BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor yang menjadi andalan bagi
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), karena mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan industri lain yang terkait. Dengan semakin bertumbuhnya sektor pariwisata penciptaan lapangan kerja, kontribusi pendapatan asli daerah, dan penerimaan negara dalam bentuk devisa akan mampu terus terjaga (Direktori Hotel dan Akomodasi Lain Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014). Provinsi DIY selain dikenal sebagai pusat pendidikan dan memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan, dikenal juga akan kekayaan alam dan pesona budayanya. Potensi keindahan alam DIY seperti kawasan Kaliurang, Gunung Merapi, Gumuk Pasir, Desa Wisata Brayut, Pantai Selatan, maupun keindahan pantai di sepanjang garis pantai di Wonosari (Pantai Kukup, Baron, Krakal, Sundak, Sadranan, Wedi Ombo, dll) menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang banyak dikunjungi wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara (Statistik Kepariwisataan DIY, 2014). Jumlah wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang mengunjungi DIY tiap tahunnya terus meningkat. Hal ini menunjukkan Provinsi DIY masih menjadi daerah tujuan utama wisata di Indonesia setelah Bali, Lombok, Bandung, dan Jakarta (D.I. Yogyakarta Dalam Angka 2014). Pada Tabel 1.1. berikut ini ditampilkan pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan ke Provinsi DIY 20092014.
1
Tabel 1.1. Pertumbuhan Kunjungan Wisatawan ke- DIY 2009-2014 Tahun
wisatawan mancanegara
Pertumbuhan (%)
Wisatawan Domestik
Pertumbuhan (%)
2009 2010 2011 2012 2013 2014
139.492 152.843 169.565 197.751 235.893 254.213
78,50 9,57 10,94 16,62 19,29 7,76
1.286.565 1.304.137 1.438.129 2.162.422 2.602.074 3.091.967
53,77 1,37 10,27 50,36 20,33 18,82
Wisatawan Mancanegara dan Wisatawan Domestik 1.426.057 1.456.980 1.607.694 2.360.173 2.837.967 3.346.180
Pertumbuhan (%) 55,88 2,17 10,34 46,80 20,24 18,00
Sumber: Dinas Pariwisata DIY, (2014). Jumlah kunjungan wisatawan ke DIY setiap tahunnya terus meningkat baik itu wisatawan domestik (dalam negeri) maupun wisatawan mancanegara. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 55,88% (Tabel 1.1), dengan total jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik mencapai 1.426.057 orang. Dengan terus naiknya jumlah kunjungan wisatawan ke DIY tiap tahunnya menunjukkan tingginya kepercayaan para wisatawan baik domestik maupun mancanegara terhadap situasi dan kondisi DIY baik dari segi keamanan dan keramah-tamahan masyarakatnya. Kunjungan Wisatawan yang terus naik tiap tahunnya juga berdampak pada jumlah kedatangan di pintu masuk Bandar Udara Adisutjipto yang semakin meningkat. Untuk tahun 2013 jumlah kedatangan penumpang untuk domestik dan mancanegara telah mencapai tiga juta orang (DIY Dalam Angka, 2014). Pada Tabel 1.2. ditampilkan arus lalu lintas udara dalam negeri melalui pintu masuk Bandar Udara Adisutjipto.
2
Tabel 1.2. Arus Lalu Lintas Udara Domestik (Dalam Negeri) Melalui Bandar Udara Adisutjipto Pesawat/Aeroplane Bulan (Month)
Penumpang/Passenger
Datang
Berangkat
Datang
Berangkat
Transit
(Arrivals)
(Departures)
(Arrivals)
(Departures)
(Transit)
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober
2.633 2.471 2.374 2.521 2.819 2.453 2.754 2.747 2.723 2.736
2.633 2.466 2.372 2.520 2.701 2.454 2.759 2.746 2.727 2.738
198.589 182.511 208.529 200.043 234.456 253.073 222.885 272.474 228.472 248.853
212.526 178.880 204.217 200.265 228.185 241.194 218.775 254.221 236.587 247.729
212.526 3.132 1.633 1.726 2.139 1.483 1.370 656 1.155 1.409
Nopember Desember
2.602 2.388
2.597 2.387
232.886 256.342
237.937 504.670
998 1.129
Jumlah/Total
31.221
31.109
2.739.113
2.965.166
18.511
2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005
17.585 15.138 22.379 18.080 11.608 11.260 11.148 12.667
17.578 15.102 22.385 18.070 11.608 11.260 11.148 12.662
2.377.616 2.025.785 1.723.905 1.580.814 1.340.376 1.280.184 1.240.581 1.226.969
2.357.005 2.010.662 1.709.827 1.556.003 1.321.061 1.268.843 1.231.664 1.214.971
52.582 55.175 55.208 42.661 40.669 49.273 67.812 69.884
Sumber: D.I Yogyakarta Dalam Angka, (2014). Tingginya arus penumpang melalui pintu masuk Bandar Udara Adisutjipto yang menjadi dasar bagi Pemerintah Provinsi DIY untuk memberikan solusi bagi kelancaran lalu lintas udara yang menuju Provinsi DIY. Pemerintah setempat merancang pembangunan Bandar Udara Kulon Progo yang rencananya mulai melakukan kegiatan konstruksi pada tahun 2015. Bandar Udara Kulon Progo akan menempati lahan seluas 110.000 m2 dan mampu menampung 10 juta kedatangan dan keberangkatan penumpang tiap tahunnya. Dengan pembangunan infrastruktur
3
pendukung seperti bandara diharapkan semakin menunjang sektor pariwisata di DIY dan memberikan pemerataan pembangunan di Provinsi DIY. Bertumbuhnya sektor pariwisata di DIY juga dapat dilihat dari semakin bertambahnya jumlah hotel di Provinsi DIY. Industri perhotelan merupakan salah satu mata rantai dalam jaringan sektor pariwisata. Keamanan yang terkendali dan terus naiknya jumlah wisatawan menuju DIY membuat investasi akan industri perhotelan di DIY terus tumbuh. Pada Tabel 1.3 ditampilkan banyaknya hotel dan akomodasi dari tahun 2012 hingga tahun 2014 di Provinsi DIY. Tabel 1.3. Banyaknya Hotel dan Akomodasi Lain di DIY Menurut Kab./Kota 2012-2014 Hotel Bintang/ Star Non Bintang/ Non Jumlah/Total Kabupaten/Kota Hotels Star Hotels Regency/City 2012 2013 2014 2012 2013 2014 2012 2013 2014 Kulonprogo 26 26 27 26 26 27 Bantul 1 1 1 284 278 248 285 279 249 Gunungkidul 1 1 1 62 61 70 63 62 71 Sleman 24 32 41 374 379 366 398 411 407 Yogyakarta 36 42 50 354 362 356 386 401 401 Sumber: Direktori Hotel dan Akomodasi Lain DIY, (2014). Pembangunan hotel di Provinsi DIY masih terpusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dikarenakan akses kepada fasilitas publik dan akomodasi lainnya paling dekat berada pada keduanya, kedepannya diharapkan pemerintah DIY mampu terus memperbaiki infrastruktur dan melakukan pemerataan pembangunan kepada tiga kabupaten (Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul) lainnya untuk mendorong hadirnya investasi terhadap industri perhotelan. Untuk Kabupaten Sleman, jumlah hotel bintang sebanyak 41 hotel sampai dengan tahun 2014, sedangkan untuk hotel non bintang sebanyak 366 hotel pada tahun 2014 (Tabel 1.3). Untuk hotel bintang di Kota Yogyakarta juga mengalami
4
pertambahan jumlah menjadi 50 hotel pada tahun 2014, bertambah delapan hotel dari tahun 2013 yang berjumlah 42 hotel. Hotel non bintang (melati) di Kabupaten Sleman merupakan daerah yang memiliki hotel non bintang dengan jumlah terbanyak yaitu 366 hotel pada tahun 2014, Kota Yogyakarta di tempat berikutnya dengan 356 hotel pada tahun 2014. Menurut Direktori Hotel dan Akomodasi Lain DIY (2014), hotel ialah suatu usaha yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian bangunan yang disediakan secara khusus untuk setiap orang dapat menginap, makan, memperoleh pelayanan dan menggunakan fasilitas lainnya dengan pembayaran. Ciri khusus dari hotel adalah mempunyai restoran yang dikelola langsung di bawah manajemen hotel tersebut. Klasifikasi hotel disertifikasi Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPP PHRI) dan ditandatangani oleh Ketua Umum PHRI dan Gubernur Daerah Propinsi terkait berdasarkan Keputusan Menbudpar No. KM.3/HK.001/MKP.02 Tahun. 2002, yang mencakup: a. Persyaratan fisik, seperti lokasi hotel, dan kondisi bangunan b. Bentuk Pelayanan yang diberikan c. Kualifikasi tenaga kerja, seperti pendidikan, dan kesejahteraan karyawan d. Fasilitas olahraga dan rekreasi lainnya yang tersedia, seperti lapangan tenis, kolam renang, dan lounge e. Jumlah kamar yang tersedia Menurut data PHRI, di Provinsi DIY hingga tahun 2015 terdapat 95 hotel berbintang dan 1000 hotel tidak berbintang dengan jumlah total kamar sebanyak 21.816 kamar. Untuk hotel berbintang sebanyak 9.316 kamar dan untuk hotel non
5
bintang (melati) sebanyak 12.500 kamar. Pada Tabel 1.4 ditampilkan jumlah kamar hotel kelas bintang di DIY: Tabel 1.4. Jumlah Kamar Hotel Kelas Bintang di DIY 2009-2015 YEAR IN OPERATIONS ROOM SUPPLY
TOTAL HOTEL
2015 2009
2010
2011
2012
2013
2014 Running
Project
Total 2015
5 ( Five ) Star
9
939
939
1.327
1.427
1.603
1.603
1.603
1.069
2.672
4 ( four ) Star
30
1.385
1.456
1.600
1.934
2.556
3.053
3.053
1.395
4.448
3 ( three ) Star
40
952
1.175
1.347
1.976
2.188
2.894
3.188
927
4.115
Budget ( 2&1 Star )
37
371
537
622
832
1.181
1.472
1.472
240
1.712
3.647
4.107
4.896
6.169
7.528
9.022
9.316
3.631
12.947
35
40
47
62
76
93
95
21
116
Total Rooms Total Hotels
116
Sumber: Data Internal PHRI, (2015). `Pertumbuhan jumlah kamar yang ditawarkan tiap tahunnya untuk kelas hotel bintang terus meningkat, pertumbuhan paling tinggi ada pada kelas bintang tiga dan empat yang hingga tahun 2015 telah mencapai 3.188 kamar dan 3.053 kamar (Tabel 1.4). Berdasarkan Tabel 1.4. dari tahun 2009 (35 hotel) hingga tahun 2014 (93 hotel) pertambahan jumlah hotel kelas bintang di DIY mengalami kenaikan hingga lebih dari 100%, dan akan terus bertambah dengan masih berlangsungnya proyek (project) pembangunan 21 hotel baru hingga akhir 2015. Terus bertambahnya jumlah hotel kelas bintang di DIY menurut Istidjab Danunegoro (Ketua PHRI DIY), tidak diimbangi dengan pertumbuhan tingkat hunian hotel di DIY yang rata-rata masih di bawah 60% setiap tahunnya. Tingkat okupansi (hunian) hotel di DIY mencapai puncaknya pada waktu-waktu tertentu dalam setahun seperti pada saat long weekend (libur panjang di akhir pekan), libur hari raya dan libur akhir tahun.
6
Dalam satu tahun ada 365 hari namun untuk high season (waktu puncak) dari jumlah tamu di setiap hotel DIY adalah 25% (91 hari) dari jumlah hari dalam satu tahun, sisanya 273 hari dalam setahun merupakan waktu dimana seluruh hotel di DIY mengalami penurunan tingkat hunian (PHRI, 2014). Dengan terus bertambahnya jumlah hotel kelas bintang di DIY menimbulkan potensi persaingan yang ketat pada saat low season (musim sepi tamu) dikarenakan hotel sangat bergantung pada tingkat okupansi (hunian) kamar. Mengutip pernyataan Kepala Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Prof Dr Phil Janianton Damanik yang dimuat di Kedaulatan Rakyat Jogja online (27 Juli, 2015), hal ini berpotensi pada persaingan harga yang tidak sehat pada saat low season dan secara keseluruhan berdampak kepada layanan dan kualitas dari tiap hotel. Berikut ini ditampilkan tingkat hunian hotel bintang di DIY 2009-2014. Tabel 1.5. Tingkat Hunian Hotel Bintang di DIY 2009-2014 Bulan
Kelas Hotel Bintang (Star Hotel Classification)
(month)
1
2
3
4
5
Jumlah/ Total
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September
41,49 31,44 27,65 24,23 43,58 47,63 25,33 55,22 40,69
59,39 53,61 49,04 55,11 53,73 66,97 50,71 57,78 64,94
46,36 41,79 48,04 45,93 59,02 58,75 35,10 53,56 54,60
46,70 44,25 54,74 53,74 64,07 64,22 43,35 55,06 63,66
68,05 59,59 64,12 60,61 70,06 70,88 67,55 74,69 77,55
51,30 46,14 52,16 51,63 61,17 63,80 44,95 58,50 62,58
Oktober November Desember
37,37 38,45 49,85
64,43 66,22 66,46
53,82 55,12 60,11
62,91 71,60 66,82
76,56 75,87 72,06
61,58 64,21 64,46
Jumlah/Total
38,70
59,03
51,15
57,94
69,96
57,18
2013 2012 2011 2010
51,37 50,63 35,80 37,23
45,57 47,98 45,11 28,48
52,24 52,01 49,85 53,77
61,38 60,14 55,09 52,77
60,48 57,08 52,87 49,09
56,20 55,19 50,65 48,83
7
2009
37,96
38,30
53,43
52,38
49,21
49,44
Sumber: Tingkat Penghunian Kamar Hotel DIY, (2014). Pertambahan jumlah hotel kelas bintang DIY tiap tahunnya belum dibarengi dengan pertumbuhan tingkat hunian yang signifikan yaitu 57,18% atau masih dibawah angka 60% (Tabel 1.5). Permintaan akan jumlah kamar hotel yang mencapai puncaknya (high season) dalam setahun hanya 25% dari total hari dalam setahun yang menjadikan persaingan antar hotel pada saat musim sepi tamu (low season) menjadi semakin ketat dikarenakan semakin bertambahnya jumlah kamar hotel dalam kurun waktu enam tahun terakhir
(2009-2015) dengan
penambahan yang cukup tinggi mencapai 9.316 kamar (164,33 %) (lihat Tabel 1.4). Langkah pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan pembangunan hotel di Kota Yogyakarta telah dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Walikota No 77 Tahun 2013 tentang pengendalian pembangunan hotel yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2014 – 31 Desember 2016. Kebijakan tersebut menjadi kurang efektif dikarenakan berdasarkan data dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta sebelum terbitnya peraturan tersebut, 104 permohonan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) pendirian hotel telah masuk kepada Dinas Perizinan dan sudah diproses yang dimana sebanyak 25% adalah pengajuan untuk hotel kelas bintang. Fakta yang terjadi hingga tahun 2015 ini pembangunan hotel baru di Kota Yogyakarta tetap berlanjut yang terpusat di area ring satu JL Malioboro, JL Mangkubumi dan sekitarnya. Kebijakan pemerintah pusat berdasarkan Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No 11 Tahun 2014 tentang pembatasan kegiatan pertemuan
8
atau rapat di luar kantor juga berdampak terhadap industri perhotelan dikarenakan seperti dijelaskan oleh Ketua Umum PHRI DIY sektor MICE (Meeting Incentives Convention and Exhibition) yang menjadi salah satu sumber utama tingkat hunian seluruh hotel terutama pada kelas bintang di DIY sebanyak 40% berasal dari pemerintah. Hingga saat ini hal tersebut masih menjadi bahan kajian di pemerintah pusat untuk menerbitkan Petunjuk Teknis bagi seluruh instansi pemerintah kegiatan mana saja yang harus dilakukan di dalam lingkungan instansi tersebut dan kegiatan yang diperbolehkan untuk dilakukan di luar lingkungan instansi pemerintahan utamanya memanfaatkan fasilitas ruangan rapat atau seminar di suatu hotel. Persaingan di dalam industri perhotelan kelas bintang di DIY semakin ketat dengan terus bertumbuhnya hotel baru di DIY namun tidak diimbangi dengan kenaikan tingkat hunian rata-rata yang signifikan yakni masih dibawah 60% semenjak tahun 2009-2014. Idealnya tingkat hunian sudah mencapai diatas rata-rata 60% setiap tahunnya dengan pertumbuhan yang pesat dari segi jumlah hotel dan kamar di DIY saat ini. Indikator dari segi length of stay (lama menginap ) wisatawan baik itu mancanegara dan domestik juga masih termasuk rendah yaitu dibawah dua malam per orang (PHRI, 2014). Pertumbuhan jumlah kamar tertinggi hingga 2015 ada pada kelas bintang tiga dan bintang empat yakni 3053 kamar untuk bintang empat dan 3188 kamar untuk bintang tiga (lihat Tabel 1.4). Hingga tahun 2014 pangsa pasar hotel kelas bintang tiga terus menunjukkan tren yang positif. Pada kelas bintang empat terjadi sedikit penurunan dikarenakan pangsa pasarnya bisa beralih pada kelas bintang
9
tiga karena mampu mensubtitusi kelas bintang empat dengan rentang harga yang jauh lebih murah. Berikut ini ditampilkan market share hotel kelas bintang di DIY: Tabel 1.6. Perbandingan Jumlah Pelanggan (Mancanegara dan Domestik) Terhadap Market Share (MS) Hotel Bintang di Provinsi DIY Bintang 1 No
Tahun
1
2009
38.984
MS (%) 5,61
2
2010
39.795
3
2011
4 5 6
Bintang 2
40.543
MS (%) 5,83
5,46
40.254
45.013
5,75
2012
98.341
2013
138.176
2014
73.494
Pelanggan
Bintang 3
128.641
MS (%) 18,51
5,53
157.987
98.588
12,59
10,53
96.685
11,13
95.530
5,92
290.807
Pelanggan
Bintang 4
Bintang 5
331.960
MS (%) 47,77
21,68
336.090
158.294
20,22
10,35
238.722
7,70
333.214
23,43
363.523
Pelanggan
154.817
MS (%) 22,28
46,13
154.446
21,20
310.442
39,66
170.477
21,78
25,56
319.518
34,21
180.649
19,34
26,84
407.949
32,87
266.393
21,46
29,29
389.491
31,38
364.631
29,38
Pelanggan
Pelanggan
Sumber: Diolah Dari Tingkat Penghunian Kamar Hotel DIY, (2014). Hingga tahun 2014 market share untuk hotel kelas bintang empat sebesar 31,38% sedikit menurun dibanding tahun sebelumnya yaitu 32,87% (Tabel 1.6). Untuk kelas bintang tiga pada tahun 2014 sebesar 29,29% naik 2,45% dari tahun sebelumnya. Market share pada kelas bintang tiga terus tumbuh dengan signifikan semenjak tahun 2009 hal ini salah satunya dikarenakan hotel pada kelas bintang tiga memiliki harga yang lebih kompetifif dengan fasilitas mendekati bintang empat. Secara keseluruhan hotel kelas bintang tiga mampu mendekati perolehan dari kelas bintang empat yang mengalami penurunan 1,49 persen pada tahun 2014. Untuk hotel kelas bintang lima relatif stabil di angka 21-29% semenjak tahun 2009 hingga tahun 2014. Menurut Porter (1980), strategic group (kelompok strategis) adalah kelompok perusahaan dalam suatu lingkungan industri yang mengikuti strategi yang sama atau serupa pada dimensi-dimensi strategis. Pengaruh yang terpenting atas
persaingan
diantara
kelompok-kelompok
strategis
adalah
market
10
interdependence (saling ketergantungan pasar mereka) atau derajat persaingan strategic group yang berlainan untuk pelanggan yang sama atau persaingan untuk pelanggan dalam segmen pasar yang berlainan. Pangsa pasar (market share) dari kelas bintang tiga terus tumbuh secara signifikan dikarenakan mampu memberikan kualitas pelayanan dan fasilitas yang tidak jauh berbeda dengan kelas bintang empat. Harga yang ditawarkan oleh kelas bintang tiga setelah ditambah pajak, service dan include breakfast untuk room standard mulai ditawarkan dengan harga Rp 450.000, dengan fasilitas yang cukup lengkap seperti pool (kolam renang), spa, lounge, resto, pusat kebugaran, internet access, meeting room, dan laundry. Untuk hotel didalam kelas bintang empat unggul dalam jumlah kamar dan biasanya memiliki ballroom khusus untuk mengakomodasi MICE (Meeting, Incentives, Convention, and Exhibition) maupun untuk wedding. Di DIY pertumbuhan kamar paling signifikan terjadi pada kedua kelas ini yaitu bintang tiga dan bintang empat (lihat Tabel 1.4), hal ini berdampak pada adanya ketergantungan pasar antar kedua kelas ini dimana kecenderungan yang terjadi jika market share bintang tiga naik maka bintang empat akan mengalami penurunan (lihat Tabel 1.6). Hal ini terjadi karena fasilitas dan kualitas pelayanan yang tidak jauh berbeda antar keduanya namun memiliki perbedaan output harga yang cukup signifikan untuk tipe kamar tertentu pada masing-masing kelas. Di bawah ini ditampilkan perbandingan harga dan fasilitas antara dua hotel pada masing-masing kelas.
11
Tabel 1.7. Contoh Perbandingan Lokasi, Kelas, Fasilitas dan Harga Antar Dua Hotel Kabupaten/Kota Regency/City
Nama Hotel
Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta
Jumlah Kamar
Kelas
Fasilitas
INNA Garuda
****
a,b,c,d,e,f,g,h,i,l, m,n,q,r,v,x,z,aa,a b,ad
223
Ibis Maliobo ro
***
a,b,c,d,e,f,g,h,i,l, m,n,s,v,w x,z,aa,ab,ad
148
Rate Standar :550.000900.000 Suite: 1.500.0002.500.000 Standar : 450.000 – 700.000 Suite : 1.026.000 – 1.122.000
Lokasi Jl. Malioboro Jl. Malioboro, Danurejan
Sumber: Diolah Dari Direktori Hotel dan Akomodasi Lain DIY 2014 Pangsa pasar (market share) kelas bintang empat yang mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir (lihat Tabel 1.6.) salah satunya bisa disebabkan pelanggan (tamu) menjadikan hotel kelas bintang tiga mampu mensubtitusi jumlah kamar dan fasilitas yang ditawarkan oleh kelas bintang empat dengan output harga yang lebih kompetitif (murah) pada tipe kamar tertentu (Tabel 1.7). Total room supply dari kelas bintang tiga hingga tahun 2015 sedikit lebih banyak dibanding total room supply yang ada pada kelas bintang empat yaitu 3188 kamar berbanding 3053 kamar (lihat Tabel 1.4). Berikut ini ditampilkan daftar kode fasilitas yang dapat dimiliki oleh hotel.
12
Tabel 1.8. Daftar Kode fasilitas Yang Dapat Dimiliki Hotel Fasilitas Fasilitas Umum
Kode Fasilitas Yang Dimiliki
Fasilitas Kamar Kamar Ber AC (Air conditioned room)
Tempat bermain (play ground)
a. Kamar ber -AC
Kamar Ber Tv (TV cable)
Layanan antar jemput
b. Kamar ber-TV
Mini Bar (freezer)
Penitipan barang (lock er)
Air Mandi Panas dan Dingin (h ot and cold water) Kolam renang (swimming pool) Lapangan tenis (tennis court) Squash Lapangan Golf (golf field) Salon kecantikan Toko cinderamata (souvenir shop)
c. Mini bar d. Air mandi panas dan dingin e. Tempat bermain f. Layanan antar jemput g.Tempat penitipan barang h. Kolam renang i. Lapangan Tenis j. Squash
Tempat penukaran uang (money changer) Minimarket Biro perjalanan wisata (t ravel agency) Meeting (function room) ATM WIFI Diskotik (cafe)
k. Lapangan golf l. Salon kecantikan m. Toko cinderamata n. Tempat penukaran uang o. Minimarket p. Biro perjalanan wisata
Karaoke
q. Meeting
Pusat kebugaran (fitness center)
r. ATM
Spa
s. WIFI
Binatu (laundry)
t. Diskotik
Ruang kesehatan/klinik Restoran (restaurant)
u. Karaoke v. Pusat kebugaran w. Spa x. Binatu y. Ruang kesehatan z. Restoran
Sumber: Diolah dari Direktori Hotel dan Akomodasi Lainnya DIY 2014 Upaya tiap hotel dalam meningkatkan dan mempertahankan tingkat okupansi (hunian) selain dengan terus menjaga kualitas pelayanan dan menghadirkan fasilitas yang lengkap bagi tamu (pelanggan) dituntut untuk mampu melaksanakan komunikasi pemasaran, memperluas kontak bisnis, dan menjalin kerjasama yang baik dengan perusahaan komersial, asosiasi profesi, instansi pemerintahan, LSM, travel agent, OTA (Online Travel Agent) dan perguruan tinggi (Rencana Tindakan Sales dan Marketing Puri Artha, 2015). Segmentasi pasar tiap hotel pada kelas bintang tiga dan empat cenderung hampir sama yaitu MICE (Meeting, Incentives, Convention, dan Exhibition), travel agent group, corporate, travel agent indvidual, OTA (online travel agent),
13
WIG (Walk in Guest) atau direct booking, dan instansi pemerintah (government). Segmentasi yang cenderung sama dalam industri perhotelan bisa terjadi namun strategi yang dipilih dari tiap hotel (perusahaan) tidak sepenuhnya sama yang meliputi berbagai macam cara di dalam suatu dimensi strategis. Dalam praktiknya meningkatkan brand identification (dapat dicapai melalui periklanan, sales force atau bermacam alat lainnya) dan distribution channel (saluran distribusi) yang dipilih dapat berbeda seperti pemilihan OTA (online travel agent) yang belum tentu sama atau lebih fokus kepada travel agent group dan lain sebagainya tergantung kepada sumberdaya dan kapabilitas yang dimiliki oleh hotel tersebut. Strategic group didefinisikan sebagai kelompok (perusahaan) didalam suatu industri yang memiliki strategi yang sama atau hampir serupa melalui pendekatan dimensi strategis (Bonetti dan Schiavone, 2014). Didalam industri perhotelan dimensi strategis yang dapat diidentifikasi kaitannya dengan meningkatkan dan
mempertahankan tingkat hunian dapat berupa brand
identification dan distribution channel (saluran distribusi). Menurut Linder dan Seidenstricker dalam Ziaie et al. (2011), analisis struktural dalam suatu industri mengacu kepada strategi bersaing yang tidak hanya ditunjukkan melalui strategic trends namun mampu mengidentifikasi strategic group utama dalam suatu industri, kaitannya kepada konsep strategic group dalam tipologi Porter memiliki peran penting dalam memfasilitasi analisis struktural dalam suatu industri berdasar kepada strategi bersaing dari masingmasing pemain dalam industri. Konsep dari strategic group adalah alat untuk menginvestigasi dan mendukung analisis struktural industri, dimana menjadi
14
penghubung dalam melihat dan mempertimbangkan posisi perusahaan dalam suatu industri maupun secara individu (Cool dan Schendel, 1987). Menurut Mehra dan Floyd (1998), studi mengenai strategic group ini bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Michael S. Hunt dalam disertasi doktoral-nya tahun 1972
yang berjudul “Competition in the major home
appliance industry, 1960-1970“. Dalam disertasi ini, Hunt mencetuskan istilah „strategic group„
yang mendefinisikan sejumlah kelompok perusahaan-
perusahaan yang mempunyai perilaku yang serupa ketika mengeksekusi strategi bisnisnya, di dalam industri peralatan rumah tangga di Amerika Serikat. Langkah pertama dalam analisis struktural di dalam industri ialah menentukan ciri strategistrategi dari semua pesaing penting sesuai dengan dimensi tersebut. Aktifitas ini selanjutnya akan memungkinkan pemetaan industri ke dalam strategic group (kelompok strategis). Strategic group (kelompok strategis) adalah kelompok perusahaan dalam suatu lingkungan industri yang mengikuti strategi yang sama atau serupa pada dimensi-dimensi strategis. Suatu lingkungan industri mungkin hanya mempunyai satu kelompok strategis (strategic group) apabila semua perusahaan pada dasarnya mengikuti strategi yang sama. Sedangkan pada industri yang lain, tiap-tiap perusahaan dapat merupakan suatu kelompok strategis sendiri. Kelompok-kelompok strategis (strategic group) sering, walaupun tidak selalu, berbeda dalam
hal produk atau cara pendekatan pemasaran mereka (Porter,
1980). Analisis strategic group map mampu menggambarkan bahwa hal terpenting dalam suatu industri adalah mampu mengidentifikasi siapa dari seluruh
15
pemain dalam industri yang menjadi pesaing terdekat dan pesaing terjauh. Dengan melihat pesaing terdekat dan pesaing terjauh akan mampu menentukan posisi terbaik dalam suatu industri dan menentukan strategi apa yang tepat dan efektif untuk meraih keunggulan kompetitif dalam suatu industri
(Thompson et al,
2012). Menurut Cool dan Dierickx (1993), berdasarkan literatur yang telah dikaji ada beberapa indikasi karakter persaingan antar dan didalam suatu strategic group , untuk dapat mengidentifikasinya anggota dari suatu strategic group (kelompok strategis) danjurkan untuk mengenali mutual dependence antar sesama anggota group dan membuktikan pemahaman tersebut, hal itu dilihat oleh anggota group bahwa mobility barriers dalam suatu strategic group dapat menjadi shared asset bagi sesama anggota group untuk melindungi group tersebut dan untuk menjaga persaingan antar group (intergroup rivalry) literatur menganjurkan untuk meningkatkan jarak strategis (strategic distance) untuk menghindari persaingan antar group (intergroup rivalry). Industri perhotelan pada kelas bintang tiga dan bintang empat di DIY memiliki tingkat pertumbuhan jumlah hotel dan kamar paling signifikan semenjak tahun 2009-2015 yakni 3188 kamar untuk bintang tiga dan 3083 kamar untuk bintang empat (lihat Tabel 1.4). Pertambahan jumlah kamar dan hotel pada kelas bintang tiga dan empat ini belum diimbangi dengan tingkat hunian yang masih dibawah 60% dan length of stay (lama menginap) tamu tergolong rendah 1,59 malam / orang (masih dibawah dua malam/ orang). Pembangunan hotel dan pertambahan kamar pada kelas bintang tiga dan empat masih akan terjadi yang berdampak pada persaingan antar hotel semakin ketat terutama pada saat low
16
season (musim sepi tamu) dimana dalam setahun sebanyak 270 hari sedangkan untuk high season (waktu puncak) kunjungan wisatawan sebanyak 90 hari dalam setahun yaitu waktu-waktu tertentu pada saat long weekend dan libur akhir tahun. Lima kekuatan persaingan (the five competitive forces ; masuknya pendatang baru ( potential entrants), ancaman produk pengganti (threat of substitution), kekuatan tawar-menawar pembeli (bargaining power of suppliers), kekuatan tawarmenawar pemasok (bargaining power of suppliers), dan persaingan diantara pesaing yang ada (rivalry among current competitors) mencerminkan kenyataan bahwa persaingan dalam suatu industri tidak hanya terbatas pada para pemain yang sudah ada (Porter, 1980). Menurut Porter (1980), the five competitive forces (lima kekuatan persaingan) secara bersama-sama menentukan intensitas persaingan dan profitabilitas dalam industri. Kekuatan-kekuatan yang paling besar akan menentukan serta menjadi sangat penting dalam sudut pandang perumusan strategi. Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan, penulis tertarik melakukan penelitian untuk memetakan industri perhotelan di DIY pada kelas bintang tiga dan empat untuk menentukan posisi terbaik serta merumuskan alternatif strategi yang tepat bagi para pemain dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di DIY berdasar analisis strategic group map dan mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi intensitas persaingan industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY.
17
B. Rumusan Masalah Indikator kinerja perhotelan di DIY pada tahun 2014 seperti tingkat hunian pada kelas hotel bintang yakni 57,18 % (di bawah 60%) dan length of stay (lama menginap) tamu tercatat 1,59 malam/orang atau dibawah dua malam/orang (Tingkat Hunian Hotel dan Akomodasi Lain DIY, 2014), masih tergolong rendah namun jumlah hotel dan total kamar pada kelas bintang di DIY terus bertambah secara signifikan yaitu lebih dari 100 % semenjak 2009 (lihat Tabel 1.4). Menurut Ketua PHRI DIY pertumbuhan yang pesat dari jumlah hotel dan kamar pada kelas bintang di DIY menimbulkan potensi persaingan yang ketat terutama pada saat musim sepi tamu (low season) dikarenakan permintaan puncak akan kamar hotel (high season) hanya terjadi selama 90 hari dalam setahun yaitu pada waktu tertentu seperti saat long weekend dan libur akhir tahun. Hingga tahun 2015 pertumbuhan jumlah kamar tertinggi ada pada kelas bintang tiga dan empat yaitu 3053 kamar untuk bintang empat dan 3158 kamar untuk bintang tiga (lihat Tabel 1.4). Pangsa pasar untuk kelas bintang tiga terus menunjukkan tren yang positif yakni 29,29 % pada tahun 2014 naik 2,45% dibanding tahun sebelumnya, sedangkan untuk bintang empat mengalami penurunan 1,42 % dibanding tahun sebelumnya yakni 31,38% pada tahun 2014 (Tabel 1.6). Pangsa pasar kelas bintang empat semenjak tahun 2009 terus mengalami penurunan salah satunya dikarenakan kelas bintang tiga mampu mensubtitusi kamar pada kelas bintang empat dengan output harga yang lebih kompetitif (murah) namun memiliki fasilitas yang mendekati bintang empat. Segmentasi pada hotel kelas bintang tiga dan empat di DIY cenderung sama yaitu; Mice (Meeting, Incentives, Convention,
18
dan Exhibition), travel agent group, corporate, travel agent indvidual, OTA (online travel agent), WIG (Walk in Guest) atau direct booking, dan instansi pemerintah (government). Segmentasi yang cenderung sama dalam industri perhotelan bisa terjadi namun strategi yang dipilih dari tiap hotel (perusahaan) tidak sepenuhnya sama yang meliputi berbagai macam cara di dalam suatu dimensi strategis. Pada praktiknya di dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan empat di DIY dimensi strategis yang dapat diidentifikasi kaitannya untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat hunian kamar adalah identifikasi merek (tenaga penjualan, komunikasi pemasaran dan media promosi) serta saluran distribusi (penggunaan online travel agent, travel agent group, dan direct selling). Dengan menggunakan pendekatan strategic group map dapat diidentifikasi pesaing terdekat dan pesaing terjauh dalam suatu industri serta mampu menentukan posisi terbaik dan merumuskan strategi yang tepat untuk meraih keunggulan kompetitif (Thompson et al., 2012). Menurut Porter (1980), kelompok strategis adalah kelompok perusahaan dalam suatu lingkungan industri yang mengikuti strategi yang sama atau serupa pada dimensi-dimensi strategis. Langkah pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan hotel di DIY dengan menerbitkan Peraturan Walikota No 77 Tahun 2013 tentang pengendalian pembangunan hotel yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2014 – 31 Desember 2016 menjadi kurang efektif dikarenakan proposal IMB (Izin Mendirikan Bangunan) telah diproses sebelum peraturan itu terbit, faktanya proyek pembangunan untuk 21 hotel baru pada 2015 terus berjalan dan menjadikan intensitas persaingan semakin tinggi dalam industri perhotelan kelas bintang di DIY. Intensitas
19
persaingan ditentukan oleh lima kekuatan persaingan dan kekuatan yang paling besar akan menentukan serta menjadi sangat penting dalam sudut pandang perumusan strategi (Porter, 1980). Menurut Ketua Umum PHRI DIY Surat edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No 11 Th 2014 mengenai pembatasan kegiatan pertemuan atau rapat di luar kantor yang berdampak kepada penurunan tingkat hunian dari sektor pemerintah sebesar 40% menuntut setiap pemain mengoptimalkan potensi segmen lainnya dalam mempertahankan dan meningkatkan tingkat hunian kamar. Pengetahuan tentang intensitas persaingan dan kemampuan menentukan kekuatan yang paling besar pengaruhnya dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di DIY menjadi sangat penting dari sudut pandang perumusan strategi. Dengan demikian untuk mengidentifikasi ciri strategi dari semua pesaing di dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di DIY pada dimensi-dimensi strategis kunci diperlukan analisis strategic group map yang selanjutnya akan mampu dilakukan pemetaan industri ke dalam kelompokkelompok strategis sebagai pedoman dalam menentukan posisi terbaik dan merumuskan alternatif strategi untuk meraih keunggulan kompetitif. C. Pertanyaan Penelitian Berangkat dari asumsi awal sebagaimana dijelaskan oleh penulis dalam latar belakang permasalahan, maka penelitian ini diarahkan pada persoalan: 1. Bagaimana intensitas persaingan dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY ?
20
2. Apa ciri strategi dari setiap pemain dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY berdasar strategic group map analysis? 3. Bagaimana karakteristik persaingan dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY berdasar strategic group map analysis? 4. Dimana posisi dari setiap pemain dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY berdasar strategic group map analysis? 5. Apa alternatif strategi yang efektif bagi para pemain dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY untuk tetap bertahan dan meraih keunggulan kompetitif berdasar strategic group map analysis ? D. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ciri strategi dari masing-masing pemain dan karakteristik persaingan dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di DIY yang selanjutnya akan memungkinkan pemetaan industri ke dalam kelompok-kelompok strategis berdasar strategic group map analysis dengan harapan akan mampu menentukan posisi terbaik dan merumuskan alternatif strategi yang tepat bagi para pemain dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY untuk bertahan dan meraih keunggulan kompetitif.
21
Secara spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi intensitas persaingan dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY. 2. Mengidentifikasi ciri strategi dari setiap pemain dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY berdasar strategic group map analysis. 3. Mengidentifikasi karakteristik persaingan dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY berdasar strategic group map analysis. 4. Mengidentifikasi posisi dari setiap pemain dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY berdasar strategic group map analysis. 5. Merumuskan alternatif strategi yang efektif bagi para pemain dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang bintang empat di Provinsi DIY untuk tetap bertahan dan meraih keunggulan kompetitif berdasar strategic group map analysis. E. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Bagi perusahaan Memberikan masukan maupun rekomendasi bagi para pemain pada industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY dalam
22
kaitannya untuk bertahan dan meraih keunggulan kompetitif dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY. 2. Bagi akademisi Penelitian ini diharapkan memberikan panduan, informasi dan referensi bagi akademisi lain yang akan melakukan penelitian serupa terkait dengan meraih keunggulan kompetitif pada suatu industri berdasar strategic group map analysis dalam cakupan yang lebih luas. 3. Bagi penulis Memberikan pengetahuan, pemahaman dan wawasan berpikir secara strategis terkait industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY serta sebagai syarat akhir kelulusan dalam studi di Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada. F. Ruang Lingkup atau Batasan Penelitian Penelitian yang dilakukan dibatasi dan fokus pada industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY berdasar strategic group map analysis. Ruang lingkup penelitian meliputi dimensi strategis yang dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai posisi perusahaan dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan empat di DIY dalam kaitannya untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat hunian kamar yaitu kepada tingkat identifikasi merek (brand identification) yang dicapai melalui periklanan, media promosi, dan tenaga penjualan serta pemilihan saluran distribusi (distribution channel) yakni penggunaan OTA (Online Travel Agent ), direct selling, travel agent group dan lain sebagainya. Hal ini dihubungkan dengan kekuatan-kekuatan
23
yang paling mempengaruhi intensitas persaingan dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di DIY dengan tujuan untuk bertahan dan meraih keunggulan kompetitif dalam industri perhotelan kelas bintang tiga dan bintang empat di Provinsi DIY. G. Sistematika Penelitian Sistematika penelitian merupakan kerangka maupun susunan sistematis yang memberikan gambaran secara umum dari penelitian, dan berikut pemaparannya: Bab I: Pendahuluan Bab ini menguraikan bagian awal dari penelitian yang meliputi antara lain latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup atau batasan penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II: Kajian Literatur Bab ini menguraikan berbagai macam literatur maupun konsep-konsep yang relevan terkait dengan penelitian dan menjadi landasan teori bagi penulis sebagai bahan acuan maupun referensi dalam melakukan analisis data dari pertanyaan penelitian. Bab III: Metode Penelitian dan Profil Industri Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian mencakup desain penelitian, definisi istilah atau operasional, metode analisis data dan profil industri secara umum. Bab IV: Pembahasan dan Hasil Penelitian
24
Bab ini menguraikan tentang proses identifikasi, analisis data, dan pembahasan berdasarkan data maupun informasi yang telah terkumpul untuk mendapatkan hasil terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Bab V: Penutup Bab ini memberikan hasil dari penelitian berupa kesimpulan, keterbatasan penelitian, implikasi dan saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan maupun rekomendasi bagi objek maupun sasaran penelitian.
25