I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sektor industri merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Perkembangan sektor industri memiliki peran penting dalam memberikan dampak positif terhadap perekonomian seperti memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat, meningkatkan devisa negara dari ekspor, dan sebagai penyumbang yang cukup besar terhadap pendapatan nasional. Di sisi lain pertumbuhan sektor industri juga membawa efek negatif terhadap lingkungan yaitu semakin meningkatnya jumlah limbah industri yang berpotensi menimbulkan pencemaran sehingga dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Kegiatan
sektor
industri
bisa
dipastikan
menimbulkan
dampak
eksternalitas. Eksternalitas yaitu keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar (Mangkoesoebroto, 1993). Eksternalitas dapat bersifat positif maupun negatif. Eksternalitas positif dari sektor industri adalah pemanfaatan kembali sisa buangan atau limbah oleh pihak lain misal limbah padat yang dihasilkan oleh industri tekstil berupa lumpur (sludge) dapat dimanfaatkan kembali menjadi pupuk organik, bahan campuran pembuatan conblok, dan batako. Contoh yang termasuk eksternalitas negatif adalah limbah industri yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Industri menghasilkan beragam limbah, seperti: limbah cair, padat, gas, dan lain-lain. Limbah-limbah ini biasanya langsung dibuang ke lingkungan, tanpa melalui proses pengolahan dan penanganan. Industri umumnya langsung
membuang limbah cair ke badan air, seperti: laut, sungai, atau danau. Limbah cair industri merupakan penyebab utama terjadinya pencemaran air. Setiap industri yang menghasilkan limbah cair wajib melakukan pengolahan air limbah agar memenuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah sehingga dapat langsung dibuang tanpa mencemari lingkungan. Limbah yang dibuang tanpa diolah terlebih dahulu akan menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan. Beberapa alasan pengusaha membuang limbah tanpa diolah terlebih dulu antara lain mahalnya biaya pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), biaya operasional, dan perawatan IPAL yang rumit dan kompleks. Lingkungan mempunyai daya tampung limbah yang terbatas. Ketika limbah yang dibuang tidak melebihi ambang batas, lingkungan masih dapat menguraikannya sehingga tidak menimbulkan pencemaran. Namun jika ambang batas tersebut terlampaui, maka lingkungan tidak dapat menetralisir semua limbah yang ada sehingga timbul masalah pencemaran dan degradasi kondisi lingkungan. Perkembangan kondisi dan kualitas lingkungan di Indonesia sudah sangat memprihatikan karena kerusakan lingkungan semakin parah diikuti dengan pembuangan limbah secara terus menerus sehingga menimbulkan pencemaran dan akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan instrumen ekonomi, salah satunya instrumen fiskal. Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen fiskal yang umum digunakan untuk mengatasi persoalan pencemaran lingkungan. Wacana mengenai pajak lingkungan ini sudah sering didiskusikan oleh berbagai kalangan. Pajak lingkungan direncanakan akan ditetapkan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan dan dibebankan khususnya pada industri
manufaktur yang memiliki omzet di atas Rp 300 juta per tahun.1 Pungutan pajak lingkungan akan dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan dimasukkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Secara umum pengenaan pajak lingkungan didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan industri yang berpotensi mencemari lingkungan agar memberikan kontribusi dalam perbaikan lingkungan. Pajak lingkungan akan dikenakan kepada industri manufaktur karena industri tersebut dianggap tidak ramah lingkungan dan memiliki input dengan kadar pencemaran besar serta dalam proses produksinya menghasilkan output limbah yang berpotensi mencemari lingkungan. Industri tekstil merupakan salah satu industri manufaktur yang potensial menghasilkan limbah. Perkembangan sektor industri di Kota Bogor mengalami peningkatan setiap tahunnya, tidak terkecuali industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil). Setiap tahunnya jumlah unit usaha TPT mengalami peningkatan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Perkembangan industri tekstil diikuti dengan semakin besarnya limbah cair yang dihasilkan oleh industri tekstil. Industri tesktil merupakan salah satu industri penghasil utama limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan. Hal tersebut dikarenakan dalam proses produksinya industri tekstil membutuhkan input air dalam jumlah besar dan bahan kimia untuk digunakan dalam proses pewarnaan sehingga limbah yang dihasilkan mengandung COD dan BOD tinggi. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri tekstil merupakan salah satu limbah yang banyak mengandung bahan pencemar yang sulit terurai di lingkungan. Rata-rata di Indonesia limbah cair yang dihasilkan industri tekstil mengandung 750 mg/l padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD (Biological Oxigen 1
Maharani Siti Sophia. 2006. Kajian Di Balik Asumsi Pajak Lingkungan. Situs; http://www.icel.or.id/. ICEL (Indonesian Center for Environmental Law). (diakses tanggal 1 Juli 2008)
Demand). Perbandingan COD (Chemical Oxigen Demand) dan BOD berkisar 1,5:1 sampai 3:1.2 Mengingat potensi limbah yang dihasilkan demikian besarnya, sebagai antisipasi terhadap diterapkannya pajak lingkungan maka diperlukan penetapan nilai pajak lingkungan yang mencerminkan keadilan dan kepatutan. Studi ini dilakukan untuk melihat berapa besar nilai pajak yang sebaiknya dikenakan pada industri tekstil. Tabel 1. Perkembangan Jumlah Industri di Kota Bogor Tahun 2002-2007 No Industri Menengah dan Besar Jumlah Unit Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Kimia,Agro dan Hasil Hutan 1. Makanan 6 6 6 9 9 15 2. Minuman 3 4 5 6 8 9 3. Kayu Olahan dan Rotan 3 4 5 7 10 10 4. Pulp dan Kertas 3 4 4 7 8 10 5. Bahan Kimia dan Karet 5 5 5 5 6 7 6. Bahan Galian Non Logam 1 2 2 7. Kimia 3 3 3 4 5 6 Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka 1. Mesin dan Rekayasa 2. Logam 5 5 5 5 10 10 3. Alat Angkut 4 4 4 5 5 5 4. Tekstil dan Produk Tekstil 18 18 19 22 23 23 5. Kulit 2 2 6. Alpora 1 1 1 1 1 1 7. Elektronika 2 2 2 3 3 3 Total Industri 53 56 59 75 92 103 Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor (2007)
1.2 Perumusan Masalah Pembahasan rencana pemberlakuan pajak lingkungan di Indonesia masih diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Salah satu poin penting yang masih dipertanyakan adalah nilai pajak yang akan dikenakan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan khususnya terhadap industri manufaktur yang memiliki omzet 2
Departemen Lingkungan Hidup. 2003. Pengolahan & Pemanfaatan Limbah Tekstil. Situs : http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=7. (diakses tanggal 20 Febuari 2008).
di atas Rp 300 juta per tahun. Pajak lingkungan akan dikenakan kepada industri yang memiliki omzet di atas Rp 300 juta per tahun dengan tujuan untuk menghindari agar industri kecil tidak terkena pajak ini karena dikhawatirkan akan semakin membebani biaya produksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa industri yang memiliki omzet di bawah Rp 300 juta per tahun walaupun menimbulkan pencemaran akan dibebaskan dari pungutan pajak lingkungan dan dibiarkan mencemari lingkungan. Hal tersebut mencerminkan ketidakadilan apabila dilihat dari sisi lingkungan. Perusahaan yang beromzet di atas Rp 300 juta per tahun belum tentu memberikan kontribusi limbah yang berbahaya bagi lingkungan misalnya perusahaan tersebut telah memiliki IPAL yang baik sehingga tidak berpotensi mencemari lingkungan. Di sisi lain perusahaan kecil (omzet di bawah Rp 300 juta) yang belum memiliki IPAL akan memberikan kontribusi pencemaran yang lebih berbahaya. Sebagai contoh industri kecil tapioka yang menghasilkan limbah cair dengan ciri seperti bau busuk, warna keruh (putih kecoklat-coklatan), kandungan BOD, COD, dan TSS masing-masing sekitar 1.290 mg/l, 3.200 mg/l, dan 148 mg/l (di atas ambang maksimum baku mutu limbah cair yang ditetapkan pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999, yaitu 150 mg/l BOD, 300 mg/l COD, dan 100 mg/l TSS) (Kurniarto, 2006). Rencana pemberlakuan pajak lingkungan tersebut juga menimbulkan kontroversi, karena terdapat pihak yang pro ataupun kontra. Pihak yang kontra atau menolak adanya pemberlakuan pajak lingkungan sebagian besar berasal dari kalangan pengusaha. Hal ini disebabkan penerapan pajak lingkungan ini akan semakin membebani pengusaha dalam hal kenaikan biaya produksi (high cost).
Namun di sisi lain bagi pihak yang pro atau setuju, penerapan pajak lingkungan mencerminkan tanggung jawab industri terhadap lingkungan. Pengenaan pajak lingkungan bukan berarti perusahaan diperbolehkan untuk mencemari lingkungan melainkan harus menurunkan tingkat pencemaran limbahnya. Tujuan penerapan pajak lingkungan salah satunya dalam rangka menciptakan insentif bagi pengusaha untuk mendanai kegiatan pelestarian lingkungan mengingat kegiatan industri telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Hasil penerimaan pajak lingkungan digunakan untuk mendanai kegiatan pengelolaan lingkungan seperti mendanai kegiatan pengolahan dan pengendalian limbah, investasi IPAL ataupun pemberian subsidi kepada perusahaan untuk mengadakan sarana IPAL. Berdasarkan hal tersebut maka pajak lingkungan sebaiknya tidak dikenakan atas omzet perusahaan melainkan berdasarkan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle/PPP) sehingga memenuhi prinsip keadilan. Pajak lingkungan diterapkan berdasarkan PPP artinya semakin besar tingkat pencemaran yang ditimbulkan maka pajak yang akan dikenakan semakin tinggi dan sebaliknya. Limbah cair tekstil termasuk jenis limbah yang berpotensi besar mencemari perairan. Industri tekstil mengeluarkan limbah cair dengan jumlah yang cukup besar dan mengandung bermacam-macam polutan. Kandungan polutan dalam limbah cair tekstil berasal dari sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi, kotoran yang lepas dari serat, serta sisa-sisa serat yang terlepas oleh bahan kimia. Bahan kimia yang terbuang pada umumnya berasal dari proses pencelupan, baik bahan kimia yang digunakan untuk
pengkanjian, pewarnaan, dan pemutihan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah cair tekstil antara lain air limbah tekstil secara fisik berwarna keruh dan berbau, sehingga merusak estetika dan mengganggu pemanfaatan air. Air limbah tekstil terkadang berbusa yang menutupi permukaan air dan menghalangi fotosintesa serta masuknya oksigen dalam air sehingga mengganggu kehidupan flora dan fauna air (Sitorus, 1993). Industri tekstil di Kota Bogor yang masih beroperasi yaitu PT. UNITEX. PT. UNITEX memiliki kapasitas IPAL maksimum sebesar 5.000 m3/hari dan membuang air limbahnya ke Sungai Cibudig. IPAL PT. UNITEX telah memberikan hasil yang memuaskan dalam mengelola limbah cair dari hasil produksinya. Hal tersebut dibuktikan dengan keberhasilannya mendapatkan penghargaan tingkat Asia Pasifik pada tahun 1990 "Sahwali Award" sebagai pengusaha yang berwawasan lingkungan dan memperoleh penghargaan Program Kali Bersih (Prokasih) No.1 di Indonesia tahun 1991 sebagai industri yang paling baik dalam pengolahan air limbah. PT. UNITEX juga menerima penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam upaya menciptakan produksi yang ramah lingkungan dengan menerapkan produksi bersih (cleaner production). Pada tahun 2004-2005, PT. UNITEX juga meraih peringkat biru pada penilaian PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) yang dilakukan oleh KLH.
Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Berapa tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satusatuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost)? 2. Berapa tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage)? 3. Berapa nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengestimasi
tambahan
biaya
yang
dikeluarkan
perusahaan
untuk
mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost). 2. Mengestimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage). 3. Mengestimasi nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle.
1.4 Manfaat Penelitian 1.
Untuk bahan pertimbangan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sebagai informasi dan masukan dalam menetapkan besarnya pajak lingkungan yang akan dibebankan untuk industri.
2.
Bagi industri, dapat sebagai pertimbangan dalam menentukan besarnya produksi dan teknologi pengolahan limbah cair yang dihasilkan, agar limbah
yang dikeluarkan tidak mencemari lingkungan dan sesuai dengan baku mutu limbah industri yang telah ditetapkan. 3.
Pengusaha tekstil, agar memperhatikan dampak limbah yang ditimbulkan industri tekstil terhadap masyarakat sekitar serta ikut serta dalam upaya memperbaiki lingkungan.
4.
Bagi peneliti dan akademisi, untuk menambah pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pajak lingkungan dan menjadi bahan literatur bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan penanggulangan pencemaran lingkungan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Industri tekstil menghasilkan limbah baik berupa limbah padat, cair, dan gas. Penelitian dilakukan hanya pada limbah cair. Hal ini disebabkan limbah padat yang dihasilkan oleh industri dapat di daur ulang atau dimanfaatkan kembali sehingga perusahaan tidak mengolah sendiri limbah padat yang dihasilkan sementara limbah gas, dikarenakan keterbatasan alat serta data penelitian. Berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Industri, ditetapkan bahwa parameter utama pencemaran air untuk industri tekstil yang harus memenuhi syarat buangan antara lain: BOD, COD, TSS (Total Suspended Solid), krom total, fenol total, amonia total, minyak dan lemak, sulfida, dan pH. Dalam penelitian ini, parameter komponen limbah cair hanya difokuskan pada dua parameter yaitu BOD dan COD. Hal ini disebabkan BOD dan COD merupakan jenis pencemar organik yang paling banyak diterima badan
air. Adanya keterbatasan alat dan data, maka penelitian difokuskan pada kedua parameter tersebut. Aspek sosial ekonomi mencangkup dampak positif dan negatif yang diterima masyarakat. Penelitian ini hanya meneliti dampak negatif yang diterima oleh masyarakat sekitar tetapi tidak meneliti dampak positif limbah cair karena keterbatasan alat dan data penelitian. Hal ini dikarenakan sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu meneliti dampak negatif yang diterima masyarakat dari pembuangan air limbah industri tekstil. Polluter Pay Principle dilakukan dengan mengestimasi persamaan Marginal Abatement Cost (MAC) yang dikeluarkan oleh industri dan Marginal Damage (MD) yang dirasakan masyarakat. Dalam penelitian ini untuk mengestimasi MD dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai Willingness to Accept (WTA). Hal ini disebabkan MD digunakan untuk mengetahui tambahan kerusakan akibat tambahan satu-satuan konsentrasi parameter pencemar limbah cair bersifat sulit dihitung (intangible). Oleh karena itu, dalam penelitian ini pendekatan WTA digunakan untuk mengestimasi nilai kerusakan dari barang lingkungan yang dapat diukur secara ekonomi (tangibel). Nilai pajak lingkungan yang optimal ditentukan dengan mengetahui persamaaan MAC dan MD. Dalam penelitian ini untuk menentukan persamaan MAC dan MD disederhanakan dengan menggunakan persamaan garis linier dua titik disebabkan karena keterbatasan alat dan data penelitian.