JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 8 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2014
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PEREDARAN JENIS OBAT FLU MENGANDUNG PRECURSOR (BAHAN PEMBUAT PSIKOTROPIKA) DI KOTA SAMARINDA (Sunardy)1 (
[email protected]) (Ivan Zairani Lisi)2 (
[email protected]) (Insan Tajali Nur)3 (
[email protected])
Abstrak Hasil penelitian ditemukan, terdapat perlindungan kepada konsumen atas peredaran jenis obat flu mengandung precursor (bahan pembuat psikotropika) di Kota Samarinda dalam bentuk diterbitkannya surat penarikan obat yang mengandung dekstrometorfan kepada GP Farmasi Indonesia yang disertai surat keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 04. 1. 35.06.13. 3534 tentang Pembatalan Izin Edar Obat Yang Mengandung Dekstrometorfan. Ditunjang pula UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat 1 dan Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Efektifitas pengawasan yang dilakukan oleh BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Samarinda masih kurang optimal, dimana Dinas Kesehatan Kota Samarinda hanya melakukan pengawasan sebatas dilingkup Puskesmas dan Apotek serta tidak melakukan pengawasan dalam lingkup supermarket, toko obat dan warungwarung kecil. Kurang efektifnya pengawasan BPOM karena masih adanya campur tangan dari pemerintah yang melindungi kepentingan pribadi maupun golongan. Sehingga perlu Dinas Kesehatan Kota Samarinda bekerjasama dengan BPOM untuk lebih intensif melakukan pengawasan khususnya di supermarket, toko obat dan warung-warung kecil dalam peredaran jenis obat flu mengandung precursor (bahan pembuat psikotropika) dalam bentuk dektrometorfan. Sehingga tercipta pemenuhan perlindungan hukum bagi konsumen. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Obat Flu, Precursor
1 2 3
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 8
PENDAHULUAN Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, membawa masyarakat pada suatu tatanan hidup yang serba cepat dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan penentu bagi suatu peradaban yang moderen. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tentu saja membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun tidak dapat dipungkiri kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan diringi dengan meningkatnya penyimpangan dan kejahatan dibidang ekonomi dan sosial. Ini dapat dilihat di negara maju ataupun dinegara yang sedang berkembang, jenis penyimpangan dan kejahatan semakin banyak ragamnya. Ilmu
kesehatan
adalah
salah
satu
bidang
ilmu
yang
mengalami
perkembangan paling cepat saat ini. Begitu pula dengan perkembangan tindak pidana dibidang ilmu kesehatan. Adapun tindak pidana yang terjadi di bidang ilmu kesehatan antara lain : malpraktek, pemalsuan obat, mengedarkan obat tanpa izin dan transplantasi organ manusia. Masalah kesehatan merupakan keprihatinan serius di setiap negara, baik negara maju maupun sedang berkembang. Karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemajuan suatu negara dan merupakan hak asasi manusia. Negara memiliki kewajiban kepada rakyatnya untuk menyediakan layanan kesehatan dan menetapkan aturan-aturan hukum yang terkait dengan kepentingan perlindungan kesehatan. Salah satu kejahatan dalam hukum kesehatan yang marak terjadi pada saat ini adalah kejahatan dibidang farmasi. Farmasi adalah suatu profesi yang berhubungan dengan seni dan ilmu dalam penyediaan bahan sumber alam dan bahan sintetis yang cocok dan menyenagkan untuk didistribusikan dan digunakan dalam pengobatan dan pencegahan suatu penyakit.4 Masih segar di ingatan, hebohnya kasus formalin dalam makanan, ditariknya produk pengusir nyamuk HIT karena dikhawatirkan mengandung bahan yang berbahaya bagi keamanan dan keselamatan konsumen. Juga kasus minuman isotonik yang mengandung zat 4
2
M. Anief, 2003, Farmasetika, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Halaman 11.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen (Sunardy) pengawet berbahaya yang disinyalir oleh Lembaga Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (KOMBET). Adapun zat berbahaya yang terkandung dalam minuman isitonik tersebut adalah natrium benzoat dan kalium sorbet yang dapat menyebabkan penyakit yang dalam ilmu kedokteran disebut Sytemic Lupus
Erythematosus, yaitu penyakit yang mematikan yang dapat menyerang seluruh tubuh dan sistem internal manusia itu sendiri. Serta heboh jamu berbahaya, kosmetik berbahaya, makanan-minuman mengandung susu produk RRC yang berbahaya, beras mengandung bahan pengawet berbahaya dan seterusnya. Konsumen di Indonesia masih cenderung pasif meskipun sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha serta memberikan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen. Konsumen masih belum sepenuhnya menyadari hak-hak mereka, sedangkan pelaku usaha juga belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya. Kondisi tersebut cenderung untuk mendorong lahirnya berbagai bentuk pelanggaran pelaku usaha terhadap hak konsumen namun pelaku usaha yang bersangkutan tidak memperoleh sanksi hukum yang mengikat. Oleh karena itu pemerintah selaku pihak yang berwenang untuk menegakkan hukum perlindungan konsumen harus bersifat proaktif dalam melindungi hak-hak konsumen di Indonesia. Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen
adalah
mengawasi
pada
melalui suatu
pembentukkan produk
serta
lembaga
memberikan
yang
bertugas
perlindungan
untuk kepada
konsumen. Di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 166 Tahun 2000 jo Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang mengatur mengenai pembentukan lembagalembaga pemerintah nondepartemen. LPND adalah lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk menjalankan tugas pemerintahan tertentu dari presiden
3
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 8
serta bertanggung jawab langsung pada presiden. BPOM merupakan salah satu LPND yang mempunyai tugas yang terkait dengan pengawasan obat dan makanan.5 Dinas Kesehatan Kota (DKK) Samarinda segera menarik jenis obat flu yang mengandung
precursor
(bahan
pembuat
psikotropika)
dari
peredaran
berdasarkan pernyataan resmi Kepala DKK Samarinda pada tanggal 21 November 2013, dengan batas waktu yaitu enam bulan sejak dikeluarkan pernyataan tersebut. Dimana pernyataan tersebut, seiring pada tanggal 21 Juli 2013, Deputi Bidang Pengawas Produk Terapetik dan Napza menyampaikan surat kepada seluruh pimpinan dan apoteker penanggung jawab industri farmasi untuk melakukan penarikan dekstrometorfan yaitu tergolong sebagai precursor (bahan pembuat psikotropika). Hal tersebut berdasarkan hasil pengawasan dan pengkajian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pembatalan izin edar tersebut keluar didasari banyaknya penyalahgunaan dextrometorfan yang banyak ditemukan dalam jenis obat flu tanpa menggunakan resep dokter. Dimana penggunaan obat ini dapat menyebabkan kecanduan seperti narkoba. Penggunaan dextrometorfan sebagai salah satu bahan dalam obat flu sendiri sebenarnya sudah lama diketahui dengan peredaran yang harus menggunakan resep dokter. Namun, dimasyarakat banyak ditemui kasus penyalahgunaan dextrometorfan, seperti pecandu narkoba pada umumnya. Karena sudah dicabut izin edarnya, Kepala DKK Samarinda mengimbau kepada seluruh apotek untuk tidak lagi menyetok obat yang mengandung precursor tersebut.
5 Amir Amri, 2007, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Halaman 2.
4
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen (Sunardy) Pembahasan Bentuk Perlindungan Kepada Konsumen Atas Peredaran Jenis Obat Flu Mengandung Precursor (Bahan Pembuat Psikotropika) Di Kota Samarinda Dewasa
ini
telah
dijumpai
kasus
penyalahgunaan
psikotropika
di
masyarakat yang semakin meningkat, sehingga sebagai masyarakat awam harus lebih mawas diri terhadap bahaya yang mengancam diri sendiri, anak, saudara maupun masyarakat dilingkungan sekitar. Berbagai upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan dan peredaran Psikotropika telah dilakukan antara lain dengan pengawasan
yang
ketat
sejak
pengadaan
bahan
baku
sampai
dengan
penggunaannya. Namun demikian peredaran gelap yang berkembang saat ini tidak hanya psikotropika, tetapi sudah merambah kepada bahan yang digunakan untuk membuat psikotropika yang lazimnya disebut precursor. Pada dasarnya precursor digunakan secara resmi di industri farmasi sebagai bahan baku obat, bahan untuk pembuatan bahan baku obat, industri makanan, industri kimia dan industri
lainnya.
Tetapi
ada
sebagian
oknum
yang
diduga
sering
menyalahgunakan dan menyimpang ke jalur yang tidak resmi untuk dijadikan pembuatan psikotropika. Precursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri dan apabila disimpangkan dapat digunakan dalam memproses pembuatan psikotropika. Pilek dan flu adalah suatu kondisi atau penyakit yang disebabkan oleh virus. Pilek ditandai dengan hidung berair, hidung tersumbat, bersin-bersin, juga bisa sakit kepala, sakit tenggorokan, sedangkan flu ditandai dengan demam, batuk, lemah, capek, sakit di sekujur tubuh, dsb selain sebagian gejala-gejala pilek. Salah satu jenis obat flu yang sering disalahgunakan adalah dektrometorfan (DMP),
dekstrometorfan
tergolong
sebagai
precursor
(bahan
pembuat
psikotropika) yaitu obat yang secara kimiawi mirip dengan kodein dan bertindak pada otak untuk menekan flu dan batuk, namun tidak memiliki sifat menghilangkan rasa sakit dan adiktif kodein. Nama pasaran untuk DMP banyak,
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 8
di antaranya Candy, Robo, Rojo, Red Baron, Triple Cs, Drex, DM, Red Devils, Tussin atau Vitamin D. Para penggunanya kadang-kadang menamakannya syrup heads. Bila DMP dikonsumsi dalam jumlah banyak akan menimbulkan efek dissociative halusinogen, sama dengan efek ketamine atau phency-clidine (halusinogen). Penyalahgunaan DMP sering terjadi. Penyebabnya, selain murah, obat ini juga relatif mudah didapat. Bentuk penyalahgunaannya antara lain adalah konsumsi dalam dosis besar (berpuluh-puluh butir) atau mengkonsumsinya bersama alkohol atau narkoba. Dosis Dekstrometorfan (DMP) pada orang dewasa adalah 15-30 mg, diminum 3-4 kali sehari. Efek anti batuknya bisa bertahan 5-6 jam setelah penggunaan per-oral. Jika digunakan sesuai aturan, jarang menimbulkan efek samping yang berarti. Desktrometorfan adalah sejenis senyawa opiat, namun lemah. Secara kimia, DMP (D-3-methoxy-N-methyl-morphinan) adalah suatu dekstro isomer dari levomethorphan, suatu derivat morfin semisintetik. DMP tidak beraksi pada reseptor opiat sub tipe mu (seperti halnya morfin atau heroin), tetapi
ia
beraksi
pada
reseptor
opiat
subtipe
sigma,
sehingga
efek
ketergantungannya relatif kecil. Pada dosis besar, efek farmakologi DMP menyerupai PCP atau ketamin yang merupakan antagonis reseptor NMDA. DMP sering disalahgunakan karena pada dosis besar ia menyebabkan efek euforia dan halusinasi penglihatan maupun pendengaran. Intoksikasi atau overdosis DMP dapat menyebabkan hiper-eksitabilitas, kelelahan, berkeringat, bicara kacau, hipertensi, dan mata melotot (nystagmus). Apalagi jika digunakan bersama dengan alkohol, efeknya bisa sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui terdapat perlindungan kepada konsumen atas peredaran jenis obat flu mengandung precursor (bahan pembuat psikotropika) di Kota Samarinda dalam bentuk diterbitkannya surat penarikan obat yang mengandung dekstrometorfan kepada GP Farmasi Indonesia yang disertai surat keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 04. 1. 35.06.13. 3534 tentang Pembatalan Izin Edar Obat Yang Mengandung Dekstrometorfan. Akan tetapi walaupun 6
sudah
disampaikannya
surat
penarikan
obat
mengandung
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen (Sunardy) dektrometorfan kepada seluruh pimpinan dan apoteker penanggung jawab industri farmasi, jenis obat flu mengandung dekstrometorfan masih banyak beredar di pasaran. Hal ini dikarenakan kurang disiplinnya pengelola apotek dan para apoteker dalam memberikan obat kepada konsumen yang ingin melakukan swamedikasi. Padahal dalam penjualan obat bebas dan obat bebas terbatas apoteker wajib menanyakan dan/atau memberi saran ketika ada konsumen yang membeli obat jenis tersebut dengan jumlah yang banyak. Selain dari pada itu semestinya seorang apoteker bertatap muka langsung dengan konsumen yang ingin melakukan swamedikasi
agar dapat menganalisa penyakit konsumen
sehingga kesalahan pemberian obat tidak terjadi. Dan bebasnya peredaran dekstrometorfan ini terutama juga disebabkan sediaan yang beredar di pasaran baik dalam kemasan kecil maupun hospital pack yang sebagian besar merupakan golongan obat bebas terbatas. Anggapan masyarakat bahwa dekstrometorfan aman karena saat ini di Indonesia khususnya di Kota Samarinda statusnya sebagai Obat Bebas, perlu dipikirkan kembali, karena legal status dekstrometorfan sebenarnya tidak selalu demikian. Bila kita lihat sejarahnya, status penggolongan dekstrometorfan pada Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kefarmasian No. 2669/Dir.Jend/SK/68 tahun 1968, Dekstrometorfan HBr digolongkan sebagai obat keras. Kemudian pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 9548/A/SK/71 tahun 1971 disebutkan bahwa sediaan-sediaan yang mengandung dekstrometorfan HBr tidak lebih dari 16 mg tiap takaran digolongkan sebagai Obat Bebas Terbatas. Lalu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 2500/Menkes/SK/XII/2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2011 menyebutkan bahwa dekstrometorfan tablet 15mg dan sirup 10 mg/5 ml merupakan obat yang termasuk dalam DOEN 2011. Jadi walaupun dekstrometorfan banyak dijual di berbagai tempat, namun dosis penggunaannya memang telah dibatasi dan tidak tepat jika digunakan melebihi dosis yang dianjurkan, dan mengingat statusnya pernah sebagai Obat Keras, maka tetap perlu kehati-hatian dan tidak serta merta menganggapnya aman.
7
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 8
Dalam perundang-undangan Indonesia, tindak pidana psikotropika diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (selanjutnya disebut Undang-Undang Psikotropika). Undang-Undang Psikotropika
ini
lahir,
dilandasi
kesadaran
terhadap
kian
maraknya
penyalahgunaan psikotropika dan peredaran gelap psikotropika yang semakin meluas dan berdimensi internasional, yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan generasi muda, masyarakat dan bangsa, sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional.6 Melihat adanya manfaat psikotropika disatu sisi dan kerugian yang ditimbulkan apabila disalahgunakan disisi yang lain maka pemerintah perlu membuat suatu kebijakan hukum berupa kriminalisasi. Kebijakan kriminalisasi dari Undang-Undang Psikotropika itu sendiri tidak terlepas dari tujuan dibuatnya undang-undang
ini
terutama
menjamin
ketersedian
psikotropika
guna
kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika, dan memberantas peredaran gelap psikotropika. Oleh karena itu semua maka perumusan delik dalam Undang-Undang Psikotropika terfokus pada penyalahgunaan dan peredaran narkobanya (mulai dari produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai pemakaiannya, termasuk pemakaian pribadi), bukan pada aset yang diperoleh dari tindak pidana psikotropika itu sendiri.7 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen
yang
menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan
6
dan
Pengawasan
Penyelenggaraan
Perlindungan
Konsumen,
Yusron, Saad, 2007, Kebijakan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Psikotropika, Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi, Jambi, Halaman 3. 7 Barda, Nawawi Arif, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Cet-2, Jakarta, Halaman. 189.
8
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen (Sunardy) disebutkan bahwa pembinaan perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah sebagai upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing sesuai dengan asas keadilan dan asas keseimbangan kepentingan. Tugas pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh menteri atau menteri teknis
terkait.
perlindungan
Menteri
ini
konsumen.
melakukan
Beberapa
koordinasi
tugas
atas
pemerintah
penyelenggaraan dalam
melakukan
pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen telah dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah
Nomor
58
Tahun
2001
tentang
Pembinaan
dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen sebagai berikut : a. Menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan
dan
Pengawasan
Penyelenggaraan
Perlindungan
Konsumen Pasal 4, untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait. b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan
dan
Pengawasan
Penyelenggaraan
Perlindungan
Konsumen Pasal 5, untuk mengembangkan LPKSM, menteri juga perlu melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 6, disebutkan bahwa dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidan perlindungan konsumen,
menteri
melakukan
koordinasi
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen dengan menteri teknis sebagai berikut:
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 8
a. Meningkatkan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen. b. Meningkatkan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang/jasa c. Melakukan pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang. d. Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya. Oleh karena itu, unsur tenaga kesehatan memiliki peranan penting dalam pencegahan penyalahgunaan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat saat pembelian obat dekstrometorfan. Menanggapi hal tersebut BPOM Kota Samarinda melakukan perkuatan jejaring kerja perlindungan hukum dengan melakukan pemberdayaan konsumen melalui berbagai cara, seperti membuka akses langsung melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) dan Pusat Informasi
Obat
dan
Makanan
(PIOM),
mengeluarkan
peringatan
publik,
penyuluhan langsung ke berbagai lapisan masyarakat, serta berbagai tulisan di media cetak. Selain itu diperlukan komunikasi dan edukasi kepada remaja tentang risiko penyalahgunaan dekstrometorfan. Komunikasi dan edukasi ini selain dilakukan pada remaja juga sebaiknya dilakukan pada para orangtua supaya dapat berperan aktif dalam pencegahan penyalahgunaan dekstrometorfan pada anak remaja mereka. Untuk menghindari penggunaan yang salah dari obat dekstrometorfan pada anak-anak maka para orang tua harus memperhatikan penyimpanan obat di lemari/kotak penyimpanan obat. Lemari penyimpanan obat diletakkan pada tempat dimana anak-anak tidak dapat menjangkaunya. Efektifitas Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan Kota Terkait Adanya Peredaran Jenis Obat Flu Mengandung Precursor (Bahan Pembuat Psikotropika) Di Kota Samarinda Peningkatan efektifitas kinerja pengawasaan obat dan makanan merupakan hal yang tak dapat ditawar lagi. Penajaman program pengawasan obat dan makanan yang berorientasi kepada hasil dan berpihak kepada kepentingan masyarakat khususnya di Kota Samarinda merupakan hal yang harus dilakukan
10
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen (Sunardy) dengan bersungguh-sungguh. Oleh kareana itu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan Kota Samarinda bertujuan untuk meningkatkan jaminan keamanan, khasiat/manfaat serta mutu obat dan makanan. Akan tetapi masih terdapat obat flu mengandung precursor (bahan pembuat psikotropika) dalam bentuk dekstrometorfan yang banyak digunakan oleh masyarakat tanpa menggunakan resep dokter di Kota Samarinda, yang dijual di apotek, toko obat, supermarket maupun warung-warung kecil. Hal tersebut membuat efektifitas pengawasan pemerintah khususnya BPOM dan Dinas Kesehatan yang memiliki wewenang melakukan pengawasan peredaran obat dirasakan masih belum optimal. Adapun berdasarkan hasil penelitian, diketahui
yang berwewenang
melakukan pengawasan peredaran obat yaitu pemerintah melalui BPOM dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Samarinda melalui Seksi Farmasi, Makanan-Minuman dan Perbekalan Kesehatan di lingkup Bidang Upaya Pelayanan Kesehatan. Efektifitas pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Samarinda yaitu dengan melakukan penarikan jenis obat flu berbahaya yang mengandung dektrometorfan dari peredaran, akan tetapi sebatas dilingkup Puskesmas dan Apotek. Sedangkan yang berhak menarik jenis obat flu berbahaya yang mengandung dektrometorfan dari peredaran di supermarket, toko obat dan warung-warung kecil yaitu BPOM yang merupakan wewenangnya. Dalam menjalankan tugas pokok tersebut BPOM mendapatkan hambatan, baik itu dari pelaku usaha, konsumen maupun pemerintah. Hambatan dari pemerintah tersebut adalah masih adanya campur tangan dari pemerintah yang melindungi kepentingan pribadi maupun golongan, yang mengakibatkan terkekangnya BPOM sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya dengan semestinya. Padahal dengan adanya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 166 Tahun 2000 jo Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) dan Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 264A/MENKES/SKB/VII/2003 dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003
11
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 8
tentang Tugas, Fungsi dan Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan, seharusnya BPOM memiliki wewenang sepenuhnya untuk menjalankan tugasnya tanpa campur tangan dari pihak lain. Tetapi kedua peraturan tersebut rupanya masih kurang kuat dalam menunjang BPOM. Padahal melalui pelaksanaan tugas, BPOM dapat mengambil tindakan tegas bila ada pelanggaran di bidang obat dan makanan. Tindakan yang diambil dapat berupa pencabutan izin edar, penarikan produk beredar, sampai melakukan penyelidikan bila ada indikasi pelanggaran yang terdapat unsur pidananya. Namun dalam pelaksanaannva, pelaksana tugas BPOM juga menemui hambatan dalam menindak tegas terhadap pelanggaran di bidang obat dan makanan. Hambatan itu diantaranya adalah, banyak kasus pelanggaran yang masih belum menempuh proses hukum di Pengadilan padahal BPOM telah menemukan bukti pelanggaran dan telah menyerahkan bukti tersebut pada Kejaksaan dengan harapan akan segera dilakukan tindakan atas pelanggaran tersebut. Tetapi pihak kejaksaan sepertinya masih lambat untuk segera mengambil tindakan. Adapun Dinas Kesehatan Kota Samarinda melalui Seksi Farmasi, Makanan-Minuman dan Perbekalan Kesehatan telah melakukan pengawasan terhadap peredaran obat ini. Pengawasan dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Samarinda minimal 3 (tiga) bulan sekali, adapun bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Samarinda yaitu program yang dibentuk khusus oleh Dinas Kesehatan Kota Samarinda dalam melaksanakan pengawasan terhadap peredaran jenis obat flu mengandung dektrometorfan adalah Bimbingan Pengendalian dan Pengawasan atau biasa disebut Bidalwas. Pengawasan berkala yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Samarinda yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan pada Puskesmas dan Apotek. Sosialisasi ini dilakukan dengan menarik langsung dari peredaran jenis obat flu mengandung dektrometorfan. Akan tetapi pengawasan tersebut tidak meliputi peredaran jenis obat flu berbahaya yang mengandung dektrometorfan di supermarket, toko obat dan warung-warung kecil. Dikarenakan masih terdapatnya dan mudah didapatkan jenis obat flu berbahaya yang mengandung dektrometorfan di supermarket, toko obat dan warung-warung kecil. Dimana Dinas Kesehatan Kota Samarinda 12
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen (Sunardy) beranggapan hal tersebut merupakan wewenang dari BPOM. Sehingga perlu pengawasan khusus dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda yang bekerjasama Dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPPOM) Provinsi Kalimantan Timur. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen atas peredaran jenis obat flu mengandung precursor (bahan pembuat psikotropika) di Kota Samarinda, maka dapat disimpulkan yaitu terdapat perlindungan kepada konsumen atas peredaran jenis obat flu mengandung precursor (bahan pembuat psikotropika) di Kota Samarinda dalam bentuk diterbitkannya surat penarikan obat yang mengandung dekstrometorfan kepada GP Farmasi Indonesia yang disertai surat keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 04. 1. 35.06.13. 3534 tentang Pembatalan Izin Edar Obat Yang Mengandung Dekstrometorfan. Ditunjang pula Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang
menjamin
diperolehnya
hak
konsumen
dan
pelaku
usaha
serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Serta Penjelasan Umum Peraturan
Pemerintah
Nomor
58
Tahun
2001
tentang
Pembinaan
dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa pembinaan perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah sebagai upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing sesuai dengan asas keadilan dan asas keseimbangan kepentingan. Efektifitas pengawasan yang dilakukan oleh BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Samarinda terkait adanya peredaran jenis obat flu mengandung precursor (bahan pembuat psikotropika) dalam bentuk dektrometorfan yaitu masih kurang optimal, dimana Dinas Kesehatan Kota Samarinda hanya melakukan pengawasan sebatas dilingkup Puskesmas dan Apotek serta tidak melakukan pengawasan dalam lingkup supermarket, toko obat dan warung-warung kecil. Adapun BPOM berusaha melakukan pengawasan full spectrum mulai dari pre-market hingga post
13
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 8
market
control
yang
disertai
dengan
upaya
penegakkan
hukum
dan
pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi masih adanya campur tangan dari pemerintah yang melindungi kepentingan pribadi maupun golongan, yang mengakibatkan terkekangnya BPOM sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya dengan semestinya. Dapat diberikan saran yaitu perlu pengawasan khusus dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda yang bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Kalimantan Timur untuk lebih intensif melakukan pengawasan khususnya di supermarket, toko obat dan warungwarung kecil dalam peredaran jenis obat flu mengandung precursor (bahan pembuat
psikotropika)
dalam
bentuk
dektrometorfan.
Sehingga
tercipta
pemenuhan perlindungan hukum bagi konsumen. Tenaga kesehatan perlu memberikan edukasi kepada masyarakat saat pembelian obat dekstrometorfan. Selain itu diperlukan komunikasi dan edukasi kepada remaja tentang risiko penyalahgunaan dekstrometorfan. Komunikasi dan edukasi ini selain dilakukan pada remaja juga sebaiknya dilakukan pada para orangtua supaya dapat berperan aktif dalam pencegahan penyalahgunaan dekstrometorfan pada anak remaja mereka. Bagi konsumen atau masyarakat khususnya masyarakat Kota Samarinda untuk lebih berhati-hati dalam membeli obat flu serta memperhatikan hak dan kewajibannya sebagai konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk barang dan/atau jasa. Bagi Pelaku Usaha untuk lebih mementingkan prioritas konsumen tanpa mengedepankan profit oriented yang dapat merugikan konsumen dan sejauh mungkin meninggalkan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.
14
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen (Sunardy) Daftar Pustaka A. Buku Ali, Achmad, 2006, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta. , 2008, Menjelajahi Kajian Empiris tehadap Hukum, Yarsif Watampon, Jakarta. Alifia, U, 2008, Apa Itu Narkotika dan Napza, PT Bengawan Ilmu, Semarang. Amri, Amir, 2007, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Anief, M, 2003, Farmasetika, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Barda, Nawawi Arif, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Cet-2, Jakarta. Dewi, A.I, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta. Dessler, 2009, Manajemen Sumber Daya Manusia, Indeks, Jakarta. Ernie dan Saefullah, 2005, Pengantar Manajemen, Fajar Interpratama Offset, Jakarta. Hanafiah, M.J dan Amir, A, 2009, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta. Harahap, Sofyan Syafri, 2001, Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan, Raja Grafindo Pustaka Utama, Jakarta. Hasibuan, 2001, Manajemen : Dasar, Pengertian dan Masalah, Bumi Aksara, Jakarta. Himawan, CH, 1991, Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum, Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Hondius, EH, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta. Husnaini, 2001, Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta. Maringan, 2004, Dasar-Dasar Dan Administrasi Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2007, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework, Jurnal Hukum Ekonomi, Jakarta. Martono, dkk, 2006, Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba. Berbasis Sekolah, Balai Pustaka, Jakarta. Mathis dan Jackson, 2006, Human Resources Development, Prestasi Pustaka, Jakarta. Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grafindo Persada, Jakarta. Moleong, Lexy, 2003, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.
15
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 8
Mulyadi, 2007, Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen, Salemba Empat, Jakarta. Purnomo, Bambang, 2007, Hukum Kesehatan, Bahan Kuliah Pasca Sarjana UGM, Magister Hukum Kesehatan, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, 2007, Pemanfaatan Ilmu Sosial Bagi Pembangunan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Ronny, Hanitijo Soemitro, 2005, Study Hukum Dalam Masyarakat, Bandung. Siagian, 2003, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Suwanto, 2013, Pemahanan dan Sikap Siswa Terhadap Narkoba atau Napza Di Kalangan Remaja, Universitas Pendidikan Indonesia, Jakarta. Yusron, Saad, 2007, Kebijakan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Psikotropika, Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi, Jambi. B. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Republik Indonesia, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 166 Tahun 2000 jo Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Republik Indonesia, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 264A/MENKES/SKB/VII/2003 dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi dan Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. C. Artikel Internet Kurniawan, J, 2008, Arti Definisi Dan Pengertian Narkoba Dan Golongan/Jenis Narkoba Sebagai Zat Terlarang, Http://juliuskurnia_wordpress.com/, Diakses tanggal 28 Februari 2014. Kurniawan, Riki, 2011, Kriminalisasi Terhadap Precursor Dalam Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Psikotrofika, http://www. jogjabelajar.org/konsumen/perlindungan_Konsumen, Diakses tanggal 18 Februari 2014. Hadie, 2013, Waspada Obat Flu dan Batuk Dengan Kandungan Http://www.apotekpurwosarifarma.co.id/waspadaDextrometorfan, obat-flu-dan-batuk-dgn-kandungan-dextrometorfan., Diakses tanggal 20 Maret 2014. 16