I.
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang perekonomiannya bertumpu pada sektor pertanian.
Salah satu subsektor pertanian yang menjadi andalan
adalah subsektor perkebunan. Komoditi unggulan dari sektor perkebunan yaitu, kelapa sawit, kelapa, karet, tebu, kakao, dan kopi.
Masing-masing komoditi
memiliki kekhasan yang membuat Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar di dunia.
Kelapa merupakan salah satu komoditi perkebunan yang memiliki
peranan penting dalam perekonomian di Indonesia. Selain berkontribusi pada ekspor Indonesia, sebagai penghasil devisa, juga sebagai sumber pendapatan bagi petani kelapa itu sendiri, membantu penyerapan tenaga kerja dari sektor hulu sampai sektor hilir serta berperan dalam pemenuhan kebutuhan domestik. Peranan Indonesia dalam perkelapaan dunia mempunyai posisi penting dengan pangsa 31,24 persen dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Philipina (27,53 persen), disusul India (15,92 persen), Sri Langka (3,24 persen) dan Tanzania (2,54 persen). Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi kedua setelah Filipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Langka. (APCC, 2007). Tabel 1.1 menyajikan luas areal dan produksi kelapa dunia di beberapa negara produsen utama tahun 2009. Produk ekspor komoditas kelapa Indonesia masih lemah dan kelemahan ini disebabkan oleh tingkat harga yang berfluktuasi dan cenderung menurun. Faktor
1
tersebut disebabkan oleh: (1) Indonesia merupakan negara kecil (small countries) dalam perdagangan produk agroindustri di pasar dunia, sehingga hanya berperan sebagai penerima harga (price taker); (2) Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan terhadap produk agroindustri perkebunan yang dihasilkan Indonesia bersifat inelastis (Simatupang dan Isdijoso, 1992) dan (3) Meskipun preferensi konsumen terhadap satu produk agroindustri tidak akan mempengaruhi preferensi konsumen lainnya, tetapi harga ekspor produk agroindustri perkebunan Indonesia tetap mengalami penurunan.
Tabel 1.1. Luas Areal dan Produksi Kelapa Dunia di Beberapa Negara Produsen Utama, Tahun 2009. No. Negara Luas Areal Produksi (000 ha) % Dunia Setara Kopra % (000 ton) 1. Indonesia 3.807 31,24 1.598 28,68 2. Philipina 3.335 27,53 2.352 42,21 3. India 1.940 15,92 725 13,01 4. Sri Langka 395 3,24 118 2,12 5. Tanzania 310 2,54 30 0,54 6. Brazil 273 2,24 3 0,05 7. Papua New Guinea 260 2,13 111 1,99 8. China 250 2,05 0 9. Thailand 225 1,85 0 10. Vietnam 133 1,09 0 11. Lain-lain 1.238 10,16 635 11,40 Jumlah 12.186 100,00 5.572 100,00 Sumber : APCC, 2010.
Nilai ekspor produk kelapa serta olahannya bersifat fluktuatif. Pada tahun 2005 Indonesia mengekspor sebanyak 1,413 juta ton dengan nilai sebesar US$ 536,252 juta. Kurun waktu 5 tahun, nilai ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan nilai ekspor sebesar US$ 900,499 juta dan volume ekspor 1,080 juta ton
2
dengan luas lahan produksi sebesar 191,944 juta hektar. Nilai ini lebih rendah dibanding ekspor kelapa Filipina dengan nilai US$ 1,493 miliar dengan luas lahan produksi sebesar 29,817 juta hektar (Ditjenbun, 2011a). Secara umum perkembangan luas areal perkebunan kelapa di Indonesia pada kurun waktu 1970-2012 menunjukkan pola peningkatan yang cukup konsisten (Gambar 1.1). Peningkatan luas areal kelapa yang cukup tinggi umumnya terjadi sebelum tahun 1997, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 2,68 persen per tahun. Setelah itu peningkatan luas areal kelapa mengalami perlambatan, yaitu rata-rata 0,33 persen per tahun. Perkembangan produksi kelapa (equivalent kopra) menunjukkan kecenderungan meningkat, dimana pada tahun 1970 sebesar 1,2 juta ton, kemudian meningkat menjadi 3,25 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata mengalami peningkatan sebesar 2,61 persen per tahun.
4500000 4000000 3500000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000
Luas areal
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
1974
1972
1970
0
Produksi
Gambar 1.1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa di Indonesia, Tahun 1970 - 2012. Sumber : Data diolah dari Pusdatin Kementan, 2013.
3
Perkembangan
produktivitas
kelapa
di
Indonesia
secara
umum
berfluktuasi. Pada tahun 2004 produktivitas kelapa yang dicapai sebesar 1,09 ton/ha/thn, naik menjadi 1,17 ton/ha/thn pada tahun 2008. Rata-rata produktivitas kelapa secara nasional berkisar pada 1-1,2 ton/ha/thn. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai varietas kelapa dalam rata-rata dapat mencapai produktivitas 2,6 – 3,5 ton equivalent kopra/ha/thn dan kelapa hibrida 3,5 – 4,0 ton
equivalent
kopra/ha/thn.
Terjadinya
kesenjangan
produktivitas
ini
mengindikasikan bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan produktivitas kelapa agar potensi tersebut menjadi maksimal. Akselerasi peningkatan produktivitas kelapa menjadi hal penting dalam memenuhi kecukupan bahan baku industri, perluasan ekspor untuk peningkatan devisa negara serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Sentra produksi kelapa di Indonesia meliputi Provinsi Riau, Sulawesi Utara, Jawa Timur, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Jambi, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Luas tanaman kelapa di Provinsi Sulawesi Utara mencapai 293.100,20 ha dan menempatkan Provinsi Sulawesi Utara sebagai produsen kedua terbesar setelah Provinsi Riau dengan pangsa sebesar 8,44 persen. Proporsi penduduk di Provinsi Sulawesi Utara yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan kelapa sebesar 42,72 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peranan kelapa di Provinsi Sulawesi Utara sangat besar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya penduduknya.
4
Berdasarkan luasnya potensi tanaman kelapa di Provinsi Sulawesi Utara dan peranannya dalam menggerakkan aktivitas ekonomi serta nilai tambah dalam negeri maka tampaknya akan semakin menuntut dukungan pengembangan industri kelapa secara klaster sebagai prasyarat. Industri berbasis klaster yang dikembangkan di Provinsi Sulawesi Utara menghadapi tantangan yakni beberapa tahun terakhir telah terjadi deselerasi kapasitas produksi kelapa karena umumnya industri kelapa berproduksi dibawah kapasitas, dan itupun sekitar 40 persen bahan baku didatangkan dari luar Provinsi Sulawesi Utara seperti Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Produktivitas kelapa di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 20032007 mengalami penurunan dari 1,29 ton per hektar pada tahun 2003 menjadi 1,04 ton per hektar pada tahun 2007 (BPS Sulawesi Utara, 2008). Pada tahun 2010 lima pabrik minyak kelapa yang berada di Provinsi Sulawesi Utara dengan kapasitas produksi maksimal dapat mencapai 690.335 ton minyak kelapa hanya mampu merealisasikan produksi sebesar 341.248 ton, dengan demikian yang termanfaatkan hanya 49 persen (Manado Today, 2011). Produktivitas tanaman kelapa di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2007 (Tabel 1.2) masih cukup rendah yaitu hanya mencapai 1,04 ton equivalent kopra/ha/tahun, dan berada dibawah rata-rata nasional yang mencapai 1,1 ton equivalent kopra/ha/tahun. Rendahnya produktivitas kelapa tersebut diduga sebagai akibat dari kondisi tanaman yang sudah tua dan tidak produktif, perubahan iklim serta belum sepenuhnya diterapkannya teknologi.
5
Tabel 1.2. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kelapa di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 2007. No.
Kabupaten/ Kota Bolaang
1 Mongondow 2 Minahasa 3 4 5 6 7 8 9
Kepulauan Sangihe Kepulauan Talaud Minahasa Selatan Minahasa Utara Manado Bitung Tomohon Sulawesi Utara
TM
1
Luas Areal (Ha) TBM/TT2 Total
Produksi (Ton)
Produktivitas (ton/ha)
55.907,23
7.704,77
63.612,00
65.156,37
1,17
13.361,67
4.238,17
17.599,84
13.897,35
1,04
19.895,00
4.610,00
24.505,00
10.764,00
0,54
16.287,41
6.573,17
22.860,58
11.675,60
0,72
64.113,95
10.599,05
74.713,00
62.295,38
0,97
12.354,56 47.845,48 297,50 3.943,00 2.349,00 14.430,50 329,50 1.096,46 49.055,72 270.605,86
48.527,18 5.376,60 10.979,35 941,54 229.613,37
1,37 1,47 0,91 1,23 1,04
35.490,92 3.645,50 12.081,50 766,96 221.550,14
Sumber : Data diolah dari BPS Sulawesi Utara, 2008. Keterangan : 1 Tanaman Menghasilkan, 2 Tanaman Belum Menghasilkan/Tanaman Tua
Perubahan iklim global adalah isu yang saat ini menjadi perhatian banyak kalangan. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah khatulistiwa termasuk wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. Kajian terkait dampak perubahan iklim di Indonesia pada bidang pertanian oleh National Ammann et al. (2007) menunjukkan bahwa pertanian telah dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun yang disebabkan oleh Austral-Asia Monsoon and El Nino-Southern Oscilation (ENSO). Situasi iklim merupakan faktor eksogen yang tidak dapat dikontrol pada proses produksi pertanian. Meskipun tanaman kelapa merupakan salah satu tanaman yang mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga dapat tumbuh pada rentangan agropedoklimat yang sangat luas, namun iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
6
tanaman kelapa yang sulit untuk dikendalikan, sehingga akan mempengaruhi keberhasilan usahatani kelapa.
Tanaman kelapa sebagian besar tumbuh dan
diusahakan di lahan kering yang ketersediaan airnya sangat tergantung pada curah hujan. Hasil penelitian Akuba (1998) dan Akuba et al. (1991) menunjukkan bahwa curah hujan yang rendah dan kekeringan yang ditandai dengan kurangnya curah hujan selama 3-8 bulan sangat berpengaruh terhadap produksi kelapa bahkan dapat mematikan tanaman. Untuk mencukupi kebutuhan air yang banyak, tanaman kelapa memerlukan curah hujan yang cukup dan merata sepanjang tahun. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa iklim yang tidak sesuai dapat mengakibatkan gangguan hama, penyakit dan gulma yang pada akhirnya menyebabkan produksi kelapa menurun. Faktor iklim yaitu kelembaban udara dan tanah yang terlalu tinggi akan memberikan peluang bagi perkembangan penyakit Phytophthora palmivora yang dapat mematikan tanaman (Mahmud, 1991). Hal ini menunjukkan bahwa produksi tanaman kelapa sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Tanaman kelapa rakyat di Provinsi Sulawesi Utara umumnya masih diusahakan secara monokultur. Petani pada umumnya belum menerapkan teknologi budidaya yang tersedia. Pemeliharaan tanaman hanya terbatas pada pengelolaan gulma, sedangkan kegiatan pemeliharaan lainnya seperti bobokor, pemupukan dan pengendalaian hama penyakit jarang bahkan tidak dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa adopsi teknologi anjuran belum dilaksanakan secara baik. Produk usahatani yang dihasilkan masih berupa produk primer yaitu kopra
7
dan kelapa butiran. Pemanfaatan produk samping seperti sabut dan tempurung belum banyak dilakukan.
B. Perumusan Masalah Bagi petani kelapa di Indonesia, kelapa merupakan bagian dari kehidupan petani tersebut, karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luas areal perkebunan rakyat yang mencapai 98 persen dari 3,8 juta ha dan melibatkan lebih dari tiga juta rumahtangga petani. Jumlah produksi kelapa pada tahun 2009 untuk perkebunan rakyat sebesar 3.182.333 ton, perkebunan swasta sebesar 62.026 ton, dan perkebunan negara sebesar 3.024 ton. Produktivitas tanaman kelapa baru mencapai 2.700 – 4.500 butir kelapa yang setara 0,8 – 1,2 ton kopra/ha. Sistem agribisnis berbasis komoditas kelapa secara nasional masih dihadapkan pada kenyataan bahwa peningkatan luas areal dan produksi belum diikuti dengan peningkatan pendapatan petani kelapa. Apabila dilihat dari segi pendapatan petani, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, dan sumber devisa, maka peranan ekonomi komoditas kelapa belum optimal. Berbagai studi yang dilakukan menunjukkan bahwa proporsi pendapatan petani kelapa di Indonesia sangat kecil, dan secara umum tingkat kesejahteraan rumahtangga dan petani kelapa masih relatif rendah. Muslim (2006) memperkirakan bahwa rata-rata pendapatan petani kelapa Indonesia dari budidaya sekitar US$ 78,4 per tahun. Hasil studi lainnya yang dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara dan Riau
8
menunjukkan bahwa masalah mendasar rendahnya pendapatan petani adalah diakibatkan oleh produktivitas tanaman yang rendah, produk utama kelapa berupa kopra dan minyak klentik, fluktuasi harga yang tidak menentu, kurangnya dana untuk mendorong diversifikasi produk kelapa, petani masih melakukan usahatani dengan sistem monokultur, rendahnya adopsi teknologi oleh petani, serta 98 persen petani menggunakan materi varietas kelapa dalam lokal yang tidak diseleksi. Kondisi ini menyebabkan petani terperangkap dalam kemiskinan dari generasi ke generasi (Novarianto et al. 2001). Selanjutnya studi yang dilakukan Waney dan Tujuwale (2002) manunjukkan bahwa pendapatan petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara rata-rata berkisar antara Rp 2,7 juta sampai Rp 3,9 juta per hektar per tahun. Rata-rata luas pengusahaan lahan kelapa yang sempit 0,5 ha/keluarga petani, dengan demikian pendapatan usahatani persatuan luas masih rendah sehingga tidak mampu mendukung ekonomi keluarga petani kelapa secara layak. Sebagai sumber pendapatan, tanaman kelapa berperan sangat besar karena tanaman kelapa mempunyai kemampuan berproduksi sepanjang tahun terus menerus dan dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga petani. Salah satu tujuan petani dalam mengelola usahataninya adalah untuk memperoleh pendapatan dan peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani. Produksi dan produktivitas tanaman kelapa akan berdampak pada aktivitas ekonomi serta tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani. Asumsi dasar efisiensi adalah untuk mencapai keuntungan maksimum dengan biaya minimum. Tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi petani dalam mengelola usahataninya. Dalam
9
mengelola usahatani kelapa, seorang petani yang rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut lebih besar dari tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input tersebut. Dalam konteks ketahanan pangan ditingkat rumahtangga petani, usahatani kelapa berperan dalam meningkatkan daya beli terhadap pangan dengan adanya pendapatan yang diperoleh dari usahatani kelapa tersebut. Terkait perubahan iklim yang terjadi maka seberapa besar dampaknya terhadap produksi kelapa dan pendapatan petani serta bagaimana potret derajat ketahanan pangan rumahtangga petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara, maka keadaan ini seyogyanya perlu untuk dikaji. Apakah ketahanan pangan rumahtangga petani kelapa dapat terpenuhi secara layak, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Dengan melakukan evaluasi terhadap produksi kelapa maka akan dapat dketahui faktor apa saja yang mempengaruhinya sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi pemerintah untuk penyusunan kebijakan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap kapasitas produksi kelapa dan peningkatan ketahanan pangan bagi petani kelapa dengan program yang
lebih akurat, efektif dan efisien guna
mendukung pengembangan kluster kelapa di Provinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka secara rinci permasalahan penelitian ini adalah : 1. Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman kelapa di Provinsi Sulawesi Utara?
10
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara? 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis, alokatif, ekonomi serta inefisiensi usahatani petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara? 4. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pendapatan usahatani petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara? 5. Bagaimana tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan, maka secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dmpak perubahan iklim terhadap produksi, produktivitas, pendapatan dan ketahanan pangan rumahtangga petani. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman kelapa di Provinsi Sulawesi Utara. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara. 3. Mengetahui tingkat efisiensi teknis, alokatif, ekonomi serta inefisiensi usahatani petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara, serta faktor-faktor yang mempengaruhi.
11
4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara. 5. Mengetahui tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sekaligus masukan dalam hal : 1.
Bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, sebagai bahan informasi, evaluasi dan bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan yang berhubungan dengan penyusunan kebijakan dalam pengembangan komoditas kelapa, upaya peremajaan kelapa dan kaitannya dengan ketahanan pangan rumahtangga petani kelapa.
2.
Bagi pengembangan ilmu, terkait peningkatan produksi, pendapatan dan ketahanan pangan rumahtangga petani kelapa.
3.
Peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan informasi untuk melakukan penelitian lanjutan sesuai dengan paradigma yang berkembang.
E. Kebaruan dalam Penelitian Penelitian mengenai perubahan iklim, produksi, pendapatan dan ketahanan pangan petani pada berbagai komoditi telah banyak ditemukan. Namun demikian, penelitian yang fokus pada dampak perubahan iklim, produksi, pendapatan dan
12
ketahanan pangan rumahtangga petani kelapa di Provinsi Sulawesi Utara merupakan suatu penelitian baru yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Ada beberapa penelitian yang bersifat parsial ditemukan. Penelitian yang dilakukan secara parsial tersebut akan dapat memberikan masukan yang berarti bagi penelitian ini, sehingga dapat mengelaborasi hasil penelitian tersebut secara simultan. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan terkait perubahan iklim, efisiensi, komoditas kelapa, konsumsi dan ketahanan pangan, antara lain: 1. Fernando et al.(2007) dengan judul“Economic Value of Climate Variability Impacts on Coconut Productionin Sri Lanka”. Mengkaji nilai ekonomi dari variabilitas iklim di Srilanka. Kajian menggunakan analisis persentil pada kurun waktu 31 tahun dengan menggunakan data produksi kelapa nasional tahunan (1971-2001). 2. Sudjarmoko (2007), melakukan analisis efisiensi relatif komoditas kelapa pada lahan pasang surut dan lahan kering. Penelitian dilakukan dengan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani kelapa, khususnya pada tanaman kelapa perkebunan rakyat, mengetahui kondisi ekonomi skala usaha tanaman perkebunan rakyat, serta menganalisis efisiensi ekonomi, harga, dan teknis relatif dari kategori usahatani kelapa yang berbeda, khususnya pada tanaman kelapa perkebunan rakyat yang diusahakan pada lahan pasang surut dan lahan kering serta berdasarkan luas lahan usahatani. Penelitian ini menggunakan analisis fungsi pendapatan komoditi kelapa dengan Unit Output Prices Cobb-Douglass profit function dan fungsi faktor share.
13
3. Tambajong
(2010),
pengembangan
melakukan
infrastruktur
penelitian
kawasan
dengan
agropolitan
judul
berbasis
“Model komoditas
unggulan kelapa yang berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Utara”. Penelitian ini menggunakan metode analisis situasional, analisis kelembagaan, analisis SWOT, analisis ekonomi dan analisis spasial. Hasil penelitian memperlihatkan secara keseluruhan dampak pengembangan model infrastruktur agropolitan berimplikasi kepada tiga aspek sistem pembangunan berkelanjutan yaitu aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Posisi agribisnis kawasan berada pada kwadran III, maka perlu dijalankan strategi WO dimana rencana strategi adalah meningkatkan infrastruktur penunjang agribisnis kelapa untuk memanfaatkan peluang ekspor, meningkatkan motivasi pengembangan produk turunan kelapa, merevitalisasi kelembagaan dan manajemen pengelolaan agribisnis. Model ini menggambarkan bahwa betapa pentingnya peranan wilayah pedesaan akan berdampak pada wilayah perkotaan secara positif. Potensi pengembangan agribisnis kelapa terpadu (AKT) berdampak pada tingkat kesejahteraan petani dan tenaga kerja off-farm di sekitar unit usaha kawasan, dan keunggulan kompetitif kawasan tercipta melalui model AKT. 4. Aris (2011) melakukan penelitian “Dampak Pengembangan Perkebunan Kelapa Rakyat Terhadap Kemiskinan dan Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir”.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
:
(1)
menganalisis
dampak
pengembangan sektor kelapa terhadap perekonomian ditinjau dari aspek output, PDRB, tenaga kerja, dibandingkan sektor pertanian lainnya dan sektor industri pengolahan kelapa, serta menganalisis keterkaitan sektor kelapa dan
14
multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan dan tenaga kerja, (2) menganalisis indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kelapa serta dampaknya terhadap perekonomian, dan (3) menganalisis opsi kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan dan menurunkan kemiskinan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan menggunakan Analisis Input-Output, Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Analisis Indeks
Kemiskinan
Foster-Greer-Thorbecke,
Analisis
Regresi
Model
Ekonometrika, Analisis Gini Ratio, Analisis Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan Analisis Deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan: Sektor kelapa memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan output, PDRB, dan penyerapan tenaga kerja, dimana sektor kelapa berkontribusi sebesar 13,44 persen terhadap output total wilayah, sebesar 17,86 persen terhadap PDRB total wilayah, dan sebesar 27,92 persen terhadap serapan tenaga kerja total wilayah. Selanjutnya sektor industri pengolahan kelapa memberikan kontribusi sebesar 21,05 persen terhadap output total wilayah, sebesar 15,76 persen terhadap PDRB total wilayah dan sebesar 3,26 persen terhadap serapan tenaga kerja total wilayah. Sektor kelapa dan sektor industri pengolahan kelapa memiliki peranan yang lebih besar terhadap pembentukan Output, PDRB dan tenaga kerja bila dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. Sektor kelapa memiliki keterkaitan kedepan yang masih lemah dengan indeks keterkaitan kedepan sebesar 0,75 dan sektor industri kelapa skala rumahtangga juga memiliki keterkaitan kebelakang yang lemah dengan nilai indeks keterkaitan kebelakang sebesar 0,71. Sektor kelapa dan sektor industri
15
pengolahan kelapa memiliki multiplier effect yang positif terhadap penyerapan tenaga kerja, pendapatan tenaga kerja, nilai tambah bruto, dan output perekonomian wilayah. Investasi disektor kelapa dan sektor industri pengolahan
kelapa
hanya
mampu
menurunkan
jumlah
kemiskinan
rumahtangga rata-rata hanya sebesar 2,36 persen. Oleh karena itu investasi disektor
kelapa
kemiskinan.
dipandang
Berdasarkan
belum
hasil
mampu
perhitungan
mengatasi yang
permasalahan
dilakukan
dengan
pendekatan ICOR dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 9 persen, maka
diperoleh
kebutuhan
investasi
disektor
kelapa
dan
industri
pengolahannya sebesar Rp 520 milyar. 5. Hendayana dan Dewi (2006) dengan judul penelitian “Anatomi Ketahanan Pangan Pada Rumahtangga Miskin dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Inovasi Pertanian”. Penelitian dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2005. Menggunakan metode survai dengan 60 responden yang dipilih secara acak sederhana. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Tujuan penelitian : (1) membedah kondisi ketahanan pangan pada rumahtangga miskin melalui penulusuran kondisi sumber daya manusia, akses terhadap pemilikan sumberdaya lahan dan aksesnya terhadap teknologi, (2) membahas peran inovasi teknologi pertanian dalam konteks ketahanan pangan, dan (3) merumuskan kebijakan inovasi pertanian yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan ketahan pangan pada rumahtangga miskin. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Ketahanan pangan pada rumahtangga miskin, erat hubungannya dengan karakteristik rumahtangga itu
16
sendiri, yakni rendahnya pemilikan sumberdaya lahan dan asset lainnya, kualitas sumberdaya manusia (pendidikan formal) pada rumahtangga relatif rendah, akses terhadap sumber modal tidak ada, dan akses terhadap sumber informasi terkendala, (2) Sebagian besar rumahtangga (69,9 persen) hanya mengandalkan pendapatan dari hasil buruh (tani dan luar tani) yang tidak dapat diprediksi besarannya, sehingga mempengaruhi ketersediaan pangan, baik dalam jumlah maupun kualitasnya, disamping itu petani sering tidak memiliki cadangan pangan (stok) yang cukup, (3) Disisi lain, ketersediaan pangan di level regional (kabupaten) distribusinya sering tidak merata dan harganya tidak terjangkau sehingga kebutuhan pangan bagi rumahtangga tidak terpenuhi sehingga menurunkan derajat ketahanan pangan dan mendorong terjadinya pauperisma, dan (4) Kebijakan inovasi pertanian bagi penduduk miskin hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi karakteristik penduduk serta dilakukan dengan selektif, hati-hati dan gradual. 6. Rachman et al. (2005) dalam penelitian “Distribusi Provinsi di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumahtangga”. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi keragaan provinsi-provinsi di Indonesia menurut derajat
ketahanan
pangan
rumahtangga.
Analisis
dilakukan
dengan
menggunakan klasifikasi silang dua indikator yaitu pangsa pengeluaran pangan (proksi peubah ekonomi) dan tingkat kecukupan konsumsi energi (proksi peubah gizi). Data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999 Badan Pusat Statistik. Hasil penelitian diperoleh : (1) Secara nasional, lebih dari 30 persen rumahtangga di Indonesia
17
tergolong rawan pangan, di daerah perkotaan sekitar 27 persen dan di pedesaan sekitar 33 persen; (2) Dari 26 provinsi di Indonesia, 7 provinsi yang tergolong memiliki tingkat kerawanan pangan rumahtangga tinggi, 3 provinsi memiliki tingkat kerawanan pangan rendah, sisanya berada di antara kedua kategori tersebut; (3) Proporsi rumahtangga yang tergolong rentan pangan di Indonesia mencapai lebih dari 47 persen, di perkotaan dan pedesaaan masingmasing sekitar 34 persen dan 56 persen; (4) Proporsi rumahtangga yang termasuk kurang pangan sekitar 10 persen, di perkotaan dan pedesaan masingmasing sebesar 18 persen dan 5 persen. 7. Ilham dan Sinaga (2007) dengan judul penelitian “Penggunaan Pangsa Pengeluaran Pangan Sebagai Indikator Komposit Ketahanan Pangan”. Penelitian bertujuan : (1) menghitung pangsa pengeluaran pangan penduduk pada berbagai kelompok pendapatan dan wilayah pemukiman, (2) dan menganalisis hubungan pangsa pengeluaran pangan dan ketahanan pangan. Data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1996, 1999 dan 2002 serta data PDRB provinsi tahun 2002 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Ordinary Least Square (OLS) yang dilengkapi dengan pendekatan deskriptif dengan teknik tabulasi dan grafik. Hasil penelitian menunjukkan pangsa pengeluaran pangan layak dijadikan indikator ketahanan pangan karena mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai ukuran ketahanan pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan, dan pendapatan.
18
Dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang telah ada, maka dalam penelitian disertasi ini memiliki beberapa kebaruan (novelty) yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, antara lain : 1. Spesifikasi penelitian yaitu melihat
dampak variabilitas iklim terhadap
produksi kelapa di wilayah Provinsi Sulawesi Utara. 2. Melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan pendapatan usahatani serta ketahanan pangan rumahtangga petani kelapa. 3. Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara pada tiga kabupaten sebagai sentra produksi kelapa 4. Metode yang digunakan untuk menganalisis pengaruh beberapa variabel yang mempengaruhi produktivitas, efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi usahatani kelapa melalui pendekatan analisis stochastic frontier. 5. Metode yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga dengan menggunakan pendekatan indeks komposit. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap penelitian ini, maka terdapat perbedaan. Karena itu, penelitian ini telah memenuhi syarat keaslian dan merupakan hal yang baru untuk diteliti.
19