PERILAKU ADAPTASI KOMUNITAS LOKAL DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN PASCA DA REDD+ DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI KABUPATEN JEMBER Novita Rini Wardani, Sofyan Cholid 1. 2.
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas tentang perilaku adaptasi komunitas lokal di 3 (tiga) desa penyangga kawasan Taman Nasional Meru Betiri setelah kegiatan DA REDD+ yang difokuskan pada dampak perilaku adaptif dan aksi adaptasi. Pendekatan penelitian mempergunakan kualitatif dengan jenis deskriptif. Hasil menunjukkan bahwa adanya intervensi sosial pada Desa Curahnongko dan Andongrejo melalui program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh LSM lokal mampu meningkatkan perilaku adaptif dan aksi adaptasi komunitas lokal dalam upaya konservasi karbon hutan. Berbeda dengan Desa Wonoasri yang tidak mendapat intervensi sosial dari LSM lokal yang kegiatan pemberdayaan masyarakatnya tidak berjalan optimal.
The Local Adaptation Behavior in Forest Carbon Conservation Following the DA REDD+ Implementation in Meru Betiri National Park District of Jember Abstract This research is to describe the local adaption behavior in 3 (three) villages buffering in Meru Betiri National Park following the DA REDD+ implementation which is concern on adaptive behavior impact and adaptation action. This research uses a qualitative approach with descriptive type. The result shows the effectiveness of social intervention by local NGO in Curahnongko and Andongrejo through the community development program can empower the adaptive behavior and local adaptation action to the forest carbon conservation. Different with Wonoasri which has no social intervention through the community development program from the local NGO not optimal implemented. Keywords : Adaptive Behaviour, Adaptation, DA REDD+, Conservation, Social Intervention
A. Pendahuluan Globalisasi dan liberalisasi pasar telah menjadikan hutan sebagai komoditas strategis dalam investasi global yang membawa dampak pada meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan tropis di Indonesia. Menurut Data World Resources Institute (WRI) pada tahun 2003 menunjukkan bahwa deforestasi berkontribusi sekitar 18% emisi global, 75% nya berada di negara berkembang, dan diperkirakan akan terus meningkat bila tidak ada intervensi kebijakan baik nasional maupun internasional (Masripatin, 2012). Hal ini berkaitan
erat dengan posisi negara Indonesia yang berada dalam tahap pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang cukup signifikan. Sehingga hutan menjadi salah satu sumberdaya potensial yang dapat menjamin keberlangsungan perekonomian untuk terus maju, tumbuh dan berkembang. Di sisi lain, keberadaan hutan memiliki peran penting terutama dalam menjaga kestabilan iklim dunia. Sejumlah klaim menyebutkan bahwa terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global, salah satunya dipicu oleh tingginya emisi CO2 akibat deforestasi dan degradasi hutan. Sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap upaya mitigasi perubahan iklim global dan pengurangan emisi CO2, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Efek Gas Rumah Kaca. Salah satu agenda pemerintah sebagai wujud kontribusi aktif dan komitmen untuk mengurangi emisi karbon adalah dengan menunjuk kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagai Pilot ProjectDemonstration Activity (DA) REDD+ khususnya untuk kawasan hutan konservasi di Pulau Jawa. Kegiatan DA REDD+ menjadi komponen penting dalam menciptakan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat khususnya terkait dengan strategi Readiness Phase di Indonesia. Kegiatan DA REDD+ melalui “Konservasi Hutan Tropis untuk Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Peningkatan Stok Karbon” di TNMB merupakan kegiatan potensial di wilayah Pulau Jawa. Sejak ditetapkannya status Meru Betiri sebagai Kawasan
Taman
Nasional
melalui
diterbitkannya
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.277/Kpts/DJ-V/1997 tanggal 23 Mei 1997, berarti bahwa pengelolaan kawasan Taman Nasional Meru Betiri diarahkan pada fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman
jenis
tumbuhan,
satwa
beserta
ekosistemnya
serta
pemanfaatannya secara lestari. Namun, hal ini cenderung kontradiktif mengingat keberadaan komunitas lokal yang telah lama mendiami wilayah desa penyangga dan menggantungkan sebagian mata pencahariannya pada hasil hutan kayu dan non kayu. Sebelum kegiatan DA REDD+ berlangsung Tahun 2010-2013, kajian analisis terhadap kegiatan deforestasi dan degradasi hutan menjadi latar belakang yang mendasari kegiatan DA REDD+. Laju deforestasi berdasarkan hasil analisis data penginderaan jauh Tahun 1997-2010 terhadap perubahan penggunaan lahan TNMB, menunjukkan laju deforestasi cukup rendah dengan rata-rata per tahunnya mencapai 0,065%. Lain halnya dengan degradasi hutan yang tinggi disebabkan oleh illegal logging masih saja sering terjadi khususnya di kawasan zona rimba. Pelakunya adalah kelompok masyarakat yang tinggal disekitar desa penyangga maupun di luar desa penyangga yang kurang memiliki kesadaran dan kepedulian rendah terhadap kelestarian hutan.
2
Kegiatan DA REDD+ dikembangkan sebagai salah satu bentuk intervensi dalam upaya perlindungan hutan TNMB sebagai kawasan konservasi, dimana dalam pelaksanaannya melibatkan multistakeholder dengan harapan bahwa semakin beragamnya komponen masyarakat yang terlibat, maka semakin besar efek positif yang akan diperoleh dari rangkaian kegiatan DA REDD+ maka upaya mewujudkan kelestarian kawasan hutan TNMB dapat berhasil dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak DA REDD+ dalam upaya meningkatkan kemampuan adaptif dan aksi adaptasi komunitas lokal. Hal ini berkaitan dengan bagaimana perilaku komunitas lokal dalam beradaptasi membantu mewujudkan terciptanya konservasi hutan dan pembangunan hutan berkelanjutan. Seperti yang telah diketahui bahwa komunitas lokal desa penyangga dan kawasan hutan TNMB memiliki hubungan yang erat terutama terkait dengan aspek ekonomi, sosial budaya serta lingkungan. Kemampuan adaptif serta aksi adaptasi dari komunitas lokal desa penyangga dapat menjadi acuan seberapa besar manfaat kegiatan DA REDD+ dapat membentuk perubahan perilaku dalam pengelolaan hutan serta upaya apa yang menjadi solusi untuk mengurangi kebergantungan kebutuhan dari hasil hutan serta mencegah kerusakan hutan. Hutan dinilai sebagai salah satu komoditas stretegis dalam pembangunan ekonomi, namun tidak dapat dilepaskan dari peran pembangunan sosial dimana pembangunan sosial menjadi landasan dasar untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Ketahanan dan ketangguhan komunitas lokal menjadi salah satu modal utamanya. B. Tinjauan Teoritis Kemampuan adaptif merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kesadaran individu maupun kelompok masyarakat dalam mengantisipasi perubahan iklim yang diwujudkan dalam implementasi perubahan perilaku aksi adaptasi, dimana hal ini diperlukan untuk mempersiapkan diri terhadap segala kemungkinan perubahan di masa mendatang (Spearman & McGray, 2011). Kemampuan adaptif mengacu pada potensi untuk beradaptasi, saat dan ketika diperlukan, serta tentu otomatis bertindak adaptasi, atau hasilnya (Smit dan Wandel, 2006 dalam Ludi, dkk 2011). Kemampuan adaptif cenderung multidimensional dan unsur-unsur yang membentuk kapasitas adaptasi pada individu tidak sepenuhnya disetujui. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan apakah masyarakat mempergunakan alat yang tepat dan lingkungan yang kondusif diperlukan untuk mendukung kelompok komunitas beradaptasi dalam jangka panjang. Hal penting untuk diingat bahwa kemampuan adaptif merupakan konteks yang spesifik dan cenderung bervariasi antara negara satu dengan negara lainnya, masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, antara kelompok-kelompok sosial dan individu, yang terjadi dari waktu ke waktu (Smit dan Wandel, 2006 dalam Ludi dkk, 2011).
3
Kemampuan adaptif kelompok komunitas akan diidentifikasi
lebih
lanjut
oleh
peneliti
dengan
menggunakan kerangka Local Adaptive Capacity (LAC) yang dikembangkan oleh ACCRA (Africa Climate Change Reilience Alliance). LAC difokuskan kepada komunitas lokal dan dikembangkan untuk mengetahui karaktersitik kemampuan adaptif kelompok komunitas lokal setelah masa DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri. Identifikasi kemampuan adaptif komunitas lokal menggunakan 5 (lima) komponen karaktersitik yang
Gambar 1. Kerangka Local Adaptive Capacity Sumber : ACCRA
berbeda tetapi sifatnya saling berkaitan satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi. Asset base
Knowledge and Information
Innovation
Institutionals and Entitlements
Flexible and Forward Thinking, Decision making, and Governance
Kemampuan masyarakat dalam merespon sebuah perubahan dipengaruhi oleh aset yang dimiliki, serta bagaimana mengakses dan mengontrol semua aset yang ada (Daze et al., 2009; Prowse dan Scott, 2008 dalam Graham, 2012). Aset yang dimaksud antara lain terdiri dari natural capital, physical capital, financial capital, human capital, dan sosial capital. Pengetahuan yang memadai tentang ancaman di masa mendatang terkait perubahan iklim, metode adaptasi dan ketersediaan dukungan untuk melakukan adaptasi akan berkontribusi terhadap kemampuan adaptif masyarakat) (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012) Inovasi berkaitan erat dengan pengetahuan dan informasi tambahan yang diperoleh individu untuk menganalisis bagaimana mengambil peluang atau menanggapi ancaman dari perubahan iklim. Dimana inovasi juga juga terkait erat dengan aset dasar yang mencerminkan kondisi ekonomi seseorang dalam mengambil resiko maupun mengembangkan investasi dalam inovasi (Ludi et al, 2011 dalam Graham, 2012) Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan mengakui eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang mendukung kemampuan adaptif masyarakat untuk menjaga hutan. partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan pada level komunitas dinilai penting karena terkait dengan bagaimana sebuah lembaga memberdayakan atau tidak memberdayakan individu maupun kelompok (Jones et al, 2010 dalam Graham, 2012) Kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan, menggabungkan informasi yang relevan serta memadukan inisiatif dalam perencanaan di masa mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan aspek penting dalam menentukan kemampuan adaptif. Hal ini terutama berkaitan dengan peran pemerintah. Pemerintah juga diharuskan untuk adaptif dalam pengimplementasian perencanaan pengurangan dampak perubahan iklim yang diwujudkan dalam bentuk transparansi, memprioritaskan kerjasama, dan menggunakan informasi yang relevan dalam proses pengambilan kebijakan. Tata kelola dan pengambilan keputusan yang demikian cenderung lebih responsif, dan dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi untuk mengatasi perubahan iklim dan menciptakan pembangunan hutan berkelanjutan (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012)
Dalam melakukan aksi adaptasi diperlukan kemampuan adaptif yang turut menunjang bagi pelaksanaan aksi adaptasi. Adaptasi sebagai sebuah bentuk penyesuaian dalam sistem ekologi, sosial atau ekonomi untuk menanggapi perubahan yang tampak atau yang diharapkan dalam rangsangan iklim serta efek dan dampak untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan atau mengambil keuntungan dari peluang baru (IPCC TAR, 2001). Adaptasi 4
merupakan penyesuaian perilaku dan karakteristik sistem yang akan meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi tekanan eksternal (Brooks, 2003 dalam Bappenas, 2012) atau penyesuaian sistem alam atau manusia terhadap sebuah lingkungan baru atau sebuah lingkungan yang berubah (IPCC TAR, 2001 dalam Bappenas, 2012). Keberhasilan praktik adaptasi membutuhkan rangkaian proses yang panjang. Perilaku adaptasi individu maupun kelompok tidak dapat tercipta secara instant dimana dibutuhkan peran kelembagaan, kemampuan, dan keinginan untuk mewujudkan kemampuan adaptif dan upaya adaptasinya berhasil (Adger et al, 2004 dalam Levine, Ludi, dan Jones, 2011). C. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di 3 (tiga) desa penyangga kawasan TNMB dalam wilayah administratif Kabupaten Jember yang meliputi Desa Andongrejo, Desa Curahnongko dan Desa Wonoasri. Metode penelitian yang digunakan deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh melalui penelitian kualitatif bersifat natural dan sifatnya dalam serta peneliti dapat mempelajari dan turut larut dalam kondisi yang dialami oleh informan secara alami apa adanya. Penentuan informan berdasarkan kriteria khusus yaitu memiliki pengetahuan tentang gambaran kegiatan DA REDD+ serta informan terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan DA REDD+. Informan penelitian difokuskan pada kelompok komunitas lokal yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang terdiri dari petani rehabilitasi dan kelompok wanita, aparatur desa, polisi hutan, LSM lokal, staf Balai Taman Nasional Meru Betiri. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa langkah (1) Observasi, meliputi observasi sistematik dan observasi berkerangka (Hadi, 1986); (2) Wawancara (indepth interview), metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data atau keterangan dari informan yaitu orang yang memiliki keahlian atau pemahaman yang terbaik mengenai suatu hal yang ingin diketahui (Silalahi, 2009). Dalam indepth interview terlebih dahulu ditentukan key informan untuk mengidentifikasi informan yang tepat dengan menggunakan instrumen pedoman wawancara yang berisi panduan pertanyaan. (3) Diskusi kelompok dilakukan secara tidak formal untuk menggali informasi dari informan secara lebih mendalam. Diskusi dilakukan dengan kelompok petani rehabilitasi. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Kemampuan Adaptif Komunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA REDD+ Kegiatan DA REDD+ merupakan salah satu bentuk intervensi komunitas yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan hutan, meningkatkan stok karbon hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya pengembangan masyarakat lokal. 5
Dengan adanya kegiatan DA REDD+ diharapkan masyarakat dapat meningkatkan kemampuan adaptifnya. Sebagaimana UNDP (2005) dalam Lervina dan Tirpak (2006) memaknai bahwa kemampuan adaptif merupakan tindakan awal aksi adaptasi yang dilakukan oleh komunitas lokal, dimana dalam praktiknya dipergunakan sumberdaya secara efektif dengan segenap pengetahuan dan informasi yang dimiliki serta teknologi yang mendukung. Kegiatan DA REDD+ dianggap sebagai strategi pembangunan efektif untuk mengurangi dampak perubahan iklim dimana didalamnya terdapat 3 tuntutan (triple wins) yaitu menjaga emisi karbon hutan agar tetap rendah, membangun ketahanan komunitas lokal terutama untuk menghadapi perubahan iklim dan mendorong pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dalam suatu rangkaian yang sejalan. Untuk mengetahui keefektifan tiga tuntutan tersebut, selanjutnya dilakukan identifikasi karakteristik kemampuan adaptif komunitas lokal melalui kerangka LAC (Local Adaptive Capacity) yang dikemukakan oleh ACCRA (African Climate Change Resilience Alliance), sebagai berikut. a. Asset Base (Aset Dasar) 1) Natural capital Natural capital merupakan kekayaan sumber daya alam yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan sumberdaya untuk mendukung livelihood masyarakat (DFID, 1999 dalam Graham, 2012). Menurut Caravani dan Graham (2011) dalam Graham (2012), menyebutkan bahwa, dengan mengintegrasikan penggunaan asset alam yang dimiliki oleh masyarakat dalam desain REDD+, maka biaya peluang yang dikeluarkan oleh masyarakat dapat diminimalisir, dan masyarakat juga akan bersedia berpartisipasi dalam REDD+. TNMB merupakan kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997, Kawasan Meru Betiri ditetapkan sebagai Taman Nasional dimana hutan TNMB menjadi milik negara. Hak tenurial lahan hutan menjadi penuh milik negara dan masyarakat tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun termasuk memanfaatkan segala sumberdaya hutan yang berupa kayu maupun non kayu. Sejak penetapan itu hak tenurial komunitas lokal atas sumberdaya hutan menjadi terbatas. Sehingga kemudian, terjadi perambahan besar-besaran sewaktu peralihan orde baru menuju reformasi. Untuk mengatasi hal tersebut, kemudian aset berupa lahan rehabilitasi dibagikan pada komunitas lokal desa penyangga dengan luasan perorangan berkisar 0,25 Ha. Hal ini menjadi bagian dari upaya pemberian hak tenurial lahan hutan dimana komunitas lokal desa penyangga diakui kewenangannya dan terlibat langsung dalam kegiatan rehabilitasi hutan, serta boleh memanfaatkan, mengelola dan menggunakan sumberdaya yang ada di masingmasing lahan rehabilitasi yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi. Dengan adanya pengakuan hak tenurial lahan terutama pada lahan rehabilitasi, maka kegiatan deforestasi dan degradasi dapat diminimalisir. Hal ini sejalan dengan teori yang 6
dikemukakan oleh Caravani dan Graham (2011) dalam Graham (2012), jika akses terhadap lahan terpenuhi, maka ketahanan komunitas lokal dalam upaya mendukung terciptanya hutan yang lestari dapat terpenuhi seiring dengan kemampuan adaptif yang dimiliki oleh komunitas lokal. Aset berupa lahan rehabilitasi menjadi jaminan (safeguards) bagi komunitas lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya sehingga kemampuan adaptif komunitas lokal dalam menghadapi pasca DA REDD+ dapat terus terlaksana dan pembangunan hutan berkelanjutan dapat terwujud secara berkesinambungan. 2) Human capital Human capital diidentifikasi sebagai keterampilan, pengetahuan, kemampuan bekerja dan kesehatan yang baik yang secara bersama mendukung masyarakat untuk mengejar strategi penghidupan yang berbeda. Human capital yang dimiliki individu maupun kelompok untuk menyadarkan perannya dalam peningkatan konservasi karbon hutan. Karaktersitik human capital yang dimiliki oleh kelompok masyarakat di 3 desa wilayah penelitian memiliki tingkatan human capital yang berbeda. Desa Curahnongko, kelompok petani rehabilitasi memiliki human capital yang bagus dalam kaitannya denan kesadaran yang dimiliki untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi hutan, tetapi hal ini tidak bisa digeneralisir pada semua individu kelompok tani. Hanya individu kelompok tani yang aktif dan dekat dengan petugas saja yang memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga hutannya. Sedangkan pada kelompok wanita, human capital yang dimiliki terkait dengan kesadaran dalam upaya konservasi hutan dimiliki oleh tokoh-tokoh wanita, namun perannya dalam mengadvokasi kelompok wanita untuk berpartisipasi menjaga kelestarian hutan masih rendah. Sedangkan di Desa Andongrejo, human capital yang bagus dimiliki oleh kelompok wanita yaitu ibu-ibu pengelola budidaya jamu tradisional. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan dan pengetahuan kelompok wanita yang dimiliki tentang ramuan tradisional untuk berbagai macam penyakit dengan memanfaatkan apotik hidup yang merupakan kekayaan hayati TNMB. Kelompok wanita pengelola budidaya jamu tradisonal menjadi andalan bagi Desa Andongrejo untuk menggiatkan dan mengajak kelompok wanita lainnya dalam upaya konservasi karbon hutan. Hal ini tidak lain dari motivasi yang dimiliki individu untuk lebih maju dan berkembang dalam upaya meningkatkan kapasitas pribadinya serta dukungan dari pendampingan LSM KAIL yang berpengaruh dalam menjamin keberlangsungan kegiatan budidaya jamu tradisional yang dilakukan oleh wanita. Warisan ini dimiliki oleh kelompok wanita yang kemudian diupayakan disebarkan melalui tetangga, rekan, maupun keluarganya. Keinginan untuk memajukan kelompok wanita dan upaya untuk menjaga hutan khususnya di zona rehabilitasi sangat besar. Kemampuan adaptif kelompok wanita sangat baik dengan keikutsertaannya peduli pada upaya pelestarian hutan dan konservasi karbon dengan tetap menjaga tanaman pokok di lahan rehabilitasi. 7
Berbeda halnya dengan kelompok wanita yang ada di Desa Wonoasri. Kelompok wanita tidak terlalu berperan aktif dalam mewujudkan kegiatan REDD+ khususnya di TNMB. Hal ini dikarenakan, peran pendampingan hanya terfokus pada Desa Andongrejo dan Curahnongko, yang digagas sebagai pilot project untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam implementasi kegiatan DA REDD+ serta kurangnya motivasi dari individu masingmasing. Potensi human capital yang dimiliki masing-masing kelompok akan berpengaruh pada kemampuan adaptif terutama dalam upaya konservasi karbon. Semakin banyak pengetahun yang dimiliki kelompok tani, maka semakin terampil mereka dalam melakukan inovasi-inovasi untuk mengelola lahan dan bersikap bijak pada pengelolaan hutan TNMB. 3) Social capital Social capital digambarkan sebagai sumber daya sosial yang dimanfaatkan untuk mendukung tujuan peningkatan livelihood masyarakat (DFID, 1999 dalam Graham, 2012). Dalam social capital bentuk hubungan antarindividu maupun antarkelompok yang terjalin untuk saling menguatkan satu dengan lainnya. Hal ini menjadi modal utama untuk meningkatkan partisipasi komunitas lokal serta meningkatkan kemampuan adaptifnya baik yang dimiliki individu maupun komunitas dalam mendukung upaya konservasi karbon hutan. Karaketeristik social capital kelompok masyarakat TNMB cenderung berbeda dimana hal ini akan berpengaruh pada implementasi kegiatan khususnya yang terkait dengan upaya pelestarian hutan. Desa Curahnongko memiliki social capital yang bagus yang terjalin antarindividu maupun antarkelompok, dimana terlihat bahwa peran seorang ketua kelompok petani rehabilitasi sangat mempengaruhi anggota kelompok tani lainnya. Keaktifan dan keluwesan ketua kelompok dalam melakukan pendekatan kepada warga serta merangkul warganya menjadi kunci untuk menghidupkan peran kelompok dalam meningkatkan kemampuan adaptifnya. Tingginya social capital dapat dilihat dari loyalitas individu untuk berkumpul dalam acara-acara yang diselenggarakan formal maupun informal oleh ketua kelompok tani. Social capital di kelompok ibu-ibu pengajian di Desa Curahnongko pada dasarnya memiliki hubungan yang kuat. Intensitas dari pertemuan mingguan dan kekompakan ibu-ibu menjadi salah satu sasaran untuk mendekati kelompok wanita dalam upaya peningkatkan kemampuan adaptif yang salah satunya diinisiasi oleh LSM KAIL. Upaya
melibatkan kelompok
pengajian didasari pada keinginan untuk menginternalisasi upaya konservasi dalam nilai-nilai agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sehingga hal ini tidak hanya dipahami sebagai bentuk kegiatan saja tapi diharapkan dapat menjadi kemasan langkah ibadah dan menanam kebaikan. Stigma yang ditanamkan adalah dengan upaya melestarikan hutan akan memberi manfaat tidak hanya bagi manusia sendiri, tetapi bagi makhluk ciptaan Tuhan lainnya seperti hewan tumbuhan juga menjadi bagian dari ladang amal. Menciptakan 8
kehidupan harmonis antara alam dengan manusia adalah menjadi peran utama manusia sebagai khalifah di bumi. Kelompok wanita pengelola budidaya jamu tradisional di Desa Andongrejo memiliki gambaran social capital
yang bagus. Hal ini terlihat dari keaktifan kelompok untuk
mengembangkan ramuan jamu yang berkhasiat mengobati berbagai jenis penyakit serta keaktifannya dalam perkumpulan pengajian mingguan. Kelompok ini sudah terbentuk sejak Tahun 1993 oleh LSM LATIN (Bogor). Kondisi social capital kelompok wanita di Desa Andongrejo menjadi salah satu potensi dalam upaya melibatkan partisipasi masyarakat khususnya kelompok wanita untuk turut serta meningkatkan konservasi karbon. Kesadaran dan peran pentingnya kelompok wanita dalam menjaga hutan diharapkan dapat menjadi kunci untuk bersama meningkatkan kepedulian terhadap hutan demi kelestarian hutan dan terjaminnya kesejahteraan komunitas lokal. Lain halnya dengan kondisi di Desa Wonoasri, dimana merupakan desa yang tidak mendapat pendampingan langsung dari LSM. Namun peran social capital yang dimiliki antarindividu maupun antarkelompok petani dalam upaya konservasi karbon hutan cukup besar. Baik antarindividu maupun antarkelompok terjadi hubungan timbal balik untuk saling mengingatkan. Hal ini juga didukung oleh peran aparatur desa yang juga turut aktif untuk melakukan pendekatan kepada kelompok komunitas terkait dengan upaya-upaya apa yang dapat mendukung terciptanya hutan lestari. Peran aparatur desa mendapat dukungan positif dari kelompok komunitas lokal, sehingga hubungan sinergi keduanya dapat meningkatkan kepedulian bersama dalam upaya konservasi karbon hutan. 4) Financial capital Financial capital dipandang sebagai sumber daya keuangan yang digunakan masyarakat untuk mengadopsi strategi mata pencaharian yang berbeda (DFID,1999 dalam Graham, 2012). Berkaitan dengan kondisi financial capital yang dimiliki oleh komunitas lokal desa penyangga terkait dengan kemampuan yang dimiliki komunitas untuk mengalihkan mata pencaharian alternatif untuk mengurangi interaksi dan ketergantungan terhadap hasil hutan di kawasan TNMB. Dengan demikian, kemampuan adaptif komunitas lokal dalam upaya konservasi karbon dapat terwujud melalui strategi pengembangan mata pencaharian alternati f, dimana komunitas lokal desa penyangga tidak selalu mengandalkan kehidupannya pada hasil hutan berupa kayu saja melainkan dengan melakukan budidaya dari hasil hutan berupa non kayu untuk diolah agar memberikan nilai tambah. b. Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi) Menurut Frankhauser dan Tol (1997) dalam Graham (2012) mengemukakan bahwa langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis dam disebarluaskan 9
akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan adaptif kelompok masyarakat. Hal ini jelas berkaitan erat dengan keberadaan lembaga-lembaga, dan masyarakat yang akan membutuhkan sistem untuk mengoptimalkan generasi pengetahuan informal dan berbagi serta terbaik memanfaatkan jenis pengetahuan yang lebih formal. Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat serta informasi yang didapat melalui kegiatan DA REDD+, akan berpengaruh pada kemampuan adaptif komunitas lokal. Semakin banyak pengetahun dan informasi yang diperoleh, serta pemahaman dari rangkaian kegiatan dan tujuan DA REDD+, komunitas lokal dapat membangun kesadarannya serta memiliki banyak pilihan untuk menentukan aksi adaptasi dalam upaya konservasi karbon hutan demi menjamin kesejahteraan hidup masyarakat masa sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa merusak fungsi hutan. Dalam proses transferability, akan diperoleh informasi dan pengetahuan yang dimiliki komunitas lokal baik pada kelompok petani rehabilitasi maupun kelompok wanita. Rekonstruksi pemahaman informan pada kedua kelompok terkait dengan REDD+ merupakan salah satu upaya untuk mengidentifikasi kemampuan adaptif komunitas lokal pasca kegiatan DA REDD+. Karakteristik kemampuan adaptif komunitas lokal cenderung berbeda antarkelompok dan antardesa di wilayah penelitian. Kemampuan adaptif yang dimiliki komunitas lokal untuk mengatasi perubahan ketika dan di saat dibutuhkan cenderung berbeda antara tempat yang satu dengan lainnya maupun antarkomunitas satu dengan lainnya, serta antarwaktu yang berbeda pula (Smit dan Wandel, 2006 dalam Ludi dkk, 2011). Dalam komunitas lokal desa penyangga, istilah REDD+ bukan merupakan istilah yang mudah dimengerti bagi komunitas lokal. REDD+ lebih dipahami sebagai salah satu upaya pelestarian hutan khususnya di lahan rehabilitasi yang dilakukan dengan cara menjaga tanaman pokok sebagai penghasil karbon. Kelompok komunitas lokal di Desa Andongrejo dan Curahnongko lebih memahami mengenai konsep REDD+ yang diwujudkan dalam sebagian perilaku upaya konservasi karbon hutan. Kesadaran dan kepedulian untuk pelestarian hutan di Desa Curahnongko dan Andongrejo tidak dapat digeneralisir bahwa masyarakat menyadari dan bertindak menghijaukan hutan. Masih terdapat kelompok masyarakat yang tidak memiliki kesadaran penuh atas peran dan fungsi hutan. Tetapi cenderung lebih mementingkan kegiatan ekonomi dan sibuk mensejahterakan pribadinya dengan tindakan yang melanggar hukum. Lain halnya dengan kelompok komunitas Desa Wonoasri, khususnya kelompok petani rehabilitasi yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+ terlihat kurang memahami dan familiar dengan istilah REDD+. REDD+ hanya dipahami oleh sebagian kelompok petani rehabilitasi yang mengikuti kegiatan REDD+ dan petugas resort Wonoasri. Peran kelompok petani sendiri tidak begitu besar untuk menyatakan bahwa mereka benar-benar melakukan 10
transferability tersebut kepada anggota kelompok tani lainnya. Namun uniknya adalah lahan rehabilitasi yang dimiliki oleh petani di Desa Wonoasri memiliki tingkat kerapatan tanaman yang lebih baik jika dibandingkan dengan dua desa lainnya. Hal ini dikarenakan kesadaran komunitas lokal sendiri untuk ikut serta menjaga hutan di lahan rehabilitasi yang dimiliki petani. Walaupun pengetahuan tidak diperoleh secara merata pada elemen kelompok masyarakat, tingkat kesadaran dan kepeduliannya untuk menjaga hutan masih relatif bagus jika dibandingkan dengan dua desa lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses transferability terkait pengetahuan REDD+ tidak dapat berjalan optimal. Tetapi nilai pentingnya adalah kesadaran individu maupun kelompok dalam upaya konservasi karbon hutan cenderung baik. Hal ini berkorelasi dengan hubungan yang terbentuk antara komunitas lokal dengan hutan tidak memiliki keterkaitan langsung, artinya dalam hal ekonomi, komunitas lokal Desa Wonoasri tidak bergantung sepenuhnya pada hutan, karena sebagian besar masyarakat lebih mengandalkan bekerja sebagai buruh perkebunan yang banyak mengelilingi kawasan TNMB. Kegiatannya di lahan rehabilitasi hanya sebagai sampingan saja. Tetapi kesadaran untuk tetap menjaga hutannya disadari cukup baik. Berdasarkan pengamatan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa transferability akan berpengaruh pada tingkat kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh dimana akan mempengaruhi kemampuan adaptif komunitas lokal sehingga dapat mempraktikkan upayaupaya konservasi karbon hutan. c. Innovation (Inovasi) Seperti pada teori Ludi (2011) dalam Graham (2012), menyebutkan bahwa inovasi berkaitan erat dengan pengetahuan dan informasi tambahan yang diperoleh individu untuk menganalisis bagaimana mengambil peluang atau menanggapi ancaman dari perubahan iklim. Dimana inovasi juga terkait erat dengan aset dasar yang mencerminkan kondisi ekonomi seseorang dalam mengambil resiko maupun mengembangkan investasi dalam inovasi. Inovasi antarindividu maupun antarkelompok cenderung berbeda sesuai dengan pengetahuan dan informasi yang diperoleh serta kesadaran yang dimiliki. Dalam hal ini menggambarkan bahwa semakin banyak individu maupun kelompok terlibat dalam rangakain kegiatan DA REDD+ semakin banyak informasi dan pengetahuan yang dimiliki sehingga inovasinya akan semakin baik. Banyak hal baru yang akan dilakukan (inovasi) dalam upaya mempraktikkan dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki sebagai bentuk wujud kemampuan adaptif (Gambar 2).
11
Asset base
Opportunity
Information & Knowledge
Innovation Intervention
Intervention
Threathness
Adaptive capacity
Gambar 2. Hubungan keterkaitan komponen dalam membentuk kemampuan adaptif
Kemampuan sebuah sistem dalam mendukung praktik baru dan meningkatkan inovasi menjadi kunci utama dalam menentukan karakteristik perilaku adaptif. Sistem yang dimaksud adalah seluruh pihak yang terlibat dan bertanggungjawab dalam menciptakan keharmonisan di alam, yaitu
manusia (yang terdiri dari komunitas lokal maupun peran institusi).
Berdasarkan hasil temuan lapangan inovasi akan dikelompokkan menjadi 3 yaitu Pertama, inovasi budidaya tanaman yang dilakukan oleh kelompok petani rehabilitasi dengan menanam tanaman
yang memiliki kandungan
dan serapan karbon tinggi serta
menguntungkan dari segi ekonomis, dan tahan terhadap naungan yang teduh sehingga pertumbuhannya tidak terganggu. Untuk mewujudkan inovasi tersebut, dilakukan dengan metode MPTS (Multi Purpose Trees Species). Hal ini untuk mengakomodir kepentingan masyarakat karena pada dasarnya masyarakat memiliki ketergantungan tinggi terhadap hasil hutan. Kedua, Inovasi untuk meningkatkan pendapatan melalui program pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu dengan mengembangkan tanaman empon-empon untuk budidaya pengelolaan jamu tradisional dengan sistem agroforestry serta pembudidayaan jamur tiram. Hal ini menjadi upaya untuk memberikan kontribusi alternatif peningkatan pendapatan ketika rapatan tegakan hutan semakin tinggi, sehingga tercipta kreasi baru dari petani untuk menanam tanaman yang lain dan bernilai ekonomis. Salah satu penerapannya dilakukan di Desa Andongrejo yang menyasar pada kelompok wanita pengelola budidaya jamu tradisional. Ketiga, Inovasi pengelolaan lahan rehabilitasi. Inovasi untuk meningkatkan motivasi konservasi hutan diwujudkan melalui program PINTAR. Program PINTAR merupakan bentuk apresiasi kepada petani rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya di lahan rehabilitasi sesuai dengan skema sistem pengkelasan lahan berdasarkan jumlah rapatan tanaman pokok/tegakan yang ada. Program ini hanya diterapkan di Desa Curahnongko dan
12
Andongrejo dengan inisiasi LSM KAIL. Tujuan program PINTAR adalah untuk meningkatkan dan membangun partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi karbon hutan. Dimana penerapannya diberlakukan pada petani yang memiliki lahan rehabilitasi dengan nilai kelas lahan pada peringkat 5 dan 6 yang menggambarkan bahwa kerapatan tanaman di rehabilitasi sudah mencapai antara 100 hingga 150 pohon. Petani tersebut kemudian akan diberikan keringanan harga beli sembilan bahan pokok sebesar Rp 3.000,- di toko yang telah disediakan, dengan maksimal jumlah pemotongan satu tahun sebesar Rp 150.000,- per orang. Upaya pelibatan partisipasi masyarakat untuk menjaga kawasan hutan TNMB khususnya yang berbatasan langsung dengan zona rimba pada lahan rehabilitasi juga diinisiasi oleh LSM KAIL melalui pemetaan partisipatif. Pemetaan partisipatif ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kesadaran komunitas lokal maupun kelompok petani rehabilitasi untuk bertanggungjawab dalam konservasi karbon hutan dengan tidak melakukan perambahan. Namun, kegiatan ini hanya mampu diimplementasikan pada kelompok petani rehabilitasi di Desa Curahnongko karena keterbatasan pembiayaan program. Menurut Smith et al (2003) dalam Graham (2011), kemampuan sebuah sistem dalam mendukung praktik baru dan meningkatkan inovasi menjadi kunci utama dalam menentukan karakteristik kapasitas adaptif. Hal ini tentunya dibutuhkan perubahan kondisi sosial dan lingkungan serta praktik-praktik. Beberapa inovasi tersebut telah diwujukan oleh LSM KAIL khususnya di kelompok komunitas Desa Andongrejo dan Curahnongko. Berpedoman pada Teori Smith, melalui pengamatan yang dilakukan di Desa Curahnongko dan Andongrejo dapat disimpulkan bahwa dukungan kelembagaan LSM cukup efektif untuk mengubah perilaku adaptif kelompok masyarakat dalam upaya konservasi hutan. Intervensi LSM KAIL dalam bidang pengembangan masyarakat lokal dapat meningkatkan inovasi dan motivasi komunitas untuk meningkatan kondisi livelihoodnya. Hal yang terlihat adalah berkurangnya ketergantungan kelompok komunitas lokal terhadap hasil hutan yang berupa kayu. Ditandai dengan tumbuhnya kegiatan ekonomi lokal melalui pengelolaan hasil hutan non kayu sebagai produk olahan inovatif. Upaya LSM KAIL dalam melakukan inovasi yang menyentuh level mikro dianggap sebagai cara efektif yang mampu menjadi solusi untuk menciptakan peluang dan respon terhadap konservasi karbon hutan khususnya di Kawasan TNMB. d. Institutions and Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan Hak) Dukungan
kelembagaan
memiliki
pengaruh
penting
dalam
meningkatkan
kemamampuan adaptif sebagaimana dijelaskan dalam teori yang dikemukakan oleh Jones et al (2010) dalam Graham (2012). Lembaga merupakan kontrol dari sistem regulasi dan struktur organisasi yang ada, dimana lembaga tersebut dapat bersifat formal (lembaga pemerintahan) maupun non formal (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) (Ostrom, 2005 13
dalam Graham, 2012). Adaptabilitas dan fleksibilitas suatu lembaga akan mempengaruhi peran komunitas dalam menentukan kapasitas adaptifnya. Kondisi ini tidak terlepas dari eksistensi peran lembaga dalam mengatur dan menciptakan partisipasi kelompok masyarakat dalam upaya perwujudan konservasi karbon di TNMB. Dukungan kelembagaan dalam hal ini lebih menitikberatkan pada penguatan karena lembaga di tingkat lokal sudah terbentuk sejak sebelum diselenggarakannya DA REDD+, sehingga dalam masa periode kegiatan DA REDD+ eksistensi lembaga ini lebih diperkuat perannya khususnya di tingkat lokal dengan meningkatkan partisipasi masyarakat. Dukungan kelembagaan yang berasal dari kegiatan pendampingan LSM KAIL lebih dipusatkan pada dua desa yaitu Desa Curahnongko dan Andongrejo. Melalui dukungan kelembagaan pada kelompok petani rehabilitasi dan kelompok wanita, tingkat ketahanan dalam membentuk kapasitas adaptif untuk upaya konservasi karbon dirasa memiliki potensi besar dengan melibatkan partisipasi komunitas lokal.
Dukungan pada kelompok petani
rehabilitasi dilakukan melalui pembentukan kelembagaan semi formal antar anggota kelompok
petani
rehabilitasi
serta
beberapa
usaha
budidaya
untuk
mengurangi
kebergantungan kelompok petani rehabilitasi pada hasil hutan serta dapat meningkatkan pendapatannya. Sedangkan pada kelompok wanita, upaya yang dilakukan yaitu melalui budidaya pengelolaan jamu tradisional, dimana penguatan kelembagan menjadi salah satu bekal untuk mewujudkan eksistensi kelompok wanita. Perannya begitu penting dalam melakukan persuasif terhadap anggota kelompok wanita lainnya untuk kegiatan rehabilitasi hutan. Hal ini dapat terlihat di Desa Andongrejo yang dilihat dari keaktifan dan eksistensi kelompok wanita pengelola jamu tradisional. Sedangkan di Desa Curahnongko, penguatan kelompok wanita pada kelembagaan semi formal
yaitu perkumpulan ibu-ibu pengajian
menjadi andalan bagi upaya penyadaran kelompok wanita yang ditanamkan melalui elemen agama dan budaya. Peran pemerintah juga penting dalam upaya meningkatkan kemampuan adaptif komunitas lokal. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya peningkatan kapasitas kelembagaan misalnya SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Perdesaan), MMP (Masyarakat Mitra Polhut), serta peran resort/polisi hutan. Pemerintah telah berupaya untuk melibatkan masyarakat dalam upaya pengawasan dan perlindungan hutan dengan adanya MMP, sehingga diharapkan partisipasi aktif kelompok komunitas dalam MMP menjadi bagian dari wujud peningkatan kemampuan adaptif dari terselenggaranya kegiatan DA REDD+. e. Flexible and Forward Thinking, Decision making, and Governance (Fleksibilitas dan Orientasi Ke Depan, Pengambilan Keputusan, serta Tata Kelola Pemerintahan) Menurut Jones et al (2010) dalam Graham (2012), kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan, menggabungkan informasi yang relevan serta memadukan inisiatif 14
dalam perencanaan di masa mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan aspek penting dalam menentukan kemampuan adaptif. Hal ini terutama berkaitan dengan peran pemerintah dan LSM lokal terkait. Dalam sebuah sistem yang bekerja diperlukan keterlibatan secara bersama untuk menciptakan sebuah komponen utuh yang saling bekerjasama. Pihak manajemen Balai TNMB telah berupaya melibatkan partisipasi komunitas dalam upaya menjaga hutan melalui pembentukan Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Setiap desa penyangga dibentuk MMP yang anggotanya dipilih dari kelompok petani rehabilitasi yang memiliki peran penting dalam struktur kelompok dan aktif dalam setiap kegiatan. Tata kepemerintahan dengan struktur, mekanisme dan institusi-institusinya adalah kunci penentu bagi kemampuan adaptif (Adger et al 2004;Brooks et al 2005 dalam Locatelli, dkk, 2009) karena ia menentukan kerangka dimana adaptasi terjadi atau dimana adaptasi dibutuhkan (Locatelli, dkk 2009). Selain upaya perlindungan terhadap hak tenurial atas masyarakat desa penyangga, diperlukan sistem hukum yang tegas terhadap sejumlah aksi illegal logging yang dinilai cukup merugikan. Keberanian institusi pemerintah untuk menerapkan hukuman yang tegas bagi pelaku illegal logging sangat menentukan bagi keberlangsungan kelestarian hutan TNMB. Pada dasarnya kegiatan illegal logging tidak hanya merugikan bagi pihak pemerintah saja, melainkan juga bagi komunitas desa penyangga sendiri dimana dampaknya akan dirasakan ketika hutan semakin gundul berdampak pada bencana lokal yang tidak dapat diprediksi datangnya. 2. Aksi Adaptasi Komunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA REDD+ Adaptasi merupakan penyesuaian perilaku dan karakteristik sistem yang akan meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi tekanan eksternal (Brooks, 2003 dalam Bappenas, 2012) atau penyesuaian sistem alam atau manusia terhadap sebuah lingkungan baru atau sebuah lingkungan yang berubah (IPCC TAR, 2001 dalam Bappenas, 2012). Proses pembangunan aksi adaptasi diawali dengan pembangunan kemampuan adaptif melalui intervensi sosial dimana tujuan intervensi adalah mencari cara bagaimana meningkatkan kualitas dan ketersediaan kebutuhan sumberdaya untuk diadaptasi, atau bagaimana mengolah kemampuan untuk menggunakan sumberdaya secara efektif. Keterbatasan sumberdaya lahan menjadikan hutan sebagai tumpuan hidup bagi komunitas lokal desa penyangga. Namun, mereka menyadari perannya sebaagi manusia, tidak boleh melakukan ekploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya hutan. Komunitas lokal desa penyangga merupakan ujung tombak sekaligus aktor kunci bagi upaya konservasi hutan maupun semua keberlangsungan program kegiatan DA REDD+ di TNMB. Adaptasi terhadap hutan akan sangat penting untuk mendorong upaya mengatur dan menjaga stok 15
karbon dalam jangka panjang, meskipun di banyak wilayah struktur dan fungsi hutan telah berubah sejak lama (Noss, 2001 dalam Graham, 2011). Perubahan dapat dimimalisir dengan melakukan adaptasi sebagai upaya mitigasi kerusakan hutan. Dengan mengetahui pandangan masyarakat terhadap hutan TNMB dan pemahaman yang tercipta atas konstruksi kegiatan DA REDD+ dapat menjadi kontiribusi penting bagi upaya penerapan aksi adaptasi yang dilakukan setelah kegiatan DA REDD+ berlangsung. Berdasarkan hasil analisis keterangan dari kelompok komunitas lokal desa penyangga, keterkaitan hubungan yang terjalin antara komunitas lokal dengan hutan tergambarkan ke dalam 5 konsep yaitu (1) Masyarakat bertanggungjawab atas upaya pelestarian hutan; (2) Hutan sebagai sumber mata pencaharian; (3) Hutan sebagai alternatif mata pencaharian; (4) Keterbatasan sumberdaya lahan di sekitar kawasan TNMB; dan (5) Hutan memiliki manfaat bagi ekosistem lingkungan. Secara umum dapat dismpulkan bahwa keterkaitan hubungan antara komunitas lokal desa penyangga dengan hutan TNMB bergantung pada kedekatan lokasi geografis kawasan yang pada akhirnya akan juga berpengaruh pada tingkat adaptasi dan tuntutan dalam menjalankan keberlangsungan kehidupannya. Dalam mewujudkan ketercapaian tujuan dari adanya kegiatan DA REDD+ di kawasan TNMB perlu dilakukan kajian terhadap aksi adaptasi yang telah dilakukan oleh kelompok komunitas beserta stakeholder yang terkait langsung dengan eksistensi kawasan TNMB. Aksi adaptasi perlu didukung oleh semua komponen komunitas lokal , baik individu, kelompokkelompok formal/informal, maupun pemerintah dimana dalam keberhasilannya diperlukan waktu yang tidak singkat karena di dalamnya membutuhkan proses penyadaran dan pemahaman atas sesuatu hal yang baru dan memerlukan pembiasaan. Peran
aktif
kelembagaan baik pemerintah maupun non pemerintah, kemampuan serta keinginan seluruh komponen untuk bekerjasama membangun sebuah aksi adaptasi dalam upaya konservasi karbon hutan. Berikut berbagai aksi adaptasi yang dilakukan oleh kelompok komunitas lokal desa penyangga TNMB. a. Kelompok petani rehabilitasi Kemampuan adaptif komunitas lokal untuk melakukan sejumlah inovasi terkait dengan upaya pengurangan kebergantungan terhadap hutan yang dilakukan melalui pengelolaan lahan rehabilitasi dimana dalam implementasinya melalui penanaman sejumlah tanaman pokok yang memilki kandungan serapan karbon tinggi juga memiliki nilai ekonomis serta tidak merusak ekosistem hutan. Aksi adaptasi kelompok petani rehabilitasi tidak terlepas dari peran pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM KAIL. Intervensi pemberdayaan masyarakat dalam rangkaian kegiatan DA REDD+ dilakukan di 2 (dua) desa yaitu Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko. Kedua desa tersebut menjadi pilot project penerapan keberhasilan upaya pengembangan masyarakat dalam pengelolaan hutan TNMB khususnya di lahan rehabilitasi. 16
Kelompok petani rehabilitasi turut serta dalam menjaga tanaman pokok/tegakan melalui kesepakatan bersama untuk tidak melakukan penebangan serta melakukan penyulaman jika terdapat tanamanpokok/tegakan yang roboh dan mati. Penyulaman tanaman di lahan rehabilitasi menggunakan bibit swadaya mandiri maupun dengan bibit pemberian pihak Balai TNMB. Aksi adaptasi yang dilakukan kelompok komunitas lokal khususnya petani rehabilitasi di Desa Andongrejo dan Curahnongko terbentuk berdasarkan binaan LSM. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Levine, Ludi, dan Jones (2011), bahwa intervensi dinilai membantu masyarakat maupun komunitas untuk beradaptasi kepada pola baru yang terbentuk dari lingkungan alam, sosial ekonomi dan politik serta hubungan diantara ketiga komponen tersebut. Lain halnya dengan aksi adaptasi upaya konservasi karbon hutan di Desa Wonoasri yang dilakukan tanpa pendampingan LSM. Kesadaran komunitas lokal menjadi bagian penting dalam upaya rehabilitasi hutan. Tanpa pendampingan LSM, kelompok petani rehabilitasi secara mandiri mampu melakukan aksi adaptasinya yang terwujud ke dalam upaya menjaga tanaman pokok di masing-masing lahan rehabilitasi. Teori yang dikemukakan oleh Levine, Ludi, dan Jones (2011), mengenai peran intervensi dalam keberhasilan aksi adptasi tidak sepenuhnya dibenarkan dalam fenomena yang terjadi di Desa Wonoasri. Sebelum adanya kegiatan DA REDD+, komunitas lokal Desa Wonoasri sudah memiliki kesadaran untuk menjaga hutan dan lahan rehabilitasinya. Hal ini tidak lain karena, kesadaran yang dimiliki serta rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap komitmen yang telah disepakati bersama antara pemerintah dengan kelompok petani rehabilitasi. b. Kelompok wanita Kelompok wanita memiliki peran dan kedudukan penting dalam mendukung terciptanya aksi adaptasi, dimana keterlibatannya menjadi sangat diperhitungkan bila dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Di Desa Andongrejo, pelibatan kelompok wanita lebih menyasar pada kegiatan yang berdampak langsung pada ekonomi, dimana perannya cukup strategis dalam mendukung keberhasilan program rehabilitasi hutan TNMB. Hubungan keterkaitan antara kondisi tanaman pokok/tegakan akan berpengaruh pada tanaman yang hidup dibawah naungan. Jika hutan terganggu, maka kegiatan ekonominya akan terganggung pula, sehingga secara tidak langsung kesadaran untuk mejaga hutan akan terbentuk melalui aksi adaptasi dan upaya persuasif pada kelompok wanita lainnya untuk turut menjaga tanaman pokok/tegakan yang ada di lahan rehabilitasi. Sedangkan di Desa Curahnongko, internalisasi agama dan wujud pengetahuan menjadi bekal utama dalam membentuk stigma upaya konservasi karbon hutan di kalangan kelompok wanita. Agama menjadi dasar kuat bagi sebagian besar komunitas lokal di desa penyangga, 17
dimana karakteristik masyarakat Jember secara umum dipandang sebagai karakter masyarakat yang agamis. Peran kelompok wanita di Desa Wonoasri berbeda dengan gambaran di Desa Andongrejo dan Curahnongko. Peran kelompok wanita tidak nampak pada Desa Wonoasri, dimana kelompok wanita cenderung pasif. Kelompok wanita tidak memiliki pengaruh penting dalam sistem sosial yang berkembang di masyarakat. Selain itu, tidak adanya peran pendampingan LSM lokal dalam upaya pemberdayaan wanita membuat kepedulian kelompok wanita dalam upaya konservasi hutan tidak cukup menonjol. c. Aparatur Desa Dukungan aparatur desa akan mempengaruhi kemampuan (abilitiy) kelompok masyarakat untuk melakukan aksi adaptasi nyata terhadap konservasi karbon hutan TNMB. Sejumlah upaya telah dilakukan pihak pemerintah desa yang bekerjasama dengan Balai TNMB, polisi hutan dan LSM lokal untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran komunitas lokal pada upaya perlindungan hutan. d. LSM KAIL Dalam mendukung aksi adaptasi tidak terlepas dari peran dukungan pemerintah maupun LSM lokal yang membantu meningkatkan kemampuan adaptif komunitas lokal untuk melakukan aksi adaptasinya terutama untuk mendukung konservasi karbon hutan. Sebelum adanya kegiatan DA REDD+ telah terbentuk kelembagaan sederhana yang terdiri dari kelompok petani rehabilitasi dengan fokus kegiatannya yaitu pada upaya pelestarian hutan kembali khususnya di lahan rehabilitasi. Namun, sejak berlangsungnya kegiatan DA REDD+, dilakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dengan melibatkan peran aktif petani rehabilitasi sebagai pelaku utama yang memiliki keterkaitan langsung dengan keberadaan hutan TNMB dan kegiatan konservasi. Dukungan kelembagaan memiliki peran penting dalam upaya aksi adaptasi yang dilakukan oleh komunitas lokal. Levine, Ludi, dan Jones (2011) menyebutkan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung diperlukan untuk memastikan bahwa individu maupun kelompok komunitas mampu membuat perubahan yang diperlukan untuk menanggapi perubahan iklim serta perubahan lain yang mungkin ditimbulkan. Dengan diterapkannya pola pendampingan pemberdayaan masyarakat di Desa Andongrejo dan Curahnongko, kelompok petani rehabilitasi maupun kelompok wanita memliki ketahanan untuk menanggapi kebijakan dari dari DA REDD+ dimana perolehan hak tenurial sudah diakui oleh pemerintah. Komunitas lokal desa penyangga dilibatkan secara langsung dalam upaya konservasi karbon hutan melalui pengakuan hak pengelolaan atas lahan rehabilitasi. e. Polisi hutan/resort Aksi adaptasi diwujudkan melalui kegiatan pengawasan dan perlindungan kawasan hutan sesuai dengan tupoksinya. Resort bertanggungjawab dalam menjaga keamanan 18
kawasan hutan TNMB dengan upaya mendekatkan diri dengan masyarakat sebagai bagian dari bentuk pendekatan partisipastif. Kemampuan resort untuk menjaga hutan tidak bisa terlepas dari peran keterlibatan komunitas lokal. Kedua komponen ini pada dasarnya memiliki sifat saling mendukung satu dengan lainnya. Sebagaimana Smith (2000) mengemukakan bahwa adaptasi perlu didukung oleh semua komponen masyarakat, baik individu, kelompok-kelompok, dan pemerintah. Kebersamaan untuk saling mendukung antar komponen stakeholder dalam mewujudkan aksi adaptasi memiliki pengaruh yang besar. f. Balai TNMB Pemerintah khususnya Manajemen Balai TNMB, memiliki kekuatan penuh dalam pengawasan dan pelaksanaan fungsi untuk meningkatkan aksi adaptasi komunitas lokal dalam kegiatan konservasi karbon hutan serta meningkatkan stok karbon hutan sebagai bagian dari salah satu tujuan dari terselenggaranya DA REDD+. Salah satunya dengan melakukan pengaturan kelembagaan. Membangun kelembagaan di tingkat lokal komunitas dapat menciptakan hubungan kedekatan antara pemerintah dengan komunitas lokal. Keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan hutan yang berkelanjutan tidak dapat terlepas dari aksi adaptasi seluruh komponen yang ada baik yang berkaitan langsung dengan hutan maupun tidak langsung. Atribut dari kapasitas kepemerintahan dan individu, organisasi atau komunitas untuk beradaptasi menentukan keberhasilan adaptasi terhadap perubahan iklim (Pelling dan High 2005 dalam Locatelli 2009). E. Kesimpulan 1. Kemampuan masyarakat dalam merespon sebuah perubahan adaptif dipengaruhi oleh aset yang dimiliki, serta bagaimana mengakses dan mengontrol semua aset yang ada. 2. Aset dasar yang dimiliki kelompok komunitas lokal terdiri dari natural capital, human capital, social capital dan financial capital. 3. Dukungan kelembagaan memiliki pengaruh penting dalam meningkatkan kemampuan adaptif dimana peran lembaga sebagaikontrol dari sistem regulasi dan struktur organisasi memberikan nilai positif bagi upaya pengembangan pemberdayaan masyarakat. 4. Langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis dam disebarluaskan akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan adaptaif kelompok masyarakat. 5. Inovasi antar individu maupun kelompok cenderung berbeda sesuai dengan pengetahuan dan informasi yang diperoleh. Dalam hal ini menggambarkan bahwa semakin banyak seseorang maupun kelompok terlibat dalam rangakain kegiatan DA REDD+, maka inovasinya akan lebih baik.
19
6. Kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan, menggabungkan informasi yang relevan serta memadukan inisiatif dalam perencanaan di masa mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan aspek penting dalam menentukan kemampuan adaptif komunitas lokal. 7. Kegiatan DA REDD+ menjadi salah satu bentuk intervensi sosial dalam proses membangun aksi adaptasi melalui upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dengan meningkatkan peran aktif masyarakat. F. Saran Pelaksanaan kegiatan DA REDD+ di TNMB khususnya terkait dengan pemberdayaan masyarakat pada komunitas lokal di 3 desa penyangga menunjukkan bahwa kemempuan adaptifnya cenderung beragam. Intervensi melalui pendampingan LSM pada Desa Andongrejo dan Curahnongko cenderung lebih efektif dalam menunjang keberhasilan program DA REDD+ sebagai upaya konservasi karbon hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan pendampingan yang selama ini hanya terfokus pada dua desa penyangga dari 12 total desa penyangga yang ada, terkesan timpang. Oleh karena itu, dalam praktik selanjutnya diperlukan peran pendampingan LSM dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini secara tidak langsung akan berkorelasi pada karakter kemampuan adaptif yang dimliki oleh komunitas lokal setempat dalam menanggapi DA REDD+. Gambaran ini menjadi masukan bagi pihak Litbang Kehutanan sebagai Koordinator Project DA REDD+ di Kawasan TNMB.
Daftar Pustaka Arifanti, V. B., Bainnaura, A., & Ginoga, K. L. (2010). Landcover Change Analysis Using Remote Sensing and GIS : Initial Phase of Measuring Carbon Sequestration for REDD+ in Meru Betiri National Park, Indonesia. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan. Balai Taman Nasional Meru Betiri. (2012). Buku Informasi Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri. Jember: Balai Taman Nasional Meru Betiri. Bappenas. (2012). Buku 1 Strategi Pengarusutamaan Adaptasi ke Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional : Kerangka Integrasi . Jakarta: Kementerian Bappenas. Graham, Kristy. (2012). REDD+ and Adaptation : Will REDD+ Contribute to Adaptive Capacity at The Local Level. Overseas Development Institute. Hadi, Sutrisno. (1986). Metode Observasi. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM. Heriyanto, N M; Garsetiasih, R; Subiandono, Endro. (2006). Pemanfaatan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat Lokal di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume III Nomor 2 , 297-308. IPCC. (2001). Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation and Vulnerability . Geneva: World Meteorological Organisation. Levina, E., & Tirpak, D. (2006). Adaptation to Climate Change : Key Terms. France: OECD. Levine, Simon; Ludi, Eva; Lindsay Jones. 2011. Rethinking Support for Adaptive Capacity to Climate Change : Role of Development Interventions. Ethiopia : ODI.
20
Locatelli, B., Kanninen, M., Brochaus, M., Colfer, C. P., Murdiyarso, D., & Santoso, H. (2009). Menghadapi Masa Depan yang Tak Pasti : Bagaimana Hutan dan Manusia Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim . Bogor: CIFOR. Ludi, E., Getnet, M., Wilson, K., Tesfaye, K., Shimelis, B., Levine , S., et al. (2011). Preparing for The Future? Understanding the Influence of Development Interventions on Adaptive Capacity at Local Level in Ethiopia. Addis Ababa: ACCRA. Masripatin, N. (2012). Penanganan Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Implementasi REDD+ : Mandat Internasional dan Kepentingan Nasional. Identification of Deforestation and Forest Degradation Drivers and Activities that Result in Reduced Emissions, Increased Removals, and Stabilization of Forest Carbon Stocks (hal. 17). Ambon dan Banjarmasin: Pusat Standarisasi dan Lingkungan, Kemenhut dan Forest Carbon Partnership Facility-World Bank. Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Silalahi, Urban. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Rafika Aditama. Spearman, M., & McGray, H. (2011). Making Adaptation Count : Concepts and Options for Monitoring and Evaluation of Climate Change Adaptation. Germany: GIZ.
21