130
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Mekanisme Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan : Berdasarkan penelitian yang Penulis lakukan, terdapat fakta mengenai
perbedaan pemahaman penyidik tentang istilah mediasi penal. Di Polres Sleman, mediasi penal dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Sedangkan di Polresta Yogyakarta dan Polres Bantul, mediasi penal telah dikenal sebagai sebuah istilah yang berarti sebagai proses mediasi antara pelaku dan korban dengan dimediatori aparat penegak hukum. Proses tersebut digambarkan sebagai berikut : (1) Penyampaian laporan polisi
: Di Polres Sleman, Polresta Yogyakarta,
maupun Polres Bantul proses mediasi penal diawali dari adanya penyampaian laporan polisi yang berasal dari laporan masyarakat, tertangkap tangan, maupun pengaduan. Di Polres Sleman, setelah penyampaian laporan polisi tersebut, maka mediasi penal dapat dilakukan di seluruh tahapan penyidikan sampai sebelum berkas dinyatakan P-21. Sedangkan di Polres Yogyakarta dan Polres Bantul, setelah penyampaian laporan polisi tersebut, maka mediasi penal pada dasarnya hanya dapat dilakukan saat sebelum disampaikannya SPDP kepada Penuntut Umum. Namun demikian, penyidik di Polres Bantul tidak akan menolak jika saat SPDP telah disampaikan kemudian terdapat pemohonan mediasi penal. Mekanisme yang dilakukan terkait hal tersebut
131
adalah mengarahkan adanya mediasi penal antara pelaku dan korban di luar lingkungan kantor polres dengan mediator adalah masyarakat. (2) Inisiatif Mediasi Penal : Di Polres Sleman, inisiatif mediasi penal di semua kasus dapat berasal dari korban maupun penyidik atas dasar kemanfaatan. Apabila inisiatif berasal dari penyidik, maka penyidik akan mengarahkan kepada pelaku dan korban untuk melakukan mediasi penal di luar lingkungan Polres Sleman. Sedangkan di Polresta Yogyakarta dan Polres Bantul, pada prinsipnya juga menerapkan hal serupa namun khusus untuk penyidik hanya dapat mengajukan inisiatif mediasi penal pada kasus delik aduan dan tindak pidana yang melibatkan anak. (3) Pertemuan Pelaku dan Korban : Di Polres Sleman, pertemuan pelaku dan korban untuk mediasi penal dapat dilangsungkan di dalam lingkungan polres dan di luar lingkungan polres. Untuk pertemuan di dalam lingkungan polres, dilakukan di ruangan masing-masing penyidik dengan fungsi penyidik sebagai mediator netral, sedangkan pertemuan di luar lingkungan polres menghadirkan mediator masyarakat dengan kewajiban menyerahkan surat kesepakatan kepada penyidik. Di Polres Bantul dan Polresta Yogyakarta, pertemuan pelaku dan korban yang dilangsungkan di dalam lingkungan polres hanya untuk kasus terkait tindak pidana anak dan perempuan. Selain kasus tersebut, maka mediasi penal harus dilangsungkan di luar lingkungan polres dengan kewajiban menyerahkan surat kesepakatan kepada penyidik. (4) Tindak Lanjut Pertemuan Pelaku dan Korban : Di Polres Sleman, setelah adanya surat kesepakatan damai antara pelaku dan korban , penyidik akan
132
berkoordinasi dengan Kapolres untuk dapat menerima surat tersebut sebagai alasan menghentikan penyidikan. Jika Kapolres menyetujui, maka penyidik akan mengarahkan korban untuk mencabut laporannya dan kemudian penyidik akan menerbitkan SP3. Di Polres Bantul, walaupun terjadi pencabutan laporan sebagai tindak lanjut mediasi penal, namun penyidik memberikan pemahaman kepada penulis bahwa sejatinya yang dicabut adalah keterangan pelapor di BAP sehingga hal ini tidak melanggar hukum acara pidana. Sedangkan di Polresta Yogyakarta, penyidik tidak menerbitkan SP3 sama sekali namun hanya mengarahkan pelapor mencabut laporannya. Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat beberapa kesenjangan antara teori dan praktek yakni : (1) Penggunaan istilah APS untuk memahami mediasi penal. Padahal, secara teori APS adalah istilah dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang biasa digunakan untuk menyelesaikan masalah keperdataan. (2) Tindak lanjut mediasi penal berupa pencabutan laporan dan SP3. Padahal, secara teori yang dapat dicabut laporannya adalah untuk delik aduan, bukan delik biasa. Selain itu, untuk syarat diterbitkannya SP3 telah diatur secara limitatif dalam KUHAP yakni tidak terdapat cukup bukti, bukan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum. 2.
Dasar Pertimbangan Penyidik Menerapkan Mediasi Penal : Kasus yang diselesaikan dengan mediasi penal bervariasi mulai dari
perbuatan pidana seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, penggelapan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pengeroyokan, pemalsuan, serta perbuatan
133
pidana yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada ukuran konkret kasus-kasus apa sajakah yang diselesaikan dengan mediasi penal. Penyelesaian ini murni menggunakan pertimbangan personal penyidik dan pertimbangan Kapolres. Dalam menerapkan mediasi penal, terdapat pertimbangan dari sisi yuridis dan dari sisi non yuridis. Pertimbangan dari sisi yuridis karena adanya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memperbolehkan setiap pejabat Polri mengambil tindakan diskresi sehingga diambilnya tindakan mediasi penal dimaknai sebagai bentuk pengejawantahan tindakan diskresi tersebut. Kemudian, terdapat pula Surat Kapolri Nomor : B/3022/XII/2009/SDEOPS tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution. Namun untuk surat kapolri ini, tidak semua penyidik menjadikan hal tersebut sebagai dasar pertimbangan sebab penyidik sudah terwadahi melalui dasar hukum pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu, pertimbangan yuridis juga sangat ditentukan oleh pemahaman penyidik mengenai peraturan perundang-undangan, misalnya menerapkan mediasi penal pada kasus kekerasan dalam rumah tangga karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menetapkannya sebagai delik aduan yang dapat dicabut. Pertimbangan non yuridis berbeda-beda untuk setiap penyidik dan kasus yang ditanganinya. Pertimbangan ini dilihat dari sisi kearifan personal masingmasing penyidik, misalnya terkait pertimbangan bahwa pelaku merupakan tulang
134
punggung satu-satunya bagi keluarga sehingga apabila dilanjutkan proses pidananya akan mengganggu keseimbangan keluarga. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, terdapat kesenjangan antara teori dan praktek yakni : (1) Mengenai perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, diperlukan unsur pembuktian kesalahannya di tahap pemeriksaan pengadilan. Terhadap hal ini, hakimlah yang berwenang dan bukan penyidik. Oleh karena itu seharusnya penyidik melanjutkan proses peradilan pidana ke tahap penuntutan kecuali terdapat alasan penghentian penyidikan atau karena adanya pencabutan delik aduan, (2) Mengenai diskresi. Diskresi menurut pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dibatasi oleh dua hal yakni peraturan perundang-undangan dan kode etik kepolisian. Jika salah satu syarat tersebut tidak dipenuhi, maka penyidik telah menerapkan diskresi yang tidak seharusnya. Dalam penelitian Penulis, hanya dalam kasus diskresi terhadap kasus KDRT penyidik telah menerapkan mediasi penal secara tepat.
B.
Saran
1.
Diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang secara jelas mengatur mengenai mediasi penal sebab mediasi penal terbukti sering diterapkan namun ternyata belum ada pengaturan hukumnya sehingga penyidik hanya berpatokan pada adanya kewenangan diskresi yang
135
dimilikinya. Padahal diskresi tersebut sangat luas namun dibatasi ketat oleh dua hal yakni peraturan perundang-undangan dan kode etik kepolisian. 2.
Diperlukan adanya peningkatan pemahaman penyidik mengenai diskresi sebab diskresi yang tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan kode etik kepolisian berarti merupakan diskresi yang melawan hukum.