Propos sal Peneliitian TA 2015
Sttudi Pen ngemba angan K Kelemb bagaan Petani M Memperrkuat K Kedaula atan Pan ngan Nasionall Sebag gai IImplem mentasi UU No o 18 tah hun 201 12
Oleh h: Syahy yuti
PU USAT SOS SIAL EKON NOMI DA AN KEBIJA AKAN PER RTANIAN BA ADAN PEN NELITIAN N DAN PEN NGEMBAN NGAN PER RTANIAN KEMEN NTERIAN PERTANIIAN 2014
1
RINGKASAN Sesuai dengan amanat UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, kedaulatan pangan merupakan salah satu pendekatan dalam pembangunan pangan Indonesia. Selama ini, pendekatan pembangunan pangan Indonesia mengandalkan kepada pendekaan “ketahanan pangan”. Ketahanan pangan merupakan paradigma yang secara resmi digunakan pemerintah dalam pemenuhan pangan penduduk dana pertanian terkit pangan pada umumnya. Namun, dengan UU yang baru diadopsi juga pradigma ”kedaulatan pangan”. Konsep dan pendekatan kedaulatan pangan dapat melengkapi dan menyempurnakan kelemahan konsep ketahanan pangan. Diadopsinya kedaulatan pangan sebagai salah satu tujuan pembangunan pertanian nasional membutuhkan penyusunan rencana dan pendekatan pembangunan yang berbeda. Salah satu perbedaan pendekatan kedaulatan pangan pangan adalah pada pengakuan posisi politik petani. Hal ini sejalan dengan berbagai kebijakan baru tentang petani Indonesia yang lebih memberikan otoritas yang kuat kepada posisi politik petani. Penelitian ini bertolak dari fakta telah diakuinya kedaulatan pangan sebagai strategi pokok dan tujuan pembangunan pertanian, namun strategi operasionalnya belum dirumuskan. Otoritas petani juga semakin diakui dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, khususnya dalam hal hak untuk berorganisasi. Dengan demikian, ketelribatan petani secara aktif dalam mewujudkan kedaulatan pangan menjadi sangat besar. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mempelajari kondisi dan potensi kedaulatan pangan di Indonesia secara nasional dan pada komunitas lokal, (2) Mengidentifikasi peranan eksisting petani dalam kedaulatan pangan di berbagai komunitas lokal dan basis pangan yang beragam, (3) Mengidentifikasi kebutuhan pemberdayaan petani dalam memperkuat kedaulatan pangan secara nasional dan daerah, dan (4) Merumuskan kebijakan dan strategi pemberdayaan petani dan komunitas lokal dalam mencapai kedaulatan pangan Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, yang dijalankan pada beberapa wilayah dengan kondisi kadaulatan pangan yang beragama baik dari sisi basis
2
komoditas maupun agroekosistemnya. Penelitian mengambil lokasi di Jawa Barat dan NTB.
3
Bab I. PENDAHULUAN .1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia telah memiliki Undang-Undang pangan yang baru untuk menggantikan UU Nomor 7 Tahun 1996 yang telah berusia 16 tahun, yaitu UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Dalam UU baru ini, persoalan pangan ditujukan untuk mencapai tiga hal sekaligus yaitu katahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan. Dengan demikian, UU baru ini akan menjadi identitas baru atau aransemen kelembagaan bagi pembangunan pertanian dan pangan Indonesia. Masuknya aspek kedaulatan pangan merupakan konsekuensi bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights (biasanya disingkat ECOSOC Rights). Basis argumennya adalah bahwa selama ini negara belum secara sistematis mampu mengakui hak atas pangan warganya. Dengan kedaulatan pangan diharapkan tidak lagi dijumpai persoalanpersoalan dasar tentang pangan, seperti gizi buruk, kelaparan, rawan pangan dan sebagainya. UU Pangan yang baru ini berupaya memberikan kewajiban kepada negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak atas pangan warga negaranya. Selama ini, pendekatan pembangunan pangan Indonesia mengandalkan kepada pendekaan “ketahanan pangan”. Ketahanan pangan merupakan paradigma yang secara resmi digunakan pemerintah dalam pemenuhan pangan penduduk dana pertanian terkit pangan pada umumnya. Namun, dengan UU yang baru diadopsi juga pradigma ”kedaulatan pangan”. Konsep dan pendekatan kedaulatan pangan dapat melengkapi dan menyempurnakan kelemahan konsep ketahanan pangan. Diadopsinya kedaulatan pangan sebagai salah satu tujuan pembangunan pertanian nasional membutuhkan penyusunan rencana dan pendekatan pembangunan yang berbeda. Salah satu perbedaan pendekatan kedaulatan pangan pangan adalah pada pengakuan posisi politik petani. Hal ini sejalan dengan berbagai kebijakan baru 4
tentang petani Indonesia yang lebih memberikan otoritas yang kuat kepada posisi politik petani. Dengan UU Pangan yang baru berarti ada ketegasan tentang hak dan kewajiban, baik dari dan oleh negara, maupun dari dan oleh warga negara. Setiap warga negara berhak atas pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat individu di dalam rumah tangga, pada skala nasional dan lokal sepanjang waktu, misalnya. Masyarakat miskin dan kelompok rawan pangan tetap diberi hak, tanggung jawab, dan kesempatan untuk diberdayakan agar mereka mampu memenuhi penyediaan pangan di tingkat rumahtangga dan individu sedemikan rupa sehingga tidak menciptakan
ketergantungan
berlebihan
pada
pemerintah
dalam
pemenuhan
kebutuhan pangannya. .1.3. Dasar Pertimbangan Penelitian ini bertolak dari fakta telah diakuinya kedaulatan pangan sebagai strategi pokok dan tujuan pembangunan pertanian, namun strategi operasionalnya belum dirumuskan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan menyebutkan bahwa “Kedaulatan Pangan” adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Lalu, pada Pasal 3 disampaikan pula bahwa penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan. Petani di Indonesia berada dalam kekuasaan negara, dimana mereka sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah dalam memperoleh sarana produksi, secara langsung maupun tidak. Petani berada pada posisi yang lemah yang harus selalu dalam kondisi perlu dibantu. Pengakuan bahwa “politik” menjadi salah satu pendekatan dalam pembangunan pertanian misalnya baru muncul dalam Buku: “Konsep Strategi Induk 5
Pembangunan Pertanian 2013 – 2045”. Pada pilar dan strategi utama disebutkan bahwa pengembangan sumber daya insani yang kompeten dan berkarakter merupakan modal pertanian yang berupa insan yang berkualitas, modal sosial dan modal politik. Lalu, dalam definisi tentang reforma agraria, yang disebutkan sebagai salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mewujudkan pemerataan kesempatan berusahatani. Disampaikan pula tentang pemerataan politik yang mencakup pemerataan kesempatan dalam penyampaian aspirasi dan perolehan dukungan politik. Dalam hal ini adalah dukungan perlindungan dan pemberdayaan dari negara bagi petani. Pada hakekatnya, sumberdaya insani dalam buku ini adalah manusia yang berkualitas, yang merupakan modal sosial dan modal politik pertanian Visi pembangunan pertanian membutuhkan transformasi tatakelola pembangunan, yaitu suatu proses perubahan sistem pengambilan keputusan, politik dan hubungan antar institusi dalam pengelolaan sumberdaya. Mencakup transformasi birokrasi pemerintahan sebagai penanggung jawab administrasi pembangunan dan transformasi proses perumusan kebijakan pembangunan. Wujud pertanian yang diharapkan ke depan salah satunya adalah pertanian yang adil yang dimaknai sebagai pemerataan dan keberimbangan kesempatan berusahatani, politik, dan jaminan penghidupan secara horizontal, spasial, sektoral, bidang pekerjaan, dan sosial. Lebih jelas lagi dicantumkan pula bahwa kebijakan pengembangan kelembagaan petani diarahkan menumbuh-kembangkan kelembagaan ekonomi, politik dan sosial petani yang esensial untuk meningkatkan kapabilitas usaha, advokasi kepentingan politik kebijakan dan penguatan solidaritas sosial petani skala kecil. Menumbuhkembangkan
kelembagaan
politik
petani
yang
meliputi
organisasi
masyarakat petani di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional guna meningkatkan kapabilitas advokasi dukungan kebijakan pembangunan pertanian; Transformasi kelembagaan dilakukan pada tiga bentuk. Pertama, transformasi kelembagaan level mikro para petani dengan organisasinya maupun pada kelembagaan pemerintahan desa. Tujuan transformasi adalah terwujudnya sosok petani dan 6
perdesaan baru yang mampu beradapatasi menjadi pelaku-pelaku utama dalam mengembangkan pertanian industrial perdesaan. Organisasi petani diarahkan untuk mendorong
terbentuknya
organisasi
petani
yang
mandiri
dan
berdaulat
dan
berkontribusi dalam pengambilan keputusan sektor pertanian industrial.
Kedua, transformasi kelembagaan dalam sistem pemerintahan yang mampu menciptakan keterpaduan lintas sektor guna mewujudkan pertanian-bioindustri berkelanjutan. Transformasi ini mencakup pengembangan peraturan perundangan pertanian bioindustri yang kondusif serta melakukan perubahan sistem pemerintahan dengan
mengintegrasikan
kementerian/lembaga
yang
membidangi
pertanian,
bioindustri dan pembangunan perdesaan. Peraturan perundangan diarahkan untuk mengembangkan struktur insentif yang efektif memfasilitasi terwujudnya pertanianbiindustri berkelanjutan, diantaranya melalui jaminan alokasi anggaran pembangunan pertanian-bioindustri serta alokasi anggaran untuk penelitian.
Ketiga, transformasi kelembagaan dalam sistem nilai yang secara operasional diwujudkan dengan transformasi sistem indikator pembangunan yang lebih berorientasi pada tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan. Transformasi ini adalah berupa pergeseran sistem nilai pembangunan dari yang mengutamakan indikator-indikator ekonomi jangka pendek, seperti Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang konvensional ke arah indikator majemuk yang mengintegrasikan indikator ekonomi, sosial dan lingkungan secara komprehensif. Hal ini menujukkan bahwa pendekatan kedaulatan pangan membutuhkan kapasitas organisasi petani di lingkungan lokal dan komunitas. Otoritas petani semakin diakui juga dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, khususnya dalam hal hak untuk berorganisasi. Pada Pasal 69 misalnya disebutkan bahwa pembentukan organisasi petani dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal Petani.
7
.1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mempelajari kondisi dan potensi kedaulatan pangan di Indonesia secara nasional dan pada komunitas lokal
2.
Mengidentifikasi peranan eksisting petani dalam kedaulatan pangan di berbagai komunitas lokal dan basis pangan yang beragam
3.
Mengidentifikasi kebutuhan pemberdayaan petani dalam memperkuat kedaulatan pangan secara nasional dan daerah
4.
Merumuskan kebijakan dan strategi pemberdayaan petani dan komunitas lokal dalam mencapai kedaulatan pangan Indonesia.
.1.4. Keluaran Penelitian 1.
Pengetahuan tentang kondisi dan potensi kedaulatan pangan di Indonesia secara nasional dan pada komunitas lokal.
2.
Pengetahuan tentang peranan eksisting petani dalam kedaulatan pangan di berbagai komunitas lokal dan basis pangan yang beragam
3.
Pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan pemberdayaan petani dalam memperkuat kedaulatan pangan secara nasional dan daerah
4.
Dirumuskannya kebijakan dan strategi pemberdayaan petani dan komunitas lokal dalam mencapai kedaulatan pangan Indonesia.
.1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Kegiatan yang Dirancang Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengambil kebijakan untuk meningkatkan pemahamannya dan nantinya dapat menyusun kebijakan untuk pengembangan kelembagaan dan organisasi petani yang lebih sesuai dengan kebutuhan petani dalam konteks menuju kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan merupakan strategi baru yang sudah diakui dalam kebijakan, namun belum memiliki panduan dalam pelaksanaannya.
8
Dari sisi keilmuan, diharapkan temuan penelitian ini mampu memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai lingkungan kelembagaan dalam mengorganisasikan diri petani. Aktivitas pemberdayaan di masa mendatang diharapkan memiliki landasan berfikir yang lebih tepat, operasional, dan lebih efisien untuk membangun dan memperkuat kedaulatan pangan petani. Pada hakekatnya, studi ini merupakan penelitian kebijakan (policy research), yang dapat menjadi sumber pengetahuan bagi pengambil kebijakan dan petugas lapang dalam mengembangankan kelembagaan petani dalam kedaulatan pangan di masa mendatang. Bab II. TINJAUAN PUSTAKA .2.1. Tinjauan Teoritis Ketahanan pangan merupakan konsep dan pendekatan yang secara resmi dipegang oleh pemerintah Indonesia dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Penggunaan konsep ”ketahanan pangan” ditegaskan secara resmi dalam berbagai produk hukum, misalnya UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Pearturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Ketahanan pangan merupakan konsep yang diterima luas di banyak negara dan telah berjalan cukup lama setidaknya 20 tahun terakhir. Namun demikian, sebagaimana konsep dan pendekatan dalam pembangunan pada umumnya, pendekatan ketahanan pangan juga menghadapi berbagai tentangan Evaluasi, ide dan berbagai pemikiran baru terus berguilir. Hal ini pun berlaku untuk konsep ketahanan pangan itu sendiri yang awalnya hanya fokus pada sisi produksi, namun setelah beberapa kali berubah, dirumuskan menjadi lebih luas. Perdebatan Konseptual Dan Politis Antara Pendekatan ”Ketahanan Pangan” Dan ”Kedaulatan Pangan” Di banyak negara termasuk Indonesia, konsep yang dianut dan mendasari hampir seluruh kebijakan dan strategi pertanian dan penyediaan pangan adalah ”ketahanan 9
pangan” (food security). Konsep ini telah mulai digodok semenjak akhir tahun 1970-an, dan kemudian banyak mengalami perubahan dari sisi fokus dan pendekatan. Lalu, mulai dari pertengahan tahun 1990-an, akibat ketidakpuasan terhadap kondisi pangan lokal dan perdagangan pangan dunia, muncul konsep dan pendekaan baru yaitu ”kedaulatan pangan” (food sovereignty). “Ketahanan pangan” merupakan satu contoh konsep yang semula sederhana, luas, dan kualitatif; lalu
berubah menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitaif.
Tidak kurang sekitar 200 definisi telah dihasilkan dalam publikasi-publikasi ilmiah tentang apa itu yang dimaksud dengan “ketahanan pangan” (Maxwell dan Smith, 1992). Pada dasarnya, ketahanan pangan (food security) adalah tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi. Jadi kuncinya adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya.
Ketersediaan
berkaitan
dengan
aspek
produksi
dan
suplai,
keterjangkauan merupakan aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek distribusi. Konsep ketahanan pangan sudah cukup lama bergulir, namun lalu banyak mengalami perubahan-perubahan. Pada dekade 1960-an dan 1970-an, ketika dunia dihadapkan kepada ketidakcukupan produksi pangan, definisi ketahanan pangan ditekankan kepada penyediaan pangan yang cukup (availability at all times of adequate
world food supplies) (United Nation, 1975) (United Nation, 1975). Konsep ketahanan pangan oleh sebagian ekonom dianggap konsep teknis (Smith
et al., 1992) dengan berbagai kepentingan politis di baliknya. Implikasi dari perspektif ini, pangan menjadi semata-mata komoditas yang dapat diperdagangkan secara lokal dan bahkan internasional. Pangan lalu masuk ke dalam putaran perdagangan dunia, yang sampai saat ini regulasi dan kesepakatannya masih diperdebatkan. Konsep kedaulatan pangan beserta nilai-nilai humanis dan ekologisnya
10
Konsep kedaulatan pangan muncul pertama kali tahun 1996 yang semula merupakan kerangka kebijakan dan wacana untuk mengangkat kesejahteraan petani kecil. Kedaulatan pangan lalu menjadi konsep yang berkembang paling cepat dan diadopsi ribuan organisasi petani, masyarakat lokal, LSM, lembaga kemasyarakatan, bahkan mulai diadopsi lembaga-lembaga di bawah PBB, termasuk lembaga pangan dunia, FAO. Namun demikian, di Indonesia khususnya, konsep ini tidak mudah diterima terutama dari kalangan pemerintahan. Alasan yang sering mengemuka dari mereka yang anti terhadap konsep ini adalah karena ”kedaulatan pangan” merupakan konsep politik. Hal ini tampaknya mengambil pendapat Windfuhr dan Jansen (2005) yang menyatakan ”food sovereignty is
essentially a political concept”. Demikian pula dengan Lee (2008) yang menyebutkan bahwa kedaulatan pangan sebenarnya agak terkait dengan politik formal. Konsep kedaulatan pangan bersumber dari gerakan petani Via Campesina. Pemicunya adalah konflik dalam penggunaan dan appropriation sumberdaya genetik tanaman yang menimbulkan ketegangan antara konsep ketahanan pangan dengan kedaulatan pangan. Kedua konsep ini sesungguhnya merupakan produk (co-produce) dari wacana perubahan pertanian global. Munculnya kedaulatan pangan memang syarat dengan kerangka politik (policy framework) yang muncul tahun 1996, sebagai respon terhadap sikap yang inklusif pada pertanian dalam sistem perdagangan dunia melalui AoA. Konsep kedaulatan pangan merupakan hasil dari gerakan melalui pertemuan petani yang dibentuk tahun 1992 pada Kongres The National Union of Farmers and Livestock Owners (UNAG). Kegiatan ini dikoordinasikan oleh anggota yang tersebar dari Afrika, Amarika Utara, Tengah dan Selatan; Asia, Karibia dan Eropa. Anggota kelompok Via Campesina mencakup Family Farmers’ Association (UK), Confederation Paysanne (France), Bharatiya Kisan Union (India), Landless Workers' Movement (Brazil), National Family Farm Coalition (USA) dan para petani tak bertanah Landless Peoples' Movement (South Africa). Pada April 1996, berlangsung pertemuan kedua yang dilaksanakan di 11
Tlaxcala, Mexico. Dari pertemuan ini berhasil dirumuskan visi yakni ‘Food Sovereignty: A Future without Hunger’, serta batasan, yaitu “Food sovereignty is the right of each
nation to maintain and develop its own capacity to produce its basic foods respecting cultural and productive diversity. We have the right to produce our own food in our own territory. Food sovereignty is a precondition to genuine food security.” (Via Campesina, 1996: 1). Semenjak kegitan ini, berbagai publikasi, pernyataan dan deklarasi telah disampaikan dalam konteks kerangka kerja kedaulatan pangan. Pada tahun 2002 berhasil dibentuk sebuah komite yaitu International Planning Committee (IPC) untuk kedaulatan pangan. IPC merumuskan bahwa kedaulatan pangan memiliki empat area priritas atau pilar, yaitu: (1) hak terhadap pangan (2) akses terhadap sumber-sumber daya produktif, (3) Pengarusutamaan produksi yang ramah lingkungan (agroecological production), serta (4) perdagangan dan pasar lokal. Hak terhadap pangan berkaitan dengan pengembangan pendekatan hak asasi manusia pada individu, serta pangan yang gizi dan diterima secara kultural. Sedangkan akses kepada sumber daya produktif berkaitan dengan akses kepada lahan, air, dan sumber genetik. Sebagai sebuah konsep, kedaulatan pangan sesungguhnya sejajar dengan ketahanan pangan, karena yang membedakan keduanya adalah elemen di dalamnya. Elemen-elemen itu meliputi model produksi pertanian agro- ekologis yang berbeda dengan pertanian industri, model perdagangan pertanian yang proteksionis dan mendorong pasar lokal dibandingkan liberal, menggunakan instrumen dari International Planning Committee for Food Security (IPC) yang berbeda dengan WTO, pendekatan terhadap sumber daya genetik pertanian yang bersifat komunal dan lebih cenderung antipaten yang bertolak belakang dengan TRIPS, serta wacana lingkungan green
rationalism dibandingkan economic rationalism sebagaimana diadopsi dalam ketahanan pangan (lihat tabel berikut). Kedua konsep ini cenderung menuju polarisasi sebagaimana dipaparkan pada matrik (Tabel 1) berikut. ”Food security and food
sovereignty are represented as opposing paradigms of food production”. 12
Table 1. Berbagai elemen pokok antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan Aspek 1. model produksi pertanian 2. model perdagangan pertanian 3. organisasi yang memimpin 4. instrumen yang digunakan 5. pendekatan terhadap sumberdaya genetis tanaman 6. wacana tentang lingkungan
Ketahanan pangan
Kedaulatan pangan
Fokus pada produksi Agro-ekologis atau bertipe industrial Liberalisasi Proteksionis WTO
Via Campesina
AoA, TRIPS, SPS
IPC
Hak penguasaan Anti hak paten, individual penguasaan secara komunal Rasionalis ekonomis Rasionalisme hijau (green rationalism)
Secara ontologis konsep ketahanan pangan memang jauh lebih mapan dari pada kedaulatan pangan. Ketahanan pangan merupakan konsep yang diterima secara luas dan telah diadopsi di hampir seluruh negara di dunia. Kondisi tahan pangan dapat dicapai di semua negara baik dengan atau tanpa dukungan sektor pertanian. Dengan pendekatan ini, Singapura misalnya, bisa tetap berketahanan pangan tanpa harus di dukung oleh produksi pangan domestik. Dengan pendapatan per kapita yang cukup tinggi, rakyat Singapura bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka dari impor. Kedaulatan pangan yang diartikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan karakter budaya masing-masing; merupakan konsep yang muncul belakangan. Konsep yang pertama kali diusung oleh gerakan Via Campesina pada 1996 ini muncul sebagai reaksi dari kegagalan konsep yang ditawarkan WTO terkait dengan
13
ketahanan pangan dalam melindungi ekosistem dan menjamin kesejahteraan petani khususnya di negara sedang berkembang. Secara konseptual, kedaulatan pangan yang mensyaratkan pengendalian sistem produksi distribusi dan konsumsi pangan memang kalah universal dibandingkan konsep kedaulatan pangan. Hal ini mengingat, konsep ini tidak mungkin diterapkan di negara yang tidak punya lahan pertanian seperti Singapura. Disamping itu, tanpa dibarengi dengan upaya peningkatan produksi dan perbaikan sistem secara serius, kedaulatan pangan tidak cukup menjamin ketahanan pangan atau terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang selalu terkait dengan kesetaraan sosial, kesejahteraan dan daya beli. Namun demikian, konsep kedaulatan pangan menjadi penting ketika negara dihadapkan pada pilihan antara memproduksi pangan sendiri atau menggantungkan diri pada impor. Dalam perspektif kedaulatan, pangan bukanlah komoditas yang diperdagangkan begitu saja tanpa perlindungan. Oleh sebab itu, pangan seharusnya tidak
ditumpukan
pada
pasar
yang
rentan,
tetapi
pada kemandirian
dalam
mencukupinya. Dalam konteks negara besar seperti Indonesia, ketergantungan terhadap pangan impor adalah ironi, karena selain mengabaikan potensi dan kekayaan sumber daya lokal juga bisa membawa ancaman bagi stabilitas nasional. Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa meski kedua-duanya berbicara soal pangan, batu pijak dari kedua konsep tersebut tidaklah sama. Ketahanan pangan lebih menitikberatkan pada ketersediaan pangan bagi rakyat tanpa memedulikan dari mana dan siapa yang memproduksi pangan tersebut, sedangkan kedaulatan pangan lebih menitikberatkan kemandirian pangan, perlindungan kepada petani dan ekosistem lokal. Dalam hal ini, ketahanan pangan dan kedaulatan pangan sejatinya adalah dua konsep berbeda yang tidak dapat dipertukarkan (non-
interchangeable). Dengan kata lain, ketahanan pangan hanya fokus terbatas kepada sisi pangannya saja, sedangkan kedaulatan memperhatikan baik
pangan maupun
manusianya. 14
Ketika sebagian pihak menilai bahwa kedua konsep ini begitu berlawanan, pihak lain melihat sesungguhnya kedua konsep ini bisa seiring sejalan. Kedaulatan pangan tidak dilihat sebagai konsep tandingan (rivalry concept), tapi sebagai pelengkap dari konsep ketahanan pangan. Dalam pandangan ini, kedaulatan pangan diintegrasikan ke dalam konsep ketahanan pangan. Jika ketahanan pangan adalah tujuan, kedaulatan pangan adalah prasyarat untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana
Menzenes
(2001), akses setiap individu terhadap pangan yang berkualitas, yang merupakan intisari konsep ketahanan, haruslah didorong dengan upaya-upaya yang menjamin akses petani terhadap input pertanian dan perlindungan terhadap sektor pertanian domestik yang memadai demi terwujudnya kemandirian pangan. Pada hakekatnya, kedua konsep – ketahanan pangan dan kedaulatan pangan – sama-sama memiliki dimensi global. Saat ini, konsep ketahanan pangan sedang dipakai baik di negara maju maupun berkembang, sementara konsep kedaulatan pangan berupaya mempengaruhi penggunaan pendekatan ketahanan pangan. Kegagalan WTO dijadikan moment penting dalam pergerakan kedaulatan pangan, yang berupaya menjadikan konsep ini sebagai strategi utama untuk menuju pengakuan hak-hak petani baik di level pemerintahan maupun lembaga internasional. Saat ini, wacana kedaulatan pangan terus berupaya mempengaruhi dan bahkan berupaya mengganti pendekatan ketahanan pangan. Hal ini juga terjadi di Indonesia, meskipun perjuangan ke arah tersebut masih membutuhkan usaha yang cukup serius. Pendapat penulis, semestinya kedaulatan pangan dapat diposisikan sebagai kerangka politis dan humanis untuk menerapkan ketahanan pangan yang lebih bernuansa teknis. Kedaulatan pangan tidak harus menggantikan, namun cukup menjadi pelengkap atau pendukung untuk tercapainya ketahanan pangan yang sejati. .2.2. Hasil Penelitian Yang Telah Dicapai Selama ini, PSEKP belum pernah melakukan kajian dengan topik kedaulatan pangan, namun baru sebatas pada “ketahanan pangan”. Topik “ketahanan pangan” 15
selalu menjadi isu yang dikaji hampir tiap tahun di PSEKP. Kajian tentang ketahanan pangan nasional dalam sudut pandang makro di PSE-KP dimulai pada tahun 1992 di bawah judul “Peneilitian Tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah”. Pada tahun-tahun sebelumnya, kajian terkait ketahanan pangan lebih bersifat parsial terutama pada kinerja konsumsi di daerah pedesaan (1985), permintaan pangan dan pola konsumsi (1987) dan juga pola konsumsi dan profil rumah tangga dengan konsumsi energi di bawah standar (1988, 1989, 1990) bekerjasama dengan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan. Seiring dengan dinamika lingkungan strategis baik di tataran domestik maupun internasional, kajian tentang ketahanan pangan pada tahun-tahun berikutnya (terutama tahun 2000-an) lebih banyak dikaitkan dengan
antisipasi
maupun
adaptasi
terhadap
sejumlah
isu
strategis
seperti
perdagangan global, otonomi daerah, krisis pangan, ekonomi dan finansial dan isu lainnya. Pada hakekatnya, penelitian tentang pangan di PSE-KP berkait erat dengan beberapa topik khusus di antaranya adalah ragam dan nilai konsumsi pangan, ketahanan pangan, dan kerawanan pangan. Persoalan pangan juga dikaitkan dengan kemiskinan,
perdagangan,
dan
bagaimana
kebijakan
pemerintah
dalam
penanganannya. Dalam konteks yang terakhir ini, dinamika peran Bulog begitu penting sebagai salah satu pelaku dan instrumen pemerintah dalam mengendalikan harga dan stok pangan pokok nasional. Penelitian awal tentang pangan dijalankan oleh Hermanto et al. (1985) dengan judul “Pola Konsumsi di Daerah Pedesaan Jawa Timur” yang merupakan bagian dari penelitian PATANAS. Selanjutnya Hadi et al. (1987) melakukan kajian dengan judul “Prospek Permintaan Pangan dan Pola Konsumsi Rumah Tangga di Pedesaan Jawa Barat”. Walaupun tujuan penelitian ini masih
seputar pola konsumsi dan
menghitung elastistas beberapa komoditas pangan utama, namun sudah berusaha mengidentifikasi faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap konsumsi tersebut. Lebih lanjut, tiga tahun berturut-turut , yaitu tahun 1988, 1989, dan 1990;
16
dilakukan kerjasama penelitian dengan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan. Penelitian lebih makro dilakukan Pakpahan et al. (1992) yang mengkaji tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah di Jawa Tengah (Sragen dan Cilacap) dan NTB (Lombok Tengah). Kajian ini dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan, data dan informasi tentang ketahanan masyarakat berpendapatan rendah dan berbagai lembaga yang berperan dalam pemenuhan pangan. Dilihat dari sumber perolehannya, konsumsi pangan rumah tangga contoh sebagian besar diperoleh dari dibeli (60-80%). Hal ini karena pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, pemilikan aset produktifnya (lahan) terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak dapat dipenuhi dari hasil pertanian rumah tangga. Masyarakat berpendapatan rendah yang diamati ternyata tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan pangan sepanjang tahun. Usaha yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan meningkatkan penggunaan tenaga kerja, meminjam, menjual, menggadaikan harta kekayaan, dan mencari barang di alam bebas. Selanjutnya Saliem et al. (2001) melakukan kajian dengan judul “Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional”. Kajian ini berangkat dari hipotesis bahwa persediaan pangan yang cukup secara nasional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga atau individu. Hasil kajian menunjukkan bahwa walaupun di tingkat regional status ketahanan pangan wilayah (propinsi) tergolong tahan pangan, namun di masing-masing propinsi yang dianalisis (Kalbar, Lampung, D.I.Y, dan Sulut) masih ditemukan rumah tangga tergolong rawan pangan yang cukup besar yaitu 21-33 persen dari total rumah tangga. Aspek distribusi dan akses (ekonomi) rumah tangga terhadap pangan menjadi faktor kunci di tingkat rumah tangga. Pendapatan rumah tangga untuk bisa akses secara ekonomi terhadap pangan merupakan faktor dominan penentu ketahanan pangan rumah tangga. Aspek manajemen ketahanan pangan dianggap cukup penting terutama dengan terjadinya perubahan status tata kelola pemerintahan yang sudah dilimpahkan ke 17
daerah melalui Otda
dan berubahnya status Bulog menjadi Perum. Untuk melihat
dinamika terebut, Saliem et al. (2004) melakukan kajian dengan judul” Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog”. Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis kebijakan pengelolaan ketahanan pangan (khususnya beras) dikaitkan dengan era otonomi daerah dan perubahan lembaga penyangga pangan nasional dari Bulog menjadi Perum Bulog. Sementara aspek kajian meliputi instrumen kebijakan stabilisasi harga, kinerja pengelolaan cadangan pangan, alternatif program untuk kondisi darurat pangan, serta sejauh mana koordinasi antar instansi pusat-daerah dalam pengelolaan cadangan pangan dan kajian
model peranan
pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan stok beras. Hasil kajian menunjukkan bahwa Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) sebagai instrumen pokok kebijakan stabilisasi harga masih efektif dalam menopang stabilisasi harga jual gabah produsen, walaupun efektifitasnya menurun dengan melemahhnya kontrol pemerintah terhadap pasar beras. Namun denikian, dalam perspektif peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, kebijakan HDPP tersebut tidak efektif dengan argumen: (1) ada tekanan faktor eksternal penurunan harga beras dunia, (2) depresiasi rupiah, dan (3) infrastruktur produksi dan pemasaran yang kurang memadai yang mengakibatkan disparitas harga sehingga margin yang diterima petani relatif rendah. Tradisi masyarakat petani melakukan cadangan pangan secara kolektif dalam bentuk lumbung pangan cenderung melemah. Sementara koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan cadangan pangan masih sangat terbatas, karena hanya berupa penyaluran stok beras untuk keadaan darurat. Belum ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan cadangan pangan, baik ditinjau dari jenis bahan pangan maupun jenis stok berasnya. Untuk itu, disarankan pemerintah pusat tetap mengelola cadangan beras, sedangkan pemerintah daerah mengelola cadangan pangan non beras yang disesuaikan dengan makanan pokok masyarakat setempat. Program Raskin dengan beberapa penyempurnaan masih valid
18
untuk dijadikan salah satu instrumen penting dalam mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, utamanya dalam penanganan kelompok rawan pangan kronis maupun akut. Kajian ketahanan pangan dari aspek yang agak berbeda dilakukan Saliem et al. (2005), melakukan penelitian tentang “Analisis Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan”. Kajian ini melihat pada tingkat makro terkait perubahan diversifikasi usaha dan struktur perekonomian wilayah. Telah terjadi perubahan struktur pendapatan rumah tangga yang cukup bervariasi tidak hanya menurut lokasi (desa-kota), tetapi juga menurut kelas pendapatan, sumber mata pencaharian utama KK maupun agrosistem wilayah. Di semua kelompok pendapatan terlihat bahwa indeks diversifikai pendapatan di desa lebih tinggi dibandingkan kota. Dukungan inovasi teknologi terhadap ketahanan pangan menjadi salah satu kajian Kustiari et al. (2010) dengan judul ”Akselerasi Sistem Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil dan Alsintan dalam Mendukung Ketahanan Pangan”. Dari kajian ini ada beberapa temuan yang perlu mendapat perhatian seluruh stakeholder, diantaranya: (1) Selain introduksi teknologi inovasi pengolahan hasil dan Alsintan masih rendah, bantuan yang diberikan pemerintah sering tidak digunakan. Kendalanya bersifat teknis, yakni belum terampil mengoperasikan dan tidak sesuai dengan kondisi setempat, serta bantuan yang bersifat parsial. (2) Kendala dalam proses akselerasi inovasi teknologi pengolahan hasil dan Alsintan adalah keterbatasan bahan baku, keterbatasan teknologi dan alsintan, ketersediaan modal dan pemasaran. Akibatnya, keuntungan dari kegiatan pengolahan hasil rendah. (3) Untuk mengakselerasi inovasi teknologi pengolahan hasil disarankan kepada pemerintah melalui instansi terkait untuk memperkuat struktur permodalan dan akses industri pengolah hasil pertanian di perdesaan terhadap sumber modal, meningkatkan penguasaan teknologi di tingkat rumah tangga atau industri kecil, dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang terlibat dalam industri pengolah hasil pertanian agar dapat menjadi pengrajin produk pertanian yang tangguh.
19
Penelitian Ariani et al. (2006) tentang “Analisis Wilayah Rawan Pangan dan Gizi serta Alternatif Penanggulangannya”, melakukan pengelompokkan 100 Kabupaten Rawan Pangan dan Gizi
Kronis. Temuan penelitian ini cukup penting, dimana
disebutkan bahwa pengelompokan kabupaten rawan pangan dan gizi kronis dalam kuintil berdasarkan 10 indikator tidak menunjukkan pola sebaran nilai yang unik (khas). Indikator yang digunakan untuk memetakan rawan pangan dan rawan gizi kronis yang dilakukan oleh Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Program masih mengandung kelemahan yang perlu disempurnakan. BAB III. METODE PENELITIAN .3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini akan mempelajari kondisi dan status kedaulatan pangan di Indonesia, baik pada level nasional maupun di level lokal dan komunitas. Hal ini penting dilakukan karena kadaulatan pangan merupakan strategi baru di Indonesia yang baru saja dicantumkan dalam UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Saat ini, secara faktual kedaulatan pangan itu sendiri telah berjalan, sehingga dapat diukur kondisi dan statusnya bagaimanapun levelnya. Namun permasalahannya, bagaimana indikator yang sesuai untuk Indonesia belum dirumuskan. Indonesia perlu merumuskan sendiri indikator kedaulatan pangannya karena selain secara sosial budaya Indonesia memiliki ciri yang khas, ragam pangan yang dimiliki dan dikembangkan juga berbeda. Pada level lokal dan komunitas, kedaulatan pangan berada pada aras petani dan organisasinya. Organisasi (organization) adalah kelompok sosial yg sengaja dibentuk oleh sekelompok orang, memiliki anggota yang jelas, dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu, dan memiliki aturan yang dinyatakan tegas (biasanya tertulis). Organisasi adalah aktor sosial dalam masyarakat sebagaimana individu. Contoh organisasi petani adalah koperasi, kelompok tani, Gabungan kelompok tani, dan kelompok wanita tani.
20
Sementara, keorganisasian (organizational) = hal-hal berkenaan dengan organisasi misalnya perihal kepemimpinan dalam organisasi, keanggotaan, manajemen, keuangan organisasi, kapasitas organisasi, serta relasi dengan organisasi lain. Petani menjalankan usaha dan hidupnya, termasuk dalam menjaga kedaulatan pangannya, dengan membangun dan menjaga relasi (social relation) secara relatif tetap dan berpola dengan berbagai pihak di seputar dirinya, yaitu dengan para pedagang penyedia benih dan pupuk, dengan buruh tani, dengan penyedia jasa alat dan mesin pertanian, dengan pedagang pengumpul hasil pertanian, dan lain-lain termasuk dengan aparat pemerintah. Konsep yang relatif sejalan sebagaimana dalam beberapa literatur misalnya adalah managed their live, day by day organization, aggregation of individual
activities, larger social organization, interlocking social structure, aggregate of behaviors, atau institutional arrangements. Pemaknaan oleh Lawrence et al. (2009) juga bisa diacu, yaitu: “ … the ways in wich individuals, groups, and organizations work
to create, maintain, and disrupt the institutions that structure their lives”.. Petani mengorganisasikan dirinya baik dengan terlibat dalam organisasi maupun tidak. Petani memiliki kuasa dan mampu memutuskan dengan siapa ia menjalin interaksi untuk menjalankan usaha pertaniannya. Fokus utama adalah berbagai organisasi formal dan nonformal petani yang sudah berjalan dan terlibat dalam menjaga kedaulatan pangan komunitas. Selain organisasi, juga eksis relasi berpola yang membentuk kelompok (group) atau jaringan yang dibangun oleh petani sebagai wadah untuk menjalankan usahanya. Pendekatan yang digunakan
adalah
pendekatan
penelitian
kualitatif.
Justifikasi
kenapa
memilih
pendekatan ini misalnya dapat diperoleh dari makna penelitian etnografi menurut Creswell (2007), yaitu ” … describe how a cultural group works and to explore the
beliefs, language, behaviours, and issues such as power, resistance, and dominance”. Dalam konteks sebagai studi kebijakan, studi ini mempelajari bagaimana berbagai kebijakan terkait mempengaruhi status kedaulatan pangan petani. Pendekatan analisis kebijakan disini bersifat retrospektif, yakni mempelajari konsep dan teori yang 21
diterapkan, dihadapkan dengan aplikasi dan masalah di lapangan. Dari sisi level, studi ini merupakan analisis kebijakan di level mikro, yang memperhatikan apa masalah dan solusi yang dipilih individu sesuai persepsi mereka dalam konteks teknis-ekonomis yaitu pada ukuran keefektifan dan keefisienan dalam mengelola kedaulatan pangan mereka. .3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Kegiatan penelitian mulai dari perencanaan dan persiapan, penggalian data lapang, serta analisis dan penulisan laporan. Data pokok yang telah dikumpulkan selama pelaksanaan terkait dengan kebijakan pemerintah dalam upaya mencapai kedaulatan pangan serta tingkat kedaulatan pangan petani pada level lokal dan komuitas. Khusus untuk lingkungan kelembagaan, informasi yang digali mencakup aspek normatif, regulatif, dan kultural kognitif yang terbangun pada diri petani berkenaan dengan pemenuhan kedaulatan pangan mereka. Sumber informasi untuk seluruh informasi di atas berasal dari berbagai kalangan. Dari kalangan pemerintah, mencakup pimpinan dan aparat pemerintah kabupaten sampai dengan petugas lapang, terutama kalangan penyuluh pertanian yang paling banyak terlibat di desa sehari-hari. Nara sumber utama adalah petani baik sebagai individu maupun pengurus organisasi, tokoh petani, Kontak Tani, petani berlahan luas, petani berlahan sempit, buruh tani, dan wanita tani. Selain itu, juga dilakukan wawancara terhadap kalangan swasta, pedagang sarana produksi, pedagang hasil-hasil pertanian, serta aparat desa dan tokoh masyarakat. Penggalian informasi menggunakan pendekatan traingulasi, yakni menggunakan metode wawancara, baik wawancara individual maupun kelompok; serta studi dokumen dan observasi visual. .3.3. Lokasi dan Sampel Penelitian Penelitian akan menggali kondisi kedaulatan pangan Indonesia secara nasional, serta pada level lokal dan komunitas. Pemilihan lokasi didasarkan atas keragaman basis pangan dan level kedaulatan pangan yang sudah eksis selama ini. Keberadaan
22
komunitas-komunitas lokal yang telah mengelola kedaulatan pangannya merupakan bahan kajian menarik untuk menyusun rumusan kebijakan kelembagaan petani ke depan. Pemerintah
mesti mendorong dan memperkuat keberadaan komunitas-
komunitas tersebut, sebagai bagian penting dalam kedaulatan pangan nasional. Sesuai dengan keragaman basis komoditas serta agroekosistem, penelitian dilakukan di propinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. .3.4. Data dan Analisis Data Data penelitian utamanya berupa data primer kualitatif yang diperoleh secara langsung melalui wawancara langsung ke sumber informasi dan pelaku yang terlibat. Selain itu juga dilakukan penggalian informasi dan persepsi dari berbagai informan kunci
di
pemerintahan,
pihak
pemberdaya,
serta
pemimpin
lokal.
Penelitian
menggunakan beberapa metode pengumpulan data secara sekaligus, baik wawancara, observasi visual, maupun studi dokumen. Kehadiran peneliti dilakukan secara terbuka, dengan penjelasan yang terbuka, sehingga narasumber dapat memahami maksud penelitian dan membantu dengan memberikan penjelasan yang dalam. Analisis informasi menggunakan pendekatan kualitatif, dengan fokus pada bagaimana kebijakan atau program kedaulatan pangan nasional telah berjalan dan bagaimana pula semestinya ke depan. Selain itu, juga dipelajari bagaimana petani dan anggota komunitas lokal memahami, dan bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi individu yang berada dalam kondisi kulturalnya yang sepesifik dalam kehidupannya sehari-hari (how it plays out for individuals in specific cultural contexts living complex
daily lives). Selain itu juga dipelajari bagaimana petani mempersepsikan persoalan dirinya dalam konteks kedaulatan pangan. Metode ini dimungkinkan karena analisis kebijakan dapat mengadopsi berbagai metode penelitian dalam pelaksanaannya (Dunn, 2000). Peneliti terlibat dan berpartisipasi dalam topik yang dipelajari, memperhatikan konteks sosial dari data, dan sensitif pada bagaimana subjek direpresentasikan dalam laporan (research text). Pada hakekatnya, peneliti mempelajari bagaimana subjek melihat dunia mereka, dan lalu mengkonstruksi dunianya tersebut. 23
BAB IV. ANALISIS RESIKO Kegiatan pelaksanaan penelitian ini diperkirakan akan mengalami beberapa hambatan yang menjadi resiko. Beberapa risiko yang diduga dihadapi dalam penelitian ini dan beberapa cara penanganan risikonya disampaikan pada tabel berikut. Upaya penanganan terhadap risiko ini diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan melakukan komunikasi yang intensif dengan pihak-pihak terkait. Tabel 2. Daftar Risiko yang mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan Jenis Penyebab Risiko Anggaran belum Kegiatan penelitian tidak tersedia pada waktu direncanakan ke optimal lapangan. Peneliti yang merangkap di beberapa kegiatan penelitian.
Dampak
Penanganan
survey Ketersediaan anggaran waktu menjadi pada merencanakan ke lapangan Peneliti terbagi Pendistribusian tenaga waktu dan peneliti dengan baik, konsentrasinya sehingga tidak terjadi sehingga kurang kelebihan beban pada fokus dengan beberapa peneliti saja kegiatan penelitian ini Kelebihan beban Target pengolahan Merekrut tenaga kerja di bagian entry data tidak sesuai pengolah data data dan jadual sehingga pengolahan data mempengaruhi penyelesaian laporan penelitian. Jadwal lapang mundur.
BAB V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN 5.1. Tenaga Yang Terlibat Dalam Penelitian Penelitian akan dilaksanakan oleh unit keja di bawah Badan Litbang Pertanian, khususnya oleh
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP). Susunan
tenaga SDM penelitian selengkapnya adalah sebagai berikut.
24
Tabel 3. Susunan Tim Pelaksana Penelitian
o.
Nama
Gol.
Dr. Syahyuti
IV a
Jabatan Instansi Fungsional/Bidang Keahlian Peneliti Madya PSE-KP
Kedudukan Dalam Tim Ketua merangkap anggota anggota anggota anggota anggota
.5.2. Jangka waktu kegiatan Penelitian akan diselesaikan dalam waktu 12 bulan yang meliputi pengumpulan data, analisis dan penulisan laporan.
kegiatan
Kegiatan penelitian ini akan
dilaksanakan berdasarkan tahun kalender dari Januari sampai dengan Desember tahun 2015 dengan rincian jadwal sebagai berikut: Tabel 4. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Jenis Kegiatan Pembuatan proposal Seminar proposal Perbaikan proposal Studi literatur Penyusunan kuesioner Pra survai dan pretest kuesioner Survai utama Pengolahan dan analisis data Penulisan laporan kemajuan Penulisan draft laporan akhir Seminar hasil penelitian Perbaikan laporan akhir Penggandaan laporan akhir
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
25
DAFTAR PUSTAKA Ariani, Mewa et al. 2000. Analisis Kebijakan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah di Pedesaan. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Ariani, Mewa. et al. 2006. Analisis Wilayah Rawan Pangan dan Rawan Gizi Kronis serta Alternatif Penanggulangannya: Pengelompokkan 100 Kabupaten Rawan Pangan dan Gizi Kronis (Riau, Jawa Timur, dan Papua). Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Arifin, Bustanul. 2009. Ketahanan Pangan ASEAN, Peran Negara dan atau Swasta?. Diskusi Mingguan Divisi R and D Perum BULOG di Jakarta. Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi Ekonomi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Cetakan I, Januari 2010. Bourgeois, Robin, Franck Jesus, Marc Roesch, Nena Soeprapto, Andi Renggana, Anne Gouyon. 2003. Indonesia: Empowering Rural Producers Organization. Rural Development and Natural Resources East Asia and Pacific Region (EASRD). Delforge, Isabelle. 2003.
Dusta Industri Pangan: Penelusuran Jejak Monsanto.
Terjemahan Sonya Sondakh. REaD Book, Yogyakarta Juni 2003. Buku asli: Nourrir le Monde ou L'agrobusiness - Enquête sur Monsanto. Les Magasins du mondeOXFAM, OXFAM Solidaritè, ORCADES, Dèclaration de Berne. Erwidodo et al. 1996. Telaahan Trend Konsumsi Beras di Indonesia. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Erwidodo et al.1998. Perubahan Pola Konsumsi Sumber Protein Hewani di Indonesia: Analisis Data SUSENAS. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
26
FAO. 2003. Trade Reforms and Food Security: Conceptualising the Linkages, Rome: FAO.
http://www.fao.org/DOCREP/005/Y4671E/Y4671E00.HTM
[accessed
12/07/2006] FAO.
2009.
Private
Sector
Statement
to
World
Summit
on
Food
Security.
http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/newsroom/docs/milanstatement.pdf FAO. 1983. “World Food Security: a Reappraisal of the Concepts and Approaches”. Director General’s Report. Rome. Ferroni, Marco. 2009. “World Food Security: Can private sector R&D feed the poor? PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIPS IN R&D CAN BENEFIT POOR. 27. October 2009. http://www.syngentafoundation.org/index.cfm? pageid=134&newsid=100 Grant, W. 2003. The Politics of Agricultural Trade, in Cardwell, M. N., Grossman, M. R. and Rodgers, C. P. (eds.) Agriculture and International Trade: Law, Policy and the
WTO, Wallingford, Oxon: CABI Publishing. Hellin, Jon; Mark Lundy; and Madelon Meijer. 2007. Farmer Organization, Collective Action and Market Access in Meso-America. Capri Working Paper No. 67 • October 2007. Research Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5, 2006 - Cali, Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington. Hermanto et.al. 1986. Pola Konsumsi di Daerah Pedesaan Jawa Timur. Laporan Penelitian PSEKP, Badan Litbang Pertanian. IFPRI. Private Sector in Agricultural R and D. http://www.ifpri.org/publication/ privatesector-agricultural-rd IPC (International Planning Committee). 2006. International Planning Committee for Food
Sovereignty.
2006.
IPC
Focal
Points,
http://www.foodsovereignty.org/new/focalpoints.php [accessed 23/07/2006] 27
IUF. 2002. The WTO and the World Food System: a Trade Union Approach, Geneva: International Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco and Allied
Workers’
Associations.
http://www.iuf.org/cgibin/dbman/db.cgi?db=default&uid=default&ID=307&view_r ecords= 1&ww=1&en=1 [accessed 23/06/2006] Jamal, Erizal. et al. 2006. Analisis Kebijakan Penentuan Harga Pembelian Gabah. Laporan Penelitian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jerbi, Scott.. 2009. Institute for Human Rights and Business. “Food Security and the Private
Sector:
Thinking
about
human
rights?”
16
Oktober
2009.
http://www.institutehrb.org/blogs/staff/food_security_and_the_private_sector.html KPA. Pernyataan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA): “Bahaya, Bila Swasta Diberi Kebebasan Ekspor Dan Impor Beras”. Lee, Richard. 2007. Food Security and Food Sovereignty. Centre for Rural Economy Discussion
Paper
Series
No.
11.
March
2007.
http://www.ncl.ac.uk/cre/publish/discussionpapers/pdfs/dp11%20Lee.pdf Maxwell, S. and Smith, M. 1992. “Household food security; a conceptual review”. Dalam: S. maxwell and TR Frankenberger, eds. “Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements: A Technical Review”. New York and Rome: UNICEF and IFAD, (Dalam: FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO hal 25) Qureshi
,
M.
Ismail.
“Changing
Role
of
Government
in
Agriculrure”.
http://www.pakissan.com/english/agri.overview/changing.role.of.government.in.ag riculture.shtml
28
Pakpahan, Agus. et al. 1992. Penelitian tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Rusastra, IW. et al. 2009. Kebijakan Mengatasi Dampak Krisis Pangan-Energi-Finansial terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskinan (SINTA). Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Rachmat, Muchjiidin. et al. 2010. Kajian Sistem Kelembagaan Cadangan Pangan Masyarakat Pedesaan Untuk Mengurangi 25 Persen
Resiko Kerawanan Pangan
(SINTA). Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Saliem, Handewi et al. 2004. Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Laporan Penelitian pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Saliem, Handewi P. et al. 2003. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Ketahanan Pangan Nasional. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Saliem, Handewi P. et al. 2004. Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Saliem, Handewi P. et al.2005. Analisis Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Saliem, Handewi P. et al.2010. Kajian Keterkaitan Produksi, Perdagangan dan Konsumsi Ubi Jalar Untuk Meningkatkan 30 Persen Partisipasi Konsumsi Mendukung Program 29
Keanekaragaman Pangan Dan Gizi (SINTA). Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Saptana, Susmono, Suwarto, dan M. Nur. “KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS BERAS DI JAWA BARAT”. Sawit. M. Husen. 2007. Usulan Kebijakan Beras Dari Bank Dunia: Resep Yang Keliru. Jurnal
Ekonomi
Rakyat.
Juli
2007.
Http://Www.Ekonomirakyat.Org/Edisi_23/Artikel_10.Htm Sengupta, Nitish. Revenue Secretary and Plan Panel Member. Biarkan sektor swasta di bidang
pertanian
untuk
mencapai
pertumbuhan
PDB
8,1
pc'.
http://www.thehindubusinessline.com/2005/12/11/stories/2005121100640400.htm United Nations. 2008. The UN Private Sector Forum: The Millennium Development Goals and
Food
Sustainability.
24
September
2008.
UNHQ
New
York.
http://www.unglobalcompact.org/NewsAndEvents/event_archives/2008_UN_Privat e_Sector_Forum/index.html United Nations. 2008. New Guide to Food Sustainability and the Role of the Private Sector. http://www.unglobalcompact.org/NewsAndEvents/news_archives/2008_09_24d.ht ml United Nations. 1975. “Report of the World Food Conference, Rome 5-16 November 1974”. New York (Dalam: FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO. Hal 27). Via Campesina. 2006. The Doha is Dead! Time for Food Sovereignty, La Via Campesina Statement
29
th
July
2006,
URL:
http://www.viacampesina.org/main_en/index.php?option=com_content&task= view&id=196&Itemid=26 [accessed 31/07/2006]. 30
Why
Food
Sovereignty
Is
the
New
Food
Security.
http://www.huffingtonpost.com/salena-tramel/why-food-sovereignty-ist_b_256987.html Pradjogo U. Hadi et al.1987. Prospek Permintaan Pangan dan Pola Konsumsi Rumah Tangga di Pedesaan Jawa Barat. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
31