PERKEMBANGAN PARASITOID TELUR PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas Walker (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA PERTANAMANAN PADI ORGANIK DAN KONVENSIONAL DI NGAWI, JAWA TIMUR
KHOIR SAMSI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di Ngawi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014 Khoir Samsi A34100104
ABSTRAK KHOIR SAMSI. Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di Ngawi, Jawa Timur. Dibimbing oleh HERMANU TRIWIDODO. Penggerek batang padi kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama utama tanaman padi. Parasitoid telur sangat berpotensi dalam mengendalikan populasi PBPK. Kepadatan populasi parasitoid antara lahan dengan sistem budidaya organik berbeda dengan sistem konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kelimpahan populasi parasitoid telur PBPK. Penelitian ini menggunakan dua metode dalam mengumpulkan kelompok telur PBPK. Metode pertama yaitu metode U dan metode kedua yaitu dengan membagi petak pengamatan menjadi 5 plot. Jumlah kelompok telur yang diperoleh antara lahan organik dan konvensional tidak berbeda nyata. Jumlah parasitoid telur PBPK pada lahan organik lebih banyak, dibandingkan lahan konvensional tetapi persentase parasitisasinya tidak berbeda nyata. Parasitoid yang ditemukan pada pengamatan, yaitu Trichogramma japonicum, Telenomus rowanii dan Tetrastichus schoenobii. Parasitoid T. rowani merupakan parasitoid yang dominan ditemukan pada minggu ke-8 dan 10 MST. T. schoenobii merupakan parasitoid yang dominan ditemukan dominan pada minggu ke-12 MST. Tingkat parasitisasi tertinggi seluruh parasitoid pada minggu ke-8 dan ke-10 MST masing-masing 70,74% dan 64,02% pada lahan sistem organik serta 66,48% dan 53,8% pada lahan sistem konvensional. Kata kunci : Scirpophaga incertulas, parasitoid telur, padi organik, lahan sistem konvensional, lahan sistem organik
ABSTRACT KHOIR SAMSI. The Development of Egg Parasitoid of Yellow Rice Stem Borer, Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) in Conventional and Organic Rice in Ngawi, East Java. Under supervision of HERMANU TRIWIDODO Yellow rice stem borer (YRSB) Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) is a major pest of rice plants. Egg parasitoid had a good potential to control YRSB’s population. Parasitoid population density between the field with organic farming systems was different from conventional systems. This study was aimed to compare the YRSB egg parasitoid population density. This study used two methods to collect the eggs YRSB group. The first method was the U method and the second method was 5 plots method. The number of eggs’s group which obtained between organic and conventional fields system were not significantly different. The quantity of YRSB egg parasitoid on organic field system was higher than conventional field system, but the parasitization rate was not significantly different. The Parasitoids which found were Trichogramma japonicum, Telenomus rowani and Tetrastichus schoenobii. T. rowani was dominant parasitoid which found at 8 and 10 weeks after transplanting (WAT). T. schoenobii was dominant parasitoid which found at 12 WAT. The highest level of parasitization whole parasitoid at 8 and 10 WAT. Were 70.74% and 64.02% on an organic system, but on conventional system were 66.48% and 53.8%, respectively. Keywords : Scirpophaga incertulas, egg parasitoid, organic rice, organic land, conventional land
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERKEMBANGAN PARASITOID TELUR PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas Walker (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA PERTANAMAN PADI ORGANIK DAN KONVENSIONAL DI NGAWI, JAWA TIMUR
KHOIR SAMSI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di Ngawi, Jawa Timur Nama : Khoir Samsi NIM : A34100104
Disetujui oleh
Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di Ngawi Jawa Timur”. Penelitian dilaksanakan dari Desember 2013 sampai Maret 2014. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada 1. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. selaku dosen pembimbing tugas akhir yang senantiasa memberikan bimbingan, masukan, pengetahuan, saran dan arahan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Widodo, MS. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji tamu yang telah memberikan masukan kepada penulis. 3. Kastam, SP. dan keluarga besar Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC) yang telah banyak membantu demi berjalannya penelitian ini 4. Aldila Rachmawati, SP., Damayanti, SP. M.Si., Aan Rizka Pajarina, dan Retno Anggraeni yang telah banyak membantu dalam penulisan tugas akhir 5. Bapak, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayang. 6. Teman-teman Departemen Proteksi Tanaman angkatan 47 yang telah mendukung terlaksananya laporan tugas akhir penulis. Serta pihak lain yang turut membantu dalam penyusunan laporan tugas akhir ini. 7. PEMDA LAHAT yang telah memberikan dukungan dana selama perkuliahan melalui Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, Juli 2014 Khoir Samsi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan Sampel Kelompok Telur Pemeliharaan Kelompok Telur Penghitungan Kelompok Telur dan Parasitisasi Parasitoid Identifikasi Parasitoid Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Sistem Budidaya Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Kemunculan Larva dan Parasitoid Kelompok Telur Kegagalan Menetas Parasitoid telur PBPK SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
ix ix xi 1 1 2 2 3 3 3 3 4 4 4 5 5 5 7 7 9 10 11 16 16 16 17 19 23
viii
DAFTAR TABEL 1 Jumlah rata-rata anakan padi sistem budidaya organik dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi 6 2 Komponen biaya pengeluaran dan keuntungan usaha tani budidaya organik dan konvensional per hektar di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi (Sumber : KNOC) 7 3 Jumlah kelompok telur PBPK yang ditemukan di lahan organik dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi 10 4 Jumlah larva yang menetas dari kelompok telur PBPK di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi 10 5 Total parasitoid yang keluar dari kelompok telur PBPK 12 6 Total Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur PBPK 12 7 Total Tetrastichus schoenobii yang keluar dari kelompok telur PBPK 12 8 Rata-rata persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK 12
DAFTAR GAMBAR 1 Metode pengambilan sampel kelompok telur PBPK, metode U (a) dan metode sampling (b) 2 Contoh wadah pemeliharaan kelompok telur PBPK 3 Sarana budidaya, sistem irigasi (a) kolam penetralan lahan sistem organik (b) 4 Waktu kelompok telur untuk menetas pada lahan konvensional (a) dan lahan organik (b) 5 Kelompok telur PBPK 6 Kelompok telur PBPK yang sudah di bedah (a) dan parasitoid telur PBPK yang gagal menetas (b) 7 Parasitoid telur PBPK di lahan organik dan konvensional Trichogramma japonicum (Rachmawati 2012) (a) Telenomus rowani (b) Tetrastichus schoenobii (c) 8 Fluktuasi jumlah rata-rata Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur PBPK 9 Fluktuasi jumlah rata-rata Tetrastichus schoenobii yang keluar dari kelompok telur PBPK
3 4 6 8 9 10
11 13 14
ix
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis ragam jumlah kelompok telur di lahan sistem organik dan konvensional 20 2 Hasil analisis ragam jumlah total parasitoid di lahan sistem organik dan konvensional 20 3 Hasil analisis ragam persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK pada lahan sistem organik dan konvensional 20 4 Hasil analisis ragam jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan di lahan sistem organik dan konvensional 21 5 Hasil analisis ragam jumlah larva PBPK yang ditemukan di lahan sistem organik dan konvensional 21
13
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan sebagai sumber energi yang umumnya dikonsumsi masyarakat Indonesia. Hampir separuh penduduk dunia, terutama di Asia menggantungkan hidupnya dari tanaman padi. Begitu pentingnya komoditas padi sehingga kegagalan panen dapat mengakibatkan gejolak sosial yang luas. Upaya peningkatan produksi tanaman pangan dihadapkan pada berbagai kendala dan masalah (Supartha 2012). Salah satu kendala dalam upaya peningkatan produksi padi adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Penggerek batang padi kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama penting pada tanaman padi yang dapat menimbulkan kerugian tinggi. Latif (2012) menyatakan bahwa di Jombang lahan sawah dengan luas 5 000 m2 normalnya menghasilkan 2.5 ton akibat serangan PBPK hanya menghasilkan 1.7 ton. PBPK dapat menyerang tanaman padi pada fase vegetatif dan fase generatif. Menurut Yunus (2012) kerugian hasil yang ditimbulkan oleh sundep (serangan pada fase vegetatif) lebih rendah dibandingkan kerugian hasil oleh serangan beluk (serangan pada fase generatif), hal ini disebabkan karena kerusakan padi pada stadia vegetatif masih dapat dikompensasi dengan membentuk anakan baru. Dalam ekosistem sawah beririgasi, serangan sundep sebesar 1% menyebabkan kehilangan hasil 12 kg/ha, sedangkan serangan beluk 1% menyebabkan kehilangan hasil 183 kg/ha (Muralidharan 2006 dalam Yunus 2012). Menurut Misnaheti et al. (2010) pada musim hujan pada tahun 2003-2008 di timur Sulawesi Selatan luas serangan PBPK tertinggi pada tahun 2005 mencapai 11 000 ha dan 2007 mencapai 9 000 ha. Sementara sebelum tahun tersebut luas serangan bevariasi antara 1 000-3 000 ha. Luas serangan PBPK yang tinggi pada musim hujan selalu didahului oleh luas serangan yang tinggi di dalam musim kemarau. Musim kemarau luas serangan PBPK bervariasi dari 600-2 000 ha antara tahun 2002-2007. Tindakan yang biasa dilakukan petani untuk mengendalikan PBPK adalah dengan menggunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia di tingkat petani sampai saat ini masih sangat tinggi. Aplikasi pestisida dilakukan terjadwal tanpa memperhatikan dosis yang direkomendasikan. Pengendalian PBPK di Provinsi Jambi masih bertumpu pada penggunaan pestisida kimia. Cara ini tidak efektif, terbukti dengan meningkatnya serangan dan kerugian akibat hama PBPK dari tahun ke tahun. Di samping itu, penggunaan insektisida juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap konsumen dan lingkungan, serta dapat menimbulkan resistensi dan resurgensi hama (Wilyus et al. 2006). Untuk mengatasi banyaknya dampak negatif akibat pemakaian pestisida kimia yang berlebihan diperlukan metode pengendalian yang ramah lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengendalian OPT berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) yang lebih menekankan terhadap pemanfaatan musuh alami sebagai agen biokontrol hama di lapang. Menurut Santoso dan Sulistyo (2007) pengendalian hayati selama ini lebih memanfaatkan
2 peran predator, parasitoid dan patogen. Pengendalian hayati menggunakan parasitoid telur sangat baik karena dapat mencegah hama berkembang menjadi larva (stadia yang merusak tanaman), aman bagi manusia, hewan dan lingkungan, tidak menimbulkan resistensi dan resurgensi hama, organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan inangnya, dapat berkembang biak dan menyebar, serta pengendalian dapat berjalan dengan sendirinya (Wilyus et al. 2006). Parasitoid dapat memarasit telur, larva dan pupa. Parasitoid larva dan pupa tidak banyak diketahui dan umumnya tidak efektif karena mengendalikan pada stadia yang sudah menimbulkan kerusakan. Parasitoid telur paling banyak dikembangkan untuk mengendalikan serangga-serangga Ordo Lepidoptera. Hal ini disebabkan karena parasitoid telur mampu mengendalikan hama sebelum merusak tanaman (Suharto & Usyati 2009). Menurut Van Der Goot 1925 dalam Rauf (2000) parasitoid telur PBPK yang banyak ditemukan di lapang dan mempunyai peranan penting adalah Trichogramma japonicum Ashmead (Hymenoptera: Trichograrnrnatidae), Telenomus rowani Gahan (Hymenoptera: Scelionidae), dan Tetrastichus schoenobii Ferriere (Hymenoptera: Eulophidae). T. schoenobi, T. rowani, dan T. japonicum mempunyai potensi dan sangat efektif dalam menurunkan populasi penggerek batang padi (S. incertulas). Kemampuan ketiga parasitoid tersebut dalam memarasit telur penggerek batang padi sangat bervariasi tergantung dari tempat dan lingkungan yang mendukungnya untuk berkembang. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kelimpahan populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning pada pertanaman padi konvensional dan organik di kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Manfaat Penelitian Sebagai informasi mengenai kelimpahan parasitoid telur pada pertanaman padi organik dan konvensional sebagai dasar pertimbangan untuk petani dalam memilih sistem budidaya
13
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lahan padi petani organik yang tergabung dalam Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC) dan lahan petani padi konvensional Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Desember 2013-Maret 2014. Pengambilan Sampel Kelompok Telur PBPK Pengambilan sampel kelompok telur dilakukan di 3 petak pertanaman padi organik dan 3 petak pertanaman padi konvensional. Kelompok telur dikumpulkan menggunakan dua metode. Metode yang pertama menggunakan metode U, pengambilan kelompok telur dilakukan dengan berjalan di dalam petak mengikuti tanaman padi membentuk huruf U dengan mengamati setiap jarak 5 rumpun tanaman padi (Gambar 1a). Metode yang kedua yaitu metode sampling dengan membagi setiap petak pengamatan menjadi lima titik yang mewakili seluruh petak pengamatan (Gambar 1b). Setiap titik pengamatan terdiri dari empat rumpun. Pengambilan kelompok telur dilakukan 2 minggu sekali.
(a)
(b)
Gambar 1 Metode pengambilan kelompok telur PBPK, metode U (a) dan metode sampling (b) Pemeliharaan Kelompok Telur Sampel kelompok telur yang diperoleh dari lapang dimasukkan ke dalam wadah sementara yang berupa kantong plastik. Setelah itu dimasukkan dalam wadah pemeliharaan yang berupa gelas plastik untuk diamati (Gambar 2). Pemberian kapas basah pada ujung daun padi yang terdapat kelompok telur dimaksudkan untuk menjaga kelembaban sementara pada wadah. Di dalam wadah plastik kelompok telur beserta daun padinya ditempelkan ke dinding gelas plastik agar menyerupai kondisi di lapang dan menghindari dari benturan berlebihan yang dapat menyebabkan telur gagal menetas. Pada lubang bagian atas wadah ditutup menggunakan isolasi untuk menjaga agar parasitoid tidak terbang ke luar kemudian dibuatkan lubang baru menggunakan jarum untuk pertukaran udara.
4
Gambar 2 Contoh wadah pemeliharaan kelompok telur PBPK Penghitungan Kelompok Telur dan Parasitisasi Parasitoid Kelompok telur yang diperoleh dari lahan dihitung jumlahnya dan dipindahkan ke wadah pemeliharan untuk disimpan sampai menetas. Setelah kelompok telur menetas dilakukan penghitungan terhadap jumlah larva dan parasitoid hidup yang keluar kemudian dilakukan pembedahan untuk melihat apakah ada telur yang gagal menetas. Setelah itu dihitung tingkat parasitisasinya menggunakan rumus
Identifikasi Parasitoid Setiap parasitoid yang keluar dari telur diidentifikasi dengan menggunakan bantuan mikroskop stereo dan kunci identifikasi Taxonomy of Rice Insect Pests and Their Arthropod Parasites and Predators, oleh Alberto T Barrion dan James A. Litsinger. Proses identifikasi dilakukan berdasarkan pengamatan karakter morfologi tubuh parasitoid. Analisis Data Pengolahan data dilakukan untuk melihat perbedaan kemunculan larva dan parasitoid, jumlah kelompok telur, dan persentase parasitisasi. Data hasil perhitungan kemudian dilanjutkan dengan uji selang berganda duncan pada taraf nyata 5%. Menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1 portable for windows.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Guyung terletak di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Desa Guyung berbatasan dengan Desa Kidung Putri Kecamatan Paron di sebelah barat, sebelah utara berbatasan dengan Desa Tepas Kecamatan Geneng, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tambakromo Kecamatan Geneng, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gerih kecamatan Gerih. Luas Desa Guyung adalah 739 153 ha. Potensi pertanian utama Desa Guyung adalah padi. Luas lahan sawah di Desa Guyung 137 517 ha atau 19% dari total luas desa. Hampir sebagian besar penduduk Desa Guyung menggantungkan hidupnya dengan bertanam padi, sehingga Kabupaten Ngawi merupakan salah satu sentra dan lumbung padi di Provinsi Jawa Timur. Sistem Budidaya Sistem pertanian padi di Desa Guyung menerapkan dua sistem budidaya, yaitu sistem budidaya organik dan sistem budidaya konvensional. Sistem budidaya padi organik yang dilakukan petani disini adalah dengan memanfaatkan limbah tanaman dan kotoran ternak sebagai kompos untuk memperbaiki kesuburan tanah serta penggunaan mikroorganisme lokal (MOL) dan agens hayati untuk mengatasi masalah serangan OPT. Aplikasi pupuk kompos pada pertanaman padi organik biasanya dilakukan sebanyak tiga kali yaitu satu hari sebelum tanam, 10 hari setelah tanam (HST) dan 20 HST. Sedangkan aplikasi MOL dan agens hayati dilakukan sebanyak delapan kali dengan intensitas aplikasi satu kali dalam satu minggu. jumlah pupuk kompos yang digunakan dalam satu kali aplikasi mencapai 350-700 kg sesuai dengan luas lahan. Agens hayati yang digunakan dalam satu kali aplikasi adalah 3-5 liter sedangkan penggunaan MOL antara 20-30 liter. Sistem pertanaman padi konvensional merupakan budidaya padi yang dilakukan petani, umumnya menggunakan pestisida dan pupuk kimia. Pupuk Urea, SP 36, ZA, dan Phonska digunakan secara intensif satu musim tanam mencapai 400 kg/ha. Untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi digunakan berbagai jenis pestisida dengan bahan aktif seperti Sipermetrin, Difenokonazol dan Fipronil. Varietas padi yang ditanam pada sistem budidaya organik dan konvensional ini berbeda, yaitu pada lahan organik menggunakan varietas Sintanur sedangkan lahan konvensional menggunakan varietas Ciherang. Lahan pertanaman sistem organik dan konvensional terletak dalam satu hamparan yang sama dan memanfaatkan air dari sumber irigasi yang sama (Gambar 3a). Pada pertanaman organik untuk menghindari cemaran bahan kimia, sebelum masuk ke petak tanaman padi air irigasi terlebih dahulu dialirkan ke kolam penampungan yang akan menetralkan bahan kimia yang terbawa air irigasi (Gambar 3b). Untuk menghindari paparan pestisida saat aplikasi dengan penyemprotan pada lahan dengan sistem organik dibentangkan plasti sebagai penghalang pestisida yang terbawa angin.
6
a
b
Gambar 3 Sarana budidaya, sistem irigasi (a) kolam penetralan lahan sistem organik (b) Jumlah anakan padi pada sistem budidaya organik dan sistem budidaya konvensional berbeda nyata pada 8 dan 10 MST. Jumlah anakan pada sistem budidaya konvensional lebih banyak dibandingkan sistem budidaya organik (Table 1). Menurut Winarso (2005) aplikasi pupuk kimia dapat meningkatkan jumlah anakan produktif. Semakin tinggi kandungan nitrogen dan serapan N maka jumlah anakan produktif juga semakin banyak. Varietas padi yang digunakan juga berpengaruh terhadap jumlah anakan yang dihasilkan. Djunaedy (2009) menyatakan bahwa jumlah anakan padi varietas Ciherang lebih banyak dibandingkan varietas Sintanur, tetapi jumlah bulir gabah per malai varietas Sintanur lebih banyak dibandingkan varietas Ciherang. Selain itu, jumlah bibit dan umur bibit yang digunakan juga berpengaruh terhadap jumlah anakan. Penelitian Wangiyana et al. (2009) menunjukkan bahwa jumlah anakan padi terbentuk paling banyak saat umur bibit 15 hari dan semakin banyak bibit dalam satu lubang tanam memungkinkan terjadinya pertambahan jumlah anakan. Tabel 1 Jumlah rata-rata anakan padi sistem budidaya organik dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi Umur Konvensional Organik 6 MST 87.53 ± 15.76 a 76.26 ± 8.66 b 8 MST 72.66 ± 15.79 a 72.93 ± 4.75 a 10 MST 68.33 ± 11.67 a 59.86 ± 7.19 b 12 MST 58.53 ± 11.35 a 51.40 ± 8.06 a a
angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Hasil panen menunjukkan bahwa produksi padi sistem organik lebih tinggi dibandingkan dengan produksi padi sistem konvensional. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor seperti perbedaaan varietas padi yang digunakan dan tingginya serangan hama dan penyakit akibat tingginya pemakaian pupuk dan pestisida kimia pada lahan sistem konvensional. Hal ini sejalan dengan keuntungan yang diperoleh. Petani sistem organik lebih diuntungkan dibandingkan petani sistem konvensional. Hal ini disebabkan oleh harga gabah padi organik lebih mahal dibandingkan petani sistem konvensional. Sarana produksi pertanian untuk sistem padi organik seperti benih, kompos, agens hayati, dan MOL diperoleh gratis dari komunitas Ngawi orgnik center (KNOC) sedangkan petani sistem konvensional
7 harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membeli pupuk dan pestisida kimia (Tabel 2). Tabel 2
Komponen biaya pengeluaran dan keuntungan usaha tani budidaya organik dan konvensional per hektar di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi (Sumber : KNOC) Hasil panen Perlakuan Pengeluaran (Rp) Pendapatan bersih (Rp) (Kg) Organik
4 524.10 a
2 000 000 .00 a
20 620 483.33 a
Konvensional
3 566.90 a
1 235 252.18 a
8 803 225.00 a
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Sejak tahun 1995 PBPK merupakan salah satu penggerek batang padi yang dominan di Indonesia. Pada tahun 1995, populasinya mencapai 70% kemudian meningkat menjadi 90% pada tahun berikutnya (Suharto dan Usyati 2009). Ciri-ciri imago PBPK yaitu berwarna kuning dan terdapat titik hitam pada sayap bagin depan. Panjang ngengat jantan 14 mm dan betina 17 mm. Betina bertelur 200-300 butir secara berkelompok dan setiap kelompok terdiri atas 50150 butir telur. Saat peletakan pertama telur berwarna transparan atau tembus cahaya kemudian warnanya menjadi lebih gelap. Telur diletakkan pada bagian ujung daun walaupun ada juga yang diletakkan di pangkal daun di dekat batang. Telur berbentuk oval dan dibungkus dalam kokon yang dilapisi rambut-rambut halus. Telur menetas pada umur 4-5 hari. Larva berwarna kekuningan dengan kepala coklat tua. Stadia larva terdiri dari 5-7 instar dan pada umumnya terdapat enam instar. Stadia larva adalah 3-6 minggu. Pada instar terakhir larva dapat tumbuh hingga 25 mm (Kalshoven 1981). Menurut Suharto dan Usyati (2009) larva bersifat kanibal sehingga hanya ada seekor larva dalam tunas. Larva instar terakhir menuju pangkal batang untuk menjadi pupa. Sebelum mejadi pupa, larva membuat lubang keluar pada pangkal batang. Pupa berwarna kekuningan dengan ukuran 12.55 mm. Stadium pupa 8-14 hari (Kalshoven 1981). Gejala serangan hama PBPK dapat terjadi pada dua stadia tanaman, yaitu pada stadia vegetatif yang disebut sundep (deadhearts) dengan gejala titik tumbuh tanaman muda mati. Gejala serangan PBPK pada fase generatif disebut beluk (whiteheads) yang ditunjukkan dengan malai mati dengan bulir hampa dan terlihat berwarna putih. Gejala sundep sudah kelihatan sejak empat hari setelah larva penggerek masuk. Larva penggerek selalu keluar masuk batang padi, sehingga satu ekor larva sampai menjadi ngengat dapat menghabiskan 6-15 batang padi (Baehaki 2013). Kemunculan Larva dan Parasitoid Waktu kelompok telur menetas setelah diambil dari lapang berbeda, antara larva dan parasitoid waktu menetasnya juga berbeda. Biasanya larva selalu menetas lebih dahulu daripada kemunculan parasitoid.
a
Jumlah individu yang menetas
8 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
b
Jumlah individu yang menetas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Larva T. japonicum T. rowani T. schoenobii
1
2
3
4
5
6 7 8 Hari ke-
9 10 11 12 13
Gambar 4 Waktu kelompok telur untuk menetas pada lahan konvensional (a) dan ` lahan organik (b) Larva pada lahan sistem konvensional mulai menetas pada hari ke 1-8 setelah pengambilan dari lapang. Larva paling banyak muncul pada hari ke-2 dan hari ke-4 setelah pengambilan dari lapang. Parasitoid Telenomus rowani muncul mulai hari ke 2-9 setelah pengambilan dari lapang. T. rowani paling banyak muncul pada hari ke-8 setelah pengambilan dari lapang. Parasitoid Tetrastichus schoennobii mulai muncul pada hari ke 4-10 setelah pengambilan dari lapang. T. schoenobii paling banyak muncul pada hari ke-4 dan ke-6 setelah pengambilan dari lapang (Gambar 4a). Kemunculan larva pada lahan sistem organik mulai hari ke 1-7 dan paling banyak muncul pada hari ke-6 setelah pengambilan dari lapang. T. schoenobii mulai muncul pada hari ke 1-13, paling banyak muncul pada hari ke-13 setelah pengambilan dari lapang. T. rowani mulai muncul pada hari ke 4-11 dan paling banyak muncul pada hari ke-8 setelah pengambilan dari lapang (Gambar 4b). Perbedaan kemunculan larva dan parasitoid antar kelompok telur ini bisa disebabkan oleh umur kelompok telur saat pengambilan di lapang yang berbeda. Selain itu siklus hidup antara PBPK dan parasitoid juga berbeda. Amuwitagama (2002) menyatakan bahwa stadia telur S. incertulas hingga menetas antara 5-9 hari. Siklus hidup T. rowani antara 10-12 hari, siklus hidup T. schoenobii antara 10-14 hari, siklus hidup Trichogramma japonicum antara 6-9
9 hari. Perbedaan umur kelompok telur dan siklus hidup inilah yang menyebabkan kemunculannnya pun berbeda-beda (Lubis 2005). Kelompok Telur PBPK Kelompok telur PBPK biasanya diletakkan pada permukaan daun bagian atas atau bawah (Gambar 5). Kelompok telur PBPK yang ditemukan di lapang jumlahnya sedikit dan berfluktuasi antar waktu pengamatan. Pada minggu ke-6 MST, hanya ditemukan satu kelompok telur PBPK di lahan organik dan tiga kelompok telur PBPK pada lahan konvensional. Pada minggu ke-8 MST ditemukan 11 kelompok telur di lahan organik dan sembilan kelompok telur pada lahan konvensional. Pada minggu ke-10 MST ditemukan 25 kelompok telur pada lahan organik dan 21 kelompok telur pada lahan konvensional. Minggu ke-12 MST ditemukan empat kelompok telur pada lahan organik dan lima kelompok telur pada lahan konvensional. Jumlah imago PBPK yang ditemukan di lapang sedikit sehingga kelompok telur yang ditemukan di lapang juga sedikit. Hal ini juga dibuktikan dengan hampir tidak ditemukannya gejala akibat serangan PBPK pada titik pengamatan.
Gambar 5 Kelompok telur PBPK Jumlah kelompok telur yang diperoleh pada setiap waktu pengambilan antara perlakuan organik dan konvensional tidak berbeda nyata (Tabel 3). Terbatasnya jumlah kelompok telur yang diperoleh dari lapang dikarenakan jumlah populasi PBPK yang sedikit. Menurut informasi yang diperoleh dari petani saat dilakukan wawancara, PBPK pada musim tanam musim penghujan (MP) 1 dari bulan Desember-Maret memang bukan menjadi masalah utama dan tingkat serangannya rendah. Populasi PBPK tinggi di lapang pada musim tanam MP 2 bulan April-Agustus sehingga seringkali menimbulkan kerugian yang besar pada petani. Hal ini sesuai dengan hasil penelitiannya Suharto dan Usyati (2005) yang menyatakan bahwa intensitas serangan PBPK pada musim tanam pertama 37.9% dan meningkat 65% pada musim tanam kedua. Untuk menghindari kerugian yang besar, pada MP 2 petani biasanya memasang pias parasitoid Trichogramma spp. di sekitar lahan yang berfungsi untuk menekan populasi PBPK di lapang. Selain itu faktor umur tanaman padi juga mempengaruhi rendahnya perolehan kelompok telur di lapang. Kelompok telur biasanya banyak ditemukan pada waktu tanaman masih muda, karena unsur nitrogen (N) lebih banyak ditemukan pada tanaman muda dibandingkan tanaman tua sehingga tanaman menjadi sukulen. Jika unsur N tanaman banyak maka batang tanaman akan menjadi lebih lunak sehingga lebih mudah diserang larva PBPK (Rachmawati 2012).
10 Tabel 3 Jumlah kelompok telur PBPK di lahan sistem organik dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi Perlakuan Organik Konvensional
Pengamatan ke-a 8 MST 10 MST
6 MST 0.33 ± 0.33 a 1.00 ± 1.00 a
3.67 ± 0.88 a 3.00 ± 1.00 a
8.33 ± 2.85 a 7.00 ± 1.73 a
Rata-rata
12 MST 1.33 ± 1.33 a 1.67 ± 1.67 a
3.42 3.17
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Jumlah larva antara lahan organik dan konvensional tidak berbeda nyata (Tabel 4). Hal ini dikarenakan tingginya ragam kelompok telur yang ditemukan sehingga ragam jumlah larva juga tinggi. Akan tetapi, pada setiap petak pengamatan jumlah larva secara menyeluruh pada lahan sistem konvensional terlihat lebih tinggi dibandingkan jumlah larva pada lahan sistem organik. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya peran parasitoid telur PBPK akibat pemakaian pestisida yang berlebihan pada lahan konvensional sehingga merusak keseimbangan lingkungan. Tabel 4 Jumlah larva yang menetas dari kelompok telur PBPK di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi Perlakuan Organik Konvensional
6 MST 0.00 ± 0.00 a 50.00 ± 50.00 a
Pengamatan ke-a 8 MST 10 MST 47.33 ± 23.69 a 255.00 ± 80.65 a 120.33 ± 65.20 a 192.67 ± 56.26 a
12 MST 0.00 ± 0.00 a 202.67 ± 202.67a
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Kegagalan Menetas Tidak semua kelompok telur PBPK mampu menetas. Telur yang gagal menetas pada sistem budidaya organik dan sistem budidaya konvensional masingmasing 24 dan 5 telur (Gambar 6). Menurut Rachmawati (2012) telur yang tidak menetas bisa disebabkan oleh infeksi patogen sehingga larva mati sebelum keluar dari telur atau embrio telur tidak berkembang.
a
b
Gambar 6 Kelompok telur PBPK yang sudah di bedah (a) dan parasitoid telur PBPK yang gagal menetas (b)
11 Parasitoid Telur PBPK Parasitoid yang ditemukan pada pengamatan ini adalah Trichogramma japonicum Ashmead (Hymenoptera: Trichogrammatidae), Telenomus rowani Gahan (Hymenoptera: Scelionidae), dan Tetrastichus schoenobii Ferriere (Hymenoptera: Eulophidae). Menurut Kalshoven (1981) parasitoid telur Scirpophaga incertulas yang penting itu ada tiga, Telenomus sp, Tetrastichus sp. dan Trichogramma sp. dimana tingkat parasitasi Telenomus sp. bisa mencapai 36%, Tetrastichus sp. dan Trichogramma sp. hanya 10%, tetapi Tetrastichus schoenobii Ferr dilaporkan di beberapa negara Asia bahwa tingkat parasitasinya bisa mencapai 40%.
a
b
c
Gambar 7 Parasitoid telur PBPK di lahan sistem organik dan konvensional, Trichogramma japonicum (Rachmawati 2012) (a) Telenomus rowani (b) Tetrastichus schoenobii (c) Menurut Barion dan Litsinger (1995), ciri morfologi Trichogramma japonicum yaitu bentuk ovipositor lurus lebih ramping daripada tibia tungkai ketiga atau sepanjang aedeagus dengan lengan pendek, genitalia jantan memanjang berbentuk bulat telur (oval). Toraks bagian bawah pada betina tidak pernah berwarna putih, rambut-rambut antena pada jantan panjang, terpanjang 31/2 kali maksimum lebar flagella (Gambar 7a). Ciri morfologi Telenomus rowani yaitu metasoma panjang dan ramping, antena jantan berwarna kuning kecuali bagian apikal, antena jantan berbentuk moniliform atau seperti manik-manik, sedangkan bentuk antena betina menggada ke bagian ujung, dan panjang skapus betina 4.9 kali lebarnya (Gambar 7b). Ciri morfologi parasitoid telur Tetrastichus schoenobii yaitu tubuh berwarna biru metalik atau hijau mengkilat, antena cokelat kecuali bagian skapus berwarna kuning dengan sensor cokelat pada jantan, tungkai berwarna kuning kecuali bagian koksa berwarna kehijauan, oseli dalam segitiga kecil. Oselia depan tidak pernah mencapai skapus. toraks halus dan mengkilat, abdomen memanjang meruncing ke belakang dengan ovipositor ramping (Gambar 7c).
12
a
a
a
a
Perlakuan Organik Konvensional
Tabel 5 Total parasitoid yang keluar dari kelompok telur PBPK Pengamatan ke-a 8 MST 10 MST 12 MST 59.33 ± 21.95 a 224.67 ± 28.05 a 60.67 ± 60.67 a 50.00 ± 28.62 a 97.67 ± 22.98 b 23.67 ± 23. 67 a
6 MST 0.00 ± 0.00 a 8.67 ± 8. 67 a
6 MST 0.00 ± 0.00 a 8.67 ± 8. 67 a
Tabel 6 Total Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur PBPK Pengamatan ke-a 8 MST 10 MST 12 MST 51.33 ± 15.38 a 138.33 ± 19.64 a 0.33 ± 0.33 a 33.67 ± 33.67 a 53.67 ± 36.99 a 3.00 ± 3.00 a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Perlakuan Organik Konvensional
6 MST 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a
Rata-rata
86.17 45
Rata-rata
47.5 24.75
42.02 20.83
Rata-rata
Tabel 7 Total Tetrastichus schoenobii yang keluar dari kelompok telur PBPK Pengamatan ke-a Rata-rata 8 MST 10 MST 12 MST 8.00 ± 8.00 a 86.33 ± 21.26 a 60.33 ± 60.33 a 38.67 15.67 ± 15.67 a 44.00 ± 14.01 a 23.67 ± 23.67 a 20.83
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Perlakuan Organik Konvensional
6 MST 0.00 ± 0.00 a 10.08 ± 10.08 a
Tabel 8 Rata-rata persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK Pengamatan ke-a 8 MST 10 MST 12 MST 70.74 ± 16.15 a 64.02 ± 6.8 a 33.33 ± 33.33 a 66.48 ± 16.76 a 53.8 ± 16.12 a 13.33 ± 13.33 a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Perlakuan Organik Konvensional
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
13
Jumlah individu
Jumlah parasitoid yang ditemukan pada lahan sistem budidaya organik lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada lahan sistem budidaya konvensional. Berdasarkan data pada Tabel 5 saat tanaman berumur 6 MST, pada lahan sistem organik tidak ditemukan parasitoid telur PBPK dan pada lahan sistem konvensional ditemukan parasitoid dengan jumlah rata-rata 8.67 ekor per petak. Tidak ditemukannya parasitoid telur PBPK pada lahan sistem organik dikarenakan tidak ditemukan kelompok telur di lapang. Tetapi pada pengamatan selanjutnya, parasitoid telur PBPK pada lahan sistem organik selalu lebih banyak dibandingkan lahan sistem konvensional. Total parasitoid paling banyak ditemukan pada pengamatan 10 MST dimana kemunculan parasitoid setiap petak lahan sistem organik rata-rata 224.67 ekor sedangkan jumlah parasitoid telur PBPK pada lahan sistem konvensional hanya 97.67 ekor per petak. Minggu ke-8 dan ke-10 MST, parasitoid yang ditemukan dominan adalah Telenomus rowani dan Tetrastichus schoenobii. Jumlah rata-rata T. schoenobii di setiap petaknya pada minggu ke-8 MST di lahan sistem organik adalah 8 ekor, minggu ke-10 MST rata rata 86.33 ekor disetiap petaknya. Jumlah rata-rata Tetrastichus schoeobii disetiap petaknya pada minggu ke-8 dan ke-10 MST masing-masing adalah 15.67 dekor dan 44 ekor (Tabel 7). Rata-rata Telenomus rowani pada minggu ke-8 dan ke-10 MST masing-masing adalah 51.33 ekor dan 138.33 ekor disetiap petaknya. Jumlah T. rowani di setiap petaknya pada minggu ke-8 dan 10 MST di lahan sistem konvensional adalah 33,67 dan 53,67 ekor (Tabel 6). Minggu ke-12 MST, parasitoid telur PBPK yang dominan adalah T. schoenobii sedangkan T. rowani hampir tidak ditemukan lagi. Gambar 8 menunjukkan bahwa Telenomus rowani ditemukan pada setiap waktu pengamatan. Jumlah Telenomus rowani yang ditemukan dilapang berfluktuasi tergantung jumlah kelompok telur yang ditemukan. Semakin banyak kelompok telur yang ditemukan di lapang maka akan semakin banyak kemungkinan populasi Telenomus yang muncul. Telenomus rowani meletakkan telur pada satu kelompok telur penggerek tetapi seekor Telonomus rowani hanya dapat berkembang dalam tiap telur. Telenomus rowani meletakkan telurnya di dalam telur penggerek batang yang baru diletakkan. Seekor imago Telenomus rowani betina memarasit 20-40 telur dan hidup selama 2-4 hari atau lebih lama bergantung dari ketersediaan nektar (Shepard et al. 1995). 100 80 60 40 20 0
Organik Konvensional
6 MST
8 MST 10 MST Umur tanaman
12 MST
Gambar 8 Fluktuasi rata-rata Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur PBPK
14
Jumlah individu
Trichogramma japonicum yang ditemukan berjumlah dua ekor dan hanya ditemukan pada minggu ke-8 MST. Rendahnya populasi Trichogramma japonicum yang ditemukan dilapang dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Yunus (2012) kemampuan pemarasitan Trichogramma japonicum dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat kemapanan parasitoid adalah lingkungan (suhu, kelembapan udara, curah hujan, angin, dan intensitas cahaya) dan adanya pesaing sesama parasitoid. Faktor internal yang berpengaruh adalah kebugaran dari setiap parasitoid yang ada di lapang. Gambar 9 menunjukkan bahwa Tetrastichus schenobii mulai ditemukan pada minggu ke-8 sampai ke-12 MST. Jumlah rata-rata Tetrastichus schoenobii yang ditemukan di petak lahan sistem organik pada minggu ke-10 MST adalah 86.33 ekor. Jumlah ini lebih banyak daripada yang ditemukan saat tanaman berumur 8 MST dan 12 MST. Jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan saat pengamatan sangat bergantung dari jumlah kelompok telur yang ditemukan. Semakin banyak kelompok telur yang ditemukan maka jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan juga semakin banyak. Pada minggu ke-12 MST Tetrastichus schoenobii menjadi parasitoid utama yang ditemukan. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Organik Konvensional
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
Umur tanaman Gambar 9 Fluktuasi jumlah rata-rata Tetrastichus schoenobii yang keluar dari kelompok telur PBPK Parasitoid telur yang ditemukan di lapang tingkat parasitisasinya berbeda sesuai dengan waktu pengamatan. Trichogramma japonicum merupakan parasitoid yang populasi dan tingkat parasitisasinya paling rendah. Rauf (2000) menyatakan bahwa, rendahnya tingkat parasitisasi T. japonicum dikarenakan oleh perbedaan tekstur kelompok telur. Parasitoid T. japonicum tidak menyukai kelompok telur yang ditutupi sisik. Hal ini juga dibenarkan oleh Baehaki (2013) yang menyatakan bahwa T. japonicum bertubuh sangat kecil dan sangat sulit menembus kelompok telur PBPK dan PBPP. Telenomus rowani merupakan parasitoid yang mempunyai tingkat parasitasi tertinggi. tingkat parasitisasi T. rowani anatara 0-100% dan paling banyak ditemukan memarasit kelompok telur PBPK. Tingginya tingkat parasitisasi Telenomus rowani pada pengamatan ini
15 disebabkan oleh parasitoid tersebut lebih mudah menyebar dan mencari inang di lapang (Hamijaya et al. 2004). Walaupun relatif lebih unggul Telenomus rowani juga kurang memberikan harapan karena masih banyak larva yang dapat muncul dari telur yang terparasit. parasitoid dengan tingkat parasitisasi tinggi lainnya adalah Tetrastichus schoenobii. Tingkat parasitisasi T. Schoenobii mencapai 0100%. Minggu ke-12 MST, Tetrastichus schoenobii terlihat dominan dibandingkan dengan parasitoid lainnya. Saat populasi Tetrastichus schoenobii dominan, hampir tidak ada larva yang muncul dari kelompok telur PBPK. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharto dan Usyati (2009) yang mengatakan bahwa T. schoenobii merupakan parasitoid yang paling efektif dibandingkan dengan parasitoid lainnya. Hal ini terkait dengan sifat parasitoid T. schoenobii yang juga berperan sebagai predator. Dilaporkan bahwa setiap larva T. schoenobii mampu memangsa 2-3 butir kelompok telur dan daya kompetisinya sangat kuat (Tabel 8). Selain parasitisasi tunggal oleh satu parasitoid, pada pengamatan ini juga ditemukan parasitisasi ganda, yaitu kombinasi antara T. rowani dan T. japonicum serta kombinasi T.rowani dan T.schoenobii. Kombinasi T. Rowani dan T. Schoenobii merupakan kombinasi yang paling banyak ditemukan. Tingkat parasitisasi kombinasi kedua parasitoid mampu mencapai 100%. Tingkat parasitisasi tertingi seluruh parasitoid ditemukan pada minggu ke-8 MST kemudian pada minggu ke-10 MST masing masing 70.74% dan 64.02% pada lahan sistem organik serta 66.48% dan 53.8% pada lahan sistem konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak kelompok telur yang ditemukan di lapang tidak mempengaruhi tingkat parasitisasi tetapi akan mempengaruhi jumlah larva dan parasitoid yang muncul.
13
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Parasitoid telur PBPK yang ditemukan ada tiga, yaitu Trichogramma japonicum, Telenomus rowani, dan Tetrastichus schooenobii. Kelimpahan parasitoid telur PBPK di lahan sistem budidaya organik lebih banyak dibandingkan pada lahan sistem budidaya konvensional. Kelimpahan parasitoid telur PBPK antara lahan organik dan konvensional tidak berbeda nyata antara 6 MST, 8 MST, dan 12 MST, tetapi berbeda nyata pada 10 MST. Parasitoid T. rowani merupakan parasitoid yang dominan ditemukan pada minggu ke-8 dan 10 MST. T. schoenobii merupakan parasitoid yang dominan ditemukan dominan pada minggu ke-12 MST Saran Parasitoid telur PBPK berpotensi untuk menekan populasi PBPK di lapang. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui teknik manipulasi populasi parasitoid telur PBPK di lapang dan cara memadukan dengan teknik pengendalian lain yang kompatibel agar efektif dalam mengendalikan PBPK.
13
DAFTAR PUSTAKA Amuwitagama I. 2002. Analysis of pest management methods used for rice stem borer (Scirpophaga incertulas) in Sri Lanka based onthe concept sustainable development (Thesis). Sri Lanka. Land University Barion AT, Litsinger JA. 1994. Taxonomy of Rice Insect Pests and Their Arthropod Parasites and Predators. Los Banos (PH). IRRI Djunaedy A. 2009. Ketahanan padi (Way Apo Baru, Sinta Nur, Ciherang, Singkil, dan IR 64) terhadap serangan penyakit bercak cokelat (Drechslera oryzae). Agrovigor. 2(1):8-13 EffendI BS. 2013. Penggerek batang padi dan teknologi pengendalian. Iptek Tanaman Pangan. 8(1):1-14 Hamijaya MZ, Tamrin M, Asikin S. 2004. Dominasi spesies parasitoid telur penggerek batang padi pada tipelogi lahan basah di Kalimantan Selatan. Prosiding seminar nasional entomologi dalam perubahan lingkungan sosial. 2004 Oktober 5. Bogor (ID): Hlm 467-474 Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesië. Latif A. 2012. Hama penggerek batang serang tanaman padi. Kompas [internet] [diunduh 2014 Mei 25]. Tersedia pada http://regional.kompas.com/read/2012/05/15/19581752/Hama.Penggerek batang serang tanaman padi Lubis Y. 2005. Peranan keanekaragaman hayati artropoda sebagai musuh alami pada ekosistem padi sawah. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. 3(3):16-24 Misnaheti, Baco J, Aisyah. 2010. Tren perkembangan penggerek batang pada tanaman di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan: 2010 Mei 27; Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan (ID): PEI. Hlm 410-415 Muralidharan IP. 2006. Assessments of crops losses in rice ecosystems due to stem borer damage (Lepidoptera: Pyralidae) Crop Prot. 25:409-417 Rachmawati A. 2012. Dinamika Populasi Parasitoid Penggerek Batang Padi Kunig, Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi di Klaten (skripsi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Rauf A. 2000. Parasitisasi telur penggerek batang padi putih, Scirpophaga innotata (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), saat terjadi ledakan di karawang pada awal 1990-an. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan.12(1): 1-10. Santoso JS, Sulistyo J. 2007. Peranan musuh alami hama utama padi pada ekosistem sawah. J INNOFARM. 6(1). (1-10) Shepard B, Barrion AT, Litsinger JA. 1995. Serangga, laba-laba dan patogen yang membantu. Ed ke-7. Untung K dan Wirjosuharjo S, penerjemah. Philipina (PH). Helpful insect, spiders, and phathogens. IRRI 127 hlm. Suharto H, Usyati N. 2005. The stem borer infestation on rice cultivars at three planting times. Indones J Agric Sci. 6(2):39-45
18 Suharto H, Usyati N. 2009. Pengendalian hama penggerek batang padi. Laporan balai besar penelitian tanaman padi. Hlm. 323-246 Supartha INY, Wijana G, Adnyana GM. 2012. Aplikasi jenis pupuk organik pada tanaman padi sistem pertanian organik. J Agrotek Trop. 1(2): 98-106 Van der Goot P. 1925. Levenswijze en bestrijding van den witten rijstboorder op Java. Meded Inst Plantenziekten 66: 1-308. Wangiyana W, Laiwan Z, Sanisah. 2009. Pertumbuhan dan hasil tanaman padi var. Ciherang dengan teknik budidaya “SRI (System of rice intensification)” pada berbagai umur dan jumlah bibit per lubang tanam. Crop Agro. 2(1):7078 Wilyus, Nurdiansyah F, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y. 2012. Potensi parasitoid telur penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker) pada beberapa tipologi lahan di provinsi Jambi. JHPT Trop. 12(1):56-63 Winarso S.2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Yogyakarta (ID) : Gava Media Yunus M. 2012. Kehidupan Scirpophaga incertulas dan Peran Trichogamma japonicum sebagai Pengendali Populasi (disertasi). Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada. .
13
LAMPIRAN
20 Lampiran 1 Hasil analisis ragam jumlah kelompok telur di lahan sistem organik dan konvensional Sumber 8 MST Perlakuan Galat Total Terkoreksi 10 MST Perlakuan Galat Total Terkoreksi
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
1 4 5
0.66666667 10.66666667 11.33333333
0.66666667 2.66666667
0.25
0.6433
1 4 5
2.66666667 66.66666667 69.33333333
2.66666667 16.66666667
0.16
0.7096
Lampiran 2 Hasil analisis ragam jumlah total parasitoid di lahan sistem organik dan konvensional Sumber DB JK KT F hit Pr > F 8 MST Perlakuan 1 130.666667 130.666667 0.07 0.8086 Galat 4 7804.666667 1951.166667 Total Terkoreksi 5 7935.333333 10 MST Perlakuan 1 24193.50000 24193.50000 12.27 0.0248 Galat 4 7889.33333 1972.33333 Total Terkoreksi 5 32082.83333 Lampiran 3 Hasil analisis ragam persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK pada lahan sistem organik dan konvensional Sumber DB JK KT F hit Pr > F 8 MST Perlakuan 1 27.264017 27.264017 0.03 0.8636 Galat 4 3250.475867 812.618967 Total Terkoreksi 5 3277.739883 10 MST Perlakuan 1 156.774817 156.774817 0.34 0.5905 Galat 4 1837.743333 459.435833 Total Terkoreksi 5 1994.518150
21 Lampiran 4 Hasil analisis ragam jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan di lahan sistem organik dan konvensional Sumber DB JK KT F hit Pr > F 8 MST Perlakuan 1 88.166667 88.166667 0.19 0.6855 Galat 4 1856.666667 464.166667 Total Terkoreksi 5 1944.833333 10 MST Perlakuan 1 2688.166667 2688.166667 2.76 0.1718 Galat 4 3890.666667 972.666667 Total Terkoreksi 5 6578.833333 Lampiran 5 Hasil analisis ragam jumlah Telenomus rowani yang ditemukan di lahan sistem organik dan konvensional Sumber DB JK KT F hit Pr > F 8 MST Perlakuan 1 468.166667 468.166667 0.23 0.6580 Galat 4 8219.333333 2054.833333 Total Terkoreksi 5 8687.500000 10 MST Perlakuan 1 10752.66667 10752.66667 4.09 0.1133 Galat 4 10525.33333 2631.33333 Total Terkoreksi 5 21278.00000 Lampiran 6 Hasil analisis ragam jumlah larva PBPK yang ditemukan di lahan sistem organik dan konvensional Sumber DB JK KT F hit Pr > F 8 MST Perlakuan 1 7993.50000 7993.50000 1.11 0.3520 Galat 4 28873.33333 7218.33333 Total Terkoreksi 5 36866.83333 10 MST Perlakuan 1 5828.16667 5828.16667 0.40 0.5606 Galat 4 58018.66667 14504.66667 Total Terkoreksi 5 63846.83333
13
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Gelumbang pada tanggal 6 Maret 1993 dari ayah Wahidin dan ibu Umi Kalsum. Penulis adalah putra ke empat dari empat bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kikim Timur dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Dasar-Dasar Proteksi Tanaman pada tahun ajaran 2013/2014. Penulis pernah aktif sebagai staf komisi 2 dewan perwakilan mahasiswa tingkat persiapan bersama (DPM TPB) periode 2010/2011. Ketua divisi penegak disiplin masa perkenalan departemen proteksi tanaman angkatan 48 (MPD PTN 48), dan ketua divisi dana usaha (Danus) Migratoria PTN 48.