perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh: BASKORO ADI PRABOWO E 0005009
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2010
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Orang yang paling sukses adalah orang yang paling sering gagal, dan ia mau terus berusaha hingga ia dapatkan kesuksesan yang sesungguhnya, , , Hal yang paling harus kita takuti di dunia ini adalah ketakutan itu sendiri, , , Apabila kita mencoba mungkin kita akan gagal, namun apabila kita tidak mencoba maka kita pasti gagal. . . Tidak ada orang sukses yang tidak pernah gagal. . . Hal yang besar selalu diawali dari hal yang kecil, dan dilakukan mulai sekarang. . .
(History Of A Writer)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Didalam ketidaksempurnaan, kupersembahkan skripsiku ini: v Untuk Tuhan-ku “ALLAH SWT”, v Untuk Rasul-ku “Muhammad SAW”, v Untuk mereka yang selalu mendidikku, membimbingku, menuntunku dan mendoakanku yang tak bisa kubalas jasanya, “Ibu dan Bapak” yang tercinta, kakak-kakak terbaikku Indra Kusumawardhani, Early Kusumaningtyas, Agung Nugroho Oktavianto, v Untuk Dwi Wulan Maimunah yang selalu setia dalam suka dan duka serta selalu setia menanti skripsi ini tercipta v Untuk Keluarga besar penulis yang telah menjadi motivator dan inspirasi bagi penulis untuk selalu optimis,, v Untuk teman-teman FH UNS Angkatan 2005.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. “ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)”. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan Hukum ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai Bagaimana Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Terhadap Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.BVII/2009). Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dengan teknik analisis isi (content analysis). Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada dasarnya, Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan merupakan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) karena sengketa Penggelembungan DPT tersebut lebih cenderung terhadap pelanggaran administrasi karena pelanggaran tersebut dilakukan akibat warga negara yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih tetapi sudah diberikan hak pilih dan merupakan bagian dari proses persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan dalam pasal 248 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu. Dasar Hukum yang digunakan dalam Penggelembungan DPT yaitu Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 UU No. 42 Tahun 2008, Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa penggelembungan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut: Masalah Kualitatif yang terdiri dari Bantuan pihak asing dalam Pemilu, Pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemutakhiran DPT dan pelanggaran-pelanggaran lainnya, masalah Kuantitatif yang terkait dengan penggelembungan suara dan pengurangan suara.
Kata Kunci: Sengketa Penggelembungan DPT, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. "ANALYSIS OF THE CONSTITUTIONAL COURT OF JUSTICE DECISION ON THE DISPUTE distension LIST OF VOTERS REMAIN ON PRESIDENTIAL ELECTION OF 2009 (A Case Study of the Constitutional Court Decision Against Number 108-109/PHPU.B-VII/2009). Faculty of Law, Sebelas Maret University. Legal writing this review and answer the problem of how the Constitutional Court Decision Analysis Dispute Against distension Voters List On Presidential Election of 2009 (Case Study Towards the Constitutional Court Decision No. 108-109/PHPU.B-VII/2009). This research study is a descriptive normative law. Type of data used are secondary data covering primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Data collection techniques used is the study of documents with the technique of content analysis. Based on this study showed that basically, Dispute inflate the Voters List is not a Dispute Election Results because the dispute is more likely to inflate the DPT against administrative violations because the offense was committed due to citizens who do not meet the requirements for become voters but has been granted the right to vote and are part of the preparation process of Presidential and VicePresident. This is in accordance with those described in article 248 of Law No. 10 of 2008 About Elections. Legal Basis used in mark-DPT namely Article 29 through Article 32 of Law No. 42 of 2008, Article 258 of Law No. 10 of 2008. Basic Considerations Justice of the Constitutional Court in deciding disputes on Election DPT inflate the President and Vice President as follows: Qualitative Problems of foreign aid in the election, polling Reduction (TPS), DPT Updates and other violations, Quantitative problems associated with inflation of sound and sound reduction.
Keywords: Dispute inflate the DPT, the President and Vice Presidential Election. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Bismilahirrahmaanirrahiim
Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah AWT karena hanya dengan berkah, rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH
KONSTITUSI
TERHADAP
SENGKETA
PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)” dengan baik dan lancar. Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu penulisan hukum ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan informasi bagi penulisan maupun pembaca. Dalam
penyusunan
penulisan
hukum
ini,
penulis
tidak
dapat
menyelesaikannya tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Moh. Jamin, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penulisan hukum ini; 2. Ibu Rofikah, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 3. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus selaku pembimbing utama skripsi penulis yang telah berjasa memberikan arahan, bantuan, meluangkan waktu tanpa mengenal lelah dan dengan penuh kesabaran yang tiada batas demi keberhasilan penyusunan skripsi ini yang tidak akan terlupakan oleh penulis; commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.Hum. selaku co. pembimbing skripsi penulis yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan, bantuan, semangat, senyuman dan telah meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan keluh kesah penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan beliau merupakan inspirator penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang jasanya tidak akan pernah penulis lupakan; 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya kepada penulis sehingga pengetahuan tersebut dapat dijadikan bekal dalam penulisan hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan masa depan penulis; 6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selama ini telah banyak sekali membantu Penulis dalam hal akademis dan hal-hal lain yang berkenaan dengan perkuliahan; 7. Ibunda dan Ayahanda tercinta, Ibunda yang selama ini telah mengorbankan jiwa dan raganya dan senantiasa mencurahkan seluruh kasih sayangnya, Ayahanda yang senantiasa memberikan dukungan dan doa bagi penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan hukum ini; 8. Kakak-Kakakku, Mbak Iin, Mbak Lily dan Mas Nunuk, terima kasih atas nasehat dan dukungan kalian selama ini, 9. Dwi Wulan Maimunah, orang yang selalu ada di hati penulis yang telah memberikan doa dan banyak inspirasi dan selalu setia menanti penulisan hukum ini. 10. Bapak dan Ibu Orang tua Wulan, Mbak Anti dan Nana yang selalu memberi dukungan dan motivasi serta doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan lancer, 11. Seluruh teman-teman Angkatan 2005: FM, Komeng, Trek, Galih, Endrika, Bajay, Rusdi, Dony dsb yang tidak dapat disebutkan satu persatu; 12. Seluruh teman-teman diecaster; Om Poing, Om Her, Mas Adi dan semua diecaster di seluruh Indonesia yang telah memberikan dukungan dan motivasi commitpenulisan to user hukum ini; kepada penulis untuk menyelesaikan
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun penulisan hukum ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan karya yang sempurna, untuk itu kritik dan saran dari pembaca budiman sangat penulis perlukan. Akhirnya, semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi kita semua.
Surakarta, 25 Oktober 2010
Baskoro Adi Prabowo E0005009
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ....................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................
vi
ABSTRAK ....................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR
.................................................................................
viii
................................................................................................
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I
BAB II
.................................................................................
xiii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
7
E. Metode Penelitian ...................................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis .....................................................................
18
1.
Tinjauan mengenai Negara Hukum ...................................
18
2.
Tinjauan mengenai Demokrasi..........................................
23
3.
Tinjauan mengenai Konstitusi ...........................................
30
4.
Tinjauan mengenai Mahkamah Konstitusi ........................
40
5.
Tinjauan mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
47
B. Kerangka Pemikiran .................................................................
61
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor-faktor yang Menjadi Dasar Hukum dan Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Sengketa Penggelembungan DPT .............................................. 1.
63
Faktor-faktor yang menjadi Dasar Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi ..........................................................
63
2.
Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi ............
65
3.
Dasar Hukum Pengaturan DPT berdasarkan UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 ...........................................
74
B. Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Sengketa Penggelembungan DPT (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)) ...............................................
76
1.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi ...................................
76
2.
Kedudukan Hukum ..............................................................
77
3.
Pokok Perkara Permohonan.................................................
79
4.
Amar Putusan.......................................................................
80
BAB IV PENUTUP 1.
Kesimpulan ..........................................................................
87
2.
Saran ....................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran.................................................................. 61
commit to user
xiii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jenuhnya masyarakat terhadap status quo yang telah berjalan beberapa dekadelah yang mendasari amukan gelombang massa pada tahun 1997 yang menuntut Orde Baru segera turun dan diganti dengan semangat pembaharuan yaitu reformasi. Berbagai keputusan politik dan produk hukum yang lahir pada era reformasi merupakan bentuk tuangan suara rakyat yang menuntut adanya perubahan yang nyata setelah sistem demokrasi bangsa Indonesia selama 32 tahun hanya terjadi pada tingkat elit sedangkan sebagian besar masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam praktek demokrasi semu tersebut. Oleh karena itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga merupakan daftar teratas tuntutan yang menjadi latar belakang runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Persoalannya bukan lagi siapa yang menjadi tokoh penguasa pada masa tersebut yang menyebabkan otoriter, namun juga sistem hukum dan ketatanegaraannya. Kelemahan dan ketidaksempurnaan sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti (Moris, dalam Jimly Asshiddiqie, www.mahkamahkonstitusi.go.id). Ketidaksempurnaan tersebut terlihat jelas bahwa tidak adanya mekanisme check and balances sehingga kekuasaan eksekutif begitu kuat tanpa ada yang membatasi kewenangannya. Pasal-pasal dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan
pasal yang
multitafsir oleh karena itu dapat dijadikan landasan hukum saat terjadi sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah penguasa. Terlebih MPR sebagai badan tertinggi negara pada masa tersebut hanya berfungsi sebagai “boneka kekuasaan” dari eksekutif sehingga praktek demokrasi hanya menjadi retorika saja. Sehingga, kesepakatan pemerintahan Habibie dengan menggelar pelaksanaaan pemilu pertama pasca Orde Baru pada tahun 1999 merupakan commit to user
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
langkah awal tegaknya demokrasi Indonesia. Bahwa pemilu tersebut jauh lebih demokratis daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Sistem pemerintahan otoriter yang bergerak ke arah sistem pemerintahan yang lebih demokratis jika diibaratkan seperti halnya arah dari gerakan pendulum. Pilihan kebijakan yang diambil tergantung kepada situasi dan kondisi politik pada zamannya masing-masing. Model pengaturan yang demikian memungkinkan untuk terjadi karena hukum adalah sebuah produk politik (Moh. Mahfud M.D., 1998: 7). Terkait dengan proses demokrasi di Indonesia, atas dasar semangat reformasi perubahan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang dasar yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar oleh lembagalembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam Undang-Undang Dasar. Konsep pemikiran tersebut kembali diperjelas dengan sikap yang nyata oleh
pemerintah,
ketika
menawarkan
terobosan
politik
(political
breakthrough) ketika bersama-sama dengan DPR merombak secara total mekanisme sistem sistem Pemilihan Presiden (Pilpres) dari Pilpres yang ditetapkan oleh MPR menjadi Pilpres secara langsung. Landasan dasar hukum adanya pilpres secara langsung ini termuat pada Pasal
6A ayat (4)
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menegaskan bahwa Berdasarkan Pasal 6A Ayat (1)
menyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mekanisme Pilpres secara langsung ini mengisyaratkan bahwa proses demokrasi dan arah kebijakan dari pemerintah tidak lagi ditentukan oleh segelintir kaum elit saja. Terlibatnya suara rakyat yang merupakan pendelegasian dari arus demokrasi yang menggumpal yang tak dapat dibendung oleh siapa pun. Jika dibendung dan tidak diagregasi dengan baik, maka demokrasi akan membuat jalannya sendiri, sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Adagium ini tak dapat diartikan, suara rakyat (vox populi) itu identik dengan suara Tuhan, melainkan vox populi yang bersumber dari sanubari rakyat itu akan selalu dimenangkan oleh Tuhan. (Mahfud
MD,
dalam
http://www.mohmahfudmd.com/
index.php?
page=web.Opini Lengkap&id =15) Perubahan paradigma dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 apabila dikaitkan dengan pendapat dari K.C. Wheare merupakan sebuah keputusan yang tepat, dalam bukunya, Modern Constitutions, menegaskan bahwa konstitusi adalah resultante atau produk kesepakatan politik yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan situasi tertentu. Ini berarti, isi konstitusi harus selalu sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat, karena itu dapat diubah melalui resultante baru jika situasi dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya berubah. (K.C Wheare, dalam Mahfud
M.D)
http://www.mohmahfudmd.com/
index.php?page=web.
OpiniLengkap&id=15. Terlebih ketika terdapat sengketa pemilu telah diatur secara rigid kewenangan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tentang mekanisme penyelesaian sengketa dan badan negara yang independen dalam memutus sengketa pemilu tersebut. Kewenangan tersebut berada pada tangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahkamah
Konstitusi berperan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution). Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara commit to user yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui proses peradilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Final dalam artian bahwa tidak dapat diupayakan terjadinya upaya hukum lagi setelah putusan ditetapkan. Terkait dengan Pilpres pada 8 Juli 2009 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang terdapat drama-drama politik ketika rakyat dilibatkan dalam pesta demokrasi dan telah menggunakan hak pilih masing-masing untuk mendukung salah satu dari ketiga kandidat Capres dan Cawapres yang disahkan oleh KPU. Ketiga pasangan Capres dan Cawapres yang bersaing memperebutkan kursi nomor satu di negeri ini adalah Megawati Soekarnoputri-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Yusuf Kalla-Wiranto. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang diumumkan Mahkamah Konstitusi KPU pada Sabtu, 25 Juli 2009 pasangan nomor urut dua, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menempati urutan teratas dan berpeluang menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014. Pesta demokrasi yang hampir selesai kembali menuai konflik, banyak pengangkatan isu-isu miring mengenai kinerja KPU dalam hal masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh partai-partai politik setelah pengumuman pasangan pemenang Pilpres. Banyak yang meragukan akuntabilitas dari daftar pemilih yang dimiliki oleh KPU, apakah benar sudah semua rakyat yang telah mempunyai hak untuk memilih telah terdaftar. Hal ini dikarenakan banyak terdapat temuan-temuan di lapangan bahwa terdapat warga yang seharusnya tidak mempunyai hak memilih masuk di DPT sedangkan warga yang seharusnya memilih malah tidak terdaftar. Polemik inilah yang menjadi topik hangat yang menjadi headline news di beberapa media beberapa bulan terakhir.
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adanya dugaan terjadinya praktik penggelembungan DPT yang diangkat beberapa perwakilan politik memperkeruh dan mempersempit ruang demokrasi rakyat. Jika pengangkatan dugaan pengglembungan DPT tersebut terbukti secara meyakinkan di pembuktian Mahkamah Konstitusi selaku badan yang berwenang memutus sengketa pemilu. Maka ada kekhawatiran di berbagai kalangan bahwa akan terjadi Pilpres ulang sebagaimana yang diputus di Pilkada Jatim. Kekhawatiran ini bukanlah tanpa dasar selain menghabiskan dana rakyat yang tidak sedikit untuk melakukan Pilpres ulang. Pertanyaan yang membayangi kemudian adalah kredibilitas dari KPU dan pemerintah patut dipertanyakan. Menurut Yudi, selaku saksi ahli atas permintaan Tim JKWiranto itu mengatakan “permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Indonesia hanya satu-satunya di Indonesia. Salah satu pelanggaran yang paling berat, kata Yudi, adalah persoalan DPT. Carut marut DPT yang selama ini menyertai pemilu menyebabkan cacat besar dalam pemilu. Sebab basis demokrasi adalah diakuinya hak konstitusional setiap warga negara. Persoalan DPT telah membuat sekian banyak warga negara kehilangan hak pilihnya. "DPT yang baik adalah basis pemilu yang baik. Itulah yang jadi basis legalitas. Tanpa legalitas, pemilu cacat," kata Yudi. (http://genenetto.blogspot.com/2009/08/saksi-ahli-kasusdpt-tak-ada.html). Pengajuan sengketa Pilpres atas nama rakyat ataukah pengajuan segelintir kalangan yang mengatasnamakan rakyatlah yang menjadi tanda tanya di benak masyarakat. Dan bagaimanakah kebijakan Mahkamah Konstitusi dalam proses pengambilan putusan dalam menyikapi sengketa pemilu inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk mengangkat masalah ini dengan
judul
KONSTITUSI
:
ANALISIS
TERHADAP
PUTUSAN SENGKETA
HAKIM
MAHKAMAH
PENGGELEMBUNGAN
DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108commit to user 109/PHPU.B-VII/2009).
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah adalah langkah untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti secara jelas, biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan kritis, sistematis dan representatife untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin dipecahkan. Arti penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi tujuan dan manfaat penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang optimal. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti adalah meliputi: a. Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap; b. Analisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)). C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya maka untuk mengarahkan suatu penelitian maka diperlukan adanya tujuan dari suatu penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif, dan merupakan pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono Soekanto, 2006:118). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut: 1. Tujuan obyektif: a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
b. Untuk menganalisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)) 2. Tujuan subyektif: a. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, dan pemahaman Penulis khususnya di bidang Hukum Tata Negara; b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat yang diharapkan sehubungan dengan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum tata negara pada khususnya; b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis a. Dapat memperoleh data guna dianalisa agar dapat menjawab rumusan masalah yang Penulis kemukakan; b. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarkat luas mengenai Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 108109/PHPU.B-VII/2009); commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
8 digilib.uns.ac.id
c. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh Penulis selama studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. E. Metode Penelitian Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum dan masyarakat, dengan jalan menganalisanya. Yang diadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum tersebut permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti. Menurut Peter Mahmud Marzuki, langkah-langkah dalam melakukan penelitian hukum adalah sebagai berikut: a.
Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan. 1) Penelitian untuk keperluan praktik hukum. commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebagai langkah pertama dalam penelitian hukum untuk keperluan praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan. Sering kali kasus yang dikemukakan oleh klien bercampur antara fakta dan pendapat serta keinginan klien. Dalam hal ini ahli hukum harus dapat membedakan mana fakta dan mana pendapat klien. Lebih jauh ahli hukum harus dapat membedakan mana yang fakta hukum dan yang bukan fakta hukum. Dengan membedakan fakta dan fakta nonhukum peneliti akan dapat menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan. 2) Penelitian untuk keperluan akademis. Untuk mengidentifikasi fakta hukum, mengeliminir hal-hal yang tidak relevan dan menetapkan isu hukum bagi keperluan akademis,
langkah
pertama
adalah
peneliti
harus
dapat
memisahkan dirinya dari kepentingan-kepentingan yang terlibat di dalam kegiatan penelitian itu. Ia harus menjadi dirinya sendiri yang mempunyai sikap disinterestedness terhadap isu atau masalah hukum yang hendak dipecahkan. Selanjutnya peneliti harus mampu mengeliminir faktor-faktor yang tidak relevan dengan isu tersebut. Penelitian yang dilakukan peneliti disini adalah penelitian untuk keperluan akademis. Dalam penelitian ini diambil dua isu yang menjadi permasalahan yang perlu dijawab atau dipecahkan yaitu; (1) Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap? (2) Analisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)). Kedua isu hukum itulah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini untuk keperluan akademis. commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Pengumpulan bahan-bahan hukum. Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Karena dalam hal ini, salah satu pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), maka sesuai dengan isu yang diangkat, penulis harus mengumpulkan bahan-bahan yang diantaranya yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah perubahan serta bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan isu hukum yang diangkat tersebut.
c.
Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan. Dalam rangka menjawab isu hukum yang diangkat, peneliti harus menelaah isu hukum itu dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan hukum yang relevan dengan isu tersebut. Selain menelaah isu tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan yang relevan, isu itu juga ditelaah dari berbagai bahan-bahan hukum yang relevan dengan isu itu, yang telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti. Dari telaah yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan bahan-bahan hukum maupun bahan nonhukum itu, peneliti berusaha untuk menjawab isu yang diangkatnya. Kemudian dari telaah-telaah itu diambil sebuah kesimpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang diangkat tersebut.
d.
Menarik kesimpulan yang menjawab isu hukum. Penelitian hukum itu bukan untuk menguji hipotesis, maka konsekuensinya kesimpulan yang ditarik dari penelitian hukum bukan menghasilkan
diterima
atau
ditolaknya
hipotesis.
Dengan
menggunakan bahan-bahan hukum dan bilamana perlu juga nonhukum sebagai penunjang, peneliti akan dapat menarik kesimpulan yang menjawab isu yang diajukan. commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e.
Memberikan Preskripsi. Memberikan
preskripsi
mengenai
apa
yang
seharusnya
merupakan hal yang esensial dari penelitian hukum. Baik untuk keperluan praktek maupun untuk penulisan akademis, preskripsi yang diberikan menentukan nilai penelitian tersebut, maka langkah terakhir dari suatu penelitian yaitu memberikan preskripsi berupa rekomendasi yang didasarkan pada kesimpulan yang telah diambil. Berpegang pada karekteristik Ilmu Hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat atau setidaknya mungkin untuk diterapkan. Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan, baik terhadap penelitian untuk keperluan praktis maupun untuk kajian akademis. Itulah ringkasan mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan di dalam penelitian hukum yang dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki di dalam bukunya yang berjudul “Penelitian Hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 171-209). 2. Sifat Penelitian Dalam penelitian hukum ini, Penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia atau gejala, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dan memperkuat teori-teori lama di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto:2006:10). 3. Pendekatan Penelitian Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach) yang digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Johnny Ibrahim, 2007 : 299). Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93). Sedangkan menurut Johny Ibrahim dari kelima pendekatan tersebut ditambah dengan pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) berikut (Johnny Ibrahim, 2007: 246). Dari beberapa pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mendekati masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif dengan menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, serta menganalisis permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti apa yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah. 4. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, peraturan perundangan lainnya commit to user yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang diteliti seperti putusan dan tulisan-tulisan ilmiah, sumber-sumber tertulis lainnya serta makalah-makalah yang berkaitan dengan penelitian ini. 5. Sumber Data Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (normatif), sehingga bahan dari penelitian ini adalah data-data hukum sekunder. Data-data hukum sekunder oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi (Soerjono Soekanto dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 1415). a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Antara lain sebagai berikut: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 hasil amandemen; 2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; 3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 4) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108-109/PHPU.B-VII/2009 tentang Penggelembungan DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 5) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara. 6) Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. 7) Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua commit to user publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan penelitian hukum sekunder yang digunakan
penulis
adalah
penjelasan
dari
tiap-tiap
peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai bahan hukum sekunder yang menjadi pertimbangan penting bagi penulis, dikarenakan penjelasan dari tiap-tiap peraturan perundangundangan menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan oleh subyek-subyek pembentuknya, buku-buku yang terkait dengan materi/bahasan,
hasil-hasil penelitian, artikel
majalah dan koran, pendapat pakar hukum maupun makalah-makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini; c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 6. Teknik Pengumpulan Data Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap dalam hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis pengumpulan data yaitu studi kepustakaan atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. 7. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. Menurut Johny Ibrahim yang mengutip pendapatnya Bernard Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (Johny Ibrahim, 2007: 249). Sedangkan Prof. Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapatnya Philiphus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pegajuan premis major (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 47). Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan
cara deduktif adalah
menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus. F. Sistematika Penulisan Dalam bagian ini, Penulis mensistematiskan bagian-bagian yang akan dibahas menjadi beberapa bab yang diusahakan dapat berkaitan dan lebih tersistematis, terarah dan mudah dimengerti, sehingga saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Adapun sistematika penulisan hukum commit to user tersebut adalah sebagai berikut :
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan mencakup kajian pustaka berkaitan dengan judul dan masalah yang diteliti yang memberikan landasan teori serta diuraikan mengenai kerangka pemikiran yaitu berupa Tinjauan Pertama mengenai Negara Hukum yang meliputi : Pendapat para ahli tentang Negara Hukum dan Prinsip-prinsip Negara Hukum. Tinjauan Kedua mengenai Demokrasi yang meliputi Pengertian dan hakikat demokrasi; asas-asas demokrasi; faktorfaktor penegak demokrasi; model-model demokrasi. Tinjauan Ketiga mengenai Konstitusi meliputi : sejarah konstitusi; pengertian konstitusi; tujuan, fungsi dan ruang lingkup konstitusi; klasifikasi konstitusi; nilai-nilai konstitusi; serta prinsip-prinsip umum perubahan konstitusi. Tinjauan Keempat mengenai Mahkamah Konstitusi yang meliputi : Latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi RI; Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi. Tinjauan Kelima mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi : Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi; sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi; asas-asas hukum Mahkamah Konstitusi;
permohonan
dalam
hukum
acara
Mahkamah
Konstitusi; alat bukti dan sistem pembuktian; serta putusan Mahkamah Konstitusi. BAB III
: PEMBAHASAN Bab ini mencakup hasil penjelasan dari penelitian yang membahas tentang 2 hal yaitu: commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Faktor-faktor yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap serta, 2. Analisis hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)). BAB IV
: KESIMPULAN DAN SARAN Bab akhir ini mencakup tentang uraian kesimpulan dari hasil pembahasan serta memuat saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1. Tinjauan Mengenai Negara Hukum Negara Hukum merupakan terjemahan dari rechtstaat (ahli-ahli hukum Eropa Kontinental) atau rule of law (ahli-ahli hukum Anglosaxon). Ide Negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaita erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Menurut Komisi Internasional Ahli Hukum, Konferensi di Bangkok tahun 1965 (The International Commission of Jurists), pemerintah yang demokratis di bawah rule of law harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Adanya perlindungan konstitusional; b. Adanya pemilihan umum yang bebas; c. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; d. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat; e. Adanya kebebasan untuk berserikat /berorganisasidan beroposisi f. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education). Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum formil dan Negara Hukum materiil. Negara Hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit yaitu dalam arti perundangundangan tertulis, sedangkan negara hukum materiil yang lebih mutakhir, mencakup pula pengertian keadilan didalamnya. Pembedaan ini, menurut Jimly Asshiddiqie, memang dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum commit itu, keadilan to usertidak serta-merta akan terwujud
18
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum utama. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, disamping istilah the rule of law oleh Friedman juga dikembangkan istilah rule of just law untuk memastikan bahwa dalam pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih essensial daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap the rule of law, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah the rule of law yang digunakan untuk menyebut konsepsi
tentang
Negara
Hukum
di
zaman
sekarang
(Majalah
Konstitusi.2009. Edisi 26:16). Dari uraian-uraian diatas, dapat dirumuskan kembali adanya dua belas pokok prinsip Negara Hukum (Rechtstaat) yang merupakan pilarpilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga
dapat
disebut
Negara
Hukum
yaitu
(Jimly
Asshiddiqie.2005:151): a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law) Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Dalam republik yang menganut sistem presidensiil yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. b. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law) Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang jauh lebih maju. c. Asas Legalitas (Due Process of Law) Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (Due Process of Law) yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. d. Pembatasan Kekuasaan Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang. Karena itu, kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenangwenangan. e. Organ-organ Eksekutif Independen Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat independent, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan atau pemberhentian pimpinannya. f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang. Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. g. Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting commit karena yang menjamin agarto user warga negara tidak dizalimi oleh
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. h. Peradilan Tata Negara (Constitusional Court) Dalam negara hukum modern diharapkan adanya jaminan tegaknya keadilan tiap-tiap warga negara dengan mengadopsikan gagasan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya Mahkamah Konstitusi adalah upaya memperkuat sistem check and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. i. Perlindungan Hak Asasi Manusia Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan
secara
luas
dalam
rangka
mempromosikan
penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis. j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat) Dalam prinsip demokrasi yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtstaat). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. l. Transparansi dan Kontrol Sosial. Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partispasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satusatunya saluran aspirasi rakyat. 2. Tinjauan mengenai Demokrasi a. Pengertian dan Hakikat Demokrasi Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis, "demokrasi" berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos yang berarti rakyat, dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat disimpulkan sebagai pemerintahan rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan commit to user warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut. Demokrasi bila ditinjau dari terminologis (Azyumardi Azra, 2000 : 110), sebagaimana dikemukakan beberapa para ahli, misalnya: 1) Joseph A. Schmeter, bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individuindividu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. 2) Sidney Hook, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. 3) Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang menyatakan bahwa demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. 4) Henry B. Mayo, bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. 5) Affan Gaffar, bahwa demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif, ialah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh suatu negara, dan pemaknaan secara empirik, yaitu demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis. Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian
dasar
bahwa
demokrasi
merupakan
suatu
sistem
pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan rakyat, yang mengandung tiga unsur, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian bahwa pemerintah yang berdaulat adalah pemerintah yang mendapat pengakuan dan didukung oleh rakyat. Legitimasi suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan yang berdaulat dapat menjalankan pemerintahannya serta program-program sebagai wujud dari amanat dari rakyat yang diberikan kepadanya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa pemerintah yang mendapat legitimasi amanat dari rakyat sudah seharusnya untuk tunduk pada pengawasan rakyat (social control). Dengan adanya control tersebut, maka dapat sebagai tindakan preventif mengantisipasi ambisi keotoriteran para pejabat pemerintah. Pemerintahan untuk rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan yang diberikan dari dan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan rakyat dan terhadap aspirasi rakyat yang perlu diakomodir yang kemudian di follow-up melalui pengeluaran kebijakan maupun melalui pelaksanaan program kerja pemerintah. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Independensi dan kesejajaran dari ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak makna kedaulatan rakyat. Peranannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilu sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara commit user masyarakat yang masih terlalu berpikir (paradigma) lama daritosebagian
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. b. Asas-asas Demokrasi Dalam menentukan berlakunya suatu sistem demokrasi di suatu negara ialah ada tidaknya asas-asas demokrasi dalam sistem pemerintahan suatu negara. Adapun asas-asas demokrasi yaitu (http://pendkewarganegaraansmpnasima.blogspot.com/2009/01/blogsp ot.html diakses tgl kamis 4 februari 2010 jam 15.15): 1) Adanya pengakuan hak – hak asasi manusia sebagai penghargaan terhadap martabat manusia Negara berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan menjamin hak asasi manusia dengan diatur dalam peraturan perundanga-undangan yang mempunyai payung hukum yang jelas terhadap hak asasi manusia. Seperti di Indonesia, sudah ada pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 2) Adanya partisipasi dan dukungan rakyat kepada pemerintah Rakyat ikut serta menentukan kebijakan pemerintah yang bersifat asasi dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga pemerintah
tidak
dapat
semena-mena
dalam
menentukan
kebijakan, perlu adanya kontrol dari rakyat. Di sisi lain, pemerintah membutuhkan dukungan langsung dari rakyat dalam hal pemilihan wakil rakyat maupun pemilihan presiden. commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Faktor-faktor Penegak Demokrasi Mengingat sangat pentingnya demokrasi, maka perlu adanya faktor-faktor untuk menegakan demokrasi itu sendiri (Azyumardi Azra, 2000 : 117 – 121). Ada empat faktor utama yaitu : 1) Negara hukum (rechtstaat dan rule of law) Konsep rechtsstaat adalah adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga negara, pemerintahan berdasarkan peraturan, serta adanya peradilan administrasi. Konsep dari rule of law yaitu adanya supremasi aturan-aturan hukum, adanya kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law), serta adanya jaminan perlindungan HAM. Berdasarkan dua pandangan di atas, maka dapat ditarik suatu konsep pokok dari negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, dan adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri. 2) Masyarakat madani Masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang terbuka, yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif, serta masyarakat yang egaliter. Masyarakat yang seperti ini merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Demokrasi yang terbentuk kemudian dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu, demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam kaitan dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan pandangan, adanya keragaman dan konsensus. commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Infrastruktur Infrastruktur politik yang dimaksud terdiri dari partai politik (parpol), kelompok gerakan, serta kelompok kepentingan atau kelompok penekan. Partai politik merupakan suatu wadah struktur kelembagaan politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakankebijakannya. Kelompok gerakan lebih dikenal dengan organisasi masyarakat, yang merupakan sekelompok orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya.
Kelompok
kepentingan
atau
penekan
adalah
sekumpulan orang dalam suatu wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu. Dikaitkan dengan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo, parpol memiliki empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai recruitment kader dan anggota politik, serta sebagai sarana pengatur konflik. Keempat fungsi tersebut merupakan pengejawantahan dari nilainilai demokrasi, yaitu adanya partisipasi serta kontrol rakyat melaui parpol. Sedangkan kelompok gerakan dan kelompok kepentingan
merupakan
perwujudan
adanya
kebebasan
berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah. 4) Pers yang bebas dan bertanggung jawab Pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif melakukan kontrol sosial yang konstruktif menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan commit to user partisipasi masyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
positif antara pers, pemerintah, dan masyarakat (Sukarno, 1986 : 30). d. Model-model demokrasi (Azyumardi Azra, 2000 : 134). 1) Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi undangundang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang tetap secara berkala. 2) Demokrasi terpimpin, yaitu dimana para pemimpin percaya bahwa segala tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai “kendaraan” untuk menduduki kekuasaaan. 3) Demokrasi Pancasila, adalah dimana kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik yang sama semua rakyat. Untuk itu, Pemerintah patut memberikan perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik. 4) Demokrasi sosial, adalah demokrasi yang menaruh kepedulian pada keadilan sosial dan egaliterianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan publik. 5) Demokrasi partisipasi, yang merupakan hubungan timbal balik antara penguasa dengan yang dikuasai. 6) Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang erat di antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama. 7) Demokrasi langsung, yang mana lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif dan legislatif melalui pemilihan umum (pemilu) oleh rakyat secara langsung. 8) Demokrasi tidak langsung, yang mana lembaga parlemen (sebagai wakil rakyat) dituntut commitkepekaan to user terhadap berbagai hal yang
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berkaian dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah dan negara. Hal ini berarti rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pemerintah. 3. Tinjauan Mengenai Konstitusi a. Sejarah Konstitusi 1) Terminologi klasik ( Constitutio dan Politeia ) Dari sejarah klasik terdapat 2 perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi , yaitu dalam perkataan Yunani kuno Politeia dan perkataan bahasa latin Constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan politeia dan costitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah Politeia yang berasal dari kebudayaan Yunani. Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal adanya istilah yang mencerminkan kata jus ataupun constituio seperti dalam tradisi romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan sistem berfikir para filosof Yunani kuno, perkataan constitution seperti yang kita maksudkan sekarang, tidak dikenal. 2) Warisan Yunani kuno (Aristoteles) Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada : a) The ends pursued by states, and b) The kind of authority exercised by their government Tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Oleh commit to user karena itu, Aristoteles membedakan antara right Constitution dan
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wrong constution dengan ukuran kepentingan bersama. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya konstitusi itu adalah kostitusi yang salah (Jimly Asshiddiqie.2010:6). 3) Warisan Romawi Kuno Salah satu sumbangan penting filsof romawi, terutama setelah Cicero mengembangkan karyanya adalah pemikiran tentang hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh para filosof kuno sebelumnya. Pada masa ini adalah awal mula dipakainya istilah lex yang kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi politik dan hukun di zaman Romawi kuno. Penggunaan perkataan lex tampaknya dianggap lebih luas cakupan maknanya. Konstitusi mulai dipahami sebagai sasuatu yang berada di luar dan bahkan diatas negara. Tidak seperti masa sebelumnya, konstitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai prinsip the higher law. Prinsip hierarki hukum juga makin dipahami secara tegas kegunaannya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan. 4) Warisan Islam (Konstitusionalisme dan Piagam Madinah) Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern dalam Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah. commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting selama abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis. 5) Terminologi konstitusi modern Konstitusi
bukanlah
undang-undang biasa.
Ia tidak
ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedangkan undangundang harus memberikan jalan untuk itu. Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power berkaitan dengan pengertian hierarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya
karena konstitusi merupakan sumber
legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. b. Pengertian Konstitusi Menurut istilah, konstitusi adalah keseluruhan dari peraturanperaturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara
mengikat
cara-cara
bagaimana
suatu
pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Pengertian konstitusi menurut Carl Schmitt, membagi konstitusi dalam empat pengertian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006:48-51): commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Konstitusi dalam arti absolut yang diperinci menjadi empat bagian yaitu: a) Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata, mencakup semua bangunan hukum dari semua organisasi yang ada dalam negara. b) Konstitusi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan bentuk negara adalah negara dalam arti keseluruhannya. Bentuk negara itu bisa demokrasi atau monarki. Demokrasi baik langsung maupun memerintah dirinya sendiri sehingga antara yang memerintah dan yang diperintah identik dengan rakyat. c) Konstitusi sebagai faktor integrasi. Faktor ini bisa abstrak dan fungsional. Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan negara dengan lagu kebangsaannya. Dikatakan fungsional karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilu, pembentukan kabinet, referendum dan sebagainya. d) Konstitusi sebagai suatu sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi di dalam negara, jadi konstitusi itu merupakan norma dasar sebagai sumber bagi norma-norma lain yang berlaku di dalam negara. 2) Konstitusi dalam arti relative Konstitusi dalam arti relatif dimaksudkan sebagai konstitusi yang dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di dalam masyarakat. Golongan utama adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki adanya jaminan dari penguasa agar hak-haknya tidak dilanggar. 3) Konstitusi dalam arti positif Carl Schmitt menjelaskan pengertian konstitusi dalam arti positif dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, yaitu ajaran commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tentang keputusan. Menurutnya, konstitusi dalam arti positif itu mengandung pengertian sebagai keputusan politik yang tertinggi. 4) Konstitusi dalam arti ideal Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari kaum borjuis sebagai jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasinya dilindungi. Menurut F. Lasele konstitusi dibagi menjadi 2 pengertian, yakni (Dahlan Thaib; Jasim Hamidi; Ni’matul Huda, 2001:10): 1) Sosiologis dan politis. Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah sintesa faktor- faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. 2) Yuridis. Secara yuridis konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan c. Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup Konstitusi 1) Tujuan Konstitusi (Taufiqurrohman Syahuri,2004:28-29) Secara garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Sedangkan fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negara. 2) Fungsi Konstitusi Menurut Jimly Asshidiqie dalam buku hukum konstitusi, konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang diperinci sebagai berikut: a) Fungsi penentucommit dan pembatas to user kekuasaan organ negara.
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara. c) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga negara. d) Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara. e) Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli kepada organ negara. f) Fungsi simbolik sebagai pemersatu, sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan serta sebagai center of ceremony. g) Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat, baik dalam arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti yang luas mencakup bidang sosial dan ekonomi. h) Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat. 3) Ruang Lingkup Konstitusi Menurut A. A. H. Struycken ruang lingkup konstitusi meliputi: a) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau b) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa c) Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwajibkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang. d) Suatu
keinginan
dengan
perkembangan
kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin. d. Klasifikasi Konstitusi K. C. Weare mengklasifikasikan konstitusi menjadi 5, yaitu: 1) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki “kesakralan khusus” dalam proses perumusannya. Konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang atas dasar adat-istiadat dari pada hukum tertulis dan tidak dituangkan dalam suatu dokumen. commit to user 2) Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konstitusi fleksibel adalah Konstitusi yang dapat diubah atau diamandemen tanpa adanya prosedur khusus. Dalam konstitusi fleksibel mempunyai ciri pokok yaitu: a) Elastis, dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya. b) Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang. Konstitusi kaku adalah konstitusi yang mempersyaratkan prosedur khusus untuk perubahan atau amandemennya. Dalam konstitusi rigid mempunyai ciri pokok yaitu a) Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang lain. b) Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa. 3) Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi Konstitusi derajat tinggi ialah konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Konstitusi tidak derajat tinggi ialah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi. 4) Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan Bentuk ini berkaitan dengan bentuk negara, jika negara itu serikat maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. 5) Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem pemerintahan parlementer Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial : a) Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih b) Presiden bukan pemegang kekuasaan legislatif commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan. d) Disamping sebagai kepala negara, Presiden juga sebagai kepala pemerintahan. Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer: a) Kabinet
yang dipilih
Perdana Menteri
dibentuk
atau
berdasarkan ketentuan yang menguasai parlemen b) Para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya adalah anggota parlemen c) Kepala
negara
dengan
saran
Perdana
Menteri
dapat
membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilu. d) Perdana Menteri bertanggung jawab kepada parlemen. e. Nilai-nilai konstitusi Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi suatu konstitusi yang tertulis (Undang-Undang Dasar) tidak berlaku secara sempurna karena salah satu atau beberapa pasalnya tidak berlaku secara efektif. Ketidakefektifan ini dipengaruhi olehtidak mempunyai konstitusi menyesuaikan dengan perkembangan praktek ketatanegaraan, selain itu juga dipengaruhi oleh pihak pemerintah yang melaksanakan undang-undang dasar itu. Sehubungan dengan hal tersebut Karl Lowenstein membuat tiga jenis penilaian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006:55-57): 1) Nilai Normatif Apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi bukan saja berlaku di dalam arti hukum, tetapi juga merupakan suatu kenyataan dalam arti sepenuhnya dan efektif. Dengan begitu, konstitusi dapat dilaksanakan secara mutlak dan konsekuen. commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Nilai Nominal Konstitusi menurut hukum memang berlaku tetapi kenyataannya tidak sempurna. Ketidaksempurnaan berlakunya konstitusi tertulis sering kali berbeda dengan yang dipraktekkan sebab sebagaimana telah diketahui konstitusi dapat berubah baik karena perubahan formil seperti yang tercantum dalam konstitusi itu maupun karena konvensi ketatanegaraan. 3) Nilai Semantik Konstitusi secara hukum berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk membentuk dari tempat yang ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi konstitusi hanya sekadar istilah saja, sedangkan pelaksanaannya sering dikaitkan dengan kepentingan penguasa. Contoh: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada waktu orde Lama. f. Prinsip-prinsip Umum Perubahan Konstitusi 1) Sistem Amandemen (Taufiqurrohman Syahuri,2004:43-46) Pengertian perubahan konstitusi dapat juga mencakup dua pengertian, yaitu: a) Amandemen Konstitusi (Constitutional Amandment) b) Pembaruan Konstitusi (Constitutional Reform) Namun demikian, secara khusus, apabila dilihat dari segi sistem atau bentuk perubahan konstitusi secara teori, istilah amandemen konstitusi memiliki makna tersendiri untuk membedakan dengan sistem perubahan konstitusi lain. Secara umum, sistem yang dianut oleh
negara-negara
dalam
mengubah
konstitusinya
dapat
digolongkan ke dalam dua sistem perubahan. Pertama, apabila suatu konstitusi diubah maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang barutosecara commit user keseluruhan, sehingga tidak ada
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kaitannya lagi dengan konstitusi lama. Sistem ini masuk kedalam kategori pembaruan konstitusi. Kedua, sistem perubahan konstitusi, dimana konstitusi yang asli tetap belaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan adendum atau sisipan dari konstitusi yang asli. Dengan kata lain, bagian yang diamandemen merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Jadi, antara bagian perubahan dan bagian konstitusi aslinya masih terkait. Keberlakuan konstitusi dengan sistem perubahan inipun masih didasarkan kepada saat berlakunya konstitusinya yang lama, sehingga nilai-nilai lama dalam konstitusi asli yang belum diubah masih tetap eksis. 2) Jalur Yuridis dan Nonyuridis Secara garis besar, perubahan konstitusi dapat dilaksanakan melalui dua jalan yaitu: a) Jalan Yuridis Formal Perubahan konstitusi yang dilakukan sesuai dengan ketentuan formal mengenai perubahan konstitusi yang terdapat di dalam konstitusi sendiri dan mungkin diatur dalam peraturan perundangan lain. b) Jalan Nonyuridis formal atau jalan politis Perubahan konstitusi tersebut biasanya terjadi karena sebab tertentu atau keadaan khusus yang mendorong terjadinya perubahan konstitusi. Perubahan demikian dapat berupa perubahan konstitusi secara total atau sebagian saja sesuai dengan kebutuhannya. Perubahan konstitusi secara politis atau sebagai suatu kenyataan ini kalau berjalan dan dapat diterima oleh segala lapisan masyarakat, maka perubahan demikian secara yuridis adalah sah sehingga memiliki kekuatan yuridis commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Tinjauan Mengenai Mahkamah Konstitusi Menurut Taufiqurrohman Syahuri dalam Berita Mahkamah Konstitusi (2005:6), Mahkamah konstitusi merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang masuk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang mempunyai posisi sejajar dengan lembaga lain, seperti: Presiden, DPR, MPR dan BPK, seperti: Presiden, DPR, MPR dan BPK. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi
terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan keadilan. a. Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi RI Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum Indonesia Merdeka (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 11). Pada saat pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar Negara dalam rapat di Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Prof. Muhammad Yamin mengusulkan agar dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan ketentuan Mahkamah Agung (MA) berhak menetapkan bahwa suatu Undang- Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (Ni’matul Huda, 2003 : 203-204) Akan tetapi usul tersebut ditolak oleh Soepomo. Alasan penolakan yang diajukan oleh Soepomo antara lain: 1) Tidak ada kebulatan pendapat antara ahli tata negara dalam soal commit to user itu;
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
2) Perselisihan tentang apakah suatu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis; 3) Adanya kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung merupakan konsekuensi dari sistem Trias Politica yang tidak dianut dalam Undang-Undang Dasar yang dipersiapkan BPUPKI, karena itu tidaklah tepat bila kekuasaan kehakiman mengontrol legislatif (pembentuk Undang-Undang); 4) Para ahli hukum sama sekali belum mempunyai pengalaman dalam soal tersebut dan tenaga-tenaganya belum begitu banyak, jadi belum waktunya bagi negara yang muda untuk melakukan pekerjaan itu (Ni’matul Huda, 2003 : 204). Pada saat pemabahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam era reformasi muncul kembali pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara dan supremasi konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balance), yaitu Mahkamah Konstitusi. Seiring dengan hali itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan dibawah Undang-Undang melainkan juga atas Undang-Undang Dasar. Kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri diluar Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah commit to user Konstitusi yang terdiri sendiri
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disamping Mahkamah Agung menjadi sebuah keniscayaan (Jimly, 2005: 12-13). Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat dan demokratis, akhirnya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya: a. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan
agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ” b. Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: 1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa
kewenangannya
kewenangan
diberikan
oleh
lembaga
Negara
Undang-Undang
yang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; 2) Mahkamah pendapat
Konstitusi Dewan
wajib
Perwakilan
memberikan Rakyat
putusan
mengenai
atas
dugaan
pelanggaran oleh Presiden san atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar: 3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang commit toRakyat, user dan tiga orang oleh Presiden; oleh Dewan Perwakilan
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Ketua dan Wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi; 5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara; 6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-Undang. Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi Negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi. b. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Pasal 24C ayat(1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: 1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. 2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut: 1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara user Republik Indonesiacommit Tahun to 1945
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengujian Dasar
Undang-Undang
merupakan
tugas
yang
terhadap
Undang-Undang
mendominasi
kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana tampak dari permohonan yang masuk dan terdaftar di kepaniteraan MK. a) Pengujian Formal Pengujian secara formal secara singkat disebut dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a, yang menyatakan pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa “pembentukan undangundang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”. Pengujian secara formal akan melakukan pengujian atas dasar kewenangan
dalam
pembentukan
Undang-Undang
dan
prosedur yang harus ditempuh dari tahap drafting sampai dengan pengumuman dalam lembaran negara yang harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b) Pengujian Materiil Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa “materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” mengatur tentang uji materiil dengan mana materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dapat diminta untuk
dinyatakan sebagai tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Yang boleh diuji juga hanya ayat, pasal tertentu atau bagian Undang-Undang saja dengan konsekuensi hanya bagian, ayat, dan pasal tertentu saja yang dianggap bertentangan dengan konstitusi dantokarenanya dimohon tidak mempunyai commit user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang mengenai ayat, pasal dan bagian tertentu dari undang-undang yang bersangkutan. Akan tetapi dengan membuang kata yang merupakan bagian kalimat dalam pasal tersebut makna pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan dipandang dengan demikian tidak lagi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Memutus
sengketa
kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sengketa kewenangan antar lembaga negara secara jelas memperoleh batasan bahwa lembaga negara tersebut hanyalah lembaga negara yang memperoleh kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga jelas meskipun dapat terjadi multitafsir dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lembaga negara mana yang memperoleh kewenangannya secara langsung dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena Undang-Undang Dasar adalah juga mengatur organisasi negara dan wewenangnya. Bahwa lembaga negara tersebut harus merupakan organ konstitusi yaitu baik yang dibentuk berdasarkan konstitusi maupun yang secar langsung wewenangnya diatur dan diturunkan dari UndangUndang Dasar. 3) Memutus pembubaran partai politik Berbeda dengan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dimana akses terhadap Mahkamah Konstitusi tampaknya agak luas yang memiliki standing untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik sebagaimana commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi hanya pemerintah. Berdasarkan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003
Tentang
Mahkamah
Konstitusi
mewajibkan
pemerintah sebagai pemohon untuk menguraikan dengan jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik. Yang semuanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar merupakan alasan partai politik tersebut untuk dibubarkan. Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran Partai Politik, dilakukan dengan pembatalan pendaftaran partai pada pemerintah. 4) Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum. Perselisihan ini terkait dengan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengakibatkan seorang yang harusnya terpilih baik
seorang
anggota
DPD,
DPR
maupun
DPRD
atau
mempengaruhi langkah calon Presiden/Wakil Presiden melangkah keputaran
kedua
pemilihan
Presiden/Wakil
Presiden
atau
mempengaruhi calon terpilih menjadi Presiden/Wakil Presiden. Hal itu terjadi karena adanya kekeliruan dalam penghitungan suara hasil pemilu. Yang dapat menjadi pemohon dalam perselisihan hasil pemilu yaitu: a) Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilu. b) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu; c) Partai politik peserta pemilu. Yang dapat menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan commit to user Umum dan meskipun asal perselisihan adalah di daerah pemilihan
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tertentu yang hasil perhitungan awal dilakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang kemudian direkapitulasi ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan dilanjutkan ke KPU Kabupaten, KPU tingkat provinsi dan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di Jakarta. Pada intinya permohonan perselisihan hasil pemilu mengajukan dua hal pokok yaitu adanya kesalahan perhitungan yang dilakukan oleh KPU dan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon. Dasar perhitungan pemohon harus didasarkan pada alat-alat bukti yang dapat menunjukkan ketidakbenaran perhitungan KPU. Dan berdasarkan hal tersebut pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil perhitungan suara yang dumumkan KPU dan agar Mahkamah Konstitusi menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon (Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi). 5) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Maruara Siahaan.2005:15). 5. Tinjauan mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi a. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 commitKonstitusi to user merupakan salah satu lembaga Undang-undang Mahkamah
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi peradilan, maka tata cara dan prosedur pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan hukum acara, yaitu hukum acara Mahkamah Konstitusi. Eksistensi hukum acara sebagai hukum formil mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam upaya menegakkan hukum materiel di lembaga peradilan. Sebagai hukum formil Hukum Acara Mahkamah Konstitusi berfungsi menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiel Mahkamah Konstitusi dalam lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, baik hukum materiel maupun hukum formil Mahkamah Konstitusi, keduanya mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Hukum materiel tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya hukum formil, karena untuk tegaknya hukum materiel diperlukan adanya hukum formil dan begitu pula sebaliknya. Peradilan tanpa hukum materiel akan lumpuh, karena tidak tahu apa yang hendak dijelmakan. Sebaliknya, peradilan tanpa hukum formil juga akan liar karena tidak ada batas yang jelas dalam melakukan wewenang. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara, yaitu “contentious
procesrecht”
dan
“noncontentious
procesrecht”.
Contentious procesrecht adalah hukum acara yang bersifat mengadili dan menyelesaikan suatu sengketa, di mana sekurang-kurangnya melibatkan
dua
pihak
yang
saling
berlawanan.
Sedangkan
noncontentious procesrecht atau disebut juga volluntaire procesrecht adalah hukum acara yang di dalamnya tidak mengandung penyelesaian suatu sengketa, oleh karena itu hanya melibatkan satu pihak saja yang commit to user disebut pemohon. Untuk proses beracara di Mahkamah Konstitusi
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
selain digunakan hukum acara yang mengandung sengketa, juga digunakan acara non sengketa yang bersifat volunteer (Bambang Sutiyoso, 2006: 33). b. Sumber hukum Acara Mahkamah Konstitusi Sumber hukum merupakan tempat dari mana materi hukum tersebut diambil, yang merupakan faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum. Sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi yang utama adalah: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pasal 24 C yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi. 2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 3) Peraturan mahkamah konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Tata tertib persidangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 4) Peraturan mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang pedoman beracara dalam perselisihan Hasil Pemilihan Umum. 5) Peraturan Mahkamah konstitusi Nomor 05/PMK/2004 tentang Prosedur Pengajuan keberatan atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 6) Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi 7) Doktrin para ahli hukum. c. Asas-Asas hukum Mahkamah Konstitusi Asas hukum merupakan pokok pikiran umum yang menjadi latar belakang dari pengaturan hukum yang konkret (hukum positif). Mengingat hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah aturan hukum yang hendak menegakkan dan mempertahankan berlakunya hukum materiel Mahkamah Konstitusi commit to user yang bersifat publik, maka pada
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hakikatnya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi juga tunduk pada asas-asas hukum publik di samping asas-asas umum lainnya yang berlaku dalam peradilan. Beberapa asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi yang penting diantaranya adalah: 1) Asas independensi / Noninterfentif Asas ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa: “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan
kehakiman
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. 2) Asas Praduga Rechmatige Sebelum ada keputusan Mahkamah Konstitusi, objek yang menjadi perkara misalnya permohonan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut harus selalu dianggap sah atau telah sesuai dengan hukum sebelum putusan hakim konstitusi menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya, akibat putusan hakim konstitusi tersebut adalah “ex nunc”, yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan undang-undang karena bertentangan dengan UndangUndang Dasar, misalnya tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh Mahkamah Konstitusi ke depan (Bambang Sutiyoso, 2006 : 40). 3) Asas Sidang Terbuka untuk Umum Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa : “Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat commit to user permusyawaratan hakim”.
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan
demikian
persidangan
yang
dilakukan
Mahkamah
Konstitusi dapat diakses oleh publik, dalam arti setiap orang boleh hadir untuk mendengar dan menyaksikan jalannya persidangan. Asas ini membuka “social control” dari masyarakat agar jalannya persidangan berlangsung secara fair dan obyektif. 4) Asas Hakim Majelis Asas ini ditegaskan dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa: (1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. (2) Dalam
hal
Ketua
Mahkamah
Konstitusi
berhalangan
memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. (3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah Konstitusi. 5) Asas Objektivitas Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai sederajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau penasihat hukum atau antara hakim dan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung. commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Asas keaktifan hakim konstitusi (dominus litis) Hakim konstitusi cukup berperan dalam melakukan penelusuran dan eksplorasi untuk mendapatkan kebenaran melalui alat bukti yang ada. Asas ini tercermin salah satunya dari asas pembuktian yang menunjukkan bahwa hakim konstitusi dapat mencari kebenaran material yang tidak terikat dalam menentukan atau memberi penilaian terhadap kekuatan alat buktinya. 7) Asas pembuktian bebas Asas ini diadopsi sepenuhnya dalam lembaga Mahkamah Konstitusi untuk memberikan peluang kepada hakim konstitusi untuk mencari kebenaran materiel melalui pembuktian bebas. Dengan
demikian,
hakim
konstitusi
dapat
leluasa
untuk
menentukan alat bukti, termasuk alat bukti yang tergolong baru, tidak dikenal dalam kelaziman hukum acara. 8) Asas Putusan berkekuatan hukum tetap dan bersifat final Putusan
Mahkamah
Konstitusi
bersifat
final
dan
tidak
dimungkinkan untuk diajukan upaya hukum lebih lanjut, seperti banding, kasasi dan seterusnya. 9) Asas putusan mengikat secara “Erga Omnes” Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak
pada
kekuatan
mengikatnya.
Putusan
Mahkamah
Konstitusi merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para pihak, tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes). Asas ini tercermin dari ketentuan yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain. commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
10) Asas sosialisasi Hasil keputusan wajib diumumkan dan dilaporkan secara berkala kepada masyarakat terbuka. 11) Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan Untuk
memenuhi
harapan
para
pencari
keadilan,
maka
pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif serta dengan biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. d. Permohonan dalam hukum acara mahkamah konstitusi. 1) Persyaratan Pengajuan Permohonan Bagi pihak-pihak yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar dapat mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Konstitusi untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yaitu dengan mengajukan permohonan sesuai lingkup permasalahannya. Dengan demikian, diharapkan nantinya hak-hak konstitusional yang bersangkutan dapat dipulihkan dan mendapatkan perlindungan konstitusional secara memadai. Permohonan ini harus diajukan secara tertulis sesuai aturan yang berlaku dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yang dimaksud dengan: “Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai: a. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Pembubaran partai politik; d. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau e. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Pihak-pihak yang berperkara dan legal standing Pihak-pihak
yang
menganggap
hak
dan
kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Pihak yang mengajukan permohonan ini disebut dengan istilah pihak pemohon, sedangkan pihak lawannya disebut pihak termohon. Berdasarkan ketentuan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, pihak-pihak yang memenuhi kapasitas sebagai pemohon dalam hal ini adalah: a) Perorangan warga Negara Indonesia; b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Repulik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang; c) Badan hukum publik atau privat; atau d) Lembaga Negara commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Permohonan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi diajukan secara “legal standing”, yaitu apabila menganggap hak dan kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya UndangUndang. Pemohon memperoleh legal standing atau kedudukan/hak gugat secara otomatis juga mewakili kepentingan orang lain yang juga menganggap hak dan atau kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. e. Alat bukti dan sistem pembuktian 1) Pengertian pembuktian Pada hakikatnya yang diamksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti kepada pihak lain untuk memberikan kepastian atau keyakinan tentang kebenaran suatu peristiwa. 2) Alat-alat bukti Ketentuan mengenai pembuktian yang berlaku di lingkungan Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal 38 undang-undang mahkamah konstitusi. Dilihat dari jenis alat-alat buktinya, hukum acara mahkamah konstitusi sudah berupaya mengakomodir kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat, khususnya berkaitan dengan bukti-bukti elektronik. Dalam pasal 36 ayat 1 disebutkan ada 6 macam alat bukti yang dapat dipergunakan, yaitu: a)
Surat atau tulisan;
b)
Keterangan saksi;
c)
Keterangan ahli;
d)
Keterangan para pihak;
e)
Petunjuk; dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dkirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat pptik atau yang serupa dengan itu. commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Sistem pembuktian Sistem pembuktian dalam persidangan di lingkungan Mahkamah Konstitusi
dalam
rangka
memperoleh
kebenaran
materiel.
Kebenaran materiel tidak semata-mata mendasarkan pada alat-alat bukti semata tetapi juga mendasarkan pada keyakinan hakim. f. Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan dalam satu peradilan adalah merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya (Maruarar Siahaan, 2005:193). Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya maka putusan hakim itu merupakan tindakan negara dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasar Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang. 1) Jenis-jenis Putusan Jenis-jenis putusan yang dapat disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan antara lain: a) Putusan yang bersifat declaratoir Putusan
declaratoir
adalah
putusan
dimana
hakim
menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. Hakim dalam ini menyatakan tuntutan atau permohonan tidak mempunyai dasar hukum berdasar fakta-fakta yang ada. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang, sifat declaratoir ini sangat jelas dalam commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
amarnya. Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dikatakan bahwa: “Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”. b) Putusan constitutief Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Dengan sendirinya, putusan itu menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Putusan tentang pembubaran partai politik dan putusan tentang sengketa hasil pemilu yang menyatakan perhitungan KPU salah dan menetapkan perhitungan suara yang benar, tentu meniadakan satu keadaan hukum yang baru dan mengakibatkan lahirnya keadaan hukum yang baru. c) Putusan condemnatoir Satu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi. Hal ini timbul karena adanya perikatan yang didasarkan pada perjanjian atau UndangUndang, misalnya untuk membayar sejumlah uang atau melakukan atau tidak melakukan satu perbuatan tertentu. Akibat dari satu putusan condemnatoir ialah diberikannya hak pada
penggugat/
pemohon
untuk
eksekutorial terhadap tergugat/termohon. commit to user
meminta
tindakan
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Rapat Permusyawaratan Hakim Setelah pemeriksaan persidangan selesai, hakim Mahkamah Konstitusi akan melakukan musyawarah untuk mengambil sikap apakah akan mengabulkan permohonan, menolak atau menyatakan tidak dapat diterima. Rapat permusyawaratan hakim untuk pengambilan putusan akhir dalam sengketa yang dihadapkan kepadanya harus memenuhi kuorum sekurang-kurangnya 7(tujuh) orang hakim. 3) Susunan dan isi putusan Putusan Mahkamah Konstitusi sama dengan putusan pengadilan pada umumnya. Pertama-tama harus membuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan harus didasarkan atas minimal 2 alat bukti (Maruarar Siahaan, 2005:202). Keyakinan hakim didasarkan atas minimal 2 alat bukti sebagai dasar pengambilan putusan yang mengingatkan kembali pada sifat hukum publik dari perkara konstitusi. Tugas hakim adalah mencari kebenaran materiel yang harus diyakini telah dapat dibuktikan berdasar bukti yang diajukan kehadapannya. Syarat bentuk dan isi putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 48 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang kemudian diperjelas dalam pasal 30 PMK Nomor 01 tahun 2005. syarat putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat antara lain: a) Identitas pihak; b) Ringkasan permohonan; c) Pertimbangan persidangan;
terhadap fakta commit to user
yang
terungkap
dalam
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Amar putusan; dan e) Hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim konstitusi serta panitera; f) Pendapat berbeda dari hakim. Syarat tentang bentuk dan isi putusan yang disebut ini apabila dilanggar mempunyai akibat hukum tertentu. Akibat hukumnya tidak selalu sama. Ada beberapa syarat yang apabila dilanggar akan menimbulkan kebatalan (nietigheid) sedang pelanggaran atas syarat lain yang ditentukan tidak menyebabkan putusan null and void. 4) Kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan yaitu: a) Kekuatan Mengikat Mahkamah
Konstitusi
berwenang
mengadili
perkara
konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. b) Kekuatan Pembuktian Pasal
60
Undang-Undang
Mahkamah
Konstitusi
menentukan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menguji satu undang-undang, merupakan alat alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti. commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka harus segera dilaksanakan dalam hal ini eksekusi putusan harus dilaksanakan dan tidak dikenal adany peninjauan kembali (PK) dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. 5) Akibat Hukum Putusan Mahkamah konstitusi sebagai negative legislator, boleh jadi mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya. Tetapi juga ada kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakaan hak atau kewenangan tertentu.
commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Dugaan Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kerangka
pemikiran
diatas
mencoba
memberikan
gambaran
selengkapnya mengenai alur berfikir dalam menemukan jawaban dari permasalahan yang menjadi bahan penelitian mengenai
analisis putusan
hakim mahkamah konstitusi terhadap sengketa penggelembungan daftar pemilih tetap pada pemilihan presiden tahun 2009 (studi kasus terhadap commit to user Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009).
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Seperti yang diamanatkan dalam pasal Pasal 6A ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat”. Hal tersebut diwujudkan dalam pemilu Presiden tahun 2009. Pemilihan umum secara langsung merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pemilu presiden tahun 2009 yang telah dilaksanakan diduga terjadi masalah berupa penggelembungan daftar pemilih tetap oleh KPU yang akhirnya memenangkan salah satu calon presiden dan calon wakil presiden. Hal tersebut tidak bisa diterima oleh dua pasangan presiden dan wakil presiden yang lain sehingga kedua calon yang merasa dirugikan mengajukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi. Apabila ditelusuri lebih jauh bahwasannya persoalan penggelembungan DPT bukan merupakan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU). Sesuai dengan Pasal 258 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang menyebutkan PHPU merupakan penetapan suara hasil pemilu secara nasional sehingga menurut penulis sengketa Penggelembungan DPT lebih condong terhadap pelanggaran administratif. Untuk itu, Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa tersebut. Sengketa pemilu yang terjadi telah dianggap selesai dengan keluarnya Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.
108-109/PHPU.B-VII/2009
yang
memenangkan SBY – Boediono sebagai Presiden dan wakil Presiden yang sah.
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III PEMBAHASAN A. Faktor-Faktor yang Menjadi Dasar Hukum dan Dasar Pertimbangan Hakim
Mahkamah
Konstitusi
dalam
Memutus
Sengketa
Penggelembungan DPT. 1. Faktor-faktor yang menjadi Dasar Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi Penggolongan Pelanggaran Pemilu yang termasuk dalam PHPU Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu secara garis besar mengkategorikan bentuk pelanggaran yang dapat terjadi di dalam penyelenggaraan
pemilu
menjadi
(http://www.reformasihukum.
org/.file/kajian/PelanggaranPemilu diakses tanggal 17 Juli 2010 jam 21.25): a.
Pelanggaran Administrasi Pasal 248 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya: tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan. commit to user
63
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Tindak Pidana Pemilu Pasal 252 Undang-Undang tentang Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam Undang-Undang tentang Pemilu diancam dengan sanksi pidana Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
c.
Perselisihan Hasil Pemilu Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 Undang-Undang tentang Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Menurut Pasal 258 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum telah disebutkan bahwa: 1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu. Dengan adanya penjelasan dari Pasal 258 tersebut telah jelas bahwa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan merupakan sengketa PHPU sehingga Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk menangani sengketa Penggelembungan DPT tersebut. 2. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Suatu Putusan Mahkamah Konstitusi banyak faktor yang melatarbelakangi dasar pertimbangan Hakim Konstitusi karena Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya melihat faktor teknis yang terjadi di lapangan tetapi Hakim Pleno dalam memutus juga mempertimbangkan faktor keadilan. Hal tersebut terkait dengan Hak konstitusional warga Negara. Untuk itu, penulis akan menganalisa permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sesuai dengan yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009 dibagi 2 yaitu Masalah yang bersifat kualitatif dan masalah yang bersifat kuantitatif. Masalah yang Bersifat Kualitatif yaitu masalah yang berkaitan dengan masalah teknis tetapi tidak berpengaruh terhadap perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi : a.
Bantuan International Foundation for Electoral Systems (IFES) yang dinilai sebagai campur tangan pihak asing Bantuan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, setidak-tidaknya commit to user sejak berlangsungnya Pemilu di era reformasi (Pemilu 1999 dan
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemilu
2004),
misalnya
pemilih,
bantuan
terdapat
bukti-bukti
terdapat bantuan
teknologi, bahwa
dan
untuk
pendidikan
sebagainya. Memang belum
bantuan
pihak
asing
tersebut
merupakan manifestasi adanya campur tangan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, namun seyogyanya di masa depan bantuan pihak
asing
tersebut dihindari
agar
tidak
menimbulkan kecurigaan dan mengganggu netralitas penyelenggara Pemilu. b.
Penghapusan atau pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Pengurangan atau penghilangan jumlah TPS yang dilakukan oleh Termohon adalah untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang dalam
Pasal 150 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 ditentukan bahwa pemilih
untuk
setiap TPS paling banyak 500 orang, sedangkan dalam Pasal 113 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 ditentukan pemilih untuk setiap TPS paling banyak 800 orang. Mengenai penambahan data pemilih
yang tentu
saja
memengaruhi jumlah TPS adalah suatu kenyataan karena berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan data kependudukan dan sudah harus diserahkan kepada Termohon paling lambat 12 bulan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, DPT dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dijadikan Daftar Pemilih Sementara (DPS) dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pengurangan jumlah TPS yang dilakukan oleh Termohon tidak commitperbuatan to user dapat dikategorikan sebagai melawan hukum, oleh karena
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut di atas, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Termohon melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009, yang dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) menentukan: 1) Jumlah Pemilih untuk tiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang. 2) Dalam menentukan jumlah pemilih untuk setiap TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS dapat diselesaikan pada hari dan tanggal
yang
sama,
KPU
Kabupaten/Kota/PPK/PPS
harus
memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat, yaitu: a) tidak menggabungkan desa/kelurahan; b) memudahkan pemilih; c) memperhatikan aspek geografis; d) batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara; dan e) jarak tempuh menuju TPS; 3) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditentukan lokasinya tempat yang mudah
dijangkau, termasuk
oleh
penyandang cacat dan menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Jumlah riil seluruh TPS sesungguhnya secara nyata sudah diketahui oleh para Pemohon dengan bukti adanya saksi-saksi Pemohon di setiap TPS yang menandatangani formulir yang telah ditentukan. Seandainya pun benar terjadi “penghilangan jumlah TPS” to Pemohon user sebanyak 69.000 TPScommit menurut I atau 68.918 TPS menurut
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemohon II, quod non, hal demikian tidak akan secara serta merta menguntungkan salah satu pasangan calon, sehingga tidak dapat diklaim sebagai
merugikan pasangan calon lainnya. Mahkamah
menilai, sangat tidak rasional jika 69.000 TPS dikalikan dengan 500 orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilihnya diakui sebagai perolehan suara Pemohon I. Adapun terkait istilah “pemilih pemohon” yang didalilkan Pemohon II dianggap sebagai kader partai Pemohon II yang hanya karena memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) partai atau menjadi anggota tim sukses atau simpatisan partai, hal tersebut hanya bersifat hipotetis atau asumtif belaka, sebab pada saat pencontrengan setiap pemilih tetap memilih secara bebas dan rahasia. Selain itu, Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat membuktikan bahwa dengan dikuranginya jumlah TPS menyebabkan hilangnya suara pemilih. Apalagi Termohon dapat membuktikan bahwa semua pemilih sudah disalurkan ke TPS-TPS baru melalui regrouping yang sah. c.
Daftar Pemilih Tetap (DPT) Penyusunan daftar pemilih adalah suatu tahapan Pemilu yang merupakan administrasi Pemilu yang kompleks dan seringkali kontroversial, padahal
merupakan tahapan Pemilu yang sangat
menentukan tahapan-tahapan Pemilu selanjutnya. Kehendak agar semua pemilih harus didaftar dalam daftar pemilih adalah tujuan yang ideal. Namun, adanya perpindahan alami para pemilih, luasnya sebaran daerah pemilihan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, dan penyebaran tempat pemungutan suara yang tidak merata di suatu daerah, juga menjadi sebab dibutuhkannya pembaruan data kependudukan dalam daftar pemilih secara terus-menerus. Oleh karenanya, hal tersebut dipandang memberi akses bagi kerumitan commit to user dalam penyusunan administrasi daftar pemilih, proses yang memakan
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waktu lama, dan biaya mahal, sehingga Penyelenggara Pemilu diharapkan memiliki kemampuan memadai untuk mengakomodasi secara adil tuntutan para peserta Pemilu. d.
Pelanggaran Pemilu lainnya. Secara kualitatif Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 memang
masih
banyak
kelemahan,
kekurangan,
dan
ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu: 1) Kelemahan dalam Undang-Undang yang mengatur Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008) 2) Kelemahan KPU sebagai
penyelenggara Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden yang mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan publik, termasuk oleh para peserta Pemilu, sehingga terkesan kurang kompeten dan kurang profesional, serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya. 3) Masalah kesadaran hukum warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar tidaknya dalam DPS dan DPT, sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih dan bahkan terdaftar dalam DPT namun tidak menggunakan hak pilihnya masih cukup banyak. 4) Budaya “siap menang dan siap kalah” dalam Pemilu secara elegan belum dihayati oleh Peserta Pemilu beserta para pendukungnya. Masalah yang Bersifat Kuantitatif yaitu masalah yang berkaitan dengan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi : a. Penggelembungan suara. b. Pengurangan suara. commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tidak hanya faktor teknis yang tersebut tetapi dasar pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor prosedur yang dilaksanakan oleh KPU. Faktor prosedur tersebut tertuang dalam keberatan yang didalilkan pemohon. Keberatan para Pemohon tentang Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, pada dasarnya didalilkan oleh masing-masing Pemohon dengan data yang berbeda-beda antara Pemohon I dan Pemohon II yang meliputi, antara lain, tidak dipatuhinya tenggat waktu penetapan DPT; pemilih dengan NIK ganda; nama dan NIK yang ganda; serta nama, alamat, tanggal lahir dan NIK ganda. Selain itu, Pemohon juga mendalilkan adanya perbedaan soft copy DPT yang diberikan kepada peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan yang dimiliki oleh Termohon sehingga para Pemohon menyimpulkan bahwa Pemilu telah dilaksanakan tanpa DPT atau setidak-tidaknya menggunakan DPT yang tidak sah menurut hukum. Mahkamah berpendapat, sebelum keberatan ini dipertimbangkan secara komprehensif, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal berikut: a. Keberadaan
DPT
yang
akurat
memang
merupakan
prasyarat
berlangsungnya pemilihan umum secara transparan dan adil yang dapat digunakan
sebagai
alat
kontrol
terhadap
kemungkinan
penambahan atau pengurangan perolehan suara secara tidak sah untuk peserta pemilihan umum oleh pihak penyelenggara. Hal tersebut dapat merugikan salah satu peserta, sehingga tujuan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat tidak tercapai
dan
proses
prosedur
demokrasi
untuk memperoleh
pemimpin yang sesungguhnya diberi mandat oleh rakyat tidak mengalami distorsi dan pembelokan kehendak rakyat. b. DPT untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008,
justru
didasarkan
pada
Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Legislatif yang dijadikan commit to user Pilpres dengan kewajiban bagi sebagai Daftar Pemilih Sementara
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan PPS untuk memutakhirkan DPS
tersebut setelah mendapat masukan dan
tanggapan dari masyarakat, setelah itu KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU melakukan rekapitulasi DPT tersebut (vide Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008), yang kemudian ditetapkan sebagai DPT 30 hari sebelum pelaksanaan pemungutan suara Presiden dan Wakil Presiden. c. Pencantuman nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat warga negara Indonesia sebagai syarat minimum dimasukkannya pemilih dalam daftar pemilih, didasarkan pada data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih yang disediakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari atau tanggal pemungutan suara (vide Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008).
Data
tersebut
kemudian
dimutakhirkan
oleh
KPU
Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh PPS, dan PPS dibantu pula oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri dari perangkat desa/kelurahan,
rukun warga,
rukun
tetangga
dan
warga
masyarakat. Atas dasar pemutakhiran tersebut, kemudian ditetapkan daftar pemilih sementara yang disusun PPS atas dasar data berbasis rukun
tetangga yang diumumkan selama
tujuh hari untuk
mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat dan peserta Pemilu. Setelah mendapat masukan dan tanggapan melalui proses pengumuman, DPS hasil perbaikan tersebut kemudian disampaikan oleh
PPS
kepada
KPU Kabupaten/Kota melalui
PPK
untuk
melakukan penyusunan DPT (vide Pasal 34 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 juncto Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008). d. Proses panjang penetapan DPT Pilpres yang menggunakan DPT Pemilu diproses
legislatif
sebagai daftar pemilihan sementara untuk commitPilpres, to user ternyata mengalami banyak menjadi DPT
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekurangan. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 dan Nomor Urut 3 menyatakan keberatan dan telah mempermasalahkan adanya nama-nama dan NIK ganda serta
NIK
fiktif; bahkan menyatakan bahwa Termohon tidak melakukan pemutakhiran data yang dipandang merupakan pelanggaran hukum yang sistemik dan masif, sehingga menghilangkan hak pilih warga negara dan menyebabkan Pilpres telah berlangsung tanpa DPT. Semua hal ini tidak dapat dinilai hanya pada proses penetapan DPT Pilpres, karena DPT dalam Pilpres tersebut sangat berkaitan erat dengan syarat dan proses yang terjadi dalam penetapan DPT Pemilu Legislatif yang oleh Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 disyaratkan bahwa data daftar pemilih dimaksud sekurangkurangnya atau minimal harus memuat 5 (lima) unsur, dan salah satu di antaranya adalah nomor induk kependudukan. e. Sistem manajemen kependudukan di Indonesia sampai sekarang belum tertib. Untuk memperbaikinya maka pada tahun 1996 dibentuk Sistem Manajemen Kependudukan di Departemen Dalam Negeri yang selanjutnya ditangani oleh berbagai lembaga yang silih berganti dan berupaya mengharuskan penggunaan data kependudukan. Sesuai dengan keterangan Ahli Abdul Rasyid Sholeh (Dirjen Administrasi Kependudukan,
Departemen
Dalam
Negeri),
manajemen
kependudukan tersebut kemudian ditangani oleh Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri. Dalam rangka menata manajemen kependudukan tersebut, Pemerintah telah mengupayakan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674) yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 2006, selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan penataan dan to user penertiban dokumen commit dan data kependudukan yang mengharuskan
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adanya Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai nomor identitas kependudukan bagi setiap warga negara Indonesia yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. Pasal 101 huruf a Undang-Undang a quo
memberi
tenggat
lima
tahun
kepada Pemerintah
untuk
memberikan NIK kepada setiap penduduk, dengan kewajiban bagi semua instansi menjadikannya sebagai dasar dalam penerbitan dokumen-dokumen kependudukan, surat izin mengemudi, paspor, sertifikat hak atas tanah, dan dokumen-dokumen lain, serta kemudian juga dijadikan sebagai dasar untuk menyusun data daftar pemilih dalam Pemilu yang harus memuat NIK tersebut. f. Dengan
jarak
waktu
yang
sedemikian
singkat
antara
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
dan
penetapan DPS yang dimutakhirkan menjadi DPT, maka menurut Dirjen Administrasi Kependudukan, dengan kondisi wilayah seperti Indonesia, menjadi sangat beresiko untuk mensyaratkannya sebagai salah satu data daftar pemilih dalam Pemilu 2009. Alasannya, data kependudukan
yang dimiliki Pemerintah Daerah
di
tingkat
Kabupaten/Kota untuk diberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara tunggal dan nasional tidak dapat dengan mudah diselesaikan dalam jangka waktu tersebut. Bahkan Ahli telah mengingatkan adalah berbahaya jika hanya dengan tenggang waktu lima bulan DPT ditetapkan pada bulan Oktober dan Hari H Pemilu pada bulan April 2009, karena masih banyak celah yang ditemukan dalam UndangUndang. Hal tersebut telah disampaikan kepada Pansus Rancangan Undang-Undang Pemilu
legislatif, akan
mengabaikannya. Dalam
masa yang
tetapi Pansus
singkat,
tersebut
pada kenyataannya
penduduk yang memiliki NIK belum merata, meskipun data jumlah penduduk, nama dan alamat, serta tanggal lahir disediakan oleh Pemerintah Daerah, sehingga ditentukannya daftar pemilih dalam to user salah satu dari lima data yang Pemilu harus memuatcommit NIK sebagai
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipersyaratkan, sudah diperkirakan akan membawa masalah. Oleh karena itu, dengan sistem manajemen kependudukan yang masih belum tertib, sejak awal sudah seharusnya dipertimbangkan tentang sulitnya untuk mencapai tingkat akurasi DPT secara nasional yang tinggi tanpa menimbulkan
kecurigaan dari peserta pemilihan
umum
terhadap
penyelenggara dan pihak lainnya, dan mempertimbangkan jangka waktu yang lebih panjang dengan menggunakan metode yang pernah ditempuh pada Pemilu tahun 2004. 3. Dasar Hukum Pengaturan DPT berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pengaturan DPT untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 29 1) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS menggunakan Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai Daftar Pemilih Sementara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 2) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memutakhirkan Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari. 3) Daftar
Pemilih
Sementara
hasil
pemutakhiran
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat selama 7 (tujuh) hari. 4) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan selanjutnya menetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap paling lama 7 (tujuh) hari. commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus sudah
ditetapkan
30
(tiga
puluh)
hari
sebelum pelaksanaan
pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemutakhiran, pengumuman, perbaikan Daftar Pemilih Sementara dan penetapan Daftar Pemilih Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam peraturan KPU. Pasal 30 1) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap di kabupaten/kota. 2) KPU
provinsi melakukan
rekapitulasi Daftar
Pemilih Tetap di
provinsi. 3) KPU melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Pemilih luar negeri dan Pemilih secara nasional. Pasal 31 1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan
melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan
Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara, penyusunan Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Tambahan, dan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota. 2) Pengawas
Pemilu
Luar
Negeri
melakukan
pengawasan atas
pelaksanaan penyusunan Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran Daftar
Pemilih
Sementara,
penyusunan Daftar Pemilih
Tetap,
Daftar Pemilih Tambahan, dan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN. Pasal 32 1) Dalam hal pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 commit to user menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. 2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1). B. Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)) Sebelum masuk kedalam substansi pokok, yaitu analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, penulis akan sedikit menguraikan kembali tentang wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, latar belakang dalam permohonan Penggelembungan DPT dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta dictum Mahkamah Konstitusi. Dibawah ini akan disajikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor NOMOR 108-109/PHPU.B-VII/2009 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden: 1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Bahwa Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” Bahwa ketentuan Pasal di atas, dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Menurut Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi : ”Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan
pemeriksaan
kelengkapan
dan
kejelasan
meteri
permohonan”. Dalam pemeriksaan pendahuluan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, majelis Hakim harus melakukan pertimbangan hukum mengenai: a. Apakah Mahkamah konstitusi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan perkara Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009? b. Apakah pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan perkara Nomor 108-109/PHPU.Bcommit to user VII/2009?
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan: ”Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu : a. Perorangan warga negara indonesia b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga Negara”. Berdasar Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat 2 kriteria yang harus dipenuhi oleh pemohon agar memiliki kedudukan hukum (legal standing), yaitu: a. Kualifikasi pemohon apakah sebagai perorangan warga negara indonesi (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingankepentingan yang sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undangundang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara. b. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian, terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan. Jika merujuk pada Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dengan demikian pemohon yang terdiri dari H.M. Jusuf Kalla dan H. Wiranto SH. selaku pemohon I dan Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri dan H. Prabowo Subianto selaku pemohon II sudah memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon. Hal commit to user tersebut dikarenakan masing-masing pemohon adalah pasangan calon
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden. 3. Pokok Perkara Permohonan Pada dasarnya, permasalahan yang begitu menonjol dalam pelaksanaan Pemilu Presiden sangat kompleks tetapi dalam gugatan pemohon lebih cenderung terhadap hasil penghitungan suara yang mendasari permasalahan tersebut yaitu jumlah daftar pemilih tetap yang ditentukan oleh KPU. “Dalam gugatan, pemohon mendalilkan bahwa KPU telah menghilangkan 69.000 TPS yang menurut pemohon akan menguntungkan salah satu calon capres dan menghilangkan suara yang seharusnya jadi suara pemohon padahal dari 69.000 TPS dikalikan dengan 500 orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilih diakui sebagai perolehan suara pemohon I” (http://mampus.wordpress.com diakses tgl 1 Oktober 2010 jam 19.35). Berdasarkan uraian pelanggaran yang dilakukan Termohon (KPU) yang telah merugikan Pemohon sehingga seharusnya suara yang diperoleh pemohon adalah sebagai berikut: a. Suara Pemohon versi Termohon yaitu sebesar 15.081.814 suara b. Kehilangan suara Pemohon akibat pengurangan TPS adalah sebesar 24.150.000 suara. Total Perolehan
suara Pemohon adalah sebesar 15.081.814
ditambah 24.150.000 sama dengan 39.231.814 Data perolehan hasil rekapitulasi penghitungan suara masingmasing Calon adalah (http://www.kpud-diyprov.go.id diakses tanggal 1 Oktober 2010 jam 05.30): a. Pasangan Capres/Cawapres Megawati-Prabowo 32.548.105 suara sah secara nasional atau (26,79 %) commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pasangan Capres/Cawapres
SBY-Budiono : 73.874.562 suara sah
secara nasional atau (60,80%) c. Pasangan Capres/Cawapres
JK-Wiranto : 15.081.814 suara atau
(12,41%) suara sah secara nasional. 4. Amar Putusan Dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); Mengadili, Dalam Eksepsi: Menyatakan Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak dapat diterima. Dalam Pokok Perkara: Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Selasa tanggal sebelas bulan Agustus tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua belas bulan Agustus tahun dua ribu sembilan, oleh kami Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Abdul Mukthie Fadjar, M. Arsyad Sanusi, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu commit oleh Makhfud, to user Cholidin Nasir, Luthfi Widagdo
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
Eddyono, Yunita Ramadhani, Mardian Wibowo, dan Pan Mohamad Faiz sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Termohon/kuasanya, dan Pihak Terkait/kuasanya Dalam jurnal internasional dibawah ini telah dijelaskan bahwa pentingnya Daftar Pemilih Tetap dalam suatu pelaksanaan pemilihan umum baik pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Umum Anggota Legislatif maupum Pemilu Kepala Daerah karena dengan DPT menunjukkan adanya keabsahan pemilihan umum dan apabila terjadi kesalahan dapat terjadi pengulangan Pemilu. “Jurisdiction in electoral matters (Wahlgerichtsbarkeit) @austria (Art. 141 B-VG) In a democratic state it must be possible to examine the legitimacy of elections. Therefore, all important elections, referenda, consultative referenda or people's initiatives can be challenged at the Constitutional Court. An illegality in the electoral process can result in the annulment and repetition of the entire election or part of the election. However, this is only the case if the illegality could have influenced the results of the election. The Constitutional Court also determines whether or not a person should lose a seat he has already acquired (such as a seat in the National Council)” (http://www.vfgh.gv.at/cms/vfgh-site/english/index.html diakses tanggal 1 Oktober 2010 Jam 10.05). Kewenangan Mahkamah Konstitusi di beberapa Negara di Eropa seperti Perancis dan Spanyol yang terkait dengan sengketa Pemilu yang telah dijelaskan dalam jurnal internasional beikut : “Both France in 1958 and Spain in 1978 empowered the Constitutional Council and the Constitutional Court to solve all the disputes derived from parliamentary elections in a definitive way. Besides, France empowered commit to user the Constitutional Council to solve appeals derived from presidential
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
elections in a combined system which authorizes administrative courts to solve electoral disputes in a preliminary way. It must be said that Spain does not recognize any jurisdiction as independent from the judiciary power
to
solve
electoral
disputes”
(http://aceproject.org/ace-
en/topics/lf/lfb/lfb12/lfb12a/lfb12a04 diakses tanggal 22 Agustus 2010 Jam 23.00 ). ANALISIS Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi dalam memutus suatu perkara yang diajukan pemohon begitu banyak pertimbangan yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi sehingga tidak ada pihak yang dirugikan hak konstitusional seperti dalam sengketa Penggelembungan DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam memutus sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusan kepada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut,
antara lain Putusan
Nomor 49/PHPU.D-VI/2008
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Tapanuli Utara
juncto Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/ 2008 tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur yang dalam pertimbangan hukumnya halaman 129 berbunyi: “Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil pemilukada, Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai
dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan,
sebab kalau hanya menghitung dalam
arti
bisa dilakukan penghitungan kembali pengawasan Panwaslu dan/atau
teknis-matematis sebenarnya oleh KPUD sendiri di bawah
aparat kepolisian, atau cukup
oleh
pengadilan biasa, Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun menurut undang-undang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil to user penghitungan suara, namun commit pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadinya hasil penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan” Dengan demikian meskipun pertimbangan hukum di atas merupakan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), maka di samping Pemilukada sama-sama rezim
Pemilu dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
Mahkamah harus konsisten terhadap pertimbangan hukum tersebut dalam memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut guna merujuk pada asas kepastian hukum. Disamping itu, Mahkamah juga harus memberikan rasa keadilan bagi para calon pasangan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan setelah adanya putusan tersebut. Dengan begitu, Mahkamah juga melindungi hak konstitusional para pasangan calon dengan kata lain sesuai dengan asas perlindungan Hak Asasi Manusia. Apabila melihat Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108109/PHPU.B-VII/2009 maka segala aspek yang harus diterapkan dalam sebuah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi telah dilaksanakan dengan baik. Misalnya, Pemohon telah mempunyai kedudukan hukum (legal standing), dan hakim Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan dengan berpedoman pada Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Menurut penulis bahwa KPU yang dalam hal ini sebagai termohon telah melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPU juga telah menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan prosedur yang telah diamanatkan Undang-Undang sehingga dalil gugatan pemohon memang sepantasnya untuk ditolak secara keseluruhan (Amar Putusan Nomor 108-109/PHPU.BVII/2009) karena gugatan pemohon tidak disertai dengan alat bukti dan saksisaksi yang kuat. Selain itu, alasan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pemohon commit to user karena pemohon tidak mengajukan permohonan mengenai penetapan hasil
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suara tetapi pemohon mendalilkan tentang pelanggaran-pelanggaran pidana dan administrasi yang seharusnya bukan menjadi kewenangan dari mahkamah konstitusi. Di sisi lain, dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 termohon telah malaksanakan prosedur yang berlaku yang termasuk dalam asas Pemilu sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu yaitu: a. Asas Kepastian Hukum Keberatannya terlebih dahulu menjelaskan mengenai kronologis peristiwa
hukum
terjadinya perselisihan dan/atau sengketa
hasil
penghitungan suara dan ilustrasi mengenai indikasi terjadinya kesalahan dan/atau kecurangan hasil penghitungan suara pada tahapan, sejak dari tahapan pendataan daftar pemilih, pemungutan suara dan penghitungan suara di setiap tingkatan penghitungan suara yang dipenuhi hal-hal yang kontroversial, tidak netral dan bertentangan dengan prinsip due process of law dan merupakan pengingkaran terhadap fair proceeding yang jelas melawan hukum. b. Asas Keterbukaan Termohon telah memberikan data yang konkrit dalam pencetakan DPT sehingga pemilih maupun calon presiden dan wakil presiden dapat mengetahui langsung pemutakhiran DPT. c. Asas Profesionalitas Termohon telah bertindak secara profesional karena bekerja secara independen tanpa ada pihak lain yang mempengaruhinya. Apabila dalam pelaksanaan
teknis
masih
terjadi
penggelembungan
suara
dan
kekurangsesuaian dalam pemutakhiran DPT bukan sepenuhnya kesalahan dari KPU. commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penggelembungan Suara Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.BVII/2009
telah
disebutkan
bahwa
termohon
tidak
melakukan
penggelembungan suara terhadap calon nomor urut 2 yaitu Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono sebesar 25.303.054 sehingga dari suara fiktif tersebut dinilai merugikan pasangan calon lain. Menurut penulis, sesuai data yang tersirat dalam Putusan maka apabila ada penggelembungan suara (terdapat selisih dalam penghitungan suara) dalam Pilpres seharusnya saksi tidak akan menandatangani berita acara penghitungan suara dan pemungutan suara (Pasal 47 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009). Dalam hal ini, penulis juga ingin menjelaskan kenapa sengketa DPT pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimasukkan dalam ruang lingkup PHPU? Padahal, secara garis ruang lingkup PHPU sendiri haruslah berkaitan dengan hasil penghitungan suara.
Hal tersebut dikarenakan sengketa DPT
berpengaruh pada hasil pemungutan suara di tingkat TPS. Sebagai gambarannya, apabila seorang pemilih tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam TPS maka calon presiden akan kehilangan satu suara. Tetapi hal itu tidak serta merta dijadikan alasan yang kuat karena masih banyak data pendukung (contoh: terdapat suara fiktif seperti yang dijelaskan dalam gugatan pemohon, banyaknya daftar pemilih ganda dan bukti-bukti lain yang dapat mempengaruhi hasil penghitungan suara masing-masing calon). Untuk itu, penulis mencoba memberikan strategi untuk mengetahui ada atau
tidaknya
penggelembungan
suara
dalam
Pemilu
Presiden
(www.kompasiana.com diakses tanggal 9 Oktober 2010 jam 17.10): a. Hasil rekapitulasi nasionalcommit harus bisa di breakdown sampai ke level TPS. to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Setiap tim pemenang pasangan capres & cawapres memiliki bukti Rekapitulasi Suara setiap TPS serta Daftar Hadir yang sudah ditandantangani oleh para saksi dari tim pemenang pasangan capres & cawapres lainnya. c. Usaha untuk mencocokkan rekapitulasi perhitungan suara setiap TPS versi breakdown dengan versi bukti otentik yang dimiliki.
commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Pada dasarnya, Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan merupakan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) karena sengketa Penggelembungan DPT tersebut lebih cenderung terhadap pelanggaran administrasi karena pelanggaran tersebut dilakukan akibat warga negara yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih tetapi sudah diberikan hak pilih dan merupakan bagian dari proses persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan dalam pasal 248 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu. 2. Dasar Hukum yang digunakan dalam Penggelembungan DPT yaitu Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 UU No. 42 Tahun 2008, Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa penggelembungan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut: 1. Masalah Kualitatif yang terdiri dari Bantuan pihak asing dalam Pemilu, Pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemutakhiran DPT dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. 2. Masalah Kuantitatif yang terkait dengan penggelembungan suara dan pengurangan suara. B. Saran 1. Seharusnya pemerintah melakukan perbaikan sistem kependudukan commit to user sehingga KPU sebagai pelaksana Pemilu tidak akan kesulitan untuk 87
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mendapatkan data akurat terkait dengan DPS yang nantinya dijadikan DPT guna menimalisir penggelembungan DPT pada pemilu-pemilu berikutnya. 2. Supaya pemilu-pemilu yang akan datang
dapat berjalan lebih baik
diperlukan langkah-langkah yang profesional baik dalam pembentukan Undang-Undang
maupun
pelaksanaan
tugas-tugas KPU.
Sejalan
dengan itu, pelanggaran pidana Pemilu dan pelanggaran Pemilu lainnya yang belum ditindaklanjuti, meskipun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap komposisi perolehan suara, dapat diproses lebih lanjut.
commit to user