PERAN TNI DALAM KONTRA-TERORISME INDONESIA Diandra Megaputri Mengko1 Abstract Complexities of terrorism actions have resulted in the transformation of counterterrorism strategy. In this context, attempts of combating terrorism would need national, bilateral, regional, and multilateral initiatives. Another important factor is the importance of involving various institutions or organization, both in the government and non-government levels. It leads to sevreal questions, such as to what extend is the defferences role and functions of those various institutions (for instance, Densus 88, TNI, NGOs) in countering terrorism; and how do those institution coordinate their actions? In answering these questions, this paper explains historical role of TNI in countering terrorism, both before and after the separation of TNI and Polri. At the same time, this paper also scrutinise the weakest link betwee both institutions which has raised up their difficulty in coordinating policies and their implementations. Keywords: TNI, counter-terrorism, Indonesia, Densus 88, BNPT “Despite multiple resolutions and international conventions, the UN has, for the moment, resigned itself the fact that it is impossible to reach agreement on a common definition (of terrorism).” (Badley, 1998: 90) Pendahuluan Pernyataan Thomas J. Badley kurang lebih menggambarkan kerumitan yang dihadapi dunia untuk menyepakati definisi tunggal terorisme. Penyebab utamanya adalah transformasi penggunaan dan makna terorisme dari waktu ke waktu oleh berbagai aktor untuk mengakomodasi kebutuhan politik mereka pada masing-masing daerah/ wilayah/negara (Maley, 2010: 4). Pemerintah
Indonesia
sendiri
telah memiliki
definisi
terorisme
yang
diejawantahkan pada UU No.15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Pada bab III pasal 6, Undang-Undang ini mendefinisikan terorisme sebagai tindakan seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut kepada orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
1
Peneliti Indonesia Center For Diplomacy, Democracy and Defense (IC3D), Jakarta dan Alumnus Program Magister dalam Manajemen Pertahanan pada Universitas Pertahanan bekerjasama dengan Cranfield University. Kontak email:
[email protected]
1
objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Terlepas dari perdebatan negara-negara dunia terhadap definisi terorisme, namun pada dasarnya hal ini merupakan upaya setiap negara untuk memperkuat infrastruktur kebijakan mereka dalam penanggulangan terorisme. Terlebih di masa sekarang, kelompok teroris tidak lagi bergerak pada situasi yang terisolasi, melainkan mereka sudah memiliki jejaring kerja internasional yang luas dan tertutup. Harus diakui, proses globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan dinamika arus infomasi yang begitu cepat telah memberikan ketersediaan sumber daya yang cukup bagi kelompok teroris untuk melangsungkan aksinya. Bahkan tindak kejahatan terorisme ini juga memiliki keterkaitan yang erat dengan tindak kejahatan transnasional lainnya seperti perdagangan ilegal obat-obatan, perdagangan senjata ilegal dan money laundring (Araf, 2010). Sebagai konsekuensi dari kompleksitas aksi terorisme ini, strategi kontraterorisme juga dituntut untuk turut bertransformasi sesuai dengan dinamika yang berkembang. Pada konteks itu, upaya pemberantasan terorisme tidak mungkin dilakukan hanya secara nasional. Usaha menghadapi terorisme harus juga dilakukan bersama-sama dalam
level bilateral, regional dan multilateral. Tidak hanya itu,
pemberantasan terorisme juga tidak mungkin dilakukan oleh satu lembaga. Pemberantasan terorisme perlu dilakukan secara komprehensif dan melibatkan banyak lembaga (Araf, 2010). Di Indonesia, upaya kontra-terorisme sudah dilakukan sejak tahun 1945. Saat itu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) - gabungan dari TNI-Polri merupakan ujung tombak dalam aksi pemberantasan terorisme. Namun seiring dengan proses reformasi di Indonesia, pemerintah memutuskan untuk memisahkan fungsi TNIPolri melalui Tap MPR/VII/2000. Pemisahan institusi ini kemudian memberikan perubahan signifikan pada strategi kontra-terorisme di Indonesia. Sejak saat itu pemerintah mendirikan organisasi kontra-terorisme baru di bawah Polri yang dikenal dengan Densus 88, dengan tujuan untuk melawan terorisme dalam negeri. Sejak Densus 88 didirikan, mereka telah menunjukan berbagai pencapaian signifikan dalam memerangi terorisme. Banyak pemimpin teroris yang ditangkap atau terbunuh dalam operasi-operasi mereka. Hal ini berbanding terbalik dengan badan
2
kontra-terorisme pada TNI. Sejak pemisahan TNI-Polri, TNI belum pernah lagi terlibat penuh dalam operasi pemberantasan terorisme. Sehingga tidak ada prestasi dalam penanggulangan terorisme yang dicapai oleh TNI. Meski pasal Undang-Undang No.34/2004 tentang TNI telah menyebutkan bahwa salah satu tugas utama TNI dalam operasi militer selain perang adalah melawan terorisme. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul adalah apa perbedaan peran, tugas dan fungsi masing-masing lembaga keamanan tersebut dalam penanggulangan terorisme (khususnya TNI)? Lebih lanjut, bagaimana sistem koordinasi diantara mereka? Untuk menjawabnya, tulisan ini akan membahas mengenai sejarah peran TNI di Indonesia (khususnya dalam menangani terorisme) baik sebelum ataupun pasca pemisahan TNIPolri serta análisis sederhana yang dikembangkan untuk menentukan titik lemah antar kedua lembaga dalam memerangi terorisme, yang kemudian menjadi bahan rekomendasi bagi kedua lembaga untuk perbaikan di masa depan dalam memerangi terorisme.
Sejarah Peran TNI di Indonesia dalam Menanggulangi Terorisme Sebelum Pemisahan TNI-Polri Sejak kemerdekaan Indonesia, militer Indonesia atau yang dikenal juga dengan ABRI telah berkembang menjadi suatu kekuatan militer yang kuat dan disegani di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 1982, peran ABRI diperluas. ABRI tidak hanya berurusan pada sektor pertahanan saja, tetapi juga berurusan dengan sektor sosial-politik. Peran dan karakteristik itu yang kemudian disebut sebagai dwi-fungsi ABRI, sebagaimana ditetapkan melalui UU no 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Pada saat itu, ABRI banyak dikerahkan untuk menghadapi berbagai konflik, khususnya terhadap isu separatisme dan pemberontakan daerah yang berusaha melakukan penggulingan rezim pemerintahan, maupun melepaskan diri dari Indonesia. Untuk menilik lebih jauh peran TNI (ABRI) dalam lembaran sejarah Indonesia, hal ini dapat dilihat pada dua periode. Menurut Muradi (2009), periode pertama yaitu peran TNI pada periode kepemimpinan Soekarno (1945-1966) dan kedua adalah periode kepemimpinan Soeharto (1966-1998). Pembagian ini diperlukan karena pada masa-
3
masa inilah strategi kontra-terorisme mengalami perubahan yang dinamis untuk mengikuti perkembangan aksi teror pada periode tertentu. Pada periode kepemimpinan Soekarno terorisme diklasifikan menjadi tiga kategori. Pertama, adalah gerakan separatisme yang berkaitan erat dengan oknumoknum ex-kolonialis seperti gerakarn Republik Maluku Serikat (RMS) yang dipimpin oleh Dr.Soumokil, J.H. Manuhutu dan Johan Manusama yang diduga kuat memiliki koneksi erat dengan pemerintah Belanda saat itu. Kedua, adalah gerakan terorisme yang berdasarkan ideologi. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1948 dan 1965 serta pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh merupakan bagian dari kategori terorisme kedua ini. Ketiga adalah pemberontakan yang bernuansa etnis yang disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak merata antara pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Contohnya adalah pemberontakan Permesta di daerah Sulawesi dan Sumatra (Muradi (2009). Untuk menanggulangi berbagai aksi teror tersebut, Soekarno menggunakan strategi kontra-terorisme yang mengedepankan aspek diplomasi (negosiasi) dan sosial. Pada masa itu, Soekarno menempatkan TNI sebagai garda terdepan untuk menanggulangi aksi teror. Sementara kepolisian ditempatkan sebagai kekuatan pendukung. Kebijakan ini digunakan atas dasar pertimbangan bahwa aksi-aksi teror yang diejawantahka ke dalam gerakan separatis merupakan ancaman terhadap kedaulatan Indonesia, terlebih sebagian besar pemberontak saat itu merupakan exmilitan (Muradi, 2009). Namun penting untuk diketahui, bahwa pada masa kepemimpinan Soekarno, TNI (ABRI) tidak memiliki unit khusus untuk menanggulangi terorisme. Meski demikian saat itu ABRI meraih berbagai pencapaian dalam penanggulangan terorisme, seperti pemberontakan DI/TII dan PKI yang berhasil dihentikan. Sementara pada periode kepemimpinan Soeharto, terorisme diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, serupa dengan masa kepemimpinan Soekarno, Soeharto juga masih menempatkan gerakan separatisme sebagai salah satu aksi teror. Gerakan Aceh Merdeka yang sudah dilangsungkan sejak tahun 1975, Gerapakan Papua Merdeka (OPM) sejak tahun 1970-an, serta gerakan Fretilin di Timor Timur (sekarang Timor Leste) sejak tahun 1975 dipandang sebagai salah satu aksi teror pada era kepemimpinan Soeharto. Kedua, Soeharto juga memasukan gerakan ekstrimis keagamaan sebagai salah
4
satu aksi teror. Contohnya adalah seperti peristiwa Talang Sari yang dipimpin oleh Kelompok Zikir Warsidi di Lampung dan gerakan Islam radikal yang melakukan pembajakan pesawat Garuda di Don Muang (Muradi, 2009). Peristiwa pembajakan pesawat Garuda di Don Muang ini kemudian menjadi pemicu utama didirikannya berbagai unit khusus penanggulangan terorisme di Indonesia. Saat itu, matra darat melalui Komando Pasukan Khusus (Kopasus) mendirikan satu unit Detasemen 81 atau yang lebih dikenal dengan Den 81 Kopassus pada tahun 1982 untuk menanggulangi terorisme. Unit ini bertanggung jawab untuk menaggulangi aksi terror pada beberapa sasaran lokasi strategis, seperti penyelamatan sandera di bus, kereta api, pesawat terbang, pergedungan, dan pada kawasan perhutanan (http://indonesiaeliteforces.tripod.com/id9.html). Matra laut juga mendirikan Detasemen Jalamangkara atau yang lebih dikenal dengan Denjaka Marinir pada tahun 1984, dimana personilnya direkrut dari Komando Pasukan Katak (Kopaska) serta Satuan Amphibi Marinir (Tafibib Marinir). Detasemen Jalamangkara sendiri, terdiri dari satu unit Detasemen HQ, satu unit teknis, serta tiga satuan tempur. Pasukan ini bertanggung jawab untuk menanggulangi aksi teror pada wilayah laut dan melaksanakan kegiatan intelijen di wilayah perairan Indonesia. Sementara matra udara juga turut membentuk pasukan khusus yang bernama Detasemen Bravo (Den Bravo Paskhas) pada tahun 1990 yang merupakan bagian dari Pasukan Khusus Angkatan Udara (Paskhas). Den Bravo sendiri bertanggung jawab untuk menanggulangi aksi teror di berbagai lapangan terbang, pembajakan kapal, dan melakukan kegiatan intelijen yang mendukung operasi angkatan udara (http:// indonesiaeliteforces.tripod.com/id9.html). Dengan demikian, cukup jelas bahwa Soeharto juga masih menempatkan militer sebagai garda terdepan dalam menanggulangi berbagai aksi teror. Namun perbedaannya disini adalah, penempatan Angkatan Darat yang lebih dominan. Selain itu, Soeharto juga membentuk Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN) dan Komando Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada akhir tahun 1965 sebagai pendukung berbagai unit khusus ini dalam menanggulangi terorisme. Kopkamtib secara khusus bertanggung jawab melakukan pengelolaan dan kontrol terhadap seluruh aktor keamanan, baik polisi, militer, intelijen dan komando territorial. Hal ini-lah yang kemudian digunakan Soeharto untuk memantau setiap perkembangan sosial-politik yang terjadi di
5
masyarakat, baik untuk menghalau setiap kegiatan yang mengancam negara maupun yang mengancam rezim saat itu (http://indonesiaeliteforces. tripod.com/id9.html). Terlepas dari diskusi penyalahgunaan fungsi Kopkamtib, namun saat itu penanggulangan aksi teror meraih beberapa capaian positif, salah satunya adalah penyelamatan pembajakan pesawat Garuda di bandara Don Muang, Thailand. Pada masa itu, Soeharto menggunakan pendekatan yang dikenal dengan „ekstrim kiri dan ekstrim kanan‟. Ekstrim kiri mewakili gerakan-gerakan komunis, dan ektrim kanan mewakili gerakan radikal keamanan. Kekuatan militer juga kerap dikerahkan secara masif untuk menghalau berbagai gerakan separatis pada wilayah-wilayah kritis, seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Setelah Pemisahan TNI-Polri Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap ABRI. Kewenangan ABRI dalam bidang sosial-politik sebagaimana yang dikenal dengan dwi-fungsi ABRI dihapuskan. Hal ini juga diikuti dengan pemisahan TNI – Polri melalui sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 18 Agustus 2000. Sidang ini menghasilkan surat keputusan No.VI/MPR/2000 tentang pemisahan antara TNI-Polri, dimana Polri bertanggung jawab pada sektor penegakkan hukum dan TNI khusus pada sektor pertahanan. Untuk mendukung efektifitas dari masing-masing lembaga, pemerintah Indonesia juga membentuk UU No.34/2004 tentang TNI dan UU No.2/2002 tentang Polri. Sementara pada konteks terorisme, bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002 telah menyebarkan teror dan ketakutan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Presiden Megawati Soekarno Putri saat itu tidak tinggal diam dan mengambil langkah untuk membentuk Peraturan Pemerintah No.1/2002 dan Peraturan Pemerintah No.2/2002. Kedua peraturan ini kemudian menjadi acuan bagi pembentukan UU No.15/2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. UU ini juga memandatkan Kepolisian untuk membentuk unit khusus penanggulangan terorisme. Hal ini di sambut oleh Kepolisian dengan membentuk Detasemen Khusus 88 (Densus 88) melalui Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.30/VI/2003 (lihat gambar 1). Dalam konteks organisasi, struktur Densus 88 berada di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dan dipimpin oleh seorang Kepala
6
Detasemen Khusus 88 (min. Brigadir Jenderal Polisi). Sementara pada tingkat kepolisian daerah , Densus 88 AT berada di bawah Direktorat Reserse (Ditserse) dan dipimpin oleh seorang perwira menengah polisi.
Gambar 1. Struktur Densus 88
Densus 88 memiliki tugas utama untuk melakukan investigasi dan penyelidikan tindak pidana terorisme. Berikut fungsi Densus 88 berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia (http://www.sulut.polri.go.id/index.php?option=com_content &view=article &id=90&Itemid=81): 1. Fungsi intelijen, yang meliputi diteksi dini, analisis dan kegiatan kontra-intelijen 2. Fungsi represif, yang meliputi negosiasi, pencegahan, penetrasi, serta penjinakan bahan peledak 3. Fungsi investigasi, yang meliputi pemeriksaan TKP, pemeriksaan saksi dan terdakwa, serta mengajukan bukti dan kasus sesuai dengan kerangka criminal justice system 4. Fungsi pendukung, yang meliputi penyediaan peralatan pendukung seperti peralatan komunikasi, transportasi, logistik, koordinasi, serta kerjasama internasional dan nasional (antar institusi) 7
Dua bulan setelah Densus 88 terbentuk, mereka langsung dihadapkan pada insiden teror ledakan bom mobil di Hotel JW Marriot yang menelan 13 korban. Hanya dalam hitungan minggu, Densus 88 sudah dapat melacak dan menangkap jejaring teroris ini. Selanjutnya pada 9 September 2004, ledakan bom mobil terjadi lagi di depan Kedutaan Besar Australia dan menewaskan puluhan orang. Dalam menghadapinya, Densus 88 bersama dengan Australian Federal Police (AFP) bekerjasama untuk membongkar kasus tersebut.
Kerjasama
mereka
berbuah
pada
penangkapan
para
pelaku
teror
(http://www.suarapembaruan.com/News/2004/09/09/Utama/ut01.htm). Insiden ledakan Bom Bali II kemudian kembali mengejutkan Indonesia. Namun insiden ini menjadi pintu masuk bagi Densus 88 untuk melacak keberadaan Dr. Azhari. Dr Azhari kemudian diserbu oleh tim Densus 88 di Batu Malang, Jawa Timur dan menyebabkan teroris ini meninggal dunia akibat baku tembak yang terjadi. Setelah membekuk teroris yang paling dicari di Indonesia dan Malaysia ini, Densus 88 dipandang sebagai salah satu satuan yang paling disegani di Asia. Pada waktu yang hampir bersamaan, Densus 88 juga berhasil menangkap pelaku pengeboman di Pasar Tradisional Palu, yang diketahui kemudian pelaku adalah salah satu kelompok yang juga terlibat dalam konflik di Poso (http://www.kapanlagi.com/h/old/0000090967.html). Sementara pada tahun 2006, Densus 88 AT juga membuka pintu masuk bagi perburuan salah satu teroris yang paling dicari yaitu Noordin M. Top. Densus 88 AT melakukan penyerbuan ke Desa Binangun, Wonosobo, Jawa Tengah. Meski Noordin kemudian dapat melarikan diri, namun Densus 88 AT dapat menangkap dua orang teroris lainnya dan menembak jatuh dua tersangka teroris lainnya. Setahun kemudian, pada 22 Maret 2007, Densus 88 melakukan penyerbuan terhadap kelompok terorisme di Jawa Tengah dan berhasil membongkar jaringan terbesar senjata dan bom yang digunakan teroris sejak 30 tahun terakhir. Penyerbuan ini dilakukan di wilayah Sleman, Yogyakarta, dan berhasil menangkap tujuh tersangka yang terbukti memiliki, menyimpan, dan merakit bahan peledak. Pada operasi ini, dua orang sempat berusaha melarikan diri, tetapi pada akhirnya tewas akibat terkena tembakan (Hilman, 2013). Setelah mengungkap dari jaringan teroris di Jawa Tengah, Densus 88 juga berhasil melumpuhkan Abu Dujana alias Ainul Bahri dan Zarkasih yang merupakan jaringan dari Jamaah Islamiyah (JI) (Muradi, 2009). Hal ini kemudian menggiring
8
Densus 88 untuk melakukan penyerbuan di Mojosongo, Surakarta, Jawa Tengah pada 17 September 2009. Pada operasi ini Densus 88 menunjukkan efektifitasnya dalam membongkar jejaring terorisme, melalui tertembaknya buronan teroris yang paling dicari, Noordin M. Top (http://www.tempointeraktif.com/hg/fokus/2009/09/17/fks,20090917841,id.html).
Badan Koordinasi Penanggulangan Terorisme Setelah terjadinya bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002, pemerintah juga mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 dalam rangka menanggulangi tindakan terorisme. Saat itu, Presiden Megawati memberikan mandat kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan keamanan untuk membuat kebijakan dan strategi nasional penanganan terorisme. Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor: Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 dibentuklah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) dengan tugas untuk membantu Meteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dalam merumuskan kebijakan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme, yang meliputi aspek penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan (http://www.bnpt.go.id/index.php/profile? showall=&limitstart=). Dalam
perkembangannya,
pemerintah
dan
DPR
memandang
adanya
kepentingan untuk membentuk badan koordinasi yang lebih rigid. Hal ini muncul pada rapat kerja antara Komisi I DPR dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan pada tanggal 31 Agustus 2009. Rapat tersebut memunculkan rekomendasi sebagai berikut (http://www.bnpt.go.id/index.php/profile? showall=&limitstart=): 1. Mendukung upaya Pemerintah dalam meanggulangi dan meberantas terorisme; 2. Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa yang harus dijadikan musuh bersama; 3. Upaya meningkatkan kapasitas dan keterpaduan penanggulangan terorisme, agar meningkatkan peran masyarakat; 4. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membentuk suatu "badan" yang berwenang secara operasional melakukan tugas pemberantasan/penanggulangan terorisme;
9
5. Menerbitkan regulasi sebagai elaborasi UU Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk mengatur ketentuan lebih rinci tentang "Rule of Engagement" (aturan pelibatan) TNI, terkait tugas Operasi Militer Selain Perang, termasuk aturan pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme dan tugas perbantuan TNI terhadap Polri. Berdasarkan rekomendasi Komisi I DPR serta penilaian terhadap dinamika terorisme, maka pada tanggal 16 Juli 2010 Presiden Republik Indonesia menerbitakan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT sendiri memiliki tugas untuk menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; membentuk satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing (http://www.bnpt.go.id/ index.php/profile? showall=&limitstart=). Evaluasi Peran TNI dalam Penanggulangan Terorisme Setelah memahami berbagai aspek yang mendorong perubahan peran TNI dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, baik sebelum pemisahan TNI-Polri maupun pasca pemisahan TNI-Polri, maka penting bagi kita untuk menelusuri lebih jauh terkait beberapa faktor utama yang perlu dievaluasi. Evaluasi ini akan dijabarkan menjadi tiga sub-bagian: Berkurangnya peran TNI dalam penanggulangan terorisme; Kurangnya dukungan kebijakan terhadap peran TNI ; dan terakhir lemahnya koordinasi antara TNIPolri.
Berkurangnya Peran TNI dalam Menanggulangi Terorisme Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, otoritas utama dalam penanggulangan terorisme di Indonesia pasca reformasi, diberikan kepada Polri. Hal ini didasarkan terhadap beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah pada saat itu. Pertama, pemerintah menggunakan strategi penanggulangan terorisme yang salah satunya ditekankan pada unit kontraterorisme yang profesional. Untuk membentuk unit yang professional maka dibutuhkan
10
peralatan persenjataan dan sumber daya manusia yang memadai. Perlu diingat bahwa pada tahun 1997-2005, TNI Indonesia mengalami embargo persenjataan serta pendidikan militer dari dunia internasional, terutama oleh Amerika (Muradi, 2009). Sehingga pada saat itu, kepolisian menjadi institusi yang lebih yang lebih relevan untuk mengemban tugas penanggulangan terorisme ini. Kedua, aksi terorisme di Indonesia dipandang sebagai tindak kriminal yang mengancam penegakkan hukum. Atas dasar itu, maka terorisme dilekatakan pada konteks domestik yang berkaitan dengan isu penegakkan hukum, dimana hal ini merupakan otoritas dari kepolisian. Hal ini juga yang kemudian menempatkan Indonesia untuk menggunakan model criminal justice system dalam menanggulangi terorisme. Criminal Justice System merupakan salah satu model dari empat model pendekatan dalam penanggulangan terorisme yang digunakan di dunia. Model ini menempatkan
terorisme
sebagai
ancaman
terhadap
penegakkan
hukum
dan
menempatkan kepolisian sebagai garda terdepan. Ketiga adalah menghindari adanya resistensi domestik maupun internasional terhadap TNI pasca mundurnya pemerintahan Soeharto. Mengingat adanya pandangan yang kuat dari masyarakat dan komunitas internasional atas peran TNI yang kerap disalahgunakan oleh pemerintahan Soeharto untuk melindungi rezimnya. Ketiga alasan tersebut kemudian menempatkan TNI sebagai garda kedua dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Sehingga saat ini TNI hanya dapat bertindak sebagai informan kepada Kepolisian maupun BNPT terkait aksi-kasi teror yang terjadi. Sementara untuk pengerahan, TNI baru dapat terlibat apabila ada instruksi presiden terhadap suatu kasus spesifik, ataupun permintaan perbantuan dari Polri. Tanpa keduanya, maka TNI hanya akan menjadi kekuatan stand-by dalam menanggulangi terorisme. Permasalahan yang muncul kemudian adalah dinamika aksi terorisme kekinian yang menuntut adanya beberapa penyesuaian yang dilakukan pemerintah dalam mendukung pelibatan TNI dalam operasi penanggulangan terorisme. Hal ini akan dijelaskan pada bagian-bagian selanjutnya.
11
Kurangnya Dukungan Kebijakan bagi Peran TNI Pada dasarnya, UU No.15/2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme telah cukup memberikan penjelasan bahwa terdapat dua institusi keamanan yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan penanggulangan terorisme di Indonesia. Pertama adalah kepolisian. Keterlibatan kepolisian dalam penanggulangan terorisme juga termaktup dalam UU No.2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Yang di dalamnya menyatakan bahwa bahwa kepolisian memmiliki kewajiban untuk menjamin keamanan dalam negeri dari berbagai ancaman, dimana salah satunya dapat dikategorikan sebagai ancaman terorisme. Kedua adalah TNI. Sebagaimana yang tercantum pada pasal 7 ayat 2 poin b UU No.34/2004, operasi militer TNI selain perang juga termasuk penanggulangan terorisme. Secara teoritis, sesungguhnya kedua institusi keamanan ini memiliki otoritas yang berbeda dalam menanggulangi terorisme. Pada eskalasi ancaman yang rendah, kepolisian memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada TNI. Pada kondisi ini TNI hanya bertindak sebagai unit pendukung. Di sisi lain, pada eskalasi ancaman yang tinggi, otoritas TNI lebih tinggi daripada kepolisian diamana kepolisian bertindak sebagai unit pendukung. Dalam konteks itu, maka terdapat empat kondisi yang memungkinkan TNI terlibat dalam operasi penanggulangan terorisme, sebagai berikut (Muladi, 2010: 96-7): 1. TNI dikerahkan sebagai perbantuan terhadap kepolisian 2. Kondisi dimana grup teroris didukung oleh suatu negara (state sponsored terrorism) 3. Organisasi TNI yang bervolusi menjadi unit kontra-terorisme dan digunakan untuk operasi penyelamatan tawanan ataupun penyerbuan. 4. Apabila dihadapkan kepada ancaman terorisme yang menggunakan senjata pemusnah masal.
Meski demikian, permasalahan yang muncul saat ini adalah ketidakjelasan parameter terhadap tingkat eskalasi ancaman terorisme yang tinggi maupun rendah. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya tumpang tindih dari otoritas TNI dan Polri. Dengan dibentuknya Densus 88, hal ini semakin menegaskan peran Polri sebagai garda utama dalam penanggulangan terorisme dalam skala ancaman apapun. Sementara TNI tidak memiliki kekuatan legitimasi untuk terlibat lebih jauh terhadap operasi-operasi
12
penanggulangan terorisme, selain bergantung terhadap permintaan Polri (http:// nasional.vivanews.com/news/read/84884-dpr_perlu_pp_untuk_pakai_tni_lawan_teroris).
Padahal, terdapat beberapa kondisi aksi teror yang belum tentu dapat dihadapi secara efektif oleh kepolisian, seperti aksi-aksi teror yang terjadi di wilayah udara maupun laut. Dengan demikian, kebijakan lebih jauh sangat dibutuhkan untuk menempatkan peran, posisi, lingkup, dan tugas TNI dalam menanggulangi terorisme di Indonesia.
Lemahnya Koordinasi antara TNI-Polri Meski Polri memiliki tanggung jawab utama dalam menanggulangi terorisme, namun bukan berarti kepolisian boleh tidak berkoordinasi dengan institusi keamanan lain di Indonesia, dalam konteks ini TNI. Perlu kita sadari bersama bahwa lemahnya koordinasi antar aktor keamanan kerap menyebabkan kesalahan fatal pada operasi (http://nasional.kompas.com/read/2008/12/21/15170876/perlu.diatur.kerjasama.tnipolri. menanggulangi.terorisme). Lemahnya koordinasi antara TNI-Polri ini dapat terlihat pada penyerbuan di Nangroe Aceh Darussalam oleh kepolisian pada tahun 2010. Operasi tersebut menyebabkan dua orang anggota polisi meninggal dunia karena kurangnya kapabilitas dan pengalaman kepolisian dalam menghadapi perang gerilya pada kondisi perhutanan. Tentu hal ini sangat disayangkan mengingat TNI memiliki kapabilitas dan pengalaman yang sudah ditempa sejak kemerdekaan Indonesia dalam menghadapi perang semacam ini (http://nasional.tvone.co.id/berita/view/34019/2010/ 03/08/polri_diimbau_kerjasama_tni_berantas_terorisme/). Lebih jauh, salah satu personil Densus 88 juga pernah menyatakan bahwa kesulitan dalam menangkap pelaku teror bom Jimbaran dan Kuta dikarenakan banyaknya unit kontra-terorisme yang melakukan operasi tanpa koordinasi satu dengan lainnya (Nashidik dan Araf, 2013: 156). Pada kondisi ini, maka sangat penting bagi Kepolisian untuk melakukan koordinasi dengan TNI untuk menghindari adanya human erorr dan miskoordinasi dalam setiap operasi. Peran dari
BNPT
disini
sesungguhnya menjadi kunci
utama
untuk
menyelesaikan permasalahan mis-koordinasi antar kedua lembaga. Namun semenjak didirikan, hingga kini BNPT juga belum pernah mengerahkan kekuatan TNI dalam menanggulangi terorisme di Indonesia. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari fakta
13
mengenai belum adanya pembagian lingkup tugas yang jelas antara kedua institusi keamanan, dimana hal ini menyebabkan penanggulangan seluruh aksi teror diletakan sebagai tanggung jawab Densus 88.
Beberapa Pilihan Kebijakan Dari penjelasan sebelumnya, cukup jelas bahwa upaya pemberantasan terorisme tidak mungkin hanya dimonopoli oleh satu lembaga. Pemberantasan terorisme harus dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan banyak lembaga, yang salah satunya adalah pelibatan TNI-Polri. Ancaman terhadap terorisme merupakan ancaman yang didalamnya memiliki irisan peran dan hubungan antara TNI dan Polri. Karenanya kedua institusi tersebut tidak boleh merasa bahwa institusinya-lah yang lebih berwenang dibanding institusi yang lain. Mengingat UU TNI dan UU Polri yang terbukti tidak cukup untuk mengakomodasi pembagian kewenangan atau hak yang lebih rinci bagi masing-masing aktor dalam pelaksanaan tugas untuk mengatasi ancaman terorisme, maka dibutuhkan regulasi formal yang lebih detil mengatur tugas perbantuan TNI ke Polri dalam konteks operasi militer selain perang. Sayangnya hingga saat ini baik pemerintah maupun DPR belum kunjung merealisasikannya. Kekosongan regulasi ini menyebabkan terbukanya ruang bagi interpretasi yang sangat luas oleh pemerintah, BNPT, Kepolisian maupun TNI sendiri untuk menentukan sejauh mana keterlibatan TNI dalam menanggulangi terorisme. Kekosongan ini mungkin memang tidak perlu dijawab oleh undang-undang TNI atau Polri , tetapi perlu dijawab oleh otoritas politik melalui pembentukan kebijakan Presiden yang menjelaskan lebih rinci tentang ruang lingkup tugas masing-masing pihak, khusunya tugas untuk TNI. Presiden harus menjelaskan prinsip-prinsip dan batasan apa saja yang tidak boleh dilanggar dan harus dipatuhi bagi masing-masing pihak, khususnya TNI. Secara empiris, sebenarnya selama ini TNI sudah dilibatkan untuk membantu kepolisian di dalam menghadapi ancaman dalam negeri semisal dalam penanganan konflik Ambon dan Konflik Poso. Mekanisme pelibatan itu berpijak pada Protap (Prosedur tetap) yang dimiliki oleh polisi maupun oleh TNI itu sendiri. Masalahnya adalah Protap bukanlah bagian dari tata peraturan perundang-undangan sehingga status hukumnya lemah dan tidak memiliki kekuatan mengikat (legaly binding). Dalam
14
praktiknya, kadangkala justru terjadi rivalitas dan kurangnya koordinasi akibat kelemahan pengaturan tentang tugas perbantuan itu (Araf, 2011). Rencana pengaturan tugas perbantuan TNI ke polisi dalam kerangka operasi militer selain perang sudah sepantasnya memperhatikan beberapa prasayarat berikut ini yakni tugas perbantuan baru bisa dilakukan apabila (Araf, 2011): 1.
Adanya ancaman nyata dan tingkat eskalasinya telah meningkat tajam
2.
Adanya kondisi dimana aparat kepolisian sudah tidak bisa lagi menanggulanginya secara sendiri
3.
Adanya permintaan aparat kepolisian ke otoritas sipil untuk meminta perbantuan dari TNI
4.
Adanya penilaian dari otoritas sipil atas permintaan itu
5.
Adanya keputusan dari otoritas sipil untuk melibatkan TNI membantu kepolisian maupun dalam menghentikan tugas perbantuan itu sendiri;
6.
Kendali pasukan TNI yang diperbantukan dilapangan harus tetap berada di bawah kendali pimpinan kepolisian kecuali dalam situasi darurat militer
7.
Memperhatikan prinsip proporsionalitas dalam pengerahan kekuatan TNI
8.
Perbantuan itu sifatnya sementara dan tidak permanen
9.
Pelibatan TNI merupakan alternatif terakhir;
10.
Adanya pembagian tugas yang jelas diantara keduanya guna menghindari tumpang tindih kerja
11.
Memperhatikan tata nilai HAM dalam tugas perbantuan
12.
Adanya pengawasan dan evaluasi dari otoritas sipil dari pelaksanaan tugas perbantuan itu.
Kesimpulan Hingga saat ini, Indonesia masih menyimpan potensi untuk menjadi surga bagi terorisme ataupun target terorisme. Dalam menyikapinya, maka sangat penting bagi pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih serius terhadap koordinasi yang kuat antar aktor keamanan dalam menanggulangi terorisme. Pengaturan lebih jauh mengenai tugas perbantuan TNI – Polri menjadi kunci utama akan keberhasilan kontraterorisme di Indonesia. Meski demikian, pengaturan tugas perbantuan ini perlu menempatkan TNI dalam kerangka yang demokratis dan sesuai dengan norma-norma
15
hak asasi manusia agar tidak menciderai reformasi TNI yang tengah dilakukan hingga saat ini. Sementara BNPT dalam kondisi ini perlu lebih efektif lagi dalam mengkoordinasikan TNI – Polri secara proporsional agar kerjasama keduanya dapat menghasilkan performa yang terbaik untuk mencapai kepentingan keamanan nasional Indonesia.
Daftar Pustaka Amri, Arfi Bambani dan Mohammad Adam, DPR: Perlu PP untuk pakai TNI lawan Teroris, http://nasional.vivanews.com/news/read/84884-dpr_perlu_pp_untuk_ pakai_tni_lawan_teroris Araf, Al. Terorisme dan Pelibatan TNI, Opini Pikiran Rakyat, 2010 Araf, Al. Keseimbangan antara keamanan dan kebebasan dalam kebijakan penanggulangan terorisme, 2011. Badley. Thomas J. Defining International Terrorism: A Pragmatic Approach. Terrorism and Political Violence, Vol. 10, No. 1, Spring 1998, hal.90. Hilman, Densus 88, BIN, Brimop dan Kopassus: Pasukan Elite untuk Sipil dan Militer, http://www.hilman.web.id/posting/blog/918/densus-88-bin-brimob-dan-koppasus -pasukan-elit-untuk-sipil-dan-militer.html Maley. Tom. What is Terrorism? Issues of Definition. Presentation Slide for Indonesia Defence University, 2010, hal.4. Muladi, Problematika Hubungan TNI-Polri Dalam Menangani Terorrisme dan kejahatan lintas batas, dalam Al Araf, Anton Aliabbas, Tni-Polri di Masa Perubahan Politik, Program Magister Studi Pertahanan ITB, Bandung, hal. 96-97 UU No. 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, BAB III, pasal 6. UU no 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia Muradi, Densus 88 AT: Peran dan Koordinasi Dalam Pemberantasan Terorisme di Indonesia, pada http://muradi.wordpress.com/2009/05/12/densus-88-at-peran-dankoordinasi-dalam-pemberantasan-terorisme-di-indonesia/ Nashidik, Rachland dan Al Araf, Problem Keseimbangan antara Keamanan dan Kebebasan dalam Penanggulangan Terorisme, dalam Al Araf, Anton Aliabbas, Tni-Polri di Masa Perubahan Politik, Program Magister Studi Pertahanan ITB, Bandung, hal. 156
16
Pasukan Elite dan Khusus di Indonesia, pada 9220542/pasukan-elite-dan-khusus-indonesia
http://www.scribd.com/doc/
Indonesia Elite Forces, pada http://indonesiaeliteforces.tripod.com/id9.html Sultpost, Densus 88 Polri, pada http://www.sulut.polri.go.id/index.php?option= com_content &view=article&id=90&Itemid=81 Suara pembaharuan, Bom meledak di depan kedubes Australia, pada http:/ /www.suarapembaruan.com/News/2004/09/09/Utama/ut01.htm Kapanlagi, Bani Yamin minta jenazah Dr. Azhari dishalatkan, pada http:// www.kapanlagi.com/h/old/0000090967.html Tempo, Noordin M. Top diyakini tewas di Mojosono, pada http:// www.tempointeraktif.com/hg/fokus/2009/09/17/fks,20090917-841,id.html Badan Penanggulangan Terorisme, Profil, php/profile? showall=&limitstart=
pada
http://www.bnpt.go.id/index.
Criminal Justice System merupakan salah satu model dari empat model pendekatan dalam penanggulangan terorisme yang digunakan di dunia. Model ini menempatkan terorisme sebagai ancaman terhadap penegakkan hukum dan menempatkan kepolisian sebagai garda terdepan. Kompas, Perlu diatur, kerjasama TNI-Polri dalam menanggulangi terorisme, pada http://nasional.kompas.com/read/2008/12/21/15170876/perlu.diatur.kerjasama.tnipolri.menanggulangi.terorisme. TV One, Polri Diimbau Kerjasama TNI dalam menanggulangi Terorrisme, pada http://nasional.tvone.co.id/berita/view/34019/2010/03/08/polri_diimbau_kerjasam a_tni_berantas_terorisme/
17