1
IMPLIKASI DARI GLOBALISASI/PERDAGANGAN BEBAS DUNIA TERHADAP EKONOMI NASIONAL 1 Tulus Tambunan Kadin Indonesia Pengertian Tidak ada definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi, tetapi secara sederhana globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana semakin banyak negara yang terlibat dalam kegiatan ekonomi dunia. Jadi, jika pada periode sejak perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi dunia didominasi oleh ekonomi Amerika Serikat (AS), sekarang ini walaupun produk domestik bruto (PDB) AS masih besar yakni sekitar 45% dari PDB dunia, peran dari ekonomi Uni Eropa, Jepang dan negara-negara yang tergolong dalam newly industrialized countries (NICs), seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, dan Cina jauh lebih kuat sebagai motor penggerak perekonomian dunia. Semakin mengglobalnya suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari misalnya peningkatan dari perdagangan internasionalnya (ekspor dan impor) yang tercerminkan antara lain pada peningkatan pangsa ekspornya di pasar global dan peningkatan rasio impor terhadap PDB-nya; semakin aktif terlibat dalam proses produksi yang melibatkan banyak negara (misalnya dalam membuat pesawat Boeing lebih dari 50 negara terlibat yang masing-masing membuat bagian-bagian tertentu dari pesawat tersebut, atau dalam membuat pesawat Airbus, sejumlah negara Eropa terlibat dalam proses pembuatannya), dan semakin besar arus investasi asing yang masuk ke negara tersebut atau semakin besarnya investasi dari negara tersebut ke negara-negara lain. Jadi, proses globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan di dalam perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan akan berlangsung terus dalam laju yang semakin pesat mengikuti kemajuan teknologi yang juga prosesnya semakin cepat. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam kegiatan investasi, finansial dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Kalimantan Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa ada halangan, baik halangan logistik maupun halangan birokrasi dari pihak pemerintah Malaysia atau Filipina maupun dari pemerintah Indonesia dalam urusan administrasi seperti izin dan sebagainya. Sekarang ini tidak relevan lagi mencantumkan nama negara asal dari suatu produk; orang hanya tau bahwa lampu itu adalah buatan Philips yang pabrik pembuatanya bukan di Belanda, tetapi misalnya di Tangerang. Banyak produk dari Disney bukan buatan AS melainkan dibuat di Cina dengan memakai tenaga kerja, bahan baku dan modal dari negara 1
Bahan diskusi dalam Seminar Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, Dep.PU, Jakarta, 1 Juli 2005.
2
tersebut. Sekarang ini semakin banyak produk-produk yang komponennya di buat di lebih dari satu negara (seperti komputer, mobil, pesawat terbang, dll.), dan banyak perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kantor pusat bukan di negara asal melainkan di pusat-pusat keuangan di negara-negara lain seperti London dan New York. Semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional disebabkan oleh banyak hal, diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan murah, lalu lintas devisa yang semakin bebas, ekonomi negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin efisien, dan semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu, penyebabpenyebab lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose akibat kemajuan teknologi (yang mengurangi pemakaian sumber daya alam), semakin tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita, semakin majunya tingkat pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang, dan semakin banyaknya jumlah penduduk dunia. Menurut Friedman (2002), globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi ide atau ideologi yaitu “kapitalisme”. Dalam pengertian ini termasuk seperangkat nilai yang menyertainya, yakni falsafah individualisme, demokrasi dan HAM. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu pasar bebas yang artinya arus barang dan jasa antarnegara tidak dihalangi sedikitpun juga. Ketiga, dimensi teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas negara sehingga negara makin tanpa batas. Dalam ekonomi, secara garis besar fenomena globalisasi dapat dilihat dari pertumbuhan kegiatan ekonomi lintas negara dalam berbagai bentuk. Diantaranya, dua bentuk kegiatan ekonomi yang secara nyata semakin mengglobal, yakni arus perdagangan dan arus modal internasional. Oleh sebab itu, arus globalisasi dan arus perdagangan serta investasi dunia berlangsung bersamaan.
Arus Perdagangan Internasional
Pangsa dari pengeluaran konsumsi domestik terhadap barang dan jasa yang diimpor dari negara-negara lain meningkat, dan bagian dari produksi barang dan jasa di dalam negeri yang diekspor meningkat. Peningkatan ini membuat volume perdagangan antarnegara di dunia meningkat, baik secara absolut maupun relatif, yakni rasio dari perdagangan internasional (ekspor + impor) terhadap PDB dari masing-masing negara secara individu atau dunia. Data dari Bank Dunia tahun 2000 misalnya menunjukkan bahwa di dalam kelompok negara-negara kaya/maju, pangsa dari perdagangan internasional di dalam output total naik dari 27% ke 39% selama periode 1987-1998. Sedangkan di dalam kelompok negara-negara sedang berkembang, rasio perdagangan internasional terhadap PDB naik dari 10% ke 17% dalam periode yang sama (Bank Dunia, 2000a).
3
Arus Modal Internasional.
Arus modal internasional atau arus modal antarnegara terdiri dari modal swasta dan modal pemerintah. Arus modal swasta antarnegara bisa berbentuk investasi atau pinjaman; sedangkan arus modal asing pemerintah pada umumnya dalam bentuk pinjaman, misalnya pinjaman yang diterimah dari pemerintah dari negara-negara yang tergabung dalam CGI (Consultancy Group on Indonesia) atau dalam konteks bilateral dengan pemerintah negara-negara donor secara individual. Pengertian dari modal asing pemerintah juga termasuk pinjaman dari badan-badan dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Arus modal asing dalam bentuk investasi bisa investasi investasi langsung atau jangka panjang, yang disebut foreign direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA), atau investasi tidak langsung atau jangka pendek, yang umum disebut investasi portofolio. Dalam hal PMA, dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak perusahaan-perusahaan yang berbasis di suatu negara melakukan investasi jangka panjang di negara-negara lain, yang dilandasi oleh berbagai motivasi seperti pasar yang luas dan ketersediaan sumber daya produksi di negara-negara tujuan investasi. Perkembangan ini dengan sendirinya meningkatkan arus PMA antarnegara, yang terefleksi dalam peningkatan pangsa dari PMA sebagai suatu persentase dari investasi total dunia. Menurut data Bank Dunia pada tahun 1975 PMA berjumlah hanya 23 miliar dollar AS, dan pada tahun 1997 jumlahnya meningkat menjadi 644 miliar dollar AS (Friedman, 2002). Juga data Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 1998 jumlah investasi langsung dari perusahaan-perusahaan AS di banyak negara lain di dunia telah mencapai 133 miliar dollar AS, sedangkan PMA di AS pada tahun yang sama bernilai 193 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, arus PMA di dunia meningkat sangat signifikan selama periode 1988-1998 dari 192 miliar dollar AS ke 610 miliar dollar AS. Arus PMA dari kelompok negara-negara maju ke kelompok negara-negara sedang berkembang juga meningkat tajam selama periode yang sama, termasuk Indonesia, terkecuali sejak krisis ekonomi arus PMA neto ke Indonesia mengalami suatu penurunan (Bank Dunia 2000b). Dalam hal investasi jangka pendek, juga dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak penabung-penabung, terutama di negara-negara maju yang mendiversifikasikan portofolio mereka ke berbagai macam aset-aset keuangan luar negeri seperti obligasi, saham, pinjaman atau deposito). Juga semakin banyak perusahaan-perusahaan terutama di negaranegara sedang berkembang yang membiayai kegiatan produksi mereka dengan memakai dana investasi dari sumbersumber luar negeri, selain dari kredit perbankan dan pasar modal domestik. Indonesia juga mengalami peningkatan arus modal asing jangka pendek yang pesat sejak deregulasi di sektor perbankan pada tahun 1980-an hingga tahun 1997, pada saat krisis rupiah mencuat. Bahkan dapat dikatakan bahwa penyebab utama rupiah mengalami depresiasi lebih dari 100% pada tahun 1998 adalah akibat larinya modal asing jangka pendek dari Indonesia (capital flight). Dalam kata lain, apabila selama periode orde baru ekonomi Indonesia tidak terlalu tergantung pada modal asing jangka pendek, kemungkinan besar rupiah tidak akan mengalami depresiasi, atau paling tidak persentase penurunan nilainya tidak sampai di atas 100%.
4
Sebagai suatu ilustrasi empiris, jumlah arus modal asing neto (swasta dan pemerintah) ke negara-negara sedang berkembang (LDCs) mengalami peningkatan yang signifikan dari 120,8 miliar dollar AS pada tahun 1990 ke 289,3 miliar dollar AS pada tahun 2000 (Tabel 1). Diantara negara-negara ASEAN, arus modal asing neto ke Indonesia paling besar; tetapi sejak 1998 arus yang keluar lebih besar daripada yang masuk. Sedangkan, di Malaysia, Singapura dan bahkan Filipina yang juga terkena krisis ekonomi, netonya tetap positif. Tahun 1990, arus modal asing neto ke Indonesia tercatat sebesar 6,3 miliar dollar AS, atau sekitar 5% dari jumlah arus modal asing neto ke LDCs, tetapi turun terus dan tahun 1997 sahamnya menjadi sekitar 3,2%.Negara Asia yang arus modal asingnya paling besar adalah Cina yang pada tahun 1998 mencapai 45,8 miliar dollar AS dan pada tahun 2000 mencapai hampir 61,1 miliar dollar AS. Dengan masuknya Cina ke WTO, diperkirakan arus modal asing, khususnya swasta ke Cina akan tumbuh lebih pesat lagi, karena memang selama ini Cina termasuk negara eksportir besar di dunia, dan Cina sangat menarik bagi investor asing karena upah buruh murah, infra struktur cukup baik (terutama di wilayah pantai), dan pasar domestik sangat besar dengan jumlah penduduk lebih dari 1 miliar orang.
Tabel 1 Total Arus Modal Asing Neto dari Semua Sumber ke Beberapa Negara Asia (miliar dollar AS): 1990-2000 Negara
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Cina Hong Kong Korea Selatan Taiwan Thailand Vietnam Indonesia Malaysia Filipina Singapura
10,5 3,5 1,5 0,5 4,9 0,1 6,3 1,3 2,2 3,2
10,2 2,5 5,4 -1,4 5,6 0,5 7,4 4,5 1,8 1,5
24,4 1,8 7,9 -1,3 4,4 1,0 8,4 6,2 1,4 3,3
44,9 4,0 8,8 -1,1 8,5 1,2 4,1 11,1 5,0 3,5
48,3 7,3 12,4 1,0 5,1 2,9 10,0 8,8 4,7 5,9
52,5 3,7 13,2 0,4 10,9 3,5 13,4 10,7 4,2 4,3
55,3 7,8 19,5 2,5 14,5 3,6 16,0 12,1 5,5 10,3
65,9 14,6 22,5 1,9 10,0 3,3 12,0 0,3 5,0 5,1
45,8 9,6 13,4 0,8 9,6 2,8 -0,1 5,8 4,0 7,3
43,3 11,7 9,5 2,6 5,6 1,9 -4,4 3,7 5,7 18,7
61,1 3,1 13,9 0,6 -0,3 2,0 -8,7 3,5 2,6 8,5
120,8
142,9
175,4
245,8
253,5
289,1
348,1
379,0
371,0
322,0
289,3
LDCs
Sumber: ADB (database) Berbeda dengan negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan dan Singapura, sebagian besar dari arus modal asing yang masuk ke Indonesia adalah modal resmi; walaupun porsinya bervariasi antar tahun. Hal ini menunjukkan bahwa peran modal asing resmi lebih dominan dibandingkan modal asing swasta sebagai sumber eksternal bagi pembiayaan pembangunan di Indonesia. Terutama sejak krisis ekonomi yang disusul dengan krisis politik dan sosial, peran modal asing resmi semakin penting terutama dari IMF, Bank Dunia dan CGI; sedangkan peran dari modal asing swasta berkurang karena Indonesia menjadi tidak menarik lagi atau tidak aman bagi investasi.
Faktor-Faktor Pendorong Sebenarnya proses globalisasi telah terjadi dari sejak dahulu kala dan akan berlangsung terus, walaupun prosesnya berbeda: dulu sangat lambat sedangkan sekarang ini sangat pesat dan di masa depan akan jauh lebih pesat lagi. Perbedaan
5
ini disebabkan terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan alat-alat komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, aman dan murah. Jadi dapat dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pendorong atau kekuatan utama proses globalisasi ekonomi. Karena adanya satelit, hand phone, fax, Internet dan email maka komunikasi atau arus informasi antarnegara menjadi sangat lancar dan murah. Juga, adanya pesawat terbang yang semakin cepat lajunya membuat mobilitas dari pelaku-pelaku ekonomi (konsumen, produsen, investor, dan bankir) antarnegara menjadi semakin cepat dan murah. Ini semua meningkatkan arus transaksi ekonomi antarnegara dalam laju yang semakin pesat. Peran dari kemajuan teknologi terhadap proses globalisasi juga diakui oleh Friedman yang mendapat penghargaan atas bukunya mengenai globalisasi (2002) yang menyatakan berikut ini: era globalisasi dibangun seputar jatuhnya biaya telekomunikasi – berkat adanya mikrochip, satelit, serat optik dan internet/ Teknologi informasi yang baru ini mampu merajut dunia bersama-sama bahkan menjadi lebih erat. ……. Teknologi ini juga dapat memungkinkan perusahaan untuk menempatkan lokasi bagian produksi di negara yang berbeda, bagian riset dan pemasaran di negara yang berbeda, tetapi dapat mengikat mereka bersama melalui komputer dan komperensi jarak jauh seakan mereka berada disatu tempat. Demikian juga berkat kombinasi antara komputer dan telekomunikasi yang murah, masyarakat sekarang dapat menawarkan pelayanan perdagangan secara global - dari konsultasi medis sampai penulisan data perangkat lunak ke proses data – pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat diperdagangkan sebelumnya. Dan mengapa tidak? Sambungan telepon untuk 3 menit pertama (dalam dolar, thn 1986) antara New York dan London biayanya adalah 300 dolar di tahun 1930. Sekarang hal itu hampir bebas biaya melalui Internet (20a). Friedman mengatakan bahwa globalisasi memiliki definisi teknologi sendiri: komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi, komunikasi satelit, serat optik dan internet. Friedman juga melihat bahwa sistem globalisasi yang terjadi di dunia saat ini mempunyai ciri istimewa yakni integrasi. Berkat kemajuan teknologi seperti yang disebut di atas, semua manusia dimanapun berada bisa saling berhubungan satu dengan lainnya lewat jaringan: Dunia menjadi tempat untuk menjalin hubungan, dan hari ini, apakah Anda suatu negara atau perusahaan, ancaman dan peluang anda semakin tergantung dari kepada siapa anda dihubungkan. Globalisasi ini juga digambarkan dalam satu kata: Jaringan (Web). Jadi dalam penalaran yang lebih luas, kita telah berangkat dari sistem yang dibangun seputar divisi dan tembok ke sistem yang dibangun secara bertahap seputar integrasi dan jaringan. (halaman 8). Besarnya pengaruh dari kemajuan teknologi terhadap perubahan kehidupan manusia di dunia yang mendorong proses globalisasi semakin pesat seperti yang sedang terjadi saat ini sebenarnya sudah diduga sebelumnya oleh sejumlah orang, diantaranya adalah Alvin Toffler (1980). Menurutnya, akibat progres teknologi, akan terjadi kejutan-kejutan masa depan yang melahirkan revolusi baru. kehidupan atau kegiatan ekonomi dunia tidak lagi dipimpin oleh industri, namun informasi akan muncul sebagai penggerak pendulum. Revolusi informasi yang sarat dengan teknologi akan membawa perubahanperubahan di dalam kehidupan sehari-hari yang jauh lebih radikal daripada revolusi industri yang memerlukan waktu, biaya, lahan, dan pasar yang besar. Toffler mengatakan bahwa revolusi informasi yang dipicuh oleh kemajuan teknologi,
6
khususnya teknologi informasi, akan membawa wajah baru, yakni masyarakat global lantaran kaburnya batas-batas wilayah dan negara. Pada tahun 1990-an, muncu seorang futurolog baru bernama John Naisbitt yang lebih rinci dalam memetakan wajah dunia ke depan dalam publikasinya yang sangat terkenal: Megatrend Asia 2000. Naisbitt meramalkan bahwa akibat perubahan-perubahan super cepat di Asia, yang didorong oleh kemajuan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) di kawasan tersebut, pada abad ke 21 akan terjadi pergeseran dalam pusat kegiatan ekonomi dunia dari AS dan Eropa ke Asia, khususnya Asia Tenggara dan Timur. Walaupun dalam kenyataannya, pergeseran tersebut tidak terjadi, atau paling tidak tertunda untuk sementara waktu akibat terjadinya krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997/98. Secara garis besar, Toffler dan Naisbitt mempunyai beberapa kesamaan dalam meramal dunia di masa depan, diantaranya adalah bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahun merupakan motor penggerak utama proses globalisasi. Perubahan radikal pada teknologi juga telah menciptakan perubahan pada ekonomi, politik, sosial hingga budaya. Mereka juga sependapat bahwa masyarakat dunia dewasa ini sedang memasuki era masyarakat informasi yang beralih dari masyarakat industri. Artinya adalah bahwa masyarakat tidak bisa lagi menutup diri dari luar karena teknologi informasi mampu menembus batas-batas wilayah kekuatan negara (Halwani, 2002). Pengaruh radikal dari kemajuan teknologi terhadap kehidupan masyarakat saat ini terutama sangat ketara sekali pada kegiatan bisnis sehari-hari atau produk-produk yang dihasilkan. Misalnya, fitur hand phone (HP) hampir setiap saat berganti sehingga HP menjelma menjadi alat bertukar informasi melalui teknologi Internet ataupun SMS, berfungsi sebagai games, kamera digital dan fungsi-fungsi lainnya. Kemampuan komputer beserta program-programnya semakin canggih. Perubahan teknologi yang sangat pesat sekarang ini juga telah mempengaruhi agro industri yang semakin tumbuh kencang dengan varian-varian hasil produk, baik melalui rekayasa genetika maupun akibat penemuan-penemuan varietas unggul. Demikian juga dalam sektor kesehatan, produk-produknya juga mengalami revolusi dengan banyak ditemukan jenis-jenis obat (supplement) baru yang memungkinkan manusia lebih sehat atau lebih panjang usianya. Pada gilirannya, perubahan di sisi suplai (produksi) tersebut telah membuat perubahan di sisi permintaan: perilaku konsumen semakin bervariatif mengikuti pilihan produk yang semakin kompetitif. Perubahan pola konsumen telah terjadi tidak hanya di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara sedang berkembang; tidak hanya di daerah perkotaan tetapi juga di daerah perdesaan atau pedalaman. Walaupun belum ada data yang bisa mendukung, tetapi dapat diduga bahwa jumlah penduduk di perdesaan di Indonesia yang sudah pernah minum coca cola sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal tahun 1970an; demikian juga jumlah penduduk di perdesaan yang memiliki HP saat ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal tahun 1990-an. Bahkan banyak orang yang membeli HP atau rutin menggantikannya dengan seri baru bukan karena perlu tetapi mengikuti trend yang sangat dipengaruhi oleh reklame dan pergaulan. Jadi benar apa yang dikatakan oleh Anthony Giddens (2001) bahwa globalisasi saat ini telah menjadi wacana baru yang menelusup ke seluruh wilayah kehidupan baik di perkotaan maupun perdesaan. Globalisasi telah memberi perubahan yang radikal dalam semua aspek kehidupan, mulai dari sosial, budaya, politik, ekonomi, hingga gaya hidup sehari-hari.
7
Dalam komunikasi juga sangat nyata sekali pengaruh dari kemajuan teknologi yang jangkauannya sudah menyebar dan melewati batas-batas negara yang semakin mempersempit dunia. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, semakin mudah pula masyarakat untuk mengaksesnya. Misalnya, dapat diduga bahwa saat ini jumlah orang di Indonesia yang bisa akses ke siaran CNN atau FOX jauh lebih banyak dibandingkan pada akhir dekade 80-an. Jumlah orang yang bisa melihat siaran langsung perang Irak II diperkirakan jauh lebih banyak dibandingkan pada saat perang Irak I (Perang Teluk) pada awal tahun 1990-an. Contoh lainnya, menurut Giddens (2001), sebelum ada teknologi Internet, diperlukan waktu 40 tahun bagi radio di AS untuk mendapatkan 50 juta pendengar. Sedangkan dalam jumlah yang sama diraih oleh komputer pribadi (PC) dalam 15 tahun. Setelah ada teknologi Internet, hanya diperlukan waktu 4 tahun untuk menggaet 50 juta warga AS. Faktor pendorong kedua yang membuat semakin kencangnya proses globalisasi adalah semakin terbukanya sistem perekonomian negara-negara di dunia baik dalam perdagangan, produksi maupun investasi/keuangan. Seperti yang dapat dikutip dari Friedman (2002), Ide dibelakang globalisasi yang mengendalikannya adalah kapitalisme bebas – semakin Anda membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin Anda membuka perekonomian Anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi, perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas ke setiap negara di dunia. Karenanya globalisasi juga memiliki aturan perekonomian tersendiri – peraturan yang bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi perekonomian Anda, guna membuatnya lebih kompetitif dan atraktif bagi investasi luar negeri. (halaman 9). Fukuyama (1999) menegaskan bahwa dewasa ini baik negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang cenderung mengadopsi prinsip-prinsip liberal dalam menata ekonomi dan politik domestik mereka. Menurut catatan dari Friedman (2002), pada tahun 1975, di puncak Perang Dingin, hanya 8% dari negara di seluruh dunia yang mempunyai rezim kapitalis pasar bebas. Sampai tahun 1997, jumlah negara dengan rezim perekonomian liberal menjadi 28%. Semakin terbukanya ekonomi suatu negara dapat dilihat dari perkembangan dari sejumlah indikator, misalnya peningkatan rasio perdagangan luar negerinya (ekspor dan impor) terhadap PDBnya, semakin pentingnya peran dari perusahaan-perusahaan multinasional dalam kegiatan produksi di dalam negeri, dan semakin besarnya rasio investasi asing atau arus modal dari luar terhadap investasi total di dalam negeri. Atau, dilihat pada skala dunia adalah peningkatan rasio perdagangan dunia terhadap PDB dunia, rasio produksi dari perusahaan-perusahaan multinasional terhadap produksi dunia total, dan rasio arus modal antarnegara terhadap pembentukan modal dunia. Faktor pendorong kedua ini diperkuat oleh proses liberalisasi perdagangan dunia dalam konteks WTO atau pada tingkat regional seperti AFTA dan NAFTA. Dalam kata lain, liberalisasi perdagangan dunia mempercepat laju proses globalisasi ekonomi, dan sekaligus memperketat persaingan antarnegara dalam perdagangan, investasi, keuangan dan produksi. Faktor pendorong ketiga adalah mengglobalnya pasar finansial yang prosesnya berlangsung berbarengan dengan keterbukaan ekonomi dari negara-negara di dunia dan penerapan sistem perdagangan bebas dunia. Atau, dapat dikatakan bahwa faktor ketiga ini dan faktor kedua di atas saling mendorong satu sama lainnya: semakin mengglobal pasar finansial semakin mudah dan semakin besar volume kegiatan ekonomi (misalnya produksi dan investasi) antarnegara; sebaliknya
8
semakin terbuka sistem perekonomian negara-negara di dunia semakin mempercepat proses globalisasi dari pasar finansial karena semakin besar kebutuhan akan pendanaan kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut. Semakin mengglobalnya pasar finansial dengan sendirinya menimbulkan persaingan yang ketat antarnegara dalam finansial atau investasi. Jadi dalam era globalisasi, setiap negara menghadapi persaingan yang semakin ketat di dua medan perang yakni perdagangan barang dan jasa dan investasi. Seperti yang dapat dikutip dari Tjager dan Pramadi (1997) dalam studi mereka mengenai perkembangan dan kesiapan pasar modal di Indonesia dalam menghadapi era globalisasi: Dalam gelombang era pasar bebas ditandai dengan kesepakatan GATT, dan deklarasi APEC serta kemajuan teknologi informasi, menjadikan dunia dengan ciri semakin terkikisnya hambatan-hambatan perdagangan, lalu lintas keuangan internasional, dan keluar masuknya arus modal dan investasi. Era globalisasi ini akan menimbulkan persaingan yang semakin ketat, sehingga hanya negara yang memiliki daya saing kuat saja yang akan mampu bertahan. Investasi dalam bentuk financial asset seperti saham, obligasi dan surat berharga lainnya tidak dapat diproteksi lagi, sehingga Indonesia harus dapat menciptakan iklim investasi yang efisien dan memberikan hasil yang lebih baik dan menarik dibandingkan dengan negara lainnya (hal.56). Semakin mengglobalnya pasar finansial tercerminkan oleh semakin besarnya sumber-sumber eksternal dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan ekonomi domestik di banyak negara, tidak hanya di kelompok negara-negara maju tetapi juga di negara-negara sedang berkembang. Juga perkembangan pasar saham (modal) mencerminkan perubahan tersebut: semakin banyak saham-saham dari perusahaan-perusahaan asing yang tercatat di dalam pasar bursa di suatu negara. Selain itu, semakin mengglobalnya pasar finansial dipicuh oleh semakin maraknya perdagangan mata uang asing lintas negara; kalau dulu mata uang asing sebagai alat pembayaran, sekarang ini menjadi suatu komoditi yang diperdagangkan. Menurut catatan dari Lairson dan Skidmore (2000; dikutip dari Halwani, 2002), tingkat pertumbuhan dari perdagangan mata uang asing setiap hari jauh lebih tinggi daripada total ekspor dunia. Pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1, maka pada tahun 1995 rasionya mencapai 81:1, sedangkan pada tahun 2000 rasionya telah mencapai 107:1. Seperti halnya dengan faktor pendorong kedua di atas, faktor ketiga ini tidak lepas dari pengaruh teknologi. Seperti yang dikatakan oleh Giddins (2001), dalam ekonomi elektronik global, para manajer keuangan dan ribuan investor individual dapat memindahkan modalnya miliaran juta dollar dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang lain hanya dengan meng’klik’ sebuah mouse pada komputer. Adanya teknologi komputer, internet, email dan satelit yang terus berkembang dalam laju yang semakin pesat membuat arus finansial antarnegara semakin lancar dan sistem finansial dunia semakin mengglobal. Semakin mengglobalnya perdagangan dan keuangan dunia membuat saling ketergantungan dalam sistem perekonomian antarnegara semakin kuat. Hal ini menyebabkan sistem ekonomi nasional semakin menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi global. Berbagai hambatan, seperti proteksionisme perdagangan, pembatasan investasi asing, dan kebijakan moneter yang mengekang arus modal/devisa jadi tidak relevan lagi. Namun, di sisi lain, semakin kuat ketergantungan ini juga memperbesar resiko terjadinya goncangan atau krisis ekonomi bagi setiap negara, seperti dalam kasus krisis keuangan di Asia Tenggara pada tahun 1997/98. Banyak yang berpendapat bahwa ulah para
9
manajer keuangan dan investor individual yang mengakibatkan krisis Asia tersebut. Karena sistem keuangan internasional sudah sedemikian mengglobalnya membuat pemilik-pemilik modal besar setiap saat bisa memindahkan modalnya dari satu negara ke negara lain, seperti yang dialami oleh Thailand pada tahun 1997, awal dari krisis Asia tersebut. Melihat perekonomian negara tersebut sudah mulai memanas, para menanam modal asing (portofolio investasi) segera menarik uang mereka keluar, dan hal ini juga memicuh pemodal-pemodal asing di Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Akibatnya, bath dan rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar lebih dari 100% pada tahun 1998. Won, uang Korea Selatan juga mendapat serangan yang sama dari para spekulan global yang akhirnya membuat tiga negara tersebut mengalami suatu krisis ekonomi yang besar, dan disusul oleh Filipina. Ekonomi Singapura juga terpukul walaupun tidak separah yang dialami ke empat negara di atas, akibat merosotnya secara drastis kunjungan warga Indonesia ke Singapura baik untuk berlibur, berobat maupun maksud lain, yang selama periode sebelum krisis termasuk negara besar dalam jumlah orang asing yang mengunjungi negara kecil itu setiap tahunnya. Karena kegiatan ekonomi dan keuangan di dunia sudah sangat mengglobal maka krisis di Asia Tenggara itu dalam waktu singkat juga mempengaruhi ekonomi dari banyak negara di luar Asia. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam beberapa bulan, resesi di Asia Tenggara akibat krisis tersebut mulai memberikan dampak terhadap berbagai harga komoditas di seluruh dunia. Asia, khususnya negara-negara di bagian Tenggara dan Timur yang ekonominya sebelum krisis tumbuh sangat pesat, merupakan motor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Negara-negara ini mengkonsumsi bahan mentah dalam jumlah yang sangat besar setiap tahunnya. Ketika motor tersebut mulai tersendatsendat, harga emas, tembaga, aluminium dan yang paling penting minyak mentah mulai jatuh. Kejatuhan harga komoditaskomoditas ini di pasar dunia ternyata menjadi mekanisme untuk transmisi penyebaran krisis dari Asia Tenggara ke Rusia, karena negara besar ini sangat tergantung pada ekspor minyak mentah, emas dan beberapa komoditas primer lainnya, yang sebagian besar masuk ke pasar di Asia. Akhirnya ekonomi Rusia runtuh dan memberi dampak negatif terhadap negara-negara lain seperti Brazil, yang mekanisme transmisi penyebarannya lewat sistem finansial dunia, yang dijelaskan oleh Friedman (2002) sebagai berikut: …runtuhnya perekonomian Rusia seharusnya tidak memiliki banyak dampak pada sistem global. Perekonomian Rusia lebih kecil daripada Belanda. Akan tetapi sistem tersebut sekarang lebih global dari sebelumnya, dan seperti halnya minyak mentah yang merupakan mekanisme transmisi dari Asia Tenggara ke Rusiah, dana pencagar – cadangan investasi yang sangat besar dari modal swasta yang menjelajahi dunia untuk mencari tempat investasi terbaik – merupakan mekanisme penghubung dari Rusia kesemua pasar lainnya yang baru tumbuh di dunia. Khususnya di Brazil. Dana pencagar dan perusahaan perdagangan lainnya menumpuk kerugian besar di Rusia, beberapa dari mereka digandakan lima puluh kali lipat dengan menggunakan uang pinjaman, kini secara mendadak harus mengumpulkan uang tunai untuk membayar kembali para bankir mereka. Jadi mereka mulai menjual aset-aset yang bagus secara finansial untuk mengkompensasikan kerugian mereka di tempat yang buruk. Brazil misalnya, secara mendadak melihat semua saham dan obligasi dijual investor yang panik………..Mereka mencairkan saham dan obligasi mereka di Brazil, Korea, Mesir, Israel, dan Meksiko.(hal. 16a).
10
Faktor keempat adalah semakin besarnya keinginan orang untuk melakukan perjalanan antarnegara atau pindah dari satu negara ke negara lain, baik untuk tujuan bisnis maupun lainnya. Keinginan ini didorong oleh peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat dunia ditambah dengan peningkatan kepadatan penduduk di suatu wilayah/negara, dan kemajuan teknologi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi orang antarnegara secara lebih cepat, aman dan lebih murah.
Daya Saing Sejumlah Produk Industri Indonesia Kemampuan Indonesia sebagai suatu negara atau daerah-daerah sebagai suatu kawasan menghadapi globalisasi dan perdagangan bebas sangat tergantung pada daya saing relatif dari sektor-sektor ekonomi di dalam negeri (daerah). Banyak cara yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat daya saing suatu industri atau sektor, diantaranya adalah yang umum disebut Revealed Comparative Advantage (RCA) Index sesuai formula dari Balassa. Indeks ini membandingkan pangsa dari suatu produk di ekspor suatu negara (misalnya Indonesia atau misalnya Jawa Barat dilihat pada tingkat regional) dengan pangsa dari produk tersebut didalam ekspor total dunia (pasar dunia). Nilai indeks = 1 menandakan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan relatif (tingkat spesialisasinya tinggi) terhadap produk tersebut, dan sebaliknya jika nilainya lebih kecil dari 1 berarti daya saing Indonesia untuk produk tersebut rendah, dibawah rata-rata dunia. Seperti yang diperlihatkan di Tabel 2, hasil estimasi dari UNCTAD menunjukkan daya saing Indonesia untuk sejumlah produk-produk yang merupakan produk-produk eskpor terpenting Indonesia dari sektor industri manufaktur. Dapat dilihat bahwa Indonesia paling unggul di produk-produk kayu walaupun posisi Indonesia berada pada peringkat ke 18 di pasar dunia. Tabel 2 RCA Indonesian untuk Sejumlah Produk Ekspor: 2003 Produk Wood products Textiles IT & consumer electronics Leather products Electronic components Minerals Clothing Misc. manufacturing Chemicals Processed food Non-electronic machinery Basic manufactures Transport equipment Fresh food Sumber: UNCTAD/ITC
Posisi di Pasar Dunia 18 20 23 37 47 49 50 61 66 68 74 77 78 97
RCA 3,26 1,89 0,80 1,65 0,50 2,62 1,98 0,60 0,56 1,62 0,21 0,64 0,11 1,74
Selanjutnya, berdasarkan RCA di atas, Indeks Spesialisasi untuk Indonesia untuk produk-produk tersebut dapat dihitung, seperti yang diilustrasikan di gambar di bawah. Walaupun indeks RCA Indonesia untuk produk-produk mineral jauh lebih besar daripada RCA dari tekstil, pakaian jadi, IT dan barang-barang elektronik rumah tangga/konsumen dan komponen-komponen listrik, dilihat dari perspektif dunia (lintas negara), Indonesia mempunyai derajat spesialisasi (tingkat keunggulan) untuk empat jenis produk tersebut terakhir lebih tinggi dibandingkan produk-produk mineral.
11
Indeks Spesialisasi dari Indonesia, 2003
Sumber:Table 2.
Tabel 3 di bawah menyajikan tren perkembangan dari RCA dari beberapa produk tekstil dan elektronik Indonesia untuk period 1996-2002, yang menunjukkan bahwa di dalam suatu kelompok produk, tingkat daya saing bervariasi antar jenis produk yang berbeda. Misalnya, RCA untuk pakaian jadi adalah 1,98 pada tahun 2003 (lihat Tabel 2); namun demikian, RCA berbeda antara jenis-jenis pakaian jadi yang berbeda (Tabel 3). Table 3 RCA dari Beberapa Produk Tekstil dan Elektronik Indonesia SITC code (3 digit)
Produk 19996
1997
1998
Tahun 1999
2000
2001
2002
651 652 653 654 655 657 658 841 842 843 845
Tekstil & produk-produknya Textile thread Cotton/weaving Weaving from fabricated fibre Other weaving Knitting embroiderry Special thread & textile & its products Other textile products Non-knitting cloth for man and boy Non-knitting cloth for woman and girl Knitting cloth for man and boy Other non-finished textile products
3,51 1,9 4,13 0,08 0,45 0,64 1,63 3,34 2,89 3,9 1,82
2,98 1,78 3,42 0,07 0,34 0,63 1,07 2,74 2,72 2,64 1,35
3,94 1,97 4,12 0,05 0,24 0,63 0,94 3,57 2,52 3,11 1,52
5,05 2,41 4,45 0,05 0,45 0,81 1,43 3,89 3,33 4,42 2,04
4,54 2,33 4,08 0,04 0,64 0,84 1,52 3,87 3,46 3,59 2,09
4,91 2,26 4,18 0,03 0,47 0,76 1,67 3,84 3,37 3,4 2,29
4,88 1,84 3,7 0,03 0,37 0,69 1,36 3,36 3,03 2,64 2,04
774
Elektronik Electronic equipment for medical treatment
0,0
0,05
0,06
0,06
0,11
0,14
0,17
12
775 Household electronics 778 Others Sumber: Deprind dan UNIDO.
0,06 0,63
0,10 0,58
0,16 0,58
0,15 0,65
0,15 0,63
0,17 0,67
0,16 0,75
Secara teori, daya saing berkorelasi positif dengan volume ekspor, atau secara hipotesis, dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi daya saing semakin besar volume ekspor. Namun demikian, data dari Bank Dunia atau WTO menunjukkan bahwa semakin banyak negara yang melakukan ekspor dan impor untuk jenis atau kelompok barang yang sama, yang menunjukkan bahwa semakin penting intra-trade (perdagangan di dalam kelompok barang/sektor yang sama) dibandingkan inter-trade (perdagangan antara kelompok barang/sektor yang berbeda) antara negara. Implikasinya adalah bahwa walaupun Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi untuk suatu jenis produk, tidak selalu berarti Indonesia merupakan suatu negara pengekspor neto atas produk tersebut. Jadi, pertanyaan sekarang: apakah Indonesia cenderung menjadi suatu negara pengekspor neto terhadap produk-produk yang mana Indonesia memiliki RCA di atas 1? Table 4 menunjukkan suatu indeks yang disebut Indeks Spesialisasi Produk (ISP) dari produk-produk di Tabel 3 di atas. Indeks ini bias memberi suatu gambaran mengenai kecenderungan Indonesia dalam arah perdagangan dunia dari produk-produk tersebut. Indeks ini membandingkan neraca perdagangan (ekspor neto atau ekspor-impor) dari Indonesia dari suatu produk dengan total perdagangan (ekspor + impor) dari Indonesia untuk produk tersebut. Jika nilainya di atas 0,5 hingga 1 menandakan bahwa Indonesia cenderung menjadi suatu negara pengekspor neto (ekspor>impor) untuk produk bersangkutan, dan jika nilainya di bawah 0,50 hingga mendekati -1 berarti Indonesia cenderung menjadi suatu negara pengimpor neto (ekspor
Tabel 4 ISP dari Sejumlah Produk Tekstil dan Elektronik Indonesia SITC code (3 digit)
Produk
Tekstil & produk-produknya Textile thread 651 Cotton/weaving 652 Weaving from fabricated fibre 653 Other weaving 654 Knitting embroiderry 655 Special thread & textile & its products 657 Other textile products 658 Non-knitting cloth for man and boy 841 Non-knitting cloth for woman and girl 842 Knitting cloth for man and boy 843 Other non-finished textile products 845 Elektronik Electronic equipment for medical treatment 774 Household electronics 775 Others 778 Sumber: Deprind dan UNIDO.
19996
1997
1998
Tahun 1999
0,54 0,43 0,72 -0,63 -0,69 -0,52 0,87 1,0 1,0 0,99 0,99
0,51 0,34 0,66 -0,64 -0,69 -0,48 0,85 0,99 0,99 1,0 0,98
0,6 0,36 0,65 -0,78 -0,73 -0,41 0,79 1,0 1,0 0,99 0,99
0,71 0,52 0,73 -0,76 -0,41 -0,18 0,9 0,99 1,0 1,0 0,99
0,65 0,42 0,61 -0,8 -0,32 -0,2 0,91 1,0 1,0 1,0 0,99
0,65 0,45 0,63 -0,82 -0,4 -0,19 0,93 1,0 1,0 1,0 0,99
0,69 0,42 0,69 -0,83 -0,29 -0,18 0,91 0,99 0,99 0,99 0,98
-1,0 -0,58 0,03
-0,78 -0,50 -0,08
-0,8 0,02 0,12
-0,62 0,18 0,42
-0,65 -0,06 0,34
-0,23 -0,02 0,31
-0,35 -0,18 0,29
2000
2001
2002
13
Dampak dari Globalisasi Ekonomi Jenis Dampak Dampak dari globalisasi ekonomi terhadap perekonomian suatu negara bisa positif atau negatif, tergantung pada kesiapan negara tersebut dalam menghadapi peluang-peluang maupun tantangan-tantangan yang muncul dari proses tersebut. Secara umum, ada empat (4) wilayah yang pasti akan terpengaruh, yakni : 1. Ekspor. Dampak positifnya adalah ekspor atau pangsa pasar dunia dari suatu negara meningkat; sedangkan efek negatifnya adalah kebalikannya: suatu negara kehilangan pangsa pasar dunianya yang selanjutnya berdampak negatif terhadap volume produksi dalam negeri dan pertumbuhan PDB serta meningkatkan jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan. Dalam beberapa tahun belakangan ini ada kecenderungan bahwa peringkat Indonesia di pasar dunia untuk sejumlah produk tertentu yang selama ini diunggulkan Indonesia, baik barang-barang manufaktur seperti tekstil, pakaian jadi dan sepatu, maupun pertanian (termasuk perkebunan) seperti kopi, cokelat dan biji-bijian, terus menurun relatif dibandingkan misalnya Cina dan Vietnam. Ini tentu suatu pertanda buruk yang perlu segera ditanggapi serius oleh dunia usaha dan pemerintah Indonesia. Jika tidak, bukan suatu yang mustahil bahwa pada suatu saat di masa depan Indonesia akan tersepak dari pasar dunia untuk produk-produk tersebut. 2. Impor. Dampak negatifnya adalah peningkatan impor yang apabila tidak dapat dibendung karena daya saing yang rendah dari produk-produk serupa buatan dalam negeri, maka tidak mustahil pada suatu saat pasar domestik sepenuhnya akan dikuasai oleh produk-produk dari luar negeri. Dalam beberapa tahun belakangan ini ekspansi dari produk-produk Cina ke pasar domestik Indonesia, mulai dari kunci inggris, jam tangan tiruan hingga sepeda motor, semakin besar. Ekspansi dari barang-barang Cina tersebut tidak hanya ke pertokoan-pertokoan moderen tetapi juga sudah masuk ke pasar-pasar rakyat dipingir jalan. 3. Investasi. Liberalisasi pasar uang dunia yang membuat bebasnya arus modal antarnegara juga sangat berpengaruh terhadap arus investasi neto ke Indonesia. Jika daya saing investasi Indonesia rendah, dalam arti iklim berinvestasi di dalam negeri tidak kondusif dibandingkan di negara-negara lain, maka bukan saja arus modal ke dalam negeri akan berkurang tetapi juga modal investasi domestik akan lari dari Indonesia yang pada aknirnya membuat saldo neraca modal di dalam neraca pembayaran Indonesia negatif. Pada gilirannya, kurangnya investasi juga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan produksi dalam negeri dan ekspor. Seperti telah di bahas sebelumnya, sejak krisis ekonomi 1997/98, arus PMA ke Indonesia relatif berkurang dibandingkan ke negara-negara tetangga; bahkan di dalam kelompok ASEAN, Indonesia menjadi negara yang paling tidak menarik untuk PMA karena berbagai hal, mulai dari kondisi perburuan yang tidak lagi menarik investor asing, masalah keamanan dan kepastian hukum, hingga kurangnya insentif, terutama insentif fiskal bagi investasi-investasi baru. Sebaliknya, Vietnam, sebagai suatu contoh, menjadi sangat menarik bagi investor asing karena tidak hanya tenaga kerjanya sangat disiplin dan murah, juga pemerintah Vietnam memberikan tax holiday bagi investasi-investasi baru.
14
4. Tenaga kerja. Dampak negatifnya adalah membanjirnya tenaga ahli dari luar di Indonesia, dan kalau kualitas SDM Indonesia tidak segera ditingkatkan untuk dapat menyaingi kualitas SDM dari negara-negara lain, tidak mustahil pada suatu ketika pasar tenaga kerja atau peluang kesempatan kerja di dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh orang asing. Sementara itu, tenaga kerja Indonesia (TKI) semakin kalah bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara lain di luar negeri. Juga tidak mustahil pada suatu ketika TKI tidak lagi diterima di Malaysia, Singapura atau Taiwan dan digantikan oleh tenaga kerja dari negara-negara lain seperti Filipina, India dan Vietnam yang memiliki keahlian lebih tinggi dan tingkat kedisiplinan serta etos kerja yang lebih baik dibandingkan TKI.
Keempat jenis dampak tersebut secara bersamaan akan menciptakan suatu efek yang sangat besar dari globalisasi ekonomi dunia terhadap perekonomian dan kehidupan sosial di setiap negara yang ikut berpartisipasi di dalam prosesnya, termasuk Indonesia. Lebih banyak pihak yang berpendapat bahwa globalisasi ekonomi akan lebih merugikan daripada menguntungkan NSB. Seperti misalnya pendapat yang pesimis mengenai globalisasi dari Khor (2002) sebagai berikut: Globalisasi adalah suatu proses yang sangat tidak adil dengan distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak adil. Ketidakseimbangan ini tentu saja akan menyebabkan pengkutuban antara segelintir negara dan kelompok yang memperoleh keuntungan, dan negara-negara maupun kelompok yang kalah atau termajinalisasi. Dengan demikian, globalisasi, pengkutuban, pemusatan kesejahteraan dan marjinalisasi merupakan rentetan peristiwa menjadi saling terkait melalui proses yang sama. Dalam proses ini, sumber-sumber investasi, pertumbuhan dan teknologi moderen terpusat pada sebagian kecil (terutama negara-negara Amerika Utara, Eropa, Jepang dan negara-negara industri baru (NICs) di Asia Timur). Majoritas NSB tidak tercakup dalam proses globalisasi atau ikut berpartisipasi namun dalam porsi yang sangat kecil dan acapkali berlawanan dengan kepentingannya, misalnya liberalisasi impor dapat menjadi ancaman bagi produsen-produsen domestik mereka dan liberalisasi moneter dapat menyebabkan instabilitas moneter dalam negeri (hal.18). Masih menurut Khor, Manfaat dan biaya liberalisasi perdagangan bagi NSB menimbulkan persoalan yang kian kontroversial. Pandangan kontroversial bahwa liberalisasi perdagangan merupakan sesuatu yang penting dan secara otomatif atau pada umumnya memiliki dampak-dampak positif bagi pembangunan dipertanyakan kembali secara empiris maupun analitis. Kini saatnya meneliti sejarahnya dan merumuskan berbagai pendekatan yang tepat bagi kebijakan perdagangan di NSB. (hal.32). Dengan demikian, Khor (2002) berpendapat bahwa globalisasi ekonomi mempengaruhi berbagai kelompok negara secara berbeda. Secara umum, menurutnya, dampak dari proses ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup negara. Grup pertama adalah sejumlah kecil negara yang mempelopori atau yang terlibat secara penuh dalam proses ini mengalami pertumbuhan dan perluasan kegiatan ekonomi yang pesat, yang pada umumnya adalah negara-negara maju. Grup kedua adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sedang dan fluktuatif, yakni negara-negara yang berusaha menyesuaikan diri dengan kerangka globalisasi ekonomi atau liberalisasi perdagangan dan investasi. Misalnya negara-negara dari kelompok NSB yang tingkat pembangunan/kemajuan industrinnya sudah mendekati tingkat dari negaranegara industri maju, seperti NICs. Grup ketiga adalah negara-negara yang termarjinalisasikan atau yang sangat dirugikan
15
karena ketidakmampuan mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dari proses tersebut dan persoalan-persoalan pelik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan globalisasi ekonomi seperti harga-harga komoditas primer yang rendah dan fluktuatif serta hutang luar negeri. Grup ini didominasi oleh NSB terutama di Afrika, Asia Selatan (terkecuali India) dan beberapa negara di Amerika Latin (tidak termasuk negara-negara yang cukup berhasil seperti Brazil, Argentina, Chile dan Meksiko). Perkiraan bahwa sebagian besar dari NSB, terutama di tiga wilayah tersebut di atas termarjinalisasikan dalam proses globalisasi ekonomi bukan sesuatu tanpa alasan kuat. Data deret waktu dari UNCTAD menunjukkan bahwa dalam empat (4) dekade terakhir, pangsa NSB di dalam ekspor dunia menurun secara konstan dari 3,06% pada tahun 1954 ke 0,42% pada tahun 1998. Laju penurunannya lebih dalam periode 1960-an dan 1970-an Data UNCTAD tidak hanya membedakan antara negara-negara maju (developed countries) dengan NSB, tetapi di dalam kelompok NSB itu sendiri dibedakan antara yang sudah maju (developing countries) seperti NICs, Thailand, Malaysia, Indonesia, India, Cina, Pakistan, Israel di Asia dan Brasil, Argentina, Chile dan Meksiko di Amerika Latin, dan negara-negara yang terbelakang dalam tingkat pembangunan/industrialisasinya (least developed countries) yang didominasi terutama oleh negara-negara miskin di Afrika dan Asia Selatan. NSB dari katetori least developed countries paling kecil pangsa pasar dunianya, dan dalam 4 dekade terakhir ini menunjukkan suatu tren yang menurun yang mengindikasikan bahwa kelompok ini semakin termarjinalisasikan.
Perkiraan dampak terhadap Indonesia: Beberapa hasil simulasi Sudah banyak laporan mengenai ketidakmerataan pendapatan antarnegara yang dikaitkan dengan proses globalisasi ekonomi. Diantaranya adalah laporan pembangunan dan perdagangan dari UNCTAD tahun 1997. Di dalam laporan tersebut ditunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan antara NSB, khususnya dari kategori least developed countries, yang sering disebut negara-negara Selatan dengan negara-negara maju, atau negara-negara Utara (terutama negara-negara industri yang tergabung dalam kelompok G-7, yakni AS, Kanada, Australia, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang) meningkat secara signifikan sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per kapita dari negara-negara G-7 tersebut mencapai 20 kali lebih tinggi dari tujuh (7) negara termiskin di dunia; dan pada pertengahan dekade 90-an perbandingannya meningkat menjadi 39 kalinya. Menurut laporan tersebut, ketimpangan itu berakar pada seperangkat kekuatan yang ditimbulkan oleh pesatnya liberalisasi perdagangan dunia yang akhirnya mengarah pada semakin besarnya ketimpangan pendapatan karena hanya negara-negara yang lebih kuat atau lebih siap yang menikmati keuntungan dari era tersebut, sedangkan NSB yang pada umumnya masih sangat lemah dalam segala bidang terutama pendidikan dan teknologi adalah pihak yang dirugikan. Di dalam laporan UNCTAD tahun 1999 dikatakan bahwa liberalisasi perdagangan dunia menyebabkan peningkatan yang tajam dalam impor NSB yang tidak diimbangi oleh peningkatan ekspor mereka dalam laju yang sama. Struktur dari pertumbuhan perdagangan luar negeri ini tidak saja membuat banyak NSB mengalami defisit yang besar dari saldo transaksi berjalan mereka, tetapi juga membuat tingkat ketergantungan NSB terhadap impor dari negara-negara Utara
16
semakin tinggi. Terkecuali beberapa negara seperti Cina, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang pertumbuhan ekspornya rata-rata per tahun tinggi. 2 Gambaran yang sama juga dijumpai oleh Nayyar (1997) dari penelitiannya mengenai fenomena pembangunan yang tidak adil antara NSB dan negara-negara maju yang disebabkan oleh globalisasi ekonomi dunia. Menurut hasil studinya, keuntungan-keuntungan dari liberalisasi perdagangan menumpuk hanya di sebagian kecil NSB, yakni dari kategori developing countries.. Hanya terdapat sebelas (11) NSB yang menjadi bagian integral dari globalisasi ekonomi di akhir abad ke-20. Negara-negara tersebut mencakup sekitar 60% dari total ekspor NSB di awal 1990-an, yang meningkat sekitar 100% dari 30% selama 1970-an; dan sekitar 66% dari PMA yang mengalir ke NSB pada tahun 1981-1991. Menurutnya, kelemahan dari NSB berakar dari sejumlah faktor. Posisi NSB secara ekonomi lemah untuk memulai integrasi dengan pasar dunia karena rendahnya kapasitas ekonomi dalam negeri dan infrastruktur sosial yang belum berkembang baik sebagai warisan masa penjajahan. Negara-negara tersebut yang sangat tergantung pada ekspor komoditikomoditi primer semakin diperlemah oleh harga dunia dari komoditi-komoditi tersebut yang rendah dan berfluktuatif serta dasar tukar perdagangan (ToT) dari ekspor mereka yang terus menurun yang membuat negara-negara tersebut kekurangan devisa yang berbuntut pada krisis utang luar negeri. Perkembangan dari rasio antara indeks harga dari komoditi-komoditi primer (terdiri dari bahan-bahan makanan, bahan-bahan baku pertanian, karet, minyak dari tumbuh-tumbuhan termasuk dari kelapa sawit, rami, biji tambang dan logam) terhadap indeks harga dari produk-produk manufaktur (ToT) menunjukkan suatu tren yang menurun sejak awal 1970-an hingga akhir 1990-an. Selain itu, Nayyar berpendapat bahwa kelemahan NSB juga dikarenakan lemahnya daya tawar dan kemampuan negosiasi mereka dalam hubungan internasional. Dengan jumlah utang luar negeri yang besar, dan tingginya ketergantungan mereka pada bantuan donor bilateral dan organisasi-organisasi dunia pemberi pinjaman multilateral seperti Bank Dunia dan IMF, ditambah lagi dengan ketergantungan impor yang juga tinggi, NSB kehilangan kemampuan untuk bernegosiasi. Akhirnya, NSB hanya bisa menerima apa saja yang dituntut oleh negara-negara maju yang berkaitan dengan tata cara perdagangan internasional seperti penghapusan tarif impor dan subsidi ekspor terhadap komoditi-komoditi pertanian, yang bagi sebagian NSB masih merupakan komoditi-komoditi ‘sensitif’. 3 Hingga saat ini sudah cukup banyak penelitian empiris dengan pendekatan simulasi mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap negara-negara yang terlibat, misalnya terhadap perubahan output (PDB) dan ekspor. Diantaranya yang menarik untuk dibahas di sini secara garis besar adalah dari Satriawan (1997), Ingco (1997), UNCTAD (1999), Scollay dan Gilbert (1999a,b, 2000, 2001), Gilbert dkk (1999), Feridhanusetyawan (1997), Feridhanusetyawan dkk. (2002), dan Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003). 4 Satriawan (1997) melakukan suatu simulasi mengenai pengaruh dari penghapusan/pengurangan tarif impor terhadap sektor pertanian di negara-negara ASEAN. Dengan menggunakan suatu
2 Komentar-komentar mengenai kesenjangan yang semakin membesar antara kelompok Selatan dan kelompok Utara yang didorong oleh proses liberalisasi perdagangan dunia yang semakin kencang dapat dibaca di laporan-laporan tahunan lainnya dari UNCTAD. 3 Lihat juga seperti Raghavan (1990), Rodrik (1999) dan Shavaeddin (1994) yang juga memberi komentar-komentar mengenai distribusi yang tidak adil dari keuntungan dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap NSB. Selain itu, lihat juga literatur yang memperdebatkan manfaat dari globalisasi misalnya terhadap kaum miskin di dunia, diantaranya Mander dkk. (2003), dan terhadap pembangunan berkelanjutan, misalnya Khor (2002). 4 Studi-studi lain yang juga menarik untuk dilihat diantaranya adalah dari APEC (1997, 1999), Anderson dkk. (1997), Young dan Huff (1997), dan Bora dkk. (2002)..
17
model yang disebut Computable General Equilibrium (CGE), hasilnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya, sektor pertanian Indonesia menderita kerugian yang sangat besar dalam bentuk penurunan volume produksi sebesar 332,83%, dan khususnya produksi beras berkurang hampir 30%. Hasil simulasinya menunjukkan bahwa dampak awal pada ASEAN sendiri sebagai suatu wilayah ekonomi di dunia sebenarnya tidak terlalu besar. Namun karena produksi dari komoditi-komoditi pertanian di Indonesia memainkan suatu peran yang sangat besar, tidak hanya di dalam perekonomian Indonesia sendiri tetapi juga di dalam perekonomian ASEAN secara keseluruhan, maka dampak (negatif) terhadap Indonesia menjadi paling besar di dalam ASEAN. Selain itu, penerapan liberalisasi perdagangan, baik dalam lingkup AFTA maupun pada tingkat dunia (WTO), mempunyai suatu efek negatif yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekspor dari komoditi-komoditi pertanian Indonesia, yakni lebih dari 800%. Efek ini paling besar dibandingkan efek terhadap ekspor dari komoditi-komoditi pertanian dari negara-negara ASEAN lainnya. Di antaranya, ekspor beras Indonesia diestimasikan turun hampir 70%, dibandingkan misalnya Malaysia yang turun hanya 2,8%. Hanya untuk ekspor ternak hidup, baik di Indonesia maupun di negara-negara ASEAN lainnya diproyeksikan tumbuh positif. Ingco (1997) menghasilkan suatu estimasi yang sedikit berbeda dengan hasil simulasi dari Satriawan di atas. Dengan memakai
dasar
tukar
perdagangan
(ToT)
sebagai
indikatornya,
hasil
analisanya
menunjukkan
bahwa
penurunan/penghapusan tarif impor sesuai Putaran Uruguay (WTO) membuat subsektor makanan mengalami suatu kerugian yang diestimasikan berkisar antara 17 juta dollar AS (skenario I) hingga 45 juta dollar AS (skenario II) (Tabel 5). Tetapi, untuk sektor pertanian secara keseluruhan, Indonesia diprediksikan akan mendapat keuntungan sebesar 10 juta dollar AS (skenario I) hingga 12 juta dollar AS lebih (skenario II) (Tabel 6). Hasil estimasi ini memberi suatu kesan bahwa jumlah komoditi pertanian Indonesia yang mengalami kenaikan ToT (atau yang daya saing globalnya relatif bagus) lebih banyak daripada jumlah komoditi yang mengalami penurunan ToT, termasuk bahan-bahan makanan, sehingga secara neto sektor pertanian lebih diuntungkan daripada dirugikan oleh liberalisasi perdagangan. Tabel 5 Dampak dari Putaran Uruguay terhadap ToT Makanan dari Sejumlah NSB Negara Bangladesh Benin Bhutan Botswana Burkina Faso Burundi Chad Kambodia RRC Comoros Mesir Ethiopia Gambia Ghana Haiti Honduras India Indonesia Kenya
Efek ToT (juta dollar AS) Skenario I-II -1,75 - -24,14 -0,53 - -3,60 -0,07 - -0,48 0,30-1,42 -0,21 - -3,13 -0,59 - -0,51 -0,83 - -0,79 0,07- -0,75 -71,77 – 14,60 -0,16- -0,84 -35,88 - -111,49 -4,71 - -8,22 -0,34 - -3,77 -5,13 - -7,20 -1,30 - -9,60 -5,92 – 5,79 -1,83-20,63 -17,94- -45,00 -3,75- -3,09
% dari PDB Skenario I-II -0,01- -0,10 -0,03- -0,18 -0,03- -0,18 0,01-0,04 -0,01- -0,11 -0,05- -0,04 -0,07- -0,06 0,01- -0,07 -0,01-0,00 -0,06- -0,34 -0,10- -0,32 -0,07- -0,13 -0,10- -1,12 -0,08- -0,11 -0,07- -0,53 -0,19-0,19 0,00-0,01 -0,02- -0,04 -0,05- -0,04
18
Liberia Madagaskar Malawi Myanmar Namibia Nepal Nicaragua Pakistan Sierra Leone Somalia Sri Lanka Sudan Tanzania Uganda Vietnam Yemen Zaire Zambia Zimbabwe Sumber: Ingco (1997)
0,44- -2,68 -0,37-0,77 -0,50-1,87 -0,57-1,51 -1,15- -0,58 -0,06- -1,43 0,52-3,49 -8,58- -25,15 0,46- -3,42 -0,99- -3,55 -6,25- -21,65 -4,39- -5,62 -0,85- -1,42 -1,01-0,30 -4,53-10,41 -8,05- -40,24 -2,10- -6,74 -0,86- -0,70 -1,10-1,55
0,04- -0,24 -0,01-0,03 -0,03-0,09 0,00-0,00 -0,05- -0,03 0,00- -0,05 0,03-0,20 -0,02- -0,06 0,06- -0,44 -0,11- -0,39 -0,07- -0,24 -0,06- -0,08 -0,03- -0,05 -0,03-0,01 -0,05-0,12 -0,09- -0,47 -0,02-0,08 -0,03- -0,02 -0,03-0,05
Tabel 6 Dampak dari Putaran Uruguay terhadap ToT Pertanian secara total dari Sejumlah NSB Negara Bangladesh Benin Bhutan Botswana Burkina Faso Burundi Chad Kambodia RRC Comoros Mesir Ethiopia Gambia Ghana Haiti Honduras India Indonesia Kenya Liberia Madagaskar Malawi Myanmar Namibia Nepal Nicaragua Pakistan Sierra Leone Somalia Sri Lanka Sudan Tanzania Uganda Vietnam Yemen Zaire Zambia Zimbabwe
Efek ToT (juta dollar AS) Skenario I-II -1,47- -19,88 -1,94- -2,22 -0,08- -0,49 0,10-1,35 -1,82- -0,11 0,06-1,79 -1,96-1,09 0,19- -0,30 -46,89-78,24 -0,16- -0,73 -39,09- -113,10 -3,22- -03,08 -0,51- -4,01 -5,05- -7,01 -1,13- -8,03 -4,51-11,01 8,90-78,44 10,80-12,45 0,73-11,69 0,67- -1,83 0,22-3,16 2,46-12,35 -0,20-3,33 -1,18- -0,81 -0,13- -1,41 0,56-6,84 -16,61- -19,16 0,56- -2,89 -0,92- -3,16 -1,70- -4,69 -5,78-0,92 -0,87-4,29 -0,01-4,38 -1,05-15,88 -8,34- -36,84 -1,61- -0,05 -0,91- -0,57 1,87-15,55
% dari PDB Skenario I-II -0,02- -0,05 -0,10- -0,11 -0,03- -0,19 0,00-0,04 -0,07-0,00 0,01-0,16 -0,15-0,09 0,02- -0,03 -0,01-0,02 -0,06- -0,29 -0,11- -0,33 -0,05- -0,05 -0,15- -1,19 -0,08- -0,10 -0,06- -0,45 -0,15-0,36 0,00-0,03 0,01-0,01 0,01-0,14 0,06- -0,16 0,01-0,11 0,13-0,63 0,00-0,01 -0,05- -0,04 0,00- -0,04 0,03-0,40 -0,04- -0,04 0,07- -0,38 -0,10- -0,34 -0,02- -0,05 -0,08-0,01 -0,03-0,15 0,00-0,15 -0,01-0,18 -0,10- -0,43 -0,02- -0,06 -0,03- -0,02 0,06-0,47
19
Sumber: lihat Tabel 5.
Sedangkan, hasil simulasi dari UNCTAD (1999) menunjukkan bahwa diantara sejumlah negara di Asia yang masuk di dalam sampel penelitiannya, pengaruh positif dari penerapan sistem perdagangan bebas terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia adalah paling kecil setelah Turkey (Tabel 7). Walaupun, penelitian ini tidak terlalu spesifik mengenai dampaknya terhadap ekspor secara sektoral, hasilnya memberi suatu indikasi bahwa Indonesia mempunyai banyak masalah, baik dari sisi suplai (seperti keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur), maupun dari sisi permintaan (persaingan), yang membuat Indonesia tidak (belum) bisa mengoptimalisasikan keuntungan dari liberalisasi perdagangan dunia. Dari sisi suplai, keterbatasan kapasitas produksi untuk mencapai suatu skala ekonomi dan infrastruktur terutama fisik seperti jalan raya, alat-alat transportasi dan komunikasi, pelabuhan dan pergudangan sangat berpengaruh negatif terhadap harga produk yang dengan senidirinya akan menurunkan daya saing harga dari produk-produk ekspor Indonesia. Sedangkan dari sisi permintaan, dalam 10 tahun belakangan ini banyak produk-produk ekspor unggulan Indonesia, yang mana Indonesia mempunyai keunggulan komparatif seperti upah buruh murah dan bahan baku berlimpah, menghadapi persaingan yang semakin ketat seperti dari Cina dan Vietnam. Tabel 7 Pertumbuhan Ekpor Setelah Liberalisasi Perdagangan Luar Negeri (PLN) di Indonesia dan Beberapa Negara Asia Lainnya (%) Negara Indonesia Malaysia Filipina Thailand Turkey
Tahun dari liberalisasi PLN 1986 1988 1986 1986 1989
Dua Tahun Pertama setelah liberalisasi PLN 2 18 15 31 5
Sepuluh Tahun Berikutnya Setelah Liberalisasi PLN 13 18 15 17 11
Sumber: UNCTAD (1999).
Juga dengan memakai kerangka model CGE, Scollay dan Gilbert (1999a,b, 2000, 2001) melakukan sebuah simulasi dengan memfokuskan pada sejumlah komoditi pertanian tertentu. Proses simulasi mereka didasarkan pada 3 skenario yang berbeda, yakni liberalisasi most-favoured-nation (MFN) tanpa keharusan timbal balik (non-diskriminasi non-kondisional) (A), preferential APEC free trade area (B), dan liberalisasi MFN dengan keharusan timbal balik (non-diskriminasi kondisional) (C). Hasilnya menunjukkan bahwa untuk tiga skenario tersebut liberalisasi perdagangan dunia (WTO) maupun regional (APEC) berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia; sedangkan negara-negara tetangga seperti Thailand and Malaysia menikmati keuntungan positif (Tabel 8). Tabel 8 Estimasi Dampak Kesejahteraan dari Liberalisasi Perdagangan Pertanian, basis variasi ekuivalen (deviasi dari baseline 2005 (miliar US$ 1995) dan persentase dari baseline 2005 PDB riil). Wilayah/Negara Australia Selandia Baru Jepang Korea Selatan Indonesia
A US$ 5,2 1,8 40,5 8,0 -0,3
B % 1,1 2,5 0,7 0,9 -0,1
US$ 7,5 4,7 30,6 3,3 -0,4
C % 1,7 6,5 0,5 0,4 -0,1
US$ 8,6 7,5 35,7 6,2 -0,4
% 1,9 10,3 0,6 0,7 -0,1
20
Malaysia Filipina Thailand RRC Kanada AS Meksiko Negara APEC lainnya Eropa Sisa dari dunia Negara Berkembang APEC Negara Maju APEC
6,2 1,7 11,7 8,2 1,7 9,8 -0,1 11,8 -12,7 13,0 47,1 59,0
3,6 1,9 2,8 0,5 0,3 0,1 0,0 1,3 -0,1 0,2 1,0 0,4
4,0 1,2 10,8 -6,5 1,4 13,4 -0,3 9,3 -10,7 7,7 21,4 57,7
2,3 1,3 2,5 -0,4 0,2 0,2 -0,1 1,0 -0,1 0,1 0,4 0,4
11,3 1,6 15,4 4,1 2,5 29,5 -0,3 30,6 24,1 16,2 68,5 83,8
6,5 1,7 3,6 0,3 0,4 0,3 -0,1 3,4 0,2 0,3 1,4 0,5
Total APEC Non APEC
106,1 0,3
0,0
79,1 -3,0
0,0
152,3 40,3
0,2
Sumber: Scollay dan Gilbert (1999,2000,2001).
Dengan memakai tiga skenario yang sama, Gilbert dkk (1999) memprediksi pengaruh dari liberalisasi perdagangan khusus terhadap subsektor makanan. Pengaruh tersebut diukur tidak hanya dalam nilai absolut (dollar AS) tetapi juga dengan suatu persentase dari baseline PDB riil untuk tahun 2005 untuk memberi suatu indikasi mengenai besarnya efek kesejahteraan dari liberalisasi tersebut (Tabel 9). Estimasi keuntungan total untuk semua negara di wilayah APEC berkisar antara US$55 hingga US$112 miliar, dengan keuntungan yang paling besar adalah dari skenario A. Untuk semua skenario tersebut, hasil estimasi menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan makanan tidak menguntungkan Indonesia, sedangkan tiga negara ASEAN lainnya yakni Malaysia, Filipina dan Thailand mendapat keuntungan. Tabel 9 Estimasi Dampak Kesejahteraan dari Liberalisasi Perdagangan Makanan, basis variasi ekuivalen (deviasi dari baseline 2005 (miliar US$ 1995) dan persentase dari baseline 2005 PDB riil). Wilayah/Negara
A
B
C
Australia Selandia Baru Jepang Korea Selatan Indonesia Malaysia Filipina Thailand RRC Kanada AS Meksiko Negara APEC lainnya Eropa Sisa dari dunia Negara Berkembang APEC Negara Maju APEC
US$ 3,91 1,60 34,02 -1,42 -0,40 3,85 1,66 6,66 7,46 1,09 7,81 0,60 4,44 -11,53 9,68 24,27 47,01
% 0,91 2,29 0,57 -0,23 -0,12 2,80 1,84 2,09 0,61 0,17 0,10 0,16 0,70 -0,12 0,17 0,78 0,30
US$ 6,00 3,82 22,39 -2,24 -0,38 2,41 1,22 6,61 -0,90 0,86 11,64 0,45 3,72 -8,51 4,21 13,13 42,47
% 1,39 5,48 0,38 -0,37 -0,11 1,75 1,35 2,08 -0,07 0,13 0,14 0,12 0,59 -0,09 0,07 0,42 0,27
US$ 6,35 5,89 29,72 -1,83 -0,35 8,69 1,47 9,67 6,89 1,66 25,80 0,40 18,23 16,47 5,51 45,00 67,59
% 1,47 8,44 0,50 -0,30 -0,10 6,33 1,63 3,04 0,56 0,26 0,32 0,10 2,89 0,17 0,10 1,44 0,43
Total APEC Dunia
71,28 69,43
0,38 0,20
55,60 51,30
0,29 0,15
112,59 134,57
0,59 0,39
Sumber: Gilbert dkk (1999).
Terakhir, sebuah simulasi dari Feridhanusetyawan dkk. (2000) terhadap sejumlah sektor dan subsektor di Indonesia; yang kemudian disempurnakan oleh Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003). Dengan menggunakan suatu model yang
21
disebut Global Trade Analysis Project, yang pada prinsipnya adalah model CGE, mereka mengevaluasi bentuk-bentuk liberalisasi perdagangan yang berbeda yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1980-an. Tujuan dari studi mereka adalah untuk melihat besarnya efek dari masing-masing bentuk liberalisasi tersebut terhadap pertumbuhan output dan ekspor Indonesia, dan mengkaji bentuk yang mana yang memberikan keuntungan paling optimal bagi Indonesia. Di dalam penelitian ini, ekonomi dunia dibagi ke dalam 19 wilayah dan 12 sektor seperti yang dapat dilihat di Tabel 6 dan Tabel 7. Dasar teorinya adalah bahwa liberalisasi perdagangan membuat realokasi dari semua sumber daya produksi yang ada (seperti tenaga kerja, sumber daya alam dan modal) lebih baik, yang terrefleksikan di dalam perubahan-perubahan dari pola produksi dan ekspor sektoral, yang selanjutnya akan menurunkan biaya produksi per satu unit output (atau menaikan tingkat daya saing harga), dan di sisi lain, meningkatkan pertumbuhan output dan ekspor, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan (pendapatan). Tabel 10 menyajikan estimasi dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap komposisi output, yang dinyatakan dalam perbedaan-perbedaan persentase dari hasil-hasil tanpa liberalisasi. Sedangkan, Tabel 11 memperlihatkan perkiraan dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap nilai ekspor. Secara umum, hasil simulasi mereka menunjukkan bahwa dalam semua skenario liberalisasi perdagangan, sumber daya produksi pindah menuju industri tekstil dan pakaian jadi, yang mana outputnya diproyeksikan naik 100% atau lebih. Ekspor dari produk-produk ini diestimasikan naik senilai US$12-14 miliar, yang kurang lebih sama dengan semua kenaikan dari ekspor total Indonesia. Tabel 10 Dampak dari Bentuk-Bentuk Liberalisasi Perdagangan terhadap Output Indonesia (% Perubahan)* Komoditas
Beras Biji-bijian Bukan biji-bijian Hewan Kehutanan Perikanan Pertambangan Makanan Tekstil & pakaian jadi Olahan lainnya Minyak, batu bara & kimia Jasa-jasa
Hanya putaran Uruguay (UR)
-1,5 -0,9 -2,5 0,6 -7,2 -5,0 -18,8 -1,5 117,6 -8,8 -2,1 0,1
Unilateral oleh Indonesia Skenario I -0,9 0,9 -2,7 1,0 -6,8 -4,6 -17,9 -1,0 106,7 -8,5 -1,0 0,2
UR + AFTA TP** DP** Sk.2a Sk.2b -1,5 -1,8 -0,9 27,9 -2,5 -3,3 0,6 1,0 -7,4 -7,6 -2,1 -2,3 -19,1 -19,2 -1,5 -1,9 117,8 117,0 -9,0 -9,3 -2,2 -2,4 0,1 0,0
APEC TP Sk.3a -1,0 -0,4 -2,1 0,8 -7,2 -4,0 -16,1 -1,0 100,3 -9,2 -0,8 0,2
DP Sk.3b -1,3 1,3 -2,1 0,9 -7,0 -3,9 -16,0 -1,3 99,7 -9,0 -0,8 0,2
Keterangan: *: hasil yang merefleksikan dampak dengan penghapusan the Multi Fibre Arrangement (MFA); ** TP = tanpa pertanian; DP = dengan pertanian Sumber: Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).
22
Tabel 11 Dampak dari Liberalisasi Perdagangan terhadap Ekspor Indonesia (juta US$)* Komoditas
Hanya putaran Uruguay (UR)
UR + AFTA TP** DP** 0 0 4 271 697 642 27 47 -2 -2 -58 -61 -2.280 -2.691 -98 -143 14.138 14.066 1.557 1.512 307 287 -181 -186
TP 0 4 703 26 1 -144 -2.404 -147 12.216 698 136 -159
DP 0 4 738 26 2 -137 -2.393 -178 12.192 725 140 -157
APEC
Beras Biji-bijian Bukan biji-bijian Hewan Kehutanan Perikanan Pertambangan Makanan Tekstil & pakaian jadi Olahan lainnya Minyak, batu bara & kimia Jasa-jasa
0 4 703 27 -2 -162 -2.636 -106 14.108 1.601 318 -174
Unilateral oleh Indonesia 0 3 678 23 -2 -167 -2.669 -136 12.817 841 93 -209
Perubahan total dalam ekspor (juta US$)
13.682
11.272
13.711
13.743
10.930
10.963
Perubahan saham dari ekspor total (%)
36,7
30,2
36,8
36,9
29,3
29,4
Perubahan dalam neraca perdagangan (juta US$)
434,5
427,7
447,9
517,8
433,2
453,5
Keterangan: *: hasil yang merefleksikan dampak dengan penghapusan the Multi Fibre Arrangement (MFA); ** TP = tanpa pertanian; DP = dengan pertanian Sumber: Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).
Di sektor pertanian, output dari padi/beras dan komoditi pertanian non-biji-bijian diproyeksi turun sebesar 0,9% (padi/beras, skenario 1) ke 3,3% (non-biji-bijian, skenario 2b). Di sisi lain, dengan memasukkan pertanian di dalam AFTA, Indonesia menjadi suatu negara penting penghasil biji-bijian di ASEAN, dan outputnya diestimasikan naik sekitar 28%. Dalam skim liberalisasi ini (skenario 2b), ekspor biji-bijian Indonesia rata-rata per tahun diperkirakan naik sebesar US$271 juta. Ekspor dari komoditi-komoditi pertanian ke ASEAN dari negara-negara eksportir tradisional seperti Australia dan AS diperkirakan turun jika tarif impor untuk ekspor pertanian dari negara-negara ASEAN lainnya diturunkan (dalam konteks AFTA). Walaupun tidak terlalu nyata, output dari hewan hidup juga diperkirakan naik 0,6% hingga 1,0%. Ekspornya diestimasikan naik dengan US47 juta dalam skenario 2b dan dengan US$23-27 juta dalam skenario-skenario lainnya. Hasil-hasil untuk semua skenario di Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa output dari sektor pertambangan turun 16% atau lebih dengan liberalisasi perdagangan, sedangkan ekspornya turun dengan nilai US2,4-2,7 miliar. Tentu semua hasil-hasil dari simulasi di atas hanya merupakan perkiraan-perkiraan yang didasarkan pada kondisi sebenarnya pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan di run melalui suatu model ekonomi global (CGE). Hasil-hasil tersebut bisa berbeda tetapi juga bisa sama seperti yang akan terjadi dalam kenyataan, tergantung pada apakah asumsiasumsi yang digunakan di dalam analisa-analisa tersebut memang sesuai dengan realitas, misalnya mengenai nilai-nilai dari elastisitas tarif dari impor dan koefisien output agregat-impor, khususnya untuk periode jangka panjang, di mana banyak faktor-faktor yang sangat berpengaruh yang berubah terus sepanjang waktu seperti teknologi, cuaca, dan selera masyarakat Meskipun demikian, hasil dari suatu simulasi seperti di atas bisa memberikan suatu perkiraan yang mungkin sekali bisa menjadi suatu kenyataan mengenai pengaruh dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap ekspor dan produksi dalam
23
negeri suatu negara. Misalnya, hasil-hasil simulasi di atas menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk kelompok negara yang sangat diuntungkan oleh liberalisasi perdagangan, dan ini memberi suatu kesan bahwa daya saing global Indonesia tergolong rendah. Daftar Pustaka
APEC (1997), The Impact of Trade Liberalization in APEC, Economic Committee of APEC, APEC Secretary, Singapore. APEC (1999), The Impact of Trade Liberalization on Labor Markets in the Asia Pacific Region, Report by the Network for Economic Development Management, Human Resource Development Working Group, APEC Secretary, Singapore. Anderson, Kym, Betina Dimaranan, Tom Hertel dan Will Martin (1997), “Economic Growth and Policy Reform in the APEC Region: Trade and Welfare Implications by 2005”, Asia Pacific Economic Review, 3(1). Bank Dunia (2000a), Development Indicators 2000, Washington, D.C. Bank Dunia (2000b), Global Economic Prospects and the Developing Countries 2000, Washington, D.C. Bank Dunia (2003), Development Indicators 2003, Washington, D.C. Bora, Bijit, Lucian Cernat dan Alessandro Turrini (2002), “Duty and Quota-Free Access for LDCs: Further Evidence from CGE Modelling”, Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.14, New York dan Geneva: UNCTAD. Feridhanusetyawan, Tubagus (2001), “Indonesia’s Trade Policy and Performance: An Overview”, makalah dalam Seminar on “Indonesian Economic Institution Building in a Global Economy: Promoting Competition Based Trade Policies”, 13 November, PEG, CSIS dan USAID, Jakarta. Feridhanusetyawan, Tubagus dan Mari Pangestu (2003), “Indonesian Trade Liberalisation: Estimating The Gains”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1). Feridhanusetyawan, Tubagus, Mari Pangestu, dan Erwidodo (2002), “Effects of AFTA and APEC Trade Policy Reforms on Indonesia Agriculture”, dalam Randy Stringer, Erwidodo, Tubagus Feridhanusetyawan, dan Kym Anderson (ed.), Indonesia in a Reforming World Economy: Effects on Agriculture, Trade and the Environment, Centre for International Economic Studies, University of Adelaide, Adelaide. Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi. Lexus dan Pohon Zaitun, Penerbit ITB. Giddens, Anthony (2001), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gilbert, J., R. Scollay dan T. Wahl (1999), “An APEC Food System: Implications for Welfare and Income Distribution by 2005”, APEC Study Centre, Mimeo, New Zealand. Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Ingco, Merlinda D. (1997), “Has Agricultural Trade Liberalization Improved Welfare in the Least-Developed Countries? Yes”, Policy Research Working Paper No.1748, April, Washington, D.C.: The World Bank. Khor, Martin (2002), “Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan”, Seri Kajian Global, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Naisbitt, John (1997), Megatrends Asia 2000, London: Nicholas Brealey Publishing. Nayyar, D. (1997), Globalization: The Past in Our Future, Penang, Malaysia, Third World Network. Raghavan, Chakravarty (1990), Recolonization: The Uruguay Round, GATT and the South, Penang, Malaysia, Third World Network. Rodrik, D. (1999), The Global Economy and Developing Countries: Making Openness Work, Washington, DC, Overseas Development Council. Satriawan, Elan (1997), “Prospek Sektor Pertanian Indonesia pada Era Pemanasan Global”, Media Ekonomi, 4(2). Scollay, R. dan J. Gilbert (1999a), “Measuring the Gains from APEC Trade Liberalisation: An Overview of CGE Assessments”, APEC Study Centre, New Zealand, Memeo. Scollay, R. dan J. Gilbert (1999b), “An APEC Food System: Trade and Welfare Implications by 2005”, APEC Study Centre, New Zealand, Memeo.
24
Scollay, R. dan J. Gilbert (2000), “.Measuring the Gains from APEC Trade Liberalisation: An Overview of CGE Assessments”, World Economy, 23(2). Scollay, R. dan J. Gilbert (2001), “.An Integrated Approach to Agricultural Trade and Development Issues: Exploring The Welfare and Distribution Issues”, Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.11, UNCTAD, New York dan Geneva. Shavaeddin, S.M. (1994), “The Impact of Trade Liberalization on Export and GDP Growth in Least Developed Countries”, Discussion Paper No.85, Geneva: UNCTAD. Tjager, I Nyoman dan Yudi Pramadi (1997), “Pasar Modal Dalam Menghadapi Persaingan Internasional Pada Era Globalisasi”, dalam Marzuki Usman, Singgih Riphat dan Syahrir Ika (editor), Peluang dan Tantangan Pasar Modal Indonesia Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Penerbit Institut Bankir Indonesia Bekerjasama dengan Jurnal Keuangan dan Moneter. Toffler, Alvin (1980), Future Shock, London: Pan Book Ltd. UNCTAD (1997), Trade and Development Report, 1997, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development UNCTAD (1999), Trade and Development Report, 1999, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development Young, Linda M. dan Karen M. Huff (1997), “Free Trade in the Pacific Rim: On What Basis?”, dalam Thomas W. Hertel (ed.), Global Trade Analysis: Modelling and Applications, Cambridge University Press, Cambridge.