perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska )
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Fanny Fadlina NIM. E0006124
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2010
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska )
Oleh Fanny Fadlina NIM. E0006124
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Januari 2010 Dosen Pembimbing
HARJONO, S.H., M.H. NIP. 196101041986011001 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum Skripisi ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska )
Oleh Fanny Fadlina NIM. E0006124 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari
: Selasa
Tanggal
: 19 Januari 2010
DEWAN PENGUJI 1.
Soehartono, S.H., M.Hum
: ..........................................................
Ketua 2.
Syafrudin Yudowibowo, S.H.: .......................................................... Sekretaris
3.
Harjono, S.H., M.H
: ..........................................................
Anggota
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum commit to user NIP. 19610930 198601 1 001
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Fanny Fadlina
NIM
: E0006124
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska ) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya sya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Januari 2010 Yang membuat pernyataan
Fanny Fadlina NIM. E0006124
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK FANNY FADLINA, E.0006124. 2010. ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dasar pertimbangan hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis data primer dan jenis data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara, yaitu dengan mengadakan wawancara langsung dengan Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Surakarta dan menggunakan metode studi pustaka yaitu dengan cara mengumpulkan bahan yang berupa buku-buku, peraturan perundangundangan, dan bahan pustaka lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Analisis data yang digunakan merupakan analisis data kualitatif, yaitu apa yang dilakukan oleh responden secara tetulis atau lisan, dan perilaku yang nyata dan diteliti yang dipelajari sebagai suatu yang nyata dan utuh. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa proses pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama sama dengan prosedur pengajuan gugatan biasa, sedangkan mengenai proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama bersifat sepihak karena hanya menyangkut kepentingan Pemohon. Kemudian terdapat beberapa dasar yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan penetapan perkawinan beda agama, dimana alasan mengabulkan permohonan tersebut antara lain adalah untuk menghindarkan dan mencegah perilaku asusila dalam masyarakat (kumpul Kebo atau hamil di luar nikah), kemudian didasarkan pula pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, Pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 dan Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975. Sedangkan alasan menolak permohonan perkawinan beda agama tersebut adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan perkawinan yang sah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan. Penetapan perkawinan beda agama yang diberikan oleh hakim bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dan mempunyai kekuatan pembuktian. Kata kunci: perkawinan beda agama, permohonan, pertimbangan hakim, penetapan.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
FANNY FADLINA, E.0006124. 2010. A Juridical analysis on the plea of different religions-marriage (A Case Study on the Provision Number: 14/Pdt.P/2008/PN. Ska and the Decision Number: 01/ Pdt.P/ 2009/PN.Ska). Law Faculty of Sebelas Maret University. This research aims to find out the procedure of application and examination of different religions-marriage plea as well as the legal power of the different religion-marriage decision. This study belongs to an empirical law research. The data type employed was primary and secondary data. Techniques of collecting data used were interview method, that was, to conduct direct interview with the Judge and the Registrars of the Surakarta First Instance Court, and literary study method by collecting the materials in the form of books, legislation, and other literatures relevant to the problem studied. The data analysis was done using a qualitative data analysis in which what the respondents do in written or orally, and their real behavior were explored and studied as a real and intact unit. Based on the result of research it can be concluded that the application process of application of different religion-plea is similar to the common accusation filing, while the process of examination of different religion-plea is unilateral in nature because it concerns the Requester’s interest. Then, there are several rationales the Judge uses in sentencing the decision of different religionmarriage, in which the reasons of request granting are among others: to avoid the amoral behavior within the society (live together out of matrimony or unmarried pregnant), and based on the Article 29 clause (2) of 1945 Constitution, Article 28B clause (1) of Second Amendment of 1945 Constitution, Article 8 of Act number 1 of 1974, Article 6 clause (2) Stbl 1898 No. 158 and Article 10 clause (3) PP No.9 of 1975. Meanwhile the rationale of rejecting the different religionmarriage plea is Article 1 Clause (1) Act No.1 of 1974 about the Marriage stating that the legal marriage is done based on the religion and belief law. The decision of different religion marriage given by the judge is bonding for both parties applying the different religion-marriage plea, and has the verification power.
Keywords: different religion-marriage, plea, judge deliberation, decision.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya semata sehingga penulisan hukum (skripsi) dengan judul ”Analisis Yuridis Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska)” dapat Penulis selesaikan. Penulisan hukum ini membahas tentang prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan perkawinana beda agama, kemudian dasar pertimbangan hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama, serta kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama tersebut. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan guna memperbaiki dan memperkaya ilmu yang penulis miliki. Dalam menyelesaikan penulisan hukum ini Penulis telah mendapat bantuan yang sangat besar dari berbagai pihak, yang dengan tulus telah membantu penulisan yang dimulai dari pengarahan skripsi hingga terwujudnya skripsi. Maka dengan segala kerendahan hati dan pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih, terutama kepada : 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku Pembimbing penulisan hukum ini yang telah menyediakan waktu dan pemikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan penulisan hukum ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan penulis. 5. Keluargaku tercinta terimakasih atas doa, semangat, pengorbanan dan semua hal terbaik yang senantiasa diberikan kepada Penulis. 6. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Demikian, semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama bagi Penulis, kalangan akademi, praktisi serta masyarakat umum.
Surakarta, Januari 2010
Penulis
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii HALAMAN PERNYATAAN................................................................................iv ABSTRAK ..............................................................................................................v KATA PENGANTAR............................................................................................vi DAFTAR ISI.........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1 B. Rumusan Masalah .......................................................................................3 C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 3 D. Manfaat Penelitian.......................................................................................4 E. Metode Penelitian........................................................................................5 F. Sistematika Penulisan Hukum.....................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori...........................................................................................11 1. Tinjauan tentang Hukum Acara Perdata ............................................11 2. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata...................................................15 3. Pengertian Perkawinan........................................................................20 4. Perkawinan Beda Agama....................................................................25 5. Tujuan Perkawinan..............................................................................30 6. Asas dan Prinsip Perkawinan .............................................................32 7. Syarat Sahnya Perkawinan..................................................................32 8. Syarat-syarat Perkawinan....................................................................35 9. Tatacara Perkawinan...........................................................................36 10. Pemberitahuan dan Pencatatan Perkawinan........................................38 commit to user 11. Larangan Perkawinan..........................................................................41
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12. Akta Perkawinan.................................................................................44 B. Kerangka Pemikiran...................................................................................46
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .........................................................................................50 B. Pembahasan................................................................................................66 1.
Prosedur Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama....................................................................66 a. Prosedur Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama...............................................................66 b. Prosedur Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama...............................................................69
2.
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan atau Menolak Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama..............70 a. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama.........................70 b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama........................72
3.
Kekuatan Hukum Penetapan Perkawinan beda Agama.....................77 a. Kekuatan Mengikat.......................................................................77 b. Kekuatan Pembuktian...................................................................78
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ...................................................................................................79 B. Saran .........................................................................................................82
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................83
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan dalam kehidupan bermasyarakat, yang merupakan sebuah usaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mengaktualisasi dirinya dalam sebuah ikatan yang sah antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, maka pengaturan mengenai perkawinan juga diatur di dalam hukum, agama, adat, tradisi dan juga institusi negara yang tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. “Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama” (Hilman Hadi Kusuma, 2003: 1). Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita. Indonesia merupakan salah satu negara multikultur dan multiagama dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku, ras dan agama. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan. Sehingga perkawinan yang terjadi di masyarakat pun tidak selamanya seragam. Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, banyak masalah yang terjadinya mengenai perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh adalah perkawinan campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan bedacommittidak to usermungkin pada saat yang sama agama sama sekali berbeda, bukan
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama. Namun kasus mengenai perkawinan beda agama ini menjadi halangan tersendiri, karena perkawinan beda agama dipersulit secara hukum. Padahal, dengan semakin berkembangnya zaman, sudah sulit untuk mencari pasangan yang seragam dengan kita. Memiliki pasangan yang seragam pun tidak menjamin suksesnya pernikahan. Hukum perkawinan di Indonesia mempersulit terjadinya perkawinan yang dilakukan antara pihak yang berlainan agama, bukan memfasilitasi warga negaranya yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama. Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pernikahan sah jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan dicatatkan, sementara hukum tiap agama berbeda-beda. Jika demikian, proses pencatatannya pun menjadi masalah baru lagi. Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan atau agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan beda agama seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun
masalah
warisan.
Belum
lagi,
dampak-dampak
lain,
seperti
berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama. Dengan uraian di atas sudah jelas bahwa masalah perkawinan beda agama di tengahtengah masyarakat menimbulkan pro-kontra pendapat. Sehingga dewasa ini terjadi beberapa kasus perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dengan adanya suatu penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri terlebih dahulu, sesuai dengan Pasal 35 Undang-undang Np. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Pasal 21 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Seperti yang tercatat dalam Pengadilan Negeri Surakarta yang selama ini telah banyak menerima pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama. Dimana dalam pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut, terdapat beberapa permohonan yang ditolak namun cukup banyak pula yang commit to user dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Surakarta.
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut hukum agama yang ada di Indonesia, perkawinan yang dilaksanakan oleh pihak yang berlainan agama itu dilarang. Sehingga menimbulkan fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern dan kontemporer ini, yaitu terjadinya kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya perkawinan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia. Kemudian mengenai prosedur pengajuan dan proses pemeriksaan permohonan perkawinan beda agama, serta mengenai dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan perkawinan beda agama dan bagaimanakah kekuatan hukum penetapan Hakim Pengadilan Negeri tentang permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut. Berdasarkan
penjelasan
di
atas,
maka
Penulis
tertarik
untuk
menuliskannya dalam bentuk skripsi dengan judul : ”ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang penulisan hukum ini, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama? 2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama? 3. Bagaimanakah kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama?
C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan
sarana untuk memperkuat, membina serta
menegembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga di dalamnya dirumuskan tujuan penelitian secara deklaratif, dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut. Berdasarkan rumusan masalah commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang telah dikemukakan, berikut akan disampaikan tujuan penelitian, yang meliputi : 1. Tujuan Obyektif : a. Untuk mengetahui prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama. c. Untuk mengetahui kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama. 2. Tujuan Subyektif : a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan penyusunan skripsi, guna memenuhi persyaratan wajib dalam meraih gelar sarjana di bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas, dan mengembangkan pengetahuan hukum yang berhubungan dengan permohonan penetapan perkawinan beda agama.
D. Manfaat Penelitian Selain adanya tujuan dalam suatu penelitian, maka perlu diketahui pula apa manfaat yang akan diperoleh dari penelitian tersebut. Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya bagi pekembangan Hukum Acara Perdata di Indonesia. b. Sebagai upaya untuk menambah pengetahuan mengenai permohonan penetapan perkawinan beda agama. 2. Manfaat Praktis a. Untuk mengetahui dengan jelas mengenai prosedur pengajuan dan proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkawinan beda agama dan kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama. b. Meningkatkan pengetahuan Penulis tentang masalah-masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum empiris yaitu penelitian yang dilakukan terhadap efektifitas hukum (Soerjono Soekanto, 2007: 51), khususnya mengenai ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Pasal 21 Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa perkawinan antara pihak yang berlainan agama dapat dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setelah mendapatkan penetapan Pengadilan Negeri. 2. Sifat penelitian Penelitian hukum empris ini bersifat deskriptif, yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Dalam hal ini yang dideskripsikan adalah mengenai prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama yang disertai dengan dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama dan dideskripsikan pula mengenai kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama sebagai produk yang dihasilkan oleh Hakim atau pengadilan. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (Case Approach), dalam hal ini yang perlu dipahami adalah alasan-alasan hukum yang digunakan oleh Hakim untuk sampai pada keputusannya (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 119). Berdasarkan hasil analisis terdapat dua kasus mengenai permohonan penetapan perkawinan beda agama yang didasari pertimbangan to user Hakim untuk mengabulkan ataucommit menolak permohonan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
4. Jenis Data Penelitian Jenis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Data Primer Data yang diperoleh secara langsung dari sumber data pertama atau pihak yang langsung menjadi obyek dari penelitian. Data ini berupa keterangan dan informasi mengenai kasus permohonan perkawinan beda agama. Dalam penelitian ini data primer berupa hasil wawancara langsung dengan Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi dan Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro.
b.
Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sejumlah fakta, dari berbagai dokumen yang digunakan untuk mendukung data primer. Dalam penelitian ini data sekundernya berupa, Berkas Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, serta data yang diperoleh secara tidak langsung atau data yang terlebih dahulu dibuat seseorang dalam suatu kumpulan data, seperti dokumen, buku, peraturan perundang-undangan yang terkait, hasil penelitian terlebih dahulu dan sebagainya.
5. Sumber Data Penelitian a. Sumber Data Primer 1) Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi; 2) Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro. b. Sumber Data Sekunder 1) Berkas Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska; 2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974; commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954; 5) Undang-undang
No.
23
Tahun
2006
Tentang
Administrasi
Peraturan
Perkawinan
Kependudukan; 6) Staatsblad
1898
No.
158
Tentang
Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR); 7) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam; 8) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan teknik untuk mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan. Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan relevan, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a.
Wawancara / interview Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara peneliti mengadakan wawancara secara langsung dengan Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi dan Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro.
b. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari buku-buku referensi perpustakaan, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan hasil penelitian yang ada relevansi kuat dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis mempelajari berkas perkara permohonan perkawinan beda agama dan Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, literatur-literatur yang terkait dengan masalah yang penulis teliti dan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang commitPemerintah to user Nomor 1 Tahun 1974, Petaturan Nomor 9 Tahun 1975 tentang
perpustakaan.uns.ac.id
8 digilib.uns.ac.id
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo Undangundang No. 32 Tahun 1954, Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Staatsblad 1898 No. 158 Tentang Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR), serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
7. Teknik Analisis Data Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. “Analisa kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dilakukan oleh responden secara tetulis atau lisan, dan perilaku yang nyata dan diteliti yang dipelajari sebagai suatu yang nyata dan utuh” (Soerjono Soekanto, 2007: 250), maka analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Adapun tahapan-tahapan dalam analisis data ini adalah: a.
Reduksi Data Kegiatan ini bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus menerus sampai laporan akhir penulisan selesai.
b. Penyajian Data Dalam hal ini digunakan cara, yaitu menyajikan data-data yang berkaitan dengan permohonan perkawinan beda agama dalam sitem Peradilan Perdata di Indonesia. c.
Penarikan Kesimpulan Merupakan upaya menarik kesimpulan dari semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan penyajian data, di mana sebelumnya data telah diuji agar kesimpulannya menjadi lebih kuat. Setelah memahami arti dari berbagai hal yang ditemui dengan berbagai cara baik dengan commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencatatan, atau alur sebab-akibat, maka Penulis dapat menarik kesimpulan (H.B. Sutopo, 2002: 96).
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dari skripsi yang akan disusun, maka dalam sistematika penulisan hukum ini Penulis akan memaparkan substansi masing-masing bab dari rancangan skripsi ini, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi dan teori-teori yang berhubungan dengan permohonan perkawinan beda agama, yang dapat lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang berkaitan dengan permohonan perkawinan beda agama. Tinjauan Pustaka terbagi atas dua bagian yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori
membahas
tentang
pemeriksaan
hukum
acara
perdata,
pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan Negeri, tinjauan tentang perkawinan dan tinjauan tentang perkawinan beda agama. Sedangkan dalam kerangka pemikiran menggambarkan logika hukum untuk menjawab permasalahan tentang permohonan perkawinan beda agama.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan tentang prosedur
pengajuan
dan
pemeriksaan
permohonan
penetapan
perkawinan beda agama, dasar pertimbangan hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dan user juga mengenai kekuatancommit hukumtopenetapan perkawinan beda agama.
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV : PENUTUP Bab ini diuraikan mengenai simpulan serta saran-saran yang terkait dengan masalah permohonan penetapan perkawinan beda agama.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Hukum Acara Perdata a.
Pengertian Hukum Acara Perdata Hukum acara perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya hukum materiil perdata serta diikuti dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain merupakan peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Dimana obyek dari hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara (Sudikno Mertokusumo, 1998: 2). Perantaraan negara dalam hal ini terjadi dengan peradilan yang melaksanakan hukum secara konkrit dengan adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat. Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. Sedangkan dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan daripada putusan (Sudikno Mertokusumo, 1998: 5).
b. Asas-asas Hukum Acara Perdata Menurut Soedikno Mertokusumo, asas-asas dari Hukum Acara Perdata adalah sebagai berikut: 1) Nemo Yudex Sine Actor (Hakim Bersifat Menunggu) Pelaksanaannya berasal dari inisiatif para pihak yang berkepentingan. Sedangkan hakim hanya bersikap menunggu datangnya tuntutan commit hak diajukan to user kepadanya. Hakim tidak boleh
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara sekalipun hukum tidak mengatur atau kurang jelas (Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009). Hal ini disebabkan karena seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Kalau sekiranya hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. 2) Verhandlungsmaxime (Hakim Pasif) Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif. Dimana ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Jadi seorang hakim tidak menentukan luas daripada pokok perkaranya dan tidak boleh menambah atau menguranginya. Tetapi selaku pemimpin sidang, hakim harus bersifat aktif memimipin pemeriksaan perkara dan tidak hanya sekedar sebagai alat dari para pihak yang mengajukan perkara. 3) Openbaarheid Van Rechtpraak Pada
asasnya
pemeriksaan
suatu
perkara
di
muka
persidangan harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Tujuanya adalah untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk menjamin obyektifitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang tidak memihak serta putusan yang adil (Pasal 19 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun 2004
Tentang
Kekuasaan
Kehakiman).
Namun
terdapat
pengecualian di dalam undang-undang, yakni dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perjinahan. Dalam perkara yang demikian, maka persidangan dilakukan
dengan
pintu
tertutup.
Setiap
persidangan harus dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup. commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Audi et Alteram Partem Kedua belah pihak yang bersengketa harus diperlakukan sama dan tidak memihak. Dalam hal ini hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar. Hal itu juga berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. 5) Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan Setiap putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan sebagai pertanggungjawaban hakim daripada putusannya kepada para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya memiliki nilai obyektif. 6) Beracara Dikenakan Biaya Pada asasnya untuk mengajukan perkara ke Pengadilan harus dikenakan biaya. Biaya ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Namun bagi mereka yang tidak memilki biaya, maka dapat mengajukan perkara dengan cuma-cuma (pro deo). Dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi. Tetapi di dalam prakteknya, surat itu cukup dibuat oleh camat daerah tempat yang berkepentingan tinggal. 7) Tidak Ada Keharusan Mewakilkan Proses pemeriksaan perkara di persidangan, dapat terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan dengan tujuan dapat diketahui lebih jelas persoalannya. Akan tetapi para pihak dapat diwakilkan oleh kuasanya jika dikehendaki, tetapi wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak berlaku bagi kuasa. 8) Pemeriksaan Perkara Secara Sederhana, Cepat, Biaya Ringan Pemeriksaan perkara dilakukan dengan acara yang jelas, mudah dipahami, tidak berbelit-belit dan tidak terlalu banyak commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
formalitas, serta dengan biaya perkara yang dapat terjangkau oleh rakyat. Namun dalam prakteknya asas ini belum menjadi kenyataan. 9) Ne Bis in Idem Untuk perkara yang sama dengan pihak yang sama, dan mengenai hal yang sama, tidak dapat diperiksa dan diputus untuk kedua kalinya oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya. 10) Actor Sequitor Forum Rei Pada pokonya gugatan diajukan ke pegadilan dimana tergugat bertempat tinggal. Karena gugatan penggugat belum tentu benar atau belum tentu dikabulkan, sehingga hak pihak tergugat harus dilindungi.
c. Pengertian Permohonan Permohonan merupakan “permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan ke pengadilan negeri yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri” (M. Yahya Harahap, 2007: 29). Ciri khas dari permohonan adalah: 1) Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only) a)
Murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum;
b) Pada
prinsipnya
yang
dipermasalahkan
pemohon
tidak
bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain. 2) Permasalah yang dimohon penyesuaian kepada PN, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or difference with another party). Tidak
dibenarkan
mengajukan
permohonan
tentang
penyelesaiaan sengketa hak atau pemilikan maupun penyerahan serta pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga. commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-parte Permasalahan
hukum
yang
diajukan
dalam
kasus
permohonan tersebut, hanya untuk kepentingan sepihak dan melibatkan satu pihak saja.
d. Landasan Hukum Menyelesaikan Permohonan Landasan hukum kewenangan untuk menyelesaikan permohonan merujuk kepada ketentuan Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana dijelaskan bahwa peradilan umum berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana maupun perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengajuan permohonan termasuk pada perkara perdata, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikannya adalah Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tugas pokok Pengadilan Negeri selain memeriksa dan memutus perkara yang bersifat sengketa juga berwenang memeriksa perkara yang termasuk dalam ruang lingkup yurisdiksi voluntair atau permohonan. Tetapi dalam hal ini disertai dengan syarat, dimana jangan sampai memutus perkara permohonan yang mengandung sengketa secara partai yang harus diputus secara contentious.
2. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata a.
Proses Pemeriksaan Permohonan Menurut M. Yahya Harahap, proses pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan ke Pengadian Negeri adalah sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2007: 38): 1) Jalannya Proses Pemeriksaan secara Ex-Parte Karena pihak yang terlibat hanya sepihak, maka dalam proses pemeriksaan permohonan hanya dilakukan secara sepihak juga atau to user bersifat ex-parte, dancommit yang hadir dalam proses pemeriksaan di muka
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sidang hanya pihak pemohon atau kuasanya. Pada prinsipnya proses ex-parte bersifat sederhana: a) Hanya mendengar pernyataan dari pihak pemohon atau kuasanya sehubungan dengan permohonan; b) Memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon, dan c) Tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan. 2) Diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti Pemohon Dalam proses ini yang diperiksa di pengadilan hanya keterangan dan bukti-bukti yang berasal dari pemohon. Pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir, maksudnya bahwa di dalam pemeriksaan tidak terdapat bantahan dari pihak lain karena hanya melibatkan satu pihak saja. 3) Tidak Dipermasalahkan Penegakan Seluruh Asas Persidangan Dalam proses pemeriksaan yang bersifat ex-parte, tidak ditegaskan seluruh asas pemeriksaan persidangan. Namun tidak pula sepenuhnya disingkirkan. a) Tetap Ditegakkan (1) Asas Kebebasan Peradilan (Yudicial Independency) (a) Tidak boleh dipengaruhi siapapun; (b) Tidak boleh ada direktiva dari pihak manapun. (2) Asas Fair Trial (Peradilan yang Adil) (a) Tidak bersifat sewenang-wenang (arbitrary); (b) Pemeriksaan sesuai dengan asas due process of law (sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku); (c) Member
kesempatan
yang
layak
(to
give
an
appropriate opportunity) kepada pemohon untuk membela dan mempertahankan kepentingannya. b) Tidak Perlu Ditegakkan (1) Asas Audi Alteram Partem Tidak mungkin dalam proses pemeriksaan yang commitditegakkan to user asas mendengar jawaban atau bersifat ex-parte
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bantahan pihak lawan, karena hanya melibatkan satu pihak dan tidak terdapat pihak lawan. Sehingga asas ini tidak relevan untuk ditegakkan dalam proses permohonan. Karena untuk mengambil suatu keputusan atau penetapan atas suatu permohonan, yang didengar semata-mata pemohon saja. (2) Asas Memberi Kesempatan yang Sama Demikian pula asas memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak, sangan tidak mnungkin ditegakkan dalam proses pemeriksaan suatu permohonan, karena dalam permohonan tersebut yang terlibat hanya satu pihak saja yaitu pemohon.
b. Putusan Permohonan 1) Bentuk Penetapan Suatu putusan atas pengajuan permohonan berisi suatu pertimbangan dan dictum penyelesaiaan yang dituangkan dalam bentuk penetapan, dan namanya juga disebut sebagai penetapan atau ketetapan (beschikking, decree). Bentuk ini berbeda dengan penyelesaiaan contentiosa,
yang dimana
dijatuhkan dalam
pengadilan
gugatan
dalam
yang
bersifat
gugatan partai
penyelesaiaan yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award). 2) Dictum Bersifat Deklarator a) Diktumnya bersifat penegasan atas suatu pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang dimohonkan; b) Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapapun; c) Pengadilan juga tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang menciptakan
suatu keadaan commit to user
baru,
seperti
membatalkan
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atas suatu barang, dan sebagainya (M. Yahya Harahap, 2007: 40-41).
c.
Kekuatan Pembuktian Penetapan 1) Penetapan sebagai Akta Otentik Setiap produk yang dikeluarkan oleh hakim atau pengadilan dalam menyelesaikan suatu permasalah yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya merupakan akta otentik yaitu merupakan akta resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (Pasal 1868 KUHPerdata). Dengan demikian sesuai dengan pasal 1870 KUHPerdata, pada diri putusan itu melekat nilai ketentuan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijskracht). 2) Nilai Kekuatan Pembuktian
yang Melekat
pada Penetapan
Permohonan Hanya Terbatas kepada Diri Pemohon Meskipun suatu penetapan yang dikeluarkan oleh hakim atau pengadilan bersifat akta otentik, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada penetapan tersebut, berbeda dengan yang terdapat pada putusan yang bersifat contentiosa. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam pemeriksaan yang bersifat ex-parte atau sepihak, sama dengan sifat ex-parte itu sendiri, dalam arti: a) Nilai kekuatan pembuktiannya hanya mengikat pada diri pemohon saja; b) Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau kepada pihak ketiga. 3) Pada Penetapan Tidak Melekat Asas Ne bis In Idem Suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat nebis in idem. Tetapi tidak demikian halnya dengan suatu penetapan. Pada penetapan hanya melekat kekuatan yang mengikat satu pihak saja yaitu diri pemohon, jadi commit userkarena itu, pada suatu penetapan tidak mengikat pihak lain. to Oleh
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak melekat asas nebis in idem. Setiap orang yang merasa dirugikan oleh penetapan itu, dapat mengajukan gugatan atau perlawanan terhadapnya (M. Yahya Harahap, 2007: 41)..
d. Upaya Hukum Terhadap Penetapan 1) Penetapan atas Permohonan Merupakan Putusan Tingkat Pertama dan Terakhir Sesuai dengan doktrin dan praktek yang berlaku, suatu penetapan yang dikeluarkan dalam perkara yang berbentuk permohonan atau voluntair, pada umumnya merupakan putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir. 2) Terhadap Putusan Perdilan Tingkat Pertama yang Bersifat Pertama dan Terakhir, Tidak Dapat Diajukan Banding Undang-undang terkadang menyatakan secara tegas, bahwa penetapan atas permohonan itu bersifat tingkat pertama dan terakhir. Namun ada kalanya tidak dinyatakan secara tegas. Akan tetapi, ada juga yang menyatakan secara tegas bahwa penetapan atas suatu permohonan, tidak tunduk pada peradilan yang lebih tinggi. Sebagai contoh dikemukakan dalam Pasal 360 jo Pasal 364 KUHPerdata, yang
menerangkan
mengenai
penetapan
atas
permohonan
pengangkatan wali yang tidak tunduk pada peradilan lebih tinggi. 3) Upaya Hukum yang Dapat Diajukan, Kasasi Sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 2004, permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan terhadap perkara sudah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dimana pengecualian dalam pasal ini diadakan karena adanya putusan pengadilan tingkat pertama yang oleh Undang-undang tidak dapat dimohonkan banding. Oleh karena itu, penetapan yang dijatuhkan atas suatu permohonan tidak dapat diajukan banding. Sehingga upaya hukum yang dapat commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditempuh adalah kasasi berdasarkan Pasal 43 ayat (1) jo penjelasan Pasal 43 ayat (1) (M. Yahya Harahap, 2007: 43).
3. Pengertian Perkawinan Perkawinan yang dalam istilah agama dengan “nikah” memiliki pengertian melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah (Ahmad Azhar Basyir, 2004: 10). Mengenai pengertian dari perkawinan, memang terdapat banyak perbedaan pendapat di dalamnya. Tetapi dari semua perumusan tentang pengertian dari perkawinan ini, terdapat satu unsur yang merupakan kesamaan dari keseluruhan pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian yang dimaksud dalam hal ini adalah perjanjian nikah, yang merupakan perjanjian yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Berikut pengertian perkawinan menurut hukum nasional dan pandangan dari beberapa agama yang ada di Indonesia, antara lain: a. Hukum Nasional 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Menurut ketentuan Pasal 26 KUHPerdata, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan saja. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang hanya mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil. commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya,
dalam
Pasal
2
Undang-Undang
tersebut
disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil. Hal ini dilakukan karena perkawinan dari sudut pandang budaya maupun agama dianggap sebagai peristiwa yang bersejarah dan sangat berguna bagi generasi muda, karena kehidupan setelah perkawinan dapat memberikan pelajaran hidup bagi seseorang untuk meningkatkan tingkat kedewasaannya.
b. Hukum Agama 1) Hukum Agama Islam Menurut pendapat Soemiyati, perkawinan menurut pandangan Islam mengandung 3 aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial, dan aspek agama. Dimana penjelasan dari ketiga aspek tersebut, adalah sebagai berikut: (a) Aspek hukum Aspek hukum perkawinan merupakan suatu perjanjian, namun tidak dapat disamakan dengan perjanjian-perjanjian yang lainnya, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain. Karena dalam perjajian yang dimaksud sebagai perkawinan, harus commit to user mengandung karakter khusus. Antara lain:
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak; (2) Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya; (3) Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. (b) Aspek sosial Dilihat dari aspek sosial, pada umumnya berpendapat bahwa orang melakukan perkawinan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai. Khusus bagi kaum wanita dengan perkawinan akan memperoleh kedudukan sosial yang lebih tinggi. (c) Aspek agama Bahwa Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik dan teratur. Dan menurut Islam perkawinan bukan hanya sebagai suatu persetujuan biasa melainkan merupakan suatu persetujuan yang suci.
2) Hukum Agama Kristen Perkawinan itu suci, dimana dipandang sebagai kesetiakawanan bertiga antara suami, istri di hadapan Allah. Seorang pria dan seorang wanita membentuk rumah tangga karena dipersatukan oleh Allah. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Pada prinsipnya makna perkawinan dalam agama Kristen (Protestan) memiliki makna kesamaan, namun dalam ritus dan peraturannya berbeda. Peraturan perkawinan pada agama Kristen lebih longgar alias tidak seketat dan serumit dalam perkawinan dalam Katolik.
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Hukum Agama Katolik Perkawinan adalah persatuan seumur hidup, yang diikat oleh perjanjian, antara seorang pria dan seorang wanita. Melalui perkawinan mereka menjadi suami-istri, berbagi kehidupan secara utuh, saling mengembangkan diri secara penuh dan dalam cinta melahirkan dan mendidik anak-anak. “Perkawinan menurut Agama Kristen Katolik adalah perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara kedua suami istri, tetapi juga harus bercerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat terceraikan. Perkawinan itu adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis” (Hilman Hadikusuma, 2003: 11). Sering terjadi perkawinan Katolik gagal dilaksanakan secara sah karena adanya halangan-halangan nikah seperti umur belum cukup, impotensi, ikatan perkawinan yang masih ada, tahbisan, kaul kekal hidup religius yang dilakukan secara publik, hubungan darah dalam tingkat tertentu. Perkawinan Katolik hanya sah kalau dilangsungkan di hadapan uskup setempat, pastor paroki, imam atau diakon yang diberi delegasi secara sah. Kalau tidak ada imam atau diakon, awam dapat diberi delegasi hanya kalau diberikan oleh konferensi uskup-uskup. Dalam peneguhan perkawinan harus ada dua saksi yang lain (Hilman Hadikusuma, 2003: 31). 4) Hukum Agama Hindhu Perkawinan atau pawiwahan ialah ikatan sekala niskala (lahir batin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut Agama Hindhu Weda Smurti. Perkawinan ini juga disertai dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya Alaki rabi). Jika perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum to user Hindu maka perkawinancommit itu tidak sah (Gde Pudja, 1977: 9).
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perkawinan
bermakna
sebagai
tanda
dimulainya
status
“berumah tangga” dan upacara ini merupakan samskara yang ke-13. Upacara perkawinan dilaksanakan di sekitar api suci dan penuh dengan simbol-simbol. Dalam upacara, kedua mempelai berjalan mengelilingi api suci tujuh langkah sambil bergandengan tangan, dan pada setiap langkah mereka saling membuat janji. Hukum manu, suatu Kitab Suci, mengatakan bahwa seorang istri harus selalu mencintai dan menghormati suaminya, dan umat Hindu Ortodoks tidak mengijinkan perceraian apa pun alasannya.
5) Hukum Agama Budha Sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing. Sang Buddha tidak mewajibkan untuk setiap orang harus mencari pasangan hidupnya. Demikian pula Sang Buddha tidak melarang bagi mereka yang ingin hidup membujang, baik pria maupun wanita. Dengan kata lain kewajiban untuk membangun rumah tangga sebagai suami/istri bukan merupakan kewajiban beragama yang harus dipatuhi. Mereka yang hidup membujang tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha. Tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan batiniah, baik didunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya, sampai tercapainya Nibbana. Oleh karena itu perkawinan menurut agama Buddha tidak dianggap sebagia sesuatu yang suci ataupun tidak suci. Hukum perkawinan Agama Budha menurut keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977 Pasal 1 dikatakan perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna) dan rasa sepenanggungan (madita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sangyang Adi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan Bodhi SatwaMahasatwa’.
4. Perkawinan Beda Agama Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak diatur tentang perkawinan beda agama. Namun dalam pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus menganut agama yang sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam UU Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak lainnya. Walaupun demikian UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak secara jelas mengatur perkawinan campuran berdasarkan perbedaan agama. Mengenai dapat/tidak mewujudkan kehidupan rumah tangga, bila antara si pria dan wanita imannya berbeda, dalam iman Kristiani, perikatan suami dan isteri harus seiman. Berbeda halnya dengan agama islam, tidak serta merta dilarang. Seorang muslimat dilarang menikah dengan yang non muslim. Sebaliknya seorang muslim (calon suami) tidak dilarang menikah dengan wanita ahli al Kitab. Tentang hal ini ada beda pendapat di antara ulama. Oleh sebab itu disarankan jika ingin melangsungkan perkawinan beda agama, berpedoman pada perkawinan campuran Stbl. 1989 No. 158, dalam hal ini Kantor Catatan Sipil yang melaksanakannya. Dimana hal ini didasarkan pada Pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menerangkan apabila terdapat peraturan mengenai perkawinan yang belum diatur di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka dapat diberlakukan peraturan lama. “Dalam Stb. 1898 No. 158 terdapat adanya suatu ketentuan yang menetralisir perbedaan agama ini, dimana tercantum dalam Pasal 7 ayat 2 yang menyatakan bahwa perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali tidak merupakan penghalang untuk to user dan Riduan Syahrani, 1978: 25). melangsungkan perkawinan” commit (Abdurrahman
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Beberapa pendapat mengenai perkawinan beda agama, jika ditinjau dari UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dari sudut pandang agama yang ada di Indonesia, antara lain sebagai berikut: a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal-pasal dan penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ditemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antar agama, disamping itu apabila diteliti maka hanya dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara tersurat maupun tersirat yang melarang dilakukannya perkawinan antar agama. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut tidak menyebut secara tertulis/tekstual/eksplisit mengenai perkawinan beda agama. Untuk menjawab ada tidaknya peraturan mengenai perkawinan beda agama, terdapat dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu : 1) Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya.
Yang
dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masingmasing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi commit to user tergantung kepada ketentuansyarat-syarat atau belum disamping
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. 2) Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin. Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturanperaturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.
Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu : 1) Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum; 2) Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 1 tentang perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran; commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Undang-undang
perkawinan
tidak
mengatur
tentang
masalah
perkawinan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 Undang-undang Perkawinan maka peraturan-peraturan lama selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran.
Sebelum adanya undang-undang perkawinan, perkawinan beda agama diatur dalam Stbl. 1898 No. 158, yaitu Peraturan Perkawinan campuran, perkawinan beda agama termasuk dalam perkawinan campuran. Definisi perkawinan campuran dinyatakan dalam Pasal 1 ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yamg berlainan. Di samping ketiga pendapat di atas ada pula yang berpandangan bahwa UU Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama. Pentingnya penyempurnaan Undang-undang tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu: 1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama; 2) Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan; 3) Persoalan agama adalah menyangkut hak asasi seseorang, dan 4) Kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja sebabkan
dapat mendorong terjadinya perzinaan
terselubung melalui pintu kumpul kebo.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan persoalan tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing commit to user pihak.
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pandangan Beberapa Agama yang Ada di Indonesia 1) Hukum Agama Islam Perkawinan beda agama merupakan “perkawinan antara pria muslim dengan wanita bukan muslimah maupun perkawinan antara perempuan muslimah dengan pria bukan dari kalangan muslim” (Jaih Mubarok, 2005 : 91). Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam, ditetapkan seorang pria yang beragama Islam dilarang menikah dengan wanita karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: a) Wanita yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan lakilaki lain; b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c)
Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Selanjutnya dalam Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang yang tidak beragama Islam. Dengan kata lain, dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat ketentuan bahwa seorang pria muslim diharamkam menikah dengan wanita yang bukan muslimah (termasuk ahli kitab), dan ditetapkan juga bahwa wanita yang beragama Islam diharamkan menikah dengan pria yang tidak beragama Islam.
2) Hukum Agama Kristen Menurut agama Kristen, perkawinan dianggap suatu hubungan yang suci. Hal ini dikarenakan suatu perkawinan sejak awal merupakan penetapan dari Allah, sehingga gereja menganjurkan umatnya untuk mencari pasangan untuk menikah yang seagama, karena
gereja
berpendapat bahwa kebahagiaan dalam suatu user kedua pihak tidak seiman. perkawinan akan sulitcommit tercapaitoapabila
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perbedaan agama dalam ikatan perkawinan dianggap sebagai sumber konflik yang paling utama, karena memiliki pengaruh yang kuat bagi hubungan suami dan istri. Pengaruhnya adalah karena lebih membawa faktor negatif dari pada faktor positif dalam kehidupan perkawinan yang menyebabkan perkawinan kehilangan keutuhan dan kesuciannya, dan hanya dalam Kristuslah perkawinan itu memperoleh kembali keutuhan dan kesucianya.
3) Hukum Agama Katolik Menurut ajaran agama Katolik mengenai perkawinan beda agama bukanlah hal yang ideal terjadi dalam kehidupan manusia. Jika tetap ingin melangsungkan suatu perkawinan beda agama, maka harus ada izin Uskup kalau seorang Katolik ingin menikah dengan orang yang beda agama. Selain itu masih harus memenuhi syarat-syarat, antara lain: a) Perkawinan dilakukan secara Katolik; b) Pihak bukan Katolik bersedia menjauhkan pihak Katolik dari bahaya murtad; c) Mempelai harus sepakat bahwa anak-anak akan dibaptis secara Katolik dan dididik dalam iman Katolik, dan pihak Katolik harus bersedia berupaya sebisanya untuk ini.
Adanya beberapa syarat tersebut untuk melakukan suatu perkawinan beda agama, maka dapat dinilai bahwa yang paling ideal ialah menikah dengan sesama Katolik.
5.
Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan menurut Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan rasa cinta dan kasih to user sayang, untuk memperoleh commit keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah (Soemiyati, 1986: 12). Dari rumusan di atas, Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, sebagai berikut: a.
Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. Tujuan ini merupakan tujuan yang pokok dari suatu perkawinan, dimana mengandung dua segi kepentingan yaitu kepentingan untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal). Sehingga bahwa adanya anak dalam suatu perkawinan merupakan penolong, baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat kelak bagi diri ibu dan bapak yang bersangkutan.
b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan. Tuhan menciptakan manusia itu dengan jenis kelamin yang berbeda, sehingga sudah menjadi kondratnya bahwa antara kedua jenis itu saling mengandung daya tarik. Dilihat dari segi biologis daya tarik itu adalah kebirahian atau seksuil, yang merupakan tabiat kemanusiaan. Sehingga dengan perkawinan, maka pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan itu dapat disalurkan dengan sah. c.
Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. Salah satu faktor manusia mudah terjerumus ke dalam kejahatan, ialah pengaruh hawa nafsu dan seksuil. Dengan tidak adanya saluran yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksuilnya, biasanya manusia baik laki-laki maupun perempuanakan mencari jalan yang tidak halal. Dengan melangsungkan perkawinan, maka akan diperoleh jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksuilnya sehingga baik pihak laki-laki maupun perempuan terhindar dari kejahatan dan kerusakan.
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang. Ikatan perkawinan merupakan ikatan yang paling teguh dan yang paling kuat di dalam masyarakat. Dan cara untuk memperkokoh ikatan commit to user rumah tangga yang didasari perkawinan adalah dengan membentuk
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan rasa cinta dan kasih sayang yang kemudian akan dikaruniai anak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya sehingga tersusun masyarakat besar. e.
Setelah melangsungkan perkawinan, maka baik pihak laki-laki maupun perempuan,
mulai
menyadari
akan
tanggung
jawab
dalam
mengemudikan rumah tangga. Sehingga pihak suami mulai berfikir untuk mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan istri juga berusaha memikirkan cara mengatur kehidupan dalam rumah tangga. Menumbuhkan pula kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.
6.
Asas dan Prinsip Perkawinan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut: a.
Perkawinan membentuk keluarga bahagia dan kekal (Pasal 1);
b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaanya itu (Pasal 2 ayat (1)); c.
Perkawinan harus dicatat menurut hukum perundangan (Pasal 2 ayat (2));
d. Perkawinan berasas monogami terbuka (Pasal 3); e.
Calon suami isteri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 6);
f.
Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1));
g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan (Pasal 39); h. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang (Pasal 31 ayat (1)).
7. Syarat Sahnya Perkawinan a.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut Pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika commit to user dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi perkawinan yang sah menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku di dalam masing-masing agama yang ada di Indonesia, antara lain agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Hukum masing-masing agama yang berlaku adalah agama dari masing-masing pihak calon mempelai atau keluarga.
b. Menurut Hukum Agama Syarat sahnya perkawinan menurut hukum agama adalah sebagai berikut (Hilman Hadikusuma, 2003: 28-33): 1) Hukum Agama Islam a) Ijab dan kabul dalam bentuk akad nikah b) Wali dari calon mempelai perempuan, dengan syarat-syarat: (1) Beragama Islam (2) Sudah dewasa (baligh) (3) Berakal sehat (4) Berlaku adil c) Ada 2 (dua) orang saksi, dengan syarat-syarat: (1) Beragama Islam (2) Sudah dewasa (baligh) (3) Berakal sehat (4) Dapat melihat, mendengar, dan memahami tentang akad nikah (5) Berlaku adil d) Mahar e) Akad nikah harus dilaksanakan dengan lisan dan tidak boleh dengan tulisan saja 2) Hukum Agama Kristen/Katolik Perkawinan yang sah menurut agama Kristen/Katolik apabila commit to user dilaksanakan dihadapan Pastur yang dihadiri oleh dua orang saksi.
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saat sahnya perkawinan ialah pada saat perkawinan itu telah diteguhkan oleh Imam/Pastur dengan mengucapkan janji bersatu. Menurut Hilman Hadikusuma, syarat sahnya perkawinan menurut agama Kristen/katolik antara lain: a) Kedua mempelai harus sudah dibabtis; b) Ada kesepakatan antara kedua mempelai; c) Tidak ada kekeliruan tentang diri orangnya; d) Tidak ada paksaan; e) Telah berumur 16 tahun bagi pria dan 14 tahun bagi wanita; f)
Salah satu atau kedua calon mempelai tidak terikat perkawinan sebelumnya;
g) Perkawinan dilakukan dihadapan Pastur dan disaksikan oleh dua orang saksi. 3) Hukum Agama Hindu Perkawinan itu sah apabila dilakukan dihadapan Brahmana atau pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan itu.
Perkawinan tersebut juga harus dilaksanakan
menururt Hukum Hindu, jadi kedua calon suami istri harus menganut agama Hindu. Jika perkawinan itu dilakukan antara calon suami istri yang memilki keyakinan berbeda, maka perkawinan itu tidak dapat disahkan. 4) Hukum Agama Buddha Menurut Hilman Hadikusuma, syarat sahnya perkawinan menurut Hukum Agama Buddha adalah sebagai berikut: a) Kedua mempelai harus saling menyetujui dan cinta mencintai; b) Satu bulan sebelum perkawinan harus mengikuti penataran yang diberikan Pandita; c) Umur kedua mempelai sudah 21 tahun atau ada izin orang tua mereka jika belum berumur 21 tahun. commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
8. Syarat-syarat Perkawinan a. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Mengenai syarat-syarat perkawinan di dalam UU No. 1 tahun 1974 diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7, yang pada pokonya adalah sebagai berikut: 1) Perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai, artinya bahwa perkawinan itu harus dilaksanakan berdasarkan kehendak bebas kedua mempelai untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Hal ini merupakan syarat yang penting sekali untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan sejahtera; 2) Untuk melangsungkan perkawinan bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 ( dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua atau wali (pasal 6 ayat (2)); 3) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, maka yang berhak memberikan izin sesuai dengan pasal 6 ayat (3), (4) dan (5) adalah: Jika kedua orang tua masih hidup maka yang berhak memberikan izin adalah keduanya, sedangkan apabila salah satu telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka yang berhak memberikan izin adalah salah satu dari keduanya yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendak; 4) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau keduanya tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang berhak memberikan izin adalah: a) Wali yang mempelihara calon mempelai; b) Atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat (4)); c) Apabila ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini, atau salah to user seorang atau commit lebih di antara mereka tidak menyatakan
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin. Izin dari pengadilan ini diberikan atas permintaan: 5) Pihak yang hendak melangsungkan perkawinan. 6) Setelah lebih dulu pengadilan mendengarkan sendiri orang-orang yang disebut oleh ayat (2), (3), dan (4) pasal 6 tersebut. 7) Batas umur untuk melangsungkan perkawinan adalah sekurangkurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri (pasal 7 ayat (1)). Namun UU perkawinan memberikan kelonggaran untuk terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut, asal ada dispensasi dari pengadilan berdasarkan permontaan dari orang tua kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan (pasal 7 ayat (2)).
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin
dengan
orang
yang
pernah
melakukan
zina,
larangan
memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
9. Tatacara Perkawinan Secara umum mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan pada saat ini sudah diatur pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dalam pasal 10 sampai dengan pasal 12. Khusus bagi yang beragama Islam, sesuai dengan commit to user penjelasan pada pasal 12, maka mereka dalam pelaksanaan perkawinannya
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tetap mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1946 jo UU No. 32 tahun 1954. Dan pelaksanaan selanjutnya UU No. 32 tahun 1954 ini telah diatur dengan Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1955. Adapun mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan yang diatur didalam Peraturan Pemerintah No. 9 yahun 1975 dan UU No. 32 tahun 1954 pada dasarnya adalah sebagai berikut: a.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975, tata cara perkawinan adalah: 1) Perkawinan
dilangsungkan
setelah
hari
kesepuluh
sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat; 2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu; 3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. b. Undang-undang No. 32 tahun 1954 1) Pihak yang akan melangsungkan pernikahan harus membawa surat keterangan dari Kepala Kampung atau Kepala Desa masing-masing (pasal 3 P. Menag No. 1/1955); 2) Pihak yang melakukan pernikahan itu menyampaikan kehendak mereka selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum akad nikah kepada
Pegawai
Pencatatan
Nikah
di
wilayah
akan
dilangsungkannya pernikahan; 3) Pemberitahuan itu dapat dilakukan dengan lisan oleh calon suami dan calon istri atau oleh wakil mereka yang sah; 4) Pegawai Pencatat Nikah kemudian membuat pengumuman tentang pemberitahuan kehendak untuk melaksanakan pernikahan, yang kemudian ditempelkan pada tempat yang mudah dibaca orang. Dimana lama berlakunya penempelan tersebut tidak boleh kurang commit to user dari 10 hari;
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Pegawai Pencatat Nikah kemudian memeriksa calon suami-istri dan wali yang bersangkutan tentang kemungkinan adanya larangan atau halangan nikah dilangsungkan; 6) Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh melangsungkan akad nikah sebelum hari ke sepuluh terhitung dari tanggal pemberitahuan; 7) Akad nikah dilakukan di muka Pegawai Pencatat Nikah dan calon suami serta wali harus hadir sendiri pada saat akad nikah dilangsungkan; 8) Akad nikah dilakukan dengan ijab kabul di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, harus diahadiri dua orang saksi laki-laki muslim dan sehat akalnya. Kemudian pihak Pegawai Pencatat Nikah harus meneliti tentang pembayaran maharnya dan harus membacakan atau memeriksa persetujuan tentang taklik talak. Kemudian setelah selesai akad nikah Pegawai Pencatat Nikah mencatat petnikahan tersebut dalam buku daftar nikah.
10. Pemberitahuan dan Pencatatan Perkawinan a. Pemberitahuan Perkawinan Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975, menyatakan bahwa
pihak
yang
akan
melangsungkan
perkawinan
harus
memberitahukan kehendaknya itu kepada pejabat pendaftaran/pencatat perkawinan dimana
tempat perkawinan itu akan dilangsungkan.
Kemudian dalam pasal 4 PP tersebut, menjelaskan bahwa pemberitahuan dapat dilakukan oleh calon mempelai atau oleh orang tua dari calon mempelai. Jika pemberitahuan dilakukan oleh orang tua calon mempelai atau wali, maka harus disertakan surat kuasa, yang dapat berupa surat kuasa otentik maupun di bawah tangan. Namun jika dibandingkan dengan pasal 50 BW atau pasal 19 ayat (1) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen yang dengan tegas menyatakan pemberitahuan itu dilakukan oleh kedua calon mempelai. Kiranya karena pemberitahuan kehendak untuk to user menikah itu juga haruscommit dianggap sebagai pelaksanaan UUP yang
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menegaskan bahwa perkawinan harus atas persetujuan kedua calon mempelai (pasal 6 ayat (1)). Pemberitahuan dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis. Bila dilakukan secara tertulis, maka dibuat sesuai dengan pedoman atau contoh menurut P.M.A No. 4/1975. Bila dilakukan secara lisan tidak ada aturan secara tertulis tentang caranya, dimana hal ini dilakukan jika pemberitahuan secara tertulis tidak mungkin dilakukan (pasal 6 ayat (2) PMA No. 3/1975).
b. Pencatatan Perkawinan Sahnya
suatu
perkawinan
jika
ditinjau
hanya
dari
segi
keperdataannya saja, bila perkawinan tersebut telah dicatat/didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Selama perkawinan belum dicatat, tetap dinyatakan tidak sah menurut ketentuan hukum sekalipun sudah memenuhi prosedur dan tata cara menurut ketentuan agama. Sebelum berlakunya UUP dijumpai beragam peraturan tentang pencatatan perkawinan, anatara lain: 1) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Eropa (Stb. 1849 No. 25); 2) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan China (Stb. 1917 No. 130 jo. Stb. 1919 No. 81); 3) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Kristen Indonesia (Stb. 1933 No. 75 jo. Stb. 1936 No. 607); 4) Ordonansi Catatan Sipil untuk perkawinan campuran (Stb. 1904 No. 279);
Menurut ketentuan di atas pelaksanaan pencatatan perkawinan dan catatan sipil, pada umumnya didasarkan pada perbedaan golongan penduduk (golongan
Eropah,
golongan
Timur
Asing/Cina,
dan
golongan
Pribumi/Kristen). Hal demikian tidak seharusnya dipertahankan, sehingga selanjutnya Kantor-kantor Catatan Sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rakyat Indonesia dan hanya dibedakan antara warganegara Indonesia dan orang asing. 1) Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo UU No. 32 tahun 1954 Bagi orang Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinannya atas dasar ketentuan UU No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagaimana kemudian dengan UU No. 32 tahun 1954 yang dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 tahun 1946, perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama. Jadi fungsi pencatat hanya mengawasi perkawinan. Dengan tujuan agar perkawinan itu benar-benar dilaksanakan menurut ketentuan Hukum islam. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, antara lain dalam Pasal 2, antara lain: a) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau Pegawai yang ditunjuk olehnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk; b) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundangundangan mengenai pencatatan perkawinan; c) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku
bagi
tatacara pencatatan commit to user
perkawinan
dilakukan
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.
Adanya Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, maka pencatatan perkawinan dilakukan oleh 2 (dua) instansi, yaitu: a) Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, bagi mereka yang beragama Islam sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1946 jo UU No. 32 tahun 1954; b) Kantor Catatan Sipil atau Instansi yang membantunya, bagi mereka yang bukan beragama Islam, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan Catatan Sipil.
Kesimpulannya
adalah,
bahwa
pencatatan
perkawinan
bukan
merupakan syarat sah suatu perkawinan, tetapi pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan untuk diakui oleh negara.
11. Larangan Perkawinan a.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang dilarang ialah: 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara dan orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri; 4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan; commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; 6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Selanjutnya ditambah dengan larangan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: 1) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat kawin lagi, kecuali Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak bersangkutan (Pasal 9 jo Pasal 3 ayat (2)) dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggal (Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974); 2) Suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melakukan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974)
b. Hukum Agama 1) Hukum Agama Islam Menurut hukum Islam larangan perkawinan dibedakan antara yang dilarang untuk selama-lamanya dan larangan untuk sementara waktu: a) Dilarang selamanya (1)
perkawinan yang dilakukan karena hubungan darah;
(2)
hubungan semenda;
(3)
hubungan susuan;
(4)
karena sumpah Li’an. commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Dilarang sementara waktu (1)
mengawini dalam waktu yang sama wanita bersaudara, baik saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu maupun saudara sepersusuan;
(2)
wanita yang masih dalam masa idah, baik iddah karena kematian maupun karena perceraian;
(3)
wanita yang ada dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain;
(4)
kawin lebih dari empat wanita dalam waktu yang sama;
(5)
isteri yang telah ditalak tiga kali, maka tidak halal dinikahi kembali oleh mantan suaminya kecuali telah kawin dengan laki-laki lain yang kemudian dicerai dan habis masa idahnya;
(6)
perkawinan orang yang sedang ihram;
(7)
kawin dengan pezina, kecuali setelah masing-masing menyatakan bertaubat.
2) Hukum Agama Katolik “Menurut Hukum Gereja Katolik halangan perkawinan dalam Hukum Agama Katolik dapat dilihat dari segi perjanjian, agama, dosa, dan persaudaraan” (Hilman Hadikusuma, 2003: 67), yaitu sebagai berikut: a) Belum mencapai umur 16 tahun bagi pria dan 15 tahun bagi wanita (Kanon, 1083: 1). Mereka boleh bersetubuh lebih dulu; b) Pria atau wanita impoten bersifat tetap, kecuali diragukan atau kemandulan (Kanon, 1084: 1-3); c) Terikat perkawinan sebelumnya (Kanon, 1085: 1); d) Salah satu tidak dibabtis (Kanon, 1086: 1); e) Telah menerima tahbisan suci (Kanon 1078), yaitu klerus; f)
Kaul keperawanan (Kanon 1088), biarawan/biarawati; commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g) Penculikan wanita (raptus), belarian, kecuali si wanita bebas menyatakan persetujuannya, atau memang disetujuinya (Kanon 1098); h) Pembunuh teman perkawinan (crimen) (Kanon, 1090: 1-2); i)
Kelayakan publik (publica honestas), misalnya pria dengan ibu atau dengan anak wanitanya, wanita dengan bapak atau anak prianya (Kanon 1093);
j)
Pertalian darah (Kanon, 1091: 1-4), dalam garis keturunan ke atas ke bawah, ke samping, tidak dihitung rangkap, ke samping tingkat kedua;
k) Hubungan periparan atau semenda (Kanon 1092); l)
Hubungan adopsi (Kanon 1094), termasuk hubungan susuan.
12. Akta Perkawinan Setelah perkawinan menurut hukum masing-masing agama telah dilaksanakan, kemudian kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang telah berlaku. Dimana dalam akta perkawinan tersebut juga ditandatangani oleh kedua orang saksi dan pegawai pencatat yang hadir dalam perkawinan. Bagi yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, di dalam akta perkawinan tersebut ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi (Pasal 11 Ayat (1 sampai 3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975). Akta perkawinan tersebut memuat: a.
Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman sumi istri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami/isteri terdahulu;
b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Izin kedua orang tua mereka bagi yang melangsungkan perkawinan belum mencapai umur 21 tahun, atau dari wali atau dari pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (2 sampai 5) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
d. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua, bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria, dibawah 16 tahun bagi wanita; e.
Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih dari seorang isteri;
f.
Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota ABRI;
g. Perjanjian perkawinan, jika ada; h. Nama, umur, agama/kepercayaan, perkerjaan, dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam; i.
Nama, umur, agama/kepercayaan, perkerjaan, dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Adapun prosedur dalam pembuatan akta perkawinan ini adalah sebagai berikut: a.
Para calon mempelai menghubungi petugas di Kantor Catatan Sipil;
b. Para calon mempelai menerima formulir model 1 dan 2 (Formulir permohonan perkawinan dan data calon mempelai); c.
Para calon mempelai mengisi formulir 1 dan 2 tersebut, dan ditanda tangani pula oleh Ketua Majelis Gereja/Lembaga Keagamaan dimana para mempelai diberkati dengan maksud agar pimpinan agama turut mengetahui dan menyetujui tanggal dan waktu perkawinan;
d. Para calon mempelai mengembalikan formulir model 1 dan 2 tersebut bersama segala persyaratan sesuai ketentuan; e.
Petugas Catatan Sipil meneliti kelengkapan administrasi yang diterima; commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f.
Apabila dalam penelitian tidak ternyata tidak terdapat kekurangan atau kesalahan maka diadakan pendaftaran perkawinan pada agenda perkawinan;
g. Selanjutnya berdasarkan data permohonan yang telah memenuhi syarat dibuat pengumuman pada kantor Pegawai Pencatat Sipil dan diumumkan juga pada jemaat gereja/paroki wilayah dimana para mempelai berdomisili; h. Apabila tidak keberatan/sanggahan atas pengumuman perkawinan dan ternyata benar-benar tidak ada halangan untuk dilangsungkan perkawinan dimaksud, maka penulisan regsiter dapat dilaksanakan setelah biaya perkawinan dibayar; i.
Perkawinan dapat dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan pada model 1 (Pendeta/imam) didepan pegawai pencatatan sipil (Pasal 10 PP nomor 9/1975);
j.
Sesaat setelah berlangsungnya perkawinan menurut hukum agama maka perkawinan tersebut dicatat secara resmi;
k. Selanjutnya Akta Perkawinan diproses untuk diberikan kepada pariwisata mempelai; l.
Para mempelai menerima Akta Perkawinan yang sudah ditanda tangani oleh Kepala Kantor Catatan Sipil.
B. Kerangka Pemikiran Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dalam kehidupannya selalu hidup bersama dengan manusia lainnya didalam suatu pergaulan hidup, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun bersifat rohani. Sehingga pada masa tertentu bagi seorang pria maupun sorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya yang berlainan jenis kelamin dalam ikatan perkawinan yang diikuti dengan syaratsyarat tertentu. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita dalam ikatan to userpenting dalam masyarakat, baik perkawinan mempunyai akibat commit yang sangat
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mangatur tentang perkawinan tersebut. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping itu pula perkawinan mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak berlakunya Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana didalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian peranan agama dan kepercayaan semakin lebih diteguhkan didalam hukum positif. Dengan adanya pasal 2 ayat (1) tersebut pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan masing-masing telah merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Mengingat di Indonesia diakui berbagai macam agama dan kepercayaan, maka sering dijumpai adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama atau kepercayaan. Meskipun perkawinan beda agama ini dipersulit, tetapi banyak pihak yang mengajukan permohonan izin perkawinan beda agama ke Pengadilan Negeri setempat, seperti yang terjadi pada Pengadilan Negeri Surakarta. Setelah pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut, maka diperlukan dasar pertimbangan Hakim dalam proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama yang diajukan. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dapat ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan dapat pula ditinjau dari segi Hukum Agama dan Kepercayaan. to user dapat digunakan sebagai dasar Dengan demikian pertimbangan commit hakim tersebut
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk menyusun suatu penetapan atas Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama baik yang ditolak atau dikabulkan, yang memilki kekuatan hukum mengikat bagi pihak yang mengajukan permohonan (pihak suami dan istri yang akan melangsungkan perkawinan beda agama) dan juga bagi pihak yang terkait (Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil), serta memilki pula kekuatan hukum pembuktian yang dapat digunakan sebagai alat bukti atas sah atau tidaknya pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut. Untuk lebih memperjelas kerangka pikir di atas, maka Penulis membuat skema sebagai berikut:
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BERBEDA AGAMA
Pihak A
Pihak B
DITOLAK
Perkawinan
Pengadilan Negeri
Prosedur Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Permohonan
Prosedur Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama Pertimbangan Hakim
Dikabulkan
Ditolak
Penetapan
to user Bagan commit Kerangka Pemikiran
Kekuatan Hukum
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
Dalam hal ini penetapan yang dianalisis adalah Berkas Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/PN. Ska dan Berkas Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN. Ska, mengenai permohonan izin perkawianan beda agama. Untuk lebih memperjelas maka akan penulis paparkan datanya sebagai berikut: 1. Berkas Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN. Ska (Permohonan yang Ditolak) a. Pihak-pihak yang Mengajukan Permohonan Pemohon I Nama
: TK
Tempat/ tanggal lahir
: Madiun, 28 Januari 1951
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Tegal Mulyo RT. 02 RW. 04 Kelurahan Nusukan
Kecamatan
Banjarsari,
Kota
Surakarta Pemohon II Nama
: PN
Tempat/ tgl lahir
: Yogyakarta, 13 September 1960
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Kristen
Alamat
: Tegal Mulyo RT. 02 RW. 04 Kelurahan Nusukan
Kecamatan
Banjarsari,
Kota
Surakarta
b. Duduk Perkara Pemohon telah mengajukan permohonan yang diterima dan commit to user didaftar di Kepeniteraan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 23 Januari
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2008 No. 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska, yang dimaksudnya sebagaimana dapat dilihat dalam berkas perkara dan berita acara persidangan perkara ini, yang pada pokoknya bermaksud dan bertujuan sebagai berikut: 1) Para Pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan perkawianan yang rencananya dilangsungkan dihadapan Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta; 2) Pada tanggal 22 Januari 2008 Para Pemohon telah memberitahukan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tentang akan dilaksanakanya perkawinan tersebut tetapi oleh karena beda agama yaitu Pemohon I beragama Islam, sedangkan Pemonon II beragama Kristen maka oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta permohonan Para Pemohon tersebut ditolak, dengan alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 21 Undang-undang No. 1 Thaun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, perkawinan tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan penetapan Pengadilan Negeri; 3) Para Pemohon masing-masing tetap pada pendiriannya untuk melakukan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masingmasing, dengan cara mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan Negeri Surakarta yang mengacu pada Pasal 21 Ayat (3) dan (4) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf (a) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat Keterangan Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta tanggal 22 Januari 2008 No.474.2/ 58/ 2008); 4) Asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada prinsispnya perbedaan agama tidaklah menjadikan halangan untuk melakukan perkawinan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mohon pada Ketua Pengadilan Negeri Surakarta untuk berkenan menerima, memeriksa serta memberikan penetapan sebagai berikut: 1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon; 2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta; 3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang Perkawinan Beda Agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu; 4) Membebankan biaya perkara ini kepada pemohon.
Pada hari persidangan yang ditentukan Para Pemohon datang menghadap sendiri, kemudian setelah surat permohonan Para Pemohon tertanggal 23 Januari Agustus 2008 tersebut dibacakan oleh Hakim Para Pemohon menyatakan bahwa permohonannya tersebut telah benar dan tidak ada perubahan serta tetap pada permohonannya. Untuk permohonnya Para Pemohon mengajukan surat-surat bukti yang telah dibacakan dipersidangan dimana Para Pemohon menyatakan tidak keberatan, kemudian setelah fotocopy surat-surat bukti yang bermaterai cukup dan telah dilegalisir tersebut dicocokkan dengan aslinya ternyata kedapatan cocok sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dan selanjutnya surat-surat bukti tersebut dikembalikan kepada Para Pemonon, surat-surat bukti mana berupa: 1) Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama TK, No. 331/ TP/ 2008 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2008; (bukti P1); 2) Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama PN, No. 332/ TP/ 2008 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2008; (bukti P2); 3) Fotocopy kartu keluarga No. 3772050702542 yang dikeluarkan pada commit user tanggal 15 Januari 2008; (buktitoP3);
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Surat Keterangan dari Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, atas nama TK; (bukti P4); 5) Surat Keterangan dari Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, atas nama PN; (bukti P5); 6) Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama TK tertanggal 18 Januari 2008; (bukti P6); 7) Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama PN tertanggal 18 Januari 2008; (bukti P7); 8) Surat Keterangan untuk Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta No. 474.2/ 58/ 2008 tertanggal 22 Januari 2008; (bukti P8);
Selain mengajukan bukti-bukti tertulis di persidangan Pemohon juga mengajukan saksi-saksinya yang memberi keterangan di bawah sumpah di persidangan, masing-masing bernama: 1) ES Lahir di Surakarta, 07 Desember 1962, jenis kelamin laki-laki, Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Tarakan No. 15 RT. 01 RW. 06 Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, agama Katolik,
pekerjaan
sebagai
pedagang,
yang
pada
pokoknya
menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa saksi adalah adik ipar Pemohon II; b) Bahwa Para Pemohon mengajukan permohonan untuk pengesahan perkawinan agar dapat dicatat di Kantor Catatan Sipil; c) Bahwa Para Pemohon akan melangsungkan perkawinan beda agama, namun Catatan Sipil menolak untuk mengesahkan perkawinan mereka; d) Bahwa Para Pemohon belum menikah secara agama; e) Bahwa menurut saksi Para Pemohon lebih baik melangsungkan perkawinan beda agama dari pada Para Pemohon melakukan commit user kumpul kebo atau hamil ditoluar nikah;
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f) Bahwa rencana perkawinan tersebut atas dasar kesepakatan mereka berdua yang didasari rasa cinta dan kasih sayang dari mereka berdua.
2) EW Lahir di Surakarta, 17 Juni 1963, jenis kelamin perempuan, Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Tarakan No. 15 RT. 01 RW. 06 Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, agama Katolik, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa saksi adalah adik dari Pemohon II; b) Bahwa menurut Pemohon I, mereka telah menikah siri di Jawa Timur; c) Bahwa perkawinan Para Pemohon belum dicatatkan di Kantor Catatan Sipil; d) Bahwa menurut saksi Para Pemohon lebih baek melangsungkan perkawinan beda agama dari pada Para Pemohon melakukan kumpul kebo atau hamil di luar nikah; e) Bahwa rencana perkawinan tersebut atas dasar kesepakatan mereka berdua yang didasari rasa cinta dan kasih sayang dari mereka berdua tanpa adanya paksaan dari siapapun.
c. Tentang Hukumnya 1) Maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; 2) Pemohon berkehendak melangsungkan perkawinan tetapi Para Pemohon berlainan agama, dimana Pemohon I beragama Islam dan Pemohon
II
beragama
Kristen,
dan
Para
Pemohon
telah
memberitahukan rencana perkawinannya kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta dan memohon agar perkawinan commit to user mereka dicatat dalam perekawinan di instansi tersebut;
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Permohonan Para Pemohon ditolak oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta; 4) Alasan penolakan pencatatan perkawinan oleh Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta adalah karena belum mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta (mengacu pada Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo Pasal 21 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan); 5) Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya itu; 6) Menurut perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945, yang dimaksud dengan hukum agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan
agamanya
dan
kepercayannya
itu
sepanjang
tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini (penjelasan pasal demi pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974); 7) Berdasarkan
penjelasan
pasal
tersebut
menunjukkan
bahwa
perkawinan harus dilaksanakan terlebih dahulu menurut hukum agamanya Para Pemohon, apakah akan dilaksanakan menurut tatacara hukum agama Islam atau tatacara hukum agama Kristen; 8) Berdasarkan bukti-bukti yang ada ternyata pemohon belum pernah melaksanakan perkawinan menurut hukum salah satu agama Para Pemohon, karena Para Pemohon tetap berprinsip pada agamanya masing-masing; 9) Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
10) Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah jelas bahwa setelah perkawinan dilaksanakan maka harus dicatatkan untuk memperoleh bukti tentang keabsahan perkawinan tersebut; 11) Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, pencatatan
perkawinan
dari
mereka
yang
melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencacatan sebgaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, sedangkan menurut ayat (2) pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Isalam dilakukan oleh Pegawai Pencatata Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam perundangundangan mengenai pencatatan perkawinan; 12) Selama ini belum ada peraturan yang menunjuk suatu lembaga yang mengesahkan perkawinan dari calon mempelai yang berbeda agama; 13) Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006, pengadilan diberi wewenang untuk menetapkan perkawinan, namun pengadilan
bukan
lembaga
yang
diberikan
wewenang
untuk
mengesahkan perkawinan, dan menurut Pasal 36 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 penetapan pengadilan hanya sebatas dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan; 14) Para Pemohon dalam permohonan ini belum pernah melangsungkan perkawinan yang sah, dan tidak ternyata pula bahwa ada lembaga yang mengesahkan perkawinan Para Pemohon; 15) Dari uraian di atas Pengadilan Negeri Surakarta tidak/bukan instansi yang berwenang untuk mengesahkan perkawinan Para Pemohon dan dengan demikian tidak berwenang untuk memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut; to user 16) Dengan demikian makacommit permohona Para Pemohon harus ditolak ;
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
17) Karena permohonan Para Pemohon ditolak maka Para Pemohon dibebani pula untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam permohonan ini.
MENETAPKAN 1) Menolak permohonan Para Pemohon; 2) Menghukum Para Pemohon untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam permohonan ini sebanyak Rp. 49.000,- (empat puluh sembilan ribu rupiah).
2. Berkas Penetapan No. 01/ Pdt.P/ 2009/ PN. Ska (Permohonan yang Dikabulkan) a. Pihak-pihak yang Mengajukan Permohonan Pemohon I Nama
:
ST
Tempat/ tanggal lahir
:
Pulau Sambu, 12 September 1970
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Agama
:
Islam
Alamat
: Baloi Blok VI RT. 001 RW. 003 Kelurahan Batu Selicin, Kecamatan Lubuk Baja, Kota Batam
Pemohon II Nama
:
SM
Tempat/ tgl lahir
:
Surakarta, 01 Maret 1970
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Agama
:
Kristen
Alamat
:
Danukusuman
Kelurahan
RT.003
Danukusuman,
Serengan Kota Surakarta commit to user
RW.
002
Kecamatan
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Duduk Perkara Pemohon telah mengajukan permohonan yang diterima dan didaftar di Kepeniteraan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 05 Januari 2009 No. 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, yang dimaksudnya sebagaimana dapat dilihat dalam berkas perkara dan berita acara persidangan perkara ini, yang pada pokoknya bermaksud dan bertujuan sebagai berikut: 1) Para Pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan perkawianan yang rencananya dilangsungkan dihadapan Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta; 2) Pada tanggal 31 Desember 2008 Para Pemohon telah memberitahukan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tentang akan dilaksanakanya perkawinan tersebut tetapi oleh karena beda agama yaitu Pemohon I beragama Islam, sedangkan Pemonon II beragama Kristen maka oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta permohonan Para Pemohon tersebut ditolak, dengan alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo Pasal 21 Undang-undang No. 1 Thaun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan penetapan Pengadilan Negeri; 3) Para Pemohon masing-masing tetap pada pendiriannya untuk melakukan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masingmasing, dengan cara mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan Negeri Surakarta yang mengacu pada Pasal 21 Ayat (3) dan (4) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf (a) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat Keterangan Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta tanggal 31 Desember 2008 No. 474.2/ 1104/ 2008); commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada prinsispnya perbedaan agama tidaklah menjadikan halangan untuk melakukan perkawinan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mohon pada Ketua Pengadilan Negeri Surakarta untuk berkenan menerima, memeriksa serta memberikan penetapan sebagai berikut: 1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon; 2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta; 3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang Perkawinan Beda Agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu; 4) Membebankan biaya perkara ini kepada pemohon.
Pada hari persidangan yang ditentukan Para Pemohon datang menghadap sendiri, kemudian setelah surat permohonan Para Pemohon tertanggal 05 Januari 2009 tersebut dibacakan oleh Hakim Para Pemohon menyatakan bahwa permohonannya tersebut telah benar dan tidak ada perubahan serta tetap pada permohonannya. Untuk permohonnya Para Pemohon
mengajukan
surat-surat
bukti
yang
telah
dibacakan
dipersidangan dimana Para Pemohon menyatakan tidak keberatan, kemudian setelah fotocopy surat-surat bukti yang bermaterai cukup dan telah dilegalisir tersebut dicocokkan dengan aslinya ternyata kedapatan cocok sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dan selanjutnya surat-surat bukti tersebut dikembalikan kepada Para Pemonon, surat-surat bukti mana berupa: 1) Asli Surat Keterangan untuk Rekes No. 474.2/ 1104/ 2008 tertanggal commit to user 31 Desember 2008, (bukti P I.1);
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
2) Fotocopy Surat Keterangan Imunisasi TT bagi calon pengantin No. 000843 tertanggal 30 Desember 2008, (bukti P I.2); 3) Fotocopy Surat Keterangan untuk menikah (ST) No. 184/ 474.2/ 001/ XII/ 2008 tertanggal 11 Desember 2008, (bukti P I.3); 4) Fotocopy Surat Keterangan Asal Usul, No. 184./ 474.2/ 001/ XII/ 2008 tertanggal 11 Desember 2008, (bukti P I.4); 5) Fotocopy Surat Keterangan tentang Orang Tua No. 184/ 474.2/ 001/ XII/ 2008 tertanggal 11 Desember 2008, (bukti P I.5); 6) Fotocopi Surat Rekomendasi Pindah Nikah atas nama ST tertanggal 15 Desember 2008, (bukti P I.6); 7) Fotocopy Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama ST tertanggal 15 Desember 2008, (bukti P I.7); 8) Fotoopy Surat Pernyataan Persetujuan orang tua (ST) tertanggal 15 Desember 2008; (bukti P I.8); 9) Fotocopy Surat Permohonan Rekes, tertanggal 31 Desember 2008, (bukti P I.9); 10) Fotocopy Surat Keterangan Kematian, No. 09/ 474.3/ 11/ 2007 teretanggal 17 Februari 2007, (bukti P I.10); 11) Fotocopy Kartu Keluarga No. 21.71.06.001/ 09/ 538 tertanggal 04 September 2006, (bukti P I.11); 12) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama ST, nomor KTP No. 21.71.96.001.12.09.70.99810 tertanggal 04 September 2006, (bukti P I.12); 13) Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama ST, No. 9365/ DISP/ 1988 tertanggal 30 November 1988, (bukti P I.13); 14) Fotocopy surat keterangan/pengantar (SM), No. 000/ 560 tertanggal 04 Desember 2008, (bukti P II.1); 15) Fotoopy Surat Pernyataan Persetujuan orang tua (SM) tertanggal 15 Desember 2008, (bukti P II.2); 16) Fotocopy Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama SM commit userP II.3); tertanggal 15 Desember 2008, to (bukti
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
17) Fotocopy Surat Keterangan Kematian (PM), No. 474.3/ 71, (bukti P II.4); 18) Fotocopy Kutipan Akta Kematian (SR), No. 254/ 1995 tertanggal 2 Desember 1995, (bukti P II.5); 19) Fotocopy Kartu Keluarga No. 3372020305212 tertanggal 31 Oktober 2008, (bukti P II.6); 20) Fotocopy Akta Kelahiran atas nama SM, No. In. 76/ 1970 tertanggal 13 April 1970, (bukti P II.7); 21) Fotocopy
Kartu
Tanda
Penduduk
atas
nama
SM,
No.
33.7202.410370.0002 tertanggal 09 Oktober 2006, (bukti P II.8).
Selain mengajukan bukti-bukti tertulis di persidangan Pemohon juga mengajukan saksi-saksinya yang memberi keterangan di bawah sumpah di persidangan, masing-masing bernama: 1) SY (saksi P I) Lahir di Bloro, 23 Desember 1969, jenis kelamin laki-laki, Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Cemani RT.005/015 Kel. Cemani Kec. Grogol Kab. Sukoharjo, agama Islam, pekerjaan swasta, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa saksi adalah sepupu pemohon I; b) Bahwa pemohon I belum pernah menikah; c) Bahwa pemohon I meminta izin untuk menikah dengan pemohon II dan saksi tidak keberatan baik lahir maupun batin; d) Bahwa saksi mengetahui pemohon II beragama Kristen; e) Bahwa pemohon I dan pemohon II telah lama berpacaran; f) Bahwa saksi mengetahui pemohon I dan pemohon II akan melangsungkan perkawinan dan tidak ada paksaan untuk ikut salah satu agama yang dianutnya; g) Bahwa perkawinan akan dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil Kota Surakarta dengan adanya penetapan dari Pengadilan negeri commit to user Surakarta.
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) DW (saksi P II) Lahir di Surakarta, 16 Nopember 1947, jenis kelamin laki-laki, Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Kadipiro Baru RT. 004/010 Kel. Bejen Kec. Karanganyar Kab. Karanganyar, agama Katholik, pekerjaan sebagai PNS, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa saksi adalah kakak kandung dari Pemohon II; b) Bahwa orang tua dari pemohon II telah meninggal dunia; c) Bahwa pemohon II belum pernah menikah; d) Bahwa pemohon II meminta izin untuk menikah dengan pemohon I dan saksi tidak keberatan baik lahir maupun batin e) Bahwa saksi mengetahui pemohon I beragama Islam; f) Bahwa pemohon I dan pemohon II telah lama berpacaran;
c. Tentang Hukumnya 1. Maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; 2. Diperoleh fakta-fakta hukum dari adanya bukti-bukti surat dan keterangan saksi-saksi, anatar lain: a) Antara pemohon I dan pemohon II telah sepakat bersama untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan cinta dan kasih sayang diantara keduanya, walaupun diantara Para Pemohon ada perbedaan agama; b) Para
Pemohon
telah
mengajukan
Permohonan
Pencatatan
Perkawinan secara beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tetapi ditolak karena belum ada penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta; c) Para saksi serta pihak keluarga Para Pemohon telah mengetahui dan menyetujui serta memberi izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan dengan cara beda agama; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
d) Untuk melakukan perkawinan dengan cara beda agama harus ada penetapan dari Pengadilan Negeri; e) Para Pemohon tetap mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing; f) Pemohon I tidak mau melakukan prosesi perkawinan berdasarkan agama Islam dan pemohon II tidak mau melakukan prosesi perkawinan berdasarkan agama Kristen; g) Ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 telah terpenuhi. 3. Perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undangundang No. 1 Tahun 1974, maka sudahlah tepat apabila persoalan permohonan perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan; 4. Pemohon I dan Pemohon II sebagai Warga Indonesia dan Warga Dunia adalah berhak untuk mempertahankan keyakinan agamanya termasuk beribadah membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh dua calon yang beda agama, hal mana sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan Piagam PBB Tahun 1984 tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 5. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 8 yang mengatur larangan untuk melangsungkan perkawinan tidak diatur larangan yang dilaksanakan oleh dua calon mempelai yang berbeda agama dan secara tegas juga tidak mengatur perkawinan calon mempelai yang berbeda agama; 6. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Bab XIV ketentuan penutup Pasal 66 menyatakan: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undangundang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini, ketentuan commit to userHukum Perdata HOCI Stbl 1993 diatur dalam Kitab Undang-undang
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
No. 74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158) dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku; 7. Karena Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang berlainan agama maka ketentuan-ketentuan dalam Stbl 1898 No. 158 tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam perkara antara pemohon I (ST) dan pemohon II (SM) yang masingmasing bersikukuh tetap mempertahankan agamanya (Yurisprudensi MA No. 245 K/ SIP/ 1953 dalam Perkara pemohon: (SS); 8. Syarat-syarat materiil untuk melangsungkan perkawinan antara pemohon I dan Pemohon II menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 telah terpenuhi dan menurut Hukum Agama Para Pemohon tidak mungkin dilakukan proses perkawinan dengan umat yang berbeda keyakinan/agama dan Para Pemohon sudah saling mencintai dan sudah lama berpacaran serta Para Pemohon sudah sepakat untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan cinta kasih maka Hakim menganggap Para Pemohon melepaskan keyakinan agamanya yang melarang adanya perkawinan beda agama dan
oleh karena Undang-undang pantas untuk
mengabulkan permohonan Para Pemohon tersebut dalam point 2; 9. Ketentuan Pasal 6 Stbl 1898 No. 158 ditentukan pelaksanaan perkawinan campuran c.q beda agama maka pelaksanaan perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi suaminya dengan tidak mengurangi persetujuan yang selalu dipersyaratkan, bahwa apabila hukum suami agama Islam tidak menentukan cara-cara pelaksanaan perkawinan agama dihadapan siapa perkawinan dilaksanakan dan ternyata hukum suami (Islam) tidak mengatur perkawinan beda agama, to user maka dengan merujukcommit ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Pemohon I dan Pemohon II, Hakim menunjuk Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melaksanakan perkawinan mereka Para Pemohon, sebagaimana disebut dalam petitum point 3; 10. Meskipun permohonan Para Pemohon dikabulkan adalah hal yang tidak dapat dihindarkan perekawinan Para Pemohon adalah tidak sah menurut agama (baik Islam maupun Kristen) sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka oleh karena dari sudut agama dinilai tidak sah tentang dosa hubungan antara Pemohon I dan Pemohon II sebagai calon suami istri adalah merupakan tanggung jawab Para Pemohon kepada Tuhan YME, Negara melalui Peraturan Perundang-undangan Nasional yang hanya memberi solusi bagi perkawinan antara kedua calon mempelai yang masing-masing mempertahankan keyakinan agamanya; 11. Para Pemohon memohonkan agar diberi perintah seperlunya agar perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II tersebut didaftarkan menurut ketentuan yang berlaku, permohonan mana karena beralasan dan menurut hukum dapatlah dikabulkan; 12. Karena permohonan Para Pemohon dikabulkan maka semua biaya yang timbul karena permohonan ini dibebankan kepada Pemohon; 13. Memperhatikan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 jo pasal 135 huruf (a) Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Stbl 1898 No. 158 serta
ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan
lain
yang
bersangkutan.
MENETAPKAN 1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon; 2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Surakarta; commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melangsungkan perkawinan antara Pemohon I sebagai calon suami dan Pemohon II sebagai calon istri; 4) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut di atas, ke dalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu; 5) Membebankan biaya permohonan kepada Para Pemohon yang sampai saat ini diperhitungkan sebesar Rp. 86.000,- (delapan puluh enam ribu rupiah).
B. Pembahasan 1. Proses Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama a. Proses Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama Berdasarkan hasil wawancara dengan Panitera PN Surakarta, yaitu Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro maka prosedur pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama adalah sebagai berikut: 1) Pihak yang akan melangsungkan perkawinan beda agama datang ke Pengadilan Negeri Surakarta dan menghadap petugas Meja Pertama untuk mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dengan menyerahkan surat permohonan, minimal 2 (dua) rangkap. 2) Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan Pihak Pemohon dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Catatan : a) Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo commit to user tersebut dibuktikan dengan (cuma-cuma). Ketidakmampuan
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat. b) Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 – 245 HIR. c) Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya. 3) Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat permohonan kepada Pemohon disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga). 4) Pihak Pemohon menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). 5) Pemegang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan permohonan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan dalam surat permohonan. 6) Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemohon sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank. 7) Pihak Pemohon datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti nomor urut dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian Pemohon menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut. 8) Setelah Pemohon menerima slip bank yang telah divalidasi dari commit petugas layanan bank, pihakto user berperkara menunjukkan slip bank
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas. 9) Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada Pemohon. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat permohonan yang bersangkutan. 10) Pihak Pemohon menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat permohonan serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). 11) Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas. 12) Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat permohonan yang telah diberi nomor register kepada Pihak Pemohon. 13) Para Pemohon akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan Panitera Pengganti yang ditunjuk langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, serta penetapan hari sidang pemeriksaan perkaranya (PHS) oleh Hakim Pemeriksa. 14) Pada saat hari sidang yang telah ditentukan, Para Pemohon hadir sendiri dengan membawa bukti-bukti surat dan saksi-saksi.
Pada dasarnya prosedur pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama sama dengan prosedur pengajuan gugatan perkara perdata biasa. Kesamaan lainnya adalah dalam hal pengajuan gugatan biasa dan permohonan penetapan perkawinan beda agama adalah samasama dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa untuk membuat, commit toatau user menyampaikan gugatan atau menandatangani, mengajukan
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permohonan tersebut kepada Pengadilan Negeri. Namun dalam pengajuan gugatan biasa dikenal adanya pengajuan gugatan secara lisan, tetapi tidak demikian dengan pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama yang hanya dapat diajukan secara tertulis.
b. Proses Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi dan berdasarkan Berkas Permohonan Perkawinan Beda Agama No. 14/ Pdt. P/ 2008/ PN. Ska dan Berkas Permohonan Perkawinan Beda Agama No. 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, maka proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama adalah sebagai berikut: 1) Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, kemudian Para Pemohon datang sendiri dan menghadap ke muka persidangan; 2) Hakim membacakan permohonan Para Pemohon yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surakarta; 3) Untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan bukti-bukti surat yang bermaterai cukup serta telah dilegalisir dan menghadirkan pula saksi-saksi; 4) Setelah dilakukannya pemeriksaan terhadap bukti-bukti surat dan saksi-saksi, Para Pemohon menerangkan sudah cukup dan memohon penetapan; 5) Selanjutnya hakim mempertimbangkan segala sesuatu yang terjadi di persidangan sebagai dasar untuk menyusun suatu penetapan; 6) Kemudian Hakim membacakan penetapan di muka persidangan yang terbuka untuk umum.
Jika
dibandingkan
antara
proses
pemeriksaan
permohonan
penetapan perkawinan beda agama dengan proses pemeriksaan pada gugatan biasa, maka terdapat perbedaan diantara keduanya. Dimana commit to user perbedaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a.
Proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama 1) Pihak yang diperiksa pada proses persidangan hanya Pemohon atau kuasanya, karena yang terlibat hanya sepihak yaitu Pemohon sendiri dan tidak ada pihak lawan; 2) Dalam persidangan hanya mendengar keterangan Pemohon atau kuasanya dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon berupa surat atau saksi; 3) Pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir, maksudnya bahwa dalam pemeriksaan permohonan tidak ada bantahan dari pihak lain; 4) Tidak ada tahap replik, duplik dan kesimpulan.
b.
Proses pemeriksaan gugatan biasa 1) Pihak yang dipanggil dan diperiksa dalam persidangan adalah pihak
penggugat
dan
tergugat,
karena
pada
prinsipnya
pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sepihak; 2) Proses pemeriksaan berlangsung secara contradictoir, dimana diberikan hak dan kesempatan kepada Tergugat untuk membantah dalil Penggugat, serta sebaliknya Penggugat juga berhak untuk melawan bantahan Tergugat; 3) Terdapat replik, duplik maupun konklusi, karena pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah.
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan atau Menolak Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama a. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Berkas Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN. Ska, dan hasil wawancara dengan Hakim pada Pengadilan Negeri Surakarta yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi, Penulis mendapatkan beberapa data mengenai dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan Permohonan commit to user Perkawinan Beda Agama. Dimana antara lain bahwa permohonan ini
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikabulkan untuk menghindari dan mencegah perilaku asusila Para Pemohon di dalam masyarakat, dalam hal ini dapat diartikan sebagai ‘kumpul kebo’ maupun terjadinya hamil di luar nikah. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang berlainan agama, maka ketentuan-ketentuan dalam Stbl 1898 No. 158 tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam perkara antara pemohon I (ST) dan pemohon II (SM) yang masing-masing bersikukuh tetap mempertahankan agamanya. Ketentuan Pasal 6 Stbl 1898 No. 158 ditentukan pelaksanaan perkawinan campuran c.q beda agama maka pelaksanaan perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi suaminya dengan tidak mengurangi persetujuan yang selalu dipersyaratkan, bahwa apabila hukum suami (Islam) tidak menentukan cara-cara pelaksanaan perkawinan agama dihadapan siapa perkawinan dilaksanakan dan ternyata hukum suami (Islam) tidak mengatur perkawinan beda agama, maka dengan merujuk ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Pemohon I dan Pemohon II, Hakim menunjuk Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melaksanakan perkawinan beda agama antara Para Pemohon. Kemudian didasarkan pula pada Pasal 7 ayat (2) Stbl. 1898 No. 158, yang menjelaskan bahwa perbedaan agama bukan menjadi halangan untuk dilangsungkannya suatu perkawinan. Sedangkan jika ditinjau dari segi yuridisnya, dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut antara lain berdasarkan pada Pasal 8 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang larangan perkawinan, dimana mengenai
perbedaan
agama
tidak
merupakan
larangan
untuk
melangsungkan perkawinan, maka sudahlah tepat apabila persoalan perkawinan beda agama merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan. Serta didasarkan pula pada Pasal 29 Ayat commit user dijelaskan bahwa setiap warga (2) Undang-undang Dasar 1945 todimana
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
negara mendapat jaminan oleh negara dalam memeluk dan menjalankan agamanya
tersebut,
mempertahankan
sehingga
keyakinan
dari
Para
Pemohon
agamanya
berhak
termasuk
untuk
beribadah
membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda agama. Perkawinan beda agama yang sudah dilegalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, tidak berarti pasangan beda agama tersebut menikah di Pengadilan Negeri Surakarta. Jadi, wewenang pengadilan negeri di sini hanya mengizinkan bukan menikahkan pasangan beda agama karena kapasitas pengadilan bukan untuk itu. Selain itu, berdasarkan pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Begitupula pada pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ditegaskan dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Pencatatan ini dapat dilakukan segera setelah Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta menerima salinan penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta untuk mencatat perkawinan antara pasangan beda agama pada buku register setelah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut UndangUndang.
b. Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Berkas Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta yaitu bapak Susanto Isnu Wahjudi, beberapa dasar pertimbangan yang digunakan Hakim untuk menolak permohonan perkawinan beda agama adalah sebagai berikut: commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Aspek Sosial a) Perkawinan pada dasarnya harus dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya, sehingga tidak ada perkawinan yang dilaksanakan di luar hukum masingmasing agama yang disebabkan karena pihak yang akan melangsungkan perkawinan memilki keyakinan/agama yang berbeda; b) Perkawinan yang dilakukan antara pihak yang memilki keyakinan berbeda tidak sah menurut agama manapun, dan hubungan mereka sebagai suami isteri yang tetap berbeda agama akan menimbulkan dosa yang menjadi tanggung jawab pihak yang melangsungkan perkawinan karena secara agama bisa dikatakan sebagai perbuatan yang haram, dan apa yang dilakukan sama dengan perzinahan. c) Jika pihak suami dan istri yang melangsungkan perkawinan beda agama ini mempunyai keturunan, maka status anak dari para pihak ini dapat dikatakan sebagai “anak haram”, karena dilahirkan dari hubungan yang dilarang dan haram pula menurut hukum agama.
2) Aspek Agama a) Agama manapun melarang terjadinya perkawinan antara pihak yang memilki keyakinan berbeda. Jika hal ini tetap terjadi, maka perkawinan tersebut dianggap suatu perbuatan yang haram dan akan menimbulkan dosa besar bagi pihak yang melangsungkan perkawinan beda agama tersebut. Berikut penjelasan mengenai perkawinan beda agama menurut masing-masing agama: (1) Pandangan agama Islam terhadap masalah perkawinan antar pemeluk agama Islam dengan orang-orang yang bukan agama Islam, yaitu : (a) Melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang commitmenyembah to user yang beragama berhala, polytheisme, agama-
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
agama yang tidak mempunyai kitab suci, dan dengan kaum atheis; (b) Melarang perkawinan antara wanita Islam dengan pria bukan Islam; (c) Mengenai perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita bukan muslim yang ahli kitab, terdapat tiga macam pendapat yaitu : (i) Melarang secara mutlak; (ii) Memperkenankan secara mutlak; (iii)Memperkenankan dengan syarat yaitu apabila pria muslim itu kuat imannya serta rajin ibadahnya. (2) Agama Kristen Menurut Agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan. Alasan apapun yang mendasarinya, dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I Korintus 6 : 14-18). (3) Agama Katolik Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda agama katolik tidaklah dapat dilakukan, hal ini dikarenakan karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada proses dispensasi yang memungkinkan terjadinya perkawinan beda agama. (4) Agama Buddha Menurut Agama Buddha sebenarnya perkawinan beda agama tidaklah terlalu bermasalah. Hanya saja, memang disarankan untuk satu agama. Hal ini disebabkan pertimbangan kehidupan nantinya dalam perkawinan itu sendiri.
commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(5) Agama Hindu Agama Hindu tidak mengenal adanya perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan (Ketentuan Seloka V89 kitab Manawadharmasastra).
b) Berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama, yang berisi, antara lain sebagai berikut: (1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; (2) Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut Qaul Mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
3) Aspek Yuridis a) Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; b) Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memperoleh bukti tentang keabsahan perkawinan tersebut. Namun hingga saat ini belum ada instansi yang ditunjuk untuk mencatatkan perkawinan beda agama; c) Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencacatan sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. user 32 Tahun 1954 commit tentangtoPencatatan Nikah Talak dan Rujuk,
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sedangkan menurut ayat (2) pencatatan perkawinan bagi mereka yang
melangsungkan
perkawinan
menurut
agama
dan
kepercayaannya itu selain agama Isalam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan; d) Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006, pengadilan diberi wewenang untuk menetapkan perkawinan, namun pengadilan bukan lembaga yang diberikan wewenang untuk mengesahkan perkawinan, dan menurut Pasal 36 Undangundang No. 23 Tahun 2006 penetapan pengadilan hanya sebatas dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi dan berdasarkan Berkas Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska, dasar pertimbangan Hakim dalam menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama yang lainnya adalah karena Pemohon yang mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut terlebih dahulu telah melakukan perkawinan siri. Dimana perkawinan siri dapat dinyatakan sah ditinjau dari segi agama, sehingga pemohon dirasa tidak perlu lagi mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama ke Pengadilan Negeri Surakarta karena Para Pemohon telah sah dalam ikatan perkawinan dan hanya tinggal mencatatkan perkawinan tersebut. Sehingga penetapan yang dikeluarkan oleh Hakim adalah menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama yang diajukan oleh Para Pemohon.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
3. Kekuatan Hukum Penetapan Perkawinan Beda Agama Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi, setiap penetapan yang telah ditetapkan dalam persidangan oleh Hakim adalah bersifat mengikat bagi para pihak yang terkait di dalam perkara tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dan juga memiliki kekuatan pembuktian. Penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti atau tetap selama para pihak tidak mengajukan upaya hukum yang lain. Penetapan Hakim atas Permohonan Perkawinan Beda Agama mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan sebagai kekuatan pembuktian, dimana penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Kekutan Mengikat (bindende kracht) Bedasarkan keterangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapaka Susanto Isnu Wahjudi, bahwa penetapan perkawinan beda agama dengan sendirinya merupakan akta otentik, karena merupakan produk yang diterbitkan oleh Hakim atau pengadilan dalam menyelesaikan persoalan mengenai pelaksanaan perkawinan beda agama. Dengan adanya suatu penetapan perkawinan beda agama yang merupakan akta otentik, dengan demikian dapat dilaksanakannya perkawinan antara pihak yang berbeda agama atas dasar permohonan perkawinan beda agama kepada Pengadilan Negeri Surakarta. Oleh karena itu Para Pemohon harus taat dan tunduk pada penetapan, sebagaimana layaknya Undang-undang yang harus dilaksanakan oleh semua pihak. Jadi penetapan perkawinan beda agama ini mempunyai kekuatan hukum mengikat (bindende kracht). Ketika penetapan telah memilki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, yaitu selama Para Pemohon tidak mengajukan upaya hukum lain, maka penetapan perkawinan beda agama tersebut telah mengikat Para Pemohon yang melangsungkan perkawinan beda agama serta pihak lain yang terkait dengan pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut, yaitu pihak Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil. to usermaka Hakim menunjuk Kantor Dimana setelah adanya commit penetapan,
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta untuk melaksanakan perkawinan beda agama antara Para Pemohon, yang didasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 dan juga memerintahkan untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama ke dalam Register Pencatatan Perkawinan.
b. Kekutan Pembuktian (bewijzende kracht) Penetapan perkawinan beda agama yang dikeluarkan oleh Hakim secara tertulis merupakan akta otentik dengan tujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi Para Pemohon dan juga mempunyai kekuatan bukti terhadap Pihak Ketiga (pihak luar). Dimana penetapan dapat digunakan sebagai alat bukti bagi Para Pemohon saat akan mengajukan upaya hukum atau pelaksanaan penetapan tersebut. Kekuatan pembuktian dalam penetapan ini maksudnya adalah apabila ada pihak ketiga yang menyangkal tentang sahnya perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Para Pemohon, maka Para Pemohon yang melangsungkan perkawinan beda agama tersebut sudah mempunyai alat bukti tentang sahnya perkawinan beda agama tersebut yang dapat dilihat dari penetapan perkawinan beda agama yang telah dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta. Setelah adanya penetapan atas permohonan perkawinan tersebut, maka para pihak dapat mencatatkan perkawinan tersebut pada Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang kemudian para pihak yang melakukan perkawinan secara otomatis mendapatkan Akta Perkawinan, yang dapat menjadi alat bukti bahwa para pihak telah sah melakukan perkawinan.
commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. Simpulan
1. Proses Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama a.
Proses Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama Pada
dasarnya
proses
pengajuan
Permohonan
Penetapan
Perkawinan Beda Agama pada Pengadilan Negeri, sama dengan proses pengajuan gugatan biasa. Dimana proses pengajuannya adalah sebagai berikut: 1) Pihak yang akan melangsungkan perkawinan beda agama datang ke Pengadilan Negeri Surakarta untuk mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dengan menyerahkan surat permohonan dan juga membayar panjar biaya perkara; 2) Surat permohonan didaftar atau dicatat ke dalam register serta memberi nomor register pada surat permohonan tersebut; 3) Ketua Pengadilan Negeri Surakarta menunjuk Hakim tunggal dan Panitera Pengganti; 4) Hakim pemeriksa menetapkan hari sidang; 5) Para Pemohon akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti dengan membawa bukti-bukti berupa surat-surat dan saksi-saksi. b. Proses Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama Proses pemeriksaan pada pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama hanya bersifat sepihak saja, karena pihak yang terlibat dalam pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut juga hanya sepihak. Sehingga yang hadir dalam proses pemeriksaan di persidangan hanya pihak Pemohon atau kuasanya, karena hanya keterangan dan bukti berupa surat maupun saksi dari pihak Pemohon yang diperiksa dalam proses persidangan. Di dalam proses to user yang bersifat sepihak commit ini, pemeriksaan tidak berlangsung secara
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
contradictoir, yaitu dalam proses pemeriksaannya tidak ada bantahan dari pihak lain.
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan atau Menolak Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama a.
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama Pada dasarnya permohonan penetapan perkawinan beda gama yang dikabulkan oleh Hakim adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, dimana dijelaskan bahwa setiap warga negara mendapat jaminan oleh negara dalam memeluk dan menjalankan agamanya tersebut, sehingga Para Pemohon berhak untuk mempertahankan keyakinan agamanya
termasuk
beribadah
membentuk
rumah
tangga
dan
melanjutkan keturunan yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda agama. Kemudian didasarkan pula pada Pasal 8 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang larangan perkawinan, dimana mengenai
perbedaan
agama
tidak
merupakan
larangan
untuk
melangsungkan perkawinan, maka persoalan perkawinan beda agama menjadi
wewenang
Pengadilan
Negeri
untuk
memeriksa
dan
memutuskan. Karena di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, maka Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) Stbl. 1898 No. 158 tentang Perkawinan Campuran digunakan sebagai dasar untuk mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama. b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama 1) Agama manapun melarang terjadinya perkawinan antara pihak yang memilki keyakinan berbeda. Jika hal ini tetap terjadi, maka perkawinan tersebut dianggap suatu perbuatan yang haram dan akan commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menimbulkan
dosa
besar
bagi
pihak
yang
melangsungkan
perkawinan beda agama tersebut; 2) Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
3. Kekuatan Hukum atas Penetapan Perkawinan Beda Agama a.
Kekuatan Mengikat Ketika tidak ada upaya hukum yang lain, maka penetapan telah memilki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, sehingga penetapan tersebut telah mengikat Para Pemohon yang melangsungkan perkawinan beda agama dan juga pihak lain yang terkait dengan pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut. Dalam permohonan penetapan perkawinan beda agama ini, penetapan memilki kekuatan hukum mengikat terhadap Para Pemohon yang mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama dan juga berlaku pula bagi Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil. Dimana setelah adanya penetapan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka Hakim menunjuk Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta untuk melaksanakan perkawinan beda agama antara Para Pemohon, yang didasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 dan juga memerintahkan untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama ke dalam Register Pencatatan Perkawinan.
b. Kekuatan Pembuktian Penetapan perkawinan beda agama yang dibuat secara tertulis yang merupakan akta otentik mempunyai kekuatan hukum pembuktian, bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi Para Pemohon dan juga pihak ketiga. Maka Para Pemohon yang melangsungkan perkawinan beda agama mempunyai alat bukti tentang sahnya perkawinan beda agama yang dapat dilihat dari penetapan perkawinan commit to user beda agama yang telah dikeluarkan oleh Hakim PN Surakarta.
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Saran 1. Perlu adanya revisi terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan ditetapkannya suatu peraturan yang menyangkut tentang masalah perkawinan beda agama ini sebagai ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang Perkawinan tersebut, karena dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum bagi seluruh warganegara; 2. Perkawinan hendaknya dilaksanakan antara pihak yang memilki keyakinan atau agama yang sama. Karena tidak ada satupun agama yang memperbolehkan terjadinya perkawinan dengan pihak yang berbeda agama, serta pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut juga akan menemui kendala-kendala baik pada saat akan melaksanakannya maupun setelah perkawinan beda agama tersebut dilaksanakan.
commit to user