PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH CABANG SLAWI
SKRIPSI
SKRIPSI
Oleh: REGINA LUSIAWAN E1A007152
KEMETERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH CABANG SLAWI
SKRIPSI
SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas HukumUniversitas Jenderal Soedirman
Oleh: REGINA LUSIAWAN E1A007152
KEMETERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
SKRIPSI
PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH CABANG SLAWI
Disusun Oleh: REGINA LUSIAWAN E1A007152
Disusun guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan Pada tanggal
Pembimbing I/ Penguji I
Pembimbing II/ Penguji II
Penguji III
Edi Waluyo, SH.,M.H NIP. 19581222 198810 1001
Nurwakhid, S.H.,M.H NIP. 19621225 198903 1003
Budiman Setyo H, S.H.,M.H NIP. 19630620 198901 1001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum
Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S NIP. 19520603 198003 2001
PERNYATAAN
Nama
: REGINA LUSIAWAN
NIM
: EIA007152
Menyatakan bahwa penulisan hukum (skripsi) yang berjudul PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH CABANG SLAWI adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto,
Agustus 2012
Regina Lusiawan NIM.E1A007152
MOTTO
“Diberkatilah orang yang berharap kepada Tuhan, yang menaruh pengharapannya kepada Tuhan” (Yeremia 17:7)
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: v Kedua orang tuaku tercinta yang senantiasa memberi dukungan, doa dan nasihat, semangat, cinta dan kasih sayang untukku. v Kakak dan Adikku yang selalu memberi perhatian, semangat dan doa. v Sahabat-sahabatku yang selalu memberi semangat untukku. PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul PERSPEKTIF HUKUM
PENYELESAIAN
KREDIT
BERMASALAH
PADA
PT.
BANK
PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH CABANG SLAWI. Penulisan Hukum ini merupakan rangkaian persyaratan dan tugas yang harus dipenuhi guna mencapai gelar Sarjana Strata-1 pada Ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Dengan terselesaikannya Penulisan Hukum ini, Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 2. Bapak Edi Waluyo, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I Skripsi yang telah memberikan bimbingan, memberikan masukan, arahan dan pengetahuan sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini. 3. Bapak Nurwakhid, S.H.,M.H. selak Dosen Pembimbing II Skripsi yang telah memberikan bimbingan, memberi masukan, arahan dan pengetahuan sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 4. Bapak Budiman Setyo Haryanto, S.H.,M.H selaku Penguji yang telah menguji, memberikan saran dan kritikan kepada penulis guna penyempurnaan penulisan hukum ini. 5. Bapak Tenang Haryanto, S.H.,M.H.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 6. Kedua orang tua penulis, Bapak Setiawan dan Ibu Lulus Puji Utami atas doa, dorongan semangat, pengertian dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik. 7. Kakakku Veronica Lusiawan dan adikku Yeremia Lusiawan atas semangat dan doa bagi penulis.
8. Teman-teman PMK FH UNSOED terimakasih atas kebersamaan, bantuan, dukungan dan doa kalian. 9. Teman-teman angkatan 2007 FH UNSOED atas kebersamaan selama ini. 10. Tika, Mba Titis, Umar, Angel, Silvi, Frisca, Erni, Renata, Yogi terimakasih atas perhatian, bantuan dan dukungan selama penulis menyelesaikan penulisan hukum ini. 11. Semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu baik moril maupun material dalam Penulisan Hukum ini. Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk perkembangan ilmu hukum perdata pada khususnya.
Purwokerto,
Agustus 2012
Penulis
ABSTRAK Kegiatan perbankan yang paling utama adalah pemberian kredit, karena pendapatan terbesar dari usaha bank berasal dari pendapatan kegiatan usaha kredit yaitu, berupa bunga dan provisi. Kredit yang diberikan oleh bank perlu diamankan, tanpa adanya pengamanan bank sulit untuk mengelakkan risiko yang timbul sebagai akibat dari tidak berprestasinya debitur. Oleh karena itu sebelum bank menyetujui permohonan kredit dari debitur, bank akan melakukan analisis
terlebih dahulu baik secara ekonomis dan yuridis. Analisis secara ekonomis dilakukan dengan prinsip The Five C’S of credit analisis dan Prinsip 4 P. Analisis secara yuridis dilakukan dengan mengacu pada terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kredit bermasalah adalah semua kredit yang memiliki resiko karena debitur telah gagal atau menghadapi masalah dalam memenuhi kewajibannya yang telah ditentukan. Dalam dunia perbankan kredit bermasalah bisa timbul baik karena faktor intern maupun faktor ekstern bank sehingga dalam pelaksanaan pemberiannya pihak bank harus benar-benar berpegang pada prinsip kehati-hatian dan prinsip-prinsip ya ng lain yang berkaitan dengan pemberian kredit perbankan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditemukan bahwa meskipun Pelaksanaan pemberian kredit di PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku dengan berpegang pada pedoman pemberian kredit yang sehat, namun tetap terjadi kredit bermasalah. Untuk menangani kredit bermasalah yang timbul pihak PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi mempergunakan model penyelesaiannya dengan penyelesaian kredit melalui penyelesaian secara damai yaitu melalui rescheduling.
Kata Kunci: -Kredit -Kredit bermasalah -Rescheduling
ABSTRACT The prime activity of the bank is giving the credit, because the prominent income of the bank comes from credit income, that is interest and commission. Credit given by the bank need to be protected, because, without any protection, it is hard for the bank to avoid the risks come from debtor that can not fulfill the loan. Therefore, the bank will do economic and juridical analysis to the credit request before dealing the agreement. The bank do the economic analysis by the
principle of Five C’S of cerdit analysis and the principles of 4P. juridical analysis is done based on the condition that written in selection 1320 KUH Perdata. Non-performing loans are loans with certain risks caused by debtor’s failure to perform his/her obligations. In banking activities, non performing loan could be affected by internal as well as external factors. The risk of non performing loan will be reduced considerably if the prudential principle and other credit analysis principles are duly followed by bank as the creditor. Relying on the data obtained, it is found that non-performing loan existed in PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Slawi Branch, eventhough the loan had been processed according to the operation procedure developed by PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah. To deal with non-performing loan, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Slawi Branch used several methods that is Rescheduling. Key Word: -Credit -Non-performing loans -Rescheduling
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN...................................................................iv PRAKATA...................................................................................... .................v ABSTRAK......................................................................................................vii ABSTRACT...................................................................................................viii DAFTAR ISI....................................................................................................ix BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1 A. Latar Belakang.........................................................................................1 B. Perumusan Masalah.................................................................................9 C. Tujuan Penelitian.....................................................................................9 D. Kegunaan Penelitian................................................................................9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................11 A. Perjanjian Pada Umumnya.....................................................................11 1. Pengertian Perjanjian.........................................................................11 2. Syarat Sahnya Perjanjian...................................................................13 3. Asas-asas Perjanjian..........................................................................17 4. Akibat Hukum Perjanjian..................................................................18 5. Wanprestasi.......................................................................................19 B. Perjanjian Kredit Bank...........................................................................22 1. Pengertian Kredit..............................................................................22 2. Unsur-unsur Kredit...........................................................................25 3. Jenis-jenis Kredit..............................................................................27 4. Perjanjian Kredit...............................................................................29
5. Kredit Bermasalah dan Penyelesai.nya............................................34 BAB III METODE PENELITIAN..................................................................39 1.
Metode Pendekatan.........................................................................39
2.
Spesifikasi Penelitian......................................................................40
3.
Lokasi Penelitian.............................................................................40
4.
Sumber Data....................................................................................40
5.
Metode Pengumpulan Data.............................................................41
6.
Metode Penyajian Data...................................................................42
7.
Metode Analisis Data......................................................................42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................43 A. Hasil Penelitian.......................................................................................43 B. Pembahasan............................................................................................47 1. Aspek Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah Menurut Ketentuan Hukum Perdata.................................................................................47 2. Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi.................................................56 BAB V PENUTUP..........................................................................................65 Simpulan................................................................................................65 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................67 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang berada dalam tahap membangun dan berkembang. Sebagai negara berkembang Indonesia tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan Bangsa Indonesia adalah melindungi
segenap
bangsa
dan
tumpah
darah
Indonesia,
memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkannya, maka Bangsa Indonesia perlu melakukan upayaupaya untuk pencapaian tujuan dan cita-cita tersebut. Pembangunan nasional merupakan wujud nyata terhadap kesungguhan bangsa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita luhur tersebut. Dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia yang pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan warga negara Indonesia ini, dipengaruhi terutama oleh kemampuan ekonomi, yang merupakan kemampuan untuk meningkatkan pendapatan secara adil dan merata. Berbagai upaya juga dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan perekonomian, salah satunya dengan cara meningkatkan usaha di bidang perbankan. Fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat seperti yang tertuang dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dengan kata lain, bank adalah perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana denga n pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana.
Di Indonesia, lembaga perbankan mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai Agent of development dalam rangka mewujudkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional, industri perbankan harus mewujudkan tujuan perbankan nasional. 1 Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan rakyat banyak. 2 Pemberian kredit merupakan salah satu bentuk kegiatan usaha bank yang berkaitan dengan penyaluran dana bank ke masyarakat yang dapat dimanfaatkan
oleh para pelaku ekonomi untuk mengembangkan dan memperbesar usaha-usaha mereka, baik yang secara langsung maupun tidak langsung dapat membantu terjadinya pemerataan pendapatan di masyarakat. Selain untuk mengembangkan usaha, fasilitas kredit perbankan dapat pula dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sekundernya seperti untuk pembelian rumah, barang-barang elektronik, kendaraan, dan lain- lain. Fasilitas kredit yang disediakan bank guna memenuhi kebutuhan masyarakat digolongkan menjadi tiga berdasarkan tujuan kegunaannya yaitu, kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit konsumtif. Kredit investasi dan
1
2012 4.
2
http://www.google.com/search=Peranperbankanindonesia. Diakses tanggal 27 April Malayu, S.P. Hasibuan, 2005, Dasar-dasar Perbankan, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal.
kredit modal kerja merupakan kredit produktif karena digunakan untuk keperluan bisnis atau usaha, baik berupa modal kerja maupun investasi pembelian aset perusahaan, sehingga dapat menghasilkan dikemudian hari. Sedangkan kredit konsumtif digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder masyarakat. 3
Di dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud dengan yang diperjanjikan” Dengan demikian, sebelum memberikan kredit kreditur harus melakukan analisis secara ekonomi terhadap calon debitur yang dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan terjadinya tunggakan atau kredit yang bermasalah karena hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan bank itu sendiri. Analisis secara ekonomi yang digunakan oleh bank terhadap calon debitur yaitu dengan menggunakan prinsip yang telah dikenal dalam dunia perbankan sebagai “Prinsip 5C” dan “Prinsip 4 P”. Prinsip 5C terdiri dari character, capital, capacity, collateral dan condition. Character menyangkut kemauan debitur untuk membayar kembali kreditnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Capacity dan capital berupa kemampuan debitur untuk membayar kembali kreditnya. 3
hal. 60.
Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada, Jakarta,
Collateral adalah agunan atau jaminan berupa benda atau orang, yang dapat diberikan oleh calon debitur. Condition adalah keadaan ekonomi pada umumnya, baik ekonomi nasional maupun ekonomi internasional dan keadaan ekonomi calon debitur. 4 Sedangkan Prinsip 4 P, terdiri dari Personality, Purpose, Payment dan Prospect. Personality menyangkut kepribadian dari calon nasabah, seperti riwayat hidup, hobi, keadaan keluarga, dan status sosial. Purpose menyangkut maksud dan tujuan penggunaan kredit. Payment adalah kemampuan calon nasabah untuk mengembalikan kreditnya, dan Prospect merupakan harapan masa depan dari usaha calon nasabah. 5 Apabila dari hasil analisis tersebut, bank menyetujui permohonan yang diajukan oleh calon debitur, maka pemberian fasilitas kredit akan dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis antara bank dengan debitur selaku pemohon kredit yang disebut sebagai perjanjian kredit bank. Klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian kredit tersebut diharapkan dapat memberikan keamanan pihak bank dalam memberikan fasilitas kredit kepada debitur, karena pada saat pelaksanaan perjanjian kredit bank, maka bank berada pada pihak yang lemah, karena ada kemungkinan suatu sebab pengembalian ataupun pelunasan kreditnya mengalami kemacetan. Menyadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, maka dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu diantaranya :
4 5
Malayu, S.P. Hasibuan, Op.cit., hal 106. Ibid, ha l. 108.
1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis; 2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan memberikan kerugian; 3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saha m, dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham; 4. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit). 6 Pelaksanaan pembangunan yang ditunjang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kondisi pasar yang stabil adalah merupakan kondisi ideal yang diharapkan semua pihak, tetapi terkadang tidak selalu demikian. Menurunnya nilai tukar mata uang, terus meningkatnya suku bunga pinjaman dengan disertai menurunnya daya beli masyarakat sangat mempengaruhi roda perekonomian secara umum. Kondisi seperti ini akan berimbas pada menurunnya kemampuan membayar para debitur dari suatu bank. Ketidak mampuan atau menurunnya kemampuan dari debitur untuk membayar angsuran kreditnya adalah merupakan gejala awal dari timbulnya suatu kredit bermasalah. Dalam dunia perbankan, kredit bermasalah adalah kredit-kredit yang angsurannnya tidak dibayarkan sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan sebelumnya tentang batas waktu pembayaran angsuran kredit. Dalam dunia perbankan kredit bermasalah dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu faktor 6
Djumhana Muhammad, 2000, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.392.
intern yang berasal dari debitur seperti menurunnya kondisi bisnis, kegagalan dalam usaha, kesulitan keuangan yang serius, masalah keluarga ataupun karena watak buruk dari debitur itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern penyebab kredit bermasalah misalnya, dampak makro ekonomi, adanya kejadian di luar kekuasaan debitur seperti perang dan bencana alam. Selain itu, kredit bermasalah juga dapat terjadi karena kesalahan dari pihak bank yang kurang hati- hati dalam mengenal nasabahnya. 7 Jadi yang dimaksud dengan kredit bermasalah hakekatnya adalah tidak dilaksanakannya pembayaran angsuran sebagaimana yang diperjanjikan, terlepas dari segala sesuatu yang menyebabkan tidak terbayarnya angsuran kredit tersebut. Dalam dunia hukum, kredit bermasalah yang demikian yang notabene adalah tidak
terlaksananya
pembayaran
angsuran
disebut
wanprestasi.
Dalam
kepustakaan hukum disebutkan bahwa akibat dari wanprestasi adalah timbulnya hak kreditur untuk menuntut ganti rugi kepada debitur, membatalkan perjanjian dan meminta debitur untuk membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan dipengadilan. 8 Dalam hal wanprestasi terjadi dalam pemberian kredit oleh bank, maka dapat dipahami bahwa apabila debitur peminjam wanprestasi dalam pengertian tidak membayar angsuran bulanan sebagaimana yang diperjanjikan maka bank berhak untuk menuntut pelunasan uang pokok dan bunga atas pinjaman yang 7
Siswanto Sutojo, 2007, The Management of Commercial Bank, Cetakan kesatu, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, hal. 171. 8 Miriam Darus dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 21.
diberikan. Hal itu bisa dilakukan dengan cara menagih debitur secara langsung atau menjual agunan. Dari hasil pra penelitian yang penulis lakukan, dapat diketahui persentase kredit bermasalah yang terjadi di PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa tengah Cabang Slawi dalam tahun 2010 adalah 1,03 persen. Salah satunya adalah perjanjian
kredit
Nomor
09/PK/BPD/SLW/VIII/2008
antara
PT.
Bank
Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi dengan Rudianto. Dimana PT. Bank Pembangunan Daerah Jateng Cabang Slawi sebagai kreditur memberikan pinjaman kepada debitur, yaitu Rudianto berupa kredit konsumtif sebesar Rp. 60.000.000 dengan agunan berupa tanah. Pada awalnya pembayaran angsuran tiap bulan berjalan lancar, namun setelah berjalan 18 bulan debitur mulai mengalami kesulitan dalam pembayaran angsuran sehingga menimbulkan tunggakan angsuran selama 6 bulan. Dengan terjadinya tunggakan angsuran kredit tersebut ternyata PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa tengah Cabang slawi tidak menagih seluruh kredit yang diberikan ataupun menjual agunan, tetapi pihak Bank memberikan kredit baru kepada debitur sejumlah 90.000.000 dengan jangka waktu yang lebih lama dan bunga yang lebih rendah. Dalam hal terjadinya kredit bermasalah, bank mempunyai kebijakan untuk menilai apakah debitur bersalah atau tidak. Dan dengan peran bank sebagai agent of development maka bank berkewajiban untuk membantu nasabah. Dengan demikian sekalipun debitur wanprestasi, bank tidak menggunakan haknya untuk menagih seluruh kredit yang telah diberikan ataupun menjual agunan seperti yang diatur dalam ketetuan perjanjian kredit Nomor 09/PK/BPD/SLW/VIII/2008.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai kredit bermasalah ini supaya dapat diperoleh gambaran yuridis upaya- upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kredit bermasalah tersebut melalui kebijakan-kebijakan yang diambil pihak bank, khususnya PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa tengah Cabang Slawi dan mengangkat judul Perspektif Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan seperti yang telah dijelaskan di atas maka dapat diambil suatu rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana aspek hukum penyelesaian kredit bermasalah menurut ketentuan hukum perdata? 2. Bagaimana penyelesaian kredit bermasalah pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi?
C. Tujuan Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai adalah: 1. Untuk mengetahui tentang cara penyelesaian kredit bermasalah berdasarkan ketentuan hukum perdata. 2. Untuk mengetahui tentang cara penyelesaian kredit bermasalah pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Menambah pengetahuan dan wawasan dalam bidang ilmu hukum, khususnya tentang penyelesaian kredit bermasalah berdasarkan ketentuan hukum perdata dan penyelesaian kredit bermasalah pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi. 2. Kegunaan Praktis a. Secara praktis dapat memberikan acuan kepada bank-bank umum mengenai penyelesaian kredit bermasalah. b. Memberikan informasi bagi pemerintah atau pun masyarakat tentang penyelesaian kredit bermasalah di dunia perbankan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pokok permasalahan yang akan dipecahkan adalah mengenai penyelesaian kredit bermasalah pada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi. Oleh karena itu, untuk memahami tentang bagaimana penyelesaian kredit bermasalah, dalam tinjauan pustaka ini kajian yang akan diuraikan adalah mengenai aspek hukum dari pengertian perjanjian pada umumnya dan yang kedua mengenai aspek hukum dari perjanjian kredit bank.
A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Dalam undang-undang, hukum perjanjian diatur dalam buku III KUH Perdata yang mengatur tantang perikatan karena perjanjian merupakan salah satu peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak dimana di satu pihak ada hak dan di pihak lain ada kewajiban. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian merupakan peristiwa hukum yang berupa tindakan hukum yang mengakibatkan tibulnya perikatan. Dari pengertian perjanjian yang disebutkan dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, dapat dilihat bahwa unsur-unsur pejanjian adalah: a. Perbuatan, pada kata “perbuatan” lebih tepat jika diganti dengan kata “Perbuatan hukum” yaitu perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat hukum, sehingga menunjukkan bahwa akibat hukumnya dikehendaki atau dianggap dikehendaki9 ; b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang atau lebih, dalam membuat suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang berhadap-hadapan dan saling menyatakan kehendak satu sama lain;
9
J. Satrio, 1995, hukum Perikatan,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku I), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 25.
c. Mengikatkan dirinya, artinya dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak yang lain sehingga para pihak terikat pada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Dengan arti seperti itu, rumusan pasal 1313 KUH Perdata hanya menggambarkan perjanjian sepihak saja. 10 Dengan demikian, maka menurut J.Satrio perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri. 11 Para sarjan mencoba untuk memberikan rumusan mengenai arti perjanjian. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 12 Sedangkan Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 13 Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa perjanjian melahirkan perikatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Artinya, dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak maka salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat terbebani kewajiban terhadap pihak lainnya yang berhak menuntut pelaksanaan kewajiban tersebut. Jadi perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan disamping sumber perikatan yang lainnya.
10
Ibid, hal. 27. Loc.cit. 12 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), hal. 97. 13 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 1. 11
2. Syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya perjanjian diperlukan untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perjanjian yang lahir dari perbuatan/tindakan para pihak, sehingga akan berimplikasi pada akibat hukum yang timbul dari perbuatan para pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, pembuat undang-undang telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu Hal Tertentu; d. Suatu Sebab Yang Halal. Dasar lahirnya suatu perjanjian adalah adanya kata sepakat antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. 14 Agar dua kehendak bisa bertemu dan saling mengisi maka harus ada pernyataan kehendak dari satu pihak berupa penawaran dan penerimaan /akseptasi dari pihak yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa yang dinamakan sepakat adalah suatu penawaran yang diakseptasi. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1329 KUH Perdata pada dasarnya 14
J. Satrio, Op.cit., hal. 165
semua orang dianggap cakap untuk membuat perjanjian kecuali oleh undangundang dinyatakan tak cakap. Pada umumnya orang dikatakan cakap apabila orang tersebut telah dewasa. Pasal 330 KUH Perdata menyatakan bahwa mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak telah menikah adalah belum dewasa. Secara a contrario dapat dikatakan bahwa dewasa adalah mereka yang telah berumur 21 tahun dan mereka yang telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah. 15 Dalam ketentuan pasal 47 Jo. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, seseorang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum apabila telah berusia 18 tahun. Ketentuan pasal 47 Jo. Pasal 50 UUP terseut mengesampingkan ketentuan mengenai kedewasaan yang terdapat dalam pasal 330 KUH Perdata. Hal ini berarti, bahwa anak yang telah mencapai usia 18 tahun telah lepas dari perwalian dan dianggap dewasa, yang berarti anak tersebut dapat melakukan tindakan hukum sendiri dengan sah. 16 Adapun orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian menurut pasal 1330 KUH Perdata, yaitu : 1) Orang-orang yang belum dewasa 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3) orang-orang perempuan, dalam hal- hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undanh-undang telah melarang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 15
J.Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku II), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5. 16 Ibid, hal. 9.
Syarat ketiga adalah adanya suatu hal tertentu. Menurut J.Satrio, suatu hal tertentu yang dimaksudkan disini adalah objek dari perjanjian. Objek perjanjian adalah isi dari prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu perilaku tertentu, bisa berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 17 Mengenai syarat bahwa obyeknya harus tertentu, menurut pasal 1333 KUH Perdata, benda tersebut tidak harus tertentu sejak semula, asalkan dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. Syarat terakhir adalah adanya suatu sebab yang halal. Dalam pasal 1320 KUH Perdata sebab yang halal bukan diartikan sebagai suatu hal yang menimbulkan akibat. Tetapi pengertian sebab dalam persyaratan keempat ini diartikan sebagai isi atau tujuan dari suatu perjanjian. 18 Tujuan tersebut merupakan tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak. Menurut hamaker sebagaimana dikutip J. Satrio, suatu sebab atau causa dalam perjanjian adalah akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan mengadakan perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan mereka (tujuan Obyektif) dan dengan demikian setiap perjanjian mempunyai tujuannya sendiri yang khas. 19 Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyek atau pihak dalam perjanjian yang disebut syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah mengenai obyek perjanjian yang disebut syarat obyektif. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk 17
J.Satrio, Op.cit., ha l. 32. Edy Putra Tje’aman, Kredit Perbankan (Suatu Tinjauan Yuridis), hal. 24. 19 J.Satrio, Op.cit, hal. 60. 18
meminta agar perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau memberikan sepakatnya dalam keadaan tidak bebas. Jadi perjanjian yang dibuat tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang meminta pembatalan. Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal, sehingga tidak ada dasar hukum untuk saling menuntut di depan hakim. 20
3. Asas-asas Perjanjian Dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa asas perjanjian, antara lain dalam pasal 1315 tentang asas personalia perjanjian, pasal 1337 tentang asas kesusilaan dan ketertiban umum, pasal 1338 ayat (1) asas mengikatnya perjanjian, pasal 1338 ayat (3) tentang asas itikad baik dan pasal 1339 tentang asas kepatuhan dan kebiasaan. Namun menurut doktrin hanya ada tiga asas yang paling pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat dan asas kebebasan berkontrak. a. Asas Konsensualisme Asas konsensua lisme adalah suatu asas yang menentukan bahwa untuk terjadinya suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian itu 20
Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit., hal. 20.
telah lahir pada saat tercapainya sepakat antara kedua belah pihak tentang hal- hal pokok yang dimaksudkan didalam perjanjian yang bersangkutan. 21 b. Asas Kekuatan mengikat Asas kekuatan mengikat adalah suatu asas yang menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan sebagaimana mengikatnya undang-undang. Asas kekuatan me ngikat terkandung dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dan berdasarkan pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata, perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 22 c. Asas Kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas untuk memperjanjikan apa saja dan kepada siapa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Dengan adanya asas ini, maka perjanjian dibedakan menjadi dua yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang diberikan nama khusus oleh undang-undang dan undang-
21 22
Edy Putra Tje’aman , Op.cit, hal. 26. Ibid, hal 28
undang juga memberikan pengaturan secara khusus atas perjanjianperjanjian tersebut. Perjanjian bernama tidak ha nya terdapat di KUH Perdata saja, tetapi juga dalam KUHD bahkan dalam undang-undang tersendiri23 . Sedangkan perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang dalam praktek sehari- hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur dalam undang-undang, contohnya perjanjian sewa-beli24 . 4. Akibat Hukum Perjanjian Dalam KUH Perdata Buku III titel 2 bagian 3 tentang akibat hukum perjanjian, pasal 1338 berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian setiap perjanjian yang dibuat secara sah adalah perjanjian yang telah memenuhi syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu kesepakatan untuk membua perjanjian, cakap untuk membuat perjanjian, ada prestasi tertentu dan mempunyai kausa yang halal. Jika telah memenuhi syarat-syarat tersebut maka perjanjian mengikat para pihak yang membuat perjanjian, seperti undangundang yang mengikat orang terhadap siapa undang- undang itu berlaku. Suatu perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Atas perjanjian tersebut pembatalan hanya dapat dilakukan dengan adanya kesepakatan antara para pihak yang membuatnya. Dengan demikian perjanjian yang dibuat secara sah berlaku mengikat dan para pihak wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut. 23 24
J.Satrio, Op.cit, hal. 148. Loc.cit.
5. Wanprestasi Sebelum mengkaji tentang wanprestasi, terlebih dahulu perlu diketahui tentang prestasi itu sendiri. Prestasi adalah obyek dari perikatan. Prestasi ditinjau dari sisi kreditur adalah hak yang dapat dituntut dari pihak debitur. sedangkan prestasi ditinjau dari sisi debitur adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur sesuai apa yang telah diperjanjikan sebelumnya. Jadi, prestasi adalah obyek berikatan yang merupakan hak bagi pihak kreditur dan kewajiban bagi pihak debitur. Menurut pasal 1234 KUH Perdata, setiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian, wujud prestasi itu sendiri adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat, yaitu: 1) Harus diperkenankan, artinya prestasi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan; 2) Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi harus terang dan jelas; 3) Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut kemampuan manusia. Jika prestasinya secara obyektif tidak mungkin dilaksanakan, maka tidak akan timbul perikatan. Jika prestasinya secara subyektif tidak mugkin dilaksanakan, tetapi debit ur dengan janjinya
menimbulkan kepercayaan bahwa ia mampu melaksanakan prestasi, maka ia harus bertanggung jawab jika wanprestasi. Apabila seorang debitur telah melaksanakan kewajibannya dengan sempurna, tepat, sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak, maka dikatakan bahwa debitur telah menunaikan prestasi atau berprestasi. Sebaliknya, jika seorang debitur tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memenuhi prestasi yang ditentukan dalam perjanjian karena salahnya, maka ia dikatakan wanprestasi. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. 25 Jadi wanprestasi intinya adalah suatu keadaan dimana pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya (prestasi) yang merupakan hak dari pihak kreditur, dan keadaan tersebut dapat dipersalahkan kepada debitur sebagai pihak yang mempunyai kewajiban. Dengan demikian wanprestasi merupakan akibat dari tidak dipenuhinya suatu perikatan hukum. 26 Wanprestasinya seorang debitur dapat berupa tiga macam, yaitu: 1) Debitur sama sekali tidak berprestasi, artinya debitur tidak memenuhi kewajibannya yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian, atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undangundang dalam perikatan yang timbul karena undang- undang.
25 26
Subekti, Op.cit, hal. 45. Komariah,2008, hukum perdata, UMM Press, Malang, hal. 149.
2) Debitur keliru berprestasi, disini debitur telah memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya yang diterima kreditur berbeda dari apa yang diperjanjikan. 27 3) Debitur terlambat berprestasi, artinya debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat waktunya tidak seperti yang diperjanjikan. Debitur dikatakan terlambat berprestasi jika obyek prestasinya masih berguna bagi kreditur. 28 Wanprestasi ini ada apabila debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi sebagaimana yang diperjanjikan adalah diluar kesalahannya, jadi wanprestasi itu terjadi karena debitur mempunyai kesalahan. 29 Kesalahan yang dimaksud dapat berupa kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan adalah jika ada niat dan kehendak pada debitur untuk tidak memenuhi prestasi, sedangkan kelalaian ada jika debitur menghindari penyebab tidak terjadi prestasi dan ia dapat dipersalahkan karena tidak menghindarinya. Terjadinya wanprestasi melahirkan hak kreditur untuk melakukan beberapa tuntutan, dimana hak kreditur tersebut diberikan oleh undang-undang. Atas wanprestasinya debitur tersebut, undang-undang memberikan hak kepada kreditur sesuai dengan ketentuan pasal 1267 KUH Perdata. Hak- hak tersebut adalah: 1) Pemenuhan perjanjian; 27
J.Satrio, Hukum Perikatan, Op.cit, hal. 128. Ibid. ha l. 133. 29 A.Qiroim Syamsudin Meliala, 1985, Pokok -Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 26. 28
2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; 3) Ganti rugi saja; 4) Pembatalan perjanjian; 5) Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi. Hak-hak tersebut diberikan oleh undang-undang sebagai wujud perlindungan terhadap kreditur agar dapat mempertahankan kepentingannya terhadap debitur yang tidak memenuhi prestasinya.
B. Perjanjian Kredit Bank 1.
Pengertian Kredit Dalam masyarakat istilah kredit bukan hal yang asing dalam kehidupan sehari- hari. Bukan hanya dikota-kota besar saja istilah kredit ini dikenal, akan tetapi sampai ke pelosok-pelosok desa kata kredit telah demikian populer. Jika dilihat secara etimologis, kata kredit berasal dari bahasa Yunani “credere” yang artinya “kepercayaan” (Belanda: vertrouwen, Inggris: believe, trust Iatau Iconfidence)30 . Dengan demikian seseorang yang memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan dan sebaliknya seseorang yang memberikan kredit adalah memberikan kepercayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur 30
hal. 21.
Miriam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank , offset alumni, Bandung,
atau pinjaman sampai batas jumah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain. Dalam kepustakaan hukum perdata juga terdapat beberapa pendapat tentang arti kredit seperti yang dikemukakan oleh Savelberg dan Levy. a. Savelberg menyatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain31 : 1) Sebagai dasar setiap perikatan (verbibtenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain; 2) Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.
b. Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai: “menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang hari”32 . Apa yang dikemukakan oleh Savelberg menunjukan arti hukum dari istilah kredit secara umum, yaitu kreditur percaya bahwa debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk memenuhi perikatannya, sedangkan arti kredit menurut Levy lebih menunjukkan kepada pengkhususan arti hukum dari istilah kredit, yaitu perjanjian pinjam uang. Dalam hal ini kreditur memberikan pinjaman uang kepada debitur karena mempunyai kepercayaan
31 32
Ibid. ha l. 22. Ibid.
bahwa debitur mampu untuk mengembalikan pinjaman tersebut dikemudian hari. Dalam pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan dirumuskan bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersama-kan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Pedoman bank dalam pemberian kredit terdapat dalam pasal 8 ayat 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang berbunyi: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.” Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui bahwa pinjaman uang hanya dapat diberikan apabila bank mempunyai keyakinan atau kepercayaan bahwa si peminjam mampu dan sanggup untuk membayar kembali hutangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Undang- undang No 10 Tahun 1998 memberikan pengertian kredit seperti yang dinyatakan oleh Levy yaitu sebagai “perjanjian pinjam meminjam uang yang didasarkan atas kepercayaan akan kemampuan
ekonomi
penerima
kredit,
bahwa
peminjam
sanggup
dan
mampu
mengembalikan pinjamannya dikemudian hari. 2.
Unsur-Unsur Kredit Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kredit merupakan suatu kepercayaan, maka dengan demikian pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan. Hal ini berarti, pinjaman yang diberikan benar-benar diyakini akan dapat dikembalikan dimasa yang akan datang sesuai dengan waktu dan syaratsyarat yang telah disetujui bersama. Jika dilihat dari pihak pemberi kredit, unsur yang sangat penting dalan pemberian kredit adalah untuk mengambil keuntungan dari modalnya dengan mengharapkan pengembalian, sedangkan bagi penerima kredit adalah adanya bantuan dari pemberi kredit untuk menutupi kebutuhannya. Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa dalam pengertian kredit terdapat beberapa unsur. Thomas Suyatno menyatakan bahwa perkreditan mengandung unsur-unsur sebagai berikut 33: a. Kepercayaan, yaitu keyakinan si pemberi kredit bahwa prestasi
yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang; b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. 33
Thomas Suyatno, 2007, Dasar-dasar Perkreditan, Cetakan keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 14.
c. Degree of risk, Yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah maka timbulah jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi atau objek kredit Tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat bentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan pada uang maka transaksitransaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktek perkreditan.
3.
Jenis-Jenis Kredit Pada dasarnya hanya ada satu macam kredit jika dilihat dari pengertian kredit itu sendiri, akan tetapi utuk membedakan kredit menurut faktor- faktor dan unsur-unsur yang ada dalam pengertian kredit, sebagai berikut 34 : a. Kredit dari sudut tujuannya. Kredit ini terdiri atas :
34
Thomas Suyatno, Op.Cit. hal. 25-30.
1) Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya proses konsumtif. Artinya, uan tersebut akan habis terpakai untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian kredit ini tidak akan menghasilkan keuntungan bagi debitur, akan tetapi hanya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya seperti: kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor dan lain sebagainya. 2) Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya proses produksi. Kredit ini digunakan untuk peningkatan usaha, baik usaha- usaha produksi, perdagangan maupun investasi. b. Kredit dilihat dari sudut jangka waktunya. Dilihat dari jangka waktunya, jenis kredit meliputi35 : 1) Kredit jangka pendek (short term loan) Yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 tahun. 2) Kredit jangka menengah (medium term loan).Yakni kredit yang berjangka waktu antara 1 sampai 3 tahun, Kredit yang berjangka waktu menengah ini diantaranya adalah kredit modal kerja permanen (KMKP) yang diberikan oleh bank kepada pengusaha golongan lemah yang berjangka waktu maksimum 3 tahun.
35
Mohamad Djumhana, Op.cit. hal. 376-377.
3) Kredit jangka panjang (long term loan). Yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya adalah kredit innvestasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi, dan pendirian proyek baru. c. Kredit dilihat dari sudut penggunaannya. Penggolongan kredit menurut penggunaannya dapat dibagi sebagai berikut : 1) Kredit Eksploitasi Adalah kredit yang berjangka waktu pendek yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja perusahaan sehingga dapat berjalan dengan lancar. Kredit ini sering disebut dengan kredit modal kerja/kredit produk karena bantuan modal kerja digunakan untuk menut up biaya-biaya eksploitasi perusahaan secara luas. 2) Kredit Investasi Adalah kredit jangka menengah atau jangka panjang yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk melakukan investasi atau penanaman modal. Yang dimaksud disini adalah untuk pembelian barang-barang
modal
serta
jasa
yang
diperlukan
untuk
rehabilitasi/modernisasi maupun ekspansi proyek yang sudah ada atau pendirian proyek baru, pembangunan pabrik, pembelian mesin- mesin yang semuanya itu ditujukan untuk meningkatkan produktifitas. 4.
Perjanjian Kredit
Mengenai perjanjian kredit bank belum ada pengaturannya secara khusus.
Dalam KUH Perdata pun tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit bank. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga tidak memuat tentang ketentuan
perjanjian kredit bank. Istilah perjanjian kredit
bank hanya dikenal dalam praktek dunia perbankan saja. Istilah perjanjian kredit pertama kali ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10 tanggal 10 Oktober 1966 dan Surat Bank Indonesia kepada semua bank deisa No. 1093/UPK/KPD angka 4 tanggal 29 Desember 1970, yang mengharuskan bank dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun wajib mempergunakan akad perjanjian kredit. Kemudian terakhir ditemukan dalam SK Direksi Bank Indonesia nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 27/7/UPPB tanggal 31 maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijakan Kredit (P.P.K.K.B) angka 450 tentang perjanjian kredit yang menyatakan bahwa: setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian Kredit (akad kredit) secara tertulis. Perjanjian kredit tidak mempunyai suatu bentuk tertentu karena tidak ditentukan oleh undang- undang. Hal ini menyebabkan perjanjian kredit antara bank yang satu dengan lainnya tidak sama, karena disesuaikan dengan kebutuhan masing- masing bank. Akan tetapi pada umumnya perjanjian kredit bank dibuat dalam bentuk tertulis.
Didalam praktek, setiap bank telah menyediakan formulir perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu. Pemohon kredit hanya dimintakan pendapat apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut dalam formulir atau tidak. Dalam formulir tersebut juga terdapat tempattempat kosong yang baru diisi apabila sudah ada kesepakatan antara calon peminjam dan pihak bank. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian kredit dalam praktek tumbuh sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku. 36 Dalam kepustakaan hukum, dijelaskan bahwa terdapat pendirian mengenai sifat perjanjian kredit, sebagai berikut: a. Asser-Kleyn mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari perjanjian pinjam uang. b. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa perjanjian kedit bank adalah “perjanjian Pendahuluan” (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Menurut kedua penulis tersebut, perjanjian kredit dan perjanjian pinjam meminjam uang adalah merupakan dua buah perjanjian yang masing- masing bersifat konsensuil dan riil. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dipahami bahwa perjanjian kredit mengandung dua fase yaitu fase konsensuil dan fase riil. Fase konsensuil terjadi pada saat kedua belah pihak sepakat mengenai semua unsur dalam perjanjian kredit. Dalam hal ini baru terjadi perjanjian 36
Miriam Darus Badrulzaman, Op.cit. ha l. 32.
untuk mengadakan perjanjian pinjam meminjam uang. Fase riilnya terjadi pada saat uang diserahkan kepada peminjam. Dengan adanya penyerahan uang maka lahirlah perjanjian pinjam meminjam uang. Dengan demikian perjanjian kredit itu beralih dari perjanjian “untuk” meminjamkan uang menjadi perjanjian pinjam- meminjam. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam uang antara bank dengan si peminjam. Oleh karena itu perjanjian kredit mengikuti aturan KUH Perdata khususnya buku III Bab XIII tentang perjanjian pinjam- meminjam yang diatur dalam pasal 1754 sampai pasal 1769, sebagai peraturan umumnya dan undangundang perbankan sebagai peraturan khusus. 37 Pinjam- meminjam menurut pasal 1754 KUH Perdata: “Pinjam- meminjam adalah perjanjian dengan mana, pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menhabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” Menurut asser Kleyn definisi ini tidak tepat. Kata-kata “barang yang menghabis karena pemakaian” (verbruikbare zaken) seharusnya disebut “barang yang dapat diganti (vervangbare zaken).38 Barang yang menghabis karena pemakaian adalah berupa barang-barang bergerak yang jika dipakai
37
Gatot Supramono, 1997, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, hal. 62. 38 Op.cit, Miriam Darus Badrilzaman, 1993, hal. 24.
menjadi habis (pasal 505 KUH Perdata), barang-barang yang karena pemakaian menjadi habis biasanya dapat diganti, sehingga barang-barang yang dapat diganti mirip dengan barang-barang yang karena pemakaian menjadi habis, tetapi sebenarnya tidak sama. Barang-barang yang karena pemakaiannya me njadi habis selalu dapat diganti, tetapi barang-barang yang dapat diganti tidak selalu habis karena pemakaian. 39 Uang adalah termasuk dalam pengertian barang yang menghabis karena pemakaian. Norton Joseph mengemukakan bahwa perjanjian kredit bank memuat serangkaian klausula atau convenant, dimana sebagian besar dari klausula tersebut merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditur dalam pemberian kredit. 40 Klausula merupakan serangkaian persyaratan yang dibuat dalam pemberian kredit ditinjau dari aspek finansial dan hukum. Dari aspek finansial, klausula melindungi kreditur agar dapat menuntut atau menarik kembali dana yang telah diberikan kepada nasabah debitur dalam posisi yang menguntungkan bagi kreditur apabila kondisi nasabah debitur tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan dari aspek hukum, klausula merupakan sarana untuk melakukan penegakan hukum agar debitur dapat mematuhi substansi yang telah disepakati di dalam perjanjian kredit.
39
Ko Tjay Sing, hukum perdata jilid II Hukum Benda, diklat, tidak diterbitkan, tanpa tahun, hal. 20. 40
Muhamad Djumhana. Op. Cit., hal. 385-392.
Menurut Ch. Gatot Wardoyo Perjanjian Kredit mempunyai beberapa fungsi, yaitu diantaranya :41 1.
Perjajian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok artinya perjanjiann kredit merupakann sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lainyang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan.
2.
Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.
3.
Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
5.
Kredit Bermasalah dan Penyelesaiannya Ekonomi suatu negara seharusnya me rupakan suatu paduan yang efisien dan suportif diantara kegiatan-kegiatan sektor riil. Saat ini dapat dikatakan bahwa penyediaan berbagai jasa keuangan (perbankan) merupakan sektor yang strictly well regulated. Hal ini terjadi karena perbankan menyangkut kepentingan jumlah orang banyak. Situasi di Indonesia adalah suatu hal yang cukup memberi gambaran bahwa perbankan merupakan sektor yang sangat diatur. Lebih lanjut Budi Untung menyebutkan bahwa meskipun perbankan merupakan sektor yang strictly well regulated, tetapi kredit macet masih dapat terjadi diantaranya dapat disebabkan karena 42 : a) Kesalahan appraisal; 41 42
Ibid. hal. 388-389. Budi Untung, Op. Cit., hal 121.
b) Membiayai proyek dari pemilik/ terafiliasi; c) Membiayai proyek yang direkomendasi oleh kekuatan tertentu; d) Dampak makro ekonomi/ unforecasted variable; e) Kenakalan nasabah. Sedangkan Siswanto Sutojo mengatakan bahwa kredit bermasalah dapat timbul selain karena sebab-sebab dari pihak kreditur, sebagian besar kredit bermasalah timbul karena hal- hal yang terjadi pada pihak debitur, antara lain43 a) Menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan yang disebabkan merosotnya kondisi ekonomi umum dan/ atau bidang usaha dimana mereka beroperasi. b) Adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan, atau karena kurang berpengalaman dalam bidang usaha yang mereka tangani. c) Problem
keluarga,
misalnya
perceraian,
kematian,
sakit
yang
berkepanjangan, atau pemborosan dana oleh salah satu atau beberapa orang anggota keluarga debitur. d) Kegagalan debitur pada bidang usaha atau perusahaan mereka yang lain. e) Kesulitan likuiditas keuanga n yang serius. f) Munculnya kejadian di luar kekuasaan debitur, misalnya perang dan bencana alam. g) Watak buruk debitur (yang dari semula memang telah merencanakan untuk tidak akan mengembalikan kredit).
43
Siswanto Sutojo, hal. 171-172.
Sebagian besar kredit bermasalah tidak muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya kasus kredit bermasalah merupakan satu proses,
yang
diibaratkan
api
dalam
sekam.
Banyak
gejala
tidak
menguntungkan yang menjurus kepada kasus kredit bermasalah, sebenarnya telah bermunculan jauh sebelum kasus itu sendiri timbul di permukaan. Bilamana gejala tersebut dapat dideteksi dengan tepat dan ditangani secara professional sedini mungkin, ada harapan kredit yang bersangkutan dapat diselamatkan. Adapun penggolongan kualitas kredit berdasarkan Pasal 4 Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Pebruari 1998, yaitu sebagai berikut: 1) Lancar (pass) yaitu apabila memenuhi kriteria : a) pembayaran angsuran pokok dan/ atau bunga tepat; atau b) memiliki mutasi rekening yang aktif; atau c) bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral) 2) Dalam perhatian khusus (special mention) yaitu apabila memenuhi kriteria: a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang belum melampaui 90 hari; atau b) kadang-kadang terjadi cerukan; atau c) mutasi rekening relatif rendah; atau d) jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan; atau e) didukung oleh pinjaman baru. 3) Kurang Lancar (substandard) yaitu apabila memenuhi kriteria:
a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui 90 hari; atau b) sering terjadi cerukan; atau c) frekuensi mutasi rekening relatif rendah; atau d) terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari; atau e) terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur; atau dokumen yang lemah. 4) Diragukan (doubtful) yaitu apabila memenuhi kriteria : a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui 180 hari; atau b) terjadi cerukan yang bersifat permanen; atau c) terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari; atau d) terjadi kapitalisasi bunga; atau e) dokumentasi hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan. 5) Kredit Macet a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui 270 hari; atau b) kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; atau dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Kredit dengan kolektibilitas lancar (pass) adalah masuk dalam kriteria Performing Loan, sedangkan kredit dengan kolektibilitas dalam perhatian
khusus (special mention), kurang lancar (substandard), diragukan (doubtful), dan kredit macet masuk dalam kriteia kedit bermasalah (non-performing loan). Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993, terdapat beberapa kebijakan dalam rangka penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah, yaitu : 1) Reschedulling ( penjadwalan kembali ), yaitu suatu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian
kredit yang
berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace period) termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan penambahan kredit. 2) Reconditioning ( persyaratan kembali ), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran dan atau jangka waktu kredit saja, tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahan. 3) Restructuring ( penataan kembali ), yaitu upaya melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian kredit yang dilakukan dengan atau tanpa reschedulling dan atau reconditioning.
BAB III METODE PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan Secara etimologis, metoda berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang berarti melalui, sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus
ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. 44 Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah, karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta- fakta dengan menggunakan pendekatan. 45 Metode menggunakan
pendekatan pendekatan
yang
dipakai
yuridis
dalam
normatif
penelitian
yaitu
ini
pendekatan
adalah yang
menggunakan konsepsi legisme yang positivis yang memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat Negara yang berwenang. Selain konsepsi ini juga meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata. 46
2.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas. 47
44
http://www. carapedia.com. diakses pada tanggal 6 Maret 2012 Bambang Sunggono. 2006. Metodologi Penelitian Huku. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. hal. 44 46 Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta. hal. 12-14. 47 Ibid, hal. 97-98 45
3.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Jendral Soedirman, PT. Bank Pembangungan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi.
4.
Sumber Data Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data Sekunder.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup: a.
Bahan hukum primer yaitu: bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, dokumen atau arsip, catatan resmi, lembar negara, penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi. 48
a.
Bahan hukum sekunder yaitu: bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer dan isinya tidak mengikat seperti: Hasil penelitian hukum, jurnal – jurnal hukum, kasus – kasus hukum dan Artikel Hukum.
48 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana perdana Media Group, Surabaya, 2007, hlm. 141.
b.
Bahan hukum tersier yait u: bahan yang sifatnya melengkapi kedua bahan hukum diatas seperti: Kamus bahasa hukum, ensiklopedi dan internet.
5.
Metode Pengumpulan Data a. Data sekunder Data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka yaitu mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, literatur dan dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. b. Data Primer Data primer diperoleh dengan cara interview atau wawancara dengan pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti pada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi untuk melengkapi data sekunder.
6. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan
dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
7.
Metode Analisis Data Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara kualitatif yakni dengan
membahas dan menjabarkan bahan hukum yang digunakan dengan berlandaskan pada norma hukum yang digunakan, teori- teori serta doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti, dengan menggunakan logika deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
49
Ibid, hal. 98
Penelitian ini ditujukan untuk melakukan kajian teoritis tentang penyelesaian kredit bermasalah menurut KUH Perdata dan menurut ketentuan hukum perbankan pada PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi. Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Data Sekunder 1.1. Judul Perjanjian
: Perjanjian Kredit No 09/PK/BPD/SLW/VIII/2009
1.2. Subyek Hukum (Pihak-pihak dalam perjanjian) 1.2.1. Pihak pertama
: PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi, dalam hal ini diwakili oleh Suhandono selaku Wakil Pimpinan Cabang.
1.2.2. Pihak kedua
: RUDIANTO Karyawan Swasta, tempat tinggal Desa Tegalandong
RT
2/RW
2
Lebaksiu,
Kabupaten Tegal.
1.3. Premisa 1.3.1. Antara kedua belah pihak telah terdapat kesepakatan untuk mengikatakan diri dalam perjanjian yang dibuat dalam perjanjian kredit ini.
1.3.2. Terhadap perjanjian kredit ini berlaku Peraturan Umum Pemberian Kredit PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah yang isinya telah disetujui sepenuhnya oleh peminjam dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian ini. 1.4. Bentuk pinjaman dan penggunaan kredit Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah dengan ini memberikan kredit kepada peminjam dalam bentuk Personal Loan maksimum sebesar Rp. 60.000.000,- untuk keperluan perbaikan rumah. 1.5. Suku Bunga dan Jangka Waktu Pembayaran 1.5.1. Terhadap kredit yang diberikan oleh Bank kepada Peminjam dikenakan bunga sebesar 18% setahun, yang selanjutnya harus dibayar setiap bulan oleh peminjamnkepada Bank pada setiap tanggal 13. 1.5.2. Kredit tersebut diberikan oleh Bank kepada peminjam untuk jangka waktu 6 tahun ( 72 bulan) terhitung mulai tanggal...... Agustus 2009 sampai dengan tanggal...... Agustus 2015. 1.5.3. Kredit tersebut harus sudah dibayar kembali keseluruhannya, baik pokok, bunga maupun ongkos-ongkos lainnya yang tibul karena perjanjian tersebut selambatnya Agustus 2015 dengan ketentuan bahwa pembayaran dilakukan dengan cara diangsur
pokok dan bunga sebesar Rp. 1.238.120,- setiap bulan sampai dengan kredit tersebut lunas. 1.6. Jaminan Untuk menjamin pelunasan pembayaran pinjaman sesuai dengan ketentuan perjanjian ini, maka penerima pinjaman telah menyerahkan surat hak atas tanah Nomor. 997/D/1994 atas nama RUDIANTO. 1.7. Kuasa Menjual 1.7.1. Apabila peminjam tidak membayar kredit kepada Bank sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan, maka bank berhak menjual jaminan/ agunan berupa tanah/ bangunan atau benda lainnya secara dibawah tangan atau dihadapan umum (secara lelang) dengan harga yang telah ditetapkan oleh bank. Hasil penjualan
tanah/bangunan
atau
benda
lain
tersebut
dipergunakan untuk melunasi kredit peminjam kepada bank. 1.7.2. Bank dapat membeli sebagian atau seluruh jaminan/ agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik jaminan/ agunan atau berdasarkan kuasa menjual diluar lelang dari pemilik jaminan/agunan
dalam
hal
kewajibannya kepada bank. 1.8. Denda
peminjam
tidak
memenuhi
Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, peminjam menunggak dalam kewajiban angsuran pokok dan bunga dan/atau tidak melunasi kredit, maka peminjam diwajibkan untuk membayar biaya tambahan (denda) atas sejumlah pinjaman pokok dan bunga tunggakan sebesar 1% untuk setiap bulannya. 1.9. Hak Mengakhiri Perjanjian Bank berhak untuk mengakhiri perjanjian kredit ini secara sepihak dan menagih jumlah kredit yang telah diambil berikut pokok, bunga, denda serta biaya-biaya lain dengan seketika dan tunai apabila menurut bank, peminjam tidak memenuhi kewajiban pembayaran pinjamannya, baik pokok, bunga, denda sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian ini.
B. PEMBAHASAN
Uuntuk mendapatkan kesimpulan terhadap perumusan masalah yang diteliti yaitu tentang aspek hukum penyelesaian kredit bermasalah menurut ketentuan hukum perdata dan penyelesaian kredit bermasalah pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang slawi, maka disajikan pembahasan sebagai berikut. 1. Aspek Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah Menurut Ketentuan Hukum Perdata. Sebelum berbicara tentang aspek hukum penyelesaian kredit bermasalah menurut ketentuan hukum perdata, akan diuraikan terlebih dahulu tentang hubungan antara peranjian kredit bank dengan perjanjian pinjam meminjam uang. Pengertian pinjam meminjam dalam KUH Perdata terdapat dalam pasal1754 yang berbunyi: “Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” Uang merupakan salah satu barang yang habis karena pemakaian. Sehingga jika melihat pengertian perjanjian pinjam meminjam diatas, maka dapat dinyatakan bahwa perjanjian pinjam meminjam uang adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain sejumlah
uang, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama pula. Kata-kata “pihak yang satu menyerahkan uang kepada pihak yang lain menunjukkan bahwa perjanjian pinjam meminjam uang merupakan perjanjian Riil, artinya perjanjian pinjam meminjam uang baru lahir dengan diserahkannya uang yang menjadi obyek perjanjian. 50 Dengan kata lain, adanya kesepakatan antara para pihak tentang janji untuk menyerahkan uang belum mengakibatkan perjanjian pinjam meminjam uang terjadi, yang terjadi baru perjanjian pendahuluan untuk mengadakan pinjam meminjam uang. Asser-Kleyn menegaskan bahwa perjanjian pendahuluan untuk mengadakan pinjam meminjam uang disebut dengan perjanjian kredit. 51 Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Artinya perjanjian yang dibuat mengikat para pihak dalam perjanjian sehingga para pihak berkewajiban untuk memenuhi isi perjanjian. Dengan lahirnya perjanjian kredit ini, maka timbulah kewajiban bagi peminjam untuk mengembalikan uang tersebut sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya. Berdasarkan data 1.3.1 dapat dideskripsikan bahwa telah tejadi kesepakatan perjanjian kredit antara Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah dengan Rudianto sebagai penerima kredit, untuk jumlah kredit Rp. 50 51
Op.Cit., J.Satrio, 1997, hal. 151. Op.Cit., hal. 28.
60.000.000,- yang digunakan untuk biaya perbaikan rumah. Dengan demikian maka timbulah hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. Pihak Bank berhak menuntut pengembalian uang berupa pokok pinjaman beserta bunga. 2. Pihak peminjam berkewajiban mengembalikan uang sebagai pokok pinjaman yang telah diterima serta bunga sesuai dengan yang diperjanjikan. Berdasarkan data 1.5 dapat diketahui bahwa setelah menerima kredit yang diberikan oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah, nasabah peminjam akan melunasi uang pinjaman yang diterimanya dengan cara mengangsur setiap bulan setiap tanggal 13 selama 67 kali angsuran sebesar Rp. 1.238.120,- setiap bulan. Apabila data 1.5 dihubungkan dengan uraian sebelumnya maka dapat dideskripsikan bahwa dengan penyerahan sejumlah uang oleh pihak Bank kepada nasabah peminjam timbulah huungan hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. Pihak Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah berhak menuntut pelunasan kredit berupa pembayaran angsuran tiap bulan sebesar Rp. 1.238.120,- kepada nasabah peminjam yaitu Rudianto; 2. Pihak nasabah peminjam berkewajiban untuk melunasi hutangnya dengan cara mengangsur tiap bulan sebesar Rp. 1.238.120,-.
Dalam suatu hubungan hukum dimana satu pihak mempunyai hak atas suatu prestasi (kreditur) dan dipihak lain mempunyai kewajiban untuk berprestasi (debitur) maka pada prinsipnya pelaksanaan kewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut harus dilakukan dengan sukarela. Namun adakalanya seorang debitur tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. Seorang debitur yang tidak memenuhi prestasinya bisa disebabkan oleh berbagai hal, secara garis besar keadaan tidak berprestasinya debitur tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Adanya kesengajaan atau kelalaian pada diri debitur, artinya ada unsur salah pada debitur; 2. Debitur menghadapi keadaan memaksa, jadi pada diri debitur tidak ada unsur salah. Suatu keadaan dimana debitur tidak melaksanakan prestasinya disebut dengan wanprestasi. Adapun wujud wanprestasi itu sendiri berupa: tidak berprestasi sama sekali, keliru berprestasi dan terlambat berprestasi. Akibat yang dapat ditimbulkan dari tidak berprestasinya debitur adalah kredit yang diberikan oleh bank menjadi kredit bermasalah. Wanprestasi mempunyai akibat yang penting baik bagi kreditur maupun debitur, oleh karena itu penting untuk diketahui sejak kapan seorang debitur dianggap wanprestasi. Pasal 1238 KUH Perdata menyebutkan bahwa:
“Si berutang
adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau
dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditetapkan”. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa apabila dalam perjanjian telah ditentukan tentang tenggang waktu pelaksanaan prestasi, maka debitur dianggap telah wanprestasi bila tidak melaksanakan prestasinya seletah tenggang waktu tersebut telah dilewati. Sehubungan dengan uraian diatas tentang adanya ketentuan waktu, berdasarkan data 1.5.1 telah disebutkan bahwa pihak debitur wajib membayar angsuran setiap bulan pada tanggal 13. Maka apabila debitur tidak membayar angsuran setelah tanggal tersebut debitur dianggap wanprestasi. R. Subekti mengatakan bahwa terhadap debitur yang melakukan wanprestasi diancam sanksi atau hukuman yaitu52 : 1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur. 2. Pembatalan perjanjian. 3. Peralihan resiko. 4. Membayar biaya perkara apabila kasusnya sampai ke pengadilan. 5. Pemenuhan perjanjian atau pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.
52
Subekti, Op.Cit., hal. 83.
Ketentuan tentang ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUH Perdata. Yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. 53 Jika dikaitkan dengan data 1.8 maka dapat dideskripsikan bahwa apabila kreditur menunggak dalam kewajiban membayar angsuran, Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah berhak menuntut biaya tambahan (denda) atas sejumlah pinjaman pokok dan bunga tunggakan sebesar 1% untuk setiap bulannya. Pengertian pembatalan perjanjian sebagaimana pendapat R. Subekti disini bukan karena tidak memenuhi syarat subyektif dalam syarat sahnya perjanjian, akan tetapi karena debitur wanprestasi. Dalam pasal 1266 KUH Perdata disebutkan bahwa: “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuanpersetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat,
53
Tim Pengajar Hukum Perdata, Op.Cit., hal. 98.
memberikan suatu jangka waktu, untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan” Dengan demikian, menurut Pasal 1266 KUH Perdata tersebut, dengan alasan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak lain dalam perjanjian tersebut dapat membatalkan perjanjian yang bersangkutan, akan tetapi pembatalan tersebut tidak boleh dilakukan begitu saja, melainkan haruslah dilakukan lewat pengadilan. Dalam
praktek,
sering
ada
klausula
dalam
perjanjian
yang
mengesampingkan berlakunya Pasal 1266 KUH Perdata tersebut, yang berarti bahwa perjanjian tersebut dapat diputuskan sendiri oleh salah satu pihak (tanpa campur tangan pengadilan) jika pihak lainnya melakukan wanprestasi. Alasan pencantuman klausula tersebut dalam perjanjian adalah atas dasar asas kebebasan berkontrak, sehingga pencantuman klausula melepaskan ketentuan pasal 1266 KUH Perdata harus ditaati oleh para pihak, selain itu alasan lain yaitu jika harus kepengadilan membutuhkan biaya besar dan waktu lama, sehingga hal ini tidak efisien. 54 Dari uraian diatas, jika dikaitkan dengan data 1.9 tentang Hak Mengakhiri Perjanjian dapat dideskripsikan bahwa apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka Bank berhak untuk mengakhiri perjanjian kredit ini secara sepihak dan menagih jumlah kredit yang telah diambil berikut pokok, bunga, denda serta biaya-biaya lain dengan seketika dan tunai. 54
Tim Pengajar Huku m Perdata, Op.Cit., hal. 99.
Pada dasarnya perjanjian kredit dapat dibagi atas perjanjian kredit yang memiliki jaminan/agunan dan perjanjian yang tanpa jaminan/agunan. Persoalan jaminan/agunan ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Kedua pasal ini membahas tentang piutang-piutang yang diistimewakan. Pasal 1131 mengatakan bahwa: “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Dan Pasal 1132 mengatakan bahwa: “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besarkecilnya piutang masing- masing, kecuali apabila diantara para piutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Hal ini dilakukan oleh pihak kreditur agar kreditur mendapat kepastian bahwa kredit yang telah diberikan dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat kembali dengan aman. Jadi, dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk perjanjian tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila debitur wanprestasi.
Berdasarkan data 1.6 tentang jaminan dapat dideskripsikan bahwa debitur menyerahkan surat hak atas tanah Nomor. 997/D/1994 atas nama Rudianto sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya. Dan atas jaminan tersebut pengikatan jaminannya adalah dengan hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur. Pengikatan jaminan kredit dengan hak tanggungan ini dilakukan apabila seorang debitur yang menerima kredit dari bank, menjadikan barang tidak bergerak yang berupa tanah (hak atas tanah) berikut atau tidak berikut benda-benda yang tidak berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan tanpa menyerahkan barang jaminan tersebut secara fisik kepada kreditur. Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur. Dalam arti, jika debitur wanprestasi, maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mendapatkan pelunasan utang tersebut. 55 Sifat dari hak tanggungan ini adalah accessoir, yaitu mengikuti perikatan utamanya (perjanjian Kredit). Dengan demikian, hapusnya hak tanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu kredit yang dijamin pelunasannya tersebut. Berdasarkan data 1.7 jika dikaitkan dengan uraian sebelumnya, maka dapat dideskripsikan bahwa dengan adanya pengikatan jaminan dengan hak
55
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 5.
tanggungan ini, maka timbulah hak kreditur untuk menjual jaminan (obyek hak tanggungan) tanpa perlu meminta persetujuan dari pihak debitur apabila terjadi wanprestasi. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dalam prakteknya telah terjadi kredit bermasalah. Maka apabila dihubungkan bahwa akibat hukum wanprestasi dalam pinjam meminjam uang dengan adanya jaminan/agunan adalah bahwa pihak pemberi kredit mempunyai hak untuk menjual benda jaminan
dan
apabila
peminjam
tidak
dapat
memenuhi
kewajiban
pembayarannya, maka pemberi pinjaman dapat menjual benda jaminan dan mengambil pelunasan atas kewajiban pembayaran kredit yang telah diterima dari penjualan jaminan tersebut. 2. Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa: “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
Untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit maka harus ada suatu persetujuan atau perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah peminjam sebagai debitur yang dinamakan perjanjian kredit. Dalam memberikan kredit kepada masyarakat, bank harus merasa yakin bahwa dana yang dipinjamkan kepada masyarakat itu akan dapat dikembalikan tepat pada waktunya beserta bunganya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati dalam perjanjian kredit. Sebelum penandatanganan perjanjian kredit, pihak bank berada pada posisi yang lebih kuat dari calon peminjam karena calon peminjam membutuhkan bantuan kredit dari bank tersebut. Dengan posisi bank yang lebih kuat tersebut, bank membuat suatu perjanjian kredit dalam bentuk formulir yang telah dibakukan, berisi klausula-klausula yang ditetapkan oleh bank secara sepihak. Namun demikian pada saat pelaksanaan perjanjian kredit, bank menjadi pihak yang lemah karena ada kemungkinan suatu sebab pengembalian / pelunasan kreditnya mengalami kemacetan. Perjanjian kredit PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi dengan nasabahnya dibuat dalam bentuk formulir yang telah dibakukan. Calon peminjam hanya dimintakan persetujuannya atas klausulaklausula yang telah dibuat oleh PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi. Apabila calon peminjam setuju dengan isi perjanjian, maka akan menandatangani surat perjanjian kredit tersebut. Sedangkan apabila calon peminjam
menolak klausula-klausula
yang
ada
dalam
surat
perjanjanjian kredit, maka tidak perlu menandatangani surat perjanjian tersebut. Berdasarkan data 1.3.2 diketahui bahwa dalam mengadakan dan melaksanakan perjanjian kredit, Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi berpedoman pada Peraturan Umum Pemberian Kredit PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah. Dalam perjanjian kredit, prestasi yang wajib dipenuhi oleh debitur adalah mengembalikan pinjaman dan membayar bunga sesuai dengan yang telah diperjanjikan, serta mentaati segala kewajiban yang telah ditetapkan oleh kreditur. Apabila salah satu kewajiban tidak dipenuhi oleh maka debitur dikatakan wanprestasi. Pasal 12 angka (2) Peraturan Umum Pemberian Kredit PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah menyebutkan bahwa seorang debitur peminjam dikatakan wanprestasi apabila: 1. Peminjam tidak dapat melakukan kewajiban sesuai dengan perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. 2. Peminjam melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Berdasarkan data 1.5 dapat dideskripsikan bahwa kewajiban debitur peminjam adalah untuk membayar kembali kredit dengan cara mengangsur setiap bulan. Namun pada kenyataannya, debitur peminjam tidak mampu
membayar angsuran kreditnya setelah kredit tersebut berjalan selama 18 bulan sehingga mengakibatkan adanya tunggakan angsuran selama 6 bulan. Berdasarkan pasal 4 Surat keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 kredit tersebut dapat digolongkan sebagai salah satu jenis kredit bermasalah, yaitu kredit yang Diragukan (doubtful). Suatu kredit digolongkan sebagai kredit yang diragukan (doubtful) apabila memenuhi kriteria : 1. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui 180 hari; atau 2. Terjadi cerukan yang bersifat permanen; atau 3. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari; atau 4. Terjadi kapitalisasi bunga; atau 5. Dokumentasi hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan. Dari kriteria-kriteria tersebut, kredit ini jelas telah mengalami tunggakan angsurang melebihi 180 hari sehingga dapat digolongkan sebagai kredit bermasalah. Dengan demikian jelas bahwa Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi telah mengalami kesulitan dalam memperoleh kembali pelunasan kredit yang telah diberikan. Oleh karena itu, bank harus melakukan upaya- upaya untuk mendapatkan kembali pelunasan kredit yang telah diberikan tersebut. Upaya pertama yang dilakukan oleh pihak bank adalah
dengan memberikan peringatan-peringatan kepada debitur peminjam atas keadaan kreditnya. Upaya ini dilakukan sebelum melakukan tindakan hukum lebih lanjut dan untuk membuktikan bahwa debitur benar-benar wanprestasi. Berdasarkan data 1.8 tentang kuasa menjual, yang kemudian dikaitkan dengan data 1.9 tentang hak mengakhiri perjanjian dapat dideskripsikan bahwa bank berhak untuk menjual jaminan/agunan untuk melunasi kredit peminjam kepada bank dan dapat mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak dan menagih jumlah kredit yang telah diambil berikut pokok, bunga, denda serta biaya-biaya lain dengan seketika dan tunai apabila menurut pertimbangan bank, peminjam tidak memenuhi kewajiban pembayaran pinjamannya baik pokok, bunga, denda sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian. Pada kenyataan di lapangan, penerapan ketentuan tersebut tidak setegas yang tercantum dalam surat perjanjian. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah dalam upaya menyelesaikan kredit bermasalah lebih memilih melakukan penyelesaian secara intern antara bank dengan debiturnya. Berdasarkan pasal 15 angka (1) Peraturan Umun Pemberian Kredit PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah disebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian kredit akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Dan berdasarkan pasal 15 angka (2) apabila kata sepakat tidak tercapai, maka penyelesaiannya akan dilakukan melalui saluran hukum dengan memilih kedudukan hukum
yang umum dan tetap di kepaniteraan pengadilan negeri tempat kedudukan bank/ Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Penyelesaian kredit bermasalah melalui pengadilan ataupun BUPLN adalah pilihan terakhir yang sering diambil oleh bank, karena dinilai tidak menguntungkan baik pihak bank maupun pihak debitur oleh sebab biaya untuk proses litigasi cukup tinggi dan membutuhkan waktu cukup lama, sedangkan bank dituntut untuk segera menyelesaikan kredit bermasalah tersebut dan mendapatkan pengembalian atas kredit yang telah diberikan agar kegiatan usaha bank dapat terus berjalan dan tidak mempengaruhi tingkat kesehatan bank. Penyelesaian secara intern/ Musyawarah lebih sering dilakukan pihak bank karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu tidak membutuhkan biaya ya ng besar, menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan pihak debitur, dan hubungan antara debitur dengan bank tetap terjaga Tindakan yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi apabila kredit yang diberikan oleh bank dalam kategori diragukan, maka bank akan menempuh penyelesaian secara intern antara bank dengan debitur, yaitu : 1. memberikan surat peringatan pertama 2. memberikan surat peringatan kedua 3. memberikan surat peringatan terakhir
Dalam hal surat peringatan pertama sampai dengan surat peringatan terakhir yang telah disampaikan oleh bank kepada debitur tidak diperhatikan, maka bank akan memanggil debitur. Pemanggilan ini bertujuan untuk mengadakan wawancara dengan debitur sehingga dapat diketahui kendalakendala yang dihadapi oleh debitur yang mengakibatkan keterlambatan pembayaran angsuran kredit, dengan demikian dapat diketahui apakah kredit tersebut bermasalah karena kesengajaan dari debitur yang memang tidak mau melunasi kreditnya atau karena hal- hal diluar kekuasaan debitur. Dari hasil analisis bank dapat diketahui kemampuan bayar debitur. Apabila oleh pihak bank dinilai bahwa terjadinya kredit bermasalah itu disebabkan karena hal-hal diluar kekuasaan debitur, dan debitur dinilai mempunyai itikad baik serta bank berpendapat bahwa debitur masih sanggup untuk melunasi fasilitas kredit dengan kemampuan bayar yang menurun dari yang diperjanjikan semula, maka pihak bank akan memberikan kebijakan yang dapat meringankan beban debitur, dengan maksud agar kredit bermasalah tersebut dapat diatasi dan bank tetap dapat menerima pengembalian atas kredit yang telah diberikan. Berdasarkan uraian diatas, dapat dideskripsikan bahwa yang menjadi pertimbangan bank dalam mengambil kebijakan dalam penyelesaian kredit bermasalah secara musyawarah untuk meringankan beban debitur adalah: 1.
Kemauan debitur untuk melunasi kreditnya, artinya debitur masih mempunyai itikad baik untuk melunasi kredit kepada pihak bank.
2.
Kemampuan debitur untuk melunasi kreditnya, pihak bank sebagai pemberi kredit harus melakukan analisis terhadap kondisi ekonomi debitur, apakah debitur masih mempunyai kemampuan untuk melunasi kreditnya atau tidak.
Adapun langkah- langkah kebijakan yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah dalam menyelamatkan suatu kredit bermasalah secara musyawarah tersebut berpedoman pada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993, dengan melakukan penjadwalan kembali (Rescheduling) yaitu suatu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace period) termasuk perubahan jumlah angsuran, bila perlu dengan penambahan kredit baru. Dengan
demikian,
setelah
dilakukan
penjadwalan
kembali
(rescheduling) maka terdapat perubahan beberapa syarat perjanjian kredit antara Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Dengan Rudianto antara lain: 1. Bank memberikan perpanjangan jangka waktu jatuh tempo kredit tersebut, berdasarkan data 1.5.2 semula kredit yang diberikan oleh bank untuk jangka waktu 6 tahun (72 bulan), setelah dilakukan penjadwalan
kembali
jangka
waktu
diperpanjang menjadi 9 tahun (108 bulan)
pengembalian
kredit
2. Pemberian keringanan bunga angsuran, berdasarkan data 1.5.1 bunga semula adalah 18% setahun, diturunkan menjadi 16% setahun. 3. Dan pemberian bantuan tambahan kredit, sebesar Rp 90.000.000,Dengan penjadwalan kembali pembayaran kredit tersebut diharapkan bahwa debitur dapat melunasi utang kredit berikut bunga pada waktu yang telah ditentukan, sehingga kemungkinan terjadinya risiko kredit bermasalah dapat dihindari.
BAB V
PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam perspektif hukum perdata, jika terjadi kredit bermasalah yang artinya debitur wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya dalam hal angsuran dan atau pelunasan kredit, maka kreditur berhak untuk menuntut debitur untuk membayar denda, membatalkan perjanjian secara sepihak atau apabila debitur tetap tidak mampu untuk memenuhi prestasinya, maka obyek jaminan akan dijual, dan uang hasil penjualan digunakan untuk melunasi hutang Debitur di Bank. 2. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah dalam menyelesaikan kredit bermasalah berpedoman pada Peraturan Umum Pemberian Kredit PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah yaitu dengan penyelesaian secara intern antara pihak bank dan debitur peminjam, dan apabila bank menilai
bahwa
debitur
mempertimbangkan
memiliki
kebijakan
yang
itikad
baik
maka
meringankan
bank
debitur,
akan seperti
penjadwalan kembali (Rescheduling). Dalam menyelesaikan kredit bermasalah bank cenderung lebih memilih untuk diselesaikan dengan cara damai atau musyawarah karena menganggap bahwa penyelesaian dengan jalur hukum kurang efektif karena memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang mahal.
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR Badrulzaman, Miriam Darus. 1983. Perjanjian Kredit Bank. Medan: Penerbit Alumni Djumhana, Muhammad. 2000. Hukum Perbankan Indonesia. PT. Citra Aditya Bandung: Bakti. Hasibuan, Malayu. 2005. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hermansyah. 2008. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana Prenada Jakarta: Media Group. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku I). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Satrio, J. 2001. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku II). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soekanto, Soerjono.1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII Press. Subekti. 1987.Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Sutedi, Adrian. 2010. Hukum Hak Tanggungan. Jakarta: Sinar Grafika. Tje’Aman, Edy Putra.1986. Kredit Perbankan (Suatu Tinjauan Yuridis). Yogyakarta: Liberty Untung, Budi. 2000.Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang- undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Pebruari 1998
SUMBER LAIN http://www.google.com/search=Peranperbankanindonesia. Diakses tanggal 27 April 2012