11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usahatani Pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan nasional dan sangat berperan dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Kegiatan usaha dalam bidang pertanian yang berkaitan secara langsung dengan budidaya (produksi) lebih umum dikenal dengan usahatani. Mosher (1983) menjelaskan bahwa usahatani adalah sebagian dari permukaan burni dimana seorang petani, suatu keluarga tani atau badan tertentu lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak. Dalam menjalankan usahataninya seringkali petani tidak hanya mengusahakan satu cabang usaha melainkan terdiri dari beberapa cabang usaha seperti usahatani tanaman pangan dan usahaternak. Hal ini dilakukan oleh petani atas dasar berbagai pertimbangan antara lain menyangkut sifat komplemen antara cabang usaha yang dijalankan serta harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Soeharjo dan Patong (1973) membagi usahatani menurut polanya, yaitu berdasarkan jumlah cabang usaha dalam suatu usahatani, menjadi: (1) usahatani khusus, yaitu usahatani yang mempunyai satu cabang usaha, (2) usahatani tidak khusus, yaitu usahatani yang dilakukan terdiri dari berbagai cabang usaha pada sebidang tanah, dan (3) usahatani campuran, yaitu usaha yang dilakukan secara bercampur antara tanaman dengan ternak.
Pada saat ini usahatani telah cukup berkembang baik sebagai salah satu bentuk usaha maupun sebagai ilmu pengetahuan. Hernanto (1989) menjelaskan bahwa ilmu usahatani merupakan cabang dari ilmu pertanian. Ilmu ini mempelajari ha1 ihwal usahatani yang meliputi organisasi, operasi pembiayaan, dan penjualan. Soekartawi ( 1 995) mejelaskan bahwa ilmu usahatani biasanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka kuasai sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Salah satu konsep yang berkembang seiring dengan perkembangan pola pengusahaan dalam suatu usahatani adalah yang dikenal dengan konsep usahatani terpadu Varming systems). Konsep tersebut memandang bahwa suatu usahatani merupakan suatu sistem.
Hal ini mengandung pengertian bahwa antara berbagai
cabang usaha yang dikelola oleh petani memiliki saling keterkaitan dan berinteraksi satu sama lain.
Dengan demikian petani harus mampu memadukan berbagai
kombinasi cabang usaha tersebut guna mencapai tujuan yang diinginkan. Hardwood
(1979) menjelaskan bahwa farming system adalah paduan dari proses biologis dan aktivitas pengelolaan sumberdaya untuk memproduksi tanaman dan ternak. Definisi tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh Shaner et al. ( 1 982) yang menyatakan bahwa
farming
system adalah suatu yang unik dari pengaturan cabang usaha yang
berimbang dari suatu usahatani. Unik dalam arti kemampuan petani mengelola,
mengendalikan dan memadukan aspek agronomi dan aspek sosial ekonomi dengan memperhatikan aspek lingkungan tertentu. Shaner et al. (1982) lebih lanjut menjelaskan bahwa untuk memperoleh gambaran keberadaan farming systems dalam lingkungan tertentu maka ada beberapa faktor penentu yang perlu diperhatikan. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Rumah tangga sebagai satu unit kesatuan. Rumah tangga merupakan elemen kunci dalam riset farming systems. 2. Sumberdaya rumah tangga petani. Sumberdaya yang dikuasai dapat dibedakan
a. Tanah, yang meliputi ukuran tanah, pemilikan tanah, pembagian tanah, penggunaan tanah, hubungan antara pemilik dan penyewa, kualitas tanah, ketersediaan air dan lokasi tanah. b. Tenaga kerja, yang meliputi jurnlah, urnur, kelamin, anggota keluarga, tingkat produktivitas dan kesehatan, pembagian waktu antara di dalam dan diluar usahatani, sifat dan keinginan untuk bekerja sama dan saling membantu. c. Modal, mencakup kekayaan baik berupa fisik maupun finansial seperti peralatan, bangunan, hasil yang dapat dijadikan uang tunai, ternak maupun kredit. d. Pengelolaan, adalah keterampilan dalam mengorganisir dan memanfaatkan tanah, tenaga kerja dan modal secara efisien. 3. Cabang usaha dalam usahatani. Beberapa karakteristik yang perlu diperhatikan
dalam hubungan dengan cabang usaha antara lain : kebiasaan bertani, interaksi antara cabang usaha satu dengan lainnya, kebutuhan biaya dan tenaga kerja serta
saat kebutuhannya, kebutuhan input produksi, pemanfaatan hasil produksi, dan pemasaran hasil produksinya. Norman dan Gilbert (1980) menjelaskan bahwa terdapat dua elemen utama yang sangat berpengaruh terhadap riset farming system yaitu manusia dan teknologi. Dalam pengambilan keputusan, petani dihadapkan pada faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor eksogen tidak berada dalam kontrol petani sedangkan faktor endogen berada dalam kontrol petani. Faktor eksogen tersebut meliputi norma dan perilaku dalam suatu struktur masyarakat tertentu, institusi eksternal seperti pasar, dan ha1 lain yang berada di luar kontrol petani. Adapun faktor endogen meliputi kondisi rurnah tangga petani dengan segala faktor produksi yang dikuasainya berupa lahan, modal, tenaga kerja, dan kemampuan dalam pengelolaan. Dengan berdasarkan pada kondisi kedua faktor tersebut, petani akan mengambil keputusan untuk menjalankan usaha baik usahatani tanaman dan ternak, maupun usaha non-pertanian. Interaksi antara berbagai cabang usaha tersebut yang selanjutnya dikenal sebagaifarming system. 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu
Penggunaan program linier telah cukup populer dalam berbagai penelitian, baik penelitian dalam bidang industri maupun bidang pertanian. Beberapa penelitian usahatani dengan pendekatakan program linier akan diuraikan pada bagian ini, Simatupang (198 1) melakukan penelitian optimalisasi terhadap mekanisasi dari tenaga kerja dalam pertanian. Dengan kondisi lapang yang menunjukan bahwa pada musim hujan dan musim kering sawah hanya ditanami dengan padi sesuai program pemerintah dan kebiasaan petani, maka analisis program linier hanya dipakai
untuk tingkat wilayah. Untuk tingkat usahatani pola optimal penggunaan sawah tidak diteliti karena pola pertanaman sudah tertentu dan alat pengolah tanah mekanik yang diteliti tidak dimiliki oleh petani penggarap. Dalam penelitian tersebut pengukuran ketersediaan sumber-sumber dilakukan untuk setiap bulan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat kemungkinan kekurangan tenaga kerja dan surnber-sumber lain untuk setiap bulan dan berapa harga bayangan masing-masing. Model yang dikembangakan adalah memaksimumkan penerimaan dengan kendala berupa tenaga kerja dan lahan. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa tenaga kerja pengolahan tanah di daerah Karawang tidak cukup untuk mengolah tanah seperti yang dijadwalkan apabila traktor tidak masuk. Kekurangan tersebut sebetulnya bukan karena tidak adanya tenaga kerja, tetapi karena rendahnya mobilitas tenaga manusia dan ternak di daerah tersebut. Lande (1989) menganalisis pola usahatani optimal di wilayah permukiman transmigrasi Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Dalam penelitiannya tersebut, Lande menggunakan model program linier untuk tingkat petani dan tingkat wilayah. Pada tingkat petani, spesifikasi model yang dikembangkan adalah memaksimumkan pendapatan petani. Aktivitas yang dimasukan dalam spesifikasi model meliputi: (1) aktivitas produksi, (2) menyewa tenaga kerja dari luar wilayah, (3) menyewakan tenaga kerja ke luar wilayah, (4) penjualan hasil, (5) konsumsi, dan (6) meminjam kredit. Adapun yang menjadi kendala adalah : (1) lahan, (2) tenaga kerja, (3) modal sendiri, (4) modal pinjaman, dan (5) transfer hasil. Adapun untuk tingkat wilayah model program linier yang digunakan adalah mengadopsi model yang dikembangkan oleh Kasryno (1980).
Hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Lande (1989) adalah: (1) penggunaan sumberdaya dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh petani di wilayah pemukiman transmigrasi selama ini tidak efisien, (2) penerapan pola optimal akan dapat meningkatkan pendapatan petani dan pendapatan sektor pertanian di wilayah tersebut, dan (3) penggunaan dana untuk investasi dalam pelaksanaan pola aktivitas sektor pertanian optimal adalah layak berdasarkan kriteria analisis kelayakan finansial. Jenahar (1990) dalam penelitiannya mengenai usahatani lahan pasang surut juga memperoleh temuan yang serupa dalarn ha1
belurn
optimalnya pola usahatani yang dijalankan selama ini serta adanya peningkatan pendapatan dengan penerapan pola usahatani optimal. Sementara itu, Sudana (1988) juga melakukan penelitian pada daerah transmigrasi. Aktivitas dalam spesifikasi model meliputi : (1) pola tanam, (2) perkebunan, (3) memelihara ternak, (4) menyewa tenaga kerja, (5) menjual hasil, (6) konsumsi keluarga, (7) membeli bahan makanan, dan (8) meminjam modal. Kendala yang digunakan dalam model meliputi : (1) lahan tanaman pangan, (2) lahan perkebunan, (3) ternak, (4) tenaga kerja, (5) transfer produksi, (6) konsumsi keluarga, (7) modal pinjaman, dan (8) modal sendiri. Penelitian dengan model program linier untuk usahatani ternak telah dilakukan oleh Rusastra (1985).
Dalam penelitian tersebut model yang
dikembangkan adalah untuk menangkap keragaman agro-ekologi pada berbagai wilayah yang memiliki topografi berbeda. Wilayah yang dikaji meliputi daerah dataran rendah (0 - 500 m dpl), daerah berbukit (penonjolan lebih tinggi dari tanah datar), dan daerah dataran tinggi (500 - 1 400 m dpl)
Kesimpulan yang ditarik dari penelitian tersebut adalah bahwa pada ketiga tofografi lahan, untuk golongan petani sempit, ternak sapi induk bersifat diversifikasi komplementer (saling menunjang) dengan tanaman pangan. Bagi golongan petani sempit ternak sapi memberi sumbangan terbesar terhadap pendapatan pada wilayah dengan topografi berbukit. Disamping itu merupakan penyerap tenaga kerja manusia terbesar pada ketiga topografi lahan. Dengan meningkatnya luas garapan, ternak sapi ternyata bersifat kompetitif dengan tanaman pangan pada daerah dataran rendah dan berbukit. Penelitian usahatani ternak juga dilakukan oleh Saragih (1993) yang mengkaji tentang sistem usahatani lahan kering di Daerah Aliran Sungai Jratunseluna, Jawa Tengah. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa pola optimal usahatani di wilayah kajian adalah kombinasi antara tanaman pangan dan ternak kambingldomba. Pola usaha tanaman pangan dan ternak kambingldomba ini menjadi solusi optimal baik untuk petani dengan lahan sempit maupun untuk petani dengan lahan relatif luas. Untuk skala nasional, pendekatan model program linier telah dikembangkan oleh Kasryno (1980). Penelitian yang dilakukan menggunakan model program linier untuk mengkaji alokasi sumberdaya pada sektor pertanian di Indonesia. Fungsi tujuan yang dikembangkan dalam model tersebut adalah memaksimumkan nilai tambah bersih (net value added) dari sektor pertanian di Indonesia.