PERILAKU KESEHATAN KELUARGA BERPENGHASILAN RENDAH (LOW INCOME COMMUNITY)
Sandu Siyoto
Kesehatan keluarga.indd 1
05/08/2016 21:57:01
PERILAKU KESEHATAN KELUARGA BERPENGHASILAN RENDAH (LOW INCOME COMMUNITY) Sandu Siyoto
Edisi Asli Hak Cipta © 2016, Indomedia Pustaka Gebang No. 59 RT. 03 RW. 44 Wedomartani Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, 55583 Telp. : (0274) 2830613 Website : www.indomediapustaka.com E-mail :
[email protected] Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Siyoto, Sandu
Buku Ajar Asuhan Keperawatan Ibu dan Bayi/Sandu Siyoto Edisi Pertama —Yogyakarta: Indomedia Pustaka, 2016 1 jil., 17 × 24 cm, 108 hal. ISBN:
1. Kesehatan I. Judul
Kesehatan keluarga.indd 2
2. Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah II. Sandu Siyoto
05/08/2016 21:57:04
Kata Pengantar Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga buku ini dapat terselesaikan dengan baik. Buku Perilaku Kesehatan ini menjadi salah satu bahan ajar dalam Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan. Tujuan penulisan buku ini adalah sebagai pedoman baik bagi mahasiswa maupun dosen dalam proses pembelajaran. Penulisan buku ini berdasarakan pada tesis dan disertasi penulis. Penulisan buku ini tidak bida diselesaikan dan terwujud tanpa peranan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Prof. Dr. Stefanus Supriyanto, Dr., MS. dan Ibu Dr. I. Nyoman Anita Damayanti, Drg., MS. Selaku Ko-Promotor yang membimbing kami sejak dari awal penulisan buku ini. Selain itu penulis juga mengucapkan rasa terimakasih yang sedalm-dalamnya serta penghargaan tertingggi pada: 1. Ibunda Alm Hj. Surati yang selalu saya cintai, saya hormati, saya kagumi dan saya kenang sepanjang waktu serta H. Suyono, atas pengorbanan, ketulusan dan bimbingan yang diberikan kepada Penulis. 2. Istri tercinta, Hj, Tyas Wuryaningsih, M.Kes dan kedua permata hatiku, Akbar Galang Bragaseno dan Ginaung Sasti Megantari atas pengertian, pengorbanan, dukungan dan doa yang tiada pada penulis.
Kesehatan keluarga.indd 3
05/08/2016 21:57:04
iv
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
3. Yth. Sejawat keluarga besar Pendiri Yayasan Stikes Surya Mitra Husada Kediri, atas pengertian dan kebersamaannya dalam menggapai kesuksesan yang disertai kemuliaan dan kebahagiaan dunia - akherat. 4. Yth. Keluarga besar STIKes Surya Mitra Husada Kediri, atas pengertian dan dukungan yang luar biasa pada peneliti. 5. Dan kepada semua pihak yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu, yang dengan tulus dan penuh warna ikut mewarnai perjalanan penulis menggapai mimpi dan jati diri .
Kami sangat berharap bahwasanya buku ini bisa memberikan manfaat dan sumbangsih dalam khazanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan teori Perilaku Sehat pada masyarakat “Low Income Community” Tiada gading yang tak retak, kami sangat menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala masukan, kritik dan saran yang konstruktif sangat hami harapakan dari semua pihak. Semoga Allah senantiasa meridhoi kita sekalian.
Kesehatan keluarga.indd 4
05/08/2016 21:57:04
Daftar Isi Kata Pengantar.................................................................................................. iii Daftar Isi ............................................................................................................ v Bab 1
Bab 2
Bab 3
Kesehatan keluarga.indd 5
Pendahuluan...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1 1.2 Kajian dan Identifikasi Penyebab Masalah................................................. 5 1.3 Rumusan Masalah................................................................................................. 6 1.4 Tujuan......................................................................................................................... 7 1.5 Manfaat...................................................................................................................... 7
Ilmu Kesehatan.................................................................................. 9 2.1 Kebijakan Kesehatan............................................................................................ 9 2.2 Definisi Sehat dan Kesehatan Masyarakat.................................................. 10 2.3 Sehat Sebagai Hak Asasi Manusia.................................................................. 11 Teori Perilaku Kesehatan................................................................... 13 3.1 Model-Model Perilaku Kesehatan dan Utilisasi Pelayanan Kesehatan......................................................................... 13 3.2 Model Dasar Sebab Akibat (Cause-Effect) dan Intervensi.................... 14 3.3 Model Utilisasi Andersen dan Anderson (1979)..................................... 15
05/08/2016 21:57:04
vi
Bab 4
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
3.4 Model Andersen and Newman (1995)......................................................... 16 3.5 Model Proceed Precede (L.Green)................................................................... 17 3.6 Model Pengambilan Keputusan....................................................................... 18 3.7 Mapping Penelitian Terdahulu yang Relevan............................................ 18 3.7 Resume Mapping Teori dan Penelitian Terdahulu.................................. 20 3.8 Kajian Teoritis......................................................................................................... 21
Bab 5
Jaminan Kesehatan Masyarakat....................................................... 23 4.1 Konsep Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)......................... 23 4.2 Konsep Masyarakat Miskin............................................................................... 29
Bab 6
Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional........... 51
Model Perilaku Sehat Keluarga “Low Income Community”........... 41 5.1 Definisi Perilaku Sehat........................................................................................ 41 5.2 Model Perilaku Sehat pada Penerima Jamkesmas di Kota Kediri..... 45
Daftar Pustaka................................................................................................... 99
Kesehatan keluarga.indd 6
05/08/2016 21:57:05
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Krisis multidimensi yang melanda Indonesia, ternyata memiliki risiko yang sangat besar terhadap kelangsungan bangsa. Krisis yang terjadi sekitar tahun 1997 tersebut telah meningkatkan jumlah masyarakat kurang mampu. Berdasarkan data, pada tahun 1998 atau setahun setelah dimulainya krisis, jumlah masyarakat miskin naik secara drastis menjadi 49,5 juta jiwa atau 24,5% penduduk (SNPK, 2002). Kondisi ini tentu semakin memperbesar disparitas status kesehatan penduduk mampu dan penduduk kurang mampu. Berbagai data menunjukkan bahwa status kesehatan penduduk kurang mampu lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk kaya. Hal ini antara lain dapat dilihat dari tingginya angka kematian bayi dan angka kematian balita pada kelompok penduduk kurang mampu. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian bayi pada kelompok paling kurang mampu adalah 61 sedangkan pada kelompok terkaya adalah 17 per 1.000 kelahiran hidup. Demikian juga, angka kematian balita pada penduduk paling kurang mampu (77 per 1.000 kelahiran hidup) jauh lebih tinggi daripada angka kematian balita pada penduduk terkaya (22 per 1.000 kelahiran hidup). Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita, seperti ISPA, diare, tetanus neonatorum dan penyulit kelahiran, juga lebih sering terjadi pada penduduk kurang mampu.
Kesehatan keluarga.indd 1
05/08/2016 21:57:05
2
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Menurut Asnani dalam Thabrany (2005) dampak krisis ekonomi terhadap bidang kesehatan adalah sebagai berikut: a. Menurunnya status gizi masyarakat Krisis ekonomi menyebabkan harga barang dan jasa termasuk bahan makanan meningkat. Selanjutnya penurunan daya beli menyebabkan konsumsi makanan berkurang sehingga status gizi menurun. b. Menurunnya akses terhadap fasilitas pelayanan Mengingat prioritas pendapatan keluarga untuk membeli makanan, maka penyediaan biaya untuk pelayanan kesehatan mengalami penurunan. Hal ini diperbesar dengan meningkatnya tarif jasa pelayanan kesehatan khususnya pada fasilitas swasta dan akibatnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan menurun. c. Menurunnya perhatian terhadap lingkungan. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan. Dengan adanya krisis menyebabkan perhatian masyarakat terpusat pada kegiatan untuk mempertahankan hidup, sehingga perhatian terhadap lingkungan menurun. Akibatnya sanitasi rumah, lingkungan pemukiman, penyediaan air bersih mengalami penurunan . d. Menurunnya partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan yang mendukung kesehatan Berkurangnya perhatian masyarakat tidak terbatas hanya pada lingkungan tetapi juga terhadap berbagai kegiatan yang mendukung kesehatan misalnya: Posyandu, Pos KB, Pos obat dan lain-lain. e. Mengabaikan perilaku sehat Keadaan krisis ekonomi dapat menimbulkan kondisi mengabaikan perilaku hidup sehat misalnya: meningkatnya merokok, kebebasan seksual, makan tidak teratur dan lain-lain.
Akibat dari kondisi tersebut di atas, maka terjadi penurunan derajat kesehatan masyarakat Indonesia yang ditandai dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yakni 304 per 100.000 kelahiran hidup, dan kenaikan untuk Angka Kematian Bayi, Angka Kematian, dan Angka Kematian Balita (AKB). Bahkan, tingkat kematian bayi dan balita di Indonesia ini masih yang tertinggi di antara negara-negara anggota Association of South-East Asian Nations (ASEAN). Masalah lain timbul dari besarnya variasi antarpropinsi, serta relatif besarnya perbedaan tingkat kematian antara daerah perkotaan dan pedesaan. Sedangkan status gizi juga mengalami keterpurukan, yakni ditandai dengan tingginya prevalensi Balita dengan gizi buruk atau gizi kurang, yakni sebesar 31% (Depkes, 2002). Akibat dari sektor kesehatan yang terpuruk, maka Indek Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia juga ikut terpuruk,
Kesehatan keluarga.indd 2
05/08/2016 21:57:05
Bab 1 : Pendahuluan
3
yang berdasarkan publikasi UNDP tahun 2003, Indonesia berada pada ranking 112 dari 175 negara. Untuk mencegah semakin terpuruknya kondisi derajat kesehatan sebagai akibat krisis ekonomi, maka sejak tahun 1999 hingga kini Pemerintah membuat kebijakan strategis, khususnya untuk melindungi kesehatan masyarakat kurang mampu, melalui program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK), yang dalam perkembangannya berevolusi menjadi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM), Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), dan kemudian menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Mukti, 2007). Dengan adanya program ini, maka pemerintah menjamin biaya pelayanan kesehatan masyarakat kurang mampu secara cuma-cuma baik pada Pemberi Pelayanan Kesehatan I (PPK 1), maupun rujukan pelayanan pada jenjang yang lebih tinggi (PPK II, III), yang pelaksanaannya menggunakan prinsip-prinsip Asuransi Kesehatan. Adapun sasaran dari progam ini adalah semua penduduk berkategori Masyarakat Miskin (Maskin) yang penetapannya didasarkan pada kriteria-kriteria yang telah ditentukan, yang berdasarkan data Depkes (2009) terdapat 76.400.000 jiwa dan pembiayaannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat melalui APBN (quota maskin) serta masyarakat kurang mampu yang diluar quota yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab Pemerintahan Propinsi dan Kabupaten/ Kota. Pelaksanaan kebijakan pelayanan kesehatan masyarakat kurang mampu non quota, seiring dengan era otonomi daerah (desentralisasi), bervariasi antar daerah, baik dari sisi pembiayaan, teknis serta mekanisme pelayanan kesehatan yang diberikan. Ada daerah yang menggunakan moment program ini sebagai embrio dari program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), yang mengintegrasikan sistem pembiayaan kesehatan yang ada di daerah dalam unit/badan Pelaksana JPKM, seperti di Jembrana, Purbalingga dan Balikpapan (Mukti, 2007). Masyarakat penerima Jamkesmas yang mendapatkan berbagai fasilitas jaminan sosial dari pemerintah, menurut Nirwanto, dkk (2000), justru semakin menunjukkan ketidakberdayaannya, baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungannya (tridaya). Adanya program Jamkesmas bagi masyarakat penerima Jamkesmas berupa pemberian pelayanan kesehatan gratis, ternyata belum diikuti oleh perilaku sehat masyarakat (Trisnantoro, 2004), seperti masih rendahnya kunjungan (utilisasi) masyarakat kurang mampu ke pelayanan kesehatan dasar dan perilaku tidak sehat yang ditunjukkan oleh masyarakat kurang mampu, berupa merokok, mengkonsumsi minum-minuman keras, buang sampah sembarangan, perilaku buang air kotor yang sembarangan dan semakin menurunnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan di wilayahnya, sebagaimana pengamatan sementara yang dilakukan oleh peneliti.
Kesehatan keluarga.indd 3
05/08/2016 21:57:05
4
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Data Susenas Tahun 2000 menunjukkan bahwa di antara penduduk yang mempunyai keluhan sakit hanya 36,6 persen yang berobat jalan ke sarana pelayanan kesehatan, sebesar 27,8 persen berobat ke Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, 30,55 persen ke dokter praktek, 14,54 persen ke rumah sakit, 14,37 persen ke petugas kesehatan lain, serta 3,5 persen ke dukun/tabib/sinshe. Hasil Susenas 2001 menunjukkan bahwa dari penduduk yang mengeluh sakit dalam 1 bulan terakhir ada sekitar 56,3 persen yang mengobati sendiri. Kondisi ini lebih rendah dari Susenas 1998 yang mencapai 62,2 persen. Di antara yang mengobati sendiri sekitar 85,2 persen menggunakan obat modern, 28,7 persen menggunakan obat tradisional, dan 8,5 persen menggunakan cara lainnya. Penggunaan obat tradisional meningkat hampir 2 kali lipat, di mana pada tahun 1998 hanya mencapai 15 persen. Menurut Budiharto (2009), tingkat kunjungan/pemanfaatan (utilisasi) pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin masih cukup rendah yakni sekitar 2,76 – 7,6 %. Pemanfaatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin juga disampaikan oleh Departemen Kesehatan (2011). Bahkan secara khusus pemanfaatan Jamkesmas secara nasional oleh ibu hamil juga belum optimal yakni sebagai berikut: 1. Pemanfaatan kartu Jamkesmas oleh Ibu hamil untuk ANC (K4) sebanyak 554.034 kunjungan atau 4,8% dari total populasi ibu hamil. Terhadap ibu hamil kurang mampu dan hampir kurang mampu persentase kunjungan ibu hamil (K4) memanfaatkan Jamkesmas sebesar 34,53%. 2. Pemanfaatan kartu Jamkesmas untuk rujukan Ibu hamil sebanyak 184.008 kunjungan atau 9,6% dari total populasi ibu hamil. 3. Pemanfaatan kartu Jamkesmas untuk persalinan oleh tenaga kesehatan sebanyak 368.088 kunjungan atau 1% dari total sasaran ibu bersalin, namun terhadap ibu bersalin kurang mampu dan hampir kurang mampu persentase terlayani pelayanan Jamkesmas sebesar 23,97%. 4. Pemanfaatan kartu Jamkesmas untuk KN sebanyak 430.796 kunjungan atau 1% dari total populasi bayi, namun terhadap bayi kurang mampu dan potensial kurang mampu persentase terlayani pelayanan Jamkesmas sebesar 29,44%.
Untuk di Jawa Timur, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur adalah sebanyak 11.634.718 jiwa dan yang telah mendapat jaminan kesehatan melalui Jamkesmas dari pemerintah sebanyak 11.587.474 (99,59%) yang artinya hampir seluruh masyarakat penerima Jamkesmas telah ditanggung biaya kesehatannya oleh pemerintah. Adapun tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan Jamkesmas di Puskesmas pada tahun 2010 tercatat sebanyak 5.403.249 terdiri dari 45,38% (kurang lebih 3,9% / bln) untuk pelayanan rawat jalan dan 1,06% untuk pelayanan rawat inap, sedangkan yang memanfaatkan rumah sakit sebanyak 1.074.844 terdiri dari 7,32% untuk pelayanan rawat jalan dan 1,92% untuk pelayanan rawat inap (Dinkes Prop.Jatim, 2011)
Kesehatan keluarga.indd 4
05/08/2016 21:57:05
Bab 1 : Pendahuluan
5
1.2 Kajian dan Identifikasi Penyebab Masalah Belum optimalnya praktek perilaku kesehatan (health behaviour) masyarakat penerima Jamkesmas maupun pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, yang menurut Andersen dan Newman (1995) dikelompokkan sebagai berikut ini: 1. Faktor predisposisi (Predisposing Factors) Faktor Predisposisi adalah karakteristik dasar/pendahulu dari individu penerima Jamkesmas, yang meliputi 3 hal yakni: a. Ciri-ciri demografi, seperti: jenis kelamin, umur, jumlah keluarga dan status perkawinan. b. Struktur sosial, seperti: tingkat pendidikan, pekerjaan, etnik, jaringan sosial, interaksi sosial dan budaya. c. Kepercayaan kesehatan (health belief), seperti sikap terhadap pelayanan kesehatan, nilai yang berhubungan dengan kesehatan dan kesakitan, serta pengetahuan tentang penyakit. Faktor ini mempunyai hubungan dengan praktek perilaku kesehatan peserta Jamkesmas dalam memanfaatan pelayanan kesehatan. Bilamana pemanfaatan pelayanan kesehatan kurang optimal, maka perlu dilakukan pengkajian akan ketepatan dan identifikasi dari faktor ini.
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors) Karakteristik pemungkin adalah sebagai keadaan atau kondisi yang membuat seseorang mampu untuk melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan kesehatan. Karakteristik ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: a. Sumber daya personal/keluarga, seperti: penghasilan keluarga, keikutsertaan dalam asuransi kesehatan, jarak, kemampuan membeli jasa pelayanan kesehatan, dan kualitas hubungan sosial. b. Sumber daya masyarakat, seperti: ketersediaan sarana pelayanan kesehatan , jumlah tenaga kesehatan dalam wilayah tersebut. Faktor ini tentu saja sudah cukup jelas dalam hubungannya dengan praktek perilaku kesehatan, khususnya pemanfaatan pelayanan kesehatan, karena sebagai penerima Jamkesmas, masyarakat dibebaskan dari biaya-biaya yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan baik di tingkat dasar maupun lanjutan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Namun adanya masalah rendahnya / belum optimalnya pemanfaatan pelayanan kesehatan, tentu saja juga perlu
Kesehatan keluarga.indd 5
05/08/2016 21:57:05
6
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
dikaji dari faktor ini, khususnya yang berkaitan dengan pengetahuan dan persepsi terhadap fasilitas sarana kesehatan yang ditetapkan.
3. Faktor Kebutuhan (Need Factors) Faktor kebutuhan merupakan komponen yang paling langsung berhubungan dengan praktek perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, dan kebutuhan ini terdiri atas dua hal yakni: a. Perceived Need, yang merupakan tingkat keluhan dan tingkat kekhawatiran atau ketakutan yang dirasakan. b. Penilaian klinik (evaluated Need), merupakan penilaian beratnya penyakit dari dokter yang merawatnya, yang tercermin antara lain dari hasil pemeriksaan dan penentuan diagnosis penyakit oleh dokter.
Pada masyarakat penerima Jamkesmas, tingkat keluhan, tingkat kekhawatiran dan tingkat kebutuhan pelayanan kesehatan yang didasarkan atas penilaian individu saja bervariasi, sehingga berdampak pada pemanfaatan pelayanan kesehatan. Semakin peka tingkat keluhan dan kekhawatiran serta kebutuhan yang dirasakan, akan semakin meningkatkan praktek perilaku sehat dan pemanfaaatan pelayanan kesehatan di fasilitas yang ditetapkan.Sedangkan timbulnya masalah tersebut menurut L. Green (1980), selain predisposing factor dan enabling factor, ada satu faktor lagi yakni reinforcing factor yang terwujud dalam sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan petugas kesehatan, sebagai kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
1.3 Rumusan Masalah
1. Teori apa saja yang mendasari perilaku kesehatan masyarakat yang berpenghasilan rendah (low income community) ? 2. Bagaimanakah karakteristik predisposing masyarakat berpenghasilan rendah (low income community) dalam mewujudkan perilaku kesehatannya ? 3. Bagaimanakah karakteristik enabling masyarakat berpenghasilan rendah (low income community) dalam mewujudkan perilaku kesehatannya? 4. Bagaimanakah Kejadian sakit (need), praktek perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat berpenghasilan rendah (low income community) ?
Kesehatan keluarga.indd 6
05/08/2016 21:57:05
Bab 1 : Pendahuluan
7
1.4 Tujuan Meningkatkan perilaku kesehatan masyarakat berpenghasilan rendah (low income community)
1.5 Manfaat Kajian dalam buku ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Mengembangkan teori dan konsep yang berkaitan dengan praktek perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat berpenghasilan rendah (low income community) 2. Memberikan masukan kepada Departemen Kesehatan dan Pemerintah Daerah, dalam upaya meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat berpenghasilan rendah (low income community) 3. Sebagai sumber masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian berkaitan dengan praktek perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat berpenghasilan rendah (low income community) 4. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat khususnya bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
Kesehatan keluarga.indd 7
05/08/2016 21:57:05
8
Kesehatan keluarga.indd 8
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
05/08/2016 21:57:05
Bab 2 Ilmu Kesehatan Kemajuan di bidang ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat tak dapat dipungkiri akan mempengaruhi evolusi manusia melalui peningkatan derajat kesehatan (perpanjangan usia, menurunnya angka kematian bayi, peningkatan gizi) yang akhirnya menambah populasi manusia dengan segala konsekuensinya. Di masa pra ilmiah, pengetahuan diperoleh secara empiris turun menurun, kemudian diteruskan dengan eksperimen dan logika. Yang dimaksud dengan kesehatan mencakup semua bentuk dan macam pelayanan kesehatan, diantaranya adalah: - Promotif - Preventif - Kuratif - Rehabilitasi
- Individu - Kelompok - Masyarakat
2.1 Kebijakan Kesehatan Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argument untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat pengambilan keputusan (politik) dalam rangka menyelesaikan masalah (Hill, M,.1997).
9
Kesehatan keluarga.indd 9
05/08/2016 21:57:06
10
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Peter Drucker dan C. Ohmae mendefinisikan Policy is execution antactics How to win the Battle. Sednagkan Strategy is hoe to win the war policy ia a course of action intended to accomplish some end (Kebijakan adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan). A policy may usefully be considered as a course of action or inaction rather than specific decision or action and such as a course has to be perceived and identified by the analyst in question. Carl J Friedrich…..Public Policy is a cause of action of a person, group. Or government within environment providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or a purpose. (Kebijakan public adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan halangan dan kesempatannya, yang diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi halangan tersebut di dlam rangka mencapai suatu cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan tertentu. Yang dipelajari dari kebijakan kesehatan adalah informasi nyata (factual) mengenai sebab-sebab (tuntutan) timbulnya kebijakan, isi kebijakan (arahan, petunjuk penerapan) dan hasil atau akibat (dampak) kebijakan guna menyelesaikan masalah-masalah sosial dan kesehatan. Masalah sosial dan kesehatan antara lain meliputi masalah perkampungan kumuh di perkotaan, pemerataan pelayanan dan keadilan (rumah sakit, puskesmas dlll), tingginya angka kematian ibu dan anak, lingkungan yang tidak sehat, rendahnya kemampuan dan kesedian membayar pelayanan kesehatan, beberapa jenis penyakit yang mengancam di masa depan berikut perangkat yang disiapkan untuk mendukung.
2.2 Definisi Sehat dan Kesehatan Masyarakat
1. Tujuan akhir dari ilmu kesehatan adalah tercapainya kesehatan optimal bagi seluruh penduduk yang oleh WHO dan dalam UU Kesehatan no.23 tahun 1992 dinyatakan sebagai berikut: “Sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. 2. Sir Donald Acheson (1998) memberikan batasan kesehatan masyarakat sebagai berikut: “Kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang usia, dan meningkatkan derajat kesehatan melalui upaya masyarakat yang terorganisir” 3. Winslow (1920). Kesehatan masyarakat adalah ilmu (science) dan seni (art). a. Mencegah penyakit (preventing disease) b. Memperpanjang usia (prolonging life)
Kesehatan keluarga.indd 10
05/08/2016 21:57:06
Bab 2 : Ilmu Kesehatan
c.
11
Meningatkan kesehatan fisik dan mental serta efisiensi melalui upaya masyarakat yang terorganisir guna: - Menyehatkan lingkungan - Pemberantasan penyakit infeksi - Pendidikan individu tentang hygiene perorangan - Pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan guna ditegakkannya diagnosis dini dan pencegahan penyakit penyerta - Pengembangan system sosial yang menjamin bahwa setiap individu dalam masyarakat akan mendapatkan standar hidup yang layak untuk mempertahankan kesehatannya.
2.3 Sehat Sebagai Hak Asasi Manusia
Sehat adalah hak bagi semua orang dan social goods. Eligatarian Philosophy: every person has certain positive right, Health care is fundamental necessity for human beings, ability to learng, to work, to achieve and enjay life. Further more very human being shuld have a right to be free from pain and suffering that can be relieved through health care. The egalitarian philosophy dictates that government tak primary responsibility for developing the most effective and efficient approach to mobilize the necessary funds for every citizen health care. Filasafat Egaliter: Setiap orang memiliki hak positif tertentu, perawatan kesehatan merupakan kebutuhan mendasar bagi manuisa, kemampuan untuk belajar, untuk bekerja, untuk mencapai dan manikmati hidup. Selanjutnya setiap manusia harus memiliki hak untuk bebas dari rasa sakit dan penderitaan yang dapat dikurangi melalui perawatan kesehatan. Filososfi efaliter menyatakan bahwa pemerintah mengambil tanggung jawab utama mengembangkan pendekatan yang paling efektif dan efisien untuk memeobilisasi dana yang diperlukan bagi setiap warga Negara perawatan kesehatan. Utilitarian philosophy. In contrast , does not believe citizens have positive rights to helath care. Good helath is considered a social goods which must to be trade off with other human wants, as opposed to a fundamental right. The government has the responsibility to organize funding for the portion of health care that could most effectively improve the nation’s productivity, because the labour productivity of a population depends on helath status of the workforce. The government should finance only those helath service that can improve helath more that alternative menas such as nutrition program. Equal access. To helath care and equal helath status are not direct concern of the government
Kesehatan keluarga.indd 11
05/08/2016 21:57:06
12
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Filsafat utilitarian . Sebaliknya, tidak percaya warga negara memiliki hak positif untuk kesehatan. Kesehatan yang baik dianggap sebagai barang sosial yang harus trade off dengan manusia lain ingin, sebagai lawan dari hak dasar. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengatur dana untuk porsi perawatan kesehatan yang akan paling efisien meningkatkan produktivitas bangsa. Karena produktivitas tenaga kerja dari penduduk tergantung pada status kesehatan tenaga kerja. Pemerintah harus membiayai hanya peleyanan kesehatan mereka yang dapat meningkatkan kesehatan yang lebih berarti seperti pemerataan program gizi.
Kesehatan keluarga.indd 12
05/08/2016 21:57:06
Bab 3 Teori Perilaku Kesehatan Pada bagian ini akan dijelaskan tentang teori perilaku kesehatan yang mendasari perilaku kesehatan masyarakat berpengahasilan rendah (low income community) dalam mencari pelayanan kesehatan
3.1 Model-Model Perilaku Kesehatan dan Utilisasi Pelayanan Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya merupakan respon seseorang terhadap obyek yang terkait dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Ini bermakna bahwa perilaku kesehatan terkait dengan: (1) Perilaku pencegahan, penyembuhan penyakit, serta pemulihan dari penyakit; (2) Perilaku peningkatan kesehatan; dan (3) Perilaku gizi. Terkait klasifikasi perilaku sehat ini, Becker (1979) mengklasifikasikan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) adalah sebagai berikut: a. Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya. 13
Kesehatan keluarga.indd 13
05/08/2016 21:57:06
14
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
b. Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk di sini kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut. c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan / kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kesehatannya.
3.2 Model Dasar Sebab Akibat (Cause-Effect) dan Intervensi
Teori ini menyatakan bahwa setiap upaya pemanfaatan pelayanan kesehaatan selalu dipicu oleh sejumlah faktor penyebab, misalnya faktor pendidikan, organisasi pelayanan, faktor kemampuan ekonomi dan sebagainya, sehingga suatu pemanfaatan pelayanan kesehatan dilakukan oleh seseorang. Selanjutnya, setiap upaya pemanfaatan pelayanan kesehatan selalu membawa konsekuensi hasil atau efek yang dihasilkan sebagai akibat dari pemanfaatan pelayanan kesehatan, misalnya kondisi kesehatan, kualitas hidup, dan pembangunan. Secara umum, problem teori ini digambarkan sebagai berikut: Causes
INPUTS (educational, organizational, economic, etc.)
Effects
X?
OUTPUTS (health, quality of life, development)
Gambar 3.1 Model Dasar Sebab-Akibat dan Intervensi
Model yang berbeda akan memiliki pemahaman masih-masing terhadap isi “X” menurut teori-teori atau asumsi-asumsi yang berbeda terkait faktor yang menyebabkan maupun yang mengontrol suatu perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan. “X” bisa berupa pendekatan teori psikologi, sosial, ekonomi, manajemen dan sebagainya.
Kesehatan keluarga.indd 14
05/08/2016 21:57:07
Bab 3 : Teori Perilaku Kesehatan
15
3.3 Model Utilisasi Andersen dan Anderson (1979) Andersen dan Anderson (1979) dalam Ilyas (2003), menggolongkan faktor atau variabel yang menentukan dalam utilisasi pelayanan kesehatan ke dalam enam model yaitu: 1. Model Demografi (Demographic Model) Variabel-variabel yang dipakai adalah umur, seks, status perkawinan, dan besarnya keluarga. Variabel ini digunakan sebagai ukuran atau indikator yang mempengaruhi utilisasi pelayanan kesehatan. 2. Model Struktur Sosial (Social Structural Model) Variabel yang dipakai adalah pendidikan, pekerjaan dan etnis. Variabel ini mencerminkan status sosial dari individu atau keluarga dalam masyarakat, yang juga dapat menggambarkan tentang gaya hidup mereka. Struktur sosial dan gaya hidup masyarakat ini akan menggambarkan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat itu sendiri. 3. Model Sosial Psikologis (Social Psychological Model) Variabel yang dipakai adalah pengetahuan, sikap dan keyakinan individu dalam memanfaatan pelayanan kesehatan. Variabel psikologi ini mempengaruhi individu untuk mengambil keputusan dan bertindak dalam menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia. 4. Model Sumber Daya Keluarga (Family Resource Model) Variabel yang dipakai adalah pendapatan keluarga dan cakupan asuransi kesehatan. Variabel ini dapat mengukur kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Makin komprehensif paket asuransi kesehatan yang sanggup individu beli, makin terjamin pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dapat dikonsumsi oleh individu. 5. Model Sumber Daya Masyarakat (Community Resource Model) Variabel yang dipakai adalah penyediaan pelayanan kesehatan dan sumbersumber di dalam masyarakat. Pada dasarnya model sumber daya masyarakat ini adalah suplai ekonomis yang berfokus pada ketersediaan sumber kesehatan pada masyarakat. Artinya, makin banyak PPK yang tersedia, makin tinggi aksesibilitas masyarakat untuk menggunakan pelayanan kesehatan. 6. Model Organisasi (Organization Model) Variabel yang digunakan adalah pencerminan perbedaan bentuk-bentuk sistem pelayanan kesehatan, yaitu: a. Gaya (style) praktek pengobatan (sendiri, rekanan atau kelompok) b. Sifat alamiah (nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak) c. Lokasi dari pelayanan kesehatan (pribadi, rumah sakit atau klinik) d. Petugas kesehatan yang pertama kali dikontak oleh pasien (dokter, perawat, atau yang lainnya).
Kesehatan keluarga.indd 15
05/08/2016 21:57:07
16
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
3.4 Model Andersen and Newman (1995) Andersen and Newman (1995) mengembangkan model perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, serta konsekuensinya. Ada 2 faktor determinannya, yaitu faktor lingkungan dan karakteristik populasi, dan konsekuensi (outcome) pada status kesehatan. Model ini digambarkan sebagai berikut: Environment
Health care system
External environmental
Population Characteristic
Predisposing
Enabling Resources
Health Behavior
Outcome
Personal Health practice
Perceived health status
Use of health service
Consumer satisfaction
Need
Gambar 3.2 Model Andersen dan Newman (1995)
Karakterisitk populasi (Population Characteristics) dikelompokkan menjadi: a. Karakteristik predisposisi (Predisposing Characteristics) Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan sosio-budaya populasi. Karakterisitk ini dikelompokkan menjadi 3, yaitu: 1). Ciri-ciri demografi, seperti: jenis kelamin, umur, jumlah keluarga dan status perkawinan. 2). Struktur sosial, seperti: tingkat pendidikan, etnik, jaringan sosial, interaksi sosial, budaya dan pekerjaan. 3). Keyakinan kesehatan (health belief), yang meliputi nilai yang berhubungan dengan kesehatan dan kesakitan, sikap terhadap pelayanan kesehatan dan pengetahuan tentang penyakit. b. Karakteristik pemungkin (Enabling Characteristics) Karakteristik pemungkin (The logistical aspects of obtaining care) adalah suatu keadaan atau sumberdaya yang dimiliki yang membuat seseorang mampu untuk melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan kesehatan. Andersen dan Newman (1995) membaginya ke dalam 3 golongan, yaitu:
Kesehatan keluarga.indd 16
05/08/2016 21:57:07
17
Bab 3 : Teori Perilaku Kesehatan
1). Sumber daya individu/keluarga, seperti: penghasilan keluarga, keikutsertaan dalam asuransi kesehatan, jarak, dan kualitas dari hubungan sosial. 2). Sumber daya masyarakat, seperti: ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia dibidang kesehatan. 3) Faktor genetik dan psikolog c. Karekteristik kebutuhan (Need Characteristics) Karakteristik kebutuhan merupakan komponen yang paling langsung berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Andersen dan Newman (1995) menggunakan istilah Kesakitan untuk mewakili kebutuhan pelayanan kesehatan. Karakteristik kebutuhan ini terdiri atas 2 hal yakni: 1). Perceived Need, merupakan penilaian keadaan kesehatan yang paling dirasakan oleh individu, besarnya ketakutan terhadap penyakit dan hebatnya rasa sakit yang diderita, sehingga membantu dalam pencarian dan pemilihan tindakan pengobatan. 2). Evaluated Need, merupakan penilaian akan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan oleh pemberi pelayanan.
3.5 Model Proceed Precede (L.Green)
Model Proceed Precede yang dikemukakan oleh L. Green digambarkan sebagai berikut: Phase 5 Administrative & policy assessment
Public Health
Phase 4 Educational & ecological assessment
Phase 3 Behavioral & environmental assessment
Phase 2 Epidemiological assessment
Phase 1 Social assessment
Health
Quality of life
Predisposing
Health education Reinforcing
Behavior
Policy regulation organization Enabling
Phase 6 Implementation Input
Kesehatan keluarga.indd 17
Process
Phase 7 Proses evaluation Output
Environment
Phase 9 Outcome evaluation
Phase 8 Impact evaluation Short-term impact
Longer-term health
Short-term social impact
Long-term social impact
05/08/2016 21:57:07
18
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
3.6 Model Pengambilan Keputusan Model ini mengemukakan bahwa ada sejumlah kondisi sosial yang khas terjadi mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang yaitu: a. Realitas sosial adanya perbedaan pemahaman dan sikap antara pasien dan anggota keluarganya b. Perbedaan pemahaman dan sikap pasien diwujudkan dalam bentuk persepsi atau respons terhadap penyakit tersebut. c. Setiap diantara mereka mempunyai akses informasi ke pihak lain mengenai persepsi penyakit. d. Adanya komunikasi atau interaksi antara pasien dan orang lain. Interaksi ini menghasilkan dua kemungkinan ; a. Dekolektivasi refleksi b. Kolektivasi persepsi
Ada dua kemungkinan kolektivasi pasien: a. Aktif ( inisiatif untuk bertindak dalam proses penyembuhan) b. Pasif ( pasrah terhadap sikap orang lain diluar dirinya )
3.7 Mapping Penelitian Terdahulu yang Relevan
Berikut ini adalah sejumlah hasil penelitian terdahulu yang masih terkait dengan studi Jamkesmas maupun praktek perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Wahyu Tri Lukiono (2011) berjudul “Pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap pemanfaatan jaminan kesehatan pada Ibu hamil miskin di Kota Blitar”. Studi ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap perilaku pemanfaatan jaminan kesehatan pada ibu hamil miskin di Kota Blitar. Penelitian dengan pendekatan cross-sectional study ini menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh pengetahuan ibu hamil miskin terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dengan lengkap menggunakan pembiayaan Jamkesmas, meskipun secara statistik ”marginally significant”. Terdapat pengaruh sikap ibu hamil miskin terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dengan lengkap menggunakan pembiayaan Jamkesmas, dan pengaruh tersebut secara statistik ” significant”. Terdapat pengaruh antara pengetahuan dan sikap ibu hamil miskin secara bersamasama terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dengan lengkap menggunakan pembiayaan Jamkesmas, dan pengaruh tersebut secara statistik ” significant”. Kajian selanjutnya dilakukan oleh Cholis Bachroen dkk bertema “Pelaksanaan Kebijaksanaan Pelayanan Kesehatan Gratis bagi Keluarga Miskin di Rumah Sakit
Kesehatan keluarga.indd 18
05/08/2016 21:57:07
Bab 3 : Teori Perilaku Kesehatan
19
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)” pada tahun 2005. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang datanya dikumpulkan dengan wawancara dan wawancara mendalam terhadap gakin/non gakin dan pimpinan / staf rumah sakit, serta Diskusi Kelompok Terarah kepada tokoh masyarakat. Hasil penelitian mennujukkan tidak ada perbedaan tingkat kepuasan yang signifikan pada pasien Gakin maupun non-gakin, salah sasaran pemberian kartu Gakin, banyak gakin belum tahu manfaat Askeskin. Dana untuk Askeskin di Rumah Sakit umumnya masih mengalami defisit yang cukup besar. Kajian yang berbeda dilakukan oleh Retnowati dkk berjudul “Pelayanan Kesehatan Miskin, Persepsi Stakeholder di Kota Kupang” pada tahun 2008. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan mewancarai pembuat kebijakan, penyedia pelayanan kesehatan dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa program pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang sudah berjalan sejak tahun 2007 belum berjalan dengan baik dan masih bersifat “top down” sehingga pemahaman program pelayanan hanya dipahami oleh kategori stakeholder pengambil kebijakan, pemberi layanan kesehatan, dan pengelola dana. Sedangkan kategori stakeholder masyarakat miskin yang merupakan target pelayanan tidak memahami program tersebut. Dan pelayanan yang diberikan Rumah sakit maupun Puskesmas belum sesuai standar dan mutu pelayanan yang dianjurkan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Reny Kusuma Wardhani bertema “Pola Pelayanan Kesehatan Bagi Pengguna Kartu Askeskin, Studi Deskriptif mengenai Akses Pengguna Kartu Askeskin terhadap pelayanan kesehatan di Kec. Semampir Wonokusumo Surabaya pada tahun 2009. Dengan menggunakan Teori Konflik Dahrendroff dan Teori Sosiologi Kesehatan, penelitian ini juga melihat pelayanan kesehatan dari segi kekuasaan. Kajian ini menemukan bahwa program Askeskin memang mempunyai banyak kekurangan. Mulai dari kurangnya mutu pelayanan, sikap petugas yang kurang ramah, fasilitas yang kurang memadahi, kesulitan akses pelayanan oleh kaum miskin. Meskipun program Askeskin masih sangat didambakan masyarakat miskin. Penelitian berbeda dilakukan oleh Widhiasthuti berjudul “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Angka Utilisasi Puskesmas yang Rendah oleh Masyarakat Miskin Kota Surabaya Berdasarkan Service Convenience: Studi Kasus di puskesmas Sidotopo Surabaya” pada tahun 2006. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi tingkat utilitas masyarakat miskin yang rendah di Puskesmas ini, menemukan bahwa utilitas responden terhadap puskesmas ada hubungannya dengan transaction convenience, benefit convenience dan postbenefit convenience. Namun hanya benefit convenience responden yang mempengaruhi keadilan dalam pelayanan.
Kesehatan keluarga.indd 19
05/08/2016 21:57:07
20
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
3.7 Resume Mapping Teori dan Penelitian Terdahulu Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini sebagaimana tersebut di atas, maka disusun resume mapping sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di bawah ini. Resume Mapping Teori dan Penelitian Terdahulu
No. 1
2
Teori Andersen ‘s Theory
Green.L (1980)
Anteseden
Proses
Output
Outcome
Lingkungan
Population
Perilaku
Health Care System External environment
Faktor predisposing, enabling, need merupakan faktor sekuesial (berurutan)
Health status
Administrative Policy assessment
Educational & ecological assessment
• Praktek perilaku kesehatan • pemanfaatan pelayanan kesehatan Behavior
Epidemiologi dan social assessment
Health education Populacy organization
Faktor predisposing, enabling dan need merupakan faktor yang secara bersamaan mempengaruhi perilaku
Perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan
Health, Quality of life
Penelitian Terdahulu 3
Wahyu Tri Lukiono (2011)
Hasil: ada pengaruh pengetahuan terhadap pemanfaatan pelayanan ibu hamil. Tidak ada pengaruh sikap terhadap pemanfaatan
4
Cholis Bachroen dkk, (2005), dengan Teori Kepuasan Mutu Pelayanan dari Kotler(1994)
Tidak ada perbedaan tingkat kepuasan antara pasien Jamkesmas dan pasien non Jamkesmas
5
Reny Kusuma Wardhani (2009) dengan menggunakan tori konflik Dahrenndroff (1970)
1. Orang miskin kesulitan akses ke pelayanan kesehatan. 2. Fasilitas Puskesmas dirasakan kurang dan Pelayanan kurang bermutu
6
Retnowati dkk(2008) dengan menggunakan Teori Mutu pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan masyarakat miskin belum berjalan baik dan bersifat “top down”, masyarakat miskin sebagai target pelayanan tidak memahami program. Pelayanan yang diberikan Rumah sakit maupun Puskesmas belum sesuai standar dan mutu pelayanan yang dianjurkan.
7
Widhiasthuti dengan Teori service experience dari Knutson, et al (2006)
Pengaruh pada keadilan/equity pelayanan adalahBenefit convenience. Yang lain pasca benefitconvenience. Namun hanya benefit convenience responden yang mempengaruhi keadilan dalam pelayanan.
Kesehatan keluarga.indd 20
05/08/2016 21:57:07
21
Bab 3 : Teori Perilaku Kesehatan
3.8 Kajian Teoritis Lingkungan
Karakteristik
Perilaku
Outcome
Predisposing Factors:
Sistem Pelayanan Kesehatan
Lingkungan eksternal
1. Demografi - Umur - Besar Keluarga - Keluarga Inti - Status Rumah 2. Struktur Sosial - Pendidikan - Pekerjaan - Interaksi sosial - Budaya 3. Keyakinan - Pengetahuan - Nilai - Sikap
Need: 1. Perceived illness - Tingkat kesakitan - Tingkat keparahan 2. Evaluated Need (Provider)
Praktek Perilaku Kesehatan
Status Kesehatan
Pemanfaatan Layanan
Kepuasan Pasien
Enabling: — Pengeluaran — Jarak ke pelayanan kesehatan — Persepsi tentang pel. kesehatan Reinforsing — Kepemilikan Jamkesmas — Dukungan Petugas Kesehatan dan Tokoh Masyarakat
Kesehatan keluarga.indd 21
05/08/2016 21:57:07
22
Kesehatan keluarga.indd 22
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
05/08/2016 21:57:08
Bab 4 Jaminan Kesehatan Masyarakat 4.1 Konsep Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) Menurut Depkes (2009) Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah bentuk belanja bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu, yang penyelenggaraannya dengan menggunakan prinsip-prinsip Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Adapun Pengertian Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), menurut UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, adalah suatu “cara penyelenggaraan” pemeliharaan kesehatan yang terpadu dengan pembiayaannya. JPKM juga merupakan cara pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan sebagai suatu usaha bersama guna mengefektifkan dan mengefisienkan pembiayaan yang sebagian besar kurang lebih 70% sudah berasal dari masyarakat. Jadi pengembangan JPKM sejalan dengan kebijakan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dengan lebih memusatkan peran pemerintah untuk mengatur, membina dan menciptakan iklim yang semakin mendorong peningkatan peran serta masyarakat itu. Adapun prinsip JPKM adalah sebagai berikut: 1. Azas Usaha Bersama dan Kekeluargaan “Berdasarkan Azas Usaha Bersama dan Kekeluargaan” yang tercantum dalam pengertian JPKM menunjukkan bahwa JPKM merupakan usaha bersama, yang
23
Kesehatan keluarga.indd 23
05/08/2016 21:57:08
24
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
menghendaki peran aktif badan penyelenggara, peserta dan pemberi pelayanan kesehatan untuk bersama-sama secara kekeluargaan mengendalikan mutu dan biaya pemeliharaan kesehatan. Dengan demikian, dapat dijaga keseimbangan dan keserasian dalam membela kepentingan masing-masing. 2. Pemeliharaan Kesehatan yang Paripurna Pemeliharaan kesehatan yang paripurna adalah upaya pemeliharaan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh meliputi kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan. Upaya kesehatan dalam JPKM tidak dapat dilaksanakan sepotong-sepotong, umpamanya pengobatan rawat jalan saja atau hanya pengobatan di Rumah Sakit tanpa dukungan upaya preventif atau promotif, karena hal ini cenderung menurunkan efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya. 3. Pembiayaan secara Pra-upaya Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dibayar di muka/pra-upaya (pre-paid) oleh badan penyelenggara untuk memelihara kesehatan sejumlah peserta JPKM berdasarkan paket pemeliharaan kesehatan yang telah disepakati bersama. “Pra-upaya” juga berarti bahwa peserta JPKM membayar di muka sejumlah iuran secara teratur kepada badan penyelenggara agar kebutuhan pemeliharaan kesehatannya terjamin. Mengingat hal-hal yang tercantum di atas, jelas bahwa JPKM tidak hanya merupakan suatu cara pembiayaan kesehatan. JPKM juga merupakan suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan, yang terarah dan terencana dengan pengelolaan yang efektif dan efisien, dan didukung oleh pembiayaan pra-upaya, yang memungkinkan peningkatan derajat kesehatan dari segenap pesertanya. Harus senantiasa diingat bahwa fokus utama dari JPKM adalah peningkatan derajat kesehatan, utamanya melalui upaya promotif dan preventif agar seseorang tidak jatuh sakit, dan bukan semata-mata menghimpun atau mengumpulkan dana. Dalam pelaksanaannya tidak boleh terdapat hat-hal yang dapat menghambat ataupun mengurangi pencapaian peningkatan derajat kesehatan tersebut, seperti: (1) adanya pembatasan kepesertaan karena umur, pekerjaan dengan risiko tinggi, tingkat sosial-ekonomi dan sebagainya, (2) adanya pemeriksaan kesehatan sebagai syarat untuk menjadi peserta. Pembatasan tersebut sering dipergunakan oleh upaya perlindungan kesehatan berdasarkan sistem asuransi ganti-rugi (indemnity plan), karena pemberian pelayanan kesehatan disesuaikan dengan keadaan “kesehatan” keuangannya. Pada JPKM pemberian pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan medis peserta. 4. Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) sebagai suatu jaringan pelayanan kesehatan yang terorganisir, dan dapat memberikan pemeliharaan kesehatan secara efektif dan efisien berupa paket pemeliharaan kesehatan paripurna.
Kesehatan keluarga.indd 24
05/08/2016 21:57:08
Bab 4 : Jaminan Kesehatan Masyarakat
25
5. Lembaga/Badan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya pemeliharaan kesehatan berdasarkan JPKM (Badan Penyelenggara JPKM/Bapel JPKM). “Penyelenggaraan” mencakup kegiatan “merencanakan, melaksanakan, memantau dan menilai”. Badan Pembina yang bertanggung jawab untuk membina, mengembangkan, dan mendorong penyelenggaraan JPKM di wilayahnya agar jurus-jurus JPKM ditetapkan dengan memberikan manfaat bagi semua pihak. Hubungan antara ke tiga pelaku yang disebut terdahulu diatur dalam suatu ikatan kerjasama secara kontraktual dan diawasi serta dibina oleh Badan Pembina di masing-masing wilayah.
Tujuan Penyelenggaraan Jamkesmas
Menurut Departemen Kesehatan (2009), tujuan penyelenggaraan Jamkesmas secara umum adalah meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat kurang mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya cakupan masyarakat kurang mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya dan di Rumah Sakit. 2. Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat penerima Jamkesmas. 3. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Sasaran
Sasaran program adalah masyarakat penerima Jamkesmas dan kurang mampu di seluruh Indonesia (Depkes, 2009)
Kebijakan Jamkesmas
1. Kebijakan Kepesertaan Peserta dalam program ini adalah keluarga penerima Jamkesmas dan kurang mampu dengan kriteria antara lain: a. Keluarga kurang mampu yang terdaftar dalam data kemiskinan Badan Pusat Statistik yang telah dilakukan verifikasi ke lapangan dan mendapat kartu Jamkesmas. b. Pemegang kartu Kompensasi BBM (KKB, BLT, Raskin, Program Keluarga Harapan) dan Program Pemerintah lainnya. c. Penghuni Panti Sosial/ Rumah Singgah (bukan karyawan) yang diusulkan dinas terkait, memiliki sertifikat panti dan kepesertaan bersifat kolektif. d. Orang Terlantar yang diusulkan dinas terkait.
Kesehatan keluarga.indd 25
05/08/2016 21:57:08
26
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
e. Pasien kurang mampu penderita Thalasemia yang diusulkan Yayasan Thalasemia (RSUD) kepada Dinas Kesehatan. f. Pasien kurang mampu penderita jantung anak yang diusulkan Yayasan Jantung Anak Indonesia kepada Dinas Kesehatan. g. Korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak (KDRT). h. Keluarga yang mempunyai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) baik dengan verifikasi tidak mampu ataupun verifikasi kurang mampu. i. Korban Bencana / Pasien KLB (DBD, Diare, Gizi buruk, AFP, Flu Burung, Leptospirosis, Cikungunya, dll).
2. Kebijakan Pelayanan Kesehatan Kebijakan pelayanan kesehatan Jamkesmas meliputi: a. Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP): Dokter umum, dokter gigi, bidan. b. Rawat Inap di Puskesmas: Persalinan. c. Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL): Dokter Spesialis. d. Rawat Inap Kelas III di RSUD/ RS Pemerintah/ RS TNI/POLRI/ RS swasta . e. Pelayanan Ambulans Dinas Kesehatan.
Adapun persyaratan yang wajib dibawa oleh pasien adalah sebagaimana berikut ini: a. Pasien Kartu Gakin: Kartu Gakin, Raskin, Bantuan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan (Bantuan Program Pemerintah lainnya), dan Rujukan (tanpa rujukan jika di IGD/ Emergency). b. Pasien SKTM: SKTM yang ditandatangani oleh kelurahan tempat tinggal pasien, dan Rujukan (tanpa rujukan jika IGD / Emergency). c. Pasien Panti/Rumah Singgah: Surat keterangan kepala panti/ rumah singgah, fotocopy sertifikat panti, dan Rujukan (tanpa rujukan jika di IGD/ Emergency). d. Orang Terlantar: Surat keterangan dari direktur RS, atau Surat keterangan dari Kepolisian, atau Surat keterangan dari Dinas terkait, dan rujukan (tanpa rujukan jika di IGD/ Emergency). e. Pasien Yayasan Thalasemia/ Yayasan Jantung Anak: Kartu Anggota Yayasan Thalasemia/ Yayasan Jantung Anak, KTP, dan Rujukan (tanpa rujukan jika di IGD/ Emergency). f. Kader/ Anggota Fokuswanda: Kartu identitas kader/ surat keterangan/ sertifikat, Surat pengantar dari Puskesmas Kelurahan setempat, dan rujukan (tanpa rujukan jika di IGD/ Emergency). g. Korban Bencana: Surat pengantar dari Posko bencana / RT / RW / Puskesmas, Surat keterangan dari Ambulans Dinas Kesehatan, dan Rujukan (tanpa rujukan jika di IGD/ Emergency).
Kesehatan keluarga.indd 26
05/08/2016 21:57:08
Bab 4 : Jaminan Kesehatan Masyarakat
27
h. Pasien Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit: Rujukan Puskesmas (tanpa rujukan jika di IGD/ Emergency), dan Rujukan (tanpa rujukan jika di IGD/ Emergency). i. Korban Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak sampai usia 18tahun: Rujukan Puskesmas/ kecuali jika Emergency tidak perlu rujukan, Surat keterangan dari kepolisian.
3. Kebijakan Pembiayaan a. Pembiayaan untuk pelaksanaan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi masyarakat miskin dan Bencana bersumber dari dana APBD. b. Penggunaan dana pelayanan kesehatan bagi keluarga kurang mampu dan bencana meliputi: Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), Rawat Inap di Puskesmas, Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL), Rawat Inap kelas III di RSUD/ RS Pemerintah/ RS Swasta dan Ambulans Dinas Kesehatan. c. Pasien dengan kartu Gakin, Raskin, Bantuan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan (Bantuan Program Pemerintah lainnya) dan Panti yang bersertifikat, Orang Terlantar, KDRT, KLB serta Bencana dibebaskan dari biaya jika berobat ke puskesmas, rumah sakit dan pemakaian ambulans. d. Pasien yang dinyatakan dalam keadaan bencana dan KLB (DBD dan gizi buruk) dirawat di kelas III rumah sakit yang ditunjuk sesuai lokasi bencana dibebaskan dari biaya perawatan. e. Korban Kekerasan terhadap perempuan dan anak (KDRT) dilayani di semua rumah sakit yang ber IKS, di ruang perawatan kelas III dan dibebaskan biaya.
Pelayanan Kesehatan yang Dijamin
Paket dasar yang bersifat paripurna (meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) meliputi: 1. Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), jenis pelayanannya meliputi: a. Promosi kesehatan / penyuluhan b. Imunisasi dasar program (BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B) c. Pelayanan KIA termasuk ANC, ibu nifas, ibu menyusui, bayi dan balita d. KB dengan alat kontrasepsi standar e. Pengobatan penyakit umum / gigi f. Pelayanan rujukan g. Pelayanan obat-obatan h. Pelayanan laboratorium dasar meliputi pemeriksaan darah rutin dan urin lengkap i. Tindakan medis
Kesehatan keluarga.indd 27
05/08/2016 21:57:08
28
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
j. Pelayanan penunjang diagnostik k. Pelayanan partus l. Pelayanan spesialistik m. Pelayanan gawat darurat. 2. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan / Spesialis (RJTL), jenis pelayanannya meliputi: a. Konsultasi dan pemeriksaan dokter spesialis b. Obat-obatan sesuai kebutuhan medis c. Pemeriksaan penunjang berdasarkan indikasi medis d. Tindakan di poliklinik. 3. Rawat Inap di Kelas III Rumah Sakit, jenis pelayanannya meliputi: a. Perawatan kelas III di rumah sakit yang telah ber IKS dengan Dinas Kesehatan b. Visit dokter spesialis / dokter yang merawat c. Obat-obatan yang diperlukan (DPHO, generik, formularium atau sesuai indikasi medis dengan surat keterangan komite medik/ konsulen bagian atau departemen) d. Penunjang diagnostik dan tindakan yang sesuai dengan indikasi medis e. Alat kesehatan dan bahan habis pakai yang diperlukan. 4. Perawatan Khusus di Rumah Sakit, jenis pelayanannya meliputi: a. Perawatan ICU/ICCU/HCU b. Unit Perinatologi (NICU), dll.
Pelayanan Kesehatan yang Dijamin dengan Pembatasan
Pelayanan kesehatan yang dijamin dengan pembatasan meliputi Protesa dan alat bantu yang sesuai indikasi medis (gigi palsu, alat bantu dengar, kacamata, dll).
Pelayanan Kesehatan yang Tidak Dijamin
Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin dalam Jamkesmas meliputi: a. Pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur b. Pelayanan atau perawatan yang berkaitan dengan tujuan kosmetik (bedah plastik,ortodontis, dll) c. Medical check up d. Vitamin atau pemberian suplemen tanpa indikasi medis e. Pengobatan alternatif (tradisional, terapi alternatif lain) f. Pengguguran kandungan tanpa indikasi medis (permintaan sendiri) g. Pemegang kartu asuransi lain.
Kesehatan keluarga.indd 28
05/08/2016 21:57:08
Bab 4 : Jaminan Kesehatan Masyarakat
29
4.2 Konsep Masyarakat Miskin Menurut BPS (2005) kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Standar ini disebut garis kemiskinan, yakni nilai pengeluaran konsumsi kebutuhan dasar makanan setara 2.100 kalori energi per kapita per hari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok. Menurut Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia (TKPKRI, 2008), kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang laki-laki dan perempuan yang kurang mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar manusia tersebut meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Menurut Sayoga (1974) dengan penggolongan kemiskinan berdasarkan pendapatan yang diperoleh setiap tahunnya, maka orang miskin merupakan orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk beras yakni 320 kg/orang/ tahun yang dapat dibedakan menjadi tiga tipe orang miskin, yakni miskin (poor), sangat miskin (very poor) dan termiskin (poorest). Jumlah tersebut dianggap cukup memenuhi kebutuhan makan minimum (1,900 kalori/orang/hari dan 40 gr protein/ orang/hari). Orang yang sangat kurang mampu berpenghasilan antara 240 kg - 320 kg beras/orang/tahun, dan orang yang digolongkan sebagai termiskin berpenghasilan berkisar antara 180 kg - 240 kg beras/orang/tahun. Sementara itu menurut Chamber (dalam Nasikun, 2001 ) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Adapun ciri-ciri kelompok (penduduk) kurang mampu menurut Salim (1976) yaitu: 1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan; 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah; 3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor
Kesehatan keluarga.indd 29
05/08/2016 21:57:09
30
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja); 4) kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area); dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.
Bentuk Kemiskinan
Kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk (Nasikun, 2001), yaitu: 1. Kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. 2. Kemiskinan relatif: kondisi kurang mampu karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. 3. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. 4. Kemiskinan struktural: situasi kurang mampu yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Perkembangan terakhir, menurut Jarnasy (dalam Suryawati, 2004), kemiskinan struktural lebih banyak menjadi sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga kemiskinan yang lain. Perspektif (teori) demokrasisosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Delina Hutabarat (1994), menyebutkan sekurang-kurangnya ada enam macam kemiskinan yang ditanggung komunitas yaitu: 1. Kemiskinan Subsistensi yaitu penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal. 2. Kemiskinan Perlindungan yaitu lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah.
Kesehatan keluarga.indd 30
05/08/2016 21:57:09
Bab 4 : Jaminan Kesehatan Masyarakat
31
3. Kemiskinan Pemahaman yaitu kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan, dan potensi untuk mengupayakan perubahan. 4. Kemiskinan Partisipasi yaitu tidak ada akses dan control atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas. 5. Kemiskinan Identitas yaitu terbatasnya perbauran antar kelompok sosial dan terfragmentasi. 6. Kemiskinan Kebebasan yaitu stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.
Penyebab Kemiskinan
Nasikun ( 2004 ) menyebutkan bahwa ada beberapa sumber dan proses bagaimana penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu: 1. Policy induces processes, yaitu proses kemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan. 2. Socio-economic dualism, yaitu negara eks koloni yang mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marginal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor. 3. Population Growth, yaitu perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan seperti deret hitung. 4. Resources Management and The Environment, yaitu adanya unsur misalnya manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas. 5. Natural Cycles and Processes, yaitu kemiskinan yang terjadi karena siklus alam. Misalnya tinggal di lahan kritis dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal terus-menerus. 6. The Marginalization of Woman, yaitu peminggiran kaum perempuan karena perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki. 7. Cultural and Ethnic Factors, yaitu bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat-istiadat yang konsumtif saat upacara adat-istiadat keagamaan. 8. Exploitative Intermediation, yaitu keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir (lintah darat).
Kesehatan keluarga.indd 31
05/08/2016 21:57:09
32
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
9. Internal Political Fragmentation and Civil stratfe, yaitu suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat dapat menjadi penyebab kemiskinan. 10. International Processes, yaitu bekerjanya sistem-sistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin kurang mampu.
Selain hal-hal yang telah disebut di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di pedesaan dapat disebabkan oleh keterbatasan aset yang dimiliki, yaitu: 1. Natural Assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya. 2. Human Assets; menyangkut kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi). 3. Physical Assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik dan komunikasi. 4. Financial Assets; berupa tabungan (saving), serta akses untuk memperoleh modal usaha. 5. Social Assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.
Indikator Kemiskinan
Badan Pusat Statistik Indonesia pada Tahun 2005 mulai menggunakan pendekatan dan indikator-indikator utama kemiskinan, yaitu sebagai berikut: 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan). 2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). 3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa. 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam. 6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9. Ketidakmampuan dan ketergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda kurang mampu, kelompok marginal dan terpencil).
Kesehatan keluarga.indd 32
05/08/2016 21:57:09
Bab 4 : Jaminan Kesehatan Masyarakat
33
Sedangkan Indikator kemiskinan menurut Bappenas RI (2006) adalah sebagai berikut: 1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, 2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, 3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, 4. Terbatasnya akses terhadap air bersih, 5. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, 6. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, 7. Lemahnya jaminan rasa aman, 8. Lemahnya partisipasi, 9. Dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Sedangkan menurut Sayogyo, tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan. Daerah pedesaan: 1. Kurang mampu: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun. 2. Kurang mampu sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun. 3. Paling kurang mampu: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun. Daerah perkotaan: 1. Kurang mampu: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun. 2. Kurang mampu sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun. 3. Paling kurang mampu: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengukur kemiskinan berdasarkan kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahterara I (KS 1), dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Kriteria Keluarga Pra KS yaitu keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah agama dengan baik, minimum makan dua kali sehari, membeli lebih dari satu stel pakaian per orang per tahun, lantai rumah bersemen lebih dari 80%, dan berobat ke Puskesmas bila sakit.
Kesehatan keluarga.indd 33
05/08/2016 21:57:09
34
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
2. Kriteria Keluarga Sejahtera 1 (KS 1) yaitu keluarga yang tidak berkemampuan untuk melaksanakan perintah agama dengan baik, minimal satu kali per minggu makan daging/telor/ikan, membeli pakaian satu stel per tahun, rata-rata luas lantai rumah 8 m2 per anggota keluarga, tidak ada anggota keluarga umur 10 sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5 sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga mempunyai penghasilan rutin atau tetap, dan tidak ada yang sakit selama tiga bulan.
Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Peranan dan kedudukan Puskesmas bila ditinjau dari sistem pelayanan kesehatan di Indonesia adalah sebagai ujung tombak sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Puskesmas memiliki peranan dan kedudukan sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan di Indonesia, selain bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat, Puskesmas juga bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kedokteran (Azwar, 1996). Puskesmas merupakan kesatuan organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Depkes, 2009). Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksana teknis (UPTD) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Visi puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju Indonesia sehat. Indikator utama yakni: 1. Lingkungan sehat. 2. Perilaku sehat.
Kesehatan keluarga.indd 34
05/08/2016 21:57:09
Bab 4 : Jaminan Kesehatan Masyarakat
35
3. Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu. 4. Derajat kesehatan penduduk kecamatan.
Misi puskesmas, yaitu: 1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya. 2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya. 3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. 4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat berserta lingkungannya.
Kegiatan Pokok Puskesmas
Sesuai dengan kemampuan tenaga maupun fasilitas yang berbeda-beda, maka kegiatan pokok yang dapat dilaksanakan oleh sebuah puskesmas akan berbeda pula. Namun demikian kegiatan pokok Puskesmas yang seharusnya dilaksanakan adalah sebagai berikut: KIA, Keluarga Berencana, Usaha Perbaikan Gizi, Kesehatan Lingkungan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular, Pengobatan termasuk pelayanan darurat karena kecelakaan, penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Kesehatan Sekolah, Kesehatan Olah Raga, Perawatan Kesehatan Masyarakat, Kesehatan dan keselamatan Kerja, Kesehatan Gigi dan Mulut, Kesehatan Jiwa, Kesehatan Mata, Laboratorium Sederhana, Pencatatan Laporan dalam rangka Sistem Informasi Kesehatan, Kesehatan Usia Lanjut dan Pcmbinaan Pengohatan Tradisional.
Jangkauan Layanan Puskesmas
Sesuai dengan keadaan geografi, luas wilayah, sarana perhubungan, dan kepadatan penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas. Agar jangkauan pelayanan Puskesmas lebih merata dan meluas, Puskesmas perlu ditunjang dengan Puskesmas pembantu, penempatan bidan di desa yang belum terjangkau oleh pelayanan yang ada, dan Puskesmas keliling. Disamping itu pergerakkan peran serta masyarakat untuk mengelola posyandu. Fungsi-fungsi Puskesmas antara lain adalah: 1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Selain itu juga, puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.
Kesehatan keluarga.indd 35
05/08/2016 21:57:09
36
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga, dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. 3. Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab puskesmas meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersamasama di suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat. Dalam mengambil tindakan untuk mengobati atau mencegah penyakit, biasanya seseorang merasakan ia rentan terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul apabila seseorang telah merasakan bahwa ia rentan terhadap penyakit tersebut. Pemanfaatan adalah penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas atau tenaga kesehatan maupun dalam bentuk kegiatan lain dari pemanfaatan layanan kesehatan tersebut (Depkes, 2006). Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku pencari pengobatan adalah perilak individu maupun kelompok atau penduduk untuk melakukan atau mencari pengobatan. Perilaku pencarian pengobatan di masyarakat terutama di Negara sedang berkembang sangat bervariasi. Menurut Azwar (1996) yang mengutip pendapat Levey dan Loomba, pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersamasama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat. Agar pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan yang diinginkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: tersedia (available), wajar (appropriate), berkesinambungan (continue), dapat diterima (acceptable), dapat dicapai (accesible), dapat dijangkau (affordable), efisien (efficient), dan bermutu (quality).
Kesehatan keluarga.indd 36
05/08/2016 21:57:09
Bab 4 : Jaminan Kesehatan Masyarakat
37
Penelitian Saragih (2010) menyatakan sikap sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan (Puskesmas). Hal ini disebabkan karena perilaku petugas pelayanan kesehatan puskesmas dan sikap masyarakat yang lebih memiih pergi kebalai pengobatan bidan atau praktek dokter yang ada di desa tersebut daripada ke Puskesmas. Hasil penelitian ini juga hampir sejalan dengan hasil penelitian Achmad Rifai (2005) tentang persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan pelayanan pengobatan di Puskesmas Binjai. Menurut hasil penelitian yang dilakukan bahwa perilaku petugas sebanyak (68,0%), perilaku dokter sebanyak (62,0%), perilaku masyarakat sebanyak (58,0%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat benyak yang bertindak tidak mau memanfaatkan pelayanan puskesmas disebabkan oleh perilaku petugas kesehatan dan perilaku masyarakat yang lebih memilih ke balai pengobatan bidan atau praktek dokter yang ada di desa tersebut. Karakteristik pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan berdasarkan jenis, tujuan maupun unit kesehatan. Pelayanan kesehatan berdasarkan jenis/tipe seperti pelayanan di rumah sakit, psikolog, dokter gigi, perawat dan lainlain. Pelayanan kesehatan juga dikategorikan berdasarkan tujuan, seperti: pelayanan primer, sekunder, tersier maupun custodian. Karakteristik terakhir menggambarkan pemanfaatan kesehatan berdasarkan unit kesehatan seperti jumlah pertemuan dengan tenaga kesehatan selama periode waktu tertentu. Pelayanan kesehatan merupakan suatu produk jasa yang unik jika dibandingkan dengan produk jasa lainnya, karena pelayanan kesehatan memiliki tiga ciri utama, yaitu: 1. Uncertainty Pelayanan kesehatan bersifat uncertainty artinya adalah pelayanan kesehatan tidak dapat dipastikan waktu, tempat, dan besarnya biaya yang dibutuhkan maupun tingkat urgensi dari pelayanan tersebut. 2. Asymetry of information Asymetry of information adalah suatu keadaan tidak seimbang antara pengetahuan pemberi pelayanan kesehatan (PPK: dokter, perawat, dsb) dengan pengguna atau pembeli jasa pelayanan kesehatan. Ketidakseimbangan informasi ini meliputi informasi tentang butuh tidaknya seseorang akan suatu pelayanan, tentang kualitas suatu pelayanan, tentang harga dan manfaat dari suatu pelayanan. 3. Externality Externality menunjukkan bahwa pengguna jasa dan bukan pengguna jasa pelayanan kesehatan dapat bersama-sama menikmati hasilnya. (Ilyas, 2003).
Kesehatan keluarga.indd 37
05/08/2016 21:57:09
38
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Menurut Champion and Skinner dalam Glanz dkk (2008), respons seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut: 1. Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action). Alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam hidup dan kehidupannya. 2. Tindakan mengobati sendiri ( self treatment), dengan alasan yang sama sebagaimana pada penjelasan no 1. Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya kepada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasar pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan. 3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional, seperti dukun. 4. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. 5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian pelayanan kesehatan oleh seseorang maupun kelompok. Pengetahuan tentang faktor yang mendorong individu membeli pelayanan kesehatan merupakan informasi kunci untuk mempelajari utilisasi pelayanan kesehatan. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian pelayanan kesehatan berarti juga mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi pemanfaatan/ utilisasi (Ilyas, 2003).
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Cukup banyak pendapat-pendapat yang menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan. Seperti yang diungkapkan oleh Departement Of Education and Welfare, USA (1997) dalam Lapau (1997), faktor-faktor yang memengaruhi pelayanan kesehatan yaitu, (1) Faktor regional dan residence,(2)faktor dari system pelayanan kesehatan yang bersangkutan, (3) faktor adanya fasilitas kesehatan lain, (4)faktor dari konsumen yang menggunakan pelayanan kesehatan yaitu faktor sosio demografi (meliputi umur, jenis kelamin dan status perkawinan), faktor sosial psikologis (meliputi sikap/persepsi terhadap pelayanan kesehatan secara umum,pengetahuan dan sumber informasi dari pelayanan kesehatan), faktor ekonomi dan kemudahan menjangkau pelayanan
Kesehatan keluarga.indd 38
05/08/2016 21:57:09
Bab 4 : Jaminan Kesehatan Masyarakat
39
kesehatan.Pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat dapat dipengaruhi oleh (1) Keterjangkauan lokasi tempat pelayanan. Tempat pelayanan yang tidak strategis sulit dicapai,menyebabkan berkurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh para ibu hamil dan ibu balita. (2) Jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia Jenis dan kualitas pelayanan yang kurang memadai menyebabkan rendahnya akses ibu hamil dan ibu balita terhadap pelayanan kesehatan, (3) Keterjangkauan informasi Informasi yang kurang menyebabkan rendahnya penggunaan pelayanan kesehatan yang ada, (4) Demand (permintaan) adalah pernyataan dari kebutuhan yang dirasakan yang dinyatakanmelalui keinginan dan kemampuan membayar(Depkes, 1999). Masyarakat saat ini sudah semakin selektif dalam memilih pelayanan kesehatan. Banyaknya pelayanan kesehatan mengharuskan masyarakat melihat kualitas dari pelayanan kesehatan tersebut. Pelayanan yang berku alitas adalah pelayanan kesehatan harus memili ki persyaratan pokok yaitu ,tersedia dan berkesinambungan, mudah dicapai, mudah dijangkau, dapat diterima dan wajar, serta bermutu (Azwar, 1996). Pelayanan yang berkualitas memungkinkan masyarakat untuk menggunakan pelayanan tersebut, sehingga pemanfaatannya menjadi tinggi. Tinggi rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan berhubungan dengan (1) jarak yang jauh (faktor geografi), (2) tidak tahu adanya suatu kemampuan fasilitas (faktorinformasi), (3) Biaya yang tidak terjangkau (faktor ekonomi), dan (4) tradisi yang menghambat pemanfaatan fasilitas(faktorbudaya)(DepkesRI, 2002).
Kesehatan keluarga.indd 39
05/08/2016 21:57:09
40
Kesehatan keluarga.indd 40
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
05/08/2016 21:57:10
Bab 5 Model Perilaku Sehat Keluarga “Low Income Community” 5.1 Definisi Perilaku Sehat Pengertian perilaku kesehatan adalah sebuah bentuk perilaku yang menunjukkan adanya kaitan antara sehat atau sakit. Perilaku kesehatan menurut Skinner adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman dan lingkungan. (Notoatmodjo, 2007). Becker (1979, dalam Notoatmojo, 2007), membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari: Perilaku kesehatan yaitu suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Dari definisi tersebut kemudian dirumuskan bahwa perilaku kesehatan terkait dengan: 1. Perilaku pencegahan, penyembuhan penyakit, serta pemulihan dari penyakit. 2. Perilaku peningkatan kesehatan. 3. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Menurut Karl dan Cobb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) membuat perbedaan di antara tiga tipe yang berkaitan dengan perilaku kesehatan, yaitu:
41
Kesehatan keluarga.indd 41
05/08/2016 21:57:10
42
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
1. Perilaku kesehatan yaitu suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu yang meyakini dirinya sehat untuk tujuan mencegah penyakit atau mendektesinya dalam tahap asimptomatik. 2. Perilaku sakit yaitu aktivitas apapun yang dilakukan oleh individu yang merasa sakit, untuk mendefinisikan keadaan kesehatannya dan untuk menemukan pengobatan mandiri yang tepat. 3. Perilaku peran-sakit yaitu aktivitas yang dilakukan untuk tujuan mendapatkan kesejahteraan oleh individu yang mempertimbangkan diri mereka sendiri sakit, hal ini mencakup mendapatkan pengobatan dari ahli terapi yang tepat.
Perilaku Hidup Sehat
Perilaku Hidup Sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yang mencakup antara lain: 1. Makan dan menu seimbang (appropriate diet) 2. Olahraga teratur 3. Tidak merokok 4. Tidak minum-minuman keras dan narkoba 5. Istirahat yang cukup 6. Mengendalikan stress 7. Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.
Perilaku Sakit (Illness Behavior)
Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang: gejala dan penyebab penyakit, dan sebagainya.
Perilaku Peran Sakit (The Sick Role Behaviour)
Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit,yang harus diketahui oleh orang sakit itu sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya). Perilaku ini disebut perilaku peran sakit (the sick role) yang meliputi: 1. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan 2. Mengenal/mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan penyakit yang layak. 3. Mengetahui hak (misalnya: hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya).
Kesehatan keluarga.indd 42
05/08/2016 21:57:10
Bab 5 : Model Perilaku Sehat Keluarga “Low Income Community”
43
Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas terutama petugas kesehatan dan diperlukan juga undang-undang kesehatan untuk memperkuat perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003). Menurut Becker, Konsep perilaku sehat ini merupakan pengembangan dari konsep perilaku yang dikembangkan Bloom. Becker menguraikan perilaku kesehatan menjadi tiga domain, yakni pengetahuan kesehatan (health knowledge), sikap terhadap kesehatan (health attitude) dan praktik kesehatan (health practice). Hal ini berguna untuk mengukur seberapa besar tingkat perilaku kesehatan individu yang menjadi unit analisis penelitian. Becker mengklasifikasikan perilaku kesehatan menjadi tiga dimensi: 1. Pengetahuan Kesehatan Pengetahuan tentang kesehatan mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit menular, pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait. dan atau memengaruhi kesehatan, pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengetahuan untuk menghindari kecelakaan. 3. Sikap terhadap kesehatan sikap yang sehat dimulai dari diri sendiri, dengan memperhatikan kebutuhan kesehatan dalam tubuh dibanding keinginan. 4. Praktek kesehatan Praktek kesehatan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatan, seperti tindakan terhadap penyakit menular dan tidak menular, tindakan terhadap faktor-faktor yang terkait dan atau memengaruhi kesehatan, tindakan tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan tindakan untuk menghindari kecelakaan. Selain Becker, terdapat pula beberapa definisi lain mengenai perilaku kesehatan. Menurut Solita, perilaku kesehatan merupakan segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan. Sedangkan Cals dan Cobb mengemukakan perilaku kesehatan sebagai: “perilaku untuk mencegah penyakit pada tahap belum menunjukkan gejala (asymptomatic stage)”. Menurut Skinner, perilaku kesehatan (healthy behavior) diartikan sebagai respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehatsakit, penyakit, dan faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
Kesehatan keluarga.indd 43
05/08/2016 21:57:10
44
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003): 1. Perilaku tertutup (convert behavior) Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain 2. Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Domain Perilaku
Menurut Bloom, seperti dikutip Notoatmodjo (2003), membagi perilaku itu di dalam tiga domain (ranah/kawasan), yang terdiri dari ranah pengetahuan (knowlegde), ranah sikap (attitude), dan ranah tindakan (practice). 1. Pengetahuan (Knowlegde) Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung atau orang lain yang sampai kepada seseorang (Notoatmodjo, 2003) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang: 1. Faktor Internal: faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat, kondisi fisik. 2. Faktor Eksternal: faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana. 3. Faktor pendekatan belajar: faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam pembelajaran. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar yang didapat dari pendidikan (Notoatmodjo, 2003).
Kesehatan keluarga.indd 44
05/08/2016 21:57:10
Bab 5 : Model Perilaku Sehat Keluarga “Low Income Community”
45
2. Sikap (Attitude) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat mengakrabkan kita dengan sesuatu, atau menyebabkan kita menolaknya (Wahid, 2007). Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok: 1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut: 1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus. 2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal reference) merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu. 3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut. 4. Sosial budaya (Culture), berperan besar dalam memengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek/stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007). 3. Praktik atau tindakan (practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) (Notoatmodjo, 2007)
5.2 Model Perilaku Sehat pada Penerima Jamkesmas di Kota Kediri
Model Perilaku Sehat yang sesuai dengan karakteristik pada faktor predisposing, faktor enabling dan faktor need penerima Jamkesmas berdasarkan karakteristik predisposing dan enabling penerima Jamkesmas, maka intervensi pada penerima Jamkesmas perlu dilakukan pendekatan input dengan melakukan seleksi dan pendataan ulang secara berkala dan berkelanjutan, agar data dan sasaran dan sasaran
Kesehatan keluarga.indd 45
05/08/2016 21:57:10
46
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
penerima Jamkesmas benar-benar valid dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan serta pendekatan proses melalui upaya komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) untuk meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit, nilai tentang kesehatan, sikap dan persepsi tentang pelayanan kesehatan, menurunkan tingkat kesakitan (need), meningkatkan praktek perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ditetapkan bagi penerima Jamkesmas. Berikut adalah Model Perilaku Sehat Penerima Jamkesmas: 1. Tujuan Umum: Untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan praktek perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan puskesmas dengan model Perilaku Sehat. 2. Tujuan Khusus: a. Untuk mendorong pembuat kebijakan yang terkait Jamkesmas (policy maker), terkait ketepatan identitas dan kriteria masyarakat penerima Jamkesmas b. Untuk mendorong keluarga penerima Jamkesmas untuk meningkatkan perilaku sehatnya bagi yang masih berperilaku tidak sehat. c. Untuk menurunkan tingkat keluhan/kesakitan (need) pada keluarga penerima Jamkesmas . d. Untuk mendorong keluarga penerima Jamkesmas untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tersedia, bagi yang masih belum/ enggan menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia pada saat anggota keluarganya sakit. 3. Strategi Model Perilaku Sehat a. Untuk mencapai tujuan pertama, yaitu mendorong pembuat kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan Jamkesmas, terkait identifikasi dan kriteria masyarakat penerima Jamkesmas, maka strategi intervensi yang bisa dilaksanakan adalah dengan advocacy, law enforcement (penegakan ketentuan) dan social support (dukungan sosial) pada semua pihak yang terkait dengan Jamkesmas, sehingga pelaksanaan Jamkesmas, mulai dari identitas dan kriteria penerima, distibusi identitas kepesertaan, benar – benar valid dan reliabel. b. Untuk mencapai tujuan kedua, ketiga dan keempat yaitu mendorong keluarga penerima Jamkesmas untuk meningkatkan perilaku sehatnya bagi yang masih berperilaku tidak sehat, dan menurunkan tingkat keluhan/ kesakitan (need) serta meningkatkan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan pada puskesmas dan jaringannya bagi keluarga penerima Jamkesmas maka strategi intervensi yang bisa dilakukan adalah dengan mengintensifkan Komunikasi, Intervensi dan Edukasi (KIE) pada pihak yang terkait dengan Jamkesmas.
Kesehatan keluarga.indd 46
05/08/2016 21:57:10
Bab 5 : Model Perilaku Sehat Keluarga “Low Income Community”
47
4. Metode dan Rencana Aksi Untuk mencapai tujuan pertama, maka rencana aksi dari yang bisa dilaksanakan adalah sebagai berikut: a. Advocacy dan Social Support Tujuan dari kegiatan ini adalah agar pembuat kebijakan baik eksekutif maupun legislatif di Pusat maupun di daerah mempunyai persepsi dan sikap yang sama terkait dengan pelaksanaan Jamkesmas, khususnya yang berkaitan dengan kriteria dan identififikasi penerima Jamkesmas. Mengingat lokasi penelitian yang menjadi dasar dari model perilaku sehat ini adalah di daerah kota, maka kegiatan-kegiatan terincinya difokuskan untuk tingkat Kota dan atau kabupaten. Adapun kegiatan terincinya adalah sebagai berikut: 1) Pertemuan Koordinasi Integrasi Sinkronisasi (KIS) antara yang diikuti oleh Dinas Kesehatan, Badan Pusat Statistik (BPS), BKKBN, Bappeda serta unsur Perguruan Tinggi, LSM dan Organisasi yang terkait dengan kemiskinan serta Jamkesmas untuk menetapkan kriteria dan parameter kemiskinan yang baku, terukur dan mudah dilaksanakan, baik dari karakteristik demografik, struktur sosial maupun ukuranukuran lain dengan tetap mengacu parameter kemiskinan yang telah disusun oleh lembaga departemen dan atau non departemen. 2) Menetapkan kriteria dan parameter masyarakat miskin yang baku, terukur dan mudah dilaksanakan dalam sebuah Surat Keputusan atau Peraturan Walikota yang bersifat mengikat kepada semua pihak yang terkait. 3) Menetapkan identitas penerima Jamkesmas berupa “KARTU SEHAT” disertai penjelasan singkat bahwa pemegang kartu ini Tidak Merokok, Tidak Minum Minuman beralkohol, aktif ke Posyandu, Imunisasi, dan senantiasa memanfaatkan layanan kesehatan yang tersedia jika sakit. 4) Mensosialisasikan kriteria dan parameter kemiskinan sebagai penerima Jamkesmas kepada segenap pihak yang terkait dengan Jamkesmas, baik secara langsung maupun melalui media audiovisual dalam ruang ataupun luar ruang. 5) Memberlakukan sangsi yang tegas bagi pihak yang memalsukan kriteria dan atau identitasi pemegang Kartu Sehat dan atau kartu Jamkesmas. 6) Senantiasa melibatkan tokoh masyarakat setempat dalam mengidentifikasi penerima Kartu Sehat dan atau penerima Jamkesmas. 7) Menciptakan iklim dan budaya “Malu”, baik pemegang Kartu Sehat dan atau penerima Jamkesmas, yang ternyata tidak berstatus miskin.
Kesehatan keluarga.indd 47
05/08/2016 21:57:10
48
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Sedangkan untuk mewujudkan tujuan kedua, ketiga dan keempat, maka rencana aksi yang bisa dilaksanakan adalah dengan mengintensifkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), yang kegiatan rincinya adalah sebagai berikut: 1) Penyuluhan kesehatan secara langsung secara rutin dan berkala dalam zona atau area kewilayahan tertentu (misalnya per RT/RW) kepada penerima Jamkesmas dan atau pemegang Kartu Sehat. 2) Penyampaian Informasi kesehatan melalui media audiovisual baik dalam ruang maupun luar ruang, baik yang bersifat statis misalnya spanduk, banner, leaflet dan baliho pada tempat –tempat yang strategis, maupun yang bersifat dinamis (pesan kesehatan di radio, televisi, dll) 3) Pelatihan pada tokoh masyarakat, organisasi dan kegamaan serta media massa dalam kaitannya dengan kesehatan dan selanjutnya menjadi jejaring dalam penyampaian informasi dan publikasi pola perilaku hidup bersih dan sehat. 4) Penyampaian informasi tentang pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas, bagi pemegang Kartu Sehat dan atau penerima Jamkesmas. 5) Mengkampanyekan budaya perilaku hidup bersih dan sehat pada masyarakat miskin khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, agar tingkat kesakitan dapat diturunkan. 6) Mengkampanyekan budaya “mencegah penyakit lebih baik dari mengobati penyakit”. 7) Mengkampanyekan budaya “Tidak merokok” pada penerima Jamkesmas, yang dimulai pada zona –zona pelayanan Jamkesmas, baik secara administratif maupun pelayanan medis di tempat pelayanan kesehatan, selain yang tertulis pada Kartu Sehat. 5. Manajemen dan Implementasi Kegiatan ini akan dimotori oleh Dinas Kesehatan dengan di dukung oleh Pemerintah Kota / Kabupaten, baik eksekutif maupun legislatif, serta berbagai pihak yang terkait dan peduli dengan kesehatan, seperti Perguruan Tinggi, Organisasi profesi, kemasyarakatan dan keagamaan, media massa cetak dan elektronik, LSM serta dukungan Institusi vertikal baik di Pusat maupun di Propinsi tentunya. Adapun jangka waktu implementasinya adalah sebagai berikut: a. Tahun I dan II: persiapan dan advocacy serta dukungan sosial b. Tahun III – V: pelaksanaan kegiatan. 6. Pemantauan implementasi a. Tim pemantau terdiri dari sejumlah unsur terkait, yaitu pemerintah daerah yang direpresentasikan oleh legislatif maupun eksekutif yaitu Dinas Kesehatan Kota Kediri, BPS Kota Kediri, Dinas Pendidikan, LSM, organisasi profesi, lembaga-lembaga kesehatan, organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan, dan perguruan tinggi.
Kesehatan keluarga.indd 48
05/08/2016 21:57:10
49
Bab 5 : Model Perilaku Sehat Keluarga “Low Income Community”
b. Obyek pemantauannnya adalah seluruh proses pelaksanaan kegiatan, dengan cara memberikan masukan dan menegakkan aturan yang berlaku dan disepakati. 7. Penilaian perubahan perilaku a. Tim penilai berasal dari unsur Dinas Kesehatan Kota b. Indikator keberhasilannya adalah: w Semakin menurunnya tingkat ketidaktepatan sasaran penerima Jamkesmas di Kota sebesar 25% per tahun. w Meningkatnya praktek perilaku kesehatan di kalangan penerima Jamkesmas sebesar 10% per tahun. w Meningkatnya pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh penerima Jamkesmas di unit-unit pelayanan kesehatan yang ada sebesar 10% per tahun w Menurunnya tingkat kesakitan penerima Jamkesmas sebesar 5% per tahun. Secara Umum model Perilaku Sehat penerima Jamkesmas bisa disederhanakan sebagai berikut: Menerapkan “KARTU SEHAT” pada Penerima Jamkesmas
Penetapan kriteria dan parameter miskin yang baku, terukur, dan mudah dilaksanakan
Penegakan law enforcement bagi pemalsu Jamkesmas
Sosialisasi Jamkesmas secara sistematis dan massif
Kembangkan budaya malu mengaku miskin
Penyuluhan dan pelatihan Advokasi, Social Support Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi (KIS)
Kampanye hidup bersih dan sehat, kampanye tidak merokok, mencegah lebih baik daripada mengobatii
Tujuan Khusus: Mendorong kebijakan validasi penerima Jamkesmas
Mendorong peningkatan perilaku sehat enerima Jamkesmas
Mendorong peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh peenrima Jamkesmas
Menurunkan kejadian sakit sakit penerima Jamkesmas
Tujuan Umum: Memberikan kontribusi peningkatan perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan modal perilaku sehat
Kesehatan keluarga.indd 49
05/08/2016 21:57:10
50
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Karakteristik dari penerima Jamkesmas di Kota Kediri yang berbeda dengan kriteria kemiskinan yang ditetapkan yang merupakan prasarat dari penerima Jamkesmas. Karakteristik tersebut diantaranya adalah: (1) pengeluaran rata-rata penerima Jamkesmas yang di atas UMR, dimana ada beberapa penerima Jamkesmas, menempatkan kebutuhan akan tembakau/rokok menjadi prioritas pertama dan kedua dari pengeluaran keluarga tiap bulan ; (2) mayoritas penerima Jamkesmas tidak berpraktek perilaku kesehatan baik pada kepala keluarga maupun istrinya, dan (3) mayoritas penerima Jamkesmas belum/tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan gratis yang ditetapkan pada saat sakit, namun justru memanfaatkan pelayanan kesehatan yang harus membayar tunai. Praktek perilaku kesehatan penerima Jamkesmas dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, prioritas pengeluaran keluarga untuk rokok, dan nilai tentang kesehatan. Adapun untuk tingkat kesakitan (need) penerima Jamkesmas ternyata dipengaruhi oleh status tempat tinggal, prioritas pengeluaran untuk kebutuhan makan, status keluarga inti, nilai tentang kesehatan serta pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit. Pengaruh praktek perilaku kesehatan dengan kejadian sakit (need) dari keluarga penerima Jamkesmas. Satu hal lagi yang menarik bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan puskesmas penerima Jamkesmas hanya dipengaruhi oleh prioritas pengeluaran untuk makan dan tingkat keparahan atas sakit yang dirasakan. Temuan teoritis yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap praktek perilaku kesehatan penerima Jamkesmas adalah prioritas pengeluaran keluarga untuk memenuhi kebutuhan tembakau/ rokok juga ditindaklanjuti dengan temuan praktis, bahwa praktek perilaku merokok pada penerima Jamkesmas harus diatur dan dicegah peningkatan dan penyebarannya, melalui upaya yang terintegrasi baik secara administratif maupun operatifnya, sehingga perilaku sehat penerima Jamkesmas akan semakin meningkat.Selain itu intervensi pada penerima Jamkesmas agar berpraktek perilaku sehat, menurun kejadian sakitnya (need) serta meningkat tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan pada tempat yang ditentukan saat keluarganya sakit, melalui kegiatan – kegiatan yang bersifat advokatif dan social support serta Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) pada pihak – pihak yang terkait dengan kesehatan dan Jamkesmas, baik secara langsung (penyuluhan, pendidikan, kampanye, gerakan advokasi), maupun secara tidak langsung (melalui media audiovisual, baik dalam ruang maupun luar ruang), yang dilaksanakan (implementasi) secara bertahap, dimonitor dan dengan indikator keberhasilan yang spesifik dan terukur.
Kesehatan keluarga.indd 50
05/08/2016 21:57:11
Bab 6 Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat; b. bahwa untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta; 51
Kesehatan keluarga.indd 51
05/08/2016 21:57:11
52
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
c. bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Mengingat: 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23A, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456). Dengan Persetujuan Bersama: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. 2. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. 3. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial. 4. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. 5. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya.
Kesehatan keluarga.indd 52
05/08/2016 21:57:11
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
53
6. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh Peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah. 7. Bantuan Iuran adalah Iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Sosial. 8. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain. 9. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. 10. Gaji atau Upah adalah hak Pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pemberi Kerja kepada Pekerja yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. 11. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disingkat DJSN adalah dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional. 12. Dewan Pengawas adalah organ BPJS yang bertugas melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengurusan BPJS oleh direksi dan memberikan nasihat kepada direksi dalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial. 13. Direksi adalah organ BPJS yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan BPJS untuk kepentingan BPJS, sesuai dengan asas, tujuan, dan prinsip BPJS, serta mewakili BPJS, baik di dalam maupun di luar pengadilan, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. 14. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas: a. kemanusiaan; b. manfaat; dan c. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 3 BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya.
Kesehatan keluarga.indd 53
05/08/2016 21:57:11
54
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Pasal 4 BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip: a. kegotongroyongan; a. nirlaba; b. keterbukaan; c. kehati-hatian; d. akuntabilitas; e. portabilitas; f. kepesertaan bersifat wajib; g. dana amanat; dan h. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta. BAB II PEMBENTUKAN DAN RUANG LINGKUP Bagian Kesatu Pembentukan Pasal 5 (1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS. (2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. BPJS Kesehatan; dan a. BPJS Ketenagakerjaan. Bagian Kedua Ruang Lingkup
Pasal 6 (1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan. (2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menyelenggarakan program: a. jaminan kecelakaan kerja; b. jaminan hari tua; c. jaminan pensiun; dan d. jaminan kematian.
Kesehatan keluarga.indd 54
05/08/2016 21:57:11
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
55
BAB III STATUS DAN TEMPAT KEDUDUKAN Bagian Kesatu Status Pasal 7 (1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang ini. (2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden. Bagian Kedua Tempat Kedudukan
Pasal 8 (1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berkedudukan dan berkantor pusat di ibu kota Negara Republik Indonesia. (2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mempunyai kantor perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota. BAB IV FUNGSI, TUGAS, WEWENANG, HAK, DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Fungsi Pasal 9 (1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan. (2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, dan jaminan hari tua. Bagian Kedua Tugas
Pasal 10 Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, BPJS bertugas untuk:
Kesehatan keluarga.indd 55
05/08/2016 21:57:11
56
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta; b. memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja; c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah; d. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta; e. mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial; f. membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial; dan g. memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada Peserta dan masyarakat. Bagian Ketiga Wewenang
Pasal 11 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk: a. menagih pembayaran Iuran; b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehatihatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai; c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional; d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah; e. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan; f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya; g. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program Jaminan Sosial.
Kesehatan keluarga.indd 56
05/08/2016 21:57:11
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
57
Bagian Keempat Hak Pasal 12 Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, BPJS berhak untuk: a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan. Bagian Kelima Kewajiban
Pasal 13 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berkewajiban untuk: a. memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta; b. mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesarbesarnya kepentingan Peserta; c. memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya; d. memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; e. memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku; f. memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya; g. memberikan informasi kepada Peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; h. memberikan informasi kepada Peserta mengenai besar hak pensiun 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; i. membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum; j. melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan k. melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.
Kesehatan keluarga.indd 57
05/08/2016 21:57:11
58
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
BAB V PENDAFTARAN PESERTA DAN PEMBAYARAN IURAN Bagian Kesatu Pendaftaran Peserta Pasal 14 Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.
Pasal 15 (1) Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. (2) Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS. (3) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 16 (1) Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. (2) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan data mengenai dirinya dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
Pasal 17 (1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu. (3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan oleh BPJS.
Kesehatan keluarga.indd 58
05/08/2016 21:57:11
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
59
(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 18 (1) Pemerintah mendaftarkan penerima Bantuan Iuran dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS. (2) Penerima Bantuan Iuran wajib memberikan data mengenai diri sendiri dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada Pemerintah untuk disampaikan kepada BPJS. Bagian Kedua Pembayaran Iuran
Pasal 19 (1) Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS. (2) Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS. (3) Peserta yang bukan Pekerja dan bukan penerima Bantuan Iuran wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS. (4) Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk penerima Bantuan Iuran kepada BPJS. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai: a. besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur dalam Peraturan Presiden; dan b. besaran dan tata cara pembayaran Iuran selain program jaminan kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VI ORGAN BPJS
Bagian Kesatu Struktur Pasal 20 Organ BPJS terdiri atas Dewan Pengawas dan Direksi.
Kesehatan keluarga.indd 59
05/08/2016 21:57:12
60
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Bagian Kedua Dewan Pengawas Pasal 21 (1) Dewan Pengawas terdiri atas 7 (tujuh) orang profesional. (2) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) orang unsur Pemerintah, 2 (dua) orang unsur Pekerja, dan 2 (dua) orang unsur Pemberi Kerja, serta 1 (satu) orang unsur tokoh masyarakat. (3) Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (4) Salah seorang dari anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai ketua Dewan Pengawas oleh Presiden. (5) Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 22 (1) Dewan Pengawas berfungsi melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS. (2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas bertugas untuk: a. melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja Direksi; b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi; c. memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan kepada Direksi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS; dan d. menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN. (3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Pengawas berwenang untuk: a. menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS; b. mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi; c. mengakses data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS; d. melakukan penelaahan terhadap data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS; dan e. memberikan saran dan rekomendasi kepada Presiden mengenai kinerja Direksi.
Kesehatan keluarga.indd 60
05/08/2016 21:57:12
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
61
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Dewan Pengawas. Bagian Ketiga Direksi
Pasal 23 (1) Direksi terdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur profesional. (2) Anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Presiden menetapkan salah seorang dari anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai direktur utama. (4) Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 24 (1) Direksi berfungsi melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS yang menjamin Peserta untuk mendapatkan Manfaat sesuai dengan haknya. (2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi bertugas untuk: a. melaksanakan pengelolaan BPJS yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi; b. mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan; dan c. menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi Dewan Pengawas untuk melaksanakan fungsinya. (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi berwenang untuk: a. melaksanakan wewenang BPJS; b. menetapkan struktur organisasi beserta tugas pokok dan fungsi, tata kerja organisasi, dan sistem kepegawaian; c. menyelenggarakan manajemen kepegawaian BPJS termasuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai BPJS serta menetapkan penghasilan pegawai BPJS; d. mengusulkan kepada Presiden penghasilan bagi Dewan Pengawas dan Direksi; e. menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan tugas BPJS dengan memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas;
Kesehatan keluarga.indd 61
05/08/2016 21:57:12
62
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
f. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Pengawas; g. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Presiden; dan h. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Direksi. BAB VII PERSYARATAN, TATA CARA PEMILIHAN DAN PENETAPAN, DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN PENGAWAS DAN ANGGOTA DIREKSI Bagian Kesatu Persyaratan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Paragraf 1 Persyaratan Umum Pasal 25 (1) Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; e. memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai untuk pengelolaan program Jaminan Sosial; f. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat dicalonkan menjadi anggota; g. tidak menjadi anggota atau menjabat sebagai pengurus partai politik; h. tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan; i. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
Kesehatan keluarga.indd 62
05/08/2016 21:57:12
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
63
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan/atau j. tidak pernah menjadi anggota direksi, komisaris, atau dewan pengawas pada suatu badan hukum yang dinyatakan pailit karena kesalahan yang bersangkutan. (2) Selama menjabat, anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi tidak boleh merangkap jabatan di pemerintahan atau badan hukum lainnya. Paragraf 2 Persyaratan Khusus
Pasal 26 Selain harus memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, calon anggota Dewan Pengawas harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang manajemen, khususnya di bidang pengawasan paling sedikit 5 (lima) tahun. Pasal 27 Selain harus memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, calon anggota Direksi harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu memiliki kompetensi yang terkait untuk jabatan direksi yang bersangkutan dan memiliki pengalaman manajerial paling sedikit 5 (lima) tahun. Bagian Kedua Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi
Pasal 28 (1) Untuk memilih dan menetapkan anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi, Presiden membentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) orang unsur Pemerintah dan 5 (lima) orang unsur masyarakat. (3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 29 (1) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 mengumumkan penerimaan pendaftaran calon anggota Dewan Pengawas dan calon anggota Direksi paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ditetapkan.
Kesehatan keluarga.indd 63
05/08/2016 21:57:12
64
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
(2) Pendaftaran dan seleksi calon anggota Dewan Pengawas dan calon anggota Direksi dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja secara terus-menerus. (3) Panitia seleksi mengumumkan nama calon anggota Dewan Pengawas dan nama calon anggota Direksi kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pendaftaran ditutup. (4) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada panitia seleksi paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diumumkan. (5) Panitia seleksi menentukan nama calon anggota Dewan Pengawas dan nama calon anggota Direksi yang akan disampaikan kepada Presiden sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang diperlukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditutupnya masa penyampaian tanggapan dari masyarakat. Pasal 30 (1) Presiden memilih dan menetapkan anggota Dewan Pengawas yang berasal dari unsur Pemerintah dan anggota Direksi berdasarkan usul dari panitia seleksi. (2) Presiden mengajukan nama calon anggota Dewan Pengawas yang berasal dari unsur Pekerja, unsur Pemberi Kerja, dan unsur tokoh masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang diperlukan, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi. (3) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memilih anggota Dewan Pengawas yang berasal dari unsur Pekerja, unsur Pemberi Kerja, dan unsur tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan usulan dari Presiden. (4) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyampaikan nama calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan. (5) Presiden menetapkan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan surat dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (6) Penetapan anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintah dan anggota Direksi dilakukan bersama-sama dengan penetapan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan penetapan Dewan Pengawas dan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Presiden.
Kesehatan keluarga.indd 64
05/08/2016 21:57:12
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
65
Bagian Ketiga Pemberhentian Pasal 32 Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi berhenti dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. masa jabatan berakhir; atau c. diberhentikan.
Pasal 33 (1) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi dapat diberhentikan sementara karena: a. sakit terus-menerus lebih dari 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya; b. ditetapkan menjadi tersangka; atau c. dikenai sanksi administratif pemberhentian sementara. (2) Dalam hal anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden menunjuk pejabat sementara dengan mempertimbangkan usulan dari DJSN. (3) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan pada jabatannya apabila telah dinyatakan sehat kembali untuk melaksanakan tugas atau apabila statusnya sebagai tersangka dicabut, atau sanksi administratif pemberhentian sementaranya dicabut. (4) Pengembalian jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak dinyatakan sehat atau statusnya sebagai tersangka dicabut atau sanksi administratif pemberhentian sementaranya dicabut. (5) Pemberhentian sementara anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengembalian jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Presiden. Pasal 34 Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi diberhentikan dari jabatannya karena: a. sakit terus-menerus selama 6 (enam) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya; b. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) bulan karena alasan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a;
Kesehatan keluarga.indd 65
05/08/2016 21:57:12
66
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
c. merugikan BPJS dan kepentingan Peserta Jaminan Sosial karena kesalahan kebijakan yang diambil; d. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana; e. melakukan perbuatan tercela; f. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi; dan/atau g. mengundurkan diri secara tertulis atas permintaan sendiri.
Pasal 35 Dalam hal anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi berhenti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a atau diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Presiden mengangkat anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi pengganti untuk meneruskan sisa masa jabatan yang digantikan. Pasal 36 (1) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan anggota Dewan Pengawas dan/atau anggota Direksi, Presiden membentuk panitia seleksi untuk memilih calon anggota pengganti antarwaktu. (2) Prosedur pemilihan dan penetapan calon anggota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31. (3) Dalam hal sisa masa jabatan yang kosong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan anggota pengganti antarwaktu berdasarkan usulan DJSN. (4) DJSN mengajukan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan peringkat hasil seleksi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan penetapan calon anggota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden. BAB VIII PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 37 (1) BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya.
Kesehatan keluarga.indd 66
05/08/2016 21:57:12
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
67
(2) Periode laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. (3) Bentuk dan isi laporan pengelolaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh BPJS setelah berkonsultasi dengan DJSN. (4) Laporan keuangan BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. (5) Laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya. (6) Bentuk dan isi publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Direksi setelah mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas. (7) Ketentuan mengenai bentuk dan isi laporan pengelolaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 38 (1) Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian finansial yang ditimbulkan atas kesalahan pengelolaan Dana Jaminan Sosial. (2) Pada akhir masa jabatan, Dewan Pengawas dan Direksi wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN. BAB IX PENGAWASAN
Pasal 39 (1) Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara eksternal dan internal. (2) Pengawasan internal BPJS dilakukan oleh organ pengawas BPJS, yang terdiri atas: a. Dewan Pengawas; dan b. satuan pengawas internal. (3) Pengawasan eksternal BPJS dilakukan oleh: a. DJSN; dan b. lembaga pengawas independen.
Kesehatan keluarga.indd 67
05/08/2016 21:57:12
68
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
BAB X ASET Bagian Kesatu Pemisahan Aset Pasal 40 (1) BPJS mengelola: a. aset BPJS; dan b. aset Dana Jaminan Sosial. (2) BPJS wajib memisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial. (3) Aset Dana Jaminan Sosial bukan merupakan aset BPJS. (4) BPJS wajib menyimpan dan mengadministrasikan Dana Jaminan Sosial pada bank kustodian yang merupakan badan usaha milik negara. Bagian Kedua Aset BPJS
Pasal 41 (1) Aset BPJS bersumber dari: a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham; b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial; c. hasil pengembangan aset BPJS; d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Aset BPJS dapat digunakan untuk: a. biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial; b. biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial; c. biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan d. investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundangundangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kesehatan keluarga.indd 68
05/08/2016 21:57:12
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
69
Pasal 42 Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Bagian Ketiga Aset Dana Jaminan Sosial Pasal 43 (1) Aset Dana Jaminan Sosial bersumber dari: a. Iuran Jaminan Sosial termasuk Bantuan Iuran; b. hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial; c. hasil pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi hak Peserta dari Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial; dan d. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Aset Dana Jaminan Sosial digunakan untuk: a. pembayaran Manfaat atau pembiayaan layanan Jaminan Sosial; b. dana operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial; dan c. investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundangundangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset Dana Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Biaya Operasional
Pasal 44 (1) Biaya operasional BPJS terdiri atas biaya personel dan biaya non personel. (2) Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan. (3) Biaya personel mencakup Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya. (4) Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan memperoleh Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya yang sesuai dengan wewenang dan/atau tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas di dalam BPJS. (5) Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memperhatikan tingkat kewajaran yang berlaku.
Kesehatan keluarga.indd 69
05/08/2016 21:57:12
70
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
(6) Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan dapat memperoleh insentif sesuai dengan kinerja BPJS yang dibayarkan dari hasil pengembangan. (7) Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagi karyawan ditetapkan dengan peraturan Direksi. (8) Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 45 (1) Dana operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf d ditentukan berdasarkan persentase dari Iuran yang diterima dan/atau dari dana hasil pengembangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persentase dana operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB XI PEMBUBARAN BPJS
Pasal 46 BPJS hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang.
Pasal 47 BPJS tidak dapat dipailitkan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan mengenai kepailitan. BAB XII PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Kesatu Penyelesaian Pengaduan Pasal 48 (1) BPJS wajib membentuk unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan Peserta. (2) BPJS wajib menangani pengaduan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pengaduan. (3) Ketentuan mengenai unit pengendali mutu dan penanganan pengaduan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan BPJS.
Kesehatan keluarga.indd 70
05/08/2016 21:57:12
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
71
Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Pasal 49 (1) Pihak yang merasa dirugikan yang pengaduannya belum dapat diselesaikan oleh unit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), penyelesaian sengketanya dapat dilakukan melalui mekanisme mediasi. (2) Mekanisme mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui bantuan mediator yang disepakati oleh kedua belah pihak secara tertulis. (3) Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatangan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh kedua belah pihak. (4) Penyelesaian sengketa melalui mekanisme mediasi, setelah ada kesepakatan kedua belah pihak secara tertulis, bersifat final dan mengikat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 50 Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan Peserta melalui mekanisme mediasi tidak dapat terlaksana, penyelesaiannya dapat diajukan ke pengadilan negeri di wilayah tempat tinggal pemohon. BAB XIII HUBUNGAN DENGAN LEMBAGA LAIN
Pasal 51 (1) Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan program Jaminan Sosial, BPJS bekerja sama dengan lembaga Pemerintah. (2) Dalam menjalankan tugasnya, BPJS dapat bekerja sama dengan organisasi atau lembaga lain di dalam negeri atau di luar negeri. (3) BPJS dapat bertindak mewakili Negara Republik Indonesia sebagai anggota organisasi atau anggota lembaga internasional apabila terdapat ketentuan bahwa anggota dari organisasi atau lembaga internasional tersebut mengharuskan atas nama negara.
Kesehatan keluarga.indd 71
05/08/2016 21:57:12
72
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara hubungan antarlembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XIV LARANGAN
Pasal 52 Anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi dilarang: a. memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga antaranggota Dewan Pengawas, antaranggota Direksi, dan antaranggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi; b. memiliki bisnis yang mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan Jaminan Sosial; c. melakukan perbuatan tercela; d. merangkap jabatan sebagai anggota partai politik, pengurus organisasi masyarakat atau organisasi sosial atau lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan program Jaminan Sosial, pejabat struktural dan fungsional pada lembaga pemerintahan, pejabat di badan usaha dan badan hukum lainnya; e. membuat atau mengambil keputusan yang mengandung unsur benturan kepentingan; f. mendirikan atau memiliki seluruh atau sebagian badan usaha yang terkait dengan program Jaminan Sosial; g. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu laporan dalam buku catatan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; h. menyalahgunakan dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; i. melakukan subsidi silang antarprogram; j. menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah; k. menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial; l. membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; dan/atau m. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial.
Kesehatan keluarga.indd 72
05/08/2016 21:57:12
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
73
Pasal 53 (1) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dikenai sanksi administratif. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Presiden atau pejabat yang ditunjuk. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; dan/atau c. pemberhentian tetap. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XV KETENTUAN PIDANA
Pasal 54 Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 55 Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). BAB XVI KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 56 (1) Presiden sewaktu-waktu dapat meminta laporan keuangan dan laporan kinerja BPJS sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan penyelenggaraan Jaminan Sosial nasional. (2) Dalam hal terdapat kebijakan fiskal dan moneter yang mempengaruhi tingkat solvabilitas BPJS, Pemerintah dapat mengambil kebijakan khusus untuk menjamin kelangsungan program Jaminan Sosial.
Kesehatan keluarga.indd 73
05/08/2016 21:57:12
74
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
(3) Dalam hal terjadi krisis keuangan dan kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian, Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan program Jaminan Sosial. BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Asuransi Kesehatan Indonesia atau disingkat PT Askes (Persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Husada Bhakti menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 16) diakui keberadaannya dan tetap melaksanakan program jaminan kesehatan, termasuk menerima pendaftaran peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan; b. Kementerian Kesehatan tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat, termasuk penambahan peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan; c. Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program layanan kesehatan bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan, kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya, yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden; d. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau disingkat PT Jamsostek (Persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59), berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan: 1. program jaminan pemeliharaan kesehatan termasuk penambahan peserta baru sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan; dan 2. program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Kesehatan keluarga.indd 74
05/08/2016 21:57:13
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
75
e. Perusahaan Perseroan (Persero) PT ASABRI atau disingkat PT ASABRI (Persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 88), berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1966 tentang Pemberian Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun, dan Tunjangan Kepada Militer Sukarela (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2812), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2906), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3369), Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1968 tentang Pemberian Pensiun Kepada Warakawuri, Tunjangan Kepada Anak Yatim/Piatu, dan Anak Yatim-Piatu Militer Sukarela (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2863), dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3455) tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru, sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. f. Perusahaan Perseroan (Persero) PT DANA TABUNGAN DAN ASURANSI PEGAWAI NEGERI atau disingkat PT TASPEN (Persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 38), berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2906), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Kesehatan keluarga.indd 75
05/08/2016 21:57:13
76
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890), dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3200) tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan ditugasi untuk: a. menyiapkan operasional BPJS Kesehatan untuk program jaminan kesehatan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456). b. menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan. Pasal 59 Untuk pertama kali, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) diangkat menjadi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak BPJS Kesehatan mulai beroperasi.
Pasal 60 (1) BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. (2) Sejak beroperasinya BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program jaminan kesehatan masyarakat; b. Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia tidak lagi menyelenggarakan program pelayanan
Kesehatan keluarga.indd 76
05/08/2016 21:57:13
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
77
kesehatan bagi pesertanya, kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya, yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden; dan c. PT Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan program jaminan pemeliharaan kesehatan. (3) Pada saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. PT Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan; b. semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan; dan c. Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang Saham mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT Askes (Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik dan Menteri Keuangan mengesahkan laporan posisi keuangan pembuka BPJS Kesehatan dan laporan posisi keuangan pembuka dana jaminan kesehatan.
Pasal 61 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) sampai dengan berubahnya PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan ditugasi untuk: a. menyiapkan pengalihan program jaminan pemeliharaan kesehatan kepada BPJS Kesehatan; b. menyiapkan operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian; c. menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban program jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero) terkait penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan ke BPJS Kesehatan; dan d. menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan. Pasal 62 (1) PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014. (2) Pada saat PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Ketenagakerjaan;
Kesehatan keluarga.indd 77
05/08/2016 21:57:13
78
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
b. semua pegawai PT Jamsostek (Persero) beralih menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan; c. Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang Saham mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek (Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik dan Menteri Keuangan mengesahkan posisi laporan keuangan pembukaan BPJS Ketenagakerjaan dan laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan ketenagakerjaan; dan d. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, dan program jaminan kematian yang selama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero), termasuk menerima peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 dan Pasal 43 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456), paling lambat 1 Juli 2015.
Pasal 63 Untuk pertama kali, Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi.
Pasal 64 BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan program jaminan kematian bagi Peserta, selain peserta program yang dikelola PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI (Persero), sesuai dengan ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456), paling lambat tanggal 1 Juli 2015. Pasal 65 (1) PT ASABRI (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029. (2) PT TASPEN (Persero) menyelesaikan pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.
Kesehatan keluarga.indd 78
05/08/2016 21:57:13
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
79
Pasal 66 Ketentuan mengenai tata cara pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT ASABRI (Persero) dan pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 67 Ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) tidak berlaku untuk pembubaran PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) huruf a dan Pasal 62 ayat (2) huruf a. Pasal 68 Pada saat berubahnya PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini: a. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi; dan b. Ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) dinyatakan tetap berlaku sampai dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
Pasal 69 Pada saat mulai beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 70 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama:
Kesehatan keluarga.indd 79
05/08/2016 21:57:13
80
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
a. 1 (satu) tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS Kesehatan; dan b. 2 (dua) tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan, terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 71 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 25 November 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 25 November 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 116
Kesehatan keluarga.indd 80
05/08/2016 21:57:13
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
81
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL I. UMUM Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum publik berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta. Pembentukan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh Indonesia. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek
Kesehatan keluarga.indd 81
05/08/2016 21:57:13
82
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
(Persero), PT TASPEN (Persero), dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban. Dengan Undang-Undang ini dibentuk 2 (dua) BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah asas yang terkait dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah asas yang bersifat idiil. Pasal 3 Yang dimaksud dengan “kebutuhan dasar hidup” adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 4 Huruf a Yang dimaksud dengan “prinsip kegotongroyongan” adalah prinsip kebersamaan antar Peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap Peserta membayar Iuran sesuai dengan tingkat Gaji, Upah, atau penghasilannya. Huruf b Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan Manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh Peserta.
Kesehatan keluarga.indd 82
05/08/2016 21:57:13
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
83
Huruf c Yang dimaksud dengan “prinsip keterbukaan” adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi setiap Peserta. Huruf d Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib. Huruf e Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Huruf f Yang dimaksud dengan “prinsip portabilitas” adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun Peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf g Yang dimaksud dengan “prinsip kepesertaan bersifat wajib” adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi Peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap. Huruf h Yang dimaksud dengan “prinsip dana amanat” adalah bahwa Iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari Peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan Peserta Jaminan Sosial. Huruf i Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 83
05/08/2016 21:57:13
84
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Huruf a Yang dimaksud dengan “menagih” adalah meminta pembayaran dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau kekurangan pembayaran Iuran. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pemerintah menetapkan standar tarif setelah mendapatkan masukan dari BPJS bersama dengan asosiasi fasilitas kesehatan, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah. Besaran tarif di suatu wilayah (regional) tertentu dapat berbeda dengan tarif di wilayah (regional) lainnya sesuai dengan tingkat kemahalan harga setempat, sehingga diperoleh pembayaran fasilitas kesehatan yang efektif dan efisien. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “kewajiban lain” antara lain adalah kewajiban mendaftarkan diri dan Pekerjanya sebagai Peserta, melaporkan data kepesertaan termasuk perubahan Gaji atau Upah, jumlah Pekerja dan keluarganya, alamat Pekerja, serta status Pekerja. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang–undangan” adalah Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan peraturan pelaksanaannya. Huruf h Kerja sama dengan pihak lain terkait pemungutan dan pengumpulan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja serta penerimaan Bantuan Iuran dilakukan dengan instansi Pemerintah dan pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
Kesehatan keluarga.indd 84
05/08/2016 21:57:13
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
85
Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan “dana operasional” adalah bagian dari akumulasi Iuran Jaminan Sosial dan hasil pengembangannya yang dapat digunakan BPJS untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Huruf b Cukup jelas.
Pasal 13 Huruf a Yang dimaksud dengan “nomor identitas tunggal” adalah nomor yang diberikan secara khusus oleh BPJS kepada setiap Peserta untuk menjamin tertib administrasi atas hak dan kewajiban setiap Peserta. Nomor identitas tunggal berlaku untuk semua program Jaminan Sosial. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi mengenai kinerja dan kondisi keuangan BPJS mencakup informasi mengenai jumlah aset dan liabilitas, penerimaan, dan pengeluaran untuk setiap Dana Jaminan Sosial, dan/atau jumlah aset dan liabilitas, penerimaan, dan pengeluaran BPJS. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 85
05/08/2016 21:57:13
86
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “program Jaminan Sosial yang diikuti” adalah 5 (lima) program Jaminan Sosial dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “data” adalah data diri Pemberi Kerja dan Pekerja beserta anggota keluarganya termasuk perubahannya. Ayat (3) Yang diatur dalam Peraturan Presiden adalah penahapan yang didasarkan antara lain pada jumlah Pekerja, jenis usaha, dan/atau skala usaha. Penahapan yang akan diatur tersebut tidak boleh mengurangi manfaat yang sudah menjadi hak Peserta dan kewajiban Pemberi Kerja untuk mengikuti program Jaminan Sosial. Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “pelayanan publik tertentu” antara lain pemrosesan izin usaha, izin mendirikan bangunan, bukti kepemilikan hak tanah dan bangunan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Pemerintah atau pemerintah daerah” adalah unit pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.
Kesehatan keluarga.indd 86
05/08/2016 21:57:13
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
87
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Calon anggota Dewan Pengawas dari unsur Pekerja diusulkan oleh organisasi Pekerja di tingkat nasional. Calon anggota Dewan Pengawas dari unsur Pemberi Kerja diusulkan oleh organisasi pengusaha di tingkat nasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “diusulkan untuk diangkat kembali” adalah dicalonkan kembali melalui proses seleksi. Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Ayat (1) Anggota yang berasal dari unsur profesional adalah orang yang mempunyai keahlian dan/atau pengetahuan khusus di bidang Jaminan Sosial. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 87
05/08/2016 21:57:13
88
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “diusulkan untuk diangkat kembali” adalah dicalonkan kembali melalui proses seleksi.
Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “perencanaan” adalah termasuk penyusunan Rencana Kerja Anggaran Tahunan BPJS. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “penghasilan” adalah gaji atau upah dan manfaat tambahan lainnya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 88
05/08/2016 21:57:13
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
89
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Kriteria kualifikasi calon anggota Dewan Pengawas atau calon anggota Direksi diukur dari jenjang pendidikan formal. Kriteria kompetensi calon anggota Dewan Pengawas atau calon anggota Direksi diukur berdasarkan pengalaman, keahlian, dan pengetahuan sesuai dengan bidang tugasnya. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tidak boleh merangkap jabatan” adalah setelah diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi, yang bersangkutan melepaskan jabatan lain di pemerintahan, termasuk lembaga negara atau badan hukum lain.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Kriteria kompetensi calon anggota Direksi diukur berdasarkan pengalaman, keahlian, dan pengetahuan sesuai dengan bidang tugasnya, antara lain, bidang ekonomi, keuangan, perbankan, aktuaria, perasuransian, dana pensiun, teknologi informasi, manajemen risiko, manajemen kesehatan, kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, dan/atau hukum yang dapat dibuktikan dengan sertifikat kompetensi. Pasal 28 Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 89
05/08/2016 21:57:14
90
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk menjalankan tugas anggota Dewan Pengawas yang diberhentikan sementara, pejabat sementara yang diusulkan oleh DJSN dipilih dari antara anggota Dewan Pengawas yang lain. Untuk menjalankan tugas anggota Direksi yang diberhentikan sementara, pejabat sementara yang diusulkan oleh DJSN dipilih dari antara anggota Direksi yang lain. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “dinyatakan sehat kembali” adalah apabila dinyatakan sehat oleh dokter yang bekerja pada rumah sakit milik Pemerintah. Yang dimaksud dengan “statusnya sebagai tersangka dicabut” adalah apabila proses penyidikan perkaranya dihentikan oleh penyidik. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 90
05/08/2016 21:57:14
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
91
Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a DJSN melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Huruf b Yang dimaksud dengan “lembaga pengawas independen” adalah Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal tertentu sesuai dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 91
05/08/2016 21:57:14
92
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Huruf c Aset program jaminan sosial dapat berupa uang, surat berharga, serta tanah dan bangunan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah UndangUndang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 50 Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 92
05/08/2016 21:57:14
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
93
Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kerja sama dengan organisasi atau lembaga lain di dalam negeri atau di luar negeri dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas BPJS ataupun kualitas pelayanannya kepada Peserta. Ayat (3) Keanggotaan BPJS dalam organisasi atau lembaga internasional dilakukan dengan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 52 Huruf a Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga” adalah hubungan keluarga karena pertalian darah atau perkawinan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah melakukan perbuatan yang merendahkan martabat Dewan Pengawas dan Direksi. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 93
05/08/2016 21:57:14
94
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Huruf m Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian dapat berupa tingkat inflasi yang tinggi, keadaan pascabencana yang mengakibatkan penggunaan sebagian besar sumber daya ekonomi negara, dan lain sebagainya. Tindakan khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan program Jaminan Sosial antara lain berupa penyesuaian Manfaat, Iuran, dan/atau usia pensiun, sebagai upaya terakhir. Pasal 57 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terdiri atas santunan asuransi, santunan nilai tunai asuransi, santunan risiko kematian, santunan biaya pemakaman, santunan risiko kematian khusus, santunan cacat karena dinas, santunan cacat bukan karena dinas, santunan biaya pemakaman istri/suami, dan santunan biaya pemakaman anak.
Kesehatan keluarga.indd 94
05/08/2016 21:57:14
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
95
Huruf f Program tabungan hari tua terdiri atas asuransi dwiguna dan asuransi kematian.
Pasal 58 Huruf a Penyiapan operasional BPJS Kesehatan mencakup antara lain: a. menyusun sistem dan prosedur operasional yang diperlukan untuk beroperasinya BPJS Kesehatan; b. melakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan jaminan kesehatan; c. menentukan program jaminan kesehatan yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional untuk Peserta PT Askes (Persero); d. berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mengalihkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat ke BPJS Kesehatan; e. berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengalihkan penyelenggaraan program pelayanan kesehatan bagi anggota TNI/ Polri dan PNS di lingkungan Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia beserta anggota keluarganya ke BPJS Kesehatan; dan f. berkoordinasi dengan PT Jamsostek (Persero) untuk mengalihkan penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan ke BPJS Kesehatan. Huruf b Kegiatan penyiapan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan, mencakup antara lain: a. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas laporan keuangan penutup PT Askes (Persero), laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kesehatan, dan laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan; dan b. menyusun laporan keuangan penutup PT Askes (Persero), laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kesehatan, dan laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan. Pasal 59 Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 95
05/08/2016 21:57:14
96
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 61 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyiapan operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian mencakup antara lain: a. menyusun sistem dan prosedur operasional yang diperlukan untuk beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan; dan b. melakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kegiatan penyiapan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan, mencakup antara lain: a. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek (Persero) dan laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Ketenagakerjaan; dan b. menyusun laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek (Persero) dan laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Ketenagakerjaan. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Ayat (1) PT ASABRI (Persero) menyelesaikan penyusunan roadmap transformasi paling lambat tahun 2014 yang antara lain memuat pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan.
Kesehatan keluarga.indd 96
05/08/2016 21:57:14
Bab 6 : Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Nasional
97
Ayat (2) PT TASPEN (Persero) menyelesaikan penyusunan roadmap transformasi paling lambat tahun 2014 yang antara lain memuat pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan.
Pasal 66 Program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun yang dialihkan dari PT ASABRI (Persero) dan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun yang dialihkan dari PT TASPEN (Persero) adalah bagian program yang sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero) menyelesaikan penyusunan roadmap transformasi paling lambat tahun 2014, yang antara lain memuat pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT ASABRI (Persero) dan pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas.
Kesehatan keluarga.indd 97
05/08/2016 21:57:14
98
Kesehatan keluarga.indd 98
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
05/08/2016 21:57:14
Daftar Pustaka Agustino, Leo, 2008, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, CV. Alpha Beta Bandung Aday, Lu Ann and Ronald Andersen,1975, Development of Indices of Access to Medical Care. Ann Arbor: Health Administration Press. Andersen R., 1995, Revisiting the Behavioral Model and Acces to Medical Care: Does it Matter? Journal of Health and Social Behavior vol 36, Universitas of California at Los Angeles. Andersen R. and J.F. Newman, 2005, Societal and Individual Determinants of Medical Care Utilizationin the United State, The Milbank Quarterly, Vol. 83 No. 4. Amin, Ruhul, Sifiq A.Chowdhury, G.M.Kamal, J.Chowdhury, 1978, “Community Health Services and Health Care Utilization in Rural Bangladesh”, Social Science and Medicine (12): 1343-1349 Azwar, A, 1996, Reformasi Pelayanan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta Bappeda dan BPS Kota Kediri, 2011, Kota Kediri Dalam Angka, Kediri. Bachroen, Cholis dkk, 2005, Pelaksanaan Kebijaksanaan Pelayanan Kesehatan Gratis bagi Keluarga Miskin di Rumah Sakit Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)”, Kupang Benyoussef, A and Wessen, A.F, 1974,“Utilization of Health Services in Developing Countries – Tunisia”, Social Science and Medicine (5): 287-304 BPS, 2005, Tingkat Kemiskinan di Indonesia, Jakarta Bappenas, 2009, Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Jakarta. 99
Kesehatan keluarga.indd 99
05/08/2016 21:57:15
100
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Budiarto, Wasis, 2009, Reformasi Sistem Pembiayaan dan Anggaran Kesehatan di Era Desentralisasi, Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Manajemen dan Kebijakan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. Budiarto, Wasis, 2010, Model Pemenuhan Kebutuhan Dasar Kesehatan bagi Masyarakat Miskin oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Rangka Implemetasi Sistem Jaminan Sosial Nasional, Kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. Corner, Lorraine and Yulfita Rahardjo, 1993, Indonesia Health Policy into The Twentyfirst Century: the Role of Demand, Canberra: Research School of Australia Dey, Thomas, 1981, Understanding Public Policy Making, New York – Holt Renehant and Winston. Departemen Kesehatan RI, 2001, Pedoman Kerja Badan Pembina JPKM, Jakarta Departemen Kesehatan RI, 2009, Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas 2009), Jakarta Dunlap, L (2006), berjudul “The Relationship Between Health Insurance Characteristics And The Use Of Behavioral Health Treatment Service”. Australian Health Riview, Sydney Ghufron, Ali Mukti dan Moertjahjo, 2008, Sistem Jaminan Kesehatan: Konsep Desentralisasi Terintegrasi. PT KHM, Yogyakarta Gonzales, Kristin A, 2005, The Effect of Health Insurance on Health Care Utilization in Mexico,The University of North Carolina at Chapel Hill Glanz K., Rimer K., Viswanath K., 2008, Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and Practice. 4ͭ ͪ Edition, Jossey-Bass Wiley Imprint, San Francisco Ilyas, Y, 2003, Wajah Pelayanan Kesehatan Kita, PT Penerbit Jambatan, Jakarta Ilyas, Y, 2003 Asuransi Kesehatan, Review Utilisasi, Manajemen Klaim Dan Fraud, Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI, Jakarta Laura, Dunlap, 2006, The Relationship Between Health Insurance Characteristics and The Use of Behavioral Health Treatment Service, The University of North Carolina at Chapel Hill Lasser EK, Himmelstein D, Woolhandler, 2006, Acces to Care, Health Status, and Health Disparitas in the United State and Canada: Results of A Cross _ National Population – Base Survey, American Journal of Public Health, Washington. Lukiono, Wahyu Tri, 2011, Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Terhadap Pemanfaatan Jaminan Kesehatan pada Ibu Hamil Miskin di Kota Blitar, Laporan Penelitian, Blitar Nasikun, 2005, Problematika Kemiskinan Perkotaan Dunia III, Jakarta Notoadmodjo, Soekidjo, 1997, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta Notoadmodjo, Soekidjo, 1997,Sosiologi Untuk Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta
Kesehatan keluarga.indd 100
05/08/2016 21:57:15
Bab 6 : Daftar Pustaka
101
Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta Marmot, M dan Wilkinson, R, 2006, Social Determinants of Health, Oxford University press. Meessen B, Van Dame W, Tasyobya, CK, 2007, Poverty and User Fees for Public Health Care in Low Income Countries: Lesson from Uganda and Cambodia, The Lancet, London. Mooney, Gavin, 2003, Economic, Medecine and Health Care, Third Edition, Prentice Hall, England. Nugroho, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. PT Elec Media Komputindo, Jakarta Park JM, Metraux, Culhane D (2010), berjudul “Behavioral Health Service Use among Heads of Homeless and Housed Poor Family”. Australian Health Review, Sydney Purwanto, EA dan Sulistyastuti, DR, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif Untuk Administrasi Publik dan Masalah - Masalah Sosial, Gava Media, Yogyakarta. Rebhan, David P, 2008, Health Care Utilization: Understanding and Applying Theories and Models of Health Care Seeking Behavior, Case Western Reserve University. Retnowati dkk, 2008, “Pelayanan Kesehatan Miskin, Persepsi Stakeholder di Kota Kupang”, Laporan Penelitian, Kupang. Sasongko, Argo Baskoro dan Sri Suwitri, 2006, Implementasi Kebijakan Program Jamkesmas di Kecamatan Banyumanik Semarang, Laporan Penelitian Universitas Diponegoro, Semarang. Solikin, Wahab A, 2001, Analisis Kebijakan Publik, Jakarta. Supriyanto S., 2007, Metode Riset, Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya. Supriyanto S., 1987, Penggunaan Statistik dalam Riset dan Evaluasi, Lab. Adm dan Pend.Kes.Mas Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Supriyanto S., 2009, Filsafat Ilmu, Bag AKM, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya. Supriyanto S., Damayanti A., 2007, Perencanaan dan Evaluasi, Airlangga University Prwess, Surabaya Supriyanto S., Ratna Wulandari, 2008, Manajemen Mutu Jasa, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya. Surpiyanto S., Ernawati, 2009, Strategi Pemasaran Jasa Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya Supriyanto S., Ernawati, 2010, Pemasaran Industri Jasa Kesehatan, PT. Andi Offset, Yogyakarta. Sulastomo, 2003, Manajemen Kesehatan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Struckler D, Basu S, Suhecke M, Coultts A, Mc Kee M, 2009, The Public Health Effect Of Economic Crises and Alternative Policy Responses in Europe: an Emperical Analysis, the Lancet London.
Kesehatan keluarga.indd 101
05/08/2016 21:57:15
102
Perilaku Kesehatan Keluarga Berpenghasilan Rendah
Tangkilisan, N, 2003, Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi Pikiran George Edward, Lukman Offset dan Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik, Yogyakarta. Tataw, David and Hejazi, BS, 2010, Impact of the Health Services Utilization and Improvment Model (HUIM) On Self Efficacy And Satisfaction Among A Head Start Population, American Journal of Health Studies. Thabrany, Hasbullah, 2005, Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta Trisnantoro, 2000, Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Universitas Airlangga, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis Disertasi, Program Pascasarjana Unair, Surabaya. Van Mefer, Donal S & Van Horn, 1975, The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework in Administration and Social, Vol. 6 No 4 p Walker A, Percival R, Turect L and Peares J, 2007, Public Policy and Private Health Insurance Distributional Impact on Public and Private Hospital Usage, Australian Health Review, Sidney. Wardhani, Reny Kusuma, 2009, “Pola Pelayanan Kesehatan Bagi Pengguna Kartu Askeskin, Studi Deskriptif mengenai Akses Pengguna Kartu Askeskin terhadap Pelayanan Kesehatan di Kec. Semampir Wonokusumo Surabaya”, Surabaya. Widhiasthuti, 2006, “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Angka Utilisasi Puskesmas yang Rendah oleh Masyarakat Miskin Kota Surabaya Berdasarkan Service Convenience: Studi Kasus di Puskesmas Sidotopo Surabaya”, Surabaya Winarno, Budi, 2002, Teori Kebijakan Publik, Pusat Antar Universitas Studi Sosial UGM, Yogyakarta. Wijono, Djoko, 1999, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Airlangga University Press, Surabaya. Zamit, Yulian, 2002, Manajemen Produksi dan Operasi, CV Adipura, Yogyakarta
Kesehatan keluarga.indd 102
05/08/2016 21:57:15