............................... Rumus 2. 33
Persamaan umum Distribusi Gumbel untuk mencari nilai X jika diketahui periode ulang T adalah : S ( Y − Yn) Sn
............................... Rumus 2. 34
⎡ ⎛ T − 1 ⎞⎤ Y = − ln ⎢− ln⎜ ⎟⎥ ⎝ T ⎠⎦ ⎣
............................... Rumus 2. 35
X=X+
untuk T < 20
untuk T ≥ 20
Y = ln T
............................... Rumus 2. 36
Keterangan : X
= hujan harian maksimum tahunan pada tahun pengamatan (mm)
X
= rata-rata hujan harian maksimum tahunan (mm)
Y
= faktor reduksi Gumbel
S
= standard Deviasi X (mm)
Yn = nilai rata-rata dari reduksi variat (mean of reduced variate), nilainya tergantung dari jumlah data n (lihat tabel Yn) Sn = deviasi standard dari reduksi variat (standard deviation of reduced variate), nilainya tergantung dari jumlah data n (lihat tabel Sn) P(X≤x) = peluang kumulatif sebagai fungsi dari Y P(X≥x) = 1 - P(X≤x) e
= bilangan natural (2.71828...)
T
= periode ulang (tahun)
Tabel 2. 5 Hubungan Reduksi Variat Rata-Rata (Yn) dengan Jumlah Data II - 24
Sumber : Soewarno, 1995
Tabel 2. 6 Hubungan antara deviasi standar dan reduksi variat (Sn) dengan jumlah data
Sumber : Soewarno, 1995
2.3.3.5.
Distribusi Frechet (Extreme Value Type II) II - 25
Persamaan umum Distribusi Frechet untuk mencari peluang kumulatif (Soewarno, 1995) adalah :
P(X ≤ x) = e −e
(− Y)
............................... Rumus 2. 37
Y = a(log X − Xo)
............................... Rumus 2. 38
Xo = XL − 0 . 445 ⋅ SL
............................... Rumus 2. 39
⎛ 1 a = 1 . 282 ⎜⎜ ⎝ SL
log X =
⎞ ⎟⎟ ⎠
............................... Rumus 2. 40
Y + Xo a
............................... Rumus 2. 41
Keterangan : Xi
= hujan harian maksimum pada tahun pengamatan ke i (mm)
XL = log X = hujan harian maksimum dalam logaritmik
X L = log X = rata-rata hujan harian maksimum dalam logaritmik SL
= standard deviasi dari rangkaian data dalam harga logaritmik
a, Xo
= parameter frechet
P(X≤x) = Peluang kumulatif sebagai fungsi dari Y P(X≥x) = 1 - P(X≤x) e
= bilangan natural (2.71828...)
2.3.3.6.
Distribusi Pearson Type III
Persamaan umum Distribusi Pearson III (Soewarno, 1995) adalah :
X = X + k ⋅ S ............................... Rumus 2. 42
k=
X−X ............................... Rumus 2. 43 S
II - 26
n
X=
∑X i =1
n
∑ (X − X ) n
S=
............................... Rumus 2. 44
2
i=1
............................... Rumus 2. 45
n −1
dimana : X
= data hujan harian maksimum tahunan (mm)
X
= rata-rata hujan harian maksimum tahunan (mm)
S
= standard deviasi dari rangkaian data (mm)
k
= faktor frekuensi dari Pearson III
P(X≥x) = Peluang terlampaui sebagai fungsi dari Cs dan k (interpolasi dari tabel)
2.3.3.7.
Distribusi Log Pearson Type III
Persamaan umum Distribusi Log Pearson III (Soewarno, 1995) adalah :
n
Y=
∑ (log X n
Sy =
i=1
i
∑ LogX i=1
i
............................... Rumus 2. 46
n
− log X
)
2
............................... Rumus 2. 47
n −1
(
)
⎡n LogX − LogX 3 ⎤ ∑ i ⎥ Cs = ⎢ ⎢ (n − 1)(n − 2 )S 2 ⎥ y ⎦ ⎣
............................... Rumus 2. 48
Y = Y + k ⋅ Sy
............................... Rumus 2. 49
(
)
IIY- −27Y k= Sy
............................... Rumus 2. 50
Keterangan : Xi
= hujan harian maksimum pada tahun pengamatan ke i
Y = log X = hujan harian maksimum dalam logaritmik (mm)
Y = log X = rata-rata hujan harian maksimum dalam logaritmik Sy
= standard deviasi dari rangkaian data dalam harga logaritmik
n
= jumlah tahun pengamatan
Cs
= koefisien skewness (koefisien kemencengan)
k
= faktor frekuensi dari Log-Pearson III
P(X≥x) = Peluang terlampaui sebagai fungsi dari Cs dan k (interpolasi dari tabel)
Tabel 2. 7 Nilai-nilai K untuk distribusi Pearson III dan log Pearson Tipe III II - 28
Sumber : Linsley, Kohler, 1996
Tabel 2. 8 Nilai K Distribusi Pearson tipe III dan log Pearson III II - 29
Sumber : Soewarno, 1995
2.3.4.
Uji Kesesuaian Pemilihan Distribusi
II - 30
Untuk mengetahui apakah data tersebut benar sesuai dengan jenis sebaran teoritis yang dipilih maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Untuk keperluan analisis uji kesesuaian dipakai dua metode statistik sebagai berikut :
2.3.4.1.
Uji Chi Square (χ2)
Uji Chi Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter χ2, oleh karena itu disebut dengan uji Chi Kuadrat. Tahap-tahap pengujian Chi Kuadrat adalah sebagai berikut :
1.
Urutkan data dari besar ke kecil.
2.
Kelompokkan kelas data menjadi K sub-group menurut interval peluang tiap kelas P(X) = 1/K.
3.
Dari nilai interval peluang P(X), tentukan nilai X sesuai persamaan distribusi terpilih.
4.
Parameter χ2hitung dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Soewarno, 1995) :
χ
(Oi - Ei )2 =∑ Ei i =1
............................... Rumus 2. 51
n K
............................... Rumus 2. 52
K
2 hitung
Ei =
dimana : Oi
= nilai yang diamati
Ei
= nilai yang diharapkan
K
= jumlah kelas (1 + 3,22 Log n)
n
= jumlah data
II - 31
Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga χ2hitung < χ2critis. Harga χ2critis dapat dilihat dari tabel nilai kritis uji chi kuadrat yang tergantung dari taraf signifikan (α) dan derajat kebebasan (dk). Derajat kebebasan (dk) mempunyai nilai yang di dapat dari perhitungan sebagai berikut :
dk = K - ( P + 1) dimana : dk
= derajat kebebasan
K
= jumlah kelas
P
= jumlah parameter distribusi terpilih
II - 32
............................... Rumus 2. 53
Tabel 2. 9 Nilai kritis untuk distribusi Chi-Kuadrat (uji satu sisi)
Sumber : Soewarno, 1995
2.3.4.2.
Uji Kolmogorov-Smirnov (K-S)
Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov, sering juga disebut uji kecocokan non parametrik (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu dengan membandingkan selisih maksimum (Dmax) nilai peluang pengamatan Pe(X≥x) dan peluang teoritis Pt(X≥x) dengan nilai kritis dari tabel II - 33
Nilai Kritis Do untuk uji Kolmogorov-Smirnov. Tahap-tahap pengujian Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut :
1. Urutkan data dari besar ke kecil. 2. Hitung peluang distribusi empiris data Pe (X≥x) menggunakan persamaan Weibull (Soewarno, 1995) :
P=
m (n + 1)
............................... Rumus 2. 54
dimana : m
= nomor urut data
n
= banyaknya data
3. Hitung peluang distribusi teoritis Pt (X≥x) 4. Tentukan selisih absolut maksimum antara peluang empiris dan peluang teoritis. Dmax = Max Pe − Pt
............................... Rumus 2. 55
dimana : Dmax
= selisih maksimum antara peluang empiris dengan teoritis
Pe
= peluang empiris
Pt
= peluang teoritis
5.
Tentukan harga Do dari tabel nilai kritis uji K-S, dengan taraf signifikan diambil 5% dari jumlah data.
6.
Apabila Dmax < Do, maka distribusi teoritis yang dipilih untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima. Sebaliknya jika Dmax > Do, maka distribusi teoritis yang dipilih tidak dapat diterima.
Tabel 2. 10 Nilai kritis untuk uji Smirnov-Kolmogorov II - 34
Sumber : Soewarno, 1995
2.3.5.
Periode ulang
Salah satu tujuan dalam analisis frekwensi data hidrologi adalah menentukan periode ulang (return period atau recurrence interval) dari pada suatu kejadian hidrologi. Dalam hal ini tujuan itu adalah menetapkan besarnya curah hujan atau debit banjir dengan besaran tertentu dan dengan periode ulang tertentu.
Dalam kajian ini dianalisis besarnya kejadian curah hujan maksimum harian dengan periode ulang 1.01 tahun; 1.11 tahun; 1.25 tahun; 2 tahun; 5 tahun; 10 tahun; 20 tahun; 25 tahun; 50 tahun; 100 tahun; 200 tahun dan 1000 tahun sesuai dengan persamaan distribusi frekwensi terpilih.
2.3.6.
Distribusi hujan jam-jaman
Untuk menghitung hidrograf banjir rancangan dengan hidrograf satuan tertentu perlu diketahui terlebih dahulu distribusi curah hujan jam-jaman dengan interval tertentu. . Dari hasil analisis ini ditetapkan hujan jam-jaman di lokasi perencanaan II - 35
yaitu untuk kajian ini dipilih distribusi 6 jam yang didistribusikan dengan cara Mononobe. Prosentase distribusi hujan yang terjadi dihitung dengan rumus Mononobe sebagai berikut (Sosrodarsono, 2006) :
a. Rata-rata hujan dari awal hingga jam ke-T Rt =
R24 ⎛ 24 ⎜ 24 ⎝ T
⎞ ⎟ ⎠
2/3
............................... Rumus 2. 56
Keterangan : Rt
=
rerata hujan dari awal sampai jam ke t (mm/jam)
T
=
waktu hujan sampai jam ke t
R24
=
curah hujan maksimum dalam 24 jam
b. Distribusi hujan pada jam ke-T
R T = T.Rt − (T − 1).R (t −1)
............................... Rumus 2. 57
Keterangan : RT
= intensitas curah hujan pada jam t (mm/jam)
t
= waktu (jam)
Rt
= rerata hujan dari awal sampai jam ke t (mm/jam)
R(t-1) = rerata curah hujan dari awal sampai jam ke (t – 1) Selanjutnya rasio (prosentase) hujan tiap jam terhadap tinggi hujan total pada distribusi hujan ditetapkan dengan persamaan :
rT =
2.3.7.
RT ∑ RT
Koefisien Limpasan II - 36
............................... Rumus 2. 58
Besarnya koefisien limpasan suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi karakteristik, sebagai berikut (Subarkah, 1980) :
1.
Keadaan hujan.
2.
Luas dan bentuk daerah pengaliran.
3.
Kemiringan daerah pengaliran dan kemiringan dasar pegunungan.
4.
Daya infiltrasi tanah dan perkolasi tanah.
5.
Kebasahan tanah.
6.
Suhu, udara, angin dan evaporasi.
7.
Letak daerah aliran terhadap arah angin.
8.
Daya tampung palung sungai dan daerah sekitarnya.
Bila tidak terdapat pengukuran limpasan yang terjadi maka untuk DAS tertentu besarnya koefisien limpasan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. 11 Tabel koefisien limpasan (oleh Dr. Mononobe) / koefisien pengaliran
Sumber : Sosrodarsono, 2006
2.3.8.
Curah Hujan Netto Jam-Jaman II - 37
Hujan netto adalah bagian total yang menghasilkan limpasan langsung (direct run-off), yang terdiri dari limpasan permukaan dan limpasan bawah permukaan. Dengan menganggap bahwa proses tranformasi hujan menjadi limpasan langsung mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu (linier and time invariant process), maka hujan netto Rn dinyatakan sebagai berikut :
Rn = C * R T ............................... Rumus 2. 59 dimana : Rn
= hujan netto (mm/jam)
C
= koefisien pengaliran
RT
= intensitas curah hujan (mm/jam)
2.3.9.
Analisa Debit Banjir Metode Hidrograf Sintetik
Pada dasarnya hidrograf merupakan visualisasi perubahan besaran parameter hidrologi terhadap waktu kejadiannya. Parameter yang dimaksud anatara lain : tinggi hujan, tinggi muka air dan debit sungai.
2.3.9.1.
Karakteristik Hidrograf Aliran
Hidrograf aliran dapat digunakan untuk mengetahui perubahan aliran di sungai/saluran sebagai akibat terjadinya hujan selama waktu tertentu. Pada siklus hidrologi, terlihat dengan jelas bahwa aliran sungai tersebut terjadi akibat limpasan air hujan baik langsung maupun tak langsung. Bila pengaruh turunnya air hujan terhadap aliran sungai digambarkan terhadap waktu maka akan iperoleh hidrograf aliran yang mempunyai komponen kurva sebagai berikut :
Aliran dasar (base flow) : Limpasan tak langsung bersumber dari air tanah yang mengalir keluar melalui mata air ataupun rembesan ke sungai dengan debit yang relatif konstan.
Rising Limb : II - 38
Hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan mengalami proses kehilangan air akibat intersepsi, infiltrasi, dan kemudian sisanya menjadi limpasan air permukaan (surface run-off). Limpasan air menuju ke sungai dan tinggi muka air mulai bergerak naik sampai debit puncak (Qp), disebut “Rissing Limb” atau kurva yang menggambarkan naiknya debit aliran permukaan sejak awal pengaruh hujan sampai dengan terjadinya debit puncak.
Recession Limb : Setelah debit puncak tercapai, selanjutnya grafik debit mulai menurun, disebut “Recession Limb” atau kurva yang menggambarkan turunnya debit aliran permukaan sejak tercapainya puncak sampai dengan akhir pengaruh hujan.
Inflection Point : Setelah debitnya menurun, mulailah penarikan tampungan dari tanah karena kontribusi “ Surface run-off” ke kontribusi “Ground water run-off”
Time Lag/Basin Lag : Adalah waktu yang diukur dari pusat hyetograf (pertengahan terjadinya hujan) sampai dengan puncak hidrograf.
Time of Concentration : Adalah waktu yang diukur dari hyetrograf sampai dengan “Inflection point”. Atau waktu antara berakhirnya hujan sampai dengan terjadinya debit puncak.
Recession Time: Adalah waktu antara terjadinya puncak aliran sampai dengan berakhirnya pengaruh hujan terhadap aliran.
Time Base : Adalah total waktu terjadinya pengaruh hujan terhadap aliran.
Besaran komponen dan bentuk dari kurva hidrograf menggambarkan proses terjadinya aliran di sungai sebagai akibat turunnya hujan di dalam Daerah Tangkapan Air dari hidrograf yang bersangkutan. Karakteristik hujan biasanya dapat digambarkan melalui besaran, lama dan distribusi hujan dalam DAS, sedangkan karakteristik DAS dapat dideskripsikan melalui beberapa parameter yaitu : porositas tanah, kemiringan lahan, tata guna lahan, morfologi sungai.
II - 39
Daerah Tangkapan Air dipandang sebagai blok yang sistimnya ditandai oleh respons Q input tertentu, sebagai berikut :
•
Input : Hujan efektif dan Basin Recharge
•
Proses : Merupakan kombinasi dari karakteristik hujan seperti ; tipe, intensitas, durasi dan distribusi hujan, defisit kelembaban tanah, berlangsung arahnya hujan, kondisi iklim serta karakteristik DAS seperti ; ukuran DAS, bentuk DAS, Elevasi DAS, rerata kemiringan sungai, kerapatan sungai, kerapatan drainase, susunan sistim sungai, jenis tanah, jenis vegetasi penutup.
•
Output (Response) : Setiap DAS mempunyai karakteristik hujan dan kondisi fisik yang berbeda, sehingga setiap hidrograf disetiap DAS mempunyai komponen hidrograf yang berbeda.
Secara skematis digambarkan sebagai berikut :
Output
Input Hujan Efektif
Kondisi DAS & Merupakan kombinasi :
Hujan,
Q
t tr
Hidrograf akibat Hujan Efektif
A. Karakteristik Hujan (Tipe, Intensitas, Durasi, Dstribusi, Kelembaban, Iklim)
Basin Recharge
B. Karakteristik DAS (Luas, Bentuk, Elevasi DAS, Kemiringan & Kerapatan Sungai,
Base flow
t Proses
Gambar 2. 1 Skematisasi Hidrograf 2.3.9.2.
Hidrograf Satuan
Hidrograf satuan adalah besarnya suatu limpasan langsung (direct runoff) dari suatu daerah tangkapan air akibat hujan setinggi 1 mm (1 inch) yang turun selama 1 jam secara merata dan langgeng pada daerah tangkapan air tersebut.
II - 40
Hidrograf satuan menggambarkan respon dari daerah tangkapan air dalam menghasilkan direct runoff akibat eksistensi hujan setinggi 1 mm selama 1 jam. Dalam konsep hidrograf satuan diasumsikan daerah tangkapan air berperilaku linier terhadap hujan yang turun. Dengan asumsi ini, aliran yang terjadi hanya dipengaruhi oleh karakteristik DAS, sehingga pengaruh distribusi hujan terhadap besaran dan distribusi aliran dapat ditentukan melalui konsep superposisi dari aliran tersebut akibat satuan hujan dalam mm/jam (inch/jam). Dengan demikian DAS yang mempunyai karakteristik yang sama akan memiliki hidrograf satuan yang sama. Berdasarkan konsep ini, hidrograf aliran yang ditimbulkan oleh setiap hujan yang turun di suatu DAS dapat ditentukan dengan menggunakan Hidrograf satuannya. Berdasarkan konsep hidrograf satuan, besarnya total volume dari aliran permukaan adalah sama dengan luas areal di bawah kurva dari hidrograf satuan, artinya sama dengan volume air setebal 1 mm (inch) yang berada dipermukaan DAS.
2.3.9.3.
Konvolusi Hidrograf Satuan
Menghitung debit banjir sesungguhnya akan dipengaruhi oleh besarnya hujan dan lamanya durasi hujan yang terjadi. Besar debit banjir yang dimaksud adalah merupakan konvolusi dari hidrograf satuan yang telah dikalikan dengan besarnya hujan dan lamanya waktu jatuhnya hujan. Persamaan konvolusi sebagai berikut : n
Qn = ∑ PU i n.... i+1 atau
............................... Rumus 2. 60
i =1
Qn = PU n 1 + Pn −1U 2 + Pn− 2U 3 + ..... + PU 1 n dimana : Qn
= ordinat storm hidrograph,
Pi
= kelebihan curah hujan dan
Uj (j=n-i+1)
= ordinat unit hidrograph.
Prinsip hidrograf satuan dan konvolusi adalah sebagai berikut :
Durasi hujan yang sama pada DAS yang sama akan menghasilkan waktu banjir yang sama/tetap II - 41
Tinggi hujan P, akan menghasilkan tinggi koordinat hidrograf yang proporsional
Hujan dengan besar dan durasi tidak sama dengan satu satuan akan menghasilkan hidrograf yang proporsional. Dalam hal ini hasil hidrografnya adalah merupakan penggabungan/konvolusi dari hidrograf satuannya
2.3.9.4.
Hidrograf Satuan Sintetik
Hidrograf satuan sintetik merupakan formula yang dikembangkan untuk memperediksi
unit hidrograf dari suatu DAS berdasarkan korelasi antara
karakteristik fisik DAS yang terkait dengan sifat pengaliran direct runoff (kemiringan) dengan karakteristik unit hidrograf DAS tersebut (besar debit puncak, waktu puncak).
Hal ini dilakukan karena tidak semua DAS mempunyai Pos Duga Air Automatis yang dapat dengan mudah menentukan hidrograf aliran sungai yang bersangkutan dan kebanyakan hanya memiliki data pengukuran curah hujan harian.
Dengan hidrograf satuan sintetik dapat diketahui debit banjir rencana dari data hujan dengan mentranformasikan hyetograf menjadi hidrograf aliran sungai. Beberapa metode untuk perhitungan hidrograf sintetik dan unit hidrograf sintetik telah dikembangkan anatara lain : Nakayasu unit hydrograph dan Snyder unit hydrograph.
Nakayasu Unit hydrograph
Perhitungan debit banjir rancangan menggunakan metode Nakayasu. Persamaan umum hidrograf satuan sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut (Soemarto, 1995: 100) :
II - 42
Gambar 2. 2 Model Hidrograf Sintetik Nakayasu Qp
=
C . A . R0 3,6 (0,3 Tp + T0,3 )
............................... Rumus 2. 61
Tp = tg + 0,8 Tr tg = 0,21 x L0,7 (untuk L ≤ 15 km) tg = 0,4 + 0,058 x L (untuk L > 15 km) T0,3 = α x tg Tb = Tp + T0,3 + 1,5T0,3 + 2 T0,3 dimana : Qp
= debit puncak banjir (m3/det)
C
= koefisien pengaliran
A
= luas DAS (km2)
R0
= hujan satuan (1 mm)
Tp
= tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai menjadi 30% dari debit puncak tg
= waktu konsentrasi (jam)
Tr
= satuan waktu hujan, diambil 1 jam
α
= parameter hidrograf, bernilai antara 1,5 ~ 3,5
L
= panjang sungai (m)
Menentukan keadaan kurva sebagai berikut. II - 43
Wakt u awal naik
:
0
≤ t1 <
Tp
..................... Rumus 2. 62
Qt = Qp * (t /Tp)2 ,4
Wakt u t ur un -1
:
Tp ≤ t 2 < Tp + T 0 ,3
..................... Rumus 2. 63
Qt = Qp * 0 ,3 ^ [ (t -Tp)/(T0 ,3 ) ]
Wakt u t ur un -2
:
Tp + ≤ t 3 < Tp + T 0 ,3 + 1 .5 T0 .3
Qt = Qp * 0 ,3 ^ [ (t -Tp+ 0 ,5 T0 ,3 )/(1 ,5 T0 ,3 ) ]
Wakt u t ur un -3
:
t4 ≥
..................... Rumus 2. 64
Tp + T 0 ,3 + 1 .5 T0 .3
...................... Rumus 2. 65
Qt = Qp * 0 ,3 ^ [ (t -Tp+ 1 ,5 T0 ,3 )/(2 T0 ,3 ) ]
Selanjutnya hubungan antara t dan Q untuk setiap kondisi kurva dapat digambarkan melalui grafik.
Banjir Rencana (Design Flood) Dihitung dengan prinsip superposisi Q1 = Re1 U1
............................... Rumus 2. 66
Q2
=
Re1 U2 + Re2U1
Q3
=
Re1 U3 + Re2U2 + Re3U1
Qn
=
Re1 Un + Re2 U(n-1) + Re3U(n-2) ….+ Re(n)U1
Aliran Dasar (Base flow) Aliran dasar dapat didekati sebagai fungsi luas DAS dan kerapatan jaringan sungai (Dd). Dd =
Qb=0.475 A0.6444 .D 0.9435
L ............................... Rumus 2. 67 A
............................... Rumus 2. 68
Keterangan : Dd
=
kerapatan jaringan sungai (km/km2) II - 44
L
=
panjang total sungai (km)
A
=
luas DAS (km2)
Qb
=
aliran dasar (m3/dtk)
Snyder Unit Hydrograph
Snyder hanya membuat rumus empiris untuk menghitung debit puncak Qp dan waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak dari suatu hidrograf saja. Untuk mendapatkan lengkung hidrografnya memerlukan waktu untuk mengkalibrasi parameter-parameternya. Untuk mempercepat pekerjaan tersebut digunakan rumus Alexeyev, yang memberikan bentuk hidrograf satuannya. Bentuk dari unit hidrograf ditentukan oleh persamaan Alexseyev.
Unsur-unsur yang ditentukan dalam analisis hidrograf satuan metode Snyder adalah tinggi d = 1 cm, Qp (m3/det), Tb serta tr (jam).
Gambar 2. 3 Model Hidrograf Sintetik Snyder Hidrograf satuan tersebut ditentukan dengan cukup baik pada tinggi d = 1 cm, dan dengan ketiga unsur yang lain, yaitu Qp (m3/detik), Tb serta tr (jam). Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan : A = Luas daerah pengaliran (km2) L = Panjang aliran utama (km) II - 45
Lc = Jarak antara titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet) yang diukur sepanjang aliran utama.
Dengan unsur-unsur tersebut di atas SNYDER membuat rumus-rumusnya seperti berikut : Qp = q p × A
Cp
q p = 0 . 278
tp
............................... Rumus 2. 69
............................... Rumus 2. 70
tp 5.5
............................... Rumus 2. 71
t p = Ct ( L c x L) 0.30
............................... Rumus 2. 72
tr =
Keterangan : Koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditentukan secara empirik, karena besarnya berubah-ubah antara daerah yang satu dengan yang lain. Ct = Koefisien yang tergantung dari slope basinnya, (0.75 ~ 3.00) Ct, dapat menggunakan rumus pendekatan dari Taylor & Schwarz,
Ct =
0 .6 S
............................... Rumus 2. 73
Cp = Koefisien yang tergantung dari karakteristik basin (0,90 ~ 1.40) tr = Lamanya curah hujan efektif. tp = Waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak (time lag) dalam jam Tp = Waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga mencapai puncak hidrograf. n
= Koefisien proporsional (0.10 ~ 0.38) II - 46
Qp = Debit puncak (m3/det/mm) qp = Puncak hidrograf satuan (m3/det/mm/km2) S = Kemiringan rata-rata daerah pengaliran h
= tinggi hujan = 1 mm
Tb = Time base untuk small watershed (A≤100mi2) dapat dipakai persamaan:
Tb = 4 × tp
............................... Rumus 2. 74
Bila : tr> tp : tp’ = tp + 0.25 (tr – tp)
............................... Rumus 2. 75
Sehingga didapat waktu yang diperlukan untuk mencapai debit maksimum. Tp = tp’ + 0.50 tr
............................... Rumus 2. 76
Bila tr < tp : Tp = tp + 0.50 tr 2.4.
............................... Rumus 2. 77
Ketersediaan Air
2.4.1.
Evapotranspirasi
Evaporasi adalah proses perubahan fisik yang mengubah cairan atau bahan padat menjadi gas melalui proses perpindahan panas. Besarnya harga evaporasi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang terkadang tidak merata diseluruh daerah (Sosrodarsono, 1980).
Sedangkan besaran evapotranspirasi untuk lokasi daerah genangan, daerah irigasi dan daerah pengaliran yang di dapat merupakan evapotranspirasi potensial, sehingga
untuk
penggunaan
lebih
jauh
evapotranspirasi aktual.
II - 47
harus
dikonversikan
menjadi
Besaran evapotranspirasi dihitung memakai cara Penman modifikasi (FAO), dengan masukan data iklim berikut: letak lintang, temperatur, kelembaban relatif, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari (Sosrodarsono, 1980: 60). Persamaan Penman dirumuskan sebagai berikut:
Eto= c [ w * Rn + (1-w)* f(u)*(ea-ed) ] ............................... Rumus 2. 78 dimana : Eto
= evapotranspirasi tanaman (mm/hari)
w
= faktor temperatur
Rn
= radiasi bersih (mm/hari)
f(u)
= faktor kecepatan angin
ea-ed = perbedaan antara tekanan uap air pada temperatur rata-rata dengan tekanan uap jenuh air (mbar) c
= angka koreksi Penman
Untuk kondisi iklim Indonesia dimana Relatif Humidity (RH) cukup tinggi dan kecepatan angin antara rendah dan sedang, harga c tersebut berkisar antara 0,86 sampai dengan 1,1. Menggunakan perkiraan data rerata tersebut dan angka perbandingan kecepatan angin siang dan malam tidak terlalu berbeda, harga c untuk Indonesia disajikan pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. 12 Koreksi Penman Kor eksi Penman Bulan
C
Jan Feb
1 .1 0 1 .1 0
M ar
1 .0 0
Apr M ay Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
0 .9 0 0 .9 0 0 .9 0 0 .9 0 1 .0 0 1 .1 0 1 .1 0 1 .1 0 1 .1 0
Sumber : Sos r odar s ono, 1 9 8 0
W= ∆ / ∆γ ............................... Rumus 2. 79
γ= 0,386 * II - 48
P ............................... Rumus 2. 80 L
L= 595 – 0,51*T ............................... Rumus 2. 81 P= 1013 – 0,1055*E ............................... Rumus 2. 82 D= 2*(0,00738 T+0,8072)T-0,00116 ............................... Rumus 2. 83 Rn= Rns - Rn1 ............................... Rumus 2. 84 Rns= ( 1 - α ) * Rs ............................... Rumus 2. 85 Rs= ( a + b n/N ) * Ra ............................... Rumus 2. 86 Rn1= f (t) * f (ed) * f(n/N) ............................... Rumus 2. 87 ed= ea * Rh ............................... Rumus 2. 88 ea= 33.8639*((0,00738*Tc+0,8072)8–0,000019*(1,8*T+48) +0,001316)) ............................... Rumus 2. 89 U 2 * Ur Ud= ............................... Rumus 2. 90 (43,2 * (1 + Ur ))
Ur=
Ud ............................... Rumus 2. 91 Un
dimana : E
= elevasi diatas muka laut (m)
U2
= kecepatan angin pada ketinggian 2 m diatas permukaan tanah (km/hr)
Ur
= kecepatan rasio (km/hr)
Ud
= kecepatan angin siang(km/hr)
Un
= kecepatan angin malam (km/hr)
α
= albedo atau faktor pantulan (diambil 0.25)
Tabel 2. 13 Tabel Besarnya albedo α harian rerata untuk bermacam-macam tipe permukaan. Tipe permukaan Albedo Lokasi II - 49
Air
0,05-0,10
Diberbagai tempat
Tanah kosong
0,11-0,18
Eropa barat
Hutan spruce
0,05-0,08
Eropa barat
Hutan pinus
0,10-0,12
Eropa barat
Hutan bambu
0,12
Kenya
Hutan evergreen
0,14
Kenya
Hutan tropis daun lebar
0,18
Kenya
Tanaman the
0,16
Kenya
Tanaman tebu
0,05-0,18
Hawai
Tanaman kentang
0,15-0,27
Eropa barat
Tanaman jagung
0,12-0,24
Amerika utara
Padang rumput
0,14-0,25
Diberbagai tempat
Tanaman sayuran
0,25
Amerika utara
Sumber : Asdak, 1995 : 136
Nilai fungsi-fungsi : f (u)= 0,27 ( 1+ u/100) ............................... Rumus 2. 92 f (T)= 11,25 * 1,0133T ............................... Rumus 2. 93 f (ed)= 0.34 – 0,044 (ed)0.5 ............................... Rumus 2. 94 f (n/N)= 0,1 + 0,9 n/N ............................... Rumus 2. 95 Reduksi pengurangan temperatur karena ketinggian elevasi daerah pengaliran diambil menurut rumus (Subarkah, 1980: 32): T= (X - 0,006 H) °C ............................... Rumus 2. 96 dimana : T
= suhu udara (°C)
X
= suhu udara di daerah pencatatan klimatologi (°C)
H
= perbedaan elevasi antara lokasi dengan stasiun pencatat (m)
Koreksi kecepatan angin karena perbedaan elevasi pengukuran diambil menurut rumus (Subarkah, 1980: 34): Ul=Up * (Ll /Lp )1/7 ............................... Rumus 2. 97 II - 50
dimana : Ul
= kecepatan angin dilokasi perencanaan
Up
= kecepatan angin dilokasi pengukuran
Ll
= elevasi lokasi perencanaan
Lp
= elevasi lokasi pengukuran
Reduksi terhadap lama penyinaran matahari untuk lokasi perencanaan mengikuti rumus berikut (Sosrodarsono, 1980: 60): n/Nc= n/N - 0,01 * ( Ll - Lp ) ............................... Rumus 2. 98 dimana : n/Nc
= lama penyinaran matahari terkoreksi
n/N
= lama penyinaran matahari terukur
Ll
= elevasi lokasi perencanaan
Lp
= elevasi lokasi pengukuran
Tabel 2. 14 Hubungan Suhu (t) dengan nilai ea (mbar), w, (1-w) dan f(t) Hubungan Suhu (t ) dengan nilai ea (mbar), w, (1 -w) dan f(t ) Suhu ea w (1 -w)
f(t )
('C) 2 4 .0 0 2 4 .2 0
(mbar) 2 9 .8 5 3 0 .2 1
el. 0 .7 3 5 0 .7 3 7
0 -2 5 0 m 0 .2 6 5 0 .2 6 3
1 5 .4 0 1 5 .4 5
2 4 .4 0
3 0 .5 7
0 .7 3 9
0 .2 6 1
1 5 .5 0
0 .2 5 9 0 .2 5 7 0 .2 5 5 0 .2 5 3 0 .2 5 1 0 .2 4 9 0 .2 4 7 0 .2 4 5 0 .2 4 3 0 .2 4 1 0 .2 3 9 0 .2 3 7 0 .2 3 5 0 .2 3 3 0 .2 3 1 0 .2 2 9 0 .2 2 7 0 .2 2 5 0 .2 2 3 0 .2 2 1 0 .2 1 9 0 .2 1 7 0 .2 1 5 1977
1 5 .5 5 1 5 .6 0 1 5 .6 5 1 5 .7 0 1 5 .7 5 1 5 .8 0 1 5 .8 5 1 5 .9 0 1 5 .9 4 1 5 .9 8 1 6 .0 2 1 6 .0 6 1 6 .1 0 1 6 .1 4 1 6 .1 8 1 6 .2 2 1 6 .2 6 1 6 .3 0 1 6 .3 4 1 6 .3 8 1 6 .4 2 1 6 .4 6 1 6 .5 0
2 4 .6 0 3 0 .9 4 0 .7 4 1 2 4 .8 0 3 1 .3 1 0 .7 4 3 2 5 .0 0 3 1 .6 9 0 .7 4 5 2 5 .2 0 3 2 .0 6 0 .7 4 7 2 5 .4 0 3 2 .4 5 0 .7 4 9 2 5 .6 0 3 2 .8 3 0 .7 5 1 2 5 .8 0 3 3 .2 2 0 .7 5 3 2 6 .0 0 3 3 .6 2 0 .7 5 5 2 6 .2 0 3 4 .0 2 0 .7 5 7 2 6 .4 0 3 4 .4 2 0 .7 5 9 2 6 .6 0 3 4 .8 3 0 .7 6 1 2 6 .8 0 3 5 .2 5 0 .7 6 3 2 7 .0 0 3 5 .6 6 0 .7 6 5 2 7 .2 0 3 6 .0 9 0 .7 6 7 2 7 .4 0 3 6 .5 0 0 .7 6 9 2 7 .6 0 3 6 .9 4 0 .7 7 1 2 7 .8 0 3 7 .3 7 0 .7 7 3 2 8 .0 0 3 7 .8 1 0 .7 7 5 2 8 .2 0 3 8 .2 5 0 .7 7 7 2 8 .4 0 3 8 .7 0 0 .7 7 9 2 8 .6 0 3 9 .1 4 0 .7 8 1 2 8 .8 0 3 9 .6 1 0 .7 8 3 2 9 .0 0 4 0 .0 6 0 .7 8 5 Sumber : Kebut uhan Air Tanaman, Depar t emen Per t anian,
II - 51
Tabel 2. 15 Besaran Nilai Angot (Ra) dalam Evaporasi Ekuivalen (mm/hr) Dalam Hubungannya dengan letak Lintang Besaran Nilai Angot (Ra) dalam Evaporasi Ekuivalen (mm/hr) Dalam Hubungannya dalam Let ak Lint ang (Unt uk Daerah Indonesia, ant ara 5 LU - 1 0 LS)
Bulan Jan Feb M ar Apr M ay Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Sumber
2.4.2.
LU
LS
5
4 2 0 2 13 1 4 .3 1 4 .7 15 1 5 .3 14 15 1 5 .3 1 5 .5 1 5 .7 15 1 5 .5 1 5 .6 1 5 .7 1 5 .7 1 5 .1 1 5 .5 1 5 .3 1 5 .3 1 5 .1 1 5 .3 1 4 .5 1 4 .6 1 4 .4 1 4 .1 15 1 4 .4 1 4 .2 1 3 .9 1 3 .5 1 5 .1 1 4 .6 1 4 .3 1 4 .1 1 3 .7 1 5 .3 1 5 .1 1 4 .9 1 4 .8 1 4 .5 1 5 .1 1 5 .3 1 5 .3 1 5 .3 1 5 .2 1 5 .7 1 5 .1 1 5 .3 1 5 .4 1 5 .5 1 4 .8 1 4 .5 1 4 .8 1 5 .1 1 5 .3 1 4 .6 1 4 .1 1 4 .4 1 4 .8 1 5 .1 : Kebut uhan Air Tanaman, Depar t emen Per t anian, 1 9 7 7
4 1 5 .5 1 5 .8 1 5 .6 1 4 .9 1 3 .8 1 3 .2 1 3 .4 1 4 .3 1 5 .1 1 5 .6 1 5 .5 1 5 .4
6
8 1 5 .8 16 1 5 .6 1 4 .7 1 3 .4 1 2 .8 1 3 .1 14 15 1 5 .7 1 5 .8 1 5 .7
1 6 .1 1 6 .1 1 5 .5 1 4 .4 1 3 .1 1 2 .4 1 2 .7 1 3 .7 1 4 .9 1 5 .8 16 16
10 1 6 .1 16 1 5 .3 14 1 2 .6 1 2 .6 1 1 .8 1 2 .2 1 3 .3 1 4 .6 1 5 .6 16
Debit Andalan
Untuk kebutuhan perhitungan debit andalan pada suatu daerah pengembangan daerah aliran sungai, diperlukan analisa ketersediaan air (water availability) suatu aliran sungai. Dalam kajian ini digunakan 2 (dua) metode untuk mengetahui debit andalan, metode-metode tersebut yaitu FJ. Mock dan NRECA.
2.4.2.1.
Metode FJ. Mock
Perhitungan debit andalan (dependable flow) dengan metode neraca air dikembangkan oleh Dr. F.J. Mock. Data yang dibutuhkan dalam perhitungan metode neraca air F.J. Mock antara lain :
Hujan bulanan rata-rata, mm
Jumlah hari hujan bulanan rata-rata, hari
Evapotranspirasi potensial bulanan, mm
Limpasan permukaan (run off) m3/det/km2
Tampungan air tanah (ground water storage), mm
Aliran dasar (base flow), m3/det/km2
Neraca air metode F.J. Mock dirumuskan sebagai berikut : Q= (BF + Dro) F ............................... Rumus 2. 99 II - 52
BF= i - Vn ............................... Rumus 2. 100 Dro= Ws – i ............................... Rumus 2. 101 Runoff= BF + Dro, mm/dt ............................... Rumus 2. 102 Ws= R – EL ............................... Rumus 2. 103 EL= ETo – E ............................... Rumus 2. 104 dimana : Q
= debit andalan, m3/det
BF
= base flow, m3/det/km2
Dro
= direct run off, m3/det/km2
F
= catchment area, km2
i
= infiltrasi, mm (diambil 0.4*Ws)
Vn
= storage volume, mm
Ws
= water surplus, mm
R
= curah hujan bulanan, mm
EL
= limit evapotranspirasi, mm
ETo
= evapotranspirasi potensial, mm
E
= evapotranspirasi pada bidang terbuka, mm
∆Vn
= Vn - Vn-1 = storage bulanan, mm
Vn
= 0,50 (1 + K) i + K(Vn-1)
K
= koefisien infiltrasi = 0,60
Stasiun yang digunakan dalam perhitungan debit andalan adalah hidrolimatologi dari stasiun Klas II Jefman Sorong.
2.4.2.2.
Metode NRECA
Salah satu model yang dipakai dalam menghitung ketersediaan air adalah model NRECA. Model NRECA mensimulasikan kesetimbangan air bulanan pada suatu daerah tangkapan yang ditujukan untuk menghitung total run off dari nilai curah hujan bulanan, evapotranspirasi, kelembaban tanah dan ketersediaan air tanah. Model kesetimbangan air dari dari NRECA ini didasarkan pada proses kesetimbangan air yang telah umum yaitu hujan yang jatuh di atas permukaan tanah dan tumbuhan penutup lahan sebagian akan menguap, sebagian akan II - 53
menjadi aliran permukaan dan sebagian lagi akan meresap masuk kedalam tanah. Infiltrasi air akan menjenuhkan tanah permukaan dan kemudian air akan merambat menjadi perkolasi dan keluar menuju sungai sebagai aliran dasar.
NRECA (National Rural Electrical Cooperation Agency) adalah metode yang dikembangkan oleh Norman H.Crawford dengan menggunakan 5 parameter : 1. Nominal, yaitu indeks kapasitas kelengasan tanah. 2. PSUB, yaitu persentase limpasan yang keluar DPS melalui sub surface atau sub permukaan. Nilai PSUB didapat dengan cara coba-coba. 3. GWF, yaitu persentase aliran yang berasal dari air tanah. Nilai GWF didapat dengan cara coba-coba. 4. Simpanan kelengasan tanah (soil moisture storage), yaitu cadangan air yang besarnya ditentukan dari selisih tampungan akhir dan awal. Besarnya tampungan ini ditentukan oleh curah hujan, evapotranspirasi dan kelebihan kelengasan yang menjadi imbuhan air tanah. Simpanan kelengasan tanah ini ditentukan dengan cara coba-coba.
Simpanan air tanah ini dihitung dengan rumus : Smi = Sm i-1 + ∆Stor i-1 ............................... Rumus 2. 105 Dimana ; Smi
= simpanan kelengasan tanah bulan ke i;
Sm i-1
= simpanan kelengasan tanah bulan ke i-1;
∆Stor i-1
= perubahan simpanan kelengasan bulan ke i –1
5. Simpanan air tanah (ground water storage), yaitu kelebihan kelengasan tanah yang masuk kedalam tanah dan mengalami perkolasi dan akan masuk ke dalam tampungan air tanah yang disebut akuifer.Akibat proses hidrologi sebelumnya, akuifer ini tidak kosong. Simpanan air tanah dalam akuifer akibat proses hidrologi sebelumnya disebut sebagai tampungan awal air tanah (begin storage groundwater).
Tampungan yang telah mendapat tambahan air perkolasi disebut tampungan akhir air tanah (end storage groundwater). Pada bulan selanjutnya tampungan akhir ini akan menjadi tampungan awal dan seterusnya setelah ditambah air perkolasi II - 54
menjadi tampungan akhir. Proses ini terjadi terus menerus sebagai fungsi waktu. Bila kondisi tampungan memungkinkan maka tampungan ini akan menjadi aliran air tanah. Tampungan awal ditentukan secara coba-coba. Sementara tampungan awal bulan berikutnya dihitung dengan rumus : BSG i-1 = ESGi – GWFi ............................... Rumus 2. 106 dimana : BSG i-1
= tampungan awal bulan ke i;
ESGi
= tampungan akhir bulan ke-i
GWFi
= aliran air tanah bulan ke -i
Dalam model ini tampungan akhir dihitung dengan persamaan : ESG i = BSG i + RECHi ............................... Rumus 2. 107 RECH i =
kelebihan kelengnsan tanah yang masuk ke dalam tanah pada bulan
ke-i
Parameter nominal, PSUB dan GWF merupakan parameter yang berpengaruh besar terhadap keluaran sistem (high effect parameter). Sedangkan Smstor dan Gwstor merupakan parameter yang mempunyai pengaruh yang kecil terhadap sistem (low effect parameter).Konsep NRECA dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
DIAGRAM HUJAN-LIM PASAN NRECA
PENGUAPAN PELUHAN (EVAPOTRANSPIRASI)
II - 55
HUJAN (RAINFALL) KELEBIHAN KELENGASAN (RECHARGE) TAM PUNGAN KELENGASAN (M OISTURE STORAGE)
ALIRAN LANGSUNG (RUNOFF)
Gambar 2. 4 Diagram Model Hujan-Limpasan NRECA
Metode NRECA dapat digunakan untuk menghitung debit harian dari hujan berdasarkan keseimbangan air di DAS. No Parameter
1.
Tabel 2. 16 Nilai parameter NRECA Keterangan
NOMINAL 100 + C * (hujan tahunan rata-rata), dimana C = 0.2, untuk daerah dengan hujan sepanjang tahun C < 0.2, untuk daerah dengan hujan musiman Hujan NOMINAL dapat dikurangi hingga 25 % untuk daerah dengan tetumbuhan terbatas dan penutup tanah yang tipis
2.
PSUB
PSUB = 0.5, untuk daerah tangkapan hujan normal / biasa 0.5 < PSUB = 0.9, untuk daerah dengan akuifer permeable besar. 0.3 = PSUB < 0.5, untuk daerah dengan akuifer lapisan tanah yang tipis.
3.
GWF
GWF = 0.5, untuk daerah tangkapan hujan yang normal/ biasa 0.5 < GWF = 0.8, untuk daerah yang memiliki aliran menerus kecil. 0.2 = GWF < 0.5, untuk daerah yang memiliki aliran yang dapat diandalkan.
II - 56
Data masukan yang diperlukan dari model hujan limpasan NRECA sebagai berikut: 1. Hujan kawasan harian dari suatu DAS 2. Evapotranspirasi potensial bulanan dari DAS (PET) 3. Kapasitas tampungan kelengasan (NOM) 4. Persentasi limpasan yang keluar dari DAS di sub surface (PSUB) 5. Persentasi limpasan tampungan air tanah menuju ke sungai (GWF) 6. Nilai awal dari tampungan kelengasan tanah (SMS) dan air tanah (GWS), 7. Faktor Tanaman (CF).
Model NRECA dikalibrasi dengan cara konvensional Trial & Error terhadap debit aktual di lapangan. Karena data debit aktual lapangan tidak ada, maka tidak dilakukan kalibrasi.
2.5.
Kebutuhan Air
Kebutuhan air pada lokasi kajian diperhitungkan terhadap dari 5 (lima) sektor yaitu domestik, niaga, industri, sarana prasarana dan irigasi. Sedangkan untuk aspek konservasi lingkungan, diperhitungkan juga kebutuhan air untuk perawatan sungai / Maintenance Flow (MF).
2.5.1.
Kebutuhan Air Domestik
Kebutuhan air domestik (rumah tangga) diproyeksikan meningkat dari tahun ke tahun seiring pertumbuhan penduduk pada lokasi kajian ditingkat distrik (kecamatan). Persamaan yang dipakai untuk proyeksi pertumbuhan populasi penduduk adalah :
F = P(1 + i)n
............................... Rumus 2. 108
dimana : F = Populasi penduduk pada tahun ke-n (jiwa) P = Populasi penduduk pada awal proyeksi (jiwa) i = laju pertumbuhan penduduk n = periode proyeksi (tahun) II - 57
Acuan perhitungan kebutuhan air domestik dalam liter per orang per hari (l/org/hari) sesuai dengan kategori kota terhadap jumlah penduduk mengacu pada standar yang dikeluarkan oleh Departemen Kimpraswil tahun 2003 sesuai tabel berikut :
Tabel 2. 17 Standar Kebutuhan Air Domestik
St andar Kebut uhan Air Domest ik Jumlah Penduduk (jiwa) Kat egor i Kot a Kebut uhan (l/or g/hr ) M et r opolit an > 1 ,0 0 0 ,0 0 0 150 - 210 Besar 5 0 0 ,0 0 0 1 ,0 0 0 ,0 0 0 120 - 150 Sedang 1 0 0 ,0 0 0 5 0 0 ,0 0 0 100 - 120 Kecil 2 0 ,0 0 0 1 0 0 ,0 0 0 90 - 100 Semi Ur ban 3 ,0 0 0 2 0 ,0 0 0 60 - 90 Rur al < 3 ,0 0 0 30 - 60 Sumber : Dit jen Cipt a Kar ya Dep. Kimpr aswil 2 0 0 3
2.5.2.
Kebutuhan Air Niaga
Kebutuhan air niaga dalam kajian ini ditinjau dari sektor kebutuhan air untuk ternak dan diproyeksikan meningkat dari tahun ke tahun pada lokasi kajian ditingkat distrik (kecamatan). Jenis ternak yang berpotensi untuk dikembangkan pada daerah kajian adalah sapi, kambing, babi, ayam dan bebek. Persamaan yang dipakai untuk proyeksi pertumbuhan populasi ternak adalah :
F = P(1 + i)n
............................... Rumus 2. 109
dimana : F = Populasi ternak pada tahun ke-n (ekor) P = Populasi ternak pada awal proyeksi (ekor) i = laju pertumbuhan ternak n = periode proyeksi (tahun)
Acuan perhitungan kebutuhan air untuk ternak dalam liter per ekor per hari (l/ekor/hari) sesuai tabel berikut (Environmental Engineering in Developing Countries, Eli Dahi 1989) : II - 58
Tabel 2. 18 Standar Kebutuhan Air Ternak St andar Kebut uhan Air Ter nak Kat egor i Ter nak Ker bau / sapi Kambing Babi Unggas
Sat uan
Kebut uhan
l/ekor /har i l/ekor /har i l/ekor /har i l/ekor /har i
25 15 10 0 .1 5
Sumber : Eli Dahi, 1 9 8 9
2.5.3.
Kebutuhan Air Industri
Kebutuhan air industri dalam kajian ini ditinjau dari sektor kebutuhan air untuk pembekuan ikan/udang dan diproyeksikan meningkat dari tahun ke tahun pada lokasi kajian ditingkat distrik (kecamatan) sesuai dengan hasil tangkapan nelayan.
Adapun peningkatan permintaan air industri ini di proyeksikan terhadap rata-rata hasil tangkapan ikan/udang per nelayan yang meningkat tiap tahun seiring dengan petumbuhan
jumlah
nelayan.
Persamaan
yang
dipakai
untuk
proyeksi
pertumbuhan nelayan adalah :
F = P(1 + i)n
............................... Rumus 2. 110
dimana : F = Populasi nelayan pada tahun ke-n (orang) P = Populasi nelayan pada awal proyeksi (orang) i = laju pertumbuhan nelayan n = periode proyeksi (tahun) Perhitungan kebutuhan air untuk industri ikan/udang beku adalah 3.75 m3/ton ikan. Nilai ini dihitung berdasarkan ukuran kontainer pembeku ikan (cool storage) 0.3m x 0.4m x 0.5m dengan kapasitas sebesar 8 kg ikan/udang beku per kontainer. 2.5.4.
Kebutuhan Air Sarana Prasarana
Kebutuhan air sarana prasarana diproyeksikan berdasarkan jumlah infrastruktur yang ada di lokasi kajian antara lain sarana kesehatan, sarana ibadah, kantor II - 59
pemerintah, barak pegawai, wisma tamu PEMDA dan sarana pendidikan. Untuk sarana kesehatan kebutuhan airnya dihitung berdasarkan kapasitas daya tampung pasien. Untuk sarana ibadah kebutuhan airnya dihitung berdasarkan kapasitas jamaah. Untuk kantor pemerintah kebutuhan airnya dihitung berdasarkan jumlah pegawai. Untuk barak pegawai dan wisma PEMDA kebutuhan airnya dihitung berdasarkan kapasitas tampung penghuni. Untuk sekolah kebutuhan airnya dihitung berdasarkan jumlah murid.
Acuan perhitungan kebutuhan air untuk sarana prasarana dalam liter per orang per hari (l/org/hari) sesuai tabel berikut (Environmental Engineering in Developing Countries, Eli Dahi 1989) :
Tabel 2. 19 Standar Kebutuhan Air Sarana Prasarana St andar Kebut uhan Air Sar Pr as Kat egor i Sar Pr as Puskesmas Masjid Kant or Bar ak Wisma Sekolah
Sat uan
Kebut uhan
l/or g/har i l/or g/har i l/or g/har i l/or g/har i l/or g/har i l/or g/har i
220 25 25 60 80 15
Sumber : Eli Dahi, 1 9 8 9
2.5.5.
(1)
Kebutuhan Air Irigasi
Umum
Kebutuhan air untuk tanaman dihitung untuk menentukan neraca air guna dibandingkan terhadap ketersediaan air yang ada untuk kepentingan pertanian. Oleh karenanya, untuk analisa neraca air dalam pekerjaan ini digunakan metode yang sama dengan metode perhitungan kebutuhan besarnya air irigasi (NFR) seperti yang tercantum dalam Buku Kriteria Perencanaan irigasi, Dep. Pekerjaan Umum, Th,. 1986.
II - 60
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam analisis ini adalah evapotranspirasi, perkolasi, curah hujan efektif, pola dan waktu tanam, koefisien tanaman serta penggantian lapisan air.
Perkolasi
(2)
Pada daerah-daerah rendah (low land) dimana kondisi air tanahnya relatif dangkal dan atau bahkan lahannya tergenang, mengingat kondisi tanahnya, umumnya besarnya perkolasi (setelah) diambil sama dengan 2~3 mm/hari. Untuk itu dalam analisa neraca air pada pekerjaan perencanaan ini besarnya perkolasi pada daerah kajian diambil sama dengan 3 mm/hari
Curah Hujan Efektif
(3)
Besarnya curah hujan efektif dalam pekerjaan perencanaan ini dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Hujan efektif untuk tanaman padi Re = (0,7 x R80) / 15 ............................... Rumus 2. 111 R80 = 0.8 (n+1) ............................... Rumus 2. 112
dimana : Re
= hujan efektif (mm/hari)
R80
= jumlah curah hujan setengah bulanan yang terpenuhi 80% dari waktu
dalam periode yang bersangkutan (mm) n
= jumlah data curah hujan setengah bulanan
Hujan efektif untuk tanaman palawija
Re = fD x (1,25 x R50 0,824 – 2,93) x 10 0,000955 x Eto ........................ Rumus 2. 113 fD = 0,53 + (0,00016 x D) – (8,94 x 10-5 x D2) + (2,32 x 10-7 x D3) .... Rumus 2. 114
R50 = 0.5 (n+1) ............................... Rumus 2. 115 dimana : Re
= hujan efektif (mm/hari) II - 61
R50
= jumlah curah hujan tengah bulanan yang terpenuhi 50% dari waktu dalam periode yang bersangkutan (mm)
n
= jumlah data curah hujan setengah bulanan
Eto
= evapotranspirasi (mm/hari)
D
= kedalaman muka air tanah yang diperlukan (mm)
Nilai D pada beberapa jenis tanaman dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. 20 Air tanah yang tersedia bagi tanaman-tanaman ladang untuk berbagai jenis tanah
Sumber : KP-01 Perencanaan Irigasi, Dep. PU 1986
Adapun penggunaan metode weibull dalam perhitungan ini adalah demikian : 1.
Hitung curah hujan setengah bulanan (jumlahnya) untuk untuk masingmasing tahun perencanaan pada tiap stasiun hujan.
2.
Gabungkan hasil dari tiap stasiun hujan dengan menggunakan metode hujan rerata daerah.
3.
Data hujan dari hasil perhitungan pada point 2 diurutkan dari besar ke kecil (untuk masing-masing data setengah bulanan untuk tiap tahunnya). II - 62
4.
Kemudian dihitung besarnya R80 dan R50 dengan rumus sebagai berikut : R80 = 0.8 (n+1) R50 = 0.5 (n+1)
5.
Dari hasil yang didapat dari perhitungan pada point ke 4 kemudian dihitung besarnya curah hujan efektif untuk tanaman padi dan palawija.
(4)
Pola Tanam dan Waktu Tanam Guna keperluan analisis neraca air untuk keperluan pertanian D.I Waisai
dalam kajian ini digunakan 3 kali waktu tanam dengan pola tanam Palawija– Palawija–Palawija. Padi tidak diperhitungkan dalam analisis ini karena pola tanam petani yang ada di lokasi kajian bukan petani padi sawah, akan tetapi petani palawija.
(5)
Koefisisen Tanaman Koefisien tanaman berbeda antara jenis tanaman yang satu dengan yang
lain dan berkaitan dengan waktu tumbuh. Waktu pertumbuhan tanaman sendiri terdiri dari 3 fase yaitu : vegetatif (pertumbuhan), generatif (perkembang biakan) dan maturity (pematangan).
(6)
Penggantian Lapisan Air
Penggantian lapisan air diberikan setinggi 50 mm dengan jangka waktu satu setengah bulan atau 45 hari. Dengan kata lain untuk penggantian lapisan air ini diberikan sebesar 3,3 mm/hari. Adapun waktu pemberiannya adalah sebulan atau dua bulan setelah transplantasi.
(7)
Kebutuhan Air untuk Penyiapan Lahan
Dalam analisa ini waktu yang diperlukan untuk penyiapan lahan diambil selama 1 bulan (30 hari). Adapun kebutuhan air guna penyiapan lahan ini adalah didasarkan pada tabel hubungan antara faktor Eo + P (= 1,1Eto + P) dengan jangka waktu penyiapan lahan (T) serta air yang diperlukan untuk penjenuhan dan penggenangan (S). Dalan analisa dalam pekerjaan ini besarnya S diambil sebesar 250 mm. II - 63
Adapun guna keperluan analisa neraca air sendiri dalam dalam perencanaan ini dipergunakan formula sebagai berikut :
(8)
Masa pengolahan lahan Neraca = Re – Etc ............................... Rumus 2. 116
dimana : Re
= curah hujan efektif (mm/hari)
Etc
= kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari)
(9)
Masa tanam
Re
Neraca = Re – Etc – P – WLR ............................... Rumus 2. 117 = curah hujan efektif (mm/hari)
Etc
= evapotranspirasi aktual (mm/hari)
P
= Eto x C rerata = perkolasi (mm/hari)
............................... Rumus 2. 118
WLR = Water Layer Requirement (penggantian lapisan air) (mm/hari) Eto
= evapotranspirasi potensial (mm/hari)
C
= koefisien tanaman
Penentuan besaran nilai koefisien tanaman dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. 21 Harga-harga koefisien tanaman
II - 64
Sumber : KP-01 Perencanaan Irigasi, Dep. PU 1986
2.5.6.
Kebutuhan Air Perawatan Sungai (Maintenance Flow)
Untuk aspek konservasi lingkungan, diperhitungkan kebutuhan air yang perlu disediakan untuk Maintenance Flow (MF) diasumsikan sebesar 5% dari debit ratarata.
2.6.
Operasi Embung (Water Balance)
Embung adalah suatu bangunan penampung (reservoir) buatan yang berfungsi untuk menampung kelebihan air pada musim hujan dan dimanfaatkan pada saat terjadi kekurangan air pada musim kemarau. Dalam hal ini kapasitas tampung sangat penting dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan air untuk berbagai keperluan. Karakterisik terpenting dari embung adalah kemampuannya untuk menyimpan air yaitu kapasitas efektifnya (life storage).
Pengoperasian embung akan terkait dengan pembagian kapasitas tampung ke dalam bagian-bagian berdasarkan fungsi yang direncanakan. Pembagian kapasitas tampungan dapat bersifat permanen atau berubah berdasarkan musim atau faktor lainnya. Tampungan embung pada dasarnya dapat dibagi atas beberapa zone seperti gambar di bawah ini :
II - 65
Sumber : VT. Chow, 1988 Gambar 2. 5 Ilustrasi zona tampungan pada reservoir multiguna Dead Storage
Zona ini disebut tampungan mati yang berfungsi untuk menyediakan tempat untuk sedimen, rekreasi dan populasi ikan. Air yang akan didistribusikan dari embung tidak berasal dari zona ini, kecuali proses alam seperti evaporasi dan bocoran.
Storage for water supply
Zona ini berfungsi untuk menyimpan air yang selanjutnya akan disuplai untuk keperluan air baku, irigasi dan perawatan sungai, termasuk untuk menyimpan air pada waktu debit tinggi dan juga menyediakan untuk fasilitas rekreasi. Dalam pengoperasian embung perlu menjaga kondisi permukaan air pada batas zona ini.
Flood Control Storage
Zona ini merupakan daerah yang dikosongkan untuk menampung debit banjir bila terjadi banjir.
Rencana pengoperasian embung atau kebijakan penyaluran air adalah pedoman dalam penentuan air yang disimpan dan air yang akan dikeluarkan dari embung atau sistem untuk beberapa kondisi. Jenis pengoperasian embung akan melibatkan berbagai peraturan yang akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan.
II - 66
Pola operasi embung meliputi penggunaan kapasitas tampungan dan pengaturan penyaluran air dengan berbagai tinjauan baik dari segi tujuan kegiatan, penggunaan air dan periode waktu penggunaan. Pada prinsipnya rencana pola operasi embung akan memberikan panduan kepada setiap pengelola embung dalam mengoperasikan embung.
2.6.1.
Kurva Elevasi-Luas Permukaan-Volume
Peta topografi daerah genangan embung dibuat berdasarkan data hasil pengukuran topografi dengan bantuan software Surfer 8. Luas permukaan genangan diperoleh dari perhitungan luas tiap garis kontur yang menutup dengan interval kontur 1 m dengan bantuan software AutoCad 2006.. Selanjutnya, volume tampungan dihitung dengan persamaan kerucut terpancung sebagai berikut :
h i+ 1
Ai+ 1
Ai
hi
Vi
Gambar 2. 6 Ilustrasi perhitungan volume genangan dengan metode kerucut terpancung
Vcum = Vi +
(hi+1 − hi ) [A 3
i
+ A i+1 + A i ⋅ A i+1
dimana : Vcum
: Volume pada elevasi hi+1 (m3)
Vi
: Volume pada elevasi hi (m3)
hi+1
: Elevasi kontur atas (m)
hi
: Elevasi kontur bawah (m) II - 67
]
..................... Rumus 2. 119
Ai
: Luas permukaan pada elevasi hi (m2)
Ai+1
: Luas permukaan pada elevasi hi+1 (m2)
Dari elevasi, luas permukaan dan volume tersebut dapat dibuat grafik sebagai acuan untuk interpolasi pada perhitungan water balance.
2.6.2.
Keseimbangan Air (Water Balance)
Persamaan dasar dari water balance untuk simulasi tampungan embung (VT. Chow, 1988) adalah :
S t = S t − 1 + It − Y ⋅ d t − A t ⋅ e t − Q t
.................... Rumus 2. 120
dimana : St
: Storage pada akhir bulan ke t (m3)
St-1
: Storage pada pada akhir bulan sebelumnya sebagai storage pada awal
bulan berikutnya (m3) It
: Inflow bulanan ke dalam embung (m3)
Y.dt
: Kebutuhan bulanan (m3)
Y
: Kebutuhan air rata-rata tahunan (m3)
dt
: Demand factor (faktor kebutuhan air bulanan)
At.et
: Kehilangan air akibat evaporasi bulanan (m3)
At
: Luas permukaan rata-rata genangan (m2)
et
: Evaporasi bulanan (m')
St
: Tampungan bulanan (m3)
Qt
: Limpasan bulanan melalui spillway (m3)
Masukan air ke embung yang diperhitungkan dalam kajian ini hanya air sungai. Sedangkan kehilangan air akibat evaporasi (At.et) merupakan kehilangan yang signifikan sebagai fungsi dari luas permukaan genangan rata-rata. Kehilangan lain berupa berupa bocoran yang melalui tubuh embung dan infiltrasi ke dalam tanah tidak diperhitungkan (diabaikan).
II - 68
Untuk perhitungan water balance ini, maka nilai St diperoleh dengan cara cobacoba dan di rata-rata dengan St-1 sesuai persamaan berikut : ⎛ S + St ⎞ S t = ⎜ t −1 ⎟ ............................... Rumus 2. 121 2 ⎝ ⎠
Nilai St rata-rata ini digunakan untuk mencari nilai At dengan cara interpolasi dari Grafik hubungan Elevasi-Luas Permukaan-Volume. Lalu nilai At dimasukkan kedalam persamaan water balance di atas dan di-check apakah sudah tercapai keseimbangan. Apabila belum tercapai keseimbangan, maka terus dilakukan iterasi sedemikian rupa sehingga persamaan water balance diatas terpenuhi keseimbangannya.
2.6.3.
Penggunaan Embung
Dari segi penggunaan embung terdapat 2 (dua) jenis reservoir yaitu embung guna tunggal (single purpose small dam) yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja, misalnya untuk air baku dan embung banyak guna (multipurpose small dam) yang dibangun untuk memenuhi banyak tujuan, misalnya air baku, irigasi, pariwisata, pembangkit listrik, pengendalian banjir atau perikanan.
Dalam kajian ini, maka akan disimulasikan penggunaan embung untuk banyak tujuan yaitu suplai air domestik, niaga, industri, sarana prasarana, irigasi dan maintenance flow.
2.7.
Identifikasi Biaya dan Manfaat
Komponen biaya dan manfaat merupakan faktor utama dalam analisis kelayakan ekonomi sehingga perlu diidentifikasi untuk mengetahui apa saja yang signifikan dan tidak signifikan akan muncul selama masa periode studi (time horison) proyek.
Komponen biaya merupakan semua biaya yang dikeluarkan dalam mewujudkan suatu investasi proyek, biasanya berdasarkan pada rencana teknik, kajian metode konstruksi, unsur–unsur pekerjaan serta kegiatan pemeliharaan. Dalam analisa komponen biaya proyek yang dihitung meliputi biaya perencanaan, biaya II - 69
konstruksi, biaya supervisi konstruksi, biaya tak terduga, pengadaan lahan/ganti rugi tanaman tumbuh dan biaya operasi dan pemeliharaan.
Manfaat proyek adalah perbedaan positif dengan membandingkan dua situasi hipotesis antara kondisi tanpa proyek dengan setelah adanya proyek. Manfaat dapat berupa manfaat langsung dan manfaat tidak langsung.
2.8.
Nilai Waktu Uang (Time Value of Money)
Untuk menghitung biaya dan manfaat suatu rencana proyek harus diperhitungkan nilai untuk waktu tertentu terhadap suatu mata uang. Hal yang sangat penting dalam nilai waktu uang adalah pertambahan nilai uang (growth of money) dan inflasi. Bila mempunyai sejumlah uang pada saat ini kemudian uang tersebut ditabung atau diinvestasikan pada suatu usaha, maka akan mendapatkan bunga atau tambahan uang sebagai hasil usaha pada suatu saat yang akan datang, pertambahan inilah yang disebut sebagai pertambahan nilai uang.
Adanya inflasi menyebabkan daya beli sejumlah uang pada saat ini lebih tinggi dari pada daya beli uang tersebut di masa yang akan datang. Keadaan penurunan nilai uang terhadap barang di masa datang disebut sebagai time preference. Inflasi hanya berpengaruh pada lingkup komponen dalam suatu proyek, terutama kaitannya dengan peralatan maupun material industri yang di impor dari luar negeri. Dalam lingkup keseluruhan analisis ekonomi teknik, inflasi tidak diperhitungkan karena bila terjadi kenaikan cost maka benefit juga akan ikut naik.
Sedangkan di lain pihak investasi akan mempunyai hasil diwaktu mendatang, yang merupakan faktor produksi dalam menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi diwaktu yang akan datang. Dengan demikian sebenarnya ada nilai yang dikorbankan saat ini untuk mendapatkan nilai produksi lebih di tahun yang akan datang. Jadi terlihat adanya hubungan antara time preference dengan produktivitas yang biasa disebut bunga (growth of money). Oleh karena itu, adanya tingkat suku bunga untuk membandingkan biaya dengan hasil pada waktu yang berlainan. II - 70
Bunga uang yang digunakan untuk menghitung nilai waktu uang agar daya beli uang tersebut akan kurang lebih sama antara daya beli sekarang dengan daya belinya pada saat yang akan datang. Bunga adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh peminjam, untuk uang yang dipinjamkan kepada pemilik uang tersebut. Nilai bunga (rate of interest) adalah nilai bunga yang ditentukan berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan per-satuan waktu misalnya per-tahun. Nilai bunga tergantung pada waktu kapan pinjaman diberikan, formula dasar untuk perhitungan nilai uang masa yang akan datang, nilai uang setelah discount dan nilai seri seragam dapat terlihat seperti pada Tabel.2.22.
II - 71
Tabel 2. 22 Faktor-Faktor Pemajemukan Bunga Table
Comput at ions using fact or
No
To find
Given
Fact or
Equat ion
For mula
Fact or name
1
P
F
(P/F,i%, n)
P = F (P/F,i%, n)
⎡ 1 ⎤ P = F⎢ n⎥ ⎣ (1 + i) ⎦
2
F
P
(F/P,i%, n)
F = P (F/P,i%, n)
F = P(1 + i)n
3
P
A
⎡ (1 + i) n − 1 ⎤ Unifor m-ser ies pr esent -wor t h (P/A, i%, n) P = A (P/A, i%, n) P = A ⎢ ⎥ n ⎣ i(1 + i) ⎦ (USPWF)
4
A
P
(A/P, i%, n) A = P (A/P, i%, n) A = P⎢
5
A
F
(A/F, i%, n) A = F (A/F, i%, n) A = F⎢ n ⎥ Sinking-fund (SF) ⎣(1 + i) − 1⎦
6
F
A
⎡ (1 + i)n − 1⎤ Unifor m-ser ies compound-amount (F/A, i%, n) F = A (F/A, i%, n) F = A ⎢ ⎥ (USCAF) i ⎣ ⎦
Single-payment pr esent -wor t h (SPPWF) / Discount fact or Single-payment compound-amount (SPCAF)
⎡ i(1 + i)n ⎤ ⎥ Capit al-r ecover y (CRF) n ⎣ (1 + i) − 1⎦
⎡
Sumber : T. Blank_J. Tar quin, 1 9 8 9
Not es : i : int er est r at e n : per iod A : unifor m ser ies F : fut ur e wor t h P : pr esent wor t h
II - 72
i
⎤
2.9.
Indikator Kelayakan Ekonomi
Proyek-proyek publik adalah proyek-proyek yang dikuasai, dibiayai, dan dioperasikan oleh badan-badan pemerintah. Terdapat banyak macam pekerjaan publik, dan walaupun pekerjaan tersebut ukurannya dapat bermacam-macam, pekerjaan-pekerjaan ini sering kali lebih besar daripada perusahaan-perusahaan swasta. Karena memerlukan pengeluaran modal, maka terhadap proyek-proyek tersebut dikenakan juga prinsip-prinsip ekonomi teknik sehubungan dengan desain, akuisisi dan operasinya. Akan tetapi karena merupakan proyek, sejumlah faktor khusus penting yang muncul biasanya tidak ditemukan dalam bisnis yang dibiayai dan dioperasikan oleh swasta. Perbedaan-perbedaan antara proyekproyek publik dan swasta dapat dilihat dalam tabel berikut (E. Paul DeGarmo Cs, 1999).
Tabel 2. 23 Perbedaan Antara Proyek Swasta dan Proyek Publik
II - 73
Sebagai konsekuensi dari perbedaan-perbedaan itu, sering kali sulit untuk membuat studi ekonomi teknik dan keputusan investasi untuk proyek-proyek pekerjaan publik secara persis sama dengan proyek-proyek yang dimiliki oleh swasta. Kriteria pemilihan yang berbeda sering kali digunakan, yang menciptakan masalah-masalah terhadap masyarakat (yang membayar rekening), terhadap mereka yang membuat keputusan, dan terhadap mereka yang mengelola proyekproyek pekerjaan publik.
Kelayakan ekonomi merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam menilai kelayakan suatu proyek yang dilakukan dengan menilai hasil perbandingan antara manfaat yang diperoleh masyarakat dan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pembangunan proyek. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan rencana proyek yang diusulkan sebagai suatu bentuk pengalokasian sumber daya ekonomi suatu wilayah pada masa mendatang akan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Pengalokasian sumber daya sebagai bentuk efesiensi secara ekonomi dimana bila kesejahteraan kelompok masyarakat akan menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya dengan tidak menyebabkan masyarakat lainnya menjadi lebih buruk pada saat bersamaan.
Kelayakan ekonomi memberikan informasi dan membantu di dalam mengambil keputusan pemilihan alternatif rencana proyek yang dilakukan. Oleh karena itu prinsip dalam menilainya dengan mengolah data dan informasi yang ada sedemikian rupa sehingga pihak pengambil keputusan dapat dengan cepat menggunakan informasi tersebut dalam menentukan yang terbaik.
2.9.1.
Nilai Bersih Sekarang (NPV)
Dasar metode nilai sekarang bersih (Net Present Value, NPV) adalah bahwa nilai opportunity cost uang bergantung pada waktu, di mana besaran moneter dari suatu cash flow komponen biaya dan manfaat dari suatu rentang waktu tertentu tidak
dapat dianggap sama persepsinya. Opportunity cost berupa produksi modal, yaitu mencakup sumber-sumber yang diarahkan untuk investasi dan diartikan sebagai II - 74
pengorbanan konsumsi sekarang dalam rangka memperoleh benefit di masa yang akan datang.
Metode NPV membandingkan semua komponen biaya dan manfaat dari suatu usulan alternatif pada acuan yang sama, sehingga dapat diperbandingkan satu dengan lainnya. Dalam hal ini yang digunakan adalah besaran netto (setelah diskon) dan secara matematis diformulasikan seperti pada rumus 2.122. NPV =
n
Bt
∑ (1 + i) t =0
t
−
n
Ct
∑ (1 + i) t =0
t
=
B t − Ct ............................... Rumus 2. 122 t t = 0 (1 + i) n
∑
dengan: Bt = Besaran total dari komponen manfaat pada tahun ke n (PV manfaat) Ct = Besaran total dari komponen biaya pada tahun ke n (PV biaya) i = Tingkat suku bunga n = Waktu yang ingin dicari
Dari persamaan tersebut maka NPV merupakan selisih antara total PV manfaat dan total PV biaya, untuk menghitung nilai sekarang terlebih dulu ditentukan tingkat bunga relevan. Suatu rencana rencana proyek dianggap layak jika nilai NPV lebih besar dari nol dan sebaliknya bila nilai NPV lebih kecil dari nol maka dianggap tidak layak.
2.9.2.
Rasio Manfaat Biaya (BCR)
Metode rasio manfaat terhadap biaya (benefit/cost ratio) yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi proyek-proyek publik berakar pada legislasi pemerintah yang mengharuskan bahwa agar suatu proyek yang didanai negara dapat terjustifikasi, manfaatnya harus lebih besar daripada biaya-biayanya. Untuk memenuhi persyaratan dari ketentuan ini, metode B/C berkembang menjadi perhitungan rasio manfaat proyek terhadap biaya-biaya proyek.
Metode rasio manfaat biaya (Benefit Cost Ratio, BCR) diperoleh dengan membandingkan nilai PV manfaat dengan PV biaya. Jika hasil perhitungan II - 75
diperoleh BCR lebih besar dari satu (B/C > 1) maka rencana proyek dikatakan layak tetapi jika BCR yang diperoleh lebih kecil dari satu (B/C < 1) maka rencana proyek dinyatakan tidak layak. Dalam perhitungan ini digunakan rumus 2.123, dengan pembilang adalah jumlah PV arus benefit (bruto) dan penyebut adalah jumlah PV arus biaya (bruto). Dengan demikian diperoleh:
n
BCR
=
∑
t =0 n
∑
t =0
B t (1 + i) t ............................... Rumus 2. 123 Ct (1 + i) t
dengan: Bt = Besaran total dari komponen manfaat pada tahun ke n (PV manfaat) Ct = Besaran total dari komponen biaya pada tahun ke n (PV biaya) i = Tingkat suku bunga n = Waktu
Sebagaimana
disebutkan
sebelumnya,
metode
manfaat
terhadap
biaya
mensyaratkan dihitungnya rasio manfaat terhadap biaya. Manfaat (benefit) proyek didefinisikan sebagai konsekuensi yang menguntungkan dari proyek ini terhadap masyarakat, sedangkan biaya (cost) proyek menyatakan pengeluaran uang yang harus dilakukan pemerintah.
2.9.3.
Tingkat Bunga Pengembalian Ekonomi (EIRR)
Metode tingkat bunga pengembalian ekonomi (Economic Internal Rate of Return, EIRR) adalah menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang biaya
proyek (PV Cost) dengan nilai sekarang manfaat (PV Benefit) yang diperoleh di masa-masa mendatang atau dengan kata lain pada saat suku bunga berapa diperoleh NPV sama dengan nol atau tingkat suku bunga berapa diperoleh BCR sama dengan satu.
II - 76
Bila tingkat bunga EIRR lebih besar daripada tingkat bunga yang relevan atau tingkat kelayakan yang disyaratkan, maka investasi dinyatakan layak dan demikian pula sebaliknya bila lebih kecil daripada tingkat kelayakan yang disyaratkan, maka dinyatakan tidak layak. Biasanya tingkat bunga yang disyaratkan berdasarkan suku bunga pinjaman perbankan yang berlaku di pasaran (Opportunity Cost of Capital).
Pada biaya dan manfaat tahunan konstan perhitungan EIRR dapat dilakukan dengan dasar tahunan tetapi bila tidak konstan maka dilakukan dengan dasar nilai sekarang (present value) yang dihitung dengan cara coba-coba (trial and error) menggunakan rumus 2.124
NPV1 L2 i2
i1 L1
NPV2
Gambar 2. 7 Ilustrasi diagram perhitungan EIRR metode interpolasi
EIRR = i1 + L1 = i1 +
NPV1 ............................... Rumus 2. 124 x (i2 − i1 ) NPV1 − NPV2
dengan: NPV1=NPV bernilai positif NPV2=NPV bernilai negatif i1=Suku bunga pertama i2=Suku bunga kedua
II - 77
Perbedaan antara IRR dengan EIRR adalah penggunaan istilah IRR berlaku secara umum dan dipakai dalam menganalisis kelayakan ekonomi yang bersifat tangible maupun intangible sedangkan EIRR lebih kepada analisis yang bersifat intangible dan berlaku untuk analisis lingkup tertentu saja.
2.10.
Sensitivitas Proyek
Karena nilai-nilai parameter dalam kajian ekonomi teknik biasanya diestimasikan besarnya, maka jelas nilai-nilai tersebut tidak akan bisa dilepaskan dari faktor kesalahan. Artinya, nilai-nilai parameter tersebut mungkin lebih besar atau lebih kecil dari hasil estimasi yang diperoleh, atau berubah pada saat-saat tertentu.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai-nilai parameter tentunya akan mengakibatkan perubahan-perubahan pula pada tingkat output atau hasil ini memungkinkan keputusan akan berubah. Apabila berubahnya faktor-faktor atau parameter-parameter tadi akan mengakibatkan berubahnya suatu keputusan maka keputusan tersebut dikatakan sensitif terhadap perubahan nilai parameterparameter atau faktor-faktor tersebut.
Untuk mengetahui seberapa sensitif suatu keputusan terhadap perubahan faktorfaktor
atau
parameter-parameter
yang
mempengaruhinya
maka
setiap
pengambilan keputusan pada ekonomi teknik hendaknya disertai dengan analisa sensitivitas. Analisa ini akan memberikan gambaran sejauh mana suatu keputusan akan cukup kuat berhadapan dengan perubahan faktor-faktor atau parameterparameter yang mempengaruhi.
Analisa sensitivitas dilakukan dengan mengubah nilai dari suatu parameter pada suatu
saat
untuk
selanjutnya
dilihat
bagaimana
pengaruhnya
terhadap
akseptabilitas suatu alternatif investasi. Parameter-parameter yang biasanya berubah dan perubahannya bisa mempengaruhi keputusan-keputusan dalam kajian ekonomi teknik adalah biaya investasi, tingkat bunga, aliran kas, waktu, dan lain sebagainya. II - 78
2.11.
Penyusunan Kebijakan Strategis Dengan Analisis SWOT
Analisis perencanaan strategis merupakan hal yang sangat penting karena setiap saat terjadi perubahan akibat dinamisasi antara lain peningkatan inflasi, penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi, perubahan teknologi yang semakin canggih, dan perubahan kondisi demografis.
Gambar 2. 8 Ilustrasi Pengembangan DAS 2.11.1.
Kerangka Analisis Kasus
Sebelum mempelajari metode-metode analisis yang dapat diterapkan untuk analisis kasus, kita perlu mengetahui kerangka analisis kasus secara keseluruhan sebagai berikut :
Tahap 1
: Memahami situasi dan informasi yang ada.
Tahap 2
: Memahami permasalahan yang terjadi. Baik masalah yang
bersifat umum maupun spesifik. Tahap 3
: Menciptakan berbagai alternatif dan memberikan berbagai
alternatif pemecahan masalah.
II - 79
Tahap 4
: Evaluasi pilihan alternatif dan pilih alternatif yang terbaik.
Caranya dengan membahas sisi pro maupun kontra.
Dengan memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunity), maka secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknes) dan ancaman (Threat). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan. Dengan demikian perencana strategi (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis daerah (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT.
2.11.2.
Cara Membuat Analisis SWOT
Penelitian menunjukkan bahwa kinerja pemerintahan daerah dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strength dan Weaknes serta lingkungan eksternal Opportunity dan Threat yang dihadapi. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang (opportunity) dan Ancaman (threat) dengan faktor internal Kekuatan (strength) dan Kelemahan (weakness).
II - 80
DIAGRAM ANALISIS SWOT
BERBAGAI PELUANG KUADRAN III
KUADRAN I
M endukung st r at egi Tur n-ar ound
M endukung st r at egi agr esif
KELEM AHAN INTERNAL
KEKUATAN INTERNAL
M endukung st r at egi defensif
M endukung st r at egi diver sifikasi
KUADRAN IV
KUADRAN II BERBAGAI ANCAM AN
Gambar 2. 9 Diagram Analisis SWOT
Kuadran 1 : Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Daerah tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy).
Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, daerah ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk/pasar).
Kuadran 3 : Daerah menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi di lain pihak, ia menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi daerah ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal daerah sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik. II - 81
Kuadran 4 : Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, daerah tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.
2.11.3.
Tahapan Perencanaan Strategis
Proses penyusuan perencanaan strategis melalui tiga tahapan analisis, yaitu:
1.
Tahap pengumpulan data
2.
Tahap analisis
3.
Tahap pengambilan keputusan
1.
Tahap pengumpulan data
Tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekadar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan data internal. Data eksternal dapat diperoleh dari lingkungan di luar daerah, seperti :
Analisis peluang pemasaran komoditi daerah
Analisis pemasok bahan baku industri
Analisis kemajuan pembangunan daerah lain
Analisis kepentingan kelompok tertentu
Data internal dapat diperoleh di dalam daerah itu sendiri, seperti :
Keuangan Daerah (Neraca, Cash-flow, Struktur pendanaan)
Sumber Daya Manusia (jumlah, pendidikan, keahlian, pengalaman)
Sumber Daya Alam (Natural Resources)
Laporan kegiatan operasional daerah
Laporan kegiatan perekonomian (PDRB)
Model yang dipakai pada tahap ini terdiri dari tiga, yaitu:
Matrik Faktor Strategi Eksternal
Matrik Faktor Strategi Internal II - 82
2.11.4.
Matrik Faktor Strategi Eksternal
Sebelum membuat matrik faktor strategi eksternal, kita perlu mengetahui terlebih dahulu faktor strategi eksternal EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary). Jika perencana strategi telah menyelesaikan analisis faktor-faktor strategis eksternalnya (peluang dan ancaman), ia juga harus menganalisis faktorfaktor strategis internal (kekuatan dan kelemahan) dengan cara yang sama. Jadi, sebelum strategi diterapkan, perencana strategi harus menganalisis lingkungan eksternal untuk mengetahui berbagai kemungkinan peluang dan ancaman. Masalah strategis yang akan dimonitor harus ditentukan karena masalah ini mungkin dapat mempengaruhi kemajuan daerah di masa yang akan datang. Untuk itu penggunaan metode-metode kuantitatif sangat dianjurkan untuk membuat peramalan (forecasting) dan asumsi, seperti ekstrapolasi, brainstorming, statistical modelling, riset operasi, dan sebagainya.
2.11.5.
Matrik Faktor Strategi Internal
Setelah faktor-faktor strategis internal suatu daerah diidentifikasi, suatu tabel IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) disusun untuk merumuskan faktor-faktor strategis internal tersebut dalam kerangka Strength and Weakness daerah. Setelah perencana strategi menyelesaikan analisis faktor-faktor strategis eksternal (peluang dan ancaman), ia juga harus menganalisis faktor-faktor strategis internal (kekuatan dan kelemahan). Keunggulan daerah yang tidak dimiliki oleh daerah lain harus diintegrasikan ke dalam pengembangan daerah sedemikian rupa sehingga dapat memacu kemajuan daerah yang lebih baik daripada daerah lainnya.
Selanjutnya, sebelum suatu perencanaan strategis dikembangkan, para pengambil keputusan perlu menganalisis hubungan antara fungsi-fungsi pengelola daerah dengan mempelajari struktur organisasi daerah, budaya daerah, dan sumber daya daerah.
II - 83
a) Struktur Organisasi Daerah Struktur organisasi daerah dapat menggambarkan kelebihan maupun kekurangan serta potensi yang dimiliki oleh daerah. Struktur organisasi ini merupakan kekuatan internal daerah yang bersangkutan.
b) Budaya daerah Budaya daerah merupakan kumpulan nilai, harapan serta kebiasaan masyarakat di daerah tersebut, yang pada umumnya tetap dipertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Para pengambil keputusan harus ekstra hati-hati dalam mempertimbangkan budaya daerah ini saat menganalisis faktor strategis internal karena kadangkadang faktor strategis internal tersebut bertentangan dengan budaya daerah yang ada sehingga kurang mendapat dorongan dan dukungan dari masyarakat.
c) Sumber Daya Daerah Sumber daya di sini tidak hanya berupa aset, seperti orang, alam, finansial, dan fasilitas, tetapi juga berupa regulasi di daerah. Dengan demikian, analisis strategis internal dapat lebih dikenali berdasarkan kekuatan dan kelemahan sumber daya secara
fungsional
(pemasaran,
keuangan,
operasional,
penelitian
dan
pengembangan, sumber daya manusia, sistem informasi).
2.
Tahap Analisis
Setelah
mengumpulkan
semua
informasi
yang
berpengaruh
terhadap
kelangsungan perkembangan daerah, tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model-model kuantitatif perumusan strategi.
Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis daerah adalah Matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi daerah dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis. II - 84
M ODEL M ATRIX SWOT IFAS KEKUATAN / STRENGTH (S) Tent ukan 5 -1 0 fakt or kekuat an int er nal
KELEM AHAN / WEAKNESSES (W) Tent ukan 5 -1 0 fakt or kelemahan int er nal
EFAS PELUANG / OPPORTUNITIES (O) Tent ukan 5 -1 0 fakt or peluang ekst er nal
STRATEGI SO Cipt akan st r at egi yang menggunakan kekuat an unt uk memanfaat kan peluang
ANCAM AN / THREATS (T) Tent ukan 5 -1 0 fakt or ancaman ekst er nal
STRATEGI ST Cipt akan st r at egi yang menggunakan kekuat an unt uk mengat asi ancaman
STRATEGI WO Cipt akan st r at egi yang meminimalkan kelemahan unt uk memanfaat kan peluang STRATEGI WT Cipt akan st r at egi yang meminimalkan kelemahan dan menghindar i ancaman
Sumber : Fr eddy Rangkut i, 2 0 0 0
Gambar 2. 10 Model Matrik SWOT
a) Strategi SO Strategi ini dibuat berdasarkan program pengembangan daerah yang sudah ada, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
b) Strategi ST Ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki daerah untuk mengatasi ancaman.
c) Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
II - 85
d) Strategi WT Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
2.12.
Penentuan Prioritas Dengan Metode AHP (Analytical Hierarchy Process)
2.12.1.
Tinjauan Teoritis
Selama periode 1971-1975, di Wharton School (University of Pensylvania), Thomas L. Saaty berhasil mengembangkan salah satu metode pengambilan keputusan yang saat ini mungkin paling banyak digunakan di dunia. Metode itu adalah Analytical Hierarchy Process (AHP).
Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu metode untuk mengurutkan bobot elemen di setiap tingkat hirarki berkenaan dengan elemen (kriteria atau tujuan) dari tingkat hirarki selanjutnya. Dalam menyelesaikan masalah dengan AHP, ada beberapa prinsip yang mendasari metode ini, yaitu : Decomposition, Comparative Judgement, dan 'Synthesis of Priority. Decomposition artinya memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tersebut. Comparative judgement adalah melakukan perbandingan antar elemen-elemen dalam hirarki yang disajikan dalam bentuk matriks. Perbandingan ini dilakukan dengan cara berpasangan antar elemen. Cara ini disebut juga pairwise comparation. Sementara itu hasil akhir dari seluruh analisis adalah melakukan Synthesis of Priority. Dengan demikian maka akan diperoleh prioritas masing-masing elemen.
Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah alat yang fleksibel, simpel dan mampu dipergunakan dalam menganalisis suatu masalah yang memiliki kriteria atau atribut yang kompleks yang menyebabkan pemilihan alternatif menjadi sulit. AHP berguna karena kemampuannya dalam menghadapi situasi kompleks tersebut melalui prosedur bagi pemilihan alternatif yang sulit dari suatu rencana, II - 86
kebijaksanaan atau tindakan. Metode ini berlangsung dengan penilaian yang dilakukan oleh pengambil keputusan berdasarkan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan untuk mengevaluasi alternatif tersebut.
Secara teknis AHP merupakan pendekatan nilai karakteristik pada perbandingan pasangan membentuk cara untuk melakukan kalibrasi dari skala numerik, terutama pada daerah baru yang tidak memiliki pengukuran perbandingan kuantitatif. Pengukuran konsistensi memungkinkan untuk mengembalikan modifikasi pertimbangan menjadi bentuk semula dan menambah konsistensi keseluruhan. Peran serta beberapa orang memungkinkan untuk membuat kesamaan di antara perbedaan pendapat. Hal ini dapat menimbulkan adanya dialog keinginan apa yang terbentuk. Kesepakatan di antara beberapa pertimbangan menggambarkan adanya pengalaman yang berbeda.
Prosedur AHP dimulai dengan mengidentifikasi tujuan dan memberi prioritas bagi elemen-elemen pengambilan keputusan. Elemen-elemen ini termasuk alternatif tindakan dan kriteria atau atribut yang dipergunakan untuk memberi tingkat prioritas. Proses penyusunan elemen-elemen tersebut dan hubungannya dikenal sebagai struktur hirarki. Struktur berupa hirarki karena elemen pengambilan keputusan dapat terdiri dari tingkat yang berbeda-beda.
Secara garis besar prosedur AHP dilakukan dalam empat langkah yaitu :
1. Melakukan pembobotan kriteria
Kriteria yang telah ditentukan sehubungan dengan tujuan utama atau tujuan umum dinilai tingkat kepentingannya sehingga dapat diperoleh satu set bobot kriteria. Bobot ini diperoleh dengan cara meminta penilaian dari para ahli terhadap kriteria yang telah kita buat. Tingkat kepentingan tersebut dapat dituliskan dalam skala seperti yang telah ditentukan.
II - 87
2. Melakukan pembobotan alternatif
Pembobotan alternatif ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana kondisi setiap alternatif yang ada dilihat dari kriteria-kriteria yang ada. Untuk keperluan tersebut perlu dibuat matriks profil yang memuat penilaian bagi tiap alternatif terhadap masing-masing kriteria.
3. Menyusun bobot terhadap keseluruhan susunan
Pada tahap ini dilakukan penilaian alternatif terhadap tujuan utama atau tujuan keseluruhan dengan tetap membandingkannya dengan kriteria-kriteria sehingga didapat satu bobot untuk tiap altematif.
4. Memeriksa konsistensi
Karena pengukuran yang dilakukan tidak eksak, maka akan muncul ketidak konsistenan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengecekan tentang konsistensi penilaian yang dilakukan. Bapak Teori AHP, Thomas L. Saaty telah mensyaratkan batas konsistensi hingga sebesar 10%. Jika rasio inkonsistensi melebihi syarat tersebut, maka penilaian harus diulang sampai memenuhi batas 10%.
Ada beberapa aksioma tentang AHP dalam penggunaannya, yaitu :
Expectations,
artinya
elemen-elemen
yang
digunakan
dianggap
cukup
representatif dalam melakukan pemilihan prioritas.
Independence, artinya elemen-elemen dalam hirarki hanya menunjukkan pola
ketergantungan secara vertikal (hirarki linier).
Homogeneity, artinya elemen-elemen dapat dibandingkan satu sama lain dan
pengelompokannya telah konsisten berdasarkan kesamaan sifat.
Reciprocal, artinya perbandingan yang dilakukan bersifat timbal balik antara satu
elemen dengan elemen lain. Jika A = 4 B, maka B = ¼ A. II - 88
Dasar matematis model AHP adalah operasi matrik, yang dirumuskan secara umum sebagai berikut :
Kr it er ia
A1
A2
…
An
A1
w1 /w1
w1 /w2
…
w1 /wn
A2
w2 /w1
…
…
…
…
…
…
…
…
An
wn/w1
wn/w2
…
wn/wn
Gambar 2. 11 Model Matrix Perbandingan Metode AHP
dimana : A1 ... An = kriteria / sub kriteria / alternatif program w1 ... wn = bobot dari kriteria / sub kriteria / alternatif program
Matriks tersebut memiliki nilai yang seluruhnya positif dan dapat memenuhi nilai timbal balik aij = 1/aji yang disebut matriks resiprok (reciprocal matrix). Jika matriks ini dikalikan dengan vektor kolom (w1,.....wn) diperoleh vektor nw, yaitu :
Aw = nw
............................... Rumus 2. 125
Untuk mendapat kembali skala dari perbandingan matrik, kita harus menyelesaikan persamaan Aw = nw atau (A-ni) w = O. Persamaan ini dikenal sebagai persamaan linier homogen. Hal ini merupakan persamaan yang tidak biasa jika dan hanya jika deteminan dari (A-ni) hilang (dengan makna n adalah eigenvalue A).
II - 89
Untuk mencapai nilai w yang tak unik, nilai matrik di atas dinormalisasi dengan cara membaginya dengan jumlah kolom masing-masing. Dengan demikian matrik perbandingan dapat dikembalikan ke dalam skala semula. Pada kasus ini, tiap kolom dalam A dinormalisir. Diketahui bahwa dalam A terdapat nilai aij = 1/aji sebagai kebalikannya. Dengan demikian akan diperoleh aii = 1. A akan konsisten jika memenuhi persamaan :
............................... Rumus 2. 126
ajk= aik / aji
Dengan menggunaan nilai pertimbangan, masalahnya sekarang adalah sejauh mana nilai w dapat diperkirakan. Saaty telah membuktikan bahwa A akan konsisten dinyatakan oleh rumus: n
CI = μ =
− ∑ λ............................... i Rumus 2. 127
λ max − n = i=2 n −1 n −1
CI = Consistency Index λmax = eigenvalue terbesar.
Untuk menguji arti konsistensi, CI dibandingkan dengan suatu nilai indeks acak rata-rata dengan masukan acak yang dibuat dari matrik reciprocal yang menggunakan skala 1~9 sesuai tabel berikut:
Tabel 2. 24 Indeks Acak (Random Index, RI) Tabel Indeks Acak (Random Index, RI) by E. For man Or de M at r ix (n)
2
3
4
5
6
7
8
RI
0
0 .5 2
0 .8 9
1 .1 1
1 .2 5
1 .3 5
1 .4 0
Or de M at r ix (n)
9
10
11
12
13
14
15
RI
1 .4 5
1 .4 9
1 .5 1
1 .5 4
1 .5 6
1 .5 7
1 .5 8
Sumber : Thomas L. Saat y, 1 9 9 4
II - 90
Perbandingan antara CI dan RI untuk matriks tertentu didefinisikan sebagai Rasio Konsistensi (CR). Nilai CR yang baik adalah yang kurang dari 0,10.
Hubungan lain yang dapat dilihat berkaitan dengan nilai eigenvalue adalah : λ max =
wj
n
∑a j=i
ij
wi
............................... Rumus 2. 128
dengan penempatan aij =1/aji dan turunkan persamaan tersebut menjadi bentuk sebagai berikut :
(λ max
⎛ 1 1 ⎞⎟ ⎜ + y ∑ ⎜ ij y ⎟ n ij ⎠ ⎝
............................... Rumus 2. 129
y ij = (aij )(w ji ⋅ w i )
............................... Rumus 2. 130
− 1) =
syarat batas : 1 < i < j < n
Setiap bentuk di dalam kurung memiliki nilai minimum pada yij = 1, dan karenanya λmax = n, mudah untuk memperlihatkan bahwa jumlah di dalam kurung harus mencapai minimumnya pada yij = 1, yaitu aij= wi/wj, secara konsisten. Dengan ketidak konsistenan λmax selalu lebih besar dari n. Eigenvalue λmax untuk skala perbandingan adalah satu cara untuk menghasilkan
total pembobotan. Pengertian tentang persamaan yang mempunyai tingkat yang berdekatan pada hirarki akan memberikan keputusan yang berbeda. Pada banyak penggunaan lain, Saaty (1971) menyarankan satu elemen pada tingkat terendah akan berhubungan dengan tingkat yang tertinggi. Pada penggunaan tersebut, elemen pada tingkat tertinggi merupakan kriteria untuk penilaian relatif terhadap elemen pada tingkat terendah. Adanya struktur hirarki adalah merupakan hal yang penting terhadap hubungan antar tingkatan hirarki sebagaimana pada tingkatan tersebut dilakukan penilaian. II - 91
2.12.2.
Penyusunan Hirarki Keputusan
Penyusunan hirarki dimaksudkan untuk menstruktur permasalahan yang kompleks menjadi elemen-elemen pokok secara hirarkis. Hirarki merupakan alat dasar dari pikiran manusia, dalam rangka menata suatu elemen ke dalam beberapa level. Hirarki dapat dibedakan menjadi dua yakni hirarki struktural dan fungsional. Dari bentuk struktural ini dapat dipilah menjadi bentuk liner (sederhana), dan tidak linier.
Dalam hirarki, level 1 (puncak) disebut : tujuan / goal hirarki, yang sekaligus merupakan tujuan diaplikasikannya model AHP atau merupakan tujuan dari studi yang menggunakan alat AHP dalam analisis, dan karenanya level ini harus hanya terdiri atas 1 elemen. Pada level 2 disebut "Kriteria Utama" yang akan digunakan dalam menilai tujuan pada level 1. Sedangkan level 3 disebut "subkriteria".
Kecuali level 1, semua level dapat terdiri atas lebih dari satu elemen. Level paling akhir merupakan elemen dari suatu objek masalah yang dibahas dalam suatu studi perencanaan atau disebut "Elemen Alternatif Keputusan" yang mungkin akan diambil.
Penyusunan hirarki dapat dilakukan oleh seorang atau beberapa orang yang paham terhadap permasalahan yang dikaji. Perencana atau peneliti dapat menggunakan hirarki yang telah disusun pihak lain, asalkan relevan dengan masalah yang dikaji atau dipecahkan. Dalam hal tertentu hirarki yang disusun oleh pihak lain, dapat dimodifikasi oleh pihak perencana / pengguna sesuai dengan kondisi objektif di lapangan. Yang paling penting tidaklah terletak pada "siapa penyusunnya" melainkan terletak pada "kemampuan penyusun dalam memadukan wawasan, pengalaman, rasionalitas dengan intuisi/instinknya untuk menghasilkan hirarki yang sahih dan handal. Namun demikian penyusun yang berasal dari pihak pembuat keputusan yang bergabung dengan para "expert" dan pihak yang terkait II - 92
langsung dengan masalah yang di pecahkan bila disertai empat kemampuan tersebut di atas, merupakan penyusun hirarki yang paling efektif.
Struktur hirarki dibuat sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pada umumnya, langkah pembuatan struktur AHP adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan dari proses Analytic Hierarchy yang ingin dicapai, misalnya menentukan prioritas program sumber daya air
2. Membuat kriteria yang akan digunakan, misalnya kriteria yang digunakan adalah kriteria Sosial-Politik, Teknis, Ekonomi, dan Lingkungan. Masingmasing didefinisikan sebagai faktor sosial-politik, faktor teknis, faktor ekonomi, dan faktor lingkungan.
3. Menentukan sub kriteria dari masing-masing kriteria, misalnya, memasukkan sub kriteria Persatuan dan Kesatuan Nasional dalam kriteria Sosio-Politik. Jumlah kriteria dan sub kriteria ini tidak mengikat, jadi dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan kondisi daerah yang ditinjau.
4. Memasukkan alternatif program yang akan ditinjau prioritasnya. Alternatifaltematif program tersebut dimasukkan dalam setiap sub kriteria. Misalnya ditentukan 9 program sumber daya air, yaitu permukiman, pertanian, perikanan, perindustrian, energi, transportasi, konservasi, hukum dan kelembagaan dan pertambangan.
5. Setelah semua alternatif program dimasukkan, maka struktur hirarki akan terbentuk seperti terlihat pada gambar berikut :
II - 93
Gambar 2. 12 Model Diagram AHP
II - 94
Sementara, bagan alir penentuan prioritas program pengelolaan sumber daya air adalah sebagai berikut :
INPUT
PROSES
OUTPUT
ANALISIS KRITERIA
Kondisi daer ah kajian ber dasar kan kr it er ia t olok ukur yang diajukan
Tujuan : Penyeder hanaan/pengelompokan kr it er ia t olok ukur ke dalam beber apa kr it er ia yang lebih umum
Kelompok kr it er ia/ sub kr it er ia yang lebih umum, misal Teknis, Ekonomi, Lingkungan
PEMBOBOTAN KRITERIA / SUBKRITERIA Kondisi daer ah kajian ber dasar kan kr it er ia t olok ukur yang diajukan Kelompok kr it er ia/ sub kr it er ia hasil analisis kr it er ia
Tujuan : M enent ukan bobot pr ior it as masing-masing pr ogr am dalam masing-masing kr it er ia/ sub kr it er ia hasil analisis kr it er ia
Ur ut an bobot pr ior it as masingmasing pr ogr am dalam t iap kelompok kr it er ia/ sub kr it er ia ber dasar kan bobot nya
ANALISIS PRIORITAS Ur ut an bobot pr ior it as masingmasing pr ogr am dalam t iap kelompok kr it er ia yang lebih umum Kelompok kr it er ia/ sub kr it er ia hasil analisis kr it er ia
Tujuan : Penent uan hir ar ki bobot pr ior it as masing-masing pr ogr am ber dasar kan analisis t er hadap keselur uhan kr it er ia/ sub kr it er ia
Ur ut an bobot pr ior it as masingmasing pr ogr am dalam keselur uhan kelompok kr it er ia/ sub kr it er ia
ALTERNATIF PROGRAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR
Gambar 2. 13 Bagan Alir Penentuan Prioritas Program / Alternatif 2.12.3.
Pembobotan Dalam Struktur Hirarki
a) Skala Penilaian Untuk mengetahui besarnya pengaruh ketidak konsistenan terhadap kontrol, perlu dilibatkan skala yang digunakan sepanjang proses aplikasi. Adapun skala penilaian yang biasa digunakan dalam perbandingan berpasangan adalah skala 1~9, disertai dengan penggunaan aksioma Reciprocal. Dalam hal ini, bila A lebih disukai daripada B dengan intensitas r maka B harus lebih disukai daripada A dengan intensitas 1/r. Hal ini harus selalu konsisten dalam pemberian penilaian II - 95
atau pembobotan. Secara verbal, skala tersebut dapat dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 2. 25 Skala Penilaian Tingkat Kepentingan Pasangan Faktor Skala Penilaian Tingkat Kepent ingan Pasangan Fakt or Nilai Dengan Angka
Skala Kepent ingan
Definisi
Ket er angan
1
Equally Impor t ant
Sama pent ing
Kedua fakt or mempunyai dukungan yang sama pent ingnya t er hadap t ujuan
3
Moder at ely mor e impor t ant
Sedikit lebih pent ing
Ter lihat nyat a pent ingnya fakt or t er sebut dibanding fakt or lainnya, t et api t idak meyakinkan
5
St r ongly mor e Per lu dan kuat impor t ant kepent ingannya
J elas dan nyat a fakt or t er sebut lebih pent ing dar i yang lainnya
7
Ver y st r ongly mor e impor t ant
Menyolok kepent ingannya
J elas, nyat a dan t er bukt i fakt or t er sebut jauh lebih pent ing dar i yang lain
9
Ext r emely mor e impor t ant
Mut lak pent ing
J elas, nyat a dan t er bukt i secar a meyakinkan fakt or t er sebut sangat pent ing dalam per mufakat an
2, 4, 6, 8
Nilai t engah ant ar a dua per t imbangan di J ika diper lukan nilai kompr omist is at as yang ber dekat an
Sumber : Thomas L. Saat y, 1 9 9 4
Secara umum tidak diharapkan konsistensi kardinal untuk berlaku dimana pun di dalam matrik karena perasaan orang tidak sesuai dengan rumusan yang eksak. Lagipula tidak diharapkan konsistensi ordinal, karena pertimbangan orang tidak bersifat transitif. Bagaimanapun, untuk
memperbaiki
konsistensi
dalam
pertimbangan numerik, apapun nilai aij yang ditetapkan dalam membandingkan kegiatan i dengan kegiatan j, nilai resiproknya adalah aij. Jadi aij = 1/aji.
II - 96
Secara umum skala penilaian yang ditetapkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : (1)
Skala tersebut harus dapat menggambarkan perbedaan-perbedaan dalam perasaan manusia ketika mereka membuat perbandingan. Skala tersebut harus sedapat mungkin menggambarkan semua perbedaan perasaan yang dimiliki manusia.
(2)
Jika seseorang menentukan nilai-nilai skala dengan x1, x2,..., xp, maka harus dipenuhi bahwa xi+1- xi = 1, dimana i = 1,…, p-1.
Dalam penggunaan skala penilaian berpasangan, harus diasumsikan setiap individu memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai relatif dari elemen-elemen yang diperbandingkan dengan ratio ≥1, dan bahwa bentuk ratio numerik adalah perkiraan integer terdekat yang diukur dengan cara sedemikian rupa sehingga ratio tertinggi sama dengan 9. Diasumsikan pula bahwa suatu elemen dengan bobot 0 dihapuskan dari perbandingan. Tentu saja tidak lalu berarti bahwa 0 tidak dapat digunakan untuk perbandingan yang berpasangan.
b) Pengisian Pembobotan Pengisian ini merupakan respon dari para perencana atau pembuat keputusan atas tingkat kepentingan relatif suatu elemen dengan elemen lainnya atau prioritas antar elemen yang ada dijadikan kriteria dan sub-kriteria dalam pengambilan keputusan. Sebelumnya harus diperlukan syarat bahwa responden telah mengerti makna dan atau menyetujui hirarki yang terwujud.
Proses pengisian ini dapat dilakukan dengan metode kuesioner atau simulasi dalam kelompok kerja. Pengisian ini pada dasarnya adalah pengisian matrik perbandingan berpasangan dengan menggunakan skala tertentu, antara lain skala 1 sampai 9. Sebelum melangkah ke tahap berikutnya, maka nilai persepsi perbandingan elemen berpasangan ini dirata-ratakan antara satu responden dan responden lain dengan metode tertentu menurut keperluan, sebelum disusun ke dalam matrik. Apabila telah berada dalam matrik, maka setiap matrik perlu II - 97
dinormalisasikan dengan operasi matrik tertentu sebelum masuk ke dalam analisis berikutnya.
c) Rasio Inkonsistensi Inkonsistensi rasio adalah angka yang menunjukkan sejauh mana konsistensi penilaian yang dilakukan. Definisi konsisten secara ilustratif adalah sebagai berikut. Jika kita menilai program A = 3 kali lebih penting dari program B dan program B = 2 kali lebih penting dari program C, maka penilaian akan disebut konsisten jika kita menilai program A = 6 kali lebih penting dari program C. Kita mendapat nilai 6 dengan mengalikan nilai 3 dan 2.
Inkonsistensi rasio ini sangat penting mengingat penilaian yang kita lakukan jarang sekali konsisten, terutama ketika penilaian tersebut bersifat intangible, tidak mempunyai skala penilaian yang jelas. Tetapi tentunya sulit untuk menuntut 100 % konsisten karena dalam dunia nyata, kekonsistenan itu juga tidak selalu terjadi.
Thomas L. Saaty, Bapak Teori AHP, telah mensyaratkan rasio inkonsistensi tidak boleh lebih dari 0,1 (10%). Jika nilainya melebihi 0,1 berarti melebihi batas toleransi sehingga perbandingan harus diubah sehingga memenuhi syarat.
2.12.4.
Penentuan Prioritas
Setelah berakhir pada tahap perhitungan konsistensi dan pembobotan, maka telah diperoleh nilai-nilai prioritas lokal per matrik dengan elemen sejenis. Prioritas lokal artinya adalah prioritas altematif terhadap satu level atribut di atasnya. Misalnya prioritas altematif terhadap sub kriteria tertentu. Sedangkan prioritas global artinya prioritas atribut terhadap tujuan yang hendak dicapai.
II - 98