pada kelompok pemasangan Alu Ilei. Secara alami satwa liar akan menghindari pertemuan dengan manusia termasuk harimau sehingga dengan tingginya aktivitas manusia pada jalur pemasangan kamera akan menyebabkan harimau menghindari jalur-jalur yang dilewati tersebut yang juga dijadikan sebagi lokasi pemasangan perangkap kamera. Faktor ketiga adalah lamanya periode pemasangan perangkap kamera pada lokasi penelitian. Menurut Riansyah (2007) semakin pendek periode sampling
89
maka semakin teliti rata-rata tangkap foto yang diperoleh sehingga nilai dugaan kepadatan populasi yang diperoleh semakin teliti pula. Jika periode sampling terlalu lama maka asumsi populasi tertutup kemungkinan tidak akan tercapai sehingga menghasilkan data yang tidak akurat atau bias (Linkie, 2005). 5.2.6.2. Populasi Satwa Mangsa Pendugaan
populasi
satwa
mangsa
harimau
sumatera
dihitung
menggunakan metode Hutchinson & Waser (2007) yang menjadikan kecepatan berjalan satwa mangsa sebagai acuan perhitungan pendugaan populasi satwa mangsa. Parameter yang dihitung adalah dugaan kepadatan harimau sumatera. Metode ini hanya dapat dilakukan pada satwa yang menunjukan adanya pergerakan berjalan satwa yang konstan pada foto perangkap kamera yang diperoleh. Dengan batasan tersebut menjadikan hanya rusa dan kijang yang dapat dihitung kepadatannya. Berdasarkan analisis tersebut diperoleh kepadatan rata-rata rusa sambar 58 (58.96) ekor/100 km2 dan kijang 75 (74.57) ekor/100 km2. Kepadatan rusa sambar sangat tinggi antara Blang Raweu (56 ekor/100 km2) bila dibandingkan dengan Krueng Gooha (39 ekor/100 km2) sedangkan kijang relatif sama yaitu masing masing 31 dan 37 individu/km2. Tingginya kepadatan rusa di Blang Raweu erat kaitannya dengan keberadaan padang rumput Blang Raweu yang digunakan rusa sebagai Feeding ground. Selain faktor padang rumput faktor yang terlihat sangat berpengaruh berdasarkan analisis peta adalah keberadaan salt lick pada padang rumput. Kamera RC 07 menunjukan tingginya aktivitas mangsa terutama rusa sambar dan gajah sumatera. Berbeda dengan rusa, kijang hanya ditemukan pada kawasan hutan dan tidak ditemukan pada kawasan padang rumput. Keadaan seperti ini erat kaitannya dengan pakan kijang tersebut berupa pucuk-pucuk tanaman bukan rumput yang hanya tersedia pada kawasan hutan. 5.2.7. Potensi Gangguan Terhadap Kawasan Secara umum keseluruhan kawasan hutan Blang Raweu yang berada di kecamatan Mane dan Geumpang memiliki kondisi hutan yang relatif baik. Indikasi baiknya kondisi kawasan dapat dilihat dari tingginya tingkat perjumpaan satwaliar baik jumlah jenis maupun intensitas temuannya serta masih banyaknya
90
pohon-pohon berdiameter besar. Meskipun demikian bukan berarti kawasan ini terlepas dari gangguan manusia dan kerusakan alami. Beberapa ancaman dan gangguan yang terjadi pada kawasan diantaranya. a. Perburuan harimau Perburuan harimau merupaka ancaman paling mematikan bagi harimau karena langsung berhubungan dengan satwa tersebut. Perburuan harimau dilakukan dengan menggunkan jerat yang terbuat dari kawat atau tali, meskipun harimau dapat lepas dari jeratan kawat besar kemungkinan harimau mengalami cedera yang parah akibat kuatnya jeratan kawat tersebut. Harimau sumatera biasanya diburu untuk diperjual belikan baik hidup maupun anggota tubuhnya. Menurut Endri (2006) harga kulit harimau sumatera mencapai U$ 500 atau sekitar Rp.4.500.000,- ( kurs $ 1 = Rp 9.000,-) di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Kegitan perburuan mulai berkurang dan sempat terhenti selama bergejolaknya konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintahan RI. Berkurangnya perburuan terjadi karena semakin sulitnya memasuki kawasan karena akses yang awalnya mudah menjadi sulit karena semasa konflik akses jalan tersebut sengaja dirusak dan perkampungan yang ada disekitarnya dibakar sehingga membentuk hutan baru. Alasan lainnya adalah mulai direkrutnya pemburu harimau menjadi pasukan penjaga hutan (Ranger) yang dibina oleh FFI Aceh bekerjasama dengan dinas kehutanan propinsi Aceh.. Namun demikian menurut cerita dari ranger perburuan masih terjadi meskipun secara sembunyi-sembunyi. b. Perburuan satwa mangsa harimau Perburuan satwa mangsa harimau yang umum terjadi adalah perburuan rusa dan kijang. Perburuan rusa dan kijang dilakukan secara tradisional menggunakan jerat tali atau dalam bahasa lokal disebut taren. Ada 3 lokasi utama yang dijadikan sebagai areal perburuan yaitu kaki bukit Pos Induk, hutan bekas SP (satuan pemukiman) 1, 4 dan 5 serta kawasan padang rumput Blang Raweu. Sebelum terjadi konflik bersenjata di Propinsi Aceh padang rumput Blang Raweu merupakan lokasi paling ideal bagi pemburu
91
dalam berburu rusa karena aksesnya yang relatif mudah serta mudahnya menemukan lokasi ideal untuk memasang jerat sehingga peluang terjeratnya rusa semakin tinggi. Keberadaan perburuan rusa dan kijang diketahui melaui banyak jerat (taren) terpasang yang ditinggalkan pemburu disepanjang jalur pemasangan perangkap kamera terutama pada hutan-hutan yang dekat dengan pemukiman dan memiliki akses yang realtif mudah. Sealin itu juga sempat terjadi perjumpaan langsung dengan 3 orang pemburu rusa yang sedang membawa rusa hasil buruannya dalam keadaan telah di potong pada jalur pemasangan Krueng Gooha tepatnya jalur pendakian menuju Pos Induk. Selain itu keberadaan pemburu juga terlihat pada beberapa kamera yang dipasang pada jalur pemburu tersebut. Perburuan satwa mangsa harimau pada kawasan ini umumnya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan daging masyarakat sekitar kawasan karena tidak adanya pasokan daging konsumsi baik sapi atau kambing bagi masyarakat sekitar kawasan.
Perburuan
yang
berlebihan
dan
tidak
terkontrol
ditakutkan
mempengaruhi populasi dan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera yang secara tidak langsung juga ikut mempengaruhi populasi dan keberadaan harimau sumatera. Menurut Karant (1991) penyusutan populasi satwa mangsa harimau dapat memberikan efek pada dinamika populasi tersebut. c. Penebangan liar Penebangan pohon merupakan masalah yang banyak dijumpai di kawasan yang memiliki akses terhadap jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor minimal roda dua. Penebangan pada kawasan ini banyak dilakukan pada jenis pohon meranti yang menghasikan banyak kayu setiap batangnya dan memiliki nilai jual yang tinggi serta memiliki kekuatan yang baik. Kayu jenis ini sebagian besar digunakan untuk membangun perumahan bagi masyarakat sekitar kawasan. Penebangan oleh masyarakat dilakukan menggunakan mesin potong kayu namun tidak memiliki efetivitas kerja karena untuk memotong satu pohon bisa memakan waktu sampai 10 hari dengan tenaga kerja 5 orang. Proses penyaradan juga merusak ekosistem karena dilakukan dengan menarik kayu menggunakan kerbau. Dalam proses penarikan mengakibatkan adanya alur-alur baru yang dapat merubah aliran air.
92
Masih tingginya aktivitas penebangan pada kawasan hutan di kecamatan Mane dan Geumpang ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya (1) Tradisi masyarakat kecamatan Mane dan Geumpang yang masih mengandalkan kayu sebagi kebutuhan utama dalam membangun rumah, (2) permintaan akan kayukayu berkualitas tinggi dari luar kawasan, serta (3) tidak adanya pengawasan kawasan oleh pihak-pihak terkait. d. Perambahan/Pembukaan lahan Perambahan hutan sering terjadi pada kawasan yang dekat dengan pemukiman. Kawasan hutan yang dirambah ada dua tipe yaitu hutan yang dirambah untuk pertama kalinya serta hutan yang dahulunya pernah dirambah untuk perladangan dan sempat ditinggalkan. Perambahan yang dilakukan pada kawasan yang pernah menjadi lahan pertanian dibuka kembali oleh masyarakat umumnya berada pada kawasan ynag tidak jauh dari pemukiman dan secara kasat mata telah terlihat seperti hutan kembali namun masih dijumpai adanya tanaman pertanian didalamnya seperti cabe dan pisang. Lahan yang dirambah masyarakat umumnya dialihfungsikan menjadi ladang kopi, coklat dan sawah. Kopi dan coklat merupakan komuditas pertanian andalan masyarakat kecamatan Mane dan Geumpang. e. Kebakaran hutan Kebakaran hutan yang pernah terjadi adalah pada kawasan padang rumput Blangg Raweu. Menurut informasi pemandu, padang rumput tersebut sengaja dibakar untuk memudahkan para pemburu memburu rusa saat padang rumput mulai pulih karena rumput yang hijau dan segar setelah terbakar sangat disukai rusa sambar. selain merusak vegetasi padang rumput kebakaran juga menyebabkan kawasan bekas terbakar menjadi rentan terhadap bahaya longsor. Pengaruh tingginya bahaya longsor akibat kebakaran terlihat saat terjadi hujan deras dimana pada kawasan bekas terbakar banyak dijumpai longsiran mulai dari yang kecil samapai besar sedangkan pada kawasan padang rumput yang tidak terbakar hampir tidak ditemukan adanya kawasan ynag longsor. Pada lokasi Gumue juga berpotensi terjadi kebakaran hutan. Kebakaran hutan berpotensi karena hutan disekitar Gumue berbatasan langsung dengan area
93
pertanian (sawah dan ladang) masyarakat. Potensi kebakaran terhadap hutan sebagai habitat harimau dan mangsanya terjadi saat pembersihan lahan karena semak dan sisa produk pertanian umumnya dimusnahkan dengan cara dibakar. Pembakaran tersebut sangat berpotensi merembes ke hutan terutama saat musim kemarau. f. Pencari hasil hutan non kayu Hasil hutan non kayu yang banyak dimanfaatkan adalah rotan, jernang, kayu cendana dan gaharu (kayu alin). Pencari cendana dan gaharu merupakan aktivitas pemanfaatan hasil hutan non kayu yang cukup mengganggu kawasan. Gangguan terbesar yang mereka akibatkan adalah kerusakan hutan pada saat mereka bermalam untuk istirahat. Pada saat bermalam mereka akan melakukan penebangan kayu yang dapat terbakar meskipun dalam keadaan basah sebagai sumber energi untuk memasak makanan. Jumlah mereka yang selalu bekerja dalam kelompok yang banyak (sekitar 10-15 orang) mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan kayu yang mereka tebang sebagai bahan bakar. Selain itu dalam perjalannya mencari hasil hutan sering ditemukan pencari hasil hutan yang membawa jerat untuk menjerat mangsa harimau sumatera yang juga dapat menjerat harimau sumatera seperti jerat yang digunkan untuk menangkap rusa sambar (taren).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1.
Distribusi harimau sumatera memiliki kecenderungan mengikuti distribusi mangsanya. Harimau sumatera cenderung mengikuti mangsanya dalam hal aktivitas harian dan pergerakannya. Distribusi harimau dan mangsanya dipenguruhi oleh tutupan lahan, tingkat kemiringan, ketinggian lahan, letak sungai, letak padang rumput, letak pemukiman dan aktivitas manusia dan pusat-pusat konsentrasi satwa
mangsa. Faktor pusat konsentrasi satwa
mangsa (salt lick), air (sungai) dan padang rumput merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap distribusi mangsa harimau dan secara tidak langsung ikut mempengaruhi distribusi harimau sumatera tersbut. 2.
Berdasarkan anlisis program CAPTURE diperkirakan populasi harimau sebesar 3.11±2.45 ekor/100 km2 dengan kepadatan 2-8 individu/100 km2 dan sex rasio antara jantan dan betina 1:4. Kepadatan rusa sambar dan kijang masing-masing 59 dan 75 individu/100 km2 dengan perbandingan jantan dan betina masing-masing 1:5 dan 1:1.
3.
Pemanfaatan SIG dilakukan dalam penentuan luas kawasan, peta interpolasi nilai ER harimau dan mangsanya, pembuatan peta tematik, analisis distribusi harimau dan mangsanya, serta analisis hubungan distribusi harimau dan mangsanya.
6.2. Saran 1.
Perlu dilakukan penelitian harimau menggunkan GPS Collar untuk mendapatkan wilayah jelajah dan teritori harimau terhadap padang rumput,
2.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk pemetaan kesesuaian habitat harimau sumatera dan mangsanya pada kawasan Blang Raweu dan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA Abidin HZ. 1994. Global Positioning system dan Sistem Informasi Geografis. Majalah Semi Ilmiah Geo-Informatiak Vol II No. 2. Bakosurtanal. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Batubara F, R Hasibuan. 2000. Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System-GIS). Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/ft/kimiafatimah.htm [29 Juli 2009]. Borner M. 1978. Status and Conservatioan of The Sumatran Tiger. Carnivore 1: 97-102. Boorer M. 1971. Wild Cats. New York: Bantam Books. Delany MJ. 1982. Mammal Ecology. New York: Chapman & Hal Dalam: HS Alikodra. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konsernasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) 2007-2017. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Endri N. 2006. Distribusi dan Kelimpahan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan Satwa Mangsa di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. FFI & CC pty. 2007. Reducing Carbon Emissions from Deforestation in The Ulu Masen Ecosystem, Aceh, Indonesia. Aceh Franklin N, S Bastoni, D Siswomartono, Manansang, dan RJ Tilson. 1999. Last of The Indonesian Tiger: A Cause for Optimism. halaman 1-3 dalam: J Seindenstcker, S Christie, dan Jackson. Riding The Tiger : Tiger Conservation in Human-Dominated Lanscape. Cambidge: Cambiridge university Press. Griffith M. 1997. Population Density of Sumatran Tiger in Gunung Leuser National Park in Tilson, R et al.: Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis Report . Pp. 93-102.IUCN/SSC Conservation BreedingSpecialist Group. Apple Valley MN. Grzimek B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia. Volume 12. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Hasiholan W. 2005. Pengalaman dalam Implementasi Konservasi Harimau Sumatera Secara In-Situ di Pulau Sumatera. Bogor: PKHS Heryatin T dan A Anieger. 1984. Harimau Sumatera di Provinsi Jambi, dalam Khazanah Flora dan Fauna Nusantara. Dalam SD Sastrapradja, SA Soemarto dan MA Rifai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hidayat, F. 2009. Ulu Masen, Ulu Masen, firmanhidayatse.wordpress.com. [29 Juli 2009].
Ulayat
Hutan
Aceh.
Hoogerwerf A. 1970. Ujung Kulon: The Land of Last Java Rhinoceros. EJ Bril Laiden. Hal:241-270.
96 Hutabarat AS. 2005. Perencanaan tapak pusat konservasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatera Pocock, 1929) di Senepis, Provinsi Riau [Skripsi] Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutandan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hutchinson, J.M.C. & Waser, P.M. .2007. Use, misuse and extensions of ‘ideal gas’ models of animal encounter. Biological Reviews, 82, 335–359. Hutajulu, MB. 2007. Studi Karakteristik Ekologi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatera Pocock, 1929) Berdasarkan Kamera Trap di Lansekap Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh, Riau.[Tesiss]. Depok : Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universetas Indonesia. [IUCN/SSC] The International Union for Conservation of Nature and natural Resources. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group. Cambridge: IUCN Publication Service Unit. Jackson P. 1990. Endangered Species Tiger. New Jersey. United Kingdom: Chartwell Books Inc. Karant KU dan BM Stith BM. 1999. Penyusutan mangsa sebagai faktor-faktor penting bagi kelangsungan hidup pupulasi harimau dalam menunggang harimau dalam Seidensticker J, S Christie and P Jackson. London: Cambridge University Press. Karanth KU and JD Nichols. 1998. Estimation of tiger densities in India using photographic captures and recaptures. Ecology 79:2852–2862. Karanth KU and JD Nichols. 2000. Ecological Status and Conservation of Tigers in India. Final Technical Report to The Division of International Conservation. United States. Karanth KU and JD Nichols. 2002. Monitoring Tiger and Their Prey: a Manual Research, Managers and Conservation in Tropical Asia. India: Center for Wildlife Studies. Kitchener A. 1991. The Natural History of Wild Cats. London. Christopher Helm A & C BlaK. Laidlaw RK, Noordin WSW. 1999. Actvities Pattern of Indochinese Tiger (Panthera tigris corbetti) and Prey Species in Peninsular Malaysia Lekagul B and JA McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok: Sahakarnbhat Co. Lestari NS. 2006. Studi Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Lillesand TM dan RW Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Linkie M. 2005. Monitoring Status Populasi Harimau dan Hewan Mangsa di TNKS. London: [DICE] Durel Institute Consernation and Ecology. University of Kent. England Linkie M. 2006a. Estimasi Kepadatan Harimau Menggunakan Fotografi dengan Pengambilan Sampel Penangkapan Kembali. Monitoring Status Populasi
97 Harimau dan Hewan Mangsa di TNKS.[DICE] Durel Institute Consernation and Ecology. University of Kent. England Linkie M. 2006b. Protokol Baru Metode Kamera Trap dan Line Transect Untuk Taman Nasional Kerinci Seblat.[DICE] Durel Institute Consernation and Ecology. University of Kent. England Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Jakrta: Universitas Indonesia. Marlan. 2009. Studi Sebaran Spasial Aktivitas Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di SPTN IV Lubuk Lingga, Taman Nasional Kerinci Seblat [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. McDougal C. 1979. The Face of the Tiger. London: Rivington Book and Andre Deutsch. [PHPA] Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1994. Indonesian Sumatran Tiger Conservation Strategy. Jakarta, Indonesia: Departemen Kehutanan. Prahasta E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika. Pie K. 1995. Activity Rhytm of Spinous Country Rat (Niviventer coxingi) in Taiwan Zool. Studies. Puntodewo AS, S Dewi dan J Tarigan. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jakarta: Center for International Forestry Research. Riansyah A, Hendrivo, F Untoro, Rudiansyah, U Kusdinar, T Mulyati, L Mindasari. 2006. Laporan Praktek Kerja Lapang Propesi (PKLP) Seksi wilayah I Jambi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Riansyah A. 2007. Kepadatan dan tingkat perjumpaan harimau suamtera (Panthera tigris sumatrae Pocock 1929) di Ipuh Seblat Seksi Konservasi Wilayah II Bengkulu, Taman Nasional Kerinci Seblat [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Rudiansyah 2007. Pemodelan spasial kesesuaian habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumaterae Pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat, Seksi Konservasi Wilayah II Taman Nasional Kerinci Seblat [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Santiapilai C and WS Ramono. 1985. On The Status of The Tiger (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1829) in Sumatera. Jakarta: Worl Wide Found (WWF) and International Union for Conservation of Nature And Natural Resources (IUCN). Schaller GB. 1976. The Deer of The Tiger: A Study of Wild Live in India. Chicago: The University of Chicago Press. Seidensticker J, S Christie dan P Jackson. 1999. Menunggang Harimau; Pelestarian Harimau di Lingkungan yang Didominasi Manusia. Cambridge University Press.
98 Setijati I, Sastrapradja, Soemartono SA, Rifai MA. 1992. Khasanah Flora dan Fauna Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sherpa NM and TM Maskey. 1998. Year for The Tiger: Tiger Manual, Indirect Field Study Techniques for The Kingdom of Nepal. Nepal: WWF Nepal Program. Sihotang B. 2008. Harimau Sumatera. http://www.benss.co.cc/harimausumatera?fontstyle=f-larger. [29 Juli 2009] Singh L. 1999. Tracking Tiger. WWF Tiger Conservation Programme. New Delhi: Lodhi Estate Siswomartono D, N Samedi, FI Andalusia dan Hardjanti. 1994. Strategi Konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae). Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Smith JLD. 1993. The Role of Dispersal in Structuring the Chitawan Tiger Population Behaviour. Smith JLD, SC.Ahearn & McDougal.1998. Landscape Analysisof Tiger Distributionand Habitat Quality in Nepal. Conservation Biology 12 (6):1338-1346. Sriyanto. 2003. Kajian Mangsa Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung [Tesis]. Bogor Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Subagyo A. 1996. Studi Karakteristik harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) berdasarkan ukuran jejak [Skripsi]. Bandar Lampung: Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Sunquist, ME. 1981. The Social Organization of Tiger (Panthera tigris) in Royal Chitawan National Park, Nepal. Smithsonian contributions to zoology 336:1-98 Suwelo I dan A Somantri. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka–Mamalia, Reptil dan Amphibia Jilid I. Bogor: Direktorat Jenderal Kehutanan, Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Tilson R, Sriyanto EL, Rustiati, Bastoni, M Yunus, Sumianto, Apriawan dan N Franklin. 1997. Proyek Penyelamatan Harimau Sumatera: Langkah-langkah Konservasi dan Manajemen In-Situ dalam Penyelamatan Harimau Sumatera. Jakarta: LIPI. Wibisono HT, Sugesti M, Arief, Anton Ario, Wagiman & Abu HL. 2007. Population and Ekcology of Sumtran Tiger in Batang Gadis Nationla Park : A Preliminary Study. Final Technical Report. Ci-Indonesia, Jakarta. 22p. Wiradisastra US. 1996. Dasar-dasar Penginderaan Jauh. Bahan Kuliah Pelatihan Metodologi. Deliniasi Zona Agro-ekologi. Bogor: Proyek Pembinaan Kelembagaan Litbang Pertanian Bekerjasama Dengan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Yong
MY. 2002. Harimau Sumatera (Panthera tigris http://www.geotics.com/harimau_yosri [18 Desember 2010]
sumatrae).
99
Lampiran 1 Rekapitulasi pemasangan perangkap kamera Lokasi Blangraweu
Kode camera RC 01 RC 02 RC 03 RC 05 RC 06 RC 07 RC 08 RC 09 RC 10 RC 11
Krueng Gooha
ZSL 2 IOZ 8 ZSL 3 ZSL 1 IOZ 2
11 Desember 2009
Tinggi kamera dari tanah 40 cm
Jarak test card ke kamera 2m
1208
15 Desember 2009
40 cm
2,8 m
555936
935
12 Desember 2009
40 cm
2m
194874
551442
992
15 Desember 2009
30 cm
2m
191347
549879
1462
08 Desember 2009
35 cm
2m
193372
552885
847
14 Desember 2009
30 cm
1,5 m
193454
549880
1350
08 Desember 2009
35 cm
1,5 m
191067
553224
1406
14 Desember 2009
40 cm
2m
192221 191246
558886 556426
851 1241
11 Desember 2009 12 Desember 2009
40 cm 40 cm
2m 2m
182993
545859
762
22 Februari 2010
30 cm
2m
185597
549813
1285
04 Maret 2010
30 cm
2,5 m
183717
550930
1356
05 Maret 2010
40 cm
2,8 m
184549
549481
1306
06 Maret 2010
30 cm
186006
548739
1128
06 Maret 2010
35 cm
Nama lokasi
GPS E
GPS U
Elevasi (mdpl)
Alue Sala Melintang Krueng Pisang
191141
559383
886
194930
553069
Alue Ikuloe Ideek Krueng Ie Cukoea Pucuk Krueng Bleue Senong Ba' Kiet Pucuk Krueng Jernih Puncak Blang Senoung Lhok Sikureng Puncak Alue Gajah Indram Alue Beusoe
192554
Pulau tengah Kr. Guha Alur Pucuk Krueng Guha Punggungan Kr. Guha Krueng Guha
Tanggal pasang kamera
Diskripsi habitat/vegetasi Dekat sungai kecil di tengah savana Punggungan bukit, hutan primer punggungan bukit dekat alur di savana Simpangan trail, dekat sungai Punggungan bukit
Tanggal Bongkar kamera 16 Januari 2010 15 Januari 2010 16 Januari 2010 18 Januari 2010 19 Januari 2010
Dekat salt lick dan alur di savana Punggungan bukit dekat alur Punggungan bukit
18 Januari 2010
16 Januari 2010 16 Januari 2010
2,5 m
Savana, dekat alur Hutan primer dekat savana Sebelah sungai, hutan sekunder Dataran, simpang jalur Sebelah alur, simpang jalur Punggungan
2,5 m
Sebelah Kr. Guha
19 Januari 2010 15 Januari 2010
22 April 2010 21 April 2010 20 April 2010 20 April 2010 20 April 2010
100
Lampiran 1 Lanjutan... Gumue
Alu Ilei
DLC 6 Cam DLC 3 Vid ZSL 5
Rueng Lhok Buluh Rueng damar tutung -
DLC 5 Cam DLC 7 Cam DLC 01 Vid ZSL 1 DLC 04 Vid ZSL 3 DLC 8 Cam ZSL 6 DLC 2 Vid ZSL 2
180560
543634
09 Mei 2010
35 cm
2,5 m
Punggungan bukit
25 Mei 2010
180377
543744
09 Mei 2010
45 cm
2,8 m
Punggungan bukit
25 Mei 2010
179971
544145
09 Mei 2010
50 cm
3,2 m
25 Mei 2010
Gunong Balee
182035
543608
08 Mei 2010
35 cm
2,5 m
Geulanggang Burak Setelah SP4
182492
543399
08 Mei 2010
50 cm
2,8 m
190625
544751
01 Mei 2010
30 cm
2,8 m
Simpang Geumue Namuek Pang Malin Gunung Alue Ilee Alu Ilee
190944
545250
01 Mei 2010
35 cm
2,9 m
191843
545793
01 Mei 2010
40 cm
2,8 m
192432
546601
01 Mei 2010
35 cm
2,8 m
192887
547382
02 Mei 2010
40 cm
2,8 m
Uwee uwee
193282
548260
02 Mei 2010
40 cm
3,2 m
Kun Daon
193157
549190
02 Mei 2010
50 cm
3,1 m
Kun Daon
192968
550175
02 Mei 2010
35 cm
2,8 m
Punggungan bukit, hutan primer Punggungan bukit, hutan primer Punggungan bukit, hutan primer Punggungan bukit, hutan primer Simpangan trail, Hutan primer Punggungan bukit, hutan primer Punggungan bukit, hutan primer Punggungan bukit, hutan primer Punggungan bukit, hutan primer Punggungan bukit, hutan primer Punggungan bukit, hutan primer
25 Mei 2010 25 Mei 2010 24 Mei 2010 24 Mei 2010 24 Mei 2010 24 Mei 2010 24 Mei 2010 25 Mei 2010 25 Mei 2010 25 Mei 2010
101
Lampiran 2 Keberadaan harimau dan mangsa pada setiap kamera Blang Raweu
ZSL_02
ZSL_03
DLC_4
ZSL_02
ZSL_03
ZSL_06
DLC_5
DLC_6
DLC_7
RC_05
√
ZSL_01
√
√ √ √ √
Gumue
IOZ_08
√ √
Alu Ilei
IOZ_02
RC_09
√
RC_11
RC_08
Beruk √ Kijang √ Rusa sambar √ Delimukan Zamrud Harimau sumatera √ √ Kucing emas √ Macan dahan Kucing hutan Landak √ √ Sigung Tikus √ √ Sempidan sumatera Kuau raya √ Sempidan aceh Kuau Kerdil sumatera √ Pita anggun Gajah sumatera √ √ Babi Pelanduk topi hitam Napu Beruang madu Biawak Musang Linsang √ Binturong √ Anis siberia Berentet besar Kadal Keterangan : √ = keberadaan satwa pada satu kamera
RC_07
RC_06
RC_05
RC_03
RC_02
Jenis Satwa
Krueng Gooha
√ √ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √
√
√
√ √
√
√
√ √
√ √
√ √
√
√ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √
√ √
√
√ √
√
√
√ √ √
√
√
√
√ √ √
√ √
√
√
√
√
√ √
√
√ √
√
√
√
√
√ √ √
√
√
√ √ √ √
√
102
Lampiran 3 Rekapitulasi tingkat perjumpaan harimau dan mangsa Blang Raweu
Krueng Gooha
Alu Ilei
Gumue
Jenis Satwa
RC_02
RC_03
RC_05
RC_06
RC_07
RC_08
RC_09
RC_11
IOZ_02
IOZ_08
ZSL_01
ZSL_02
ZSL_03
DLC_4
ZSL_02
ZSL_03
ZSL_06
DLC_5
DLC_6
DLC_7
RC_05
Beruk Kijang Rusa sambar Delimukan Zamrud Harimau sumatera Kucing emas Macan dahan Kucing hutan Landak Sigung Tikus Sempidan sumatera Kuau raya Sempidan aceh Kuau Kerdil sumatera Pita anggun Gajah sumatera Babi Pelanduk topi hitam Napu Beruang madu Biawak Musang Linsang Binturong Anis siberia Berentet besar Kadal
23.56 0.00 23.56 0.00 7.85 7.85 0.00 0.00 3.93 0.00 7.85 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.93 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.93 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 3.22 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 26.39 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.19 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.19 0.00 0.00 0.00
0.00 65.16 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 17.38 0.00 4.34 0.00 4.34 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 169.76 0.00 6.41 0.00 0.00 3.20 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 22.42 0.00 0.00 0.00 3.20 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 14.28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9.52 0.00 2.38 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.38
6.22 15.56 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.11 6.22 0.00 3.11 3.11 0.00 3.11 0.00 0.00 0.00 3.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.22 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 2.84 2.84 28.43 2.84 0.00 0.00 0.00 5.69 2.84 45.49 0.00 0.00 0.00 2.84 0.00 0.00 0.00 2.84 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.84 2.84 0.00
6.67 2.22 4.45 2.22 0.00 2.22 0.00 0.00 11.12 0.00 40.04 0.00 0.00 0.00 0.00 2.22 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.22 0.00 0.00 0.00 0.00
4.17 14.61 8.35 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 43.82 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.09 0.00 2.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
13.34 17.78 8.89 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 22.23 4.45 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.45 0.00 0.00 0.00
0.00 11.86 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 49.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.69 0.00 8.47 0.00 1.69 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
10.88 41.35 6.53 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30.47 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.18 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 9.51 0.00 0.00 0.00 0.00 4.75 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.75 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4.35 13.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 17.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
15.70 11.78 0.00 0.00 0.00 11.78 7.85 0.00 0.00 0.00 0.00 3.93 0.00 3.93 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.93 0.00 7.85 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
8.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 43.37 0.00 0.00 4.34 0.00 0.00 13.01 0.00 0.00 0.00 17.35 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
22.27 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.57 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
11.85 17.77 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
11.19 27.96 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16.78 0.00 0.00 0.00 0.00 39.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5.91 17.72 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.91 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Keterangan tingkat perjumpaan satwa (ER) = jumlah foto/100 hari
103
Lampiran 4 Rekapitulasi kecepatan berjalan rusa sambar No
lokasi
1
Blang Raweu
2
Blang Raweu
Kode Camera RC_02
RC_07
No Sekuen 10
waktu
V(km/jam)
11 51 AM
0.45
11 20 21 22 23 24 25 28 29 36 40 41 42
7:06 AM 12:08 AM 12:08 AM 12:09 AM 12:09 AM 12:19 AM 12:19 AM 1:15 AM 1:23 AM 1:44 AM 10:52 PM 10:53 PM 6:33 AM
0.18 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.48 0.53 0.39 0.12 0.00 0.00
13
12:55 AM
0.00
54 59 60 61 65 66 70 71
2:16 AM 10:52 PM 10:54 PM 10:54 PM 8:33 PM 3:32 PM 11:00 PM 12:03 PM
0.05 0.00 0.00 0.00 0.08 0.00 0.00 0.06
14 15 18 22 24 25 26 27 28 29 30 31 32 39 40 46 47
10:18 PM 10:23 PM 12:05 AM 8:57 PM 9:43 AM 9:43 AM 9:44 AM 11:41 PM 12:03 AM 12:03 AM 12:41 AM 3:32 AM 4:04 PM 12:53 AM 1:05 AM 11:14 PM 11:40 PM
0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
ket
20-25 satu kesatuan gambar (foto independent)
40 dan 41 satu kesatuan tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung
tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung
104
Lampiran 4 lanjutan... 48 49 50 51 52 53 55 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102
12:27 AM 4:10 AM 4:11 AM 4:28 AM 4:29 AM 4:31 AM 4:55 AM 12:25 AM 12:25 AM 12:26 AM 12:26 AM 1:21 AM 1:22 AM 3:23 AM 3:23 AM 3:24 AM 3:24 AM 3:24 AM 4:19 AM 4:20 AM 4:24 AM 4:57 AM 4:58 AM 4:58 AM 5:51 AM 5:52 AM 9:01 PM 9:01 PM 9:01 PM 9:02 PM 9:02 PM 9:02 PM 9:02 PM 9:03 PM 9:21 PM 9:22 PM 9:22 PM 9:23 PM 9:25 PM 9:25 PM 9:26 PM 9:26 PM 9:27 PM
0.00 0.00 0.00 0.11 0.00 0.06 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung
105
Lampiran 4 lanjutan... 103 104 105 106 111 112 113 114 115 116 117 118 120 121 122 123 124 125 126 132 133 134 135 136 137 138 139 149 150 151 152 153 154 155 160 161 162 164 165 168 169 170 171
12:50 AM 1:40 AM 1:40 AM 1:41 AM 11:52 PM 11:53 PM 11:54 PM 1:06 AM 4:31 AM 4:32 AM 4:32 AM 4:32 AM 9:26 PM 9:28 PM 9:29 PM 1:06 PM 1:07 PM 3:11 AM 3:13 AM 8:50 PM 8:50 PM 8:51 PM 12:36 AM 12:36 AM 12:37 AM 12:37 AM 12:37 AM 12:22 AM 12:22 AM 12:24 AM 12:25 AM 12:26 AM 12:26 AM 12:32 AM 2:58 AM 2:59 AM 2:59 AM 7:35 PM 7:36 PM 9:34 PM 9:35 PM 9:35 PM 9:36 PM
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung
106
Lampiran 4 lanjutan...
3 4
5
6
7
Blang Raweu Krueg Gooha
Krueg Gooha Krueg Gooha
Krueg Gooha
193 194 195 197 198 208 209
9:59 PM 1:11 AM 2:09 AM 7:27 AM 7:27 AM 3:11 PM 3:12 PM
0.06 0.07 0.05 0.04 0.00 0.00 0.08
RC_11
6
8:00 AM
0.00
ZSL_03
10
10:11 PM
0.09
32 34
9:42 AM 12:53 AM
0.07 0.07
65
2:09 PM
0.13
66
2:17 PM
0.10
8
6:58 PM
0.06
16 17 18 19 20 50 51 52 53
10:23 PM 10:23 PM 10:24 PM 10:24 PM 2:06 AM 9:05 AM 9:06 AM 9:06 AM 9:07 AM
0.00 0.06 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.11
tidak bisa di hitung
16
6:13 AM
0.00
tidak bisa di hitung
17 29 42 44
6:13 AM 10:21 PM 6:47 AM 7:53 AM
0.00 0.06 0.06 0.10
tidak bisa di hitung
IOZ_02
IOZ_08
ZSL_01
tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung
tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung
107
Lampiran 5 Rekapitulasi kecepatan berjalan kijang No 1
2
3
lokasi Blang Raweau
Blang Raweau
Kode Camera RC_06
RC_08
RC_09
No folder 6
7:07 AM
0.00
tidak bisa di hitung
7
7:07 AM
0.00
tidak bisa di hitung
8
8:18 AM
0.11
9
3:34 AM
0.00
12
8:36 AM
0.12
13
2:21 AM
0.00
14
7:00 AM
0.12
18
5:33 PM
0.11
21
6:13 AM
0.00
tidak bisa di hitung
22
6:14 AM
0.00
tidak bisa di hitung
23
9:47 PM
0.00
tidak bisa di hitung
27
2:57AM
0.00
tidak bisa di hitung
28
4:46 AM
0.00
tidak bisa di hitung
31
1:50 PM
0.00
tidak bisa di hitung
32
5:48 PM
0.15
40
9:08 AM
0.00
tidak bisa di hitung
41
9:09 AM
0.00
tidak bisa di hitung
47
8:45 AM
0.00
tidak bisa di hitung
5
5:49 PM
0.09
6
5:49 PM
0.00
tidak bisa di hitung
7
7:05 PM
0.00
tidak bisa di hitung
8
7:05 PM
0.00
tidak bisa di hitung
9
7:37 PM
0.00
tidak bisa di hitung
13
11:22 PM
0.00
tidak bisa di hitung
14
11:22 PM
0.05
15
11:23 PM
0.00
tidak bisa di hitung
19
6:43 PM
0.00
tidak bisa di hitung
20
6:43 PM
0.00
tidak bisa di hitung
21
6:44 PM
0.00
tidak bisa di hitung
22
6:45 PM
0.00
tidak bisa di hitung
23
6:57 PM
0.11
5
7:24 AM
0.00
tidak bisa di hitung
6
7:24 AM
0.00
tidak bisa di hitung
7
7:25 AM
0.00
tidak bisa di hitung
9
6:07 PM
0.00
tidak bisa di hitung
13
1:19 PM
0.19
21
12:59 AM
0.18
28
5:19 PM
0.00
waktu
V(km/jam)
ket
tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung
tidak bisa di hitung
108
Lampiran 5 lanjutan... 4 5
6
7
Krueng Goha
IOZ_02
50
8:23 AM
0.17
IOZ_08
21
7:49 AM
0.00
tidak bisa di hitung
33
5:43 AM
0.00
tidak bisa di hitung
34
5:44
0.00
tidak bisa di hitung
35
5:47 AM
0.00
tidak bisa di hitung
42
4:22 AM
0.00
tidak bisa di hitung
43
11:19 AM
0.00
tidak bisa di hitung
44
11:21 AM
0.00
tidak bisa di hitung
45
11:22 AM
0.00
tidak bisa di hitung
46
11:22 AM
0.00
tidak bisa di hitung
57
8:34 AM
0.00
tidak bisa di hitung
58
8:34 AM
0.00
tidak bisa di hitung
59
8:35 AM
0.00
tidak bisa di hitung
60
8:37 AM
0.00
tidak bisa di hitung
66
9:26 PM
0.00
tidak bisa di hitung
67
9:26 PM
0.09
68
9:26 PM
0.00
10
5:42 AM
0.09
11
5:43 AM
0.09
25
8:49 AM
0.00
tidak bisa di hitung
26
8:49 AM
0.00
tidak bisa di hitung
36
8:35
0.00
tidak bisa di hitung
37
8:36 AM
0.00
tidak bisa di hitung
38
8:36 AM
0.00
tidak bisa di hitung
39
8:37 AM
0.00
tidak bisa di hitung
40
8:37 AM
0.00
tidak bisa di hitung
41
8:38 AM
0.00
tidak bisa di hitung
50
6:46 AM
0.11
51
4:28 PM
0.12
ZSL_01
ZSL_02
tidak bisa di hitung
59
7:11 AM
0.15
62
10:02 AM
0.24
64
6:05 AM
0.00
tidak bisa di hitung
65
6:06 PM
0.00
tidak bisa di hitung
13
10:55 AM
0.17
20
7:42 AM
0.00
tidak bisa di hitung
21
7:43 AM
0.00
tidak bisa di hitung
22
7:43 AM
0.00
tidak bisa di hitung
23
7:44 AM
0.00
tidak bisa di hitung
24
7:49 AM
0.00
tidak bisa di hitung
25
7:50 AM
0.15
69
3:42 PM
0.00
tidak bisa di hitung
109
Lampiran 5 lanjutan...
8
9
10
ZSL_03
Alu ilei
Alu ilei
ZSL_02
ZSL_03
79
3:34 PM
0.00
tidak bisa di hitung
86
2:49 PM
0.16
87
3:12 PM
0.00
tidak bisa di hitung
7
12:14 PM
0.00
tidak bisa di hitung
11
8:46 PM
0.00
tidak bisa di hitung
12
8:06 AM
0.00
tidak bisa di hitung
13
8:06 AM
0.00
tidak bisa di hitung
15
8:10 AM
0.09
16
8:28 AM
0.09
17
9:23 AM
0.22
18
4:28 PM
0.00
19
11:40 PM
0.09
20
8:36 PM
0.00
tidak bisa di hitung tidak bisa di hitung
tidak bisa di hitung
24
8:00 AM
0.00
27
3:46 AM
0.15
31
8:27 AM
0.00
38
6:10 PM
0.12
39
7:00 AM
0.11
40
3:23 PM
0.13
42
5:53 AM
0.09
43
5:26 PM
0.00
tidak bisa di hitung
44
9:05 AM
0.00
tidak bisa di hitung
49
7:25 AM
0.12
16
4:11 AM
0.09
19
9:04 AM
0.00
20
6:37 PM
0.17
11
10:43 PM
0.00
tidak bisa di hitung
51
7:44 AM
0.00
tidak bisa di hitung
60
12:29 PM
0.09
tidak bisa di hitung
tidak bisa di hitung
110
Lampran 6 Hasil uji regresi logistik ER harimau dan mangsa NOMREG ER_Harimau (BASE=LAST ORDER=ASCENDING) WITH ER_Mangsa /CRITERIA CIN(95) DELTA(0) MXITER(100) MXSTEP(5) CHKSEP(20) LCONVERGE(0) PCONVERGE(0.000001) SI NGULAR(0.00000001) /MODEL /STEPWISE=PIN(.05) POUT(0.1) MINEFFECT(0) RULE(SINGLE) ENTRYMETHOD(LR) REMOVALMETHOD(LR) /INTERCEPT=INCLUDE /PRINT=CORB PARAMETER SUMMARY LRT CPS STEP MFI.
Nominal Regression Notes Output Created
05-Dec-2010 17:59:26
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
4
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics are based on all cases with valid data for all variables in the model.
Syntax
NOMREG ER_Harimau (BASE=LAST ORDER=ASCENDING) WITH ER_Mangsa /CRITERIA CIN(95) DELTA(0) MXITER(100) MXSTEP(5) CHKSEP(20) LCONVERGE(0) PCONVERGE(0.000001) SINGULAR(0.00000001) /MODEL /STEPWISE=PIN(.05) POUT(0.1) MINEFFECT(0) RULE(SINGLE) ENTRYMETHOD(LR) REMOVALMETHOD(LR) /INTERCEPT=INCLUDE /PRINT=CORB PARAMETER SUMMARY LRT CPS STEP MFI.
Resources
Processor Time
00:00:00.047
Elapsed Time
00:00:00.032
[DataSet0]
111
Lampiran 6 lanjutan... Case Processing Summary Marginal Percentage
N ER_Harimau
0
3
75.0%
2.47
1 4
25.0% 100.0%
Valid Missing
0
Total
4 4a
Subpopulation
a. The dependent variable has only one value observed in 4 (100.0%) subpopulations. Model Fitting Information Model Fitting Criteria -2 Log Likelihood
Model Intercept Only
4.499
Final
4.408
Likelihood Ratio Tests Chi-Square
df
Sig.
.091
1
.763
Pseudo R-Square Cox and Snell
.023
Nagelkerke
.033
McFadden
.020
Likelihood Ratio Tests Model Fitting Criteria
Effect
Likelihood Ratio Tests
-2 Log Likelihood of Reduced Model Chi-Square
df
Sig.
Intercept
4.411
.004
1
.952
ER_Mangsa
4.499
.091
1
.763
The chi-square statistic is the difference in -2 log-likelihoods between the final model and a reduced model. The reduced model is formed by omitting an effect from the final model. The null hypothesis is that all parameters of that effect are 0.
112
Lampiran 6 lanjutan... Parameter Estimates 95% Confidence Interval for Exp(B) ER_Harimaua 0
B
Std. Error
Wald
df
Sig.
Intercep t
.198
3.243
.004
1
.951
ER_Ma ngsa
.016
.056
.082
1
.775
Exp(B)
1.016
Lower Bound
Upper Bound
.911
1.133
a. The reference category is: 2.47. Asymptotic Correlation Matrix ER_Harimau 0 ER_Harimaua 0
Intercept
Intercept ER_Mangsa
ER_Mangsa 1
-.933
-.933
1
a. The reference category is: 2.47.
113
Lampiran 7 Analisis program CAPTURE Mark-recapture population and density estimation program Page 1 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10 Input and Errors Listing Input---title='Data from Carothers(1973), taxicabs in Edinburgh, Scotland, scheme a.' Input---task read captures x matrix occasions=3 captures=3 Input---format='(A2,0x(3f1.0))' Input---read input data Summary of captures read Number of trapping occasions Number of animals captured Maximum x grid coordinate Maximum y grid coordinate
3 5 1.0 1.0
Input---task closure test Input---task population estimate null jackkn Input--*** ERROR *** Unidentified task specified. Scanning for a new task card. *** ERROR *** This card should have been a task card, but was not. Scanning for a new task card. 1Mark-recapture population and density estimation program Page 2 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10 Data from Carothers(1973), taxicabs in Edinburgh, Scotland, scheme a. Test for closure procedure. See this section of the Monograph for details.
Overall test results -z-value 6.000 Probability of a smaller value 1.00000 1Mark-recapture population and density estimation program Page 3 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10
114
Lampiran 7 lanjutan... Data from Carothers(1973), taxicabs in Edinburgh, Scotland, scheme a. Population estimation with constant probability of capture. See model M(o) of the Monograph for details.
Number of trapping occasions was 3 Number of animals captured, M(t+1), was 3 Total number of captures, n., was 3 *** ERROR *** No recaptures. Analysis stopped. 1Mark-recapture population and density estimation program Page 4 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10 Data from Carothers(1973), taxicabs in Edinburgh, Scotland, scheme a. Population estimation with variable probability of capture by animal. See model M(h) of the Monograph for details. Number of trapping occasions was 3 Number of animals captured, M(t+1), was 3 Total number of captures, n., was 3 Frequencies of capture, f(i) i= 1 2 3 f(i)= 3 0 0 Computed jackknife coefficients N(1) 1 1.667 2 1.000 3 1.000
N(2) 2.000 0.833 1.000
N(3) 2.000 0.833 1.000
N(4)
N(5)
The results of the jackknife computations i 0 1 2 3
N(i) SE(i) 3 5.0 1.83 6.0 2.45 6.0 2.45
.95 Conf. Limits Test of N(i+1) vs. N(i) Chi-square (1 d.f.) 1.4 8.6 9586981.000 1.2 10.8 0.000 1.2 10.8 0.000
Average p-hat = 0.1667
115
Lampiran 7 lanjutan...
Interpolated population estimate is
6 with standard error
Approximate 95 percent confidence interval estimate: 5.99999952 se: 2.44948983
4 to
2.4495
15
Histogram of f(i) Frequency 3 0 0 -----------------------------3 * 2 * 1 * -----------------------------1Mark-recapture population and density estimation program Page 5 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10 Data from Carothers(1973), taxicabs in Edinburgh, Scotland, scheme a.