PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PRODUSEN MAKANAN DAN MINUMAN SEBAGAI PELAKU USAHA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh: Fiorida Mathilda, S.H, M.H 196007131989032001
POLBAN
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2014 i
PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PRODUSEN MAKANAN DAN MINUMAN SEBAGAI PELAKU USAHA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ABSTRAK Perbuatan Melawan Hukum oleh pelaku usaha di bidang produksi makann dan minuman terhadap konsumen di Indonesia menjadi perhatian pemerintah, terbukti dengan diundangkannya Undang-Undang No 8. Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang bertujuan untuk melindungi kepentigan konsumen dan diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bagi pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha. Kedudukan hukum antara pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Konsumen pada posisi yang lemah. Dalam menjalankan usahanya, pelaku usaha melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang dan/atau jasa dengan cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk. Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari kesalahan atau kelalaian pelaku usaha dalam mengontrol produk yang dihasilkan antara lain menyangkut kualitas serta penyampaian informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dapat menyebabkan kerugian bagi konsumen. Hal ini dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Identifikasi masalah yang diteliti adalah bagaimana tanggung jawab produsen sebagai pelaku usaha kepada konsumen akibat perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkaj kerugian bagi konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan bagaimana metode penyelesaian sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersumber pada data sekunder. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis. Pengumpulan data dianalisis dengan metode analitis normatif kualitatif tanpa menggunakan rumus dan statistika. Pelaku usaha bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkannya (Product Liability) agar terhindar dari produk yang cacat (defect). Product Liability ini akan digunakan oleh konsumen untuk memperoleh ganti rugi secara presumption of liability principle dari pelaku usaha walaupun konsumen tidak memiliki hubungan kontraktual dengan pelaku udaha tersebut. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengenal 2 (dua) macam metode dalam penyelesaian sengketa ganti rugi antara pelaku usaha dan konsumen berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa yaitu dapat melalui pengadilan dan di luar pengadilan melalui alternatif penyelesaian sengketa lainnya termasuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
POLBAN
Kata kunci: Perbuatan melawan hukum, produsen, konsumen ii
WRONGDOING BY FOOD BEVERAGE PRODUCER AS BUSINESS AGENT CONCERNED WITH ACTS NUMBER 8 YEAR 1999ABOUT CONSUMER PROTECTION
ABSTRACT
Wrongdoing by business agent in food and beverage sectors through consumer in Indonesia becomes main focus foe government, proved with established Acts Number 8 Year 1999 about Consumer Protection that has objective to protect consumer interest and intended that develops awareness of business agent in order to honest and responsibility in a running business. Law position between business agent and consumer is not balance. Consumer in unfortunate position, In running his business marketing and product and service distribution that operated by business agent must be selectivity in order to achieve compound consumer. Emerge of problems as the result from failure or negligence in product control like concered with quality as well as unclear information delivery indeed deviate, falsification, and causing damage for consumer. It is said as wrongdoing based on Article 1365 Civil Code. Studied identification is how to responsibility of producer as business agent to consumer as wrongdoing so that cause damage for consumer according to Acts Number 8 Year 1999 about Consumer Protection. Consumer protection and problem solving take place between business agent and consumer according to Acts Number 8 Year 1999 about Consumer Protection. Used approach method in this research is normative juridical that takes resource from secondary data. Used method in this research is normative juridical. Used method spesification is analytical descriptive. Data collecting is analyzed with qualitative normative analytical method without using formula and statistics. Business agent has responsibility through product liability in order to defect. It is use by consumer to derive presumption of liability principle from business agent although consumer has not contractual relationship with such business. Acts Number 8 Year 1999 about Consumer Protection recognizes 2 (two) methods in replacement solution between business agent and consumer based on conflict pasties through court and beyond other conflict solution including Consumer Conflict Solution Agency.
POLBAN
Key word: Wrongdoing, producer, consumer
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan hikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Perbuatan Melawan Hukum oleh Produsen Makanan dan Minuman Sebagai Pelaku Udaha Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penulisan
penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
dipublikasikan
di
perpustakaan Politeknik Negeri Bandung. Penulis menyadari tanpa bantuan dari berbagai pihak penelitian ini tidak mungkin dapat terselesaikan. Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada pengurus BPSK, YLKI, dan BPOM yang telah banyak memberikan informasi yang menjadikan masukan dalam pembuatan penelitian ini Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian demi penyempurnaan penulisan ini.
Bandung, Januari 2014
POLBAN
Penulis
Fiorida Mathilda, S.H, M.H
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK..................................................................................................
i
ABSTRACT................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Identifikasi Masalah .................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian ..................................................................
1 5 5 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
7
BAB III METODE PENELITIAN ..............................................................
15
BAB IVANALISIS HASIL PENELITIAN ...............................................
18
4.1.Tinjauan Umum Mengenai Perbuatan Melawan Hukum .......... 4.2.Tanggung Jawab Produsen Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ..................................................................... 4.3.Tanggung jawab Produsen dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen..........................
POLBAN
18 22
27
BAB VKESIMPULAN .................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
35
LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada era globalisasi pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa di satu pihak membawa dampak positif, antara lain tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan yang setinggi-tingginya sesuai dengan prinsip ekonomi. Dalam rangka mencapai untung yang setinggi-tingginya itu, para produsen atau pelaku usaha harus bersaing antar sesama mereka dengan perilaku bisnisnya sendiri-sendiri yang dapat merugikan konsumen.Ketatnya persaingan dapat mengubah perilaku ke arah persaingan yang tidak sehat karena para pelaku usaha memiliki kepentingan yang saling berbenturan diantara mereka. Persaiangan yang tidak sehat ini pada gilirannya akan merugikan konsumen. Prasasto Sudyatmiko mengemukakan empat contoh yang mempengaruhi perilaku bisnis menjadi tidak sehat, yaitu konglomerasi, kartel/trust, insdider trading, dan persaingan tidak sehat/curang (Meliala,1998).Timbulnya gejala konglomerasi, kartel/trust, insider trading merupakan konsekuensi ketatnya persaingan usaha. Bahkan melalui persaingan usaha yang tidak sehat melahirkan
POLBAN
praktik-praktik curang di dalam berusaha untuk memenangkan persaingan. Praktik monopoli baik yang legal maupun ilegal itu pada akhirnya cenderung merugikan konsumen.Sekurang-kurangnya ada empat bentuk perbuatan yang lahir sebagai akibat dari tidak sehatnya praktik bisnis seperti diatas, yaitu menaikkan harga, menurunkan mutu, dumping, dan memalsukan produk. Sehubungan dengan itu, konsumen perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialaminya karena praktik bisnis curang tersebut. Oleh karena itu diperlukan peraturan, misalnya mengenai cara pembuatan makanan yang baikdan sehat, aturan yang melindung konsumen dari kerugian yang timbul karena memakai atau mengkonsumsi makanan, dan pengawasan yang ketat agar peraturan-peraturan itu dipatuhi dan dilaksanakan.
1
Perlindungan atas kepentingan konsumen tersebut diperlukan, mengingat bahwa pada umumnya konsumen berada pada pihak yang selalu dirugikan. Begitu banyak
berita
yang
mengungkapkan
perbuatan
curang
produsen
yang
menimbulkan kerugian bagi konsumen, seperti berita tentang biskuit beracun, makanan yang kadaluarsa, dan sebagainya yang menimbulkan kerugian materil dan non materil bagi konsumen. Masalah perlindungan konsumen tidak semata-mata masalah orangperorangan, tetapi sebenarnya merupakan masalah bersama dan masalah nasional sebab pada dasarnya semua orang adalah konsumen. Maka, melindungi konsumen adalah melindungi semua orang. Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi: 1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi 3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia yang sehat jasmani dan rohani sebagai pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional
POLBAN
4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen
Perlindungan konsumen mempunyai dua aspek, aspek pertama mencakup perlindungan terhadap timbulnya kerugian bagi konsumen karena memakai atau mengkonsumsi barang yang tidak sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Aspek kedua mencakup terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil oleh produsen kepada konsumen pada waktu mendapatkan barang kebutuhannya, misalnya mengenai harga, biaya-biaya untuk menyelenggarakan perjanjian (kontrak), dan sebagainya baik sebagai akibat dari penggunaan standar kontrak maupun karena perilaku curang dari produsen.
2
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah menyadari pentingnya arti perlindungan bagi konsumen untuk mendapatkan jaminan dan kapasitas atas barang dan/atau jasa yang diperoleh konsumen tanpa menyebabkan kerugian pada pihak konsumen. Pada tanggal 20 April 1999, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah diundangkan dan mulai berlaku efektif. Tujuan undang-undang ini untuk melindungi kepentingan konsumen di Indonesia dan diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran para produsen untuk bersikap jujur dan bertanggungjawab serta untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen sehinga tercipta perekonomian nasional yang sehat. Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah dikeluarkan, sikap produsen terhadap konsumen belum banyak berubah. Hampir pada semua komoditas, terdapat pelanggaran pada hak konsumen yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum. Peristiwa seperti ini dapat terjadi karena suatu kejadian, perbuatan, dan keadaan. Apabila persitiwa itu telah diatur oleh hukum maka disebut “Peristiwa Hukum”. Hubungan hukum antara produsen dan konsumen dilihat dari saluran distribusi produk sampai ke tangan konsumen melalui tahap kegiatan perdagangan yang panjang mulai dari produsen, distributor, pengecer hingga konsumen masing-masing mempunyai peran sendiri. Konsumen sebagai pihak yang mengkonsumsi produk dapat dibagi
POLBAN
menjadi dua golongan:
a. Konsumen yang memperoleh produk dengan cara membeli dari produsen artinya ada hubungan kontrak jual (perjanjian) dengan produsen yang disebut dengan perjanjian jual beli atau perjanjian kredit, sewa-menyewa, dan lain-lain. b. Konsumen yang tidak membeli, tetapi memperoleh dengan cara lain, artinya tidak adanya hubungan kontraktual dengan produsen, contohnya jual beli yang dilakukan konsumen langsung dengan pedagang, distributor, dan agen.
3
Perbedaan ini penting untuk mengetahui hak dan kewajiban hukum para pihak. Konsumen yang mempunyai hubungan kontraktual dengan produsen dapat dilindungi kepentingannya berdasarkan isi kontrak, tetapi tidak sama dengan konsumen yang tidak terikat kontrak. Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari kelalaian produsen dalam mengontrol produk yang dihasilkannya sehingga menimbulkan kerugian pada konsumen ini dapat dikatakan sebagai tindakan perbuatan melawan hukum sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian tersebut.” Sehingga barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian, maka ia wajib mengganti kerugian tersebut (Subekti, 1993). Berdasarkan instrumen hukum perdata yang dimaksud dengan tanggung jawab produsen di bidang produksi makanan dan minuman dalam penulisan ini adalah tanggung jawab yang dibebankan pada produsen atas gugatan terhadap produk yang dihasilkan berdasarkan cacat (defect). Dalam hal ini adalah product liability dalam rangka perlindungan konsumen karena secara umum di Indonesia perlindungan konsumen terhadap suatu produk yang cacat menimbulkan kerugian bagi konsumen hanya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata
POLBAN
dan 1865 KUH Perdata yang bercirikan Liability based on fault (Nasution, 1986). Dalam penulisan ini, ada beberapa persoalan yang menarik untuk dibahas, yaitu berkaitan dengan perbuatan melawan hukum oleh produsen bidang makanan dan minuman sehingga sering menimbulkan kerugian bagi konsmen tersebut, termasuk cara penyelesaian seperti apa yang dipilih oleh para pihak baik oleh produsen maupun konsumen. Atas dasar itu, penulis memilih untuk menulis penelitian yang berjudul: PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PRODUSEN MAKANAN DAN MINUMAN SEBAGAI PELAKU USAHA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
4
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini penulis akan membatasi pada permasalahan yang masih perlu untuk diteliti dan diidentifikasi meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tanggung jawab hukum produsen sebagai pelaku usaha terhadap konsumen akibat perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen? 2. Bagaimana cara dan mekasime penyelesaian sengketa yang terjadi akibat perbuatan melawan hukum oleh produsen terhadap konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian Secara rinci tujuan penelitia yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan tanggung jawab hukum produsen sebagai pelaku usaha terhadap konsumen akibat perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
POLBAN
Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Untuk menjelaskan cara dan mekasime penyelesaian sengketa yang terjadi akibat perbuatan melawan hukum oleh produsen terhadap konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis, yaitu: 1. Secara Teoritis
5
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya dalam bidang hukum perlindungan konsumen terhadap hak konsumen di Indonesia akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh produsen serta pengkajian terhadap undang-undang dan peraturan yang mengatur mengenai hukum perlindungan konsumen di Indonesia 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan terhadap masyarakat luas selaku konsumen serta para pelaku usaha dalam kaitannya menciptakan hubungan hukum yang baik antara produsen dan konsumen agar terhindarnya kerugian yang dialami konsumen akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh produsen.
POLBAN
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Perlindungan
konsumen
adalah
istilah
yang
dipakai
untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih relatif baru, khususnya di Indonesia, sedangkan di negara maju, hal ini mulai dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industri dan teknologi (Yusuf, 1998). Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.” Oleh karena itu, berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memakai istilah “Pelaku usaha” sebagaimana yang diatau dalam Pasal 1 Angka 3
POLBAN
yang menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha adalah setiap orang atau perorangan atau badan usaha yang berbetnuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Dalam penjelasan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Produsen yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, koorporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain (Tunggal, 2004). Produsen adalah seorang yang menghasilkan barang atau jasa. Produsen merupakan bagian dari pelaku usaha.
7
Pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” Penjelasan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, memberikan pengertian konsumen menurut kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasakan 5 (lima) asas yang relevan, mengacu pada filosofi pembangunan Nasional, yaitu pembangunan manusia yang seutuhnya yang berlandaskan falsafah Negara Republik Indonesia, Kelima asas tersebut, yaitu: 1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
POLBAN
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan produsen secara keseluruhan
2. Asas Keadilan dimaksudnkan agar seluruh partisipasi rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan produsen untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil 3. Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, produsen, dan pemerintah dalam arti material dan spiritual
8
4. Asas Keamanan dan Keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan 5. Asas Kepastian Hukum dimaksudkan agar produsen maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungna konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.
Teori perlindungan yang berasal dari hukum Jerman yang dibawa ke Belanda oleh Gercin Vitringa ini dinamakan “shutznormtheorie” yaitu disebut juga ajaran “relatifitas”. Dalam teori ini mengajarkan bahwa agar seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukumm vide Pasal 1365 KUH Perdata, maka tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kasual antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul, akan tetapi perlu juga ditunjukka bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut memang melindungi kepentingan korban yang dilanggar (Fuady, 2002). Teori ini banyak didukung oleh para ahli hukum, namun banyak juga yang menentangnya. Penerapan teori “shutznorm” ini sebenarnya dalam kasus-kasus
POLBAN
tertentu sangat bermanfaat karena alasan-alasan sebagai berikut: (Fuady, 2002) 1. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tidak diperluas secara wajar 2. Unutk memberi pemberian ganti rugi terhadap kasus dmana hubungan antara perbuatan dengan ganti rugi hanya bersifat normatif dan kebetulan saja 3. Untuk memperkuat berlakunya unsur “dapat dibayangkan” (forcea ability) terhadap
hubungan
sebab
akibat
yang
bersifat
kira-kira
(proxivotecaustion).
9
Romli
Artasasmita
dalam
bukunya
Yusuf
Shofie
“Perlindungan
Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya” mengatakan bahwa UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memang berpihak pada kepentingan perlindungan hukum terhadap konsumen, hal ini terlihat pada posisi tawar (bargaining posisition) konsumen yang secara sosial ekonomi lemah dibandingkan dengan produsen disejajarkan dengan menggunakan saran hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen secara sosiologis, bahwa pihak yang lemah dan miskin, hampir tidak pernah
memiliki
kesempatan
untuk
memperoleh
kekuasaan
dengan
mengendalikan nasib dan kepenitngan mereka melalui hukum (Shofie, 2000).Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, yang dimaksud dengan perbuatan melawan lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian tersebut (Subekti, 2002). Dalam ilmu hukum dikenal tiga kategori dari perbuatan melawan hukum yaitu antara lain: (Fuady, 2002) 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian) 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian Suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur
POLBAN
sebagai berikut:
1. Adanya suatu perbuatan
2. Perbuatan tersebut melawan hukum 3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku 4. Adanya kerugian bagi korban 5. Adanya hubungan kasual antara perbuatan dengan kerugian
Rosa Agustina mengatakan bahwa Pasal 1365 KUH Perdata tidaklah memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilamana seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada
10
Pengadilan Negeri dengan success (Agustina, 2004). Dalam Pasal 1365 KUH Perdata ini tidak ditentukan kepada siapa beban pembuktian ditujukan, akan tetapi jika dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata dapat diketahui tentang pihak yang harus membuktikan yaitu beban pembuktian ada pada si korban sesuai dengan prinsip “Liability based on fault”. Hal ini sejalan dengan Pasal 1865 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukkan pada suatu persitiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Beban pembuktian dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang dianggap tidak memnuhi rasa keadilan dalam masyarakat, karena apabila dalam perkara perbuatan melawan hukum oleh produsen terhadap konsumen diterapkan prinsip beban kesalahan ada pada korban makan keadilan tidak akan tercapai karena biaya untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh produsen tidaklah sedikit, dimana biaya tersebut tidak mungkin dipikul oleh masyarakat kecil sebagai korban (Agustina, 2004). Maka dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dihadapkan pada ajaran “presumption of liability principle” atau dimana seseorang dianggap selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatannya kecuali dia
POLBAN
dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan segala upaya untuk mencegah kerugian tersebut namun masih terjadi sehingga hal tersebut bukan karena kesalahannya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab produsen.” Perbuatan melawan hukum pada dasarnya dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Secara yuridis, konsep ganti rugi didalam hukum dikenal dalam dua bidang hukum, yaitu: 1. Konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak
11
2. Konsep ganti rugi karena perikatan berdasarkan undang-undang termasuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Sedangkan bentuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum yang dikenal oleh hukum adalah sebagai berikut: (Fuady, 2002) 1. Ganti rugi nominal, yaitu jika terjadi perbuatan melawan hukum yang serius, seperti mengandung unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi korban 2. Ganti rugi kompensasi, yaitu merupakan pembayaran kepada korban atas dan sebesar kerugian yang telah benar-benar dialami oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum 3. Ganti rugi penghukum, yaitu merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi pelaku Perlu diperhatikan prinsip-prinsip tanggung jawab ganti rugi untuk dapat menentukan apakah atau bagaimana sesuatu kerugian yang menimbulkan tanggung jawab ganti rugi harus dibuktikan atau seberapa jauh tanggung jawab ganti rugi mempunyai batas. Menurut Husseyn Umar pada umumnya ada lima prinsip-prinsip tanggung jawab ganti rugi, yaitu: (Umar, 2001) 1. Prinsip tanggung jawab ganti rugi berdasarkan adanya unsur kesalahan
POLBAN
2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga adanya unsur kesalahan dimana seseorang selalu bertanggungjawab atas kerugian yang timbul karena perbuatannya kecuali ia dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan segala upaya untuk mencegah kerugian tersebut namun masih terjadi sehingga hal tersebut bukan karena kesalahannya. 3. Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab yaitu, kebalikan dari prinsip berdasarkan praduga adanya unsur kesalahan. 4. Prinsip tanggung jawab ganti rugi mutlak yang tidak melihat ada tidaknya kesalahan
12
5. Prinsip tanggung jawab ganti rugi terbatas tanggung jawab ganti rugi dibatasi sampai jumlah tertentu. Tortius Liability, Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan: “Tiap-tiap perbuatan yan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sistem pertanggungjawaban hukum akibat perbuatan melawan hukum ini terdiri atas:
Fault Liability, sesuai dengan prinsip: “siapa yang mengendalikan, maka dialah yang harus membuktikan’, maka beban pembuktian ada pada konsumen, yang diberikan kewajiban untuk membuktikan: a. Adanya perbuatan melawan hukum b. Kesalahan produsen c. Kerugian yang dialami konsumen d. Hubungan kasual antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami oleh konsumen
No Fault Liability, beban pembuktian ada pada produsen. Prinsip ini muncul sebagai akibat dari adanya prinsip; a. Res Ipsa Loquitur artinya fakta telah bicara sendiri, tidak perlu
POLBAN
dibuktikan lagi. Hal ini sangat berpengaruh dalam perkembangan no fault liability. Contoh: sungai telah tercemar dari industri tersebut b. Muncul kasus-kasus yang Prima Facie Cace artinya nyata-nyata tidak perlu dipertanyakan lagi, kejadian telah berbicara sendiri). Contoh: makan biskuit langsung meninggal, fakta telah membuktikannya.
Berdasarkan Pasal 1504 KUH Perdata yang menegaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab adanya “cacat tersembunyi” pada produk yang dijualnya maka karakter utama Product Liability pada dasarnya adalah perbuatan melawan hukum, sehingga unsur-unsur yang harus dibuktikan konsumen adalah: a. Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku usaha
13
b. Unsur kerugian yang dialami konsumen atau ahli warisnya c. Unsur adanya hubungan kasual antara perbuatan melawan hukum dengan unsur kerugian tersebut.
POLBAN
14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
1. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang menjadikan data perpustakaan (documentary study) sebagai tumpuan utama. Cara yang dilakukan adalah dengan menginventarisasi, mengkaji asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum positif yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Konsumen serta kaitannya dengan perbuatan melawan hukum oleh produsen dalam praktek.
2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dilakukan adalah Deskripsi Analisis, yaitu menggambarkan secara umum peristiwa yang ditemukan, kemudian menganalisis berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi konsumen dengan segala permesalahannya dihubungkan dengan teori-teori hukum, asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum dan hukum positif yang berlaku yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan bertujuan untuk dapat memecahkan
POLBAN
permasalahan hukum yang timbul dari akibat perbuatan melawan hukum oleh produsen yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
3. Tahap Penelitian Dilakukan dengan Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan yang dijadikan sumber data utama penelitian ini terdiri dari: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian ini, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
15
Konsumen, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, Yurisprudensi, dan Traktat. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan erat dengan bahan hukum primer dan membantu memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai bahan hukum primer, antara lain: a) Buku-buku yang membahas mengenai perlindungan konsumen dan perbuatan melawan hukum b) Makalah-makalah c) Jurnal d) Tulisan-tulisan ilmiah lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti 3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu a) Kamus hukum
POLBAN
b) Ensiklopedia
c) Kamus bahasa
4. Teknik Pengumpulan Data a. Pengumpulan data sekunder ini dilakukan melalui cara Studi Kepustakaan b. Penelitian Lapangan dilakukan ke:
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
5. Analisis Data
16
Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, kemudian data tersebut dianalisa, lalu disusun secara sistematis dengan menggunakan metode kualitatif normatif. Metode kualitatif normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara penelitian terhadap asas hukum. Melalui analisa data ini maka hasil data yang telah dikualifikasikan akan bersifat deskriptif analitis dan kemudian akan secara sistematis melalui pendekatan yuridis normatif sehingga terjawab permasalahan yang dirumuskan, serta akan memperoleh kesimpulan dan pemecahan masalah tersebut.
POLBAN
17
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN
4.1.Tinjauan Umum Mengenai Perbuatan Melawan Hukum A. Pengertian perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUH Perdata yang dikenal sebagai Pasal yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum memegang peranan penting dalam bidang hukum perdata. Hal ini telah menimbulkan terjadinya perdebatan hebat yang berlangsung bertahun-tahun lamanya dikalangan pada pakar hukum di Negeri Belanda tentang arti dari pada “onrechmatige daad”. Baru setelah adanya standard arrest dalam perkara Lidenbaum melawan Cohen 31 Januari 1919 persoalan tersebut dapat terselesaika (Setiawan, 1991). Dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen yang kedua-duanya merupakan
pengusaha
percetakan,
Cohen
membujuk
seorang
pegawai
Lindenbaum untuk memperoleh rahasia perusahaan tentang nama-nama pelanggan dan daftar harga, akibat dari kebocoran rahasia tersebut maka Lindenbaum menjadi rugi dan Cohen menjadi bertambah maju. Kecurangan pegawai itu lalu diketahui Lindenbaum yang merasa dirugikan dan menggugat berdasarkan perbuatan melawan hukum dengan menuntut ganti kerugian,
POLBAN
sehingga Pengadilan dalam kasusu ini memenangkan gugatan Lindenbaum (Setiawan, 1991).
Rachmat Setiawan dalam bukunya “Pokok-Pokok Hukum Perikatan” memberikan pengertian bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai buatan atau tidak berbuat melakukan suatu perbuatan melawan hukum, jika: (Setiawan, 1991) 1. Melanggar hak subyektif orang lain 2. Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat 3. Bertentangan dengan kaedah kesusilaan 4. Bertentangan dengan Kepatutan yang berlaku dalam masyarakat terhadap diri maupun barang orang lain.
18
Penafsiran secara sempit terhadap perbuatan melawan hukum dari Hoge Raad berlangsung sampai tahun 1919. Hal ini dapat dilihat pada kasus-kasus seperti Arrest tanggal 6 Januari 1905 yaitu sutau toko mesin jahit merek Singer dan toko lainnya yang berada di seberangnya menjual mesin merek lain, untuk menarik pembeli, toko diseberangnya tersebut memasang reklame di dean tokonya dengan teks “Mesin jahit Singer Yang Telah Diperbaiki”. Reklame tersebut tentu merugikan perusahaan Singer dan menuntut ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum, namun Hoge Raad berpendapat dalam perkara ini tidak terbukti adanya pelanggaran terhadap hak maupun kewajiban hukum berdasarkan undang-undang dan oleh sebab itu maka gugatannya tersebut ditolak. Sedangkan Arrest tanggal 10 Juni 1910 tentang pipa air ledeng yaitu pada suatu saat terdapat pipa air ledeng yang bocor dari lantai atas sebuah rumah bertingkat dimana pada lantai bawah dipergunakan sebagai tempat gudang tempat penyimpanan barang-barang yang terbuat dari kult. Air dari kebocoran pipa tersebut mengalir ke gudang yangberada di lantai bawah tersebut, lalu pemakai gudang meminta pada penghuni di tingkat atas untuk menutup kran induk, akan tetapi tidak dihiraukannya permintaan tersebut dan akibatnya barang-barang yang terbuat dari kulit itu rusak. Pemilik barang menuntut ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum, tetapi Hodge Raad menolak gugatan tersebut dengan
POLBAN
alasan bahwa tidak ada suatu ketentuan suatu undang-undang yang mewajibkan pernghuni tingkat atas untuk menutup kran induk, hal ini dianggap tidak terdapat hubungan kasual antara tidak berbuat dan pelanggaran terhadap hak orang lain (Setiawan, 1991). Contoh kedua putusan Hoge Raad tentang perbuatan melawan hukum tersebut yang mencerminkan penafsiran secara sempit dirasakan tidak memnuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak tertentu yang dirugikan, serta banyak pihak yang merasa tidak puas dengan perumusan penafsiran secara sempit atas perbuatan melawan hukum, karena dianggap tidak dapat mencakup segala persoalan yang diajukan dan diputuskan oleh pengadilan. Hal ini menimbulkan kesadaran hukum
19
yang dimiliki masyarakat sejak akhir abad ke 19 sudah menghendaki perumusan penafsiran secara luas mengenai perbuatan melawan hukum.
B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, suatua perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (Fuadi, 2002) 1. Adanya suatu perbuatan 2. Perbuatan tersebut melawan hukum 3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku 4. Adanya kerugian bagi korban 5. Adanya hubungan kasual antara perbuatan dengan kerugian
C. Perbuatan Melawan Hukum sebagai Perikatan yang Lahir dari UndangUndang Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian tersebut. Pasal 1365 KUH Perdata tersebut hanya memuat ketentuan hukum mengenai perbuatan melawan hukum, bahwa seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan
POLBAN
hukum, yang dilakukan orang lain terhadap dirinya, maka ia dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Negeri. Pasal 1365 KUH Perdata hanya mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menuntut ganti rugi kerugian karena adanya perbuatan melawan hukum.
D. Tanggung Jawab Atas Perbuatan Melawan Hukum Masalah perbuatan melawan hukum di Indonesia yang berasal dari Eropa Kontinental diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai bentuk-bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang terbagi atas: (Agustina, 2004)
20
1. Bahwa tanggung jawab tidak hanya karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh diri sendir tetapi juga berkenaan dengan perbuatan melawan hukum oleh orang lain dan barang-barang yang berada dalam pengawasannya. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata
yang
menyatakan
bahwa:
Seseorang
tidak
hanya
bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan karena orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dalam pengawasannya.” Berdasarkan Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, yang merupakan rumusan umum, maka pertangggung jawaban dibagi menjadi: a. Tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain 1) Tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungjawabnya secara umum 2) Tanggung jawab orang tua dan wali terhadap anak-anak yang belum dewasa (Pasal 1367 ayat (2) KUH Perdata) 3) Tanggung jawab majikan dan/atau orang yang mewakili urusannya terhadap orang yang diperkerjakannya (Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata) 4) Tanggung jawab guru sekolah dan kepala tukang terhadap murid
POLBAN
dan tukangnya (Pasal 1367 ayat (4) KUH Perdata)
b. Tanggung jawab terhadap barang dalam pengawasannya 1) Tanggung jawab terhadap barang pada umunya (Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata) 2) Tanggung jawab terhadap binatang (Pasal 1368 KUH Perdata) 3) Tanggung jawab pemilik terhadap gedung (Pasal 1369 KUH Perdata) 2. Perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia, Pasal 1370 KUH Perdata menyatakan bahwa “Dalam hal terjadi pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya, maka suami atau istri, anak, orang tua korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak untuk
21
menuntut ganti kerugian yang harus dinilai menurut keadaan dan kekayaan kedua belah pihak (Subekti, 1993). 3. Perbuatan melawan hukum terhadap nama baik yaitu masalah penghinaan yang diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372 menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik, sesuai dengan kedudukan dan keadaan para pihak. Beberapa gugatan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum, yaitu: (Agustina, 2004) a. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang telah ditimbulkan b. Ganti rugi dalam bentuk matura atau dikembalikannya dalam keadaan semula c. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum d. Melarang dilakukannya perbuatan tertentu
4.2.Tanggung Jawab Produsen Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 A. Hak dan Kewajiban dari Konsumen dan Pelaku Usaha Menurut UndangUndang Perlidungan Konsumen (UUPK) 1. Tujuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
POLBAN
Konsumen
Pada tanggal 20 April 1999, pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan dan mengundangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 65 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, ditetapkan bahwa UndangUndang Perlindungan Konsumen mulai berlaku satu tahun sejak diundangkan. Ini berarti Undang-Undang Perlindungan Konsumen baru berlaku efektif mulai tanggal 20 April 2000. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya terhadap pelaku usaha.
22
Enam tujuan perlindungan konsumen sebagai komitmen dari UndangUndang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang tercermin dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah: (Shidarta, 2004) a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, kemandirian konsumen untuk melindungi diri b. Mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi e. Menumbuhkan
kesadaran
pelaku
usaha
mengenai
pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha f. Meningkatkan kualiatas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
POLBAN
2. Pengertian Konsumen
Pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 No. (2) Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam penjelasan Pasal 1 No. (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian konsumen menurut kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemafaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu
23
produk sebagai bagian dari proses produksi lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini adalah konsumen akhir.
3. Hak dan Kewajiban Konsumen Dalam hukum perlindungan konsumen terdapat dua pihak yang saling berhubungan yaitu konsumen dan pelaku usaha. Selain memberikan pengertian konsumen dan pelaku usaha Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai hak-hak serta kewajiban-kewajiban baik konsumen maupun pelaku usaha. Adapun hak-hak konsumen dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen antara lain: a. Hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa b. Hak untuk memiliih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
POLBAN
e. Hak
unutk
mendapatkan
advokasi,
perlindungan,
dan
upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif h. Hak untuk mendapat kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabilan barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya.
24
Sedangkan kewajiban konsumen menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen antara lain: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
4. Pengertian Pelaku Usaha Di
dalam
Undang-Undang
No.
8
Tahun
1999
Tentang
Perlindungan Konsumen memakai istilah “Pelaku Usaha” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 No. (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: “Pelaku usaha adalah setiap orang atau perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirika dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
POLBAN
Dalam penjelasan Pasal 1 No. (3) Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN,
koperasi,
importer, pedagang, produsen, distributor, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi ruang lingkup tanggung jawab pelaku usaha sebagai produsen yang artinya menghasilkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan.
5. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Mengenai hak-hak pelaku usaha menurut Pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu antara lain:
25
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi
dan
nilai
tukar
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen d. Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan jasa yang diperdagangkan e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun yang menjadi kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen antara lain: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
POLBAN
tidak diskriminatif
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barnag dan/atau jasa yang berlaku e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barnag yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barnag dan/atau jasa yang diperdagangkan
26
g. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Disamping kewajiban sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, tentu juga ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk mencantumkan label terdaftar pada produk yang mereka produksi dan perdagangkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 dengan label dan iklan pangan menyatakan bahwa: a. Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yag dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan/atau di kemasan pangan b. Pencamtuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur, atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah dilihat dan dibaca.
4.3.Tanggung jawab Produsen dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen A. Tanggung jawab hukum produsen sebagai pelaku usaha terhadap
POLBAN
konsumen akibat perbuatan melawan hukum
Perbuatan melawan hukum oleh pelaku usaha di bidang makanan dan minuman dihubungkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
yaitu
perbuatan
melawan
hukum terhadap
produksi
dan/atau
perdagangan yang tidak sesuai. Dalam kasus kontroversial halal-haram penyedap masakan Ajinomoto, pelaku usaha diduga telah melakukan penggantian bahan nutrisi untuk mengembangkan kultur bakteri, dari polypeptone menjadi bactosoytone yang mengandung porcine (enzim dari pankreas babi) sejak Juni 2000. Tetapi mereka tidak pernah memberitahukan perubahan itu kepada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) (Shofie, 2003)
27
Ketentuan
dalam Undang-Undang
No.
8
Tahun
1999
Tentang
Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 8 butir (h) yang berkaitan dengan kasus ini berisi tentang larangan memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: “Tidak mengikuti ketentuan memproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.” Sanksi pelanggaran berupa: a. Kewajiban menarik dari peredaran barang dan/atau jasa tersebut (Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) (Sanksi Administratif) b. Pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2 milyar (Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) (Sanksi Pidana) Larangan-larangan yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini pada proses produksi dan perdagangan barang dan jasa memberikan penekanan pada informasi produk barang dan jasa. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini akan menjadi pegangan bagi konsumen untuk mengambil keputusan apakah dia akan mengkonsumsi suatu produk atau tidak. Dalam konteks hak-hak konsumen, ketentuan ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari hak konsumen atas informasi. Kasus halal-haram “Ajinomoto” (Januari
POLBAN
2001), sebenarnya merupakan momen yang baik untuk menguji praktek penegakan norma-norma perlindungan konsumen setelah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berlaku efektif sebagai hukum positif. Berdasarkan Pasal 58 butir (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan menyatakan: “Barangsiapa memberikan penyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label bahwa barang yang diperdagangkan adalah sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1). Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 360.000.000,00”
28
Menurut penjelasan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sebagian makanan atau minuman yang sudah lewat tanggal “best before” dapat saja tetap dikonsumsi, walaupun rasanya mungkin saja sudah kurang enak. Sebaiknya hal ini dihindari untuk kepentingan keamanan dan keselamatan konsumen. Lagi pula produk seperti itu, menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dilarang untuk diperdagangkan. Dalam prakteknya sering terjadi suatu produk makanan atau minuman yang sudah cacat. Misalnya kemasannnya sudah penyok atau menggelembung, padahal belum melewati “best before” sebagai akibat kelalaian pada proses distribusi ataupun penempatannya pada display. Produk yang sudah dalam keadaan seperti ini seharusnya tidak dikonsumsi, karena dapat saja produk tersebut sudah tercemar bakteri yang memproduksi racun botulinum yang mematikan.
B. Metode
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
yang
Terjadi
Akibat
Perbuatan Melawan Hukum Oleh Produsen 1. Sengketa Konsumen Ketidaktaatan terhadap isi transaksi konsumen, kewajiban serta larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
POLBAN
Perlindungan Konsumen dapat melahirkan sengekta antara pelaku usaha dan konsumen.
Sengeketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu: 1. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa ini disebut sengeketa yang bersumber dari hukum. 2. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian. Sengketa seperti ini disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.
29
Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan sehingga tercipta hubungan baik antara pelaku usaha dan konsumen, dimana masing-masing pihak mendapatkan kembali haknya. Dengan begitu rasa keadlina dapat ditegakkan dan hukum dijalankan sebagaimana mestinya, penyelesaian sengketa konsumen secara baik dapat menciptakan dan menjaga berjalannya kegiatan usaha secara terjamin. Bagi pelaku usaha ada kepastian berusaha dan bagi konsumen tercapai kebutuhannya dengan baik.
2. Metode penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengenal dua macam institusi dalam penyelesaian sengketa ganti rugi antara pelaku usaha dengan konsumen berdasarkan pilihan/sukarela pada pihak yang bersengketa, yaitu: (Shofie, 2003) 1. Pengadilan, atau 2. Diluar pengadilan yaitu penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika dan penyeleaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan ganti rugi dalam sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen adalah:
POLBAN
1. Seorang konsumen yang mengalami kerugian atau dalam hal yang bersangkutan meninggal dunia adalah ahli warisnya.
2. Sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama 3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang berbentuk badan hukum atau yayasan, memiliki tujuan dan telah melaksanakan perlindungan konsumen sebagaimana dicantumkan dalam anggaran dasarnya 4. Pemerintah dan/atau instansi terkait, apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
30
Pelaku usaha dapat digugat ganti rugi melalui pengadilan oleh seorang konsumen, sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah. Sedangkan gugatan ganti rugi terhadap pelaku usaha di luar pengadilan hanya dapat diajukan oleh seorang konsumen. Adapun penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen di luar pengadilan (melalui BPSK) bertujuan antara lain: 1. Mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, dan/atau; 2. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugain yang diderita oleh konsumen
3. Fungsi BPKN, BPSK, dan YLKI terhadap sengketa antara produsen dan konsumen A. Fungsi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Salah satu lembaga yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah Badan Perlindungan Konsumen
Nasional
(BPKN),
yang
berfungsi
memberikan
saran
dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan kosumen di Indonesia. BPKN berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas-tugas BPKN: (Fuady, 2002)
POLBAN
a. Memberikan saran dan rekomendasi di bidang perlindungan konsumen b. Melakukan penelitian dan pengakajian terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku dibidang perlindungan konsumen c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan terhadap konsumen f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha
31
g. Melakukan survey yang menyangkut kebutuhan konsumen
B. Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui BPSK adalah suatu alternatif yang diberikan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu menurut Pasal 45 ayat (1) kapada konsumen dalam menyelesaikan sengketa atau perselisihan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberikan kewenangan kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang melanggar laranganlarangan tertentu yang dikenakan bagi pelaku usaha. BPSK dibentuk oleh pemerintah daerah tingkat II, denga tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut: a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran UndangUndang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen
POLBAN
tentang terjadiinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli yang mengetahui saksi ahli perkara tersebut. i. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
C. Fungsi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
32
YLKI adalah organisasi non pemerintah yang didirikan di Jakarta pada tanggal 11 Mei 1973. Tujuan berdirinya YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya. Secara yuridis formal, gerrak dan langkah YLKI mencakup ruang gerak sebagai berikut: (Shofie, 2003) a. Melindungi konsumen b. Menjaga martabat konsumen c. Membantu pemerintah menyukseskan pembangunan nasional Meskipun runag geraknya sangat terbatas, gagasan dan gerakan konsumenrisme sudah dilakukan dalam koridor hukum, misalnya memberikan bantuan hukum pada konsumen yang lemah. Meskipun sudah ada UndangUndang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, konsumen masih sering dirugikan faktor inilah yang mendorong YLKI untuk terus berpartisipasi dalam upaya perlindungan konsumen Indonesia.
POLBAN
33
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah diberikan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Tanggung jawab hukum produsen sebagai pelaku usaha terhadap konsumen akibat perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
(pertanggungjawaban
didasarkan
produksi).
Product
pada
product
liability
liability
digunakan
oleh
konsumen untuk memperoleh ganti rugi seraca “presumption of liability principle”. Padal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
menyatakan
bahwa
pelaku
usaha
bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Metode penyelesaian sengketa konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdiri dari dua macam institusi, yaitu melalui pengadilan atau di luar pengadilan melalui penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika atau Badan Penyelesaian
POLBAN
Sengketa Konsumen (BPSK).
34
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, R. 2004. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Fuady, M. 2002. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti Meliala, A. 1998. Praktik Bisnis Curang. Jakarta: Sinar Harapan Nasution, A. Z. 1986. Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Hukum dan Pembangunan Setiawan, R. 1991. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Bina Cipta Shidarta. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Gramedia Shofie, Y. 2000. Perlindungan Konsumen. Bandung: Citra Aditya Bakti Shofie, Y. 2003. Potensi Pelanggaran dan Cara Menegakkan Hak Konsumen. Jakarta: Pustaka Pelajar Subekti. 1993. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intemasa Subekti. 2002. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intenmasa Tunggal, H. S. 2004. Peratutan Pelaksanaan Undang-Undangan Perlindungan Konsumen. Jakarta: Harvarindo Umar, M. H. 2001. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
POLBAN
35
LAMPIRAN
POLBAN
36