perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana SI dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Mahendra Surya Perdana E 0006167
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta commit to user 2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
Oleh Mahendra Surya Perdana NIM. E0006167
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 17 Januari 2011 Dosen Pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
Rehnalemken Ginting S.H.,M.H Sunny Ummul Firdaus S.H.,M.H NIP 195801051984031001 commit to user NIP 197006212006042001 ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA) Oleh Mahendra Surya Perdana NIM. E0006167
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari
:Senin
Tanggal
:17 Januari 2011
DEWAN PENGUJI 1. Prof. Dr. Supanto S.H., M.Hum :………………………………………… Ketua 2. Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H :………………………………………… Sekretaris 3. Rehnalemken Ginting S.H., M.H :………………………………………… Anggota Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin S.H, M.Hum commit to user NIP. 19610930 198601 001 iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Mahendra Surya Perdana
NIM
: E.0006167
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul: ANALISIS
PENGGUNAAN
HAK
EUTHANASIA
(HAK
UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39
TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN
PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
2011
Yang membuat pernyataan
Mahendra Surya Perdana NIM. E0006167
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pemberian hak euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) terhadap pasien menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama mengkaji tentang hak hidup yang terdapat dalam Pasal 9 dihubungkan dengan hak-hak lainnya yaitu hak untuk menentukan hidupnya sendiri (the right of self determination), Hak atas kesehatan (the right of health care) serta hak atas informasi (the right of information) dan perbandingan penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia dan Amerika Penelitian ini merupakan penelitian normatif besifat preskriptif, menemukan hukum mengenai penerapan pemberian hak euthanasia, tujuan pemberian hak tersebut serta perbandingannya penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia, dan Amerika. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik Pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Analisis data yang dilaksanakan menggunakan teknik analisis data deduktif yaitu berpangkal pada prinsip-prinsip dasar pemberian hak euthanasia terhadap pasien, kemudian peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, pertama, terdapat Norma hukum tentang euthanasia tidak diatur dengan jelas dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 hanya mengatur mengenai hak hidup yang diatur didalam Pasal 9 ayat (1). Hak untuk hidup oleh sebagian besar masyarakat dapat ditafsirkan sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri, sehingga menentukan hidupnya sendiri dapat juga diartikan hak kebebasan terhadap dirinya sendiri termasuk juga hak untuk mengakhiri hidup sendiri. Akan tetapi hak menentukan hidupnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya suatu hak atas informasi dan atas kesehatan Kedua, Peraturan perundang undangan Indonesia belum ada satupun yang mengatur tentang euthanasia. Pasal 344 KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia belum dapat bekerja secara maksimal karena belum pernah menjerat pelaku euthanasia. Peraturan perundang undangan Indonesia sudah jauh tertinggal dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia, dan Amerika. Di Belanda meskipun dalam code penal Pasal 293 user disebutkan larangan membunuh commit dengan topermintaannya sendiri secara eksplisit v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilarang, namun kemudian Belanda memunculkan peraturan perundang undangan yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding), atau Review procedures for the termination of life on request and assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act) tentang legalitas euthanasia, sehingga secara otomatis rumusan Pasal tersebut didekriminalisasikan. Di Belgia, Parlemen Belgia melegalkan praktek euthanasia melalui The Belgian Act on Euthanasia dimana peraturan perundang undangannya diadopsi dari diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the human rights and dignity of the terminally ill and the dying, dimana dalam Pasal 2 disebutkan mengakui orang yang sakit parah untuk mati bukan merupakan suatu tuntutan hukum dengan demikian praktek euthanasia di Belgia adalah hal yang legal. Di Amerika meskipun secara agresif di semua negara bagian euthanasia adalah tindakan yang melanggar hukum, akan tetapidi negara bagian Oregon praktek euthanasia merupakan hal tidak melanggar hukum yang diatur dalam Oregon Death with Dignity Act. Kata Kunci : euthanasia, pasien, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALYSIS OF USE THE RIGHTS OF EUTHANASIA (RIGHT TO TERMINATE LIFE) BY PATIENTS BY THE ACT NUMBER 39 OF 1999 ABOUT HUMAN RIGHTS AND APPLICATION OF LAW IN INDONESIA AND OTHER COUNTRIES (NETHERLANDS, BELGIUM, AMERICAN). Law Faculty of Sebelas Maret University. This study aims to determine the application of euthanasia rights (the right to terminate life) of patients according The Act No. 39 of 1999 about Human Rights concerning the right to life especially the review contained in Article 9 is connected with other rights such as the right of self determination, the right of health care and the right of information and comparison of the application of euthanasia in Indonesia with other countries especially Netherlands, Belgium and America. This research is a normative prescriptive characteristic, discovered the law regarding euthanasia grant application, the purpose of granting such rights and the application of euthanasia in Indonesia in comparison with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include the primary legal materials, secondary legal materials. The data collection technique used is bibliography study. Data analysis was performed using deductive data analysis technique that originate on the basic principles of granting the right of euthanasia on patients, and researchers presenting the object to be studied. Deductive logic using terms based on general knowledge such as theories, theorems, or principles in the form of propositions to draw conclusions on the facts that are special. Based on the results of research and discussion of the resulting conclusions, first, there are legal norms regarding euthanasia are not clearly regulated in The Act no 39 of 1999 about Human Rights. The Act no 39 of 1999 only governs the right to life as regulated in Article 9 paragraph (1). The right to life by most of society can be interpreted as the right to determine his own life, thus determining his own life can also mean the right of freedom against itself as well as the right to end his own life. But the right to determine his own life can not stand alone without the presence of a right to information and to health Secondly, the laws and regulations of Indonesia has not got nothing to regulate euthanasia. Article 344 of the Criminal Code that the formula approach euthanasia can not work optimally because the perpetrators have never ensnare euthanasia. Indonesian laws and regulations are far behind with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. In the Netherlands, although the penal code Article 293 mentioned the prohibition to kill with its own demand is explicitly prohibited, but later the Netherlands led to the laws and regulations concerning the legality of euthanasia Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij commit user zelfdoding), atau Review procedures fortothe termination of life on request and vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act), so that the formulation of Article these automatically decriminalization. In Belgium, the Belgian parliament legalized euthanasia practices by The Belgian Act on Euthanasia where laws and regulations adopted by the invitation of the adoption of the European Convention on Human Rights which is a recommendation in 1418, entitled "Protection of the human rights and dignity of the terminally ill and the dying, which is mentioned in Article 2 recognizes the terminally ill to die, not a lawsuit so that the practice of euthanasia in Belgium is a legal matter. In America though aggressively in all states euthanasia is an act that is unlawful, the state of Oregon will but practice of euthanasia is not against the law set forth in the Oregon Death with Dignity Act Keyword : euthanasia, patients, The Act no 39 of 1999 about Human Rights
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Tiga sifat manusia yang merusak adalah, kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. (Nabi Muhammad SAW)
Jika kau ingin naik lebih tinggi gunakan kainmu sendiri! jangan buat dirimu dibawa keatas. Jangan pula dengan menginjak bahu atau kepala orang lain! (Frederich Nietzsche).
Kebanyakan dari kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki tetapi kita selalu menyesali apa yang belum kita capai (Schopenhauer).
Anda memperoleh kekuatan, keberanian, dan keyakinan oleh setiap pengalaman di mana Anda benar-benar berhenti untuk melihat di wajah, Anda harus melakukan hal yang Anda pikir Anda tidak bisa melakukan. (Eleanor Roosevelt)
Satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri. (Franklin D. Roosevelt)
Jangan buang hari ini dengan mengkuatirkan hari esok. Gunung pun terasa datar ketika kita sampai ke puncaknya. (Phi Delta Kappan)
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada: - Allah
SWT
yang
telah
memberikan
kenikmatan tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. - Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa mendukung kuliah, memberikan doa dan nasihat, semangat, cinta dan kasih sayang serta kerja keras yang tak ternilai harganya demi
mewujudkan
cita-citaku
menjadi
seorang Sarjana Hukum. - Adik-adikku membantu
yang proses
selalu
ada
belajarku
untuk selama
menempuh dunia pendidikan. - Teman-temanku dari TK hingga kuliah yang telah memberi warna kehidupan selama penulis menyelesaikan studi di institusi pendidikan. - Diriku sendiri.
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah yang Maha pengasihy dan Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayahn-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunanpenulisan hukum (skripsi) yang berjudul “ANALISIS
PENGGUNAAN
HAK
EUTHANASIA
(HAK
UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)“. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum (skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan semangat untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, yaitu kepada: 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui penulisan hukum. 2. Bapak Ismunarno S.H, M.Hum selaku ketua bagian Hukum Pidana yang telah membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi. 3. Ibu Aminah, S.H, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah membantu dalam penunjukkan dosen pembimbing skripsi. 4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.Hum, selaku ketua PPH yang telah menyetujui usulan judul skripsi penulis, menunjuk dosen pembimbing. 5. Bapak Rehnalemken Ginting S.H, M.H, selaku pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan, memberi masukan, arahan pengetahuan dan pengalamannya dalam menjadi saksi ahli sehingga memberikan semangat tersendiri bagi penulis dan mempermudah penulis untuk menyelesaikan commit to user penulisan hukum ini xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Ibu Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H, selaku pembimbing skripsi yang juga telah banyak memberi saran untuk pengembangan skripsi penulis, berbagi berbagai pengalaman selama menjadi dosen maupun pengalaman saat menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam hal Hukum Kesehatan. 7. Bapak Mohammad Rustamaji, S.H, M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum UNS. 8. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada penulis yang dapat dijadikan bekal dalam penyelesaian skripsi ini serta menghadapi persaingan di lingkungan masyarakat luas. 9. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul, pelaksanaan seminar proposal sampai pendaftaran ujian skripsi. 10. My best friends Loggar, Bagus, Tofan yang selalu bersama dalam suka dan duka. 11. Septian Fatur yang selalu menemani untuk sekedar sharing tentang musik. 12. My best partner Awe, Andri. yang selalu bersama-sama dalam mencari sesuatu yang sangat berharga walaupun hasilnya tak seberapa 13. Mahendro Adi Utomo yang selalu mencari proyek bersama-sama. 14. Temen-temenku di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2006 Lukman, Amel, Ita‘, Farid. Terima kasih untuk semua, semoga kita memetik hasil kerja keras kita selama ini, amin. 15. Para pendahulu BEM Universitas Sebelas Maret, Mas Bambang, terima kasih atas motivasinya dan masukannya. 16. Adik-adik BEM FH Wisnu, Chandra, Johan (Pak Presiden), Titis, Uki, Radit, Mifta, Koh Seto, Hage, Beta, Adel, Adi Hostki (bikin dunia berbeda), Havid, Dwi dan lain-lainnya yang tidak dapat disebutkan satusatu. Terima kasih atas motivasi dan semangatnya. commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17. Temen-temanku seperjuangan Haris (makasih sudah jadi moderator Seminar proposalku), Setyawan, Makrus, Budi, G-Mon, Terry, Adi Cahya Nugraha, Erick, Didot, Juni, Agus Salim, Resa, Wasiat Eko, yang telah melengkapi perjalanan pendidikanku, mewarnai hari-hariku selama kuliah di FH. 18. Teman-temanku KMM di Bank Indonesia cabang Surakarta Yurista, Ade, Erlinda, Ahimsa yang sudah mau berkerja sama selama KMM. 19. Untuk semua temen-temenku di FH UNS yang tidak bisa disebutkan satu per satu, you’re my inspiration, tanpa kalian kuliahku selama di FH tidak akan berwarna. 20. Untuk semua guru-guruku TK Bakti XI, SDN Cengklik I, SMP N 7 Surakarta,
SMA N 5 Surakarta yang telah mengajar dan membagi
ilmunya dan mengantar penulis hingga memperoleh gelar sarjana, tanpa mereka mungkin penulis tidak bisa meraih cita-cita. Karya kecil ini tidak hanya penulis dedikasikan kepada setiap orang yang telah memberi inspirasi bagi penulis tetapi juga untuk seseorang yang akan mengisi hidup penulis kelak dikemudian hari.
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.....................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN......................................................................
iv
ABSTRAK..................................................................................................... v HALAMAN MOTTO.................................................................................... ix HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................
x
KATA PENGANTAR................................................................................... xi DAFTAR ISI.................................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1 B. Perumusan Masalah............................................................................ 5 C. Tujuan Penelitian................................................................................ 6 D. Manfaat Penelitian.............................................................................. 7 E. Metode Penelitian................................................................................ 7 F. Sistematika Penulisan Hukum............................................................ 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 13 A. Kerangka Teori................................................................................... 13 1. Tinjauan Tentang euthanasia....................................................... 13 a) Pengertian euthanasia............................................................ 13 b) Kategori euthanasia............................................................... 13 c) Macam euthanasia................................................................. 14 2. Tinjauan tentang pasien a) Pengertian pasien.................................................................... 18 b) Kewajiban pasien................................................................... 18 c) Hak-hak pasien...................................................................... commit to user xiv
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Tinjauan Tentang Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.......................................................... 20 a. Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Undang Undang Indonesia..................................................... 20 b. Pengertian Hak Asasi Manusia............................................... 22 c. Instrumen HAM nasional....................................................... 23 d. Penerapan HAM di Indonesia...............................................
24
4. Tinjauan Tentang pelaksanaan pidana......................................... 25 a) Pengertian pidana................................................................... 25 b) Jenis-Jenis Sanksi Pidana....................................................... 29 B. Kerangka Pemikiran........................................................................... 32 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................
33
A. Norma pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia terhadap euthanasia............................................ 34 B. Penerapan hukum euthanasia di Indonesia dengan negara Lain ( Belanda, Belgia, Amerika)............................... 48 BAB IV PENUTUP....................................................................................... 75 A. Simpulan............................................................................................. 75 B. Saran................................................................................................... 77 Daftar Pustaka................................................................................................ 79 LAMPIRAN
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Kerangka Pemikiran........................................................................................ 32
commit to user xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang Undang Dasar Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum. Penegasan ini sangatlah penting untuk dipahami bahwa Indonesia mengakui kedaulatan hukum. Dengan penegasan ini pengakuan terhadap esensial pembangunan negara Indonesia yakni kecuali pembatasan kekuasaan dan penegakan hukum yang tidak kalah pentingnya adalah jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan elemen esensial konstruk pembangunan Indonesia modern. Sebagai salah satu hasil pembangunan, yang dilaksanakan kesadaran masyarakat tentang hak-haknya telah semakin membaik dan cara berpikirpun menjadi semakin kritis terhadap berbagai segi kehidupan. Banyak hal yang tadinya tidak diketahui masyarakat, kini muncul dan menjadi bahan sorotan masyarakat. Perkembangan yang terjadi seyogyanya disambut baik oleh semua pihak, sejauh perkembangan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan proporsional terhadap etika , moral dan religius (Crisdiono M. Achadiat, 2006:19). Salah satu perkembangan yang sekarang ini menjadi bahan perdebatan adalah masalah Euthanasia. Berbagai ulasan dan tanggapan muncul, baik yang sifatnya pro maupun yang kontra, dimana semuanya lengkap dengan argumentasinya masing-masing. Mereka yang setuju dengan euthanasia menekankan pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim adanya perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. commit toumur user ini melawan kehendak mereka. Dalam beberapa kasus, perpanjangan
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral. Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit. Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati. Perdebatan mengenai Euthanasia memang telah diperkirakan oleh beberapa ahli. Perdebatan atau kontroversi mengenai Euthanasia lebih terfokus pada soal moralitas, etika, maupun hukumnya. Perkembangan mengenai teknologi ternyata tidak diikuti dengan kemajuan hukum dan etika (Crisdiono M. Achadiat, 2006:180). Masalah Euthanasia merupakan masalah yang dapat menyangkut semua commit to userlebih dekat dengan dunia medis lapisan, akan tetapi selama ini euthanasia
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjadikan dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Disatu pihak teknologi kedokteran telah sedemikian maju, sedangkan disisi lain, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga berkembang tidak kalah pesatnya. Dengan demikian dalam dunia kedokteran masa kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum disatu pihak dengan kemampuan ilmu pengetahuam dan teknologi kedokteran yang
demikian
maju
dipihak
lain
sehingga
memungkinkan
untuk
mempertahankan hidup. Sebenarnya praktek Euthanasia telah ada disekitar kita sejak lama. Tindakan tersebut berupa penguarngan kualitas kesehatan dari rumah sakit ke rumah tangga. Ini dikarenakan pasien tidak mampu untuk membayar biaya rumah sakit yang tergolong mahal dan adanya anggapan bahwa pasien tidak dapat disembuhkan kembali, sehingga keberadaannya di rumah sakit hanya akan menambah biaya. Jika dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia ada beberapa hal yang penting untuk dikaji lebih mendalam untuk masalah euthanasia terhadap pasien yaitu mengenai Hak kesehatan, hak hidup dan hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Jika dilihat dari Hak kesehatan, mahalnya ongkos kesehatan semakin menambah jauhnya aspek perlindungan dan pemenuhan HAM atas kesehatan. HAM mensyaratkan individu untuk diakui memperoleh akses kesehatan dengan cepat dan biaya terjangkau. Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan hal itu dengan maksimal (Majda El Muhtaj, 2008:161). Hak hidup merupakan hak yang mendasar. Dalam UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 9 Ayat (1) disebutkan: “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Pada HAM melekat Hak setiap manusia untuk menentukan hidupnya sendiri tanpa adanya pengaruh dari pihak manapun (The right of self determination). Demikian pula dalam tindakan medik , pasien mempunyai hak commit(The to user dasar untuk menentukan diri sendiri right of self determinitation), harus
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
diberikan hak untuk memberikan persetujuannya terhadap tindakan medis yang dilakukan terhadap dirinya (informed consent). Dalam hal pasien menolak tindakan medik yang ditawarkan dokter, dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya, walaupun penolakan tersebut akan memberikan dampak negatif pada kelangsungan hidup pasien. Masalah Euthanasia di Indonesia memang belum ada satupun peraturan perundang undangan yang mengatur secara tegas tentang euthanasia. Akan tetapi ada Pasal dalam KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP. Akan tetapi pasal ini belum pernah menjaring satupun pelaku euthanasia di negara ini. (Rehnalemken Ginting, 2009:2) Dalam Pasal 344 KUHP disebutkan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang jelas dan dinyatakan dalam kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Ada tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana mengenai euthanasia jika dilihat menurut Pasal 344 KUHP yaitu tentang perbuatan yang dilarang (menghilangkan nyawa orang lain), orang yang melakukan perbuatan dilarang (Barang siapa sehingga dapat berarti juga dokter) serta pidananya yaitu pidana paling lama 12 tahun penjara. Akan tetapi meskipun telah memenuhi tiga pokok permasalahan tersebut, namun kenyataanya di Indonesia sulit diterapkan untuk menyaring Euthanasia sebagai suatu tindak pidana, karena euthanasia yang terjadi selama ini adalah Euthanasia pasif yang dianggap sebagai suatu resiko medik terhadap pasien (Rehnalemken Ginting, 2009:3-4). Perkembagan euthanasia sangatlah cepat, akan tetapi permasalahannya di Indonesia sangatlah belum ada peraturan yang secara tegas mengaturnya. Ini menandakkan Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain seperti Belanda, Belgia, dan Amerika yang mengatur secara tegas dalam peraturan perundang undangannya tentang euthanasia. Kasus tragis terjadi di negara kita, yang menimpa Sri Endah Budi Santoso, berumur 28 tahun, ibu dari empat orang anak dari kampung gayam Surakarta. Nyonya Endah tidak pernah sadar lagi setelah menjalani operasi steril 10 to user Oktober 1986. Nyonya Endahcommit melahirkan anaknya yang ke Empat di rumah
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sakit Panti Waluyo Surakarta. Empat jam setelah melahirkan, ia sepakat menjalani operasi steril. Keganjilan muncul setelah operasi selesai ia belum sadarkan diri. Ternyata selama pembiusan, nyonya Endah menderita Ensofalopatia Anakosik atau gangguan otak karena kekurangan oksigen. Keadaan demikian terjadi karena terhentinya detak jantung secara mendadak, dan sejak itu kesadarannya menghilang. Setelah kejadian tersebut perawatan secara medik dihentikan dan yang dilakukan terhadap Nyonya Endah hanya perawatan biasa saja. Setelah perawatan medik tersebut di hentikan akhirnya nyonya Endah meninggal dunia (Rehnalemken Ginting, 2009:19). Atas pertimbangan yang telah penulis kemukakan dalam latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai permasalahan terhadap pemberian Euthanasia terhadap pasien, maka dari itu penulis mengangkatnya dalam penelitian hukum yang berjudul : “ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI
HIDUP)
OLEH
PASIEN
MENURUT
UNDANG
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN
PERBANDINGANNYA
PENERAPANNYA
DI
INDONESIA
DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)”.
B. PERUMUSAN MASALAH Perumusan masalah yang tegas dapat menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan penulis dalam
mengumpulkan,
menyusun,
dan
menganalisa
data.
Untuk
mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana norma hukum ketentuan euthanasia berdasarkan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)? 2. Bagaimana penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di berbagai commit to? user negara (Belanda, Belgia, Amerika)
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian merupakan pernyataan operasional yang merincikan apa yang akan diselesaikan dan dicapai dalam penelitian ini. Tujuan itu dirumuskan sebagai upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah. Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah tujuan subyektif dan obyektif yaitu : 1. Tujuan Subyektif A. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan penulis mengenai penggunaan hak euthanasia oleh pasien menurut UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan perbandingan penerapan euthanasia di Indonesia dan di berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika). B. Untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2.Tujuan Obyektif A. Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci mengenai norma pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. B. Untuk mengetahui penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).
D. MANFAAT PENELITIAN Dari penelitian ini penulis berharap, agar dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil peneielitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum. b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam pembangunan hukum nasional dibidang Pidana dan Hak Asasi commit to user Manusia.
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis a. Memberikan masukan serta pengetahuan bagi pihak yang berkompeten dan terkait langsung dengan penelitian ini. b. Memberikan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi peneliti akan permasalahan yang diteliti, dan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat pada hal yang sama. c. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
E. Metode Penelitian Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem berhubungan dengan konsep dan isi ilmu, sedangkan metode berkaitan dengan aspek formal. Tepatnya, sistem berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi dari ilmu, sementara itu metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara totalitas ilmu tersebut dicapai atau dibangun. Suatu bidang pengetahuan dikatakan metodis apabila cara mempelajarinya sesuai dengan rencana, bidangbidangnya dikerjakan secara tertentu, menyusun berbagai temuan yang logis dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan ( Johny Ibrahim. 2005 : 27). Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Jenis Penelitian Jenis penilitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitin hukum normatif tersebut mencakup : a.
Penelitian terhadap azas-azas hukum
b.
Penelitian terhadap sistematik hukum
c.
Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horisontal commit to user Perbandingan hukum
d.
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e.
Sejarah hukum (Soerjono soekanto dan Sri mamudji, 1990 : 15) Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Analisa
penggunaan hak euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) oleh pasien menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan penerapan hukumnya di Indonesia dengan negara lain (Belanda, Belgia, Amerika). 2. Sifat penelitian Penelitian bagi ilmu pengetahuan dilakukan untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah. Seorang yang melakukan penelitian dibidang ilmu
pengetahuan
harus
berpangkal
pada
prinsip-pinsip
dasar
keilmuannya, kemudian ia menjumpai suatu gejala tertentu yang berupa fakta. Didalam penelitian ini bersifat preskriptif. Sifat analisis ini dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatifakan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil temuan dari ilmu hukum atau ilmu lainnya untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan pendekatan sebagai berikut : a.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
b.
Pendekatan konsep (conceptual approach)
c.
Pendekatan komparatif
d.
Pendekatan historis (historical approach)
e.
Pendekatan kasus (case approach)
Cara pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu commit to user penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua atau lebih
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendekatan. Namun satu hal yang pasti dalam penelitian normatif, digunakannya pendekatan penggunaan pendekatan perundang-undangan. Ini dikarenakan penelitian hukum normatif didasarkan pada hukum yang ada (Johny Ibrahim, 2005 : 301). Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Pendekatan perundang-undangan (Statute approach), dan pendekatan konsep
(conceptual
approach).
Pendekatan
perundang-undangan
digunakan karena dalam penelitian normatif harus menggunakan pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus dari penlitian. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memunculkan, objekobjek yang menarik perhatian dari sudut praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu yang bersifat universal (Johny ibrahim, 2005 : 309). 4. Sumber Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah data hukum sekunder. Data sekunder tersebut mencakup : a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari : 1. Norma (dasar) atau kaidah dasar yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, 2. Peraturan dasar yang terdiri dari : I. II.
Batang tubuh UUD Republik Indonesia 1945 Ketetapan-ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Peraturan perundang-undangan yang terdiri dari : I. II.
Undang-undang dan peraturan yang setaraf, Peraturan pemerintah dan peraturan yang setaraf,
III. IV.
Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf, commit to user Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf,
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
V.
Peraturan-peraturan Daerah.
4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti misalnya hukum adat 5. Yurisprudensi 6. Traktat 7. Bahan hukum dari Zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti misalnya Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang merupakan terjemahan secara yuridis dari Wetboek van Strafrecht. Lebih khususnya penelitian ini, penulis menggunakan sumber hukum primer antara lain : 1)
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2)
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti halnya rancangan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum (Soerjono soekanto dan Sri Mamudj, 1990 : 15) Bahan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah adalah buku-buku yang terkait materi mengenai penggunaan hak euthanasia oleh pasien menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia dan
penerapan hukum
euthanasia di Indonesia dengan berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika) c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petujuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder.
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data dilakukan dengan cara mengunjungi perpustakaan, mengkaji dan mempelajari literatur-literatur yang berkaitan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. 6. Teknik analisis data Analisis data merupakan kegiatan dalm penelitian yang berupa melakukan kajian-kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri atau bantuan teori (Mukti Fajar dan Yulianto achmad, 2010 : 183). Dalam hal demikian ini peneliti menggunakan metode deduktif yaitu berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip
dalam
bentuk
proposisi-proposisi
untuk
menarik
kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010 : 109).
F. Sistmatika penulisan hukum Untuk
mempermudah
pemahaman
mengenai
pembahasan
dan
memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian Hukum dan Sistematika Penelitian Hukum
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan judul dan masalah yang diteliti yang akan memberikan landasan/kerangka teori serta diuraikan mengenai kerangka pemikiran. Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan euthanasia, Tinjauan Umum tentang pasien, Tinjauan Umum tentang Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Tinjauan Umum tentang Pidana. Selain itu untuk memudahkan pemahaman alur berpikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan Kerangka Pemikiran
BAB III
: HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas tentang norma hukum euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia mengenai euthanasia serta penerapan hukumnya di Indonesia dengan berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).
BAB IV
: PENUTUP Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
Daftar Pustaka Lampiran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Euthanasia a. Pengertian Euthanasia Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Eu yang berarti baik, dan Thantos yang berarti mati atau meninggal. Suetonius dalam bukunya Vitaceaserum merumuskan bahwa Euthanasia adalah mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya Euthanasia diartikan sebagai pengakhiran kehidupan karena belas kasihan (Mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati (Mercy Death) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:181). Dalam Kode Etik Kedokteran (KODEKI), dikenal 3 pengertian yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu : 1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir. 2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sakit dengan memberikan obat penenang. 3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri (Rehnalemken Ginting, 2009:9). b. Kategori Euthanasia 1) Menurut Lamerton dan Thiroux Ada empat kategori yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu : a) Membiarkan seseorang mati b) Kematian belas kasihan commit to user
13
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Pembunuhan belas kasihan d) Kematian otak atau batang otak 2) Menurut Profesor Separovic dalam Kongres Kedokteran Sedunia : a) No Assistence in proces death without intention to shorten life (tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat hidup) b) Assistence in the process of death without intention to shorten life (bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat hidup) c) No Assistence in the process of death with intention to shorten life. (Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk
mempersingkat hidup). d) Assistence in the process of death with intention to shorten life (bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk mempersingkat
hidup) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).
c. Macam Euthanasia 1) Menurut J.E Sahetapy membedakan Euthanasia dalam tiga jenis yaitu : a) Action to permit death to occur (aksi untuk mengijinkan kematian terjadi) Biasa disebut dengan Euthanasia dalam arti yang pasif (permission), dimana kematian dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan mati. Kematian dalam arti ini seolah-olah merupakan kerjasama antara pasien dan dokter yang merawatnya. Karena pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya sudah tidak mungkin dapat disembuhkan walaupun dengan pengobatan dan perawatan bagaimanapun juga. Oleh
sebab
itu,
untuk
mengurangi
atau
menghilangkan
penderitaannya, pasien kemudian meminta dokter untuk : commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
i. Tidak memberikan pengobatan untuk penyembuhan terhadap penyakitnya, ii. Tidak diadakan perawatan di rumah sakit lagi, tetapi dirawat dirumahnya sendiri. b)
Failure to take action toprevent death (Kegagalan untuk mengambil tindakan untuk mencegah kematian) Dalam hal ini kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. Ini terjadi apabila dokter akan mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, tetapi ia tidak mengerjakan apa-apa, karena ia tahu bahwa tindakan yang diberikan kepada pasien akan sia-sia saja. Pengobatan atau tindakan dokter dipandang sebagai perbuatan yang tidak berarti sehingga tidak ada cara penyembuhan normal.
c) Positive action to cause death(tindakan positif untuk menyebabkan kematian) Biasanya disebut dengan Euthanasia dalam arti aktif (Causation). Atas permintaan atau desakan dari pasien atau keluarganya meminta pada dokter untuk bertindak secara positif guna mempercepat kematian pasien tersebut. Dokter dalam hal ini bertindak secara aktif untuk mempercepat kematian pasiennya dengan tenang, misalnya memberikan obat-obatan penghilang kesadaran, morfin dalam dosis tinggi ataupun cara lainnya.
2) Secara umum ada 3 Jenis Euthanasia yaitu : a) Euthanasia
aktif
yaitu
secara
sengaja
melakukan
tindakan/langkah/perbuatan mengakhiri atau memperpendek hidup penderita. b) Euthanasia pasif yaitu secara sengaja tidak (lagi) memberikan perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup penderita. commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Auto euthanasia yaitu penolakan secara tegas oleh pasien untuk memperoleh bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, dan ia tahu pasti bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).
3) Pseudo-Euthanasia a) Menurut Van Wijmen Dalam kajian-kajian hukum kedokteran, ternyata ada beberapa keadaan yang mirip Euthanasia tetapi sebenarnya sama sekali bukan Euthanasia. Sehingga jika dihubungkan dalam KUHP terutama pasal 344 KUHP tidak termasuk rumusan didalamnya. Van Wijmen menyebutkan : a) Absistence, of which the essence is that treatment in medical respects is useless (pengobatan dalam hal-hal medis tidak berguna) b) Refusing treatment by patient, in which case the duty to treat ceases to exist.(pasien menolak untuk pengobatan dilanjutkan) c) Brain death in which case the duty to treat ceases to exist (adanya kematian otak). (Crisdiono M. Achadiat, 2006:191) b) Menurut H.J.J.Leeman H.J.J.Leeman mensinyalir didalam dunia medis, kadang-kadang kita menemukan bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan Euthanasia, akan tetapi mirip dengannya. Bentuk-bentuk yang dimaksud antara lain : 1) Pengakhiran perawatan pasien karena gejala mati otak (Brain Death), 2) Pengakhiran hidup seseorang akibat keadaan darurat, 3) Memberhentikan suatu perawatan medis yang tidak berguna lagi (Zinloos), 4) Menolak perawatan medis (Rehnalemken Ginting, 2009:17). commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Menurut Fred Ameln Fred Ameln membagi Pseudo-Euthanasia menjadi empat katagori yaitu : 1) Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati klinis dan kematian yang sebenarnya kini telah dibedakan. Teknologi kedokteran telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan paru-paru walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan intelektual
dan
psikis
(berpikir,
merasakan,
berkomunikasi)
sebenarnya telah berakhir pada saat otak berhenti berfungsi meskipun jantung dan paru-paru masih bekerja. Karenanya menghentikan perawatan atau bantuan medik pada pasien yang otaknya tidak berfungsi, kini digolongkan sebagai Euthanasia. 2) Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena kuasa tidak teralawan (Force Majure). Dalam dunia kedokteran dapat terjadi keadaan sebenarnya telah diatur dengan pasal 48 KUHP. 3) Menghentikan perawatan medik yang diketahui tidak berguna. Ilmu kedokteran tetap mempunyai batas dan hal-hal diluar batas itu tidak bisa diurus oleh seorang dokter atau dengan kata lain dokter tidak berkompeten melakukan sesuatu diluar batas ilmu kedokteran. Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa izin pasien, maka ia dapat dituntut berdasarkan penganiayaan. Jadi seorang dokter seharusnya tidak meneruskan suatu pengobatan, bila secara medik telah diketahui tidak dapat diharapkan sesuatu hasil apapun. Langkah tersebut bukan dimaksudkan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien, melinkan mencegah terjadinya penganiayaan pasien oleh dokter. 4) Pasien menolak perawatan medik. Secara hukum dikatakan bahwa seorang dokter tidak berhak melakukan tindakan medik apapun, jika commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hal itu tidak diizinkan oleh pasien. Sesuatu yang dilakukan tanpa izin pasien, akan dapat dikenai sanksi pasal 351 KUHP.
2. Tinjauan Tentang Pasien a. Pengertian Pasien Didalam Pasal 1 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dijelaskan tentang pengertian pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
b. Kewajiban Pasien 1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Di dalam Pasal 53 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Paraktik Kedokteran, telah dirumuskan kewajiban-kewajiban pasien antara lain: i. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur mengenai masalah kesehatannya ii. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter/dokter gigi iii. Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan iv. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.
2) Menurut Prof. Picard Seorang pasien mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu terhadap dokternya dan juga terhadap dirinya sendiri. Didalam melakukan kewajibannya pasien diminta untuk memenuhi standard pasien yang wajar. Apabila ia tidak melakukan kewajibannya dan hal ini sampai merupakan penyebab (proximate cause) dari cideranya, maka ia dianggap turut bersalah sehingga ganti kerugian yang timbul dibagi secara proporsional antara dokter dan pasien. commit to user Namun apabila cidera itu hanya
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disebabkan oleh pasien itu sendiri, maka ia tidak dapat meminta ganti kerugian
yang dimintanya. Hal-hal
yang dikatagorikan sebagai
contributory negligence antara lain : i. Pasien tidak mentaati instruksi dokternya (termasuk) didalamnya tidak membeli obat yang sesuai dengan resep dokter) ii. Pasien menolak cara pengobatan yang diusulkan, misal pasien menolak operasi yang dianjurkan dokter, kemudian meninggal, sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan. iii. Pasien
tidak
sejujurnya
memberikan
informasi
atau
tidak
memberikan informasi yang akurat atau menyesatkan (Guwandi, 1993 :19).
c. Hak-Hak Pasien 1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran, mempunyai hak: i. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) ii. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain iii. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis iv. Menolak tindakan medis v. Mendapatkan isi rekam medis. 2) Hak-hak penting diluar UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran i.
Hak untuk hidup, hak untuk mati secara wajar, dan hak atas tubuhnya sendiri.
ii. Hak untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standard profesi kedokteran iii. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
iv.
Hak
untuk
menolak
prosedur
diagnosis
dan
terapi
yang
direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik v.
Hak untuk memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang telah diikutinya serta menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran tersebut
vi.
Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis bila perlu, dan dikembalikan kepada dokter yang merujukya setelah konsultasi atau pengobtan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut
vii.
Hak atas kerahasian atau rekam medik yang bersifat pribadi
viii.
Hak untuk memperoleh penjelasan mengenai peraturan rumah sakit
ix.
Hak
untuk
berhubungan
dengan
keluarga,
penasihat,
atau
rohaniawan yang diperlukan selama perawatan dirumah sakit x.
Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincin biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium, pemriksaan rontgen, biaya kamar bedah, bersalin, serta imbalan jasa dokter (Anny Isfandyarie, 2006 :102)
3. Tinjauan tentang UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. a. Sejarah pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Indonesia Pada awal Negara ini dibentuk, telah terjadi pertentangan antara para pendiri Negara dan perancang konstitusi tentang perlu atau tidaknya HAM dimasukkan ke dalam UUD Negara Indonesia. Dalam pandangan Soepomo HAM sangat identik dengan ideologi liberal individu dengan demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Akan tetapi M. Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada dasar apapun yang dapat dijadikan alasan menolak memasukkan HAM dalam Undang Undang Dasar. Penolakan Soepomo memasukan norma-norma HAM ke dalam UUD 1945 bukan berarti ia anti terhadap HAM. Perubahan sikap Soepomo commit to user terhadap HAM dapat dilihat dengan dimasukkannya hak-hak dasar warga
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Negara dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 dimana Soepomo terlibat secara langsung dalam perancangannya. Dalam UUDS 1950, ada 36 pasal prinsip-prinsip HAM dimuat dibawah paying hak-hak kebebasan dasar manusia. Sejak Indonesia kembali kepada UUD 1945, dibawah rezim Soekarno dan dilanjutkan rezim Soeharto dengan orde barunya, pengaturan HAM kembali bersandar kepada beberapa pasal dalam UUD 1945. Seiring dengan perkembangan sejarah di dunia Internasional Instrumen-instrumen
HAM
semakin
berkembang
dalam
berbagai
konvensi. Perlindungan HAM kemudian dijadikan salah satu norma standar untuk berhubungan dengan negara luar khususnya negara barat. Dengan kekuatan ekonomi yang besar dan ketergantungan Negara-negara dunia ketiga yang non komunis kepada bantuan ekonomi barat, menimbulkan dominasi negara barat dan standar barat dalam penilaian terhadap pelaksanaan HAM dunia terutama Negara dunia ketiga. Isu HAM kemudian dijadikan isu Internasional atau isu global. Hal ini tak jarang menimbulkan konflik antara Negara Barat dengan Negaranegara dunia ketiga. Dengan mengetengahkan konsep-konsep konsep keaneragaman budaya, negara-negara non barat mencoba membendung dominasi standar barat dalam menilai terhadap perlindungan HAM dunia. Dominasi standar barat dalam penilaian terhadap HAM semakin kuat dengan
runtuhnya
negara-negara
sosialis
khususnya
Uni
Soviet.
Keruntuhan ini membawa implikasi yang besar terhadap Indonesia pasca rezim Soeharto. Selama berkuasa, rezim Soeharto dianggap refresif dalam mempertahankan
kekuasaannya.
Hal
ini
menimbulkan
berbagai
pelanggaran HAM sepanjang orde baru dan selalu mendapat penilaian buruk dari lembaga-lembaga HAM dunia. Pada tahun 1993 pemerintahan Soeharto mulai menunjukan perubahan sikapnya terhadap HAM, yaitu dengan membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Perubahan ini dipengaruhi perubahan commit to user konstalasi politik dunia yang mulai menunjukan titik akhir kehancuran
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komunisme dan munculnya dominasi barat. Faktor lainnya adalah isu pelanggaran HAM di Irian Jaya dan Timor Timur yang pada waktu itu menjadi isu Internasional. Pada waktu pemerintahan Habibie
yang masih muda harus
mendapatkan tekanan politik baik dari dalam maupun internasional. Hal inilah yang mendorong pemerintahan Habibie meratifikasi berbagai instrument HAM Internasional dan menerbitkan UU mengenai HAM yaitu UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu MPR melakukan amandemen untuk memasukan instrument-instrumen HAM kedalam batang tubuh UUD 1945 (Muladi, 2004:10)
b. Pengertian Hak asasi Manusia Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 1 BAB I tentang Ketentuan Umum, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep hakhak asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar. Pertama, bahwa hakhak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga yang tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Instrumen HAM Nasional Pada masa pemerintahan orde baru, demokrasi belum berjalan dengan baik. Hanya kepentingan politik saja yang pada waktu itu sangat menonjol, sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh kekuatan politik dan militerisme. Demi nama baik bangsa dan masyarakat di Indonesia sebagai anggota PBB, maka untuk menghormati piagam PBB dan deklarasi Universal
HAM,
serta
perlindungan,
pemajuan,
penegakkan,
dan
pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan negara berdasarkan hukum telah menetapkan : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvesi Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, b. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan HakHak Anak, c. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM. Semenjak pergantian pemerintahan orde baru, dan Kabinet Era Reformasi sampai dengan Kabinet Gotong Royong, telah banyak menetapkan peraturan perundang-undangan yang berperspektif HAM dan ratifikasi instrumen HAM Internasional, yaitu : a. Keppres Nomor 129 tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, b. Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998 tentang menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam semua perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program
Ataupun
Pelaksanaan
Kegiatan
Penyelenggaraan
Pemerintahan, c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September1998 tentang pengesahan Konvesi Menentang Penyikasaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
d. Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, e. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Dimuka Umum, f. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang Hak Asasi Manusia, g. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, h. Konvesi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No. 83 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi i. Konvesi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tanun 1999 Tentang Penghapusan Kerja Paksa, j. Konvesi ILO 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, k. Konvesi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja, l. Konvesi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, m. Konvesi ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No. 36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (Muladi, 2004:5).
c. Penerapan HAM di Indonesia Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat theologies, filsafati, ideologis, atau moralistik dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena commit to user bagian yang menyeluruh dan instrument HAM dikembangkan sebagai
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum Internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Bentuknya dapat berupa deklarasi, konvesi, resolusi maupun general Comments. Instrumeninstrumen tersebut akan membebankan kewajiban para negara-negara anggota PBB, sebagian mengikat secara yuridis dan sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi secara formal. Tetapi konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan kebudayaan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas komunal,
maupun
moralitas
institusional
yang
saling
menunjang
proporsional. Manusia dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial dan dipandang sebagai warga negara. Jadi konsep HAM Indonesia bukan saja hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum Internasionalterhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum Internasional HAM yang diterima oleh Indonesia (Muladi, 2004:6). 4. Tinjauan tentang Pelaksanaan Pidana a. Pengertian Pidana 1) Menurut Sudarto Soedarto memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Dengan demikian pada dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 hal yaitu: i.
Perbuatan yang memenuhi tertentu. commitsyarat-syarat to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan
perbuatan
yang
dilakukan
oleh
orang,
yang
memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat . Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang
perbuatan
tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. ii.
Pidana. Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Didalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP.
2) Menurut Van Hammel een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van di overtreding, van wege den staat als handhaver der openbar rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken. (suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.). (Lamintang. 1984:34)
3) Menurut Simmons Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd. commit to user (suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah).
4) Menurut Roslan Saleh Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
5) Menurut Ted Hondrich Punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an offence.(pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman (sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).
6) Menurut Hulsman Hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde reopen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni: untuk
mempengaruhi
tingkah
laku
(gedragsbeinvloeding)
dan
penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.
7) Menurut Prof. Dr. Moeljatno, SH Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa ”Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: i. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut; commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ii. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan
itu
dapat
dikenakan
atau
dijatuhi
pidana
sebagaimana yang telah diancamkan; iii. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 2002 : 1)
8) Menurut P.A.F Lamintang Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan doel der straf itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan (PAF Lamintang, 1997 : 185). b. Jenis-Jenis Sanksi Pidana 1. Pidana pokok terdiri dari : (a) Pidana mati Pidana mati masih mengalami perdebatan antara setuju dan tidak setuju dan tidak setuju mengenai penerapan pidana mati. Pidana mati merupakan sanksi pidana yang paling berat. (Bambang waluyo, 2000 :12) (b) Pidana penjara Pidana penjara merupakan bentuk pelaksanaan pidana yang dari sifatnya menghilangkan serta membatasi kemerdekaan bergerak, commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dalam hal ini menempatkan narapidana dalam lembaga pemasyarakatan. Ciri khas dalam pidana penjara adalah : i. Pidana penjara diancamkan pada jenis kejahatan ii. Ancaman pidana maksimal 15 tahun dan dapat diperpanjang menjadi 20 tahun apabila tindak pidana tersebut memberatkan. iii. Pidana penjara tidak dapat menggantikan pidana denda. iv. Pelaksanaannya
dapat
dilakukan
di
seluruh
lembaga
pemasyarakatan v. Pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara lebih berat daripada narapidana kurungan. (c) Pidana kurungan Pidana kurungan hampir sama dengan pidana penjara, akan tetapi ada ciri khusus yang membedakannya. Ciri khas dari pidana kurungan antara lain : i.
Pidana kurungan yang diancamkan jenis pelanggaran
ii.
Ancaman pidana kurungan maksimum 1 tahun dan dapat menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan
iii.
Pidana kurungan dapat menggantikan pidana denda
iv.
Pelaksanaannya
hanya
dapat
pemasyarakatan
dimana
tinggal
dilakukan
di
ketika
putusan
lembaga hakim
dijalankan v.
Pekerjaan pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara
vi.
Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat meringankan dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang diterapkan (hak pistole)
(d) Pidana denda Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran baik sebagai alternative dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Ciri khusus dari pidana denda adalah : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
i. Pelaksanaan pidana denda tidak menutup kemungkinan dilakukan atau dibayar oleh orang lain ii. Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan, lama pidana kurungan untuk mengganti denda adalah minimal 1 hari dan dapat maksimal 6 bulan iii. Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umumnya adalah tiga rupiah tujuh puluh lima send an maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan. (e) Pidana tutupan Pidana tutupan ditambahkan dalam Pasal 10 KUHP melalui Undang-undang nomor 20 tahun 1946, yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa, dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan (Adami Chazawi, 2002 : 29-42)
2. Pidana tambahan terdiri dari : (a) Pencabutan hak-hak tertentu Pencabutan hak-hak tertentu tertuang dalam Pasal 35 KUHP antara lain : i.
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu,
ii.
Hak mjabatan dalam angkatan bersenjata/TNI,
iii.
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan umum,
iv.
Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anaknya sendiri,
v.
Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anaknya sendiri, to user vi. Hak menjalankancommit mata pencaharian.
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(b) Perampasan barang tertentu Barang yang dirampas melalui putusan hakim menurut Pasal 39 KUHP adalah : i. Barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan, yang disebut dengan corpora delictie ii. Barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut dengan instrument delictie (c) Pengumuman putusan hakim Pengumuman putusan hakim ditujukan sebagai usaha preventif, untuk mencegah orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan oleh orang. Selain itu juga memberitahukan
kepada
masyarakat
agar
berhati-hati
dalam
berhubungan dengan orang yang dapat disangka tidak jujur, agar tidak menjadi korban kejahatan ( Adami Chazawi, 2002 : 44-45)
commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Pasien
Informed Consent
Euthanasia
Penerapan hukum
Undang Undang No. 39 Tahun 1999
euthanasia
tentang Hak Asasi Manusia
Hukum Indonesia, Belanda, Belgia,
Hak untuk hidup
Hak untuk menentukan nasibnya
Amerika
sendiri
Gambar I Bagan kerangka pemikiran Keterangan : Pasien dapat meminta dokter untuk menghentikan tindakan-tindakan medik commit tokualitas user perawatan dari rumah sakit ke terhadap dirinya dengan cara mengurangi
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rumah tangga. Penghentian tindakan medik ini dapat dilakukan setelah adanya persetujuan antara pasien dan dokter (informed consent). Setelah dirawat dirumah akhirnya paseien meninggal dunia. Tindakan dokter yang mengizinkan untuk mengurangi perawatan dari rumah sakit ke rumah tangga inilah yang tergolong dalam euthanasia yaitu termasuk euthanasia pasif. Di Indonesia permasalahan tentang euthanasia belum diatur dalam peraturan perundang undangan secara jelas, hanya ada dalam KUHP terdapat Pasal yang mendekati euthanasia yaitu Pasal 344. Sedangkan negara-negara lainnya (Belanda, Belgia, Amerika) telah melegalkan praktek euthanasia dan telah diatur secara tegas dalam peraturan perundang undangan. Jika dilihat dari hak asasi manusia, masalah euthanasia di Indonesia menimbulkan dualisme tersendiri. Di satu sisi manusia mempunyai hak hidup, sehingga perbuatan apapun yang tergolong euthanasia merupakan murni pelanggaran dari hak asasi manusia. Di sisi lain manusia mempunyai hak untuk menentukan hidupnya sendiri, dimana setiap orang bebas untuk menentukan hidupnya sendiri. Seorang pasien yang meminta dokter untuk melepas semua alat yang membantu hidupnya karena menurutnya sudah tidak ada lagi harapan untuk sembuh merupakan hal yang wajar, karena merupakan hak pasien tersebut, dan dokter jika tidak mau melakukannya, maka dokter tersebut telah melanggar hak dari pasien tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Norma hukum ketentuan euthanasia menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
1. Pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Walau dikenal dalam dunia medis praktik euthanasia bukannya tanpa hambatan dan halangan. Terutama penilaian dalam sisi humanis dan hak asasi manusia. Tapi hak asasi seorang pasien juga yang meminta untuk diakhiri hidupnya, tentunya dengan syarat yang ketat, bila ia merasa sakitnya malah membuat beban ia dan orang disekitarnya. Ada hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya. Alasan yang lazim dikemukakan dokter untuk memutuskan tindakan euthanasia adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir. Setiap manusia tentunya memiliki hak untuk hidup yang diatur didalam Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan tidak menutup kemungkinan adanya hak untuk mati. Namun, hak asasi manusia lebih sering dikaitkan dengan hak untuk hidup ,akan tetapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak untuk mati. Dalam berbagai hal, kematian lebih sering dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang mana cenderung menyalahkan tenaga medis, khususnya pihak dokter. Jika kita lihat secara sepintas, memang melakukan euthanasia pada pasien merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup. Karena secara tidak langsung, tindakan ini dapat diartikan merampas hak hidup manusia. Namun, adanya hak untuk hidup, secara tidak commit user mati. Terlebih lagi jika untuk langsung seharusnya ada juga hakto untuk
34
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan khususnya penderitaan akibat penyakit yang diderita pasien, yang mana menurut medis sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Dari aspek Hak asasi manusia terutama dari Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999, euthanasia tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai tindakan yang melanggar HAM, karena hak manusia bukan hanya hak untuk hidup namun juga hak untuk mati. Ditambah lagi jika tindakan euthanasia tersebut telah mendapat persetujuan dari pasien itu sendiri Hak untuk hidup adalah hak yang paling asasi bagi semua mahluk, terutama bagi manusia. Seperti yang telah disebutkan dalam pernyataan umum hak-hak manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak akan hidup, akan kemerdekaan da keamanan bagi dirinya. Berhubungan dengan pasal tersebut ada kaitannya, yakni beberapa pasal dalam UUD 1945 yang memuat hakhak asasi manusia, yaitu seperti hak setiap warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat, berhak hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan masih banyak ketentuan UUD 1945 yang mengatur hak manusia. seorang pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak ingin mati tetapi ingin mengakhiri penderitaanya. Namun demikian di negara kita belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar dari penentuan tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan euthanasia adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia, yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia. Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan megijinkan Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4 dan Pasal 9 ayat (1) (Wila Chandrawila Supriadi, 104 :2001). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
Apabila secara medis sudah tidak ada harapan sembuh dan kondisi pasien justru semakin menderita. Membunuh tidak dibenarkan dalam HAM namun keputusan euthanasia atas seseorang hanya bisa dilakukan jika diambil dalam persidangan yang mendengarkan keterangan ahli hukum, etika kedokteran, dan agama pasien. Secara umum sebenarnya hukum tidak memberikan rumusan yang tegas mengenai kematian seseorang. Hanya, disebutkan bahwa kematian adalah hilangnya nyawa seseorang, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut. Padahal, dengan kemajuan iptek kedokteran masa kini, detak jantung dan napas seseorang dapat terus dipertahankan karena fungsi otonomnya (dengan bantuan peralatan medis tertentu), walaupun sebenarnya otak atau batang otaknya telah berhenti berfungsi. Inilah yang di kalangan kedakteran dikenal sebagai keadaan vegetatif (vegetative state). Permasalahan yang timbul kemudian adalah bahwa pasien tidak dapat melakukan kegiatan selayaknya manusia, hidup dengan bantuan alat-alat yang tentunya akan semakin memperpanjang penderitaan. Pada kasus ini jelas bahwa pasien mengalami kematian batang otak di mana secara etik-moral dapat menghentikan tindakan terpeutik dengan tujuan untuk mengakhiri penderitaan. Tindakan ini menurut Prof.J.J.leennen digolongkan pseudo euthanasia (Wila Chandrawila Supriadi, 104 :2001). Masalah kemudian berkembang ketika menyentuh hak dasar pasien untuk menentukan dirinya sendiri (the right self of determination). Hak tersebut mencakup hak untuk menentukan atau menolak pelayanan kesehatan, hak untuk memilih sarana kesehatan atau dokter, hak untuk dirahasiakan penyakitnya, hak untuk melihat rekam medik termasuk hak untuk mengakhiri hidup, di mana tentunya pasien yang diwakili oleh keluarga meminta untuk mengakhiri hidup dengan melepas alat-alat bantu tersebut (Wila Chandrawila Supriadi, 104 :2001). Setelah mendapatkan informasi yang jelas pasien dapat meminta dokter untuk melakukan euthanasia dalam hal ini euthanasia pasif atas dirinya, maka ia berarti telah menjalankan haknya yaitu hak untuk menghentikan pengobatan, Dengan commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
demikian pasien tersebut sudah tidak peduli dengan kematiannya (Petrus Yoyo Karyadi, 67 : 2001). Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi, yaitu pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar yang tercantum di dalam UU 39 tahun 1999 HAM dan UU Kesehatan. Dokter mempunyai kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasanya sebagai seorang dokter hendaknya menghormati hak dan kebebasan yang digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil sesuai dengan pertimbangan etik serta moral. Inilah yang menjadi dualisme tersendiri yaitu antara hak untuk menentukan hidup sendiri dan hak untuk hidup (Petrus Yoyo Karyadi, 67 : 2001). Akan tetapi hak untuk menentukan hidup sendiri (the right of self determination) tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada adanya hak atas pelayanan kesehatan (the right to health care) dan hak atas informasi (the right of information) yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Mengenai
hak
atas
pelayanan
kesehatan
memerlukan
penanganan yang sungguh-sungguh. Hal ini diakui secara internasional sebagaimana diatur dalam The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Beberapa pasal yang berkaitan dengan hak untuk menentukan hidupnya sendiri (the right of self determination), hak atas kesehatan (the right of health) antara lain diatur dalam article 3 yang berbunyi Everyone has the right to life, liberty and security person (setiap orang berhak untuk hidup, bebas, serta keamanan). Selanjutnya dalam article 5 disebutkan no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment (tidak ada yang harus dikenakan penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan). Ketentuan lain dimuat dalam International Convernant on Civil and Political Rights (konferensi internasional atas hak sipil dan politik) tahun 1966 disebutkan dalam article commit to user to torture or to cruel, inhuman 7 menyebutkan No one shall be subjected
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
degrading treatment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation (Tidak seorang pun boleh
disiksa
atau
diperlakukan
secara
kejam,
tidak
manusiawi
merendahkan martabat. Secara khusus, tak seorang pun akan dikenakan tanpa persetujuan bebas untuk eksperimen medis atau ilmiah). Ketentuan lain dimuat dalam article 10 mengatur tentang All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and respect for inherent dignity of the human person (Semua orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan menghormati martabat yang melekat pada manusia) (Bahder Johan Nasution, 2005 : 33). Hak yang menjadi pendukung atas hak menentukan hidup sendiri selanjutnya adalah hak atas informasi (the right of information). Dalam dunia kedokteran, informasi merupakan hak asasi pasien, karena berdasarkna informasi tersebut pesaien dapat mengambil tindakan medis yang dilakukan terhadap dirinya. Dipihak lain, memberikan informasi secara benar kepada pasien merupakan kewajiban pokok seorang dokter yang sedang menjalankan profesinya. Selain berkaitan dengan masalah hukum, informasi ini juga berkaitan dengan masalah etika, moral serta norma-norma yang berlaku didalam masyarakat. Perselisihan antara dokter dan pasien juga dapat timbul karena masalah informasi. Dahulu hubungan antara dokter dan pasien hanya bersifat paternalistik yaitu pasien taat dan menurut saja kepada dokter. Pada masa kini hubungan seperti ini sudah tidak mendapatkan tempat lagi karena masyarakat telah semakin sadar akan hak-haknya untuk menentukan hidupnya sendiri (The right of self determination). Banyak informasi dari kalangan kedokteran yang dahulu menjadi monopoli kalangan dokter, sekarang telah dipahami oleh masyarakat luas. Pasien berhak untuk mengetahui apa yang hendak dilakukan dokter kepadanya karena pada hakekatnya semua tindakan medis oleh dokter akan ditanggung ditanggung seluruhnya oleh pasien. Sebaliknya dokter juga harus menjelaskan apabila commit user terjadi akibat negatif ataupun tidaktoberhasilnya suatu tindakan medis atas
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pasiennya,
sehingga
pasien
dapat
memutuskan
serta
menanggung
keputusannya sendiri. Dalam perkembangannya, kesadaran masyarakat akan hak asasi manusia juga mempengaruhi medical ethics (etika kedokteran), sehingga telah ada dasar-dasar medical ethics (etika kedokteran) bagi masyarakat dengan hak asasi manusia khususnya hak kesehatan umtuk warga negara. Hak kesehatan merupakan termasuk bagian dari hak asasi manusia yang harus djaga oleh negara. Penjagaan dan perlindugan hak kesehatan oleh negara dan pemerintah bagi warganya terwujud dalam pembentukan peraturan perundang undangan dan anggaran biaya kesehatan masyarakat (Tarmizi Taher, 61 : 2003) Hak asasi manusia merupakan hak yang tidak boleh dicabut oleh siapaun, sebab pencabutan hak asasi manusia berarti hilangnya sifat kemanusiaan yang ada pada diri manusia. Ini berarti harkat dan martabat manusia sebagai ciri khas kemanusiaan manusia tidak lagi dihormati dan diakui. Hak asasi manusia merupakan sesuatu hak yang awal, bukan merupakan suatu pemberian dari masyarakat atau negara. (Harun Pudjianto, 37 : 1999) Apabila kita kaitkan dengan pemberian euthanasia pasif oleh dokter, berarti dokter tersebut telah memenuhi hak dari pasien tersebut. Seorang pasien yang meminta untuk dilepas alat penopang hidupnya walaupun pasien tersebut akan meninggal dunia, berarti pasien tersebut telah menggunakan hak untuk menentukan hidupnya sendiri (the right of self determination). Keputusan pasien untuk melepas alat penopang hidupnya tidak serta merta muncul begitu saja. Pasien memutuskan untuk melepas alat penopang hidupnya setelah mendapatkan informasi yang cukup jelas dari dokter mengenai penyakitnya (hak informasi). Setelah mendapatkan penjelasan yang cukup jelas dan menurut dokter penyakitnya sudah tidak dapat disembuhkan lagi sehingga perawatan yang dijalaninya dirumah sakit akan menambah biaya saja. Tindakan dokter yang tidak memberikan commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
euthanasia pasif berarti dokter tersebut telah merampas hak-hak dari pasien tersebut.
2. Informed Concent sebagai sarana dilakukannya euthanasia yang berdasarkan UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Setelah mendapatkan informasi yang jelas berkaitan dengan penyakitnya, pasien ataupun pihak keluarga dapat memberikan keputusan mengenai perawatan atau tindakan medis yang harus diambil atau dalam medis sering disebut dengan informed consent. Dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terdapat hal yang berkaitan dengan HAM di dalam doktrin Informed Consent. Informed consent lahir karena ada hubungan teurapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasiennya. Masingmasing pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus dihormati.
Hak
untuk
menerima
yang
dimiliki
seseorang
akan
bersinggungan dengan kewajiban pihak lain untuk memberi, demikian pula sebaliknya. Interaksi antara hak dan kewajiban inilah yang melahirkan hubungan hukum yang akan dan harus diatur oleh hukum agar fungsi hukum yaitu tercapainya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat dapat terwujud. Hak adalah wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu, sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan akan berhubungan dengan kewajiban tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menunaikan hak-haknya. Dalam sistem hukum menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada hak. Pemahaman tenaga kesehatan tentang hak pasien menjadi suatu keharusan. Dalam konteks ini, adalah Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga memunculkan doktrin informed consent. Didalam Universal Declration of Human Right (article 19) dan dalam UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi commit tobahwa user setiap orang berhak memperoleh Manusia Bab II Pasal 14 disebutkan
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
informasi. Kemudian dalam The Declaration of Lisbon dimuat pula tentang hak-hak pasien, diantaranya hak untuk menentukan hidupnya sendiri dengan menerima atau menolak pengobatan yang akan
diberikan setelah
mendapatkan informasi yang cukup dimengerti. Dalam surat keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nomor 319/PB/A.4/88 Tahun 1988 disebutkan pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Di Indonesia dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 53 ayat (2) beserta penjelasannya terdapat kewajiban tenaga kesehatan untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Informed consent atau dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI no 585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 September 1989 disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik yang dapat didefinisikan sebagai ijin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan dimengertinya (persetujuan berasarkan informasi (muladi 2004:183).
Dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI no 585/Menkes/Per/IX/1989, tentang persetujuan diatur dalam Bab II Pasal 2 dan 3 sebagai berikut : 1. Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan 2. Persetujuan tersebut dapat diberikan secara tertulis maupun lisan 3. Persetujuan diberiakan setelah pasien mendapatkan informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serata resiko yang dapat ditimbulkan 4. Persetujuan lisan berlaku bagi tindakan medik yang tidak termasuk dalam tindakan medik yang mengandung resiko medik 5. Persetujuan dapat diberikan secara nyata atau diam-diam (Anny Isfandyarie, 142 : 2006). Sedangkan mengenai hak atas informasi juga telah diatur Peraturan Menteri Kesehatan RI no 585/Menkes/Per/IX/1989 antara lain : 1.
Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat to user pendidikan serta kondisicommit dan situasi pasien
perpustakaan.uns.ac.id
2.
42 digilib.uns.ac.id
Informasi tentang tindakan medik harus diberikan oleh dokter kepada pasien baik diminta maupun tidak diminta, dengan informasi yang selengkap-lengkapnya
3.
Dalam hal informasi tidak bisa diberikan kepada pasien, maka dengan persetujuan pasien, dokter dapat memberikan informasi tersebut kepada kepada keluarga terdekat dengan didampingi perawat atau paramedis sebagai saksi
4.
Informasi mencakup keuntungan dan kerugian daripada tindakan medik yang dilakukan baik diagnostik maupun terapeutik, diberikan secara lisan dan jujur (Anny Isfandyarie, 143 : 2006) Dalam UU Praktik kedokteran, persetujuan tindakan medik tercantum
pada BAB VII Tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteraan. Pada Pasal 45 ayat (1) disebutkan bahwa : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Dari pasal diatas dapat diuraikan bahwa pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Penjelasan yang harus diberikan oleh dokter kepada pasien atau keluarganya menurut Pasal 45 ayat (3) UU Praktik kedokteran minimal mencakup tentang : 1. Diagnosa dan tata cara tindakan medis 2. Tujuan tindakan medis dilakukan 3. Alternatif tindakan lain dan resikonya 4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi 5. Prognosis terhadap tindakan yang mungkin terjadi (Syahrul Mahmud, 65: 2008) Persetujuan tindakan medis dapat dilakukan oleh bukan pasien apabila pasien berada dibawah pengampuan, belum dewasa, dan tidak sadar. Apabila hal tersebut terjadi maka yang berhak mewakili adalah keluarga terdekat, dan apabila keluarga tidak ada, maka penjelasan diberikan kepada commit to user dalam keadaan darurat tidak ada orang yang mengantar pasien, dan apabila
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
keluarga ataupun orang yang mengantar, maka untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Penjelasan diberikan langsung kepada pasien tanpa terkecuali pada kesempatan pertama sesudah pasien sadar. Pada dasarnya Informed Consent merupakan proses komunikasi. Dokter yang melakukan tindakan, baik sebagai prosedur diagnostik ataupun prosedur terapetik wajib menjelaskan dan mendiskusikan segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan tersebut kepada pasien. Sebaliknya pasien mempunyai kesempatan untuk bertanya dan memahami tindakan tersebut, sehingga dia dapat membuat keputusan dan memberikan persetujuan. Jadi dalam proses komunikasi ini informasi diberikan oleh dokter, diterima oleh pasien dan didokumentasikan dalam lembaran Informed Consent. Dalam komunikasi dokter harus menjelaskan sesuai dengan pengetahuan pasien, agar informasi dapat diterima dengan benar (Guwandi. 1995:25). Informed consent merupakan syarat yang bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu untuk menentukan nasibnya sendiri (the Right of self Determination) dan hak atas informasi (the Right to Information). Dengan kedua hak dasar tersebut, dokter dan pasien bersama-sama menemukan terapi yang paling tepat akan digunakan (Guwandi. 1995:25). Latar belakang dari pengambilan keputusan atau informed consent secara prinsip adalah bahwa setiap manusia berhak berperan serta dalam pengambilan keputusan menyangkut dirinya. Hal ini kemudian dijabarkan menjadi : 1. Pasien harus memahami dan mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil keputusan mengenai perawatan terhadap dirinya. 2. Pasien harus memberikan persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik secara lisan atau tertulis, secara eksplisit maupun implisit. Hakikatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang disetujui atau yang tidak disetujui oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter secara hukum terhadap commit todan userbersifat negatif termasuk dalam kemungkinan akibat tak terduga
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
melakukan euthanasia. Akan tetapi, dalam kenyataannya praktek informed concent cukup sulit. Ini terbukti masih ditemukannya permasalahanpermasalahan yang dihadapi oleh pihak rumah sakit antara lain : 1. Pengertian kemampuan secara hukum dari orang yang akan menjalani tindakan medis, serta siapa yang berhak menandatangani surat persetujuan, dimana harus ditentukan mengenai batas usia, keadaan kesadaran, kondisi mentalnya dan status kebebasannya. Sampai sejauh mana orang sedang merasakan kesakitan mampu menetapkan pilihan atau konsentrasi pada penjelasan yang diberikan. 2. Masalah wali yang sah, timbul apabila pasien dianggap tidak mampu secara hukum untuk menyatakan persetujuannya. Siapa sebagai wali yang sah apabila ia selama tinggal bersama pamannya, atau apabila ayah dan ibunya berbeda pendapat mengenai tindakan medik
yang akan
diberikannya. 3. Masalah informasi yang diberikan yaitu seberapa jauh informasi dianggap telah dijelaskan dengan cukup jelas, tetapi juga tidak terlalu terinci sehingga dianggap menakut-nakuti. 4. Dalam memberikan persetujuan, apakah diperlukan saksi tersebut juga ikut menanda tangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan saksi dalam hal persetujuan lisan. Dalam hal keadaan darurat, misalnya kasus tabrak lari dan keluarganya tidak dapat dihubungi, sedangkan pasien mengalami pendarahan dan perlu ditolong, dalam keadaan seperti ini, siapa yang berhak memberikan persetujuan dan apakah ada perlindungan hukum kepada dokter karena tindakannnya berdasarkan keadaan darurat dan penyelamatan jiwa pasien (Erina Pane, 53 : 2009)
3. Euthanasia yang tidak bertentangan dengan Norma dalam UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Masalah untuk mati berhubungan erat dengan kriteria kematian. to userberhentinya pernafasan, kemudian Dahulu orang menetapkan commit mati sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
berkembang lagi dengan berhentinya denyut jantung. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran yang mampu menciptakan alat-alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang memungkinkan denyut jantung dan pernafasan seseorang berlangsung terus, maka apa yang menjadi kriteria kematian perlu dipertanyakan lagi. Bukan tidak mungkin seseorang yang mengalami kerusakan otak, tetapi pernafasannya dan jantungnya dipacu terus untuk mempertahankan kehidupannya, padahal sebenarnya ia telah mengalami kematian batang otak (brain death) (Rehnalemken Ginting, 2009 : 21). Euthanasia yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia yang pertama adalah euthanasia tidak langsung. Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan tindakan medik tertentu yang bertujuan meringankan penderitaan pasien, akan tetapi tindakan mediknya membawa resiko hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan. Jadi, tujuan primer dari tindakan medik tersebut hanya untuk meringankan penderitaan pasien. Misalnya seseorang yang menderita penyakit kanker ganas. Menurut perhitungan ilmu kedokteran, penyakit tersebut tidak mungkin sembuh kembali, namun tidak cepat mematikan. Hampir setiap malam pasien meraung-raung kesakitan dan menjerit-jerit meminta pertolongan dokter. Beberapa macam obat mahal telah diberikan namun tidak memberikan indikasi kesembuhan atas penyakitnya itu. Obat tersebut hanya menghilangkan rasa sakit saja. Berdasarkan doktrin double effect disebutkan bahwa orang boleh melakukan perbuatan baik, akan tetapi membawa akibat buruk. Dengan kata lain, dokter boleh memberikan suntikan ataupun obat yang dimaksudkan untuk membantu meringankan penderitaan pasien, walaupun karena penyuntikan atau pemberian oba tersebut mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan (Petrus yoyo karyadi, 152 : 2001). Pasien yang betul-betul menderita kesakitan atas penyakitnya itu wajib dibantu untuk meringankan rasa sakitnya. Disamping untuk to pasien user sendiri tidak larut dalam emosimeringankan rasa sakitnya, commit juga agar
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
emosi atau kekesalan karena penyakitnya tersebut, serta agar suasana ketenangan dimana pasien dirawat dapat tidak terganggu. Membiarkan pasien dalam penderitaan yang terus menerus dan tidak tertahankan, berarti tidak menunjukkan rasa belas kasihan dan tidak berperikemausiaan. Dengan demikian euthanasia tidak langsung, tidak bertentangan dengan eksistensi manusia yang menghormati dan mengakui martabat manusia. Bahkan tindakan euthanasia tidak langsung ini, biasanya dilakukan atas dorongan rasa perikemanusiaan sehingga sangat sesuai dengan hak asasi manusia. Akan tetapi sejauh manakah pemberian obat tersebut dapat meringankan penderitaan pasien dan sejauh manakah tindakan medik tersebut dapat memperpendek hidup pasien. Hal tersebut sangatlah penting sekali diperhatikan, agar euthanasia tidak langsung ini tidak salah digunakan yaitu untuk menutupi tindakan medik tertentu yang sebetulnya tindakan medik tersebut adalah euthanasia aktif. Bentuk euthanasia yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia yang kedua adalah euthanasia pasif. Euthanasia pasif adalah apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan pengobatan demi memperpanjang kehidupan pasien. Dalam praktek, biasanya apabila pasien dalam sudah pada stadium terminal, dan menurut ilmu kedokteran sudah tidak dapat disembuhkan kembali, serta pengobatan yang diberikan tidak ada manfaatnya lagi, maka atas persetujuan antara dokter dan pihak keluarga pasien, maka pasien tersebut dibawa pulang kerumahnya karena dokter atau rumah sakit sudah angkat tangan. Apabila keadaan pasien sudah demikian parahnya, dan menurut ilmu kedokteran penyakit tersebut tidak mungkin disembuhkan lagi, serta pengobatannya sudah dianggap zinloos (keadaan dimana pemberian pengobatan akan sia-sia), maka maka dokter boleh menghentikan pengobatannya.
Penghentian
pengobatan
tersebut
walaupun
pasien
meninggal dunia, akan tetapi kematiannya bukan disebabkan karena penghentian pengobatannya, akan tetapi memang kematian itu sudah tidak to usertersebut berarti hanya membiarkan dapat dihindari. Penghentiancommit pengobatan
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
kematian itu terjadi dan pemberian pengobatan sudah tidak mebuatkan hasil apa-apa, sehingga tidak ada alasan sedikitpun untuk terus menerus mempertahankan kematiannya. Biarkan pasien itu meninggal dunia menurut iramanya sendiri. Sebetulnya kematian pasien tersebut bukan sebagai kasus euthanasia, karena pengobatan itu sendiri sudah dinyatakan zinloos. Kasus semacam ini merupakan bentuk semu dari euthanasia. (Petrus yoyo karyadi, 154 : 2001) Sebagai contoh apabila pasien telah dinyakan mati batang otak (MBO), akan tetapi dengan bantuan alat life support system ia masih dapat hidup secara buatan atau secara vegetatif. Padahal dalam dunia medis sekarang ini telah menempatkan mati batang otak (MBO) sebagai kriteria menentukan kematian seseorang. Maka, apabila dokter melepas alat penopang hidupnya dan kemudian nafas dari pasien tersebut akan berhenti, adalah dibenarkan karena pada hakekatnya pasien tersebut telah menjadi mayat. Apabila hidup vegetatif buatannya dipertahankan secara terus menerus, padahal ia sudah braindeath, maka berarti kematiannnya makin tidak dimanusiawikan. Ia hanya menjadi objek dari alat penopang hidupnya saja. Hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia yang menjunjung, mengakui serta menghormati martabat manusia. Dengan demikian, pelepasan alat life support system bukan sebagai tindakan euthanasia, melainkan hanya bentuk semu dari euthanasia. Akan tetapi, berbeda apabila pengobatan tersebut dilakukan sebelum zinloos yang berarti masih ada gunanya, baik itu untuk meringankan penderitaan, bahkan menyembuhkan penyakitnya. Maka penghentian pengobatan tidak boleh dilakukan. Pemberian obat atau perawatan tetap harus dilakukan meskipun dengan pemberian obat tersebut akan mengakibatkan meninggalnya pasien. Dengan demikian apabila seorang dokter dihadapkan pada kasus seperti ini, maka euthanasia pasif pada hakekatnya adalah sama dengan pembunuhan atau patut diduga perbuatan dokter tersebut adalah malpraktek. Sehingga pemberian euthanasia pasif commit to user pada hakekatnya tidak melanggar hak asasi manusia dan hukum asalkan
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adanya suatu persetujuan dari pasien atau walinya dan telah dipenuhinya suatu standar profesi medis yang diakui oleh dunia kedokteran sehingga dipenuhinya beberapa unsur utama yaitu : a) Bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama b) Sesuai dengan ukuran medis c) Sesuai dengan kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari kategori keahlian sama. d) Dengan sarana dan upaya yang memenuhi perbandingan wajar dibandingkan
dengan
tujuan
konkrit
tindakan
medik
tersebut
(Chrisdiono M Achadiat, 25 : 2006)
B. Perbandingan Penerapan euthanasia di Indonesia dan di Berbagai Negara (Belanda, Belgia, Amerika)
1. Penerapan euthanasia di Indonesia a. Konstruksi yuridis euthanasia di Indonesia Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan legalitas inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.
Menurut surat edaran
ikatan dokter Indonesia No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif” . Sedangkan menurut Farid Ansa Moeloek Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan commit to user norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP. Ini menunjukkan bahwa peraturan IDI tersebut hanya sebatas dengan euthanasia aktif. Untuk euthanasia lainnya masih belum jelas pengaturannya apakah diperbolehkan atau tidak (Hayunislah. http://naifu.wordpress.com/2010/08/12/euthanasiadalam-perspektif-al-qur%E2%80%99an/ diakses 24 Januari 2011) Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Mengenai Pasal 344 tersebut muncul dua pendapat. Menurut Simons bahwa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu dapat terjadi tanpa pelaku harus melakukan perbuatan atau dengan kata lain dengan kata lain dengan sikap pasif itu sesorang dapat dipandang sebagai telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang dimaksud dalam Pasal 344 KUHP. Menurut lamintang pendapat tersebut masih memerlukan penjelasan yang cukup lanjut yakni mengenai tentang siapa yang dapat dipersalahkan telah menghilangkan nyawacommit orang to lainuser seperti yang dimaksud dalam Pasal
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
344 KUHP, dalam hal tersebut telah tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa korban. Karena ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 344 KUHP itu berlaku bagi setiap orang, maka pendapat Simons itu mendatangkan bahaya bagi setiap orang dan setiap saat dapat dipersalahkan telah tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa korban yang secara tegas dan sungguh-sungguh telah meminta kepada mereka untuk tidak menyelamatkan nyawanya. Sebagai contoh misalnya mereka yang bermaksud menolong seorang korban kecelakaan yang menderita luka-luka berat, dan yang kemudian telah tidak melakukan sesuatu, misalnya membawa korban kerumah sakit, karena korban telah meminta secara tegas dan sungguh-sungguh kepada mereka untuk meninggalkan dirinya meninggal dunia daripada hidup dalam keadaan cacat. Karena waktu terjadinya kecelakaan semua orang berduyunduyun untuk memberikan pertolongan maupun dengan tujuan untuk untuk mengetahui keadaan korban, yang kemudian membiarkan korban tersebut meninggal dunia karena telah diminta secara tegas oleh korban untuk membiarkan dirinya meninggal dunia, maka semua orang yang melihat tindak pidana tersebut dapat dipersalahkan telah melakukan pembunuhan seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP (Rehnalemken Ginting, 41 : 2009) Dari rumusan Pasal 344 tersebut mengandung tiga rumusan pokok mengenai euthanasia yaitu tentang perbuatan dilarang (menghilangkan nyawa orang lain), orang yang melakukan perbuatan dilarang (barang siapa, sehingga dapat juga ditujukan kepada dokter) serta pidana (pidana paling lama 12 tahun penjara). Pasal lain yang masih mempunyai hubungan dengan euthanasia adalah Pasal 338 dan Pasal 340. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP disebutkan : Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sementara dalam ketentuan commit Pasal 340 KUHP dsebutkan : to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 ayat (3) KUHP yang juga mengancam terhadap penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum. Selain itu dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 ayat (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP disebutkan : Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP disebutkan : Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia, akan tetapi euthanasia seperti apa yang dilarang masih belum jelas. Persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik euthanasia mengingat euthanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan. commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan menghindari suatu tuntutan hukum, seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP. Dokter tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur. Sehingga rekam medik (medical record) dan informed consent (persetujuan) yang baik dan benar harus terpenuhi. Dalam melakukan tindakan medis adakalanya dokter mengalami suatu tuntutan pidana dari pasien atau pihak keluarganya. Akan tetapi dokter dapat lepas dari tuntutan tersebut antara lain : 1) Telah melakukan pelayana medis sesuai dengan standar profesi, standar pelayana medis dan standar operasional prosedur. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 50 huruf a Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran, apabila seorang dokter telah melaksanakan pelayanan medis atau praktek kedokteran telah sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur opersaional maka dokter tidak dapat dituntut hukum . 2) Informed concent Sebelum tindakan medik dilakukan, seorang dokter berkewajiban memberikan penjelasan terhadap pasien tau keluarganya tentang diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis yang dilakukan,
alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pengaturan mengenai Informed concent terdapat pada Pasal 39, 45 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran yang menyatakan bahwa, praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Segala tindakan medik tersebut harus to user persetujuan pasien. Persetujuan dilakukan dokter dengan commit mendapatkan
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
tersebut dapat dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan dan untuk tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis, yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Namun dalam keadaan gawat darurat atau tindakan yang biasa dilakukan atau diketahui umum persetujuan ini tidak diperlukan (implied concent). Informed consent dalam segi hukum mengandung beberapa hal antara lain : i.
Dalam formulir informed consent dirumuskan pernyataan kehendak kedua belah pihak yaitu pasien menyatakan setuju atas tindakan yang diusulkan oleh dokter dan formulir persetujuan tersebut ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Karena persetujuan tersebut merupakan kehendak dua belah pihak, mak tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak lain, dan mengikat kedua belah pihak.
ii.
Informed Consent tidak dapat meniadakan atau mencegah diadakannya suatu tuntutan didepan pengadilan atau membebaskan rumah sakit atau dokter terhadap tanggung jawabnya. Informed Consent hanya dapat digunakan sebagai bukti tertulis akan adanya izin atau persetujuan dari pasien.
iii.
Formulir yang ditanda tangani oleh pasien atau wali pada pertama kali masuk atau dirawat dirumah sakit berbunyi “Segala akibat akan menjadi tanggung jawab pasien sendiri dan tidak menjadi tanggung jawab dokter”. Rumusan tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan hukum, mengingat seorang tidak dapat membebaskan dirinya dari tanggung jawabnya atas kesalahan yang dilakukannya (Erina Pane, 2009 : 52). Persetujuan pasien atau keluarganya merupakan pelaksanaan dari hak dasar pasien atas pelayanan kesehatan (the right to health care) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination) yang harus diakui dan dihormati. Setelah pasien menyetujui atas tindakan medik berdasarkan informasi yang jelas dan terang, serta tindakan medik tersebut sesuai dengan to user standar medik, maka dokter commit tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya.
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
3) Contribution Negligence (kesalahan pasien) Dokter tidak dapat dipersalahkan apabila dokter gagal atau tidak berhasil dalam penanganan terhadap pasien apabila pasien tidak kooperatif karena tidak menjelaskan dengan sejujurnya tentang riwayat penyakit yang pernah dideritanya serta obat-obatan yang telah dikonsumsi selama sakit, atau tidak mentaati petunjuk-petunjuk serta instruksi dokter atau menolak cara pengobatan yang telah disepakati. Hal ini dianggap sebagai kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah contrbution negligence atau pasien turut bersalah. Kejujuran serta mentaati saran dan instruksi dokter ini dianggap sebagai kewajiban pasien terhadap dokter dan terhadap dirinya sendiri. 4) Respectible minority rules and error of judgement Bidang kedokteran merupakan suatu bidang yang sangat kompleks, seperti dalam suatu upaya pengobatan sering terjadi ketidak sepakatan atau pendapat yang sama tentang terapi yang cocok terhadap suatu situasi medis khusus. Pendekatan terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter yang satu dengan yang lainnya. Namun tetap harus berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Berdasarkan kedaan diatas muncul suatu teori hukum yang disebut dengan respectable minority rule yaitu seorang dokter tidak dianggap lalai apabila ia memilih satu dari sekian cara pengobatan yang diakui. Dari kekeliruan dokter memilih alternatif tindakan medik pada pasiennya yang muncul teori baru yang disebut dengan error of judgement atau biasa disebut dengan medical judgement atau medical error, yaitu pilihan tindakan medis dari dokter yang telah didasarkan pada standar profesi, ternyata pilihannya keliru. Doktrin ini menyatakan bahwa kekeliruan pilihan dokter ini tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada dokter karena tidak ada kelalaian dalam pilihan ini. Kecuali ia tidak mengikuti standar medis yang umum dipergunakan oleh dokter lainnya didalam keadaan yang sama. Keadaan commit to dan user suatu pemeriksaan yang kuat khusus ini harus diperhitungkan
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
diperlukan. Pemeriksaan harus lebih hati-hati dilakukan apabila dokter telah membuat diagnosa yang bertentangan. Yang menjadi perbedaan kekeliruan menilai dan kelalaian atau kekhilafan adalah dalam mengumpulkan datadata penting yang dapat dipakai untuk menunjang, maka hal ini bukan merupakan kekeliruan penilaian, akan tetapi ini adalah kelalaian. Dianggap lalai karena tidak mempergunakan fasilitas yang dipakai untuk lebih memastikan dan yakin terhadap diagnosa yang ditegakkannya. 5) Volenti Non Fit Iniura Volenti Non Fit iniura merupakan doktrin lama dalam ilmu hukum yang dapat pula dikenakan pada hukum medis, yaitu suatu asumsi yang sudah diketahui sebelumnya tentang adanya resiko medis yang tinggi pada pasien apabila dilakukan tindakan medis kepadanya. Apabila telah dilakukan penjelasan selengkap lengkapnya dan ternyata pasien atau keluarganya menyetujui (informed concent), apabila terjadi resiko yang telah diduga sebelumnya ini, maka dokter tidak dapat dipertanggung jawabkan atas tindakan medisnya. 6) Vicarious liability (Hospital liability) Dalam hal pertanggung jawaban, maka yang pertama kali dimintai pertanggung jawaban dalah rumah sakit. Perkembangan hukum kesehatan serta kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit, tidak dapat melepaskan diri tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh para medisnya. Apabila dokter bekerja penuh pada rumah sakit maka yang bertanggung jawab adalah rumah sakit bukan dokter tersebut. 7) Res ipsa ioquitor Doktrin res ipsa ioquitor berkaitan secara langsung dengan beban pembuktian yaitu pemindahan beban pembuktian dari penggugat (pasien) kepada tergugat (tenaga medis). Terhadap kelalaian tertentu yang sudah nyata, jelas sehingga dapat diketahui seorang awam atau menurut pengetahuan umum antara pasien dengan dokter bahwa cacat, luka, cedera, atau fakta sudah jelas nyata akibat tindakan medik, dan hal semacam ini commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak memerlukan pembuktian dari pnggugat akan tetapi tergugatlah yang harus membuktikan bahwa tindakannya tidak termasuk lalai atau keliru. Pada Medical error sangatlah berbeda dengan medical violence karena pada medical error dokter sudah bertindak benar menurut prosedur yang sudah diakui didalam rumah sakit, namun efek tidak diharapkan tetap bisa terjadi. Bisa saja penetapan prosedur medik tersebut salah, akan tetapi dokter tidak dapat diperalahkan karena dokter tersebut telah mengerjakan sesuai dengan prosedur rumah sakit. Sedangkan medical violence, dokter telah bertindak salah karena tidak sesuai dengan prosedur yang ada dirumah sakit, maka dokter tersebut jelas melakukan kelalaian. Medical error sangat terkait dengan sistem yang ada, karena secara teoritis medical error akan timbul apabila faktor yang mempengaruhi yang mempengaruhi error masih ada
Faktor
tersebut
adalah
perfomance
(kinerja)
dan
knowledge
(pengetahuan) dokter. Faktor yang paling dominan dalam terjadinya error adalah kinerja dokter atau dokter gigi. Sementara dirumah sakit kinerja doktersangat dipengaruhi oleh sistem yang mengatur dokter dalam menjalankan praktek profesinya. Pada medical error masalah utama yang perlu diukur adalah keabsahan atau kebiasaan yang ada. Dapat saja prosedur tersedut salah artinyam dokter telah mengerjakan sesuatu yang benar , akan tetapi cara tersebut tidak adekuat. Walaupun kejadian tersebut disebut error namun demikian terjadi karena hospital error atau system error . Dalam hospital error sangat terkait dengan sistem yang ada pada rumah sakit. Kondisi hospital error juga tidak terlepas dari sistem yang besar yang menaunginya antara lain kebijakan pemerintah tentang perumah sakitan, pembiayaan
kesehatan
serta
pendapatan
masyarakat.
Sistem
error
merupakan salah satu masalah utama dan sumber kecacatan atau kematian pasien yang tidak diharapkan (Syahrul Macmud, 174 : 2008)
b. Penegakan hukum euthanasia Pelaksanaan
dan
penegakan hukum harus memperhatikan commit tobagi usermasyarakat. Sebab hukum jistru kemanfaatannya atau kegunaannya
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dibuat untuk kepentingan masyarakat. Karenanya pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Jangan sampai terjadi pelaksanaan dan penegakan hukum merugikan masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan keresahan. Pelaksanaan dan penegakan hukum juga harus mencapai keadilan. Oleh karena itu peraturan hukum yang bersifat
umum
dan
mengikat
setiap
orang,
penerapannya
harus
mempertimbangkan fakta-fakta dan keadaan dalam setiap kasus. Sejalan dengan itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum . Faktor-faktor tersebut antara lain : 1. Faktor hukumnya sendiri 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk atau menerapkan hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor itu. Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan erat, oleh karena itu merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur efektifitas penegak hukum (Riduan Syahrani, 204 : 1999). Secara khusus masalah euthanasia belum diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, akan tetapi terdapat Pasal yang rumusannya mirip dengan perbuatan euthanasia. Pasal 344 KUHP merupakan pasal yang mengatur dan mengancam dengan perbuatan euthanasia, akan tetapi dalam kenyataannya Pasal ini belum pernah menjaring perbuatan euthanasia sebagai tindakan pidana. Padahal Pasal ini sangat diperlukan sebagai satusatunya Pasal yang mengatur dan mengancam dengan pidana perbuatan euthanasia (Rehnalemken Ginting, 73 : 2009). commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Akan tetapi menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) euthanasia adalah halyang dilarang. Teapi mengenai bentuk bentuk euthanasia hanya sebatas euthanasia aktif, euthnasia lainnya belum ada pengaturannya. Dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang diyatakan sebagai berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif” Menurut Ahmad Ube yang dikutip oleh Haryadi S.H, M.H dalam majalah forum akademika yang berjudul “Euthanasia Dalam Perspektif Pidana” ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap euthanasia. Faktor-Faktor tersebut antara lain : 1. Faktor dari luar hukum Pidana : a) Didalam euthanasia biasanya ada kerjasama antara pelaku dengan korban (misal dokter dengan pasien atau pihak keluarga yang mewakilinya), sehingga perbuatan tersebut tidak pernah dilaporkan ke aparat penegak hukum untuk diproses sebagai kasus pidana b) Keluarga korban atau masyarakat kurang atau tidak tahu bahwa telah terjadi kematian yang disebut oleh euthanasia, dengan perkataan lain masyarakat masih kurang paham terhadap hukum, apalagi menyangkut masalah euthanasia. c) Alat-alat kedokteran di Indonesia belum maju seperti peralatan kedokteran negara maju seperti respirator yang dapat mencegah kematian manusia secara teknis dalam jangka waktu tertentu d) Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia kebanyakan berada dibawah standar kehidupan yang layak, sehingga biaya untuk perawatan kesehatan maupun untuk pengobatan cukup memprihatinkan. Keadaan ini membawa pengaruh yang cukup besar untuk dilakukan euthanasia, terutama euthanasia pasif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
2. Faktor yang terdapat dalam hukum Pidana : a) Rumusan atau formula pasal terlalu universal, sehingga sulit menentukan perbuatan mana yang termasuk euthanasia pasif dan perbuatan mana yang termasuk euthanasia aktif. Kemudian tidak dapat diketahui mana euthanasia yang orang lakukan pada umumnya, dan euthanasia mana yang dilakukan dokter pada khusunya. Hal ini sangatlah penting, karena masalah euthanasia tidaklah sesederhana seperti rumusan dalam Pasal 344 KUHP b) Dalam rumusan Pasal 344 KUHP terdapat kalimat “atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” yang merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan Pasal ini atau tidak. Dalam menghadapi kasus euthanasia pasif baik atas permintaan sendiri ataupun tanpa permintaan, maupun tanpa sikap dari dokter, dokter dalam hal ini telah diberi beban pembuktian terhadap tindakan mediknya. Ini dilakukan agar dokter tersebut terbebas dari sanksi pidana. Tindakan dokter yang dibenarkan dan harus dibuktikan antara lain : 1. Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati klinis dan kematian yang sebenarnya kini teah dibedakan. Teknologi kedokteran telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan paru-paru walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan intelektual dan psikis (misalnya berpikir, merasakan, berkomunikasi) sebenarnya telah berakhir pada saat otak berhenti berfungsi, meskipun jantung dan paruparu masih bekerja. Karenanya menghentikan perawatan medik pada pasien yang otaknya tidak berfungsi tidak digolongkan sebagai euthanasia. 2. Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena kuasa tidak terlawan (force majure). Dalam dunia kedokteran dapat terjadi keadaan keadaan yang sebenarnya telah diatur dalam Pasal 48 KUHP. 3. Menghentikan perawatan medik yang tidak berguna. Ilmu kedokteran tetap mempunyai batas-batas dan hal-hal diluar batas ilmu kedokteran, sehingga user dokter tidak berkompetencommit dalamtomelakukan sesuatu diluar batas ilmu
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
kedokteran. Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa seijin pasien, maka dokter tersebut dapat ditutut berdasarkan penganiayaan. Seorang dokter seharusnya tidak memulai atau meneruskan suatu pengobatan, apabila secara medik tidak dapat diketahui hasilnya secara jelas. Langkah tersebut bukan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien, akan tetapi untuk mencegah terjadinya penganiayaan oleh dokter kepada pasien. 4. Perawatan menolak perawatan medik, sehingga dokter tidak berhak melakukan tindakan apapun. Ini dilakukan untuk menghormati hak-hak pasien yaitu hak untuk menolak perawatan atau pengobatan (Chrisdiono M. Achadiat, 192 : 2006). Euthanasia dapat dipandang etis dengan beberapa persyaratan. Pertama, euthanasia harus dilandaskan pada satu tujuan semata ialah untuk membaskan manusia dari penderitaan. Namun sebelum tindakan diambil, terlebih dahulu harus didukung oleh suatu analisis ilmiah, khususnya dari aspek ilmu kedokteran dan hukum. Dari ilmu kedokteran, korban euthanasia haruslah dapat dipastikan kondisi penyakitnya memang tidak dapat disembuhkan lagi dan jika dibiarkan korban akan jauh lebih menderita lagi keadaannya. Selain itu, harus pula dipastikan dengan analisis ilmiah bahwa kematian yang dijalani oleh korban dilakukan dengan teknik yang memenuhi persyaratan sebagai mercy killing. Dari aspek ilmu hukum analisis ilmiah juga perlu dilakukan seperti betulkah kematian itu didasari alasan untuk kepentingan korban saja. Di Indonesia sendiri, penilaian baik dan buruk terhadap euthanasia dapat dikatakan belum sepenuhnnya dilakukan. Mengingat Pancasila sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum, maka sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan kepada hukum warisan kolonial belanda satu-satunya Pasal yang agak dekat commit to user kaitannya adalah Pasal 344 KUHP. Dalam Pasal 344 KUHP dikatakan
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Redaksi Pasal tersebut menunjukkan adanya persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya kesukarelaan korban tersebut terlihat dari permintaanya sendiri yang dinyatakan dengan jelas dan sungguh-sungguh. Larangan tersebut dapat ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam rancangan KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan. Namun demikian terbukti Pasal tersebut tidaki lagi ditertapkan secara kaku. Beberapa putusan pengadilan di Belanda dan Belgia membuktikan adanya pergeseran pandangan, sedangkan untuk Indonesia belum ada putusan mengenai euthanasia. Dari yurisprudensi tahun 1952 sampai dengan 1981 disebutkan bahwa euthanasia dapat dikeluarkan dari pemidanaan dengan syarat-syarat tertentu. Dalam konteks Indonesia pergeseran pandangan tentang euthanasia dapat dilihat dari hasil penelitian Satjipto Rahardjo dari Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 1989 yang meneliti respon dokter dan ahli hukum terhadap euthanasia yang hasilnya dari jawaban 38 responden yang terjaring, 14 responden dokter menyatakan setuju dan sisanya dari responden sarjana hukum menyatakan tidak setuju terhadap euthanasia. Dari 7 dokter yang terjaring 5 diantaranya menjawab setuju, sedangkan dari 25 sarjana hukum yang terjaring 12 sarjana hukum yang menyetujui euthanasia. Sementara itu dari 14 responden menyatakan permintaan euthanasia sebaiknya dilakukan oleh keluarga korban (50%), permintaan oleh korban sendiri (36%) dan oleh kedua-duanya (70%). Juga yang menarik adalah pendapat dari 38 responden yang menyatakan bahwa euthanasia adalah masalah kemanusiaa (8%), masalah agama (8%), masalah kedua-duanya (84%). Terlepas dari valid tidaknya data tersebut, ilustrasi tadi membuktikan bahwa pandangan masyarakat Indonesia yang beretika Pancasila telah bergeser dari ketentuan yang melarang euthanasia. Bahkan commit user para dokter yang terikat kode etikto kedokteran dan sumpah dokter yang
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memuat larangan melakukan euthanasia ternyata jauh lebih permisif jika dibandingkan
sarjana
hukum.
Adanya
pergeseran
sikap
tersebut
menunjukkan euthanasia sebagai materi ilmu pengetahuan selalu mendapat masukan-masukan baru (heuristik). Namun masukan-masukan hasil persemaian ide-ide baru tersebut tidak begitu saja diterima melainkan harus dikendalikan oleh etika sebagai kosekuensi logis dari aspek aksiologis dari ilmu hukum khususnya dalam persoalan euthanasia (Gatot Sugiharto, http://wwwgats.blogspot.com).. Bahwa hakikat dari kenyatan yang ada sumber aslinya berupa baik materi atau rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Oleh karena itulah pandangan filsafat Pancasila yang menjadi dasar dari filsafat hukum Indonesia,
teori
hukum
Indonesia.
Demikian
pula dengan
aspek
epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas, dibangun dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas keseimbangan dari nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber pengetahuan dari bangunan ilmu hukum Indnesia tersebut akan mengakui baik idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal juga akan mengakui realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula peranan wahyu sebagai sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap aspek aksiologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai terutama jika dikaitkan dengan implementasi ilmu hukum tersebut dimasyarakat dan sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus euthanasia, nampak bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada khususnya, sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai pandangan Pancasila tentang moral (perilaku yang baik dan yang buruk) juga nilai-nilai keagamaan yang bersifat sakral. (Gatot Sugiharto, http://wwwgats.blogspot.com diakses 17 Desember 2010). commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Penerapan euthanasia di Belanda a. Sejarah dan perkembangan Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding) atau Review procedures for the termination of life on request and assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act. (http://www.internationaltaskforce.org/rpt2005_3.htm#239 diakses tanggal
2 Januari 2011). Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan
sebagai
perbuatan
kriminal
(welywahyura.
http://welywahyura.wordpress.com/euthanasia/ Diakses tanggal 2 Januari 2011) Euthanasia memiliki dukungan publik besar-besaran di Belanda , tetapi ada kekhawatiran bahwa praktek ini mengarah ke penyalah gunaan hukum. Euthanasia tidak menjadi tindak pidana di Belanda sejak tahun 1984, ketika pengadilan dan Royal Medical Association Belanda menyusun pedoman yang ketat untuk dokter. Perubahan Undang-undang baru akan menghapus setiap kemungkinan bahwa dokter akan dituntut untuk melakukan euthanasia telah dengan persetujuan yang diperlukan dan konsultasi Studi British Medical Journal menemukan bahwa pada tahun 1995 hampir dua pertiga dari kasus euthanasia dan bunuh diri yang dibantu dokter tidak dilaporkan. 17% dari kasus kasus euthanasia terjadi tanpa permintaan eksplisit pasien, Hukum Belanda mengharuskan pasien untuk mengalami commit to user "penderitaan tak tertahankan" untuk membenarkan euthanasia. Tapi lebih
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
dari setengah dokteri mengatakan bahwa alasan utama yang diberikan oleh pasien untuk permintaan ini adalah "kehilangan martabat". Hampir setengah mengatakan mereka mengambil tindakan "untuk mencegah penderitaan lebih lanjut". Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum. Dinyatakan bahwa bunuh diri dengan bantuan orang lain yang dilaksanakan karena penderitaan yang berkelanjutan dan tak tertahankan adalah legal. Selanjutnya hukum itu menyatakan, pasien harus dalam keadaan pikiran ang tenang. Dokter pun harus mendapatkan opini kedua, dan hanya dokter bukan keluarga yang boleh memberikan obat mematikan pada pasien (http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia#Belanda diakses 2 Januari 2011).
b. Konsep euthanasia di Belanda Menurut penelitian 1991 otoritatif dalam laporan Remmelink mendefinisikan euthanasia di Belanda sebagai sengaja mengakhiri hidup orang lain atas permintaannya. Ini berbeda dari kategori lainnya yang digunakan di lembaga-lembaga perawatan kesehatan Belanda yaitu: commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bantuan bunuh diri didefinisikan sebagai sengaja membantu seseorang dalam tindakan mengakhiri hidup di nya permintaan eksplisit. Hal ini berbeda dengan euthanasia sukarela karena tidak mendukung tujuan hanya dalam tindakan penghancuran diri yaitu : i.
Sebuah tindakan mengakhiri hidup tanpa permintaan eksplisit didefinisikan sebagai sengaja mengakhiri hidup seseorang tanpa nya permintaan eksplisit. Hal ini berbeda dengan euthanasia sukarela dalam hal itu tidak didasarkan pada permintaan dianggap baik, gigih dan eksplisit dari pasien;
ii.
Euthanasia aktif tanpa permintaan eksplisit dari pasien berbeda dari euthanasia sukarela karena tidak didasarkan pada permintaan dianggap baik, gigih dan eksplisit dari pasien;
iii.
Kematian akibat administrasi opiat dan obat penghilang rasa sakit lainnya dalam dosis besar. Ini dikenal sebagai euthanasia tidak langsung dan, Kematian akibat pemotongan atau penarikan berpotensi pengobatan jika tidak dikenal sebagai euthanasia pasif atau abstain. Dalam definisi resmi, pengakhiran hidup atas permintaan pasien adalah
pusat dari keputusan untuk mengakhiri hidup dalam kasus euthanasia sukarela. Definisi di atas serupa dengan yang digunakan secara internasional dalam
bioetika
(Robin
Lunge,
Maria
Royle,
Michael
Slater.http://www.leg.state.vt.us/reports/05death/death_with_dignity_report. htm diakses 24 Januari 2011)
c. Dekriminalisasi euthanasia Euthanasia menjadi hukum di Belanda pada tanggal 10 April 2001. Sebelum tanggal tersebut, euthanasia aktif adalah tindak pidana berdasarkan Article 293 of the Dutch Penal Code (Pasal 293 dari Belanda KUHP), yang berbunyi : “He who takes the life of another person on this person's explicit and serious request will be punished with imprisonment of up to twelve years or commit usermengambil kehidupan orang lain a fine of the fifth category." ("Diatoyang
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atas permintaan orang ini eksplisit dan serius akan dihukum dengan hukuman penjara hingga dua belas tahun atau denda kategori kelima (sekitar $ 50,000). Kemudian dalam article 294 the Dutch Penal Code (Pasal 294 KUHP Belanda berbunyi : “He who deliberately incites another to suicide, assists him therein or provides him with the means, is punished, if the suicide follows, with a sentence of at most three years or a fine of the fourth category”( Dia yang sengaja menghasut orang lain untuk bunuh diri, membantu dalamnya atau memberikan dia dengan sarana, dihukum dengan hukuman paling banyak tiga
tahun
atau
denda
kategori
empat(sekitar
$
12,500,000)
(www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxwened.htm#Criminal%20Law diakses
tanggal 2 Januari 201). Pada saat yang sama, Section 40 (Bagian 40) dari code penal yang sama menyatakan bahwa seorang individu tidak dihukum jika dia telah didorong oleh "suatu kekuatan yang tak tertahankan" (hukum dikenal sebagai force majeure) untuk menempatkan kesejahteraan orang lain di atas hukum. Ini mungkin termasuk keadaan di mana dokter dihadapkan dengan konflik antara kewajiban hukum untuk tidak mengambil kehidupan dan tugas manusiawi untuk mengakhiri penderitaan tak tertahankan pasien. Di Belanda euthanasia sukarela telah dilegalkan. Dekriminalisasi euthanasia membuat Belanda negara pertama di dunia yang secara resmi "belas kasihan membunuh". Dalam undang-undang euthanasia, syaratsyarat untuk dilakukan euthanasia adalah : i. pasien yang dalam keadaan menderita terus menerus, tak tertahankan dan tidak dapat disembuhkan ii. Sebuah pendapat kedua dari seorang dokter eksternal; iii. Pasien harus dinilai sehat jasmani dan, iv. Permintaan untuk mati harus dilakukan secara sukarela, independen dan terus menerus.
commit to user v. Pasien harus sakit parah dengan penderitaan fisik.
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
vi. Pasien yang berumur 12-16 tahun memerlukan persetujuan dari orang tua mereka (www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxwened.htm#Criminal%20Law
diakses 2 Januari 2011). Namun, dokter tidak seharusnya menyarankan sebagai pilihan. Kedua permintaan lisan dan tertulis melegitimasi dokter untuk menyetujui permintaan tersebut. Namun, dokter tidak diwajibkan untuk melakukannya. Dan ia hanya dapat menyetujui untuk meminta sambil memperhatikan perawatan karena-persyaratan yang disebutkan dalam Undang Undang. Dalam setiap kasus dokter harus yakin bahwa pasien menghadapi penderitaan berkesudahan dan tak tertahankan. Jika dia atau dia percaya bahwa ini tidak begitu, dokter mungkin tidak menyetujui permintaan euthanasia, tidak peduli apa deklarasi negara akan. Penting untuk dicatat bahwa euthanasia dan bunuh diri yang dibantu dokter terus menjadi tindak pidana, tetapi dilegalkan, dalam keadaan tertentu. KUHP Belanda (dalam Pasal 293) sekarang termasuk ketentuan itu. Hal ini menyatakan bahwa berakhirnya kehidupan di permintaan dan bantuan bunuh diri tidak diperlakukan sebagai tindak pidana bila dilakukan oleh dokter dan jika kriteria perawatan karena diamati. Oleh karena pandangan bahwa euthanasia tidak lagi dihukum. Dalam contoh kasus yang menimpa seorang pasien berusia lima puluh tahun, yang bernama Nyonya Netty Boomsma, mengalami depresi yang sangat parah karena Kegagalan perkawinan dan dua anaknya meninggal yang disebabkan bunuh diri dan kanker. Penderitaannya terutama psikologis. Setelah kematian anak kedua ia memutuskan untuk bunuh diri dan mendekati
Dutch Federation for Voluntary Euthanasia (Federasi
Belanda Sukarela Euthanasia), yang mengarah ke Dr Boudewijn Chabot. Dr Chabot mendiagnosa menderita penderitaan mental yang berat dan sulit dipecahkan. Dia berkonsultasi dengan sejumlah rekan-rekannya, meski tidak satupun dari mereka dyang memeriksa Ny Boomsma secara pribadi. Pada user bulan September 1991, Drcommit Chabotto melakukan euthanasia ter hadap Ny
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
Boomsma dengan resep obat dosis tinggi yang mematikan. Akibatnya dia dilaporkan ke koroner publik. Dr Chabot dituntut berdasarkan Pasal 294 dari KUHP Belanda. Mahkamah Agung menyatakan bahwa tidak ada alasan prinsip dilakukan euthanasia apabila penyebab penderitaan pasien adalah psikologis. Namun, pengadilan menyatakan bahwa untuk melakukan euthanasia pasien harus diperiksa oleh seorang ahli medis independen. Dr Chabot telah mencari pendapat medis dari tujuh orang temannya tetapi tidak ada yang benar-benar melihat Ny Boomsma dapat disembuhkan. Pada bulan Juni 1994, Dr Chabot ditemukan bersalah karena melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 294. Mahkamah Agung menolak untuk menjatuhkan hukuman, walaupun pada bulan Februari 1995 Dr Chabot menerima teguran dari Majelis Disiplin Kedokteran. (Kimsma G, Leeuwen.
www.eubios.info/BetCD/Bet12.doc
diakses 2 Januari 2011)
3. Penerapan euthanasia di Belgia a. Sejarah dan perkembanagan Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir September 2002 melalui peraturan perundang undangan yaitu The Belgian Act on Euthanasia. Peraturan perundang undangan di Belgia tentang euthanasia diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the human rights and dignity of the terminally ill and the dying”, dimana dalam article 2 disebutkan : “no one shall be deprived of his life intentionally”; “recognising that a terminally ill or dying person’s wish to die never constitutes any legal claim to die at the hand of another person”; and “recognising that a terminally ill or dying person’s wish to die cannot of itself constitute a legal justification to carry out actions intended to bring about death”.(“tidak ada yang akan dicabut hidupnya dengan sengaja"); "mengakui orang sakit parah untuk mati tidak pernah merupakan tuntutan hukum, untuk mati di tangan orang lain"; dan "mengakui bahwa ingin orang sakit parah untuk mati tidak dapat dengan sendirinya merupakan alasan yang sah untuk melakukan segala tindakan commit to user yang dimaksudkan untuk kematiannya".)
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
Dengan diberlakukannya secara resmi undang-undang euthanasia (tindakan membunuh orang untuk meringankan penderitaan), Belgia mengikuti jejak Belanda, yang selama ini menjadi satu-satunya negara yang memberlakukan undang-undang euthanasia
b. Dekriminalisasi euthanasia Dengan diberlakukannya secara resmi undang-undang euthanasia (tindakan membunuh orang untuk meringankan penderitaan), Belgia mengikuti jejak Belanda, yang selama ini menjadi satu-satunya negara yang memberlakukan undang-undang euthanasia. Berdasarkan undang-undang itu, seorang dokter yang melakukan pembunuhan atas dasar belas kasihan tidak akan dinyatakan bersalah dan dipidana, bila pasiennya menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan mengambil keputusan sendiri, dan bila prosedur hukum tertentu lainnya diikuti. Sebelum melakukan pembunuhan atas dasar belas kasihan berdasarkan undang-undang baru itu, seorang dokter harus merasa pasti bahwa permintaan untuk mati dibuat oleh pasien atas kemauan sendiri bebas dari campur tangan pihak lain, sudah dipikirkan sebagaimana mestinya dan secara konsisten dan bukan hasil dari tekanan pihak luar. Untuk menghindari tuntutan, seorang dokter juga harus menjamin bahwa pasien "dalam situasi medis yang tak tersembuhkan" dan menanggung "penderitaan psikologis atau penderitaan fisik secara terusmenerus dan tak tertahankan" akibat kecelakaan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan. Tetapi, undang-undang baru tersebut juga menjamin hak pasien untuk mendapat perawatan bebas akibat penyakitnya itu sehingga pasien yang diasingkan atau miskin itu tidak meminta mati karena tidak mempunyai uang untuk berobat. Untuk mengawasi praktek euthanasia di Belgia, kemudian membentuk suatu komisi tetap untuk memantau praktek-praktek euthanasia di Belgia. Dokter harus menyatakan tindakan euthanasia ke Komisi Federal terdiri dari 8 dokter, 4 ahli hukum dan 4 orang commit to usermasalah pasien yang menderita dari lingkungan dipercayakan dengan
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyakit yang tak tersembuhkan. Komisi ini memiliki misi untuk menetapkan setiap tahun laporan statistik dan evaluatif, dan untuk menyarankan
rekomendasi.
(Jacqueline
Herremans.
http://www.iheu.org/node/1110 diakses tangaal 2 Januari 2011) Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan euthanasia di Belgia, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian". Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi euthanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya. Dengan demikian pemerintah Belgia mendiskriminalisasikan perbuatan euthanasia.
Beberapa berpendapat bahwa permintaan untuk
euthanasia di Belgia yang dibantu oleh dokter adalah hasil positif dari perawatan paliatif. Menurut World Health Organization (WHO) perawatan paliatif tidak harus mempercepat atau menunda kematian (Johan Bilsen, Lieve Van den Block, Luc Deliens, Lieve Van den Block, Nathalie Bossuyt, Viviane Van Casteren. www.bmj.com/content/339/bmj.b2772. full diakses 2 Januari 2011).. Praktek euthanasia di Belgia lebih sering dilakukan di unit rawat inap paliatif daripada di rumah sakit atau di rumah. Selama tiga bulan sebelum dilakukan
euthanasia,
orang
yang
mengajukan
euthanasia
akan
mendapatkan perawatan secara rohani. Meskipun kualitas dari perawatan tersebut belum terbukti, akan tetapi perawatan tersebut dapat mengungkap keinginan seseorang, termasuk keinginan untuk euthanasia. Dengan demikian dapat memberikan spritual commit to userkepada orang yang mengajukan
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
euthanasia (Johan Bilsen, Lieve Van den Block, Luc Deliens, Lieve Van den
Block,
Nathalie
Bossuyt,
Viviane
Van
Casteren.
www.bmj.com/content/339/bmj.b2772. full diakses 2 Januari 2011). Dalam perkembangannya di Belgia alasan untuk melakukan euthanasia tidak hanya karena masalah fisik saja (penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan), akan tetapi juga karena kehilangan martabat, kehilangan otonomi, dan penderitaan-penderitaan secara umum (kemiskinan). Ini menunjukkan bahwa di Belgia memperpendek kehidupan atau euthanasia, tampaknya tidak dicegah oleh keterlibatan multidisiplin layanan perawatan paliatif, yang telah menjadi argumen utama terhadap legalisasi euthanasia. Contoh kasus di Belgia pasca disahkannya Undang Undang euthanasia adalah kasus Mario Verstraete, 39 tahun dari Ghent, yang merupakan orang Belgia pertama menggunakan hak euthanasia setelah disahkannya Undang Undang euthanasia.
Mario Verstraete, mengalami sclerosis, meninggal
pada tanggal 30 September setelah diberi suntikan oleh dokternya, hanya delapan hari setelah disahkannya Undang Undang euthanasia. Kritik, terutama di Flemish media, menyatakan bahwa cara kematiannya tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang dan bahwa dokter bisa menanggung risiko penuntutan. Mereka menunjukkan bahwa setelah pengambilan keputusan, Mario Verstraete seharusnya diberikan 30 hari untuk memikirkan tindakan euthanasia terhadap dirinya. Ini menunjukkan Undang Undang euthanasia di Belgia belum diterapkan secara benar, sehingga berpotensi sebagai sarana bunuh diri yang legal. (Rory Witson Brussel. http://www.bmj.com diakses 28 Desember 2010).
4. Penerapan euthanasia di Amerika a. Sejarah dan perkembangan Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika, bahkan perbuatan euthanasia merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Akan tetapi ada negara bagian di Amerika yang commit to user hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act) (Robin Lunge, Maria Royle, Michael Slater.http://www.leg.state.vt.us/reports/05death/death_with_dignity_report. htm. diakses 24 Januari 2011)
b. Dekriminalisasi euthanasia Dalam Undang Undang ini ada beberapa kelemahan. undang-undang euthanasia ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya. Setelah memenuhi persyaratan di atas, pasien berhak untuk resep untuk obat untuk mengakhiri hidup. Undang-undang tidak mengizinkan dokter atau orang lain untuk mengakhiri hidup pasien dengan suntikan mematikan atau euthanasia aktif." Artinya, Undang-Undang memberikan wewenang dokter untuk memberikan resep mematikan, namun secara tegas menolak euthanasia
aktif
(Robin
Lunge,
Maria
Royle,
Michael
Slater.http://www.leg.state.vt.us/reports/05death/death_with_dignity_report. htm diakses 24 Januari 2011) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
Kasus menarik di Amerika tentang euthanasia adalah Terri Schiavo meninggal dunia di negara bagian Florida, 31 Maret 2005 atau 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya. Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Pada tahun 2001, hakim pengadilan pengadilan memutuskan bahwa bukti yang jelas dan meyakinkan menunjukkan bahwa Terri Schiavo akan memilih untuk tidak menerima pengobatan yang memperpanjang hidup dalam keadaan yang kemudian diterapkan. Putusan ini juga ditegaskan oleh pengadilan banding Florida dan membantah pendengaran oleh Mahkamah Agung Florida. Ketika tabung pengisi Terri Schiavo telah dihapus untuk kedua kalinya, pada tahun 2003, badan legislatif Florida diciptakan "Terri Law" untuk mengesampingkan keputusan pengadilan, dan tabung itu kembali dimasukkan kembali. Hukum commit to user ini kemudian memutuskan pelanggaran konstitusional pemisahan kekuasaan
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(TimothyQuill.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp058062
diakses 2 Januari 2011). Akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah
independen,
yang
pada
akhirnya
membenarkan keputusan hakim terdahulu
commit to user
ternyata
hakim
federal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV. PENUTUP A. Simpulan
1.
Norma hukum tentang euthanasia tidak diatur dengan jelas dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara Implisit pengertian euthanasia terdapat dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur mengenai hak hidup, yang diatur didalam Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “ setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf hidupnya”. Hak untuk hidup oleh sebagian besar masyarakat dapat ditafsirkan sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri, sehingga menentukan hidupnya sendiri dapat juga diartikan hak kebebasan terhadap dirinya sendiri termasuk juga hak untuk mengakhiri hidup sendiri. Akan tetapi hak menentukan hidupnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya suatu hak atas informasi yang diatur dalam Pasal 14 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan hak atas kesehatan yang diatur didalam Pasal 9 ayat (3) Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan berlandaskan kedua Pasal tersebut, pasien atau pihak keluarga yang mewakili setelah mendapatkan informasi yang cukup jelas dari dokter dapat meminta persetujuan dari dokter untuk meminta dihentikan pengobatannya karena dianggap tidak dapat disembuhkan lagi, sehingga keberadaannya dirumah sakit hanya akan menambah beban serta biaya saja. Persetujuan antara dokter dan pasien (informed consent) inilah yang menjadi dasar untuk dilakukan euthanasia terhadap pasien. Dengan demikian dokter tidak dapat dipersalahkan apabila pihak keluarganya mengadukannya, karena tindakannya didasarkan oleh persetujuan pasien. Informed consent merupakan syarat yang bertumpu atas dua hak yaitu hak untuk menentukan hidupnya sendiri dan hak atas informasi.
2.
Ketentuan tentang euthanasia tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang undangan Indonesia. Secara Impisit euthanasia diatur didalam commit to user Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu hak
75
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
hidup yang ditafsirkan oleh sebagian masyarakat merupakan hak untuk menetukan hidupnya sendiri. Bentuk euthanasia yang sering dilakukan di Indonesia adalah euthanasia pasif yaitu berupa pengurangan kualitas kesehatan dari rumah sakit ke rumah tangga. Bentuk euthanasia pasif memang dalam peraturan perundang undangan Indonesia belum ada yang mengaturnya, sehingga pelaksanaannya bukan merupakan suatu pelanggaran hukum. Pasal 344 KUHP yang oleh para ahli hukum merupakan Pasal yang mendekati tindakan euthanasia termasuk juga euthanasia pasif tidak dapat bekerja secara maksimal, karena belum ada menjerat pelaku euthanasia pasif di Indonesia. Jika kita bandingkan dengan negara lainnya (Belanda, Belgia, Amerika), pengaturan mengenai penerapan euthanasia di Indonesia jauh tertinggal. Di Belanda secara tegas melegalkan praktek euthanasia melaui peraturan perundang undangan yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding), atau Review procedures for the termination of life on request and assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act) walaupun dalam code penal (KUHP Belanda) disebutkan dalam Pasal 293 yaitu “Dia yang mengambil kehidupan orang lain atas permintaan orang ini eksplisit dan serius akan dihukum dengan hukuman penjara hingga dua belas tahun atau denda kategori kelima. Sedangkan dalam article 294 disebutkan barang siapa yang menghasut orang lain untuk bunuh diri dihukum paling lama tiga tahun, dan denda kategori empat. Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa Hukum Pidana Belanda melarang praktek euthanasia, akan tetapi kemudian dihilangkan sifat pidananya, sehingga praktek euthanasia di Belanda di legalkan. Di Belgia pemerintah melegalkan praktek euthanasia melalui peraturan perundang undangan yaitu The Belgian Act on Euthanasia yang diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan commit to user of the human rights and dignity rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
of the terminally ill and the dying”. Dalam article 2 disebutkan mengakui orang sakit parah untuk mati tidak pernah merupakan tuntutan hukum, untuk mati di tangan orang lain"; dan "mengakui bahwa ingin orang sakit parah untuk mati tidak dapat dengan sendirinya merupakan alasan yang sah untuk melakukan segala tindakan yang dimaksudkan untuk kematiannya"). Di Amerika memang secara agresif praktek euthanasia dilarang dan merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Akan tetapi di negara bagian Oregon eutthanasia merupakan hal yang legal melalui Oregon Death with Dignity Act, dimana secara eksplisit disebutkan bahwa secara eksplisit bahwa seorang pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan dapat mengakhiri hidupnya.
B. Saran Pemberian hak euthanasia pada dasarnya bertumpu pada hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Akan tetapi permasalahnya sampai sejauh mana batasan-batasan menentukan hidupnya sendiri tersebut. Batasan-batasan tersebut harus jelas, agar tidak bertentangan dengan hak-hak lainnya, terutama bila dikaitkan dengan euthanasia akan berbenturan dengan hak hidup, sedangkan hak untuk menentukan hidupnya sendiri tidak diatur secara jelas dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia perlu dilakukan Judicial Review untuk memasukkan rumusan tentang hak menentukan hidupnya sendiri. Pemerintah (legislatif) juga harus membuat regulasi tentang euthanasia yang berbasiskan Hak Asasi Manusia secepatnya atau memasukkan rumusan euthanasia dalam Undang Undang Kesehatan ataupun Undang Undang Praktek Kedokteran, agar memperjelas euthansia mana yang dilarang dan euthanasia mana yang diperbolehkan oleh hak asasi manusia, sehingga dapat membantu penegak hukum untuk menafsirkan apakah orang tersebut menggunakan haknya atau orang tersebut telah melanggar hak asasi manusia. Pengaturan euthanasia di Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara commit to user lainnya seperti Belanda, Belgia, Amerika. Di Indonesia sejak diberlaukkannya
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sampai sekarang belum pernah ada kasus yang ditangani oleh pengadilan yang berhubungan dengan euthanasia. Pasal 344 KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia belum pernah menjerat pelaku euthanasia. Ini menunjukkan Pasal 344 KUHP merupakan Pasal yang tidak efektif. Berkaitan dengan pengaturan euthanasia kedepan (Pasal 344 KUHP) dan dalam rangka pembangunan hukum pidana kedepan maka ada tiga hal yang harus dicermati yaitu Pasal 344 dihapuskan, Pasal 344 tetap dipertahankan atau Pasal 344 direvisi. Akan tetapi ketiga hal tersebut mempunyai dampak. Apabila dipertahankan maka euthanasia termasuk euthanasia pasif tidak diperbolehkan, apabila dicabut maka segala bentuk euthanasia diperbolehkan termasuk juga euthanasia , apabila direvisi maka ada kriteria-kriteria tertentu tentang euthanasia yang diperbolehkan dan ada yang dilarang. Dari hal-hal tersebut, yang paling pantas adalah adanya suatu revisi dari Pasal 344 KUHP. Kedepannya pemerintah harus memberikan kebijakan dekriminalisasi terhadap Pasal 344 KUHP yaitu dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya seseorang. Pengaturan euthanasia mendatang harus mempertahankan beberapa prinsip-prinsip umum yang terkandung didalamnya, akan tetapi harus ada beberapa pengecualian-pengecualian antara lain : a) Bagi pasien yang sudah tidak ada harapan lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya. b) Usaha penyembuhan tidak berpotensi lagi c) Harus mendapat persetujuan dari keluarga pasien. d) Tindakan yang dilakukan hanya berupa pengurangan kualitas perawatan kesehatan yaitu dari rumah sakit ke rumah tangga, sehingga secara tegas melarang praktek euthanasia aktif.
commit to user