STRUKTUR POPULASI PARASITOID TELUR Trichogrammatoidea armigera PADA BEBERAPA TIPE AGROEKOSISTEM
DIANA NOVIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
1
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Struktur Populasi Parasitoid Telur Trichogrammatoidea armigera Pada Beberapa Tipe Agroekosistem adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan untuk memperoleh gelar sejenis. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, September 2006
Diana Novianti NIM P055020191
2
ABSTRAK DIANA NOVIANTI. Struktur Populasi Parasitoid Telur Trichogrammatoidea armigera Pada Beberapa Tipe Agroekosistem. Dibimbing oleh MUHAMMAD JUSUF, DAMAYANTI BUCHORI, dan BAHAGIAWATI AMIRHUSIN. Parasitoid telur T. armigera sebagai agensia pengendali hayati merupakan alternatif pengendalian hama ramah lingkungan. Keefektivan parasitoid dipengaruhi oleh struktur populasi yang terbentuk. Kesulitan dalam menganalisis struktur populasi parasitoid telur adalah menghitung jumlah aliran gen, sehingga digunakan pendekatan tidak langsung secara molekuler dengan penanda DNA. Secara langsung dengan melakukan uji ketidaksesuaian reproduksi yang menunjukkan hasil yaitu terjadi ketidaksesuaian reproduksi antara parasitoid yang berasal dari Gunung Bunder II dengan yang berasal dari Cugenang, tanpa melihat besar kecilnya jarak genetik antara individu-individu tersebut. Tetapi yang terjadi antara parasitoid dari lokasi yang sama menunjukkan adanya kesesuaian reproduksi. Hasil ini membuktikan bahwa terjadi ketidaksesuaian reproduksi antara parasitoid yang berasal dari lokasi yang berbeda. Berdasarkan analisis RAPD-PCR dengan 4 macam primer terhadap 19 sampel yang berasal dari 3 lokasi menunjukkan bahwa dalam setiap lokasi ditemukan adanya subpopulasi terutama pada parasitoid-parasitoid yang berasal dari satu telur inang. Gunung Bunder II dan Cugenang masing-masing membentuk metapopulasi sedangkan lokasi Gunung Bunder I tidak dapat diketahui struktur populasinya karena kekurangan sampel. Dendrogram menunjukkan semua parasitoid dari ketiga lokasi bercampur dan tersebar ke semua klaster.
3
STRUKTUR POPULASI PARASITOID TELUR Trichogrammatoidea armigera PADA BEBERAPA TIPE AGROEKOSISTEM
DIANA NOVIANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
4
Judul Tesis :
Struktur Populasi Parasitoid Telur Trichogrammatoidea armigera Pada Beberapa Tipe Agroekosistem
Nama
:
Diana Novianti
NIM
:
P055020191
Disetujui, Komisi pembimbing
Dr. Ir. Muhammad Jusuf, DEA Ketua
Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Bahagiawati Amirhusin, M.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Bioteknologi
Dr. Ir. Muhammad Jusuf, DEA
Tanggal Ujian : 13 Juli 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus : 8 September 2006
5
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mempawah, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 3 November 1977 sebagai anak kedua dari pasangan Ayahanda Sartono dan Ibunda Nani Suwarni. Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 24 Pontianak Kalimantan Barat dan melanjutkan ke SMPN 3 Purwokerto kabupaten Banyumas Jawa Tengah selama tiga tahun dan lulus pada tahun 1992. Selanjutnya penulis melanjutkan ke SMAN 6 Yogyakarta dan lulus pada tahun 1995. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Fakultas Pertanian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta pada tahun 2002. Dan di tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Program Studi Bioteknologi Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
6
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian dan penulisan tesis yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains di Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei 2004, dengan judul “Struktur Populasi Parasitoid Telur Trichogrammatoidea armigera Pada Beberapa Tipe Agroekosistem”. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. Muhammad Jusuf, DEA selaku ketua komisi pembimbing sekaligus ketua program studi Bioteknologi SPs IPB atas dorongan, nasehat dan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan dan penelitian. Terima kasih kepada Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc dan Dr. Ir. Bahagiawati Amirhusin, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak bersabar dan banyak membimbing serta mengarahkan penulis selama penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih kepada Dr.Ir. Dedi Duryadi Solichin selaku dosen penguji tesis atas segala masukannya. Di samping itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Reflinur MSi rekan seperjuangan di IPB atas kerjasama, motivasi dan diskusi dengan penulis selama penelitian dan perkuliahan di IPB. Terima kasih kepada Ibu Dr. Dwinita atas pengarahan di laboratorium BB Biogen Bogor serta masukan-masukan yang berarti. Kepada Bapak Bandung Sahari MSi terima kasih atas waktu dan kerjasamanya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang penelitian ini. Penulis juga mengungkapkan terima kasih yang setulus-tulusnya serta syukur atas kesabaran dan pengertian Ayahanda H. Sartono SH MSi dan Ibunda Hj. Nani Suwarni, abang Eko Yulianto SET dan adik Rengga Damayanti SH. MSi, terima kasih untuk doa, dorongan, motivasi, kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penelitian. Untuk Mas Rafli I. Kawulusan SP atas cinta dan kasih sayangnya, wah ternyata IPB telah mencari dan memberi yang terbaik buatku. Tidak lupa terima kasih buat rekan-rekan seperjuangan Biotek 2002 (Mbak Win, Berty, Kiki, Roberdi, Mbak Anik, Kusuma, Bang Molah, Pipit, Uni Dewi, Bang Yamin, Apon, Fatimah), bang ilyas, kak lila, Yuyun, Diana kalimantan, Uci, Nila, temen-temen kos (Yati, Mbak Neni, Niken, Mbak Niken, Rya, Erin, dan Kak Ita) atas dorongan semangat dan kasih sayangnya kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Serta lab’s crew yang tidak dapat disebutkan satu persatu tetapi telah banyak membantu penulis terutama saat begadang. Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan tulisan ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu penulis sangat berharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat di kemudian hari. Amiin. Bogor, September 2006
Diana Novianti
7
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
ix x xi
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang .............................................................................. Tujuan ........................................................................................... Hipotesis ........................................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
4
Trichogrammatoidea armigera : Sistematika dan Inang .............. Struktur Populasi Parasitoid pada Agroekosistem ........................ Peranan Teknologi Molekuler dalam Struktur Populasi ................ Ketidaksesuaian Reproduksi (Incompatibility Reproductive) .......
4 6 7 9
BAHAN DAN METODE .........................................................................
11
Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... Sampling parasitoid telur T. armigera pada H. armigera ............. Pemeliharaan parasitoid telur di laboratorium ............................... Identifikasi spesies parasitoid telur T. armigera ........................... Isolasi DNA genom total T. armigera .......................................... Amplifikasi DNA dengan teknik RAPD-PCR .............................. Separasi dan visualisasi hasil PCR ................................................ Skoring dan Analisis pola pita DNA ............................................. Uji ketidaksesuaian reproduksi .....................................................
11 11 13 14 14 15 15 16 17
HASIL PENELITIAN ...............................................................................
19
Sampling T. armigera dan persebaran H. armigera ..................... Analisis struktur populasi parasitoid telur T. armigera ............... Pengaruh struktur populasi pada ketidaksesuaian reproduksi .......
19 26 30
PEMBAHASAN .......................................................................................
35
Sampling T. armigera dan persebaran H. armigera ..................... Analisis struktur populasi parasitoid telur T. armigera ............... Pengaruh struktur populasi pada ketidaksesuaian reproduksi .......
35 36 42
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
45
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
46
LAMPIRAN ..............................................................................................
49
8
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Data keadaan lokasi sampling di daerah Bogor dan sekitarnya ...
12
Tabel 2 Data parasitoid telur T. armigera ................................................
19
Tabel 3 Data sampel female line T. armigera ...........................................
25
Tabel 4 Jumlah lokus yang dihasilkan dari 4 primer RAPD-PCR.............
27
Tabel 5 Hasil perhitungan parameter struktur populasi ............................
28
Tabel 6 Matriks jarak genetik 19 sampel dari 4 primer RAPD-PCR .......
32
Tabel 7 Data uji ketidaksesuaian reproduksi ............................................
34
9
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Skema pembagian kelompok T. armigera sampai famili ........
4
Gambar 2 Ukuran imago T. armigera pada penggaris sentimeter ............
5
Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel di Bogor dan sekitarnya .......
11
Gambar 4 Ilustrasi sampling di lapangan ..................................................
13
Gambar 5 Distribusi telur inang dan parasitoid di GB I Bogor .................
20
Gambar 6 Distribusi telur inang dan parasitoid di GB II Bogor ...............
21
Gambar 7 Distribusi telur inang dan parasitoid di Cibodas Cianjur .........
22
Gambar 8 Distribusi telur inang dan parasitoid di Cugenang Cianjur ......
23
Gambar 9 Distribusi telur inang dan parasitoid di WK Cianjur ................
24
Gambar 10 Hasil amplifikasi DNA produk PCR dengan primer RUT2 ...
26
Gambar 11 Dendogram kemiripan genetik berdasarkan 4 primer ............
30
10
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Gambar parasitoid telur T. armigera dari internet .................
49
Lampiran 2 Gambar gel elektroforesis produk PCR dengan 3 primer ......
50
Lampiran 3 Data biner hasil skorsing lokus DNA dari 19 sampel ...........
52
Lampiran 4 Data hasil analisis Chi-Square pada lima lokasi sampling ....
54
Lampiran 5 Data telur inang terparasit yang menjadi parasitoid ..............
57
11
PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi adalah sekelompok organisme yang berasal dari satu spesies yang mendiami habitat tertentu (Lincoln et al. 1982). Individu-individu yang berasal dari satu spesies tersebut memiliki jenis kelamin dan kelompok umur yang berbeda-beda. Di dalam suatu populasi terjadi interaksi antar individu-individu tersebut, misalnya melalui perkawinan. Perkawinan akan menyebabkan terjadinya aliran gen dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di alam, populasi dapat dijumpai dalam bentuk random (acak) atau terstruktur (tidak random). Adanya jenis kelamin dan kelompok umur dari individu dalam suatu populasi serta adanya aliran genetik dalam populasi tersebut akan mengakibatkan populasi menjadi terstruktur (Roderick 1996). Keadaan populasi di alam perlu dipelajari agar faktor yang mempengaruhi kelimpahan dan keberadaan suatu spesies dalam skala ruang dan waktu dapat diketahui (Berryman 2002). Mengetahui struktur populasi suatu spesies pada lahan pertanian terutama spesies-spesies serangga sangat penting bagi praktisi di bidang
pengendalian
hayati
(Vaughn
&
Antolin
1998)
karena
dapat
mempengaruhi kesuksesan penekanan populasi serangga hama di lapang terutama dengan menggunakan serangga parasitoid (Roderick & Navajas 2003). Salah satu parasitoid yang penting dalam mengendalikan serangga hama adalah parasitoid telur Trichogrammatoidea armigera, spesies dari famili Trichogrammatidae (Hymenoptera) yang dapat menyerang berbagai jenis serangga hama terutama dari ordo Lepidoptera (Alba 1988) yang merupakan hama penting pada tanaman jagung (Nurindah & Bindra 1989). Selain itu parasitoid telur dapat mengendalikan hama pada fase paling awal sehingga kerusakan tanaman dapat dicegah sedini mungkin (Laba 1998). Keberadaan populasi parasitoid di lahan pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya keberadaan inang (serangga herbivora). Keberadaan serangga herbivora di lapang dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem yang ada. Implikasi dari kondisi ini adalah apabila terjadi perubahan lansekap lahan pertanian misalnya menjadi semakin sempit luasan lahannya dan semakin seragam
12
tanamannya akan mempengaruhi kekayaan dan kefektifan komunitas musuh alami (Szentkiralyi & Kozar 1991) yang ada, termasuk diantaranya komunitas parasitoid (Corbett & Rosenheim 1996, Marino & Landis 1996). Struktur populasi parasitoid dapat terbentuk oleh beberapa faktor antara lain (1) perilaku parasitoid (Via 1994; Vaughn & Antolin 1998); (2) kondisi agroekosistem dan (3) faktor abiotik yang berpengaruh pada distribusi parasitoid (Szentkiralyi & Kozar 1991, Roderick 1996, Slatkin 1994). Struktur populasi parasitoid di alam biasanya terbentuk melalui mekanisme perkawinan antar individu, apabila perkawinan terjadi secara acak dimana setiap individu mempunyai peluang yang sama untuk dapat berkopulasi dengan individu lainnya tanpa melihat jarak antar individu tersebut pada suatu area maka populasi parasitoid akan menjadi berkesinambungan. Struktur populasi seperti ini dikenal sebagai populasi tradisional (panmictic population) (McCullough 1996). Di lapang tidak semua populasi selalu berbentuk random (acak), bahkan pada beberapa kasus dapat ditemukan adanya perkawinan antar individu yang tidak sepenuhnya acak melainkan terbatas pada individu-individu dalam kelompok-kelompok (subpopulasi). Struktur populasi yang terdiri atas beberapa subpopulasi dikenal sebagai metapopulasi (McCullough 1996). Metapopulasi dapat mendorong terjadinya adaptasi lokal di dalam subpopulasi karena ada perbedaan lingkungan skala kecil, adaptasi ini dapat meningkatkan perbedaan genetik antar sub-subpopulasi (Vaughn & Antolin 1998). Hal tersebut diduga terjadi pada parasitoid karena ditemukannya suatu fenomena ketidaksesuaian reproduksi (reproductive incompatibility) dimana genotipe-genotipe yang berbeda dalam satu spesies mengalami hambatan melakukan kopulasi sehingga sulit menghasilkan keturunan (Sorati et al. 1996). Keberadaan metapopulasi di lapang memberikan implikasi yang cukup besar bagi pengendalian hayati (McCullough 1996), misalnya keberadaan struktur populasi akan mempengaruhi keragaman genetik yang ada sehingga pengambilan sampel (untuk keperluan ”mass rearing”) perlu mengantisipasi situasi seperti ini. Struktur populasi parasitoid telur T. armigera dapat diketahui secara tidak langsung dengan melihat karakter molekulernya yaitu pita-pita DNA parasitoid. Pita-pita DNA tersebut ditampilkan dalam bentuk data biner yaitu 0 jika tidak ada
13
pita dan 1 jika ada pita. Data biner digunakan untuk menghitung beberapa parameter yaitu nilai keragaman genetik (Heterosigositas / H) Nei yang berkisar antara 0 – 0.5 (Nei 1973), nilai indeks fiksasi (Fst) antara 0 – 1 dan laju efektif migrasi (Nm) antara 0 – ~ dengan satuan individu/generasi, penghitungan ini menggunakan program komputer POPGENE 3.2 (Yeh et al. 1999). Populasi yang acak dapat digambarkan dengan nilai keragaman genetik (H) yang tinggi menunjukkan besarnya laju migrasi yang terjadi (nilai Nm tinggi). Nilai H dan Nm yang tinggi mengakibatkan indeks fiksasi (Fst) rendah sehingga dengan Fst yang tidak terlalu besar maka perkawinan antar individu dapat terjadi secara acak. Hal ini sebaliknya terjadi pada populasi terstruktur atau metapopulasi yang menunjukkan nilai keragaman genetik (H) rendah, laju migrasi (Nm) juga rendah dan nilai Fst menjadi tinggi sehingga perkawinan terbatas pada individuindividu dalam kelompok-kelompok kecil (subpopulasi). Diantara berbagai metode analisis DNA, RAPD-PCR merupakan salah satu teknik analisis DNA yang cepat dalam memberikan hasil (Kambhampati et al. 1992), mudah dalam pelaksanaannya dan akurat dalam mendeteksi keragaman berdasarkan pada amplifikasi daerah-daerah yang bervariasi pada suatu genom dengan menggunakan satu primer acak serta tidak memerlukan pengetahuan sekuen DNA (Williams et al. 1990). Menurut Hoy (1994) hasil pola pita DNA dengan teknik RAPD-PCR dapat memberikan informasi tentang variasi genetik dalam keseluruhan genom serangga.
Tujuan 1. Mempelajari struktur populasi parasitoid telur T. armigera dari beberapa tipe agroekosistem tanaman jagung dan geografi yang berbeda. 2. Mengetahui aliran genetik populasi-populasi T. armigera 3. Mempelajari fenomena ketidaksesuaian reproduksi antar populasi parasitoid telur T. armigera yang dikoleksi dari tipe habitat dan geografi yang berbeda.
Hipotesis Struktur populasi parasitoid telur Trichogrammatoidea armigera di lapang adalah populasi acak (panmictic population).
14
TINJAUAN PUSTAKA Trichogrammatoidea armigera : Sistematika dan Serangga Inang Parasitoid
telur
Trichogrammatoidea
sebagai
salah
satu
agensia
pengendali hayati merupakan suatu alternatif pengendalian hama yang ramah lingkungan dan memiliki potensi dalam menggantikan peran pestisida yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Parasitoid ini diklasifikasikan dalam Kelas: Insekta, Ordo: Hymenoptera, Subordo: Apocrita, Superfamili: Chalcidoidea, Famili: Trichogrammatidae (Borror et al. 1992). Viggiani (1972 dalam Nagarkatti & Nagaraja 1977) membagi famili Trichogrammatidae ke dalam dua subfamili, yaitu Trichogrammatinae dan Oligosetinae. Subfamili Trichogrammatinae terdiri dari dua kelompok yaitu Trichogrammatini (16 genera) dan Paracentrobini (3 genera), sedangkan untuk Subfamili Oligosetinae adalah: Chaetostrichini (4 genera) dan Oligositini (5 genera). Famili Trichogrammatidae secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1. Chalcidoidea
TRICHOGRAMMATIDAE
Trichogrammatinae
Trichogrammatini
Paracentrobini
Oligosetinae
Chaetostrichini
Oligositini
Gambar 1 Skema pembagian kelompok T. armigera dari superfamili sampai genera (Meilin 1999) Trichogrammatidae memiliki tubuh dengan ukuran sangat kecil yaitu < 0.5 mm (Gambar 2). Sayapnya memiliki rumbai (fringe setae) dan matanya berwarna
15
merah (Kalshoven 1981). Secara morfologi, imago spesies T. armigera mudah diidentifikasi dimana imago jantan dan betina memiliki kepala berwarna kuning tua cerah, antena berwarna kuning tua, toraks berwarna coklat tua, dan abdomen berwarna gelap, serta mempunyai ukuran tubuh 0.40-0.42 mm (Kalshoven 1981). Pada imago jantan memiliki antenna dengan rambut-rambut dengan gada dan funikula dengan panjang 2-3 kali dari lebar maksimum gada. Gadanya beruas tiga dan funikula beruas dua. Sedangkan antena betina memiliki rambut-rambut yang pendek pada funikula dan gada (Meilin 1999).
Gambar 2 Ukuran T. armigera pada penggaris sentimeter (CABI 1999) Identifikasi secara morfologi, seperti sayap, antena, dan warna ternyata tidak stabil dan dapat dipengaruhi oleh lingkungan seperti suhu dan serangga inang yang digunakan dalam perbanyakan (Nagarkatti & Nagaraja 1977), sehingga tidak akurat lagi dalam karakterisasi spesies Trichogrammatoidea. Salah satu karakter yang sangat penting dalam mengidentifikasi genus maupun spesies dari Trichogrammatoidea adalah genetalia jantan, karena hanya genetalia jantan yang memiliki ciri yang khas dan sangat membedakan antara satu spesies dengan spesies yang lainnya. Disamping itu jumlah Rs1 pada sayap depan merupakan karakter lain sebagai tambahan dalam identifikasi spesies (Alba 1988). Di Filipina dilaporkan bahwa terdapat 6 spesies Trichogrammatoidea, T. evanescens dan T. armigera merupakan spesies yang hanya memarasit Plutella xylostella (Alba 1988). Sedangkan Hassan (1993) melaporkan bahwa terdapat 3 spesies Trichogrammatoidea yang mempunyai inang yang sangat banyak, yakni dapat memarasit hama jagung, tebu, padi, kedelai, kapas, bit gula, sayuran, dan cemara dari 24 negara.
16
Pada penelitian sebelumnya tentang keragaman parasitoid telur di Pulau Jawa ditemukan tiga spesies Trichogrammatoidea yang memarasit telur P. xylostella sebagai inangnya, yaitu T. flandersi, T. cojuangcoi, dan T. armigera. Spesies T. flandersi dan T. cojuangcoi merupakan spesies yang baru ditemukan di Indonesia (Meilin 1999). T. armigera merupakan spesies parasitoid yang memiliki banyak inang. Selain inang P. xylostella, parasitoid ini juga memarasit hama Crocidolomia binotalis, H. armigera, Spodoptera incertulas, dan Etiella zinckenella (Meilin 1999).
Struktur Populasi Parasitoid pada Agroekosistem Peranan parasitoid di agroekosistem dapat ditingkatkan keberadaannya dengan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh parasitoid, seperti inang alternatif, makanan untuk imago parasitoid (polen, nektar, dll), persediaan makanan yang selalu ada, tersedianya habitat di saat musim dingin berkepanjangan, dan iklim mikro yang sesuai (Dyer & Landis 1997). Sumbersumber daya ini dapat tersedia jika lahan dipenuhi oleh tanaman yang beranekaragam (polikultur) (Altieri et al. 1978), atau dengan menjaga keberadaan semaksemak di sekitar lahan (Foster & Ruesink 1984). Keberadaan parasitoid di agroekosistem dipengaruhi oleh keberadaan inangnya, oleh karena itu struktur populasi inang akan sangat mempengaruhi struktur populasi parasitoid yang ada (Roderick & Navajas 2003). Tetapi hal ini tidak berarti bahwa struktur populasi parasitoid mutlak dipengaruhi struktur populasi inangnya. Ada beberapa faktor lain yang sangat mempengaruhi struktur populasi parasitoid yaitu perilaku kopulasi (mating behaviour), perilaku pencarian inang (host searching behaviour), dan kemampuan terbang (Vaughn & Antolin 1998). Perilaku dan kemampuan parasitoid tersebut dapat menyebabkan struktur populasi parasitoid di alam tidak menjadi populasi yang acak melainkan populasi yang terbagi ke dalam beberapa subpopulasi. Menurut Vaughn & Antolin (1998) implikasi bagi kesuksesan pengendalian hayati dengan parasitoid adalah populasi parasitoid seharusnya populasi yang acak bukan metapopulasi. Karena parasitoid
17
sebagai agens pengendali hayati harus mampu berkopulasi dengan individuindividu dari satu spesies yang berasal dari mana saja sehingga populasi parasitoid dapat berkesinambungan dan mempunyai kemampuan terbang yang tinggi di lapangan sehingga dapat menyebar ke segala penjuru dalam mencari inangnya. Bila ternyata struktur populasi parasitoid terdiri dari sub-subpopulasi kecil, maka perlu dipikirkan lebih lanjut apa implikasi dari kondisi ini terhadap pengendalian hayati. Apakah hal ini akan berakibat pada pengambilan sampling parasitoid untuk “mass rearing”?. Dengan adanya beberapa subpopulasi maka dalam pencarian strain parasitoid yang paling baik perlu diambil sampel dari tiaptiap subpopulasi tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian ini sampling pada setiap lokasi dilakukan menyeluruh sehingga dapat menggambarkan struktur populasi parasitoid tersebut di lapang (Buchori et al. 2003). Saat ini keberadaan struktur populasi parasitoid dapat diketahui dan diteliti melalui pendekatan molekuler (Roderick & Navajas 2003).
Peranan Teknologi Molekuler dalam Analisa Struktur Populasi Teknik molekuler merupakan teknologi terbaru yang sangat membantu dalam studi-studi tentang biologi serangga, ekologi serangga, dan genetika populasi baik pada habitat alaminya juga pada skala laboratorium. Analisis protein secara elektroforesis telah banyak bermanfaat bagi sebagian besar serangga, tetapi terdapat beberapa kelompok serangga yang sangat sulit untuk dideteksi variasi genetiknya, sehingga tidak dapat diteliti kecuali dengan menggunakan penandapenanda DNA (Hoy 1994). Studi genetika populasi mempelajari bagaimana prinsip-prinsip genetika dapat diaplikasikan pada analisis keseluruhan populasi (Hartl 1988). Teknik RAPD-PCR (Random Amplified Polymorphic DNA – Polymerase Chain Reaction) merupakan teknik yang banyak digunakan karena kemudahan dan kecepatannya dalam menghasilkan data. Hedrick (1992) menyatakan bahwa penanda RAPD semakin banyak digunakan untuk penyusunan peta genetik, sidik jari DNA, dan dalam mempelajari genetika populasi karena beberapa keunggulan yang dipunyai penanda ini dibandingkan penanda isozim ataupun RFLP. Analisis variabilitas genetik melalui amplifikasi DNA dengan random primer merupakan
18
salah satu teknik yang dapat dilakukan dalam mempelajari variasi genetik serangga (Hoy 1994). Penghitungan nilai keragaman genetik menggunakan beberapa software komputer. Pita-pita polimorfik yang dihasilkan dari analisis RAPD-PCR diskoring secara kualitatif berdasarkan ada (1) dan tidak ada (0) pita pada setiap sampel. Data ditampilkan dalam bentuk matriks kemudian dianalisis untuk mendapatkan variasi genetik yang dikenal dengan nilai keragaman genetik (H) Nei (Nei 1973), menggunakan software POPGENE 3.2 (Yeh et al. 1999). Dengan software ini juga dapat digunakan untuk memperoleh nilai indeks fiksasi (Fst) dan laju efektif migrasi (Nm). Analisis pita-pita DNA RAPD-PCR menghasilkan nilai-nilai H’Nei, Fst dan Nm yang dapat menggambarkan struktur populasi parasitoid (Apostol et al. 1996) dan (Zhou et al. 2000). Kedua penelitian ini menggunakan penanda RAPD meskipun RAPD merupakan penanda dominan sehingga pita-pita yang dihasilkan bukan berupa alel-alel yang dapat diketahui heterosigositasnya melainkan lokuslokus dominan. Untuk mengetahui tingkat heterosigositas jika menggunakan teknik ini yaitu dengan cara pendekatan asumsi Hardy-Weinberg dalam penghitungan data. Kemudian dari kedua penelitian ini juga diperoleh informasi jika ukuran atau jumlah sampel kecil maka nilai Fst dan Nm dapat menjadi bias. Studi variasi genetik pada prinsipnya bertujuan untuk mengkaji genotipe individu-individu di dalam atau antar populasi dan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya variasi genetik dari populasi tersebut. Variasi genetik dapat terjadi akibat adanya perubahan susunan sejumlah rantai nukleotida dari DNA. Perubahan itu dapat mempengaruhi fenotipe suatu organisme sehingga dapat dilihat secara langsung dengan mata atau melihat reaksinya terhadap perubahan lingkungan tertentu. Akan tetapi, apabila terjadinya variasi genetik karena terjadinya perubahan basa beberapa nukleotida saja, perubahan genetik mungkin tidak terekspresi secara fenotipe (Bustamam & Moeljopawiro 1998). Hilangnya keragaman genetik pada suatu populasi merupakan suatu kerugian dimana dapat mengurangi kemampuan spesies untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi dalam interval waktu yang panjang (Primack et al. 1998). Tetapi penyebaran individu ke dalam populasi lain
19
dapat memperbaiki hal itu dengan meningkatkan aliran gen diantara populasipopulasi (Slatkin 1994). Ketidaksesuaian Reproduksi (Reproductive Incompatibility) Penyebaran individu dari satu populasi ke populasi yang lain dapat meningkatkan aliran genetik diantara populasi-populasi tersebut. Biasanya penyebaran ini dilakukan dengan cara melakukan perkawinan. Parasitoid dapat menghasilkan keturunan dengan cara kawin (seksual) dan tidak kawin (aseksual), betina diperoleh dari telur yang dibuahi oleh sperma jantan sehingga dilakukan dengan cara kawin. Induk betina dan jantan dapat mewariskan materi genetiknya sehingga anak betinanya mempunyai kromosom yang lengkap menjadi diploid. Sebaliknya serangga jantan diperoleh dengan cara aseksual, jantan hanya menerima materi genetik dari ibunya dan membawa setengah dari jumlah kromosom menjadi haploid. Serangga betina setelah kawin akan menyimpan sperma jantan di dalam spermateka (kantung sperma) sehingga betina dapat mengatur sendiri jenis kelamin anaknya. Pada saat serangga betina mengeluarkan telur, dia dapat membiarkan sperma membuahi telur untuk mendapat anak betina atau menahan sperma untuk anak jantan (Walter 2000). Menurut Hamilton (1967) parasitoid ini memiliki ciri-ciri perilaku kawin sebagai berikut : (1) reproduksi adalah haplodiploid; (2) betina memutuskan berjumlah lebih banyak; (3) fase pradewasa merupakan serangga yang hidup secara berkelompok; (4) ada paling kurang 1 jantan tiap kelompok; (5) jantan dewasa lahir pertama; (6) jantan kawin beberapa kali dalam suksesi yang cepat; (7) mating terjadi segera setelah betina lahir atau bahkan sebelumnya; (8) jantan tinggal di dalam kelompok; dan (9) jumlah sperma yang diterima oleh setiap betina cukup untuk membuahi semua atau sebagian besar telur-telur. Penyebaran individu ternyata sangat terbatas sehingga dapat terbentuk subsub populasi. Sub-sub populasi ini akan mengarah ke perbedaan genetik dalam satu spesies dan terjadinya ketidaksesuaian reproduksi antar sub populasi tersebut merupakan fenomena yang biasa. Menurut Kidwell (1983) dapat terjadi hambatan dalam perkawinan yang dilakukan antar individu dalam spesies, yang paling umum adalah sterilitas. Jika terjadi hambatan tersebut pada parasitoid di lapangan
20
maka populasi parasitoid terancam kepunahan sehingga program pengendalian hayati yang dilakukan menjadi gagal. Ketidaksesuaian reproduksi dapat diuji di laboratorium dengan cara mengawinkan individu-individu yang berasal dari setiap sub populasi. Hasil dari uji dapat dilihat dengan dua cara. Cara pertama yaitu 48 jam setelah uji dilakukan, organ reproduksi betina dibedah dalam larutan garam fisiologis. Pembedahan ini untuk melihat ada tidaknya sperma dalam spermateka (Ode et al. 1995). Cara kedua adalah dengan memarasitkan telur inang dan dipelihara sampai menetas. Sesuai dengan aturan haplodiploid maka adanya anak betina yang dihasilkan merupakan bukti terjadinya perkawinan dan jika hanya anak jantan maka ini adalah hasil dari betina virgin (perawan) (Luck et al. 1993).
21
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan IPB dan Laboratorium Biologi Molekuler Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Bogor. Dilaksanakan pada bulan Mei 2004 - Mei 2005.
Metode Penelitian Sampling parasitoid telur T. armigera pada hama jagung H. armigera Kegiatan ini dimulai dengan melakukan survei lokasi untuk mendapatkan lokasi pertanaman jagung yang tepat, yaitu umur tanaman jagung, tipe agroekosistem tanaman jagung, lansekap di sekitarnya dan letak lokasinya secara geografis. Sampling dilakukan pada 5 (lima) daerah yang mewakili sentra produksi jagung di Bogor dan sekitarnya. Berikut ini gambar peta lokasi sampling.
22
Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel di Bogor dan sekitarnya Keterangan :
lokasi sampling Gunung Bunder I Ciampea, Bogor lokasi sampling Gunung Bunder II Ciampea, Bogor lokasi sampling Kebun Raya Cibodas, Puncak, Kabupaten Bogor lokasi sampling Cugenang, Cianjur lokasi sampling Warung Kondang, Cianjur
Berdasarkan hasil survei ada 5 lokasi pertanaman jagung yang sangat cocok untuk dilakukan sampling. Pada tabel di bawah ini ditampilkan informasi tentang keadaan lokasi sampling meliputi letak geografi lokasi sampling, tipe pertanaman jagung (monokultur/polikultur) dan luas areal pertanaman, serta tipe vegetasinya yang tumbuh di sekitar lokasi pertanaman jagung.
23
Tabel 1 Data keadaan lokasi sampling di daerah Bogor dan sekitarnya
Luas areal
Lokasi
Geografi
Tipe pertanaman
Tipe vegetasi
Gunung Bunder (GB) I Ciampea, Bogor
S: 06° 39, 385’ E: 106° 41, 087’ H: 625 m dpl
Monokultur
1800 m2
Dibatasi jalan raya, persawahan sedang dibera dan dibajak, ada satu petak talas, perumahan
Pondok Rimbun GB II Ciampea, Bogor
S: 06° 39, 345’ E: 106° 41, 076’ H: 619 m dpl
Polikultur dengan tanaman ubi jalar
1500 m2
Dibatasi jalan raya, ada pohon singkong, pisang, berbatasan dengan petak talas
Kebun Raya Cibodas (CIB) Puncak, Cianjur
S: 06° 72, 333’ E: 107° 02, 145’ H: 1172 m dpl
Polikultur dengan tanaman cabai hijau dan bawang daun
660 m2
Daerah perbukitan, terdapat berbagai macam tanaman sayur seperti selada, brokoli, dan terdapat perumahan
Cugenang (CUG), Cianjur
S: 06° 87, 821’ E: 107° 10, 912’ H: 520 m dpl
Monokultur
2.5 Ha
Dibatasi jalan raya, sawah, perumahan, tanaman pisang dan kelapa
Warung Kondang (WK), Cianjur
S: 06° 86, 768’ E: 107° 09, 032’ H: 588 m dpl
Monokultur
3000 m2
Dibatasi jalan raya, dekat perumahan berbatasan dengan tanah kosong (dibera) persawahan, jagung
24
Umur tanaman jagung yang tepat untuk sampling adalah 60-70 hari setelah tanam (HST), yaitu pada saat keluarnya rambut pada tongkol jagung dan rambut belum kering. Selanjutnya sampling parasitoid dilakukan dengan cara Larikan tanaman jagung
Arah transek
Posisi Ditemukannya telur
Gambar 4 Ilustrasi sampling di lapangan mengumpulkan telur hama jagung H. armigera ada sepanjang larikan tanaman jagung yang disebut transek. Pada satu petak sampling diperlukan 5 transek dengan jarak antar transek adalah 10 larikan tanaman jagung. Telur-telur tersebut selanjutnya disimpan dalam tabung reaksi dan diberi label. Telur-telur H. armigera dan parasitoid yang diperoleh dari kelima lokasi kemudian dipetakan pada gambar yang sesuai dengan posisi ditemukannya pada lokasi sampling menggunakan Microsoft Visio 2003. Selain itu hasil perolehan telur inang maupun parasitoidnya ditabulasi dan dihitung untuk mengetahui persebaran inang parasitoid telur tersebut secara statistik. Analisis menggunakan Chi-Square dengan mengikuti rumus sebaran Poison.
Pemeliharaan parasitoid telur di laboratorium Telur hama jagung yang diperoleh dari lapang (5-8 hari setelah sampling) dibiarkan menetas dan selanjutnya keluar parasitoid telurnya. Jika terdapat parasitoid jantan dan betina yang berasal dari hasil tetasan satu telur inang
25
ditunggu sampai parasitoid tersebut melakukan kopulasi. Pada tahapan berikutnya, masing-masing parasitoid betina dipelihara secara individual dalam sebuah tabung dan setiap tabung disebut satu populasi atau satu female line. Parasitoid telur dipelihara di laboratorium menggunakan telur inang pengganti, yaitu Corcyra cephalonica yang merupakan hama gudang. Telur inang ini ditempelkan pada kertas karton yang disebut pias menggunakan gum arabic. Setelah itu pias disimpan dalam freezer selama 2 jam. Selanjutnya pias dimasukkan ke dalam tiap tabung agar dapat diparasit dan sebagai pakan bagi parasitoid dewasa, ke dalam tabung tersebut dioleskan madu 10%. Pengamatan pias dilakukan setiap hari dan kira-kira 7-9 hari pias akan menetas.
Identifikasi spesies parasitoid telur T. armigera Penelitian ini difokuskan pada spesies di atas sehingga semua sampel female
line harus diidentifikasi. Identifikasi dilakukan setelah female line berkembang biak dengan baik. Kemudian membuat spesimen dari beberapa ekor parasitoid jantan masing-masing female line tersebut. Identifikasi dengan cara melakukan pengamatan terhadap alat genitalianya. Hasil pengamatan dibandingkan dengan gambar identifikasi menurut Alba (1988). Female line yang telah teridentifikasi spesiesnya dengan tepat, digunakan untuk penelitian ini.
Analisis Struktur Populasi Parasitoid Telur T. armigera Berdasarkan Karakter Molekuler Isolasi DNA genom total T. armigera DNA genom total T. armigera diisolasi berdasarkan metode Bahagiawati et
al. (2005) yang dimodifikasi. Sebanyak 50-100 ekor parasitoid dari masingmasing populasi dimasukkan dalam tabung eppendorf. Masing-masing sampel digerus dalam tabung yang ditambahkan sebanyak 400 μl buffer ekstraksi TEN 1X (Tris-HCl 10 mM pH 8, EDTA 2 mM pH 8, dan NaCl 0.4 M). Setelah diperoleh hasil gerusan yang halus dan homogen, ditambahkan sebanyak 40 μl SDS 20% dan 8 μl Proteinase K 20 mg/ml sambil diaduk-aduk. Selanjutnya tabung diinkubasi selama 1 jam pada suhu 550C. Dan tambahkan 300 μl NaCl 5 M. DNA dipisahkan dengan komponen kontaminannya seperti pecahan sel
26
dengan cara teknik sentrifugasi selama 15 menit pada 12000 rpm. Pindahkan supernatan yang mengandung DNA (kira-kira 700 μl) ke dalam tabung eppendorf yang baru. DNA dipresipitasi dengan menambahkan 1X volume isopropanol dingin (v/v) yaitu 700 μl dan diinkubasi pada suhu –200C selama semalam. Kemudian tabung disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 15 menit untuk mendapatkan pelet DNA. Pelet DNA yang diperoleh dicuci 2 kali dengan ETOH 70% (v/v) dan dikeringanginkan. Pada tahapan terakhir pelet DNA diresuspensi dengan 30 μl buffer TE 1X dan disimpan di freezer untuk digunakan selanjutnya.
Amplifikasi DNA dengan teknik RAPD-PCR Teknik PCR dilakukan dengan mengamplifikasi fragmen DNA dari sampel yang diisolasi tersebut di atas dengan menggunakan 4 primer RAPD, yaitu RUT1 (5’-ccctggacgtctacaat-3’), RUT2 (5’-ggtgcgggaa-3’), IDT45 (5’-tggcgcagtg-3’) dan IDT48 (5’-acgccagagg-3’). Reaksi PCR dilakukan dalam volume total 22 μl, yang terdiri dari 18 μl PCR supermix (dari Invitrogen), 2 μl primer (5 pmol/μl), dan 2 μl DNA sampel. Proses amplifikasi dilakukan dalam mesin PCR MJ Research PCT-100 dengan tahapan pre- denaturate pada suhu 94°C selama 2 menit, dilanjutkan dengan 45 siklus tahapan denaturate pada suhu 94°C selama 45 detik, annealing 36°C selama 1 menit, dan elongation pada suhu 72°C selama 2 menit. Proses amplifikasi diakhiri dengan tahapan final elongation pada suhu 72°C selama 8 menit.
Separasi dan visualisasi hasil PCR Hasil PCR diseparasi dengan teknik elektroforesis menggunakan gel agarose 1.2% di dalam buffer TBE 0.5X. Sebanyak 8 μl produk PCR ditambah dengan 2 μl loading dye (pewarna dan pemberat DNA) dengan komposisi loading
dye : produk PCR = 1 : 4, dimasukkan ke dalam well pada gel, dengan mengikutkan 100 bp DNA ladder (8 μl DNA ladder 100ng/μl dan 2 μl loading
dye) sebagai penanda untuk memudahkan penentuan pola pita DNA hasil PCR dari masing-masing sampel berdasarkan ukuran basanya. Selanjutnya gel
27
direndam dalam larutan ethidium bromida selama 10 menit dan dibilas di air selama 30 menit sambil digoyang. Setelah itu fragmen DNA divisualisasi dan didokumentasi dengan meletakkan gel di bawah sinar UV dengan bantuan alat Chemidoc.
Skoring dan analisis pola pita DNA Tiap pita yang muncul pada gel diskor secara visual. Pita yang muncul pada ukuran yang sama diberi skor 1 dan jika tidak muncul diberi skor 0. Setiap pita DNA yang muncul dan mempunyai ukuran berbeda dengan pita yang lain disebut sebagai satu lokus dan dalam satu lokus terdapat alel. Hasil skoring kemudian dianalisis dengan program komputer untuk mengetahui nilai-nilai berikut ini, yaitu (1) nilai PIC (Polymorphic Information Contents) yang bertujuan untuk mengetahui tingkat polimorfisme yang dihasilkan oleh masing-masing primer. Dengan mengetahui nilai ini maka dapat diketahui primer mana yang dapat terus digunakan dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis.
PIC Value =
Jumlah skor 1 yang polimorfik X 100% Jumlah pita dari satu primer X Jumlah sampel
(2) nilai heterosigositas genetik (H) dengan menghitung frekuensi alel pada setiap lokus menggunakan program SPSS ver.11. Nilai H ini untuk mengetahui lokuslokus dominan yang muncul dalam bentuk pita apakah merupakan homosigot atau heterosigot. Dengan mengetahui nilai heterosigositas maka dapat diketahui tingkat keragaman genetik suatu individu. Rumus yang digunakan merupakan rumus turunan dari asumsi kesetimbangan Hardy-Weinberg yaitu : Alel : AA = p2
Aa = 2pq
aa = q2
1 Jadi nilai hi = 2pq dan nilai Heterosigositas (H) = n
∑ hi
28
(3) nilai H’Nei, merupakan nilai heterosigositas yang dirumuskan oleh Nei (1973) dan terdapat dalam software komputer. Nilai ini menunjukkan nilai keragaman genetik dalam populasi dan antar populasi. q s Heterosigositas subpopulasi (Hs) = 1 - ∑kwk∑iX2ki
q Heterosigositas total (Ht) = 1 - ∑iχi2 (4) nilai Fst (fixation index) menunjukkan ada tidaknya aliran genetik pada populasi atau mengindikasikan terjadinya perkawinan dengan populasi asing. Fst = 1 - Hs Ht
Serta (5) nilai Nm (migration rate) menunjukkan nilai laju migrasi genetik atau ada tidaknya pengaruh aliran genetik terhadap populasi. Nilai H’Nei, Fst, dan Nm tersebut dihitung menggunakan program komputer POPGENE ver 1.32. Nm = 0.5 x
1 – Fst Fst
Disamping itu, data yang diperoleh juga ditampilkan dalam bentuk dendrogram berdasarkan metode UPGMA dengan menggunakan program komputer NTSys versi 2.1. Kemudian tingkat kepercayaan pohon filogenetik yang diperoleh dianalisa menggunakan Bootstrap iterasi 1000x dengan program komputer Freetree dan Treeview32. Dengan program ini juga dapat dihasilkan tabel matrik jarak genetik antar female line sehingga dapat diketahui seberapa jauh perbedaan genetik female line satu dengan yang lain.
Uji Ketidaksesuaian Reproduksi (reproductive incompatibility test) Kegiatan ini memerlukan imago betina yang masih perawan dari masingmasing populasi female line, yaitu yang baru keluar dari telur inang dan belum pernah berkopulasi. Imago betina perawan diperoleh dengan memisahkan setiap
29
telur terparasit dari pias, satu-persatu disimpan dalam masing-masing tabung eppendorf. Setelah telur menetas diamati apakah ada jantan yang dihasilkan, karena jika terdapat jantan dari telur yang sama dikhawatirkan betina tersebut telah melakukan kopulasi, sehingga tidak dapat digunakan dalam uji ini. Begitu juga jantan yang akan digunakan, walaupun jantan dapat melakukan kopulasi beberapa kali tetapi dalam uji ini diharapkan jantan sama sekali belum melakukan kopulasi. Sehingga untuk mendapatkannya sama dengan betina perawan. Jantan dan betina perawan yang diperoleh dari masing-masing populasi kemudian diperlakukan dengan perkawinan silang, yaitu mengawinkan satu individu jantan, misalnya yang berasal dari populasi A dengan satu individu betina perawan yang berasal dari populasi B, begitu juga sebaliknya, satu individu betina perawan A dikawinkan dengan satu individu jantan dari populasi B. Jadi ada dua jenis perlakuan kawin antar dua populasi sedangkan populasi-populasi yang digunakan yaitu dari semua populasi female line dengan dikombinasikan. Dari dua jenis perlakuan kawin ini kemudian diulang sebanyak empat kali. Masing-masing ulangan menggunakan individu yang berbeda tetapi berasal dari populasi yang sama tiap perlakuan. Proses kopulasi dilakukan dengan cara memasukkan setiap pasangan dalam satu tabung kemudian diamati perilakunya apakah terjadi kopulasi atau tidak kemudian dibiarkan sampai beberapa jam. Setelah itu dimasukkan pias dengan jumlah telur inang sebanyak kira-kira 30 butir dan diolesi madu. Setiap hari pias diganti sampai betina mati. Pias diamati sampai menetas kemudian dilakukan pengamatan terhadap jenis kelamin keturunannya. Apabila semua anaknya jantan maka pada data ditulis negatif, yang berarti tidak terjadi kopulasi akan tetapi jika ada anaknya yang betina maka ditulis positif yaitu telah terjadi kopulasi. Data dari keempat ulangan kemudian dikompilasi menjadi satu tabel yang berisi nilai positif atau negatif dari uji ketidaksesuaian reproduksi ini.
30
HASIL PENELITIAN
Sampling T. armigera dan persebaran hama jagung H. armigera Telur H. armigera banyak ditemukan pada saat keluarnya rambut pada tongkol jagung, dan sebelum rambut tersebut kering, yaitu sekitar 60-70 hari setelah tanam (HST). Parasitoid telur T. armigera umumnya memarasit telur H.
armigera yang telah diletakkan pada rambut jagung tersebut. Berdasarkan sampling telur H. armigera di lima lokasi diperoleh telur H.
armigera terparasit dengan sejumlah female line yang berbeda-beda. Dari kelima lokasi sampling tersebut, female line yang dapat dianalisis lebih lanjut dengan teknik molekuler hanya didapatkan dari telur hama terparasit yang berasal dari tiga lokasi sampling, yaitu Gunung Bunder I, Gunung Bunder II, dan Cugenang, data yang lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Data parasitoid telur T. armigera pada penelitian ini
Lokasi GB I GB II CIB CUG WK
∑ ∑ ∑ pohon tongkol telur 189 481 107 220 185
218 310 93 197 182
86 100 48 41 58
∑ ∑ ∑ ∑ ∑ total telur Parasitoid Female Female Female ter yg Line di Line Lines parasit menetas ekstrak hidup 64 143 29 2 1 56 136 30 11 9 5 14 5 0 0 20 53 21 6 6 23 68 6 0 0
Keterangan : GB : Gunung Bunder CIB : Cibodas CUG : Cugenang WK : Warung Kondang Dari koleksi di WK dan CIB, meskipun diperoleh sejumlah female line dari telur H. armigera yang terparasit tetapi tidak diperoleh female line yang dapat diisolasi DNA-nya. Oleh sebab itu studi tentang struktur populasi parasitoid T.
armigera yang dilakukan dalam penelitian ini hanya menggunakan parasitoid yang berasal dari tiga lokasi sampling pertanaman jagung.
31
Berikut adalah peta distribusi inang dan parasitoid di lokasi sampling Gunung Bunder I dan seterusnya pada masing-masing lokasi sampling. 40 35 30 P O H O N K E
25 20 15 10 5
0 1
2
3 Transek ke -
4
5
Gambar 5 Peta distribusi inang dan parasitoid di Gunung Bunder I Keterangan :
lokasi pohon / tongkol dimana telur inang ditemukan parasitoid yang keluar dari telur inang, bukan female line female line female line yang dapat diekstrak DNA masih terdapat pohon-pohon jagung setelahnya
Lokasi GB I menunjukkan pola distribusi inang yang acak dan inang menyebar sama banyak di semua transek. Di lokasi ini kecenderungan inang untuk meletakkan telur-telurnya secara berdekatan dalam satu transek tampak jelas karena pada gambar terlihat ditemukannya telur-telur inang pada pohonpohon yang lokasinya berurutan seperti pada transek 2 dan transek yang lain. Distribusi parasitoid selain mengikuti pola distribusi inangnya juga menunjukkan frekuensi ditemukan parasitoid yang hampir sama banyak dengan frekuensi ditemukan inang.
32
65 60 55 50 45 P O H O N K E
40 35 30 25 20 15 10 5
0 1
2
3 Transek ke -
4
5
Gambar 6 Peta distribusi inang dan parasitoid di Gunung Bunder II Keterangan :
lokasi pohon / tongkol dimana telur inang ditemukan parasitoid yang keluar dari telur inang, bukan female line female line female line yang dapat diekstrak DNA masih terdapat pohon-pohon jagung setelahnya
Gambar di atas menunjukkan pada lokasi GB II telur inang dapat ditemukan secara acak di semua transek. Dari transek pertama ditemukan lebih banyak telur inang dibandingkan transek-transek yang lain. Seperti GB I telur-telur inang yang berada dalam satu transek ditemukan pada pohon-pohon jagung yang berdekatan. Hal ini menunjukkan kecenderungan inang untuk meletakkan telurnya pada
33
tongkol-tongkol jagung yang berdekatan kecuali pada transek kelima dimana hanya sedikit telur inang yang ditemukan dengan jarak yang saling berjauhan antara satu dengan lainnya. Parasitoid juga ditemukan di lokasi ini dan menunjukkan pola distribusi yang mengikuti distribusi inang dimana pada telur inang yang diperoleh juga ditemukan parasitoidnya. Walaupun frekuensi telur terparasit lebih kecil dibandingkan dengan frekuensi telur inang karena terdapat beberapa telur-telur inang yang tidak terparasit.
25 P O H O N
20 15 10
K E
5
0 1
2
3 Transek ke -
4
5
Gambar 7 Peta distribusi inang dan parasitoid di Cibodas Keterangan :
lokasi pohon / tongkol dimana telur inang ditemukan parasitoid yang keluar dari telur inang, bukan female line female line female line yang dapat diekstrak DNA masih terdapat pohon-pohon jagung setelahnya
Pola distribusi inang di Cibodas juga menunjukkan pola yang acak karena pada semua transek ditemukan telur-telur inang. Telur-telur inang paling banyak ditemukan pada transek satu dan lima dengan jarak ditemukannya berdekatan termasuk pada transek-transek yang lain. Tetapi parasitoid sangat sedikit ditemukan bahkan hampir tidak ada sehingga tidak dapat diketahui pola distribusi parasitoidnya apakah mengikuti pola inang atau tidak.
34
50 45 P O H O N K E
40 35 30 25 20 15 10 5
0 1
2
3 Transek ke -
4
5
Gambar 8 Peta distribusi inang dan parasitoid di Cugenang Keterangan :
lokasi pohon / tongkol dimana telur inang ditemukan parasitoid yang keluar dari telur inang, bukan female line female line female line yang dapat diekstrak DNA masih terdapat pohon-pohon jagung setelahnya
Lokasi sampling di Cugenang menunjukkan pola distribusi inang yang sama dengan lokasi-lokasi sampling sebelumnya yaitu acak. Tetapi pada lokasi ini banyaknya telur-telur inang yang ditemukan pada masing-masing transek hampir sama. Sehingga dapat dikatakan inang merata di semua bagian petak sampling. Kecenderungan inang untuk meletakkan telur-telurnya yang berdekatan agak tidak terlihat di lokasi ini karena ada jarak yang cukup jelas antar pohon ditemukannya telur inang. Hal ini tidak banyak mempengaruhi parasitoidnya karena parasitoid tetap mengikuti distribusi inangnya walaupun frekuensi ditemukannya tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan frekuensi inang.
35
55 50 45 P O H O N
40 35
K E
30 25 20 15 10 5
0 1
2
3 Transek ke -
4
5
Gambar 9 Peta distribusi inang dan parasitoid di Warung Kondang Keterangan :
lokasi pohon / tongkol dimana telur inang ditemukan parasitoid yang keluar dari telur inang, bukan female line female line female line yang dapat diekstrak DNA masih terdapat pohon-pohon jagung setelahnya
Dari lokasi Warung Kondang ini, tampak adanya pola distribusi inang yang sama dengan lokasi GB II yaitu acak. Tetapi telur inang yang paling banyak ditemukan adalah pada transek tiga dimana letaknya di tengah petak sampling. Inangnya juga cenderung meletakkan telur pada tongkol-tongkol jagung yang berdekatan sehingga jika ditemukan satu telur inang pada satu pohon maka kemungkinan akan ditemukan juga telur inang di pohon-pohon sekitarnya. Parasitoid menunjukkan pola distribusi yang mengikuti pola inangnya walaupun frekuensi ditemukannya lebih kecil.
36
Peta distribusi dari semua lokasi di atas menunjukkan keadaan di lapang dimana pola distribusi inang adalah acak dan pola distribusi parasitoid yang mengikuti pola inangnya tetapi hal itu juga harus ditunjang dengan hasil penghitungan data yang diperoleh. Data-data dan hasil penghitungannya dapat dilihat pada tabel-tabel di Lampiran 4 dimana dari hasil analisa persebaran telur inang H. armigera adalah acak karena (S2 / χ) > 1. Hal ini juga didukung oleh analisa Chi-square yang signifikan berarti pola distribusinya acak. Untuk lokasi Gunung Bunder I diantara 64 telur hama yang terparasit diperoleh 29 female line, tetapi hanya 2 female line yang diekstraksi DNA-nya. Pada Gunung Bunder II dari 56 telur hama yang terparasit, hanya 11 female line dan Cugenang dari 20 telur hama yang terparasit diperoleh 6 female line yang diekstraksi DNA-nya. Secara keseluruhan ada 19 female line berasal dari tiga lokasi sampling yang diekstrak DNA kemudian dianalisis dengan teknik RAPDPCR. Data ke-19 female line dapat dilihat pada tabel di bawah ini sesuai urutan pada gel di Gambar 10 halaman berikutnya. Tabel 3 Data sampel female line parasitoid telur T. armigera
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Kode Line GBII1111 GBII1121 GBII1122 GBII1131 GBII1211 GBII2111 GBII3111 GBII3211 GBII3311 GBII3411 GBII5111 CUG2111 CUG2112 CUG3111 CUG3211 CUG4111 CUG4112 GBI2111 GBI2112
Asal GB II GB II GB II GB II GB II GB II GB II GB II GB II GB II GB II Cugenang Cugenang Cugenang Cugenang Cugenang Cugenang GB I GB I
Transek 1 1 1 1 1 2 3 3 3 3 5 2 2 3 3 4 4 2 2
Pohon 1 1 1 1 2 1 1 2 3 4 1 1 1 1 2 1 1 1 1
Telur 1 2 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Female L 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 2
37
Data yang tercantum pada tabel di atas adalah informasi tentang lokasi petak penelitian dimana sampel parasitoid ditemukan, penamaan female line berdasarkan posisi asal sampel tersebut mulai dari transek, pohon jagung dan telur hama inang. Selanjutnya ke-19 sampel ini diekstrak DNA-nya dan DNA tersebut digunakan sebagai DNA template pada teknik RAPD-PCR yang dilakukan.
Analisis Struktur Populasi Parasitoid Telur T. armigera Berdasarkan Karakter Molekuler Teknik RAPD-PCR pada penelitian ini menggunakan 4 macam primer. Satu
primer biasanya terdiri atas 10 oligonukleotida yang mengandung GC minimal 60% (Williams et al. 1990). Teknik RAPD-PCR dilakukan untuk melihat perbedaan genetik diantara individu-individu dengan melihat pola pita-pita sekuen DNA yang terbentuk pada gel elektroforesis. Gel elektroforesis sebagai media visualisasi pita-pita tersebut. Hasil visualisasi 19 sampel secara berurutan sesuai tabel di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
M
1 2
3
4 5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 M
1000bp
200bp
Gambar 10 Hasil amplifikasi DNA produk PCR menggunakan primer RUT2 M = marker 100 bp DNA ladder, 1 – 19 = sampel female line 1 – 11 = female line dari Gunung Bunder II 12 – 17 = female line dari Cugenang 18 & 19 = female line dari Gunung Bunder I
Perbedaan genetik diantara individu-individu parasitoid yang diuji dapat dilihat berdasarkan tingkat polimorfisme pada beberapa lokus RAPD yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 4 primer RAPD yang digunakan dapat menghasilkan perbedaan genetik individu-individu parasitoid dengan terdeteksi sebanyak 58 lokus pada 19 parasitoid telur yang dianalisis.
38
Tipe primer RAPD-PCR yang paling baik adalah yang paling banyak mendeteksi lokus genom suatu organisme sehingga menghasilkan tingkat polimorfisme paling tinggi. Tipe primer ini dapat digunakan pada penelitianpenelitian sejenis. Untuk mengetahui tingkat polimorfisme maka dilakukan penghitungan nilai PIC (Polymorphic Information Contents). Berdasarkan
nilai
PIC
ternyata
primer
RUT2
(5’-ggtgcgggaa-3’)
memberikan nilai yang tertinggi yaitu 39.63% dibandingkan dengan primer yang lain. Sehingga primer RUT2 dapat direkomendasikan untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya yang sejenis. Hasil penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4 Jumlah lokus yang dihasilkan pada 19 parasitoid telur T. Armigera
∑ pita ∑ pita Nilai poli mono PIC morfik morfik RUT 1 5’-ccctggacgtctacaat-3’ 16 14 2 24.67% RUT 2 5’-ggtgcgggaa-3’ 17 14 3 39.63% IDT 45 5’-tggcgcagtg-3’ 13 10 3 27.13% IDT 48 5’-acgccagagg-3’ 12 10 2 11.84% Jumlah 58 48 10 26.95% Lokus-lokus yang terdeteksi pada DNA genom parasitoid dengan keempat Primer
Sekuen
∑ lokus/pita
primer tersebut selanjutnya diterjemahkan sebagai data biner (dapat dilihat di lampiran) dalam menganalisis perbedaan dan kemiripan genetik parasitoid. Data biner dimasukkan ke dalam program komputer untuk melakukan penghitungan nilai-nilai heterosigositas (H), indeks fiksasi (Fst), dan laju migrasi (Nm). Umumnya dari satu telur hama H. armigera akan keluar tiga imago parasitoid yang terdiri dari jantan dan betina, jika yang keluar jantan semua atau betina semua maka parasitoid-parasitoid ini tidak akan digunakan untuk analisis lebih lanjut. Tetapi jika parasitoid yang keluar terdapat betina dan jantan maka betina tersebut dapat digunakan dalam penelitian dengan cara dikawinkan terlebih dahulu dengan jantannya kemudian dipelihara secara individu dan diperbanyak melalui telur-telur inang pengganti. Betina-betina parasitoid ini akan berkembangbiak sampai beberapa generasi dan selanjutnya disebut sebagai female line. Sampel-sampel female line yang berasal dari satu telur hama dapat dibandingkan untuk melihat ada tidaknya keragaman genetik. Dan pada penelitian
39
diperoleh empat telur hama masing-masing menghasilkan dua female line yang berasal dari ketiga lokasi. Berdasarkan hasil penghitungan pada tabel di bawah ternyata terdapat keragaman genetik antar female line ini, meskipun nilai keragamannya yang ditunjukkan oleh H’Nei dan H sangat kecil. Tabel 5 Hasil penghitungan H’Nei, Fst, Nm dan H dengan program komputer Sumber Keragaman 1. Satu telur antar female lines
2.
Satu pohon antar telur
3.
Satu transek antar pohon
4.
Satu lokasi antar transek
5.
Setiap lokasi antar sampel
6.
Sampel dari 3 lokasi
Sampel GBII1121& GBII1122. CUG2111& CUG2112. CUG4111& CUG4112. GBI2111& GBI2112. GBII1111, GBII1121, GBII1122 & GBII1131 a) Transek 1 GB II b) Transek 3 GB II c) Transek 3 Cugenang a) Transek GB II b) Transek Cugenang c) Transek GB I Gng Bunder II Cugenang Gng Bunder I GB II + Cugenang + GB I
H’Nei + sd
Fst
Nm
H
0.0345 +0.1278
0.814
0.114
7.7 %
0.069 + 0.1739
0.685
0.229
12.5 %
0.0603 +0.1643
0.725
0.189
15.38 %
0.0776 +0.1826
0
~
14.5 %
0.1034 +0.1785
0,441
0.634
18.75 %
0.1434 +0.1912
0.226
1.71
22.74 %
0.2155 +0.2065
0.397
0.759
27.78 %
0.1897 +0.2447
0.135
3.2
28.75 %
0.1852 +0.1724 0.2193 +0.1992
0.3949 0.5153
0.7663 0.4703
22.4 % 28.26 %
0.0776 +0.1826
0
~
14.5 %
0.1852 +0.1724 0.2193 +0.1992 0.0776 ±0.1826
0.3949 0.5153 0
0.7663 0.4703 ~
22.4 % 28.26 % 14.5 %
0.2111 +0.1644
0.1921
2.1031
21.9%
Hasil penghitungan yang lengkap pada tabel di atas menunjukkan beberapa parameter yang dibutuhkan dalam menduga variasi genetik parasitoid telur T.
40
armigera sehingga menjadi dasar dalam analisis struktur populasi parasitoid tersebut. Tidak dapat dipastikan apakah female line-female line yang keluar dari satu telur hama berasal dari satu induk betina parasitoid yang memarasit telur hama tersebut hanya dengan melihat nilai keragaman genetiknya. Untuk lebih memastikan apakah mereka berasal dari satu induk maka pada kegiatan mendatang perlu dilakukan kegiatan sekuensing DNA female line tersebut, misalnya terhadap gen penyandi 18s ribosomal DNA. Urutan basa nukleotida yang diperoleh dari hasil sekuensing dapat disejajarkan (alignment) sehingga diketahui tingkat homologinya, jika tingkat homologinya diatas 90% maka mereka dapat dikatakan berasal dari satu induk. Untuk menghitung nilai Fst menggunakan asumsi Hs (heterosigositas subpopulasi) dan Ht (heterosigositas total), sedangkan nilai Nm diperoleh dengan melakukan pembagian terhadap Fst. Pada tabel di atas terdapat nilai 0 pada Fst dan tak berhingga (∼) pada Nm di lokasi GB I. Ini disebabkan oleh sampel female line yang didapat dari lokasi tersebut hanya dua dan itupun berasal dari satu telur hama maka antara Hs dan Ht sama, sehingga hasil penghitungan nilai Fst 0 dan nilai Nm menjadi tak berhingga. Tabel 5 juga menunjukkan nilai-nilai Fst dan Nm yang sama antara sumber keragaman satu lokasi antar transek (No. 4) dengan sumber keragaman setiap lokasi antar sampel (No. 5), hal ini disebabkan menghitung antar transek dalam satu lokasi sama dengan menghitung semua sampel dari satu lokasi. Karena satu lokasi itu terdiri atas beberapa transek dan semua sampelnya berada pada transektransek tersebut sehingga nilai kedua sumber keragaman menjadi sama. Setelah diketahui nilai dari setiap lokasi sampel maka dihitung juga nilai gabungan sampel dari ketiga lokasi yaitu sumber keragaman No. 6. Sumber keragaman ini untuk melihat bagaimana struktur populasi keseluruhan sampel.
41
Struktur Populasi Parasitoid Telur T. armigera dan Pengaruhnya terhadap Ketidaksesuaian Reproduksi Untuk lebih memudahkan dalam menggambarkan struktur populasi tersebut maka dengan bantuan program komputer dapat dibuat dendrogram kemiripan genetik 19 sampel. Berdasarkan hasil analisis kemiripan genetik melalui
Unweighted Pair Group Method Using Arithmatic (UPGMA) diperoleh pengelompokkan 19 sampel parasitoid telur dalam bentuk pohon filogenetik (dendrogram).
Gambar 11 Dendrogram kemiripan genetik 19 sampel parasitoid T. armigera berdasarkan 4 primer acak Keterangan : Nilai bootstrap ditunjukkan oleh angka-angka merah pada percabangan. Female line yang berwarna sama berasal dari lokasi yang sama GBI biru berasal dari Gunung Bunder I GBII merah berasal dari Gunung Bunder II CUG hijau berasal dari Cugenang
Dendrogram ini dapat menunjukkan bahwa pada tingkat similaritas 63%, parasitoid T. armigera terbagi dalam dua kelompok utama, yaitu kelompok pertama (terdiri atas CUG3111 yang berasal dari Cugenang dan GBII3411 yang berasal dari Gunung Bunder II) dan kelompok kedua merupakan 17 parasitoid selain yang di kelompok pertama. Berdasarkan hasil analisis bootstraping dengan
42
1000x iterasi kedua kelompok ini mempunyai nilai confident 100%. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian parasitoid ini menjadi dua kelompok utama sudah menunjukkan kelompok yang stabil. Menurut Felsenstein (1985) klasterklaster yang memiliki nilai bootstrap 95% atau lebih dapat dikatakan sebagai klaster yang benar-benar stabil. Sampel yang berasal dari dua lokasi sampling berbeda tetapi berada pada kelompok yang sama pada dendogram menunjukkan bahwa tidak terjadi pemisahan kelompok berdasarkan lokasi sampling. Pada dendogram terlihat di lokasi GB II terdapat satu tongkol yang memiliki 3 telur inang, salah satu telur inang menghasilkan 2 female line tetapi kedua
female line tersebut berada pada kelompok yang terpisah bahkan salah satu dari kedua female line tersebut mengelompok dengan female line yang berasal dari telur inang yang lain tetapi masih berada pada satu tongkol. Kedua hal ini menunjukkan adanya 2 kemungkinan yang terjadi di lapang yaitu kemungkinan pertama adalah antara telur inang pertama dan kedua ternyata diparasit oleh induk betina parasitoid yang sama dan kemungkinan kedua adalah female line-female
line yang berasal dari telur inang yang sama bukan berasal dari induk betina parasitoid yang sama. Kemungkinan kedua ini sangat mungkin terjadi di alam karena hal ini juga terdapat di lokasi Cugenang, bahkan kelompoknya terpisah jauh antara female line-female line yang berasal dari satu telur inang. Berdasarkan dendrogram pula dapat diketahui nilai matriks jarak genetik yang merupakan terjemahan nilai jarak genetik pada dendrogram. Tetapi nilai ini tidak dapat ditampilkan secara langsung pada dendrogram. Nilai matriks jarak genetik merupakan kebalikan dari hubungan kekerabatan/kemiripan genetik parasitoid pada dendrogram dan analisisnya menggunakan program komputer NTSYS-pc versi 2.1. Nilai matriks jarak genetik dapat dilihat selengkapnya pada tabel di lembar berikutnya.
43
CUG4111
CUG3211
CUG3111
CUG2112
CUG2111
GBII5111
GBII3411
GBII3311
GBII3211
GBII3111
GBII2111
GBII1211
GBII1131
GBII1122
GBII1121
GBII1111
Tabel 6 Matriks jarak genetik 19 sampel T. armigera hasil RAPD-PCR
GBII1111
0.00
GBII1121
0.09
0.00
GBII1122
0.05
0.08
0.00
GBII1131
0.29
0.19
0.28
0.00
GBII1211
0.32
0.25
0.35
0.28
0.00
GBII2111
0.19
0.10
0.18
0.21
0.18
0.00
GBII3111
0.19
0.10
0.18
0.25
0.14
0.08
0.00
GBII3211
0.33
0.22
0.32
0.25
0.18
0.23
0.19
0.00
GBII3311
0.22
0.17
0.18
0.30
0.32
0.19
0.22
0.37
0.00
GBII3411
0.35
0.36
0.33
0.45
0.37
0.37
0.33
0.43
0.31
0.00
GBII5111
0.20
0.10
0.19
0.25
0.19
0.12
0.08
0.24
0.19
0.27
CUG2111
0.21
0.11
0.20
0.27
0.24
0.17
0.12
0.21
0.24
0.28
0.04
0.00
CUG2112
0.32
0.20
0.30
0.23
0.21
0.17
0.17
0.07
0.32
0.46
0.23
0.14
0.00
CUG3111
0.44
0.36
0.47
0.39
0.24
0.33
0.33
0.30
0.45
0.24
0.30
0.36
0.33
0.00
CUG3211
0.48
0.36
0.46
0.38
0.25
0.29
0.29
0.35
0.41
0.40
0.27
0.32
0.38
0.15
0.00
CUG4111
0.42
0.38
0.40
0.33
0.36
0.36
0.36
0.37
0.40
0.24
0.33
0.39
0.40
0.35
0.35
0.00
CUG4112
0.24
0.15
0.23
0.32
0.15
0.16
0.09
0.10
0.23
0.30
0.17
0.18
0.22
0.37
0.33
0.39
GBI2111
0.09
0.08
0.12
0.27
0.25
0.14
0.14
0.30
0.17
0.36
0.14
0.19
0.29
0.36
0.40
0.42
GBI2112
0.22
0.13
0.22
0.31
0.14
0.15
0.07
0.27
0.18
0.29
0.08
0.12
0.25
0.36
0.28
0.38
0.00
Keterangan : Nilai 0 (warna kuning) = tidak ada jarak karena merupakan populasi yang sama Nilai 0.04 (warna pink) = jarak genetik terdekat Nilai 0.48 (warna pink) = jarak genetik terjauh
44
Nilai jarak genetik ke-19 sampel parasitoid tersebut seperti terlihat pada tabel sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 0.04 - 0.48. Jarak genetik terdekat (0.04) adalah antara parasitoid telur CUG2111 dari Cugenang dengan GBII5111 dari Gunung Bunder II dan jarak genetik (0.48) terjauh adalah antara CUG3211 dari Cugenang dan GBII1111 dari Gunung Bunder II. Meskipun sudah diketahui jarak genetik terdekat dan terjauh, data ini belum dapat menjelaskan adanya pengaruh yang cukup signifikan dari perbedaan lokasi pengambilan sampel yang mempunyai tipe pertanaman dan letak geografis tertentu terhadap komposisi genetik parasitoid ini. Ditunjukkan dengan parasitoidparasitoid yang berasal dari satu lokasi dapat memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan jauh dengan parasitoid-parasitoid yang berasal dari lokasi yang lain. Jadi tidak ada dua lokasi yang memiliki kekerabatan yang dekat saja atau yang jauh saja. Struktur populasi yang dapat dilihat sebagai hasil penghitungan beberapa sumber keragaman ditambah dengan adanya dendrogram perlu diuji apakah ada hubungan atau pengaruh struktur populasi tersebut dengan aspek biologi parasitoid terutama pada aspek reproduksi. Oleh karena itu dilakukan uji ketidaksesuaian reproduksi diantara populasi-populasi sampel parasitoid. Sampel parasitoid yang mampu bertahan hidup sampai dengan dilakukan uji ini ternyata sangat sedikit sehingga kombinasi pasangan kawin juga sedikit, ini ditunjukkan dengan lebih banyak daerah yang kosong berarti tidak dilakukan uji tersebut dibandingkan dengan tanda (+) dan (-). Uji ini dilakukan masing-masing empat ulangan untuk setiap pasang dan data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tanda (+) jika terjadi kesesuaian reproduksi dan tanda (-) jika terjadi ketidaksesuaian reproduksi. Dengan sedikitnya female line yang hidup maka pada saat uji ini lebih difokuskan untuk melakukan klarifikasi yaitu dengan melakukan perkawinan antara jantan dan betina dari dua female line yang berbeda kemudian setelah berhasil dilakukan kembali perkawinan antara pasangan tersebut tetapi antara jantan dan betinanya dibalik. Hasil dari kedua jenis perkawinan ini dapat dilihat pada tanda (+ dan -) yang masing-masing dipisahkan oleh kotak abu-abu dengan huruf K pada tabel berikut ini.
45
Keterangan :
Kosong = tidak dilakukan uji perkawinan K = kontrol, terjadi kesesuaian reproduksi pada pembiakan massal + = terjadi kesesuaian reproduksi - = terjadi ketidaksesuaian reproduksi
+ +
K K + +
+ + + K
+ +
-
-
K
+
+ K
+
+ K
-
-
+ K
+
+
K +
+ + K
+ +
GBI2112
CUG4111
+
CUG4112
CUG3111
CUG2111
+ K
+
GBII5111
K + +
+
GBII3411
GBII3311
GBII1211
GBII3111
GBII1122
-
GBII1111
-
GBII1111 GBII1122 GBII1211 GBII2111 GBII3111 GBII3311 GBII3411 GBII5111 CUG2111 CUG3111 CUG4111 CUG4112 GBI2112
♀X ♂
GBII2111
Tabel 7 Data uji ketidaksesuaian reproduksi
+ K
+
+
K
Pengujian ketidaksesuaian reproduksi parasitoid T. armigera dilakukan di laboratorium dengan mengawinkan female line parasitoid yang masih hidup secara acak. Setelah diperoleh data hasil pengujian ketidaksesuaian reproduksi, kemampuan kopulasinya dihubungkan dengan nilai matriks jarak genetik masingmasing sampel parasitoid (Tabel 6) sehingga bisa ditelusuri kembali apakah parasitoid-parasitoid yang memiliki jarak genetik yang jauh akan lebih sulit untuk saling berkopulasi dibandingkan dengan parasitoid-parasitoid yang memiliki jarak genetik yang dekat atau ada fenomena lain yang mempengaruhi kopulasi ini. Hasil uji ketidaksesuaian reproduksi yang dilakukan akan menunjukkan adanya pengaruh struktur populasi parasitoid yang terbentuk terhadap salah satu aspek biologi parasitoid tersebut yaitu aspek reproduksinya. Dengan adanya ketidaksesuaian reproduksi yang ditunjukkan oleh tanda (-) pada tabel di atas menyatakan bahwa antara parasitoid-parasitoid dalam penelitian ini membentuk sub-subpopulasi yang merupakan salah satu bentuk struktur populasi yang dikenal sebagai metapopulasi.
46
PEMBAHASAN Sampling T. armigera dan persebaran H. Armigera Survei lokasi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dilakukan sebelum sampling untuk mendapatkan lokasi pertanaman jagung yang tepat dan mendukung dalam menemukan telur H. armigera yang terparasit oleh parasitoid. Peluang untuk mendapatkan H. armigera yang terparasit ini sangat didukung oleh tipe agroekosistem tanaman jagung, lansekap di sekitarnya dan letak lokasinya secara geografis (Swift et al. 1996). Oleh karena itu sebelum melakukan sampling dilakukan beberapa kali survei lokasi untuk mendapatkan lokasi sampling yang tepat. Dari sekian kali survei diperoleh lima lokasi sampling dimana hasil samplingnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3 hasil penelitian. Besar kecilnya jumlah parasitoid yang diperoleh pada saat sampling dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya struktur fisik lokasi sampling dan sumber daya yang tersedia bagi parasitoid tersebut. Walaupun sederhananya struktur fisik lansekap suatu lokasi pertanian, tidak menjamin beberapa spesies parasitoid mau hidup di sana karena kebanyakan spesies parasitoid membutuhkan sumber daya yang tersedia di habitat non pertanian (Landis & Menalled 1998). Selain itu jumlah parasitoid dapat dipengaruhi oleh jumlah perolehan telur inang dari hasil sampling kelima lokasi. Hal di atas dapat dibuktikan melalui gambar distribusi telur inang dan parasitoid yang ada pada hasil penelitian. Dari gambar terlihat pola distribusi telur inang dalam ruang adalah acak (random). Dimana telur inang menyebar secara acak di seluruh ruang pada lokasi sampling. Pola distribusi telur inang yang acak (random) sesuai dengan aturan sebaran Poison. Oleh karena itu untuk menghitung chi-square-nya maka digunakan rumus pada sebaran Poison. Hasil penghitungan ditampilkan dalam bentuk tabel dan dapat dilihat pada lampiran. Setelah melihat pola distribusi telur inang maka akan dilihat pola distribusi parasitoidnya dalam hal ini adalah parasitoid telur T. armigera, data parasitoid tidak dapat dihitung karena akan terjadi bias yang sangat besar tetapi yang dapat dilakukan adalah dengan cara memplotkan data pada gambar distribusi telur inang di setiap lokasi sampling. Ternyata hasilnya adalah pola distribusi
47
parasitoid mengikuti atau sama dengan pola distribusi telur inang terutama di lokasi-lokasi Gunung Bunder I, Gunung Bunder II, Warung Kondang, dan Cugenang. Sedangkan di Cibodas parasitoid yang ditemukan sangat sedikit sehingga tidak memperlihatkan pola distribusinya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pola distribusi telur inang terhadap pola distribusi parasitoid. Sehingga dapat dibuktikan bahwa struktur populasi inang dapat mempengaruhi struktur populasi parasitoid. Tipe agroekosistem pertanaman jagung juga mempengaruhi perolehan jumlah parasitoid, ini terbukti pada lokasi sampling di Gunung Bunder II yang mempunyai tipe agroekosistem polikultur memberikan jumlah total female line dan jumlah total female line yang diekstrak DNA lebih banyak dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang lain. Ini juga menunjukkan bahwa female line yang berasal dari lokasi Gunung Bunder II mempunyai kemampuan bertahan hidup yang sangat tinggi dalam kondisi laboratorium karena mampu beradaptasi pada lingkungan yang heterogen di alam.
Analisis Struktur Populasi Parasitoid Telur T. armigera Berdasarkan Karakter Molekuler Sebagian besar populasi alami organisme mempunyai variasi genetik yang bermacam-macam. Pada organisme yang mengalami reproduksi secara seksual, sepasang individu atau lebih umumnya berbeda secara genetik, kecuali kembar identik. Ketika suatu lokus genetik dapat diidentifikasi pada tingkat protein, lokus biasanya mengandung 2 atau lebih alel dalam satu populasi. Keberadaan satu atau lebih alel dengan frekuensi yang relatif tinggi dalam satu populasi biasanya lebih dari 1% disebut polimorfisme genetik (Nei & Kumar 2000). Lokus-lokus RAPD yang dihasilkan pada gel elektroforesis menunjukkan adanya lokus polimorfik dan monomorfik. Gambar gel elektroforesis yang digunakan adalah hasil RAPD-PCR dengan primer RUT2. Pada gel elektroforesis tersebut contoh lokus monomorfik adalah lokus yang berukuran sekitar 1100 bp (1.1 kb) dimana semua sampel mempunyai lokus seperti ini. Sedangkan lokus polimorfik dapat ditunjukkan oleh lokus yang berukuran 200 bp dimana tidak semua sampel memiliki lokus ini. Hal ini yang membedakan antara lokus
48
monomorfik dan polimorfik
Lokus polimorfik inilah yang kemudian dapat
memberikan nilai keragaman genetik diantara sampel-sampel parasitoid. Tingkat polimorfisme suatu primer juga dapat dihitung yaitu sejauh mana suatu primer dapat menghasilkan lokus-lokus polimorfik setelah dilakukan RAPD-PCR. Semakin tinggi tingkat polimorfisme suatu primer maka semakin tepat primer tersebut untuk digunakan dalam analisis keragaman genetik suatu organisme. Hasil penghitungan tingkat polimorfisme (PIC) keempat primer yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa primer RUT2 menghasilkan nilai tertinggi. Sehingga primer RUT2 dapat digunakan dalam penelitianpenelitian parasitoid yang akan datang dengan metode yang sama dengan penelitian ini. Lokus-lokus yang dihasilkan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam data biner maka dilakukan penghitungan dengan bantuan program-program komputer untuk mengetahui nilai-nilai parameter yang mengarah kepada struktur populasi parasitoid. Nilai-nilai tersebut adalah heterosigositas Nei (H’Nei), heterosigositas (H), indeks fiksasi (Fst) dan laju migrasi (Nm). Kekurangan dari polimorfisme secara RAPD dalam populasi genetik adalah bahwa mayoritas alel diatas 90% sebagai penanda-penanda dominan. RAPD-PCR menghasilkan fragmen dari alel-alel baik homosigot dan heterosigot tetapi tidak ada fragmen yang dihasilkan dari alel homosigot resesif (Williams et al. 1990) sehingga untuk menghitung nilai H digunakan rumus turunan dari asumsi kesetimbangan Hardy-Weinberg (rumus terdapat pada metode penelitian). Nilai H dipengaruhi oleh kemunculan lokus-lokus RAPD dan lokus-lokus yang muncul mengandung alel dominan dimana alel-alel dominan ini dapat berupa homosigot dominan atau heterosigot dominan, sehingga nilai H diperoleh dengan melakukan perbandingan terhadap kedua alel tersebut. Nilai H berbeda cara penghitungannya dengan nilai H’Nei dimana nilai H’Nei digunakan untuk menghitung perbedaan kemunculan lokus-lokus RAPD diantara individu, yaitu antara alel dominan dan alel resesif. sehingga yang dihitung adalah perbedaan kedua alel tersebut. Hasil RAPD-PCR dengan menggunakan empat primer menunjukkan frekuensi lokus resesif (tidak muncul pita) lebih tinggi dibandingkan dengan
49
frekuensi lokus dominan sehingga nilai H’Nei-nya kecil, yaitu berkisar kurang lebih antara 0.03-0.22. Ini berarti terjadi perbedaan genetik antar sampel berkisar antara 3% - 22%. Nilai ini memang kecil karena hanya membedakan antar individu dari beberapa populasi dalam satu spesies. Jadi nilai H’Nei 3% - 22% menunjukkan keragaman genetik yang terjadi di antara sampel parasitoid telur yang digunakan dalam penelitian ini. Pada penghitungan yang berikutnya, berdasarkan lokus dominan yang muncul dapat ditentukan nilai H-nya. Heterosigositas (H) mempunyai nilai maksimal yaitu 0.5 (50%), jika mencapai nilai maksimal tersebut maka antar individu menjadi sangat beragam. Tetapi nilai H yang lebih dari setengah nilai maksimal (> 25%) pun dapat dikatakan tinggi (Jusuf, komunikasi pribadi). Dari hasil penghitungan alel heterosigot dominan diperoleh nilai H yang berkisar antara 7% - 28.75%. Meskipun cukup tinggi tingkat keragaman genetiknya karena dapat mencapai nilai H > 25%, individu-individu parasitoid ini masih sangat riskan karena ada beberapa yang memiliki tingkat homosigositas yang cukup tinggi. Untuk mengurangi homosigositas maka perlu diintroduksi populasipopulasi asing sehingga terjadi percampuran genetik yang dapat meningkatkan aliran gen sehingga banyak gen-gen baru yang akan dimiliki oleh populasipopulasi ini. Dengan tingginya heterosigositas yang dimiliki oleh populasipopulasi parasitoid diharapkan akan lebih mampu bertahan dan beradaptasi dalam kondisi alam yang bagaimanapun juga. Nilai H’Nei pada sampel female line-female line yang berasal dari satu telur inang adalah kurang dari 10%, hal ini tetap menunjukkan adanya keragaman genetik yang terjadi diantara dua female line yang berasal dari satu telur inang, walaupun tidak dapat dipastikan hubungan kekerabatan antara 2 female line tersebut. Untuk melihat hubungan antar female line maka dibuat dendogram dan ternyata antara 2 female line tersebut ada yang berada dalam satu kelompok dan ada yang terpisah sehingga dapat dilihat kemungkinan yang terjadi di alam adalah kedua female line tersebut berasal dari dua induk betina parasitoid yang berbeda. Tetapi untuk lebih memastikan lagi perlu ditambah dengan kegiatan sekuensing DNA.
50
Nilai H’Nei dan H dari sumber keragaman yang lain (No. 2 – No. 6 pada Tabel 5) menunjukkan rata-rata nilai H’Nei dan H lebih tinggi pada lokasi Cugenang dibandingkan dengan lokasi Gunung Bunder II (GB II). Padahal lokasi Cugenang ditanami oleh tanaman pertanian yang monokultur sedangkan GB II adalah polikultur. Semakin beragamnya suatu lahan pertanian, maka beragam pula organisme yang hidup di sana. Jadi secara teoritis dapat diasumsikan bahwa lahan polikultur dapat menghasilkan organisme yang lebih beragam daripada lahan monokultur. Tetapi pada penelitian ini ternyata menunjukkan parasitoid-parasitoid dari Cugenang lebih beragam daripada parasitoid-parasitoid dari GB II yang polikultur. Hal ini mungkin karena dari Cugenang female line yang diperoleh belum mewakili keadaan yang sebenarnya. Jadi dari penelitian belum dapat disimpulkan bahwa lahan monokultur akan menghasilkan individu-individu yang lebih beragam daripada lahan yang polikultur. Selanjutnya dengan software POPGENE dilakukan penghitungan nilai indeks fiksasi (Fst) dan laju migrasi (Nm). Nilai-nilai ini dapat digunakan untuk menduga struktur populasi apakah terbagi atas subpopulasi atau tidak. Nilai Fst menunjukkan adanya variasi dalam frekuensi alel diantara populasi lokal, yaitu berkisar antara 0 yang mengindikasikan adanya aliran genetik (sehingga diduga terjadi perkawinan dengan populasi asing) dan 1 yang berarti tidak ada perkawinan dengan populasi asing sehingga tidak terjadi aliran genetik. Selain itu nilai Fst juga memiliki banyak interpretasi, salah satunya menurut Wright (1951) yang menyatakan bahwa nilai Fst menunjukkan besar kecilnya hambatan dalam melakukan fiksasi genetik. Nilai Fst yang mengarah ke 0 berarti tidak ada hambatan dalam melakukan fiksasi genetik sehingga aliran gen yang terjadi dapat berkesinambungan, sedang nilai Fst yang mengarah ke 1 berarti hambatan untuk melakukan fiksasi semakin tinggi, sehingga kemungkinan terjadinya aliran gen kecil. Nilai Fst digunakan untuk menghitung nilai laju migrasinya (Nm), dimana nilai Fst berbanding terbalik dengan nilai Nm. Nilai Fst tinggi maka nilai Nm-nya rendah begitu juga sebaliknya. Dan menurut Wright (1931) jika Nm ≥ 1 maka terjadi aliran gen yang cukup untuk menghilangkan kemungkinan hanyutnya gen dan jika Nm ≥ 4 maka populasi lokal merupakan populasi panmictic yaitu populasi
51
dimana perkawinan terjadi secara acak dan berkesinambungan. Sehingga jika nilai Nm rendah atau kurang dari 1 maka migrasi genetik yang terjadi juga rendah menyebabkan terbentuknya metapopulasi. Berdasarkan hasil penghitungan nilai Fst pada Tabel 5 sumber keragaman No. 1 yaitu antara female line-female line yang berasal dari satu telur inang menunjukkan rata-rata lebih dari 0.5 dan nilai Nm-nya rendah atau kurang dari 1, hal ini mengindikasikan bahwa kedua female line yang berasal dari satu telur inang merupakan sub-subpopulasi karena tidak terjadi migrasi genetik dengan populasi yang lain. Ini dapat terjadi diduga karena parasitoid begitu keluar dari telur inangnya akan langsung kawin dengan jantan yang telah keluar terlebih dahulu dari telur inang yang sama kemudian berkembang biak dengan mencari dan memarasit inang yang ada di dekatnya. Sehingga tidak ada peluang bagi parasitoid tersebut untuk melakukan perkawinan dengan populasi lain akhirnya menjadi sub-subpopulasi. Ini juga didukung oleh nilai heterosigositas (H’Nei dan H) masing-masing rendah (telah dibahas sebelumnya) yang menunjukkan bahwa sangat kecil terjadi perkawinan dengan populasi lain (asing). Hubungan antara nilai H’Nei, H, Fst dan Nm terhadap struktur populasi parasitoid adalah jika terdapat hambatan dalam fiksasi genetik yang ditandai dengan nilai Fst yang besar maka kemungkinan terjadi perkawinan dengan populasi asing sangat kecil sehingga laju migrasi genetik (Nm) yang berbanding terbalik dengan Fst menjadi kecil. Kecilnya migrasi genetik akan mempengaruhi heterosigositas dan keragaman genetik populasi menyebabkan nilai H’Nei dan H juga kecil. Keadaan seperti ini terjadi pada struktur populasi yang membentuk metapopulasi. Sebaliknya jika Fst kecil maka terjadi perkawinan dan migrasi genetik diantara populasi-populasi parasitoid terdapat di alam berjalan berkesinambungan ditunjukkan dengan nilai Nm yang besar dan mampu menyebabkan besarnya heterosigositas dan keragaman genetik populasi (H dan H’Nei) sehingga struktur populasi yang terbentuk adalah suatu populasi kawin acak. Populasi kawin acak dapat terjadi di alam dan salah satu penyebabnya jika terdapat faktor abiotik yang berperan disana, misalnya angin sebagai barrier alam dapat menerbangkan parasitoid-parasitoid ke tempat yang jauh dari lokasi asalnya.
52
Sehingga parasitoid-parasitoid yang ditemukan berjauhan pun sebenarnya berasal dari populasi yang sama. Ini ditunjukkan oleh sumber keragaman No. 3 di Tabel 5 yang memiliki nilai H’Nei dan H yang besar, Fst yang kecil dan Nm yang besar. Parasitoid-parasitoid yang letaknya berjauhan (terpisah oleh pohon-pohon jagung yang memiliki jarak tanam) ternyata merupakan satu populasi yang kawin acak. Selanjutnya pada penghitungan populasi parasitoid setiap lokasi (Tabel 5 No. 5), baik GB II dan Cugenang masing-masing menunjukkan nilai Fst yang kecil. Meskipun begitu nilai Nm yang diperoleh tidak juga terlalu besar sehingga dapat dikatakan bahwa setiap lokasi ini membentuk metapopulasi. Kemudian semua sampel parasitoid yang berasal dari ketiga lokasi yaitu GB II, Cugenang, dan GB I (Tabel 5 No. 6) dihitung nilai Fst dan Nm-nya ternyata Fst kecil yaitu 0.1921 dan nilai Nm besar yaitu 2.1031. Sehingga gabungan semua sampel parasitoid dari ketiga lokasi membentuk suatu populasi yang acak. Setelah melihat hasil penghitungan maka dapat diketahui struktur populasi parasitoid. Terdapat metapopulasi yang berada pada level tongkol dimana female
line-female line yang berasal dari telur-telur inang yang berada pada tongkol yang sama menunjukkan sub-subpopulasi sedangkan populasi yang acak terjadi pada level lokasi secara keseluruhan mencakup telur inang, tongkol dan transek. Hal ini sama terjadi di 2 lokasi sampling baik GB II maupun Cugenang. Jika ditambah parasitoid yang berasal dari GB I maka membentuk suatu populasi yang acak. Struktur populasi parasitoid dapat diketahui selain dari hasil penghitungan dengan komputer juga dengan melihat jarak genetik antar parasitoid yang diterjemahkan ke dalam dendogram. Setelah itu melakukan uji ketidaksesuaian reproduksi sebagai cara yang digunakan untuk melihat hubungan antara struktur populasi parasitoid baik metapopulasi dan populasi yang acak dengan kemampuan reproduksi di antara parasitoid-parasitoid dalam suatu struktur populasi.
53
Struktur Populasi Parasitoid Telur T. armigera dan Pengaruhnya terhadap Ketidaksesuaian Reproduksi Struktur populasi gabungan semua parasitoid dari ketiga lokasi ternyata membentuk suatu populasi yang kawin acak yang diperoleh melalui penghitungan H’Nei, H, Fst dan Nm. Untuk menggambarkan struktur populasi tersebut dapat dilihat melalui dendrogram pada Gambar 11. Ternyata dendrogram menunjukkan semua parasitoid telur dari ketiga lokasi bercampur dan tersebar dalam semua klaster. Ini mendukung struktur populasi hasil dari penghitungan sumber keragaman No. 6 pada Tabel 5. Tetapi untuk lebih meyakinkan perlu dilakukan uji ketidaksesuaian reproduksi. Pengelompokkan parasitoid ke dalam klaster-klaster pada dendrogram juga perlu dikaji karena tingkat kestabilan masing-masing klaster tersebut yang ditunjukkan oleh nilai bootstraping masih tergolong rendah yaitu di bawah 95%. Dapat dikatakan bahwa pengelompokkan parasitoid-parasitoid dalam klaster-nya masih belum stabil dan dapat berubah. Ini terjadi karena 4 macam primer sebagai penanda molekuler yang digunakan dalam RAPD-PCR masih terlalu sedikit dan belum cukup untuk memantapkan posisi parasitoid-parasitoid tersebut pada suatu klaster. Dengan kata lain bahwa posisi parasitoid-parasitoid tersebut pada klaster masih dapat berubah jika penanda molekulernya ditambah. Disamping jumlah
primer yang sedikit, jumlah sampel juga sedikit sehingga baik primer maupun sampel perlu ditambah supaya hasil penelitian lebih baik dan akurat. Oleh karena itu pembagian klaster-klaster pada dendrogram ini belum sepenuhnya menggambarkan pengelompokkan parasitoid ke dalam suatu populasi baik metapopulasi atau populasi yang kawin acak. Bahkan berdasarkan hasil penghitungan pada Tabel 5 lokasi GB II dan Cugenang masing-masing membentuk metapopulasi tetapi pada dendrogram parasitoid-parasitoid dari GB II masih bercampur dalam suatu klaster dengan parasitoid-parasitoid dari Cugenang. Seharusnya parasitoid-parasitoid tersebut berada pada klaster terpisah antar lokasi. Ternyata ada juga klaster yang sesuai dengan hasil penghitungan yaitu klaster dengan nilai bootstrapping 91% (mendekati 95%) dimana terjadi pada
female line CUG2111 dan CUG2112 yang berada dalam satu klaster tersendiri. Kedua female line ini berasal dari satu telur H. armigera pada lokasi Cugenang
54
dan hasil penghitungannya menunjukkan bahwa mereka membentuk suatu subpopulasi. Meskipun dendrogram belum secara tepat menggambarkan struktur populasi parasitoid tetapi dendrogram dapat menghasilkan nilai matriks jarak genetik antar individu-individu parasitoid. Nilai matriks jarak genetik untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh jarak genetik terhadap kemampuan kawin antar parasitoid-parasitoid tersebut. Ini akan dilihat pada saat melakukan uji ketidaksesuaian reproduksi. Dari hasil uji ketidaksesuaian reproduksi secara umum ternyata female line yang berasal dari GB I mampu melakukan reproduksi dengan female line-female
line dari 2 lokasi lainnya. Sedangkan ketidaksesuaian reproduksi terjadi diantara female line-female line dari GB II yang dikawinkan dengan female line-female line dari Cugenang, yaitu antara GBII1122 dengan CUG3111 yang jarak genetiknya jauh (0.47) dan antara GBII2111 dengan CUG2111 yang jarak genetiknya dekat (0.17). Ternyata meskipun jarak genetiknya dekat tetapi karena berasal dari lokasi yang berbeda maka tidak terjadi kesesuaian reproduksi. Dari hasil uji ditemukan juga kesesuaian reproduksi antara female line dari Cugenang dengan female line dari GB II yaitu antara CUG4111 dan GBII3311 dengan jarak genetik 0.40, antara CUG4112 dan GBII3411 dengan jarak genetik 0.30. Meskipun jarak genetik kedua pasang parasitoid ini terhitung cukup jauh dan berasal dari dua lokasi yang berbeda tetapi menunjukkan kesesuaian reproduksi. Parasitoid CUG4111 dan CUG4112 berasal dari satu telur inang di Cugenang, sedangkan parasitoid GBII3311 dan GBII3411 berasal dari transek yang sama di GB II. Kemungkinan faktor abiotik memisahkan mereka pada dua lokasi yang jaraknya berjauhan padahal mereka mungkin berasal dari populasi yang sama dan setelah dikawinkan di laboratorium mereka menunjukkan kesesuaian reproduksi. Kejadian ini berlawanan dengan kasus di atas dimana lokasi yang berbeda dapat menyebabkan ketidaksesuaian reproduksi. Sedangkan persamaan antara dua kasus ini adalah jauh dekatnya jarak genetik tidak mempengaruhi kesesuaian reproduksi. Selanjutnya uji yang dilakukan adalah antara parasitoid-parasitoid yang berasal dari lokasi yang sama. Ternyata hasilnya menunjukkan kesesuaian
55
reproduksi antar parasitoid-parasitoid tersebut. Sebagai contoh parasitoidparasitoid yang berasal dari GBII, baik antara GBII1122 dengan GBII3411 yang jarak genetiknya jauh (0.33) dan antara GBII1111 dengan GBII1122 yang jarak genetiknya dekat (0.05). Juga parasitoid-parasitoid yang berasal dari Cugenang yaitu CUG2111 dengan CUG4111 yang jarak genetiknya jauh (0.39). Hal ini semakin menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh jauh dekatnya jarak genetik dengan kesesuaian reproduksi antar parasitoid-parasitoid. Terjadinya ketidaksesuaian reproduksi pada parasitoid menunjukkan adanya sub-subpopulasi di alam meskipun hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan lokasi sampling dibandingkan pengaruh dari perbedaan genetiknya. Tetapi penelitian ini telah memberikan gambaran bagaimana caranya untuk mengetahui struktur populasi suatu organisme terutama parasitoid telur.
56
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian tentang struktur populasi parasitoid T. armigera di beberapa tipe pertanaman jagung diperoleh beberapa simpulan, antara lain adalah: 1.
Pola distribusi telur inang mempengaruhi pola distribusi parasitoidnya dan mengikuti pola sebaran Poison yaitu acak (random).
2.
Terbentuk sub-subpopulasi di dalam setiap lokasi sampling, terutama parasitoid-parasitoid yang berasal dari satu telur inang. Lokasi sampling GB II dan Cugenang masing-masing membentuk suatu metapopulasi.
3.
Dendrogram kemiripan genetik berdasarkan pola pita DNA parasitoid dengan empat primer RAPD-PCR menunjukkan bahwa semua sampel yang berasal dari ketiga lokasi menyebar dan tercampur dalam semua klaster. Tidak terjadi pengelompokkan berdasarkan lokasi sampling.
4.
Nilai keragaman genetik paling tinggi terdapat pada parasitoid-parasitoid dari Cugenang ditunjukkan oleh nilai H’Nei = 0.2193 + 0.1992 dan nilai H (heterosigositas) = 28.26%. Laju migrasi genetik tertinggi pada transek ke-3 di Cugenang dengan Nm = 3.2 dan indeks fiksasi (Fst) = 0.135.
5.
Uji ketidaksesuaian reproduksi menunjukkan adanya pengaruh lokasi terhadap
ketidaksesuaian
reproduksi
sehingga
terjadi
beberapa
ketidaksesuaian reproduksi antar parasitoid-parasitoid yang berasal dari lokasi sampling yang berbeda.
Saran Untuk mengetahui struktur populasi parasitoid telur yang benar-benar bisa menggambarkan kondisi parasitoid di lapang perlu dilakukan percobaan yang dikonsentrasikan pada satu lahan sehingga sampel lebih terjaga dan dapat mewakili keadaan yang sebenarnya. Disamping itu penambahan jumlah penanda molekuler dalam menganalisis lokus-lokus genetik sangat penting disertai oleh jumlah sampel (female line) yang lebih banyak sehingga klaster yang terbentuk lebih akurat.
57
DAFTAR PUSTAKA Alba MC. 1988. Trichogrammatids in the Philipines. J.Phillipp. Ent. 7(3):253-271 Altieri MA, Francis CA, Schoonhoven A, Doll J. 1978. Insect prevalence in bean (Phaseolus vulgaris) and maize (Zea mays) polycultural systems. Field Crops Research 1:33-49. Apostol BL, Black IV WC, Reiter P & Miller BR. 1996. Population genetics with RAPD-PCR markers : the breeding structure of Aedes aegypti in Puerto Rico. Heredity 76 (1996) 325-334. Bahagiawati A, H. Rijzaani, D. Buchori, Nurindah, dan B. Sahari. 2005. Keragaman genetik populasi Trichogrammatoidea armigera berdasarkan RAPD-PCR. Laporan RUT X. Bogor. Berryman, AA. 2002. Population : a central concept for ecology?. Oikos 97 : 3 (439-442). Borror, DJ, CA. Triplethorn and NF. Johnson. 1992. Pengenalan pelajaran serangga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1083p. Buchori, D., B. Sahari dan H. Tabadepu. 2003. Penarikan Contoh Parasitoid Telur untuk Analisis Populasi. PEKA Indonesia. Bogor. Bustamam, M dan S. Moeljopawiro. 1998. Pemanfaatan Teknologi Sidik Jari DNA di bidang pertanian. Zuriat 9(2) : 77-90. CABI 1999. Crop Protection Compendium. CABI, UK. Corbett A, Rosenheim JA. 1996. Impact of natural enemy overwintering refuge and its interaction with the surrounding landscape. J. Ecological Ent. 21:155-164. Dryer LE, Landis DA. 1997. Influence of noncrop habitats on the distribution of Eriborus terebrans (Hymenoptera: Ichneumonidae) in cornfields. J. Environmental Entomology 26: 924-932. Felsenstein J. 1985. Confidence limits on phylogenies: an approach using the bootstrap. Evolution 39:783-791. Foster MS, Ruesink WG. 1984. Influence of flowering weeds associated with reduced tillage in corn on a black cutworm (Lepidoptera: Noctuidae), parasitoid Meteorus rubens (Nees von Esenbeck). J. Environmental Entomology. 13: 664-668. Hamilton WD. 1967. Extraordinary sex ratios. Science 156: 477-488. Hartl, DL. 1988. Population Genetics: A Primer. Academic Press. Hassan SA. 1993. The mass rearing and utilization of Trichogramma to control lepidoptera Pest: Achievements and outlook. J. Pestic. Sci. 37: 387-391. Hedrick P. 1992. Non-destructive RAPD genetic of microspore-derived Brassica embryos. Plant Mol Biol Rep 10:281-289.
58
Hoy MA.1994. Insect Molekular Genetics: An Introduction to Principles and Applications. San Diego. California: Academic Press, Inc. 546P. Kambhampati S, Black IV WC, Rai KS. 1992. Random amplified polymorphic DNA of mosquito species and population (Diptera:Culicidae): techniques, statistical analysis and applications. J. Med. Entomol. 29(6):939-945. Kalshoven, LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Resived and Translated by Van der Laan. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 701p. Kidwell, MG. 1983. Intraspecific hybrid sterility. In : M. Ashburner, HL. Carson & JN. Thompson (eds), The Genetics and Biology of Drosophila Vol.3c, Academic press, London, pp. 125-154. Laba, I.W. 1998. Prospek Parasitoid Telur sebagai Pengendali Alami Penggerek Batang Padi. Jurnal Litbang Pertanian XVII (I). Landis D and F. Menalled. 1998. Ecological considerations in conservation of parasitoids in agricultural landscapes. 101-121 in P. Barbosa. Conservation biological control. Academic press. California. USA. Lincoln, RJ., G.A. Boxshall & P.F. Clark. 1982. A Dictionary of Ecology; Evolution and Systematics. Cambridge University Press. New York. Luck, RF., Stouthammer, R and Nunney, LP. 1993. sex determination and sex ratio patterns in parasitic Hymenoptera. In “Evolution and Diversity of Sex ratio in Insects and Mites” (DL Wrensch and MA Ebbert, Eds.) pp.442-476. Chapman & Hall, New York. Marino PC and DA Landis.1996. Effect of landscape structure on parasitoid diversity in agroecosystems. Ecological Applications 6: 276-284. McCullough, DR (ed). 1996. Metapopulations and wildlife conservation. Island press. Washington DC. Meilin, A. 1999. Keragaman Karakter Morfologi dan Genetik Populasi Parasitoid Telur, Trichogrammatidae spp dan trichogrammatoidea spp (Hymenoptera: Trichogrammatidae) dari Daerah Geografis yang Berbeda di Pulau Jawa. Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Nagarkatti, S. and H. Nagaraja. 1977. Biosystematics of Trichogramma (Hymenoptera: Trichogrammatidae) from The USA. Enthomophaga. 20(3): 245-248. Nei, M. 1973. Analysis of gene diversity in subdivided populations. Proc. Nat. Acad. Sci. USA 70:3321-3323. Nei, M. and S. Kumar. 2000. Molecular evolution and phylogenetics. Oxford University press. USA.
59
Nurindah & OS Bindra. 1989. Studies on Trichogramma spp. (Hymenoptera: Trichogrammatidae) in the control of Heliothis armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae). h. 165-172. Dalam Symposium on Biological Control of Pests in Tropical Agricultural Ecosystems. Bogor, Indonesia, June 1-3, 1988. BIOTROP Spec. Publ. No.36. 349 h. Ode, PJ, Antolin MF and Strand MR. 1995. Brood-mate avoidance in the parasitic wasps Bracon hebetor Say. Anim. Behav. 49, 1239-1248. Primack, RB., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Roderick GK. 1996. Geographic structure on insect population: gene flow, phylogeography, and their uses. Ann. Rev. Ent. 41:325-352. Roderick GK and Navajas M. 2003. Genes in new environments: genetics and evolution in biological control. Genetics. Nature Reviews. 4: 889-899. Slatkin M.1994. Gene flow and Population Structure. In: Real. L. A. (ed.). Ecological Genetics. pp. 3-17. Princeton University Press. Princeton. New York. Sorati M, Newman M & Hoffman AA. 1996. Inbreeding and incompatibility in Trichogramma nr. Brassicae : evidence and implications for quality ontrol. Entomologia Experimentalis et Application. 78, 289-290. Swift MJ, Vandermeer J, Ramakrishnan PS, Anderson JM, Ong CK & Hawkins BA. 1996. Biodiversity and agroecosystem function. In: Functional Roles of Biodiversity: A Global Perspective (eds Mooney HA, Cushman JH, Medina E, Sala OE & Schulze ED) Wiley, New York, pp. 261-297. Szentkiralyi F, Kozar F. 1991. How many species are there in apple insect communities?: testing the resource diversity and intermediate disturbance hypotheses. J. Ecol. Entomol. 16. 491-503. Vaughn TT, Antolin MF. 1998. Population genetics of an opportunistic parasitoid in an agricultural landscape. J Heredity. 80. 152-162. Via S. 1994. The evalution of phenotypic plasticity: What do we really know?. In: Real. L. A. (ed.). Ecological Genetics. Pp. 33-57. Princeton, New York: Princeton University Press. Walter G. 2000. Diversity and life histories of parasitoids. Dalam : Workshop on Development and Utilization of Parasitoids (Exploration, Identification, Mass Productions and Field Spreading) Centre for Integrated Pest Management. Departement of Plant Pest and Disease Faculty of Agriculture, Bogor University.
60
Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA, Tingey SV. 1990. DNA polymorphisms amplified by Arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Res. 18:6531-6535. Wright S. 1931. Evolution in mendelian populations. Genetics, 16, 97-159. Wright S. 1951. The genetical structure of populations. Ann. Eugen. 15, 323-354. Yeh, FC, RC Yang, TBJ Boyle, ZH Ye and JX Mao. 1999. POPGENE 3.2, the User-friendly shareware for population genetic analysis. Molecular biology and biotechnology center, university of Alberta, Edmonton. Zhou X, Faktor O, Applebaum SW & Coll M. 2000. Population structure of the pestiferous moth Helicoverpa armigera in the Eastern Mediterranean using RAPD anaysis. Heredity 86 (2000) : 251 – 256.
61
Lampiran 1 Gambar parasitoid telur Trichogrammatoidea armigera dari internet
Gambar parasitoid telur sedang memarasit inang
Gambar parasitoid telur dewasa betina
62
Lampiran 2 Gambar produk RAPD-PCR 19 sampel dengan 3 macam primer di gel elektroforesis
Gambar poduk RAPD-PCR 19 sampel dengan primer 1 (RUT 1)
Gambar produk RAPD-PCR 19 sampel dengan primer 3 (IDT 45)
63
Sambungan lampiran 2
Gambar produk RAPD-PCR 19 sampel dengan primer 4 (IDT 48)
64
Lampiran 3 Data biner hasil skoring lokus DNA dari 19 sampel Data biner dari keempat primer No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Primer 1 P101 P102 P103 P104 P105 P106 P107 P108 P109 P110 P111 P112 P113 P114 P115 P116 GBII1111 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 GBII1121 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 GBII1122 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 GBII1131 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 GBII1211 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 GBII2111 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 GBII3111 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 GBII3211 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 GBII3311 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 GBII3411 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 GBII5111 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 CUG2111 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 CUG2112 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 CUG3111 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 CUG3211 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 CUG4111 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 CUG4112 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 GBI2111 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 GBI2112 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 Kode L
Primer 2 P201 P202 P203 P204 P205 P206 P207 P208 P209 P210 P211 P212 P213 P214 P215 P216 P217 0 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1
65
Sambungan dari lampiran 3 Primer 3 P301 P302 P303 P304 P305 P306 P307 P308 P309 P310 P311 P312 P313 GBII1111 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 GBII1121 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 GBII1122 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 GBII1131 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 GBII1211 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 GBII2111 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 GBII3111 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 GBII3211 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GBII3311 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 GBII3411 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 GBII5111 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 CUG2111 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 CUG2112 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 CUG3111 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 CUG3211 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 CUG4111 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 CUG4112 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GBI2111 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 GBI2112 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1
No Kode L 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Primer 4 P401 P402 P403 P404 P405 P406 P407 P408 P409 P410 P411 P412 GB21111 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GB21121 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GB21122 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GB21131 1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 GB21211 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GB22111 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GB23111 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GB23211 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GB23311 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 GB23411 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 GB25111 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 CUG2111 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 CUG2112 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 CUG3111 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 CUG3211 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 CUG4111 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 CUG4112 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 GB12111 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 GB12112 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
No Kode L 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
66
Lampiran 4 Hasil analisis chi-square berdasarkan rumus sebaran Poison pada kelima lokasi sampling
Gunung Bunder I Variable: telur, Distribution: Poisson, Lambda = 0,39450 (Spreadsheet18) Chi-Square = 70,31041, df = 1 (adjusted) , p = 0,00000 Observed Cumulative Percent Cumul. % Expected Cumulative Category Frequency Observed Observed Observed Frequency Expected <= 0,00000 177 177 81,19266 81,1927 146,9364 146,9364 1,00000 10 187 4,58716 85,7798 57,9657 204,9021 2,00000 19 206 8,71560 94,4954 11,4336 216,3357 3,00000 10 216 4,58716 99,0826 1,5035 217,8392 < Infinity 2 218 0,91743 100,0000 0,1608 218,0000
Percent Cumul. % O Expected Expected E 67,40201 67,4020 26,58978 93,9918 5,24477 99,2366 0,68968 99,9262 0,07376 100,0000
Gunung Bunder II Variable: telur, Distribution: Poisson, Lambda = 0,32258 (Spreadsheet5) Chi-Square = 40,13987, df = 1 (adjusted) , p = 0,00000 Observed Cumulative Percent Cumul. % Expected Cumulative Frequency Observed Observed Observed Frequency Expected Category <= 0,00000 259 259 83,54839 83,5484 224,5260 224,5260 1,00000 28 287 9,03226 92,5806 72,4278 296,9538 2,00000 13 300 4,19355 96,7742 11,6819 308,6357 3,00000 3 303 0,96774 97,7419 1,2561 309,8918 4,00000 4 307 1,29032 99,0323 0,1013 309,9931 1 308 0,32258 99,3548 0,0065 309,9996 5,00000 1 309 0,32258 99,6774 0,0004 310,0000 6,00000 0 309 0,00000 99,6774 0,0000 310,0000 7,00000 0 309 0,00000 99,6774 0,0000 310,0000 8,00000 0 309 0,00000 99,6774 0,0000 310,0000 9,00000 1 310 0,32258 100,0000 0,0000 310,0000 < Infinity
Percent Expected 72,42775 23,36379 3,76835 0,40520 0,03268 0,00211 0,00011 0,00001 0,00000 0,00000 0,00000
Cumul. % Ob Expected Ex 72,4278 95,7915 99,5599 99,9651 99,9978 99,9999 100,0000 100,0000 100,0000 100,0000 100,0000
Sambungan dari lampiran 4
Cibodas
Variable: telur, Distribution: Poisson, Lambda = 0,51613 (Spreadsheet10) Chi-Square = 17,58739, df = 1 (adjusted) , p = 0,00003 Observed Cumulative Percent Cumul. % Expected Cumulative Frequency Observed Observed Observed Frequency Expected Category <= 0,00000 71 71 76,34409 76,3441 55,50485 55,50485 10 81 10,75269 87,0968 28,64767 84,15252 1,00000 2,00000 5 86 5,37634 92,4731 7,39295 91,54547 3 89 3,22581 95,6989 1,27190 92,81737 3,00000 2 91 2,15054 97,8495 0,16412 92,98149 4,00000 1 92 1,07527 98,9247 0,01694 92,99843 5,00000 1 93 1,07527 100,0000 0,00157 93,00000 < Infinity
67
Percent Cumul. % Ob Expected Expected Ex 59,68264 59,6826 30,80394 90,4866 7,94940 98,4360 1,36764 99,8036 0,17647 99,9801 0,01822 99,9983 0,00169 100,0000
Cugenang
Variable: telur, Distribution: Poisson, Lambda = 0,20812 (Spreadsheet13) Chi-Square: ------ , df = 0 , p = --Observed Cumulative Percent Cumul. % Expected Cumulative Frequency Observed Observed Observed Frequency Expected Category <= 0,00000 165 165 83,75635 83,7563 159,9853 159,9853 25 190 12,69036 96,4467 33,2964 193,2817 1,00000 2,00000 5 195 2,53807 98,9848 3,4649 196,7466 2 197 1,01523 100,0000 0,2534 197,0000 < Infinity
Percent Cumul. % Ob Expected Expected Ex 81,21081 81,2108 16,90174 98,1126 1,75881 99,8714 0,12864 100,0000
Sambungan dari lampiran 4
Warung kondang
Variable: telur, Distribution: Poisson, Lambda = 0,31868 (Spreadsheet6) Chi-Square = 38,52236, df = 1 (adjusted) , p = 0,00000 Observed Cumulative Percent Cumul. % Expected Cumulative Frequency Observed Observed Observed Frequency Expected Category <= 0,00000 146 146 80,21978 80,2198 132,3335 132,3335 16 162 8,79121 89,0110 42,1722 174,5057 1,00000 2,00000 19 181 10,43956 99,4505 6,7197 181,2255 0 181 0,00000 99,4505 0,7138 181,9393 3,00000 1 182 0,54945 100,0000 0,0607 182,0000 < Infinity
68
Percent Cumul. % Ob Expected Expected Ex 72,71072 72,7107 23,17155 95,8823 3,69217 99,5744 0,39221 99,9667 0,03335 100,0000
Lampiran 5 Data telur inang terparasit yang menetas menjadi parasitoid
Σ Σ Σ Lokasi JTIT Parasitoid Lokasi JTIT Parasitoid Lokasi JTIT Parasitoid ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ GB I 1 4 0 42 1 0 19 2 2 2 2 1 43 1 0 20 2 2 3 2 0 44 2 1 21 1 1 4 2 1 45 1 1 22 2 0 5 4 0 46 1 1 23 1 1 6 1 1 47 2 1 24 2 1 7 2 1 48 1 1 25 3 1 8 2 1 49 2 2 26 1 1 9 2 1 50 2 1 27 1 0 10 0 1 51 2 1 28 1 1 11 2 0 52 2 0 29 2 0 12 2 1 53 2 1 30 1 1 13 1 0 54 2 0 31 2 1 14 2 0 55 1 0 32 1 1 15 1 1 56 1 1 33 2 1 16 1 1 57 0 1 34 2 0 17 1 0 58 2 0 35 1 1 18 0 3 59 1 0 36 2 1 19 3 1 60 1 1 37 1 1 20 2 1 61 1 0 38 2 1 21 2 1 62 2 0 39 1 1 22 1 1 63 2 1 40 2 1 23 1 1 64 2 0 41 2 1 24 2 0 GB II 1 2 1 42 2 2 25 1 1 2 1 1 43 1 1 26 2 1 3 1 1 44 2 1 27 1 0 4 1 0 45 2 1 28 4 0 5 1 2 46 1 2 29 2 1 6 1 0 47 1 1 30 2 1 7 1 0 48 2 1 31 1 0 8 1 2 49 1 1 32 2 0 9 2 2 50 1 1 33 1 1 10 2 2 51 2 1 34 1 0 11 2 1 52 1 1 35 1 1 12 2 1 53 1 1 36 1 0 13 2 0 54 2 1 37 1 1 14 1 0 55 1 1 38 1 1 15 2 1 56 2 0 39 1 1 16 1 0 40 1 1 17 1 0 41 1 1 18 1 1 Keterangan : JTIT = Jumlah Telur Inang Terparasit
69
Sambungan dari lampiran 5 Lokasi
JTIT
Cibodas
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Cugenang
Warung Kondang
Σ Parasitoid Σ Parasitoid Lokasi JTIT ♀ ♂ ♀ ♂ 0 1 17 2 2 2 1 18 2 1 3 1 19 2 1 2 1 20 4 0 3 0 21 2 1 2 0 22 2 0 1 0 23 2 2 2 1 3 0 2 1 2 2 3 0 2 1 3 0 1 1 2 1 1 0 2 1 2 1 2 0 3 1 2 1 1 1 1 1 2 1 4 0 1 2 1 1 1 1 2 1 1 0 2 2 2 1 2 1 3 1 2 3 1 0 1 2 0 3 1 0 3 0
Keterangan : JTIT = Jumlah Telur Inang Terparasit
70