1
PERUBAHAN MUTU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN SURIMI KERING BEKU IKAN LELE (Clarias sp.)
WAHYU RAMADHAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
2
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013 Wahyu Ramadhan
NIM C351110181
4
5
RINGKASAN WAHYU RAMADHAN. Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINI TRILAKSANI. Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2012 baru mencapai 30.17 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih jauh di bawah Singapura dengan tingkat konsumsi 48.1 kg/kapita/tahun bahkan Malaysia mencapai tingkat konsumsi 56,61 kg/kapita/tahun. Salah satu komoditas perikanan budidaya yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele. Ukuran ikan lele sangat menentukan nilai jualnya, karena ukuran ikan disesuaikan dengan target pasarnya. Ikan lele ukuran konsumsi (8-12 ekor/kg) penjualannya tidak menemui permasalahan karena tingginya permintaan pasar. Permasalahan yang dihadapi adalah pemasaran ikan lele yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi (oversize). Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10% dalam setiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para pembudidaya akibat dari banyaknya lele oversize yang tidak laku dijual. Oleh karena itu salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan ikan lele dalam pembuatan surimi sebagai bahan baku produk intermediate. Penelitian dan kajian tentang surimi telah banyak mengalami perkembangan, namun masalah ketersediaan dan keberlangsungan bahan baku menjadi masalah utama. Lele sebagai komoditas unggulan budidaya di Indonesia diharapkan mampu menjadi bahan baku baru dalam industri surimi. Surimi mengalami peningkatan permintaan di beberapa negara, termasuk di kawasan Asia dan Eropa. Pengolahan lebih lanjut surimi menjadi bentuk tepung merupakan salah satu kajian yang penting dalam beberapa tahun ini. Pengeringan surimi dianggap mampu menekan biaya instalasi pembekuan selama penyimpanan dan transportasi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi dan waktu perendaman garam alkali (NaHCO3) terbaik terhadap penurunan kandungan lemak daging lele, menentukan frekuensi pencucian dan dryoprotectant terbaik dalam pembuatan surimi kering beku ikan lele, menentukan sifat fungsional dan mikrostruktur surimi kering ikan lele serta menentukan umur simpan surimi kering beku dengan jenis kemasan yang berbeda. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai langkah awal pemanfaatan bahan baku lokal dalam hal ini ikan lele oversize sebagai bahan baku produk surimi (intermediate product) dan memberikan teknologi alternatif dalam pembuatan surimi serta meningkatkan potensi industri surimi dengan pemanfaatan jenis-jenis ikan ekonomis rendah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu proses pembuatan surimi kering ikan lele dan tahap pendugaan umur simpan surimi kering (tepung surimi). Penelitian tahap satu terdiri atas proses defatting daging ikan, pemilihan frekuensi pencucian surimi, penentuan jenis dryoprotectant, serta perbandingan sifat fisikokimia surimi basah dan surimi kering. Proses deffating dilakukan untuk menentukan konsentrasi penggunaan sodium bikarbonat dan waktu perendamannya terhadap penurunan kadar lemak daging lele. Konsentrasi dan waktu perendaman terpilih pada tahap defatting digunakan sebagai perlakuan dalam pembuatan surimi pada
6
tahap selanjutnya. Penentuan frekuensi pencucian surimi terbaik dilakukan dengan pengujian derajat putih, daya ikat air (WHC), kekuatan gel, kadar protein larut garam, nilai pH dan nilai sensori (uji lipat dan uji gigit) pada surimi lele. Penentuan dryoprotectant terbaik dengan menggunakan trehalosa 6%, karagenan 2%, dan dryoprotectant campuran, yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5%. Pengujian yang dilakukan untuk mengukur dan menentukan dryoprotectant terbaik adalah analisis rendemen, daya ikat air, kekuatan gel, protein larut garam, densitas, rehidrasi, sifat emulsi dan daya buih. Setelah itu dilakukan perbandingan mikrostruktur daging ikan, surimi basah, surimi kering dan kamaboko yang dihasilkan menggunakan SEM, analisis rendemen, proksimat, daya ikat air, kekuatan gel, pengukuran nilai pH, kekuatan gel serta uji sensori (uji gigit dan uji lipat). Penelitian tahap dua dilakukan pendugaan umur simpan surimi kering menggunakan metode air kritis, dengan model Labuza dalam penentuan kurva ISA surimi kering. Hasil pengamatan pada tahap defatting menunjukkan bahwa perlakuan sodium bikarbonat 0.75% selama 10 menit menjadi faktor terpilih dengan kadar lemak lele 1.52%. Penggunaan sodium bikarbonat terbukti mampu mereduksi konsentrasi lemak 27-78% dari lemak awal. Frekuensi pencucian surimi satu kali merupakan perlakuan terpilih dengan nilai derajat putih 57.21%, daya ikat air 73.28%, protein larut garam 7.17%, pH 6.69, kekuatan gel 482.3 g/cm2, uji lipat 4.84 dan uji gigit 8.26. Trehalosa menunjukkan perlakuan dryoprotectant terpilih karena mampu menjaga sifat fisikokimia surimi selama proses pengeringan. Daya ikat air surimi kering yaitu 8.01 mL/g, kekuatan gel 826.3 g/cm2, protein larut garam 18.98%, densitas kamba 0.12 g/100 mL, kapasitas rehidrasi 3.81, nilai kapasitas emulsi 69.3%, stabilitas emulsi 59.3%, kapasitas daya buih yang paling tinggi adalah 25.33%, dan stabilitas emulsi 9.40%. Hasil analisis SEM menunjukkan penampang mikrostruktur surimi menunjukkan bahwa penambahan trehalosa menunjukkan jaringan yang lebih baik dibandingkan surimi dengan dryoprotectant lainnya. Surimi kering mengalami penurunan kualitas sifat fisik dan kimia terutama pada nilai sensori uji gigit dan uji lipat. Surimi kering menghasilkan surimi kualitas B. Analisis pendugaan umur simpan surimi kering terdiri dari lima tahap yaitu penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan, nilai atribut kemasan dan perhitungan umur simpan dengan menggunakan model Labuza. Kadar air awal surimi kering beku berkisar antara 7-12%. Kadar air kritis merupakan hubungan antara kadar air dan aktivitas air surimi kering. Berdasarkan hasil percobaan diperoleh persamaan y = 4.250x - 4.078 dengan nilai R² = 0,914 dan kadar air kritis produk, dimana x = 0.80 yaitu 0.2098 gH2O/g solid. Kurva ISA kadar air kesetimbangan surimi kering yang dihasilkan cukup halus dan sigmoid. Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering terpilih adalah persamaan Hasley log Me = (log(ln(1/aw))+1.893)/-2.209 dengan nilai MRD 2.31. Berdasarkan persamaan Labuza umur simpan surimi kering adalah selama 6.1 bulan (dengan kemasan OPP), 4.5 bulan (dengan kemasan HDPE) dan 22.6 bulan dengan menggunakan retort pouch pada RH 70%. Kata kunci: lele, mikrostruktur, surimi kering beku, trehalosa, umur simpan.
7
SUMMARY WAHYU RAMADHAN. Quality Changes of Freeze Dried Catfish Surimi and Predicting of Shelf Life. Surpervised by JOKO SANTOSO and WINI TRILAKSANI. Indonesian fish consumption rate in 2012 reached 30.17 kg/capita/year, but still lower than Singapore fish consumption levels of 48.1 kg/capita/year, even Malaysia reached the high level of fish consumption up to 56.61 kg/capita/year. Catfish as surimi raw material has a tremendous opportunity to be developed in order to utilize oversized catfish as an alternative efficiency in trade. Catfish easily cultivated and affordable for the grassroots level. Selling price of catfish is determined by its size, because it was adapted to the target market. Catfish with the normal size (7-10 fishes/kg) did not encounter sales problems due to high market demand. The problem faced is marketing catfish that weighs more than the consumption size (oversize) that accounted for 10% in each production cycle. The aforemention problems can occur lossing for farmers due to the many oversized catfish that will not sold. Therefore one of the proposed solutions is utilization of catfish in the manufacture of surimi as intermediate raw materials. Research and study of surimi has evolved, but the major problems are the sustainability and continuity of raw materials. Catfish as a aquaculture commodity is expected to be the solution. Surimi products have increased demand in several countries, including in Asia and Europe region. Further processing of surimi into powder form to be one of the important studies in recent years, surimi drying installations are considered to reduce the cost of freezing during storing and transporting. This study aims to determine the best concentration of NaHCO3 duration of soaking, surimi washing frequency and the best dryoprotectant, to evaluate quality changes of dried surimi and to estimate its shelf life. This research is expected to be useful as an initial step oversized catfish used as raw material for surimi products (intermediate product). This study provides an alternative technology in the manufacture of surimi and surimi industry to increase the potential raw material through using inexpensive types of fish that have not been used optimally. This study is conducted into two step mainly the process on making dried catfish surimi and surimi shelf life estimation. The first step research consisted of defatting process, selecting of surimi washing frequency, determination of dryoprotectant, as well as the comparison of the physicochemical properties of wet surimi and dried surimi. Lipid concentration is a key in the process of deffating, the best determination washing frequency is measured through whiteness value, WHC, gel strength, salt soluble protein content, pH value and sensory parameters (folding test and teeth cutting test) analysis. The second step is determination of the best dryoprotectant, the treatments given are trehalose 6%, carrageenan 2%, and mixture dryoprotectant (4% sorbitol, 4% sucrose and 0.5% phosphate). Some test were performed in order to measure and to find out the best dryoprotectant such as yield, water holding capacity, gel strength, salt soluble proteins, density, rehydration ratio, emulsion and foaming properties and the microstructure. The final step were comparison of fish meat,
8
wet surimi, dried surimi and kamaboko through measuring of SEM (microstruture) testing, yield, proximate, water holding capacity, gel strength, measurement of pH, gel strength and sensory testing (folding test and teeth cutting test). In the last part of the study is to estimate the self life of dried surimi using critical water methode with the Labuza model in determining of dried surimi moisture sorption isotherm (MSI) curve. The result in defatting step shows that soaking in NaHCO 3 0.75% for 10 minutes was selected treatment, contained fat of 1.52%. One washing cycle surimi was the best treatment, with the whiteness valuev of 57.21%, water holding capacity of 73.28%, salts soluble protein of 7.17%, pH of 6.69, the gel strength of 482.3 g/cm2, and 4.84 in folding test and 8.26 in cutting test. Determination of best dryoprotectant shows trehalose was chosen treatment for being able to maintain the physicochemical properties of surimi during the drying process. Dried surimi had characteristic of water holding capacity 8.01 mL/g, gel strength 826.3 g/cm2, salt soluble protein 18.98%, density 12.12 g/100 mL, rehydration ration 3.81, emulsion capacity 69.3%, emulsion stability 59.3%, foaming capacity 25.33%, and 9.40% for foaming stability. Microstructure of surimi added by trehalose showed compact tissue than surimi with other dryoprotectant and the tissue consisted no damaged and cloted properly. Dried surimi has deteriorated physical and chemical properties, especially the teeth cutting test and folding test value. Estimation of shelf life of dried surimi, consists of several steps. Initial moisture content of surimi powder ranged from 7-12%. Determined the critical moisture content of the linearity between moiture content and water activity of surimi powder, from the experiment equation y = 4.250x - 4.078 with a value of R² = 0.914 and critical moisture content of the product, with x = 0.80 was equal to 0.2098 gH2O/g solid. Moisture sorption isotherm models of surimi powder produced quite smooth and sigmoid curve. The choosen model was Me = log (log (ln (1/aw)) + 1.893) /-2.209 (Hasley Formula) with a value of MRD 2.31. Shelf life estimation of surimi powder at 70% RH with oriented poly prophlene (OPP), high density polyethylene (HDPE), and retort pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40) packaging were 6.1 months, 4.5 months and 22.6 months, respectively. Keyword: catfish, freeze dried surimi, microstructure, shelf life, trehalose.
9
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
10
11
PERUBAHAN MUTU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN SURIMI KERING BEKU IKAN LELE (Clarias sp.)
WAHYU RAMADHAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
12
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Eng. Uju, S.Pi, M.Si
13
Judul tesis Nama NIM
: Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.) : Wahyu Ramadhan : C351110181
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua
Dr Ir Wini Trilaksani, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 23 September 2013
Tanggal Lulus :
14
15
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini mengangkat tema dengan judul Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.). Tesis ini merupakan salah satu syarat mendapatkan gelar magister di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima kasih yang setulusnya kepada: 1. Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu dalam membimbing penulis dan banyak memberikan nasihat untuk lebih bijak dalam kehidupan. 2. Dr Ir Wini Trilaksani, MSc sebagai anggota komisi pembimbing atas kesedian waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini. Bimbingan dan nasihat Ibu akan menjadi panutan dalam menjalani hidup. 3. Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi, selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan tesis. 4. Dr.Eng Uju, SPi, MSi sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan dalam penyelesaian tesis ini. 5. Bapak dan Ibu staf pengajar, staf administrasi dan laboran Program Studi Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB yang telah banyak membantu dan kerjasamanya yang baik selama penulis menempuh studi. 6. Dr Nurul Huda (Universitas Sains Malaysia) yang telah banyak memberikan arahan teknis selama proses pembuatan surimi kering. 7. Ibu Rubiyah yang telah banyak meluangkan waktu membantu penulis di Laboratorium hingga di akhir masa pensiun, semoga semua kebaikan Ibu dibalas dengan yang lebih baik. 8. Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa Unggulan DIKTI selama penulis menempuh pendidikan magister serta Kementerian Keuangan atas Beasiswa Penelitian yang diberikan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). 9. Ayahanda Ir Tjandra Buana, MSi dan Ibu Ir Hermin Puspa Rahayu yang telah mengasuh, memberikan kasih sayang, serta dukungan moril dan material selama penulis menempuh pendidikan di Bogor sejak tahun 2006. 10. Lia Astriani, SPi atas dukungan, semangat, doa dan kasih sayang yang diberikan, serta keluarga besar Bapak Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgrSc yang telah banyak memberikan semangat, kasih sayang dan kehangatan keluarga selama penulis menempuh pendidikan di Bogor. 11. Keluarga di Bogor, Jakarta, Surabaya dan Kendari yang selalu memberikan semangat dan kehangatan keluarga.
16
12. Teman-teman THP 43 dan S2 THP 2010, 2011 dan 2012 atas kerjasama yang baik selama studi. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Bogor, Juli 2013
Wahyu Ramadhan
17
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SURIMI KERING BEKU LELE (Clarias sp.) Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 3 PENDUGAAN UMUR SIMPAN SURIMI KERING BEKU Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 4 PEMBAHASAN UMUM 5 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
xvii xvii 1 1 4 5 5 7 7 8 16 43 44 45 46 52 62 63 65 66 75
DAFTAR TABEL 1 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap nilai L (lightness), a (redness), b (yellowness) dan derajat putih surimi lele 2 Hasil komposisi proksimat, sifat fisik, dan sifat kimia pada surimi kering dan surimi basah ikan lele 3 Beberapa larutan garam jenuh dan nilai RH pada suhu 30 C 4 RH larutan garam jenuh 5 Kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering dan waktu tercapainya pada beberapa RH penyimpanan 6 Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering 7 Parameter penentuan umur simpan surimi kering beku ikan lele pada kemasan dan RH yang berbeda
20 40 49 53 54 57 61
DAFTAR GAMBAR 1 Formulasi pembuatan surimi kering beku ikan lele (tepung surimi) (*Modifikasi, Ohkuma et al. 2008). 2 Pengaruh waktu perendaman dan persentasi NaHCO3 terhadap lemak fillet lele ( 0% NaHCO3, 0.25% NaHCO3, 0.50% NaHCO3, 0.75% NaHCO3, 1% NaHCO3)
10
17
18
3 4 5 6 7 8 9 10 11
12
13
14 15
16
17
18
19
20
21 22 23 24 25 26
Kamaboko dengan frekuensi pencucian surimi yang berbeda 19 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap daya ikat air surimi lele 21 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kandungan miofibril 22 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap pH surimi 23 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel surimi 24 Penerimaan uji lipat pada frekuensi pencucian surimi 25 Penerimaan uji gigit pada frekuensi pencucian surimi 26 Surimi kering beku 27 Kadar air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant ; 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 28 Daya ikat air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 29 Kekuatan gel surimi dengan perbedaan jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 31 Nilai protein larut garam surimi kering : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 32 Densitas surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 34 4. karagenan 2% Kapasitas rehidrasi surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 35 Sifat emulsi surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 36 Daya buih surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 37 Mikrostruktur surimi kering (a. Tanpa penambahan dryoprotectant; b.Penambahan sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5% ; c. Penambahan trehalosa 6%;d. Penambahan karagenan 2 %) (a.Perbesaran 250 kali, b.Perbesaran 1000 kali) 38 Penampang mikrostruktur surimi kering (SK), surimi basah (SB), kamaboko kering (KK), dan kamaboko basah (KB) (Perbesaran 250 kali) 42 Penentuan umur simpan surimi kering beku dengan model air kritis (Arpah 2007) 48 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai aktivitas air (aw). 52 Kurva penentuan kadar air kritis surimi kering berdasarkan aktivitas air 53 Pengkondisian kelembaban penyimpanan surimi kering beku dengan desikator modifikasi kelembaban menggunakan garam jenuh 54 Grafik hubungan aktivitas air dengan kadar air kesetimbangan (ISA) 55 Kurva sorpsi isotermis model Hasley ( ) dan hasil percobaan ( ) untuk surimi powder 57
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi gizi protein masyarakat Indonesia belum merata di setiap daerah baik di pedesaan maupun perkotaan, bahkan belum mencapai angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Kualitas konsumsi pangan masyarakat juga masih rendah yang diindikasikan dengan masih rendahnya kontribusi protein hewani dalam menu makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2009 mencapai 30.17 kg/kapita/tahun, dan naik pada tahun 2010, 2011 dan 2012 berturut-turut meningkat 30.48, 32.25, 33.89 kg/ kapita/tahun. Walaupun sampai tahun 2012 mengalami peningkatan hingga 5.44% namun tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih jauh di bawah Singapura dengan tingkat konsumsi 48.1 kg/kapita/tahun bahkan Malaysia mencapai tingkat konsumsi 56.61 kg/kapita/tahun (KKP 2012). Sumbangan protein ikan terhadap angka kecukupan gizi masyarakat Indonesia baru mencapai 12%, lebih rendah dari Malaysia yang mencapai 18%. Hal ini mernjadi ironi karena kondisi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya adalah lautan mempunyai potensi lestari perikanan laut yang begitu besar. Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan 6.4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 5.12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Disamping itu juga terdapat potensi perikanan lainnya yang berpeluang untuk dikembangkan, yaitu budidaya air tawar, laut dan perairan umum. Pada tahun 2015 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan Indonesia menjadi penghasil produk perikanan terbesar di dunia dan telah ditetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombaknya. Produksi perikanan budidaya akan ditingkatkan menjadi 16.89 juta ton pada tahun 2014 atau naik 353% dibandingkan produksi tahun 2009 yang baru mencapai 4.78 juta ton (KKP 2011). Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan konsumsi ikan melalui program penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya yang bersumber dari ikan. Salah satu komoditas perikanan budidaya yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele. Ikan lele mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau oleh lapisan masyarakat bawah. Perkembangan produksi lele secara nasional mengalami kenaikan 18.3% per tahun dari 24.991 ton pada tahun 1999 menjadi 57.740 ton pada tahun 2003. Tahun 2011 produksi ikan lele yang diproduksi menembus batas 340.674 ton, terjadi peningkatan 39.82% dari tahun 2007-2011 dan pada tahun 2010-2011 meningkat hingga 40.30% (KKP 2011). Hal ini mengindikasikan tingginya minat dan konsumsi ikan lele. Ukuran ikan lele sangat menentukan nilai jualnya, karena ukuran ikan disesuaikan dengan target pasarnya, misalnya pasar retail (supermarket), restoran, dan industri olahan (processing), serta untuk pasar negara-negara tertentu misalnya Taiwan, Singapura, Hongkong, Jepang, Belanda, Perancis, Italia, Spanyol, USA, Turki, Uni Emirat Arab dan Afrika Selatan. Ikan lele ukuran konsumsi (8-12 ekor/kg) penjualannya tidak menemui permasalahan
2
karena tingginya permintaan pasar, namun kendala pemasaran ada pada ikan lele yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi (oversize). Ikan lele oversize memiliki ukuran lima ekor per kilogram atau bahkan mencapai 1-2 ekor per kilogram. Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10% dalam setiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para pembudidaya akibat dari banyaknya lele oversize yang tidak laku dijual (Trobos 2008). Pemanfaatan ikan lele oversize masih kurang, hal ini disebabkan preferensi masyarakat yang sangat rendah terhadap ikan lele oversize, bau lumpur yang disebabkan oleh kandungan geosmin dan ukurannya yang besar. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya diversifikasi untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan lele yang berukuran besar. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan ikan lele dalam pembuatan surimi sebagai intermediate product. Park dan Lin (2005) menjelaskan bahwa surimi merupakan protein miofibril hasil dari pemisahan tulang secara mekanis kemudian mendapat perlakuan pencucian dengan air dingin dan ditambahkan cryoprotectant sebagai penstabil. Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Salah satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah menjadi bermacam-macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran (Lanier 1992). Bahan baku surimi diawali dengan penggunaan ikan-ikan berdaging putih dari perairan dingin misalnya Alaska pollock (pada tahun 2000 mensuplai 50% kebutuhan surimi di dunia), Pacific whiting (1990-2003), arrowtooth flounder (1998-2001), southern blue whiting dan hoki (1988-1998), northern blue whiting (1990-2003) dan jenis-jenis lain dari perairan Amerika Selatan. Dekade ini ikanikan tropis mulai dilirik misalnya threadfin bream (Nemipterus spp.), lizardfish (Saurida spp.), bigeye snapper (Priacanthus spp.), croaker (Sciaenidae) dan spesies lainnya. Alaska pollock diketahui sebagai bahan baku surimi dengan grade premium dan telah diproduksi sampai 250.000 ton selama 1998-2003. Walaupun pada tahun 1990-an produksi surimi stabil dan pada tahun 2000 dan 2003 meningkat hingga 2-3%, namun ikan-ikan komersial sebagai bahan baku surimi misalnya atka mackerel dan Alaska pollock mengalami penurunan secara nyata. Saat ini tercatat bahwa terjadi penurunan kurang lebih 50% dari populasi Alaska pollock dan sedang dalam kondisi yang sangat kritis untuk diselamatkan (Greenpeace 2008). Tahun 2010 produksi Alaska pollock kembali mengalami penurunan drastis (Poowakanjana et al. 2013), sehingga perlu dilakukan kajian mengenai pecarian bahan baku yang murah dan mudah diperoleh sebagai bahan baku surimi (Park dan Lin 2005). Pemanfaatan ikan-ikan alternatif lain sebagai bahan baku surimi harus dikembangkan. Ikan-ikan budidaya serta ikan pelagis misalnya sardin, tilapia, rainbow trout, grass crap saat ini menjadi fokus utama dalam pengembangan industri surimi, dikarenakan ikan-ikan tersebut mudah ditangkap atau dibudidayakan dan murah (Luo et al. 2001, Nopianti et al. 2011). Lele sebagai salah satu komoditas unggulan budidaya Indonesia diharapkan mampu menjadi salah satu sumber alternatif bahan baku surimi. Kandungan protein lele menjadi kunci utama dalam pengembangan lele sebagai bahan baku surimi dan olahannya,
3
karena kualitas akhir surimi sangat ditentukan oleh kandungan dan kualitas protein ikan. Negbenebor et al. (1999) menyatakan bahwa kandungan protein catfish adalah 9.8-11.9%. Penelusuran paten surimi menunjukkan pengembangan surimi catfish diawali oleh Miyakama et al. (1992) dengan nomor paten 5141766 (USA Patent), dalam patennya dinyatakan bahwa surimi catfish memiliki keunggulan pada kekuatan gel dan derajat putih yang lebih baik dibandingkan dengan surimi berbahan baku ikan walleye pollack, selain itu diungkapkan juga bahwa catfish memiliki komponen heat-stable protein lebih baik dibandingkan dengan walleye pollack. Catfish memiliki kandungan miofibril yang baik, terutama kandungan miosin yang tinggi (Kim et al. 2006; Raghavan dan Kritinsson 2008). Chomnawang et al. (2007) menyatakan bahwa catfish mengandung protein 17.2518.68% dengan komposisi miofibril 45.14 mg/g. Kandungan protein yang tinggi terutama kandungan miofibril menjadikan ikan lele sebagai komoditas yang memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi surimi. Pengolahan surimi berbahan baku ikan lele telah banyak dikaji, namun sebagai upaya optimasi pemanfaatan surimi diperlukan sediaan pangan lain yang lebih praktis dan mudah digunakan salah satunya adalah dalam bentuk tepung surimi. Kajian mengenai tepung surimi dari ikan air tawar masih sangat jarang dilakukan. Lanier dan Lee (1992) pertama kali melakukan kajian terhadap proses pembuatan surimi kering beku (tepung surimi) menggunakan spray drying dan freeze drying menjadi bubuk surimi. Perkembangan penelitian tepung surimi terus berlanjut. Penelitian tentang surimi kering beku atau tepung surimi dimulai oleh Lanier dan Lee (1992), mengkaji sifat fungsional dan nilai gizi surimi ikan Allaska pollock. Ikan lain yang telah dikaji sebagai bahan baku tepung surimi adalah capelin (Mallotus villosus), dan thread bream (Nemipterus sp.) (Venugopal et al. 1994, 1996), tilapia (Oreochromis nilotica) dan fat sleeper (Dormitator moculatus) (Ramirez et al. 1999), lizardfish (Saurida tumbil.) (Huda et al. 2000), pacific whiting (Merluccius productus), thread bream (Nemipterus sp.), purple-spotted bigeye (Priacanthus tayenus) dan lizardfish (Saurida tumbil) (Huda et al. 2001), marlin (Makaira sp.) (Pratiwiningsih 2004), carp (Cyprinus carpio) (Ohkuma et al. 2008), dan saithe (Pollachius virens) (Shaviklo et al. 2010; 2012; 2013). Penelitian mengenai tepung surimi berbahan baku ikan lele belum banyak dikaji sehingga pengembangan penelitian tersebut perlu dilakukan. Kajian mengenai proses pembuatan tepung surimi telah menggunakan banyak metode pengeringan antara lain solar drying, oven drying, drum drying, spray drying, dan freeze drying (Santana et al. 2012). Metode freeze drying masih menunjukkan keunggulan dalam mempertahankan sifat-sifat fungsional surimi, sehingga produk akhir surimi dengan pengolahan freeze drying biasanya disebut surimi kering beku. Surimi kering beku (freeze dried surimi) adalah salah satu olahan surimi yang telah mengalami proses pengeringan beku dan berbentuk tepung. Konsumen produk berbasis surimi di Jepang semakin meningkat (Phatcharat et al. 2006), demikian juga di negara-negara berkembang misalnya Indonesia, diestimasikan telah diproduksi 315.800 juta ton produk-produk surimi di daerah Asia Tenggara selama tahun 2005. Surimi telah banyak dipakai sebagai emulsifier dalam produkproduk artificial misalnya crab lag, crab stick, scallop, shrimp imitation, pork
4
meat (Zhou et al. 2003). Surimi telah banyak dijumpai di pasar-pasar swalayan di kota besar Indonesia, sehingga peluang pengembangan tepung surimi sebagai bahan intermediate pangan sangat menjanjikan. Melihat peluang tersebut ikan lele sebagai komoditas unggulan budidaya Indonesia memiliki potensi besar untuk diolah menjadi surimi kering beku. Pengolahan lele ukuran oversize menjadi tepung surimi atau surimi kering beku memberikan keuntungan kepada petani ikan dan juga memberikan keuntungan kepada pelaku industri surimi dalam proses penyimpanannya. Kondisi penanganan, distribusi dan kapasitas penyimpanan surimi beku memerlukan biaya yang tinggi (Parvathy dan Sajan 2011). Bentuk kering dari surimi merupakan alternatif dalam perdagangan dikarenakan biaya transportasi yang lebih murah, penyimpanan produk lebih mudah, lebih praktis (ringkas) dan efisien karena tidak memerlukan pembekuan selama proses distribusi, memungkinkan penyedian stok yang banyak, serta perbaikan warna dan penghilangan bau yang dapat mengatasi masalah pada pengolahan tepung ikan untuk konsumsi manusia. Produk kering merupakan salah satu produk pangan yang memiliki masa simpan yang cukup lama, namun produk kering yang memiliki porositas yang tinggi akan memiliki kepekaan terhadap kelembaban udara yang tinggi. Penentuan masa simpan produk kering dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Penentuan umur simpan produk kering dapat dilakukan dengan pendugaan menggunakan model air kritis. Model air kritis ditentukan oleh variasi kelembaban udara dan model sorpsi air dari bahan pangan. Keunggulan produk surimi kering serta potensi pengembangannya yang begitu besar menjadikannya sebagai salah satu alternatif produk intermediate instant pilihan di masa akan dating. Kajian terhadap pembuatan dan penentuan sifat fungsional dari surimi kering beku dengan bahan utama ikan lele serta penentuan masa simpan surimi kering belum banyak dilakukan sehingga menjadi salah satu kajian awal yang perlu dilakukan. Rumusan Masalah Ikan lele merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia. Peningkatan produksi budidaya lele diikuti dengan peningkatan jumlah lele oversize di setiap siklus budidayanya. Lele dengan ukuran oversize kurang diminati dan memiliki nilai jual yang rendah. Pemanfaatan lele oversize menjadi surimi sebagai bahan pangan intermediate merupakan salah satu upaya diversifikasi. Pengolahan surimi menjadi bentuk tepung merupakan alternatif pengolahan pangan yang memiliki banyak keuntungan dalam penyimpanan dan distribusi. Dalam bentuk kering, surimi lele memiliki keuntungan dan kelemahan. Perubahan menjadi bentuk kering diduga banyak menghilangkan komponen fungsional protein di surimi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji perubahan mutu surimi kering dibandingkan dengan surimi basah serta pendugaan umur simpannya.
5
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk a. Menentukan konsentrasi dan waktu perendaman garam alkali terbaik terhadap penurunan kandungan lemak daging lele. b. Menentukan proses pembuatan terbaik surimi kering beku ikan lele. c. Mengevaluasi sifat fisikokimia dan mikrostruktur surimi kering ikan lele. d. Menentukan umur simpan surimi kering beku dengan jenis kemasan plastik yang berbeda. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai langkah awal pemanfaatan bahan baku lokal dalam hal ini ikan lele oversize sebagai bahan baku produk surimi (intermediate product). Selain itu dari penelitian ini akan diperoleh proses pembuatan surimi kering beku terbaik serta umur simpannya. Penelitian ini memberikan teknologi alternatif dalam pembuatan surimi serta meningkatkan potensi industri surimi dengan pemanfaatan jenis-jenis ikan ekonomis rendah yang belum dimanfaatkan secara optimal.
6
7
2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SURIMI KERING BEKU LELE (Clarias sp.) Pendahuluan Latar belakang Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Salah satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah menjadi bermacam- macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran (Lanier 1992). Huda et al. (2001) dan Nopianti et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan ikan-ikan alternatif yaitu ikan-ikan pelagis, air tawar serta ikan nonekonomis merupakan salah satu kajian yang saat ini banyak dikembangkan untuk melihat peluang pemanfaatan komoditas tersebut menjadi bahan baku surimi. Pemanfaatan ikan air tawar sebagai bahan baku surimi diperkirakan dapat menjamin ketersediaan stok bahan baku serta dapat menjadi salah satu alternatif sumber bahan baku surimi yang selama ini sudah mengalami penurunan pasokan akibat overfishing. Ikan lele sebagai salah satu komoditas unggulan budidaya di Indonesia berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku surimi. Kegiatan budidaya ikan lele sebagaimana yang disebutkan sebelumnya memiliki kendala dalam penanganan dan manajemen terkait ukuran di atas permintaan pasar (Trobos 2008). Lele dengan ukuran oversize memiliki harga yang rendah dan kurang dimintai oleh konsumen, sehingga pengolahan lele yang berukuran besar menjadi surimi berpotensi untuk dikembangkan. Surimi dengan bahan baku ikan lele belum banyak dikembangkan. Miyakama et al. (1992) memulai pemanfaatan ikan lele sebagai surimi, namun secara umum masih sangat jarang kajian mengenai pemanfaatan ikan lele dengan ukurun besar (oversize) untuk menjadi surimi. Pencucian merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kandungan lemak, pigmen, protein larut air serta komponen lain yang dapat mengganggu terbentuknya gel yang baik pada surimi (Chen et al. 1997). Kandungan lemak merupakan salah satu faktor kritis yang biasanya diperhatikan dalam pengolahan surimi, terkadang pencucian dengan air dingin biasa tidak cukup untuk mereduksi kandungan lemak di ikan. Salah satu metode yang biasa dilakukan untuk mengurangi kandungan lemak adalah dengan proses defatting. Karayannakidis et al. (2007) melaporkan bahwa pencucian daging ikan sardin (Sardina pilchardus) dengan larutan alkali efektif untuk menghilangkan lemak dari daging. Pencucian dengan asam maupun alkali dapat meningkatkan indeks lightness (kecerahan) dan derajat putih, sehingga penelitian mengenai pengaruh proses defatting pada daging bahan baku surimi menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam. Kualitas akhir produk surimi ditentukan oleh kekuatan gel, derajat putih yang secara langsung ditentukan oleh proses atau teknik pencucian, jenis ikan dan jenis cryoprotectant yang digunakan. Pencucian memberikan pengaruh terhadap kandungan protein miofibril serta tingkat kecerahan pada
8
surimi, begitupun jenis cryoprotectant memberikan pengaruh langsung terhadap kandungan protein surimi selama penyimpanan beku. Surimi kering merupakan bentuk kering dari surimi yang telah dihilangkan sebagian besar kandungan airnya, sehingga biasa disebut sebagai tepung surimi. Lanier dan Lee (1992) di Jepang serta Montejano et al. (1994) di Mexico telah memulai mengkonversi surimi menjadi bentuk kering atau tepung protein. Kondisi kering surimi menunjukkan banyak keunggulan antara lain lebih mudah dalam penyimpanannya. Namun dalam proses pengeringan surimi basah banyak air yang akan dihilangkan yang akan menyebabkan hilangnya komponen gizi salah satunya adalah protein miofibril yang mempengaruhi nilai kekuatan gel pada produk akhir. Cryoprotectant atau dryoprotectant berperan dalam menjaga komponen air sehingga menghindari terjadinya driploss saat proses thawing atau kehilangan air secara berlebihan saat pengeringan beku (Suzuki 1981). Park dan Lin (2005) melaporkan bahwa poliol dan beberapa jenis gula terbukti mampu menjadi cryoprotectant, walaupun perkembangan penelitian terakhir penggunaan cryoprotectant dengan jenis gula yang berkalori tinggi sudah mulai dihindari dikarenakan isu mengenai kesehatan (Nopianti et al. 2011). Surimi kering akan mengalami kehilangan air yang besar pada struktur jaringan dagingnya. Proses rehidrasi kembali diharapkan mampu mengembalikan struktur jaringan daging surimi. Perubahan sifat fisiko kimia surimi kering, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan surimi kering menjadi kajian yang perlu dilakukan untuk mengetahui potensi pengembangan ikan lele sebagai bahan baku surimi di masa mendatang. Tujuan Tujuan penelitian pada tahap awal ini antara lain : 1. Menentukan konsentrasi dan waktu perendaman sodium bikarbonat terbaik pada fillet lele 2. Menentukan frekuensi pencucian surimi terbaik 3. Menentukan jenis dryoprotectant terbaik 4. Mengevaluasi perbedaan sifat fisiko kimia surimi kering dan surimi basah.
Metode Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Maret 2013. Bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Saraswati Indo Genetech Bogor, serta Laboratorium Geologi Kuarter Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung. Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku, bahan tambahan dan bahan pembantu, serta bahan kimia untuk analisis. Bahan baku yang digunakan adalah ikan lele dengan ukuran 1-3 ekor/kg yang diperoleh dari
9
kolam Budidaya Lebak Sirna Ciampea, Bogor. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain K2O4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, HCl (MERCK). Alat yang digunakan adalah pengering beku/freeze dryer ( Christ Alpha 243360 Harz tipe 10042), alat dekstruksi dan destilasi Kjeldahl, labu lemak, alatalat gelas, alat ekstraksi soxhlet, pH meter (THERMO tipe orion 3 star portable), refrigerator (Glacio-Toshiba tipe GR K262/262PD), freezer (SHARP tipe FRV200), sentrifuge (JOUAN tipe CR 412), texture analyzer (TA-XT21), Scanning electron microscope (SEM-JSM tipe 6360 LA). Tahapan penelitan Penelitian dilakukan dalam empat tahap meliputi tahap proses deffating daging ikan, pengaruh frekuensi pencucian surimi, pengaruh jenis dryoprotectant, serta tahap perbandingan sifat fungsional surimi kering beku dan surimi basah. Konsentrasi dan waktu perendaman terpilih pada tahap pertama digunakan dalam proses pembuatan surimi, selanjutnya frekuensi pencucian dan jenis dryoprotectant terpilih menjadi formula yang digunakan dalam pembuatan surimi kering yang pada tahap akhir dibandingkan dengan surimi basah. Pengaruh perendaman garam alkali Ikan lele oversize diuji kandungan proksimat awalnya (air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat). Lele difillet dengan panjang 10-20 cm, tebal 0.5-1.5 cm. Fillet direndam pada larutan NaHCO3 dengan konsentrasi 0%, 0.25%, 0.5%, 0,75% dan 1% (b/v) masing-masing 10, 20 dan 30 menit, kemudian dilakukan pengujian kadar lemak (AOAC 2005) untuk mendapatkan waktu dan konsentrasi NaHCO3 terbaik. Penentuan frekuensi pencucian terbaik Fillet ikan lele digiling kemudian dicuci dengan air dingin (suhu 10 C) sebanyak satu, dua, tiga dan empat kali. Masing-masing frekuensi pencucian diukur rendemennya, derajat putih (Debusca et al. 2013), daya ikat air (WHC) (McCord et al. 1998), kekuatan gel (Huda et al. 2012), kadar protein larut garam (Zhou et al. 2006), nilai pH dan nilai sensori (uji lipat dan uji gigit) (Lanier 1992). Penentuan dryoprotectant terbaik Tahap penentuan konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terbaik dilanjutkan dengan penentuan dryoprotectant terbaik. Perlakuan yang diberikan adalah trehalosa 6% (Huda et al. 2012), karagenan 2% (Uju et al. 2007), dan dryoprotectant campuran, yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5% (Park dan Lin 2005). Pengujian yang dilakukan untuk mengukur dan menentukan dryoprotectant terbaik adalah rendemen, daya ikat air (McCord et al. 1998), kekuatan gel (Huda et al. 2012), protein larut garam (Zhou et al. 2006), densitas (Venugopal et al. 1996), rehidrasi (Xu et al. 2004), sifat emulsi (Yatsumatsu et al. 1972) dan daya buih (Huda et al. 2012). Karakteristik kualitas akhir surimi basah dan surimi kering beku Setelah diperoleh konsentrasi NaHCO3, frekuensi pencucian dan jenis dryoprotectant terbaik dalam proses pembuatan surimi kering beku, maka pada tahap selanjutnya produk akhir dibandingkan dengan surimi basah dengan melihat beberapa parameter yaitu mikrostruktur daging ikan, surimi basah, surimi kering dan olahan produk yang dihasilkan menggunakan SEM, analisis rendemen,
10
proksimat, water holding capacity, kekuatan gel, pengukuran nilai pH, profil tekstur serta uji sensori (uji gigit dan uji lipat). Surimi juga diolah menjadi kamaboko dengan cara surimi dicampur dengan 3% (b/b) garam dan 30% (b/v) air dingin. Pencampuran dilakukan selama 15-20 menit. Pasta tersebut dimasukkan ke dalam casing aluminium. Selanjutnya dilakukan pemanasan I pada suhu 40 C selama 20 menit dan dilanjutkan dengan pamanasan II pada suhu 90 C selama 20 menit. Diagram alir pembuatan surimi kering beku ikan lele (Ohkuma et al. 2008) disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Pembuatan surimi kering beku ikan lele (tepung surimi) (*Modifikasi Ohkuma et al. 2008).
11
Metode analisis Analisis yang dilakukan berupa karakterisasi sensori, fisika dan kimia yang meliputi uji lipat dan uji gigit, analisis rendemen, pengkuran pH, derajat putih, kekuatan gel, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar protein larut garam, dan daya ikat air. Uji lipat dan gigit surimi (Lanier 1992) Penentuan uji lipat (folding test) dan uji gigit (teeth cutting test) dilakukan dengan membuat kamaboko terlebih dahulu. Surimi dicampur dengan 3% (b/b) garam dan 30% (b/v) air dingin. Pencampuran dilakukan selama 15-20 menit. Pasta tersebut dimasukkan ke dalam casing aluminium. Selanjutnya dilakukan pemanasan I pada suhu 40 C selama 20 menit dan dilanjutkan dengan pemanasan II pada suhu 90 C selama 20 menit. Setelah itu kamaboko didinginkan dan dipotong dengan ketebalan 4-5 mm untuk uji lipat dan 1-2 cm untuk uji gigit. Uji lipat dilakukan dengan cara melipat kamaboko menjadi setengah lingkaran. Jika tidak putus atau retak maka dilipat lagi menjadi seperempat lingkaran. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut : 5 : tidak retak bila dilipat 4 4 : sedikit retak bila dilipat 4 3 : sedikit retak bila dilipat 2 2 : retak tapi masih menyatu bila dilipat 2 1 : patah seluruhnya bila dilipat 2 Uji gigit dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut : 10 : amat sangat kuat kekenyalannya 9 : amat kuat kekenyalannya 8 : kuat kekenyalannya 7 : agak kuat kekenyalannya 6 : kekenyalannya masih dapat diterima 5 : agak lunak 4 : lunak 3 : sangat lunak 1 : hancur Analisis fisika (a) Analisis rendemen Pengamatan meliputi rendemen fillet dan surimi terhadap bahan baku : Rendemen fillet ikan (%) =
berat daging fillet
x 100%
berat daging utuh berat surimi basah
Rendemen surimi basah (%) =
Rendemen surimi kering (%) =
berat ikan utuh berat surimi kering berat ikan utuh
x 100% x 100%
(b) Derajat putih (Debusca et al. 2013) Analisis warna dilakukan dengan Chromameter. Mula-mula alat dikalibrasi dengan warna putih sampai monitor menunjukkan nilai L, a dan b sesuai dengan nilai yang tertera pada warna putih standar. Selanjutnya sampel
12
diletakkan dalam tabung dengan ditutupi lensanya dan nilai reflektan (L, a dan b) terbaca pada alat pengukur. Perhitungan nilai derajat putih dilakukan dengan menggunakan rumus : Derajat putih (%) = 100 – (100 − 𝐿∗ )2 + 𝑎∗2 + 𝑏∗2 (c) Sifat rehidrasi (Xu et al. 2004) Sampel sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam gelas piala 500 mL, kemudian ke dalam gelas dimasukkan air sejumlah persen kehilangan air selama proses pengeringan beku. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap waktu rehidrasi dan kapasitas rehidrasi. Sebanyak 20 g sampel ditambahkan dengan air diaduk merata hingga menjadi bubur yang kental. Waktu rehidrasi dihitung saat sampel mulai diberi air hingga menjadi bubur. Kapasitas rehidrasi (Kr) dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kr =
Selisih berat sampel awal dan sampel akhir (g) Berat contoh tepung surimi (g)
(d) Densitas (Venugopal et al. 1996) Densitas nyata surimi kering ditentukan dengan menempatkan sampel dalam labu 10 mL. Berat surimi kering dicatat dan kepadatan volume yang dinyatakan sebagai mL per 10 g tepung surimi. Selanjutnya pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur. Gelas ukur 100 mL ditimbang (a), kemudian sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur sampai tanda tera. Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b). Densitas kamba diukur dengan rumus : Densitas kamba (g/ml) =
b−a g 100 ml
(e) Daya ikat air (Water Holding Capacity) (Nopianti et al. 2011; McCord et al. 1998) Pengamatan daya ikat air pada surimi kering mengacu pada Nopianti et al. (2011), sedangkan pada surimi basah untuk metode pengukuran daya ikat air mengacu pada McCord et al. (1998). Sampel dengan berat yang ditentukan disentrifugasi pada 4500 rpm selama 15 menit, setelah itu supernatan dipisahkan dan bagian padatan ditimbang (W1). Selanjutnya bagian padatan ditentukan kadar airnya dengan mengeringkan dalam oven seperti prosedur penentuan kadar air, sehingga diperoleh berat setelah dikeringkan (W2). Daya ikat air (WHC) (%) =
W1−W2 W1
x 100%
(f) Kekuatan gel (Hayes et al. 2005) Pengukuran kekuatan gel (kekerasan) gel kamaboko dilakukan secara obyektif dengan menggunakan texture analyzer (TA-XT21). Tingkat gel dari surimi dinyatakan dalam gram force tiap cm2 (g/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan di bawah probe berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan sampel adalah 1.5 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu
13
kali. Hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah. (g) Daya buih (Huda et al. 2012) Tepung surimi (1 g) ditambahkan ke dalam 100 mL air dan dihomogenisasi selama satu menit. Campuran larutan surimi dipindahkan ke dalam 250 mL beaker glass. Kapasitas daya buih atau busa dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan kapasitas volume awal. Stabilitas daya buih merupakan rasio dari kapasitas daya buih selama waktu observasi dibandingkan dengan kapasitas daya buih awal. (h) Sifat emulsi (Yatsumatsu et al. 1972) Kapasitas emulsi diukur dengan cara 5 g surimi kering ditambahkan 20 mL air dan 20 mL minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit dan disentrifugasi pada 7500 rpm selama 5 menit. Stabilitas emulsi ditentukan dengan cara yang sama namun sebelum sampel disentrifugasi, emulsi dipanaskan di waterbath pada suhu 90 C selama 30 menit kemudian didinginkan di air dingin selama 10 menit. Kapasitas dan stabilitas emulsi dihitung dengan menggunakan rumus : Emulsi =
volume emulsi setelah disentrifugasi volume awal
x 100%
(i) Pengamatan mikrostuktur (Lin et al. 2002) Prinsipnya adalah sampel diiradiasi dengan pancaran elektron, sehingga elektron ada yang meloncat dan ada yang diserap. Jika sampel tidak memiliki konduktivitas elektrik, elektron yang diserap akan memberikan arus pada sampel, sehingga terjadi kesalahan pengamatan. Oleh karena itu dilakukan pelapisan metal dalam ruang hampa, pengamatan dengan accelerating voltage rendah dan pengamatan dalam tingkat kehampaan untuk mencegah sampel menerima arus. Pengamatan mikrostruktur dilakukan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Sampel yang akan diamati terlebih dahulu dikeringkan dalam pengering beku. Setelah preparasi sampel selesai, dilakukan pelekatan sampel pada logam yang telah dilapisi lem karbon untuk dilakukan pelapisan menggunakan emas atau logam di dalam magnetron sputtering device yang dilengkapi dengan pompa vakum, pada proses vakum terjadi loncatan logam emas ke arah sampel sehingga melapisi emas. Proses vakum berlangsung sekitar 20 menit. Sampel yang telah dilapisi diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron dan dengan terjadinya tembakan elektron kearah sampel maka akan terekam ke dalam monitor dan dilakukan pemotretan. Analisis kimia (a) Analisis kadar protein (AOAC 2005) Sampel ditimbang 2 g bahan dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan 1.9±0.1 g K2O4, 40±10 mg HgO, 2.0 mL H2SO4. Selanjutnya larutan dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 mL larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang telah berisi 5 mL H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol) dengan perbandingan 2:1. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.1 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hasil yang
14
diperoleh adalah total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6.25. Kadar protein yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan: Kadar N (%) =
ml HCl −ml blanko x N HCl x 14.007 mg sampel
x 100%
Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6.25) (b) Analisis kadar abu (AOAC 2005) Prinsip penetapan kadar abu yaitu abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550-600 °C. Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102105 °C selama 30 menit. Sebanyak 1-2 g sampel ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Contoh kemudian dikeringkan dalam oven dan diarangkan, selanjutnya diabukan dalam tanur pada suhu 600 °C selama 6-8 jam sampai pengabuan sempurna (abu berwarna putih). Sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Untuk menghitung kadar abu digunakan rumus sebagai berikut: Kadar abu (%) =
Bera t Abu Berat Sampel
x 100%
(c) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Sampel ditimbang labu alas bulat kosong (A g). Kemudian ditimbang 2 g homogenat contoh (B g) yang dimasukkan dalam selongsong lemak. Kemudian berturut-turut dimasukkan 150 mL kloroform ke dalam labu alas bulat, selongsong lemak ke dalam extractor soxhlet, dan dipasang rangkaian soxhlet dengan benar. Ekstraksi dilakukan pada suhu 60 °C selama 6 jam. Selanjutnya campuran lemak dan chloroform dalam labu alas bulat dievaporasi sampai kering. Labu alas bulat yang berisi lemak dimasukkan dalam oven suhu 105 °C selama ±2 jam untuk menghilangkan sisa kloroform dan uap air. Labu dan lemak didinginkan di dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang berat labu alas bulat yang berisi lemak (C g) ditimbang beratnya hingga konstan. Perhitungan lemak pada sampel adalah: Kadar lemak (%) = Keterangan:
C−A B
x 100%
A = Berat labu alas kosong (g) ; B = Berat contoh(g) ; C = Berat labu alas bulat dan lemak hasil ekstraksi (g)
(d) Kadar protein larut garam (miofibril) (Zhou et al. 2006) Prinsip penetapan adalah membuang lemak dan protein yang terlarut pada contoh surimi. Adonan daging ditimbang 3 g (A) dihomogenisasi dalam 30 mL 0.08 M bufer borat dingin pH 7.1 selama 4 menit. Wadah sampel ditempatkan dalam es. Setiap 20 detik proses homogenisasi diikuti dengan istirahat selama 20 detik untuk menghndari kelebihan panas selama ekstraksi. Homogenat disentrifugasi pada 8370 g selama 30 menit pada 4 C. Padatan yang diperoleh ditimbang (B). Penentuan kadar protein miofibril menggunakan rumus : Kadar protein miofibril (%) =
B A
x 100%
15
(e) Pengukuran nilai pH Prinsip penetapan pH adalah bahwa konsentrasi ion H+ dalam sampel yang bersifat buffer dapat diukur dengan menggunakan pH meter. Prosedur pengukuran nilai pH diawali dengan penimbangan sampel yang telah dihomogenisasi sebanyak 20 g kemudian dimasukkan ke dalam blender, ditambahkan 40 mL akuades dan diblender selama 1 menit, hasilnya dituangkan ke dalam gelas piala 100 mL. Alat pH meter dikalibrasi dengan larutan buffer standar yang memiliki pH 7 dan pH 4 sebelum digunakan. Pembacaan nilai pH setelah jarum petunjuk pH meter konstan kendudukannya. Analisis data Rancangan Percobaan (Steel dan Torrie 1993) Rancangan yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Perlakuan yaitu waktu peredaman dan konsentrasi garam alkali. Model rancangan yang digunakan adalah: 𝑌𝑖𝑗𝑘 = 𝜇 + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑖 + (𝛼𝛽)𝑖𝑗 + 𝜀𝑖𝑗𝑘 Keterangan : Yij : Respon pada perlakuan k dengan kombinaasi perlakuan taraf ke-i pada A, dan taraf ke-j pada B. μ : Rataan umum 𝛼𝑖 : Pengaruh perlakuan ke-i pada A 𝛽𝑖 : Pengaruh perlakuan ke-j pada B (𝛼𝛽)𝑖𝑗 : Pengaruh perlakuan taraf ke -i dari faktor A, dan taraf ke-j dari faktor B εij : Galat percobaan perlakuan k dengan kombinasi rafa ke-i dan ke-j Sebelum dilakukan analisis ragam dilakukan terlebih dahulu uji kenormalan data dengan uji distribusi normal. Uji kenormalan yang digunakan adalalah uji Kolmogorov Smirnov. Pengujian dengan menggunakan software Minitab 16 dengan output berupa P value. Pada tahap dua dan tiga yaitu pengaruh frekuensi pencucian dan jenis dryoprotectant, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Model rancangan yang digunakan adalah:
Yij = µ + σi + εij Keterangan: Yij : hasil pengamatan parameter pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j : nilai rata-rata pengamatan terhadap parameter µ σi: : pengaruh perlakuan ke-i εij : galat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i : perlakuan ke-i j : ulangan ke-j Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% untuk menyatakan perbedaan nyata. Selanjutnya data dianalisis dengan analisis ragam. Jika dari hasil analisis ragam berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey. Rumus untuk uji berpasangan tukey (multiple comparisons) adalah:
Ri-Rj >< 𝑍𝛼 p
(𝑛+1)
2
P=
𝐾 (𝐾−1) 2
6
𝑘
16
Keterangan: Ri = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i Rj = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j = jumlah perlakuan k N = jumlah data yang dibandingkan α = 0.05 (5%) Pengujian nilai kesukaan panelis menggunakan analisis non-parametrik yaitu Kruskall-Walis. Data organoleptik dianalisis menggunakan Kruskall-Walis dengan uji chi square. Apabila nilai x2 hitung > x2 tabel maka tolak Ho. Prosedur pengujian kruskall wallis menggunakan rumus. 12
(1) 𝐻 = 𝑛 (𝑛+1) ∑ (2) FK=
∑𝑇 𝑛−1 𝑛(𝑛+1)
𝑅𝑖 2 𝑛𝑖
− 3(𝑛 + 1) 𝐻
(3) H’= 𝐹𝐾
Keterangan: ni = banyaknya pengamatan tiap perlakuan atau jumlah panelis n = banyaknya data Ri = jumlah rata-rata tiap perlakuan ke-i T = banyaknya pengamatan yang seri dalam tiap ulangan H’ = H terkoreksi (ki-kuadrat) FK = faktor koreksi Apabila hasil uji chi-square menunjukkan di antara perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap parameter yang diamati maka pengujian dilanjutkan dengan uji lanjut multiple comparison dengan menggunakan Uji Dunn.
Hasil dan Pembahasan Surimi merupakan konsentrat protein miofibril dari ikan, komponen selain protein larut garam dianggap dapat mengganggu proses pembentukan gel pada produk akhir. Lemak adalah salah satu komponen yang dihindari dan harus dihilangkan selama proses pencucian surimi. Beberapa jenis ikan mengandung komponen lemak yang tinggi. Kehadiran lemak dapat mengganggu sifat fungsional protein. Proses pencucian selama pembuatan surimi belum tentu dapat menghilangkan komponen lemak secara signifikan, sehingga proses pre-treatment deffating sebelum proses pengolahan surimi dianggap penting untuk dilakukan. Salah satu syarat mutu surimi yang baik adalah memiliki kandungan lemak tidak lebih dari 0.5%. Proses defatting diharapkan dapat menurunkan lemak secara signifikan dan dapat menghasilkan surimi dengan kualitas yang lebih baik. Defatting fillet ikan lele Defatting adalah proses penghilangan atau peluruhan komponen lemak permukaan pada daging menggunakan larutan bersuhu rendah dan atau dengan larutan alkali. Komponen lemak yang cukup tinggi memberikan pengaruh buruk terhadap pembentukan gel surimi sehingga proses pre-treatment dengan garam alkali diharapkan dapat mereduksi lemak yang ada. Gambar 2 memperlihatkan
17
pengaruh waktu perendaman dan konsentrasi sodium bikarbonat pada kandungan lemak fillet ikan lele.
1.00c
0.98bc
1.93ab
1.79a
1.97a
1.28bc
1.84ab
2.24a
2.03a
z
0.98c
1,5
1.43c
1.52bc
2,0
1.89ab
Kadar lemak (%)
2,5
z
2.54a
3,0
2.36a
z
1,0 0,5 0,0 10 menit
20 menit Waktu Perendaman
30 menit
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 2 Pengaruh waktu perendaman dan persentasi NaHCO3 terhadap 0% NaHCO3, 0.25% NaHCO3, 0.50% lemak fillet lele ( NaHCO3, 0.75% NaHCO3, 1% NaHCO3). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama waktu perendaman tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kandungan lemak fillet ikan lele (p>0.05), namun perbedaan konsentrasi NaHCO3 memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan lemak fillet lele. Selain itu interaksi perlakuan waktu dan persentasi kandungan NaHCO3 tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan lemak fillet lele. Penurunan kandungan lemak seiring dengan peningkatan konsentrasi sodium bikarbonat yang digunakan. Kadar lemak awal ikan lele adalah 3.37%. Penggunaan suhu dingin terbukti dapat menurunkan kandungan lemak hingga 2.86-3.66%. Berdasarkan uji lanjut multiple comparison penggunaan sodium bikarbonat dengan konsentrasi 0%, 0.25% serta 0.5% menunjukkan hasil yang tidak nyata terhadap penurunan kadar lemak fillet lele, namun berpengaruh nyata pada penggunaan sodium bikarbonat 0.75% dan 1%. Penggunaan sodium bikarbonat terbukti dapat mereduksi kadar lemak 27-78%. Metode defatting dengan menggunakan larutan alkali, menurut Srinivasan et al. (1996) selain dapat mereduksi lemak juga merupakan bufer yang mampu mencegah terjadinya oksidasi pada lemak dan protein selama penyimpanan. Sodium bikarbonat juga berperan sama dengan NaH2PO4 yang mampu berperan mengikat komponen lipida pada permukaan daging ikan. Kandungan lemak surimi merupakan salah satu penentu kualitas surimi. Kandungan lemak maksimal adalah 0.5% (% b/b) (BSN 1992), sehingga pengaruh proses defatting di tahap awal akan sangat berpengaruh dalam menghasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Karayannakidis et al. (2007) melaporkan bahwa pencucian daging ikan sardin (Sardina pilchardus) dengan larutan alkali efektif untuk menghilangkan lemak. Pencucian dengan asam maupun alkali dapat meningkatkan indeks
18
lightness (kecerahan) dan derajat putih surimi (Chen 2002; Chanarat dan Benjakul 2013). Penggunaan NaHCO3 0%, 0.25% dan 0.5% menunjukkan hasil yang nyata terhadap penurunan lemak fillet lele. Lanier dan Lee (1992) menggunakan 0.2% NaHCO3 dalam proses defatting. Penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan 0.5% NaHCO3 mampu mereduksi komponen lemak surimi (InfoFish International 1989; Suvanich and Prinyawiwatkul 1999). Penggunaan alkali dalam pencucian daging ikan menghasilkan kualitas surimi yang lebih baik dibandingkan dengan pencucian air dingin saja. Penurunan kadar lemak menunjukkan bahwa penggunaan NaHCO3 0.75% dan 1% menghasilkan fillet lele dengan kandungan lemak lebih rendah dibandingkan penggunaan konsentrasi 0%, 0.25% dan 0.5%, walaupun penggunaan NaHCO3 0.75% dan 0.5% menunjukkan hasil yang tidak nyata (p>0.05) terhadap penurunan kadar lemak. Bledso et al. (2000) menyatakan bahwa pada pengolahan surimi yang menggunakan ikan dengan lemak tinggi sebaiknya digunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) yang berfungsi untuk membantu mengurangi kandungan lemak. Karakteristik kimia merupakan indikator awal kemampuan daging ikan membentuk surimi yang baik. Komponen kimia yang dianalisis adalah karbohidrat, air, lemak, protein, dan abu. Kandungan protein pada fillet daging awal 16.32%, dan lemak 1.66%. Setelah proses defatting lemak mengalami penurunan hingga 89.64% namun diikuti juga dengan penurunan protein 18.81%. Proses leaching dengan sodium bikarbonat terbukti dapat menurunkan kandungan lemak secara nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kadar lemak pada fillet. Kandungan lemak yang rendah pada lele setelah defatting tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kualitas surimi akhir yang dihasilkan. Konsentrasi sodium bikarbonat yang dipilih adalah 0.75% dengan waktu perendaman selama 10 menit. Penentuan frekuensi pencucian terbaik Surimi merupakan daging lumat hasil pencucian dengan air dingin dengan frekuensi satu hingga empat kali pencucian. Proses pencucian diulang tiga hingga empat kali untuk memastikan penghilangan fraksi sarkoplasma. Komponen terbesar yang hilang adalah komponen-komponen larut air (Lanier 1992). Pencucian dilakukan bergantung pada karakteristik ikan dan komponen kimia ikan yang digunakan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kandungan lemak, protein larut air, darah, enzim, pigmen dan kotoran lain yang mengganggu pembentukan gel surimi. Pencucian akan mempengaruhi rendemen, derajat putih, daya ikat air, protein larut garam, nilai pH, kekuatan gel, serta nilai sensori terhadap uji lipat dan uji gigit surimi. Rendemen surimi lele Rendemen merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk dapat memperkirakan bahan baku yang dibutuhkan dalam produksi, dan secara ekonomi mempengaruhi nilai jual akhir produk. Uji ragam rendemen membuktikan bahwa frekuensi pencucian secara langsung mempengaruhi rendemen massa dari daging surimi yang dihasilkan. Rendemen daging lumat 34.74%, selanjutnya pada pencucian pertama menghasilkan rendemen 25.24% dari massa awal daging ikan, berturut-turut rendemen pencucian kedua, ketiga dan keempat adalah 22.08%, 19.00% dan 17.96%. Hasil uji lanjut multiple comparison memperlihatkan bahwa
19
frekuensi pencucian satu, dua dan tiga kali berbeda nyata, namun pencucian ketiga dan keempat tidak berbeda nyata. Hasil rendemen surimi menunjukkan bahwa frekuensi pencucian berbanding terbalik dengan rendemen surimi yang dihasilkan, yaitu semakin banyak frekuensi pencucian surimi maka semakin rendah rendemen surimi yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena pencucian menyebabkan leaching beberapa komponen dari daging ikan, terutama protein sarkoplasma. Darah, pigmen, lemak dan komponen larut air lainnya akan hilang dengan meningkatnya frekuensi pencucian. Rendemen produk surimi dipengaruhi oleh bahan bakunya (jenis, ukuran, musim dan kondisi biologis ikan), serta metode pencucian yang digunakan. Derajat putih surimi lele Warna merupakan salah satu atribut awal yang mempengaruhi kualitas suatu produk. Ikan lele oversize memiliki daging yang cenderung gelap dan berwarna merah sehingga akan sangat mempengaruhi kualitas produk surimi. Frekuensi pencucian surimi secara nyata mempengaruhi derajat putih kamaboko yang dihasilkan, secara visual perbedaan kamaboko dengan pencucian surimi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kamaboko dengan frekuensi pencucian surimi yang berbeda. Semakin tinggi frekuensi pencucian surimi maka semakin baik warna putih yang dihasilkan. Pencucian satu kali dan dua kali menunjukkan penampakan warna surimi yang sama, tingkat kecerahan mulai meningkat pada surimi dengan tiga hingga lima kali pencucian. Uji ragam yang dilakukan menunjukkan frekuensi pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap derajat putih surimi. Hasil pengamatan nilai L (lightness), a (redness), dan b (yellowness) dan derajat putih dengan menggunakan Chromameter disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap nilai L (lightness), b (yellowness) dan derajat putih surimi lele Frekuensi L (lightness) a (redness) b (yellowness) Pencucian 1 57.20 + 2.20b +5.07 + 0.84a +9.91+ 0.04a 2 58.64 + 0.95b +4.81+ 0.28ab +9.83+ 0.15a 3 67.20 + 5.13a +4.67 + 0.15b +9.48+ 0.73a 4 68.55 + 3.52a +4.60 + 0.04b +9.42+ 0.17a
a (redness), Derajat putih 55.77 + 2.00b 57.09 + 0.89b 65.16 + 4.60a 64.91 + 3.31a
Nilai dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
20
Derajat putih menunjukkan tingkat derajat warna atau kecerahan pada suatu bahan. Indeks nilai (<50) dinyatakan sebagai warna gelap, sedangkan nilai indeks (>50) dinyatakan sebagai warna yang cerah. Berdasarkan data hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa surimi dengan pencucian satu dan dua kali menghasilkan nilai derajat putih yang tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan pencucian tiga dan empat kali (p<0.05). Surimi lele menunjukkan nilai lightness yang cukup rendah. Lightness meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi pencucian. Derajat putih surimi lele (Clarias sp.) lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Benjakul et al. (2010) yang menghasilkan surimi dari goatfish dengan derajat putih 7377%. Huda et al. (2001) melaporkan hasil penelitiannya bahwa surimi dari ikan lizardfish memiliki nilai lightness, redness dan yellowness berturut-turut adalah 85.59, 0.30, 16.38, ikan threadfin bream 89.57, 0.19, 12.22, dan purple-spotted bigeye 88.83, 0.23, 13.16. Secara umum nilai kecerahan dari beberapa ikan tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan surimi lele hasil penelitian ini, sedangkan untuk nilai redness surimi dari lele menunjukkan nilai kemerahan yang cukup tinggi di semua frekuensi pencucian. Hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Park dan Lin (2005) bahwa proses pencucian menghilangkan sebagian lemak dan pigmen dalam daging ikan, warna surimi natural adalah putih mengkilap, dan mioglobin serta hemoglobin berperan dalam memberikan warna kemerahan pada daging. Yellowness surimi lele menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan ketiga ikan pada penelitian Huda et al. (2001). Surimi komersial memiliki 4-5 grade mutu yang berbeda berdasarkan indeks L* dan b* (Park dan Lin 2005). Kristinsson et al. (2005) menyatakan dalam konsentrat protein ikan peningkatan jaringan dapat meningkatkan nilai L*(lightness). Pilar dan Reyes (2007) menjelaskan bahwa nilai yellowness biasanya disebabkan oleh lipida, sedangkan redness dipengaruhi oleh presipitasi protein. Denaturasi atau oksidasi juga dapat menyebabkan tingginya nilai kuning kecoklatan pada produk. Penentuan pencucian surimi didasarkan pada nilai derajat putih dan parameter lainnya, walaupun pencucian satu kali menunjukkan nilai derajat putih yang lebih rendah (55.77%) dibandingkan dengan pencucian dua hingga empat kali namun parameter lain terutama kualitas gel masih harus tetap dipertimbangkan. Nilai indeks di atas 50% masih dikategorikan cerah dan masih bisa diterima oleh konsumen. Selain itu persyaratan derajat putih pada surimi ekspor kelas I adalah lebih besar dari 46% (Lanier 1992). Daya ikat air surimi lele Water holding capacity adalah daya ikat air dalam bahan pangan. Kapasitas mengikat air atau water holding capacity (WHC) pada bahan pangan merupakan kemampuan untuk mempertahankan kandungan air dalam pangan dengan kata lain sifat fisik dan kemampuan struktur pangan mencegah air keluar dari struktur 3 dimensi protein (Zayas 1997). Kemampuan surimi untuk menahan air yang berperan dalam pembentukan gel yang baik serta menjaga komponen protein tetap stabil di dalam bahan pangan turunannya. Frekuensi pencucian memberikan pengaruh nyata penurunan nilai daya ikat air surimi. Hasil uji daya ikat air surimi disajikan pada Gambar 4.
21
80
73.28a 67.58a
Daya ikat Air (%)
70 60 46.74b
50
27.39c
40 30 20
10 0 1
2 3 Frekuensi Pencucian
4
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 4 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap daya ikat air surimi lele. Daya ikat air merupakan faktor penting dalam kemampuan pembentukan gel surimi. Daya ikat air akan berbanding lurus dengan kekuatan gel yang dihasilkan. Daya ikat air dipengaruhi oleh protein melalui interaksi dengan molekul air dan sisi komponen larut air protein melalui ikatan hidrogen (Zayas 1997), yang sangat dipengaruhi oleh pK, kekuatan ion, suhu, komponen dari suatu bahan pangan, lemak, garam, kondisi penyimpanan. Data daya ikat air surimi lele menunjukkan semakin banyak frekuensi pencucian maka nilai pengikatan terhadap air juga semakin rendah, hal ini juga dibuktikan dengan semakin menurunnnya kekuatan gel dari surimi tersebut. Surimi dengan pencucian satu dan dua kali menunjukkan hasil daya ikat air yang tidak berbeda nyata (p>0.05), pencucian tiga dan empat kali menunjukkan nilai daya ikat air yang menurun secara nyata. Daya ikat air memegang peranan penting dalam pembentukan gel dan emulsi (Zhou et al. 2006). Nopianti et al. (2012) juga melaporkan penggunaan dryoprotectant pada surimi memberikan pengaruh pada nilai daya ikat air surimi. Protein larut garam surimi lele Protein miofibril atau protein larut garam yaitu miosin, aktin, tropomiosin dan troponin merupakan bagian terbesar dari protein otot ikan. Tekstur produk ikan dan kemampuan membentuk gel pada daging ikan dan surimi dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada protein ini (Shahidi et al. 1999). Pencucian memberikan pengaruh langsung pada penurunan kandungan miofibril daging ikan. Berdasarkan hasil analisis ragam, frekuensi pencucian pada surimi berpengaruh nyata terhadap kandungan miofibril atau protein larut garam. Kandungan protein larut garam disajikan pada Gambar 5. Tahap pencucian dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu surimi. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan komponen-komponen pengganggu dalam pembentukan gel misalnya darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam anorganik dan senyawa berberat molekul rendah (Benjakul et al. 1996).
PLG (%)
22
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7.17a
7.39a 5.29b
1
2 3 Frekuensi pencucian
4.74c
4
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 5 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kandungan miofibril. Oleh karena itu surimi pada pencucian dua kali memperlihatkan nilai protein larut garam yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencucian pertama, namun kembali menurun pada pencucian ketiga dan keempat. Hal ini diduga akibat hilangnya komponen protein miofibril, bahkan pencucian dapat menghilangkan 25% dari protein yang ada di ikan (Suzuki 1981). Bagian kepala globular dari miofibril memiliki 80% komponen hidrofilik sehingga akan larut air saat proses pencucian surimi (Lanier and Lee 1992) Nilai PLG tertinggi sebesar 7.39% pada perlakuan pencucian dua kali dan nilai terendah pada perlakuan pencucian 4 kali sebesar 4.74%. Frekuensi pencucian pertama dan kedua menghasilkan nilai protein larut garam yang tidak berbeda nyata. Penurunan kadar protein miofibril menjadi indikator dari denaturasi protein selama proses pencucian. Yathavamoorthi et al. (2010) juga menyatakan bahwa terjadi kehilangan protein miofibril sebesar 12.82% selama proses leaching dalam pembuatan surimi. Derajat keasaman (pH) surimi lele Derajat keasaman mempunyai pengaruh penting dalam proses kelarutan protein larut garam. Menurut Suzuki (1981), pH berpengaruh terhadap kelarutan protein larut garam (PLG). Nilai pH optimum bagi kelarutan PLG adalah pH yang berada pada kisaran pH sedikit di bawah netral hingga netral. Pengukuran kisaran nilai pH penting karena mempunyai peranan penting dalam pembentukan gel yang kuat. Analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH yaitu semakin banyak frekuensi pencucian, maka nilai pH semakin meningkat mendekati pH optimum (Gambar 6).
pH
23
7 6,8 6,6 6,4 6,2 6 5,8 5,6 5,4 5,2 5
6.69b
1
6.8ab
6.84a
2 3 Frekuensi Pencucian
6.85a
4
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 6 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap pH surimi. Uji lanjut multiple comparison surimi dengan pencucian tiga dan empat kali tidak berbeda nyata namun berbeda nyata terhadap pencucian satu kali. Pratiwiningsih (2004) melaporkan bahwa kisaran pH optimum untuk menghasilkan gel yang elastis dan kenyal adalah 6.0-8.0 dan yang paling baik adalah 6.5-7.5. Jika pH sol yang terbentuk kurang dari 6 maka akan dihasilkan gel yang mudah pecah, sedangkan pada pH lebih dari 8.0 gel yang terbentuk tidak kompak. Pencucian dua dan tiga kali tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pH surimi, karena masih di dalam kisaran pH yang baik dalam produk surimi. Kisaran pH asam harus dihindari karena nilai pH yang jauh di bawah normal mengakibatkan sifat hidrofilik ikan meningkat, sehingga terjadi pengembangan dan gel tidak terbentuk. Suzuki (1981) menambahkan bahwa aktomiosin relatif lebih stabil pada kisaran pH 6-8 namun akan lebih stabil pada pH 7. Kestabilan aktomiosin akan membantu proses pembentukan gel. Derajat keasaman lebih dari 7 juga tidak baik karena akan mengakibatkan penyerapan air meningkat, sehingga akan terjadi kesulitan pada proses dewatering. Kekuatan gel surimi lele Kekuatan gel merupakan parameter utama yang menentukan kualitas surimi. Hasil uji kekuatan gel (gel strength) menunjukkan bahwa semakin tinggi frekuensi pencucian kekuatan gel semakin menurun. Kekuatan gel kamaboko pada perlakuan pencucian satu kali mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Analisis ragam menunjukkan bahwa peningkatan frekuensi pencucian berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel surimi. Pencucian pertama menghasilkan kekuatan gel 482.3 g/cm2 berbeda nyata dengan pencucian kedua dan ketiga. Pencucian keempat menghasilkan kekuatan gel sebesar 208 g/cm 2. Pencucian empat kali menghasilkan kekuatan gel terendah. Ini menunjukkan bahwa siklus pencucian yang meningkat cenderung menurunkan kekuatan gel. Chen et al. (1997) menyatakan bahwa penambahan siklus pencucian dengan waktu yang lama akan meningkatkan hidrasi daging lumat dan degradasi protein miofibril, yang akhirnya menghambat kemampuan pembentuakn gel surimi. Data lengkap hasil uji kekuatan gel dapat dilihat pada Gambar 7.
24
600
482.3a
Kekuatan gel (g/cm2)
500 337.3b
400 300
234.8c
208.0c
200 100 0 1
2
3
4
Frekuensi Pencucian Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 7 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel surimi. Protein miofibril merupakan komponen utama yang akan berpengaruh terhadap pembentukan gel kamaboko. Benjakul et al. (2004) menyatakan bahwa semakin lama proses pencucian menyebabkan penurunan kekuatan gel dari surimi ikan dan meningkat kandungan airnya. Pencucian merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan surimi. Pencucian bertujuan untuk mereduksi bahanbahan yang larut dengan air terutama protein sarkoplasma, lemak dan komponen lain seperti pigmen. Penurunan konsentrasi protein sarkoplasma berpengaruh terhadap kandungan protein miofibril yang merupakan komponen utama pembetukan gel surimi. Frekuensi dan lama proses pencucian setiap jenis ikan berbeda-beda dan akan berpengaruh terhadap kualitas surimi yang dihasilkan (Hossain et al. 2004). Ikan dalam keadaan segar merupakan sumber protein yang bagus dan mempunyai asam amino seimbang dan daya cerna yang baik (Karmas dan Lauber 1987). Santoso et al. (2008) melaporkan kekuatan gel surimi dari ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan pari kelapa (Trygon sephen) dengan pencucian air dingin sebanyak tiga kali adalah 276.24 g/cm2 dan 339.82 g/cm2. Kristinsson and Ingadottir (2006) melaporkan bahwa perbedaan pencucian pada pembuatan surimi menghasilkan perbedaan komposisi nilai protein dan kekuatan gel. Pencucian dua dan tiga kali menghasilkan rerata kekuatan gel berturutturut 337.3 dan 234.8 g/cm2. Pencucian satu kali menghasilkan kamaboko dengan nilai kekuatan gel 482.3 g/cm2 sehingga terlihat pencucian satu kali memberikan kualitas surimi yang paling baik, nilai minimal dari kekuatan gel surimi adalah 300 g/cm2 (BSN 1992). Berdasarkan hasil uji karakteristik mutu surimi dan kamaboko, maka diketahui bahwa perlakuan pencucian satu kali merupakan perlakuan pencucian terbaik yang akan digunakan pada penelitian tahap selanjutnya. Uji sensori surimi lele Prinsip uji sensori adalah menilai kesesuaian antara nilai hedonik dengan standar mutu kamaboko. Penerimaan hedonik merupakan penentu kualitas utama
25
mutu surimi atau produk kamaboko. Uji gigit dan uji lipat merupakan parameter sensori utama. Sebagai makanan berbasis jelly product surimi diharuskan memiliki karakteristik penerimaan yang baik terhadap konsumen. Tingkat kekenyalan serta daya gigit mempengaruhi kualitas surimi.
Penerimaan uji lipat
Uji lipat surimi lele Uji lipat (folding test) kamaboko berhubungan dengan kekuatan gel yang diukur secara kualitatif. Pengukuran uji lipat dari suatu produk dilakukan dengan menggunakan panelis sebagai alat pengukurnya dan berdasarkan pada spesifikasi penilaian yang sudah ditentukan. Uji lipat ini berhubungan dengan uji kekuatan gel yang diukur menggunakan alat texture analyzer. Menurut Lanier (1992), metode uji lipat digunakan untuk membedakan gel bermutu tinggi dan rendah. Data hasil uji lipat surimi disajikan pada Gambar 8. 5 4
4.84a
4.48a 3.55b
3.19c
3 2 1 0
1 2 3 4 Frekuensi Pencucian Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 8 Nilai uji lipat pada frekuensi pencucian surimi. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan frekuensi pencucian berpengaruh nyata terhadap nilai penerimaan uji lipat panelis, semakin banyak frekuensi pencucian nilai uji lipat kamaboko semakin menurun. Frekuensi pencucian satu kali menghasilkan nilai uji lipat tertinggi dengan nilai rata-rata 4.84 dan perlakuan pencucian empat kali menghasilkan nilai uji lipat terendah dengan nilai rerata 3.19. Berdasarkan uji lanjut Dunn, terlihat bahwa pencucian satu kali tidak berpengaruh nyata dibandingkan pencucian dua kali, namun berbeda nyata dengan pencucian tiga dan empat kali. Pencucian satu kali menghasilkan nilai mendekati 5 atau kualitas AA yang berarti tidak patah saat dilipat menjadi empat bagian. Benjakul et al. (2004) menyatakan bahwa semakin lama proses pencucian menyebabkan penurunan kekuatan gel surimi ikan. Kehilangan miofibril lebih banyak akan menyebabkan tingkat gelasi juga semakin rendah sehingga elastisitas gel juga akan menurun. Pencucian satu kali menunjukkan hasil paling baik yaitu dengan nilai uji lipat 4.84 atau hampir mendekati grade AA untuk kualitas surimi. Nilai minimal uji lipat yang disyaratkan adalah 4 (Suzuki 1981) atau sesuai syarat dan mutu surimi beku yaitu 7 (grade A) (BSN 1992). Uji gigit surimi lele Uji gigit (teeth cutting test) ini memberikan taksiran panelis secara subyektif seperti halnya pada uji lipat. Nilai uji gigit merupakan tingkat kekenyalan serta tekstur yang diterima oleh panelis. Berdasarkan uji KruskalWallis frekuensi pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap penerimaan uji gigit panelis pada surimi (p<0.05). Uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa masing-
26
Penerimaan uji gigit
masing frekuensi pencucian berbeda nyata terhadap nilai uji gigit surimi. Nilai hasil uji gigit terhadap surimi ikan lele dengan perbedaan frekuensi pencucian disajikan pada Gambar 9. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8.26a 6.77b
6.09c 4.71d
1
2 3 Frekuensi Pencucian
4
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 9 Nilai uji gigit pada frekuensi pencucian surimi. Seperti halnya uji lipat surimi, uji gigit memberikan gambaran penerimaan sensori terhadap kamaboko dengan rentang nilai 1-10. Berdasarkan hasil penerimaan uji gigit terlihat bahwa peningkatan frekuensi pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap nilai penerimaan panelis terhadap nilai uji gigit surimi. Pencucian satu kali menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan pencucian dua, tiga dan empat kali. Hal ini juga dipengaruhi oleh kadar air serta kandungan protein larut garam. Semakin tinggi kadar air maka tekstur kamaboko akan semakin lembek dan membuat kualitas surimi semakin rendah. Pencucian satu kali menghasilkan nilai uji gigit 8.26, sedangkan pencucian empat kali menunjukkan nilai kualitas uji gigit 4.71. Nilai uji gigit dipengaruhi oleh elastisitas atau kekuatan gel dari surimi. Penentuan dryoprotectant terbaik Konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terbaik telah diperoleh, kemudian dilanjutkan dengan penentuan dryoprotectant terbaik. Perlakuan yang diberikan adalah trehalosa 6%, karagenan 2%, dan dryoprotectant campuran, yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5%. Parameter pengujian dalam penentuan kualitas surimi tepung adalah rendemen, daya ikat air, kekuatan gel, protein larut garam, densitas, rehidrasi, sifat emulsi, dan daya buih. Rendemen surimi kering beku Pengeringan merupakan proses menghilangkan air dari produk dengan mengurangi kandungan air sampai level yang cukup rendah. Hal ini akan mengurangi kerusakan oleh mikroba dan laju reaksi kerusakan yang lain secara nyata. Selain berfungsi untuk pengawetan yang dapat meningkatkan masa simpan, pengeringan juga mengurangi masa dan volume produk sehingga efisien dalam transportasi dan penyimpanan. Prinsip proses pengeringan beku atau liofilisasi yaitu air dipindahkan dari padat langsung menjadi uap dengan sublimasi. Pengeringan terjadi dalam dua langkah yaitu pertama air berpindah dengan sublimasi, dan kedua adalah penguapan cairan pada molekul air yang tidak beku.
27
Bahan pangan kering terdiri atas berbagai senyawa kimia pangan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Semua senyawa tersebut cenderung menyerap atau mengikat air dengan berbagai mekanisme kimia-fisik dan menghasilkan berbagai sifat, mutu dan daya awet produk pangan (Soekarto et al. 2012). Rendemen memegang peranan penting dalam produk surimi. Proses pengeringan beku pada suhu -40 C akan menghilangkan air dalam daging hingga 80%. Penggunaan mixdryoprotectant yaitu sukrosa 4%, sorbitol 4% dan fosfat 0.5% menghasilkan rendemen 27.99%, sedangkan penggunaan trehalosa 6%, karagenan 2% dan tanpa pengunaan dryoprotectant berturut-turut menghasilkan rendemen 26.88%, 23.05% dan 20.42%. Uji ragam menunjukkan bahwa jenis dryoprotectant berpengaruh nyata terhadap rendemen surimi yang dihasilkan. Berdasarkan uji multiple comparison penggunaan sukrosa, sorbitol dan fosfat sebagai dryoprotectant tidak berbeda nyata dengan penggunaan trehalosa, namun berbeda nyata terhadap penggunaan karagenan dan surimi tanpa dryoprotectant. Rendemen surimi secara umum dipengaruhi oleh kehilangan kadar air, sehingga dapat dilihat bahwa dryoprotectant yang memiliki kemampuan daya ikat air yang tinggi dapat mempertahankan berat atau komponen air di dalam surimi. Keberadaan air akan mempengaruhi komponen-komponen utama lainnya seperti miofibril yang bertanggung jawab terhadap kemampuan pembentukan gel surimi. Produk surimi kering dengan beberapa jenis dryoprotectant dapat dilihat pada Gambar 10.
Karagenan 2 %
Trehalosa 6 %
Sukrosa 4%, Sorbitol 4%, Fosfat 0.5%
Tanpa penambahan dryoprotectant
Gambar 10 Surimi kering beku. Daya ikat air surimi kering beku Daya ikat air pada daging ikan dan produknya adalah kemampuan untuk mengabsorbsi dan menahan air selama perlakuan mekanis (pemotongan, penggilingan, pengadonan, penyusunan), perlakuan panas, transportasi dan penyimpanan. Daya ikat air mempengaruhi mutu daging seperti juiciness, tenderness, cita rasa, dan warna. Interaksi antara protein dan air mempengaruhi sifat-sifat tekstur daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi jaringan dan
28
berpengaruh pada daya ikat air selama pengolahan adalah kondisi fisiologis hewan, komposisi jaringan ikat, struktur histologi dan mikroskopik, pH, garam dan suhu saat penggilingan. Daya ikat air erat kaitannya dengan kadar air surimi. Kadar air awal air surimi kering pada penggunaan beberapa jenis dryoprotectant dapat dilihat pada Gambar 11.
Kadar air (%)
25,00 20,00 12.71a
15,00 10,00
9.06c
9.86bc
1
2
10.82b
5,00 0,00 3
4
Jenis Dryoprotectant Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 11 Kadar air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant ; 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%. Daya ikat air dipengaruhi oleh struktur dari miofibril, 97% daya ikat air ditentukan oleh miofibril (Zayas 1997). Terdapat jaringan tiga dimensi filamen dalam miofibril menyediakan ruangan terbuka untuk terjadinya imobilisasi air. Pada denaturasi protein terjadi pengkerutan ruangan tersebut sehingga air yang terimobilisasi berkurang. Trehalosa (C12H22O11.2H2O) dapat mempertahankan kadar air surimi kering, diikuti oleh surimi dengan penggunaan sukrosa, sorbitol dan fosfat. Huda et al. (2012) menyatakan bahwa trehalosa 6% menunjukkan keunggulan karakteristik dalam mempertahankan mutu surimi kering. Penggunaan karagenan menghasilkan surimi kering yang berbeda nyata terhadap surimi tanpa dryoprotectant (p<0.05). Sukrosa, sorbitol, fosfat dan trehalosa mampu menjaga komponen air di dalam daging selama proses pengeringan beku. Komponen polisakarida yang banyak memiliki gugus –OH mampu memerangkap air sehingga mampu menjaga komponen miofibril di dalam daging. Nilai daya ikat air dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan hasil analisis ragam jenis dryoprotectant berpengaruh nyata terhadap nilai daya ikat air surimi kering. Tidak ada perbedaan nyata antara surimi dengan penggunaan mixdryopotectant dan penggunaan karagenan. Surimi kering memiliki nilai daya ikat air berkisar 1.22-8.01 mL/g. Penggunaan trehalosa menunjukkan nilai daya ikat air surimi kering yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan surimi dengan dryoprotectant lainnya. Hasil penelitian Huda et al. (2012) pada surimi kering menghasilkan nilai daya ikat air 2.80-3.00 mL/g. Shaviklo et al. (2010) memperoleh nilai daya ikat air surimi pada ikan saithe 2.53 mL/g.
Daya ikat air (mL/g)
29
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8.01a
4.60b
5.40b
1.22c
1
2 3 4 Jenis Dryoprotectant Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 12
Daya ikat air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%.
Surimi kering dengan penggunaan trehalosa menunjukkan nilai daya ikat air tertinggi. Hal ini disebabkan karena trehalosa memiliki tingkat higroskopisitas yang rendah dan stabil selama proses pengolahan (Schiraldi et al. 2002). Karagenan juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan sukrosa, sorbitol dan fosfat. Karagenan merupakan hidrokoloid yang banyak memiliki gugus aktif yang mampu memerangkap air (Necas dan Bartosikova 2013) dan secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan gel dari surimi. Trehalosa mampu menghambat secara nyata Ca2+-ATPase selama periode penyimpanan sehingga mampu mempertahankan kekuatan gel yang baik. Trehalosa juga dapat menahan struktur molekul air di dalam protein, sehingga dapat menekan induksi denaturasi protein dan menjaga kekuatan gel (Osako et al. 2005). Secara umum trehalosa berperan dalam pembuatan surimi dimana molekulnya berinteraksi dan terikat dengan molekul protein melalui gugus fungsional dari dryoprotectant sehingga setiap molekul protein tertutup oleh molekul trehalosa yang terhidrasi. Trehalosa dapat mengurangi frekuensi kontak antar molekul protein sehingga meningkatkan hidrasi dan mengurangi agregasi protein. Penambahan dryoprotectant sebelum pembekuan mengakibatkan trehalosa terlarut dan tetap terikat pada molekul protein sehingga meningkatkan hidrasi dari molekul protein. Kondisi ini memperlambat pembentukan kristal es yang disebabkan meningkatnya resistensi terhadap perpindahan air dari permukaan protein, dan pembekuan tidak sempurna dari air disebabkan meningkatnya jumlah air terikat. Hal ini mengurangi derajat denaturasi protein (terbukanya lipatan). Surimi yang tidak diberi dryoprotectant menghasilkan nilai derajat air paling rendah dibandingkan dengan surimi yang diberi perlakuan dryoprotectant. Hal lain ditunjukkan pada penggunaan sukrosa, sorbitol dan fosfat sebagai dryoprotectant, nilai daya ikat airnya lebih baik dibandingkan dengan surimi tanpa dryoprotectant. Sorbitol sebagai salah satu mixdryoprotectant memiliki bobot molekul rendah yang dapat mempertahankan daya ikat air melalui ikatan hidrogen (Park 2005).
30
Ramadhan et al. (2011) menyatakan bahwa nilai daya ikat air surimi pada suhu 40 C adalah 9.38 ml/g. Nopianti et al. (2012) juga melaporkan bahwa penggunaan surimi tanpa cryoprotectant, dan dengan penggunaan sukrosa, laktisol, maltodekstrin, palatinosa, polidekstrosa, sorbitol dan trehalosa berturut-turut menghasilkan nilai daya ikat air sebesar 28.12%, 76.46%, 88.50%, 57.50%, 86.25%, 87.50%, 75.72%, dan 79.75%. Pengikatan air dengan protein berhubungan dengan grup polar hidrofilik misalnya amino, karboksil, hidroksil, karbonil dan sulfhidril. Protein yang mengandung banyak asam amino akan lebih banyak mengikat air. Protein miofibril bertanggung jawab terhadap pengikatan air, dan sekitar 97% daya ikat air berhubungan pada kontraksi protein miofibril (Zayas 1997). Kekuatan gel surimi kering beku Kekuatan gel merupakan faktor utama yang menentukan kualitas surimi dan dipengaruhi secara langsung oleh nilai daya ikat air dan kandungan protein larut garam. Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan daging dalam membentuk gel dengan campuran antara surimi dan garam, pencetakan dalam casing yang sesuai dan perebusan (Suzuki 1981). Berdasarkan analisis ragam diperoleh bahwa perbedaan penggunaan jenis dryoprotectant berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel surimi yang dihasilkan (p<0.05). Nilai kekuatan gel diperoleh pada surimi yang telah direhidrasi kembali dengan sejumlah air yang hilang selama proses pengeringan beku. Surimi tanpa panambahan dryoprotectant menunjukkan nilai kekuatan gel yang sama dengan surimi basah awal dengan pencucian satu kali. Nilai kekuatan gel surimi kering disajikan pada Gambar 13.
Kekuatan gel (g/cm2)
1200
1077.8a
1000
826.5b
800 555.9c 600
420.7c
400 200
0 1
2
3
4
Jenis Dryoprotectant Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 13 Kekuatan gel surimi dengan perbedaan jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%. Trehalosa terbukti menunjukkan nilai gel surimi yang lebih tinggi dibandingkan dengan surimi tanpa penambahan dryoprotectant. Trehalosa dapat mempertahankan kandungan air di dalam daging dan juga terlihat pada nilai daya ikat air yang cukup tinggi (8.01 mL/g). Karagenan memiliki nilai daya ikat air
31
yang lebih rendah dibandingkan dengan daya ikat air pada surimi dengan trehalosa, namun kekuatan gel pada karagenan menunjukkan nilai yang lebih tinggi karena karagenan memiliki sifat fungsional gel yang tinggi dengan kehadiran gugus 3.6 anhidro galaktosa (Necas dan Bartosikova 2013). P´erezMateos dan Montero (2000) menyatakan bahwa hidrokoloid dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada produksi surimi untuk meningkatkan daya ikat air dan kekuatan gel surimi yang dihasilkan. Uju et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan karagenan 2% pada surimi dapat mempertahankan kekuatan gel selama proses penyimpanan dengan nilai 566.25 - 906.25 g/cm2. Berdasarkan Codex Code for Frozen Food (1999) dalam Park dan Lin (2005), kualitas terbaik nilai kekuatan gel untuk industri surimi adalah 960 g/cm2 (grade A), sedangkan pada surimi dengan grade 'E' dengan nilai kekuatan gel 320 g/cm2 merupakan batas bawah kualitas ideal yang digunakan, khususnya di Jepang. Setelah penambahan dryoprotectant terjadi peningkatan kekuatan gel yang nyata, karena dryoprotectant berperan dalam mencegah agregasi rantai protein selama pengeringan terjadi. Keutuhan struktur miosin merupakan faktor penting dalam pembentukan gel surimi. Denaturasi pada rantai miosin selama pengeringan beku menghasilkan bentuk jaringan gel dengan mutu yang rendah, menurunkan nilai elastisitas dan kapasitas daya ikat air pada matriks gel surimi (Zhou et al. 2006). Zhou et al. (2006) juga menambahkan bahwa penggunaan trehalosa 8% memberikan hasil terbaik dalam menjaga kualitas surimi terutama kekuatan gel surimi tilapia selama 24 minggu. Trehalosa masih menjadi pilihan utama dibandingkan penggunaan sukrosa dan sorbitol atau karagenan. Upaya untuk mencari pengganti sukrosa dengan bahan-bahan cryoprotectant yang mempunyai tingkat kemanisan dan kalori yang rendah telah lama dilakukan (Park dan Lanier 1987; Park et al. 1988; Sych et al. 1990a; 1990b; 1991). Sukrosa sudah mulai banyak dihindari dikarenakan isu konsumsi gula dan rasa manis yang diberikan cenderung kurang disukai oleh konsumen di negara Barat (Sultanbawa dan LiChan 1998). Protein larut Garam (PLG) surimi kering beku Perubahan mutu daging ikan sangat dipengaruhi oleh denaturasi protein, khususnya protein miofibril (Suzuki 1981). Miofibril atau protein larut garam adalah salah satu faktor yang menentukan kualitas surimi. Selama proses pengeringan beku pada suhu -40 C terjadi proses hidrasi yang tinggi sehingga keberadaan dryoprotectant sangat penting untuk menjaga komponen air terikat daging sehingga miofibril masih dapat dipertahankan. Nilai protein larut garam surimi kering beku disajikan pada Gambar 14. Jenis dryoprotectant memberikan pengaruh nyata terhadap nilai protein larut garam surimi kering beku (p<0.05). Penggunaan trehalosa menunjukkan nilai miofibril paling tinggi dibandingkan dengan mixdryoprotectant dan karagenan. Hasil uji lanjut multiple comparison menunjukkan bahwa surimi dengan trehalosa memiliki nilai kandungan miofibril yang berbeda nyata terhadap surimi lainnya.
PLG (%)
32
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
18.98a 16.50c
1
17.62b
2
17.36b
3
4
Jenis Dryoprotectant Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 14 Nilai protein larut garam surimi kering : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%. Surimi tanpa penambahan dryoprotectant memiliki kandungan miofibril yang paling rendah. Hal ini disebabkan besarnya kandungan air yang hilang selama proses pengeringan beku yang turut menyebabkan kandungan miofibril juga ikut terdegradasi. Carvajal et al. (2005) menjelaskan bahwa surimi dalam bentuk kering mengalami kehilangan air hingga 70%. Proses pengeringan menjadi titik kritis karena protein sangat sensitif, baik pemanasan ataupun pengeringan selama proses dapat menyebabkan denaturasi protein. Proses pembekuan dan vakum dapat menyebabkan denaturasi dan agregasi prematur yang terjadi pada surimi. Yoo dan Lee (1993) telah melakukan kajian terhadap pembentukan gel pada surimi kering beku dengan perbedaan konsentrasi penambahan sorbitol. Peningkatan penambahan sorbitol (0%, 2.8%, 4.0%) pada surimi signifikan mempertahankan kekuatan gel yaitu berturut-turut 209, 218 dan 220 g/cm2. Secara tidak langsung kekutan gel dipengaruhi oleh kandungan miofibril ikan sehingga penambahan cryoprotectant terbukti dapat menjaga kadar miofibril di surimi selama proses pengeringan beku. Kanna et al. (1971) juga menyatakan bahwa proses freeze drying dapat menyebabkan sedikit terjadi denaturasi protein pada surimi. Perubahan protein selama proses pembekuan menyebabkan agregasi struktur aktin-miosin (Egelandsdal et al. 1986) dan denaturasi ekor miosin (Benjakul et al. 2001). Penurunan kadar PLG terjadi karena pada pengeringan beku dengan suhu 40 C, denaturasi protein masih tetap terjadi. Trehalosa menunjukkan kemampuan menjaga daya ikat air yang tinggi sehingga menjadikan PLG di dalam daging tetap terjaga dengan baik, walaupun protein dalam daging telah mengalami pembekuan. Selama protein membeku, menimbulkan ikatan intermolekuler antara grup protein. Dryoprotectant berfungsi untuk meningkatkan hidrasi molekul protein melalui ikatannya dengan protein (Park 2005). Trehalosa terbukti mampu menjaga kualitas surimi dengan baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hama (1999) yang menunjukkan bahwa penggunaan trehalosa 5% menghasilkan kekuatan gel, firmness dan atribut gel lainnya yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan sukrosa. Trehalosa adalah gula alami yang terdapat di alam, memiliki fungsi mirip dengan sukrosa
33
namun dengan kestabilan yang lebih tinggi dan kemanisan yang lebih lembut. Trehalosa merupakan disakarida tak tereduksi yang mengandung 2 molekul glukosa a,a -1,1 yang mampu memberikan proses yang sempurna dan kestabilan produk akhir. Trehalosa mampu mempertahankan kondisi kering untuk menjaga komposisi air dan komponen gizi lainnya dalam bahan pangan (Hama 1999). Secara umum dalam sistem pangan, trehalosa berfungsi mencegah penurunan kualitas pati, mencegah denaturasi protein selama proses produksi, penyimpanan dan distribusi sehingga kualitas makanan menurun, mencegah penurunan kualitas lemak akibat oksidasi dan stabilisasi vitamin-vitamin selama pemanasan terutama vitamin E. Trehalosa juga mencegah oksidasi, degradasi atau browning dari vitamin C karena interaksi dengan mineral, interaksi dengan mineral seperti mineral-mineral alkali (kalsium dan magnesium) agar tidak keluar dari daging, menekan bau dan rasa yang kurang enak karena mencegah terbentuknya amina, aldehida dan sulfida (belerang). Trehalosa menghilangkan kerusakan akibat proses pembekuan atau thawing disebabkan oleh air yang berubah menjadi kristal es akan merusak komposisi daging ikan, dan trehalosa akan menghilangkan atau mengurangi ukuran kristal yang terbentuk selama proses pembekuan (Higashiyama 2002). Densitas surimi kering beku Densitas adalah kerapatan suatu campuran (larutan) dalam suatu sistem padatan tertentu ataupun sebaliknya, merupakan perbandingan antara berat suatu bahan terhadap volumenya. Pengukuran densitas pada surimi kering untuk mengetahui seberapa besar kehilangan air dalam daging sehingga menyebabkan kehilangan ruang dan berat. Densitas nantinya akan dapat memperlihatkan kepadatan dari suatu sistem bahan pangan kering. Hal ini penting sehingga bentuk amorpous yang ada bisa dicegah untuk menyerap lebih banyak dan lebih cepat kandungan air dari luar sistem atau lingkungan. Secara umum terdapat perbedaan antara densitas kamba (bulk density) dan densitas massa (mass density). Kamba atau densitas kamba merupakan perbandingan massa bahan dengan volume bahan yang ditempatinya, termasuk ruang kosong diantara jaringan bahan pangan, dengan pengertian lain perbandingan antara massa bahan dengan volume ruangruang kosong di antara bahan. Densitas secara umum sering diartikan sebagai perbandingan massa bahan dengan volume yang ditempati oleh padatan namun ruang kosong tidak termasuk. Densitas dari surimi kering disajikan pada Gambar 15. Jenis dryoprotectant terbukti memberikan pengaruh terhadap densitas surimi kering yang dihasilkan (p<0.05). Berdasarkan uji lanjut multiple comparison surimi dan penambahan dryoprotectant, sukrosa, sorbitol dan fosfat, trehalosa dan karagenan menunjukkan nilai densitas secara nyata. Trehalosa memperlihatkan nilai densitas yang paling tinggi (4.06 mL/10g), nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan surimi kering yang dihasilkan oleh Huda et al. (2001) yang menunjukkan densitas surimi kering 2.43 mL/10g (lizardfish), 2.26 mL/10g (threadfin bream) dan 2.36 mL/10g (purple-spotted bigeye). Penggunaan trehalosa menghasilkan surimi threadfin bream dengan densitas 7.12 mL/g, 7.15 mL/g untuk sukrosa dan 6.60 mL/g untuk surimi dengan sorbitol. Hal ini membuktikan bahwa jenis ikan, teknik pengeringan, serta jenis dryoprotectant
34
Densitas (ml/10 g)
berpengaruh terhadap densitas surimi kering (Lanier dan Lee 1992; Venugopal et al. 1996; Shaviklo et al. 2012). 5 4 4 3 3 2 2 1 1 0
3.84b
4.06a 3.67b
2.42c
1
2 3 Jenis Dryoprotectant
4
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 15 Densitas surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. Sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%. Parameter densitas dapat digunakan untuk melihat kesempurnaan proses pengeringan atau keseragaman bentuk dan ukuran surimi kering. Surimi kering yang diproses dengan cara pengeringan lambat dan cenderung menggunakan panas maka akan mempunyai densitas kamba yang lebih tinggi dibandingkan dengan surimi yang diproses dengan cara kering beku atau dengan pengeringan cepat. Surimi dengan penambahan sukrosa, sorbitol dan fosfat, trehalosa, karagenan dan surimi tanpa penambahan dryoprotectant berturut-turut menghasilkan densitas kamba sebesar 0.176, 0.123, 0.134, dan 0.127 g/100mL. Surimi dengan penambahan sukrosa, sorbitol dan fosfat menunjukkan densitas kamba lebih tinggi. Hal ini dimungkinkan karena besarnya bagian dari dryoprotectant tersebut yang berbentuk basah mengisi komponen surimi. Surimi kering beku ikan lele memiliki nilai densitas kamba Surimi dengan penambahan trehalosa menunjukkan nilai densitas kamba terendah (0.123 g/100 mL). Nilai densitas kamba surimi kering lele sesuai dengan surimi tepung dari marlin yaitu 0.19 g/100 mL (Pratiwiningsih 2004). Nilai densitas kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan. Perhitungan densitas kamba ini sangat penting. Selain dalam hal konsumsi terutama juga dalam hal pengemasan dan penyimpanan surimi, surimi dengan densitas kamba yang tinggi menunjukkan kepadatan produk ruang yang kecil. Kapasitas rehidrasi surimi kering beku Rehidrasi merupakan sifat penting dalam mengukur kualitas pangan kering. Surimi kering mengalami kehilangan air selama proses liofilisasi, sehingga proses rehidrasi kembali dengan air menjadi paramater utama untuk melihat perubahan surimi kering. Analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis dryoprotectant berpengaruh nyata terhadap kapasitas rehidrasi surimi kering yang dihasilkan.
35
Rehidrasi merupakan faktor penting dalam bahan pangan kering. Rehidrasi menggambarkan bagaimana kemampuan atau daya kembali suatu bahan pangan kering. Rehidrasi menggambarkan kemampuan suatu bahan pangan kering menerima kembali air baik itu untuk tujuan konsumsi atau untuk pencampuran dengan bahan lain. Waktu rehidrasi yang diperlukan adalah 15 menit, dengan nilai rehidrasi tertinggi diperoleh trehalosa dengan nilai 3.813. Hal ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan surimi kering dari marlin yang memiliki nilai kapasitas rehidrasi berkisar antara 3.5-5.4 (Pratiwiningsih 2004). Gambar 16 menyajikan histogram nilai kapasitas rehidrasi surimi kering lele. 5,000
Kapsitas Rehidrasi
4,500 3.81a
4,000 3,500
3.07b 2.67c
3,000 2,500
2.04d
2,000 1,500 1,000 0,500 0,000 1
2
3
4
Jenis Dryoprotectant Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 16
Kapasitas rehidrasi surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. Kontrol, 2. Sukrosa 4%, Sorbitol 4%, Fosfat 0.5%, 3. Trehalosa 6%, 4. Karagenan 2%.
Sifat emulsi surimi kering beku Surimi sebagai konsentrat protein miofibril memiliki kemampuan sebagai emulsifier sebagaimana umumnya protein. Sifat-sifat emulsi terdiri dari kapasitas emulsi dan stabilitas emulsi. Nilai kapasitas emulsi surimi kering ikan lele berkisar antara 28.0-69.3%, sedangkan stabilitas emulsi berkisar antara 15.359.3%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan dryoprotectant memberikan pengaruh nyata terhadap sifat emulsi. Berdasarkan uji lanjut multiple comparison terlihat bahwa surimi tanpa penambahan dryoprotectant memiliki nilai yang paling rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan surimi dengan penambahan dryoprotectant. Kapasitas dan stabilitas emulsi antara surimi dengan penggunaan dryoprotectant sukrosa, sorbitol dan fosfat, trehalosa dan karagenan menunjukkan hasil yang tidak nyata. Sifat-sifat emulsi surimi kering ikan lele disajikan pada Gambar 17.
Sifat Emulsi (%)
36
80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
69.33a
68.67a 59.33a
59.33a
43.33a 38.67a 28.00b 15.33b
1
2
3
4
Jenis Dryoprotectant Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 17 Sifat emulsi surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% ( kapasitas emulsi, stabilitas emulsi). Emulsi merupakan faktor penting bagi surimi untuk bisa menjadi bahan pangan intermediate. Penelitian sebelumnya telah banyak dilakukan antara lain pada ikan lizardfish (Saurida sp.) dengan kapasitas emulsi (EC) 90% dan stabilitas emulsi (ES) 77.5%, threadfin bream (Nemipterus sp.), EC 95%, ES 82.8%, purple spotted bigeye (Priacanthus tayenus) EC 95%, ES 80.4% (Huda et al. 2001), saithe (Pollachius virens) EC 82.5%, ES 76.5% (Shaviklo et al. 2012), dan capellin (Mallotus villosus) dengan nilai EC 90%, dan ES 38% (Venugopal et al. 1994). Nilai emulsi baik kapasitas dan stabilitas emulsi surimi kering ikan lele masih jauh di bawah hasil beberapa penelitian yang terdahulu, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan surimi kering beku dari ikan marlin dengan aktivitas emulsi 0.44 dan stabilitas emulsi 71.03% (Pratiwiningsih 2004). Hal ini diduga karena komposisi protein dari ikan lele yang cukup rendah dan stadia ikan lele yang digunakan sudah sangat besar, yang menyebabkan kemampuan emulsi yang tidak begitu baik dibandingkan hasil penelitian dengan menggunakan ikan yang lain. Kapasitas emulsi terbaik adalah ketika komposisi protein hidrofilik dan hidrofobik seimbang. Surimi dengan penambahan trehalosa menunjukkan nilai kapasitas dan stabilitas emulsi yang paling baik dibandingkan dengan surimi tanpa penambahan dryoprotectant. Hal serupa juga dihasilkan oleh surimi ikan saithe dengan menggunakan freeze drying, tepung surimi dengan penambahan cryoprotectant menghasilkan kapasitas emulsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan surimi tanpa cryoprotectant (Shaviklo et al. 2012). Hal ini diduga karena trehalosa dapat menjaga komponen hidrofilik setelah pengeringan protein agar tidak mengalami denaturasi yang dapat menurunkan kapasitas emulsi dari surimi tepung. Daya buih surimi kering beku Foam atau busa didefinisikan sebagai fase dispersi antara gas di dalam air (g/L) atau cairan di dalam gas (L/g) (Foegeding dan Davis 2011). Kekuatan protein dalam memerangkap gas merupakan faktor utama yang menentukan karakteristik daya buih protein. Kapasitas daya buih adalah kalkulasi volume
37
campuran tepung surimi dan air dibandingkan dengan larutan volume awal, sedangkan stabilitas daya buih adalah rasio dari kapasitas daya buih setelah periode waktu tertentu dibandingkan dengan kapasitas daya buih awal (Miller and Groninger 1976). Karakteristik daya buih surimi kering ikan lele dengan periode waktu selama lima menit disajikan pada Gambar 18. 30,00
25.33a
Daya buih (%)
25,00
19.33b
17.33bc
20,00 15,00 10,00 5,00
9.4a
6.67c 2.9b
5.3c
5.3b
0,00 1
2 3 Jenis Dryoprotectant
4
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 18 Daya buih surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1. Kontrol, 2. Sukrosa 4%, Sorbitol 4%, Fosfat 0.5%, 3. Trehalosa 6%, 4. Karagenan 2%. ( kapasitas buih, stabilitas buih). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis dryoprotectant memberikan pengaruh nyata terhadap karakteristik daya buih surimi kering beku ikan lele. Hasil uji lanjut multiple comparison memperlihatkan bahwa surimi tanpa penambahan dryoprotectant berbeda nyata dibandingkan surimi dengan dryoprotectant. Trehalosa menunjukkan nilai kapasitas daya buih yang paling tinggi (25.33%), diikuti dengan dryoprotectant dengan penambahan sukrosa, sorbitol, fosfat adalah 19.33%, dan karagenan 17.33%. Kapasitas daya buih yang baik mengindikasikan stabilitas protein yang baik (Huda et al. 2001; Shaviklo et al. 2012). Penelitian lain menghasilkan surimi dari ikan lizardfish (Saurida sp.) dengan kapasitas daya buih 28.8% dan stabilitas emulsi menurun setelah 5 jam, threadfin bream (Nemipterus sp.) 34.6%, dan purple spotted bigeye (Priacanthus tayenus) 29.9%, tetap stabil selama 8 jam (Huda et al. 2001), saithe (Pollachius virens) dengan kapasitas daya buih 189.7% dan stabilitas daya buih 145.5% (Shaviklo et al. 2012). Daya buih akan bermanfaat terutama jika surimi berfungsi sebagai pengembang dan pengemulsi pada produk pangan. Mikrostruktur surimi kering beku Penentuan mikrostruktur bahan pangan sulit dilakukan, karena komponen yang terlibat sangat kompleks. Penampang struktur daging surimi kering dengan penambahan dryoprotectant disajikan pada Gambar 19. Studi tentang mikrostruktur bahan pangan dibutuhkan untuk memahami komponen bahan pangan dan hubungan antara mikrostruktur bahan pangan dengan sifat-sifat bahan pangan penting lainnya yang menentukan kualitas bahan pangan tersebut (Aquilera dan Stanley 1999).
38
1a
2a
1b
2b
3a
4a
3b
4b
Gambar 19 Mikrostruktur surimi kering (1. tanpa penambahan dryoprotectant ; 2. penambahan sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5% ; 3. penambahan trehalosa 6%; 4. penambahan karagenan 2%) (a. perbesaran 250 kali, b. perbesaran 1000 kali). Struktur daging ikan sangat halus, karena itu ikan sangat mudah menjadi busuk oleh bakteri. Proses pengeringan akan banyak meninggalkan ruang-ruang kosong dalam daging ikan, mikrostruktur daging ikan akan mengalami hidrasi. Dryoprotectant berperan dalam menjaga kekompakan dan matriks protein agar
39
tetap stabil di dalam jaringan. Struktur daging surimi tanpa penambahan dryoprotectant terlihat rapuh dengan struktur jaringan yang patah (Gambar 191a,1b). Terlihat banyak filamen-filamen daging yang tidak beraturan dan tidak menggumpal, disebabkan proses pengeringan hingga -40 C yang berakibat terjadinya hidrasi air yang begitu besar di dalam jaringan daging sehingga tanpa bahan pengikat semua komponen nutrisi serta miofibril cenderung rusak atau terdenaturasi. Hal ini senada dengan hasil parameter lainnya yang menunjukkan bahwa nilai daya ikat air, sifat emulsi, daya buih, kekuatan gel cenderung lebih rendah dibandingkan surimi dengan penambahan dryoprotectant. Surimi dengan penambahan dryoprotectant sukrosa 4%, sorbitol 4% dan fosfat 0.5% menunjukkan penampang mikrostruktur daging yang lebih baik, struktur daging dan matriks protein cenderung menggumpal akibat proses pelapisan dari dryoprotectant (Gambar 19-2a, 2b), walaupun dalam kondisi kering banyak meninggalkan ruang-ruang kosong (yang berwarna gelap). Julavittayanukul et al.( 2005) menyatakan bahwa penggunaan fosfat pada surimi ikan big eye snapper menunjukkan mikrostruktur daging yang baik. Penggunaan trehalosa 6% menunjukkan mikrostruktur daging yang lebih baik dibandingkan dengan surimi dengan penambahan dryoprotetant sukrosa 4%, sorbitol 4% dan fosfat 0.5%. Trehalosa terlihat dapat menyaluti komponen surimi dengan baik (Gambar 19-3a,3b). Pelapisan dan penggumpalan trehalosa lebih merata di matriks daging walaupun tetap menghasilkan beberapa celah atau ruang kosong di dalam jaringan. Hal ini serupa dengan nilai daya ikat air dan sifat fisik surimi lainnya yang menunjukkan keunggulan trehalosa sebagai dryoprotectant. Zhou et al. (2006) juga menyatakan bahwa penggunaan trehalosa 8% pada surimi tilapia menunjukkan kemampuan yang baik dalam melindungi protein dari denaturasi. Pada konsentrasi 8% menunjukkan nilai breaking force dan deformasi yang paling baik selama penyimpanan pada suhu -18 C selama 24 minggu. Surimi dengan penambahan karagenan juga memperlihatkan hasil yang baik, karagenan mampu melindungi struktur daging dan matriks jaringan, juga celah kosong yang ditinggalkan sangat sedikit, namun terlihat banyak jaringan yang patah. Karakteristik akhir surimi basah dan surimi kering beku Setelah diperoleh konsentrasi NaHCO3, frekuensi pencucian dan jenis dryoprotectant terbaik dalam proses pembuatan surimi kering beku, maka pada tahap selanjutnya produk akhir dibandingkan dengan surimi basah. Parameter yang dievaluasi adalah komposisi proksimat, sifat fisik, kimia dan parameter mikrostruktur. Perbandingan antara surimi basah dan surimi kering disajikan pada Tabel 2. Nilai proksimat antara surimi basah dan surimi kering terdapat perbedaan nyata pada kadar air, surimi kering telah mengalamai rehidrasi dengan proses liofilisasi. Kehilangan air yang besar tidak bisa dihindarkan, penggunaan dryoprotectant dimaksudkan untuk melindungi komponen-komponen nutrisi dan miofibril yang berpengaruh terhadap kualitas akhir surimi. Kandungan air surimi kering masih cukup tinggi dibandingkan standar bahan pangan kering yang ditetapkan oleh Uni Eropa yaitu 6%.
40
Tabel 2 Hasil komposisi proksimat, sifat fisik dan sifat kimia pada surimi kering dan surimi basah ikan lele Parameter Komposisi Proksimat Air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Sifat Fisik Rendemen (%) Warna (L) Daya ikat air (%) Kekutan gel (g/cm2) Uji lipat Uji gigit Sifat Kimia Protein larut garam (%) Sifat emulsi Kapasitas emulsi (%) Stabilitas emulsi (%) Sifat daya buih Kapasitas daya buih (%) Stabilitas daya buih (%)
Surimi basah (bk)
Surimi kering
3.75 63.39 1.85
12.23 1,26 41.4 1.76
25.24 67.79 85.28
6.7 60.47 75.03
482.3 4.83 (AA) 8.27
626.5 3.23 (B) 5.27
34.23
18.97
78.4 68.7
69.4 57.3
41 18.5
24.7 9.0
Penelitian surimi kering yang dilakukan oleh Huda et al. (2012) menghasilkan surimi dengan kadar air 5.2-6.4%. Masih tingginya kadar air pada surimi kering diduga disebabkan oleh pengaruh tingginya RH lingkungan sehingga perubahan menuju kesetimbangan sangat cepat terjadi. Proses adsorpsi air dari lingkungan ke dalam sistem pangan terjadi sampai kandungan air dalam sistem pangan setimbang dengan kondisi RH lingkungan. Nilai lemak dan protein surimi kering mengalami penurunan dibandingkan dengan surimi basah. Hal ini disebabkan karena proses pengeringan beku selama 24 jam mengakibatkan hidrasi yang besar terhadap air, kerusakan terhadap komponen lemak dan protein pun tidak dapat dihindari. Kandungan lemak dari surimi kering masih cukup tinggi yaitu 1.76% masih di atas standar FAO untuk KPI yaitu 0.75% untuk KPI tipe A. Nilai protein surimi kering juga masih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Huda et al. (2012) yang menghasilkan surimi dengan kandungan protein hingga 77%. Standar KPI tipe A FAO juga mensyaratkan kandungan protein yaitu minimal 65%. FAO membagi beberapa tipe FPC yaitu :1) Tepung yang secara umum aroma dan rasa ikannya kurang dengan kandungan lemak maksimun 0.75% dan total protein minimal 65-80% (tipe A), tidak ada spesifikasi batas aroma dan rasa, tetapi minimal memiliki aroma ikan dengan kandungan lemak maksimal 3% (FPC tipe B), dan FPC yang memiliki kandungan lemak lebih besar dari 3% dan protein lebih rendah dari 65%
41
serta diolah tidak dalam kondisi yang hygiene (FPC tipe C). Berdasarkan nilai proksimat dari surimi kering, surimi lele ini bisa dikategorikan sebagai KPI tipe B. Tingginya nilai kekuatan gel ternyata tidak seiring dengan peningkatan kualitas sensori. Hal ini diduga terkait dengan menurunnya komponen nutrisi terutama miofibril. Sifat fisik surimi kering banyak mengalami perubahan yaitu pada nilai daya ikat air, kekuatan gel, dan penilaian sensori. Rendemen surimi kering sangat kecil hingga 6.70% dari berat awal ikan. Daya ikat air surimi kering lebih rendah dibandingkan dengan surimi basah. Proses pengeringan menyebabkan hidrasi di jaringan yang menjadikan matriks protein terurai dan terdenaturasi sehingga menyebabkan berkurangnya nilai daya ikat surimi kering. Kekuatan gel yang dihasilkan oleh surimi kering lebih tinggi dibandingkan dengan surimi basah, namun berdasarkan analisis gambar dari profile texture surimi terdapat dua puncak yang menandakan adanya nilai hardness pada surimi kering. Kekenyalan atau sifat gel cukup rendah juga dibuktikan dengan menurunnya nilai uji lipat dari 4.84 menjadi bernilai 3.23 (surimi tipe B). Nilai protein larut garam mengalami penurunan dikarenakan agregasi dan denaturasi protein selama proses pengeringan beku dan vakum. Sifat emulsi dan daya buih dari surimi kering mengalami penurunan dibandingkan dengan surimi basah. Kapasitas dan stabilitas surimi basah menunjukkan nilai yang lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh masih tinggi dan kompleksnya komponen protein sehingga kapasitas daya buih dan sifat emulsi dari surimi masih baik. Kehilangan air selama proses pengeringan menyebabkan komponen protein juga mengalami hidrasi dan secara tidak langsung mempengaruhi sifat fisik surimi. Perubahan kualitas surimi kering tidak signifikan terutama ditunjukkan pada nilai kapasitas emulsi dan stabilitas emulsi yang masih tinggi masing-masing 69.4% dan 57.3%. Hal ini diduga karena protein surimi cenderung memiliki asam amino non polar lebih dari 30%. Protein yang memiliki komponen asam amino non polar lebih tinggi mempunyai sifat emulsi dan daya buih yang baik namun memiliki keuatan gel yang rendah. Reynolds et al. (2002) juga menyatakan bahwa surimi kering beku selama penyimpanan suhu chilling 1, 3 hingga 6 bulan menunjukkan nilai reologi yang masih baik dan tidak berbeda nyata. Hal tersebut mengindikasikan potensi surimi kering beku lele untuk dikembangkan sebagai emulsifier. Santana et al. (2013) telah mengkaji penggunaan tepung surimi atau surimi kering beku dari ikan Nemipterus japonicus sebagai emulsifier dalam pembuatan sosis. Mikrostruktur surimi kering dan kamaboko Mikrostruktur merupakan komponen penting yang menggambarkan penampang komponen jaringan daging serta interaksinya terhadap lingkungan berupa bahan pangan lain, suhu, asam dan komponen lainnya. Serabut daging ikan merupakan serabut yang bersatu membentuk lempengan-lempengan yang tersusun secara sistematis dari arah depan kebelakang sepanjang tubuh ikan. Gambar 20 menunjukkan penampang mikrostruktur surimi kering serta kamaboko yang diolah dari surimi kering, surimi basah dan kamaboko yang diolah dari surimi basah.
42
SK
SB
KK
KB
Gambar 20 Penampang mikrostruktur surimi kering (SK), surimi basah (SB), kamaboko kering (KK), dan kamaboko basah (KB) (perbesaran 250 kali). Mikrostruktur surimi ikan secara umum terlihat tidak teratur dan banyak terdapat jaringan-jaringan yang pecah. Daging yang mengalami penggilingan atau penghalusan secara mikrostruktur akan berubah, serabut-serabut otot terlihat tidak beraturan, karena proses penggilingan yang dilakukan sehingga serabut-serabut otot pecah dan akan saling bergabung menjadi bentuk yang tidak beraturan. Serabut tersusun secara sistematis dari arah depan kebelakang tubuh ikan (Suzuki 1981). Penggunaan trehalosa terbukti dapat melindungi surimi selama proses pengeringan beku walaupun setelah diolah menjadi kamaboko terlihat struktur daging menggumpal namun memiliki poros kosong. Hal ini terjadi akibat pengaruh garam dan pemanasan terhadap protein. Berbeda halnya dengan kamaboko yang dihasilkan dari surimi basah (SB) menunjukkan jaringan yang rapat dan menggumpal sempurna. Proses penggumpalan setelah pengolahan dengan penambahan garam dan panas akan mempercepat terjadinya pemecahan matriks protein dan terkoagulasi menjadi daerah padat atau menghasilkan tekstur yang keras (Aquilera dan Stanley 1999). Penambahan garam pada saat pembuatan kamaboko dapat mengekstrak protein miofibril (miosin dan aktin) yang bertindak sebagai stabilizer dalam menghasilkan komponen emulsi kamaboko. Pada surimi kering dehidrasi jaringan meningkat bersamaan dengan distorsi miofibril (Kimura et al. 1991). Hal ini membuktikan walaupun surimi kering memiliki karakteristik kimia, fisika yang tidak jauh menurun dibandingkan dengan surimi basah namun secara mikrostruktur terdapat perbedaan yang jelas saat surimi kering kembali direhidrasi dengan air. Tidak semua bagian air mampu kembali mengisi celah-celah kosong di surimi kering.
43
Kamaboko menunjukkan struktur yang kompak dan seragam, karena selama proses pemasakan protein akan saling terlarut dan berikatan di antara partikel daging (Lee et al. 1984). Keadaan air bebas dan air terikat dipengaruhi oleh susunan molekul miofibril. Struktur tiga dimensi filamen di dalam miofibril menghasilkan suatu ruang terbuka untuk air bergerak, sedangkan menurunnya atau meningkatnya daya ikat air berhubungan dengan pembengkakan miofibril karena ekspansi kisi-kisi atau ruang antar filamen sehingga diameter meningkat 2.5 kali dari diameter normal (Zayas 1997). Daya ikat air surimi kering menunjukkan nilai yang sama dengan penampang mikrostruktur surimi kering. Daya ikat air surimi kering lebih rendah dibandingkan dengan surimi basah. Dua pertiga dari penurunan daya ikat air terjadi akibat penurunan kandungan miofibril karena proses pengeringan kering. Pengikatan air oleh jaringan otot terjadi karena perubahan intensitas pembengkakan miofibril. Struktur tiga dimensi menghasilkan ruang terbuka untuk air bergerak. Pengikatan air oleh protein dipengaruhi oleh konsentrasi protein, pH, kekuatan ionik, adanya komponen lain (polisakarida, lemak dan garam), kecepatan, suhu dan lamanya pemanasan serta kondisi penyimpanan. Kapasitas protein untuk menahan air dipengaruhi oleh jenis dan jumlah grup polar dalam rantai polipeptida. Proses pengeringan yang cepat dengan suhu yang sangat dingin menyebabkan protein diduga tetap terdenaturasi sehingga menyebabkan terjadinya penurunan daya ikat air. Diduga bahwa beberapa komponen protein berkurang termasuk miofibril. Grup amino polar dari molekul protein (imino, amino, karboksil, hidroksil, karbonil dan grup sulfihidril ) merupakan sisi utama dari interaksi protein-air yang berperan dalam pengikatan sejumlah air melalui ikatan hidrogen (Zayas 1997). Simpulan Berdasarkan surimi kering lele yang diproduksi, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Sodium bikarbonat terbukti secara nyata mampu mereduksi lemak fillet lele dengan konsentrasi dan waktu perendaman terpilih 0.75% selama 10 menit. 2. Pencucian surimi satu kali menunjukkan parameter kualitas surimi yang paling baik dibandingkan frekuensi pencucian lainnya, terkecuali untuk nilai warna menunjukkan masih rendahnya derajat putih surimi pencucian satu kali 3. Trehalosa 6% terpilih menjadi dryoprotectant terbaik dalam menjaga kualitas surimi kering selama proses liofilisasi 4. Terdapat penurunan kualitas fisikokimia produk akhir surimi kering dibandingkan surimi basah, begitu pula jaringan daging pada surimi kering belum mampu kembali rehidrasi sempurna ke bentuk awal. Parameter hedonik surimi kering menghasilkan surimi kualitas tipe B.
44
45
3 PENDUGAAN UMUR SIMPAN SURIMI KERING BEKU Pendahuluan Latar belakang Keamanan bahan pangan merupakan faktor terpenting dalam parameter mutu atau penentu kualitas pangan yang ada. Salah satu unsur penjamin kualitas keamanan pangan adalah dengan kewajiban pencantuman label tanggal kadaluarsa pada bahan pangan. Arpah (2007) menyatakan bahwa pencantuman tanggal kadaluarsa pada kemasan pangan menjadi informasi yang penting ketika suatu produk akan dipasarkan guna menjaga keamanan pangan bagi konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah mengatur bahwa masyarakat wajib mendapat perlindungan hak paling asasi, yaitu mendapatkan informasi dan keamanan terhadap makanan yang dibeli di pasaran. Peraturan mengenai ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa juga diatur pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor : HK.03.1.2.07.11.6664 Tahun 2011, tentang Pengawasan Kemasan Pangan. Hal ini juga didukung dan dipertegas dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang label dan iklan pangan yang menyatakan bahwa setiap industri pangan wajib mencantumkan waktu atau tanggal kadaluarsa pada setiap kemasan produk. Pencantuman informasi tanggal kadaluarsa merupakan jaminan produsen pangan kepada konsumen bahwa hanya produk bermutu baik saja yang dipasarkan dan produk tersebut aman untuk dikonsumsi sebelum tercapai waktu kadaluarsa. Umur simpan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang sesuai dengan parameter mutu produk (Labuza dan Schmidl 1985). Pendugaan umur simpan suatu produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu, metode konvesional dan akselerasi. Pendugaan umur simpan secara konvesional membutuhkan waktu yang cukup lama karena dilakukan pada kondisi penyimpanan normal, sehingga metode ini terbilang kurang efisien dalam menentukan umur simpan suatu produk. Metode pendugaan umur simpan secara akselerasi telah banyak mengalami perkembangan selama beberapa periode terakhir ini. Salah satunya adalah metode akselerasi dengan melakukan pendekatan model kadar air kritis. Menurut Arpah (2007), pendekatan model kadar air kritis umumnya cocok digunakan untuk menentukan umur simpan produk-produk kering dimana perubahan kadar air menjadi kriteria kadaluarsa. Oleh karena itu, metode akselerasi menjadi alternatif metode yang dapat diterapkan secara lebih efisien dalam uji pendugaan umur simpan pada berbagai produk pangan. Berbagai jenis produk pangan secara umum terbagi atas pangan basah, semibasah dan pangan kering. Pangan kering merupakan salah satu pangan yang memiliki masa simpan yang lebih lama dikarenakan sedikitnya jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Akan tetapi untuk beberapa pangan kering faktor kelembaban yang tinggi selama penyimpanan dapat menjadi parameter yang menentukan kualitas produk pangan kering. Penyimpanan bahan pangan kering saat ini masih menjadi masalah terutama disebabkan oleh kondisi iklim Indonesia yang merupakan negara tropis,
46
dengan kelembaban 70-95% sulit untuk menjaga kestabilan kadar air dan aktivitas air dalam bahan pangan. Hal ini menyebabkan penyimpanan produk panganpangan kering membutuhkan perlakuan khusus untuk menjaga mutu dan memperpanjang umur simpan produk. Tepung surimi yang dihasilkan merupakan produk kering dengan kadar air 7-12%. Surimi kering merupakan produk surimi yang didehidrasi dari surimi basah. Mutu utama produk surimi kering ditentukan oleh kandungan protein miofibril, dan faktor utama yang mengalami kemunduran pada surimi kering adalah aktivitas air dan kadar air. Surimi kering yang berbentuk tepung memerlukan kajian lebih dalam mengenai perubahan mutu dan faktor-faktor yang menyebakan kemunduran muru surimi selama penyimpanan dengan menggunakan model-model pendugaan umur simpan. Karakteristik gel, nilai aw dan kadar air pada produk surimi dapat dipertahankan dengan proses pengemasan yang baik, walaupun proses pengemasan hanya dapat memperpanjang umur simpan suatu produk pangan dalam waktu tertentu. Keunggulan dari produk surimi kering serta potensi pengembangannya yang begitu besar menjadikannya sebagai salah satu alternatif produk intermediate instant pilihan di masa datang. Pendugaan umur simpan produk surimi kering yang baru dikembangkan ini penting dilakukan sebagai kajian awal, sehingga produk tersebut dapat dipasarkan dan dikonsumsi dengan aman oleh konsumen. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pendugaan umur simpan surimi kering beku ikan lele dengan berbagai kemasan dan kondisi kelembaban udara.
Metode Waktu dan Tempat Penelitian tahap dua ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai dengan Mei 2013, di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK; Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Laboratoirum Teknologi Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku, bahan tambahan serta bahan kimia untuk analisis. Bahan baku yang digunakan adalah tepung surimi lele. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah garam Pro Analis MgCl2, NaCl, KCl, KI, K2CO3, NaNO2, K2SO4, NaI, NaBr, NaOH (MERCK) kemasan plastik Oriented polypropylene (OPP), HDPE, retort pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40), vaselin, dan akuades. Alat yang digunakan meliputi alat penyimpanan, dan alat analisis. Alat penyimpanan surimi kering berupa desikator modikasi sebagai pengkondisian RH. Alat pengering surimi yang digunakan adalah pengering beku/freeze dryer (Christ Alpha 2-4 3360 Harz tipe 10042). Peralatan yang digunakan untuk analisis adalah alat dekstruksi dan alat-alat gelas, refrigerator (Glacio-Toshiba tipe GR
47
K262/262PD), freezer (SHARP tipe FRV-200), aw meter (Shibaura Electronics WA-360). Metode Percobaan Penelitian yang dilakukan meliputi tahap penentuan parameter utama pengujian, pengukuran isorpsi air dengan kurva ISA, dan pengukuran parameterparameter lingkungan serta sifat kemasan. Pendugaan umur simpan surimi kering beku Perlakuan terbaik pada proses pembuatan surimi pada tahap awal kemudian dijadikan formula utama dalam pembuatan surimi kering beku. Tahap selanjutnya tepung surimi dikemas dengan tiga jenis kemasan yaitu OPP, HDPE dan Retort pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40). Surimi kering beku ditentukan umur simpannya dengan menggunakan model air kritis. Percobaan berikutnya dilakukan dengan tujuan menghasilkan kurva isotermi sorpsi air (ISA) surimi kering yang digunakan untuk melakukan analisis pendugaan umur simpan. Beberapa model pendekatan juga digunakan untuk menentukan parameter kemunduruan mutu surimi kering beku. Pengamatan meliputi pengukuran kadar air kesetimbangan, kadar air kritis dan analisis pendugaan umur simpan berdasarkan transport uap air ke dalam bahan pangan kemasan dan penyerapan air oleh bahan pangan dan menggunakan model matematik dengan analisis regresi sebagai berikut:
Keterangan: t = waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan (hari) Me = kadar air kesetimbangan produk (gH2O/g solid) Mi = kadar air awal produk (gH2O/g solid) Mc = kadar air kritis produk (gH2O/g solid) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m 2hari mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2) Ws = bobot padatan per kemasan (g) Po = tekanan uap air pada ruang penyimpanan (mmHg) b = kemiringan kurva sorpsi isotermis Prinsip utama dari model pendekatan kadar air kritis adalah menentukan kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering beku yang disimpan pada berbagai RH. Hubungan data kadar air kesetimbangan surimi kering beku dengan RH tempat penyimpanan surimi akan dihasilkan kurva sorpsi isotermis produk surimi kering beku. Kurva sorpsi isotermis digunakan untuk mengetahui pola penyerapan uap air dari lingkungan, sehingga umur simpan surimi kering beku dapat ditentukan. Diagram alir pendugaan umur simpan dengan model kadar air kritis dapat dilihat pada Gambar 21.
48
Gambar 21 Penentuan umur simpan surimi kering beku dengan model air kritis (Arpah 2007). Prosedur pengujian variabel-variabel pendugaan umur simpan Pendugaan umur simpan surimi kering beku dengan model pendekatan kadar air kritis, diawali dengan penentuan beberapa variabel yang akan digunakan dalam perhitungan umur simpan. Prosedur pengujian variabel tersebut meliputi penentuan kadar air awal, penentuan kadar air kritis, penentuan kadar air kesetimbangan, penentuan kurva sorpsi isotermis, penentuan model persamaan sorpsi isotermis, evaluasi model, penentuan nilai slope (b) kurva sorpsi isotermis, serta penentuan bobot padatan per kemasan dan luas permukaan kemasan. a. Penentuan kadar air awal (Mi) (AOAC 2005) Penentuan kadar air awal perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi awal produk. Penentuan kadar air awal surimi kering beku dilakukan pada sampel yang baru saja dibuka dari kemasan. Penentuan kadar air ini diawali dengan mengeringkan cawan kosong dalam oven pada suhu 102-105 C selama 30 menit. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator (kurang lebih 40 menit) hingga dingin dan kemudian ditimbang. Sampel surimi kering beku sebanyak kurang lebih 5 g kemudian diletakkan dalam cawan kosong yang sudah ditimbang beratnya. Cawan yang berisi sampel kemudian ditutup dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 C selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin lalu ditimbang kembali. Kadar air dapat dihitung dengan rumus: Kehilangan berat (g) = berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g) Kadar air (berat kering) (%) =
Ke hilangan berat (g) Berat sampel setela h dikeringkan (g)
x 100%
49
b. Penentuan kadar air kritis (Mc) Penentuan kadar air kritis diawali dengan menyimpan produk surimi kering beku tanpa kemasan pada suhu ruang atau kamar (30 ± 1 C) selama 5 jam. Setiap jam dilakukan pengambilan sampel untuk diuji aktivitas air dan dianalisis kadar airnya. Kadar air surimi kering beku diukur berdasarkan AOAC (2005). Kadar air kritis dapat diperoleh dari persamaan regresi linier yang menghubungkan nilai aktivitas air dengan nilai kadar air. Kadar air kritis ditentukan pada saat nilai aktivitas air bernilai 0.80. Kondisi kritis surimi kering beku tersebut ditentukan pada saat nilai aw berada di batas akhir kriteria produk pangan kering. c. Penentuan kadar air kesetimbangan (Me) Penentuan kadar air kesetimbangan diawali dengan melarutkan garam tertentu hingga jenuh atau tidak larut kembali. Garam yang digunakan antara lain MgCl2, NaCl, KCl, KI, K2CO3, NaNO2, K2SO4, NaI, NaBr, CH3COOK, NaOH. Sebanyak 100 ml larutan garam jenuh dimasukkan kedalam desikator yang dimodifikasi untuk mengatur RH ruangan (desikator modifikasi). Sekitar 2-5 g sampel surimi kering beku diletakkan pada cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Cawan berisi sampel tersebut diletakkan di dalam desikator yang telah berisi larutan garam jenuh. Desikator kemudian disimpan pada suhu ruang (30 ± 1 C) dan sampel ditimbang secara periodik tiap 24 jam hingga mencapai bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai (Arpah 2007). Beberapa larutan garam jenuh yang biasanya digunakan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Beberapa larutan garam jenuh dan nilai RH pada suhu 30 C No Larutan Garam Jenuh RH 1 Natrium Hidroksida (NaOH) 6.9 2 Lithium Klorida (LiCl) 11.2 3 Potassium Asetat (CH3COOK) 22.6 4 Magnesium Klorida (Mg Cl2) 32.4 5 Natrium Iodide (NaI) 36.3 6 Potassium Karbonat (KaCO3) 43.0 7 Magnesium Nitrat (Ma(NO3)2) 51.3 8 Natrium Bromida (NaBr) 57.5 9 Natrium Nitrit (NaNO2) 64.0 10 Potassium Iodida (Kl) 69.0 11 Strontium Klorida (SrCl2) 71.0 12 Natrium Nitrat (NaNO3) 73.8 13 Natrium Klorida (NaCl) 75.5 14 Potassium Bromida (KBr) 80.7 15 Potassium Klorida (KCl) 84.0 16 Natrium Sulfat (Na2SO4) 85.9 17 Potassium Kromat (K2CrO4) 86.4 18 Barium Klorida (BaCl2) 90.3 19 Ammonium Fosfat (NH4H2PO4) 92.7 20 Potassium Nitrat (KNO3) 93.0 21 Potassium Sulfat (K2SO4) 97.0 Sumber : Rockland dan Nishi (1980) ; Labuza dan Schmidl (1985).
50
Bobot yang konstan ditandai dengan selisih bobot antara tiga kali penimbangan tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Lievonen dan Ross 2002). Sampel yang telah mencapai bobot konstan kemudian diukur kadar airnya berdasarkan AOAC (2005). d. Penentuan kurva sorpsi isotermis Penentuan kurva sorpsi isortermis dibuat dengan cara memplotkan nilai kadar air kesetimbangan hasil percobaan dengan nilai kelembaban relatif (RH) atau aktivitas air (aw). Labuza dan Bilge (2007) menyatakan bahwa aktivitas air suatu bahan pangan dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi sama atau dengan membagi ERH lingkungan dengan nilai 100. Rumus aw tersebut adalah: aw =
P Po
=
ERH 100
Keterangan: aw = aktivitas air P = tekanan uap air bahan (mmHg) Po = tekanan uap air murni pada suhu yang sama (mmHg) ERH = kelembaban relatif seimbang e. Penentuan model persamaan sorpsi isotermis (Arpah 2007) Penentuan model persamaan sorpsi isotermis dilakukan untuk memperoleh kemulusan kurva yang terbaik. Persamaan yang dipilih adalah persamaan yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan dengan kisaran RH 0-95% sehingga dapat mewakili ketiga daerah pada kurva sorpsi isotermis. Model persamaan yang digunakan pada penelitian ini ada 5, yaitu model Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton. Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air dan merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan pada bahan pangan kering. Model Caurie berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0-0.85 dan model Oswin berlaku untuk bahan pangan pada RH 0-85%. Model Chen Clayton berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif 10-81% (Cirife dan Iglesias 1978a) Model-model persamaan sorpsi isotermis yang digunakan merupakan persamaan yang diubah ke dalam bentuk persamaan linier, sehingga nilai-nilai konstanta yang ada dalam persamaan juga dapat ditentukan dengan metode kuadrat terkecil. Model persamaan Hasley, Henderson, Caurie, Oswin dan Chen Clayton sebagai berikut: Model persamaan Hasley : aw = exp[-P1/(Me)P2] Model persamaan Henderson : 1-aw = exp(-KMen) Model persamaan Caurie : ln Me = ln P1-P2*aw Model persamaan Oswin : Me = P1[aw/(1- aw)] P2 Model persamaan Chen Clayton : aw = exp[-P1/exp(P2*Me)]
51
Keterangan: Me = kadar air kesetimbangan ; aw = aktivitas air ; K dan n = konstanta ; P1 dan P2 = konstanta f. Evaluasi model (Cassini et al. 2006) Evaluasi model dilakukan untuk mengetahui ketepatan dari beberapa model persamaan sorpsi isotermis yang terpilih untuk menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan. Evaluasi model dilakukan dengan menghitung nilai Mean Relative Deviation (%MRD) dari masing-masing model. Rumus MRD tersebut adalah:
Keterangan: Mi = kadar air percobaan Mpi = kadar air hasil perhitungan ;
n = jumlah data
g.
Penentuan nilai kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis (Labuza dan Schmidl 1985) Nilai kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis ditentukan pada daerah linier (Arpah 2007). Menurut Labuza dan Schmidl (1985), daerah linier untuk menentukan kemiringan kurva sorpsi isotermis diambil antara daerah kadar air awal dan kadar air kritis. Kurva sorpsi isotermis yang digunakan adalah kurva yang dihasilkan berdasarkan model sorpsi isotermis yang terpilih. Titik-titik hubungan antara aktivitas air dan kadar air kesetimbangan memiliki persamaan linier y = a + bx. Nilai b dari persamaan linier tersebut merupakan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis. Penentuan nilai kemiringan (b) dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap umur simpan produk melalui persamaan Labuza. h. Penentuan bobot padatan per kemasan dan luas permukaan kemasan Bobot produk awal (Wo) dalam suatu kemasan ditimbang dan dikoreksi dengan kadar air awalnya (Mo) yang kemudian dinyatakan sebagai bobot padatan produk per kemasan (Ws). Luas permukaan kemasan (A) yang digunakan dihitung dengan mengalikan panjang dengan lebar kemasan, dengan rumus sebagai berikut: A=PxL Keterangan: A = luas kemasan (m2) P = panjang kemasan (m) L = lebar kemasan (m) Analisis data umur simpan Data lama penyimpanan dengan kadar air dan aktivitas air dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana (satu peubah bebas). Peubah bebas adalah peubah yang nilainya tidak tergantung pada peubah lain. Lama penyimpanan merupakan peubah bebas, sedangkan kadar air dan aktivitas air merupakan peubah terikat. Persamaan regresi linier yang digunakan adalah:
52
y = a + bx Keterangan: y = nilai peubah terikat a = konstanta b = kemiringan kurva Nilai kadar air kritis dapat ditentukan dari persamaan regresi linier yang menghubungkan skor tekstur dengan nilai kadar air. Nilai kadar air kritis dan nilai aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai ditentukan ketika aw bernilai minimal 0.80. Pengujian selanjutnya pada pendugaan umur simpan menggunakan model Labuza dan beberapa model pendekatan ISA lainnya.
Hasil dan Pembahasan Kadar air awal (Mi) surimi kering beku Penentuan karakteristik awal surimi kering berupa analisis proksimat dan aktivitas air produk. Kadar air merupakan parameter utama surimi kering yang mudah mengalami perubahan disebabkan perubahan RH lingkungan selama penyimpanan dibandingkan dengan parameter-parameter lainnya. Perubahan kadar air akan mempengaruhi secara langsung a w dan kandungan protein dari produk surimi yang bersifat higroskopis ini. Oleh karena itu kadar air dan aw ditentukan sebagai faktor utama perubahan awal dari surimi kering. Kadar air awal surimi kering beku berkisar antara 7-12%. Kadar air kritis (Mc) surimi kering beku Informasi mengenai kadar air kritis (Mc) dari produk kering sangat diperlukan dalam penentuan umur simpan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Surimi kering merupakan produk intermediate sehingga paramater hedonik tidak dapat diterapkan secara langsung. Aktivitas air dan kadar air merupakan faktor-faktor awal yang diduga dapat diamati dan menjadi parameter penentu kemunduran surimi kering. Kadar air kritis surimi kering pada penelitian ini ditentukan berdasarkan persamaan linier yang diperoleh dari kurva hubungan antara nilai logaritmik kadar air dengan aktivitas air. Nilai aw 0.80 ditetapkan sebagai batasan penolakan produk dikarenakan merupakan ambang batas aw produk kering. Kadar air awal surimi kering adalah 7.56% dan kadar air kritis pada penelitian adalah 19.65% pada aktivitas air 0.807. Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai aktivitas air (aw) dapat dilihat pada Gambar 22.
Aktivitas air (aw)
0,85 0,8 0,75 0,7 0,65 0,6 0
2
4
6
8
10
12
Hari
Gambar 22 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai aktivitas air (aw).
53
Log kadar air (g H2O/ g solid)
Gambar 23 menunjukkan hubungan antara lama penyimpanan dengan hasil aktivitas air (aw). Nilai aktivitas air pada surimi kering meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Nilai aktivitas air awal surimi kering adalah 0.7 yang dikategorikan sebagai pangan kering. Kurva penentuan kadar air kritis berdasarkan nilai aktivitas air dapat dilihat pada Gambar 23. 0 -0,2 0,68 -0,4 -0,6
0,7
0,72
0,74
0,76
0,78
0,8
0,82
y = 4.250x - 4.078 R² = 0.914
-0,8 -1 -1,2
Aktivitas Air (aw)
Gambar 23 Kurva penentuan kadar air kritis surimi kering beku berdasarkan aktivitas air. Kadar air kritis diperoleh dengan memplotkan nilai aktivitas air kritis (0.8) ke dalam persamaan linier hasil regresi dari kurva hubungan antara logaritmik kadar air dengan nilai aktivitas air. Taraf kritis dipilih sebagai batas minimal syarat aktivitas air pangan kering menuju ke pangan semi basah. Persamaan linier yang diperoleh adalah y= 4.250x – 4.078 dengan nilai R² = 0.914. Nilai R2 menunjukkan ketepatan dalam menggambarkan kondisi sebenarnya. Semakin tinggi nilai tersebut semakin tinggi tingkat keeratan hubungan antara kedua faktor yang dibandingkan. Berdasarkan persamaan di atas dapat ditentukan kadar air kritis produk dimana x = 0.80 yaitu untuk surimi kering sebesar 0.2098 g H2O/g solid. Kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering beku Kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan adalah kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk. Beberapa jenis garam yang digunakan dan RH masing-masing pada suhu 30 C dapat dilihat pada Tabel 4.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tabel 4 RH larutan garam jenuh Garam RH (%) Natrium Hidroksida (NaOH) 6.90 Potassium Asetat (CH3COOK) 22.60 Magnesium Klorida (Mg Cl2) 32.40 Potassium Karbonat (K2CO3) 43.00 Natrium Bromida (NaBr) 57.50 Natrium Nitrit (NaNO2) 64.00 Potassium Iodida (Kl) 69.00 Natrium Klorida (NaCl) 75.50 Potassium Klorida (KCl) 84.00 Potassium Nitrat (KNO3) 93.00 Potassium Sulfat (K2SO4) 97.00
54
Kadar air kesetimbangan ditentukan dengan cara menyimpan surimi kering dalam desikator (modifikasi) yang berisi larutan garam jenuh dengan RH tertentu pada suhu ruang. Produk disimpan pada kondisi RH yang ekstrim dan bervariasi dari kondisi RH umumnya saat penyimpanan. Penggunaan garam jenuh sebanyak 11 jenis diharapkan mampu mengkondisikan RH pada selang 10%. Desikator modifikasi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Pengkondisian kelembaban penyimpanan surimi kering beku dengan desikator modifikasi kelembaban menggunakan garam jenuh. Penggunaan nilai kelembaban relatif (RH) yang bervariasi ini bertujuan untuk memperoleh kurva sorpsi isotermis (sigmoid) yang paling mulus dan tepat dalam menentukan umur simpan produk. Selama penyimpanan pada berbagai selang kelembaban udara (RH) terjadi interaksi molekul air antara produk dengan lingkungannya dimana uap air akan berpindah dari lingkungan yang bertekanan tinggi ke dalam produk yang bertekanan rendah ataupun sebaliknya hingga tercapai kondisi aw yang setimbang pada produk. Perpindahan ini terjadi sebagai akibat perbedaan kelembaban relatif lingkungan dengan aktivitas air produk yang menyebabkan uap air bergerak dari RH tinggi menuju RH rendah. Kesetimbangan kadar air akan tejadi setelah adanya proses adsorpsi ataupun desorpsi. Tabel 5 Kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering dan waktu tercapainya pada beberapa RH penyimpanan RH Kesetimbangan (%) 6.90 22.60 32.40 43.00 57.50 64.00 69.00 75.50 84.00 93.00 97.00
Me (g H2O / g solid) 0.099 0.129 0.152 0.154 0.197 0.217 0.251 0.203 0.176 0.496 0.664
Waktu (hari) 22 20 18 16 14 13 11 9 9 12 12
55
Kondisi setimbang dalam penyimpanan ditandai oleh kenaikan atau penurunan bobot sampel yang konstan. Selisih bobot sampel harus kurang dari 2 mg/g selama 3 kali penimbangan berturut-turut pada RH di bawah 90% dan kurang dari 10 mg/g selama 3 kali penimbangan berturut-turut pada RH di atas 90% (Arpah 2007). Peningkatan atau penurunan bobot sampel selama penyimpanan menunjukkan fenomena hidrasi. Kecepatan kesetimbangan tiap produk berbeda-beda bergantung dari kondisi aktivitas air awal produk, pada RH 60-70% produk lebih cepat mencapai kesetimbangan hal ini sejalan dengan nilai aktivitas air surimi kering awal yaitu 0.701. Kelembaban relatif pada selang 90% kemudian mencapai setimbang pada hari ke 12, dan diikuti dengan garam-garam yang memiliki RH lebih rendah hingga hari ke 22 pada RH 6.9%. Kurva dan model sorpsi isotemis surimi kering beku Kurva sorpsi isotermis merupakan kurva yang menggambarkan hubungan antara aktivitas air (aw) atau kelembaban relatif kesetimbangan pada ruang penyimpanan (ERH) dengan kandungan air per gram suatu bahan pangan (Labuza dan Schmidl 1985). Gambar 25 menyajikan sorpsi air (ISA) surimi kering.
kadar air (g H20/g sloid)
0,700
0,600 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 0,069 0,226 0,324 0,430 0,575 0,640 0,690 0,755 0,840 0,930 0,970 aktivitas air (aw)
Gambar 25 Grafik hubungan aktivitas air dengan kadar air kesetimbangan (ISA) surimi kering beku. Kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari percobaan diplotkan dengan nilai aktivitas air atau RH lingkungannya untuk mendapatkan sebuah kurva yang disebut sebagai kurva sorpsi isotermis. Kurva yang terbentuk hampir menyerupai huruf S (sigmoid), yang berbeda dan khas untuk masing-masing bahan pangan. Kurva sorpsi isotermis dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan relatif tempat penyimpanan. Anguilera dan Stanley (1990) juga menyatakan bahwa keunikan bentuk kurva ISA disebabkan oleh perbedaan struktur fisik, komposisi kimia dan kondisi pengikatan air di dalam bahan pangan. Kurva ini menunjukkan aktivitas penyerapan air (adsorpsi) dan pelepasan air yang dikandung (desorpsi) pada bahan pangan sehingga banyak digunakan dalam penentuan umur simpan, penyimpanan, pengemasan, dan pengeringan. Kurva sorpsi isotermis juga menggambarkan proses hidrasi yang terjadi dalam hubungannya dengan interaksi kimiawi air pada molekul permukaan, pelepasan
56
struktur molekul dalam mempercepat perpindahan, dan perubahan volume oleh molekul yang terbuka (Ballesteros dan Walters 2007). Kurva sorpsi isotermis terbagi menjadi 3 daerah yang dipengaruhi oleh keberadaan air dalam suatu bahan pangan. Daerah A merupakan bagian adsorpsi yang bersifat satu lapis molekul air (monolayer), daerah B merupakan bagian terjadinya penambahan lapisan-lapisan di atas satu lapis molekul air (multilayer), dan daerah C merupakan bagian terjadinya kondensasi air pada pori-pori bahan. (kondensasi kapiler). Pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S), sebagaimana kurva ISA yang dihasilkan oleh surimi kering. Kurva adsorpsi (penyerapan uap air) dan kurva desorpsi (pelepasan uap air) tidak pernah berhimpit. Keadaan seperti ini disebut sebagai fenomena histeresis. Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi atau adsorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi atau adsorpsi. Fenomena histeresis menjelaskan bahwa nilai a w yang berbeda diperoleh pada pengukuran makanan dengan kadar air sama, tergantung pada bagaimana cara tercapainya kadar air tersebut, melalui proses adsorpsi atau desorpsi. Secara umum dapat dikatakan bentuk kurva sorpsi isotermis khas untuk setiap bahan pangan. Sorpsi isotermis dapat menggambarkan karakteristik bahan pangan dan memberikan informasi-informasi tentang kondisi relatif serangan dari mikroba selama penyimpanan (Kapseu 2006). Kurva sorpsi isotermis juga dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan relatif tempat penyimpanan. Penelitian-penelitian terdahulu telah banyak mengembangkan modelmodel persamaan matematik untuk menjelaskan fenomena sorpsi isotermis tersebut secara teoritis (Cirife dan Iglesias 1978a). Penelitian ini hanya menggunakan lima model persamaan yaitu model Hasley, Chen Clayton, Henderson, Caurie dan Oswin. Model-model persamaan tersebut dipilih karena mampu menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada jangkauan nilai aktivitas air yang luas (Cirife dan Iglesias 1978b). Oleh karena itu, pengerjaannya akan lebih sederhana dan lebih mudah penyelesaiannya sesuai dengan pernyataan Labuza dan Schmidl (1985) bahwa jika tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermis tersebut untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka lebih cocok menggunakan model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya. Model-model persamaan nonlinier tersebut kemudian diubah ke dalam bentuk persamaan linear (y = a + bx) untuk mempermudah perhitungannya. Nilainilai tetapannya dapat ditentukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Metode kuadrat terkecil ini dapat memilih suatu regresi terbaik diantara semua kemungkinan garis lurus yang dapat dibuat pada suatu diagram pencar. Persamaan-persamaan linier dari model-model persamaan kurva sorpsi isotermis dapat dilihat pada Tabel 6. Persamaan-persamaan pada Tabel 6 kemudian digunakan untuk menentukan kadar air kesetimbangan pada surimi kering. Keakuratan dan kemulusan kurva sorpsi isotermis dalam menggambarkan fenomena sorpsi yang ditentukan berdasarkan semakin berhimpitnya kurva sorpsi isotermis hasil percobaaan dengan kurva sorpsi isotermis dari model-model persamaan.
57
Tabel 6 Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering Persamaan Linear (y = a + bx) Model MRD Hasley log Me=(log(ln(1/aw))+1.893)/-2.209 2.310 Chen Clayton Me=(ln(ln(1/aw))-0.733)/-6.83 9.784 Henderson log Me=((log(ln(1/(1-aw)))-1.059)/1.704 5.634 Caurie ln Me = -2.509 + 1.629 aw 4.098 Oswin ln Me = 1.707 + 0.297 ln (aw/1-aw)) 2.516 Model-model persamaan tersebut kemudian diuji ketepatannya dengan menghitung nilai Mean Relative Determination (MRD) (Isse et al. 1983). Uji ketepatan persamaan sorpsi isotermis dilakukan untuk mengetahui ketepatan dari beberapa model persamaan sorpsi isotermis yang terpilih sehingga memperoleh kurva sorpsi isotermis dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Determination (MRD). Model persamaan yang dapat menggambarkan kurva sorpsi isotermis yang paling tepat untuk surimi kering adalah model Hasley. Model persamaan Hasley terpilih sebagai model yang memiliki kurva paling berhimpit dengan kurva sorpsi isotermis percobaan dibandingkan model-model persamaan lainnya. Model persamaan Hasley memiliki nilai MRD paling rendah dibandingkan model-model persamaan yang lain yaitu 2.31. Nilai tersebut menunjukkan bahwa model persamaan Hasley dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis surimi kering dengan tepat (MRD < 5). Sugiyono et al. (2010) dan Limonu et al. (2008) juga memperoleh model Hasley sebagai model terpilih dengan nilai MRD terkecil dalam penentuan umur simpan tepung jagung. Model persamaan Caurie dan Oswin juga menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan tepat (MRD < 5), sedangkan model persamaan Chen Clayton dan Henderson masih memiliki nilai MRD > 5. Persamaan kurva sorpsi isotermis model Hasley untuk surimi kering yang dimaksud adalah log Me=(log(ln(1/a w))+1.893)/-2.209. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model persamaan terpilih untuk surimi dapat dilihat pada Gambar 26. 0,800
Kada air kesetimbangan ((Me) (g H2O/g solid)
0,700 0,600
0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 0,000
0,200
0,400
0,600
0,800
1,000
Aktivitas Air (aw)
Gambar 26 Kurva sorpsi isotermis model Hasley ( ( ) suntuk surimi powder
) dan hasil percobaan
58
Berdasarkan nilai aw yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa produk surimi berada diambang batas aman untuk diolah pada produk pangan tertentu, pada saat kadar air kritisnya tercapai. Nilai-nilai tersebut berada pada kisaran akhir dari pertumbuhan mikroorganisme berbahaya seperti kapang, khamir, dan bakteri. Beberapa jenis kapang misalnya Mucor, Neurospora, dan Rhizopus yang tumbuh cepat pada bahan pangan berkadar air tinggi dan tidak berbahaya selama nilai aw bahan pangan tersebut di bawah 0.90. Jenis xerofilik saja yang umumnya dapat tumbuh pada nilai aw di bawah 0.85. Semua jenis kapang xerofilik bersifat mikotoksik yang diproduksi pada nilai aw sekitar 0.75 (Labuza dan Bilge 2007). Berdasarkan pengamatan penentuan kurva ISA, pada garam jenuh dengan RH tinggi dengan rentang 80-90% surimi kering mengalami pertumbuhan kapang setelah masa simpan selama dua bulan, dan merupakan kondisi penyimpanan pertama yang mengalami kemunduran mutu secara fisik. Nilai slope (b) kurva sorpsi isotermis surimi kering beku Nilai slope (b) kurva sorpsi isotermis ditentukan pada daerah linear (Arpah 2007). Daerah linear tersebut diambil antara daerah kadar air awal dan kadar air kritis (Labuza dan Schmidl 1985). Titik-titik hubungan antara aktivitas air dan kadar air kesetimbangan memiliki persamaan linier y = a + bx. Nilai b persamaan tersebut merupakan slope kurva sorpsi isotermis. Penelitian ini menggunakan dua daerah dalam menentukan nilai b untuk mengetahui pengaruhnya terhadap umur simpan surimi. Slope 1 merupakan hasil perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara aktivitas air awal dengan aktivitas air kritis. Nilai aktivitas air awal dan air kritis surimi diperoleh dari perhitungan dengan persamaan terpilih yaitu model Hasley. Slope 2 diperoleh dari garis lurus pada daerah linier yang melewati kadar air awal. Slope 1 merupakan hasil kemiringan kurva yang diperoleh dari hasil percobaan, sedangkan slope 2 diperoleh dari hasil perhitungan. Nilai slope 1 untuk surimi kering adalah 1.416 berdasarkan perhitungan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara aktivitas air awal dengan aktivitas air kritis. Nilai slope 2 diperoleh dari persamaan linear yang terbentuk pada kurva sorpsi isotermis model Hasley yang melewati kadar air awal. Slope 2 kurva sorpsi isotermis model Hasley adalah 0.478. Variabel pendukung umur simpan surimi kering beku Selain penentuan parameter-parameter yang disebutkan sebelumnya, dalam penentuan umur simpan perlu diperhatikan pula beberapa variabel pendukung misalnya permeabilitas kemasan, luas kemasan, bobot padatan per kemasan, dan tekanan uap murni pada suhu 30 C. Permeabilitas uap air kemasan (k/x) adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu sebagai akibat adanya perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk dengan lingkungannya pada suhu dan kelembaban tertentu (Labuza dan Bilge 2007). Semakin tinggi suhu yang dipakai pengujian maka pori-pori plastik akan semakin membesar dan nilai k/x meningkat. Oleh karena itu dalam penentuan permeabilitas uap air kemasan harus dilakukan pada suhu konstan dan terkontrol. Nilai k/x digunakan untuk mengetahui pengaruh kemasan terhadap umur simpan produk. Nilai tersebut tidak dipengaruhi oleh ketebalan kemasan.
59
Karakteristik bahan pengemas juga mempengaruhi nilai permeabilitas uap air kemasan. Semakin rendah nilai k/x suatu kemasan maka semakin baik digunakan sebagai pengemas atau barrier terhadap uap air sehingga umur simpan bahan pangan yang dikemas semakin lama. Semakin sedikit proses difusi yang terjadi maka aw produk dapat dipertahankan tetap rendah. Parameter permeabilitas kemasan menggunakan hasil pengukuran data sekunder yaitu untuk retort pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40) adalah 0.02 g/m2.mmHg.hari, HDPE adalah 3.19 g/m2.mmHg.hari dan OPP tebal adalah 0.0739 g/m2.mmHg.hari (Histifarina 2004). Polypropylene adalah salah satu jenis plastik yang sering digunakan sebagai pengemas bahan pangan. Plastik polypropylene (PP) memiliki sifat antara lain tembus pandang, mempunyai kekuatan tarik yang lebih besar dari polietilen, rapuh pada suhu rendah, lebih kaku, tidak gampang sobek, permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak serta memiliki titik lebur yang tinggi. Plastik HDPE merupakan jenis plastik turunan dari polyester yang memiliki sifat penampakan bervariasi, dari transparan hingga keruh, mudah dibentuk, lemas dan mudah ditarik, daya rentang tinggi tanpa sobek, meleleh pada suhu 120 C. HDPE banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan lain, tidak cocok untuk digunakan mengemas bahan berlemak atau mengandung minyak, tidak cocok untuk mengemas produk beraroma karena transmisi gas cukup tinggi. HDPE tahan terhadap asam, basa, alkohol dan deterjen. Selain itu dapat digunakan untuk menyimpan bahan pada suhu pembekuan hingga -50 C dan kedap air serta uap air (Syarief 1990). Aluminium merupakan jenis kemasan dari logam yang saat ini banyak digunakan karena memiliki banyak keunggulan dalam mempertahankan mutu bahan pangan. Kombinasi aluminium foil dengan bahan kemasan lain dapat menghasilkan jenis kemasan baru yang disebut dengan retort pouch. Kemasan ini memiliki sifat memliki luas permukaan lebih besar dibandingkan kaleng dan kemasannya tipis sehingga memungkinkan terjadinya penetrasi, memiliki sifat perambatan panas yang lebih cepat dan lebih efisien, dengan demikian waktu sterilisasi akan berkurang. Mutu produk dapat diperbaiki, karena nilai gizinya lebih tinggi dan sifat-sifat sensori seperti rasa, warna dan tekstur dapat dipertahankan (Manley 2000). Variabel lainnya seperti luas kemasan, bobot padatan per kemasan, dan tekanan uap murni pada suhu 30 C juga dianalisis dalam pengaruhnya terhadap umur simpan produk. Luas kemasan OPP, HDPE dan retort pouch yang diperoleh dari hasil percobaan adalah 4.2 m2. Kemasan dengan luas permukaan yang lebih besar dapat memperlambat laju difusi uap air. Sehingga untuk mencapai kadar air kritisnya menjadi lebih lama dan umur simpan produk menjadi lebih panjang. Bobot padatan per kemasan sama pada surimi kering yaitu 500 g. Tekanan uap murni pada suhu 30 C diperoleh dari pembacaan pada tabel uap air Labuza dan Bilge (2007) yaitu sebesa 31.824 mmHg. Umumnya produk pangan kering mempunyai kadar air rendah, sehingga harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai daya tembus atau permeabilitas uap air yang rendah untuk mencegah produk menjadi basah. Selain itu salah satu usaha untuk mencegah kerusakan oksidatif adalah dengan menurunkan kandungan oksigen di sekitar bahan yaitu dengan menggunakan modified atmosphere
60
packaging (MAP) atau dalam kondisi vakum. Pengemasan vakum adalah sistem pengemasan dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan O2 dari kemasan sehingga dapat menambah umur simpan. Plastik yang digunakan untuk pengemasan vakum adalah plastik yang memiliki permeabilitas O 2 rendah dan tahan terhadap bahan yang dikemas. Pengemasan vakum membuang udara dari head space dalam kemasan dan dari produk itu sendiri, untuk mengurangi kerusakan oksidatif pada makanan. Pengemasan vakum dapat menghindari pertumbuhan organisme aerobik pada makanan yang merupakan media yang potensial untuk pertumbuhannya. Umur simpan surimi kering beku Umur simpan surimi kering dalam penelitian ini ditentukan melalui metode akselerasi. Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model Arrhenius dan model kadar air kritis. Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu. Metode akselerasi yang banyak diterapkan pada produk pangan kering adalah melalui pendekatan kadar air kritis. Model kadar air kritis dapat dilakukan melalui pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Pendekatan kurva sorpsi isotermis digunakan untuk produk pangan yang mempunyai kurva sorpsi isotermis berbentuk sigmoid (Labuza dan Schmidl 1985). Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relatif singkat tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Metode akselerasi kadar air kritis dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis Penentuan umur simpan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dilakukan dengan menyimpan surimi kering pada RH umumnya penyimpanan RH penyimpanan yang dipakai yaitu pada RH 70% dan 90% dimana kisaran RH tersebut dipilih karena umumnya dipakai pada penyimpanan produk pangan di daerah tropis. Kondisi laboratorium penelitian yang digunakan tercatat berada pada pada kondisi suhu ruang dengan RH 85% berdasarkan hasil pengukuran Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. Kelembaban relatif ruang penyimpanan cukup tinggi dikarenakan waktu penelitian yang dilakukan pada bulan selama musim penghujan (Februari - Maret 2013). Kelembaban relatif lingkungan (RH) juga sangat mempengaruhi umur simpan. Nilai RH yang tinggi maka akan mengandung lebih banyak uap air sehingga akan terjadi penyerapan uap air ke dalam bahan pangan yang lebih banyak dibandingkan dengan RH yang lebih rendah. Semakin banyak uap air yang diserap bahan pangan maka akan mempercepat kerusakan sehingga umur simpan produk lebih singkat (Rahayu et al. 2005). Hasil perhitungan parameter-parameter penentuan umur simpan surimi kering dapat dilihat pada Tabel 7. Umur simpan terendah untuk surimi kering dengan kemasan HDPE pada RH 90% yaitu 1 bulan, sedangkan umur simpan tertinggi diperoleh dari surimi kering dengan kemasan retort pouch yaitu 22.6 bulan pada RH penyimpanan 70%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hayati et al. (2004) yang menghasilkan ikan tongkol kering yang dikemas dengan almunium memiliki umur simpan yang lebih lama (91 bulan) dibandingkan dengan ikan tongkol kering yang dikemas dengan HDPE hanya memiliki umur simpan selama 40 bulan. Semakin tinggi kelembaban relatif penyimpanan maka perbedaan tekanan
61
juga semakin besar. Perbedaan tekanan dipengaruhi oleh RH lingkungan dan RH produk. RH produk dapat dihitung melalui a w produk yang terukur. Oleh karena itu perbedaan tekanan juga dipengaruhi oleh aw produk yang dapat mengalami perubahan selama penyimpanan. Penggunaan kemasan retort pouch menunjukkan surimi kering dengan umur simpan terlama. Hal ini disebabkan karena rendahnya tingkat permeabilitas kemasan tersebut dibandingkan dengan OPP dan HDPE. Pertimbangan penggunaan kemasan nantinya juga akan mempertimbangkan masa distribusi serta faktor ekonomi pada produk akhir surimi kering. Tabel 7
Parameter penentuan umur simpan surimi kering beku ikan lele pada kemasan dan RH yang berbeda OPP
Parameter
RH 70%
RH 90%
HDPE RH 70%
KA awal (Mi) (g H2O)/g solid) 0.0697 0.0697 0.0697 KA kritis (Mc) (g H2O)/g solid) 0.2099 0.2099 0.2099 Model persamaan Hasley = log Me=(log(ln(1/aw)) + 1.893) /-2.209 Slope kurva sorpsi isotermis (b) 1.416 1.416 1.416 KA Kesetimbangan (Me) (g H2O/g solid) 0.222 0.385 0.222 Permeabilitas kemasan (k/x) (g/m2.hari.mmHg) * 0.074 0.074 0.100 2 Luas Kemasan (A) (m ) 4.2 4.2 4.2 Berat padatan per kemasan (Ws) (g) 500 500 500 Tekanan uap jenuh suhu 30 C (Po) (mmHg) * 31.824 31.824 31.824 2.556 0.588 2.556 Ln (Me-Mi)/(Me-Mc) A/Ws 0.0084 0.0084 0.0084 Po/b 22.478 22.478 22.478 Umur simpan (hari) 183 42 135 Umur simpan (bulan) 6.1 1.4 4.5
Retort Pouch
RH 90%
RH 70%
RH90%
0.0697 0.2099
0.0697 0.0697 0.2099 0.2099
1.416
1.416
1.416
0.385
0.222
0.385
0,100 4.2 500
0.020 4.2 500
0.020 4.2 500
31.824
0.588 0.0084 22.478 31 1.0
31.824 31.824
2.556
0.588
0.0084 0.0084 22.478 22.478 677 156 22.6 5.2
Keterangan : OPP = Oriented Poly Prophlene HDPE = High Density Polyethylene RP = Retort Pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40)
*
= data sekunder
Simpulan Berdasarkan percobaan pendugaan umur simpan surimi kering beku menggunakan model air kritis diperoleh kurva ISA yang cukup halus dengan 11 garam jenuh. Model Hasley merupakan model terpilih dalam penentuan umur simpan surimi kering. Berdasarkan persamaan Labuza diperoleh dugaan umur simpan surimi kering pada RH 70% dan 90% adalah 6.1 dan 1.4 bulan pada surimi dengan kemasan plastik OPP, 4.5 bulan dan 1 bulan untuk surimi yang menggunakan plastik HDPE, 22.6 bulan dan 5.2 bulan untuk surimi dengan kemasan retort pouch.
62
63
4
PEMBAHASAN UMUM
Lele merupakan salah satu komoditas lokal yang saat ini menjadi produk unggulan. Lele menjadi produk budidaya yang dalam lima tahun terakhir mengalami permintaan yang nyata. Meningkatnya kegiatan budidaya lele juga menimbulkan masalah pada timbulnya produk-produk lele afkir (oversize) di setiap proses budidaya, yang harganya cenderung lebih rendah dibandingkan lele ukuran konsumsi. Pemanfatan lele oversize sebagai bahan baku surimi, diharapkan mampu meningkatkan nilai jual komoditas tersebut. Lele sebagai ikan air tawar memiliki kualitas yang prima sebagai bahan baku surimi. Bahan baku ikan air tawar memiliki peluang untuk dikembangkan karena memiliki sifat dan karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan surimi berbahan dasar ikan air laut (Ganesh et al. 2006). Proses defatting pada perlakuan awal berguna untuk menghilangkan lemak dari daging selain itu pencucian dengan asam maupun alkali dapat meningkatkan indeks lightness (kecerahan) dan derajat putih. Penggunaan garam alkali menunjukkan penurunan konsentrasi lemak yang nyata pada perendaman 0-1% NaHCO3 selama 10-30 menit. Lama perendaman 10 menit menjadi perlakuan terpilih karena perendaman selama 20 dan 30 menit menunjukkan hasil yang tidak nyata (p>0.05), sehingga optimasi serta penghematan waktu menjadi prioritas utama dalam skala industri pangan. Konsentrasi 0.75% menjadi konsentrasi NaHCO3 terpilih karena tidak menunjukkan hasil yang nyata (p>0.05) dengan perlakuan sodium bikarbonat 1%. Dalam skala indsutri pangan perbedaan penggunaan NaHCO3 dengan kisaran 0.25% dan selisih waktu 10 menit menjadi hal yang krusial terutama dalam segi ekonomi. Pembuatan surimi kering diawali dengan optimasi frekuensi pencucian serta jenis dryoprotectant yang digunakan. Pencucian satu kali menjadi perlakuan terpilih walaupun masih menunjukkan tingkat kecerahan surimi yang rendah (57.21%), namun parameter lain terutama daya ikat air sebagai parameter utama menunjukkan nilai yang cukup baik (73.28%) pada surimi dengan pencucian satu kali. Kekuatan gel surimi dengan pencucian satu kali menunjukkan nilai gel yang paling tinggi. Nilai rendemen, protein larut garam, serta pH surimi dengan satu kali pencucian juga menunjukkan kisaran nilai surimi dengan kualitas yang baik, pada parameter hedonik surimi dengan pencucian satu kali menghasilkan kualitas surimi dengan nilai uji lipat 4.84 atau hampir mendekati grade AA. Selanjutnya dryoprotectant digunakan untuk mencegah proses kehilangan banyak air selama proses pengeringan. Penggunaan sukrosa, sorbitol dan fosfat dimaksudkan sebagai perlakuan mixcryoprotectant yang selama ini sudah digunakan sebagai kombinasi cryoprotectant terbaik di industri surimi, karagenan digunakan sebagai cryoprotectant alami, yang saat ini sedang banyak dikaji penggunaanya sebagai bahan tambahan di surimi. Trehalosa juga digunakan sebagai dryoprotectant untuk mewakili penggunaan single cryoprotectant, dan terbukti pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa trehalosa merupakan single cryoprotectant terbaik yang dapat menjaga kualitas surimi dibandingkan dengan jenis gula yang lain. Berdasarkan hasil parameter fisikokimia surimi kering beku, menunjukkan bahwa surimi dengan penambahan trehalosa 6% memiliki kualitas surimi yang lebih baik dibandingkan surimi dengan penambahan dryoprotectant
64
yang lainnya. Namun pada nilai kekuatan gel surimi dengan penambahan karagenan menunjukkan nilai gel tertinggi, hal ini disebabkan oleh sifat fungsional dari karagenan sebagai gelling agent. Secara mikrostruktur jaringan surimi kering dengan penambahan trehalosa menunjukkan penampang jaringan yang lebih baik dibandingkan surimi tanpa dryoprotectant, tidak banyak celah kosong yang ditinggalkan dan struktur jaringan daging masih baik. Secara umum surimi kering menunjukkan parameter fisikokimia yang lebih rendah dibandingkan dengan surimi basah, terjadi penurunan yang drastis pada nilai protein larut garam serta nilai penerimaan hedonik (uji lipat dan uji gigit). Hal ini diguna karena proses histerisis yang cepat saat hidrasi surimi basah. Tingginya komponen air yang hilang secara tidak langsung menyebabkan komponen miofibril ikut terdenaturasi yang menyebabkan menurunnya nilai penerimaan hedonik uji lipat. Surimi kering beku ikan lele menghasilkan kamaboko dengan nilai atau kualitas B. Proses pendugaan umur simpan surimi kering menggunakan metode air kritis menghasilkan model Hasley sebagai model terpilih dalam pendugaan umur simpan. Labuza dan Bilge (2007) menyatakan bahwa model Hasley suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif 10-81%. Berdasarkan persamaan Labuza dihasilkan penggunaan jenis kemasan terbaik adalah retort pouch yang menunjukkan masa simpan surimi kering yang lebih lama yaitu 22.6 bulan pada RH 70%.
65
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakuan dapat disimpulkan bahwa ikan lele memiliki potensi sebagai bahan baku surimi kering. Sodium bikarbonat 0.75% dan waktu perendaman selama 10 menit merupakan perlakuan defatting terpilih, frekuensi pencucian satu kali menunjukkan parameter kualitas surimi yang paling baik, dan trehalosa 6% merupakan dryoprotectant terbaik yang mampu menjaga kualitas atau mutu surimi kering beku. Terdapat perbedaan yang signifikan pada surimi kering dan surimi basah terutama pada kondisi jaringan daging setelah dikeringkan, nilai protein larut garam dan penerimaan hedonik juga mengalami penurunan. Surimi kering dapat disimpan selama 22.6 bulan pada RH 70% dengan menggunakan kemasan retort pouch. Saran Disarankan untuk pengembangan penelitian selanjutnya adalah : 1. Diperlukan teknik atau metode tambahan pada pre-treatment daging ikan untuk meningkatkan nilai kecerahan surimi kering 2. Diperlukan optimasi penggunaan trehalosa pada berbagai konsentrasi penggunaan 3. Perlunya upaya perubahan fisik untuk menghomogenkan bentuk surimi kering 4. Diperlukan bahan tambahan antidenaturan sebagai penghambat kerusakan protein selama proses pembuatan surimi kering 5. Perlunya analisis lanjutan mengenai jenis fraksi air terikat yang ada pada surimi kering, dan 6. Pengembangan surimi kering sebagai emulsifier dalam bahan pangan perlu dikaji lebih lanjut.
66
DAFTAR PUSTAKA Aguilera JM, Stanley DW. 1999. Microstructural Principles Food Processing and Engineering. 2nd ed. Maryland (USA): An Aspen Publ. Inc. Gainthersburg. [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington (USA): The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Arpah M. 2007. Penetapan Kadaluarsa Pangan. Bogor (ID): Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ballesteros D, Walters C. 2007. Water properties in fern spores: sorption characteristics relating to water affinity, glassy states, and storage stability. J Exp Bot. 58(5):1185-1196. Benjakul S, Seymour TA, Morrissey MT, Haejung AN. 1996. Proteinase in Pacific whiting surimi wash water : identification and characterization. J Food Sci. 61(6):1165-1170. Benjakul S, Visessanguan W, Ishizaki S, Tanaka M. 2001. Differences in gelation characteristics of natural actomyosin from two species of bigeye snapper, Priacanthus tayenus and Priacanthus macracrnthus. J Food Sci. 66(9): 1311–1318. Benjakul S, Visessanguan W, Thongkaew C, Tanaka M. 2004. Effect of frozen storage on chemical and gel-forming properties of fish commonly used for surimi production in Thailand. Food Hydrocol. 19(2):197-207. Benjakul S, Yarnpakdee S, Visessanguan W, Phatcharat S. 2010. Combination effects of whey protein concentrate and calcium chloride on the properties of goatfish surimi gel. J Texture Stud. 41(3):341–357. Bledso GE, Rasco BA, Piggot GM. 2000. The effect of bicarbonate salt addition on the gel forming properties of allaska pollock (Theragra chalcogramma) and pacific whiting (Merchuccus products) surimi. J Aquat Food Prod Technol. 9(1):31-45. [BSN] Badan Standardisasi Nasional.1992. Syarat dan Mutu Surimi Beku. Jakarta (ID): Departemen Perindustrian RI. SNI 01-2693-1992. Cassini AS, Marczak LDF, Norena CPZ. 2006. Water adsorption isotherms of texturized soy protein. J Food Eng. 77(1):194-199. Chanarat S, Benjakul S. 2013. Impact of microbial transglutaminase on gelling properties of Indian mackerel fish protein isolates. Food Chem. 136:929937. Chen HH, Chiu EM, Huang JR. 1997. Color and gel-forming properties of horse mackerel (Trachurus japonicus) as related to washing conditions. J Food Sci. 62(5):985-991.
67
Chen HH. 2002. Decoloration and gel-forming ability of horse mackerel mince by airflotation washing. J Food Sci. 67(8):2970. Chomnawang C, Nantachai K, Yongsawatdigul J, Thawornchinsombut S, Tungkawachara S. 2007. Chemical and biochemical changes of hybrid catfish fillet storead at 4 C and its gel properties. Food Chem. 103:420427. Cirife J, Iglesias HA. 1978a. Equations for fitting water sorption isotherms of foods: part 1. A review. J Food Technol. 13(3):159-174. Cirife J, Iglesias HA. 1978b. Equations for fitting water sorption isotherm of food : part II. Evaluation of various two parameter models. J Food Technol. 13: 319-327. Debusca A, Tahergorabi R, Beamer SK, Partington S, Jaczynski J. 2013. Interactions of dietary fibre and omega-3-rich oil with protein in surimi gels developed with salt substitute. Food Chem. 141(1):201–208. Egelandsdal B, Fretheim K, Samejima K. 1986. Dynamic rheological measurements on heat-induced myosin gels: Effect of ionic strength, protein concentration and addition of adenosine triphosphate or pyrophosphate. J Sci Food Agri. 37(9):915–926. Foegeding EA, Davis JP. 2011. Food protein functionality: A comprehensive approach. Food Hydrocol. 25(8):1853-1864. Ganesh A, Dileep AO, Shamasundar BA, Singh U. 2006. Gel-forming ability of commoncarp fish (Cyprinus carpio) meat: effect of freezing and frozen storage. J Food Biochem. 30(3):342-61. Greenpeace. 2008. Overfishing of Pollock Risks Collapse of World's Largest Food Fishery, Endangers Sea Lions, Fur Seal. http://www.greenpeace.org/usa/en/media-center/news-releases/. [1 Juli 2012]. Hama K. 1999. Crystalline Trehalosa Dihydrate, A Multi-functional Sugar Extract. Hayashibara Trehalosa Symposium. Hokkaido (JAP): Department of Agriculture, University of Hokkaido. Hayati R, Abdullah A, Ayob MK, Soekarto ST. 2004. Isotermi sorpsi air dan analisis umur simpan ikan kayu tongkol (Euthynnus affinis) dari Aceh. JTIP. XV( 3): 207-213. Hayes JE, Desmond EM, Troy D, Buckle DJ, Mehra R. 2005. The effect of whey protein-enriched on the physical and sensory properties of frankfurters. Meat Sci. 71:238-243. Higashiyama T. 2002. Novel functions and applications of trehalosa. Pure Appl. Chem. 74(7):1263-1269. Histifarina D. 2004. Pendugaan umur simpan kentang tumbuk instan berdasarkan kurva isotermi sorpsi air dan stabilitasnya selama penyimpanan. J Hort. 14(2):113-120.
68
Hossain MI, Kamal MM, Shikha FH, Hoque MDS. 2004. Effect of washing and salt concentration on the gel forming ability of two tropical species. Int J Agr Biol. 6(5):762-766. Huda N, Abdullah A, Babji AS. 2000. Effects of cryoprotectants on functional properties of dried lizardfish (Saurida tumbil) surimi. Malaysian Applied Biol. 29:9-16. Huda N, Aminah A, Abdul SB. 2001. Functional properties of surimi powderfrom three Malaysian marine fish. Int. J. Food Sci. Technol. 36(4):401-406. Huda N, Santana P, Abdullah R, Yang TA. 2012. Effect of different dryoprotectant on funtional properties of Thredfin Bream surimi powder. J. Fish. Aquat. Sci. 7(3):215-223. Isse MG, Schuchmann H, Schubert H. 1983. Devided sorption isotherm concept, an alternative way to describe sorption isotherm data. J Food Eng. 16:147157. Julavittayanukul O, Benjakul S, Visessanguan W. 2005. Effects of phosphate compounds on gel-forming ability of surimi from bigeye snapper (Priacanthus tayenus). J Food Hydrocoll. 20(8):1153-1163. Kanna K, Tanaka K, Kakuda K, Shimidzu T. 1971. Denaturation of fish protein by drying, III. Protein denaturation and histological changes in dehydrated fish muscle. Bull Tokai Reg Fish Res lab. 68:51-60. Kapseu C, Nkouam GB, Dirand M, Barth D, Perrin L, Tchiegang C. 2006. Water vapour sorption isotherms of sheanut kernels (Vitellaria paradoxa Gaertn.). J Food Technol. 4(4): 235-241. Karmas E, Lauber E. 1987. Novel products from underutilized fish using combined processing technology. J Food Sci. 52(1):7-9. Karayannakidis PD, Zotos A, Petridis D, Taylor KDA. 2007. The effect of initial wash at acidic and alkaline pHs on the properties of protein concentrate (kamaboko) products from sardine (Sardina pilchardus) samples. J Food Eng. 78(3):775-783. Kim JM, Liu CH, Eun JB, Park JW, Oshimi R, Hayashi K, Ott B, Aramaki T, Sekine M, Horikita Y, Fujimoto K, Aikawa T, Welch L, Long R. 2006. Surimi from fillet frames of channel catfish. J Food Sci. 61(2):428-432. Kimura I, Sugimoto M, Toyoda K, Seki N, Arai K, Fujita T. 1991. A study on the cross-linking reaction of myosin in kamaboko suwari gels. Nipp Suis Gakkai. 57(7):1389-96. Kristinsson HG, Theodore AE, Demir N Ingadottir B. 2005. A comparative study between acid and alkali-added processing and surimi processing for the recovery of proteins from channel cat fish muscle. J Food Sci. 70(4):98306.
69
Kristinsson HG, Ingadottir B. 2006. Recovery and properties of muscle proteins extracted from tilapia (Oreochromis niloticus) light muscle by pH shift processing. J Food Sci. 71(3):132-141. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Cerdaskan Anak Bangsa, KKP Ajak Masyarakat Konsumsi Ikan. http:// www. kkp.go.id/ index.php/arsip/c/7701/Cerdaskan-Anak-Bangsa-KKP-Ajak-MasyarakatKonsumsi-Ikan/. [4 Juli 2012]. Labuza TP, Schmidl MK. 1985. Accelerated shelf life testing of foods. Food Technol. 39(9):57-62. Labuza TP, Bilge A. 2007. Water Activity in Foods: Fundamental and Applications. State Avenue (USA): Blackwell Publishing and IFT Press. Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York (USA) : Marcel Dekker, Inc Lee CM. 1984. Surimi process technology. Food Technol. 38(11):69–80. Limonu M, Sugiyono, Kusnandar F. 2008. Pengaruh perlakuan pendahuluan sebelum pengeringan terhadap jagung instan muda. JTIP. XIX(2).139148. Lin S, Huff HE, Hsieh F. 2002. Exrusion process paramaters, sensory characteristics and structural properties of a high moisture soy protein meat analog. J Food Sci. 67(3):1066-1072. Lievonen SM, Ross YH. 2002. Water sorption of food models for studies of glass transition and reaction kinetics. J Food Sci. 65(5):1758-1766. Luo YK, Kuwahara R, Kaneniwa M, Murata Y, Yokoyama M. 2001. Comparison of gel properties of surimi from Alaska pollock and three freshwater fish species: effects of thermal processing and protein concentration. J Food Sci. 66(4):548-54. Manley D. 2000. Technology of Biscuits, Crackers, and Cookies 3rd Edition. Cambridge (UK) : Woodhead PublishingLimited. McCord A, Smyth AB, O'Neill EE. 1998. Heat-induced gelation properties of salt soluble muscle proteins as affected by non-meat proteins. J Food Sci. 63(4):580−583. Miller R, Groninger HS. 1976. Functional properties of enzyme modified acylated fish protein derivates. J Food Sci.41:268-272. Miyakama M. 1992. Surimi Walleye Pollack and Catfish. [patent] US 141766 25 Agustus 1992. Montejano JG, Morales OG, Diaz SR. 1994. Rheology of gels of freeze-dried surimi of trout (Cyanoscion nothus) and tilapia (Oreochromis niloticus). Rev Esp Cien Tec. 34:165-177.
70
Necas J, Bartosikova L. 2013. Carrageenan: a review. Vet Med-Czech. 58(4): 187205. Negbenebor CA, Godiya AA, Igene JO. 1999. Evaluation of Clarias anguillaris treated with spice (Piper guineense) for washed mince and kamaboko-type product. J Food Comp Anal. 12:315-322. Nopianti R, Nurul H, Noryati I. 2011. A Review of the loss of the functional properties of protein during frozen storage and the improvement of gel forming properties of surimi. Am. J Food Technol. 6(1):19-30. Nopianti R, Nurul H, Fazilah A, Ismail N, Easa AM. 2012. Effect of different types of low sweetness sugar on physicochemical properties of threadfin bream surimi (Nemipterus spp.) during frozen storage. Int Food Res J. 19(3):1011-1021. Ohkuma C, Kiyoshi K, Chotika V, Thanachan M, Sumate T, Rikuo T, Toru S. 2008. Glass transition properties of frozen and freeze-dried surimi product : Effects of sugar and moisture on the glass transition temperature. Food Hydrocol. 22(2):255–262. Osako K, Hossain MA, Kuwahara K, Nozaki Y. 2005. Effect of trehalosa on the gel-forming ability, state of water and miofibril denaturation of horse mackerel Trachurus japonicus surimi during frozen storage. Fish Sci. 71 (2):367-373. Park JW, Lanier TC. 1987. Combined effects of phosphates and sugar or polyol on protein stabilization of fish myofibrills. J Food Sci. 52:1509-1513. Park JW, Lanier TC, Green DP. 1988. Cryoprotective effects of sugar, polyols and/or phosphate on Alaska pollock surimi. J Food Sci. 53:1-3. Park JW, Lin TMJ. 2005. Surimi : Manufacturing and evaluation. Di dalam : Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. Florida (USA): CRC Press. Parvathy U, Sajan G. 2011. Influence of cryoprotectant levels on storage stability of surimi from Nemipterus japonicus and quality of surimi based products. J Food Sci Technol. 1-6. doi:10.1007/s13197-011-0590-y. P´erez-Mateos M, Montero P. 2000. Contribution of hydrocolloids to gelling properties of blue whiting muscle. Z Lebensm Unters Forsch. 210(6):38390. Phatcharat S, Benjakul S, Visessanguan W. 2006. Effects of washing with oxidising agents on the gel-forming ability and physicochemical properties of surimi produced from bigeye snapper (Priacanthus tayenus). J Food Chem. 98:431-439. Pilar T, Reyes P. 2007. Simultaneous application of transglutaminase and high pressure to improve functional properties of chicken meat gels. Food Chem. 100(1):264–272. Poowakanjana S, Park JW. 2013. Biochemical characterisation of Alaska pollock, Pacific whiting, and threadfin bream surimi as affected by comminution conditions. Food Chem. 138:200–207.
71
Pratiwiningsih I.T. 2004. Kajian sifat fungsional, mikrostruktur, dan pendugaan umur simpan surimi kering dari ikan Marlin (Makaira sp.). [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor. Raghavan S, Kristinsson HG. 2008. Conformational and rheological changes in catfish myosin during alkali-induced unfolding and refolding. Food Chem. 107:385-398. Rahayu WP, Arpah, Diah E. 2005. Penentuan waktu kadaluwarsa dan model sorpsi isotermis biji dan bubuk lada hitam (Piper ningrum L). JTIP. XVI (1):31-38. Ramadhan K, Huda N, Ahmad R. 2011. Physico-chemical characteristics of surimi gels made from washed and mechanically deboned Peking duck meat. J. Food Ag-Ind. 4(2):114-121. Ramirez JA, Diaz-Sobac R, Moralez OG, and Vazques M. 1999. Evaluation of freeze dried surimi from tilapia and fat sleeper as emulsifier. Cienc Technol Aliment. 2(4):210-214. Rockland LB, Nishi SK. 1980. Influence of water activity on food product quality and stability. Food Technol. 34(4):44-51. Santana P, Huda N, Yang TA. 2012. Mini review: Technology for production of surimi powder and potential of applications. Int Food Res J. 19(4):13131323. Santana P, Huda N, Yang TA. 2013. Physicochemical properties and sensory characteristics of sausage formulated with surimi powder. J Food Sci Technol. In Press. doi: 10.1007/s13197-013-1145-1. Santoso J, Yasin AWN, Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut dan pari akibat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat. JTIP. 19(1):57-66. Schiraldi CI, Lernia D, de Rosa M. 2002. Trehalose production: Exploiting novel approaches. Trends Biotechnol. 20(10):420-425. Shahidi F, Arachchi JKV, Jeon Y. 1999. Food applications of chitin and chitosans. Trend Food Sci Tech. 10(12):37-51. Shaviklo GR, Thorkelsson G, Arason S, Kristinsson HG, Sveinsdottir K. 2010. The infulence of additives and drying methods on quality attributes of fish protein powder made from saithe (Pollachius virens). J Sci Food Agric. 90:2133-2143 Shaviklo GR, Thorkelsson G, Arason S, Sveinsdottir K. 2012. Characteristics of freeze-dried fish protein isolated from saithe (Pollachius virens). J Food Sci Technol. 49(3):309-318. Shaviklo GR, Thorkelsson G, Sveinsdottir K, Pourreza F. 2013. Studies on processing, consumer survey and storage stability of ready-to-reconstitute fish culet mix. J Food Sci Technol. 50(3):900-908.
72
Soekarto ST, Adawiyah DR. 2012. Keterkaitan berbagai konsep interaksi air dalam produk pangan. JTIP. XXIII(1):107-116. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Sumantri B, Terjemahan. Jakarta (ID): Gramedia. hal 168-171, 647. Srinivasan S, Xiong YL. 1996. Gelation of beef heart surimi as affected by antioxidants. J Food Sci. 61(4):707-711. Sultanbawa Y, Li-Chan ECY. 1998. Cryoprotective effects of sugar and polyol blends in ling cod surimi during frozen storage. Food Res Int. 31:87-98. Suvanich VW, Prinyawiwatkul ML, Jahncke WJ, Lyon, Marshall DL. 1999. Quality characteristics of catfish surimi as affected by different processing protocols. 60th Annual Meeting of the Institute of Food Technologists, July 24-28, Chicago (USA): Technical Program Book of Abstracts, No. 50D-9, p.147. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Tecnhology. London (UK): Applied Sci Publ Ltd. Syarief R. 1990. Peranan Pengemasan dalam Mempertahankan Mutu Pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sych J, Lacroix C, Adambounou LT, Castaigne F. 1990a. Cryoprotective effect of lactitol, palatinit, and polydextrose on cod surimi proteins during frozen storage. J Food Sci. 55:356-360. Sych J, Lacroix C, Adambounou LT, Castaigne F. 1990b. Cryoprotective effect of some materials on cod surimi proteins during frozen storage. J Food Sci. 55:1222-1227,1263. Sych J, Lacroix C, Adambounou LT, Castaigne F. 1991. The effect of low-or nonsweet additives on the stability of protein functional properties of frozen cod surimi. Int J Food Sci Technol. 26:185-197. Trobos. 2008. Fillet Lele: Membalik Nasib Lele Bapukan. http://www. trobos.com /show _article. php? rid=35&aid=1231 [20 April 2012]. Uju, Maryana F, Santoso J. 2007. Pemanfaatan refined carrageenan sebagai cryoprotectant pada penyimpanan beku surimi ikan nila. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. X(2):48-59. Venugopal V, Martin AM, Omar S, Patel TR. 1994. Protein Concentrate from capelin (Mallotus villosus) by spray drying process and its properties. J Food Proces Pres. 18(6):509-519. Venugopal V, Doke SN, Nair PM. 1994. Gelation of shark myofibrillar proteins by weak organic acids. Food Chem. 50(2):185-190. Venugopal V, Chawla SP, Nair PM. 1996. Spray dried protein powder from threadfin bream preparation, properties and comparison with FPC type B. J Muscle Foods. 7(1):55-71.
73
Xu Y, Zhang M, Tu D, Sun J, Zhou L, Mujumdar AS. 2004. A two-stage convective air and vacuum freeze-drying technique for bamboo shoots. Int. J. Food Sci. Technol. 40(6):589-595. Yathavamoorthi R, Sankar TV, Ravishankar CN. 2010. Effect of ice storage and washing on the protein constituents and textural properties of surimi from Labeo calbasu (Hamilton, 1822). Indian J. Fish. 57(4):85-91. Yasumatsu K, Sawada K, Moritaka S, Misaki M, Toda J, Wada T, Ishi K. 1972. Whipping and emulsifying properties of soybean products. Agric Biol Chem. 36(5):719-727. Yoo B, Lee CM. 1993. Thermoprotective effect of sorbitol on protein during dehydration. J Agric Food Chem. 41:190-192. Zayas JF. 1997. Functional of Protein in Foods. Berlin (GER): Springer-Verlag Heidelberg. Zhou AM, Zeng QX, Liu X, Sun YM. 2003. The physicochemical changes of fish muscle protein during frozen storage and their affecting factors. J Food Sci. 24(3):153–157. Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effect of threhalosa and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi during frozen storage. Food Chem. 96(1):96-103.
74
75
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 18 April 1988 di Kendari, Sulawesi Tenggara. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ir.Tjandra Buana, M.Si dan Ir.Hermin Puspa Rahayu. Tahun 2006 penulis diterima di Program Strata-1 Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2011 penulis menyelesaikan program sarjana (S1) Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan Beasiswa Unggulan untuk Pendidikan Magister Sains dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan melanjutkan program Magister di kampus dan program studi yang sama. Selama masa kuliah di Sekolah Pascasarjana IPB penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah Ilmu dan Teknologi Surimi dan Mata Kuliah Teknologi Formulasi Hasil Perairan. Penulis juga memperoleh beasiswa penelitian dari Kementerian Keuangan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).