PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota Surakarta)
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun oleh: YULIANA PRATIWI NIM E1A009240
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota Surakarta)
OLEH YULIANA PRATIWI E1A009240 Disusun Untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UNSOED Isi dan format telah disetujui, Pada tanggal: 27 Agustus 2013
Pembimbing I/ Penguji I
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. NIP.19640724 199002 1 001
Pembimbing II/ Penguji II
Pranoto, S.H., M.H. NIP. 19540305 198601 1 001
Mengetahui Dekan,
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001
Penguji III
Handri W. S ., S.H., M.H. NIP.19581019 198702 2 001
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya : Nama
: YULIANA PRATIWI
NIM
: E1A009240
Judul Skripsi : PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI
PENAL
PENYELESAIAN
SEBAGAI
PERKARA
ALTERNATIF PIDANA
(Studi
terhadap Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota Surakarta)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 27 Agustus 2013
YULIANA PRATIWI NIM E1A009240
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi terhadap Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota Surakarta). Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat meraih gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UNSOED dan pemilihan judul ini didasarkan pada ketertarikan penulis terhadap gagasan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan untuk perkara-perkara tertentu yang merupakan perwujudan dari prinsip keadilan restoratif. Selesainya penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta bimbingan berbagai pihak yang telah berjasa, oleh karena itu penghargaan dan ucapan terima kasih penulis bisa haturkan kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H., M.H, selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I / dosen penguji I, yang telah memberikan arahan, nasihat, ilmu-ilmu dan pengalaman yang berharga; 3. Pranoto, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing II / dosen penguji II, yang telah membimbing, memberikan arahan, dukungan, ilmu-ilmu serta saran dalam skripsi penulis yang sangat berharga;
4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji III yang telah
memberikan
saran-saran
yang
membantu
penulis
dalam
menyempurnakan skripsi penulis; 5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum, selaku dosen pembimbing akademik; 6. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum, yang telah memberikan nasihat, ilmu, dukungan dan pengalaman yang berharga melalui penelitiannya yang melibatkan penulis; 7. Advokat, Polisi, dan Korban tindak pidana di wilayah kota Surakarta yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengumpulan data untuk penelitian ini; 8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas ilmu dan pengetahuan serta dedikasi yang telah diberikan selama ini; 9. Orang tua, kakak dan adik dari penulis yang telah memberikan dukungan, kasih sayang dan doa yang tulus. 10. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran penulis haturkan terima kasih.
Kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa Penulis nantikan sebagai acuan untuk karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ini dapat bermanfaat, baik kepada Penulis maupun kepada semua pihak. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini.
Purwokerto, 26 Agustus 2013 Penulis,
Yuliana Pratiwi E1A009240
HALAMAN PERSEMBAHAN
Penulis memanjatkan Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, atas karunia, petunjuk, berkah dan kasih sayang-Nya dalam masa perkuliahan penulis, dalam penyusunan skripsi ini, serta atas kebesaran-Nya menciptakan dan menakdirkan keberadaan orang-orang ini dalam kehidupan penulis: 1. Dr. Angkasa, S.H., M.H, selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I / dosen penguji I, yang telah memberikan arahan, nasihat, ilmu-ilmu dan pengalaman yang berharga; 3. Pranoto, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing II / dosen penguji II, yang telah membimbing, memberikan arahan, dukungan, ilmu-ilmu serta saran dalam skripsi penulis yang sangat berharga; 4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji III yang telah
memberikan
saran-saran
yang
membantu
penulis
dalam
menyempurnakan skripsi penulis; 5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum, selaku dosen pembimbing akademik; 6. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum, yang telah memberikan nasihat, ilmu, dukungan dan pengalaman yang berharga melalui penelitiannya yang melibatkan penulis; 7. Para advokat (M. Taufik, S.H, M.H., M.T Heru, S.H, M.H, M. Mohani, S.H., Yayuk, S.H., Yusuf, S.H., Amir, S.H, M.H), Polisi dan Penyidik di Polresta Surakarta, dan Korban tindak pidana di wilayah kota Surakarta
yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengumpulan data untuk penelitian ini; 8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas ilmu dan pengetahuan serta dedikasi yang telah diberikan selama ini, serta karyawan-karyawan yang telah memberikan warna tersendiri di Fakultas Hukum; 9. Orang tua, Soekirno dan Siti Nurini, kakak dan adik penulis, Ratih Sukowati, Bayu Kurniawan, Kartika Diani telah memberikan dukungan, semangat, pelajaran hidup, kasih sayang dan doa yang tulus. 10. Rekan penelitian penulis serta keluarga Pakdhe Tjip di Surakarta, atas perhatian, bantuan, dan kehangatan yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di Surakarta. 11. Orang terdekat, Aghan Sugandhi dan Retno Septiana, yang selalu menemani, menghibur, memberi semangat, dan mengajarkan banyak hal. 12. Sahabat-sahabat penulis, Etta, Tiara, Widi, Feby, Upay, Aka, Finny, Palupi, Syaikhu, Melda, Bagus, Ardi, Gilang, Mbak Nana, Mas Yogi, Nikodemus, atas ketulusan persahabatan dan pengalaman-pengalaman yang berharga. 13. Sahabat-sahabat kelas C, angkatan 2009, kakak-kakak angkatan dan adikadik kelas di Fakultas Hukum UNSOED, dan teman-teman seperjuangan skripsi yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan semangat. 14. One Big Family of “Justitia English Club” (JEC) untuk pengalaman persahabatan dan pengalaman keorganisasian yang sangat berharga.
15. Google Search Engine yang telah membuat penulis menemukan situs dan tulisan-tulisan yang begitu menginspirasi. 16. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran penulis haturkan terima kasih, semoga diberkahi oleh Allah SWT.
ABSTRAK Salah satu kritik yang ditujukan pada peradilan Indonesia adalah penyelesaian perkara pidana yang hanya berorientasi pada penghukuman pelaku dan tidak memperhatikan upaya pemulihan kerugian korban. Hal ini mendorong berkembangnya konsep keadilan restoratif yang bertujuan untuk mengupayakan pemulihan kerugian korban daripada dengan mudah memenjarakan orang. Salah satu perwujudan dari konsep keadilan restoratif adalah mediasi penal, sebuah gagasan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Beberapa negara seperti Prancis, Polandia, dan Norwegia telah menerapkan dan menempatkan mediasi penal dalam hukum positif mereka. Dalam hukum positif Indonesia tidak dikenal adanya mediasi untuk perkara pidana, namun ternyata dalam praktik mediasi penal sudah sering diterapkan. Hal ini terjadi karena adanya kehendak dari korban dan pelaku serta peranan dari para penegak hukum seperti polisi dan advokat. Menurut undang-undang bantuan hukum, jasa dan bantuan hukum yang dapat diberikan advokat tidak hanya berupa beracara dalam persidangan, tapi juga memberikan bantuan hukum non litigasi yang salah satu bentuknya adalah mediasi. Jadi, advokat adalah salah satu pihak yang berperan dalam mengembangkan gagasan dan praktik mediasi penal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan perilaku advokat dalam menerapkan mediasi penal serta mengetahui akibat hukum dari kesepakatan damai yang dicapai mediasi penal terhadap proses penanganan perkara pidana. Berdasarkan penelitian dengan metode yuridis-sosiologis, diketahui bahwa advokat berperan aktif dalam mediasi penal dengan bertindak sebagai inisiator, mediator, dan fasilitator mediasi. Akibat hukum kesepakatan mediasi penal adalah timbulnya kewajiban pelaku tindak pidana untuk memulihkan kerugian korban dan penghentian perkara pidana pada tingkat penyidikan. Tindakan menghentikan perkara dengan alasan mediasi sebenarnya tidak sesuai dengan aturan KUHP dan KUHAP, namun tindakan ini berlaku di Surakarta karena adanya kehendak korban dan pelaku yang didukung oleh tindakan diskresi polisi yang didasarkan pada Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR). Kata Kunci: Mediasi Penal, Mediasi Pidana, Alternative Dispute Resolution, Peranan Advokat, Sistem Peradilan Pidana, Diskresi Polisi
ABSTRACT The criticizing have been directed to Indonesian criminal justice system because its major interest lies in putting behind bars the offender and has no attention for the needs of victims. This is one reason of the Restorative Justice development that aims to repair the victim’s detrimen rather than simply jailing someone. Penal mediation, an idea about resolving criminal matter without court, is one of restorative justice’s realization. Some countries such us France, Poland, and Norway already implement and legitimate penal mediation in their positive law. Indonesian positive law doesnt recognize mediation for criminal matter but in the practice mediation have been choosen to solve criminal matter. It is caused by the initiative of the parties; victims, offender, police and lawyer. According to the act about legal aid, the legal aid that can be given by the lawyer is not only about assist their client in the court but also giving non-litigation legal aid which one of its form is mediation. So, lawyer is one law enforcer who have important role in develop the mediation idea and practice. This research aims to know the perception and behaviour in implementing penal mediation and to know the legal concequences of agreement that reached in penal mediation for the criminal matter judgement in Surakarta. Based on the research that already implemented with sosio-legal research, the result show that lawyers in Surakarta do the active role in implement mediation as initiator, mediator and facilitator. The legal concequences of penal mediation agreement are put the offender into the responsibility to recover victim’s detrimen and stop the judgement of criminal matter when the matter is in police investigation stage. Actually the ceasing of criminal matter with penal mediation as the reason is contradict with the regulation of penal code (KUHP) and criminal law procedure book (KUHAP), but this act is always implemented in Surakarta because it’s the willing of the society especially the victims and supported by police with their discretion authority that based on Indonesian Police Chief’s Decision Number Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS 2009 about presiding criminal case with Alternatif Dispute Resolution (ADR).
Keyword: Penal Mediation, Mediation for Penal Matter, Alternative Dispute Resolution, Advocate Role, Lawyer Role, Criminal Justice System, Discretion
HALAMAN MOTTO
“Barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak akan bersedih hati” (Q.S. Al-Baqarah Ayat 38)
“Siapa yang tidak pandai mensyukuri nikmat yang sedikit maka tidak akan mendapat nikmat yang banyak” (H.R. Muslim)
“There will be an answer, let it be”- (The Beatles)
“Sepi ing pamrih, rame ing gawe”
“One Big Family” (Justitia English Club)
“Jangan mendahului nasib.” (Andrea Hirata)
“Makna dari mencari ilmu bukanlah hanya semata-mata untuk pencapaian nilai, prestasi ataupun karier masa depan, lebih dari itu, adalah sebagai penghargaan pada diri dan kehidupan kita”
“Don’t worry about your future, just do your best everyday”
DAFTAR ISI BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah------------------------------------------------- 1 B. Perumusan Masalah------------------------------------------------------ 7 C. Tujuan Penelitian--------------------------------------------------------- 7 D. Kegunaan Penelitian ----------------------------------------------------- 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Asas Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana ----------------------------------- 9 2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana ----------------------- 11 3. Asas Hukum Acara Pidana ---------------------------------------- 13 B. Restorative Justice (Keadilan Restoratif) 1. Pengertian dan Konsep Restorative Justice--------------------- 15 2. Perbandingan Restorative Justice dengan Retributive Justice -------------------------------------------------- 19 C. Mediasi Penal sebagai Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan 1. Pengertian Mediasi Penal------------------------------------------ 21 2. Latar Belakang dan Ide Dasar Mediasi Penal ------------------ 23 3. Prinsip Kerja Mediasi Penal -------------------------------------- 25 4. Dasar Hukum ADR atau Mediasi Penal di Indonesia -------- 29 5. Arti Penting Mediasi Penal bagi Korban dan Pelaku --------- 38 D. Diskresi Kepolisian 1. Pengertian Diskresi Kepolisian ----------------------------------- 40 2. Diskresi Kepolisian dalam Penegakkan Hukum --------------- 42 3. Hubungan Diskresi Kepolisian dengan Mediasi Penal-------- 44 E. Bantuan Hukum 1. Pengertian dan Konsep Bantuan Hukum ------------------------ 47 2. Jenis Bantuan Hukum ---------------------------------------------- 50 3. Hak Masyarakat akan Bantuan Hukum ------------------------- 53
F. Advokat dalam Penegakkan Hukum 1. Pengertian Advokat ------------------------------------------------ 54 2. Peran dan Fungsi Advokat ---------------------------------------- 54 3. Advokat sevagai Officium Nobile ------------------------------- 56 BAB III
METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ---------------------------------------------------- 59 B. Spesifikasi Penelitian -------------------------------------------------- 60 C. Lokasi Penelitian ------------------------------------------------------- 60 D. Sumber Data ------------------------------------------------------------ 61 E. Metode Pengumpulan Data ------------------------------------------- 62 F. Metode Penyajian Data------------------------------------------------ 62 G. Metode Penentuan Sampel-------------------------------------------- 63 H. Metode Validitas Data ------------------------------------------------ 63 I.
BAB IV
Metode Analisis Data ------------------------------------------------- 64
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Hasil Penelitian Data Sekunder------------------------------------ 66 2. Hasil Penelitian Data Primer -------------------------------------- 77 B. Pembahasan ------------------------------------------------------------- 92
BAB V
PENUTUP A. Simpulan ----------------------------------------------------------------126 B. Saran---------------------------------------------------------------------127
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana telah disepakati dan dibakukan sebagai bagian dari hukum publik (algemene belangen). Dengan sifat ini, ketika seseorang melakukan suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan orang lain, pembalasan terhadap pelaku tidak hanya menjadi hak dari korban tindak pidana itu, tetapi berkembang menjadi kewajiban bersama seluruh keluarga, masyarakat dan akhirnya pembalasan tersebut menjadi bagian dari tanggung jawab negara. Hukum Negara pun menjadi satusatunya instrument dalam menyelesaikan perkara pidana dengan prosedur yang telah ditentukan. Konsep tersebut sedang berlaku di Indonesia sejak diundangkannya Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana (KUHAP). Dengan konsep ini, dimana penegakan hukum hanya bertumpu pada negara sebagai pemberi keadilan, ternyata mengakibatkan sedikitnya peran individu dalam mengupayakan penyelesaian perkara pidana. Pencarian keadilan dalam perkara pidana sepenuhnya bertumpu pada sistem yang dibangun oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Padahal keadilan yang diberikan oleh negara belum tentu sesuai dengan kehendak para pencari keadilan itu sendiri, sebab pada dasarnya setiap orang memiliki kebutuhan dan tingkat akseptabilitas yang beragam atas rasa keadilan. Penyelesaian perkara pidana yang hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme yang disediakan oleh hukum Negara juga dapat menimbulkan masalah lain.
2
Meningkatnya volume dan jenis perkara yang diajukan ke pengadilan harus berhadapan dengan kemampuan organisasi pengadilan yang terbatas baik secara teknis maupun sumber daya manusia. Terhadap fakta ini, Yahya Harahap mendeskripsikan kritik pada pengadilan yaitu: penyelesaian sengketa melalui litigasi sangat lama, biaya berperkara mahal, pengadilan kerap tidak responsif, putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, dan kemampuan para hakim bersifat generalis.1 Keadaan yang demikian memunculkan kebutuhan akan suatu mekanisme yang mampu untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan serta menghasilkan keputusan yang disepakati bersama. Salah satu konsep untuk mewujudkan gagasan tersebut adalah Mediasi Penal sebagai upaya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan. Di tengah permasalahan-permasalahan di atas, mediasi penal dirasa lebih dapat mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan murah yang amat penting untuk perlindungan hak dari korban maupun pelaku. Mekanisme mediasi yang merupakan bagian dari alternative dispute resolution (ADR) selama ini hanya dikenal dalam ranah hukum privat. Kini mediasi mulai banyak dipraktikkan untuk menyelesaikan perkara pidana karena adanya pergeseran paradigma penegakan hukum pidana dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif yang pertama-tama dikembangkan di Amerika. Pada keadilan retributif,
1
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 153.
3
orientasi penyelesaian sengketa pidana adalah pembalasan terhadap pelaku dengan penjatuhan hukuman penjara sebagai bentuk nestapa. Pada prinsip keadilan restoratif, terdapat suatu perkembangan penyelesaian sengketa yang lebih dapat memulihkan hak-hak korban dan mengakomodir kepentingan para pihak dengan memberikan keadilan dan kemanfaatan. Untuk beberapa tindak pidana, seperti pencurian, kecelakaan lalu lintas, dan tindak pidana lain yang berdimensi perdata, keberhasilan keadilan bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim, tapi sebesar apa kerugian dipulihkan oleh pelaku. Pemahaman ini berkaitan dengan usaha-usaha pembaharuan pidana yang sekarang sedang disusun. Konsep rancangan KUHP baru jika dipelajari menunjukkan adanya pembaharuan yang sangat mendasar terutama dalam sistem pemidanaan. Beberapa pembaharuan yang humanistis tanpa menghilangkan sifat represif dari hukum pidana diantaranya; (1) lebih mengutamakan pidana denda, (2) pidana penjara digunakan sebagai pilihan terakhir, hanya untuk tindak pidana serius dan berbahaya, (3) adanya pedoman dalam penerapan pidana penjara.2 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, meskipun tidak ada landasan hukumnya, namun dalam praktik sudah sering perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan. Padahal, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara eksplisit memberikan aturan mediasi untuk menyelesaikan perkara pidana. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya 2
hlm 17.
Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, 2002,
4
melingkupi ranah hukum perdata. Fakta ini pun menimbulkan pertanyaan seperti apa dasar pelaksanaan mediasi penal dan bagaimana mekanisme penyelenggaraan mediasi penal? Selama ini, upaya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dipraktikkan melalui diskresi aparat penegak hukum, khususnya penyidik. Dalam proses penyidikan akan ditentukan apakah sebuah perkara akan dilimpahkan ke kejaksaan atau dihentikan. Dengan wewenang diskresinya, polisi dapat memutuskan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana di luar pengadilan dan polisi diharapkan dapat bersikap bijaksana terhadap penanganan perkara pidana atau laporan tindak pidana. Harapan agar aparat tidak menerapkan hukum secara kaku dan semata-mata mengikuti teks dalam undang-undang makin banyak disuarakan terutama sejak munculnya kontroversi korban pemidanaan seperti kasus ‘Kakao Minah’ dan kasus ‘Semangka Basar dan Kholil’. Selanjutnya, karena penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dirasa semakin penitng dan tidak adanya Undang-undang yang mengatur, dikeluarkanlah Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR). Selain peran polisi dengan diskresinya itu, pihak lain yang memiliki peranan dalam menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan adalah advokat. Seorang advokat haruslah selalu mengikuti perkembangan hukum, sehingga dalam mendampingi kliennya baik sebagai korban maupun sebagai pelaku kejahatan, tidak bisa hanya melihat perkara yang ditangani dengan sudut pandang law in book, tetapi
5
juga law in action. Pasal 4 Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 tentang Bantuan Hukum menentukan bahwa Bantuan Hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi dan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. Dengan begitu, dalam tugas dan kewajibannya, seorang advokat tidak diharuskan untuk sampai beracara dalam persidangan. Penyelesaian melalui mediasi penal adalah langkah awal dari tugas advokat dan merupakan salah satu bentuk pemberian bantuan hukum. Jadi sementara, tidak ada peraturan mengenai mediasi penal dalam hukum positif Indonesia, advokat adalah salah satu pihak yang berperan dalam mengembangkan gagasan dan praktik mediasi penal. Dengan berlakunya UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Bantuan Hukum, advokat memiliki peran strategis untuk mendampingi para pihak dalam mengupayakan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Masalah lain yang timbul dari praktik mediasi penal adalah mengenai konsekuensi dari kesepakatan damai yang dicapai dalam mediasi penal. Tidak ada kepastian apakah kesepakatan hukum itu selain mengikat para pembuatnya juga sekaligus menghentikan perkara, ataukah tidak berpengaruh terhadap proses pemeriksaan perkara? Ketika mediasi penal menghasilkan kesepakatan kesepakatan namun pelaku tetap dituntut, hal inisangat dipertanyakan oleh masyarakat. Misalnya,
6
dalam kasus Andika “Kangen Band”. Perkara ‘Andika membawa Lari Gadis di Bawah Umur (CC)’ tetap dilimpahkan ke kejaksaan meski dia sudah berdamai dengan keluarga CC.3 Apa yang diuraikan di atas adalah masalah yang dapat timbul setelah mediasi penal dilaksanakan dengan menghasilkan suatu kesepakatan. Dalam hukum pidana terdapat prinsip ganti rugi tidak menghapus sifat melawan hukum dalam tindak pidana. Selain itu, dalam hukum acara pidana, pencabutan laporan dapat dilakukan tergantung pada tindak pidananya, apakah merupakan delik aduan atau delik biasa. Apakah kesepakatan itu hanya menimbulkan kewajiban bagi tersangka untuk melakukan perbuatan yang disepakati (misalnya ganti rugi), atau sekaligus membuat pernyidik harus menghentikan pemeriksaan terhadap perkara itu? Peran aktif baik dari aparat polisi maupun advokat berpengaruh dalam tercapainya kesepakatan yang adil, final dan mengikat. Maka dari itu kajian mengenai penerapan mediasi penal perlu juga diikuti kajian mengenai akibat hukum kesepakatan damai mediasi penal. Berdasarkan latar belakang yang saya uraikan di atas, saya tertarik untuk mengambil judul Peranan Advokat dalam Menerapkan Mediasi Penal sebagai Penyelesaian Perkara Pidana.
B. Perumusan Masalah 3
Anonim, Andika tetap diproses Hukum meski telah berdamai dengan Pihak CC. life.viva.co.id/news/read, diunduh pada 10 Maret 2013.
7
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peranan advokat dalam melakukan mediasi penal pada penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan di wilayah kota Surakarta? 2. Apakah akibat hukum dari kesepakatan damai yang dihasilkan mediasi penal terhadap proses penanganan perkara pidana? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan bertujuan untuk: 1. Mengetahui peran advokat dalam melakukan mediasi penal sebagai penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan di wilayah kota Surakarta. 2. Mengetahui akibat hukum dari kesepakatan yang dihasilkan mediasi penal. D. Kegunaan Penelitian Peneliti berharap agar penulisan usulan penelitian ini dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan saran yang bermanfaat terhadap ilmu Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana pada khususnya, dalam hal Mediasi Penal sebagai pembaharuan sistem peradilan pidana, serta sebagai materi muatan untuk peraturan mengenai Mediasi Penal.
2. Kegunaan Praktis
8
Kegunaan praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pelaku dan korban tindak pidana, dan penegak hukum khususnya advokat dalam menerapkan mediasi penal sebagai penyelesaian perkara pidana.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan, Fungsi dan Asas Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Menurut Andi Hamzah, penggunaan istilah ‘hukum acara pidana’ sudah tepat dibanding dengan istilah ‘hukum proses pidana’ atau ‘hukum tuntutan pidana’. Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana, bukan istilah strafprocesrecht yang padanannya adalah acara pidana. KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain di definisikan dalam Pasal 1. Menurut Simons, hukum acara pidana (hukum pidana formal) mengatur tentang bagaimana Negara melalu alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana4. Van Bemellen memberi definisi yang lebih lengkap dan tepat karena merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya saja. Terjemahan bebas definisi van Bemellen adalah sebagai berikut5: 4
D. Simons, Beknopte Handleiding tot hek Wetboek van Strafvordering dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 4.
10
“Ilmu hukum acara pidana ialah mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu; negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran, sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu, mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya, mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan guna dilimpahkan pada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim, hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana, upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut, akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana.” Mantan ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro, juga menyatakan pendapatnya tentang hukum acara pidana, yaitu: “Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukum pidana, jadi jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk menuntut seseorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah soal cara bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana, dan oleh siapa suatu putusan putusan pengadilan harus dijalankan, hal ini semua harus diatur dan peraturan inilah yang dinamakan hukum acara pidana.”6
Menurut R. Soesilo, hukum acara pidana dapat diartikan secara sempit dan luas. Hukum acara pidana memiliki arti sempit ketika hukum acara pidana hanya meliputi; pemeriksaan pendahuluan oleh polisi dan penuntutan oleh jaksa, pemeriksaan dan penuntutan perkara pidana dalam sidang, dan pelaksanaan putusan hakim oleh jaksa. Sedangkan Hukum acara pidana dalam arti luas selain
5
Van Bemmelen dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2008, hlm 5. 6 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur bandung, Bandung, 1981, hlm 15.
11
memuat tiga hal di atas, meliputi pula hal susunan, kekuasaan, peraturan kehakiman yang yang ada hubungannya dengan penuntutan pidana 7. Jika mengacu pada pendapat para ahli di atas dan pada KUHAP, maka nampaknya pembicaraan mengenai hukum acara pidana akan selalu seputar penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan, dan pada akhirnya penjatuhan sanksi oleh hakim. Jadi, dapat dikatakan penerapan mediasi penal adalah suatu pembaharuan dalam penegakkan hukum pidana dan penanggulangan kejahatan.
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut 8: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Dalam kalimat yang sangat panjang di atas, Andi Hamzah tidak setuju dengan bagian kalimat, ”...setidak-tidaknya-mendekati kebenaran.” Kebenaran itu
7
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi Penegak Hukum, Politeia, Bogor, 1982, hlm 6. 8 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 7.
12
harus didapatkan dalam menjalankan hukum acara pidana dan umumnya para penulis menyebut “mencari kebenaran materil” merupakan tujuan dari hukum acara pidana. Mengenai fungsi hukum acara pidana, pengertian antara tujuan hukum acara pidana dan fungsi atau tugas hukum acara pidana sering begitu saja dicampuradukkan, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP diatas, karena sulitnya menempatkan posisi kedamaian, kebenaran, dan keadilan dalam hukum. Hukum yang mengatur tatanan tatanan beracara perkara pidana itu tujuannya diarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian, adapun penyelenggaraan beracara perkara pidana oleh pelaksana dengan tugas mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran dan selanjutnya mengajukan tuntutan hukum yang tepat untuk mendapatkan penerapan hukum berdasarkan keadilan. 9 Dengan demikian, fungsi atau tugas dalam hukum acara pidana melalui alat perlengkapannya adalah: (1) untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, (2) mengadakan penuntutan hukum dengan tepat, (3) menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan, dan (4) melaksanakan keputusan secara adil.
9
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakkan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm 29
13
3.
Asas-asas Hukum Acara Pidana 1. Asas Legalitas Asas pertama dalam hukum acara pidana adalah asas legalitas sebagai padanan asas legalitas dalam hukum pidana materil. Ada perbedaan dengan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merumuskan: “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang ada sebelumnya.”
Dalam KUHP dipakai istilah perundang-undangan pidana (wettelijk strafbepaling) yang berarti suatu peraturan yang lebih rendah dari undangundang dalam arti formil, seperti Peraturan Pemerintah dan Perda dapat memuat rumusan delik dan sanksi pidana. Adapun dalam hukum acara pidana dipakai istilah undang-undang (wet), sehingga hanya dengan undang-undang suatu tindakan pembatasan hak asasi manusia seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dapat dilakukan 10. 2. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam KUHAP merupakan penjabaran dari Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 48 tahun 2009. Dalam KUHAP, sebagai perwujudan dari asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, tersangka atau terdakwa berhak: - segera mendapat pemeriksaan dari penyidik (Pasal 50), 10
Andi Hamzah, op.cit., hlm 10.
14
- segera diajukan pada penuntut umum oleh penyidik (Pasal 107 ayat (3)), - segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum (Pasal 140 ayat (1)), - segera diadili oleh pengadilan 3. Asas Praduga Tidak bersalah (Presumption of Innocence) Asas ini ada dalam penjelasan umum butir 3 huruf c dan sebenarnya telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-undang Pokok kekuasaan Indonesia No. 48 Tahun 2009, yang merumuskan; “Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Asas Praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis maupun dari teknis penyidikan dinamakan prinsip akusatur atau accusatory procedure, yang menempatkan kedudukan tersangka/ terdakwa dalam setiap pemeriksaan: - Adalah subjek, bukan objek, harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat, - Yang menjadi objek pemriksaan adalah kesalahan yang dilakukan tersangka/ terdakwa.11 4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum Dapat kita perhatikan Pasal 153 KUHAP merumuskan:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara 11
Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm 40.
15
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”(ayat 3), “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.” (ayat 4).
Terhadap ketentuan tersebut, selain dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak, sebenarnya masih ada pengecualian lain, yaitu delik yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban umum (openbare orde).Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum, bahkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP menentukan, “Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”
5. Semua Orang diperlakukan Sama di Depan Hakim Negara-negara hukum yang menjunjung tinggi persamaan kedudukan di hadapan hukum atau equality before the law pada umumnya menganut pasal ini. Asas ini secara tegas tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) dan Penjelasan Umum butir 3a KUHAP, yang menentukan, ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.” B. Restorative Justice (Keadilan Restoratif) 1. Pengertian dan Konsep Restorative Justice Selama ini upaya penanggulangan kejahatan masih menitikberatkan pada penghukuman pelaku. Hampir seluruh tindak pidana yang ditangani oleh sistem
16
peradilan pidana berakhir dengan penjatuhan hukuman penjara. Padahal penjara bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah kejahatan karena tidak selalu berhasil memberikan pendidikan dan penyadaran bagi narapidananya dan pada akhirnya tidak berhasil mencegah bekas narapidana melakukan kejahatan lagi. Penjatuhan pidana penjara yang tidak tepat pun dikritik sebagai sanksi yang hanya akan menyisakan penderitaan, masalah ekonomi, dan stigma. 12 David
Lerman
mengemukakan
bahwa
sementara
orang
merasa
pemenjaraan pelaku kejahatan dapat meningkatkan keamanan, sesungguhnya ada konsekuensi yang akan timbul disebabkan adanya stigma terhadap narapidana dan kurangnya rasa percaya di antara masyarakat.13 Rasa curiga antar masyarakat itu ternyata dapat memicu dilakukannya sebuah perbuatan kriminal. Rasa curiga menimbulkan rasa takut pada masyarakat dan memutuskan untuk harus mewaspadai bahkan jika perlu menjaga jarak dari ‘orang lain’. Semakin besar kecurigaan itu, semakin orang menjadi individual, dan semakin rentan pula dia terhadap ancaman kejahatan. Mengapa? Karena menurunnya rasa percaya antar masyarakat akan melemahkan ikatan pada suatu kesatuan masyarakat. Tanpa ikatan yang bisa memperkuat suatu komunitas masyarakat, maka akan hilang pula kontrol sosial yang seharusnya bisa menciptakan ketertiban masyarakat dan mencegah kejahatan.
12
Kuat Puji Prayitno. 2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 12 No.3. Universitas Jenderal Soedirman. Hal 416. 13 David Lerman, Restoring Justice, Mediation, Asghate Publishing Company, USA, 2001, hlm 591.
17
Sistem pemidanaan yang memiliki fokus yang salah dengan hanya mementingkan tentang bagaimana menghukum dan memenjarakan seorang pelaku tindak pidana mendorong berkembangnya paradigma penghukuman yang disebut restorative justice. Patrialis Akbar ketika masih menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM sempat mengajukan konsep penegakkan hukum yang berlandaskan prinsip restorative justice untuk mengatasi permasalahan lemahnya sistem peradilan pidana di negara kita. Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk keadilan yang berfokus pada kebutuhan korban, pelaku, serta masyarakat yang terlibat, bukan memuaskan prinsip-prinsip hukum abstrak atau menghukum pelaku. Korban mengambil peran aktif dalam proses, sementara pelaku didorong untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka, untuk memperbaiki halhal yang membahayakan mereka, dengan cara meminta maaf, mengembalikan uang yang dicuri, atau pelayanan masyarakat. Pendekatan baru bernama restorative justice ini muncul sebagai respon terhadap sistem pemidanaan yang fokusnya hanya mementingkan tentang bagaimana menghukum dan memenjarakan seseorang yang melakukan tindak pidana. Restorative justice bertujuan untuk merubah pengarahan hukum pidana dengan merubah fokusnya pada kebutuhan korban dan perbaikan ketertiban masyarakat daripada dengan gampangnya memenjarakan seseorang.14
14
591.
Carrie Menkel-Meadow, Mediation, Asghate Publishing Company, USA, 2001, hlm
18
Dewasa ini, kesadaran untuk tidak hanya membentuk instrument hukum yang menfokuskan pada perlingan HAM pelaku terlihat dalam berbagai konvensi atau deklarasi internasional. Salah satunya pada tahun 1985 melalui Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power, perhatian Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mulai meningkat khususnya yang berkaitan dengan akses untuk memperoleh keadilan, hak untuk memperoleh kompensasi, restitusi, serta bantuan-bantuan lain yang harus diatur dalam undang-undang nasional.15 Konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku, namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab. Selain itu, juga memberikan suatu bentuk bantuan bagi pelaku untuk menghindari pelanggaran di masa depan. Keadilan Restoratif yang mendorong dialog antara korban dan pelaku menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku. Kekuatan konsep dari restorative justice adalah penempatan korban dan masyarakat yang berbeda dari paradigma peradilan pidana selama ini. Penerapannya adalah suatu mekanisme informal dan non ajudikatif dalam menangani konflik atau permasalahan kejahatan dimana pelaku, korban dan masyarakat mengambil peranan penting dalam pengambilan keputusan. Salah satu
15
Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 74.
19
bentuk mekanisme itu adalah mediasi penal yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban dengan dibantu seorang mediator sebagai fasilitator. 2. Perbandingan Retributive Justice dengan Restorative Justice Munculnya ide keadilan restoratif tidak lepas dari eksistensi pandangan yang sebelumnya telah mendominasi sistem pemidanaan, yaitu pandangan retributif (retributive justice). Dalam retributive justice tidak terdapat tempat bagi korban untuk masalah pemidanaan. Teori ini menekankan pada pembalasan yang tercermin dari sanksi pidana penjara. Dalam United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, dinyatakan pendekatan restorative justice telah digunakan dalam memecahkan masalah konflik antara para pihak dan memulihkan perdamaian di masyarakat karena pendekatan-pendekatan retributive terhadap kejahatan dalam tahun-tahun terakhir ini dianggap sudah tidak memuaskan lagi. Oleh karenanya menyebabkan dorongan untuk beralih kepada pendekatan restorative justice.16 Retributive justice atau keadilan retributive adalah
teori keadilan yang
menganggap hukum itu, jika proporsional, merupakan resiko yang diterima secara moral sebagai kejahatan, dengan penglihatan untuk manfaat kepuasan dan psikologis yang dapat dilimpahkan ke pihak yang dirugikan, teman-teman, dan
16
United Nations Office For Drug Control and Crime Prevention, Handbook on Justice for Victims, centre for International Crime Prevention, New York, 1999, hal. 42-43 dalam Sahuri Lasmadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Universitas Jambi, onlinejournal.unja.ac.id/index.php/kimih/article/download/530/484+&cd, diunduh pada 20 Mei 2012.
20
masyarakat17. Jika keadilan retributif memusatkan perhatian pada penentuan aturan apa yang dilanggar, siapa yang melanggarnya, dan bagaimana menentukan hukuman untuk pelaku itu, restorative justice mempertanyakan; siapa yang telah dirugikan, bagaimana korban bisa mendapat kerugian, dan bagaimana pelaku, masyarakat, dan sistem peradilan pidana dapat membantu memperbaiki kerugian. Menurut David Lerman, hal itu karena a core principle of Restorative Justice requires that you care about the needs of crime victims. 18 Jadi, prinsip dasar Restorative Justice adalah perhatian terhadap kebutuhan korban.
Perbedaan
lainnya dijabarkan oleh Howar Zahr19:
1.
Retributive Justice
Restorative Justice
Kejahatan adalah pelanggaran system
Kejahatan terhadap
adalah
perlukaan
individu
dan/
masyarakat 2.
Fokus pada penjatuhan hukuman
Fokus pada pemecahan masalah
3.
Menimbulkan rasa bersalah dan jera
Memperbaiki kerugian
4.
Korban diabaikan
Hak
dan
kebutuhan
korban
diperhatikan 5.
Pelaku pasif
Pelaku didorong untuk bertanggung jawab
6.
Pertanggungjawaban pelaku adalah
Pertanggungjawaban pelaku
hukuman
adalah menunjukkan empati dan memperbaiki kerugian
17
http://id.wikipedia.org/wiki/retributif-justice diunduh pada tanggal 16 Maret 2013 Ibid, hal. 593. 19 Howar Zahr, The Little Book of Restorative Justice, dikutip oleh Riswanto, Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara di luar Pengadilan, Tesis, Purwokerto, 2011, hal. 95. 18
21
7.
Stigma tidak terhapuskan
Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat
8.
9.
Tidak didukung untuk menyesal dan
Didukung agar pelaku menyesal
dimaafkan
dan diberi maaf oleh korban
Proses bergantung pada aparat
Proses bergantung pada keterlibatan orang yang terpengaruh oleh kejadian
C. Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan 1. Pengertian Mediasi Penal Menurut Kovach, mediasi berarti, “facilitated negotiation. It process by which a neutral party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually satisfaction solution.”20 Tom Campbell dalam International Library of Essays in Law and Legal Theory menyatakan pemahaman yang lebih luas tentang mediasi, “Mediation represent a political theory about the role of conflict in society, the importance of equality, participation, self-determination and a form of leaderless leadership in problem-solving and decision making.” 21 Artinya Mediasi mewakili teori politis tentang peran konflik dalam masyarakat, pentingnya kesamaan kedudukan, partisipasi, menentukan apa yang diperlukan diri sendiri, dan sebuah bentuk dari kepemimpinan dalam menyelesaikan masalah dan mengambil 20
Kimberlee K. Kovach, Mediation Principle and Practice, dalam Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 59. 21 Carrie Menkel-Meadow, op.cit., hal 13.
22
keputusan. Sedangkan pengertian mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk mencapai kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator. Mengenai mediasi penal (penal mediation), peristilahan dan pengertiannya masih sangat sedikit karena wacana tentang mediasi penal baru diperkenalkan di Indonesia. Barda Nawawi Arief sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut ”Der Außergerichtliche Tatausgleich” (disingkat ATA) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Mediasi penal menurut European Forum For Victim Service digambarkan sebagai proses yang melibatkan kontak antara korban dengan pelaku, baik secara langsung maupun ditengahi mediator. Proses mediasi secara umum dianggap sebagai
isu
lebih
lanjut
dari
keadilan
restoratif.22
Keadilan
retoratif
mengedepankan konsep dialog, mediasi dan rekonsiliasi dalam penanganan suatu tindak pidana; suatu metode yang pada prinsipnya tidak dikenal sistem peradilan pidana, hanya dikenal dalam hukum acara perdata. Mediasi untuk perkara pidana berupaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku melalui tanggung jawab dan upaya perbaikan. Para pihak (pelaku, korban, dan mediator)
22
Statement On The Position Of The Victim Within The Process Of Mediation, the Executive Committee of the European Forum for Victim Services, November 2003
23
mengidentifikasi permasalahan dan mencari akar permasalahan bersama lalu menentukan upaya perbaikan yang diperlukan. 2. Latar Belakang dan Ide Dasar Mediasi Penal Ada beberapa hal yang melatar belakangi wacana penggunaan mediasi dalam masalah pidana. Menurut Barda Nawawi, latar belakang pemikirannya ada yang dikaitkan dengan ide pembaharuan hukum ( legal reform) dan ada yang dikaitkan dengan masalah pragmatism. Latar belakang ide penal reform itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restrotative justice, ide mengatasi kekakuan atau formalitas dalam system yang berlaku, ide menghindari efek negative dari system peradilan pidana dan system pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternative lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/ alternative to custody). Latar belakang pragmatis antara lain untuk mengurangi penumpukan perkara (the problem of court case overload), untuk penyederhanaan proses peradilan dan sebagainya23. Selain latar belakang teoritik di atas, kearifan local dalam hukum adat di Indonesia yang berlandaskan alam pikiran kosmis, magis dan religious sudah lama mengenal lembaga mediasi untuk perkara pidana, antara lain di Sumatera Selatan, Aceh, dan Lampung.24 Bahkan di Aceh, mediasi penal sudah dituangkan dalam Perda No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Adat yang antara lain intinya sebagai berikut: 23
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2008, hal 21. 24 HIlman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung,
24
Pasal 13: Sengketa diselesaikan terlebih dahulu secara damai melalui musyawarah adat. Pasal 14: - Perdamaian: mengikat para pihak; - Yang tidak mengindahkan keputusan adat, dikenakan sanksi adat. Pasal 15: - Apabila para pihak tidak puas terhadap putusam adat dapat mengajukan perkaranya ke aparat penegak hukum. - Keputusan adat dapat dijadikan pertimbangan oleh aparat penegak hukum. Suatu penelitian menunjukkan bahwa mediasi penal ternyata telah dipraktikkan untuk menyelesaikan sengketa akibat dilakukannya tindak pidana yang serius, yaitu Carok, di Madura. Perkara carok dimungkinkan untuk diselesaikan dengan mediasi penal karena adanya nilai-nilai budaya masyarakat Madura yang terbiasa dengan penyelesaian berdasarkan musyawaearh hingga menghasilkan kesepakatan berupa perdamaian. Hal ini mungkin cukup mengherankan karena dalam kasus Carok terdapat kerugian yang sangat serius yaitu hilangnya nyawa, bukan hanya sekedar luka ringan atau hilangnya harta benda sebagaimana dalam tindak pidana ringan. Ternyata cara masyarakat Madura memandang carok berbeda dengan pandangan masyarakat umum yang menilai carok semata-mata adalah tindakan pembunuhan yang sadis. Orang Madura akan membunuh siapapun ketika harga dirinya dilecehkan, terutama dalam kaitannya dengan pembelaan keluarga (istri) dan agama. Menurut mereka agama jelas membolehkan membunuh orang yang mengganggu istri mereka. Hukum Negara melalui aparat hukumnya tidak melihat hal itu sebagai hal
25
yang sangat penting karena biasanya hukum Negara tidak mempertimbangkan nilai adat dan agama dalam kaitannya dengan penghormatan harga diri. 25 Dalam praktik peradilan pidana Indonesia pun pernah terjadi perdamaian yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menyatakan tindak pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu kejahatan ataupun pelanggaran, dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. Keputusan yang pada waktu itu merupakan suatu terobosan hukum itu dilakukan oleh hakim Bismar Siregar dalam kasus Ny. Ellya Dado.26 3. Prinsip Kerja Mediasi Penal Mediasi pidana yang dikembangkan bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut:.27: a) Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung): Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal, konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi, b) Berorientasi pada proses (Process Orientation): Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu menyadarkan pelaku 25
Mahrus Ali, Melampaui Positivisme Hukum Negara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hal 58. Wawancara dengan Riyadi, warga Pamekasan, tanggal 26 Juni. 26 Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, No.46/PID/78/UT/WANITA, 17 Juni 1978. Hakim Ketua Sidang: Bismar Siregar, SH. 27
Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Mediation - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www.iuscrim.mpg.de/ orsch/krim/traenkle_e.html
26
tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan konflikterpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dicapai, dll, c) Proses informal (Informal Proceeding - Informalität): Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis serta menghindari prosedur hukum yang ketat, d) Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autono-mous Participation - Parteiautonomie/Subjektivierung. Sementara itu Vasso Artinopoulou menyebutkan hal pertama yang harus dipastikan dalam mediasi penal adalah persetujuan, kesadaran dan dari kedua pihak baik korban maupun pelaku untuk menempuh penyelesaian perkara di luar pengadilan. Dengan adanya kesadaran dari para pihak untuk menempuh jalur mediasi, maka para pihak tidak dilihat sebagai objek prosedur hukum acara pidana tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri dan mencapai win-win solution berdasarkan pertimbangan sendiri. Prinsip kerja mediasi penal di atas dianggap senada dengan ide diversi yang merupakan salah satu model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, yang terutama sering diterapkan pada perkara yang melibatkan anak.28 Dari prinsip-prinsip tersebut berkembanglah beberapa model mediasi.
Dalam
“Explanatory memorandum” dari Rekomendasi Dewan Eropa No.R 99/ 19 tentang
28
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia. Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal 70.
27
“Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut29: a.
Model "informal mediation" Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Mediasi ini dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh hakim. Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.
b.
Model "Traditional village or tribal moots" Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik pidana di antara warganya. Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju di wilayah pedesaan/ pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.
29
http://search.conduit.comMediation in-Penal-Matters html di akses 5 Maret 2013
28
c.
Model "victim-offender mediation" Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap pemeriksaan di kepolisian, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe pidana tertentu. Ada yang treutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat bahkan untuk residivis. Model Victim-Offender Mediation adalah model yang di negara kita disebut dengan mediasi penal karena mediasi penal terutama mempertemukan antara ‘pelaku tindak pidana’ dengan ‘korban’.
d.
Model ”Reparation negotiation programmes" Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materi. Dalam mpdel ini pelaku tindak pidana dapat dikenakan
29
program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/ kompensasi. e.
Model "Community panels or courts" Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
f.
Model "Family and community group conferences" Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana. Model ini tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.
4. Dasar Hukum ADR atau Mediasi Penal di Indonesia Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pada prinsipnya berdasarkan hukum positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan melalui mediasi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya melingkupi ranah hukum perdata (pasal 6 Undangundang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif. Meski begitu dalam
30
beberapa peraturan dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain: a) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Menurut undang-undang ini, batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/ wali (Pasal 5 Undang-undang Pengadilan Anak). Ketika pelaku adalah anak berusia di bawah delapan tahun, pelaku tidak dapat diserahkan ke pengadilan dan dimungkinkan perkara diselesaikan di luar pengadilan melalui mekanisme mediasi. b) Dalam hal delik yang dilakukan berupa “pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/ hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah “afkoop” atau “pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan. c) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM yang memberi kewenangan pada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Keppres No. 50
31
Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (Pasal 1 ayat 7, Pasal 76 ayat 1, Pasal 89 ayat 4, Pasal 96). d) Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR). Kekuatan hukum Surat Kapolri memang tidak setara dengan kekuatan hukum undang-undang, namun dapat dikatakan
Surat Kapolri ini adalah aturan
pertama yang secara tegas mengatur masalah mediasi penal meskipun secara parsial dan terbatas sifatnya. Surat kapolri ini memerintahkan penyidik untuk menyaring perkara mana yang harus dilimpahkan ke kejaksaan dan mana yang lebih baik diselesaikan melalui ADR sebagai perwujudan restorative justice. e) Kemungkinan lain ada dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 menentukan pencurian dibawah Rp 2.500.000,- tidak dapat ditahan. Dalam Pasal 1, dijelaskan bahwa kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 atau dua juta lima ratus ribu rupiah. Kemudian, pada Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan, apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp Rp 2.500.000,- Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP dan Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun
32
perpanjangan penahanan. Meski begitu pencuri tidak dibebaskan. Perkara pencurian yang dilakukan dapat diselesaikan secara kekeluargaan lalu diproses hukum bila tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan adanya Perma ini terdakwa yang terlibat dalam perkara tipiring, walaupun tidak berhasil menyelesaikan perkaranya denagn mediasi, dia tidak perlu menunggu persidangan berlarut-larut sampai ke tahap kasasi seperti yang terjadi pada kasus Nenek Rasminah, pencurian piring yang sampai Kasasi. Selain itu untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan. f) Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme ADR juga dapat didasarkan pada Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan. Beberapa ketentuan di atas memberi kemungkinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namum bagaimanapun juga belum secara eksplisit dan tegas merupakan mediasi penal seperti telah diuraikan di atas. Penyelesaian di luar pengadilan dalam ketentuan di atas belum menggambarkan secara tegas adanya mediasi yang dapat menjadi ‘sarana pengalihan/ diversi’ untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Begitu pula dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Terutama dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang meskipun memberi kemungkinan dilakukannya mediasi, namun tujuan utama
33
PERMA ini adalah memberikan peradilan yang cepat bagi pelaku dan mengekfektifkan pidana denda, bukan semata-mata mengatur tentang mediasi yang berorientasi pada pemulihan kerugian korban. Selain itu tidak ditentukan dengan tegas bahwa akibat adanya mediasi itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan. Sebagai bahan komparasi, di beberapa negara lain mediasi penal sudah mendapat pengaturan yang lebih tegas. Di Austria, Jerman, Finlandia, dan Polandia mediasi penal ditempatkan sebagai bagian dari Undang-undang Pengadilan Anak (The Juvenile Justice Act). Di Norwegia mediasi penal diatur secara tersendiri dalam Undang-undang Mediasi (The Mediation Act), yang diberlakukan untuk anak-anak maupun bagi orang dewasa.30 Menurut Pasal 90 g KUHAP Austria, penuntut umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul dan apabila terdakwa. Tindak pidana yang dapat dikenakan diversi termasuk mediasi penal, apabila diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara atau 10 tahun penjara untuk kasus anak. Di Perancis, berdasarkan Undang-undang No. 4 januari 1993 yang mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code Criminal Procedure), penuntut
30
Lihat Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance”, Program Doktor Ilmu UNDIP, di Inter Continental Hotel, Jakarta, 27 Maret 2007, dikutip dalam Setya Wahyudi, Op. Cit., hal 73.
34
umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut tidaknya seseorang. Inti Pasal 41 CCP itu ialah: penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki kerugian korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu rehabilitasi pelaku. Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan, namun apabila berhasil penuntutan diberhentikan. 31 Pengaturan mengenai mediasi penal sudah tegas dan berkembang di banyak negara karena sebenarnya wacana mediasi penal sudah cukup lama menjadi isu dan perhatian dunia internasional. Salah satu ide dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana ada dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9 Tahun 1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (dokumen A/CONF.169/6).
32
Dalam dokumen ini diungkapkan perlunya semua
negara mempertimbangkan “privatizing some law enforecement and justice function” dan “alternative dispute resolution/ADR.” (berupa mediasi, konsiliasi, restitusi dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai berikut: “The techniques of mediation, consiliation and arbitration, which have been developed in the civil law environment, may well be more widely applicable in 31
Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France, http://www.mediationcobference.com.au/2006///_papers/Deborah%20Macfarlane%20%20VICTIM%20OFFENDER%20MEDIATION%20IN%20FRANCE1,dOC, dikutip dalam Setya Wahyudi, Ibid. 32
Natangsa Surbakti, Gagasan Pemberian Maaf dalam Konteks Kebijakan Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis Magister Hukum UNDIP, 2003, hal 24.
35
criminal law. For example, it is possible that some of the serious problems that complex and lengthy cases involving fraud and white collar crime pose for courts could be reduced, if not entirely eliminated, by applying principles developed in conciliation and arbitration hearing. In particular, if the accused is a corporation or business entity rather than an individual person, the fundamental aim of the court hearing must be not 21 to impose punishment but to achieve an aoutcome that is in the interest of society as a whole and to reduce the probability of recidivism.” Menurut kutipan di atas, ADR yang telah dikembangkan dalam linglungan hukum perdata, seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum perdata. Dicontohkan misalnya, untuk perkara-perkara pidana yang mengandung unsur “fraud” dan “white collar crime” atau apabila terdakwanya adalah korporasi/ badan usaga. Ditegaskan pula, apabila terdakwanya adalah korporasi atau badan usaha, maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan tindak pidana (recidive). Di Indonesia sebenarnya juga terdapat kemungkinan diaturnya mediasi penal dalam suatu perundang-undangan secara tegas dan mengikat. Kemungkinan ini dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tentang Mediasi Penal pada Pasal 111 yang merumuskan sebagai berikut:
36
(1) Penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. (2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan atas dasar: a. putusan hakim praperadian atas dasar permintaan korban/pelapor; b. dicapainya penyelesaian mediasi antara korban/pelapor dengan tersangka. (3) Tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan; b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun); c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda; d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun; e. kerugian sudah diganti; (4) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e hanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; (5) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada atasan penyidik.
37
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian melalui mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Rancangan KUHAP tersebut menunjukkan kemungkinan mediasi penal dapat digunakan sebagai alasan penyidik menghentikan suatu perkara pidana dan kemungkinan adanya pengaturan mekanisme mediasi penal dalam peraturan pemerintah. Pertanyaan yang dapat muncul terhadap rancangan di atas adalah bagaimana jika keinginan perdamaian muncul tidak pada tingkat penyidikan, namun pada tingkat selanjutnya yaitu penuntutan dan sidang pengadilan?
Selanjutnya, sebagaimana dalam mediasi untuk perkara perdata, mediasi penal juga memerlukan mediator yang dapat mempengaruhi efektifitas dan keberhasilan suatu perundingan damai. Salah satu pihak yang dapat menjadi mediator dalam mediasi penal adalah penyidik berdasarkan Surat Kapori di atas. Selain itu advokat juga dapat berperan sebagai mediator berdasarkan pada: a) Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008. Dalam pasal ini ditentukan bahwa selain hakim, advokat atau akademisi hukum dapat dipilih oleh para pihak untuk menjadi mediator. PERMA ini memang mengatur mediasi untuk perkara perdata namun pada dasarnya tugas mediator baik dalam upaya penyelesaian perkara perdata maupun pidana pada dasarnya sama jadi menentukan mediator untuk mediasi penal dapat mengacu pada peraturan mahkamah agung ini.
38
b) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Bantuan Hukum dalam pasal 4 menentukan bahwa bantuan hukum yang dapat diberikan advokat meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Adapun bantuan hukum nonlitigasi ini meliputi: penyuluhan hukum; konsultasi hukum; investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik; penelitian hukum; mediasi;
negosiasi;
pemberdayaan masyarakat;
pendampingan di luar
pengadilan; dan/atau drafting dokumen hukum.
5. Arti Penting Mediasi penal bagi Korban dan Pelaku Kejahatan Meningkatnya perhatian terhadap pembinaan narapidana sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban. Reiff melihat kurangnya perhatian pada korban dengan mengemukakan bahwa the problem of crime, always gets reduced to ‘what can be done about criminals’, nobody asks, ‘what can be done about victims?’ everyones assumes the best ways to help the victim is to catch the criminal-as though the offenderis the only source of the victim’s trouble.33 Maksudnya peradilan pidana hanya berorientasi pada terdakwa. Penuntut dan hakim kerap hanya fokus untuk menentukan seberat apa pelaku harus dihukum. Pada akhirnya penjatuhan pidana penjara sebagai bentuk
33
hlm 40.
J.E. Sahetapy, Victimology Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987,
39
nestapa pun tidak selalu relevan dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan korban. Keadilan restorative justice pada dasarnya menjadi kunci pembuka pemikiran kembali tentang posisi korban dalam suatu penyelesaian perkara pidana. Dalam sistem peradilan pidana peran korban kerap hilang karena adanya beberapa kelemahan sistem peradilan seperti berikut34: a. Tindak pidana lebih diartikan sebagai penyerangan terhadap otoritas pemerintahan dan negara dibandingkan serangan kepada korban; b. Korban hanya menjadi bagian dari sistem pembuktian dan bukan sebagai pihak yang berkepentingan akan proses yang berlangsung; c. Proses peradilan hanya difokuskan pada upaya penghukuman pelaku tanpa melihat upaya perbaikan atas kerugian yang ditimbulkan dan mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat; d. Dalam penyelesaiannya, fokus perhatian hanya diarahkan pada pembuktian kesalahan pelaku, komunikasi hanya berlangsung antara hakim dan pelaku, dialog antara pelaku dan korban sama sekali tidak ada. Mediasi penal menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam menangani tindak pidana. Dalam banyak kasus tertentu, berkaitan dengan
34
Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice dan Peradilan Pro Korban, Reparasi dan Kompensasi Korban dalam Restorative Justice, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2011, hal 28.
40
aspek kerugian korban, mediasi penal yang orientasinya memulihkan hak korban dianggap lebih dapat memenuhi kepentingan dan rasa keadilan korban. Mediasi Penal berupaya menciptakan dialog antara pelaku dan korban karena memperhatikan kepentingan pelaku. Pelaku didorong untuk menyadari kesalahannya dan memahami kerugian korban. Jika pelaku sudah menyadari hal itu dan bertekad bertanggungjawab dan berbuat baik akan mudah pembinaanya. Pelaku akan terhindar dari stigma yang akan dia peroleh jika mendapat status sebagai narapidana. Sanksi berupa pemulihan terhadap hak korban akan mengembangkan tanggung jawab pelaku. Menjalani hukuman penjara memang merupakan bentuk tanggung jawab pelaku atas kejahatannya, namun dengan menjalani pembinaan di penjara pelaku menjalani tanggung jawab secara pasif.
D. Diskresi Kepolisian 1. Pengertian Diskresi Kepolisian Diskresi berasal dari bahasa Inggris ”discretion“ yang menurut kamus umum yang disusun John M Echols, dkk., berarti kebijaksanaan, keleluasaan.35 Menurut kamus hukum diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. 36 Thomas J. Aaron menyatakan bahwa diskresi artinya suatu kekuasaan atau wewenang yang
35
hlm 185.
36
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981, J.C.T Simorangkir, dkk., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hlm 45.
41
dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinannya dan lebih menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum. Sedangkan menurut Barker konsep dari diskresi adalah wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesusi dengan penilaian-penilaian dan kata hati instansi atau pengawas itu sendiri.37 Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diartikan bahwa diskresi kepolisian adalah suatu wewenang untuk mengambil suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi dalam kapasitas petugas polisi, untuk menentukan tindakan dari beberapa puluhan baik legal maupun illegal. Meskipun didasarkan atas pertimbangan dan keyakinan pribadi, diskresi itu dilakukan bukan lepas dari ketentuan hukum tapi tetap dilakukan dalam kerangka hukum. Dalam pembicaraan tentang diskresi kepolisian ini,
M. Faal
mencontohkan polisi dapat melakukan tindakan penangkapan atau tidak terhadap seseorang walau ia yakin telah ada bukti-bukti permulaan. Misalnya seorang pelajar mencuri mangga orang lain, secara yuridis formal ia telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, tetapi seorang polisi yang mengetahui tindak pidana itu tidak bertindak untuk memprosesnya, hanya menasihati lalu melepasnya.38 Tindakan polisi itu seolah-olah mengabaikan ketentuan hukum positif. Namun apabila kita kaji lebih jauh, tindakan itu justru sesuai dengan tujuan hukum
37
Barker dikutip dalam Riswanto, 2011, Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara di luar Pengadilan, Tesis, Purwokerto, hal. 105. 38 M. Faal, Penyaringan Tindak Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hlm 16.
42
yaitu perlindungan terhadap setiap warga Negara. Polisi tersebut memutuskan untuk tidak memproses pelajar itu karena pertimbangan bahwa penggunaan hukum pidana bukan satu-satunya cara untuk menanggulangi kejahatan, terlebih terhadap anak-anak. 2. Diskresi Kepolisian dalam Penegakkan Hukum Diskresi sebagai salah satu wewenang yang diberikan kepada Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan upaya pencapaian penegakan hukum, dan diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri. Di negara Belanda mengenai wewenang Kepolisian dinyatakan dengan tegas oleh pengadilan tertinggi Hooge Raad dalam arrestnya pada tanggal 19 Maret 1917 bahwa tindakan polisi dapat dianggap rechmatig (sah) walaupun tanpa“Speciale wettelijke machtinging” (pemberian kekuasaan secara khusus oleh undang - undang ) dengan pembatasan harus didasarkan kepada wewenang umum (elgemene bevoegdhied) dan harus termasuk lingkungan kewajiban - kewajiban (plichmatigheid) dari pada si petugas itu. Di Indonesia tercantum dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia pasal 18, disebutkan : (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
43
perundang – undangan, serta kode etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada POLRI umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : wewenang - wewenang umum yang mendasarkan tindakan yang dilakukan polisi dengan azas Legalitas dan Plichmatigheid yang sebagian bersifat preventif dan yang kedua adalah wewenang khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dimana sebagian besar bersifat represif. Tindakan yang diambil oleh polisi menurut Skolnick didasarkan kepada pertimbangan - pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip kelembagaan, sebagai berikut: a.
Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.
b.
Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum. Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki
kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Meski begitu, diskresi bukanlah hal yang sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Untuk mencegah tindakan
44
sewenang-wenang atau arogansi petugas tersebut yang didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif, menurut buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara polisi maka tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:39 1.
Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.
2.
Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3.
Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar .
4.
Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak. Selain itu penerapan diskresi oleh polisi juga harus berdasar pada asas-asas
hukum (asas kemanfaatan, kepastian dan keadilan), konsistensi dengan misi kepolisian
sebagai
pelayan
keamanan,
tidak
sewenang-wenang,
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum maupun moral, serta dilakukan demi kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi maupun organisasi. 40 3. Hubungan Diskresi Kepolisian dengan Penerapan Mediasi Penal Adanya diskresi polisi dalam bentuk penyaringan perkara itu didasarkan pada pemikiran bahwa di dalam kenyataannya hukum itu tidak seharusnya secara
39
132
40
MABESPOLRI, 2002, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI Di Lapangan, Jakarta, hal.
Chrysnanda Dwilaksana, 2001, Corak Diskresi dalam Proses Penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas, UI, Jakarta, hal. 36, dikutip dalam Riswanto, Op.Cit., hal. 85.
45
membabi buta diperlakukan kepada siapapun dalam kondisi apapun persis seperti bunyi peraturan perundang-undangan. Diskresi kerap diterapkan pada tingkat penyidikan dengan pertimbangan agar polisi yang berada dalam barisan paling depan dalam sistem peradilan pidana tidak disibukkan oleh tumpukan perkara yang seharusnya dapat diselesaikan tanpa proses di pengadilan. Saat polisi menggunakan asas diskresinya, pada tahap itulah mediasi penal dapat terjadi. Penerapan diskresi polisi yang berkaitan dengan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dapat kita lihat dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Kapolri, yang secara umum prinsip-prinsipnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Sebagai strategi yaitu model perpolisian yang menegakkan pada kemitraan sejajar antara petugas polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi masalah sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan.
2.
Sebagai falsafah, Polmas mengandung makna sutau model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial kemanusiaan dan menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran fungsi kepolisian dan peningkatkan kualitas hidup masyarakat.
46
3.
Upaya penegakkan hukum lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan kesadaran hukum daripada penindakan.
4.
Upaya penindakan hukum merupakan alternatif tindakan paling akhir bila upaya pemecahan masalah bersifat persuasive tidak berhasil.
5.
Penerapan konsep Alternative Dispute Resolution yaitu pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif yaitu menetralisir masalah selain melalui proses hukum/ non litigasi (missal perdamaian). Penerapan mediasi penal yang didasarkan pada dikresi kepolisian pun
semakin
dikuatkan
dengan
dikeluarkannya
Surat
Kapolri
No
Pol
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Pada surat Kapolri ini ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR, yaitu: - Mengupayakan penanganan kasus yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR; - Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional; - Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma sosial/ adat serta memenuhi asas keadilan;
47
- Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.
E. Bantuan Hukum 1. Pengertian dan Konsep Bantuan Hukum Konsep bantuan hukum yang berkembang di negara kita pada hakikatnya tidak luput dari arus perkembangna hukum yang terdapat di negara-negara yang sudah maju. Di dunia Barat pada umumnya, pengertian bantuan hukum mempunyai ciri yang berbeda dalam istilah yang berbeda, seperti berikut ini 41: -
Legal Aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara yang karakteristiknya: a.
pemberian jasa hukum dilakukan dengan cuma-cuma,
b.
bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin,
c.
dengan demikian motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tak berpunya dan buta hukum.
-
Legal Assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal aid karena pada legal assistance di samping mengandung makna memberi jasa
41
Yahya Harahap, Op., Cit., hal 333.
48
bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi advokat, yang memberi bantuan: a. baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi, b. maupun kepada mereka yang miskin secara cuma-cuma. -
Legal Service, istilah ini dapat kita terjemahkan dengan ‘pelayanan hukum’. Konsep dan makna legal service lebih luas dari konsep dan makna legal aid atau legal assistance, karena dalam legal service terkandung makna dan tujuan: a.
memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakkan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan,
b.
dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum tanpa membedakan yang kaya dan miskin,
c.
di samping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal service di dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap sengketa dengan menempuh cara perdamaian,
49
Itulah pengertian bantuan hukum yang dijumpai dalam praktek di beberapa negara. Mereka memisahkan istilah dan konsep bantuan hukum dalam tiga pola. Sementara di Indonesia, jarang sekali ada pembedaan istilah tersebut dalam pemberian bantuan hukum. kalangan profesi dan praktisi biasanya hanya mempergunakan istilah ‘bantuan hukum’. Menurut Adnan Buyung Nasution42, bantuan hukum pada dasarnya meliputi segala pekerjaan dan servis yang diberikan oleh seorang advokat atau pengacara terhadap kliennya, di dalam proses peradilan. Menurut Pratno Koesoemo43, bantuan hukum adalah bantuan yang diberikan oleh ahli hukum kepada seseorang baik di dalam maupun di luar pengadilan yang menyangkut hukum. Menurut Yahya Harahap44, bantuan hukum berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara, dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan buta hukum. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 1 angka 9, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Unsur klien yang tidak mampu sebagai penerima bantuan hukum juga ditekankan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Hal ini dijelaskan pada Pasal 1 angka 1, bahwa bantuan hukum adalah 42
Adnan Buyung Nasution dalam Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 27. 43 Pratno Koesoemo dalam Soerjono Soekanto, Ibid, hlm 27. 44 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Sinar Grafika: Jakarta Jakarta, hlm 363.
50
jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Adapun yang dimaksud penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang mana hal ini di terangkan di ayat selanjutnya. KUHAP tidak menyebutkan secara jelas tentang pengertian bantuan hukum. Meski begitu terdapat pengaturan bantuan hukum berkaitan dengan pemeriksaan tersangka atau terdakwa yang dirumuskan dalam Pasal 56 KUHAP sebagai berikut: “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Dari berbagai definisi di atas terdapat perbedaan pada bagian ruang lingkup pemberian bantuan hukum. Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa bantuan hukum meliputi segala jasa yang diberikan oleh pengacara terhadap kliennya di dalam proses peradilan, sedangkan yang lain berpendapat bahwa bantuan hukum tidak hanya diberikan oleh pengacara dalam proses pengadilan, tapi juga di luar pengadilan. Pendapat ini sejalan dengan Pasal 4 Undang-undang No. 16 Tahun 2001 tentang Bantuan Hukum yang merumuskan: “Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi dan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. “ 2. Jenis Bantuan Hukum
51
Pembedaan antar jenis bantuan hukum akan sangat berguna bagi penelitian mengenai korelasi antara berbagai faktor sosial dengan jenis-jenis bantuan hukum tersebut. Penjenisan bantuan bantuan hukum akan dapat dijadikan pedoman, untuk melakukan penelitian terhadapnya. Atas dasar pembedaan tertentu, akan dapat diatasi masalah-masalah pokok seperti45: 1. Pihak-pihak manakah yang dapat memberikan jenis-jenis bantuan hukum tertentu? 2. Keahlian apakah yang diperlukan bagi penyelenggaraan dan pemberian bantuan hukum tertentu? 3. Pihak manakah yang membiayai bantuan hukum dan bagaimana caranya? 4. Bentuk-bentuk pendekatan interdisipliner yang bagaimana yang perlu diterapkan? 5. Pada bentuk atau jenis bantuan hukum manakah yang harus diadakan identifikasi terhadap karakteristik pihak yang berhak untuk menerima bantuan hukum? Menurut Schuyt, Groenendijk dan Sloot46, dibedakan antara lima jenis bantuan hukum, sebagai berikut: 1. Bantuan Hukum Preventif yaitu penerangan dan penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas. 2. Bantuan hukum diagnostic yaitu pemberian nasihat atau konsultasi hukum. 45
K. Schuyt dalam Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 27. 46 Ibid, hal. 27
52
3. Bantuan hukum pengendalian konflik yaitu bantuan hukum yang bertujuan untuk mengatasi masalah hukum konkrit secara aktif. 4. Bantuan hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar. 5. Bantuan hukum pembaharuan hukum yang usaha-usaha untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentuk undang-undang. Adapun di Indonesia ada beberapa jenis bantuan hukum yang diberlakukan, yaitu: 1. Bantuan Hukum Konvensional. Bantuan ini adalah sebuah tanggungjawab moral ataupun profesional bagi para advokat atau pengacara yang sifatnya meliputi individual, bersifat pasif juga terbatas antara pendekatan formal atau juga legal. Bentuk bantuan hukum konvensional adalah berupa pendampingan atau pembelaan yang terjadi di pengadilan. 2. Bantuan Hukum Konstitusional. Bantuan ini adalah bantuan khusus untuk para masyarakat yang miskin. Semua itu dilakukan berdasarkan kepada kerangka usaha-usaha yang lebih luas dari sekedar pelayanan hukum di pengadilan. Bantuan hukum ini diorientasikan ke dalam sebuah sebuah perwujudan negara hukum berlandaskan pada prinsip demokrasi dan juga Hak Asasi Manusia. Bantuan hukum ini berdasarkan pada sebuah kewajiban dalam kerangka menyadarkan semua orang sebagai subyek hukum yang sama-sama
53
mempunyai hak tanpa dibedakan dengan golongan lain. sifat dari bantuan hukum ini adalah aktif dan tidak terbatas pada setiap individu juga kepada formal legal. 3. Bantuan Hukum Struktural Dalam bantuan hukum yang satu ini, bantuan hukum bukan hanya sebagai tempat pelayanan bagi masyarakat miskin tapi juga menjadi gerakan untuk melakukan pembebasan masyarakat dari segala belenggu dalam segala struktur dari bidang ekonomi, politik, sosial, juga yang sampai saat ini masih banyak yang mengisyaratkan penindasan. Dalam bantuan hukum struktural, masyarakat miskin mendapatkan berbagai macam pengetahun tentang semua hal yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan bersama mereka, kemudian pemberian pengertian kepada mereka tentang apa saja kepentingan dan hak yang harus dan perlu dilindungi oleh hukum.
Konsep bantuan hukum struktural dikembangkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan cita-cita mewujudkan negara hukum yang penuh dan menjamin keadilan sosial. Lembaga bantuan hukum yang pernah diketuai oleh Adnan Buyung Nasution ini ingin agar para klien yang terjerat masalah hukum tidak sepenuhnya bergantung pada pengacara dan dapat ikut menyelesaikan permasalahannya. 3. Hak Masyarakat akan Bantuan Hukum
54
Hak atas bantuan hukum adalah bagian dari proses peradilan yang adil dan inherent di dalam prinsip Negara hukum dan merupakan salah satu prinsip HAM yang telah diterima secara universal. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menjamin persamaan kedudukan di muka hukum dan dijabarkan dalam International Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR) atau Konvensi Hak Sipil dan Politik. Begitu pentingnya jaminan akan bantuan hukum membuat hak bantuan hukum dikategorikan sebagai non-derogable rights (hak yang tak dapat dikurangi) dan dijamin dalam Pasal 17, 18, 19 dan 34 Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak bantuan hukum juga merupakan hak konstitusional, yang ditunjukkan dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan ketiga UUD 1945 dengan menegaskan adanya persamaan di hadapan hukum dan pernyataan bahwa Indonesia sebagai negara hukum. Selain itu, Undang-undang No 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan perubahannya dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009, dalam Pasal 56 menyatakan setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Akhirnya perihal hak akan bantuan hukum diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Meski begitu berdasar pada Pasal 24, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai bantuan hukum
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
55
F. Advokat dalam Penegakkan Hukum 1. Pengertian Advokat Menurut Black’s Law Dictionary, kata advokat berasal dari kata latin yaitu advocare yang berarti: seseorang yang membantu, mempertahankan, membela, membela orang lain. Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan berbicara untuk orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang mempelajari hukum dan telah diakui untuk berpraktik, yang memberikan nasihat kepada klien dan berbicara untuk yang bersangkutandi hadapan pengadilan. Seorang asisten, penasihat, atau pembicara untuk kasus-kasus.47 Selanjutnya Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat mendefinisikan advokat dalam pasal 1 angka (1) sebagai berikut: “Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Dengan demikian dapat disimpulkan cakupan advokat meliputi mereka yang melakukan pekerjaan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.” 2. Peran dan Fungsi Advokat Peran dan fungsi advokat dapat diketahui dari definisi advokat di atas, yaitu sebagai pemberi bantuan hukum yang dilakukan di pengadilan dan di luar pengadilan, mencakup seluruh masalah hukum publik maupun hukum privat.
47
55.
Henry Campbel Black, Blacks’s Law Dictionary, West Publishing Co., St.Paul, 1990, hlm
56
Secara normatif, Undang-undang Advokat telah menegaskan bahwa peran advokat adalah
penegak
hukum.
Menegakkan
hukum
lazim
diartikan
sebagai
mempertahankan hukum atau “reshtshanhaving” dari setiap pelanggaran atau penyimpangan. Hukum diartikan dalam arti yang luas, baik hukum sebagai produk kekuasaan publik (law as command of the sovereign). Secara sosiologis, ada suatu jenis hukum yang mempunyai daya laku lebih kuat dibanding hukum yang lain. Didapati hukum sebagai produk kekuasaan ternyata tidak sesuai dengan hukum yang nyata hidup dalam masyarakat. Berdasar fenomena tersebut, maka peran advokat dalam menegakkan hukum akan berwujud, yaitu48: 1. Mendorong penerapan hukum yang tepat untuk setiap kasus atau perkara 2. Mendorong penerapan hukum tidak bertentangan dengan tuntutan kesusilaan, ketertiban umum dan rasa keadilan individual dan sosial. 3. Mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus perkara, bukan sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak netral dalam menerapkan hukum. Karena itu salah satu asas penting dalam pembelaan, apabila berkeyakinan seorang klien bersalah, maka advokat sebagai penegak hukum akan menyodorkan asas “clemency” atau sekedar memohon keadilan. Banyak orang beranggapan ruang lingkup pekerjaan advokat hanya berkaitan dengan beracara di pengadilan atau pekerjaan litigasi. Sebetulnya masih
48
Bagir Mannan, Peran Advokat Mewujudkan Peradilan Yang bersih dan Berwibawa dalam Majalah Hukum No. 240 September 2005
57
terdapat banyak pekerjaan advokat di luar bidang litigasi, yang disebut dengan pekerjaan non-litigasi yang meliputi pemberian pelayanan hukum (legal service), nasihat hukum (legal advice),pendapat hukum (legal opinion), menyusun kontrak (legal drafting), memberikan informasi hukum dan membela dan melindungi hak asasi manusia.49 Bentuk bantuan non litigasi lain yang diatur adalah penyuluhan hukum;
investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;
penelitian hukum;
mediasi;
negosiasi;
pemberdayaan masyarakat;
pendampingan di luar pengadilan; dan/atau drafting dokumen hukum. Pekerjaan non-litigasi di Indonesia memiliki kesamaan dengan tugas socilitor, yaitu mereka yang dapat melakukan pekerjaan di bidang hukum tetapi tidak tampil di pengadilan. Agak mirip dengan hal ini, fungsi advokat di Amerika Serikat dapat dibagi ke dalam tiga jenis: advokat yang mewakili pekerjaan di pengadilan; advokat sebagai penasihat; advokat sebagai juru runding. 3. Advokat sebagai Officium Nobile Tugas advokat bukanlah merupakan pekerjaan (vocation beroep), tetapi lebih merupakan profesi. Profesi advokat disebut sebagai profesi mulia (officium nobile) sebagaimana hakim, jaksa, dan polisi yang wajib melakukan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, kaya-miskin, keyakinan politik dan gender. Profesi advokat ini meliputi unsur manusia dengan kualitas dan kualifikasi tertentu yang diperlukan untuk menjalankan tugas profesinya. Selain itu, advokat juga dapat dilihat sebagai 49
V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2011, hlm 20.
58
institusi atau organisasi profesi yang bertanggung jawab dalam mengelola profesi advokat serta memastikan bahwa setiap advokat memiliki kualitas dan kualifikasi yang ditentukan.50 Advokat sebagai profesi mulia yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan pada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh pada Kemandirian, Kejujuran, kerahasiaan, dan Keterbukaan. 51 Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga penegak hukum lainnya seperti pengadilan, jaksa dan kepolisian. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
50
Jimly Asshiddiqie, Kitab Advokat Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hlm. xi Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2010, hlm 96. 51
59
BAB III Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Penelitian ini beranjak dari hukum acara pidana dalam hal penanganan perkara pidana melalui jalur non-litigasi atau yang mulai dikenal dengan istilah Mediasi Penal. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu metode yang mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat yang menekankan pada pencarian keajegan-keajegan empiris dengan konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis juga mengadakan observasi terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi.52 Dipilihnya penelitian kualitatif ini didasarkan alasan bahwa: (1) hukum dalam penelitian ini diartikan sebagai makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat; (2) agar dapat mengungkap dan mendapatkan makna yang mendalam dan rinci terhadap obyek penelitian dari informan.53 Dalam hal ini adalah maknamakna yang akan disimak adalah mengenai bagaimana peran advokat sebagai pemberi bantuan hukum ketika ADR (mediasi) dipilih sebagai penyelesaian perkara pidana, lalu bagaimana peran advokat dalam menerapkan mediasi penal itu. Selain itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyimak makna dari 52
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm 11. 53 Sutandyo Wignyosoebroto. 2006. Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. Makalah Lokakarya. Semarang: Yayasan Dewis Sartka. hlm. 2.
60
perilaku para pihak dalam mediasi penal berkaitan dengan bagaimana penerapan mediasi penal, apa dasar tujuannya dan seperti apa hasil serta akibat hukumnya. Dalam penelitian ini penulis akan fokus advokat mengenai keterlibatan mereka dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Selain itu juga pada pihak lain yang terlibat atau pernah terlibat dalam mediasi penal yaitu penyidik, tersangka dan korban. Dengan narasumber tersebut diharapkan akan terbuka informasi baru yang belum pernah terungkap sebelumnya. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang akan diteliti.54 Deskriptif dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang secara utuh berdasarkan fakta-fakta yang nampak
sebagaimana
keadaannya.
Dalam
penelitian
ini
penulis
akan
menggambarkan perilaku advokat di wilayah hukum polresta Surakarta pada saat penerapan mediasi penal sebagai bentuk pemberian bantuan hukum non-litigasi. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan mendasar pada alasan-alasan, kemampuan pendanaan, dan keperluan informasi. Lokasi penelitian
54
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 9.
61
akan dilakukan di kantor advokat di Surakarta, Polresta Surakarta, dan kediaman korban. 4. Sumber Data Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian yuridis sosiologis adalah data primer dan sebagai pendukung digunakan data sekunder. a. Data primer, adalah informasi dan pendapat yang didapat langsung atau bersumber dari mereka yang berkaitan dengan penerapan mediasi penal. Dalam penelitian ini narasumber yang berkaitan dengan penerapan mediasi penal terutama adalah advokat yang memberi bantuan hukum di wilayah hukum Polresta Surakarta, baik yang berasal dari kantor Pengacara maupun Lembaga Bantuan Hukum di Solo. Selain itu sebagai data primer didukung oleh informasi dan pendapat dari Penyidik Reserse Kriminal Kepolisian Resor Surakarta, tersangka dan korban yang pernah terlibat dalam penerapan mediasi penal. b. Data sekunder, yakni data tertulis yang bersumber dari peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, karya-karya ilmiah serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Peraturan perundangundangan meliputi undang-undang dan peraturan daerah yang meskipun tidak secara khusus mengatur tentang mediasi penal namun relevan dengan penerapan dan kajian mediasi penal.
62
5. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara yang terutama dilakukan dengan advokat. Wawancara akan dilakukan secara terarah dan mendalam. Wawancara terarah maksudnya dalam wawancara terdapat pengarahan atau struktur tertentu dengan membatasi aspek masalah yang dibicarakan dan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan.55 Sedangkan wawancara mendalam dimaksudkan untuk membangkitkan pernyataan-pernyataan bebas yang dikemukakan secara berterus terang.56 2. Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, karya-karya ilmiah, serta dokumen yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
6. Metode Penyajian Data Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari narasumber penelitian melalui wawancara maupun data pendukung akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh.
55 56
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hal 60. Ibid, hal 61.
63
7. Metode Penentuan Sampel Proses pemilihan dan cara penetapan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling dengan criterian based selection. Melalui pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan criterian based selection, maka peneliti cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalah secara mendalam. Dalam penelitian ini, yang ditentukan sebagai sebagai sampel dalam penelitian ini adalah advokat yang dianggap tahu, dapat dipercaya dan memiliki pengalaman seputar penerapan dan permasalahan mengenai mediasi penal. Dari beberapa advokat yang diwawancarai, diantaranya terdapat advokat yang menjabat sebagai ketua organisasi advokat yang dianggap tidak hanya dapat memberikan informasi mengenai penerapan mediasi penal yang dia lakukan sendiri tapi juga informasi mengenai isu Mediasi Penal di kalangan advokat di Solo pada umumnya. Selain itu sampel lain yang dipilih karena berkaitan dengan penerapan mediasi penal adalah Penyidik Reserse Kriminal Kepolisian Resor Surakarta, korban dan tersangka. 8. Metode Validitas Data Cara yang digunakan untuk menguji validitas, keansihan, keabsahan atau kebenararn data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan triangulasi. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi
64
yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Menurut Moleong, triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.57 9. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Data yang diperoleh disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif, dengan menggunakan teori-teori dalam hukum pidana formil, materil dan kriminologi, kemudian diambil simpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.
57
Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosada Karya. hal. 330.
65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian Peranan Advokat dalam Menerapkan Mediasi Penal sebagai Alternatif Pernyelesaian perkara Pidana (Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Hukum Polresta Surakarta) ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis atau sosio-legal research. Dalam penelitian ini diperlukan data primer atau data empiris dan data sekunder. Data primer yaitu data berupa informasi dan pendapat yang diperoleh langsung dari advokat, penyidik, korban dan tersangka. Data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literatur dan doktrin yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Peranan advokat yang diteliti oleh penulis adalah peranan advokat dalam menerapkan mediasi atau penyelesaian perkara pidana luar pengadilan untuk kliennya, baik pelaku maupun korban, sebagai suatu bentuk pemberian bantuan hukum non-litigasi. Bab ini menyajikan hasil penelitian dan analisis data baik data primer maupun data sekunder yang diperoleh selama penelitian di lapangan di lokasi penelitian, dengan menggunakan metode kualitatif. Data sekunder akan disajikan terlebih dahulu untuk mengetahui dasar dari peranan advokat dalam menerapkan mediasi penal.
A. Hasil Penelitian 1. Hasil Penelitian Data Sekunder 1.1.Mediasi sebagai Bantuan Hukum Non Litigasi
66
Ruang lingkup bantuan hukum yang diatur oleh Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah meliputi bantuan hukum litigasi dan non litigasi. Hal ini diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 16 tahun 2011 yang merumuskan sebagai berikut: (1) (2)
(3)
Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum. Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.
Baru-baru ini, perihal bantuan hukum litigasi dan non litigasi telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Dalam peraturan ini litigasi didefinisikan sebagai proses penanganan Perkara hukum yang dilakukan melalui jalur pengadilan untuk menyelesaikannya. Pemberian Bantuan Hukum secara Litigasi dilakukan oleh Advokat yang berstatus sebagai pengurus Pemberi Bantuan Hukum dan/atau Advokat yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum. Pasal 16 dalam peraturan ini menentukan pemberian bantuan hukum litigasi meliputi: a. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dan tingkat penyidikan, dan penuntutan; b. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau c. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
67
Adapun menurut Pasal 1 ayat 9 bantuan hukum non litigasi adalah proses penanganan Perkara hukum yang dilakukan di luar jalur pengadilan untuk menyelesaikannya. Pemberian bantuan hukum secara non litigasi dapat dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan akreditasi. Pasal 16 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 menentukan sebagai berikut: Pemberian Bantuan Hukum secara Nonlitigasi meliputi kegiatan: a. penyuluhan hukum; b. konsultasi hukum; c. investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik; d. penelitian hukum; e. mediasi; f. negosiasi; g. pemberdayaan masyarakat; h. pendampingan di luar pengadilan; dan/atau i. drafting dokumen hukum. Dari ketentuan peraturan pemerintah di atas dapat kita ketahui bahwa mediasi adalah salah satu bentuk bantuan hukum non litigasi. Lalu apakah relevansinya dengan penerapan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan? Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan (damai) para pihak dengan dibantu oleh mediator (Pasal 1 butir 7 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Berdasarkan pada rumusan pengertian mediasi, baik pengertian menurut PERMA di atas maupun menurut para ahli yang telah
68
diuraikan pada bab sebelumnya, dapat kita simpulkan unsur-unsur mediasi adalah : a. merupakan suatu proses penyelesaian sengketa berdasarkan kesukarelaan melalui suatu perundingan b. adanya mediator yang terlibat dan diterima oleh para pihak untuk membantu mencari penyelesaian c. mediasi bertujuan menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. Dari pengertian mediasi dan uraian unsur-unsur di atas, tidak ditemukan adanya pembatasan mengenai ruang lingkup pelaksanaan mediasi hanya untuk sengketa perdata. Selain itu, berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Bantuan Hukum di atas, bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum yang meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik secara litigasi maupun non litigasi. Dengan demikian mediasi sebagai bantuan hukum non-litigasi dapat diberikan kepada klien yang sedang menghadapi masalah hukum perdata, pidana maupun tata usaha negara. Satu-satunya peraturan di Indonesia yang mengatur mediasi secara eksplisit adalah Pertauran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan dalam peraturan ini mediasi dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa perdata. Meski begitu, dengan adanya ketentuan Pasal 4 Undang-undang Bantuan Hukum, maka mediasi
69
dimungkinkan untuk diterapkan tidak hanya untuk masalah hukum perdata namun juga pidana dan tata usaha negara. Hal ini memang bukan berarti Pasal 4 di atas memberi legitimasi pada Mediasi Penal, melainkan menegaskan bahwa pemberian bantuan hukum tidak hanya sebatas memberikan pelayanan hukum secara litigasi namun juga secara non litigasi, yang salah satu bentuknya adalah mekanisme mediasi.
Selanjutnya, berkaitan penerapan
mediasi penal untuk menyelesaikan perkara pidana dengan peran advokat, peran advokat dalam penelitian ini adalah dalam konteks pemberian bantuan hukum non litigasi dalam bentuk mediasi.
1.2.Advokat sebagai Pemberi Jasa Hukum dan Bantuan Hukum Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum menentukan bahwa kriteria pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum, terakreditasi, memiliki kantor atau sekretariat tetap, memiliki pengurus dan memiliki program bantuan hukum.
Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang. Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, yang disebut dengan jasa Hukum adalah jasa yang diberikan
70
Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 ayat 2). Salah satu jasa hukum yang diberikan advokat adalah pemberian bantuan hukum, yaitu jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada klien yang menghadapi masalah hukum, baik masalah hukum perdata, pidana maupun tata usaha Negara. Selain itu jasa hukum dan bantuan hukum yang dapat diberikan oleh advokat tidak hanya secara litigasi melainkan juga non litigasi. Hal ini sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (9) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, bahwa pemberian bantuan hukum secara non litigasi (salah satunya adalah mediasi), dapat dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan akreditasi.
Jasa hukum yang berkaitan dengan mediasi atau perdamaian dikemukakan oleh Soemarno P. Wirjanto. Menurut Soemarno P. Wirjanto, tugas advokat ada tiga macam, yaitu:
a. Sebagai procurator, yaitu mewakili dan membantu kliennya di dalam segala pekerjaan yang diperlukan untuk mempersiapkan perkara pengadilan sehingga siap untuk diputus hakim;
71
b. Sebagai pleader atau pleiter, yaitu mengucapkan pledoi, presentasi fakta-fakta, argumentasi hukum, sehingga hakim mendapat pandangan yang tepat terhadap fakta-fakta suatu perkara dan hukum yang berlaku untuk itu; c. Sebagai juris-consult, yaitu memberi nasehat hukum di luar peradilan, membantu dengan atau membuat akta-akta hukum, perdamaian hukum dan lain-lain58.
1.3.Advokat sebagai Mediator Advokat sebagai pemberi jasa hukum dan bantuan hukum non litigasi dalam bentuk mediasi dimungkinkan berperan sebagai mediator. Peraturan yang secara eksplisit mengatur advokat sebagai mediator adalah PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan. Pasal 8 Ayat 1 PERMA Nomor 1 tahun 2008 menentukan sebagai berikut: Para pihak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihan berikut ini: a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; b. Advokat atau akademisi hukum c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d. Hakim majelis pemeriksa perkara; e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d. PERMA ini memang mengatur mediasi untuk perkara perdata namun pada dasarnya tugas mediator baik dalam upaya penyelesaian perkara perdata maupun pidana pada dasarnya sama jadi menentukan mediator untuk mediasi penal dapat mengacu pada peraturan mahkamah agung ini. 58
Djoko Prakoso, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan , Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 86
72
Selanjutnya berkaitan dengan tugas mediator, Pasal 24 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 menyatakan:
(1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati pedoman perilaku mediator. (2) Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada 11 Februari 2010 Ketua Mahkamah Agung telah menetapkan Pedoman Perilaku Mediator yang dalam Pasal 6 ayat (3) menyatakan:
“Seorang mediator yang berpotensi sebagai advokat dan rekan pada firma hukum yang sama dilarang menjadi penasihat hukum salah satu pihak dalam sengketa yang sedang ditangani baik selama maupun sesudah proses mediasi.“ Jadi Pedoman Perilaku Mediator itu melarang seorang mediator untuk menjadi penasihat hukum (advokat) dari salah satu pihak yang bersengketa dalam mediasi. Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa jika seorang mediator sekaligus bertindak sebagai penasihat hukum salah satu klien dimungkinkan akan muncul konflik kepentingan. Hal ini menarik untuk diperhatikan karena pada praktiknya seorang Advokat, dalam memberikan Jasa Hukum kepada klient diluar persidangan, terlebih dahulu membuat surat somasi kepada pihak lawan untuk Negosiasi guna mencari penyelesaian. Negosiasi ini merupakan tahap tawar – menawar antara pihak – pihak yang bersengketa, dimana pihak yang satu dalam hal ini Advokat berhadapan
73
dengan pihak kedua dan berusaha untuk mencapai titik kesepakatan tentang persoalan tertentu yang dipersengketakan. Lalu sebagai kelanjutan proses negosisi, advokat juga memberikan jasa hukum kepada klien dengan cara mediasi.
1.4.Kebijakan Penerapan ADR (Mediasi) sebagai Penyelesaian Perkara Pidana Berkembangnya ide Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana mendorong munculnya kebijakan penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai Penyelesaian Perkara Pidana. Untuk beberapa tindak pidana penyelesaian perkara melalui mekanisme ADR, terutama dengan mediasi, dianggap dapat lebih memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan serta sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Beberapa kebijakan penerapan ADR dalam bentuk mediasi tertuang dalam beberapa peraturan di bawah ini: a. Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR). Kekuatan hukum Surat Kapolri memang tidak setara dengan kekuatan hukum undang-undang, namun dapat dikatakan Surat Kapolri ini adalah aturan pertama yang secara tegas mengatur masalah mediasi penal meskipun secara parsial dan terbatas sifatnya. Surat kapolri ini
74
memerintahkan penyidik untuk menyaring perkara mana yang harus dilimpahkan ke kejaksaan dan mana yang lebih baik diselesaikan melalui ADR sebagai perwujudan restorative justice. Pada surat Kapolri ini ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR, yaitu: - Mengupayakan penanganan kasus yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR; - Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional; - Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma sosial/ adat serta memenuhi asas keadilan; - Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.
b. Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Sebenarnya undang-undang ini tidak mengatur alternatif mediasi secara tegas, namun terdapat kemungkinan mediasi dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana dnegan usia di bawah delapan tahun. Menurut undang-undang ini, batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/ wali (Pasal 5
75
Undang-undang Pengadilan Anak). Ketika pelaku adalah anak berusia di bawah delapan tahun, pelaku tidak dapat diserahkan ke pengadilan dan dimungkinkan perkara diselesaikan di luar pengadilan melalui mekanisme mediasi.
Upaya
penyelesaian
melalui
ADR
merupakan
bentuk
perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana dan pada praktiknya, di Mojokerto, pelaku anak dengan usia di atas delapan tahun pun pernah diupayakan penyelesaian secara mediasi. Hal ini dilakukan karena berkembangnya konsep restorative justice dan ide diversi pemidanaan pelaku anak. c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM memberi kewenangan pada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Keppres No. 50 Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (Pasal 76 ayat 1). Mediasi adalah salah satu cara Komnas HAM dalam menangani kasus HAM dan berkaitan dengan pengalaman ini Komnas HAM telah menerbitkan buku berjudul ‘Belajar dari Pengalaman: Praktik Mediasi Hak Asasi Manusia’. Beberapa
ketentuan
di
atas
memberi
kemungkinan
adanya
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namum bagaimanapun juga belum secara eksplisit dan tegas merupakan mediasi penal seperti telah diuraikan dalam penelitian ini. Penyelesaian di luar pengadilan dalam ketentuan di atas belum menggambarkan secara tegas adanya mediasi yang
76
dapat menjadi ‘sarana pengalihan/ diversi’ untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Sebagai bahan komparasi, di beberapa negara lain mediasi penal sudah mendapat pengaturan yang lebih tegas. Di Austria, Jerman, Finlandia, dan Polandia mediasi penal ditempatkan sebagai bagian dari Undang-undang Pengadilan Anak (The Juvenile Justice Act). Di Norwegia mediasi penal diatur secara tersendiri dalam Undang-undang Mediasi (The Mediation Act), yang diberlakukan untuk anak-anak maupun bagi orang dewasa.59 Menurut Pasal 90 g KUHAP Austria, penuntut umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul. Tindak pidana yang dapat dikenakan diversi termasuk mediasi penal, apabila diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara atau 10 tahun penjara untuk kasus anak. Di Perancis, berdasarkan Undang-undang No. 4 januari 1993 yang mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code Criminal Procedure), penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut tidaknya seseorang. Inti Pasal 41 CCP itu ialah: penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan
59
Lihat Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance”, Program Doktor Ilmu UNDIP, di Inter Continental Hotel, Jakarta, 27 Maret 2007, dikutip dalam Setya Wahyudi, Op. Cit., hal 73.
77
korban dan pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki kerugian korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu rehabilitasi pelaku. Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan, namun apabila berhasil penuntutan diberhentikan. 60 2. Hasil Penelitian Data Primer Narasumber dalam penelitian ini adalah advokat, penyidik serta korban suatu tindak pidana dan dilakukan di kota Surakarta. Wawancara dilakukan secara terarah dan mendalam. Wawancara terarah maksudnya dalam wawancara terdapat pengarahan atau struktur tertentu dengan membatasi aspek masalah yang dibicarakan dan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan. Sedangkan
wawancara
mendalam
dimaksudkan
untuk
membangkitkan
pernyataan-pernyataan bebas yang dikemukakan secara berterus terang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap narasumber di kota tersebut maka diperoleh data sebagai berikut: 2.1. Peranan Advokat dalam menerapkan Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana 2.1.1 Pandangan Advokat mengenai Mediasi Penal Dari hasil wawancara dengan advokat-advokat di Surakarta, sebagian besar mengetahui wacana dan ide mediasi sebagai alternatif 60
Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France, http://www.mediationcobference.com.au/2006///_papers/Deborah%20Macfarlane%20%20VICTIM%20OFFENDER%20MEDIATION%20IN%20FRANCE1,dOC, dikutip dalam Setya Wahyudi, Ibid.
78
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Meski begitu tidak semua mengetehui
dan
menggunakan
menerapkannya. Dalam
istilah
Mediasi
Penal
ketika
wawancara dengan penulis, M. Taufik, S.H,
M.H., mengemukakan persetujuannya pada penerapan konsep Restorative Justice yang salah satu perwujudannya adalah berupa mekanisme mediasi penal. Menurut M. Taufik proses peradilan pidana yang hanya berorientasi pada pemenjaraan pelaku dengan mengabaikan kebutuhan korban adalah sistem pemidanaan yang sudah kuno. Penegakkan hukum haruslah memperhatikan kemanfaatan bagi para pihak. Penegakkan hukum pidana tidak seharusnya dilakukan secara kaku persis sesuai dengan bunyi pasal, karena hukum itu untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Penerapan mediasi penal untuk tindak pidana tertentu tidak hanya dapat memberi kemanfaatan bagi para pihak yang berperkara namun juga memberi manfaat
ekonomis
bagi
Negara.
Ketika
mediasi
penal
berhasil
menyelesaikan perkara pidana, maka akan mengurangi pemenjaraan yang berarti mengurangi juga beban biaya persidangan dan kehidupan terpidana di penjara. Dengan pemikiran ini, M. taufik menyatakan perlunya mediasi penal dan bahkan memungkinkan penerapannya tidak hanya untuk tindak pidana ringan. Selain itu M. Taufik juga menyarankan agar mediasi penal mendapat pengaturan khusus dan tegas baik dalam KUHAP yang baru ataupun PERMA61. 61
Hasil wawancara dengan M. Taufik, S.H, M.H., Advokat DPC PERADI Kota Surakarta
79
Advokat lain, MT. Heru, S.H, M.H., Ketua DPC IKADIN, berpendapat bahwa sudah seharusnya penyelesaian perkara pidana secara non litigasi secara kekeluargaan selalu dicoba sebagai upaya mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pihak terkait seperti polisi pun harus memperhatikan hal ini, tidak semua perkara harus dilimpahkan ke kejaksaan62. Harsono, S.H, M.H., juga berpendapat bahwa dalam beberapa kasus penerapan mediasi penal dapat lebih memberi kemanfaatan dan keadilan. Diapun sering berupaya menempuh jalur litigasi ketika memberikan bantuan hukum baik bantuan hukum individual maupun struktural.63 Advokat lainnya, M. Moehani, S.H., mengemukakan bahwa upaya penyelesaian secara kekeluargaan penting untuk selalalu ditempuh baik untuk perkara perdata mapun pidana dan M. Moehani sendiri juga sudah memasukkan mediasi sebagai salah satu jasa pelayanan hukumnya.64 Sementara itu, advokat Ratno, S.H., yang menyatakan tidak begitu mengetahui dan tidak begitu menyetujui ide mediasi untuk menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan. Menurut Ratno pelayanan hukum yang dia lakukan menjunjung asas kepastian hukum sehingga dalam hal mediasi pada hari Senin, tanggal 15 April 2013. 62 Hasil wawancara dengan M. T. Heru, S.H, M.H., Advokat dan Ketua DPC IKADIN Kota Surakarta pada hari Rabu, tanggal 17 April 2013. 63 Hasil wawancara dengan Harsono, S.H, M.H., Advokat dan Ketua DPC PERADI Kota Surakarta pada hari Senin 22 April 2013. 64 Hasil wawancara dengan M. Mohani,. S.H., Advokat DPC PERADI Kota Surakarta pada hari Kamis, tanggal 18 April 2013.
80
hanya dapat diterapkan pada perkara perdata yang telah diatur secara tegas dalam peraturan Mahkamah Agung65. 2.1.2 Peranan Advokat dalam Mediasi Penal Hasil penelitian dengan metode wawancara terhadap beberapa advokat dan penyidik menunjukkan bahwa Mediasi Penal di Kota Surakarta dapat dilakukan pada saat tahap penyidikan di kepolisian maupun sebelum tahap penyidikan, yaitu pada tahap penyelidikan atau pada saat perkara baru dilaporkan. Baik pada tahap penyidikan maupun sebelum penyidikan terdapat peranan advokat dalam pemilihan dan penyelenggaraan penyelesaian perkara secara non litigasi. Peranan yang dilakukan advokat adalah mendorong atau mengusulkan pemilihan penyelesaian perkara secara non litigasi, menfasilitasi penyelenggaraan mediasi penal, dan menjadi mediator. Peran advokat dalam mendorong penerapan mediasi penal salah satunya dilakukan pada awal tahun 2013 terjadi pencurian yang dilakukan oleh seorang pelajar. Pelajar yang melakukan pencurian di sebuah toko ini pun ditetapkan sebagai tersangka dan sudah sempat ditahan. Advokat M. Taufik, S.H., yang pada waktu itu mendampingi anak ini melihat adanya kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara non litigasi mengingat nilai kerugian korban yang masih dapat dipulihkan serta kondisi tersangka 65
Hasil wawancara dengan Ratno,. S.H., Advokat DPC PERADI Kota Surakarta pada hari Senin, tanggal 15 April 2013
81
yang masih anak-anak dan akan menghadapi Ujian Nasional. Pada saat inilah pendamping hukum berperan untuk mendorong dipilihnya penyelesaian perkara pidana secara non litigasi dikepolisian dengan cara mengajukan usulan dan bernegosiasi dengan penyidik. Dalam penerapan mediasi ini advokat berperan mewakili tersangka melakukan perundingan dengan pihak toko sebagai korban dan difasilitasi oleh penyidik sebagai mediator, hingga akhirnya tercapai kesepakatan damai.66 Selain berperan mendorong penerapan mediasi penal, advokat juga berperan sebagai mediator terutama jika perkara belum memasuki tahap penyidikan. Advokat M. Mohani., S.H., mengemukakan bahwa ketika klien pertama kali datang, baik dalam perkara perdata maupun pidana, tindakan yang pertama kali dilakukan adalah membuat somasi atau peringatan. Dalam perkara pidana maka somasi diberikan dari pihak korban terhadap pelaku yang isinya adalah tawaran menyelesaikan perkara melalui mediasi. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk dari jasa hukum dan bantuan hukum non litigasi. Selain itu peran advokat dalam menjadi mediator juga didasarkan pada keinginan para pihak untuk berupaya mencapai kesepakatan win-win solution melalui jalur non litigasi.67 Advokat M.T. Heru., S.H., M.H., yang juga seorang mediator mengemukakan bahwa berdasarkan pengalamannya, spirit dari mediator 66 67
Hasil wawancara dengan M.Taufik., S.H., M.H., Op.Cit., Hasil wawancara dengan Advokat M. Mohani, S.H., Op. Cit.,
82
dalam mediasi penal biasanya lebih dari hakim mediator pada mediasi perdata. Advokat yang menjadi mediator dalam mediasi penal lebih bersikap aktif mendorong para pihak dalam merundingkan kesepakatan damai dibanding hakim mediator yang cenderung menganggap mediasi perdata hanya sebatas prosedur sebelum memasuki tahap sidang di pengadilan. Hal ini juga salah satunya dikarenakan mediator dalam mediasi penal dapat menerapkan honorarium atas jasa hukum non litigasinya itu. 68 Dalam praktiknya mediasi selalu ditempuh sebagai upaya awal penyelesaian
perkara
pidana.
Advokat
menyarankan
penggunaan
penyelesaian di luar pengadilan kepada para pihak dan secara aktif berperan dalam penyelenggaraan mediasi penal. Mediasi Penal biasanya dilakukan di kepolisian, di kantor advokat atau ditempat lain sesuai keinginan para pihak. Kantor Advokat Heru Buwono and Partners telah memberikan jasa hukum dan bantuan hukum selama tujuh tahun dan selama waktu itu sebanyak 60% perkara pidana dapat menemukan diselesaikan melalui jalur non litigasi.69 Advokat Harsono., S.H., M.H., mengemukakan bahwa mediasi penal biasanya dia terapkan sebagai bentuk pemberian bantuan hukum struktural,
pada
kasus
tindak
pidana
lingkungan
atau
kasus
ketenagakerjaan. Dalam bantuan hukum struktural maupun individual 68 69
Hasil wawancara dengan M. T. Heru,. S.H., M.H., Op. Cit., Ibid.
83
advokat bertindak secara aktif mengupayakan mediasi, terutama untuk tindak pidana yang dimensinya perdata selama perkara belum P21 yang artinya berkas lengkap dan siap dilimpahkan ke kejaksaan. Selama belum P21 mediasi dapat dilaksanakan setelah advokat mengusulkan alternatif mediasi pada penyidik, lalu penyidik memberi ruang. 70 Tidak semua advokat memasukkan mediasi penal sebagai upaya awal penyelesaian sengketa. Menurut advokat Yusuf., S.H., advokat berperan dalam mediasi penal ketika atas inisiatif pihak dipilih mekanisme mediasi penal dan para pihak menyepakati untuk difasilitasi oleh advokat. Selanjutnya yang bertindak sebagai mediator bisa advokat, polisi atau tokoh masyarakat. 71 2.1.3 Dasar Penerapan Mediasi Penal Dalam beberapa praktik, mediasi penal dilaksanakan atas dasar usulan advokat terhadap kliennya, baik korban maupun pelaku. Advokat secara aktif mengupayakan penyelesaian di luar pengadilan dengan memasukkan mediasi sebagai tahap awal penyelesaian perkara pidana. Hal ini menurut advokat MT. Heru S.H.,M.H. perlu untuk selalu dicoba mengingat dari manfaat dan keuntungan dari mediasi penal terhadap penegakkan hukum, terutama terhadap korban. Selain itu jasa hukum dan bantuan hukum yang diberikan oleh advokat seharusnya tidak hanya
70
Hasil wawancara dengan advokat Harsono,. S.H.,M.H., Advokat dan Ketua DPC PERADI Kota Surakarta pada hari Senin, tanggal 22 April 2013. 71 Hasil wawancara dengan advokat Yusuf., S.H., Advokat LPH YAPHI dan dari DPC PERADI Kota Surakarta pada tanggal 22 April 2013
84
sebatas mendampingi di muka persidangan.72 Setiap kasus yang akan ditangani sebaiknya ditelaah mengenai kemanfaatan dan keadilannya apakah lebih baik dipilih jalur litigasi atau non litigasi sebagai penyelesaiannya. Secara kasuistis advokat akan aktif mengupayakan penerapan mediasi penal baik dengan mengusulkannya pada korban dan pelaku maupun pada pihak kepolisian.73 Advokat lainnya tidak selalu aktif mengusulkan mediasi penal melainkan bergantung pada kehendak dan inisiatif para pihak baik korban maupun pelaku. Dengan demikian dasar lain dari dilaksanakannya mediasi penal adalah inisiatif korban dan pelaku yang lebih menghendaki jalan damai. Menurut Misfan Fitriana, seorang korban tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), meskipun menderita kerugian dan tahu bahwa pelaku seharusnya dapat dituntut di muka pengadilan, namun dalam hatinya lebih menghendaki penyelesaian di luar pengadilan, dimana dirinya dapat turut serta menentukan isi kesepakatan. 74 Selanjutnya korban atau pelaku meminta advokat untuk membantu memfasilitasi penerapan mediasi penal.75 Inisiatif dan kehendak dari para pihak seringkali masih bergantung pada kebijaksanaan pihak kepolisian. Terlebih jika perkara sudah sampai 72
Hasil wawancara dengan MT. Heru., Op.Cit. Disarikan dari hasil wawancara M. Taufik., S.H.,M.H dan M. Mohani., S.H., Op.Cit. 74 Hasil wawancara dengan Misfan Fitriana, korban tindak pidana KDRT, di Semanggi, Surakarta, pada hari Senin, 22 April 2013. 75 Hasil wawancara dengan M. Mohani., S.H., Op. Cit. 73
85
pada tahap pemeriksaan di penyidikan dan berkas sudah siap untuk dilimpahkan ke kejaksaan. Dengan begitu salah satu dasar dilaksanakannya mediasi penal adalah diskresi polisi. Ketika suatu perkara dinilai lebih mendapat kemanfaatan dan keadilan bila diselesaikan dengan mediasi penal, pelaku menyatakan siap bertanggung jawab dan korban memerlukan pemulihan kerugian, maka polisi dapat memutuskan untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan.76 Keputusan polisi yang demikian itu juga merupakan
implementasi
dari
Surat
Kapolri
No.
Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution yang menginstruksikan polisi untuk menerapkan mekanisme ADR untuk tindak pidana tertentu. (tambahin yang bukan residivis) Jadi, penerapan mediasi penal di Surakarta bedasarkan pada usulan dari advokat yang mendampingi klien, inisiatif para pihak (korban dan pelaku), dan wewenang diskresi polisi.
2.1.4 Perkara Pidana yang diselesaikan melalui Mediasi Penal Dalam berbagai diskusi mengenai ide mediasi penal, mekanisme ini dimaksudkan sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana yang mengakibatkan kerugian ringan. Tindak pidana yang direkomendasikan 76
Hasil wawancara dengan Ari Suwarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta pada hari Jumat, 19 April 2013.
86
untuk diselesaikan melalui mediasi penal biasanya adalah pencurian ringan dan kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap advokat, penyidik dan korban di Surakarta, ternyata tindak pidana yang telah diselesaikan melalui mediasi penal cukup bervariasi. Salah satu tindak pidana yang selalu mendapat perhatian untuk dicoba diselesaikan dengan mediasi penal adalah pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP dan 363 KUHP, terutama jika pelakunya adalah anak-anak. Pada awal tahun 2013 terjadi pencurian yang dilakukan oleh seorang pelajar. Pelajar inipun ditetapkan sebagai tersangka dan sudah sempat ditahan di Polres Karanganyar. Berdasarkan pada Pasal 56 KUHAP, tersangka ini pun mendapat penasihat hukum. Advokat M. Taufik, S.H., yang pada waktu itu mendampingi anak ini melihat adanya kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara non litigasi mengingat nilai kerugian korban yang masih dapat dipulihkan serta kondisi tersangka yang masih anak-anak dan akan menghadapi Ujian Nasional. Selanjutnya advokat ini mendorong dipilihnya penyelesaian perkara pidana secara non litigasi dikepolisian dengan cara mengajukan usulan dan bernegosiasi dengan penyidik. Selanjutnya advokat berperan mewakili tersangka melakukan perundingan dengan pihak toko sebagai korban dan difasilitasi
87
oleh penyidik yang menyaksikan proses mediasi, hingga akhirnya tercapai kesepakatan damai.77 Penyidik di Polresta Surakarta membenarkan bahwa ketika seorang terlapor atau bahkan tersangka mengakui kesalahannya dan korban menghendaki, mediasi penal bisa diterapkan. Menurut AKP Ari Suwarwono, selain adanya kehendak para pihak, karakteristik perkara yang dapat diupayakan untuk diselesaikan melalui ADR adalah 78: a. Tindakan pidana ringan dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan, atau tindak pidana yang mengakibatkan kerugian tidak terlalu besar; b. Pelaku bukan residivis; c. Proses mediasi melibatkan pihak ketiga yang dipilih para pihak dan melibatkan sistem sosial di masyarakat; d. Adanya pengawasan dari pimpinan, agar mediasi tidak disalahgunakan menjadi ‘jalan damai yang melawan hukum (seperti suap dari pelaku)’. Advokat juga dapat berperan sebagai mediator dalam mediasi penal jika para pihak memilih atau menyepakati. Salah satu perkara pidana yang telah diselesaikan dengan mediasi penal dimana advokat menjadi mediator adalah perkara pelecehan. Dalam kasus ini seorang remaja putri yang 77
Hasil wawancara dengan M. Taufik, S.H, M.H., Op.Cit. Hasil wawancara dengan AKP Suwarwono, S.H, M.H., Wakasat Reskrim Polresta Surakarta, Jumat, 19 April 2013. 78
88
menjadi korban pelecehan teman lelakinya meminta bantuan hukum pada advokat MT. Heru, SH., M.H. Korban yang merasa marah ingin pelaku mendapat sanksi namun korban ini malu jika harus menjalani persidangan. Akhirnya mekanisme mediasi penal pun ditempuh dengan difasilitasi oleh advokat. Mediasi penal dilaksanakan di luar pengadilan dan telah mencapai kesepakatan damai yang mengharuskan pelaku melakukan beberapa tindakan pertanggungjawaban.79 Advokat lain yang berperan dalam mediasi penal sebagai mediator adalah Mohani, S.H. Perkara yang ditangani adalah kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaian satu pihak mengakibatkan pihak lain mengalami luka berat dan kerugian yang besar. Perkara pidana lainnya yang telah diselesaikan dengan mediasi penal dengan melibatkan peran advokat adalah perkara penggelapan yang diancam dengan Pasal 372 KUHP. Tindak pidana penggelapan ini dilakukan oleh seorang pengacara terhadap kliennya pada tahun 2013. Sebelum diselesaikan melalui jalur litigasi, advokat Harsono, S.H., M.H yang juga ketua PERADI DPC Surakarta mengupayakan mediasi untuk pengacara itu dan korbannya. Mediasi penal pun berhasil diselenggarakan dan mencapai kesepakatan untuk memulihkan kerugian korban. 80 Kasus penggelapan lain yang terjadi pada tahun 2012 juga diselesaikan melalui mediasi penal ketika kasus ini baru saja dilaporkan ke Polresta Surakarta. 79 80
Hasil wawancara dengan MT. Heru., S.H., M.H., Op.Cit. Hasil wawancara dengan advokat Harsono, S.H., M.H., Op.Cit
89
LSM Pengabdian Hukum YAPHI juga telah menerapkan mediasi penal terhadap perkara KDRT yang terjadi pada tahun 2010. Mediasi penal yang dilakukan menghasilkan kesepakan damai antara korban Misfan Fitriana dengan Wiji Winarno. Setelah kesepakatan damai dicapai, advokat Yayuk S.H., masih mendampingi korban untuk melakukan pencabutnya laporan sehingga perkara tidak diteruskan ke persidangan. 81 2.2.Akibat Hukum Kesepakatan yang dicapai dalam Mediasi Penal terhadap Proses penanganan Perkara Pidana Data penelitian mengenai penerapan mediasi penal menunjukkan di setiap kesepakatan perdamaian yang dibuat para pihak terdapat kesamaan mengenai isi kesepakatan. Kesepakatan perdamaian itu biasanya berisi: a. Kewajiban pelaku untuk mengakui dan meminta maaf secara terbuka atas kesalahan yang diperbuat; b. Bentuk pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan kerugian korban (biasanya dengan pembayaran ganti rugi); c. Pernyataan dari korban bahwa dia tidak akan melanjutkan perkara ke proses hukum dan segera mencabut laporan tindak pidana ke polisi. 82 Advokat Yusuf S.H., M.H., menyatakan bahwa kesepakatan damai dalam mediasi penal kasus KDRT yang dia tangani mengikat para pihak
81
Disarikan dari wawancara dengan advokat Yusuf S.H dan Yayuk S.H di Kantor Lembaga Pengabdian Hukum YAPHI di Surakarta, pada hari Selasa, 23 April 2013. 82 Disimpulkan berdasarkan wawancara dengan para advokat, penyidik, korban, serta surat kesepakatan damai yang dihasilkan dari mediasi penal di Solo, pada hari Jumat, 10 Mei 2013.
90
untuk melaksanakan isi dari kesepakatan. Tidak hanya itu, dibuatnya dan ditandatanganinya surat kesepakatan oleh para pihak juga menghentikan proses penanganan tindak pidana karena dicabutnya laporan tindak pidana KDRT itu. Menurut Yusuf S.H., pencabutan laporan dan penghentian penangan perkara seharusnya tergantung dari tindak pidananya apakah termasuk delik biasa atau delik aduan. Kalau delik aduan, berdasarkan Pasal 75 KUHP pengaduan tindak pidana dapat ditarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah diajukan. Sedangkan untuk delik biasa seperti pencurian dan penggelapan, meskipun telah dilakukan perdamaian tidak menghentikan proses penuntutan di pengadilan. Namun pada praktiknya ketika korban dan pelaku mencapai kesepakatan perdamaian, kesepakatan yang telah dibuat diajukan ke kepolisian lalu proses penyidikan dihentikan. Yusuf sendiri berpendirian bahwa meskipun sebagai advokat mendukung dan menerapkan mediasi penal, bukan berarti proses penuntutan dipaksakan untuk berhenti. Kesepakatan
perdamaian
yang
akibat
hukumnya
secara
otomatis
menghentikan penyidikan dan penuntutan baru ada dalam semangat KUHAP yang baru, sedangkan dalam hukum positif sekarang tidak ada aturan seperti itu.83 Advokat Harsono S.H., menceritakan bahwa mediasi penal yang dia tangani mencapai kesepakatan yang dianggap sebagai win-win solution bagi
83
Hasil wawancara dengan Yusuf S.H., Op.Cit.,
91
kedua belah pihak. Harsono S.H., mengemukakan bahwa konsekuensi dari kesepakatan itu adalah: 1. Pelaku diwajibkan melakukan suatu tindakan pertanggungjawaban untuk memulihkan kerugian korban penggelapan; 2. Laporan terhadap polisi dicabut sehingga perkara tidak sampai diselesaikan melalui jalur litigasi. Jadi menurut beliau akibat hukum dari kesepakatan itu adalah berakhirnya perkara pidana dengan dicabutnya laporan ke polisi. Meski begitu dia tidak memungkiri bahwa pada prinsipnya ganti rugi tidak mengahapuskan ancaman pidana pada delik biasa ini sehingga proses hukum harus terus dilanjutkan dengan penuntutan. Dan sebenarnya jika berdasar pada norma hukum pidana tersebut, kontribusi dari kesepakatan mediasi penal mungkin hanya sebatas meringankan putusan hakim.84 AKP Ari Suwarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta menyatakan bahwa benar pada prinsipnya ganti rugi tidak menghapus sifat melawan hukum pada tindak pidana dan kesepakatan damai tidak menghentikan proses hukum. Namun ketika dalam praktik kesepakatan mediasi penal itu berakibat pada ditutupnya pemeriksaan perkara pidana, pidana.
Ketika
pertanggungjawaban
para
pihak
perbuatan
telah pidana
menyepakati tanpa
pengadilan, maka telah selesai pula perkara itu. 84
Hasil dengan advokat Harsono., S.H., M.H., Op.Cit.
melalui
suatu
bentuk
proses
sidang
92
Berkaitan dengan proses penanganan perkara pidana setelah adanya kesepakatan damai, AKP Ari mengemukakan bahwa saat ini sudah diperlukan suatu peraturan tegas mengenai pelaksanaan mediasi penal beserta akibat hukumnya. Bahkan dia berpendapat ada baiknya kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal yang dibuat oleh para pihak dan disaksikan oleh penyidik membuat perkara itu menjadi nebis in idem ketika kemudian hari perkara itu dilaporkan kembali oleh salah satu pihak. Hal itu dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian hukum dan menjaga kewibawaan hukum.
B. Pembahasan 1. Peranan Advokat dalam Menerapkan Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Soerjono Soekanto berpendapat, peranan adalah aspek dinamis kedudukan seseorang. Apabila seseorang menjalankan kedudukannya, maka dia telah menjalankan suatu peranan.85 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian peranan seperangkat tindakan yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.86 Berdasarkan pengertian diatas, peranan advokat dalam menerapkan mediasi penal dapat diartikan sebagai serangkaian tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh advokat
85
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 2010. 86 Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, balai Pustaka, 1988, hlm. 667.
93
sebagai orang yang berkedudukan di masyarakat sebagai pemberi jasa dan bantuan hukum dalam menerapkan mediasi penal. Dalam membicarakan penerapan mediasi penal, sepintas advokat tampak seperti bukan pihak yang tugasnya tidak berkaitan langsung dengan mediasi penal. Memang, dapat dikatakan polisi sebagai ujung tombak proses peradilan pidana adalah pihak utama yang memiliki wewenang (wewenang diskresi) dan pengaruh terhadap penerapan mediasi penal. Namun jika dikaji berdasarkan undang-undang advokat dan undang-undang bantuan hukum, sebenarnya advokat memiliki peran penting dalam penyelsaian perkara secara non litigasi dan tugas advokat tidak dapat dikatakan hanya sebatas tugas litigasi. Litigasi adalah proses penanganan Perkara hukum yang dilakukan melalui jalur pengadilan untuk menyelesaikannya. Seringkali orang beranggapan bahwa jasa hukum dan bantuan hukum yang diberikan advokat hanya sebatas beracara di pengadilan atau dengan kata lain hanya melakukan pekerjaan litigasi. Sebetulnya terdapat banyak pekerjaan advokat di luar bidang litigasi, yang disebut dengan jasa hukum dan bantuan hukum non litigasi. Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, yang disebut dengan jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 ayat 2). Sedangkan bantuan hukum
94
adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada lien yang tidak mampu (Pasal 1 ayat 9). Jasa hukum maupun bantuan hukum yang diberikan advokat tidak hanya meliputi jasa hukum dan bantuan hukum litigasi namun juga non litigasi. Pengertian bantuan hukum non litigasi dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 9 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum sebagai berikut: ‘‘Bantuan hukum non litigasi adalah proses penanganan perkara hukum yang dilakukan di luar jalur pengadilan untuk menyelesaikannya.“ Pemberian bantuan hukum secara non litigasi dapat dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan akreditasi. Mengenai bantuan hukum non litigasi yang dapat diberikan oleh advokat, Pasal 16 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 menentukan sebagai berikut: Pemberian Bantuan Hukum secara Nonlitigasi meliputi kegiatan: a. penyuluhan hukum; b. konsultasi hukum; c. investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik; d. penelitian hukum; e. mediasi; f. negosiasi; g. pemberdayaan masyarakat; h. pendampingan di luar pengadilan; dan/atau i. drafting dokumen hukum.
95
Meskipun diatur secara tegas dalam undang-undang beserta peraturan pelaksanaanya, implementasi bantuan hukum non litigasi belum sepopuler bantuan hukum litigasi. Pemberian bantuan hukum non litigasi sebetulnya sama pentingnya dengan pemberian bantuan hukum litigasi karena keadilan yang dicari oleh masyarakat tidak hanya dapat didapatkan melalui proses persidangan melainkan juga melalui proses penyelesaian perkara di luar pengadilan. Dengan begitu advokat sebagai pendamping masyarakat dalam mencari akses keadilan diharapkan tidak hanya bertumpu pada proses litigasi dalam meberikan jasa dan bantuan hukum. Ketika alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan diabaikan, proses menyelesaikan perkara dan pemulihan kerugian korban akan berlangsung lama bahkan terhenti. Kenyataan ini terjadi pada kasus ‘Pelanggaran Hak Cipta Bowo Leksono vs LPPM UNSOED‘. Dalam kasus ini advokat yang menjadi kuasa hukum Bowo Leksono melaporkan LPPM kepada polisi atas tuduhan pelanggaran hak cipta pada film karya Bowo. Kasus yang dilaporkan pada tahun lalu itu hingga kini tidak mengalami perkembangan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adalah hak dari setiap warga negara untuk melaporkan suatu tindak pidana jika merasa dirugikan. Meski begitu, jika para pihak dalam kasus ini (pelapor,
terlapor,
advokat
dan
polisi)
terlebih
dahulu
menempuh
penyelesaian secara non litigasi, kemungkinan besar kesepakatan damai telah dicapai. Dibandingkan menunggu pengadilan membuktikan unsur-unsur
96
pelanggaran hak cipta, akan lebih bermanfaat jika para pihak dipertemukan dan pihak yang merasa dirugikan dapat mengemukakan hak nya yang terlanggar. Dengan mengupayakan penyelesaian perkara pidana melalui jalur non litigasi, advokat tidak hanya telah memberi jasa dan bantuan hukum non litigasi namun juga telah turut mewujudkan peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Berdasarkan penelitian dengan metode wawancara, advokat di Surakarta menerapkan mediasi sebagai bentuk dari pemberian jasa hukum dan bantuan hukum. Untuk perkara pidana, sebagian besar advokat di Surakarta menyatakan setuju dengan ide mediasi penal dan menerapkannya untuk menyelesaikan perkara pidana sebagai perwujudan dari konsep Restorative Justice. Selain itu mediasi penal selalu ditempuh sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana terutama untuk kasus-kasus yang berdimensi perdata, misalnya penggelapan yang berawal dari bisnis. Diantara beberapa advokat yang menerapkan mediasi penal, ada yang sudah menerapkan sejak tahun 2004 dan dari semua kasus pidana yang ditangani, 60 % dapat diselesaikan secara non litigasi. Selain itu, mediasi penal juga diterapkan ketika advokat memberikan bantuan hukum struktural, misalnya dalam kasus tindak pidana lingkungan, yang merugikan sekelompok masyarakat. Dalam penerapan mediasi penal, menurut M.T Taufik, S.H, M.H, advokat berperan secara aktif. Bentuk dari berperan secara aktif antara lain sebagai inisiator yang mengusulkan penerapan mediasi penal sebagai
97
alternatif penyelesaian perkara pidana pada korban, pelaku, dan penyidik. Tindakan ini dilakukan setelah advokat mempertimbangkan jenis tindak pidana yng dilakukan oleh pelaku, siapa dan bagaimana kondisi pelaku, bagaimana sifat kerugian korban dan kehendak korban. Peran aktif semacam ini salah satunya dilakukan ketika terjadi perkara pencurian yang dilakukan oleh seorang pelajar SMP yang akhirnya ditahan di Polres Karanganyar. Advokat yang menjadi penasihat hukum tersangka ini mempertimbangkan besarnya kerugian korban serta kondisi pelaku yang akan menghadapi ujian nasional. Advokat ini pun akhirnya bertindak aktif mengusulkan pada polisi untuk menerapkan mediasi penal lalu akhirnya melakukan mediasi dengan korban pencurian. Akhirnya mediasi yang dilakukan menghasilkan kesepakatan yang dibuat oleh pihak pelaku dan korban. Polisi akan memutuskan untuk menyelesaikan perkara melalui mekanisme ADR (mediasi penal) dengan syarat tindak pidana merupakan tindak pidana ringan, pelkau bukan residivis, dan tentu harus ada kesediaan dari para pihak. Peran aktif lain yang dilakukan oleh advokat adalah menjadi mediator dalam mediasi penal. Sesuai dengan Pasal 8 Ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan, advokat dapat bertindak menjadi mediator dalam suatu mediasi. Peran ini terutama dilakukan jika mediasi penal terjadi sebelum tahap penyidikan. Mediasi penal biasanya terjadi sebelum tahap penyidikan ketika korban datang kepada advokat
98
meminta jasa hukum. Sebelum advokat mendampingi korban membuat laporan kepada pihak polisi, advokat akan mengusulkan penyelesaian perkara pidana secara non litigasi dan menfasilitasi penerapan mediasi sekaligus menjadi mediator. Tahap ini selalu ditempuh oleh sebagian besar advokat baik terhadap perkara perdata maupun pidana. Jika yang disepakati menjadi mediator adalah pihak selain advokat, maka advokat akan berperan sebagai fasilitator yang menfasilitasi, mempersiapkan dan menyelenggarakan mediasi penal. Mediasi penal akan diterapkan pada tahap penyidikan ketika advokat masuk sebagai penasihat hukum tersangka berdasarkan pasal 54 KUHAP tentang hak tersangka atas bantuan hukum. Jika mediasi penal dilaksanakan pada tahap ini maka yang menjadi mediator biasanya tokoh masyarakat atau polisi. Ketika polisi menjadi mediator, advokat bertindak aktif membantu pelaksanaan mediasi. Peranan advokat baik sebagai mediator maupun sebagai pengusul sangat berpengaruh pada diterapkan atau tidaknya mediasi penal terutama dalam tingkat penyidikan. Hal ini dikarenakan pihak kepolisian tidak bertindak aktif mengupayakan penyelesaian
perkara pidana melalui
mekanisme ADR. Menurut Ari Suwarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta, bagaimanapun juga penerapan konsep Restorative Justice dalam bentuk mediasi penal tergantung pada kehendak para pihak terutama korban. Fokus Restorative Justice adalah memberikan perhatian pada posisi korban
99
yang menderita kerugian. Ketika korban merasa karena kerugian yang dideritanya itu pelaku pantas diadili di pengadilan, maka penerapan mediasi penal tidak dapat dipaksakan.87 Jadi mengenai inisiatif diadakannya mediasi penal, polisi yang menangani perkara pidana di Polresta Surakarta tidak bertindak secara aktif, melainkan tergantung pada kehendak para pihak. Ketika penggunaan mediasi sudah disepakati pun polisi tidak selalu aktif menjadi mediator melainkan menunjuk pihak ke tiga lainnya untuk menjadi mediator. Peran sebagai inisiator, mediator dan fasilitator dilakukan oleh advokat sebagai bentuk pemberian bantuan hukum non litigasi. Namun peran dalam mediasi penal tidak selalu mereka lakukan secara cuma-cuma. Advokat biasanya tidak memungut bayaran ketika para pihak adalah orang tidak mampu dan ketika mereka berperan sebagai inisiatior. Ketika mereka menjadi inisiator, biasanya penyelenggaraan mediasi dilakukan di kepolisian dengan polisi atau tokoh masyarakat sebagai mediator. Advokat biasanya menerapkan biaya jasa hukum apabila mereka menjadi mediator dan fasilitator, seperti yang dilakukan advokat M.T Heru, S.H, M.H. Menurut M.T Heru, biaya dapat diterapkan karena advokat secara aktif mendorong dan mengusahan
87
Hasil wawancara dengan AKP Ari Suwarwono S.H., M.H., Wakasat Reskrim Polresta Surakarta, pada hari Jumat, 19 April 2013.
100
keberhasilan
mediasi,
serta
adanya
biaya
yang
diperlukan
untuk
penyelenggraan mediasi.88 Perkara pidana yang pernah diselesaikan melalui mediasi penal dengan melibatkan peran advokat diantaranya adalah: 1. Kasus pencurian (Pasal 362 KUHP). Pada tahun 2013 bulan Maret, terjadi pencurian yang dilakukan oleh seorang pelajar disebuah toko. Pelajar ini tertangkap dan akhirnya ditahan di Polres Karanganyar. Advokat M. Taufik, S.H, M.H., yang menjadi penasihat hukum anak ini melihat dampak yang diderita oleh korban pencurian masih sangat mungkin dipulihkan dan anak ini lebih baik dibina dengan cara lain selain pemenjaraan. Terlebih lagi anak ini akan menghadapi ujian nasional. Advokat pun membicarakan kemungkinan dan manfaat mediasi penal untuk kasus ini dengan polisi dan akhirnya perkara ini berhasil diselesaikan melalui mediasi penal. Mediasi yang terjadi antara pihak pelaku diwakili advokat dengan pihak toko sebagai korban dan dimediasi oleh polisi ini telah mencapai kesepakatan damai.
2. Kasus Pelecehan Seksual 88
Hasil wawancara dengan M.T. Heru Buwono, S.H, M.H, advokat dan Ketua IKADIN DPC Surakarta, Rabu, 18 April 2012, di Surakarta.
101
Perkara ini ditangani oleh advokat M.T. Heru, S.H, M.H., yang dimintai pendampingan oleh seorang wanita sebagai korban. Korban ini menginginkan pertanggungjawaban dari pelaku namun merasa malu jika harus menghadapi sidang untuk kasus ini. Advokat melayangkan somasi pada pelaku yang isinya ajakan melakukan penyelesaian secara kekeluargaan untuk membicarakan akibat perbuatan pelaku melecehkan korban di jalan dengan meraba dan memegang daerah pinggang serta pantat korban secara paksa sambil berkomentar tidak senonoh. Jadi korban yang didampingi oleh penasihat hukum belum sampai melaporkan kasus ini ke kepolisian. KUHP sebenarnya tidak mengenal istilah ‘pelecehan seksual’, melainkan perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289 sampai dengan 296 KUHP. Menurut R. Soesilo, Pasal 289 dapat ditujukan kepada perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan yang semuanya dalam lingkungan nafsu berahi, misalnya cium-ciuman, memegang- megang anggota badan yang vital seperti kemaluan, atau buah dada, pantat. Selain itu unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakmauan atau penolakan terhadap bentuk-bentuk
perhatian
yang
bersifat
seksual,
termasuk
berkomentar atau bersiul dalam lingkup nafsu seksual. Jika dilaporkan, pelaku dapat diancam dengan Pasal 289. Perkara ini telah berhasil diselesaikan melalui mediasi penal dan dengan
102
kemauan pelaku mengakui kesalahan, meminta maaf, serta bertanggung jawab, perkara ini tidak jadi dilaporkan pada polisi. 3. Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT, pelaku diancam dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga) Kasus ini ditangani oleh advokat Yayuk, S.H., dari Lembaga Pengabdian Hukum YAPHI Surakarta. Perkara ini sudah mancapai tahap pemeriksaan di penyidikan. Di tengah-tengah proses pemeriksan saksi, korban menghendaki penyelesaian di luar pengadilan dengan suaminya dan meminta bantuan advokat untuk menfasilitasi. Polisi pun juga turut memberi ruang untuk menyelenggarakan mediasi dan akhirnya perkara ini diselesaikan melalui mediasi penal. Isi dari kesepakatan damai salah satunya adalah kesediaan korban untuk tidak meneruskan proses hukum dan mencabut laporan di kepolisian. 4. Kasus Penggelapan (372 KUHP) Beberapa praktik mediasi untuk kasus penggelapan menurut advokat didasarkan pada pertimbangan bahwa kasus ini memiliki dimensi perdata. Mediasi penal untuk kasus ini pernah diterapkan untuk perkara penggelapan yang dilakukan oleh seorang advokat dan advokat yang berperan menerapkan mediasi penal ini adalah Harsono, S.H, M.H, advokat sekaligus Ketua DPC PERADI. Selain itu mediasi
103
penal untuk perkara penggelapan juga diterapkan pada kasus yang dilakukan seorang warga Laweyan dan diterapkan di Polresta Surakarta. 5.
Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Kasus kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh kelalaian seorang pengendara motor pernah beberapa kali diselesaikan melalui mediasi penal oleh advokat M. Mohani, S.H, M.H. Sebelum pelaku diperkarakan
di
pengadilan,
cara
penyelesaian
menggunakan
mekanisme mediasi penal ditempuh dan akhirnya menghasilkan kesepakatan damai. 6.
Penganiayaan Ringan Kasus ini ditangani oleh advokat Yusuf, S.H., dari Lembaga Pengabdian Hukum YAPHI Surakarta. Mediasi penal diupayakan sebelum pihak korban yang merupakan warga Laweyan melaporkan pelaku ke polisi, mengingat akibat yang ditimbulkan (luka) tidak terlalu serius dan pelaku bersedia bertanggung jawab, serta mengingat hubungan bertetangga antara korban dan pelaku. Upaya mediasi beberapa kali dilakukan advokat YAPHI terutama untuk perkara pidana yang pelakunya adalah anak-anak. Berbagai diskusi dan kajian mengenai mediasi penal seringkali
mengemukakan bahwa perkara pidana yang telah dan dapat diselesaikan secara non litigasi adalah tindak pidana dengan pelaku anak, tindak pidana
104
ringan seperti pencurian ringan, tindak pidana yang berdimensi perdata, serta kasus-kasus yang termasuk dalam kategori delik aduan. Perkara-perkara pidana yang telah diselesaikan melalui peranan advokat di Surakarta ternyata tidak hanya meliputi perkara pidana dengan pelaku anak. Sebagian besar perkara pidana yang diselesaikan dengan mediasi penal adalah perkara dengan orang dewasa yang juga memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab. Selain itu, upaya penyelesaian melalui mediasi penal juga tidak hanya ditempuh oleh advokat terhadap tindak pidana ringan dan perkara delik aduan. Pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan sepuluh tahu jika kekerasan yang dilakukan mengakibatkan korban jatuh sakit. Ancaman pidana ini menunjukkan bahwa KDRT bukan merupakan tindak pidana ringan dan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku KDRT juga bisa merupakan kerugian serius terhadap korban baik kerugian fisik maupun psikis korban. Penggelapan dan pelecehan seksual juga sebenarnya bukan merupakan kategori tindak pidana ringan. Sebagian advokat memang berpendapat bahwa mediasi penal tidak hanya dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara ringan seperti pencurian ringan tapi juga perkara serius seperti korupsi yang dilakukan oleh seorang kepala desa misalnya. Bagi seorang koruptor tingkat desa, sanksi sosial dari masyarakat desa sesungguhnya sudah cukup berat, dan akan lebih bermanfaat bagai masyarakat desa apabila pelaku mengembalikan kerugian desa daripada
105
menjalani hukuman penjara.89 Pada faktanya, beberapa perkara pidana serius diselesaikan melalui mediasi penal karena pihak korban sendiri juga menghendaki penyelesaian perkara di luar pengadilan. Jika dianalisis, pemilihan mediasi penal untuk menyelesaikan perkara pidana baik perkara ringan maupun serius didasarkan pada pertimbangan mengenai sifat dari perkara itu. Perkara-perkara yang diselesaikan melalui jalur non litigasi merupakan perkara yang berkaitan erat dengan para pihak, artinya pelaku dan korban lebih banyak memiliki urusan dengan perkara itu dibandingkan dengan perkara pidana lain yang (sebagian besar) menjadi urusan negara karena mengganggu ketertiban dan ketentraman seperti pembunuhan dan perampokan. Sifat tersebut ada dalam perkara KDRT, penggelapan, pencurian, kecelakaan lalu lintas, pencurian dan penganiayaan ringan, dimana korban lebih menghendaki untuk menyelesaikan sendiri ‘urusannya’ itu dengan korban dan advokat serta menghendaki pelaku bertanggungjawab dalam bentuk lain, bukan penjara. Fakta mengenai kehendak korban dan inisiatif advokat untuk menerapkan
mediasi
sebagai
alternatif
penyelesaian
perkara
pidana
menunjukkan bahwa masyarakat berkeyakinan keadilan yang mereka cari tidak hanya dapat diberikan oleh Sistem Peradilan Pidana (SPP) dengan segala prosedurnya. Ada banyak cara dan tempat untuk mendapatkan 89
2013.
Hasil Wawancara dengan M. Taufik, advokat DPC PERADI Surakarta, Senin, 15 April
106
keadilan, peradilan pidana hanya salah satu cara dan tempat yang dapat ditempuh. Marc Galenter menyebut hal ini dengan “Justice in many rooms.” Ketika SPP tidak dapat memberikan keadilan yang diharapkan, atau sebelum korban mencari keadilan dari SPP, maka mereka yang bermasalah dapat mencari alternative lain yang bisa memenuhi harapan itu.90 Selain ini kehendak para pihak dalam memilih mediasi penal juga dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat (terutama masyarakat desa) yang masih merasa asing dan takut ketika menghadapi perkara hukum berikut lembaga peradilannya seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Terlebih lagi bagi masyarakat yang masih memegang kuat prinsip hukum adat mengenai penyelesaian masalah secara kekeluargaan. Untuk tindak pidana ringan, misalnya pencurian, pertanggungjawaban yang berlaku dalam masyarakat adat biasanya mengganti segala kerugian korban atau cukup mengembalikan saja barang yang dicuri itu. Masyarakat adat yang telah mengenal lembaga mediasi, salah satunya mediasi untuk perkara KDRT, salah satunya adalah masyarakat adat Atoin Meto, dalam menyelesaikan kasus KDRT diselesaikan secara adat dengan pemberian Opat. Pada umumnya pola penyelesaiannya didahului oleh informasi dari pihak korban (keluarga) teristimewa pihak istri terhadap keluarga pelaku (suami) bahwa telah terjadi KDRT. Setelah itu para pihak 90
Marc Galenter, Justice in Many Rooms: Courts, Private Ordering, and Indegenous Law, Journal of Legal Pluralism No 19, dikutik dalam Agus Raharjo, Mediasi sebagai Basis dalam Penyelesaian Perkara Pidana, Mimbar Hukum, Vol.20, Nomor 1, 2008, hlm. 101.
107
akan duduk bersama (tok tabua he taloitan), untuk membicarakan bagaimana baiknya penyelesaiannya. Penyelesaian KDRT sebagaimana kasus pidana pada umumnya, memiliki acara (hukum acara) yang paten, artinya jika ada lasi (masalah) maka pelaku (amoet lasi) harus memberikan denda (opat). Untuk urusan Opat, dapat disesuaikan dengan komunikasi para pihak (Lamber Missa, 2010:134). 91 Data yang diperoleh dari hasil penelitian (tesis) Lamber Missa yang berjudul Studi Kriminologi Penyelesaian KDRT Di Wilayah Kota Kupang Propinsi NTT menyebutkan bahwa pada umumnya kasus KDRT lebih cenderung diselesaikan secara non justitia, jarang sekali sampai ke tingkat Pengadilan, sekalipun tingkat penanganannya sudah sampai pada P.21, tapi biasanya masih ada kemungkinan kasus tersebut akan diselesaikan dengan damai, sehingga pada akhirnya hanya satu atau dua kasus saja yang sampai ke Pengadilan. Dari data kasus KDRT di Polresta Kupang Tahun 2004 s/d 2007 terdapat 27 kasus KDRT hanya 8 yang P.21 dan 11 kasus diselesaikan secara non justitia.92 Model mediasi penal yang dipakai dalam penyelesaian perkara-perkara di atas adalah model ‘victim-offender mediation’ dimana korban dan pelaku
91
Liliana dan Krismiyarsi, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan melalui Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 8 No.1 Mei, 2012, hlm. 59. 92
Lamber Nisa, Studi Kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Wilayah Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur, dalam Liliana dan Krismiyarsi, Ibid.
108
dipertemukan untuk mencapai kesepakatan win-win solution dengan melibatkan mediator yang ditunjuk atau disepakati para pihak, dapat berasal dari pejabat formal, advokat, bahkan tokoh masyarakat. Dengan mekanisme ini ketika korban dan pelaku sama-sama merasakan keuntungan ini, maka hubungan mereka yang sempat retak dapat diperbaiki serta memperkecil kemungkinan timbulnya dendam. Keuntungan terutama didapat oleh korban, antara lain tidak merasakan tekanan berperkara di pengadilan, tidak perlu mengikuti tahap-tahap persidangan yang kerap memakan waktu berbulanbulan, mendapat kesempatan lebih besar untuk mengemukakan apa yang dibutuhkannya berkaitan dengan kerugian yang diakibatkan pelaku, serta dimungkinkan menghilangkan trauma karena terlibat secara langsung mengupayakan
penyelesaian
dan
secara
langsung
menerima
pertanggungjawaban dari pelaku. Keuntungan bagi pelaku antara lain terhindar dari pidana penjara yang dapat membuat dia memiliki riwayat kejahatan dan stigma dari masyarakat. Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut menghasilkan stigma lagi. Hal ini karena dengan resminya orang dipenjara, identitas orang tersebut terganggu atau rusak. Lalu orang itu kehilangan pekerjaannya dan hali ini selanjutnya akan menempatkan orang itu
109
di luar lingkungan teman-temannya, kemudian stigmatisasi itu dapat menyingkirkan orang itu dari longkungan yang benar. 93
2. Akibat Hukum Kesepakatan Mediasi Penal terhadap Proses Penanganan Tindak Pidana Pada mediasi perdata, kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dengan akta perdamaian akan memiliki kekuatan eksekutorial. Dengan berhasilnya upaya perdamaian itu, suatu perkara perdata pun selesai penanganannya dan tidak dilanjutkan pada penyelesaian perkara secara litigasi. Lalu bagaimana dengan kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal? Dengan tidak adanya suatu peraturan yang mengatur tata cara mediasi penal, maka tidak ada pula ketentuan yang tegas mengenai akibat hukum dari kesepakatan mediasi penal terhadap proses penanganan perkara pidana. Untuk menjawab hal ini kita dapat terlebih dahulu mengacu pada prinsip-prinsip hukum pidana mengenai pencabutan laporan dan pengaduan tindak pidana. 2.1 Akibat Hukum Kesepakatan Mediasi Penal terhadap Proses Penanganan Perkara Pidana menurut KUHP dan KUHAP Pertanyaan mengenai apakah sebenarnya akibat hukum dari mediasi penal mulai sering dipertanyakan masyarakat sejak munculnya kasus ‘Andhika Kangen Band’ membawa lari gadis di bawah umur (CC)’. Selama 93
hlm. 81.
Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penrbit Alumni, Bandung, 1992,
110
Andhika ditahan, diupayakan penyelesaian melalui mediasi dengan keluarga CC. Akhirnya dicapai sebuah kesepakatan yang berisi pemberian maaf dari pihak CC dan tindakan pertanggungjawaban Andhika dengan diketahui oleh pihak kepolisian. Selanjutnya, perkara tetap dilimpahkan ke kejaksaan dan Andhika tetap harus menjalani proses penuntutan meskipun CC sendiri telah menyatakan tidak mau melanjutkan proses penuntutan. Kenyataan tersebut dirasa mengherankan bagi banyak pihak, namun sebenarnya polisi meneruskan proses hukum terhadap Andhika karena undang-undang menentukan demikian.
Menurut KUHAP, perdamaian
bukanlah salah satu alasan yang dapat menghentikan proses penyidikan. Alasan penghentian penyidikan telah diatur secara limitatif pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu: a.
Tidak diperoleh bukti yang cukup;
b.
Peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana;
c.
Penghentian penyidikan demi hukum.
Selain itu, tindak pidana yang diatur dalam undang-undang Perlindungan Anak itu bukanlah merupakan delik aduan. Berkaitan dengan penghentian penanganan perkara pidana, perlu kita perhatikan norma hukum pidana tentang delik aduan dan delik biasa. Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang
111
mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 75 KUHP yang merumuskan: “Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 75 KUHP, setelah pengaduan diajukan bila pengaduan ditarik setelah 3 bulan, maka pengaduan tersebut tidak dapat dicabut kembali. Namun demikian sehubungan dengan pencabutan pengaduan yang melampaui waktu tersebut, ada perkembangan menarik berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 1600 K/PID/2009 yang menyatakan pada pokoknya sebagai berikut:
“… walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yang menurut pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan itu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana tersebut telah pulih karena perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan”. Lebih lanjut, MA dalam putusan tersebut juga menyatakan:
112
“Bahwa ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga merepresentasikan terganggunnya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.” Jadi, laporan tindak pidana dapat dicabut dan proses penanganan perkara pidana dapat dihentikan apabila tindak pidana yang telah diselesaikan melalui mediasi penal adalah delik aduan. Sedangkan pada delik biasa, laporan tindak pidana tidak dapat dicabut dan meskipun sudah ada kesepakatan perdamaian, penyidik tetap dapat meneruskan proses penyidikan. Selain itu, kita perhatikan ketentuan dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d Pasal 85) KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana. Peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam Bab VIII Buku I KUHP adalah:
1 Telah ada putusan hakim yang tetap (de kracht van een rechterlijk gewisjde) mengenai tindakan (feit) yang sama (Pasal 76); 2 Terdakwa meninggal (Pasal 77); 3 Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78); 4 Terjadi penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82) (khusus untuk pelanggaran yang diancam dengan pidana denda). Sepanjang unsur-unsur pidana dalam dalam suatu tindak pidana telah terpenuhi, maka pelaku dapat dituntut dengan pasal penggelapan tersebut karena pengembalian dana hasil penggelapan tidaklah termasuk dalam alasan
113
penghapusan hak menuntut/peniadaan penuntutan sebagaimana diatur dalam KUHP. 2.2 Akibat Hukum Kesepakatan Mediasi Penal terhadap Proses Penanganan Perkara Pidana di Surakarta Hasil menelitian menunjukkan dalam kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal di Surakarta selalu ada point kesediaan dari pihak korban untuk mencabut laporan ke pihak kepolisian dan menyatakan tidak akan melanjutkan proses penuntutan. Dengan demikian, pada praktik mediasi penal di Surakarta, akibat hukum dari kesepakatan mediasi penal adalah: 1.
Mengharuskan pelaku melakukan suatu tindakan untuk memulihkan kerugian korban; dan
2.
Berakibat dihentikannya proses penanganan perkara pidana.
Yang dimaksud dengan proses penanganan tindak pidana adalah proses penanganan pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP yang meliputi penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, pemeriksaan di muka pengadilan dan penjatuhan putusan oleh hakim. Ketika suatu tindak pidana yang sedang diperiksa di tahap penyidikan telah diselesaikan para pihak melalui mediasi penal, yang dilakukan kemudian adalah dicabutnya laporan tindak pidana oleh korban dan penyidikan perkara dihentikan. Penghentian
114
perkara ini disebut dengan istilah ‘perkara dibekukan’ oleh penyidik di Surakarta.94 Pada sub bab sebelumnya telah penulis uraikan ketentuan hukum mengenai dapat tidaknya suatu laporan tindak pidana dicabut dan dapat tidaknya mediasi menghentikan penanganan perkara pidana. Dengan berdasarkan pemahaman mengenai ketentuan-ketentuan di atas mari kita analisis penghentian penanganan perkara pidana di Surakarta. Berkaitan dengan penghentian perkara pidana perlu kita perhatikan norma hukum pidana tentang delik aduan dan delik biasa. Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatankejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 75 KUHP yang merumuskan: “Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.”
94
Wawancara dengan AKP Ari Suwarwono, S.H, M.H, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta, Jumat, 19 April 2013
115
Berdasarkan ketentuan Pasal 75 KUHP, setelah pengaduan diajukan bila pengaduan ditarik setelah 3 bulan, maka pengaduan tersebut tidak dapat dicabut kembali. Namun demikian sehubungan dengan pencabutan pengaduan yang melampaui waktu tersebut, ada perkembangan menarik berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 1600 K/PID/2009 yang menyatakan pada pokoknya sebagai berikut:
“… walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yang menurut pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan itu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana tersebut telah pulih karena perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan”. Lebih lanjut, MA dalam putusan tersebut juga menyatakan: “Bahwa ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga merepresentasikan terganggunnya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.” Kita kembali pada penghentian penanganan perkara pidana yang didasarkan pada kesepakatan mediasi penal di Surakarta. Pencabutan laporan terjadi pada praktik mediasi penal perkara
KDRT yang ditangani oleh
advokat Yusuf, S.H., dan advokat Yayuk, S.H. Korban KDRT, Misfan Fitriana, meskipun menderita kerugian dan tahu bahwa pelaku seharusnya dapat dituntut di muka pengadilan, namun karena merasa rasa keadilannya
116
sudah cukup terpenuhi dengan kesepakatan mediasi penal, Misfan tidak menginginkan pelaku dituntut. Dengan adanya kesediaan pelaku untuk melakukan beberapa tindakan pertanggungjawaban, Misfan merasa lebih baik perkara KDRT ini dihentikan.95 Tindak Pidana KDRT yang dihentikan penanganannya ini merupakan delik aduan yang diatur dalam Pasal 51 dan 52 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan begitu, maka tindakan itu tidak bertentangan dengan norma-norma hukum pidana yang diuraikan di atas.
Lalu bagaimana jika pencabutan laporan dilakukan pada tindak pidana yang bukan merupakan delik aduan?
Penghentian penanganan perkara pada delik biasa terjadi pada perkara penggelapan (Pasal 372 KUHP), pencurian (Pasal 362), pelecehan seksual dan perkara kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh kelalaian.96 Beberapa tindak pidana tersebut adalah delik biasa yang laporannya tidak dapat dicabut meskipun sudah ada kesepakatan perdamaian. Sepanjang unsur-unsur pidana dalam pasal tersebut telah terpenuhi, maka pelaku dapat dituntut dengan pasal penggelapan tersebut karena pengembalian dana hasil penggelapan tidaklah termasuk dalam alasan penghapusan hak menuntut/peniadaan penuntutan 95
Hasil wawancara dengan Misfan Fitriana, korban tindak pidana KDRT, di Semanggi, Surakarta, pada hari Senin, 22 April 2013. 96 Perkara pidana yang telah diselesaikan melalui mediasi penal dengan peranan advokat M. Taufik, advokat M.T. Heru Buwono, advokat M. Mohani, advokat Yusuf, advokat Yayuk, dan advokat Harsono, serta yang diselesaikan melalui mediasi di kepolisian.
117
sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d Pasal 85) KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana. Peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam Bab VIII Buku I KUHP adalah:
1. Telah ada putusan hakim yang tetap (de kracht van een rechterlijk gewisjde) mengenai tindakan (feit) yang sama (Pasal 76); 2. Terdakwa meninggal (Pasal 77); 3. Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78); 4. Terjadi penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82) (khusus untuk pelanggaran yang diancam dengan pidana denda). Berdasarkan kajian terhadap beberapa norma di atas, dapat kita simpulkan bahwa pencabutan laporan terhadap delik biasa yang telah mencapai kesepakatan mediasi penal sesungguhnya bertentangan dengan norma hukum pidana dan hukum acara pidana.
AKP Ari Suwarwono,
Wakasat Reskrim Polresta Surakarta menyatakan bahwa benar pada prinsipnya ganti rugi tidak menghapus sifat melawan hukum pada tindak pidana dan kesepakatan damai tidak menghentikan proses hukum. Namun ketika dalam praktik kesepakatan mediasi penal itu berakibat pada ditutupnya pemeriksaan perkara pidana, hal ini dipengaruhi oleh spirit menerapkan Restorative Justice, dimana tujuan dari penyelesaian perkara pidana tidak berfokus pada upaya pemenjaraan tapi upaya pemulihan kerugian korban oleh pelaku.97 Selain itu, bagi para pihak dan polisi, (terutama bagi korban dan 97
Hasil wawancara dengan AKP Ari Suwarwono S.H., M.H., Wakasat Reskrim Polresta Surakarta, pada hari Jumat, 19 April 2013.
118
pelaku) menghentikan perkara pidana adalah suatu prosedur yang lazim bahkan seharusnya dilakukan setelah pelaku dan korban telah mencapai kesepakatan damai. Para pihak kepolisian menyebut hal itu dengan istilah perkara ‘dibekukan’. Kesepakatan damai yang dihasilkan oleh mediasi penal akan berkekuatan hukum bagi para pihak (pelaku dan korban) berdasarkan asas pacta sunt servanda bahwa perjanjian itu merupakan undang-undang bagi pembuatnya sehingga harus dipatuhi (Pasal 1338 KUHPerdata). Namun advokat M. Taufik, S.H, M.H,98 menyatakan kesepakatan damai itu sesungguhnya tidak mengikat bagi penyidik atau menimbulkan kewajiban bagi penyidik untuk mengehentikan penyidikan. Meskipun telah melakukan suatu tindakan pertanggungjawaban yang dikehendaki korban, pelaku tetap dapat dituntut sampai dijatuhi putusan oleh hakim. Hanya saja, adanya kesepakatan damai mungkin dapat meringankan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim. Hal ini pun pernah terjadi dalam praktek peradilan pidana di Indonesia. Dalam kasus Ny. Ellya Dado, (dikenal dengan “Kasus Ny. Elda”), dilakukan perdamaian selagi pelaku menjalani proses penyidikan dan penuntutan. Akhirnya “perdamaian” digunakan sebagai pertimbangan untuk menyatakan bahwa tindak pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu
98
Hasil wawancara dengan advokat M. Taufik., S.H., M.H, advokat DPC PERADI Surakarta, di Surakarta pada hari Senin, 15 April 2013.
119
kejahatan ataupun pelanggaran, dan oleh karenanya Bismar Siregar, S.H, selaku Hakim Ketua melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. 99 Keputusan hakim yang demikian adalah suatu bentuk hukum progresif yang sebenarnya di kemudian hari dapat menjadi yurisprudensi untuk perkara yang sama. Dalam tata hukum Indonesia, tindakan hakim yang membuat peraturan sendiri atau menemukan kaidah hukum yang baru dalam menyelesaikan suatu perkara yang diadilinya karena tidak diatur secara jelas dalam undang-undang dapat dibenarkan. Pada praktiknya perkara dihentikan karena advokat dan penyidik dalam kasus-kasus tertentu tersebut meyakini jika perkara dihentikan akan memberikan kemanfaatan dan keadilan yang lebih besar dari pada bila dilanjutkan, meskipun bisa dikatakan bertentangan dengan asas kepastian hukum. Ketika kesepakatan damai telah dicapai namun proses penuntutan tetap dilanjutkan, maka hal ini akan sangat dipertanyakan oleh para pihak khususnya korban dan pelaku. Norma hukum pidana dan hukum acara pidana memang menentukan bahwa mediasi penal tidak menghapuskan kewenangan menuntut. Namun tidak semua masyarakat yang menghadapi perkara hukum paham akan ketentuan pencabutan laporan untuk delik aduan atau delik biasa serta ketentuan tentang alasan-alasan diperbolehkannya penghentian penyidikan. 99
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, No. 46/PID/78/UT/ WANITA, 17 Juni 1978. Hakim ketua sidang : Bismar Siregar, SH.
120
Yang mereka pahami adalah dengan adanya kesepakatan damai yang dibuat oleh para pihak (dimana salah satu isi kesepakatan biasanya berupa kesediaan korban untuk tidak melanjutkan laporan tindak pidana), maka perkara pidana itu pun selesai. Dilanjutkannya proses penuntutan terhadap perkara yang telah mencapai kesepakatan damai pun akan menuai polemik dari masyarakat seperti yang terjadi pada ‘Kasus Andhika Mahesa ‘Kangen Band’ membawa Lari Gadis di Bawah Umur (CC)’. Perkara ini tetap dilimpahkan ke kejaksaan meski dia sudah berdamai dengan keluarga CC. CC sebagai korban menyatakan sudah mencapai kesepakatan damai dengan Andhika dan mengajukan bentuk pertanggungjawaban yang harus dijalani andhika, namun ternyata Andhika masih harus menjalani sidang sampai mendapat putusan dari hakim. Adanya pertentangan dengan norma hukum acara pidana juga terdapat pada dikeluarkannya Surat Perintah Pengehentian Penyidikan (SP3) pada perkara yang diselesaikan dengan mediasi penal. Merujuk pada bunyi Pasal 1 butir 2 KUHAP, pengertian penyidikan dirumuskan sebagai berikut: “Penyidikan adalah serangkaian menurut cara yang diatur dalam serta mengumpulkan bukti yang tentang tindak pidana yang tersangkanya.”
tindakan penyidik dalam hal dan undang-undang ini untuk mencari dengan bukti itu membuat terang terjadi dan guna menemukan
Jika dalam penyidikan suatu perkara pidana ternyata berdasarkan fakta dan ketentuan bahwa perkara itu bukanlah suatu tindak pidana, maka penyidik
121
wajib menghentikan penyidikan, lalu memberitahukan itu pada penuntut umum, tersangka dan keluarganya. Adapun alasan penghentian penyidikan telah diatur secara limitatif pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu: a. Tidak diperoleh bukti yang cukup; b. Peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana; c. Penghentian penyidikan demi hukum. Diantara ketiga alasan yang ditentukan oleh KUHAP itu, tidak kita temukan alasan penghentian penyidikan karena perdamaian atau mediasi penal. jadi tindakan penghentian perkara yang didasarkan pada perdamaian dapat dikatakan bertentangan dengan norma hukum acara pidana. Mengenai hal ini pihak kepolisian berpendapat bahwa tindakan itu adalah suatu penerapan diskresi polisi yang didasarkan pada pertimbangan sosial dan kemanfaatan. Diskresi kepolisian adalah suatu wewenang untuk mengambil suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi dalam kapasitas petugas polisi, untuk menentukan tindakan dari beberapa pilihan baik legal maupun illegal. Tindakan polisi yang menjadikan kesepakatan mediasi penal sebagai dasar penghentian perkara sekilas tampak seperti mengabaikan ketentuan hukum positif. Namun apabila dikaji lebih jauh, tindakan itu justru sesuai dengan tujuan hukum yaitu perlindungan terhadap setiap warga Negara. Polisi tersebut memutuskan untuk tidak memproses suatu perkara karena pertimbangan bahwa penggunaan hukum pidana bukan satu-satunya cara
122
untuk menanggulangi kejahatan, terlebih terhadap dalam kasus pencurian yang pelakunya adalah anak-anak.
100
Wewenang diskresi ini pun didukung
dengan adanya Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution.
Akibat hukum mediasi penal terhadap proses penanganan perkara pidana tidaklah diatur dalam KUHAP karena mediasi penal sendiri pun tidak dikenal dalam KUHP maupun KUHAP. Menjadikan kesepakatan mediasi penal sebagai alasan penghentian penanganan perkara pidana telah menjadi semacam hukum tidak tertulis di Surakarta. Menurut bentuknya, hukum dibedakan menjadi hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tidak tertulis (unstatutery law or unwritten law) adalah hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat tetapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundang-undangan.101 Berlakunya suatu hukum tidak tertulis ini bertitik tolak pada keyakinan bahwa undang-undang yang berlaku secara positif (hukum tertulis) tidak akan pernah betul-betul lengkap untuk memenuhi segala kehidupan hukum masyarakat karena kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, berubah, dan berbeda-beda.
100
M. Faal, Penyaringan Tindak Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hlm 16. 101 Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1979, hlm. 70.
123
Kebijakan menghentikan perkara pidana tersebut dapat dikatakan sebagai pengisi kekosongan hukum dalam memutuskan suatu akibat hukum kesepakatan mediasi penal secara in concreto. Artinya kebijakan itu berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara tertentu. Inisiatif para pihak dalam memilih mediasi penal sebagai penyelesaian perkara pidana di Surakarta adalah suatu fenomena dan gejala sosial yang mengarah pada pembaharuan
hukum
acara
pidana.
Pembaharuan
disini
maksudnya
pembaharuan yang berkaitan dengan kesadaran mengenai pemulihan kerugian korban dan efektifitas pemenjaraan bagi pelaku, terutama pelaku yang masih anak-anak.
Perhatian terhadap korban terutama timbul karena selama ini
peradilan ditengarai kurang memenuhi rasa keadilan karena korban hanya ditempatkan sebagai bagian dari pembuktian tindak pidana, bukan sebagai pihak yang berkepentingan.
Selanjutnya menurut advokat Yusuf, S.H, seringnya ditemui kehendak para pihak untuk menyelesaikan perkara pidana dengan mediasi dan diterimanya tindakan penghentian perkara itu dapat menjadi sumber bahan pembangunan hukum, bahkan telah sejalan dengan semangat KUHAP yang baru. Dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 111 merumuskan sebagai berikut:
124
(1) Penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. (2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan atas dasar: a. putusan hakim praperadian atas dasar permintaan korban/pelapor; b. dicapainya penyelesaian mediasi antara korban/pelapor dengan tersangka. (3) Tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan; b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun); c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda; d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun; e. kerugian sudah diganti; (4) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e hanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; (5) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada atasan penyidik. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian melalui mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dapat kita lihat dalam Rancangan KUHAP yang merupakan ius constituendum itu dimungkinkan adanya mediasi penal pada tingkat
125
penyidikan sebagai alasan penyidik menghentikan suatu perkara pidana dan juga diatur secara limitatif tentang tindak pidananya. Selain itu ide mediasi penal sebagai alasan hapusnya kewenangan melakukan penuntutan juga terkandung dalam kebijakan konsep KUHP tahun 2008 tentang gugur atau hapusnya kewenangan menuntut tindak pidana, sebagaimana tertuang dalam Pasal 145 yang menentukan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika: (d) Penyelesaian di luar proses; (e) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori ll; (f) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.102
Jika rancangan peraturan itu kelak diberlakukan, mungkin satu hal yang dapat dipertanyakan adalah bagaimana jika ditingkat penyidikan para pihak tidak melakukan mediasi penal, tetapi kesadaran itu muncul pada tingkat penuntutan atau sidang pengadilan, apakah mediasi penal dapat dilakukan? Hal ini mungkin dapat menjadi bahan kajian selanjutnya mengenai penerapan mediasi penal.
102
hlm. 320.
Umi Rozah, Hukum Pidana dalam Perspektif , Bali, Penerbit Pustaka Larasan, 2012,
126
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Peranan yang dilakukan advokat dalam menerapkan mediasi penal merupakan bentuk dari pemberian jasa hukum dan bantuan hukum non litigasi terhadap kliennya. Dalam mediasi penal advokat berperan sebagai: a. Inisiator, yaitu sebagai pihak yang memprakarsai penerapan mediasi penal untuk menyelesaikan suatu perkara pidana dan mengusulkannya kepada para pihak (korban, pelaku, penyidik). b. Mediator, yaitu sebagai pihak ketiga yang memimpin dan menengahi jalannya perundingan secara netral berdasarkan pilihan atau kesepakatan para pihak. c. Fasilitator, yaitu sebagai pihak yang membantu proses penerapan mediasi penal dengan cara mempersiapkan dan mengusulkan materi kesepakatan, mempersiapkan tempat, waktu serta para pihak yang diperlukan untuk hadir dalam proses mediasi. 2. Akibat hukum dari kesepakatan yang dihasilkan dari mediasi penal adalah: 1. Timbulnya kewajiban pelaku untuk bertanggungjawab memulihkan kerugian korban.
127
2. Dihentikannya proses penanganan perkara pidana, dalam hal perkara sudah sampai
tahap
penyidikan,
kesepakatan
mediasi
penal
berakibat
dihentikannya penyidikan. Tindakan ini sebenarnya tidak sesuai dengan norma hukum pidana dan acara pidana, namun dijadikannya kesepakatan damai sebagai dasar penghentian penyidikan sudah menjadi semacam hukum tidak tertulis yang didasarkan pada wewenang diskresi polisi. B. Saran Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Saran-saran tersebut adalah: 1. Peran aktif advokat dalam menerapkan mediasi penal dapat membantu tercapainya kemanfaatan dan keadilan bagi penyelesaian perkara pidana. Meski
begitu tindakan itu perlu mendapat pengawasan dari organisasi
advokat agar mediasi penal benar-benar diterapkan karena alasan kemanfaatan bagi para pihak dan pemulihan kerugian bagi korban sebagai perwujudan Restorative Justice, bukan dimanfaatkan sebagai alat untuk pelaku ‘mangkir’ dari pertanggungjawaban pidana. 2. Pengawasan juga harus dilakukan oleh pimpinan terhadap tindakan penghentian perkara yang dilakukan penyidik agar diskresi polisi yang dilakukan benar-benar untuk keadilan dan kemanfaatan masyarakat, jangan sampai menjadi celah untuk ‘suap agar pelaku bebas dari jeratan hukum’, jangan sampai ke arah penghentian penyidikan yang tidak sah yang dapat di praperadilan kan.
128
3. Rancangan KUHAP yang memuat aturan perdamaian sebagai alasan penghentian perkara perlu segera diundangkan. 4. Sosialisasi mengenai peristilahan dan penerapan mediasi penal perlu ditingkatkan.
Daftar Pustaka 1. Buku Ali, Mahrus. 2013. Melampaui Positivisme Hukum Negara. Aswaja Pressindo: Yogyakarta. Arief, Barda Nawawi. 2008. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan. Pustaka Magister: Semarang. Faal, M. 1991. Penyaringan Tindak Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Pradnya Paramita: Jakarta. Hadikusuma, Hilman. 1979. Hukum Pidana Adat. Alumni: Bandung. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika: Jakarta. Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Citra Aditya Bakti: Bandung. ------------------------. 2001. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Sinar Grafika: Jakarta. Margono, Suyud. 2004. ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Ghalia Indonesia: Jakarta. Meadow, Carie-Menkel. 2001. Mediation. Asghate Publishing Company: USA. Poernomo, Bambang. 1993. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakkan Hukum Pidana. Liberty: Yogyakarta. Sahetapy, J.E. 1987. Victimology Sebuah Bunga Rampai. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta. Prayitno, Kuat Puji. 2010. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum. Kanwa Publisher: Yogyakarta. Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sumur bandung: Bandung. Rahardjo, Satjipto. 1977. Aneka Persoalan Hukum dan Mayarakat. Penerbit Alumni: Bandung. Riswanto, 2009. Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Tesis, Purwokerto. Santoso, Muhari Agus. 2002. Paradigma Baru Hukum Pidana. Averroes Press: Malang. Sinaga, V. Harlen. 2011. Dasar-dasar Profesi Advokat. Penerbit Erlangga: Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1983. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Soemitro, Ronny H. 1998. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia: Jakarta. Sunarso, Siswanto. 2012. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Sinar Grafika: Jakarta. Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi Penegak Hukum). Politeia: Bogor. Tim Departemen Kriminologi Fisip UI. 2011. Reparasi dan Kompensasi Korban dalam Restorative Justice System. LPSK: Jakarta Pusat. Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia. Genta Publishing: Yogyakarta. 2. Jurnal dan Internet Kuat Puji Prayitno. 2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakkan Hukum In Concreto). Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto, Volume 12 No.3. Lasmadi, Sahuri. Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jambi, onlinejournal.unja.ac.id/index.php/kimih/article/download/530/484+&cd, diunduh pada 20 Mei 2012. Tedjosaputro, Liliana dan Krismiyarsi. 2012. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Melalui Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT. Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 8 No.1 http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/1081/993, diunduh pada 5 Juni 2013. Anonim, 15 Februari 2013. Andika Tetap diproses Hukum Meski telah Berdamai dengan Pihak CC. life.viva.co.id/news/read, diunduh pada 10 Maret 2013. ---------, Pengertian Keadilan Retributif. http://id.wikipedia.org/wiki/retributifjustice, diunduh pada tanggal 16 Maret 2013. Vasso Artinopoulou. Victim Offender in Family Violance Cases: The Greek Experience.http://bunmegelozez.easyhosting.hu/dok/20091427_eloadasok/ar tinopoulou_workshop3.ppt_2009., diunduh pada 2 maret 2013. 3. Kamus Henry Campbel Black. 1990. Blacks’s Law Dictionary. West Publishing Co.:St.Paul. John M. Echols dan Hassan Shadily. 1981. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia: Jakarta. J.C.T Simorangkir, dkk. 1980. Kamus Hukum. Aksara Baru: Jakarta.
4. Peraturan Perundang-undangan: Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ------------, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). ------------, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ------------, Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. ------------, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM. ------------, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. ------------, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. ------------, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. ------------, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor: 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. International Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR) atau Konvensi Hak Sipil dan Politik. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Perpolisian Masyarakat.. Surat Kapolri No Pol B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).