PENGAMATAN PARASITOID TELUR PADA Chrysocoris javanus Westw. (HEMIPTERA: SCUTELLERIDAE) DI BEBERAPA WILAYAH PERTANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn.) DI KABUPATEN BOGOR
HAFSAH ADAWIYATUL QODIR
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ABSTRAK HAFSAH ADAWIYATUL QODIR. Pengamatan Parasitoid Telur pada Chrysocoris javanus Westw. (Hemiptera: Scutelleridae) di Beberapa Wilayah Pertanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NINA MARYANA. Tanaman jarak pagar merupakan salah satu tanaman sumber energi biodiesel yang potensial dan banyak dikembangkan saat ini. Namun dengan adanya penanaman dalam skala besar dan dengan sistem pertanaman monokultur sangat berpotensi untuk munculnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dapat menurunkan produksi. Salah satunya adalah serangan hama Chrysocoris javanus. Hama ini dapat menimbulkan kerusakan pada buah sehingga menyebabkan buah tidak dapat dipanen. Sementara itu tindakan pengendalian hanya berkisar pada tindakan mekanik dan kimia, sedangkan pemanfaatan musuh alami yang berpotensi belum dikembangkan, sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis parasitoid, tingkat populasi dan tingkat parasitisasi parasitoid pada telur C. javanus di lapang. Penelitian ini dilaksanakan di pertanaman jarak pagar yang berlokasi di Leuwikopo (Darmaga), Citeureup, dan Ciawi, Kabupaten Bogor. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan pola diagonal dengan jumlah tanaman contoh di Leuwikopo 100 tanaman, di Citeureup dan Ciawi masing-masing 300 tanaman, disesuaikan dengan luas lahan yang ada. Pengamatan terhadap C. javanus meliputi pengamatan imago, telur, nimfa instar awal dan perilaku. Pengamatan terhadap parasitoid meliputi jenis parasitoid yang ditemukan dan tingkat populasinya, tingkat parasitisasi telur dan kelompok telur serta perilaku parasitoid. Tubuh imago C. javanus berwarna merah dengan garis hitam melintang pada bagian dorsal. Telur berbentuk silinder seperti drum, stadia telur berkisar antara 5 – 7 hari. Telur C. javanus yang sehat dan terparasit dapat dibedakan berdasarkan warna telur, telur yang sehat berwarna orange, sedangkan telur yang terparasit berwarna hitam. Parasitoid yang ditemukan memarasit telur C. javanus yaitu Anastatus sp. (Eupelmidae), Famili Pteromalidae dan Famili Scelionidae. Parasitoid Famili Pteromalidae mendominasi populasi di lahan Citeureup dan Ciawi, dengan tingkat rata-rata populasi tertinggi 173 individu. Tingkat parasitisasi telur ketiga parasitoid yang ditemukan relatif tinggi berkisar antara 60,10 – 97,04%. Persentase telur C. javanus yang tidak menetas relatif rendah berkisar antara 2,40 – 6,47% dan tingkat parasitisasi kelompok telur relatif tinggi mencapai 100% di Leuwikopo.
PENGAMATAN PARASITOID TELUR PADA Chrysocoris javanus Westw. (HEMIPTERA: SCUTELLERIDAE) DI BEBERAPA WILAYAH PERTANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn.) DI KABUPATEN BOGOR
HAFSAH ADAWIYATUL QODIR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Pengamatan Parasitoid Telur pada Chrysocoris javanus Westw. (Hemiptera: Scutelleridae) di Beberapa Wilayah Pertanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) di Kabupaten Bogor
Nama
: Hafsah Adawiyatul Qodir
NRP
: A34052658
Disetujui
Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. Dosen Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. Dadang, M.Sc. Ketua Departemen Proteksi tanaman
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 12 Maret 1988. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan Ujang Abdul Qodir dan Nyai Aan Nurhasanah. Tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMA Negri 1 Leuwiliang dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis mengambil mayor Proteksi Tanaman dan Minor Manajemen Fungsional Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi anggota salah satu kelompok Program Kreativitas Mahasiswa bidang Teknologi (PKMT) IPB tahun 2007 dan bidang Penelitian (PKMP) pada tahun 2008. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Biologi Patogen Tumbuhan pada tahun 2007/2008, dan Entomologi Umum pada tahun 2008/2009 dan 2009/2010 di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk setiap petunjuk dan kemudahan yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta ayahanda Ujang Abdul Qodir dan ibunda Nyai Aan Nurhasanah yang telah membesarkan dan mendidik penulis hingga menjadi seperti sekarang ini, adik-adikku (Wildah, Munzikaelan, Tazqi, dan Aliya), Luthfi beserta kakak-kakakku (Ir. Syamsul B. Agus, M.Si. dan Adriani, S.Pi.) yang telah memberikan kasih sayang, semangat dan dukungan selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yaitu Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan skripsi serta selaku pembimbing akademik, Dr. Ir. Endang Nurhayati, M.S. selaku dosen penguji tamu. Keluarga besar Laboratorium Biosistematika Serangga, Dra. Dewi Sartiami, M.Si., Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc., Bu Aisyah, Teh Lia, Kak Elsa, Mbak Sinta, Mbak Atik, Nila, Ozi, Febri, dan Acuy, terima kasih atas bantuan dan dukungan semangat selama ini. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Mbak Fifin, Mas Bayu, Wisnu, Mas Ali dan Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), Pak Ibrohim dan Pak Ali serta staf PT. Indocement, Pak Mamat petani jarak Ciawi, Pak Sarjo dan Pak Nana staf dosen AGH yang telah memberikan izin menggunakan lahan Leuwikopo. Nisa, Rita, Sulis, Dede, Nurul, Patmi, Wanto, Huda, Mahatir, Triva, Aryo, Anci, Ana dan semua teman-teman 42 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, teman-teman angkatan 43, 44 dan 45, terima kasih atas dukungan, bantuan, persahabatan serta kebersamannya selama ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat secara umum maupun perkembangan IPTEK khususnya dalam bidang proteksi tanaman.
Bogor, Februari 2010
Hafsah Adawiyatul Qodir
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
ix
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................ Manfaat Penelitian ...............................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
3
Minyak Tanaman Jarak Pagar .............................................................. Morfologi dan Bioekologi Tanaman Jarak Pagar ................................... Budidaya Tanaman Jarak Pagar ........................................................... Hama dan Penyakit pada Tanaman Jarak Pagar ................................... Chrysocoris javanus Westw. ............................................................... Parasitoid pada Chrysocoris javanus ....................................................
3 4 6 8 8 9
BAHAN DAN METODE .............................................................................
13
Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. Metode Penelitian ............................................................................... Penentuan Petak Contoh dan Tanaman Contoh ........................... Pengambilan Sampel Telur ........................................................ Pengamatan Chrysocoris javanus .............................................. Pengamatan Parasitoid Telur ......................................................
13 13 13 14 14 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Keadaan Lahan Pengamatan ................................................................ Leuwikopo .................................................................................. Citeureup .................................................................................... Ciawi .......................................................................................... Imago, Telur, dan Nimfa Chrysocoris javanus ..................................... Parasitoid Telur yang Ditemukan Selama Penelitian ............................ Anastatus sp. .............................................................................. Famili Pteromalidae .................................................................... Famili Scelionidae ...................................................................... Perilaku Parasitoid ...................................................................... Rata-rata Populasi Parasitoid di Lahan Pengamatan ............................. Tingkat Parasitisasi Telur Chrysocoris javanus .....................................
16 16 16 17 18 18 23 24 25 27 28 29 31
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... Kesimpulan .......................................................................................... Saran ...................................................................................................
34 34 34
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
35
LAMPIRAN .................................................................................................
38
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Jadwal pengamatan dan pengambilan telur di lapang ....................
14
2
Ukuran telur Chrysocoris javanus ..................................................
21
3
Stadia dan persen penetasan telur Chrysocoris javanus ..................
22
4
Jumlah telur Chrysocoris javanus yang terparasit dan tidak menetas
32
5
Tingkat parasitisasi kelompok telur Chrysocoris javanus ...............
33
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Diagram pengambilan tanaman contoh ........................................
13
2
Lahan jarak pagar di Leuwikopo ...................................................
16
3
Lahan jarak pagar di Citeureup ......................................................
17
4
Lahan jarak pagar di Ciawi ............................................................
18
5
Imago Chrysocoris javanus jantan dan betina ...............................
19
6
Perbedaan ujung abdomen Chrysocoris javanus betina dan jantan .
19
7
Gejala serangan Chrysocoris javanus pada buah jarak pagar .........
20
8
Peletakkan telur oleh imago Chrysocoris javanus di dalam kurungan pemeliharaan dan di lapang ............................................................
20
9
Telur Chrysocoris javanus .............................................................
21
10
Chrysocoris javanus instar 1 dan instar 2 ......................................
23
11
Telur Chrysocoris javanus tidak terparasit dan terparasit ..............
24
12
Imago Anastatus sp. jantan dan betina ............................................
25
13
Antena imago Anastatus sp. jantan dan betina ................................
25
14
Parasitoid Famili Pteromalidae jantan dan betina ...........................
26
15
Antena imago parasitoid Famili Pteromalidae jantan dan betina .....
26
16
Parasitoid Famili Scelionidae jantan dan betina .............................
27
17
Antena imago parasitoid Famili Scelionidae jantan dan betina .......
28
18
Imago parasitoid Famili Pteromalidae sedang kopulasi dan imago betina sedang memarasit telur Chrysocoris javanus ......................
28
19
Rata-rata tingkat populasi parasitoid pada telur Chrysocoris javanus di Leuwikopo, Citeureup, dan Ciawi .................................................. 30
20
Tingkat parasitisasi telur Chrysocoris javanus ...............................
32
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3
Perubahan warna pada telur Chrysocoris javanus hari ke-1, hari ke-3,4, dan hari ke-5,6 ............................ ........................................
39
Imago Chrysocoris javanus yang berkumpul di permukaan bawah daun ...............................................................................................
39
Perbedaan cangkang telur Chrysocoris javanus yang terparasit dan tidak terparasit ...............................................................................
39
PENDAHULUAN
Latar belakang Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) merupakan salah satu tanaman sumber energi biodisel yang potensial karena kandungan minyak dalam biji jarak pagar mencapai lebih dari 40% (Wirawan 2005 dalam Nurcholis dan Sumarsih 2007). Potensi tanaman jarak pagar ini dapat menjadi salah satu cara untuk menanggulangi terjadinya penurunan produksi BBM (bahan bakar minyak) fosil (Nurcholis dan Sumarsih 2007). Tanaman jarak pagar ini relatif mudah dibudidayakan. Keunggulan lain tanaman ini yaitu tanaman dapat tumbuh pada berbagai jenis lahan seperti lahan yang beriklim kering, lahan marjinal dan lahan kritis (Hambali et al. 2006; Nurcholis dan Sumarsih 2007). Karena berbagai kelebihannya maka akhir-akhir ini tanaman jarak pagar mulai banyak ditanam dan dikembangkan di Indonesia. Menurut data Departemen Pertanian (2009), lahan jarak di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 6043 ha, dengan produksi mencapai 1047 ton per tahun. Meskipun tanaman jarak pagar dikenal sebagai tanaman yang beracun dan memiliki sifat sebagai insektisida, namun dengan adanya penanaman dalam skala besar dan dengan sistem pertanaman monokultur, maka keadaan itu sangat berpotensi untuk menimbulkan serangan hama dan munculnya penyakit tanaman. Hal tersebut dapat mengganggu pertumbuhan tanaman yang akan menurunkan produksi buah atau biji. Hama yang menyerang tanaman jarak pagar antara lain Valanga spp., Locusta migratoria (Orthoptera: Acrididae), Chrysocoris javanus (Hemiptera: Scutelleridae), Agrotis ipsilon, Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae), dan Parasa lepida (Lepidoptera: Limacodidae) (Hambali et al. 2006; Prihandana dan Hendroko 2006; Priyanto 2007). C. javanus atau kepik lembing adalah salah satu hama penting pada jarak pagar yang menyerang pada masa generatif, terutama pada buah. Serangannya dapat menimbulkan kerugian yang cukup berarti, karena hama ini menyerang jarak pada saat pembungaan dan menjelang pembentukan buah.
Kepik ini
menghisap buah, sehingga menimbulkan kerusakan pada kapsul buah yang sedang
2 berkembang dan dapat menyebabkan buah tidak dapat dipanen (Deptan 2007; Rumini dan Karmawati 2007). Oleh karena itu, tindakan pengendalian terhadap C. javanus perlu dilakukan.
Beberapa tindakan pengendalian yang pernah
dilakukan adalah secara mekanik, penggunaan pestisida sintesis, pestisida nabati, dan penggunaan musuh alami hama seperti parasitoid, predator, dan entomopatogen (Nurcholis dan Sumarsih 2007). Rumini dan Karmawati (2007) melaporkan dua jenis parasitoid yang pernah ditemukan menyerang telur C. javanus, yaitu Anastatus sp. (Hymenoptera: Eupelmidae) dan Epiterobia sp. (Hymenoptera: Pteromalidae).
Akan tetapi,
informasi penggunaan musuh alami sebagai pengendali C. javanus masih terbatas, terutama informasi mengenai jenis-jenis parasitoidnya. Selain parasitoid tersebut, kemungkinan ditemukannya jenis parsitoid lain yang dapat menyerang C. javanus cukup besar. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai keragaman jenis parasitoid telur yang ada pada pertanaman jarak dan potensinya sehingga dapat menambah informasi dalam mengendalikan hama C. javanus secara hayati di lapang.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis parasitoid, tingkat populasi dan tingkat parasitisasi parasitoid pada telur C. javanus di tiga lokasi pertanaman jarak pagar di Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keragaman jenis parasitoid dan tingkat parasitisasi parasitoid pada telur C. javanus yang dapat dikembangkan untuk aplikasi PHT pada pertanaman jarak pagar.
TINJAUAN PUSTAKA Minyak Tanaman Jarak Pagar Bahan bakar nabati (BBN) adalah semua bahan bakar yang berasal dari minyak nabati.
BBN dapat berupa biodiesel, bioetanol, atau bio-oil (minyak
nabati murni).
BBN ini dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar, baik dalam
bentuk esternya (biodiesel), atau anhydrous alkoholnya (bioetanol) maupun minyak nabati murninya (pure plant oil atau PPO). Biodiesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati setelah adanya perubahan sifat kimia karena proses transesterifikasi yang memerlukan tambahan metanol (Prastowo 2007). Penggunaan biodiesel sebagai sumber energi dapat menjadi salah satu solusi dalam menghadapi kelangkaan energi fosil pada masa yang akan datang. Bila dibandingkan dengan bahan bakar diesel atau solar, biodiesel bersifat lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui (renewable), dapat terurai (biodegradable), memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin karena termasuk kelompok minyak tidak mengering (non-drying oil), mampu mengeliminasi efek rumah kaca, dan kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin. Biodiesel bersifat ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih baik dibandingkan diesel atau solar, terbakar sempurna, dan tidak menghasilkan racun (nontoxic) (Hambali et al. 2006). Banyak jenis komoditas perkebunan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif atau sebagai sumber bahan bakar nabati. Komoditas tersebut terutama adalah tanaman yang dapat menghasilkan minyak lemak nabati, yang secara mudah dapat diubah menjadi biodiesel maupun digunakan langsung, selain itu umur tanaman pendek atau cepat menghasilkan, biaya budidaya murah, perawatan mudah, bisa tumbuh di berbagai tempat (termasuk lahan kritis) dan kandungan minyaknya tinggi (rendemen 35 – 38%). Salah satu tanaman yang baik dijadikan sebagai sumber bahan bakar nabati adalah tanaman jarak pagar (Prihandana dan Hendroko 2006; Prastowo 2007). Biji jarak pagar terdiri dari 60% berat kernel (daging biji) dan 40% berat kulit. Inti biji jarak pagar (kernel) mengandung sekitar 50% minyak sehingga
4 dapat diekstrak menjadi minyak jarak dengan cara mekanis ataupun ekstraksi dengan pelarut seperti heksana. Kandungan minyak jarak pagar per ha mencapai 1590 kg atau 1892 liter. Minyak jarak pagar terdiri dari komposisi trigliserida, asam lemak esensial dan toksin berupa phorbol ester dan curcin. Komponen terbesar minyak jarak adalah trigliserida yang mengandung asam lemak oleat dan linoleat (Hambali et al. 2006). Kandungan minyak jarak pagar dipengaruhi oleh tingkat kemasakan buah. Beberapa tingkatan buah jarak pagar dalam satu ranting yaitu (1) buah muda, ditandai dengan kulit buah berwarna hijau muda, biji berwarna putih, daging biji belum terbentuk masih berupa air yang keruh, biji ini belum mengandung minyak; (2) buah setengah tua, ditandai dengan kulit buah berwarna hijau, kulit biji berwarna coklat muda keputih-putihan, daging biji telah terbentuk namun masih lunak, biji juga belum mengandung minyak; (3) buah tua, ditandai dengan kulit buah berwarna hijau tua, biji berwarna hitam dan keras, biji telah mengandung minyak walaupun masih rendah; (4) buah masak, kulit buah berwarna kuning sampai hitam, biji telah berwarna hitam mengkilat dan keras, kandungan minyak paling tinggi; dan (5) buah lewat masak, buah telah kering atau telah jatuh, tergantung pada kondisi lingkungan, jika kondisi kering maka buah dapat tergantung di pohon selama 2 – 3 bulan ditandai dengan kulit buah telah mengering dengan warna coklat kehitaman.
Dalam keadaan basah, buah akan
jatuh dan berkecambah, dalam kondisi demikian kandungan minyaknya sangat rendah (Indartono 2006). Menurut Yeyen et al. (2006 dalam Indartono 2006), panen buah pada tingkat 4, memberikan hasil minyak tertinggi yaitu 30,32% untuk buah berwarna kuning dan 31,47% untuk buah hitam. Buah pada tingkat 3, kandungan minyaknya hanya 20,70%.
Morfologi dan Bioekologi Tanaman Jarak Pagar Klasifikasi tanaman jarak pagar yaitu (Hambali et al. 2006) Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Ordo
: Euphorbiales
5 Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: Jatropha curcas Linn. Jarak pagar adalah tanaman yang berasal dari Amerika Tengah yang
mempunyai 4 varietas, yaitu varietas Cape Verde, Nicaragua, Ife-Nigeria, dan varietas tidak beracun Mexico. Varietas Cape Verde merupakan varietas yang umum terdapat di seluruh dunia dan bersifat toksik karena mengandung senyawa lektine dan ester forbol (Henning 2005 dalam Nurcholis dan Sumarsih 2007). Jarak pagar merupakan tanaman perdu yang dapat mencapai umur 50 tahun. Tinggi tanaman pada kondisi normal adalah 1 – 7 m, percabangan tidak teratur dengan ranting bulat dan tebal. Batang mengandung getah seperti lateks berwarna putih atau kekuningan (Nurcholis dan Sumarsih 2007). Daun jarak pagar adalah daun tunggal berlekuk dan bersudut 3 atau 5, berbentuk bulat telur dengan pangkal berbentuk jantung dengan panjang 5 – 15 cm. Daunnya tersebar sepanjang batang dan mempunyai bentuk tulang daun yang menjari dengan jumlah tulang 5 – 7 tulang. Bunga jarak merupakan bunga majemuk berbentuk malai, berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal dan berumah satu (bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tanaman). Bunga mulai muncul saat tanaman berumur 3 – 4 bulan dan umumnya muncul pada musim kemarau. Bunga muncul pada bagian ujung dari percabangan dan terdiri atas bunga jantan dan bunga betina dalam setiap malai. Bunga betina 4 – 5 kali lebih banyak dari bunga jantan. Buah tersusun dalam tandan buah, setiap tandannya bersisi 10 buah atau lebih. Bentuk buah membulat atau bulat telur, berukuran panjang 2 – 4 cm. Pada umumnya buah terdiri dari 3 ruang biji. Buah matang ditandai dengan perubahan warna kulit buah dari hijau menjadi kuning dan kehitaman. Biasanya buah masak pertama kali setelah tanaman berumur 6 – 8 bulan. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna cokelat kehitaman. Bagian biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30 – 50% dan mengandung toksin sehingga tidak dapat dimakan (Hambali et al. 2006; Nurcholis dan Sumarsih 2007). Tanaman jarak pagar dapat tumbuh di berbagai daerah dengan agroklimat yang beragam, dari daerah tropis yang sangat kering sampai subtropis lembab
6 maupun daerah hutan basah. Curah hujan yang sesuai adalah 625 mm per tahun, namun tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan 300
–
2380 mm per tahun. Kisaran suhu yang sesuai untuk bertanam jarak adalah 20 – 26oC, suhu yang terlalu tinggi (di atas 35oC) atau terlalu rendah (di bawah 15oC) akan menghambat pertumbuhan serta mengurangi kadar minyak dalam biji dan mengubah komposisinya. Tanah yang sesuai adalah tanah geluh pasiran dengan kondisi pH tanah 5,0 – 6,5 (Hambali et al. 2006; Hamdi 2005 dalam Nurcholis dan Sumarsih 2007). Jarak pagar mempunyai sistem perakaran yang mampu menahan air dan tanah sehingga tahan terhadap kekeringan serta berfungsi sebagai tanaman penahan erosi (Hambali et al. 2006).
Budidaya Tanaman Jarak Pagar Tanaman jarak pagar merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada berbagai jenis kondisi lahan, pada lahan di dataran rendah maupun di lereng bukit, yang penting lahan tidak tergenang dan memiliki drainase baik (Hambali et al. 2006). Menanam jarak pagar dapat dilakukan dengan menyemai benih terlebih dahulu atau dengan menanam stek batang langsung di lahan. Namun demikian, untuk menjamin keberhasilan pada awal pertumbuhan, lebih baik ditanam dalam bentuk bibit dari benih terutama apabila akan ditanam dalam jumlah besar di lahan kritis atau lahan yang tidak subur (Nurcholis dan Sumarsih 2007). Selain dengan benih dan bibit stek, ada beberapa cara lain untuk perbanyakan tanaman jarak pagar, yaitu okulasi, penyambungan dan kultur jaringan (Hambali et al. 2006). Pembibitan dapat dilakukan di polibag atau bedengan. Setiap polibag diisi media tanam berupa tanah lapisan atas (top soil) yang dicampur pupuk kandang. Tempat pembibitan dapat diberi naungan atau atap dari daun kelapa, jerami atau paranet. Lama pembibitan sekitar 2 – 3 bulan kemudian dipindahkan ke lapang. Kegiatan yang dilakukan selama pembibitan yaitu penyiraman, penyiangan, dan seleksi. Sebelum dilakukan pemindahan bibit ke lahan, harus dilakukan kegiatan persiapan lahan yang mencakup pembukaan lahan (land clearing), pengajiran dan pembuatan lubang tanam. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 3 m x 3 m (populasi 1100 pohon per ha), 2 m x 3 m (populasi 1600 pohon per ha), 2 m x 2 m
7 (populasi 2500 pohon per ha) dan 1,5 m x 2 m (populasi 3300 pohon per ha). Bila menggunakan bibit dalam polibag, lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm, sementara bila berupa stek bibit dapat langsung ditanam ke dalam lubang tanam. Pada areal yang miring sebaiknya penanaman dilakukan dengan sistem kontur dengan jarak tanam 1,5 m (Hambali et al. 2006). Penanaman sebaiknya dilakukan pada awal musim penghujan sehingga kebutuhan air bagi tanaman cukup tersedia. Untuk menjaga pertanaman jarak agar tumbuh cepat dan berproduksi optimal, maka perlu dilakukan penyiangan sedini mungkin, yaitu dimulai pada saat tanaman berumur 3 – 4 minggu. Penyiangan ini bertujuan untuk membersihkan lahan dari gulma ataupun tanaman lain yang dapat merusak atau menggangu pertumbuhan tanaman jarak. Pemupukan dilakukan untuk menambah ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Jenis dan dosis pupuk yang diperlukan disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah setempat. Jenis pupuk yang umum diperlukan tanaman yaitu pupuk organik (kompos atau pupuk kandang), N, P, K, dan Mg untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Hambali et al. 2006). Pemangkasan perlu dilakukan agar tanaman meningkatkan jumlah cabang produktif dengan bentuk dan ukuran tanaman yang baik. Kegiatan pemangkasan dapat dilakukan kira-kira sebulan setelah tanam atau setelah tinggi tanaman mencapai 40 – 60 cm. Penjarangan juga perlu dilakukan untuk mengurangi terjadinya kompetisi antar tanaman (Hambali et al. 2006; Nurcholis dan Sumarsih 2007). Tanaman dapat berproduksi pada umur 4 – 5 bulan, dengan produktivitas penuh terjadi pada umur sekitar 5 tahun dengan kemampuan menghasilkan 2 – 4 kg biji per tanaman per tahun. Produksi akan stabil setelah tanaman berumur lebih dari 5 tahun dan bila dipelihara dengan baik, tanaman jarak pagar dapat hidup lebih dari 20 tahun. Akan tetapi, produksi bunga dan biji ini dipengaruhi oleh curah hujan dan unsur hara. Kekurangan unsur hara akan menyebabkan produksi biji berkurang. Bila dalam setahun hanya terdapat satu kali musim hujan maka pembuahan biasanya hanya terjadi sekali dalam setahun.
Namun, bila
tanaman diberi pengairan maka pembuahan akan terjadi sampai tiga kali dalam setahun (Hambali et al. 2006).
8 Hama dan Penyakit pada Tanaman Jarak Pagar Jarak pagar dikenal sebagai tanaman yang beracun dan mempunyai sifatsifat sebagai insektisida. Namun demikian, beberapa jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) dilaporkan dapat menyerang tanaman ini dan menimbulkan kerusakan ekonomis pada perkebunan jarak. OPT yang menyerang tanaman jarak pagar adalah Valanga nigricornis (Orthoptera: Acrididae), Nezara viridula (Hemiptera: Pentatomidae), Chrysochoris javanus (Hemiptera: Scutelleridae), Ferrisia virgata, Nipaecoccus viridis (Hemiptera: Pseudococcidae), Leptocorisa oratorius (Hemiptera: Alydidae), Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae), Selenothrips rubrocinctus (Thysanoptera: Thripidae), Lagocheirus undatus (Coleoptera: Cerambycidae), Liriomyza sp. (Diptera: Agromyzidae), Spodoptera litura
(Lepidoptera: Noctuidae),
Chalcocelis
albiguttata, Parasa lepida
(Lepidoptera: Limacodidae), dan Tungau (Tarsonemidae dan Eriophyidae). Penyakit pada tanaman jarak adalah busuk akar (Clitocybe tabescens), busuk batang (Fusarium sp.), bercak daun bakteri (Xanthomonas rinicola), bercak daun coklat (Helminthosporium sp.), embun tepung (Oidium sp.), hawar daun (Phytopthora spp.), dan busuk buah (Botrytis ricini) (Prihandana dan Hendroko 2006; Nurcholis dan Sumarsih 2007; Rumini dan Karmawati 2007; Chandra 2008).
Chrysocoris javanus Westw. Salah satu serangga yang merupakan hama penting pada pertanaman jarak pagar di Indonesia adalah C. javanus atau kepik lembing. Siklus hidup serangga ini berkisar antara 60 – 80 hari. Telur berbentuk seperti tong dan diletakkan secara berkelompok di bawah permukaan daun.
Pada fase nimfa tubuhnya
berwarna hitam dengan bintik merah, kuning, dan hijau mengkilat, sementara bagian dorsal toraks berwarna hijau metalik. Nimfa hidup berkelompok. Ciri khas fase imago serangga ini yaitu tubuhnya mempunyai bentuk seperti perisai yang khas dengan skutelum yang berkembang baik. Warna tubuh didominasi oleh warna merah dengan garis-garis hitam melintang yang jelas (Dadang et al. 2007; Rumini dan Karmawati 2007). C. javanus memiliki antena lebih panjang dari kepala. Nimfa dan imago serangga ini gerakannya lambat (Kalshoven 1981).
9 Serangga ini selain ditemukan pada tanaman jarak pagar, ditemukan juga pada tanaman jarak kepyar (Ricinus communis) (Kalshoven 1981). C. javanus mulai menyerang jarak pagar pada saat pembungaan atau saat menjelang pembentukan buah. Serangga ini menghisap nutrisi dalam buah sehingga menimbulkan kerusakkan pada kapsul buah yang sedang berkembang. Bunga atau buah yang terserang akan menjadi coklat kehitaman dan mengering, bunga tidak bisa menjadi buah, sedangkan buah menjadi rusak dan tidak dapat dipanen (Sodiq 2006; Rumini dan Karmawati 2007). Pengendalian yang dapat dilakukan untuk hama ini yaitu secara mekanis dengan mengumpulkan telur, nimfa dan imago kemudian dimusnahkan; kultur teknis dengan tidak menanam tanaman inang lain seperti padi, jagung, kacang-kacangan, dan tanaman Solanaceae di sekitar areal pertanaman; pengendalian dengan pemanfaatan musuh alami; pestisida nabati dengan menggunakan ekstrak mimba; dan menggunakan insektisida berbahan aktif imidachlorpid dan MIPC (Metabolism of 2isopropylphenyl N-methyl carbamate) (Deptan 2007; Rumini dan Karmawati 2007).
Parasitoid pada Chrysocoris javanus Beberapa jenis parasitoid yang pernah dilaporkan ditemukan memarasit telur C. javanus adalah Anastatus sp. (Hymenoptera: Eupelmidae), Trissolcus latisulcus
(Hymenoptera:
Scelionidae),
Epiterobia
sp.
(Hymenoptera:
Pteromalidae) dan Ooencyrtus malayensis (Hymenoptera: Encyrtidae) (Rumini dan Karmawati 2007; Rider 2009). Anastatus sp. merupakan parasitoid yang termasuk ke dalam Superfamili Chalcidoidea, Subfamili Eupelminae. Beberapa spesies Anastatus dapat memarasit telur kecoa (Blattodea), dan Mantodea, bahkan ada yang muncul dari kokon Braconidae.
Walaupun secara umum inangnya
spesifik pada telur inang tertentu, tetapi kadang-kadang genus ini memarasit beberapa jenis inang lain dalam kondisi ekologi yang sama seperti pada Anastatus bifasciatus (Boucek 1988).
Menurut
Clausen (1940), selain bersifat
endoparasitoid, Anastatus juga ditemukan sebagai ektoparasitoid soliter pada puparium Ordo Diptera seperti Famili Tachinidae dan Cecidomyiidae. Endoparasitoid adalah perkembangan parasitoid di dalam inang, sedangkan
10 ektoparasitoid adalah parasitoid yang perkembangannya di luar inang.
Pada
parasiotid soliter hanya ada satu parasitoid yang dapat berkembang hingga imago pada satu individu inang (Van Driesche et al. 2008). Periode oviposisi Anastatus termasuk pendek dan kapasitas reproduksinya juga rendah.
Imago betina
Anastatus albitarsis rata-rata menempatkan 50 butir telur selama periode peletakkan 15 hari (Clausen 1940). Parasitoid yang termasuk ke dalam Famili Eupelmidae pada umumnya merupakan parasitoid primer atau sebagai hiperparasitoid dari fase telur atau larva dari berbagai macam serangga dan laba-laba (Aranae) (Gibson 1993; Borror et al. 1996). Panjang tubuh berkisar antara 1 – 10 mm. Biasanya berwarna gelap, seringkali metalik.
Morfologinya sangat bervariasi, meskipun beberapa jenis
spesies relatif mudah dibedakan dengan anggota Chalcidoidea lainnya dengan posisi cekungan pada tengah mesonotum (Borror et al. 1996; Naumann 1996). Sayap kadang brakhiptera atau mikroptera.
Venasi stigma dan post marjinal
relatif pendek dari venasi marjinal. Tungkai biasanya ramping, tidak pendek. Tungkai tengah dengan taji tibia yang besar, tarsus terdiri dari 5 ruas (Naumann 1996). Mesonotum datar dan terdapat notauli. Umumnya ukuran tubuh jantan kecil, jantan mirip dengan Pteromalidae jantan. Eupelmidae merupakan pelompat yang baik dengan mesopleuron cembung (Borror et al. 1996). Parasitoid ini juga memiliki kecenderungan yang tidak biasa yaitu apabila mati, posisi tubuh imago mirip huruf U, dimana kepala menyentuh bagian ujung metasoma dan tungkaitungkai mengarah ke depan (Borror et al. 1996). Kecenderungan ini dikarenakan adanya adaptasi unik dari sklerits dan otot mesotoraks untuk melompat (Pitkin 2004). Eupelmidae ditemukan di seluruh dunia dalam berbagai habitat (Borror et al. 1996). T. latisulcus merupakan parasitoid yang termasuk ke dalam Superfamili Platygastroidea. Trissolcus sp. dalam memarasit telur inang memiliki perilaku memeriksa dengan hati-hati semua telur yang tersedia dan tidak akan memarasit telur yang sebelumnya telah diparasit. Hal ini dilakukan dengan cara menusukkan ovipositor (Clausen 1940). Famili Scelionidae merupakan parasitoid pada telur serangga dan laba-laba (Naumann 1996). Secara umum panjang tubuh Famili Scelionidae berkisar antara
11 1 – 2,5 mm, ukuran tubuh paling kecil adalah 0,5 mm dan paling besar mencapai 10 mm. Warna tubuh famili ini didominasi warna hitam, kadang-kadang kuning atau banyak warna, seringkali dengan sculpture yang jelas, dan jarang dengan warna metalik. Antena biasanya dengan 9 – 10 ruas flagelomer, paling sedikit 4 ruas dan paling banyak mencapai 12 ruas.
Sayap depan dengan venasi
submarginal mencapai sisi depan dari sayap (Masner 1993). Imago betina dengan sersi seperti pelat (Naumann 1996).
Imago parasitoid Famili Scelionidae
umumnya berada pada lingkungan yang lebih terbuka dan terpapar sinar matahari seperti padang rumput, tetapi dapat juga berada pada lingkungan berupa gurun pasir, hutan, tanah, dan air.
Anggota Famili Scelionidae terbagi pada tiga
kelompok subfamili yaitu Scelioninae, Telesinae, dan Telenominae (Masner 1993). Famili Pteromalidae adalah satu kelompok yang besar dari Hymenoptera parasitoid, termasuk ke dalam Superfamili Chalcidoidea. Sebagian besar anggota dari famili ini ditempatkan dalam dua subfamili yaitu Miscogasterinae dan Pteromalinae (Borror et al. 1996). Pada umumnya serangga famili ini berwarna gelap atau pucat, seringkali metalik.
Femur tungkai terakhir kadang-kadang
membesar. Tarsi terdiri dari 5 ruas (Naumann 1996). Antena terdiri dari 5 ruas atau lebih, dan pronotum dilihat dari arah dorsal menyempit pada bagian anterior. Famili Pteromalidae dapat berperan sebagai parasitoid soliter atau gregarius, beberapa jenis ada juga yang bersifat sebagai hiperparasitoid.
Famili
Pteromalidae terdiri dari 39 Subfamili, di antaranya adalah Akapalinae, Asaphinae,
Pteromalinae,
Pireninae,
Miscogasterinae,
Eunotinae,
dan
Macromesinae (Gibson 1993). Ooencyrtus malayensis merupakan parasitoid yang termasuk ke dalam Superfamili Chalcidoidea. Parasitoid ini dapat memarasit telur Pentatomidae, dengan siklus hidup berkisar antara 12 – 13 hari. Beberapa spesies memakan cairan telur inangnya (Clausen 1940). Pada umumnya genus ini memarasit telur Hemiptera, Neuroptera, dan Lepidoptera (Borror et al. 1996). Menurut Borror et al. (1996), panjang tubuh Famili Encyrtidae berkisar antara 1 – 2 mm dengan mesopleuron yang cembung dan lebar serta tidak berlekuk. Tubuh berwarna gelap atau pucat, seringkali metalik. Antena terdiri
12 dari 5 – 11 ruas (Naumann 1996). Koksa depan dan tengah saling berdekatan dan mesonotum cembung. Kisaran inang Famili Encyrtidae mencakup Ordo Othoptera,
Hemiptera,
Neuroptera,
Diptera,
Lepidoptera,
Coleoptera,
Hymenoptera dan laba-laba (Borror et al. 1996; Van Driesche et al. 2008). Inang yang diserang dapat dalam fase telur, larva, nimfa dan imago. Selain sebagai parasitoid,
beberapa
Famili
Encyrtidae
hiperparasitoid (Borror et al. 1996).
juga
dapat
berperan
sebagai
Beberapa jenis dari Famili Encyrtidae
memiliki reproduksi poliembrio yang memungkinkan ribuan individu muncul dari satu inang (Clausen 1940; Borror et al. 1996).
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan contoh telur dilakukan pada tiga pertanaman jarak pagar di Kabupaten Bogor yang berlokasi di Leuwikopo (Kecamatan Darmaga, Desa Leuwikopo), Citeureup (Kecamatan Klapanunggal, Desa Lulut), dan Ciawi (Kecamatan Ciawi, Desa Banjar Sari). Pengamatan C. javanus dan parasitoid telur dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kegiatan penelitian
dilaksanakan mulai bulan April 2009 sampai Agustus 2009.
Metode Penelitian
Penentuan Petak Contoh dan Tanaman Contoh Penentuan petak contoh dilakukan dengan metode diagonal pada lahan pengamatan (Gambar 1). Empat petak contoh terletak pada ujung-ujung garis diagonal dan satu petak contoh lain pada pertemuan garis diagonal. Pada setiap petak contoh ditentukan 20 tanaman contoh yang dipilih secara berselang satu pohon. Pada lahan Citeureup dan Ciawi pengamatan dilakukan dengan tiga kali ulangan lahan pengamatan, dengan setiap ulangan lahan yang digunakan ± 5000 m2, sehingga lahan yang digunakan untuk pengamatan adalah ± 15000 m2 ; sedangkan di Leuwikopo tidak ada pengulangan. Hal ini dikarenakan keterbatasan lahan Leuwikopo dengan luas lahan seluruhnya hanya 3500 m2. Tanaman contoh yang diamati di Leuwikopo 100 tanaman, sedangkan di Citeureup dan Ciawi diamati 300 tanaman contoh.
20 tanaman contoh
Gambar 1 Diagram pengambilan tanaman contoh
14
Pengambilan Sampel Telur Pada setiap tanaman contoh diamati keberadaan telur C. javanus. Telurtelur diambil beserta tempat melekatnya telur-telur tersebut (daun atau buah) dan dimasukkan ke dalam kantung plastik kemudian dibawa ke laboratorium untuk keperluan pengamatan parasitoid. Pengambilan sampel dilakukan tiga kali untuk setiap lahan pengamatan dengan interval antara pengamatan sekitar tiga minggu (Tabel 1). Tabel 1 Jadwal pengamatan dan pengambilan telur di lapang Waktu pengamatan di setiap lokasi Pengamatan keLeuwikopo
Citeureup
Ciawi
1
15 Juni 2009
17 Juni 2009
20 Juni 2009
2
7 Juli 2009
10 Juli 2009
11 Juli 2009
3
31 Juli 2009
30 Juli 2009
2 Agustus 2009
Pengamatan Chrysocoris javanus Sejumlah imago C. javanus diambil dari petak bukan contoh dan dibawa ke laboratorium untuk diamati. Imago ditempatkan di dalam kurungan kerangka kayu berkasa yang berukuran 57 cm x 55 cm x 53 cm. Di dalam kurungan tersebut ditempatkan buah jarak yang tangkainya dicelupkan ke dalam botol film yang berisi air. Imago dipelihara hingga menghasilkan telur dan telur menetas menjadi nimfa. Imago diamati bentuk, ukuran, perbedaan jantan dan betina, serta perilaku dan gejala serangannya pada buah jarak pagar. Pada telur diamati bentuk, ukuran, dan stadium; sedangkan pada nimfa selain bentuk dan ukuran juga diamati perilakunya.
Pengamatan Parasitoid Telur Telur yang diperoleh dari lapang diamati perbedaan telur yang sehat dan telur terparasit. Bila parasitoid keluar dari telur, sebagian parasitoid dibiarkan
15 hidup dengan diberi larutan madu 10% untuk keperluan pengamatan perilaku dan sebagian dimasukkan ke dalam botol yang berisi alkohol 70% untuk keperluan identifikasi.
Parasitoid diamati bentuk, ukuran, jenis, jumlah dan perilaku.
Identifikasi dilakukan dengan acuan kunci yang disusun oleh Gibson (1993), Masner (1993) dan Borror et al. (1996).
Tingkat parasitisasi dihitung dengan rumus (Ardjanhar et al. 2004): TP = n/N x 100% TP = Tingkat Parasitisasi n = Jumlah telur terparasit N = Jumlah telur yang diamati
Parasitisasi kelompok telur dihitung dengan menggunakan rumus: Jumlah kelompok telur yang terparasit x
100%
Jumlah total kelompok telur yang diamati Data diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2003.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lahan Pengamatan Leuwikopo Lahan Leuwikopo terletak pada ketinggian tempat lebih kurang 229 m dpl (di atas permukaan laut). Jumlah tanaman jarak pagar di Leuwikopo adalah 950 pohon dengan jarak tanam 2 m x 2 m (Gambar 2). Tanaman jarak pagar yang ditanam di lahan ini berasal dari berbagai macam aksesi (asal daerah), di antaranya berasal dari Riau (Kab. Kampar dan Kab. Dumai), Medan, Jawa Barat, Bali, Sulawesi, Thailand,
Filipina dan India.
Pada saat awal penanaman
dilakukan pemupukan dengan pupuk kandang 5 kg per tanaman, urea 200 g per tanaman, P 100 g per tanaman, dan K 100 g per tanaman. Pemupukan ke-dua dilakukan pada tanaman umur 6 bulan dengan menggunakan pupuk kandang 2 kg per tanaman. Pada saat pengamatan, tanaman di lahan ini berumur antara 6 – 9 bulan. Pengendalian OPT dilakukan dengan menggunakan bubur California dan Considor yang dicampur soda kue. Pengendalian OPT dilakukan setiap 2 minggu sekali, tetapi bila serangan OPT meningkat maka pengendalian yang dilakukan pun ditingkatkan
sesuai dengan keadaan.
Di sekitar pertanaman terdapat
berbagai jenis tanaman seperti kelapa sawit, bambu dan berbagai jenis gulma.
Gambar 2 Lahan jarak pagar di Leuwikopo
17 Citeureup Lahan jarak pagar di Citeureup berlokasi di PT. Indocement Tunggal Prakarsa (Gambar 3). Lahan berada pada ketinggian lebih kurang 200 m dpl. Seluruh luas lahan jarak pagar di lokasi ini 3 ha. Kondisi lahan pertanaman jarak pagar di Citeureup tanahnya berkapur dan berbatu. Lahan pertanaman terletak di dekat jalan tempat melintas kendaraan pengangkut material pabrik, sehingga pertanaman jarak berdebu.
Tanaman jarak pagar yang ditanam di Citeureup
memiliki nama lokal Dompu, yang berasal dari NTB. Pada saat pengamatan umur tanaman 2 tahun 2 bulan. Pada saat penanaman, tanaman diberi pupuk kandang (kotoran sapi) dengan dosis 3 kg per lubang dan carbofuran sebanyak 2 g per lubang. Pada umur sekitar 8 mst (minggu setelah tanam) dilakukan pemangkasan sekitar 40 cm dari pangkal batang. Pada umur tanaman 16 mst di lapangan, buah tanaman ini sudah dapat dipanen. Penyiraman tanaman dilakukan 1 kali sehari, dan dilakukan juga penyiangan gulma. Pengendalian OPT dilakukan dengan menggunakan bubur California 20 – 30 ml per l air. Pemupukan dilakukan 3 bulan sekali, dengan dosis 2 kg pupuk kandang per pohon. Di sekitar pertanaman terdapat tanaman pisang dan berbagai jenis gulma yang tumbuh di antara tanaman jarak pagar.
Gambar 3 Lahan jarak pagar di Citeureup
18 Ciawi Lahan jarak pagar di Ciawi berada pada ketinggian lebih kurang 400 m dpl dan memiliki luas 2,5 ha dan jarak tanam 2 m x 2 m (Gambar 4). Tanaman jarak pagar yang ditanam di Ciawi berasal dari Lampung dengan nama lokal Asem Bagus. Pembersihan gulma biasanya dilakukan 4 bulan sekali. Pengendalian OPT dilakukan dengan cara penyemprotan pestisida setiap satu minggu sekali. Pada saat pengamatan, tanaman berumur ± 2 tahun.
Di sekitar pertanaman
terdapat tanaman pisang, bibit berbagai tanaman, dan permukiman penduduk.
Gambar 4 Lahan jarak pagar di Ciawi
Imago, Telur, dan Nimfa Chrysocoris javanus Tubuh C. javanus berbentuk perisai dengan skutelum besar, warna tubuh imago sangat mencolok yaitu berwarna merah dengan garis hitam melintang pada bagian atas tubuh (Gambar 5). Ukuran tubuh imago betina relatif lebih besar dari pada imago jantan, yaitu panjang 17,65 ± 0,87 mm dan lebar 9,55 ± 0,76 mm (n = 20 individu), sedangkan ukuran tubuh jantan panjang 15,95 ± 0,76 mm dan lebar 8,1 ± 0,64 mm (n = 20 individu).
Hambali et al. 2006 menyatakan bahwa
panjang tubuh C. javanus dapat mencapai 20 mm. Selain dari ukuran tubuh, perbedaan antara imago betina dan jantan juga terletak pada bagian ventral ruas
19 terakhir abdomen. Pada imago betina, ujung abdomen melebar dan pada ruas terakhir terdapat bentukan seperti garis vertikal yang membagi ujung abdomen menjadi dua bagian (Gambar 6a).
Pada imago jantan, ujung abdomen agak
melancip dan pada ruas terakhir abdomen tidak terdapat garis pembagi (Gambar 6b).
a
b
1 cm Gambar 5 Imago Chrysocoris javanus jantan (a) dan betina (b)
garis vertikal
1 mm
a
1 mm
b
Gambar 6 Perbedaan ujung abdomen Chrysocoris javanus betina (a) dan jantan (b) C. javanus menyerang tanaman jarak pagar dengan cara menghisap buah jarak pagar, sehingga buah menjadi kering. Gejala yang ditimbulkan pada buah jarak pagar yaitu adanya bekas tusukan pada buah dan buah berwarna coklat kehitaman kemudian membusuk dan mengering sehingga buah tidak dapat dipanen (Gambar 7).
20
Gambar 7 Gejala serangan Chrysocoris javanus pada buah jarak pagar Imago C. javanus umumnya meletakkan telur pada pagi hingga menjelang siang. Telur diletakkan secara berkelompok. Imago yang dipelihara di dalam kurungan pemeliharaan meletakkan telur pada kain kasa penutup kurungan dan dinding kurungan (Gambar 8a); sedangkan peletakkan telur di lapang terjadi pada permukaan bawah daun, pada batang atau ranting, dan pada permukaan buah jarak pagar (Gambar 8b).
1 cm Gambar 8
a
1 cm
b
Peletakkan telur oleh imago Chrysocoris javanus di dalam kurungan pemeliharaan (a) dan di lapang (b)
Telur berbentuk silinder seperti drum, bagian bawah datar sedangkan bagian atas cembung (Gambar 9). Telur berdiameter rata-rata 1,24 mm ± 0,03 mm dan tinggi 1,34 mm ± 0,03 mm (Tabel 2). Telur yang baru diletakkan berwarna krem terang dan kadang-kadang ada yang berwarna agak kehijauan. Hari ke-2 telur menjadi krem pekat, hari ke- 3 dan ke-4 berubah menjadi orange terang dengan titik hitam di bagian atas telur yang merupakan bagian kepala nimfa.
21 Hari ke-5 atau ke-6 telur berwarna orange pekat dan hari ke-6 atau ke-7 telur menetas (Lampiran 1).
1 mm
Gambar 9 Telur Chrysocoris javanus Tabel 2 Ukuran telur Chrysocoris javanus Kelompok telur ke-
Rata-rata diameter telur (mm)
N
Rata-rata tinggi telur (mm)
N
1
1,25
26
1,37
35
2
1,26
50
1,35
34
3
1,27
65
1,36
18
4
1,17
85
1,37
45
5
1,24
27
1,27
19
6
1,26
46
1,34
43
7
1,23
50
1,33
11
Rata-rata ± SD
1,24 ± 0,03
1,34 ± 0,03
N = jumlah telur yang diamati
Stadia telur C. javanus berkisar antara 5 – 7 hari (Tabel 3). Telur yang akan menetas dicirikan dengan warna telur, yaitu berwarna orange pekat. Nimfa instar satu keluar dari telur dengan cara mendorong cangkang telur bagian atas menggunakan kepalanya. Hal ini terjadi karena pada cangkang telur bagian atas terdapat bentukan seperti garis-garis terputus tipis, sehingga dapat memudahkan nimfa instar satu untuk keluar dari telur. Oleh karena itulah, telur yang menetas
22 menjadi nimfa cangkang telurnya berwarna putih bersih dengan pinggiran pecahan yang teratur sesuai dengan garis yang terdapat pada telur bagian atas. Satu kelompok telur yang diletakkan imago betina di dalam kurungan pemeliharaan berkisar dari 27 – 85 butir atau rata-rata 68,71 ± 19,87 butir, persen penetasan telur berkisar antara 50,6 – 100% atau rata-rata 83,49 ± 19,46% (Tabel 3). Jumlah telur dalam satu kelompok yang diletakkan di lapang terdiri dari 28 – 126 butir atau rata-rata 84,8 ± 20,9 butir (n = 114 kelompok telur). Tabel 3 Stadia dan persen penetasan telur Chrysocoris javanus Kelompok telur ke-
Jumlah telur dalam kelompok (butir)
Rata-rata stadia Telur (hari)
Persen penetasan telur (%)
1
77
5
83,12
2
83
6
95,2
3
68
5
92,65
4
85
5
100
5
27
5
100
6
77
7
50,6
7
64
6
62,9
Rata-rata ± SD
68,71 ± 19,87
5,57 ± 0,78
83,49 ± 19,46
Nimfa instar 1 bentuk tubuhnya bulat telur berwarna merah (Gambar 10a). Panjang tubuh nimfa instar 1 yaitu 2,01 ± 0,23 mm dan lebar 1,50 ± 0,08 mm (n = 31 individu).
Nimfa yang baru keluar dari telur tidak aktif bergerak dan
berkumpul di atas permukaan cangkang telurnya. Satu hari kemudian, nimfa bergerak aktif dan berjalan agak menjauh dari cangkang telur.
Walaupun
demikian, nimfa instar 1 tetap bersifat gregarius dan membentuk kelompokkelompok kecil saat nimfa tidak bergerak, nimfa bergerak jika ada gangguan. Perilaku gregarius ini tidak hanya terjadi pada fase perkembangan nimfa saja, akan tetapi serangga imago juga memiliki perilaku yang sama (Lampiran 2). Pada fase perkembangan selanjutnya (instar 2), terjadi perubahan warna tubuh nimfa
23 yaitu berwarna dasar merah dengan garis melintang hijau metalik, skutelum dan toraks berwarna hijau metalik (Gambar 10b).
a
1 mm
1 mm
b
Gambar 10 Chrysocoris javanus instar 1 (a) dan instar 2 (b) Parasitoid Telur yang Ditemukan Selama Penelitian Di lapang tidak semua telur C. javanus dapat menetas menjadi instar 1 dan berkembang hingga menjadi imago. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap penetasan telur C. javanus, salah satunya adalah keberadaan musuh alami seperti parasitoid telur. Telur C. javanus yang terserang parasitoid dapat dibedakan dari telur yang sehat.
Telur yang tidak terparasit pada awalnya berwarna krem,
kemudian berwarna orange (Gambar 11a). Telur yang terparasit pada awalnya berwarna putih susu kemudian beberapa hari kemudian menjadi hitam (Gambar 11b). Cangkang telur juga dapat dibedakan antara telur yang terparasit dan telur yang menetas menjadi nimfa (Lampiran 3). Telur yang terparasit, cangkangnya berwarna coklat dengan pinggiran pecahan tidak teratur karena pemotongan cangkang dengan mandibel imago parasitoid saat keluar dari telur. Telur yang menetas normal, cangkangnya putih bersih dengan pinggiran pecahan teratur. Selama penelitian, ditemukan tiga jenis parasitoid yang berasal dari ordo Hymenoptera, yaitu Anastatus sp. (Eupelmidae), parasitoid dari Famili Pteromalidae dan Famili Scelionidae.
24
1 mm
a
1 mm
b
Gambar 11 Telur Chrysocoris javanus tidak terparasit (a) dan terparasit (b) Ketiga jenis parasitoid ini ditemukan memarasit telur C. javanus pada semua lahan pengamatan. Gejala pada telur C. javanus yang terparasit oleh ketiga jenis parasitoid ini memperlihatkan gejala yang sama, yaitu warna telur menjadi hitam.
Dengan demikian jenis parasitoid apa yang menyerang hanya dapat
diketahui setelah imago parasitoid tersebut keluar dari telur. Anastatus sp. Panjang tubuh imago jantan Anastatus sp. adalah 1,39 ± 0,12 mm dan lebar tubuhnya 0,42 ± 0,05 mm (n = 72 individu), sedangkan panjang tubuh imago betina 2,11 ± 0,16 mm dan lebar tubuhnya 0,58 ± 0,05 mm (n = 100 individu) (Gambar 12). Tubuh berwarna hitam metalik, antena menggada, dengan 8 ruas flagelum. Bagian mesopleuron cembung. Tungkai mempunyai taji yang besar dan jelas pada tibia, tarsi dengan 5 ruas tarsomer. Sayap depan dengan venasi marginal yang relatif panjang. Sayap jantan dan betina memiliki venasi yang sama, tetapi sayap betina mempunyai corak kehitaman pada sayap, sedangkan sayap jantan tidak. Selain dari perbedaan ukuran tubuh dan corak pada sayap, imago jantan dan betina juga dapat dibedakan berdasarkan bentuk antena. Antena imago jantan berukuran lebih kecil dari pada antena imago betina, dengan skapus lebih pendek dibandingkan antena betina (Gambar 13). Selain itu, pada antena imago betina terdapat garis-garis sensor dan rambut-rambut halus pada permukaan antena. Menurut Clausen (1940) dan Boucek (1988), Anastatus sp. merupakan parasitoid primer, dan dapat memarasit telur dari jenis serangga Ordo
25 Lepidoptera, Orthoptera dan Hemiptera. Beberapa spesies Anastatus sp. dapat juga berperan sebagai hiperparasitoid, seperti yang pernah dilaporkan dapat memarasit larva Apanteles sp. (Hymenoptera: Braconidae). Parasitoid ini dalam memarasit telur bersifat soliter. Hal ini terlihat dari pemunculan imago parasitoid dari telur inang, yaitu hanya satu ekor imago parasitoid yang keluar dari satu telur inang.
a
1 mm
b
1 mm
Gambar 12 Imago Anastatus sp. jantan (a) dan betina (b)
0,5 mm
a
0,5 mm
b
a Gambar 13 Antena imago Anastatus sp. jantan (a) dan betina (b)
Famili Pteromalidae Panjang tubuh parasitoid Famili Pteromalidae jantan adalah 1,49 ± 0,09 mm dan lebar tubuhnya 0,58 ± 0,05 mm (n = 50 individu). Panjang tubuh imago parasitoid betina adalah 1,57 ± 0,08 mm dan lebar tubuhnya 0,62 ± 0,05 mm (n = 50 individu) (Gambar 14). kehitaman.
Tubuh berwarna biru metalik
Front kepala berwarna hijau metalik dan ditutupi rambut-rambut
26 halus, mata majemuk relatif besar. Antena terdiri dari 7 ruas flagelum dengan rambut-rambut halus di seluruh bagian ruas antena.
Tarsus dengan 5 ruas
tarsomer. Sayap dengan venasi submarginal yang relatif panjang. Imago jantan dan betina dapat dibedakan selain dari ukuran tubuh, juga dapat dibedakan dari antena. Ruas flagelum antena betina berwarna gelap, sedangkan pada antena jantan ruas flagelumnya berwarna coklat terang dengan ruas terakhir berwarna gelap (Gambar 15). Ruas terakhir antena betina terdapat garis-garis sensor.
a
1 mm
b
Gambar 14 Parasitoid Famili Pteromalidae jantan (a) dan betina (b)
0,5 mm
0,5 mm a
b
Gambar 15 Antena imago parasitoid Famili Pteromalidae jantan (a) dan betina (b) Parasitoid ini bersifat soliter. Borror et al. (1996) menyatakan bahwa Famili Pteromalidae selain bersifat soliter, ada juga yang bersifat gregarius dan hiperparasitoid. Famili Pteromalidae merupakan parasitoid yang dapat memarasit
27 telur, larva, nimfa dan pupa. Serangga inangnya mencakup Ordo Hemiptera, Lepidoptera, Hymenoptera, Diptera, Coleoptera, dan laba-laba (Borror et al. 1996; Van Driesche et al. 2008). Famili Scelionidae Panjang tubuh imago jantan Famili Scelionidae yaitu 1,30 ± 0,05 mm dan lebar tubuhnya 0,68 ± 0,05 mm (n = 50 individu), sedangkan panjang tubuh imago betina 1,34 ± 0,04 mm dan lebar tubuhnya 0,69 ± 0,06 mm (n = 50 individu) (Gambar 16). Tubuh berwarna hitam, kepala ditutupi rambut-rambut halus. Mata majemuk relatif besar, tetapi tidak menutupi seluruh bagian kepala. Antena terdiri dari 10 ruas flagelum. Metasoma berbentuk elips dengan bagian ventral berambut halus dan terdapat garis longitudinal sepanjang metasoma.
1 mm
a
1 mm
b
Gambar 16 Parasitoid Famili Scelionidae jantan (a) dan betina (b) Sayap dengan rambut-rambut halus, sayap depan dengan venasi submarginal mencapai sisi anterior.
Koksa dan trokhanter berwarna hitam
berbentuk segitiga. Femur, tibia dan tarsus berwarna coklat terang. Di seluruh bagian tungkai terdapat rambut-rambut halus. Tibia mempunyai taji, tarsus terdiri dari 5 ruas dengan 1 kuku tarsus. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk antenanya, ruas flagelomer antena jantan membulat, sedangkan antena betina tidak (Gambar 17). Van Driesche et al. (2008) menyatakan bahwa semua anggota famili ini merupakan parasitoid telur dan hidup pada berbagai habitat. Parasitoid famili ini termasuk ke dalam kelompok endoparasitoid soliter pada telur serangga dan laba-laba.
28
0,5 mm
a
0,5 mm
b
Gambar 17 Antena imago parasitoid Famili Scelionidae jantan (a) dan betina (b) Perilaku Parasitoid Perilaku imago parasitoid untuk ketiga jenis parasitoid hampir sama, di antaranya yaitu perilaku imago parasitoid yang keluar dari telur inang. Pada saat parasitoid keluar dari telur, imago jantan keluar lebih dahulu dari imago betina. Imago jantan setelah keluar akan menunggu imago betina keluar dan kemudian berkopulasi (Gambar 18a). Beberapa saat setelah kopulasi, imago betina akan mencari telur inang.
Imago betina menggerak-gerakkan dan menyentuhkan
antenanya pada telur inang, hal tersebut dilakukan sambil mengelilingi telur inang (Gambar 18b). Setelah itu imago akan meletakkan telurnya ke dalam telur inang.
1 mm
a
1 mm
b
Gambar 18 Imago parasitoid Famili Pteromalidae sedang kopulasi (a) dan imago betina sedang memarasit telur Chrysocoris javanus (b) Menurut Doutt et al. (1989), perilaku seperti ini dimaksudkan untuk membedakan telur inang yang sudah terparasit dan belum terparasit. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya kepunahan keturunan akibat kompetisi untuk mendapat individu inang dengan spesies dari parasitoid yang sama atau spesies
29 dari parasitoid yang berbeda. Beberapa parasitoid betina dapat mengembangkan kemampuan dengan baik untuk membedakan antara inang yang belum terparasit dengan inang yang sudah terparasit, perbedaan tersebut diketahui melalui sensorsensor yang berada pada antena, tarsi dan ovipositornya.
Rata-Rata Populasi Parasitoid di Lahan Pengamatan Selama pengamatan parasitoid di ketiga lahan pengamatan, ketiga jenis parasitoid yang ditemukan selalu ditemukan untuk setiap waktu pengamatan, kecuali Famili Eupelmidae (Anastatus sp.) tidak ditemukan di Leuwikopo pada pengamatan ke-2 (Gambar 19). Tingkat populasi parasitoid bervariasi menurut lokasi dan waktu pengamatan. Bila dilihat dari keberadaan parasitoid di lahan pengamatan, parasitoid Famili Pteromalidae hampir selalu mendominasi tingkat populasi dibandingkan dengan parasitoid famili lainnya. Hal ini terjadi khususnya di lahan Citeureup dan Ciawi.
Populasi tertinggi terjadi di Ciawi pada
pengamatan ke-1 yang mencapai rata-rata 173 individu. Populasi Pteromalidae terendah terjadi di Leuwikopo pada pengamatan ke3 yaitu 9 individu. Populasi parasitoid Famili Pteromalidae ini selalu lebih tinggi dari pada famili lainnya kecuali pada pengamatan ke-2 dan ke-3 di Leuwikopo dan pengamatan ke-2 di Ciawi.
Famili Pteromalidae secara umum memiliki
kisaran ordo serangga inang yang lebih luas dan kisaran fase perkembangan serangga inang yang lebih bervariasi (Borror et al. 1996; Van Driesche et al. 2008).
Dengan demikian, walaupun populasi inang utama rendah, parasitoid
Famili Pteromalidae masih dapat mempertahankan hidupnya pada inang lain. Parasitoid Famili Scelionidae walaupun populasinya tidak setinggi Famili Pteromalidae, parasitoid ini selalu ditemukan di setiap pengamatan dan selalu berperan dalam memarasit telur C. javanus. Pada pengamatan ke-2 di Leuwikopo dan Ciawi, parasitoid Famili Scelionidae ini mendominasi populasi, yaitu di Leuwikopo mencapai 102 individu dan di Ciawi rata-rata 118 individu.
30
a
b
c
Gambar 19 Rata-rata tingkat populasi parasitoid pada telur Chrysocoris javanus di Leuwikopo (a), Citeureup (b), dan Ciawi (c) Keterangan: tingkat populasi di Leuwikopo adalah jumlah sesungguhnya (bukan rata-rata)
Populasi terendah Famili Scelionidae terjadi di Leuwikopo pada pengamatan ke-1 dan ke-3, yaitu masing-masing 8 individu.
Famili ini
merupakan famili yang khusus memarasit telur serangga maupun laba-laba
31 (Masner 1993). Keberadaanya di lapang dapat meningkatkan tingkat parasitisasi telur C. javanus bersama-sama dengan parasitoid famili lainnya. Anastatus sp. ditemukan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan dua jenis parasitoid lainnya. Bila diperhatikan, populasi Anastatus sp. akan sangat rendah bila populasi parasitoid famili lain tinggi, seperti yang terjadi di Leuwikopo pada pengamatan ke-2 dan di Ciawi pada pengamatan ke-1, 2 dan 3. Namun Anastatus sp. akan cukup berperan di lapang bila populasi parasitoid famili lain relatif rendah seperti yang terjadi di Leuwikopo dan Citeureup. Secara umum tingkat populasi parasitoid dari ketiga lahan pengamatan cukup bervariasi. Hal ini tidak terlepas dari kondisi lingkungan lahan pengamatan yang berbeda.
Keadaan lingkungan akan mempengaruhi kelimpahan inang,
kehidupan parasitoid, ketersediaan makanan imago parasitoid, keberadaan tempat berlindung parasitoid dan lain-lain. Menurut Doutt et al. (1989), distribusi dan keberadaan parasitoid sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber air bebas dan tanaman sebagai sumber madu dan keberadaan inangnya. Selain itu, hubungan antara parasitoid dan inangnya dapat dipengaruhi oleh penggunaan pestisida, khususnya imago betina parasitoid. Imago betina parasitoid juga sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim mikro, bau-bauan, serta aspek-aspek fisik dari lingkungan.
Tingkat Parasitisasi Telur Chrysocoris javanus Rata-rata tingkat parasitisasi telur tertinggi di lahan Leuwikopo terjadi pada pengamatan ke-1 yaitu mencapai 97,04%; di Citeureup terjadi pada pengamatan ke-2 yaitu 79,15%; di Ciawi parasitisasi tertinggi terjadi pada pengamatan ke-2 yaitu mencapai 92,68% (Gambar 20). Tingkat parasitisasi telur dari seluruh lahan pengamatan relatif tinggi yaitu berkisar antara 60,10 – 97,04%. Tingginya tingkat parasitisasi telur yang terjadi di setiap lahan pengamatan mengakibatkan persentase telur yang menetas menjadi nimfa relatif rendah yaitu paling tinggi hanya mencapai 21,77% di lahan Citeureup (Tabel 4). Begitu pula dengan persentase telur yang tidak menetas menjadi nimfa relatif rendah, dengan nilai tertinggi terjadi di lahan Leuwikopo yaitu 6,47%, sedangkan di Citeureup
32 4,83% dan di lahan Ciawi 2,40%.
Telur C. javanus yang tidak menetas ini
berwarna krem seperti warna telur yang baru diletakkan, sedangkan telur yang menetas berwarna orange. 372
294
1969 2166 1158 385
1074
1391
827
Gambar 20 Tingkat parasitisasi telur Chrysocoris javanus Keterangan: angka di atas bar merupakan jumlah telur yang diamati
Tabel 4 Jumlah telur Chrysocoris javanus yang terparasit dan tidak menetas
Lahan pengamatan
Leuwikopo
Citeureup
Ciawi
Jumlah telur dalam kelompok telur (butir)
Jumlah telur yang menetas menjadi nimfa (butir)
Jumlah telur terparsit (butir)
Jumlah telur tidak menetas (butir)
1051
104
879
68
(100)
(9,89)
(83,64)
(6,47)
3376
735
2478
163
(100)
(21,77)
(73,40)
(4,83)
5209
413
4671
125
(100)
(7,93)
(89,67)
(2,40)
Keterangan: nilai di dalam kurung menunjukkan persen (%)
Tingkat parasitisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya kelimpahan parasitoid di lapang, kelimpahan serangga inang yaitu C. javanus, kondisi lingkungan pertanaman dan kemampuan parasitoid untuk menemukan inang. Menurut Ullyett (1953 dalam Doutt et al. 1989), imago betina parasitoid
33 cenderung mencari inang di lingkungan dengan kemungkinan paling besar mengandung inang. Selain itu, faktor sinkronisasi antara parasitoid dan inang dalam hal waktu dan ruang sangat erat hubungannya sehingga tahapan inang yang sesuai untuk terjadinya proses parasitisme tersedia bagi parasitoid yang siap untuk melakukan oviposisi. Bila dilihat dari tingkat parasitisasi per kelompok telur, hampir setiap kelompok telur selalu terparasit.
Bahkan di Leuwikopo tingkat parasitisasi
kelompok telur mencapai 100%, artinya setiap kelompok telur selalu mengandung telur yang terparasit (Tabel 5). Tingkat parasitisasi kelompok telur di Citeureup mencapai 88,73% dan di Ciawi 96,0%. Tingginya persentase kelompok telur yang terparasit hingga mencapai atau mendekati 100% ini menandakan bahwa perananan parasitoid untuk mengendalikan C. javanus di setiap lahan sangat besar, oleh karena itu pemeliharaan lingkungan untuk mendukung keberadaan imago parasitoid harus dijaga. Tingkat parasitisasi yang tinggi ini juga menunjukkan bahwa ketiga jenis parasitoid yang ditemukan selama pengamatan memberikan kontribusi yang cukup baik dalam menekan populasi C. javanus di lapang. Tabel 5 Tingkat parasitisasi kelompok telur Chrysocoris javanus Lahan
Tingkat parasitisasi (%)
N
Leuwikopo
100
11
Citeureup
88,73
39
Ciawi
96,00
60
N = jumlah kelompok telur yang diamati
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Parasitoid yang ditemukan memarasit telur C. javanus selama penelitian adalah Anastatus sp. (Famili Eupelmidae), Famili Pteromalidae dan Famili Scelionidae.
Parasitoid Famili Pteromalidae mendominasi populasi di lahan
Citeureup dan Ciawi, dengan tingkat populasi tertinggi rata-rata 173 individu. Tingkat parasitisasi ketiga parasitoid yang ditemukan relatif tinggi pada setiap lahan pengamatan yaitu berkisar antara 60,10 – 97,04%.
Saran Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai biologi lengkap Crhysocoris javanus dan parasitoid telur yang ditemukan serta potensinya untuk dapat dimanfaatkan dalam pengendalian terpadu pada pertanaman jarak pagar.
DAFTAR PUSTAKA Ardjanhar A, Siwi SS, Mahrub E. 2004. Peranan parasitoid telur penggerek batang padi pada lahan yang diaplikasi insektisida kimia di daerah Indramayu. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial; Bogor, 5 Oktober 2004. Bogor: Perhimpunan Entomologi Indonesia. Hlm. 371 – 384. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi ke-6. Terjemahan dari An Introduction to the Study of Insects, Sixth edition. Partosoedjono S, penerjemah. Brotowidjoyo M D, penyunting. Yogyakarta. UGM-Press. Boucek Z. 1988. Australian Chalcidoidea (Hymenoptera), a Biosistematic Revision of Genera of Fourteen Families with a Reclassification of Spesies. Wallingford: C.A.B International. Chandra D. 2008. Inventarisasi hama dan penyakit pada pertanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) di Lampung dan Jawa Barat. [skripsi]. Bogor. Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Clausen CP. 1940. Entomophagous Insects, First Edition. New York: McGrawHill Book Company, Inc. Dadang, Suastika G, Dewi RS. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Bogor: Surfactant and Bioenergy Research Center. [Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Pedoman budidaya tanaman jarak pagar. www.deptan.go.id. [20 Februari 2009]. [Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Basis data. http://www.deptan.go.id [28 Agustus 2009]. Doutt RL, Bucher GE dan Tremblay E. 1989. Biologi dan hubungan hospes parasitoida. Di dalam: Huffaker CB, Messenger PS, editor. Teori dan Praktek. Pengendalian Biologis. Terjemahan dari Theory and Practice of Biological Control. Mangoendihardjo S, penerjemah. Untung K, pendamping. Jakarta: UI-Press. Hlm. 177 - 203. Gibson GAP. 1993. Superfamilies Mymarommatoidea and Chalcidoidea. Di dalam: Goulet H, Huber JT, editor. Hymenoptera of The World: an Identification Guide to Families. Ottawa: Canada Communication Group. Hlm. 570 – 571. Hambali E, Suryani A, Dadang, Hariyadi, Hanafie H, Reksowardojo IK, Rivai M, Ihasanur M, Suryadarma P, Tjitrosemito S, Soerawidjaja TH, Prawitasari
36 T, Prakoso T, Purnama W. 2006. Biodisel. Jakarta: Penebar Swadaya.
Jarak Pagar Tanaman Penghasil
Indartono YS. 2006. Alternative energy for better life. http:www.indobiofuel. com. [5 September 2009]. Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Terjemahan dari De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Van Der Laan PA, penerjemah. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Masner L. 1993. Superfamily Platygastroidea. Di dalam: Goulet H, Huber JT, editor. Hymenoptera of The World: an Identification Guide to Families. Ottawa: Canada Communication Group. Hlm. 558 – 620. Naumann ID. 1996. Hymenoptera (wasp, bees, ants, sawflies). Van Achterberg K, Houston TF, Michener CD, Taylor RW, contributor. Di dalam: The Insects of Australia: a Texbook for Student and Research Workers, second edition, volume II. Division of Entomology Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation. Australia: Melbourne University Press. Hlm. 953, 963, 966 – 967. Nurcholis M, Sumarsih S. 2007. Jarak Pagar dan Pembuatan Biodisel, Seri Budi Daya. Yogyakarta: Kanisius. Pitkin BR. 2004. Universal Chalcidoidea database. http://www.nhm.ac.uk. [2 September 2009]. Prastowo B. 2007. Bahan bakar nabati asal tanaman perkebunan sebagai alternatif pengganti minyak tanah untuk rumah tangga. Di dalam: Perspektif Juni 2007; 6(01): hlm. 10 – 18. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Prihandana R, Hendroko R. 2006. Petunjuk Budi Daya Jarak Pagar. Tangerang: Agromedia Pustaka. Priyanto U. 2007. Menghasilkan Biodisel Jarak Pagar Berkualitas. Jakarta: Agromedia. Rider DA. 2009. Hymenoptera parasitoid records list by Pentatomoid species. Department of Entomology. North Dakota State University. http://www.ndsu.nodak.edu. [9 Agustus 2009]. Rumini D, Karmawati E. 2007. Hama pada tanaman jarak pagar (Jatropha curcas). Di dalam: Prosiding Lokakarya II Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.); Bogor, 29 Nopember 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hlm 302 – 306.
37 Sodiq A. 2006. Inventarisasi hama dan penyakit tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) di Bogor. [skripsi]. Bogor. Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Van Driesche R, Hoddle M, Center T. 2008. Control of Pests and Weeds by Natural Enemies: an Introduction to Biological Control. Singapore: Blackwell Publishing.
LAMPIRAN
39 Lampiran 1 Perubahan warna pada telur Chrysocoris javanus hari ke-1 (a), hari ke-3, 4 (b), dan hari ke-5, 6 (c)
a
b
c
Lampiran 2 Imago Chrysocoris javanus yang berkumpul di permukaan bawah daun
Lampiran 3 Perbedaan cangkang telur Chrysocoris javanus yang terparasit (a) dan tidak terparasit (b) a
b