POKOK BAHASAN VII AGING
1. Pendahuluan Transisi dari masyarakat agraris pedesaan menjadi masyarakat industri perkotaan secara dramatis telah merubah jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk secara nasional. Selama tiga dasa warsa terjadi kenaikan usia harapan hidup manusia, bahkan jumlah proporsi penduduk usia lanjut di atas 60 tahun berkembang secara signifikan. Kecenderungan ini merupakan akibat dari meningkatnya usia harapan hidup karena perawatan kesehatan yang lebih baik dan standar hidup yang lebih tinggi. PBB telah memproyeksikan bahwa pada abad-abad yang akan datang akan terlihat suatu proses naiknya proporsi jumlah penduduk di atas 60 tahun dan abad ke21 akan dikenal sebagai `era penduduk usia lanjut'. Penduduk usia tua (yang berusia antara 60 dan 65 tahun) yang berjumlah 5 persen dari jumlah penduduk antara tahun 1950 dan 1970, akan berubah menjadi 6.2 persen pada tahun 1990. Persentase akan bertambah dari 6.8 persen pada tahun 2000 menjadi 10 persen pada tahun 2025 (Wirakartakusumah, 1994). Meskipun jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia relatif kecil jika dibandingkan dengan penduduk pada kelompok umur yang lain, tetapi jumlah itu cenderung meningkat. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1971 (Biro Pusat Statistik 1971), Indonesia memiliki 2.41 juta penduduk usia lanjut (yang berumur 65 tahun ke atas) atau 2.51 persen dari jumlah penduduk. Jumlah itu menjadi 4.77 juta pada tahun 1980 atau 3.25 persen dari jumlah penduduk dan menjadi 6.92 juta atau 3.77 persen dari jumlah penduduk pada tahun 1990 (BPS tahun 1990). Sesuai dengan perhitungan proyeksi jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia diperkirakan akan menjadi 18.5 juta pada tahun 2020. Hingga saat ini banyak negara-negara sedang berkembang memiliki asumsi bahwa setiap keluarga akan merawat anggota keluarganya yang berusia lanjut. Namun kesempatan dan kemampuan keluarga untuk tetap memberikan bantuan (merawat) bagi anggota keluarganya yang berusia lanjut menjadi semakin terbatas. Hal ini seiring dengan arus modernisasi yang merambah dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Perubahan jumlah dan struktur keluarga serta perubahan lain di bidang ekonomi dan sosial, termasuk urbanisasi, migrasi, industrialisasi, dan peningkatan
Universitas Gadjah Mada
partisipasi kerja wanita, telah mepengaruhi respon individu dan masyarakat terhadap penduduk usia lanjut. Target
kebijaksanaan
kependudukan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
Indonesia dalam dua dasa warsa terakhir, dampaknya juga harus diantisipasi. Penurunan dalam angka fertilitas misalnya, diikuti dengan tendensi tinggal secara terpisah dari orang tuanya, sehingga akan berakibat pada perubahan struktur keluarga, yakni dari keluarga luas menjadi keluarga inti. Perubahan ini juga diiringi dengan perubahan karakter hubungan orang tua dan anak. Demikian juga tingkat kematian yang lebih rendah, berarti harapan hidup lebih lama, juga merupakan problem lain berkenaan
dengan
perawatan
penduduk
usia
lanjut.
Kondisi
ini
potensial
menyebabkan masalah-masalah bagi penduduk usia lanjut, karena keretakan keluarga tradisional didasarkan pada aktivitas komunal. Permasalahan yang nampak kemudian adalah adanya kenaikan jumlah penduduk usia lanjut yang diikuti dengan masalah sosio-ekonomis dan kesehatan bagi kelompok umur tersebut dirasakan sebagai beban dalam keluarga. Proses penuaan berpengaruh terhadap penduduk lanjut usia secara fisik dan mempengaruhi stamina mereka. Konsekuensinya adalah status kesehatan mereka akan menurun, dan hal ini akan mempengaruhi kualitas hidup penduduk lanjut usia. Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba menjawab dua permasalahan berikut ini : 1. Bagaimanakah kondisi kualitas hidup penduduk lanjut usia di Indonesia ? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap kualitas hidup penduduk lanjut usia ? 2. Pengertian Tentang Penduduk Lanjut Usia Dan Konsep Kualitas Hidup a. Penduduk Lanjut Usia Ada beberapa definisi mengenai penduduk lanjut usia. Beberapa negara mendefinisikan orang lanjut usia berdasarkan pada kondisi fisik. Umumnya cacat fisik dialami oleh orang lanjut usia atau kondisi fisik dan mental menjadi lemah ketika seseorang berusia 90 tahun atau lebih, tetapi ada juga orang yang berusia antara 50 sampai dengan 60 tahun kondisi fisik dan psikisnya sudah melemah. Di negara Inggris misalnya, pensiun yang normal untuk pria dan wanita adalah 65 tahun dan 60 tahun. Pada usia ini biasanya digunakan untuk menentukan
Universitas Gadjah Mada
apakah seseorang itu tua atau masuk pada kehidupan ketiga. Pada kenyataannya bagaimanapun juga, lebih sedikit orang pensiun ketika mereka mencapai usia 65. Biasanya umur digunakan sebagai indikatornya, karena umur dapat diketahui dengan
mudah
dan
relatif
dapat
diukur.
Menurut
Suhardiman
dalam
(Wirakartakusumah, 1994) umur dapat dikelompokkan menjadi dua kategori :
1) Umur fisik atau kronologis 2) Umur non-fisik atau bioplasmic Dalam banyak hal, umur fisik dan non-fisik tidak terjadi secara simultan. Penduduk lanjut usia dikelompokkan menurut umur mereka secara fisik dan kronologis. Menurut tingkat usia mereka, penduduk lanjut usia dibagi dalam tiga kelompok :
1) Mereka yang berada pada tahap penuaan atau muda tetapi tua, usia mereka antara tahun 60-69 tahun.
2) Mereka yang berada pada tahap menengah penuaan dan biasanya dianggap tua, usia mereka natara 70-79 tahun.
3) Mereka yang berusia 80 tahun atau lebih tua dan dianggap sangat tua (Wirakartakusumah, 1994) Indonsia menerapkan batasan orang lanjut usia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Batasan ini didasarkan pada batas usia pensiun untuk sektor formal. Lagi pula, harapan hidup pada waktu lahir di Indonsia pada saat sekarang ini mendekati 60. Dengan batasan ini, jumlah lanjut usia di Indonsia mengalami kenaikan dari 5,3 juta pada tahun 1971, menjadi 11,3 juta pada tahun 1990 (Anwar, 1997). 3. Perspektif Sosial Tentang Penuaan : Sebuah Tinjauan Teoritis Fenomena penuaan (aging) merupakan satu kajian yang menarik untuk didiskusikan, fenomena ini dapat dipahami dari berbagai perspektif, seperti biologi, kesehatan, antropologi dan juga sosiologi, yang kemudian berkembang menjadi berbagai lapangan studi. Menurut McPherson, (1993) menjelaskan bahwa sebagai sebuah lapangan studi, sociology of aging mendeskripsikan dan menjelaskan polapola perilaku individu dan kelompok dalam interaksinya dengan orang lain yang berasal dari berbagai macam latar belakang sosial. Berbagai macam latar belakang sosial ini antara lain sistem sosial mikro (keluarga inti atau keluarga luas) atau sistem sosial makro (negara, dunia). Bagi sosiolog, penuaan merupakan suatu proses sosial yang komplek atau problem yang menyangkut penggambaran dan penjelasan pola-
Universitas Gadjah Mada
pola interaksi antara penuaan individual dan perbedaan kelompok umur. Pemahaman yang mendalam ini mencakup suatu pertimbangan yang ada di berbagai sistem sosial dan dalam suatu perubahan struktur umur; suatu ujian yang spesifik bagi normanorma budaya dan sub-budaya terhadap umur kronologis atau tahap-tahap kehidupan; dan suatu analisis peristiwa-peristiwa historis yang mungkin merupakan dampak yang unik bagi kelompok umur tertentu. Namun demikian, kita harus mengakui bahwa kesempatan hidup dan gaya hidup di lingkungan hidup dapat terpengaruh oleh faktor sosial demografis seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan jabatan. Selanjutnya, bagiamanakah umur kita terpengaruh oleh atribut sosio-demografi? Yaitu dengan struktur umur pada organisasi sosial tempat kita berinteraksi; dengan struktur umur masyarakat kita, dan dengan keberadaan atau ketiadaan berbagai macam proses sosial (misalnya : diskriminasi, sosialisasi, stratifikasi umur) dalam sistem sosial yang umum (keluarga, pekerjaan). Umur seseorang yang selalu bertambah selama hidup dan akhirnya menjadi berumur tua merupakan fase terakhir dalam setiap kehidupan manusia, dan merupakan fase yang dilalui setelah masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Perkembangan ini terjadi secara alamiah. Fenomena tentang proses penuaan dalam hubungannya dengan upaya untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain ternyata menunjukkan keadaan yang berbeda. Variasi-variasi tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan teori-teori yang ada dalam micro theories of aging yang merupakan satu sintesa dari sosiologi dan psikologi sosial yang meliputi : teori peranan, teori refference group, teori sosialisasi, teori pertukaran, dan teori labelling. Ada 4 teori yang dikembangkan khusus untuk menjelaskan fenomena tentang bagaimana penduduk usia lanjut dapat beradaptasi dengan baik pada masa akhir hidupnya. Karena teori tidak memberikan penjelasan secara lengkap tentang proses penuaan, konsep dari keempat teori tersebut sering digunakan dalam studi penelitian yang menjelaskan mengapa sebagian orang menyatakan sangat puas dalam masa akhir hidupnya. Dua dari empat teori tersebut adalah teori disangagement dan teori aktivitas.
1. Teori Disangagement Teori ini menjelaskan bahwa penduduk lanjut usia menjadi berkurang keterlibatannya dalam lingkungan hidup disekitarnya. Karena mereka tidak terikat
Universitas Gadjah Mada
pada berbagai ikatan sosial, mereka menjadi lebih bebas dengan batas-batas yang sebelumnya menjadi bagian mereka (Cuming and Henry dalam Wirakartakusumah, 1994). Menurut teori ini isolasi yang progresif menyebabkan seseorang yang lanjut usia lebih bahagia karena ia bebas dari berbagai kewajiban terhadap masyarakat. 2. Teori Aktivitas J. Palmore (1968) merupakan salah satu ahli yang mengembangkan teori ini. Ia mendasarkan pada premis bahwa dengan tetap melanjutkan aktivitas seorang lanjut usia akan memperoleh kebahagiaan. Melanjutkan aktivitas meningkatkan kebahagiaan bagi penduduk lanjut usia. Teori ini menjelaskan bahwa seorang lanjut usia yang tidak dapat melankukan aktivitas merasa ia tidak diinginkan dan tidak berguna lagi bagi masyarakat seperti pada usia mudanya. Ia tidak akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidupnya (McPherson, 1993). Mengacu pada teori-teori tersebut di atas kiranya dipandang perlu untuk memahami dimensi yang ada dalam konsep kualitas hidup. Paling tidak ada lima dimensi yang dapat diukur, baik dengan mengkombinasikan beberapa ataupun menggunakan semuanya, yaitu : 1. Kinerj a dalam memainkan peran sosialnya; 2. Keadaan fisiologis individu 3. Keadaan emosional individu 4. Fungsi intelektual dan kognitif individu 5. Perasaan sehat dan kepuasan hidup. Disamping pertanyaan tentang kemampuan seorang untuk menampilkan dan memperoleh kepuasan dari peran-peran sosialnya, sejumlah pertanyaan berkaitan dengan empat dimensi lainnya perlu dijawab, misalnya: Keadaan fisiologis, sejauh mana mobilitas seseorang ? Seberapa besar ia bebas dari rasa sakit dan gejalagejala fisik lainnya seperti kelemahan, limbung, kelelahan, dan kesulitan tidur ? Keadaan emosional, Apakah seseorang merasakan kecemasan, ketakutan, atau kekacauan ? apakah perasaannya stabil dan mampukah ia mengendalikan diri ? Fungsi-fungsi intelektual dan kognitif, Apakah seseorang waspada ? apakah ingatannya baik ? Yakinkah ia dengan kemampuannya membuat keputusan keputusan ? mampukah ia melakukan fungsi-fungsi intelektual yang dibutuhkan dalam menampilkan peran sosialnya ?
Universitas Gadjah Mada
4. Populasi Penduduk Lanjut Usia Di Indonesia Pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam GBHN pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu pembangunan yang dapat menciptakan iklim yang memungkinkan bagi penduduknya untuk menikmati hidup yang lama, sehat dan kreatif. Tujuan pembangunan ini sangat berkaitan erat dengan peningkatan kualitas hidup penduduknya, sebab jumlah penduduk yang besar dan memiliki kualitas yang baik akan menjadi modal pembangunan.
a. Jumlah penduduk lanjut usia di Indonsia Data Sensus Penduduk tahun 1990 memperlihatkan bahwa kurang lebih terdapat 11.551.693 penduduk Indonesia yang berusia di atas 60 tahun. Sebagian besar dari jumlah tersebut yakni 8.528.437 atau 73.82 persen penduduk usia lanjut tinggal di daerah pedesaan, selebihnya 3.023.256 atau 26.17 persen penduduk usia lanjut tinggal di lingkungan perkotaan. Dari data tersebut juga terlihat bahwa sebagian besar penduduk lanjut usia adalah wanita. Ini berarti bahwa harapan hidup wanita lebih tinggi daripada pria. Sehubungan dengan jumlah penduduk data kependudukan Indonesia pada abad ke 21 akan memiliki karakteristik yaitu meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia. Secara demografis, meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia disebabkan oleh keberhasilan program kependudukan dalam hal penurunan tingkat fertilitas dan mortalitas serta semakin meningkatnya usia harapan hidup. Hal ini berarti terjadinya perubahan dalam transisi demografi sejalan dengan proses pembangunan nasional. Selanjutnya pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara tidak langsung menyebabkan perubahan struktur umur penduduk. Ada banyak cara untuk menganalisis penduduk lanjut usia. Salah satu cam adalah dengan menggunakan persentase orang-orang lanjut usia, umumnya diberikan batasan bagi mereka yang berumur 65 tahun atau lebih. Sebuah populasi yang kelompok umur lanjut usiaanya kurang dari 5 persen dikategorikan sebagai populasi yang masih muda, apabila jumlah kelompok lanjut usia lebih dari 10 persen sebagai populasi yang sudah tua, dan populasi yang mempunyai kelompok lanjut usia antara 5 sampai dengan 10 persen disebut "intermidiate population." Berdasarkan batasan ini, Indonesia pada tahun 1990 dapat diklasifikasikan sebagai populasi yang masih muda, karena jumlah kelompok umur lanjut usianya.
Universitas Gadjah Mada
Dalam perkembangannya, pertumbuhan penduduk lanjut usia di Indonesia merupakan salah satu masalah penting yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembangunan nasional. Hal ini sangat penting sebab tidak hanya menyangkut jumlah dan proporsi penduduk lanjut usia saja tetapi juga disebabkan oleh karakteristik penduduk lanjut usia yang berbeda dengan penduduk yang masih muda. Apalagi jika dikaitkan dengan perubahan sosio-ekonomi yang sejalan dengan transisi demografi. Menurut Ananta dan Arifin (dalam Wirakartakusumah, 1991) penduduk lanjut usia di Indonesia sangat berpengaruh terhadap data demografi. Jumlah penduduk yang berusia lanjut (65 tahun atau lebih) akan naik dari 7 juta di tahun 1990 menjadi 18,5 juta pada tahun 2020. Kemungkinan 15 tahun yang akan datang penduduk yang berusia lebih tua akan bertambah 11,5 juta. Kenaikan jumlah penduduk lanjut usia di masa yang akan datang akan mengakibatkan pergeseran pola demografi di indonesia, dari penduduk usia muda (yang rata-rata di bawah umur 20 tahun ) menjadi penduduk usia menengah (antara 20 - 30 tahun). Pergeseran ini akan berlanjut pada penduduk yang lebih tua (30 tahun atau lebih). Pergeseran dari penduduk usia muda menjadi penduduk lanjut usia terjadi secara serentak dengan kenaikan jumlah penduduk absolut dan kenaikan persentase penduduk lanjut usia. Secara nasional kenaikan jumlah dan proporsi penduduk usia lanjut yang terjadi sampai tahun 1990 belum menjadikan perhatian yang serius. Meskipun demikian pemerintah tidak dapat mengabaikannya pada waktu sekarang ini. Pada decade yang akan datang struktur penduduk Indonesia akan berkembang (lihat tabel). Pada tahun 2000 jumlah penduduk usia lanjut akan mencapai 15,3 juta atau 7,3 persen dari total penduduk Indonesia; jumlah ini diproyeksikan akan naik menjadi 19,9 juta atau 8,5 persen pada tahun 2010. Pada akhir rencana pembangunan jangka panjang tahap kedua, atau sekitar tahun 2020, jumlah penduduk lanjut usia akan mencapai 28,8 juta atau 11,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.. Dalam 30 tahun, mulai tahun 1990 di Indonesia ada pertambahan jumlah penduduk lanjut usia sebesar 17,5 juta. Dengan keadaan yang seperti ini Indonesia, pada tahun 2020, mungkin masih berada dalam kategori penduduk yang berstruktur muda.
Universitas Gadjah Mada
Pertumbuhan Jumlah Penduduk Lanjut Usia di Indonesia antara tahun 1971 -2020 Year
Populasi
Persentase
Penduduk Lansia 1971
5 306 874
4,48
1980
7 998 543
5,45
1990
11 277 557
6,29
1995
12 778 212
6,56
2000
15 262 199
7,28
2005
17 767 709
7,97
2010
19 936 895
8,48
2015
23 992 553
9,77
2020
28 822 879
11,34
Sumber : Anwar 1997 Penduduk lanjut usia mengalami kenaikan sebesar 4,56 persen antara tahun 1971 dan 1980 tetapi menurun sebesar 3,44 persen antara tahun 1980 dan 1990. Pertumbuhan penduduk lanjut usia melampau pertumbuhan penduduk Indonesia secara keseluruhan. Pada dekade yang akan datang diperkirakan antara tahun 1990 dan 2000 penduduk lanjut usia jumlahnya akan terus meningkat sekitar 3,03 persen. Antara tahun 2010 dan 2020, diperkirakan meningkat sampai 3,67 persen jauh melampaui pertumbuhan penduduk secara nasional yang tumbuh sebesar 0,8 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia berubah menjadi
masalah
penting
dan
memerlukan
perhatian
dalam
rencana
pembangunan nasional. Hal ini sangat penting bukan hanya disebabkan oleh jumlah dan proporsi penduduk lanjut usia tetapi juga disebabkan oleh karakteristik yang berbeda dari penduduk yang lebih muda. Lagi pula perubahan sosial ekonomi terjadi secara simultan dengan transisi demografi.
Universitas Gadjah Mada
5. Problema Penduduk Lanjut Usia Problem di antara para lanjut usia sangatlah kompleks, karena secara alamiah kemampuan fisik para lanjut usia terus menurun. Menurunnya kemampuan fisik ini mempengaruhi kualitas hidup. Para lanjut usia yang memiliki latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda, juga mempunyai kulaitas hidup yang berbeda. a. Masalah Kesehatan Sesuai dengan pendapat para ahli kesehatan dapat dijadilkan indikator kualitas hidup penduduk. Masalah yang perlu dibicarakan selanjutnya adalah apakah yang dapat dijadikan tolok ukur bagi indikator kesehatan. Ada beberapa tolok ukur yang dapat dipakai untuk mengetahui tingkat kesehatan penduduk, yakni angka kesakitan (morbidity/disability rate), angka kelahiran bayi dengan berat badan rendah (low birth wage), angka kematian bayi (infant mortality rate) dan usia harapan hidup (life expectancy). Dalam penelitian indikator kesehatan yang akan dipakai untuk mengukur tingkat kualitas hidup penduduk lanjut usia hanya 2, yaitu morbiditas penduduk lanjut usia dan tingkat harapan hidup. Hal ini disebabkan karena hanya dua indikator tersebut yang relevan bagi penduduk lanjut usia. 1) Angka kesakitan Daya tahan fisik terhadap penyakit adalah salah satu indikator kualitas fisik penduduk. Biasanya daya tahan fisik terhadap penyakit dapat diketahui dari jumlah hari sakit yang dialami oleh individu per tahun. Hari sakit yang dimaksudkan di sini adalah hari-hari orang terganggu pekerjaannya karena keadaan fisiknya yang kurang memungkinkan. Ukuran kualitas penduduk yang dipakai dalam kesehatan adalah tingkat morbiditas atau persentase penduduk yang sakit dalam seminggu sebelum sensus dilakukan (BPS, 1983 : 137). Reliabilitas hasil sensus atau survey ini tentu saja sangat terpengaruh pada ketepatan subyek di dalam melaporkan keadaan kesehatan mereka. Pengetahuan tentang penyakit akan menentukan apakah seseorang akan melaporkan diirinya sakit atau tidak di waktu sensus atau survey dilakukan. Penduduk lanjut usia di waktu yang akan datang diharapkan akan mempunyai usia harapan hidup yang lebih panjang. Meskipun usia yang lama tidak dapat dipakai untuk mengukur tingkat kualitas hidupnya. Angka kesakitan akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia seseorang. Kemajuan di bidang teknologi kesehatan akan menyebabkan usia harapan hidup yang semakin
Universitas Gadjah Mada
panjang bagi penduduk usia lanjut. Untuk memastikan bahwa penduduk lanjut usia hidup lebih lama, sehat dan produktif, ukuran yang tepat adalah dengan mengadopsi sehat sebagai pandangan hidup. Penelitian tentang penduduk lanjut usia di Indonesia yang baru-baru ini dilakukan oleh Siti Isfandary (1997) mengungkapkan faktor-faktor sosial-ekonomi yang membedakan status kesehatan penduduk lanjut usia di Jawa, menemukan data bahwa status pekerjaan (bekerja dan tidak bekerja) di antara penduduk lanjut usia secara signifikan berhubungan dengan status kesehatan. Bagi wanita lanjut usia juga terdapat pola yang sama, dalam hal ini ada perbedaan signifikan pada kelompok umur 55-59 dan 70 tahun ke atas, tetapi pada kelompok umur 60-64 dan 65-69 tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Secara lebih rinci dijelaskan bahwa penduduk lanjut usia (55 tahun atau lebih), tidak memperlihatkan perbedaan status kesehatan, baik bagi mereka yang berstatus menikah atau sendiri (termasuk duda, cerai atau tidak pernah menikah). Keadaan ini berbeda pada wanita berumur 55 tahun atau lebih. Mereka yang menikah memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik secara bermakna daripada mereka yang hidup sendiri. Hal ini dapat dijelaskan bahwa biasanya wanita yang menikah memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik dibanding wanita single, sebagai hasilnya kesehatan merekapun lebih baik. Gaya hiduppun ternyata berpengaruh terhadap status kesehatan orang lanjut usia, terutama wanita yang berumur 60 atau lebih. Mereka yang tinggal dengan lebih dari tiga orang memiliki status kesehatan lebih baik dari pada mereka yang tinggal dengan tiga orang atau kurang. Keadaan ini dapt dijelaskan dengan teori bahwa wanita lanjut usia yang sehat lebih mungkin tinggal dalam rumah tangga yang lebih besar karena mereka dapat membantu anggota keluarga yang lain. Status pekerjaan terutama pada pria tampak juga berpengaruh terhadap kondisi kesehatan Alasan yang paling logis untuk status kesehatan yang lebih baik ini ialah bahwa mereka yang sehat memiliki peluang yang lebih besar untuk bekerja. Dalam hal status kesehatan subyektif, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Isfandari ditemuklan bahwa dari semua yang melaporkan adanya penyakit selama bulan terakhir hanya 20 persen saja yang belum sembuh sampai saat penelitian dilakukan. Ini berarti interpretasi yang paling mungkin pada hasil ini
Universitas Gadjah Mada
bahwa pria yang tidak bekerja mengeluh lebih banyak tentang penyakit subyektif daripada mereka yang bekerja. Untuk wanita pola-pola yang sama juga berlaku, yakni mereka yang bekerja melaporkan status kesehatan yang lebih dibanding mereka yang tidak bekerja. Terdapat perbedaan bermakna untuk kelompok umur 55 - 59 dan 70 tahun ke atas, sementara untuk mereka yang berusia 60 - 64 dan 65 - 69 perbedaan ini tidak bermakna. Sumber listrikpun berpengaruh terhadap status kesehatan orang-orang lanjut usia. Namun faktor ini hanya bermakna bagi pria dan wanita yang berusia 70 atau lebih, dan untuk wanita berumur 55 sampai 59 tahun. Pola ini menunjukkan bahwa mereka yang berpenerangan listrik memiliki status kesehatan yang lebih baik. Kebiasaan membaca surat kabar atau tidak juga berpengaruh terhadap kesehatan mereka. Terdapat perbedaan bermakna bagi mereka pria berusia 55 59, mereka yang membaca koran lebih sedikit yang melaporkan penyakit. Untuk semua kelompok umur yang lainnya, baik pria maupun wanita, tidak terdapat perbedaan bermakana, walaupun kecenderungan ini memperlihatkan bahwa makin tua responden makin mungkin melaporkan penyakit bila mereka tidak membaca koran.
2) Usia Harapan Hidup Penduduk Lanjut Usia. Usia harapan hidup penduduk lanjut usia dapat dipakai sebagai indikator kualitas hidup penduduk. Semakin baik kualitas hidup yang ada dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap tingginya usia harapan hidup. Untuk memahami hal tersebut kiranya perlu juga dibahas mengenai usia harapan hidup menurut data baik dari sensus penduduk ataupun dari survey antar sensus. Berdasarkan data yang ada tentang usia harapan hidup bagi penduduk Indonesia termasuk penduduk lanjut usianya, menunjukkan adanya kenaikan. Usia harapan hidup menurut hasil sensus tahun 1980 adalah 57 tahun untuk daerah perkotaan dan 51 tahun untuk daerah pedesaan, dan angka ini menurut survey antar sensus tahun 1985 meningkat menjadi 63 tahun untuk daerah perkotaan dan 59 tahun untuk daerah pedesaan. Usia harapan hidup nasional menunjukkan angka 52 menurut sensus 1980 dan naik menjadi 60 menurut data survey antar sensus tahun 1985. Usia harapan hidup ini sangat bervariasi antara satu propinsi
Universitas Gadjah Mada
dengan propinsi lainnya. Berikut ini ditampilkan usia harapan hidup menurut propinsi di Indonesia.
3) Peranan Sosial yang dilakukan oleh Penduduk Lanjut Usia Apabila ditinjau dari aspek peranan sosial, kebanyakan penduduk lanjut usia menghadapi realitas bahwa peranan sosial mereka terus menurun sehingga hal ini menyebabkan berkurangnya interaksi dengan lingkungan sosial mereka, dan selanjutnya berpengaruh terhadap waktu luang yang mereka miliki tanpa aktivitas sama sekali. Banyak para lanjut usia yang tidak melakukan kegiatan apapun karena mereka tidak mempunyai pekerjaan. Sementara itu, bila ditinjau dari aspek ekonomi, berlangsungnya proses penuaan berpengaruh terhadap fisik para lanjut usia dan mengurangi stamina fisik mereka. Hal ini menyebabkan aktivitas dan produktivitas mereka terus menurun, sehingga secara ekonomis
mereka
tergantung pada anggota keluarga yang lain, terutama bagi mereka yang betulbetul sudah berusia lanjut. Meskipun demikian, kelompok lanjut usia yang lain (setengah tua dan tua) mungkin masih tetap terus bekerja. Berdasarkan pada studi yang dilakukan oleh Wirakartakusumah (1994) terdapat 48.2 persen penduduk lanjut usia yang tetap bekerja. Persentase ini lebih tinggi di antara para lanjut usia yang tinggal di daerah pedesaan. Di antara penduduk lanjut usia yang masih bekerja, 68.8 persen bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan aktivitas keagamaan dapat diketahui bahwa dari 400 responden ternyata 61,5 persen di antaranya mempunyai aktivitas rutin dalam kegiatan keagamaan, dan hanya 10,5 persen yang tidak terlibat dalam kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa pengajianpengajian yang dilakukan secara rutin di daerah tempat tinggalnya. Sedangkan sisanya sebesar 28 persen menyatakan pasif dalam kegiatan keagamaan. Sedangkan mobilitas yang dilakukan oleh orang-orang lanjut usia seperti berkunjung ke rumah teman dari penelitian ini mendapatkan informasi bahwa 31,5 persen dari keseluruhan responden menyatakan tidak pernah berkunjung ke rumah teman mereka. Orang-orang lanjut usia yang berkunjung ke rumah teman satu kali sampai tiga kali dalam 3 bulan sebelum penelitian ini dilakukan sebesar 28,8 persen. Selain itu dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa 3.0 persen di antara para penduduk lanjut usia mengatakan bahwa kesehatan mereka sangat buruk, dan 25.3 persen kesehatan mereka lebih buruk lagi. Selama 6 bulan sebelum
Universitas Gadjah Mada
penelitian, 39.0 persen dari responden menderita sakit yang mengganggu aktivitas fisik mereka, kebanyakan mereka dijumpai di daerah perkotaan. Di samping itu, penelitian itu juga menemukan fakta bahwa 20.0 pesen dari responden mengalami sakit secara fisik yang menyebabkan mereka tidak mampu berjalan sendiri. Dari 80 responden dalam kategori ini, 25 orang atau 31.25 persen mengalami masalah tidak bisa berjalan sendiri meskipun hanya dilingkungan tempat tinggalnya. Dari para responden, 50.5 persen masih tetap memiliki penglihatan yang bagus. Sepuluh orang atau 2.5 persen menggunakan alat bantu dengar, 24 orang atau 6.0 persen mengatakan mereka memerlukan alat bantu dengar. Data di atas menunjukkan bahwa faktor ekonomi sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup penduduk lanjut usia. Bahan bacaan
Anwar, Evi Nurvidya, Demographic Characteristics of Aging, in Indonesia, Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia, Technical Report Series Monograph No 86, 1997 Biro Pusat Statistik, Sensus Penduduk, tahun 1990 Biro Pusat Statistik, Survey Angkatan Kerja Nasional, 1991 Isfandary, Siti, Socio-Economic Factors Differentiate Health Status of The Elderly in Java, 1997 McPherson, Barry D., Aging : The Midle and later Years, Wilfrid Laurier university, 1993 Wirakartakusumah, Djuhari, Local Level Policy Development on Consequences of Aging : Indonesia Case, United Nation, New York, 1994
Universitas Gadjah Mada