EKOLOGI POLITIK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI (TNMB) KABUPATEN JEMBER DAN KABUPATEN BANYUWANGI ERA REFORMASI POLITIK NASIONAL
ABD. QADIM HS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012
Abd. Qadim HS P 062030101
ABSTRACT ABD. QADIM HS. Political Ecology in Managing National Park of Meru Betiri Jember Regency and Banyuwangi Regency in Reform Era of National Politic. Supervised by HADI S. ALIKODRA, HARIADI KARTODIHARDJO, dan SUMARDJO. National park of Meru Betiri (TNMB) is 58,000 ha. Since 1960, more than 2,000 ha of national park of Meru Betiri (TNMB) has given to PT. New Sukamade Banyuwangi and PT. Bandealit Jember as Cultivation Rights Title/HGU. Through the Director General of PHPA Decree and Forestry Minister Decree No: 131/Kpts-II/1998, the government lengthened HGU of 2,155 ha in buffer zone of TNMB (Director General of PKA Decree No: 185/Kpts/DJ-V/1999). The lengthening of HGU in chaos national political condition triggered people to loot land of TNMB. This action occurred as a result of imbalance and scarcity of property right and narrow life space of community. Realizing chaos sociopolitical condition (2001-2003), TNMB invited national and local NGOs in order to take back looted/occupied land through rehabilitation program based on community development. Ramifications were social consequences of political co-operation of rehabilitation. Rehabilitation cooperation legalized access for planting. Impact of this cooperation was tenure issues lead to insecurity tenure for both parties. This study applied political ecology analysis to find that there was conflicts of access and natural resources benefits of and impact load caused by disparity of power, land ownership, and income between community groups in buffer villages with TNMB and community groups given access and privilages. This conflict triggered looting and occupation of land. The policy to legalize land distribution for planting resulted positive implication to socio-economic people but negative to socioculture people (local wisdom) and to ecological aspects (fail rehabilitation program) as results of conflict interests and treatment difference in rehabilitation. Keywords: ramifications, legal access to planting, land occupation, tenurial insecurity
RINGKASAN ABD. QADIM. Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional. Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, HARIADI KARTODIHARDJO, DAN SUMARDJO. Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) memiliki luas 58.000 Ha. Sejak tahun 1960, lebih dari 2.000 Ha lahan dalam kawasan TNMB telah diberi HGU kepada PT. Sukamade Baru Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember karena faktor kesejarahan kawasan. Melalui SK Dirjen PHPA dan SK Menhut No: 131/KptsII/1998), pemerintah telah mengeluarkan perpanjangan izin HGU kepada PT tersebut untuk kedua kalinya atas lahan dalam kawasan TNMB seluas 2.154 atau seluas 2.155 Ha pada zona penyangga (SK DirJend PKA No: 185/Kpts/DJV/1999). Izin HGU diberikan untuk masa pemanfaatan selama 25 tahun ke depan dan selanjutnya dapat diperpanjang lagi dalam kurun waktu yang sama (SK Menhut No: 131/Kpts-II/1998). Pemberian izin HGU kepada pihak minoritas dominan tersebut, telah menjadi preseden buruk yang mendorong masyarakat untuk menjarah dan mengokupasi lahan dalam kawasan TNMB. Tindakan itu terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan dan kelangkaan hak milik dan sempitnya ruang hidup masyarakat. Pengambilan-alihan kembali lahan yang terlanjur diokupasi oleh kelompok masyarakat ketika reformasi politik nasional berlangsung menjadi sesuatu yang tampaknya sulit dapat dilakukan sendiri oleh negara (Balai TNMB), dengan tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Berdasarkan pertimbangan situasi sosial politik di wilayah Tapal Kuda belum kondusif ketika itu (2001-2003), maka pihak Balai TNMB menggandeng LSM-L nasional dan lokal dalam rangka “mengambil kembali” lahan untuk direhabilitasi bersama kelompok masyarakat di 7 (tujuh) desa penyangga, melalui program rehabilitasi berbasis pemberdayaan masyarakat. Masalah ramifikasi muncul pasca kesepakatan kerja-sama rehabilitasi melalui pembukaan akses dan hak menanam tanaman musiman dan tahunan berlangsung. Ramifikasi merupakan konsekuensi sosial politik yang terjadi dalam kerjasama rehabilitasi. Saat ini telah bergulir isu yang mengarah kepada “ketidakpastian tenurial“ (tenurial insecurity) baik pada pihak pengelola TNMB maupun pada pihak masyarakat desa penyangga TNMB. Tenurial insecurity terutama berkaitan dengan upaya, proses dan teknis “pengambilalihan kembali” lahan yang terlanjur didistribusikan kepada kelompok masyarakat, pasca program kerja-sama rehabilitasi berbasis pembukaan akses dan hak menanam dalam zona rehabilitasi yang telah berakhir Agustus 2008. Masalah lainnya adalah keberlanjutan peran dan fungsi serta pola hubungan antara organisasi petani rehabilitasi (OPR) dengan pihak Balai TNMB yang menginisiasi lahirnya OPR. Perhatian terhadap OPR menjadi penting, agar eksistensi OPR ke depan tidak berbalik menjadi kontra konservasi, karena merasa ditinggalkan oleh Balai TNMB. Sejumlah kegiatan dalam program rehabilitas berbasis pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) simbolis telah dilakukan oleh Balai TNMB dan mendapatkan respon positif dari masyarakat. Program tersebut belum
menunjukkan hasil yang nyata dilihat dari aspek ekologi, aspek sosial budaya maupun aspek sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Rehabilitasi zona penyangga TNMB tersebut dilakukan dengan pendekatan populis, mengingat hampir seluruh prosesnya lahir dari proses kesadaran (consciousness) bersama antara para pihak. Berdasarkan analisis ekologi politik ditemukan adanya; 1. Konflik akses SDA yang mulai bersifat manifest, 2. Konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan, 3. Konflik yang bersifat laten yang dipicu oleh kesenjangan kekuasaan, keterbatasan kepemilikan tanah, dan kesenjangan pendapatan, 4. Perbedaan perlakukan dalam hal jenis bibit tanaman yang harus ditanam selama program kerja sama berlangsung (antara OPR VS PT. LDO Jember yang diberi HGU), bermuara pada gagalnya program rehabilitasi, sekalipun intervensi Balai TNMB sudah maksimal dan memakai simbol berbasis pemberdayaan masyarakat, dan 5. Distribusi lahan atau pemberian akases dan hak menanam tanaman dalam zona rehabilitasi bagi kelompok masyarakat desa penyangga tidak linier atau tidak serta merta diikuti dengan dukungan penegakan hukum dari kelompok masyarakat OPR. Artinya, eksistensi OPR tidak berkontribusi secara nyata dalam ikut menekan angka tindak pidana hutan (tipihut) yang terjadi dalam kawasan TNMB. Kebijakan distribusi lahan untuk membuka akses dan hak menanam tanaman dalam kawasan TNMB, berimplikasi positif pada aspek sosial ekonomi rumahtangga kelompok masyarakat desa penyangga. Di sisi lain, kebijakan tersebut berdampak negatif terhadap aspek sosial budaya masyarakat (kearifan lokal) dan aspek ekologi (program rehabilitasi gagal). Kata kunci: ramifikasi, legalisasi akses menanam tanaman, dan ketidak pastian tenurial
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EKOLOGI POLITIK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI (TNMB) KABUPATEN JEMBER DAN KABUPATEN BANYUWANGI ERA REFORMASI POLITIK NASIONAL
ABD. QADIM HS
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS...................................................................... 2. Dr. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.................................................................... Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS............................................................. 2. Dr. Boen Purnama, MS....................................................................................
Judul Disertasi
Nama NRP Program Studi
: Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional : Abd. Qadim HS : P062030101 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Hadi S. Alikodra, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Tanggal Ujian: 31 Januari 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri Kabupaten Jember dan Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor. Penulis sangat menyadari bahwa disertasi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan banyak pihak. Tidak sempurna syukur seorang hamba kepada Allah Swt, tanpa rasa terima kasih kepada yang telah membantunya. Oleh karena itu, penulis wajib mengucapkan terima kasih yang sangat tulus dan tidak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr.Ir. H Hadi S Alikodra, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini; 2. Prof. Dr. Ir. H Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Prof. Dr. Ir H Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku mantan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, beserta staf yang telah memberikan semangat, nasihat dan dukungan serta pelayanan akademik yang maksimal selama masa studi; 3. Rektor Universitas Islam Jember Drs. H. Achmad Zein, M.Pd beserta stafnya yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor di SPS IPB; 4. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh stafnya yang telah memberikan kesempatan dan berbagai layanan akademik kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di SPS program Doktor IPB; 5. Seluruh staf pengajar Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) SPS IPB dan staf layanan akademik yang telah banyak memberikan bantuan akademik bagi penulis selama menempuh pendidikan Doktor; 6. Para narasumber dari akademisi, Kepala-kepala Dinas terkait di Pemkab Jember dan Banyuwangi, kawan-kawan Polhut dan para staf Balai TNMB, kawan-kawan LSM-L Jember dan Banyuwangi, kawan-kawan Ormas mahasiswa dan OPA Jember, para Kepala Desa dan Kasun desa-desa penyangga TNMB dan stafnya, Para Ketua dan anggota OPR dan LMDH di delapan desa penyangga, Bapak David Kesuma sekeluarga (Sukamade), para
petani Ketan Merah, dan tokoh masyarakat di tujuh desa penyangga TNMB, atas dukungan informasi dan penjelasannya. 7. Keluarga Bapak/Ibu Haji Sullam (Sarongan) atas keramahan dan kebaikannya menyediakan tempat tinggal/ menginap dan menjadi keluarga baru bagi penulis selama melakukan penelitian di dua desa di Banyuwangi. 8. Bapak H. Sarbini dan Ibu Hj. St Hasanah (Almrh)), kakak dan adik-adik penulis yang telah membantu membangun fondasi keilmuan dan merawat serta mengawal cita-cita penulis dengan kiriman do’a yang tiada hentihentinya kepada penulis; 9. Bapak Achamad Hadiroesmono (Alm) dan Ibu Hj. Kibtiyah (Mertua) yang terus mendorong dan memberi dukungan do’a, moral dan moril dan semangat untuk segera menyelesaikan tugas belajar; 10. Isteri tercinta Retno Handawiyah dan dua puteri kami: Rif’at Saidatul Hasanah Mataroakancilo dan Raziqa Malika Ilmi Mataroakancilo atas cinta, kasih sayang, dukungan moral, kesabaran dan pengertiannya yang tiada terkira selama mengikuti tugas belajar, menjadi semangat untuk menyelesaikan tugas belajar ini; 11. Keluarga besar Mas H. Sumadi dan Mbak Hj. Mariya Sumadi, memberi dukungan moral, semangat dan moril untuk segera menyelesaikan tugas belajar ini; 12. Sahabat-sahabat PCNU Kabupaten Jember, FPKB DPR-RI dan FPPP DPRD Kabupaten Jember yang telah banyak membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu; 13. Kawan-kawan mahasiswa PSL angkatan 2003, 2004, 2005 dan 2006 atas kebersamaan, dukungan dan penerimaannya menjadi teman diskusi tentang topik-topik yang terkait dengan penelitian ini. Peneliti berharaqp disertasi ini secara substantif akurat, dan dapat memicu peneliti dan para peminat masalah Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional lainnya, untuk menaruh penelitian lebih lanjut. Semoga Disertasi ini mendapat tanggapan dari khalayak akademis dan kaum intelektual yang berminat terhadap objek penelitian ini. Terima kasih atas doa dan kebaikan yang telah diberikan bapak, ibu, para sahabat dan keluarga kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas semua doa dan kebaikan bapak, ibu, para sahabat dan keluarga. Aamiin. Bogor, Februari 2012
Abd. Qadim HS
RIWAYAT HIDUP Abd. Qadim HS, lahir di Bima NTB pada tanggal 07 Desember 1967 adalah anak kedua dari 4 bersaudara dari ayah H. Sarbini dan ibu Hj. St Hasanah. Pendidikan SDN, SMPN 3 Bima dan SMAN 1 Bima diselesaikan di Kota Bima NTB. Pendidikan Sarjana Ilmu Pendidikan diperoleh dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jember tahun 1992. Tahun 1995, melanjutkan pendidikan di PPs Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Program Studi Ilmu Lingkungan, dengan beasiswa dari Bapedal PCI Australia (Kontrol Polusi Jawa Timur), sebagai penggiat LSM-L Jawa Timur, selesai tahun 1998. Tahun 2003 diterima sebagai mahasiswa program Doktor (S3/BPPS) PS Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana (SPS) Institut Pertanian Bogor (IPB). Menikah dengan Dra. Retno Handawiyah tahun 1996 dan telah dikaruniai dua orang puteri yaitu : Rif’at Saidatul Hasanah Mataroakancilo (10 tahun), dan Raziqa Malika Ilmi Mataroakancilo (6 tahun). Pengalaman bekerja dimulai dari menjadi Staf Pelatih dan Peneliti pada Divisi Pelatihan dan Penelitian YPSM Jember tahun 1991-1995, selanjutnya Divisi Pelatihan dan Advokasi LAKPESDAM NU Jember 1994-1999. Pada tahun 1999 sampai saat ini menjadi staf pengajar pada FKIP Universitas Islam Jember. Tahun 2003 menjadi staf pengajar pada Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Jember sampai saat ini. Selain aktif mengajar, peneliti juga aktif di Ormas keagamaan sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jember, dengan tugas khusus menangani masalah Lingkungan Hidup, HAM dan Kebijakan Politik Pembangunan Daerah, periode tahun 2004-2009 dan 2009 -2014. Tahun 2007 - 2009 ditunjuk oleh PBNU/PCNU Jember menjadi Ketua Tim Mediasi konflik okupasi 8.660-an Ha lahan hutan lindung dan produksi di Babansilosanen (batas utara TNNB), antara masyarakat desa hutan dengan Perum Perhutani KPH Jember. Tahun 2010 - 2015 penulis kembali ditunjuk oleh PWNU Jawa Timur sebagai Ketua Divisi Mitigasi dan Advokasi Bencana Pembangunan, Lingkungan dan Konflik Agraria pada Social Emergency Respons (SER) PWNU Jawa Timur.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xix BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................. 1 1.2 Kerangka Pemikiran ...................................................... 6 1.3 Permasalah Penelitian ................................................... 10 1.4 Tujuan Penelitian .......................................................... 13 1.5 Manfaat Penelitian ........................................................ 13 1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian ...................................... 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 19 2.1 Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Perspektif Ekologi Politik .............................................. 19 2.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Permasalahan Taman Nasional ............................................................. 23 2.2.1 Sejarah gerakan konservasi ............................... 23 2.2.2 Kategori tujuan, manfaat dan permasalahan Taman Nasional ................................................ 26 2.2.3 Konsep dan karakterisitk Taman Nasional ....... 28 2.2.4 Rehabilitasi kawasan penyangga TNMB .......... 31 2.3 Akses Masyarakat terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan .................................................................... 33 2.4 Hak-hak Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L .......... 35 2.5 Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L .. 38 2.6 Aktor (Elite) dan Konflik dalam Pengelolaan SDA-L ... 40 BAB III METODE PENELITIAN ....................................................... 43 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................ 43 3.2 Penentuan Substansi Penelitian ..................................... 45 3.3 Paradigma Penelitian dan Posisi Peneliti ...................... 46 3.4 Rancangan Penelitian .................................................... 48 3.5 Jenis dan Sumber Data ................................................... 48 3.6 Penentuan Sampel ......................................................... 53 3.7 Teknik Pengumpulan Data ............................................. 55 3.8 Validitas dan Reliabilitas Data ...................................... 57 3.9 Metode Analisis Data .................................................... 58 3.9.1 Analisis efektivitas dan polarisasi implementasi kebijakan .......................................................... 60 3.9.2 Analisis akses dan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan TNMB .......................................... 62 3.9.3 Analisis kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan TNMB ........................................... 63 BAB IV KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN .................... 65 4.1 Sejarah, Letak Geografis, Luas dan Batas Administratif ............................................................... 65 4.2 Iklim dan Curah Hujan .................................................. 67
Halaman Kondisi Hidrogeologi dan Sumberdaya Air .................. 67 Keadaan Tanah, Geologi dan Topografi ........................ 69 Keadaan Flora dan Fauna .............................................. 70 4.5.1 Keadaan flora ..................................................... 70 4.5.2 Keadaan fauna .................................................... 71 4.6 Kondisi Sosial Budaya dan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa-desa Penyangga TNMB ........................................ 72 4.6.1 Jumlah penduduk ............................................... 72 4.6.2 Tingkat pendidikan ............................................ 74 4.6.3 Jenis mata pencaharian ...................................... 75 4.7 Tata Guna dan Pemilikan Lahan .................................... 77 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. 79 5.1 Kebijakan pengelolaan TNMB dalam perspektif ekologi politik ................................................................ 79 5.1.1 Sumber-sumber politik pengelolaan TNMB sebagai sumber polarisasi dan konflik kepentingan aktor ............................................... 79 5.1.1.1 Pola hubungan Balai TNMB dengan Pemerintah Kabupaten ........................ 81 5.1.1.2 Pola hubungan Balai TNMB dengan kelompok LSM-L ............................... 90 5.1.1.3 Pola hubungan Balai TNMB dengan masyarakat desa-desa penyangga ....... 99 5.1.1.4 Pola hubungan Balai TNMB dengan PT. Perkebunan LDO dan Masyarakat Kebun ................................................. 115 5.1.1.5 Pola hubungan PT. LDO Jember (PT. Sukamade dan PT. Bandealit) dengan masyarakat ............................. 120 5.1.1.6 Pola hubungan masyarakat dengan LSM: Kasus Desa Wonoasri .............. 123 5.2 Kondisi Faktual dan Ramifikasi;................................... 129 5.2.1 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek sosial budaya ................................... 132 5.2.2 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek sosial ekonomi ................................. 136 5.2.3 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek ekologi ............................................. 143 5.2.4 Kondisi faktual; dilema konservasi alam klasik versus konservasi alam populis dalam pemberdayaan masyarakat ................................. 153 5.2.5 Efektivitas penegakan Hukum Kehutanan dan Lingkungan ........................................................ 158 5.2.5.1 Efektivitas penegakan hukum ............ 158 5.2.5.2 Efektivitas kelembagaan konservasi masyarakat .......................................... 169 4.3 4.4 4.5
BAB V
Halaman Aktor, pertarungan kepentingan dan perannya dalam pengelolaan TNMB ................................ 188 5.3 Dinamika dan ragam akses, hak dan kelembagaan masyarakat ..................................................................... 200 5.3.1 Dinamika dan ragam akses masyarakat desadesa penyangga ................................................. 200 5.3.1.1 Akses sumberdaya hutan TNMB konvensional ...................................... 200 5.3.1.2 Akses mafia pertambangan; ancaman pengelolaan TNMB ............................ 216 5.3.1.3 Gus Dur; Spirit akses pendudukan lahan ................................................... 253 5.3.2 Dinamika dan ragam hak masyarakat desa-desa penyangga .......................................................... 257 5.3.2.1 Hak-hak masyarakat desa penyangga berdasarkan pendekatan hukum ......... 257 5.3.2.2 Hak-hak masyarakat desa penyangga berdasarkan pendekatan teoritik ......... 263 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 269 6.1 Kesimpulan .................................................................... 269 6.2 Saran Kebijakan ............................................................. 271 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 273 5.2.6
DAFTAR TABEL Tabel
Judul
Halaman
1
Perbedaan antara preservasi dengan konservasi ..................................
25
2
Kategori internasional kawasan hutan Taman Nasional berdasarkan tujuan pelestarian .................................................................................
27
3
Kegiatan yang dibolehkan (√) d na dilarang (X) d lam a zon a tradisional taman nasional .................................................................... 29
4
Kegiatan-kegiatan yang dilarang (X) dalam berbagai kategori kawasan yang dilindungi ......................................................................
31
Desa-desa penyangga TNMB yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian ..............................................................................................
43
6
Tahapan penelitian yang dilakukan ......................................................
45
7
Jenis dan sumber data berdasarkan tujuan penelitian ..........................
49
8
Pokok penelitian, jenis dan sumber data ..............................................
50
9
Pertemuan lokal tentang pengelolaan kawasan hutan di Jember yang diikuti .......................................................................................
52
Distribusi responden untuk analisis implementasi kebijakan, akses, hak dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan TNMB ..................................................................................................
56
Kriteria dan teknik pemeriksaaan keabsahan/validitas data dinamika akses, hak dan kelembagaan ................................................................
57
12
Analisis wacana dan fenomena-fenomena penting yang diamati ........
59
13
Kelembagaan konservasi TNMB (Ketan Merah/OPR) bentukan Balai TNMB .........................................................................................
64
14
Tipe ekosistem pada setiap zonasi TNMB ...........................................
67
15
Sumberdaya air dalam kawasan TNMB ..............................................
68
16
Potensi sumberdaya air sungai-sungai dalam kawasan TNMB ...........
68
17
Jenis-jenis pemanfaatan sumberdaya air dalam kawasan TNMB ........
69
18
Jumlah penduduk dan kepala keluarga desa-desa penyangga TNMB ..................................................................................................
73
Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di desa-desa penyangga TNMB ................................................................................
74
Jenis mata pencaharian penduduk desa-desa penyangga di sekitar TNMB ................................................................................................
75
Rata-rata pendapatan masyarakat desa-desa penyangga TNMB .........
76
5
10
11
19 20 21
xiv
Tabel 22 23
24
Judul
Halaman
Keadaan tata guna lahan dan pola penggunaan lahan desa-desa di sekitar TNMB ......................................................................................
77
Sinergitas kerja-sama, konsolidasi dan interaksi antara Balai TNMB dengan para pihak dalam pengelolaan TNMB pasca penjarahan 1998/1999 ............................................................................................
82
Kualitas interaksi, sumber konflik, kerjasama, kolaborasi dan kontroversi antar aktor dalam pengelolaan kawasan TNMB 1999-2011 ............................................................................................
85
25
Persebaran permukiman liar (illegal settlement) dalam kawasan TNMB menurut pihak Balai TNMB ...............................................….. 105
26
Nama-nama warga desa penyangga dan tempat tujuan perantauan untuk mengubah nasib, sekarang mereka kembali ke desa asalnya .................................................................................................. 107
27
Upah pekerja perkebunan PT. LDO Jember (PT. Bandealit Jember dan PT. Sukamade Baru Banyuwangi) berdasarkan jenis pekerjaan .............................................................................................. 114
28
Substansi nilai, sikap dan perilaku sosial budaya yang mengalami pergeseran dan perubahan .......................................................….....… 135
29
Manfaat program rehabilitasi (MPR) terhadap pendapatan kotor para petani di lahan rehabilitasi .................................................................... 137
30
Kenaikan standar upah harian di desa-desa Sarongan dan Kandangan ........................................................................................... 138
31
Rerata biaya yang dikeluarkan oleh para petani dalam setiap kegiatan pertanian dan perladangan .................................................................... 139
32
Efektivitas kebijakan distribusi pemanfaatan lahan terhadap peningkatan pendapatan ekonomi keluarga (rumah tangga) para petani ..................................................................................................... 140
33
Manfaat distribusi lahan zona rehabilitasi terhadap peningkatan pendapatan para petani ......................................................................... 141
34
Kategori keberhasilan tumbuh dan persentase hidup tanaman hidup tanaman pokok program rehabilitasi TNMB ....................................... 144
35
Perbandingan rerata persentase hidup per jenis tanaman pokok dalam zona rehabilitasi .................................................................................... 147
36
Perbandingan jumlah jenis dan persentase tanaman pokok dalam zona rehabilitasi TNMB ....................................................................... 147
37
Efektivitas kebijakan dilihat dari ketaatan para petani OPR melaksanakan kewajiban dan mendapatkan hak rehabilitasi …........... 150
38
Realisasi program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat desa-desa penyangga oleh Balai TNMB ….…...................................... 157
xv
Tabel 39 40 41 42 43 44
45 46 47 48 49 50
51 52 53 54 55
56
Judul
Halaman
Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB tahun 1995/1996-2000 ...............................................................................
158
Akses illegal pengambilan kayu perkakas tahun 1995/1996-2004 di dalam kawasan TNMB ....................................................................
159
Frekuensi pelanggran hutan dalam kawasan TNMB tahun 2000-2004 ........................................................................................
160
Kasus pelanggaran hutan dan kerugian materi tahun 2000-2004 Balai TNMB .....................................................................................
162
Indeks jenis kasus tindak pidana bidang kehutanan berdasarkan penyidik tahun 2005-2009 di Balai TNMB .....................................
164
Efektivitas kebijakan dilihat dari dukungan, ketaatan dan keterlibatan masyarakat dan OPR dalam membantu upaya penegakan hukum ............................................................................
165
Kelembagaan intra masyarakat desa; perhatian dan kontribusi pada masalah pengelolaan TNMB ..................................................
172
Kontribusi dan deviasi fungsi dan peran kelembagaan konservasi desa ..................................................................................................
174
Bantuan ternak dan peralatan dan pemberdayaan masyarakat yang pernah diberikan oleh TNMB ...........................................................
181
Pelatihan, bantuan modal dan bibit dalam pemberdayaan masyarakat yang pernah diberikan oleh TNMB ..............................
182
Kontribusi, fungsi dan peran para pemimpin nonformal desa-desa penyangga dalam pengelolaan TNMB .............................................
187
Aktivitas pemimpin di desa-desa penyangga berkaitan dengan pengelolaan dan pengambilan hasil hutan dalam kawasan TNMB ..............................................................................................
188
Peran dalam mekanisme akses para aktor berdasarkan teori Ribbot dan Peluso (2003) ................................................................
193
Identifikasi aktor, kepentingan, peran, kelemahan dan kekuatan dalam implementasi kebijakan TNMB ...........................................
194
Interaksi antara aktor institusional dalam perlawanan dan pertarungan akses pengelolaan kawasan TNMB 1999/2009 ..........
198
Akses pengambilan kayu perkakas tahun 1995/1996-2004 dalam kawasan TNMB ...............................................................................
203
Penggunaan waktu dan intensitas pemanfaatan kayu bakar dan bambu oleh para aktor tingkat 1 (satu) di desa-desa penyangga TNMB ............................................................................................. Lokasi pengambilan bambu oleh kelompok masyarakat desa penyangga TNMB ............................................................................
xvi
210
210
Tabel 57
Judul
Halaman
Jenis, lokasi, waktu, jumlah dan harga tumbuhan obat yang paling banyak diakses oleh warga masyarakat desa penyangga dari dalam kawasan TNMB ............................................................................
212
Daftar harga beberapa jenis bambu per satuan yang biasa diakses oleh aktor tingkat pertama di desa penyangga TNMB ...............................
216
Gerakan kontra akses tambang koalisi LSM-L dan organisasi pencinta alam (OPA) Jember ...............................................................
231
Perubahan RTRW kabupaten Jember demi memuluskan akses tambang di sekitar kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen .....................................................................................
243
Tim Ahli Pemkab Jember yang melakukan studi kelayakan dan legalisasi kegiatan pertambangan secara akademik .............................
248
62
Proses akses lahan dalam kawasan TNMB ..........................................
256
63
Luas lahan pendudukan dan jenis tanaman pokok yang dibagikan dan ditanam tahun 2002 dan 2003 .........................................................
257
64
Hak-hak konkrit kelompok masyarakat desa-desa penyangga atas sumberdaya hutan dan lahan TNMB yang sudah berjalan ...................
260
Kesepakatan kegiatan rehabilitasi pada zona rehabilitasi TNMB berdasarkan SK No: 947/Sek.01/VI-TNMB/2003 …….......................
262
66
Hak-hak masyarakat dalam pengelolaan TNMB .................................
263
67
Proses legalisasi hak berpartisipasi dalam kawasan rehabilitasi TNMB ..................................................................................................
267
58 59 60
61
65
xvii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Judul
Halaman
Histogram nilai penting biologi dan sosial ekonomi taman nasional di Indonesia ....................................................................
2
Histogram perbandingan derajat total tekanan dan ancaman taman nasional di Indonesia ................................................................
5
3
Kerangka pemikiran penelitian ......................................................
9
4
Desa-desa penyangga TNMB yang menjadi lokasi penelitian ......
44
5
Proses transisi, perpaduan dan saringan penampakan fenomena berdasarkan interpretasi informan dan peneliti yang berbeda selama proses penelitian, modifikasi dari Gőnner (2001) ..............
56
6
Tahapan pelaksanaan penelitian ...................................................
58
7
Bagan alir proses verifikasi dan analisis implementasi kebijakan pengelolaan TNMB; Modifikasi dari Sugiono (2007) ...................
61
Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme dan hubungan akses atas SDA-L dalam kawasan TNMB (Sumber: Ribot & Peluso 2003; Modifikasi dari Sugiono (2007) ...............................................................................
62
Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme dan hubungan tenurial hak-hak atas SDA-L dalam kawasan TNMB (Sumber: Schlager & Ostrom 1992; Lynch 1995; FAO 2002; Modifikasi dari Sugiono 2007) ...................................
63
Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme dan interaksi kelembagaan masyarakat dalam kawasan TNMB; Sumber: Merton (1975), Horton & Hunt (1991); Cohen (1992); Ostrom (1992); Kartodihardjo (2006); Modifikasi dari Sugiono (2007) ...............................................................................
64
Denah Rajekwesi ± tahun 1949 menurut tokoh masyarakat Kampung Rajekwesi dan desa Sarongan, setelah terjadi penangkapan warga yang mengankut kayu jati oleh petugas PHPA April 2008, bahwa Rajekwesi bukan dalam kawasan TNMB (Dokumen Sejarah Kampung Rajekwesi Desa Sarongan, 2008) ..............................................................................................
111
Denah Rajekwesi ± tahun 1949-1950 menurut tokoh masyarakat Kampung Rajekwesi dan desa Sarongan, setelah terjadi penangkapan warga yang mengankut kayu jati oleh petugas PHPA April 2008, bahwa Rajekwesi bukan dalam kawasan TNMB (Dokumen Sejarah Kampung Rajekwesi Desa Sarongan 2008) Analisis wacana dan fenomena-fenomena penting yang diamati ............................................................................................
112
2
8
9
10
11
12
xix
Gambar 13
Judul
Halaman
Perbandingan pola hubungan antara Balai TNMB dengan LSM-L dan masyarakat setempat ...............................................................
125
Dinamika pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB pada situasi politik nasional chaos tahun 1995/1996-1999/2000 ......................
160
Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB tahun 2000-2004 .........................................……………………….........
161
Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB selama periode tahun 2005-2009 ...............................................................
164
Petugas TNMB sedang mengecek dan mengukur omtrek tunggak kayu Garu barang bukti yang ditemukan di TKP .........................
169
Pertarungan antara kelompok pro akses tambang (instrumen negara) versus elemen kontra akses tambang dalam kawasan lindung dan konservasi TNMB ......................................................
190
Demonstrasi masyarakat anti tambang pada kawasan konservasi dan kawasan lindung di Jember (TNMB dan Paseban-P Nusa Barong) ..........................................................................................
192
Histogram dinamika akses SDH TNMB berdasarkan kasus pelanggaran hutan tahun 1995/1996-2004 .....................................
204
Grafik jumlah akses ilegal kayu jati dan kayu rimba tahun 1995/1996-2008 (BKSDA, 1995-1998; BTNMB 1998-2009) ......
206
Pola interaksi antar aktor dalam mengakses sumberdaya hutan TNMB .............................................................................................
207
Pengambilan bambu oleh masyarakat untuk berbagai keperluan ........................................................................................
209
Akses rotan yang berhasil disita Balai TNMB (Dokumentasi Balai TNMB) .................................................................................
211
Dinamika akses perburuan satwa dalam kawasan TNMB tahun 2005-2008 ......................................................................................
213
Pertarungan akses industri pertambangan versus akses kayu dan akses lapar lahan pada kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen dalam situasi ketidak-pastian politik ...................
219
27
Akses dan hak pemanfaatan lahan ilegal oleh masyarakat ............
255
28
Pertarungan memperoleh hak dalam kawasan TNMB tahun 1999-2010 ........................……………………..............................
259
Okupasi lahan oleh masyarakat di desa dan di desa Andongrejo ....................................................................................
266
14 15 16 17 18
19
20 21 22 23 24 25 26
29
xx
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar belakang Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), dari aspek Biological Importance Value (BIV) merupakan Taman Nasional terkaya nomor 1 (satu) dari 42 (empat puluh dua) Taman Nasional yang ada di Indonesia, dengan nilai BIV: 47 point (Gambar 1), peringkat kedua ditempati oleh TN Lorenzt, TN Danau Sentarum dan TN Karimun Jawa, dengan nilai BIV: 45 point, dan pada peringkat ketiga ditempati oleh TN Gunung Leuser, TN Komodo, TN Gunung Halimun Salak, TN TN Ujung Kulon, dan TN Sembilang, dengan nilai BIV: 42 point. TNMB dengan luas total 58.000 Ha merupakan Taman Nasional terluas di propinsi Jawa Timur, jika dibandingkan dengan 3 (tiga) Taman Nasional lainnya yang ada, yakni; (1) TN Bromo TS dengan luas 50.276,3 Ha, (2) TN. Alas Purwo dengan luas 43.420 Ha, dan (3) TN Baluran dengan luas 25.000 H (BAPEDDA 1997/1998). Di lihat dari aspek Social Economic Importance Value (SEIV), urutan peringkat nilai sebagai berikut; peringkat pertama adalah TN Gunung Leuser dengan nilai SEIV: 48,5 point,
peringkat kedua adalah TN Kerinci Sebelat
dengan nilai SEIV: 47 ponit, peringkat ketiga ditempati oleh TN Danau Sentarum dengan nilai SEIV: 45 point, dan pada peringkat ke empat ditempati oleh TN Meru Betiri, TN Bukit Barisan, dan TN Wasur, dengan nilai SEIV: 42 point (RAPPAM 2004). Kekayaan tersebut merupakan potensi positif bagi konservasi sumberdaya alam dan lingkungan (SDA-L) Indonesia. Hal ini menjadi modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai-macam kepentingan pembangunan berkelanjutan, termasuk untuk peningkatan derajat kesejahteraan ekonomi dan sosial budaya masyarakat perdesaan di sekitarnya. Potensi peringkat pertama untuk BIV dan keempat untuk
SEIV nasional tersebut, ternyata menghadapi masalah
kompleksitas sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Masalah tersebut berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kebijakan politik pengelolaan Taman Nasional.
2
Gambar 1 Histogram nilai penting biologi dan sosial ekonomi Taman Nasional di Indonesia (RAPPAM 2004) Kebijakan politik pengelolaan taman nasional era rezim Orde Baru -termasuk pengelolaan TNMB-- di satu sisi, demi perlindungan SDA-L yang ada di dalamnya, telah memotong dan merintangi akses (access) dan hak (rights) serta represif terhadap kelembagaan (institution) masyarakat sekitarnya. Pada sisi lain, dengan legalitas Surat Izin Hak Guna Usaha (HGU), ia memberi akses dan hak ekslusif terhadap kelompok minoritas dominan PT. Ledokombo Jember (PT. LDO) untuk memanfaatkan SDA-L dalam kawasan Taman Nasional. Pembatasan dan kontrol atas akses dan hak-hak masyarakat lokal terhadap SDA-L merupakan bentuk-bentuk kekerasan ekologis (eco-violence) yang sering terjadi dalam praktik kebijakan pengelolaan SDA-L di banyak negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin (Salmi 2006). Pemberian akses dan hak eksklusif (private property) tersebut menunjukan inkonsistensi sekaligus keberpihakan UU No. 5/1990 dengan memeperdagangkan (tradable title) zona kawasan
pada
kelompok minoritas dominan. Dalam kebijakan pengelolaan TNMB, dengan mengandalkan argumentasi sejarah, akses dan hak privasi dapat diberikan kepada PT. Sukamade Baru Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember sebagai anak perusahaan PT. Ledokombo (LDO) Jember, untuk mengelola zona pemanfaatan khusus seluas 2.154 Ha (1994)1,2 atau zona penyangga 2.155 Ha (1999)3 dalam kawasan TNMB. 1
SK DirJend PHPA Nomor: 68/KPTS/DJ-VI/1994, tanggal 30 April 1994
3
Akses dan hak ekslusif diberikan dan atau diperoleh seseorang atau suatu perseroan
merupakan bentuk penghargaan serta pengendalian politik yang
bermuara pada ketidak-adilan distribusi SDAL. Pengendalian atas SDA-L, dimaksudkan untuk menundukan masyarakat atau pengusaha ke dalam kendali sosial politik dan ekonomi pemerintah (Gorz
2002). Mitchell et al. (2003)
menunjukkan bahwa akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang dapat menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh pranata hukum atau hak milik yang terkonsentrasi kepada kelompok kecil masyarakat, sehingga menimbulkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain, yang kemudian memicu lebih banyak akibat lain. Ketidak-adilan akses, hak dan kelembagaan masyarakat atas SDA-L bersumber dari kebijakan politik pemerintah, yang berakumulasi dengan masalah rendahnya tingkat pendidikan, tekanan ekonomi dan penguasaan lahan yang sangat terbatas, pertumbuhan penduduk, serta stabilitas politik nasional dan lokal. Akumulasi masalah tersebut, ketika situasi politik nasional, regional atau lokal chaos memicu masyarakat untuk terus menekan dan mengancam secara massif eksistensi kawasan TNMB sebagai kawasan konservasi (Gambar 2). Perspektif politik konservasi ecofasisme, tekanan masyarakat adalah ancaman konservasi SDA-L yang harus ditekan melalui pengawasan (control) oleh institusi yang kuat (badan supranasional) (Dietz 1998). Kontrol dan penutupan akses yang kuat selama rezim Orde Baru berkuasa terhadap masyarakat desa-desa penyangga dalam pengelolaan kawasan TNMB
telah mempersempit
ruang gerak
masyarakat; Sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa penyangga berada dalam kategori miskin kronis dengan penguasaan lahan yang sangat terbatas dan tidak merata. Tingkat penguasaan lahan pertanian masyarakat desa-
2
HGU atas areal TNMB tersebut berdasarkan SK Menhut No: 131/Kpts-II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Sukomade Baru yang terletak di TNMB Kabupaten Banyuwangi, seluas 1.098 Ha; Dan SK Menhut No: 132/Kpts-II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Bandealit yang terletak di TNMB Kabupaten Jember, seluas 1.057 Ha, yang selanjutnya ditetapkan sebagai zona penyangga Taman Nasional, tanggal 23 Pebruari 1998. SK Menhut ini dikeluarkan berdasarkan Surat Persetujuan Menhut No: 1194/MenhutII/1997 tanggal 7 Oktober 1997, tentang persetujuan pelepasan kawasan hutan bekas areal Perkebunan PT Sukamade Baru dan bekas areal perkebunan PT Bandealit. 3 SK DirJend PKA No: 185/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999; SK Menhut Nomor: 131/KptsII/1998, pada zona pemanfaatan khusus PT. Sukamade Baru terdapat penambahan luas 1 Ha, dari 1.097 Ha (HGU 19601980) menjadi 1.098 Ha (HGU 1998-2022) untuk masa operasi 25 tahun, dan dapat diperpanjang lagi hingga 35 tahun kemudian (hingga tahun 2057).
4
desa penyangga TNMB di kabupaten Jember dan Banyuwangi rata-rata 1,020 Ha/KK. Melemahnya kontrol pemerintahan rezim Orde Baru atas sejumlah kawasan hutan dan taman nasional secara nasional, mendorong banyak pihak -terutama aparat penegak hukum, aparat keamanan, pengelola taman nasional, birokrat dan pengusaha kayu lokal -- melakukan aksi ambil untung, dengan membayar tenaga masyarakat desa penyangga untuk menjarah kayu jati dan kayu rimba yang berada dalam kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen. Stabilitas politik nasional yang sangat labil dan perilaku aparat pemerintah seperti disebut di atas mendorong masyarakat desa penyangga untuk melakukan hal yang sama -- tidak sekedar sebagai tanaga bayaran-- dengan melakukan konsolidasi nilai dan aksi penjarahan dan okupasi lahan secara massal. Kebijakan politik dan situasi sosial politik tahun 1997 hingga 2003, dalam kasus pengelolaan TNMB, mengacu kepada perspektif ekologi politik Bryant (1992), merupakan situasi sosial politik yang tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan kausalitas dari tiga faktor utama, yakni sumber-sumber politik, kondisi dan ramifikasi. Salah satu dampak dari ketiga faktor tersebut adalah melemahnya kontrol badan supranasional dan bahkan badan supranasional memposisikan dirinya sebagai aktor penting dari melemahnya kontrol atas kawasan, sehingga menggiring dan memaksa kawasan TNMB masuk dalam kondisi dan kompleksitas politik perubahan lingkungan di wilayah Tapal Kuda Jawa Timur. Dampak lanjutan dari penjarahan adalah okupasi lahan. Penanganan masalah okupasi lahan, dalam situasi sosial politik yang labil, bagi Balai TNMB tidak ada pilihan lain untuk keluar dari masalah tersebut kecuali dengan melegalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi secara bersyarat kepada beberapa kelompok masyarakat desa-desa penyangga dalam kendali Balai TNMB.
Penjarahan kayu dan okupasi lahan
TNMB pada situasi sosial politik yang diuraikan di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk atau gerakan akses yang dikembangkan oleh Ribot dan Pelusso (2003). Legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi secara terbatas, menghatarkan kelompok-kelompok
5
masyarakat desa penyangga menjadi “memiliki sejumlah hak” atas lahan dalam kawasan rehabilitasi (Schlager dan Ostrom 1992).
Gambar 2 Histogram perbandingan derajat total tekanan dan ancaman taman nasional di Indonesia (RAPPAM 2004) Menghadapi situasi di atas, Balai TNMB berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: 6186/Kpts-II/2002, ditugaskan untuk ”Menjalankan pengelolaan kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut, maka TNMB menyusun Rencana Strategis (Renstra) berdasarkan Visi, yakni; ”Terwujudnya pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri secara optimal, lestari dan berkeadilan, yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat” (BTNMB 2007). ditetapkanlah
misi
pengelolaan
TNMB,
yakni;
Dari visi tersebut, maka (1)
melindungi
dan
mempertahankan keutuhan kawasan beserta potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, (2) memanfaatkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan, (3) memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan melalui program kemitraan dengan LSM-L nasional dan lokal, dengan atau tanpa MoU dan (4) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan manajemen pengelolaan kawasan (BTNMB 2007).
6
1. 2 Kerangka Pemikiran Pengelolaan Taman Nasional –termasuk TNMB— dirancang dan dilaksanakan berdasarkan visi, misi dan strategi yang formulasinya disesuaikan dengan dinamika politik nasional, regional dan lokal. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru (1997/1998), Balai TNMB harus membuat formula baru mengenai pola hubungannya dengan para pihak, terutama kalangan
LSM-L dan masyarakat
sekitar kawasan yang menggantungkan hidupnya pada kawasan TNMB. Dinamika dan situasi sosial politik tersebut menunjukan pengaruhnya yang signifikan terhadap eksistensi kawasan dan kinerja Balai TNMB dalam mengelola kawasan. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: 6186/Kpts-II/2002 , tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh Balai TNMB adalah ”menjalankan pengelolaan kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut, maka TNMB menyusun Rencana Strategis (Renstra) berdasarkan Visi, yakni; ”terwujudnya pengelolaan TNMB secara optimal, lestari dan berkeadilan, yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat” (BTNMB 2007). Menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di atas pada situasi politik yang telah bergeser atau berubah, Balai TNMB berjalan dalam koridor sejumlah sumber-sumber politik, berhadapan dengan sejumlah situasi dan kondisi sosial faktual serta masalah ramifikasi (Bryant, 1992) yang muncul hampir secara bersamaan. Kompleksitas situasi dan kondisi sosial demikian, sebagian belum sempat dipikirkan atau diprediksi oleh para penyelenggara birokrasi pemerintah, sehingga para pihak yang bertanggung-jawab relatif kesulitan untuk mengurai masalah, menentukan solusi yang tepat sasaran dan menyelesaikan masalah konflik kepentingan dan perebutan akses dan hak atas SDA-L dalam suatu kawasan. Bahkan tidak jarang, penanggung-jawab suatu institusi pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang sifatnya prematur yang justeru menimbulkan masalah berkelanjutan dan lebih rumit untuk diselesaikan, seperti pada kasus legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB.
7
Terkait dengan masalah di atas, bahwa idea legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman
dimaksudkan
untuk
mendukung
percepatan
program rehabilitasi. Namun, pada praktiknya, rehabilitasi ternyata bukanlah sekedar aksi menanam an sich yang telah menjadi bagian dari hidup masyarakat agraris. Menanan bagi masyarakat desa sekitar kawasan memiliki beragam makna yang harus dicermati dalam banyak dimensi (dimensi nilai ekonomi, sosial politik, strategi bertahan dalam kawasan, solidaritas serta kuasa kelompok dan individu), untuk melawan ketidak-adilan akses dan hak atas SDA-L yang diterapkan oleh pemerintah. Pembentukan kelembagaan konservasi masyarakat organisasi petani rehabilitasi/ kelompok tani rehabilitasi
(OPR/ KetanMerah)
sebagai syarat
legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman juga dimaksudkan untuk mendukung percepatan rehabilitasi zona penyangga berbasis masyarakat. Namun eksistensi
lembaga
konservasi bentukan Balai TNMB tersebut tidak linier
dengan program rehabilitasi, pengawasan dan
penegakan
hukum
atas
pelanggaran hutan (tipihut) yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan. Tekanan dan stigma sosial yang mengacu kepada sumber-sumber politik pengelolaan TNMB terhadap kelompok masyarakat desa-desa penyangga dalam mengakses dan mendapatkan hak-hak mereka atas potensi SDA-L, pengabaian sejarah dan keberlanjutan hidup masyarakat sekitarnya, serta secara nyata hanya berpihak kepada kelompok minoritas bermodal, bermuara pada timbulnya beragam resistensi sosial. Persaingan akses, dan hak antar aktor atau kelompok masyarakat untuk mendapatkan SDA-L dalam kawasan TNMB saat ini relatif tinggi.
Fakta-fakta sosial dilapangan
menunjukkan
bahwa
integrasi
kepentingan antara pihak pengelola TNMB demi idealisme konservasi dengan masyarakat sekitar kawasan demi bertahan hidup (nyoon odi’ pada negaranya) dan
pihak PT. Ledokombo (LDO) Jember
demi kepentingan pragmatisme
ekonomi, serta kepentingan para pihak lainnya pada eksistensi TNMB, dalam hal-hal yang mendasar belum berjalan secara optimal. Artinya, para pihak berjalan dengan pikiran dan kepentingannya masing-masing. Tekanan dan ancaman masyarakat terhadap eksistensi kawasan TNMB, karena itu tidak cukup hanya dibendung dengan argumentasi politik dan hukum positif yang cenderung naif. Analisis ekologi politik model Bryant (1992) untuk
8
mendalami implementasi kebijakan, dinamika persaingan, jaringan dan pola-pola akses, hak dan kelembagaan masing-masing aktor atau kelompok masyarakat pada kasus pengelolaan TNMB era reformasi politik nasional menjadi sangat penting untuk dilakukan, sehingga tekanan dan ancaman terhadap eksistensi dan keberlanjutan TNMB sebagai kawasan konservasi dapat dikelola secara positif. Situasi dan kondisi --saling klaim, sikap dan perilaku serta stigma kebijakan Balai TNMB-- telah mengganggu fokus dan kinerja konservasi Balai TNMB. 4 Guna mengawal dan mendukung kinerja konservasi, rehabiltasi berbasis pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (PPM)
secara simbolis telah
dilakukan oleh Balai TNMB. Namun, gerakan tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dilihat dari aspek sosial budaya, aspek sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan aspek ekologi. Hal ini berarti masih ada masalah mendasar yang belum disentuh dan dibahas oleh pihak pengelola dan para pihak terkait, sebagai arah baru pengelolaan TNMB, yakni yang berkaitan dengan tata kuasa dan pendekatan teknis untuk menyelesaiakan masalah-masalah pendek.
4
Wawancara dengan tokoh masyarakat Rajekwesi Oktober 2007 di Dusun Rajekwesi
jangka
9
PRA REFORMAS: 1. 2. 3. 4.
TUPOKSI TNMB (SK Menhut No: 6186/Kpts-II/2002): 1. Perlindungan, pengamanan & pertahankan keutuhan kawasan serta potensi SDAHE 2. Pengawetan dan pemanfaatan potensi SDAHE berkelanjutan, 3. Pemberdayaan dan peningkatan kesra/masy (program kemitraan) 4. Peningkatan kualitas SDM dan manajemen kawasan 5. Bina wisata (BTNMB 2007)
60% hutan jati habis dibalak Zona penyangga steril dari okupasi Konflik kawasan: Laten Pelanggaran hukum tinggi
ERA REFORMASI: Penjarahan 40% sisa hutan jati Konflik: ketidak-adilan akses & Hak Lapar lahan → (Okupasi lahan) Stigma kebijakan Institusi (OPR) →Alat perlawanan. Konflik klaim Kawasan Penegakan Hukum ↓ : Okupasi lahan dan Pelanggaran Hutan ↑ 8. Deforestrasi zona rehabilitasi 9. Kerja sama & integrasi para pihak
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
KINERJA BTNMB 1. Rehabilitasi 2. PPM & Kemitraan 3. Penegakan hukum & Kelembagaan Konservasi 4. Legalisasi okupasi lahan zona rehabilitasi→ Rusak 5. Hak kelola ekowitasa?
EKOPOLITIK (Bryant 1992): 1. SUMBER POLITIK Kebijakan negara Peran dan tekanan negara & dunia pada LH 2. KONDISI Konflik klaim & konflik sejarah kawasan Penegakan Hukum : Okupasi & Tipihut 3. RAMIFIKASI Konsekuensi politik (produk kebijakan) Dampak sosekbud & LH kebijakan politik:
REKOMENDASI KEBIJAKAN: 1. Tata kuasa Rehabilitasi 2. Pendekatan Teknis
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian.
KINERJA NAIK (+), JIKA KEBIJAKAN DIPERBAIKI ?
10
1. 3 Permasalahan Penelitian TNMB ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan SK
Menteri
Kehutanan No. 277/Kpts-VI/1997. Perubahan status menjadi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) membutuhkan waktu yang sangat panjang, yakni dari tahun 1938 dengan status sebagai hutan lindung hingga tahun 1997 atau lebih dari 70 (tujuh puluh) tahun. Sejak dulu hingga ditetapkannya sebagai Taman Nasional, TNMB terus menghadapi masalah internal maupun eksternal. Legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB yang diakses oleh masyarakat pasca penjarahan kayu jati dan kayu rimba dalam kawasan TNMB (1997-2003) dan pembentukan kelembagaan konservasi masyarakat desa penyangga TNMB, dianggap sebagai solusi masalah terbaik untuk memperbaiki pola hubungan dengan kelompok masyarakat desa penyangga, guna mendukung gerakan rehabilitasi dan penegakan hukum dalam kasus tindak pidana hutan (tipihut). Permasalahan akses dan hak menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB yang dilegalkan pada Agustus 2003 kepada kelompok masyarakat di 7 (tujuh) desa penyangga, saat ini mulai menimbulkan isu tenurial yang mengarah kepada “ketidak-pastian tenurial“ (tenurial insecurity) bagi masyarakat desa penyangga dan juga bagi pihak pengelola TNMB sendiri. Tenurial insecurity terutama berkaitan dengan upaya, proses dan teknis “pengambil-alihan” lahan yang telah didistribusikan kepada warga masyarakat pasca program kerja-sama rehabilitasi berbasis kemitraan (pemberdayaan masyarakat) berakhir
Agustus 2008. Pembiaran kawasan penyangga TNMB
dalam kondisi tenurial insecurity atau pun penegakan hukum yang ketat, memiliki peluang yang sama untuk melahirkan masalah sosial yang lebih rumit pada masamasa mendatang, sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan penyesuaian secara mendasar dan atau terpaksa harus melenturkan sumber-sumber politik yang sudah ada, menghadapi gerakan masyarakat lapar lahan dan tuntutan keadilan akses, hak dan perlakuan yang sama atas SDA-L yang ada dalam kawasan TNMB. Secara internal, Balai TNMB berhadapan dengan banyak masalah seperti, masalah profesionalisme dan kemampuan aparat atau sumberdaya manusia
11
(SDM) dalam menjaga dan mengelola kawasan, keterbatasan dalam melakukan sosialisasi kebijakan lembaga pada masyarakat desa-desa penyangga. Selain itu, juga keterbatasan
sarana dan
prasarana dalam
mempertahankan
keutuhan
kawasan agar berfungsi optimal, penataan dan pembinaan daya dukung kawasan, pemanfaatan potensi kawasan, efektifitas pemeliharanan dan pemantauan pal batas zonasi yang belum maksimal dan belum jelas antara masing-masing zonasi karena keterbatasan dana, pembuatan batas luar kawasan dengan desa-desa penyangga belum ada atau belum dilakukan, pembagian zonasi di lapangan masih belum jelas dan batas-batas zonasi di lapangan ditentukan berdasarkan perbedaan vegetasi yang ada (bersifat imajiner), sehingga memungkinkan bagi masyarakat atau PT. Bandealit dan PT. Sukamade melakukan perluasan kawasan secara sepihak tanpa sepengetahuan pihak Balai TNMB. Secara eksternal, Balai TNMB juga berhadapan dengan sejumlah masalah, seperti, konflik kepentingan yang bersifat laten antara idealisme konservasi pihak Balai TNMB dengan pragmatisme pihak PT. Ledokombo (PT LDO) yang membawahi PT. Bandealit dan PT. Sukamade. Kedua perusahaan perkebunan tersebut bertindak curang, merusak ekosistem hutan cadangan dengan menggerogoti batas kebun, menanam tanaman keras seperti PTPN, yang memicu kecemburuan masyarakat desa penyangga yang melakukan rehabilitiasi. Eksistensi PT. LDO sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi upaya konservasi TNMB, dan juga bagi perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa di sekitarnya.
Keberadaan masyarakat pekerja di dua perusahaan
tersebut juga mengancam keberlanjutan kawasan. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi kinerja Balai TNMB. Terkait dengan eksistensi PT. Bandealit dan PT. Sukamade, pihak Balai TNMB telah mengajukan permohonan kepada Dirjen PHKA, melalui Surat No. 5.552.1/BTNMB.01/2008, untuk meninjau kembali Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 132/Kpts-II/1998, serta izin Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT. Bandealit Jember. Klaim hak atas kawasan antara Balai TNMB dengan masyarakat sekitar dan TNI AD, mulai menimbulkan konflik. Bagi pihak Balai TNMB, masyarakat yang bermukim dalam kawasan TNMB adalah pemukim liar dan illegal (illegal settlements); Sementara dari pihak masyarakat di sejumlah lokasi dalam kawasan
12
TNMB, baik Jember maupun Banyuwangi, mulai mencuat dampak dari masalah latent, yakni resistensi atas klaim legalitas hukum positif versus legalitas akses dan hak atas SDA-L berdasarkan fakta sejarah, seperti kasus Rajekwesi 2008. Masalah ini untuk sebagian besar sudah mengalami proses pembusukan, sebagai akibat perbedaan akses, hak dan perlakuan pemerintah terhadap masyarakat desa penyangga dengan pihak PT. Sukamade dan PT. Bandealit. Proses pembusukan ini sangat berbahaya bagi eksistensi Balai TNMB. Dampak dari akumulasi masalah pengelolaan TNMB adalah tekanan dan ancaman berupa tindak pencurian flora dan fauna (non timber forest product) untuk kebutuhan domestik dan komersial, kebakaran hutan (forest fire), perburuan illegal (illegal hunting) dan pencurian kayu (illegal logging) yang setiap tahunnya cenderung mengalami kenaikan 5. Selain harus mengurai hubungan dengan PT. LDO dan masyarakat desa penyangga, masalah dukungan dari para pihak terkait juga masih relatif minim, konflik antara Balai TNMB dengan kelompok LSM-L, dan konflik antar LSM-L yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat di beberapa desa penyangga TNMB. Dari banyak permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk pola hubungan (relasi sosial), sumber-sumber politik, dan konflik kepentingan sebagai konsekuensi dari kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB dalam perspektif ekologi politik? 2. Bagaimanakah kondisi faktual, ramifikasi, konsekuensi kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB dan respon para aktor, peran dan kepentingannya terhadap program rehabilitasi lahan okupasi TNMB berbasis PPM dalam perspektif ekologi politik? 3. Bagaimanakah ragam bentuk dinamika kepentingan kelembagaan
masyarakat dalam
akses, hak-hak dan
memanfaatkan akses menanam tanaman
keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB? 5
Permasalahan illegal logging atas hutan jati (Tectona Grandis) di dalam zona rehabilitasi dari luas total zona: 5.470 Ha (1995) atau turun menjadi 4.023 (2005) yang ditanam oleh Perum Perhutani pada tahun 1967-1969, sekitar 60% telah dibabat habis pada masa tenang era Orde Baru hingga jatuhnya rezim tersebut pada bulan Mei tahun 1997. Sisanya, sekitar 40% dibabat habis secara sistematis dan berjama’ah oleh aparat TNI/Polri, Polhut/Jagawana dan masyarakat desa (sebagai tertuduh) pada awal era reformasi tahun 1998/1999, ketika situasi politik nasional chaos (Balai TNMB, 1998; Hamim dan P3PK UGM, 1999).
13
1. 4 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis aspek yang terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri Jember Banyuwangi. Secara spesifik, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Menggali dan menganalisis bentuk pola hubungan (relasi sosial), sumbersumber politik, dan konflik kepentingan sebagai konsekuensi dari kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB dalam perspektif ekologi politik; 2. Menganalisis kondisi faktual, ramifikasi, dan konsekuensi kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi serta respon para aktor, peran dan kepentingannya terhadap program rehabilitasi lahan okupasi TNMB berbasis PPM dalam perspektif ekologi politik; 3. Menganalisis bentuk-bentuk dinamika kepentingan kelembagaan masyarakat dalam
memanfaatkan
akses, hak-hak dan
akses menanam tanaman
keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB. 1. 5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pihak, sebagai berikut: 1. Memberi kontribusi keilmuan dan perluasan wawasan bagi para ilmuan, peneliti maupun praktisi yang berkepentingan terhadap pengelolaan taman nasional yang memperhatikan aspek, sosial budaya, ekonomi masyarakat dan ekologi; 2. Meningkatkan kesadaran, kebanggaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNMB sebagai kawasan konservasi; 3. Pengembangan landasan kebijakan untuk meratifikasi peraturan perundangundangan dan kebijakan pengelolaan taman nasional, yang memenuhi rasa keadilan sosial, ekonomi dan kelestarian kawasan konservasi; 4. Mengembangkan kebijakan pengelolaan taman nasional berbasis masyarakat yang dapat memenuhi tujuan ekonomi, keadilan, pemberdayaan para partisipan dan kelestarian kawasan konservasi.
14
1. 6 Kebaruan (Novelty) Penelitian Kebaruan (novelty) dan keaslian (originality) dari penelitian ini dibandingkan dengan beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan, dapat dilihat dari fokus kajian sebagai berikut. 1. Penelitian
tentang
Private,
Collective,
and
Centralized
Institutional
Arrangement for Managing Forest ”Commons” in Nepal, yang dilaksanakan oleh Acharya (2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi intreraksi masyarakat sekitar hutan dalam proses pembentukan kelembagaan masyarakat desa hutan. Rancangan kelembagaan yang bersifat homogen, untuk mengelola kehutanan masyarakat, dengan validitas yang kaku dan hanya satu-satunya untuk diterapkan dalam sebuah Negara, tidak direkomendasikan. Dengan kata lain, Kebijakan yang kaku, top down dan seragam (uniform) sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika sosial di internal masyarakat desa hutan. Rancangan kelembagaan yang direkomendasikan oleh Acharya (2005) adalah yang mempertimbangkan otonomi lokal dan variasi antar komunitas di wilayah yang berbeda-berbeda; 2. Penelitian tentang Regional Community Based Planning: The Challenge of Participation Environmental Governance, yang dilaksanakan oleh Whelan & Oliver (2005). Penelitian ini menunjukan bahwa
kekuasaan, konflik dan
pertukaran pengetahuan adalah sesuatu yang saling terkait dalam suatu kolaborasi pengelolaan sumberdaya alam regional ( Natural Resources Management) yang bersifat partisipasi publik; 3. Penelitian tentang Exploring Priority Problems of the Forest Dependent Poor in Nepal, yang dilaksanakan oleh Luintel & Bhattarai (2006). Penelitian ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat miskin pada sumberdaya hutan, bersifat kompleks dan tidak hanya berkaitan dengan masalah kehutanan semata. Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini tidakcukup hanya dengan pendekatan teknis semata, tetapi diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan serta pendekatan politis yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan social budaya. Menekan angka kemiskinan, maka diperlukan penguatan dan perluasan ruang bagi Civel Society Organization dan sektor swasta.
15
Menuju pada perubahan di atas, diperlukan perubahan tata pemerintahan, termasuk redefinisi peran Negara, civil society dan pasar; 4. Penelitian tentang Public Participation in Community Forest Policy in Thailand: The Influence of Academics as Brokers, yang dilaksanakan oleh Zurcher (2005). Penelitian ini menyimpulkan beberapa point penting, yakni; 1. bahwa
kemampuan
masyarakat
dalam
mengartikulasi
keinginan
dan
pendapatnya masih lemah dan atau terbatas, sehingga perannya seringkali lemah, tidak memiliki kekuatan dan pengaruh apa-apa dalam proses formulasi kebijakan, 2. bahwa konflik atas hak akses terhadap sumberdaya hutan pada tingkat lokal tidak akan mendapat perhatian yang luas secara nasional, jika tidak didukung oleh kelompok akademisi dan kaum intelektual yang mendukung ide pengelolaan lokal; 5. Penelitian tentang Institusi untuk mengatasi Kerusakan Hutan Mangrove, Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove di Kabupatren Bekasi Provinsi Jawa Barat, yang dilakukan oleh Supaeri (2005). Penelitian ini menyimpulkan bahwa institusi yang dapat mengendalikan kerusakan hutan mangrove adalah kontrak yang sistematika penciptaan hingga penghapusannya memberikan kepastian hak, dan telah memperhitungkan biaya linkungan serta pilihan masyarakat dalam proses alokasi manfaatnya. Peraturan perundang-undangan bidang kepemilikan yang diimplementasikan ke dalam pengelolaan hutan mangrove memberikan insentif bagi terjadinya kebebasan akses pada kawasan huatn mangrove. Kecuali itu, hak pemilikan yang diterapkan dalam pengelolaan kawasan hutan mangrove tidak memberikan kepastrian hak penguasaan
lahan
garapan,
sehingga
tidak
mampu
secara
efektif
mengendalikan kerusakan bahkan memberikan insentif terciptanya kebebasan akses; 6. Penelitian
tentang
Model
Pengembangan
Institusi
Ekowisata
untuk
Penyelesaian Konflik di TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) dilakukan oleh Pratiwi (2008). Penelitian ini menggunakan konsep Institutionalist Tenure Security dan konsep ekowisasta untuk mengkaji masalah Tenurial Insecurity dan konflik tenure resources di masyarakat sebagai akibat dari penetapan kawasan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, tanpa melibatkan
16
masyarakat sekitar atau di dalam kawasan TNGHS). Penetapan TNGHS tidak dilakukan berdasarkan persepsi kolektif masyarakat, sehingga kurang mendapat dukungan para pihak. Pearaturan penundang-undangan penetapan taman nasional dan implementasinya tidak dapat menjamin kepastian hak dan akses bagi masyarakat lokal. Hal ini terjadi karena kendala pengetahuan dan pemahaman sumberdaya
mengenai dan
peraturan
masalah
perundang-undangan,
administrasi
dan
birokrasi
keterbatasan pemabngunan.
Pengembangan ekowisata dan institusinya dapat berperan sebagai solusi penyelesaian konflik ketidak-pastian akses; 7. Penelitian tentang Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah dilakukan oleh Lahandu (2007). Penelitian ini menggunakan konsep akses untuk mengkaji dampak kebijakan penetapan Tahura terhadap akses masyarakat dalam memperoleh SDA dalam kawasan Tahura. Dampak kebijakannya adalah terbatas atau menyempitnya ruang akses masyarakat pada sektor produksi SDA, yang bermuara pada konflik antara masyarakat versus pemerintah; 8. Penelitian tentang Konservasi Sumberdaya Alam di TN Gunung Merapi, Analisis Ekologi Politik oleh Kuswijayanti (2007). Penelitian ini menggunakan konsep akses untuk memetapakn mekanisme akses dan hak serta mengkaji konflik para pihak dalam penetapan kawasan Gunung Merapi sebagai Taman Nasional. Penetapan kawasan Gunung Merapi sebagai TNGM hanya menguntungkan kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan tambang pasir dan kawasan wisata alam, tetapi menimbulkan ketidak-pastian pada masyarakat yang di kawasan permukiman yang berstatus sebagai petanipeternak; 9. Penelitian tentang Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional oleh Qadim (2012). Penelitian ini mengkaji implementasi kebijakan pengelolaan TNMB menggunakan konsep akses, hak dan kelembagaan masyarakat dalam perpektif ekologi politik. Proses penelitian ini menggunakan pendekatan
pardigma
fenomenologi dan
bersifat
deskriptif kualitatif
17
berdasarkan pada teknik distribusi frekuensi. Penelitian ini menemukan bahwa akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB ketika situasi politik nasional chaos terjadi sebagai reaksi atas ketidak adilan akses dan hak. Kelompok masyarakat berhasil memaksa pemerintah (Balai TNMB) untuk melegalisasi akses menanam dalam
tanaman keras dan musiman
zona rehabilitasi TNMB, hanya dengan syarat sederhana, berupa
pembentukan lembaga konservasi masyarakat (OPR/KetanMerah). Kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB ini berbasis pemberdayaan masyarakat, pada aspek sosial budaya telah menggeser sejumlah nilai-nilai sosial budaya setempat. Pada aspek sosial ekonomi, legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB belum mampu
meningkatkan derajat sosial ekonomi
masyarakat. Pada aspek ekologi juga gagal merehabilitasi zona rehabilitasi, sebagai akibat dari perbedaan kepentingan dan perlakuan dalam hal jenis tanaman yang harus ditanam oleh anggota OPR/KetanMerah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Perpektif Politik Ekologi Kebijakan pelestarian nasional menurut MacKinnon et al. (1990) harus mencakup
suatu pernyataan mengenai tanggung-jawab bangsa terhadap
pemanfaatan
sumberdaya
milik
bangsa
perlindungan wakil-wakil ekosistem,
secara
berkelanjutan,
termasuk
dan species melalui suatu program
pengelolaaan kawasan yang dilindungi. WCS secara garis besar memberikan petunjuk umum mengenai isi dan tujuan yang perlu dirumuskan dalam kebijakan pelestarian tiap-tiap negara, menekankan perlunya menggaris-bawahi kepentingan pelestarian
dan
pengelolaan
kawasan
yang
dilindungi
dalam
mengisi
6
pembangunan berkelanjutan . Kebijakan dan program pemerintah di bidang pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan menurut Soetaryono (2004) dirancang untuk mendukung antara lain,
prioritas percepatan ekonomi dan memperkuat
landasan
pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Hal tersebut dimaksudkan agar terwujudnya keseimbangan dan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan. Djayadiningrat
(2001)
menyatakan
bahwa
kebijakan
pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan, antara lain dimaksudkan; (1) memberi akses kepada masyarakat adat dan lokal, (2) pola pemanfaatan sumberdaya alam harus memberi kesempatan dan peran aktif masyarakat adat dan lokal, dan, (3) secara simultan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Dalam pengelolaannya, Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) menurut Saparjadi (1998) memiliki prinsip-prinsip dasar, yakni; (1) prinsip komitment nasional, (2) prinsip irreversible, (3) prinsip manfaat 6
WCS menekankan kepada setiap Negara untuk menegaskan kebutuhan pelestariannya dan mendifinisikan kebijakan pelestariannya melalui penyiapan strategi pelestarian nasionalnya sendiri,…….secara umum pemanfaatan sumberdaya alam berkaitan dengan pembangunan bidang ekonomi; Sebagai jawaban atas keharusan WCS tersebut, maka eksistensi, peran dan fungsi Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) seperti tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1990 merupakan komitmen nasional yang menjadi kewajiban semua pihak –pemerintah, swasta dan masyarakat—untuk ikut mengamankan, mengelola dan memanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat generasi sekarang maupun yang akan dating (MacKinnon et al. 1990).
20
optimum, (4) prinsip subsidi silang, (5) prinsip pengakuan, apresiasi dan partisipasi, (6) prinsip passing out, (7) prinsip pengalihan tekanan, dan (8) prinsip kemandirian. Pada praktiknya, Mitchell et al. (2003) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan selalu berhadapan dengan empat masalah penting, yakni; (1) perubahan, (2) kompleksitas, (3) ketidakpastian, dan (4) konflik sumberdaya alam. Keempat masalah tersebut dapat menjadi masalah sekaligus menjadi peluang bagi semua pihak. Ia akan menjadi peluang ketika keempat masalah tersebut, proses interaksi dan hubungan sebabakibatnya dapat dipahami secara kritis serta mengetahui bagaimana menjadi agen perubahan yang positif. Menurut Kartodihardjo & Jamtani (2006), implementasi kebijakan politik lingkungan di Indonesia tidak dikelola secara komprehensif, sehingga menimbulkan ketidak-amanan sumberdaya hutan, seperti banyaknya penjarahan dan pencurian kayu maupun naiknya ketidak-pastian usaha. Ekologi
politik sebagai konsep menurut Bryant (1992) dalam
Mitchell et al. (2003) telah dikembangkan untuk membantu memahami dimensi, kondisi dan kompleksitas politik dari perubahan lingkungan, terutama di negara berkembang. Ekologi politik dimaksudkan untuk menganalisis dan memahami hubungan sebab-akibat yang lebih jauh daripada sekedar sistem bio-fisik dan alami. Ekologi politik memiliki tiga dimensi penting, yakni: 1. Sumber politik; kebijakan negara, hubungan antar negara dan kapitalisme global, yang kesemuanya memacu pentingnya tekanan nasional dan global terhadap masalah lingkungan; 2. Kondisi; konflik-konflik yang timbul dari perlawanan masyarakat lokal. Dimensi ini menekankan pada bagaimana sekelompok masyarakat dengan kekuasaan terbatas dapat dan terus berjuang untuk mempertahankan kondisi suatu lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Pemahaman terhadap hal ini membutuhkan pemahaman terhadap latar belakang sejarah dan dinamika setiap konflik; 3. Ramifikasi; konsekuensi politik perubahan lingkungan, dengan penekanan pada dampak sosial-ekonomi dan proses politik.
Ketiga dimensi di atas, menurut Bryant & Bailey (2000) dipengaruhi atau dimainkan oleh 5 (lima) aktor, yakni; state, businessmen, multilateral institution, NGOs dan grassroots. Dalam konteks ini, negara memiliki fungsi ganda, yakni sebagai aktor pengguna sekaligus sebagai pelindung SDA, dan sering mengalami konflik kepentingan. Eksistensi negara secara teoritik dan praksis banyak dikritik
21
dan mendapatkan resistensi, karena; 1. Negara-negara di dunia mempersulit upaya pemecahan masalah lingkungan, demi kepentingan pembangunan ekonomi, lingkungan hidup sering kali dikorbankan, dan 2. Negara-negara di dunia selalu tidak dalam kapasitas untuk memecahkan masalah lingkungan dalam berbagai level. Peet & Watts (1996) menyatakan bahwa ekologi politik adalah sebuah pertemuan antara ilmu sosial yang berakar dari ekologi dan prinsip-prinsip politik ekonomi. Tujuan studinya dalam membentuk “pergerakan yang muncul dari tekanan dan pertentangan krisis dibawah produksi, memahami pemikiran oposisi dan visi untuk hidup yang lebih baik dan perubahan kondisi politik, dan melihat kemungkinan untuk memperluas isu-isu lingkungan ke dalam sebuah pergerakan untuk pemberian hak kehidupan dan keadilan sosial. Scott & Sullivan (2000) menyatakan ekologi politik mengidentifikasi persoalan politik yang mendesak masyarakat ke dalam aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan tanpa adanya alternatif peluang yang meliputi permintaan dan pembangunan kembali narasi lingkungan yang sudah mapan, terutama yang berkaitan dengan lingkungan internasional dan diskursus pembangunan. Tujuannya adalah mengilustrasikan dimensi politik dalam narasi lingkungan dan mendekonstruksi narasi tertentu untuk menunjukkan bahwa gagasan yang mapan mengenai penurunan kualitas dan pemerosotan mungkin bukan tren linier yang cenderung mendominasi. Forsyth (2003) menyatakan ekologi politik, secara strukturalis
adalah
ekplorasi hubungan antara kapitalisme dan atau kebijakan negara yang opresif yang berdampak pada masyarakat lokal dan kerusakan lingkungan. Ekologi politik menurut Watts (2000) dalam Robbins (2004) adalah analisis kompleksitas hubungan antara alam dan masyarakat melalui analisis menyeluruh yang menimbulkan akses dan kontrol atas sumberdaya dan dampaknya bagi kesehatan lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan. Tujuannya adalah menjelaskan konflik lingkungan, terutama dalam hal memperjuangkan “pengetahuan, kekuasaan dan praktik” dan “politik, keadilan dan pemerintahan”.
22
Lebih lanjut Robbins (2004) megidentifikasi masalah lingkungan melalui empat pendekatan, yakni; 1. Degradasi dan marginalisasi, bahwa isu perubahan lingkungan terjadi sebagai dampak dari over eksploitasi, yang berujung pada kemiskinan (peminggiran dan pemiskinan); 2. Konflik lingkungan, bahwa konflik terjadi karena kelangkaan sumberdaya akibat pemanfaatan dari negara, swasta dan elite sosial yang kemudian mempercepat konflik antar kelompok (gender, kelas dan etnik); 3. Konservasi dan kontrol, bahwa kegagalan konservasi adalah akibat dari tercerabutnya peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya, serta pengabaian mata pencaharian dan organisasi ekonomi mereka hanya karena untuk melindungi lingkungan, dan; 4. Identitas lingkungan dan gerakan sosial, bahwa gerakan sosial politik terkait dengan upaya untuk mempertahankan mata pencaharian dan perlindungan lingkungan. Dalam semua proses di atas, kepentingan global dan kepentingan pemerintah untuk mengawetkan lingkungan justeru membasmi sistem mata-pencaharian lokal, produksi, dan orgnaisasi sosial politik. Konservasi bagi pemerintah adalah untuk mensimplifikasi kontrol atas sumberdaya dan lansekap.
Hempel (1996) dalam Robbins (2004) menyatakan bahwa politik ekologi adalah studi hubungan antara lembaga politik dan hubungan antara lembaga politik dengan lingkungannya…berkaitan dengan dampak politik perubahan lingkungan. Tujuan dari studi ini adalah menyelidiki dan menjelaskan tingkatan masyarakat dan kebijakan politik regional di wilayah global, sebagai respon terhadap penurunan kualitas lokal dan regional dan kelangkaan sumberdaya. Konservasi lingkungan menurut Bryant dan Bailey (2000), jarang dilihat sebagai upaya konservasi demi konservasi, tetapi ia telah diperalat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik. Upaya konservasi sering digunakan untuk kepentingan pertahanan dan alat kontrol negara atas rakyat dan lingkungan. Negara tidak ingin kehilangan kontrol dan kewenangannya atas sumberdaya dan lingkungan, sebagai bentuk penegasan hegemoni negara terhadap aktor lain. Kontrol akses dan hak-hak masyarakat oleh negara (pemerintah), menurut Anderson (1995) dalam Satria (2002)
dilakukan dengan memberlakukan
controlled access regulation melalui; (1) pembatasan input (para pihak dengan segenap kegiatan eksploitasinya), dan (2) pembatasan output berupa kuantitas eksplotasi SDA-L.
23
Escobar
(1998)
menyatakan
bahwa
diskursus
konservasi
dan
keanekaragaman hayati penting dilihat dari perpektif pergerakan sosial 7. Konsep konservasi dan keaneka-ragaman hayati memang memiliki makna biofisik, namun diskursus ini mendorong bagi munculnya suatu jaringan beragam aktor yang kompleks, mulai dari organisasi internasional dan LSM Lingkungan sampai pada komunitas lokal dan pergerakan sosial. Gerakan sosial (social movement) terhadap kebijakan konservasi sedang terjadi secara massiv di negara-negara Dunia ke -3. 2. 2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Permasalahan Taman Nasional 2.2.1 Sejarah gerakan konservasi Secara historis, gerakan konservasi dunia, sudah dimulai sejak tahun 252 SM, yang dipelopori oleh
Raja Asoka di India. Dalam kebijakan politik
kerajaannya, Raja Asoka mengumumkan secara resmi tentang perlindungan satwa, ikan dan hutan. Peristiwa ini mungkin merupakan contoh terawal yang tercatat dari apa yang sekarang disebut kawasan yang dilindungi. Sementara itu, penetapan tempat suci sebagai daerah perlindungan keagamaan atau taman buru yang eksklusif belum lama berlangsung. Hal yang hampir sama, juga dilakukan oleh Raja William I di Inggris pada tahun 1084 M,
yang memerintahkan
penyiapan The Domesday Book, yakni suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik Kerajaan yang digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan dan pembangunan negaranya (MacKinnon, et.al, 1990). Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, perilaku konservasi tersebut mengalami ”pembelotan” ketika dunia Barat (Eropa) mengalami lompatan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada abad pencerahan (abad 16-18). Gardner dalam Yuliar et al. (1999) menyatakan bahwa renaisans menyajikan suatu pandangan baru tentang manusia dan alam. Manusia 7
Gerakan perlawanan masyarakat --dengan model yang berbeda-beda-- terhadap kebijakan konservasi telah terjadi di banyak negara. Gerakan Proceso de Commmunidades Negras (PCN: Process of Black Communitas) pada tahun 1980-an di Kolumbia Amerika Latin. Menurut Ecobar (1998), mereka berjuang melawan pembangunan, kapitalisme dan modernisasi yang merampas hak-hak hidup dan budaya, mengancam keaneka-ragaman hayati mereka. Gerakan perlawanan ini menunjukkan, bahwa; (1) Arus migrasi, investasi modal –pemerintah, pengusaha swasta (asing atau nasional)—ke wilayah mereka sudah pasti memicu konflik sosial, ekonomi dan sumberdaya, (2) Dalam implementasi kebijakan pembangunan ”pengelolaan SDA dan lingkungan”, pemerintah menganggap dukungan tokah lokal --yang terkooptasi—sebagai bukti dukungan mayoritas masyarakat, sehingga yang muncul adalah pseoudo-partisipasi, (3) investasi modal –pertambangan, agroindustri/agrofoerstry, dan proyek ekowisata skala besar-- ke wilayah atau daerah terjadi karena adanya kolusi dan menempatkan SDA sebagai alat transaksinya guna menopang kekuasaan pemerintah. Lebih sadis lagi, institusi keamanan dan pertahanan negara dijadikan alat untuk menekan gerakan perlawanan masyarakat.
24
harus hidupnya nyaman dan tenang di dunia; Alam adalah budak yang fungsi dan keberadaanya adalah untuk memuaskan kebutuhan manusia. Lebih tragis, Capra (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah power. Nilai dari pengetahuan ditentukan oleh efek praksisnya dalam mendukung kekuasaan (politik). Dampak negatif dari kesombongan kemajuan IPTEK itu akhirnya harus ditanggung sendiri oleh manusia. Kesadaran baru akan dampak buruk dari tindakan eksploitatif ini menjadi awal mula gerakan pengawetan (presevation) terhadap sisa-sisa hutan alam Eropa. Gerakan pengawetan (presevation) menurut Dobson (2004) merupakan gerakan romantisme abad ke 18 dan 19 di seluruh daratan Eropa, bereaksi terhadap apa yang mereka pandang sebagai dampak dari industrialisasi cepat, yang menuntut dijalinnya kembali hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Penganut aliran romantik berpandangan bahwa alam adalah sumber moral dan etika, sehingga menekankan perlunya kesatuan manusia dengan alam, yang telah dihancurkan oleh industrialisasi. Gerakan romantisme para bangsawan Eropa ini, kemudian berkembang melalui penunjukan dan pengukuhan kawasan tertentu untuk dijadikan sebagai cagar atau monumen alam. Tujuan pengukuhan tersebut agar mereka dapat berdekatan dengan alam, menikmati liburan di dalam hutan sambil berburu dan menikmati keindahan alam. Logika preservasi, dalam hal ini terjebak pada perspektif arkeologis yang cendrung melihat sumberdaya alam hayati sebagai sesuatu yang statis, sehingga aksi-aksi perlindungan hanya bertujuan untuk mengawetkan sumberdaya alam. Hal ini berbeda dengan logika biologi, yang melihat hutan dan segala isinya sebagai sesuatu yang dinamis dan terbarui. Koreksi atas cara pandang logika preservasi itu menjadi awal munculnya pemikiran dan gerakan konservasi (Wiratno et al. 2004).
25
Tabel 1 Perbedaan antara preservasi dengan konservasi No. 01
Preservasi Logika : Arkeologis (archaelogical logic) , mengelola alam sebagai SDA yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) Contoh: pengelolaan candi Borobudur sebagai warisan dunia yang harus dan hanya diawetkan Sifat: Statis, cenderung berkurang, baik kuantitas maupun kualitasnya
02
03
Aksi: Diterapkan pada akhir abad ke 19 Melindungi perkebunan Belanda Berdampak romantis dan utopis
Konservasi Biologi (Biological logic), mengelola alam sebagai SDA yang dapat diperbaharui (Renewable Resources) Contoh: mengelola rusa sebagai satwa langka untuk diselamatkan dari kepunahan dan memanfaatkannya lagi bagi ummat manusia secara lestari Dinamis, kualitas dan kuantitasnya dapat turun dan naik, tergantung pada baik atau buruknya pengelolaan Diterapkan pada pertengahan abad ke 20 Melestarikan kawasan dengan pendekatan ekosistem Berdampak realistis/nyata
Sumber: Wiratno et al. (2004)
Di Indonesia, arsip tertulis tentang gerakan konservasi pada zaman kerajaan Nusantara, sangat sulit ditemukan. Namun demikian, tidak berarti bahwa di kepulauan Nusantara tidak ada gerakan konservasi, baik pada tingkat perilaku budaya 8 masyarakatnya maupun pada tingkat kebijakan politik Raja. Berdasarkan Prasasti Malang, kebijakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, telah dimulai pada tahun 1395 pada zaman kerjaan Majapahit. Dalam Prasasti Malang, tertulis: ”Pemberitahuan kepada seluruh satuan tata negara si parasama di parasama sebelah timur Gunung Kawi, baik di timur atau di barat batang air (Berantas); diberitahukan kepada sekalian Wedana, Juru, Bujut, terutama kepada Pacatanda di Turen. Bahwa telah kita perkuat perintah Sri Paduka Batara Partama Iswara, yang ditanam di Wisnu bawana dan begitu pula perintah Sri Paduka yang di tanam di Kertabuana, berhubungan dengan kedudukan satuan tata negara si parasame Katiden yang meliputi sebelas desa. Oleh karena masyarakat itu berkewajiban mengamat-amati padang alang-alang di lereng gunung Ledjar, supaya jangan terbakar, maka haruslah ia bebaskan dari pembayaran pelbagai titisara (Baca: pajak). Selanjutnya masyarakat dilarang menebang pohon kayu dari hutan kekayu dan memungut telur penyu dan getan, karena larangan itu tidak berlaku padanya. Juga tidak seorang jua pun boleh 8 Perilaku budaya konservasi, untuk menjaga keseimbangan hubungan – harmoni -- dengan alam lingkungannya, ada dan hidup di hampir semua suku (kelompok masyarakat) nusantara, dan sangat beragam., .... Ritual Shadaqah Bumi misalnya, tidak harus dipahami secara sederhana sebagai syirik (menyekutukan Tuhan), tetapi perlu dilihat dari perspektif lain sebagai bentuk kesadaran yang paling dalam dari masyarakat Indonesia zaman dulu, bahwa lingkungan alam pun membutuhkan perhatian dari manusia. Manusia memberikan Shadaqah pada Bumi, maka bumi pun memberikan kemakmuran –kemelimpahan-- yang berkelanjutan pada manusia. Perhatikan misalnya, perilaku konservasi yang menjadi landasan dan filosofi hidup dikalangan masyarakat Jawa ”Kuno” dalam pengambilan hasil bumi -- sa’cukupe, ora ’ilo, panen/mancing hari kamis legi, pasar Jum’at Kliwon, dll -- adalah untuk menjaga harmoninya dengan lingkungan alam sekitarnya dan juga keadilan distribusi sumberdaya alam. Perilaku budaya konservasi tersebut, tentu harus disesuiakan dengan perkembangan dan kemajuan cara berpikir masyarakat.
26
melakukan di sana peraturan larangan berupa apa jua. Apabila keputusan Raja ini sudah dibaca, maka desa Lumpang haruslah menurutnya. Demikianlah diselenggarakan pada bulan pertama tahun Saka 13179”
Catatan sejarah tersebut menunjukan bahwa gerakan konservasi di Indonesia bukan sekedar mengikuti kecenderungan global, tetapi sudah menjadi bagian dari perilaku budaya dan juga kebijakan politik
Raja dalam rangka
mengamankan kawasan konservasi; hutan, daerah aliran sungai (DAS), dan isinya yang mendukung kelestarian kawasan tersebut. Pada sisi lain kebijakan politik Raja Majapahit tersebut tidak hanya melarang masyarakatnya untuk mengambil kayu, telur penyu dan getan, tetapi juga memberikan jalan keluar sebagai kompensasi berupa pembebasan pajak, sementara kebutuhan akan kayu dapat dipenuhi dengan mengambil di tempat lain (Wiratno et al. 2004). 2.2.2 Kategori tujuan, manfaat dan permasalahan Taman Nasional Berdasarkan UU No.5/1990 Pasal 1 ditegaskan bahwa kawasan konservasi dibagi menjadi dua kategori, yakni Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Bentuk-bentuk kawasan konservasi berdasarkan dua kategori tersebut, adalah: 1. Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. Yang termasuk dalam kategori ini adalah Suaka Marga Satwa, Cagar Alam dan Cagar Biosfer. 2. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan, yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari SDAH dan ekosistemnya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah: Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya 10.
Kategori dan tujuan pengelolaan kawasan Taman Nasional menurut MacKinnon et al. (1990) adalah untuk melindungi kawasan alami dan berpandangan indah yang penting, secara nasional atau internasional, serta 9 Prof. Muh. Yamin. 1962.Tata Negara Majapahit, Jakarta, 1962. dalam Wiratno, dkk. 2004. Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Publikasi, FOReST Press, The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, PILI-NGO Movement 10 Taman Nasional: kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan system zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Wisata Alam: kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Taman Hutan Raya: kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (UU Nomor: 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya hayati dan Ekosistemnya).
27
memiliki nilai pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan. Berdasarkan kategori IUCN (1978) yang dikutip oleh MacKinnon et al. (1990), terdapat 10 (sepuluh) tujuan pelestarian dalam Kawasan Taman Nasional, 7 (tujuh) diantaranya merupakan tujuan pelestarian yang utama,
1 (satu)
merupakan tujuan penting, dan 2 (dua) merupakan tujuan yang sifatnya kondisonal dan bergantung, seperti dapat dilihat Tabel 2. Tabel 2 No 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13
Kategori internasional kawasan taman nasional berdasarkan tujuan pelestarian
Tujuan Pelestarian Yang Utama Mempertahankan contoh ekosistem dalam kondisi alaminya Mempertahankan keaneka-ragaman ekologis dan pengaturan lingkungan Mempertahankan sumberdaya plasma nutfah Menyediakan pendidikan, penelitian, dan pemantauan lingkungan Melestarikan kondisi kawasan tangkap air Mengendalikan erosi, sedimentasi dan melindungi investasi kawasan hilir Menghasilkan protein dan hasil satwa, memperkenalkan olah-raga buru dan memancing Menyediakan pelayanan rekreasi dan pariwisata Menghasilkan kayu, pakan dan hasil laut yang didasarkan prinsip keberlanjutan Melindungi objek dan tempat warisan budaya, sejarah dan purbakala Melindungi keindahan alam dan tempat terbuka Menjaga agar pilihan terbuka, izin pemanfaatan ganda Mendorong pemanfaatan rasional dan berkelanjutan dari kawasan marjinal dan pembangunan perdesaan
Kategori*) 1 1 1 2 1 3 1 1 3 1
Sumber: Disadur dari IUCN (1978) dalam MacKinnon et al. (1990) Catatan Kategori*): 1. tujuan utama untuk pengelolaan kawasan dan sumberdaya 2. tidak perlu utama, tetapi selalu masuk dalam tujuan penting 3. masuk sebagai tujuan jika dapat dipergunakan serta kapan saja sumberdaya dan tujuan pengelolaan lainya memungkinkan
Berdasarkan UU No.5/1990, kawasan konservasi, memiliki 3 (tiga) manfaat, yakni: (1) manfaat ekologi yang berarti melestarikan keaneka-ragaman hayati dan ekosistemnya, (2) manfaat ekonomi yang berarti mampu menciptakan peluang dan kesempatan kerja, dan (3) manfaat social yang berarti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dixon & Sherman (1990) menyatakan bahwa manfaat kawasan konservasi bergantung pada tujuan atau tipe pengelolaannya. Secara umum, manfaat kawasan konservasi antara lain; (1) menjaga dan melindungi sumberdaya hayati dan jasa lingkungan, serta proses-proses ekologis, (2) melindungi kepentingan produksi
28
sumberdaya hayati, seperti kayu dan satwa liar, (3) untuk kepentingan rekreasi dan industri pariwisata, (4) untuk melindungi nilai-nilai budaya dan situs-situs sejarah, dan (5) sebagai wahana pendidikan dan penelitian. Nilai manfaat Kawasan Pelesatarian Alam dan Kawasan Suaka Alam yang sangat tinggi tersebut, maka eksistensinya menurut Saparjadi (1998), berhadapan dengan sejumlah masalah, yang berkaitan dengan; (1) tingkat pengelolaan kawasan konservasi yang menyangkut status kawasan, kelembagaan, sumberdaya manusia, perencanaan, sarana prasarana, dan pendanaan, (2) masalah sosial ekonomi dan budaya masyarakat, berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, petumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan lahan dan sumberdaya alam, pemahaman dan kepedulian masyarakat mengenai konservasi alam, dan (3) pandangan dan kepedulian sektoral mengenai pembangunan dan konservasi alam. 2.2.3 Konsep dan karakterisitk Taman Nasional Konsep pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang modern menurut MacKinnon et al. (1990) adalah pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya bumi secara bijaksana. Konsep ini pada hakikatnya adalah gabungan dari dua prinsip kuno yang telah ada, yakni; Pertama adalah kebutuhan untuk merencanakan pengelolaan sumberdaya yang didasarkan pada inventarisasi yang akurat, dan; Kedua adalah kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan untuk menjamin agar sumberdaya tidak habis. Pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di lingkungan perdesaan dan turut menyumbangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan serta dapat meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi adalah salah satu cara terpenting untuk dapat menjamin agar sumberdaya alam bumi dapat dilestarikan, sehingga sumberdaya ini dapat lebih memenuhi kebutuhan ummat manusia sekarang dan di masa datang (MacKinnon et al. 1990). Konservasi sumberdaya alam adalah upaya pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya bumi secara bijaksana (MacKinnon et al. 1990). Dalam Pasal 1 UU No. 5/1990 ditegaskan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
29
bijaksana
untuk
menjamin
kesinambungan
persediaannya
dengan
tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dixon & Sherman (1990) menyatakan bahwa kawasan konservasi sebagai sumberdaya memiliki karakteristik; (1) Tidak tersaingi (nonrivalry), artinya dalam mengkonsumsi jasa-jasa kawasan konservasi, tidak mengurangi jumlah produk dan jasa yang tersedia, (2) Tidak eksklusif (nonexcludability), artinya terbuka untuk masyarakat luas, (3) Berdampak terhadap lingkungan luar (off side effect), artinya manfaatnya dapat melintasi batas geografis dan batas negara, (4) Ketidakpastian (uncertainty),artinya data dan informasi mengenai nilai potensi manfaat pada umumnya tidak lengkap yang berimplikasi pada akurasi penetapan suatu kebijakan
pengelolaan
kawasan
konservasi,
dan
(5)
Ketidak-pulihan
(irreversibility), artinya jika kawasan konservasi sudah rusak, maka sangat sulit untuk dapat pulih kembali. Kalaupun dapat pulih akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Tabel 3 Kegiatan yang dibolehkan (√ ) dan dilarang (X) dalam zona tradisional Taman Nasional No 01 02 03 04 05 06 07
08 09 10 11 12
Kegiatan dalam Zona Tradisional Penangkapan ikan tanpa menggunakan racun dan bahan peledak Perburuan tradisional dari species yang tidak dilindungi, tanpa menggunakan perangkap, senjata modern atau menggunakan api Mengumpulkan getah dan damar, asalkan pohon tidak mati dalam proses pengambilan Mengumpulkan buah-buahan hutan dan madu (asalkan pohon tidak ditebang atau dibakar) Menggunakan kayu bakar atau bahan bangunan dari pohon yang tumbang bagi keperluan pribadi Memotong bambu, buluh, bahan atap rumah atau rotan Pengembalaan ternak peliharaan secara berkala, dimana species alam yang merumput tidak merupakan komponen penting dari sumberdaya taman Pengembalaan ternak eksotik atau domestik yang besar kemungkinannya untuk menjadi liar Perkebunan apapun Penebangan pohon yang masih hidup Membakar vegetasi Pemukiman di dalam kawasan yang dilindungi (jika hal ini tidak dapat dihindarkan, maka zona ini harus berada pada zona kawasan kantong atau enklave)
Sumber: MacKinnon et al. (1990)
Boleh √ √
Tidak
√ √ √ √ √ X X X X X
30
Ketentuan Pasal 31 ayat (1) PP No.68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam disebutkan bahwa penunjukan suatu kawasan Taman Nasional apabila memenuhi kriteria-kriteria: (a) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami, (b) memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami, (c) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, (d) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam, (e) merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Guna menekan arus akses masyarakat secara berlebihan terhadap kawasan yang dilindungi dan sekaligus dapat memberi manfaat sosial langsung bagi keberlanjutan hidup masyarakat sekitar kawasan, menurut MacKinnon et al. (1990) perlu dibuat zona penyangga, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi. Fungsi utama penyangga sosial adalah untuk menjamin agar masyarakat perdesaan penyangga tidak perlu mencari hasil hutan lainya ke dalam cagar. Ada beberapa tipe utama zona penyangga kawasan yang dilindungi, yakni: (1) zona pemanfaatan tradisional, (2) penyangga hutan, (3) penyangga ekonomi, dan (4) rintangan fisik. Dalam Kawasan Taman Nasional, secara teoritik dan ideal dilarang melakukan kegiatan-kegiatan, seperti pada Tabel 3 dan 4.
31
Tabel 4 Kegiatan yang dilarang (X) dalam berbagai kategori kawasan yang dilindungi No
Kegiatan
01
Menanam tanaman pangan Menanam pohon Permukiman Penebangan pohon untuk komersial Pengambilan herba dan kayu bakar Berburu Menangkap ikan Berkemah Koleksi ilmiah dengan izin Pengelolaan habitat Introduksi non eksotik Introduksi eksotik Pengambilan rotan dan kayu dengan izin Eksplorasi mineral Pengendalian marga satwa Pemanfaatan oleh pengunjung
02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16
Taman Buru
Zona Penyangga dalam Batas Khusus
Hutan Lindung
X
X
X
X
X X X
X X
X X
X X
X X
X
-
X
X
-
-
X -
X X X X
X X -
X
-
X
-
-
-
-
-
X X
X X X X
X X
X
X -
-
-
-
X X
-
X -
-
-
-
-
X
-
-
-
-
-
TN menurut Zonasi
Cagar Alam
Suaka Marga Satwa
Taman Wisata
X
X
X
X X X
X X X
X
Sumber: Sumardja et al. (1984) dalam MacKinnon et al. (1990)
2.2.4 Rehabilitasi Kawasan Penyangga TNMB
Kawasan rehabilitasi seluas 5.470 Ha (1995) dan atau 4.023 (2005) eks hutan jati di Kabupaten Jember maupun di Kabupaten Banyuwangi yang diduduki oleh masyarakat kondisinya hingga saat ini masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan Lampiran Kepmenhut No. 8205/Kpts-II/2002, bahwa bagian kawasan Taman Nasional (di luar/ selain zona inti) yang mengalami kerusakan atau degradasi karena bencana alam atau karena sebab-sebab lainnya, perlu dilakukan tindakan rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan agar sesuai dengan kriteria Taman Nasional dan kembali dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sebagai sistem penyangga kehidupan. UU No.41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 40 menegaskan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk, memulihkan, mempertahankan, meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Selanjutnya Pasal 41:
32
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan; a. Reboisasi, b. Penghijauan, c. Pemeliharaan, d. Pengayaan tanaman, atau e. Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. (2) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Pasal 42 ayat (1) dinyatakan bahwa rehabilitas hutan dan lahan dilaksanakan
berdasarkan
kondisi
spesifik
biofisik.
Ayat
(2)
bahwa
penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan
partisipatif
dalam
rangka
mengembangkan
potensi
dan
memberdayakan masyarakat. Reboisasi adalah upaya rehabilitasi berupa pembuatan tanaman hutan dengan cara penanaman pohon-pohon yang dilaksanakan di dalamkawasan hutan (Dephut 1997). Rehabilitasi Kawasan Taman Nasional 11 adalah kegiatan pemulihan kondisi sebagai kawasan Taman Nasional selain di dalam zona inti menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiah, melalui kegiatan reboisasi, pemeliharaan dan pengkayaan jenis. Beberapa kegiatan rehabilitasi mencakup inventarisasi,
persemaian,
pemeliharaan
jenis,
pengkayaan
tumbuhan,
pemeliharaan tanaman reboisasi, dan pengamanan (Lamp. Kepmenhut No: 8205/Kpts-II/2002). Prinsip dasar dari pelaksanaan rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional, dari aspek ekologi, adalah; 1. Pelestarian keanekaragaman jenis yang tinggi dalam menentukan jenis tumbuhan, jumlah dan anakan atau bibit yang digunakan dalam rehabilitasi, b. Pembinaan dan peningkatan untuk pemulihan kualitas habitat jenis flora dan fauna seperti keadaan semula. Waktu pelaksanaan penanaman disesuaikan dengan musim penghujan atau dengan teknik penyiraman lainnya. Dari aspek sosial ekonomi, yakni; 1. Melibatkan keikutsertaan para pihak terkait (stakeholders), dan, 2. Menghindarkan atau menekan sekecil mungkin segala bentuk penyimpangan yang menyebabkan yang menyebabkan pelaksanaan rehabilitasi tidak efisien (Lamp. Kepmenhut No: 8205/Kpts-II/2002).
11 Dasar hukum pelaksanaan rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional adalah; (1) UU Nomor: 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE, (2) UU Nomor: 5 Tahun 1994 tentang Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati Kawasan Taman Nasional, (3) UU No: 23 Tahun 1997 Tentang PLH, (4) UU No: 22 tentang Pemda, sudah direvisi menjadi UU No: 34 Tahun 2004 tentang Pemda, (5) UU No: 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, (6) PP No: 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, (7). PP No: 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa, (8) PP Nomor: 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah Otonom, (9) Kepmenhut No: 20/Kpts-II/2001 tentang Pola Umum dan Standar Sert Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Lamp. Kepmenhut No: 8205/Kpts-II/2002).
33
2. 3 Akses Masyarakat terhadap Sumber Daya Alam dan Lingkungan Ribot & Pelusso (2003) menyatakan akses berbeda dengan properti dalam banyak hal. Akses adalah kemampuan (ability) untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu – termasuk materi, orang, institusi, dan simbol -- merupakan perluasan dari definisi klasik properti (property) sebagai hak untuk mendapat keuntungan dari sesuatu. Dalam konteks ini, maka akses berkaitan dengan bundle of power daripada sebagai gagasan properti (bundle of rights). Dengan memfokuskan pada hal kemampuan, ketimbang dalam hal hak dalam teori properti, formulasi ini memberi cakupan yang lebih luas dalam hubungan sosial yang dapat mendesak atau memungkinkan orang untuk memanfaatkan sumberdaya tanpa memfokuskan dalam hubungan properti12. MacPherson (1978) mengkarakteristikkan properti sebagai ”... hak dalam pengertian sebagai klaim yang dapat dilaksanakan (enforceable claim) untuk menggunakan atau mendapatkan manfaat dari sesuatu. Enforceable claim adalah sesuatu yang telah dikenal dan didukung oleh lingkungan masyarakat (society) melalui hukum, kebiasaan, atau konvensi. Properti dan akses berkaitan dengan hubungan diantara orang dalam hal mendapatkan manfaat atau nilai. Konsep akses bertujuan untuk memfasilitasi analisis dasar terhadap siapa yang sebenarnya memperoleh manfaat dari sesuatu dan melalui proses apa mereka dapat melakukannya. Akses secara empiris”...fokus terhadap isu siapa yang menggunakan (dan siapa yang tidak) apa, dengan cara apa, dan kapan (dalam hal apa)”? (Neale 1998). Menggunakan dapat berarti kesenangan terhadap semacam manfaat atau urutan manfaat (Hunt 1998). Analisis akses menurut Ribot & Pelusso (2003)
dapat membantu
memahami mengapa beberapa orang atau institusi memperoleh manfaat dari sumberdaya, apakah mereka mempunyai hak (right) atau tidak untuk menggunakannya. Hal inilah yang merupakan perbedaan penting antara analisis akses dan properti. Studi tentang akses berkaitan dengan pemahaman bermacam cara orang untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya termasuk hubungan properti. Fokusing pada sumberdaya alam, memungkinkan diselidikinya jarak kekuasaan yang mempengaruhi kemampuan orang untuk mengambil manfaat 12 Properti dapat menimbulkan semacam klaim atau hak (right) pengakuan dan dukungan sosial (socially acknowledged and supported), baik pengakuan oleh hukum positif, kebiasaan, atau konvensi (Ribot dan Pelusso , 2003).
34
(benefit) dari sesuatu dari sumberdaya. Kekuasaan ini merupakan rangkaian material, kultural dan politik ekonomi di dalam bundle dan jaring kekuasaan yang membentuk akses sumber daya (resource acces). Lebih lanjut, Ribot & Peluso (2003) menyatakan bahwa analisis akses dipergunakan untuk mengidentifikasi konstelasi dari arti, hubungan, dan proses yang memungkinkan bermacam-macam aktor untuk memanfaatkan sumberdaya. Hal ini akan lebih memungkinkan untuk melakukan pemetaan secara empiris proses dinamis dan hubungan dari akses itu. Analisis akses meliputi; 1) identifikasi dan pemetaan aliran keuntungan dari suatu kepentingan tertentu; 2) identifikasi mekanisme-mekanisme akses dimana para pelaku yang berbeda terlibat dalam memperoleh, mengontrol, dan mempertahankan aliran manfaat (benefit) dan distribusinya; dan 3) analisis dari hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses yang melibatkan kejadian dimana manfaat itu diperoleh. Perbedaan penting antara akses dan properti terletak pada perbedaan antara kemampuan (ability) dan hak (right). Kemampuan berkaitan dengan kekuasaan (power) yang dapat didefinisikan dalam dua pengertian; Pertama: sebagai kapasitas para pelaku untuk mempengaruhi praktik dan ide dari orang lain (Weber 1978;
Lukes
1986)
dan,
Kedua:
kekuasaan
dilihat
sebagai
kemunculan/pembuktian (emergent) dari rakyat (Ribot & Peluso 2003). Ghai (1994) penganut mazhab eko-populis menyatakan bahwa konservasi dan pembangunan berkelanjutan hanya akan berhasil pada suatu skala tertentu jika memperhatikan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi rakyat dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Faktor-faktor itu mencakup akses pada lapangan kerja dan sumberdaya penting seperti tanah, air (pengairan), kredit dan pangan. Selain itu adalah sistem-sistem harta milik, masalah gender, akses perempuan terhadap modal, tenaga kerja, waktu, masalah pemberdayaan, tingkat kontrol rakyat terhadap SDAL dan proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi pengelolaan SDAL. Dalam praktiknya, akses masyarakat atas SDAL mencakup dua hal, yakni; (1) akses kontrol (control access), dan; (2) akses pemeliharaan (maintenance access) (Ribot & Peluso 2003). Akses kontrol adalah kemampuan untuk
35
menengahi akses lain. Kontrol ”.... menunjukkan mengecek dan mengarahkan aksi, fungsi atau kekuatan untuk mengarahkan dan mengatur aksi bebas (free action) (Rangan 1997). Pemeliharaan (maintenance) pada akses membutuhkan pengerahan sumber daya atau kekuasaan untuk menjaga agar sumber daya akses yang demikian itu terbuka (Berry 1993). Di antara maintenance dan control saling melengkapi. Keduanya terdapat hubungan diantara para pelaku dalam kaitannya dengan pemberian sumber daya (resource), manajemen, atau penggunaannya. Di saat yang sama, arti dan nilai dari sumber daya seringkali diperebutkan oleh pihak yang mengontrol dan pihak yang mempertahankan akses. Ide daripada properti yang tersusun dari hak (rights) dan kewajiban (duties) dapat dilihat sebagai perbedaan yang paralel dimana klaim suatu hak adalah pengertian akses kontrol sementara pelaksanaan kewajiban merupakan bentuk dari akses pemeliharaan (maintenance) yang bertujuan untuk mempertahankan hak tersebut (Hunt 1998).
2. 4 Hak-hak Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L Hak atas tanah dan sumberdaya alam (budle of rights) menurut Bruce (1993) merupakan relasi sosial terkait dengan kepemilikan atau penguasaan atas suatu objek atau benda “tenure dan property” yang dalam konteks sekarang diartikan sebagai hak atas tanah dan sumberdaya alam (budle of rights). Pengertian tenurial dapat dipahami sebagai hubungan relasi, baik berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktikan dalam suatu kelompok masyarakat atas SDAL. Dietz (1998) menyatakan bahwa bentang alam dan cadangan SDA-L dalam suatu kawasan adalah gelanggang politik yang diperebutkan. Berkaitan dengan beragam SDA-L, maka pengakuan hak mencakup tiga hal; (1) hak atas sumberdaya sendiri, (2) hak untuk memanfaatkannya, dan (3) hak untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan-keputusan pengelolaannya. Hubungan tenurial atas SDA-L adalah sebuah institusi sosial yang dibuat oleh sekelompok masyarakat untuk mengatur tingkah-lakunya. Aturan-aturan tersebut menentukan bagaimana hak-hak atas tanah dapat dialokasi dalam masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah akses untuk hak memanfaatkan,
36
mengontrol dan mengalihkan tanah atau SDAL lainnya, yang mencakup tanggung-jawab dan larangan (FAO 2002). Sistem tenurial atas tanah dan SDA-L dapat dikalsifikasi menjadi 4 (empat) kategori umum kepemilikan, yakni; (1) kepemilikan privat, artinya hak diberikan kepada suatu badan privat yang dapat terdiri dari seseorang, kelompok, lembaga swasta ataupun lembaga nirlaba,
(2) kepemilikan komunal, artinya
dimiliki secara komunal dan hanya dapat dimanfaatkan anggota dari masyarakat itu, (3) open access (siapa saja dapat memanfaatkan SDAL tersebut, dan (4) kepemilikan publik atau negara adalah hak yang diklaim oleh negara yang tanggung-jawab kepengurusannya diserahkan kepada satu sektor tertentu dalam pemerintah (FAO 2002). Hak pemilikan atas sumberdaya alam menurut Lynch (1995) terdiri dari; (1) hak menggunakan secara langsung, (2) hak memperoleh keuntungan ekonomi secara tidak langsung, (3) hak untuk mengontrol, (4) hak memindah-tangankan` (5) hak residual atau mewariskan, dan (6) hak simbolik. Kondisi kepemilikan atas SDA-L di sejumlah kawasan di Indonesia kebanyakan berada dalam kondisi ketidak pastian (tenurial insecurity). Kondisi ini dijelaskan oleh Ellsworth (2004) melalui 4 (empat) aliran pemikiran utama, yakni; 1. Aliran hak-hak property (Property Rights) yang memberikan hak-hak kepemilikan properti melalui sertifikasi atas SDAL (tanah) secara individu dan privat yang dapat diperdagangkan secara bebas; 2. Aliran ketimpangan struktur agraria (Agrarian Structure Traditions), memandang bahwa ketimpangan terjadi karena adanya perdagangan aset. Sertifikasi individual atas aset SDAL tidaklah secara otomatis meningkatkan efisiensi dan menguntungkan masyarakat petani. Dalam hal ini harus ada political will dari pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin melalui strategi land reform; 3. Aliran advokasi hak property masyarakat adat (Common Property Advocates atau Common Property Shcool), memandang pentingnya pengakuan dan dukungan politik bagi hak-hak atas SDAL yang secara turun temurun (hak ulayat) yang dimiliki oleh masyarakat adat, dan; 4. Aliran institusionalis (Institutionalist) berangkat dari pengaruh makro politik ekonomi terhadap rezim-rezim properti yang ada, yang selanjutnya akan menentukan kepastian hukum hak atas suatu properti. Aliran Institusinalis memandang bahwa tidak ada satu pun rezim kepemilikan properti yang benar-benar ideal. Kekuasaan politik dan keadilan distribusi SDAL jauh lebih penting dan lebih menentukan siapa yang dapat memperoleh kepastian hukum tenurial dan siapa yang tidak.
Schlager & Ostrom (1992) menyatakan bahwa untuk di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, hak-hak atas SDAL dapat diklasifikasi menjadi 5
37
(lima) kategori; (1) Hak atas akses (rights of access), yakni hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu, (2) Hak pemanfaatan (right of withdrawal), yakni untuk mengambil sesuatu atau memanen sesuatu hasil alam, (3) Hak pengelolaan (rights of management), yakni hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi, (4) Hak pembatasan (rights of exclusion), yakni hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses dari seseorang ke orang lainnya, kelompok atau lembaga, dan (5) Hak pelepasan (rights of alienation), yakni hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya. Ellsworth (2004) menyatakan bahwa kebijakan penetapan suatu kawasan untuk suatu peruntukan --(termasuk taman nasional)-- semestinya harus mengacu kepada Institutionalist Tenure Security. Artinya mempertimbangkan faktor sejarah pengelolaan, demografi (distribusi sumberdaya), faktor budaya, organisasi sosial, system nilai, harga relative yang
berlaku dan regim hukum yang berlaku.
Minimasi gap kebijakan maka harus ada proses negosiasi dan konsesus di antara para pihak yang berkepentingan. UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria Pasal 16 ayat (1) hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) --hak menguasai dari Negara- ialah: a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan’ d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain -sifatnya sementara ialah; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian -- yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan UU serta hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam Pasal 53. Hak, kewajiban dan peran serta
masyarakat untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat telah diatur dalam UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) Pasal 5; (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran pengelolaan lingkungan hidup (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan yang berlaku.
38
Hak-hak masyarakat atas kekayaan sumberdaya hutan secara tegas telah diatur dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 68 bahwa: (1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan (2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat: a. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku; b. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hutan, dan informasi kehutanan; c. Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan, dan d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung; (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) Setiap orang berhak memperoleh kompenasasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kemiskinan dan kekurangan pangan masyarakat miskin menurut Sen (1981) bukan semata-mata karena keterbatasan SDAL, tetapi lebih karena mekanisme sosial politik yang mengakibatkan minimnya -- (tidak adanya) -pengakuan hak pertukaran (exchange entitlements)
bagi masyarakat miskin.
Pengakuan hak sering bersifat mendua, dan berada pada wilayah abu-abu (grey area), sehingga membuatnya menjadi konsep yang bermanfaat bagi analisis sosial politik. 2. 5 Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L Lembaga (institusi) adalah sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Prosesprosesnya terstruktur untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu. Lembaga tidak mempunyai anggota, tetapi mempunyai pengikut (Horton & Hunt 1991; Cohen 1992) Lebih lanjut Horton & Hunt (1991) menyatakan lembaga juga merupakan system hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejewantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sistem hubungan sosial adalah jaringan peran dan status yang menjadi media untuk melaksanakan perilaku. Sementara, nilai-nilai umum mengacu kepada cita-
39
cita dan tujuan bersama. Dan prosedur umum adalah pola-pola perilaku yang dibakukan dan diikuti. Kelembagaan
menurut Kartodihardjo (2006) mencakup organisasi
(players of the game), hak-hak atas sumberdaya alam, peraturan perundangundangan (rules of the game), struktur pasar, pengetahuan dan ingormasi, serta proses-proses politik di dalam pemerintahan. Keputusan dan tindakan sangat ditentukan oleh kelembagaan. Kerusakan SDAL kebanyakan disebabkan oleh perilaku individu maupun organisasi
melalui keputusan-keputusan dan
tindakannya tersebut. Institusi menurut Ostrom (1992) merupakan seperangkat aturan yang berlaku atau dipergunakan (rule in use) yang dijadikan sebagai acuan bertindak. Narayan & Cassidy (2001) menyatakan bahwa kelembagaan tradisional merupakan ladasan bagi komunitas-komunitas asli dalam mengerahkan hak-hak fundamental dan atau berpartisipasi dalam bidang ekonomi dan politik. Institusi menurut Merton (1975) dalam Horton & Hunt (1991) memiliki 2 (dua) fungsi utama, yakni; (1) fungsi manifest yang merupakan tujuan lembaga yang diakui dan dikehendaki, dan (2) Fungsi laten yakni hasil yang tidak dikehendaki dan mungkin tidak diakui, ataupun jika diakui dianggap sebagai hasil sampingan.
Fungsi Laten institusi mungkin; (1) mendukung fungsi manifest,
(2) tidak relevan, dan atau (3) malahan merongrong dan meruntuhkan fungsi manifest. Fungsi laten (Disfungsi Laten) pada umumnya cenderung meruntuhkan institusi atau merintangi apa yang mau dicapai oleh fungsi manifes. Fungsi institusi dapat bergeser atau berubah bergantung kepada; (1) institusi tidak berhasil memenuhi kebutuhan yang harus diberikan kepada pengikutnya, (2) dua atau lebih institusi mampu memenuhi kebutuhan pengikutnya, tetapi akan ada salah satu diantara mereka yang memiliki kemampuan yang paling tinggi, dan (3) pengalihan fungsi diantara institusiinstitusi seringkali merupakan penyelesaian terhadap berbagai kelemahan yang timbul. Proses pelembagaan (institutionalization) menurut Horton & Hunt (1991) terdiri dari penetapan norma-norma yang pasti yang menentukan posisi status dan fungsi peranan untuk perilaku. Suatu norma merupakan sekelompok harapan
40
perilaku. Dalam prosesnya, pelembagaan mencakup pergantian perilaku secara spontan atau eksperimental dengan perilaku yang diharapkan, dipolakan, teratur dan dapat diramalkan. Cohen (1992) menyatakan bahwa pelembagaan adalah perkembangan sistem yang teratur dari norma dan peranan-peranan yang ditetapkan yang diterima oleh masyarakat. Melalui pelembagaan, perilaku yang spontan dan semaunya diganti dengan pelilaku yang teratur dan direncanakan. Cohen (1992) menambahkan bahwa dalam perspektif teori konflik, institusionalisasi adalah proses yang disengaja dan bukan otomatis. Perbedaan kepribadian individu dapat mempengaruhi perilaku institusi. Perbedaan perilaku individu tidak begitu kelihatan karena tuntutan peran. Konflik dapat terjadi karena pertentangan individu dan bentrokan peran antar institusi. Masing-masing institusi memiliki karakteristik, yakni; (1) memiliki nilai dan tujuan utama yang bersumber dari para anggota untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat, (2) bersifat permanen dalam hal pola-pola perilaku yang ditetapkan institusi, (3) perubahan dramatis dapat mengakibatkan perubahan pada institusi lain, (4) bersifat dependent, disusun dan diorganisasi secara sempurna disekitar rangkaian pola-pola norma, nilai dan periulaku yang diharapkan, dan (5) ide-ide institusi pada umumnya diterima oleh mayoritas anggota masyarakat, walaupun mereka
belum tentu beroartisipasi didalam institusi tersebut
(Cohen 1992).
2. 6 Aktor (Elite) dan Konflik dalam Pengelolaan SDA-L Hook (1955) dalam Sztompka (2005) menyatakan bahwa perubahan sosial, termasuk transformasi historis berskala luas adalah prestasi aktor (tokoh) manusia, hasil tindakan mereka. Sejarah adalah dampak upaya manusia, diharapkan atau tidak. Ada tiga tipe aktor individual dalam perubahan sosial, yakni: (1) orang biasa (awam) dalam kehidupan sehari-hari, (2) individu yang karena memiliki kualitas pribadi yang khas, mampu bertindak mewakili orang lain, atas nama mereka atau memanipulasi atau menindas orang lain, meski tanpa seizin mereka, dan ( 3) orang yang menduduki posisi luar biasa karena mendapat hak istimewa tertentu, terlepas dari kualitas pribadi luar biasa yang mereka miliki,
41
dan atau tidak mereka miliki. Tindakan aktor (tokoh) ini berakibat baik atau buruk terhadap penentuan nasib masyarakat atau kelompok masyarakat dan inividu warga masyarakat. Para aktor (tokoh) sosial bukan hanya mengikuti sistem aturan yang rumit dengan cara yang ketat dan mekanis. Dalam banyak kasus, hal ini tidak mungkin karena sistemnya tidak terorganisasi secara baik atau cukup konsisten untuk dibaca secara cepat dan kemudian melaksanakannya. Ada kalanya para aktor akan terus mengikuti tatanan yang berlaku dan selanjutnya mengambil keputusan untuk mengadaptasikannya secara radikal. Mereka juga mungkin bersengketa di antara mereka sendiri mengenai banyak masalah, meningkatkan dan meluaskan pembicaraan mengenai masalah-masalah yang gawat dan mengadakan tekanan supaya diadakan perubahan (Burns 1987). Dalam kajian keseimbangan sosial Pareto (Bottomore 2006) membagi kelas elite (tokoh) menjadi dua kelas, yakni: (1) elite yang memerintah (governing elite), dan (2) elite yang tidak memerintah (non governing elite). Dalam masyarakat terdapat dua lapisan masyarakat, yakni; (1) lapisan yang rendah (non elite), dan (2) lapisan yang tinggi (elite) terdiri dari dua lapisan, yakni; (a) elite yang memerintah, dan (b) elite yang tidak memerintah. Pareto mengamati bahwa lapisan atas masyarakat (elite) secara nominal mencakup kelompok-kelompok tertentu masyarakat, yang tidak selalu terdefinisikan secara tegas, yang disebut aristokrasi (aristokrasi dan plutokrasi militer, religius dan komersial. Mosca (Bottomore 2006) menyatakan bahwa dalam semua masyarakat, dari masyarakat yang paling terbelakang dan hampir tidak pernah menikmati fajar peradaban, hingga ke masyarakat yang paling kuat dan maju –muncul dua kelas manusia—yakni kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama, jumlahnya selalu sedikit, melaksanakan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keistimewaan-keistimewaan yang diberikan oleh kekuasaan, sedangkan kelas kedua, jumlahnya lebih banyak, diperintah dan dikendalikan oleh yang pertama, dengan cara yang kurang lebih legal, diktatorial dan kejam. Elite tidak semata-mata berkuasa dengan menggunakan kekuatan dan penipuan, tetapi dalam satu segi, “mewakili kepentingan dan tujuan kelompok yang berpengaruh dan penting dalam masyarakat.
BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Tempat dan Waktu Penelitian Desa penyangga TNMB terdiri dari 12 (dua belas) desa yang tersebar pada 2 (dua) kecamatan di kabupaten Jember, yakni: (1) Desa Curahnongko, (2) Desa Andongrejo, (3) Desa Wonoasri, (4) Desa Curahtakir, (5) Desa Sanenrejo kecamatan Tempurejo, (6) Desa Mulyorejo dan (7) Pace kecamatan Silo. Desadesa penyanga di 2 (dua) kecamatan di kabupaten Banyuwangi, adalah: (8). Desa Sarongan, (9) Desa Kandangan kecamatan Pasanggaran, dan (10) Desa Kalibaru Kulon, (11) Desa Sidomulyo, dan (12) Desa Kebonrejo kecamatan Kalibaru kabupaten Banyuwangi. Tabel 5 Desa-desa penyangga TNMB yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian Desa Kab. Jember A. Kec. Tempurejo:
Program Rehabilitasi
Non Program Rehabilitasi
Desa Sample (Purposive Sampling)
1. Desa Andongrejo
√
1. Desa Andongrejo
2. Desa Curahnongko
√
2. Desa Curahnongko
3. Desa Wonoasri 4. Desa Sanenrejo
√ √
3. Desa Wonoasri 4. Desa Sanenrejo
5. Desa Curahtakir
√
5. Desa Curahtakir
B. Kec. Silo: 6. Desa. Mulyorejo
√
7. Desa Pace
√
Kab. Banyuwangi C. Kec. Pasanggaran 8. Ds. Sarongan 9. Ds. Kandangan
D. Kec. Kalibaru
√ √
10. Desa Kalibaru kulon 11. Desa Sidomulyo
√
12. Desa Kebonrejo
√
√
Etnik Dominan
Madura Pendalungan Madura Pendalungan Jawa Mataraman Madura Pendalungan Madura Pendalungan
6. Desa. Mulyorejo
Madura Pendalungan
7. Ds. Sarongan 8. Ds. Kandangan
Jawa Mataraman Jawa Mataraman
Madura Pendalungan Madura Pendalungan Madura Pendalungan
44
Pengambilan 8 (delapan) desa tersebut sebagai lokasi penelitian ditetapkan secara sengaja (purposive sampling), berdasarkan keterwakilan etnik dan polapola akses, hak dan kelembagaan masyarakatnya. Dalam perspektif politik ekologi, dinamika akses, hak dan kelembagaan masyarakat pada 8 (delapan) desa tersebut dinilai berpengaruh langsung terhadap eksistensi zona-zona dalam kawasan TNMB, yakni; (1) zona inti, (2) zona rimba, (3) zona pemanfaatan, (4) zona pemanfaatan khsusus, dan (5) zona rehabilitasi. Lokasi penelitian seperti terlihat pada Gambar 3.
Pace Mulyorejo Curahtakir
Wonoasri
Sidomulyo Kalibaru Kulon
Sanenrejo
Curahnongko
Kebonrejo
Andongrejo
Kandangan Sarongan
Gambar 4 Desa-desa penyangga TNMB yang menjadi lokasi penelitian.
45
Kegiatan penelitian berlangsung pada Mei 2006-November 2007, kemudian dilakukan perpanjangan pengamatan hingga terjadi kejenuhan (saturation) pada November 2008. Kegiatan penelitian dilakukan melalui tahap seperti dalam Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Tahapan Kegiatan penelitian yang dilakukan Bulan
Tahun
Kegiatan Penelitian
Mei - September
2006
Maret - April
2007
Juli – November
2007
Agustus dan November
2007
April November
2008
Penelitian penjajagan berupa pengumpulan dokumen dan informasi terkait penelitian Survai lapangan untuk pemetaan masalah dan pendataan tokoh dan informan kunci FGD dengan petani organisasi petani rehabilitasi (OPR) Wawancara dengan pakar, Dinas terkait, Balai TNMB, wawancara snowball dengan para aktor dan warga di 8 desa penyangga TNMB di dua kabupaten Perpanjangan pengamatan dan wawancara snowball dengan para aktor, warga 8 desa penyangga, tokoh masyarakat, LSM pelaku dan informan kunci
Lokasi Balai TNMB, Dinas terkait 8 desa penyangga 8 desa penyangga Jember, Banyuwangi, dan 8 desa penyangga 8 desa penyangga
3. 2 Penentuan Substansi Penelitian Substansi dari penelitian didasarkan pada tinjauan lapangan, terutama pada saat Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2003/2004 dan Pemilu Gubernur Jawa Timur tahun 2008/2009, yang pada kedua moment tersebut peneliti sebagai Ketua Pengawas Pemilu di Kabupaten Jember, memiliki banyak kesempatan membangun relasi sosial, berinteraksi dan berdiskusi dengan kelompok masyarakat desa penyangga tentang topik penelitian ini, di luar tugas kepemiluan. Selain itu, juga sejumlah diskusi peneliti dengan kalangan LSM-L, ormas dan orsospol Jember, yang bersinggungan langsung dengan kelompok masyarakat desa penyangga sejak tahun 1999/2000. Hasil dari tinjauan lapangan dan diskusi tersebut, menunjukkan bahwa akses masyarakat atas lahan dalam zona penyangga TNMB merupakan rangkaian tidak terpisahkan dari penjarahan kayu pada tahun 1997 hingga tahun 2000 dan gerakan anti tambang emas dalam kawasan TNMB tahun 1999/2000. Pada kasus gerakan anti akses tambang, kelompok masyarakat menganggap diri mereka sebagai perisai hidup TNMB.
46
Akses lahan yang mereka lakukan pada tahun 1999/2000 menggunakan pendekatan rasional. Artinya, dalam pikiran mereka, daripada lahannya gundul, tererosi dan nganggur tidak diurus oleh Balai TNMB, lebih baik digarap oleh warga masyarakat desa penyangga sebagai lahan bertani dan berladang sambil merehabilitasinya. Akses rasional ini dilakukan oleh kelompok masyarakat dengan terlebih dahulu melakukan konsolidasi nilai yang memungkinkan mereka bersatu dan bertahan ketika suatu waktu harus berhadapan dengan aparat Balai TNMB. Pengalaman
lapangan dan pemahaman atas situasi sosial ketika
menangani Pemilu nasional dan regional Jawa Timur di atas, memungkinkan peneliti menemukan dan memahami fenomena dinamika sosioekologi, akses, hak dan kelembagaan konservasi yang ada dan terjadi dalam kelompok masyarakat desa penyangga dalam berinteraksi dengan TNMB. Relasi sosial antara peneliti dengan kelompok masyarakat desa penyangga TNMB yang sudah terbangun sejak aksi anti tambang tahun 1999/2000, memudahkan peneliti untuk memperoleh informasi dan mendalami sikap dan perilaku dasar mereka terhadap eksistensi TNMB. Demikian juga halnya dengan kelompok OPR/KetanMerah bentukan Balai TNMB, mereka sangat terbuka terhadap kehadiran para pihak dan tidak menahan atau menutupnutupi informasi yang ingin didapat oleh peneliti dalam konteks pengelolaan TNMB. 3. 3 Paradigma Penelitian dan Posisi Peneliti Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis kritis, karena ruang fisik dan ruang diskursus yang hidup dan berkembang merupakan realitas sosial yang sengaja dikontruksi oleh sejumlah aktor dalam memperebutkan dan atau mempertahankan sejumlah kepentingan mereka atas kawasan TNMB. Pendekatan kritis menurut Neuman (2003) dalam Chariri (2009) bertujuan untuk melakukan perubahan secara substansial pada masyarakat, sehingga hasil dari penelitian ini tidak lagi sekedar menghasilkan karya tulis ilmiah yang netral dan apolitik, tetapi juga dimaksudkan untuk mengubah institusi sosial, cara berpikir dan perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik (konteks rehabilitasi dan eksistensi kawasan TNMB). Kriteria kualitas dalam penelitian berparadigma konstruktivis kritis didasarkan pada keterandalan (trustworthiness) dan keautentikan (authencity) (Lincoln & Guba 2000). Keterandalan berkaitan dengan credibility, transferbility
47
dan confirmability, sedangkan keautentikan berkaitan dengan ontological authencity, educative
authencity, catalytic authencity dan tactical authencity
(Guba & Lincoln 1994). Kredibilitas data penelitian diukur berdasarkan temuan peneliti yang menunjukkan realitas konstruksi sosial beragam, yang realitas sosial itu direkonstruksi oleh peneliti, yang kebenarannya juga diakui oleh kelompok masyarakat sebagai subjek penelitian yang mengkonstruksi realitas. Hal ini penting dilakukan untuk menekan bias opini dan informasi. Guna menekan bias opini dan informasi, maka peneliti melakukan cheking atau konfirmasi realitas dengan subjek penelitian melalui dialog atau diskusi dalam hal penentuan kasus, kategori data dan interpretasi data. Pada tahap selanjutnya, peneliti menyerahkan draft hasil penelitian kepada subjek peneliti untuk dikomentari, dikritik dan diberi masukan agar sesuai benar dengan realitas yang dikontruksi oleh subjek penelitian. Confirmability diukur berdasarkan sajian data yang benar-benar faktual, dapat dipercaya dan autentik yang mengilustrasikan realitas akses, hak dan kelembagaan konservasi masyarakat yang sudah dan sedang terjadi, sehingga data yang disajikan benar-benar adanya. Guna memenuhi kualitas penelitian berparadigma kritis, yakni historical situatedness, maka akan diilustrasikan kondisi sosial politik yang mempengaruhi pengelolaan TNMB era Orde Baru/pra reformasi dan pasca reformasi, termasuk kondisi sosial ekonomi, budaya dan ekologi TNMB. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma fenomenologi13 (Rice & Ezzy 2000), serta bersifat deskriptif kualitatif berdasarkan pada teknik distribusi frekuensi (frequency distribution). Pendekatan tersebut akan dipakai sebagai landasan kajian dan analisis kebijakan, akses, hak dan kelembagaan masyarakat. Penafsiran data dan hasil penelitian ini bersifat idiographik (berlaku khusus atau kasuistik), bukan bersifat nomothetik (universal).
13
Paradigma fenomenologis menurut Rice dan Ezzy (2000) adalah interpretasi dan analisis situasi dalam dunia seharihari berdasarkan perspektif dan konstruksi pengalaman pelaku yang melakukan tindakan dan berinteraksi dengan dunianya. Indept interview dengan pelaku lebih banyak dipakai karena pengalaman masing-masing pelaku berbeda-beda, dan perilaku individu hanya dapat dipahami dengan cara menempatkannya dalam konteks kehidupan dunia pelaku.
48
Dengan proses dan pendekatan tersebut, maka bobot objektivitas hasil kajian dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. 3. 4 Rancangan Penelitian Kerja-sama pengelolaan TNMB dengan kelompok masyarakat di delapan desa penyangga bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Ia tidak lahir dari inisiatif murni kelembagaan Balai TNMB dalam memenuhi kewajiban peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan UU dan peraturan terkait dengan pengelolaan kawasan konservaasi pun lahir bukan sebagai aksi kesadaran teoritik dan praksis kelembagaan, tetapi lebih bersifat reaksi atas gerakan akses, hak dan kelembagaan yang massif dari masyarakat atas SDA-L ketika dan pasca situasi dan kondisi politik nasional dan lokal chaos. Untuk memahami secara kritis dan mendalam tentang kompleksitas masalah kebijakan pengelolaan TNMB, maka dinamika akses, hak dan kelembagaan masyarakat akan dikaji dengan menggunakan pendekatan politik ekologi. 3. 5 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi dan survei lapangan dengan menggunakan teknik Focus Dicussion Group (FGD), wawancara semi terstruktur dan wawancara mendalam (indept interview), serta kuisioner. Data sekunder diperoleh dari dokumen dan pustaka yang dipublikasikan oleh Balai TNMB dan para pihak atau dinas yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Sesuai dengan pokok dan tujuan penelitian, maka jenis dan sumber data seperti tertera dalam Tabel 7 di bawah ini.
49
Tabel 7 Jenis dan sumber data berdasarkan tujuan penelitian Tujuan
Variabel penelitian
Sumber data
Analisis data
UU, PP, Permen, Kepmen, SK Dirjen, dan terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi
Studi pustaka dan dokumen, FGD, Wawancara terfokus semiterstruktur, Snowball OPR, ”OPR” dan aktor Kuesioner
1. Survei lapangan 2. Pidato Politik Gus Dur Mei tahun 2000 3. Demo Rajegwesi April 2008 dan Demo Andongrejo Sept. 2008 4. Demo Andongrejo dan Sanenrejo 5. Laporan akuntabiltas Balai TNMB 2003 – 2008 6. Laporan tahunan soesekbud dan invetarisasi ekologi TNMB : 1994 – 2008 7. Laporan pelanggaran hutan Balai TNMB, 1990 s.d 2008 8. Desakan Balai TNMB kepada Dirjen PHKA tentang keberadaan PT. LDO 9. Pakar Hukum, sosial politik, ekonomi dan antropologi
Studi pustaka dan dokumen, Wawancara terfokus semiterstruktur, Snowball OPR, ”OPR” dan aktor Kuesioner
s.d.a
s.d.a
s.d.a
Survei lapangan Laporan Akuntabiltas Balai TNMB dan Kepolisian Wawancara Pakar Hukum, sosial politik, ekonomi dan antropologi
Survei lapangan, Studi pustaka Wawancara fokus; FGD OPR Snowball “OPR” Kuesioner,
s.d.a
5.Kapasitas pengelolaan • Laporan Akuntabiltas Balai
Studi pustaka dan dokumen, Wawancara terfokus
s.d.a
Studi pustaka Wawancara fokus; FGD OPR Snowball ”OPR dan Aktor” Kuesioner
Deskriptif kulitatif: content analysis dan analisis wacana dengan distribusi frekuensi
1. Sumber-sumber Potensi, politik: Polarisasi dan Kebijakan politik efektifitas atau dasar hukum kebijakan pengelolaan TNMB, dalam Hubungan pusat perspektif dengan daerah politik ekologi 2. Kondisi faktual: Resistensi sosial, laten fakta atau manifest, implementasi program pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi kawasan
3. Ramifikasi: Konsekuensi politik atau dampak sosial budaya dan ekonomi 4. Efektifitas hukum
Penegakan
TNMB dan survei lapangan • Organisasi dan SDM • Kerja sama dengan para pihak
Dinamika dan pola -pola akses SDA-L
Pengumpulan data
Akses kontrol Akses informasi Akses pemeliharaan, Akses SDA-L Delapan akses non SDA-L
Responden: Anggota OPR Informan: Balai TNMB, Tokoh ”OPR”, masyarakat, pimpinan ormas, muspika, kepala desa, BPD, LMDH, Polsek, LSM-L, Polhut Jaga wana, pakar sosiologi dan antropologi
Deskriptif kulitatif: content analysis, analisis wacana dengan distribusi frekuensi
s.d.a
Output penelitian Efektifitas kebijakan pengelolaan dan KSDAHE (pelestarian SDAHE)
s.d.a
Minimasi pelanggaran hutan
Efektifitas SDM & kerja sama pengelolaan
Pola-pola dan dinamika akses SDAL
50
Lanjutan Tabel 7 Tujuan Dinamika dan pola -pola hak
Variabel penelitian
Pengumpulan data
Analisis data
Output penelitian
Hak Akses, Hak Pemanfaatan, Hak Pengelolaan, Hak Pembatasan, Hak Pelepasan
Responden: Anggota OPR Informan: Balai TNMB, ”OPR”, Tokoh masyarakat, pimpinan ormas, muspika, kepala desa, BPD, LMDH, Polsek, LSM-L, Polhut Jaga wana.
Studi pustaka Wawancara fokus; FGD OPR Snowball ”OPR dan Aktor” Kuesioner
Deskriptif kulitatif: content analysis dan analisis wacana dengan distribusi frekuensi
Pola-pola dan dinamika hak SDA-L
Profil organisasi. Kepemimpinan organisasi Budaya organisasi Aturan main organisasi Nilai dan norma organisasi Insentif dan needs organisasi Kelompok kerjasama dan jaringan sosial Partisipasi Kapasitas, kebutuhan dan keberlanjutan organisasi Info dan komunikasi Pemberdayaan dan aksi politik ekologi dan KSDAHE Kepercayaan dan solidaritas
Responden: Anggota OPR Informan: Balai TNMB, ”OPR”, Tokoh masyarakat, pimpinan ormas, muspika, kepala desa, BPD, LMDH, Polsek, LSM-L, Polhut Jaga wana, pakar sosiologi dan antropologi
Studi pustaka Wawancara fokus; FGD OPR Snowball ”OPR dan Aktor” Kuesioner
Deskriptif kulitatif: content analysis dan analisis wacana dengan distribusi frekuensi
Pola-pola dan dinamika kelembagaan SDA-L
Dinamika kelembagaan konservasi masyarakat
Sumber data
Tabel 8 Pokok penelitian, jenis dan sumber data No
Pokok Penelitian A. Data Primer
01
Profil Komunitas Masyarakat sekitar TN Meru Betiri
02
Akses (Access) : akses kontrol, Akses informasi Akses pemeliharaan, Akses SDA-L. Akses non SDA-L
Jenis Data • • •
Ragam Kelembagaan masyarakat desa penyangga Interaksi komunitas dengan orgnisasi Jaringan kelembagaan masyarakat dengan kelompok luar
• Latar belakang, alasan , dan tujuan akses • Proses, intensitas, bentuk-bentuk perilaku, dan kelompok akses • Peluang, izin, larangan , hambatan dan ancaman akses • SDA-L yang diakses • Reaksi dan sanksi terhadap upaya akses SDA-L • Jaringan & interaksi individu dan kelompok dalam akses SDA-L • Upaya-upaya dan strategi akses SDA-L • Dampak akses : reaksi penguasa, elite, dan masyarakat, perubahan dan ketimpangan sosial (social gap) dalam akses SDA-L
Sumber Data •
Kelompok dan tokoh masy., Pimpinan ormas, aparat pemerintah dan pengelola TNMB
•
Individu dan kel.-OPR, ”OPR”, dan aktor Pimpinan ormas Tokoh masy. Aparat pemkab. & pihak TNMB Anggota masy. yang menduduki lahan dan tidak menduduki lahan Sosiolog dan antropolog
• • • • •
51
Lanjutan Tabel 8 No
Pokok Penelitian A. Data Primer
03
Hak (Right): Hak akses, Hak pemanfaatan, Hak pengelolaan, Hak pembatasan, dan Hak pelepasan
04
Jenis Data • • • • • • • • •
Latar belakang, alasan, dan tujuan hak Proses dan intensitas mendapatkan hak Perilaku dan konflik kepentingan hak Peluang, izin, larangan , hambatan dan ancaman hak Sanksi terhadap pelangggaran larangan hak Sifat dan implementasi Hak SDA-L dan zona-zona yang diupayakan untuk di hak Reaksi Balai TNMB terhadap penggunaan hak Upaya, resistensi sosial, jaringan kerja sama dan strategi dalam mendapatkan dan memperlakukan hak • Perilaku dan solidaritas dalam mendapatkan/ menggunakan hak • Dampak hak: reaksi penguasa, elite, dan masyarakat terhadap penggunaan hak, perubahan dan ketimpangan sosial (social gap) dalam implementasi hak
KELEMBAGAAN:
Sumber Data • • • •
•
•
•
a. Profil organisasi.
• • • • • • • •
b. Kepemimpinan organisasi
Latar Belakang, Jumlah dan jenis organisasi, Inisiator dan proses terbentuknya organisasi Nilai dan norma organisasi Perhatian organisasi terhadap masalah LH dan KSDAHE di kawasan TN Meru Betiri Suksesi dan regulasi kepemimpinan Kualitas kepemimpinan organisasi Interaksi internal dan eksternal organisasi Respon dan reaksi terhadap masalah LH dan KSDAHE TNMB
• Perilaku dan konflik kepentingan dan tokoh rujukan /panutan dalam peneylesaian masalah • Perilaku pemimpin dan anggota dalam proses pengambilan kepeutusan
c. Budaya organisasi
d. Aturan main organisasi
• • •
•
•
Individu dan kelompok-OPR, ”OPR”, aktor Pimpinan ormas Tokoh masyarakat Aparat pemerintah dan pengelola TNMB Anggota masyarakat yang menduduki lahan dan tidak menduduki lahan Sosiolog dan antropolog
Individu dan kelompok-OPR, ”OPR”, aktor Pimpinan ormas Tokoh masyarakat Aparat pemerintah dan pengelola TNMB Anggota masyarakat yang menduduki lahan dan tidak menduduki lahan Sosiolog dan antropolog
• Jumlah, sifat dan keragaman aturan main • Penegakan aturan main • Sanksi atas pelanggaran aturan main yang berkaitan dengan LH dan KSDAHE • Kearifan lokal (local wisdom)
KELEMBAGAAN: e. Pemberdayaan dan aksi politik KSDAHE-L
• • • • • •
f. Kepercayaan solidaritas
dan
• • • • • •
•
• Intensitas aksi pemberdayaan dan aksi politik LH dan KSDAHE TNMB yang pernah, sedang dan akan dilaksanakan Fokus masalah pemberdayaan dan aksi politik LH dan KSDAHE yang ditangani Lama dan intensitas pembedayaan dan aksi politik Kelompok dan bentuk jaringan pemberdayaan & aksi politik Inisiator aksi pemberdayaan dan aksi politik LH dan KSDAHE TNMB Faktor-faktor pendorong aksi pemberdayaan dan aksi politik LH dan KSDAHE TNMB Kepercayaan terhadap pengelola TNMB dalam pengelolaan kawasan TNMB Kepercayaan terhadap pimpinan organisasi dan anggota atau pengikut Solidaritas kelompok Keyakinan (belief) dan pandangan masyarakat terhadap dampak kelestarian dan kerusakan TNMB Realitas tuntutan dan pertentangan Lawan dan kawan Perubahan tatanan sosial total dan parsial (individual dan supra individual) : politik, ekonomi dan kultural
S.d.a
52
Lanjutan tabel 8 No B
Pokok Penelitian A. Data Primer (Kualitatif ) Data Sekunder Jenis Data Keadaan UmumWilayah
Rencana Tata Ruang kabupaten dan propinsi
Jenis Data
Sumber Data
• Kondisi Biofisik: (Letak dan luas, topografi, tanah dan geologi, iklim dan hidrologi). • Kondisi Bioekologi: (Ekosistem, Flora dan fauna). • Kondisi Sosial budaya dan ekonomi masyarakat: (tingkat pendidikan, jumlah penduduk, angkatan kerja, kesempatan kerja, pengangguran, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, system produksi dan mata pencaharian, kelembagaan, peta potensi konfik, stakeholders, fasilitas umum dan falitas sosial) • Rencana Tata Ruang nasional, propinsi dan kabupaten
Sumber Data Balai TNMB; Balai TNMB;
Monografi Desa dan Kecamatan, Jember dalam Angka dan BPS
Balai TNMB, Bapppekab dan Biro Hukum Pemkab Jember Jember dan banyuwangi
Tabel 9 Pertemuan lokal tentang pengelolaan kawasan hutan di Jember yang diikuti Acara
Penyelenggara
Peserta
01
No
Waktu
Hotel Rembangan Jember
Rapat koordinasi Strategi dan TOR rehabilitasi kawasan hutan di Jember berbasis sekolah
Kerja-sama Balai TNMB, Perhutani, Dishut, Diknas
Balai TNMB, Perhutani, LPM UNEJ, GNKL, Dishut, Diknas, TNI/POLRI,
02
Aula Rumah Makan Ampera Jember
Diskusi strategi relokasi kelompok masyarakat yang mengokupasi kawasan hutan
Perhutani, dan Dishut kab.Jember
Perhutani, TNI, Dishut, GNKL, LMDH
03
Gedung Bina Insani Jember
Seminar: Pengelolaan SDH di Jember yang berpihak pada upaya perbaikan kawasan hutan dan masyarakat
HMI Cab.Jember dan Walhi Jatim
HMI Cabang Jember, Perhutani, Walhi JATIM, GNKL
04
Aula KPU Kab. Jember
Seminar: Hak dan kelembagaan masyarakat atas kawasan hutan terkait dengan rencana tambang di kawasan hutan lindung dan TN
PMII Cab.Jember
PMII Cabang .Jember Perhutani, JATAM, GNKL, WALHI JATIM
05
Kantor PCNU Jember
Hak MDH dalam pengelolaan SDH
GNKL, Jember, Jember
PCNU Jember, GNKL, FK- LMDH Jember, Alam Hijau Tempurejo
06
Aula UNEJ
POMA
Reaksi atas Lahirnya PP Nomor: 2 Tahun 2008 tentang tambang dalam kawasan lindung dan TN
LPM Ekspose UNEJ
07
Gedung UNEJ
PKM
Dialog Interaktif: Reaksi atas SK Izin KP Tambang Mangaan dari Disperindag Jember di kawasan penyangga TNMB dan hutan lindung Babansilosanen
LPM Prima UNEJ
Masjid Al Hidayah Curahwungkal Pace Silo PP Al Hidayah Karangharjo Silo
08
21 Okt 2008
09
27 Maret 2009
Tempat
PCNU FKLMDH
FE
LPM Ekspose FE UNEJ, WALHI JATIM, GNKL, SD INPRES Jember
FISIP
LPM Prima FISIP UNEJ, GNKL, Komisi B DPRD Jember, Perhutani, Balai TNMB, PA se-Jember
Gerakan Rakyat Kontra Tambang di kawasan penyangga TNMB dan Hutan Babansilosanen
Tokoh masy. Silo & FORKOMPAC
Tokoh masy. Silo, DKLH Pemkab Jember GNKL, MWCNU Silo
Gerakan Rakyat Anti Tambang (GARANG) di kawasan penyangga TNMB dan Hutan Babansilosanen
Tokoh masy. FORKOMPAC GNKL
Tokoh masy. Silo (Pace dan Mulyorejo) FORCOMPAC, GNKL, MWCNU Silo, KARST, HAMIM
Silo &
53
Lanjutan Tabel 9 No 10
Waktu
Tempat
Acara
Penyelenggara
Peserta
30 Des 2009
Aula TNMB
Workshop Program Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan
Balai TNMB dan Puslit Sosek dan Kebijakan Kehutanan Balitbang Kehutanan
Aula FMIPA UNEJ
Diskusi Interaktif: Tambang dalam Kawasan Konservasi dan Lindung
BEM FMIPA UNEJ
KAIL, Latin Bogor, GNKL, OPR, PSL dan Lemlit Unej, Pemkab Jember & Banyuwangi, Balai TNMB, dan Puslit Sosek dan Kebijakan Kehutanan Balitbang Kehutanan BEM UNEJ, LSM-L, OPA UNEJ
Diskusi dan Konsultasi stakeholders dalam pemberdayaan masyarakat dan pelestarian keanekaragamab hayati TNMB Musyauwarah mengatasi tambang ilegal yang dipelihara dan dibiarkan oleh Polisi dan Pemkab Jember
Latin Bogor
Latin, KAIL, GNKL, NU, ELPAMAS, Pers, KomunitasUstadz/Guru sekitar TNMB
PCNU Jember
HAMIM, YPSM, GNKL, FKPMM, MWCNU, Tokoh masy Silo, PMII, FORKOMPAC, PCNU, SERBUK, SKeTSA
11 12
12-13 Maret 10
Kantor TNMB Ambulu
13
19 Maret 10
Masjid Pace
3. 6 Penentuan Sampel Dalam penelitian naturalistik (kualitatif), spesifikasi yang homogen menjadi sub unit yang lebih kecil dengan karakteristik lebih spesifik dipandang lebih membantu untuk bertolak dari hal yang lebih kontekstual. Berbeda dengan konsep positivistik (kuantitatif) yang bertolak dari konsep asumsi homogenitas atau populasi berdistribusi normal, penelitian kualitatif
bertolak dari asumsi
bahwa konteks akan lebih mendekatkan kepada karakteristik idiographik bukan nomothetik (Muhajir 1990). Agar
tidak
terjadi
homogenitas
data,
maka
pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif pada umumnya adalah dengan cara purposive sampling (Muhadjir 1990; Rice & Ezzy 2000) Patton (1980) dalam Muhajir (1990) menyatakan bahwa dalam pengambilan sampel dapat dilakukan dalam enam tipe, yang lebih berharga daripada pengambilan sampel secara acak, yakni; 1. Sampel ekstrim atau kasus yang menyimpang untuk mendapatkan informasi kasus ekstrim; 2. Sampel kasus tipikal, untuk menghindari penolakan informasi yang memang khusus; 3. Sampel yang memberikan keragaman maksimal, untuk merekam keragaman yang unik; 4. Sampel pada kasus-kasus ekstrim, untuk memperoleh informasi aplikasi maksimum pada kasus lain, karena jika pada kasus yang ekstrim dapat berlaku, tentunya kasus kurang ekstrim akan dapat juga digunakan; 5. Sampel untuk kasus-kasus sensitif, untuk menarik perhatian pada studi tersebut; 6. Sampel yang memudahkan, untuk menghemat uang, waktu atau kegiatan penelitian itu sendiri.
54
Guba dengan mengikuti pemikiran Glaser dan Strauss (Muhajir 1990) mengemukakan empat karakteristik sampel teoritik (theoritical sampling) atau sinonim dengan sampel purposive, yakni; 1. disain sampel bersifat sementara, tetapi tidak dirancang secara apriori, 2. seleksi berkelanjutan terhadap unit-unit sampel
sesuai
dengan
informasi
yang
diperoleh
di
lapangan
dengan
mengoptimalkan keragaman, 3. penyesuaian atau pemfokusan sampel secara berkelanjutan, sehingaa memungkinkan peneliti melakukan revisi sampel, dan 4. menyeleksi sampel menuju ke kejenuhan informasi. Rice
&
Ezzy
(2000)
menyatakan
bahwa
penelitian
kualitatif
berkepentingan untuk mendapatkan kasus-kasus yang dapat memberikan informasi yang kaya akan fenomena yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif, ukuran sampel cukup besar jika peneliti telah cukup puas bahwa data yang diperoleh cukup kaya dan cukup meliputi dimensi-dimensi yang diteliti. Rice & Ezzy (2000) menambahkan bahwa prinsip ukuran sampel penelitian kualitatif adalah; 1. secara umum menggunakan sampel sebesar 40 hingga 200 responden. Sangat jarang penelitian kualitatif menggunakan sampel lebih besar dari 200 responden 2. kebutuhan ukuran sampel merupakan implikasi dari pencuplikan teoritis (theoritical sampling) yang dianut secara umum dalam penelitian kualitatif. Artinya, ukuran sampel ditentukan berdasarkan alasan teoritis, bukan alasan statistik, sehingga tidak relevan mempertanyakan rumus ukuran sampel yang mengandalkan ukuran-ukuran presisi statistik dalam penelitian kualitatif. 3. penambahan kasus dalam theoritical sampling seharusnya berhenti mengikuti konsep saturasi teoritis.
Gummesson (1991) menyatakan bahwa sifat pengumpulan data penelitian kualitatif adalah eksploratif, fleksibel, reflektif, terbuka dan berkembang terus menerus sesuai dengan kemajuan-kemajuan sepanjang proses penelitian, sehingga ukuran sampel dapat saja bertambah atau lebih besar
dari rencana semula.
Gummersson (1991) menambahkan bahwa jumlah kasus yang dibutuhkan dalam penelitian ditentukan oleh kejenuhan (saturastion), yakni kontribusi marginal yang semakin menurun dari setiap pertambahan kasus. Peneliti tidak perlu melanjutkan mencari tambahan kasus jika manfaat marginal dari setiap pertambahan kasus mendekati nol.
55
3. 7 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi dilakukan berdasarkan jenis data yang diperlukan. Dalam meraih data primer, peneliti membaur dengan realitas dunia sosial responden dalam rangka mengamati fenomena perilaku, peristiwa dan asumsi-asumsi kultural responden dengan menggunakan teknik participatory observation. Data primer dikumpulkan dengan cara sebagai berikut: 1. Pengamatan lapangan/observasi dilakukan untuk melihat kondisi objektif tentang masalah ekologi di kawasan penyangga TNMB, sosial budaya dan ekonomi masyarakat 8 (delapan) desa penyangga TNMB; 2. FGD dan survai dengan membagikan kuisioner kepada 105 responden okupator OPR, pengamatan dan wawancara tidak terstruktur (bebas) dengan teknik snowball terhadap 87 responden okupator non OPR. Pada
kedua
kelompok responden tersebut juga dilakukan wawancara mendalam (in-dept interview) untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang kompleks dari responden (Brannen 1999); 3. Wawancara semi terstruktur dengan pihak Balai TNMB, Bappeda, BPM, Dishut, Dispar, wawancara mendalam dengan aparat desa dan tokoh masyarakat. Berdasarkan sampling yang dipakai dalam penelitian ini, maka responden dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yakni; 1. OPR agen Balai TNMB, 2. kelompok ”hidden OPR” dan, 3. kelompok non OPR, tetapi mereka melakukan aktivitas pengambilan SDH --tumbuh-tumbuhan obat untuk pembuatan jamu dan berburu, dll-- dalam kawasan TNMB, seperti dalam Tabel 10 di bawah ini. Untuk mendapatkan data dari kelompok OPR agen Balai TNMB menggunakan metode purposive sampling, sedangkan untuk kelompok ”hidden OPR” menggunakan sampling sekenanya atau seenaknya (convenience sampling) dengan teknik snowball, yang merupakan metode pencuplikan non random. Penggunaan convenience sampling harus dilakukan karena dari seluruh okupator kawasan rehabilitasi TNMB, tidak semuanya mampu dikonsolidasi dan dikendalikan dengan baik oleh OPR dan pihak Balai TNMB, sehingga untuk menggali informasi dari kelompok okupator ini harus memakai teknik snowball.
56
Tabel 10 Distribusi responden untuk analisis implementasi kebijakan, akses, hak dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan TNMB
Desa
Wonoasri Curahnongko Andongrejo Sanenrejo Curahtakir Mulyorejo 14 Sarongan Kandangan Jumlah
OPR Wawancara semi terstruktur dan mendalam, FGD, kuesioner 15 14 15 15 15 15 12 101
Responden Hidden OPR Wawancara semi terstruktur dan mendalam, kuesioner 8 7 5 6 6 5 5 41
Non OPR Wawancara semi terstruktur dan mendalam, kuesioner 1 2 4 3 3 15 + FGD 3 3 34
Jumlah Responden
24 23 24 24 23 15 23 20 176
Sumber : Patton (1980) dalam Muhajir (1990); Rice & Ezzy (2000)
Selain responden tersebut, data dan informasi juga dikumpulkan melalui para informan. Jumlah informan yang telah diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 11 (sebelas) orang. Data dan informasi yang diperoleh dari informan kemudian dipadukan, dicek silang, diverifikasi, disaring dan dianalisis dengan data dan informasi yang didapat peneliti, seperti pada Gambar 5 di bawah ini. FR
R F
I
Pustaka
FR + FI
FRI
FI
Gambar 5 Proses transisi, perpaduan dan saringan penampakan fenomena berdasarkan interpretasi informan dan peneliti yang berbeda selama proses penelitian, modifikasi dari Gőnner (2001) Catatan: R I F FR FI F RI 14
: : : : : :
Researcher (peneliti) Informan Fenomena perilaku responden dalam populasi Fenomena menurut interpretasi peneliti Fenomena menurut interpretasi atau penilaian informan Fenomena gabungan (FR + FRI) setelah diverifikasi dan dianalisis
Warga desa Mulyorejo tidak ada yang mengokupasi lahan dalam kawasan penyangga (rehabilitasi) TNMB, tetapi masih banyak yang mengabil SDH (bahan pembuat jamu dan berburu) dalam kawasan tersebut. Warga desa ini sebagian besar mengokupasi kawasan hutan lindung dan hutan produksi (sengketa) yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Jember dalam desa mereka.
57
Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan dan menganalisis dokumen laporan, hasil penelitian, peraturan perundang-undangan terkait dengan masalah penelitian, yang diperoleh dari berbagai lembaga pemerintah: Balai TNMB dan Pemda dan lembaga nonpemerintah (NGO’s). 3. 8 Validitas dan Reliabilitas Data Untuk menjamin agar data penelitian memiliki tingkat validitas (kesahihan) yang tinggi, maka dalam proses penjaringan data harus memenuhi standar atau kriteria utama, yakni: (1) standar kredibilitas, artinya sesuai dengan fakta di lapangan, (2) standar trasferabilitas, merupakan modifikasi validitas eksternal, pertanyaan emperik yang tidak dapat dijawab oleh peneliti, tetapi berdasarkan penilaian dari pembaca laporan, (3) standar dependabilitas, dan (4) standar komfirmabilitas (Kanto 2003). Moleong (1990) memberikan kriteria dan teknik pemeriksaan keabsahan seperti pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11 Kriteria dan teknik pemeriksaan keabsahan/validitas data dinamika akses, hak dan kelembagaan No
Kriteria
1
Kredibilitas
2 3 4
Keterangan Kebergantungan Kepastian
Teknik Pemeriksaan Perpanjangan Keikutsertaan Ketekunan Pengamatan Triangulasi Pengecekan Sejawat Kecukupan Referensial Kajian Kasus Negatif Pengecekan Anggota Uraian Rinci Audit Kebergantungan Audit Kepastian
Sumber: Moleong (1990)
Uji reliabalitas (keterandalan) data mengacuk kepada tiga aspek, yakni; (1)
kemantapan (keajekan),
artinya
fokus
kajiannya
setelah dilakukan
pengulangan, memberikan hasil yang sama atau jenuh, (2) ketepatan atau akurasi terhadap objek yang diteliti, dan (3) homogenitas, dilihat dari keterkaitan yang tinggi antara unsur-unsur pokok penelitian, dan memberi kontribusi pemahaman yang utuh terhadap masalah yang diteliti (Kanto 2003).
58
3. 9 Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini meliputi: (1) analisis efektifitas kebijakan, (2) analisis akses dan hak, (3) Analisis Kelembagaan masyarakat. Analisis data pada point 1 (satu), dan 2 (dua) menggunakan
analisis
kualitatifmelalui analisis isi (content analysis) dan analisis wacana. Analisis kualitatif diuraikan secara deskriptif, yang untuk sebagiannya didasarkan pada teknik distribusi frekuensi (frequency distribution). Sesuai dengan tujuan penelitian, maka tahapan penelitian seperti pada Gambar 6. Existing Condition Pengelolaan TNMB
Efektivitas, dinamika dan perilaku kebijakan, akses, hak dan kelembagaan masyarakat
• • • • • •
Dokumentasi Survei Kuesioner FGD Wawancara Snowball
VISI
AKSES
MISI
HAK-HAK
TUPOKSI Pengelola TNMB
INSTITUSI
2
1 Distribusi Frekuensi, Analisis Efektifitas dan Perilaku Kebijakan dan Analisis Kualitatif (Deskriptif)
Perspektif Ekologi Politik Briyant (1992)
Distribusi Frekwensi, Analisis Kualitatif : Content Analisys & Analisis Wacana (Deskriptif)
Gambar 6 Tahapan pelaksanaan penelitian. Cara kerja penelitian kualitatif menurut Ragin (1994) menekankan pada tiga macam model, yakni; (1) Induksi analitik (analytic induction), (2) Sampel teoritik dan (3) Studi kasus tunggal. Menurut Barcus (Muhajir 1990), content analysis adalah analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi, yang secara teknis mencakup upaya; (1) klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi,
(2)
menggunakan
kriteria
sebagai
dasar
klasifikasi
dan
(3) menggunakan teknik analisis untuk membuat prediksi. Content analysis versi
59
Carney (1972) dalam Muhajir (1990) adalah tipe klasik yang menggunakan landasan berpikir positivistik, menggunakan frekuensi dan sampel berjenjang; Sementara versi Holsti (Moleong 1990) menggunakan landasan berpikir rasionalistik (menggunakan kriteria konsep teoritik, ada tanda-tanda yang menuntut kajian mendalam) dan phenomenologik (mencari makna lewat intensitas pengamatan, dan pengambilan sampel secara purposive); Dan bagaimanapun, content analysis haruslah menggunakan teknik-teknik kuantitatif. Untuk menutupi keterbatasan analisis isi (content analysis), juga akan dilakukan analisis wacana dengan mendalami secara kritis makna pesan subjek penelitian. Setiap elemen struktur wacana dapat digunakan untuk menganalisis segala bentuk teks (Eriyanto 2000). Model analisis wacana yang dipakai dalam penelitian ini adalah model Teun A Van Dijk (Eriyanto 2000), yang membagi struktur wacanadalam tiga tingkatan, yakni; 1. Struktur makro, artinya makna umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu perisitiwa, 2. Superstruktur, artinya kerangka suatu teks, bagaimana suatu struktur dan elemen wacana disusun dalam teks secara utuh, dan, 3. Sturktur mikro adalah makna yang dapat diamati dengan menganalisa kata, kalimat, proposisi,anak kalimat, paraphrase yang dipakai, dan sebagainya (Tabel 12). Tabel 12 Analisis wacana dan fenomena-fenomena penting yang diamati Struktur wacana Struktur makro Superstruktur Struktur mikro Struktur mikro Struktur mikro Struktur mikro
Fenomena yang diamati TEMATIK : Apa yang dikatakan ? Elemen: Topik atau tema SKEMATIK : Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai ? Elemen: Skema SEMANTIK: Apa arti pendapat yang ingin disampaikan ? Elemen: Latar, detail, ilustrasi, maksud, pengandaian dan penalaran SINTAKSIS : Bagaimana pendapat disampaikan ? Elemen: Koherensi, nominalisasi, abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti LEKSIKON : Pilihan kata apa yang dipakai ? Elemen: kata kunci (keywords), pemilihan kata RETORIS : Dengan cara apa pendapat disampaikan ? Eleven: gaya, interaksi, ekspresi, metáfora, visual image
Sumber: Eriyanto (2000)
Unit analisis Teks Teks Paragraf
Kalimat proposisi Kata Kalimat proposisi
60
Analisis wacana secara teoritik menurut Muhajir (1990) tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan interaksi simbolik, karena prinsip yang melandasi filsafat dan pendekatan metodeloginya sama, yang bertolak dari proposisi dasar bahwa; 1. perilaku manusia itu mempunyai makna dibalik yang menggejala, sehingga perlu ada metode untuk mengungkap perilaku yang terselubung; 2. pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya pada interaksi social manusia; 3. masyarakat manusia merupakan proses yang berkembang secara holistic, tidak terpisahkan, tidak linier, dan tidak terduga (unpredictable); 4. perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran phenomenologik, yang berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan berdasar atas proses mekanik dan otomatik; 5. konsep mental manusia itu berkembang secara dialektis, mengakui ada tesis, antitesis dan sintesis; 6. perilaku manusia itu wajar dan konstruktif kreatif, bukan elementer reaktif; 7. metode introspeksi simphatetik dengan menekankan pada pendekatan intuitif perlu digunakan untuk menangkap makna. 3.9.1 Analisis efektivitas dan polarisasi implementasi kebijakan Analisis kebijakan pengelolaan TNMB dalam penelitian ini menggunakan analisis isi dan analisis wacana yang dipadu dengan metode Report Card System (RCS). Metode RCS merupakan metode potensial yang digunakan untuk mendapatkan umpan balik dari masyarakat
terhadap kuantitas dan
kualitas
sejumlah implementasi kebijakan pengelolaan TNMB. Umpan balik tersebut mencakup keinginan, respon, harapan (expectation), prefensi, penilaian, reaksi dan manfaat bagi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung dari implementasi kebijakan pengelolaan. Penajaman analisis kebijakan dengan menggunakan metode RCS, akan diperkaya dengan penilaian dan kritik dari pengamat dan pekerja lingkungan yang memahami latar TNMB. Dengan demikian, maka analisis
efektifitas kebijakan ini bersifat evaluasi proses
retrospektif. Proses verifikasi dan analisis implementasi kebijakan pengelolaan TNMB, seperti terlihat dalam Gambar 7.
61
Reduksi Data
Dasar hukum dan laporan kinerja Balai TNMB pasca reformasi politik: ekologi, sosial ekonomi, sosbud dan penegakan hukum
Kebijakan TNMB
Penilaian, preferensi, dan manfaat kebijakan TNMB : aspek ekologi, ekonomi, sosbud dan penegakan hukum perpektif masy.
Penilaian, preferensi, dan manfaat kebijakan TNMB: aspek ekologi, ekonomi, sosbud, penegakan hukum perpektif pakar
Sumber-sumber politik
Data Displa y
Kapasitas pengelolaan Pemantapan kawasan hutan
Verifikasi & Konklusi
Kondisi faktual
Diskripsi Distribusi Frekuensi, Analisis Isi dan Wacana
Ramifikasi Penegakan hukum Rehabilitasi & Konservasi
Kebijakan Pengelolaan TNMB
Pemberdayaan dan Peng Masy
Gambar 7 Bagan alir proses verifikasi dan analisis implementasi kebijakan pengelolaan TNMB; Modifikasi dari Sugiono (2007) Proses verifikasi dan analisis kebijakan mencakup dan mengacu kepada 7 (tujuh) parameter utama eveluasi kebijakan yang dikembangkan Dun (1996), yakni: 1. Fungsi dan peran lembaga serta dukungan sumberdaya manusia (SDM) 2. Efektifitas sosialisasi kebijakan (kebijakan pengelolaan untuk rehabilitasi dan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat) 3. Maksimasi upaya penegakan hukum untuk mendukung rehabilitasi dan konservasi 4. Sinergitas kerja sama (akses, hak, kelembagaan dan modal sosial) 5. Tingkat pencapaian hasil untuk memecahkan masalah --rehabilitasi, pendudukan dan kemiskinan yang menjadi salah satu misi penting dalam kebijakan pengelolaan TNMB, 6. Kepuasan para pihak (stakeholders), preferensi atau penilaian masing kelompok masyarakat sekitar kawasan TNMB, 7. Manfaat kebijakan rehabilitasi --(sosial budaya, ekonomi, dan ekologi)-- bagi masyarakat.
62
3.9.2 Analisis akses dan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan TNMB Akses adalah kemampuan (ability) untuk melakukan suatu gerakan, maka ia memiliki power, sementara hak-hak masyarakat (rights) dalam pengelolaan TNMB adalah resultante dari gerakan akses. Keduanya bersifat dinamis dan bersinggungan langsung dengan implementasi kebijakan pengelolaan SDA-L. Sifat masalahnya yang demikian dan karena di dalamnya menyangkut asumsiasumsi dasar tentang teori sosial, maka analisis yang dipakai adalah analisis kualitatif (content analysis) dan
analisis wacana. Deskripsi data kuantitatif
melalui distribusi frekuensi (frequency distribution) tetap dilakukan dan menjadi salah satu dasar dari analisis akses. Proses verifikasi dan analisis akses dan hakhak masyarakat dalam pengelolaan TNMB, seperti terlihat dalam Gambar 8 dan 9.
Data Display
Reduksi Data
Akses kontrol Verifikasi & Konklusi
Aliran keuntungan dan kepentingan atas SDA-L Akses pemeliharaan
Akses SDA-L
Mekanisme-mekanisme akses SDA-L para pelaku Akses informasi Hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses Akses non SDA-L
Diskripsi Distribusi Frekuensi, Analisis Isi dan Wacana
Dinamika dan Perilaku Akses SDA-L TNMB
Gambar 8 Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme dan hubungan akses atas SDA-L dalam kawasan TNMB (Sumber: Ribot & Peluso 2003; Modifikasi dari Sugiono (2007)
63
Data Display
Reduksi Data
Hak Akses
Aliran hak-hak dan kepentingan atas SDA-L
Hak-hak atas SDA-L
Verifikasi & Konklusi
Hak Pemanfaatan
Mekanisme-mekanisme hak-hak atas SDA-L para pelaku
Hak Pengelolaan
Hubungan tenurial yang mendasari mekanisme hak
Hak Pembatasan
Hak Pelepasan
Diskripsi Distribusi Frekuensi, Analisis Isi dan Wacana
Dinamika dan Perilaku Hak atas SDA-L TNMB
Gambar 9 Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme dan hubungan tenurial hak-hak atas SDA-L dalam kawasan TNMB (Sumber: Schlager & Ostrom 1992; Lynch 1995; FAO 2002; Modifikasi dari Sugiono 2007) 3.9.3 Analisis kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan TNMB Kelembagaan masyarakat, seperti halnya akses dan hak adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan bersinggungan langsung dengan implementasi kebijakan pengelolaan TNMB. Sifat masalahnya yang hampir sama dengan akses dan hak, maka analisis kelembagaan ini memakai analisis wacana model Teun A Van Dijk. Analisis kelembagaan ini akan menganalisis efektifitas peran dan fungsi kelembagaan masyarakat desa dalam mendukung program Balai TNMB (Gambar 9). Kecuali itu, juga secara khusus akan mendalami efektifitas peran dan fungsi 21 dari 41 kelembagaan konservasi bentukan Balai TNMB di desa-desa penyangga TNMB (Tabel 13). Dalam analisis ini, deskripsi data kuantitatif melalui distribusi frekuensi (frequency distribution) juga tetap dilakukan dan menjadi salah satu dasar analisis data (Gambar 10).
64
Reduksi Data
Fungsi-fungsi institusí:
Proses institusionalisasi
Kelembagaan Masyarakat
Sistem norma dan sistem hubungan sosial
Data Display
1. Profil organisasi 2. Kepemimpinan organisasi 3. Budaya organisasi 4. Norma dan aturan main organisasi 5. PPM dan aksi politik KSDAHE-L 6. Kepercayaan dan solidaritas
Verifikasi & Konklusi
Diskripsi Distribusi Frekuensi, Analisis Isi dan Analisis Wacana
Dinamika dan Perilaku Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan SDAL dalam Kawasan TNMB
Karakteristik institusionalisasi :
Gambar 10 Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme dan interaksi kelembagaan masyarakat dalam kawasan TNMB; Sumber: Merton (1975), Horton & Hunt (1991); Cohen (1992); Ostrom (1992); Kartodihardjo (2006) ; Modifikasi dari Sugiono (2007) Tabel 13 Kelembagaan Konservasi TNMB --(KetanMerah/OPR)-bentukan Balai TNMB No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8
Desa Desa Andongrejo Desa Curahnongko Desa Wonoasri Desa Sanenrejo Desa Curahtakir Desa Mulyorejo Desa Sarongan Desa Kandangan Jumlah
Kelompok KetanMerah/OPR Jumlah Sampel 7 3 (ikut desa Andongrejo) 1 16 8 8 3 (ikut desa Sanenrejo) 1 10 4 (ikut desa Sarongan) 1 41 21
BAB IV KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN 4. 1 Sejarah, Letak Geografis, Luas dan Batas Administratif Secara historis, Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) pada awalnya berstatus sebagai kawasan hutan lindung, berasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, yaitu melalui Besluit van den Directur van Landbouw Neverheid en Handel No. 7347/B tanggal 29 Juli 1931 serta Beslutit Directur van Economiche Zaken No.5751 tanggal 28 April 1938. Pada tahun 1967, Kawasan
Meru
Betiri
ditunjuk
sebagai
Calon
Suaka
Alam,
dan
kemudian kompleks Hutan Lindung Meru Betiri ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam (Margasatwa), dengan luas 50.000 Ha, berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 276/Kpts/Um/6/1972. Pada tahun 1978, kemudian berubah lagi menjadi Kawasan Seksi Perlindungan dan Pelestarian Alam (Seksi PPA) Jawa Timur II berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 429/Kpts/Um/7/1978 (Dephut Jatim 1994/1995). Pada tahun 1982, Suaka Marga Satwa Meru Betiri ditetapkan sebagai kawasan
(Calon)
Taman
Nasional
berdasarkan
SK
Menteri
Pertanian
No. 736/Mentan/X/1982 bersamaan dengan diselenggarakannya Kongres Taman Nasional Sedunia III di Denpasar Bali. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 144/Kpts-II/1991 sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur II ditetapkan Unit Pelaksana Tekhnis (UPT) di bidang Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur IV. Pada tahun 1997, Status Kawasan Suaka Marga Satwa Meru Betiri sebagai Calon Taman Nasional kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional Meru Betiri berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 277/Kpts-VI/1997 (Jamil et al. 2005). Perubahan status menjadi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) tersebut membutuhkan waktu yang sangat panjang, yakni dari tahun 1938 hingga tahun 1997 atau lebih dari 70 (tujuh puluh) tahun. Kawasan TNMB memiliki luas wilayah sekitar 58.000 Ha, yang terbagi atas 57.155 Ha daratan dan 845 Ha perairan. Luas tersebut, telah mengalami penyusutan karena adanya legalisasi dan konflik pemanfaatan zona dalam kawasan TNMB. Secara geografis TNMB terletak di antara 8022’16’’ – 8032’05’’ LS dan 113037’51’’ – 113057’03’’ BT. TNMB terletak pada ketinggian antara
66
0-1.200 m dari permukaan laut. Secara administratif, TNMB terletak di dua kabupaten, yakni Kabupaten Jember dan kabupaten Banyuwangi. Batas-batas administrasi wilayahnya meliputi: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Mulyorejo, PTPN XII UUS Kebun Malangsari, kawasan hutan Perum Perhutani RPH Curahtakir dan Perkebunan PT. Treblasala; 2. Sebelah Timur berbatasan dengan kawasan PTPN XII UUS Kebun Sumberjambe, dan Desa Sarongan; 3. Sebelasah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia 4. Sebelah barat berbatasan dengan kawasan hutan Perum Perhutani RPH Sabrang, PTPN XII UUS Kebun Kalisanen, PTPN UUS Kebun Kota Blater, Desa Sanenrejo, Andongrejo dan Curahnongko Secara administratif pemerintahan, TNMB terletak di dua wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Jember seluas 37.585 ha (36.700 ha) dan Kabupaten Banyuwangi seluas 20.415 ha (21.300 ha). Di dalam kawasan TNMB terdapat dua enclave perkebunan dengan luas keseluruhan 2.155 Ha. Masing-masing anak perusahaan PT. Perkebunan LDO Jember mendapatkan hak guna usaha (HGU), untuk PT. Perkebunan Sukamade Baru seluas 1.098 Ha dan PT. Perkebunan Bandealit seluas 1.057 Ha. HGU tersebut menjadikan luas kawasan TNMB berkurang menjadi 55.854 Ha. Kawasan TNMB merupakan hutan hujan tropis dengan formasi hutan beragam, yang terbagi ke dalam 5 (lima) tipe vegetasi, yakni; (1) vegetasi hutan pantai, (2) vegetasi hutan mangrove, (3) vegetasi hutan rawa, (4) vegetasi hutan rheophyte, dan (5) vegetasi hutan hujan dataran. Pemandangan alamnya yang sangat indah dan menakjubkan membuat kawasan ini menarik para ilmuwan dan wisatawan dari dalam dan luar negeri. Di samping itu, kawasan TNMB merupakan habitat terakhir bagi Harimau Loreng Jawa (Panthera tigris sundaica). Di dalam kawasan ini juga terdapat flora langka, yaitu Rafflesia zollingeriana dan Balanophora fungosa. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen PHPA No. 68/KPTS/DJ-VI/1994, tanggal 30 April 1994, ditetapkan zonasi TNMB seluas 58.000 Ha. Pada tahun
1999,
sistem
zonasi
kemudian
dirubah
lagi
dengan
maksud
67
untuk optimasi fungsi dan pengelolaan kawasan, berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 185/Kpts/DJ-V/1999. Zona Pemanfaatan seluas 1.050 Ha (1995) atau 1.285 Ha (2005) berada pada kawasan Pantai Bandealit, Pantai Sukamade dan Teluk Rajegwesi, sedangkan Zona Pemanfaatan khusus seluas 2.154 Ha (1995) atau 2.155 Ha (2005) adalah bekas perkebunan PT Bandealit dab PT. Sukamade Baru. Rincian luas masing-masing tipe ekosistem pada setiap zonasi TNMB seperti tertera dalam Tabel 14. Tabel 14 Tipe ekosistem pada setiap zonasi TNMB Tipe Ekosistem
Luas (Ha) No
Zona Pengelolaan 1995
2005*)
HM
HP
34.706 27.915 620 Zona Inti 14.620 22.622 7 675 Zona Rimba 1.050 1.285 925 Zona Pemanfaatan (Intensif*2005) 2.154 2.155 4 Zona Pemanfaatan Khusus (Penyangga*2005) 5.470 4.023 5 Zona Rehabilitasi 58.000 58.000 7 2.220 Jumlah Sumber : BTNMB (1995); Jamil et al. (2005). Keterangan: HM: Hutan Mangrove, HP: Hutan pantai, HR: Hutan Rawa; Hujan Tropis, Hrhe: Hutan Rheophyte
1 2 3
HR
HHT
HRhe
25 -
23.870 20.340 -
3.425 1.575 360
-
2.155
-
25
3.573 49.938
450 5.810
HHT: Formasi Hutan
4. 2 Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan TNMB di bagian utara dan timur (Sukamade dan Malangsari) termasuk tipe iklim B, sedangkan bagian selatan dan barat termasuk tipe iklim C. Curah hujan rata-rata antara 2.300 mm sampai 4.000 mm / tahun, dengan rata-rata bulan keing 4 bulan dan bulan basah 7 bulan. Kawasan TNMB banyak dipengaruhi oleh banyaknya angin Muson, pada bulan November sampai bulan Maret angin bertiup dari arah barat laut yang mengakibatkan turun hujan, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan April sampai Oktober (Jamil et al. 2005). 4. 3 Kondisi Hidrogeologi dan Sumberdaya Air Kawasan TNMB memiliki air tanah dan produktifitas akifer yang terdiri atas: 1. Akifer (bercelah atau sarang) produktifitas kecil dan daerah air tanah langka. Daerah air tanah langka ini terdapat pada sebagian besar kawasan TNMB. Akifer produktif kecil berarti umumnya keterusan air sangat rendah, air tanah
68
setempat dangkal dalam jumlah terbatas dapat diperoleh pada zona pelapukan dari batuan padu; 2. Akifer dengan aliran melalui ruang antar butir. Terdapat di daerah dataran pantai, cekungan antra gunung dan kaki gunung api. Air setempat produktif sedang berarti akifer tidak menerus, tipis dan rendah keterusannya. Debit sumur umumnya kurang dari 5 liter/detik. Berdasarkan komposisi litologi batuan dan kelulusannya, kawasan TNMB terdiri dari; (1) Batu gamping terumbu berlapis, dengan tingkat pembentukan karst yang beragam. Kelulusan air sedang samapai tigggi, (2) Batuan volkan mengandung leusit. Kelulusan rendah sampai sedang, dan, (3) Aluvium endapan sungai, umumnya tersusun oleh bahan-bahan berbutir halus (lempung lanau, dengan selingan pasiran). Umumnya kelulusannya rendah dan sedang. Dalam kawasan TNMB, terdapat banyak sumberdaya air berupa sungai (kali). Adapun nama-nama sungai (kali) yang mengalir atau melintasi kawasan TNMB seperti tertera dalam Tabel 15. Berdasarkan hasil inventarisasi potensi sumberdaya air sungai-sungai dalam kawasan TNMB seperti terlihat dalam Tabel 16. Tabel 15 Sumberdaya air dalam Kawasan TNMB No
Induk Sungai
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kali Lanang Kali Bandealit Kali PA Kali Tapen Kali Andongrejo Kali Sanenrejo
7. 8.
Kali Karang Tambak Kali Sukamade
Anak Sungai Kali Kuning Kali Cawang, Kali Bon Pantai Kali Gandung, Kali Towo, Kali Tumpanglima, Kali Sumberpacet Kali Jambe, Kali Kawat -
Sumber: BTNMB (2007)
Tabel 16 Potensi sumberdaya air sungai-sungai dalam kawasan TNMB No
Potensi Sumber Air
1.
Sungai Sukamade Sungai Kalisanen
Sukamade Sanenrejo
Sungai Sumbergadung
Bandealit
2.
Sumber air sumur
Sumber: BTNMB (2007)
Lokasi
-
Ciri Air Jernih Keruh, Coklat, bersubstrat lumpur berpasi Air Jernih, bersubstrat pasir dan kerikil dan batuan Air Jernih
Kecepatan (M/Dtk) 0,705
Kedalam (CM) 30 – 95 cm
69
Potensi sumberdaya air tersebut untuk sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan untuk berbagai keperluan. Pola pemanfaatan sumberdaya air oleh masyarakat seperti tertera dalam Tabel 17. Tabel 17 Jenis pemanfaatan sumberdaya air dalam kawasan TNMB No
Sumberdaya Air
1.
Aliran Sungai
2.
Sumber Air (Sumur)
Pemanfaatan Kebutuhan Rumah tangga: Minum, masak mandi dan mencuci Perkebunan dan Peternakan: Pencucian kopi, penyiraman tanaman kebun, dan beternak Kebutuhan Rumah tangga: Minum, masak mandi dan mencuci
Pengguna Masyarakat kawasan Perkebunan
sekitar
Sumber: BTNMB (2007)
Sumberdaya air yang berada dalam kawasan TNMB belum dimanfaatkan secara komersial, tetapi sebagian besar sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kepentingan rumah tangga dan irigasi sawah. Kecuali masyarakat sekitar kawasan TNMB, PT Perkebunan Bandealit dan PT Perkebunan Sukamade Baru serta karyawan dan buruhnya secara otomatis memanfaatkan sumber-sumber air yang ada diu dalam kawasan TNMB untuk kepentingan sehari-hari maupun untuk kepentingan perkebunan. 4. 4 Keadaan Tanah, Geologi dan Topografi Secara umum keadaan tanah di TNMB merupakan gabungan dari jenis Alluvuial, Regosol coklat, dan sebagian besar merupakan Latosol. Keadaan tanah ini sangat erat hubungannya dengan proses geologis daerah yang bersangkutan. Jenis tanah dimaksud mempunyai bahan induk yang berasal dari batuan Aluvium. Tanah alluvial umumnya terdapat di daerah lembah dan tempat-tempat rendah sampai daerah pantai. Regosol dan Latosol umumnya terdapat di lereng dang punggung gunung (Jamil et al. 2005). Keadaan topografi TNMB pada umumnya bergelombang, berbukit, dan bergunung-gunung. Kawasan di bagian selatan berbukit-bukit dan makin kearah pantai keadaan yang bergelombang. Gunung yang terdapat di kawasan ini antara lain gunung Permisan (587 m), gunung Meru (343 m), dan gunung Betiri (1.233 m). Di sebelah selatan terdapat gunung Sumbudadung (520 m), gunung Sukamade (363 m), gunung Rajegwesi (181 m), dan gunung Benteng (222 m). Di bagian
70
timur adalah gunung Gendeng (9893 m) dan gunung Lumberpacet (760 m). Daerah dataran yang agak landai antara lain di sekitar Teluk Rajegwesi seluas 1.316 ha sudah merupakan tanah desa. Di sekitar Teluk Sukamade seluas 22 ha, dan di bagian timur seluas 50 ha. Sungai-sungai di kawasan ini adalah sungai Sukamade dan sungai Meru yang mengalir sepanjang tahun. Kedua aliran sungai tersebut bergabung menjadi satu di blok Sumbersari membentuk sungai Sukamade. Di kawasan barat Meru Betiri mengalir Sekar Pisang, sungai Bandealit, dan di bagian tengah mengalir sungai Permisan. Sungai-sungai ini merupakan sumber air minum bagi satwa yang hidup di kawasan Meru Betiri. Pada umumnya keadaan topografi di sepanjang pantai berbukit-bukit sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Hanya sebagian kecil pantai datar yang berpasir, yaitu dari timur ke barat ; pantai Rajegwesi, pantai Sukamade, pantai Permisan, pantai Meru, dan pantai Bandealit. Pantai-pantai ini merupakan kawasan yang mempunyai nilai ilmiah dan pariwisata yang tinggi (Jamil et al. 2005). 4. 5 Keadaan Flora dan Fauna 4.5.1 Keadaan flora Keadaan vegetasi di TNMB bagian timur yang luasnya kira-kira 1/3 dari luas arael kawasan, terdiri atas 4 tipe yaitu hutan pantai, hutan payau, hutan rawa, dan hutan hujan tropika.
Hutan pantai merupakan jalur yang snagt sempit.
Lebarnya 20-30 m agak datar dan berpasir. Terdapat di sepanjang pantai laut selatan, di teluk Rajegwesi, dan di pantai Sukamade. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai adalah jenis-jenis yang membentuk stolon dan menjalar, antara lain Ipomea pescarpae dan Spinifex squarratus. Tegakan-tegakan yang umum terdapat di kawasan ini adalah putat (Barringtonia speciosa), pandan (Pandannus sp), waru laut (Hibiscus sp), kapasan (Hernandia sp), ketapang (Terminallia catapa), nyamplung (Callophylum inophylum), tembelekan (Lantana camara), cemaracemara (Cycas rumii, Sterculia foetida dan Cerbera menghas).
Hutan rawa
terdapat di muara sungai Sukamade, yaitu di bagian dalam sebelah hutan payau dengan luas 10 ha. Jenis-jenis tegakan yang terdapat di hutan rawa ini, antara lain rengas (Gluta renghas), pulai (Alstonia angustilusa) dan putat (Barringtonia sp).
71
Selain itu dataran rendah bagian hilir sungai Sukamade dipenuhi tegakan gelagah (Sachraum spontaneum) (Jamil et al. 2005). Tumbuhan penting lainnya yang terdapat di daerah ini adalah bermacammacam jenis ternak dan rumput-rumputan semusim yang tumbuh di tepi sungai dan batu-batu di tengah sungai yang kering. Jenis vegetasi hutan hujan tropik merupakan vegetasi yang paling luas dan merupakan campuran antara hujan dataran rendah dan pegunungan. Komposisi jenis tegakannya sangat beraneka ragam dari jenis pohon palma (rotan), bambu liana, perdu hingga herba. Jenisjenis tegakan yang mendominasi tipe vegetasi hutan hujan tropika ini adalah kala (Mitrephora javanica), doyo (Dysoxylus amoorides), nyamuh (Litsea mopelata), belase (Chydenantus exelsa), langsep lutung (Aglaia eusideroxylon), balungan (Caseria grewifolia), dan sepen (Pometia tomentosa) (Jamil et al. 2005). Di dalam hutan hujan tropika ini juga terdapat berjenis-jenis liana, paku, dan anggrek. Di tebing hulu sungai dan dataran rendah lembah sungai Sukamade, terutama di blok Sumbersari terdapat kelompok tegakan bambu. Sebagian besar terdiri dari jenis jalang dan sebagian bambu petung (Gigantochlora sp). Vegetasi di daerah perbukitan Rajegwesi, sebagian besar juga terdiri dari jenis bambu buluh. Jenis palma lain yang terpenting adalah rotan (sebanyak 7 jenis rotan) (Jamil et al. 2005). 4.5.2 Keadaan fauna Jenis-jenis satwa yang terdapat di TNMB meliputi kelas mamalia, reptilia, aves, amphibia, pisces dan insekta. Mamalia dari ordo primata yang biasa ditemukan adalah kera (Macaca irus), budeng/lutung (Presbytis pyrruhus), dan kukang (Nictecebus cankang). Ordo rodentia yang ada meliputi felarang (Ratufa bicolor), bajing (Ptanrista sp), bajing terbang (Ptanrista elegang), dan landak (Histrix brachyara). Sedangkan ordo karnivora sejenis macan jawa (Panthera tigris sundaica), macan kumbang (Felis bongalensis), anjing hutan (Coun javanicus),
dedes/rase
(Vivericula
nidace)
dan
luwak
(Pacodorenus
hermaproditus) (Jamil et al. 2005). Macan tutul dan macan kumbang terbesar di daerah perkebunan Sukamade Baru, Sumbersari, Sumber Jambe, Sumber Langsep, Darungas, bagian hutan merah, dan Sumber Agung. Macan tutul dan kucing hutan tersebar di
72
Sumber Gadung, Pringsali, Tumpak Gesing, Gunung Permisan, Sumber Langsep, Gunung Buta dan Kedung Batu. Gunung Meru, gunung Permisan, dan Sumber Gadung merupakan tempat penyebaran anjing hutan (Jamil et al. 2005). Jenis-jenis mamalia lain yang terdapat di kawasan ini adalah Trenggiling (Manis javanicus), babi huatn (Sus sp), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp), dan banteng (Bos sundaicus), yang terbesar di komplek hutan Sukamade, Bandealit, Curahnongko, Gunung Butak-Rayuda-Tempurejo di sektar Lodadi dan pager gunung. Terutama di daerah perbatasan perkebunan besar “Kota Blater”. Di daerah ini banteng dalam keadaan terancam karena pesatnya pembukaan tanah oleh penduduk setempat (Jamil et al. 2005). Reptilia banyak ditemukan didaerah pantai Rajegwesi dan pantai Sukamade terdiri dari jenis-jenis penyu hijau (Chelonia mydas), penyu karet (Careffa careta), penyu belimbing (Dermochelys cariaceae), penyu kembang (Lepido chelys sp), dan penyu sisik (Stremochelys sp). Selain tiu juga terdapat banyak nyambek (Varanus salvator) dan ular sawah (Phyton reticulatus). Jenisjenis dari kelas aves yang terdapat di kawasan ini antara lain kangkerang (Bucros sp), rangkong (Phynoceros sp), ayam hutan (Pasianidae), dan merak (Payo muticus). Satwa-satwa yang dilindungi di TNMB adalah budeng/lutung, felarang, bajing terbang, macan jawa, kareng, rangkong, dan merak (Jamil et al. 2005). 4. 6 Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Desa-desa Penyangga TNMB 4.6.1 Jumlah penduduk Jumlah penduduk masing-masing desa sekitar kawasan TNMB disajikan dalam Tabel 18 di bawah ini. Masyarakat yang tinggal di masing-masing desa di sekitar TNMB terdiri dari masyarakat suku Jawa dan suku Madura. Kepadatan penduduk umumnya menyebar di desa-desa sekitar kawasan, bahkan di tengah kawasan terdapat perkampungan yang diperuntukkan bagi para karyawan dan buruh perkebunan PT. Perkebunan Bandealit dan PT. Perkebunan Sukamade Baru, seperti Kampung Bandealit dan Sukamade. Desa-desa tersebut masih belum mempunyai saluran irigasi teknis, sehingga sawah-sawah di desa tersebut hanya menggantungkan pengairannya dari air hujan (sawah tadah hujan). Dengan kondisi tanah yang cenderung tandus untuk
73
ditanami, maka tingkat pendapatan masyarakatnya masih sangat rendah. Akibatnya, sebagian masyarakatnya mengakses dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada dalam kawasan TNMB. Tabel 18 Jumlah penduduk dan kepala keluarga desa-desa penyangga TNMB No 1.
Kabupaten/ Kecamatan/Desa Kab. Jember: A. Kec. Tempurejo: 1. Ds. Andongrejo 2. Ds. Curahnongko 3. Ds. Wonoasri 4. Ds. Sanenrejo 5. Ds. Curahtakir B. Kec. Silo: 6. Ds. Mulyorejo
2.
Kab. Banyuwangi C. Kec. Pasanggaran 7.Ds. Sarongan 8.Ds. Kandangan Jumlah
Luas Wilayah Desa (M2)
Jumlah KK
262,7907 105,20 6,18 6.889,461 7.803,5
1.311 1.716 2.948 1.657 4.375
2.683 2.883 4.841 2.889 5.517
2.826 2.832 4.765 2.981 5.908
5.509 5.715 9.606 5.870 11.425
20,96 20,17 14,13 852,02 146,40
48,41
4.373
5. 983
6. 324
12.307
196,69
14.018,087 18.064
1.491 2.716 19.535
2.892 4.423 30.757
2.978 4.205 31.388
5.870 8.628 62.145
418,74 477,6
Jumlah Penduduk Total Laki-laki
Perempuan
Kepadatan Jiwa/Km
Sumber: Monografi Desa-desa Penyangga (2008)
Secara keseluruhan, jumlah penduduk 8 desa di kawasan penyangga TNMB sebanyak 62.145 jiwa dari 19.535 KK. Desa Curahtakir merupakan desa dengan jumlah penduduk terbesar di antara desa-desa lainnya di sekitar kawasan TNMB, yakni 11.425 Jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 146,40 jiwa/Km2. Selanjutnya, jumlah penduduk dari banyak sampai yang sedikit berturut-turut diikut i oleh Desa Wonoasri, Mulyorejo, Kandangan, Sarongan, Sanenrejo, Curahnongko dan Andongrejo. Pengaruh media massa elektronik yang sangat kuat memasuki wilayah perdesaan, berpengaruh nyata terhadap tuntutan hak-hak masyarakat sipil atas sumberdaya alam dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sekitar kawasan TNMB yang bersifat sekunder lainnya. Dengan keterbatasan kemampuan ekonomi, penguasaan sumberdaya dan keahlian, maka untuk memenuhi kebutuhan sekunder tersebut, masyarakat sekitar kawasan TNMB melakukan berbagai cara untuk dapat mengakses beragam sumberdaya alam dalam kawasan TNMB, yang dapat mengancam kelestarian dan eksistensi TNMB.
74
4.6.2 Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat merupakan indikator kualitas sumberdaya manusia suatu masyarakat yang berpengaruh nyata terhadap cara suatu masyarakat dalam menilai dan mempersepsi keberadaan TNMB. Pendidikan masyarakat di sekitar TNMB, secara umum berpendidikan rendah. Kenyataan ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti tingkat pendapatan yang relatif rendah, keterbatasan sarana pendidikan, jarak antara pemukiman penduduk dengan lokasi lembaga pendidikan yang relatif jauh, kultur dan tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pentingnya investasi pendidikan. Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar TNMB dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di desa-desa penyangga TNMB No 1.
2.
Kabupaten/ Kecamatan/Desa
Tdk Sekolah
Tdk Tamat SD
Tingkat Pendidikan Lulus Lulus Lulus SD/ SMP/ SLTA/ Sederajat Sederajat Sederajat
Kab. Jember: A. Kec. Tempurejo: 1. Ds. Andongrejo 2. Ds. Curahnongko 3. Ds. Wonoasri 4. Ds. Sanenrejo 5. Ds. Curahtakir
2.934 2.350 801 2.704 2.735
9 341 1.025 960 1.258
2.230 2.314 5.302 1.734 2.442
190 324 809 289 3.203
B. Kec. Silo: 6. Ds. Mulyorejo
2.403
1.247
2.475
2.231
496 768 15.191
990 1.134 6.964
2.177 2.908 21.582
1.351 2.142 10.539
Kab. Banyuwangi C. Kec. Pasanggaran 7. Ds. Sarongan 8. Ds. Kandangan Jumlah
36 296 763 159 1.270 1.143
901 1.560 6.128
Lulus Diploma/ PT
Jumlah
11 41 31 13 27
5.495 5.716 8.731 5.859 10.939
23
12.307
8 47 201
5.923 8.559 60.744
Sumber: Anonim (2007)
Pada Tabel 19 di atas, terlihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat di sekitar kawasan TNMB sangat beragam, dari tidak pernah sekolah hingga tamat perguruan tinggi. Sebagian besar masyarakat di sekitar TNMB berpendidikan lulus SD/Sederjat sebanyak 21.582 orang, kemudian berturut-turut disusul tidak atau belum sekolah sebanyak 15.191 orang, lulus SMP/Sederajat sebanyak 10.539 orang, tidak lulus SD sebanyak 6.964 orang, lulus SLTA/Sederajat sebanyak 6.128, lusus PT/Diploma sebanyak 21 orang.
75
4.6.3 Jenis mata pencaharian Mata pencaharian utama masyarakat desa di sekitar kawasan penyangga TNMB pada umumnya adalah petani dan buruh tani maupun penggarap dengan distribusi penguasaan lahan pertanian yang kecil dan tidak merata. Jumlah penduduk menurut jenis mata pencaharian atau jenis pekerjaan dapat dilihat dalam Tabel 20. Tabel 20 Jenis mata pencaharian penduduk desa-desa di sekitar TNMB No 1.
2.
Kabupaten/ Kecamatan/Desa
Petani Pemilik Buruh
Mata pencaharian penduduk PNS/TNI Pedagang Nelayan /Polri
Peg. Swasta
Tukang
Jasa
Total
Kab. Jember: A. Kec. Tempurejo: 1. Ds. Andongrejo 2. Ds. Curahnongko 3. Ds. Wonoasri 4. Ds. Sanenrejo 5. Ds. Curahtakir
1.230 1.540 3.766 3.265 6.388
1.269 1.211 2.177 1.906 4.011
280 42 277 319 137
10 54 57 43 63
53 -
1.664 1.203 56 138
301 216 289 109 60
5 35 22 8 -
4.812 4.301 6.588 5.706 10.797
B. Kecamatan Silo: 6. Ds. Mulyorejo
304
1.693
153
32
-
1.084
26
29
3.321
982 3.200
1.102 1.411
39 120
112 37
235 3
896 1.242
19 -
16 20
3.401 6.033
20.675
14.780
1.367
408
291
6.283
1.020
135
44.959
Kab. Banyuwangi C. Kec. Pasanggaran 7. Ds. Sarongan 8. Ds. Kandangan Jumlah
Sumber: (Anonim 2007)
Dari Tabel 20, maka jenis sumber mata pencaharian utama masyarakat di sekitar TNMB adalah sektor pertanian, dengan jumlah petani pemilik sebanyak 20.675 orang, buruh tani sebanyak 14.780 orang, pegawai swasta sebanyak 6.283 orang, Dagang sebanyak 1.367 orang, tukang sebanyak 1.020 orang, PNS/TNI/Polri sebanyak 408 orang, nelayan sebanyak 291 orang, dan jasa sebanyak 135 orang. Pekerjaan pokok penduduk yang tinggal di kawasan TNMB terdiri dari dua kelompok masyarakat, yakni masyarakat di luar sektor perkebunan dan masyarakat yang bekerja di sektor perkebunan. Masyarakat yang bekerja di sektor perkebunan (sebagai pegawai PT. Sukamade dan PT. Bandealit) mendapatkan upah harian sebesar Rp. 16.000 – Rp. 17.500/hari, khusus pada hari kerja 15. Di luar hari kerja mereka tidak mendapatkan gaji, dan untuk menyambung hidup di tengah hutan mereka diperkenankan untuk bercocok tanam pada lahan yang disewa oleh pihak Perkebunan. 15
Wawancara dengan Kepala Dusun Sukamade, sekaligus sebagai pegawai tetap PT. Sukamade
76
Jenis mata pencaharian mayoritas sebagai petani, buruh dan pegawai swasta lepas seperti tersebut berimplikasi pada rendahnya tingkat pendapatan masyarakat sekitar kawasan TNMB. Pendapatan penduduk desa-desa di daerah penyangga kawasan TNMB memiliki rata-rata pendapatan perjiwa per tahun yang dapat dicapai oleh setiap keluarga seperti dalam Tabel 21. Tabel 21 Rata-rata pendapatan masyarakat desa-desa penyangga TNMB No 1.
2.
Desa
Rata-rata Pendapatan (Rp/Kapita/Tahun)
Kab. Jember A. Kec. Tempurejo: 1. Desa Andongrejo 2. Desa Curahnongko 3. Desa Wonoasri 4. Desa Sanenrejo 5. Desa Curahtakir
1.030.500 1.181.300 1.297.000 1.282.200 1.075.000
B. Kecamatan Silo: 6. Desa. Mulyorejo
1.350.000
Kab. Banyuwangi C. Kec. Pasanggaran 8. Ds. Sarongan 9. Ds. Kandangan Rata-rata
1.088.000 1.268.800 1.174.685
Sumber: BTNMB (2006); Anonim (2007)
Tabel 21 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan rata-rata per kapita per tahun masyarakat desa-desa penyangga TNMB adalah sebesar Rp. 1.174.685. Dengan menggunakan parameter pendapatan keluarga setara 320 kg beras per jiwa per tahun (Rp. 5000/Kg Beras, harga saat ini) atau setara Rp. 1.600. 000,maka pendapatan masyarakat di desa-desa penyangga TNMB masih tergolong rendah, jika pendapatan per kapita per tahun lebih kecil dari atau sama dengan Rp. 1.600. 000,-. Pendapatan masyarakat desa-desa penyangga dapat dikatakan tinggi jika pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari Rp. 1.600.000,-. Berdasarkan parameter tersebut, maka pendapatan masyarakat desa-desa penyangga masih tergolong rendah. Hal tersebut terjadi karena faktor pendidikan dan informasi rendah, pemilikan lahan dan peluang kerja yang terbatas, modal dan peluang pasar terbatas, dan lain-lain.
77
4. 7 Tata Guna dan Pemilikan Lahan Sistem pengolahan lahan pertanian masyarakat di sekitar kawasan TNMB pada umumnya masih sangat sederhana dan para petani memanen hasil pertaniannya hanya dua kali dalam setahun. Masa tunggu panen dipergunakan oleh sebagian petani, buruh tani dan penggarap untuk masuk hutan mengambil hasil hutan sebagai hasil sampingan. Hal ini terjadi karena pada umumnya, para petani di daerah penyangga kawasan TNMB tergolong petani berlahan sempit dengan luas rata-rata lahan sawah adalah 0,067 Ha, tegalan seluas 0,071 Ha dan pekarangan seluas 0,037 Ha (BTNMB 2006). Kondisi tersebut menyebabkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam yang ada dalam kawasan TNMB menjadi sangat tinggi. Faktor kepemilikan lahan yang sangat terbatas (Tabel 22) serta beragam faktor keterbatasan lainnya, menjadi alasan pembenar bagi masyarakat sekitar untuk menduduki ribuan hektar lahan di kawasan penyangga TNMB, sebagai lahan untuk bertani dan berkebun pada tahun 1998/1999-1999/2000 hingga saat ini. Tabel 22 Keadaan tata guna dan pola penggunaan lahan desa-desa di sekitar TNMB No 1.
2.
Jenis dan Luas Pemilikan Lahan (Ha) Bangunan/ Kebun Tegalan Halaman Rakyat
Kabupaten/ Kecamatan/Desa
Jumlah KK
Kab. Jember: A. Kec. Tempurejo: 1. Ds. Andongrejo 2. Ds. Curahnongko 3. Ds. Wonoasri 4. Ds. Sanenrejo 5. Ds. Curahtakir
1.361 1.741 2.948 1.657 4.375
60,174 60,274 355,768 234
33,51 105,20 127,199 87,050 139
2,50 2,114 207,85 2,810
170,02 153,42 248,37 180,121 183
266,20 321,00 275,57 532,02 550,18
0,195 0,184 0,093 0,321 0,133
B. Kec. Silo: 6. Ds. Mulyorejo
3.321
15
73,00
2,634
1.874
92,508
0,028
1.491 2.716 19.535
278,6 471,4 1.475,216
103.750 165 833,709
1.097,09 5.974,2 7.289,198
185,75 171 3.165,681
689,69 703,0 3.430,168
0,479 0,316
Kab. Banyuwangi C. Kec. Pasanggaran 7. Ds. Sarongan 8. Ds. Kandangan Jumlah
Sumber: Anonim (2007)
Sawah
Jumlah
(Ha/KK)
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1 Kebijakan Pengelolaan TNMB dalam Perpektif Politik Ekologi Analisis isi dan perilaku kebijakan pengelolaan lingkungan dalam perspektif politik ekologi adalah mendalami hubungan sebab-akibat polarisasi dan konflik kepentingan
dalam perebutan SDA-L dalam kawasan TNMB secara
radikal (radix) lebih dari sekedar analisis sistem bio-fisik dan alami. Hubungan sebab-akibat tersebut secara substantif akan dikaji secara kritis dalam 3 (tiga) dimensi mengacu kepada Bryant (1992) yakni; 1. sumber politik atau kebijakan negara yakni pola hubungan antar negara dengan kapitalisme global, dan pola hubungan pusat dengan daerah yang menimbulkan masalah lingkungan; 2. kondisi faktual berupa resistensi dan gerakan sosial (social movement), dan; 3. ramifikasi, yakni beragam konsekuensi politik dan dampak sosial budaya, ekonomi, dan ekologi sebagai akibat dari pemberlakuan peraturan perundang-undangan.
Ketiga dimensi di atas, menurut Bryant & Bailey (2000) dipengaruhi atau dimainkan oleh 5 (lima) aktor, yakni; state, businessmen, multilateral institution, NGOs, dan grassroots. Dalam konteks ini, negara memiliki fungsi ganda, yakni sebagai aktor pengguna --umumnya bersenyawa dengan businessmen-- sekaligus sebagai pelindung SDA, dan sering mengalami konflik kepentingan. 5.1.1 Sumber-sumber politik pengelolaan TNMB sebagai sumber polarisasi dan konflik kepentingan aktor Sumber-sumber politik atau dasar hukum adalah sumber yang dijadikan oleh negara (pemerintah) sebagai bahan untuk menyusun peraturan perundangundangan, baik sumber hukum tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum nasional yang utama di Indonesia adalah Pancasila dan batang tubuh UUD 1945, yang selanjutnya dioperasionalkan melalui sejumlah Undang-undang (UU) dan kebijakan politik pengelolaan SDA-L lainnya. Sumber-sumber politik dimaksud dalam implementasinya berpengaruh nyata terhadap sikap dan perilaku pelaksana kebijakan dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, termasuk masyarakat desa-desa penyangga TNMB.
80
Dinamika politik global
16
, nasional dan lokal yang dicengkram oleh
hegemoni kapitalisme global atau neoliberalisme; globalisasi atau globalisme kehidupan sosial yang diproduksi oleh imperialisme dan neo-imperialisme menurut pandangan
Giddens (1989) berdampak pada dinamika dan pola
hubungan antara pemerintah negara-negara maju dengan pemerintah di negaranegara dunia ke-3, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan juga antara negara (pemerintah) dengan kelompok-kelompok masyarakat pada tingkat nasional dan lokal 17. Pengaruh dinamika politik global terbukti telah, sedang dan akan tetap mengintervensi kebijakan politik suatu negara --termasuk kebijakan politik lingkungan, kehutanan (Combatting deforstration; Forest principles) dan konservasi 18--, dinamika politik nasional juga mengintervensi politik lokal sehingga keduanya menjadi sumber kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati, sumber ketiakadilan distribusi SDA-L yang memicu konflik vertikal dan horizontal, termasuk dalam kawasan TNMB. Dinamika dan pola hubungan tersebut menjadi salah satu fokus utama dalam analisis politik ekologi. Dinamika politik dimaksud berpengaruh terhadap pola-pola hubungan sebagai berikut; (1) Pola hubungan Balai TNMB dengan Pemerintah Kabupaten, (2) Pola hubungan Balai TNMB dengan LSM-L, (3) Pola hubungan Balai TNMB dengan masyarakat desa-desa penyangga, (4) Pola hubungan Balai TNMB dengan PT. Perkebunan LDO dan Masyarakat Kebun, (5) Pola hubungan PT. LDO Jember (PT. Sukamade dan PT. Bandealit) dengan Masyarakat, (6) Pola hubungan Masyarakat dengan LSM: Kasus Desa Wonoasri.
16
Dampak dinamika politik global menyebabkan soliditas (solidity) kotak hitam Eastonian yang mendefinisikan sistem politik secara terbatas dalam konteks domestik tidak dapat dipertahankan lagi. Batas-batas sistem politik akan makin kabur dan tidak lagi mampu menahan pengaruh dan tekanan dari luar (Parsons, Wayne. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Penterjemah: Tri Wibowo Budi Santoso, Dari Edisi Asli: Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Kencana, Jakarta) 17 Pertemuan di Stockholm Swedia tahun 1972, KTT Bumi di Rio de Janeiro Brazil tahun 1992 dan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Afrika Selatan tahun 2002 merupakan bentuk nyata dari intervensi dunia terhadap kebijakan politik pembangunan suatu negara. Setelah pertemuan Rio de Janeiro, PBB membentuk Commission on Sustainable Development (CSD). Hutan dan Konservasi menjadi salah satu fokus penting CSD, yang tetuang dalam Bab 11 Agenda 21: Combatting Deforestration dan suplemen tentang: Forest Principles (Deplu RI 2002. Deklarasi Johannesburg Mengenai Pembangunan Berkelanjutan dan Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan Kerja-sama UNDP dan Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri. Jakarta.) 18 Combatting deforstration memiliki 4 (empat) program: memelihara seluruh jenis hutan; melakukan proteksi, penegelolaan secara berkelanjutan dan konservasi hutan yang meliputi penghijauan areal yang telah mengalami degradasi; mempromosikan penilaian dan pemanfaatan hutan; dan penguatan kemampuan perencanaan, penelitian, dan aktivitas-aktivitas komersial dalam kehutanan. Artinya, mempertahankan keseimbangan antara konservasi hutan dan penggunaan SDH menurut prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan; Forest principles, mencakup hak dan tanggungjawab untuk melakukan konservasi hutan, manajemen pembangunan secara berkelanjutan, focus pada hubungan Negara, komunitas internasional, dan pendudukan lokal. (Deplu RI, 2002). Ibid.
81
5.1.1.1 Pola hubungan Balai TNMB dengan Pemerintah Kabupaten Pola hubungan Balai TNMB dengan Pemkab Jember dan terutama kabupaten Banyuwangi dalam pengelolaan TNMB yang sudah dan sedang berjalan hingga saat ini lebih bersifat seremonial dan tergantung kebutuhan. Sinergitas konsolidasi dan interaksi antara Balai TNMB dengan sejumlah Dinas di Pemkab Jember dan Pemkab Banyuwangi serta para pihak lainnya, diakui dan disadari sebagai sesuatu yang sangat penting dilakukan bagi pencapaian tujuan institusional. Namun, hal itu tidak dilakukan secara maksimal, dan bahkan sangat minim sekali (Tabel 23), sehingga melahirkan polarisasi dan konflik argumentasi terhadap eksistensi dan manfaat TNMB yang bersifat ego sektoral institusi masing-masing, (Tabel 24). Di dalam kawasan TNMB beroperasi PT. Bandelait dan PT. Sukamade, anak perusahaan PT. Perkebunan LDO Jember. Perkebunan itu seperti VOC pada zaman penjajahan Belanda. Semua hasil kekayaan di bawa ke Jakarta. Sedangkan kabupaten Jember yang punya wilayah tidak mendapatkan apa-apa. 19 Seharusnya kabupaten dapat royalty 20-30 persen. Eksistensi TNMB bagi pengembangan aspek sosial budaya, ekonomi dan ekologi masyarakat menurut Kepala Bappekab Jember 20, tidak penting untuk ikut ditangani oleh Pemkab Jember; ”Masa diskusi harus pakai deadlock dulu baru sampean paham aturan, itu -(TNMB dan Perhutani)-- bukan wilayah saya, itu wilayah Jakarta. Jika saya ikut menangani itu, saya melanggar UU. Kita sudah mempunyai tupoksi masingmasing, saya jangan disuruh menabrak UU (UU No: 32/2004 tentang Pemda). Kita menangani masalah lingkungan hidup, tetapi tidak harus masuk di wilayah TNMB dan Perhutani”. Yang ”menduduki lahan” --bertani dan berladang-- di lahan TNMB dan Perhutani kan warga Jember pak...? Ya, menangani masyarakat tidak harus mengurus wilayah orang lain!”
19
Radar Jember, 8 February 2010, Statemen politik Bupati Jember, Gakin Terpusat di Perkebunan (hal 33 dan
43) 20 Statemen dan jawaban Kepala Bappekab Jember dalam diskusi terbatas kediaman Cak Simon (Samanhudi), Kaliwates Jember.
IKAPMII 17 April 2007, di
82
Tabel 23 Sinergitas kerja-sama,konsolidasi dan interaksi antara Balai TNMB dengan para pihak dalam pengelolaan TNMB pasca penjarahan 1998/1999 PARA PIHAK
BALAI TN MERU BETIRI Rehabilitasi Ada
Konsorsium LATIN - IPB WALHI HAMIM/MMB-KEHATI ALAM HIJAU KAIL CIWALI Wetland Indonesia Program Pecinta Alam Jember/Besuki Birddlife-IP dan KBSK OPR ORMAS : NU & GNKL NU ORPOL/Ormas/Ormawa Tokoh Masyarakat IPB PT UGM
Tidak
√* √* K1 √** √**
√
√IN K1
DisHut BPM DisBudParwisata Dinas Perindag Dinas Kop-UKM Camat Pemerintah Desa
Sos Ekonomi Ada Tdk
√
√
√
√
√IN
√
√*
√
√IN
√
√ √IN
√ √
√
√
√
√K
√K
√K
√
√ √K
√K
Bwangi Jember Bwangi Jember Bwangi Jember Bwangi Jember Bwangi Jember Bwangi Jember Bwangi Tp.rejo Silo Psg.ran W.asri C.ngko Ag.rejo Sn.rejo Cr.takir Ml.rejo
√K √K √K √K √K
√K √K √K √K √K
√K √K √K √K √K
√K √K √K √K √K
Sr.ngan Kd.gan
√K √K
Bwangi Jember Bwangi
√K √K √K √K √K √K √K √K √K
√KA
√ √ √
√
√K √K √K √K √K √K √K √K √K
√
Operasional Tanpa MoU Tanpa MoU Tanpa MoU Kegiatan Program Operasional Kegiatan Kegiatan Rencana & Koordinasi
√
√ √ √ √ √ √ √
√K √K
√
√K √K √K √K √K √K √K √K √K
√ √ √ √ √ √ √
√K √K
√
Kelembagaan Masyarakat Konsep Riset Pendidikan
√
√K
√
√K √K √K √K √K √K √K √K √K
Tdk
Bentuk Kerja-sama Formal Konsep Operasional
√ √
√K
√ √ √ √
Ada
√** √** √ √
√ √
√
Penegakan Hukum
Ekologi Ada Tdk √*
Jember
Perhutani KPH Jbr-Bwangi PT.Ledok Ombo (LDO) Jember TNI/POLRI/ Kejaksaan dan Bwangi Pengadilan Jember Usaha Pariwisata Agroindustri (Swasta)
√*
√ √
PTS
DKHL
Sos Budaya Ada Tdk √*
√** √**
UNEJ
Lemlit Bappekab
Pemberdayaan Masyarakat
Rencana, Koord & Operasional
Koordinasi √ √ √ √ √ √ √
√K √K √KA
√KA
√
√
√
√
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√KA
Kegiatan Operasional ?
83
Catatan:
√*
√**
:
Ada dalam waktu yang terbatas Ada dalam waktu dan lokasi yang terbatas, tidak ada pengembangan
√IN K1
: :
Ada, bersifat internal dan tidak melibatkan para pihak yang terkait Ada --sekali, sifatnya koordinasi rencana dengan beberapa pihak terkait
√K
:
Ada, sifatnya koordinasi
√KA
:
Ada, koordinasi dan aksi, belum maksimal
:
Kerjasama dengan Dinas-dinas terkait di Pemkab Jember yang telah berlangsung selama ini, hanya sebatas koordinasi, tergantung situasi dan keadaan yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Kerja-sama pada tingkat implementasi belum ada yang rill, semuanya sebatas seremonial, dalam wacana pelestarian lingkungan hidup. Hal-hal yang berkaitan dengan keberlanjutan hidup dan kesejahteraan masyarakat, masih sebatas wacana, saling menunggu dan saling melempar tanggung-jawab (Tabel 24). 21 Hal
yang
sama
diungkapkan
oleh
Kepala
Bappeda
kabupaten
Banyuwangi 22 bahwa sinergitas kebijakan pengelolaan TNMB dengan pihak Pemkab Banyuwangi yang berjalan selama ini masih bersifat koodinasi, tidak dan belum implementatif, ini terjadi pada semua Dinas terkait di kabupaten Banyuwangi. Kepala BLH kabupaten Banyuwangi 23 mempertegaskan statemen Kepala Bappeda kabupaten Banyuwangi, bahwa: ”Kerja-sama kita dengan Balai TNMB belum sinergis, sifatnya sebatas koordinasi, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah TN dan juga masalah masyarakat desa penyangga. Ada wacana pengelolaan kawasan untuk ekowisata dan penelitian, karena sifatnya wacana, itu tidak ada arti dan kontribusinya pada Pemkab Banyuwangi”.
Kerja-sama di bidang ekowisata dengan pihak Balai TNMB, menurut Kepala Dinas DisBudpar kabupaten Banyuwangi 24 tidak jelas proses awalnya, juga tidak jelas penyelesaian akhirnya; ”Kerja-sama ekowisata dengan TNMB, ”katanya” sudah ada pembicaraan dengan Bupati, tapi dengan Disbudpar Banyuwangi yang bertanggung-jawab di bidang ekowisata hingga kini belum ada koordinasi langsung. Katanya lagi...,sudah ada MoU dengan Pemerintah Desa di 3 (tiga) kawasan TN dan 1 (satu) Cagar Alam yang ada di Banyuwangi (TNMB, TN Alas Purwo, TN Baluran, dan Cagar Alam Gunung Ijen) untuk pengembangan ekowisata 25, itu 21
Wawancara dengan Dishut, BLH, Disbudpar, Bapemas, dan Diknas Pemkab Jember, Juli 2007. Wawancara Oktober 2007 23 Wawancara Oktober 2007 24 Wawancara Oktober 2007 25 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDAHE, Pasal 3 ayat (3) untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak penguasaan atas zona pemanfaatan TN, Tahura dan Taman wisata alam dengan mengikut-sertakan rakyat. 22
84
diluar pengetahuan kita. Jika ini benar terjadi, ini baru MoU terjun bebas alias tidak prosesdural 26. Ini berbahaya terhadap posisi masyarakat desa. Ini kebijakan macam apa? Masa tidak ada koordinasi dengan kita. Apa mereka (TNMB) gak pernah baca itu UU ?”.
Lebih lanjut, dengan mimik yang sangat serius dan kecewa terhadap sikap dan perilaku kebijakan Balai TNMB selama ini, Kepala Dinas DisBudpar kabupaten Banyuwangi menyatakan; ”Kita sudah habis-habisan mempromosikan kawasan ekowisata Segi-Tiga Berlian (TNMB; Sukamade, TN Alas Purwo, TN Baluran, dan CA Gunung Ijen), kontribusi TN pada APBD Banyuwangi nol %. Keuntungan dari potensi TNMB semuanya lari ke Jember, Banyuwangi hanya dapat PBB-nya saja. Pemkab Banyuwangi seperti makelar tanpa porsen (%), mempromosikan kawasan yang bukan miliknya. Respon pihak pengelola TN tidak seimbang dengan semangat dan kontribusi pemkab Banyuwangi pada pihak TN. Kita (Pemkab Banyuwangi) menghendaki pengelolaan TN seperti pengelolaan ASDP Ketapang, kita ikut bantu TN dengan kontribusi yang jelas pada APBD Banyuwangi. Jadi para pihak sudah jelas melakukan apa, dengan cara bagaimana, dan mendapatkan apa? ini harus dirumuskan bersama! Ini tidak jelas! Pihak Balai TNMB selalu mintanya ke kita aman gratis,... Jika ada kasus, seperti konflik dengan masyarakat Banyuwangi, siapa yang menyelesaikan? Sudah pasti Banyuwangi, bukan Jember ”.
Menanggapi tuntutan dan penilaian pihak Pemkab Jember dan Pemkab Banyuwangi, Kepala Balai TN Meru Betiri 27, menyatakan: ”Kerja-sama dan konsolidasi dengan Pemda (Jember dan Banyuwangi) selama ini memang masih bersifat seremonial dan sebatas koordinasi, belum pro aktif dan belum maksimal, seperti sebagai instruktur (Dinas Perindag dan Dinas Koperasi dan (Dept. Kehutanan) UKM), hanya itu......Teman-teman kita di Pemkab. (Jember dan Banyuwangi) sepertinya ”mati rasa” .....sejak tahun 1999/2000, lebih dari 5.000 KK (masyarakat Jember dan Banyuwangi) bertani dan berladang di lahan TNMB. Tahun-tahun awal (2000-2003) mereka masuk sudah ada yang berani mendirikan beberapa bangunan semi permanen (occupation), tapi sudah kita robohkan. Sejak tahun 1999/2000 sampai saat ini masyarakat desa penyangga masih bertani dan berladang dengan gratis dalam zona rehabilitasi, masih bertanya apa sumbangan TNMB” 28.
26 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Penda Pasal 214 (1) desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui camat 27 Wawancara, Mei 2007 28 UU No: 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam Pasal 50 ayat (3) bahwa setiap orang dilarang: a. Mengerjakan, dan b. merambah kawasan hutan (melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang);
85
Balai TNMB
Pemkab. Jember Pemkab. Banyuwangi Masy. Desa penyangga
a. Kel. Masy. Maling
b. WNI Tanpa Tanah Air Kel. Masy. Okupator Vs Non Okupator
PT. LDO Jember
Masy. Buruh Kebun LSM-L
S
S
S
J
J
S
J
J
S
S
S
J
S
S
J
S
S
J
S
S
J
S
S
B J
S
S
S
J
J
S
J
S
J
J
J
Sumber konflik kepentingan: UU, PP, KepMenHut, SK Menhut, SK Dirjen PHPA, SK Balai TNMB
LSM-L
Masy. Buruh Kebun
PT. LDO Jember
Kel. Masy. Okupator
WNI Tanpa tanah
Kel. Masy. Maling
Masy. Desa
Pemkab.Banyuwangi
Balai TNMB
Para aktor pemangku kepentingan
Pemkab. Jember
Tabel 24 Kualitas interaksi, sumber konflik, kerjasama, kolaborasi dan kontroversi antaraktor dalam pengelolaan kawasan TNMB 1999 - 2011
Diskursus Kontribusi langsung TNMB bagi kabupaten: UU 32/2004 tentang Pemda; Pasal 157 ttg sbr pendapat daerah, Pasal 159 (APBD), Pasal 214 S (1) ttg kerjasama, UU No. 5/1999 Pasal 33 (3) ttg kelola ekowisata, harga mendamaikan konflik dengan masyarakat, Tupoksi dan pola koordinasi Kontribusi TNMB untuk APBD masuk S Jember, Banyuwangi hanya dapat limbah konflik N Masyarakat Yatim Piatu UU No. 41/1999 ttg kehutanan Pasal 3, B 4,10, 21, 22, 23, 29, 30, 33, 42 (2), 50 S (1) (2) (3), 68 (3) ttg kompensasi kehilangan akses UU No.5 ttg Agraria Pasal 28, 29, 30,31,32, 33 dan 34; UU No.5/ 1990 ttg S konservasi SDAHE Pasal 21, 33, 34, 40, UU No 41. Pasal 24, 25, 50. Perilaku aparat UU No.5/1990 pasal 29 (2), UU No. S 41/1999 ttg Kehutanan pasal 68 (1) (2), (3), (4), perilaku aparat Akses dan hak kelola lahan, sejarah S kawasan, perilaku aparat, jenis tanaman yang dapat ditanam Kontribusi PT. LDO pada desa = 0, perbedaan akses dan hak, masyarakat bemper untuk terus bertahan kelola J kawasan, upah dibawah UMK, PT. LDO beban negara dan masyarakat, Tafsir zonasi UU No. 5/1990 ttg KSDAHE Pasal 32 Perluasan lahan untuk kebun dan diri S sendiri Klaim binaan dan jaringan politik (Pemilu), eksploitasi kerja masyarakat, provokator, beban anggaran Balai
86
Kualitas interaksi: Baik (B), Sedang (S), Kurang (K), Jelek (J), Tidak ada interaksi (N) :
Baik (B) Sedang (S) Kurang (K) Jelek J)
: : :
Nihil
:
Ada interaksi antara personal dan institusi, ada koordinasi setiap tahun, ada sumber konflik, kolaborasi Ada interaksi dan koordinasi setiap tahun, aksi tidak berkelanjutan sesuai kebutuhan sesaat dan tidak sinergis, ada konflik kepentingan, kolaborasi Ada interaksi dan koodrinasi tetapi tidak sinergis, sesuai kebutuhan dan tidak berkelanjutan (1 X per 3 tahun), ada konflik kepentingan, Tidak ada interaksi langsung, , jika ada sIfatnya tidak langsung, te,mporal tidak ada patokan waktu, tidak sinergis, dan ada konflik kepentingan Tidak/belum pernah ada interaksi langsung/tidak langsung terkait masalah TNMB, ada konflik kepentingan
Wakil Kepala Balai TN Meru Betiri 29 menambahkan; ”Kita inginnya teman-teman di Pemkab Jember dan Banyuwangi tidak bertanya berapa sumbangan langsung kita dalam bentuk tambahan untuk APBD, itu tidak mungkin kita lakukan karena mekanismenya (Baca: alokasi APBN/APBD) sudah baku. Justeru kalau kita lakukan, kita melanggar aturan. Kalau mau dihitung, sumbangan TNMB untuk masyarakat Jember, sudah banyak, tapi karena tidak dalam bentuk uang cash untuk APBD, maka itu tidak dianggap punya kontribusi”.
Polarisasi dan konflik kepentigan pemerintah pusat dengan aktor ellite daerah dan antar daerah kabupaten yang belum juga tuntas, menurut pakar 30, karena; ”Pemkab tidak mau tahu dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakatnya yang hidup di sekitar kawasan penyangga, ini faktor kelemahan dan keterbatasan mereka dalam interpretasi otonomi daerah. Ini tandanya mereka (baca: aparat pemkab) tidak kreatif, dan belum siap melaksanakan otonomi daerah, susun renstra saja tidak sanggup, padahal punya tim ahli dari PT, interpretasi UU saja masih teks books. Peta, situasi dan kondisi politik nasional sudah relatif stabil, tapi integrasi perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan pusat dan daerah tidak jalan, parsial dan menceraikan masyarakat dari lingkungan tempat mereka hidup. Itu pemikiran pembangunan kuno dan stagnan”.
Represi statemen dari Pemkab. Jember dan Pemkab. Banyuwangi, juga pernah terjadi di beberapa daerah yang memiliki Taman Nasional (TN). Soetarto et al. (2001) mengungkapkan para pejabat di sebuah kabupaten yang memiliki TN menghendaki peran kabupaten di dalam pengelolaan TN diperluas untuk mengembangkan potensi ekowisata. Minat ini berkaitan langsung dengan 29
Wawancara Mei 2007 Wawancara Desember 2007, Prof. Dr. Hary Yuswadi, MA, Profesor Sosiologi Pembangunan, adalah Tim Ahli pada Program Social Forestry TNMB tahun 2002-2004, saat ini sebagai Dekan FISIPOL Univ. Jember; Statemen tersebut adalah sebagian dari respons atas statement Kepala Bappekab Jember dan Pemkab Banyuwangi. 30
87
peluang meningkatkan PAD. Para pemangku kepentingan melaporkan adanya persepsi bahwa TN akan sulit dijaga apabila keuntungannya tidak langsung dapat dinikmati oleh masyarakat lokal di sekitar kawasan konservasi. TN merupakan prioritas rendah bagi pemerintah daerah, karena berdasarkan UU, tanggung-jawab atas kawasan konservasi
tetap berada di pemerintah pusat. Kawasan TN
merupakan peluang yang hilang
untuk menghimpun pendapatan daerah
dibandingkan dengan hutan produksi. Bagi pemerintah daerah, keberadaan kawasan lindung di suatu daerah dianggap sebagai beban daripada berkah. Polarisasi dan konflik interpretasi antar institusi pusat yang ada di daerah dengan para pihak di kabupaten seperti terurai di atas (substansinya pada Tabel 26), adalah realitas riil dari buruknya konsolidasi dan interaksi antar institusi serta minimnya pemahaman elite daerah tentang manfaat TNMB bagi pembangunan daerah dari aspek sosial budaya dan ekologi. Waktu (9) sembilan tahun pelaksanaan otonomi daerah 31, ternyata bukan waktu yang cukup bagi kedua belah pihak untuk memahami makna otonomi daerah (UU No. 32/2004) di bidang pengelolaan SDA-L (TNMB).
Sejumlah bencana pembangunan dan
resistensi sosial yang terjadi secara merata di hampir semua kabupaten di Indonesia, juga belum menjadi bahan pembelajaran sosial (social learning) dan kesadaran yang massif bagi kedua belah pihak, bahwa SDA-L TN selalu memiliki konteks yang melampaui entitas politik dan administratif, sehingga integrasi rencana dan kepentingan pembangunan pusat dengan daerah, dan daerah dengan daerah lain justeru lebih menguntungkan banyak pihak. Legitimasi UU No. 32/2004 dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, menambah super-energi bagi pemerintah kabupaten untuk berani berkonflik dengan atau melawan pemerintah pusat, dalam bentuk respon dan penilaian atas berbagai kebijakan pengelolaan sumberdaya alam oleh pemerintah pusat di daerah. Pemerintah kabupaten Jember dan Banyuwangi, dengan argumentasi kebijakan di atas, menunjukan rasa sangat percaya diri dan sedikit pun tidak memiliki rasa kuatir untuk bertentangan atau melawan Kebijakan Menteri Kehutanan yang bertanggung-jawab di bidang Kehutanan.
31
Otonomi daerah berlaku efektif sejak tanggal1 Januari 2001.
88
Kebijakan
Menteri
Kehutan
RI
mengeluarkan
Kepmenhut
No. 8205/Kpts-II/2002, tentang Pedoman Rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional, secara kelembagaan direspon positif oleh pihak Pemkab Jember dan Banyuwangi, tetapi sifatnya pasif, bukan sebagai suatu keharusan dan kebutuhan mendesak untuk terlibat di dalamnya. Akibatnya, posisi Menteri Kehutanan dan seluruh jajarannya di kabupaten Jember dan Banyuwangi menjadi lemah dan tidak memiliki kekuatan memaksa pihak Pemkab untuk melaksanakan kebijakannya di daerah. Balai TNMB sebagai perpanjangan tangan Menteri Kehutanan di kabupaten Jember dan Banyuwangi, dengan keterbatasannya dalam membangun jaringan komunikasi, koordinasi dan aliansi politik ekologi dengan elit politik daerah, seperti institusi asing yang terpojok, tidak membumi dan sekedar menjalankan rutinitas instruksi dari pusat. Konten dari narasi para elite pemerintah kabupaten versus pihak Balai TNMB di atas, memperlihatkan bahwa substansi dari sumber-sumber politik pasca reformasi politik nasional pada tahun-tahun mendatang akan tetap menjadi sumber polarisasi dan konflik yang serius lagi rumit, jika tidak ada kemauan yang kuat untuk membangun pola hubungan komunikasi, keterpaduan, koordinasi, pemantauan dan aliansi politik ekologi. Penegasan bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara 32 menunjukkan bahwa pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) adalah pemilik seluruh sumberdaya yang ada, sementara pemerintah kabupaten hanya sebagai pihak yang menerima kuasa dan mengembang tugas menjaga; Bahwa tugas pokok dan fungsi negara (pemerintah pusat) serta tujuan pengelolaan sektor kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat 33, maka penguasaan dan pengaturan dalam pengelolaan menjadi hak penuh pemerintah pusat, sementara pemerintah kabupaten hanya menunggu kebaikan hati dari pusat. Penyerahan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan juga masih meneguhkan posisi pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) sebagai pemilik seluruh kewenangan. Prinsip ini dengan mudah dipahami, bahwa pemerintah pusat akan menyeleksi dan menentukan, hal-hal apa saja yang dianggap penting 32 33
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 4 ayat (1) ibid;
89
untuk dipertahankan menjadi kewenangan pusat dan hal-hal apa saja yang dianggap ”pantas” dilimpahkan kepada daerah. Dengan kata lain, apa yang menguntungkan dan apa yang tidak menguntungkan masih ditentukan oleh dan berdasarkan logika politik pemerintah pusat. Pemerintah pusat bukan sekedar titik pertemuan, tetapi menjadi titik pangkal, bahwa kawasan hutan di daerah ada karena berkah dari pemerintah pusat, bukan sebaliknya. Penyerahan sebagian kewenangan yang demikian, nyata belum menjadi solusi masalah kehutanan (konservasi dan rehabilitasi hutan), setidaknya untuk di kabupaten Jember dan Banyuwangi, karena rasa kepemilikan Pemerintah kabupaten atas TNMB terbukti masih tetap rendah –TN adalah wilayah Jakarta. Sisi lain yang mendasar dari narasi di atas adalah cara berpikir para ellite pemerintah di 2 (dua) kabupaten yang menghendaki agar TNMB dapat dijadikan sebagai peti uang (cashbox) yang setiap tahun ikut menggelontorkan bantuan dana tambahan secara cash untuk meningkatkan APBD kabupaten. Ini terjadi karena pihak Departemen Kehutanan yang membawahi Balai TNMB, secara faktual tidak serius dan tidak mampu mewujudkan amanat UU No. 5/1990 tentang Konservasi SDAHE Pasal 34 34 dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 30 yang mewajibkan redistribusi akses atas sumberdaya hutan (SDH) dan redistribusi pendapatan SDH dari kelompok ellite kepada para pengusaha menengah dan kecil yang diorganisir oleh koperasi masyarakat desa hutan35. Polarisasi dan konflik kepentingan kedua belah pihak seperti di atas terjadi karena penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota dan hak-hak pemerintah kabupaten atas SDA-L tidak diatur secara rinci dalam semua undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur pengelolaan SDA-L. Masalah SDA-L dalam perspektif hukum positif adalah masalah sektoral, artinya semua institusi pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya memiliki tanggungjawab yang sama tentang hal itu, tetapi pengelolaannya
harus dikonsolidasi secara horizontal dan vertikal. Namun,
karena semua UU dan PP substansinya sudah mengandung norma atau kaidah 34 UU No. 5/1990 tentang Konservasi SDAHE Pasal 34 ayat (3) untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak penguasaan atas zona pemanfaatan TN, Tahura dan Taman wisata alam dengan mengikut-sertakan rakyat. 35 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 30 bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
90
hukum yang samar-samar (voge normen) sehingga menimbulkan polarisasi dan multi interpretasi antara para pihak. Masing-masing institusi pemerintah pada umumnya cenderung saling lempar tanggung-jawab, ketika itu merugikan atau menyudutkan institusinya.
Masalah-masalah tersebut ke depan akan tetap
menjadi bom waktu yang memperparah kerusakan TNMB, ketika situasi politik nasional dan lokal chaos, seperti yang terjadi pada tahun 1999/2000. Polarisasi pemerintah pusat dengan daerah seperti di atas, dalam analisis implikasi politik, menurut Adams (Rambo 1985) bahwa distribusi dan akses suplai sumberdaya dan energi adalah issu penting bagi ilmuwan sosial yang mempengaruhi stratifikasi politik. Lovins (1977) dalam Rambo (1985) mengungkapkan pertarungan antara adopsi hard energy sources yang didasarkan atas sentralisasi sources, kesan hi-tech, benar-benar dibutuhkan pada pusat power politik
yang
terbatas
pada
elite
technology
berhadapan
dengan
36
decentralizations , low tech, soft energy sources membawa devolution of political power menuju penguatan masyarakat lokal dan keadilan distribusi aliran energi bagi masyarakat perdesaan. 5.1.1.2 Pola hubungan Balai TNMB dengan kelompok LSM-L Analisis dan uraian hubungan antara Balai TNMB dengan Lembaga Swadaya Mayarakat Pro Lingkungan (LSM-L) dalam politik ekologi didasarkan pada sumber-sumber politik yang melandasi kontak dan hubungan antara Balai TNMB dengan pihak LSM-L dalam penanganan masalah lingkungan hidup, khususnya dalam kawasan TNMB. Bentuk dan tingkat keeratan hubungannya tidak cukup baik, secara legal formal, ikatan hukum (MoU) kerja-samanya tidak berkelanjutan, sehingga pola hubungan yang ada saat ini, hanya ada dalam klaim LSM-L. Secara umum, pola hubungan di antara keduanya tidak baik dan tidak optimal, mengandung konflik latent yang dipelihara dan dibiarkan karena faktor
36 Desentralisasi mencakup 4 (empat) hal pokok,yakni: 1. Dekonstrasi: pengalihan tanggungjawab administrasi internal suatu kementrian atau jawatan, tetapi tidak ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan tetap menjalankan tugas atas nama dan bertanggung-jawab kepada atasannya; 2. Delegasi: pelimpahan tanggungjawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi di luar struktur birokrasi pemerintah dan dikontrol tidak secara langsung oleh pemerintah pusat; 3. Devolusi: pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintah di tingkat lokal oleh pemerintah pusat dengan kontrol pusat yang seminimal mungkin dan terbatas pada bidang-bidang tertentu saja, dan 4. Privatisasi atau debirokratisasi; pelepasan semua tanggung-jawab fungsi kepada organisasi pemerintah atau perusahaan swasta (Chemma dan Rondinelli., eds, 1983)
91
teposeliro (menjaga perasaan) aktivis LSM-L dan kuatir memperparah kerusakan kawasan TNMB. Terkait dengan peran LSM-L dalam pengelolaan SDA-L, Keating (1994) menyatakan bahwa Organisasi non Pemerintah (NGOs/LSM) memegang peranan vital dalam pembentukan dan pelaksanaan demokrasi partisipatif. LSM memiliki berbagai keahlian yang mantap di bidang-bidang yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan dan bertanggungjawab dari segi sosial. KTT Bumi di Rio de Janeiro Brazil tahun 1992 telah memutuskan bahwa: ”Baik sistem PBB maupun masing-masing pemerintah perlu mengundang LSM untuk terlibat dalam membuat kebijakan dan keputusan tentang pembangunan berkelanjutan. Pemerintah perlu menjadikan bagian dari proses penelaahan dan evaluasi tentang pelaksanaan agenda 21.....pemerintah perlu mendorong kemitraan LSM dengan pemerintah setempat....dalam bidang-bidang pendidikan, pengentasan kemiskinan, serta perlindungan dan rehabilitasi lingkungan (Keating 1994)”.
KTT pembangunan berkelanjutan di Afrika Selatan tahun 2002 yang menghasilkan Deklarasi Johannesburg, juga menetapkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus memperkuat kemitraan antara para pelaku pemerintah dan non pemerintah (LSM), termasuk semua kelompok utama serta kelompok sukarelawan dalam program dan kegiatan bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan pada semua tingkatan. Hal sama juga tertuang dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 69 ayat (1) bahwa masyarakat berkewajiban untuk memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Pada ayat (2) dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada LSM, pihak lain atau pemerintah. Berkaitan dengan pelaksanaan rehabilitasi kawasan Taman Nasional (TN), secara nasional, Menteri Kehutanan RI telah mengeluarkan Kepmenhut No.8205/Kpts-II/2002, tentang Pedoman Rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional. Secara kelembagaan, pelaksanaan rehabilitasi kawasan dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah (NGOs) atau secara bersamasama dalam suatu kolaborasi dengan para pihak (stakeholders). Dalam
92
pelaksanaan rehabilitasi TNMB tahun 2003 – 2008, Balai TNMB Jember telah memilih model kolaboratif, yakni; UPT di daerah (BTN/UTN/BPDAS) bersama Pemerintah Daerah (kabupaten/Camat/Desa), Lembaga non Pemerintah dan LSM setempat. Tabel 25 menunjukkan sinergitas konsolidasi, kerjasama dan interaksi Balai TNMB dengan sejumlah kelompok LSM-L internasional, nasional dan lokal, selama pelaksanaan rehabilitasi. Secara umum inisiatif kerjasama bermula dari kelompok LSM-L 37. Dari tiga aspek pembangunan
yang harus dilakukan dalam
berkelanjutan (rehabilitasi hutan) --aspek sosial budaya, sosial
ekonomi dan ekologi-- jaringan LSM-L /NGOs internasional yang pernah bekerjasama dengan Balai TNMB, yakni; Wetland Indonesia Program
dan
Birddlife-IP dan KBSK, hanya melakukan 1 (satu) program, yakni penelitian dan pemetaan lingkungan fisik dan biotik, serta tidak besentuhan langsung dengan aspek sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal. Kerjasama (MoU) dengan LSM-L nasional (Konsorsium IPB-LATIN) 38 dan LSM-L lokal yang menggandeng LSM nasional yakni HAMIM-KEHATI, menyatakan melakukan kegiatan pada tiga aspek dimaksud, tetapi hanya dalam waktu yang terbatas dan capaian hasil yang tidak maksimal. Sementara Alam Hijau, hanya sebatas lokakarya penyusunan strategi rehabilitasi, tanpa ada tindak lanjut pada tingkat operasional 39. LSM-L lokal --KAIL dan CIWALI-- yang mengklaim dan diklaim sebagai kader LATIN, mengaku sampai saat ini masih melakukan kegiatan pendampingan pada ketiga aspek dimaksud dalam skala dan capai hasil terbatas 40, tetapi kerja-sama itu secara legal formal (MoU) itu tidak berkelanjutan (Tabel 25). Semua LSM yang pernah bekerja-sama dengan pihak Balai TNMB, dalam kurun waktu yang terbatas --kecuali Alam Hijau-- masing-masing mengklaim dalam skala terbatas mereka telah berhasil mendampingi masyarakat dalam melaksanakan rehabilitasi. Dari semua klaim LSM tersebut, yang diakui relatif 37
Hasil wawancara dengan pihak Balai TNMB dan LSM yang pernah bekerja sama dengan Balai TNMB Konsorsium LATIN IPB melakukan kerja-sama dengan Balai TNMB dalam pengelolaan kawasan rehabilitasi di desa Andongrejo --(dulu Andongerejo masih menjadi satu desa dengan desa Curahnongko)--, dengan membuat demplot agroforestry seluas 7 Ha tahun 1993. 39 Dokumentasi, tinjauan lapangan dan wawancara dengan Kepala Balai TNMB, Wakil Kepala Balai TNMB dan LSM terkait 40 Wawancara tanggal 25 September 2007 dengan SR, sebagai Kader LATIN dan KAIL, Kaur Pemerintahan Desa Andongrejo, peraih penghargaan Upakarti Jasa Pengabdian Lingkungan, mewakili LSM KAIL dari Presiden SBY tahun 2008. 38
93
cukup berhasil oleh pihak Balai TNMB adalah
Konsorsium LATIN - IPB
Bogor41 pada program rehabilitasi (fisik) dan HAMIM Jember-KEHATI pada aspek kelembagaan masyarakat. Di luar itu, hanya menjual klaim kepada publik pemerhati lingkungan. Hubungan yang terbangun selama proses rehabilitasi sampai saat ini diakui membawa dan memiliki potensi konflik, baik antara Balai TNMB dengan pihak LSM maupun antar sesama LSM, tetapi sifatnya laten, relatif kecil dan masih dapat dikelola. Kepala Balai TNMB menegaskan, konflik itu bukan tujuan, tetapi tidak dapat dihindari 42; ” Balai TNMB pernah bekerja-sama dengan LSM-L KAIL 43, hasilnya tidak optimal. Sekarang tidak dilanjutkan, teman-teman KAIL masih mendampingi masyarakat, itu illegal dan tanpa MoU; kita repot mau bilang butuh atau tidak butuh pendampingan dari LSM,...wong nyatanya tidak ada pengembangan program rehabilitasi dari LSM KAIL. Itu hanya jual klaim warisan hasil pekerjaan Konsorsium LATIN - IPB, demplot yang luasnya sekitar 7 Ha. Zona rehabilitasi, sampean bisa lihat sendiri, masih gundul, kecuali di Wonoasri yang relatif berhasil, itu kita dampingi sendiri. Namun, kita harus tetap menjaga hubungan baik dengan mereka, agar tidak memperparah kerusakan kawasan”.
Ketika terjadi demonstrasi dan penyegelan Kantor TNMB Resort Andongrejo oleh kelompok masyarakat desa Andongrejo, seorang Petugas Polisi Hutan (Polhut) Wonoasri 44, menambahkan: ”Kontribusi LSM-L dalam rehabilitasi TNMB dan pemberdayaan masyarakat tidak terlalu signifikan dan tidak sebanding dengan apa yang mereka (LSM-L) klaimkan ke lembaga donor, ke kita (Balai TNMB) atau ke publik. Beberapa LSM yang pernah “bekerja-sama” dengan TNMB –kecuali Konsorsium IPB Latin Bogor- umumnya datang (masuk) tanpa izin dan pergi tanpa pamit”.
41 Wawancara dengan Kepala Balai TNMB dan Wakil Kepala Balai TNMB, Juli 2007; Konsorsium IPB LATIN masuk dan mengadakan kerja-sama dengan pihak TNMB selama 6 tahun, 1993 -1999. Pada tahun 1995, mengadakan kegiatan Social Forestry, berupa studi Participatory Rural Appraisal (PRA) di desa Andorngrejo, Curahnongko, Sanenrejo dan Wonoasri, dan kegiatan persemaian/penanaman tumbuhan obat (demplot agroforestry) seluas 7 ha yang melibatkan 60 KK, dengan sumber dana dari Mac Arthur Foundation, USA (Balai TNMB, 2004. ibid). Konsorsium IPB LATIN keluar sebelum terjadi peristiwa pendudukan lahan (occupation) oleh masyarakat tahun 2000. Kendala sosial relatif lebih mudah diatasi karena hanya 60 KK dan belum terjadi gerakan penjarahan, sehingga masyarakat relatif mudah dikendalikan. 42 Wawancara dengan Kepala Balai TNMB dan Wakil Kepala Balai TNMB, Juli 2007 dan dengan LSM pendamping masyarakat desa penyangga dalam rehabilitasi TNMB 43 Wawancara dengan Kepala Balai TNMB dan Wakil Kepala Balai TNMB, Juli 2007 dan dengan pihak LSM yang mendampingi masyarakat desa penyangga dalam rehabilitasi TNMB; LSM KAIL pada tahun 2002 melakukan pendampingan kelompok tani mitra rehabilitasi (KTMR) yang melakukan pengkayaan jenis sebanyak 99.000 batang (1 jenis tanaman) di zona rehabilitasi, dengan mengikut-sertakan 5 KTMR yang terdiri atas 2.148 orang. Kegiatan pengkayaan jenis dilaksanakan di luar lokasi yang dilaksanakan oleh TNMB seluas 400 ha. Sumber dana dialokasikan melalui Dana Reboisasi pada balai TNMB tahun 2002, namun dampak pendampingannya tidak signifikan, sehingga MoU tidak dilanjutkan (Balai TNMB. 2004. Social Forestry di TNMB; Model Kemitraan Rehabilitasi Kawasan. Departemen Kehutanan Direktorat Jendral PHKA, Balai TNMB, Jember) 44 Wawancara dengan ES (Petugas Polhut) Wonoasri tanggal 25 September 2008
94
Statemen pihak Balai TNMB tersebut, sama dengan penilaian kelompok LSM terhadap pihak Balai TNMB dan LSM-L lain. Bagi Direktur HAMIM Jember, kebijakan Balai TNMB dalam melaksanakan program rehabilitasi gagal karena tergesa-gesa dan diintervensi oleh Konsorsium IPB-LATIN Bogor; ”Rehabilitasi itu niat awalnya bagus, karena dilakukan secara partisipatif. Namun, niat itu gagal karena dilakukan pada saat public awarnes belum tuntas kita (HAMIM-KEHATI) bangun. Kita sangat menyesal melibatkan LATIN dalam lokakarya, karena mereka mengintervensi pihak Balai TNMB supaya rehabilitasi segera dilakukan, padahal masyarakat belum siap menerima intervensi.......Aktivis LATIN bermukim di Jember sudah sekitar 5 - 6 tahun, mereka tidak kenal Jember, ruang gerak mereka terbatas, masyarakat tidak kenal dan tidak tahu apa yang dikerjakan LATIN, yang kenal hanya perangkat desa saja. Jika ada warga masyarakat dan mahasiswa yang terlibat, itu hasil mobilisasi, bukan partisipatif. Pada saat itu masih era Soeharto”
Bagi akitivis HAMIM, Konsorsium IPB-LATIN telah memposisikan masyarakat sebagai objek rehabilitasi, sehingga rehabilitasi gagal. Tidak ada yang luar biasa dari Konsorsium IPB-LATIN. Desa Wonoasri yang relatif berhasil, itu bukan prestasi kerja LATIN, itu yang membangun kelembagaan konservasi masyarakatnya kita (HAMIM-KEHATI) 45. Mereka (Konsorsium IPB-LATIN) tidak membangun partisipasi masyarakat, malah mbodohi dan eksploitasi masyarakat, mereka (LATIN) itu mikirnya hanya hijau, sehingga cocok dengan kepentingan jangka pendek Balai TNMB. HAMIM bukan LSM ”agent”, kita sangat mampu menghijaukan, tapi sekian tahun kemudian hijau itu gundul lagi,... karena perut masih lapar, jawabannya masuk hutan lagi, ini artinya kelembagaannya belum kokoh. Kondisi zona rehabilitasi TNMB saat ini, tidak ada perbaikan yang menggembirakan. Sudah tidak ada kemajuan, sekarang komunikasi kita dengan Balai TNMB ada kendala, institusinya tertutup dan terlalu birokratis, konsolidasi jika ada maunya (masalah) saja. 46 LSM Alam Hijau Jember
47
juga mengungkapkan pola hubungan yang
pernah dibangun dengan pihak Balai TNMB Jember: 45
Pengakuan yang sama disampaikan secara terbuka oleh kelompok OPR desa Wonoasri pada saat FGD dengan peneliti. Sekalipun OPR Wonoasri mengakui kekuatan LSM-L HAMIM dalam membangun kelembagaan konservasi OPR Wonoasri, HAMIM melakukan kesalahan mengklaim hasil kerajinan OPR Wonoasri dalam pameran nasional kerja LSM di Yogyakarta sebagai hasil binaan HAMIM, padahal yang dilakukan oleh HAMIM menurut aktivis OPR hanya pada penguatan kelembagaan konservasi masyarakatnya. 46 Wawancara dengan AD, Direktur HAMIM Jember, 20 Juli 2008, dan Wawancara dengan kelompok OPR Andongsari, Sanenrejo dan Wonoasri. HAMIM bekerja-sama dengan Balai TNMB selama tiga tahun (1998/19992001/2002) untuk penguatan kelembagaan rehabilitasi berbasis masyarakat 47 Wawancara dengan AS, Direktur Alam Hijau Jember, 20 Juli 2008.
95
”Alam Hijau pernah diundang 1 (satu) kali lokakarya untuk penyusunan rencana strategis penataan zona rehabilitasi, setelah itu tidak ada tindak lanjutnya. TNMB terlalu percaya diri, merasa kuat sendirian menangani masalah, padahal rehabilitasi yang mereka lakukan gagal total.... Sudah gagal mereka sangat tertutup lagi..., tindak lanjutnya dilakukan sendiri! Sekarang kami melakukan kegiatan pendampingan masyarakat penyangga TNMB dengan dana sendiri di Sarongan. Ini harus kami lakukan, karena disana ada kegiatan penambangan emas di Tumpang Pitu, tidak jauh dari TNMB. Kita tidak perlu kerja sama, mereka (TNMB) terlalu curiga dan tidak mau dibantu, sekarang mereka kebingungan sendiri menangani masyarakat yang menduduki lahan”.
Statement di atas, mempertegas adanya konflik laten yang sengaja dipelihara oleh kedua belah pihak, dalam kondisi kehidupan masyarakat desa-desa penyangga yang serba terbatas, dengan beragam cara berpikir, bersikap, dan berperilaku. Sementara UU No.5/1990 dan UU No. 41 tahun 1999 telah mengamanatkan bahwa masyarakat diwajibkan memelihara dan menjaga lingkungan dari gangguan dan perusakan. Itu berarti dalam membangun inisiatif dan keberdayaannya, masyarakat sangat memerlukan pendampingan, layanan, kemitraan dan dukungan LSM, yang secara nyata tidak mampu dilaksanakan oleh pemerintah. Namun, hal yang sangat substantif itu --berdasarkan hasil KTT Bumi Rio de Janeiro 1992 yang menghasilkan Agenda 21, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 69 ayat (1) dan (2) dan pasal 70 ayat (3) dan Deklarasi Johannesburg tahun 2002-- merupakan kemauan yang masih bersifat semu, karena kehadiran LSM dan forum pemerhati kehutanan dalam kegiatan pendampingan sifatnya dapat dilakukan, tetapi bukan sebagai sebuah kewajiban pemerintah. Jika pendampingan itu terpaksa harus dilakukan, maka penentuan pendamping pun sering diintervensi oleh institusi pemerintah atas dasar like and dislike dan latar belakang LSM. Lembaga PBB telah mendesak semua pemerintah (negara-negara) di dunia untuk
mengakui keunggulan dan kekuatan LSM dalam membangun inisiatif
lokal. Namun, pemerintah (Balai TNMB) belum memakai keunggulan itu secara massif pada tingkat implementasi kebijakan. Pola hubungan di atas menunjukkan bahwa :
96
1. Pihak Balai TNMB dalam pelaksanaan rehabilitasi lebih memilih dan merasa cocok dengan LSM-L yang lebih fokus kepada rehabilitasi fisik kawasan (Konsorsium IPB-LATIN), sementara rehabilitasi sosial budaya dan sosial ekonomi sebagai salah satu akar masalah kerusakan kawasan masih dianggap sebagai suplement konservasi dan rehabilitasi. Kecocokan tersebut merupakan kehendak dari UU No. 5/1990 Pasal 32 dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 1 ayat (9) dan (11) 48 yang sangat menekankan pada kepentingan ekologi; 2. Keberhasilan pendampingan rehabilitasi oleh LSM-L diukur berdasarkan pendekatan konservasi alam klasik (clasissic nature conservation), yakni kemampuan LSM-L dalam menggiring masyarakat untuk mau menanam tanaman rehabilitasi sebanyak-banyaknya, dengan jumlah yang berhasil tumbuh juga sebanyak-banyaknya, tetapi dilaksanakan dalam waktu dan situasi yang tidak tepat 49, sehingga adalah wajar jika tokoh masyarakat di 7 (tujuh) desa penyangga menyidir Balai TNMB ”mroyek rehabilitasi”. Dalam hal ini, posisi masyarakat adalah objek dari proses rehabilitasi; 3. Eksistensi LSM-L masih disikapi sebagai bahaya laten --NGOs phobia-- yang akan memusuhi kebijakan institusi, karena itu pihak Balai TNMB melakukan marginalisasi kontribusi dan peran LSM-L dalam pelaksanaan rehabilitasi. Pilihan dan penilaian positif terhadap LSM-L agent dan tidak memiliki akar pada tingkat grassroot (LSM-L J), adalah pilihan aman agar fokus pada tujuan rehabilitasi fisik dan minimasi kekuatiran pengerahan gerakan massa oleh LSM-L lokal organik yang memilik basis masa pada tingkat grassroot. 50 4. Sikap curiga dan hati-hati pihak Balai TNMB dapat dipahami dan sudah menjadi sikap umum dikalangan birokrasi pemerintah, karena secara faktual dalam beberapa kasus, pasca reformasi politik nasional, eksistensi LSM dan 48 UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDAHE Pasal 32 bahwa kawasan TN dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan (lebih jelas, lihat penjelasan Pasal dimaksud). 49 Wawancara dengan aparat 7 desa penyangga serta pimpinan dan anggota kelompok OPR, 12 oktober 2007, menyatakan pembagian bibit dan penanaman tanaman rehabilitasi dilakukan pada bulan Agustus. 50 Dalam penilaian Balai TNMB, dalam pengelolaan kawasan rehabilitasi dengan LSM-L di Resort Andongrejo, LSM-L sering melontarkan statemen: Lahan milik TNMB, masyarakat milik kami (LSM-L). Statement ini bagi Balai TNMB sangat mengganggu, karena tidak mendidik masyarakat, provokatif, kontra-produktif dan anti relasi. Akibatnya, masyarakat sering mengkritik kebijakan Balai TNMB. Dalam beberapa kasus, LSM sering melakukan ajakan pembangkangan supaya tidak mau menanam tanaman pokok, menebang tanaman pokok yang sudah besar untuk diganti dengan tanaman baru, menanamkan kekuatiran kepada masyarakat, jika kawasan kembali hijau, lahan akan diambil kelmbali oleh TNMB (Prabowo, Doni. 2004. Laporan Kegiatan Monitoring Program Rehabilitasi di TNMB. Tim Magang CPNS Departemen Kehutanan Balai TNMB. Jember)
97
jaringan sosialnya mengalami perubahan dan distorsi peran. Dinamika dan transformasi sosial politik dan ekonomi menyebabkan LSM dan jaringan sosialnya --termasuk LSM-L-- terbelah menjadi tiga kategori, yakni; 1. LSM Komparador adalah LSM dan jaringan sosial agent yang sengaja dibentuk untuk menjalankan dan mendukung program pemerintah, 2. LSM organik adalah LSM dan jaringan sosial idealis, sering dicap sebagai musuh kebijakan pemerintah, dan 3. LSM broker adalah LSM tukang kritik, pengepul massa dan penadah uang damai 51; 5. Sinisme sikap birokrasi pemerintah dan aparatnya terhadap kinerja pendampingan LSM-L masih sangat kental, sekalipun dalam beberapa hal mereka mengakui eksistensi dan kekuatan LSM-L. Kerjasama dengan LSM-L, bagi kalangan birokrasi pemerintah (Balai TNMB) tampak sekedar memenuhi syarat desakan peraturan perundang-undangan, sengaja dikonstruksi secara insidentil dan berusia pendek. Padahal masalah sosio-ekologi yang mengancam eksistensi kawasan TNMB terjadi secara kontinu, dinamis, dan unpredictable. Bagi pihak Balai TNMB, pelibatan LSM secara massif dan berkelanjutan adalah membelenggu
beban sosial dan
efektifitas
gerakan
finansial,
konservasi
yang
pemborosan serta bermuara
pada
kebingungan dan mempertinggi ketidak-percayaan masyarakat terhadap Balai TNMB dan pihak ketiga. 52 6. Konsekuensi dari kerja-sama yang melibatkan sejumlah LSM nasional dan lokal telah melahirkan konflik laten dan kompetisi yang tidak sehat antar LSM-L. Penilaian yang melebihkan atau menihilkan peran salah satu atau beberapa LSM-L, memperburuk interaksi sosial antar LSM-L, terutama antar LSM-L lokal dengan LSM-L nasional. Pencitraan bahwa kontribusi LSM-L dalam rehabilitasi tidak signifikan, provokator adalah tindakan fait accompli yang justeru akan mempertajam dan memelihara konflik antara Balai TNMB dengan LSM-L lokal yang melibatkan masyarakat sebagai tameng gerakan
51 Wawancara Desember 2007 dengan Prof. Dr. Hary Yuswadi, MA (Sosiolog), adalah Tim Ahli pada Program Social Forestry TNMB tahun 2002-2004, saat ini sebagai Dekan FISIPOL Univ. Jember; Statemen tersebut adalah sebagian dari respons atas statement Kepala Bappekab Jember dan Pemkab. Banyuwangi. 52 Prabowo, Doni. 2004. Laporan Kegiatan Monitoring Program Rehabilitasi di TNMB. Tim Magang CPNS Departemen Kehutanan Balai TNMB. Jember.
98
pendampingan (pembelaan hak). Dalam kasus seperti ini, dapat dipastikan masyarakat akan berpihak kepada LSM-L. 7. Provokasi LSM-L kepada masyarakat agar tidak mematuhi progam rehabilitasi, menunjukan bahwa paradigma, arah dan orientasi gerakan LSM-L tersebut tidak benar-benar menjadikan konservasi dan rehabilitasi sebagai fokus gerakan. LSM-L justeru mengeksploitasi kesadaran dan keberpihakan masyarakat yang membutuhkan lahan bertani dan berladang, untuk memperlihatkan kekuatan pengaruhnya kepada Balai TNMB, lembaga donor dan bahkan kepada lembaga Partai Politik dalam percaturan politik nasioal, regional dan lokal. Gerakan kontra kebijakan oleh masyarakat dan LSM-L tersebut adalah reaksi dari pola hubungan yang dikonstruksi sendiri oleh Balai TNMB, kemudian menjadi spirit untuk membangun kesadaran kritis masyarakat, tetapi justeru keluar dari konteks konservasi dan rehabilitasi. 53 Pembiaran cara pandang demikian terhadap LSM-L, akan dapat meruntuhkan kepercayaan dan wibawa aparat TNMB di mata masyarakat desa-desa penyangga yang dapat mengancam eksistensi kawasan TNMB. Polarisasi
dan konflik kepentingan yang tajam antara Balai TNMB
dengan LSM-L adalah pertentangan mengenai fokus prioritas rehabilitasi fisik versus rehabilitasi sosial dan ekonomi, dengan akar masalah dominan dan idealis adalah dari perpanjangan hak privasi PT. LDO. Pertentangan ini berada dalam wilayah hidup masyarakat dan sudah terbaca oleh masyarakat, sehingga program rehabilitasi yang ditawarkan Balai TNMB menjadi tidak menarik di mata masyarakat. Pertentangan itu, karenanya harus segera dikembalikan kepada idea awal atau kepentingan bangsa ini menetapkan kawasan Meru betiri sebagai kawasan konservasi. KTT pembangunan berkelanjutan di Johannesburg Afrika Selatan tahun 2002 telah menetapakn bahwa penguatan pengaturan kelembagaan pembangunan berkelanjutan pada semua tingkatan harus dilakukan dalam kerangka Agenda 21,
53
Substansi UU No. 23 tahun 1997 tentang PLH dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terkait eksistensi LSM, cara pandang dan penghargaan pihak Balai TNMB yang tidak cukup positif terhadap eksistensi LSM-L, memotivasi LSM-L untuk tidak merasa harus atau wajib berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak Balai TNMB dalam melakukan aksi pendampingan masyarakat di desa-desa penyangga TNMB.
99
untuk tujuan, antara lain mengintegrasikan dimensi-dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan secara seimbang. Atas dasar itu, maka pertentangan di antara keduanya bukanlah sesuatu yang sangat substantif. Artinya, jika yang satu perlu didahulukan penanganannya, tidak berarti itu lebih penting dari yang lain, tetapi karena sejumlah pertimbangan tertentu dan mendesak untuk ditangani, sementara yang lainnya dapat menyusul dan atau dapat dilaksanakan secara bersamaan dalam moment yang berbeda. 5.1.1.3 Pola hubungan Balai TNMB dengan masyarakat desa-desa penyangga Analisis dan uraian hubungan antara pihak Balai TNMB dengan warga desa atau kelompok masyarakat desa-desa penyangga dalam politik ekologi didasarkan pada sumber-sumber politik (kebijakan) yang melandasi kontak dan hubungan formal di antara keduanya, sebelum maupun pasca reformasi politik, yang memperpuruk kelembagaan konservasi dan rehabilitasi. Kerja-sama formal untuk kegiatan konservasi, rehabilitasi, dan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (PPM) sesuai dengan ketentuan UU No. 41/1999 Pasal 30 dan Pasal 42 ayat (2). Secara sosiohistoris, suatu komitmen kerja-sama dapat terjadi jika terdapat kesamaan takdir sosial (nasib), tujuan dan kepentingan. Takdir sosial (nasib) rakyat dengan pemerintah (negara), dari sisi proporsi kekuatan (power) dan kewenangan (authority) sudah pasti berbeda dan tidak seimbang. Sementara, tujuan dan kepentingan dasar di antara keduanya sama, yakni; untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, kesejahteraan, mutu kehidupan, keadilan dan keberlanjutan. Tujuan dan kepentingan itu, dalam perspektif pemerintah (negara) akan dapat dicapai, jika dibangun di atas pilar pelestarian SDA hayati, keseimbangan ekosistem, dan perlindungan sistem penyangga kehidupan; Penyelenggaraan kehutanan, pengurusan hutan, dan pemanfaatan hutan yang lestari secara optimal, yang wewenang pengelolaanya diserahkan
kepada
54
pemerintah . Proses
menuju
pencapaian tujuan dan kepentingan sebagaimana
dimaksudkan oleh kedua UU di atas, diikuti oleh sejumlah tanggungjawab, hak
54 UU No: 5/1990 tentang Konservasi SDAHE, Pasal 3 Pasal 7; UU No. 23/1997 tentang PLH, Pasal 8 ayat (1), (2) dan (3); UU No. 41/ 1999 tentang Kehutanan, Pasal 3, Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 23
100
dan kewajibanserta larangan yang melekat pada setiap individu warga negara. Namun, distribusi tanggung-jawab, hak dan kewajiban serta larangan yang sudah diatur oleh UU, antara pemerintah (Balai TNMB) dengan rakyat berjalan tidak prioporsional. Permasalahan tanggung-jawab, hak dan larangan 55 ditambah dengan masalah penetepan wilayah yang berbatasan dengan TNMB 56 adalah tiga point penting yang menjadi sumber polarisasi dan konflik dalam interaksi di antara keduanya. A. Pola hubungan Balai TNMB versus kelompok masyarakat maling Pilar pelestarian dan konservasi tersebut --dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah-- ditegakkan di atas fondasi pembenaran dan legalisasi pemanfaatan bagi salah satu pihak (para peneliti, pengusaha; PT. LDO, ekowisata) 57 dan larangan pemanfaatan, perbuatan illegal, dan tindak pidana
58
(kejahatan dan pelanggaran hukum) bagi pihak yang lain (masyarakat desa penyangga) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. ”Mereka itu maling, preman kayu lama, sekarang kambuh lagi. Kalau sdr. Mashudi bersikeras bahwa kayu yang dia angkut itu kayu rakyat, tunjukkan ke kita lokasi tonggak kayunya di desa Andongrejo itu dimana? Kayu TNMB dengan kayu rakyat itu jelas beda, karena usia kayunya beda. Mana ada kayu rakyat diameternya besar dan umurnya tua-tua. Sekarang saatnya kita harus menegakan hukum. Hasil pemeriksaan di Polres Jember boleh saja di(lolos)kan, tetapi barang buktinya sudah kita pegang” 59. ”Dari dulu mereka sudah maling, sekarang maling lagi, perkerjaan ini sudah menjadi profesi dan bagian dari cara mereka bertahan hidup, tetapi kehidupan sosial ekonominya tetap saja miskin” 60.
Konstruksi pola hubungan dalam proses pencapaian tujuan di atas, secara substantif telah diawali dengan stigma larangan dan sanksi hukum (maling kayu) yang menyudutkan masyarakat desa-desa penyangga dalam takdir sosialnya yang lemah dan tidak mujur, sebagai pelaku kejahatan dan pelanggar hukum (UU) 55
Wawancara dengan Dr. Widodo E MH. Pakar Hukum Tata Negara FH Universitas Jember. Tititk lemah dari law in action hukum positif ádalah menganggap setiap orang (warga Negara) tahu dan paham terhadap semua produk hukum negara, sekalipun seseorang itu buta huruf dan atau tidak pernah tahu tentang produk hukum negara. Fakta ini menyatu dengan ketidak-mampuan aparat pemerintah (Balai TNMB) dalam melakukan sosialisasi hukum kepada masyarakat. 56 UU No: 5/1990 tentang Konservasi SDAHE, Pasal 29 ayat (2); UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 21 dan 22 ayat (1) dan (2) 57 UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria Pasal 28, 29, 30, 31, 32, 33 dan 34;UU No: 5/1990 tentang Konservasi SDAHE, Pasal 34 ayat (1), (2), (3) dan (4); UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 24 dan Pasal 25 58 UU No: 5/1990 tentang Konservasi SDAHE, Pasal 21 ayat (1) dan (2), Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 40 ayat (10, (2),(3); UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 ayat (1), (2) dan (3). Ibid. 59 Wawancara dengan Ir. SS (Wakil Kepala Balai TNMB) 9 Juni 2007 dan ES (Petugas Polhut TNMB Wonoasri) tanggal 25 September 2008. 60 Wawancara dengan H (Petugas Retribusi Karcis Wisata Balai TNMB) tanggal 25 September 2008.
101
pengelolaan SDA-L. Bagi Chambliss (1979) dalam Kusumah (1982) 61, bahwa stigma kejahatan dan pelanggaran hukum adalah suatu fenomena politik. Artinya, rumusan larangan dan pelanggar larangan sebagai penjahat, kejahatan atau perbuatan yang melanggar undang-undang (deliquency) adalah hasil dari proses politik, di mana aturan-aturan yang melarang dan menganjurkan warga masyarakat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu dirumuskan 62. Quinney (1970) dalam Kusumah (1982) menyatakan kejahatan dan pelanggaran hukum adalah realitas sosial konsepsional dan juga fenomenal, suatu ketentuan mengenai perilaku manusia yang diciptakan oleh elite penguasa dalam dan untuk diterapkan kepada masyarakat melalui instrument kekuasaan (aparat penegak hukum), yang secara politis diorganisir. Penerapan peraturan perundang-undangan (law in action) yang demikian melahirkan resistensi yang memperpuruk pola hubungan kelembagaan konservasi dan rehabilitasi antara Balai TNMB dengan masyarakat desa-desa penyangga. Ketika pemerintah (Balai TNMB) melakukan pembenaran terhadap salah satu pihak (para peneliti, PT. LDO Jember) dan mencap pihak lain (masyarakat desadesa penyangga) sebagai illegal, kriminal (maling), melanggar hukum, maka masyarakat mencari landasan dan argumentasi hukum dan sosiohistoris lain yang membenarkan tindakan mereka dan atau memaksa (menekan) pemerintah (Balai TNMB) untuk membenarkan perilaku atau tindakan mereka. Resistensi yang sangat argumentatif dari tokoh masyarakat desa penyangga seperti di tunjukkan oleh statemen reaktif tokoh masyarakat pada saat resolusi konflik Rajekwesi di Balai desa Sarongan, di bawah ini: ”Pohon jati (di Rajekwesi) itu ditanam oleh orang tua-tua kami atas permintaan Perum Perhutani, oleh petugas PHPA tidak boleh dipotong dan dibawa keluar (dijual) dari Rajekwesi. Jika nekat, kita dicap maling kayu. Kita tebang satu pohon dibawa ke Polisi dan dipenjara di Jember. Namun, tiap hari kami dipaksa kenyataan menyaksikan PT. LDO membawa keluar --kayu sengon, jati, kelapa, karet mentah, biji kopi dan kakao, dll-- bertruk-truk, aman-aman saja dan tidak ditangkap oleh petugas PHPA. Apa bedanya kami dengan PT. LDO, kenapa mereka diperlakukan (diberi hak) istimewa, sementara warga kami yang mati 61 Proses penyusunan stigma kejahatan dan pelanggaran hukum yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan dan kekuasaan terbatas harus dilihat secara kritis, mengapa suatu tindakan dirumuskan sebagai tindak kejahatan, sedangkan tindakan-tindakan hukum yang lain tidak. Sesungguhnya tidak ada satu pun tindakan yang pada dasarnya kejahatan. Intervensi dan hegemoni kekuatan-kekuatan sosial politik, menjadi penyebab utama sejumlah tindakan dirumuskan sebagai kejahatan, sedangkan yang lain tidak (Kusumah, Muljana. W. 1982. Realitas Sosial Kejahatan. Prisma. No. 5. Mei 1982. Tahun XI. Penerbit. LP3ES. Jakarta) 62 UU No: 5/1990 tentang Konservasi SDAHE, Pasal 31 ayat (1), 32, 33 ayat (1), (2) dan (3) dan 34 ayat (1), (3) dan (4); ); UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 24 dan Pasal 25
102
kelaparan di sini tidak diberi hak yang sama? Saya ini orang Front Marhaenis Sejati, ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung!” 63. ”Saya tahu dan mengalami menjadi warga Rajegwesi, mereka (petugas) datang ke sini hanya bertugas, tidak tahu sejarah. Sebagai Ketua HIPA saya berharap fungsi hutan TNMB dipertahankan agar kebutuhan air masyarakat langgeng. Pimpinan TNMB jangan sepihak, masyarakat kami diminta menjaga hutan, mau ngambil kayu dicap maling; Sementara yang lain (PT. LDO) dibiarkan mengeruk isi perutnya hutan (TNMB) --nandur coklat, jati, kelapa, kopi, karet, sengon-- Ini cara-cara mendidik masyarakat yang tidak benar. Saya dengan Pak Suparman, sama-sama dari Front Marhaenis Sejati mas. Kalau menyaksikan ketidak-adilan seperti ini kita tidak terima dan akan kita lawan. Petugas PHPA tidak cukup hanya beralasan PT. LDO bayar pajak..., wong kita di sini juga bayar pajak pada negara” 64.
Resistensi (demostrasi) juga terjadi di desa Andongrejo, yang digerakkan oleh MH (LPM Desa Andongrejo) 65. Kasus ini berawal dari penangkapan sebuah truk pengangkut kayu milik warga desa Andongrejo. Gerakan kelompok masyarakat Andongrejo ini menyampaikan 5 (lima) tuntutan kepada Balai TNMB, sebagai berikut; 1. Masyarakat desa Andongrejo bukan maling, kami menuntut penjelasan kayu resmi milik rakyat yang ditahan oleh pihak TNMB; 2. Pemerintah desa dan masyarakat Andongrejo harus mengevaluasi kebijakannya dalam bekerja-sama dengan TNMB. Masyarakat Andongrejo cari ikan dan kerang di sekitar TNMB saja ditahan, ditangkap dan dipenjara; 3. Seluruh kegiatan TNMB harus berkoordinasi dengan pihak Pememrintah Desa Andongrejo; 4. Sumarsono (Wakil Kepala Balai TNMB) tidak layak menjadi petugas (pejabat) TNMB. Pemerintah desa Andongrejo harus mendesak Balai TNMB supaya Sumarsono segera dipindah dan diusir dari Jember; 5. “Masyarakat Desa Andongrejo” menyegel Kantor TNMB Resort Andongrejo, dan akan dilepas segelnya setelah proses hukum kayu yang ditahan oleh pihak TNMB selesai atau setelah ada penjelasan resmi dari pihak TNMB.......’kayu desa” milik masyarakat desa Andongrejo yang hendak dibawa ke Ambulu masih ditahan oleh pihak TNMB, sekalipun syah sebagai “kayu desa” setelah diperiksa oleh pihak Dishut Jember dan Polres Jember” 66.
Pola hubungan yang terus memojokkan kelompok-kelompok masyarakat desa-desa penyangga sebagai maling kayu, musuh konservasi dan rehablitasi,
63 Wawancara dengan Bapak Sup, tokoh masyarakat Rajekwesi dan pensiunan PHPA TNMB SWK I Sarongan, kutipan statemen pada saat pertemuan untuk resolusi konflik rajekwesi di Balai desa Sarongan. 64 Wawancara dengan Bapak YW, Ketua HIPA desa Sarongan, putra Mbah Sebul (Ketua RT/Dusun) Rajekwesi tahun 1940-an 65 MH, koordinator demonstrasi, adalah perangkat desa dalam struktur Lembaga Permusyauwaratan Desa (LPM) Andongrejo. 66 Statemen resmi kelompok mansyarakat desa Andongrejo, yang dibacakan oleh Mashudi pada saat demonstrasi penyegelan Kantor TNMB Resort Andongrejo, tanggal 25 September 2008.
103
menurut Riyadi semestinya tidak terus dipelihara, karena koordinasi, pendekatan dan dialog yang mampu dibangun oleh Balai TNMB tidak maksimal; ”Upaya pemerintah desa sudah maksimal untuk mempertemukan kepentingan warga desa dengan kepentingan pihak TNMB, tetapi pihak TNMB tidak pernah merespon dengan serius. Balai TNMB dalam berkoordinasi dengan pemerintah desa, selama ini hanya nunut acara desa. Mestinya perlu dan harus ada inisiatif langsung dari pihak Balai TNMB. Kita aparat desa sangat memahami keterbatasan pihak TNMB, tetapi itu bukan alasan untuk membatasi diri berkoordinasi dan berdialog dengan tokoh masyarakat. Jangan hanya ada masalah saja baru mau berkoordinasi dengan tokoh masyarakat dan pemerintah desa. Menangkap dan memenjarakan mereka, tidak akan menyelesaikan masalah TNMB, karena setelah itu kambuh lagi” 67.
Stigma maling kayu tersebut mengacu kepada teori kekerasan (violence theory), termasuk bentuk-bentuk kekerasan simbolik (simbolic violence) (Thomson
2003). Kekerasan adalah suatu tindakan pelanggaran yang
menghalangi manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, dalam suatu negara yang berdaulat, yang mencakup kekerasan aksidental dan kekerasan struktural. Dalam perpektif teori kekerasan menurut Galtung (1981) ada 4 (empat) tipologi kekerasan, yakni; kekerasan langsung (direct violance), kekerasan tidak langsung (indirect violance), kekerasan represif (repressive violance) dan kekerasan alienatif (alienative violance). Tiga yang disebut terakhir termasuk kekerasan struktural (Salmi 2006). Mengacu pada teori kekerasan tersebut, narasi di atas menunjukan bahwa pola hubungan antara kedua belah pihak dalam pengelolaan TNMB terjadi sejumlah bentuk tindak kekerasan dalam kategori Thomson maupun kekerasan dalam semua kategori Galtung. Dampak dari tindak kekerasan itu, kemudian diresistensi oleh kelompok dan tokoh masyarakat secara sangat ideologis.
Kress dan Hodge dalam
Thomson (2003) menegaskan bahwa bahasa dan penyataan (statement) adalah ideologi. Statement seseorang (tokoh) adalah proses mental, seluruhnya mengindikasikan otoritas suatu ucapan atau keterkaiatan antara pengguna bahasa dengan ucapannya. Bagi Bourdieu, bahasa dan penyataan (statement) bukan sekedar instrumen komunikasi atau pengetahuan, tetapi juga instrumen kekuasaan atau dominasi, termasuk kuasa untuk meresistensi pihak lain.
Menurut
67 Wawancara dengan SR (40 tahun), Kaur Pemerintahan Desa Andongrejo dan aktif di LSM KAIL, peraih penghargaan Upakarti Jasa Pengabdian Lingkungan (mewakili LSM KAIL) dari Presiden RI, SBY tahun 2008. Pendapat yang sama disampaikan oleh perangkat desa di 7 (tujuh) desa penyangga.
104
Thomson (2003) karena bahasa dan penyataan (statement) tokoh masyarakat bersifat ideologis, maka resistensi semacam di atas cenderung dan akan memunculkan problem justifikasi yang akut. Ideologi dipercayai dan diperlukan untuk memikirkan dan menjustifikasi kebijakan-kebijakan tertentu dan juga dapat menjadi corong isu-isu sosial politik sehari-hari. Ekspresi diri tokoh sebagai penganut Front Marhaenis Sejati adalah pertanda bangkitnya kesadaran, yang melahirkan sikap keprihatinan, keberpihakan, aktualisasi dominasi spirit dan moralitas resistensi tokoh bahwa resistensi ini akan berjangka panjang, akan terjadi proses akumulasi dan kristalisasi serta tidak akan pernah mati, jika tidak ada upaya penyelesaian masalah yang benar-benar adil. Selain
resistensi
ideologis,
kelompok-kelompok
masyarakat
juga
melakukan resistensi yang bersifat politis dan strategis. Resistensi ini diilhami atau mendapatkan spirit dari resistensi ideologis atau ideologi fundamental. Seluruh tindakan sosial politik menurut Thomson (2003) pada akhirnya diorientasikan pada perlindungan (protection), reformasi, destruksi atau rekonstruksi tatanan sosial sebagai perwujudan dari ideologi operatif . Aksi demonstarsi di Sarongan Banyuwangi, Andongrejo dan Sanenrejo Jember, jika dilihat dari substansi tuntutan dan pola-pola gerakan resistensi di atas, merupakan akumulasi dan kristalisasi dari banyak kasus implementasi kebijakan Balai TNMB yang sudah dan tengah dilaksanakan. Substansi dari tuntutan tokoh masyarakat di atas, tampak bahwa resistensi sosial tersebut direncanakan dan dikelola secara matang dan berjangka panjang, karena didalamnya ada nilai-nilai (historis), tujuan, strategi dan kalkulasi gerakan sosialnya. B. Pola hubungan Balai TNMB versus WNI tanpa tanah air “Sambil mengajak peneliti dan tim peneliti berjalan-jalan mengelilingi pinggiran desa Kandangan, Pak MB menunjukkan warganya yang numpang hidup (bertani di zona rehabilitasi dan lahan Perhutani tanaman semusim. Mereka tinggal di gubuk ddi lahan Perhutani yang berbatasan dengan TNMB. Lihat itu Cak...., kalau sampean gak percaya. Itu warga saya, statusnya WNI tapi gak ndue (punya) tanah air. Setiap upacara bendera Senin pagi, anak-anak mereka diajari dan disuruh guru-gurunya untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi sebenarnya mereka gak ikut memiliki tanah air ini. Lihatlah dalam rumah gubuk mereka, tanpa kamar, menyatu dengan dapur, makan dan tidur bersama beberapa ekor KIRE (anjing) sebagai teman setia hidup mereka”. 68 68
Wawancara tanggal 7 November 2007. Bapak MB, adalah Kades Kandangan Pasanggaran Banyuwangi. Pak MB mantan pekerja perahu nelayan di Muncar. Sekarang menjadi aktivis Parpol kabupaten Banyuwangi. Tahun 1998/1999 menjadi Ketua PAC PKB, kemudian pindah menjadi PAC PDI-P dan DPC PDI-P, dan saat di wawancara sudah pindah Parpol, menjadi salah satu Wakil Ketua DPC Partai Golkar Banyuwangi.
105
Di samping pola hubungan yang diuraikan di atas, masalah lainnya adalah polarisasi dan konflik wilayah perbatasan antara Balai TNMB dengan masyarakat yang bermukim
di dalam dan atau disekitar kawasan TNMB, yang saat ini
jumlahnya mencapai ≥ 60.744 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.322 KK atau 6.276 orang tinggal menetap secara permanen dan semi permanen yang tersebar pada 5 (lima) lokasi di dalam kawasan TNMB. Kelompok masyarakat tersebut oleh Balai TNMB ditetapkan sebagai kelompok masyarakat yang bermukim secara liar atau illegal (illegal settlements), atau warga negara Indonesia (WNI) tanpa tanah air menurut Kepala Desa Kandangan. Kelompok masyarakat illegal --WNI tanpa tanah air-- menurut Balai TNMB seperti tertera pada Tabel 25. Sebelum era reformasi politik nasional, stigma sebagai permukiman liar atau illegal settlement (Tabel 25, No.1-5) diterima sebagai takdir sosial yang tidak kuasa mereka lawan. Namun, pasca reformasi, stigma sebagai pemukim liar (illegal settlement) telah membangkitkan energi sosial baru bagi aparat desa dan tokoh masyarakat desa-desa penyangga untuk melawan takdir sosialnya. Kebangkitan energi sosial ini muncul secara merata di 8 (delapan) desa penyangga TNMB, dengan pola dan semangat yang hampir sama, yakni tuntutan kepastian hukum (jaminan hidup sejahtera di masa depan) sebagai warga negara dan keadilan distribusi SDA-L. Tabel 25 Persebaran permukiman liar (illegal settlement) dalam kawasan TNMB menurut pihak Balai TNMB No.
Lokasi
1.
Kebun Pantai Bandealit Meru Betiri barat Sumbersalak Darungan Bandealit Meru Betiri barat Lodadi Meru Betiri barat Rajekwesi Meru Betiri timur Sarongan --(tanah translok TNI AD)- Meru Betiri timur Perkebunan PT. Bandealit milik PT. Ledokombo (PT. LDO) Jember. Perkebunan PT. Sukamade Banyuwangi milik PT. LDO Jember.
2. 3. 4. 5. 6. 7
Jumlah Sumber: Data primer; BTNMB (2008) *)
Luas permukiman liar (illegal settlement) (±)
Jumlah KK (±)
Jumlah Jiwa (±)
1,084 Ha
53 (75) KK
178 orang
7,125 Ha
33 KK
115 orang
2,020 Ha 29,570 Ha
9 KK 94 KK
27 orang 485 orang
156,632 Ha
569 KK
717 orang
196,2948 Ha*)
806 KK
3.234 orang
392,7256 Ha
758 KK 2.322 KK
1.522 orang 6.276 orang
Catatan: Nomor 6 dan 7, belum termasuk luas perkebunan yang dikelola oleh PT. LDO Jember
106
Resistensi dan proteksi warga terhadap stigma sebagai permukiman liar (illegal settlements) tidak hanya dilakukan oleh tokoh masyarakat dan warganya, tetapi juga dilakukan oleh aparat pemerintahan desa-desa penyangga. Bagi aparat desa-desa penyangga, stigma permukiman liar justeru akan menambah rumit masalah, yang belum ada jalan keluarnya: “Masyarakat jangan dituduh liar begitu terus pak. Masyarakat Bandealit dan Sukamade itu legal, semua kampung di tengah dan di pinggir hutan TNMB adalah kampung (dusun) yang legal dan menjadi bagian definitif dari pemerintahan desa di sini. Tidak ada yang illegal, di sana ada Kepala Dusun, ada masjid, ada sekolah dasar negeri (SDN) milik pemerintah. Balai TNMB jangan memanas-manasi suasana, kita yakin mereka tidak akan mampu membendung emosi massa. Kita tahu dan sadar akan manfaat TNMB bagi masyarakat luas...Kita semua tidak akan pernah siap dan mampu mengahadapi perubahan pengalihan permukiman penduduk --relokasi--, siapa yang siap, mampu dan mau menyediakan lahan untuk tempat tinggal mereka yang jumlahnya banyak. Pemerintah desa sudah pasti tidak siap. Transmigrasi, hampir pasti mereka tidak akan mau. Banyak di antara warga kami, dengan kesadaran sendiri telah keluar dari desa (merantau) untuk merubah dan melawan nasib hidup melarat...., tetapi sekian tahun kemudian mereka kembali lagi kesini. Ini urusan tanah tumpah darah pak...,mereka lahir dan dibesarkan disana” 69.
Sejumlah warga desa-desa penyangga telah berusaha melawan takdir sosial mereka yakni kemiskinan dan kemelaratan dengan jalan merantau keluar negeri, ke kota besar dan ikut transmigrasi.
Namun, mereka semua gagal
menaklukan daerah tujuan perantauan karena alasan rindu akan keluarga dan tanah kelahiran serta kapasitas diri mereka yang serba terbatas untuk berkompetisi, sehingga memaksa mereka untuk memutuskan kembali ke kampung halamannya. Keputusan warga masyarakat
yang telah merantau sekian lama
untuk kembali menetap di kampung halamannya, membawa sejumlah beban sosial budaya, sosial ekonomi dan ekologi --pertambahan jumlah penduduk, kemiskinan dan keterbatasan lahan-- yang harus ditanggung oleh masyarakat, pemerintah desa dan Balai TNMB, seperti kepulangan warga Bandealit di bawah ini; ”Saya merantau meninggalkan Bandealit tahun 1986-1997/1998, bekerja sebagai PRT di Surabaya. Bertemu dan menikah dengan Mas SM (37 tahun) asli Surabaya. Kami dikaruniai 4 (empat) orang anak, 3 laki dan 1 perempuan, semuanya sekolah di SDN Bandealit, yang pertama sudah kelas 5 SD. Ketika krisis moneter (1997-1998), kami memutuskan pulang kampung bersama 4 69
2007
Wawancara dengan aparat 8 dan tokoh masyarakat (delapan) desa penyangga TNMB, Oktober dan November
107
(empat) anak kami, daripada bertahan di Surabaya, pasti lebih berat..... Di Bandealit, saya dan suami bekerja mengisi polibek, waktunya tidak pasti, tergantung kebutuhan pihak kebun Bandealit. Dalam sebulan saya bekerja 6 – 12 hari, dengan upah per hari Rp. 6.000, tidak pernah penuh 12 bulan, sifatnya musiman. Untuk bertahan hidup, kami bekerja sampingan mencari kayu bakar. Hasil penjualan kayu bakar tidak cukup untuk memberi makan 4 orang anak kami. Selain mencari kayu bakar, kami berenam, mencari buah Odium di tengah kebun karet Bandealit. Buah Odium sebelum dijual ke tengkulak harus dikeringkan dahulu selama 3 hari. Untuk mendapatkan 1 kg biji Odium seharga Rp. 35.000, kami perlu waktu 3 hari” 70.
Tabel 26 Nama-nama warga desa penyangga dan tempat tujuan perantauan untuk merubah nasib dari, sekarang mereka kembali ke desa asalnya No 1 2 3 4 5
Nama WR IY BD YO SP
Tempat Asal
Tempat Tujuan
Sarongan Andongrejo Andongrejo Kampung Bandealit Pantai Kampung Bandealit Kebun
Palu (Transmigrasi) Malaysia (TKI illegal) Malaysia (TKI illegal) PRT (Surabaya) PRT (Surabaya)
Tahun Berangkat Kembali 1987 2002 1995; 2005 2005; 2007 1991 2004 1987 1995 1986 1997/1998
Sumber: Data Primer (2008)
Semua aparat pemerintah desa-desa penyangga TNMB yang diwawancarai sama-sama menyadari, bahwa aparat pemerintahan desa tidak memiliki cukup kemampuan untuk menyelesaikan seluruh masalah sosial budaya, sosial ekonomi dan ekologi di desanya.
Terus terang saja, kami berat dan tidak mungkin
menahan atau melarang warga untuk tidak menegambil SDH atau mencuri kayu TNMB, sementara kami tidak memiliki banyak pilihan jalan keluar. Daripada kita bermusuhan dengan warga sendiri dan mereka mencuri harta benda miliki warga desa tetangga, lebih baik kita biarkan saja 71; ”Pemerintah desa tidak mau tahu tentang pekerjaan masyarakatnya, ini berkaitan dengan perasaan dan solidaritas sebagai sesama warga desa, jika ada warga desa yang mencuri kayu dan atau menggarap lahan TNMB, kita diam dan pura-pura tidak tahu saja, selama tidak ada komplain dari pihak TNMB. Perlu sampean tahu, dari desa Curahtakir sana sampai Andongrejo sini, sebelum warga memiliki lahan tetelan, tingkat kriminalitasnya sangat tinggi, mencuri disini profesi pak, Radio dikeloni (dipeluk sambil tiduran) saja dicolong. Karena itu, jika masyarakat dikeluarkan dari lahan tetelan yang mereka garap saat ini pasti mereka marah dan memperparah kerusakan kawasan TNMB. Warga di sini (desa Mulyorejo Babansilosanen, Curahtakir, Sanenrejo, Curahnongklo dan Andongrejo) merasa paling berjasa karena sudah memasang badan untuk
70 71
Wawancara dengan SP (35 tahun), mantan PRT di Surabaya, Oktober 2008 Wawancara dengan aparat pemerintah di 8 (delapan) desa penyangga TNMB, Oktober dan November 2007
108
menolak tambang emas di TNMB yang dilakukan oleh Yusuf Merukh tahun 1999” 72.
Di kampung Rajekwesi 73 Banyuwangi dan kampung Bandealit Pantai Jember, stigma permukiman liar (illegal settlements) dilawan dengan pembuktian sosiohistoris, keadilan negara (pemerintah) dalam distribusi SDA-L dan pendudukan lahan. Para tokoh masyarakat di kampung tersebut menilai aparat Balai TNMB sebagai aparat yang tidak paham sejarah dan peraturan perundangundangan (Gambar 10 dan Gambar 11): ”Kampung kami (Rajekwesi) illegal, karena berada dalam kawasan TNMB...? Apa itu perkampungan dalam kawasan 74...? itu definisi tidak jelas, sepihak, tidak paham sejarah dan tidak jelas dasar hukumnya (lihat Gambar 7 -8 Peta Rajekwesi versi tokoh masyarakat Rajekwesi). Petugas PHPA jangan seenaknya main klaim. Petugas macam apa itu....? Sampean harus tahu, kampung ini (Rajekwesi) sudah ada sejak tahun 1938, jauh sebelum keluarnya SK Pemerintah tentang Penetapan Meru Betiri sebagai kawasan Suaka Marga Satwa dan sebagai Taman Nasional. Jika pihak Balai TNMB merasa benar, paham sejarah dan hukum, tunjukkan kepada kami, bukti sejarah dan dasar hukumnya seperti apa? Kami memiliki bukti sejarah dan dasar hukum sendiri. Mereka petugas yang muda-muda harus tahu, sejarah kami lebih dulu dari TNMB.....Jangan mentang-mentang petugas, kemudian gengsi untuk ”ngudi kawruh dateng tiang sepuh”. Jika masyarakat Rajekwesi melanggar hukum, silakan ditindak dan diusir dengan dasar hukum yang jelas, tetapi pemerintah harus adil, LDO (PT. LDO Jember) di Sukamade juga harus ditindak dan diusir keluar dari kawasan TNMB. Perilaku petugas PHPA sangat meresahkan dan memalukan. Definisi masyarakat dalam kawasan yang tidak jelas, telah lama memenjara hak kami, sehingga tidak bisa berbuat sesuatu terhadap apa yang semestinya menjadi hak kami” 75. ”Petugas PHPA kasar-kasar pak, kita mau mengambil kerang saja kita dikejarkejar dan ditangkap, apalagi kalau mengambil kayu 76, lebih baik rumah kami ambruk daripada ditahan dan dipenjara oleh PHPA..., sementara PT. LDO berbuat apa saja dibiarkan...Menurut cerita orang tua-tua kami, kampung kami 72 Wawancara tanggal 25 September 2007 dengan SR, sebagai Kader LATIN dan KAIL, Kaur Pemerintahan Desa Andongrejo, peraih penghargaan Upakarti Jasa Pengabdian Lingkungan, mewakili LSM KAIL dari Presiden SBY tahun 2008. 73 Wawancara dengan Mbah TP (76 tahun), tokoh masyarakat Rajekwesi, November 2007. Mbah Topo mengeluarkan argument legalitas sosiohistroris devensif, sebagai pembenaran bahwa mereka bukan warga nunutan (menumpang) di lahan TNMB, tetapi telah mendiami kampung Rajekwesi jauh sebelum merdeka dan memiliki hubungan geneologis dengan para pahlawan dan pemberontak idealis....... Kampung Rajekwesi yang mbabat alas mbah-mbah kami, sisa-sisa dari laskar Pangeran Puger --(nama Puger menjadi nama salah satu kecamatan di pantai selatan kabupaten Jember, diambil dari nama Pangeran Puger)-- yang melarikan diri menuju ke arah timur mencari tempat strategis untuk menyusun kekuatan dan melancarkan perang gerilya melawan serdadu Kolonial Belanda. 74 UU No. 5/1990 Pasal 29 ayat (2) bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan PP. (Penjelasan Pasal 29 ayat (2): Daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan (suaka alam atau pelestrarian alam), baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan (suaka alam atau pelestrarian alam). Pengelolaan atas daerah penyangga tetap berada di tangan yang berhak, sedangkan cara-cara pengelolaan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam PP) 75 Wawancara dengan Bapak Sup, tokoh masyarakat Rajekwesi, Oktober 2008 76 UU No: 23 tahun 1997 tentang PLH, Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3), 6 ayat (1) dan (2) dan 7 ayat (1), dan (2); UU No: 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 68 ayat (1), (2) (3) dan (4).
109
(Bandealit Pantai) sudah ditempati oleh para nelayan yang berasal dari pantai Malang Selatan sejak sekitar tahun 1930-an (mungkin lebih cepat dari tahun itu pak). Bapak saya (Pak Ahad, almh.) masuk dan tinggal di kampung nelayan di luar kawasan Kebun PT. Perkebunan Bandealit sebagai nelayan, sejak tahun 1943. Bapak saya bukan orang yang pertama datang bermukim di Bandealit Pantai, karena bapak saya datang ke Bandealit Pantai menjadi nelayan mengikuti orang-orang dari kampungnya (Malang selatan) yang lebih dahulu datang ke kampung kami ini” 77.
Narasi di atas memperlihatkan secara jelas adanya polarisasi hubungan dan konflik legalitas sejarah dengan penegakan hukum antara Balai TNMB dengan masyarakat desa-desa penyangga. Polarisasi dan konflik kawasan ini untuk sekian lama berhasil diendapkan atau redam, sehingga seakan-akan tidak terjadi sesuatu yang mengancam eksistensi kedua belah pihak. Namun, pasca reformasi politik, dalam keterbatasan Balai TNMB melakukan konsolidasi dan sosialisasi UU Konservasi dan Kehutanan di satu sisi, serta ketidaktahuan warga masyarakat desa-desa penyangga akan hak-hak dasarnya sesuai UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 68 pada sisi yang lain, keberanian warga masyarakat untuk melawan takdir sosialnya, justeru muncul dan menyatukan mereka secara internal dengan merangkai kembali latar sejarah kehidupan leluhur mereka, guna melawan represi UU yang diterapkan oleh pemerintah dan sekaligus merebut hak-hak dasar yang sesungguhnya mereka tidak tahu bentuknya seperti apa, kecuali sekedar untuk bertahan hidup dalam keterbatasan. Keberanian dan daya kritisme warga masyarakat dalam berhadapan atau melawan aparat PHPA, menunjukkan kegagalan Balai TNMB dalam melakukan konsolidasi dan sosialisasi kebijakan pengelolaa kawasan. Balai TNMB secara kelembagaan, dalam hal ini patut diduga ada unsur kesengajaan untuk tidak menyampaikan hak-hak dasar warga masyarakat desa-desa penyangga yang diamanatkan UU, demi menyederhanakan dan meringankan beban tugas mereka. Balai TNMB (aparat PHPA) ketika berhadapan dengan tokoh masyarakat desadesa penyangga yang tidak pernah melihat, membaca dan belum mengerti UU Kehutanan, UU Konservasi, dan UU terkait lainnya, dibuat tidak berdaya oleh tokoh masyarakat, bukan karena masalah aspek penguasaan UU dimaksud, tetapi
77 Wawancara dengan Bu YO (47 tahun), anak ke 5 dari Pak AH (almh) tokoh masyrakat Pantai di luar Kebun Bandealit Meru Betiri barat
110
karena aparat PHPA lemah dalam pemahaman dan argumentasi sejarah kawasan dan ketidakmampuan mereka berinteraksi dengan warga masyarakat; ”Sekarang saatnya masyarakat melawan dan menuntut haknya, warga kami sudah mengerti sejarah kampungnya. Pemerintah sekian lama curang dan berlaku tidak adil pada warga kami dengan memberi hak-hak istimewa pada pihak tertentu. Pemerintah jangan egois seperti tidak punya salah dan tidak punya perasaan. Ini tidak bagus dan tidak mendidik, warga kami dituntut berbuat dan berperilaku baik, tetapi pemerintah berbuat dan berprilaku sebaliknya” 78.
Kecuali resistensi secara sosiohistoris, pada semua permukiman liar (illegal settlements), pada Tabel 25, stigma juga dilawan dengan melakukan penguatan akar eksistensi dan tawar menawar dengan cara menduduki lahan TNMB untuk kegiatan bertani dan berladang 79. Balai TNMB hingga kini belum mampu melakukan penataan dan konsolidasi dengan masyarakat dimaksud untuk mengembalikan situasi dan kondisi kawasan. Pendudukan oleh masyarakat permukiman liar (illegal settlements) ini menambah luas kawasan TNMB yang rusak dengan beragam argumentasi sosial budaya, ekonomi dan ekologi, bahkan sudah melampaui atau sudah keluar dari patok kebun ≥ 10 m 80. Kasus ini secara formal kelembagaan Balai TNMB tidak diakui atau sengaja ditutup-tutupi, dan tidak dilaporkan secara formal ke pemerintah pusat.
78 Wawancara dengan Bapak YW tokoh masyarakat desa Sarongan, Oktober 2008 79
UU No: 41/1999 Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b; UU No. 5/ 1990 Tentang KSDAHE, Pasal 31 dan Pasal 33
(3). 80 Wawancara dengan MS alias Pak Sup (53 tahun), tidak tamat SD, asal Kota Blater, masuk ke Bandealit tahun 1965 sebagai pegawai kebun (musiman), menduduki lahan 1,25 Ha, 1 Ha telah dilepaskan.
Gambar 11 Denah Rajekwesi ± tahun 1949 menurut tokoh masyarakat Kampung Rajekwesi dan desa Sarongan, setelah terjadi penangkapan warga yang mengankut kayu jati oleh petugas PHPA April 2008, bahwa Rajekwesi bukan dalam kawasan TNMB (Dokumen Sejarah Kampung Rajekwesi Desa Sarongan, 2008)
112
112
Gambar 12 Denah Rajekwesi ± tahun 1949-1950 menurut tokoh masyarakat Kampung Rajekwesi dan desa Sarongan, setelah terjadi penangkapan warga yang mengankut kayu jati oleh petugas PHPA April 2008, bahwa Rajekwesi bukan dalam kawasan TNMB (Dokumen Sejarah Kampung Rajekwesi Desa Sarongan 2008)
113
Pertambahan jumlah penduduk, kemiskinan, ketidakadilan sosial ekonomi dan kepemilikan lahan yang sangat minim, dalam situasi dan kondisi aparat TNMB rapuh, menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk berani melawan kebijakan pengelolan TNMB. Di kampung Bandealit, misalnya; para pekerja kebun harian musiman mendapat upah harian maksimal untuk kerja selama 12 hari/bulan sebesar Rp. 72.000/bulan, dan upah minimal untuk kerja selama 6 hari/bulan sebesar Rp. 36.000/bulan 1, masih jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2007, sebesar Rp. 770.000,- per bulan (lihat Tabel 27). Untuk mengisi waktu luang, bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan dengan upah yang sangat minim tersebut, karena tidak punya lahan pertanian dan kebun, baik warga kampung Rajekwesi, Bandealit Pantai dan Bandealit kebun, mereka semua harus dan berhasil menaklukan rasa takut untuk bertani dan berladang pada lahan kebun dan melewati batas kebun PT. LDO serta pada bekas program Bridling Ground (pengembalaan satwa liar : kijang atau rusa) Rajekwesi yang dibuka pada tahun 1970-an awal. Hal yang sama juga dilakukan oleh warga kampung Bandealit pantai. Sebanyak 71 KK dari 75 KK kampung Bandealit Pantai, mengaku menggarap lahan tetelan di dalam dan sebagian telah melewati garis perbatasan PT. Perkebunan Bandealit, dengan luas penguasaan lahan masing-masing KK rata-rata ¼ Ha hingga 1 Ha lebih. Mereka melakukan hal tersebut, karena PT. LDO dibolehkan oleh pemerintah, maka warga juga harus diperbolehkan. Hasil dari bertani dan berladang pada lahan tetelan, diakui cukup untuk bertahan hidup hingga musim hujan berikutnya. Jika tidak cukup, mereka terpaksa berhutang ke tetangga atau tengkulak, kemudian dibayar setelah masa panen tiba 2.
1 Sistem pembayaran upah bagi para pekerja PT. LDO (PT. Sukamade Baru dan PT. Bandealit) dibagi menjadi tiga kelompok, yakni; upah bulanan, upah harian (maksimal per 15 hari) dan borongan. Upah bulanan diberlakukan untuk karyawan tetap yang memiliki jabatan sebagai staf. Upah harian diberlakukan bagi karyawan harian tetap dan karyawan harian lepas untuk berbagai jenis pekerjaan. Pembayaran upah harian dilakukan dua minggu sekali dalam periode satu bulan atau per 15 hari. Dari 15 hari itu, pada umumnya, pekerja hanya dipekerjakan antara 6 sampai maksimal 12 hari, sehingga upah yang diterima menjadi sangat minim dan tidak mencukupi untuk sekedar bertahan hidup. 2 Wawancara dengan warga Sukamade, Rajekwesi, Bandealit dan warga kampung nelayan Bandealit
114
Tabel 27 Upah pekerja perkebunan PT. LDO Jember (PT. Bandealit Jember dan PT. Sukamade Baru Banyuwangi) berdasarkan jenis pekerjaan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Pekerjaan Penyambung (nyetekan) Pemeliharaan tanaman (pemebersih rumput) Pemeliharaan buah Penyadap karet Pengamanan Memetik kelapa
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
Jumlah Upah 5.000 per hari 5.300 per hari/borongan 40.000 per 15 hari 6.500 Per hari 7.500 Per hari 7.500 - 10.500 Per hari 80 Per buah kelapa
Sumber: Data Primer (2008)
Selain masalah di atas, terkait dengan ramifikasi (pertimbangan sosial budaya, ekonomi, politik, ekologi dan yuridis), Balai TNMB juga dipaksa oleh kenyataan harus melakukan legalisasi akses menanam tanaman musiman dan tanaman keras dalam zona rehabilitasi TNMB dengan dan untuk sekitar ≥ 3.709 KK hingga 5.000 KK, untuk kegiatan bertani dan berladang
3
dalam zona
rehabilitasi 4. Legalisasi tersebut dilakukan melalui MoU kerjasama untuk jangka waktu selama 5 tahun (Agustus 2003 - Agustus 2008). Progress repport yang dicapai dari kerjasama tersebut belum atau tidak menunjukan kemajuan yang berarti dilihat dari aspek sosial budaya, ekonomi dan ekologi (dipertajam dalam bahasan poin 5.1.2). Eskalasi resistensi dan gejolak sosial masyarakat lokal terhadap kawasan pelestarian alam (taman nasional), maka KTT Bumi yang berlangsung di Rio de Janeiro Brazil tahun 1992, sesungguhnya telah mengingatkan seluruh pemerintah negara-negara di dunia, bahwa: ”Perlu ada prosedur penyelesaian sengketa nasional untuk menangani permasalahan dalam penetapan lahan dan pemanfaatan sumberdaya.....Penduduk asli (indegenous peoples) perlu berperan serta dalam mengambil keputusan tentang pembangunan yang menyangkut diri mereka, dan dalam menciptakan daerah-daerah lindung, seperti Taman Nasional (Keating 1994)”.
Resistensi dan gejolak sosial di atas menunjukkan bahwa kebijakan global dan kebijakan pembangunan nasional (propenas) tentang pengelolaan kawasan 3 UU No: 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam Pasal 50 ayat (3) bahwa setiap orang dilarang: a. Mengerjakan, dan b. merambah kawasan hutan (melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang); UU No. 5 Tahun 1990 Tentang KSDAHE, Pasal 31 Di dalam taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Pasal 33 (3) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. 4 UU No. 5 tahun 1990 tentang KSDAHE Pasal 32 baha kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.
115
konservasi, belum atau tidak dilaksanakan secara memadai oleh pemerintah Indonesia (Balai TNMB). Beragam argumentasi klasik
dimunculkan sebagai
pembenaran atas pembiaran dan ketidakmampuan pemerintah (Balai TNMB) dalam menjalankan kebijakan global tersebut, seperti masalah minimnya kapasitas sumberdaya manusia (SDM), anggaran, penegakan hukum, dukungan masyarakat dan para pihak. Situasi dan kondisi ketidakpastian hingga kini masih melilit implementasi kebijakan pengelolaan TNMB. Fakta ini dapat dilihat dari masih diberlakukannya penerapan kebijkan bebas (free-ermassen) atau (discretion) 5 oleh Balai TNMB dalam berhadapan dengan daya paksa masyarakat yang menduduki lahan dalam kawasan TNMB, pada situasi politik nasional, regional Jawa Timur dan lokal eks Karesidenan Besuki, saat ini relatif aman. Mempertahankan dan atau pembiaran pemberlakuan kebijakan itu dapat dilihat dari dua sisi, yakni; 1. sisi realitas soisiologis bahwa memang aparat Balai TNMB tidak cukup memiliki kekuatan apapun dalam berhadapan dengan kekuatan (daya paksa) masyarakat yang berjuang untuk bertahan hidup, dan 2. Sisi hukum positif, bahwa kebijakan itu terpaksa harus dilakukan karena faktor que labouce de la lois, 6 artinya dalam situasi dan kondisi tertentu (chaos) posisi aparat penegak hukum yang baik bukan sekedar corong UU dan PP, tetapi dia harus mampu memahami situasi dan kondisi sosial yang sedang berkecamuk dalam masyarakat. Maka pemberlakuan suatu kebijakan yang nyata dilarang dan atau salah menurut UU dapat dibenarkan secara hukum untuk menghindari dampak negatif (kerusakan) yang lebih besar dan luas. 5.1.1.4
Pola hubungan Balai TNMB dengan PT. Perkebunan LDO dan Masyarakat Kebun Secara historis, perkebunan Sukamade dan Bandealit telah dibuka sejak
tahun 1925 (sumber lain menyatakan sejak 1929) hingga tahun 1955. Kedua kawasan tersebut awalnya dikuasai atau menjadi hak milik (hak erfpacht) Perkebunan Swasta Te De Man Van Kerkean (TVK) asal Perancis. Pada sekitar 5 Kebijakan bebas atau kebebasan bertindak (free-ermassen ) atau (discretion) adalah pemberlakukan kebijakan yang terpaksa dan harus dilakukan oleh pejabat pemerintah sebagai langkah terobosan hukum karena peraturan yang ada belum mengatur tentang sesuatu atau ada tetapi tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam menghadapi situasi yang muncul di lapangan pada saat itu (chaos). Kebebasan bertindak aparat pemerintah dapat dilakukan dalam tiga keadaan, yakni; 1. keadaan suatu UU yang mengandung norma atau kaidah hukum yang samar-samar (voge normen), 2. keadaan rectsvacum atau kekosongan hukum, dan 3. situasi sosial politik yang sedang kacau dan tidak memungkinkan. 6 Wawancara dengan Dr. Widodo E MH. Pakar Hukum Tata Negara FH Universitas Jember.
116
tahun itu, jalan menuju ke dua kawasan belum dibuka, sehingga seluruh jalan keluar masuk kawasan, melalui jalur laut, yakni melalui pelabuhan Teluk Permisan, yang dibangun sekitar tahun 1920 - 1930. Pada tahun 1938, jalur transportasi darat mulai di buka dari Sukamade menuju Pesanggaran melewati Sungai Lembu lewat Pal 1, Kandang Lembu lewat Pal 1 dan pal 4 menuju Sumberjambe Jember 7. Ketika terjadi aksi pengambil-alihan Irian Barat (Papua Barat), sekitar tahun 1960-an, pemerintah Indonesia melakukan proses nasionalisasi seluruh asset yang dulunya dikuasai Belanda, sementara asset perkebunan yang tidak dalam penguasaan Belanda, pengelolaannya diberikan kepada pihak swasta nasional. Karena kawasan kebun Sukamade Baru dan Bandealit dikuasai atau menjadi hak milik (hak erfpacht)8
swasta asal Perancis, yakni Te De Man Van Kerkean
(TVK)), maka hak pengelolaan (Hak Guna Usaha: HGU 9) atas kedua kawasan itu kemudian diberikan kepada perusahaan swasta, yakni
PT. Sukamade Baru
Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember. Kedua perusahaan perkebunan tersebut adalah anak perusahaan dari PT. Ledokombo (PT. LDO) Jember. PT. Perkebunan Bandealit Jember telah dikelola oleh PT. LDO Jember sejak tahun 1947, sementara PT. Perkebunan Sukamade Baru Banyuwangi baru dikelola pada tahun 1955. Sejak terjadi proses nasionalisasi, PT. LDO Jember yang membawahi kedua perkebunan itu telah menerima 3(tiga) kali masa perpanjangan izin usaha. Masa berlakunya 1 (satu) izin usaha adalah 25 tahun 10. PT. Bandealit telah melakukan kegiatan usaha di kawasan hutan Meru Betiri sejak tahun 1950, pada areal seluas 1.057 Ha dengan status HGU yang berlaku selama 20 tahun, yakni mulai tahun 1960 sampai 1980, sedangkan PT. Sukamade Baru,
7
Wawancara dengan Bapak DH (73 tahun), mantan Direktur PT. Sukamade Baru Sarongan Pesanggaran
Banyuwangi 8
UU Nomor: 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, disahkan menjadi UU oleh Presiden RI, Ir. Soekarno, pada tanggal 24 September 1960. Pasal 55 ayat (1) Hak-hak asing yang menurut ketentuan konversi Pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak usaha-usaha dan hak guna bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun. Dalam Ketentuan-ketentuian Konversi Pasal III ayat (1) hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya UU ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. 9 UU Nomor: 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria Pasal 28 ayat (1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. 10 Wawancara dengan Bapak DH (73 tahun), mantan Direktur PT. Sukamade Baru Sarongan Pesanggaran Banyuwangi
117
melakukan usaha perkebunan pada areal seluas 1.097 Ha dengan status usaha HGU yang berlaku selama 20 tahun, yakni tahun 1960 – 198011. HGU tersebut merupakan kelanjutan dari atau menghabiskan sisa waktu dari hak erfpacht berdasarkan ketentuan UU No. 5 Tahun 1960, tentang Pokokpokok Agraria Pasal 55 ayat (1) dan Pasal III ayat (1)12. Dengan modal 3 (tiga) kali perpanjangan izin usaha, maka masa pendudukan oleh PT. LDO Jember atas lahan seluas 1.098 Ha di Sukamade Banyuwangi dan lahan seluas 1.057 Ha 13 di Bandealit Jember akan berlangsung hingga 25 tahun kedepan, yakni; 1998 - 2022, dan dapat diperpanjang lagi selama 35 tahun kemudian 14. PT. LDO Jember mendapatkan HGU 15 atas areal dalam kawasan TNMB berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor: 131/Kpts-II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Sukomade Baru yang terletak di TNMB Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi Propinsi Jawa Timur, seluas 1.098 Ha, yang selanjutnya ditetapkan sebagai zona penyangga; Dan SK Menteri Kehutanan Nomor: 132/Kpts-II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Bandealit yang terletak di TNMB Kabupaten Daerah Tingkat II Jember Propinsi Jawa Timur, seluas 1.057 Ha, yang selanjutnya ditetapkan sebagai zona penyangga Taman Nasional, tanggal 23 Pebruari 1998. SK Menteri Kehutanan ini dikeluarkan berdasarkan Surat Persetujuan
Menteri Kehutanan No: 1194/Menhut-II/1997 tanggal 7 Oktober
1997, tentang persetujuan pelepasan kawasan hutan bekas areal Perkbunan PT Sukamade Baru dan bekas areal perkebunan PT Bandealit 16. Kebijakan Menteri Kehutanan yang memperpanjang izin HGU untuk PT LDO, sangat mengkuatirkan dan mengganggu kinerja institusi Balai TNMB; 11 UU Nomor: 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, jangka waktu 20 tahun merupakan masa peralihan dari sisa waktu hak erfpacht (Pasal III) memasuki HGU Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3) 12 Departemen Kehutanan Propinsi Jawa Timur, Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur II. 1995., Buku II Data, Proyeksi dan Analisis Taman Nasional Meru Betiri 1995 – 2020, Proyek Pengembangan TNMB Tahun 1994/1995 13 UU Nomor: 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria Pasal 28 ayat (2), Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih, harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. 14 Ibid.., Pasal 29; (1) Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun (2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun (3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun 15 Ibid. Pasal 31, Hak guna usaha terjadi karena penetapan Pemerintah; Pasal 32 ayat (1) Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. 16 Dephut Propinsi Jawa Timur, Sub BKSDA Jawa Timur II. 1995. Buku II Balai TNMB. Ibid.,-
118
”Perpanjangan izin merupakan preseden buruk bagi perluasan perambahan kawasan TNMB. PT. LDO yang menebang kayu, masyarakat desa-desa penyangga menuduh kita (Balai TNMB). Sejujurnya, eksisitensi PT. LDO tidak ada kontribusi dan tidak in line dengan gerakan konservasi dan perbaikan sosial ekonomi masyarakat desa-desa penyangga. Kalau pun ada, itu tidak signifikan dan tidak ada kaitan langsung dengan Balai TNMB dan masyarakat desa-desa penyangga. PT. LDO berlaku curang, menanam tanaman keras, sama seperti PTPN17. PT. LDO merusak ekosistem hutan cadangan, menimbulkan kecemburuan dan ketidakadilan sosial; Ini menjadi salah satu kendala utama masyarakat desa-desa penyangga memusuhi dan tidak mau mematuhi Balai TNMB untuk menanam tanaman rehabilitasi; eksistensi masyarakat pekerja di Bandealit dan Sukamade juga sangat mengancam keberlanjutan kawasan, mereka telah menggerogoti batas kebun, hingga sekian meter dari garis batas. Terkait dengan eksistensi PT. Bandealit dan PT. Sukamade, kami Balai TNMB telah mengajukan permohonan kepada Dirjend Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), melalui Surat Nomor: 5.552.1/BTNMB.01/2008, untuk meninjau kembali Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 132/Kpts-II/1998, serta izin Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT. Bandealit Jember". 18
Perambahan atau perluasan kawasan secara ilegal oleh kelompok masyarakat pekerja kebun PT. LDO diakui dan dibenarkan oleh warga dusun Bandealit 19 kebun; "Saya tahu dan lihat, beberapa warga Bandealit sudah membuka lahan melewati atau keluar dari patok kebun ≥ 10 m. Saya sendiri punya dua lahan di dua lokasi, 1 ha di garis batas dan ¼ ha masih dalam kebun. Lahan seluas 1 ha sudah saya lepas, karena tidak kuat merawatnya, terlalu banyak hama binatang (Babi hutan dan Banteng). Tetelan lahan warga hanya dapat ditanami pada musim hujan, pada musim kemarau kondisi lahan kering kerontang, sumber air di hutan pun ikut kering” 20.
Narasi di atas menunjukkan, realitas semangat dan idealisme konservasi Balai TNMB harus berhadapan dengan kebijakan pemerintah pusat yang negatif terhadap gerakan konservasi diputuskannya sendiri. Perpanjangan izin HGU untuk PT LDO Jember karena itu adalah sesuatu yang sangat dilematis, baik bagi gerakan konservasi dan rehabilitasi, keadilan sosial ekonomi dan ekologi serta uapaya penegakan hukum (law eforcement).
Skenario
pemerintah yang
berencana mengeluarkan PT. LDO Jember dan para pekerjanya secara bertahap, 17 Berdasakan pengamatan langsung peneliti pada dua kawasan itu, tanaman perkebunan PT. LDO meliputi; karet, kopi, coklat, kelapa, jeruk, durian, sirsak, dan rambutan. Selain itu juga menanam pohon jati, sengon, mahoni, meranti, dan jabon (baru, tingginya masih sekitar 1 meteran). 18 Wawancara dengan Ir. HS (Kepala Balai TNMB) 19 Warga dusun Bandealit menetap secara permanen dan semi permanen dalam beberapa kelompok, yakni Blok dan Magersari. Blok adalah daerah yang berada dalam pantauan dan pengawasan PT. LDO (PT. Bandealit), yakni; Sumbergadung, Sumbersalak Darungan dan Kali Cawang, sedangkan Magersari adalah daerah yang berada dalam pantauan, pengawasan dan pembinaan Balai TNMB, yakni; Kebun pantai dan Lodadi. 20 Wawancara dengan MR alias Pak Sup (53 tahun), tidak tamat SD, asal Kota Blater, masuk ke Bandealit sejak tahun 1965 sebagai pegawai kebun (musiman).
119
sesungguhnya adalah perangkap hukum yang dirancang dan diputuskan secara bersama-sama antara pemerintah dengan PT. LDO Jember, tetapi sesungguhnya yang masuk dalam perangkap hukum dan perangkap sosial ekonomi adalah pemerintah. Protes Balai TNMB sebagai UPT. Departemen Kehutanan di atas terhadap realitas perilaku PT. LDO Jember bagaikan menegakkan benang basah dan tidak mampu merubah keputusan pemerintah. Dalam perpektif politik ekologi, izin HGU 21 sesungguhnya adalah legalisasi pendudukan atas kawasan konservasi 22 yang bersumber dari kemampuan loby politik dan ekonomi para pengusaha (propenant) --meminjam istilah Gorz (2002) 23-- sejak pada tingkat penyusunan substansi, pengesahan dan pemberlakuan UU hingga pada proses pengesahan dan penyerahan izin HGU. Menurut pihak PT. LDO Jember, bahwa perpanjangan izin HGU bukan sematamata karena keuntungan ekonomi bagi PT. LDO Jember, tetapi juga terkait dengan sejarah pengelolaan kawasan dan demi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat pekerja yang jumlahnya ribuan orang. Mereka tidak mungkin diberhentikan (di PHK) secara masal dan tiba-tiba, karena dapat menimbulkan gejolak sosial dan gejolak ekologis 24. Pola hubungan yang telah diuraikan di atas, secara formal Balai TNMB tampak seakan-akan kuat dan berhasil, tetapi pada kenyataannya rapuh. Argumentasi PT. LDO Jember di atas, menunjukkan kemampuannya memainkan situasi, menaklukkan, menimbulkan rasa kuatir dan ketergantungan serta memojokkan posisi pemerintah (Balai TNMB) akan nasib dan masa depan warga masyarakat. Pemerintah dipaksa harus memilih; nasib dan gejolak sosial yang ditimbulkan oleh para pekerja kebun --nasib dan hak hidup warga negara-- adalah lebih penting daripada konservasi dan rehabilitasi kawasan.
21 Izin HGU dapat dikategorikan sebagai hak istimewa. UU No. 5 tahun 1990 tentang Pokok Agraria Pasal 33, Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. 22 UU No: 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam Pasal 50 ayat (3); UU No. 5 Tahun 1990 Tentang KSDAHE, Pasal 31 dan Pasal 33 (3); Sama seperti pada kasus stigma maling kayu, bagi masyarakat yang bertani dan berladang dalam kawasan TNMB adalah pelanggaran hukum (pendudukan), tetapi untuk PT. LDO adalah HGU. Inilah yang oleh Chambliss (1979) bahwa stigma kejahatan dan pelanggaran hukum dan juga pembenaran terhadap suatu perilaku dan tindakan hukum adalah suatu fenomena politik; Quinney (1970) menyatakan kejahatan dan pelanggaran hukum adalah realitas sosial konsepsional dan juga fenomenal, suatu ketentuan mengenai perilaku manusia yang diciptakan oleh elite penguasa dalam dan untuk diterapkan kepada masyarakat melalui instrument kekuasaan (aparat penegak hukum), yang secara politis diorganisir. 23 Gorz. A. (2002). Ekologi dan Krisis Kapitalisme. Insist Press Yogjakarta. 24 Wawancara dengan Bapak DH, mantan Direktur PT. Sukamade Baru 1960 -1977
120
PT. LDO Jember dalam hal ini lihai dan berhasil menerapkan strategi menyandera atau mengantung para pekerja kebun dan anak cucu mereka dalam ketidakpastian masa depan, sebagai tameng untuk menduduki kawasan TNMB secara berkelanjutan. Menyandera pekerja kebun adalah juga berarti menyandera pemerintah untuk terus ragu dalam mengambil keputusan, sekalipun pemerintah memiliki dasar hukum untuk menghentikan dan atau menutup Taman Nasional dari kegiatan usaha pemanfaatan, untuk mempertahankan atau memulihkan kelestarian SDAHE 25. Kemampuan
memainkan situasi
juga dimiliki dan dilakukan oleh
kelompok masyarakat pekerja kebun --dalam ketidaktahuan mereka tentang UU konservasi dan kehutanan. Issu perkebunan dalam kondisi rugi atau hampir bangkrut, upah pekerja yang jauh dibawah UMK, kemiskinan, dan keterbatasan kepemilikan lahan, telah dijadikan argumentasi pembenaran oleh kelompok masyarakat pekerja kebun untuk menduduki lahan kebun PT. LDO hingga melewati batas kebun 26. 5.1.1.5 Pola hubungan PT. LDO Jember (PT. Sukamade dan PT. Bandealit) dengan masyarakat Masa pendudukan kawasan Bandealit Jember dan Sukamade Banyuwangi oleh pihak-pihak yang memiliki atau diberi hak-hak istimewa oleh pemerintah (negara) telah berlangsung sejak tahun 1925 atau ± 85 tahun. PT. Perkebunan Bandealit Jember telah dikelola oleh PT. LDO Jember sejak tahun 1947 atau ± 63 tahun, sementara
PT. Perkebunan Sukamade Baru Banyuwangi baru dikelola
oleh PT. LDO Jember pada tahun 1955 atau ± 55 tahun. Masa pendudukan (HGU) tersebut masih akan terus belangsung hingga tahun 2022 atau ± 12 tahun ke depan. Senyawa kekuasaan hegemonik dan kekuatan modal yang dimiliki oleh kedua pihak, maka HGU untuk PT. LDO Jember dapat dengan mudah dialihkan 25 UU No. 5 tahun 1990 tentang KSDAHE, Pasal 35 bahwa dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan kelestarian SDAHE, pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup TN, Tahura, dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu; PP No. 68 tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alama (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Pasal 55: (1) Dalam keadaan tertentu sangat diperlukan dalam rangka mempertahankan dan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pemerintah dapat menghentikan kegiatan tertentu dan atau menutup kawasan cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya untuk jangka waktu tertentu. (2) Kriteria dan tata cara penghentian kegiatan dan atau penutupan kawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan keputusan menteri. 26 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 68 ayat (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku
121
(dijual) ke pihak lain, 27 dan atau sangat mungkin untuk diperpanjang lagi untuk 25 tahun kemudian. Hak Guna Usaha (HGU) diberikan oleh negara (pemerintah) kepada pihak swasta, berdasarkan UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, untuk mengelola potensi SDA-L merupakan usaha bersama dalam lapangan agraria 28. Prinsip dasar dari usaha bersama itu adalah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan menjamin agar setiap warga negara Indonesia derajat hidupnya sesuai dengan martabat manusia, baik secara individu maupun dalam lingkup keluarganya 29. Lebih dari setengah abad pasca proklamasi kemerdekaan RI, hak-hak istimewa (HGU) diberikan kepada PT. LDO Jember, namun kemakmuran dan derajat hidup rakyat yang sesuai dengan martabat manusia tidak kunjung wujud. Eksistensi PT. LDO Jember --PT. Bandealit dan PT. Sukamade-- samasekali tidak bersentuhan dan tidak ada kaitannya dengan kemakmuran serta peningkatan derajat hidup rakyat -- utamanya bagi para pekerja perkebunan yang menjadi tanggungan langsung PT. LDO Jember, belum termasuk masyarakat desa-desa penyangga yang diluar tanggungan langsung-- baik dari aspek sosial budaya, ekonomi dan aspek ekologi. PT. LDO Jember justeru semakin mempertajam kecemburuan dan ketidak-adilan sosial 30. Minimnya kontribusi sosial budaya, ekonomi dan ekologi PT. LDO Jember terhadap masyarakat sekitarnya, diakui oleh semua tokoh masyarakat dan aparat desa-desa penyangga. Sekian puluh tahun PT. LDO Jember telah menggarap ribuan hektar lahan dalam kawasan TNMB, tetapi kontribusi nyata ke desa tidak ada. Kalaupun ada, paling banter (maksimal) sumbangan untuk Hari Besar Nasional dan surat izin serta pajak angkut truk PT. LDO saja; Kontribusi nyata yang lahir dari sebuah kesadaran sosial, ekonomi dan ekologi bahwa PT. LDO Jember sekian puluh tahun telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari dinamika sosial budaya, ekonomi, dan desa-desa penyangga tidak pernah ada. 31
27 UU Nomor: 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Pasal 28 ayat (3) Hak guna usaha dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain 28 Ibid. Pasal 12 ayat (2) Negara dapat bersama-sama pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria. 29 Ibid. Pasal 13 ayat (1) 30 Wawancara dengan Ir. HS (Kepala Balai TNMB) 31 Wawancara dengan tokoh masyarakat dan aparat di 8 desa penyangga menyatakan hal yang sama
122
Kontribusi lainnya adalah penduduk kita diserap sebagai tenaga kerja, atau paling banter orang-orang dari Sukamade turun belanja ke Sarongan, orang Bandealit turun belanja ke Andongrejo dan Curahnongko atau Ambulu. Ini sangat kecillah, atau mungkin ada pihak tertentu yang diuntungkan, kita tidak tahu. Sekarang saatnya pemerintah harus segera mengambil keputusan, keluarkan PT. LDO dari kawasan Sukamade dan Bandealit. Jika tidak, ini akan memicu masyarakat untuk memperluas pendudukan atas kawasan TNMB, karena penduduk desa terus bertambah, sementara masyarakat di Sarongan dan Kandangan, rata-rata hidupnya numpang karang di lahan milik TNI AD. Hal yang sama juga terjadi di Andongrejo, Curahnongko, Curahtakir dan Sanenrejo 32. Penilaian yang sama atas minimnya (tidak adanya) kontribusi sosial budaya, ekonomi dan ekologi PT. LDO Jember dalam pengembangan TNMB dan masyarakat desa-desa penyangga, juga datang dari kelompok LSM-L Jember; ”Pemerintah harus segera mengeluarkan PT. LDO Jember dari TNMB, mereka jangan bersembunyi terus pada ketiak sejarah, masyarakat desa-desa penyangga juga punya sejarah sendiri, mereka terlalu dimanja oleh negara, sehingga menjadi parasit yang merusak ekosistem TNMB. PT. LDO tidak ada kontribusinya pada masyarakat desa penyangga, mereka pekerjanya hanya mbodohin buruh dengan upah jauh di bawah upah minimum kabupaten (UMK) Jember (Rp. 770.000,-). Coba, bisakah dia dan keluarganya (pemilik PT. LDO) hidup dengan hanya ± Rp. 2.600 per hari dari upah maksimal ± Rp. 78.000 per bulan 33? Pemerintah jangan bermain pura-pura tidak tahu terus, TNMB sekarang dalam bahaya besar, itu memancing kecemburuan masyarakat desa penyangga yang akan memperparah kerusakan TNMB”. 34
Mengamati perilaku dan reaksi tokoh masyarakat dan aparat 8 desa penyangga dan kelompok LASM-L tersebut, pakar menyatakan, bahwa keberadaan PT. Bandealit dan PT. Sukomade, dari aspek hukum memang legal, tetapi aspek hukum, sosial budaya, ekonomi dan ekologi yang sedang terjadi harus diperhatikan secara cermat, ini harus ditinjau kembali dan segera dibatalkan 35. Sumber masalahnya adalah politik zonasi kawasan --zona pemanfaatan khusus--
32
36
yang kewenangannya ada di pemerintah.
Ibid. Lihat tabel 31: Upah pekerja perkebunan berdasarkan jenis pekerjaan 34 Wawancara dengan AD (Direktur LSM HAMIM Jember), AS (Direktur Alam Hijau Jember) , dan SY (Direktur Gerakan Pemberdayaan Perempuan: GPP Jember) 35 Prof. Dr. Hary Yuswadi, MA. adalah Profesor Sosiologi Pembangunan, Tim Ahli pada Program Social Forestry TNMB tahun 2002-2004, dan saat ini sebagai Dekan FISIPOL Universitas Jember 36 UU No. 5/1990 Pasal 32, Kawasan TN dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Substansi dari Pasal ini memberi ruang dan peluang yang besar 33
123
Kewenangan dan dominasi tafsir zonasi ini besar dan kuat, sehingga pemerintah dapat melakukan tindakan pengebirian peraturan perundang-undangan untuk pembenaran eksploitasi kawasan oleh pihak tertentu (PT LDO) atas dasar lobi-lobi politik. Artinya, konsep zonasi harus dipertegas dan diperjelas, sehingga tidak memberi ruang multi-tafsir berdasarkan keperluan jangka pendek para aktor pembuat dan pemesan keputusan keputusan. Pembiaran dominasi tafsir pengelolaan SDA-L, kecuali tidak menjunjung tinggi prinsip keadilan distribusi SDA-L terhadap masyarakat desa-desa penyangga, juga menjadi ancaman serius dan faktor pendorong masyarakat untuk terus memperkuat konsolidasi pendudukan kawasan TNMB. Berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di banyak negara berkembang itu, maka KTT pembangunan berkelanjutan yang menghasilkan Deklarasi Johanesburg Afrika Selatan tahun 2002 telah menetapkan bahwa dalam melaksanakan kegiatannya, sektor swasta, baik perusahaan besar maupun kecil, berkewajiban memberikan kontribusi pada pengembangan komunitas dan masyarakat yang berkelanjutan dan berkeadilan (Deplu 2002). Kewajiban dan kesadaran akan hal itu sesungguhnya lebih awal telah diamanatkan oleh UU No. 41/1999 Pasal 30 bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat. 5.1.1.6 Pola hubungan masyarakat dengan LSM: Kasus Desa Wonoasri Pola hubungan antara LSM-L dengan masyarakat akan dilihat dan dianalisis berdasarkan sejumlah kerja-sama yang dilakukan oleh kedua pihak. Bentuk kerja-sama LSM-L dengan masyarakat desa-desa penyangga secara umum adalah pendampingan penguatan kelembagaan rehabilitasi/konservasi. Kerja-sama yang telah, sedang dan direncanakan akan dilaksanakan oleh masing-masing LSM-L terlaksana secara tidak merata dan temporal dengan analisis situasi dan analisis kebutuhan yang tidak cukup memadai, sehingga; 1. pencapaian tujuan
kepada pemerintah untuk mengeluarkan keputusan tentang zona-zona tertentu sesuai keperluan pembuat dan pemesan keputusan.
124
pendampingan tidak maksimal, 2. khalayak sasaran kurang (tidak) tepat, dan 3. eksistensinya tidak diketahui masyarakat. Pola pendampingan oleh LSM-L dalam rangka rehabilitasi TNMB, seperti tertera dalam Gambar 9 di bawah ini. Tujuan pendampingan LSM-L adalah membangun kapasitas kelembagaan rehabilitasi dan konservasi berbasis masyarakat. Keberhasilan dalam membangun kapasitas kelembagaan rehabilitasi dan konservasi akan dapat terwujud jika berbasis atau disinergikan dengan penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat. Dalam upaya ini, semua LSM-L yang mendampingi masyarakat di desa-desa
penyangga
TNMB
belum
mampu
bekerja
maksimal
untuk
mengkonsolidasi dan mensinergikan semua kepentingan sosial, ekonomi dan ekologi; ”LSM-L cukup membantu kami dalam mempererat hubungan persaudaraan antar petani rehabilitasi --dalam satu desa, belum antar desa dan atau antara dua kabupaten Jember dan Banyuwangi. LSM-L telah memberikan pemahaman tentang pentingnya kelembagaan rehabilitasi dan konservasi, tetapi kalau untuk upaya perbaikan ekonomi masyarakat baru wacana, belum ada aksi nyata dan lingkungan TN masih gundul” 37.
Manfaat kehadiran dan pendampingan LSM-L itu, tidak dirasakan oleh semua atau mayoritas warga dan kelompok masyarakat, tetapi baru dirasakan secara terbatas oleh beberapa aktor inti dari warga atau kelompok masyarakat yang menduduki lahan tetelan TNMB, terutama para pengurus inti Organisasi Petani Rehabilitasi (OPR). Bagi para pengurus inti OPR di Jember, interaksi dan intensitas pertemuan dengan LSM-L ketika pelaksanaan proyek rehabilitasi termasuk sangat tinggi, yakni; 3 - 4 kali sebulan. Selepas proyek rehabilitasi, pertemuan terus menurun, bahkan hanya bersifat pertemuan pribadi pengurus OPR dengan LSM-L. Sekalipun pertemuan itu hanya bersifat pribadi untuk menyambung tali silaturrahmi, substansi pertemuannya masih membicarakan halhal yang berkaitan dengan rehabilitasi/konservasi TNMB dan masa depan mereka di kawasan itu 38. Pola pendampingan yang dilakukan bersifat top down (Gambar 9), yang memposisikan kelompok masyarakat OPR sebagai pihak yang harus diajari tentang hal-hal yang berkaitan dengan rehabilitasi
37
Wawancara dengan para pengurus OPR Sanenrejo dan Curahtakir, Andongrejo, Curahnongko, Wonoasri dan pengamatan lapangan 38 Wawancara FGD dengan para pengurus OPR Sanenrejo dan Curahtakir, Andongrejo, Curahnongko, Wonoasri
125
Koordinasi dan komunikasi
Komunikasi dan informasi
LSM KAIL
Balai TNMB
Balai TNMB
Lahan
Masyarakat
LSM HAMIM
Pendampingan Lahan
Pendampingan
Masyarakat
Gambar 13 Perbandingan pola hubungan antara Balai TNMB dengan LSM-L dan masyarakat setempat (Balai TNMB 2004; Wawancara 2009) Pendampingan yang sama tidak terjadi atau tidak dilakukan di Sarongan dan Kandangan Pesanggaran Banyuwangi. Selama pelaksanaan rehabilitasi lahan TNMB, tidak ada satu pun LSM-L yang mendampingi kami (OPR), kami hanya dipantau, diawasi dan dibimbing langsung oleh petugas PHPA 39. Sementara LSM HAMIM Jember mengklaim telah melakukan pendampingan masyarakat di Sarongan dan Kandangan yang ditujukan kepada sekitar 300 orang Ta’mir Masjid dan Mushalla 40, bukan ditujukan kepada kelompok OPR yang menduduki lahan TNMB. Klaim tersebut menunjukan kegiatan pendampingan yang salah sasaran dan tidak jeli membaca situasi dari LSM-L HAMIM 41. Ini menjadi masalah lain dari banyak faktor kegagalan pengelola TNMB dalam mempercepat proses rehabilitasi kawasan yang masih diduduki oleh masyarakat desa-desa penyangga. Kerja-sama pendampingan yang dilakukan oleh LSM-L, karena dilakukan secara temporal, sporadis dan berdasarkan analisis situasi dan analisis kebutuhan yang tidak jeli dan terburu-buru, maka proses penyadaran (konsientisasi; transformasi sosioekologi) dan sosialisasi yang dilakukan oleh LSM-L tidak mampu menjangkau seluruh segmen masyarakat yang mengokupasi lahan tetelan 39
Wawancara FGD dengan para pengurus OPR Sarongan dan Kandangan Wawancara dengan Direktur Hamim Jember, AD.. Terakhir menurut pengakuan HAMIM, telah turun menjadi sekitar 80-an orang. 41 Sarongan, Kandangan, dan Rajekwesi adalah miniatur Indonesia, semua agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha ada di sini, mereka hidup berdampingan dengan damai dan toleransi tingkat tinggi. Para pelaku pendudukan lahan TNMB tidak hanya terbatas pada yang memeluk agama Islam, tetapi juga dilakukan oleh pemeluk (bahkan tokoh) agama selain Islam. Aksi dan pendekatan yang dilakukan oleh LSM HAMIM secara tidak langsung, disatu sisi, sama dengan menuduh kelompok Islam (ta’mir masjid dan mushalla) sebagai pelaku tunggal pendudukan lahan TNMB dalam komunitas desa yang beragama heterogen, atau sebaliknya pada sisi lain, itu dapat memicu kecemburuan antar pemeluk agama, karena kelompok Islam lebih diperhatikan dibandingkan dengan kelompok agama lain dalam pelaksanaan rehabilitasi dan konservasi. 40
126
TNMB. Sudah menjadi fenomena umum dari seluruh aksi pendampingan LSM, ketika LSM tidak mampu lagi menjangkau seluruh segmen masyarakat, maka klaim bahwa LSM-L telah membangun jaringan sosial dengan para tokoh desa dan dusun, itu sudah dianggap mencukupi bahwa LSM-L itu telah secara pasti mampu mengendalikan seluruh perasaan, harapan, keinginan, dan kebutuhan tokoh dan warga masyarakatnya. Jaringan sosial dengan para tokoh juga di anggap sebagai mencukupi dan menjadi jalan keluar untuk melegalisasi aksi pendampingan, tidak hanya pada persoalan rehabilitasi dan konservasi kawasan TNMB, tetapi juga telah menjangkau pendampingan pada masalah politik praktis, dengan menyeret masuk dan menjadikan SDA-L dan masyarakat sebagai objek dan barang mainan serta basis gerakan politiknya 42. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh LSM-L X tidak saja mereduksi makna jaringan sosial tokoh dan kehendak masyarakat, tetapi juga LSM-L X telah melakukan politicking TNMB dan warga masyarakat yang numpang karang dalam kawasan TNMB. Selain klaim jaringan sosial seperti di atas, LSM-L Y juga mengklaim prestasi yang berhasil dicapai oleh OPR desa Wonoasri sebagai keberhasilannya dalam membangun dan menyadarkan masyarakat. Akibatnya, LSM-L Y diusir oleh OPR desa Wonoasri karena mengklaim dan memamerkan hasil kerja OPR desa Wonoasri sebagai hasil dari binaannya pada kegiatan pameran kerajinan binaan LSM se-Indonesia di Yogjakarta tanpa sepengetahuan dan izin dari OPR Wonoasri43; “Kami masyarakat desa Wonoasri --termasuk desa penyangga TNMB lainnya-pada dasarnya sangat membutuhkan pendampingan dari LSM, tetapi kami tidak ingin ada klaim bahwa kami mau merubah diri kami karena semata-mata faktor intervensi LSM-L. Semangat untuk berubah sudah kami miliki, yang kami tidak punya adalah ilmu untuk merubah diri, disini kami butuh tambahan ilmu dari teman-teman LSM. LSM-L Y menurut kami bagus dalam hal penguatan
42
Anggapan atau perasaan bahwa kelompok masyarakat yang menduduki lahan rehabilitasi TNMB sebagai berada dalam kendali LSM-L, ini kemudian diklaim sebagai jaringan sosial mereka yang massif yang layak dijual dan diuangkan ke jaringan Tim Sukses Pemilihan Gubernur Jatim Putaran ke Dua, akhir tahun 2008 dan ke Caleg DPRRI/DPRD/DPD. Laporan yang masuk ke Panwaslu Kabupaten Jember (2008), ke kedua Tim Sukses Pilgub Putaran ke dua, dan Tim Sukses Pemilu Legislatif (2009), LSM-L yang mengaku memiliki jaringan sosial pada tingkat grassroot di desadesa penyangga di Jember itu, mengklaim memiliki basis massa antara 10.000 hingga 15.000 suara petani rehabilitasi TNMB. LSM-L itu menyatakan sanggup mengarahkan suara mereka ke salah satu kandidat Gubernur Jatim dan Calon Legislatif tertentu dengan sejumlah syarat politis. Realitas ini memperkuat dugaan analis sosial (point 5.1.1.2), bahwa untuk saat ini semakin sulit mencari LSM-L yang betul-betul idealis dan fokus pada apa yang menjadi orientasi dasar dari kehadiran LSM dalam pengembangan masyarakat dan perbaikan lingkungan. Dengan kekuatan dan personel yang sangat terbatas, mereka secara terbuka berani menjual masyarakat untuk kepentingan individu-individu aktivis LSM-L, tanpa sepengetahuan masyarakat yang diklaim untuk dijual. 43 OPR desa Wonoasri, sekalipun belum maksimal, merupakan OPR terbaik dan relatif berhasil melaksanakan program rehabilitasi seperti yang dikehendaki Balai TNMB.
127
kelembagaan masyarakat dan administrasi, tanpa bantuan LSM-L Y administrasi kami (OPR) kacau”. 44
Eksistensi LSM masih kuat, namun pendekatan pendampingan LSM-L seperti di atas masih dipengaruhi model dan strategi pembangunan lama, yang menempatkan tokoh sebagai faktor kunci yang berpengaruh terhadap proses akselerasi perubahan dan perbaikan cara perpikir dan berperilaku masyarakat. Dulu,
tokoh
masyarakat
memang
memiliki
pengaruh
langsung
pada
pengembangan dan gerakan masyarakat, tetapi sekarang masyarakat memiliki pikiran sendiri untuk menentukan cara merespon dan
berperilaku terhadap
inovasi pembangunan dan promosi politik yang masuk ke desa mereka 45, termasuk dalam kasus rehabilitasi dan konservasi SDA-L TNMB. Kehadiran LSM-L dalam pelaksanaan rehabilitasi dan konservasi TNMB telah bergeser dari ide dasar kehadiran LSM era 1980-an yang memposisikan diri sebagai kelompok intelektual organik yang selalu membela kepentingan masyarakat marginal. Ketika aktivitas rehabilitasi dan konservasi TNMB relatif menurun, LSM-L --terpaksa atau terseret arus-- bahkan telah melakukan kapitalisasi institusi LSM-L dalam ranah politik praktis dan pencitraan diri sebagai kelompok yang berjasa dalam membangun kesadaran masyarakat, dengan menjadikan masyarakat dan SDA-L sebagai komoditas politik utama. Secara administratif, hampir semua nama warga masyarakat yang menduduki lahan tercatat dalam MoU dan beberapa buku laporan TNMB, namun ± 45% – 50% dari warga yang menggarap lahan TNMB masih berada di luar jaringan konsolidasi OPR dan tidak mampu dikonsolidasi
oleh LSM-L dan
TNMB secara total; ”Kami mulai masuk menggarap lahan tetelan ini antara tahun 2000-2007, langsung mengambil sendiri, diberi oleh saudara atau membeli dari teman atau tetangga yang lagi butuh uang karena anaknya sakit atau uang sekolah; kami pernah mendengar (samar-samar) nama beberapa LSM; LATIN, HAMIM, KAIL dan CIWALI, tetapi kami tidak pernah berhubungan langsung, tidak pernah berkumpul dengan dan tidak tahu apa yang dikerjakan oleh LSM- LSM tersebut” 46. 44
Wawancara FGD dengan OPR Wonoasri dan OPR 6 desa penyangga TNMB. Wawancara dengan Direktur LSM Jembar. LSM Jember telah melakukan sejumlah aksi pemberdayaan masyarakat desa dan kota di Jember, bekerja-sama dengan ILO, Unicef dan Pemkab Jember. 46 Wawancara snowboll dengan para petani pemilik atau pengarap lahan tetelan dalam kawasan TNMB di Sanenrejo dan Curahtakir, Andongrejo, Curahnongko, dan Sarongan (Rajekwesi) yang berada diluar kendali LSM-L dan OPR, tetapi LSM-L mengganggap atau merasa mereka berada dalam kendalinya. 45
128
Statement para petani di atas menunjukkan bahwa klaim dan hubungan emosional --anggapan dan perasaan-- LSM-L tidak bersambungan (unconnected) dengan apa yang dipikirkan, diharapkan, dibutuhkan dan dilakukan oleh masyarakat. Pola hubungan LSM-L dengan masyarakat dalam kasus ini adalah pola hubungan pemberdayaan (idealis-ekologis) yang bergeser menjadi pola hubungan eksploitatif (politis pragmatis). Pergeseran ini terjadi karena pengaruh beberapa faktor, seperti; 1. Kerja-sama yang dilakukan dengan institusi pemerintah (TNMB) sifatnya temporal, sementara aktivis LSM harus terus bergerak dalam ruang dan waktu yang tidak boleh kosong. Akibatnya, semangat dan idealisme aktivis LSM-L yang sangat tinggi untuk melakukan rehabilitasi dan konservasi, tidak linier dengan kapasitas kelembagaan dan dukungan finansial internal LSM-L lokal yang minimalis. Sementara bantuan dana pendampingan dari LSM nasional atau luar negeri bagi LSM-L lokal sangat sulit didapatkan. Di kalangan aktivis LSM, terdapat anggapan bahwa dana proyek pemberdayaan masyarakat, ibarat hujan sehari tetapi kemaraunya setahun. Artinya, aktivis LSM-L lokal harus terus berpikir dan bergerak membangun jaringan kerja sama, agar kerja pendampingan masyarakat berkelanjutan; 2. LSM-L melakukan uji coba atau pembuktian terhadap jaringan sosial yang telah mereka bangun. Uji coba ini mirip perjudian politik, artinya jika berhasil, dalam pikiran aktivis LSM-L, mereka akan mendapatkan baraqah politik dari kandidat yang mereka usung, jika tidak berhasil mereka akan tiarap atau mencari jaringan baru untuk merapat ke kuatan politik mayoritas, guna meraup dana pemberdayaan masyarakat di pemerintah provinsi dan kabupaten 47. Sementara SDA-L dan masyarakat yang dipertaruhkan dalam perjudian politik dan pencitraan diri LSM-L akan tetap menjadi objek dan mainan politik yang berkelanjutan. Jika pun SDA-L harus direhabilitasi dan hak masyarakat harus diterimakan dari hasil perjudian politik, itu paling maksimal sebatas tetesan seperti yang dikehendaki oleh teori trickledown effect; 47 Kasus Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) di Propinsi Jatim yang dikucurkan ke LSM-LSM tingkat kabupaten dapat diperoleh dengan mudah jika memiliki jaringan dan aliansi yang kuat dan luas dengan broker politik (akademisi, politisi dan birokrat) di tingkat provinsi dan kabupaten. Kasus P2SEM saat ini lebih dari 50% kasus di Jatim sudah pada tahap P21, dengan tersangka utama mantan Ketua DPRD Propinsi Jatim dan beberapa pejabat Pemrov Jatim. Baraqah politik yang berisiko hukum itu ingin dicoba dinikmati oleh banyak LSM lokal, termasuk LSM-L dalam kasus penelitian ini.
129
3. Masalah pengelolaan SDA-L tidak mungkin disterilkan dari masalah politik. Terlepas dari point satu dan dua, maka LSM-L tidak mungkin membiarkan setiap moment proses politik --pengelolaan SDA-L-- berjalan tanpa pengawalan atau memberi chek kosong kepada para politisi. Bagi aktivis LSML Jember, SDA-L di Jember dan di Banyuwangi, pasca Pilgub dan Pilbub, secara kasat mata telah dijadikan sebagai alat transaksi politik 48 yang tidak mungkin ditolak oleh birokrasi lokal, seperti pada kasus Banyuwangi. Pilbub (pemilihan Bupati) Banyuwangi high cost, berdampak negatif terhadap keberadaan SDA-L. Pasca Pilbub, Banyuwangi lansung dijual --(Tambang Emas Tumpang Pitu)-- untuk menutupi hutang kampanye; Nanti ganti Bupati, ganti lagi yang jual, sui-sui (lam-lama) Banyuwngi la’ enthek (habis) dijual. Urusan jual menjual terus terang BLH Bayuwangi tidak diajak musyauwarah, jadi no coment. Tumpang Pitu nanti pasti diterowong sampai ke TNMB, masa kita tahu mas...?” 49. Realitas kebijakan semacam itu tidak mungkin diabaikan oleh para aktivis LSM-L, sehingga mereka masuk dalam ranah politik praktis, dengan mempertaruhkan SDA-L dan masyarakat yang mereka dampingi. 5. 2 Kondisi Faktual dan Ramifikasi; Kondisi faktual dan ramifikasi adalah beragam kondisi dan konsekuensi sosial budaya, ekonomi dan ekologi yang tidak pernah berhenti mengancam eksistensi kawasan TNMB sebagai kawasan konservasi. Dua ancaman terberat yang sedang dihadapi dan dialami oleh Balai TNMB, yakni; 1. Ancaman investor perkebunan PT. LDO Jember dan pertambangan (dibahas pada point 5.2.1.2 Akses Pertambangan), dan. 2. Ancaman lapar lahan dari masyarakat 12 (dua belas) desa penyangga yang populasinya setiap tahun terus bertambah (di bahas pada point 5.2.1.3 Gus Dur : Spirit Akses Pendudukan Lahan). Reformasi kebijakan kehutanan dan MoU legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi antara Balai TNMB 48 Wawancara dengan aktivis GNKL NU Jember, GPP Jember dan Alam Hijau. Ketiganya menunjuk kasus tambang emas Tumpang Pitu Banyuwangi yang dengan mudah disetujui oleh Bupati Banyuwangi (Ratna Lestari). Hal yang sama juga dilakukan oleh Bupati Jember (MZA Djalal), yang mengeluarkan izin tambang mangan (menuju tambang emas, yang pernah ditolak oleh masyarakat pada tahun 1999/2000) di kawasan perbatasan hutan lindung Babansilosanen dan TNMB. Kebijakan kedua Bupati tersebut adalah perwujudan balas budi politik kepada bandar judi politik (sponsor) Pilbub, atau upaya lain dari Bupati terpilih untuk mempercepat terkumpulnya biaya kampanye yang telah dikeluarkan, atau mengumpulkan dana kampanye untuk incambent tetapi dengan argumentasi untuk menaikkan PAD dan memperluas lapangan kerja. 49 Wawancara dengan Kepala BLH Kabupaten Banyuwangi
130
dengan masyarakat desa penyangga yang tergabung (didomestikasi) dalam OPR belum memberi implikasi positif dan signifikan terhadap upaya rehabilitasi TNMB. Kebijakan tersebut, secara faktual masih menimbulkan resistensi dan konsekuensi politik yang akan terus mendegradasi kualitas dan eksistensi TNMB pada masa-masa mendatang. Okupasi lahan berawal dari penjarahan skala besar terhadap TNMB dalam rentang waktu tahun 1997 - 2000, yang berlansung dalam 3 (tiga) episode, yakni; 1. Penjarahan sistematis ”kerja-sama” antara oknum aparat TNI/POLRI, Petugas Jagawana dan Borek (pengepul kayu) pada tahun 1997/1998 – 1999, yang membawa tenaga dari luar desa penyangga TN Meru Betiri (Hamim dan P3PK UGM, 1999) 50, 2. Penjarahan tonggak jati dan sunten jati (tunas jati usia 1- 2 tahun yang tumbuh dari tonggak sisa tebangan penjarahan) sisa penjarahan tahun 1997/1998-1999, dan 3. Okupasi lahan dengan cara mencuil atau mengiris lahan (netel atau mbabatan) oleh masyarakat desa sekitarnya pada tahun 2000/2001 hingga 2009.
Dari 3 (tiga) episode beruntun tersebut, berdampak pada gundulnya zona penyangga seluas lebih dari 4.023 ha, yang terdapat di Seksi Konservasi Wilayah II Ambulu. Lahan tersebut sebelum dijarah dan diduduki, merupakan areal tegakan jati yang ditanam pada tahun 1960-an. Luas tersebut belum termasuk di Wilayah Timur (Kabupaten Banyuwangi). Dari ketiga kasus tersebut, maka Pemerintah melalui Menteri Kehutanan RI memerintahkan Balai TNMB untuk melakukan percepatan rehabilitasi kawasan penyangga TNMB. Perintah tersebut, pada tahun 2000-2004 bukan hal yang mudah dilakukan oleh Balai TNMB, karena masyarakat masuk menduduki lahan TNMB dan Perhutani di Jember dan Banyuwangi berdasarkan
“perintah” statement politik Gus Dur 51. Di depan
peserta Konferensi Nasional Sumberdaya Alam (SDA), Gus Dur menghendaki agar sejumlah kawasan, termasuk kawasan perkebunan dan hutan yang masih bermasalah akan diland-reform dan diserahkan kemasyarakat. 52 50 HAMIM Jember dan P3PK UGM. 1999. Laporan Kemajuan Studi Persepsi Masyarakat Desa Penyangga TNMB, Kerjasama LSM HAMIM Jember dan P3PK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 51 Wawancara dengan para aktor pendudukan lahan (OPR). Benar ataupun salah, dalam kasus ini masyarakat desa-desa penyangga bermain safe dan cerdas, dengan menjadikan statement politik Gus Dur sebagai topeng pembenaran aksi atau gerilya pendudukan lahan zona rehabilitasi TNMB. 52 Dalam Konferensi Nasional SDA, pada hari Selasa, 23 Mei 2000, jam 10.00 WIB di Hotel Indonesia Jakarta, Gus Dur selaku Presiden RI, menyampaikan 5 (lima) point penting, yakni; 1. Peran Negara (pemerintah) dalam pengelolaan tanah dan SDA akan dikurangi seminimal mungkin. Bahkan pada saatnya, pemerintah hanya akan berperan sebagai pengawas bagi pengelolaan sumber-sumber agraria yang dijalankan oleh masyarakat dan atau pengusaha; 2. Menyoroti fenomena soal maraknya “penjarahan” tanah perkebunan oleh masyarakat, Gus Dur menyatakan bahwa tidak tepat jika rakyat dituduh menjarah, karena, sebenarnya pihak perkebunanlah yang nyolong tanah rakyat. Ngambil tanah koq “gak bilang-bilang” ; 3. Sebaiknya, 40% lahan dari perkebunan dibagikan kepada petani penggarap yang membutuhkan. Bahkan kalau mau, saham perkebunan itu juga bisa dimiliki oleh masyarakat;
131
Berbagai upaya dan model pendekatan dilakukan oleh Balai TNMB agar masyarakat mau keluar dari zona rehabilitasi, dan atau mau berdamai dan dikonsolidasi (didomestikasi), namun hasilnya tidak ada yang
maksimal dan
gagal mengeluarkan para aktor pendudukan dari lahan tetelan yang mereka duduki. Sebagai satu-satunya pintu masuk untuk mengkonsolidasi para aktor pendudukan lahan, maka Balai TNMB membuat keputusan melegalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi dengan pola distribusi lahan secara adil dan merata, terutama kepada warga masyarakat yang sama sekali tidak memiliki lahan untuk bertani dan berladang. 53 Keputusan itu tidak semata-mata untuk memenuhi kehendak UU No. 41/1999 Pasal 3, yakni menjamin distribusi manfaat lingkungan, tetapi karena masalah social emergency atas fakta sosial politik yang dihadapi ketika itu. Legalisasi distribusi atau pendudukan lahan secara gratis telah berlangsung selama ± 10 (sepuluh) tahun. Selama kurun waktu tersebut, lahan dapat dan telah dimanfaatkan sebagai lahan bertani dan berladang musiman sambil merehabilitasi kawasan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Balai TNMB. MoU kemitraan yang disyahkan pada bulan Agustus 2003 dan sudah berakhir bulan Agustus 2008, telah, sedang dan akan terus menimbulkan ramifikasi kondisi dan konsekuensi, tidak hanya bagi pihak Balai TNMB, tetapi juga bagi masyarakat desa-desa penyangga. Kerja-sama kemitraan rehabilitasi dimaksudkan untuk merekonstruksi cara pandang (paradigma) dan kelembagaan masyarakat desa-desa penyangga dalam berinteraksi dan re-positioning eksistensi TNMB, meningkatkan pendapatan 4. Dalam hal operasi bisnis (usaha) yang berhubungan dengan tanah, menurut Gus Dur sebaiknya selalu melalui proses musyawarah untuk mufakat antara badan hukum yang ingin mengelola (berbisnis) dengan masyarakat yang sebelumnya telah memiliki atau menguasai sumber-sumber agraria tersebut. Dalam pandangan Gus Dur, mengutamakan prinsip musyawarah untuk mufakat adalah lebih penting dibanding sebatas legalitas formal atas perusahaan tersebut; 5. Pada kesempatan itu, Gus Dur menghimbau, jika selama ini Negara menjadi kaya karena menguasai dan mengelola tanah dan sumberdaya alam, maka untuk ke depan sebaiknya rakyat juga menikmati hal yang sama. Kata Gus Dur: ”Kalau kita kaya harus bareng-bareng, dan kalau miskin pun harus bareng-bareng, gitu saja koq repot” (Kompas, 24 Juni 2000; Republika, 24 Juni 2000, dalam Hafid, Jos. 2001. Perlawan Petani, Kasus Tanah Jenggawah. Pustaka Latin. Bogor) 53 Sebelum adanya kesepakatan kerja-sama (MoU) legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi, luas tetelan per orang yang menduduki lahan bervariasi, dari 1 Ha hingga lebih dari 5 Ha, tergantung kemampuan mereka dalam menggarap lahan, pada masa awal masuk tahun 2000-2001. Setelah adanya MoU kerja-sama, kawasan yang ditetel dibagi rata 0,25 Ha per KK. Distribusi lahan berdasarkan kebijakan Balai TNMB diutamakan kepada yang tidak memiliki lahan. Namun, pada tingkat aktor yang berpengaruh, umumnya mendapatkan lahan yang lebih luas (2 Ha -5 Ha) dengan memakai nama anak, keluarga dekat, dan jaringan sosial (klik) terdekatnya. Sekalipun luas garapannya diatas kertas (administrasi Balai TNMB) berkurang, aktor utama masih mendapatkan penghormatan dari anak, keluarga dan klik yang menerima pemberian, hingga tambahan prosentase dari hasil panen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagi para aktor (petani tetelan), perbedaan luas lahan garapan yang diperoleh, tidak menimbulkan konflik antar anggota dan atau antar kelompok OPR, ataupun dengan pihak di luar OPR.
132
sosial ekonomi masyarakat, sekaligus melakukan percepatan rehabilitasi zona penyangga (ekologi)
yang mengalami deforestrasi pasca penjarahan akibat
instabilitas politik nasional yang merembes hingga ke daerah-daerah. Waktu 10 (sepuluh) tahun adalah waktu yang relatif mencukupi untuk melihat suatu perubahan sosial budaya, ekonomi dan ekologi yang terjadi dalam masyarakat, sebagai konsekuensi atau dampak dari implementasi kebijakan suatu lembaga pemerintah. Dalam konteks pengelolaan TNMB, ada empat point penting yang terjadi secara kausalitas dan dinamis, untuk menilai efektifitas implementasi kebijakan Balai TNMB, yakni konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada; (1) Aspek sosial budaya, (2) Aspek sosial ekonomi masyarakat, (3) Aspek ekologi dan (4) Kondisi faktual; dilema konservasi klasik versus konservasi populis. 5.2.1 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek sosial budaya Masyarakat desa yang tinggal di kawasan penyangga TNMB terdiri dari masyarakat etnis Jawa dan etnis Madura. 54 Di desa Sarongan dan Kandangan Pesanggaran Banyuwangi, masyarakatnya terdiri dari mayoritas Jawa Mataraman, campuran Jawa Osing, dan sedikit etnis Madura. Sedangkan di desa-desa penyangga TNMB di Jember, mayoritas penduduknya adalah etnis Madura, sementara desa Wonoasri, termasuk berbudaya pendalungan (campuran Jawa dan Madura). Kecuali faktor etnis, masyarakat desa-desa penyangga TNMB memiliki tingkat ketaatan yang tinggi pada tokoh non formal, pada nilai dan ideologi tokoh, sehingga kabupaten Jember dan Banyuwangi, secara geopolitik Jawa Timur, oleh pemerintah rezim Orde Baru dipetakan dalam wilayah Tapal Kuda. Faktor-faktor tersebut telah membentuk sikap dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan eksistensi kawasan TNMB dan para aparatnya, demikian juga sebaliknya. 54
Orang Madura (Sumenep) mulai melakukan ekspansi tradisional ke Jawa dengan menaiki rakit bambu (gitek: Madura) melalui Panarukan, terus bermukim di Panarukan, dan menyebar dengan berjalan kaki selama 1 (satu) hari ke Besuki, Bondowoso dan Situbondo, sekitar tahun 1770-an atau lebih awal dari itu. Pada tahun 1779 orang Madura sudah sampai di Jember Utara --(Sekarang: sekitar kecamatan Jelbuk dan Arjasa) -- dan pada tahun 1819, Ki Bihat dari Madura Sumenep sudah mulai membuka hutan belantara di Jember Selatan –Jenggawah dan Cangkring. Ketika masuk ke daerah tersebut, Ki Bihat bertemu dengan Ki Ragil dari Babat Bojonegoro, yang telah membuka hutan lebih dulu dari Ki Bihat. Kecamatan Jenggawah berbatasan langsung dengan kecamatan Tempurejo, tempat TNMB berada. Jarak kecamatan Jenggawah dengan desa-desa yang berbatasan langsung dengan TNMB sekitar 10 –15 km atau maksimal ± 30 menit perjalanan dengan kendaraan sepada motor dan atau mobil. Daerah-daerah perkebunan di Jember mayoritas penduduknya keturunan Madura dan berbahasa Madura. Tahun 1779-1825, Kolonial Belanda masih menggalakkan penanaman kopi yang dipusatkan di Situbondo dan Besuki. Ekspansi orang Madura ke Jember selatan, terus dipantau oleh Belanda, sehingga sekitar tahun 1819 Belanda akhirnya mulai tertarik membuka hutan di Jember selatan, dengan mempekerjakan orang-orang Madura (Hafid, JOS. 2001. Perlawanan Petani, Kasus Jenggawah. Pustaka Latin Bogor). Di desa-desa penyangga TNMB di Jember, mayoritas penduduknya adalah etnis Madura, sementara desa-desa lain, termasuk Desa Wonoasri, termasuk berbudaya pendalungan (campuran Jawa dan Madura)
133
Kepemilikan atau penguasaan lahan yang sangat rendah menjadikan sebagian dari warga desa-desa penyangga hidup dengan status numpang karang. Status demikian, ketika terjadi legalisasi distribusi lahan karena argumentasi instabilitas situasi politik lokal, membawa konsekuensi yang sangat beragam (ramification) dan berjangka panjang. Kebijakan legalisasi distribusi lahan -sekalipun dapat dibenarkan dalam sudut pandang hukum positif-- adalah pembuktian kecerdasan
dan kelihaian
masyarakat
desa-desa penyangga
melakukan konsolidasi nilai untuk menaklukan Balai TNMB di satu sisi dan pembuktian kepasrahan dan lemahnya aparat Balai TNMB dalam mensiasati fakta sosial yang mereka hadapi pada sisi yang lain. Legalisasi distribusi atau pendudukan lahan dalam perspektif sosioekologi akan menjadi preseden buruk bagi pengelola TNMB masa-masa mendatang. Hal ini berdasarkan realitas sosioekologi masyarakat di 8 (delapan) desa penyangga, pada saat ini menunjukkan bahwa nilai budaya sebagai nilai-nilai kearifan tradisional --tabu (Jawa: ora ilok; Madura: jube’) -- bergeser atau berubah dan bahkan telah punah, menyusul punahnya harimau Jawa di TNMB. Bagi masyarakat desa-desa penyangga TNMB, tidak ada lagi sikap dan perilaku yang tabu dalam berinteraksi dengan kawasan TNMB. Jika terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang tersisa 55, maka nilai-nilai tersebut dapat dipastikan hanya bersifat ritual hiburan desa, yang sudah tidak lagi memiliki makna dan daya magis bagi upaya penganturan dan pengendalian sikap dan perilaku masyarakatnya dalam berinteraksi dengan lingkungan alam sekitarnya. Pergeseran dan perubahan nilai, sikap dan perilaku sosial budaya adalah abadi. Hal ini merupakan sifat dasar dari suatu nilai dan perilaku. Dengan kata lain, nilai dan perilaku bukanlah sesuatu yang statis dari generasi ke generasi berikutnya, tetapi terus bergeser dan berubah, misalnya; satu atau dua nilai, sikap 55 Masyarakat perdesaan aslinya masyarakat produktif dan hemat, tidak konsumtif. Kebiasaan dan perilaku masyarakat perdesaan di Jawa dan Madura, sarapan pagi itu ora ilok’ atau Jube’ (tabu) sebab dapat merubuhkan lumbung untuk mempertahankan harmoni dengan lingkungan dan harmoni internal keluarga; mangan ora mangan sing penting ngumpul; Dalam hal pengaturan dan pengendalian (hemat) pemanfaatan SDA dan lingkungan; menebang bambu dilakukan pada hari-hari tertentu atau selapanan (35 hari), menebang pohon (kayu) setahun sekali, menjala dan memancing ikan pada tiap hari kamis, mengambil madu lebah setalah masuk musim kemarau, supaya kualitas dan kadar air madu menjadi rendah. Jadi, masyarakat desa, sebelum diintervensi oleh ideologi pembangunan, dulunya sangat ekologis, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi, karena desakan atau tekanan dari ekonomi pasar,...semua bernilai uang....Pergeseran dan perubahan nilai, sikap dan perilaku, tidak semuanya negatif, tetapi ini merupakan pertanda kuatnya ekspektasi masyarakat terhadap perbaikan kualitas hidup mereka pada pemerintah, tetapi belum ada jalan keluar yang pasti dan mampu memenuhi ekspektasi tersebut. (Qadim, A. 2002. Pereseran Nilai Keagamaan dan Sosial Budaya Masyarakat Petani; Suatu Tinjauan dalam Perspektif Ekologi Pembangunan Perdesaan. Al ‘Adaalah. Jurnal Ilmiah Kajian Ke-Islaman dan Kemasyarakatan. Vol. 5, Nomor. 3 Dember 2002. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember)
134
dan perilaku dapat saja mengalami peningkatan, sementara yang lainya mengalami pelunturan. Pada tingkat yang paling ekstrim, suatu nilai, sikap dan perilaku dapat hilang sama sekali (punah) kemudian diganti oleh nilai, sikap dan perilaku budaya yang baru sama sekali. Legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB, mengacu kepada model Spranger 56 dalam Alisyahbana (1981) di satu sisi berdampak pada naiknya tingkat rasionalitas (nilai teori), orientasi ekonomi, dan nilai solidaritas kelompok. Pada sisi lain, nilai agama (kepercayaan) memudar, nilai seni dari sudut pandang sosioekologi mengalami deviasi substansi dan perilaku, sementara nilai kuasa menggerogoti dan menekan nilai solidaritas eksternal. Nilai, sikap dan perilaku yang sangat dominan mengalami pergeseran adalah naiknya tingkat rasionalitas (nilai teori), orientasi finasial (nilai ekonomi) sebagai dampak dari kebijakan pembangunan ekonomi dan penerapan IPTEK, dan nilai kuasa (Tabel 28). Di samping masalah yang ungkapkan di atas, konsekuensi aspek sosial budaya legalisasi distribusi dan pendudukan lahan, berkaitan dengan masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, lapangan kerja yang minim, dan pertumbuhan penduduk yang cukup signifikan, tidak sebanding dengan ketersediaan dan kepemilikan lahan masyarakat.
57
Hal ini dalam kurun waktu sekian tahun ke
depan dapat menimbulkan polarisasi dan konflik internal para pewaris di internal para anggota OPR, antara kelompok OPR dan LMDH dengan kelompok non OPR dan non LMDH, yang belum mendapatkan manfaat dari distribusi pemanfaatan lahan dari TNMB dan Perhutani. 58 Masalah ini, pada tingkat basis, secara nyata mulai menunjukkan gejala gerakan perluasan pendudukan lahan, 59 sementara itu, dari sisi kebijakan politik, baik Balai TNMB selaku pihak yang bertanggungjawab 56 Spranger dalam Alisyahbana (1981) membagi nilai budaya menjadi enam kelompok, yakni; 1. nilai teori atau pertimbangan rasionalitas, 2. nilai ekonomi atau keuntungan finansial dari suatu perbuatan, 3. nilai solidaritas atau gotongroyong tanpa memikirkan keuntungan diri dan kelompoknya, 4. nilai agama yang didasari atas kepercayaan (kekudusan) bahwa sesuatu adalah benar dan suci, 5. nilai seni yang dipengaruhi oleh pertimbangan rasa seni dan keindahan, terlepas dari pertimbangan material, dan 6. nilai kuasa yang dilandasi atas pertimbangan baik buruknya sesuatu untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri (Alisyahbana, S.T. 1981. Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma Nomor: 11 Tahun X 1981, LP3ES Jakarta. 57 Secara sosial ekonomi, desa-desa penyangga mengalami kelangkaan lahan pertanian, sehingga tidak memadai lagi untuk hidup layak bagi penduduknya (man land ratio: 15 0rang/Ha sawah, dan 22 orang/Ha pekarangan (Balai TNMB.2006. Laporan Hasil Identifikasi dan Inventarisasi Sosekbud Masyarakat Lokal di Daerah Penyangga Kawasan TNMB. Balai TNMB Jember). 58 Dalam MoU antara Balai TNMB dengan kelompok OPR yang diketahui oleh pemerintah desa-desa penyangga, ditegaskan bahwa hak pemanfaatan lahan zona rehabilitasi TNMB tidak dapat diwariskan dan diperjualbelikan. 59 Wawancara dengan tokoh masyarakat dan aparat desa
135
atas keberlanjutan kawasan TNMB, maupun pemerintah kabupaten Jember dan Banyuwangi yang bertanggungjawab atas masyarakatnya, belum menunjukkan kebersamaan dan keberpihakan yang jelas untuk menyelesaikan beragam masalah sosioekologi masyarakat desa-desa penyangga. Tabel 28 Substansi nilai, sikap dan perilaku sosial budaya yang mengalami pergeseran dan perubahan No 1.
Pergeseran Rasionalisasi nilai ekologi yang berkaitan dengan sikap dan perubahan dan perilaku sebagai ramifikasi konsekuensi distribusi lahan nilai TNMB untuk kelompok OPR Pilihan terhadap lokasi dan posisi lahan tidak semata-mata berdasarkan Nilai teori
2.
Nilai ekonomi
3.
Nilai solidaritas
4.
Nilai agama
5.
Nilai seni
6.
Nilai kuasa
kondisi kelayakan lahan, tetapi yang penting kebanggaan dan harga diri telah “memiliki lahan” untuk bertani atau berladang ; Inisiatif dan pilihan dalam bercocok tanam (semusim dan rehabilitasi) tidak lagi semata-mata pertimbangan nilai kepercayaan (dan agama), tetapi telah bergeser dan berubah berdasarkan rasio, lebih cepat dinikmati dan laku dijual Gaya hidup secukupnya (sa’cukupe) dan sebutuhnya (sa’butuhe) dalam berhubungan dengan dan memperlakukan lahan rehabilitasi telah punah dan berubah, masuk ke aliran untung rugi berdasarkan permintaan ekonomi pasar Kepentingan ekonomi subsisten masyarakat OPR VS kepentingan rehabilitasi Balai TNMB Para aktor, secara internal jaringan sosial (klik) masih menunjukkan solidaritas dan kohesifitas sosial yang sangat tinggi. Prioritas utama dalam distribusi lahan adalah; anak dan menantu, keluarga dekat dan jaringan sosial (klik) terdekat dan terpercaya Balai TNMB: Keadilan distribusi lahan kepada yang betul-betul membutuhkan (tidak punya lahan) VS Kepentingan dan solidaritas internal kelompok para aktor Prinsip; mangan ora mangan sing penting ngumpul masih bertahan. Beberapa kasus di semua desa penyangga, menunjukkan saudara dekat yang merantau dan tidak memiliki lahan, difasilitasi atau diberi lahan atau di atas-namakan saudara dekatnya. Ritual kepercayaan dan keagamaan, makna dan daya magisnya telah memudar dan hanya sebatas seremonial tahunan, mengalami proses rasionalisasi sebagai dampak perkembangan IPTEK yang masuk ke desadesa penyangga Kesenian lokal (Banyuwangi: Seni gandrung Sarongan) bukan lagi sekedar seni untuk seni yang sakral, ungkapan rasa syukur dan untuk humanisme, tetapi mengalami komersilaisasi dan dapat dijadikan sebagai instrumen legalisasi pengangkutan papan kayu --jati, mahoni dan garu -untuk papan panggung, kemudian menjadi kayu komersial dilokasi manggung). “Penguasaan atau kepemilikan lahan” dalam kondisi dan situasi tertentu melahirkan kuasa mereka untuk memperkerjakan orang lain untuk mengarap atau melakukan transaksi (jual-beli) lahan dengan pihak lain. Kuasa kultural aktor desa VS kuasa formalitas Balai TNMB Kuasa internal aktor VS Solidaritas warga desa
Sumber: Data Primer (2008)
136
5.2.2 Konsekuensi Kebijakan Kemitraaan Rehabilitasi pada Aspek Sosial Ekonomi Legalisasi distribusi atau pendudukan lahan telah berhasil meneguhkan “kepemilikan atau penguasaan lahan” bagi masyarakat desa-desa penyangga. Memiliki lahan, bagi masyarakat perdesaan adalah kehormatan, harga diri, basis kehidupan dan basis sosial ekonomi, terutama bagi mereka yang kebanyakan berstatus numpang karang. Lahan gratis seluas ± 0,25 ha per KK dalam zona rehabilitasi TNMB, selama ± 10 (sepuluh) tahun terakhir telah dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat desa-desa penyangga sebagai basis dan supplement basis ekonomi keluarga. Kebijakan distribusi lahan TNMB sebagai langkah percepatan dan model rehabilitasi berbasis masyarakat, sejatinya memiliki konskuensi yang massif pada penguatan aspek sosial ekonomi keluarga. Konsekuensi sosial ekonomi adalah manfaat sosial ekonomi bagi suatu keluarga atau rumah-tangga secara langsung yang diperoleh dari pemanfaatan lahan untuk kegiatan bertani dan berladang dalam zona rehabilitasi, per tahun per KK. Manfaat sosial ekonomi dari legalisasi distribusi lahan zona rehabilitasi TNMB bagi para petani telah dirasakan sangat besar, dan memberi kontribusi yang berarti terhadap ekonomi rumah tangga, tetapi belum mampu memperkokoh fondasi dan pilar ekonomi rumah-tangga dan perekonomian desa secara riil, serta belum mampu mensuport atau bahkan tidak linier dengan perbaikan aspek ekologi TNMB. Berdasarkan Tabel 29, terlihat bahwa rerata manfaat legalisasi distribusi lahan rehabilitasi --(manfaat rehabilitasi:
Dep.Hut)60-- di Wilayah I yang
mencakup desa Sarongan dan Kandangan sebesar 49,00%, dengan total pendapatan kotor petani yang didapatkan di dalam dan di luar lahan rehabilitasi sebesar Rp. 3.892.974 per tahun. Ini berarti, kontribusi pendapatan dari lahan rehabilitasi terhadap pendapatan kotor total petani berada pada level sedang, atau tingkat ketergantungan petani terhadap lahan rehabilitasi sedang (midle). Hal 60 Pada umumnya, para birokrat pemerintahan –termasuk Balai TNMB-- sering dan senang mengklaim keberhasilan dengan sudut pandang pembenaran atas kebijakan yang mereka putuskan dan memperlihatkan keberhasilan kinerjanya (program rehabilitasi). Bahwa kegiatan bercocok-tanam semusim telah dilakukan oleh masyarakat desa-desa penyangga yang menduduki lahan sejak tahun 1999/2000, dengan hasil yang jauh lebih tinggi dari apa yang mereka peroleh setelah terjadi intervensi program rehabilitasi berbasis pemberdayaan ekonomi masyarakat pada bulan Agustus 2003Agustus 2008. Artinya, capaian hasil panen tanaman semusim bukanlah produk dari program rehabilitasi, tetapi lebih merupakan adaptasi kebijakan Balai TNMB atas fakta sosial masyarakat desa-desa penyangga. Karena itu, manfaat distribusi lahan dengan manfaat rehabilitasi menurut penelitian ini adalah 2 (dua) point yang berbeda, sekalipun keduanya sama-sama memiliki manfaat dari aspek sosial ekonomi.
137
tersebut terjadi karena di Sarongan dan Kandangan, alternatif pilihan pekerjaan di luar lahan rehabilitasi masih ada, cukup beragam dan memberi kontribusi relatif berarti untuk ekonomi subsisten (Tabel 34). Pekerjaan-pekerjaan alternatif sampingan tersebut masih memberikan kontribusi untuk ekonomi rumah-tangga yang rutin dan lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas pertanian dan perladangan
dalam
lahan
rehabilitasi
TNMB,
sehingga
mereka
tidak
menjadikannya sebagai pusat dan basis ekonomi rumah tangga utama. Tabel 29 Manfaat program rehabilitasi (MPR) terhadap pendapatan kotor para petani di lahan rehabilitasi TNMB Seksi Wilayah I Sarongan Banyuwangi Tingkat Manfaat Rehabilitasi (%)
Jumlah petani rehabilitasi f
Resort Sarongan dan Kandangan
< 25 25-50 > 50
% 45,33 12,00 42,67
Rerata pendapatan kotor/ tahun Dari Luar lahan rehabilitasi (LR) (Rp) 6.184.641 1.536.667 165.938
Dalam lahan rehabilitasi (R) (Rp) 674.279 845.333 1.000.000
Rendah Sedang Tinggi
34 9 32
< 25 25-50 > 50
Rendah Sedang Tinggi
2
6,67
6 22
20,00 73, 33
2.976.350 1.660.667 200.909
< 25 25-50 > 50
Rendah Sedang Tinggi
2 5 23
6,67 16,67 76,67
2.000.000 1.284.800 649.457
Jumlah total
Rerata MPR (%)
6.858.921 2.382.000 1.166.618
49,00
867.500 1.162.500 1.703.091
3.843.850 2.823.167 1.904.000
77,94
249.375 857.250 2.039.870
2.249.375 2.142.050 2.689.326
65,96
Seksi Wilayah II Ambulu Resort Wonoasri
Resort Andongrejo
(Sumber: Data Sekunder, Laporan Monitoring program rehabilitasi TNMB, 2004) Di Resort Wonoasri dan Resort Andongrejo Jember, manfaat sosial ekonomi legalisasi distribusi lahan rehabilitasi lebih tinggi dibandingkan dengan di Resort Sarongan Banyuwangi, yakni ≥ 65% (Tabel 30). Ini menandakan bahwa dari aspek sosial ekonomi, masyarakat desa-desa penyangga di Jember sangat diuntungkan oleh adanya legalisasi distribusi lahan, dan mereka lebih tinggi tingkat ketergantungannya pada lahan untuk kegiatan pertanian atau perladangan tanaman semusim. Legalisasi distribusi lahan TNMB ini, dilihat dari dinamika kependudukan, tingkat penguasaan (kepemilikan) lahan, dan dinamika politik lokal, diperkirakan dalam rentang waktu sekitar 10 tahun ke depan (2019) masih mampu membendung tekanan masyarakat terhadap eksistensi lahan TNMB. Namun, setelah kurun waktu itu, tekanan terhadap eksistensi lahan dalam kawasan
138
TNMB akan semakin massif, dengan pola gerakan yang mirip, tetapi lebih rumit dan sistemik. Tabel 30 Kenaikan standar upah harian di desa Sarogan dan Kandangan No. 1. 2. 3. 4.
5. 6.
Jenis pekerjaan Buruh perkebunan a. Buruh pertanian b. Buruh pertanian Tukang kayu a. Buruh bangunan (Tukang) b. Buruh bangunan a. Kuli bangunan b. Kuli bangunan Penderes gula kelapa 61
Upah (Rp) per satuan (2004)
Upah (Rp) per satuan (2008-2009)
Keterangan; (Jam 07.00 - 15.00 WIB)
8.000 / hari 10.000 / hari 15.000 / hari 75.000 / bln 25.000 / hari
25.000 / hari 30.000 / hari 35.000 / hari
Plus makan per hari Tanpa makan
35.000 / hari
Plus makan per hari
30.000 / hari 20.000 / hari 25.000 / hari 1. 300 / kg
45.000 / hari 30.000 / hari 35.000 / hari 7.500 / kg
Tanpa makan Plus makan per hari Tanpa makan Per pohon : sewa ± 1 ons
Sumber: Laporan monitoring program rehabilitasi (2004); Wawancara (2007 dan 2008)
Manfaat sosial ekonomi, baik di Banyuwangi --(Sarongan dan Kandangan; tidak termasuk masyarakat di kampung Rajekwesi)-- maupun di Jember -(Sanenrejo, Curahtakir, Andongrejo, Curanongko, Wonoasri dan Mulyorejo; tidak termasuk masyarakat pekerja di perkebunan PT. Bandealit)--, pada umumnya diperoleh dari kegiatan tanaman semusim dengan cara tumpangsari. Beberapa jenis tanaman semusim yang sudah pasti dan banyak diminati para petani rehabilitasi di Sarongan dan Kandangan, adalah; padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang panjang, kacang hijau, dan kacang tunggak. Di Jember, tanaman semusim justeru lebih beragam dibandingkan dengan Banyuwangi. Pilihan terhadap ragam jenis tanaman tersebut, berkaitan dengan kebutuhan jangka pendek dan mendesak, karena hasilnya dapat langsung dijual kepada para para pengepul atau tengkulak.
61 Wawancara dengan para petani rehabilitasi yang juga menjadi penderes gula kelapa. Menurut para penderes gula, per pohon mereka mendapatkan ± 1 ons gula kelapa. Untuk mendapatkan 1 kg gula kelapa, maka seorang penderes harus menaiki 10 pohon kelapa. Dalam sehari, para penderes mampu mendapatkan ± 20 kg.
139
Tabel 31 Rerata biaya yang dikeluarkan oleh para petani dalam setiap kegiatan pertanian dan perladangan Komoditas Tanaman Tumpangsari
Padi Jagung Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Kacang tunggak Kacang panjang Pisang Ubi rambat Cabe
Rincian biaya operasional kegiatan pertanian/perladangan per komoditas (Rp) Per 0,25 Hektar lahan sawah/ladang Olah lahan
Bibit
Tanam
Obat
Pupuk
Rawat
Panen
200.000 150.000 125.000 -
100.000 240.000 70.000 -
125.000 60.000 15.000 -
100.000 70.000 70.000 -
165.000 330.000 90.000 -
100.000 50.000 50.000 -
250.000 234.000 135.000 -
Rerata biaya pertanian/ perladangan (Rp) per 0,25 Ha 1.040.000 1.470.000 555.000 ± 250.000 ± 250.000 ± 100.000 ± 75.000 -
Sumber: Data Primer (2007 dan 2008)
Selama bertani dan berladang di lahan rehabilitasi, para petani rata-rata bercocok-tanam dan memanen hasilnya sebanyak 2 kali. Kebanyakan komoditas pertanian, oleh para petani langsung dijual ke tengkulak, kecuali gabah (padi) dipakai (dikonsumsi) sendiri. Harga hasil panen tanaman semusim seringkali fluktuatif, dipengaruhi oleh kualitas hasil panen, tingkat kelangkaan dan kebutuhan konsumen. Sekalipun harga komoditas pertanian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, ini tidak linier dengan naiknya tingkat kesejahteraan hidup mereka. Artinya, realitas kondisi sosial ekonomi mereka tetap bersahaja. Bahkan, seringkali hasil yang mereka peroleh
dari kegiatan bertani dalam zona
rehabilitasi, hanya cukup untuk menutup biaya operasional yang telah mereka keluarkan (Tabel 31). 62 Pemanfaatan lahan dalam zona rehabilitasi, pada tiga tahun pertama, sebelum tercapai konsensus kemitraan rehabilitasi,
memang menguntungkan
masyarakat dari aspek sosial ekonomi rumah tangga, tetapi tidak sebesar yang digambarkan atau dilaporkan oleh Balai TNMB (Tabel 34). Keuntungan tersebut tidak berkelanjutan, karena kualitas lahan rehabilitasi yang mereka garap, dari tahun ke tahun terus mengalami degradasi, sehingga hasil maksimal dari kegiatan
62 Stagnasi kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa penyangga TNMB ini, sekalipun telah mendapatkan distribusi lahan TNMB seluas ± 0,25 Hektar, mengacu kepada Gramsci dan Freire, dapat terjadi karena tiga kemungkinan, yakni; 1. faktor kesadaran magis (magical consciousness), 2. faktor kesadaran naif (naival consciousness), dan 3. faktor kesadaran kritis (critical consciousness). Ketiga point ini perlu penelitian terpisah yang lebih mendalam, untuk menemukan faktor internal dan eksternal masyarakat, yang belum membawa perubahan signifikan terhadap perbaikan aspek sosial ekonomi masyarakat dan juga aspek ekologi, sekalipun telah dilakukan intervensi pemberdayaan masyarakat. Freire, Paulo. 1984. Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan PT. Gramedia Jakarta; Freire, Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Jakarta.
140
pertanian dan perladangan yang mereka peroleh telah berkurang dari 25 % hingga lebih dari 50%. 63 Faktor lainnya, seperti kasus di desa Wonoasri adalah pengaruh dari semakin tingginya tanaman pokok tahunan, sehingga menutupi tanaman semusim dari penyinaran matahari. Sementara itu, tanaman tahunan yang sudah mulai berbuah, terbuang percuma (bosok di pohon), karena harga jual yang terlampau rendah. 64 Tabel 32 Efektifitas kebijakan distribusi pemanfaatan lahan terhadap peningkatan pendapatan ekonomi keluarga (rumah-tangga) para petani No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Desa
Jumlah petani rehabilitasi (KK)
Wonoasri Curahnongko Andongrejo Sanenrejo dan Curahtakir Mulyorejo*)
690 313 705 1258
Sarongan dan Kandangan Jumlah
743
0
Nilai ekonomi tanaman tumpangsari per tahun dalam zona rehabilitasi (Rp) 1.789.731.543 1.794.076.715 1.857.610.909 3.911.186.184 Tidak mendapatkan distribusi lahan dalam TNMB, tetapi dapat dan menduduki lahan hutan lindung dan produksi (0) 510.482.996
3.709 KK
9.863.088.347
Sumber: BTNMB (2007)
Manfaat sosial ekonomi yang telah dirasakan langsung adalah untuk suplement ekonomi keluarga. Artinya, kelompok masyarakat OPR mengakui ada peningkatan (penambahan) pendapatan keluarga (66,45%), tetapi hasil panen dari bercocok tanam tanaman semusim dan tanaman pokok, sampai saat ini hanya cukup untuk menutupi kebutuhan ekonomi sub sisten (Tabel 33). Mereka semua berkeinginan membangun kelembagaan dan jaringan sosial ekonomi OPR, agar hasil pertanian dan perladangan mereka dapat masuk kedalam aliran ekonomi komersial dan mendukung percepatan rehabilitasi. Namun, mereka tidak tahu bagaimana harus memulai dan bagaimana mendapatkan modal awal, sementara dukungan dari Balai TNMB dan pemerintah kabupaten Jember dan Banyuwangi, hanya sebatas wacana yang tidak kunjung terwujud. 63 Wawancara dengan para petani/peladang di 8 (delapan) desa penyangga TNMB yang menduduki lahan di zona rehabilitasi dan lahan hutan lindung Perhutani Babansilosanen Jember. Pada lahan dengan tingkat kemiringan sedang hingga tajam, jumlah hasil panen terus menurun dibandingkan dengan periode 3 tahun pertama masa pendudukan. Ratarara setiap panen padi dan jagung, mereka mendapatkan hasil rata-rata di atas 1 - ton, sekarang terus mengalami penurunan. 64 Kelompok OPR desa Wonoasri lebih rasional dan taat aturan dibandingkan dengan OPR 6 (enam) desa lainya.
141
Program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat yang pernah terlaksana, baik oleh Balai TNMB maupun pemerintah kabupaten, selama ini sifatnya temporer dan sporadis, sehingga tidak berhasil membangun keberdayaan sosial ekonomi masyarakat, apalagi melepaskan mereka dari jeratan kemiskinan. Kesejahteraan sosial ekonomi bagi masyarakat desa-desa penyangga TNMB adalah cita-cita yang terlampau tinggi untuk dapat dicapai, karena hal ini tidak mengalami peningkatan yang cukup berarti. 65 Tabel 33 Manfaat distribusi lahan zona rehabilitasi terhadap peningkatan pendapatan para petani rehabilitasi Perbaikan aspek sosial ekonomi para petani rehabilitasi Desa Wonoasri Curahnongko Andongrejo Sanenrejo Curahtakir Mulyorejo*) Sarongan Kandangan
Jumlah
Peningkatan Pendapatan RT
Ekonomi Subsisten
Ekonomi Komersial
Penguatan Lembaga Sosial Ekonomi OPR
Jumlah
f
%
f
%
f
%
f
%
F
%
19 15 17 12 12 0 17 15
79,16 65,21 70, 83 50,00 52,17 0 73,91 75,00
24 23 24 24 23 0 23 20
100 100 100 100 100 0 100 100
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
24 23 24 24 23 0 23 20
100 100 100 100 100 0 100 100
107
66,45
161
100
0
0
0
0
161
100
Sumber: Data Primer (2007), responden memilih lebih dari satu pilihan; *) tidak masuk dalam kelompok masyarakat pendudukan lahan dalam kawasan rehabilitasi TNMB
Fakta sosial di atas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pengelolaan sektor kehutanan (Taman Nasional) yang diproduk oleh lembaga legislatif bersama eksekutif, nyata belum mampu mewujudkan distribusi dan idealisme pengelolaan SDA-L yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada tahun 2008, secara nasional, jumlah rakyat fakir miskin masih tinggi, yakni 35 juta (15,4%) (BPS, 2008), termasuk masyarakat desa pinggir hutan. Tingkat kemiskinan di 8 (delapan) desa di kabupaten Jember dan Banyuwangi yang berbatasan langsung dengan TNMB dan pernah beberapa kali dilaksanakan pilot project program pemberdayaan dan
65 Tabel 24 (Bab IV) menunjukkan tingkat pendapatan rata-rata per kapita per tahun masyarakat desa-desa penyangga TNMB sebesar Rp. 1.174.685. Dengan menggunakan parameter pendapatan keluarga setara 320 kg beras per jiwa per tahun (Rp. 5000/Kg Beras, harga saat ini) atau setara Rp. 1.600. 000,- maka pendapatan masyarakatnya masih tergolong rendah, jika pendapatan per kapita per tahun lebih kecil dari atau sama dengan Rp. 1.600. 000,-. Pendapatan masyarakat desa-desa penyangga dapat dikatakan tinggi jika pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari Rp. 1.600.000,-.
142
pengembangan masyarakat (PPM) oleh pihak Balai TNMB dan juga oleh pihak pemerintah kabupaten Jember dan Banyuwangi, angka kemiskinannya masih relativ tinggi. Jumlah pendudukan Jawa Timur tahun 2009 sebanyak 37,8 juta jiwa, dengan jumlah angka kemiskinan secara keseluruhan sebanyak 3.079.882 KK. Jumlah tersebut terbagi menjadi tiga kategori, yakni; 1. Rumahtangga (RT) sangat miskin (very poor) sebanyak 493.004 KK, 2. RT miskin (poor) sebanyak 1.226.122 KK, dan 3. RT hampir miskin (near poor) sebanyak 1.330.696 KK. Pada tahun 2007 angka kemiskinan mencapai 7.137.699 jiwa (18,89%), tahun 2008 turun menjadi 6.651.280 jiwa (18,52%), tahun 2009 menjadi 6.022.590 jiwa (16,68%). Kabupaten Jember secara kuantitatif menempati pole position jumlah penduduk miskin terbanyak dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, posisi kedua ditempati kabupaten Bondowoso dengan jumlah 167.366 KK, dan posisi ketiga ditempati Kabupaten Malang dengan jumlah 155.854 KK. 66 Jumlah pendudukan miskin di Jember sebanyak 237.700 KK, dengan rincian; (1) RT sangat miskin (very poor) sebanyak 34.654 KK, (2) RT miskin (poor) sebanyak 93.550 KK, dan (3) RT hampir miskin (near poor) sebanyak 109.496 KK (BPS Jember, 2009)67. Kantong-kantong kemiskinan yang masih tinggi dan rata-rata berada di desa-desa penyangga hutan, secara nyata menunjukkan bahwa distribusi dan legalisasi pendudukan lahan untuk tujuan rehabilitasi memang memberi manfaat sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat, tetapi tidak mampu merubah realitas kemiskinan masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan tersebut belum memberi dampak signifikan terhadap pemecahan masalah kemiskinan dan ketidak-adilan berkelanjutan. Masalah kemiskinan di desa-desa penyangga TNMB, tidak hanya masalah kemiskinan struktural, natural, absolute, atau relative, tetapi juga kemiskinan moralitas (lihat aspek sosial budaya). Mengapa hal ini tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik ? Apakah ini merupakan implementasi dari amanat UUD 1945 hasil amandemen ke empat, Pasal 34 ayat (1) bahwa fakir miskin dan anak terlantar -- memang
66 Radar Jember, 8 February 2010, Gakin Terpusat di Perkebunan (hal 33 dan 43); Surya, 10 Maret 2010, Teras Jatim. Pakde Karwo dan Gus Ipul Gunakan Strategi Klaster. 67 Jumlah penduduk Jember 2,32 juta jiwa, lebih banyak dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Penduduk Bondowoso hanya 800 ribu jiwa atau sepertiga dari jumlah penduduk Jember. Jadi secara prosentase penduduk Bondowoso lebih miskin daripada Jember, sehingga kabupaten termiskin ditempati oleh Bondowoso, dan Sampang.
143
sengaja: dipelihara --
oleh negara; Demikian juga halnya dengan kawasan
gundul sengaja dipelihara oleh negara (Departemen Kehutanan; Cq. BalaiTNMB ), agar masyarakat tetap mengalami ketergantungan atau sebaliknya masyarakat sengaja digantung dalam takdir sosialnya --miskin-- seperti dalam perspektif teori ketergantungan (dependency theory)?. 68 5.2.3 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek ekologi Analisis konsekuensi dari kebijakan kemitraan rehabilitasi kawasan mencakup empat point penting dan kritis, yakni; 1. ketaatan dan kemauan untuk melakukan rehabilitasi sesuai petunjuk Balai TNMB, 2. tingkat pertumbuhan tanaman pokok rehabilitasi yang dibagikan, 3. kemauan untuk melakukan rehabilitasi mandiri (penyulaman), dan, 4. kesediaan memelihara dan menjaga keamanan tanaman rehabilitasi. Tindak lanjut dari legalisasi distribusi dan pendudukan lahan adalah mempercepat sukses rehabilitiasi kawasan. Guna mendukung percepatan rehabilitasi tersebut, maka sebelum MoU kerja-sama ditanda-tangani oleh kedua belah phak, diawali dengan pembentukan Kelompok Tani Mitra Rehabilitasi (KETANMERAH) dan Organisasi Petani Rehabilitasi (OPR).
Inti dari
kesepakatan kerja-sama (MoU) rehabilitasi adalah kewajiban dan larangan yang harus ditaati dan dilakukan oleh anggota OPR, sebagai berikut: 1. Ketanmerah diharuskan menanam tanaman pokok berupa tanaman asli yang bermanfaat obat atau bermanfaat ekonomi, yang disediakan oleh TNMB atau secara swadaya; 2. Ketanmerah diperbolehkan menanam tanaman tumpangsari di sela-sela tanaman pokok sampai batas waktu tertentu (5 tahun akan dievaluasi); 3. Ketan Merah tidak diperbolehkan menanam tanaman perkebunan (misalnya; kopi, coklat, tembakau, dll); 4. Hasil tanaman pokok berupa buah menjadi hak Ketanmerah, sedangkan tanaman pokok tidak boleh ditebang dan merupakan asset TNMB;
68 Keterbelakangan (underdevelopment) --kemisikinan--tidaklah dipahami sebagai “sesuatu keadaan asli” ataupun sebagai ciri suatu masyararakat “tradisional” tetapi keterbelakangan lebih dipandang sebagai sesuatu yang tercipta dalam masyarakat pra-kapitalis yang telah mengalami bentuk-bentuk hubungan ekonomi dan politik tertentu dengan satu atau lebih masyarakat kapitalits. Keterbelakangan bukanlah akibat keterbatasan internal suatu masyarakat seperti dipahami oleh teori modernisasi. Kerbelakangan bukanlah akibat dari ketiadaan sesuatu, tetapi akibat dari adanya sesuatu. Negara India, misalnya, pada tahun 1700, dalam perspketif teori ketergantungan tidak dapat disebut sebagai masyarakat terbelakang, sebab pada masa itu, India adalah masyarakat petani, suatu kerajaan pra-kapitalis. Namun, pada tahun 1850, India meluncur bebas menjadi terbelakang, karena hubungannya dengan dan dijajah oleh Inggris. Akar masalahnya menurut teori ketergantungan (dependency theory) adalah ketergantungan ekonomi, yang muncul ketika suatu masyarakat jatuh di bawah kekuasaan sistem ekonomi masyarakat asing, dan ketika perekonomian suatu masyarakat mulai diatur oleh orang-orang asing sedemikian rupa, sehingga lebih menguntungkan perekonomian asing. Ketergantungan ekonomi berarti bahwa ada hubungan dominasi dan subordinasi ekonomi antara dua masyarakat atau lebih. (Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Edis Kedua. Penerbit. PT. RajaGrafindo Persada Jakarta.)
144
5. Status tanah adalah tanah negara yang tidak boleh dirubah menjadi hak milik, tidak boleh di alihkan ke pihak ke tiga, tidak boleh diperjualbelikan atau status-status lainnya,dan; 6. Ketanmerah wajib membantu pengaman kawasan 7. Ketanmerah tidak boleh menambah luasan lahan kegiatan rehabilitasi, dan tidak boleh merubah fuingsi kawasan menjadi areal persawahan 69
Tabel 34 Kategori keberhasilan tumbuh dan persentase hidup tanaman pokok program rehabilitasi TNMB No
Tingkat keberhasilan (%) (berdasarkan SK: 37/Menhut/V/2004)
Kategori keberhasilan
Jumlah petak
Presentase hidup (%)
Rerata (%)
Blok Eks Jati Sarongan 1. 2.
Sangat Baik Baik
: :
91 – 100 76 – 90
0 1
0,00 1,56
3. 4.
Sedang Kurang Baik
: :
55 – 75 < 55
8 55 64
12,50 85,94 100
Jumlah
27,91 (kurang baik)
Blok Utara Pasar Sarongan 1. 2.
Sangat Baik Baik
: :
91 – 100 76 – 90
1 1
2,78 2,78
3. 4.
Sedang Kurang Baik
: :
55 – 75 < 55
7 27 36
19,44 75,00 100
Jumlah
Resort Wonoasri 1. 2. 3. 4.
Sangat Baik Baik Sedang Kurang Baik
: : : :
91 – 100 76 – 90 55 – 75 < 55 Jumlah
Rerata TH (%) 9 9 3 9 30
30,00 30,00 10,00 30,00 100
Andongrejo
81,24 (baik)
Rerata TH (%)
1. 2.
Sangat Baik Baik
: :
91 – 100 76 – 90
3 1
10,00 3,30
3. 4.
Sedang Kurang Baik
: :
55 – 75 < 55
3 22 30
10,00 73,30 100
Jumlah
34,05 (kurang baik)
35,40 (kurang baik)
Sumber: Dephut (2004)
Pada akhir tahun 2004, setahun setelah MoU kerja-sama berjalan, monitoring dan evaluasi
(monev) telah dilakukan oleh tim CPNS Magang
Dephut. Hasil dari monev seperti ditunjukkan pada Tabel 34. Pelaksanaan monev tersebut dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut; 69 Balai TNMB. 2006. Laporan Hasil Identifikasi dan Inventarisasi Sosekbud Masyarakat Lokal di Daerah Penyangga Kawasan TNMB, Balai TNMB Jember; Substansi Kesepakatan Kegiatan Rehabilitasi pada Zona Rehabilitasi TNMB antara Kelompok OPR dengan Balai TNMB, bulan Agustus tahun 2003.
145
1. Pada Seksi Konservasi Wilayah I Sarongan menggunakan penilaian prosentase tumbuh tanaman pokok pada setiap petak pengamatan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: 369/Kpts-V/2003, yakni dengan cara membandingkan antara jumlah pohon di lapangan (ni) dengan jumlah pohon yang seharusnya ada sesuai jarak tanam (n); 2. Pada Seksi Konservasi Wilayah I Sarongan, yang diamati adalah prosentase hidup tanaman pokok berdasarkan jumlah tanaman pokok yang dibagikan, sedangkan pada Seksi Konservasi Wilayah II Ambulu yang diamati adalah prosentase tanaman hidup berdasarkan tanaman ideal per hektar (400 pohon / ha) 70 3. Untuk mengetahui tingkat prestasi para petani rehabilitasi, digunakan kategori prestasi tingkat keberhasilan tanaman pokok, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: 37/Menhut/V/2004 (Prabowo, dkk, 2004).
Tabel 34 merupakan gambaran riil dari respon para petani rehabilitasi pada tahun pertama terhadap program rehabilitasi kawasan TNMB. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa rerata tingkat keberhasilan program rehabilitasi di SKW I Sarongan (Blok eks jati : 27,91%; dan Blok utara pasar: 34,05%) dan Resort Andongrejo sebesar: 35,40%, yang berarti masih kurang baik (<55). Tingkat keberhasilan rehabilitasi yang tinggi (baik) hanya dicapai oleh kelompok OPR desa Wonoasri, sebesar 81,24 %. 71 Perbedaan yang sangat mencolok tersebut, disebabkan oleh faktor perbedaan kultur spesifik masing-masing desa penyangga, pola pendampingan dan aktor yang mendampingi, serta latar belakang masuknya warga desa Wonoasri dalam pemanfaatan lahan zona rehabilitasi, yang berbeda dengan 6 (enam) desa lainnya. Masuknya warga desa Wonoasri, difasilitasi oleh Ketua DPC PDIP Jember (Alm. Bapak Misnali), sementara kelompok masyarakat desa-desa lainnya langsung masuk tanpa fasilitasi dari siapapun dan institusi manapun. Kelompok masyarakat desa Wonoasri, merasa berkewajiban secara individual atau kelompok OPR/KetanMerah harus menanam tanaman yang dibagikan oleh Balai TNMB dan mensukseskan program rehabilitasi. Hal tersebut dilakukan karena menghormati vigur (kharisma) alm. Bapak Misnali sebagai tokoh masyarakat desa Wonoasri --(bukan sebagai Ketua DPC PDIP)-- yang
70 Perbedaan metode antara Wilayah I dan Wilayah II, karena di wilayah I Sarongan pembagian bibit dilakukan secara merata atau dengan jumlah yang sama pada setiap petani, tanpa memperhatikan luas lahan garapannya, sedangkan pada wilayah II, pembagian bibit dilakukan secara tidak merata atau tidak sama untuk setiap petani rehabilitasi, tetapi disesuaikan dengan luas lahan garapan (Prabowo, Doni,dkk. 2004. Laporan Kegiatan Monitoring Program Rehabilitasi TNMB. Tim Magang CPNS Dephut. Balai TNMB Jember) 71 Wawancara dan pengamatan lapangan yang dilakukan oleh peneliti dari tahun 2006 hingga akhir tahun 2009 menunjukan tidak ada perbedaan (peningkatan) yang signifikan dari apa yang dilaporkan dalam Laporan Monev CPNS Dephut, 2004. Tanaman petai (Parki speciosa) yang persentase pertumbuhan paling tinggi dan durian (Durio zibethinus) sebagai tanaman vavorit, menurut para petani rehabilitasi termasuk tanaman pokok yang paling rawan (gampang) mati.
146
memfasilitasi sehingga mereka diperkenankan masuk bertani dan berladang sambil merehabilitasi kawasan. Analisis ekologi politik memang sulit memisahkan secara tegas, atau setidaknya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan antara pengaruh ketokohan (kharisma Bapak Misnali) dengan pengaruh posisi strukturalnya sebagai Ketua DPC PDIP Jember, yang memiliki hubungan langsung dengan Jakarta (Presiden Megawati dan Menteri Kehutanan RI Dr. Prakosa), ketika proses fasilitasi itu dilakukan. Menyerahkan atau mempercayakan kepada sejumlah Parpol yang memiliki basis massa riil untuk masuk membantu proses rehabilitasi kawasan TNMB belum dapat dijadikan sebagai solusi percepatan rehabilitasi. Artinya, sukses rehabilitasi yang terjadi di Wonoasri hanya memberi petunjuk awal bahwa Porpol pun sesungguhnya memiliki kekuatan menentukan arah dan sukses rehabilitasi (perubahan lingkungan seperti yang dikemukan oleh Bryant), tetapi ini belum tentu berlaku dan dapat dicapai oleh semua Parpol, karena kharisma, moralitas dan kepercayaan masyarakat terhadap masing-masing tokoh dan parpol yang dipimpinnya pasti berbeda. Sulit membuktikan atau memisahkan secara tegas antara pengaruh individu ketua DPC PDIP Jember dengan kharisma individualnya. Artinya, ketua DPC PDIP Jember memiliki kharisma dimata masyarakatnya karena ia adalah Ketua DPC PDIP Jember atau DPC PDIP Jember menjadi berpengaruh di mata masyarakatnya, karena faktor individual Ketuanya. Dengan kata lain, ketua bisa jadi lebih besar dari Parpol dan sebaliknya parpol juga bisa jadi lebih besar dari individu ketua Parpol, atau di antara keduanya posisinya sama-sama saling membesarkan. Sebagai motivasi atau spirit semangat rehabilitasi, maka Balai TNMB juga mendistribusikan
bibit-bibit tanaman pokok (endemik: jenis setempat) secara
gratis yang wajib di tanam oleh para petani rehabilitasi (Tabel 35 dan 36). Kegiatan ini telah dilaksanakan secara kemitraan sejak tahun 1999 (Pilot Project: Konsorsium Latin-IPB), diperluas dan diperjelas status hukumnya melalui MoU pada Agustus 2003, berlaku hingga 5 tahun kemudian (Agustus 2008). 72
72
Ibid. Balai TNMB.2006.
147
Tabel 35 Perbandingan rerata persentase hidup per jenis tanaman pokok dalam zona rehabilitasi TNMB No 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Tanaman pokok
Blok Eks Jati (%)
Petai (Parkia speciosa) Kedawung (P. Roxburghii) Melinjo (Gnetum gnemon) Durian (Durio zibethinus) Pinang (Pinanga sp)
49,01 22,66 21,09 19,76 9,38
Blok Utara Pasar (%)
Jenis Tanaman pokok Petai (Parkia speciosa) Durian (Durio zibethinus) Melinjo (Gnetum gnemon) Pinang (Pinanga sp) Kedawung (P. Roxburghii)
46,97 39,29 25,69 5,56 4,17
Sumber: Dephut (2004)
Berdasarkan Tabel 35, maka tanaman petai (Parki speciosa) di Blok eks Jati Sarongan memiliki persentase hidup yang paling tinggi (49,01%), dibandingkan dengan jenis lainya, kemudian disusul oleh
kedawung (P.
Roxburghii) sebesar (22,66%), melinjo (Gnetum gnemon) sebesar (21,09%), durian
(Durio
zibethinus)
sebesar
(19,76%)
dan
terakhir
pinang
(Pinanga sp) sebesar (9,38%). Di Blok utara Pasar, tanaman petai (Parkia speciosa) masih menempati urutan pertama
dalam persentase hidup, yakni
sebesar (46,97%), kemudian di susul oleh durian (Durio zibethinus) sebear (39,29%), melinjo (Gnetum gnemon) sebesar (25,69%), disusul oleh pinang (Pinanga sp) sebesar (5,56%) dan terakhir kedawung (P. Roxburghii) sebesar (4,17%). Tabel 36 Perbandingan jumlah jenis dan persentase tanaman pokok dalam zona rehabilitasi TNMB No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Resort Andongrejo
Resort Wonoasri
Jenis Tanaman pokok Petai (Parkia speciosa) Kedawung (P. Roxburghii) Nangka (Arthocarpus heterophylus) Kemiri (Aleurites moluccana) Pakem (Pangium edule) Melinjo (Gnetum gnemon) Kluwih (Arthocarpus integrac) Asam (Tamarindus indica) Sukun (Arthocarpus sp) Pinang (Pinanga sp) Mangkudu (Morinda citrifolia) Kepuh (Sterculia foetida) Mangga (Mangifera sp) Lain-lain Durian (Durio zibethinus) Alpokat (Persea americana) Kenitu (Chrysophyllum sp) Sirsat (Annona nucirata) Aren (Arenga pinnata)
Jumlah 556 491 205 197 151 95 89 64 47 43 42 37 32 28 21 12 10 3 2
% 27,08 20,41 9,99 9,60 7,36 4,63 4,34 3,12 2,29 2,09 2,05 1,80 1,56 1,36 1,02 0,58 0,49 0,15 0,10
Jumlah
2.053
100,00
Sumber: Dephut (2004)
Jenis Tanaman pokok Nangka (Arthocarpus heterophylus) Petai (Parkia speciosa) Kedawung (P. Roxburghii) Asam (Tamarindus indica) Mangkudu (Morinda citrifolia) Lain-lain Mangga (Mangifera sp) Kemiri (Aleurites moluccana) Pinang (Pinanga sp) Kluwih (Arthocarpus integrac) Durian (Durio zibethinus) Sirsat (Annona nucirata) Kenitu (Chrysophyllum sp) Pakem (Pangium edule) Alpokat (Persea americana) Sukun (Arthocarpus sp) Kepuh (Sterculia foetida) Melinjo (Gnetum gnemon) Aren (Arenga pinnata)
Jumlah 1290 770 581 278 202 179 127 77 62 44 38 38 18 17 9 6 5 3 1
% 34,45 20,56 15,51 7,42 5,39 4,78 3,39 2,06 1,66 1,17 1,01 1,01 0,48 0,45 0,24 0,16 0,13 0,08 0,03
3.745
100,00
148
Berdasarkan Tabel 36, di Resort Andongrejo menunjukkan petai (Parkia speciosa) menempati persentase tertinggi yakni (27,08%), kemudian kedawung (P. Roxburghii) sebesar (20,41%), nangka (Arthocarpus heterophylus) (9,99%), kemiri (Aleurites moluccana) (9,60%), dan pakem (Pangium edule) (7,36%). Sedangkan di Resort Wonoasri, tanaman nangka (Arthocarpus heterophylus) menempati posisi tertinggi, yakni (34,45%), kemudian petai (Parkia speciosa) sebesar
(20,56%),
kedawung
(P.
Roxburghii)
sebesar
(15,51%),
asam
(Tamarindus indica) sebesar (7,42%), dan mangkudu (Morinda citrifolia) sebesar (5,39%). Jenis-jenis tanaman pokok yang ditanam dalam zona rehabilitasi, sesuai dengan kesepakatan dan peraturan yang ada haruslah jenis endemik yang ada dalam TNMB. Jenis-jenis tanaman pokok endemik yang ditemui dilapangan, antara lain; kedawung (P. Roxburghii), pinang (Pinanga sp), asam (Tamarindus indica), sukun (Arthocarpus sp), kemiri (Aleurites moluccana). Namun, karena beberapa pertimbangan dan kendala yang ada, beberapa jenis non endemik juga dibagikan oleh TNMB untuk ditanam oleh masyarakat dalam zona rehabilitasi. Jenis-jenis eksotik (introduksi) yang ditemukan, seperti; durian (Durio zibethinus), petai (Parki speciosa), melinjo (Gnetum gnemon), nangka (Arthocarpus heterophylus), Kluwih (Arthocarpus integrac), Alpokat (Persea americana), mangga (Mangifera sp), mangkudu (Morinda citrifolia), sirsat (Annona nucirata). Sekalipun tidak terpaut jauh, uraian di atas memperlihatkan bahwa tanaman pokok endemik di kalangan masyarakat petani OPR kalah menarik dibandingkan dengan tanaman eksotik (introduksi) (Tabel 35 dan Tabel 36). Hal ini berkaitan dengan kemungkinan, yakni; 1. faktor kecocokan tanah dengan jenis tanaman tersebut (Nilai Teori),
2. faktor tingginya semangat
merubah atau memperbaiki keadaan ekonomi mereka (Nilai Ekonomi) dan, 3. tindakan perlawanan petani dalam perspektif Scott (2000)73 disebut sebagai 73 Perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance), yakni perjuangan yang biasa-biasa saja, tetapi dilakukan secara terus menerus dan tidak sampai melakukan pembangkangan terang-terangan secara kolektif. Itupun dilakukan tanpa menggunakan senjata tajam atau senjata berat, tetapi lebih berupa kegiatan menipu, berpura-pura patuh, mengumpat di belakang, membakar, menyabotase, dan sebagainya.....Tujuannya adalah; (1) menolak klaim yang diajukan kelas dominan dengan cara informal, tidak terbuka, serta umumnya berkaitan dengan hasil-hasil langsung yang bersifat de facto....; (2) demi mempertahankan posisinya dalam system, dengan pendekatan moral ekonomi ”azas pokoknya selamat (safety first)”. Dalam penelitian Scott di negara-negara dunia ke-3, kaum pinggiran yang umumnya lemah, sesungguhnya memiliki modal untuk melawan dengan senjata berupa perusakan, berlaku tidak jujur, masa bodoh, membuat skandal, membakar, sabotase, dan bentuk lain yang serupa, yang disebutnya sebagai weapon of the weak (senjatanya orang yang lemah). Penjelasan Scott ini dalam beberapa hal memiliki signifikansi dalam menjelaskan realitas ramifikasi dan kondisi
149
perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance) sebagai akibat dari represi rutin sehari-hari (everyday forms of repression), yang pernah mereka alami atau saksikan. Kesediaan para petani dalam merehabilitasi kawasan dan menanam tanaman pokok sangat tinggi yakni 100%, namun hal ini tidak diikuti oleh tingkat keberhasilan tumbuh dan persentase hidup tanaman pokok berdasarkan SK Menhut No: 369/Kpts-V/2003 dan SK Menhut No: 37/Menhut/V/2004 (Tabel 34). Artinya, mereka mau merehabilitasi dan menanam tanaman pokok, tetapi tidak merasa penting untuk memeliharanya secara maksimal. Menurut para petani rehabilitasi (OPR), ada dua masalah yang akan muncul jika pohon-pohon tanaman pokok sudah tumbuh besar, yakni; 1. menurunnya hasil panen tanaman musiman mereka, dan jika berbuah (kasus Wonoasri), harganya murah, bahkan tidak laku dijual, sehingga dibiarkan bosok di pohonnya. Pada tahun pertama, kecuali OPR desa Wonoasri, sejumlah petani OPR dengan sengaja menanam dengan cara yang tidak sesuai petunjuk, agar tanaman mati, sehingga mereka dapat terus menanam tanaman musiman dengan leluasa, dan, 2. supaya lahan tidak segera diambil alih oleh pemerintah (Balai TNMB). 74 Berdasarkan Tabel 37, sedikit sekali yakni hanya sekitar 20,49% di antara anggota OPR yang bersedia atau mau menyediakan bibitnya secara mandiri untuk menyulam tanaman pokok yang mati. Jika pun mereka menanam tanaman pokok, itu tidak dalam jumlah besar, tergantung kepada ada atau tidaknya bibit yang mereka temukan. Jadi, tidak disediakan secara khusus untuk menyulam tanaman mati pada lahan yang masih kosong. Mereka pada umumnya masih lebih condong kepada tanaman musiman, yang hasilnya dapat dinikmati atau dimanfaatkan lebih cepat, sekalipun hasilnya tidak sangat banyak. 75
faktual pengelolaan TNMB (Scott, James S. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah:. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia). 74 Wawancara dengan petani OPR. Banyak rumor yang beredar dan berkembang di para petani OPR, bahwa jika tanaman pokok sudah tumbuh besar, lahan akan diambil alih oleh Balai TNMB, karena itu pada tahun-tahun pertama, para petani membiarkan tanamannya tumbuh kepada seleksi alam. 75 Wawancara dengan OPR 7 desa penyangga
150
Tabel 37 Efektifitas kebijakan dilihat dari ketaatan para petani OPR melaksanakan kewajiban dan mendapatkan hak rehabilitasi Ketaatan dan inisiatif para petani dalam merehabilitasi lahan dengan menanam tanaman pokok yang dianjurkan oleh Balai TNMB
Desa
Wonoasri Curahnongko Andongrejo Sanenrejo Curahtakir Mulyorejo* Sarongan* Kandangan*
Rehabilitasi dan tanam tanaman pokok
Swadaya bibit dan menyulam tanaman pokok (jika dibayar oleh TNMB)
F
%
f
24 23 24 24 23 0 23 20
100 100 100 100 100 0 100 100
9 5 7 2 2 0 5 3
% 39,13 25,00 30, 43 8, 33 8,69 0 25,00 12,50
Inisiatif Sendiri
f 12 7 10 5 3 0 5 4
% 50,00 30,43 41,66 20,83 13,04 0 21,73 20,00
Inisiatif Kelompok
f 15 11 13 9 7 0 9 7
% 62,50 47,82 54,16 37,50 30,43 0 39,13 35,00
Inisiatif Balai TNMB
f 19 15 17 11 11 0 15 14
% 83,33 73,91 79,16 58, 33 52,17 0 73,91 60,00
Inisiatif LSM
Jumlah
f
%
f
%
9 9 11 5 3 0 0 0
37,50 39,13 45, 83 20,83 13,04 0 0 0
24 23 24 24 23 0 23 20
100 100 100 100 100 0 100 100
Jumlah 161 100 33 20,49 46 28,57 71 44,09 102 63,35 36 22,36 161 Sumber: Data Primer (2007), responden memilih lebih dari satu pilihan. *) tidak masuk dalam kelompok masyarakat pendudukan lahan dalam kawasan rehabilitasi TNMB danTidak ada intervensi LSM-L
Inisiatif para petani rehabilitasi untuk menanam tanaman pokok, pada umumnya masih berjalan secara mekanik, karena inisiasi atau prakarsa rehabilitasi dari aparat Balai TNMB, sebesar 63,35%, masih lebih tinggi dibandingkan dengan inisiatif dari para petani rehabilitasi secara organisasional atau kolektif, yakni sebesar 44,09%, dan inisiatif individualnya sebesar 28,57%. Rendahnya inisiatif para petani rehabilitasi ini, baik secara organisasional ataupun secara individual bukan karena mereka tidak mau menanam (rehabilitasi), tetapi berkaitan dengan polarisasi kepentingan dan ukuran manfaat sosial ekonomi dari jenis tanaman pokok yang harus ditanam. Para petani OPR menghendaki jenis tanaman pokok tidak dibatasi secara berlebihan, setidaknya sama dengan yang ditanam oleh PT. LDO Jember (PT. Sukamde Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember) --kopi, sengon, kelapa, kakao, karet, mahoni, jati, dll-- jika benar-benar ingin mensejahterakan masyarakat.76 Namun, keinginan masyarakat tersebut sulit dan tidak mungkin dipenuhi oleh Balai TNMB, dengan pertimbangan landasan yuridis 77 dan fakta sosial kelembagaan konservasi masyarakat yang belum memberi kontribusi signifikan terhadap percepatan rehabilitasi kawasan. Dalam konteks ini kedua belah pihak dihadapkan dilema dan tuntuan UU No. 5/1960 76
, Wawancara dengan OPR 7 desa penyangga Ibid..Wawancara dengan Ir. Herry Subagiadi, M.Sc (Ka Balai TNMB); Legalisasi distribusi atau pendudukan lahan adalah tindakan menambrak hukum pada situasi dan kondisi yang rumit, masa harus disusul dengan tekanan untuk melakukan pelanggaran hukum berikutnya, masa sudah dikasih hati mintanya rempelo. 77
100
151
tentang Pokok Agraria Pasal 15 bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah. Preposisi Zander (1990) menyatakan; ”Preposisi 9: Jika para pembaharu menentukan secara tegas perubahan apa yang mereka inginkan dalam situasi tertentu, serta tidak mau menerima alternatif lain, maka mereka akan menggunakan metode yang menghambat atau menekan (constraining or pressuring methetod);
Faktor internal Balai TNMB sangat berpengaruh dan bersinergi dengan sikap dan perilaku masyarakat terhadap capaian program rehabilitasi yang diuraikan di atas, seperti diungkap pada aparat desa di bawah ini; ”Rehabilitasi lahan oleh petugas PHPA seperti tidak niat mas. Lahan gundul itu sengaja dibiarkan gundul terus, supaya tetap ada proyek rehabilitasi, itu akalakalane petugas, kalau tidak tumbuh, nanti ada anggaran baru lagi, itu mentalitas petugas di lapangan yang kita saksikan. Kalau niat rehabilitasi, kenapa habis di tanam tidak dipantau yang maksimal? Yang aneh lagi, masa rehabilitasi hutan (nanam bibit) dilaksanakan pada bulan Agustus? Dapat air dari mana? Ini jelasjelas mMroyek 78 rehabilitasi mas! Anggota OPR dilarang mencangkul, tetapi tetap saja nyangkul, di sini petugas tidak punya nyali dalam menegakkan aturan”. 79
Hal lain yang menarik dari penelitian ini adalah bahwa eksistensi LSM-L telah diakui oleh KTT Bumi di Rio de Janeiro dan PBB memiliki kekuatan yang besar dalam upaya percepatan proses penyadaran dan perbaikan (rehabilitasi) lingkungan. Namun, dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi total dari eksistensi LSM-L dalam proses rehabilitasi fisik terhadap para petani rehabilitasi ternyata relatif kecil, yakni hanya sebesar 22,36 %. Rendahnya nilai kontribusi LSM-L ini, karena beberapa faktor, yakni; 1. LSM-L memang cukup membantu dalam hal pendampingan memperjuangkan hak-hak petani dalam berhubungan dengan Balai TNMB, tetapi semua LSM-L yang disebut pada bahasan di atas, secara umum belum (tidak) mampu atau gagal memberikan jalan keluar dalam membangun jaringan sosial dan 78 “Mroyek rehabilitasi” (proyek rehabilitasi; diucapkan dalam dialeg Jawa Timuran), adalah sindiran dari para aparat desa penyangga, bahwa kegagalan proyek rehabilitasi hutan di Jember dan Banyuwangi (TN dan Perhutani) --aspek sosial budaya, sosial ekonomi dan ekologi-- bukan semata-mata karena faktor masyarakat bodoh, sulit diatur dan kontra kebijakan pemerintah, tetapi memang pihak TNMB dan Perhutani dari sejak awal pelaksanaan, telah merancang skenario penggagalan secara internal kelembagaan mereka, supaya ada proyek rehabilitasi hutan lagi pada tahun berikutnya. 79 Wawancara dengan BPD dan aparat desa di 7 desa penyangga;
152
kelembagaan ekonomi masyarakat desa; 80 Keterbelakangan --kemisikinan-masyarakat desa (OPR) justeru sering dieksploitasi untuk popularitas institusi, bahwa institusi itu telah melakukan proses empowering, transformasi sosial dan keberpihakan (critical knowledge) terhadap masyarakat perdesaan. 81 2. LSM-L belum mampu membaca dan memahami secara kritis cara berpikir dan substansi dari respon atau kehadiran anggota KetanMerer/OPR --atau para petani yang tidak tergabung dalam wadah tersebut-- secara fisik dalam setiap moment seremonial rehabilitasi yang dilakukan oleh LSM-L. Interaksi para anggota KetanMerer/OPR --atau para petani yang tidak tergabung dalam wadah tersebut-- dengan ”dunia luar” secara individual dan atau kolektif, telah membentuk sikap dasar mereka dalam menerima kehadiran siapapun yang datang ke desa mereka, termasuk LSM-L. Kehadiran mereka secara fisik dalam jumlah besar, tidak berarti sebagai pertanda dukungan total atas semua ide dan rencana program yang hendak dilakukan oleh LSM-L; 82 3. Pendampingan rehabilitasi LSM-L terjebak oleh orientasi dan target meraih pengakuan lembaga donor (founding), sehingga garapan-garapan substantif, yang diharapkan masyarakat terabaikan atau tidak pernah disentuh (poin 1). 4. Rehabilitasi lahan dalam arti aktivitas dan teknik menanam bagi masyarakat perdesaan adalah rutinitas sehari-hari. Proses pembelajaran, ajakan, dan himbauan
rehabilitasi yang dilakukan oleh LSM-L menjadi sesuatu yang
kurang bermakna dan tidak menarik (menggarami air laut) bagi para petani.
80 Wawancara FGD dengan OPR 8 desa penyangga; Bagi OPR kehadiran inovator dari LSM-L dan PT sangat didambakan untuk membantu proses inovasi di desa. Dalam FGD, OPR wilayah Jember juga mengungkapkan, Tim Univ. Jember pernah menjanjikan pemberdayaan masyarakat untuk pilot project, tapi proyek pemberdayaan masyarakatnya tidak pernah dilaksanakan, mereka (Tim Univ. Jember) tidak pernah datang ke desa kami.....Statement ini sama dengan pengakuan Dr. Sudarti, M.Kes (mantan Kepala LPM Univ. Jember; April 2009) bahwa desa Sanenrejo dan Curahtakir adalah desa binaan LPM Univ. Jember. 81 Wawancara dengan aparat 5 desa penyangga TNMB wilayah Jember; Menurut pengakuan para aparat desa, ada LSM-L dan beberapa PT negeri dan swasta datang menemui mereka dan menyampaikan tawaran untuk bekerja-sama memberdayakan masyarakat. Tawaran tersebut oleh pihak pemerintah desa, hal ini adalah sesuatu yang menggembirakan. Secara nyata para penawar jasa tadi tidak pernah bertemu dan berbuat sesuatu bersama masyarakat untuk banyak masalah masyarakat perdesaan yang hendak mereka selesaikan. Umumnya, setelah proses tawar menawar selesai, para penawar jasa tidak pernah kembali. Bagi institusi negeri maupun swasta, jelas sudah mendapatkan keuntungan berupa persetujuan pemerintah desa untuk dapat dipublikasikan secara luas, bahwa desa mereka adalah desa binaannya (pilot project). Keterbelakangan masyarakat desa adalah keuntungan (rahmat dan baraqah) yang besar bagi popularitas institusi penawar jasa. 82 Wawancara dengan tokoh masyarakat 8 (delapan) desa penyangga
153
5.2.4 Kondisi faktual; Dilema konservasi alam klasik versus konservasi alam populis dalam program pemberdayaan masyarakat “Di kampung nelayan Bandealit, banyak pohon jati tua dan besar, tumbang berserakan karena faktor alam, dibiarkan lapuk dimakan rayap, sementara itu, di depannya...., atas nama konservasi alam,....terdapat rumah-rumah perkampungan Bandealit yang dibuat dari gedhek (anyaman bambu) dan distigma “liar” menonton kayu-kayu tersebut. Karena “liar” mereka adalah WNI haram --(WNI tanpa tanah air menurut Pak MB, Kades Kandangan)--, bagaimanakah sesungguhnya implementasi cita-cita dan konsep konservasi yang berkeadilan, berkelanjutan, ramah lingkungan dan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.....?”
Hasil amandemen ke-empat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketetapan MPR RI No: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasal 3 dan 4 menegaskan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan, diatur oleh negara, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria Pasal 1 ayat (2) dan (3) menegaskan bahwa seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia adalah kekayaan nasional; Hubungan antara bangsa Indonesia dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah abadi. Konservasi SDAHE bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian SDA hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. 83 Cita-cita makmur dan sejahtera yang menjadi kehendak dan idealisme peraturan perundang-undangan tersebut adalah mimpi buram yang hingga saat ini sulit dan bahkan tidak mungkin diwujudkan dalam situasi dan praktik politik pengelolaan SDA-L yang tidak berpihak kepada rakyat. “Warga desa Kandangan dan juga Sarongan masih banyak yang hidupnya numpang karang di pinggiran hutan Perhutani dan TNMB. Mereka warga desa yang statusnya WNI tapi ora ndue (tidak punya) tanah air. Mereka tinggal di rumah gubuk tanpa kamar, menyatu dengan dapur, makan dan tidur bersama beberapa ekor anjing sebagai teman setia hidup mereka”. 84 83
UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDAHE Pasal 3 Ungakapan hati Kades Kandangan (Bapak MB), ketika menemani Peneliti mengelilingi pinggiran desa Kandanngan, tanggal 7 November 2007., Kades Kandangan adalah mantan pekerja perahu nelayan di Muncar yang juga menjadi aktivis Parpol kabupaten Banyuwangi. Tahun 1998/1999 menjadi Ketua PAC PKB, kemudian pindah menjadi PAC PDI-P dan DPC PDI-P, dan saat di wawancara sudah pindah Parpol, menjadi salah satu Wakil Ketua DPC Partai Golkar Banyuwangi. 84
154
Fakta sosial budaya, ekonomi dan ekologi seperti diungkapkan oleh Kades Kandangan, telah lama menjadi bagian dari rutinitas kehidupan SY (50 Tahun), 85 pemimpin spiritual tertinggi salah satu agama Z di Desa Sarongan dalam berinterkasi dengan SDA-L TNMB: “Saya lahir dan dibesarkan di Sarongan, sekarang saya punya 5 orang anak, yang pertama DO SD, yang kedua, ketiga dan keempat DO SMP, dan anak kelima masih SD kelas 3. Sekalipun di sini sebagai pemimpin spritual tertinggi agama Z, saya berani sumpah pak.....! saya tidak memiliki tanah sawah dan tegalan. Tanah tempat saya mendirikan rumah papan campur gedhek ukuran 4 X 8 m2 ini statusnya numpang karang pada tanah TNI AD. Papan (jati) dinding rumah ini saya ambil tahun 1998/1999 di dalam zona rehabilitasi TNMB, ini sisanya..., Hampir semua warga desa Sarongan dan desa Kandangan yang tidak punya, berani mengambil kayu jati, karena sudah ada pembelinya yang menunggu (Borek). Ini saya ambil tidak ada kaitannya dengan agama saya pak. 86 Sejak tahun 2000 sampai sekarang saya bertani/berladang di lahan mbabatan milik TNMB. Di luar musim tanam dan panen, saya jadi nelayan, nyewa jugung (perahu) tetangga dengan sistem bagi hasil, kami mau bikin perahu sekarang sulit dapat pohon kayu yang besar, mau ambil kayu di TN takut dikejar, ditangkap dan dipenjara di Jember oleh petugas PHPA...kita mau pakai perahu fiber tidak punya uang. Perahu fiber baru beberapa bulan dipakai sudah pecah pak....tidak aman dan nyaman ”.
Masalah interaksi sosial budaya, sosial ekonomi dan ekologi yang sama juga dialami oleh kelompok masyarakat desa penyangga TNMB di kampung nelayan Bandealit, mereka menyatakan: “Kami di sini numpang hidup pak,...orang tua kami sudah lama tinggal di sini, sejak sebelum merdeka (1943)...kami mau ngambil ikan saja sekarang susah, apalagi mengambil kayu untuk bangunan atau untuk memperbaikinya, kami takut di tangkap sama petugas PHPA, mereka sering main tangkap, menahan dan berlaku kasar,...lebih baik rumah kami ambruk daripada ditahan petugas PHPA. Kami bisa nyambung dan bertahan hidup saja sudah luar biasa pak.” 87
Kekayaan SDA-L dalam kawasan TNMB, sejak Indonesia pra merdeka hingga
proses
85
nasionalisasi
asset
negara
pasca
kemerdekaan
tahun
Wawancara dengan Bapak SY, November 2007. Pak SY, mengambil kayu jati, menempati lahan TNI AD dan bertani/berladang di lahan mbabatan tidak ada kaitan dengan agama yang ia anut, merupakan penegasan bahwa agamanya tidak mengajarkan dan memerintahkan hal tersebut. Keadaanlah yang membuat mereka harus terus bergantung kepada SDA-L TNMB. 86 Desa Sarongan dan Desa Kandangan adalah the real miniature Indonesian. Semua agama di Indonesia lengkap dengan tempat ibadahnya ada di sini, dengan tingkat toleransi yang sangat tinggi. Pada waktu hari raya idul fitri 2008, ketika peneliti bersama tim peneliti kembali ke Sarongan dan Kandangan untuk silaturrahim, mayoritas warga yang beragama non muslim --( menurut warga: semua)-- ikut menyediakan jajanan untuk disuguhkan pada para tamu yang bersilaturrahim (riroyoan), demikian juga sebaliknya. Perkawinan antar agama di sini sudah berjalan lama, tanpa harus pindah agama dan tidak menimbulkan konflik antar agama. Anak pertama Pak SY menikah dengan orang Muslim tanpa harus pindah agama. 87 Wawancara dengan BYO (kampung nelayan Bandealit), dan BYAT (kampung Bandealit) PSUR (Andongrejo)
155
1950-1960-an 88, telah menarik perhatian banyak pihak, tetapi tidak cukup mengemuka, karena jumlah penduduk desa-desa penyangga ketika itu relatif sedikit. Perkembangan jumlah penduduk yang relatif cepat, dalam situasi represi negara (alat: TNI/POLRI) yang sangat massiv,
masyarakat sekitar kawasan
TNMB cenderung membungkus konflik dengan berpura-pura sebagai rakyat yang patuh, nrimo ing pandum. Namun dalam situasi kepatuhan tersebut (era Orde Baru), kehilangan kayu jati di kawasan penyangga TNMB mencapai lebih dari 60%. Masyarakat memang bukan satu-satunya pelaku dalam kasus tersebut, tetapi mereka menjadi bagian dari atau mengkooptasikan atau mensub-ordinasikan diri mereka dalam sistem kriminal SDH TNMB yang dimainkan oleh aparat dan aktor lokal. Polarisasi dan eskalasi konflik kepentingan semakin tajam dan bersifat manifest ketika situasi politik nasional dan lokal chaos. Kawasan TNMB yang dikelola dengan Sistem Zonasi 89 berdasarkan UU No.5/1990 Pasal 32 – 34 , SK Dirjend PHPA No: 68/KPTS/DJ-VI/1994 dan SK Dirjend PKA No: 185/Kpts/DJV/1999, dalam situasi politik tersebut dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat desa-desa penyangga untuk melakukan dekonstruksi makna zonasi --khususnya zona pemanfaatan intensif atau zona pemanfaatan khusus,
melalui gerakan
pendudukan lahan-- yang selama ini diinterpretasi secara sepihak oleh aparat PHPA TNMB. Zonasi (zona pemanfaatan) itu apa ?..., itukan akal-akalane pemerintah (PHPA) untuk menyalahkan dan menuduh warga dusun Rajekwesi sebagai pencuri kayu dll, dan membenarkan pemberian hak kelola kepada pihak PT. Bandealit dan PT Sukamade. Masyarakat dipaksa supaya tidak cemburu melihat mondar mandirnya truk-truk perusahaan tersebut setiap hari mengangkut keluar SDH dalam kawasan TNMB, baik di Banyuwangi maupun di Jember, dengan melewati jalan desa.....PT. Bandealit dan PT Sukamade, sama sekali tidak ada manfaatnya bagi pembangunan desa, nyumbang hari nasional saja tidak pernah. Paling banter hanya menampung beberapa warga desa sebagai buruh harian lepas, itu thok sumbangannya pada pembangunan desa. 90 88
Wawancara dengan Pak DV, mantan Direktur PT Sukamade Pasanggaran Banyuwangi, tanggal 12 Oktober
2008 89 UU No: 5/ 1990 Pasal 32 – 34 tentang KSDAHE dinyatakan bahwa pengelolaan Taman Nasional (TN) dilakukan dengan Sistem Zonasi, yakni; 1. Zona Inti yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, 2. Zona Pemanfaatan, bagian dari kawasan TN yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata, dan 3. Zona lainnya, yang lokasinya berada di luar zona 1 dan 2, karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu, seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya. 90 Wawancara Oktober 2008 dengan SUP (61 tahun), tokoh masyarakat Rajekwesi.. Jawaban tersebut adalah reaksi atas penangkapan sejumlah warga dusun Rajekwesi yang mengangkut kayu jati keluar dari desa Sarongan, bulan Maret-Aprl 2008. Masyarakat di desa-desa penyangga TNMB melek informasi atas ketidak-adilan sistem zonasi (zona pemanfaatan) adalah perpaduan antara kenyataan hidup mereka, interaksi dengan banyak pihak, khususnya sejumlah aktivis LSM yang pernah mampir di desa-desa penyangga.
156
Dalam situasi di atas, TNMB mengalami proses ramifikasi dan pertarungan yang hebat antara konservasi sumberdaya alam klasik, konservasi populisme dan konservasi developmentlisme. Fakta sosial kehidupan masyarakat enclave yang sangat bersahaja, terus mengalami intervensi dari luar kampung mereka. Intervensi yang sangat kuat itu sedang menanti situasi politik nasional dan lokal kembali chaos. Dialog di atas juga menunjukkan bahwa kriteria penetapan kawasan TNMB masih bermasalah dan akan terus dipermasalahkan, karena terlalu fokus pada kepentingan konservasi biodiversitas, dan mengabaikan konservasi sosial. Mekanisme penunjukan dan penetapan zona-zona dalam kawasan TNMB hanya berdasarkan usulan, pertimbangan, proses uji publik dan mekanisme keterwakilan yang minim dan tidak melibatkan para pihak lokal. Ini berarti mekanismenya mengalami cacat proses, karena objek yang akan diatur (zona TNMB), dari aspek sejarah berada pada ranah publik. Konsep zonasi menurut McKinnon (Bab II. Tabel 3 dan 4), sesungguhnya tidak membatasi ruang gerak masyarakat secara kaku dan total untuk mengakses SDH dalam kawasan Taman Nasional. Zonasi praksis yang diinterpretasi secara kaku dan sepihak oleh para petugas PHPA telah menimbulkan kebencian yang membekas (mengkristal) dalam hati dan memori masyarakat desa-desa penyangga, terutama masyarakat enclave. Ketika ada situasi yang memungkinkan melakukan gerakan pembalasan, maka hal itu akan dilakukan dengan cepat melalui konsolidasi nilai yang bersifat mekanis, seperti yang dilakukan melalui pendudukan lahan (okupasi). Represi kebijakan konservasi dalam situasi hidup mereka yang sangat bersahaja menyebabkan sikap dan tindakan mereka benarbenar “liar”, sementara program pemberdayaan masyarakat yang yang dilakukan oleh Balai TNMB maupun Pemkab Jember dan Banyuwangi secara faktual tidak pernah menyentuh kehidupan masyarakat enclave. 91 “Kampung kami tidak pernah tersentuh oleh program pemberdayaan masyarakat dari Balai TNMB maupun Pemkab. Jember. Kami juga tidak dimasukan dalam daftar jatah beras raskin. Jika ingin mendapatkan beras raskin, kami harus pinjam nama warga di bawah (Andongrejo), terus berasnya dibagi dua dengan yang meminjamkan nama” 92
91 92
Wawancara dengan tokoh masyarakat Rajekwesi dan Bandealit nelayan Wawancara dengan warga Bandealit kebun dan Bandealit Pantai, September 2007
157
Pihak Balai TNMB dapat saja menampilkan angka-angka keberhasilannya dalam melaksanakan program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (Tabel 38). Keberhasilan tersebut, dalam konteks kebijakan, keberhasilan
dari
sisi
prosedur
administratif
penggunaan
hanyalah
(bagaimana
menghabiskan) anggaran supaya tidak dinilai melakukan tindak korupsi, tetapi bukan keberhasilan substantif, yakni menyelesaikan masalah kemiskinan masyarakat desa-desa penyangga, yang mengancam eksistensi kawasan TNMB. Tabel 38 Realisasi program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat desa-desa penyangga oleh Balai TNMB No.
1.
2.
Program Meningkatkan kesadaran, peran serta masyarakat dan para pihak dalam menjaga kelestarian kawasan • Pertemuan kelompok tani, • Penanaman pinang di jalur batas zona rehabilitasi, • Pengayaan tanaman rehabilitasi oleh kelompok tani • Penyuluhan konservasi • Pengembangan data base ekowisata wanafarma, • Valuasi ekonomi kawasan konservasi • Pembinaan dan penguatan kelembagaan kelompok tani mitra
Realisasi program (%)
Realisasi anggaran (%)
100 %.
30 %.
100 % 100 % 87,48%, 94,44%, 100 % 100 % 28,78%,
rehabilitasi • Analisis spatial distribusi tumbuhan berkhasiat obat • Kajian sosekbud masyarakat desa model,
100 % 100 %
0% 0%
Menciptakan peluang usaha dan kesempatan kerja melalaui homeindsutri • Bantuan peralatan pengolahan keripik, • Bantuan modal bagi KKP • pelatihan pengolahan dan pemasaran hasil tanaman
100 % 100 % 100 %.
100 % 100 % 100 %
100 %. 100 %. 100 %. 100 %.
100 % 100 % 94,88%, 99.00%.
• • • •
rehabilitasi, pelatihan sosialisai dan manfaat berkoperasi, Pembuatan demplot pulai, Pembuatan demplot Tumbuhan obat/empon-empon, Pembuatan bak penampungan air
100 %. 100 %. 100 %.
Sumber: BTNMB (2007) Aspek penilaian dampak dan kemanfaatan program memang dilakukan, tetapi menurut ukuran dan perasaan Balai TNMB (Departemen Kehutanan), bukan menurut ukuran dan perasaan masyarakat desa penyangga, sehingga menjadi tidak objektif. Bentuk pelaporannya dituangkan dalam dokumen AKIP/LAKIP, yang khusus untuk konsumsi pemerintah (Balai TNMB), sehingga terkesan hanya untuk memuaskan pemerintah (Balai TNMB) sendiri. Salah satu parameter yang dinilai oleh masyarakat adalah upaya pemerintah (Balai TNMB) untuk pemberdayaan ekonomi lokal, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
158
5.2.5 Efektifitas dan Dilema Penegakan hukum dan Kelembagaan Konservasi 5.2.5.1 Efektifitas Penegakan hukum Penegakan hukum (law enforcement) adalah salah satu indikator keberhasilan implementasi kebijakan suatu lembaga pemerintah. Penegakan hukum dalam penelitian ini akan dilihat dalam 3 (tiga) periode 5 (lima) tahunan (Tabel 40), yakni; (1) periode 1995/1996-2000, sebagai periode prakondisi menuju reformasi politik nasional, (2) periode tahun 2000-2004, sebagai periode transisional, karena situasi politik masih sangat labil dan (3) periode 2005-2009, sebagai periode implementasi agenda reformasi, namun gagal dilaksanakan dan dibuktikan oleh pemerintah (Depatemen Kehutanan). Tabel 39 Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB tahun 1995/1996 - 2000 Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB Kayu Telur Kayu Rotan Kayu Jati Bambu Rimba Penyu Lain
Tahun 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 Jumlah
Sumber:
39 90 61 170 Ha 72 262 (87,04%)
2 11 8 8 29 (9,63%)
3 1
4 (1,32%)
2 1
1
1 1
3 (0,99%)
1 (0,33%)
2 (0,66%)
Jumlah pelanggaran 44 106 71 80 301 (100%)
Sub BKSDA Jawa Timur II (1995/1996-1997/1998); diolah dari Statistik kehutanan BTNMB (2000)
Pada periode lima tahun pertama, yakni tahun 1995/1996-1999/2000, sebagai periode prakondisi menuju reformasi politik nasional, tingkat pelangaran hutan, sangat tinggi dan tidak mampu diinventaris secara baik oleh Balai TNMB. Bahkan, pada periode 1998/1999, ketika situasi politik nasional chaos, Balai TNMB tidak berhasil mencatat banyaknya kasus pelanggaran hutan, tetapi hanya mampu mencatat luasan hutan yang dijarah oleh masyarakat yang bekerja dengan borek dan aparat kemanan. Luas lahan yang berhasil diinventarisir hanya sekitar 170 Ha dari luas kawasan yang rusak mencapai lebih dari 4.000 Ha, seperti ditunjukan pada Gambar 13 dan Tabel 40. Gambar 10 menunjukan dinamika pelanggaran hutan yang bersifat diskontinu,
yang
memperlihatkan kelumpuhan aparat
pemerintah dalam
menegakkan hukum. Pada situasi demikian, aparat pemerintah, karena berkaitan
159
dengan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan (akses SDH; kayu jati dan kayu) yang sulit dan mahal, menjadi bagian penting dari proses pelumpuhan penegakan hukum. Dengan kata lain, aparat penegakan hukum di Jember dan Banyuwangi, menjadi operator atau otak pelanggaran hukum. Tabel 40 Akses ilegal pengambilan kayu perkakas tahun 1995/1996-2004 dalam kawasan TNMB Tahun 1995/1996
Lokasi a. Resort KSDA Guci Betiri b. Resort KSDA Mandilis c. Resort KSDA Sabrangtrate
1996/1997
1997/1998
d. Resort KSDA Bandealit a. Resort KSDA Guci Betiri b.
Resort KSDA Mandilis
c.
Resort KSDA Sabrangtrate
d.
Resort KSDA Karangtambak
e. f. a.
Resort KSDA Sukamade Resort KSDA Malangsari Resort KSDA Guci Betiri
b.
Resort KSDA Mandilis
c. d.
Resort KSDA Sabrangtrate Resort KSDA Karangtambak
1998/1999
e. Resort KSDA Malangsari f. Resort KSDA Sukamade Sub SWK Ambulu
1999/2000
a. Sub SWK Ambulu b. Sub SWK Sarongan
Jenis
Per Lokasi
Frekuensi Total (kali)
Kayu jati Rotan Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Rotan Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Kayu lain Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Bambu Telur Penyu Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Bambu Kayu rimba Telur Penyu Kayu jati (170 ha)
14 kali 1 kali 6 kali 1 kali 19 kali 1 kali 2 kali 35 kali 1 kali 20 kali 4 kali 1 kali 31 kali 1 kali 4 kali 4 kali 1 kali 2 kali 1 kali 19 kali 1 kali 18 kali 2 kali 24 kali 3 kali 1 kali 2 kali 1 kali
Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba
72 kali -
Kayu jati Kayu rimba Rotan
: : :
39 2 3
Kayu jati Kayu rimba Bambu Telur penyu Kayu lain
: : : : :
90 11 1 2 1
Kayu jati Kayu rimba Bambu Telur penyu Kayu lain
: : : : :
61 8 1 1 -
Kayu jati Kayu rimba
: :
72 8
8 kali
Sumber: Sub BKSDA Jawa Timur II (1995/1996-1997/1998); BTNMB (2000)
Berdasarkan Tabel 40 dan Gambar 13, kasus pelanggaran hutan tertinggi (terfavorit) adalah akses kayu jati sebanyak 262 kasus (87,04%), kemudian akses kayu rimba sebanyak 29 kasus (9,63%), akses rotan 4 kasus (1,32%), akses telur penyu 3 kasus (0,99%), akses kayu lain1 kasus (0,33%), dan akses bambu 2 kasus (0,66%). Jika ditotal, jumlah akses kayu ilegal pada periode ini mencapai 296 kasus (98,32 %). Dalam periode ini tidak menemukan dokumen jumlah kasus yang berhasil di P-21, kecuali hanya catatan kasus yang mencapai 301 kasus (100%). Secara lebih rinci, kasus pelanggaran hutan (akses kayu ilegal) diperlihatkan dalam Tabel 41.
160
120 Kayu Jati Kayu Rimba
105
Rotan Telur Penyu
100
Kayu Lain 90
Bambu Jumlah Akses Ilegal SDH 80
80 72
71
61 60
44 40
39
20 11 8 2
3
1
2
1
8
1
1
1
0
0 1995/1996
1996/1997
1997/1998
1998/1999
1999/2000
Gambar 14 Dinamika pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB pada situasi politik nasional chaos tahun 1995/1996-1999/2000 Pada periode 5 tahun kedua, yakni tahun 2000-2004, sebagai periode transisional, situasi politik nasional masih sangat labil. Kasus pelanggaran hutan, walaupun secara kuantitatif dan prosentase menurun dibandingkan periode 5 (lima) tahun pertama, tetapi masih relatif tinggi. Pada tahun pertama periode ini menurun tajam, tetapi pada tahun-tahun berikutnya kembali naik secara linier, dengan nilai R2= 93, 60%, seperti ditunjukan pada Tabel 41 dan Gambar 14. Faktor penting yang menyebabkan turunnya angka pelanggaran hutan, adalah keberhasilan masyarakat desa-desa penyangga mengakses (okupasi) lahan dalam kawasan TNMB dan lahan Perhutani. Tabel 41 Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB tahun 2000-2004 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 Jumlah
Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB Kayu Kayu Telur Rotan Kayu Lain Jati Rimba Penyu 7 1 1 9 (4,18%)
12 14 20 44 73 163 (75,81%)
9 12 8 4 33 (15,34%)
3 2 5 (2,32%)
1 (kayu sadeng) 4 (bahan perahu) 5 (2,32%)
Jumlah 19 23 37 55 81 215 (100%)
Sumber: Sub BKSDA Jawa Timur II (1995/1996-1997/1998); BTNMB (2000) setelah diolah
161
90 81 80
Kayu Jati
73
Kayu Rimba 70
Rotan
y = 15.6x - 3.8 R2 = 0.936
Telur Penyu Kayu Lain
60
55
Bambu Jumlah Akses Ilegal SDH 50
Linear (Jumlah Akses Ilegal SDH) 44
40
37
30 23
14
12 10
20
19
20
12 9
7
8 1
3
1
1
2
4
4
0 2000
2001
2002
2003
2004
Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB Tahun 2000-2004
Gambar 15 Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB tahun 2000-2004 Kurun waktu tahun 2000 – 2004, kasus pelanggaran hutan mencapai 215 (dua ratus lima
belas)
kasus,
dengan total nilai kerugian
mencapai
Rp. 448.839.771 (Tabel 42). Berdasarkan Tabel 42 dan Gambar 14 tersebut, terjadi pergeseran akses kayu, yakni akses kayu jati turun sangat tajam menjadi 9 kasus (4,18%) bergeser ke akses kayu rimba, naik hingga 163 kasus (75,81%). Pergeseran tersebut terjadi karena kawasan jati eks Perhutani yang ditetapkan masuk dalam kawasan penyangga TNMB berhasil dihabiskan oleh para pelaku penjarahan sistemik, sehingga pilihan pelanggaran hutan bergeser ke kayu rimba. Tingginya pelanggaran hutan itu, terjadi karena sinergitas antara faktor kemiskinan, keterbatasan lahan, pendidikan rendah, kepadatan pendudukan, tingginya tingkat pengangguran di perdesaan dengan instabilitas politik nasional akibat konflik elite politik, yang merembes ke regional Jawa Timur. Kawasan hutan konservasi dan pelestarian alam di Jawa Timur, sebagian besar berada dalam wilayah tapal kuda. Ketika terjadi konflik elite politik di Jakarta pada tahun 2000 – 2004, maka eskalasi suhu politik di wilayah tapal kuda pun ikut memanas. Dalam kurun waktu tersebut, para aktor dan elite lokal, telah memposisikan SDA-L TNMB dan di beberapa kawasan hutan lainnya di Jawa Timur, sebagai tameng bargaining politik, spirit gerakan dan ”landasan hukum” untuk menekan pengelola TNMB dan Perhutani, agar para aktor bebas mengambil SDH kayu dan non kayu serta menggarap lahan. Secara rinci, kasus pelanggaran hutan (akses kayu ilegal) diperlihatkan dalam Tabel 42.
162
Tabel 42 Kasus pelanggaran hutan dan kerugian tahun 2000-2004 Balai TNMB. Lokasi
2000
a. Sub seksi wilayah konservasi Ambulu
Kayu rimba Perambahan
31 tgkn, 265 btg 1300 ha
9.194.075,-
12 kali
b. Sub seksi wilayah konservasi Sarongan Jumlah
Kayu jati
9 tgkn, 173 btg
3.036.850,-
7 kali
-
40 tgkn, 438 btg, 1300 ha
12.230.925,-
19 kali
c. Sub seksi wilayah konservasi Ambulu
Kayu rimba Rotan Perambahan
21 tgkn, 363 btg 2002 btg 1500 ha
28.775.197,-
8 kali 5 kali -
d. Sub seksi wilayah konservasi Sarongan Jumlah
Kayu rimba Rotan -
87 tgkn, 583 btg 680 btg 108 tgkn, 3628 btg, 1500 ha
32.900.025,61.675.222,-
6 kali 4 kali 23 kali
a. Sub seksi wilayah konservasi Ambulu
Kayu sadeng Rotan Perambahan
44 btg 155 btg 1500 ha
22.556.000,155.000,-
1 kali 3 kali -
b. Sub seksi wilayah konservasi Sarongan
Kayu rimba Kayu jati Rotan Telur penyu Kayu rimba -
376 btg, 30 tgkn 1 tgkn 7605 btg 1200 btr 385 btg, 25 tgkn 8565 btg, 56 tgkan, 1500 ha, 1200 btr
28.694.870,2.146.000,9.622.500,1.200.000,37.288.357,101.662.727
7 kali 1 kali 9 kali 3 kali 13 kali 37 kali
a. Sub seksi wilayah konservasi Ambulu
Kayu rimba Kayu jati Rotan Perambahan
882 btg, 47 tgkn 15 tgkn 2031 btg 1500 ha
23.137.297,11.849.810,2.031.000,-
21 kali 1 kali 4 kali -
b. Sub seksi wilayah konservasi Sarongan
Kayu rimba Rotan Telur penyu -
852 btg, 55 tgkn 4425 btg 424 btr 8190 btg, 117 tgkn, 1500 ha, 424 btr
69.674.500,4.425.000,424.000,111.541.607
23 kali 4 kali 2 kali 55 kali
a. Sub seksi wilayah konservasi Ambulu
Rotan Kayu rimba Bahan perahu Rotan Perambahan
3780 btg 1090 btg, 74 tgkn, 4 balok 900 btg 1500 ha
3.780.000,74.900.886,26.000.000,900.000,-
2 kali 41 kali 2 kali 2 kali 3535 KK
b. Sub seksi wilayah konservasi Sarongan Jumlah
Kayu rimba Bahan perahu -
687 btg, 14 tgkn 3 balok 6457 btg, 88 tgkn , 1500 ha, 3 balok
44.148.404,12.000.000,161.729.290
32 kali 2 kali 81 kali, 3535 KK
2001
2002
Jumlah
2003
Jumlah
2004
Jumlah Total Kerugian Tahun 2000 - 2004
Jenis
Kerugian Fisik Rupiah
Tahun
Frekuensi
448.839.771
Sumber : BTNMB (2004)
Kekuatan ancaman dan tekanan basis massa Gus Dur dan Megawati di daerah Tapal Kuda (Besuki), dalam akses SDA-L adalah nyata. Basis massa politik Gus Dur dan Megawati, pada tahun 2000, berhasil masuk ke sejumlah kawasan hutan di Jawa Timur, terutama di Jember dan Banyuwangi, setelah
163
mendengar statement politik Gus Dur di media massa, yang berencana akan melakukan landreform terhadap sejumlah kawasan hutan dan perkebunan di Indonesia. Di samping itu, di daerah tapal kuda, dalam konstelasi politik nasional, regional dan lokal, pada masa kepresidenan Gus Dur dan pada saat kudeta terhadap Gus Dur, telah menjadikan pelabuhan laut, hutan dan pohon-pohon di sepanjang jalan utama wilayah itu sebagai alat negosisasi politik untuk mengamankan kursi kepresidenan Gus Dur, sekaligus memperkuat basis pendudukan mereka dalam kawasan hutan, terutama di TNMB dan kawasan Perhutani. Ketika Gus Dus benar-benar dijatuhkan oleh kekuatan koalisi partai politik nasional, pohon-pohon berusia puluhan tahun ditebang melintang di sepanjang jalan utama wilayah eks karesidenan Besuki, sebagai wujud kemarahan mereka terhadap koalisisi politik yang menjatuhkan Gus Dur. Pasca Gus Dur jatuh dari kursi kepresidenan, kelompok masyarakat di desa Wonoasri, mengakses lahan dalam zona rehabilitasi TNMB setelah difasilitasi oleh Ketua DPC PDIP Jember (Alm Bapak Misnali). Fasilitasi akses lahan berlangsung ketika Ibu Megawatie menjadi Presiden RI menggantikan Gus Dur yang dijatuhkan oleh koalisi partai politik, dan Menteri Kehutanan adalah Dr. M Prakosa (Kader dan pengurus DPP PDIP). Pada paruh ketiga, yakni tahun 2005-2009, ketika situasi politik nasional relatif stabil, secara prosentase memang cenderung menurun, tetapi secara kuantitatif pelanggaran hutan kembali naik, yakni sebanyak 353 kasus (Tabel 43). Naiknya kasus pelanggaran hutan ini memperlihatkan kembali menguatnya polapola lama pelanggaran sistemik dalam mengakses SDA-L dalam kawasan TNMB. Artinya, pelanggaran hutan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi sudah memiliki jaringan kerja pelanggaran hutan yang relatif mapan dan terkonsolidasi secara rapih. Jika pun terjadi penurunan jumlah kasus pelanggaran hutan dari tahun ke tahun berikutnya, itu tidak berarti menguatnya kerja penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat Balai TNMB, tetapi hanya merupakan bentuk-bentuk adaptasi para aktor pelanggar hutan pada situasi dan kondisi lokal. Para aktor yang melakukan tindak pidana pelanggaran hutan, penangkapan hanya dapat terjadi atau dilakukan oleh aparat penegak hukum, jika lupa membaca
164
Mantra Mawar Merah; jika tidak, hal itu hampir dapat dipastikan tidak mungkin terjadi; “Urusan membawa SDH TNMB benilai jual tinggi itu sangat gampang. Aktor, biasanya bekerja-sama dan dilindungi oleh aparat, cukup membaca Mantra Mawar Merah, mau membawa apa saja, pasti aman dan tidak kelihatan petugas..... Kalau sampean mau bangun rumah, kami siapkan kayu dari sini, kayunya pasti lebih kuat dari kayu Kalimantan. Saya jamin aman sampai rumah sampean” 93.
Tabel 43 Indeks jenis kasus tindak pidana bidang kehutanan berdasarkan penyidik tahun 2005 – 2009 di Balai TNMB Jenis Kasus Tahun
Illegal logging
Perburuan satwa
Peram bahan
2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah %
28 32 44 65 58 227 64,30%
6 4 6 17 12 45 12, 74%
4 1 3 1 4 13 3,68%
Kebakaran hutan dan lahan 0 1 1 2 4 8 2,26%
Gangguan lain
Jumlah kasus
Jumlah P-21
4 3 10 13 30 60 16,99%
42 41 64 98 108 353 100%
16 13 21 20 19 89 25,21 %
Penyidik PPNS 2 0 1 2 1 6 1, 69%
Vonis
POLRI 12 13 20 17 20 82 23,22%
11 bln 6 bln 2 thn 1 thn
Sumber: Data kasus pelanggaran hutan Balai TNMB, setelah diolah (2009) Berdasarkan Tabel 43 dan Gambar 15 di atas, sejak tahun 2005-2009, frekuensi jenis tindak pidana bidang kehutanan yang paling banyak dilakukan adalah kasus illegal loging sebanyak 227 kasus (64,30%). Kasus ini naik secara linier, dengan nilai R2= 91,89%, dalam situasi politik nasional, regional dan lokal sangat stabil. 120
Illegal Logging Perburuan Satwa Perambahan Kebakaran Gangguan Lain Jumlah Akses Ilegal Linear (Jumlah Akses Ilegal)
100
y = 18.9x + 13.9 R2 = 0.9189
108
98
Kuantitas
80
64
65 58
60
42
41
44
40 32
30
28 17
20
13
10 6
4
4 0
4
1
1
3
6
3
1
1
2
12 4
4
0 2005
2006
2007
2008
2009
Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB tahun 2005-2009
Gambar 16 Frekuensi pelanggaran hutan TNMB selama periode tahun 2005-2009 93
Wawancara tanggal Mei 2007 dengan tokoh muda OPR dan LMDH desa Sanenrejo dan Curahtakir; Di Banyuwangi, Selain Mantra Mawar merah, kesenian daerah (gandrung) sering dijadikan sebagai peluang untuk mengakut kayu, sementara sumpit beracun (berbius) sering dipakai untuk menaklukkan banteng, supaya aman dari kontrol aparat polisi hutan”.
165
Tabel 44 Efektifitas kebijakan dilihat dari dukungan, ketaatan dan keterlibatan masyarakat dan OPR dalam membantu upaya penegakan hukum Dukungan dan Keterlibatan Masyarakat dan Organisasi Petani Rehabilitasi (OPR) dalam Membantu Upaya Penegakan Hukum Lapor ke aparat terkait
Desa
Wonoasri Curahnongko Andongrejo Sanenrejo Curahtakir Mulyorejo Sarongan Kandangan Jumlah
F 0 0 0 0 0 0 0 0 0
% 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biarkan, solidaritas sesama warga f % 19 79,16 19 82,60 21 87,50 23 95, 83 21 91, 30 12 80,00 20 86,95 16 85,00 154 87,50
Ingatkan pelaku f 0 0 0 0 0 0 0 0 0
% 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Taat pada aturan rehabilitasi f % 17 70, 83 9 39,13 11 45,83 9 37,50 7 30,43 0 0 10 43,47 8 40,00 71 40,34
Jumlah Tidak tahu F 5 4 3 1 2 3 3 4 25
% 20, 83 17, 39 12,50 4,16 8,69 20,00 13,04 15,00 14,20
f 24 23 24 24 23 15 23 20 176
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Data Primer (2007), responden dapat memilih lebih dari satu pilihan.
Berdasarkan Tabel 44, maka efektifitas kebijakan dilihat dari dukungan, ketaatan dan keterlibatan masyarakat dan OPR dalam membantu upaya penegakan hukum, maka kontribusi kontribusi masyarakat desa-desa penyangga, terutama yang diberi akses pemanfaatan lahan masih sangat rendah. Jika terjadi kasus pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB, tidak ada di antara warga yang mau melapor atau memberitahu aparat keamanan, karena alasan solidaritas sesama warga kampung yang mencapai 154 orang (87,50%), ketaatan pada aturan rehabilitas yang sudah disepakati juga rendah, hanya ada
71 orang (40,34),
sementara warga masyarakat yang tidak mau tahu tentang pelanggaran hutan oleh sesama warga ada sebanyak 25 orang (14%). Kontribusi dan perilaku warga masyarakat seperti Tabel 44 di atas, bersumber dari sosialisasi program yang minimalis dari Balai TNMB, sehingga berdampak langsung pada dukungan penegakan hukum dari masyarakat desa-desa penyangga, termasuk kelompok OPR sendiri yang menjadi mitra rehabilitasi Balai TNMB. Solidaritas mekanis sebagai sesama warga jauh lebih tinggi (berarti) daripada solidaritas kemitraan rehabilitasi dengan Balai TNMB. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kenaikan angka pelanggaran hutan adalah kapasitas aparat, anggaran, sarana prasarana yang dimiliki serba terbatas dan tidak sebanding dengan luasnya kawasan serta sosialisasi peraturan
166
perundang-undangan yang minimalis. Bagi aparat desa, tokoh pemuda dan warga masyarakat desa-desa penyangga, aparat Balai TNMB bisanya cuma main tangkap dan meresahkan warga, mereka tidak pernah berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat 94. Kondisi di atas diperparah oleh eksistensi PT.LDO yang membawahi PT. Sukamade Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember. Eksistensi dan dukungan lembaga
bisnis
PT.
LDO
Jember
yang
telah
berpuluh-puluh
tahun
mengeksploitasi kawasan perkebunan Bandealit dan Sukamade, sama sekali tidak signifikan dalam penegakan hukum. Justeru yang terjadi sebaliknya, eksistensi PT. LDO Jember yang dipertahankan atau diperpanjang oleh pemerintah pusat, menjadi preseden buruk bagi perluasan perambahan kawasan TNMB. PT LDO Jember yang menebang kayu, masyarakat desa menuduh kami (Balai TNMB), ini merusak citra kerja dan idealisme konservasi Balai TNMB 95. Peran lembaga penegak hukum --kepolisian, kejaksaan dan kehakiman-relatif masih rendah. Dari 353 kasus pelanggaran hutan selama tahun 2005 – 2009, hanya 89 kasus (25,21%) yang berhasil dinaikkan statusnya pada tingkat P21 (diproses hukum lebih lanjut), sementara sebanyak 264 kasus (74,78%) tidak jelas proses penyelesaian akhirnya (Tabel 43). Sedikitnya jumlah kasus yang mampu dinaikkan statusnya pada tingkat P-21 merupakan idikator lemahnya kemampuan koordinasi dan konsolidasi antara Balai TNMB dengan aparat penegak hukum di kabupaten Jember (Tabel 44). Pada sisi lain, ini menunjukkan adanya permainan para aktor dalam menyelamatkan kasus, dengan saling bermain menekan dan menaklukkan, agar tidak memproses atau melanjutkan kasus pelanggaran hutan dimaksud, tetapi tujuannya adalah mendapatkan manfaat langsung dari kasus itu 96. Dalam beberapa kasus tindak pidana kehutanan (tipihut), terutama kasus illegal loging, Balai TNMB selalu terpojok dan dihadapkan pada dilemma 94
Wawancara dengan aparat desa, aktivis OPR, tokoh pemuda dan masyarakat Wawancara dengan Kepala Balai TNMB Seorang petinggi aparat penegak hukum di Jember, mengatakan kepada peneliti, bahwa pada tahun 2006, ia dan timnya telah mengintai beberapa minggu dan kemudian menangkap beberapa truk yang berisi puluhan meter kubik kayu garu dari TNMB, milik aktivis Partai PKS Jember. Setelah ditangkap dan diproses sesuai UU, kemudian kasusnya dilimpahkan ke institusi penegak hukum lanjutan. Oleh oknum penegak hukum lanjutan, kasus ini dipeti-eskan dengan mengambil lebih dari separuh barang bukti kayu Garu untuk kepentingan pribadi, sementara ia dan timnya hanya diberi kompensasi uang senilai Rp. 1 juta oleh pemilik kayu. Melihat perbuatan oknum tersebut, maka ia pun melakukan hal yang sama dengan oknum penegak hukum lanjutan, yakni mengamankan kayu Garu beberapa kubik, kemudian dibagikan kepada timnya. Pelanggaran hutan, akhirnya menjadi perilaku kolektif, termasuk aparat penegak hukum. 95 96
167
pembuktian, yang menunjukkan rendahnya pengakuan eksistensi Polhut Balai TNMB ketika berhadapan dengan aparat kepolisian, kejaksaan, dan Dinas Kehutanan (Dishut) Pemkab. Jember 97. Pada proses pemeriksaan kayu yang dilakukan di Polres Jember dengan menghadirkan petugas Dishut Pemkab. Jember, Polres Jember dan petugas Balai TNMB, hasil pemeriksaan awal di Tempurejo dianulir, karena tidak ditemukan kesalahan, pelanggaran atau unsur pencurian kayu milik TNMB. Menurut petugas Dishut Pemkab. Jember, kayu tersebut syah sebagai “kayu rakyat”, sehingga pihak Polres Jember harus segera melepas atau membebaskannya. Dalam tekanan situasi demikian, aparat Balai TNMB dihadapakan kepada fakta sosial, bahwa dalam penegakan hukum terlalu mudah untuk diskenario sesuai kepentingan para aktor98. Menghdapai situasi seperti di atas, Balai TNMB pernah mengkonsolidasi dan memfungsikan potensi LSM-L (KAIL) untuk membantu menekan aparat penegak hukum, agar memproses secara serius dan transparan semua kasus pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB. Dulu TNNMB, Latin, KAIL dan Polsek Ambulu pernah kencang mengawal penegakan hukum, bersama, Jaketresi (curahnongko), Permataresi (Andongrejo), Jangkar (Sanenrejo), tidak termasuk kelompok OPR dan Ketanmerah tapi ganti pimpinan buyar lagi, setelah sampai Kejaksaan Jember, semua kasus mati. Akhirnya idealisme LSM-L, masyarakat dan Polisi (idealis) mati di Kejaksaan, sehingga sejak itu ada semacam frustrasi terhadap kinerja aparat penegak hukum, utamanya Kejaksaan. 99 Kami (Polisi) tidak semua baik, tapi masyarakat perlu tahu, Polisi memproses atau mengurusi
semua kasus yang diajukan oleh masyarakat,
sekarang ini sama dengan memberi makan Kejaksaan pak, semua pada tahu, satu 97 Wawancara dengan MS dan Petugas Polhut TNMB Wonoasri. Kasus MS, tanggal 17 (18) September 2008, yang mengangkut kayu 1 (satu) truk) sekitar 5 m3 dari desa Andongrejo. MS telah memiliki dokumen (surat) resmi sebagai “kayu rakyat”, terdiri dari kayu jati dan kayu bayur. Di tengah perjalanan, yakni di desa Wonoasri, truk “kayu rakyat” itu ditangkap oleh petugas Polhut TNMB (Adi, Sugeng, dkk). Secara administrasi, surat angkut kayu tersebut memang menyatakan kayu rakyat (desa), namun isi surat tersebut tidak sama dengan yang dimuat dalam truk., volume kayunya sama, tetapi jenis kayunya berbeda dan beragam, tidak hanya kayu jati dan bayur. “Kayu rakyat” tersebut dalam pemeriksaan awal petugas Polhut TNMB bersama petugas kepolisian Tempurejo di Polsek Tempurejo, selain kayu jati dan kayu bayur, juga ada 21 (dua puluh satu) batang kayu tidak berdokumen, yakni: 1 (satu) lonjor kayu manting, 11 (sebelas) lonjor kayu nyampo, 7 lonjor (tujuh) kayu mahoni, 2 (dua) lonjor kayu Garu. Pada pemeriksaan di Polres Jember, berubah menjadi hanya kayu jati, kayu bayur dan sisanya 11 (sebelas) lonjor kayu mahoni. Karena hasil pemeriksaan Polres Jember dan Dishut pemkab. Jember syah sebagai kayu rakyat, maka Balai TNMB hanya dapat menahan surat-surat truk, sementara truknya dikembalikan kepada MS. 98 Seorang petugas Polhut Balai TNMB Wonoasri, mendengar hasil pemeriksaan Polres Jember dan Dishut Pemkab. Jember, menyatakan bahwa hasil pemeriksaan di Polres Jember boleh dan silakan saja di(lolos)kan, tetapi barang buktinya lengkap, sudah kita pegang dan dokumentasikan. Bagaimana teknis pemeriksaannya, sehingga dinyatakan syah sebagai kayu rakyat (desa), kayu itu nyata adanya, nyata lokasinya dan dapat dibuktikan, bukan barang ghaib dan tidak diambil di alam ghaib. 99 Wawancara dengan Kasminto, Pembina LSM KAIL Ambulu Jember, Januari 2010
168
kasus kecil saja mintanya minimum Rp. 9 ribu (baca; Rp. 9 juta), apalagi kasus ilegal loging, kayunya diambil (bukan disita), truknya ditahan, duitnya diminta, jadi rugi tiga kali 100. Kasus Pak MS, itu sudah ada uji laboratorium kayu dari LIPI, namun tidak ada biaya untuk proses peradilan lebih lanjut, hanya STNK dan kayunya yang disita, truknya dikembalikan. Kalau sudah urusan dengan kejaksaan, kepolisian jadi repot karena memang ada Polisi yang nakal, oknum kejaksanaan pernah ketemu saya, tanya,.....mas ada masalah (kasus)? 101 Melakukan pelanggaran hutan, bagi para aktor, tidak hanya berkaitan dengan upaya (profesi) dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi keluarga, tetapi juga show of forces, kebanggaan dan harga diri bahwa mereka adalah aktor yang mampu menaklukan aparat penegak hukum. Perkenalan dan kemampuan menaklukkan aparat penegak hukum memiliki dampak yang kuat terhadap eksistensi aktor dalam kehidupan dan interaksi sosialnya dengan warga masyarakat lainnya. Aktor dengan kemampuan tersebut, kecuali sangat disegani oleh warga masyarakatnya, karena jaringan interaksi sosialnya dengan aparat keamanan, juga merupakan modal untuk melakukan kejahatan dan pelanggaran hukum berikutnya secara lebih sistemik, massif dan intensif. Pola hubungan dan jaringan sosial ini telah terpateri menjadi sebuah kultur dan profesi sampingan para aktor yang saling menguntungkan di antara mereka. Tindakan tersebut ada (banyak) yang dilakukan dengan sengaja, dan ada yang dilakukan sebagai reaksi terhadap perbuatan curang salah satu aktor102 (Gambar 16).
100
Wawancara dengan Perwira Intel aktiv Polres Jember Wawancara dengan Pers Teropong, Januari 2010 102 Wawancara dengan para aktor illegal loging, tokoh pemuda, tokoh masyarakat 8 desa hutan dan aparat 101
keamanan
169
Gambar 17 Petugas TNMB sedang mengecek dan mengukur omtrek tunggak kayu Garu barang bukti yang ditemukan di TKP 5.2.5.2 Efektivitas kelembagaan konservasi masyarakat 5.2.5.2.1 Dinamika dan ragam kelembagaan internal masyarakat desa Analisis kelembagaan mencakup analisis sejarah, tujuan dan fungsi eksistensial institusi, proses institusionalisasi, pengorganisasian, pembagian peran dan tanggung-jawab, sistem norma dan sistem hubungan sosial (budaya organisasi), serta karakteristik institusionalisasi. Selama lebih dari 3 (tiga) dekade pemerintahan Orde Baru, dominasi kelembagaan formal bentukan pemerintah telah masuk ke ranah kehidupan masyarakat hingga pada tingkat Rukun Tetangga (RT). Represi dan intervensi lembaga bentukan pemerintahan Orde Baru terbukti sangat efektif dalam menjalankan missi pemerintah, terutama dalam hal pelibatan (participation) dan pembinaan masyarakatnya untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemerintah, seperti rehabilitasi hutan. Partisipasi masyarakat -mobilisasi massa-- yang muncul di
atas permukaan tampak signifikan
mendukung gerakan rehabilitasi, tetapi itu semua semu (pseuodo participation). Artinya, kuantitas partisipasi masyarakat dalam suatu proses sosioekologi (rehabilitasi) tidak linier dengan keberhasilan proses tersebut, karena kondisi riil kawasan hutan di Jember dan Banyuwangi tetap saja gundul.
170
Ketika itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan teknis rehabilitasi, informasi dan pembinaannya diambil alih oleh aparatur Negara (pemerintah). Fungsi eksistensial kelembagaan masyarakat dan elit-elit sosial lokal (tokoh non formal) dalam setiap moment perubahan sosioekologi, tidak lebih dari sekedar legalitas kultural, agar program yang sudah dirancang dapat berjalan dengan sukses. Dominasi dan intervensi negara (pemerintah) dalam seluruh proses internal kelembagaan masyarakat, saat itu telah berhasil mendomestikasi masyarakat pada tingkat permukaan. Di samping itu, juga berhasil melumpuhkan kekuatan dan inisiatif masyarakat serta membasmi kearifan lokal dalam menciptakan, merespon dan mengawal setiap proses perubahan sosioekologi. Akibatnya, kelembagaan masyarakat hanya sebagai cultural accessory yang kehilangan makna dan kekuatan dalam membentuk dan mengendalikan sikap dan perilaku masyarakatnya, termasuk dalam berinteraksi dengan SDA-L. Runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru pada tahun 1997-1998, diikuti oleh runtuhnya daya pengaruh sejumlah kelembagaan formal bentukan pemerintah dari pusat hingga desa, yang selama 32 tahun dominan dalam pelaksanaan pembangunan desa, termasuk pembangunan sektor kehutanan. Dua lembaga Departemen Kehutanan --TNMB dan Perum Perhutani--, hingga kini masih kewalahan berhadapan dengan kelembagaan masyarakat desa-desa penyangga yang menduduki lahan dalam kawasan TNMB dan perum Perhutani di kabupaten Jember dan Bayuwangi. Pada kurun waktu 1999 - 2003, kedua lembaga pemerintah pusat tersebut mengalami kelumpuhan atau mati langkah dalam membangun dialog dengan masyarakat desa hutan. Menghadapi fakta sosial tersebut, maka Departemen Kehutanan melakukan pembaruan kebijakan Social Forestry yang diikuti oleh pembentukan kelembagaan masyarakat desa hutan, untuk percepatan rehabilitasi kawasan hutan. Kelembagaan masyarakat desa hutan, dalam situasi instabilitas kawasan hutan, pada umumnya dipaksa lahir dan atau diatas-namakan kebutuhan dan inisiatif dari masyarakat 103. Pada Agustus 2003,--KetanMerah/OPR secara 103
KetanMerah/OPR, di Jember lahir dan difasilitasi oleh Balai TNMB dan LSM Latin Bogor melalui LSM KAIL untuk percepatan rehabilitasi dan mempermudah pengendalian (domestication) masyarakat. Di Banyuwangi langsung dibentuk oleh aparat PHPA setempat. LSM-L KAIL, dalam beberapa hal kemudian terlibat konflik latent dengan Balai TNMB. Proses pembentukan LMDH juga sama persis dengan pembentukan OPR/KetanMerah, dianggap sebagai
171
organisatoris-- dibentuk oleh pihak Balai TNMB sebagai syarat legalisasi kerjasama (MoU) kemitraan rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat desa-desa penyangga TNMB. Langkah ini cukup strategis dalam melakukan pengendalian (domestication) dan upaya membangun dialog dengan masyarakat desa hutan. Pada sisi kelompok masyarakat desa penyangga, MoU tersebut membuat lompatan kesadaran atas hak-hak dasar masyarakat atas SDH meningkat, sekalipun secara teknis dan konseptual, mereka belum siap menghadapi perubahan sosioekologi yang begitu cepat. Rasa percaya diri di internal masyarakat dan kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pihak eksternal masyarakat desa hutan juga rendah, 104 menyebabkan hampir seluruh kerangka berpikir, bersikap dan bertindak masyarakat desa dalam merespon perubahan sosioekologi desa dipengaruhi oleh cara berpikir politisi desa yang banyak bersinggungan dengan jaringan sosial politiknya ditingkat kabupaten. 105 Fungsi
lembaga kemasyarakatan pada Tabel 59, tidak hanya
berkonsentrasi pada masalah ritual keagamaan dan kesenian rakyat, tetapi juga menjadi jejaring interaksi sosial untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial kemasyarakatan pada masing-masing desa penyangga. Siklus kegiatan lembaga kemasyarakatan ini sudah terpola secara periodik --mingguan, bulanan atau ketika ada peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan acara keagamaan, nasionalisme dan kultural-- dari rumah ke rumah, sehingga terbentuk pola pengorganisasian warga masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai kebersamaan. 106 Tabel 45 juga menunjukkan bahwa secara internal, perhatian pemerintah desa dan lembaga non formal intra desa terhadap masalah kehutanan dan lingkungan hidup (TNMB) relatif tinggi. Pihak Balai TNMB menyadari dan mengakui bahwa
kebutuhan sekaligus pemecahan masalah pola hubungan antara masyarakat desa hutan dengan pihak pengelola hutan (Perhutani); 104 Kepercayaan (trust) pada lembaga yang lama sudah berada pada titik nadir, sementara lembaga baru belum siap melakukan aksi, karena beberapa alasan, seperti; (1) paradigma shift yakni kemampuan dalam membangun kepercayaan (trust) sebagai landasan keteraturan sosial yang berkelanjutan dan kuat (power and suatainable)104, (2) rendahnya kemampuan sumberdaya manusia dan manajemen internal masyarakat (3) rendahnya kemampuan dalam membangunan jaringan sosial, dan (4) polarisasi para aktor desa sebagai imbas dari bangkitnya kesadaran berpartai politik pada tingkat desa yang diambangkan (floating mass) selama tiga decade.(Wirutomo, Paulus. 2001. Kiat dan Konsep Dasar untuk Menganlisi Masyarakat. Makalah Seminar Komunikasi Dampak Lingkungan untuk Menjalin Hubungan Harmonis. Diselenggarakan oleh Qipra Jakarta, 14 Maret 2001; dalam Jonny Purba (ed). 2005. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Penerbit Kantor Kementrian Lingkungan Hidup RI dan Yayasan Obor Indoensia. Jakarta.) 105 Keberanian masyarakat dalam menduduki lahan dalam kawasan TNMB dan hutan lindung di Jember dan Banyuwangi adalah support dari jejaring sosial politik periode kepresidenan Gus Dur dan Megawati (lihat bahasan sebelumnya). 106 Wawancara dengan tokoh masyarakat dan aparat desa, Oktober 2007; Balai TNMB. 2006. Laporan Hasil Identifikasi dan Inventarisasi Sosekbud Masyarakat Lokal di Daerah Penyangga TNMB. Balai TNMB Jember.
172
lembaga politik maupun non politik masyarakat desa penyangga memiliki potensi besar untuk mensukseskan gerakan rehabilitasi, tetapi peluang itu tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh Balai TNMB. Pembiaran potensi kelembagaan masyarakat tersebut menyebabkan fungsifungsi ideal kelembagaan masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk beragam kepentingan pembangunan, mengalami pergeseran hingga penyimpangan fungsi dan peran yang mengarah kepada perusakan lingkungan yang massif dan lebih luas dari yang sudah rusak saat ini. Fungsi KetanMerah/OPR yang diskenario sebagai pendukung gerakan rehabilitasi, kecuali tidak berjalan maksimal, dalam kondisi keterbatasan kemampuan aparat Balai TNMB telah bergeser dan atau menyimpang menjadi wadah berkumpul untuk sosialisasi, menyusun strategi bertahan
(survival),
serta
memperkuat
jaringan
Boreg
melawan
atau
menggagalkan kebijakan Balai TNMB. Situasi seperti tersebut dinikmati dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh kedua belah pihak. 107, dan menjadi faktor penting naiknya kasus pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB. Tabel 45 Kelembagaan intramasyarakat desa; Perhatian dan kontribusi pada masalah pengelolaan TNMB Kelembagaan intra masyarakat desa; Perhatian dan kontribusi pada masalah pengelolaan TNMB Desa
Lembaga Intra Desa Pemerintah Desa BPD KetanMerah/OPR Ranting NU
Wonoasri
Pemerintah Desa BPD KetanMerah/OPR LSM-CIWALI Jaket Resi (jaringan Kail) Ranting NU Kelompok Yasinan Kesenian Jaranan Parpol (PDIP, PKB PGolkar, PPP, PD)
Kerjasama TNMB
Level koordina si
Bidang Kegiatan
Formal Formal NonFormal
Administrasi Pemdes Kebijakan pemb. desa Rehabilitasi TN Bina moral ummat & LH S.d.a. Kesenian Kesenian Pend. Politik Desa
Ada, tinggi; faktor TNMB dan Pemkab; Ada, tidak ada kerja-sama dan koordinasi S.d.a
Koordinasi, seremonial Numpang Tidak ada S.d.a.
Rendah, tergantung kebutuhan
Administrasi Pemdes Kebijakan pemb. desa Rehabilitasi TN Lingkungan hidup Bina moral ummat & LH S.d.a. Kesenian Pend. Politik Desa
Ada, tinggi; faktor TNMB dan Pemkab S.d.a. Ada, tapi tidak ada kerja-sama dan koordinasi S.d.a
Koordinasi, seremonial Nunut S.d.a.
Rendah, tergantung kebutuhan ; Tidak ada
Kelompok Yasinan Kesenian Campursari Kesenian Jaranan Parpol (PDIP, PKB, PGolkar, PPP, PD)
Curahnongko
Fokus pada hutan & LH
Sifat
Formal Formal NonFormal
Tidak ada
107 Kegagalan rehabilitasi hutan, situasi dan kondisi kemiskinan yang tidak mengalami perbaikan, bagi aparat PHPA adalah proyek berkelanjutan, sementara kegagalan rehabilitasi adalah keberlanjutan masa bertani tanaman musiman (Wawancara dengan aparat desa penyangga, Oktober 2007)
173
Lanjutan Tabel 45 Andongrejo
Pemerintah Desa BPD KetanMerah/OPR PermataResi (jaring Kail) Ranting NU Kel. Pengajian Parpol (PDIP, PKB, P.Golkar, PPP, PD)
Formal Formal NonFormal
Administrasi Pemdes Kebijakan pemb. desa Rehabilitasi TN Bina moral ummat & LH S.d.a. Pend. Politik Desa
Ada, tinggi; faktor TNMB dan Pemkab Ada, tidak ada kerja-sama dan koordinasi S.d.a
Koordinasi, seremonial Nunut S.d.a.
Rendah, tergantung kebutuhan ; Tidak ada
Sanenrejo
Pemerintah Desa BPD KetanMerah/OPR Jangkar (jaringan Kail) LMDH Ranting NU
Formal Formal NonFormal
Administrasi Pemdes Kebijakan pemb. desa Rehabilitasi TN Rehabilitasi Perhutani Bina moral ummat & LH S.d.a. Kesenian Pend. Politik Desa
Ada, tinggi; faktor Pemkab, TNMB dan Perhutani Ada, tidak ada kerja-sama dan koordinasi S.d.a
Koordinasi, seremonial Nunut S.d.a.
Rendah, tergantung kebutuhan; Tidak ada
Administrasi Pemdes Kebijakan pemb. desa Rehabilitasi TN Rehabilitasi Perhutani Bina moral ummat & LH Kesenian Pend. Politik Desa Administrasi Pemdes Kebijakan pemb. desa Rehabilitasi Perhutani Rehabilitasi &landreform Bina moral ummat & LH S.d.a Kesenian Pend. Politik Desa
Ada, tinggi; faktor Pemkab, TNMB dan Perhutani Ada, tidak ada kerja-sama dan koordinasi S.d.a
Koordinasi, seremonial Nunut S.d.a.
Rendah, tergantung kebutuhan; Tidak ada
Ada, tinggi; faktor Pemkab, TNMB dan Perhutani Ada, tidak ada kerja-sama dan koordinasi S.d.a
Koordinasi, seremonial Nunut S.d.a.
Rendah, tergantung kebutuhan ; Tidak ada
Kelompok Yasinan Kesenian Hadrah Parpol (PDIP, PKB, PGolkar, PPP, PD)
Curahtakir*
Pemerintah Desa BPD KetanMerah/OPR LMDH Ranting NU Kelompok Yasinan Kesenian Hadrah Parpol (PDIP, PKB, PGolkar, PPP, PD)
Formal Formal NonFormal
Mulyorejo**
Pemerintah Desa BPD LMDH FKKM/Tim 11 Ranting NU Kelompok Yasinan Kesenian Hadrah Parpol (PDIP, PKB, PGolkar, PPP, PD)
Formal Formal NonFormal
Sarongan
Pemerintah Desa BPD KetanMerah/OPR Ranting NU Kel. Pengajian Kesenian Gandrung Parpol (PDIP, PKB, PGolkar, PPP, PD)
Formal Formal NonFormal
Administrasi Pemdes Kebijakan pemb. desa Rehabilitasi TN Bina moral ummat & LH S.d.a. Kesenian Pend. Politik Desa
Ada, tinggi; faktor Pemkab, TNMB dan Perhutani Ada, tidak ada kerja-sama dan koordinasi S.d.a
Koordinasi, seremonial Nunut S.d.a.
Rendah, tergantung kebutuhan; Tidak ada
Kandangan***
Pemerintah Desa BPD KetanMerah/OPR Ranting NU Kelompok Pengajian Kesenian Gandrung Parpol (PDIP, PKB, PGolkar, PP, PD)
Formal Formal NonFormal
Administrasi Pemdes Kebijakan pemb.desa Rehabilitasi TN Bina moral ummat & LH S.d.a. Kesenian Pend. Politik Desa
Ada, tinggi; faktor Pemkab, TNMB dan Perhutani Ada, tidak ada kerja-sama dan koordinasi S.d.a
Koordinasi, seremonial Nunut S.d.a.
Rendah, tergantung kebutuhan; Tidak ada
Sumber: Data Primer (2008) Keterangan: Wawancara tokoh dan aparat 8 desa penyangga TNMB; * KetanMerah/OPR ikut desa Sanenrejo, ** Warga desa Mulyorejo tidak ikut menduduki lahan TNMB, *** KetanMerah/OPR ikut desa Sarongan)
174
Tokoh masyarakat dan aparat desa penyangga, dalam situasi di atas sebenarnya menunggu inisiatif dari Balai TNMB, namun itu tidak pernah ada, atau Balai TNMB tidak membutuhkan itu. 108 Pola hubungan yang demikian, ketika Balai TNMB bermasalah – ada pelanggaran hutan-- oleh warga desa, tokoh masyarakat dan aparat desa lebih berpihak kepada warganya, lebih dari sekedar faktor nilai-nilai yang bersifat mekanis, tetapi karena ketidak-mampuan aparat PHPA memanfaatkan kekuatan lembaga masyarakat desa untuk mendukung tugas-tugasnya di lapangan. Eksistensi lembaga konservasi bentukan Balai TNMB, karena itu tidak lebih dari sekedar aksesoris konservasi (conservation and rehabilitation accessory), untuk diperlihatkan kepada publik bahwa Balai TNMB sudah melakukan langkah-langkah signifikan dalam membangun kerjasama dengan masyarakat desa penyangga. Bahkan, pada tingkat yang kritis, lembaga konservasi bentukan BTNMB oleh masyarakat dijadikan sebagai instrumen untuk merongrong/melawan BTNMB sendiri (Tabel 46). Tabel 46 Kontribusi dan deviasi fungsi dan peran kelembagaan konservasi desa Fungsi Manifest
Tidak relevan
Fungsi Laten
Mendukung
Learning to live together Learning to know Learning to do Learning to be
√
Mroyek pemiskinan
√ √ √
√
Instrumen Mroyek rehab
√ √ √ -
√
Merongrong dan meruntuhkan
Aspek Sosial Budaya: Interaksi sosial intra desa Interaksi sosial antar desa Sosialisasi diri dan kelompok Konsolidasi nilai Kohesi sosial Jaringan sosial
Aspek Sosial Ekonomi : Meningkatkan KESRA Perluasan lapangan kerja Perluasan kesempatan berusaha
Aspek Ekologi : Bantu percepat rehabilitasi Konsolidasi konservasi & rehabilitasi Bantu hadapi dan tangani bencana Bantu pengawasan kawasan
Berkumpul untuk melawan Ada, sangat rendah Berkumpul untuk survival Intervensi jaringan Boreg Kriminalisasi SDH naik
√ √ √
√ -
Ketidakmampuan aparat Balai TNMB dalam berinteraksi dengan masyarakat desa-desa penyangga, menyebabkan aparat Balai TNMB teralienasi oleh sikap dan perilaku kebijakan lembaganya sendiri. Reformasi politik adalah salah satu sumber masalah yang menyebabkan Balai TNMB teralienasi dan tidak 108
Wawancara dengan tokoh masyarakat dan aparat desa-desa penyangga.
175
memiliki kekuatan (power) untuk menekan (pressure) dan mengendalikan (control) masyarakat agar patuh pada kebijakan Balai TNMB; “Lembaga formal bentukan pemerintah Orde Baru sangat efektif menjalankan misi pemerintah dalam pembinaan masyarakat pinggiran hutan dan program lainnya. Meskipun pelaksanaannya represif, tetapi cukup efektif dalam mengendalikan kerusakan hutan. 109 Elit-elit sosial desa (tokoh masyarakat dan tokoh agama) hampir semuanya tersingkir dan dikuasai oleh elit pemerintah,...yang sejalan dengan dominasi Negara. Reformasi politik 19971998, menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap produk-produk sistem pemerintah. Degradasi kepercayaan masyarakat diperparah dengan munculnya lembaga-lembaga baru”.
Faktor lainnya adalah pada umumnya aparat atau petugas lapangan Balai TNMB adalah masyarakat pendatang, yang memerlukan waktu untuk proses adaptasi dengan lingkungannya bertugas. Ketika mereka sudah mampu beradaptasi dengan baik, aparat TNMB di lapangan pun larut dalam sikap dan perilaku masyarakat. Jika terjadi kasus pelanggaran hutan atau sesuatu yang melanggar ketentuan rehabilitasi, para petugas, kebanyakan tidak menegur, apalagi memproses secara hukum, karena faktor sosiopsikologis yang bersifat mekanis.
Fakta ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, secara
kelembagaan Balai TNMB justeru didominasi oleh kelembagaan masyarakat desa-desa penyagga dengan strategi bertahan gabungan model Scott (2000)110 dan Popkin (1986).111 5.2.5.2.2 Efektivitas dan kontribusi kelembagaan konservasi bentukan Balai TNMB dalam percepatan rehabilitasi Balai TNMB, sebelum dan sesudah tercapai kesepakatan rehabilitasi, tahun 2002-2003, telah menjalin kerja-sama dengan pihak pemerintah desa --dan LSM-L dalam skala terbatas-- membentuk organisasi KetanMerah/OPR, yang 109 Balai TNMB. 2006. Laporan Hasil Identifikasi dan Inventarisasi Sosekbud Masyarakat Lokal di Daerah Penyangga TNMB. Balai TNMB Jember; Balai TNMB lupa bahwa pencurian kayu jati pada kawasan yang sekarang ditetapkan sebagai kawasan rehabilitasi, 60%-nya rusak dan habis pada era pemerintahan Orde Baru; 110 Scott, James S. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah:. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; Kasus FGD OPR desa Kandangan menunjukkan strategi bertahan model Scott. Dalam FDG ini, OPR desa Kandangan melakukan aksi bisu selama ± 30 menit. Mereka tidak mau menjawab semua pertanyaan peneliti karena dihadiri oleh aparat PHPA TNMB. Dialog baru dapat berlangsung setelah asisten peneliti tanggap akan aksi bisu OPR, kemudian mengajak petugas PHPA TNMB keluar membeli makanan, rokok, dan kopi. Setelah aparat PHPA keluar, semua anggota OPR (15 orang) berebut bicara tentang sikap dan perilaku pengelolaan TNMB. Menurut OPR, aparat PHPA TNMB hanya mau bekumpul dengan masyarakat jika mau mengambil foto untuk publikasi laporan tahunan TNMB, bahwa Balai TNMB telah menjalin kerjasama dengan masyarakat desa-desa penyangga dalam penguatan kelembagaan konservasi. 111 Dalam perpektif ekonomi politik, perlawanan kaum lemah adalah untuk menentang elit yang mendominasi kehidupan mereka, agar terlepas dari penguasaan birokrasi, mendapatkan hak milik pribadi atas alat produksi. Rasionalitas perlawanan dilakukan karena kehidupan ekonomi mereka terusik. Pendangan Popkin senada dengan Olson (1971) dalam Popkin, bahwa gerakan kolektif dilakukan secara rasional dan memprioritaskan peran logika dan kalkulasi cost-benefit (Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional; Ekonomi Politik Masyarakat Petani di Veitnam. Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri. Jakarta)
176
tersebar di 7 (tujuh) desa penyangga utama. KetanMerah/OPR yang berhasil dibentuk sebanyak 31 kelompok di Jember dan 10 kelompok di Banyuwangi (Tabel 70). Kelompok-kelompok tersebut dibentuk sebagai instrumen percepatan gerakan dan partisipasi masyarakat desa dalam program rehabilitasi kawasan. Selain itu juga dimaksudkan untuk mendukung salah satu kebijakan prioritas Departemen Kehutanan, yakni pemeberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Keberadaan kelembagaan konservasi tingkat desa --KetanMerah/OPR-memiliki sisi positif dan juga sisi negatif dalam mendukung program rehabilitasi dalam zona rehabilitasi. Dua sisi tersebut dapat dilihat pada 4 aspek, yakni; 1. pengelolaan kelembagaan KetanMerah/OPR, 2. pengelolaan kegiatan usaha ekonomi, 3. pengeelolaan kawasan, dan, 4. pengelolaan konflik. Berdasarkan keempat aspek tersebut, maka eksistensi KetanMerah/OPR belum memberi kontribusi yang optimal terhadap upaya percepatan rehabilitasi sosial ekonomi, sosial budaya dan ekologi TNMB. A. Efektifitas pengelolaan kelembagaan KetanMerah/OPR Konservasi dan rehabilitasi kawasan yang dilaksanakan (lihat point-point sebelumnya), belum dapat dikatakan mencapai keberhasilan yang maksimal, jika dilihat dari aspek kelembagaan konservasi. Masalah penting dan fundamental yang menyebabkan konservasi dan rehabilitasi
tidak berhasil mencapai hasil
maksimal adalah faktor sumberdaya manusia perdesaan yang rendah. Dilihat dari tingkat pendidikan anggota KetanMerah/OPR,
mayoritas
berpendidikan SD;
Sementara strata pendidikan para pengurusnya adalah SD (52,38%), sebanyak (28,57%) berpendidikan SMP atau sederajat, dan hanya sebanyak (19,04%) berpendidikan SLTA/SMA. Dengan tingkat pendidikan tersebut, memang dapat saja dipacu untuk berpikiran maju, tetapi yang pasti membutuhkan proses yang intesif dan waktu yang relatif lama. Tingkat pendidikan yang rendah di berpengaruh terhadap motivasi mereka untuk berkelompok secara formal, karena pada umumnya kehidupan masyarakat perdesaan bersifat patembayan. Artinya, formalisme berkumpul (berorganisasi) dalam kelompok KetanMerah/OPR bentukan Balai TNMB, belum atau bukan menjadi sebuah kebutuhan untuk memperbaiki keadaan mereka, tetapi hanya
177
sebagai strategi bertahan untuk dapat terus bertani dan berladang dalam kawasan rehabilitasi TNMB. Situasi ini memiliki kemiripan dengan preposisi aksi komunitas Zander (1990), bahwa; “Preposisi 1: Individu-individu akan membentuk kelompok aktifitas jika mereka meyakini bahwa situasi tertentu harus dirubah, dan mereka secara sendiri-sendiri tidak mampu melakukan perubahan itu”
Eksistensi dan maju mundurnya kelompok KetanMerah/OPR, bukan menjadi tanggung-jawab langsung mereka, karena idea awal berdirinya kelompok (100%) muncul dan tawaran (kebutuhan) dari Balai TNMB untuk tujuan formalisme atau legalisasi pendudukan kawasan rehabalitasi. Dalam situasi seperti preposisi Zander di atas, kelompok masyarakat desa-desa penyangga berada pada dua cara berpikir, yakni; 1. mereka memiliki kecurigaan yang cukup kuat bahwa keberhasilan rehabilitasi hanya akan mempercepat mereka dikeluarkan dari dan tidak mungkin lagi menanam tanaman musiman dalam kawasan TNMB. Artinya, situasi zona rehabilitasi yang semi gundul adalah situasi yang tidak ingin mereka rubah, karena berkaitan langsung dengan kepentingan jangka pendek mereka (tanaman semusim), dan; 2. mereka yakin memiliki kekuatan tawar menawar (bargaining) yang kuat dan tidak mungkin dikeluarkan oleh Balai TNMB yang sudah dinilai lumpuh, sekalipun tanpa berkelompok secara formal. Kelompok masyarakat yang saat ini ”memiliki” hak menggarap lahan, tampak seperti pasrah jika harus dikeluarkan dari TNMB, namun statementnya secara tersirat bahwa mereka sudah membangun pertahanan (konsolidasi nilai) yang relaitf mapan dan penuh dengan nada ancaman yang menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan akan memperluas pendudukan lahan dan memperparah kerusakan kawasan, seperti di bawah ini; ”Jika kami mau dikeluarkan, itu kuasanya Balai TNMB. Kami sudah berbuat sesuatu untuk TNMB, dengan menahan orang yang mau masuk menambang emas di TNMB 112. ......Dengan mendapat lahan ini, warga sudah jarang yang masuk TNMB untuk mencari SDH (bambu, kayu, bahan jamu, hewan, dll) TNMB. Saya hari ini di keluarkan TN gak masalah, manut saja, sungguhan ini, tetapi bagaimana dengan teman-teman saya yang lain? 113”.
112 Wawancara snowball dengan warga pendudukan lahan desa Andongrejo, Juli 2007. Kasus PT. Hakman dan PT. Jember Metalindo, tahun 1999/2000. 113 Wawancara snowball dengan warga pendudukan lahan desa Sarongan, November 2007
178
Proses penyusunan struktur organisasi, juga merupakan hasil intervensi dari Balai TNMB yang langsung menunjuk seseorang atau beberapa orang untuk memimpin
dan
menjadi
pengurus
KetanMerah/OPR.
Semua
kelompok
KetanMerah/OPR mengakui (100%) nama-nama yang masuk dalam struktur dan kebutuhan akan struktur adalah penunjukan dari Balai TNMB yang kemudian diberitahukan kepada pemerintah desa mereka masing-masing. Penunjukan langsung dengan pengalaman berorganisasi yang minim berpengaruh terhadap konsolidasi organisasi, sehingga secara umum konsolidasi internal anggota tidak berjalan. Jika pun ada pertemuan informal rutin sebagai sesama warga desa, itu bukan dalam konteks membahas masalah rehabilitasi lahan, tetapi lebih banyak membicarakan masalah lain di luar masalah rehabilitasi. Pasca penyusunan struktur orgnaisasi, kemudian --semestinya-- disusul dengan pembuatan (penyusunan) AD/ART. Namun, kenyataannya sebanyak 18 kelompok (85,71%) KetanMerah/OPR mengaku belum memiliki atau tidak tahu jika kelompoknya memiliki AD/ART, sementara sebanyak 3 kelompok (14,28%) di desa Wonoasri mengaku sudah memiliki AD/ART kelompok, tetapi tidak dapat berjalan. Legalisasi kerjasama kemitraan, di awali dengan formulasi pembuatan MoU rehabilitasi. Semua kelompok (100%) mengakui bahwa ide MoU secara konseptual dan redaksional berasal dari tawaran dan dibuatkan oleh Balai TNMB. Kelompok-kelompok KetanMerah/OPR tinggal menyesuaikan atau mengganti nama desa-desa penyangga. Kondisi ini wajar, karena warga pendudukan dan pengurus KetanMerah/OPR tidak mau repot berpikir, yang penting mereka sudah berhasil “memiliki lahan” dalam kawasan TNMB. Kedua poin penting -AD/ART(Wonoasri) dan MoU-- yang menjadi ruh gerakan rehabilitasi dilapangan mengalami nasib yang sama, ada tetapi tidak berjalan (laa yamuutu walaa yahyaa; ada dalam tiada). Artinya dokumen MoU sebagai landasan hukum kerja-sama tidak memiliki kekuatan memaksa masyarakat untuk melaksanakan rehabilitasi sesuai dengan idealisme konservasi TNMB. Pembinaan dan koordinasi formal dan informal terhadap KetanMerah/OPR dalam kegiatan rehabilitasi adalah kewajiban dan hak Balai TNMB. Pada dua tahun pertama, kewajiban dan hak ini sering (3-4 kali pertahun) dilakukan oleh
179
Balai TNMB. Namun, pasca 2 (dua) tahun tersebut, pembinaan dan koordinasi formal dan informal jarang sekali dilakukan, kecuali ada inspeksi mendadak dari pimpinan. Hal yang sama juga terjadi pada koordinasi internal dan ekternal KetanMerah/OPR, tergantung pada himbauan dari pemerintah desa dan himbauan dari Balai TNMB yang menumpang pada acara rapat atau musyauwarh desa. Pembinaan dan koordinasi yang mampu dilakukan kebanyakan hanya terbatas pada ketua kelompok, sementara anggota kelompok atau yang belum terdaftar sebagai anggota kelompok sangat jarang mendapatkan arahan dan pembinaan dengan beragam alasan dari kedua belah pihak. Kelembagaan konservasi dan rehabilitasi di desa-desa penyangga, dari sisi proses didominasi oleh Balai TNMB. Namun, pada tingkat praksis rehabilitasi, justeru eksistensi petugas Balai TNMB didikte oleh kelompok KetanMerah/OPR. Ini terjadi bukan semata-mata karena kuatnya pelembagaan (insitusionalisi) dan konsoilidasi nilai-nilai kebersamaan kelompok KetanMerah/OPR, tetapi lebih kepada
beragam kepentingan internal dan keterbatasan petugas dalam
menjalankan tugas rehabilitasi. B. Efektifitas kelembagaan KetanMerah/OPR dalam pengelolaan kegiatan usaha kelompok Eksistensi dan pengorganisasian suatu lembaga ekonomi desa menjadi salah satu indikator majunya perekonomian suatu desa. Selama 10 (sepuluh) tahun masa pendudukan lahan TNMB, sekalipun tidak sangat berhasil, sejumlah tanaman tahunan hasil rehabilitasi, sudah mulai berbuah dan dapat dipanen, terutama di desa Wonoasri.
Hasil panen tanaman tahun, pada tahun-tahun
pertama cukup menggembirakan, namun pada tahun berikutnya, buah tanaman -terutama nangka-- oleh petani dibiarkan bosok dipohon, karena harga jualnya amat sangat rendah, bahkan tidak laku dijual. Pada situasi harga hasil panen yang terpuruk, mereka harus berhadapan dengan para kapitlis kelas teri (tengkulak), sehingga hasil tanaman terpaksa mereka jual dengan harga semurah apapun, yang penting terjual, seperti diungkapkan oleh anggota KetanMerah/OPR Wonoasri. ”Kalau sudah musim berbuah, karena yang paling banyak nangka dan pete, sampai tidak laku dijual. Terkadang kami jual dengan banting harga, tetapi yang sering, kami biarkan bosok di pohon, wong tidak ada harganya pak. Buah nagka sebanyak itu mau diapakan? Kalau pete masih mendingan dibanding nangka pak. Dua tahun (2005) yang lalu ada pak Doktor dari MIPA UNEJ datang kesini
180
(pengabdian masyarakat), menjanjikan kepada kami untuk memberikan pelatihan pengolahan hasil panen nangka, dll,....sampai sekarang kami tunggu, tidak kembali-kembali.” 114
KetanMerah/OPR sebagai sebuah kelompok/organisasi di internal desa, dalam skala terbatas telah mendapat intervensi penguatan (empowering) kelembagaan ekonomi dari Balai TNMB dan LSM-L. Namun, intervensi ini belum berdampak pada penguatan dan pengembangan basis ekonomi kelompok Ketanmerah/OPR. Beragam argumentasi muncul dan di arahkan kepada masyarakat atas fakta hasil proses penguatan kelembagaan ekonomi tersebut, bahwa masyarakat desa penyangga fatalistik (masyarakat nrimo ing pandum), naif (masyarakat tidak punya motivasi untuk maju, pendidikannya rendah, malas, bodoh, kurang paham, dan sulit diatur atau kardiman: karepe dhibik nyaman). Pada sisi lain, juga muncul argumentasi kritis idealis bahwa pemberdayaan dan penguatan kelembagaan ekonomi belum menyentuh inti masalah pola hubungan antara masyarakat desa penyangga dengan Balai TNMB. Program
dan aksi
pemberdayaan masyarakat masih bersifat karitif, reaksionis dan temporal, supaya terkesan Balai TNMB sangat perhatian pada masyarakat desa-desa penyangga, tetapi tidak tepat sasaran. Bantuan penggemukan dan pembiakan sapi (5 ekor) untuk desa Mulyorejo, misalnya, ketika Kepala Desanya (Bp. Jailani) ditanya, dimana tempat penggemukan dan pembiakan sapi bantuan Balai TNMB, dengan enteng dan tanpa dosa menjawab; sapinya mati, tidak cocok dengan daerah Mulyorejo 115. Ini memperlihatkan pola hubungan dua kelembagaan pemerintah yang saling menipu dan tidak bertanggung-jawab (Tabel 47).
114 115
Wawancara dengan KetanMerah/OPR Wonoasri, Oktober 2007 Wawancara, Juli 2007
181
Tabel 47 Bantuan ternak dan peralatan dalam pemberdayaan masyarakat yang pernah diberikan oleh TNMB Desa Wonoasri
Tahun 1997/1998 1999/2000
Andongrejo
1997/1998
1999/2000 2001 2003
Curahnongko
2004 1997/1998
1999/2000 2003
Sanenrejo Curahtakir
1997/1998 1999/2000 1997/1998 1999/2000
Mulyorejo Sarongan
2000 1999/2000 2001
Kandangan
Jenis Bantuan • Sapi • Kambing • Domba • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • -
Timbangan jamu Belender Bibit jahe Kotak lebah madu Domba Perahu Mesin perahu Alat penggiling jamu Kompor minyak tanah Blender Wajan stainles Etalase Kambing Bibit jahe Bibit rambutan Kambing Kios jamu Alat penggiling jamu Kompor minyak tanah Blender Wajan stainles Etalase Ayam Domba Kambing Sapi Bibit jahe Domba Kambing Sapi Domba Kambing Batu api
Jumlah yang diterimakan 4 ekor 20 ekor 23 ekor 5 buah 5 buah 8000 batang 40 buah 12 ekor 1 buah 2 unit 3 buah 3 buah 3 buah 3 buah 3 buah 16 ekor 2000 batang 1500 batang 24 1 3 buah 3 buah 3 buah 3 buah 3 buah 160 ekor 11 ekor 12 ekor 7 ekor 1000 batang 11 ekor 12 ekor 5 ekor 12 ekor 11 ekor 15 tungku -
Jumlah KK
Keterangan Wonowiri
23
12 Bandealit
24
23
23
23
-
Sumber: BTNMB (2003)
Model penguatan kelembagaan ekonomi yang dikembangkan oleh Balai TNMB dengan dukungan Konsorsium LSM Latin-IPB dan jaringannya (LSM-L Kail), dalam kurun waktu sejak MoU kerja-sama rehabilitasi (tahun 1993), sekalipun telah memberikan bantuan ternak, peralatan, pelatihan praktis
dan
modal dalam rentang waktu yang relatif lama kepada beberapa kelompok masyarakat desa penyangga (lihat Tabel 47 dan Tabel 48), tetapi belum mampu merintis membangun kelembagaan ekonomi masyarakat, yang berbasis usaha bersama (kelompok) dari hasil bertani dan berladang dalam kawasan rehabilitasi
182
TNMB, sebagai pilot project. Semua responden individu dan kelompok (100%) mengakui bahwa kegiatan pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh Balai TNMB tidak merata, temporal dan tidak berkelanjutan. Tabel 48 Pelatihan, bantuan modal dan bibit dalam pemberdayaan masyarakat yang pernah diberikan oleh TNMB No
Desa
Pelatihan praktis dan singkat
Keterangan
01. Wonoasri 02. Curahnongko
03. Andongrejo
Bantuan modal (tahun) Rp. 10.000.000, untuk 5 kelompok usaha Jamu (2004)
Pelatihan pembuatan kripik Gedang (Pisang), dilakukan sekitar 3 X.
Tidak operasional, tidak punya jaringan pasar dan kalah saing, tidak/ belum punya mental Pelatihan Jamu, wirausaha, cepat sekitar 2 – 3 X dilepas
Rp. 30.000.000, untuk 5 kelompok usaha Jamu (2004)
Bantuan bibit
Bantuan ternak (tahun)
Dapat Dapat
Dapat
Rp.40.000.000, untuk 1 kelompok usaha
04. Sanenrejo 05. Curahtakir 06. Mulyorejo
Dapat Dapat Tidak Dapat Sapi 5 ekor (2000) Dapat Dapat
07. Sarongan 08. Kandangan Jumlah
Rp. 80.000.000
Sumber :BTNMB, setelah diolah (2004)
Upaya pemberdayaan masyarakat Jember dan Banyuwangi yang bertani dan berladang dalam zona rehabilitasi TNMB, dilihat dari bantuan modal, pelatihan dan jaringan pasar kepada kelompok KetanMerah/OPR, hingga saat ini sama-sekali tidak ada perhatian dari Pemerintah di dua Kabupaten. Akibatnya, sekalipun hasil bertani dan berladang dalam kawasan TNMB, sebanyak (56%) diakui memberi kontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat dan (100%) diakui sangat membantu kecukupan ekonomi rumahtangga petani, tetapi sangat sulit dikomersialkan, karena tidak memiliki akses informasi dan jaringan pasar yang mau membantu para petani pasca panen. Kesulitan di atas diperparah oleh tidak adanya kelompok usaha ekonomi pada semua (100%) KetanMerah/OPR, terbatasnya atau tidak adanya kepemilikan modal bersama (100%) sebagai iuran dari hasil bertani dalam kawasan TNMB. Demikian juga dengan bantuan modal dari Balai TNMB sifatnya temporal dan terbatas, sementara bantuan dari pemerintah kabupaten sama sekali tidak ada,
183
demikian juga bantuan dari PT. LDO Jember dalam bentuk dana CSR (Corporate Social Responsibility) tidak pernah ada. Seluruh hasil bertani dan berladang dalam kawasan TNMB, penjualannya bersifat individual, tidak pernah ada koordinasi dan tidak ada kesepakatan harga jual bersama di internal KetanMerah/OPR kepada para tengkulak yang datang. Harga jual, ditentukan oleh para tengkulak, masyarakat (KetanMerah/OPR) tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga jual atas hasil usahanya sendiri, karena tidak memiliki kelembagaan ekonomi kelompok. Situasi kelembagaan ekonomi di atas mendorong LSM-L KAIL untuk mengusahakan (SDU; sedang diusahakan) agar hasil pertanian dalam zona rehabilitasi TNMB mampu menembus jaringan pasar ke Bali, tetapi hingga tahun 2010 ini belum berhasil. 116 Fakta aksi pemberdayaan kelembagaan ekonomi masyarakat di atas, menunjukan bahwa para pihak yang terlibat dalam pemberdayaan, tidak mampu atau gagal dalam menampilkan sisi positif (manfaat) program rehabilitasi bagi masyarakat. Preposisi Zander (1990) menyatakan; “Preposisi 11: Jika ingin berhasil, agen perubahan harus mampu menampilkan sisi positif (kelebihan) “proposal”nya guna “melawan” keyakinan yang relatif telah mengakar dalam diri kelompok sasaran. Jika tidak, maka kelompok sasaran akan cenderung menolak proposal tersebut”
C. Efektifitas kelembagaan KetanMerah/OPR dalam pengelolaan kawasan Peran kelembagaan konservasi dalam pengelolaan kawasan TNMB sangat bergantung kepada proses awal, faktor internal dan eksternal suatu lembaga. Gambaran kondisi kelembagaan pada dua poin di atas, berpengaruh langsung kepada kemampuannya dalam melakukan pengelolaan kawasan.
Menurut
anggota dan pengurus KetanMerah/OPR, seluruh (100%) kewajiban yang telah dituangkan dalam MoU rehabilitasi telah mereka lakukan. Namun, sebanyak (80,95%) dari mereka tidak banyak tahu secara persis apa isi dari MoU atau hanya pernah dengar dari aparat Balai TNMB atau Ketua Kelompok mereka, dan hanya sebanyak (19,04%) yang tahu tentang isi MoU. Akibatnya, gerakan rehabilitasi pada tahapan berikutnya, seluruh proses dan internsitas proses tergantung dari inisatif dan kebutuhan petugas Balai TNMB, misalnya; mengadakan swadaya bibit jika Balai TNMB mau membayar, menanam tanaman pokok jika diberi bibit, 116
Wawancara dengan Kasminto, Penasihat LSM-L KAIL, Pebruari 2009
184
menghadiri pertemuan, jika diundang; Sekalipun masyarakat tidak banyak tahu tentang
isi
dari
MoU,
kelompok
masyarakat
yang
tergabung
dalam
KetanMerah/OPR memang tetap melaksanakan seluruh kewajiban yang telah disepakati dalam MoU, tetapi hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Pola koordinasi dan konsolidasi Balai TNMB dengan KetanMerah/OPR secara umum, hanya terbatas pada level Ketua Kelompok
atau pengurus,
sehingga pesan-pesan konservasi dan rehabilitasi tidak tersosialisasikan secara optimal. Preposisi Zander (1990) menyatakan; “Preposisi 3: Anggota anggota kelompok komunitas yang ingin merubah keadaan daerahnya mungkin didasari atas empat macam motivasi” 117 “Preposisi 4: Keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok ditentukan oleh kuat atau lemahnya motivasi mereka untuk terlibat dalam kegiatan tersebut” 118 “Preposisi 5: Ketua kelompok meningkatkan kesiapan anggota untuk melakukan kegiatan melalui penguatan satu atau keseluruhan dari ketiga aspek motivasi pada preposisi 4.
Berdasarkan preposisi Zander (1990) di atas, belum diketahui secara pasti dan perlu penelitian lebih lanjut tentang motivasi apa yang mendorong mereka (petani) untuk ikut melaksanakan program rehabilitasi, selain motivasi pribadi (self oreinted motive),
ingin “memiliki lahan” bertani dan berladang dalam
kawasan TNMB. Pemahaman secara mendalam dan holistik tentang latar belakang motivasi para petani dalam melaksanakan rehabilitasi, akan dapat menutup sisi tertentu dari keggagalan rehabilitasi yang bersumber dari pihak para petani maupun dari pihak Balai TNMB. Efektivitas kelembagaan pengelolaan kawasan, pada aspek keikut-sertaan para petani dalam pengamanan kawasan, kontribusinya sangat rendah yakni hanya (23,80%), itupun jika diajak oleh petugas Balai TNMB.
Pembinaan dan
bimbingan berkala pada kegiatan teknis dan non teknis kepada KetanMerah/OPR, kegiatan monitoring dan evaluasi, pada dua tahun pertama (2003-2004), sering dilakukan, tetapi setelah itu jarang dilakukan, kecuali jika ada perintah pimpinan, inspeksi mendadak, atau ada kunjungan dari pihak-pihak tertentu, (lihat lampiran). 117 Motivasi merubah keadaan; 1. Kepentingan pribadi (self oreinted motive), 2. Terwujudnya kepentingan kelompok (desire for group succes), 3. Keinginan untuk menyenangkan orang lain (the desire to benefit others), 4. Keinginan untuk membantu masyarakat atau komunitas (the desire to benefit the community)” 118 Faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang atau kelompok masyarakat, adalah; 1. Kekuatan dari (4) keinginan atau motif pada preposisi 3 (tiga), 2. Nilai dari insentif yang akan di dapat,dan 3. Kemungkinan (probabilitas) untuk berhasil mencapai tujuan
185
D. Efektifitas kelembagaan KetanMerah/OPR dalam pengelolaan konflik Kegiatan koordinasi anggota internal kelompok, dan apalagi antar kelompok, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Ini terjadi karena masalah kesadaran berorganisasi bagi masyarakat petani, secara umum masih sangat rendah. Kecuali itu, jarak tempat tinggal antar anggota kelompok relatif jauh, dan koordinasi kebanyakan hanya diwakili oleh pengurus (Ketua). Akibatnya, hal-hal penting yang semestinya disosialisasikan tidak dapat disampaikan secara optimal, sehingga terjadi konflik --perbedaan kepentingan dan cara pandang berdasarkan kebiasaan dan pengalaman masing-masing-- di lapangan, antara petani dengan petugas Balai TNMB. Petugas Balai TNMB membagi bibit tanaman dan menganjurkan menanamnya pada waktu yang tidak tepat (belum musim hujan), berdasarkan kebiasaan dan pengalaman petani tidak mungkin tumbuh, sementara petugas harus menjalankan ”perintah yang tidak lazim” membagi bibit agar segera ditanam oleh petani. Rehabilitasi adalah program intervensi pemerintah ”berbaju kemitraan” sebagai pintu masuk ”berdamai” dengan masyarakat, sementara masyarakat yang menduduki lahan, sebelum program rehabilitasi masuk sudah mendahuluinya dengan menanam sejumlah tanaman musiman dan tanaman tahunan (buahbuahan). Para petani dihadapkan pada pilihan untuk tetap mempertahankan atau membabat tanaman tersebut karena tidak sesuai dengan ketentuan rehabilitasi yang telah ditetapkan oleh Balai TNMB. Demikian juga dengan konflik jarak tanam, para petani menanam melebih ketentuan Balai TNMB, yakni (5 X 5m). Menurut para petani jarak tersebut telalu rapat dan jika berbuah hasil buahnya sedikit. Para petugas Balai TNMB merasa telah menyampaikan sejumlah informasi dan peringatan, namun diabaikan para petani. Dalam situasi ini, para petugas Balai TNMB dihadapkan pada dilema, jika melakukan tindakan represi hukum dan kekerasan fisik, hanya akan menimbulkan kerusakan kawasan yang lebih parah. Pada sisi lain, jika dibiarkan, maka masyarakat menganggap tidak apa-apa atau diperbolehkan oleh petugas Balai TNMB. Preposisi Zander (1990) menyatakan;
186
”Preposisi 6: Efektifitas upaya yang dilakukan oleh aktifis dalam mempengaruhi pihak yang dituju (target persons) akan melemah jika upaya tersebut melahirkan oposisi atau kendala di antara kelompok sasaran”
Kecuali konflik di atas, konflik serius lainnya adalah konflik internal keturunan (”ahli waris”) dari anggota KetanMerah/OPR. Hak bertani dan berladang yang mereka dapatkan, pada situasi keterbatas lahan, sangat berat untuk dikembalikan kepada Balai TNMB atau dilimpahkan secara gratis kepada warga yang lain, karena mereka sebagai turunannya secara defacto telah ikut membantu proses rehabilitasi. Potensi konflik lainnya adalah konflik eksternal antar kelompok masyarakat yang belum mendapatkan kesempatan mengakses lahan dalam kawasan TNMB. Apa yang sudah didapat dan dinikmati oleh kelompok petani saat ini, pada situasi sosial ekonomi, budaya dan ekologi tertentu akan diikuti oleh warga masyarakat yang lain yang belum mendapatkan lahan dalam kawasan TNMBN. 5.2.5.2.3 Partisipasi dan kontribusi kemimpinan nonformal desa-desa penyangga dalam pengelolaan TNMB Pola hubungan kepemimpinan yang umum terjadi dalam masyarakat agraris, termasuk di desa-desa penyangga TNMB, adalah pola hubungan yang bersifat paternalistik (samii’an wathaa atan) atau sandhiko dawuh pada pemimpin non formal. Intervensi media massa elektoronik dalam ruang hidup masyarakat agraris hingga kini belum memudarkan apalagi menghilangkan eksistensi dan dominasi peran pemimpin non formal secara total dalam
kehidupan sosial
masyarakat agraris, seperti; adat istiadat, pengenalan teknologi dan juga dalam bidang keagamaan. Kekuatan kepemimpinan non formal ini belum difungsikan atau dilibatkan secara maksimal oleh Balai TNMB, sehingga kontribusi mereka dalam bentuk pemikiran, nilai, sikap dan berperilaku konservasionis juga sangat sedikit --untuk tidak mengatakan tidak ada-- ketika (terutama) ajaran agama dan perhatian serta kesadaran pemimpin agama-agama terhadap masalah lingkungan hidup sangat tinggi dan massif. 119 Fungsi dan peran kepemimpinan non formal dalam advokasi
119 Dalam Islam, misalnya, saat ini sedang berkembang pesat fiqh lingkungan, fiqh agrarian, fiqh bencana; dalam aagama kristen berkembang theologi lingkungan. Pada Ormas Islam (NU dan Muhammadiyah), terutama di Jawa, diskursus fiqh lingkungan, fiqh agraria, fiqh bencana sudah tersosialisasikan hingga pada tingkat pengurus ranting (desa),
187
konservasi lingkungan dan kontra tambang yang bagus (tinggi), dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir, justeru terjadi di desa penyangga perbatasan sebelah utara TNMB, yakni desa Pace dan Mulyorejo Silo. Namun, fungsi dan perannya diluar kendali dan tidak ada koordinasi langsung maupun tidak langsung dengan Balai TNMB, seperti dalam Tabel 63. Tabel 49 Kontribusi, fungsi dan peran para pemimpin non formal desadesa penyangga dalam pengelolaan TNMB
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Desa
Wonoasri Curahnongko Andongrejo Sanenrejo Curahtakir Mulyorejo*) Sarongan Kandangan
Pemimpin non formal (sosial budaya)
Pemimpin non formal (keagamaan)
4 orang 5 orang 4 orang 5 orang 3 orang 5 orang 4 orang 3 orang
3 orang 5 orang 4 orang 6 orang 4 orang 6 orang 4 orang 3 orang
Fungsi, dan peran dalam pengelolaan TNMB Ceramah, dialog dan arahan √ √ √ √ √ √ √ √
Aksi
Hubungan kerja-sama dengan TNMB
Substansi pesan nilai, sikap dan perilaku dalam ceramah, dialog dan arahan tentang konservasi dan rehabilitasi
Sedikit Sedikit Sedikit Sedikit Sedikit Tinggi Sedikit Sedikit
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Sangat sedikit/tidak ada Sangat sedikit/tidak ada Sangat sedikit/tidak ada Sangat sedikit/tidak ada Sangat sedikit/tidak ada Tinggi, kontra tambang Sangat sedikit/tidak ada Sangat sedikit/tidak ada
Sumber: Data primer, setelah diolah (2008)
Pengaruh pemimpin masyarakat, seperti disebutkan di atas, masih sangat kuat, karena sifat masyarakatnya yang paternalistik. Namun, peran dan proses komunikasi dengan mereka hanya bersifat insidentil (pernah dilakukan tetapi tidak intensif dan berkelanjutan) serta tidak dikelola dengan baik oleh pihak Balai TNMB, sehingga ini menjadi linier dengan fakta tingginya aktivitas masyarakat yang melakukan pengambilan SDH TNMB (tabel 79). Angka proporsi pengambilan SDH yang masih tinggi terjadi di desa Sanenrejo sebesar (87,5%), kemudian disusul Curahtakir (85,7%), Wonoasri (77,8), Andongrejo (71,4%), Sarongan (65%); Kandangan (45%), dan Curahnongko (40%). Penebangan kayu bangunan menunjukkan angka proporsi tertinggi terjadi di desa Curahnongko sebesar (80%), kemudian disusul secara berurutan Sarongan (75%), Kandangan (75%), Sanenrejo (70%), dan Curahtakir (50%) (lihat Tabel 64). Pada situasi dan kondisi tertentu ”terpaksa”, para pemimpin non formal membolehkan mengambil SDH TNMB, bukan dalam konteks boleh (halal) dan menyuruh melawan hukum, tetapi sebagai bentuk resistensi terhadap pola pendekatan dan sikap elitisme birokrasi Departemen Kehutanan (Balai TNMB dan Perhutani). Sikap dan sebagai respon terhadap beragama masalah lingkungan, konflik agrarian dan bencana alam dan lingkungan berkelanjutan yang menelan korban jiwa dan harta benda.
188
perilaku ini didukung oleh pemimpin formal (aparat aksi aji mumpung), yang ingin mendapatkan upeti langsung dari pengambilan SDH dan penebangan serta pengangkutan kayu ilegal. Tabel 50 Aktivitas pemimpin di desa-desa penyangga berkaitan dengan pengelolaan dan pengambilan hasil hutan dalam kawasan TNMB No.
Desa
01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08.
Wonoasri Curahnongko Andongrejo Sanenrejo Curahtakir Mulyorejo*) Sarongan Kandangan
Aktivitas pemimpin masyarakat berkaitan dengan pengelolaan TNMB dalam bentuk ceramah, sosialisasi dan dialog Formal Non formal Pernah Pernah Tidak pernah Tidak pernah Pernah Tidak pernah Pernah Pernah Pernah Pernah Tidak pernah Tidak pernah; (GNKL NU) Pernah Pernah Pernah Pernah
Proporsi pengambilan hasil SDH
Proporsi penebangan kayu bangunan
Tinggi (77,8%) Sedang (40%) Tinggi (71,4%) Tinggi (87,5%) Tinggi (85,7%) Sedang (±45%) Tinggi (65%) Sedang (45%)
Tinggi (80%) Tinggi (70%) Sedang (50%) - (hutan lindung) Tinggi (75%) Tinggi (75%)
Sumber: BTNMB (2006) Keterangan:*) Hasil wawancara (2008)
5.2.6 Aktor, polarisasi kepentingan dan perannya dalam pengelolaan TNMB Fokus analisis akses para aktor pada bahasan di atas lebih kepada upaya individu-individu untuk mendapatkan keuntungan sosial ekonomi di internal kelompok pengakses SDH TNMB. Aktor pada bahasan ini adalah aktor institusional (non individu), yang terdiri dari 26 aktor yang bergerak secara indepent maupun dalam bentuk koalisi atau konsorsium yang saling sinergis, antara institusi pemerintah versus institusi sosial kemasyarakatan atau NGOs. Aktor institusi tersebut meliputi aktor dari unsur jaringan birokrasi pemerintah, pemanfaat atau pengguna SDH dan non SDH, Ormas, ormas mahasiswa dan mahasiswa pecinta alam (PA), dan LSM-L. Aktor yang mengambil keuntungan dan atau yang mengawal eksistensi TNMB, dari segi jumlah relatif sangat besar (Tabel 65). Mekanisme akses dilihat dari aktualisasi kepentingan aktor terhadap eksistensi
kawasan
TNMB
dilakukan
dalam
beberapa
bentuk,
yakni
aktualisasi dalam; (1) Penataan, (2) Pemanfaatan/penggunaan (gain), (3) Pengembangan, (4) Pemeliharaan (maintenance access), (5) Pemulihan, (6)
Pengawasan/pengontrol
(control
access)
dan
(7)
Pengendalian
189
(UU No.23/1997 Pasal 1 ayat (2) 120; Ribbot dan Peluso, 2003). Dari ketujuh mekanisme dan proses tersebut, tidak semua institusi melakukan keseluruhan peran yang dapat ia mainkan untuk memperjuangkan kepentingannya. Pola hubungan untuk memperjuangkan sejumlah kepentingan institusi dikonstruksi dalam dua bentuk, yakni; (1) Pola hubungan formal melalui kerja-sama (MoU) -ada atau pernah ada hubungan kerja-sama--, dan (2) Tidak pernah ada hubungan kerja-sama (MoU) dengan pihak Balai TNMB, tetapi bersifat sinergis dan memiliki kepentingan yang cukup besar terhadap eksistensi kawasan TNMB sebagai kawasan konservasi (Tabel 66). Kepentingan dari masing-masing aktor, mencakup 6 (enam) point penting, yakni; (1) kelompok kepentingan pro-kawasan konservasi (konservasionis), (2) kelompok kepentingan anti tambang (anti kapitalis/ anti developmentalism), (3) kelompok kepentingan pemberdayaan, pembelaan hak, akses, kelembagaan, demokrasi, keadilan distribusi SDA dan masalah agraria (anti hegemoni, dehumanisasi pemanfaatan SDH), (4) kepentingan riset pengembangan (research and development), (5) Kepentingan penataan (tata ruang), pengendalian dan penegakan
hukum
dan
(6)
kelompok
kepentingan
sosial
ekonomi
(pengguna/pemanfaat SDH) dan PAD. Gerakan lingkungan (environtmental movement) dari masing-masing aktor dimaksud lebih banyak bersifat independent, kecuali pada kasus akses energi dan sumberdaya mineral (ESDM) –mangan, emas, tembaga, dll--, kelompok Pencinta Alam, semuanya mensub-ordinasikan diri dalam gerakan LSM-L. Konsolidasi gerakan yang massif antar aktor --LSM dan Ormas-- juga terjadi ketika ada upaya dari pihak pertambangan mengakses energi dan sumberdaya mineral (ESDM) -tambang emas, tembaga, perak,
mangan dll-- pada kawasan tersebut. Akses
tambang bagi kebanyakan aktor adalah akses yang sangat berbahaya dan mengancam keberlanjutan hidup dan kehidupan masyarakat sekitar dan KSDAHE TNMB, sehingga harus dilawan atau ditolak secara bersama-sama dan sinergis. Polarisasi dan kontra akses tambang telah berlangsung sejak tahun tahun 19992000, kemudian muncul lagi pada tahun 2008 sampai saat ini (Tabel 53). 120
UU Nomor: 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah uapaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan; penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
190
Legalisasi akses tambang: 1. Pembenaran DPRD Jember 2. Pembenaran Lemlit UNEJ ? 3. Kriminalisasi oleh Polres
Kapitalis Tambang
DPRD Jember
Kepentingan akses tambang: 1. PAD 2. Kompensasi dan alat transaksi politik 3. Biaya tutup utang Pilkada 4. Balas budi: Tim sukses dan Parpol Pendukung 5. Dana Incumbent Pilkada
Parpol + Tim Sukses Pilkada
Bupati Jember
Ancaman akses Tambang dalam kawasan lindung dan konservasi TNMB
Disperindag dan ESDM
Kontra akses kapitalis tambang
Kontra Kebijakan akses kapitalis tambang
Koalisi GARANG: YPSM, HAMIM, GPP, PMII SKeTSA, SERBUK, GNKL, FORKOMPAC dan FKPMM
Kepentingan: Konservasi, Bencana pembangunan, Anti pemiskinan, RTRW, Pengusiran masyarakat, Pelanggaran HAM, PPM, akses SDA-L, anti kapitalis
Gambar 18 Polarisasi kepentingan antara kelompok pro akses tambang (instrumen negara) versus elemen kontra akses tambang dalam kawasan lindung dan konservasi TNMB Akses tambang (Gambar 18) dilakukan oleh aktor institusi Pemkab. Jember bekerjasama dengan pengusaha dan politisi pro tambang, sedangkan kontra akses tambang dilakukan oleh Ormas, LSM-L dan OPA Jember. Polarisasi akses antar aktor tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Ketika akses di desa penyangga Pace dan Mulyorejo mendapat perlawanan dari elemen kontra akses tambang, maka jaringan aktor tambang mengalihkan perhatian dengan melebarkan wilayah akses ilegal ke desa Andongrejo, Sanenrejo dan Curahtakir kecamatan Tempurejo. Guna mensukseskan akses tambang, selain yang dijelaskan di atas – meminta dukungan ilmiah (riset) dari Lemlit Universitas Jember dan dukungan plitik dari DPRD Jember-- Pemkab Jember juga
memperalat institusi Polres
Jember yang memang memiliki kepentingan langsung secara individual (oknum
191
pimpinan) dan atau institusi Polres Jember
dengan melakukan pembiaran
terhadap kegiatan tambang ilegal. Akses tambang ilegal ini kemudian dijual ke pengepul, yakni Koperasi salah institusi satu aparat keamanan di Jember. Pertarungan akses pro tambang versus kontra akses tambang adalah gambaran nyata dari azas lingkungan keenam, bahwa individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan daripada saingannya (Koalisi Kepentingan Orrmas, LSM-L dan OPA), cenderung berhasil mengalahkan saingannya itu (mengusir --sementara--aktor pro tambang) dalam kawasan lindung dan konservasi TNMB. Pertarungan ini masih terus berlanjut, jika dilihat dari upayaupaya sistematis dan politis dari Pemkab Jember dengan bertopengkan PAD. Namun, dibalik PAD, SDA tambang telah dijadikan sebagai kompensasi dan alat transaksi politik, biaya untuk menutup utang Pilkada, sebagai balas budi terhadap Tim sukses dan Parpol Pendukung, serta untuk dana Incumbent Pilkada (Gambar 28).
192
Gambar 19 Demonstrasi masyarakat anti tambang pada kawasan konservasi dan kawasan lindung di Jember (TNMB dan Paseban-P Nusa Barong); Sumber: (Radar Jember 18 Desember 2009; Radar Jember 9 April 2010)
Tabel 51 Peran dalam mekanisme akses para aktor berdasarkan teori Ribbot dan Peluso (2003) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Peran dalam mekanisme akses para aktor dalam pengelolaan TNMB
Aktor
Penataan
Balai TNMB Pemkab. Jember Pemkab. Banyuwangi Aparat (polisi, jaksa dan hakim) PT: UGM, IPB dan UNEJ Pemerintah desa PT. LDO Jember Ormas Nahdlatul Ulama Wetland Indonesia Program Birddlife-IP dan KBSK Konsorsium LATIN – IPB KEHATI HAMIM/MMB-KEHATI KAIL ALAM HIJAU CIWALI OPR LMDH HIPPA Pengusaha (Tambang) Pengambil SDH Borek (pedagang SDH kecil) Pengusaha/Pedagang Besar SDH PC. PMII Jember DPC. GMNI Jember Koalisi LSM-L (tabel 42) GNKL Pencita Alam Jember/Besuki
√ √ (support) √ (support) √ (konsep) √ (konsep) √ (konsep) √ √ (konsep) √ (konsep) √ (konsep) -
Pemanfaatan/ penggunaan (Gain)
√ √ (support) √ (support) √ (oknum)
√ (riset dan PPM) √ (warga desa) √ (perkebunan) √ (ummat NU desa) √ (riset) √ (riset ) √ (riset dan PPM) √ (riset dan PPM) √ (riset dan PPM) √ (PPM) - PPM √ (tani + ladang) √ (SD air) √ (proses: ESDM) √ (akses SDH) √ √ √ (rekreasi)
Pengembangan
√ √ (support) √ (support) √ √ √ √ √ √ √ -
Pemeliharaan (Maintenance access)
√ √ (support) √ (support) -
√ (“kemitraan”) √ (terbatas dalam kebun) √ (anti akses tambang) √ √ √ (anti akses tambang) √ √ (anti akses tambang) √ √ (skala terbatas) √ (rendah) √ (SD air) -
√ (anti akses tambang) √ (anti akses tambang) √ (anti akses tambang) √ (anti akses tambang) √ (anti akses tambang)
Pemulihan
√ √ (support) √ (support) √ (simbolis) √ √ (terbatas) √ √ (rendah) √ (rendah) √ (rendah) √ (rendah) -
Pengawasan (Control access)
Pengendalian
√ (akses tambang) √ √ √ (temporal) √ √ (akses tambang) √ √ (rendah) √ (terbatas) √ (akses tambang) √ (akses tambang) √ (akses tambang) √ (akses tambang) -
√ (akses tambang) √ √ √ √ √ √ √ (akses tambang) √ √ √ (akses tambang) √ (akses tambang) √ (akses tambang) √ (akses tambang) -
√ √ (support) √ (support) √ √ √ √
√ √ (support) √ (support) √ √ √ √
Sumber: BTNMB dan Wawancara (2008) 193
194
Tabel 52 Identifikasi aktor, kepentingan, peran, kelemahan dan kekuatan dalam implementasi kebijakan TNMB No
Aktor Aparat Pemerintah
Kelemahan dan keterbatasan
Otoritas dan kekuatan
• Perencana, penanggungjawab, pelaksana dan monev kebijakan • Memiliki struktur organisasi dan aparat pelaksana yang kuat • Memiliki anggaran rutin
• Kultur birokrasi tidak/belum berubah • Interaksi/ koordinasi dengan masyarakat (PPM) dan institusi lainnya masih bersifat seremonial
• Sangat besar dan kuat, tetapi tidak digunakan secara maksimal
Kepentingan
Peran dan kelebihan
1.
Balai TNMB
1. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan 2. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan TN; 3. Pengendalian kebakaran hutan; 4. Promosi, informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 5. Pengembangan bina cinta alam, penyuluhan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; 6. Kerjasama KSDAHE dan kemitraan; 7. Pemberdayaan masyarakat; 8. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan ekowisata;
2.
Pemkab. Jember
1. Konservasi 2. Ekowisata meningkat 3. PAD dari bagi hasil
• Perencana dan penanggungjawab tata ruang wilayah • Penguasa daerah • Memiliki struktur organisasi hingga tingkat desa • Memiliki anggaran rutin
• Kultur birokrasi belum berubah • Interaksi/koordinasi dengan masyarakat dan institusi lainnya bersifat seremonial • Mempersempit ruang gerak (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemda: TNMB bukan wilayahnya
• Sangat besar dan kuat, tetapi tidak digunakan secara maksimal
3.
Pemkab. Banyuwangi
1. Konservasi 2. Ekowisata meningkat 3. PAD dari bagi hasil
• Perencana dan penanggungjawab tata ruang wilayah • Penguasa daerah • Memiliki struktur organisasi hingga tingkat desa • Memiliki anggaran rutin
• Kultur birokrasi belum berubah • Interaksi/koordinasi dengan masyarakat dan institusi lainnya bersifat seremonial • Mempersempit ruang gerak (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemda: TNMB bukan wilayahnya
• Sangat besar dan kuat, tetapi tidak digunakan secara maksimal
Lanjutan Tabel 52 No
Aktor Aparat Pemerintah
4.
Aparat penegak hukum: 1. Polhut TNMB
Kepentingan
Peran dan kelebihan
Kelemahan dan keterbatasan
Otoritas dan kekuatan
• Penegakan hukum dan • Nyambi bisnis (nyeper) pengawalan SDH TNMB
• Penyidikan, perlindungan dan pengamanan • Dana dan organisasi kuat
• Sangat ”mudah” disogok • Sanksi hukum ringan jika ketahuan melanggar • Dana penegakan hukum cukup tetapi kurang • Sub ordniasi POLRI dan Jaksa (aparat penegakan hukum seakan-akan)
• Sangat besar, belum digunakan
2. Polsek dan Polres (oknum atau instutusi ?)
• Penegakan hukum dan • Nyambi bisnis (nyeper) pengawalan SDH TNMB • Akses bisnis batuan tambang baik induvidual (Perwira aktif dan Purn. POLRI) dan atau institusi Koperasi Polri Jember dan Polwil plus pengawalan PETI
• Penyidikan, perlindungan dan pengamanan • Dana dan organisasi kuat
• Sangat ”mudah” disogok dan sudah menjadi kultur • Dana penegakan hukum cukup tetapi kurang • Miskin Polisi Idealis
• Sangat besar, belum digunakan
3. Kejaksaan
• Penegakan hukum • Bisnis memotong kasus TIPIHUT (Barang bukti)
• Penyidikan, penuntutan • Dana dan organisasi kuat
• Makelar kasus (Markus) • Kultur penegakan hukum sangat ”mudah” disogok, • Dana penegakan hukum cukup tetapi kurang • Miskin Jaksa Idealis
• Sangat besar, belum digunakan
5.
Pemerintah desa
1. 2. 3. 4.
• •
• Kualitas SDM rendah • Akses mempengaruhi dan menentukan arah kebijakan rendah
•
6.
Perguruan Tinggi :
1. Konservasi dan laboratorium alam 2. Penelitian dan pengembangan 3. Pemberdayaan masyarakat (sosial, ekonomi dan ekologi)
• Ilmuan tukang (instrumental knowledge) dalam bentuk riset pesanan untuk legalisasi tambang, dll (Tim UNEJ) • “Mroyek” PPM
• Kuat, belum digunakan maksimal
Kesejahteraan warga desa meningkat Konservasi lingkungan Ketersediaan air untuk pertanian Perluasan lahan pertanian dan perladangan
Penguasa wilayah desa Fasilitator, pembina dan pelaksanan kepentingan warga masyarakat
• Riset kebijakan dan pengembangan kelembagaan • Memiliki PSL • Akses kontrol kebijakan
Rendah
195
196
Lanjutan Tabel 52 No 7.
8
Aktor Pemanfaat langsung PT. LDO Jember
Pengusaha (Tambang)
Kepentingan 1. Keuntungan ekonomi 2. Investasi modal (kelola perkebunan) berkelanjutan 3. Pajak dan upah buruh rendah (di bawah UMR kabupaten)
1. Akses energi sumberdaya mineral (ESDM) 2. Keuntungan ekonomi dari eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral (emas, tembaga, mangaan, dll)
• • •
• • • •
9.
10.
OPR
LMDH
Kelemahan dan keterbatasan
Peran dan kelebihan
1. Peningkatan, perluasan dan keberlanjutan akses dan hak masyarakat pada lahan rehabilitasi 2. Pemberdayaan masyarakat (sosial, ekonomi dan ekologi) 3. Konservasi lingkungan (TNMB) 4. Penguatan kelembagaan konservasi dan partisipasi masyarakat desa
•
1. Peningkatan, perluasan dan keberlanjutan hak dan akses masyarakat pada kawasan hutan (Perum Perhutani) 2. Kerja-sama dengan OPR untuk pengawasan dan perlindungan hutan 3. Pemberdayaan masyarakat (sosial, ekonomi dan ekologi) 4. Konservasi lingkungan (hutan lindung dan produksi) 5. Penguatan kelembagaan LMDH dan partisipasi masyarakat desa
•
•
•
Kontribusi retribusi pajak pada negara Penakluk birokrasi Akses mempengaruhi dan menentukan arah kebijakan
•
Penakluk birokrasi Modal kapital kuat Kontribusi retribusi pajak pada negara tinggi Akses mempengaruhi dan menentukan arah kebijakan
•
Lembaga konsolidasi, penghimpun dan penyalur aspirasi Pelaksana kebijakan (lapangan) rehabilitasi
• • •
Lembaga konsolidasi, penghimpun dan penyalur aspirasi Pelaksana kebijakan (lapangan) dalam kawasan Perhutani, yang intensif berkoordinasi dengan OPR
• • •
• •
• •
• •
• •
Otoritas dan kekuatan
Tidak berinteraksi dengan masyarakat Tidak ada kontribusi langsung pada desa Pemicu kecemburuan sosial (hak istimewa)
•
Sangat kuat (penakluk birokrasi)
Tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat Tidak ada kontribusi langsung pada desa Pemicu perlawanan sosial (demonstrasi) Ormas dan LSM-L
•
Sangat kuat (penakluk birokrasi)
Akses kebijakan rendah Kemampuan negosiasi lemah SDM dan kelembagaan OPR lemah, tidak mengakar Labil dan mudah tergiring issu Dependent pada dan didominasi Balai TNMB
•
Rendah
Akses kebijakan rendah Kemampuan negosiasi lemah SDM dan kelembagaan LMDH lemah Labil dan mudah tergiring issu Dependent pada dan didominasi Perhutani
•
Rendah
Lanjutan Tabel 52 No
Aktor Pemanfaat
11
HIPPA
12.
Pengambil SDH TNMB (aktor pengguna 1)
13.
14.
Borek/pedangan kecil (pengepul, penadah dan penyalur)
Pengusaha/pedagang SDH (besar)
Kepentingan
Kelemahan dan keterbatasan
Peran dan kelebihan
Otoritas dan kekuatan
•
Consens pada konservasi sumberdaya air
• •
Akses kebijakan rendah Jaringan sosial dan kemampuan negosiasi lemah
•
Rendah
1. Akses sosial ekonomi SDH kayu dan non kayu TNMB 2. Keberlanjutan sosial ekonomi RT (subsisten)
•
Pelaku suksesi, siklus dan rotasi SDH antropogenik Akses pemanfaatan SDH
• • • •
Kelompok tidak terorganisir Akses kebijakan tidak punya Jaringan terbatas pada borek Kemampuan negosiasi tidak punya
•
Tidak punya
1. Akses sosial ekonomi SDH kayu dan non kayu TNMB 2. Keberlanjutan usaha jual beli dan pasokan SDH kayu dan non kayu (TNMB) dari aktor 1
• Pelaku sirkulasi, tempat transit dan penampung SDH ke akses pasar • Fasilitasi para pengambil SDH (aktor 1) untuk terus akses SDH TNMB • Penakluk aparat keamanan : “Mantra Mawar Merah” • Pelaku penampung SDH dari aktor borek • Fasilitasi para aktor borek untuk terus mengakses SDH • Penakluk aparat keamanan
• •
Kelompok tidak terorganisir Akses dan kemampuan negosiasi kebijakan tidak punya Jaringan pasar cukup luas
•
Rendah
Kelompok tidak terorganisir Akses dan kemampuan negosiasi kebijakan tidak punya Jaringan pasar cukup luas
•
Rendah
1. Konservasi lingkungan 2. Ketersediaan sumberdaya air
1. Akses sosial ekonomi SDH kayu dan non kayu (TNMB) dengan harga murah dan proses illegal 2. Keberlanjutan usaha jual beli dan pasokan SDH kayu dan non kayu (TNMB) dari aktor borek
•
•
• •
•
Sumber: BTNMB dan Wawancara (2008)
197
198
-
K -
K -
B -
-
S K S
K K K K K K K K
S K B J -
K J B -
K -
K K K J
K K J K
-
B -
B B
K S K K -
J K S -
K K S B K S B B J J -
PA Jember/Besuki
GNKL
DPC. GMNI Jember
B B
PC. PMII Jember
B
Pengusaha/Dagang Besar SDH
Pengusaha (Tambang)
HIPPA
LMDH dan warganya
OPR dan warganya
CIWALI
Konsorsium: Karst (JATAM2)
KAIL
Konsorsium JATAM
HAMIM/MMB-KEHATI
KEHATI
Konsorsium LATIN - IPB
Birddlife-IP dan KBSK
Wetland IndonesiaProgram
J J
Ormas Nahdlatul Ulama
K S S J
Borek (pedagang SDH kecil)
K B B -
Pengambil SDH & tambang
K B B
PT. LDO Jember
S K
Pemerintah desa
S
PT: UGM, IPB dan UNEJ
Balai TNMB Pemkab. Jember Pemkab. Banyuwangi Aparat (polisi dan jaksa) PT: UGM, IPB dan UNEJ Pemerintah desa PT. LDO Jember Ormas Nahdlatul Ulama Wetland Indonesia Program Birddlife-IP dan KBSK Konsorsium LATIN - IPB KEHATI HAMIM/MMB Konsorsium JATAM 1 KAIL (Jaringan Latin Bogor) Konsorsium: Karst (JATAM 2) CIWALI OPR LMDH HIPPA Pengusaha (Tambang) Pengambil SDH dan tambang Borek (pedagang SDH kecil) Pengusaha/Dagang Besar SDH PC. PMII Jember DPC. GMNI Jember GNKL Mahasiswa Pencita Alam
Aparat :polisi, jaksa hakim
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Pemkab. Banyuwangi
Aktor Balai TNMB
No
Pemkab. Jember
Tabel 53 Interaksi antara aktor institusional dalam perlawanan dan pertarungan akses pengelolaan kawasan TNMB 1999/ 2009
K J J J J K J J K J K J J -
Keterangan : Kualitas interaksi: Baik (B), Sedang (S), Kurang (K), Jelek (J), Tidak ada interaksi (-) Baik (B) Sedang (S) Kurang (K) Jelek (J) Nihil (-)
: : : : :
Ada interaksi antara personal dan antar institusi, koordinasi sinergis, berkelanjutan 1 X per tahun Ada interaksi, kurang sinergis, sesuai kebutuhan, tidak berkelanjutan, ada konflik kepentingan, 1 X per 2 tahun Ada interaksi, tidak sinergis, sesuai kebutuhan, tidak berkelanjutan, ada konflik kepentingan, 1 X per 3 tahun Interaksi temporal, sesuai kebutuhan, tidak sinergis, tidak ada patokan waktu Tidak/belum pernah ada interaksi langsung/tidak langsung dalam 5 tahun terakhir, ada kepentingan
199
200
5. 3 Dinamika dan Ragam Akses, Hak dan Kelembagaan Masyarakat 5.3.1 Dinamika dan ragam akses masyarakat desa-desa penyangga 5.3.1.1 Akses sumberdaya hutan TNMB konvensional Akses dalam penelitian ini mengacu kepada pendekatan Ribot dan Peluso (2003), yakni kemampuan --individu atau kelompok masyarakat desa-desa penyangga TNMB-- untuk mendapatkan sesuatu manfaat atau keuntungan dari segala hal (ability to derive benefits from things) yang bersumber dari adanya ikatan kekuasaan (bundle of powers) dan bukan pada ikatan hak (bundle of rights). Kemampuan tersebut tidak mempertentangkan legalitas dan illegalitas akses, yang diperoleh dari kemampuan membangun jaringan sosial, mempengaruhi praktik dan ide-ide pengelolaan SDA-L, serta kemampuan mereka mengkondisikan situasi dan kecenderungan darurat psikologi (psychological emergency), sehingga pengelola TNMB mengeluarkan kebijakan institusi yang bersifat darurat. Pola-pola akses masyarakat desa penyangga terhadap SDA-L TNMB sangat beragam dan berkaitan dengan banyak faktor sosial, ekonomi dan politik. Akses tersebut telah berlangsung lama, jauh sebelum penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan lindung oleh Belanda (1938) 186. Ketika Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tersebut dikeluarkan, masyarakat yang datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pulau Madura telah membentuk kampung-kampung tua yang sekarang ini menjadi desa-desa penyangga TNMB. Kawasan TNMB dengan segenap potensi SDA-L yang ada di dalamnya telah menjadi bagian yang menyatu dengan sejarah hidup dan kehidupan masyarakat desa penyangga. Akses pemanfaatan beragam jenis flora dan fauna, seperti; “kayu perkakas, kayu bakar, bambu, rencek, rotan, obat-obatan untuk jamu, lebah madu, ikan, burung, satwa-satwa langka lainnya dan rerumputan“ 187 merupakan bentukbentuk akses konvensional yang telah lama menyatu dengan kehidupan masyarakat desa-desa penyangga. Akses pemanfaatan untuk bertahan hidup
186
Berdasarkan SK Pemerintah Hindia Belanda, yaitu melalui Besluit van den Directur van Landbouw Neverheid en Hendel No. 7347/B tanggal 29 Juli 1931 serta Beslutit directur van Economiche Zaken No. 5751 tanggal 28 April 1938 187 Pola-pola akses pemanfaatan SDA semacam tersebut, juga terjadi di sejumlah Taman Nasional di Indonesia, seperti di TNGH (Adimihardja K, A.M. Kramadibrata, dan O.S Abdullah. 1994. Penelitian Hubungan Timbal Balik Masyarakat Perdesaan dengan Hutan di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat Bandung: BAPEDDA Propinsi Jawa Barat dan INRIK, Universiotas Padjajaran)
201
(survival) dan atau upaya mendapatkan keuntungan dari potensi SDH TNMB, dilihat dari kasus akses pemanfaatan ilegal SDH TNMB atau tindak pelanggaran hutan (tipihut) terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam berbagai pola interaksi pemanfaatan 188. A. Akses sumberdaya hutan (SDH) prareformasi (1995-1996) dan akses era
transisi menuju reformasi (1998-2004); TNMB sebagai kawasan tidak bertuan Akses Pengambilan Kayu Perkakas Akses pemanfaatan atau pengambilan kayu perkakas sudah berlangsung lama, sehingga sudah menjadi kultur yang bersifat sistemik. Pada era Orde Baru, akses pengambilan kayu sangat kasat mata dengan tingkat pengambilan (pencurian) yang sangat tinggi, tetapi sangat sulit dilakukan pembuktian secara hukum dan diliput oleh media massa. Dua alasan itu, menyebabkan pada era Orde Baru tingkat pelanggaran hutan lebih rendah dan bahkan seakan-akan tidak terjadi pelanggaran hutan. Menjelang hingga jatuhnya pemerintah rezim Orde Baru, dalam suasana politik nasional chaos, yakni tahun 1995/1996- 1999/2000, akses ilegal SDH TNMB tidak mampu dikontrol oleh pihak Balai TNMB, yang ditunjukkan pada Gambar 10 (poin 5.1.3) yang sifatnya diskuntinu. Akses pengambilan SDH TNMB tersebut jika dilihat pada fakta luas kerusakan kawasan, maka angka tersebut tidak menunjukkan fakta kejadian yang sesungguhnya. Ini dapat terjadi karena dua kemungkinan; 1. Intensitas kejadian akses ilegal yang tinggi, terjadi dalam situasi petugas Balai TNMB lumpuh, dan atau, 2.
Aparat yang
melumpuhkan dirinya sendiri dalam situasi politik chaos, kemudian larut dalam dan atau ikut menskenario akses ilegal, mumpung ada kesempatan. Kedua skenario itu sangat mudah dilakukan oleh petugas, karena individu atau kelompok masyarakat sudah disiapkan sebagai korban (kambing hitam) perusak hutan TNMB. Dalam rentang waktu 1995/1996 - 1999/2000 (Tabel 45), hanya kasus ilegal loging yang mampu diinventaris oleh petugas Balai TNMB, sementara beberapa kasus pelanggaran hutan yang relatif kecil tidak mampu ditangani secara 188 Hasil wawancara snowball; Pengambilan SDA dalam TNMB dilakukan dengan beragam alasan, seperti: 1. pekerjaan turun temurun dan tidak punya pilihan lain, 2. tidak punya lahan pertanian atau kebun, 3. hasilnya lebih banyak daripada bekerja sebagai buruh, 4. ikut teman, coba-coba, jika hasilnya bagus diteruskan
202
maksimal karena faktor melemahnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Akses illegal pengambilan kayu jati naik sangat tajam pada tahun 1996/1997. Pada tahun tersebut, secara nasional dan regional Jawa Timur, intensitas gerakan mahasiswa dan kaum buruh juga naik sangat tajam, sehingga konsentrasi dan kemampuan kontrol pemerintah rezim Orde Baru pada pengawasan asset-asset negara menurun sangat tajam, demi mempertahankan kekuasaan rezim Orde Baru. Tahun 1998/1999, intensitas pengangkutan kayu sangat tinggi, sehingga sangat sulit bagi Balai TNMB untuk mendata berapa kali massa keluar masuk kawasan TNMB untuk mengangkut kayu jati dan kayu rimba. Pekerjaan yang dapat dilakukan saat itu hanyalah mendata luasan dampak akses illegal pengambilan kayu jati dan kayu rimba yang mencapai lebih dari 170 Ha189. Akses ilegal SDH TNMB pada tahun 2000 sempat turun tajam, namun 4 (empat) tahun kemudian, yakni tahun 2000 – 2004 kembali mengalami kenaikan yang linier, yakni R2 = 93,6% (Gambar 14). Akses ilegal SDH yang paling diminati oleh para pelaku adalah kayu jati, namun setelah kayu jati habis kemudian beralih ke akses
kayu rimba. Akses pengangkutan
kayu-kayu
berkualitas dan sumberaya alam lainnya --kayu jati, kayu suren, kayu garu, kayu bungur, dan sebagainya--
dalam kawasan TNMB hingga saat ini masih
menggunakan pola konsolidasi dan interaksi jaringan (modus operasi) yang lama, sepert di bawah ini. “Membawa kayu dari sini gampang, yang penting rutenya benar, Mantra Mawar Merahnya cukup, pasti aman cak. Dari sini (Sanenrejo/Curahtakir; atau Andongrejo), lapor Polsek dan Koramil, langsung ke Boreg (pengepul besar). Jika masuk kota atau ke tempat tujuan yang jauh, setelah lapor Polsek dan Koramil, mampir di Pecoro (gudang kayu lelang) untuk mendapatkan surat pemutihan (kayu lelang), terus antar ke tempat tujuan. Kalau sudah masuk gudang Pecoro dijamin aman Cak. Atau kalau mau lebih aman lagi, kami kirim dalam bentuk jadi (kosen). Sampai rumah sampean tinggal pasang Cak. Lha opo pake kayu Kalimantan, mudah lapuk”. “Kalau sampean mau kayu jati atau kayu rimba yang bagus, kami antarkan ke rumah sampean, tetapi sampean harus tanggap (undang) kesenian Gandrung kami. Jika ada pemeriksaan Polisi, kami gampang memberi alasan, kalau kayu dan papan yang kami bawa akan dipakai untuk pentas seni Gandrung, nanti kami pulangnya kosongan mas” 190.
189 Tidak kurang dari 300 orang setiap harinya, di kawasan Wonowiri, pada tahun 1996-2000, keluar masuk TNMB mengambil kayu jati, kayu suren, kayu garu, kayu bungur dan kayu perkakas lain yang dipasaran pada saat itu. Kasus yang sama terjadi di semua desa penyangga TNMB di Jember dan Banyuwangi (Laporan Balai TNMB Jember, 1998/1998). 190 Wawancara tanggal Mei 2007 dengan tokoh muda OPR Sarongan dan Kandangan Di Banyuwangi. Selain Mantra Mawar merah, kesenian daerah (gandrung) sering dijadikan sebagai peluang untuk mengakut kayu, sementara sumpit beracun (berbius) sering dipakai untuk menaklukkan banteng, supaya aman dari kontrol aparat polisi hutan”.
203
Tabel 54 Akses pengambilan kayu perkakas tahun 1995/1996-2004 dalam kawasan TNMB Tahun 1995/1996
1996/1997
1997/1998
Lokasi a.
Resort KSDA Guci Betiri
b.
Resort KSDA Mandilis
c.
Resort KSDA Sabrangtrate
d. a.
Resort KSDA Bandealit Resort KSDA Guci Betiri
b.
Resort KSDA Mandilis
c.
Resort KSDA Sabrangtrate
d.
Resort KSDA Karangtambak
e. f. a.
Resort KSDA Sukamade Resort KSDA Malangsari Resort KSDA Guci Betiri
b.
Resort KSDA Mandilis
c. d.
Resort KSDA Sabrangtrate Resort KSDA Karangtambak
1998/1999
e. Resort KSDA Malangsari f. Resort KSDA Sukamade Sub SWK Ambulu
1999/2000
a.
Sub SWK Ambulu
b.
Sub SWK Sarongan
2000
a. b.
Sub SWK Ambulu Sub SWK Sarongan
2001
a.
Sub SWK Ambulu
b.
Sub SWK Sarongan
a.
Sub SWK Ambulu
b.
Sub SWK Sarongan
a.
Sub SWK Ambulu
b.
Sub SWK Sarongan
a.
Sub SWK Ambulu
b.
Sub SWK Sarongan
2002
2003
2004
Jenis
Per Lokasi
Frekuensi Total (kali)
Kayu jati Rotan Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Rotan Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Kayu lain Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Bambu Telur Penyu Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Bambu Kayu rimba Telur Penyu Kayu jati (170 ha)
14 kali 1 kali 6 kali 1 kali 19 kali 1 kali 2 kali 35 kali 1 kali 20 kali 4 kali 1 kali 31 kali 1 kali 4 kali 4 kali 1 kali 2 kali 1 kali 19 kali 1 kali 18 kali 2 kali 24 kali 3 kali 1 kali 2 kali 1 kali
Kayu jati Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Kayu rimba Kayu jati Kayu rimba Rotan Kayu rimba Rotan Kayu Rimba Kayu sadeng Rotan Kayu rimba Kayu jati Rotan Telur penyu Kayu rimba Kayu jati Rotan Kayu rimba Rotan Telur penyu Rotan Kayu rimba Bahan perahu Rotan Kayu rimba Bahan perahu
8 kali 5 kali 6 kali 4 kali 13 kali 1 kali 3 kali 7 kali 1 kali 9 kali 3 kali 21 kali 1 kali 4 kali 23 kali 4 kali 2 kali 2 kali 41 kali 2 kali 2 kali 32 kali 2 kali
Kayu jati Kayu rimba Rotan
: : :
39 2 3
Kayu jati Kayu rimba Bambu Telur penyu Kayu lain
: : : : :
90 11 1 2 1
Kayu jati Kayu rimba Bambu Telur penyu Kayu lain
: : : : :
61 8 1 1 -
72 kali -
Kayu jati Kayu rimba
: :
72 8
8 kali 12 kali 7 kali
Kayu rimba Kayu jati
: :
12 7
23
37
55
81
Sumber: Sub BKSDA Jawa Timur II (1995/1996-1997/1998); BTNMB (2000)
Wartawan lepas Media T, mengungkapkan hal serupa, bahwa terlalu mudah untuk mengambil dan membawa keluar SDH TNMB, terutama kayu perkakas; “Jika ada oknum Polisi tertentu, tunggu saja....sudah pasti akan ada kayu atau apa yang akan keluar daripintu TNMB atau dari pintu desa. Apalagi hari ahad, semua petugas libur, tidak ada yang menjaga pos, dipikir sendiri.....kayu dan sebagainya keluar dengan aman
204
dari TNMB. Kasus yang tertangkap itu hanya satu dua dari banyak kasus, dan biasanya tidak membayar upeti”. 191
Selama kurun waktu 10 tahun, yakni tahun 1995/1996 - 2004, akses pengambilan kayu perkakas merupakan akses yang paling tinggi dari semua bentuk akses pengambilan SDH TNMB (Gambar 17). Akses SDH ilegal yang berhasil didata oleh pihak Balai TNMB selama kurun waktu tersebut mencapai 515 kasus. Akses pengambilan kayu jati menempati urutan pertama, yakni 271 kali (52,62%), kemudian kayu rimba sebanyak 192 kali (37,28%), rotan sebanyak 36 kali (6,99%), telur penyu sebanyak 8 kali (1,55%), kayu lain sebanyak 6 kali (1,16%), dan bambu sebanyak 2 kali (0,8%). 120 Kayu Jati
105
Kayu Rimba
100
Rotan
90
Telur Penyu 80
80
81
Kayu Lain 73
Bambu
72
71
Jumlah Akses Ilegal SDH
61
55
60 44
44 40
39
37 23
19
20
11 23
1211
8
8 1 1
12 7
20
14 9
12 1
0
31
8 1
2
4 4
2003
2004
0 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000
2000
2001
2002
Gambar 20 Histogram dinamika akses SDH TNMB berdasarkan kasus pelanggaran hutan tahun 1995/1996 - 2004 Situasi instabilitas politik nasional hingga chaos tahun 1998-2000, dimanfaatkan secara maksimal oleh para aktor kayu di semua tingkatan. Tahun 1996/1997 – 1999/2000, TNMB adalah kawasan kosong tidak bertuan dan masa pesta kayu jati bagi para aktor kayu di desa dan Boreg (pengepul besar) yang dikawal langsung oleh oknum aparat penegak hukum di Jember dan Banyuwangi. 192 Balai TNMB pada kurun waktu tahun 1998-2003 hanya menjalankan fungsi administratif, sementara fungsi pengawasan aparatnya lumpuh total, karena tidak mampu memberikan tindakan pengamanan atau tindakan hukum lainnya terhadap eksistensi kawasan. Bahkan menurut penilaian
191
Wawancara dengan MHT, Wartawan Media T, Maret 2008 Pada saat itu, oknum aparat penegak hukum (TNI-AD /POLRI) oleh masyarakat desa hutan di Jamber dan Banyuwangi, dijuluki (diberi sandi) wereng hijo dan wereng coklat untuk menghindari penyebutan nama institusinya. 192
205
aparat desa dan tokoh masyarakat desa penyangga, aparat TNMB (petugas jagawana) juga larut dalam setting akses ilegal. 193 Kasus yang sama juga terjadi pada periode 5 (lima) tahun berikutnya, yakni 2005 -2009. Dinamika akses SDH ilegal ini belum dapat dinilai sebagai siklus 5 (lima) tahunan. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa; 1. Penegakan hukum dari aparat keamanan Balai TNMB belum maksimal, 2. tingkat ketergantungan masyarakat pada SDH TNMB tetap tinggi, terutama akses terhadap kayu perkakas 3. Partisipasi kelompok masyarakat yang mendapatkan dan atau diberi hak dan akses pemanfaatan lahan TNMB tidak berjalan maksimal, dan 4. perekonomian dan sarana-prasarana perkeonomian masyarakat (pendapatan dan kesejahteraan ekonominya) masih relatif rendah. Pada tahun 2000-2004 (Tabel 42) dan tahun 2005-2009 (Tabel 43), setelah kayu jati di zona penyangga habis, akses ilegal kayu jati menurun sangat tajam 194 dan beralih ke akses kayu rimba. Seperti halnya kayu jati, akses kayu rimba, setiap tahunnya cenderung meningkat. Dalam empat tahun terakhir (Tabel 45; Gambar 18), akses ilegal logging kayu rimba mencapai 169 kasus (68,98%) dari 245 kasus akses ilegal SDH TNMB. Dilihat dari pendataan bekas kasus penebangan kayu rimba, relatif sedikit yang berhasil diamankan dan masih sulit ditangkap oleh aparat penegak hukum. Kesulitan ini menunjukkan, pola-pola koneksitas jaringan akses masih dipelihara secara baik oleh para aktor kayu dan aparat keamanan (akses kontrol). Pihak Balai TNMB meyakini bahwa para aktor kayu dan SDH TNMB lainnya tidak berubah. Mereka semua adalah aktor lama, generasi aktor lama atau jaringan aktor lama yang sudah memiliki ikatan emosional dengan pihak aparat keamanan, sehingga konsolidasi aksesnya cepat dan dibiarkan tidak terpantau. 195 Peran masing-masing aktor dengan kontribusi, kapasitas dan kewenangan yang berbeda-beda, dalam mendapatkan manfaat materi dan jaminan keamanan dari semua proses akses SDH TNMB --kayu jati, kayu rimba, rotan dan bambu serta bahan jamu-- seperti dalam Gambar 19.
193
Wawancara dengan aparat desa penyangga dan tokoh masyarakatnya, Oktober 2007 Saat ini, pohon jati yang tersisa dan relatif masih aman dan sulit diakses oleh para aktor kayu adalah di Kampung Rajekwesi dan di kampung Bandealit. 195 Wawancara dengan Kasubag TU TNMB, SS Oktober 2007. 194
206
Akses Ilegal Kayu Jati dan Kayu Rimba TN Meru Betiri Tahun 1995 - 2008 120
101 100
80 80
73 69 65
60 45
44
41 40 32 28 21
19
20
14
20 08
20 07
20 06
20 05
20 04
20 03
20 02
20 01
20 00
19 99 /2 00 0
19 98 /1 99 9
19 97 /1 99 8
19 96 /1 99 7
19 95 /1 99 6
0
Gambar 21 Grafik jumlah akses ilegal kayu jati dan kayu rimba tahun 1995/1996-2008 (BKSDA, 1995- 1998;BTNMB 1998-2009) Borek berdasarkan Gambar 19, menempati posisi sentral dan menjadi pengendali para aktor dalam proses akses SDH TNMB. Perusahaan (industri) yang bergerak di bidang perkayuan, bambu, rotan dan obat-obatan tradisional (jamu), membangun dan memelihara
jaringan akses SDH dengan kelompok
borek besar dan borek kecill guna mendapatkan pasokan bahan baku yang berkualitas bagus dan murah. Jaringan akses tersebut dipelihara dengan menawarkan pekerjaan kepada warga masyarakat (akses buruh atau peluang buruh), akses jaringan sosial dan identitas sosial, sebagai pencari SDH TNMB yang berkualitas bagus (akses pengetahuan), memberikan sejumlah pinjaman uang (akses modal), tawaran peralatan penebangan (pengambilan) dan pengangkutan kayu (akses teknologi) 196, dan peluang pasar (akses pasar) untuk mempermudah dan mempercepat pemasaran hasil akses SDH TNMB. Hal-hal administratif pengangkutan kayu semuanya diurus oleh Borek, sehingga para
196 Tingginya permintaan kayu ketika itu (1997-1999), maka borek menawarkan (meminjamkan) peralatan penebangan kayu dari pecok dan gergaji tangan agar diganti dengan gergaji mesin (chainshow), supaya kerja penebangan kayu berjalan cepat dan hasilnya banyak. Gergaji mesin ada yang bersifat pinjaman atau ada yang dibayar cicilan kepada borek, atau diberi pinjaman uang untuk membeli gergaji tersebut. Seluruh hasil tebangan kayu akan disetor ke borek yang meminjamkan peralatan atau uang tadi. Pada kasus ini, initensitas keluar masuk truk pengangkut kayu dalam kawasan TNMB meningkat dari 2 truk pada kondisi politik normal menjadi minimum 5 truk pada kondisi politik nasional chaos. Kayu yang berhasil ditebang (akses individual) diangkut dengan sepeda pancal, kemudian disetorkan ke borek (wawancara snowball, Nopember 2007).
207
pengusaha atau konsumen kayu dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi, tanpa harus menanggung resiko hukum.
SDH TNMB
1. Warga desa penyangga/ perambah hutan
Dipakai atau dikonsumsi sendiri
Kebutuhan domestik
2. Industri kecil lokal
3. Pengepul kecil
4.Keperluan Individu
5. Aparat Desa 6. Borek (pengepul besar)
Gudang lelang kayu Pecoro Rambipuji
Mantra Mawar Merah
7. Aparat Keamanan + Jagawana
8. Industri Menengah dan Besar
Gambar 22 Pola interaksi antar aktor dalam mengakses sumberdaya hutan TNMB Kemampuan aktor Borek menyiapkan persyaratan administrasi di atas, menunjukkan kekuatan dan keluasan jaringan sosial dan identitas sosial para aktor sangat rapih, aman, tidak mungkin terbongkar dan tertangkap oleh aparat keamanan. Dengan jaringan tersebut, pasti dan selalu ada semacam transaksi informasi dan revisi jadwal patroli dan pemeriksaan (akses kontrol). Para aktor mengaku bahwa akses SDH TNMB yang tertangkap oleh aparat keamanan pada umumnya terjadi karena kelalaian aktor borek mengeluarkan mantra mawar merah atau mantra mawar merah-nya kurang, dan atau karena persaingan antar borek, tetapi yang menjadi korban pada umumnya adalah aktor pada tingkat pertama (buruh warga desa) atau kedua (pengepul kecil).
208
Akses Pengambilan Kayu Bakar dan Bambu Pengambilan kayu bakar dan bambu merupakan akses relatif rutin dilakukan oleh warga desa penyangga, untuk memenuhi berbagai kebutuhan 197. Kayu bakar umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga (bahan bakar) sendiri atau dijual ke warung makan “langganan” dan pasar lokal, serta kebutuhan lainnya, seperti untuk industri genteng 198, pembakaran batu kapur,
dan sebagainya. Sementara, bambu dalam skala lokal Jember
dimanfaatkan untuk bahan baku pengasapan tembakau (sujen), glantang (rumah pengasapan tembakau), pembuatan sesek atau gedhek (bahan pagar atau dinding bambu), bahan kerajinan rumah tangga atau perabot dapur (wakul nasi), dan lainlain. Bambu paling banyak diakses oleh warga masyarakat desa penyangga, terutama di Jember --Sanenrejo, Curahtakir, Andongrejo dan Curanongko-- adalah ketika musim tembakau (Naa Oogst). Melihat ragam peruntukan tersebut, maka akses bambu kebanyakan untuk diperjualbelikan. Bambu juga diakses oleh masyarakat desa penyangga di Jember dan Banyuwangi untuk memenuhi kebutuhan industri chopstick Jawa Timur dan industri kerajinan di Bali. Dua kebutuhan yang disebut terakhir ini membutuhkan bambu dalam jumlah besar, sehingga para aktor tingkat 1 (satu) biasanya mengumpulkan dulu atau langsung diantar ke lokasi pengepul tingkat 2 (dua), tergantung dari desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga aktor tingkat 1 (satu). Akses kayu bakar dan bambu relatif aman dari pemeriksaan aparat keamanan, jika pengambilannya hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (skala kecil). Memperhatikan intensitas pengambilan SDH TNMB (Tabel 46), eksistensi SDH kayu bakar dan bambu sangat berarti bagi warga masyarakat desa penyangga. Akses pemanfaatan kayu bakar dan bambu menjadi profesi sampingan --alternatif-- di semua desa penyangga yang ada di TNMB. Para aktor tingkat 1 (satu) mengambil kayu bakar dan bambu (Gambar 20) dalam kawasan TNMB 197 Akses pengambilan kayu bakar banyak dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan dan dari luar kawasan TNMB yang jaraknya cukup jauh, seperti desa Sidodadi Tempurejo, warga desa di kecamatan Wuluhan dan Rambipuji (Wawancara Snowball, Oktober 2007) 198 Sebagai contoh, analisis kebutuhan terhadap kayu bakar untuk pembakaran genteng di desa Sanenrejo, memiliki 30 pengrajin industri genteng, maka kayu bakar yang dibutuhkan sebanyak 2,8 m3 kayu, untuk setiap pembakaran 5.000 buah genteng. Dalam satu bulan, setiap industri genteng melakukan tiga kali pembakaran, jika 30 pengrajin genteng membutuhkan kayu bakar sebanyak 84 m3, maka dalam sebulan membutuhkan kayu bakar sebanyak 252 m3. Kebutuhan ini cukup tinggi, belum termasuk untuk kebutuhan rumah tangga warga masyarakaty di desa-desa penyangga yang berbatasan langsung dengan TNMB (Wawancara Snowball dengan pengrajin industri genteng Sanenrejo, November 2007)
209
dilakukan sebanyak 3-4 kali seminggu, tergantung dari kekuatan fisik aktor tingkat 1 (satu) dan waktu luang selepas dari kesibukan aktivitas bertani dan berladang. Akses pengambilan kayu bakar dan bambu ini berlangsung sepanjang tahun, tanpa mengenal musim seperti SDH TNMB lainnya. Kayu bakar dan bambu bagi masyarakat desa-desa penyangga menjadi semacam kebutuhan rutin sepanjang hari, karena kebutuhan terhadap keduanya tidak selalu bersamaan, tergantung pada jenis dan sifat kegiatan masyarakat yang membutuhkannya.
Gambar 23 Pengambilan bambu oleh masyarakat untuk berbagai keperluan Seorang aktor tingkat satu yang rumahnya relatif jauh dari TNMB 199, untuk mendapatkan satu pikulan sepeda onthel kayu bakar atau bambu, maka harus berangkat dari rumahnya sekitar jam 04.30 WIB setelah shalat subuh, dan tiba kembali di rumahnya sekitar jam 15.00-an sore. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan satu pikulan sepeda onthel adalah sekitar
5 hingga 7 jam
perjalanan, tergantung dari kecepatan memancal sepeda dan waktu istirahat dalam perjalanan pergi dan pulang. Bagi aktor tingkat satu yang rumah atau desanya berbatasan langsung dengan TNMB, maka waktu tempuh berkisar antara 30 menit hingga 2 jam perjalanan.
199 Aktor kayu bakar dan bambu yang relatif jauh dari TNMB adalah aktor dari Ambulu, Wuluhan, Jenggawah dan Rambipuji
210
Tabel 55 Pengunaan waktu dan intensitas pemanfaatan kayu bakar dan bambu oleh para aktor tingkat 1 (satu) di desa-desa penyangga TNMB Desa/Dusun
Pengambil (orang)
Pengambilan per minggu (kali)
Besaran (∑ batang/ikat)
Alat pengangkutan (akses teknologi)
Andongrejo/Curahnongko Bandealit Sanenrejo/Curahtakir Wonoasri Sarongan/Kandangan Sukamade
7 5 5 7 5 6
4 4 3 4 3 4
2 ikat (kanan-kiri) 2 ikat (kanan-kiri) 2 ikat (kanan-kiri) 2 ikat (kanan-kiri) 2 ikat (kanan-kiri) 2 ikat (kanan-kiri)
Sepeda Onthel dan motor Sepeda Onthel dan motor Sepeda Onthel dan motor Sepeda Onthel -
Jumlah
35
Sumber: Data primer (2007)
Akses pengambilan kayu bakar dilakukan di semua lokasi zona pemanfaatan (zona penyangga) TNMB, dan pasca reformasi, pengambilan kayu bakar oleh warga masyarakat dilakukan dengan menggali pangkal/akar pohon sisa-sisa penjarahan era reformasi.
Akses pengambilan kayu bakar dan bambu,
bagi tiap kelompok aktor biasanya mempunyai lokasi khusus yang sudah terbiasa mereka datangi. Lokasi pengambilannya biasanya lebih dari satu tempat dengan sistem bergilir --kearifan lokal untuk menghindari kelangkaan dan penghancuran SDH--, tertera pada Tabel 47. Tabel 56 Lokasi pengambilan bambu oleh kelompok masyarakat desa penyangga TNMB
Lokasi pengambilan
• • • •
Bandealit
Andongrejo
Penangan Kebun pantai Pesisir pantai Air kuning
• •
Bandealit Meru
Wonoasri • • • • • • • • • • • • • •
Nagelan Sepuran Dunglo Dunggembreng Sadengan Bonangan Pletes Watu Sepur Rangkongan Bentisan Gunung Jati Gunung Putih Andongan Rangkongan
Sarongan • •
Blok Dam Blok Rajegwesi
Sukamade • Permisan • Sumbersari
Sumber: Data primer (2007)
Akses Pengambilan Rotan Kekayaan sumberdaya hutan (SDH) TNMB telah lama memberikan manfaat bagi keberlanjutan hidup warga masyarakat desa penyangga. Rotan adalah sebagian kecil dari kekayaan SDH TNMB non kayu yang masih dimanfaatkan oleh warga desa penyangga (Gambar 21). Sama halnya dengan akses kayu perkakas, kayu bakar dan bambu, akses pengambilan rotan, telah
211
berkembang menjadi lebih dari sekedar upaya sebagian warga desa penyangga TNMB untuk bertahan hidup. Dampak dari kapitalisasi SDH, menyebabkan akses SDH ini terus mengalami tekanan dari kelompok masyarakat desa penyangga, pada situasi dan kondisi ketersediaan rotan terus menurun.
Gambar 24 Akses rotan yang berhasil disita Balai TNMB (Dokumentasi Balai TNMB) Rotan merupakan hasil hutan non kayu TNMB. Akses pemanfaatan rotan secara tradisional oleh masyarakat desa penyangga tidak sebanyak dan tidak serutin pemanfaatan bambu. Hal ini karena akses pemanfaatan bambu lebih murah dan mudah dijangkau dibandingkan dengan akses pemanfaatan rotan yang lokasinya
kebanyakan
berada
jauh
dari pemukiman
penduduk.
Akses
pengambilannya yang lebih sulit dan ketersediaannya yang terbatas, maka harga rotan jauh lebih mahal dari pada harga bambu. Lokasi yang jauh dan ketersediaan yang semakin terbatas, maka pengamanan akses pemanfaatan rotan relatif lebih ketat, sehingga aktor tingkat satu tidak cukup berani mengakses rotan. Akses Pengambilan Flora dan Fauna TNMB merupakan kawasan yang memiliki potensi peringkat pertama untuk BIV secara nasional. Potensi tersebut menyebabkan kekayaan plasma nutfah --(flora dan fauna-- yang mengandung obat-obatan secara rutin diakses oleh beberapa kelompok warga desa penyangga untuk diambil dan dijual kepada borek tingkat pertama dan selanjutnya dilepas ke pasar besar atau ke industri obat-obat tradisional (Gambar 19). Jenis tumbuhan obat yang banyak diakses oleh warga masyarakat desa penyangga, seperti; pule pandak, cabe jawa, kapulaga, jahe, kemukus, kayu manis, kayu secang, alit-alit, kayu rapet, kencur, keningar, kemukus, temulawak,dan lain-lain.
212
Tabel 57 Jenis, lokasi, waktu, jumlah dan harga tumbuhan obat yang paling banyak diakses oleh warga masyarakat desa penyangga dari dalam kawasan TNMB
No.
1.
2. 3. 4.
5.
6.
7.
Jenis tumbuhan obat
Lokasi sebaran dan pengambilan (akses)
Arjazah (Elaeocarpus grandiflorus) Cabe Jawa (Piper retrofactum) Genduh Joholawe (Terminalia balerina)
Pondok Waru, Kedung Mayit, Blok Campuran
Joho keling (Terminalia sumaterana) Kapulaga (Amomum cordomomum) Kedawung (Parkia roxburghit)
8.
Kemiri (Aleurites moluccana)
9.
Kemukus Joho (Piper cubeba) Kunyit (Curcuma domestica) Nyampa (Etanda phaseoliodes) Pakem (Pagium edule)
10. 11. 12.
13. 14.
Pronojiwo Pule pandak (Alstonia scholaris)
15.
Sambung otot ( Plantago mayor) Sukun Joho (Vitex Cuinata)
16.
Bandealit, Sukamade, Sabrang Terate Watu Leker, Gumuk Pentil, Manung, Kebun Segoro, Blok Aren, Kedung Sumur, Watu Ampar, Kali Towo, dan Blok Burun Sumber Salak, Watu Lapar, Clorot, Andongrejo, Manung Jambean, Segatel, Muara Sungai Meru dan Kedundung
Bulan pengambilan (akses) September - Maret
Jumlah akses (± Kg) per musim 2.520
2.000
47
10.000
Setahun penuh Juli-Agustus
Harga per kg (Rp)
-
700 1.930
-
-
-
-
-
Januari- Februari
20
12.000
Manung, Teluk Hijau, BlokAren, Pondok Nongko, Kedung Sumur, Kali Towo, Curah Burun Salakan, watu Leker, Kali Ampar, Andongrejo, Tapen, Penangan, manung, Meru Timur, Blok Putrenan, Pondok Guo, Pondok Waluh, Pondok Suro, Klemaran, Kali Towo, Pondok Macan, Kedundung, Curah Burun Bandealit, Sukamade, Mandilis, Guci Betiri -
Agustus-Oktober
2.074
6.000
Juni-Nopember
1.286
7.150
Mei-September
556/(911)
15.000
Nopember-Maret
5.040
2.400
-
Setahun penuh
1.248
Tumpak Gesing, Clorot, Kali Ampar, Gumuk Pentil, Penangan, jambean, Sadengan, Tapen, Permisan, Pondok Nongko, Muara Sungai Meru, Sabrangan, Cangah, Pondok pacet, Klemaran, Kedundung, dan Curah Burun Sadengan, Manung, Pantai Penyu, Mbah Resek, Sungai Meru, Kedung Terate, Kedung Segoro, Pondok Macan, Kedundung, Blok Temuan, Blok Kali Towo -
Juni-Desember
3.021
5.000
April-Juni Setahun penuh
437 3.215
2.000 1.000
Setahun penuh
70
1.800
4.769
2.400
-
Nopember-Maret
Sumber: Mujena (1993) dalam Lap. Balai TNMB (2004) dan wawancara (2008)
Di dalam kawasan TNMB terdapat 26 jenis tumbuhan berkhasiat obat, dan dari 88 jenis tumbuhan obat yang tumbuh di kawasan TNMB yang dipungut dan dimanfaatkan sebagai jamu oleh masyarakat
(Tabel 48). Dari beragam jenis
tumbuhan obat tersebut, terdapat 4 (empat) jenis tumbuhan yang paling laku di pasaran dan paling sering diakses oleh warga masyarakat dalam jumlah besar,
213
yakni; kemukus (Piper cubeba), kedawung (Parkia roxburghit), joho lawe (Terminalia balerina) dan pakem (Pagium edule) (BTNMB 2004). Selain mengakses tumbuhan obat, masyarakat desa-desa penyangga juga mengakses fauna yang memiliki harga jual tinggi di pasaran (Gambar 22). Pada umumnya, pemburu fauna, terutama burung, melakukan perburuan tergantung pesanan (akses pasar). Jika ada pesanan maka mereka akan masuk ke TNMB, bermalam antara 2 sampai 3 hari atau lebih. Dalam waktu tersebut, mereka akan membuat semacam perangkap dan teknis pemanggilan burung --dengan suarasuara tertentu, tergantung jenis burung yang dipesan-- yang dapat memastikan burung tersebut datang dan ketika terperangkap tidak mengalami sterss (akses teknologi dan akses pengetahuan). Akses Perburuan Satwa TN Meru Betiri Tahun 2005-2008 6, 18% 4, 12%
2005 2006 2007 2008
17, 52% 6, 18%
Gambar 25
Dinamika akses perburuan satwa dalam kawasan TNMB tahun 2005-2008
Para pemburu burung akan berangkat mencari burung pesanan jika diserahi DP (Duit Pesanan/Pertama) (akses modal). Harga jual burung tergantung dari faktor kelangkaan burung, jenis burung dan lamanya mereka berada (menginap) dalam hutan (akses pengetahuan). 200 Akses perburuan satwa liar TNMB memang tidak setinggi akses illegal loging, tetapi dalam empat tahum terakhir ini kasusnya terus naik. Namun, jika mengacu kepada pergeseran akses dari akses kayu jati ke akses kayu rimba, maka hal yang sama sangat mungkin terjadi ketika ketersediaan SDH kayu rimba menipis, demi untuk bertahan hidup. Argumentasi ini menjadi argumentasi pembenar setiap bentuk akses SDH TNMB. Madu lebah adalah SDH TNMB yang juga diakses secara kompetitif oleh kelompok masyarakat desa penyangga. Madu lebah yang berkualitas bagus (kadar 200 Wawancara snowball dengan para pencari burung dan satwa liar TNMB di Blok Mandilis Sanenrejo, Nopember 2007. Uang DP yang diminta minimal Rp. 50.000,-.
214
airnya rendah) umumnya diakses oleh warga desa pada akhir musim kemarau, sekitar bulan Juli - Agustus. Namun, karena kompetisi internal antara kelompok pencari madu --“pola pikir lebih cepat lebih untung”--, dalam kondisi ketersediaannya yang semakin terbatas, maka pengambilannya dimajukan satu sampai dua bulan (bulan Mei- Juni), sehingga kualitas madu TNMB rendah (kadar airnya tinggi). Dalam kondisi hasil akses SDH (madu) terus menurun, maka untuk memperbanyak madunya, kelompok masyarakat pencari madu lebah ini akan mencampur madu TNMB dengan madu buatan mereka. Dalam proses penjualan, sarang lebah madu diikut sertakan, agar masyarakat konsumen percaya bahwa madu yang mereka jual adalah madu asli TNMB. Proses demikian memberi keuntungan kepada mereka, tetapi dengan melakukan deviasi akses pengetahuan dan modal sosial. Selain akses konvensional di atas, Balai TNMB juga menghadapi 3 (tiga) masalah lain yang berkaitan dengan beragam kepentingan para pihak terhadap eksistensi SDA-L TNMB, yakni; 1. Legalisasi dan rasionalisasi deviasi akses pemanfaatan kawasan TNMB oleh pihak PT. LDO Jember, atas nama sejarah pengelolaan kawasan, yang tidak diatur dalam UU Nomor: 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem (KSDAHE); 201 2. Ancaman akses kapitalisasi deposit bahan galian golongan A (strategis) dan golongan B (vital) 202 demi menaikan GNP dan PAD; 3. Perluasan akses pendudukan lahan oleh masyarakat sebagai imbas dari dinamika politik dan hak privasi PT. LDO Jember. B. Manfaat Akses Pengambilan SDH Konsep dasar analisis akses Ribot dan Peluso (2003) adalah untuk memfasilitasi analisis akses masyarakat desa penyangga TNMB mengacu kepada dua hal, yakni; (1) siapa yang memanfaatkan sesuatu, siapa yang dimanfaatkan untuk mendapatkan sesuatu, oleh siapa, dan (2) dengan cara seperti apa dan
201 UU No: 5/1990 dan PP No: 68 /1998, bahwa kawasan taman nasional (TN) hanya dapat dimanfaatkan untuk aktivitas penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan wisata alam. 202 Izin Kuasa Pertambangan Emas pernah diberikan kepada PT. Jember Metal (1999/2000) dan izin Kuasa Pertambangan Mangaan kepada PT. Wahyu Dwi Sejahtera dan 4 (empat) PT lainnya (2008) untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Kedua kegiatan tersebut ditolak oleh PCNU Jember dan banyak LSM-L lokal dan nasional melalui serangkaian gerakan penolakan, baik melalui kegiatan ilmiah maupun gerakan massa.
215
kapan atau dalam situasi seperti apa sesuatu itu dimanfaatkan. Analisis akses dengan demikian adalah suatu proses untuk mengidentifikasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses. Hal penting lainnya dalam analisis akses adalah bahwa seseorang dan institusi dapat berada pada posisi yang berbeda dalam kaitannya dengan sumberdaya pada berbagai momen sejarah dan skala geografi, dan ini pada umumnya bersifat kasuistis, dinamik dan temporal. Mengacu kepada konsep analisis akses Ribot & Peluso (2003) di atas, maka manfaat ekonomi yang didapat dari proses akses kayu illegal relatif tinggi, sehingga
masing-masing aktor saling menjaga keberlanjutan akses mereka
dengan memenuhi hak dan kewajiban minimum di antara mereka. Dalam setiap pengakutan kayu jati (kasus 1997/1998), setelah hak-hak minimum aktornya lain diserahkan, seorang Borek mampu meraup keuntungan “bersih” minimum 7,5 (tujuh setengah) juta rupiah dari satu truk kayu jati. Manfaat ekonomi akses kayu illegal bagi aktor tingkat 1 (satu), dengan sepeda pancalnya, dalam sehari ia mampu mengangkut satu sampai dua batang kayu kemplengan berdiameter 25 cm dengan panjang 2 m – 3 m. Kayu-kayu tersebut laku dijual dengan harga antara Rp. 10.000 – Rp. 20.000.- per batang. Selain itu, aktor tingkat 1 (satu) juga masih mendapatkan manfaat ekonomi dari akses kayu rencek (ranting), yang dapat dijual ke borek atau industri kecil (pembuatan genteng, pembakaran batu kapur dan pembuatan gula kelapa). Manfaat ekonomi dari akses kontrol SDH kayu TNMB bagi aparat keamanan, kecuali mendapatkan “hadiah“ kayu dari aktor tingkat 1 (satu) atau dari borek, ia masih mendapatkan “15 -20 lembar mawar merah” untuk setiap truk pengiriman ke luar kota dalam propinsi Jawa Timur (Lumajang, Probolinggo dan Pasuruan). 203 Pada era Orde Baru proses akses pengambilan bambu dan kayu bakar dikenai biaya masuk dan keluar antara Rp. 500 - Rp. 1.000,- per orang, yang dibayarkan kepada petugas jagawana. Biaya itu bukan sebagai kebijakan institusi, tetapi menjadi semacam hukum adat di pintu masuk kawasan TNMB. Pada era transisi, hukum adat ini masih dipelihara, tergantung dari jenis hasil hutan dan jumlah yang diangkut. Untuk satu truk bambu berkisar antara Rp. 40.000203
2007)
Wawancara snowball Borek Sanenrejo, Curahnongko dan Sarongan serta aparat desa penyangga TNMB (
216
Rp.50.000,- sedangkan untuk rotan berkisar antara Rp. 100.000 - Rp.200.000,-. Setelah era reformasi, hukum adat biaya pintu masuk masih diberlakukan, tetapi besifat samar-samar. Hasil akses individual, saat ini satu pikulan sepeda ontel kayu bakar, jika langsung dijual ke warung makan atau ke pasar kecamatan, laku Rp. 50.000,sampai Rp.60.000,-, sementara 1 pikulan sepeda ontel bambu besar laku Rp. 40.000,- Rp. 50.000 (akses pasar). Bambu ukuran kecil, dalam satu ikat sebanyak 200-300 batang dengan harga jual Rp. 200 – Rp. 250.,- per batang, sedangkan bambu ukuran besar sebanyak 20-30 batang, dengan harga jual Rp. 2.000- Rp. 2.500,- per batang (Tabel 49). Tabel 58 Daftar harga beberapa jenis bambu per satuan yang biasa diakses oleh aktor tingkat pertama di desa penyangga TNMB No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis bambu yang di akses Bambu apus/tali (Gigantoslos apus) Bambu gesing (Bambusa spinosa) Bambu petung (Dendrocalamus giganteus) Bambu apel/lampar (Schizastachyum brachicladium) Bambu jajang (Schizastachyum caudatum) Bambu bubat (Bambusa Sp) Bambu wuluh (Schizastachyum blumei NEES) Bambu sujen (bambu lampar atau wuluh)
Satuan
Rata-rata hasil per hari per orang
1 batang 1 batang 1 batang 25 batang 25 batang 100 kg
20 batang 10 btng 3 btng 25 btng 50 btng 60 kg
Sumber: Data primer (2008)
5.3.1.2 Akses mafia pertambangan; ancaman dalam pengelolaan TNMB A. Proses Akses Mafia Pertambangan: Menjebol Pintu Akses Tambang di Empat Desa Penyangga Prospek dan potensi sumberdaya mineral di kabupaten Jember, untuk pertama kali ditemukan oleh ahli geologi Lebong Tandai Group pada tahun 19801986 (1983-1988: Kegiatan Areal Magnetic Survey), bersamaan dengan penemuan di pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, dan seterusnya. 204 Tindak lanjut dari penemuan tersebut, maka pada tahun 1995, pemerintah Indonesia membuka akses industri pertambangan dalam kawasan TNMB, melalui ijin Kuasa Pertambangan (KP) penyelidikan umum yang diberikan kepada PT. Hakman Groups untuk melakukan survey dan eksplorasi pertambangan 205 di 204 PT. Jember Metals, Kerangka Acuan Presentasi Management PT. Jember Metals dalam rangka permohonan Kontrak Karya Pertambangan di kabupaten Jember, di hadapan Muspida Plus, Ormas dan LSM-L Jember, tanggal 29 Agustus 2000 dan di Banyuwangi dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 2000. 205 Pembagian golongan mineral berdasarkan UU Nomor; 11 tahun 1967 tentang Pertambangan, mineral dibagi menjadi tiga, yakni; 1. Mineral gologan A atau golongan strategis (minyak, gas bumi, dan uranium), pelaksanaan kegiatan pertambangannya hanya dapat dilaksanakan oleh negara), 2. Mineral golongan B atau vital (tembaga, emas, perak, platina,
217
kabupaten Jember dan Banyuwangi, dengan luas KP 62.586 Ha. Permohonan ijin KP PT. Hakman diajukan pada bulan Juni tahun 2000, kemudian dikerjakan oleh PT. Hakman Metalindo
melalui 4 (empat) anak perusahaannya, yakni; PT.
Hakman Emas Metalindo (HEM) dengan luas KP 5. 836 Ha, PT. Hakman Platina Metalindo (HPLM) dengan luas KP 25.930 Ha, PT. Hakman Tembaga Metalindo dengan luas 25.120 ha, dan PT. Hakman Perak Metalindo (HPM), dengan luas KP 5.700 Ha. Lahan yang berada dalam KP tersebut berada dalam kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen. Pekerjaan survey dan eksplorasi ditugaskan kepada perusahaan Public Australia yakni Golden Valley Mines N.L. 206 Berdasarkan hasil survey dari PT. Hakman, diperkirakan dalam kawasan hutan lindung dan TNMB yang membentang di tiga kecamatan di Jember (Silo, Mayang dan Tempurejo) mengandung 80.000 ton emas. 207 PT. Jember Metals (PTJM) dan PT. Banyuwangi Metals (PTBM) telah melakukan prakondisi dan presentasi perkenalan akses pertambangan dan penyampaian hasil survey kandungan minerals yang ada di kabupaten Jember dan Banyuwangi, sejak akhir tahun 1996. Namun, PTJM dan PTBM, akses legaliatas formal permohonan ijin Kontrak karya Pertambangan Tembaga dan ikutannya, dengan konsep Kontrak Karya Era Otonomi Daerah Generasi Jember dan Banyuwangi menyusul pada bulan Juli tahun 2000. Luas areal yang akan dikontrak karyakan masing-masing, untuk kabupaten Jember seluas 197.000 ha -(± 200.000 ha berdasarkan KA PT.JM)-- dan Banyuwangi seluas 150.000 ha
208
.
Jika ketiga industri pertambangan tersebut pada saat itu, sama-sama mendapatkan ijin kontrak dari Bupati Jember dan Bupati Banyuwangi, maka luas areal yang akan ditambang mencapai 409.136 ha – 412.586 ha. Perusahaan pertambangan -PT. Hakman Group dengan PT. Jember Metals dan PT. Banyuwangi Metals 209-jika dilihat dari aktornya, dipimpin atau dimainkan oleh orang yang sama, yakni timah, nickel, bijih besi, batubara), dapat dilakukan oleh perusahaan negara, swasta dan koperasi, 3. Mineral golongan C (pasir, batu kerikil, kapur, dan semacamnya), dapat dilaksanakan oleh perusahaan negara, swasta dan koperasi. 206 Surat-surat PT Hakman Group, 1. PT. HEM Nomor: 07/HEM/VI/2000, 2. PT. HPLM Nomor; 08/HPLM/VI/2000, 3. PT.HTM Nomor: 033/HTM/VI/2000, dan, 4. PT.HPM Nomor: 77/HPM/VI/2000, tanggal 12 Juni 2000, yang ditujukan Kepada Bupati KDH Tingkat II Jember dan Ketua DPRD Tingkat II Jember. PT. Hakman Group, Jl. Dharma Wangsa II A No. 2 Kebayoran baru Jakarta Selatan Indonesia. 207 Jawa Pos, Edisi Besuki dan Lumajang, tanggal 16 Agustus tahun 2000 208 Surat PT. JM No. 01.13/JM/VII/2000,tanggal 11 Juli 2000, Kepada Bupati Jember, dan Surat PT. BM No. 02.17/BM/VII/ 2000, tanggal 17 Juli 2000 dengan tembusan kepada DPRD Jember. 209 Aktivis PC.PMII Jember (2000) menilai perebutan atau pergeseran “perubahan nama” dari PT. Hakman Group kemudian menjadi PT. Jember Metals dan PT. Banyuwangi Metals, adalah proses kamuflase seakan-akan milik orang Jember, supaya tambang minerals tersebut tidak mendapatkan resistensi dan gerakan penolakan dari mayoritas masyarakat Islam (NU) Jember dan Banyuwangi.
218
Yansen F.P Adoe (Direktur) dan Yusuf Merukh (Presiden Direktur), pemilik 20% saham pada Newmont Minahasa Raya dan Newmont Nusa Tenggara sekaligus sebagai tokoh DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Soerjadi 210. Permohonan ijin PTJM dan PTBM mendapatkan banyak kemudahan dan sambutan positif dari Bupati kabupaten Jember dan Bupati Banyuwangi serta Muspidanya. Guna mempercepat terwujudnya industri pertambangan tersebut, Bupati Jember pada tanggal 4 Juli datang ke Jakarta untuk melakukan pertemuan dengan pihak industri pertambangan. Setelah kembali dari Jakarta, Bupati Jember langsung melimpahkan ke DPRD Jember, agar legalitas perijinan dan hal-hal teknis lainnya dapat dipercepat. Langkah lebih berani dilakukan oleh Bupati Banyuwangi, dengan tanpa konsultasi dan persetujuan dari DPRD Banyuwangi, pada tanggal 7 September tahun 2000 langsung menyetujui ijin pertambangan untuk PTBM (Gambar 23). Persetujuan yang sangat cepat dan tidak prosedural itu terjadi karena kedua Bupati dibuat terbuai oleh presentasi Kerangka Acuan PTJM dan PTBM, bahwa menerima kehadiran industri pertambangan adalah hari bersejarah bagi Jember dan Banyuwangi yang akan mengakselerasi pembangunan dan membawa nama harum kedua daerah tersebut dalam kancah pembangunan global dan era melinium ketiga. Keuntungan lain yang dijanjikan kepada pemerintah daerah dan masyarakat Jember, antara lain pembangunan sarana prasarana desa melalui Community Development (ComDev), lapangan pesawat terbang CN 212 atau sejenis, pemidahan Kantor Pusat PTJM ke Jember
supaya pajaknya dapat
langsung masuk ke pemerintah daerah, pembukaan akses jalan lintas selatan (JLS), pembangunan pabrik Power Plant yang akan mengakomodasi kebutuhan listrik masyarakat dan pemerintah daerah, serta penyerapan tenaga kerja lokal sesuai dengan kebutuhan industri pertambangan. 211 Berdasarkan izin lokasi rencana tambang yang pernah dikeluarkan ataupun berdasarkaan laporan dari masyarakat, ada beberapa desa penyangga yang masih berada dalam ancaman akses tambang, yakni; Desa Sanenrejo, Curahtakir, dan 210 Rumor politik dikembangkan di kalangan aktivis LSM-L penolak tambang di Jember (1999-2000). Pada saat itu, aktivis LSM-L meyakni bahwa akses tambang Yusuf Merukh adalah hadiah dari sukses Yusuf Merukh, Cs selaku salah satu Ketua DPP PDI Soerjadi, dalam mengacak-acak DPP PDI Pimpinan Megawati Soerkarnopoetri, sejak Kongres PDI di Asrama Haji Sukalilo Surabaya hingga KLB PDI di Asrama Haji Medan. Faktor Yusuf Merukh menjadi salah satu point penting penolakan tambang di luar masalah konservasi, perusakan lingkungan dan pembelaan hak-hak masyarakat. 211 KA Presentasi Management PTJM, tanggal 29 Agustus 2000 dan PTBM tanggal 31 Agustus 2000
219
Andongrejo kecamatan Tempurejo, Desa Pace dan Mulyorejo kecamatan Silo. Ancaman ini sangat serius, karena berkaitan dengan semangat pemerintah kabupaten Jember untuk menaikkan PAD Jember melalui Dinas Pertambangan. Hal dapat dilihat dari perilaku kebijakan pemerintah kabupaten Jember yang melalukan pembiaran terhadap kegiatan penambangan ilegal (PETI) pada lokasi di atas, untuk memudahkan keluarnya izin baru, yang masih ditolak secara massif oleh masyarakat kontra akses tambang. Akses industri pertambangan: Kegiatan Areal Magnetic Survey (AMS) Ahli Geologi Lebong Tandai Group : 1980-1988
PT. Hakman : Tahun 1995 Survey dan Eksplorasi Tambang → Perusahaan Public Australia; Golden Valley Mines N.L: 80.000 ton Emas
PEMBENARAN AKSES TAMBANG
SISTEMIK: Setting Negara + Industri Tambang untuk memuluskan akses tambang agar tidak “dimarahi “ LSM-L
Tebang habis hutan jati dan hutan rimba TNMB dan lindung : 1995 2000
PP No: 02 tahun 2008/ Tambang
“Gagalkan”
Setting Dephut agar tidak “dimarahi “ LSM-L
Program rehabilitasi hutan dan PPM
Akses industri perkayuan: Peralat MDH → Tertuduh Perusak Hutan
Deforestrasi kawasan TNMB dan hutan lindung berkelanjutan
Warga desa penyangga pasang badan “demi konservasi” di belakang Ormas dan LSM-L demi ”lapar lahan”
Akses Tambang 20072010: CV WS, dkk Setting tidak terduga oleh Negara + Industri Tambang
LAPAR LAHAN: Gerakan akses lahan : 1999 + “perintah Gus Dur” 2000
Gambar 26 Pertarungan akses industri pertambangan versus akses kayu dan akses lapar lahan pada kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen dalam situasi ketidak-pastian politik B. Koalisi Gerakan Kontra Akses Mafia Tambang Ormas, LSM-L, OPA; 1999 - 2002 Langkah akrobat kedua pimpinan daerah yang memberi ijin KP dengan berlindung dibalik otonomi daerah di atas, melahirkan tiga pengelompokan sikap
220
masyarakat, yakni; sikap pro akses tambang, sikap kontra akses tambang, dan sikap ambigu atau oportunistik terhadap akses tambang. Kelompok pro tambang menurut Direktur Kelompok Studi Monotheisme (KOSMOS) Jember Sudarsono, adalah Pemkab Jember, Ketua Pansus tambang emas, Kyai “pinggiran”, beberapa LSM kolaborator212. Sementara kelompok abu-abu atau oportunis adalah para pemikir akomodatif yang terpasung, dan ulama petualang yang suka datang mengetuk pintu penguasa guna menjual baju keulamaannya. 213 Dari tiga pengelompokan sikap tersebut, kelompok kontra atau anti akses tambang merupakan kelompok terbesar dan tersebar secara merata pada semua kelompok kepentingan, seperti kelompok ormas, ormas mahasiswa, aktivis LSM-L dan Organisasi Pencita Alam (OPA). Reaksi dan gerakan kontra akses tambang dari elemen masyarakat dilakukan dalam bentuk seminar, diskusi 214 dan demonstrasi -mengepung kantor Bupati Jember, Gedung DPRD, tenda keprihatinan, mogok makan, dan menjahit mulut-- yang dilakukan secara independent (internal institusi) maupun dalam bentuk koalisi antar institusi ormas dan LSM-L. Menghadapi hal tersebut, maka DPRD Jember membuat kebijakan klasik dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Tambang, guna “mengakomodasi” kepentingan banyak pihak. Sudah dapat ditebak, bahwa pembentukan Pansus DPRD Jember disetting untuk melegalisasi tambang, sehingga rekomendasi penolakan para akademisi pada tanggal 20 September tahun 2000 dibelotkan sebagai mendukung kehadiran tambang. Akibatnya, akademisi yang diundang oleh DPRD Jember untuk memberikan pendapat akademik tentang tambang, sempat dituding sebagai “ilmuan tukang” . Permainan politik anggota DPRD Jember terhadap masalah tambang mengundang keprihatinan dan kemarahan aktivis mahasiswa E-Prodem(Elemen Pro Demokrasi), ormas, LSM-L dan OPA. 215 Semangat akses pihak industri pertambangan yang bekerja-sama dengan Pemkab Jember dan Banyuwangi serta DPRD di dua kabupaten tersebut tidak 212 CIDESS (Center Information Democracy Strategy Stuies) Sayangkan Sikap E-Prodem, Teras Bedadung, Radar Jember, Jawa Pos 6 September 2000 213 Sudarsono, Kolom Perpektif: Menunggu Bahsul Matsaail, Hari Pagi Radar Jember 7 November 2000 214 Penyelenggara seminar dan diskusi penolakan tambang, 1. Problematika Tambang Emas di TNMB ditinjau dari aspek Lingkungan Fisik, Yuridis dan Sosial Ekonomi menyongsong OTODA oleh PC PMII Jember, tanggal 4 Oktober 2000, di Aula Pusinfokom Jember. kemudian disusul oleh Mapensa Faperta UNEJ, PC NU Jember, dan STIE Mandala, dan beberapa diskusi skala kecil tetapi saling sinergis dengan gerakan penolakan lainnya. 215 Wawancara aktivis Mahasiswa dan LSM-L Jember, Juli 2007
221
berhenti pada keputusan banci dan mengambang tersebut. Kampanye manfaat tambang bagi masyarakat terus dilakukan oleh para pejabat Pemkab Jember dan Banyuwangi. Di Jember, segala macam cara dilakukan demi mewujudkan semangat
eksploitasi
sumberdaya
mineral
di
kawasan
hutan
lindung
Babansilosanen, TNMB dan sekitarnya, termasuk memperalat institusi pendidikan Sekolah Dasar, seperti yang dilakukan oleh Kepala SDN Curahnongko VIII kecamtan Tempurejo. Melalui Surat No.172/59/436.318.29/38/2002, tanggal 20 Maret 2002, Kepala Sekolah tersebut memberikan dukungan atas kehadiran industri pertambangan di kawasan TNMB dan sekitarnya. Surat tersebut, tembusannya disampaikan kepada Menteri kehutanan, Menteri negara BUMN, Dirjend Dikdasmen, Gubernur Jawa Timur, Bupati Jember, Ketua DPRD Jember, Kepala Sub Dinas Pertambangan dan Energi Jember, Kepala Balai TNMB, dll. Pelibatan institusi pendidikan SDN untuk mendukung eksplotasi sumberdaya mineral di Jember menunjukan bahwa para aktor tambang dari pihak pemerintah dan pihak swasta terus bekerja sama, tidak pernah surut dan kekurangan akal untuk mengakses sumberdaya mineral yang berada dalam kawasan hutan lindung Babansilosanen dan TNMB, sekalipun ditolak oleh masyarakat lokal, ormas, ormas mahasiswa E-Prodem, LSM-L dan OPA. Boks 1: RESUME LAPORAN TIM PANSUS DPRD JEMBER 1. 2.
3.
4.
Dampak lingkungan sosial ekonomi kegiatan pertambangan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) sangat menguntungkan. Pemerintah mendapatkan pajak dan royalti serta penyerapan tenaga kerja lokal untuk menjadi karyawan PT.NNT; Dampak lingkungan sosial budaya kegiatan pertambangan PT.NNT, banyak bermunculan tenaga kerja luar daerah (Sumbawa), perubahan nilai sosial budaya lokal (agraris) diganti dengan nilai budaya baru (industri) yang negatif, semisal; hiburan malam, jual beli dan kebiasaan minuman keras, perdagangan sarang burung (seks), dll; Dampak lingkungan fisik, bahwa tambang ”tidak terlalu” membawa dampak negatif. Isu limbah mercuri dari kegiatan pertambangan ternyata tidak terbukti. PT.NNT telah membantu membangunkan beberapa sarana kebutuhan masyarakat dan juga melakukan reklamasi lingkungan; Kecuali melaporkan ketiga dampak di atas, Tim Pansus Tambang DPRD Jember juga melaporkan proses kegiatan penambangan. PT. NNT melakukan kegiatan penambangan dengan membuat lubang galian (ultimate pit) dengan radius garis tengah 2 km dan kedalaman 1 km. a. Batuan yang diambil dari ultimate pit dihancurkan dengan proses crussher site, dan dibawa dengan ban berjalan menuju consentrator. Batuan yang sudah mulai hancur kemudian dihaluskan dan dilarutkan dengan air dan larutan sianida (CN); b. Konsentrat cair yang didapat dari proses di atas selanjutnya dialirkan menuju ke pelabuhan untuk dikeringkan dan dikapalkan sebagai komoditi akhir, berupa emas, perak, dan tembaga sebagai hasil akhir kegiatan pertambangan PT.NNT; c. Larutan sisa hasil konsentra (tailing) dialirkan melalui pipa dan dibuang ke dasar laut dengan kedalaman di bawah 3000 m dari permukaan air laut.
Sumber: Laporan Kunjungan Kerja Tim pansus Tambang DPRD Jember ke PT. NNT, (Februari 2001)
222
Gerakan kontra atau penolakan tambang dari ormas, LSM-L dan OPA tidak membuat DPRD Jember ciut nyali dan serta merta memenuhi tuntutan pembatalan ijin tambang. Dengan strategi mengulur waktu, pada 26-27 Februari 2001, dengan anggaran yang diusulkan dalam RAPBD tahun 2000, Tim Pansus Tambang DPRD Jember melakukan studi banding ke pertambangan Aneka Tambang (Antam) Pongkor Jawa Barat dan Newmont Nusa Tenggara (NNT) Sumbawa NTB (lihat Boks 1). DPRD Jember berharap hasil dari studi banding mampu meyakinkan masyarakat bahwa dampak positif tambang lebih besar daripada dampak negatifnya. Namun, studi banding Pansus Tambang tersebut, ketika dibawa ke dalam rapat Pansus tanggal 18 November 2001, ternyata hanya menghasilkan keputusan banci dan mengambang, yakni DPRD Jember hanya menghentikan sementara seluruh kegiatan pertambangan. Gerakan Kontra Mafia Akses Tambang dari Aktivis Mahasiswa E-Prodem; PC. PMII Jember dan DPC. GMNI Jember Presentasi rencana eksploitasi tambang emas oleh PTJM di Aula PB Sudirman Pemkab Jember dilaksanakan tanggal 29 Agustus 2000. Dalam presentasinya, Presiden Komisari PTJM, yang didampingi oleh 3 (tiga) Dewan Komisaris menyampaikan bahwa pihak investor menjanjikan kontribusi pembagian pendapatan sebesar 1,5 miliar dolar AS bagi Pemkab Jember, jika Pemkab dan DPRD Jember menyetujui Kontrak Karya No. 01.13/JM/2000 tertanggal 11 Juli 2000. Kontriobusi tersebut, meliputi PBB sebesar Rp.100 juta, royalti sebesar Rp.300 juta, PPH (pajak penghasilan pekerja) sebesar Rp. 280 juta dan Rp. 760 juta dari pajak keuntungan, yang kesemuanya dalam hitungan kurs dolar AS. 216 Presentasi tersebut, di luar Aula PB Sudirman diwarnai dengan aksi demo dari kelompok mahasiswa E-Prodem, yang terdiri dari aktivis mahasiswa PC. PMII dan DPC. GMNI Jember. Dalam demonstrasi tersebut, aktivis mahasiswa E-Prodem menggelar poster: “Mampus Kau Kapitalis; Awas Bung, Freeport dan Busang II di Jember; No and Kill Exploration in Jember; Tolak Tambang Emas”. 217
216 217
Investor Emas Janjikan 1,5 Miliar Dola bagi Pemda, Surya, 30 Agustus 2000 Penambangan Emas Ditolak, E-Prodem Gelar Demo di Pemda Jember, Jawa Pos, 30 Agustus 2000
223
Selain menggelar poster, gerakan mahasiswa Jember juga memaksa masuk ke dalam Aula PB Sudirman Pemkab Jember, tempat berlangsungnya presentasi Kerangka Acuan (KA) tambang. Setelah masuk dalam aula, Rasyiful Aqli (Ketua Umum PC PMII Jember) langsung menginterupsi Presiden Komisari PTJM dan Bupati Jember, kemudian berorasi menyampaikan Petisi 28 Agustus 2000, sebagai wujud rasa keprihatinan dan kekecewaannya kepada Bupati Jember; “Sejarah telah mencatat bahwa apa yang terjadi di Irian Jaya akan terjadi juga di Jember. Kami menilai Bupati Jember telah mengabaikan dampak negatif tambang, dengan melakukan penipuan informasi kepada warga Jember, menyalahgunakan jabatan publik untuk kepentingan yang tidak jelas, dengan berkedok menambah PAD Jember. Hanya satu kata ‘Hentikan Rencana Penambangan Emas di Jember, Apapun Alasannya”. 218
Gerakan lanjutan untuk menyelamatkan kawasan Babansilosanen dan TNMB terus dilakukan oleh kelompok mahasiswa E-Prodem. Ketua Umum DPC GMNI Jember mengingatkan Tim Pansus DPRD Jember, yang dibentuk sebagai reaksi atas penolakan tambang; “Tim Pansus jangan gegabah dan hati-hati menanggapi izin prinsip yang diajukan PTJM. Ingat jabatan Bapak hanya 5 tahun, tetapi keputusan penambangan dampaknya ratusan tahun, jangan sampai bapak dicap sebagai perampok.” 219
Terkait dengan kerja Tim Pansus, aktivis PC. PMII Jember menuntut transparansi kerja Tim Pansus dalam setiap tahapan pemabahasan sampai pengambilan keputusan. Menurutnya, masyarakat berhak tahu sehingga hasil kerja tim setiap tahap harus disosialisasikan melalui media massa. Kami menolak sosialisasi melalui media RRI, karena RRI tidak lebih dari kepanjangan tangan Bupati. Apapun keputusan Tim Pansus harus didasarkan pada pandangan rasional dan sistematis. 220 Substansi dasar dari gerakan penolakan kelompok E-Prodem di atas menunjukan keberpihakan yang kuat pada penyelamatan lingkungan, penyalahgunaan jabatan Bupati demi PAD, penipuan oleh pihak PTJM, dan transparansi kerja Pansus Tambang. Selain itu, ideologi dan gerakan pembelaan hak-hak masyarakat di sekitar rencana lokasi tambang sangat kental dalam semua gerakan demonstrasi yang mereka lakukan. 221
218
Ibid. Tim Pansus Tambang Emas Dihujani Hujatan, Surya, 6 September 2000 220 Ibid. 221 Ibid. 219
224
Gerakan Kontra Mafia Akses Tambang PC. Nahdlatul Ulama Jember PCNU Jember sebagai ormas keagamaan dan kemasyarakatan dengan basis massa perdesaan terbesar di Jawa Timur merupakan satu-satunya ormas sosial keagamaan dan kemasyarakatan yang menolak akses tambang emas di kawasan hutan lindung Babansilosanen dan TNMB. Jika dibandingkan dengan Ormas mahasiswa PMII, GMNI, LSM-L dan OPA Jember, sekalipun menolak karena terlalu hati-hati, PCNU Jember termasuk lambat dalam menentukan sikap menolak akses tambang; “Masyarakat agar berpikir jernih dan objektif menyikapi persoalan tambang emas. Rencana tambang harus berada dalam kerangka pembangunan berwawasan lingkungan, yang menyeimbangkan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan keselamatan lingkungan. Karena itu, rencana tambang harus dikaji secara holistik dari semua aspek, harus ada AMDAL yang mengkaji aspek kimia, fisika, biologi (ekologi) dan aspek sosial ekonomi dan budaya. Kajian tambang juga harus melibatkan para pakar dan elemen masyarakat yang legitmasinya dapat dipertanggung-jawabkan. Jika dampak negatif (mudlarat) --kerusakan lingkungan dan kerawanan sosialnya-- lebih banyak dari dampak positif (maslahat), maka tambang harus ditangguhkan. Untuk menaikkan PAD, pemerintah harus mengoptimalkan potensi yang sudah ada, seperti potensi hutan, perkebunan, pertanian dan kelautan.” 222
PCNU Jember baru beraksi dan meningkatkan gerakan kontra akses tambang setelah didatangi (diwaduli) oleh banyak tokoh masyarakat desa-desa penyangga hutan dan melihat eskalasi gerakan kontra akses tambang yang semakin tinggi dan meluas dari banyak elemen masyarakat. Langkah yang dilakukan oleh PCNU Jember dalam menolak akses tambang emas adalah dengan membentuk Tim Kajian Tambang untuk menkonstruksi basis ilmiah penolakan melalui seminar tambang. Langkah tersebut kecuali dimaksudkan untuk memperkuat argumentasi penolakan akses tambang dan demi menjaga keselamatan ummat NU yang kebanyakan hidup di desa-desa pinggir hutan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen. 223 Dengan jaringan basis massa akar rumput dan jaringan sosial politik yang massif di DPRD kabupaten Jember 224 Tim Tambang PCNU Jember menyelenggarakan Seminar Tambang pada tanggal 28 Oktober tahun 2000 di Auditoirum PTPN XII Jember. Seminar tersebut dihadiri oleh PBNU dan PWNU Jatim. Dalam pengarahan pembukaan seminar, Syuriyah
222 NU Mulai Buka Suara, Tak Terburu-buru Menerima atau Menolak Penambangan, Jawa Pos Tanggal 12 September 2000; PCNU Jember minta Penambangan Emas di tunda, Surya 13 September 2000 223 Wawancara dengan Wakil Ketua PCNU Jember, Drs. H. Alfan Jamil, M.Si 224 FPKB menguasai 19 kursi dari 45 kursi DPRD Jember, belum termasuk jaringan politik PCNU Jember di PPP, PGolkar dan PDIP Jember.
225
PBNU 225 menilai kebijakan Bupati Jember dan Bupati Banyuwangi menerima tambang sebagai berikut: “Keputusan membuka pintu bagi industri pertambangan masuk ke Jember dan Banyuwangi, demi PAD adalah kebijakan dalam cerita kakek dan nenek tua renta dengan ayam bertelur emas. Berharap mendapatkan telur emas yang banyak (PAD), maka yang jalan adalah keputusan akal pendek (nalar chekak), perut ayam bertelur emasnya dibelah sampai mati sehingga tidak dapat bertelur lagi. Berapapun kandungan emas yang ada di Jember dan Banyuwangi, itu tidak ada hubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat NU di perdesaan...Jember dan Banyuwangi itu bukan kawasan tanpa penghuni....Jika tambang emas ini benar-benar disetujui oleh Bupati, harus dipikirkan, masyarakat yang berada di sekitar atau berada di dalam rencana lokasi tambang, akan mencari makan di mana atau akan dipindahkan kemana ? areal tambang itu pasti sangat luas. Ini belum termasuk masalah lingkungan lainnya yang sangat kompleks....Yang begini ini harus dipikirkan oleh seorang Bupati, ini sangat penting, lebih penting dari mikir menaikkan PAD. Kebijakan pembangunan itu harus nyambung antara kebutuhan masyarakat dengan kebutuhan pimpinan daerah. Tidak boleh terjadi, kepentingan dan kebutuhan Bupati dipaksa ditransfer seakan-akan menjadi kepentingan dan kebutuhan masyarakat”.
Para ahli dari putra daerah Jember dan Banyuwangi dikonsolidasi oleh PCNU Jember mendesak PCNU Jember agar mengerahkan segala kekuatan untuk menolak tambang. Penolakan itu harus dilakukan mengingat dampak lingkungan fisik, sosial dan ekonomi yang pasti menimpa masyarakat di sekitar atau yang berada dalam lokasi tambang. “Hingga saat ini, belum ditemukan teknologi penambangan emas dan tembaga yang ramah lingkungan. Untuk kegiatan ekstraksi pemurnian emas dari biji-bijian pasti akan menggunakan pelarutan dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya, antara lain sianida (air raksa) dan sangat berpengaruh terhadap lingkungan....Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan raksasa yang akan melibatkan seluruh kehidupan masyarakat, mulai dari kesiapan teknologi, ekonomi, hukum dan sosial budaya” 226
Pada forum seminar tambang tersebut, para pakar putera daerah Jember dan Banyuwangi yang dikonsolidasi PCNU Jember menyampaikan 8 (delapan) rekomendasi kepada PCNU Jember, agar dikawal sampai pembatalan ijin KK dan KP, sebagai berikut: 1. Pemda Jember dan Banyuwangi, sampai saat ini belum dilengkapi oleh infrastruktur organisasi pemerintahan di bidang pertambangan yang handal, sehingga pihak Pemda perlu mendalami seluk beluk kegiatan usaha pertambangan, terutama dalam rangka otonomi daerah tahun 2001; 2. Master Plan Jember adalah bukan kawasan pertambangan, karena itu Pemda harus mempertahankan Master Plan Jember yang ada saat ini, sehingga tidak didikte oleh pihak perusahaan manapun. Kegiatan pembangunan apapun (termasuk pertambangan) harus mengacu kepada Master Plan, tidak boleh semaunya;
225
KH. AbdulMuchith Muzadi, adalah mantan Wakil Ketua DPRD kabupaten Jember selama 2 (dua) periode
226
Dr. Ir. Abdul Wahid, M.Sc. Ph.D: Belum Ada Teknologi Tambang Emas Ramah Lingkungan, Kompas, 30
dari FPPP. Oktober 2000
226
3. Pihak pengusaha wajib menyampaikan data-data remote sensing dan data geologis kepada Pemda, selanjutnya dicross chek kepada Dewan Pakar Daerah, terutama pakar putera daerah Jember yang berada di luar Jember yang sudah pasti memiliki ikatan moral dengan daerahnya; 4. Isu lingkungan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen --sebagai kawasan konservasi air bagi masyarakat Jember dan kawasan konservasi biodiversity-- tidak boleh diganggu-gugat untuk kegiatan pembangunan jenis apapun dengan alasan apapun, termasuk kegiatan pertambangan; 5. Kehadiran industri pertambangan hanya akan mempersempit ruang gerak masyarakat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya alamnya, sehingga berujung pada konflik sosial dan konflik SDA berkepanjangan yang pasti akan menyengsarakan ummat; 6. Masyarakat Jember dan Banyuwangi, dari sisi kelembagaan masyarakatnya belum memiliki kesiapan untuk menjadi masyarakat industri pertambangan. Jika hal ini dipaksakan, maka struktur budaya dan tata nilai masyarakatnya akan rusak oleh pengaruh nilai baru yang dibawa oleh masyarakat industri pertambangan; 7. Kegiatan usaha pertambangan harus terlebih dahulu dilakukan kajian yang komprehensif (aspek lingkungan fisik, aspek sosial budaya, aspek sosial ekonomi, aspek hukum, politik dan pertahanan keamanan); 8. Masyarakat Jember dan Banyuwangi masih memiliki potensi sumberdaya alam lain yang bisa diandalkan tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal, sehingga tambang bukanlah jalan keluar yang pasti untuk mensejahterakan masyarakat Jember.
(Dokumen PCNU Jember, Oktober 2000)
Selain menghadirkan ahli dalam Seminar, Tim Kajian Tambang PCNU Jember juga melakukan gerilya politik dengan politisi DPRD Jember dan diskusi terbatas dengan mendatangi pakar tambang nasional. Dari diskusi intensif dan terbatas, diperoleh pokok pikiran tentang konktrak karya (KK) pertambangan, kontrak pertambangan (KP), prosedur atau mekanisme pengurusan KK dan atau KP yang harus dipenuhi oleh perusahaan asing atau perusahaan nasional. Berdasarkan kajian dan rekomendasi dari Tim Ahli Putera Daerah Jember dan Banyuwangi tersebut, kemudian PCNU Jember menindak-lanjuti dengan Bahsul Matsail
227
kegiatan tambang pada kawasan konservasi, kaitannya dengan
keberlanjutan hidup dan kehidupan ummat NU dipinggir-pinggir desa hutan, dalam perspektif Fiqh Lingkungan (lihat Boks 2). Hasil Bahsul Mastaail PCNU Jember tersebut menunjukkan sinergitasnya dengan rekomendasi Tim Pakar Putera Daerah Jember. Berlandaskan kaidah fiqh, PCNU Jember menyimpulkan “Dar’ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih” (mencegah --menolak tambang-- yang sudah pasti membawa kerusakan dan bencana lingkungan hidup, pemiskinan, pengusiran dan konflik sosial berkelanjutan lebih baik daripada berharap menambah pendapatan asli daerah (PAD) yang belum pasti dan masih mimpi). 227 Bahsul Matsail adalah pembahasan masalah-masalah aktual yang terjadi ditengah kehidupan ummat, untuk memperoleh legitimasi fiqhiyah.
227
Sikap penolakan PCNU Jember terhadap kehadiran tambang tersebut didasarkan pada Al Qur’an dan Al Hadist yang shahih. Substansi dasar dari pesan ayat-ayat dan hadist Nabi SAW yang dijadikan rujukan Bahsul Matsail tersebut, kemudian menjadi landasan Spiritual Sikap Politik Lingkungan PCNU Jember terhadap seluruh akses tambang di Jember hingga sekarang, mencakup; 1. Rencana dan pemanfaatan atau eksploitasi SDA dan SDH dapat dilakukan (quluu wasyrabuu min rizqillah), tetapi tidak boleh berbuat kerusakan (walaa ta’syau fil ardli mufsiduun). Industri pertambangan termasuk dalam kategori kegiatan pemanfaatan SDA yang merusak bumi (lingkungan), sehingga tidak boleh dilakukan di Jember; 2. Konservasi kawasan dalam rangka konservasi sumberdaya air harus dilakukan, mengingat air adalah basis ibadah ummat Islam dan seluruh makhluk hidup (flora dan fauna), serta keragaman jenis (biodiversitas) diciptakan dan dapat bertahan hidup dengan normal jika tersedia sumber-sumber air yang cukup; 3. Konservasi sumberdaya air dapat berjalan dengan baik atau air dapat menetap di bumi jika di ikuti dengan pemeliharaan (konservasi) celah-celah bumi dan gunung (menekan laju deforestrasi atau penggurunan hutan konservasi) sebagai media penyimpan air (water catchment area). Air akan hilang (tidak menetap) di bumi jika tidak disertai dengan konservasi sumberdaya air, celah-celah gunung dan DAS; 4. Konservasi sumberdaya air adalah mulia dan mendapatkan pahala di akhirat kelak, sehingga tidak boleh diremehkan, karena berharap sesuatu di luar itu (hasil dari eksploitasi tambang); 5. Konservasi hutan adalah kegiatan yang menjamin keteduhan (global warming), tersedianya sumberdaya air yang cukup dan keanekaragaman jenis (biodiversity) tumbuhan (buah-buahan); 6. Kegiatan pertambangan termasuk dalam kategori kegiatan yang memaksa Tuhan (Allah SWT) datang atau menetapkan hukum-hukumnya untuk mengurangi bumi dalam bentuk berkurangnya kenikmatan dan manfaat bumi, seperti; “kekurangan air, erosi tanah, banjir, longsor, turunnya tingkat kesuburan tanah, hilangnya biodiversity, dll; 7. Kegiatan pertambangan termasuk dalam kategori kegiatan yang pasti akan mengusir ummat NU (relokasi) dari tanah leluhur (kelahirannya), padahal ummat NU telah membangun basis kehidupan dan basis ketataatan (peribadatan) kepada Tuhan (Allah SWT) pada kawasan tersebut.
(Sumber: Dokumen Bahsul Matsaail PCNU Jember, 19 November 2000).
Perpektif lain dari penolakan tambang yang muncul pada Seminar Tambang tanggal 28 Oktober 2000, adalah fakta kekayaan sumberdaya alam Jember (hutan dan perkebunan). Argumentasi otonomi daerah bagi PCNU Jember tidak cukup dijadikan landasan kebijakan untuk memberi atau mengeluarkan ijin KK dan KP tambang.
Oleh karena itu, PCNU Jember mengingatkan Bupati
Jember dan DPRD Jember, bahwa; 1. Otonomi daerah adalah pengembalian wewenang pengambilan keputusan di daerah berada di tangan rakyat di daerah tersebut. Keputusan merima atau menolak rencana penambangan emas, harus melibatkan rakyat yang berada di daerah itu dan yang berada pada lokasi penambangan emas. Jadi otonomi daerah bukanlah otonomi pemerintah daerah (Bupati dan DPRD Jember) untuk memutuskan sendiri memberi ijin dan atau merima kehadiran tambang; 2. Bupati Jember dan DPRD Jember jangan pernah mencoba-coba melakukan reduksi partisipasi rakyat menjadi partisipasi semu, memobilisasi dukungan, membayar beberapa kelompok masyarakat supaya mendukung kehadiran tambang, membelah kedamaian masyarakat menjadi kelompok pro dan kontra tambang. Pendekatan demikian bertentangan dengan semangat demokrasi, transparansi dan tata pemerintahan yang baik (good governance);
228
3. Di Kabupaten Jember terbentang luas hutan produksi yang dikelola Perhutani, dan perkebunan yang dikelola oleh PTPN dan Perkebunan Swasta, yang menghasilkan komoditi berkualitas eksport (Eropa, AS, Timut Tengah, China dan Jepang), seperti; kakao (coklat), kopi, tembakau, karet, kayu jati dan kayu alam, dll. Dari PTPN XII Jember saja, tercatat devisa Rp. 230-350 miliyar per tahun (statemen Ir. H. Djarno, Inspektur PTPN XII Jember, ketika menjadi pembicara Seminar Tambang oleh PCNU Jember); 4. Pembangian dan distribusi kekayaan sumberdaya alam Jember (Perhutani, Perkebunan Negara dan Swasta) tersebut berjalan tidak adil dan timpang, sehingga tidak dirasakan langsung oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi perkebunan dan hutan Perhutani. Masyarakat yang hidup pada kawasan tersebut masih tenggelam dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Oleh karena itu, harus dikonstruksi model kerja-sama yang menguntungkan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten, masyarakat dan pihak swasta. Hal ini harus segera diwujudkan, sehingga kehadiran tambang sama sekali tidak diperlukan. 228
Gerakan
kontra
akses
tambang
PCNU
Jember
relatif
hati-hati
dibandingkan dengan gerakan anti akses tambang dari E-Prodem, LSM-L dan OPA. Dalam melancarkan gerakannya, secara institusional antar kelompok kontra tambang terjadi konsolidasi dan saling sinergi. Sikap kontra atau penolakan tambang PCNU Jember di atas diputuskan setelah melewati proses pengaduan dari masyarakat, kajian ilmiah dan kajian hukum dengan mengundang dan mengunjungi para pakar di bidang pertambangan, kemudian diperkuat dan dilegalisasi melalui kajian fiqh lingkungan. Gerakan PCNU Jember terkesan lamban, tetapi memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap keputusan akhir dari Rapat Pansus Tambang DPRD Jember.
228
Jember
Resume Seminar Tambang oleh Tim Kajian Tambang PCNU Jember, 28 Oktober 2000, di Aula PTPN XXII
229
Boks 2: Hasil Bahsul Mastaail PCNU Jember Tambang pada Kawasan Konservasi dalam Perspektif Fiqh Lingkungan 1.
Makan dan minumlah rizki yang diberikan Allah SWT, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan (QS Al Baqarah, 60); 2. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah SWT) memperbaikinya...(QS Al A’raf; 56); 3. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS Ar Ruum, 41; 4. Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya (QS Al Mu’minun: 18); 5. Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. An Nuur: 45); 6. …Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak berimana? (QS Al Anbiya’; 20); 7. ...Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (Biodiversitas) (QS Al Hajj; 5); 8. Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungaisungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengkokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut[1103]? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui (QS. An Naml : 61); 9. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air. Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka ingini (QS Al Mursalat 41-42); 10. Dan Apakah mereka tidak melihat bahwa Sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orangorang kafir) –BUMI--, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya; dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya (QS Ar Ra’du, 41); 11. Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu Termasuk orang-orang yang zalim) [475]. (QS Al An’am: 52); 12. Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari" (QS An Naml, 18);
13. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah (penguasaan asset SDA-L), yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.... (QS An Nisa’; 9) 14. ”Laa tahqiranna minal ma’ruufi syai an walau antal qaa akhaaka wawajhuka munbasith; Walau antafrigha min dalwin fii inaa il mustaqiy wa inim ru-un syatamaka bimaa ya’lamu fiika falaa tasytimhu bimaa ta’lamu fiihi fainnahu yakuunulaka ajruhuu wa alaihi wijruhu;......” (”Janganlah engkau remehkan perbuatan yang baik itu sedikitpun, walaupun sekedar bermuka manis kepada saudaramu jika bertemu, dan sekedar engkau kosongkan air dari timbamu, jika ada orang datang meminta air karena kehausan;.....”) (Hadist Nabi Muhammad SAW ketika memberi nasihat kepada Jabir Bin Salim Al Hujjaimy dari suku Badwiy); 15. Bahwa manusia itu secara bersama-sama berhak --tidak boleh memonopoli SDA-L-- atas tiga hal, yakni padang rumput, air, dan api (energi dan sumberdaya mineral atau tambang golongan strategis atau A dan golongan vital atau B) (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud); 16. Jika masa itu (kiamat) telah mendekat terhadap siapa pun di antara kamu, dan di tangannya ada bibit pohon (tanaman) yang dapat ia tanam sebelum kiamat tiba, maka tanamlah, nicaya pahala atas apa yang telah diperbnuatnya (HR Imam Ahmad).
Sumber: (Dokumen PCNU Jember 2000)
230
Gerakan Kontra Akses Mafia Tambang; Koalisi LSM-L dan Organisasi Pencinta Alam (OPA) Jember Berita
masuknya
PT
Hakman
Group
dengan
4
(empat)
anak
perusahaannya melalui surat-suratnya, tanggal 12 Juni 2000, dan PT. JM No. 01.13/JM/VII/2000, tanggal 11 Juli 2000, serta PT. BM No. 02.17/BM/VII/ 2000, tanggal 17 Juli 2000 yang ditujukan Kepada Bupati KDH Tingkat II Jember dan Bupati Banyuwangi serta Ketua DPRD Jember dan Ketua DPRD Banyuwangi telah menjadi berita penting di Radar Jember tanggal 7 Juni 2000 dan Radar Jember, 26 Juli 2000, serta beberapa media cetak lokal Besuki lainnya. Menurut Wakil Ketua DPRD Jember, Pemkab Jember atas permintaan DPRD Jember telah mengajukan ijin prinsip pada tanggal 20 Juni 2000 untuk dibahas dan mendapatkan persetujuan dari dewan. Rencana lokasi penambangan emas terletak di tiga kecamatan, yakni Silo, Mayang dan Tempurejo. 229 Berita tersebut menimbulkan reaksi dari ormas, LSM-L dan OPA. Dalam waktu singkat, sejumlah LSM-L dan OPA Jember berhasil melakukan konsolidasi internal dan eksternal. Pada konsolidasi pertama tanggal 30 Juli 2000, sebanyak 12 kelompok kolaisi LSM-L dan OPA berkumpul mengadakan diskusi dan dilanjutkan dengan gerakan demonstrasi menyikapi rencana akases penambangan emas di kawasan TNMB dan sekitarnya. Pada konsolidasi kedua, tanggal 4 Agustus 2000, koalisi LSM-L dan OPA yang kontra akases tambang bertambah menjadi 16 kelompok. Pada konsolidasi ketiga, tanggal 2 September 2000, telah betambah menjadi 21 kelompok koalisi kontra akses tambang.
Pola gerakan
kedua dan ketiga juga disertai gerakan demonstrasi dan pada demonstrasi ketiga disertai dengan menyampaikan pernyataan sikap bersama kepada Bupati Kabupaten Jember dan Ketua DPRD Kabupaten Jember (Tabel 50). Berdasarkan catatan kritis tersebut, maka koalisi LSM-L dan OPA Jember menyatakan: Menolak Penambangan Tembaga dan Mineral Ikutannya (Emas, Perak, Nikel, Mangaan) di daerah Jember. Koalisi LSM-L dan OPA Jember juga mendesak Bupati Jember dan Ketua DPRD Jember, agar: 1. Bupati Jember dan Ketua DPRD Jember perlu meningkatkan kapasitas lembaga dengan menggali informasi sebanyak mungkin tentang kegiatan pertambangan dan rencana PTJM, termasuk kredibilitas PTJM sebagai bahan pengambil keputusan;
229
Jember Segera Punya Tambang Emas, Jawa Pos Jember Agustus 2000
231
2. Dalam mencermati, menghadapi dan mengmabil keputusan politik, Bupati Jember dan DPRD Jember wajib melibatkan dan menyerap aspirasi sejumlah elemen masyarakat; 3. Bupati Jember harus konsisten dengan pernyataannya --peta rencana lokasi tambang berada dalam kawasan TNMB dan hutan lindung-- yang akan menolak jika penambangan dilakukan pada kawasan konservasi TNMB dan hutan lindung Babansilosanen serta lahan produktif lainnya (perkebunan rakyat, perkebunan negara, perkebunan swasta dan lahan pertanian). 230
Tabel 59 Gerakan kontra akses tambang koalisi LSM-L dan Organisasi Pencinta Alam (OPA) Jember No
Tanggal
LSM-L
OPA
Kegiatan
1.
30 Juli 2000
1. 2. 3. 4. 5. 6.
HAMIM Bina Alam Lestari (BAL) Kappala Indonesia Khatulistiwa KEPEL Multi Mitra Insani
1. 2. 3. 4. 5. 6.
AKASIA FH Univ. Jember GEMAPITA FKIP Univ. Jember MAHAPENA FE Univ. Jember MAHAPALA D-3 FE Univ. Jember MAPALUS FISIP Univ. Jember MAPENSA FAPERTA Univ. Jember
Diskusi, konsolidasi dan demonstrasi Kontra Tambang
2.
4 Agustus 2000
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
HAMIM Bina Alam Lestari (BAL) Kappala Indonesia Khatulistiwa KEPEL Multi Mitra Insani Walhi Jatim KIH Regional 03
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
AKASIA FH Univ. Jember GEMAPITA FKIP Univ. Jember MAHAPALA D-3 FE Univ. Jember MAHAPENA FE Univ. Jember MAPALUS FISIP Univ. Jember MAPENSA FAPERTA Univ. Jember SWAPENKA FSASTRA Univ. Jember EGALITARIAN Univ. Islam Jember (UIJ)
Diskusi, konsolidasi dan demonstrasi Kontra Tambang
3.
2 September 2000
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
HAMIM Bina Alam Lestari (BAL) Kappala Indonesia Khatulistiwa KEPEL Multi Mitra Insani Walhi Jatim KIH Regional 03 GEMPUR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
AKASIA FH Univ. Jember GEMAPITA FKIP Univ. Jember MAHAPENA FE Univ. Jember MAHAPALA D-3 FE Univ. Jember MAPALUS FISIP Univ. Jember MAPENSA FAPERTA Univ. Jember SWAPENKA FSASTRA Univ. Jember EGALITARIAN Univ. Islam Jember (UIJ) 9. HIMACITA IKIP PGRI Jember 10. IMAPALA STE MANDALA Jember 11. MAPALA UNMUH Jember
Diskusi, konsolidasi, demonsstrasi dan pernyataan sikap Kontra Tambang
Sumber: Resume Diskusi OPA dan LSM-L Jember, 30 Juli dan 4 Agustus 2000; Pernyataan Sikap OPA dan LSM-L Jember (2000)
Setelah berada dalam konsolidasi Walhi dan JATAM, formulasi substabsi dasar dari gerakan penolakan akses tambang dalam kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen dari kelompok koalisi LSM-L dan OPA Jember, mencakup tujuh poin penting, yakni; (1) dampak negatif tambang terhadap perubahan bentang alam TNMB, (2) dampak pencemaran limbah tailing, (3) ancaman terhadap keaneka-ragaman hayati TNMB, (4) mematikan sistem ekonomi dan pemiskinan masyarakat lokal, (5) konflik tanah dan lahan 231, (6) ancaman terhadap tata nilai sosial budaya dan (7) pelanggaran hukum. 230
Ibid, 2000 Berdasarkan Surat PTJM No. 02.17/JM/VII/2000, tanggal 17 Juli 2000 Kepada Bupati Jember, bahwa setelah Kontrak Karya (KK) ditanda-tangani oleh Bupati Jember dan pihak perusahaan, maka langkah selanjutnya adalah musyauwarah pembelian/ pembebasan lahan dengan pemilik/penggarap, yang diikuti dengan penerbitan Sertifikat Tanah yang telah dibeli/dibebaskan kepada perusahaan. 231
232
Kecuali ke tujuh poin tersebut, Koalisi LSM-L dan OPA Jember juga melakukan gerakan advokasi dan penyadaran kepada masyarakat sekitar lokasi, berkaitan dengan; 1. Masyarakat Jember jangan terperangkap atau terjebak dalam perangkap kapitalis, setelah KK di sahkan, tidak mungkin dibatalkan, seperti kasus Freeport Papuan 2. Masyarakat Jember jangan sampai tertipu, karena PTJM tidak transparan menyampaikan informasi mineral yang akan ditambang. PTJM hanya menyebutkan tembaga dan mineral ikutannya (tidak dijelaskan mineral ikutannya apa saja: emas dan perak nilai ekonominya lebih tinggi), 3. Hanya menyebutkan keuntungan yang didapat oleh Pemda dan masyarakat Jember, tanpa menyebutkan keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang, sehingga bagi hasilnya tidak adil 4. Tidak menjelaskan kemungkinan dampak yang akan dialami oleh masyarakat sekitar tambang. 232
C. Resistensi terhadap Akses Mafia Tambang tahun 2008 - 2010; Gerakan Menutup Pintu Akses Tambang di Dua Desa Penyangga “Suatu pemaksaan kebijakan atau pemaksaan akses, cepat atau lambat pasti akan menimbulkan resistensi dan konflik sosial dari masyarakat”.
Gerakan kontra akses tambang tahun 1999-2000 yang melahirkan keputusan pemberhentian ijin tambang yang banci pada tahun 2000, bukan akhir dari niat dan semangat besar Bupati Jember dan Banyuwangi yang bersenyawa dengan investor tambang untuk mengakses energi dan sumberdaya mineral (tambang
golongan
B)
yang
berada
dalam
kawasan
hutang
lindung Babansilosanen dan perbatasan TNMB. Pada tahun pertama dan kedua (2006-2007) Bupati Jember, sekitar 2 (dua) kali sebulan melakukan perjalanan kunjung desa ke Babansilosanen dengan menaiki sepeda motor trail. Perjalanan kunjung desa ini selalu didampingi oleh Kepala Bapekab Jember, Kepala Disperindag dan Penanaman Modal serta beberapa Kepala Dinas Pemkab Jember terkait. “Pak Djalal, tahun pertama menjadi Bupati Jember dengan didampingi oleh Kepala Bapekab, Kepala Disperindag dan Kepala Dinas Pemkab Jember yang lain hampir tiap akhir pekan datang kesini pak, naik sepeda motor trail, katanya acara kunjung desa sambil olah raga, kalau ke mBaban beberapa kali mampir di Tangki Nol (Eks pemboran PT. Hakman dan PTJM)” 233
Daya tarik energi dan sumberdaya mineral (ESDM) dalam kawasan tersebut, hingga kini masih menggiurkan dan mengundang selera para investor.
232 233
2007
Resume Diskusi OPA dan LSM-L Jember, 30 Juli dan 4 Agustus 2000 Wawancara dengan warga dan tokoh masyarakat Baban Timur, Darungan, Tangki Nol, dan Bedengan, Juli
233
Daya tarik itu pula yang mendorong Direktur CV. Wahyu Sejahtera (DR) pada sekitar bulan Juli-Agustus-September 2008 untuk mengundang tokoh masyarakat Silo di rumah Bpk AS. 234 Tujuan dari undangan tersebut adalah untuk musyawarah dan meminta pendapat tokoh masyarakat berkaitan dengan rencana kegiatan tambang Mangan di Dusun Curah Wungkal Desa Pace dan di Baban Mulyorejo Silo. Pada saat itu juga, salah seorang tokoh NU Silo (KH. Farid Mujib, dkk) mewakili tokoh masyarakat Silo lainnya, mengajukan dua syarat yang wajib dipenuhi oleh CV. Wahyu Sejahtera (CVWS), jika ingin melakukan kegiatan penambangan Mangan di Curah Wungkal Pace dan Mulyorejo, yakni; 1. Mengajak dan memperlihatkan kepada para tokoh masyarakat Silo, lokasi atau eks lokasi tambang mangan di Jember atau di luar Jember, sebagai bahan pertimbangan sebelum menyetujui rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh CVWS ; 2. Mengumpulkan seluruh tokoh masyarakat Silo untuk diajak musyawarah untuk mufakat terkait dengan rencana kegiatan penambangan mangan. 235
Belum dua syarat wajib dari tokoh masyarakat Silo tersebut dipenuhi oleh CVWS, demi alasan menaikkan PAD, Diperindag dan ESDM Pemkab Jember dalam 1 (satu) bulan memproduk 5 (lima) ijin SK Kuasa Pertambangan (KP) Mangaan. Satu SK Kepala Disperindag dan ESDM kabupaten Jember No. 541.3/078/436.314/2008,
tanggal
17
September
2008,
tentang
Kuasa
Pertambangan (KP) eksploitasi bahan galian mangan untuk CVWS Situbondo, dan SK No.541.3/079/436.314/2008 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan (KP) Pengangkutan dan Penjualan Bahan Galian Mangan untuk CVWS Situbondo. Tambang mangan tersebut terletak dalam kawasan PT. Jaw Watie di perkebunan Curah Mas Curah Wungkal desa Pace Silo. Selain ijin tersebut, Kepala Disperindang dan ESDM kabupaten Jember juga mengeluarkan 4 (empat) ijin tambang di Tangki Nol atau di sepanjang pinggir Kali Mrawan (eks lokasi eksplorasi tambang PT. Hakman, 1995/1996), sebagai garis perbatasan TNMB dengan desa Mulyorejo. Setelah izin penambangan berhasil diperoleh CV.WS, tokoh masyarakat Pace dikejutkan oleh turunnya Surat No. 01/CV.WS/I/2009, Perihal: Mohon Bantuan Pengamanan Alat-alat Berat dan Perlengakapn Camp dan Mess untuk
234
Pertemuan pertama CVWS dengan tokoh masyarakat Silo, berdasarkan lampiran tanda terima surat, dihadiri oleh beberapa orang tokoh non formal, yakni; pak AS (Tomas desa), JP (LSM), KH. FM, Ust. N, Ust. HR, K AJ, K MS, KH IH, RC, R, Camat Silo, Dan Ramil, Kapolsek Sempolan, Kades Pace, BPD Pace, K.A, PU (Kebon Corah Emas), 235 Wawancara dengan KH FM, Oktober 2008
234
Operasional Tambang Mangan di dalam areal PT. Perkebuanan Corah Mas Kaputren Desa Pace Silo. Dalam surat tersebut dilampiri dengan foto copy tandatangan persetujuan dari tokoh masyarakat yang diundang pada musyauwarah sekitar bulan Juli-Agustus-September 2008, terhadap kehadiran kegiatan eksploitasi tambang mangan (golongan B). Keluarnya ijin tambang dan pemalsuan daftar hadir sebagai wujud persetujuan atas kehadiran dan eksploitasi tambang tersebut, memicu gejolak sosial yang semakin memanas di internal warag desa Pace dan Mulyorejo Silo. Masyarakat pada dua desa tersebut terbelah menjadi dua kelompok, yakni kelompok kontra dan pro akses tambang. Kelompok kontra akses tambang secara umum diwakili tokoh pemuda desa terpelajar yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Pace (FORKOMPAC) dan Forum Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Mulyorejo (FKPMM 236), sedangkan kelompok pro tambang secara umum adalah dari kelompok LSM desa dan LSM “papan nama dan penadah”, preman desa (AS) dan preman kecataman Silo, Mayang dan Kalisat yang dikonsolidasi oleh aktor tambang. 237 Sejumlah gerakan penolakan dari warga kontra akses tambang yang dimotori oleh FORKOMPAC melalui surat pernyataan sikap, tidak digubris dan tidak membuat Bupati Jember bergeming. Bupati Jember justeru mengeluarkan statement yang melempar tanggungjawab sebagai Bupati Jember bahwa urusan tambang bukan urusannya, tetapi sudah menjadi otoritas penuh Kepala Disperindag dan ESDM kabupaten Jember. 238
Merasa gerakan kontra akses
tambang tidak mendapatkan jawaban dan sikap yang pasti dari Bupati Jember dan Kepala Disperindag dan ESDM kabupaten Jember, FORKOMPAC kemudian datang mengadu dan meminta pendampingan kepada PCNU Jember. Gerakan pendampingan masyarakat dan penolakan akses tambang pada dua kawasan
236 Kelompok FKMM, karena permainan aktor tambang, sebagian tokoh FKPMM, LMDH dan beberapa oknum aparat desa Mulyorejo sempat tergiring masuk dalam arus mendukung akses tambang. Namun, permainan tokoh FKMM, LMDH dan beberapa oknum aparat desa tersebut terbaca dan langsung dipotong oleh tokoh masyarakat dan tokoh pemuda Mulyorejo, sehingga ruang gerak mereka selalu diawasi dan tidak bebas dalam membantu sosialisasi akses tambang kepada warga masyarakat Mulyorejo. Para tokoh FKMM, LMDH dan beberapa oknum aparat desa Mulyorejo dalam mendukung akses tambang, mereka bermain sendiri-sendiri, kompetitif dan masih terkait dengan sisa-sisa konflik rehabilitasi dan pendudukan lahan dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi Babansilosanen (Mulyorejo). Situasi demikian menjadi energi positif bagi mayoritas masyarakat Mulyorejo yang menolak akses tambang. 237 Surat Forkompac yang ditujukan kepada Bupati Jember, tanggal 25 Oktober 2008; dan Surat PT. Corah Mas Keputren Estates Kepada Kapolsek Sempolan Silo, tentang laporan pencurian batu mangan, tanggal 26 Pebruari 2010 238 Wawancara dengan KH IH, 7 Nopember 2008. Beliau adalah tokoh penggerak penolak akses tambang pada kawasan hutang lindung Babansilosanen dan kawasan TNMB sejak tahun 1999/2000 hingga saat ini.
235
tersebut, oleh PCNU Jember kemudian dilimpahkan kepada GNKL NU (Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan). Masuknya GNKL NU 239 pada 21 Oktober 2008 membuat posisi kelompok kontra akses tambang bertambah massif, berani dan intensif melakukan konsolidasi Pace - Baban (desa Mulyorejo), sehingga kelompok pro akses tambang tersingkir dalam pertarungan perebutan basis dukungan masyarakat. Gerakan GNKL NU, FORKOMPAC dan FKMM dengan dukungan basis massa NU desa, Pondok Pesantren dan Kyai-kyai Silo kontra tambang dan payung PCNU Jember, menerapkan pola gerakan mengkunci desa, menyerang kota 240, sebagai bentuk perlawanan terhadap slogan kampanye Bupati Jember yakni ; mbangun ndeso, noto kutho (Membangun desa menata kota), sehingga dalam setiap gerakan kontra akses tambang oleh kelompok
FORKOMPAC selalu
memplesetkan slogan kampanye Bupati Jember tersebut menjadi; Merampok desa, membongkar kota. Konsolidasi nilai-nilai kebersamaan, persudaraan sekampung dan menjaga tanah warisan leluhur, masalah bencana banjir lumpur dan konservasi air, menjadi pesan penting yang selalu disampaikan oleh 2 (dua) juru bicara Kyai Silo, yakni KH. IH dan KH. AMA. KH. IH (PP Al Hidayah Karangharjo Silo) dalam setiap pertemuan dengan warga masyarakat kontra akses tambang di Pace dan Mulyorejo selalu menegaskan sikap dan pesannya sebagasi berikut; “Menolak tambang itu hukumnya wajib,...karena Mbah-mbah kita membuka (mbabat), menemukan dan mendapatkan tanah di kampung ini (Silo) tidak mudah. Panjenengan semua jangan mudah menjual tanah kepada orang luar sekalipun butuh uang, jangan mudah menyetujui keinginan orang dengan janji-janji sejahtera, jangan mudah di adu, setuju dan tidak setuju (pro-kontra) karena janji-janji itu. Panjenengan harus ingat, persaudaraan panjenengan dengan sesama tetangga dan warga sekampung atau sedesa itu akan dibawa sampai, jadi jangan musuhan dan jangan mau diadu dengan saudaranya sendiri gara-gara tambang. Jadi, kalau panjenangan mati, siapa yang menguburkan, siapa yang membacakan tahlil dan do’a...? Kyai dan para tetangga, bukan pejabat....,sedangkan berteman dengan pejabat itu jika ada maunya saja dan waktunya tidak lama, paling lama 5 (lima) tahun ketika mereka menjabat. Kalau ada maunya, mereka (pejabat) bisa datang “5 (lima) kali sehari” ke Pondok. Setelah keinginannya tercapai, da...da...dag,
239 GNKL NU telah masuk di Silo sejak April 2007, dalam rangka pendampingan masyarakat untuk rehabilitasi hutan lindung dan hutan produksi di Bababnsilosanen dan sekitarnya. GNKL NU hadir di Silo mewakili NU dalam kerjasama PBNU dengan Perhutani Jakarta. 240 Gerakan mengkunci desa model FORKOMPAC dan FKMM, pada situasi masyarakat panas dan emosional adalah menyuruh pulang, swiping, demo menutup jalan desa, mengepung dan penghinaan dengan benda-benda kotor (tletong atau tahi sapi) serta mengancam dengan senjata tajam pada setiap orang baru dan mencurigakan masuk ke desa mereka; Sementara gerakan menyerang kota, mereka melakukan konsolidasi dengan GNKL NU untuk memainkan isu di media massa. Konsoliasi ini kemudian diperluas dalam Koalisi Gerakan Rakyat Anti Tambang (GARANG) yang terdiri dari: YPSM, HAMIM, GPP, GNKL NU, SKeTSA, SERBUK, Alam Hijau, KARST, PMII, HMI dan FORKOMPAC.
236
wassalam..., menyapa saya dan panjenengan saja tidak mau, apalagi kembali ke sini melihat panjenengan dalam kondisi susah” 241
Konsolidasi serupa juga dilakukan oleh KH. AMA. Dalam setiap pertemuan dengan warga masyarakat kontra akses tambang di Pace dan Mulyorejo, KH. AMA selalu menegaskan; Warga dan santri saya ini selalu langganan bencana banjir lumpur setiap tahun, karena hutan di Baban rusak. Apalagi jika sampai Baban (Mulyorejo) jadi ditambang, apa yang akan terjadi? Pace dan Karangharjo akan tenggelam. Ini baru masalah banjir, belum masalah lingkungan yang lain, saya selalu sampaikan ke teman-teman pejabat, bahwa Baban itu kawasan resapan air, jadi jangan dirubah fungsinya dengan kepentingan pembangunan yang lain. Tambang tidak akan membuat warga Silo sejahtera, justeru tambah caruk (konflik). Bagi ummat Islam konservasi air itu wajib, karena air basis kehidupan dan basis ibadah (wudlu; harus suci dan mensucikan). Shadaqah air itu lebih berkelanjutan daripada shadaqah emas yang disertai shadaqah limbah”.
Menguatnya gerakan kontra akses tambang dari FORKOMPAC yang diback-up penuh oleh GNKL NU dan Kyai-kyai NU di Silo, memaksa Bupati Jember membuat “keputusan pura-pura mencabut ijin tambang” di atas. Dalam sambutannya pada pertemuan Ulama dan Umara di PP Al Qadiri Gembang Jember, Bupati Jember menegaskan bahwa; 5 (lima) SK ijin Kuasa Pertambangan (KP) di kecamtan Silo sudah diinstruksikan kepada Kepala Disperindag dan ESDM Jember untuk segera dicabut.242 Statemen Bupati Jember tersebut kemudian dianulir oleh Kepala Disperindag dan ESDM Jember, bahwa instruksi Bupati Jember bukanlah pencabutan ijin tambang, tetapi hanya bersifat penundaan kegiatan eksploitasi mangan (Mn) sampai dengan kondisi masyarakat kondusif. 243 Perilaku kebijakan Bupati Jember dan Kepala Disperindag dan ESDM Jember yang
mempermainkan
tokoh
masyarakat
Silo
tersebut
menyebabkan
FORKOMPAC, para Kyai dan tokoh masyarakat Silo kontra akses tambang tersinggung, marah dan merasa dipermainkan oleh Bupati Jember. 244 Akibatnya, terjadi demonstrasi penutupan jalan Pace menuju Mulyorejo dan lokasi tambang secara besar-besaran. Sejumlah izin investasi telah diajukan dan dikeluarkan sejak tahun 1999/2000, namun semuanya kandas ditengah jalan oleh kuatnya daya-tolak dari 241
Cuplikan sambutan di Masjid Istiqlal Curahwungkal Pace 21 Oktober 2008, dan di Baban Timur Mulyorejo,
Maret 2009 242 Ijin Tambang Silo sudah di cabut, Radar Jember, 4 Februari 2009; Bupati Jember Instruksikan Disperindag dan ESDM Cabut Izin Tambang Silo, Kompas dan Radar Jember, 4 Pebruari 2009 243 Surat Disperindag dan ESDM kabupaten Jember, No. 540/12A/436.314/2009, tentang pertambangan bahan galian Mangan (Mn) kepada Direktur CV Wahyu Sejahtera Situbondo 244 Surat Forkompac No. 0/FKMP/III/2009, tanggal 3 Pebruari 2009 kepada Bupati Jember, perihal Penegasan Penolakan Tambang dan semua yang berkaitan dengan tambang di kecamatan Silo
237
masyarakat setempat yang berkoalisi dengan Ormas NU, Ormas mahasiswa, LSM-L dan OPA. Nasib yang sama kembali dialami CVWS Situbondo dan 4 (empat) perusahaan tambang lainnya yang tidak jadi diekspose, sekalipun sudah mendapatkan izin resmi dari Diperindag dan ESDM kabupaten Jember. D. Akses Mafia Tambang Tahun 2008 - 2010; GNKL Memukul Mundur Bupati Jember dan Mafia Tambang Pasca mendapatkan pelimpahan amanat dari PC NU Jember, GNKL telah menerima 7 (tujuh) kali pengaduan langsung dari tokoh masyarakat Silo. Dari pengaduan tersebut, 2 (dua) kali disampaikan melalui surat resmi dan 5 (lima) kali disampaikan secara lisan dengan mendatangi kantor PCNU Jember dan kediaman aktivis PCNU Jember. Substansi dari pengaduan tersebut adalah meminta dukungan dan pendampingan GNKL untuk menolak tambang. Di luar pengaduan tersebut, GNKL juga selalu melakukan mendapatkan pengaduan dan pertanyaan dari warga, tentang perkembangan sikap akhir pemerintah kabupaten Jember, ketika menghadiri istighasah malam sabtuan, yang khusus dilakukan oleh warga secara bergilir (keliling), sebagai bentuk perlawanan spritual terhadap akses tambang. Langkah awal yang lakukan oleh GNKL setelah mendapatkan mandat dari PCNU Jember adalah melakukan konsultasi publik dan konsolidasi modal sosial yang difasilitasi oleh FORKOMPAC. Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober tahun 2008 bertempat di Masjid Al Istiqlal Pace ini dihadiri oleh seluruh tokoh agama (NU) kecamatan Silo dan masyarakat desa Pace, BPD Pace, perwakilan masyarakat desa Mulyoharjo dan desa Karangharjo serta Muspika kecamatan Silo. 245 Pertemuan tersebut juga dihadiri dan disaksikan oleh 568 orang warga masyarakat dusun Curahwungkal dan sekitarnya. Pertemuan konsultasi publik dan konsolidasi kontra akses tambang tersebut, menunjukkan bahwa 540 orang (95%) warga masyarakat menolak akses tambang, dan hanya 28 orang (5%) tidak bersikap (abstain) 246. Pasca konsultasi publik, GNKL melakukan kajian mendalam dan penguatan basis massa untuk menghadapi tekanan akses tambang di kawasan 245
PCNU Jember yang hadir dan mengawal konsultasi publik adalah KH. Imam Haramain (Wakil Rois Syuryah), KH. A. Miqith Arief (Wakil Katib Syuriyah) dan Abd. Qadim HS M., selaku Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Jember 246 Daftar hadir konsolidasi penolakan tambang di Masjid Istiqlal Curahwungkal Pace, 21 Oktober 2008
238
lindung dan di perbatasan TNMB dengan desa Mulyorejo. Berdasarkan kajian GNKL, ada sejumlah masalah terkait dengan izin akses tambang, yang kemudian dijadikan landasan GNKL untuk memukul mundur Bupati Jember dan pihak investor tambang 247. Spririt dari gerakan GNKL adalah (Hifdz An Nafs), menjaga keberagamaan/keimanan (Hifdz Ad Diin), menjaga harta benda (Hifdz Al Mal), menjaga akal/kehormatan diri (Hifdz Al Aqli) dan menjaga keturunan, pengembangan atau pembangunan berkelanjutan (Hizb An Nasb). Dari spirit tersebut, substansi gerakan GNKL sarat dengan muatan politik ekologi, karena mengkritik masalah sebagai berikut; 1. Prosedur perijinan tambang, 2. Pengabaian peraturan demi investasi modal dan pengingkatan PAD, 3. Akses tambang melawan
RTRW nasional demi investor tambang, dan 4. Bupati Jember;
Memecah belah masyarakat demi akses tambang, Keempat poin tersebut merupakan pertarungan antar aktor Koalisi GNKL dengan FORKOMPAC dengan koalisi aktor Pemkab Jember dan aktor tambang dalam memperebutkan SDA dan lingkungan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing aktor. Prosedur perizinan tambang Perizinan tambang dikeluarkan secara sepihak oleh Diperindag dan ESDM Jember, tanpa melakukan koordinasi dengan intitusi terkait lainnya, baik eksternal (Perhutani, dan Balai TNMB) maupun di internal Pemerintah Kabupaten Jember (Dishut dan KLH). Lebih dari itu, perizinan tambang dikeluarkan tanpa didahului dengan konsultasi publik, yang menjadi syarat wajib dalam setiap kegiatan eksploitasi energi dan sumberdaya mineral (ESDM). UU No. 23/1997 tentang PLH, Pasal 19 ayat (1) dalam menerbitkan izin usaha dan atau kegiatan, maka wajib diperhatikan, huruf b. pendapat masyarakat, (2) Keputusan izin melakukan usaha dan atau kegiatan wajib diumumkan. Pengumuman izin usaha dan atau kegiatan adalah syarat wajib yang harus dipenuhi oleh CVWS atau pemrakarsa manapun sebelum Disperindag dan ESDM Jember menerbitkan izin. Syarat wajib ini secara nyata dilanggar oleh pihak
247 1. Surat Pernyataan GNKL, No. 04/GNKL-PCNU/K/III.09, Perihal: Hentikan dan segera cabut ijin KP eksploitasi semua jenis tambang golongan strategis dan vital di Silo, tanggal 12 Maret 2009, kepada Sdr. Bupati Kabupaten Jember, 2. Surat Pernyataan GNKL No. 05/GNKL-PCNU/K/III.09, Perihal: Nasihat untuk Bupati Jember agar Segera Cabut SK Izin Usaha KP Eksploitasi Mangan dan Semua Jenis Tambang Golongan A dan B di Silo, dan, 3. Surat Pernyataan Terbuka No: 07/GNKL-PCNU/K/V.09, Perihal: Peringatan ke-3 agar Segera Membatalkan SK Izin Usaha KP Eksploitasi Mangan dan Semua Jenis Tambang Golongan A dan B di Jember Demi Hukum
239
Disperindang dan ESDM Jember dengan CVWS. Tindakan tersebut adalah tindakan maladministrasi dan melanggar hukum. Tidak terpenuhinya 2 (dua) syarat wajib berdasar UUPLH (poin 1 di atas) dan syarat wajib yang diajukan oleh tokoh masyarakat Silo, maka GNKL mendesak Bupati Jember 248 untuk segera membatalkan izin tambang di atas. Tidak ada argumentasi hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk tidak segera mencabut izin kontrak pertambangan untuk atas nama CVWS yang cacat yuridis dan maladminsitrasi, karena telah dengan sengaja mengabaikan UU dan peraturan lainnya, yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan lindung. Mempertahankan kebijakan yang secara faktual salah demi mempertahankan harga diri politik birokrasi adalah kedzaliman dan tindakan kekerasan ekologi (eco-violence action). Tindakan melanggar dan manipulasi hukum serta manipulasi izin dan atau persetujuan masyarakat adalah preseden yang sangat buruk dan pasti menimbulkan konflik sosial yang mengganggu keamanan, kenyamanan dan ketertiban hidup masyarakat, jika kegiatan penambangan mangan dipaksakan berlangsung. Pengabaian peraturan lain demi investasi modal dan pengingkatan PAD Tujuan dikeluarkannya Surat Izin Kontrak Karya Pertambangan oleh Kepala Dinas Perindag dan ESDM Jember kepada CVWS dan 4 (empat) investor lainnya adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah (PAD) dan perluasan kesempatan kerja 249. Namun, kenyataannya kegiatan pertambangan mangan yang sudah berjalan tidak memberi kontribusi berarti terhadap kenaikan PAD kabupaten Jember; “Permintaan dari luar terhadap hasil penambangan mangan (bahan galian golongan B) di Kecamatan Puger yang dilakukan oleh sekitar 30a-an perusahaan (PT dan CV) menurun, karena krisis keuangan global. Dari sekitar 30-an perusahaan yang menambang mangan tersebut, Kepala Disperindag dan Penanaman Modal Kab. Jember mengaku tidak memiliki data berapa volume dan nilai dari eksploitasi mangan yang dilakukan oleh berbagai perusahaan itu. Pemerintah Kabupaten Jember tidak pernah mendapatkan bagi hasil pajak penambangan mangan, yang dinikmati Kabupaten Jember hanyalah retribusi izin usaha penambangan yang nilainya kecil” 250 248 Surat Pernyataan GNKL, No. 04/GNKL-PCNU/K/III.09, Perihal : Hentikan dan segera cabut ijin KP eksploitasi semua jenis tambang golongan strategis dan vital di Silo, tanggal 12 Maret 2009, kepada Sdr. Bupati Kabupaten Jember 249 Perluasan lapangan kerja sebagai buruh tambang yang diiming-imingkan oleh CVWS berdasarkan UKL dan UPL CVWS hanya menyerap maksimal 150-an orang, untuk tiga kali sift; Sementara pada saat ini mereka sudah menjadi buruh kebun, dll; Iming-iming Bupati dan CVWS adalah iming-iming yang menindas, tidak ada peningkatan dan perbaikan nasib, karena mereka saat ini sudah menjadi petani dan buruh kebun yang damai dan rendah konflik. 250 Pengakuan Ir. Haryanto (Kepala Disperindag dan Penanaman Modal Kab. Jember) terkait dengan gerakan kontra akses GNKL terhadap izin tambang mangan di Silo, Radar Jember, 21 Desember 2008, hal; 25 dan 35.
240
Pemikiran demi investasi modal dan peningkatan PAD, sekalipun rugi, menjadikan aparat Pemerintah Kabupaten Jember bernalar pendek dalam mengeluarkannya izin tambang. Dasar hukum yang dipakai hanya UU dan peraturan yang terkait langsung dengan kepentingan legalisasi tambang 251, sementara sejumlah UU dan peraturan lainnya yang juga sangat terkait dengan eksploitasi energi dan sumberdaya mineral (ESDM) diabaikan 252. Kuatnya hasrat investasi modal dan peningkatan PAD, mendorong Kepala Disperindag dan ESDM Jember menyederhanakan
perijinan secara sepihak dengan cukup
membuat UKL dan UPL, padahal
kawasan Babansilosanen yang hendak
ditambang sebagian besar berada dalam otoritas pemerintah pusat, sehingga wajib AMDAL terpadu. Orientasi pembangunan kabupaten Jember jangka panjang bukanlah miningindustry karena karakteristik dan potensi wilayahnya tidak menguntungkan untuk hal itu, tetapi agroindustry, yang memposisikan produk pertanian sebagai basis pembangunan daerah dan mengingat≥ 85% penduduknya menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Sektor pertanian Jember terbukti menjadi
penopang utama perekonomian Jawa Timur, dengan kontribusi terhadap pendapatan Jawa Timur sebesar 34,6%. Dalam Perda Nomor: 5 tentang RPJMD, kontribusi sektor pertambangan terhadap peningkatan PAD Jember sangatlah kecil, jika dibandingkan dengan sektor pertanian ≥ 40%), (
sehingga sektor ini
menjadi pilihan terakhir ketika sektor lain sudah tidak dapat diharapkan lagi menjadi kontributor bagi peningkatan PAD. 251 Dasar hukum yang dipakai oleh Kepala Disperindag Kabupaten Jember untuk memberikan Kuasa Pertambangan (KP) Eksploitasi Bahan Galian Mangan dan Pemberian Kuasa Pertambangan (KP) Pengangkutan dan Penjualan Bahan Galian Mangan atas nama CVWS, hanya mengacu kepada: (a). UU Nomor: 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, (b) UU Nomor: 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor: 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah, (c) UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, (d) UU Nomor: 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, (e) PP Nomor: 27 tahun 1980 tentang Penggolongan BahanBahan Galian, (f) PP Nomor: 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, (g) Kepmen ESDM Nomor: 1453.K/29/MEM/2002, tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintah di Bidang Pertambangan Umum, (h) Perda Nomor: 4 tahun 2002 tentang Pengelolaan Pertambangan Bahan Galian Strategis dan Vital di Propinsi Jawa Timur, (i) Perda Nomor: 17 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Pertambangan dan Energi dan (j) SK Bupati Nomor: 93 Tahun 2002 tentang Pelimpahan Wewenang Penandatanganan Izin Pertambangan dan Energi dari Bupati Kepada Kepala Dinas Perindag dan Penanaman Modal. 252 Sejumlah UU dan peraturan yang terkait langsung dengan tambang golongan B di Silo, tetapi sengaja diabaikan adalah; 1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria; 2. UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE; 3. UU No. 5 Tahun 1994 Tentang Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati; 4. UU No. 23 Tahun 1997 tentang PLH; 5. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 6. 55UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, 7. UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, 9. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; PP No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL; PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, Lampiran IX: Kawasan Andalan;PP No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penganggulangan Bencana; Kepmen LH No. 056 tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting; Kepmen LH No. 17 Tahun 2001 tentang Jenis Kegiatan Usaha yang Wajib AMDAL, Perda No. 2 tahun 2006 tentang RTRW Propinsi Jawa Timur 2005-2020, serta Perda Nomor: 5 Tahun 2005 tentang RPJMD kabupaten Jember tahun 2005-2010
241
Akses tambang melawan kebijakan RTRW nasional Rencana Tata Ruang dan Rencana Wilayah (RTRW) kabupaten Jember tahun 2006-2012, untuk mempercepat proses distribusi hasil-hasil pembangunan, kabupaten Jember dibagi dalam 5 (lima) Wilayah Pengembangan (WP), dengan fungsi WP sebagai berikut; 1. WP Jember Tengah, dengan fungsi WP sebagai kawasan pendidikan, kesehatan, pemerintahan, perdagangan, perumahan, perhubungan dan aneka industri dan jasa; 2. WP Jember Utara Barat dengan fungsi WP sebagai kawasan pendidikian, kesehatan, perumahan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perdagangan dan industri kecil 3. WP Jember Utara Timur, dengan fungsi WP sebagai kawasan pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan industri kecil Pusat pemerintahan, perdagangan, kesehatan dan pertambangan. Faktor geologi dan potensi wilayah maka arah pengembangannya untuk perdagangan, peternakan (besar, kecil, unggas) dan pertambangan galian C (Batu Piring kecamatan Kalisat); 4. WP Jember Selatan Timur, dengan fungsi WP sebagai kawasan pendidikan, kesehatan, perumahan, perdagangan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, pariwisata dan idustri kecil; 5. WP Jember Selatan Barat, dengan fungsi WP sebagai kawasan pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, industri, pertambangan, peternakan, perikanan dan pariwisata. 253
RTRW di atas menunjukan bahwa di WP Jember Utara Timur hanya ada rencana kegiatan tambang galian C. Sekalipun begitu, demi peningkatan PAD, Kepala Disperindag dan Penanaman Modal Jember memaksakan diri untuk menerbitkan izin tambang galian B di kawasan hutan Babansilosanen kecamatan Silo. Dalam UU No. 23/1997 Pasal 19 ayat (1) dalam menerbitkan izin usaha dan atau kegiatan, maka wajib diperhatikan; a. rencana tata ruang. Pelanggaran terhadap RTRW berupa penerbitan izin yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kabupaten menurut GNKL adalah pelanggaran hukum dan tindakan kekerasan ekologis (eco-violance action) yang memiliki konsekuensi hukum pidana 254. Keluarnya izin tambang galian B yang tidak sesuai dengan RTRW di atas, maka GNKL kemudian melakukan tekanan (pressure) 255 kepada Bupati Jember, Kepala Bapekab Jember, Kepala Disperindag dan Penanaman Modal Jember 256, 253
RTRW Kabupuaten Jember Tahun 2006 – 2016, dalam Laporan Rencana, 2008. Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Jember. 254 Siaran Pers dan Surat Pernyataan Sikap GNKL, No. 04/GNKL-PCNU/K/III.09, Perhal: Hentikan dan Segera Cabut Ijin KP Eksploitasi Bahan Galian Mangan dan Semua Jenis Tambang Golongan Strategis dan Vital di Silo, tanggal 12 Maret 2009 255 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 60, Dalam penataan ruang, setiap orang berhak; Huruf (a) Mengetahui rencana tata ruang, (d) Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya, dan (e) Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tara ruang kepada pejabat yang berwenang. 256 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 37 ayat (2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan
242
dan DPRD Jember agar segera membatalkan rencana ijin akses tambang di Jember, karena bertentangan dengan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang 257 dan PP No. 26/2008 tentang RTRW Nasional. Tekanan GNKL untuk melakukan tuntutan pidana terhadap Kepala Disperindag dan Penanaman Modal Jember 258 jika tidak segera membatalkan izin akses tambang, menjadi salah satu pertimbangan penting untuk menggantung keputusan yang sudah dikeluarkan. Tekanan GNKL tersebut belum membuat Bupati Jember
surut untuk
mengincar tambang golongan B di kawasan Babansilosanen dan perbatasan TNMB. Guna memuluskan proses legalisasi akses tambang, Pemkab Jember dan aparat Polres Jember, terus membiarkan berlangsungnya kegiatan tambang illegal di Babansilosanen, desa Curahtakir, dan desa Andongrejo. Seluruh akses tambang ilegal di kawasan tersebut secara kasat mata diketahui dan dilindungi oleh beberapa perwira Polres Jember, bahkan yang menjadi tukang penadahnya adalah purnawirawan Polres Jember. 259 Maraknya akses illegal yang sengaja dibiarkan, menjadi argumentasi pembenar bagi Bupati Jember melalui Kepala Bapekab Jember untuk membuat landasan legalitas hukum dengan memasukkannya di dalam Rancangan RTRW kabupaten 2008 – 2028 (Tabel 51), yang rencananya akan dibahas oleh DPRD kabupaten Jember dalam tahun 2010 ini. Namun, rancangan RTRW 2008 – 2028 tersebut tidak menjadikan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 26/2008 tentang RTRW Nasional sebagai acuan dalam penyusunan rancangan RTRW tersebut.
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. 257 Pasal 25 ayat (1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu kepada; a. RTRW Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi, b. Pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang, dan c. Rencana pembangunan jangka panjang daerah. Ayat (2) Penyusunan RTRW kabupaten harus memperhatikan; a. Perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten, b. Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kabupaten, c. Keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten, d. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, e. Rencana pembangunan jangka panjang daerah, f. RTRW kabupaten yang berbatasan, dan g. Rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten. 258 Pasal 73 ayat (1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. 259 Wawancara dengan intel aktif , purnawirawan intel Polres Jember dan Wartawan MT, Pebruari 2010
243
Tabel 60 Perubahan RTRW Kabupaten Jember demi memuluskan akses tambang di sekitar TNMB dan hutan lindung Babansilosanen RTRW Kabupaten Jember tahun 2006-2016 WP
Pusat WP
Fungsi WP
Fungsi Pusat Pengembangan/ perkotaan
Pengembangan Sistem Kegiatan
RTRW Kabupaten Jember tahun 2008-2028 Fungsi WP
Fungsi Pusat Pengembangan/ perkotaan
Struktur Pusat Permukiman Perkotaan
WP Jember Tengah
Kecamatan Kaliwates
Kawasan pendidikan, kesehatan, pemerintahan, perdagangan, perumahan, perhubungan dan aneka industri dan jasa
Pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan dan perhubungan
Jenis kegiatan pada daerah hiterland adalah perdagangan, perumahan dan pariwisata
Kawasan pendidikan, kesehatan, pemerintahan, perdagangan, perumahan, perhubungan dan aneka industri dan jasa
Pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan dan perhubungan
WP Jember Utara Barat
Kecamatan Tanggul
Pendidikian, kesehatan, perumahan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perdagangan dan industri kecil
Pusat pemerintahan, perdagangan, dan pariwisata
Kota Tanggul menjadi pusat WP untuk kegiatan perdagangan, jasa, pendidikan dan permukiman. Wilayah hinterland untuk kegiatan pertanian, perkebunan, agrowisata perkebunan, dan pemenuhan fasilitas rekreasi
Pendidikian, kesehatan, perumahan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perdagangan dan industri kecil
Pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, industri kecil dan pariwisata
WP Jember Utara Timur
Kecamatan Kalisat
Pusat pemerintahan, perdagangan, kesehatan dan pertambangan
Pusat kegiatan ekonomi Jember utara; Faktor geologi dan potensi wilayah maka arah pengembangannya untuk perdagangan, peternakan (besar, kecil, unggas) dan pertambangan galian C
Pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan industri kecil
Pusat pemerintahan, perdagangan, kesehatan dan pertambangan (Baban dan TNMB)
WP Jember Selatan Timur
Kecamatan Ambulu
Kawasan pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan industri kecil Pendidikan, kesehatan, perumahan, perdagangan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, pariwisata dan idustri kecil
Pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, perikanan dan pariwisata
Pendidikan, kesehatan, perumahan, perdagangan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, pariwisata dan idustri kecil
Pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, perikanan dan pariwisata
Perkembangan kota berpola ke semua arah. Khusus Ambulu, intensitas perkembangan mengarah ke luar kota sepanjang jalan menuju Balung, Pantai Watu Ulo dan Pusat Kota Jember
Pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, industri, pertambangan, peternakan, perikanan dan pariwisata
Pusat pemerintahan, perdagangan dan kesehatan
Prioritas sektor pertanian (produksi tanaman jagung), peikanan, peternakan (sapi, domba dan kambing) dan pariwisata (Watu Ulo, Papuma dan Bande Alit. Faslitas umum berupa jaringan infrastruktur : jalan lintas selatan untuk dorong pertumbuhan ekonomi Diarahkan pada kegiatan pertanian (tanaman jagung), perikanan air tawar dan laut (industri pengolahan basis perikanan), pertambangan, dan pariwisata (wisata bahari dan industri kerajinan rakyat berbasis kelautan)
Pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, industri, pertambangan, peternakan, perikanan dan pariwisata
Pusat pemerintahan, perdagangan dan kesehatan
Dibagi tiga cluster: Balung (pusat permukiman kota), Puger Industri perikanan laut dan pelabuhan ikan), dan Kencong (posisi di jalur alternatif regional menuju Balung) Perkembangan WP ini dipengaruhi oleh JLS yang berpengaruh pada penggunaan lahan
WP Jember Kecamatan Selatan Barat Balung
Pusat kota di luar WP: kecamatan Arjasa, Ajung, Rambipuji, Panti dan Sukorambi sebagai daerah perluasan atau pengembangan kota yang berinteraksi langsung dengan pusat kota, mengingat kepadatan di kecamatan Kaliwates, sumbersari dan Patrang Perkembangan WP ini berpola linier dengan intensitas yang tinggi di sepanjang jalan Jember Surabaya dan membentuk culuster di ibukota kecamatan. Kawasan pertanian tetap dipertahankan di beberapa lokasi sebagai kawasan ruang terbuka. Memusat di dua cluster: Kalisat dan Mayang. Kawasan di antara pusat permukiman perkotaan satu dengan yang lain
243
244
Pemerintah Kabupaten Jember: Memecah Belah Masyarakat demi Akses Tambang Kebijakan Pemerintah Kabupaten Jember yang mengantung kebijakan izin tambang tanpa sikap politik yang jelas, mendorong GNKL untuk menekan dan menuduh Bupati Jember
melakukan tindakan memecah belah masyarakat
ditengah kedamaian hidup masyarakat perdesaan; “Tanggung-jawab politik pemerintah kabupaten sesungguhnya tidak cukup hanya berpikir tentang peningkatan PAD, tetapi juga berpikir yang lebih holistik, bahwa keluarnya izin tambang --belum pelaksanaannya-- telah melahirkan kerapuhan sosial antar tokoh dan antar warga serta antar pemuda desa yang luar biasa di Pace dan Mulyorejo Silo, di Curahtakir dan Andongrejo Tempurejo. Harga kedamaian hidup masyarakat dalam kesahajaan lebih berarti dan lebih mahal daripada sekedar berpikir meningkatkan PAD melalui tambang mangan yang secara faktual terbukti rugi dan tidak mensejahterkan masyarakat setempat 260. Atas dasar ini, maka slogan membangun desa jawabannya pasti bukan dengan tambang. Dampak langsung dari pemaksaan izin akses tambang adalah memanasnya situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Silo, berupa indikasi “target penangkapan disertai ancaman kekerasan fisik dan dihabisi” terhadap masyarakat dan pemuda desa kontra tambang, oleh sekelompok preman pro tambang, yang disewa oleh pihak-pihak tertentu. Sdr. Bupati jangan membangun basis ekonomi masyarakat Jember dengan harapan dan mimpi kosong...Jangan mengorbankan masa depan masyarakat desa hutan, demi berharap upeti tambang;.... Jangan menyakiti hati dan pikiran masyarakat Jember, berapapun jumlah orangnya dengan menerapkan strategi adu-domba “Pro versus Kontra akses tambang”, demi nafsu tambang Sdr. Bupati dan Kepala Disperindag Jember. Jangan bermain tarik-ulur dan menunda-nunda pencabutan SK izin usaha KP, karena hal itu dapat berakibat fatal pada akumulasi kemarahan masyarakat yang berujung pada tindakan anarkhis. Jika tindakan anarkhis terjadi, maka Sdr. Bupati Jember dan Kepala Disperindag Jember, secara nyata dan meyakinkan telah menjadi mediator bagi timbulnya kekerasan masyarakat (violance mediated). 261
Tekanan tersebut dilakukan oleh GNKL, sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi statemen politik Bupati Jember pada akhir tahun 2007 hingga awal tahun 2008, seperti diberitakan oleh Radar Jember menginstruksikan aparat keamanan agar menembak ditempat setiap warga masyarakat Silo yang merambah dan merusak hutan. Pada beberapa bulan kemudian, yakni September 2008, Bupati Jember justeru melakukan tindakan sebaliknya, melalui Kepada Disperindag dan Penanaman Modal justeru mengeluarkan ijin tambang batu
260
Angka Kemiskinan Puger dengan adanya tambang mangan: 16.652 (15,59%) dari 106.832 Jiwa; sementara angka kemiskinan di Silo, dengan tanpa Tambang: 1.160 (1,23%) dari 94.558 Jiwa (BPS, 2001). Atas dasar ini, maka slogan membangun desa jawabannya pasti bukan dengan tambang 261 Siaran Pers dan Surat Nasihat GNKL untuk Bupati Jember, No: 05/GNKL-PCNU/K/III.09, Perhal: Nasihat untuk Bupati Jember agar Segera Cabut SK Izin Usaha KP Eksploitasi Mangan dan Semua Jenis Tambang Golongan A dan B di Silo
245
mangan untuk CVWS di kawasan Babansilosanen Silo, yang tidak ada dalam RTRW kabupaten dan RTRW nasional. Keluarnya izin yang mengancam eksistensi dan keamanan kawasan hutan lindung Babansilosanen dan perbatasan TNMB tersebut menunjukkan bahwa Bupati Jember telah melanggar komitmen dan moralitas politiknya sendiri, dengan mengeluarkan kebijakan yang merusak kawasan konservasi dan kawasan resapan air. Kerusakan yang diakibatkan oleh kebijakan Bupati Jember yang salah, memiliki konsekuensi kerusakan lingkungan yang jauh lebih parah dibandingkan dengan kerusakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat. Kebijakan demikian tidak pantas dipertontonkan kepada masyarakat Silo 262. Di samping tekanan di atas, GNKL juga memberi jalan keluar dari maladministrasi kebijakan yang terlanjur dikeluarkan dan peringatan kepada Bupati Jember dan Kepala Disperindag Jember, sebagai berikut; 1. Segera membayar ganti kerugian atau mengembalikan sejumlah biaya perizinan yang sudah dikeluarkan oleh pihak penambang sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku serta sesuai kemampuan keuangan daerah dan dengan cara-cara yang benar dan transparan; 2. Dalam menjalankan amanat masyarakat Jember, sebagai Bupati Jember agar jangan sekali-kali menjadikan kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan sebagai alat transaksi politik; 3. Dalam menjalankan kebijakan pemerintah, Bupati Jember agar tidak membangun moralitas kebijakan publik yang buruk dengan menjadikan tambang sebagai media atau arena adu-domba dan permaianan memecah-belah masyarakat; Pro versus Kontra akses tambang, dalam ketidak-tahuan sebagian kecil masyarakat yang pro tambang, terkait dengan fakta dan sejarah kegiatan tambang yang sesungguhnya; 4. Dalam menjalankan kebijakan pemerintah, Bupati Jember agar tidak bermain dengan logika pembodohan dan penipuan yang dikonstruksi dalam mimpi masyarakat sejahtera dan perluasan lapangan kerja. Pembodohan dan penipuan terhadap masyarakat Jember adalah pembodohan dan penipuan terhadap diri Sudara Bupati sendiri. Fakta telah membuktikan, bahwa dimanapun tambang beroperasi (termasuk di kecamatan Puger), kemiskinan dan perbudakan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di sekitar lokasi tambang; 5. Kegiatan pertambangan pada kawasan lindung dan konservasi yang rawan bencana tidak sebanding dengan keuntungan yang diharapkan diperoleh dari kegiatan tambang, dalam kondisi kelembagaan Pemerintah kabupaten rapuh dan kolaps. Kegiatan tambang jangan dipaksakan dalam kondisi Kepala Disperindag dan penanaman modal tidak mengerti dan tidak mampu membedakan antara AMDAL dengan UKL dan UPL; 6. Bupati Jember dan Kepala Disperindag Jember agar segera bertobat dan kembali kejalan yang benar; jangan sekali-kali menjadikan perbuatan atau kegiatan ilegal -tambang ilegal atau tanpa izin (peti)-- sebagai dasar hukum untuk mengeluarkan izin eksploitasi tambang dan atau legalisasi tambang dalam RTRW 263
262 263
Ibid. 2009 Ibid. 2009
246
E. Koalisi Pemkab Jember dan Mafia Pertambangan; Memperalat Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Jember Reaksi atas Terbentuknya Tim Peneliti Independen Kontra akses tambang yang massif dari masyarakat Pace dan Mulyorejo yang didampingi oleh GMKL dan Koalisi GARANG, membuahkan kesimpulan DPRD Jember untuk membentuk Tim Independen untuk meneliti kelayakan tambang mangan di Silo, dengan biaya penelitian ≥ Rp. 250 juta. Pembentukan tim independen diputuskan oleh Ketua DPRD Jember 264. Namun, dalam proses penunjukan dan pembentukan tim serta pembiayaan penelitian, diambil alih oleh pemerintah kabupaten melalui Sekertaris Kabupaten (Sekkab) Jember. Proses penunjukan tim independan demikian melahirkan kecurigaan dari LSM-L HAMIM Jember. “Proses penunjukan dan pembentukan tim serta pembiayaan oleh Pemerintah kabupaten Jember? Lalu bagaimana mengkonstruksi dan menjamin bahwa hasil penelitiannya objektif, independen dan tidak bias kepentingan tambang? 265
Sementara GNKL merenspon keputusan pembentukan tim tambang dari aspek dasar hukum berkaitan dengan eksploitasi energi dan sumberdaya mineral (ESDM) sebagai berikut; “Tim Ahli Kelayakan Pertambangan itu tidak ada dan tidak dikenal dalam kegiatan eksploitasi pertambangan. Yang ada itu tim AMDAL yang dibentuk dan atau konsultan yang dibayar oleh pihak propenant (investor). Setelah itu, hasil kajiannya dinilai oleh KOMISI AMDAL berdasarkan tingkatan AMDAL-nya (AMDAL Tunggal atau Proyek, AMDAL Terpadu atau Multisektor, dan AMDAL Kawasan), apakah memiliki kelayakan sosial, ekonomi dan ekologi untuk diteruskan. 266 Karena itu, hasil penelitian tim tambang Lemlit tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk melegalisasi tambang yang ditolak oleh masyarakat Pace dan Mulyorejo, dan juga ditolak oleh PCNU Jember.” 267
LSM dan Ormas mahasiswa anti tambang Jember, yang terdiri dari; YPSM, HAMIM, GPP, STeKSA, SERBUK, ALAM HIJAU, KARST, GNKL, HMI Jember , PMII Jember, dan FORKOMPAC Pace Silo yang tergabung dalam Kolaisi GARANG (Gerakan Rakyat Anti Tambang), mengeluarkan komunike politik bersama terkait dengan rencana pembentukan dan penelitian yang akan
264
Radar Jember, September 2009 Wawancara dengan Direktur LSM-L HAMIM Jember, September 2009 266 PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, Pasal 2 ayat (3) 267 Wawancara dan statemen politik GNKL pada Diskusi Penolakan Tambang yang diselenggrakan oleh Pers Mahasiswa PRIMA FISIPOL Universitas Jember, Oktober 2009 265
247
dilakukan oleh tim independen yang tidak independen, menyambut pelantikan anggota DPRD Jember yang baru, sebagai berikut; 1. Bahwa pembentukan Tim Independen dalam eksplorasi dan eksploitasi ESDM tidak memiliki dasar hukum dan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait (UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No. 5/1990, UU No. 23/1997, UU No. 41/1999, UU No. 32/2004, UU No. 26/2007, PP No. 29/1999, PP No. 25, PP No. 26/2008; 2. Bahwa Tim Independen yang Tidak Independen pada poin 1 (satu) telah menetapkan alokasi anggaran lebih dari Rp. 250 juta untuk suatu tujuan yang tidak memiliki landasan hukum dan melawan hukum adalah ilegal, dan tidak akan mampu meredam gerakan penolakan dari masyarakat, LSM Lingkungan dan Ormas Mahasiswa Jember. 3. Bahwa motivasi atau inisiatif pembentukan Tim Independen hanyalah akal-akalan sdr. Ketua DPRD, Komisi B DPRD Jember dan sdr. Bupati Jember c.q Kepala Disperindag dan ESDM kabupaten Jember untuk tujuan pemaksaan pelaksanaan eksploitasi tambang serta melegalisasi alokasi dan pencairan anggaran sebagai bekal tambahan dalam mengakhiri masa tugas mereka sebagai anggota DPRD Jember, sementara APBD Jember dalam kondisi defisit sekitar (±) Rp. 36 M; 4. Berdasarkan hal tersebut, maka GARANG: Koalisi LSM dan Ormas Mahasiswa Jember (YPSM, HAMIM, GPP, STeKSA, SERBUK, ALAM HIJAU, KARST, GNKL, HMI Jember , PMII Jember, dan FORKOMPAC Pace Silo) menyatakan SIKAP MENOLAK PEMBENTUKAN TIM INDEPENDEN, dan memohon kepada pihak Kepolisian Resort Jember, Kejaksaan Negeri Jember dan Pengadilan Negeri Jember untuk segera menyiapkan perangkat hukum menghadapi pelanggaran hukum sistematis oleh pihak eksekutif dan legislatif Jember. 268
Sekalipun tim independen yang akan dibentuk ditolak dan kredibilitasnya diragukan oleh Koalisi GARANG, tim independen tetap dipaksakan dibentuk, karena sudah diputuskan oleh Ketua DPRD Jember. Sebagai tindak lanjut dari keputusan DPRD Jember, maka Pemkab. Jember melalui Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Jember meminta Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Jember untuk membentuk Tim Ahli Kelayakan Pertambangan. 269 Berdasarkan surat tersebut maka Ketua Lembaga Penelitian Universitas Jember membentuk Tim 16 (enam belas) 270 (Tabel 52). Tujuan dari surat tugas tersebut adalah untuk melakukan Kajian Kelayakan Pertambangan di desa Mulyorejo dan desa Pace Kecamatan Silo (kawasan Babansilosanen dan perbatasan TNMB, eks kawasan yang hendak di tambang oleh PT. Hakman dan PTJM tahun 2000), dari tanggal
268 Surat Terbuka No: 02/GARANG-JBR/VIII/2009, Perihal : Komunike bersama penolakan Tim Independen Tambang, yang ditujukan kepada Bupati Jember dan Ketua DPRD Jember, tanggal 5 Agustus 2009 269 Surat Sekretaris Kabupaten Jember No. 540/229/441/2009 tertanggal 23 Juni 2009, tentang Bantuan tenaga Ahli Tim Kelayakan Pertambangan, ditujukan kepada Ketua Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Jember 270 Surat Tugas No: 1455/H25.3.1 /PL.6/2009, kepada Tim 16 (enam belas), tertanggal 30 Oktober 2009, yang ditanda-tangani oleh Dr. Ir. Cahyoadi Bowo
248
1 November 2009-31 Januari 2010, setelah ditolak oleh FORKOMPAC dan GNKL serta Koalisi Gerakan Rakyat Anti Tambang (GARANG). Setelah tim terbentuk, tim tambang menyampaikan surat tugas tersebut ke aparat desa Pace dan Mulyorejo pada tanggal 30 Oktober 2009 siang menjelang sore. Oleh aparat desa Pace (BPD) surat tersebut kemudian di sampaikan kepada tokoh pemuda Pace yang tergabung dalam FORKOMPAC. 271 Surat tugas dari Lemlit Universitas Jember tersebut, sekitar jam 16.00 WIB langsung difotocopi (diperbanyak) oleh aktivis FORKOMPAC dan disebarkan kepada seluruh tokoh masyarakat desa Pace dan desa Mulyorejo (Baban) yang kontra akses tambang. Tabel 61 Tim Ahli Pemkab. Jember yang melakukan studi kelayakan dan legalisasi kegiatan pertambangan secara akademik No
Nama
Jabatan dalam Tim
Unit Kerja
Bidang Keahlian
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
RH BP AW DS PW AS SAB DAW RY GWS RK MR EBK GP HS (Desa Karangharjo Silo)* UF (Desa Mulyorejo Silo)* DS CGQ
Ketua Tim Sekretaris Anggota Tenaga Ahli Anggota Tenaga Ahli Anggota Tenaga Ahli Anggota Tenaga Ahli Anggota Tenaga Ahli Anggota Tenaga Ahli Anggota Tenaga Ahli Asisten Tenaga Ahli Asisten Tenaga Ahli Asisten Tenaga Ahli Tenaga Surveyor Tenaga Surveyor Tenaga Surveyor Lokal Tenaga Surveyor Lokal Tenaga Surveyor Tenaga Surveyor
Fak. Pertanian Fak. Hukum Fak. Hukum FISIP FISIP FMIPA Fak. Pertanian ITATS Surabaya ITATS Surabaya Fak. Hukum Fak. Pertanian Fak. Pertanian Fak. Pertanian Fak. Ekonomi LSM Torab Ketua LMDH Fak. Pertanian Fak. Ekonomi
Kelembagaan Hukum Ekonomi Komunikasi Sosial Lingkungan Geofisika Tanah Konservasi Tanah Geologi Pertambangan Hukum Sosiologi Statistika Pertambangan Statistika Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Masyarakat Morfografi dan Kualitas Tanah Ekonomi Kelembagaan
Sumber: Surat Tugas Lembaga penelitian Universitas Jember, 30 Oktober 2009
Mengetahui ada dua orang Silo, yakni HS (asal desa Karangharjo, aktivis LSM Torab) dan UF (Ketua LMDH desa Mulyorejo) masuk sebagai tenaga surveyor tim tambang Lemlit, pada malam harinya, rumah UM (Ketua LMDH desa Mulyorejo) dikepung oleh para pemuda desa Mulyorejo. Karena merasa tertekan, maka UM kemudian besoknya langsung mengundurkan diri dari tim tambang, yang diikuti oleh HS. Akibat dari pengunduran diri kedua orang tersebut, maka Lemlit Universitas Jember melakukan revisi dan penggantian
271
Wawancara dengan RI, CT, PFR, PSY (BPD Pace), Pak NR, Pak JF Baban, Pak LG (Kades Mulyorejo) dan Cak SL Baban, 2 Nopember 2009. FORKOMPAC segaja dibentuk oleh pemuda desa Pace sebagai wadah konsolidasi gerakan kontra dan menutup pintu akses tambang di kawasan Babansilosanen dan TNMB, yang pernah dicoba dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jember bekerjasama dengan PT. Hakman dan PTJM tahun 1999/2000.
249
terhadap kedua nama tersebut dengan mengeluarkan surat tugas baru (nomor dan tanggal suratnya sama). Terbentuknya tim peneliti tambang melalui prosedur dan penunjukan seperti di atas, setelah diberitahu oleh aktivis FORKOMPAC, LSM-L HAMIM mengkritik Universitas Jember, sebagai berikut; “Universitas Jember itu belum memberi kontribusi apapun --kalaupun ada sangat kecil-- dalam proses pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi serta pemberdayaan masyarakat. Dengan kontribusinya yang minim dan duit kecil malah mau dan senang diperalat oleh Pemkab Jember dan pihak tambang, untuk membenarkan perusakan kawasan resapan air, lindung dan konservasi”. 272
Tekanan dan Pengusiran terhadap Tim Peneliti Lemlit Universitas Jember Pasca mendapatkan legalitas penugasan, pada tanggal 31 Oktober 2009, Tim Tambang yang diwakili oleh DJS dan RK, dengan dua orang anggota tim lainnya, datang ke Pace untuk menemui beberapa tokoh di Pace dan Mulyorejo. Kehadirannya juga sekaligus membawa dan menyerahkan Surat Tugas (hasil revisi) sebagai Tim Independen yang akan melakukan studi kelayakan tambang mangan ke Kepala Desa Pace dan Mulyorejo. Pada pertemuan pertama di 2 (dua) desa tersebut, tim tambang Lemlit Universitas Jember hanya berhasil menemui satu tokoh NU Pace Silo, yakni UHS, dengan substansi pembicaraan sebagai berikut; Dalam pertemuan dengan HS (tokoh NU Pace), JS, menyatakan bahwa kehadirannya ke Pace disuruh oleh Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Jember (AJ), teman sejawat JS di FISIP UNEJ. Setelah kehadiran Tim tersebut, sekitar ba’da maghrib ....tokoh NU Pace tersebut kemudian melaporkan kehadiran Tim ke KH. IH (Tokoh NU Silo dan Wakil Rois PCNU Jember). 273 Tanggal 1 November 2009, KH IH kemudian menelfon AJ untuk menanyakan kebenaran apakah kehadiran Tim UNEJ, benar-benar disuruh oleh Pak AJ. Kepada KHIH, Pak AJ menjelaskan bahwa sekalipun sering bertemu dengan Joko di FISIP Universitas Jember, Pak AJ tidak pernah membicarakan masalah tambang dengan DjS. 274
Pasca dari Pace dan Mulyorejo, DjS, karena faktor kedekatan nilai dengan NU, ditugaskan oleh tim untuk membangun komunikasi dengan PCNU Jember dan masyarakat Pace dan Mulyorejo. DjS meminta bertemu dengan PCNU Jember di rumah AJ 275, untuk meminta pendapat dan pengawalan dari PCNU Jember 272 Satemen dalam Diskusi Tambang di Jember yang diselenggarakan oleh Komunitas Baca Tulis di Kantor Radio RRI Jember, Januari 2010 273 Wawancara dengan H. Syirad, November 2009 274 Wawancara dengan KH. Imam Haramain dan Bapak Alfan Djamil, November 2009 275 Kehadiran Djoko Susilo diterima oleh Alfan Djamil dan Abd. Qadim HS M (Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Jember)
250
dalam melakukan penelitian di Pace dan Mulyorejo. Tujuan penelitiannya menurut DjS hanya meminta pendapat dan respon masyarakat tentang eksploitasi ESDM (tambang galian B) di Pace dan Mulyorejo. Oleh PCNU Jember kemudian dijelaskan sebagai berikut; 1. Terkait dengan tujuan sampean ke sini, perlu pak Djoko ketahui bahwa PCNU Jember sudah mengkosolidasi para ahli dibidang pertambangan dan lingkungan hidup, yang berasal dari putera asli Jember, itu sudah 10 (sepuluh) tahun yang lampau. Atas rekomendasi dari para ahli itu, maka PCNU Jember sudah menolak tambang di kawasan lindung dan konservasi, itu sejak 10 (sepuluh) tahun yang lampau. Karena ini berkaitan langsung dengan kebelanjutan hidup ummat NU di sekitar lokasi tambang, sikap PCNU Jember tetap menolak tambang. Ini tidak perlu diteliti lagi, kami sudah dan masih percaya dengan penelitian dan rekomendasi tim yang kami bentuk dulu itu; 2. PCNU Jember tidak dapat dan tidak berkenan mengawal Tim Ahli Lemlit. PCNU Jember bukan dan tidak tepat melakukan itu pada situasi saat ini, karena tujuan penelitian sampean ingin mengetahui pendapat (persepsi) masyarakat. PCNU Jember menilai, tujuan sampean akan membelah masyarakat dengan permainan angka-angka prosentase setuju dan tidak setuju. Otoritas permainan angka-angka prosentase ada ditangan tim. Ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat Silo; 3. PCNU Jember sudah mengetahui nama-nama, kapasitas dan kredibilitas Tim Ahli Lemlit. Jika penelitian Tim Ahli Lemlit berbeda signifikan dengan Tim Pengkajian Tambang yang dikonsolidasi PCNU Jember pada tahun 2000, berarti ada yang tidak beres dari hasil penelitian Tim Lemlit, pasti ada bias kepentingan, sehingga objektivitas dan validitas ilmiahnya rendah; 4. PCNU Jember perlu mengingatkan sampean dan tim, bahwa masyarakat di sana, saat ini tidak berada pada posisi persepsi, tetapi pada posisi sikap (menolak). Karena itu, tim sampean telat masuk, Tim Ahli Lemlit Universitas Jember tidak memiliki kahlian dan kapasitas untuk mendamaikan masyarakat. 5. Tim Ahli Lemlit jangan mengorbankan kredibilitas Universitas Jember, karena Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Jember pada periode ST, tahun 2000, bersama dengan PCNU Jember, LSM-L dan OPA se-Jember sudah menolak tambang pada kawasan lindung dan konservasi. Langkah selanjutnya terserah sampean. 276
Jawaban formal PCNU Jember yang sangat politis dan sarat dengan tekanan (pressure), tidak cukup memuaskan tim peneliti Lemlit Universitas Jember. Tanggal 26 November 2009, Tim Lemlit kembali lagi ke Pace dan Mulyorejo Silo, setelah terlebih dahulu menghubungi Pak Kampung (Kepala Dusun Curahwungkal) via telephon. Ketika Tim Lemlit sampai di Curahwungkal, suasana di lokasi hujan gerimis. Tim Lemlit langsung masuk ke lokasi tambang mangan Curahwungkal desa Pace dan desa Mulyorejo Silo, dengan mengendarai mobil Kijang. Tim Lemlit tidak menyadari bahwa kehadiran mereka sedang diintai oleh sekitar 50 orang pemuda dusun Curahwungkal. Ketika 2 (dua) orang dari Tim Lemlit sudah benar-benar berada dilokasi, seorang tokoh pemuda (Cak 276 Jawaban dan penjelasan Alfan Djamil dan Abd. Qadim HS M (Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Jember) atas kehadiran dan pertanyaan Djoko Susilo, tanggal 10 November 2009 pagi.
251
Fery) mendatangi pecahan Tim Lemlit yang juga sedang mengawasi kehadiran massa. Cak Fery menanyakan tujuan kedatangan mereka (Tim Lemlit) ke Curahwungkal, dan setelah mengetahui tujuannya untuk penelitian tambang, Cak Fery kemudian memberi saran kepada Tim Lemlit sebagai berikut; “Pak dan Ibu, mohon segera sampean panggil dan suruh turun teman-temannya (di atas gunung), mumpung massa belum tahu dan belum datang. Karena saran Pak Fery tidak cukup diperhatikan, akhirnya sekitar 50 orang yang mengintai keluar dan mendatangi Tim Lemlit. Ketika turun dari gunung, massa sulit dikendalikan, akhirnya, pimpinan rombongan Tim Lemlit dibawa (diamankan) masuk ke rumah Pak Kasun (Kepala Dusun), supaya tidak melarikan diri. Setelah sampai di rumah Pak Kasun, Pak Danis (Danis Agoes Wiloso, ST.MT). Setelah masuk ke dalam rumah, Pak Danis (PD) ditanya oleh Pak Kasun (PK); PK : Pak Danis, apakah sampean masuk desa Pace, sudah lapor ke Pak Kades? PD : Sudah! (Padahal Pak Kades sedang Opname di RSUD Dr. Subandi Jember) PK : Pak Budi, apakah sampean masuk desa Pace, sudah lapor ke Pak Carik (Pak Sekretais Desa)? PD : Sudah! (Pak Carik sedang ikut Pelatihan di Malang) PK : Pak Danis, apakah sampean masuk desa Pace, sudah lapor ke Pak Kasun (Pak Kepala Dusun), kapan laporannya? (Bukan informasi via telephon di atas) PD : Sudah, tadi sebelum ke lokasi! (yang sedang bertanya ke Pak Danis adalah Pak Kasun) Mendengar Pak Budi berbohong pada Pak Kasun, salah seorang dari warga yang baru pulang bekerja dari kebun (Pak Dul Somad), memaksa masuk ke rumah Pak Kasun dan mengalungkan clurit ke leher salah seorang Tim Lemlit (Danis, ITTAS). Sementara, itu massa yang di luar rumah meraupi mobil Tim Lemlit dengan tletong sapeh (tahi sapi).”
Pasca ancaman dan pengusiran di atas, berbagai cara dilakukan oleh Tim Lemlit untuk dapat segera melaksanakan penelitian, seperti meminta pengawalan dari Polsek Sempolan Silo dan Polres Jember, serta meminta bantuan beberapa mahasiswa Universitas Jember. Pada kasus pertama, sekalipun dikawal oleh Polisi, Tim Lemlit harus terpaksa dipulangkan oleh Polres, karena suasana tidak kondusif, masyarakat Curahwungkal bergerombol keluar dipinggir jalan dengan maksud menutup jalan bagi Tim Lemlit menuju lokasi. Hal yang sama juga terjadi di desa Mulyorejo, Tim Lemlit dikepung oleh warga Mulyorejo ketika datang di Balai Desa Mulyorejo untuk tujuan mewawancarai warga. 277 Pada kasus kedua, akibat dari pengusiran dan penutupan jalan oleh warga masyarakat Curahwungkal Pace terhadap Tim Lemlit dan juga demonstrasi warga terhadap Tim Lemlit di Balai Desa Mulyorejo, maka Tim Lemlit, tidak dapat 277
Wawancara dengan MT dan FR (FORKOMPAC) Pace, SL dan JF (FKPMM) Mulyorejo, Januari 2010.
252
menjalankan aktivitas penelitian. Agar penelitian dapat berjalan, akhirnya Tim Lemlit menyebar kuisoner dengan memakai tenaga RT, salah satu anggota BPD (Badan Perwakilan Desa) Pace, Remaja Masjid (Remas) dan mahasiswa. Penyebaran kuisioner dilakukan sekitar tanggal 21 atau 22 Januari 2010. Pada kasus kedua pun akhirnya bocor ke tokoh Pemuda Pace, sehingga 35 (tiga puluh lima) bendel dari 50 (lima puluh) bendel kuisioner ditahan oleh Pak Kasun Curahwungkal. 278 Tersendatnya proses penelitian di atas, maka Kasat Intel Polres Jember (HW) datang ke PCNU Jember untuk menanyakan kenapa penelitian saja ditolak oleh masyarakat? Apakah karena orang di PCNU Jember tidak dimasukan dalam Tim Peneliti? Oleh PCNU Jember dijawab, kuisioner disebarkan ke masyarakat Pace dan Mulyorejo, yang bisa menjawab ya masyarakat Pace dan Mulyorejo, bukan PCNU Jember. PCNU Jember tidak butuh menjadi Tim Peneliti, bagi PCNU Jember, ekplorasi tambang sudah berlansung sejak tahun 1983-an sampai tahun 1995, PCNU Jember punya dokumennya, penelitian oleh tim PCNU sudah berlansung 10 (sepuluh) tahun yang lampau, lalu apanya yang mau diteliti? Penelitian Tim Lemlit Universitas Jember itu terlambat 10 (sepuluh) tahun mas. 279
Penelitian yang ditolak oleh masyarakat Pace dan Mulyorejo tersebut, hasilnya sudah diserahkan ke DPRD Jember pada bulan Pebruari 2010, tetapi belum diketahui bagaimana kesimpulan akhir dari penelitian kelayakan tambang yang dilakukan oleh Tim Lemlit Universitas Jember. Hasil akhir dari penelitian Tim Lemlit, menurut DjS (anggota Tim Lemlit) akan dijadikan sebagai alat justifikasi penolakan tambang, yang terlanjur dikeluarkan, agar Pemerintah Kabupaten Jember tidak disalahkan dan tidak dituntut oleh pihak investor.280 Namun, jika melihat arah perubahan RTRW tahun 2008 -2028 yang dipersoalkan oleh GNKL, statemen DjS sangat diragukan, justeru sebaliknya, hasil penelitian tambang akan dijadikan sebagai alat justifikasi eksploitasi tambang dalam perubahan RTRW kabupaten Jember, yang dibahas secara tertutup tahun 2010-2012 ini, sekalipun hal tersebut bertentangan dengan RTRW Nasional (PP No. 26/2008).
278 279 280
Ibid. 2010 Wawancara Kasat Intel Polres Jember (HW) dengan PCNU Jember, Januri 2010 Statement DjS
253
5.3.1.3 Gus Dur: Spirit akses pendudukan lahan “Kita terlalu terbiasa dan dipaksa memperhalus fakta sosial yang kita hadapi. Saya pun dihadapkan pada kenyataan ini. Terus terang, masyarakat yang bertani dan berladang dalam kawasan rehabilitasi, itu sebetulnya sudah masuk kategori pendudukan lahan (land occupation). Namun, karena kompleksitas masalah yang di hadapi ketika itu, maka UU dan aturan pelaksananya di lapangan dipaksa untuk tidak mendefinisikan demikian.” 281
Akses pendudukan lahan merupakan rangkain atau tahapan lanjutan dari akses SDH kayu jati dan rencekan (ranting), akses tonggak dan tunas jati (sunten) menuju pembukaan lahan pertanian dan perladangan. Akses lahan dipicu oleh situasi politik nasional dan lokal 282, faktor keterbatasan kepemilikan lahan (ratarata 0,19 Ha/KK) dan hak privasi PT. LDO Jember yang mengelola ribuan hektar dalam kawasan TNMB. Eksistensi PT. LDO Jember yang berlindung dibalik argumentasi sejarah kawasan, sudah menyebar menjadi virus kecemburuan sosial bagi beberapa kelompok warga masyarakat desa-desa penyangga. Masalah keterbatasan lahan di desa-desa penyangga TNMB, kaitannya dengan eksistensi PT. LDO Jember, perkembangan saat ini tidak lagi semata-mata berdimensi sejarah, hukum (hak kelola berdasarkan UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria) dan ketenaga-kerjaan (akses buruh kebun), tetapi telah berdimensi sosial budaya, ekonomi, ekologi, politik dan keamanan. Semangat akses memiliki lahan berbaur dengan beragam faktor sosial di atas serta diperkuat oleh gerakan advokasi beberapa LSM 283, bahwa menduduki lahan milik negara yang mempunyai latar sejarah dengan kehidupan warga masyarakat sekitarnya dalam jangka waktu tertentu (minimal 25 tahun) dapat mengantarkan mereka untuk memiliki hak kepemilikan atas lahan (sertifikasi) 284. Terlepas dari kemungkinan untuk dapat memiliki lahan dalam kawasan TNMB dan lahan Perhutani, setelah sekian tahun masa pendudukan lahan, seorang tokoh muda NU Dusun Mandilis Sanenrejo yang tidak memiliki lahan tetelan menyatakan bahwa tidak menduduki lahan dalam kawasan tersebut adalah sebuah 281 282
Wawancara dengan Ir. HS, Kepala Balai TNMB, Oktober 2007 Statement politik Gus Dur pada Konferensi Nasional SDA tanggal 23 Mei 2000 di Hotel Indonesia Jakarta
(point 5.1.2) 283
Di Jember dan Banyuwangi, menurut LSM SD Inpres Jember terdapat lebih dari 30 kasus konflik agraria, diluar konteks konflik lahan dalam kawasan TNMB, tetapi disalahtafsirkan oleh masyarakat yang lapar lahan, Wawancara Oktober 2008) 284 Wawancara dengan anggota OPR, Oktober 2007.
254
penyesalan 7 (tujuh turunan) 285. Perasaan penyesalan yang sama juga dimiliki oleh sejumlah tokoh pemuda di 7 (tujuh) desa penyangga atau desa hutan yang belum mendapatkan akses lahan dalam kedua kawasan tersebut. 286 Rasa penyesalan itu menjadi pertanda bahwa masa depan kawasan TNMB dan kawasan hutan lainnya di Jember dan Banyuwangi sedang menanti situasi politik kembali chaos seperti yang terjadi pada tahun 1998-2003, untuk dapat diduduki kembali dalam skala yang lebih luas. Proses akses pendudukan lahan di masing-masing desa penyangga relatif beragam Kawasan penyangga yang berbatasan dengan Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo, pada mulanya, masyarakat kedua desa tersebut, hanya sedikit yang memiliki keberanian untuk menduduki lahan. Kebanyakan yang menduduki lahan adalah orang luar desa yang berasal dari kecamatan Ambulu. Masyarakat kedua desa tersebut, memang memiliki demplot 7 Ha yang diperoleh secara legal melalaui fasilitasi Konsorsium LSM Latin dan IPB Bogor yang bekerja-sama dengan Balai TNMB untuk mengembalikan fungsi kawasan yang rusak parah akibat tindakan pelanggaran hutan era Orde Baru. Kerja-sama tersebut berakhir pada tahun 1999 dan dinilai relatif berhasil mengembalikan fungsi kawasan pada demplot dimaksud. Akses lahan untuk tanaman obat-obatan (jamu) yang difasilitasi oleh Konsorsium Latin dan IPB Bogor, dengan demikian tidak ada kaitannya dengan akses pendudkan lahan pasca tahap dua (akses tongak dan sunten) (Gambar 24). Gelombang akses pendudukan lahan yang terjadi secara merata di 6 (enam) desa penyangga, setelah akses tahap dua, semuanya terjadi karena spirit dari statemen politik --”perintah”-- Gus Dur, kemudian mereka melakukan konsolidasi nilai sesama warga desa dan antar warga antar desa atas dasar samasama tidak memiliki lahan pertanian. Spirit statemen politik Gus Dur juga tetap menjadi landasan akses lahan TNMB di desa Wonoasri, tetapi dari sisi proses, kasusnya berbeda dengan 6 (enam) lainnya.
285 Wawancara dengan Untung MF, tokoh NU muda Mandilis, Oktober 2007. Pada saat pendudukan lahan ia menahan warga Mandilis, agar tidak menduduki lahan karena kuatir akan menjadi masalah yang justeru merepotkan masyarakat dan memperparah kerusakan kawasan. Akibat dari seruanya, ia dan warganya setiap musim panen menjadi buruh di ladang tetelan para tetangga dusunnya yang menduduki lahan TNMB dan Perhutani. 286 Wawancara dengan anggota masyarakat non pendudukan lahan 7 (tujuh) desa penyangga, Oktober 2007.
255
Gambar 27 Akses dan hak pemanfaatan lahan ilegal oleh masyarakat. Akses pendudukan ilegal (Tabel 53), dengan sejumlah pertimbangan sosioekologi politik kemudian dilegalkan setelah melalui proses negosiasi yang rumit dan menghabiskan waktu yang berlangsung sejak tahun 2000 dan baru tercapai kesepakatan kerja-sama formal (MoU) pada bulan Agustus tahun 2003. Di Jember --desa Sanenrejo, Curahtakir, Andongrejo dan Curahnongko--, kesepakatan antar Balai TNMB dengan para aktor, difasilitasi dan didampingi oleh aparat desa, serta untuk sebagiannya didampingi LSM HAMIM dan KAIL (sebagai perpanjangan tangan Latin Bogor) melalui pembentukan organisasi petani rehabilitasi (OPR). Di desa Wonoasri, dialog legalisasi akses menuju rehabilitasi relatif berjalan lancar, tidak serumit desa lainnya yang disebut di atas. Proses dialog dan gerakan rehabilitasinya pun lebih berhasil dibandingkan dengan 6 (enam) desa lainya, karena proses akses lahannya berbeda).
256
Tabel 62 Proses akses lahan dalam kawasan TNMB
Desa
Wonoasri
Proses akses pendudukan lahan dalam kawasan TNMB Fasilitasi Pem. Fasilitasi Individu dan Individu dan Desa dan tokoh Fasilitasi LSM → MoU kelompok Kelompok masyarakat → LSM → MoU → Tanpa MoU MoU -
Statement politik Gus Dur, kemudian mengajukan permintaan resmi ke desa dan TNMB, Falitator: Bp. Misdi, (Alm), eks Ketua DPC PDIP Jember) → MoU; PPM : Hamim *) peran signifikan: kelembahaan
-
Curahnongko
Andongrejo
Latin Bogor Luas terbatas demplot 7 Ha, gabung dengan desa Andongrejo; tidak terkait dengan kasus pendudukan lahan 1999-2000 PPM, kelembagaan dan ekologi: Hasil signifikan Latin Bogor. s.d.a
Hamim *): signifikan, menghilang
-
-
Sanenrejo
Curahtakir Mulyorejo
-
-
-
-
Okupasi lahan hutan lindung Babansilosanen
Sarongan
Kandangan
-
-
-
-
√ ”Perintah Gus Dur’
√ ”Perintah Gus Dur” √ Eks pemain kayu : 50 % ”Perintah Gus Dur” √ Eks pemain kayu : 50 % ”Perintah Gus Dur” √ ”Perintah Gus Dur” Lahan mBabatan Eks Jati dan Bukan Jati : ≥ 200 Ha
√ Ikut Desa Sarongan
√ (Prosentase kecil)
√ (Prosentase kecil) √ 50 %
√ 50 %
√ Lahan mBabatan Rajekwesi: Illegal; Kampung Rajegwesi Atas → Faktor Dr. Abd.Kadir, M.Si (mantan kades Sarongan dan Wakil Bupati Banyuwangi)
Sumber: Wawancara (2007)
Dialog legalisasi dan distribusi akses lahan di desa Sarongan dan Kandangan Banyuwangi juga difasilitasi oleh aparat
desa, tanpa ada
pendampingan dari LSM. Sementara di kampung Rajegwesi Sarongan, akses
257
pendudukan lahan untuk bertani dan berladang, hingga saat ini masih dianggap sebagai akses illegal dan tanpa MoU. Akses lahan permukiman Rajekwesi dalam kawasan TNMB, pasca bencana alam tsunami dilegalisasi karena permintaan resmi tokoh masyarakat setempat, yakni AK (mantan Kades Sarongan dan Wakil Bupati Banyuwangi) kepada Presiden RI melalui Menteri Kehutanan. 287 Dari 4.000 Ha lahan yang rusak, luas lahan yang diduduki oleh masyarakat yang berhasil diinventarisir oleh Balai TNMB pada tahun 2003 sebanyak 1.500 Ha, yang diduduki oleh 3.535 KK (Tabel 54). Tabel 63 Luas lahan pendudukan dan jenis tanaman pokok yang dibagikan dan ditanam tahun 2002 dan 2003 Desa Wonoasri Andongrejo dan Curahnongko Sanenrejo dan Curahtakir Mulyorejo Sarongan Kandangan
Jumlah
Luas lahan (Ha) 2002 2003 405 280 390 540
Jumlah Kelompok 2002 2003 27 27 26 35
Jumlah KK 2002 810 780
2003 690 1.207
420
680
28
36
840
1.638
-
-
-
-
-
-
1215
1.500
81
98
2.430
3.535
Jenis Tanaman Aren, Asam, Bambu, Bendo, Bungur, Durian,Gaharu, Jati Belanda, Johar, Joho Lawe, Mojo Joho Keling, Juwet/ Jamblang, Kayu Angin, Kayu Rapet, Kayu Sencang, Kayu Ules, Kedawung, Kemiri, Kemuning, Kenanga, Kendal, Kenari, Ketapang, Kepuh, Kluwak, Kol Banda, Mengkudu, Merak, Mimba, Mlinjo, Pete, Pinang Jembe, Pulai, Rejoso, Rotan, Saga, Sukun
Sumber: BTNMB (2002 dan 2003)
5.3.2 Dinamika dan Ragam Hak Masyarakat Desa-desa Penyangga 5.3.2.1 Hak-hak masyarakat desa penyangga berdasarkan pendekatan hukum Hak-hak masyarakat dalam memungut hasil hutan (sumberdaya hutan) dalam kawasan hutan, termasuk kawasan TNMB, secara de facto telah berlangsung puluhan tahun yang lampau, sebelum Meru Betiri ditetapkan sebagai taman nasional. Hak tersebut diakui sah (legal) oleh Negara, berdasarkan UUD 287
Wawancara dengan AK (via telephon) dan tokoh Sarongan dan Rajekwesi, Oktober 2007
258
1945 hasil amandemen keempat Pasal 33 ayat (3), dan UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria Pasal 16 ayat (1) huruf g, serta UU No. 41/1999 Pasal 68. Mafia tambang yang berkerja-sama dengan aparat negara Pemerintah dan Perguruan Tinggga, seperti dibahas sebelumnya (poin akses) memainkan peranan penting dalam gerakan deforestrasi pada kawasan lindung Babansilosanen dan kawasan penyangga TNMB. Gerakan deforestrasi tersebut direspon secara “cerdas” oleh masyarakat desa-desa penyangga, untuk mengakses lahan. Selama puluhan tahun, setiap harinya, masyarakat desa-desa penyangga hanya mampu menonton lalu lalang truk-truk PT.LDO Jember mengangkut hasil kebunnya dalam kawasan TNMB, yang bersumber dari hak istimewa (HGU) yang diberikan negara. Dinamika politik nasional yang chaos berbaur dengan solidaritas mekanis yang dikonstruksi atas kesamaan nilai --kemiskinan, perlakuan yang tidak adil dan lapar lahan-- menambah bentuk pola hubungan hak masyarakat desa-desa penyangga dengan TNMB menjadi lebih dari sekedar memungut hasil hutan secara tradisional untuk sekedar memenuhi kebutuhan subsisten, seperti pada Gambar 25. Bentuk-bentuk pola hubungan hak “tambahan” yang didapat oleh kelompok masyarakat tersebut, adalah hak-hak sebagai warga negara atas tanah berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf d, f, dan h seperti : hak pakai, hak membuka tanah, dan hak-hak lain --yang sifatnya sementara; hak menumpang untuk bertani dan berladang dalam kawasan rehabilitasi TNMB -- yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan UU serta hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam Pasal 53. Hak-hak atas lahan/tanah -membuka dan menananm-- dalam kawasan TBNMB
secara de facto baru
berlangsung sejak tahun 1999/2000 (sepuluh tahunan). Supaya tidak kehilangan muka, pada Agustus 2003, negara membuat kesepakatan kerja-sama (MoU Social Forestry) rehabilitasi kawasan berbasis kemitraan dengan masyarakat; Hak-hak berdasarkan Pasal 68 adalah hak menikmati kualitas lingkungan hasil hutan, hak memanfaatkan hutan dan hasil hutan, pemanfaatan
hutan, dan mengetahui
informasi hutan dalam lingkup yang sangat terbatas (Tabel 55).
259
SISTEMIK: Setting Negara + Mafia Tambang
Kegiatan Areal Magnetic Survey (AMS) Ahli Geologi Lebong Tandai Group : 1980-1988
Tebang habis hutan jati dan hutan rimba TNMB dan lindung : 1995 2000
1. 2. 3.
Kebijakan lemah dan tidak adil Kontrol negara lemah Institusi lemah
Hak Memungut Hasil
TNMB PT. Hakman : Tahun 1995 Survey dan Eksplorasi Tambang → Perusahaan Public Australia; Golden Valley Mines N.L: 80.000 ton Emas
Instabilitas politik nasional
Deforestrasi oleh MDH: 1. 1995-1999 → kayu 2. 1999-2000 → sunten 3. Mei 2000 → Perintah Gus Dur: okupasi ”LAPAR” lahan
• Hak Memungut Hasil • Hak membuka tanah • Hak Pakai/numpang tani
Intervensi: • Tokoh Masyarakat • LSM
Legalisasi Okupasi
MoU SOCIAL FORESTRY
• Penaklukan Negara oleh okupator • Domestikasi okupator oleh Negara
HAK PARTISIPASI “SEMU” Gambar 28
Pertarungan memperoleh hak dalam kawasan TNMB tahun 1999-2010
Hak-hak masyarakat yang sudah berjalan merupakan turunan dari UUD’45 Pasal 33. Hak tersebut adalah hak konkrit untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan taman nasional non kepariwisataan. Bentuk dan jenis hak untuk berpartisipasi tersebut, sekalipun konkrit, tetapi seluruh proses diatur dan diarahkan secara sangat dominan oleh pemerintah. Hampir tidak ada ruang bagi masyarakat untuk berinisiatif dan mengekspresikan hak-hak apa saja yang dibutuhkannya dalam pengelolaan TNMB. Dominasi ini menutup peluang Balai TNMB untuk melakukan negosiasi hak yang lebih terbuka dengan masyarakat, berdasarkan UU.
260
Tabel 64 Hak-hak konkrit kelompok masyarakat desa-desa penyangga atas sumberdaya hutan dan lahan/tanah TNMB yang sudah berjalan
Hak memperoleh kompensasi (langsaung)
√ √ √ √ √ √ √ √ Terbatas √ √ √ √ √ √ √ √ Terbatas √ √ √ √ √ √ √ √ Terbatas √ √ √ √ √ √ √ √ Terbatas √ √ √ √ √ √ √ √ Terbatas √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Terbatas √ √ √ √ √ √ √ √ Terbatas Sumber: Data primer, wawancara kelompok OPR/KetanMerah (2007 dan 2008)
Wonoasri Curahnongko Andongrejo Sanenrejo Curahtakir Mulyorejo Sarongan Kandangan
Pengawasan
Informasi , saran dan pertimbangan
Informasi kehutanan
Pemanfaatan hutan
Megetahui Rencana peruntukan hutan
Memanfaatkan hutan dan hasil hutan
Hak berdasarkan UU No. 41/1999 Pasal 68 Hak menikmati kualitas LH hasil hutan
Hak memungut hasil hutan
Hak lain-lain; hak numpang bertani dan berladang: 1999/2000 –sekarang
Desa
Hak membuka tanah: 1999/2000 -sekarang
Hak pakai: 1999/2000 sekarang
Hak berdasarkan UU No. 5/1960 Pasal 16
-
-
MoU Social Forestry, yang melahirkan hak konkrit berpartisipasi dalam kasus TNMB merupakan bentuk lain dari “legalisasi okupasi lahan” yang bersumber dari kekuatan masyarakat desa-desa penyangga menaklukan negara, pada situasi kebijakan negara lemah dan tidak adil, kontrol negara lemah dan juga institusi lemah. Hak berpartisipasi berhasil dicapai dan secara nyata dikonstruksi oleh adanya gerakan sosial lapar lahan. Artinya, jika tidak ada realitas pendudukan (lapar lahan) oleh kelompok masyarakat, maka kesepakatan hak berpartisipasi tersebut, dapat dipastikan tidak akan pernah ada. Perlakuan ini sangat berbeda dengan perlakuan terhadap PT.LDO Jember. Dengan kemampuan argumentasi historis, loby politik dan modal pinjaman dari negara, PT. LDO Jember berhasil memaksa pemerintah untuk mensiasati UU agar sah atau ada pembenaran hukum atas pemberian hak pemanfaatan untuk kegiatan non kepariwisataan dan rekreasi atas zona pemanfaatan TN, di luar UU No. 5/1990 Pasal 34 ayat (3). Ketika situasi politik nasional dan lokal mulai kondusif, negara membuat terobosan hukum untuk kembali menaklukan kelompok masyarakat desa-desa penyangga. Dalam proses saling menaklukan tersebut, kedua belah pihak saling
261
“mendelegetimasi hak” atau setidaknya menekan hak pihak lain, utamanya hak PT. LDO Jember, yang bermuara pada terjadinya ketidak-pastian (tenurial insecurity) bagi masyarakat desa-desa penyangga dan Balai TNMB serta masa depan kawasan TNMB. Kesepakatan Kegiatan Rehabilitasi pada Zona Rehabilitas TNMB No: 947/Sek. 01/VI-TNMB/2003, secara rinci memuat sejumlah ketentuan, antara lain tentang hak (Pasal 1 ayat (2) 288, hak dan kewajiban bagi kedua-belah pihak (Pasal 2) (lihat Tabel 56), larangan (Pasal 4) 289, jangka waktu dan berakhirnya kesepakatan (pasal 5). Seluruh rumusan atau proses formulasi kesepakatan kerjasama dirancang secara penuh oleh Balai TNMB, sehingga kerja-sama kemitraan belum dapat disebut kemitraan, karena seluruh proses didominasi oleh TNMB. Mayoritas kelompok masyarakat desa penyangga yang diajak bermitra, tidak paham apa yang menjadi hak dan kewajibannya 290. Proses tersebut sesungguhnya telah diingatkan oleh LSM HAMIM/KEHATI, agar Balai TNMB tidak melakukan kegiatan rehabilitasi sebelum penguatan kelembagaan masyarakatnya tuntas. Apa yang dikuatirkan oleh LSM HAMIM benar-benar terjadi dan berpengaruh nyata terhadap keberhasilan program rehabilitasi 291. Kelompok masyarakat KetanMerah/OPR memang sangat puas dengan kesepakatan legalisasi distribusi lahan untuk bertani dan berladang dalam zona rehabilitasi TNMB. Namun, karena kesepakatan kerja-sama dikonstruksi dalam kondisi keterbatasan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap masalah konservasi dan sejumlah peraturan terkait, serta keterbatasan kekuatan loby dan jaringan politik yang mereka miliki, 292 maka hal tersebut tidak diikuti dengan upaya rehabilitasi kawasan yang optimal. Pada sisi lain, legalisasi kesepakatan, bagi Balai TNMB, setidaknya telah mengembalikan sebagian kecil dari wibawa dan kemampuan mereka mengkontrol kawasan TNMB. Namun, kondisi faktual 288
Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa hak dalam konteks rehabilitasi adalah suatu keadaan yang dapat diperoleh para pihak dalam kegiatan rehabilitasi. 289 Pasal 4, tentang larangan; (1) Melakukan kegiatan yang tidak diatur dalam kesepakatan kegiatan rehabilitasi ini dan kegiatan lain yang dapat menyebabkan kerusakan kawasan, (2) Mengalihkan kesepakatan kegiatan rehabilitasi lepada pihak ketiga, (3) Memperjual-belikan lahan kegiatan rehabilitasi kepada pihak ketiga, (4) Menambah luasan lahan kegiatan rehabilitasi, (5) Membuat gubuk/pondok permanen melebihi ukuran 2 m X 2 m, di luar ketentuan teknis yang dikeluarkan oleh pihak pertama , (6) Menanam tanaman perkebunan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan teknis oleh pihak ketiga, (7) Menanam tanaman semusim yang mengganggu tanaman pokok, dan (8) Merubah fungsi kawasan menjadi areal persawahan 290 Wawancara dengan aparat desa di 7 (tujuh) desa penyangga dan anggota kelompok KetanMerah/OPR, Juli 2008 291 Wawancara dengan LSM HAMIM, 292 Wawancara dengan petani KetanMerah/OPR, Oktober 2007 dan Mei 2008
262
saat ini, hampir tidak mungkin dan sangat berat bagi Balai TNMB untuk mengeluarkan (mengusir) masyarakat untuk bertani dan berladang dalam kawasan TNMB, sekalipun memenuhi salah satu dan atau semua klausul kesepakatan (MoU), Pasal 5 tentang jangka waktu dan berakhirnya MoU, menegaskan bahwa ; 1. Kesepakatan berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak ditandatanganinya kesepakatan ini; 2. Apabila sewaktu-waktu negara/pemerintah memerlukan lahan kegiatan rehabilitasi, maka Kesepakatan ini batal dengan sendirinya, dan Pihak Kedua wajib meninggalkan dan menyerahkan kegiatan rehabilitasi secara sukarela tanpa menuntut ganti rugi kepada Pihak Pertama. 3. Kesepakatan berakhir apabila Pihak Kedua secara individu tidak mampu lagi melaksanakan kegiatan rehabilitasi; 4. Kesepakatan ini berkahir apabila Pihak Kedua meninggal dunia
Tabel 65 Kesepakatan kegiatan rehabilitasi pada zona rehabilitas TNMB berdasarkan SK No: 947/Sek.01/VI-TNMB/2003. No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Balai TNMB; Pasal 2 Kewajiban Hak Membina dan Menetapkan dan membimbing secara memberikan sanksi berkala yang kepada pihak kedua menyangkut kegiatan sesuai syarat-syarat teknis dan non teknis dalam kesepakatan lepada pihak kedua ini Melakukan Mengatur teknis monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan proses berjalannya rehabilitasi yang kegiatan rehabilitasi dikerjakan oleh pihak kedua Melakukan evaluasi terhadap proses berjalannya kegiatan rehabilitasi
Kelompok OPR/KetanMerah; Pasal 3 Kewajiban Hak Melaksanakan kegiatan Hasil panen tanaman rehabilitasi pada zona pertanian semusim rehabilitasi sesuai selama mengikuti petunjuk teknis pihak kegiatan rehabilitasi pertama Mentaati dan mematuhi petunjukpetunjuk teknis dan non teknis dari pihak pertama Menghadiri pertemuan-pertemuan dalam rangka pembinaan, pengarahan, pengawasan dan pengendalian yang dilaksanakan oleh pihak pertama
Menanam tanaman pokok sebagaimana ditetapkan secara teknis oleh pihak pertama Turut serta menjaga, mengamankan dan melindungi kawasan TNMB dari gangguan, kerusakan dan kebakaran Mengadakan bibit tanaman pokok secara swadaya
Pembinaan dan bimbingan teknis dan non teknis dari pihak pertama Membentuk kelompok petani rehabilitasi, yang bertujuan mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan rehabilitasi, termasuk sanksi intern dan kesepakatan tentang aturan main dalam kelompok tersebut Memungut atau memanen buah dari tanaman pokok
263
Mengacu kepada Tabel 57, sejumlah hak dan kewajiban kedua belah pihak belum berhasil dilaksanakan secara optimal. Serangkaian kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) telah dilakukan, tetapi belum ada sikap resmi yang tegas tentang pencapaian keberhasilan rehabilitasi, sebagai syarat keberlanjutan kesepakatan rehabilitasi. Dalam situasi demikian, maka legalisasi akses menanam tanaman musiman dan tanaman keras dalam zona rehabilitasi, kini dan pada tahun-tahun mendatang, merupakan preseden buruk bagi perluasan dan perpanjangan masa pendudukan lahan. Artinya, bagi masyarakat yang sudah mendapatkan hak pakai lahan, tidak akan mengembalikannya kepada TNMB, sekalipun tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi akan melimpahkan kepada pihak lain (anak keturunannya atau akan dijual kepihak lain, jika ada desakan kebutuhan ekonomi dan non ekonomi). Bagi kelompok masyarakat yang belum mendapatkan hak pakai atas lahan, sekalipun tidak dalam kondisi politik chaos, akan berargumentasi dan bertindak yang sama dengan dan atau bahkan lebih maju, supaya mendapatkan hak pakai lahan dalam kawasan TNMB. Tabel 66 Hak-Hak masyarakat dalam pengelolaan TNMB
Desa Wonoasri Curahnongko Andongrejo Sanenrejo Curahtakir Mulyorejo Sarongan Kandangan
Hak Akses (rights of access) √ √ √ √ √ √R √ √
Hak-Hak Masyarakat dalam Pengelolaan TN Meru Betiri Hak Hak Pengelolaan Pembatasan (rights of (rights of management) exclusion) √R √ √R √ √R √ √R √ √R √ √R √R √ √R √
Hak Pemanfaatan (right of withdrawal)
Hak Pelepasan (rights of alienation). √R. Internal warga √R. Internal warga √R. Internal warga √R. Internal warga √R. Internal warga √R. Internal warga √R. Internal warga
Sumber: Data Primer (2007)
5.3.2.2 Hak-hak masyarakat desa penyangga berdasarkan pendekatan teoritik Schlager dan Ostrom (1992) mengklasifikasi hak-hak masyarakat atas SDA-L menjadi 5 (lima) kategori, yakni; (1) hak atas akses (rights of access), (2) hak pemanfaatan (right of withdrawal), (3) hak pengelolaan (rights of management), (4) hak pembatasan (rights of exclusion), dan (5) hak pelepasan (rights of alienation). Implementasi penggunaan hak oleh kelompok masyarakat desa-desa penyangga dan para pihak lainnya dalam pengelolaan TNMB, seperti dalam Tabel 57. Penggunaan hak akses terhada SDH TNMB ditelah dilakukan
264
dan dinikmati oleh mayoritas warga desa-desa penyangga sejak sebelum penetapan kawasan Meru Betiri sebagai taman nasional. Hak pemanfaatan (lahan untuk bertani dan berladang) baru dilakukan oleh kelompok masyarakat di 7 (tujuh) desa-desa penyangga, kecuali desa Mulyorejo Silo, sejak tahun 2000. Selama tiga tahun pertama hak pemanfaatannya belum masuk dalam kategori hak berpartisipasi, karena belum terbangun kerja-sama daan konsolidasi antara Balai TNMB dengan kelompok masyarakat desa-desa penyangga. Hak pengelolaan menurut Schlager dan Ostrom (1992) secara ideal menghendaki partisipasi masyarakat dalam menemukan sekaligus menentukan pola-pola, strategi dan arah kebijakan pengelolaan TNMB. Hak pengelolaan ini, dalam kemitraan rehabilitasi TNMB belum terwujud dan belum dijalankan, karena masyarakat dianggap serba kurang --(Naival Consciousness)-- dalam banyak hal yang berkaitan dengan konservasi dan rehabilitasi. Dominasi proses yang massif dari Balai TNMB menyebakan hak dan ruang berpartisipasi berlangsung dalam dominasi kemitraan. Dominasi tersebut menunjukkan bahwa distribusi kekuasaan dan tanggung-jawab pengelolaan tidak berjalan, dan ini menjadi salah satu faktor penting kekurang-berhasilan gerakan rehabilitasi TNBM. World Commision on Environmnetal and Development (Komisi Dunia tentang lingkungan dan pembangunan (1987) menegaskan bahwa; ”Disitribusi kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat terletak pada inti dari banyak tantangan lingkungan dan pembangunan. Dari sinilah penedekatan baru harus disertakan, yakni partisipasi lokal dalam pengambilan keputusan”.
Berkaitan dengan implementasi hak pengelolaan ini, McMullin dan Nieslen (1991) menyatakan; ”Pengelola lingkungan biasanya dapat merumuskan persoalan biologis dan teknis secara efektif. Mereka biasanya tidak terlalu berhasil dalam menghadapi aspekaspek sosial dan politik dalam pengelolaan lingkungan. Kegagalan ini mungkin disebabkan latar belakang pribadi pengelola dan budaya lembaga-lembaga pengelola lingkungan. Kebanyakan profesional yang bergereak di bidang lingkungan memilih mendalami bidang ini karena kecintaan mereka akan lingkungan dan dan keinginan untuk mendalaminya secara ilmiah. Seringkali perhatian mereka pada persoalan sosial politik sangat sedikit. Banyak pengelola lingkungan masih berpijak pada konsep pengelolaan profesional, yang mempunyai keyakinan bahwa mereka harus membuat keputusan dan publik harus mempercayai pertimbangan-pertimbangan mereka”.
Keterbatasan internal warga masyarakat dalam banyak aspek sosial, ekonomi dan penguasaan sumberdaya, menyebabkan warga masyarakat desa-desa
265
penyangga tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk ikut menentukan dan membatasi individu-individu atau kelompok masyarakat --di luar 7-12 desa penyangga-- yang berhak ikut atau tidak boleh ikut dalam pengambilan SDH dan pengelolaan lahan dalam zona rehabilitasi TNMB. Apalagi ikut menentukan dan membatasi hak para pihak yang memiliki kekuatan kapital semacam PT.LDO Jember. Akibat dari keterbatasan itu, kepada sesama warga masyarakat yang tidak memiliki lahan, sekalipun di luar atau relatif jauh dari desa penyangga TNMB, mereka tidak mempermasalahkan atau cenderung membiarkan. Apa yang mereka lakukan adalah bagian dari bentuk adaptasi dan meniru pola-pola penguasaan sumberdaya yang dilakukan oleh PT. LDO Jember dan para pekerjanya, daripada harus melawan atau menolak dengan kekuatan yang terbatas. 293 Kebehasilan kelompok masyarakat desa-desa penyangga menduduki lahan zona rehabilitasi dalam keterbatasan di atas, dalam situasi sosial ekonomi yang terjepit membawa mereka secara internal ”memiliki hak pelepasan” (rights of alienation), yakni hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya, kepada pihak lain (keluarga dekat, teman, tetangga dekat sedesa atau di luar desanya). Jumlah warga yang telah melakukan hak pelepasan ini, secara kuantitatif memang relaitif kecil, tetapi kejadian ini terjadi di semua desa-desa penyangga di Jember dan Banyuwangi dengan argumentasi yang sama; biaya berobat anak sakit, biaya sekolah anaknya dan beberapa argumentasi keterbatasan ekonomi (kemiskinan) 294.
Sekalipun aparat Balai TNMB mengetahui adanya
transaksi jual beli lahan, Balai TNMB belum mampu melakukan kontrol dan tindakan penegakan hukum (kesepakatan). Okupator baru yang memperoleh lahan melalui ”jual beli” tidak mengalami proses sosialisasi dan pendampingan rehabilitasi, sehingga transformasi nilai dan tujuan rehabilitasi terputus. Kejadian ini ke depan akan memperumit Balai TNMB melakukan pengendalian terhadap individu-individu
atau
kelompok
masyarakat
yang
diberi peluang
hak
berpartisipasi menggarap lahan (Gambar`26).
293 294
Wawancara anggota dengan KetanMerah/OPR 7 (tujuh) desa penyangga, Oktober 2007 dan September 2008 Ibid.
266
Gambar 29 Okupasi lahan oleh masyarakat di desa dan di desa Andongrejo Proses legalisasi hak partisipasi masyarakat desa-desa penyangga dalam pengelolaan TNMB melewati 3 (tiga) tahapan, seperti pada Tabel 58. 1. Legalisasi tahap ini difasilitasi Konsorsium IPB dan LSM-L Latin Bogor. Hak partisipasi ini diberikan dalam bentuk MoU Pilot Project rehabilitasi berbasis tanaman TOGA tahun 1993-1995, untuk merehabilitasi 60% dari lahan dalam zona penyangga TNMB yang telah rusak sebelum terjadi chaos politik nasional. Jumlah kelompok masyarakat desa-desa penyangga yang terlibat; 2. Legalisasi
distribusi
lahan
kepada
individu-individu
atau
kelompok
masyarakat, melalui kesepakatan (MoU) kemitraan rehabilitasi. Kemitraan ini mensyaratkan ada dan terbentuknya kelompok tani (KetanMerah/OPR). Legalisasi ini terpaksa diberikan karena tidak lagi pintu dialog dengan masyarakat. Dialog menuju kesepakatan kemitraan rehabilitasi dengan kelompok masyarakat desa-desa penyangga, baru mencapai kata sepakat setelah menghabiskan waktu selama tiga tahun (Agustus 2003), dan telah berakhir pada Agustus 2008; 3. Legalisasi
distribusi
lahan
kepada
individu-individu
atau
kelompok
masyarakat, melalui kesepakatan (MoU) kemitraan rehabilitasi yang di
267
fasilitasi oleh tokoh masyarakat/tokoh Partai Politik PDI-P dan Pemerintah desa. Legalisasi distribusi ini hanya terjadi di desa Wonoasri. Tabel 67 Proses legalisasi hak berpartisipasi dalam kawasan rehabilitasi TNMB Proses legalisasi hak berpartisipasi dalam kawasan rehabilitasi TNMB Desa
Fasilitasi LSM → MoU Pilot Project, 1993-1995
Okupasi Individu & Kelompok → MoU
Okupasi Individu dan Kelompok → Tanpa MoU (Illegal)
Wonoasri
Fasilitasi Tokoh Masyarakat dan Pem Des → MoU Perintah Gus Dur, kemudian mengajukan permintaan Resmi ke desa dan pihak Balai TN MB, Fasilitator: Bp. Misdi, (Alm), mantan Ketua DPC PDIP Jember) → MoU Pendampingan oleh LSM Hamim, signifikan, diterima kemudian ditolak
Curahnongko
Latin Bogor Luas: 7 Ha, gabung dengan Desa Andongrejo (Bukan lahan penjarahan tahun 1999/2000
Andongrejo s.d.a
Sanenrejo
Curahtakir
Mulyorejo
Sarongan
-
Dilakukan oleh orang dari Ambulu, daripada nonton sekalian warga ikut menduduki lahan Dilakukan oleh orang dari Ambulu, daripada nonton sekalian warga ikut menduduki lahan 50 % dilakukan oleh okupator lapar lahan
Fasilitasi Desa Ada bantuan pendampingan dari Hamim,Kail dan Ciwali tetapi tidak signifikan
s.d.a
50 % dilakukan oleh preman hutan (mantan pemain kayu), masih sulit dikonsolidasi
s.d.a
50 % dilakukan oleh okupator lapar lahan Okupasi lahan hutan lindung dan hutan produksi Babansilosanen
50 % dilakukan oleh preman hutan
s.d.a
-
-
Lahan mBabatan Eks Jati & Bukan Jati : ≥ 200 Ha
Lahan mBabatan di Rajekwesi: Illegal
Fasilitasi Desa tanpa bantuan pendampingan LSM Kampung Rajegwesi Atas (hasil relokasi pasca tsunami, 1994) → Faktor loby Bpk. Dr. Abd.Kadir, M.Si (Mantan Kades Sarongan dan Wabup Kab. Banyuwangi)
Kandangan
Ikut Desa Sarongan
268
Kecuali itu, saat ini masih ada individu-individu dan kelompok masyarakat yang belum berhasil dikonsolidasi dan didata secara resmi oleh Balai TNMB atau illegal. Pada kasus yang terakhir ini, secara kuantitatif kecil, tetapi terjadi secara merata di semua desa penyangga. Masalah ini ke depan diperkirakan akan terus bertambah, tergantung pada laju perambahan yang masih terjadi di beberapa tempat. Boks 3: Membeli Lahan Demi Membantu Teman Ibnu Yakin (31 tahun), lahir dan dibesarkan di desa Andongrejo. Pada tahun 1995 – 2005 menjadi TKI illegal di Malasyia. Akhir tahun 2005 – 2007 kembali lagi ke Malaysia. Merasa tidak nyaman hidup sebagai TKI illegal, awal tahun 2007, Ibnu Yakin akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Sekembali dari Malaysia awal tahun 2007 ia langsung menikah dan kini memiliki seorang anak. Selama menjadi TKI illegal, ia mengaku kepalanya beberapa kali diinjak oleh Polisi Diraja Malaysia. Ia juga pernah ditahan, dan baru dibebaskan setelah membayar 150 Ringgit. Agar tidak ditangkap Polisi, setiap malam, sehabis bekerja sebagai buruh, ia bersama dengan teman-temannya tidur di hutan. Ketika ditanya, enak mana menjadi TKI illegal di Malaysia dengan tinggal di pelosok desa di Indonesia, dengan tangkas Ibnu Yakin menjawab: enakan menggarap lahan tetelan TNMB. Seperti kebanyakan warga desa Andongrejo lainnya, Ibnu Yakin juga tidak memiliki lahan tegalan atau sawah, karena itu, sisa gaji yang ia dapatkan sebagai TKI illegal di Malaysia, ia belikan lahan tetelan dalam kawasan TNMB seluas 0,25 Ha dengan harga Rp.300.000,- dari tetangganya yang butuh uang, karena anaknya sakit. Kondisi lahannya tidak sangat subur mas, pada musim tanam akhir tahun 2007 – sampai pertengahan 2008, sejak pertama kali ia ”memiliki hak pemanfaatan” ia memperoleh hasil dari menanam kacang sebesar 1,25 kuintal, dijual dengan harga: Rp. 400.000,-. Sekarang lahan tetelannya kosong, dan rencananya pada musim hujan yang akan datang (akhir tahun 2008) akan ditanami padi. Selain ditanami tanaman musiman, pada lahan tetelannya juga telah ditanami banyak tanaman tahunan yang dianjurkan oleh pihak TNMB, seperti asam, kedawung, nangka, pete, dan sebagainya, namun ia tidak hafal berapa jumlah pasti dari tanaman tahunan tersebut. Yang menanam bukan saya pak, tetapi orang yang menjual ke saya. Ketika Ibnu Yakin berangkat ke Malaysia pada tahun 1995, kondisi TNMB masih hijo royo-royo, ia sama sekali tidak menyangka jika kondisi TNMB menjadi rusak parah. Dengan logat Malaysia yang masih lekat, secara pribadi ia sangat prihatin, sedih bercampur senang dengan kondisi TNMB saat ini. Prihatin dan sedih jika pada musim kemarau kawasan penyangga TNMB menjadi seperti gurun di Afrika, panas dan kering, dan air sulit didapat. Namun, ia juga senang mendapatkan tetelan lahan untuk berladang, karena kenyataannya warga desa Andongrejo dan sekitarnya memang tidak memiliki lahan tegalan atau sawah, sehingga terpaksa harus menduduki lahan dalam kawasan TNMB. Ia sadar bahwa lahan yang ia beli Rp.300.000,. dari tetangga sedesanya, tidak memiliki kekuatan hukum, karena lahan tersebut milik negara (TNMB). Ia juga sadar bahwa pihak TNMB sewaktu-waktu dapat saja mengusir keluar mereka dari kawasan TNMB, tetapi hal itu menurutnya bukan jalan keluar yang tepat, bahkan akan memperparah kerusakan TNMB, karena yang menggarap lahan tetelan jumlahnya ribuan orang. Jika kawasan penyangga ditutup oleh pihak Balai TNMB, ia yakin warga yang masuk hutan akan lebih banyak dari saat ini. Pada saat hendak diwawancarai, Ibnu Yakin sedang mencari pakan ternak sapi Nggaduh (sistem bagi hasil) milik orang Surabaya. Dari kerja Nggaduh ini ia sudah mendapatkan 1 (satu) ekor anak sapi sebagai celengan (tabungan). Selain memelihara sapi Nggaduh, untuk bertahan hidup dengan seorang isteri dan seorang anaknya, pada musim buah pisang, Ibnu Yakin juga bekerja kulakan gedhang (jual beli pisang) dari para petani ke tenggkulak untuk dibawa ke Bali dan daerah-daerah lainnya di Jawa. Tiap harinya, ia mampu mengumpulkan 10 – 15 tandon pisang, 1 tandon dijual dengan harga antara Rp. 6.000 - Rp. 7.000, yang bagus dan besar laku dijual antara Rp. 8.000 - Rp.9.000. Pada musim buah pisang, ia mampu meraup keuntungan sampai Rp. 40.000 per hari, tetapi keuntungan tersebut baru ia terima dari tengkulak setelah 4 hari. Keuntungan yang diperoleh dari hasil berladang dan kerja sambilan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan tidak pernah ada sisa untuk ditabung. Ia juga tidak dapat memastikan berapa penghasilannya per bulan atau per tahun, karena semuanya serba tidak pasti dan tergantung keadaan (musim). Ketika ditanya tentang keberadaan sejumlah LSM yang mendamping masyarakat desa penyangga TNMB, seperti: LATIN, HAMIM, KAIL, dan CIWALI, ia mengaku hanya pernah mendengar nama LSM KAIL, tetapi tidak pernah berhubungan dengan dan tidak tahu apa yang dikerjakan oleh LSM tersebut, tetapi bapak mertuanya pernah bekerja-sama dengan LSM KAIL beberapa kali, sekarang tidak pernah berhubungan lagi dengan LSM tersebut.
Sumber: Wawancara Snowball (September 2008)
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola hubungan (relasi sosial) antara Balai TNMB dengan para pihak, terutama dengan masyarakat desa penyangga adalah hasil dari konstruksi kebijakan politik dan tekanan dari pemerintah atas pentingnya kawasan konservasi. Cara berpikir demikian telah menempatkan masyarakat desa-desa penyangga sebagai kelompok masyarakat yang lemah dalam konservasi dan seolah tidak membutuhkan konservasi alam. Pemerintah, dengan otoritas yang dimilikinya, tanpa ada dialog dan proses sosial lainnya dengan masyarakat langsung menetapkan zonasi kawasan. Dengan otoritas menetapkan zonasi, pemerintah menyudutkan kelompok masyarakat enklaf dengan stigma sosial sebagai permukiman ilegal dan membatasi ruang gerak masyarakat desa-desa penyangga non enklaf dalam mengakses sumberdaya alam. Muara dari proses zonasi kawasan yang di dalamnya sudah terbentuk wilayah hidup masyarakat, membentuk
pola hubungan yang berdimensi konflik jangka panjang,
berkelanjutan dan berspektrum luas. Konflik
akses tersebut sudah bersifat manifest, sebagai dampak dari
penyebaran peta kekuatan/kekuasaan pasca otonomi daerah –era orde baru kekuasaan terpusat-- dari para pihak dalam berhubungan dengan, mengambil manfaat atau menjaga eksistensi sumberdaya alam dalam kawasan TNMB. Konflik akses menimbulkan beban dampak yang berbeda terhadap masingmasing para pihak, yang disebabkan oleh sumber-sumber politik yang menimbulkan kesenjangan kekuasaan, keterbatasan kepemilikan tanah, dan kesenjangan pendapatan di antara kelompok masyarakat desa-desa penyangga dengan kelompok PT. LDO Jember yang dinilai meperoleh akses dan hak istimewa dari pemerintah dan juga pihak pengelola TNMB. Relasi sosial yang tidak seimbang dan memicu kecemburuan sosial bermuara pada penjarahan dan okupasi lahan. Demikian juga, perbedaan ketentuan dan perlakuan dalam hal menanam tanaman rehabilitasi antara kelompok masyarakat desa
270
penyangga dengan PT. LDO Jember yang mendapatkan izin HGU bermuara pada penggagalan program rehabilitasi kawasan melalui konsolidasi nilai, sekalipun
diintervensi
Balai
TNMB
dan
memakai
simbol
berbasis
pemberdayaan masyarakat.
2. Kondisi faktual, ramifikasi, konsekuensi dan kelembagaan konservasi; a. Secara faktual, kebijakan legalisasi okupasi atau distribusi lahan dalam kawasan TNMB menimbulkan ramisikasi, yakni memberi implikasi positif pada aspek sosial ekonomi rumahtangga (subsisten) okupator, tetapi negatif terhadap aspek sosial budaya (nilai-nilai kearifan lokal), kelembagaan konservasi masyarakat fungsinya bergeser menjadi instrumen perlawanan rehabilitasi, bermuara pada aspek ekologi (gagalnya program rehabilitasi) sebagai akibat dari perbedaan kepentingan dan perlakuan dalam rehabilitasi. b. Respon masyarakat terhadap program rehabilitasi relatif baik. Namun karena adanya perbedaan ketentuan dan perlakuan (poin 1) menimbulkan polarisasi antar aktor dalam mengakses dan menjaga eksistensi kawasan konservasi (TNMB). Polarisasi kepentingan itu terjadi antara kelompok konservasionis populis yang dimotori oleh kelompok LSM-L, Ormas dan Ormas mahasiswa dan Organisasi Pencinta Alam (OPA) berhadapan dengan kelompok pragmatisme (developmentalisme) PT. LDO Jember yang bersembunyi dibalik legalitas hukum HGU serta idealisme konservasi dari pihak Balai TNMB. Polarisasi di atas berdampak pada keamanan dan masa depan kawasan yang dapat dijadikan sebagai arena konflik kepentingan, pelampiasan rasa kecewa para pihak, atau menjadi kawasan solusi darurat atas kelangkaan kepemilikan lahan untuk perebutan kekuasaan politik lokal dan nasional (Pemilu), atau seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998. 3. Dinamika kepentingan akses, hak, dan kelembagaan masyarakat dan efektifitas pemanfaatan lahan dalam zona rehabilitasi, bagi kelompok dan pimpinan kelompok masyarakat, tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan lahan bertani dan berladang, tetapi juga untuk memperlihatkan kekuatan pengaruh mereka kepada masyarakat, aparat birokrasi lokal dan aparat keamanan.
271
Pengaruh dan jaringan sosial
aktor lokal desa-desa penyangga harus
mendapatkan perhatian yang cukup, jika ingin mencapai keberhasilan dalam menjalankan program rehabilitasi hutan.
6. 2 Saran Kebijakan 1. Kondisi faktual menunjukkan bahwa rehabilitasi zona tehabilitasi TNMB berbasis masyarakat gagal. Menghadapi kenyataan tersebut, maka pihak Balai TNMB perlu segera menyelesaikan masalah isu tenurial,
yang mengarah
kepada “ketidakpastian tenurial“ (tenurial insecurity) dan perluasan lahan okupasi oleh masyarakat; 2. Balai TNMB perlu segera melakukan dialog yang transparan dan renegosiasi dengan kelompok-kelompok masyarakat okupator dan tokoh masyarakat lokal dalam hal penentuan zona. Dialog ini menyangkut rezonasi zona-zona yang bersinggungan langsung dengan hajat hidup masyarakat desa penyangga, dan pilihan jenis tanaman rehabilitasi yang dibolehkan ditanam dalam lahan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menekan laju deforestrasi pada zona rehabilitasi dapat diminimalkan, yakni dengan memfungsikan kembali lembaga konservasi masyarakat yang ada dan diinisiasi oleh Balai TNMB; 3. Di kalangan masyarakat, dalam kondisi terdesak, berpotensi melahirkan kreatifitas berpikir Konsolidasi
dan
yang tidak selalu positif terhadap eksistensi kawasan. sosialisasi
rehabilitasi
zona
berbasis
pemberdayaan
masyarakat yang melibatkan beragam pihak dan keahlian perlu lebih diintensifkan lagi. Hal ini mengingat sikap dan perilaku masyarakat di sekitar kawasn bersifat dinamis, maka perlu dilakukan kajian mendalam tentang perubahan sikap dan perilaku masyarakat sekitar, terutama berkaitan dengan masalah lahan dan eksistensi kelompok masyarakat enklaf dan buruh kebun.
DAFTAR PUSTAKA Acharya K P. 2005. Private, Collective, and Centralized Institutional Arrangement for Managing Forest ”Commons” in Nepal. MountainReseacrh and Development 25 (3):269-277. Amarttya KS. 1981. Poverty and Famies: An Essay on Entitlement and Deprivation. London: Oxford Clarendom Press. [BTNMB ] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 1998.Akuntabilitas Balai Taman Nasional Meru Betiri Tahun 1997/1998. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Balai Taman Nasional Meru Betiri Jember. __________________. 1998. Konsep Rancangan Kegiatan Pembinaan Daerah Penyangga Delapan Desa Oktober 1998, Bagian Proyek Padat Karya Bidang Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Balai Taman Nasional Meru Betiri Jember. __________________. 2002. Social Forestry di TNMB: Model Kemitraan Rehabilitasi Kawasan. Balai Taman Nasional Meru Betiri Jember. __________________. 2003. Program Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri Tahun 2003, Departemen Kehutanan dan Perkebunan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Balai Taman Nasional Meru Betiri Jember. __________________. 2006. Laporan Hasil Indentifikasi dan Inventarisasi Sosekbud Masyarakat Lokal di Daerah Penyangga TNMB. Balai Taman Nasional Meru Betiri Jember. __________________. 2007. Program Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri Tahun 2007, Departemen Kehutanan dan Perkebunan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Balai Taman Nasional Meru Betiri Jember. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kapupaten Jember dan Lembaga Penelitian Universitas Jember (Lemalit). 1997/1998. Profil Kawasan Penyangga Taman Nasional Meru Betiri Kabupaten Jember, Buku II: Laporan Kemajuan, Jember Jawa Timur. Baldridge JV. 1998: Sociology:A Critical Approach to Power, Conflict and Change. New York: John Wiley and Son,Inc.
274
Bennet CPA. 2003. Tanggung Jawab, Tanggung Gugat (Akuntabilitas) dan Persatuan Nasional dalam Tata Pemerintahan Desa dalam Resosudarmo IAP & Coler CJP (editors). Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (YOI). Berry S. 1993. No Condition Is Permanent: The Social Dynamics of Agrarian Change in Sub Saharan Africa. Madison: University of Wisconsin Press. Brannen J. 1999. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda - Pustaka Pelajar. Bruce J. 1993. Review of Tenure Terminology, Tenure Brief . No.1. Land Tenure Center. Bryant A, Burgers RG. 1999. Qualitative Research. Vol. I. London: Sage Publicationas. Bryant LR, Bailey S. 2000. Third World Political Ecology. London & New York: Routledge. Bullen P, O J. 1998. Measuring Social Capital in Five Communites in NSW: Overview of a Study, Neighbourhood and Community Centers. Chambers R. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Chemma GS, Rondinelli DA. (editors). 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publications. Cohen BJ. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Dasgupta P, Serageldin I. 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington, DC: The World Bank. Colletta NJ, Cullen ML. 2000. Violent Conflict and The Transformation of Social Capital: Lessons from Cambodia, Rwanda, Guatemala and Somalia. Washington, DC: The World Bank. [DKPJT] Departemen Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur II. 1995. Buku II. Data, Proyeksi dan Analisis Taman Nasional Meru Betiri 1995 – 2020. Proyek Pengembangan Taman Nasional Meru Betiri Tahun Anggaran 1994/1995. _________________. 1998. Laporan Tahunan. Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi Jawa Timur Tahun 1997/1998.
Departemen
275
[Dephut Jatim] Departemen Kehutanan Jawa Timur. 1994/1995. Buku II, Data, Proyeksi dan Analisis Taman Nasional Meru Betiri 1995 – 2020, Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Jawa Timur, Balai Konservasi Sumberdaya Alam IV, Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur II, Proyek Pengembangan TNMB tahun Anggaran 1994/1995. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1997. Buku pintar Penyuluhan Kehutanan. Jakarta: Pusat Penyuluhan Kehutanan, Departemen Kehutanan. ____________________. 1998. Lokakarya Kepala Balai Taman Nasional dan Kepala Unit Taman Nasional se Indonesia. Diselenggarakan di Lido, Bogor, 21-25 Oktrober 1998. Departemen Kehutanan, USAID dan NRM. ____________________. 2000. Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Jakarta: Departemen Kehutanan. [Deplu] Departemen Luar Negeri RI. 2002. Deklarasi Johannesburg Mengenai Pembangunan Berkelanjutan dan Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan, Berikut Komitmen Sektoral Nasional. Terjemahan Tidak Resmi: Kerja-sama UNDP dan Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Jakarta: Departemen Luar Negeri. Dietz T. 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam, Kontur Geografi Lingkungan Politik. Yogyakarta: Insist Press. Dixon JA, Sherman PB. 1990. Economics of Protected Areas, A New Look at Benefits and Coast. Washingthon DC: Island Press. Djayadiningrat TS.2001. Pemikiran, Tantangan, dan Permasalahan Lingkungan Bandung: Institut Teknologi Bandung. Dobson A. 2004. Ekologisme. Di dalam Eatwell R, Wright A (editors). Ideologi Politik Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jendela. Dun WN. 1996. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:.Gadjah Mada University Press. Ellsworth N. 2004. A Place in The World Security and Community Livelihoods, A Literature Review. Washington DC: Ford Foundation. Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Escobar A. 1998. Whose knowledge, whose nature: biodiversity, conservation and the political ecology of social movement. J Ecology 5:53-82.
276
Faisal S. 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh (YA3). [FAO] Food and Agricultural Organization. 2002. Land Tenure and Rural Development. Roma: Food and Agriculture Organization. Forsyth T. 2003. Critical Political Ecology: The Politics of Environmental Science. London: The Routledge. Freire, Paulo. 1984. Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan. Jakarta: PT Gramedia. __________. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES. Friedmann J. 1992. Empowerment, The Politics of Cambridge: Blackwell Publisher.
Alternative Development.
Ghai. D. 1994. Environment Livelihood and Empowerment, Development and Change. Vol. 25 No 1, Januari 1994. Giddens A .1989. Sociology. Oxford: Policy Press. Giddens A .1999. Jalan Ketiga:Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gőnner C. 2001. Penelitian Hutan Tropika, Pengelolaan Sumberdaya di Sebuah Desa Dayak Benuak: Strategi, Dinamika dan Prospek, Sebuah Studi Kasus dari Kalimantan Timur Indonesia. Eschborn Germany: Deutsche Gesellschaft fűr Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Gorz A. 2002. Ekologi dan Krisis Kapitalisme. Yogyakarta: Insist Press. Gummesson E.199). Qualitative Methods in Management Reseach. Newbury Park: Sage Publications. Hannam, Peter. 1988. Pengembangan Bentuk Pembangunan Alternatif: Pengalaman LSM di Indonesia. Majalah prisma No. 4. Tahun XVII. Jakarta: LP3ES. Hardjosoemantri K. 1996. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hendricks W. 1992. Bagaimana Mengelola Konflik. Penterjemah: Santoso A dari Edisi Asli Berjudul: How to Manage Conflict. Jakarta: PT Bumi Aksara. Horton, PB, Hunt CL.1991. Sosiologi. Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga.
277
Homer-Dixo T F, JH Boutwell dan GW Rathjens. 1993. Environmental Change and Violent Conflict. Scientific American. Hunt RC.1998. Concepts of Property: Introduction of Tradition. Di dalam Hunt RC, Gilman A (editors). Property in Economic Context, Monographs in Economic Anthropology No. 14. Lanham: University Press of America. Kanto S. 2003. Sampling, Validitas dan Reliabilitas dalam Penelitian Kualitatif. Di dalam Mungin B (editors). Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodelogis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kartodihardjo H, Jamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia. Keating M. 1994. Bumi Lestari menuju Abad 21, Agenda 21 dan Hasil KTT Bumi. Jakarta: Konphalindo. Krishna. A. 1999. Creating and Harnessing Social Capital. Di dalam Dasgupta P, Serageldin (editors). Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank. Krisna A, Sharader E. 1999. Social Capital Assesment Tool. Makalah pada Conference on Social Capital and Poverty Reduction 22-24 Juni 1999. Washington DC: The World Bank. Kusumah, Muljana. W. 1982. Realitas Social Kejahatan. Prisma. No. 5. Mei 1982. Tahun XI. Jakarta: LP3ES. Kuswijayanti ER .2007. Konservasi Sumberdaya Alam di TN Gunung Merapi:Analisis Ekologi Politik [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lahandu J. 2007. Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lindayati R 2003. Gagasan dan Kelembagaan dalam Kebijakan Perhutanan Sosial. Di Dalam: Resosudarmo et`al.(editors) Ke mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Luintel H, Bhattarai B. 2006. Exploring Priority Problems of the Forest Dependent Poor in Nepal, J Forest and Livehood 5 (1): 1-13. Lukes S. 1986. Power. New York: University Press.
278
Lynch OI, Talbot K. 1995. Balancing Act. Community Based Forest Management and National Law in Asia and The Pacific. Washington: World Resources Institute. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Penterjemah: Amir HH dari Edisi Asli: Managing Protected Areas in the Tropics. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. McMullin SL, Nieslen LA. 1991. Resolution of Natural Resources Allocation Conflicts Trough Effective Public Involvement. Policy Studies J 19 (3-4): 553-559. MacPherson CB. 1978. Property: Mainstream and Critical Positions. Toronto: University of Toronto Press. Maemunah S et al. 2002. Menambang Petaka di Meru Betiri. Jakarta: Penerbit Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Maryunani. 1999. Model Pemberdayaan Penduduk Lokal dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan, Studi Kasus Kawasan Pesisir Barat Pulau Lombok Propinsi Dati I Nusa Tenggara Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Moleong LJ. 1990. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muhadjir N. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positifistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realisme Methaphisik. Yogyakarta: Rake Sarasin. Naisbitt J, Aburdene P. 1990. Mega Trends 2000. London: Sidgwick & Jackson. Narayan D, Cassidy MF .2001. A Dimensional approach to measuring social capital: development and validation of social capital inventory. Current Sociology. 49(2). New Delhi: Sage Publication, London Thousands Oaks Ca-. Nasr SH. 2003. Antara Tuhan, Manusia dan Alam Penterjemah: Ali Noer Zaman dari Edisi Asli: The Encounter Man and Nature. 1984. Yogyakarta: IRCISoD.
279
Neale WC. 1998. “Property: Law, Cotton –pickin” Hands, and Impact Cultural Imperialism. Di Dalam Hunt RC, Gilman A, Lanhamin (Editors). Property in Economic Contecxt.University Press of America: Monographs in Economic Antropology No.14.pp 47-66. Olson M. 1971. The Logic of Collective Action: Public Goods and The Theory of Groups. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Ostrom E.1992. Crafting Institution, Self Governing Irrigation System. San Fransisco: ICS Press. Parson RJ, Jorgensen JD, Hernandez SH. 1994. The Integration of Social Work Practice. California: Brooks/Cole. Parsons W. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Penterjemah: Tri Wibowo, Budi Santoso, Dari Edisi Asli: Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Jakarta: Penerbit Kencana. Peet R, Watts M. 2004. Liberation Ecologies, Environment, Development, Social Movement.Edisi ke-2. London: Routledge. Popkin S. 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press. Pratiwi S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di TN Gunung Halimun Salak (TNGHS). [Disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Putnam R et al. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. Princenton: Princenton University Press. Qadim, A. 2002. Pereseran Nilai Keagamaan dan Sosial Budaya Masyarakat Petani; Suatu Tinjauan dalam Perspektif Ekologi Pembangunan Perdesaan. Al ‘Adaalah. Jurnal Ilmiah Kajian Ke-Islaman dan Kemasyarakatan. Vol. 5, Nomor. 3 Dember 2002. Jember: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember. Ragin CC. 1994. Construction Social Research, Sosiology for a New Century. London: Cine Forge Press. Rambo, AT. 1985. Penelitian Ekologi Manusia pada Agroekosistem Tropis di Asia Tenggara. Singopore Journal of Tropical Geography 3 (1). Rangan H. 1997. Property Vs Control: The State and Forest Management in the Indian Himalaya. Development and Change.
280
RAPPAM 2004. Report Workshop: Indonesia Case Study Management Effectiveness Assessment of National Parks Using WWF’s RAPPAM Methodelogy. Diterbitkan atas Kerjasama Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, BirdLife Indonesia, Conservation International Indonesia Program, Fauna and Flora International- Indonesia Program, The Nature Conservacy - Indonesia Program, USAID - The Nature Resoucers Management III, Wetlands International- Indonesia Program, Wildlife Conservation Society - Indonesia Program, and WWF Indonesia. Rapport J. 1984. Studies in Empowerment: Introduction to the Issues, Prevention in Human Issue. Ribot JC, Peluso NL. 2003. A Theory of Access. The Rural Sosiological Society. Robbins P. 2004. Political Ecology: A Critical Introduction. USA & UK: Blackwell Publishing. Rice PL, Ezzy D. 2000. Qualitative Research Methods. South Melbourne: Oxford University Press. Salmi J. 2006. Violence and Democratic Society, Holiganisme dan Masyarakat Demokrasi. Jakarta: Pilar Media. Saparjadi K. 1998. Kerjasama Kemitraan dalam Mendukung Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA): Makalah dalam Lampiran II. Laporan Lokakarya Pengembangan Kerjasama Kemitraan dalam Mendukung Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA). Pelaksana Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Natural Resources Management Program, Disponsori United States Agency for International Development (USAID), Jakarta, 21 April 1998. Santosa I. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif [disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Satria, A. 2002. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Kelautan, Belajar dari Pengalaman Jepang, Jurnal Analisis CSIS Tahun XXXI/2002. No. 4. CSIS Jakarta. Schlager E, Ostrom E. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economica 68 (3). Scott JC. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
281
Scott P, Sullivan S. 2000. (Editors). Political Ecology, Science, Myth and Power. London: School of Oriental and African Studies, University of London. Singarimbun M, Peny DH. 1976. Penduduk dan Kemiskinan. Jakarta: Bhatara Karya. Soetaryono R. 2004. Kebijakan Pemerintah dan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Lingkungan Hidup. Jakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Solow RM .1999. Notes on Social Capital and Economic Perfomance. Di dalam Dasgupta P, Serageldin I (editors). Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank. Sugiono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfa Beta. Sumodiningrat G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Supaeri. 2005. Institusi untuk mengatasi Kerusakan Hutan Mangrove, Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove di Kabupatren Bekasi Provinsi Jawa Barat [disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sutarto E, Sitorus F, Maguantara YN. 2001. Desentralisasi Kebijakan dan Administrasi yang Mempengaruhi Hutan di Kabupaten Ketapang [Draft Paper] Bogor: CIFOR. Swift C, Levin G1987. Empowerment: An Emerging Mental Healt Technology. J Primary Prevention, USA. Upp S. 1995. Pedoman Penerapan Metodelogi Report Card System (RCS). Bangalore: LJB School of Public Affairs, Texas University & Public Affairs Center (PAC) India. Thomson JB. 2003. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Penterjemah; H Yaqin. Dari Judul Asli:Studies in the Theory of the Ideology. 1984. Yogyakarta: IRCiSoD. Weber M. (editor). 1978. Economy and Society. Berkeley: University of California Press. Whelan J, Oliver P. 2005. Regional community based planning: the challenge of participation environmental governance. Australian J Environemental Management. 12: 126-135.
282
[WCED] World Commision on Environmnetal and Development. 1987. Our Common Future. New York & Oxford: Oxford University Press. Wrangham R.2003. Diskursus Kebijakan yang Berubah dan Masyarakat Adat, 1960-1999; Di Dalam: Resosudarmo`et al. Ke mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wuisman JJM. 1996. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jilid I. Azaz-azas. Hisyam M (editors). Jakarta: Lembaga Penerbit Universitas Indonesia. Zander A. 1990. Effective Social Action by Community Groups. San Francisco: Jossey-Bass Inc. Zurcher S. 2005. Public Participation in Community Forest Policy in Thailand: The Influence of Academics as Brokers. J Geography 105 (1): 77-88.
244